Pencarian

Dendam Anak Pengemis 3

Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis Bagian 3


setengah tidak percaya.
"Kalau hanya pengemis biasa, tidak perlu meminta bantuan kalian."
"Teruskan, Jayakrama," pinta si Tombak Iblis.
"Pengemis-pengemis itu ada yang memimpin! Mereka
adalah Partai Pengemis Tongkat Hitam."
"Tunggul...," desis si Tombak Iblis pelan.
Semua mata memandang si Tombak Iblis. Namun yang dipandang hanya menghentak-
hentakkan tombaknya ke lantai.
"Berapa tahun kau menguasai desa ini, Jayakrama?"
si Tombak Iblis malah bertanya.
"Sekitar dua puluh dua tahun," sahut Ki Jayakrama.
"Selama itu rupanya kau sudah lupa karena bergelimang kesenangan. Kau rebut
tempat ini dari saudaramu sendiri, dan kau hancurkan mereka. Dan sekarang, kau
bangun kembali desa ini dengan akal licikmu memecah belah semua orang" Kau lupa,
Jayakrama! Ki Tunggul adalah pemimpin besar Partai Pengemis Tongkat Hitam!"
tenang namun tegas kata-kata si Tombak Iblis.
Ki Jayakrama tersentak mendengar penjelasan itu.
Dia seperti baru terbangun dari mimpi panjang yang melenakannya. Sungguh tidak
disadari kalau para pengemis itu adalah anak buah Ki Tunggul, bekas adipati di
Watu Gayam ini, yang juga adik kandungnya sendiri. Kini baru disadari kalau para
pengemis itu menghimpun kekuatan dan ingin meruntuhkannya.
"Tapi kau tidak perlu khawatir, Jayakrama. Besok orang-orangku yang berjumlah
tiga puluh orang datang ke sini. Meskipun selama ini kau telah melupakan
sahabat, tapi sebagai pribadi aku tidak akan berdiam diri begitu saja melihatmu
dalam kesulitan," kata si Pedang Setan.
"Maaf, aku telah buta. Aku tidak lagi memandang kalian sebagai sahabat," sesal
Ki Jayakrama. "Sudahlah, lupakan semua itu. Yang penting sekarang apa keinginanmu?" celetuk si
Cakar Maut. "Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati."
"Hm..., sejak tadi aku tidak melihat murid tunggalmu, Jayakrama. Ke mana dia?"
selak si Tombak iblis tiba-
tiba. Ki Jayakrama terdiam. Dipandangi satu persatu sahabatnya. Perlahan-lahan
diceritakannya tentang Dipa Sentana yang telah berubah, dan sekarang mendekam
dalam penjara. Semua itu terpaksa dilakukan, karena tidak ingin segala sesuatu
yang telah diperjuangkannya selama puluhan tahun berantakan. Tombak Iblis,
Pedang Setan, dan si Cakar Maut mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ki Jayakrama diam cukup lama setelah selesai menceritakan semuanya. Memang
berat, tapi harus dilakukan. Baginya kehilangan seorang murid tidak ada artinya,
jika dibanding dengan segala yang diinginkan-nya di Watu Gayam ini. Dan itu
memang disadari ketiga sahabatnya. Mereka juga tidak memberikan komentar apa-
apa, karena itu adalah urusan pribadi Ki Jayakrama sendiri terhadap muridnya.
Mereka tahu betul, siapa Ki Jayakrama itu. Dia tidak akan pernah memandang
saudara, murid, atau kerabat, untuk mencapai setiap keinginannya. Baginya
penghalang harus dilenyapkan untuk selama-lamanya.
"Boleh aku melihatnya, Jayakrama?" pinta si Pedang Setan.
"Silakan. Aku juga ingin minta pendapat kalian, hukuman apa yang pantas bagi
murid durhaka itu,"
sahut Ki Jayakrama, agak tertahan suaranya.
"Kau yang menentukan, Jayakrama," sahut si Tombak Iblis.
"Mari, kuantarkan menengoknya. Setelah itu aku akan memberi hukuman padanya di
depan kalian."
Mereka bangkit berdiri dan berjalan ke luar. Ki Jayakrama berjalan paling depan.
Tiga sahabatnya mengikuti dari belakang setelah saling melempar pandangan.
Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah terucapkan. Saran apa pun
yang dikeluarkan, tidak akan pernah ditanggapi Ki Jayakrama,
meskipun laki-laki itu memintanya. Mereka ingin tahu, hukuman apa yang akan
diberikan kepada Dipa Sentana.
Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara. Dua orang prajurit penjaga pintu
penjara segera membungkukkan badan begitu Ki Jayakrama dan ketiga sahabatnya
sampai di depan pintu penjara. Ki Jayakrama memandang ketiga sahabatnya
sebentar, kemudian memberi isyarat pada penjaga untuk membuka pintu. Salah
seorang penjaga bergegas membuka lebar-lebar pintu yang terbuat dari baja itu.
Ki Jayakrama melangkah masuk diikuti ketiga sahabatnya. Seketika mereka
tersentak begitu berada di dalam ruangan tahanan yang tidak begitu besar itu.
"Setan! Terkutuk kau, Dipa Sentana...!" umpat Ki Jayakrama berang.
Dengan wajah merah padam, Ki Jayakrama bergegas ke luar. Ketiga sahabatnya
mengikuti sambil saling melempar pandang. Di dalam kamar tahanan itu tidak ada
seorang pun yang terlihat. Semuanya kosong, dan dinding bagian belakang jebol
berantakan. Ki Jayakrama memanggil semua anak buahnya. Dengan suara lantang
menggelegar, diperintahkan anak buahnya untuk mencari Dipa Sentana.
"Biar aku yang mencarinya, Jayakrama." kata si Tombak Iblis.
Ki Jayakrama memandang sahabatnya itu.
"Perintahkan keputusanmu," desak Tombak Iblis.
"Bunuh anak keparat itu!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Aku akan membawa kepalanya padamu," janji si Tombak Iblis mantap.
"Aku Juga akan mencarinya, Jayakrama,'' selak si Cakar Maut.
"Aku tidak bisa mencegah. Tapi, hati-hatilah pada Partai Pengemis Tongkat Hitam.
Aku yakin, anak keparat
itu bergabung bersama mereka."
Si Tongkat Iblis dan si Cakar Maut bergegas melangkah menghamptri kudanya,
kemudian melompat naik dan menggebah cepat kudanya. Sedangkan Ki Jayakrama itu
bergegas kembali ke dalam rumah besar itu. Si Pedang Setan mengikutinya. Dia
tidak ikut mencari Dipa Sentana, karena harus menunggu anak buahnya dulu.
*** 7 Sementara itu jauh di tengah hutan sebelah Barat Desa Watu Gayam, Rangga tengah
berjalan bersama Puspa Ningrum dan Gota. Di belakang, ada dua orang berpakaian
compang-camping. Arah yang dituju, jelas Desa Watu Gayam. Mendadak langkah
mereka terhenti.
Tampak dari kejauhan, terdengar suara orang tengah bertarung. Pekik melengking
bercampur menjadi satu bersama denting senjata.
"Hup!"
Rangga langsung melompat cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah
tidak terlihat lagi. Gota segera menggamit tangan Puspa Ningrum, dan mengajaknya
berlari ke arah suara pertempuran itu.
Sementara Rangga sudah lebih dahulu sampai di tempat pertempuran itu. Agak
terkejut juga dia ketika melihat dua orang bertempur sengit menggunakan senjata.
Yang seorang memegang pedang panjang berkilat, sedangkan seorang lagi
menggunakan tombak panjang bermata tiga.
"Hm...," Rangga bergumam pelan.
Dia hanya berdiri memperhatikan, karena sama sekali tidak mengenali kedua orang
itu. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah berpikir, muncul Gota dan Puspa
Ningrum, yang langsung menghampiri Rangga.
"Kakang..." Puspa Ningrum mendesah begitu mengenali orang yang memegang pedang.
"Dipa Sentana..." Gota juga mendesis tertahan. Gota dan Puspa Ningrum saling
berpandangan. Pertentangan batin terjadi di antara mereka berdua. Gota sangat
membenci Dipa Sentana, meskipun sejak semula tahu
kalau laki-laki itu adalah ayahnya yang telah membuangnya sejak masih bayi.
Sedangkan lain lagi yang dirasakan Puspa Ningrum. Dia masih belum percaya penuh
terhadap perbuatan buruk Dipa Sentana pada ayah dan ibunya. Gadis itu masih
diliputi kebimbangan. Selama ini yang diketahuinya bahwa Dipa Sentana adalah
kakaknya, meskipun hatinya membantah karena perbedaan usia yang begitu menyolok.
"Aku akan membunuhnya, Puspa." kata Gota, agak tersendat suaranya.
Puspa Ningrum hanya diam saja, karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Saat
ini batinnya juga sedang berperang. Sementara itu pertarungan masih terus
berlangsung, dan jelas terlihat kalau Dipa Sentana terdesak. Gota yang akan
terjun ke dalam pertarungan itu, cepat-cepat dicegah Rangga.
"Siapa pun lawannya, aku tidak peduli! Dia harus mati di tanganku!" sentak Gota
menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bukan satria jika mengeroyok orang yang terdesak,"
kata Rangga memperingatkan.
"Dia juga bukan satria! Dia Iblis!"
Pada saat itu, tanpa diduga sama sekali, Puspa Ningrum melompat sambil berteriak
keras. Rangga dan Gota tersentak kaget. Gadis itu telah meloloskan sabuk
peraknya, dan dikebutkan kuat-kuat. Sabuk yang langsung menegang itu, dikibaskan
ke arah leher orang yang bertarung melawan Dipa Sentana.
"Puspa Ningrum...!" sentak Dipa Sentana terkejut.
"Uts!"
Orang yang menggunakan tombak bermata tiga, langsung mengegoskan kepalanya, dan
buru-buru melompat mundur. Dia mengumpat habis-habisan, tapi Puspa Ningrum terus
mencecar tanpa memberi kesempatan orang itu memberikan perlawanan. Sementara
Dipa Sentana terpaku sesaat kemudian melompat
hendak membantu Puspa Ningrum. Namun pada saat itu, Gota melompat menghadangnya.
"Gota...," desis Dipa Sentana kembali terkejut.
"Lama aku menunggu kesempatan ini, Dipa!" dingin nada suara Gota.
"Gota, aku tahu kau membenciku. Tapi ingatlah, aku ayahmu."
"Ayah..."! Iblis! Tidak pantas rasanya mengaku ayah padaku! Kau sudah
membuangku. Kau bukan manusia, Dipa! Kau iblis...!"
"Kuakui kesalahanku, Gota. Sekarang aku tidak akan melawan seandainya kau
membunuhku. Hukuman apa pun akan kuterima jika ingin kau limpahkan padaku.
Lakukan, Gota," Dipa Sentana membuang pedangnya.
"Setan! Ambil pedangmu, keparat'" geram Gota.
"Kau tidak akan bisa membunuhku, Gota. Lakukan, dan aku tidak akan melawan. Aku
rela mati di tanganmu, Gota. Bunuhlah aku!" tegas kata-kata Dipa Sentana.
Gota mengangkat tongkatnya yang berwarna hitam pekat. Satu ujungnya yang
runcing, diarahkan ke dada Dipa Sentana. Namun belum sempat ujung tongkatnya
ditusukkan, mendadak terdengar suara pekikan keras.
Dipa dan Gota langsung menoleh, dan kontan terkejut melihat Puspa Ningrum
terjajar memegangi dadanya.
Dari sudut bibir gadis itu merembes darah kental.
"Puspa...!"
"Puspa Ningrum ..!"
"Ha ha ha...! Bagus! Rupanya kalian sudah kumpul semua! Bagus...! Sekarang bisa
kubawa kepala kalian pada Jayakrama!"
Gota berlari menghampiri Puspa Ningrum yang tengah berusaha bangkit berdiri,
lalu membantu gadis itu berdiri. Puspa Ningrum berdahak, dan memuntahkan kembali
darah kental dari mulutnya. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang
mengotori bibir.
"Kau tidak apa-apa, Puspa?" ada nada kecemasan
pada suara Gota.
"Uh, dadaku...." keluh Puspa Ningrum tersendat.
"Duduklah dulu."
Gota dan Puspa Ningrum menoleh. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Rangga sudah
berada di belakang mereka. Pendekar Rajawali Sakti itu menuntun Puspa Ningrum,
dan membawanya ke bawah pohon.
Dimintanya gadis itu untuk duduk bersila. Puspa Ningrum tidak membantah, lalu
duduk bersila. Kedua telapak tangannya menempel di lutut.
Rangga kemudian duduk bersila di depan Puspa Ningrum. Sebentar dipejamkan
matanya, lalu dipusat-kan hawa murni pada telapak tangannya. Kemudian pelahan-
lahan ditempelkan telapak tangannya di dada gadis itu. Puspa Ningrum agak
tersentak. Namun begitu merasakan hawa panas mengalir melalui dadanya, dia
terdiam dengan mata terpejam.
"Hoek...!"
Puspa Ningrum memuntahkan darah kental berwarna merah kekuning-kuningan. Sesaat
kemudian, tubuhnya mengejang, lalu roboh lunglai. Gota langsung memburu, tapi
buru-buru dicegah Rangga. Pemuda pengemis itu hanya bisa memperhatikan di
samping gadis itu.
Sedangkan Rangga menggerakkan jari-jari tangannya di beberapa bagian tubuh Puspa
Ningrum. "Hih!"
"Akh!" Puspa Ningrum terpekik tertahan.
Satu hentakan tangan Rangga menggoncangkan
dada gadis itu. Namun Puspa Ningrum hanya merintih lirih, lalu bangkit duduk
bersila kembali. Sementara Rangga menarik napas panjang. Dia bangkit berdiri dan
membiarkan gadis itu bersemadi.
?"Bagaimana dia?" tanya Gota tidak dapat menyem-bunyikan kecemasannya.
"Tidak apa-apa, untung belum terlambat." sahut Rangga sedikit mendesah.
"Terkena racun?" tebak Gota.
"Betul. Tapi sekarang tidak lagi. Puspa Ningrum butuh beberapa saat untuk
bersemadi. Pasti akan pulih kembali "
"Oh, syukurlah..." desah Gota lega. Gota mengalihkan perhatiannya pada Dipa
Sentana dan laki-laki setengah baya bersenjata tombak panjang bermata tiga.
Kedua orang itu sudah terlibat kembali dalam pertarungan.
Sementara Puspa Ningrum masih tetap bersemadi memulihkan tenaga dan mengeluarkan
sisa-sisa racun yang mengendap di dalam tubuhnya.
*** "Modar! Hiyaaa...!"
"Akh!"
Sambil menjerit keras, Dipa Sentana terpental deras ke belakang setelah satu
pukulan telak bertenaga dalam penuh mendarat di dadanya. Laki-laki bersenjata
tombak mata tiga langsung melompat mengejar sambil menghunjamkan ujung
senjatanya ke arah dada Dipa Sentana. Pada saat yang tepat, Rangga sudah
melompat cepat, lalu menyentil ujung tombak itu.
"Ikh!"
Si Tombak Iblis tersentak kaget. Buru-buru dia menarik pulang senjatanya, dan
dilentingkan tubuhnya dua kali ke belakang. Manis sekali sepasang kakinya
mendarat di tanah. Sedangkan Rangga telah berdiri tegak membelakangi Dipa
Sentana yang tengah berusaha bangkit, namun jatuh kembali sambil memuntahkan
darah kental yang berwarna merah ke kuning-kuningan
"Jangan bergerak! Pusatkan hawa mumi ke jantung dan seluruh aliran darah," kata
Rangga tanpa menoleh.
Dia tahu kalau si Tombak Iblis mendaratkan pukulan beracun yang sangat
mematikan. Dipa Sentana segera memusatkan hawa murninya, tapi malah memuntahkan darah
kembali. Tubuhnya kini tergeletak dan napasnya terengah-engah.
"Gota, salurkan hawa murni melalui punggungnya!"
seru Rangga. Gota terlihat ragu-ragu. Kebencian dan rasa dendam pada Dipa Sentana menyayat
dadanya. Tapi melihat laki-laki yang telah membuang dan menyia-nyiakannya dalam
keadaan kritis, hatinya tidak tega juga. Dengan perasaan masih belum menentu,
dihampirinya juga.
Gota membantu Dipa Sentana duduk bersila, kemudian ia sendiri duduk bersila di
belakang laki-laki yang sebenarnya ayahnya itu. Dengan kedua telapak tangan
menempel pada punggung Dipa Sentana, Gota
menyalurkan hawa murni untuk mencegah menjalarnya racun ke seluruh tubuh laki-
laki setengah baya itu.
"Tutup jalan darahnya, Gota," perintah Rangga seraya menggeser kakinya ke depan
beberapa langkah.
"Hup...!" Gota bergegas menutup beberapa jalan darah yang belum dimasuki racun.
Sementara Rangga kembali melangkah ke depan mendekati si Tombak Iblis. Tatapan
matanya tajam menusuk, dan bibirnya terkatup rapat. Sedangkan si Tombak Iblis
sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.
"Setan keparat! Aku tak peduli siapa dirimu! Yang jelas, kau harus mampus di
tanganku! Hiyaaat..!"
Si Tombak Iblis melompat menerjang sambil meng-geram marah. Senjatanya yang
bermata tiga, dikebutkan dan ditusukkan dengan kecepatan tinggi. Pendekar
Rajawali Sakti berlompatan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan beruntun
itu. Dikerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang selalu digunakan pada awal-awal pertarungannya.
Dengan jurus itu Rangga dapat mengukur tingkat kepandaian lawan.
Si Tombak Iblis sudah mengeluarkan lima Jurus, tapi
belum juga dapat menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu sudah
dirasakan cukup oleh Rangga untuk mengetahui tingkat kepandaian lawannya. Maka
langsung dirubah jurusnya menjadi Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Awas kepala!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Uts!"


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Tombak Iblis langsung merunduk begitu satu pukulan keras dan tiba-tiba,
melayang ke arah kepalanya. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu tendangan
melayang mengarah ke pinggang. Si Tombak Iblis merungut kesal. Buru-buru ditarik
mundur tubuhnya. Dan pada saat itu, Rangga mengibaskan tangan kiri ke arah dada.
"Hap!"
Si Tombak Iblis menangkis menggunakan tombaknya.
Betapa terperangahnya dia, karena dengan cepat sekali Rangga memutar tangannya
dan langsung menyodok bagian atas perut. Si Tombak Iblis jadi terbeliak mendapat
serangan yang begitu cepat dan beruntun. Buru-buru dia melompat mundur beberapa
langkah. Namun pada saat itu Gota melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya
ke arah punggung.
"Akh!" si Tombak Iblis memekik tertahan.
Tubuhnya langsung terhuyung ke depan. Pada saat yang sama, Rangga yang sudah
melompat mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', menjadi terkejut
dan tak mungkin lagi menarik pulang serangannya. Maka satu tendangan keras
mendarat di kepala si Tombak Iblis.
"Aaa...!" si Tombak Iblis meraung keras sambil memegangi kepalanya.
Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya. Selagi si Tombak Iblis meraung
sambil terhuyung, Gota kembali melancarkan pukulan dibarengi tendangan. Segera
diakhirinya pertarungan itu dengan satu tusukan tepat
ke jantung si Tombak Iblis.
"Aaa...!" sekali lagi si Tombak Iblis menjerit melengking tinggi.
"Hih"
Bersamaan dengan Gota menarik keluar tongkatnya, tubuh si Tombak iblis
terjungkal jatuh. Seketika itu juga nyawanya melayang dari badan. Darah mengucur
dari kepala yang retak dan dada berlubang dalam sampai tembus ke punggung. Gota
memandangi mayat yang membujur bersimbah darah itu. Tidak jauh di seberangnya
berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
*** Agak lama juga Rangga bersama Gota menunggu
Puspa Ningrum dan Dipa Sentana selesai bersemadi.
Sedangkan dua orang pengemis yang menyertai mereka, sudah menyiapkan ranting
kering untuk api unggun. Saat ini senja memang sudah mulai merayap turun. Langit
mulai remang-remang bersimbah cahaya merah jingga. Mayat si Tombak Iblis masih
menggeletak membujur. Darah di sekujur tubuhnya mulai mengering.
"Tunggu...!" cegah Rangga ketika Gota akan bangkit begitu melihat Dipa Sentana
sudah selesai bersemadi.
Gota duduk kembali, namun pandangannya tetap tajam tertuju pada laki-laki
setengah baya itu. Sementara Dipa Sentana menggerak-gerakkan tangannya,
menyempurnakan keadaan tubuhnya. Dia langsung menatap Gota, lalu bangkit
berdiri. Dengan langkah tegap, Dipa Sentana menghampiri pemuda pengemis itu.
"Sebaiknya kau cepat pergi sebelum pikiranku berubah," ujar Gota ketus.
"Kau telah menyelamatkan nyawaku, Gota. Aku harus membalas budimu." ucap Dipa
Sentana lembut.
"Aku tidak mengharapkan imbalan darimu!" ketus
jawaban Gota. "Mungkin kau tidak membutuhkan. Tapi, teman-temanmu semua memerlukan, Gota. Aku
tahu, kau kini bergabung dengan Partai Pengemis Tongkat Hitam yang sekarang
semuanya berada di Watu Gayam. Aku tahu maksudnya, tapi itu akan sia-sia saja.
Meskipun kalian berjumlah seribu orang, tidak akan mampu mengalah-kan Ki
Jayakrama dan teman-temannya." kata Dipa Sentana, tetap tenang suaranya.
"Satu orang sudah mampus!" dengus Gota seraya melirik mayat si Tombak Iblis.
Dipa Sentana terdiam. Memang baru satu orang, tapi yang lainnya masih banyak.
Dipa Sentana menatap Gota, kemudian berpaling memandang Rangga yang ada di
sebelah pemuda pengemis itu. Pandangan Dipa Sentana kembali beralih ke arah Puspa Ningrum yang
sudah bangun dari semadi-nya. Gadis itu berdiri dan melangkah menghampiri, lalu
berhenti di antara Gota dan Dipa Sentana.
"Malapetaka besar akan menimpa Watu Gayam,"
desah Dipa Sentana setengah bergumam.
"Ya, seperti yang kau lakukan terhadap ayahnya Puspa Ningrum!" dengus Gota.
Dipa Sentana mendesah panjang, seakan-akan ingin melonggarkan dadanya yang
mendadak saja jadi sesak.
Sebentar ditatapnya Puspa Ningrum, kemudian pelahan-lahan kepalanya tertunduk.
Saat itu Gota bangkit berdiri diikuti Rangga. Sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti
itu hanya diam saja. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Terlalu tipis
jenjang pemisah antara yang benar dan salah.
"Bertahun-tahun kau selalu meracuni gadis tidak berdosa itu. Kau menjejalinya
dengan cerita-cerita palsu...
Dipa, meski pun aku lahir karena perbuatanmu, tapi jangan harap kau kuanggap
ayahku. Aku sudah lama menganggap ayahku mati. Sekarang ceritakan pada
Puspa Ningrum yang sebenarnya kalau kau ingin menebus semua kesalahanmu!" mantap
suara Gota. "Kakang...," agak bergetar suara Puspa Ningrum.
"Dia bukan kakakmu, Puspa!" sentak Gota sengit.
"Kakang, benarkah itu?" Puspa Ningrum meminta kepastian.
Dipa Sentana menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Ditatapnya
dalam-dalam gadis cantik yang tengah diliputi kebimbangan. Pelahan kepalanya
terangguk lemah.
"Oh...!" Puspa Ningrum menutup bibirnya.
Sepasang bola mata yang indah membeliak lebar menatap tidak percaya pada Dipa
Sentana. Pelahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak. Tubuhnya agak bergetar
bagai terserang demam. Sementara Dipa Sentana hanya bisa menatap dengan sinar
mata penuh rasa penyesalan. Sudah bisa diduga hal ini pasti terjadi, tapi
perikiraannya tidak akan seburuk ini. Dipa Sentana melangkah hendak mendekati
gadis itu. "Jangan dekat!" sentak Puspa Ningrum tiba-tiba
"Puspa.... maafkan aku. Aku..." tersendat suara Dipa Sentana.
"Penipu! Pembohong...! Kau yang selama ini kuhormati, ternyata tidak lebih dari
seorang bajingan!
"Pengecut..!" pekik Puspa Ningrum, berlinang air matanya.
"Maafkan aku, Puspa...," ucap Dipa Sentana penuh penyesalan.
"Pergi kau! Pergiii...!" jerit Puspa Ningrum histeris.
Puspa Ningrum menangis sesenggukan. Rangga menghampiri dan merengkuh gadis iItu
ke dalam pelukannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan Puspa Ningrum menangis di dalam
pelukannya. Sementara Gota tampak bergetar menahan marah. Sedangkan Dipa Sentana
tertunduk diam penuh penyesalan.
"Bajingan kau, Dipa...!" geram Gota memuncak
amarahnya "Hiyaaat..!"
"Gota...!" sentak Rangga terkejut. Tapi Gota tidak bisa lagi membendung amarah
dan dendamnya. Dia sudah melompat dan mengirimkan beberapa pukulan
beruntun. Dipa Sentana yang sedang dihinggapi rasa penyesalan, tidak melawan
sedikit pun. Dibiarkan saja tubuhnya menjadi sasaran empuk pukulan dan
tendangan pemuda pengemis yang lahir dari darah dagingnya sendiri. Pemuda yang
sewaktu bayi dibuang karena tidak ingin menimbulkan malapetaka.
"Gota, hentikan...!" teriak Puspa Ningrum langsung melepaskan diri dari pelukan
Rangga. "Biar kubunuh dia! Manusia keparat! Setan...!" Gota seperti kemasukan setan
saja. Dia mengamuk dan menghajar Dipa Sentana dengan pukulan-pukulan dan
tendangan yang keras. Namun tidak sedikit pun Dipa Sentana melawan. Dia diam
saja, jatuh bangun kena amukan pemuda pengemis itu. Darah sudah mengucur dari
sudut bibirnya. Tubuhnya babak belur, biru lebam.
"Gota, hentikan!" bentak Rangga langsung melompat, dan mencekal tangan pemuda
itu. "Lepaskan! Biar kubunuh dia...!" jerit Gota berusaha memberontak.
Tapi Rangga mencekalnya kuat-kuat. Sementara Puspa Ningrum jadi termangu.
Sebentar ditatapnya Dipa Sentana yang menggeletak mengerang lirih, sebentar
kemudian beralih ke arah Gota yang tengah mem -
berontak mencoba melepaskan diri.
"Kendalikan amarahmu, Gota. Tidak ada gunanya mengumbar amarah..." kata Rangga
mencoba menya-darkan pemuda pengemis itu.
"Oh...!" Gota mengeluh.
Tubuhnya bergetar menggigil, dan jatuh berlutut. Dia menangis sesenggukan
seperti anak kecil. Rangga melepaskan cekalannya pada tangan pemuda itu.
Dibiarkan saja Gota yang menangis memukuli tanah
berumput. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Dipa Sentana, dan memeriksa
luka-lukanya. "Kenapa kau mencegahnya" Aku rela mati di tangannya. Hanya itu jalan satu-
satunya untuk menebus semua dosa-dosaku padanya. Aku memang pantas mati... Aku
bukan ayah yang baik. Aku telah membuangnya hanya untuk kekuasaan. Aku berdosa..."
rintih Dipa Sentana lirih.
Puspa Ningrum menghampiri dan berlutut di samping Rangga. Dipa Sentana memandang
gadis itu. Ada setitik air bening menggulir dari sudut matanya.
"Maafkan aku, Puspa...," lirih suara Dipa Sentana.
"Kakang...," ujar Puspa Ningrum di sela isaknya.
"Tidak pantas aku menerima air matamu, Puspa. Aku telah membunuh ayahmu,
memperkosa ibumu. Meruntuhkan kejayaan orang tuamu. Kaulah satu-satunya ahli
waris Watu Gayam. Aku bukan kakakmu. Aku hanya seorang pembunuh yang haus
kekuasaan. Maafkan aku, Puspa...." semakin lirih suara Dipa Sentana.
Puspa Ningrum tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya menangis, tidak tahu apa
yang harus dilakukan.
Pengakuan Dipa Sentana memang menghancurkan hatinya, tapi juga membahagiakannya.
Entah apa lagi yang ada dalam hatinya saat ini. Hanya air mata yang bisa
ditumpahkan untuk mengeluarkan perasaannya.
Tangan Dipa Sentana bergetar menggapai menjulur.
Diusapnya air mata yang berlinang membasahi pipi Puspa Ningrum. Bibirnya yang
berlumuran darah, bergetar memberikan senyuman. Sesaat kemudian, tubuhnya
mengejang, lalu jatuh lunglai.
"Oh! Tidak..!" jerit Puspa Ningrum tersentak.
Rangga cepat-cepat merengkuh bahu gadis itu, dan memeluknya erat-erat. Puspa
Ningrum semakin keras tangisnya. Sementara Dipa Sentana sudah terbujur mati,
dengan bibir mengulas senyum. Rangga membawa Puspa Ningrum bangkit dan melangkah
menjauh. Sempat diliriknya Gota yang menatap terpaku pada tubuh Dipa Sentana.
"Ayah...," bergetar dan pelan sekali suara Gota.
"Ayaaah...!"
Tiba-tiba saja Gota melompat dan menubruk tubuh Dipa Sentana yang membujur kaku.
Gota terus histeris sambil memeluk memanggil-manggil ayahnya. Sementara Rangga
yang menyaksikan itu menjadi serba salah.
Dia harus menenangkan Puspa Ningrum, tapi sekarang Gota malah histeris memeluk
dan mengguncang-guncang tubuh Dipa Sentana.
"Oh, tidak...! Tidak.... Ayah, kau tidak boleh mati. Kau harus hidup...! Kau
ayahku!" rintih Gota seraya mengguncang-guncang tubuh yang tak bernyawa lagi
itu. Mendadak, Gota terdiam. Dipandanginya wajah Dipa Sentana yang berada di dalam
pelukannya. Pelahan-lahan diturunkan tubuh ayah kandungnya itu, kemudian bangkit
berdiri. Tatapan matanya tetap tertuju pada tubuh Dipa Sentana yang membujur
tidak bergerak lagi.
"Aku tidak membunuhmu, Ayah. Mereka yang menyebabkan semua ini!" dengus Gota
dingin. "Jayakrama....
Kau harus membayar mahal nyawa ayahku. Kau harus mampus Jayakrama keparat..!"
Suara Gota terdengar keras menggelegar. Tanpa disadari teriakannya disertai
pengerahan tenaga dalam, sehingga suaranya bagaikan mengguncangkan bumi, dan
menggugurkan daun-daun.
"Kubunuh kau, Jayakrama...!"
*** 8 Lima ekor kuda berpacu cepat membelah fajar yang baru saja menyingsing. Sinar
matahari membias di cakrawala Timur. Kabut masih menyelimuti permukaan Desa Watu
Gayam. Lima ekor kuda itu terus berpacu meninggalkan debu yang mengepul di
udara. Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan itu bergegas menyingkir,
karena takut terlanda kuda yang dipacu bagai kesetanan.
Lima ekor kuda itu berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang yang tertutup
rapat Tembok benteng yang tinggi dan kokoh menghalangi mereka. Lima penunggang
kuda itu berlompatan turun. Mereka adalah Rangga, Gota, Puspa Ningrum, dan dua
orang lelaki bertongkat hitam yang masih muda dengan baju compang-camping.
Semuanya berdiri tegak di depan pintu gerbang itu.
"Jayakrama! Keluar kau...!" teriak Gota lantang.
Teriakan yang disertai penyaluran tenaga dalam itu menggema, membuat burung-
burung yang tengah ber-kicau langsung terdiam. Sepertinya gema suara itu di-
pantulkan oleh bukit yang mengelilingi desa ini. Namun suasana tetap sepi, tidak
ada sahutan dari dalam benteng itu.
Rupanya teriakan Gota yang begitu keras, mengejut-kan semua orang. Tampak dari
berbagai arah, bermunculan orang berpakaian compang-camping. Tampak di antara
mereka ada Ki Tunggul, pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua
bertongkat hitam itu menghampiri Gota.
"Mereka masih di dalam. Sejak kemarin tempat ini kuawasi terus." kata Ki Tunggul
memberitahu. "Awas...!" tiba-tiba Rangga berseru keras.
Pada saat itu, dari atas tembok benteng yang tinggi bermunculan beberapa kepala.
Dan hampir bersamaan pula, meluruk puluhan anak panah bagai hujan. Rangga dengan
sigap merampas tongkat salah seorang pengemis yang berada di dekatnya. Disertai
gerakan cepat, diputarnya tongkat itu bagai baling-baling.
Sementara para pengemis yang berkumpul, langsung berlompatan menghindar.
Beberapa di antaranya tidak sempat menghindari hujan anak panah itu.
Jerit melengking terdengar saling sahut. Hujan anak panah itu terus berdatangan
tanpa henti. Rangga memerintahkan untuk menjauhi benteng ini. Tongkat
rampasannya terus berputar melindungi orang-orang yang berada di dekatnya. Dia
sendiri bergerak mundur, dan baru berhenti setelah berada dalam jarak yang cukup
jauh dari jangkauan anak panah.
"Keparat! Pengecut..!" geram Gota sengit.
Rangga mengembalikan tongkat itu pada pemiliknya.
Dipandanginya pintu benteng yang masih tertutup rapat dan kokoh. Terdengar suara
gumaman pelan, kemudian pelahan-lahan tangannya bergerak ke atas, meraih tangkai
pedangnya. "Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum sebelum Rangga mencabut
pedangnya. "Aku harus menjebol pintu itu," sahut Rangga tanpa berpaling.
"Jangan nekad, Kakang. Anak panah akan meng-hujanimu!" sentak Puspa Ningrum.
"Tidak ada jalan lain. Bersiap-siaplah," kata Rangga mantap.
Sret! Cring...! Cahaya biru berkilau langsung menyeruak begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari
warangkanya. Semua orang yang melihat, membeliak lebar. Belum pernah disaksikan
pamor pedang yang begitu dahsyat. Mata
mereka menjadi silau melihat cahaya biru yang me-mancar dari pedang itu.
Rangga melintangkan pedangnya di depan dada.
Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi sampai di atas kepala. Dengan kaki terpentang
lebar dan agak ter-tekuk, ditarik pedangnya menyamping. Tangkai pedang digenggam
erat dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian...
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagaikan
kilat. Pada saat yang sama, puluhan anak panah menghujaninya. Namun Rangga
mengibaskan cepat pedangnya menghalau anak panah itu. Dan begitu jaraknya
tinggal beberapa langkah lagi di depan pintu, dia melompat cepat sambil
berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa..!"
Glarrr...! Begitu pedang Rajawali Sakti menghantam pintu yang terbuat dari kayu jari tebal,
terdengar ledakan dahsyat.
Seketika, pintu itu hancur berkeping-keping. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti
langsung menerobos masuk.
"Seraaang...!" teriak Gota memberi komando.
Tanpa menunggu perintah dua kali, puluhan
pengemis berlarian sambil berteriak menyerukan pekik peperangan. Tampak cahaya
biru berkilatan di atas tembok benteng. Terdengar suara-suara jeritan melengking
tinggi. Beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah jatuh dari atas tembok benteng
itu. Puluhan pengemis yang dikomando Gota, menyerbu masuk melalui pintu gerbang
yang sudah hancur berantakan.


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Jerit kematian dan pekik pertempuran
bercampur-baur dengan denting
senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelim-pangan. Sementara Puspa
Ningrum dan Gota mengamuk bagai sepasang harimau. Senjata mereka berkelebatan
cepat meminta nyawa dari orang-orang yang mendekatinya. Tidak terhitung lagi
nyawa yang melayang tersambar senjata mereka.
"Ha... ha.. ha...! Hayo keluar semua, anjing-anjing keparat! Biar kurobek perut
kalian! Ha ha ha...!" di tempat lain, terlihat Ki Tunggul bertarung sambil
tertawa-tawa. Meskipun sudah berusia lanjut, namun Pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu
masih gesit. Gerakan tubuhnya cepat luar biasa. Setiap kebutan dan tusukan
tongkat hitamnya selalu meminta nyawa lawan.
Sementara itu Rangga melompat mendekati Puspa Ningrum yang mengamuk dahsyat
bagai singa betina kehilangan anaknya. Rangga hanya sesekali saja mengibaskan
pedangnya. Diikutinya setiap gerak langkah kaki gadis itu. Merasa tidak ada gunanya
menggunakan pedang, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan senjata pusaka itu ke
dalam warangkanya di balik punggung.
"Kau tidak mengatakan jumlah mereka begini banyak, Puspa Ningrum," kata Rangga
sambil melayangkan tangan pada salah seorang yang mencoba menyerangnya.
Orang itu kontan terjungkal muntah darah, dan tidak bangun-bangun lagi. Rangga
terus mengikuti setiap gerak gadis di depannya. Satu dua orang yang mencoba
menyerang, harus melepaskan nyawanya.
"Aku tidak tahu, kemarin jumlah mereka tiga puluh orang," sahut Puspa Ningrum
sambil tidak henti-henti-nya mengebutkan sabuk peraknya.
"Ini bukan tiga puluh orang, tapi seratus!" dengus Rangga.
"Mereka anak buahnya si Cakar Maut!" tiba-tiba Ki
Tunggul menyahuti.
Rangga melirik pada laki-laki tua itu yang jaraknya cukup jauh juga. Pendekar
Rajawali Sakti itu kagum juga pada kehebatan Ki Tunggul yang bisa mendengar
meskipun sibuk mengatasi lawan-lawannya.
"Aku tak melihat Jayakrama, Puspa?" tanya Rangga.
"Mungkin ada di ruangan depan," sahut Puspa Ningrum.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga me-
lompat melewati beberapa kepala. Dua kali berputaran di udara, kemudian dengan
manis tubuhnya malesat, dan mendarat di tangga depan. Namun pada saat itu enam
orang keluar dari dalam, dan langsung menyerang.
"Uts! Hiyaaa...!"
Rangga tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak cepat. Kedua tangannya bergerak bagai kilat
menghajar enam orang yang tiba-tiba menyerangnya. Mereka memang bukan tandingan
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu singkat sudah menggeletak tak
bernyawa lagi. "Hup!"
Rangga langsung melompat ke beranda. Dan begitu kakinya menjejak beranda,
melesat seorang laki-laki sambil memegang pedang terhunus. Tanpa berkata-kata
lagi, diserangnya Rangga dengan ganas. Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah
siap, tidak meng-alami kesulitan untuk berkelit menghindari serangan orang itu.
"Hati-hati, Anak Muda! Dia si Pedang Setan...! Pedangnya bisa mengeluarkan uap
beracun!" tiba-tiba Ki Tunggul memperingatkan.
"Terima kasih, Ki!" seru Rangga semakin kagum pada laki-laki tua itu.
Bagaimana tidak" Dalam keadaan bertarung pun masih sempat memperhatikan ke arah
lain, dan memberi peringatan. Hal itu sudah menandakan kalau tingkat kepandaian
Ki Tunggul tinggi sekali. Sementara Rangga bukannya meremehkan, tapi memang
kebal terhadap segala jenis racun apa pun di dunia ini.
Peringatan Ki Tunggul memang benar. Pedang di tangan si Pedang Setan mulai
mengeluarkan asap tipis berwarna hitam kebiru-biruan. Namun Rangga sama sekali
tidak terpengaruh, bahkan tetap lincah dan mampu melayani si Pedang Setan meski
pun tidak menggunakan senjata.
"Gila! Seharusnya dia mampus oleh uap beracunku!"
dengus si Pedang Setan menggerutu dalam hati.
Menghadapi lawan yang ternyata kebal terhadap uap beracunnya, si Pedang Setan
mulai tidak percaya diri.
Serangan-serangannya jadi tidak terarah dan sering melakukan kesalahan.
Akibatnya memang cukup fatal bagi dirinya sendiri. Sudah tidak terhitung lagi,
berapa tendangan dan pukulan bersarang di tubuhnya.
Si Pedang Setan semakin kewalahan. Dia terus terdesak dan tidak mampu lagi
membalas serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga pada satu saat, satu
tendangan keras tidak dapat dielakkan lagi.
Tendangan bertenaga dalam cukup sempuma itu mendarat di dadanya.
"Akh...!" si Pedang Setan memekik keras.
Tubuhnya terlontar jauh, hingga keluar dari beranda.
Pada saat itu, Puspa Ningrum melompat ke arahnya sambil mengebutkan sabuknya
hingga menjadi kaku.
Sambil berteriak keras, gadis itu mengibaskan senjatanya ke leher si Pedang
Setan. "Aaa...!" si Pedang Setan menjerit melengking tinggi.
Lehernya hampir putus terpenggal senjata Puspa Ningrum. Tubuhnya ambruk, dan
darah memuncrat deras dari lehernya. Hanya sebentar si Pedang Setan
mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi.
Puspa Ningrum mengacungkan ibu jarinya pada Rangga yang dibalas kerlingan oleh
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Awas di belakangmu, Puspa...!" teriak Rangga.
"Hait....!"
Puspa Ningrum memutar tubuhnya setengah
merunduk sambil mengibaskan senjatanya. Dan satu orang yang akan membokongnya
menjerit melengking.
Dadanya sobek terkena sabetan senjata gadis itu Puspa Nmgrum langsung melompat
ke beranda begitu
Pendekar Rajawali Sakti menerobos masuk. Pada saat yang sama, Gota juga melesat,
langsung menerobos ke dalam bangunan besar bagai istana itu.
Rangga, Gota, dan Puspa Ningrum saling ber-
pandangan. Mereka tidak mendapatkan seorang pun di dalam ruangan besar yang
tertata indah ini. Mereka bergerak melangkah pelahan-lahan melintasi ruangan
depan itu. Pandangan mereka tajam mengedar berkeliling.
"Apa tidak mungkin mereka sudah kabur, Kakang?"
Puspa Ningrum menduga-duga.
"Hm..." Rangga menggumam tidak jelas. "Kau tahu, mungkin ada jalan lain selain
dari depan?"
"Tidak. Aku baru beberapa hari di sini." sahut Puspa Ningrum.
"Gota...?" Rangga melirik Gota yang berada di samping kirinya.
"Hanya sekali aku berada di sini. Itu pun karena ter-tangkap." sahut Gota.
"Bangunan seperti ini biasanya punya jalan rahasia.
Hanya orang dalam saja yang mengetahuinya," kata Rangga setengah bergumam.
"Aku tahu...!"
Ketiga anak muda itu langsung menoleh terkejut.
*** Ki Tunggul melangkah menghampiri sambil menyunggingkan senyuman. Dihentak-
hentakkan ujung tongkatnya ke lantai. Sementara Rangga, Gota dan Puspa Ningrum
hanya saling pandang saja tidak mengerti.
"Dulu aku sering datang ke sini, ketika Watu Gayam masih menjadi sebuah
kadipaten. Aku tahu persis seluk beluk istana ini." kata Ki Tunggul.
"Apakah mereka kabur lewat jalan rahasia, Ki?" tanya Gota.
"Benar," sahut Ki Tunggul kalem.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat kejar!" seru Gota.
"Tidak ada gunanya mengejar lewat jalan rahasia.
Jalan itu penuh jebakan! Hanya mereka yang tahu kunci-nya saja yang bisa selamat
melewatinya. Hanya dua orang yang tahu. Ayahmu, dan Ki Jayakrama," kata Ki
Tunggul seraya melirik Puspa Ningrum.
"Jalan itu tembus ke mana, Ki?" tanya Rangga
"Perbatasan sebelah Utara."
Rangga yang seorang raja, mengerti betul seluk-beluk jalan rahasia sebuah
bangunan istana. Jalan itu sengaja dibuat untuk menghadapi keadaan darurat.
Untuk melewatinya, memang tidak mudah. Memerlukan banyak waktu untuk mencapai
pintu tembus, dan diperlukan sikap hati-hati yang seksama.
"Kakang...! Mau ke mana?" seru Puspa Ningrum melihat Rangga berbalik.
"Mencegat mereka!" sahut Rangga sambil terus melangkah cepat.
"Aku ikut'" seru Puspa Ningrum bergegas melangkah.
"Kau Juga, Gota. Biar di sini aku yang tangani," ujar Ki Tunggul.
"Baik, Ki." sahut Gota.
Ketiga anak muda itu bergegas melangkah ke luar.
Sementara pertarungan di halaman bangunan besar bagat istana ini masih terus
berlangsung. Tapi para pengemis yang tergabung dalam Partai Pengemis
Tongkat Hitam tampaknya bisa menguasai keadaan.
Mereka kini berada di atas angin.
Rangga sengaja mengambil jalan lewat samping menuju sebelah Utara, untuk
menghlndari mereka yang sedang bertarung. Pendekar Rajawali Sakti itu segera
melesat melewati tembok benteng yang tingginya lebih dari tiga batang tombak.
Gota dan Puspa Ningrum mengikuti, dan bersama-sama melompati tembok itu dengan
mudah. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, ketiga anak muda itu berlarian
cepat menuju ke batas Utara Watu Gayam ini. Ilmu mertngankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga Gota
dan Puspa Ningrum agak kewalahan untuk mengejarnya. Mereka tertinggal jauh di
belakang, meskipun sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh sampai batas
kemampuan. Dalam waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah sampai di perbatasan Utara. Dia
berhenti dan memandang sekitarnya. Setiap semak menjadi perhatiannya.
Dibongkarnya semua semak yang ada, tapi pintu tembus jalan rahasia yang dimaksud
tidak juga ditemukan. Sementara itu Gota dan Puspa Ningrum sudah sampai dengan
napas terengah-engah.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Puspa Ningrum.
"Belum kutemukan," sahut Rangga sambil mem-bongkar sebuah semak belukar.
"Apakah sebaiknya kita tunggu saja sampai mereka keluar, Kakang?" usul Puspa
Ningrum. "Pintu jalan tembus itu harus ditemukan lebih dahulu, Puspa," sahut Rangga
seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Sementara itu Gota yang memisahkan diri. Juga tengah mencari pintu jalan tembus
itu. Namun, pada akhirnya tampak kesal juga, karena tidak kunjung menemukannya.
Gota berdiri seraya matanya beredar
ke sekeliling. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
Dilampiaskan kekesalannya dengan memukul sebongkah batu besar yang ada di
sampingnya. Dan tanpa disadari, batu itu bergeser sedikit. Rangga yang melihat,
segera melompat menghampiri. Dikerahkan tenaganya untuk menggeser batu itu.
Melihat ada sebuah celah di balik batu itu, Gota langsung membantu. Batu sebesar
kerbau itu pun terguling. Tampak sebuah mulut goa yang tidak begitu besar
terpampang di depan mereka. Selagi mereka memandangi mulut goa itu, mendadak dua
orang melesat dari dalam.
"Awas....!" seru Rangga sambil mendorong Gota ke samping, seraya cepat
melentingkan tubuhnya ke udara.
Ki Jayakrama....!" desis Gota, begitu mengenali salah seorang yang baru keluar dan
dalam goa itu. *** "Gembel busuk! Rupanya kau tahu juga tempat ini, heh"!" dengus Ki Jayakrama
geram. "Ke mana pun pergi, kau akan kukejar, Jayakrama!"
sahut Gota mantap.
"Phuih! Gurumu saja belum tentu mampu menan-dingiku!" ejek Ki Jayakrama.
"Tongkatku ini yang akan membungkam mulutmu!"
"Bocah setan! Hiyaaa...!"
Ki Jayakrama melompat menerjang Gota. Namun pemuda pengemis itu gesit sekali
menghindarinya sambil melompat. Sementara si Cakar Maut juga tidak ingin
ketinggalan. Dia memilih Puspa Ningrum untuk menjadi lawannya. Sedangkan Rangga
hanya jadi penonton. Rasanya tidak mungkin membantu salah seorang karena jiwa
kependekarannya tidak mengijinkan untuk main keroyok.
Pertarungan berlangsung sengit. Tampak sekali kalau
Gota memang bukan tandingan Ki Jayakrama. Baru beberapa jurus saja, pemuda
pengemis itu sudah terdesak. Bahkan ketika pukulan Ki Jayakrama menyodok
dadanya, Gota tidak mampu menghindar. Dia memekik keras, dan tubuhnya terjungkal
menghantam pohon.
"Mampus kau, gembel busuk! Hiyaaa...!"
Ki Jayakrama melompat cepat sambil mengayunkan tongkatnya yang berbentuk ular
kobra ke arah Gota. Dan pada saat yang tepat, Rangga melompat cepat menghalau
sabetan tongkat laki-laki tua itu. Ki Jayakrama segera melentingkan tubuhnya ke
belakang. Dia bersungut-sungut karena serangannya dipatahkan Pendekar Rajawali
Sakti. "Bocah setan! Siapa kau?" bentak Ki Jayakrama jengkel.
"Aku lawanmu, Ki Jayakrama," kata Rangga dingin.
"Phuih! Bocah bau kencur mau melawanku!" dengus Ki Jayakrama meremehkan.
"Kita lihat saja, kau atau aku yang lebih dahulu masuk ke liang kubur "
"Kadal buduk! Terimalah kematianmu! Hiaaat...!"
Merah padam muka Ki Jayakrama mendapat tantangan itu. Dia langsung melompat
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki bertongkat ular kobra itu segera
menggunakan jurus-jurusnya yang dahsyat. Sementara Rangga hanya menggunakan
jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Meskipun tadi sudah melihat pertarungan Ki
Jayakrama melawan Gota, tapi ingin juga dirasakan angin pukulan tenaga dalam
lawannya. "Hm.... Aku tidak mungkin melawannya dengan tangan kosong," gumam Rangga dalam
hati. Setelah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian lawan, Pendekar Rajawali
Sakti itu melompat tinggi ke udara seraya mencabut pedang pusakanya.
Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu pedang Rajawali Sakti keluar
dari warangkanya. Ki
Jayakrama sempat terkesima melihat pamor pedang itu, tapi dengan cepat menyerang
kembali begitu Rangga menjejak tanah.
Rangga kini tidak lagi main-main. Disadari betul kalau lawannya memiliki ilmu
yang cukup tinggi, maka langsung saja dikeluarkan Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Gerakan-gerakan Pendekar Rajawafi Sakti itu semakin cepat dan membingungkan.
Pedangnya berkelebatan bagai kilat, sehingga yang terlihat hanya gurungan sinar
biru yang mengurung tubuh Ki Jayakrama.
Beberapa gerakan berlalu, Ki Jayakrama tampak begitu kacau memainkan jurus-
jurusnya. Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' mulai mempengaruhi laki-laki tua itu.
Perhatiannya jadi terpecah, dan aliran darahnya serasa tidak teratur. Jantungnya
terasa lebih cepat berdetak Ki Jayakrama tidak mengerti, kenapa jadi tidak bisa
memusatkan perhatiannya. Sekuat tenaga dicobanya untuk berkonsentrasi. Tapi,
semakin keras mencoba, semakin pening terasa kepalanya. Pandangannya pun mulai
mengabur. "Awas kaki..!" seru Rangga tiba-tiba.
"Uts!"
Ki Jayakrama buru-buru melompat menghindari sepakan kaki Pendekar Rajawafi
Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, pedang di tangan Rangga berkelebat cepat
bagai kilat menyambar leher Ki Jayakrama, buru-buru ditarik kepalanya ke
belakang. Namun gerakannya terlambat. Ujung pedang Rangga lebih cepat membabat lehernya.
"Aaa...!"Ki Jayakrama menjerit keras melengking.
Darah menyembur dari leher yang koyak. Belum lagi laki-laki tua itu bisa
menguasai tubuhnya. Rangga sudah mengibaskan pedangnya, langsung merobek dada Ki
Jayakrama. Kembali dia menjerit melengking. Tubuhnya limbung beberapa saat,
kemudian ambruk menggelepar
di tanah. Hanya sebentar menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Mati. Jeritan kematian Ki Jayakrama membuat si Cakar Maut jadi kecut hatinya. Buru-
buru dia melompat keluar dari pertarungannya melawan Puspa Ningrum. Tapi begitu
kakinya menjejak tanah, Gota melompat cepat dan menusukkan ujung pedangnya. Si
Cakar Maut tidak bisa menghindar lagi. Ujung tongkat Gota menembus dadanya
hingga ke punggung.
Kembali jeritan menyayat terdengar. Begitu Gota menarik keluar tongkatnya, si
Cakar Maut ambruk dengan nyawa melayang dari badan. Puspa Ningrum berlari


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampiri Gota. Mereka memandang tubuh lawan-lawannya yang sudah tidak
bernyawa lagi, kemudian saling berpandangan.
"Kak Puspa..." desah Gota pelan.
"Gota, adikku...."
Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berpelukan hangat. Mereka adalah
kakak beradik yang terpisah, meskipun terlahir dari lain ayah. Sementara Rangga
yang menyaksikan semua itu, segera melangkah ringan meninggalkannya. Dan dengan
satu lesatan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang.
Agak lama juga kakak beradik itu berpelukan. Mereka baru melepaskan pelukan itu
begitu menyadari ada orang lain yang ikut membantu. Tapi mereka jadi celingukan,
karena tidak lagi melihat Rangga di tempat-nya.
"Dia sudah pergi," desah Gota pelan.
"Ya. Kita patut berterima kasih padanya," sahut Puspa Ningrum pelan.
Gota menatap kakaknya. Saat yang sama Puspa Ningrum juga menatap pemuda itu.
"Apa rencanamu selanjutnya, Kak?" tanya Gota.
"Entahlah. Aku merasa Watu Gayam bukan tempat yang tepat untukku," sahut Puspa
Ningrum. "Aku juga tidak akan kembali ke sana. Terlalu pahit bagiku," ujar Gota.
"Gota, sebaiknya kita ke Padepokan Tapak Wisa saja.
Eyang Lenteng pasti menerimamu dengan senang hati,"
usul Puspa Ningrum.
"Eyang Lenteng memang pernah menawarkan padaku."
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang."
"Aku harus pamitan dulu pada Ki Tunggul. Dia begitu mengharapkanku untuk
memimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku tidak ingin mengecewakannya."
"Aku akan menunggu sampai kau siap, Gota," tiba-tiba Ki Tunggul sudah ada di
situ. "Ki...!" Gota terkejut.
"Memang seharusnya kau ke Padepokan Tapak Wisa.
Aku sudah bicara kepada Eyang Lenteng. Dia berjanji akan menurunkan ilmunya
padamu. Juga kau, Puspa,"
jelas Ki Tunggul lagi.
"Terima kasih, Ki," ucap Gota dan Puspa Ningrum bersamaan.
"Pergilah. Aku menunggu di Padepokan Partai Pengemis Tongkat Hitam."
Setelah berkata demikian, Ki Tunggul langsung melesat. Begitu cepatnya, sehingga
dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Mari, Kak," ajak Gota.
Puspa Ningrum mengangguk. Mereka kemudian
berjalan berdampingan, sambil menceritakan tentang diri masing-masing. Tidak ada
lagi perasaan ber-musuhan atau saling curiga. Yang ada kini hanya rasa rindu
selama dua puluh tahun berpisah. Mereka berjalan menuju lembaran hidup baru.
Lembaran yang begitu banyak menjanjikan bagi masa depan mereka berdua.
SELESAI Lentera Kematian 1 Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis Dendam Iblis Seribu Wajah 18
^