Iblis Berwajah Seribu 2
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu Bagian 2
Karang Asem."
"Apa..."!" Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih melongo tak percaya.
"Aku seorang pengembara, aku kenal tokoh-tokoh rimba persilatan. Pendekar
Rajawali Sakti menginap bersama saudara perempuannya di Penginapan Cagar Ayu,"
kata Rangga sambil mengulum senyum di dalam hati, lalu
lanjutnya. "Aku kenal betul Pendekar Rajawali Sakti. Dia pasti mau membantu
menumpas gerombolan pengacau
itu." "Kau tidak main-main, Kisanak?" Balungpati masih tidak percaya.
"Percayalah padaku, saudara perempuan Pendekar Rajawali Sakti itu berjuluk si
Kipas Maut. Aku rasa mereka tidak akan tinggal lama di sana. Kalau Paman bertiga
tidak segera menemui, mungkin tidak akan bertemu lagi untuk selamanya."
"Apa jaminanmu?" selak Welut Putih.
"Leher! Aku tidak akan keluar dari Hutan Tarik. Aku akan menggantikan tugas
Paman bertiga untuk mencari sarang gerombolan pengacau itu," kata Rangga tegas.
Arya Duta menatap Balungpati dan Welut Putih ber-
gantian. "Paman bertiga telah menolongku, dan kini aku akan membalas budi dengan mencari
sarang gerombolan itu,"
lanjut Rangga. "Baiklah, Kisanak. Kalau kau coba-coba mempermainkan aku, jangan katakan aku
kejam kalau lehermu
kupenggal!" kata Arya Duta tidak main-main.
Rangga hanya tersenyum seraya menganggukkan
kepalanya. Tanpa banyak bicara lagi, Arya Duta segera mengajak Balungpati dan
Welut Putih meninggalkan
tempat itu. Sesaat Rangga memperhatikan kepergian
ketiga orang yang tengah mencari dirinya. Dia kini paham benar akan apa yang
tengah terjadi di Kadipaten Karang Asem.
"Kau percaya kata-kata Rangga barusan tadi, Paman Balungpati?" tanya Arya Duta
selepas mereka dari Hutan Tarik.
"Tampaknya dia bisa dipercaya, Gusti. Seorang pengembara tahu banyak tentang
dunia persilatan dari pada kita," sahut Balungpati.
"Sebaiknya kita langsung ke Penginapan Pagar Ayu, Gusti," tambah Welut Putih.
"Baiklah, kalau ternyata dia membohongi kita, segera kembali ke Hutan Tarik."
*** Pandan Wangi yang sendirian di kamar, jadi gelisah tak menentu. Benaknya
dipenuhi oleh perasaan cemas yang berkepanjangan. Meskipun dia yakin akan
kemampuan Rangga, tapi ketidakpastian keadaan Kadipaten Karang Asem ini selalu membuat
pikirannya tak pernah tenang kalau Rangga ke luar.
Suara ketukan di pintu mengagetkan Pandan Wangi.
Matanya menatap tajam pintu yang diketuk berulang-ulang.
Tangannya segera meraba kipas baja putih yang terselip di pinggang. Lalu
perlahan-lahan dia melangkah mendekati pintu.
"Siapa...?" tanya Pandan Wangi keras.
"Kami, dari Kadipaten Karang Asem hendak bertemu dengan si Kipas Maut!"
terdengar suara sahutan dari luar.
Pandan Wangi tersentak kaget. Buru-buru dia membuka pintu. Tiga orang berdiri di
depan pintu kamar penginapannya. Yang berdiri di tengah seorang pemuda dengan
sabuk bergambar bunga melati. Dan dua orang lagi
berpakaian prajurit kadipaten.
"Apakah Nona yang berjuluk si Kipas Maut?" tanya Arya Duta.
"Benar," sahut Pandan Wangi agak tertahan suaranya.
"Boleh kami bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Sayang, dia pergi."
"Ke mana perginya?"
"Aku tidak tahu, dia hanya mengatakan kalau hendak ke luar melihat-lihat suasana
kadipaten ini," sahut Pandan Wangi menjelaskan tidak terinci.
"Kalau begitu, baiklah kami akan menunggu di depan,"
kata Arya Duta seraya berbalik.
"Eh, tunggu dulu!" sergah Pandan Wangi.
Arya Duta mengurungkan langkahnya.
"Ada maksud apa Paman bertiga mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pandan
Wangi. "Bagaimana, Paman?" Arya Dula meminta pendapat pada dua orang pendampingnya.
"Sebaiknya jelaskan saja maksud kita yang sebenarnya, Gusti." sahut Balungpati.
Arya Duta segera menjelaskan maksudnya setelah
mendapat anggukan dari Welut Putih. Juga dia jelaskan pertemuannya dengan
seorang pengembara yang mem-beritahukan kalau si Kipas Maut dan Pendekar
Rajawali Sakti ada di penginapan ini. Kemudian setelah berbasa-basi sebentar,
mereka bertiga meninggalkan Pandan
Wangi yang masih diam terpaku di ambang pintu.
"Oh!" Pandan Wangi terkejut begitu dia membalikkan tubuhnya.
Tanpa diketahuinya Rangga tengah berbaring di tempat tidur. Bibirnya tersenyum
memandangi Pandan Wangi yang tengah menghampirinya. Gadis itu melirik jendela
yang masih tertutup. Dia sempat menutup pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat.
"Dari mana kau masuk, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya duduk di tepi
pembaringan. "Itu..!" Rangga menunjuk langit langit kamar yang terbuka
"Edan!" dengus Pandan Wangi "Bagaimana kalau hujan nanti?"
Rangga tak menyahuti sama sekali, seketika itu juga tubuhnya melesat ke atas.
Hanya sekejap kemudian, dia sudah kembali berbaring di tempat tidur. Pandan
Wangi mendongak sebentar. Atap kamar ini sudah tertutup rapi kembali.
"Baru saja ada tiga orang mencarimu, Kakang." kata Pandan Wangi
"Aku tahu, dan aku yang menyuruh mereka ke sini," kata Rangga kalem. Bibirnya
tetap mengulum senyum.
"Kenapa kau tidak berterus terang saja?" tanya Pandan Wangi tidak kaget lagi.
Dia memang sudah menduga
sebelumnya. "Belum saatnya," sahut Rangga kalem.
"Sekarang mereka menunggu di depan."
"Biar sajalah, aku mau tidur dulu."
Pandan Wangi mendelik melihat Rangga memunggungi-
nya. Gadis itu jadi kelabakan sendiri. Kamar ini cuma ada satu tempat tidur.
Kalau Rangga sudah tidur di situ, lalu dia mau tidur di mana..."
"Ada apa?" tanya Rangga merasakan tangan Pandan Wangi menggoyang-goyangkan
tubuhnya. "Kau tidur di bawah!" sentak Pandan Wangi mem-berengut.
"Dingin, ah! Tidur saja di sini." Rangga menepuk sebelahnya.
"Kakang!" seru Pandan Wangi gemas. Matanya mendelik lebar.
Rangga tak mempedulikan. Dia sudah mendengkur lagi.
Pandan Wangi hanya bisa menggerutu kesal. Gadis itu merasa kebingungan karena
selama ini belum pernah
sekalipun dia tidur dengan laki-laki. Sebentar dia menarik napas panjang. Rasa
kantuk semakin kuat menyerang dirinya.
"Uh! Masa bodohlah." dengusnya kesal.
Gadis itu langsung saja membaringkan tubuhnya di
samping Rangga yang memunggunginya. Dia pun memekik kaget ketika Rangga
berbalik, dan tangannya merentang di atas dada. Pandan Wangi menyentakkan tangan
Rangga. Mukanya jadi bersemu merah dadu. Dadanya mendadak
saja berdegup kencang.
Pandan Wangj memandangi Rangga yang tertidur pulas.
Sementara angin dingin menyusup masuk dari celah-celah dinding bambu. Pandan
Wangi bergidik kedinginan, dan tanpa disadarinya tubuhnya semakin merapat dengan
pemuda di sampingnya. Dengus napas pemuda itu hangat menerpa wajah yang bersemu
merah. "Kakang...," panggil Pandan Wangi lirih.
"Hmmm...," Rangga cuma bergumam tak jelas.
Pandan Wangi mendesah panjang, lalu perlahan-lahan matanya mulai terpejam. Dia
tidak peduli lagi pada tangan Rangga yang mulai nakal memeluk tubuhnya. Gadis
itu merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuhnya.
Dalam tidurnya bibirnya mengembangkan senyum ke-
damaian. *** 4 Sebuah bangunan menyerupai benteng, tampak berdiri megah di dataran sebuah
jurang yang lebar dan dalam di bagian Timur Hutan Tarik. Kayu-kayu besar berdiri
berjajar mengelilinginya. Di belakangnya tiga buah bangunan kecil dan sebuah
bangunan panjang tampak berdiri dengan
angkuhnya, seolah tengah mengawal bangunan yang
menyerupai benteng itu. Sementara puluhan orang-orang berpakaian serba hitam
terlihat pula di sekitar bangunan yang paling besar itu.
Di dalam bangunan bagian tengah itu, tampak tengah berkumpul lima orang
berpakaian serba hitam. Mereka duduk menghadapi seorang pemuda tampan yang
wajahnya diliputi kegusaran. Di sebelahnya duduk seorang wanita setengah baya
dengan raut wajah murung, namun masih terlihat garis-garis kecantikannya. Mata
pemuda itu menatap satu per satu orang-orang berpakaian serba hitam di
hadapannya. Lalu pandangannya terhenti pada wanita setengah baya di sebelahnya.
"Sebaiknya kau urungkan saja niatmu, Rakapati. Kau tidak akan berhasil menentang
ayahmu. Apalagi sekarang dia sudah meminta bantuan adiknya, Panglima Lohgender
yang bukan lawanmu," kata wanita setengah baya itu.
"Tidak, Ibu. Pantang bagi Rakapati surut sebelum mencapai cita-cita," Rakapati
tegas membantah. "Masalah Paman Lohgender, Klenting Kuning yang akan
menghadapi."
Perempuan yang duduk paling kiri, tersenyum men-
dengar namanya disebut oleh Rakapati. Wanita berbaju hitam berparas cantik itu
memandang wanita setengah baya yang duduk di samping Rakapati. Wanita itu adalah
Puspa Lukita, Ibu Rakapati yang juga selir dari Adipati Prahasta.
"Ingat, anakku. Aku hanya seorang selir dari Adipati Prahasta. Kau tidak berhak
menuntut ayahmu untuk
menyerahkan kedudukannya padamu," kata Puspa Lukita lembut.
"Apapun yang terjadi, Kadipaten Karang Asem harus jadi milikku. Akulah yang
berhak menjadi Adipati Karang Asem.
Prahasta bukan ayahku dan ibu jangan menutup mata saja dengan apa yang telah dia
lakukan. Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana dia membunuh Ayahanda Sirandana.
Menghancurkan Kerajaan Karang Asem. Dan kini dia menduduki tanah kelahiranku
sebagai Adipati. Tidak, Ibu!
Karang Asem harus kembali menjadi sebuah kerajaan, dan aku akan menghancurkan
Kerajaan Limbangan!" suara Rakapati terdengar penuh letupan dendam.
Puspa Lukita tak lagi bisa bersuara. Dia memang tak bisa menutupi kenyataan
sesungguhnya yang telah
dibeberkan oleh putranya ini. Kadipaten Karang Asem, dulunya memang sebuah
kerajaan kecil yang diperintah oleh Prabu Sirandana, ayah kandung Rakapati.
Kerajaan kecil itu hancur dan hanya dijadikan sebuah kadipaten oleh Raja
Limbangan yang memperluas wilayahnya. Dan Puspa Lukita pun bisa memahami jalan
pemikiran anaknya untuk memperoleh kembali apa yang menjadi haknya, hanya
jalan yang ditempuh Rakapati dengan mengundang tokoh-tokoh hitam rimba
persilatanlah yang membuatnya selalu gusar dan cemas.
Puspa Lukita menatap orang-orang berpakaian serba
hitam di depannya. Dia tahu siapa mereka, Klenting Kuning, Setan Cakar Racun,
Iblis Kembar Teluk Naga dan yang duduknya paling kanan adalah si Perempuan Iblis
Peminum Darah. Mereka adalah tokoh-tokoh hitam rimba persilatan.
Tokoh-tokoh sakti itu memang sengaja diundang
Rakapati untuk menggulingkan Adipati Prahasta, dan juga melatih para pemuda yang
diambil dari desa-desa di Kadipaten Karang Asem untuk memperkuat barisannya.
Pemuda-pemuda yang semula merasa diculik itu akhirnya dengan sukarela mendukung
rencana Rakapati setelah mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya. Apalagi
kepemimpinan Adipati Prahasta yang mereka rasakan
kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
"Setan Cakar Racun, laporkan apa yang kau alami semalam?" Rakapati menatap si
Setan Cakar Racun.
"Tidak ada yang perlu dilaporkan, semua berjalan aman," sahut Setan Cakar Racun.
"Klenting Kuning...?" Rakapati mengalihkan perhatiannya.
"Sesuai perintah, aku menemui Adipati Prahasta. Hanya saja ada gangguan
sedikit," sahut Klenting Kuning dengan suaranya yang lembut merayu.
"Lalu bagaimana?"
"Seperti biasa, Adipati Prahasta tetap tidak mau turun dari jabatannya "
"Hm...," Rakapati bergumam. "Kau sendiri?" Rakapati menatap Perempuan Iblis
Peminum Darah. "Gagal," sahul Perempuan Iblis Peminum Darah.
Rakapati mengerutkan keningnya.
"Aku tidak berhasil mendesak dia untuk menarik pasukan Kerajaan Limbangan dari
Kadipaten Karang
Asem. Mungkin kau sudah mendengar semuanya tadi
pagi... " "Ya, aku sudah dengar cerita kejadian di tepi Hutan Tarik. Yang aku ingin tahu,
siapa orang itu?" pelan suara Rakapati.
"Aku tidak tahu. Tapi dia mempunyai tingkat kepandaian yang sangat tinggi, mampu
melayani sepuluh orang pilihan bersenjata lengkap dengan tangan kosong. Tanpa
adanya campur tangan Arya Duta dan dua orang pemimpin
pasukan dari kadipalen pun aku rasa dia bisa
menghancurkan sepuluh orang pilihan kita," Perempuan Iblis Peminum Darah
menjelaskan. "Bagaimana ciri-cirinya?" Klenting Kuning bertanya ragu.
"Aku rasa orangnya masih muda. Dan kalau aku tidak salah, dia membawa pedang di
punggungnya," sahut Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Apakah pedang itu bergagang kepala burung?" tebak Klenting Kuning.
"Tidak salah!" seru Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Dia memakai pakaian rompi putih?" desak Klenting Kuning lagi. Dia merasa yakin
dugaannya tidak meleset.
"Iya..., iya! Dia memakai pakaian rompi putih. Rambutnya panjang terikat, hanya
wajahnya saja aku tidak bisa jelas melihatnya. Keadaan terlalu gelap, dan
kejadiannya juga sangat cepat"
Klenting Kuning tidak bertanya lagi. Dia terdiam dan hanya mendesah panjang.
Rakapati yang melihat
perubahan wajah wanita cantik itu, jadi penasaran.
"Siapa dia, Klenting Kuning?" tanya Rakapati.
"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," pelan Klenting Kuning menyahut.
Empat orang tokoh sakti lainnya diam tepekur kala
mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Mereka memang pernah mendengar
kehebatan nama itu. Dan
mereka juga tahu kalau Klenting Kuning pernah ber-
hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti di Bukit Setan.
Rakapati yang belum mengetahui dan mendengar nama
itu, sama sekali tidak terkejut. Tapi demi melihat kelima orang yang diundangnya
langsung diam tepekur, dia
seperti menangkap sesuatu yang mencemaskan. Namun
dia pun segera menyadari kalau bukanlah hal yang aneh jika Adipati Prahasta juga
meminta bantuan tokoh-tokoh persilatan seperti yang kini dia lakukan. Hal itu
memang sudah dia perhitungkan sejak semula.
"Kalau sampai Pendekar Rajawali Sakti itu membantu mereka, aku khawatir rencana
kita akan hancur.
"Tidak seorang pun yang bisa menandingi
kepandaiannya saal ini.'' Klenting Kuning kembali
mengeluarkan isi hatinya.
"Aku yakin, dia pasti memihak mereka," sergah Perempuan Ibiis Peminum Darah.
"Waktu itu aku ketemu dia di Kadipatenan. Untungnya aku masih sempat bisa
meloloskan diri, meskipun beberapa orang menjadi
korban." "Apa sebaiknya kita undang tokoh sakti yang lebih tinggi darinya, Rakapati?"
usul Naga Hitam, salah seorang dari Iblis Kembar Teluk Naga.
"Tidak perlu!" semak Klenting Kuning keras.
Semua mata langsung menatap Klenting Kuning.
"Kalian tidak perlu memikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
Aku bisa mengatasi dia!" kata Klenting Kuning tegas.
Tak ada lagi yang membuka suara. Mereka paham kalau Klenting Kuning mampu
mengatasi Pendekar Rajawali
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sakti. Mereka pernah mendengar Klenting Kuning sempat bentrok di Bukit Setan.
Dan mereka juga tahu kelebihan wanita cantik itu. Perempuan cantik berjuluk
Iblis Wajah Seribu itu memiliki aji 'Pelebur Jiwa' yang tak bisa ditandingi
siapapun. Pendekar Rajawali Sakti sendiri pernah dibuatnya tidak berdaya, untung
saja muncul si Kipas Maut, sehingga pendekar muda itu berhasil selamat.
"Yang penting sekarang, lakukan semua yang telah direncanakan Rakapati. Masalah
Pendekar Rajawali Sakti itu urusanku. Aku sendiri yang akan menanganinya nanti,
juga si Lohgender tua itu!" kata Klenting Kuning angkuh.
Kembali suasana hening tanpa suara.
"Ada lagi yang ingin dikatakan?" tanya Rakapati memecah keheningan.
"Tidak!" sahut mereka serempak.
"Kalau begitu, sebaiknya pertemuan ini disudahi."
Rakapati berdiri dan melangkah diikuti ibunya
meninggalkan ruangan tengah dari rumah besar itu.
Klenting Kuning dan keempat orang lainnya bergegas ke luar. Mereka berpencar
begitu sampai di luar pintu ruangan pertemuan ini.
*** Malam baru saja datang menjelang. Suasana di bagian
Timur Hutan Tarik nampak sepi. Beberapa orang terlihat berjaga-jaga di seputar
benteng. Sementara itu di dalam salah satu kamar yang besar dan indah dari salah
satu bangunan yang berdiri di dalam benteng, tampak sesosok tubuh ramping
tergolek di atas pembaringan. Punggungnya yang putih mulus terbuka lebar, hanya
selembar kain tipis merah muda menutupi tubuh itu dari pinggang ke bawah.
Tubuh yang ramping indah itu berbalik menghadap ke pintu kamar. Klenting Kuning,
pemilik tubuh indah Itu menatap pintu. Tangannya menarik kain untuk menutupi
tubuhnya. Matanya yang dihiasi bulu mata lentik, agak menyipit mendengar pintu
kamarnya diketuk. Ketukan yang hanya sesaat dan harus itu terdengar hampir tidak
jelas. "Masuk...!" seru Klenting Kuning lembut.
Pintu kamar terkuak, lalu muncul Rakapati yang
langsung melangkah masuk. Sebentar dia menutup pintu dan menguncinya. Lalu
kembali melangkah perlahan
mendekati Klenting Kuning yang tersenyum manis. Matanya berbinar menyambut
kedatangan pemuda tampan itu.
Rakapati duduk di tepi pembaringan.
"Kau tidak pergi bersama mereka, Klenting Kuning?"
tanya Rakapati lembut. Tangannya mengusap-usap pipi halus wanita itu.
"Untuk apa?"
Klenting Kuning beringsut bangun dan duduk.
"Klenting Kuning, ada yang ingin kutanyakan padamu."
kata Rakapati lirih.
"Kau bisa menundanya, kan?" balas Klenting Kuning manja.
"Tidak, aku harus mengatakannya sekarang."
"Baiklah, apa yang akan kau tanyakan?"
"Tentang Pendekar Rajawali Sakti itu."
Klenting Kuning menatap lurus ke bola mata Rakapati.
"Kau bisa saja mengaku mampu menghadapi dia, tapi aku menangkap nada suaramu
yang lain. Apakah tidak ada yang bisa menandinginya?" tanya Rakapati.
"Aku sendiri tidak tahu, sampai saat ini belum ada yang bisa menandinginya,"
pelan suara Klenting Kuning.
"Tapi kau tidak usah cemas, bagaimanapun digdayanya dia, pasti punya kelemahan.
Aku bisa mengetahuinya dalam waktu singkat. Percayalah."
Rakapati terdiam beberapa saat. Sejak nama Pendekar Rajawali Sakti muncul dalam
pembicaraan siang tadi, dia jadi gelisah dan gusar. Meskipun belum pernah
bertemu secara langsung, tapi dari ucapan Klenting Kuning, Rakapati sudah bisa
menilai sampai di mana tingkat kepandaian pendekar itu.
Rasa khawatir mulai menggeluti dirinya. Kalau sampai pendekar itu memihak pada
Adipati Prahasta, kesulitan besar pasti bakal dihadapinya. Perhitungannya semula
mengundang tokoh-tokoh sakti adalah untuk menghadapi Panglima Lohgender, yang
dikenal sebagai tokoh sakti rimba persilatan sebelum menjadi orang penting di
Kerajaan Limbangan.
"Ah, sudahlah. Kita bicarakan soal itu nanti, Rakapati.
Kau tentu bisa melupakannya sebentar saja, kan?" kata Klenting Kuning seraya
menarik kembali leher pemuda itu.
*** Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Panglima
Lohgender tengah membicarakan soal gerombolan
pengacau dengan Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, Arya Duta, Balungpati dan
Welut Putih. Mereka duduk melingkar menghadapi sebuah meja bundar dari kayu Jati
berukir. "Aku yakin, sarang mereka di Hutan Tarik," kata Arya Duta.
"Hutan Tarik sangat luas, keadaannya juga sulit untuk dijelajahi. Berbukit-bukit
dan banyak lembah yang dalam,"
sahut Panglima Lohgender.
"Dua kali aku bentrok dengan mereka di hutan itu, Ayah," kata Arya Duta tetap
pada pendiriannya.
"Apa kau sudah mencoba untuk mencari sarang
mereka?" tanya Panglima Lohgender.
"Sudah."
"Ketemu?"
Arya Duta menggelengkan kepalanya.
"Sebentar, apa boleh aku menyelak?" pinta Rangga.
"Silakan." sahut Panglima Lohgender.
"Tiga hari aku mengamati keadaan di Kadipaten Karang Asem ini, tapi tidak ada
tanda-tanda kekacauan, bahkan penduduk pun melakukan tugasnya seperti biasa,"
tutur Rangga. Dia sengaja tak menceritakan kalau dia sempat memergoki seseorang
berpakaian serba hitam di
Kadipaten Karang Asem ini. Dan itu tidak mungkin dia katakan.
"Memang, sekarang ini Kadipaten Karang Asem aman, penduduk tak lagi terlihat
resah." Panglima Lohgender menyahuti.
"Lalu, kekacauan apa lagi yang terjadi?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Gerombolan itu kini mengalihkan sasarannya pada para petinggi kadipaten,
terutama yang dari Kerajaan
Limbangan dulu," Panglima Lohgender menjelaskan.
"Hm, apakah tidak terpikir kalau ini pemberontakan?"
gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Pikiran itu sudah ada," Panglima Lohgender berkata pelan. "Hanya saja belum ada
ritik terang, siapa dalang dari semua ini."
"Bisa diceritakan riwayat Kadipaten Karang Asem ini?"
pinta Pandan Wangi menyelak membuka suara.
"Apa ada hubungannya?" Arya Duta bertanya. Dia kurang mengerti dengan jalan
pikiran Pandan Wangi.
"Mungkin...," sahut Pandan Wangi pelan.
"Baiklah," sergah Panglima Lohgender. "Aku akan menceritakannya sedikit."
Panglima Lohgender menceritakan tentang riwayat
Kadipaten Karang Asem ini yang dulunya merupakan satu kerajaan dengan nama
Kerajaan Karang Asem. Kerajaan Karang Asem dan Kerajaan Limbangan, dulunya
bersatu, dan terpecah setelah rajanya mangkat. Kerajaan
Limbangan tetap berdiri sebagai kerajaan besar, sedangkan Karang Asem berdiri
sebagai kerajaan kecil. Kedua kerajaan itu kembali terlibat pertikaian ketika
Kerajaan Karang Asem mencoba untuk memperluas wilayah dengan menyerobot wilayah
Kerajaan Limbangan. Namun Kerajaan Karang Asem yang lebih kecil itu akhirnya
takluk dan dijadikan sebuah kadipaten. Lalu ditunjuk Adipati Prahasta untuk
memerintah di Karang Asem menggantikan Raja
Prabu Sirandana yang tewas terbunuh dalam perang.
"Apakah Raja Limbangan dan Raja Karang Asem ada hubungan keluarga?" tanya Pandan
Wangi. "Mereka saudara satu ayah lain ibu. Prabu Wardana adalah putra mahkota dari
permaisuri, sedangkan Prabu Sirandana adalah anak dari selir."
"Saat Kerajaan Karang Asem jatuh, apakah Prabu Sirandana punya putra?" tanya
Pandan Wangi lagi.
"Ada, namanya Rakapati, dan ibunya bernama Puspa Lukita. Saat itu Rakapati masih
kecil...," sahut Panglima Lohgender.
"Hm.... ada kemungkinan Rakapati mau mengembalikan Karang Asem menjadi kerajaan
kembali," gumam Pandan Wangi seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Tidak mungkin!" tukas Balungpati menyanggah.
"Kenapa tidak...?"
"Gusti Putri Puspa Lukita kini menjadi istri Adipati Prahasta. Dan sekarang
beliau diungsikan bersama
putranya ke Desa Putu di Kadipaten Sedana," sanggah Balungpati lagi.
"Ada yang mengantar ke sana?" tanya Rangga mulai mengerti jalan pikiran Pandan
Wangi. "Lima puluh orang prajurit." sahut Welut Putih. "Dan mereka semua baru boleh
kembali kalau keadaan sudah teratasi."
"Hm..., sejak tadi aku tidak melihat Gusti Adipati. Di mana beliau?" Pandan
Wangi bertanya setengah bergumam.
"Sejak dia diserang dua kali, selalu mengurung diri di kamarnya," sahut Panglima
Lohgender. Pandan Wangi melirik Rangga. Yang dilirik pun cepat mengerti. Kemudian Rangga
bangkit berdiri diikuti Pandan Wangi. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka
berpamitan dan meninggalkan ruangan itu.
"Apa pendapatmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah mereka melewati pintu
gerbang kadipaten.
"Entahlah, aku harus menyelidikinya dulu. Ini bukan persoalan biasa," sahut
Rangga mendesah.
"Ya, jangan sampai kita salah langkah...."
*** 5 Rangga belum bisa memastikan, apakah dia akan
membantu Panglima Lohgender atau tidak. Tidak mudah menentukan pihak yang benar
dan salah dalam masalah ini. Rangga juga tidak bisa menyalahkan Rakapati
seandainya memang benar dia ingin memberontak.
Rakapati punya hak untuk mengembalikan kejayaan
Kerajaan Karang Asem. Dan Panglima Lohgender juga
punya hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup
Kadipaten Karang Asem.
Siang itu Rangga sengaja menjelajahi Hutan Tarik yang diduga menjadi markas
gerombolan pengacau menurut
Panglima Lohgender. Langkah kakinya pelan-pelan, namun matanya selalu tajam
meneliti sekitarnya. Dia juga mengerahkan Ilmu pembeda gerak dan suara.
"Hm, ada orang di tengah hutan begini. Siapa dia...?"
gumam Rangga dalam hati ketika matanya menangkap
sesosok tubuh tidak jauh darinya.
Rangga melangkah menghampiri sosok tubuh bungkuk
berbaju hitam lusuh itu. Sosok tubuh itu membelakanginya.
Sepertinya dia tengah memunguti kayu-kayu kering yang banyak berserakan di
sekitar hutan ini. Sosok tubuh itu menoleh saat mendengar langkah-langkah kaki
menghampirinya.
"Sampurasun...," sapa Rangga ramah.
"Rampes...," sahut orang itu.
Sejcnak Rangga mengamati orang itu. Seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk kurus
dengan rambut yang sudah memutih semua. Namun pancaran sinar matanya begitu
tajam. Seikat kayu kering terkepit di ketiaknya.
"Tuan pasti seorang pendekar...," laki-laki tua bungkuk itu menebak langsung.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Tuan mencari sesuatu di hutan ini?" tanyanya seperti menyelidik.
"Mungkin, Ki...," sahut Rangga terputus.
"Panggil saja aku Ki Rumpung. Orang-orang biasanya memanggilku begitu."
"Ki Rumpung pernah melihat orang-orang berpakaian hitam di sekitar hutan ini?"
tanya Rangga langsung.
"Sering, Tuan."
"Sering...?"
"Ya, mereka adalah pasukan budiman yang selalu membela rakyat jelata. Aki tidak
merasa terganggu, bahkan mereka sering menolongku mencari kayu bakar atau
memborong semua kayu bakar yang aku peroleh."
"Aki tahu siapa mereka?" kejar Rangga.
"Sudah aku katakan, mereka adalah orang-orang budiman yang suka membantu siapa
saja yang lemah."
"Maksudku, tempat tinggal mereka...," ralat Rangga.
"Untuk apa kau cari mereka" Apakah kau suruhan dari Kerajaan Limbangan?" Ki
Rumpung jadi curiga.
"Bukan, justru aku ingin lebih jelas mengetahui persoalannya sebelum memutuskan
untuk berpihak pada yang mana, atau sama sekali tidak memihak keduanya,"
Rangga menjelaskan.
"Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti."
"Dari mana kau tahu, Ki?"
"Semua orang sudah tahu, kalau Panglima Lohgender sedang mencari Pendekar
Rajawali Sakti untuk meminta bantuan. Hm..., sayang sekali kau berada di pihak
yang salah."
Rangga memandangi kakek tua itu semakin tajam.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Rumpung segera berlalu.
Rangga sedikit berkerut keningnya begitu melihat laki-laki tua itu berjalan
seperti tidak menapak tanah saja.
"Hey...!" tiba-tiba Rangga tersentak.
Secepat kilat dia melompat, tapi saat itu juga tubuh laki-laki tua itu sudah
lenyap seperti ditelan bumi. Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia
baru menyadari kalau kulit tangan kakek tua itu putih halus seperti tangan seorang
wanita, meskipun wajahnya penuh keriput. Dan suaranya....
"Aku seperti pernah mendengar suara itu. Tapi di mana..." Kapan aku
mendengar...?" Rangga bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melanjutkan
langkahnya pelan-pelan sambil berpikir terus tentang kakek tua yang ditemuinya
tadi. Kata-kata laki-laki tua itu menjadikan beban pikirannya saat ini.
"Pasti dia bukan orang sembarangan. Hm..., siapa dia...?" gumam Rangga dalam
hati bertanya-tanya.
*** Rangga kembali berhenti melangkah ketika sampai di
tepi Hutan Tarik ini. Telinganya yang tajam setajam mata pisau, mendengar suara
erangan lirih dari arah semak di depannya. Hanya dengan satu lompatan saja,
Rangga sudah bisa mencapai semak belukar itu. Matanya membeliak lebar begitu
menyaksikan seorang laki-laki berpakaian prajurit Kerajaan Limbangan tengah
berusaha memperkosa seorang wanita.
"Binatang!" geram Rangga.
Buk! Hanya sekali tendang saja, laki-laki berpakaian prajurit itu, langsung
menggelimpang roboh tak bangun lagi. Dari mulutnya merembes darah kental
kehitaman. Wanita muda dengan pakaian sudah sobek-sobek di sana sini, langsung
beringsut bangun. Tangannya segera menutupi bagian dada dan beberapa bagian
tubuhnya yang terbuka, tapi keadaan kain dan baju yang koyak, tidak bisa
menyembunyikan kulit putih mulus dari pandangan Rangga.
"Kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga.
"Tidak, terima kasih Tuan telah menyelamatkanku,"
sahut wanita itu seraya menyusut air matanya.
"Kenapa kau bisa sampai ke sini?" tanya Rangga melirik tubuh laki-laki
berpakaian prajurit yang menggeletak tak bernyawa lagi.
Rupanya Rangga tadi menendang dengan mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sehingga membuat laki-laki itu
langsung tewas tanpa bersuara lagi.
"Aku sedang mencari Ayahku. Katanya prajurit itu tahu dan mau mengantarkan.
Tapi...," wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, kau sudah selamat sekarang. Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana
rumahmu?" "Tidak jauh dari sini. Itu dekat bukit batu," wanita itu menunjuk ke arah
Selatan. Rangga mengarahkan pandangannya ke arah bukit batu yang tidak jauh dari tepi
Hutan Tarik ini. Tampak sebuah pondok kecil berdiri di antara batu-batu yang
menggunung. Sejak dia berada di sekitar Hutan Tarik ini, sepertinya tidak ada satu rumah pun
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bukit batu itu. Bahkan ketika dia ke sini tadi pagi, tidak ada pondok di
situ. Belum sempat Rangga menyadari apa yang terjadi,
mendadak dia menoleh menatap wanita itu. Wanita cantik yang hampir diperkosa
itu, melingkarkan tangannya pada Rangga. Tidak ada rasa ketakutan lagi.
Senyumnya malah mengembang lebar, dan sikapnya manja menggoda.
Rangga melepaskan tangan wanita itu yang memegangi lengannya. Dia melangkah
mundur beberapa tindak.
"Kau telah menyelamatkan aku, Tuan. Sekarang aku milikmu, kau bisa berbuat apa
saja pada diriku," kata wanita itu.
Rangga memandangi wanita itu dengan penuh selidik.
Hari ini dia menemukan orang-orang yang dirasakan aneh.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terlonjak mundur begitu matanya melihat
satu noda hitam pada leher wanita itu. Dia pernah melihat noda itu sebelumnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga. Wanita itu tersenyum manis. Mendadak saja
tubuhnya berputar
cepat. Semakin lama putarannya semakin cepat, dan
terlihat hanya sebuah bayangan saja.
"Iblis Wajah Seribu...." desis Rangga begitu putaran tubuh itu terhenti.
Kini di depan Rangga berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju serba kuning.
Wajahnya cantik dengan sekuntum bunga terselip di telinga. Rambutnya panjang
terikat ke depan. Di pinggangnya terselip sebatang pedang pendek bergagang
kepala tengkorak. Dialah Klenting Kuning atau yang lebih dikenal dengan julukan
Iblis Wajah Seribu.
"Hebat! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti," puji Klenting
Kuning mengumbar senyum.
"Untuk apa kau berada di sini, Klenting Kuning?" tanya Rangga ketus.
"Kau sudah bisa menjawab sendiri, Rangga," sahut Klenting Kuning kalem.
"O..., jadi kekacauan di Kadipaten Karang Asem, karena ulahmu...?"
"Aku hanya membela kebenaran."
"Kau bicara kebenaran, kebenaran apa yang kau bela?"
"Hak!"
Tanpa dijelaskan lagi, Rangga sudah bisa mengetahui maksud kata-kata Klenting
Kuning. Dia kini mengerti kejadian di Kadipaten Karang Asem. Dugaannya sudah
tidak bisa dibantah lagi. Rangga bisa memastikan kalau Rakapati yang ada di
belakang semua peristiwa itu. Dan alasannya pun sudah pasti, Rakapati ingin
merebut kembali Karang Asem, dan mendirikan Kerajaan Karang Asem. Sayangnya, maksud baik
itu ditunggangi oieh tokoh-tokoh hitam rimba persilatan, seperti Klenting Kuning
ini. "Kau seorang pendekar yang tangguh dan bijaksana.
Pikirkanlah sebelum kau mengambil keputusan membantu Panglima Lohgender!" kata
Klenting Kuning.
Sebelum Rangga bisa mengeluarkan suara, Klenting
Kuning sudah mencelat pergi. Dalam sekejap mata saja, wanita yang berjuluk Iblis
Wajah Seribu itu sudah hilang dari pandangan. Beberapa saat lamanya Rangga masih
berdiri mematung memandangi kepergian wanita itu.
Kemudian kakinya terayun melangkah menuju ke
Kadipaten Karang Asem.
Posisi Pendekar Rajawali Sakti kali ini memang sulit. Dia belum bisa memastikan
siapa di antara kedua belah pihak yang bersalah" Hanya Rangga menyesalkan
tindakan Rakapati yang bersekutu dengan tokoh-tokoh rimba
persilatan golongan hitam. Pendekar Rajawali Sakti itu terus melangkah pelan-
pelan dengan kepala dipenuhi berbagai macam pikiran.
*** Dua bayangan berkelebatan di keheningan malam
menuju ke arah Timur Hutan Tarik. Tepat di tepi sebuah lembah yang dalam dan
lebar, dua sosok tubuh yang berkelebatan itu berhenti. Mereka berdiri tegak
memandang ke dalam lembah itu. Tampak sebuah bangunan besar dikelilingi pagar
tinggi tebal bagal benteng.
"Kau yakin itu sarang mereka, Pandan?"
"Ya, begitulah keterangan yang aku dapatkan?"
Dua orang yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu terdiam
sesaat. Mata mereka tak lepas memandang ke arah lembah itu.
"Hm..., seperti sarang gerombolan perampok," gumam Rangga setengah berbisik.
"Pantas saja sulit ditemukan."
Rangga lalu memandangi keadaan sekitarnya. Daerah di bagian Timur Hutan Tarik
ini memang sulit dicapai.
Benteng itu dikelilingi oleh lembah besar dan dalam dengan bukit-bukit terjal
dan berbatu. Tak satupun terlihat ada jembatan atau jalan menuju ke lembah itu.
"Dari mana kau peroleh keterangan itu, Pandan?" tanya Rangga.
"Seseorang yang patut dipercaya," sahut Pandan Wangi.
Rangga menatap gadis di sampingnya.
"Dia mengatakan kalau Rakapati menyusun kekuatan untuk memberontak, bahkan dia
ingin membalas dendam pada Adipati Prahasta yang telah membunuh ayah
kandungnya," lanjut Pandan Wangi tidak mempedulikan tatapan Rangga.
"Hm..., jadi benar Rakapati ingin mengembalikan Karang Asem menjadi sebuah
kerajaan," gumam Rangga.
"Ya."
"Kalau begitu permasalahannya, kita tidak perlu ikut campur dalam masalah ini.
Aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang salah," kata Rangga.
"Lalu, bagaimana dengan permintaan Panglima
Lohgender?" tanya Pandan Wangi tersenyum tipis.
"Aku yang akan mengatakannya nanti, aku harap dia mau mengerti," sahut Rangga.
Pandan Wangi semakin lebar senyumnya. Dia tidak
menyadari kalau Rangga memperhatikannya sejak tadi.
Senyum Pandan Wangi langsung hilang ketika mereka
mendengar suara gemerisik di belakang.
Belum lagi mereka dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba dari balik semak dan
pepohonan bermunculan tubuh-tubuh terbalut kain hitam. Jumlah mereka tidak
kurang dari dua puluh orang. Semuanya menghunus senjata berupa golok panjang
yang besar dan berkilat. Tanpa bicara apa pun, mereka langsung menyerang.
"Hati-hati, Pandan...!" seru Rangga seraya melenting menghindari tebasan golok
orang berbaju hitam itu.
Tidak kurang dari sepuluh orang langsung mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga tidak sempat lagi memperhatikan Pandan Wangi. Dia sibuk menghindar
setiap serangan yang datang bagai hujan. Silih berganti tanpa henti, seakan-akan
tidak memberikan kesempatan padanya untuk membalas.
"Sial! Aku harus menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'!" dengus
Rangga dalam hati.
Seketika itu juga Rangga mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya segera ter-bentang lebar ke samping.
Saat itu juga dia bergerak cepat mengibas-ngibaskan kedua tangannya bagai sayap
seekor burung rajawali.
"Aaakh...!"
Satu jeritan melengking terdengar ketika tangan Rangga menghajar kepala
penyerangnya. Belum lagi hilang suara jeritan itu, datang tagi jeritan lainnya,
disusul rubuhnya sesosok tubuh hitam dengan kepala pecah.
"Heh! Di mana Pandan..."!" Rangga tersentak kaget ketika dia sempat melirik ke
arah Pandan Wangi tadi berada.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak lagi melihat Pandan Wangi. Bahkan ketika dia
berhasil menjatuhkan satu lawan lagi, terdengar suara siulan panjang melengking
tinggi. Seketika itu juga orang-orang berpakaian hitam yang mengeroyoknya langsung
berlompatan, lenyap di balik kegelapan dan kelebatan hutan ini.
"Pandan...!" teriak Rangga keras.
Tak ada sahutan sama sekali, hanya gema suaranya
saja yang kembali terdengar memantul. Rangga mengedarkan pandangannya
berkeliling. Suasana di sekitar tempat ini sunyi sepi. Tak seorangpun terlihat.
Hanya tiga sosok mayat saja yang menggeletak dekat kakinya.
"Aneh...," desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak jadi melangkah.
Telinganya yang tajam langsung mendengar suara langkah-langkah kaki yang
mengusik semak dan daun-daun kering.
Rangga langsung bersiaga menghadapi segala kemung-
kinan. "Oh...!"
*** "Kebetulan sekali bertemu di sini," kata Arya Duta yang datang bersama dengan
Balungpati dan Welut Putih.
Rangga tidak mempedulikan kata-kata Arya Duta.
Pandangannya lurus menatap Pandan Wangi yang datang bersama ketiga laki-laki
itu. Baru saja Pandan Wangi bersamanya, dan hilang ketika dia dikeroyok sepuluh
orang berpakaian hitam. Kini gadis itu datang bersama Arya Duta dan kedua
pendampingnya dari Kadipaten Karang Asem.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi jengah.
"Oh, tidak..," Rangga langsung mengalihkan perhatiannya pada Arya Duta.
"Sejak pagi tadi kau tidak kelihatan, Pendekar Rajawali Sakti. Nini Pandan Wangi
cemas, dan memintaku untuk mencarimu," kata Arya Duta.
"Hm...." Rangga hanya bergumam tak jelas.
"Kebetulan ada seseorang yang melihatmu di hutan ini, dan kami langsung
mencarimu ke sini," sambung Balungpati.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Rangga.
"Kami mendengar suara pertarungan tadi," Arya Duta melirik tiga mayat di dekat
kaki Rangga. Rangga memandang tiga sosok mayat itu sejenak, lalu perhatiannya mengarah pada
lembah, di mana berdiri sebuah bangunan besar bagai benteng. Arya Duta,
Balungpati, Welut Putih dan Pandan Wangi juga meng-arahkan pandangan yang sama.
Sesaat kemudian mereka saling berpandangan.
"Apakah itu sarang gerombolan pengacau?" tanya Arya Duta.
"Mungkin," sahut Rangga pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Hal ini harus segera dilaporkan pada Panglima Lohgender," sambung Balungpati.
"Benar, Ayahanda Lohgender memang sedang me-
nunggumu juga, Tuan Pendekar," kata Arya Duta.
Rangga tidak menyahuti. Ia masih disibukkan dengan kejadian-kejadian yang
dialaminya sejak pagi sampai malam ini. Kemunculan Iblis Wajah Seribu memang
bisa memusingkan kepala. Wanita cantik yang sebenarnya bernama Klenting Kuning
itu bisa merubah-rubah wajah-nya.
Barusan saja Rangga kembali terkecoh, dan terjebak sampai ke sini. Dia yakin
kalau yang bersamanya tadi adalah si Iblis Wajah Seribu yang menyamar jadi
Pandan Wangi. Rangga melangkah tanpa bicara lagi. Tangannya sempat menarik
tangan Pandan Wangi. Sementara Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih mengiringi
di belakang. "Kau ada di penginapan sore tadi, Pandan?" tanya Rangga setengah berbisik.
"Tidak, aku ada di Kadipaten Karang Asem bersama Panglima Lohgender," sahut
Pandan Wangi. Rangga terdiam, tidak bertanya lagi. Jelas sudah kalau yang ditemuinya di
penginapan tadi sore bukanlah Pandan Wangi, melainkan si Iblis Wajah Seribu. Dan
yang meng-ajaknya kembali ke hutan ini sudah tentu si wanita iblis itu.
Rangga mengumpat dalam hati karena tidak bisa mem-
bedakan, dan selalu terkecoh dengan penyamaran
Klenting Kuning yang begitu sempurna.
"Hm..., aku tidak boleh lengah. Aku harus
memperhatikan leher setiap orang," gumam Rangga dalam hati.
Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau noda
pada leher Klenting Kuning tidak bisa hilang, meskipun dia bisa merubah wajah
seribu kali. Tanda itulah satu-satunya yang menjadi patokan Rangga. Tapi memang
sulit, karena noda itu letaknya agak tersembunyi, dan bisa ditutupi dengan
rambut. *** Panglima Lohgender menyambut kedatangan Rangga
dan Pandan Wangi yang diiringi oleh Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih di
depan pintu benteng penjara yang tinggi dan kokoh. Mereka kemudian masuk ke
salah satu ruangan pengap yang hanya diterangi sebuah pelita kecil.
Cuma Arya Duta yang ikut masuk, sedangkan Balungpati dan Welut Putih berjaga di
depan pintu yang tertutup rapat.
Pandan Wangi menyipitkan matanya ketika seorang
lelaki muda yang tangan dan kakinya terikat rantai besi di dinding ruangan.
Keadaannya tampak begitu payah,
seluruh tubuhnya jelas menampakkan luka bekas
cambukan pecut yang menggaris merah. Darah kering
menutupi hampir seluruh tubuhnya yang biru lebam.
Gadis itu bergidik merasa ngeri begitu menyadari
mereka tengah berada di ruang penyiksaan. Dinding-
dinding batu dipenuhi dengan rantai rantai yang bergayut dan darah kering yang
mengotori. Di salah satu sudut, tampak sebuah lubang besar dengan sebuah tiang
ber-bentuk palang pintu di atasnya. Seuntai tambang men-juntai melintang di
palang tiang. Pandan Wangi tak kuasa lama memandangi lubang besar yang penuh
ular berbisa. Meskipun dia seorang gadis pendekar, tapi ngeri juga melihat berbagai macam alat
penyiksaan itu. Pandan Wangi langsung mengalihkan perhatiannya, dia tidak tega
melihat sesosok tubuh tergantung yang sudah tidak utuh lagi, habis sudah
disantap ular-ular lapar.
"Kakang...," bisik Pandan Wangi. Tangannya memeluk tangan kanan Rangga tanpa
disadari. "Ada keperluan apa Tuan Panglima memanggilku?"
tanya Rangga setelah berbisik pada Pandan Wangi agar tenang.
"Lihat orang itu, Kisanak. Dialah salah seorang pengacau yang membuat resah
Kadipaten Karang Asem,"
Panglima Lohgender menunjuk orang yang terikat di
dinding. Rangga tak bergeming untuk melihatnya. Matanya tetap tertuju pada Panglima
Lohgender yang didampingi Arya Duta
"Orang itu sudah mengakui semuanya, bahwa
gerombolan mereka adalah gerombolan perampok yang
terdiri dari orang-orang rimba persilatan yang sangat tinggi ilmunya. Dan yang
terpenting lagi, sarang mereka ada di Hutan Tarik," Panglima Lohgender
menjelaskan. Nada suaranya terdengar bangga.
"Lalu, apa maksud Tuan Panglima mengundangku ke sini?" tanya Rangga.
"Aku ingin meminta kesediaanmu menumpas
gerombolan pengacau itu. Kau seorang pendekar pilih tanding yang sulit dicari
bandingannya."
"Tuan Panglima percaya dengan keterangan itu?"
Pandan Wangi ikut bertanya.
"Dia memberikan pengakuan setelah merasakan pedih-nya penyiksaan," sahut
Panglima Lohgender.
"Apakah dia penduduk Kadipaten Karang Asem?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia salah satu dari pengacau-pengacau itu. Dia
tertangkap saat hendak membunuh seorang bendahara kadipaten. Hm..., untung Arya
Duta cepat mengetahui dan berhasil menangkapnya hidup-hidup,
meski sayang, dua orang lainnya tewas."
"Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi meminta
pendapat. "Sebaiknya Paman Balungpati diminta mengenali orang ini. Dia kan penduduk asli
dari Karang Asem ini, paling tidak dia bisa memastikan apakah orang itu penduduk
Karang Asem atau bukan," kata Rangga tanpa mempedulikan pertanyaan Pandan Wangi.
"Balungpati...!" teriak Panglima Lohgender.
Yang dipanggil segera masuk.
"Kau kenal dengan orang ini?" Panglima Lohgender mengangkat muka orang yang
terikat rantai itu dengan ujung tongkatnya.
"Akh...!" Balungpati nampak terkejut. Wajahnya seketika memucat. Matanya tak
berkedip menatap orang yang
berwajah biru lebam di depannya.
"Kau kenal dia, Balungpati?" desak Panglima Lohgender.
"Dia..., dia...," Balungpati seperti tercekat suaranya di tenggorokan.
"Siapa dia. Balungpati?"
"Dia Karman, Gusti Panglima. Salah seorang prajurit Kadipaten Karang Asem yang
ditugaskan mengawal Gusti Ayu Puspa Lukita dan Gusti Rakapati ke Kadipaten
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedana," suara Balungpati terdengar gagap.
"Lihat sekali lagi, Paman. Mungkin Paman salah lihat."
kata Arya Duta tidak percaya.
"Benar, Gusti. Dia Karman Prajurit kadipaten ini," sahut Balungpati yakin.
"Baiklah, Balungpati. Kau boleh ke luar," desah Panglima Lohgender.
Balungpati memberi hormat, lalu berbalik dan me-
langkah ke luar. Pintu segera ditutup kembali oleh Arya Duta. Raut wajah
Panglima Lohgender berubah begitu mendengar penuturan Balungpati. Sama sekali
dia tidak menduga kalau orang yang telah disiksanya itu salah seorang prajurit
pengawal yang ditugaskan ke Kadipaten Sedana.
Panglima Lohgender lalu teringat pembicaraannya
dengan Pendekar Rajawali Sakti di balai agung kadipaten.
Dia terpaksa mengakui dugaan pendekar itu yang semula tak ditanggapinya dengan
serius. Dia memang tak
mengenali satu per satu prajurit kadipaten yang merupakan salah satu kadipaten
dari Kerajaan Limbangan.
"Arya Duta, siapkan seluruh prajurit. Berangkat malam ini juga ke Hutan Tarik!"
perintah Panglima Lohgender.
"Tunggu dulu!" cegah Rangga sebelum Arya Duta sempat melangkah.
Panglima Lohgender dan Arya Duta memandang
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Apakah Tuan Panglima yakin kalau mereka ada di hutan itu?" tanya Rangga.
"Telik sandi yang kusebar ke sana sudah mengetahui letak sarang mereka dengan
pasti. Dan aku sudah mendapat laporannya sore tadi," sahut Panglima Lohgender.
Rangga yang mulutnya sudah terbuka hendak berucap
lagi, jadi mendengus karena Panglima Lohgender sudah memerintahkan Arya Duta
untuk segera melakukan
perintahnya. Arya Duta segera berlalu. Panglima Lohgender memandang ke arah
Rangga dan Pandan Wangi sesaat,
lalu beranjak ke luar dari ruangan pengap ini.
Rangga langsung menarik tangan Pendan Wangi ke luar dari ruangan pengap berbau
tidak sedap itu. Mereka sejenak berdiri di depan pintu memandang kepergian empat
ekor kuda yang dipacu cepat menuju kembali ke kadipatenan. Saat kedua pendekar
itu hendak melangkah pergi, tiba-tiba salah seekor kuda itu berbalik dan
menghampiri dengan cepat. Welut Putih langsung melompat turun begitu sampai di
depan kedua pendekar itu.
"Gusti Panglima meminta Tuan dan Nini Pendekar mau ikut serta ke Hutan Tarik,"
kata Welut Putih.
"Baiklah, aku menyusul nanti." sahut Rangga.
"Akan kusampaikan."
Welut Putih langsung melompat naik kembali ke
punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda itu.
Bagai anak panah lepas dari busur, kuda itu melesat cepat meninggalkan Rangga
dan Pandan Wangi. Saat itu dua orang prajurit kadipaten datang, dan langsung
berjaga-jaga di depan pintu penjara.
"Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga Tanpa banyak bicara lagi, Rangga dan
Pandan Wangi mencelat cepat.
Dalam sekejap saja hilang dari pandangan mata.
"Edan! Orang apa dewa...?" dengus salah seorang penjaga.
"Tolol! Namanya juga pendekar!" sergah seorang penjaga lainnya.
"Hebat, ya..."!"
*** Hutan Tarik yang semula sunyi senyap, kini tampak
dipenuhi ratusan prajurit yang mengepung lembah yang mengelilingi benteng kokoh
di seberangnya. Beberapa prajurit terlihat sibuk membuat jembatan dari bambu
yang disambung-sambung sampai menjangkau seberang
lembah sana. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya menyaksi-
kan saja. Rangga melihat benteng itu sama persis dengan yang pernah dilihatnya
di sebelah Timur Hutan Tarik ini, hanya bedanya, yang sekarang berada di sebelah
Barat hutan ini. Dan letak benteng itu juga ada di seberang lembah, bukannya
berada di dasar lembah.
Sementara itu sepuluh jembatan bambu sudah hampir
terpasang. Dan kelihatannya cukup kuat untuk dilintasi dua puluh orang prajurit
sekaligus. Panglima Lohgender yang didampingi Arya Duta, Balungpati dan Welut
Putih, tampak berdiri tegap memandang ke arah benteng di seberang sana.
"Kau lihat ada perbedaan pada benteng itu, Pandan?"
tanya Rangga. "Ya," sahut Pandan Wangi. "Tidak seperti kemarin malam."
"Aku tidak tahu, benteng mana yang asli," gumam Rangga.
"Serang...!" tiba-tiba terdengar perintah teriakan lantang dari Panglima
Lohgender. Pekik peperangan langsung menggema, disusul dengan berlariannya para prajurit
melintasi jembatan bambu yang bergoyang goyang. Pasukan panah juga langsung
beraksi memuntahkan anak-anak panah menghujani benteng itu.
Arya Duta melenting tinggi bagai burung melompati
lembah, lalu dengan manis mendarat di seberang.
Kemudian tubuhnya kembali melenting melewati pagar benteng. Tak lama kemudian
dia keluar sambil melentingkan tubuhnya menyeberangi lembah. Dia langsung
mendarat tepat di depan Panglima Lohgender.
"Kosong! Benteng itu kosong!" seru Arya Duta melaporkan.
"Apa ..."!"Panglima Lohgender tampak kaget tak percaya.
"Benteng itu kosong," Arya Duta mengulangi.
"Berhenti...!" teriak Panglima Lohgender seketika.
Seketika itu juga semua prajurit menghentikan aksinya.
Sebagian lagi prajurit ke luar dari dalam benteng. Mereka langsung kembali
menyeberangi lembah itu.
"Setan!" geram Panglima Lohgender.
Wajah panglima itu merah padam. Gerahamnya ber-
gemeletuk menahan geram. Dia merasa dirinya tengah di-permainkan mentah-mentah.
Sementara semua prajurit sudah kembali dari seberang lembah. Mereka menunggu
perintah selanjutnya.
"Balungpati, Welut Putih!"
"Hamba, Gusti," sahut Balungpati dan Welut Putih berbarengan.
"Bawa separuh prajurit ke kadipaten!" perintah Panglima Lohgender.
"Hamba laksanakan segera, Gusti Panglima."
Balungpati dan Welut Putih langsung menjalankan
perintah itu. Mereka membawa tidak kurang dari tiga ratus orang prajurit untuk
kembali ke Kadipaten Karang Asem.
"Arya Duta!"
"Ya, Ayahanda."
"Bawa seratus prajurit, geledah seluruh hutan ini!"
Arya Duta juga tidak membantah. Dia segera membawa seratus orang prajurit
pilihan untuk menggeledah hutan ini.
Panglima Lohgender menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi yang
masih tetap berdiri tak bergeming dari tempatnya. Wajah Panglima itu kelihatan
tegang dan menahan geram yang amat sangat.
"Sebaiknya Panglima kembali ke kadipaten," kata Rangga mendahului sebelum
Panglima Lohgender
membuka suara. "Hm...," Panglima Lohgender hanya bergumam.
"Benar, Panglima. Aku merasa mereka sengaja mendahului dan merebut Kadipaten
Karang Asem di saat
kosong," sambung Pandan Wangi.
"Pasti ada orang yang berkhianat!" dengus Panglima Lohgender geram.
"Ayo, Pandan. Kita pergi sekarang," ajak Rangga Pandan Wangi menurut saja.
Mereka langsung
melompat dan lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Panglima Lohgender segera memerintahkan sisa pasukannya untuk kembali ke
Kadipaten Karang Asem. Kata-kata kedua pendekar itu menjadi pertimbangannya
juga. Memang ada kemungkinan para gerombolan pengacau itu mendahului di saat seluruh
pasukan berada di Hutan Tarik.
6 Rangga tidak langsung kembali ke Kadipaten Karang
Asem. Dia mengajak Pandan Wangi untuk melihat benteng yang sama persis di
sebelah Timur Hutan Tarik ini. Keadaan hutan yang banyak lembah dan bukitnya
memang sulit untuk dikenali bagian-bagiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu
tertegun sejenak memandang ke dasar lembah di
depannya. Tampak benteng yang kemarin malam dia lihat, kini
sudah jadi puing-pulng. Asap tipis masih mengepul dari bara api. Seluruh
bangunan benteng itu hangus terbakar.
Tapi anehnya, tidak ada satu mayat pun yang kelihatan.
Rangga memandang Pandan Wangi yang berdiri di
sebelahnya. Gadis itu juga memandang padanya.
"Mereka pasti sudah ada di Kadipaten Karang Asem sekarang," kata Pandan Wangi.
"Hebat! Ini pasti pekerjaan Iblis Wajah Seribu," gumam Rangga memuji.
"lblis Wajah Seribu..."!" Pandan Wangi mendelik kaget.
"Ya. beberapa kali aku sempat terkecoh. Kemarin malam pun aku dikecoh hingga
sampai ke sini," Rangga mengakui.
"Jadi...!?"
"Dia menyamar jadi dirimu."
"Iblis!" geram Pandan Wangi.
Sesaat mereka diam merenung.
"Aku harus membunuh perempuan iblis itu, Kakang!"
tekad Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia tidak mengecilkan kepandaian Pandan Wangi. Tapi
Iblis Wajah Seribu bukanlah tandingan gadis itu. Selain bisa merubah wajahnya,
Iblis Wajah Seribu juga sangat tinggi tingkat kepandaiannya.
"Ayo, Kakang. Kita harus segera ke Kadipaten Karang Asem!" ajak Pandan Wangi.
"Tunggu..!" sentak Rangga tiba-tiba.
Pada saat itu, muncul Arya Duta dengan tergopoh-
gopoh. Pakaiannya compang camping. Pemuda itu
langsung terjatuh begitu sampai di depan Rangga dan Pandan Wangi. Rangga segera
membantu Arya Duta
berdiri. "Ada apa?" tanya Rangga.
"Tolong, pasukanku habis terbantai di tepi hutan..,"
sahut Arya Duta tersendat-sendat.
Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi. Tanpa bicara
lagi, gadis itu segera melompat cepat meninggalkan kedua pemuda itu. Rangga
langsung mengikuti. Tapi....
"Pandan, tunggu!" teriak Rangga keras.
Pandan Wangi langsung menghentikan larinya.
"Cepat kembali!" seru Rangga.
Secepat kilat, Rangga melompat ke tepi lembah di
sebelah Timur Hutan Tarik. Pandan Wangi yang sempat kebingungan, langsung
mengikuti. Mereka terperanjat, karena Arya Duta yang ditinggalkan, kini sudah
tidak ada lagi. Sesaat mereka berpandangan.
"Sial! Iblis itu mengecohkan kita!" umpat Rangga.
Pandan Wangi menatap Rangga lekat-lekat.
"Ayo, kita langsung ke kadipaten. Dia pasti sengaja mau menghambat perjalanan
kita!" kata Rangga.
Kedua pendekar itu segera melompat dengan mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekejap saja tubuh mereka sudah lenyap
seperti ditelan bumi. Sementara itu dari balik pohon besar, muncul seorang
wanita cantik dengan mengenakan baju kuning. Di tangannya tergenggam selembar
pakaian lusuh compang-camping.
Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu melenting ke arah mana kedua pendekar itu
pergi. *** Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Rakapati
berhasil melumpuhkan pertahanan kadipaten, termasuk Braja Duta yang tewas
setelah cukup lama bertahan menghadapi pasukan kepercayaan Rakapati.
Setelah itu Rakapati menerobos masuk ke dalam
bangunan utama kadipaten. Wajahnya menegang begitu pintu sebuah kamar berhasil
Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung 1 Pendekar Sakti Welas Asih Jin Sin Taihiap Karya Rajakelana Medali Wasiat 13
Karang Asem."
"Apa..."!" Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih melongo tak percaya.
"Aku seorang pengembara, aku kenal tokoh-tokoh rimba persilatan. Pendekar
Rajawali Sakti menginap bersama saudara perempuannya di Penginapan Cagar Ayu,"
kata Rangga sambil mengulum senyum di dalam hati, lalu
lanjutnya. "Aku kenal betul Pendekar Rajawali Sakti. Dia pasti mau membantu
menumpas gerombolan pengacau
itu." "Kau tidak main-main, Kisanak?" Balungpati masih tidak percaya.
"Percayalah padaku, saudara perempuan Pendekar Rajawali Sakti itu berjuluk si
Kipas Maut. Aku rasa mereka tidak akan tinggal lama di sana. Kalau Paman bertiga
tidak segera menemui, mungkin tidak akan bertemu lagi untuk selamanya."
"Apa jaminanmu?" selak Welut Putih.
"Leher! Aku tidak akan keluar dari Hutan Tarik. Aku akan menggantikan tugas
Paman bertiga untuk mencari sarang gerombolan pengacau itu," kata Rangga tegas.
Arya Duta menatap Balungpati dan Welut Putih ber-
gantian. "Paman bertiga telah menolongku, dan kini aku akan membalas budi dengan mencari
sarang gerombolan itu,"
lanjut Rangga. "Baiklah, Kisanak. Kalau kau coba-coba mempermainkan aku, jangan katakan aku
kejam kalau lehermu
kupenggal!" kata Arya Duta tidak main-main.
Rangga hanya tersenyum seraya menganggukkan
kepalanya. Tanpa banyak bicara lagi, Arya Duta segera mengajak Balungpati dan
Welut Putih meninggalkan
tempat itu. Sesaat Rangga memperhatikan kepergian
ketiga orang yang tengah mencari dirinya. Dia kini paham benar akan apa yang
tengah terjadi di Kadipaten Karang Asem.
"Kau percaya kata-kata Rangga barusan tadi, Paman Balungpati?" tanya Arya Duta
selepas mereka dari Hutan Tarik.
"Tampaknya dia bisa dipercaya, Gusti. Seorang pengembara tahu banyak tentang
dunia persilatan dari pada kita," sahut Balungpati.
"Sebaiknya kita langsung ke Penginapan Pagar Ayu, Gusti," tambah Welut Putih.
"Baiklah, kalau ternyata dia membohongi kita, segera kembali ke Hutan Tarik."
*** Pandan Wangi yang sendirian di kamar, jadi gelisah tak menentu. Benaknya
dipenuhi oleh perasaan cemas yang berkepanjangan. Meskipun dia yakin akan
kemampuan Rangga, tapi ketidakpastian keadaan Kadipaten Karang Asem ini selalu membuat
pikirannya tak pernah tenang kalau Rangga ke luar.
Suara ketukan di pintu mengagetkan Pandan Wangi.
Matanya menatap tajam pintu yang diketuk berulang-ulang.
Tangannya segera meraba kipas baja putih yang terselip di pinggang. Lalu
perlahan-lahan dia melangkah mendekati pintu.
"Siapa...?" tanya Pandan Wangi keras.
"Kami, dari Kadipaten Karang Asem hendak bertemu dengan si Kipas Maut!"
terdengar suara sahutan dari luar.
Pandan Wangi tersentak kaget. Buru-buru dia membuka pintu. Tiga orang berdiri di
depan pintu kamar penginapannya. Yang berdiri di tengah seorang pemuda dengan
sabuk bergambar bunga melati. Dan dua orang lagi
berpakaian prajurit kadipaten.
"Apakah Nona yang berjuluk si Kipas Maut?" tanya Arya Duta.
"Benar," sahut Pandan Wangi agak tertahan suaranya.
"Boleh kami bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Sayang, dia pergi."
"Ke mana perginya?"
"Aku tidak tahu, dia hanya mengatakan kalau hendak ke luar melihat-lihat suasana
kadipaten ini," sahut Pandan Wangi menjelaskan tidak terinci.
"Kalau begitu, baiklah kami akan menunggu di depan,"
kata Arya Duta seraya berbalik.
"Eh, tunggu dulu!" sergah Pandan Wangi.
Arya Duta mengurungkan langkahnya.
"Ada maksud apa Paman bertiga mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pandan
Wangi. "Bagaimana, Paman?" Arya Dula meminta pendapat pada dua orang pendampingnya.
"Sebaiknya jelaskan saja maksud kita yang sebenarnya, Gusti." sahut Balungpati.
Arya Duta segera menjelaskan maksudnya setelah
mendapat anggukan dari Welut Putih. Juga dia jelaskan pertemuannya dengan
seorang pengembara yang mem-beritahukan kalau si Kipas Maut dan Pendekar
Rajawali Sakti ada di penginapan ini. Kemudian setelah berbasa-basi sebentar,
mereka bertiga meninggalkan Pandan
Wangi yang masih diam terpaku di ambang pintu.
"Oh!" Pandan Wangi terkejut begitu dia membalikkan tubuhnya.
Tanpa diketahuinya Rangga tengah berbaring di tempat tidur. Bibirnya tersenyum
memandangi Pandan Wangi yang tengah menghampirinya. Gadis itu melirik jendela
yang masih tertutup. Dia sempat menutup pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat.
"Dari mana kau masuk, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya duduk di tepi
pembaringan. "Itu..!" Rangga menunjuk langit langit kamar yang terbuka
"Edan!" dengus Pandan Wangi "Bagaimana kalau hujan nanti?"
Rangga tak menyahuti sama sekali, seketika itu juga tubuhnya melesat ke atas.
Hanya sekejap kemudian, dia sudah kembali berbaring di tempat tidur. Pandan
Wangi mendongak sebentar. Atap kamar ini sudah tertutup rapi kembali.
"Baru saja ada tiga orang mencarimu, Kakang." kata Pandan Wangi
"Aku tahu, dan aku yang menyuruh mereka ke sini," kata Rangga kalem. Bibirnya
tetap mengulum senyum.
"Kenapa kau tidak berterus terang saja?" tanya Pandan Wangi tidak kaget lagi.
Dia memang sudah menduga
sebelumnya. "Belum saatnya," sahut Rangga kalem.
"Sekarang mereka menunggu di depan."
"Biar sajalah, aku mau tidur dulu."
Pandan Wangi mendelik melihat Rangga memunggungi-
nya. Gadis itu jadi kelabakan sendiri. Kamar ini cuma ada satu tempat tidur.
Kalau Rangga sudah tidur di situ, lalu dia mau tidur di mana..."
"Ada apa?" tanya Rangga merasakan tangan Pandan Wangi menggoyang-goyangkan
tubuhnya. "Kau tidur di bawah!" sentak Pandan Wangi mem-berengut.
"Dingin, ah! Tidur saja di sini." Rangga menepuk sebelahnya.
"Kakang!" seru Pandan Wangi gemas. Matanya mendelik lebar.
Rangga tak mempedulikan. Dia sudah mendengkur lagi.
Pandan Wangi hanya bisa menggerutu kesal. Gadis itu merasa kebingungan karena
selama ini belum pernah
sekalipun dia tidur dengan laki-laki. Sebentar dia menarik napas panjang. Rasa
kantuk semakin kuat menyerang dirinya.
"Uh! Masa bodohlah." dengusnya kesal.
Gadis itu langsung saja membaringkan tubuhnya di
samping Rangga yang memunggunginya. Dia pun memekik kaget ketika Rangga
berbalik, dan tangannya merentang di atas dada. Pandan Wangi menyentakkan tangan
Rangga. Mukanya jadi bersemu merah dadu. Dadanya mendadak
saja berdegup kencang.
Pandan Wangj memandangi Rangga yang tertidur pulas.
Sementara angin dingin menyusup masuk dari celah-celah dinding bambu. Pandan
Wangi bergidik kedinginan, dan tanpa disadarinya tubuhnya semakin merapat dengan
pemuda di sampingnya. Dengus napas pemuda itu hangat menerpa wajah yang bersemu
merah. "Kakang...," panggil Pandan Wangi lirih.
"Hmmm...," Rangga cuma bergumam tak jelas.
Pandan Wangi mendesah panjang, lalu perlahan-lahan matanya mulai terpejam. Dia
tidak peduli lagi pada tangan Rangga yang mulai nakal memeluk tubuhnya. Gadis
itu merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuhnya.
Dalam tidurnya bibirnya mengembangkan senyum ke-
damaian. *** 4 Sebuah bangunan menyerupai benteng, tampak berdiri megah di dataran sebuah
jurang yang lebar dan dalam di bagian Timur Hutan Tarik. Kayu-kayu besar berdiri
berjajar mengelilinginya. Di belakangnya tiga buah bangunan kecil dan sebuah
bangunan panjang tampak berdiri dengan
angkuhnya, seolah tengah mengawal bangunan yang
menyerupai benteng itu. Sementara puluhan orang-orang berpakaian serba hitam
terlihat pula di sekitar bangunan yang paling besar itu.
Di dalam bangunan bagian tengah itu, tampak tengah berkumpul lima orang
berpakaian serba hitam. Mereka duduk menghadapi seorang pemuda tampan yang
wajahnya diliputi kegusaran. Di sebelahnya duduk seorang wanita setengah baya
dengan raut wajah murung, namun masih terlihat garis-garis kecantikannya. Mata
pemuda itu menatap satu per satu orang-orang berpakaian serba hitam di
hadapannya. Lalu pandangannya terhenti pada wanita setengah baya di sebelahnya.
"Sebaiknya kau urungkan saja niatmu, Rakapati. Kau tidak akan berhasil menentang
ayahmu. Apalagi sekarang dia sudah meminta bantuan adiknya, Panglima Lohgender
yang bukan lawanmu," kata wanita setengah baya itu.
"Tidak, Ibu. Pantang bagi Rakapati surut sebelum mencapai cita-cita," Rakapati
tegas membantah. "Masalah Paman Lohgender, Klenting Kuning yang akan
menghadapi."
Perempuan yang duduk paling kiri, tersenyum men-
dengar namanya disebut oleh Rakapati. Wanita berbaju hitam berparas cantik itu
memandang wanita setengah baya yang duduk di samping Rakapati. Wanita itu adalah
Puspa Lukita, Ibu Rakapati yang juga selir dari Adipati Prahasta.
"Ingat, anakku. Aku hanya seorang selir dari Adipati Prahasta. Kau tidak berhak
menuntut ayahmu untuk
menyerahkan kedudukannya padamu," kata Puspa Lukita lembut.
"Apapun yang terjadi, Kadipaten Karang Asem harus jadi milikku. Akulah yang
berhak menjadi Adipati Karang Asem.
Prahasta bukan ayahku dan ibu jangan menutup mata saja dengan apa yang telah dia
lakukan. Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana dia membunuh Ayahanda Sirandana.
Menghancurkan Kerajaan Karang Asem. Dan kini dia menduduki tanah kelahiranku
sebagai Adipati. Tidak, Ibu!
Karang Asem harus kembali menjadi sebuah kerajaan, dan aku akan menghancurkan
Kerajaan Limbangan!" suara Rakapati terdengar penuh letupan dendam.
Puspa Lukita tak lagi bisa bersuara. Dia memang tak bisa menutupi kenyataan
sesungguhnya yang telah
dibeberkan oleh putranya ini. Kadipaten Karang Asem, dulunya memang sebuah
kerajaan kecil yang diperintah oleh Prabu Sirandana, ayah kandung Rakapati.
Kerajaan kecil itu hancur dan hanya dijadikan sebuah kadipaten oleh Raja
Limbangan yang memperluas wilayahnya. Dan Puspa Lukita pun bisa memahami jalan
pemikiran anaknya untuk memperoleh kembali apa yang menjadi haknya, hanya
jalan yang ditempuh Rakapati dengan mengundang tokoh-tokoh hitam rimba
persilatanlah yang membuatnya selalu gusar dan cemas.
Puspa Lukita menatap orang-orang berpakaian serba
hitam di depannya. Dia tahu siapa mereka, Klenting Kuning, Setan Cakar Racun,
Iblis Kembar Teluk Naga dan yang duduknya paling kanan adalah si Perempuan Iblis
Peminum Darah. Mereka adalah tokoh-tokoh hitam rimba persilatan.
Tokoh-tokoh sakti itu memang sengaja diundang
Rakapati untuk menggulingkan Adipati Prahasta, dan juga melatih para pemuda yang
diambil dari desa-desa di Kadipaten Karang Asem untuk memperkuat barisannya.
Pemuda-pemuda yang semula merasa diculik itu akhirnya dengan sukarela mendukung
rencana Rakapati setelah mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya. Apalagi
kepemimpinan Adipati Prahasta yang mereka rasakan
kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
"Setan Cakar Racun, laporkan apa yang kau alami semalam?" Rakapati menatap si
Setan Cakar Racun.
"Tidak ada yang perlu dilaporkan, semua berjalan aman," sahut Setan Cakar Racun.
"Klenting Kuning...?" Rakapati mengalihkan perhatiannya.
"Sesuai perintah, aku menemui Adipati Prahasta. Hanya saja ada gangguan
sedikit," sahut Klenting Kuning dengan suaranya yang lembut merayu.
"Lalu bagaimana?"
"Seperti biasa, Adipati Prahasta tetap tidak mau turun dari jabatannya "
"Hm...," Rakapati bergumam. "Kau sendiri?" Rakapati menatap Perempuan Iblis
Peminum Darah. "Gagal," sahul Perempuan Iblis Peminum Darah.
Rakapati mengerutkan keningnya.
"Aku tidak berhasil mendesak dia untuk menarik pasukan Kerajaan Limbangan dari
Kadipaten Karang
Asem. Mungkin kau sudah mendengar semuanya tadi
pagi... " "Ya, aku sudah dengar cerita kejadian di tepi Hutan Tarik. Yang aku ingin tahu,
siapa orang itu?" pelan suara Rakapati.
"Aku tidak tahu. Tapi dia mempunyai tingkat kepandaian yang sangat tinggi, mampu
melayani sepuluh orang pilihan bersenjata lengkap dengan tangan kosong. Tanpa
adanya campur tangan Arya Duta dan dua orang pemimpin
pasukan dari kadipalen pun aku rasa dia bisa
menghancurkan sepuluh orang pilihan kita," Perempuan Iblis Peminum Darah
menjelaskan. "Bagaimana ciri-cirinya?" Klenting Kuning bertanya ragu.
"Aku rasa orangnya masih muda. Dan kalau aku tidak salah, dia membawa pedang di
punggungnya," sahut Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Apakah pedang itu bergagang kepala burung?" tebak Klenting Kuning.
"Tidak salah!" seru Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Dia memakai pakaian rompi putih?" desak Klenting Kuning lagi. Dia merasa yakin
dugaannya tidak meleset.
"Iya..., iya! Dia memakai pakaian rompi putih. Rambutnya panjang terikat, hanya
wajahnya saja aku tidak bisa jelas melihatnya. Keadaan terlalu gelap, dan
kejadiannya juga sangat cepat"
Klenting Kuning tidak bertanya lagi. Dia terdiam dan hanya mendesah panjang.
Rakapati yang melihat
perubahan wajah wanita cantik itu, jadi penasaran.
"Siapa dia, Klenting Kuning?" tanya Rakapati.
"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," pelan Klenting Kuning menyahut.
Empat orang tokoh sakti lainnya diam tepekur kala
mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Mereka memang pernah mendengar
kehebatan nama itu. Dan
mereka juga tahu kalau Klenting Kuning pernah ber-
hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti di Bukit Setan.
Rakapati yang belum mengetahui dan mendengar nama
itu, sama sekali tidak terkejut. Tapi demi melihat kelima orang yang diundangnya
langsung diam tepekur, dia
seperti menangkap sesuatu yang mencemaskan. Namun
dia pun segera menyadari kalau bukanlah hal yang aneh jika Adipati Prahasta juga
meminta bantuan tokoh-tokoh persilatan seperti yang kini dia lakukan. Hal itu
memang sudah dia perhitungkan sejak semula.
"Kalau sampai Pendekar Rajawali Sakti itu membantu mereka, aku khawatir rencana
kita akan hancur.
"Tidak seorang pun yang bisa menandingi
kepandaiannya saal ini.'' Klenting Kuning kembali
mengeluarkan isi hatinya.
"Aku yakin, dia pasti memihak mereka," sergah Perempuan Ibiis Peminum Darah.
"Waktu itu aku ketemu dia di Kadipatenan. Untungnya aku masih sempat bisa
meloloskan diri, meskipun beberapa orang menjadi
korban." "Apa sebaiknya kita undang tokoh sakti yang lebih tinggi darinya, Rakapati?"
usul Naga Hitam, salah seorang dari Iblis Kembar Teluk Naga.
"Tidak perlu!" semak Klenting Kuning keras.
Semua mata langsung menatap Klenting Kuning.
"Kalian tidak perlu memikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
Aku bisa mengatasi dia!" kata Klenting Kuning tegas.
Tak ada lagi yang membuka suara. Mereka paham kalau Klenting Kuning mampu
mengatasi Pendekar Rajawali
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sakti. Mereka pernah mendengar Klenting Kuning sempat bentrok di Bukit Setan.
Dan mereka juga tahu kelebihan wanita cantik itu. Perempuan cantik berjuluk
Iblis Wajah Seribu itu memiliki aji 'Pelebur Jiwa' yang tak bisa ditandingi
siapapun. Pendekar Rajawali Sakti sendiri pernah dibuatnya tidak berdaya, untung
saja muncul si Kipas Maut, sehingga pendekar muda itu berhasil selamat.
"Yang penting sekarang, lakukan semua yang telah direncanakan Rakapati. Masalah
Pendekar Rajawali Sakti itu urusanku. Aku sendiri yang akan menanganinya nanti,
juga si Lohgender tua itu!" kata Klenting Kuning angkuh.
Kembali suasana hening tanpa suara.
"Ada lagi yang ingin dikatakan?" tanya Rakapati memecah keheningan.
"Tidak!" sahut mereka serempak.
"Kalau begitu, sebaiknya pertemuan ini disudahi."
Rakapati berdiri dan melangkah diikuti ibunya
meninggalkan ruangan tengah dari rumah besar itu.
Klenting Kuning dan keempat orang lainnya bergegas ke luar. Mereka berpencar
begitu sampai di luar pintu ruangan pertemuan ini.
*** Malam baru saja datang menjelang. Suasana di bagian
Timur Hutan Tarik nampak sepi. Beberapa orang terlihat berjaga-jaga di seputar
benteng. Sementara itu di dalam salah satu kamar yang besar dan indah dari salah
satu bangunan yang berdiri di dalam benteng, tampak sesosok tubuh ramping
tergolek di atas pembaringan. Punggungnya yang putih mulus terbuka lebar, hanya
selembar kain tipis merah muda menutupi tubuh itu dari pinggang ke bawah.
Tubuh yang ramping indah itu berbalik menghadap ke pintu kamar. Klenting Kuning,
pemilik tubuh indah Itu menatap pintu. Tangannya menarik kain untuk menutupi
tubuhnya. Matanya yang dihiasi bulu mata lentik, agak menyipit mendengar pintu
kamarnya diketuk. Ketukan yang hanya sesaat dan harus itu terdengar hampir tidak
jelas. "Masuk...!" seru Klenting Kuning lembut.
Pintu kamar terkuak, lalu muncul Rakapati yang
langsung melangkah masuk. Sebentar dia menutup pintu dan menguncinya. Lalu
kembali melangkah perlahan
mendekati Klenting Kuning yang tersenyum manis. Matanya berbinar menyambut
kedatangan pemuda tampan itu.
Rakapati duduk di tepi pembaringan.
"Kau tidak pergi bersama mereka, Klenting Kuning?"
tanya Rakapati lembut. Tangannya mengusap-usap pipi halus wanita itu.
"Untuk apa?"
Klenting Kuning beringsut bangun dan duduk.
"Klenting Kuning, ada yang ingin kutanyakan padamu."
kata Rakapati lirih.
"Kau bisa menundanya, kan?" balas Klenting Kuning manja.
"Tidak, aku harus mengatakannya sekarang."
"Baiklah, apa yang akan kau tanyakan?"
"Tentang Pendekar Rajawali Sakti itu."
Klenting Kuning menatap lurus ke bola mata Rakapati.
"Kau bisa saja mengaku mampu menghadapi dia, tapi aku menangkap nada suaramu
yang lain. Apakah tidak ada yang bisa menandinginya?" tanya Rakapati.
"Aku sendiri tidak tahu, sampai saat ini belum ada yang bisa menandinginya,"
pelan suara Klenting Kuning.
"Tapi kau tidak usah cemas, bagaimanapun digdayanya dia, pasti punya kelemahan.
Aku bisa mengetahuinya dalam waktu singkat. Percayalah."
Rakapati terdiam beberapa saat. Sejak nama Pendekar Rajawali Sakti muncul dalam
pembicaraan siang tadi, dia jadi gelisah dan gusar. Meskipun belum pernah
bertemu secara langsung, tapi dari ucapan Klenting Kuning, Rakapati sudah bisa
menilai sampai di mana tingkat kepandaian pendekar itu.
Rasa khawatir mulai menggeluti dirinya. Kalau sampai pendekar itu memihak pada
Adipati Prahasta, kesulitan besar pasti bakal dihadapinya. Perhitungannya semula
mengundang tokoh-tokoh sakti adalah untuk menghadapi Panglima Lohgender, yang
dikenal sebagai tokoh sakti rimba persilatan sebelum menjadi orang penting di
Kerajaan Limbangan.
"Ah, sudahlah. Kita bicarakan soal itu nanti, Rakapati.
Kau tentu bisa melupakannya sebentar saja, kan?" kata Klenting Kuning seraya
menarik kembali leher pemuda itu.
*** Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Panglima
Lohgender tengah membicarakan soal gerombolan
pengacau dengan Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, Arya Duta, Balungpati dan
Welut Putih. Mereka duduk melingkar menghadapi sebuah meja bundar dari kayu Jati
berukir. "Aku yakin, sarang mereka di Hutan Tarik," kata Arya Duta.
"Hutan Tarik sangat luas, keadaannya juga sulit untuk dijelajahi. Berbukit-bukit
dan banyak lembah yang dalam,"
sahut Panglima Lohgender.
"Dua kali aku bentrok dengan mereka di hutan itu, Ayah," kata Arya Duta tetap
pada pendiriannya.
"Apa kau sudah mencoba untuk mencari sarang
mereka?" tanya Panglima Lohgender.
"Sudah."
"Ketemu?"
Arya Duta menggelengkan kepalanya.
"Sebentar, apa boleh aku menyelak?" pinta Rangga.
"Silakan." sahut Panglima Lohgender.
"Tiga hari aku mengamati keadaan di Kadipaten Karang Asem ini, tapi tidak ada
tanda-tanda kekacauan, bahkan penduduk pun melakukan tugasnya seperti biasa,"
tutur Rangga. Dia sengaja tak menceritakan kalau dia sempat memergoki seseorang
berpakaian serba hitam di
Kadipaten Karang Asem ini. Dan itu tidak mungkin dia katakan.
"Memang, sekarang ini Kadipaten Karang Asem aman, penduduk tak lagi terlihat
resah." Panglima Lohgender menyahuti.
"Lalu, kekacauan apa lagi yang terjadi?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Gerombolan itu kini mengalihkan sasarannya pada para petinggi kadipaten,
terutama yang dari Kerajaan
Limbangan dulu," Panglima Lohgender menjelaskan.
"Hm, apakah tidak terpikir kalau ini pemberontakan?"
gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Pikiran itu sudah ada," Panglima Lohgender berkata pelan. "Hanya saja belum ada
ritik terang, siapa dalang dari semua ini."
"Bisa diceritakan riwayat Kadipaten Karang Asem ini?"
pinta Pandan Wangi menyelak membuka suara.
"Apa ada hubungannya?" Arya Duta bertanya. Dia kurang mengerti dengan jalan
pikiran Pandan Wangi.
"Mungkin...," sahut Pandan Wangi pelan.
"Baiklah," sergah Panglima Lohgender. "Aku akan menceritakannya sedikit."
Panglima Lohgender menceritakan tentang riwayat
Kadipaten Karang Asem ini yang dulunya merupakan satu kerajaan dengan nama
Kerajaan Karang Asem. Kerajaan Karang Asem dan Kerajaan Limbangan, dulunya
bersatu, dan terpecah setelah rajanya mangkat. Kerajaan
Limbangan tetap berdiri sebagai kerajaan besar, sedangkan Karang Asem berdiri
sebagai kerajaan kecil. Kedua kerajaan itu kembali terlibat pertikaian ketika
Kerajaan Karang Asem mencoba untuk memperluas wilayah dengan menyerobot wilayah
Kerajaan Limbangan. Namun Kerajaan Karang Asem yang lebih kecil itu akhirnya
takluk dan dijadikan sebuah kadipaten. Lalu ditunjuk Adipati Prahasta untuk
memerintah di Karang Asem menggantikan Raja
Prabu Sirandana yang tewas terbunuh dalam perang.
"Apakah Raja Limbangan dan Raja Karang Asem ada hubungan keluarga?" tanya Pandan
Wangi. "Mereka saudara satu ayah lain ibu. Prabu Wardana adalah putra mahkota dari
permaisuri, sedangkan Prabu Sirandana adalah anak dari selir."
"Saat Kerajaan Karang Asem jatuh, apakah Prabu Sirandana punya putra?" tanya
Pandan Wangi lagi.
"Ada, namanya Rakapati, dan ibunya bernama Puspa Lukita. Saat itu Rakapati masih
kecil...," sahut Panglima Lohgender.
"Hm.... ada kemungkinan Rakapati mau mengembalikan Karang Asem menjadi kerajaan
kembali," gumam Pandan Wangi seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Tidak mungkin!" tukas Balungpati menyanggah.
"Kenapa tidak...?"
"Gusti Putri Puspa Lukita kini menjadi istri Adipati Prahasta. Dan sekarang
beliau diungsikan bersama
putranya ke Desa Putu di Kadipaten Sedana," sanggah Balungpati lagi.
"Ada yang mengantar ke sana?" tanya Rangga mulai mengerti jalan pikiran Pandan
Wangi. "Lima puluh orang prajurit." sahut Welut Putih. "Dan mereka semua baru boleh
kembali kalau keadaan sudah teratasi."
"Hm..., sejak tadi aku tidak melihat Gusti Adipati. Di mana beliau?" Pandan
Wangi bertanya setengah bergumam.
"Sejak dia diserang dua kali, selalu mengurung diri di kamarnya," sahut Panglima
Lohgender. Pandan Wangi melirik Rangga. Yang dilirik pun cepat mengerti. Kemudian Rangga
bangkit berdiri diikuti Pandan Wangi. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka
berpamitan dan meninggalkan ruangan itu.
"Apa pendapatmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah mereka melewati pintu
gerbang kadipaten.
"Entahlah, aku harus menyelidikinya dulu. Ini bukan persoalan biasa," sahut
Rangga mendesah.
"Ya, jangan sampai kita salah langkah...."
*** 5 Rangga belum bisa memastikan, apakah dia akan
membantu Panglima Lohgender atau tidak. Tidak mudah menentukan pihak yang benar
dan salah dalam masalah ini. Rangga juga tidak bisa menyalahkan Rakapati
seandainya memang benar dia ingin memberontak.
Rakapati punya hak untuk mengembalikan kejayaan
Kerajaan Karang Asem. Dan Panglima Lohgender juga
punya hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup
Kadipaten Karang Asem.
Siang itu Rangga sengaja menjelajahi Hutan Tarik yang diduga menjadi markas
gerombolan pengacau menurut
Panglima Lohgender. Langkah kakinya pelan-pelan, namun matanya selalu tajam
meneliti sekitarnya. Dia juga mengerahkan Ilmu pembeda gerak dan suara.
"Hm, ada orang di tengah hutan begini. Siapa dia...?"
gumam Rangga dalam hati ketika matanya menangkap
sesosok tubuh tidak jauh darinya.
Rangga melangkah menghampiri sosok tubuh bungkuk
berbaju hitam lusuh itu. Sosok tubuh itu membelakanginya.
Sepertinya dia tengah memunguti kayu-kayu kering yang banyak berserakan di
sekitar hutan ini. Sosok tubuh itu menoleh saat mendengar langkah-langkah kaki
menghampirinya.
"Sampurasun...," sapa Rangga ramah.
"Rampes...," sahut orang itu.
Sejcnak Rangga mengamati orang itu. Seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk kurus
dengan rambut yang sudah memutih semua. Namun pancaran sinar matanya begitu
tajam. Seikat kayu kering terkepit di ketiaknya.
"Tuan pasti seorang pendekar...," laki-laki tua bungkuk itu menebak langsung.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Tuan mencari sesuatu di hutan ini?" tanyanya seperti menyelidik.
"Mungkin, Ki...," sahut Rangga terputus.
"Panggil saja aku Ki Rumpung. Orang-orang biasanya memanggilku begitu."
"Ki Rumpung pernah melihat orang-orang berpakaian hitam di sekitar hutan ini?"
tanya Rangga langsung.
"Sering, Tuan."
"Sering...?"
"Ya, mereka adalah pasukan budiman yang selalu membela rakyat jelata. Aki tidak
merasa terganggu, bahkan mereka sering menolongku mencari kayu bakar atau
memborong semua kayu bakar yang aku peroleh."
"Aki tahu siapa mereka?" kejar Rangga.
"Sudah aku katakan, mereka adalah orang-orang budiman yang suka membantu siapa
saja yang lemah."
"Maksudku, tempat tinggal mereka...," ralat Rangga.
"Untuk apa kau cari mereka" Apakah kau suruhan dari Kerajaan Limbangan?" Ki
Rumpung jadi curiga.
"Bukan, justru aku ingin lebih jelas mengetahui persoalannya sebelum memutuskan
untuk berpihak pada yang mana, atau sama sekali tidak memihak keduanya,"
Rangga menjelaskan.
"Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti."
"Dari mana kau tahu, Ki?"
"Semua orang sudah tahu, kalau Panglima Lohgender sedang mencari Pendekar
Rajawali Sakti untuk meminta bantuan. Hm..., sayang sekali kau berada di pihak
yang salah."
Rangga memandangi kakek tua itu semakin tajam.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Rumpung segera berlalu.
Rangga sedikit berkerut keningnya begitu melihat laki-laki tua itu berjalan
seperti tidak menapak tanah saja.
"Hey...!" tiba-tiba Rangga tersentak.
Secepat kilat dia melompat, tapi saat itu juga tubuh laki-laki tua itu sudah
lenyap seperti ditelan bumi. Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia
baru menyadari kalau kulit tangan kakek tua itu putih halus seperti tangan seorang
wanita, meskipun wajahnya penuh keriput. Dan suaranya....
"Aku seperti pernah mendengar suara itu. Tapi di mana..." Kapan aku
mendengar...?" Rangga bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melanjutkan
langkahnya pelan-pelan sambil berpikir terus tentang kakek tua yang ditemuinya
tadi. Kata-kata laki-laki tua itu menjadikan beban pikirannya saat ini.
"Pasti dia bukan orang sembarangan. Hm..., siapa dia...?" gumam Rangga dalam
hati bertanya-tanya.
*** Rangga kembali berhenti melangkah ketika sampai di
tepi Hutan Tarik ini. Telinganya yang tajam setajam mata pisau, mendengar suara
erangan lirih dari arah semak di depannya. Hanya dengan satu lompatan saja,
Rangga sudah bisa mencapai semak belukar itu. Matanya membeliak lebar begitu
menyaksikan seorang laki-laki berpakaian prajurit Kerajaan Limbangan tengah
berusaha memperkosa seorang wanita.
"Binatang!" geram Rangga.
Buk! Hanya sekali tendang saja, laki-laki berpakaian prajurit itu, langsung
menggelimpang roboh tak bangun lagi. Dari mulutnya merembes darah kental
kehitaman. Wanita muda dengan pakaian sudah sobek-sobek di sana sini, langsung
beringsut bangun. Tangannya segera menutupi bagian dada dan beberapa bagian
tubuhnya yang terbuka, tapi keadaan kain dan baju yang koyak, tidak bisa
menyembunyikan kulit putih mulus dari pandangan Rangga.
"Kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga.
"Tidak, terima kasih Tuan telah menyelamatkanku,"
sahut wanita itu seraya menyusut air matanya.
"Kenapa kau bisa sampai ke sini?" tanya Rangga melirik tubuh laki-laki
berpakaian prajurit yang menggeletak tak bernyawa lagi.
Rupanya Rangga tadi menendang dengan mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sehingga membuat laki-laki itu
langsung tewas tanpa bersuara lagi.
"Aku sedang mencari Ayahku. Katanya prajurit itu tahu dan mau mengantarkan.
Tapi...," wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, kau sudah selamat sekarang. Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana
rumahmu?" "Tidak jauh dari sini. Itu dekat bukit batu," wanita itu menunjuk ke arah
Selatan. Rangga mengarahkan pandangannya ke arah bukit batu yang tidak jauh dari tepi
Hutan Tarik ini. Tampak sebuah pondok kecil berdiri di antara batu-batu yang
menggunung. Sejak dia berada di sekitar Hutan Tarik ini, sepertinya tidak ada satu rumah pun
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bukit batu itu. Bahkan ketika dia ke sini tadi pagi, tidak ada pondok di
situ. Belum sempat Rangga menyadari apa yang terjadi,
mendadak dia menoleh menatap wanita itu. Wanita cantik yang hampir diperkosa
itu, melingkarkan tangannya pada Rangga. Tidak ada rasa ketakutan lagi.
Senyumnya malah mengembang lebar, dan sikapnya manja menggoda.
Rangga melepaskan tangan wanita itu yang memegangi lengannya. Dia melangkah
mundur beberapa tindak.
"Kau telah menyelamatkan aku, Tuan. Sekarang aku milikmu, kau bisa berbuat apa
saja pada diriku," kata wanita itu.
Rangga memandangi wanita itu dengan penuh selidik.
Hari ini dia menemukan orang-orang yang dirasakan aneh.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terlonjak mundur begitu matanya melihat
satu noda hitam pada leher wanita itu. Dia pernah melihat noda itu sebelumnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga. Wanita itu tersenyum manis. Mendadak saja
tubuhnya berputar
cepat. Semakin lama putarannya semakin cepat, dan
terlihat hanya sebuah bayangan saja.
"Iblis Wajah Seribu...." desis Rangga begitu putaran tubuh itu terhenti.
Kini di depan Rangga berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju serba kuning.
Wajahnya cantik dengan sekuntum bunga terselip di telinga. Rambutnya panjang
terikat ke depan. Di pinggangnya terselip sebatang pedang pendek bergagang
kepala tengkorak. Dialah Klenting Kuning atau yang lebih dikenal dengan julukan
Iblis Wajah Seribu.
"Hebat! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti," puji Klenting
Kuning mengumbar senyum.
"Untuk apa kau berada di sini, Klenting Kuning?" tanya Rangga ketus.
"Kau sudah bisa menjawab sendiri, Rangga," sahut Klenting Kuning kalem.
"O..., jadi kekacauan di Kadipaten Karang Asem, karena ulahmu...?"
"Aku hanya membela kebenaran."
"Kau bicara kebenaran, kebenaran apa yang kau bela?"
"Hak!"
Tanpa dijelaskan lagi, Rangga sudah bisa mengetahui maksud kata-kata Klenting
Kuning. Dia kini mengerti kejadian di Kadipaten Karang Asem. Dugaannya sudah
tidak bisa dibantah lagi. Rangga bisa memastikan kalau Rakapati yang ada di
belakang semua peristiwa itu. Dan alasannya pun sudah pasti, Rakapati ingin
merebut kembali Karang Asem, dan mendirikan Kerajaan Karang Asem. Sayangnya, maksud baik
itu ditunggangi oieh tokoh-tokoh hitam rimba persilatan, seperti Klenting Kuning
ini. "Kau seorang pendekar yang tangguh dan bijaksana.
Pikirkanlah sebelum kau mengambil keputusan membantu Panglima Lohgender!" kata
Klenting Kuning.
Sebelum Rangga bisa mengeluarkan suara, Klenting
Kuning sudah mencelat pergi. Dalam sekejap mata saja, wanita yang berjuluk Iblis
Wajah Seribu itu sudah hilang dari pandangan. Beberapa saat lamanya Rangga masih
berdiri mematung memandangi kepergian wanita itu.
Kemudian kakinya terayun melangkah menuju ke
Kadipaten Karang Asem.
Posisi Pendekar Rajawali Sakti kali ini memang sulit. Dia belum bisa memastikan
siapa di antara kedua belah pihak yang bersalah" Hanya Rangga menyesalkan
tindakan Rakapati yang bersekutu dengan tokoh-tokoh rimba
persilatan golongan hitam. Pendekar Rajawali Sakti itu terus melangkah pelan-
pelan dengan kepala dipenuhi berbagai macam pikiran.
*** Dua bayangan berkelebatan di keheningan malam
menuju ke arah Timur Hutan Tarik. Tepat di tepi sebuah lembah yang dalam dan
lebar, dua sosok tubuh yang berkelebatan itu berhenti. Mereka berdiri tegak
memandang ke dalam lembah itu. Tampak sebuah bangunan besar dikelilingi pagar
tinggi tebal bagal benteng.
"Kau yakin itu sarang mereka, Pandan?"
"Ya, begitulah keterangan yang aku dapatkan?"
Dua orang yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu terdiam
sesaat. Mata mereka tak lepas memandang ke arah lembah itu.
"Hm..., seperti sarang gerombolan perampok," gumam Rangga setengah berbisik.
"Pantas saja sulit ditemukan."
Rangga lalu memandangi keadaan sekitarnya. Daerah di bagian Timur Hutan Tarik
ini memang sulit dicapai.
Benteng itu dikelilingi oleh lembah besar dan dalam dengan bukit-bukit terjal
dan berbatu. Tak satupun terlihat ada jembatan atau jalan menuju ke lembah itu.
"Dari mana kau peroleh keterangan itu, Pandan?" tanya Rangga.
"Seseorang yang patut dipercaya," sahut Pandan Wangi.
Rangga menatap gadis di sampingnya.
"Dia mengatakan kalau Rakapati menyusun kekuatan untuk memberontak, bahkan dia
ingin membalas dendam pada Adipati Prahasta yang telah membunuh ayah
kandungnya," lanjut Pandan Wangi tidak mempedulikan tatapan Rangga.
"Hm..., jadi benar Rakapati ingin mengembalikan Karang Asem menjadi sebuah
kerajaan," gumam Rangga.
"Ya."
"Kalau begitu permasalahannya, kita tidak perlu ikut campur dalam masalah ini.
Aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang salah," kata Rangga.
"Lalu, bagaimana dengan permintaan Panglima
Lohgender?" tanya Pandan Wangi tersenyum tipis.
"Aku yang akan mengatakannya nanti, aku harap dia mau mengerti," sahut Rangga.
Pandan Wangi semakin lebar senyumnya. Dia tidak
menyadari kalau Rangga memperhatikannya sejak tadi.
Senyum Pandan Wangi langsung hilang ketika mereka
mendengar suara gemerisik di belakang.
Belum lagi mereka dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba dari balik semak dan
pepohonan bermunculan tubuh-tubuh terbalut kain hitam. Jumlah mereka tidak
kurang dari dua puluh orang. Semuanya menghunus senjata berupa golok panjang
yang besar dan berkilat. Tanpa bicara apa pun, mereka langsung menyerang.
"Hati-hati, Pandan...!" seru Rangga seraya melenting menghindari tebasan golok
orang berbaju hitam itu.
Tidak kurang dari sepuluh orang langsung mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga tidak sempat lagi memperhatikan Pandan Wangi. Dia sibuk menghindar
setiap serangan yang datang bagai hujan. Silih berganti tanpa henti, seakan-akan
tidak memberikan kesempatan padanya untuk membalas.
"Sial! Aku harus menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'!" dengus
Rangga dalam hati.
Seketika itu juga Rangga mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya segera ter-bentang lebar ke samping.
Saat itu juga dia bergerak cepat mengibas-ngibaskan kedua tangannya bagai sayap
seekor burung rajawali.
"Aaakh...!"
Satu jeritan melengking terdengar ketika tangan Rangga menghajar kepala
penyerangnya. Belum lagi hilang suara jeritan itu, datang tagi jeritan lainnya,
disusul rubuhnya sesosok tubuh hitam dengan kepala pecah.
"Heh! Di mana Pandan..."!" Rangga tersentak kaget ketika dia sempat melirik ke
arah Pandan Wangi tadi berada.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak lagi melihat Pandan Wangi. Bahkan ketika dia
berhasil menjatuhkan satu lawan lagi, terdengar suara siulan panjang melengking
tinggi. Seketika itu juga orang-orang berpakaian hitam yang mengeroyoknya langsung
berlompatan, lenyap di balik kegelapan dan kelebatan hutan ini.
"Pandan...!" teriak Rangga keras.
Tak ada sahutan sama sekali, hanya gema suaranya
saja yang kembali terdengar memantul. Rangga mengedarkan pandangannya
berkeliling. Suasana di sekitar tempat ini sunyi sepi. Tak seorangpun terlihat.
Hanya tiga sosok mayat saja yang menggeletak dekat kakinya.
"Aneh...," desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak jadi melangkah.
Telinganya yang tajam langsung mendengar suara langkah-langkah kaki yang
mengusik semak dan daun-daun kering.
Rangga langsung bersiaga menghadapi segala kemung-
kinan. "Oh...!"
*** "Kebetulan sekali bertemu di sini," kata Arya Duta yang datang bersama dengan
Balungpati dan Welut Putih.
Rangga tidak mempedulikan kata-kata Arya Duta.
Pandangannya lurus menatap Pandan Wangi yang datang bersama ketiga laki-laki
itu. Baru saja Pandan Wangi bersamanya, dan hilang ketika dia dikeroyok sepuluh
orang berpakaian hitam. Kini gadis itu datang bersama Arya Duta dan kedua
pendampingnya dari Kadipaten Karang Asem.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi jengah.
"Oh, tidak..," Rangga langsung mengalihkan perhatiannya pada Arya Duta.
"Sejak pagi tadi kau tidak kelihatan, Pendekar Rajawali Sakti. Nini Pandan Wangi
cemas, dan memintaku untuk mencarimu," kata Arya Duta.
"Hm...." Rangga hanya bergumam tak jelas.
"Kebetulan ada seseorang yang melihatmu di hutan ini, dan kami langsung
mencarimu ke sini," sambung Balungpati.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Rangga.
"Kami mendengar suara pertarungan tadi," Arya Duta melirik tiga mayat di dekat
kaki Rangga. Rangga memandang tiga sosok mayat itu sejenak, lalu perhatiannya mengarah pada
lembah, di mana berdiri sebuah bangunan besar bagai benteng. Arya Duta,
Balungpati, Welut Putih dan Pandan Wangi juga meng-arahkan pandangan yang sama.
Sesaat kemudian mereka saling berpandangan.
"Apakah itu sarang gerombolan pengacau?" tanya Arya Duta.
"Mungkin," sahut Rangga pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Hal ini harus segera dilaporkan pada Panglima Lohgender," sambung Balungpati.
"Benar, Ayahanda Lohgender memang sedang me-
nunggumu juga, Tuan Pendekar," kata Arya Duta.
Rangga tidak menyahuti. Ia masih disibukkan dengan kejadian-kejadian yang
dialaminya sejak pagi sampai malam ini. Kemunculan Iblis Wajah Seribu memang
bisa memusingkan kepala. Wanita cantik yang sebenarnya bernama Klenting Kuning
itu bisa merubah-rubah wajah-nya.
Barusan saja Rangga kembali terkecoh, dan terjebak sampai ke sini. Dia yakin
kalau yang bersamanya tadi adalah si Iblis Wajah Seribu yang menyamar jadi
Pandan Wangi. Rangga melangkah tanpa bicara lagi. Tangannya sempat menarik
tangan Pandan Wangi. Sementara Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih mengiringi
di belakang. "Kau ada di penginapan sore tadi, Pandan?" tanya Rangga setengah berbisik.
"Tidak, aku ada di Kadipaten Karang Asem bersama Panglima Lohgender," sahut
Pandan Wangi. Rangga terdiam, tidak bertanya lagi. Jelas sudah kalau yang ditemuinya di
penginapan tadi sore bukanlah Pandan Wangi, melainkan si Iblis Wajah Seribu. Dan
yang meng-ajaknya kembali ke hutan ini sudah tentu si wanita iblis itu.
Rangga mengumpat dalam hati karena tidak bisa mem-
bedakan, dan selalu terkecoh dengan penyamaran
Klenting Kuning yang begitu sempurna.
"Hm..., aku tidak boleh lengah. Aku harus
memperhatikan leher setiap orang," gumam Rangga dalam hati.
Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau noda
pada leher Klenting Kuning tidak bisa hilang, meskipun dia bisa merubah wajah
seribu kali. Tanda itulah satu-satunya yang menjadi patokan Rangga. Tapi memang
sulit, karena noda itu letaknya agak tersembunyi, dan bisa ditutupi dengan
rambut. *** Panglima Lohgender menyambut kedatangan Rangga
dan Pandan Wangi yang diiringi oleh Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih di
depan pintu benteng penjara yang tinggi dan kokoh. Mereka kemudian masuk ke
salah satu ruangan pengap yang hanya diterangi sebuah pelita kecil.
Cuma Arya Duta yang ikut masuk, sedangkan Balungpati dan Welut Putih berjaga di
depan pintu yang tertutup rapat.
Pandan Wangi menyipitkan matanya ketika seorang
lelaki muda yang tangan dan kakinya terikat rantai besi di dinding ruangan.
Keadaannya tampak begitu payah,
seluruh tubuhnya jelas menampakkan luka bekas
cambukan pecut yang menggaris merah. Darah kering
menutupi hampir seluruh tubuhnya yang biru lebam.
Gadis itu bergidik merasa ngeri begitu menyadari
mereka tengah berada di ruang penyiksaan. Dinding-
dinding batu dipenuhi dengan rantai rantai yang bergayut dan darah kering yang
mengotori. Di salah satu sudut, tampak sebuah lubang besar dengan sebuah tiang
ber-bentuk palang pintu di atasnya. Seuntai tambang men-juntai melintang di
palang tiang. Pandan Wangi tak kuasa lama memandangi lubang besar yang penuh
ular berbisa. Meskipun dia seorang gadis pendekar, tapi ngeri juga melihat berbagai macam alat
penyiksaan itu. Pandan Wangi langsung mengalihkan perhatiannya, dia tidak tega
melihat sesosok tubuh tergantung yang sudah tidak utuh lagi, habis sudah
disantap ular-ular lapar.
"Kakang...," bisik Pandan Wangi. Tangannya memeluk tangan kanan Rangga tanpa
disadari. "Ada keperluan apa Tuan Panglima memanggilku?"
tanya Rangga setelah berbisik pada Pandan Wangi agar tenang.
"Lihat orang itu, Kisanak. Dialah salah seorang pengacau yang membuat resah
Kadipaten Karang Asem,"
Panglima Lohgender menunjuk orang yang terikat di
dinding. Rangga tak bergeming untuk melihatnya. Matanya tetap tertuju pada Panglima
Lohgender yang didampingi Arya Duta
"Orang itu sudah mengakui semuanya, bahwa
gerombolan mereka adalah gerombolan perampok yang
terdiri dari orang-orang rimba persilatan yang sangat tinggi ilmunya. Dan yang
terpenting lagi, sarang mereka ada di Hutan Tarik," Panglima Lohgender
menjelaskan. Nada suaranya terdengar bangga.
"Lalu, apa maksud Tuan Panglima mengundangku ke sini?" tanya Rangga.
"Aku ingin meminta kesediaanmu menumpas
gerombolan pengacau itu. Kau seorang pendekar pilih tanding yang sulit dicari
bandingannya."
"Tuan Panglima percaya dengan keterangan itu?"
Pandan Wangi ikut bertanya.
"Dia memberikan pengakuan setelah merasakan pedih-nya penyiksaan," sahut
Panglima Lohgender.
"Apakah dia penduduk Kadipaten Karang Asem?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia salah satu dari pengacau-pengacau itu. Dia
tertangkap saat hendak membunuh seorang bendahara kadipaten. Hm..., untung Arya
Duta cepat mengetahui dan berhasil menangkapnya hidup-hidup,
meski sayang, dua orang lainnya tewas."
"Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi meminta
pendapat. "Sebaiknya Paman Balungpati diminta mengenali orang ini. Dia kan penduduk asli
dari Karang Asem ini, paling tidak dia bisa memastikan apakah orang itu penduduk
Karang Asem atau bukan," kata Rangga tanpa mempedulikan pertanyaan Pandan Wangi.
"Balungpati...!" teriak Panglima Lohgender.
Yang dipanggil segera masuk.
"Kau kenal dengan orang ini?" Panglima Lohgender mengangkat muka orang yang
terikat rantai itu dengan ujung tongkatnya.
"Akh...!" Balungpati nampak terkejut. Wajahnya seketika memucat. Matanya tak
berkedip menatap orang yang
berwajah biru lebam di depannya.
"Kau kenal dia, Balungpati?" desak Panglima Lohgender.
"Dia..., dia...," Balungpati seperti tercekat suaranya di tenggorokan.
"Siapa dia. Balungpati?"
"Dia Karman, Gusti Panglima. Salah seorang prajurit Kadipaten Karang Asem yang
ditugaskan mengawal Gusti Ayu Puspa Lukita dan Gusti Rakapati ke Kadipaten
Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedana," suara Balungpati terdengar gagap.
"Lihat sekali lagi, Paman. Mungkin Paman salah lihat."
kata Arya Duta tidak percaya.
"Benar, Gusti. Dia Karman Prajurit kadipaten ini," sahut Balungpati yakin.
"Baiklah, Balungpati. Kau boleh ke luar," desah Panglima Lohgender.
Balungpati memberi hormat, lalu berbalik dan me-
langkah ke luar. Pintu segera ditutup kembali oleh Arya Duta. Raut wajah
Panglima Lohgender berubah begitu mendengar penuturan Balungpati. Sama sekali
dia tidak menduga kalau orang yang telah disiksanya itu salah seorang prajurit
pengawal yang ditugaskan ke Kadipaten Sedana.
Panglima Lohgender lalu teringat pembicaraannya
dengan Pendekar Rajawali Sakti di balai agung kadipaten.
Dia terpaksa mengakui dugaan pendekar itu yang semula tak ditanggapinya dengan
serius. Dia memang tak
mengenali satu per satu prajurit kadipaten yang merupakan salah satu kadipaten
dari Kerajaan Limbangan.
"Arya Duta, siapkan seluruh prajurit. Berangkat malam ini juga ke Hutan Tarik!"
perintah Panglima Lohgender.
"Tunggu dulu!" cegah Rangga sebelum Arya Duta sempat melangkah.
Panglima Lohgender dan Arya Duta memandang
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Apakah Tuan Panglima yakin kalau mereka ada di hutan itu?" tanya Rangga.
"Telik sandi yang kusebar ke sana sudah mengetahui letak sarang mereka dengan
pasti. Dan aku sudah mendapat laporannya sore tadi," sahut Panglima Lohgender.
Rangga yang mulutnya sudah terbuka hendak berucap
lagi, jadi mendengus karena Panglima Lohgender sudah memerintahkan Arya Duta
untuk segera melakukan
perintahnya. Arya Duta segera berlalu. Panglima Lohgender memandang ke arah
Rangga dan Pandan Wangi sesaat,
lalu beranjak ke luar dari ruangan pengap ini.
Rangga langsung menarik tangan Pendan Wangi ke luar dari ruangan pengap berbau
tidak sedap itu. Mereka sejenak berdiri di depan pintu memandang kepergian empat
ekor kuda yang dipacu cepat menuju kembali ke kadipatenan. Saat kedua pendekar
itu hendak melangkah pergi, tiba-tiba salah seekor kuda itu berbalik dan
menghampiri dengan cepat. Welut Putih langsung melompat turun begitu sampai di
depan kedua pendekar itu.
"Gusti Panglima meminta Tuan dan Nini Pendekar mau ikut serta ke Hutan Tarik,"
kata Welut Putih.
"Baiklah, aku menyusul nanti." sahut Rangga.
"Akan kusampaikan."
Welut Putih langsung melompat naik kembali ke
punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda itu.
Bagai anak panah lepas dari busur, kuda itu melesat cepat meninggalkan Rangga
dan Pandan Wangi. Saat itu dua orang prajurit kadipaten datang, dan langsung
berjaga-jaga di depan pintu penjara.
"Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga Tanpa banyak bicara lagi, Rangga dan
Pandan Wangi mencelat cepat.
Dalam sekejap saja hilang dari pandangan mata.
"Edan! Orang apa dewa...?" dengus salah seorang penjaga.
"Tolol! Namanya juga pendekar!" sergah seorang penjaga lainnya.
"Hebat, ya..."!"
*** Hutan Tarik yang semula sunyi senyap, kini tampak
dipenuhi ratusan prajurit yang mengepung lembah yang mengelilingi benteng kokoh
di seberangnya. Beberapa prajurit terlihat sibuk membuat jembatan dari bambu
yang disambung-sambung sampai menjangkau seberang
lembah sana. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya menyaksi-
kan saja. Rangga melihat benteng itu sama persis dengan yang pernah dilihatnya
di sebelah Timur Hutan Tarik ini, hanya bedanya, yang sekarang berada di sebelah
Barat hutan ini. Dan letak benteng itu juga ada di seberang lembah, bukannya
berada di dasar lembah.
Sementara itu sepuluh jembatan bambu sudah hampir
terpasang. Dan kelihatannya cukup kuat untuk dilintasi dua puluh orang prajurit
sekaligus. Panglima Lohgender yang didampingi Arya Duta, Balungpati dan Welut
Putih, tampak berdiri tegap memandang ke arah benteng di seberang sana.
"Kau lihat ada perbedaan pada benteng itu, Pandan?"
tanya Rangga. "Ya," sahut Pandan Wangi. "Tidak seperti kemarin malam."
"Aku tidak tahu, benteng mana yang asli," gumam Rangga.
"Serang...!" tiba-tiba terdengar perintah teriakan lantang dari Panglima
Lohgender. Pekik peperangan langsung menggema, disusul dengan berlariannya para prajurit
melintasi jembatan bambu yang bergoyang goyang. Pasukan panah juga langsung
beraksi memuntahkan anak-anak panah menghujani benteng itu.
Arya Duta melenting tinggi bagai burung melompati
lembah, lalu dengan manis mendarat di seberang.
Kemudian tubuhnya kembali melenting melewati pagar benteng. Tak lama kemudian
dia keluar sambil melentingkan tubuhnya menyeberangi lembah. Dia langsung
mendarat tepat di depan Panglima Lohgender.
"Kosong! Benteng itu kosong!" seru Arya Duta melaporkan.
"Apa ..."!"Panglima Lohgender tampak kaget tak percaya.
"Benteng itu kosong," Arya Duta mengulangi.
"Berhenti...!" teriak Panglima Lohgender seketika.
Seketika itu juga semua prajurit menghentikan aksinya.
Sebagian lagi prajurit ke luar dari dalam benteng. Mereka langsung kembali
menyeberangi lembah itu.
"Setan!" geram Panglima Lohgender.
Wajah panglima itu merah padam. Gerahamnya ber-
gemeletuk menahan geram. Dia merasa dirinya tengah di-permainkan mentah-mentah.
Sementara semua prajurit sudah kembali dari seberang lembah. Mereka menunggu
perintah selanjutnya.
"Balungpati, Welut Putih!"
"Hamba, Gusti," sahut Balungpati dan Welut Putih berbarengan.
"Bawa separuh prajurit ke kadipaten!" perintah Panglima Lohgender.
"Hamba laksanakan segera, Gusti Panglima."
Balungpati dan Welut Putih langsung menjalankan
perintah itu. Mereka membawa tidak kurang dari tiga ratus orang prajurit untuk
kembali ke Kadipaten Karang Asem.
"Arya Duta!"
"Ya, Ayahanda."
"Bawa seratus prajurit, geledah seluruh hutan ini!"
Arya Duta juga tidak membantah. Dia segera membawa seratus orang prajurit
pilihan untuk menggeledah hutan ini.
Panglima Lohgender menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi yang
masih tetap berdiri tak bergeming dari tempatnya. Wajah Panglima itu kelihatan
tegang dan menahan geram yang amat sangat.
"Sebaiknya Panglima kembali ke kadipaten," kata Rangga mendahului sebelum
Panglima Lohgender
membuka suara. "Hm...," Panglima Lohgender hanya bergumam.
"Benar, Panglima. Aku merasa mereka sengaja mendahului dan merebut Kadipaten
Karang Asem di saat
kosong," sambung Pandan Wangi.
"Pasti ada orang yang berkhianat!" dengus Panglima Lohgender geram.
"Ayo, Pandan. Kita pergi sekarang," ajak Rangga Pandan Wangi menurut saja.
Mereka langsung
melompat dan lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Panglima Lohgender segera memerintahkan sisa pasukannya untuk kembali ke
Kadipaten Karang Asem. Kata-kata kedua pendekar itu menjadi pertimbangannya
juga. Memang ada kemungkinan para gerombolan pengacau itu mendahului di saat seluruh
pasukan berada di Hutan Tarik.
6 Rangga tidak langsung kembali ke Kadipaten Karang
Asem. Dia mengajak Pandan Wangi untuk melihat benteng yang sama persis di
sebelah Timur Hutan Tarik ini. Keadaan hutan yang banyak lembah dan bukitnya
memang sulit untuk dikenali bagian-bagiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu
tertegun sejenak memandang ke dasar lembah di
depannya. Tampak benteng yang kemarin malam dia lihat, kini
sudah jadi puing-pulng. Asap tipis masih mengepul dari bara api. Seluruh
bangunan benteng itu hangus terbakar.
Tapi anehnya, tidak ada satu mayat pun yang kelihatan.
Rangga memandang Pandan Wangi yang berdiri di
sebelahnya. Gadis itu juga memandang padanya.
"Mereka pasti sudah ada di Kadipaten Karang Asem sekarang," kata Pandan Wangi.
"Hebat! Ini pasti pekerjaan Iblis Wajah Seribu," gumam Rangga memuji.
"lblis Wajah Seribu..."!" Pandan Wangi mendelik kaget.
"Ya. beberapa kali aku sempat terkecoh. Kemarin malam pun aku dikecoh hingga
sampai ke sini," Rangga mengakui.
"Jadi...!?"
"Dia menyamar jadi dirimu."
"Iblis!" geram Pandan Wangi.
Sesaat mereka diam merenung.
"Aku harus membunuh perempuan iblis itu, Kakang!"
tekad Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia tidak mengecilkan kepandaian Pandan Wangi. Tapi
Iblis Wajah Seribu bukanlah tandingan gadis itu. Selain bisa merubah wajahnya,
Iblis Wajah Seribu juga sangat tinggi tingkat kepandaiannya.
"Ayo, Kakang. Kita harus segera ke Kadipaten Karang Asem!" ajak Pandan Wangi.
"Tunggu..!" sentak Rangga tiba-tiba.
Pada saat itu, muncul Arya Duta dengan tergopoh-
gopoh. Pakaiannya compang camping. Pemuda itu
langsung terjatuh begitu sampai di depan Rangga dan Pandan Wangi. Rangga segera
membantu Arya Duta
berdiri. "Ada apa?" tanya Rangga.
"Tolong, pasukanku habis terbantai di tepi hutan..,"
sahut Arya Duta tersendat-sendat.
Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi. Tanpa bicara
lagi, gadis itu segera melompat cepat meninggalkan kedua pemuda itu. Rangga
langsung mengikuti. Tapi....
"Pandan, tunggu!" teriak Rangga keras.
Pandan Wangi langsung menghentikan larinya.
"Cepat kembali!" seru Rangga.
Secepat kilat, Rangga melompat ke tepi lembah di
sebelah Timur Hutan Tarik. Pandan Wangi yang sempat kebingungan, langsung
mengikuti. Mereka terperanjat, karena Arya Duta yang ditinggalkan, kini sudah
tidak ada lagi. Sesaat mereka berpandangan.
"Sial! Iblis itu mengecohkan kita!" umpat Rangga.
Pandan Wangi menatap Rangga lekat-lekat.
"Ayo, kita langsung ke kadipaten. Dia pasti sengaja mau menghambat perjalanan
kita!" kata Rangga.
Kedua pendekar itu segera melompat dengan mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekejap saja tubuh mereka sudah lenyap
seperti ditelan bumi. Sementara itu dari balik pohon besar, muncul seorang
wanita cantik dengan mengenakan baju kuning. Di tangannya tergenggam selembar
pakaian lusuh compang-camping.
Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu melenting ke arah mana kedua pendekar itu
pergi. *** Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Rakapati
berhasil melumpuhkan pertahanan kadipaten, termasuk Braja Duta yang tewas
setelah cukup lama bertahan menghadapi pasukan kepercayaan Rakapati.
Setelah itu Rakapati menerobos masuk ke dalam
bangunan utama kadipaten. Wajahnya menegang begitu pintu sebuah kamar berhasil
Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung 1 Pendekar Sakti Welas Asih Jin Sin Taihiap Karya Rajakelana Medali Wasiat 13