Kaum Pemuja Setan 3
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan Bagian 3
memeluk lututnya. Rangga hanya tersenyum saja. Untuk ke sekian
kali, Pendekar Rajawali Sakti itu memuji daya
tangkap Ayu Nerang. Gadis ini memang cerdas, dan selalu bisa tepat menebak
perasaan orang lain.
"Kakang pasti masih penasaran, mengapa aku
tidak mau kembali ke istana. Iya, kan?" lagi-lagi Ayu Nerang menebak tepat
Agak terkejut juga Rangga akan tebakan yang
begitu tepat tak meleset sedikit pun. Hatinya
memang masih penasaran dengan sikap gadis itu.
Dan belum juga dikemukakan, Ayu Nerang sudah
menebaknya dengan tepat sekali. Sepertinya dia
bisa membaca jalan pikiran orang lain saja.
"Aku tahu kalau Kakang banyak berdusta
padaku, tapi aku juga tahu kalau Kakang bukan
orang jahat seperti mereka," tegas Ayu Nerang lagi.
"Siapa mereka?" tanya Rangga agak terkejut
"Banyak," sahut Ayu Nerang.
"Mereka yang menyekapmu di dalam jurang?"
tebak Rangga. "Justru mereka tidak jahat, Kakang. Mereka
sangat baik, bahkan memanggilku Gusti Ratu. Tapi aku tidak suka, karena aku
tidak diijinkan keluar dari dalam gua," agak memberengut wajah Ayu Nerang.
Rangga menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Tentu saja Dewi
Kalang Mayat tidak mengijinkan Ayu Nerang
keluar, karena gadis kecil ini dianggap sebagai
utusan Dewa Agung yang hendak dijadikan ratu di
Lereng Gunung Antang. Ratu bagi seluruh Kaum
Pemuja Setan di seluruh muka bumi ini. Dan yang
pasti, Ayu Nerang tidak mengerti. Rangga juga
tidak ingin memberitahukannya.
"Lalu siapa yang kau maksud, Ayu?" tanya Rang?ga.
"Paman Cakraningrat. Mereka semua jahat
karena menjebloskan Ayah ke dalam penjara!" tajam nada suara Ayu Nerang.
"Ayu..., jadi Prabu Cakraningrat itu bukan
ayahmu?" lagi lagi Rangga dibuat terkejut mendengar kata-kata gadis kecil ini Sungguh, tidak disangka kalau Prabu
Cakraningrat bukan ayah
gadis ini. "Kakang tadi mengaku sebagai teman baik
Paman Kumbayana. Tapi sekarang mengapa tidak
tahu kalau Paman Cakraningrat bukan ayahku?"
agak sinis juga nada suara Ayu Nerang. "Kakang pasti berdusta. Kakang tidak
kenal Paman Parih
Kumbayana. Iya, kan?"
Rangga tidak bisa lagi mengelak, dan hanya
menganggukkan kepalanya saja. Dalam
hati, Pendekar Rajawali Sakti itu benar-benar mengagumi Ayu Nerang yang memiliki daya
tangkap luar biasa, melebihi gadis-gadis seusianya. Kata-kata yang
meluncur dari bibirnya yang mungil begitu lancar, seolah-olah
sudah dipikirkan masak-masak sebelumnya. "Kenapa Kakang mendustaiku" Kenapa tidak
terus terang saja?" ucapan Ayu Nerang seperti bernada menyesali atas dusta yang
dibuat Rangga. "Maaf, Ayu. Aku terlalu menganggapmu enteng.
Temyata kau bukan gadis kecil yang manja dan
cengeng," Rangga mengakui dan menyesal.
"Sejak Kakang menolongku keluar dari dalam
jurang, sudah kuduga kalau Kakang orang baik."
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kakang pasti bukan orang dari Kerajaan
Banyudana. Mengapa Kakang menolong orang
jahat" Untuk apa Kakang mencariku" Apakah
Paman Cakraningrat memberi uang banyak?" Ayu Nerang
memberondong dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Yang mana harus kujawab lebih dulu?" Rangga tersenyum berolok.
'Terserah!" sahut Ayu Nerang tidak tersenyum sedikit pun.
"Baiklah. Pertama, aku tidak pemah membantu orang jahat Kedua, aku mencarimu
karena iba melihat ibumu terus menangis, dan ayahmu
memintaku untuk mencari dan membawamu pulang.
Entah mengapa, aku sendiri tidak tahu kalau
ayahmu memintaku begitu. Dan yang ketiga, setiap yang kulakukan tidak
berdasarkan imbalan apa pun.
Apa lagi mengharapkan hadiah berupa harta.
Cukup jelas...?" jelas Rangga sambil mengulum senyum. Sungguh mati, dia tidak
ta?hu lagi harus berbuat bagaimana menghadapi gadis ini. Tapi yang jelas, Rangga
kini memandang Ayu Nerang sebagai
gadis yang berpikiran dewasa, meskipun usianya
baru sekitar dua belas tahun.
"Asal tahu saja, apa yang Kakang lakukan
padaku adalah salah!" tegas kata-kata Ayu Nerang.
"Oh..."!" Rangga mengerutkan keningnya.
"Orang yang Kakang tolong adalah pemimpin
pemberontak. Dan gerombolan yang hendak
menangkapnya, malah Kakang berantas. Kakang
telah diperdaya oleh akal tipunya yang licik."
Rangga kontan terdiam dengan mulut agak
ternganga. Sama sekali tidak disangka kalau kali ini Ayu Nerang berkata begitu
gamblang dan jelas.
Rangga memang sudah menceritakan tentang
pertemuannya dengan Prabu Cakraningrat yang
dikeroyok oleh segerombolan orang berpakaian
serba biru. Saat itu Rangga menolong karena Prabu Cakraningrat mengatakan orang-
orang itu hendak
merampoknya, dan telah membunuh begitu banyak
prajurit pengawalnya.
Tiba-tiba saja terlintas satu pikiran di benak
Pendekar Rajawali
Sakti, yang berdasarkan pengalamannya berkecimpung dalam rimba persilatan selama ini. Rangga kemudian menggeser duduknya lebih mende-kat ke
arah Ayu Nerang.
Ditatapnya dalam-dalam gadis kecil itu.
"Ayu, siapa yang membunuh Patih Kumbayana?"
tanya Rangga, agak dalam suaranya.
"Aku tidak tahu siapa namanya. Tapi menurut Paman Patih Kumbayana, dia tangan
kanannya Paman Cakraningrat yang juga adik iparnya," sahut Ayu Nerang.
"Kenapa dia begitu menginginkanmu" Hmmm..., maksudku Prabu Cakraningrat," tanya
Rangga lagi. "Karena aku putri Ayahanda Prabu," sahut AyuNerang.
"Putri Prabu Cakraningrat"
"Bukan' Dia bukan raja. Dia pemberontak, dan telah memnjarakan Ayahanda Prabu.
Bahkan juga telah membunuh Ibunda Permaisuri. Tajam nada
suara Ayu Nerang.
"Oh...!" lenguh Rangga panJang.
*** 7 Pagi baru saja menyingsing. Seekor kuda putih
berlari cepat membelah jalan besar berdebu. Kuda yang dipacu bagai dikejar setan
itu membuat debu membumbung tinggi ke udara. Pagi yang masih
berkabut itu berubah menjadi gaduh oleh derap
kaki kuda putih. Penunggangnya seorang pemuda
berwajah cukup tampan mengenakan baju ketat
berwarna putih.
Penunggang kuda itu mengarahkan lari kudanya
menuju sebuah bangunan besar yang dikelilingi
pagar tembok tinggi dan kokoh. Tampak di depan
pintu gerbang yang terbuka lebar, dua orang
berseragam prajurit membungkukkan tubuh ketika
kuda putih itu melewatinya, menerobos masuk
tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Hup!"
Penunggang kuda putih itu langsung saja
melompat turun sebelum kudanya berhenti berlari.
Ringan sekali lesatannya,
pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dengan langkah
lebar dan tergesa-gesa, pemuda berbaju putih ketat itu memasuki bangunan besar
yang temyata merupakan sebuah istana yang sangat megah.
Beberapa orang berseragam prajurit yang
berpapasan, langsung membungkukkan tubuh memberi hormat Pemuda itu tidak menghiraukan
sama sekali, dan terus saja melangkah cepat
melintasi ruangan depan yang cukup besar
beralaskan permadani tebal berwarna merah. Dia
terus saja menerobos masuk ke dalam ruangan
tengah yang lebih besar dan lebih indah lagi.
Tampak di ruangan tengah itu berkumpul
beberapa orang. Mereka menghadap ke arah
seorang laki-laki setengah baya yang duduk di kursi indah berukir, berlapiskan
emas dan bertahtakan
batu-batu permata. Pemuda berbaju putih itu
bergegas menghampiri setelah memberi hormat
dengan setengah membungkuk dan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan dada. Semua
orang yang ada di ruangan itu memperhatikannya.
Pemuda itu berdiri di depan laki-laki setengah
baya yang duduk angkuh di singgasana, didampingi seorang wanita berparas cantik.
Pakaiannya merah ketat dan agak tipis, sehingga membentuk lekuk
tubuhnya yang indah.
"Ada apa, Naga" Kenapa kembali seorang diri?"
berat suara laki-laki setengah baya yang duduk di sing?gasana itu.
"Ampunkan hamba, Kakang Prabu Cakraningrat
Hamba terpaksa kembali sendiri, bukan karena
gagal melaksanakan tugas. Tapi ada yang lebih
penting hendak hamba sampaikan," sahut pemuda berbaju putih Itu yang dipanggil
Naga. "Hm..., katakan," pinta Prabu Cakraningrat
"Kakang Prabu, hamba telah menemukan Ayu
Nerang dan Patih Kumbayana. Mereka ada di
Lereng Gunung Antang. Tapi...," Naga menghentikan kalimat-nya.
'Teruskan, Naga," pinta Prabu Cakraningrat
"Hamba berhasil menewaskan Patih Kumbayana.
Tapi, Ayu Nerang berhasil lolos karena ditolong
seseorang. Hamba berusaha mengejar. Dan ternyata persembunyiannya di Desa
Antang, tidak jauh dari Desa Muara, Kakang Prabu. Hamba sudah
berusaha merebut kembali Ayu Nerang, tapi orang
itu sangat tangguh. Terlebih lagi, kelihatannya
seluruh penduduk desa itu melindunginya," kata Naga.
"Ki Bawung...," desis Prabu Cakraningrat "Dia memang selalu setia pada Kakang
Natayuda. Terlebih lagi Ki Randung, Kepala Desa Muara yang juga Guru Besar Padepokan
Muara." "Kakang Prabu, selama ini hamba juga
menyelidiki kalau kedua desa itu menampung para
pelarian. Dan hamba juga tahu kalau Desa Antang
selalu bermusuhan dengan Kaum Pemuja Setan
yang tinggal di Gua Lorong Angin. Hamba sudah
membuat sebuah malapetaka besar bagi Desa
Antang, Kakang Prabu," sambung Naga.
"Hm, apa itu?"
"Hamba berhasil membunuh Ratu Lereng
Antang dengan meminjam tombak dari Padepokan
Muara. Dengan demikian hamba yakin, Kaum
Pemuja Setan akan menyangka kalau Desa Antang
dan Desa Muara bersatu hendak meruntuhkan
mereka." "Ha ha ha...!" Prabu Cakraningrat tertawa terbahak-bahak
mendengar laporan pemuda berbaju putih itu.
Pemuda itu hanya tersenyum saja, dan sempat
melirik orang-orang yang berada di ruangan itu
Mereka semua hanya diam sambil menundukkan
kepala. Tapi pemuda berbaju putih itu tidak
menghi-raukannya, meskipun bisa merasakan kalau
semua orang di ruangan ini tidak menyukai
Iaporannya. Baginya, yang terpenting adalah Prabu Cakraningrat menyukainya.
Pemuda itu juga melirik ke arah wanita cantik di samping Prabu
Cakraningrat. Wanita itu hanya tersenyum disertai wajah cerah dan sinar mata
berbinar terang.
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana hasilnya, Naga?" tanya Prabu Cakra?ningrat setelah tawanya berhenti.
"Hamba tidak tahu, Kakang Prabu. Karena
hamba langsung ingin memberitahukan hal ini.
Tapi...," kembali Naga memutuskan kalimatnya.
"Ada apa lagi, Naga?"
"Di tengah jalan, hamba melihat Ayu Nerang
bersama monyet keparat itu, Kakang Prabu,"
sambung Naga. "Siapa?"
"Orang yang Kakang Prabu mintai tolong
membawa Ayu Nerang ke sini," terdengar dingin nada suara Naga.
"Rangga, maksudmu?" Prabu Cakraningrat terlihat terkejut
"Benar! Dialah
yang juga menghalangiku membawa Ayu Nerang waktu di Desa Antang."
"Rangga...," desis Prabu Cakraningrat "Di mana kau melihatnya?"
*** Prabu Cakraningrat berjalan mondar-mandir
dalam kamar peristirahatannya. Raut wajahnya
nampak kusut Keningnya juga berkerut dalam,
pertanda tengah dipenuhi berbagai macam pikiran.
Laki-laki berusia separuh baya itu berdiri tegak di depan jendela yang terbuka
lebar. Terdengar
tarikan napasnya yang panjang Kepalanya berpaling ke belakang saat mendengar
ketukan di pintu. Dan sebelum membuka mu-lut, pintu kamar ini terbuka.
Muncul seorang wanita berparas cantik mengenakan baju merah yang ketat dan agak tipis.
"Dinda Ningrum...," desah Prabu Cakraningrat seraya membalikkan tubuhnya.
Wanita itu tersenyum, lalu melangkah menghampiri setelah menutup pintu kembali.
Berdirinya begitu dekat dengan Prabu Cakraningrat Kemudian, diling-karkan
tangannya di leher laki-laki setengah baya itu.
'Tampaknya Kakang murung. Ada apa?" lembut
suara Ningrum. "Hhh...,"
Prabu Cakraningrat mendesah panjang. Dilepaskan rangkulan wanita itu, lalu
kakinya melangkah
menghampiri pembaringan. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki
setengah baya itu dudukdi tepi pembaringan.
Ningrum menghampiri, kemudian menempatkan
dirinya di samping laki-laki itu. Dengan manja
digayutkan tubuhnya begitu rapat
"Kanda tidak perlu gelisah. Adikku pasti bisa membawa Ayu Nerang ke sini. Toh
dia sudah tahu di mana anak setan itu sekarang," bujuk Ningrum masih tetap lembut suaranya.
"Aku percaya, Dinda. Tapi bukan itu yang
menjadi beban pikiranku saat ini...," ujar Prabu Cakraningrat setengah mendesah.
"Apa yang kau pikirkan, Kanda?" "Rangga."
"Hhh...! Kenapa anak itu menjadi beban pikiran"
Bukankah Kanda sendiri yang memintanya untuk
mencari Ayu Nerang" Kanda juga yang menyuruh
adikku mengawasinya. Sekarang Ayu Nerang sudah
ditemukannya, dan kini adikku sedang menjemputnya. Kenapa harus dipikirkan lagi?"
"Dinda.... Waktu melihat Rangga bertarung
untuk membantuku menumpas sisa-sisa prajurit
yang tetap setia pada Kanda Natayuda, sebenarnya sudah kurasakan kalau dia
seorang pendekar
kelana. Kepandaiannya pun sangat tinggi. Waktu itu aku hanya merasa saja, dan
belum menyadari kalau sebenarnya dia adalah Pendekar Rajawali Sakti. Itu pun
baru kuketahui dari Kakang Natayuda di
penjara. Dia tidak sadar menggumamkan nama itu
ketika aku menyebut nama Rangga. Dan nampaknya
Kakang Natayuda gembira karena Ayu Nerang
berada bersama Pendekar Rajawali Sakti itu,"
ungkap Prabu Cakraningrat mengemukakan ganjalan yang mengganggu benaknya.
'Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ningrum.
"Manusia tanpa tanding pada saat ini."
"Itulah yang menjadi beban pikiranku saat ini, Dinda Ningrum."
"Kenapa" Bukankah dia tidak tahu maksud kita yang sebenamya?"
"Aku yakin sekarang dia sudah tahu, Dinda.
Cobalah kau pikir. Kalau tidak tahu, tentu sudah membawa Ayu Nerang langsung ke
sini. Tapi mengapa sekarang malah menetap di Padang Gajah"
Mengapa tidak membawa Ayu Nerang ke sini?"
Prabu Cakraningrat seperti bertanya sendiri.
Ningrum hanya diam. Pandangan matanya dalam
ke arah wajah laki-laki di sampingnya. Sedangkan yang dipandangi hanya menatap
lurus dan kosong ke depan. Untuk sesaat tidak ada yang berbicara.
Ningrum bangkit berdiri dan melangkah mendekati
jendela, lalu berdiri bersandar membelakangi
jendela yang terbuka lebar.
"Kakang, bagaimanapun juga kita harus mendapatkan Ayu Nerang," tegas Ningrum.
"Itu pasti, Ningrum. Tapi...," kata-kata Prabu Cakraningrat terputus.
"Pendekar Rajawali Sakti itu...?" tebak Ningrum.
"Tidak ada jago-jago di Banyudana ini yang
mampu menandinginya. Bahkan kehadirannya bisa
menjadi ancaman terbesar bagi kita semua, Dinda
Ningrum," ada sedikit nada keluhan pada suara Prabu Cakraningrat
"Yah.... Dan semua ini salahmu juga, Kakang.
Sebelumnya sudah kuperingatkan, jangan melibatkan orang asing yang belum kita kenal
dengan baik. Tapi kau malah berkeras hanya karena dia mampu seorang diri
memporak-porandakan sisa-sisa
prajurit yang membangkang,"
Ningrum menyalahkan laki-laki setengah baya itu.
"Waktu itu aku tidak tahu kalau dia sebenamya Pendekar Rajawali Sakti, Dinda.
Aku begitu terpesona dengan ilmu olah kanuragannya yang
tinggi." "Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
tanya Ningrum. Prabu Cakraningrat tidak langsung menjawab,
tapi hanya diam saja. Pandangannya kosong, lurus menatap ke depan. Beberapa kali
ditarik napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya
yang mendadak seperti terasa sesak. Memang tidak mudah
untuk menyelesaikan persoalan ini. Masalahnya, yang harus dihadapi adalah seorang
tokoh rimba persilatan kelas satu yang sukar dicari tandingannya saat ini.
Ningrum mengayunkan kakinya mendekati pembaringan kembali, kemudian duduk di samping
laki-laki setengah baya itu. Dengan lembut
dilingkarkan tangannya di pinggang, dan diberikannya satu kecupan tipis di pipi Prabu
Cakraningrat "Kanda ingat cerita Naga?" tanya Ningrum lembut dekat sekali di telinga Prabu
Cakraningrat. Desah napasnya yang hangat menerpa di permukaan
kulit wajah laki-laki setengah baya itu.
Prabu Cakraningrat mengangguk, dan memalingkan wajahnya menghadap pada wanita
cantik ini. Begitu dekatnya, sehingga masing-masing dapat merasakan hembusan
napas hangat yang
menerpa wajah. "Kita bisa memanfaatkan orang-orang dari
Kaum Pemuja Setan itu, Kanda," kata Ningrum.
"Aku tidak mengerri maksudmu, Dinda."
"Kalau kau memperhatikan semua cerita Naga, pasri bisa mengerti maksudku,
Kanda." Prabu Cakraningrat memandangi wajah wanita
ini dalam-dalam. Meskipun belum bisa dipahami,
tapi diyakini kalau Ningrum sudah mendapatkan
satu pemikiran yang bagus untuk menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu kalau Ningrum
seorang wanita yang berotak cerdas. Selalu saja
bisa menemukan jalan keluar terbaik pada masa-
masa sulit seperti ini. Memang harus diakui, tanpa bantuan
Ningrum, tidak mungkin Kerajaan Banyudana bisa dikuasainya. Bahkan sekarang
dirinya sudah duduk sebagai raja di istana ini.
Prabu Cakraningrat melingkarkan tangannya
dipinggang ramping itu, kemudian mengecup lembut bibir yang merah dan ranum itu.
Ningrum membalas dengan melingkarkan tangannya di leher laki-laki yang lebih
pantas menjadi ayahnya ini. Tak ada lagi yang berbicara. Pelahan-lahan tubuh
mereka doyong, dan rubuh di atas pembaringan.
"Oh, Kanda...,"
rintih Ningrum seraya menggeliat *** Prabu Cakraningrat memandangi sepuluh orang
berpakaian serba hitam yang duduk bersila di atas permadani tebal berbulu halus.
Di samping laki-laki setengah baya itu Ningrum duduk dan selalu
tersenyum. Prabu Cakraningrat beralih menatap
Naga yang berada di samping sepuluh orang
berpakaian serba hitam itu. Mereka itu dari Kaum Pemuja Setan yang sengaja
diundang Prabu Cakraningrat Naga sendiri yang menghubungi
mereka di Lereng Gunung Antang.
"Apakah Naga sudah mengatakan maksudku
mengundang kalian ke sini?" tanya Prabu Cakraningrat Suaranya dibuat berwibawa.
"Hanya sedikit dan kami ingin lebih jelas lagi darimu," jawab salah seorang
laki-laki dari sepuluh orang berpakaian serba hitam itu. Usianya telah
lanjut Rambut, janggut, dan kumisnya telah putih semua.
"Baiklah. Aku yakin kalian semua sudah tahu siapa diriku Dan sekarang ini aku
mempunyai masalah yang sangat pelik. Itu sebabnya kalian
kuminta datang untuk membantu," jelas Prabu Cakraningrat.
"Ha ha ha...!" Laki-laki tua berbaju hitam itu ter-tawa terbahak-bahak.
Sedangkan yang lain
hanya tersenyum tipis. "Ketahuilah,
Prabu Cakraningrat Kami adalah orang-orang yang selalu siap membantu siapa saja yang
menyimpan kebencian. Apalagi orang sepertimu."
'Terima kasih," ueap Prabu Cakraningrat seraya melirik Ningrum yang duduk di
samping kanannya.
"Meskipun utusanmu hanya sedikit saja memberitahu padaku, tapi sudah bisa kumengerti
maksudmu yang sebenamya, Prabu Cakraningrat,"
kata laki-laki tua itu lagi.
"Bagus. Apakah kalian akan menerima" Kini
sudah kusiapkan hadiah yang sangat besar jika
kalian bisa membunuh Pendekar Rajawali Sakti,"
sambut Prabu Cakraningrat gembira.
"Tentu saja kami menerima, Prabu Cakraningrat Tapi ada satu syarat yang harus
dipenuhi."
"Katakan."
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami hanya minta Prabu menyerahkan gadis
kecil yang kini bersamanya."
Prabu Cakraningrat langsung terdiam. Masalahnya, permintaan bantuan kepada sepuluh
Kaum Pemuja Setan ini justru untuk mengambil
Ayu Nerang. Dan sekarang, mereka malah meminta
Ayu Nerang. Prabu Cakraningrat
berpaling menatap Ningrum.
"Bocah itu tidak kita perlukan, Kanda Prabu.
Yang diperlukan hanya selendang sutranya saja,"
tegas Ningrum setengah berbisik.
'Tapi, Dinda...," Prabu Cakraningrat agak
keberatan. "Lupakan kalau dia itu keponakanmu, Kanda.
Yang kita butuhkan hanya selendang sutra ajaib itu.
Kau bisa menguasai seluruh dunia dengan
Selendang Sutra Sakti."
Prabu Cakraningrat diam beberapa saat
Dipandangi sepuluh orang yang masih tetap duduk
bersila beralaskan
permadani berbulu halus bercorak kembang-kembang itu.
"Baiklah, aku menyetujui syaratmu," ucap Prabu Cakraningrat
"Jika demikian, sebaiknya kami segera mohon diri, Prabu Cakraningrat" ujar laki-
laki tua itu seraya bangkit berdiri.
'Tunggu dulu!" cegah Prabu Cakraningrat
Sepuluh orang berbaju hitam yang sudah hendak
pergi, mengurungkan langkahnya.
"Kuminta pada kalian, bawalah Ayu Nerang
lebih dahulu ke sini. Atau kalau tidak, selendang sutranya saja," jelas Prabu
Cakraningrat "Kalau hanya itu kami tidak keberatan, Prabu Cakraningrat Salah seorang
saudaraku akan mengantarkan selendang surra itu padamu," sahut laki-laki tua itu.
Prabu Cakraningrat tersenyum puas. Semula
dikira, orang-orang Kaum Pemuja Setan itu akan
mempertahankan selendang sutranya sekalian. Tapi temyata dugaannya meleset.
Mereka inginkan Ayu
Nerang saja. Prabu Cakraningrat tidak mau tahu,
mengapa mereka menginginkan gadis itu Yang
penting baginya, bisa mendapatkan Selendang Sutra Sakti yang sudah lama diidam-
idamkan. Di samping itu, dia bisa menyingkirkan satu-satunya penghalang terberat
dalam men-capai cita-cita menguasai
seluruh mayapada ini.
Prabu Cakraningrat bangkit dari singgasananya
setelah sepuluh orang Kaum Pemuja Setan itu
meninggalkan Balai Sema Agung ini. Wanita cantik di sampingnya juga ikut berdiri
dan melangkah di sisi laki-laki setengah baya itu, didampingi enam
orangpengawal. Mereka melewati sebuah lorong
yang tidak begitu panjang, dan berakhir di sebuah ruangan luas beralaskan
permadani berwarna merah berbulu halus.
"Kanda, kelihatannya kau tidak senang," tegur Ningrum.
'Terus terang, aku tidak suka kalau Ayu Nerang
jatuh ke tangan manusia-manusia pemuja setan itu!"
rungut Prabu Cakraningrat
'Tapi bukankah Kanda tadi sudah menyetujui
permintaan mereka?"
"Aku memang terpaksa menyetujui. Huh...! Aku tidak mengerti, mengapa mereka
menginginkan Ayu
Nerang...?" rungut Prabu Cakraningrat
"Bagaimana-pun
juga, gadis itu adalah keponakanku. Aku lebih suka Ayu Nerang berada
dalam penjara bersama ayahnya, daripada jatuh ke tangan manusia-manusia iblis
itu!" "Kanda sekarang seorang raja, dan bisa berbuat apa saja sesuka hati," kata
Ningrum mulai merayu lagi.
Prabu Cakraningrat memandang dalam-dalam
pada wanita cantik ini. Sekarang sudah dipahami, apa yang ada di dalam
pikirannya. Sebentar
kemudian diutusnya seorang pengawal untuk
memanggil adik wanita ini yang bernama Naga, atau lebih dikenal berjuluk Iblis
Cakar Naga. Entah siapa nama sebenarnya, yang jelas, laki-laki muda yang kadang
memakai baju putih dan biru itu lebih
senang dipanggil Naga.
Tidak lama berselang, laki-laki muda yang
mengenakan baju putih ketat itu datang ke ruangan besar tempat Prabu
Cakraningrat menunggu.
Dibungkukkanbadannya sedikit kemudian duduk di
sebuah kursi dari kayu jati berukir setelah Prabu Cakraningrat
mempersilakannya.
Prabu Cakraningrat sendiri duduk didampingi Ningrum.
"Adakah yang perlu hamba kerjakan, Kanda
Prabu?" tanya Naga yang lebih dikenal berjuluk lblis Cakar Naga dengan sikap
penuh hormat. "Ada tugas penting untukmu, Naga," ujar Prabu Cakraningrat seraya melirik pada
Ningrum. lblis Cakar Naga memandang Prabu Cakraningrat dan Ningrum bergantian. Sedangkan
Ningrum bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pemuda itu. Diajaknya lblis Cakar
Naga menjauh dari tempat itu. Bahkan Ningrum
mengajaknya ke ruangan lain di sebelah. lblis Cakar Naga
agak heran juga, karena Ningrum membawanya ke ruangan pribadi Prabu Cakraningrat yang tidak boleh dimasuki orang lain.
Bahkan penjaga pun tidak ada di ruangan ini.
"Ada apa, Kak Ningrum?" tanya lblis Cakar Naga. "Jangan panggil aku seperti itu,
Naga!" sentak Ningrum mendelik.
"Oh, maaf. Tapi tidak ada yang mendengar di sini, bukan" Lagi pula kau belum
resmi menjadi permaisurinya," kata lblis Cakar Naga seraya mengerling dan menyunggingkan
senyum di bibir
penuh arti. "Siapa yang akan jadi permaisuri tua bangka itu"!
Aku akan jadi ratu di sini, tahu!" rungut Ningrum.
"Keinginanmu akan terlaksana, Kak Ningrum.
Selama aku masih ada, semua keinginanmu pasti
terlaksana. Ningrum tersenyum mendengar kata-kata adiknya ini. Mereka memang sudah lama merencanakan untuk menguasai Kerajaan Banyudana ini. Dan yang terlebih penting lagi,
seluruh keluarga Prabu Natayuda harus dilenyapkan. Beliau memang telah terguling oleh
adiknya sendiri. Adik dari seorang selir, yang tidak puas karena hanya diberi
kedudukan sebagai
adipati di sebuah daerah kecil.
"Baiklah, Kak. Tugas apa yang harus kujalankan sekarang?" tanya lblis Cakar
Naga. Pemuda itu tidak ingin berlarut-larut yang
nantinya malah membuat Prabu Cakraningrat jadi
curiga. Hal itu harus dicegah sampai seluruh istana dan wilayah Kerajaan
Banyudana ini benar-benar
bisa dikuasai. Mereka harus melaksanakan amanat
yang telah ditinggalkan orang tua dan juga guru
mereka. Amanat penting itu tak mungkin dilupakan dan
harus dilaksanakan! Mereka harus melenyapkan
seluruh keluarga istana dan menguasai seluruh
wilayah kerajaan ini tanpa terkecuali. Dendam yang diturunkan orang tua mereka
yang merasa sakit hati karena Prabu Natayuda membuang dan melarang
mereka kembali ke Kerajaan Banyudana untuk
selama-lamanya. Hal itu terjadi karena satu
kesalahan yang tidak disengaja. Gagal melindungi putra mahkota dalam perjalanan
ke sebuah padepokan untuk menuntut ilmu. Prabu Natayuda
memang hanya mempunyai dua anak. Ayu Nerang,
dan kakak laki-lakinya yang semula dicalonkan
sebagai pengganti ayahandanya. Tapi putra mahkota itu telah
tewas dalam perjalanan menuju padepokan. Bahkan seluruh prajurit yang mengawalnya juga
tewas dibantai perampok. Hanya orang tua lblis
Cakar Naga dan Ningrum yang selamat, yang pada
waktu itu berpangkat panglima.
"Naga! Kau pasti sudah tahu tugas apa yang
harus dilaksanakan," kata Ningrum.
"Mudah saja bagiku untuk melenyapkan Ayu
Nerang, Kak Ningrum," sahut lblis Cakar Naga.
"Itu salah satunya. Tapi yang terpenting lagi, kau harus bisa menguasai
Selendang Sutra Sakti
itu. Dengan selendang itu seluruh dunia akan
kukuasai. Bahkan seluruh rimba persilatan akan
kukuasai!"
"Kak Ningrum memang lebih pantas, karena kau adalah wanita," lblis Cakar Naga
tersenyum. "Ingat, Naga. Hanya kita berdua yang tahu
rencana ini. Katakan saja pada si tua bangka itu kalau kau mendapat tugas untuk
membunuh semua manusia pemuja setan itu, dan kau menyanggupinya."
"Apakah mereka juga harus dilenyapkan, Kak?"
'Tidak perlu. Mereka tidak akan mampu
menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Carilah
kesempatan untuk membawa Ayu Nerang ke sini,
dan yang terpenting Selendang Sutra Sakti itu."
"Siap, Kak."
"Bagus! Kau memang adikku yang setia, Naga."
*** 8 Pagi baru saja menyingsing. Matahari belum lagi
bersinar penuh. Di sebuah padang rumput yang
tidak begitu luas, terlihat Pendekar Rajawali Sakti tengah memadamkan api unggun
bekas semalam. Di
sekitarnya berserakan tulang-tulang ayam hutan
dan kelinci bekas santapannya bersama Ayu
Nerang. Pemuda berbaju rompi putih itu melirik
Ayu Nerang yang masih melingkar di atas tumpukan daun kering sambil memeluk
lututnya. "Ayu..., bangun. Sudah siang..," Rangga menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu.
"Ehhh...," Ayu Nerang menggeliat.
Sebentar gadis itu menggeliat-geliatkan
tubuhnya. Dikucek-kucek matanya, kemudian
bangun duduk. Sepasang bola matanya mengerjap,
membiasakan dengan sinar matahari yang menghangati alam ini. Bibirnya tersenyum melihat Rangga duduk di sampingnya.
"Enak tidurmu semalam, Ayu?" tanya Rangga.
"Dingin," sahut Ayu.
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha...! Tidur di alam terbuka memang
seperti ini, Ayu. Lain kalau tidur di kamar istana."
"Huuu..., Kakang. Ayu kan tidak ingin lagi
pulang ke istana," Ayu Nerang memberengut
"lya..., iya. Aku tahu. Lalu, sekarang kau mau ke mana?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu. Pokoknya jangan bawa aku ke istana," agak merengek nada suara
Ayu Nerang. Rangga merengkuh pundak gadis itu ke dalam
pelukannya. Ayu Nerang memang sudah menceritakan semua yang terjadi. Hati Pendekar
Rajawali Sakti merasa iba melihat nasib yang
diderita gadis kecil ini. Kehidupannya harus
terlunta-lunta akibat keserakahan pamannya. Dan
sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu juga tidak ingin menyerahkan Ayu Nerang
pada Prabu Cakraningrat. Bahkan ingin pula membebaskan
Prabu Natayuda dari dalam penjara.
Saat Rangga baru saja bangkit berdiri,
mendadak bermunculan orang berpakaian hitam.
Seketika itu juga Ayu bergegas berdiri, dan
berlindung di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga bergumam pelan seraya merayapi sepuluh
orang berpakaian serba hitam itu. Rangga tahu
betul bahwa mereka adalah Kaum Pemuja Setan
dari Lereng Gunung Antang.
"Sudah kuduga, kau pasti bersama calon Ratu Lereng Gunung Antang," ujar salah
seorang yang sudah tua.
Sepuluh orang Kaum Pemuja Setan itu langsung
beriompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti
dan Ayu Nerang.
"Bagus! Kalian telah berkumpul di sini. Itu berarti tidak perlu repot-repot
menepuk dua lalat!"
ketus nada suara laki-laki tua berbaju hitam yang berada tepat di depan Rangga.
"Kakang, jangan biarkan mereka membawaku.
Aku tidak mau lagi disuruh makan daging mentah
dan minum darah," tegas Ayu Nerang dari balik tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
'Tenanglah, Ayu. Kau tidak akan kembali pada
mereka," bujuk Rangga menenangkan.
Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling menatap
kuda hitam yang kelihatan tenang merumput di
bawah sebatang pohon beringin. Kemudian pemuda
berbaju rompi putih itu bersiul pendek. Kuda hitam itu meringkik keras sambil
mengangkat kepalanya.
Sungguh luar biasa! Sekali lompatan saja, kuda itu sudah di samping Rangga.
Bergegas Rangga membantu Ayu Nerang naik ke
punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu.
Kini dia segera bersiap-siap menghadapi sepuluh
orang dari Kaum Pemuja Setan yang sudah
mengepung ra-pat siap menyerang.
"Hitam, jaga Ayu Nerang baik-baik," pesan Rangga pada kuda hitam itu
Dewa Bayu meringkik seraya mengangguk-ang-
gukkan kepalanya.
"Berpeganganlah yang kuat, Ayu."
"Baik, Kakang."
Rangga menepuk leher kuda hitam itu tiga kali.
Sekerika Dewa Bayu meringkik keras sambil
mengangkat kaki depannya tiriggi-tinggj ke atas.
Kalau saja Ayu Nerang tidak cepat-cepat
berpegangan kuat-kuat, mungkin sudah terlempar
jatuh. Dan belum juga rasa terkejut Ayu Nerang
hilang, tiba-tiba saja Dewa Bayusudah melompat
bagai kilat melewati kepala salah seorang yang
mengepung itu Dan tanpa diduga sama sekali,
dihentakkan kaki belakangnya, begitu kaki depannya menyentuh tanah. Bughk!
"Hegk!" orang itu mengeluh pendek.
Sepakan kuda hitam itu demikian keras,
sehingga orang berbaju hitam itu terjungkal keras mencium tanah. Tentu saja
kejadian yang tidak
terduga ini membuat yang lain terkejut Terlebih lagi saat melihat orang itu
tidak bangun-bangun lagi, menelungkup di tanah berumput tebal. Tampak ada
dua lubang pada punggungnya bagai tertembus
senjata. Darah mengalir deras dari lubang di
punggung itu "Setan keparat! Monyet..! Seraaang...!" umpat laki-laki tua berambut putih itu
seraya memerintah.
Kini tinggal sembilan orang pemuja setan itu
yang hidup, dan langsung beriompatan menyerang
Enam orang mengeroyok Rangga, dan tiga orang
lainnya menyerang Dewa Bayu dengan Ayu Nerang
berada di punggungnya.
Rangga yang sudah bersiap sejak tadi, tidak
tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan
jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'
yang sangat dahsyat Terlebih lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah menyempurnakannya.
Bahkan sudah dapat menggabungkan dan membuat
bermacam-macam kombinasi. Sehingga dari lima
jurus andalan 'Rajawali Sakti', bisa didapatkan
begitu banyak jurus yang sangat dahsyat dan
mematikan. Meskipun Rangga bertarung tanpa mempergunakan senjata, namun bagi enam orang
pemuja setan itu tidak mudah untuk mendesaknya.
Bahkan jadi kewalahan menghadapi serangan-
serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu
dahsyat Setiap pukulannya mengandung hawa panas
disertai hembusan angin kencang yang membuat
mereka menjadi kehilangan keseimbangan saat
berusaha menghindar.
*** "Aku tidak punya banyak waktu! Sebaiknya
menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran!" seru Rangga tanpa menghentikan
serangan-serangannya.
"Jangan banyak omong! Kau atau kami yang
mati!" salah seorang lawan menyahuti.
"Kalian yang memaksa! Terimalah! Hiyaaat..!"
Seketika itu juga Rangga memperhebat serangannya. Setiap kali pukulan dilontarkan, selalu disertai pengerahan tenaga
dalam yang sudah
mencapai pada taraf kesempumaan. Tahap yang
sukar dicapai kaum rimba persilatan. Tentu saja hal ini membuat enam orang
berbaju hitam itu
bertambah kerepotan. Mereka jumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Terlebih lagi, saat ini Rangga
mengerahkan jurus 'Seribu
Rajawali' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'. Wuk!
Satu pukulan dilepaskan Pendekar Rajawali
Saktitepat pada saat seorang lawannya mencoba
menghantamkan tongkatnya ke arah kepala.
Pukulan Rangga yang begitu cepat tidak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam dada orang itu.
Buk! "Akh!"
Satu jeritan keras tertahan mengiringi terjungkal-nya orang itu. Seketika hidupnya
berakhir. Cepat sekali Rangga memutar tubuhnya
sambil melepaskan dua pukulan sekaligus. Kedua
tangan yang sudah memerah akibat pengerahan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang sudah
mencapai taraf terakhir itu tepat menghantam dua orang yang berada dekat
dengannya. Bugk! Des...! Dua jeritan terdengar saling susul, kemudian
dua tubuh berbaju hitam kontan menggelepar di
tanah. Kembali Rangga cepat memutar tubuhnya,
tapi tidak segera menyerang. Sebab, tiga orang
lainnya kelihatan hanya terkesima melihat tiga
temannya tewas hanya dalam dua gebrakan yang
begitu cepat dan dahsyat. Gerakan Pendekar
Rajawali Sakti itu memang sukar sekali diikuti
pandangan mata biasa. Ini karena
Rangga menggabungkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' dengan jurus 'Seribu Rajawali'.
Rangga sempat melirik kuda hitamnya. Rupanya
Dewa Bayu itu juga sudah berhasil merobohkan
dua penyerangnya. Tampak dua sosok mayat
tergeletak di dekatnya dengan kepala pecah dan
dada remuk. Kinitinggal empat orang yang masih
hidup. Dua orang sudah berusia lanjut, sedangkan dua orang lainnya berusia
sekitar empat atau lima puluh tahun.
"Kau benar-benar manusia tanpa tandingan saat ini, Pendekar Rajawali Sakti.
Tingkat kepandaianmu sungguh sukar diukur," kata laki-laki tua yang berdiri
paling depan. Sedangkan tiga lainnya berada di bela-kangnya.
"Hmmm...," Rangga hanya menggumam saja tidak jelas.
"Aku berpikir, mungkin memang sebaiknya di
antara kita tidak pernah terjadi sesuatu yang saling mengganggu...," sambung
laki-laki tua itu lagi.
"Bagus! Jika kalian masih sayang nyawa,
sebaiknya segera enyah dari sini," sambut Rangga diiringi senyum.
"Kami akan pergi, tapi kau harus menyerahkan gadis kecil itu padaku," kata laki-
laki tua itu. "Jika menolak...?"
"Rangga! Sebaiknya kau bisa mengerti. Keberadaannya sangat berarti bagi kelangsungan
Kaum Pemuja Setan, karena Dewa Agung sudah
memilihnya menjadi ratu di Lereng Gunung
Antang." "Kalau memang demikian,.tanyakan saja padanya sendiri," Rangga berpaling
memandang Ayu Nerang yang masih duduk di punggung kuda hitam.
"Tidak! Aku bukan ratu kalian, manusia-manusia lblis!" sentak Ayu Nerang garang.
"Kalian dengar sendiri,
bukan?" Rangga tersenyum. 'Tapi Dewa Agung sudah memilihmu! Dan lagi,
kau akan menjadi penerus kami semua yang sudah
tua-tua ini. Tugasmu adalah mengumpulkan Kaum
Pemuja Setan yang tersebar entah di mana."
"Masa bodoh dengan Dewa Agung kalian!"
dengus Ayu Nerang ketus.
"Sebaiknya kalian jangan memaksa," sergah Rangga seraya melangkah menghampiri
gadis itu yang masih tetap duduk di punggung Dewa Bayu.
Laki-laki tua itu menatap tiga orang yang kini
sudah berada di sampingnya mengapit Kemudian
tanpa berkata apa-apa lagi, mereka serentak
berlompatan ke arah Ayu Nerang. "Hey...!" Rangga terkejut. Wut!
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat sambil menarik pedang pusakanya.
Seketika cahaya biru memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu.
Tiga kali Rangga mengebutkan pedangnya.
Dan.... Wut, wut, wut...!
Crab! Bres! Jeritan-jeritan melengking langsung terdengar
me-nyayat. Dua kebutan Pendekar Rajawali Sakti
tepat membelah dua orang yang melompat hendak
menerkam Ayu Nerang. Sedangkan dua lagi berhasil berkelit menghindari. Namun
belum sempat mereka
melakukan sesuatu, Rangga sudah lebih cepat
bergerak. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hiya!" Buk! Cras! "Aaa...!"
Satu orang langsung terjungkal ambruk begitu
pedang bercahaya biru memenggal kepalanya.
Sedangkan seorang lagi terhuyung-huyung terkena
pukulan keras tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti itu, yang mengandung tenaga
dalam sempurna.
Dan belum lagi orang itu sempat menguasai
keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah menyerang
lagi dengan dahsyatnya. Dua kali dikebutkan
pedangnya disertai satu pukulan keras mengarah ke kepala. Serangan yang begitu
cepat dan tak mungkin dihindari lagi
"Aaa...!"
Orang terakhir dari Kaum Pemuja Setan itu
menjerit keras melengking. Tubuhnya langsung
tidak bergerak-gerak lagi begitu ambruk menyentuh tanah. Mati Dadanya terbelah
mengucurkan darah
segar. "Hhh...!"
Trek!
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar biru langsung lenyap begitu Pedang
Pusaka Rajawali Sakti kembali bersemayam di dalam warang-kanya. Tanpa membuang-
buang waktu lagi,
Rangga melompat ke punggung kudanya di belakang
Ayu Nerang Langsung digebah kuda hitam itu agar
cepat berlari "Ke mana, Kakang?" tanya Ayu Nerang.
"Ke istana!" sahut Rangga.
"Apa..."!"
"Kita bebaskan ayahmu!"
*** Rangga terkejut bukan main begitu tiba di
depan Istana Kerajaan Banyudana. Suara hiruk
pikuk terdengar dari dalam benteng istana. Pintu gerbang benteng tampak sudah
jebol berantakan.
Rangga terus menggebah kuda hitam agar berlari
cepat menerobos masuk. Namun begitu melewati
pintu gerbang, Rangga langsung menghentikan lari kudanya.
Di halaman depan istana tampak pertarungan
sengit dua kelompok besar sedang berlangsung.
Rangga tidak tahu masing-masing kelompok itu, dan hanya dapat bengong memandangi
pertempuran itu
dari punggung kudanya. Sedangkan Ayu Nerang
juga kelihatan terkesima dengan mulut terbuka
lebar. "Apa yang terjadi, Ayu?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu," sahut Ayu Nerang. "Mungkin prajurit Ayahanda Prabu hendak
merebut tahta kembali." "Yang mana prajurit ayahmu?" tanya Rangga.
"Seragam biru. Tapi...," suara Ayu Nerang terputus.
Tampaknya gadis kecil itu juga kebingungan,
karena tidak sedikit prajurit yang mengenakan
seragam lain. Bahkan mereka yang mengenakan
seragam samajuga saling bertarung. Memang tidak
beraturan pertempuran ini. Sukar untuk membedakan, mana lawan dan mana kawan. Ayu
Nerang sendiri jadi kebingungan, karena juga tidak bisa membedakan. Mereka yang
mengenakan seragam prajurit berwarna biru juga saling
berperang. Demikian pula mereka yang mengenakan
seragam kuning, dan merah bersulamkan benang
emas. "Aku tidak tahu, mereka semua prajurit
Ayahanda Prabu," sergah Ayu Nerang kebingungan.
"Hmmm...," gumam Rangga tidak jelas.
Ayu Nerang sendiri jadi kebingungan. Apa lagi
Rangga yang memang tidak mengetahui yang mana
prajurit sejati, dan yang mana prajurit pemberontak. Seragam yang dikenakan sama persis.
Meskipun warnanya berbeda, tapi bentuknya sama.
Dan mereka sekarang tengah berperang dengan
sengitnya. "Ayu, di mana letak penjara?" tanya Rangga.
"Di belakang, dekat tembok kaputren," sahut Ayu Nerang.
Rangga langsung melompat turun dari kudanya.
"Aku ikut, Kakang. Kau pasti tidak tahu di
mana Ayahanda Prabu ditawan," seru Ayu Nerang.
Rangga mengurungkan niatnya untuk berlari
cepat Sementara Ayu Nerang sudah turun dari
kuda hitam itu, dan langsung memegangi pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Bergegas Rangga menggendong Ayu Nerang.
Maka seketika itu juga dia melompat bagai kilat
menerobos arena pertempuran. Dengan mempergunakan ilmu merlngankan tubuh yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan, Rangga
melesat cepat Yang terlihat kini hanya bayangan
putih berkelebatan menerobos kancah pertempuran itu.
Dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah tiba di depan pintu penjara yang dijaga enam orang prajurit
bersenjata terhunus. Cepat
sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu,
sehingga sebelum bisa menyadari apa yang teriadi, mereka sudah tertotok. Enam
orang prajurit itu
langsung roboh lunglai tak berdaya.
Rangga menurunkan Ayu Nerang dari gendongannya. Sesaat kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, dijebolnya pintu
penjara yang terbuat dari kayu jati tebal dan kokoh.
Pintu penjara itu hancur berkeping-keping hanya
dengan sekali pukul saja. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rangga bergegas menerobos masuk ke
dalam. Ayu Nerang melangkah cepat, mengikuti.
"Ayah...!" seru Ayu Nerang saat melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan
berbaju kumal penuh sobekan. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya. Sinar
mata yang semula redup, seketika menjadi bersinar.
Segera direntangkan kedua tangannya. Ayu Nerang
berlari menghambur ke dalam pelukan laki-laki tua itu. Sementara Rangga hanya
bisa memandangi
tanpa bersuara sedikit pun. Cukup lama juga ayah dan anak itu saling berpelukan
melepas rindu. Pelahan-lahan Ayu Nerang melepaskan pelukan.
"Ayahanda, para prajurit sedang bertempur.
Aku tidak tahu, karena mereka semua mengenakan
seragam prajurit," jelas Ayu Nerang, memberitahu situasi di depan istana.
"Oh...!" laki-laki tua yang tenyata adalah Prabu Natayuda itu terkejut
Dipandangi Rangga yang hanya berdiri saja
memperhatikan. Rangga baru menghampiri setelah
Ayu Nerang meminta Pendekar Rajawali Sakti itu
memutuskan rantai yang membelenggu ayahnya.
Tanpa banyak kesulitan, diputuskan rantai baja itu dengan Pedang Pusaka Rajawali
Sakti. Sesaat kemudian mereka sudah berjalan cepat
setengah berlari keluar. Rangga kembali menggendong Ayu Nerang begitu tiba di luar, dan
langsung melompat Semula Prabu Natayuda juga
hendak dibawanya, tapi laki-laki tua itu menolak.
Dan ternyata Prabu Natayuda masih mampu
mengerahkan ilmu lari cepat diiringi ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi. Sebentar kemudian mereka sudah berada di
beranda depan istana. Tampak sekali kalau Prabu Natayuda begitu terkejut melihat pertempuran
yang terjadi antara para prajuritnya sendiri.
"Berhenti...!" seru Prabu Natayuda keras.
Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu sungguh keras dan menggelegar bagai guntur di siang bolong. Maka,
pertempuran itu berhenti
sekerika. Dan mereka yang bertempur menjadi
terkejut begitu mengetahui Prabu Natayuda sudah
berdiri didampingiputrinya dan seorang pemuda
berbaju rompi putih. Mereka langsung membuang
senjata. Mereka semua berlutut dengan kepala
tertunduk. "Bangkitlah! Dan ambil senjata kalian semua.
Buat barisan menurut kelompok pasukan masing-
masing!" perintah Prabu Natayuda. Suaranya penuh wibawa.
Para prajurit yang tadi bertarung, langsung
bergerak mengikuri perintah. Mereka membuat
barisan menurut kelompok yang dibedakan dari
wama seragam yang dikenakan.
Tanpa ada yang menyadari, diam-diam Rangga
menyelinap masuk ke dalam istana bersama Ayu
Nerang. Gadis itu tidak mau ketinggalan di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara Prabu Natayuda memberikan pengarahan pada prajurit-
prajuritnya yang sempat terpecah, sedangkan
Rangga dan Ayu Nerang memeriksa seluruh
ruangan di dalam istana itu. Tapi yang dicari kini sudah tidak ada lagi di
dalam. Mereka kembali
keluar, tepat pada saat Prabu Natayuda selesai
memberikan pengarahan. Para prajuritnya kini
sudah bersatu setelah melihat rajanya sudah
kembali dalam keadaan segar dan sehat
"Ayah...," Ayu Nerang menggamit lengan ayah?nya.
"Ada apa, Ayu?" tanya Prabu Natayuda.
'Paman Cakraningrat sudah tidak ada," lapor Ayu Nerang.
Prabu Natayuda memandang Rangga yang
berdiri di belakang gadis kecil ini.
"Benar, Gusti Prabu. Tadi hamba dan Gusti
PutriAyu Nerang sempat memeriksa ke dalam," kata Rangga membenarkan laporan Ayu
Nerang. "Hmmm... Para pengkhianat itu harus ditangkap dan diberi hukuman yang setimpal!"
dengus Prabu Natayuda.
"Kau tidak perlu bersusah payah mencariku,
Kakang!" tiba-tiba terdengar suara.
Prabu Natayuda, Ayu Nerang dan Rangga
terkejut Mereka menoleh ke arah suara itu
Keterkejutan mereka bertambah begitu melihat
Cakraningrat "Adi Cakraningrat kau harus mempertanggung-
jawabkan perbuatanmu!" ujar Prabu Natayuda.
"Akan kutanggung semuanya asal kau mampu
mengalahkanku!" tantang Cakraningrat
"Blar aku yang menghadapinya, Gusti Prabu,"
pinta Rangga. Prabu Natayuda memandang Pendekar Rajawali
Sakti Kemudian mengangguk. Rangga menjura
memberi hormat blu melangkah menghampiri
Cakraningrat Belum juga Rangga melakukan sesuatu, mendadak saja Cakraningrat melompat sambil
berteriak keras menerjang. Rangga segera berkelit menghindari serangan itu. Tapi
Cakraningrat tidak memberi kesempatan lagi Dia terus mendesak
dengan cepat dan dahsyat
"Hmmm...," Rangga bergumam pelan.
Dalam beberapa jurus saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah dapat mengukur tingkat kepandaian
lawannya. Dan dengan satu lesatan secepat kilat
Rangga melambung ke atas seraya mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Pemuda berbaju rompi putih itu menyambar
Cakraningrat dengan kaki.
Des! Prak...! "Aaa...." Cakraningrat menjerit keras.
Selagi rubuh Cakraningrat terhuyung sambil
memegangi kepalanya, Rangga melepaskan lagi satu pukulan keras bertenaga dalam
sempuma. Dughk! Tanpa bersuara sedikit pun, Cakraningrat
terjungkal. Dia tewas dengan kepala pecah dan
dada melesak remuk. Rangga menarik napas
panjang, dan berbalik menghadap Prabu Natayuda.
"Kakang...!" seru Ayu Nerang seraya berlari dan langsung memeluk Rangga.
"Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya padamu, Anak Muda. Kaulah pendekar
pembela keadilan," ujar Prabu Natayuda.
"Ah! Hamba hanya orang biasa yang berjalan di jalur kebenaran, Gusti Prabu. Dan
karena tugas telah selesai, maka hamba mohon pamit," ujar Rangga se?raya memberi hormat
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat
melewati kepala-kepala prajurit yang berbaris rapi di depan bangunan istana itu.
Sebelum ada yang
menyadari, Rangga sudah berada di punggung kuda
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hitamnya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu belum juga menggebah Dewa BayU.
Dipandangi Ayu Nerang yang berdiri di samping ayahnya. Gadis kecil itu juga menatap lurus.
Tampak butiran air bening menggulir di pipinya.
Rangga mengangkat tangannya pada Ayu
Nerang. Kemudian digebahnya kuda hitam itu
dengan cepat Bagai anak panah terlepas dari busur, kuda hitam itu melesat
menerobos pintu gerbang
yang hancur berantakan. Sekejap saja Dewa Bayu
sudah lenyap di batik tembok benteng istana
bersama Pendekar Rajawali Sakti yang kembali
mengembara dengan tujuan memerangi keangkaramurkaan. Sementara itu di dalam istana, Prabu Natayuda sudah sibuk
membenahi aparatnya
yang berantakan. Hal ini terjadi akibat pengkhianatan adik selirnya yang dihasut oleh
seorang wanita cantik yang memiliki dendam
pribadi. Prabu Natayuda sendiri tidak tahu, apakah
kerajaannya akan kembali terguncang, karena ada
beberapa pengkhianat yang berhasil kabur dan
belum tertang-kap. Yang jelas langsung diperintahkan pengejaran yang dilakukan oleh para panglima pilihannya, disertai
para prajurit terlatih yang memiliki kemampuan cukup tinggi. Sementara
Rangga semakin jauh meninggalkan Kerajaan
Banyudana untuk melanjutkan pengem-baraannya
kembali.... Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Sampai jumpa pada episode berikut...
SELESAI Bunga Penyebar Maut 3 Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Pedang Penakluk Iblis 10
memeluk lututnya. Rangga hanya tersenyum saja. Untuk ke sekian
kali, Pendekar Rajawali Sakti itu memuji daya
tangkap Ayu Nerang. Gadis ini memang cerdas, dan selalu bisa tepat menebak
perasaan orang lain.
"Kakang pasti masih penasaran, mengapa aku
tidak mau kembali ke istana. Iya, kan?" lagi-lagi Ayu Nerang menebak tepat
Agak terkejut juga Rangga akan tebakan yang
begitu tepat tak meleset sedikit pun. Hatinya
memang masih penasaran dengan sikap gadis itu.
Dan belum juga dikemukakan, Ayu Nerang sudah
menebaknya dengan tepat sekali. Sepertinya dia
bisa membaca jalan pikiran orang lain saja.
"Aku tahu kalau Kakang banyak berdusta
padaku, tapi aku juga tahu kalau Kakang bukan
orang jahat seperti mereka," tegas Ayu Nerang lagi.
"Siapa mereka?" tanya Rangga agak terkejut
"Banyak," sahut Ayu Nerang.
"Mereka yang menyekapmu di dalam jurang?"
tebak Rangga. "Justru mereka tidak jahat, Kakang. Mereka
sangat baik, bahkan memanggilku Gusti Ratu. Tapi aku tidak suka, karena aku
tidak diijinkan keluar dari dalam gua," agak memberengut wajah Ayu Nerang.
Rangga menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Tentu saja Dewi
Kalang Mayat tidak mengijinkan Ayu Nerang
keluar, karena gadis kecil ini dianggap sebagai
utusan Dewa Agung yang hendak dijadikan ratu di
Lereng Gunung Antang. Ratu bagi seluruh Kaum
Pemuja Setan di seluruh muka bumi ini. Dan yang
pasti, Ayu Nerang tidak mengerti. Rangga juga
tidak ingin memberitahukannya.
"Lalu siapa yang kau maksud, Ayu?" tanya Rang?ga.
"Paman Cakraningrat. Mereka semua jahat
karena menjebloskan Ayah ke dalam penjara!" tajam nada suara Ayu Nerang.
"Ayu..., jadi Prabu Cakraningrat itu bukan
ayahmu?" lagi lagi Rangga dibuat terkejut mendengar kata-kata gadis kecil ini Sungguh, tidak disangka kalau Prabu
Cakraningrat bukan ayah
gadis ini. "Kakang tadi mengaku sebagai teman baik
Paman Kumbayana. Tapi sekarang mengapa tidak
tahu kalau Paman Cakraningrat bukan ayahku?"
agak sinis juga nada suara Ayu Nerang. "Kakang pasti berdusta. Kakang tidak
kenal Paman Parih
Kumbayana. Iya, kan?"
Rangga tidak bisa lagi mengelak, dan hanya
menganggukkan kepalanya saja. Dalam
hati, Pendekar Rajawali Sakti itu benar-benar mengagumi Ayu Nerang yang memiliki daya
tangkap luar biasa, melebihi gadis-gadis seusianya. Kata-kata yang
meluncur dari bibirnya yang mungil begitu lancar, seolah-olah
sudah dipikirkan masak-masak sebelumnya. "Kenapa Kakang mendustaiku" Kenapa tidak
terus terang saja?" ucapan Ayu Nerang seperti bernada menyesali atas dusta yang
dibuat Rangga. "Maaf, Ayu. Aku terlalu menganggapmu enteng.
Temyata kau bukan gadis kecil yang manja dan
cengeng," Rangga mengakui dan menyesal.
"Sejak Kakang menolongku keluar dari dalam
jurang, sudah kuduga kalau Kakang orang baik."
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kakang pasti bukan orang dari Kerajaan
Banyudana. Mengapa Kakang menolong orang
jahat" Untuk apa Kakang mencariku" Apakah
Paman Cakraningrat memberi uang banyak?" Ayu Nerang
memberondong dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Yang mana harus kujawab lebih dulu?" Rangga tersenyum berolok.
'Terserah!" sahut Ayu Nerang tidak tersenyum sedikit pun.
"Baiklah. Pertama, aku tidak pemah membantu orang jahat Kedua, aku mencarimu
karena iba melihat ibumu terus menangis, dan ayahmu
memintaku untuk mencari dan membawamu pulang.
Entah mengapa, aku sendiri tidak tahu kalau
ayahmu memintaku begitu. Dan yang ketiga, setiap yang kulakukan tidak
berdasarkan imbalan apa pun.
Apa lagi mengharapkan hadiah berupa harta.
Cukup jelas...?" jelas Rangga sambil mengulum senyum. Sungguh mati, dia tidak
ta?hu lagi harus berbuat bagaimana menghadapi gadis ini. Tapi yang jelas, Rangga
kini memandang Ayu Nerang sebagai
gadis yang berpikiran dewasa, meskipun usianya
baru sekitar dua belas tahun.
"Asal tahu saja, apa yang Kakang lakukan
padaku adalah salah!" tegas kata-kata Ayu Nerang.
"Oh..."!" Rangga mengerutkan keningnya.
"Orang yang Kakang tolong adalah pemimpin
pemberontak. Dan gerombolan yang hendak
menangkapnya, malah Kakang berantas. Kakang
telah diperdaya oleh akal tipunya yang licik."
Rangga kontan terdiam dengan mulut agak
ternganga. Sama sekali tidak disangka kalau kali ini Ayu Nerang berkata begitu
gamblang dan jelas.
Rangga memang sudah menceritakan tentang
pertemuannya dengan Prabu Cakraningrat yang
dikeroyok oleh segerombolan orang berpakaian
serba biru. Saat itu Rangga menolong karena Prabu Cakraningrat mengatakan orang-
orang itu hendak
merampoknya, dan telah membunuh begitu banyak
prajurit pengawalnya.
Tiba-tiba saja terlintas satu pikiran di benak
Pendekar Rajawali
Sakti, yang berdasarkan pengalamannya berkecimpung dalam rimba persilatan selama ini. Rangga kemudian menggeser duduknya lebih mende-kat ke
arah Ayu Nerang.
Ditatapnya dalam-dalam gadis kecil itu.
"Ayu, siapa yang membunuh Patih Kumbayana?"
tanya Rangga, agak dalam suaranya.
"Aku tidak tahu siapa namanya. Tapi menurut Paman Patih Kumbayana, dia tangan
kanannya Paman Cakraningrat yang juga adik iparnya," sahut Ayu Nerang.
"Kenapa dia begitu menginginkanmu" Hmmm..., maksudku Prabu Cakraningrat," tanya
Rangga lagi. "Karena aku putri Ayahanda Prabu," sahut AyuNerang.
"Putri Prabu Cakraningrat"
"Bukan' Dia bukan raja. Dia pemberontak, dan telah memnjarakan Ayahanda Prabu.
Bahkan juga telah membunuh Ibunda Permaisuri. Tajam nada
suara Ayu Nerang.
"Oh...!" lenguh Rangga panJang.
*** 7 Pagi baru saja menyingsing. Seekor kuda putih
berlari cepat membelah jalan besar berdebu. Kuda yang dipacu bagai dikejar setan
itu membuat debu membumbung tinggi ke udara. Pagi yang masih
berkabut itu berubah menjadi gaduh oleh derap
kaki kuda putih. Penunggangnya seorang pemuda
berwajah cukup tampan mengenakan baju ketat
berwarna putih.
Penunggang kuda itu mengarahkan lari kudanya
menuju sebuah bangunan besar yang dikelilingi
pagar tembok tinggi dan kokoh. Tampak di depan
pintu gerbang yang terbuka lebar, dua orang
berseragam prajurit membungkukkan tubuh ketika
kuda putih itu melewatinya, menerobos masuk
tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Hup!"
Penunggang kuda putih itu langsung saja
melompat turun sebelum kudanya berhenti berlari.
Ringan sekali lesatannya,
pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dengan langkah
lebar dan tergesa-gesa, pemuda berbaju putih ketat itu memasuki bangunan besar
yang temyata merupakan sebuah istana yang sangat megah.
Beberapa orang berseragam prajurit yang
berpapasan, langsung membungkukkan tubuh memberi hormat Pemuda itu tidak menghiraukan
sama sekali, dan terus saja melangkah cepat
melintasi ruangan depan yang cukup besar
beralaskan permadani tebal berwarna merah. Dia
terus saja menerobos masuk ke dalam ruangan
tengah yang lebih besar dan lebih indah lagi.
Tampak di ruangan tengah itu berkumpul
beberapa orang. Mereka menghadap ke arah
seorang laki-laki setengah baya yang duduk di kursi indah berukir, berlapiskan
emas dan bertahtakan
batu-batu permata. Pemuda berbaju putih itu
bergegas menghampiri setelah memberi hormat
dengan setengah membungkuk dan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan dada. Semua
orang yang ada di ruangan itu memperhatikannya.
Pemuda itu berdiri di depan laki-laki setengah
baya yang duduk angkuh di singgasana, didampingi seorang wanita berparas cantik.
Pakaiannya merah ketat dan agak tipis, sehingga membentuk lekuk
tubuhnya yang indah.
"Ada apa, Naga" Kenapa kembali seorang diri?"
berat suara laki-laki setengah baya yang duduk di sing?gasana itu.
"Ampunkan hamba, Kakang Prabu Cakraningrat
Hamba terpaksa kembali sendiri, bukan karena
gagal melaksanakan tugas. Tapi ada yang lebih
penting hendak hamba sampaikan," sahut pemuda berbaju putih Itu yang dipanggil
Naga. "Hm..., katakan," pinta Prabu Cakraningrat
"Kakang Prabu, hamba telah menemukan Ayu
Nerang dan Patih Kumbayana. Mereka ada di
Lereng Gunung Antang. Tapi...," Naga menghentikan kalimat-nya.
'Teruskan, Naga," pinta Prabu Cakraningrat
"Hamba berhasil menewaskan Patih Kumbayana.
Tapi, Ayu Nerang berhasil lolos karena ditolong
seseorang. Hamba berusaha mengejar. Dan ternyata persembunyiannya di Desa
Antang, tidak jauh dari Desa Muara, Kakang Prabu. Hamba sudah
berusaha merebut kembali Ayu Nerang, tapi orang
itu sangat tangguh. Terlebih lagi, kelihatannya
seluruh penduduk desa itu melindunginya," kata Naga.
"Ki Bawung...," desis Prabu Cakraningrat "Dia memang selalu setia pada Kakang
Natayuda. Terlebih lagi Ki Randung, Kepala Desa Muara yang juga Guru Besar Padepokan
Muara." "Kakang Prabu, selama ini hamba juga
menyelidiki kalau kedua desa itu menampung para
pelarian. Dan hamba juga tahu kalau Desa Antang
selalu bermusuhan dengan Kaum Pemuja Setan
yang tinggal di Gua Lorong Angin. Hamba sudah
membuat sebuah malapetaka besar bagi Desa
Antang, Kakang Prabu," sambung Naga.
"Hm, apa itu?"
"Hamba berhasil membunuh Ratu Lereng
Antang dengan meminjam tombak dari Padepokan
Muara. Dengan demikian hamba yakin, Kaum
Pemuja Setan akan menyangka kalau Desa Antang
dan Desa Muara bersatu hendak meruntuhkan
mereka." "Ha ha ha...!" Prabu Cakraningrat tertawa terbahak-bahak
mendengar laporan pemuda berbaju putih itu.
Pemuda itu hanya tersenyum saja, dan sempat
melirik orang-orang yang berada di ruangan itu
Mereka semua hanya diam sambil menundukkan
kepala. Tapi pemuda berbaju putih itu tidak
menghi-raukannya, meskipun bisa merasakan kalau
semua orang di ruangan ini tidak menyukai
Iaporannya. Baginya, yang terpenting adalah Prabu Cakraningrat menyukainya.
Pemuda itu juga melirik ke arah wanita cantik di samping Prabu
Cakraningrat. Wanita itu hanya tersenyum disertai wajah cerah dan sinar mata
berbinar terang.
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana hasilnya, Naga?" tanya Prabu Cakra?ningrat setelah tawanya berhenti.
"Hamba tidak tahu, Kakang Prabu. Karena
hamba langsung ingin memberitahukan hal ini.
Tapi...," kembali Naga memutuskan kalimatnya.
"Ada apa lagi, Naga?"
"Di tengah jalan, hamba melihat Ayu Nerang
bersama monyet keparat itu, Kakang Prabu,"
sambung Naga. "Siapa?"
"Orang yang Kakang Prabu mintai tolong
membawa Ayu Nerang ke sini," terdengar dingin nada suara Naga.
"Rangga, maksudmu?" Prabu Cakraningrat terlihat terkejut
"Benar! Dialah
yang juga menghalangiku membawa Ayu Nerang waktu di Desa Antang."
"Rangga...," desis Prabu Cakraningrat "Di mana kau melihatnya?"
*** Prabu Cakraningrat berjalan mondar-mandir
dalam kamar peristirahatannya. Raut wajahnya
nampak kusut Keningnya juga berkerut dalam,
pertanda tengah dipenuhi berbagai macam pikiran.
Laki-laki berusia separuh baya itu berdiri tegak di depan jendela yang terbuka
lebar. Terdengar
tarikan napasnya yang panjang Kepalanya berpaling ke belakang saat mendengar
ketukan di pintu. Dan sebelum membuka mu-lut, pintu kamar ini terbuka.
Muncul seorang wanita berparas cantik mengenakan baju merah yang ketat dan agak tipis.
"Dinda Ningrum...," desah Prabu Cakraningrat seraya membalikkan tubuhnya.
Wanita itu tersenyum, lalu melangkah menghampiri setelah menutup pintu kembali.
Berdirinya begitu dekat dengan Prabu Cakraningrat Kemudian, diling-karkan
tangannya di leher laki-laki setengah baya itu.
'Tampaknya Kakang murung. Ada apa?" lembut
suara Ningrum. "Hhh...,"
Prabu Cakraningrat mendesah panjang. Dilepaskan rangkulan wanita itu, lalu
kakinya melangkah
menghampiri pembaringan. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki
setengah baya itu dudukdi tepi pembaringan.
Ningrum menghampiri, kemudian menempatkan
dirinya di samping laki-laki itu. Dengan manja
digayutkan tubuhnya begitu rapat
"Kanda tidak perlu gelisah. Adikku pasti bisa membawa Ayu Nerang ke sini. Toh
dia sudah tahu di mana anak setan itu sekarang," bujuk Ningrum masih tetap lembut suaranya.
"Aku percaya, Dinda. Tapi bukan itu yang
menjadi beban pikiranku saat ini...," ujar Prabu Cakraningrat setengah mendesah.
"Apa yang kau pikirkan, Kanda?" "Rangga."
"Hhh...! Kenapa anak itu menjadi beban pikiran"
Bukankah Kanda sendiri yang memintanya untuk
mencari Ayu Nerang" Kanda juga yang menyuruh
adikku mengawasinya. Sekarang Ayu Nerang sudah
ditemukannya, dan kini adikku sedang menjemputnya. Kenapa harus dipikirkan lagi?"
"Dinda.... Waktu melihat Rangga bertarung
untuk membantuku menumpas sisa-sisa prajurit
yang tetap setia pada Kanda Natayuda, sebenarnya sudah kurasakan kalau dia
seorang pendekar
kelana. Kepandaiannya pun sangat tinggi. Waktu itu aku hanya merasa saja, dan
belum menyadari kalau sebenarnya dia adalah Pendekar Rajawali Sakti. Itu pun
baru kuketahui dari Kakang Natayuda di
penjara. Dia tidak sadar menggumamkan nama itu
ketika aku menyebut nama Rangga. Dan nampaknya
Kakang Natayuda gembira karena Ayu Nerang
berada bersama Pendekar Rajawali Sakti itu,"
ungkap Prabu Cakraningrat mengemukakan ganjalan yang mengganggu benaknya.
'Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ningrum.
"Manusia tanpa tanding pada saat ini."
"Itulah yang menjadi beban pikiranku saat ini, Dinda Ningrum."
"Kenapa" Bukankah dia tidak tahu maksud kita yang sebenamya?"
"Aku yakin sekarang dia sudah tahu, Dinda.
Cobalah kau pikir. Kalau tidak tahu, tentu sudah membawa Ayu Nerang langsung ke
sini. Tapi mengapa sekarang malah menetap di Padang Gajah"
Mengapa tidak membawa Ayu Nerang ke sini?"
Prabu Cakraningrat seperti bertanya sendiri.
Ningrum hanya diam. Pandangan matanya dalam
ke arah wajah laki-laki di sampingnya. Sedangkan yang dipandangi hanya menatap
lurus dan kosong ke depan. Untuk sesaat tidak ada yang berbicara.
Ningrum bangkit berdiri dan melangkah mendekati
jendela, lalu berdiri bersandar membelakangi
jendela yang terbuka lebar.
"Kakang, bagaimanapun juga kita harus mendapatkan Ayu Nerang," tegas Ningrum.
"Itu pasti, Ningrum. Tapi...," kata-kata Prabu Cakraningrat terputus.
"Pendekar Rajawali Sakti itu...?" tebak Ningrum.
"Tidak ada jago-jago di Banyudana ini yang
mampu menandinginya. Bahkan kehadirannya bisa
menjadi ancaman terbesar bagi kita semua, Dinda
Ningrum," ada sedikit nada keluhan pada suara Prabu Cakraningrat
"Yah.... Dan semua ini salahmu juga, Kakang.
Sebelumnya sudah kuperingatkan, jangan melibatkan orang asing yang belum kita kenal
dengan baik. Tapi kau malah berkeras hanya karena dia mampu seorang diri
memporak-porandakan sisa-sisa
prajurit yang membangkang,"
Ningrum menyalahkan laki-laki setengah baya itu.
"Waktu itu aku tidak tahu kalau dia sebenamya Pendekar Rajawali Sakti, Dinda.
Aku begitu terpesona dengan ilmu olah kanuragannya yang
tinggi." "Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
tanya Ningrum. Prabu Cakraningrat tidak langsung menjawab,
tapi hanya diam saja. Pandangannya kosong, lurus menatap ke depan. Beberapa kali
ditarik napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya
yang mendadak seperti terasa sesak. Memang tidak mudah
untuk menyelesaikan persoalan ini. Masalahnya, yang harus dihadapi adalah seorang
tokoh rimba persilatan kelas satu yang sukar dicari tandingannya saat ini.
Ningrum mengayunkan kakinya mendekati pembaringan kembali, kemudian duduk di samping
laki-laki setengah baya itu. Dengan lembut
dilingkarkan tangannya di pinggang, dan diberikannya satu kecupan tipis di pipi Prabu
Cakraningrat "Kanda ingat cerita Naga?" tanya Ningrum lembut dekat sekali di telinga Prabu
Cakraningrat. Desah napasnya yang hangat menerpa di permukaan
kulit wajah laki-laki setengah baya itu.
Prabu Cakraningrat mengangguk, dan memalingkan wajahnya menghadap pada wanita
cantik ini. Begitu dekatnya, sehingga masing-masing dapat merasakan hembusan
napas hangat yang
menerpa wajah. "Kita bisa memanfaatkan orang-orang dari
Kaum Pemuja Setan itu, Kanda," kata Ningrum.
"Aku tidak mengerri maksudmu, Dinda."
"Kalau kau memperhatikan semua cerita Naga, pasri bisa mengerti maksudku,
Kanda." Prabu Cakraningrat memandangi wajah wanita
ini dalam-dalam. Meskipun belum bisa dipahami,
tapi diyakini kalau Ningrum sudah mendapatkan
satu pemikiran yang bagus untuk menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu kalau Ningrum
seorang wanita yang berotak cerdas. Selalu saja
bisa menemukan jalan keluar terbaik pada masa-
masa sulit seperti ini. Memang harus diakui, tanpa bantuan
Ningrum, tidak mungkin Kerajaan Banyudana bisa dikuasainya. Bahkan sekarang
dirinya sudah duduk sebagai raja di istana ini.
Prabu Cakraningrat melingkarkan tangannya
dipinggang ramping itu, kemudian mengecup lembut bibir yang merah dan ranum itu.
Ningrum membalas dengan melingkarkan tangannya di leher laki-laki yang lebih
pantas menjadi ayahnya ini. Tak ada lagi yang berbicara. Pelahan-lahan tubuh
mereka doyong, dan rubuh di atas pembaringan.
"Oh, Kanda...,"
rintih Ningrum seraya menggeliat *** Prabu Cakraningrat memandangi sepuluh orang
berpakaian serba hitam yang duduk bersila di atas permadani tebal berbulu halus.
Di samping laki-laki setengah baya itu Ningrum duduk dan selalu
tersenyum. Prabu Cakraningrat beralih menatap
Naga yang berada di samping sepuluh orang
berpakaian serba hitam itu. Mereka itu dari Kaum Pemuja Setan yang sengaja
diundang Prabu Cakraningrat Naga sendiri yang menghubungi
mereka di Lereng Gunung Antang.
"Apakah Naga sudah mengatakan maksudku
mengundang kalian ke sini?" tanya Prabu Cakraningrat Suaranya dibuat berwibawa.
"Hanya sedikit dan kami ingin lebih jelas lagi darimu," jawab salah seorang
laki-laki dari sepuluh orang berpakaian serba hitam itu. Usianya telah
lanjut Rambut, janggut, dan kumisnya telah putih semua.
"Baiklah. Aku yakin kalian semua sudah tahu siapa diriku Dan sekarang ini aku
mempunyai masalah yang sangat pelik. Itu sebabnya kalian
kuminta datang untuk membantu," jelas Prabu Cakraningrat.
"Ha ha ha...!" Laki-laki tua berbaju hitam itu ter-tawa terbahak-bahak.
Sedangkan yang lain
hanya tersenyum tipis. "Ketahuilah,
Prabu Cakraningrat Kami adalah orang-orang yang selalu siap membantu siapa saja yang
menyimpan kebencian. Apalagi orang sepertimu."
'Terima kasih," ueap Prabu Cakraningrat seraya melirik Ningrum yang duduk di
samping kanannya.
"Meskipun utusanmu hanya sedikit saja memberitahu padaku, tapi sudah bisa kumengerti
maksudmu yang sebenamya, Prabu Cakraningrat,"
kata laki-laki tua itu lagi.
"Bagus. Apakah kalian akan menerima" Kini
sudah kusiapkan hadiah yang sangat besar jika
kalian bisa membunuh Pendekar Rajawali Sakti,"
sambut Prabu Cakraningrat gembira.
"Tentu saja kami menerima, Prabu Cakraningrat Tapi ada satu syarat yang harus
dipenuhi."
"Katakan."
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami hanya minta Prabu menyerahkan gadis
kecil yang kini bersamanya."
Prabu Cakraningrat langsung terdiam. Masalahnya, permintaan bantuan kepada sepuluh
Kaum Pemuja Setan ini justru untuk mengambil
Ayu Nerang. Dan sekarang, mereka malah meminta
Ayu Nerang. Prabu Cakraningrat
berpaling menatap Ningrum.
"Bocah itu tidak kita perlukan, Kanda Prabu.
Yang diperlukan hanya selendang sutranya saja,"
tegas Ningrum setengah berbisik.
'Tapi, Dinda...," Prabu Cakraningrat agak
keberatan. "Lupakan kalau dia itu keponakanmu, Kanda.
Yang kita butuhkan hanya selendang sutra ajaib itu.
Kau bisa menguasai seluruh dunia dengan
Selendang Sutra Sakti."
Prabu Cakraningrat diam beberapa saat
Dipandangi sepuluh orang yang masih tetap duduk
bersila beralaskan
permadani berbulu halus bercorak kembang-kembang itu.
"Baiklah, aku menyetujui syaratmu," ucap Prabu Cakraningrat
"Jika demikian, sebaiknya kami segera mohon diri, Prabu Cakraningrat" ujar laki-
laki tua itu seraya bangkit berdiri.
'Tunggu dulu!" cegah Prabu Cakraningrat
Sepuluh orang berbaju hitam yang sudah hendak
pergi, mengurungkan langkahnya.
"Kuminta pada kalian, bawalah Ayu Nerang
lebih dahulu ke sini. Atau kalau tidak, selendang sutranya saja," jelas Prabu
Cakraningrat "Kalau hanya itu kami tidak keberatan, Prabu Cakraningrat Salah seorang
saudaraku akan mengantarkan selendang surra itu padamu," sahut laki-laki tua itu.
Prabu Cakraningrat tersenyum puas. Semula
dikira, orang-orang Kaum Pemuja Setan itu akan
mempertahankan selendang sutranya sekalian. Tapi temyata dugaannya meleset.
Mereka inginkan Ayu
Nerang saja. Prabu Cakraningrat tidak mau tahu,
mengapa mereka menginginkan gadis itu Yang
penting baginya, bisa mendapatkan Selendang Sutra Sakti yang sudah lama diidam-
idamkan. Di samping itu, dia bisa menyingkirkan satu-satunya penghalang terberat
dalam men-capai cita-cita menguasai
seluruh mayapada ini.
Prabu Cakraningrat bangkit dari singgasananya
setelah sepuluh orang Kaum Pemuja Setan itu
meninggalkan Balai Sema Agung ini. Wanita cantik di sampingnya juga ikut berdiri
dan melangkah di sisi laki-laki setengah baya itu, didampingi enam
orangpengawal. Mereka melewati sebuah lorong
yang tidak begitu panjang, dan berakhir di sebuah ruangan luas beralaskan
permadani berwarna merah berbulu halus.
"Kanda, kelihatannya kau tidak senang," tegur Ningrum.
'Terus terang, aku tidak suka kalau Ayu Nerang
jatuh ke tangan manusia-manusia pemuja setan itu!"
rungut Prabu Cakraningrat
'Tapi bukankah Kanda tadi sudah menyetujui
permintaan mereka?"
"Aku memang terpaksa menyetujui. Huh...! Aku tidak mengerti, mengapa mereka
menginginkan Ayu
Nerang...?" rungut Prabu Cakraningrat
"Bagaimana-pun
juga, gadis itu adalah keponakanku. Aku lebih suka Ayu Nerang berada
dalam penjara bersama ayahnya, daripada jatuh ke tangan manusia-manusia iblis
itu!" "Kanda sekarang seorang raja, dan bisa berbuat apa saja sesuka hati," kata
Ningrum mulai merayu lagi.
Prabu Cakraningrat memandang dalam-dalam
pada wanita cantik ini. Sekarang sudah dipahami, apa yang ada di dalam
pikirannya. Sebentar
kemudian diutusnya seorang pengawal untuk
memanggil adik wanita ini yang bernama Naga, atau lebih dikenal berjuluk Iblis
Cakar Naga. Entah siapa nama sebenarnya, yang jelas, laki-laki muda yang kadang
memakai baju putih dan biru itu lebih
senang dipanggil Naga.
Tidak lama berselang, laki-laki muda yang
mengenakan baju putih ketat itu datang ke ruangan besar tempat Prabu
Cakraningrat menunggu.
Dibungkukkanbadannya sedikit kemudian duduk di
sebuah kursi dari kayu jati berukir setelah Prabu Cakraningrat
mempersilakannya.
Prabu Cakraningrat sendiri duduk didampingi Ningrum.
"Adakah yang perlu hamba kerjakan, Kanda
Prabu?" tanya Naga yang lebih dikenal berjuluk lblis Cakar Naga dengan sikap
penuh hormat. "Ada tugas penting untukmu, Naga," ujar Prabu Cakraningrat seraya melirik pada
Ningrum. lblis Cakar Naga memandang Prabu Cakraningrat dan Ningrum bergantian. Sedangkan
Ningrum bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pemuda itu. Diajaknya lblis Cakar
Naga menjauh dari tempat itu. Bahkan Ningrum
mengajaknya ke ruangan lain di sebelah. lblis Cakar Naga
agak heran juga, karena Ningrum membawanya ke ruangan pribadi Prabu Cakraningrat yang tidak boleh dimasuki orang lain.
Bahkan penjaga pun tidak ada di ruangan ini.
"Ada apa, Kak Ningrum?" tanya lblis Cakar Naga. "Jangan panggil aku seperti itu,
Naga!" sentak Ningrum mendelik.
"Oh, maaf. Tapi tidak ada yang mendengar di sini, bukan" Lagi pula kau belum
resmi menjadi permaisurinya," kata lblis Cakar Naga seraya mengerling dan menyunggingkan
senyum di bibir
penuh arti. "Siapa yang akan jadi permaisuri tua bangka itu"!
Aku akan jadi ratu di sini, tahu!" rungut Ningrum.
"Keinginanmu akan terlaksana, Kak Ningrum.
Selama aku masih ada, semua keinginanmu pasti
terlaksana. Ningrum tersenyum mendengar kata-kata adiknya ini. Mereka memang sudah lama merencanakan untuk menguasai Kerajaan Banyudana ini. Dan yang terlebih penting lagi,
seluruh keluarga Prabu Natayuda harus dilenyapkan. Beliau memang telah terguling oleh
adiknya sendiri. Adik dari seorang selir, yang tidak puas karena hanya diberi
kedudukan sebagai
adipati di sebuah daerah kecil.
"Baiklah, Kak. Tugas apa yang harus kujalankan sekarang?" tanya lblis Cakar
Naga. Pemuda itu tidak ingin berlarut-larut yang
nantinya malah membuat Prabu Cakraningrat jadi
curiga. Hal itu harus dicegah sampai seluruh istana dan wilayah Kerajaan
Banyudana ini benar-benar
bisa dikuasai. Mereka harus melaksanakan amanat
yang telah ditinggalkan orang tua dan juga guru
mereka. Amanat penting itu tak mungkin dilupakan dan
harus dilaksanakan! Mereka harus melenyapkan
seluruh keluarga istana dan menguasai seluruh
wilayah kerajaan ini tanpa terkecuali. Dendam yang diturunkan orang tua mereka
yang merasa sakit hati karena Prabu Natayuda membuang dan melarang
mereka kembali ke Kerajaan Banyudana untuk
selama-lamanya. Hal itu terjadi karena satu
kesalahan yang tidak disengaja. Gagal melindungi putra mahkota dalam perjalanan
ke sebuah padepokan untuk menuntut ilmu. Prabu Natayuda
memang hanya mempunyai dua anak. Ayu Nerang,
dan kakak laki-lakinya yang semula dicalonkan
sebagai pengganti ayahandanya. Tapi putra mahkota itu telah
tewas dalam perjalanan menuju padepokan. Bahkan seluruh prajurit yang mengawalnya juga
tewas dibantai perampok. Hanya orang tua lblis
Cakar Naga dan Ningrum yang selamat, yang pada
waktu itu berpangkat panglima.
"Naga! Kau pasti sudah tahu tugas apa yang
harus dilaksanakan," kata Ningrum.
"Mudah saja bagiku untuk melenyapkan Ayu
Nerang, Kak Ningrum," sahut lblis Cakar Naga.
"Itu salah satunya. Tapi yang terpenting lagi, kau harus bisa menguasai
Selendang Sutra Sakti
itu. Dengan selendang itu seluruh dunia akan
kukuasai. Bahkan seluruh rimba persilatan akan
kukuasai!"
"Kak Ningrum memang lebih pantas, karena kau adalah wanita," lblis Cakar Naga
tersenyum. "Ingat, Naga. Hanya kita berdua yang tahu
rencana ini. Katakan saja pada si tua bangka itu kalau kau mendapat tugas untuk
membunuh semua manusia pemuja setan itu, dan kau menyanggupinya."
"Apakah mereka juga harus dilenyapkan, Kak?"
'Tidak perlu. Mereka tidak akan mampu
menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Carilah
kesempatan untuk membawa Ayu Nerang ke sini,
dan yang terpenting Selendang Sutra Sakti itu."
"Siap, Kak."
"Bagus! Kau memang adikku yang setia, Naga."
*** 8 Pagi baru saja menyingsing. Matahari belum lagi
bersinar penuh. Di sebuah padang rumput yang
tidak begitu luas, terlihat Pendekar Rajawali Sakti tengah memadamkan api unggun
bekas semalam. Di
sekitarnya berserakan tulang-tulang ayam hutan
dan kelinci bekas santapannya bersama Ayu
Nerang. Pemuda berbaju rompi putih itu melirik
Ayu Nerang yang masih melingkar di atas tumpukan daun kering sambil memeluk
lututnya. "Ayu..., bangun. Sudah siang..," Rangga menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu.
"Ehhh...," Ayu Nerang menggeliat.
Sebentar gadis itu menggeliat-geliatkan
tubuhnya. Dikucek-kucek matanya, kemudian
bangun duduk. Sepasang bola matanya mengerjap,
membiasakan dengan sinar matahari yang menghangati alam ini. Bibirnya tersenyum melihat Rangga duduk di sampingnya.
"Enak tidurmu semalam, Ayu?" tanya Rangga.
"Dingin," sahut Ayu.
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha...! Tidur di alam terbuka memang
seperti ini, Ayu. Lain kalau tidur di kamar istana."
"Huuu..., Kakang. Ayu kan tidak ingin lagi
pulang ke istana," Ayu Nerang memberengut
"lya..., iya. Aku tahu. Lalu, sekarang kau mau ke mana?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu. Pokoknya jangan bawa aku ke istana," agak merengek nada suara
Ayu Nerang. Rangga merengkuh pundak gadis itu ke dalam
pelukannya. Ayu Nerang memang sudah menceritakan semua yang terjadi. Hati Pendekar
Rajawali Sakti merasa iba melihat nasib yang
diderita gadis kecil ini. Kehidupannya harus
terlunta-lunta akibat keserakahan pamannya. Dan
sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu juga tidak ingin menyerahkan Ayu Nerang
pada Prabu Cakraningrat. Bahkan ingin pula membebaskan
Prabu Natayuda dari dalam penjara.
Saat Rangga baru saja bangkit berdiri,
mendadak bermunculan orang berpakaian hitam.
Seketika itu juga Ayu bergegas berdiri, dan
berlindung di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga bergumam pelan seraya merayapi sepuluh
orang berpakaian serba hitam itu. Rangga tahu
betul bahwa mereka adalah Kaum Pemuja Setan
dari Lereng Gunung Antang.
"Sudah kuduga, kau pasti bersama calon Ratu Lereng Gunung Antang," ujar salah
seorang yang sudah tua.
Sepuluh orang Kaum Pemuja Setan itu langsung
beriompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti
dan Ayu Nerang.
"Bagus! Kalian telah berkumpul di sini. Itu berarti tidak perlu repot-repot
menepuk dua lalat!"
ketus nada suara laki-laki tua berbaju hitam yang berada tepat di depan Rangga.
"Kakang, jangan biarkan mereka membawaku.
Aku tidak mau lagi disuruh makan daging mentah
dan minum darah," tegas Ayu Nerang dari balik tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
'Tenanglah, Ayu. Kau tidak akan kembali pada
mereka," bujuk Rangga menenangkan.
Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling menatap
kuda hitam yang kelihatan tenang merumput di
bawah sebatang pohon beringin. Kemudian pemuda
berbaju rompi putih itu bersiul pendek. Kuda hitam itu meringkik keras sambil
mengangkat kepalanya.
Sungguh luar biasa! Sekali lompatan saja, kuda itu sudah di samping Rangga.
Bergegas Rangga membantu Ayu Nerang naik ke
punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu.
Kini dia segera bersiap-siap menghadapi sepuluh
orang dari Kaum Pemuja Setan yang sudah
mengepung ra-pat siap menyerang.
"Hitam, jaga Ayu Nerang baik-baik," pesan Rangga pada kuda hitam itu
Dewa Bayu meringkik seraya mengangguk-ang-
gukkan kepalanya.
"Berpeganganlah yang kuat, Ayu."
"Baik, Kakang."
Rangga menepuk leher kuda hitam itu tiga kali.
Sekerika Dewa Bayu meringkik keras sambil
mengangkat kaki depannya tiriggi-tinggj ke atas.
Kalau saja Ayu Nerang tidak cepat-cepat
berpegangan kuat-kuat, mungkin sudah terlempar
jatuh. Dan belum juga rasa terkejut Ayu Nerang
hilang, tiba-tiba saja Dewa Bayusudah melompat
bagai kilat melewati kepala salah seorang yang
mengepung itu Dan tanpa diduga sama sekali,
dihentakkan kaki belakangnya, begitu kaki depannya menyentuh tanah. Bughk!
"Hegk!" orang itu mengeluh pendek.
Sepakan kuda hitam itu demikian keras,
sehingga orang berbaju hitam itu terjungkal keras mencium tanah. Tentu saja
kejadian yang tidak
terduga ini membuat yang lain terkejut Terlebih lagi saat melihat orang itu
tidak bangun-bangun lagi, menelungkup di tanah berumput tebal. Tampak ada
dua lubang pada punggungnya bagai tertembus
senjata. Darah mengalir deras dari lubang di
punggung itu "Setan keparat! Monyet..! Seraaang...!" umpat laki-laki tua berambut putih itu
seraya memerintah.
Kini tinggal sembilan orang pemuja setan itu
yang hidup, dan langsung beriompatan menyerang
Enam orang mengeroyok Rangga, dan tiga orang
lainnya menyerang Dewa Bayu dengan Ayu Nerang
berada di punggungnya.
Rangga yang sudah bersiap sejak tadi, tidak
tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan
jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'
yang sangat dahsyat Terlebih lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah menyempurnakannya.
Bahkan sudah dapat menggabungkan dan membuat
bermacam-macam kombinasi. Sehingga dari lima
jurus andalan 'Rajawali Sakti', bisa didapatkan
begitu banyak jurus yang sangat dahsyat dan
mematikan. Meskipun Rangga bertarung tanpa mempergunakan senjata, namun bagi enam orang
pemuja setan itu tidak mudah untuk mendesaknya.
Bahkan jadi kewalahan menghadapi serangan-
serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu
dahsyat Setiap pukulannya mengandung hawa panas
disertai hembusan angin kencang yang membuat
mereka menjadi kehilangan keseimbangan saat
berusaha menghindar.
*** "Aku tidak punya banyak waktu! Sebaiknya
menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran!" seru Rangga tanpa menghentikan
serangan-serangannya.
"Jangan banyak omong! Kau atau kami yang
mati!" salah seorang lawan menyahuti.
"Kalian yang memaksa! Terimalah! Hiyaaat..!"
Seketika itu juga Rangga memperhebat serangannya. Setiap kali pukulan dilontarkan, selalu disertai pengerahan tenaga
dalam yang sudah
mencapai pada taraf kesempumaan. Tahap yang
sukar dicapai kaum rimba persilatan. Tentu saja hal ini membuat enam orang
berbaju hitam itu
bertambah kerepotan. Mereka jumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Terlebih lagi, saat ini Rangga
mengerahkan jurus 'Seribu
Rajawali' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'. Wuk!
Satu pukulan dilepaskan Pendekar Rajawali
Saktitepat pada saat seorang lawannya mencoba
menghantamkan tongkatnya ke arah kepala.
Pukulan Rangga yang begitu cepat tidak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam dada orang itu.
Buk! "Akh!"
Satu jeritan keras tertahan mengiringi terjungkal-nya orang itu. Seketika hidupnya
berakhir. Cepat sekali Rangga memutar tubuhnya
sambil melepaskan dua pukulan sekaligus. Kedua
tangan yang sudah memerah akibat pengerahan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang sudah
mencapai taraf terakhir itu tepat menghantam dua orang yang berada dekat
dengannya. Bugk! Des...! Dua jeritan terdengar saling susul, kemudian
dua tubuh berbaju hitam kontan menggelepar di
tanah. Kembali Rangga cepat memutar tubuhnya,
tapi tidak segera menyerang. Sebab, tiga orang
lainnya kelihatan hanya terkesima melihat tiga
temannya tewas hanya dalam dua gebrakan yang
begitu cepat dan dahsyat. Gerakan Pendekar
Rajawali Sakti itu memang sukar sekali diikuti
pandangan mata biasa. Ini karena
Rangga menggabungkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' dengan jurus 'Seribu Rajawali'.
Rangga sempat melirik kuda hitamnya. Rupanya
Dewa Bayu itu juga sudah berhasil merobohkan
dua penyerangnya. Tampak dua sosok mayat
tergeletak di dekatnya dengan kepala pecah dan
dada remuk. Kinitinggal empat orang yang masih
hidup. Dua orang sudah berusia lanjut, sedangkan dua orang lainnya berusia
sekitar empat atau lima puluh tahun.
"Kau benar-benar manusia tanpa tandingan saat ini, Pendekar Rajawali Sakti.
Tingkat kepandaianmu sungguh sukar diukur," kata laki-laki tua yang berdiri
paling depan. Sedangkan tiga lainnya berada di bela-kangnya.
"Hmmm...," Rangga hanya menggumam saja tidak jelas.
"Aku berpikir, mungkin memang sebaiknya di
antara kita tidak pernah terjadi sesuatu yang saling mengganggu...," sambung
laki-laki tua itu lagi.
"Bagus! Jika kalian masih sayang nyawa,
sebaiknya segera enyah dari sini," sambut Rangga diiringi senyum.
"Kami akan pergi, tapi kau harus menyerahkan gadis kecil itu padaku," kata laki-
laki tua itu. "Jika menolak...?"
"Rangga! Sebaiknya kau bisa mengerti. Keberadaannya sangat berarti bagi kelangsungan
Kaum Pemuja Setan, karena Dewa Agung sudah
memilihnya menjadi ratu di Lereng Gunung
Antang." "Kalau memang demikian,.tanyakan saja padanya sendiri," Rangga berpaling
memandang Ayu Nerang yang masih duduk di punggung kuda hitam.
"Tidak! Aku bukan ratu kalian, manusia-manusia lblis!" sentak Ayu Nerang garang.
"Kalian dengar sendiri,
bukan?" Rangga tersenyum. 'Tapi Dewa Agung sudah memilihmu! Dan lagi,
kau akan menjadi penerus kami semua yang sudah
tua-tua ini. Tugasmu adalah mengumpulkan Kaum
Pemuja Setan yang tersebar entah di mana."
"Masa bodoh dengan Dewa Agung kalian!"
dengus Ayu Nerang ketus.
"Sebaiknya kalian jangan memaksa," sergah Rangga seraya melangkah menghampiri
gadis itu yang masih tetap duduk di punggung Dewa Bayu.
Laki-laki tua itu menatap tiga orang yang kini
sudah berada di sampingnya mengapit Kemudian
tanpa berkata apa-apa lagi, mereka serentak
berlompatan ke arah Ayu Nerang. "Hey...!" Rangga terkejut. Wut!
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat sambil menarik pedang pusakanya.
Seketika cahaya biru memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu.
Tiga kali Rangga mengebutkan pedangnya.
Dan.... Wut, wut, wut...!
Crab! Bres! Jeritan-jeritan melengking langsung terdengar
me-nyayat. Dua kebutan Pendekar Rajawali Sakti
tepat membelah dua orang yang melompat hendak
menerkam Ayu Nerang. Sedangkan dua lagi berhasil berkelit menghindari. Namun
belum sempat mereka
melakukan sesuatu, Rangga sudah lebih cepat
bergerak. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hiya!" Buk! Cras! "Aaa...!"
Satu orang langsung terjungkal ambruk begitu
pedang bercahaya biru memenggal kepalanya.
Sedangkan seorang lagi terhuyung-huyung terkena
pukulan keras tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti itu, yang mengandung tenaga
dalam sempurna.
Dan belum lagi orang itu sempat menguasai
keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah menyerang
lagi dengan dahsyatnya. Dua kali dikebutkan
pedangnya disertai satu pukulan keras mengarah ke kepala. Serangan yang begitu
cepat dan tak mungkin dihindari lagi
"Aaa...!"
Orang terakhir dari Kaum Pemuja Setan itu
menjerit keras melengking. Tubuhnya langsung
tidak bergerak-gerak lagi begitu ambruk menyentuh tanah. Mati Dadanya terbelah
mengucurkan darah
segar. "Hhh...!"
Trek!
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar biru langsung lenyap begitu Pedang
Pusaka Rajawali Sakti kembali bersemayam di dalam warang-kanya. Tanpa membuang-
buang waktu lagi,
Rangga melompat ke punggung kudanya di belakang
Ayu Nerang Langsung digebah kuda hitam itu agar
cepat berlari "Ke mana, Kakang?" tanya Ayu Nerang.
"Ke istana!" sahut Rangga.
"Apa..."!"
"Kita bebaskan ayahmu!"
*** Rangga terkejut bukan main begitu tiba di
depan Istana Kerajaan Banyudana. Suara hiruk
pikuk terdengar dari dalam benteng istana. Pintu gerbang benteng tampak sudah
jebol berantakan.
Rangga terus menggebah kuda hitam agar berlari
cepat menerobos masuk. Namun begitu melewati
pintu gerbang, Rangga langsung menghentikan lari kudanya.
Di halaman depan istana tampak pertarungan
sengit dua kelompok besar sedang berlangsung.
Rangga tidak tahu masing-masing kelompok itu, dan hanya dapat bengong memandangi
pertempuran itu
dari punggung kudanya. Sedangkan Ayu Nerang
juga kelihatan terkesima dengan mulut terbuka
lebar. "Apa yang terjadi, Ayu?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu," sahut Ayu Nerang. "Mungkin prajurit Ayahanda Prabu hendak
merebut tahta kembali." "Yang mana prajurit ayahmu?" tanya Rangga.
"Seragam biru. Tapi...," suara Ayu Nerang terputus.
Tampaknya gadis kecil itu juga kebingungan,
karena tidak sedikit prajurit yang mengenakan
seragam lain. Bahkan mereka yang mengenakan
seragam samajuga saling bertarung. Memang tidak
beraturan pertempuran ini. Sukar untuk membedakan, mana lawan dan mana kawan. Ayu
Nerang sendiri jadi kebingungan, karena juga tidak bisa membedakan. Mereka yang
mengenakan seragam prajurit berwarna biru juga saling
berperang. Demikian pula mereka yang mengenakan
seragam kuning, dan merah bersulamkan benang
emas. "Aku tidak tahu, mereka semua prajurit
Ayahanda Prabu," sergah Ayu Nerang kebingungan.
"Hmmm...," gumam Rangga tidak jelas.
Ayu Nerang sendiri jadi kebingungan. Apa lagi
Rangga yang memang tidak mengetahui yang mana
prajurit sejati, dan yang mana prajurit pemberontak. Seragam yang dikenakan sama persis.
Meskipun warnanya berbeda, tapi bentuknya sama.
Dan mereka sekarang tengah berperang dengan
sengitnya. "Ayu, di mana letak penjara?" tanya Rangga.
"Di belakang, dekat tembok kaputren," sahut Ayu Nerang.
Rangga langsung melompat turun dari kudanya.
"Aku ikut, Kakang. Kau pasti tidak tahu di
mana Ayahanda Prabu ditawan," seru Ayu Nerang.
Rangga mengurungkan niatnya untuk berlari
cepat Sementara Ayu Nerang sudah turun dari
kuda hitam itu, dan langsung memegangi pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Bergegas Rangga menggendong Ayu Nerang.
Maka seketika itu juga dia melompat bagai kilat
menerobos arena pertempuran. Dengan mempergunakan ilmu merlngankan tubuh yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan, Rangga
melesat cepat Yang terlihat kini hanya bayangan
putih berkelebatan menerobos kancah pertempuran itu.
Dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah tiba di depan pintu penjara yang dijaga enam orang prajurit
bersenjata terhunus. Cepat
sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu,
sehingga sebelum bisa menyadari apa yang teriadi, mereka sudah tertotok. Enam
orang prajurit itu
langsung roboh lunglai tak berdaya.
Rangga menurunkan Ayu Nerang dari gendongannya. Sesaat kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, dijebolnya pintu
penjara yang terbuat dari kayu jati tebal dan kokoh.
Pintu penjara itu hancur berkeping-keping hanya
dengan sekali pukul saja. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rangga bergegas menerobos masuk ke
dalam. Ayu Nerang melangkah cepat, mengikuti.
"Ayah...!" seru Ayu Nerang saat melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan
berbaju kumal penuh sobekan. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya. Sinar
mata yang semula redup, seketika menjadi bersinar.
Segera direntangkan kedua tangannya. Ayu Nerang
berlari menghambur ke dalam pelukan laki-laki tua itu. Sementara Rangga hanya
bisa memandangi
tanpa bersuara sedikit pun. Cukup lama juga ayah dan anak itu saling berpelukan
melepas rindu. Pelahan-lahan Ayu Nerang melepaskan pelukan.
"Ayahanda, para prajurit sedang bertempur.
Aku tidak tahu, karena mereka semua mengenakan
seragam prajurit," jelas Ayu Nerang, memberitahu situasi di depan istana.
"Oh...!" laki-laki tua yang tenyata adalah Prabu Natayuda itu terkejut
Dipandangi Rangga yang hanya berdiri saja
memperhatikan. Rangga baru menghampiri setelah
Ayu Nerang meminta Pendekar Rajawali Sakti itu
memutuskan rantai yang membelenggu ayahnya.
Tanpa banyak kesulitan, diputuskan rantai baja itu dengan Pedang Pusaka Rajawali
Sakti. Sesaat kemudian mereka sudah berjalan cepat
setengah berlari keluar. Rangga kembali menggendong Ayu Nerang begitu tiba di luar, dan
langsung melompat Semula Prabu Natayuda juga
hendak dibawanya, tapi laki-laki tua itu menolak.
Dan ternyata Prabu Natayuda masih mampu
mengerahkan ilmu lari cepat diiringi ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi. Sebentar kemudian mereka sudah berada di
beranda depan istana. Tampak sekali kalau Prabu Natayuda begitu terkejut melihat pertempuran
yang terjadi antara para prajuritnya sendiri.
"Berhenti...!" seru Prabu Natayuda keras.
Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu sungguh keras dan menggelegar bagai guntur di siang bolong. Maka,
pertempuran itu berhenti
sekerika. Dan mereka yang bertempur menjadi
terkejut begitu mengetahui Prabu Natayuda sudah
berdiri didampingiputrinya dan seorang pemuda
berbaju rompi putih. Mereka langsung membuang
senjata. Mereka semua berlutut dengan kepala
tertunduk. "Bangkitlah! Dan ambil senjata kalian semua.
Buat barisan menurut kelompok pasukan masing-
masing!" perintah Prabu Natayuda. Suaranya penuh wibawa.
Para prajurit yang tadi bertarung, langsung
bergerak mengikuri perintah. Mereka membuat
barisan menurut kelompok yang dibedakan dari
wama seragam yang dikenakan.
Tanpa ada yang menyadari, diam-diam Rangga
menyelinap masuk ke dalam istana bersama Ayu
Nerang. Gadis itu tidak mau ketinggalan di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara Prabu Natayuda memberikan pengarahan pada prajurit-
prajuritnya yang sempat terpecah, sedangkan
Rangga dan Ayu Nerang memeriksa seluruh
ruangan di dalam istana itu. Tapi yang dicari kini sudah tidak ada lagi di
dalam. Mereka kembali
keluar, tepat pada saat Prabu Natayuda selesai
memberikan pengarahan. Para prajuritnya kini
sudah bersatu setelah melihat rajanya sudah
kembali dalam keadaan segar dan sehat
"Ayah...," Ayu Nerang menggamit lengan ayah?nya.
"Ada apa, Ayu?" tanya Prabu Natayuda.
'Paman Cakraningrat sudah tidak ada," lapor Ayu Nerang.
Prabu Natayuda memandang Rangga yang
berdiri di belakang gadis kecil ini.
"Benar, Gusti Prabu. Tadi hamba dan Gusti
PutriAyu Nerang sempat memeriksa ke dalam," kata Rangga membenarkan laporan Ayu
Nerang. "Hmmm... Para pengkhianat itu harus ditangkap dan diberi hukuman yang setimpal!"
dengus Prabu Natayuda.
"Kau tidak perlu bersusah payah mencariku,
Kakang!" tiba-tiba terdengar suara.
Prabu Natayuda, Ayu Nerang dan Rangga
terkejut Mereka menoleh ke arah suara itu
Keterkejutan mereka bertambah begitu melihat
Cakraningrat "Adi Cakraningrat kau harus mempertanggung-
jawabkan perbuatanmu!" ujar Prabu Natayuda.
"Akan kutanggung semuanya asal kau mampu
mengalahkanku!" tantang Cakraningrat
"Blar aku yang menghadapinya, Gusti Prabu,"
pinta Rangga. Prabu Natayuda memandang Pendekar Rajawali
Sakti Kemudian mengangguk. Rangga menjura
memberi hormat blu melangkah menghampiri
Cakraningrat Belum juga Rangga melakukan sesuatu, mendadak saja Cakraningrat melompat sambil
berteriak keras menerjang. Rangga segera berkelit menghindari serangan itu. Tapi
Cakraningrat tidak memberi kesempatan lagi Dia terus mendesak
dengan cepat dan dahsyat
"Hmmm...," Rangga bergumam pelan.
Dalam beberapa jurus saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah dapat mengukur tingkat kepandaian
lawannya. Dan dengan satu lesatan secepat kilat
Rangga melambung ke atas seraya mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Pemuda berbaju rompi putih itu menyambar
Cakraningrat dengan kaki.
Des! Prak...! "Aaa...." Cakraningrat menjerit keras.
Selagi rubuh Cakraningrat terhuyung sambil
memegangi kepalanya, Rangga melepaskan lagi satu pukulan keras bertenaga dalam
sempuma. Dughk! Tanpa bersuara sedikit pun, Cakraningrat
terjungkal. Dia tewas dengan kepala pecah dan
dada melesak remuk. Rangga menarik napas
panjang, dan berbalik menghadap Prabu Natayuda.
"Kakang...!" seru Ayu Nerang seraya berlari dan langsung memeluk Rangga.
"Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya padamu, Anak Muda. Kaulah pendekar
pembela keadilan," ujar Prabu Natayuda.
"Ah! Hamba hanya orang biasa yang berjalan di jalur kebenaran, Gusti Prabu. Dan
karena tugas telah selesai, maka hamba mohon pamit," ujar Rangga se?raya memberi hormat
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat
melewati kepala-kepala prajurit yang berbaris rapi di depan bangunan istana itu.
Sebelum ada yang
menyadari, Rangga sudah berada di punggung kuda
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hitamnya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu belum juga menggebah Dewa BayU.
Dipandangi Ayu Nerang yang berdiri di samping ayahnya. Gadis kecil itu juga menatap lurus.
Tampak butiran air bening menggulir di pipinya.
Rangga mengangkat tangannya pada Ayu
Nerang. Kemudian digebahnya kuda hitam itu
dengan cepat Bagai anak panah terlepas dari busur, kuda hitam itu melesat
menerobos pintu gerbang
yang hancur berantakan. Sekejap saja Dewa Bayu
sudah lenyap di batik tembok benteng istana
bersama Pendekar Rajawali Sakti yang kembali
mengembara dengan tujuan memerangi keangkaramurkaan. Sementara itu di dalam istana, Prabu Natayuda sudah sibuk
membenahi aparatnya
yang berantakan. Hal ini terjadi akibat pengkhianatan adik selirnya yang dihasut oleh
seorang wanita cantik yang memiliki dendam
pribadi. Prabu Natayuda sendiri tidak tahu, apakah
kerajaannya akan kembali terguncang, karena ada
beberapa pengkhianat yang berhasil kabur dan
belum tertang-kap. Yang jelas langsung diperintahkan pengejaran yang dilakukan oleh para panglima pilihannya, disertai
para prajurit terlatih yang memiliki kemampuan cukup tinggi. Sementara
Rangga semakin jauh meninggalkan Kerajaan
Banyudana untuk melanjutkan pengem-baraannya
kembali.... Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Sampai jumpa pada episode berikut...
SELESAI Bunga Penyebar Maut 3 Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Pedang Penakluk Iblis 10