Penari Berdarah Dingin 1
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin Bagian 1
PENARI BERDARAH DINGIN
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Penari Berdarah Dingin
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Seluruh rakyat Kadipaten Bojong
Picung saat ini tumpah ruah memadati sepanjang jalan utama kadipaten yang tidak
begitu besar itu. Sorak sorai bergema menyambut serombongan orang berseragam
yang berkuda, mengawal
sebuah kereta besar terbuka. Semua
orang yang memadati pinggir jalan,
mengelu-elukan sekitar tiga puluh orang yang berada di atas kereta itu.
Di antara penumpang kereta, terlihat enam orang wanita berwajah cantik dan
bertubuh indah. Mereka itu memakai kemben dari kain halus berwarna cerah.
Wanita-wanita itu mengumbar senyum dan sesekali melambai-kan tangannya. Tampak
duduk di depan dekat kusir kereta, seorang laki-laki berusia lanjut.
Pakaiannya merah menyolok, dan berikat kepala berbentuk lancip tinggi. Bibirnya
yang hampir tertutup kumis putih, selalu menyunggingkan senyum.
Rombongan kecil itu terus bergerak
mengelilingi seluruh Kota Kadipaten Bojong Picung. Semakin dekat ke arah
kadipaten, semakin banyak orang memadati jalan. Sehingga, laju rombongan itu
agak tersendat. Hal ini membuat orang-orang berseragam prajurit yang berada di
atas, bergegas menghalau
orang-orang yang menghalangi jalan.
"Minggir...! Minggir...!"
Bentakan-bentakan keras terdengar di antara seruan-seruan orang yang
mengelu-elukan penumpang kereta besar itu. Rombongan kecil itu terus mendekati
pintu gerbang kadipaten yang
dijaga ketat sekitar sepuluh orang
prajurit bersenjatakan tombak panjang.
Mereka bergegas membuka pintu gerbang, seraya berjaga-jaga menghadapi orang-
orang yang mencoba menerobos masuk
mengikuti rombongan kecil itu.
"Cepat, tutup pintunya...!" Terdengar teriakan keras bernada
memerintah. Pintu gerbang dari kayu jati tebal
yang tinggi dan kokoh itu ditutup
setelah rombongan kecil melewatinya.
Sorak-sorai masih terdengar di luar benteng kadipaten. Sedangkan rombongan kecil
itu terus bergerak mendekati
sebuah bangunan besar dan indah yang dijaga ketat para prajurit bersenjata
lengkap. Rombongan itu langsung disambut
penguasa Kadipaten Bojong Picung.
Orang-orang yang berada di kereta
terbuka dan cukup besar itu langsung dibawa ke dalam sebuah ruangan besar
beralaskan permadani bulu yang tebal dan
halus. Mereka duduk bersila,
sedangkan sang adipati duduk di kursi berukir didampingi dua orang pengawal.
Di samping Adipati, duduk seorang
wanita cantik berbaju merah dari kain sutera halus yang agak ke-tat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
"Aku gembira akhirnya kau memenuhi undanganku, Ki Jawara," kata Adipati Anggara.
"Hamba merasa undangan ini sebagai suatu kehormatan, Gusti Adipati. Hamba
membawa seluruh anggota, termasuk
penari-penari utama," sahut Ki Jawura.
Adipati Anggara tersenyum, dan
semakin lebar. Bola matanya berputar merayapi wanita-wanita cantik yang
duduk di belakang laki-laki tua berbaju merah. Di belakang laki-laki tua itu,
duduk berjajar beberapa laki-laki muda dan tua, yang terdiri dari para nayaga
dan para penari pria.
"Kudengar, rombonganmu sudah cukup ter-kenal. Oleh karena itu, aku ingin melihat
pertunjukanmu, Ki Jawura.
Dengan demikian, aku secara khusus
mengundangmu untuk main
di sini, menghibur seluruh rakyatku selama tujuh malam penuh," jelas Adipati Anggara.
"Terima kasih, Gusti Adipati," ucap Ki Jawura seraya menyembah, merapatkan kedua
tangannya di depan hidung.
Sikap Ki Jawura diikuti yang
lainnya. Sehingga, membuat Adipati
Anggara semakin senang, dan senyumnya juga semakin lebar menghiasi kecerahan
wajahnya. Namun tidak demikian dengan
wanita yang duduk di sampingnya.
Wajahnya kelihatan tidak gembira,
bahkan sedikit pun tidak tersenyum.
Sikap wanita muda itu sama sekali tidak mendapat perhatian Adipati Anggara yang
tengah bergembira akan kedatangan
rombongan pimpinan Ki Jawura ini.
"Perjalanan yang kalian tempuh tentu sangat
jauh dan melelahkan. Sudah
kusediakan tempat untuk kalian beristirahat. Malam ini kalian akan tampil khusus
untukku, dan keesokan hari baru bermain di alun-alun kadi-paten," jelas Adipati
Anggara lagi. "Terima kasih, Gusti Adipati," ucap Ki Jawura penuh rasa hormat.
Dengan diantar dua orang prajurit
dan seorang pelayan wanita, rombongan penari itu menuju tempat peristirahatan
nya yang sudah disediakan. Sedangkan Adipati Anggara masih saja duduk di
tempatnya didampingi wanita muda
berparas cantik, dan berkulit putih halus.
"Kelihatannya kau tidak suka, Diah?"
tegur Adipati Anggara baru menyadari sikap wanita itu.
"Ayahanda yang berkuasa di sini.
Nanda tidak bisa berbuat apa-apa,"
sahut wanita berbaju merah itu yang bernama Diah Mardani. Nada suaranya
terdengar keras.
"Kau anakku. Tentu saja kau bisa mengemukakan pendapatmu di sini. Sudah
tentu rombongan penari itu tidak akan kupanggil, kalau kau tidak suka," kata
Adipati Anggara seraya mengelus rambut Diah Mardani yang hitam dan panjang.
Gadis itu tidak menyahut. Diberi-
kannya sembah kepada ayahnya itu dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung. Sebentar kemudian gadis itu pergi dari ruangan itu. Adipati
Anggara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anak gadisnya ini.
*** Alunan gending begitu merdu ditabuh para nayaga yang duduk berjajar rapi di
pojok ruangan besar, dalam bangunan megah Kadipaten Bojong Picung. Di
tengah-tengah ruangan, terlihat enam wanita berwajah cantik yang memiliki tubuh
ramping gemulai melengak-lenggok mengikuti irama gamelan yang ditabuh merdu
menghanyutkan. Ruangan yang besar itu juga telah dipenuhi para tamu
undangan Adipati Anggara.
Semua tamu tidak berkedip menyak-
sikan lenggak-lenggok para penari yang begitu indah dan gemulai. Tampak di
samping kiri Adipati Anggara, duduk Ki Jawura yang selalu mengangguk-angguk
mengikuti irama gamelan. Bibirnya tidak pernah lepas dari senyuman. Sedangkan
mata Adipati Anggara sendiri tidak
lepas ke arah salah seorang penari yang
mengenakan baju biru muda.
"Tampaknya Gusti Adipati menyukai salah seorang penariku," tebak Ki Jawura tiba-
tiba setengah berbisik.
"Oh...!" Adipati Anggara terkejut Buru-buru laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun itu berpaling menatap Ki Jawura yang juga tengah memperhatikannya.
Adipati Anggara kembali
memalingkan wajahnya memperhatikan enam penari wanita yang masih melengak-
lenggok gemulai. Bahkan kini, beberapa tamu undangan mulai ikut menari di
tengah-tengah ruangan besar ini.
"Siapa nama penarimu itu, Ki?" Tanya Adipati Anggara.
"Yang mana, Gusti?" Ki Jawura balik bertanya.
"Yang berbaju dan berselendang biru," sahut Adipati Anggara tanpa mengalihkan
pandangannya ke arah wanita muda berwajah cantik yang sedang menari dengan salah
seorang tamu undangan.
"O..., itu. Namanya Onila. Dia masih keponakan hamba, Gusti," sahut Ki Jawura,
kemudian bibirnya semakin lebar tersenyum.
"Aku ingin kau tidak menyertakan dia menari, Ki," pinta Adipati Anggara.
"Kenapa, Gusti?" Tanya Ki Jawura agak terkejut juga. Sungguh tidak
disangka kalau Adipati Anggara akan berkata begitu. Padahal tadi
bayangannya lain.
"Hentikan saja dia, dan suruh duduk di sini," tegas Adipati Anggara.
"Baik, Gusti."
Ki Jawura bergegas memberi hormat,
lalu beranjak bangkit berdiri dan
melangkah ke tengah ruangan. Laki-laki tua itu langsung mendekati wanita yang
dimaksud Adipati Anggara. Dibisikkan sesuatu di telinga wanita cantik
berbaju biru itu. Sebentar wanita itu menatap Adipati Anggara, lalu melangkah
mengikuti Ki Jawura yang sudah lebih dahulu kembali ke tempatnya.
Wanita cantik yang disebutkan Ki
Jawura tadi bernama Onila ini, berlutut di depan Adipati Anggara dan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan
hidung. Wajahnya tertunduk, seperti
tidak kuasa membalas sorot mata
penguasa Kadipaten Bojong Picung ini.
"Duduklah di sampingku ini, Onila,"
ajak Adipati Anggara lembut.
Onila memandang Ki Jawura, dan laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya
disertai sedikit kerdipan sebelah mata.
Onila memberikan sembah, lalu beringsut duduk di samping Adipati Anggara yang
duduk di kursi berukir indah. Wanita itu duduk bersimpuh di lantai dekat
penguasa Kadipaten Bojong Picung itu.
Adipati Anggara
memandangi wajah
cantik di sampingnya lekat-lekat. Tidak lagi dipedulikan penari-penari lainnya.
Sudah berganti-ganti para tamu undangan
yang ikut menari, dan kelihatannya
begitu puas. Wajah mereka berseri-seri.
Sementara penabuh gamelan semakin giat membuat irama panas yang menambah
semaraknya suasana malam ini.
"Onila, aku ingin kau menari khusus untukku. Hanya untukku," pinta Adipati
Anggara. "Gusti...," Onila terperanjat Langsung diangkat kepalanya, dan ditatapnya laki-
laki setengah baya yang masih
kelihatan gagah itu.
"Jika keberatan, aku tidak akan memaksa," kata Adipati Anggara lagi.
Begitu lembut suaranya.
Onila tidak menjawab. Dipandangi
wajah Ki Jawura yang kelihatannya juga kebingungan
atas permintaan Adipati
Anggara itu. Sukar bagi Ki Jawura
memberi jawaban yang diminta Onila
melalui tatapan mata. Melihat laki-laki tua itu hanya diam saja, Onila jadi
tertunduk. Sementara pesta terus berlangsung semakin meriah.
Sampai jauh malam pesta di kadipaten itu belum juga berakhir. Bahkan semakin
larut, suasana semakin semarak. Ki
Jawura hanya, diam saja. Sesekali
dilirik Onila yang tertunduk. Sedangkan Adipati Anggara tampaknya sudah tidak
tertarik lagi pada suasana ini, tapi tidak ingin meninggalkan tempat sebelum
pesta berakhir. Biar bagaimanapun tamu-tamu undangan nya harus dihormati,
karena mereka tengah bergembira
menghabiskan malam semarak penuh gelak tawa ini
*** Ki Jawura berjalan mondar-mandir di dalam kamar berukuran tidak terlalu besar.
Beberapa kali ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat Sedangkan
di tepi pembaringan, terlihat Onila duduk dengan kepala tertunduk dalam. Dimain-
mainkan rambutnya yang hitam panjang bergelombang. Gadis itu masih mengenakan
kebaya biru muda, dan berselendang biru tersampir di leher yang putih jenjang.
"Tidak kusangka kalau Gusti Adipati be-gitu cepat tertarik...," desah Ki Jawura.
Segera dihentakkan tubuhnya di kursi yang berada di bawah jendela
besar, sambil memandang Onila. "Hhh..., seharusnya...."
"Ki...!" sentak Onila memotong cepat. Diangkat kepalanya menatap pada laki-laki
tua itu. "Terus terang, sejak semula aku
tidak suka dengan ini semua. Aku tidak ingin ter-jadi sesuatu yang tak
diinginkan pada dirimu, Gusti Ayu...."
"Jangan panggil aku Gusti Ayu, Ki!"
potong Onila lagi lebih cepat.
"Tugas ini terlalu berbahaya. Dan
sungguh tidak kusangka kalau Gusti
Adipati justru memilihmu," keluh Ki Jawura.
"Aku suka tugas ini, KI Dan akan ku-laksanakan sebaik-baiknya," kata Onila di-
iringi senyuman manisnya.
"Itulah yang kupikirkan," pelan suara Ki Jawura.
"Jangan khawatir, Ki. Aku pasti tidak akan tergoda. Aku tahu siapa itu Adipati
Anggara," tegas Onila lagi.
"Mudah-mudahan kau bisa menjaga diri, Onila."
Onila tersenyum
semakin manis. Sementara Ki Jawura melangkah keluar dari kamar ini. Onila terbaring
menelentang memandangi langit-langit kamar. Sedikit pun, tidak di-toleh saat
mendengar pintu kamar ini ter-tutup.
Kepalanya baru berpaling setelah tidak terdengar lagi suara langkah Ki Jawura
yang meninggalkan kamar ini.
Malam sudah beranjak pergi, berganti pagi. Pesta semalam membuat semua orang
lelah, dan langsung tertidur. Namun tidak demikian halnya Onila. Gadis
penari itu masih terjaga di pemba-
ringan. Matanya menerawang jauh
menembus langit-langit kamar yang
dikapur putih. Pelahan gadis itu
beranjak bangkit, lalu turun dari
pembaringan. Tapi, Onila kembali duduk di tepi pembaringan itu.
Cukup lama juga Onila duduk diam me-renung di tepi pembaringan, kemudian
kembali bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar ini. Sebentar
ditengok ke kanan dan ke kiri setelah membuka pintu kamar. Ringan sekali kakinya
terayun melangkah menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya
terdapat kamar-kamar yang pintunya tertutup rapat. Bagian belakang kadipaten ini
memang lebih mirip sebuah rumah penginapan.
Onila terus berjalan
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusuri lorong yang cukup panjang.
Gadis itu baru berhenti me-langkah
setelah melewati batas lorong dengan bagian taman belakang kadipaten. Gadis itu
mengernyitkan alisnya saat melihat di dalam taman belakang ada seorang wanita
yang usianya sebaya dirinya.
Wanita berbaju biru muda itu
menoleh, dan tampaknya terkejut begitu melihat Onila tahu-tahu sudah berada di
taman belakang ini. Dipandangi Onila dalam-dalam. Sedangkan Onila mengayunkan
kakinya mendekati, dan berhenti kira-kira lima langkah lagi jaraknya dari gadis
muda berwajah sangat cantik itu.
"Apakah aku mengganggumu, Gusti Ayu?" Tanya Onila sopan, mengenali gadis cantik
ini. Dia adalah Diah
Mardani, putri tunggal Adipati Anggara.
"Ada apa kau datang ke sini?" Diah Mardani batik bertanya, dan nadanya agak
ketus. "Aku tidak bisa tidur, lalu
berjalan-jalan mencari udara segar,"
sahut Onila dengan kening agak berkerut melihat sikap putri adipati ini.
"Banyak tempat yang bisa didatangi di kadipaten ini," masih terdengar ketus nada
suara Diah Mardani.
"Jika Gusti Ayu tidak berkenan, sebaik-nya aku segera pergi dari sini,"
kata Onila seraya membalikkan tubuhnya.
Tapi belum juga gadis penari itu
melangkah pergi, Diah Mardani lebih dulu mencegahnya. Onila memutar tubuhnya
kembali, menghadap putri tunggal adipati Itu. Sesaat mereka tidak
berbicara, dan hanya saling pandang saja.
"Sudah berapa lama kau jadi penari?"
Tanya Diah Mardani seraya duduk di
kursi taman. "Sejak kecil," sahut Onila masih tetap berdiri.
"Kau tidak berdusta?" Nada pertanyaan Diah Mardani jelas terdengar
tidak percaya. Pandangan mata gadis itu juga penuh selidik. Namun Onila bersikap biasa saja,
meskipun dalam hatinya bertanya-tanya juga. Dia hanya diam, membalas tatapan
penuh selidik itu agak tajam.
"Meskipun bukan seorang penari, tapi aku bisa membedakan antara yang sudah
terbiasa menari dan yang bukan," kata Diah Mardani lagi.
"Apa maksud Gusti Ayu berkata
demikian?" Tanya Onila.
"Ki Jawura mengakui kalau kau adalah keponakannya. Tapi kulihat antara kau
dengan yang lain tidak begitu akrab.
Bahkan kau lebih suka menyendiri, dan selalu dekat dengan Ki Jawura. Siapa kau
sebenarnya, Onila?"
Onila terperanjat juga mendengar
kata-kata yang begitu lancar, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling lagi.
Begitu lugas, seperti tidak memiliki beban apa-apa. Namun demikian, ada
sedikit kegelisahan di hati gadis itu.
Onila jadi tidak betah berlama-lama di sini.
"Mungkin Ayahanda atau yang lain bisa tertipu pandangannya! Tapi aku tidak!
Dan kau tidak akan bisa
melaksanakan niat yang terkandung di dalam kepalamu!" Ujar Diah Mardani lagi.
"Maaf, Gusti Ayu. Aku harus
beristirahat," kata Onila seraya cepat-cepat memutar tubuhnya, meninggalkan
taman belakang itu.
"Itu baru peringatan untukmu,
Onila!" Tegas Diah Mardani diiringi senyuman sinis.
Onila mendengar kata-kata itu, tapi tetap menutup telinga. Kakinya berjalan
meninggalkan taman belakang ini.
Sedangkan Diah Mardani masih tetap
duduk memandangi kepergian gadis penari itu. Bibirnya yang selalu basah dan
merah, masih menyungging-kan senyuman.
Entah apa arti senyuman itu, hanya
dirinya sendiri yang tahu.
*** 2 Siang ini udara terasa begitu panas menyengat.
Matahari bersinar terik,
seakan-akan hendak menghanguskan apa saja yang ada di atas permukaan bumi.
Keadaan seperti ini membuat semua orang enggan berada di dalam rumah. Mereka
lebih senang duduk-duduk berangin-angin di bawah pohon. Meskipun angin bertiup
keras, namun tidak mampu mengurangi teriknya cahaya matahari.
Di halaman samping Kedaton Kadipaten Bojong Picung, tampak Diah Mardani
tengah duduk di bawah pohon rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan
matahari. Gadis itu hanya ditemani dua orang emban pengasuh yang terkantuk-
kantuk bersandar pada pohon. Sedangkan Diah Mardani tengah menggosok-go-sok
pedang keperakan yang berkilau tertimpa cahaya sinar matahari.
"Hhh...! Kerja kalian hanya tidur saja!" Rungut Diah Mardani seraya melirik dua
emban pengasuhnya.
"Maaf, Den Ayu. Semalaman kami tidak bisa tidur," sahut seorang emban bertubuh
gemuk dan berselendang kuning
yang melingkari pinggangnya.
"Kalian pasti ikut menonton pertunjukan jelek itu, ya?" Dengus Diah Mardani
ketus. "Tidak, Gusti Ayu. Tapi suaranya
membuat kami tidak bisa memejamkan mata," sahut emban yang bertubuh kurus.
Diah Mardani mendengus. Dimasukkan
pedangnya ke dalam sarungnya, lalu
digeletakkan pedang itu di samping.
Pandangannya beredar ke sekeliling, dan langsung tertumbuk pada sebuah jendela
kamar yang sedikit terbuka. Gadis itu tidak berkedip memandang ke dalam kamar
dari jendela yang terbuka sedikit itu.
"Hm.... Ada apa Ayah berada di dalam kamar Onila...?" Gumam Diah Mardani
bertanya pada dirinya sendiri.
Di dalam kamar itu memang terlihat
Adipati Anggara duduk di tepi
pembaringan. Tidak jauh di depannya, terlihat Onila yang duduk di sebuah kursi
rotan. Entah apa yang tengah
dibicarakan. Terlalu jauh bagi Diah Mardani untuk bisa mendengar percakapan di
dalam kamar itu. Tapi matanya tetap tidak berkedip memandangi kedua orang di
dalam kamar itu.
Diah Mardani menahan napas seketika saat melihat ayahnya bangkit berdiri dan
menghampiri Onila. Jelas terlihat laki-laki setengah baya penguasa
Kadipaten Bojong Picung itu merengkuh pundak Onila dengan kedua tangannya
yang kekar dan membawanya berdiri.
Begitu dekat jarak antara mereka,
sehingga hampir tidak ada batas lagi.
Diah Mardani buru-buru memalingkan muka saat kepala ayahnya tertunduk mendekati
wajah Onila yang terdongak, ditopang jari laki-laki setengah baya itu.
"Dasar perempuan rendah!" Rungut Diah Mardani. Diah Mardani tidak tahu lagi, apa
yang terjadi di dalam kamar itu. Memang, Adipati Anggara bergegas menutup
jendela-nya. Gadis itu segera bangkit berdiri, lalu melangkah cepat menghampiri
kamar itu. Tidak terta-hankan lagi deburan jantungnya yang bagaikan gempuran
ombak di tepi pantai.
Namun belum juga gadis itu dekat
dengan jendela kamar yang sudah
tertutup rapat, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menghadang-nya.
Kalau saja gadis itu tidak cepat-cepat melompat ke belakang, pasti
bayangan merah itu sudah menyambar
tubuhnya. "Bedebah...!" Umpat Diah Mardani.
Gadis itu langsung meraba pinggang-
nya, dan langsung terkejut. Ternyata baru disadari kalau pedangnya tertinggal di
bawah pohon. Dan belum lagi sempat melakukan sesuatu, bayangan
merah itu sudah kembali cepat menerjang gadis itu. Buru-buru Diah Mardani
mengambil sikap menghadang bayangan merah itu.
"Hiya...!"
Des! "Akh..."
Diah Mardani terpental ke belakang
sejauh tiga batang tombak begitu
bayangan merah menghantam tubuhnya.
Beberapa kali gadis itu harus ber-
gulingan di tanah. Namun begitu cepat bangkit berdiri, bayangan merah itu sudah
kembali melesat cepat bagai kilat menerjangnya.
"Ah...!"
Putri Adipati Anggara itu tidak
mungkin lagi berkelit. Dirasakan adanya hentakan kecil di bagian dada. Dan tak
bisa dihindari lagi, tubuh gadis itu melorot turun, lalu ambruk lemas ke tanah.
Sebelum gadis itu menyadari apa yang terjadi pada diri-nya, bayangan merah itu
sudah berkelebat cepat
menyambar, lalu
membawanya pergi.
Begitu cepat gerakan bayangan merah itu, sehingga dua orang emban yang
sejak tadi hanya bisa menonton, jadi terpana tak mampu berbuat apa-apa.
"Tolong...!" Tiba-tiba saja emban bertubuh gemuk berteriak keras begitu
tersadar. Teriakan yang keras itu mengejutkan semua orang yang berada di lingkungan
bangunan besar itu. Emban satunya lagi juga berteriak-teriak menambah ributnya
siang yang panas ini. Tak berapa lama saja, hampir semua orang di Istana
Kadipaten Bojong Picung ini
sudah tumpah ke tempat itu. Mereka berebutan bertanya pada dua orang emban pengasuh
itu. Tentu saja kedua emban itu jadi kebingungan menjawabnya, belum lagi juga
harus menenangkan din dari
keterpanaan dari kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.
*** Adipati Anggara murka bukan kepalang begitu mendapat laporan kalau putrinya di-
culik. Laki-laki setengah baya itu bergegas keluar dari kamar Onila,
sedangkan gadis penari itu hanya
tergolek saja di atas pembaringan
dengan pakaian setengah terbuka. Dipandangi kepergian Adipati Anggara yang
dikawal sekitar enam orang prajurit.
Onila bergegas membereskan pakaiannya, lalu melompat bangkit dari pembaringan.
Bergegas-ditutup pintu yang terbuka itu dan kembali duduk di tepi pembaringan.
"Hhh..., untung saja...!" desah Onila seraya menarik napas panjang.
Gadis itu mendongakkan kepalanya
begitu mendengar ketukan pintu kamar dari luar.
"Masuk...!"
Pintu kamar itu terkuak, dan muncul Ki Jawura. Laki-laki tua itu bergegas masuk
dan menutup pintu itu kembali.
Dipandangi Onila yang rambutnya acak-
acakan, tapi pakaiannya masih lengkap meskipun agak berantakan. Onila bisa
mengerti pandangan Ki Jawura, lalu
mempersilakan laki-laki tua itu duduk.
"Belum terjadi, Ki," desah Onila diiringi hembusan napasnya.
"Ingat, Onila. Jangan sampai kau
terjebak rayuannya. Tugasmu di sini lebih pen-ting dari...," Ki Jawura
menghentikan ucapannya.
"Aku tahu, Ki," potong Onila cepat.
"Onila! Kau sudah mendengar
kalau...."
"Sudah," celetuk Onila sebelum Ki Jawura menyelesaikan ucapannya.
Ki Jawura menghela napas panjang.
Dipandanginya gadis itu dalam-dalam.
Sedangkan yang dipandangi hanya kelihatan biasa saja. Dirapikan pakaian dan
rambutnya. Tidak di-pedulikan lagi
pandangan mata laki-laki tua itu.
"Kejadian ini bisa menyulitkan kita, Onila," kata Ki Jawura seraya memalingkan
mukanya. Kecantikan dan keindahan tubuh Onila memang sangat mengundang, tidak peduli
terhadap laki-laki berusia lanjut. Ki Jawura sendiri selalu mengalihkan
pandangannya ke arah lain kalau sudah merasakan kelelakiannya tergoda. Pokok-
nya, jangan sampai dirinya tergoda
kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu. Dia sadar, siapa dirinya dan siapa
Onila itu. Gadis itu harus dilindungi
dari segala apa pun.
"Mudah-mudahan bukan orang kita yang melakukannya," desah Onila setelah selesai
merapikan diri.
"Siapa yang tahu, Onila. Kudengar kau bertengkar dengan Diah Mardani pagi tadi,"
kata Ki Jawura.
Onila tersentak kaget Sungguh tidak di-sangka kalau Ki Jawura mengetahui tentang
pertengkaran nya dengan putri Adipati Anggara pagi tadi. Dan sekarang gadis itu
diculik orang tidak dikenal.
Onila menatap Ki Jawura dalam-dalam.
Ingin diketahuinya, apakah laki-laki tua ini memandang lain terhadapnya.
Tapi sangat sukar untuk melihat isi hati Ki Jawura. Terlalu datar raut
wajahnya. Malah sinar matanya juga
tidak pernah berubah.
"Separuh rombongan kita adalah orangmu. Dan aku tidak punya hak untuk mengawasi
satu persatu. Maaf, Onila.
Bukannya aku mencurigaimu dengan bertindak menculik Diah Mardani," ujar Ki
Jawura seperti mengerti arti pandangan gadis cantik itu.
"Sebaiknya jangan bicarakan lagi persoalan penculikan ini, Ki. Masih banyak yang
harus dilakukan," tegas Onila.
"Baik, Gusti Ayu.
Hamba hanya menjalan-kan perintah," kata Ki Jawura seraya berdiri dan membungkukkan
badannya memberi hormat.
"Ki Jawura...!" Sentak Onila melihat laki-laki tua Itu. "Sudah berapa kali kau
kuperingatkan"!"
"Maaf, Onila," ucap Ki Jawura.
"Keluarlah!"
Ki Jawura membalikkan tubuhnya dan
melangkah keluar dari kamar ini.
Sedangkan Onila menghenyakkan tubuhnya di pembaringan, namun sebentar kemudian
cepat bangun dan duduk di tepi
pembaringan itu. Pada saat itu Adipati Anggara masuk ke dalam Onila masih
duduk memandangi laki-laki se-tengah baya itu yang juga menatapnya dalam-dalam.
Adipati Anggara menjatuhkan
dirinya di kursi.
"Bagaimana, Gusti Adipati?" Tanya Onila tetap duduk di tepi pembaringan.
"Tidak ada jejak. Sudah ku sebarkan hampir seluruh prajurit kadipaten
mencari Diah Mardani," sahut Adipati Anggara lesu.
"Apakah tidak ada yang melihat, Gusti?"
"Dua orang emban. Tapi mereka tidak tahu siapa yang menculik putriku.
Mereka hanya mengatakan kalau si
penculik memakai baju merah dan lari ke arah Barat."
"Mungkin mereka...," Onila tidak meneruskan kata-katanya.
"Kau tahu siapa orang itu, Onila?"
"Ah! Aku hanya seorang
penari, Gusti, Aku tidak tahu apa-apa," sahut
Onila buru-buru.
Adipati Anggara menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Dia bangkit berdiri, lalu menghampiri Onila. Sepasang tangannya yang kekar
menggenggam erat bahu gadis itu. Onila menengadahkan kepalanya menatap wajah
laki-laki setengah baya itu. Pelahan Adipati Anggara menundukkan kepalanya.
Tapi belum juga dekat, Onila sudah
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencegah dengan halus.
"Gusti harus memusatkan perhatian pada Gusti Ayu Diah," tolak Onila lembut.
"Hhh..." Adipati Anggara menghela napas panjang.
Laki-laki setengah baya penguasa
Kadipaten Bojong Picung itu melepaskan tangannya dari bahu Onila. Dilangkahkan
kakinya mundur dua tindak. Segera
dibalikkan tubuhnya, kemudian melangkah keluar dari kamar ini. Tapi sebelum
menutup pintu, kepalanya menoleh.
"Aku akan memintamu secara resmi pada Ki Jawura," tegas Adipati Anggara.
"Gusti...!" Onila tersentak kaget.
Namun Adipati Anggara sudah keluar dan menutup pintu kamar ini. Onila jadi ter-
longong mendengar ucapan terakhir adipati di Bojong Picung itu. Sesaat lamanya
gadis itu hanya bisa ternganga.
"Oh..., tidak! Ini tidak boleh terjadi...!" desah Onila berat.
Gadis itu menggeleng-gelengkan
kepala-nya. Sebentar kemudian dibanting tubuhnya menelentang di atas
pembaringan. Sepasang bola matanya yang
indah, menerawang jauh ke langit-langit kamar ini. Sungguh tidak di-duga kalau
Adipati Anggara akan mengucapkan kata-kata itu.
Cukup lama juga Onila membaringkan
tubuhnya menelentang merayapi langit-langit kamar, kemudian menggelinjang
bangkit dan keluar dari kamar ini.
Entah lupa atau bagaimana, Onila tidak lagi menutup pintunya. Sehingga, dua
orang penjaga pintu kamar itu terpaksa menutupnya setelah Onila berjalan jauh
meninggalkan kamar yang diperuntuk-kannya
beristirahat. Kamar yang
terpisah dari rombongannya.
*** Sementara itu jauh di sebelah Barat Kadipaten Bojong Picung, tepatnya di Bukit
Cangking, terlihat sebuah
bayangan merah berkelebat cepat menyelinap dari satu pohon ke pohon lain. Di
pundak kanannya tersampir sesosok tubuh ramping yang terkulai lemas tak
berdaya. Rambutnya yang hitam panjang, bergerak dipermainkan angin mengikuti
irama gerakan-orang berbaju merah itu.
Arah yang dituju jelas, puncak
bukit. Namun jalan yang dilalui sungguh tidak menguntungkan. Pepohonan begitu
rapat dan mendaki sangat terjal. Belum lagi bebatuan di lereng bukit ini
nampak rapuh dan mudah sekali longsor.
Namun orang berbaju merah itu terus bergerak cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh."
"Eh...!" tiba-tiba saja orang itu tersentak kaget ketika tampak di
depannya duduk seorang pemuda.
Kelihatannya pemuda berwajah tampan dan berambut panjang tergelung ke atas itu,
juga terkejut dengan kedatangan orang berbaju merah. Masalahnya, orang itu
memanggul sesosok tubuh ramping berpakaian sangat indah dari bahan
sutra halus, dan beri sulamkan benang-benang emas. Pemuda itu sampai ter-
lonjak berdiri.
"Kisanak, ada apa kau di sini"!"
Kasar sekali teguran orang berbaju merah itu.
Pemuda itu tidak menyahuti.
Dikerutkan alisnya
hingga bertaut rapat. Dari bibirnya terdengar suara gumaman kecil yang tidak begitu jelas.
Sepasang bola matanya sangat tajam
merayapi wajah seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun yang memondong seorang wanita di pundaknya.
"He, Anak Muda! Apa kau bisu"!"
Bentak orang itu semakin kasar nada suaranya.
"Tidak," sahut pemuda itu kalem, namun bernada penuh ketegasan.
"Minggirlah!" bentak orang itu lagi.
"Hm.... Kenapa begitu kasar, Ki sanak" Dan siapa yang kau bawa itu"
Apakah terluka?" Tanya pemuda itu.
"Bukan urusanmu!" Bentak orang berbaju merah itu sengit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang berbaju merah itu melompat cepat bagai ki-lat. Kalau saja pemuda berbaju
rompi putih itu tidak bergegas
menyingkir, pasti tubuh-nya sudah
terlanda. Begitu cepat
lesatan-nya, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan.
"Hm...," pemuda itu menggumam pelan.
Wut! Mendadak saja pemuda itu melesat ke arah perginya orang berbaju merah.
Begitu cepat-nya, sehingga bagai hilang saja. Sementara itu orang berbaju merah
yang memondong sosok tubuh ramping di pundak, terus berlari cepat mendaki Lereng
Bukit Cangkring ini. Cepat
sekali gerakannya, sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja sudah tiba di
puncak. Orang itu melemparkan tubuh yang
dipanggulnya begitu saja ke tanah,
kemudian mendekati sebongkah batu
besar. Sebentar di-pandangi batu itu, lalu kedua telapak tangannya ditekan kuat-
kuat ke batu itu. Pelahan-lahan batu itu menggeser ke samping. Tampak sebuah
mulut gua terpampang, setelah
batu itu tergeser cukup lebar.
Dan begitu dia berbalik, langsung
menyumpah. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan ram-but panjang agak
tergelung ke atas. Dia hanya mengenakan baju rompi putih, dan gagang pedangnya
yang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggung.
"Kau lagi...! Mau apa kau ke sini"!"
geram orang berbaju merah itu sengit.
"Hanya kebetulan lewat," sahut pemuda itu kalem, seraya melirik sosok ramping
yang tergolek lemas di tanah.
"Apakah gadis itu terluka?"
"Sudah kubilang, itu bukan urusan mu!" bentak orang berbaju merah itu semakin
tidak senang. Pemuda berbaju rompi putih itu tidak menghiraukan bentakan keras yang tidak
bersahabat itu. Dihampirinya gadis yang tergolek di tanah, lalu diperiksa.
Mulutnya bergumam pelan, lalu wajahnya berpaling pada orang yang berbaju
merah. Tampak sekali kalau wajahnya memerah menahan kemarahan.
"Dia hanya tertotok jalan darahnya.
Apakah kau yang melakukannya, Kisanak?"
Tenang nada suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sikapmu memuakkan sekali, Anak Muda! Aku paling tidak suka urusanku dicampuri
orang asing!" Geram laki-laki
berbaju merah itu.
"Bukannya hendak mencampuri, tapi nampaknya kau tidak bermaksud baik pada gadis
itu," tetap kalem nada suara pemuda itu.
"Bedebah! Kau benar-benar memuakkan!" Geram orang itu membentak kasar.
Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki
berbaju merah agak ketat itu melompat cepat bagai anak pariah lepas dari
busur. Lesatan disertai lontaran dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu
sungguh cepat dan tidak ter- duga sama sekali. Sehingga pemuda berbaju rompi]
putih itu tidak bisa berkelit lagi.
Cepat-cepat diangkat
tangannya ke depan, lalu disambut dua pukulan
beruntun itu. Des! Buk! Mereka sama-sama terpental ke
belakang begitu tangan masing-masing saling berbenturan keras. Tampak laki-laki
berbaju merah itu bergulingan
sejauh tiga batang tombak. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu hanya
terpental sejauh beberapa langkah saja.
"Setan alas...!" Geram orang berbaju merah itu lengit
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih hanya menggumam pelan saja.
"Anak Muda! Siapa kau sebenarnya"!"
Tanya orang berbaju merah itu kasar.
"Aku kira kau tidak perlu mengetahui namaku, Kisanak," sahut pemuda itu
kalem. "Phuih! Kau terlalu keras kepala, bocah! Kau akan menyesal mencampuri urusan
Klabang Geni!" Ancam orang berbaju merah itu sambil menyombongkan namanya.
"Hm..., Klabang Geni.... Seharusnya kau berada di daerah Wetan. Kenapa
sampai ke-sasar ke daerah Kulon...?"
Pemuda berbaju rompi putih itu bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Heh! Kau tahu aku..."!" Klabang Geni nampak terkejut "Siapa kau sebenarnya,
bocah"!"
"Asal kau tahu saja, Klabang Geni.
Aku urusan khusus dari Kerajaan Karang Setra, dan sengaja datang untuk
mencarimu!" tegas sekali kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu
"Hua ha ha ha...!" Klabang Geni tertawa terbahak-bahak.
"Gusti Prabu memerintahkan aku untuk meminta tanggung
Jawabmu, Klabang
Geni!" tegas pemuda itu lagi.
"Kenapa bukan rajamu saja yang datang, heh"! Kenapa hanya mengirim tikus busuk
padaku" Ha hal ha...!"
Klabang Geni kembali terbahak-bahak.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya menggerung pelahan, melihat kecongkakan
laki-laki berbaju merah yang bernama Klabang Geni itu.
"Bagaimana kau bisa mengetahui Raja Ka-rang Setra, Klabang Geni?" Tanya
pemuda berbaju rompi putih itu dingin.
"Nenek-nenek juga tahu. Raja Karang Setra adalah raja pengecut yang mengaku
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!
Dengar, bocah! Rajamu itu tidak lebih dari seorang pembual kelas teri. Semua
orang tahu kalau Pendekar Rajawali sudah mampus seratus tahun yang lalu!"
Merah padam wajah pemuda itu, namun kelihatannya masih bisa menahan diri agar
tidak terpancing. Tentu saja
Klabang Geni tidak mengetahui Raja Karang Setra, karena memang belum
pernah berjumpa sebelumnya. Dan dia tidak tahu kalau kini sedang berhadapan
dengan seorang pemuda yang mengaku
utusan khusus Kerajaan Karang Setra.
Klabang Geni tidak tahu kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah Rangga,
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, yang juga seorang raja besar di Karang
Setra. Tentu saja Rangga tidak mengatakan dirinya sebenarnya. Dia ingin
memancing dulu, apakah benar Klabang Geni yang membunuh urusan pribadinya ke
Kadipaten Bojong Picung" Dan kalau
memang benar, apa maksudnya" Itu yang ingin diketahui Rangga hingga harus
dirinya sendiri yang mencari Klabang Geni.
"Aku berani bertaruh, kau pasti belum pernah bertemu Prabu Rangga,"
kata pemuda berbaju rompi putih itu dingin nada suara-nya.
"Phuih! Sebaiknya kau pulang saja, bocah! Dan katakan pada rajamu agar jangan
mengganggu Kadipaten Bojong
Picung!" dengus Klabang Geni.
"Sayang sekali! Aku harus kembali, tapi sambil membawa kepalamu, Klabang Geni."
Dingin sekali suara Rangga.
"Keparat..! Kau tidak bisa dikasih ampun lagi, bocah!" geram Klabang Geni.
Setelah berkata demikian, Klabang
Geni langsung melompat menerjang cepat.
Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi
putih itu menggeser kakinya
sedikit ke samping, dan tubuhnya ditarik ke kiri. Terjangan Klabang Geni hanya
sedikit meleset di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
sebelum Klabang Geni bisa menarik
pulang serangannya yang gagal, tangan Rangga sudah berkelebat cepat Dan....
Des! "Akh...!" Klabang Gem memekik tertahan.
Laki-laki berbaju merah menyala itu ter-pental beberapa langkah.
Dan memang, tebasan tangan Rangga tepat mendarat pada bagian pinggang.
"Monyet keparat..!" umpat Klabang Geni geram.
Bet! Bet! Klabang Geni kembali mempersiapkan
dengan jurus lainnya. Dan Rangga
sendiri sudah siap menanti serangan berikut. Pemuda itu kelihatan tenang,
namun tatapan matanya sangat tajam
menusuk langsung ke bola mata Klabang Geni.
"Hiyaaa...!"
"Hait!"
*** 3 Pertarungan antara Rangga melawan
Klabang Geni tidak mungkin dihindari lagi. Mereka adalah tokoh tingkat
tinggi rimba persilatan. Tidak heran, kalau masing-masing langsung mengerahkan
jurus-jurus andalan yang sangat dahsyat dan mematikan. Buat Klabang Geni
sendiri, dia begitu geram karena semula meremehkan pemuda itu. Tapi
kini, sukar baginya untuk mendesak
lawan. Sementara tidak jauh dari tempat
pertarungan, terlihat sosok tubuh
ramping tergolek lemah tak berdaya di tanah berumput tebal. Meskipun tidak
memiliki tenaga untuk bergerak, namun wanita itu masih bisa mengikuti
pertarungan dua orang yang tak dikenal-nya.
Dia berusaha bergerak, namun
seluruh ototnya terasa kaku dan sukar di-gerakkan. Gadis berwajah cantik itu
hanya bisa mengeluh dalam hati dan
memperhatikan jalannya pertarungan.
Namun rasanya cukup sulit untuk
melihat, karena pertarungan itu
berjalan cepat. Sehingga, yang terlihat ha-nya dua bayangan yang berkelebatan
saling sambar saja.
"Awas kaki...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan
peringatan keras menggelegar. Pada saat itu, sebuah bayangan putih berkelebat
cepat menyusur tanah. Sedangkan
bayangan merah melesat ke udara. Namun pada saat yang bersamaan, bayangan
putih melesat juga ke udara.
Dug! "Akh...!"
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-
tahu sosok tubuh
berbaju merah terpental dan jatuh bergulingan di
tanah. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih mendarat manis di tanah. Tepat pada
saat kedua kakinya men-jejak
tanah, Klabang Geni menggelinjang
bangkit berdiri. Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah segar kemerahan.
"Keparat..!" umpat Klabang Geni seraya menyeka darah di mulut dengan punggung
tangan. Bet! Wut! Klabang Geni menyilangkan tangannya di depan dada dengan jari-jari
terkembang, Pelahan ditarik tubuhnya sehingga doyong ke kanan, kemudian
pelahan-lahan pula ditarik tubuhnya ke kiri agak memutar ke belakang. Tampak
napasnya ditarik dalam-dalam. Sedangkan
matanya menatap tajam menusuk ke arah pemuda berbaju rompi putih di depannya.
Melihat lawannya bersiap-siap
memper-gunakan ilmu kesaktian, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tinggal diam.
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera dirapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada. Sebentar
ditariknya napas panjang dan dalam, lalu pelahan-lahan tangannya ditarik ke
samping dengan telapak tangan terkepal.
Kedua kakinya dipentang lebar ke
samping, tepat pada saat kedua tangannya terkepal di sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Klabang Geni melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Terjangannya begitu dahsyat sehingga menimbulkan desiran angin yang sangat kuat,
membuat daun-daun berguguran.
Pada saat Klabang Geni menghentakkan tangannya ke depan, Rangga cepat-cepat
mendorong kedua tangannya ke depan
untuk menyambut serangan laki-laki
berbaju merah itu.
"Hap!"
"Hiyaaa...!"
Glaaar. .! Suatu ledakan keras terdengar bagai gunung meletus, tepat ketika dua pasang
tangan beradu rapat.
"Aaakh...!" Klabang Geni menjerit keras.
Laki-laki berbaju merah itu
terpental keras dan jatuh. Dua batang pohon yang ter-landa tubuhnya langsung
tumbang. Beberapa kali Klabang Geni bergulingan di tanah, tapi masih mampu
bangkit berdiri meskipun agak limbung.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, dan hanya terdorong dua langkah ke
belakang. Tampak sekali dari sinar matanya,
Klabang Geni seperti tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi pada
dirinya. Pemuda itu masih berdiri tegak tanpa mengalami luka sedikit pun.
Sedangkan dirinya sendiri seperti remuk seluruh tulang tubuhnya. Bah-kan
badannya masih terasa sesak dan sulit mengatur napasnya. Tapi rasa penasaran
membuatnya kembali melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hap!"
Tap! Klabang Geni mengangkat kedua
tangannya ke atas lalu menyilangkan tepat pada pergelangannya. Pelahan
diturunkan tangannya sampai di depan dada. Tampak seluruh tubuh-nya bercahaya
merah membara bagai terbakar.
Melihat itu Rangga bergerak mundur dua langkah. Tapi sikapnya masih terlihat
tenang, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman dingin.
"Hiyaaat..!" Klabang Geni berteriak keras menggelegar.
Secepat itu pula dihentakkan
tangannya ke depan. Seleret sinar merah melesat mengarah pada Rangga yang masih
berdiri tegak tak bergeming.
Glar...! Kembali ledakan
keras terdengar.
Asap tebal seketika mengepul saat
cahaya merah tadi menghantam tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ha...!"
Bukan main terkejutnya Klabang Geni begitu asap tebal memudar. Tampak
Rangga masih berdiri tegak pada
tempatnya. Padahal jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti tadi terhantam
sinar merah yang dilepaskan Klabang Geni. Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu
terlihat tersenyum tipis.
"Hiya! Hiya...!"
Klabang Geni jadi geram bukan main.
Segera dihentakkan tangannya dua kali ke depan. Dan seketika dua cahaya merah
bertebaran meluruk deras ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Kembali
terdengar ledakan keras mengguntur dua kali berturut-turut Maka untuk kedua kali
Klabang Geni ternganga me-lihat lawannya yang masih muda mampu menahan ajian
kesaktiannya yang dahsyat.
"Hanya sampai di situ sajakah ilmu kesaktianmu
Klabang Geni?" Rangga
tersenyum penuh ejekan.
"Phuih!" Klabang Geni menyemburkan ludahnya.
Klabang Geni menggerak-gerakkan
tangan-nya di depan dada. Kemudian melompat deras ke arah Rangga. Jari-jari
kedua tangannya terkembang,
menjulur ke depan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak tak
bergeming sedikit pun. Maka, mudahlah bagi Klabang Geni untuk mendaratkan jari-
jari tangannya yang mengembang kaku ke dada Pendekar! Rajawali Sakti.
"Hup"
Pada saat itu Rangga menghembuskan
napas dan mencengkeram pundak Klabang Geni kuat-kuat Tampak cahaya biru
menyelimuti seluruh tubuh Rangga
sedangkan seluruh tubuh Klabang Geni berselimut cahaya merah.
Pelahan-lahan namun pasti, cahaya
biru mulai menyelimuti seluruh tubuh Klabang Geni. Sehingga, cahaya merah
memudar, dan akhirnya lenyap dari tubuh laki-laki berbaju merah itu. Klabang
Geni menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri, namun jari-jari tangannya
menempel erat pada dada Pendekar
Rajawali Sakti.
"Aaa...!"
Klabang Geni menjerit
keras melengking.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga mendorong
tubuh Klabang Geni kuat-kuat. Akibatnya laki-laki berbaju merah itu terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak.
Rangga sendiri melompat ke belakang sekitar tiga langkah. Tampak Klabang
Geni menggeliat-geliat sambil merintih lirih.
Sebentar kemudian laki-laki
berbaju merah itu tak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya kaku membiru, seperti habis
tersengat ribuan ular berbisa.
"Hhh...," Rangga menarik napas panjang dan berat.
*** Pendekar Rajawali Sakti membebaskan totokan pada jalan darah gadis cantik yang
tergeletak di tanah. Gadis itu langsung bangkit duduk. Sebentar
digerak-gerakkan
tubuhnya untuk melemaskan otot-otot yang terasa kaku.
Dipandanginya mayat Klabang Geni yang terbujur kaku membiru, kemudian beralih
pada pemuda tampan berbaju rompi putih yang baru saja membebaskannya dari
totokan Klabang Geni.
"Terima kasih, kau telah menolon-gku," ucap gadis itu.
"Siapa kau" Dan kenapa diculik Klabang Geni?" Tanya Rangga lembut
"Aku Diah Mardani, putri Adipati Anggara di Kadipaten Bojong Picung,"
sahut gadis itu memperkenalkan diri.
"Totokan di tubuhmu tidak mempenga-ruhi jalan pendengaran. Jadi kau pasti
mendengar semua yang kubicarakan dengan Klabang Geni," kata Rangga seraya
menghentakkan tubuhnya bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang
melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.
"Ya," sahut Diah Mardani setengah men-desah.
"Aku memang sedang mencari Klabang Geni, karena dia telah mencegat dan membunuh
urusan pribadi Raja Karang Setra untuk Adipati Bojong Picung,"
jelas Rangga tanpa membuka siapa
dirinya sebenarnya. Padahal, dia sendiri adalah raja di Karang Setra.
"Aku dengar semuanya. Dan kau adalah urusan khusus Prabu Rangga Pari
Permadi," kata Diah Mardani.
Rangga memandangi wajah gadis cantik yang duduk tidak jauh didepan.
Sedangkan yang dipandangi hanya
tertunduk saja, dan mengalihkan
pandangan ke arah lain. Seakan-akan tidak ingin kecantikannya dipandangi pemuda
itu. Atau dibiarkan saja pemuda tam-pan berbaju rompi putih itu
menikmati wajahnya.
"Jika kau memang benar putri Adipati Anggara, aku ingin tahu. Apa benar di
Kadipaten Bojong Picung ini terjadi pemberontakan?" Tanya Rangga yang juga
sepertinya tengah menyelidiki kebenaran pengakuan gadis itu.
"Sepertinya kau tidak mempercayai aku, Kisanak," agak ketus nada suara Diah
Mardani. "Terus terang, kami semua di Karang Setra mendengar kalau di Kadipaten
Bojong Picung terjadi pemberontakan dan usaha penggulingan kekuasaan. Dan ini
pasti akan merembet sampai ke Kerajaan Karang Setra. Maka aku harus bersikap
waspada dan tidak mudah percaya pada siapa pun. Aku harap kau mengerti, Nini
Diah," jelas Rangga.
Diah Mardani hanya mengangkat
bahunya saja. "Nah! Kau mengaku sebagai putri Adipati Anggara. Apakah kau tahu adanya
pemberontakan di kadipaten ini?" Rangga mengulangi pertanyaannya yang belum
terjawab tadi. "Tidak," sahut Diah Mardani.
"Tidak..."!" Pendekar Rajawali Sakti kelihatan terkejut mendengar jawaban Diah
Mardani barusan.
"Keadaan di Kadipaten Bojong Picung aman-aman saja. Sama sekali tidak ada tanda-
tanda bakal ada pemberontakan,"
tegas Diah Mardani.
Rangga mengernyitkan alisnya hingga bertaut menjadi satu. Sesaat lamanya
dipandangi gadis di depannya, kemudian bangkit berdiri seraya menghembuskan
napas panjang dan agak berat. Diah Mardani juga ikut bangkit, lalu
melangkah begitu Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Tak ada
lagi yang bicara, mereka berjalan bersisian dengan pikiran masing-masing.
Cukup lama tidak ada yang berbicara.
Sampai cukup jauh meninggalkan Puncak
Bukit Cangking ini, masih belum ada yang membuka mulut terlebih dahulu.
Mereka terus berjalan membelah kelebatan hutan, menuruni Lereng Bukit
Cangking. Tapi mendadak saja Diah
Mardani berhenti berjalan, lalu menatap lurus Pendekar Rajawali Sakti yang juga
menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap gadis itu.
"Kisanak, selama ini Kadipaten Bojong Picung aman-aman saja. Tapi..,"
suara Diah Mardani terhenti
'Tapi, kenapa?" Tanya Rangga minta di-teruskan.
"Aku tidak mengerti, kenapa Klabang Geni menculikku...?" Tanya Diah Mardani
seperti untuk dirinya sendiri.
"Kalau kau cerdik, kau akan bisa menjawab sendiri," tegas Rangga.
"Pemberontakan..."!"
Diah Mardani memandangi Rangga
dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau ada rencana makar di Kadipaten
Bojong Picung. Kadipaten ini memang berada di wilayah Kerajaan Karang
Setra. Gadis itu benar-benar tidak tahu kalau ada urusan datang ke kadi-paten
ini.. "Kisanak, apa yang dibawa urusan dari Karang Setra?" Tanya Diah Mardani.
"Sepucuk surat khusus Prabu Rangga untuk Adipati Anggara," sahut Rangga.
"Surat..?"
Kembali Diah Mardani
mengerutkan keningnya.
"Kami mendengar akan adanya rencana makar. Itulah sebabnya Prabu Rangga mengirim
urusan dan hendak menanyakan kebenaran berita itu langsung dari
Adipati Anggara. Tapi di tengah jalan, urusan itu telah di-cegat Klabang Geni.
Tiga orang tewas dan seorang berhasil kembali dalam keadaan ter-luka parah, tapi
akhirnya tewas juga ketika sampai di hadapan Prabu Rangga," jelas Rangga tanpa
memberitahukan siapa dirinya sebenarnya. Diah Mardani bungkam, mendengarkan
penuh perhatian. Sungguh mati tidak diketahui kalau di Kadipaten Bojong Picung
akan ada pemberontakan yang
terencana. Dan rencana itu sudah tercium sampai ke Istana Karang Setra, sehingga
Prabu Rangga sampai mengirim urusan khusus untuk menanyakan kebenaran berita
itu. "Kejadian itu semakin memperkuat dugaan kalau Kadipaten Bojong Picung benar-
benar terancam," sambung Rangga.
"Dan kau dikirim
khusus untuk menyelidiki kebenarannya?" sergah Diah Mardani.
"Bukan hanya itu. Aku juga harus melenyapkan Klabang Geni serta
menghancurkan gerombolannya yang
mungkin sudah menyebar dan menyusup ke dalam Kedaton Kadipaten Bojong Picung."
"Oh! Benarkah itu..."!"
"Semua baru
dugaanku saja. Kebenarannya memang harus dibuktikan terlebih dahulu."
"Kalau begitu, Ayahanda harus
diberitahu secepatnya," kata Diah Mardani.
"Kau akan memberitahu pada ayahmu?"
"Tentu!" tegas jawaban Diah Mardani.
"Jika ayahmu tidak percaya?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Aku yang akan bertindak sendiri."
"Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tahu-tahu Rangga jadi tergelitik mendengar
jawaban yang begitu tegas seperti tidak dipikir
lebih dahulu. Diah Mardani jadi
mendelik diperlakukan seperti itu. Tapi Rangga masih saja tertawa terbahak-bahak
sambil melanjutkan berjalan.
Putri Adipati Anggara menggerutu, lalu mengayunkan kakinya mengikuti langkah
kaki Pendekar Rajawali Sakti di
depannya. "Kau boleh saja meremehkan, tapi lihat saja nanti!" rungut Diah Mardani.
"Aku memang pernah mendengar kalau putri Adipati Anggara gemar mempelajari ilmu
olah kanuragan dan kesaktian.
Tapi, rasanya belum cukup untuk
menghadapi para pemberontak," kata Rangga tanpa bermaksud meremehkan.
"Kalau aku sanggup?"
"Aku akan mohon pada Prabu Rangga, agar kau dijadikan pendamping khusus Gusti
Ayu Cempaka."
"Aku pegang janjimu, Kisanak!"
Tentu saja Diah Mardani senang kalau bisa dijadikan pendamping khusus adik tiri
Raja Karang Setra yang sudah
dikenal bukan saja kecantikannya, tapi juga tingkat kepandaiannya. Di samping
itu, Cempaka juga berbudi luhur dan welas asih. Diah Mardani ingin sekali kenal
dengan adik tiri laki-laki Prabu Rangga yang tampan dan juga berkepandaian
tinggi. Sudah tidak terhitung lagi, berapa gadis putri pembesar yang mendekati
Raden Danupaksi. Tapi, pemuda itu seperti belum melirik seorang gadis pun.
*** Bukan main gembiranya Adipati
Anggara mendapati putri tunggalnya
kembali dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Tapi di balik
kegembiraan nya, hatinya ter-kejut
karena Diah Mardani justru kembali
bersama seorang pemuda berbaju rompi putih.
Adipati Anggara tahu siapa
pemuda itu, sehingga buru-buru membawanya ke ruangan khusus. Hanya mereka berdua
saja yang memasuki ruangan itu, tanpa ada seorang pengawal pun di sana.
Bahkan Diah Mardani sendiri dilarang ke ruangan khusus itu.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak menyambut kedatangan Gusti Prabu secara
layak," ucap Adipati Anggara seraya berlutut memberikan sembah.
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangunlah,
Paman Adipati," kata
Rangga lembut. Adipati Anggara bangkit berdiri,
bersikap penuh hormat. Tapi Rangga
meminta untuk bersikap biasa saja,
karena tidak ingin orang lain
mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
"Diah Mardani sudah menceritakan semua peristiwanya. Dan sungguh hamba tidak
menduga kalau Gusti Prabu sendiri yang akan datang, serta menolong putri hamba,"
ucap Adipati Anggara.
"Aku memang datang untuk menemuimu, Pa-man Adipati. Ada sesuatu yang hendak ku-
tanyakan padamu," jelas Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Aku mendapat kabar kalau
ada rencana makar di sini. Itulah sebabnya aku mengutus empat orang yang membawa
surat untukmu. Tapi mereka dicegat
Klabang Geni. Tiga orang tewas seketika dan seorang berhasil kembali dalam
keadaan luka parah, namun akhirnya juga tewas, Kejadian itu membuatku harus
pergi sendiri untuk mengetahui
kebenaran berita yang kudengar itu,"
kata Rangga. "Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak mendekam di Kadipaten Bojong Picung ini,
Keadaannya aman tentram, bahkan kemajuannya sangat pesat."
Rangga menggumam tidak jelas.
Kakinya melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandang keluar. Sedangkan Adipati Anggara ha-nya berdiri saja tanpa
bergeser sedikit pun, masih
bersikap penuh rasa hormat. Pelahan Rangga membalikkan tubuhnya sambil
menghembuskan napas panjang.
"Untuk apa kau
membuat panggung
besar di tengah alun-alun, Paman
Adipati?" Tanya Rangga.
"Gusti..., panggung itu hamba buat untuk rombongan para penari yang hamba undang
selama tujuh hari," jawab
Adipati Anggara terus terang.
"Kau mengadakan pesta?"
"Hanya pesta kecil, Gusti. Rombongan penari
hamba datangkan dari Desa
Kuripan." Rangga mengangguk-anggukkan kepala-
nya. Memang sudah pernah didengarnya kalau di Desa Kuripan terkenal akan gadis
penarinya yang cantik-cantik Desa itu memang seperti suatu tempat
berkumpulnya rombongan penari dan
kesenian rakyat lainnya. Mereka sudah terkenal sampai ke seluruh pelosok
Kerajaan Karang Setra.
"Ampun, Gusti.... Jika Gusti Prabu tidak berkenan, hamba akan menghentikan pesta
dan memulangkan seluruh rombongan penari," ujar Adipati Anggara.
"Tidak! Teruskan saja pes tamu,"
tegas Rangga. "Terima kasih, Gusti. Tapi...."
"Kau teruskan pesta, sementara aku akan menyelidiki terus sampai benar-benar
yakin kalau tidak ada pembe-
rontakan di sini," potong Rangga cepat.
"Hamba akan mengerahkan prajurit dan telik sandi, Gusti," kata Adipati Anggara.
"Tidak perlu, Paman Adipati.
Bersikaplah wajar seperti tidak terjadi sesuatu. Tapi kau harus tetap waspada.
Dan lebih waspada lagi dengan segala yang akan terjadi."
"Hamba, Gusti Prabu."
"Hm...."
*** Malam sudah beranjak semakin larut
Udara yang dingin jadi tidak terasa oleh kehangatan suasana yang ditim-bulkan
rombongan penari pimpinan Ki Jawura. Semakin larut, semakin hangat suasananya.
Ini karena irama gamelan yang ditabuh pada nayaga kelihatan
semakin bergairah.
Namun semua itu seperti tidak
dirasakan Onila yang hanya duduk saja di pinggir belakang panggung di antara
para nayaga. Wajah gadis itu kelihatan murung, seolah-olah sudah jemu berada di
tengah-tengah keramaian ini. Beberapa kali ditariknya napas panjang, tidak
peduli dengan sorotan mata Ki
Jawura yang selalu berada di
sampingnya. "Kau gelisah sekali malam ini, Onila," tegur Ki Jawura.
"Tidak, Ki," desah Onila seraya menghembuskan napas panjang.
"Apa sebenarnya yang kau pikirkan, Onila?" Ki Jawura tidak percaya pada jawaban
Onila. "Hhh...!" Onila mendesah berat.
Gadis itu melayangkan pandangannya
ke depan panggung. Di sana, terlihat seorang pemuda berwajah
tampan mengenakan baju rompi putih tengah
duduk di kursi paling depan. Di
sebelahnya duduk seorang gadis cantik mengenakan baju biru muda yang agak ketat
sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. ki Jawura mengarahkan
pandangannya ke arah yang sama dengan gadis penari itu. Kepalanya terangguk-
angguk seperti bisa mengerti kegelisahan yang terjadi pada diri
Onila. "Aku juga sudah mendengar tentang pemuda itu. Kabarnya, dia utusan khusus
Kerajaan Karang Setra," kata Ki Jawura agak pelan, seolah bicara untuk dirinya
sendiri. Onila kembali mendesah berat Ditatapnya laki-laki tua yang duduk bersila di sampingnya. Sementara para nayaga
terus memainkan gending yang berirama semakin cepat dan hangat. Para
penari berlenggak-lenggok memancing suasana. Tidak sedikit lelaki yang ikut naik
ke atas panggung, memilih para penari yang disukai.
"Aku ke belakang dulu, Ki," kata Onila seraya beranjak berdiri.
"Mau ke mana kau?" Tanya Ki Jawura.
"Aku tidak enak badan."
Onila terus saja melangkah menuruni panggung. Ki Jawura memperhatikan gadis itu
yang terus saja berjalan menuju bagian samping kanan bangunan besar bagai istana
kecil itu. Ki Jawura tidak lagi memperhatikan setelah tubuh
ramping itu lenyap di balik tembok.
Sementara Onila terus berjalan cepat menyusuri tepi dinding yang cukup
tinggi dan kokoh. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar tempat itu.
Perhatian semua orang tertumpah ke
alun-alun, tempat suara irama gending masih terdengar hangat menghalau udara
dingin yang berhembus kencang malam ini.
Onila berhenti melangkah di
samping sebuah jendela besar. Gadis itu menjulurkan kepalanya, memperhatikan ke
dalam. "Hm...," gadis itu bergumam pelan.
Pelahan-lahan kembali dilangkahkan
kaki-nya melintasi depan jendela itu.
Langkahnya terus memasuki lorong yang di kiri dan kanannya terdapat kamar-kamar
yang pintunya tertutup rapat. Ada empat orang prajurit berjaga-jaga di
sana. Mereka membungkuk memberi hormat.
Onila membalasnya dengan
senyuman tipis. Gadis itu membuka salah satu pintu kamar, langsung masuk ke dalam.
Terdengar suara pintu terkunci dari dalam. Empat orang prajurit yang
menjaga lorong itu saling berpandangan.
"Kenapa Onila tidak menari...?"
Tanya salah seorang prajurit.
"Mungkin Gusti Adipati tidak
mengijinkan seperti kemarin," sahut satunya lagi.
"Kurang seru kalau Onila tidak menari," celetuk satunya lagi.
"Ah...! Penari lain juga cantik-cantik. Bahkan gerakannya lebih luwes dari
Onila." "Iya sih..., tapi kurang enak lah!"
Obrolan para prajurit itu terus
berlangsung. Semakin lama obrolan itu semakin ter-dengar sungguh-sungguh.
Bahkan kedengaran-nya lebih terpusat pada Onila.
Mereka adalah para prajurit yang
gemar melihat kesenian rakyat, sehingga bisa membedakan penari yang benar-benar
luwes dengan penari yang seperti
dipaksakan. Kini Onila mulai jadi pusat perhatian karena dinilai tidak seperti
lima orang penari lain-nya.
"Jangan-jangan si Onila itu bukan penari, Kang...," celetuk salah seorang
prajurit yang masih muda.
"Hus! Jangan ngomong sembarangan!"
dengus salah seorang prajurit yang
berada di dekatnya.
"He, Kang. Sebelum jadi prajurit, aku dulu pernah ikut dalam rombongan penari.
Jadi, aku tahu betul mana yang benar-benar penari dan yang bukan. Aku yakin
Onila itu bukan penari tulen, Kang," prajurit muda itu bersikeras dengan
pendapatnya. Dan belum lagi ketiga prajurit
lainnya bisa membuka suara, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat
bagai kilat. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu mereka
merasakan adanya sesuatu yang dingin menggorok leher. Sesaat
kemudian, empat sosok tubuh prajurit terjungkal dengan leher terkoyak hampir
putus. Darah mengucur deras membasahi lantai. Tak ada suara sedikit pun yang
keluar. Empat orang prajurit itu
langsung tewas seketika. Bayangan merah itu berkelebat cepat melintasi lorong
belakang yang tidak begitu panjang itu.
*** Kegemparan terjadi di Istana
Kadipaten Bojong Picung ketika empat orang prajurit ditemukan tewas dengan leher
terpenggal hampir putus. Adipati Anggara langsung memerintahkan agar penjagaan
diperkuat Dan dia melarang semua rombongan penari keluar dari
kamarnya. Jelas, keselamatan para
penari dan para nayaga adalah tanggung jawabnya.
Bahkan Adipati Anggara
menempatkan dua puluh prajurit di
sekitar kamar peristirahatan mereka.
Adipati Anggara berjalan mondar-
mandir di ruangan khusus pribadinya.
Hanya ada Rangga dan Diah Mardani. di ruangan itu, dan tak ada seorang
prajurit pun yang ter-lihat Rangga dan Diah Mardani duduk di kursi menghadap
meja bundar beralaskan batu pualam
putih berkilat. Adipati Anggara berdiri membelakangi
jendela. Raut wajahnya
tampak kusut, dan matanya lesu menatap Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak mengerti, mengapa mereka memilih Kadipaten Bojong Picung sebagai
pusat pemberontakan...?" keluh Adipati Anggara seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Kelemahan," sahut Rangga tanpa diminta.
Kalau saja tidak ada Diah Mardani
dan teringat pesan Rangga, Adipati
Anggara sudah menjatuhkan diri di depan Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja
Karang Setra. Kadipaten Bojong Picung ini berada di dalam wilayah Kerajaan
Karang Setra, maka sudah tentu Adipati Anggara berada di bawah Rangga.
"Diah, kau bisa pergi sebentar?"
Pinta Adipati Anggara merasa sungkan berbicara dengan Rangga di
depan putrinya. Diah Mardani memandang Rangga yang
mengangguk sedikit, kemudian beranjak bangkit dan melangkah meninggalkan
ruangan ini. Tinggal Adipati Anggara dan Rangga yang masih berada di ruangan
yang cukup besar dan indah ini. Adipati Anggara langsung berlutut di lantai
begitu pintu tertutup. Sementara Diah Mardani telah lenyap di balik pintu.
"Ampun, Gusti Prabu. Adakah
kesalahan dalam kepemimpinan hamba
selama ini?" Pelan sekali suara Adipati Anggara.
"Tidak. Aku tidak melihat adanya kesalahan dalam kepemimpinan mu, Paman
Adipati," kata Rangga penuh kewibawaan.
"Bangunlah, duduk dekatku disini."
Adipati Anggara memberikan sembah
dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, kemudian beranjak bangkit
berdiri dan menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti itu. Sebelum duduk di samping pemuda yang selalu mengenakan baju
rompi putih itu, sekali lagi dia memberikan sembah hormatnya. Dengan sikap agak
sungkan, Adipati Anggara duduk di samping Rangga.
"Aku hanya melihat kelemahan pada kemampuan prajurit-prajuritmu," jelas Rangga
lagi. "Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?" Tanya Adipati Anggara penuh rasa
hormat. "Tidak ada," sahut Rangga seraya bangkit berdiri. Pendekar Rajawali
Sakti itu berjalan mendekati jendela dan memandang keluar.
Pada saat itu terlihat adanya sebuah bayangan berkelebat menjauhi jendela.
Rangga tersenyum tipis dan membalikkan tubuhnya memandang laki-laki setengah
baya itu. "Satu hal lagi, Paman Adipati. Kau tidak menekankan kedisiplinan di sini,"
kata Rangga seraya melangkah keluar dari ruangan ini.
Adipati Anggara hanya termangu dan
mulutnya terbuka lebar. Sungguh tidak dimengerti, apa yang dikatakan Pendekar
Rajawali Sakti barusan. Sementara
Rangga sudah keluar dari ruangan itu, dan terus berjalan ke bagian samping
bangunan besar dan megah ini. Bibirnya menyunggingkan senyuman
tipis saat melihat sosok tubuh ramping mengenakan baju biru muda duduk di bangku taman.
Sebatang pohon rindang menaungi dari sengatan cahaya matahari pagi.
Rangga menghampiri gadis itu yang
ternyata adalah Diah Mardani. Gadis itu tampak terkejut begitu Rangga menyentuh
pundaknya. Wajahnya langsung bersemu merah, dan tubuh-nya agak bergetar.
Buru-buru ditundukkan kepalanya, tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Apa yang kau dengar tadi, Diah?"
Tanya Rangga lembut
"Aku..., aku,..," Diah Mardani tergagap.
Gadis itu meluruk turun dari kursi, lalu berlutut d depan Rangga.
Dirapatkan kedua tangannya di depan hidung untuk memberi sembah pada Raja Karang
Setra itu. Rangga tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala-nya. Diga-mitnya
pundak Diah Mardani dan
dibawanya berdiri. Namun sikap gadis itu jadi berubah Jauh. Dan Rangga
membawanya duduk kembali di kursi. Dia sendiri juga duduk di kursi itu.
"Ampun, Gusti. Hamba telah berlaku tidak sopan," ucap Diah Mardani yang baru
mengetahui kalau pemuda yang
menolongnya dari cengkeraman Klabang Geni adalah Raja Karang Setra, yang berarti
adalah junjungannya.
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, sudahlah. Tidak perlu kau bersikap seperti Itu, Diah," kata Rangga diiringi
senyuman nya. "Hamba hanya ingin tahu, Gusti, Hamba..., hamba...."
"Kau sudah tahu siapa aku, Diah, Seka-rang kuminta janganlah bersikap seperti
itu padaku. Bersikaplah wajar dan seperti biasanya.
Itu akan memudahkan aku membekuk gerombolan
pemberontak yang sudah merasuk ke dalam keraton ini," Rangga mencoba memberi
pengertian gadis itu.
Diah Mardani hanya mengangguk saja.
"Diah..."
Belum juga Rangga bisa meneruskan
ucapannya, mendadak saja sekelebatan terlihat adanya sebuah bayangan melesat
cepat ke atas atap. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan mata. Namun
meskipun hanya melihat sekejap, Rangga sudah yakin kalau bayangan tadi telah
mendengar dan mengetahui keberadaan dan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Kau di sini saja, Diah. Hup..!"
Bagai kilat, Rangga melesat mengejar ke arah
bayangan tadi berkelebat.
Tinggal Diah Mardani melongo takjub, memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti
berkelebat bagai kilat.
Tahu-tahu bayangan tubuh pemuda berbaju rompi putih itu sudah lenyap dari pandangan
matanya. Hanya sejenak Diah Mardani tertegun ka-gum, sesaat kemudian sudah berlari cepat
ke arah perginya
Pendekar Rajawali Sakti itu. Diah Mardani memang bukanlah gadis manja. Dia ternyata juga
memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Bahkan ilmu meringankan tubuhnya
juga sudah cukup tinggi, sehingga bisa bergerak cepat bagai tidak
menjejak tanah.
*** Slap! Slap...! Beberapa kali lompatan saja, Rangga sudah bisa membayangi bayangan merah yang
berkelebat cepat bagai kilat.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di udara, lalu
berputaran beberapa kali melewati kepala orang itu.
Jleg! "Berhenti...!" bentak Rangga keras begitu kakinya menjejak tanah di depan orang
berbaju merah ketat.
Rangga memperhatikan orang berbaju
merah yang wajahnya hampir tertutup kain merah. Hanya kepala bagian atas saja
yang terlihat, dengan sepasang bola mata bulat indah dan bening. Orang itu
berhenti berlari. Kelihatan sekali dari sinar matanya kalau hatinya
terkejut melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri menghadang di depan.
"Siapa kau"! Apa maksudmu menyelinap di sini"!" Bentak Rangga bertanya.
"Kau tidak perlu ikut campur
urusanku, Pendekar Rajawali Sakti!"
Dengus orang itu.
Dari suaranya, Rangga sudah bisa
memastikan kalau orang berbaju merah itu adalah wanita. Tapi menyadari kalau
wanita berbaju merah itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah, Rangga harus hati-hati menghadapi-nya. Bukti-nya,
hampir saja tadi tidak bisa
mengejar. Ilmu meringankan tubuh yang di-miliki wanita berbaju merah ini
cukup tinggi, dan sudah pasti ilmu olah kanuragannya juga tidak rendah.
"Kau terlalu serakah, Rangga. Tidak seharusnya Bojong Picung dijadikan
daerah kekuasaan Karang Setra. Dan kami semua tidak akan membiarkan orang-orang
tamak dari Karang Setra menguasai
Bojong Picung!" ter-dengar dingin nada suara wanita itu.
"Hm..., siapa kau sebenarnya?" Tanya Rangga mulai bisa meraba maksud wanita
berbaju merah ini.
Dari kata-katanya, Rangga sudah bisa menebak kalau wanita berbaju merah ini
tidak sendirian berada di dalam
lingkungan Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Rangga kini mendapat bukti kalau
berita yang didengar-nya ternyata benar. Memang, di Kadipaten Bojong Picung
tengah terjadi penyusunan
kekuatan untuk memberontak terhadap, Kerajaan Karang Setra.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Rangga. Tapi yang perlu diketahui, kami
adalah para ksatria yang akan
membebaskan Bojong Picung dari cengkeraman
manusia-manusia tamak Karang
Setra sepertimu!" Ketus jawaban wanita berbaju merah itu.
"Hmmm.... Aku yakin, kau adalah korban dari hasutan orang tidak
bertanggung jawab," gumam Rangga seraya menggeser kakinya ke kanan.
"Dan kau harus mampus, Rangga!"
Setelah berkata demikian, wanita
berbaju dan bercadar merah itu langsung melesat sambil berteriak keras,
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat serangannya, sehingga Rangga
tidak punya kesempatan berkelit. Satu pukulan keras mendarat telak di bahu kanan
Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya pemuda berbaju rompi putih itu terpental ke
belakang "Hup!"
Cepat sekali Rangga menggelinjang
bang-kit. Pada saat itu, serangan sudah kembali datang. Bergegas
Rangga melompat ke kanan, maka serangan itu hanya lewat tanpa mengenai sasaran. Dan
cepat sekali Rangga memutar tubuhnya sambil melayangkan satu tendangan keras ke
arah punggung, selagi lawan-nya
belum sempat memperbaiki posisi tubuh.
Dug! "Akh...!" wanita berbaju merah itu memekik tertahan dan seketika terhuyung
limbung. Tendangan Rangga memang begitu
keras. Meskipun tidak disertai
pengerahan tenaga dalam, namun cukup membuat wanita itu meringis kesakitan.
Dan belum lagi dia bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, kembali Rangga sudah melompat menerjang disertai
kiriman satu pukulan keras bertenaga dalam tidak penuh.
"Hait..!"
Cepat-cepat wanita itu berkelit
dengan membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali. Dan secepat
itu pula dia melompat bangkit sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah
pinggang lawan.
"Uts!"
Rangga menarik tubuhnya sedikit ke
samping, Sehingga pukulan wanita
bercadar merah itu luput dari sasaran.
Namun belum juga wanita itu bisa
menarik pulang tangan-nya, Rangga sudah cepat mengibaskan tangan-nya. Dan...
Tap...! "Ikh!" wanita berbaju merah itu memekik tertahan.
Dia berusaha memberontak, mencoba
melepaskan tangannya dari cekalan
Rangga yang begitu kuat. Sebelah
tangannya yang bebas, segera dila-
yangkan ke wajah Pendekar Raja-wali Sakti.
Namun cepat sekali Rangga
mengegoskan kepalanya, dan secepat itu pula tangan sebelah lagi menangkap
tangan wanita itu tepat di depan
wajahnya. "Lepaskan...!" sentak wanita itu sambil memberontak mencoba melepaskan diri.
"Kau cukup tangguh, Ni sanak. Tapi terlalu angkuh!" ujar Rangga agak tersengal.
"Uh!"
Sambil mengerahkan seluruh tenaga
dalam-nya wanita berbaju merah itu
menarik kedua tangannya yang dicekal kuat pemuda berbaju rompi putih itu.
Begitu kuat tangannya di-tarik, dan pada saat itu
Rangga mengendor-kan
pegangannya. Akibatnya wanita itu terpental, karena tarikan tenaga dalamnya
sendiri. "Akh...!"
Brak! Sebuah pilar besar hancur berantakan terlanda tubuh ramping terbalut baju merah
menyala itu. Rangga tersenyum melihat wanita itu menggeliat berusaha bangkit
Kalau saja tidak tertutup kain merah, sudah pasti mulutnya terlihat meringis
merasakan sakit di sekujur tubuh.
Pada saat itu, terlihat Diah Mardani dan sekitar dua puluh orang prajurit
berlarian menghampiri. Di antara mereka juga terlihat Adipati Anggara. Di
belakang mereka menyusul lagi sekitar tiga puluh prajurit yang berlarian
cepat dengan tombak dan pedang
terhunus. "Hup!"
Cepat sekali Rangga melompat, dan
kaki-nya langsung menjejak dada wanita berbaju merah yang masih, tergeletak di
antara puing-puing reruntuhan pilar.
Dia berusaha menggeliat, namun pijakan kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat
Tak ada lagi yang bisa dilakukan,
karena sekelilingnya sudah terkepung sekitar lima puluh orang prajurit
Adipati Anggara dan Diah
Mardani menghampiri. "Bangun!" Bentak Adipati Anggara di saat Rangga memindahkan kakinya dari tubuh
wanita itu. Sambil mendengus kesal, wanita
berbaju merah itu bangkit berdiri.
Adipati Anggara yang wajahnya berang dan matanya berkilat, bergerak
mendekati. "Hih!"
Bret! Cadar merah yang menutupi wajah
wanita itu seketika terbuka dijambret Adipati Anggara dengan kasar. Tampak
seraut wajah can-ik yang tersembunyi di balik cadar merah itu. Adipati Anggara
langsung menggelinjang dua tindak ke belakang begitu mengenali wajah cantik itu.
Demikian juga Diah Mardani yang nampak begitu terkejut
"Kau..., Karsini..."!" Agak tertahan suara Adipati Anggara.
"Ya! Aku memang Karsini!" Ketus nada suara wanita itu.
Sementara Rangga yang menyaksikan,
jadi tidak mengerti. Dipandangi wanita berbaju merah itu beberapa saat,
kemudian beralih pada Adipati Anggara dan Diah Mardani.
"Bawa dia ke penjara!" Perintah Adipati Anggara.
Dua orang prajurit langsung bergerak meringkus wanita yang dikenali Adipati
Anggara sebagai Karsini. Wanita berbaju merah itu langsung dibawa para prajurit
ke penjara. Sedangkan Adipati Anggara tampak gundah, seperti tidak sanggup
menerima tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Diah Mardani sudah
berjalan pelahan meninggalkan tempat ini.
Kepala gadis itu tertunduk,
seperti ada beban berat di kepalanya.
Rangga menghampiri Adipati Anggara, lalu berdiri sekitar dua langkah di depan
laki-laki setengah baya itu.
"Siapa dia, Paman Adipati?" Tanya Rangga.
"Namanya Karsini. Dia dulu bekas seorang penari dan pernah menjadi
selirku. Tapi sudah tiga tahun ini
menghilang dan tak ada kabar beritanya lagi," Adipati
Anggara mencoba
menjelaskan. Rangga tidak bertanya lagi.
Diayunkan kakinya meninggalkan Adipati Anggara yang dikawal enam
orang prajurit. Pendekar Rajawali Sakti itu terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Sedangkan Adipati Anggara menghembuskan napas panjang dan terdengar begitu]
berat. Dia tahu kalau pengakuannya tadi tidak menyenangkan hati junjungannya.
Meskipun seorang raja, tapi Rangga tidak menyukai adanya selir. Dia masih
teringat akan kehidupan ayahnya yang
memiliki banyak selir. Akibatnya,
lahirlah anak-anak yang bisa dikatakan terlantar sekarang ini. Akibatnya dari
selir juga, bisa menyebabkan perpecahan dan perang saudara. Itu semua dialami
Rangga ketika pertama kali kembali ke tanah kelahirannya. Maka, dia bersumpah
untuk tidak memiliki selir seorang pun.
Namun begitu, Rangga tidak melarang para Adipati, demang, ataupun pembesar
lainnya untuk memiliki selir. Hanya saja, mereka juga merasa sungkan bila
memiliki selir dan diketahui rajanya.
Hingga tak ada seorang pun dari
pembesar Istana Kerajaan Karang Setra yang memiliki selir. Mereka memang
merasa tidak patut, mengingat rajanya sendiri tidak memiliki selir barang
seorang pun. "Hhh...! Untuk apa Karsini muncul"
Apakah hendak mempermalukan aku di
depan Gusti Prabu...?" keluh Adipati Anggara dalam hati.
*** 5 Malam sudah demikian larut. Seluruh penghuni Kedaton Kadipaten Bojong
Picung sudah terlelap dalam buaian
mimpi. Hanya para prajurit yang
mendapat tugas jaga saja yang masih terlihat di tempat-tempat penjagaan.
Sejak terbunuhnya empat orang pra-
jurit, Adipati Anggara melarang para penari dan nayaga untuk melanjutkan
kebolehan nya di atas panggung. Namun demikian, rombongan itu belum diijinkan
meninggalkan keraton.
Malam ini suasana
terasa sunyi sekali. Angin berhembus kencang
menyebarkan udara dingin yang membeku-kan tulang. Beberapa prajurit penjaga
mulai merapatkan tubuhnya ke dinding, mencoba melindungi diri dari gempuran
angin dingin. Bahkan beberapa di
antaranya mulai terkantuk-kantuk tak kuat menahan gempuran udara dingin yang
membuat kelopak mata terasa begitu
berat Namun beberapa saat kemudian, terlihat kalau seluruh penjaga merasakan
kantuk yang amat sangat. Bahkan dua orang penjaga di pintu depan keraton sudah
mendengkur. Demikian pula
beberapa penjaga di sekitar benteng!
Sementara itu di dalam sebuah kamar, terlihat Rangga tengah duduk bersila dengan
mata setengah terpejam di atas pembaringan. Pelahan-lahan
dibuka matanya, lalu kepala-nya bergerak ke kiri dan ke kanan. Pendekar Rajawali Sakti
kemudian menggelinjang melompat bangkit dari pembaringannya.
"Hmmm..., Ilmu Sirep" gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
merasa-kan adanya hawa lain dari suatu ajian yang dapat membuat orang terlelap
sampai batas waktu yang sangat lama.
Menyadari kalau ajian itu menyebar, Rangga bergegas keluar dari kamarnya.
Harinya langsung terkejut begitu
melihat para penjaga istana sudah
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengkur dalam tidur.
Rangga terus berjalan mengelilingi
seluruh bangunan besar itu. Semua
prajurit yang bertugas sudah tertidur lelap. Tak seorang pun yang masih
terjaga. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai memutar otaknya, dan bagai kilat
melesat naik ke atas atap.
"Hmmm.,., tak ada apa-apa," gumam Rangga dalam hati. "Tapi.... Heh..."!"
Tiba-tiba Rangga melihat sebuah
bayangan berkelebat di bagian belakang bangunan megah itu. Tanpa menunggu waktu
lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuh-nya mengejar bayangan yang
dilihatnya hanya sekilas itu.
Sebenarnya mudah sekali bagi Rangga untuk mengejar. Namun, pemuda berbaju rompi
putih itu sengaja menjaga jarak dan terus memperhatikan bayangan merah itu
bergerak. "Hm..., mau apa dia ke penjara...?"
gumam Rangga dalam hati.
Rangga merapatkan
tubuhnya ke dinding saat melihat orang berpakaian serba merah itu sudah sampai di depan
pintu penjara. Empat orang prajurit penjaga sudah tergeletak mendengkur di depan
pintu penjara. Tampak orang
berbaju merah itu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu membuka pintu penjara yang
terbuat dari lempengan baja tebal.
Bunyi derik daun pintu tidak dihiraukan lagi, seolah-olah begitu yakin tidak ada
orang yang melihatnya.
Sementara di tempat persembunyian-
nya, Rangga masih mengawasi. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tidak
bergerak meskipun orang berbaju merah itu sudah masuk ke da-lam ruangan
penjara itu. Tak berapa lama kemudian, orang itu keluar lagi bersama seseorang
yang juga berbaju merah. Rangga tahu kalau orang yang dibawa keluar itu adalah
Karsini yang siang tadi
ditangkap-nya. "Hmmm..., akan kuikuti mereka,"
gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melentingkan tubuhnya begitu dua orang
berpakaian merah berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Di malam yang gelap dan dingin ini, terlihat dua
bayangan merah berkelebatan
cepat melompati bagian Barat tembok benteng Kadipaten Bojong Picung. Tidak jauh di
belakangnya terlihat satu bayangan
putih yang bergerak cepat menjaga
jarak. Tak ada seorang pun dari kedua orang yang berkelebat itu menyadari, kalau semua
tindakannya selalu diamati
sepasang mata bulat bercahaya dari
balik tempat yang cukup tersembunyi dan gelap. Pemilik sepasang mata itu juga
mengikuti, namun tetap menjaga jarak di tempat-tempat yang terlindung dari
cahaya bulan. Sosok tubuh berpakaian gelap itu seperti sengaja menjauh dari
Pendekar Rajawali Sakti, namun tidak terlalu jauh dari dua orang berbaju merah
yang terus bergerak ke arah Barat Namun begitu tiba di Kaki Bukit
Cangking, mendadak saja Pendekar
Rajawali Sakti itu berhenti berlari.
Dan secepat itu pula tubuhnya melambung tinggi, lalu hinggap dengan manisnya di
atas dahan pohon yang cukup tinggi dan rimbun. Pada saat yang tidak terlalu
lama, terlihat seseorang berpakaian gelap berkelebat cepat, tepat di bawah pohon
tempat Rangga hinggap.
"Diah.... Mau apa dia ke sini...?"
Rangga agak tercenung begitu mengenali orang berpakaian hitam yang sudah jauh
Naga Beracun 4 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Eng Djiauw Ong 28
PENARI BERDARAH DINGIN
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Penari Berdarah Dingin
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Seluruh rakyat Kadipaten Bojong
Picung saat ini tumpah ruah memadati sepanjang jalan utama kadipaten yang tidak
begitu besar itu. Sorak sorai bergema menyambut serombongan orang berseragam
yang berkuda, mengawal
sebuah kereta besar terbuka. Semua
orang yang memadati pinggir jalan,
mengelu-elukan sekitar tiga puluh orang yang berada di atas kereta itu.
Di antara penumpang kereta, terlihat enam orang wanita berwajah cantik dan
bertubuh indah. Mereka itu memakai kemben dari kain halus berwarna cerah.
Wanita-wanita itu mengumbar senyum dan sesekali melambai-kan tangannya. Tampak
duduk di depan dekat kusir kereta, seorang laki-laki berusia lanjut.
Pakaiannya merah menyolok, dan berikat kepala berbentuk lancip tinggi. Bibirnya
yang hampir tertutup kumis putih, selalu menyunggingkan senyum.
Rombongan kecil itu terus bergerak
mengelilingi seluruh Kota Kadipaten Bojong Picung. Semakin dekat ke arah
kadipaten, semakin banyak orang memadati jalan. Sehingga, laju rombongan itu
agak tersendat. Hal ini membuat orang-orang berseragam prajurit yang berada di
atas, bergegas menghalau
orang-orang yang menghalangi jalan.
"Minggir...! Minggir...!"
Bentakan-bentakan keras terdengar di antara seruan-seruan orang yang
mengelu-elukan penumpang kereta besar itu. Rombongan kecil itu terus mendekati
pintu gerbang kadipaten yang
dijaga ketat sekitar sepuluh orang
prajurit bersenjatakan tombak panjang.
Mereka bergegas membuka pintu gerbang, seraya berjaga-jaga menghadapi orang-
orang yang mencoba menerobos masuk
mengikuti rombongan kecil itu.
"Cepat, tutup pintunya...!" Terdengar teriakan keras bernada
memerintah. Pintu gerbang dari kayu jati tebal
yang tinggi dan kokoh itu ditutup
setelah rombongan kecil melewatinya.
Sorak-sorai masih terdengar di luar benteng kadipaten. Sedangkan rombongan kecil
itu terus bergerak mendekati
sebuah bangunan besar dan indah yang dijaga ketat para prajurit bersenjata
lengkap. Rombongan itu langsung disambut
penguasa Kadipaten Bojong Picung.
Orang-orang yang berada di kereta
terbuka dan cukup besar itu langsung dibawa ke dalam sebuah ruangan besar
beralaskan permadani bulu yang tebal dan
halus. Mereka duduk bersila,
sedangkan sang adipati duduk di kursi berukir didampingi dua orang pengawal.
Di samping Adipati, duduk seorang
wanita cantik berbaju merah dari kain sutera halus yang agak ke-tat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
"Aku gembira akhirnya kau memenuhi undanganku, Ki Jawara," kata Adipati Anggara.
"Hamba merasa undangan ini sebagai suatu kehormatan, Gusti Adipati. Hamba
membawa seluruh anggota, termasuk
penari-penari utama," sahut Ki Jawura.
Adipati Anggara tersenyum, dan
semakin lebar. Bola matanya berputar merayapi wanita-wanita cantik yang
duduk di belakang laki-laki tua berbaju merah. Di belakang laki-laki tua itu,
duduk berjajar beberapa laki-laki muda dan tua, yang terdiri dari para nayaga
dan para penari pria.
"Kudengar, rombonganmu sudah cukup ter-kenal. Oleh karena itu, aku ingin melihat
pertunjukanmu, Ki Jawura.
Dengan demikian, aku secara khusus
mengundangmu untuk main
di sini, menghibur seluruh rakyatku selama tujuh malam penuh," jelas Adipati Anggara.
"Terima kasih, Gusti Adipati," ucap Ki Jawura seraya menyembah, merapatkan kedua
tangannya di depan hidung.
Sikap Ki Jawura diikuti yang
lainnya. Sehingga, membuat Adipati
Anggara semakin senang, dan senyumnya juga semakin lebar menghiasi kecerahan
wajahnya. Namun tidak demikian dengan
wanita yang duduk di sampingnya.
Wajahnya kelihatan tidak gembira,
bahkan sedikit pun tidak tersenyum.
Sikap wanita muda itu sama sekali tidak mendapat perhatian Adipati Anggara yang
tengah bergembira akan kedatangan
rombongan pimpinan Ki Jawura ini.
"Perjalanan yang kalian tempuh tentu sangat
jauh dan melelahkan. Sudah
kusediakan tempat untuk kalian beristirahat. Malam ini kalian akan tampil khusus
untukku, dan keesokan hari baru bermain di alun-alun kadi-paten," jelas Adipati
Anggara lagi. "Terima kasih, Gusti Adipati," ucap Ki Jawura penuh rasa hormat.
Dengan diantar dua orang prajurit
dan seorang pelayan wanita, rombongan penari itu menuju tempat peristirahatan
nya yang sudah disediakan. Sedangkan Adipati Anggara masih saja duduk di
tempatnya didampingi wanita muda
berparas cantik, dan berkulit putih halus.
"Kelihatannya kau tidak suka, Diah?"
tegur Adipati Anggara baru menyadari sikap wanita itu.
"Ayahanda yang berkuasa di sini.
Nanda tidak bisa berbuat apa-apa,"
sahut wanita berbaju merah itu yang bernama Diah Mardani. Nada suaranya
terdengar keras.
"Kau anakku. Tentu saja kau bisa mengemukakan pendapatmu di sini. Sudah
tentu rombongan penari itu tidak akan kupanggil, kalau kau tidak suka," kata
Adipati Anggara seraya mengelus rambut Diah Mardani yang hitam dan panjang.
Gadis itu tidak menyahut. Diberi-
kannya sembah kepada ayahnya itu dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung. Sebentar kemudian gadis itu pergi dari ruangan itu. Adipati
Anggara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anak gadisnya ini.
*** Alunan gending begitu merdu ditabuh para nayaga yang duduk berjajar rapi di
pojok ruangan besar, dalam bangunan megah Kadipaten Bojong Picung. Di
tengah-tengah ruangan, terlihat enam wanita berwajah cantik yang memiliki tubuh
ramping gemulai melengak-lenggok mengikuti irama gamelan yang ditabuh merdu
menghanyutkan. Ruangan yang besar itu juga telah dipenuhi para tamu
undangan Adipati Anggara.
Semua tamu tidak berkedip menyak-
sikan lenggak-lenggok para penari yang begitu indah dan gemulai. Tampak di
samping kiri Adipati Anggara, duduk Ki Jawura yang selalu mengangguk-angguk
mengikuti irama gamelan. Bibirnya tidak pernah lepas dari senyuman. Sedangkan
mata Adipati Anggara sendiri tidak
lepas ke arah salah seorang penari yang
mengenakan baju biru muda.
"Tampaknya Gusti Adipati menyukai salah seorang penariku," tebak Ki Jawura tiba-
tiba setengah berbisik.
"Oh...!" Adipati Anggara terkejut Buru-buru laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun itu berpaling menatap Ki Jawura yang juga tengah memperhatikannya.
Adipati Anggara kembali
memalingkan wajahnya memperhatikan enam penari wanita yang masih melengak-
lenggok gemulai. Bahkan kini, beberapa tamu undangan mulai ikut menari di
tengah-tengah ruangan besar ini.
"Siapa nama penarimu itu, Ki?" Tanya Adipati Anggara.
"Yang mana, Gusti?" Ki Jawura balik bertanya.
"Yang berbaju dan berselendang biru," sahut Adipati Anggara tanpa mengalihkan
pandangannya ke arah wanita muda berwajah cantik yang sedang menari dengan salah
seorang tamu undangan.
"O..., itu. Namanya Onila. Dia masih keponakan hamba, Gusti," sahut Ki Jawura,
kemudian bibirnya semakin lebar tersenyum.
"Aku ingin kau tidak menyertakan dia menari, Ki," pinta Adipati Anggara.
"Kenapa, Gusti?" Tanya Ki Jawura agak terkejut juga. Sungguh tidak
disangka kalau Adipati Anggara akan berkata begitu. Padahal tadi
bayangannya lain.
"Hentikan saja dia, dan suruh duduk di sini," tegas Adipati Anggara.
"Baik, Gusti."
Ki Jawura bergegas memberi hormat,
lalu beranjak bangkit berdiri dan
melangkah ke tengah ruangan. Laki-laki tua itu langsung mendekati wanita yang
dimaksud Adipati Anggara. Dibisikkan sesuatu di telinga wanita cantik
berbaju biru itu. Sebentar wanita itu menatap Adipati Anggara, lalu melangkah
mengikuti Ki Jawura yang sudah lebih dahulu kembali ke tempatnya.
Wanita cantik yang disebutkan Ki
Jawura tadi bernama Onila ini, berlutut di depan Adipati Anggara dan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan
hidung. Wajahnya tertunduk, seperti
tidak kuasa membalas sorot mata
penguasa Kadipaten Bojong Picung ini.
"Duduklah di sampingku ini, Onila,"
ajak Adipati Anggara lembut.
Onila memandang Ki Jawura, dan laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya
disertai sedikit kerdipan sebelah mata.
Onila memberikan sembah, lalu beringsut duduk di samping Adipati Anggara yang
duduk di kursi berukir indah. Wanita itu duduk bersimpuh di lantai dekat
penguasa Kadipaten Bojong Picung itu.
Adipati Anggara
memandangi wajah
cantik di sampingnya lekat-lekat. Tidak lagi dipedulikan penari-penari lainnya.
Sudah berganti-ganti para tamu undangan
yang ikut menari, dan kelihatannya
begitu puas. Wajah mereka berseri-seri.
Sementara penabuh gamelan semakin giat membuat irama panas yang menambah
semaraknya suasana malam ini.
"Onila, aku ingin kau menari khusus untukku. Hanya untukku," pinta Adipati
Anggara. "Gusti...," Onila terperanjat Langsung diangkat kepalanya, dan ditatapnya laki-
laki setengah baya yang masih
kelihatan gagah itu.
"Jika keberatan, aku tidak akan memaksa," kata Adipati Anggara lagi.
Begitu lembut suaranya.
Onila tidak menjawab. Dipandangi
wajah Ki Jawura yang kelihatannya juga kebingungan
atas permintaan Adipati
Anggara itu. Sukar bagi Ki Jawura
memberi jawaban yang diminta Onila
melalui tatapan mata. Melihat laki-laki tua itu hanya diam saja, Onila jadi
tertunduk. Sementara pesta terus berlangsung semakin meriah.
Sampai jauh malam pesta di kadipaten itu belum juga berakhir. Bahkan semakin
larut, suasana semakin semarak. Ki
Jawura hanya, diam saja. Sesekali
dilirik Onila yang tertunduk. Sedangkan Adipati Anggara tampaknya sudah tidak
tertarik lagi pada suasana ini, tapi tidak ingin meninggalkan tempat sebelum
pesta berakhir. Biar bagaimanapun tamu-tamu undangan nya harus dihormati,
karena mereka tengah bergembira
menghabiskan malam semarak penuh gelak tawa ini
*** Ki Jawura berjalan mondar-mandir di dalam kamar berukuran tidak terlalu besar.
Beberapa kali ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat Sedangkan
di tepi pembaringan, terlihat Onila duduk dengan kepala tertunduk dalam. Dimain-
mainkan rambutnya yang hitam panjang bergelombang. Gadis itu masih mengenakan
kebaya biru muda, dan berselendang biru tersampir di leher yang putih jenjang.
"Tidak kusangka kalau Gusti Adipati be-gitu cepat tertarik...," desah Ki Jawura.
Segera dihentakkan tubuhnya di kursi yang berada di bawah jendela
besar, sambil memandang Onila. "Hhh..., seharusnya...."
"Ki...!" sentak Onila memotong cepat. Diangkat kepalanya menatap pada laki-laki
tua itu. "Terus terang, sejak semula aku
tidak suka dengan ini semua. Aku tidak ingin ter-jadi sesuatu yang tak
diinginkan pada dirimu, Gusti Ayu...."
"Jangan panggil aku Gusti Ayu, Ki!"
potong Onila lagi lebih cepat.
"Tugas ini terlalu berbahaya. Dan
sungguh tidak kusangka kalau Gusti
Adipati justru memilihmu," keluh Ki Jawura.
"Aku suka tugas ini, KI Dan akan ku-laksanakan sebaik-baiknya," kata Onila di-
iringi senyuman manisnya.
"Itulah yang kupikirkan," pelan suara Ki Jawura.
"Jangan khawatir, Ki. Aku pasti tidak akan tergoda. Aku tahu siapa itu Adipati
Anggara," tegas Onila lagi.
"Mudah-mudahan kau bisa menjaga diri, Onila."
Onila tersenyum
semakin manis. Sementara Ki Jawura melangkah keluar dari kamar ini. Onila terbaring
menelentang memandangi langit-langit kamar. Sedikit pun, tidak di-toleh saat
mendengar pintu kamar ini ter-tutup.
Kepalanya baru berpaling setelah tidak terdengar lagi suara langkah Ki Jawura
yang meninggalkan kamar ini.
Malam sudah beranjak pergi, berganti pagi. Pesta semalam membuat semua orang
lelah, dan langsung tertidur. Namun tidak demikian halnya Onila. Gadis
penari itu masih terjaga di pemba-
ringan. Matanya menerawang jauh
menembus langit-langit kamar yang
dikapur putih. Pelahan gadis itu
beranjak bangkit, lalu turun dari
pembaringan. Tapi, Onila kembali duduk di tepi pembaringan itu.
Cukup lama juga Onila duduk diam me-renung di tepi pembaringan, kemudian
kembali bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar ini. Sebentar
ditengok ke kanan dan ke kiri setelah membuka pintu kamar. Ringan sekali kakinya
terayun melangkah menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya
terdapat kamar-kamar yang pintunya tertutup rapat. Bagian belakang kadipaten ini
memang lebih mirip sebuah rumah penginapan.
Onila terus berjalan
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusuri lorong yang cukup panjang.
Gadis itu baru berhenti me-langkah
setelah melewati batas lorong dengan bagian taman belakang kadipaten. Gadis itu
mengernyitkan alisnya saat melihat di dalam taman belakang ada seorang wanita
yang usianya sebaya dirinya.
Wanita berbaju biru muda itu
menoleh, dan tampaknya terkejut begitu melihat Onila tahu-tahu sudah berada di
taman belakang ini. Dipandangi Onila dalam-dalam. Sedangkan Onila mengayunkan
kakinya mendekati, dan berhenti kira-kira lima langkah lagi jaraknya dari gadis
muda berwajah sangat cantik itu.
"Apakah aku mengganggumu, Gusti Ayu?" Tanya Onila sopan, mengenali gadis cantik
ini. Dia adalah Diah
Mardani, putri tunggal Adipati Anggara.
"Ada apa kau datang ke sini?" Diah Mardani batik bertanya, dan nadanya agak
ketus. "Aku tidak bisa tidur, lalu
berjalan-jalan mencari udara segar,"
sahut Onila dengan kening agak berkerut melihat sikap putri adipati ini.
"Banyak tempat yang bisa didatangi di kadipaten ini," masih terdengar ketus nada
suara Diah Mardani.
"Jika Gusti Ayu tidak berkenan, sebaik-nya aku segera pergi dari sini,"
kata Onila seraya membalikkan tubuhnya.
Tapi belum juga gadis penari itu
melangkah pergi, Diah Mardani lebih dulu mencegahnya. Onila memutar tubuhnya
kembali, menghadap putri tunggal adipati Itu. Sesaat mereka tidak
berbicara, dan hanya saling pandang saja.
"Sudah berapa lama kau jadi penari?"
Tanya Diah Mardani seraya duduk di
kursi taman. "Sejak kecil," sahut Onila masih tetap berdiri.
"Kau tidak berdusta?" Nada pertanyaan Diah Mardani jelas terdengar
tidak percaya. Pandangan mata gadis itu juga penuh selidik. Namun Onila bersikap biasa saja,
meskipun dalam hatinya bertanya-tanya juga. Dia hanya diam, membalas tatapan
penuh selidik itu agak tajam.
"Meskipun bukan seorang penari, tapi aku bisa membedakan antara yang sudah
terbiasa menari dan yang bukan," kata Diah Mardani lagi.
"Apa maksud Gusti Ayu berkata
demikian?" Tanya Onila.
"Ki Jawura mengakui kalau kau adalah keponakannya. Tapi kulihat antara kau
dengan yang lain tidak begitu akrab.
Bahkan kau lebih suka menyendiri, dan selalu dekat dengan Ki Jawura. Siapa kau
sebenarnya, Onila?"
Onila terperanjat juga mendengar
kata-kata yang begitu lancar, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling lagi.
Begitu lugas, seperti tidak memiliki beban apa-apa. Namun demikian, ada
sedikit kegelisahan di hati gadis itu.
Onila jadi tidak betah berlama-lama di sini.
"Mungkin Ayahanda atau yang lain bisa tertipu pandangannya! Tapi aku tidak!
Dan kau tidak akan bisa
melaksanakan niat yang terkandung di dalam kepalamu!" Ujar Diah Mardani lagi.
"Maaf, Gusti Ayu. Aku harus
beristirahat," kata Onila seraya cepat-cepat memutar tubuhnya, meninggalkan
taman belakang itu.
"Itu baru peringatan untukmu,
Onila!" Tegas Diah Mardani diiringi senyuman sinis.
Onila mendengar kata-kata itu, tapi tetap menutup telinga. Kakinya berjalan
meninggalkan taman belakang ini.
Sedangkan Diah Mardani masih tetap
duduk memandangi kepergian gadis penari itu. Bibirnya yang selalu basah dan
merah, masih menyungging-kan senyuman.
Entah apa arti senyuman itu, hanya
dirinya sendiri yang tahu.
*** 2 Siang ini udara terasa begitu panas menyengat.
Matahari bersinar terik,
seakan-akan hendak menghanguskan apa saja yang ada di atas permukaan bumi.
Keadaan seperti ini membuat semua orang enggan berada di dalam rumah. Mereka
lebih senang duduk-duduk berangin-angin di bawah pohon. Meskipun angin bertiup
keras, namun tidak mampu mengurangi teriknya cahaya matahari.
Di halaman samping Kedaton Kadipaten Bojong Picung, tampak Diah Mardani
tengah duduk di bawah pohon rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan
matahari. Gadis itu hanya ditemani dua orang emban pengasuh yang terkantuk-
kantuk bersandar pada pohon. Sedangkan Diah Mardani tengah menggosok-go-sok
pedang keperakan yang berkilau tertimpa cahaya sinar matahari.
"Hhh...! Kerja kalian hanya tidur saja!" Rungut Diah Mardani seraya melirik dua
emban pengasuhnya.
"Maaf, Den Ayu. Semalaman kami tidak bisa tidur," sahut seorang emban bertubuh
gemuk dan berselendang kuning
yang melingkari pinggangnya.
"Kalian pasti ikut menonton pertunjukan jelek itu, ya?" Dengus Diah Mardani
ketus. "Tidak, Gusti Ayu. Tapi suaranya
membuat kami tidak bisa memejamkan mata," sahut emban yang bertubuh kurus.
Diah Mardani mendengus. Dimasukkan
pedangnya ke dalam sarungnya, lalu
digeletakkan pedang itu di samping.
Pandangannya beredar ke sekeliling, dan langsung tertumbuk pada sebuah jendela
kamar yang sedikit terbuka. Gadis itu tidak berkedip memandang ke dalam kamar
dari jendela yang terbuka sedikit itu.
"Hm.... Ada apa Ayah berada di dalam kamar Onila...?" Gumam Diah Mardani
bertanya pada dirinya sendiri.
Di dalam kamar itu memang terlihat
Adipati Anggara duduk di tepi
pembaringan. Tidak jauh di depannya, terlihat Onila yang duduk di sebuah kursi
rotan. Entah apa yang tengah
dibicarakan. Terlalu jauh bagi Diah Mardani untuk bisa mendengar percakapan di
dalam kamar itu. Tapi matanya tetap tidak berkedip memandangi kedua orang di
dalam kamar itu.
Diah Mardani menahan napas seketika saat melihat ayahnya bangkit berdiri dan
menghampiri Onila. Jelas terlihat laki-laki setengah baya penguasa
Kadipaten Bojong Picung itu merengkuh pundak Onila dengan kedua tangannya
yang kekar dan membawanya berdiri.
Begitu dekat jarak antara mereka,
sehingga hampir tidak ada batas lagi.
Diah Mardani buru-buru memalingkan muka saat kepala ayahnya tertunduk mendekati
wajah Onila yang terdongak, ditopang jari laki-laki setengah baya itu.
"Dasar perempuan rendah!" Rungut Diah Mardani. Diah Mardani tidak tahu lagi, apa
yang terjadi di dalam kamar itu. Memang, Adipati Anggara bergegas menutup
jendela-nya. Gadis itu segera bangkit berdiri, lalu melangkah cepat menghampiri
kamar itu. Tidak terta-hankan lagi deburan jantungnya yang bagaikan gempuran
ombak di tepi pantai.
Namun belum juga gadis itu dekat
dengan jendela kamar yang sudah
tertutup rapat, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menghadang-nya.
Kalau saja gadis itu tidak cepat-cepat melompat ke belakang, pasti
bayangan merah itu sudah menyambar
tubuhnya. "Bedebah...!" Umpat Diah Mardani.
Gadis itu langsung meraba pinggang-
nya, dan langsung terkejut. Ternyata baru disadari kalau pedangnya tertinggal di
bawah pohon. Dan belum lagi sempat melakukan sesuatu, bayangan
merah itu sudah kembali cepat menerjang gadis itu. Buru-buru Diah Mardani
mengambil sikap menghadang bayangan merah itu.
"Hiya...!"
Des! "Akh..."
Diah Mardani terpental ke belakang
sejauh tiga batang tombak begitu
bayangan merah menghantam tubuhnya.
Beberapa kali gadis itu harus ber-
gulingan di tanah. Namun begitu cepat bangkit berdiri, bayangan merah itu sudah
kembali melesat cepat bagai kilat menerjangnya.
"Ah...!"
Putri Adipati Anggara itu tidak
mungkin lagi berkelit. Dirasakan adanya hentakan kecil di bagian dada. Dan tak
bisa dihindari lagi, tubuh gadis itu melorot turun, lalu ambruk lemas ke tanah.
Sebelum gadis itu menyadari apa yang terjadi pada diri-nya, bayangan merah itu
sudah berkelebat cepat
menyambar, lalu
membawanya pergi.
Begitu cepat gerakan bayangan merah itu, sehingga dua orang emban yang
sejak tadi hanya bisa menonton, jadi terpana tak mampu berbuat apa-apa.
"Tolong...!" Tiba-tiba saja emban bertubuh gemuk berteriak keras begitu
tersadar. Teriakan yang keras itu mengejutkan semua orang yang berada di lingkungan
bangunan besar itu. Emban satunya lagi juga berteriak-teriak menambah ributnya
siang yang panas ini. Tak berapa lama saja, hampir semua orang di Istana
Kadipaten Bojong Picung ini
sudah tumpah ke tempat itu. Mereka berebutan bertanya pada dua orang emban pengasuh
itu. Tentu saja kedua emban itu jadi kebingungan menjawabnya, belum lagi juga
harus menenangkan din dari
keterpanaan dari kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.
*** Adipati Anggara murka bukan kepalang begitu mendapat laporan kalau putrinya di-
culik. Laki-laki setengah baya itu bergegas keluar dari kamar Onila,
sedangkan gadis penari itu hanya
tergolek saja di atas pembaringan
dengan pakaian setengah terbuka. Dipandangi kepergian Adipati Anggara yang
dikawal sekitar enam orang prajurit.
Onila bergegas membereskan pakaiannya, lalu melompat bangkit dari pembaringan.
Bergegas-ditutup pintu yang terbuka itu dan kembali duduk di tepi pembaringan.
"Hhh..., untung saja...!" desah Onila seraya menarik napas panjang.
Gadis itu mendongakkan kepalanya
begitu mendengar ketukan pintu kamar dari luar.
"Masuk...!"
Pintu kamar itu terkuak, dan muncul Ki Jawura. Laki-laki tua itu bergegas masuk
dan menutup pintu itu kembali.
Dipandangi Onila yang rambutnya acak-
acakan, tapi pakaiannya masih lengkap meskipun agak berantakan. Onila bisa
mengerti pandangan Ki Jawura, lalu
mempersilakan laki-laki tua itu duduk.
"Belum terjadi, Ki," desah Onila diiringi hembusan napasnya.
"Ingat, Onila. Jangan sampai kau
terjebak rayuannya. Tugasmu di sini lebih pen-ting dari...," Ki Jawura
menghentikan ucapannya.
"Aku tahu, Ki," potong Onila cepat.
"Onila! Kau sudah mendengar
kalau...."
"Sudah," celetuk Onila sebelum Ki Jawura menyelesaikan ucapannya.
Ki Jawura menghela napas panjang.
Dipandanginya gadis itu dalam-dalam.
Sedangkan yang dipandangi hanya kelihatan biasa saja. Dirapikan pakaian dan
rambutnya. Tidak di-pedulikan lagi
pandangan mata laki-laki tua itu.
"Kejadian ini bisa menyulitkan kita, Onila," kata Ki Jawura seraya memalingkan
mukanya. Kecantikan dan keindahan tubuh Onila memang sangat mengundang, tidak peduli
terhadap laki-laki berusia lanjut. Ki Jawura sendiri selalu mengalihkan
pandangannya ke arah lain kalau sudah merasakan kelelakiannya tergoda. Pokok-
nya, jangan sampai dirinya tergoda
kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu. Dia sadar, siapa dirinya dan siapa
Onila itu. Gadis itu harus dilindungi
dari segala apa pun.
"Mudah-mudahan bukan orang kita yang melakukannya," desah Onila setelah selesai
merapikan diri.
"Siapa yang tahu, Onila. Kudengar kau bertengkar dengan Diah Mardani pagi tadi,"
kata Ki Jawura.
Onila tersentak kaget Sungguh tidak di-sangka kalau Ki Jawura mengetahui tentang
pertengkaran nya dengan putri Adipati Anggara pagi tadi. Dan sekarang gadis itu
diculik orang tidak dikenal.
Onila menatap Ki Jawura dalam-dalam.
Ingin diketahuinya, apakah laki-laki tua ini memandang lain terhadapnya.
Tapi sangat sukar untuk melihat isi hati Ki Jawura. Terlalu datar raut
wajahnya. Malah sinar matanya juga
tidak pernah berubah.
"Separuh rombongan kita adalah orangmu. Dan aku tidak punya hak untuk mengawasi
satu persatu. Maaf, Onila.
Bukannya aku mencurigaimu dengan bertindak menculik Diah Mardani," ujar Ki
Jawura seperti mengerti arti pandangan gadis cantik itu.
"Sebaiknya jangan bicarakan lagi persoalan penculikan ini, Ki. Masih banyak yang
harus dilakukan," tegas Onila.
"Baik, Gusti Ayu.
Hamba hanya menjalan-kan perintah," kata Ki Jawura seraya berdiri dan membungkukkan
badannya memberi hormat.
"Ki Jawura...!" Sentak Onila melihat laki-laki tua Itu. "Sudah berapa kali kau
kuperingatkan"!"
"Maaf, Onila," ucap Ki Jawura.
"Keluarlah!"
Ki Jawura membalikkan tubuhnya dan
melangkah keluar dari kamar ini.
Sedangkan Onila menghenyakkan tubuhnya di pembaringan, namun sebentar kemudian
cepat bangun dan duduk di tepi
pembaringan itu. Pada saat itu Adipati Anggara masuk ke dalam Onila masih
duduk memandangi laki-laki se-tengah baya itu yang juga menatapnya dalam-dalam.
Adipati Anggara menjatuhkan
dirinya di kursi.
"Bagaimana, Gusti Adipati?" Tanya Onila tetap duduk di tepi pembaringan.
"Tidak ada jejak. Sudah ku sebarkan hampir seluruh prajurit kadipaten
mencari Diah Mardani," sahut Adipati Anggara lesu.
"Apakah tidak ada yang melihat, Gusti?"
"Dua orang emban. Tapi mereka tidak tahu siapa yang menculik putriku.
Mereka hanya mengatakan kalau si
penculik memakai baju merah dan lari ke arah Barat."
"Mungkin mereka...," Onila tidak meneruskan kata-katanya.
"Kau tahu siapa orang itu, Onila?"
"Ah! Aku hanya seorang
penari, Gusti, Aku tidak tahu apa-apa," sahut
Onila buru-buru.
Adipati Anggara menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Dia bangkit berdiri, lalu menghampiri Onila. Sepasang tangannya yang kekar
menggenggam erat bahu gadis itu. Onila menengadahkan kepalanya menatap wajah
laki-laki setengah baya itu. Pelahan Adipati Anggara menundukkan kepalanya.
Tapi belum juga dekat, Onila sudah
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencegah dengan halus.
"Gusti harus memusatkan perhatian pada Gusti Ayu Diah," tolak Onila lembut.
"Hhh..." Adipati Anggara menghela napas panjang.
Laki-laki setengah baya penguasa
Kadipaten Bojong Picung itu melepaskan tangannya dari bahu Onila. Dilangkahkan
kakinya mundur dua tindak. Segera
dibalikkan tubuhnya, kemudian melangkah keluar dari kamar ini. Tapi sebelum
menutup pintu, kepalanya menoleh.
"Aku akan memintamu secara resmi pada Ki Jawura," tegas Adipati Anggara.
"Gusti...!" Onila tersentak kaget.
Namun Adipati Anggara sudah keluar dan menutup pintu kamar ini. Onila jadi ter-
longong mendengar ucapan terakhir adipati di Bojong Picung itu. Sesaat lamanya
gadis itu hanya bisa ternganga.
"Oh..., tidak! Ini tidak boleh terjadi...!" desah Onila berat.
Gadis itu menggeleng-gelengkan
kepala-nya. Sebentar kemudian dibanting tubuhnya menelentang di atas
pembaringan. Sepasang bola matanya yang
indah, menerawang jauh ke langit-langit kamar ini. Sungguh tidak di-duga kalau
Adipati Anggara akan mengucapkan kata-kata itu.
Cukup lama juga Onila membaringkan
tubuhnya menelentang merayapi langit-langit kamar, kemudian menggelinjang
bangkit dan keluar dari kamar ini.
Entah lupa atau bagaimana, Onila tidak lagi menutup pintunya. Sehingga, dua
orang penjaga pintu kamar itu terpaksa menutupnya setelah Onila berjalan jauh
meninggalkan kamar yang diperuntuk-kannya
beristirahat. Kamar yang
terpisah dari rombongannya.
*** Sementara itu jauh di sebelah Barat Kadipaten Bojong Picung, tepatnya di Bukit
Cangking, terlihat sebuah
bayangan merah berkelebat cepat menyelinap dari satu pohon ke pohon lain. Di
pundak kanannya tersampir sesosok tubuh ramping yang terkulai lemas tak
berdaya. Rambutnya yang hitam panjang, bergerak dipermainkan angin mengikuti
irama gerakan-orang berbaju merah itu.
Arah yang dituju jelas, puncak
bukit. Namun jalan yang dilalui sungguh tidak menguntungkan. Pepohonan begitu
rapat dan mendaki sangat terjal. Belum lagi bebatuan di lereng bukit ini
nampak rapuh dan mudah sekali longsor.
Namun orang berbaju merah itu terus bergerak cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh."
"Eh...!" tiba-tiba saja orang itu tersentak kaget ketika tampak di
depannya duduk seorang pemuda.
Kelihatannya pemuda berwajah tampan dan berambut panjang tergelung ke atas itu,
juga terkejut dengan kedatangan orang berbaju merah. Masalahnya, orang itu
memanggul sesosok tubuh ramping berpakaian sangat indah dari bahan
sutra halus, dan beri sulamkan benang-benang emas. Pemuda itu sampai ter-
lonjak berdiri.
"Kisanak, ada apa kau di sini"!"
Kasar sekali teguran orang berbaju merah itu.
Pemuda itu tidak menyahuti.
Dikerutkan alisnya
hingga bertaut rapat. Dari bibirnya terdengar suara gumaman kecil yang tidak begitu jelas.
Sepasang bola matanya sangat tajam
merayapi wajah seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun yang memondong seorang wanita di pundaknya.
"He, Anak Muda! Apa kau bisu"!"
Bentak orang itu semakin kasar nada suaranya.
"Tidak," sahut pemuda itu kalem, namun bernada penuh ketegasan.
"Minggirlah!" bentak orang itu lagi.
"Hm.... Kenapa begitu kasar, Ki sanak" Dan siapa yang kau bawa itu"
Apakah terluka?" Tanya pemuda itu.
"Bukan urusanmu!" Bentak orang berbaju merah itu sengit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang berbaju merah itu melompat cepat bagai ki-lat. Kalau saja pemuda berbaju
rompi putih itu tidak bergegas
menyingkir, pasti tubuh-nya sudah
terlanda. Begitu cepat
lesatan-nya, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan.
"Hm...," pemuda itu menggumam pelan.
Wut! Mendadak saja pemuda itu melesat ke arah perginya orang berbaju merah.
Begitu cepat-nya, sehingga bagai hilang saja. Sementara itu orang berbaju merah
yang memondong sosok tubuh ramping di pundak, terus berlari cepat mendaki Lereng
Bukit Cangkring ini. Cepat
sekali gerakannya, sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja sudah tiba di
puncak. Orang itu melemparkan tubuh yang
dipanggulnya begitu saja ke tanah,
kemudian mendekati sebongkah batu
besar. Sebentar di-pandangi batu itu, lalu kedua telapak tangannya ditekan kuat-
kuat ke batu itu. Pelahan-lahan batu itu menggeser ke samping. Tampak sebuah
mulut gua terpampang, setelah
batu itu tergeser cukup lebar.
Dan begitu dia berbalik, langsung
menyumpah. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan ram-but panjang agak
tergelung ke atas. Dia hanya mengenakan baju rompi putih, dan gagang pedangnya
yang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggung.
"Kau lagi...! Mau apa kau ke sini"!"
geram orang berbaju merah itu sengit.
"Hanya kebetulan lewat," sahut pemuda itu kalem, seraya melirik sosok ramping
yang tergolek lemas di tanah.
"Apakah gadis itu terluka?"
"Sudah kubilang, itu bukan urusan mu!" bentak orang berbaju merah itu semakin
tidak senang. Pemuda berbaju rompi putih itu tidak menghiraukan bentakan keras yang tidak
bersahabat itu. Dihampirinya gadis yang tergolek di tanah, lalu diperiksa.
Mulutnya bergumam pelan, lalu wajahnya berpaling pada orang yang berbaju
merah. Tampak sekali kalau wajahnya memerah menahan kemarahan.
"Dia hanya tertotok jalan darahnya.
Apakah kau yang melakukannya, Kisanak?"
Tenang nada suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sikapmu memuakkan sekali, Anak Muda! Aku paling tidak suka urusanku dicampuri
orang asing!" Geram laki-laki
berbaju merah itu.
"Bukannya hendak mencampuri, tapi nampaknya kau tidak bermaksud baik pada gadis
itu," tetap kalem nada suara pemuda itu.
"Bedebah! Kau benar-benar memuakkan!" Geram orang itu membentak kasar.
Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki
berbaju merah agak ketat itu melompat cepat bagai anak pariah lepas dari
busur. Lesatan disertai lontaran dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu
sungguh cepat dan tidak ter- duga sama sekali. Sehingga pemuda berbaju rompi]
putih itu tidak bisa berkelit lagi.
Cepat-cepat diangkat
tangannya ke depan, lalu disambut dua pukulan
beruntun itu. Des! Buk! Mereka sama-sama terpental ke
belakang begitu tangan masing-masing saling berbenturan keras. Tampak laki-laki
berbaju merah itu bergulingan
sejauh tiga batang tombak. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu hanya
terpental sejauh beberapa langkah saja.
"Setan alas...!" Geram orang berbaju merah itu lengit
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih hanya menggumam pelan saja.
"Anak Muda! Siapa kau sebenarnya"!"
Tanya orang berbaju merah itu kasar.
"Aku kira kau tidak perlu mengetahui namaku, Kisanak," sahut pemuda itu
kalem. "Phuih! Kau terlalu keras kepala, bocah! Kau akan menyesal mencampuri urusan
Klabang Geni!" Ancam orang berbaju merah itu sambil menyombongkan namanya.
"Hm..., Klabang Geni.... Seharusnya kau berada di daerah Wetan. Kenapa
sampai ke-sasar ke daerah Kulon...?"
Pemuda berbaju rompi putih itu bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Heh! Kau tahu aku..."!" Klabang Geni nampak terkejut "Siapa kau sebenarnya,
bocah"!"
"Asal kau tahu saja, Klabang Geni.
Aku urusan khusus dari Kerajaan Karang Setra, dan sengaja datang untuk
mencarimu!" tegas sekali kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu
"Hua ha ha ha...!" Klabang Geni tertawa terbahak-bahak.
"Gusti Prabu memerintahkan aku untuk meminta tanggung
Jawabmu, Klabang
Geni!" tegas pemuda itu lagi.
"Kenapa bukan rajamu saja yang datang, heh"! Kenapa hanya mengirim tikus busuk
padaku" Ha hal ha...!"
Klabang Geni kembali terbahak-bahak.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya menggerung pelahan, melihat kecongkakan
laki-laki berbaju merah yang bernama Klabang Geni itu.
"Bagaimana kau bisa mengetahui Raja Ka-rang Setra, Klabang Geni?" Tanya
pemuda berbaju rompi putih itu dingin.
"Nenek-nenek juga tahu. Raja Karang Setra adalah raja pengecut yang mengaku
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!
Dengar, bocah! Rajamu itu tidak lebih dari seorang pembual kelas teri. Semua
orang tahu kalau Pendekar Rajawali sudah mampus seratus tahun yang lalu!"
Merah padam wajah pemuda itu, namun kelihatannya masih bisa menahan diri agar
tidak terpancing. Tentu saja
Klabang Geni tidak mengetahui Raja Karang Setra, karena memang belum
pernah berjumpa sebelumnya. Dan dia tidak tahu kalau kini sedang berhadapan
dengan seorang pemuda yang mengaku
utusan khusus Kerajaan Karang Setra.
Klabang Geni tidak tahu kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah Rangga,
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, yang juga seorang raja besar di Karang
Setra. Tentu saja Rangga tidak mengatakan dirinya sebenarnya. Dia ingin
memancing dulu, apakah benar Klabang Geni yang membunuh urusan pribadinya ke
Kadipaten Bojong Picung" Dan kalau
memang benar, apa maksudnya" Itu yang ingin diketahui Rangga hingga harus
dirinya sendiri yang mencari Klabang Geni.
"Aku berani bertaruh, kau pasti belum pernah bertemu Prabu Rangga,"
kata pemuda berbaju rompi putih itu dingin nada suara-nya.
"Phuih! Sebaiknya kau pulang saja, bocah! Dan katakan pada rajamu agar jangan
mengganggu Kadipaten Bojong
Picung!" dengus Klabang Geni.
"Sayang sekali! Aku harus kembali, tapi sambil membawa kepalamu, Klabang Geni."
Dingin sekali suara Rangga.
"Keparat..! Kau tidak bisa dikasih ampun lagi, bocah!" geram Klabang Geni.
Setelah berkata demikian, Klabang
Geni langsung melompat menerjang cepat.
Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi
putih itu menggeser kakinya
sedikit ke samping, dan tubuhnya ditarik ke kiri. Terjangan Klabang Geni hanya
sedikit meleset di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
sebelum Klabang Geni bisa menarik
pulang serangannya yang gagal, tangan Rangga sudah berkelebat cepat Dan....
Des! "Akh...!" Klabang Gem memekik tertahan.
Laki-laki berbaju merah menyala itu ter-pental beberapa langkah.
Dan memang, tebasan tangan Rangga tepat mendarat pada bagian pinggang.
"Monyet keparat..!" umpat Klabang Geni geram.
Bet! Bet! Klabang Geni kembali mempersiapkan
dengan jurus lainnya. Dan Rangga
sendiri sudah siap menanti serangan berikut. Pemuda itu kelihatan tenang,
namun tatapan matanya sangat tajam
menusuk langsung ke bola mata Klabang Geni.
"Hiyaaa...!"
"Hait!"
*** 3 Pertarungan antara Rangga melawan
Klabang Geni tidak mungkin dihindari lagi. Mereka adalah tokoh tingkat
tinggi rimba persilatan. Tidak heran, kalau masing-masing langsung mengerahkan
jurus-jurus andalan yang sangat dahsyat dan mematikan. Buat Klabang Geni
sendiri, dia begitu geram karena semula meremehkan pemuda itu. Tapi
kini, sukar baginya untuk mendesak
lawan. Sementara tidak jauh dari tempat
pertarungan, terlihat sosok tubuh
ramping tergolek lemah tak berdaya di tanah berumput tebal. Meskipun tidak
memiliki tenaga untuk bergerak, namun wanita itu masih bisa mengikuti
pertarungan dua orang yang tak dikenal-nya.
Dia berusaha bergerak, namun
seluruh ototnya terasa kaku dan sukar di-gerakkan. Gadis berwajah cantik itu
hanya bisa mengeluh dalam hati dan
memperhatikan jalannya pertarungan.
Namun rasanya cukup sulit untuk
melihat, karena pertarungan itu
berjalan cepat. Sehingga, yang terlihat ha-nya dua bayangan yang berkelebatan
saling sambar saja.
"Awas kaki...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan
peringatan keras menggelegar. Pada saat itu, sebuah bayangan putih berkelebat
cepat menyusur tanah. Sedangkan
bayangan merah melesat ke udara. Namun pada saat yang bersamaan, bayangan
putih melesat juga ke udara.
Dug! "Akh...!"
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-
tahu sosok tubuh
berbaju merah terpental dan jatuh bergulingan di
tanah. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih mendarat manis di tanah. Tepat pada
saat kedua kakinya men-jejak
tanah, Klabang Geni menggelinjang
bangkit berdiri. Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah segar kemerahan.
"Keparat..!" umpat Klabang Geni seraya menyeka darah di mulut dengan punggung
tangan. Bet! Wut! Klabang Geni menyilangkan tangannya di depan dada dengan jari-jari
terkembang, Pelahan ditarik tubuhnya sehingga doyong ke kanan, kemudian
pelahan-lahan pula ditarik tubuhnya ke kiri agak memutar ke belakang. Tampak
napasnya ditarik dalam-dalam. Sedangkan
matanya menatap tajam menusuk ke arah pemuda berbaju rompi putih di depannya.
Melihat lawannya bersiap-siap
memper-gunakan ilmu kesaktian, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tinggal diam.
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera dirapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada. Sebentar
ditariknya napas panjang dan dalam, lalu pelahan-lahan tangannya ditarik ke
samping dengan telapak tangan terkepal.
Kedua kakinya dipentang lebar ke
samping, tepat pada saat kedua tangannya terkepal di sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Klabang Geni melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Terjangannya begitu dahsyat sehingga menimbulkan desiran angin yang sangat kuat,
membuat daun-daun berguguran.
Pada saat Klabang Geni menghentakkan tangannya ke depan, Rangga cepat-cepat
mendorong kedua tangannya ke depan
untuk menyambut serangan laki-laki
berbaju merah itu.
"Hap!"
"Hiyaaa...!"
Glaaar. .! Suatu ledakan keras terdengar bagai gunung meletus, tepat ketika dua pasang
tangan beradu rapat.
"Aaakh...!" Klabang Geni menjerit keras.
Laki-laki berbaju merah itu
terpental keras dan jatuh. Dua batang pohon yang ter-landa tubuhnya langsung
tumbang. Beberapa kali Klabang Geni bergulingan di tanah, tapi masih mampu
bangkit berdiri meskipun agak limbung.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, dan hanya terdorong dua langkah ke
belakang. Tampak sekali dari sinar matanya,
Klabang Geni seperti tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi pada
dirinya. Pemuda itu masih berdiri tegak tanpa mengalami luka sedikit pun.
Sedangkan dirinya sendiri seperti remuk seluruh tulang tubuhnya. Bah-kan
badannya masih terasa sesak dan sulit mengatur napasnya. Tapi rasa penasaran
membuatnya kembali melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hap!"
Tap! Klabang Geni mengangkat kedua
tangannya ke atas lalu menyilangkan tepat pada pergelangannya. Pelahan
diturunkan tangannya sampai di depan dada. Tampak seluruh tubuh-nya bercahaya
merah membara bagai terbakar.
Melihat itu Rangga bergerak mundur dua langkah. Tapi sikapnya masih terlihat
tenang, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman dingin.
"Hiyaaat..!" Klabang Geni berteriak keras menggelegar.
Secepat itu pula dihentakkan
tangannya ke depan. Seleret sinar merah melesat mengarah pada Rangga yang masih
berdiri tegak tak bergeming.
Glar...! Kembali ledakan
keras terdengar.
Asap tebal seketika mengepul saat
cahaya merah tadi menghantam tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ha...!"
Bukan main terkejutnya Klabang Geni begitu asap tebal memudar. Tampak
Rangga masih berdiri tegak pada
tempatnya. Padahal jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti tadi terhantam
sinar merah yang dilepaskan Klabang Geni. Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu
terlihat tersenyum tipis.
"Hiya! Hiya...!"
Klabang Geni jadi geram bukan main.
Segera dihentakkan tangannya dua kali ke depan. Dan seketika dua cahaya merah
bertebaran meluruk deras ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Kembali
terdengar ledakan keras mengguntur dua kali berturut-turut Maka untuk kedua kali
Klabang Geni ternganga me-lihat lawannya yang masih muda mampu menahan ajian
kesaktiannya yang dahsyat.
"Hanya sampai di situ sajakah ilmu kesaktianmu
Klabang Geni?" Rangga
tersenyum penuh ejekan.
"Phuih!" Klabang Geni menyemburkan ludahnya.
Klabang Geni menggerak-gerakkan
tangan-nya di depan dada. Kemudian melompat deras ke arah Rangga. Jari-jari
kedua tangannya terkembang,
menjulur ke depan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak tak
bergeming sedikit pun. Maka, mudahlah bagi Klabang Geni untuk mendaratkan jari-
jari tangannya yang mengembang kaku ke dada Pendekar! Rajawali Sakti.
"Hup"
Pada saat itu Rangga menghembuskan
napas dan mencengkeram pundak Klabang Geni kuat-kuat Tampak cahaya biru
menyelimuti seluruh tubuh Rangga
sedangkan seluruh tubuh Klabang Geni berselimut cahaya merah.
Pelahan-lahan namun pasti, cahaya
biru mulai menyelimuti seluruh tubuh Klabang Geni. Sehingga, cahaya merah
memudar, dan akhirnya lenyap dari tubuh laki-laki berbaju merah itu. Klabang
Geni menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri, namun jari-jari tangannya
menempel erat pada dada Pendekar
Rajawali Sakti.
"Aaa...!"
Klabang Geni menjerit
keras melengking.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga mendorong
tubuh Klabang Geni kuat-kuat. Akibatnya laki-laki berbaju merah itu terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak.
Rangga sendiri melompat ke belakang sekitar tiga langkah. Tampak Klabang
Geni menggeliat-geliat sambil merintih lirih.
Sebentar kemudian laki-laki
berbaju merah itu tak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya kaku membiru, seperti habis
tersengat ribuan ular berbisa.
"Hhh...," Rangga menarik napas panjang dan berat.
*** Pendekar Rajawali Sakti membebaskan totokan pada jalan darah gadis cantik yang
tergeletak di tanah. Gadis itu langsung bangkit duduk. Sebentar
digerak-gerakkan
tubuhnya untuk melemaskan otot-otot yang terasa kaku.
Dipandanginya mayat Klabang Geni yang terbujur kaku membiru, kemudian beralih
pada pemuda tampan berbaju rompi putih yang baru saja membebaskannya dari
totokan Klabang Geni.
"Terima kasih, kau telah menolon-gku," ucap gadis itu.
"Siapa kau" Dan kenapa diculik Klabang Geni?" Tanya Rangga lembut
"Aku Diah Mardani, putri Adipati Anggara di Kadipaten Bojong Picung,"
sahut gadis itu memperkenalkan diri.
"Totokan di tubuhmu tidak mempenga-ruhi jalan pendengaran. Jadi kau pasti
mendengar semua yang kubicarakan dengan Klabang Geni," kata Rangga seraya
menghentakkan tubuhnya bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang
melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.
"Ya," sahut Diah Mardani setengah men-desah.
"Aku memang sedang mencari Klabang Geni, karena dia telah mencegat dan membunuh
urusan pribadi Raja Karang Setra untuk Adipati Bojong Picung,"
jelas Rangga tanpa membuka siapa
dirinya sebenarnya. Padahal, dia sendiri adalah raja di Karang Setra.
"Aku dengar semuanya. Dan kau adalah urusan khusus Prabu Rangga Pari
Permadi," kata Diah Mardani.
Rangga memandangi wajah gadis cantik yang duduk tidak jauh didepan.
Sedangkan yang dipandangi hanya
tertunduk saja, dan mengalihkan
pandangan ke arah lain. Seakan-akan tidak ingin kecantikannya dipandangi pemuda
itu. Atau dibiarkan saja pemuda tam-pan berbaju rompi putih itu
menikmati wajahnya.
"Jika kau memang benar putri Adipati Anggara, aku ingin tahu. Apa benar di
Kadipaten Bojong Picung ini terjadi pemberontakan?" Tanya Rangga yang juga
sepertinya tengah menyelidiki kebenaran pengakuan gadis itu.
"Sepertinya kau tidak mempercayai aku, Kisanak," agak ketus nada suara Diah
Mardani. "Terus terang, kami semua di Karang Setra mendengar kalau di Kadipaten
Bojong Picung terjadi pemberontakan dan usaha penggulingan kekuasaan. Dan ini
pasti akan merembet sampai ke Kerajaan Karang Setra. Maka aku harus bersikap
waspada dan tidak mudah percaya pada siapa pun. Aku harap kau mengerti, Nini
Diah," jelas Rangga.
Diah Mardani hanya mengangkat
bahunya saja. "Nah! Kau mengaku sebagai putri Adipati Anggara. Apakah kau tahu adanya
pemberontakan di kadipaten ini?" Rangga mengulangi pertanyaannya yang belum
terjawab tadi. "Tidak," sahut Diah Mardani.
"Tidak..."!" Pendekar Rajawali Sakti kelihatan terkejut mendengar jawaban Diah
Mardani barusan.
"Keadaan di Kadipaten Bojong Picung aman-aman saja. Sama sekali tidak ada tanda-
tanda bakal ada pemberontakan,"
tegas Diah Mardani.
Rangga mengernyitkan alisnya hingga bertaut menjadi satu. Sesaat lamanya
dipandangi gadis di depannya, kemudian bangkit berdiri seraya menghembuskan
napas panjang dan agak berat. Diah Mardani juga ikut bangkit, lalu
melangkah begitu Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Tak ada
lagi yang bicara, mereka berjalan bersisian dengan pikiran masing-masing.
Cukup lama tidak ada yang berbicara.
Sampai cukup jauh meninggalkan Puncak
Bukit Cangking ini, masih belum ada yang membuka mulut terlebih dahulu.
Mereka terus berjalan membelah kelebatan hutan, menuruni Lereng Bukit
Cangking. Tapi mendadak saja Diah
Mardani berhenti berjalan, lalu menatap lurus Pendekar Rajawali Sakti yang juga
menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap gadis itu.
"Kisanak, selama ini Kadipaten Bojong Picung aman-aman saja. Tapi..,"
suara Diah Mardani terhenti
'Tapi, kenapa?" Tanya Rangga minta di-teruskan.
"Aku tidak mengerti, kenapa Klabang Geni menculikku...?" Tanya Diah Mardani
seperti untuk dirinya sendiri.
"Kalau kau cerdik, kau akan bisa menjawab sendiri," tegas Rangga.
"Pemberontakan..."!"
Diah Mardani memandangi Rangga
dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau ada rencana makar di Kadipaten
Bojong Picung. Kadipaten ini memang berada di wilayah Kerajaan Karang
Setra. Gadis itu benar-benar tidak tahu kalau ada urusan datang ke kadi-paten
ini.. "Kisanak, apa yang dibawa urusan dari Karang Setra?" Tanya Diah Mardani.
"Sepucuk surat khusus Prabu Rangga untuk Adipati Anggara," sahut Rangga.
"Surat..?"
Kembali Diah Mardani
mengerutkan keningnya.
"Kami mendengar akan adanya rencana makar. Itulah sebabnya Prabu Rangga mengirim
urusan dan hendak menanyakan kebenaran berita itu langsung dari
Adipati Anggara. Tapi di tengah jalan, urusan itu telah di-cegat Klabang Geni.
Tiga orang tewas dan seorang berhasil kembali dalam keadaan ter-luka parah, tapi
akhirnya tewas juga ketika sampai di hadapan Prabu Rangga," jelas Rangga tanpa
memberitahukan siapa dirinya sebenarnya. Diah Mardani bungkam, mendengarkan
penuh perhatian. Sungguh mati tidak diketahui kalau di Kadipaten Bojong Picung
akan ada pemberontakan yang
terencana. Dan rencana itu sudah tercium sampai ke Istana Karang Setra, sehingga
Prabu Rangga sampai mengirim urusan khusus untuk menanyakan kebenaran berita
itu. "Kejadian itu semakin memperkuat dugaan kalau Kadipaten Bojong Picung benar-
benar terancam," sambung Rangga.
"Dan kau dikirim
khusus untuk menyelidiki kebenarannya?" sergah Diah Mardani.
"Bukan hanya itu. Aku juga harus melenyapkan Klabang Geni serta
menghancurkan gerombolannya yang
mungkin sudah menyebar dan menyusup ke dalam Kedaton Kadipaten Bojong Picung."
"Oh! Benarkah itu..."!"
"Semua baru
dugaanku saja. Kebenarannya memang harus dibuktikan terlebih dahulu."
"Kalau begitu, Ayahanda harus
diberitahu secepatnya," kata Diah Mardani.
"Kau akan memberitahu pada ayahmu?"
"Tentu!" tegas jawaban Diah Mardani.
"Jika ayahmu tidak percaya?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Aku yang akan bertindak sendiri."
"Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tahu-tahu Rangga jadi tergelitik mendengar
jawaban yang begitu tegas seperti tidak dipikir
lebih dahulu. Diah Mardani jadi
mendelik diperlakukan seperti itu. Tapi Rangga masih saja tertawa terbahak-bahak
sambil melanjutkan berjalan.
Putri Adipati Anggara menggerutu, lalu mengayunkan kakinya mengikuti langkah
kaki Pendekar Rajawali Sakti di
depannya. "Kau boleh saja meremehkan, tapi lihat saja nanti!" rungut Diah Mardani.
"Aku memang pernah mendengar kalau putri Adipati Anggara gemar mempelajari ilmu
olah kanuragan dan kesaktian.
Tapi, rasanya belum cukup untuk
menghadapi para pemberontak," kata Rangga tanpa bermaksud meremehkan.
"Kalau aku sanggup?"
"Aku akan mohon pada Prabu Rangga, agar kau dijadikan pendamping khusus Gusti
Ayu Cempaka."
"Aku pegang janjimu, Kisanak!"
Tentu saja Diah Mardani senang kalau bisa dijadikan pendamping khusus adik tiri
Raja Karang Setra yang sudah
dikenal bukan saja kecantikannya, tapi juga tingkat kepandaiannya. Di samping
itu, Cempaka juga berbudi luhur dan welas asih. Diah Mardani ingin sekali kenal
dengan adik tiri laki-laki Prabu Rangga yang tampan dan juga berkepandaian
tinggi. Sudah tidak terhitung lagi, berapa gadis putri pembesar yang mendekati
Raden Danupaksi. Tapi, pemuda itu seperti belum melirik seorang gadis pun.
*** Bukan main gembiranya Adipati
Anggara mendapati putri tunggalnya
kembali dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Tapi di balik
kegembiraan nya, hatinya ter-kejut
karena Diah Mardani justru kembali
bersama seorang pemuda berbaju rompi putih.
Adipati Anggara tahu siapa
pemuda itu, sehingga buru-buru membawanya ke ruangan khusus. Hanya mereka berdua
saja yang memasuki ruangan itu, tanpa ada seorang pengawal pun di sana.
Bahkan Diah Mardani sendiri dilarang ke ruangan khusus itu.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak menyambut kedatangan Gusti Prabu secara
layak," ucap Adipati Anggara seraya berlutut memberikan sembah.
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangunlah,
Paman Adipati," kata
Rangga lembut. Adipati Anggara bangkit berdiri,
bersikap penuh hormat. Tapi Rangga
meminta untuk bersikap biasa saja,
karena tidak ingin orang lain
mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
"Diah Mardani sudah menceritakan semua peristiwanya. Dan sungguh hamba tidak
menduga kalau Gusti Prabu sendiri yang akan datang, serta menolong putri hamba,"
ucap Adipati Anggara.
"Aku memang datang untuk menemuimu, Pa-man Adipati. Ada sesuatu yang hendak ku-
tanyakan padamu," jelas Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Aku mendapat kabar kalau
ada rencana makar di sini. Itulah sebabnya aku mengutus empat orang yang membawa
surat untukmu. Tapi mereka dicegat
Klabang Geni. Tiga orang tewas seketika dan seorang berhasil kembali dalam
keadaan luka parah, namun akhirnya juga tewas, Kejadian itu membuatku harus
pergi sendiri untuk mengetahui
kebenaran berita yang kudengar itu,"
kata Rangga. "Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak mendekam di Kadipaten Bojong Picung ini,
Keadaannya aman tentram, bahkan kemajuannya sangat pesat."
Rangga menggumam tidak jelas.
Kakinya melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandang keluar. Sedangkan Adipati Anggara ha-nya berdiri saja tanpa
bergeser sedikit pun, masih
bersikap penuh rasa hormat. Pelahan Rangga membalikkan tubuhnya sambil
menghembuskan napas panjang.
"Untuk apa kau
membuat panggung
besar di tengah alun-alun, Paman
Adipati?" Tanya Rangga.
"Gusti..., panggung itu hamba buat untuk rombongan para penari yang hamba undang
selama tujuh hari," jawab
Adipati Anggara terus terang.
"Kau mengadakan pesta?"
"Hanya pesta kecil, Gusti. Rombongan penari
hamba datangkan dari Desa
Kuripan." Rangga mengangguk-anggukkan kepala-
nya. Memang sudah pernah didengarnya kalau di Desa Kuripan terkenal akan gadis
penarinya yang cantik-cantik Desa itu memang seperti suatu tempat
berkumpulnya rombongan penari dan
kesenian rakyat lainnya. Mereka sudah terkenal sampai ke seluruh pelosok
Kerajaan Karang Setra.
"Ampun, Gusti.... Jika Gusti Prabu tidak berkenan, hamba akan menghentikan pesta
dan memulangkan seluruh rombongan penari," ujar Adipati Anggara.
"Tidak! Teruskan saja pes tamu,"
tegas Rangga. "Terima kasih, Gusti. Tapi...."
"Kau teruskan pesta, sementara aku akan menyelidiki terus sampai benar-benar
yakin kalau tidak ada pembe-
rontakan di sini," potong Rangga cepat.
"Hamba akan mengerahkan prajurit dan telik sandi, Gusti," kata Adipati Anggara.
"Tidak perlu, Paman Adipati.
Bersikaplah wajar seperti tidak terjadi sesuatu. Tapi kau harus tetap waspada.
Dan lebih waspada lagi dengan segala yang akan terjadi."
"Hamba, Gusti Prabu."
"Hm...."
*** Malam sudah beranjak semakin larut
Udara yang dingin jadi tidak terasa oleh kehangatan suasana yang ditim-bulkan
rombongan penari pimpinan Ki Jawura. Semakin larut, semakin hangat suasananya.
Ini karena irama gamelan yang ditabuh pada nayaga kelihatan
semakin bergairah.
Namun semua itu seperti tidak
dirasakan Onila yang hanya duduk saja di pinggir belakang panggung di antara
para nayaga. Wajah gadis itu kelihatan murung, seolah-olah sudah jemu berada di
tengah-tengah keramaian ini. Beberapa kali ditariknya napas panjang, tidak
peduli dengan sorotan mata Ki
Jawura yang selalu berada di
sampingnya. "Kau gelisah sekali malam ini, Onila," tegur Ki Jawura.
"Tidak, Ki," desah Onila seraya menghembuskan napas panjang.
"Apa sebenarnya yang kau pikirkan, Onila?" Ki Jawura tidak percaya pada jawaban
Onila. "Hhh...!" Onila mendesah berat.
Gadis itu melayangkan pandangannya
ke depan panggung. Di sana, terlihat seorang pemuda berwajah
tampan mengenakan baju rompi putih tengah
duduk di kursi paling depan. Di
sebelahnya duduk seorang gadis cantik mengenakan baju biru muda yang agak ketat
sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. ki Jawura mengarahkan
pandangannya ke arah yang sama dengan gadis penari itu. Kepalanya terangguk-
angguk seperti bisa mengerti kegelisahan yang terjadi pada diri
Onila. "Aku juga sudah mendengar tentang pemuda itu. Kabarnya, dia utusan khusus
Kerajaan Karang Setra," kata Ki Jawura agak pelan, seolah bicara untuk dirinya
sendiri. Onila kembali mendesah berat Ditatapnya laki-laki tua yang duduk bersila di sampingnya. Sementara para nayaga
terus memainkan gending yang berirama semakin cepat dan hangat. Para
penari berlenggak-lenggok memancing suasana. Tidak sedikit lelaki yang ikut naik
ke atas panggung, memilih para penari yang disukai.
"Aku ke belakang dulu, Ki," kata Onila seraya beranjak berdiri.
"Mau ke mana kau?" Tanya Ki Jawura.
"Aku tidak enak badan."
Onila terus saja melangkah menuruni panggung. Ki Jawura memperhatikan gadis itu
yang terus saja berjalan menuju bagian samping kanan bangunan besar bagai istana
kecil itu. Ki Jawura tidak lagi memperhatikan setelah tubuh
ramping itu lenyap di balik tembok.
Sementara Onila terus berjalan cepat menyusuri tepi dinding yang cukup
tinggi dan kokoh. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar tempat itu.
Perhatian semua orang tertumpah ke
alun-alun, tempat suara irama gending masih terdengar hangat menghalau udara
dingin yang berhembus kencang malam ini.
Onila berhenti melangkah di
samping sebuah jendela besar. Gadis itu menjulurkan kepalanya, memperhatikan ke
dalam. "Hm...," gadis itu bergumam pelan.
Pelahan-lahan kembali dilangkahkan
kaki-nya melintasi depan jendela itu.
Langkahnya terus memasuki lorong yang di kiri dan kanannya terdapat kamar-kamar
yang pintunya tertutup rapat. Ada empat orang prajurit berjaga-jaga di
sana. Mereka membungkuk memberi hormat.
Onila membalasnya dengan
senyuman tipis. Gadis itu membuka salah satu pintu kamar, langsung masuk ke dalam.
Terdengar suara pintu terkunci dari dalam. Empat orang prajurit yang
menjaga lorong itu saling berpandangan.
"Kenapa Onila tidak menari...?"
Tanya salah seorang prajurit.
"Mungkin Gusti Adipati tidak
mengijinkan seperti kemarin," sahut satunya lagi.
"Kurang seru kalau Onila tidak menari," celetuk satunya lagi.
"Ah...! Penari lain juga cantik-cantik. Bahkan gerakannya lebih luwes dari
Onila." "Iya sih..., tapi kurang enak lah!"
Obrolan para prajurit itu terus
berlangsung. Semakin lama obrolan itu semakin ter-dengar sungguh-sungguh.
Bahkan kedengaran-nya lebih terpusat pada Onila.
Mereka adalah para prajurit yang
gemar melihat kesenian rakyat, sehingga bisa membedakan penari yang benar-benar
luwes dengan penari yang seperti
dipaksakan. Kini Onila mulai jadi pusat perhatian karena dinilai tidak seperti
lima orang penari lain-nya.
"Jangan-jangan si Onila itu bukan penari, Kang...," celetuk salah seorang
prajurit yang masih muda.
"Hus! Jangan ngomong sembarangan!"
dengus salah seorang prajurit yang
berada di dekatnya.
"He, Kang. Sebelum jadi prajurit, aku dulu pernah ikut dalam rombongan penari.
Jadi, aku tahu betul mana yang benar-benar penari dan yang bukan. Aku yakin
Onila itu bukan penari tulen, Kang," prajurit muda itu bersikeras dengan
pendapatnya. Dan belum lagi ketiga prajurit
lainnya bisa membuka suara, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat
bagai kilat. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu mereka
merasakan adanya sesuatu yang dingin menggorok leher. Sesaat
kemudian, empat sosok tubuh prajurit terjungkal dengan leher terkoyak hampir
putus. Darah mengucur deras membasahi lantai. Tak ada suara sedikit pun yang
keluar. Empat orang prajurit itu
langsung tewas seketika. Bayangan merah itu berkelebat cepat melintasi lorong
belakang yang tidak begitu panjang itu.
*** Kegemparan terjadi di Istana
Kadipaten Bojong Picung ketika empat orang prajurit ditemukan tewas dengan leher
terpenggal hampir putus. Adipati Anggara langsung memerintahkan agar penjagaan
diperkuat Dan dia melarang semua rombongan penari keluar dari
kamarnya. Jelas, keselamatan para
penari dan para nayaga adalah tanggung jawabnya.
Bahkan Adipati Anggara
menempatkan dua puluh prajurit di
sekitar kamar peristirahatan mereka.
Adipati Anggara berjalan mondar-
mandir di ruangan khusus pribadinya.
Hanya ada Rangga dan Diah Mardani. di ruangan itu, dan tak ada seorang
prajurit pun yang ter-lihat Rangga dan Diah Mardani duduk di kursi menghadap
meja bundar beralaskan batu pualam
putih berkilat. Adipati Anggara berdiri membelakangi
jendela. Raut wajahnya
tampak kusut, dan matanya lesu menatap Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak mengerti, mengapa mereka memilih Kadipaten Bojong Picung sebagai
pusat pemberontakan...?" keluh Adipati Anggara seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Kelemahan," sahut Rangga tanpa diminta.
Kalau saja tidak ada Diah Mardani
dan teringat pesan Rangga, Adipati
Anggara sudah menjatuhkan diri di depan Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja
Karang Setra. Kadipaten Bojong Picung ini berada di dalam wilayah Kerajaan
Karang Setra, maka sudah tentu Adipati Anggara berada di bawah Rangga.
"Diah, kau bisa pergi sebentar?"
Pinta Adipati Anggara merasa sungkan berbicara dengan Rangga di
depan putrinya. Diah Mardani memandang Rangga yang
mengangguk sedikit, kemudian beranjak bangkit dan melangkah meninggalkan
ruangan ini. Tinggal Adipati Anggara dan Rangga yang masih berada di ruangan
yang cukup besar dan indah ini. Adipati Anggara langsung berlutut di lantai
begitu pintu tertutup. Sementara Diah Mardani telah lenyap di balik pintu.
"Ampun, Gusti Prabu. Adakah
kesalahan dalam kepemimpinan hamba
selama ini?" Pelan sekali suara Adipati Anggara.
"Tidak. Aku tidak melihat adanya kesalahan dalam kepemimpinan mu, Paman
Adipati," kata Rangga penuh kewibawaan.
"Bangunlah, duduk dekatku disini."
Adipati Anggara memberikan sembah
dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, kemudian beranjak bangkit
berdiri dan menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti itu. Sebelum duduk di samping pemuda yang selalu mengenakan baju
rompi putih itu, sekali lagi dia memberikan sembah hormatnya. Dengan sikap agak
sungkan, Adipati Anggara duduk di samping Rangga.
"Aku hanya melihat kelemahan pada kemampuan prajurit-prajuritmu," jelas Rangga
lagi. "Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?" Tanya Adipati Anggara penuh rasa
hormat. "Tidak ada," sahut Rangga seraya bangkit berdiri. Pendekar Rajawali
Sakti itu berjalan mendekati jendela dan memandang keluar.
Pada saat itu terlihat adanya sebuah bayangan berkelebat menjauhi jendela.
Rangga tersenyum tipis dan membalikkan tubuhnya memandang laki-laki setengah
baya itu. "Satu hal lagi, Paman Adipati. Kau tidak menekankan kedisiplinan di sini,"
kata Rangga seraya melangkah keluar dari ruangan ini.
Adipati Anggara hanya termangu dan
mulutnya terbuka lebar. Sungguh tidak dimengerti, apa yang dikatakan Pendekar
Rajawali Sakti barusan. Sementara
Rangga sudah keluar dari ruangan itu, dan terus berjalan ke bagian samping
bangunan besar dan megah ini. Bibirnya menyunggingkan senyuman
tipis saat melihat sosok tubuh ramping mengenakan baju biru muda duduk di bangku taman.
Sebatang pohon rindang menaungi dari sengatan cahaya matahari pagi.
Rangga menghampiri gadis itu yang
ternyata adalah Diah Mardani. Gadis itu tampak terkejut begitu Rangga menyentuh
pundaknya. Wajahnya langsung bersemu merah, dan tubuh-nya agak bergetar.
Buru-buru ditundukkan kepalanya, tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Apa yang kau dengar tadi, Diah?"
Tanya Rangga lembut
"Aku..., aku,..," Diah Mardani tergagap.
Gadis itu meluruk turun dari kursi, lalu berlutut d depan Rangga.
Dirapatkan kedua tangannya di depan hidung untuk memberi sembah pada Raja Karang
Setra itu. Rangga tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala-nya. Diga-mitnya
pundak Diah Mardani dan
dibawanya berdiri. Namun sikap gadis itu jadi berubah Jauh. Dan Rangga
membawanya duduk kembali di kursi. Dia sendiri juga duduk di kursi itu.
"Ampun, Gusti. Hamba telah berlaku tidak sopan," ucap Diah Mardani yang baru
mengetahui kalau pemuda yang
menolongnya dari cengkeraman Klabang Geni adalah Raja Karang Setra, yang berarti
adalah junjungannya.
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, sudahlah. Tidak perlu kau bersikap seperti Itu, Diah," kata Rangga diiringi
senyuman nya. "Hamba hanya ingin tahu, Gusti, Hamba..., hamba...."
"Kau sudah tahu siapa aku, Diah, Seka-rang kuminta janganlah bersikap seperti
itu padaku. Bersikaplah wajar dan seperti biasanya.
Itu akan memudahkan aku membekuk gerombolan
pemberontak yang sudah merasuk ke dalam keraton ini," Rangga mencoba memberi
pengertian gadis itu.
Diah Mardani hanya mengangguk saja.
"Diah..."
Belum juga Rangga bisa meneruskan
ucapannya, mendadak saja sekelebatan terlihat adanya sebuah bayangan melesat
cepat ke atas atap. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan mata. Namun
meskipun hanya melihat sekejap, Rangga sudah yakin kalau bayangan tadi telah
mendengar dan mengetahui keberadaan dan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Kau di sini saja, Diah. Hup..!"
Bagai kilat, Rangga melesat mengejar ke arah
bayangan tadi berkelebat.
Tinggal Diah Mardani melongo takjub, memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti
berkelebat bagai kilat.
Tahu-tahu bayangan tubuh pemuda berbaju rompi putih itu sudah lenyap dari pandangan
matanya. Hanya sejenak Diah Mardani tertegun ka-gum, sesaat kemudian sudah berlari cepat
ke arah perginya
Pendekar Rajawali Sakti itu. Diah Mardani memang bukanlah gadis manja. Dia ternyata juga
memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Bahkan ilmu meringankan tubuhnya
juga sudah cukup tinggi, sehingga bisa bergerak cepat bagai tidak
menjejak tanah.
*** Slap! Slap...! Beberapa kali lompatan saja, Rangga sudah bisa membayangi bayangan merah yang
berkelebat cepat bagai kilat.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di udara, lalu
berputaran beberapa kali melewati kepala orang itu.
Jleg! "Berhenti...!" bentak Rangga keras begitu kakinya menjejak tanah di depan orang
berbaju merah ketat.
Rangga memperhatikan orang berbaju
merah yang wajahnya hampir tertutup kain merah. Hanya kepala bagian atas saja
yang terlihat, dengan sepasang bola mata bulat indah dan bening. Orang itu
berhenti berlari. Kelihatan sekali dari sinar matanya kalau hatinya
terkejut melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri menghadang di depan.
"Siapa kau"! Apa maksudmu menyelinap di sini"!" Bentak Rangga bertanya.
"Kau tidak perlu ikut campur
urusanku, Pendekar Rajawali Sakti!"
Dengus orang itu.
Dari suaranya, Rangga sudah bisa
memastikan kalau orang berbaju merah itu adalah wanita. Tapi menyadari kalau
wanita berbaju merah itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah, Rangga harus hati-hati menghadapi-nya. Bukti-nya,
hampir saja tadi tidak bisa
mengejar. Ilmu meringankan tubuh yang di-miliki wanita berbaju merah ini
cukup tinggi, dan sudah pasti ilmu olah kanuragannya juga tidak rendah.
"Kau terlalu serakah, Rangga. Tidak seharusnya Bojong Picung dijadikan
daerah kekuasaan Karang Setra. Dan kami semua tidak akan membiarkan orang-orang
tamak dari Karang Setra menguasai
Bojong Picung!" ter-dengar dingin nada suara wanita itu.
"Hm..., siapa kau sebenarnya?" Tanya Rangga mulai bisa meraba maksud wanita
berbaju merah ini.
Dari kata-katanya, Rangga sudah bisa menebak kalau wanita berbaju merah ini
tidak sendirian berada di dalam
lingkungan Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Rangga kini mendapat bukti kalau
berita yang didengar-nya ternyata benar. Memang, di Kadipaten Bojong Picung
tengah terjadi penyusunan
kekuatan untuk memberontak terhadap, Kerajaan Karang Setra.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Rangga. Tapi yang perlu diketahui, kami
adalah para ksatria yang akan
membebaskan Bojong Picung dari cengkeraman
manusia-manusia tamak Karang
Setra sepertimu!" Ketus jawaban wanita berbaju merah itu.
"Hmmm.... Aku yakin, kau adalah korban dari hasutan orang tidak
bertanggung jawab," gumam Rangga seraya menggeser kakinya ke kanan.
"Dan kau harus mampus, Rangga!"
Setelah berkata demikian, wanita
berbaju dan bercadar merah itu langsung melesat sambil berteriak keras,
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat serangannya, sehingga Rangga
tidak punya kesempatan berkelit. Satu pukulan keras mendarat telak di bahu kanan
Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya pemuda berbaju rompi putih itu terpental ke
belakang "Hup!"
Cepat sekali Rangga menggelinjang
bang-kit. Pada saat itu, serangan sudah kembali datang. Bergegas
Rangga melompat ke kanan, maka serangan itu hanya lewat tanpa mengenai sasaran. Dan
cepat sekali Rangga memutar tubuhnya sambil melayangkan satu tendangan keras ke
arah punggung, selagi lawan-nya
belum sempat memperbaiki posisi tubuh.
Dug! "Akh...!" wanita berbaju merah itu memekik tertahan dan seketika terhuyung
limbung. Tendangan Rangga memang begitu
keras. Meskipun tidak disertai
pengerahan tenaga dalam, namun cukup membuat wanita itu meringis kesakitan.
Dan belum lagi dia bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, kembali Rangga sudah melompat menerjang disertai
kiriman satu pukulan keras bertenaga dalam tidak penuh.
"Hait..!"
Cepat-cepat wanita itu berkelit
dengan membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali. Dan secepat
itu pula dia melompat bangkit sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah
pinggang lawan.
"Uts!"
Rangga menarik tubuhnya sedikit ke
samping, Sehingga pukulan wanita
bercadar merah itu luput dari sasaran.
Namun belum juga wanita itu bisa
menarik pulang tangan-nya, Rangga sudah cepat mengibaskan tangan-nya. Dan...
Tap...! "Ikh!" wanita berbaju merah itu memekik tertahan.
Dia berusaha memberontak, mencoba
melepaskan tangannya dari cekalan
Rangga yang begitu kuat. Sebelah
tangannya yang bebas, segera dila-
yangkan ke wajah Pendekar Raja-wali Sakti.
Namun cepat sekali Rangga
mengegoskan kepalanya, dan secepat itu pula tangan sebelah lagi menangkap
tangan wanita itu tepat di depan
wajahnya. "Lepaskan...!" sentak wanita itu sambil memberontak mencoba melepaskan diri.
"Kau cukup tangguh, Ni sanak. Tapi terlalu angkuh!" ujar Rangga agak tersengal.
"Uh!"
Sambil mengerahkan seluruh tenaga
dalam-nya wanita berbaju merah itu
menarik kedua tangannya yang dicekal kuat pemuda berbaju rompi putih itu.
Begitu kuat tangannya di-tarik, dan pada saat itu
Rangga mengendor-kan
pegangannya. Akibatnya wanita itu terpental, karena tarikan tenaga dalamnya
sendiri. "Akh...!"
Brak! Sebuah pilar besar hancur berantakan terlanda tubuh ramping terbalut baju merah
menyala itu. Rangga tersenyum melihat wanita itu menggeliat berusaha bangkit
Kalau saja tidak tertutup kain merah, sudah pasti mulutnya terlihat meringis
merasakan sakit di sekujur tubuh.
Pada saat itu, terlihat Diah Mardani dan sekitar dua puluh orang prajurit
berlarian menghampiri. Di antara mereka juga terlihat Adipati Anggara. Di
belakang mereka menyusul lagi sekitar tiga puluh prajurit yang berlarian
cepat dengan tombak dan pedang
terhunus. "Hup!"
Cepat sekali Rangga melompat, dan
kaki-nya langsung menjejak dada wanita berbaju merah yang masih, tergeletak di
antara puing-puing reruntuhan pilar.
Dia berusaha menggeliat, namun pijakan kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat
Tak ada lagi yang bisa dilakukan,
karena sekelilingnya sudah terkepung sekitar lima puluh orang prajurit
Adipati Anggara dan Diah
Mardani menghampiri. "Bangun!" Bentak Adipati Anggara di saat Rangga memindahkan kakinya dari tubuh
wanita itu. Sambil mendengus kesal, wanita
berbaju merah itu bangkit berdiri.
Adipati Anggara yang wajahnya berang dan matanya berkilat, bergerak
mendekati. "Hih!"
Bret! Cadar merah yang menutupi wajah
wanita itu seketika terbuka dijambret Adipati Anggara dengan kasar. Tampak
seraut wajah can-ik yang tersembunyi di balik cadar merah itu. Adipati Anggara
langsung menggelinjang dua tindak ke belakang begitu mengenali wajah cantik itu.
Demikian juga Diah Mardani yang nampak begitu terkejut
"Kau..., Karsini..."!" Agak tertahan suara Adipati Anggara.
"Ya! Aku memang Karsini!" Ketus nada suara wanita itu.
Sementara Rangga yang menyaksikan,
jadi tidak mengerti. Dipandangi wanita berbaju merah itu beberapa saat,
kemudian beralih pada Adipati Anggara dan Diah Mardani.
"Bawa dia ke penjara!" Perintah Adipati Anggara.
Dua orang prajurit langsung bergerak meringkus wanita yang dikenali Adipati
Anggara sebagai Karsini. Wanita berbaju merah itu langsung dibawa para prajurit
ke penjara. Sedangkan Adipati Anggara tampak gundah, seperti tidak sanggup
menerima tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Diah Mardani sudah
berjalan pelahan meninggalkan tempat ini.
Kepala gadis itu tertunduk,
seperti ada beban berat di kepalanya.
Rangga menghampiri Adipati Anggara, lalu berdiri sekitar dua langkah di depan
laki-laki setengah baya itu.
"Siapa dia, Paman Adipati?" Tanya Rangga.
"Namanya Karsini. Dia dulu bekas seorang penari dan pernah menjadi
selirku. Tapi sudah tiga tahun ini
menghilang dan tak ada kabar beritanya lagi," Adipati
Anggara mencoba
menjelaskan. Rangga tidak bertanya lagi.
Diayunkan kakinya meninggalkan Adipati Anggara yang dikawal enam
orang prajurit. Pendekar Rajawali Sakti itu terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Sedangkan Adipati Anggara menghembuskan napas panjang dan terdengar begitu]
berat. Dia tahu kalau pengakuannya tadi tidak menyenangkan hati junjungannya.
Meskipun seorang raja, tapi Rangga tidak menyukai adanya selir. Dia masih
teringat akan kehidupan ayahnya yang
memiliki banyak selir. Akibatnya,
lahirlah anak-anak yang bisa dikatakan terlantar sekarang ini. Akibatnya dari
selir juga, bisa menyebabkan perpecahan dan perang saudara. Itu semua dialami
Rangga ketika pertama kali kembali ke tanah kelahirannya. Maka, dia bersumpah
untuk tidak memiliki selir seorang pun.
Namun begitu, Rangga tidak melarang para Adipati, demang, ataupun pembesar
lainnya untuk memiliki selir. Hanya saja, mereka juga merasa sungkan bila
memiliki selir dan diketahui rajanya.
Hingga tak ada seorang pun dari
pembesar Istana Kerajaan Karang Setra yang memiliki selir. Mereka memang
merasa tidak patut, mengingat rajanya sendiri tidak memiliki selir barang
seorang pun. "Hhh...! Untuk apa Karsini muncul"
Apakah hendak mempermalukan aku di
depan Gusti Prabu...?" keluh Adipati Anggara dalam hati.
*** 5 Malam sudah demikian larut. Seluruh penghuni Kedaton Kadipaten Bojong
Picung sudah terlelap dalam buaian
mimpi. Hanya para prajurit yang
mendapat tugas jaga saja yang masih terlihat di tempat-tempat penjagaan.
Sejak terbunuhnya empat orang pra-
jurit, Adipati Anggara melarang para penari dan nayaga untuk melanjutkan
kebolehan nya di atas panggung. Namun demikian, rombongan itu belum diijinkan
meninggalkan keraton.
Malam ini suasana
terasa sunyi sekali. Angin berhembus kencang
menyebarkan udara dingin yang membeku-kan tulang. Beberapa prajurit penjaga
mulai merapatkan tubuhnya ke dinding, mencoba melindungi diri dari gempuran
angin dingin. Bahkan beberapa di
antaranya mulai terkantuk-kantuk tak kuat menahan gempuran udara dingin yang
membuat kelopak mata terasa begitu
berat Namun beberapa saat kemudian, terlihat kalau seluruh penjaga merasakan
kantuk yang amat sangat. Bahkan dua orang penjaga di pintu depan keraton sudah
mendengkur. Demikian pula
beberapa penjaga di sekitar benteng!
Sementara itu di dalam sebuah kamar, terlihat Rangga tengah duduk bersila dengan
mata setengah terpejam di atas pembaringan. Pelahan-lahan
dibuka matanya, lalu kepala-nya bergerak ke kiri dan ke kanan. Pendekar Rajawali Sakti
kemudian menggelinjang melompat bangkit dari pembaringannya.
"Hmmm..., Ilmu Sirep" gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
merasa-kan adanya hawa lain dari suatu ajian yang dapat membuat orang terlelap
sampai batas waktu yang sangat lama.
Menyadari kalau ajian itu menyebar, Rangga bergegas keluar dari kamarnya.
Harinya langsung terkejut begitu
melihat para penjaga istana sudah
Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengkur dalam tidur.
Rangga terus berjalan mengelilingi
seluruh bangunan besar itu. Semua
prajurit yang bertugas sudah tertidur lelap. Tak seorang pun yang masih
terjaga. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai memutar otaknya, dan bagai kilat
melesat naik ke atas atap.
"Hmmm.,., tak ada apa-apa," gumam Rangga dalam hati. "Tapi.... Heh..."!"
Tiba-tiba Rangga melihat sebuah
bayangan berkelebat di bagian belakang bangunan megah itu. Tanpa menunggu waktu
lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuh-nya mengejar bayangan yang
dilihatnya hanya sekilas itu.
Sebenarnya mudah sekali bagi Rangga untuk mengejar. Namun, pemuda berbaju rompi
putih itu sengaja menjaga jarak dan terus memperhatikan bayangan merah itu
bergerak. "Hm..., mau apa dia ke penjara...?"
gumam Rangga dalam hati.
Rangga merapatkan
tubuhnya ke dinding saat melihat orang berpakaian serba merah itu sudah sampai di depan
pintu penjara. Empat orang prajurit penjaga sudah tergeletak mendengkur di depan
pintu penjara. Tampak orang
berbaju merah itu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu membuka pintu penjara yang
terbuat dari lempengan baja tebal.
Bunyi derik daun pintu tidak dihiraukan lagi, seolah-olah begitu yakin tidak ada
orang yang melihatnya.
Sementara di tempat persembunyian-
nya, Rangga masih mengawasi. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tidak
bergerak meskipun orang berbaju merah itu sudah masuk ke da-lam ruangan
penjara itu. Tak berapa lama kemudian, orang itu keluar lagi bersama seseorang
yang juga berbaju merah. Rangga tahu kalau orang yang dibawa keluar itu adalah
Karsini yang siang tadi
ditangkap-nya. "Hmmm..., akan kuikuti mereka,"
gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melentingkan tubuhnya begitu dua orang
berpakaian merah berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Di malam yang gelap dan dingin ini, terlihat dua
bayangan merah berkelebatan
cepat melompati bagian Barat tembok benteng Kadipaten Bojong Picung. Tidak jauh di
belakangnya terlihat satu bayangan
putih yang bergerak cepat menjaga
jarak. Tak ada seorang pun dari kedua orang yang berkelebat itu menyadari, kalau semua
tindakannya selalu diamati
sepasang mata bulat bercahaya dari
balik tempat yang cukup tersembunyi dan gelap. Pemilik sepasang mata itu juga
mengikuti, namun tetap menjaga jarak di tempat-tempat yang terlindung dari
cahaya bulan. Sosok tubuh berpakaian gelap itu seperti sengaja menjauh dari
Pendekar Rajawali Sakti, namun tidak terlalu jauh dari dua orang berbaju merah
yang terus bergerak ke arah Barat Namun begitu tiba di Kaki Bukit
Cangking, mendadak saja Pendekar
Rajawali Sakti itu berhenti berlari.
Dan secepat itu pula tubuhnya melambung tinggi, lalu hinggap dengan manisnya di
atas dahan pohon yang cukup tinggi dan rimbun. Pada saat yang tidak terlalu
lama, terlihat seseorang berpakaian gelap berkelebat cepat, tepat di bawah pohon
tempat Rangga hinggap.
"Diah.... Mau apa dia ke sini...?"
Rangga agak tercenung begitu mengenali orang berpakaian hitam yang sudah jauh
Naga Beracun 4 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Eng Djiauw Ong 28