Pencarian

Penari Berdarah Dingin 2

Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin Bagian 2


mengejar dua orang berbaju merah yang kini tengah mendaki lereng bukit.
Meskipun orang berpakaian hitam itu selalu menjaga jarak, namun Pendekar
Rajawali Sakti masih juga bisa
mengetahui kehadirannya. Dan dia
sengaja menunggu di atas pohon untuk mengetahui siapa orang lain yang sama-sama
membuntuti dua orang berbaju merah itu. Rangga sendiri baru mengetahui setelah
berada di luar perbatasan
sebelah Barat Kadipaten Bojong Picung.
"Hmmm.... Apakah dia punya ilmu penangkal aji 'Sirep'" Atau..., ah! Aku harus
mengungkap semua ini! Hup!"
Rangga bergegas melompat turun, dan langsung berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sekejap saja bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti
itu sudah lenyap ditelan
kegelapan malam.
*** Puncak Bukit Cangking tampak sunyi
sepi. Kabut menggumpal tebal menye-
limuti seluruh permukaan puncak bukit itu. Angin berhembus kencang sehingga
udara semakin dingin. Embun pun semakin menebal membasahi daun-daun dan
rerumputan. Namun keadaan alam yang tampak tidak ramah itu tidak menghalangi dua
orang berpakaian serba merah untuk mendaki sampai ke Puncak Bukit Cangking.
Mereka terus berlari cepat memper-gunakan ilmu meringankan tubuh, meskipun sudah
sampai di puncak bukit Mereka baru berhenti setelah tiba di de-pan sebuah mulut
gua yang gelap dan hampir tertutup semak belukar kering.
Kedua orang berbaju merah itu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu yang seorang melangkah masuk ke
dalam gua. Sedangkan seorang lagi tetap tinggal di depan mulut gua. Dia
mengenakan selembar cadar merah yang agak tipis, sehingga menyamarkan wajahnya.
Hanya sepasang bola matanya yang terlihat bersinar tajam memandang ke satu arah.
"Hmmm.... Rupanya ada tamu datang ke sini," gumamnya pelahan.
"Bicara dengan siapa, Gusti Ayu?"
terdengar suara dari dalam gua.
"Ada tamu tak diundang datang ke sini, Nyai Karsini," sahut orang bercadar merah
itu. Dari nada suaranya, jelas kalau
orang itu wanita. Tapi karena wajahnya tertutup cadar, memang agak sukar
dikenali. Saat itu dari dalam, keluar seorang wanita cantik mengenakan baju
merah. Tampak sebuah pedang tersampir di pinggang. Wanita itu tidak lain
adalah Karsini, salah seorang bekas selir Adipati Anggara.
"Hmmm..., tampaknya dia tidak
bermaksud baik. Biar kuhadapi sendiri, Gusti Ayu," pinta Karsini setengah
bergumam. "Hati-hatilah! Mungkin dia itu urusan dari Karang Setra."
"Dengan Keris Kyai Lumajang, hamba yakin bisa menghadapinya, Gusti Ayu."
Wanita bercadar merah itu menepuk
pundak Karsini, kemudian melangkah
masuk ke dalam gua. Sedangkan Karsini mengayunkan kakinya pelahan-lahan.
Sepasang bola matanya berputar menga-
mati sekeliling. Langkahnya berhenti tepat di tengah-tengah lapangan
berumput di depan gua. Pandangannya lurus menatap langsung ke arah sebuah pohon
besar. Sebentar diangkat kedua tangannya ke atas kepala. Lalu sambil merapatkan
kedua telapak tangan,
dipentang kakinya lebar-lebar
ke samping. Pelahan-lahan tangannya bergerak
turun sampai ke depan dada. Tampak
seluruh tubuh-nya menjadi bersinar
merah bagai terbakar. Kemudian kedua tangannya terbuka bergerak ke samping
pinggang. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Karsini
menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Sedangkan tangan kiri tetap di samping pinggangnya.
Seketika seleret sinar merah meluncur deras ke arah pohon
besar di depannya.
Glaaar...! Ledakan keras terjadi bersamaan
dengan hancurnya pohon besar yang
terlanda sinar merah
dari telapak tangan Karsini. Pada saat bersamaan, melesat sesosok tubuh ter-balut baju
berwarna gelap. Tahu-tahu di depan Karsini sudah berdiri seseorang yang
mengenakan baju warna biru tua yang ketat Tampak sebilah pedang tersampir di
punggung-nya. "Hm.... Ternyata yang datang tikus
dari Bojong Picung," gumam Karsini agak mendengus setelah mengetahui orang yang
tadi bersembunyi di balik pohon besar yang sudah hancur berkeping-keping.
Karsini menggeser gagang keris yang terselip di pinggang. Tangan kanannya sudah
meraba gagang pedang. Sedangkan orang berbaju biru gelap itu hanya
berdiri tegak sambil menatap tajam. Dia seorang wanita cantik, berambut
tergelung ke atas. Bagian belakang
rambutnya terkepang panjang hampir ke pinggang. Gadis itu memang Diah
Mardani. "Mimpimu sudah berakhir, Karsini.
Henti-kan semua pikiran kotor di
kepalamu!" Dengus Diah Mardani dingin.
"Ha ha ha...! Bocah masih bau kencur sudah berani menggertak ku. Ha ha
ha...!" Karsini tertawa terbahak-bahak.
"Tertawalah sepuasmu, Karsini.
Sebentar lagi kau
akan merasakan kepedihan di dalam neraka!" Tetap dingin nada suara Diah Mardani.
"Phuih! Lagakmu seperti orang yang berkepandaian tinggi saja! Kau jangan terlalu
bangga bisa menghalau aji
'Sirep'. Itu bukanlah ukuran untuk bisa berhadapan dengan-ku!" sentak Karsini.
Sret! Karsini mencabut pedang yang ter-
gantung di pinggangnya. Sedangkan Diah Mardani tetap berdiri tegak tak
bergeming sedikit pun. Sedangkan bola
matanya bersinar tajam, memperhatikan setiap gerak wanita berbaju merah di
depannya. "Tahan seranganku, bocah!
Hiyaaat...!" seru Karsini keras.
"Hait!"
Secepat Karsini melompat menerjang, se-cepat itu pula dikibaskan pedangnya ke
arah dada. Namun Diah Mardani lebih cepat lagi menarik kakinya ke belakang
beberapa langkah. Dan tanpa diduga sama sekali diayunkan satu tendangan keras
begitu ujung pedang lewat di depan
dadanya. "Uts!"
Buru-buru Karsini melentingkan
tubuhnya ke belakang, menghindari
sapuan kaki Diah Mardani yang begitu cepat dan keras. Dan sebelum Karsini bisa
berdiri tegak, putri Adipati Anggara itu sudah melompat menerjang sambil mengirimkan dua pukulan beruntun
yang mengandung tenaga dalam cukup
tinggi. "Hup! Hup! Hiyaaa...!"
"Edan!" rungut Karsini.
Wanita berbaju merah menyala itu
berjumpalitan menghindari terjangan
Diah Mardani yang begitu dahsyat.
Hampir saja serangan itu tidak bisa dibendung. Untung Karsini cepat-cepat
melentingkan tubuhnya ke udara, dan bersalto beberapa kali sebelum
menjejakkan kakinya agak jauh di depan
Diah Mardani. "Bagus! Ternyata kau mengalami
kemajuan pesat,; Diah!" dengus Karsini sambil mengatur jalan nafasnya.
"Hmmm...," Diah
Mardani hanya tersenyum tipis.
"Sungguh aku suka melawan muridku sendiri. Ayo, majulah!" dingin sekali nada
suara Karsini. "Aku bukan muridmu!" bentak Diah Mardani.
"Paling tidak, kau bisa menangkal aji 'Sirep' yang di dilepaskan Gusti Ayu...,"
ucapan Karsini bernada terputus.
"Hh! Aku tahu, orang yang kau
panggil Gusti Ayu itu, Karsini. Dan sebentar lagi, Gusti Ayumu itu akan mampus
di tanganku!" Tegas Diah Mardani.
"Kau terlalu besar kepala, Diah!
Seharusnya kau" bercermin, siapa dirimu sebenarnya!"
"Aku tahu. Tapi aku bukan manusia rendah sepertimu!" Sentak Diah Mardani
langsung memerah wajahnya.
"Ha ha ha...!" Karsini tertawa terbahak-bahak. "Kau tidak lebih rendah daripada
kotoran binatang, Diah!"
"Keparat! Kurobek mulutmu, perempuan setan!! Hiyaaat..!"
Diah Mardani tidak kuasa lagi
menahan amarahnya. Dia langsung
melompat menerjang sambil mencabut
pedangnya. Cepat sekali di-kibaskan pedangnya ke arah dada Karsini. Namun wanita
berbaju merah bekas selir
Adipati Anggara itu lebih cepat
melompat ke samping sambil mengibaskan pedangnya untuk menangkis tebasan
pedang Diah Mardani.
Tring! "Ah...!"
"Hiyaaat..!"
Bug! Karsini terpental beberapa tombak
begitu satu tendangan keras mendarat tepat di dadanya. Dan pedangnya pun juga
terpental jauh ke udara. Sungguh cepat serangan yang dilakukan Diah
Mardani, sehingga membuat Karsini tidak mampu membendung lagi. Karsini
terhuyung-huyung sambil menekap dada-nya bagai daun kering terhempas angin.
Sedangkan Diah Mardani sudah bersiap kembali, mengerahkan jurus lain.
Sementara Karsini buru-buru meng-
gerakkan tangan, men-coba mengatur
jalan napasnya yang mendadak terasa sesak bagai tersumbat Dari sudut
bibirnya mengalir darah kental akibat tendangan yang sangat keras di dadanya
tadi. "Phuih!"
Karsini menggeram. Hatinya juga
masih diliputi keterkejutannya karena Diah Mardani bisa membuatnya terpental.
Sungguh tidak disangka kalau gadis itu
mengalami kemajuan sangat pesat.
Karsini tidak ingin lagi memandang
ringan pada gadis itu. Maka segera
disiapkan jurus ampuhnya. Pelahan-lahan ditarik Keris Kyai Lumajang dari sabuk
pinggangnya. "Heh..."!" Diah Mardani terperanjat melihat senjata di tangan lawan, bahkan
sampai terlompat mundur beberapa tindak ke belakang.
"Kau terkejut melihat keris ini, Diah!" Karsini ten senyum sinis.
"Dari mana kau dapatkan Keris Kyai Lumajang?" Tanya Diah Mardani tak bisa
menyembunyikan keterkejutannya.
"Ha ha ha...!" Karsini hanya tertawa saja terbahak-bahak.
"Kau pasti...."
'Tak perlu menebak-nebak, Diah!
Mampus kau! hiyaaat...!"
Karsini cepat memotong kata-kata
Diah Mardani dan secepat itu pula
melompat menerjang putri Adipati
Anggara, penguasa Kadipaten Bojong
Picung. Dengan Keris Kyai Lumajang berada dalam genggaman, Karsini kelihatan
penuh percaya diri. Menyerang dan mendesak, tanpa memberi kesempatan
sedikit pun pada Diah Mardani untuk mengambil napas. Namun gadis itu bukanlah
gadis sembarangan, dan ternyata masih, mampu menandingi jurus-jurus dahsyat yang
dimainkan Karsini.
Pertarungan terus berjalan semakin
sengit. Sementara tidak jauh dari
tempat itu, di tempat yang tea sem-
bunyi, sepasang mata tengah mengawasi sejak tadi tanpa berkedip sedikit pun.
Sedangkan dari dalam gua juga terlihat beberapa pasang mata mengawasi jalannya
pertarungan itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat Namun dua orang yang bertarung itu tetap saja
tangguh. Bahkan sukar untuk memastikan siapa yang bakal terdesak. Semakin jauh
pertarungan itu, semakin dahsyat jurus-jurus yang dikerahkan. Tempat sekitar
pertarungan sudah porak poranda bagai diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu
bertebaran ke mana-mana, pohon-pohon hancur bertumbangan, malang melintang tak
tentu arah. Memasuki jurus kedua puluh, Diah
Mardani mulai kelihatan kewalahan
membendung gempuran Karsini yang
menggenggam Keris Kyai Lumajang.
Senjata berkeluk yang ujungnya runcing berwarna hitam legam itu mengeluarkan uap
yang semakin lama semakin menebal.
Sekeliling daerah pertarungan mulai dihinggapi bau busuk yang tidak sedap dan
memualkan. "Ugh...!"
Diah Mardani mulai kelihatan
limbung. Beberapa kali gadis itu
melenguh berusaha menahan gempuran bau busuk yang menyengat hidungnya. Tampak
sekali kepalanya selalu digeleng-
gelengkan, berusaha mengusir bau busuk yang keluar dari Keris Kyai Lumajang dari
tangan Karsini.
"Ha ha ha...! kau tidak akan mampu menghadapi Keris Kyai Lumajang, Diah!"
"Hup...!"
Diah Mardani melompat mundur sejauh dua
batang tombak. Segera ditekan
perutnya yang terasa mual. Wajahnya yang putih, nampak memucat dengan bola mata
berputar. "Hoek!"
Diah Mardani memuntahkan cairan
kekuningan bercampur gumpalan darah kental. Wajah gadis itu semakin terlihat
pucat pasi. Bibirnya juga mulai membiru.
Sedangkan Karsini terus
tertawa terbahak-bahak sambil mengibas-ngibaskan kerisnya yang mengepul-kan
asap. "Saatnya kau mampus, Diah!
Hiyaaat..!"
Bagai seekor camar menyambar ikan di laut, Karsini melompat cepat sambil


Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghunus ujung keris ke arah dada Diah Mardani. Sedangkan gadis putri Adipati
Bojong Picung itu hanya bisa membeliak.
Dia masih sibuk menghalau rasa mual dan pening yang menyerang semakin dahsyat.
Bet! Trang...! Mendadak saja, tepat di saat ujung
Keris Kyai Lumajang hampir menghunjam dada Diah Mardani, sebuah bayangan
putih bercampur kilatan cahaya biru
berkelebat memapak serangan Karsini.
"Akh...!"
Karsini terpental ke belakang sejauh be-berapa tombak. Tiga kali dia
berjumpalitan di udara sebelum mendarat manis di tanah. Wanita berbaju merah itu
mendengus kesal sambil menyemburkan ludahnya.
Kedua matanya membelalak
lebar begitu di depan Diah Mardani
sudah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dengan gagang pedang
berbentuk kepala burung bertengger di balik punggung.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Karsini hampir tidak terdengar
suaranya. Pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu menggeser kakinya mendekati Diah
Mardani yang sudah jatuh berlutut di tanah.
"Kau terluka, Diah?" Tanya Rangga sambil menepuk pundak Diah Mardani.
"Hhh...!" Hanya keluhan panjang saja yang keluar dari bibir gadis itu.
"Menyingkirlah. Pulihkan dulu
kekuatan-mu," kata Rangga lagi lebih lembut
Diah Mardani mengangkat kepalanya,
lalu pelahan bangkit berdiri dibantu Rangga. Dengan langkah terhuyung sambil
memegangi dada dan perutnya, gadis itu berjalan menjauhi tempat itu. Sedangkan
Rangga masih berdiri tegak di
tempatnya. Sebentar dilirik nya Diah
Mardani yang sudah duduk bersila di bawah pohon. Pandangannya kemudian
beralih pada Karsini. Wanita berbaju merah bekas selir Adipati Anggara itu masih
menghunus Keris Kyai Lumajang.
Namun senjata berkeluk berwarna hitam pekat itu sudah tidak lagi mengepulkan uap
beracun. *** 6 Dua tindak Rangga melangkah maju.
Sikap-nya begitu hati-hati dan waspada sekali terhadap senjata di tangan
Karsini. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah menyaksikan kehebatan keris
berwarna hitam legam itu, meskipun
Karsini tidak menggunakan secara benar.
Kalau saja tenaga dalam wanita itu
sudah mencapai tingkat tinggi, tentu akan lebih berbahaya lagi senjata itu.
"Hm. Kau bisa saja membekuk ku dengan mudah kemarin, Rangga. Tapi sekarang,
jangan harap bisa mengalahkan aku!" dengus Karsini dingin.
"Karsini, kenapa kau ingin memberontak pada Karang Setra?" Tanya Rangga.
"Aku tidak ada urusan dengan Karang Setra!" sentak Karsini berang.
"Kau mencoba membuat kekacauan di Kadipaten Bojong Picung. Itu sama saja
mengusik ketenangan Kerajaan Karang Setra," kata Rangga, suaranya masih tenang.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti.
Ini urusan pribadiku dengan Adipati Anggara. Dan bukan denganmu atau
Kerajaan Karang Setra. Bahkan aku tidak peduli dengan Kadipaten Bojong Picung!"
masih terdengar keras suara Karsini.
"Urusan pribadimu dengan Adipati Anggara bisa diselesaikan secara
pribadi. Tapi tindakanmu yang sudah membuat keresahan harus ditanggung
seluruh rakyat. Dan aku sendiri yang akan menangani," tegas kata-kata Rangga.
Karsini terdiam. Meskipun tadi
sempat sesumbar, tapi dia berpikir juga bahwa yang dihadapi adalah Pendekar
Rajawali Sakti yang bukan manusia
sembarangan. Tingkatan kepandaiannya
sukar diukur dan dicari tandingannya.
Bahkan dia sempat mendengar pembicaraan pemuda itu dengan Diah Mardani, sebelum
berhasil dibekuk dan dijebloskan ke dalam tahanan. Karsini menyadari kalau
dirinya kini sedang berhadapan dengan Raja Karang Setra yang juga seorang
pendekar digdaya.
Pelahan-lahan Karsini bergerak
mundur ke belakang mendekati mulut gua.
Sementara malam sudah berganti
menjelang pagi. Rona merah mulai
terlihat menyemburat di ufuk Timur.
Sebentar lagi Puncak Bukit Cangking itu akan terang benderang oleh siraman
cahaya sang surya. Karsini berhenti mundur setelah tidak berapa jauh lagi di
depan mulut gua. Dan Rangga terus memperhatikan tanpa berkedip. Dia tahu kalau
di dalam gua itu ada beberapa orang bersembunyi sambil memperhatikan.
Pendekar Rajawali Sakti Itu bisa
merasakan adanya hembusan napas halus meskipun keadaan di dalam gua begitu
gelap. Malah sukar ditembus pandangan mata biasa.
Belum lagi Rangga sempat membuka
mulut, dari dalam gua bermunculan
sekitar enam orang berpakaian merah menyala. Mereka semua mengenakan cadar merah
tipis, sehingga menyamarkan
wajahnya. Hanya mata saja yang tak
tertutupi. Enam orang bercadar merah itu berdiri di belakang Karsini.
Masing-masing di pinggang tergantung sebilah pedang panjang. Karsini mema-sukkan
kembali Keris Kyai Lumajang ke dalam warangka nya.
"Rupanya kau juga menghimpun kekuatan, Karsini," ujar Rangga setengah bergumam.
"Mereka semua orang yang punya urusan pribadi dengan Adipati Anggara,"
tegas Karsini. "Kau selalu menyebut urusan pribadi.
Apa yang telah dilakukan Adipati
Anggara" Kalau pun dia melakukan
kesalahan dan penyelewengan dalam
menjalankan tugas sebagai adipati, kau atau teman-temanmu ini bisa mengadukan
hal ini pada Raja Karang Setra. Dengan caramu bertindak sendiri seperti ini bisa
menimbulkan keresahan yang akan membawamu dalam kemelut besar. Kau dan teman-
temanmu bisa dituduh
akan melakukan makar terhadap kewibawaan
pemerintah Kerajaan Karang Setra,"
lantang suara Pendekar Raja-wali Sakti.
"Karsini, siapa dia?" salah seorang yang berdiri
paling kiri bertanya
setengah berbisik.
"Dia urusan khusus Prabu Rangga Pari Permadi." Sahut orang yang berdiri tepat di
belakang Karsini. Nada
suaranya menunjukkan kalau dia itu
seorang wanita.
"Bukan. Justru dia sendirilah Prabu Rangga," kata, Karsini.
Tampak sekali sinar mata enam orang yang berada di belakang Karsini begitu
terkejut mendengar kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah Raja Karang
Setra. Sedangkan Karsini sendiri hanya menatap tajam pada Rangga. Dia seperti
sedang memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu tadi. Sementara enam
orang berbaju merah yang semuanya
mengenakan cadar di wajahnya, saling berpandangan satu sama lain. Entah apa yang
ada dalam benak mereka saat itu.
Sementara Rangga hanya memperhatikan
saja sinar mata mereka.
"Karsini. Sebaiknya kita menyingkir dulu dari sini," usul orang yang berada
paling kiri lagi.
"Hmmm...," gumam Karsini tidak jelas.
"Ayolah, Karsini. Jangan membuang-buang waktu lagi di sini," bujuk seorang lagi.
"Baiklah," desah Karsini.
"Pendekar Rajawali Sakti, mungkin belum saatnya kita saling berhadapan.
Masih ada yang harus kukerjakan,"
Setelah berkata demikian, Karsini
langsung melesat pergi. Enam orang
berbaju me-rah di belakangnya juga
bergegas melesat mengikuti. Sedangkan Rangga sama sekali tidak berusaha
mengejar, tapi malah membalikkan
tubuhnya dan menghampiri Diah Mardani yang kini sudah bisa berdiri kembali.
Raut wajah gadis itu mulai kelihatan Segar setelah berhasil mengusir uap racun.
*** Diah Mardani berlutut dan memberi
sembah begitu Rangga sudah berada di depannya. Pendekar Rajawali Sakti itu
menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu membawa Diah Mardani berdiri Namun
gadis itu hanya tertunduk saja, tak berani mengangkat wajahnya.
"Bagaimana keadaanmu, Diah?" Tanya Rangga lembut.
"Untung racun itu belum merasuk ke da-lam. Hamba masih bisa
mengeluarkannya dengan bersemadi, Gusti Prabu," sahut Diah Mardani.
"Ah! Kau masih saja memanggilku begitu, Diah Aku lebih suka kalau
dipanggil dengan sebutan Kakang
daripada Gusti Prabu," ujar Rangga.
'Tapi, Gusti...."
"Baiklah. Jika kau tidak mau, maka akan kuperintahkan kau memanggilku
kakang!" Diah Mardani mengangkat wajahnya dan memandang lekat-lekat pemuda tampan berbaju
rompi putih itu. Rangga
tersenyum dan mengangkat alis kanannya sedikit.
Diah Mardani kembali
tertunduk. Pelahan-lahan diangguk-kan kepalanya. Memang tidak mudah untuk
memanggil sebutan lain pada seorang raja.
Tapi Rangga sudah memerintahkannya
demi-kian. Dan perintah seorang raja tidak bisa diabaikan begitu saja.;
Namun bagi Diah Mardani perintah itu sangat berat dan sukar dilaksanakan.
Baginya lebih baik mendapat perintah menghancurkan gerombolan perampok atau
pemberontak daripada harus memanggil seorang raja dengan sebutan yang sukar
diterima telinga. Bahkan bisa
menimbulkan permasalahan besar!
"Ayo kita pulang, Diah,"
ajak Rangga, "Baik, Gusti," sahut Diah Mardani.
"O o o.... Kau bisa dihukum gantung karena tidak mentaati perintah, Diah,"
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Maaf, tapi....."
"Memang sukar, tapi harus
dibiasakan." "
Tapi kenapa Gusti Prabu menghendaki begitu?" Tanya Diah Mardani masih sukar
untuk memanggil Rangga dengan tidak menyebut Gusti Prabu.
"Karena aku bukan seorang raja di sini. Kau boleh memanggilku begitu
kalau berada di istana. Tapi di sini, aku orang biasa, seorang pengembara, dan
seorang pendekar. Bukan raja! Kau harus bisa membedakan semua itu, Diah,"
jelas Rangga. "Di mana pun adanya, raja tetap raja, Gusti."
"Mungkin yang lain begitu, Tapi aku tidak. Ah, sudahlah.... Tidak ada
gunanya mempermasalahkan hal itu lagi, Diah. Kau bisa menghilangkan sebutan
Gusti padaku, bukan?" pinta Rangga.
"Tapi hamba takut jika Ayahanda
tahu." "Kau boleh memanggilku begitu. Tidak depan ayahmu. Tapi kalau berdua dan berada
di luar keraton, jangan sekali-sekali memanggilku Gusti Prabu.
Mengerti, Diah?"
"Mengerti, Gusti..."
"Eee..., Gusti lagi."
"Maaf, Kakang."
"Nah! Begitu kan, lebih enak."
Diah Mardani hanya tersenyum saja.
Di-ayunkan kakinya mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dulu. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu malah
menunggu dan mensejajarkan langkahnya di samping Diah Mardani. Rangga tidak
peduli meskipun sikap gadis itu
kelihatan canggung. Bahkan selalu
membiasakan agar Diah tidak bersikap canggung dan men-jaga jarak.
"Oh, ya. Kau tentu mendengar semua yang dikatakan Karsini tadi. Kau tahu, ada
persoalan apa antara Karsini dan teman-teman-nya dengan ayahmu?" Tanya Rangga
kembali menjurus pada persoalan yang tengah dihadapi sekarang ini.
"Aku tidak tahu, Kakang," sahut Diah Mardani mulai terbiasa.
"Kau tahu kalau Karsini bekas setir ayahmu, bukan?"
"Tahu. Bahkan dia yang pertama kali mengajari menunggang kuda dan ilmu olah
kanuragan," sahut Diah Mardani.
"Bagaimana dia bisa berpisah dengan ayahmu?"
"Aku tidak tahu, Kakang. Hampir tiga tahun, aku hanya mendengar kabar kalau
Karsini menghilang.'
"Menghilang:.."!"
"Awalnya, waktu Karsini hendak
mengunjungi orang tuanya di Desa
Hargaling, tapi di tengah jalan
dihadang gerombolan perampok. Tiga
puluh prajurit yang mengawalnya tewas semua. Demikian pula sebagian pelayan.
Tapi Karsini dan beberapa pelayan
menghilang. Ayahanda sudah berusaha mencari, tapi tidak juga diketemukan.
Hingga...."
"Dia muncul lagi sekarang ini?"
potong Rangga. "Benar, Kakang."
"Aneh.... Belum pernah aku mendengar ada gerombolan perampok di wilayah
ini," gumam Rangga seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Memang aneh, Kakang. Perampok-perampok itu beraksi hanya sekali itu saja. Dan
sampai kini tidak pernah lagi terdengar ada perampokan setelah
kejadian itu, meskipun para prajurit yang dikerahkan tidak bisa menemu-kannya."
"Hm..., mengapa kau begitu memusuhi Karsini?"
"Karena dia merebut cinta Ayahanda, dan yang menyebabkan Ibunda meninggal,"
sahut Diah. "Diah! Ibumu meninggal sekitar empat tahun lalu. Dan aku tahu itu, meskipun
tidak bisa menghadiri saat pemakaman nya. Aku juga tahu kenapa ibumu
meninggal," jelas Rangga.
"Apa yang Kakang ketahui, pasti sama
seperti yang orang lain katakan.
Padahal kenyataannya sama sekali
berbeda." "Maksudmu?"
"Ibu tewas terbunuh."
"Oh..."!" Rangga terhenyak kaget.
Pendekar Rajawali Sakti itu sampai
memandangi Diah Mardani dalam-dalam.
Hampir tidak dipercaya kalau pendamping Adipati Anggara tewas terbunuh.
Sedangkan yang didengarnya tentang
kematian itu adalah karena penyakit.
Bahkan Adipati Anggara sendiri yang melaporkannya begitu. Tapi sekarang yang
didengar lain. Bahkan begitu
mengejutkan sekali.
Rangga menghentikan langkahnya dan


Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memutar tubuhnya menghadap Diah Mardani yang juga berhenti berjalan.
"Sudah kuduga, Kakang pasti tidak akan percaya seperti yang lainnya,"
kata Diah Mardani seolah mengeluh.
"Bukannya tidak mempercayai, Diah.
Tapi...." "Tidak ada bukti," potong Diah Mardani cepat "Semua orang selalu berkata seperti
itu padaku. Tapi aku tetap yakin kalau Ibu terbunuh. Bahkan pembunuhnya masih
berkeliaran sampai sekarang. Malah sepertinya Ayahanda melindungi."
"Siapa pembunuhnya, Diah?" Tanya Rangga bernada memancing.
"Karsini," sahut Diah Mardani.
"Oh..," lagi-lagi Rangga terkejut
"Karsini dulu juga seorang penari,"
jelas Diah Mardani lagi.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala-
nya, dan kembali melangkah pelahan.
Diah Mardani mengikuti di samping kanan Pendekar Raja-wali Sakti itu. Kini
Rangga mengerti, mengapa Diah Mardani begitu membenci para penari yang kini
berada di Kedaton Kadi- paten Bojong Picung. Rangga bukannya tidak mempercayai
semua yang diutarakan gadis itu, tapi memang sukar untuk membuktikan.
Lagi pula apa yang dilakukan Diah
Mardani masih dilandasi perkataan hati.
Bukan dari akal pikiran.
*** Kadipaten Bojong Picung kembali
gempar. Tempat penyimpanan senjata ternyata telah terbongkar. Dengan demikian
seluruh senjata yang tersimpan, hilang tanpa tersisa satu pun juga. Bahkan
seluruh kuda di istal juga ikut lenyap.
Padahal semalam Rangga dan Diah Mardani mengejar seseorang yang membebaskan
Karsini dari penjara. Sama sekali tidak diketahui kalau pada waktu yang
bersamaan ada orang menjarah hingga seluruh senjata di ruangan penyimpanan
senjata lenyap.
Adipati Anggara sendiri semakin
kusut Terlebih lagi begitu mendapat
laporan kalau tahanannya ikut hilang.
Tidak mungkin prajuritnya diperintahkan untuk mencari, karena semua kuda tidak
ada lagi di istal. Sukar dipercaya!
Dalam waktu semalaman saja, seluruh kuda dan senjata lenyap tanpa tersisa.
"Aku yakin, semalam kita sengaja di-jebak, Kakang," duga Diah Mardani di depan
pintu ruangan penyimpanan senjata yang jebol berantakan.
Rangga yang sedang mengamati ruangan itu membalikkan tubuhnya menghadap
gadis itu. Kakinya melangkah menghampiri Diah Mardani. Dipandangi gadis itu
sebentar, lalu Rangga berjalan keluar.
Diah Mardani mengikuti dan menseja-
jarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berhenti di depan
istal yang sudah kosong tanpa
seekor kuda pun tertambat di sana.
Beberapa prajurit mondar mandir bersama kesibukan masing-masing.
"Rombongan penari itu pasti
terlibat, Kakang," tebak Diah Mardani lagi.
"Jangan berprasangka buruk, Diah,"
Rangga memperingatkan.
"Sejak mereka datang, aku memang sudah curiga. Apalagi pada orang yang bernama
Onila," rungut Diah Mardani.
Rangga menatap gadis itu yang sedang memandang ke satu arah tanpa berkedip.
Pen-dekar Rajawali Sakti mengalihkan pandangan-nya ke arah yang sama dengan
tatapan Diah Mardani. Tampak di depan jendela sebuah kamar, seorang wanita
berwajah cantik tengah membenahi
rambutnya yang panjang dan
hitam berkilat. Didekatnya berdiri seorang laki-laki tua yang mengenakan baju dan ikat
kepala kuning. "Kau terlalu terbawa emosi, Diah,"
kata Rangga. "Naluriku berkata demikian, Kakang.
Dan naluriku tidak pernah berdusta,"
tegas Diah Mardani mantap.
Rangga kembali melangkah meninggal-
kan kandang kuda. Diah Mardani
mengikuti di samping. Namun pandangan gadis itu sesekali masih tertuju pada
wanita yang duduk di depan jendela
sebuah kamar bersama seorang laki-laki tua. Entah apa yang dibicarakan karena
terlalu jauh untuk bisa mendengar.
"Ayahanda pernah membawa Onila dan Ki Jawura melihat-lihat sekeliling
keraton. Bahkan yang seharusnya tidak boleh
diketahui orang lain diper-
lihatkan juga," jelas Diah Mardani lagi.
"Itu bukan alasan untuk mencurigai
mereka, Diah."
"Menurutku itu merupakan alasan kuat, Kakang. Tidak ada seorang pun yang
mengetahui ruangan penyimpanan senjata kecuali Ayahanda dan para
pemimpin pasukan serta pengurus
senjata. Kau lihat sendiri, Kakang.
Ruangan itu tersamar. Bahkan menyatu di tengah-tengah bangsal keprajuritan.
Tidak ada yang menyangka kalau itu
merupakan ruang penyimpanan senjata, kecuali mereka yang mengetahui,". Diah
Mardani mengemuka-kan alasannya.
"Hmmm...," Rangga menggumam tidak jelas.
Apa yang dikatakan Diah Mardani
memang tidak bisa disangkal lagi. Dan Rangga memang mengerti kalau ruangan
penyimpanan senjata biasanya tersamar dan tidak ada yang bisa menduga. Hanya
orang-orang tertentu saja yang
mengetahuinya. Sedangkan Diah Mardani mengatakan kalau Adipati Anggara
memperlihatkan sekeliling keraton itu pada Onila dan Ki Jawura. Bahkan tempat
yang seharusnya dirahasiakan juga
diperlihatkan. Cukup beralasan juga kalau putri Adipati Anggara itu
mencurigai Onila.
Rangga mencoba menghubung-hubungkan semua yang telah terjadi di Kadipaten Bojong
Picung ini. Semuanya dihubungkan dengan cerita, dugaan, dan kecurigaan Diah
Mardani. Pendekar Rajawali Sakti itu agak terkejut juga begitu menyadari semua
berkaitan erat. Dan memang tidak disangka kalau apa yang diceritakan Diah justru
sangat erat kaitan-nya
dengan semua peristiwa ini.
Rangga langsung menemui Adipati
Anggara di ruangan khusus setelah
mengantarkan Diah Mardani ke dalam
kamar pribadinya. Adipati Anggara
tampak kusut, karena sampai siang ini belum ada seorang prajurit pun yang
melapor tentang kuda-kuda yang hilang.
"Apakah kedatanganku mengganggu, Paman?" Tanya Rangga melihat wajah Adipati
Anggara begitu kusut.
"Oh, tidak.... Tidak, Gusti," sahut Adipati Anggara terburu-buru.
Adipati Anggara langsung berdiri
dari kursinya dan berlutut memberi
sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Rangga menghentakkan
tubuhnya duduk di kursi di depan
Adipati Anggara. Pendekar Rajawali
Sakti itu mempersilakan Adipati Anggara duduk di depannya. Mereka duduk
berhadapan, dibatasi sebuah meja bundar beralaskan batu pualam putih.
"Paman, keadaan kadipaten sedang tidak menentu.
Tapi mengapa Paman
mengadakan pesta dan memanggil rom-
bongan penari?" Tanya Rangga langsung tanpa basa-basi lagi.
"Ampun, Gusti. Semula suasana di kadipaten aman tentram. Tapi mendadak saja
terjadi kekacauan begini," sahut Adipati Anggara, penuh rasa hormat
"Kau tentu masih ingat, apa yang kukatakan," kata Rangga.
"Hamba, Gusti."
"Suasana yang aman dan tentram merupakan pangkal kelengahan yang
menjadikan suatu kelemahan. Akibatnya, akan timbul sikap masa bodoh dan kurang
waspada," jelas Rangga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba memang menyadari akan hal itu," ujar Adipati Anggara.
"Tapi kenapa hal ini sampai terjadi, Paman?"
"Gusti Prabu, hukumlah hamba yang telah lengah dan gagal memimpin
kadipaten. Hamba mengaku bersalah,
Gusti. Hukumlah hamba..," Adipati Anggara menjatuhkan diri, berlutut di depan
kaki Rangga. "Hukuman tidak akan menyelesaikan suatu permasalahan, Paman Adipati.
Bangunlah. Busungkan dada, lalu hadapi semua dengan kejantanan dan pikiran
terang," tegas Rangga berwibawa.
"Oh, Gusti...."
"Tidak ada gunanya mengeluh dan menyesali diri, Paman. Kesalahan
merupakan cambuk menuju kebenaran."
Setelah berkata demikian, Rangga
bangkit dan melangkah meninggalkan
ruangan pribadi adipati itu. Sementara Adipati Anggara ma-sih berlutut, dan
masih menundukkan kepala. Dia tetap saja berlutut meskipun Rangga sudah lenyap
di balik pintu. Agak lama juga Adipati Anggara berlutut di lantai, lalu pelahan-
lahan berdiri dan
melangkah keluar. Wajahnya sudah tidak lagi kusut, dan mata-nya kini bersinar
penuh semangat kehidupan yang semula hampir padam, kini tersulut kembali.
Bahkan semakin berkobar. Kata-kata
Rangga merupakan setitik api yang
membakar semangat hidupnya kembali.
*** 7 Malam sudah merangkak semakin jauh.
Kegelapan menyelimuti seluruh permukaan bumi Kadipaten Bojong Picung. Tidak
seperti biasanya, malam ini langit
begitu pekat tersaput awan hitam yang menggumpal menghalangi sinar rembulan dan
kerlipnya bintang. Suasana malam kelihatannya begitu mencekam, ditambah tiupan
angin kencang menderu,
menyebarkan hawa dingin menggigilkan tubuh.
Namun suasana malam yang tidak ramah itu, tidak menghalangi Pendekar
Rajawali Sakti untuk meronda di
sekeliling Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Pemuda yang selalu mengenakan baju
rompi putih itu sudah dapat
menyimpulkan kalau berita mengenai
adanya makar di kadipaten ini belum bisa dibuktikan kebenarannya. Hanya saja,
memang ada masalah lain yang
semakin gawat karena me-nyangkut
keselamatan Adipati Anggara sendiri.
Dan itu akibat dari persoalan pribadi
yang belum bisa diketahuinya sampai saat ini.
"Hmmm..., tampaknya aku harus
mempercayai cerita Diah Mardani," gumam Rangga dalam hati.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak pernah lepas ke arah kamar Onila yang berada di bagian belakang
bangunan megah Kedaton Kadipaten Bojong Picung. Ada beberapa kamar lagi yang
semuanya ditempati rombongan penari dan penabuh nayaga pimpinan Ki Jawura.
Mereka memang belum diijinkan
meninggalkan keraton sampai masalah ini selesai. Paling tidak, setelah membekuk
orang yang mencoba merongrong
kewibawaannya. Tapi mendadak saja perhatian Rangga beralih ke sebuah sudut yang cukup
gelap dan terlindung oleh tembok tebal dan tinggi. Kegelapan
itu semakin terasa dengan adanya pohon beringin besar yang berdaun rimbun hampir
menyentuh tanah. Rangga mengerahkan aji
'Tatar Netra' untuk mengetahui orang yang bersembunyi itu.
"He! Mau apa dia di sini?"
Rangga benar-benar terkejut begitu
mengetahui, siapa orang yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Hampir tidak
dipecayai penglihatannya sendiri.
Tapi yang dilihat memang kenyataan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat lagi menahan diri, dan langsung melesat
cepat bagai kilat Hanya dua kali
lesatan saja, Rangga sudah mencapai tempat persembunyian orang itu.
Jleg! "He..."
Betapa terkejutnya orang itu begitu tiba-tiba saja di depannya muncul
Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya
sampai terlonjak melompat ke belakang beberapa tindak. Bola matanya membeliak
lebar dan mulutnya ter-nganga, namun tak ada suara sedikit pun yang keluar.
Sedangkan Rangga berdiri tegak dengan pandangan mata tajam, lurus menyoroti
wajah orang itu.
"Ka..., ka..., Kakang...," tersendat dan gugup sekali orang itu.
"Apa yang kau lakukan di sini, Danupaksi?" Tanya Rangga tajam.
"Aku.., A aku...," laki-laki muda yang ternyata memang Danupaksi itu
tergagap menjawab pertanyaan Rangga.
Pucat pasi seluruh wajah pemuda itu, dan rasanya tidak sanggup membalas
tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti.
Kepalanya tertunduk dalam, dan tubuhnya agak gemetar seperti pencuri yang
kepergok. Rangga menghampiri adik tirinya itu, lalu membawanya ke tempat yang cukup terlindung. Dia tidak ingin
kehadiran Danupaksi di Kedaton Kadipaten Bojong Picung ini diketahui orang lain.
Rangga bisa menduga kalau
kehadiran Danupaksi yang tidak
disangka-sangka ini, pasti punya alasan tertentu dan bersifat amat pribadi.
"Sudah berapa lama kau berada di sini?" Tanya Rangga.
"Sehari setelah Kakang berangkat dari istana," sahut Danupaksi.
"Kau sudah melalaikan amanatku, Danupaksi."
"Aku ingat, Kakang. Tapi...,"
terputus ucapan Danupaksi.
"Tapi kenapa?" Desak Rangga ingin tahu.
"Maaf, Kakang. Ini masalah pribadi,"
pelan sekali suara Danupaksi. Kepalanya tertunduk dalam, tak sanggup membalas
sorot mata kakak tirinya itu.
"Danupaksi.!
Kau tahu apa yang
sedang terjadi dl sini, bukan" Dan kau juga tahu, kenapa aku berada di
Kadipaten Bojong Picung ini. Kuharap kau jangan menambah-nambah persoalan lagi,"
tegas kata-kata Rangga.
"Aku tahu, Kakang. Tapi aku tidak bisa hanya berdiam diri di istana
sambil mendengar kabar," kata Danupaksi seraya mengangkat kepalanya pelahan.
"Katakan, apa persoalan pribadimu,"
pinta Rangga Danupaksi tidak langsung menjawab.
Dirayapi nya wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam kegelapan. Terdengar
tarikan napas yang panjang disusul
hembusan kuat. Rangga mengamati raut wajah adik tirinya itu. Sebelumnya,
belum pernah Danupaksi terlihat begitu gundah, seakan-akan menyimpan beban berat
yang sukar dipikul. Berbagai macam dugaan mengalir di benak Pendekar Rajawali
Sakti, namun tidak ada satu pun terlintas pikiran buruk. Dia memang begitu
percaya pada adik tirinya ini,


Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sudah tidak lagi menganggapku ka-kak, Danupaksi" Katakan, apa yang
membuatmu datang
ke sini?" desak
Rangga. "Onila," kata Danupaksi pelan.
Begitu pelan suaranya sehingga hampir tidak terdengar.
"Onila..." Gadis penari itu maksud mu, Danupaksi" Ada apa dengannya?"
Rangga memberondong berbagai macam
pertanyaan. Benar-benar tidak dimengerti, apa masalah-nya antara Danupaksi
dengan Onila. "Sebenarnya aku sendiri tidak percaya, Kakang. Tapi setelah kuse-
lidiki...," kata-kata Danupaksi terputus. Pemuda itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, disertai desahan panjang dan terasa begitu berat
"Katakan semua yang kau ketahui, Danupaksi,"
terdengar lembut suara
Rangga. Danupaksi tidak segera membuka
suara, dan hanya memandang bola mata Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam.
Seakan-akan hati-nya hendak minta
kekuatan untuk membuka mulutnya.
"Ada hubungan apa kau dengan Onila?"
Tanya Rangga, setelah melihat Danupaksi hanya diam saja.
"Kakang...," desah Danupaksi hampir tidak terdengar suaranya.
"Sudah berapa lama kau kenal
dengannya?" Tanya Rangga yang sudah begitu yakin kalau antara Danupaksi dan
Onila punya hubungan yang tidak
diketahui. "Tiga bulan," sahut Danupaksi pelan.
"Kau mencintainya?" desak Rangga.
"Hmmmmmm."
"Entahlah, Kakang."
Rangga menepuk pundak adik tirinya
itu, kemudian mengajaknya meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan berdam-pingan
tanpa berkata-kata lagi.
Danupaksi berjalan sambil menundukkan kepala. Sedangkan Rangga sempat melirik ke
arah kamar Onila yang sudah gelap.
*** Pagi-pagi sekali Adipati Anggara
sudah berdiri di depan pintu kamar
Onila. Di belakangnya berdiri Rangga, Danupaksi, dan Diah Mardani serta tiga
puluh orang prajurit Kadipaten Bojong Picung.
Adipati Anggara memandang
Rangga sejenak, kemudian mengetuk pintu kamar itu. Tak ada sahutan sama sekali
dari dalam kamar. Adipati itu segera memperkeras ketukan di pintu, tapi
tetap tidak ada sahutan.
Rangga melangkah maju dan mendorong pintu itu. Pelahan pintu yang terbuat dari
kayu jati berukir itu terkuak
lebar. Semua yang ada di tempat itu jadi tercengang, karena keadaan kamar
ternyata kosong. Adipati Anggara
bergegas menerobos masuk ke dalam.
Ketika dia membuka lemari, tak ada
sepotong pakaian pun di dalam lemari itu.
"Bedebah!" geram Adipati Anggara.
"Periksa kamar lainnya!" perintah Rangga. Tanpa ada yang membantah Semua
prajurit yang menunggu di luar kamar bergegas memeriksa kamar-kamar lainnya.
Adipati Anggara keluar dari dalam
kamar, tepat saat para prajurit datang memeriksa kamar-kamar lain. Mereka
semua melaporkan kalau seluruh kamar dalam keadaan kosong. Tak ada seorang pun
terlihat "Danupaksi! Kerahkan
sebagian prajurit, susul mereka ke Desa
Kuripan!" perintah Rangga tegas.
"Baik, Kakang Prabu," sahut Danupaksi seraya memberi hormat.
Bergegas Danupaksi melangkah pergi
sambil membawa beberapa prajurit yang ada.
Kemudian, dikumpulkan sebagian
prajurit, lalu bergegas berangkat
menuju Desa Kuripan. Mereka semua
berjalan kaki, kecuali Danupaksi yang datang membawa kuda. Semen-tara Rangga
meminta Adipati Anggara untuk mengatur penjagaan di sekitar keraton.
"Kakang...!" panggil Diah Mardani ketika Rangga bergegas melangkah
keluar. Rangga menoleh sedikit, namun tidak menghentikan ayunan kakinya. Diah
Mardani berlari-lari mengejar, dan
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan ke mana, Kakang?" Tanya Diah Mardani.
"Mengejar mereka, mungkin belum begitu jauh," sahut Rangga tanpa menghentikan
ayunan kakinya.
"Aku ikut," pinta Diah Mardani.
"Kau diperlukan di sini, Diah."
"Tapi...."
"Tunggu Danupaksi kembali. Kalau mereka tidak ada di Desa Kuripan, kau bisa
menyusulku ke Bukit Cangking
bersama Danupaksi," ujar Rangga semakin mempercepat langkahnya.
"Ka...."
"Ini perintah!" potong Rangga cepat.
"Hamba, Gusti," buru-buru Diah Mardani memberi hormat dengan
merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
Diah Mardani seakan-akan baru
tersadar kalau Pendekar Rajawali Sakti itu adalah raja, sekaligus junjungannya
yang harus dipatuhi segala perintahnya.
Gadis itu langsung berhenti melangkah
mengikuti Rangga yang tidak berhenti mengayunkan kakinya keluar.
Putri Adipati Anggara itu masih
berdiri mematung memandangi punggung Rangga hingga lenyap di balik tembok.
Dia masih saja berdiri mematung
meskipun bayangan tubuh Pendekar
Rajawali Sakti sudah tidak terlihat lagi. Pelahan-lahan sepasang kaki yang indah
itu terayun melangkah. Terdengar suara tarikan napas panjang dan
terdengar begitu berat
"Diah..;."
"Oh!" Diah Mardani terkejut ketika mendengar panggilan dari belakang.
Gadis itu menoleh, dan tampak
Adipati Anggara menghampiri. Ayunan kakinya lebar-lebar, seperti tergesa-gesa.
Diah Mardani berhenti berjalan dan menunggu sampai ayah-nya dekat. Dia kembali
melangkah pelahan setelah laki-laki setengah baya itu berada di
sampingnya. "Kau lihat Rang..., eh! Gusti Prabu, Diah?" Tanya Adipati Anggara.
"Kakang Rangga pergi," sahut Diah Mardani.
"Kakang..."!" Adipati Anggara terkejut mendengar Diah Mardani
menyebut kakang pada Rangga.
"Maksudku Gusti Prabu, Ayah," buru-buru Diah Mardani meralat ucapannya.
"Ke mana perginya?" Tanya Adipati Anggara tidak mempersoalkan kekeliruan
anak gadisnya tadi.
"Entahlah. Katanya, akan mengejar mereka," sahut Diah Mardani masih bernada
lesu. Adipati Anggara merayapi raut wajah anak gadisnya itu. Sedangkan yang
dipandangi seakan-akan tidak mengetahui, dan tetap saja berjalan dengan
pandangan lurus ke depan. Namun karena Adipati Anggara terus memandangi, gadis
itu jadi jengah juga. Langkah-nya
terhenti. Segera dibalikkan tubuhnya membalas pandangan ayahnya.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling
melemparkan pandangan dengan jalan
pikiran masing-masing.
"Aku tahu apa yang merisaukan
hatimu, Diah. Aku hanya minta kau bisa menyadari dirimu sendiri. Jangan
berharap terlalu melambung jauh," ujar Adipati Anggara seraya menepuk pundak
putrinya. "Ayah...," hanya itu yang bisa keluar dari bibir mungil Diah Mardani.
Gadis itu sudah bisa menebak, ke mana arah pembicaraan ayahnya ini.
"Dia seorang raja
dan sudah mempunyai calon permaisuri meskipun masih belum jelas asal usulnya. Masih banyak
pemuda yang se-padan denganmu,"
jelas Adipati Anggara lagi.
"Aku tidak ada apa-apa, Ayah.
Sungguh...!" kilah Diah Mardani.
"Aku harap begitu, Diah. Jangan
menambah-nambah kemelut lagi. Ayah
tidak ingin membuat Gusti Prabu murka dan kecewa untuk kedua kali."
"Aku berjanji, Ayah," ucap Diah pelan.
Adipati Anggara tersenyum, lalu
menepuk-nepuk pundak putrinya lembut Kemudian dia kembali berjalan
meninggalkan gadis itu se-orang diri.
Tinggal Diah Mardani kembali tercenung memikirkan pembicaraan singkat namun
penuh arti itu.
"Yaaah.... Aku memang sudah berharap terlalu banyak. Ah, Kakang..., kenapa kita
dipertemukan dalam keadaan seperti ini" Kenapa kau bukan seorang pendekar saja"
Seandainya kau hanya pemuda desa, aku tidak peduli. Tapi..., ahhh...,"
Diah Mardani menggeleng-gelengkan
kepalanya. Diah Mardani tidak bisa lagi
mendustai dirinya sendiri.
Hatinya sudah tergetar akan ketampanan,
kegagahan dan tindak-tanduk Pendekar Rajawali Sakti. Namun harus disadari kalau
pemuda yang sudah menyemai benih cinta di hatinya itu tidak akan mungkin bisa
dimiliki. Terlalu jauh jurang
pemisah yang menghalangi, tak mungkin dapat diseberangi. Dan itu sangat
disadari Namun tidak mudah baginya
untuk menutup kembali pintu hati yang sudah terkuak tanpa di-sadari itu.
"Kakang..., mungkinkah aku hanya
dapat mengenang dan bermimpi saja"
Tidakkah Hyang Widi membuka mata untuk hati kita berdua" Oh, Dewata Yang
Agung...," desah Diah Mardani lirih.
Begitu pesannya seakan-akan hanya
desiran angin yang terdengar. Halus dan lembut sekali.
Sementara itu jauh di luar
perbatasan Kadipaten Bojong Picung, tampak Danupaksi dan para prajurit
kadipaten yang menyertai-nya tengah bertarung sengit membendung serangan orang-
orang yang semuanya mengenakan baju dan cadar tipis merah.
Tampak sekali kalau Danupaksi begitu kerepotan, karena kemampuan para
prajurit kadipaten yang menyertainya begitu rendah. Mereka seperti tidak mampu
membendung gempuran orang-orang berbaju merah yang wajahnya tertutup cadar.
Danupaksi seperti bertarung
sendiri melawan satu pasukan prajurit terlatih. Peluh sudah bercucuran
membasahi sekujur tubuhnya, namun
serangan orang-orang itu tidak ada
hentinya. Sudah lebih dari separuh prajurit
yang tergeletak tak bernyawa
lagi. Darah bersimbah membasahi bumi.
Sedangkan dari pihak lawan, hanya
beberapa saja yang menggelimpar
berlumuran darah. Danupaksi benar-benar cemas melihat keadaan para prajurit yang
semakin kedodoran menahan gempuran
orang-orang tak dikenal ini. Jerit kematian terus terdengar membahana
ditingkahi denting senjata beradu, dan teriakan-teriakan pertarungan.
Mundur! Selamatkan diri kalian..!"
seru Danupaksi keras sambil mengibaskan cepat pedangnya.
Danupaksi terus berteriak-teriak
memerintahkan para prajurit Kadipaten Bojong Picung agar mundur. Sedangkan dia
sendiri sibuk membendung gempuran orang-orang berbaju merah yang
nampaknya tidak ingin membiarkan para prajurit bisa bernapas lagi esok hari.
Mereka terus saja menggempur dengan brutal.
Tidak mudah bagi Danupaksi untuk
menyelamatkan para prajurit Kadipaten Bojong Picung. Mempertahankan diri dari
gempuran Lawan-lawan saja sudah
memaksanya memeras keringat.
Dalam pertempuran seperti ini, tidak mungkin digunakan ilmu kesaktian. Lagi pula
orang-orang berbaju merah itu tidak memberi kesempatan untuk merapalkan ajian.
Danupaksi terpaksa hanya menggunakan jurus-jurus untuk mempertahankan diri
sambil berusaha melindungi para prajurit yang semakin berkurang
jumlahnya. "Mundur...! Mundur...!"
teriak Danupaksi memberi perintah.
Semua prajurit berusaha bergerak
mundur dan menyelamatkan diri. Namun,
orang-orang berbaju merah itu terus saja mendesak dan tidak memberi
kesempatan. Danupaksi semakin geram, dan langsung diperhebat jurus-jurus-nya.
Pedangnya berkelebatan cepat
diimbangi gerakan-gerakan lincah. Namun lawannya seperti tidak ada habis-
habisnya, meskipun tidak sedikit yang menggelepar bersimbah darah terbabat
pedang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Namun pada saat yang semakin kritis, mendadak saja orang-orang berbaju merah
tiba-tiba berpelantingan ke udara.
Jerit pekik melengking terdengar
menyayat saling susul. Pola serangan mereka mendadak saja jadi tidak
beraturan. Suasana semakin bertambah kacau dan tidak menentu.
"Mundur...!" teriak Danupaksi memberi perintah pada para prajurit yang
dibawanya. Kesempatan yang baik ini memang
dimanfaatkan Danupaksi untuk menyelamatkan sisa prajurit Kadipaten Bojong Picung
yang masih bertahan hidup. Tanpa menunggu waktu lagi, para prajurit itu segera
bergerak mundur. Danupaksi
sendiri bergegas melompat keluar dari arena pertarungan. Tampak orang-orang
berbaju merah tengah terpusat
perhatiannya pada sesosok bayangan
putih yang berkelebat cepat menyambar-nyambar bagai kilat
"Kakang..," desis Danupaksi begitu mengenali bayangan putih yang tengah mengamuk
mengobrak-abrik orang-orang berbaju merah.
"Suit..!"
Tiba-tiba saja terdengar siulan
keras melengking tinggi. Seketika itu juga orang-orang berbaju merah yang
mengenakan cadar berlompatan meninggalkan tempat pertempuran. Begitu cepat dan
mendadak sekali, sehingga dalam waktu sebentar saja semuanya sudah
pergi. Tinggal seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri tegak di antara mayat-
mayat bergelimpangan berlumuran darah. Danupaksi bergegas menghampiri.
"Kakang...!" seru Danupaksi Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata
Rangga berpaling seraya memutar
tubuhnya. Danupaksi bergegas membungkuk memberi hormat pada kakak tirinya itu.


Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimanapun juga Rangga adalah Raja Karang Setra, walaupun kesehariannya adalah
pendekar. "Bagaimana kau bisa bentrok dengan mereka, Danupaksi?" Tanya Rangga.
"Tiba-tiba saja mereka menghadang, Kakang. Mereka tidak mengatakan apa-apa, dan
langsung mengepung dan
menyerang tanpa memberi kesempatan. Oh, aku malu.... Malu sekali, Kakang. Aku
tidak mampu melindungi para prajurit,"
keluh Danupaksi.
"Bukan kesalahanmu, Danupaksi.
Kemampuan mereka memang lebih tinggi daripada
prajurit kadipaten. Inilah salah satu kelemahan Adipati Anggara yang tidak mempedulikan kemampuan
prajuritnya," jelas Rangga.
"Ya..., mereka memang bukan prajurit Ka-rang Setra yang tangguh dan
berkemampuan tinggi," desah Danupaksi
"Sebaiknya kau perintahkan mereka pulang, Danupaksi. Biar kita saja yang
mengejar pemberontak-pemberontak itu,"
tegas Rangga memberi perintah dengan halus.
"Baik, Kakang," sahut Danupaksi seraya memberi hormat.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala-
nya. Memang hanya Danupaksi yang tidak pernah meninggalkan sikapnya yang
seperti itu. Tapi tidak demikian
Cempaka. Gadis itu be-gitu manja dan tidak menganggap Rangga sebagai raja
kecuali di dalam istana. Danu-paksi bergegas memerintahkan sisa-sisa prajurit
Kadipaten Bojong Picung untuk kembali ke keraton, setelah itu kembali menemui
Rangga. Setelah para prajurit itu bergerak kembali ke keraton, Rangga dan
Danupaksi bergegas berlari cepat mengejar orang-orang berbaju merah.
Tentu saja ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan.
*** 8 Hampir saja Danupaksi jatuh pingsan ketika Rangga memanggil Rajawali Putih.
Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu seperti berada di alam mimpi melihat
seekor burung rajawali raksasa yang bagai bukit tinggi-nya. Akalnya masih belum
bisa mempercayai meskipun sudah mengangkasa, duduk di punggung rajawali raksasa
sahabat Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Rangga sendiri tidak
mempedulikan. Perhatiannya tercurah penuh, untuk mencari letak sarang
gerombolan pemberontak yang telah gagal dengan rencana pertamanya menggulingkan
Adipati Anggara secara halus.
"Itu dia, Rajawali! Turun di balik bukit sana!" seru Rangga tiba-tiba.
"Khraghk!"
Rajawali putih raksasa menukik turun ke balik sebuah bukit kecil yang
ditunjuk Rangga. Belum juga burung
raksasa itu mencapai tanah, Rangga
sudah melompat turun. Sedangkan
Danupaksi baru turun setelah rajawali raksasa itu mencapai tanah. Pemuda itu
masih memandangi disertai perasaan
tidak percaya dan seperti mimpi.
"Kau boleh pergi, Rajawali. Temui Dewa Bayu dan katakan aku membutuh-kannya di
sini," kata Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali putih mengepakkan sayap
lebar-nya, kemudian dengan sekali
lesatan saja sudah membumbung tinggi di angkasa. Danupaksi memandangi kepergian
burung raksasa itu hingga lenyap di balik awan.
"Ayo...," ajak Rangga seraya menepuk pundak adik tirinya itu.
"Oh!" Danupaksi tergagap.
"Ada apa, Danupaksi?" Tanya Rangga melihat sikap adik tirinya yang seperti orang
bodoh. "Oh tidak..., tidak apa-apa,
Kakang," sahut Danupaksi
"Satu saat kau akan lebih mengenal-nya, Danupaksi," kata Rangga seraya
tersenyum. Dia mengerti, kenapa
Danupaksi bersikap seperti itu.
"Sejak kapan Kakang punya tunggangan begitu?"
Tanya Danupaksi seraya
mengayunkan kakinya mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
lebih dahulu berjalan.
Rangga tidak langsung menjawab, tapi terus
saja berjalan. Pertanyaan
Danupaksi hanya dijawab lewat senyuman saja. Kemudian kedua pemuda itu sudah
berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Kalau saja mau, Rangga bisa
meninggalkan Danupaksi karena ilmu
meringankan tubuhnya lebih tinggi dari yang dimiliki Danupaksi. Tapi itu saja
sudah membuat Danupaksi terpaksa
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengimbangi ilmu yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kenapa berhenti di sini, Kakang?"
Tanya Danupaksi begitu Rangga berhenti
"Kita tunggu di sini," sahut Rangga.
"Apakah mereka akan lewat tempat ini?" Tanya Danupaksi lagi.
"Perkiraan ku begitu, Danupaksi,"
sahut Rangga. Danupaksi tidak bertanya lagi, lalu memandang lurus ke satu arah. Tanpa
disadari, Rangga memperhatikannya sejak tadi.
Pendekar Rajawali Sakti itu
melangkah mundur menghampiri sebatang pohon yang cukup rindang. Perhatiannya
masih tertuju pada Danu-paksi yang
masih tetap berdiri memandang ke satu arah tanpa berkedip.
"Apa yang kau pikirkan, Danupaksi?"
Tanya Rangga. "Oh...!" Danupaksi tersentak kaget
"Kau tidak perlu merasa bersalah.
Aku mengerti kau terjebak sehingga tidak menyadari apa yang kau perbuat,"
kata Rangga lembut nada suaranya.
"Tapi, Kakang. Karena kesalahanku
lah Kens Kyai Lumajang jatuh ke tangan manusia-manusia setan
itu!" Agak tertekan nada suara Danupaksi.
"Tidak ada seorangpun yang luput
dari kesalahan dan kelalaian, Danu-
paksi. Apalagi kau masih muda dan
kurang berpengalaman dalam menghadapi seorang wanita yang penuh tipu daya
licik," kata Rangga bijaksana.
"Bagaimanapun aku merasa bersalah, Kakang. Aku harus merebut kembali Keris Kyai
Lumajang dan membunuh Onila!"
tegas kata-kata Danupaksi.
"Bukankah kau mencintai gadis itu, Danupaksi?" panting Rangga.
"Tidak!" sahut Danupaksi tegas.
"Justru aku membencinya karena telah menipu dan memperdayaiku, Kakang."
"Onila melakukan hal itu karena mendapat tekanan dari Karsini, atau mungkin ada
orang lain yang lebih
berpengaruh di belakangnya. Sedangkan Keris Kyai Lumajang se-karang berada di
tangan Karsini, bukan pada Onila atau siapa pun. Terus terang, aku sendiri
sebenarnya juga terkejut begitu melihat Keris Kyai Lumajang berada di tangan
Karsini. Hanya saja aku tidak mau
gegabah," papar Rangga.
"Aku merasa berdosa sekali tidak bisa menjaga pusaka Eyang Resi
Wanapati, Kakang," lirih suara Danupaksi
"Sudahlah, Danupaksi. Bukan dengan keluhan atau penyesalan untuk mendapatkan
Keris Kyai Lumajang kembali.
Tapi dengan perbuatan dan tekad yang bulat," Rangga membakar semangat adik
tirinya itu. "Kau benar, Kakang. Apa pun yang terjadi, Keris Kyai Lumajang peninggalan guruku
harus kurebut kembali,"
tekad Danupaksi.
Rangga tersenyum melihat Danupaksi
kembali bersemangat. Mendadak saja
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagai kilat menyambar Danupaksi dan
membawanya pergi dari tempat itu.
Tentu saja hal ini mengejutkan
Danupaksi. Tapi, pemuda itu belum bisa membuka suara begitu Rangga tahu-tahu
sudah berpijak pada sebatang dahan
pohon bersamanya.
Dan belum lagi Danupaksi bertanya,
mata-nya sudah terbentur pada satu
rombongan kecil berwarna merah di balik lebatnya pepohonan lereng bukit ini.
*** "Kendalikan dirimu," cegah Rangga berbisik sambil mencekal tangan
Danupaksi. Danupaksi membatalkan niatnya untuk men-cegat rombongan yang seluruhnya
mengenakan baju merah itu, Mereka sudah demikian dekat. Bahkan sebagian sudah
berada di bawah pohon tempat Rangga dan Danupaksi berada. Dan sekarang sudah ada
yang melewatinya. Danupaksi hanya bisa memandangi sambil menahan napas.
Gelegak di dadanya begitu mengguruh melihat orang yang berjalan pa-ling depan.
Ada tiga orang. Yang dua orang wanita muda dan cantik, sedangkan
seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut Rambut dan janggutnya telah
memutih semua. Rangga dan Danupaksi tetap berada di atas pohon tanpa memperdengarkan suara se-
dikit pun. Mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh agar dahan pohon yang
dipijak tetap bergoyang tertiup angin tanpa menimbulkan gerakan mencurigakan
sedikit pun. Sampai orang-orang berbaju merah yang jumlahnya lebih dari lima
puluh itu lewat, mereka masih tetap berlindung pada daun-daun pohon yang lebat
itu. "Hup...!"
Ringan sekali Rangga melompat turun dari atas pohon. Danupaksi bergegas
mengikuti. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Danu-paksi sudah mencapai
tingkat cukup tinggi, sehingga mampu mendarat tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. "Bagaimana sekarang, Kakang?" Tanya Danu-paksi.
"Aku tahu ke mana mereka pergi,"
sahut Rangga. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu berlari cepat diikuti Danupaksi yang
langsung mengerahkan penuh Ilmu
meringankan tubuhnya. Dia tahu, siapa dan sampai di mana tingkat kepandaian
Pendekar Rajawali Sakti itu. Maka kini Danupaksi tidak tanggung-tanggung lagi
mengimbanginya, jika tidak ingin
tertinggal jauh.
Mereka terus berlari cepat menerobos
lebatnya hutan di Lereng Bukit
Cangking. Rangga sengaja memilih jalan memutar, karena sudah merasa pasti
tujuan orang-orang berbaju merah yang hendak memberontak itu. Sedangkan
Danupaksi hanya mengikuti saja dari belakang, dan berusaha agar tidak
tertinggal jauh.
"Mereka sudah tertinggal jauh di belakang, Kakang," kata Danupaksi begitu bisa
mensejajarkan langkahnya di samping Rangga.
"Sebentar lagi," sahut Rangga terus saja berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Rangga baru berhenti berlari setelah sampai di depan sebuah gua yang hampir ter-
tutup semak belukar. Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu
mencapai bagian atas gua itu.
"Hup!"
Danupaksi bergegas mengikuti, lalu
berputaran di udara dua kali. Dan dua kali pula ditotoknya ranting pohon
untuk membantu tenaga lesatan agar
mencapai bagian atas gua itu. Ringan sekali kakinya mendarat di samping
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
mulai bergerak lagi.
"Kau terlalu banyak bersenang-senang di istana, Danupaksi," tegur Rangga tanpa
mengurangi kecepatan ayunan
langkahnya. Danupaksi tidak menyahut sedikit
pun. Memang diakui kalau jarang
berlatih sejak tinggal di Istana Karang Setra. Kini pemuda itu baru merasakan
kalau kemampuannya menurun. Tapi karena tidak ingin terlihat lemah, dia terus
saja mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga memberi isyarat dengan
merentangkan tangannya sambil berhenti berjalan. Danupaksi bergegas menghampiri
dan berdiri agak merunduk di
samping Rangga yang juga merunduk
melindungi diri di dalam semak. Hampir Danupaksi tidak percaya kalau gua yang
tadi dilihatnya ternyata tembus ke sebuah tempat yang terlindung dinding-dinding
batu. Tempat itu bagai sebuah lembah kecil. Hanya dari gua itulah jalan
masuknya. "Inikah tempat persembunyian mereka, Kakang?"
Tanya Danupaksi setengah
berbisik. "Benar," sahut Rangga.
"Hebat sekali. Cocok untuk sarang penyamun," puji Danupaksi tulus.
Rangga mengedarkan pandangannya,
meneliti keadaan lembah kecil itu.
Tidak mudah untuk mencapai ke sana kalau tidak melalui gua yang hanya
satu-satunya di Puncak Bukit Cangking ini. Lembah itu dikelilingi tebing batu
curam dan berlumut tebal. Seorang yang berilmu tinggi sekalipun tidak akan
gegabah untuk menuruninya. Otak Rangga terus berputar mencari jalan agar bisa
masuk tanpa melalui gua.
Memang tidak terlalu dalam lembah
itu, namun sukar dimasuki. Rangga
berpaling memandang Danupaksi. Baginya tidak ada masalah untuk menuruninya, tapi
tidak demikian dengan Danupaksi.
Lembah itu kelihatan sunyi. Dan rumah-rumah yang berdiri juga seperti tidak
berpenghuni. Namun itu bukan berarti bisa seenaknya saja memasukinya.
Kesunyian merupakan jebakan sangat
ampuh, bagi orang yang kurang waspada.
"Aku akan menunggu di sini, Kakang,"
kata Danupaksi bisa mengerti arti
pandangan Rangga.
"Kau bisa kembali ke mulut gua, Danupaksi. Hadang siapa saja yang
mencoba keluar nanti," perintah Rangga.
"Lalu, bagaimana mereka yang hendak masuk?" Tanya Danupaksi.
"Biarkan saja masuk," sahut Rangga.
"Apa tidak sebaiknya dihadang saja, Kakang?" Usut Danupaksi.
"Jangan tolol, Danupaksi!" Sentak Rangga.
Danupaksi langsung diam.
"Cepatlah pergi sebelum mereka sampai. Kau masih bisa bersuara burung, bukan?"
ujar Rangga. "Masih, Kakang," sahut Danupaksi.
"Tirukan suara burung kalau mereka sampai," pinta Rangga.
"Balk, Kakang."
Danupaksi bergegas pergi dari tepi
lembah di Puncak Bukit Cangking ini.
Sementara Rangga kembali mengamati
keadaan di dalam lembah sekali lagi.
Kemudian dituruni nya tebing lembah yang berbatu curam dan berlumut licin.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh ditambah jurus yang pernah


Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diajarkan Satria Naga Emas, Rangga
menuruni tebing
itu. Memang tidak begitu sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti yang sudah menguasai jurus-jurus
'Naga Emas' yang beraneka macam dan kegunaannya. (Untuk lebih jelas, baca serial
Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Asmara Maut").
*** "Hup!"
Rangga melompat ringan begitu
mendekati dasar lembah di Puncak Bukit Cangking. Begitu ringannya sehingga tak
terdengar suara sedikit pun saat
kakinya menjejak tanah berumput kering.
Namun belum juga Pendekar Rajawali
Sakti itu bisa berdiri tegak,
mendadak.... Wut! Sing...! "Uts...!"
Sebuah ruyung kecil meluruk deras
bagai kilat mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Cepat sekali pemuda berbaju
rompi putih itu memiringkan tubuhnya
sedikit seraya mengibaskan
tangannya ke depan dada.
Tap! Ruyung kecil itu ditangkap dengan
dua jari Pendekar Rajawali Sakti. Dan secepat itu pula Rangga mengebutkan
tangannya, me-lemparkan ruyung itu ke arah datangnya tadi.
Slap! Sebuah bayangan berkelebat ke udara tepat saat ruyung itu menembus sebuah bilik
rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri
seorang laki-laki tua mengenakan jubah dan ikat kepala berwarna merah. Rambut
dan janggutnya sudah memutih semua. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang
tak berbentuk sama sekali. Rangga menggeser kaki-nya sedikit ke samping. Kedua
matanya begitu tajam memperhatikan laki-laki tua di depannya.
"He he he.... Rupanya kau memang hebat, Anak Muda. Pantas saja semua muridku
tidak ada yang mau berhadapan denganmu," kata laki-laki tua berjubah merah itu.
"Siapa kau, Orang Tua?" Tanya Rangga.
"Kau memang tidak pernah tahu
tentang diriku, Anak Muda. Tapi aku tahu siapa dirimu. He he he...!" laki-laki
tua berjubah merah itu terkekeh.
Suara tawanya begitu kering dan
tidak sedap terdengar di telinga.
Digeser kakinya ke samping beberapa tindak, namun tatapan matanya begitu tajam
menusuk. Sedangkan Rangga masih berdiri kokoh dan kelihatannya begitu tenang.
Perhatiannya juga tidak le-pas pada laki-laki tua itu. Gerakan kakinya ketika
menggeser begitu ringan. Jelas kalau laki-laki tua berjubah merah itu memiliki
kepandaian yang tidak bisa dipandang enteng.
"Aku kagum akan kepekaanmu, Anak Muda. Sayang sekali kita harus bertemu secepat
ini, tidak seperti yang kuharap dan kurencanakan," kata laki-laki tua itu lagi
"Kisanak! Siapa kau ini sebenarnya?"
Tanya Rangga lagi "Kenapa kau ingin memberontak
pada Kerajaan Karang
Setra?" "He he he.... Rupanya kau ingin tahu, Rangga. Dengarkan baik-baik. Aku bernama
Ki Jagatnata, kakak ibu adik dirimu. Kau puas...?" laki-laki tua itu menjelaskan
jati dirinya. "Oh...," Rangga mendesah.
Sungguh tidak disangka kalau laki-
laki tua ini adalah paman tirinya juga.
Dan sekarang baru dimengerti
permasalahan nya. Rupanya Ki Jagatnata tidak senang kemenakannya tersingkir dari
Karang Setra. Maka dia hendak
membalas dendam dengan mengacau-kan Kerajaan Karang Setra. Pilihannya
memang tepat. Dia memulai dari
Kadipaten Bojong Picung yang begitu lemah dalam segala hal, tapi sangat makmur
dan kaya akan hasil bumi.
"Aku akan memberimu kesempatan hidup jika kau bersedia turun tahta dan
memberikannya pada kemenakanku yang berhak atas Karang Setra!" tegas Ki
Jagatnata mulai terdengar dingin nada suaranya.
"Siapa kemenakanmu itu?" Tanya Rangga.
"Onila," sahut Ki Jagatnata.
"Oh...," lagi-lagi Rangga mendesah.
Kini Rangga benar-benar mengerti.
Ter-nyata Ki Jagatnata sudah mempersiapkan hal ini sebelumnya secara
matang. Apalagi seluk beluk keluarga Istana Karang Setra diketahui betul sampai
ke akar-akarnya. Rupanya dia juga mengetahui tentang kehebatan
Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti, sehingga harus menandinginya dengan Keris
Kyai Lumajang yang begitu ampuh dan sukar dicari tandingannya. Untuk mendapatkan
keris itu, Onila berhasil memperdaya Danu-paksi yang memegang keris peninggalan
mendiang gurunya.
Suatu rencana rapi, tapi sayang sudah tercium sebelum melangkah jauh.
"Hanya ada dua pilihan, Rangga.
Turun dari tahta, atau mampus di sini!"
Ki Jagatnata memberikan pilihan yang tidak mudah.
"Aku tidak memilih keduanya, Ki
Jagatnata. Bahkan aku tidak akan
memberikan Karang Setra begitu saja padamu, juga pada yang tidak berhak!"
Tegas jawaban Rangga.
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mati, Rangga!"
Setelah berkata demikian, Ki
Jagatnata langsung memutar cepat
tongkatnya di depan dada. Rangga sampai berjingkrak beberapa langkah ke
belakang. Putaran tongkat itu
menimbulkan deru angin dahsyat bagai topan, ditambah lagi pancaran hawa
panas yang menyengat.
"Hmmm.... Kau langsung memulai
dengan ilmu kesaktian, Ki Jagatnata,"
gumam Rangga. "Menghadapimu, tidak perlu
mengeluarkan tenaga banyak dan
percuma!" sahut Ki Jagatnata.
Laki-laki tua itu tiba-tiba saja
menghentakkan tongkatnya ke depan.
Seketika itu juga dari ujung tongkat yang tumpul memercik bola-bola api yang
langsung meluncur ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Secepat kilat Rangga melompat ke
samping menghindari bola-bola api itu.
Ledakan menggelegar terdengar dahsyat ketika bola-bola api itu menghantam tebing
batu yang mengelilingi lembah ini. Belum juga Rangga bisa berdiri tegak, bola-
bola api itu sudah datang
kembali dengan cepatnya. Terpaksa
Rangga berjumpalitan menghindari bola-bola apt itu.
Beberapa kali Rangga berhasil
menghindari bola-bola api yang keluar dari ujung tongkat Ki Jagatnata. Dan pada
serangan yang entah ke berapa
kalinya, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menghindar sama sekali. Dia
berdiri tegak di atas sebongkah batu besar yang menjorok keluar dari dinding
tebing. Glaaar...! Ledakan keras kembali menggelegar
begitu bola api menghantam batu yang dipijak Rangga. Asap tebal mengepul
menghalangi pandangan mata. Ki
Jagatnata tersenyum menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah hancur bersama
batu yang dipijaknya. Namun senyum-nya langsung lenyap.
"Edan...!" dengus Ki Jagatnata terkejut.
Dari kepulan asap dan debu, Rangga
meluncur ke luar dari atas sebongkah batu yang dipijaknya tadi. Begitu
cepatnya me-luncur, sehingga membuat Ki Jagatnata ter-perangah sesaat Tapi
buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Secepat
laki-laki tua itu melompat berdiri, secepat itu pula kembali melepaskan bola
apinya. "Hiyaaa...!"
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke
udara dan berputaran beberapa kali.
Terdengar ledakan keras di belakang.
Batu yang dipijaknya hancur berkeping-keping terhantam bola
api yang dilepaskan Ki Jagatnata. Tepat pada saat itu, Rangga sudah mendarat manis di
tanah, sekitar tiga batang tombak jauh-nya dari Ki Jagatnata.
"Phuih! Hiyaaat..!"
Bukan main marahnya laki-laki tua
berjubah merah itu melihat Rangga
berdiri tegak bertolak pinggang.
"Terimalah aji pamungkas ku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat!"
Rangga masih berdiri tegak tak
bergeming. Segera dirapatkan kedua
tangannya di depan dada. Kemudian
pelahan kedua tangan-nya naik ke atas kepala, lalu pelahan turun hingga
sampai ke pinggang. Tepat pada saat Ki Jagatnata
melompat dengan jari-jari
ter-kembang, Rangga merentangkan
tangannya yang sudah terselimut cahaya biru bagai bola.
"Hiyaaa...!" Ki Jagatnata menghujam-kan jari-jari tangannya yang membara bagai
ter-bakar ke dada Pendekar
Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, Rangga
mencengkeram pundak laki-laki tua itu kuat-kuat. Cepat sekali sinar biru
menjalar menyelimuti se-luruh tubuh Ki
Jagatnata, Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'
yang semakin disempurnakan tingkatannya.
"Aaakh...!" tiba-tiba saja Ki Jagatnata berteriak keras.
Tubuh laki-laki tua itu menggeliat-
geliat, berusaha melepaskan diri. Namun semakin kuat tenaga dikerahkan semakin
kuat pula tenaganya tersedot Darah
mulai mengucur dari hidung dan sudut matanya. Seluruh rongga mulutnya sudah
dipenuhi darah yang menetes keluar. Ki Jagatnata semakin keras menggeliat.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras. Mendadak dilepaskan
cengkeraman tangannya, dan begitu cepat dikibaskan tangan kanannya menghantam
kepala Ki Jagatnata.
Prak! Ki Jagatnata tak bisa lagi bersuara.
Kepalanya hancur berantakan menyemburkan darah segar. Hanya sesaat laki-laki tua
itu mampu berdiri tegak, kemudian langsung roboh
dan tewas seketika.
Rangga melompat mundur dua tindak.
Dipandanginya tubuh yang ter-bujur tak bernyawa lagi. Darah terus mengalir dari
kepala yang hancur berantakan.
"Maaf, aku terpaksa membunuhmu,"
ucap Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melompat ke mulut gua yang menjadi
penghubung lembah ini dengan luar.
Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan terus menembus lorong gua
yang gelap dan tidak begitu
panjang. Sebentar saja Rangga sudah sampai di mulut gua lainnya. Dan betapa
terkejut hatinya begitu melihat di
depan sana terjadi pertarungan sengit.
Sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu semakin terbeliak lebar
begitu mengenali siapa yang tengah
bertarung itu. Mereka adalah orang-
orang berbaju merah yang akan
memberontak terhadap Kerajaan Karang Setra dengan alasan masing-masing. Dan yang
sekarang mereka hadapi adalah para prajurit Karang Setra. Tampak Danupaksi
tengah bertarung sengit. Dan di dekatnya.... Ini yang membuat Rangga hampir
tidak percaya. "Pandan Wangi..," desis Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat terjun dalam kancah pertempuran.
Munculnya Pendekar Rajawali
Sakti ternyata merupakan api semangat bagi para prajurit Kerajaan Karang
Setra yang langsung dipimpin Pandan Wangi. Tentu saja hal ini membuat
lawannya jadi kalang kabut. Mereka jadi tidak menentu, dan sebagian malah
berusaha melarikan diri.
"Berhenti...!" seru Rangga tiba-tiba dengan suara lantang disertai pengerahan
tenaga dalam sangat tinggi.
Seketika itu juga pertarungan
terhenti. Para prajurit Karang Setra bergegas membentuk lingkaran mengepung
daerah ini. Sedangkan orang-orang
berbaju merah yang terperangkap dalam kepungan, menjadi kehilangan semangat
Danupaksi dan Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Menyerahlah kalian! Tidak ada lagi pemimpin kalian di sini!" lantang suara
Rangga. Orang-orang berbaju merah itu saling berpandangan satu sama lain. Sadar
kalau tidak ada lagi yang memimpin, segera di-jatuhkan senjata mereka
masing-masing. Rangga memberi isyarat pada para prajurit Karang Setra yang
segera bergerak meringkus mereka.
"Hmmm..., di mana Onila dan
Karsini?" tanya Rangga.
"Kak Pandan berhasil membunuh
Karsini, Kakang. Tapi Onila berhasil kabur," jelas Danupaksi memberitahu.
Rangga tidak bertanya lagi, lalu
memandang berkeliling.
Cukup banyak juga mayat yang bergelimpangan. Di
antara mayat-mayat itu terlihat mayat Ki Jawura dan para penabuh nayaga serta
beberapa wanita penari. Mereka semua sebenarnya adalah pengikut Ki Jagatnata
yang menyamar jadi rombongan penari dan menyusup ke Kadipaten Bojong Picung.
Rangga menatap Pandan Wangi yang
berdiri di sampingnya.
"Bagaimana kau bisa sampai ke sini, Pandan?" Tanya Rangga.
"Dewa Bayu yang membawaku ke sini,"
sahut Pandan Wangi diiringi senyuman manisnya.
Rangga hanya tersenyum getir. Dia
memang telah meminta Rajawali Putih untuk memanggil Dewa Bayu, tapi sama sekali
tidak teringat kalau Dewa Bayu berada di istal istana. Dan Pandan
Wangi yang sudah mengetahui semua ini tentu tidak mengalami kesulitan lagi.
Mudah baginya mencapai Bukit Cangking ini, karena hanya kurang dari setengah
hari bisa dicapai dari Karang Setra.
"Kau akan mengejar Onila, Danupaksi?" Tanya Rangga penuh arti.
"Jika Kakang mengijinkan," sahut Danupaksi.
"Kenapa begitu?"
"Keris Kyai Lumajang sudah kudapatkan kembali, dan aku tidak peduli dengannya,"


Pendekar Rajawali Sakti 36 Penari Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut Danupaksi seraya menunjukkan Keris Kyai Lumajang yang sudah berada di
pinggangnya. "Aku memberi kebebasan padamu, Danupaksi."
"Terima kasih, Kakang. Pengejaran
itu akan kulakukan setelah aku
membereskan pemberontak-pemberontak ini," jelas Danupaksi.
"Baiklah kalau begitu. Sebaiknya cepat bawa mereka ke Karang Setra atau
ke Kadipaten Bojong Picung. Uruslah mereka tanpa aku harus turun tangan,
Danupaksi. Dan jika hendak mengejar Onila, lakukanlah atas namamu sendiri,"
kata Rangga bisa memaklumi perasaan adik tirinya ini. .
"Terima kasih, Kakang," ucap
Danupaksi. Danupaksi bergegas memerintahkan
para prajurit yang dibawa Pandan Wangi untuk menggiring para pemberontak yang
menyerah. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menunggang kudanya.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi masih berada di tempat itu, di samping kuda
masing-masing. Mereka memandangi
Danupaksi yang berkuda memimpin para prajuritnya menggiring para tawanan yang
sudah terbelenggu.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Kakang?" Tanya Pandan Wangi.
"Nanti aku ceritakan. Yuk..."!"
Pandan Wangi mengangkat pundak,
kemudian naik ke punggung kudanya.
Rangga juga melompat naik ke punggung kuda hitam. Sebentar mereka saling
berpandangan, kemudian menjalankan kuda pelahan-lahan meninggalkan Puncak Bukit
Cangking ini. Pandan Wangi menagih
kembali keingintahuan nya, tapi Rangga masih belum bersedia bercerita. Dan ini
membuat Pandan Wangi jadi penasaran, tapi tidak mendesak lagi.
SELESAI http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Dedig
Lauw Pang Vs Hang Ie 2 Pendekar Naga Putih 37 Keturunan Datuk Datuk Persilatan Pendekar Patung Emas 22
^