Pencarian

Malaikat Pencabut Nyawa 2

Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa Bagian 2


terkenal dalam rimba persilatan. Dan kini setelah lima jurus dikerahkan, tapi
tubuh pemuda berbaju rompi
putih itu belum juga bisa dilukai sedikit pun.
"Aku rasa itu tidak penting, Malaikat Pencabut
Nyawa. Bukankah kau juga membantai siapa saja yang
dianggap sebagai penghalang..." Nah, sekarang aku
akan menghalangi setiap gerakmu. Jadi, juga harus
membunuhku lebih dulu sebelum merasa menjadi raja
di jagat raya ini," sambut Rangga dingin sekali suaranya.
"Phuih! Lagakmu seperti yang paling jago saja di kolong langit. Katakan, siapa
namamu sebelum batok
kepalamu kutebas!" dengus Malaikat Pencabut Nyawa.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Huh! Julukanmu...!" Malaikat Pencabut Nyawa
masih juga belum merasa puas.
Tapi belum juga Rangga bisa membuka mulut, ter-
dengar suara-suara langkah menghampiri. Dan terlihat beberapa orang berlari-lari
menghampiri sambil membawa obor. Malaikat Pencabut Nyawa mendengus kecil,
setelah melihat begitu banyak orang berdatangan
menghampiri. "Huh! Nyawamu masih terlindungi, Keparat! Tapi
lain kali, kau tidak akan lolos dari kematian!" dengus Malaikat Pencabut Nyawa
terdengar kesal nada suaranya.
Setelah berkata begitu, cepat sekali tubuhnya mele-
sat pergi sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Begitu cepat lesatannya, sehingga Rangga tidak sempat lagi mencegah. Terlebih
lagi, jarak mereka memang ada sekitar dua batang tombak lebih. Pendekar Rajawali
Sakti hanya bisa berdiri mematung menatap arah ke-
pergian Malaikat Pencabut Nyawa.
Sementara, mereka yang datang sudah sampai di
halaman depan rumah ini. Dan di antara mereka terlihat Pandan Wangi, Ki Anjir,
Julak, dan Ki Langkas
bersama empat orang tua pembantunya. Mereka lang-
sung menghampiri Rangga, kecuali empat orang tua
berjubah putih yang menjadi orang kepercayaan Ki
Langkas. "Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung.
"Aku tidak tahu. Aku belum sempat masuk ke da-
lam," sahut Rangga.
"Kau tidak apa-apa, Rangga?" tanya Ki Langkas.
"Tidak...," sahut Rangga seraya tersenyum dan
menggelengkan kepala.
Saat itu keluar salah seorang yang tadi langsung
masuk ke dalam rumah.
"Ki Langkas, ke sini cepat...!"
Ki Langkas bergegas menghampiri, diikuti Rangga,
Ki Anjir dan Pandan Wangi. Sedangkan Julak dan yang lain tetap menunggu di luar.
Mereka langsung saja menerobos masuk ke dalam.
Rangga yang memang baru sempat masuk sampai ke
ruangan depan tadi, jadi tersedak begitu melihat ke dalam rumah ini. Keadaannya
sangat berantakan dan
banyak darah berceceran di lantai. Dan begitu mereka sampai di dalam sebuah
ruangan tidur, terlihat tiga tubuh tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala
terbelah hampir menjadi dua bagian.
Mereka adalah Ki Rampat dan istrinya, serta seo-
rang lagi yang dikenal adik Ki Rampat. Rangga bergegas memeriksa ke ruangan-
ruangan lain di rumah ini, dan menemukan beberapa tubuh lagi bergeletakan
dengan kepala terbelah berhamburan darah. Malam
itu kembali Desa Granggang gempar. Ki Rampat dan
seluruh keluarga serta muridnya tewas terbantai dengan luka sama, terbelah pada
kepala hingga hampir
menjadi dua bagian. Kekejaman ini bukan saja mem-
buat penduduk menjadi marah. Bahkan Rangga juga
jadi geram setengah mati. Baru kali ini disaksikannya sebuah pembantaian yang
begitu keji! "Iblis...!" tanpa sadar Rangga mengeram.
*** 5 Rangga benar-benar menyesal dengan membiarkan
Malaikat Pencabut Nyawa melarikan diri. Padahal, bisa saja orang itu dikejarnya
tadi. Tapi semua penyesalan itu tidak ada gunanya lagi. Dan entah, berapa orang
lagi yang akan menjadi korban kebiadaban Malaikat
Pencabut Nyawa. Semua orang di Desa Granggang ini
diliputi kecemasan. Mereka takut kalau-kalau pem-
bantai biadab itu datang lagi dan menghabisi nyawa
mereka. Kini, Malaikat Pencabut Nyawa tidak pilih-pilih lagi.
Siapa saja yang berusaha menghalangi, tidak ada am-
pun lagi. Sejak kematian Ki Rampat, sudah tiga orang Tetua Desa Granggang yang
tewas secara beruntun
dan mengerikan. Bukan mereka saja yang terbunuh,
tapi seluruh keluarga dan murid-murid juga terbantai.
Dan sekarang, tinggal Ki Adong saja yang masih hidup bersama Ki Langkas.
Sedangkan gerakan yang dilakukan Malaikat Pen-
cabut Nyawa benar-benar sulit diduga. Tidak ada yang bisa menduga, kapan
kemunculannya, dan kapan pula
perginya. Gerakannya bagaikan hantu yang bisa saja
muncul tanpa menghiraukan waktu dan keadaan. Hal
ini tentu saja membuat Ki Langkas semakin bertambah berang. Sementara Rangga,
Pandan Wangi, dan Ki Anjir yang berada di desa itu juga tidak bisa berbuat
banyak. Tidak ada seorang pun yang tahu, di mana tem-
pat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa, jika
tidak muncul ke desa ini, yang semakin dicekam ketakutan.
"Tindakannya seperti orang yang sedang membalas
dendam...," gumam Rangga, ketika sedang duduk seo-
rang diri di halaman belakang rumah Ki Langkas.
Sejak pertarungannya dengan Malaikat Pencabut
Nyawa malam itu, Rangga terlihat lebih sering me-
nyendiri. Dia berusaha mencari tahu latar belakang
tindakan brutal si Malaikat Pencabut Nyawa itu.
"Aku juga menduga begitu, Kakang...."
"Eh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari
belakangnya. Cepat kepalanya diputar berpaling. Sungguh tidak diketahuinya kalau
ada seorang gadis cantik sudah berdiri dekat sekali di belakangnya, yang memang
Intan, putri satu-satunya
Ki Langkas. "Boleh aku menemanimu...?" pinta Intan lembut.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu menggeser du-
duknya sedikit. Intan mengambil tempat agak jauh di sebelah kiri Pendekar
Rajawali Sakti. Halaman belakang rumah Ki Langkas memang cukup besar. Di situ
juga ada beberapa buah bangku panjang dari bambu.
"Maaf, tadi aku mengejutkanmu," ucap Intan.
"Ah, tidak...," sahut Rangga seraya tersenyum,
membalas senyuman manis gadis itu.
"Aku juga tadi menyebutmu Kakang. Boleh...?"
"Sama sekali aku tidak keberatan. Aku senang ka-
lau kau mau memanggilku begitu," sambut Rangga
terbuka. "Terima kasih," ucap Intan seraya tersenyum.
Begitu manis senyumnya. Tapi Rangga tidak sempat
lagi memperhatikan. Pandangannya sudah tertuju lu-
rus ke depan, memperhatikan kupu-kupu yang ber-
main-main di antara kelopak bunga. Intan juga mengarahkan pandangan ke sana.
Entah, kenapa dia jadi
tersenyum sendiri.
"Aku dengar, kau sempat bertarung melawan Ma-
laikat Pencabut Nyawa. Benar, Kakang...?" ujar Intan lagi, setelah beberapa saat
terdiam. Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Seperti apa rupanya" Apakah wajahnya mengeri-
kan seperti setan, Kakang...?" tanya Intan lagi.
"Tampan, seperti bayi yang baru lahir dan tidak
punya dosa sama sekali," sahut Rangga seadanya.
"Kepandaiannya juga tinggi?" tanya Intan lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Aku jadi penasaran. Seperti apa sih dia...," desis Intan seperti bicara pada
diri sendiri. "Kau akan tahu nanti, kalau dia sudah tertangkap,"
sahut Rangga pelan.
"Justru itu, Kakang. Aku ingin tanganku sendiri
yang menangkapnya. Bahkan kalau perlu memenggal
kepalanya, untuk membayar nyawa paman-pamanku,"
agak terdengar geram nada suara Intan.
"Dia bukan orang sembarangan, Intan. Kepan-
daiannya sangat tinggi. Aku sendiri tidak yakin, apakah mampu menghadapinya atau
tidak. Bahkan mere-
ka yang menjadi korbannya, bukanlah orang-orang
sembarangan. Kepandaian mereka sangat tinggi. Den-
gan demikian dia pasti memiliki kepandaian yang jauh
lebih tinggi lagi daripada para korbannya," kata Rangga mencoba menjelaskan
keadaan sebenarnya yang
sedang terjadi.
"Setinggi apa pun tingkat kepandaiannya, pasti ada
kelemahannya juga, Kakang."
"Yahhh, memang...," sahut Rangga mendesah.
"Hm...," Intan menggumam kecil.
Rangga kini terdiam. Pandangannya terus tertuju ke
depan. Gadis yang duduk di sebelahnya juga membisu.
Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak kencang begi-tu bertemu pandang, setelah
Rangga berpaling. Intan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan
tidak sanggup menerima sorotan mata Pendekar
Rajawali Sakti yang sebenarnya terasa begitu lembut.
Tapi hal itu justru membuat jantungnya berdetak kencang tak terkendalikan.
"Kakang! Tadi kau mengatakan kalau perbuatannya
dilandasi rasa balas dendam. Aku juga berpikir begi-tu," kata Intan, untuk
menghilangkan gemuruh di da-
danya. "Ini baru dugaan saja, Intan."
"Tapi ayah tidak mau menerima, Kakang. Aku su-
dah mengatakannya, malah ayah membentakku dan
mengatakan kalau ini bukan urusanku."
"Ayahmu benar, Intan. Memang sebaiknya kau jan-
gan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi...."
"Tapi kenapa, Kakang?"
"Kira-kira, apa yang membuat rasa dendam pada di-
rinya...?" suara Rangga terdengar menggumam, seperti bertanya pada diri sendiri.
Intan hanya membisu saja. Dia sendiri tidak tahu,
apa yang menjadi pangkal semua persoalan ini. Se-
dangkan dia sendiri belum tahu, seperti apa orang
yang berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa yang telah
menggemparkan Desa Granggang ini, hingga terus-
menerus dicekam rasa ketakutan.
"Aku tahu jawabannya, Kakang...!" sentak Intan ti-
ba-tiba. "Oh, ya..."!" Rangga jadi tersentak kaget. "Apa...?"
"Jawabannya ada pada Ki Anjir."
"Heh..."! Kenapa begitu?"
"Tanyakan saja padanya, Kakang. Aku yakin, Ki An-
jir pasti lebih tahu."
"Hm...."
*** Rangga melihat kalau Intan mempunyai otak cer-
das. Gadis itu seperti bisa melihat sesuatu yang tidak pernah terpikirkan orang
lain. Dan pembicaraannya
bersama Intan sore ini di halaman belakang rumah-
nya, membuat Rangga jadi berpikir keras. Sedangkan
Intan sendiri kelihatan tersenyum-senyum, seperti sedang menguji kecerdasan otak
Pendekar Rajawali Sak-
ti. "Kau sama saja seperti ayah, Kakang. Terlalu me-musatkan perhatian pada si
Malaikat Pencabut Nyawa, tapi tidak mau melirik sedikit pada hal-hal yang
kelihatannya kecil. Padahal, dari sesuatu yang kecil itu bi-sa didapat yang
lebih besar lagi," kata Intan seperti mengejek.
"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, In-
tan," ujar Rangga berterus-terang.
"Sungguh...?" Intan seperti bermain-main.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Pende-
kar Rajawali Sakti memang benar-benar tidak mengerti
semua yang dikatakan gadis itu. Kata-ka- tanya seperti tengah memberi persoalan
baru yang tidak kalah ru-mitnya. Dan Intan malah tersenyum lebar, namun be-
gitu manis. "Katakan, Intan. Apa maksudmu...?" pinta Rangga.
"Heran.... Padahal, Ki Anjir mengatakannya di de-
panmu dan yang lainnya. Juga, ayah. Tapi, kenapa tidak ada yang bisa
memahami..." Sedangkan aku yang
hanya mendengar dari cerita Paman Adong saja, sudah bisa tahu," ujar Intan masih
bermain-main. "Apa yang dikatakan Ki Anjir?" tanya Rangga ingin
tahu. "Kau tidak ingat apa yang dikatakannya, Ka-
kang...?" Rangga menggelengkan kepala saja.
"Waktu pertama kali ayah menemuimu dan Ki Anjir
di perbatasan desa, dan setelah kau berada di sini bersama Ki Anjir. Pasti kau
ingat, apa yang dikatakan-
nya," kata Intan lagi.
Rangga terdiam merenung. Keningnya terlihat ber-
kerut cukup dalam, berusaha mengingat-ingat perka-
taan Ki Anjir, dan yang sudah didengarnya. Sesat kemudian, Pendekar Rajawali
Sakti menatap tajam wajah Intan. Maka gadis itu jadi tersipu, dan cepat-cepat
memalingkan wajahnya yang tiba-tiba saja jadi memerah.
Saat itu terdengar suara ayunan langkah kaki yang
ringan sekali. Rangga memalingkan wajah perlahan-
lahan, dan segera berdiri begitu melihat Ki Langkas datang menghampiri bersama
Ki Anjir dan Pandan Wan-
gi. Rangga juga cepat-cepat berdiri, setelah mengetahui ada yang datang.
"Kakang, Ki Anjir sudah menemukan tempat per-
sembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa," kata Pan-
dan Wangi langsung memberi tahu, begitu dekat den-
gan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh, ya..." Di mana...?" tanya Rangga agak terkejut.
"Sebelah timur dari desa ini. Adanya di dalam hu-
tan, masuk ke dalam lembah kecil," sahut Ki Anjir.
"Hm, lalu...?"
"Aku akan segera ke sana. Julak masih ada di sana
mengawasi," sahut Ki Anjir lagi.
"Tapi aku mengusulkan agar kita pergi bersama-
sama, Kakang," selak Pandan Wangi.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, ya.... Memang itu lebih bagus lagi," sahut
Rangga langsung menyetujui.
"Aku ikut..!" selak Intan cepat.
"Tidak! " sentak Ki Langkas langsung tegas.
Intan langsung memberengut. Gadis itu tidak bisa
lagi memaksa, melihat raut wajah ayahnya agak me-
merah dan kedua bola matanya mendelik, seperti hen-
dak melesat keluar. Dia tahu, kalau raut wajah ayahnya sudah seperti itu, tidak
mungkin lagi bisa didesak.
Walaupun, dengan sikap dan rayuan manja.
"Sudah sore. Sebaiknya segera saja kita berangkat
ke sana," ujar Ki Langkas sambil melirik tajam anak gadisnya.
"Memang itu keinginanku, Ki. Aku khawatir pada
Julak," sahut Ki Anjir.
"Ayolah," ajak Ki Langkas lagi.
Tanpa bicara lagi, mereka bergegas melangkah me-
ninggalkan halaman belakang rumah kepala desa itu.
Tinggallah Intan yang masih tetap berdiri mematung
dengan wajah memberengut kesal. Ingin sekali dia
ikut, tapi ayahnya sudah tegas-tegas melarang. Dan
dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun hatinya begitu kesal.
*** Matahari terus merayap semakin tenggelam ke arah
barat. Cahayanya tidak lagi terik seperti siang tadi. Ki Langkas yang mengikuti
Ki Anjir yang berjalan lebih dulu. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan Desa
Granggang, dan kini menerobos hutan yang cukup le-
bat. "Masih jauh tempatnya, Ki?" tanya Pandan Wangi
seperti tidak sabar lagi.
"Sebentar lagi," sahut Ki Anjir.
Dan memang, tidak lama mereka berjalan, tibalah
di sebuah tempat yang cukup lapang. Pepohonan tidak lagi rapat seperti tadi. Dan
di sana Julak sudah menunggu bersama dua orang pemuda yang membawa
senjata golok. Mereka langsung menyongsong begitu Ki Anjir datang.
"Dia masih di dalam, Julak?" tanya Ki Anjir lang-
sung. "Tidak ada yang keluar dari gubuk itu sejak tadi,
Ki," sahut Julak, seraya menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil yang berada di
pinggir lembah.
Semua mata langsung mengarah ke gubuk itu. Me-
mang cukup tersembunyi letaknya, karena hampir ter-
tutup batu-batuan yang banyak berserakan di sekitar lembah kecil ini. Dan
kelihatanya, tidak terlalu sulit untuk mencapai ke sana, karena hanya
menyeberangi lembah yang penuh batu saja. Dan kehadiran mereka
juga tidak akan terlihat dari gubuk itu, jika mendekati secara sembunyi-sembunyi
dari balik batu-batu besar yang banyak terdapat di sana. Dan diam-diam, Rangga
mengamati keadaan sekitar lembah itu.
"Kau tidak salah, Ki?" tanya Rangga seperti ragu-
ragu. "Bukan hanya aku saja yang melihat Malaikat Pen-
cabut Nyawa masuk ke dalam gubuk itu. Mereka juga
melihatnya," sahut Ki Anjir seraya menunjuk Julak
dan dua orang pemuda yang bersamanya.
"Benar," sahut Julak. "Dia masuk ke sana."
"Dan sampai sekarang, dia belum kelihatan keluar
lagi," sambung seorang pemuda yang berdiri di sebelah kanan Julak.
"Bagaimana, Rangga...?" tanya Ki Langkas.
"Aku akan melihat ke sana," selak Ki Adong yang
sejak dari rumah Ki Langkas tadi diam saja.
Tanpa menunggu jawaban lagi, laki-laki tua berju-
bah putih yang memang sudah berang terhadap per-
buatan si Malaikat Pencabut Nyawa, langsung saja melesat cepat menghampiri gubuk
kecil di seberang lembah yang ada di tengah-tengah hutan ini.
Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti tidak
terpengaruh oleh usianya yang sudah lanjut. Begitu ringannya, sehingga seakan-
akan kedua kakinya tidak lagi menjejak bebatuan yang banyak tersebar di lembah
ini. Dan sebentar saja, Ki Adong sudah berada dekat di depan gubuk itu.
Sementara yang lain mulai
bergerak mendekati perlahan-lahan. Tampak Rangga
berjalan paling depan, diikuti Ki Langkas dan Ki Anjir.
Sedangkan Pandan Wangi dan yang lain mengikuti dari belakang. Suasana tegang
begitu terasa menyelimuti
mereka semua. Sementara, Ki Adong sudah berdiri tegak sekitar ti-
ga batang tombak di depan gubuk kecil yang bera-
tapkan daun-daun ilalang kering itu. Tangan kanan-
nya sudah meraba pedangnya, walaupun belum terca-
but dari warangka yang tergantung di pinggang.
"Kisanak yang ada di dalam, keluarlah...!" seru Ki
Adong dengan suara keras, disertai sedikit pengerahan
tenaga dalam. Suara orang tua itu bergema ke seluruh lembah ini.
Tapi sedikit pun tidak terdengar jawaban, sampai sua-ra Ki Adong lenyap dari
pendengaran. Dan suasana
kembali sunyi terbalut ketegangan. Sementara, Rangga sudah berada tidak seberapa
jauh lagi di belakang Ki Adong. Ayunan langkah kakinya berhenti diikuti yang
lainnya. "Malaikat Pencabut Nyawa...!"
Belum lagi Ki Adong selesai berteriak, tiba-tiba sa-ja....
Wusss...! "Heh..."! Upts...!"
Cepat-cepat Ki Adong memiringkan tubuhnya ke
kanan, begitu terlihat secercah cahaya keperakan meluncur cepat ke arahnya.
Cahaya keperakan dari se-
buah benda kecil berbentuk pisau lewat sedikit di
samping tubuh Ki Adong, dan terus meluncur cepat ke belakangnya.
Rangga yang berada tepat di belakang orang tua itu
tetap berdiri tegak, tapi tangan kirinya bergerak begitu cepat. Langsung
ditangkapnya pisau bercahaya keperakan itu dengan gerakan tangan kirinya yang
manis sekali. Kini, pisau yang meluncur deras dari dalam gubuk kecil tadi berhasil
ditangkap dua jari tangan kiri Rangga.
"Gila...! Dia langsung main kasar!" dengus Ki Lang-
kas yang sempat terkejut juga tadi.
"Malaikat Pencabut Nyawa...! Keluar kau! Tempat
ini sudah terkepung...!" seru Ki Adong lagi, lebih keras suaranya daripada
sebelumnya. Tetap tidak terdengar jawaban sedikit pun juga.
Dan beberapa saat suasana kembali sunyi, tanpa ada
seorang pun yang bersuara. Bahkan mereka seperti
menahan napas. Hanya Rangga saja yang kelihatannya
begitu tenang. Beberapa kali diamatinya pisau kecil keperakan yang tadi berhasil
ditangkapnya dengan
dua jari tangan. Kemudian, dilemparkannya pisau ke-
cil itu tidak jauh darinya.
"Biar aku yang melihat ke dalam, Ki," pinta Rangga.
Ki Adong berpaling ke belakang sedikit. Ditatapnya
Ki Langkas. Kemudian kakinya bergeser ke kanan be-
berapa langkah, setelah melihat anggukan kepala Ki
Langkas. Rangga langsung saja melangkah ke depan,
sampai melewati laki-laki tua berjubah putih yang me-nyandang sebilah pedang di
pinggang. Rangga terus berjalan perlahan-lahan. Ayunan ka-
kinya ringan sekali, seakan-akan berjalan di atas permukaan tanah berbatu ini.
sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi pintu yang tertutup rapat. Dan
Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal
sekitar lima langkah lagi dari pintu gubuk kecil itu.
"Hup!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melompat
tinggi ke udara. Lalu, dia menukik tajam sekali ke atas atap gubuk kecil, dan
dengan manis sekali hinggap di atas atap. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak bersuara saat kedua kakinya menjejak atap
yang terbuat dari rumput ilalang kering itu. Tapi baru saja Pendekar Rajawali
Sakti menjejakkan kakinya, mendadak saja....
Brusss! "Heh"! Hup...!"
Rangga jadi terkejut. Begitu tiba-tiba atap yang dipijaknya jebol seperti
terhantam sesuatu dari bawah.
Cepat tubuhnya melenting ke udara, sehingga tidak
sampai terkena bagian atap yang hancur berantakan
itu. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di
tanah, tepat sekitar lima
langkah lagi di depan pintu gubuk kecil itu.
"Hhh...!"
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan
nafasnya, mendadak....
Glarrr! "Heh"! Hup!"
*** 6 Kembali Rangga jadi tersentak kaget setengah mati,
begitu tiba-tiba gubuk di depannya meledak, memper-
dengarkan suara keras menggelegar. Bahkan tanah
yang dipijaknya jadi bergetar bagai diguncang gempa.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang, sambil berputaran
beberapa kali. Kepingan-kepingan gubuk yang hancur itu berteba-
ran di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tampak api menyemburat membubung
tinggi ke angkasa, disertai kepulan awan hitam yang begitu tebal seperti ja-mur.
Setelah beberapa kali berputaran di udara, Rang-ga kembali menjejakkan kakinya
di tanah dengan rin-
gan dan indah sekali.
"Huh...!"
Rangga jadi mendengus, melihat gubuk itu sudah
hancur berkeping-keping. Sungguh Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu, apa yang menyebabkan gubuk itu ja-di hancur. Untung saja
tubuhnya cepat melesat ke belakang, sehingga tidak sampai terkena pecahan gubuk
itu. Bukan hanya Rangga saja yang terkejut, tapi juga mereka yang berada cukup
jauh dari situ juga tersentak kaget Mereka langsung berlarian menghampiri pe-
muda yang selalu mengenakan berbaju rompi putih
ini. "Apa yang terjadi, Rangga?" tanya Ki Langkas langsung, begitu dekat dengan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah...," sahut Rangga agak mendesah. "Aku
sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja gubuk itu hancur."
"Aneh," desis Pandan Wangi agak menggumam.
Sementara itu, Ki Anjir dan Ki Adong sudah berada
dekat dengan puing-puing reruntuhan gubuk itu. Me-
reka tampaknya seperti tengah mencari sesuatu di sa-na. "Ke sini cepat..!"
Tiba-tiba saja Ki Anjir berseru keras, sambil melam-baikan tangan.
Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Langkas bergegas
menghampiri, diikuti Julak dan dua orang pemuda da-
ri Desa Granggang. Sebentar saja, mereka sudah sam-
pai di dekat Ki Anjir berdiri.
"Lihat..."
Ki Anjir menunjuk ke depan. Tampak sebuah lem-
pengan besi baja berbentuk bulat tergeletak di tanah, hampir tertutup kayu-kayu
reruntuhan gubuk ini.
Rangga bergegas menghampiri, dan menyingkirkan
kayu-kayu itu dengan kakinya. Dan setelah seluruh
lempengan besi baja hitam itu terlihat tubuhnya ke-
mudian membungkuk.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengang-
kat lempengan besi baja hitam berbentuk bundar yang ukurannya cukup besar juga.
Dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna,
sedikit demi sedikit lempengan besi baja hitam itu bisa digesernya.
Tampak di balik lempengan besi baja hitam itu ter-
dapat sebuah lubang yang cukup dimasuki satu orang.
Dan lubang itu kelihatannya memiliki tangga yang terbuat dari batu. Sebentar
Rangga melirik yang lainnya, kemudian melangkah masuk ke dalam lubang itu.
Pandan Wangi bergegas mengikuti dari belakang, dis-
usul Ki Langkas, Ki Anjir, Ki Adong, Julak, dan dua orang pemuda dari Desa
Granggang. Sebentar saja,
mereka semua sudah berada di dalam lubang bawah
tanah itu. "Hati-hati, jalannya licin," ujar Rangga memperin-
gatkan. Ternyata, lubang ini cukup dalam juga. Dan dari
tangga-tangga batu yang dipijak, bisa dipastikan kalau bentuk lubang ini
malingkan Semakin jauh masuk ke
dalam, keadaannya semakin bertambah gelap. Hingga
akhirnya, mereka tidak bisa melihat apa pun jua. Tapi, tidak demikian halnya
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung menggunakan aji 'Tatar Netra', sehingga
bi-sa melihat jelas sekali, walaupun keadaan di dalam lubang yang seperti goa
ini begitu gelap.
Mereka terus berjalan perlahan-lahan meniti anak-
anak tangga yang terus turun ke bawah dan berputar.
Sesekali Rangga menoleh ke belakang, memastikan ti-
dak ada yang tertinggal seorang pun juga. Pendekar
Rajawali Sakti terus berjalan di depan sambil tetap mengerahkan aji 'Tatar
Netra', dan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Begitu hati- hati sikapnya. Dia
khawatir, lubang ini memiliki jebakan-jebakan yang bisa saja
mencelakakan mereka semua.
Mereka terus bergerak tanpa ada yang bersuara se-
dikit pun juga. Hingga tarikan napas saja yang bisa
terdengar jelas sekali. Dan setelah cukup lama berjalan, akhirnya Rangga
berhenti. "Kenapa berhenti, Kakang?" tanya Pandan Wangi,
ketika hampir menabrak Pendekar Rajawali Sakti. Un-
tung saja, Rangga cepat merentangkan tangannya ke
belakang, sehingga menyentuh bagian dada Pandan
Wangi yang membusung indah.
"Kau tunggu dulu di sini. Juga yang lain," kata
Rangga meminta.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja.
Rangga segera melangkah maju, dengan sikap masih
terlihat hati-hati sekali. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna
dikerahkan, hingga ayunan
langkah kakinya tidak terdengar sedikit pun juga. Setelah melewati satu belokan,
akhirnya Pendekar Rajawali Sakti tiba di sebuah ruangan yang sangat luas
dan terang-benderang.
Bagian atas ruangan itu terbuka lebar, sehingga ca-
haya matahari leluasa menerobos masuk ke dalam
ruangan ini. Tidak ada yang bisa didapat, selain ruangan luas yang dinding-
dindingnya terbuat dari tanah bercampur batu. Sedikit Rangga mendongakkan kepala
ke atas. Cukup tinggi juga untuk mencapai ke atas sa-na, karena dibutuhkan
pengerahan ilmu meringankan
tubuh yang lumayan.
"Ke sini kalian...!" seru Rangga keras.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara Pendekar Rajawali Sakti yang keras, meng-
gema hingga hampir menggetarkan seluruh dinding-
dinding ruangan ini. Kembali Rangga mengedarkan
pandang ke sekeliling, memeriksa kalau-kalau ada sesuatu di ruangan ini. Tapi,
tak juga ditemukan apa-
apa. Ruangan berbentuk lingkaran luas ini benar-
benar kosong, seperti sebuah dasar kawah. Dan saat
itu, Pandan Wangi serta yang lain sudah sampai. Me-
reka tampak terheran-heran begitu menyadari berada dalam sebuah ruangan luas
seperti dasar kawah.
"Di mana ini..." Seperti berada dalam lubang ka-
wah," ujar Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.
Mereka semua mengedarkan pandangan ke sekelil-
ing. Jelas, tidak ada satu pun jalan keluar. Dan satu-satunya jalan, hanya
melompati bagian atas bibir kawah ini. Dan di saat mereka semua mendongakkan ke-
pala ke atas, saat itu juga terlihat seorang pemuda berbaju putih keperakan
tengah berdiri tegak di pinggiran bibir lubang besar bagai lubang kawah ini.
"Malaikat Pencabut Nyawa...," desis Ki Anjir lang-
sung mengenali.
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian semua...!"
Terdengar keras sekali suara pemuda berbaju putih
keperakan yang dikenali sebagai si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Sikapnya begitu
pongah. Kedua tangannya
berkacak pinggang. Senyumnya terkembang lebar dan
sinar matanya memancarkan kepuasan. Seakan-akan
dia berhasil menjebak mereka yang berada di bawah
lubang yang sangat lebar ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Malaikat Pencabut Nyawa menghen-
takkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu
juga, dari telapak tangannya meluncur secercah ca-
haya putih keperakan yang langsung menghantam ba-
gian dinding lubang ini.
Glarrr...! Ledakan keras seketika terdengar bersamaan den-
gan hancurnya dinding lubang ini. Tampak batu-batu
berguguran. Dan dari bekas hantaman pukulan jarak
jauh itu, terlihat cairan merah kental yang mengeluarkan api.
"Lahar...!" desis Ki Langkas tersentak kaget seten-
gah mati. Bukan hanya Ki Anjir saja yang terkejut, tapi yang
lain juga jadi tersentak begitu menyadari dari bagian dinding yang dijebol tadi
keluar cairan lahar.
Sungguh mereka baru menyadari kalau saat ini be-
rada di bagian lubang kawah anak Gunung Grang-
gang. Sementara itu, Malaikat Pencabut Nyawa sema-
kin congkak memperhatikan lahar yang terus bergerak turun. Sedangkan mereka yang
berada di bawah lubang kawah ini bergegas menepi menjauhi lahar itu.
"Ha ha ha...!"
Sambil memperdengarkan tawa yang keras mengge-
legar, Malaikat Pencabut Nyawa cepat sekali melesat pergi. Dalam sekejap mata
saja, pemuda itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara di dalam lubang,
tidak ada seorang pun yang bisa lagi berbuat sesuatu, cairan lahar itu terus
merambat semakin dekat.
*** "Kalian semua cepat naik ke atas batu itu...!" seru
Rangga tiba-tiba, sambil menunjuk ke sebongkah batu yang cukup besar, berada
agak ke tepi dari lubang kawah ini.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka semua
bergegas berlompatan naik ke atas batu itu. Sementa-ra, Rangga masih tetap
berdiri pada tempatnya.
"Rangga! Kenapa kau masih di situ...?" teriak Ki
Langkas. Namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak men-
dengar teriakan kepala desa tadi. Dia tetap berdiri tegak, memandangi lahar yang
terus bergerak menyem-
burkan api dan asap berbau belerang. Lahar itu terus
merayap, bergerak perlahan-lahan semakin mendekati
Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebentar kemudian, terlihat pemuda berbaju rompi
putih itu mendongakkan
kepala ke atas.
"Tidak ada jalan lain. Hanya Rajawali Putih yang bi-sa mengeluarkan kita
semuanya dari sini...," gumam
Rangga perlahan.
Saat itu juga....
"Suiiit...!"
Dari bibir Rangga yang membentuk bulatan kecil itu
terdengar siulan yang sangat nyaring melengking ting-gi. Nadanya terdengar
begitu aneh, tapi sama sekali tidak menyakitkan telinga yang mendengarnya.
Tinda- kan Pendekar Rajawali Sakti tentu saja tidak dapat
dimengerti. Hanya Pandan Wangi saja yang tahu kalau Rangga sedang memanggil
Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa yang berbulu putih keperakan.
Cukup lama juga Rangga menunggu, tapi Rajawali
Putih belum juga kelihatan bayangannya. Sementara,
lahar yang keluar dari dalam lubang di dinding itu semakin dekat saja ke arah
pemuda ini. Sementara bau
belereng sudah menguasai seluruh lubang sumur ini.
Begitu menyesakkan, membuat pernapasan jadi ter-
sengal. "Suiiit..!"
Kembali Rangga bersiul nyaring. Dan kali ini, si-
ulannya terdengar lebih panjang dan lebih nyaring.
Kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak ke atas menatap langit yang mulai
menghitam kelam. Saat itu,
memang malam sudah datang menyelimuti sebagian
permukaan bumi ini.
"Khraaagkh...!"
"Oh..."!"
"Heh, suara apa itu..."!"
Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan tidak ter-
kejut, dan tenang sekali mendengar suara keras dan
serak tadi. Sementara, Rangga cepat mengangkat tan-
gan kanannya ke atas kepala.
"Cepat pindahkan mereka ke atas, Rajawali...!" seru Rangga keras menggelegar.
"Khraaagkh...!"
Bersamaan terdengarnya suara keras menggelegar
dan serak itu, tiba-tiba saja bertiup hembusan angin yang begitu kencang. Lalu,
disusul terlihatnya sebuah bayangan putih keperakan berkelebat begitu cepat.
Dari angkasa. Dan belum lagi mereka bisa menghi-
langkan rasa keterkejutannya, tahu-tahu....
"Akh"!"
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja Julak dan Ki Langkas memekik keras.
"Hei..."!"
Ki Anjir jadi terkejut setengah mati. Tapi belum juga bisa berbuat sesuatu.
Julak dan Ki Langkas sudah lenyap tanpa dapat diketahui lagi. Namun sebentar ke-
mudian, kembali orang tua itu jadi tersentak kaget
Dua orang pemuda yang tadi bersama Julak tiba-tiba
juga lenyap, bersamaan kelebatan bayangan putih ke-
perakan yang melesat secepat kilat
"Ada apa ini...?" tanya Ki Anjir tidak mengerti.
"Sahabat Kakang Rangga sedang menyelamatkan
kita semua, Ki," jelas Pandan Wangi.
"Maksudmu...?"
Belum lagi pertanyaan Ki Anjir bisa terjawab, tiba-
tiba saja terlihat sebuah bayangan putih keperakan
meluncur deras dari angkasa. Dan belum juga laki-laki tua itu bisa menghilangkan
keterkejutannya, mendadak saja terasa ada sesuatu yang mencengkeram kuat
tubuhnya. Lalu, begitu cepat tubuhnya terangkat naik
ke angkasa bersama Ki Adong.
Ki Anjir dan Ki Adong sampai menjerit. Namun begi-
tu jeritannya menghilang, bayangan putih keperakan
Itu kembali meluncur turun. Dan tahu-tahu...
"Khragkh!"
"Hup!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat melesat
naik ke atas punggung rajawali raksasa itu. Pandan
Wangi yang sejak tadi masih berdiri saja di atas batu, juga segera melompat naik
tanpa disuruh lagi.
"Khraaagkh...!"
Wusss! Hanya sekali kepak saja, Rajawali Putih sudah me-
lambung tinggi ke angkasa dengan kecepatan bagai kilat. Dalam sekejap mata saja,
burung rajawali raksasa itu sudah keluar dari dalam lubang kawah ini. Rajawali
Putih terus melambung tinggi ke angkasa membawa
dua pendekar muda dari Karang Setra itu. Sementara
cakarnya mencengkeram baju Ki Adong dan Ki Anjir.
Tapi tidak berapa lama kemudian, rajawali raksasa
itu sudah menukik kembali dengan kecepatan tinggi
sekali. Sambil memperdengarkan suara keras dan se-
rak menggelegar, Rajawali Putih mendarat ringan. Kedua sayapnya terkembang lebar
ke samping. Sementa-
ra cakarnya melepaskan cengkeraman pada baju Ki
Adong dan Ki Anjir. Sehingga kedua orang tua itu jatuh tersuruk, namun tidak
menimbulkan rasa sakit.
Hanya saja, napas mereka jadi turun naik akibat rasa terkejut yang amat sangat
Rangga dan Pandan Wangi
juga segera melompat turun dari punggung burung ra-
jawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
Mereka mendarat tepat di depan Ki Langkas, Julak,
dan dua orang anak muda yang berdiri terpaku. Mata
mereka memandangi, seperti tengah melihat Dewa
Wisnu yang baru turun ke bumi dari Swargaloka. Sea-
kan-akan, mereka tengah bermimpi. Sampai-sampai
tidak ada yang menyadari kalau Rangga, Pandan Wan-
gi, Ki Adong, dan Ki Anjir sudah berada begitu dekat.
Rangga berpaling sedikit pada Rajawali Putih yang
masih mendekam tidak seberapa jauh di belakangnya.
Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu mengkirik perlahan.
"Pergilah, Rajawali. Terima kasih, atas pertolon-
ganmu pada kami semua," ucap Rangga.
"Khrrr...!"
"Jangan cemas, Rajawali. Aku tahu, apa yang harus
kulakukan," kata Rangga seperti bisa mengerti.
"Khraaagkh...!"
Setelah memperdengarkan suara yang keras dan se-
rak memekakkan telinga, Rajawali Putih langsung
mengepakkan sayapnya yang sangat lebar. Dan seke-
jap mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa,
lalu lenyap ditelan gelapnya malam yang sudah menyelimuti seluruh permu-
kaan Gunung Granggang ini.
"Ayo, kita kembali ke desa," ajak Rangga.
Seperti tidak mempedulikan keheranan mereka se-
mua, Rangga diikuti Pandan Wangi langsung saja me-
langkah meninggalkan tempat ini, kembali menuju ke
Desa Granggang. Sementara, Ki Langkas dan yang
lain, masih tetap diam mematung. Seakan-akan, me-
reka belum tersadar dari mimpi yang membuatnya jadi terlongong bengong seperti
itu. Mereka baru bisa bergerak, setelah Rangga dan Pandan Wangi cukup jauh
berjalan meninggalkan mereka.
Ki Langkas yang lebih cepat tersadar, bergegas ber-
jalan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian
ayunan langkah kakinya disejajarkan di samping pe-
muda berbaju rompi putih itu. Sementara, Pandan
Wangi memperlambat jalannya, hingga bersama-sama
yang lain di belakang.
"Kau seperti kebingungan, Ki. Ada yang ingin kau
tanyakan, Ki...?" Rangga seperti tahu, apa yang ada dalam benak kepala desa itu.
"Ng..., itu...," Ki Langkas tidak bisa melanjutkan.
"Rajawali Putih...?" tebak Rangga langsung.
Ki Langkas hanya menganggukkan kepala saja. Se-
dangkan Rangga tersenyum kecil. Belum banyak orang
yang tahu kalau Rangga memiliki sahabat seekor bu-
rung rajawali raksasa yang bukan saja menjadi tung-
gangannya, tapi juga gurunya. Rangga bisa memaklu-
mi kalau Ki Langkas meminta penjelasan tentang Ra-
jawali Putih. Sementara di belakang, Ki Anjir juga meminta pen-
jelasan tentang Rajawali Putih pada Pandan Wangi.
Dan gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu juga hanya tersenyum saja. Dia hanya
mengatakan, Rangga saja
yang bisa menjelaskan. Gadis itu memang tidak ingin banyak bicara mengenai
Rajawali Putih, karena takut kalau salah bicara. Walaupun agak kecewa, tapi Ki
Anjir menuruti saja anjuran si Kipas Maut. Bergegas dihampirinya Rangga yang
berjalan di depan bersama Ki Langkas. Kini Pendekar Rajawali Sakti diapit dua
orang laki-laki tua di kanan dan kirinya.
Dan Rangga tidak bisa lagi mengelak saat didesak
untuk menceritakan tentang burung rajawali raksa-
sanya. Namun jelas sekali kalau hatinya merasa canggung menceritakannya. Tapi,
itu sudah membuat Ki
Langkas dan Ki Anjir jadi kagum. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang
bersahabat dengan seekor burung raksasa. Bahkan bisa menungganginya.
"Kau pasti mempunyai julukan di kalangan rimba
persilatan, Rangga. Kalau boleh tahu, apa julukan-
mu...?" Ki Langkas jadi ingin semakin tahu tentang diri anak muda yang kini
sangat dikaguminya.
"Apakah itu penting, Ki?" Rangga malah balik ber-
tanya. "Bagi orang-orang yang berkecimpung dalam rimba
persilatan, julukan sangat penting artinya," kata Ki Langkas bernada mendesak.
"Ah.... Entahlah, Ki," desah Rangga merasa sung-
kan. "Katakan saja, Rangga. Apa nama julukanmu...?" Ki
Anjir ikut mendesak.
Rangga terdiam beberapa saat. Terasa sekali kalau
julukannya tidak ingin disebutkan. Entah kenapa,
Pendekar Rajawali Sakti tidak mau dikatakan ingin
menyombongkan diri dengan memperkenalkan julu-
kannya. Baginya, sebuah julukan hanya digunakan
orang-orang yang ingin membuat hati lawannya jadi
gentar. Tapi Rangga tidak mengingkari, kalau dirinya justru julukannya itu yang
lebih dikenal. Dan dia yakin, kedua orang tua ini pasti sudah mendengar
julukannya. Hanya saja, mereka belum pernah saling ber-
jumpa, sehingga tidak bisa mengenali kalau yang di-
hadapinya sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar muda
yang sangat tangguh dan digdaya, dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba
persilatan. Mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan akan berpikir
berulang-ulang kali kalau ingin menghadapinya. Rang-ga memang sangat disegani.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan hanya oleh golon-
gan putih, tapi juga oleh orang-orang golongan hitam.
"Kakang Rangga tidak pernah mau mengatakan ju-
lukannya, Ki...," tiba-tiba saja Pandan Wangi menyelak dari belakang.
Ki Anjir dan Ki Langkas langsung berpaling ke bela-
kang, menatap gadis yang dikenal berjuluk d Kipas
Maut itu. Pandan Wangi mempercepat ayunan langkah
kakinya, hingga kini berada di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,"
jelas Pandan Wangi.
"Pendekar Rajawali Sakti..."!"
Bukan hanya Ki Anjir yang terkejut, tapi juga Ki
Langkas jadi tersentak kaget begitu mengetahui kalau pemuda ini bergelar
Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan mereka yang berjalan di belakang sampai
berhenti dan terjingkat Tidak ada yang menyangka kalau pemuda tampan berbaju
rompi putih yang sangat
sederhana itu justru seorang pendekar besar yang sudah sangat ternama dan
disegani di kalangan rimba
persilatan. *** 7 Menjelang tengah malam, mereka baru tiba di Desa
Granggang. Keadaan desa itu kelihatan sangat sunyi, tidak ada seorang pun
terlihat berada di luar rumahnya. Sejak terjadi beberapa pembunuhan yang mene-
waskan lima orang pemuka desa itu, tidak ada lagi
penduduk yang mau keluar dari dalam rumahnya ka-
lau sudah malam. Hingga, keadaan desa itu jadi seper-ti desa mati yang tidak
berpenghuni lagi.
Mereka langsung menuju rumah Ki Langkas yang
kelihatan terang-benderang. Tapi, tidak terlihat ada seorang pun di sekitar
rumah itu. Keadaan yang san-
gat sunyi ini, membuat hati Rangga jadi bertanya-
tanya. Saat itu juga, timbul satu kecurigaan dalam hatinya.
"Berhenti dulu...," pinta Rangga, begitu mereka
hampir memasuki pintu pagar halaman rumah yang
terbuat dari bambu.
Mereka langsung berhenti, tanpa membuka suara
sedikit pun juga. Di dalam hati masing-masing juga
sudah dipenuhi kecurigaan oleh keadaan yang sangat
sunyi seperti ini. Saat semua terdiam membisu, tiba-tiba saja Ki Langkas
tersentak.... "Mau ke mana, Ki..."!"
Rangga langsung mencekal pergelangan tangan ke-
pala desa itu, ketika baru saja hendak melangkah.
"Anakku.... Intan ada di dalam bersama ibunya,"
kata Ki Langkas bernada cemas.
"Oh..."!"
Rangga jadi tersedak. Baru dia ingat kalau Ki Lang-
kas meninggalkan anak dan istrinya di rumah. Tanpa
disadari, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangannya. Tapi, Ki Langkas
hanya memandangi saja,
seakan ingin agar pemuda itu melakukan sesuatu.
"Kalian tunggu di sini. Jangan ada yang mendekati
rumah," kata Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti
langsung saja melesat mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga dalam sekap mata saja Pendekar Rajawali
Sakti sudah berada dalam beranda rumah kepala desa
itu, tepat di depan pintu yang tertutup rapat. Perlahan Rangga melangkah
mendekati pintu.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menajamkan te-
linga, mencoba mendengarkan sesuatu dari dalam.
Dengan mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara',
dia mendengar tarikan-tarikan napas yang agak mem-
buru dari dalam rumah ini. Sulit untuk bisa menerka, berapa orang yang ada di
dalam. Namun dia tahu, di
antara tarikan-tarikan napas itu terdengar tarikan napas yang sangat halus, dan
hampir saja tidak tertangkap pendengarannya.
"Hm...."
Perlahan Rangga menjulurkan tangannya, mendo-
rong pintu yang tertutup rapat itu. Kewaspadaannya
semakin meningkat, saat mengetahui kalau pintu itu
tidak terkunci. Pintu itu terus didorong perlahan-lahan sampai terbuka lebar.
Tapi, tidak terlihat seorang pun di balik pintu ini, kecuali hanya ruangan depan
yang cukup luas dan terang-benderang oleh nyala api sebuah pelita yang
tergantung di tengah-tengah.
"Intan...," panggil Rangga dengan suara agak ter-
dengar pelan. Tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Rangga
mulai mengayunkan kakinya perlahan-lahan memasu-
ki rumah ini. Tapi baru saja melewati ambang pintu, mendadak saja sesosok tubuh
terlihat meluncur deras ke arahnya, dari balik pintu penyekat ruangan depan
dengan ruangan tengah ini.
"Hap...!"
Rangga cepat-cepat memiring ke kiri, sehingga so-
sok tubuh itu tidak sampai menghantam tubuhnya.
Sosok tubuh itu langsung menghantam daun pintu
yang terbuka hanya setengah. Begitu keras sekali, sehingga daun pintu itu sampai
hancur berkeping-
keping. Sedangkan sosok tubuh itu langsung jatuh
terguling di lantai.
"Heh..."!"
Kelopak mata Rangga jadi terbeliak lebar begitu me-
lihat sosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan
tepat pada bagian tengah kepala dan keningnya tam-
pak terbelah. Darah juga masih mengucur deras seka-
li, pertanda orang itu belum lagi lama mati. Melihat lu-ka yang menganga lebar
dan hampir membelah kepala
menjadi dua bagian, Rangga langsung tahu kalau ru-
mah kepala desa ini sudah dikuasai Malaikat Pencabut Nyawa.
Rangga tahu, anak muda yang menggeletak tak
bernyawa itu adalah salah seorang penjaga rumah Ki
Langkas. Seketika darahnya jadi bergolak mendidih.
Perasaannya sudah tidak tahan lagi melihat kekeja-
man Malaikat Pencabut Nyawa. Dengan wajah meme-
rah menahan kemarahan, Pendekar Rajawali Sakti me-
langkah mantap melintasi ruangan depan yang cukup
luas ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, kembali terlihat sesosok
tubuh melayang deras ke
arahnya. "Keparat! Hih...!"
Rangga jadi mendesis geram, melihat perbuatan si
Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan dengan cepat Pen-
dekar Rajawali Sakti menghindari terjangan tubuh
yang sudah tidak bernyawa. Jadi, sudah dua orang dilemparkannya dalam keadaan
tidak bernyawa lagi.
"Hap! Yeaaah...!"
Kemarahannya benar-benar sudah memuncak
sampai ujung kepalanya. Tanpa menghiraukan lagi ka-
lau sedang berada di rumah kepala desa, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja
menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.
Slap! Seketika itu juga, dari kedua tangannya yang ter-
kepal meluncur cahaya merah menyala bagai api. Dan
cahaya merah itu langsung meluruk deras bagai kilat menerobos pintu penyekat dua
ruangan ini. Dan....
Glarrr! Terdengar ledakan dahsyat, sehingga membuat se-
luruh dinding rumah ini jadi bergetar bagaikan hendak roboh. Tampak kilatan api
menyemburat dari dalam
ruangan itu. Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah. Dan pada saat itu
juga tubuhnya langsung
melesat ke atas menjebol atap, begitu telinganya mendengar desir angin yang
sangat halus dari bagian tengah rumah ini.
"Hiyaaa...!"
Brak! Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat bagai kilat
keluar dengan menjebol atap. Tepat pada saat itu, sebuah bayangan putih
keperakan juga melesat keluar
menjebol atap. Tampak dua sosok tubuh melayang di
udara secara bersamaan. Dan hampir berbarengan pu-
la, mereka menjejakkan kaki di atas atap rumah kepa-la desa ini.
"Hap!"
Rangga langsung menyilangkan tangan kanannya
ke depan dada, begitu melihat di depannya telah berdiri seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahunan. Bajunya putih keperakan yang cukup ketat Wajahnya
terlihat cukup tampan, tapi memiliki sorot mata dan senyuman yang memancarkan
kekejaman. Sret! Cring! Saat itu juga, pemuda yang tidak lain si Malaikat
Pencabut Nyawa itu mencabut pedangnya. Seketika
membersitlah cahaya putih keperakan dari pedang itu.
Rangga sedikit melangkah ke belakang dua tindak, karena sudah merasakan
bagaimana dahsyatnya pedang
itu. "Huh! Rupanya kau masih bisa hidup juga...!" den-
gus Malaikat Pencabut Nyawa dingin menggetarkan.
"Dewata belum mengizinkan aku mati, sebelum kau
pergi ke neraka," sambut Rangga tidak kalah dingin-
nya. "Phuih! Akan kulihat, sampai di mana kemam-
puanmu, Setan Keparat!" dengus Malaikat Pencabut
Nyawa. Rangga hanya tersenyum sinis saja. Perlahan ka-
kinya bergeser ke kanan, bersamaan bergeraknya kaki si Malaikat Pencabut Nyawa
ke kiri. Jarak mereka
hanya sekitar setengah batang tombak saja.
Sehingga sorot mata mereka bisa memancar lang-
sung saling menatap, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian lawan masing-
masing. "Hap! Yeaaah...!"
Wuk! Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pen-
cabut Nyawa mengebutkan pedangnya ke depan.
Rangga mengira kalau lawannya hendak menyerang,
hingga cepat menarik kakinya ke belakang satu lang-
kah. Tapi, ternyata si Malaikat Pencabut Nyawa hanya menggertak saja.
Dan pada saat Rangga sempat terjebak itu, dengan
kecepatan kilat Malaikat Pencabut Nyawa menge-
butkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga, dari tangan kirinya mengulur dua
buah benda berbentuk
pisau kecil berwarna putih keperakan, langsung meluruk deras bagai kilat ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap...!"
Tapi hanya mengegoskan tubuh sedikit saja, Rang-
ga bisa menghindari serangan gelap Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan belum juga
tubuhnya bisa ditegakkan
kembali, cepat bagai kilat si Malaikat Pencabut Nyawa sudah melompat sambil
mengebutkan pedangnya ke
arah kepala Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rangga menarik kepalanya ke bela-
kang, sehingga tebasan pedang bercahaya keperakan
itu tidak sampai membelah kepalanya, dan hanya le-
wat sedikit saja di depan wajahnya. Rangga segera menarik kakinya ke belakang
satu langkah, sebelum si
Malaikat Pencabut Nyawa melancarkan serangan lagi.
"Hup! Hiyaaat...!"
Rupanya, Malaikat Pencabut Nyawa tidak sudi lagi
memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti itu untuk menyiapkan serangan.
Begitu Rangga menarik
kakinya selangkah, cepat sekali pedangnya diputar
sambil melompat ke depan.
"Hap!"
Rangga segera meliukkan tubuhnya, menghindari
tebasan pedang yang bergerak secara berputar dengan cepat itu. Lalu tubuhnya
segera melenting ke udara, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa membabatkan
pedangnya ke arah kaki.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat, Rangga meluruk deras dengan kedua
kaki bergerak cepat pula, mengarah ke bagian atas kepala si Malaikat Pencabut
Nyawa. Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet! "Hup!"
Rangga cepat-cepat menarik kakinya, begitu Malai-
kat Pencabut Nyawa memutar pedangnya ke atas ke-
pala. Dan pada saat itu juga, tubuhnya berputar hing-
ga kepalanya berada di bawah, sedangkan kakinya te-
gak lurus ke atas. Dan seketika itu juga, dilepaskannya satu pukulan dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Ra-
jawali'. "Hiyaaa...!"
"Ikh...!"
Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak kaget se-
tengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang,
menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga tanpa
dapat diduga sama sekali.
"Hap!"
Rangga segera menjejakkan kakinya kembali di atas
atap rumah Ki Langkas ini, begitu pukulannya tidak
mencapai sasaran. Dan pada saat itu juga, tubuhnya
direndahkan. Lalu, cepat sekali tangannya menghen-
tak ke depan dengan telapak tangan terkembang lebar.
"Yeaaah...!"
Siap! "Heh..."! Hup!"
*** Untuk kedua kalinya, si Malaikat Pencabut Nyawa
jadi tersentak mendapat serangan yang begitu cepat.
Bergegas tubuhnya miring ke kanan, saat dari telapak tangan Rangga meluncur
secercah cahaya merah bagai
api. Pendekar Rajawali Sakti memang mengerahkan ju-
rus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, sehingga tangannya jadi
berwarna merah bagai terbakar.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiyaaat...!"
Begitu terlepas dari maut, Malaikat Pencabut Nyawa
segera melenting ke atas. Lalu, sekali tubuhnya melu-
ruk sambil membabatkan pedang ke arah kepala Pen-
dekar Rajawali Sakti.
Bet! "Haiiit...!"
Rangga cepat-cepat merunduk, hingga tebasan pe-
dang bercahaya keperakan itu hanya lewat sedikit saja di tas kepala. Lalu cepat-
cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, tepat di saat si Malaikat
Pencabut Nyawa menjejakkan kakinya kembali di atas atap ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Malaikat Pencabut Nyawa melesat tu-
run ke bawah dengan gerakan cepat dan ringan sekali.
Rangga yang kali ini tidak mau lagi kecolongan, langsung saja melesat mengejar.
Dan hampir bersamaan,
mereka mendarat di tanah, tepat di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa
ini. Sementara Ki Langkas, Ki Adong, Pandan Wangi, Ki
Anjir, dan Julak serta dua orang pemuda sudah bera-
da di dalam halaman rumah kepala desa itu. Tapi, mereka tidak mau mendekati dua
pemuda yang sedang
berdiri tegak berhadapan dengan sikap hendak bertarung. Sejak tadi, mereka tidak
berkedip memperhati-
kan jalannya pertarungan di atas atap. Dan kini, mereka bisa lebih jelas lagi
melihat, setelah kedua pemuda itu sudah berdiri tegak di tanah saling
berhadapan. "Cabut senjatamu, Setan Keparat..!" bentak Malai-
kat Pencabut Nyawa agak kasar terdengar nada sua-
ranya. "Hhh! Aku belum perlu menggunakan senjata...,"
sambut Rangga dingin.
"Phuih! Jangan menyesal kalau kau mampus tanpa
sempat memegang senjata, Keparat!" dengus Malaikat
Pencabut Nyawa geram, merasa diremehkan.
Tapi memang diakui oleh Malaikat Pencabut Nyawa,
kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Rangga sangat tinggi. Hingga, dia
mendapat kesulitan menghadapinya. Belum pernah dialami, pertarungan yang sam-
pai lebih dari lima jurus begini. Dan biasanya, lawan-lawannya sudah gentar
lebih dahulu sebelum pedang-
nya dicabut Tapi menghadapi Rangga, Malaikat Penca-
but Nyawa harus menguras tenaganya. Dan dalam be-
berapa jurus pertarungan di atas atap tadi, sudah
membuat tubuhnya bermandikan keringat.
Selagi mereka berdiri saling berhadapan dan berta-
tapan tajam, tiba-tiba saja terdengar suara yang begitu keras dari arah belakang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Randataka...!"
"Heh..."!"
Malaikat Pencabut Nyawa tampak terkejut begitu
melihat Ki Anjir sudah melangkah menghampiri den-
gan ayunan kaki lebar-lebar dan cepat. Laki-laki tua itu berhenti tepat di
sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kembalikan pedang itu padaku, Randataka. Kau
tidak berhak memilikinya. Sadarlah..., semua tinda-
kanmu itu salah. Kau tidak bisa menguasai dunia
dengan cara seperti itu," bujuk Ki Anjir.
"Menyingkirlah, Ki. Jangan ikut campur urusan-
ku...!" agak keras suara Malaikat Pencabut Nyawa
yang dipanggil Randataka oleh Ki Anjir tadi.
"Jauh-jauh aku datang hanya untuk bertemu den-
ganmu, Randataka. Aku akan mengajakmu pulang,
dan melupakan semua yang telah kau lakukan selama
ini. Ingatlah, Randataka. Istrimu menunggu di rumah,"
desak Ki Anjir, masih bernada membujuk.
"Jangan coba-coba membujukku, Ki. Pergilah...! Bi-
arkan aku menyelesaikan persoalan dulu. Aku janji, akan menyerahkan pedang ini
padamu setelah uru-
sanku selesai di sini," tolak Randataka.
"Ada urusan apa kau di sini, Randataka?" tanya Ki
Anjir jadi ingin tahu.
"Aku sudah bersumpah sejak dulu, Ki. Aku akan
membantai mereka semua yang telah menghina selu-
ruh keluargaku. Bahkan menyebabkan ayah-ibuku,
serta adikku meninggal. Aku akan menagih hutang
pada semua orang di desa ini. Dengar itu, Ki. Aku harus menagih hutang nyawa
keluargaku...!" keras sekali suara Randataka yang selama ini dikenal berjuluk
Malaikat Pencabut Nyawa.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Randataka?" tanya Ki
Anjir lagi, meminta penjelasan.
"Tanyakan saja pada orang tua rakus itu!" dengus
Randataka sambil menuding Ki Langkas dan Ki Adong
yang berdiri berdampingan.
Tampak kedua orang tua itu hanya membisu saja.
Mereka seperti tengah bermimpi, begitu Ki Anjir me-
manggil nama asli si Malaikat Pencabut Nyawa. Sea-
kan-akan, mereka baru tersadar siapa pemuda yang
telah membantai lima orang pemuka desa ini serta beberapa penduduk. Bahkan
sebelum sampai ke desa
ini, Randataka telah membunuh pendekar-pendekar
beraliran putih. Bukan hanya dua tiga orang pendekar yang berhasil
dikalahkannya, tapi sudah puluhan
orang. "Jangan halangi aku, Ki. Mereka berdua harus mati.
Juga, semua orang di desa ini harus mati di tangan-
ku," agak mendesis suara Randataka.
"Sudah cukup kau menyebarkan kematian, Randa-
taka. Kembalilah..., pulang bersamaku," kata Ki Anjir tetap membujuk.
"Jangan membuat kesabaranku hilang, Ki. Ming-
gir...!" bentak Randataka kasar.
"Randataka...!"
"Setan...! Hih!"
Bet! "Awas, Ki...!" seru Rangga. "Hup!"
Cring! Wuk! Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga untuk me-
nyelamatkan nyawa Ki Anjir dari tebasan pedang Ma-
laikat Pencabut Nyawa. Maka dengan kecepatan kilat, pedangnya dicabut dan
langsung dikebutkan untuk
menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.
Trang! "Ikh..."!"
Randataka jadi terpekik kaget. Cepat-cepat dia me-
lompat ke belakang, begitu pedangnya membentur pe-
dang Rangga yang memancarkan cahaya biru terang
berkilauan. Sementara, Rangga cepat melompat ke de-
pan untuk melindungi Ki Anjir yang jadi terpaku oleh perbuatan Randataka barusan
padanya. Sungguh tidak diduga kalau Randataka bisa begitu tega hendak
membunuhnya. "Menyingkirlah, Ki. Biar dia kulumpuhkan," kata
Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Phuih! Setan Keparat...! Mampus kau. Hiyaaat...!"
Randataka jadi geram setengah mati oleh campur
tangannya Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memaki
dan berteriak lantang menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa melesat cepat bagai
kilat sambil membabatkan
pedang ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.
Wuk! "Haiiit..!"
Bet! Cepat Rangga mengebutkan pedang, menangkis sa-
betan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.
Trang! Kembali dua pedang yang berpamor dahsyat ber-
benturan di depan dada Rangga. Dan pada saat itu ju-ga, Pendekar Rajawali Sakti
melompat ke depan seraya membabatkan pedang ke arah kepala Malaikat Pencabut
Nyawa. "Hiyaaa...!"
Bet! "Hup! Yeaaah...!"
Wuk! *** 8 Randataka cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke
atas kepala, menangkis sambaran pedang Pendekar
Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang
berkilauan. Dan kembali pedang mereka beradu keras, hingga menimbulkan percikan
bunga api yang menyebar ke segala arah.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh
lima langkah. Sementara, Randataka melenting ke be-
lakang dan berputaran tiga kali di udara, sebelum kakinya menjejak tanah lagi.
"Hap!"
Dengan pedang masih tergenggam di tangan kanan,
Randataka mulai mengerahkan sebuah ilmu kesaktian.
Sementara, Rangga juga sudah menyilangkan pedang-
nya di depan dada. Lalu, perlahan-lahan telapak tangan kirinya digosokkan pada
mata Pedang Pusaka Ra-
jawali Sakti. Dari gerakannya itu, sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Rajawali
Sakti tengah mengerah-
kan sebuah aji kesakitan yang selama ini sukar dicari tandingannya. Aji 'Cakra
Buana Sukma' yang sangat
dahsyat, dan belum pernah ada yang bisa mengalah-
kannya. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka
yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut
Nyawa menghentakkan pedangnya ke depan. Dan se-
cara bersamaan, tangan kirinya juga dihentakkan. Dan dari mata pedang serta
telapak tangan kirinya, seketika itu juga memancar cahaya putih keperakan yang
menyilaukan mata. Namun bersamaan dengan itu....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Slap! Begitu Rangga menghentakkan pedang ke depan,
saat itu juga melesat cahaya biru berkilauan yang
menggumpal menghambat laju cahaya putih kepera-
kan yang memancar dari pedang dan telapak tangan
kiri Malaikat Pencabut Nyawa. Hingga pada titik tengah, kedua cahaya dahsyat itu
bertemu. Dan....
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat seketika terdengar bagaikan
hendak memecahkan seluruh alam ini. Tampak kilatan
api menyambar ke segala arah, disertai kepulan asap putih dan biru membubung
tinggi di angkasa. Saat itu juga terlihat Randataka terpental ke belakang sambil
memekik keras agak tertahan. Sementara, Rangga
hanya terdorong sekitar tiga langkah ke belakang.
Beberapa kali Randataka berputar di udara, lalu
kembali kedua kakinya menjejak tanah. Tapi terlihat tubuhnya sedikit terhuyung-
huyung sambil mendekap
dadanya dengan tangan kiri. Tampak darah kental
agak kehitaman merembes dari sudut bibir dan lubang hidungnya.
"Phuaaah...!"
Randataka menyemburkan ludah kental yang ber-
warna agak kehitaman. Beberapa kali kepalanya yang
mendadak saja jadi terasa pening digeleng- gelengkan.
Dua langkah kakinya berjalan ke depan, tapi ayunan-
nya tidak lagi tegap.
"Keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Randataka tidak menghiraukan keadaan dirinya
yang sudah terluka akibat mengadu aji kesaktian tadi.
Dengan kemarahan menggelegak dalam dada, Malaikat
Pencabut Nyawa sudah kembali melompat sambil
menghantamkan pedang ke arah kepala Pendekar Ra-
jawali Sakti. "Hap! Yeaaah...!"
Namun Rangga yang masih mengerahkan aji 'Cakra
Buana Sukma' tidak tinggal diam begitu saja. Dengan cepat tangan kirinya yang
masih berselimut cahaya bi-ru menggumpal bagai kabut dihentakkan. Maka, ca-
haya biru itu langsung meluruk deras menyambut se-
rangan Randataka.
Slap! "Akh...!"
Randataka jadi terpekik, ketika cahaya biru yang
memancar dari telapak tangan kiri Rangga menghan-
tam tubuhnya. Dan seketika itu juga, seluruh tubuh
Malaikat Pencabut Nyawa terselubung cahaya biru te-
rang yang menyilaukan mata.
"Setaaan...! Akh...!"
Randataka menjerit-jerit dan memaki berang. Tu-
buhnya menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri
dari selubung cahaya biru yang menyelimutinya. Seluruh tenaga dalamnya segera
dikerahkan. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin terasa
kuat pula tenaganya tersedot keluar. Randataka tam-
paknya tidak menyadari kalau aji 'Cakra Buana Suk-
ma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti justru menghisap kekuatannya sampai
habis tak bersisa lagi.
"Yeaaah...! Akh...!"
Randataka terus menggeliatkan tubuhnya sambil
berteriak-teriak, mencoba melepaskan diri dari selubung cahaya biru Pendekar
Rajawali Sakti. Namun
memang sulit baginya untuk bisa keluar. Tenaga dan
kekuatannya juga semakin banyak terkuras tanpa da-
pat dicegah lagi. Semakin keras berusaha, semakin
banyak pula kekuatannya yang terhisap.
"Aaakh...!"
Hingga akhirnya Randataka menjerit keras me-
lengking tinggi. Dan pada saat itu juga....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Ra-
jawali Sakti menghentakkan tangan kanannya yang
menggenggam pedang ke depan. Dan dari ujung mata
pedang itu memancar sinar biru yang menggumpal
berkilauan, langsung menghantam tubuh Randataka.
Dan.... Blarrr...! *** Satu ledakan dahsyat seketika terdengar begitu ke-
ras menggelegar, membuat tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa.
Saat itu juga, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil mencabut aji ke-


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saktiannya. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat
tubuh Randataka meledak hancur hingga menjadi
kumpulan debu. "Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang
yang terasa begitu berat.
Cring! Pendekar Rajawali Sakti kembali memasukkan Pe-
dang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di
punggung. Saat itu juga, cahaya biru yang membuat
sekitarnya jadi terang-benderang bagai siang hari, lenyap seketika setelah
pedang pusakanya tersimpan
kembali dalam warangka. Tampak sekitar satu seten-
gah batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti, seonggok debu dari tubuh si
Malaikat Pencabut Nyawa yang hancur akibat terkena ilmu kesaktian aji 'Cakra
Buana Sukma'. Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, meman-
dangi onggokan debu dari tubuh Randataka. Saat itu, terlihat Pandan Wangi
berlari-lari kecil menghampiri, diikuti yang lain. Mereka semua berdiri di depan
Pendekar Rajawali Sakti, kecuali Pandan Wangi yang langsung mengambil tempat di
sebelah kanannya.
"Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan
desa ini dari kehancuran," ucap Ki Langkas, seraya
menjura memberi hormat.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit, dengan kepa-
la terangguk kecil membalas salam penghormatan ke-
pala desa itu. Namun sesaat kemudian, perhatiannya
beralih pada Ki Anjir yang memandangi onggokan debu dari tubuh Malaikat Pencabut
Nyawa. Tampak jelas kalau raut wajah orang tua itu terselimut duka yang sangat
dalam. "Kau tidak melihat ke dalam dulu, Ki..." Aku tadi tidak sempat mengetahui
keadaan anak dan istrimu,"
Rangga mengingatkan Ki Langkas.
"Oh..."!"
Ki Langkas tersentak begitu diingatkan. Bergegas
kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya tanpa
berbicara lagi, diikuti dua orang pemuda yang memang
murid Ki Langkas sendiri. Sementara, Ki Anjir masih berdiri mematung tidak jauh
dari tumpukan debu tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Di sebelahnya, tampak
Julak juga berdiri mematung. Tapi, pandangan ma-
tanya, justru merayapi wajah Ki Anjir yang kelihatan begitu mendung. Rangga
segera melangkah menghampiri orang tua ini. Dan tidak jauh, terlihat Ki Adong
hanya memandangi saja, tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. "Ki...," lembut sekali suara Rangga terdengar.
Ki Anjir mengangkat wajahnya, dan langsung mena-
tap bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku terpaksa...," ucap Rangga, terdengar terputus suaranya.
"Aku mengerti, Rangga," sambut Ki Anjir pelan.
"Memang sudah sepantasnya dia menerima ganjaran-
nya." "Tapi kelihatannya kau begitu sedih, Ki. Apa hu-
bunganmu dengan Randataka?" tanya Rangga ingin
tahu. "Dia menantuku, Rangga. Juga, murid kesayangan-
ku. Seluruh ilmu yang kumiliki sudah diwarisinya.
Bahkan tanpa kuketahui, ilmu-ilmu yang diperolehnya dari sebuah goa yang tidak
jauh dari tempat tinggalku dipelajarinya. Aku sendiri tidak tahu, kalau goa itu
menyimpan banyak sekali catatan dari ilmu-ilmu kepandaian tingkat tinggi. Dan
aku baru tahu, setelah pedang pusaka keturunan leluhurku dicurinya...,"
dengan suara pelan dan agak tersendat, Ki Anjir menceritakan.
Rangga mengangguk-angguk beberapa kali. Bisa di-
pahami, kenapa Ki Anjir jadi kelihatan berduka setelah Randataka yang dikenal
berjuluk Malaikat Pencabut
Nyawa tewas jadi debu akibat terkena aji 'Cakra Buana
Sukma' tingkat terakhir yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ternyata,
Randataka menantu Ki Anjir. Pantas saja orang tua itu selalu memburunya.
Randataka bukan hanya menantu, tapi juga murid
terpandainya. Dan dia pergi, setelah mencuri pedang pusaka milik keluarga orang
tua itu. Sebuah pedang
perak yang sangat dahsyat pamornya. Bahkan, hampir
saja Padang Pusaka Rajawali Sakti tidak dapat me-
nandingi. Tapi, masih ada satu ganjalan dalam hati
Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak bisa ditahan lagi rasa keingintahuannya.
"Ki! Kau tahu, kenapa Randataka ingin menghan-
curkan desa ini..." Bahkan sepertinya begitu benci pa-da para pendekar," tanya
Rangga mengungkapkan rasa
penasarannya. "Entahlah...," desah Ki Anjir perlahan. "Aku sendiri tidak tahu. Aku bertemu
dengannya, waktu berusia
sekitar sepuluh tahun. Waktu itu, tubuhnya kurus sekali. Dan hampir saja mati
kelaparan. Aku tidak pernah tahu asal-usulnya, namun tidak pernah mena-
nyakan. Selama ini,, sikapnya selalu baik. Bahkan begitu penurut. Sedikit pun
tidak pernah dia membantah setiap yang kukatakan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-
tiba saja perangainya jadi berubah begitu. Padahal, istrinya sekarang ini sedang
hamil tua...."
Kembali Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
"Dia berasal dari desa ini, Ki Anjir...," selak Ki
Adong tiba-tiba.
Bukan hanya Ki Anjir yang cepat berpaling, mena-
tap orang tua Pemuka Desa Granggang ini. Tapi, Rang-ga dan Pandan Wangi juga
langsung menatapnya. Ki
Adong melangkah beberapa tindak mendekati, dan
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan Ki Anjir.
"Sebenarnya, dia keturunan orang baik-baik. Orang
tuanya petani. Waktu kecil, telah terjadi malapetaka yang membuat seluruh
keluarganya tewas...," Ki Adong mulai menceritakan keadaan si Malaikat Pencabut
Nyawa. Sementara Rangga, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Ju-
lak hanya diam saja mendengarkan. Memang, Julak
sendiri tidak tahu. Dia selama ini ikut bersama Ki Anjir, karena ingin membalas
dendam pada Malaikat
Pencabut Nyawa itu. Seluruh keluarganya dibantai habis. Padahal, keluarganya
adalah dari golongan pendekar. Tapi memang kepandaian yang dimiliki si Malaikat
Pencabut Nyawa sangat tinggi, hingga berhasil mengalahkan para pendekar yang
ditemui selama perjala-
nannya ke Desa Granggang.
"Waktu itu, telah terjadi pertarungan antara tokoh-
tokoh persilatan tingkat tinggi di sebelah utara Desa Granggang ini. Sedangkan
rumah orang tua Randataka, tidak jauh dari tempat pertarungan itu. Entah kenapa,
tiba-tiba saja rumah itu terbakar habis. Dan ketika rumah itu terbakar, seluruh
keluarga Randataka ada di dalam. Hanya Randataka sendiri yang saat itu berada di
luar bersama kami semua, menyaksikan pertarungan antara para pendekar. Randataka
berusaha mendekati rumah yang terbakar, namun kami berusa-
ha mencegah demi keselamatan dirinya," Ki Adong
berhenti sebentar.
Sedangkan mereka yang mendengarkan ceritanya
tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.
"Sejak peristiwa itu, sikap Randataka jadi berubah.
Dia lebih banyak berdiam dan menyendiri. Bahkan sering kali berkelahi dengan
teman sebayanya tanpa se-
bab. Hingga akhirnya, dua orang temannya dibunuh
ketika sedang menggembalakan domba. Sejak itu,
Randataka tidak pernah lagi terlihat. Kami semua tidak tahu, kalau di dalam
hatinya tersimpan dendam
yang begitu mendalam. Kematian seluruh keluarganya
dianggapnya karena kesalahan kami semua yang tidak
melarang para pendekar bertarung di dekat rumahnya.
Makanya, dia juga mendendam pada para pendekar
yang menyebabkan rumah serta seluruh keluarganya
habis terbakar."
"Aku benar-benar tidak tahu kalau masa lalunya
begitu kelam...," desah Ki Anjir pelan. "Padahal, dia anak baik, rajin, dan
penurut. Sungguh tidak kusangka kalau di dalam hatinya tersimpan bara api den-
dam." "Semua sudah terjadi, Ki. Walaupun perbuatannya
salah, tapi aku tetap tidak akan menyalahkannya. Semua orang pasti akan berbuat
hal yang sama," ujar Ki Adong bijaksana.
"Ya.... Dendam memang sulit sekali dihilangkan dari dalam hati," desah Ki Anjir.
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi hanya
diam saja. Dan di saat mereka semua terdiam, muncul Ki Langkas dari dalam rumah.
Kepala desa itu langsung menghampiri mereka yang masih berada di ha-
laman depan rumahnya.
"Bagaimana keadaan anak dan istrimu, Ki?" Ki
Adong langsung saja melontarkan pertanyaan, begitu
Ki Langkas dekat.
"Ketika kutemukan, mereka dalam keadaan terikat.
Tapi, tidak apa-apa," sahut Ki Langkas seraya tersenyum. 'Terima kasih, Rangga.
Kau telah menyela-
matkan nyawa keluargaku. Sedikit saja terlambat, ha-bislah sudah...."
Rangga hanya menyambut dengan senyuman saja.
Ki Langkas kemudian mengajak mereka semua masuk
ke dalam rumah. Memang tidak ada yang bisa menolak
lagi. Sedangkan saat ini, malam sudah begitu jauh
menyelimuti seluruh Desa Granggang. Sementara uda-
ra di luar juga terasa begitu dingin. Mereka semua kemudian masuk ke dalam rumah
kepala desa itu.
SELESAI Juru Scan: Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
*** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** SELESAI Pedang Sakti Tongkat Mustika 19 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Arca Ikan Biru 2
^