Pencarian

Asmara Gila Di Lokananta 1

Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta Bagian 1


ASMARA GILA DI LOKANANTA
oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting :
Puji S. Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode :
Asmara Gila di Lokananta
128 hal. ; 12 x 18 cm
Abu Keisel 1 Malam yang teramat kelam, hanya diterangi cahaya dari api obor yang meliuk-liuk
disapu angin. Sehingga membuat suasana hanya remang-remang saja, melingkupi
sekitar Kerajaan Lokananta. Sebuah kerajaan di alam mayapada, yang dikuasai para
siluman gaib. Seorang gadis berpakaian hamba sahaya, berjalan perlahan-lahan menaiki undakan-
undakan di bagian bangunan kerajaan.
Sebentar-sebentar ma-lanya beredar ke sekeliling Dan ketika merasa aman, kembali
dia meniti anak tangga.
Tak berapa lama, gadjs ini tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi kamar-
kamar kecil berjeruji besi. Dinding kamar setinggi kurang lebih sepuluh tombak
berupa tembok kokoh terbuat dari batu hitam yang keras. Siapa pun yang berada di
dalam ruangan itu tak dapat melihat orang di luar, kalau tak
berjingkat. Demikian pula sebaliknya. Kecuali, yang betul-betul memiliki tinggi
badan yang melebihi rata-rata.
Mata gadis ini liar mengawasi setiap jeruji, kalau-kalau ada penghuni yang
mengintip kehadirannya. Jalannya pun pelan sekali, tanpa menimbulkan suara
berarti. Di ujung lorong dengan ruang-ruangan berjeruji ini, gadis itu menemukan pintu
besi yang bagian atasnya pun berjeruji.
Perlahan kepalanya melongok. Dua penjaga tampak berdiri di masing-masing sisi
pintu bagian dalam.
"Bagaimana caranya agar para penjaga itu keluar...?"
gumam gadis ini bingung. Ditimang-timangnya nampan berisi makanan yang sejak
tadi dibawa. "Apakah mereka percaya?"
Sesaat gadis ini berpikir agak lama sebelum memberanikan diri untuk mengeruk.
Tok! Tok! Tok! "Siapa?"
Terdengar suara dari dalam. Berat
"Aku, pelayan Putri Sekartaji," sahut gadis itu.
"Apa maumu?" tanya suara dari dalam lagi.
"Paduka memerintahkan untuk memberi makan. Putri Sekartaji...."
"Kami tak mendapat perintah langsung dari Paduka."
"Beliau minta agar aku menyampaikannya pada kalian."
"Hm!"
Kedua penjaga yang di dalam terdiam sejurus lamanya.
"Buka pintu! Apa kalian berani membantah titah Paduka"!"
Tak ada sahutan. Tapi tak lama terdengar derit pintu yang terbuka. Buru-buru
gadis ini masuk tanpa mempedulikan sorotan tajam kedua laki-laki muda penjaga
pintu. "Kau harus diperiksa!" kata salah seorang penjaga.
"Silakan saja! Kau kira aku membawa apa selain makanan ini?" tukas gadis pelayan
itu. Tanpa peduli, penjaga ini mulai memeriksa gadis itu dengan seksama. Tak ada
sesuatu yang mencurigakan yang mereka temukan selain makanan dan minuman. Bahkan
setelah hidangan diendus, tak ada sesuatu yang mencurigakan. Maka kedua penjaga
itu memperbolehkan gadis ini mendekati kerangkeng besi.
Di dalam kerangkeng duduk seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya terlihat lesu. Bola matanya redup ketika melihat gadis pelayan itu.
Lalu tanpa acuh kembali matanya memandang ke jurusan semula.
"Tuan Putri Sekartaji, hamba membawa makanan...," ucap gadis pelayan.
"Siapa kau?" tanya gadis dalam kerangkeng yang ternyata bernama Sekartaji.
"Ssst! Jangan kencang-kencang. Aku mengaku sebagai hambamu. Kalau mereka
mendengar, celakalah aku!"
Sekartaji terdiam. Dipandanginya wajah pelayan itu sejurus lamanya.
"Nama hamba Ambar...," ucap pelayan yang mengaku bernama Ambar.
"Aku seperti pernah kenal namamu.... Sebentar! Hm, aku ingat. Kau kawan karib
Parwi," tebak Sekartaji.
"Benar, Tuan Putri...."
"Kenapa Parwi tidak ke sini?"
"Tuan Putri Sekartaji, kalau dia yang ke sini, tentu akan berakibat buruk
baginya." "Apa maksudmu?" tanya Sekartaji, dengan kening berkerut.
"Di dalam makanan ini terdapat obat pemunah...," jelas Ambar.
"Apa maksudmu"!"
Gadis dalam kerangkeng memandang Ambar dengan sinar mata menyelidik.
"Bukankah Tuan Putri telah menjalani hukuman?"
Dahi Sekartaji berkerut. Dan Ambar tidak melanjutkan bicaranya, ketika salah
seorang penjaga mendekat.
"Waktumu habis. Kau boleh pergi sekarang!" usir penjaga itu.
"Eh! Bisakah aku di sini sebentar lagi?"
"Keluar kataku!" bentak penjaga itu dengan mata mendelik garang. Golok besar di
tangannya siap diayunkan pada Ambar.
"Ba..., baik! Baik!"
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, Ambar buru-buru keluar dengan terbungkuk-
bungkuk. "Huh!"
Blam! Krek! Kedua penjaga ini mendengus sinis, dan langsung membanting pintu saat Ambar
telah keluar. Kemudian mereka berdiri di sisi kiri dan kanan pintu Diawasinya
gadis dalam kerangkeng untuk sesaat, lalu mengalihkan pandangan ke jurusan lain
dengan wajah masam.
*** Ruang tahanan kembali sepi. Namun lebih kurang
sepeminum teh kemudian, muncul seorang gadis berbaju biru dengan paras cantik
bagai dewi kahyangan. Dia ditemani dua wanita hamba sahayanya. Tangan kirinya
memegang kipas kertas bergambar burung merak beraneka warna.
"Tolong bukakan pintu! Tuanku Gandasari berkenan masuk!"
kata salah seorang hamba sahayanya ketika mereka telah sampai di depan pintu
besi. Salah seorang penjaga melongok keluar, lalu buru-buru membukakan pintu.
"Hormat kami untuk Tuan Putri!" sahut kedua pemuda penjaga penjara itu seraya
membungkuk. "Hm...!"
Gadis berbaju biru yang tak lain Gandasari melangkah pelan sambil mengangguk.
"Apa yang bisa kami bantu, Tuan Putri?" tanya seorang penjaga.
Bola mata gadis itu berbinar ketika melihat gadis dalam kerangkeng besi yang
memang Sekartaji masih berada di tempatnya.
"Kalian telah membantuku dengan menjaganya baik-baik...,"
kata Gandasari seraya menghampiri.
Sebentar Gandasari memandangi Sekartaji, lalu berjongkok di hadapan kerangkeng.
"Apa kabarmu, Adikku Sayang" Mudah-mudahan kau betah di sini" Sabarlah menanti.
Karena, waktu pengadilan untukmu tinggal sebentar lagi...," sapa Gandasari
dengan senyum mengejek.
Sekartaji diam membisu. Kepalanya terangkat sebentar, lalu kembali menunduk.
"Mungkin bila Paduka kembali, kau akan dijatuhi hukuman mati. Berarti kita tak
akan bertemu kembali. Apakah kau tidak mau melihatku untuk yang terakhir kali,
Sekartaji?" kata Gandasari lagi, membuat Sekartaji kali ini kembali mengangkat
kepalanya dengan sorot mata tajam.
"Aku berharap bisa bertemu denganmu di neraka!" desis Sekartaji.
Gandasari tertawa kecil. "Kenapa kau berharap begitu"
Apakah kau tak sayang pada kakakmu?"
"Kenapa"! Kenapa kau begitu kejam padaku"! Selama ini, aku tak pernah berbuat
salah padamu atau pada yang lainnya.
Aku selalu menuruti dan mengikuti jalan pikiran serta rencana-rencanamu.
Kenapa"! Kenapa kau ingin menyingkirkanku"!"
cerocos Sekartaji, garang.
Suara gadis berbaju merah ini mendesis, penuh kegeraman yang keluar dari lubuk
hatinya. Gandasari tersenyum-senyum, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya berbalik,
membelakangi Sekartaji. "Alasan ini semakin kuat. Kau mulai tak waras, sehingga
menuduhku yang bukan-bukan...,"
gumam Gandasari.
"Aku tidak gila. Kau tahu itu! Aku hanya ingin tahu alasanmu! Kenapa kau ingin
menyingkirkan aku"! Jawablah!
Kenapa kau ingin sekali aku dihukum mati"!" sentak Sekartaji, keras. Sorot
matanya kian tajam, seakan menuntut jawaban atas ketidakpuasannya diperlakukan
demikian. Gandasari berbalik. Dibalasnya tatapan adiknya dengan sorot mata yang tak kalah
garang. "Kau sudah gila, Sekartaji! Maka, hukuman mati lebih pantas. Sebab Kerajaan
Lokananta tidak menerima makhluk gila!" desis Gandasari.
Setelah berkata begitu, gadis berpakaian biru ini melengos.
Kakinya lantas melangkah. Tindakannya diikuti kedua gadis yang mengiringinya.
"Terkutuk kau, Gandasari! Kalau keluar dari sini, maka kaulah yang lebih dulu
kuhajar!" maki Sekartaji di tengah ketidakberdayaannya, dalam penjara.
Gandasari berhenti, lalu menoleh dengan senyum dingin.
"Kau tak akan sempat melakukannya. Sebab sebelum hal itu terjadi, maka kau
telah...."
Gadis itu menggesekkan sisi telapak kanannya ke leher sambil tersenyum mengejek.
"Setan!"
Sekartaji hanya bisa memaki. Sementara Gandasari terkekeh meninggalkannya.
"Keparat! Aku mesti menahan diri agar tidak merusak rencana. Awas kau,
Gandasari!" desis Sekartaji perlahan sambil memandang kakak kandungnya dengan
sorot mata penuh kebencian.
Blam! Pintu tertutup, menimbulkan suara keras. Sekartaji kini tertunduk lesu.
Diam-diam Sekartaji mengeluarkan sisa-sisa makanan di nampan yang tadi
disembunyikan di balik baju pada bagian pinggang belakang.
"Untung dia tak melihatnya.... Kalau tidak..., urusan akan semakin runyam...,"
gumam gadis berpakaian serba merah itu.
Entah telah berapa hari Sekartaji terkurung di tempat ini.
Tapi waktu berjalan terasa lama sekali. Ruangan ini tampak remang-remang, dengan
cahaya obor yang menerangi. Tidak terlihat pergantian siang ke malam. Apalagi
melihat cahaya matahari. Dan yang lebih membuatnya geram pada Gandasari adalah,
kakaknya itu yang memberikan perintah untuk tidak memberinya makan!
"Hm!"
Kedua penjaga itu menoleh sekilas, melihat Sekartaji duduk bersila seperti
sedang bersemadi. Sudah dua hari ini mereka melihat gadis itu duduk dengan
pandangan kosong. Kini, tiba-tiba saja gairah hidupnya seperti pulih. Tak heran
kalau mereka sesekali melirik. Tapi, Sekartaji kelihatan tak berbuat apa-apa
selain duduk bersila dengan tenang.
"Hm.... Bubuk ungu dalam hidangan tadi memang berkhasiat Tenagaku seperti pulih.
Tubuhku kembali enteng...," gumam gadis itu dalam hati, setelah beberapa saat
kemudian. Sekartaji mulai mengatur jalan napasnya untuk beberapa saat. Lalu dia bangkit
berdiri memandangi kedua penjaga itu.
"Aku mau kencing...," kata Sekartaji, menatap berganti-ganti pada kedua penjaga
itu. "Kau boleh kencing di situ!" sahut seorang penjaga, seenaknya.
"Kalian ini benar-benar tak beradab! Mana mungkin aku kencing di hadapan
kalian"!" bentak gadis itu garang.
"Dunia kita tak kenal adat" Mau kencing, silakan saja. Tapi jangan harap kami
melepaskan pengawasan sedikit pun!"
"Bagus! Pengabdian kalian hebat Orang seperti kalian, mestinya patut dipuji.
Tapi, sayang. Kalian seperti binatang
peliharaan. Tidak bisa membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk."
Kedua penjaga itu mendengus geram. Geraham mereka bergemeretuk menahan amarah.
"Jangan bicara sembarangan, Gadis Liar! Kau karang tawanan. Dan aku bisa
menghajarmu sampai babak belur!"
ancam salah seorang.
"Kau tak punya nyali untuk melakukannya!" lahut Sekartaji, seperti menantang.
"Kurang ajar!"
Penjaga penjara itu menggeram marah. Dan secepat kilat menghampiri. Tangannya
menerobos celah kerangkeng hendak menampar. Tapi, Sekartaji cepat melompat ke
tengah, jauh dari jangkauan penjaga itu.
"Kau bukan saja binatang. Tapi juga dungu!" ejek gadis itu
"Setaaan!" dengus penjaga itu.
"Hei, Dungu! Kalian dua penjaga tolol berotak kerbau!
Kaupun tidak kalah dungu dengannya!" maki Sekartaji pada penjaga yang seorang
lagi. Kedua penjaga itu menggeram laksana harimau kelaparan.
Serentak mereka mengguncang-guncang kerangkeng sambil menjulurkan tangan silih
berganti, hendak menangkap Sekartaji. Tapi gadis itu melompat-lompat lincah
menghindarinya.
"Keparat! Biar kupatahkan tulang-tulang kakinya!" geram salah seorang penjaga
yang tak mampu menahan amarahnya.
Penjaga yang bertubuh tinggi tegap itu merogoh kunci dari balik bajunya. Buru-
buru hendak dibukanya kunci pintu kerangkeng.
"Hei, jangan! Tuan Putri Gandasari bisa marah besar nantinya!" cegah penjaga
satunya, mengingatkan. Ditahannya tangan penjaga yang hendak membuka kerangkeng.
"Peduli setan! Beliau malah senang kalau gadis ini kita hajar!"
"Bagaimana kalau Paduka melihatnya" Pengadilan baginya belum lagi dimulai."
"Sang Ratu pasti berpihak pada Tuan Putri Gandasari...."
"Tapi, kau mesti ingat. Dia kesayangan Paduka!"
"Sang Ratu orang yang tegas. Siapapun yang bersalah, pasti kena hukuman. Tak
peduli anaknya sendiri."
"Tapi kalau kita mematahkan tulang kakinya, berarti mendahului keputusan
beliau." "Hm...!"
Pemuda tinggi tegap dan berangasan itu mencabut anak kunci dengan muka tertegun
memandangi penjaga yang bertubuh sedang. Dimasukkannya anak kunci ke dalam
sakunya. "Sudahlah, sabar saja. Daripada kita kena ama-rnh Paduka...," lanjut penjaga
bertubuh sedang.
"Hi hi hi...! Kerbau tolol! Otak udang! Kalian memang dua ekor binatang yang tak
berguna. Apa yang bisa dikerjakan oleh dua ekor kerbau dungu seperti kalian"
Huh! Setelah menghukum aku, maka kakakku pun pasti akan membereskan kalian biar
kelak tak ada saksi mata!" oceh Sekartaji melanjutkan ejekannya.
"Tutup mulutmu! Kurang ajar! Kuhajar kau!"
Amarah penjaga tinggi tegap itu kembali menggelegak kembali, tangannya merogoh
kunci dan membuka pintu kerangkeng. Tak dipedulikannya peringatan penjaga yang
satunya. "Kuhajar kau, Setan Betina!"
*** Pintu kerangkeng terbuka. Dan penjaga bertubuh tinggi tegap itu langsung
menerkam Sekartaji laksana seekor harimau kelaparan.
"Hiih!"
Sekartaji mengibaskan tangan kiri untuk menepis terkaman.
Tubuhnya lantas bergerak sedikit ke kanan. Dan mendadak sikut tangan kanannya
menghantam punggung.
Diegkh! "Aaakh...!"
Penjaga itu ambruk tak berdaya sambil melenguh pendek.
Kejadian itu berlangsung cepat. Bahkan dengan gerakan cepat, ditotoknya penjaga
itu. Begitu habis menotok, tahu-tahu Sekartaji telah melompat keluar kerangkeng.
"Kau..., kau...!"
Penjaga bertubuh sedang nampak terkejut setengah mati.


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun secepatnya dia melompat menyerang Sekartaji.
"Hiih!"
Sambil menjatuhkan diri, kedua kaki Sekarta menghantam perut dan dada.
Dug! Begkh! "Aaakh...!"
Penjaga ini kontan terpelanting ke belakang menghajar dinding. Sementara gadis
itu telah mencelat. Ditotoknya penjaga yang satu lagi sebelum sempat bangkit.
Dengan cepat pula Sekartaji memasukkan mereka ke dalam kerangkeng. Lalu,
dikuncinya pintu kerangkeng.
"Betul kataku, bukan" Kalian hanya dua ekor kerbau dungu yang tak berguna!"
dengus Sekartaji
Kedua penjaga itu hanya memandang dengan mata melotot lebar.
"Percuma saja kalian melepaskan diri. Seandainya bebas dari totokanku, kalian
tak bisa terbebas dari kerangkeng ini. Nah, selamat tinggal, Kerbau-Kerbau
Dungu!" Secepat kilat Sekartaji keluar dari ruangan itu. Dikuncinya pintu dengan hati-
hati. Dia berjingkat-jingkat keluar.
Pendengarannya dan penglihatannya ditajamkan, kalau-kalau ada beberapa penjaga
yang sedang meronda.
"Hup!"
Bagai seekor kucing liar, gadis itu lompat keluar dari jendela, dan langsung
mendarat di tanah empuk. Kalau dia keluar lewat jalan dalam dengan menuruni anak
tangga, maka rintangan akan lebih banyak dilaluinya. Tapi melompat keluar dari
tempat itu pun bukannya tanpa rintangan.
Di bawah ini, berkeliaran buaya-buaya hitam yang terkenal ganas dan amat buas.
Makanannya daging segar yang masih berdarah. Hukuman mati yang paling ringan,
biasanya dilemparkan ke sini. Dan dalam sekejap si tawanan tinggal tulang-
belulang. "Graaakh!"
"Hup! Kurang ajar!"
Mendadak saja dua ekor buaya melompat dengan mulut terbuka lebar. Untung gadis
itu segera melenting ke belakang.
Namun sebelum kakinya menyentuh tanah, beberapa ekor buaya lainnya menerkam
dengan mulut terbuka. Salah seekor bahkan mengibaskan ekornya yang panjang.
"Hiaaahhh...!"
Sekartaji menghentakkan kedua tangannya beberapa kali, melepas pukulan jarak
jauh. Deb! Deb! Desss...!
Dua ekor buaya berukuran besar terpental. Namun...
Desss...! Seekor buaya berhasil menyabetkan ekornya ke punggung gadis itu hingga melenguh
kesakitan. Dengan menahan nyeri Sekartaji mencelat ke atas, mampu hinggap di
atas tembok pagar setinggi kurang lebih dua tombak.
"Tangkap! Jangan biarkan dia lolos...!"'
"Hei"!"
Mendadak terdengar teriakan, membuat Sekataji tercekat.
*** 2 Puluhan bola api bergerak seperti mengejar Sekartaji dari berbagai arah. Gadis
itu jungkir balik menghindarinya. Namun bola-bola api itu terus mengurungnya.
Set! Set! Beberapa buah bola api berhasil dihindari. Namun, salah satu dari bola api
sempat menyambar tubuhnya.
Plasss! "Aaa...!"
Sekartaji menjerit kesakitan ketika tubuhnya terbakar api yang cepat
menyelubunginya.
Brukkk... Gadis itu langsung menjatuhkan diri dan terus bergulingan.
Namun nyala api tadi tetap mengejarya, ke mana pun gadis ini pergi. Sekartaji
terus menggelinding, mendekati sebuah kobakan lumpur yang tak jauh dari tempat
itu. Besss...! Nyala api yang menyelubungi tubuh gadis itu seketika padam. Namun bola api
lainnya masih mengelilingi di atas tubuhnya yang tenggelam. Menunggu, kalau-
kalau dia mampu melompat ke atas. Namun setelah sekian lama ditunggu, belum juga
terlihat tanda-tanda gadis itu akan melompat keluar.
Di atas dataran agak tinggi, tampak seorang gadis berdiri tengah mengawasi.
Pakaiannya ketat berwarna biru. Di dekatnya berdiri beberapa orang gadis. Tidak
jauh dari situ, beberapa pengawal bersenjata ikut menyaksikan peristiwa naas
yang menimpa Sekartaji
"Hamba rasa, dia telah mati ditelan rawa itu, Tuan Putri Gandasari," ujar
seorang gadis berwajah bulat dan pipi agak gemuk. Tubuhnya yang agak tambun,
terbungkus pakaian hamba sahaya kerajaan.
"Makhluk rawa itu tak kalah ganas ketimbang buaya-buaya kelaparan itu, Wakni!"
timpal gada lain yang bertubuh kurus, seperti ingin menegaskan!
"Dia tak bakal selamat, Wide," desis hamba sahaya yang bernama Wakni.
"Salahnya sendiri. Kenapa dia coba-coba melarikan diri"!"
sahut hamba sahayanya yang bertubuh kurus dan bernama Wide.
"Bagaimana sekarang, Tuan Putri?" tanya| Wakni.
"Hm! Aku ingin melihat mayatnya!" sahut gadis berpakaian biru yang memang
Gandasari. "Tapi dia tidak bisa selamat dari rawa itu, Tuan putri!"
tandas Wide. "Kerjakan saja perintahku!" bentak Gandasari.
Wide langsung mengkeret melihat junjungannya melotot garang padanya.
"Baik. Hamba akan perintahkan mereka menarinya...," kata hamba sahayanya itu.
"Pastikan hal itu. Kau sendiri yang melihat kesana!"
"Baik, Tuan Putri!"
Tepat ketika Wide melangkah pergi, seorang laki-laki muda berpakaian prajurit
menghampirinya. Dan setelah memberi hormat, prajurit ini segera menyampaikan
laporan. "Tuan Putri, Paduka memanggil!"
"Hm.... Agaknya beliau telah menyelesaikan urusan. Ada apa gerangan?"
"Hamba tak tahu, Tuan Putri," sahut prajurit llu polos.
"Baiklah. Kau boleh pergi lebih dahulu. Aku segera menghadap beliau."
"Baik, Tuanku."
Prajurit itu segera berlalu. Sementara Gandasari masih termangu dengan dahi
berkerut. Tapi kemudian bibirnya tersenyum-senyum kecil. Sedangkan Wakni
mengikutinya dari belakang.
*** Gandasari memasuki sebuah ruangan besar yang atapnya dihiasi beberapa buah
kubah. Beberapa baris tiang besar terbuat dari pualam biru muda yang diukir
mengkilap. Ada sebuah singgasana panjang terbuat dari pualam biru yang bercahaya
redup yang diduduki seorang wanita muda dengan sikap seenaknya. Wajahnya cantik
seperti bidadari. Tubuhnya hanya tertutup selembar kain tipis. Sehingga, jelas
terlihat isi di dalamnya. Kalau saja rambutnya yang panjang terurai disibakkan,
niscaya sepasang bukit kembarnya yang indah pada bagian dada, akan terlihat
menantang. "Ibunda, saya Gandasari datang menghadap...!" lapor Gandasari.
"O, kau telah riba rupanya! Bagaimana perjalananmu"
Mudah-mudahan menyenangkan," sambut wanita cantik berpakaian tipis yang ternyata
Sang Ratu "Agaknya begitulah, Ibunda," jawab Gandasari
"Telah kudengar keberhasilan saudara-saudaramu.
Bagaimana denganmu sendiri, Gandasari?" tanya Sang Ratu.
"Saya berhasil membawa seseorang, Ibunda," Inwab Gandasari.
"Aku percaya kau bisa melakukannya."
"Apakah Ibunda berkenan melihatnya?"
"Tentu saja. Kau tak keberatan, bukan?" tukas Sang Ratu.
"Tentu saja tidak. Silakan, Ibunda...!" ucap Gandasari.
Gadis berpakaian biru itu bangkit berdiri mengajak Sang Ratu keluar dari tempat
itu. *** "Kau sungguh keterlaluan, Gandasari! Pantaskah seorang calon suami kau tempatkan
di sini"!" bentak Sang Ratu, ketika mereka telah tiba di sebuah ruangan bawah
tanah dengan udara lembab dan berbau.
"Sebenarnya tidak, Ibunda. Tapi..., dia mungkin harus sedikit dijinakkan dulu,"
jelas Gandasari, sambil terus berjalan.
"Hebatkah dia?" tanya Sang Ratu, menjajari langkah Gandasari.
"Kelihatannya begitu, Ibunda."
"Aku jadi tak sabar untuk melihat, orang seperti apa dia."
"Ibunda pasti akan setuju dengan pilihan saya."
"Kuharap begitu, Gandasari."
Mereka kini tiba di ruangan lain yang semakin lembab.
Tempat itu gelap dan sunyi. Cuma ada sebuah obor, namun penuh beberapa penjaga.
Di situ terdapat sebuah kerangkeng dari jeruji baja yang terapung di atas air
hitam dan kotor. Di dalamnya terlihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih
dengan wajah lusuh. Tampangnya kusam seperti seorang pengemis. Kedua tangan dan
kakinya di rantai.
"Inilah, Ibunda!" tunjuk Gandasari.
"Hm...l"
Sang Ratu memandangi pemuda itu sejurus lamanya, lalu menggeleng lemah.
"Gandasari.... Benar kataku. Kau memang keterlaluan. Tidak semestinya calon
suamimu diperlakukan seperti ini. Siapa namanya?"
"Rangga, Ibunda. Di dunianya dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti," sahut
Gandasari (Mengenai Rangga berada di sini baca episode "Titah Sang Ratu").
"O, begitu. Apakah telah kau selidiki kalau dia memang seorang pendekar hebat?"
tanya Sang Ratu lagi.
"Tidak diragukan lagi, Ibunda!" tandas Gandasari.
"Kalau begitu dia orang terhormat. Dan sungguh tak pantas diperlakukan seperti
ini." "Tapi, Ibunda...?"
"Buka belenggunya. Dan bersihkan dia!" potong Sang Ratu, tak mempedulikan kata-
kata Gandasari. "Kemudian bawa menghadapku!"
"Ibunda..."!"
Wanita berbaju tipis itu menoleh, memandang dingin pada Gandasari. Dan gadis
berbaju biru ini lak mampu menahan tatapan matanya, selain menunduk dan
mengangguk beberapa kali.
"Baik, Ibunda...."
Sang Ratu segera meninggalkan ruangan, diiringi beberapa pembantunya. Sementara
Gandasari termenung beberapa saat, sebelum memerintahkan para penjaga yang ada
di situ untuk melepaskan Rangga.
"Terkutuk kau, Bocah! Kalau sampai Paduka menyukaimu, hidupmu akan berakhir!"
desis gadis Ini geram. Bola matanya menyorot tajam seperti sembilu ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
Sebaliknya, pemuda itu pun memandangnya dengan sorot mata tak kalah garang.
"Wanita iblis! Aku bersumpah, bila terbebas maka kepalamu lebih dulu yang akan
kupancung!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
"Dasar tolol! Apakah kau kira bisa berbuat seenaknya di sini"
Ingat, ini negeri Siluman. Dan manusia sepertimu adalah makhluk hina yang tak
memiliki kemampuan apa-apa!" ejek Gandasari.
"Aku tak peduli kita ada di neraka sekalipun!"
"Huh! Tapi jangan lupa, kau tak punya apa-apa untuk memenggal kepalaku."
"Uhh...!"
Rangga baru sadar kalau Pedang Pusaka Rajawili Sakti yang ada di punggungnya
raib entah ke mana. Tapi tidak sulit untuk mencari siapa pencurinya.
"Aku tak heran, wanita sepertimu pasti merangkap jadi seorang pencuri," sindir
Rangga. "Pedang bagus! Dan kau boleh mengatakan apa saja padaku, asal senjata itu jadi
milikku!" sahut Gandasari, tegas.
"Jadi benar kalau kau pencurinya?"
Gandasari tak menjawab. Suara tawanya keluar dari hidung sambil menunjukkan
wajah menyebalkan.
"Bersihkan dia. Dan, jaga dengan ketat! Jangan sampai dia melarikan-diri. Kalau
dia coba-coba, beri pelajaran yang pantas baginya!" ujar Gandasari, seraya
menoleh ke arah beberapa laki-laki berpakaian prajurit.
"Baik, Tuan Putri," sahut salah seorang prajurit
"Bawa menghadapku lebih dulu, sebelum menghadap Paduka," perintah Gandasari
lagi. "Tapi, Tuan Putri.... Sang Ratu menitahkan kita untuk membawa pemuda ini pada
beliau...," sergah prajurit lain.
"Kau berani melawan perintahku?" tukas Gan-ilasari, dengan mata melotot.
"Tentu saja tidak, Tuan Putri. Tapi hamba lebih takut melawan titah Paduka."
Gandasari tak menjawab lagi. Dan mendadak tangan kanannya mengibas.
Hak! "Aaah...!"
Prajurit penjaga itu terjungkal ke belakang dengan bibir pecah ditampar gadis
itu. "Itu hadiah pertama bagi yang berani membangkangku!"
bentak Gandasari.
"Ampun, Tuan Putri...!" ratap prajurit itu.
Dengan menahan sakit, prajurit bertubuh kurus ini merangkak dan bersujud di kaki
Gandasari. "Huh! Berani sekali lagi membantah perintah ku, nyawamu melayang!" dengus
Gandasari. "Ampun, Tuan Putri! Hamba..., hamba tak beranl..."
"Kalau begitu kerjakan perintahku!"
"Baik, Tuan Putri!"
Gandasari bergegas meninggalkan ruangan ini Sedangkan penjaga tadi mengajak
kawan-kawan nya untuk mengurus Pendekar Rajawali Sakti.
*** Tok! Tok! Sang Ratu menoleh ke pintu ketika terdenga ketukan.
Bibirnya tersenyum sambil bersandar d kursi dengan sikap seenaknya, di ruangan
priba dinya. "Masuklah...," ujar Sang Ratu.
Tak lama, seorang laki-laki setengah baya muncul di ambang pintu. Dahinya lebar
dan licin. Rambutnya masih hitam, namun tumbuh jarang-jarang Bajunya pun lusuh.
Tangannya membawa sebual tongkat kayu.
"Oh, Paman Desta Ketu. Silakan! Ada apa gerangan?" tanya Sang Ratu.
"Kulihat wajahmu gembira sekali, Mayang Srimpi," kata laki-laki setengah baya
bernama Desta Ketu.
"Begitukah" Syukuriah," desah Sang Ratu yang ternyata bernama Mayang Srimpi.
"Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padamu...," cetus Ki Desta Ketu.
"Apa gerangan, Paman?" tanya Mayang Srimpi.
"Matamu berbinar-binar dan hatimu berbunga-bunga.
Apakah kau sedang jatuh cinta?" tebak Ki Desta Ketu.
Mayang Srimpi tersenyum, manis sekali,
"Benarkah dugaanku itu?" kejar Ki Desta Ketu, seraya duduk di hadapan wanita
berbaju tipis ini.
"Apakah kelihatannya begitu, Paman?" Mayang Srimpi malah balik bertanya.
"Aku telah melewati masa yang panjang dalam hidup ini.
Bahkan jauh sebelum kau dilahirkan. Aku tahu betul, bagaimana watakmu sejak
kecil...."
Mayang Srimpi kembali tersenyum-senyum.
"Siapa dia, Mayang Srimpi?" desak Ki Desta K"tu.
"Aku sendiri tak yakin, Paman...," desah Mayang Srimpi.
"Kenapa?"
Wanita Penguasa Kerajaan Lokananta di negeri Siluman ini tak menjawab.
"Kudengar anak-anakmu membawa beberapa manusia ke sini. Apakah salah seorang
dari mereka?" tanya Ki Desta Ketu, seperti mendesak terus
Mayang Srimpi tak menjawab. Hanya bibirnya yang merah merekah tersenyum-senyum.
"Jadi benar?"
"Aku belum bisa mengatakannya, Paman."
"Salah satu manusia itu menawan hatimu. Siapakah dia?"
'Namanya Rangga...."
"Seorang pendekar hebat dan ternama?"
"Sepertinya begitu...."
"Seperti si Sapta Dewa?"


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senyum Mayang Srimpi seketika sirna. Dan mendadak wajahnya berubah muram. Wanita
itu bangkit, langsung membelakangi Ki Desta Ketu.
"Aku tak ingin membicarakan dia lagi, Paman...," desis Mayang Srimpi.
"Itu pelajaran yang tak boleh kau lupakan, Mayang...,"
sergah Ki Desta Ketu.
"Paman! Berhentilah bicara soal Sapta Dewa!" sentak Penguasa Kerajaan Lokananta.
Ki Desta Ketu terdiam. Mayang Srimpi pun demikian.
Sehingga untuk sejurus lamanya, tak seorang pun yang buka mulut.
Sebenarnya, Ki Desta Ketu adalah penasihat. Sekaligus, pengasuh Mayang Srimpi
sejak kecil. Jadi wanita ini tak bisa mengabaikan begitu saja nasihat-
nasihatnya. Dalam segala hal!
Tapi, ini soal hati. Soal perasaan. Sulit sekali memberi pengertian pada hati
tentang kebenaran akal yang didasari atas pengalaman.
"Manusia membawa bencana bagi kita. Itu dibuktikan oleh si Sapta Dewa. Gara-gara
dia, orang-tuamu tewas. Dan lebih dari setengah prajurit Kerajaan Lokananta
binasa di tangannya.
Lalu, apa guanya lagi kau mencari manusia-manusia tangguh?"
tanya Ki Desta Ketu, sekaligus mengingatkan.
Mayang Srimpi menunduk, lalu berbalik Dipandanginya Ki Desta Ketu sebelum
kembali duduk ke tempatnya semula.
"Mudah-mudahan kau mau msmikirkannya bila hendak mengambil manusia itu sebagai
pendamplngmu...," gumam Ki Desta Ketu.
"Aku akan memikirkan hal itu, Paman," sahut Mayang Srimpi, tegas.
"Syukurlah. Aku percaya padamu," ucap Ki I Desta Ketu seraya berbalik dan
melangkah keluar kamar.
Mayang Srimpi mengangguk. Ketika Ki Desta Ketu hilang dari pandangan, wanita itu
masih termangu di tempatnya. Namun belum juga keheningan itu tercipta.
"Paduka, hamba permisi mengganggu...!"
Terdengar suara seseorang disertai ketukan pada pintu.
"Kaukah itu, Ngingi" Masuklah!" ujar Mayang Srimpi.
Tak lama seorang wanita kurus berusia sekitar tujuh belas tahun muncul. Dia
langsung berlutut dihadapan Mayang Srimpi.
"Ngingi mengaturkan hormat pada Paduka...," ucap gadis bernama Ngingi.
"Bangunlah! Ceritakan padaku, apa yang kau bawa?"
perintah Penguasa Kerajaan Lokananta.
"Sekartaji berusaha kabur, tapi tenggelam di rawa maut itu,"
lapor Ngingi. "Hm! Dan kalian tak berusaha menolongnya?" tukas Mayang Srimpi.
"Ampun, Paduka. Saat itu, Tuan Putri Gandasari mengawasi.
Sudah menjadi aturan kalau tawanan kabur, maka itu adalah kesalahan yang paling
berat. Kita tidak berhak menolongnya."
"Ngingi! Perintahkan beberapa prajurit untuk mencarinya di sana! Hidup atau
mati!" ujar Mayang Srimpi
'Baik, Paduka...!"
Ngingi buru-buru keluar dengan tubuh gemetar. Suara Sang Ratu terdengar tinggi,
dikeluarkan penuh kemarahan. Dan perintahnya memang tak bisa dibantah.
Kini Mayang Srimpi bangkit dari duduknya. Lalu kakinya melangkah mondar-mandir
di ruangan llu Sebentar kemudian, dia keluar. Dan pengawal yang berjaga di
ambang pintu mengikutinya dari lulakang. Sementara, dua pengawal lainnya menggantikan tugas
kedua pengawal tadi.
Dari bangunan utama, Penguasa Kerajaan Lokananta ini menuju ke samping kiri. Tak
lama, dia tiba di kebun bunga yang luas. Wanita itu melangkah lebar hingga
keluar dari kebun. Diambilnya jalan ke kiri, melewati sebuah lorong.
Kemudian, dia masuk ke sebuah ruangan yang merupakan tempat istirahat para
pekerja. Penghuni yang ada di tempat itu segera berlutut dengan wajah kaget Tak biasa-
biasanya Sang Ratu menjenguk mereka.
Tapi, Mayang Srimpi sebenarnya bukan menjenguk mereka.
Wanita itu terus melewati ruangan ltu. lalu kembali melalui sebuah lorong. Dan
akhirnya dia bertemu sebuah tempat yang agak luas. Disana sudah tidak terlihat
para prajurit yang sedang mencari Sekartaji. Tempat itu diperuntukkan bagi para
tawanan yang mendapat hukuman dengan kesalahan berat Ada kandang yang berisi
buaya-buya hitam dan mampu melompat setinggi setengah tombak untuk menerkam.
Lalu yang terkenal adalah sebuah kobakan lumpur yang permukaannya seperti tanah
biasa saja, namun menyimpan hawa maut
"Mana Ngingi?" tanya Sang Ratu tak sabar.
"Mungkin sebentar lagi tiba, Paduka...." sahu salah seorang pengiringnya. "Hm!"
Mayang Srimpi mendengus geram beberap kali. Tak lama kemudian muncul Ngingi dari
arah yang berlawanan. Dia diiringi beberapa laki-laki bertubuh tegap berpakaian
prajurit. Dua prajurit itu langsung menyeburkan diri kedalam kobakan. Gerakan mereka cepat
sambil berputar seperti gasing.
Tapi tak lama kemudian.
"Aaakh...!"
Kedua laki-laki tadi keluar sambil menjerit kesakitan. Tubuh mereka dipenuhi
lintah sebesar ibu jari kaki dengan panjang sejengkal. Beberapa prajurit lain
langsung membantu melepaskan lintah-lintah yang menempel di sekujur tubuh.
"Dua orang lagi turun!" perintah Sang Ratu.
Tanpa membantah, dua prajurit langsung memceburkan diri ke dalam kobakan. Namun
seperti dua kawannya tadi, mereka pun hanya bisa bertahan kurang dari lima
hitungan. "Cari dia sampai ketemu! Kalau memang mati, aku ingin melihat bangkainya!"
perintah Mayang Srimpi dengan suara keras.
'Baik, Paduka!"
Beberapa prajurit lagi mencoba. Namun tak seorang pun yang mampu bertahan lama.
Sementara Sang Ratu tidak juga menghentikan pencarian, sampai, seorang prajurit
tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Ampun, Paduka! Hamba membawa berita penting mungkin berguna," ucap prajurit
itu. "Berdirilah! Berita apa yang kau bawa?" ujar Mayang Srimpi.
"Tentang Tuan Putri Sekartaji...."
"Lekas katakan!"
"Hamba sempat melihat, ketika Tuan Putri Sekartaji menyeburkan diri ke dalam
kobakan, sesosok bayangan ikut tercelup. Lalu secepat kilat bayangan itu
melayang ke atas.
Hamba tidak melihat secara nyata, namun yakin kalau Tuan Putri Sekartaji
diselamatkan oleh bayangan tak jelas itu..
"Hm!"
Mayang Srimpi tertegun sejenak. Pada saat yang sama masih pula terdengar jeritan
dua prajurit lain yang menjadi korban penghuni kobakan.
"Hentikan pencarian!" ujar Mayang Srimpi keras.
"Baik, Paduka!"
Bukan hanya Ngingi yang merasa lega mendengar perintah Sang Ratu. Namun
prajurit-prajurit yang lain pun merasa lega.
Bila saja Sang Ratu tidak menghentikannya, niscaya mereka semua akan mengalami
nasib sama dengan kawan-kawann tadi.
*** 3 "Panggil Gandasari, Sriwangi, dan Arimbi ke kesini!" perintah Sang Ratu sambil
menghempaskan diri di atas singgasananya.
Seorang prajurit pengawal langsung bergerak melaksanakan perintah, setelah
memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya. Sang Ratu mengikuti kepergian
prajurit dengan pandangan matanya yang tampak menyimpan kegeraman.
Mayang Srimpi hanya perlu waktu sebentar karena tak lama kemudian ketiga
putrinya muncul.
"Ibunda, kami datang menghadap...!" ucap Gandasari, langsung menghaturkan
sembah. Tindakannya diikuti oleh kedua saudaranya.
"Gandasari, jelaskan secara tuntas perjalanan kalian di dunia manusia!" perintah
Penguasa Kerajaan Lokananta itu.
"Ampun, Ibunda. Bukankah hamba telah menceritakannya?"
tukas Gandasari.
"Jangan membantah! Atau kau akan mendapat hukuman"!"
sentak Sang Ratu.
"Baiklah, Ibunda!"
Maka Gandasari bercerita panjang lebar sampai kembali ke Lokananta ini.
"Gandasari! Kenapa kau bertikai dengan Sekartaji"!" terabas Mayang Srimpi,
begitu Gandasal menyelesaikan ceritanya.
Matanya langsung melotot pada Gandasari.
"Ibunda bukankah saya telah menceritakannya tadi..."!?"
"Katakan saja, Gandasari!"
"Baiklah. Waktu itu Sekartaji menghalangi niat saya untuk menghukum Pendekar
Rajawali Sakti Saya tahu kalau sebenarnya dia bermaksud merebut piliham saya,"
jelas Gandasari.
"Sriwangi! Apakah kau membenarkan cerita Gandasari"!"
tanya Mayang Srimpi.
"Mungkin saya bisa menambahkan, Ibunda...!" sahut Sriwangi.
"Cepat ceritakan!"
"Ketika saya tiba di sana, Gandasari dan Sekartaji tengah berkelahi. Jadi, saya
tidak tahu persis bagaimana persoalan di antara mereka. Tapi mengingat sikapnya,
selama ini Sekartaji tidak pernah menentang Gandasari.
"Kakak Sriwangi, sebaiknya jangan membawa perasaan dalam persoalan ini.
Sekartaji telah berani melawan Kakak
Gandasari. Dan itu tak boleh terjadi. Dia memang patut mendapat hukuman!" seru
Arimbi. "Siapa yang lebih dulu bertemu pemuda itu?" tanya Sang Ratu.
"Harum Sari...," sahut Gandasari pelan. "Tapi ltu pengakuannya. Dan saya tak
begitu percaya. Buktinya dia belum kembali karena belum menemukan calon
suaminya."
"Lalu Sekartaji pun bertemu dengannya?"
"Ya."
"Apakah pemuda itu telah mengalahkanmu?"
"Agaknya begitu, Ibunda."
"Kenapa tidak kau tangkap sebelum dia berkeliaran dan akhirnya sempat bertemu
Sekartaji?"
"Eh! Maksud saya..., pemuda itu belum sepenuhnya mengalahkan saya, Ibunda. Dan
dia keburu bertemu Sekartaji."
"Apakah dia pun mengalahkan Sekartaji?"
"Saya tak tahu, Ibunda."
"Kalau kau tak tahu, kenapa berani meyakinkan kalau pemuda itu milikmu"!"
Gandasari terdiam dengan kepala tertunduk.
"Tahukah kau, apa akibat ulahmu itu"!"
Gandasari tak menjawab.
"Kau telah membuat bibit permusuhan dengan adikmu! Itu hal yang tidak
kuinginkan."
"Bukankah Ibunda pun tak menginginkan bila adik-adik melawan pada kakaknya" Dan
Sekartaji telah berani bertindak demikian...," kilah Ganda sari.
"Mana buktinya"!" tukas Sang Ratu.
"Arimbi jadi saksi...."
"Benarkah begitu Arimbi?" tanya Mayang Srimpi, langsung menoleh pada Arimbi.
"Ampun, Ibunda! Kelihatannya begitu...."
"Kau yakin?"
"Yakin, Ibunda!"
"Bagaimana bisa yakin bila kau datang bersama Sriwangi belakangan?"
"Saya melihat sendiri Sekartaji bertarung dengan Gandasari."
"Baiklah.... Aku yang memutuskan persoalan ini!" tukas Sang Ratu.
Ketiga gadis Putri Mayang Srimpi ini lansung tutup mulut Kepala mereka menunduk
diam. "Aku belum menentukan, apakah Sekartaji bersalah atau tidak. Tapi dia telah...,
mungkin tewas di dalam kobakan maut.
Karena persoalan ini belum selesai, maka keberadaan Pendekar Rajawali Sall di
tanganku. Ada pertanyaan"!"
Tak ada seorang yang berani membantah, Sang Ratu segera memerintahkan mereka
pergi "Gandasari! Jangan lupa! Antarkan pemuda itu ke ruangan pribadiku sekarang
juga!" ingat Sang Ratu, sebelum ketiganya beranjak.
"Baik, Ibunda!"
"Hm...!"
Mayang Srimpi bergegas ke ruangan pribadi-nya Sementara kedua hamba sahayanya
mengikuti dari belakang dan menunggu di depan pintu.
"Aku tak ingin diganggu seorang pun setelah pemuda itu diantarkan ke dalam,"
ujar Mayang Srimpi, tegas.
"Baik Paduka...," sahut dua gadis pengiring Sang Ratu.
Ruangan pribadi Mayang Srimpi agak suram, bernuansa biru.
Banyak terdapat hiasan cantik yang berderet di setiap sisi dinding. Sementara
yang ada ditengah hanya sebuah tempat tidur besar yang tertutup kelambu sutera
berwarna merah jambu.
Wanita itu berputar pelan memandang ke sekeliling ruangan sambil tersenyum-
senyum. "Hm...! Pemuda itu memang tampan dan gagah. Persis seperti Sapta Dewa ketika
masih muda...," gumam Mayang Srimpi.
Penguasa Kerajaan Lokananta tersenyum-senyum waktu melangkah ke balik kelambu,
lalu merebahkan diri. Cukup lama dia melamun. Kemudian....
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan di pintu.
"Paduka.... Hamba membawa Rangga masuk...!" kata sebuah suara dari luar pintu.
"Silakan! Bawa dia masuk..!" ujar Mayang Srimpi.
Pintu terbuka. Di ambang pintu berdiri seorang gadis hamba sahayanya, bersama
seorang pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
Penampilan Rangga kini berbeda saat Sang Ratu terakhir melihatnya. Kini dia
lebih rapi dilengkapi pakaian bersih.
"Hamba permisi, Paduka," ucap gadis hamba sahayanya itu.
"Hm...!"
Sang Ratu mengangguk Kemudian dia bangkit menghampiri Rangga yang masih termangu
di tempatnya. Bibirnya menyungging senyum ketika mengunci pintu. Lalu dia
berdiri di depan pemuda itu sambil memandangi dengan seksama.
"Benar dugaanku. Kau memang tampan, Anak Muda...," puji Mayang Srimpi, mendesah.
"Kaukah penguasa di tempat ini...?" tanya Rangga, tak mempedulikan pujian itu.
"Begitulah...."
"Apa maumu" Apakah kau hendak menghukumku pula dengan hukuman lebih berat?"
"Hei, jangan berprasangka buruk dulu! Kalau aku bermaksud menghukummu, tak perlu
kita sa-ling berhadapan. Aku cuma menyaksikannya dari kejauhan."
"Lalu, apa yang kau inginkan dariku?"
"Apa yang kuinginkan" Hm...."
Wanita itu tak melanjutkan bicaranya. Jarinya yang lentik halus mengelus-elus
pipi Pendekor Rajawali Sakti.
"Apakah yang dinginkan dari seorang wanita dewasa pada laki-laki tampan
sepertimu...?" desah Mnyang Srimpi lembut.
Rangga tak menjawab. Hanya pandangannya yang menyapu wanita cantik di
hadapannya. Wajah cantik itu terus mendekat dengan helaan napas terasa menerpa
halus. "Maaf, Ratu..!" ucap Pendekar Rajawali Sakti sambil menggerakkan tangannya,
perlahan. Wanita itu terkesiap ketika tubuhnya didorong Pendekar Rajawali Sakti. Namun
wajahnya cepat kembali seperti semula.
Penuh senyum dan gerak-gerik memikat,
"Kenapa, Sayang" Adakah sesuatu yang merisaukan hatimu?" tanya wanita ini
mendayu-dayu. "Apa yang kau inginkan?" tukas Rangga, datarl
"Ah..., jadi sungguh-sungguhkah kau tak mengerti?"
"Aku tawananmu. Dan rasanya tak pantas berada di sini."
"Jangan berkata begitu. Kau adalah tamu kehormatanku."
"Tapi nyatanya, tempatku di kamar tahanan bukan?"
"Itu hanya kesalahan saja. Dan buktinya, kau sekarang berada di sini, bukan?"
Rangga terdiam. Sementara, Sang Ratu mulai melepaskan pakaiannya yang tipis
sambil tersenyum memandangi pemuda itu. Sedangkan bola mata Rangga seperti tak
mampu berpaling dari lekuk-lekuk tubuh perempuan di depannya dari atas sampai ke
bawah. "Apakah akan kau lewatkan kesempatan bagus ini, Sayang...?" pancing Mayang
Srimpi, terus mencoba memikat Pendekar Rajawali Sakti.


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, aku..., aku...," Rangga jadi tergagap, salah tingkah.
"Sudahlah, Sayang. Jangan pikirkan hal-hal lain. Tidakkah kau ingin bersenang-
senang barang sebentar?"
Pendekar Rajawali Sakti tak menjawab. Berkali-kali dia menelan ludah karena
tenggorokannya terasa kering melihat pemandangan indah di depan matanya. Betapa
tidak" Wanita ini bukan sekadar cantik, tapi juga sempurna. Mungkin dia bukan
manusia. Malah, sangat keterlaluan kalau disebut
siluman. Sebab dalam bayangannya, siluman itu bermuka buruk dengan sepasang
taring besar. Tubuhnya polos dengan buah dada menjuntai hingga ke lutut. Wanita
ini mungkin bidadari!
"Ayo, Sayang.... Apa lagi yang kau tunggu" Apakah kau hendak berubah pikiran?"
"Eh! Aku..., aku...."
Sebelum Rangga bisa menguasai keadaan, mendadak....
"Kraaagkh...!"
"Oh, Rajawali Putih-kah itu...?" desah Pendekor Rajawali Sakti.
"Kraaagkh...! Kraaagkh...!"
"Oh, tidak! Tidak...!?"
Mendadak terdengar suara burung rajawali yang begitu keras memekakkan telinga.
Rangga kontan tersentak sambil menutupi telinganya. Dia berteriak keras, seakan
suara itu benar-benar menyiksanya.
Sementara, Sang Ratu jadi heran sendiri melihat pemuda ini seperti orang
tersiksa. Aneh maemang, dia tidak merasakan apa-apa. Tapi, kenapa pemuda itu
bertingkah demikian.
Belum tuntas pertanyaan di hati Mayang Srimpi, Pendekar Rajawali Sakti tampak
telah terjengkang tak bergerak-gerak lagi. Pingsan!
*** Alunan suara kecapi terdengar mengalun merdu, terbawa angin hingga entah ke
mana. Suara itu terdengar dari sebuah pondok kecil di kaki Gunung Pancaloka.
Letaknya tersembunyi dan jauh dari keramaian. Rasanya bila ada yang lewat di
sekitarnya, tak akan tahu kalau di dalam hutan kecil di kaki gunung itu terdapat
sebuah pondok. Di beranda pondok, tampak seorang laki-laki tua bertubuh sedang dengan rambut
panjang telah memutih, tengah duduk di dipan bambu di beranda Rambutnya
dibiarkan terurai begitu saja tanpa ikat kepala. Meski wajahnya penuh kerut-
merut, namun bibimya selalu tersenyum-senyum menandakan hatinya yang girang
tanpa beban. Orang tua itu tengah memainkan kecapi dengan jari-jarinya tampak lincah menari-
nari di atas tali tali kecapi. Iramanya terdengar sendu, dan kadang-kadang
meratap. Meski begitu, wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kesedihan. Hanya
saja pandangannya menatap kosong ke depan.
"Ohh...!"
Alunan kecapi terhenti ketika terdengar keluhan dari dalam.
Buru-buru laki-laki tua itu melompat bangun dan masuk ke dalam. Dihamparinya
seorang gadis yang tengah berbaring di depan. Wajahnya pucat dengan tubuh
menggigil seperti diserang demam hebat.
"Air...! Air...!" desah gadis itu.
"Kau mau air?"
Laki-laki tua ini segera mengambil kendi yang tergeletak di meja. Setelah
mengangkat tubuh gadis itu dari permukaan dipan, dituangnya isi kendi ke bibir.
"Minumlah...," ujar laki-laki ini, perlahan.
Glek! Glek! "Hugkh!"
Gadis itu menenggaknya bersemangat. Tapi, mendadak wajahnya berubah tegang.
Dahinya berkerut, seraya ingin
memuntahkan cairan yang tadi diteguknya. Tapi orang tua itu telah cepat
bertindak dengan mengurut-urut tenggorokan dan dadanya Gadis itu merasa lega.
Dan kerut di dahinya sirna.
"He he he...l Tidurlah, Sekartaji. Istirahatlah yang tenang agar racun di
tubuhmu hilang," ujar laki-laki ini lagi, seraya duduk di sisi pembaringan Lalu
diusap-usapnya gadis yang ternyata Sekartaji
Sekartaji tersentak dan terjaga. Mendadak ia merasakan sesuatu yang aneh di
balik selimut yang dikenakannya. Bajunya telah berganti. Dan..., siapa yang
menggantikannya"
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan padaku Orang Tua Busuk"! Apa yang kau lakukan
pada ku"!"
Dengan kalap Sekartaji bangkit. Langsung diserangnya laki-laki tua ini.
Des! Duk! "Ahh....'"
Berkali-kali hantaman Sekartaji bersarang di tubuh laki-laki tua yang sama
sekali tak melawan. Sementara Sekartaji terus saja menyerang kalap.
"Heaaat!"
Jeb! Des! "Uhh...!"
Orang tua itu diam saja menerima hajaran Sekartaji
"Ayo, Keparat! Lawan aku! Bajingan! Terkutuk! Kubunuh kau!"
Plak! Des! "Uhh...!"
Entah berapa kali gadis ini menghajar, tapi kemudian mendadak berhenti. Tubuhnya
lemas dan gerakannya lambat Perlahan-lahan terlihat tubuhnya gemetar, lalu jatuh
lunglai. "Sekartaji kenapa kau"!" sentak laki-laki itu, terkejut Segera dihampirinya
Sekartaji. "Pergi kau! Hiih!"
Disertai teriakan kasar, Sekartaji mengibaskan tangan menghajar laki-laki tua
ini. Desss...! "Silakan. Kau boleh menghajarku sepuas hatimu jika itu membuatmu senang...,"
ucap laki-laki tua Ini, seraya bangkit dengan mulut meringis.
"Aku tidak sekadar menghajarmu! Aku akan membunuhmu, Keparat!" teriak Sekartaji.
"Kau hendak membunuhku" Dengan apa" Tangan kosong atau dengan senjata" Silakan
pilih! Di dinding ini ada bermacam-macam senjata. Kau boleh memilihnya!" sahut
laki-laki tua ini.
Mata Sekartaji liar memandang bermacam senjata yang terselip di dinding. Sambil
menahan nyeri di dadanya, dia melompat. Diraihnya sebilah pedang, dan hendak
dikebutkannya ke leher orang tua itu.
"Tunggu dulu, Sekartaji! Sebelum kau bunuh aku, maukah mendengar permintaanku
yang terakhlr?" cegah laki-laki tua ini.
"Hm, bagus! Bicaralah! Aku masih bisa menunggu barang sebentar!" desis
Sekartaji. "Aku memang bersalah. Tapi, bukan seperti apa yang kau pikirkan saat ini...,"
desah laki-laki tua ini.
"Bangsat terkutuk! Apalagi dalihmu sekarang" Kau telah menodaiku. Dan kini kau
membantah nya"!" sentak Sekartaji.
"Menodaimu" Ha ha ha...! Apa buktinya?"
"Pakaianku telah diganti. Siapa yang melakukannya kalau bukan kau"! Dalam
keadaan tak sadar, kau pasti melakukan perbuatan busuk itu'
"Apakah kau merasakannya" Dengarlah, Anakku. Seburuk-buruknya aku, mana mungkin
menodai anakku sendiri...?"
"Anak" Apa maksudmu"!"
"Kau adalah putriku, Sekartaji...."
"Putrimu...?"
Gadis itu tertegun. Dipandanginya laki-laki tua itu dengan seksama untuk sejurus
lamanya. "Ya! Kau putriku, Sekartaji..," laki-laki tua itu mengangguk.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku ayahmu."
"Maksudku, siapa namamu?"
"Aku Sapta Dewa."
"Sapta Dewa" Kau..., kau adalah musuh Kerajaan Lokananta!
Kau musuh besar kami! Kau pengacau! Pembunuh! Kau bunuh kakek dan nenekku! Kau
bunuh sebagian besar prajurit kerajaan! Bagus! Kini aku menemukanmu di sini.
Jadi, aku tidak susah-susah lagi memenggal lehermu!"
Sekartaji kembali mengacungkan pedang dengan sikap garang. Matanya liar
memandang penuh kebencian.
Sebaliknya laki-laki tua yang mengaku bernama Sapta Dewa tenang-tenang saja dan
tak bergeming dari tempatnya.
Wut! Tak! Tak! "Heh...?"
*** 4 Sekartaji jadi heran sendiri Berkali-kali mata pedang itu ditebas ke leher dan
semua bagian tubuh Ki Sapta Dewa, namun sia-sia saja. Malah pedang di tangannya
seperti membentur patung baja yang tak bergeming sedikit pun. Dia tetap duduk
bersila dengan kedua tangan terlipat di dada dan mata tel pejam.
"Setan! Keparat...!" maki Sekartaji
"Sekartaji Sebaiknya hentikan amarahmu Akan sia-sia saja...," ujar Ki Sapta Dewa
halus. "Aku tak akan berhenti sebelum kau mampus.' desis gadis ini.
"Begitu hebat dendammu. Padahal, kau tak tahu bagaimana cerita yang sebenarnya."
"Aku tak peduli! Bagiku kau adalah musuh kerajaan. Dan aku berkewajiban
menghukummu!"
"Tahukah kau, mengapa aku berbuat demkian" Atau barangkali kau tak mau tahu,
karena pikiranmu telah dicekoki demikian hebat?"
Sekartaji kali ini terdiam. Namun pedangnya masih dihunuskan ke muka orang tua
itu. "Sekartaji.... Semua ini karena kehadiranmu...," desah Ki Sapta Dewa.
"Kehadiranku"! Apa maksudnya"!" sentak Sekaitaji, jadi heran sendiri.
"Kakek dan nenekmu tak menyukai kehadiranmu, kerena kau punya ayah seorang
manusia...," jelas Ki Sapta Dewa.
"Ayahku seorang manusia?"
"Ya. Aku seorang manusia, Sekartaji."
Gadis itu terdiam sebentar.
"Aku berusaha mempertahankanmu. Tapi, mereka menghalangi. Bahkan kemudian
diumumkan kalau aku buronan Kerajaan Lokananta. Semua pujurit kerajaan
memburuku, dan bermaksud menghabisi nyawaku. Waktu itu aku masih muda dan
berdarah panas. Kutantang mereka. Dan..., kubunuh siapa pun yang coba-coba
mengusikku," ungkap Ki Sapta Dewa.
Gadis itu makin penasaran mendengarnya.
Pelan-pelan pedang dalam genggamannya terkulai.
Sementara sorot matanya tidak segarang tadi.
Ki Sapta Dewa bangkit berdiri dan membelakanginya.
"Waktu itu kau masih dalam kandungan Ibumu. Yang tak mampu menentang kedua
orang-tuanya. Sejak semula, mereka memang tidak menyukaiku. Tapi mereka takut
mengatakannya terus terang. Namun ketika kebencian mulai memuncak mereka berniat
menyingkirkanku. Maka mulailah dikumpulkan orang-orang sakti di seluruh
Lokanata. Mereka diperintahkan menghabisiku secara diam-diam atau terang-
terangan. Mulai saat itu, aku terusir dari kerajaan dan bersembunyi di suatu
tempat untuk memperdalam kesaktianku, sambil secara
sembunyi-sembunyi membunuh mereka satu persatu...," papar Ki Sapta Dewa lagi.
"Jadi.., jadi..., benarkah kau ayahku?" tana Sekartaji dengan suara bergetar.
Laki-laki tua itu mengangguk "Bagaimana kau bisa aba di sini" Maksudku.. di
Lokananta ini?"
"Di dunia manusia, aku jago tak terkalahkan Tapi, itu tidak membuatku puas. Aku
berkelana mencari jago-jago lainnya untuk menantangng bertarung. Perjalanan itu
membawaku ke sini, ketika salah satu penduduk negeri ini turun ke dunia manusia.
Dia berhasil kukalahkan, dan kupaksa untuk membawaku ke dunianya. Tiba di sini
pun, aku berkoar menantang siluman-siluman itu. Ini membuat ibumu tertarik dan
berusaha menantangku Dan dia berhasil kukalahkan. Lalu aku diminta menjadi
suaminya. Padahal saat itu, dia belum berpisah dari suaminya...," jelas Ki Sapta
Dewa. "Kalau begitu, dari mana kau yakin kalau aku anakmu" Bisa saja aku putri
suaminya," Sekartaji mencoba menyanggah.
"Suaminya tewas di tanganku, sebelum kami kawin. Dan kau lahir dua tahun
kemudian. Ibumu yakin, dia tidak mengandung sebelum kawin denganku. Lagi pula,
aku hafal betul bau siluman dan bau manusia...."
Gadis itu tertegun. Pedang di tangannya diletakkan di meja, lalu perlahan-lahan
dia mendekat. Wajahnya kelihatan penuh dengan keharuan.
"Ayaaah...," sebut Sekartaji.
"Sekartaji, Anakku.... Oh; syukurlah! Akhirnya kau mengakuiku sebagai ayahmu,"
desah Ki Sapta Dewa.
Ayah dan anak itu saling berpelukan untuk sesaat. Sekartaji seperti ingin
menumpahkan kerin-iluan yang terpendam selama ini.
"Aku selalu mengamati perkembangan, Nak..," sahut Ki Sapta Dewa.
"Benarkah"!"
Sekartaji melepaskan pelukan. Dipandangnya orang tua itu dengan raut wajah
keheranan. Ki Sapta Dewa mengangguk, lalu tersenyum
"Kenapa Ayah tak menemuiku sejak dulu?" nya Sekartaji, penuh tuntutan.
"Aku tak bisa, Sekar. Kami telah membuat kesepakatan...,"
Jawab Ki Sapta Dewa.
"Kesepakatan apa?"
"Aku tak boleh menjengukmu sedikit pun selama dua puluh lima tahun."
"Tapi kini...?"
"Ya. Aku telah melanggarnya. Usiamu belum lagi dua puluh lima tahun. Namun, aku
tak peduli. Kesepakatan itu boleh saja hancur. Tapi tak kuizinkan siapa pun
mencelakaimu!"
Hati Sekartaji tergetar mendengar nada bicara Ki Sapta Dewa. Dipandanginya
ayahnya dengan segenap perasaan haru di benaknya. Kemudian dengan hangat
dipeluknya orang tua itu.
"Ayah.... Sekian lama aku merindukanmu. Dan sepertinya aku tak percaya kalau
saat ini bisa bertemu denganmu. Jangan tinggalkan aku lagi, Ayah...," desah
gadis ini. Ki Sapta Dewa tersenyum. Haru. Diusapnya dahi gadis ini hingga menyapu rambut
"Ayah, katakanlah. Kau tak akan meninggalkanku lagi, bukan?" pinta Sekartaji.
"Ibumu mungkin masih mencintaiku. Tapi, sekaligus membenciku karena kematian
orangtuanya. Perjanjian itu kami buat setelah kematian kakek dan nenekmu.
Sebenarnya, aku tak ingin melanggarnya. Tapi.., hem.... Seperti yang telah
kukatakan, aku lebih mementingkan keselamatanmu, Sekartaji"ungkap Ki Sapta Dewa.
"Ayah, kurasa Ibu pasti akan mengerti hal itu!"
"Mungkin...."
"Kenapa Ayah merasa tak yakin?"
"Ibumu keras pada pendiriannya. Kalau aku melanggar perjanjian itu, maka dia tak
akan memperbolehkan aku untuk bertemu denganmu."
"Kalau begitu, aku tak kembali ke sana lagi!" tandas Sekartaji, mantap.
"Sekartaji! Kau tak boleh begitu!" sergah Ki Sapta Dewa.
"Untuk apa aku kembali ke tempat itu, bila di sana tidak ada yang
menyayangiku"!"
"Ibumu menyayangimu, Sekartaji," kata Ki Sapta Dewa, lembut
"Beliau pasti juga tidak membiarkanku menjalani hukuman!"
tambah gadis ini.
"Dia harus bersikap adil, bukan?"
"Kalau begitu, kenapa membiarkanku di penjara tanpa memeriksanya terlebih
dulu"!"
"Segalanya ada waktu dan aturannya. Mungkin dia masih punya urusan lain,
sehingga belum sempat memeriksa persoalanmu."
"Ayah! Aku tak bisa terima hal itu!" Ki Sapta Dewa terdiam.
Namun hela napasnja yang panjang menunjukkan hatinya yang sedikit risau.
"Kenapa" Apakah Ayah tak menyetujuinya" Ayah lebih suka aku hidup di sana dalam
penderitaan"!" turut Sekartaji.
"Itukah yang kau rasakan, Anakku?" tukas H Sapta Dewa.
"Ibunda terlalu kaku! Aku tak merasakan kalau beliau ibuku!
Dia seorang ratu! Tidak kurang, dan tidak lebih! Segala sesuatu yang
diinginkannya, maka itu merupakan perintah yang tak bisa dibantah!" dengus
Sekartaji berapi-api.
Ki Sapta Dewa tersenyum-senyum mendengarnya.
"Kenapa Ayah tersenyum" Apakah Ayah kira lucu"!" sentak Sekartaji, tak suka.
"Kau merasakan kelainan itu. Dan ini semakin menguatkanku kalau kau memang
putriku. Hanya bangsa manusia yang merasakan hal itu. Selama hidup di dunia
siluman, aku bisa merasakan kepatuhan mereka terhadap penguasa. Mereka


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggap hal itu suatu yang wajar. Juga banyak hal lain yang bertentangan
dengan kebiasaan hidup bangsa manusia.
Kurasa, kau mulai mengerti hal Itu," jelas Ki Sapta Dewa.
Gadis itu memberengut kesal. "Walau bagaimanapun aku tak akari kembali lagi ke
sana!" tegas gadis ini.
"Mereka akan mencarimu, Sekartaji..."
"Tidak! Mereka pasti mengira aku mati di dasar rawa itu!"
Ki Sapta Dewa tersenyum. "Sayang, mereka tahu kalau kau selamat," kata laki laki
tua ini. "Apakah Ayah terlibat pertarungan saat menyelamatkanku?"
tanya gadis ini.
Laki-laki tua itu menggeleng.
"Lalu?" kejar Sekartaji.
"Seseorang mengetahuinya...."
"Siapa?"
"Orang kepercayaan ibumu."
"Desta Ketu?"
"Bukan. Kau tak akan mengenal orang itu. Dia bisa berada di mana saja, dan
sebagai apa saja. Orang itu benar-benar lihai.
Dan rasanya tak ada yang menyangka kalau dia kepercayaan ibumu," sahut Ki Sapta
Dewa. "Ayah! Aku penasaran..., siapa orang itu sebenamya" Dari mana Ayah bisa
mengetahuinya"!!" tuntut Sekartaji.
"Aku lama di sana. Dan aku tahu semua seluk-beluk istana, serta orang-orangnya.
Lokananata takut aku mengacau, sehingga menempatkan orang andalannya untuk
melindungi negeri itu."
"Ayah, hebatkah orang itu?" tanya Sekartaji penasaran.
"Agaknya begitu," sahut Ki Sapta Dewa, tak yakin.
"Huh! Aku tak peduli. Aku tetap tak akan kembali ke sana!"
"Kalau begitu, mereka yang akan menjemput"
"Aku tetap tidak akan kembali!"
"Mereka akan memaksamu, dan menuduhku telah menghasutmu. Ini kesempatan yang
ditunggu-tunggu Lokananta untuk mencari gara-gara denganku. "
"Takutkah Ayah pada mereka?" tanya Sekartaji
"Aku tak ingin mengulang peristiwa berdarah itu...," kilah Ki Sapta Dewa,
seperti tak ingin membangkitkan kenangan lama.
"Aku pernah mendengar kehebatan Ayah itu dari semua penghuni istana. Ayah pasti
mampu mengatasi mereka! Karena mereka semua memuji kehebatan Ayah!" seru
Sekartaji dengan wajah berseri-seri penuh semangat.
Ki Sapta Dewa tersenyum-senyum.
"Itu dulu, Sekartaji. Ketika aku masih muda dan penuh semangat. Tapi kini usiaku
telah semakin tua...," elak Ki Sapta Dewa.
"Jadi Ayah tetap akan menyerahkanku pada mereka"!"
"Aku akan bicara pada ibumu. Untuk sementara ini, kau di sini saja sampai mereka
muncul" Gadis itu tak menjawab. Mukanya kelihatan memberengut.
"Ayolah, jangan begitu. Bagaimanapun, aku menginginkan kebaikan bagimu."
Sekartaji tak mau menjawab. Ki Satpa Dewa tersenyum.
"Kenapa tidak kau ceritakan mengapa kau masuk ke dalam kobakan maut itu?" pinta
Ki Sapta Dewa, bertanya.
"Ini semua gara-gara Kakak Gandasari!" dengus Sekartaji.
Lalu gadis itu memuntahkan kekesalan di
hatinya atas sikap Gandasari belakangan ini
"Sangat jelas ketika dia hendak memperebutkan pemuda itu dariku, sehingga perlu
memenjarakanku. Dia pun telah menyusun rencana untuk melenyapkanku. Kalau Ayah
tidak muncul, mata rencananya berjalan mulus!" lanjut Sekartaji.
"Apa istimewanya pemuda itu, sehingga kau pun hendak mempertahankannya?" tanya
Ki Sapi Dewa. "Aku..., aku tak tahu! Hanya kasihan dan tak tega dia diperbudak Kakak
Gandasari!" Ki Sapta Dewa tersenyum.
"Apakah tak ada hal-hal yang lain?" panci Ki Sapta Dewa.
"Hal lain bagaimana?" Sekartaji malah bertanya.
"Misalnya..., kau memang betul-betul suka padanya?"
"Aku..., aku tak tahu."
"Aku bisa merasakan hatimu. Dan, bisa melihat pada sinar matamu. Kau tak rela
pemuda itu dimiliki kakakmu, bukan?"
tebak Ki Sapta Dewa, sediki menggoda.
"Ayah! Ah! Aku...."
Sekartaji jadi salah tingkah. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Buru-buru
kepalanya melengus, dan kabur keluar diiringi derai tawa Ki Sapta
*** Malam gelap dan dingin menyelimuti Istana Kerajaan Lokananta dan sekitarnya.
Meski begitu, sepasukan prajurit tetap berjaga-jaga dengan siaga.
Sementara yang lain tersiksa hawa dingin yang menyengat hingga ke tulang sum-
sum, maka lain halnya dengan keadaan yang terjadi di salah satu kamar di istana
kerajaan. Samar-samar terdengar suara berisik. Entah cekikikan, atau jeritan
manja, atauu mungkin juga derit ranjang yang bergerak tak beraturan.
"Aduh! Jangan keras-keras, Kakang Giri Sadaka!"
Terdengar suara manja dari kamar itu. Kadang ditingkahi desahan dan erangan
lembut, membangkitkan gairah.
"Habis, kau menggemaskanku, Arimbi," sahut suara satunya.
Terdengar berat, namun penuh gelora
"Hi hi hi...! Kakang hebat luar biasa," puji suara yang dipanggil Arimbi
"Kau pun begitu!" sambut suara berat, yang dipanggil Giri Sadaka.
"Sungguh" Kakang puas dengan layananku"!"
"He, belum pernah kutemui sekalipun kenikmatan seperti ini!"
"Hi hi hi...! Aku pun merasakan hal yang sama Kakang."
"Kau tahu" Dalam usia setua ini, aku masih terasa muda dan menyala-nyala. Ini
semua berkat..., kau!"
"Aduuuh! Sakit, ah...!"
"Kau membuatku semakin gemas saja! Dan., tak pernah puas sedikit pun."
"Hi hi hi...! Kakang masih sanggup sekali lagi?"
"Jangankan sekali. Sepuluh kali pun, aku masih sanggup!"
"Aku ingin buktikan ucapan Kakang!"
Pendekar Lembah Naga 4 Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Anak Rajawali 12
^