Pencarian

Asmara Gila Di Lokananta 2

Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta Bagian 2


"Kapan" Sekarang"!"
"Kapan lagi?"
"Baik!" "
Kemudian terdengar suara ranjang berderit kencang seperti dilanda gempa hebat.
Di atasnya tengah bergumul dua sosok berlainan jenis. Yang perempuan tak lain
adalah Arimbi. Sedang yang laki-laki, seorang tokoh persilatan dari dunia nyata
yang dibawa Arimbi ke dunia siluman ini.
"Kakang...! Pelan-pelan sedikit! Jangan seperti orang gila!
Kau menyakitiku, Kakang..!" kata Arimbi, mengeluh di tengah kegairahan.
"Kau yang membuatku gila! Hhhh...!"
"Aooouw...!"
"Hiiih!"
Arimbi menggeliat-geliat dan melejang-lejang bagai kuda wanita yang binal.
Sedangkan Giri Sandaka memperdengarkan dengusan serta hela nafasnya laksana
pengendara kuda yang tengah menanjak bukit. Semangat dan nafsunya berkobar.
"Aaah...!"
"Oh...!"
Terdengar desahan pendek, ditingkahi erangan penuh kenikmatan ketika berada di
puncak gelora. Dan ranjang pun berhenti berderit. Namun hela nafas mereka masih
belum teratur, kadang tersengal
"Gila!" desis Giri Sadaka.
"Hi hi hi...!" Arimbi kembali terkikik.
"Kau betul-betul membuatku gila!" desis Giri Sandaka lagi.
"Aku juga merasa demikian, Kakang."
"Hmm! Belum pernah seumur hidupku merasa hidup ini begitu indah dan nikmat."
"Kau betah di sini, Kakang?" tanya Arimbi.
"Hmm.... Bersamamu di mana pun aku merasa betah!" sahut Giri Sadaka, mantap.
"Sungguh"!"
Lelaki yang cukup tua itu mengangguk cepat
"Kau tidak keberatan tinggal di sini?" tanya Arimbi lagi.
"Di mana pun kau berada, maka di situlah tempatku. Tapi..., apakah sebaliknya
kau pun merasa demikian terhadapku?"
sahut Giri Sadaka.
"Tentu saja, Kakang! Apakah kau tak mempercayaiku?"
tukas Arimbi. "Tapi.., di sini aku merasa tak berguna. Ai merasa kecil dan sama sekali tak ada
kebanggaan..."
"Kau tetap seorang tokoh sakti, Kakang! Da rasanya, sulit mencari tandinganmu di
tempat ini "Tapi nyatanya, aku tak berguna. Bahkan menghadapi seorang prajurit rendahan
pun, aku tak mampu."
"Maukah kutunjukkan, bagaimana caranya agar mampu mengalahkannya" Bahkan
mengalahkan seluruh tokoh sakti di istana kerajaan ini?" kaW Arimbi menawarkan.
"Tentu saja! Bagaimana caranya"!" sahut Giri Sedaka, cepat.
"Kau mesti meminum air 'Dewa Langit. Dengan air itu, maka kedudukanmu sama
dengan kaum siluman tanpa
memusnahkan kemampuann serta kesaktianmu. Maka dengan demikian kau mampu
menghajar dan melukai mereka!" jelas Arimbi
"Aku mau"! Mana air 'Dewa Langit' itu" Biar kuminum sekarang!"
"Sabar, Kakang! Jangan terburu-buru begitu. Selain air itu sulit didapat, Kakang
juga harus membuat perjanjian," ujar Arimbi
"Perjanjian apa?" tanya Giri Sadaka.
"Kakang mesti berjanji untuk menolongku."
"Tentu saja! Kau istriku. Maka kesulitanmu menjadi kesulitanku pula. Aku pasti
akan menolongmu dari setiap kesulitan."
"Sungguh"!"
"Aku bersumpah!"
"Baiklah. Aku percaya padamu, Kakang."
"Nah, kapan bisa kudapatkan air 'Dewa Langit' itu?" tanya Giri Sadaka seperti
tak sabar. "Kakak Gandasari yang akan mengusahakannya. Nanti kita akan bicara padanya,"
jelas Arimbi. Baru saja selesai bicara, mendadak....
Tok! Tok! Tok! "Kakak Gandasari?" sebut Arimbi.
Ya," sahut suara dari luar kamar.
*** 5 "Ada apa?" bisik Arimbi ketika telah membuka pintu. Tampak seraut wajah masam
berdiri di pintu
"Sial! Kalian enak-enakan sementara aku sengsara!" sosok di depan pintu yang tak
lain Gandasari ketika melihat pakaian Arimbi tampak acak-acakan
"Apa yang bisa kubantu, Kak?" tanya Arimbi tak mempedulikan sorot mata tajam
Gandasari. "Ibunda mendekap pemuda itu di kamarnya!" gerutu Gandasari.
"Hm!" Arimbi menggumam tak jelas.
"Jangan diam saja! Bantu aku, bagaimana caranya mendapatkan dia kembali!" desis
Gandasari. "Kenapa mesti dipikirkan" Apakah Kakak menyukainya?"
"Bukan itu! Yang penting, dia mesti kudapatkan!"
"Kalau sekadar membantu kita, Kakang Giri Sadaka pun bersedia. Bukan begitu,
Kakang?" kata Arimbi, seraya menoleh pada laki-laki tua di belakangnya.
"Tentu saja!" sahut Giri Sadaka cepat.
"Hm! Kuhargai itu. Sebentar. Ada hal yang penting yang mesti kubicarakan pada
Arimbi." Tanpa meminta persetujuan Giri Sadaka, Gandasari mengajak Arimbi keluar. Mereka
masuk ke sebuah kamar, milik Gandasari sendiri.
"Sungguh-sungguh kau telah menguasainya?" tanya Gandasari dengan wajah
bersungguh-sungguh, begitu pintu telah ditutup.
"Seperti kerbau dicocok hidungnya!" sahut Arimbi, menegaskan.
"Bagus!"
"Bagaimana dengan Ajiwirya?"
"Laki-laki itu mata keranjang. Dalam waktu singkat, dia pasti bisa kukuasai!"
"Bagaimana dengan air 'Dewa Langit'" Bisakah Kakak mengambilnya?"
"Tempat itu dijaga ketat oleh Desta Ketu. Kurang ajar! Aku coba merayunya dengan
segala cara, tapi siluman satu itu tidak terpancing!" dengus Gandasari.
"Sudah coba dengan cara biasa?" tanya Arimbi, terkikik.
"Dia tidak mempan dengan cara begitu!" desis Gandasari.
"Lalu, apa akal kita?"
"Itu yang tengah kupikirkan! Kenapa kau tidak mencari akal lain?"
"Berapa lama waktu yang Kakak butuhkan untuk mengambil air itu?"
"Tidak lama. Aku hafal tempat air itu diletakan."
"Kalau begitu, katakan saja pada Desta Ketu kalau Ibunda memanggilnya. Saat itu,
Kakak bisa menyelinap."
"Hei, bagus juga akalmu! Tidak sangka! Gembrot-gembrot begini, otakmu encer
juga!" Arimbi tertawa renyah dipuji begitu.
"Tapi kalau ternyata dia tahu diakali karena Ibunda tidak memanggil?" tanya
Gandasari, tiba-, tiba ingat sesuatu.
"Alaaah! Katakan saja Kakak salah dengar! Beres...!" jawab Arimbi, meyakinkan.
"Ya, ya. Boleh juga."
"Nah! Tidak ada yang sulit, bukan?"
"Aku masih penasaran pada pemuda itu! Mestsi nya, dia kubunuh saja sejak
semula!" desis Gandasari dengan wajah geram.
"Tapi dia kini di tangan Ibunda...?"
"Itu bisa diatur. Aku akan buat seolah-olah terjadi kecelakaan. Dan..., hi hi
hi...! Kau tahu, bukan"! Seperti nasib si Sekartaji, dia akan mampus di kobakan
maut itu!"
"Tapi bagaimana cara memancingnya keluar" selama ini, Ibunda belum
memperbolehkannya keluar kamar."
"Itulah yang tengah kupikirkan.... Paling, aku hanya menunggu kesempatan
baik..." "Kenapa tidak dipadukan saja"!" usul Arimbi denqan bola mata melebar.
"Apa maksudmu?" tanya Gandasari.
"Desa Ketu menghadap Ibunda. Dan itu berarti ibunda keluar dari kamarnya...,"
papar Arimbi. "Aku mengerti rencanamu, Arimbi! Bagus sekali! Tapi..., bagaimana cara
melakukannya?" tanya Gandasari lagi.
"Serahkan saja padaku! Biar kubereskan dia!"
"Kau mampu?"
"Kenapa tidak?"
Gandasari terdiam sejenak. Dicobanya ikut memikirkan rencana apa yang tengah
disusun di benak adiknya.
"Bagaimana caramu menghabisinya?" Akhirnya keluar juga pertanyaan di benak
Gandasarl "Apakah Kakak tak percaya padaku?" tukas Arimbi.
"Aku cuma ingin tahu!"
Arimbi tersenyum. Lalu dibisikkannya sesuatu ke telinga Gandasari.
"Bagaimana"!" tanya Arimbi dengan wajah berseri seakan rencananya betul-betul
hebat "Bagus! Bagus sekali, Arimbi!" sahut Gandasari.
"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlari paui!"
"Sambil menyelam minum air!"
"Oh, iya...!"
"Hi hihL..!" Keduanya terkikik.
"Kapan dilaksanakannya?" tanya Arimbi.
"Aku beri tahu secepatnya, begitu ada kesempatan baik!"
sahut Gandasari mantap.
Arimbi mengangguk.
"Sudah! Pergilah kau pada laki-laki itu!"
"Hi hi hi...! Tentu saja. Kakak mengganggu acara indah kami!"
"Kau betul-betul menyukainya?"
Arimbi terkekeh, lalu berjalan ke pintu.
"Dia hebat! Dahsyat...!"
Gadis itu mengacungkan jempol, lalu segera menghilang di balik pintu.
*** "Ohh...!"
Dengan erangan lirih, Rangga mulai siuman.
Perlahan-lahan, matanya mulai terbuka. Samar-samar otaknya mulai mengingat-
ingat, apa yang terjadi di kamar ini.
Terakhir yang diingatnya adalah ketika dia akan melakukan perbuatan terkutuk,
mendadak terdengar suara burung yang tak asing lagi baginya. Suara Rajawali
Putih yang membuat kesadarannya menghilang.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Namun dia tak tahu apa yang harus
dilakukannya, seakan-akan dia sudah tak punya gairah lagi. Tanpa terasa, kakinya
melangkah ke jendela.
Tok! Tok! Tok! Mendadak terdengar ketukan halus, pemuda itu mengerutkan keningnya. Dan
perlahan-lahan tangannya bergerak mendorong daun jendela.
Krieeeet! Jendela berjeruji kayu yang dilapisi kerangka hesl itu terbuka sedikit demi
sedikit. Dahi Rangga berkerut. Kewaspadaannya mengatakan ada sesuatu yang tak
beres. Namun rasa ingin tahunya begitu kuat. Maka dia coba mengintip.
"Tak ada siapa-siapa?"
Pendekar Rajawali Sakti pelan-pelan melompati jendela.
Namun baru saja menjejak tanah....
Set! Mendadak, sebatang anak panah melesat bagaikan kilat ke arah Rangga. Begitu
cepat sehingga....
Crab! "Aaakh...!"
Anak panah itu kontan menembus bahu Pendekar Rajawali Sakti, hingga berteriak
kesakitan Wajahnya langsung menegang. Dahinya berkerut. Darahnya mengucur pelan
membasahi sekujur tubuh. Dan ini membuat kesadarannya mengatakan kalau
kepandaiannya seperti lenyap entah kemara.
Meski menahan rasa sakit hebat, Pendekar Rajawali Sakti tahu ada bahaya besar
tengah mengancam. Sambil meringis
kesakitan, Rangga segera berlari menyelamatkan diri. Namun baru beberapa
tombak... Siut! Crab! Sebatang anak panah menancap lagi di pinggang belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Wajahnya kian berkerut menahan rasa sakit Namun dia berusaha untuk tidak
berteriak. "Tawanan meloloskan diri! Tawanan melolos kan diri...!"
"Ohh...!"
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap mendengar suara teriakan keras. Saat itu juga,
telinganya mendengar derap langkah kaki hilir mudik, dari segala arah. Itu
membuatnya gugup dan tegang. Jantungnya berdetak kencang. Sementara darah segar
terus meleleh dari luka-lukanya.
"Hiih!"
Sambil menggigit bibir menahan sakit, Pendekar Rajawali Sakti mencabut anak
panah yang menancap di pinggang dan di bahunya. Langsung dirobek bajunya yang
dikenakan untuk membebat luka.
"Ssst! Lewat sini!"
"Hei..."!"
*** Rangga tersentak kaget, ketika satu sosok tubuh ramping muncul dari arah
samping. Sosok itu langsung memberi isyarat untuk menghampiri. Begitu dekat
Pendekar Rajawali Sakti segera mengenali gadis itu ternyata Harum Sari.
Tapi bukankah waktu itu Harum Sari tak ikut pulang ke Kerajaan Lokananta yang
terletak di negeri Siluman, karena
belum mendapat jodoh. Tapi memang bisa jadi gadis ini sudah kembali secara diam-
diam, karena tak tega pada Sekartaji yang telah dituduh sebagai pengkhianat.
Rangga tak dapat berpikir lebih lama lagi, ketika suara-suara teriakan makin
terdengar di telinganya. Maka tanpa pikir panjang lagi buru-buru disusulnya
gadis itu. "Cepat! Mereka tengah mengincarmu!" ajak gadis yang ternyata Harum Sari.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Harum Sari menggamit lengannya, lalu buru-
buru memasuki sebuah kamar.
Di dalam, terdapat sebuah terowongan bawah tanah yang semula dihalangi lemari
besi. "Masuklah kau ke dalam! Aku tak bisa mengantarkanmu lebih jauh. Kau harus
bertahan hidup. Hati-hati! Banyak terdapat jebakan maut di dalamnya!" ujar Harum
Sari. "Dan, ini pedang dan pakaianmu." Pendekar Rajawali Sakti cepat menerima
benda-benda yang disodorkan gadis itu. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa...
"Ohh...!"
Bruakkk! Rangga melenguh, saat gadis itu telah menutup mulut terowongan dengan lemari
besar tadi. "Oh, aku mesti menyelamatkan diri. Aku mesti menyelamatkan diri...," keluh
Rangga membulatkan tekad.
Bruak! "Aaakh...!"
Baru saja melangkah, kaki pemuda ini membentur sebongkah batu. Tanpa ampun lagi,
tubuhnya menggelinding cepat ke bawah.
Entah berapa kali tubuh Pendekar Rajawali Sakti membentur batu-batuan runcing,
dan batu-batuan besar. Rasanya luluh lantak. Namun, tetap saja luncurannya tak
mampu dihentikan.
Dia seperti jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. Gelap dan pengap. Tak satu
pun yang bisa dilihat kecuali hitam.
Dan..., pemandangan yang hitam!
Bruak! "Aaakh...!"
Terakhir kali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terhempas keras. Tulang-tulangnya
terasa patah, Kepalanya berkunang-kunang. Tempat ini lembab dan bau. Sunyi,
seperti tak ada kehidupan sama sekali. Rangga seperti melayang-layang tak
menyentuh bumi.
"Oh, Hyang Tunggal! Jika aku mesti mati, hendaklah mati secara gagah perkasa!


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak mau mati seperti ini! Jika aku ditakdirkan hidup, maka berikanlah
pertolongan kepadaku.
Jangan Kau sia-siakan aku dalam penderitaan yang sekiranya tak mampu kupikul!
Berilah aku kekuatan...!" keluh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga mendesis. Suaranya sulit tertangkap pendengaran.
Entah keluar dari bibir atau hanya bergaung di tenggorokan.
Namun dari kedua tangan dan kakinya yang bergerak-gerak, menandakan semangat
hidupnya yang tak mau menyerah begitu saja!
"Oh...! Aku mesti bisa keluar dari tempat ini! Aku mesti bisa...!"
Perlahan-lahan Rangga menggeser tubuhnya, bertopang pada kedua lengan seperti
bayi yang belajar bergerak.
"Air...! Oh, haus...! Aku perlu air..."
Dengan mengerahkan sisa tenaga yang dimiliki, Rangga berusaha menggeser
tubuhnya. Namun usahanya terhenti pada jarak sekitar tujuh langkah dari
tempatnya semula. Kepalanya terkulai dan napasnya seperti mau putus.
"Ahhh...! Air.... Air...!"
Jaaas! "Ohh...!"
Pemuda itu terkesiap. Sekilas matanya tadi melihat seberkas cahaya melesat
cepat. Dicobanya menegaskan pandangan.
Namun, cahaya itu seperti lenyap begitu saja.
"Apa itu" Apakah hanya khayalanku saja" Oh, tidak! Tidak!
Aku takboleh kehilangan kesadaran!"
Jezt! " "Hei"!"
Berkas sinar yang tadi terlihat, kembali muncul. Melesat cepat di hadapan
Pendekar Rajawali Sakti pada jarak sekitar lima langkah. Kali ini. Rangga betul-
betul bukan seperti melihat bayangan maya.
Siuuuts...! Berkas cahaya yang tadi lenyap, kini kembali muncul. Kali ini tepat lurus di
depan Pendekar Rajawali Sakti. Semula berupa cahaya sebesar titik yang semakin
lama semakin besar. Lalu..., membentuk sesosok tubuh seorang wanita polos tanpa
benang sehelai pun!
"Aaahh...!"
Tubuh Rangga gemetar menahan panas dingin hebat, melihat pemandangan di
depannya. Wanita itu seperti melayang-layang beberapa jengkal dari permukaan
tanah. Rambutnya panjang menyapu tanah, berwarna keemasan.
Tubuhnya seperti mengeluarkan cahaya yang menerangi sekitar tempat itu.
"Ohh...! Apakah aku tengah bermimpi" Oh, Jagat Dewa Bhatara! Makhluk apa ini"!"
desisl Rangga dengan wajah pucat dan mata terbelalak lebar.
*** 6 Rangga tetap terpaku tanpa bisa bertindak apa-apa.
Kepandaiannya kini seperti lenyap begitu saja. Bahkan ketika wanita itu
mengibaskan tangannya....
Wuuusss...! Desss...! "Aaakh...!"
Mendadak Rangga merasakan hantaman kuat menghajar tubuhnya. Seperti bandul
raksasa yang meluluhlantakan tulang-tulang di tubuhnya. Itu sudah lebih dari
cukup untuk membuatnya tak sadarkan diri.
Entah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti tak sadarkan diri.
Namun ketika tubuhnya terasa basah seperti mengapung di atas air, Rangga
terjaga. Dan ketika disadari, ternyata tubuhnya berada di pinggir sungai.
"Ohh...! Di mana aku kini...?" keluh Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan-lahan Rangga bangkit. Tubuhnya sedikit segar, namun terasa pegal-pegal
seperti telah mencangkul belasan petak sawah. Luka di pinggangnya hilang tak
berbekas. Demikian pula sisa anak panah yang masih menancap di bahu.
Hilang entah ke mana.
Dengan hari-hari, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menjelajahi tempat itu.
Sebuah hutan dengan bentuk-bentuk pohon aneh. Belum pernah dia melihat sebatang
pohon seperti yang dilihatnya saat ini. Batangnya besar dan jauh menjulang
tinggi ke atas. Daun-daunnya hitam laksana sebuah payung raksasa.
Mendadak telinga pemuda ini mendengar siulan pendek-pendek, namun memiliki irama
tertentu. Cepat dia bersembunyi di balik sebuah pohon. Tak lama, muncul seorang
gadis berjalan riang sambil menenteng keranjang berisi buah-buahan.
Sepintas lalu, gadis itu tak peduli dengan keadaan di sekelilingnya. Namun
begitu jaraknya kian dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti mendadak langkahnya
berhenti. Siulannya terhenti dan wajah riangnya berganti kecurigaan mendalam.
"Siapa kau"! Ayo, keluar! Jangan coba-coba main belakang denganku! Keluar...!"
teriak gadis itu.
Semula Pendekar Rajawali Sakti enggan. Namun ketika mengamati secara seksama
siapa gadis itu, Rangga segera keluar dari persembunyiannya.
"Aku di sini..!" kata Pendekar Rajawali Sakti, seraya melangkah mendekat.
"Kau..."! Bukankah kau manusia bernama Rangga itu?"
sentak gadis ini dengan wajah terkejut.
"Ya. Kau tak salah mengenali orang, Sekartaji," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Astaga! Bagaimana kau bisa tiba di sini" Atau..., hm....
Mereka menggunakanmu sebagai pancingan rupanya!" desis gadis yang memang
Sekartaji Wajah girang gadis itu mendadak berubah. Matanya liar memandang ke sekeliling
dengan kewaspadaan penuh.
"Sekartaji, apa maksudmu?" tanya Rangga, heran melihat perubahan sikap gadis
ini. "Jangan berpura-pura! Mana yang lainnya"!" bentak Sekartaji.
"Yang lain" Siapa yang kau maksudkan?"
"Siapa lagi" Yang pasti kaki tangan Sang Ratu!"
"Sekartaji, aku datang sendiri. Lagi pula kehadiranku ke sini bukan kemauanku,"
jelas Pendekar Rajawali Sakti, meyakinkan.
"Apa maksudmu?" tanya Sekartaji.
"Tiba-tiba saja aku telah di sini."
"Jangan coba membohongiku! Atau, kuhajar kau..."!"
"Untuk apa aku membohongimu" Jika kau kira aku datang bersama mereka, kau
keliru. Saat ini aku bahkan berusaha menghindari mereka," kilah Rangga.
Sekartaji memandanginya dengan sorot mata ragu. Dia bukan tak tahu kalau pemuda
itu berkata benar. Namun setahunya, Rangga berada di penjara. Bahkan tak mudah
keluar penjara begitu saja. Apalagi dalam keadaan segar-bugar. Paling tidak, dia
sekarat atau..., tewas!
"Ceritanya panjang dan tak masuk akal...," desah Pendekar Rajawali Sakti.
"Cerita apa?" tanya Sekartaji.
"Bagaimana aku bisa keluar dari istana itu...."
"Apa maksudmu kau keluar dari istana itu?"
"Ya. Aku melarikan diri."
"Melarikan diri" Astaga! Itu mustahil!"
"Tapi begitulah kenyataannya."
"Bagaimana caramu keluar dari sana?"
Rangga baru saja akan bercerita, tapi mendadak teringat sesuatu. Seketika
kakinya melangkah mundur dengan sikap waspada.
"Hm! Aku tak peduli siapa pun kau! Tapi kalau coba-coba meringkusku, aku akan
melawan sekuat tenagaku," gumam Rangga.
"Hei! Apa maksudmu?" tanya Sekartaji, jadi heran.
"Kau salah satu dari mereka! Kau datang untuk menangkapku lagi, bukan?" tuding
Rangga. "Gila! Aku sekarang buronan kerajaan!" kilah Sekartaji.
"Tidak usah menipuku!" sergah Rangga.
"Huh! Aku tidak menyuruhmu percaya!" dengus gadis berbaju merah itu.
"Siapa yang mau percaya padamu"!"
"Kalau begitu apa perlumu di sini" Ini tempatku! Pergilah kau dari sini!"
"Tentu saja! Tanpa kau suruh pun, aku segera angkat kaki!"
"Lekas pergi! Enyah dari hadapanku...!"
Baru saja beberapa langkah berjalan....
"Sekartaji! Apa yang kau lakukan" Kenapa kau begitu kasar pada tamu kita?"
Mendadak terdengar suara yang diikuti meluncurnya sosok tubuh dari atas pohon
yang menjulang tinggi. Tubuhnya melayang ringan seperti sehelai bulu, dan tepat
berdiri di dekat Sekartaji. Ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki bertubuh
sedang. Rambutnya panjang telah memutih semua.
"Ayah! Pemuda itu datang tiba-tiba dan menuduhku macam-macam!" gerutu Sekartaji
dengan wajah memberengut.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah menghentikan langkahnya. Tubuhnya
berbalik, menghadap ke arah ayah dan anak itu.
"Ayah mendengar semua pembicaraan kalian. Dan pemuda ini berkata sejujurnya...,"
kata laki-laki tua yang tak lain Ki Sapta Dewa.
"Ayah..."! Apa maksudmu" Ayah membelanya"!" sentak Sekartaji.
"Tidak... Ayah bisa merasakan pengalaman dahsyat yang dialami pemuda ini. Dia
sedikit mengalami guncangan. Dan kau tak perlu bersikap keras padanya," ujar Ki
Sapta Dewa. "Huh...!"
Sekartaji mendengus. Wajahnya menyimpan kekesalan melihat pembelaan ayahnya
terhadap pemuda ini.
"Kisanak... Namaku Rangga..," ucap Rangga seraya menghaturkan hormat.
"Anak muda, aku Sapta Dewa. Senang berjumpa denganmu.
Kau tentu seorang pemuda hebat," puji Ki Sapta Dewa.
"Kau berlebihan memujiku, Ki," elak Rangga.
"Tapi kenyataannya begitu. Kau telah menawan hati putriku."
"Ayaaah..."!" seru Sekartaji kaget.
Seketika wajah gadis ini terasa jengah. Berganti-ganti dia memandang Pendekar
Rajawali Sakti dan ayahnya. Dan akhirnya, dia kabur sekencang-kencangnya dari
tempat ini "Kau lihat, bukan" Tingkah gadis yang tengah kasmaran!"
kata Ki Sapta Dewa.
"Maaf, aku.... aku tak tahu hal itu, Ki," ucap Rangga, juga jadi salah ringkah.
"He he he...!"
Meski Pendekar Rajawali Sakti merasa kalau orang tua ini menunjukkan sikap
bersahabat, namun tidak langsung mempercayainya. Apalagi laki-laki ini ayah
Sekartaji. "Tak perlu mencurigaiku, Anak Muda," kata Ki Sapta Dewa, seperti mengetahui apa
yang ada di benak Rangga.
"Tapi kau ayah Sekartaji...," desah Rangga, hati-hati.
"Ya. Kami baru bertemu setelah sekian lama."
Dahi pemuda itu berkerut.
"Sang Ratu itu ibunda Sekartaji. Dan kau ayahnya. Kau bermaksud menangkapku?"
tebak Rangga. "Ha ha ha...! Jadi itukah yang sejak tadi kau pikirkan?"
Rangga diam tak menjawab.
"Kami telah lama berpisah...."
Suara laki-laki tua itu rendah setelah tawanya reda.
Kemudian diceritakannya secara singkat riwayat hidupnya.
Rangga menyimak penuh perhatian. Meski terharu dan sedikit mengerti keberadaan
laki-laki tua ini, namun tetap saja belum begitu mempercayainya.
"Nah! Sekarang, bagaimana dengan kau sendiri" Maukah kau menceritakan mengapa
bisa tiba di sini?" tanya Ki Sapta Dewa.
"Aku sendiri tak tahu...," sahut Rangga, mendesah lirih.
"Tak tahu" Apa maksudmu?"
"Aku terjerumus ke dalam lubang yang dalam dan gelap.
Kemudian bertemu seorang wanita cantik tanpa busana.
Rambutnya panjang sekali dan keemasan Tubuhnya bercahaya...."
"Astaga! Sungguh-sungguhkah kau bertemu dengannya"!"
Meski berkata yang sebenarnya, Rangga tetap menduga kalau orang tua ini akan
menganggap ceritanya bohong.
Namun, tak terduga wajah Ki Sapta Dewa terlihat kaget
'Ya...," sahut Rangga, pendek.
"Tahukah kau, siapa makhluk itu"!" Ki Sapta Dewa malah mengajukan pertanyaan.
Pemuda itu menggeleng lemah.
"Dia makhluk yang paling dikeramatkan oleh semua penghuni kaum siluman di
Lokananta ini!" jelas Ki Sapta Dewa, menjawab pertanyaannya sendiri.
Kali ini Rangga yang terjekut, mesti setengah tak percaya.
"Kau beruntung bisa bertemu dengannya, Rangga! Apa yang diberikannya padamu"!"
tanya laki-laki tua itu lagi.
"Dia malah menghajarku. Dan.., aku tak sadarkan diri. Lalu tiba-tiba saja telah
berada di sini," jawab Rangga, menjelaskan.
"Ha ha ha...! Aku telah lama sekali hendak bertemu dengannya. Tapi rupanya tidak
berjodoh. Kau betul-betul beruntung, Rangga."
"Dihajar sampai nyaris mati, itukah yang disebut keberuntungan?"
"Hei! Apakah kau tidak merasakan perubahan pada dirimu"
Kudengar kesaktianmu dikunci oleh Gandasari. Tapi, bisakah kau rasakan kalau
kesaktianmu telah kembali?" tukas Ki Sapta Dewa.
Rangga memang merasakannya sejak tadi Tapi, rasanya belum yakin benar jika belum
mengeluarkannya. Namun mengeluarkannya di depan orang tua ini, jelas bukan sikap
yang baik. "Tidak apa! Coba kau hantam ke sana dengani seperdelapan tenaga pukulanmu!
Ayo...!" ujar Ki Sapta Dewa seperti mengerti jalan pikiran pemuda itu.
Untuk sesaat Rangga ragu. Tapi pelan-pelani tenaga dalamnya dikerahkan. Begitu
tangannya menghentak....
"Hiih!"
Pyaarrr...! Segutung angin kencang bertiup dahsyat, menerbangkan dedaunan dan batu-batu
sebesar kepala kerbau.
"Hei"!"
Rangga terkesiap. Dia tadi hanya mengerahkan! sedikit tenaga dalam. Namun yang
terjadi sungguhi dahsyat. Dengan termangu-mangu, dia memandangi telapak
tangannya. Seolah-olah, hatinya takl percaya kalau hal tadi perbuatannya.
"Hebat! Kau sungguh hebat, Rangga," puji Ki Sapta Dewa.
"Terima kasih, Ki. Aku tak tahu, bagaimana hal itu bisa terjadi...," ucap
Pendekar Rajawali Sakti.
"Itu semua berkat keberuntunganmu. Kini bukan saja kesaktianmu kembali. Tapi,
tenagamu pun bertambah. Siluman-siluman itu bukan apa-apa lagi bagimu," jelas
laki-laki tua itu.
"Apa maksudmu, Ki" Terakhir aku bertarung, mereka betul-betul membuatku tak
berdaya. Pukulanku tak mampu melukai mereka. Dan dengan mudah, mereka mengunci
ilmu-ilmuku...."
"Itu karena mereka memiliki kemampuan untuk menaklukkan manusia lewat ilmu gaib
yang tidak dimiliki kebanyakan manusia. Tapi, kini mereka tak bisa berbuat
seenaknya padamu...."
"Kalau benar ini terjadi padaku, mestinya aku amat berterima kasih. Padahal,
semula aku betul-betul terluka parah.
Bahkan peluang untuk hidup pun amat tipis...."
"Kini kau menjadi manusia baru, Rangga!"
"Ki Sapta Dewa, siapa gerangan makhluk itu sebenarnya?"
tanya Rangga, penasaran.
"Kaum siluman menyebutnya Ning Setya Larang. Mungkin semacam Dewi Penolong bagi
manusia. Aku tidak tahu banyak.
Tapi, banyak cerita yang mengatakan kalau seseorang mampu bertemu dengannya,
maka akan menemukan kebaikan," papar Ki Sapta Dewa.
"Ya, aku bisa merasakan kebaikannya bagi diriku...."
"Hei! Sungguh keterlaluan. Kita telah bicara panjang lebar, tapi aku sama sekali
belum menawarkanmu mampir ke pondokku?"
Ki Sapta Dewa tertawa renyah.
"Kau tak keberatan, bukan" Ayo...!" ajak laki-laki tua ini.
"Terima kasih, Ki," ucap Rangga.
*** Mayang Srimpi uring-uringan tak menentu. Dia mondar-mandir di kamarnya dengan
kening berkerut. Sebentar-sebentar kepalanya melongok ke jendela. Dilihatnya
beberapa tetes darah berceceran Lalu dia kembali mondar-mandir.
"Sial! Kurang ajar! Kenapa dia bisa melarikan diri"!" maki Sang Ratu.
Terdengar pintu diketuk dari luar. Setengah meloncar dia membuka pintu. Tampak
seorang gadis berpakaian hamba sahaya berdiri di ambang pintu.
"Maaf, Paduka...!"


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis hamba sahaya itu langsung berlutut dengan kepala tertunduk.
"Berhasilkah kalian menemuinya"!" tanya Mayang Srimpi langsung.
"Seluruh pelosok telah kami selidiki, namun jejak pemuda itu tak juga kami
temui," lapor gadis itu.
"Keparat!"
"Kami telah mencarinya di luar istana, namun tak terlihat tanda-tanda
kehadirannya. Bahkan jejaknya pun tak ada...."
"Dia terluka. Dan, tak mungkin lolos begitu saja. Cari sampai ketemu!" perintah
Mayang Srimpi. "Baik, Paduka!" sahut gadis itu.
Sebelum hamba sahaya itu berlalu, muncul dua orang prajurit yang langsung
berlutut. "Ampun Paduka! Kami membawa sesuatu yang mungkin penting...," lapor salah
seorang prajurit.
"Lekas katakan!" ujar Sang Ratu "Anak panah berlumuran darah ini kami temukan
tidak jauh dari kamar Paduka!"
Salah satu prajurit mengangsurkan anak panah pada Sang Ratu. Mayang Srimpi
mengamatinya sesaat dengan dahi berkerut Sekilas saja bisa diketahui siapa
pemilik anak panah itu.
"Panggil Sriwangi ke sini!" perintah Mayang Srimpi seraya menyambar anak panah
itu. "Baik, Paduka!"
*** "Ibunda. Saya menghadap sesuai panggilan...," kata Sriwangi, begitu tiba di
hadapan Mayang Srimpi.
"Sriwangi! Sejak kapan sikapmu mulai berubah?" tegur Mayang Srimpi langsung.
"Apa maksud, Ibunda" Saya sama sekali tidak mengerti...,"
kilah Sriwangi.
"Kalau begitu anak panah siapa ini"!"
Sang Ratu menyodorkan anak panah yang ditemukan dua prajuritnya tadi.
"Eh"! Itu..., itu memang seperti anak panah milik saya...,"
Sriwangi kontan tergagap.
"Bukan seperti, tapi memang milikmu!" bentak Sang Ratu.
"Tapi..., mengapa berada di tangan Ibunda?"
"Kau masih mau berlagak bodoh?"
"Ibunda, saya..., saya tak mengerti... Ini pasti fitnah! Pasti ada orang yang
sengaja memfitnah saya!" sentak Sriwangi terkejut.
"Biar kujelaskan untuk menyegarkan ingatanmu. Rangga kau pancing keluar lewat
jendela. Setelah itu, kau hujani dia dengan anak panah. Begitu, kan" Apakah
sudah ingat"!"
"Itu tidak benar, Ibunda. Apa untungnya saya membunuhnya" Keberadaannya di
tangan Ibunda. Dan selamanya, saya tak akan berani mengusik-ngusiknya. Saya tak
pernah berselisih dengan Ibunda, atau siapa saja. Apalagi hanya untuk
memperebutkan pemuda itu!" sergah Sriwangi.
"Barangkali kau tidak senang dia bersamaku?"
"Ibunda! Saya bahkan tak berani berpikir begitu!" desis Sriwangi, kaget.
"Hm...!"
"Ibunda, saya betul-betul tidak mengerti, bagaimana anak panah saya bisa berada
di sini. Padahal saya menyimpannya dengan rapi. Percayalah, Ibunda. Pasti ada
orang yang mencurinya untuk memfitnah saya."
Sang Ratu terdiam sejurus lamanya, menimbang-nimbang apa yang dikatakan Sriwangi
tadi. "Menurutmu, siapa yang kira-kira melakukan ini?" tanya Mayang Srimpi.
"Ampun, Ibunda! Saya tidak tahu apa-apa soal ini!" sahut Sriwangi.
"Brengsek...!"
Sriwangi semakin tak berani memandang wajah Penguasa Kerajaan Lokananta itu.
Sang Ratu kelihatan betul-betul murka atas kehilangan Rangga.
"Pergilah kau! Tapi jangan dikira tuduhanku kepadamu selesai Selama belum ada
yang lain, maka kau tetap kucurigai.
Jadi, jangan coba-coba cari alasan lain. Pengawasan terhadapmu akan diperketat!"
"Saya menerimanya, Ibunda."
"Pengawal!" teriak Mayang Srimpi.
"Ya, Paduka...!"
Dua prajurit tergopoh-gopoh masuk dan berlutut.
"Perintahkan sepuluh prajurit mengawal kamar Sriwangi.
Dan tak diperkenankan dia berjalan seorang diri kemana pun tujuannya!" perintah
Mayang Srimpi "Baik, Paduka! Segala titah akan kami junjung tinggi."
"Hm!"
Ketika kedua prajurit baru saja keluar bersama Sriwangi, Mayang Srimpi memberi
isyarat pada gadis hamba sahayanya.
"Ampun, Paduka...!"
"Ambil lonceng ini. Dan bunyikan sekali-sekali sepanjang perjalananmu ke dapur!"
perintah Sang Ratu, seraya menyerahkan lonceng kecil
Meski tak mengerti mengapa junjungannya memberi perintah ganjil, namun gadis itu
tak berani banyak tanya.
Dengan sigap diterimanya lonceng itu. Lalu dia segera keluar setelah memberi
hormat. Sang Ratu memanggil gadis hamba sahaya yang seorang lagi.
"Panggil Gandasari, Arimbi, dan Paman Desta Ketu! Aku mau mereka menghadapku di
balairung sebentar lagi," perintah Sang Ratu.
"Segala titah akan hamba junjung tinggi dan kenakan segera!"
*** 7 Sang Ratu menunggu dengan gelisah. Sengaja jendela dan pintu dibuka lebar4ebar.
Benar saja. Sebentar saja, apa yang ditunggu muncul. Tiba-tiba saja, seorang
laki-laki setengah baya berperawakan sedang sudah berdiri di depan pintu.
Seketika tubuhnya bergerak cepat menutup pintu dan mengunci jendela. Kini, hanya
mereka berdua saja dalam ruangan itu
"Jonggol Putung menghadap, Paduka!" ucap laki-laki itu sambil membungkukkan
badan. "Jadi kau terima isyarat dariku?" tanya Sang Ratu.
"Benar. Kudengar bunyi lonceng itu. Kelihatan penting, sehingga buru-buru hamba
menghadap," sahut laki-laki bernama Jonggol Putung
"Jonggol Putung! Kau tak kehilangan waspada, bukan"
Kuharap tak ada yang melihatmu," kata Sang Ratu.
"Hamba yakin, Paduka...."
"Baiklah, aku percaya. Kita langsung saja pada persoalan."
"Hamba mendengarkan dengan seksama, Paduka...."
"Tahukah kau, siapa yang bermaksud membunuh pemuda itu?"
"Pemuda manusia itukah?"
"Siapa lagi"!"
"Hamba tak punya bukti pasti. Tapi, Paduka patut mencurigai Gandasari...."
Mayang Srimpi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hm, sudah kuduga. Apa yang kau tahu tentangnya?" tanya Sang Ratu.
"Belakangan ini, dia kasak-kusuk dengan beberapa prajurit.
Tahukah Paduka, apa yang henak mereka rencanakan?"
"Katakan padaku!" ujar Mayang Srimpi, dengan mata melotot.
"Mereka hendak menggulingkan kekuasaan Paduka."
"Bedebah! Anak setan...!" maki Mayang Srimpi. "Kenapa tidak kau laporkan buru-
buru"!"
"Paduka tidak memanggil. Lagi pula, hamba belum melihat kalau mereka sebagai
ancaman. Jumlah prajurit yang termakan bujukannya masih sedikit. Dalam sekejap,
mereka bisa dipatahkan. Dan yang terpenting, hukuman serta tindakan belum bisa
diambil selagi bukti nyata belum ada, Paduka," jelas Jonggol Putung.
"Jangan berkotbah, Jonggol Putung! Tangkap mereka...!"
"Paduka, sadarlah! Hamba tak berwenang Dan lagi..., tugas hamba...."
"Maaf, Jonggol...!" potong Sang Ratu seraya mengatur pernapasannya. "Maksudku,
aku akan perintahkan pengawal untuk meringkus mereka."
"Sudahkah dipikirkan baik-baik, Paduka?" tanya Jonggol Putung mengingatkan.
"Apa kau punya saran?" Sang Ratu balik ber tanya.
"Tugas hamba bertindak Dan hamba bukan penasihat.'
"Hm...! Apa Paman Desta Ketu berpihak pada mereka?"
"Dia terlalu setia pada Paduka! Mereka tak akan berani membujuknya."
"Hm..."'
'Ada lagi yang Sang Ratu inginkan?"
"Tahukah kau, di mana pemuda itu kini berada?" tanya Sang Ratu, menggunakan
kesempatan. "Sepertinya dia berada di tempat yang aman, Paduka," sahut Jonggol Putung.
"Di mana?" kejar Mayang Srimpi.
"Hamba tak bisa mengatakannya secara tepat..."
"Katakan saja dugaanku!"
"Firasat hamba mengatakan, pemuda itu berada di dasar Sumur Neraka...."
"Sumur Neraka"! Gila! Bagaimana mungkin dia berada di sana"!" sentak Mayang
Srimpi. "Itu hanya dugaan, Paduka. Bisa saja salah...," kata Jonggol Putirng
mengingatkan. "Dia tak akan selamat! Sampai saat ini belum ada yang berhasil keluar setelah
tercebur ke dalam Sumur Neraka.
Kenapa kau katakan kalau dia dalam keadaan aman?"
"Firasat hamba mengatakan demikian, Paduka."
"Hm...!"
"Aku akan bertindak sekarang!"
"Apa yang hendak Paduka kerjakan?"
"Akan kuperintahkan semua prajurit pilihan mencari pemuda itu di dasar Sumur
Neraka!" 'Itu bukan tindakan bijaksana, Paduka...."
"Aku penguasa di sini. Dan segala perintahku harus dikerjakan!"
"Gandasari mengincar mahkota. Kalau Paduka berbuat kejam pada semua prajurit,
mereka punya pilihan untuk bergabung dengan Gandasari. Itu ancaman besar bagi
Paduka!" "Kau benar, Jonggol! Apa yang mesti kulakukan?"
"Tak usah khawatirkan soal pemuda itu, Paduka. Bukankah hamba telah katakan
kalau dia dalam keadaan aman" Kalau memang berjodoh, maka Paduka akan bertemu
lagi dengannya.
Saat ini, urusan pemuda itu dikesampingkan lebih dulu.
Pusatkan persoalan kepada ulah Gandasari!"
Baru saja Mayang Srimpi akan buka suara....
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan di pintu. Jonggol Putung cepat bersembunyi. Matanya liar
ketika menyingkapi jendela. Ketika tak ada orang melihat, secepat kilat tubuhnya
melesat. "Paduka, hamba pamit!"
Brak! Jendela itu terbuka dan tertutup kembali dalam waktu singkat, sebelum Mayang
Srimpi membuka pintu.
"Ada apa?" tanya Mayang Srimpi, ketika pintu terbuka.
Tampak dua orang prajurit sudah berlutut di hadapannya.
"Gandasari dan Arimbi tidak kami temukan! Desta Ketu siap menghadap!" ujar
seorang prajurit
"Keparat!" dengus Sang Ratu. "Cari dan tangkap mereka!"
"Baik, Paduka!"
*** "Kenapa kita mesti kabur seperti buronan" Kita tinggal selangkah lagi menuju
cita-citamu!" tanya Arimbi pada Gandasari.
Saat ini mereka tengah beriari meninggalkan bangunan Istana Kerajaan Lokananta
lewat jalan belakang. Mereka ditemani dua laki-laki tua yang tak lain Giri
Sadaka dan Ajiwirya, serta beberapa prajurit yang telah terhasut.
Sementara laki-laki tua yang bernama Ajiwirya sebenarnya suami Sriwangi. Namun
karena sifatnya yang mata keranjang, dia mudah tergoda oleh Gandasari. Dan
akhirnya, laki-laki ini menjadi abdi setia Gandasari.
"Kita memang buronan, Arimbi!" bentak Gandasari.
"Huh! Aku bukan buronan! Kuhajar siapa pun yang coba-coba menghalangi
langkahku!" dengus Arimbi.
"Sadarlah, Arimbi. Ibunda memanggil karena telah mengendus rencana kita. Aku tak
mau mati konyol sebelum rencana kita berhasil. Kita memang tinggal selangkah
lagi menuju cita-cita. Tapi ingat, masih banyak yang belum berpihak pada kita,
termasuk Desta Ketu dan Guru...," ujar Gandasari.
"Dengan bantuan Kakang Giri Sadaka dan Ajiwirya, mereka dapat kita sapu bersih.
Mereka telah meminum air 'Dewa Langit', sehingga mampu menghajar bangsa
siluman." "Apa kau kira mereka bisa diharapkan menghadapi Guru dan Desta Ketu?"
"Kita belum mencobanya. Tapi, aku yakin sekali kalau mereka mampu melakukannya!"
"Dan kalau mereka tewas, kita pun celaka! Itukah maksudmu"!" desis Gandasari.
"Kakak saja yang terlalu takut!"
"Jangan berkata seperti itu, Arimbi!" bentak Gandasari.
"Kalau punya cita-cita besar harus berani menanggung segala macam rintangan apa
pun. Jangan mundur sebelum mencoba!" balas Arimbi.
"Arimbi, tutup mulutmu!"
"Aku tak akan tutup mulut sebelum jiwa kepengecutanmu sirna!"
"Kurang ajar! Kau berani membantahku, he"!"
"Kakak, sadarlah. Tidak usah bertengkar. Kau tak punya kekuasaan lagi. Seperti
yang kau kata kan, kita buronan. Jadi, jangan bertingkah seolah mampu berbuat
semaunya terhadap saudara-saudaramu!"
"Jangan kira aku tak mampu menghukummu, meski tak berada di istana!"
"Jadi apa maumu"!"
Arimbi pun jadi panas hatinya melihat sikap kakaknya yang mulai garang.
"Kurang ajar! Kau semakin berani saja padaku!"
Tanpa banyak tanya lagi, Gandasari langsung melayangkan kepalan tangan menghajar
adiknya. Namun, Arimbi tak kalah sigap. Dia langsung menangkis sambil mengelak.
Plak! "Yeaaa...!"
Pertarungan antara kakak beradik itu tak dapat dihindari lagi.
Sementara Giri Sadaka dan Ajiwirya serta beberapa prajurit kerajaan hanya mampu
menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.
Percuma saja mereka coba berteriak, karena Arimbi dan Gandasari tak dapat
dipisahkan lagi. Pertarungan kedua wanita itu yang memiliki tingkat kepandaian
sama, berjalan semakin sengit. Masing-masing ingin menjatuhkan lawan secepatnya.
Namun nyatanya hal itu tak mudah. Sebab, masing-masing mengetahui secara persis
kepandaian satu sama lain.
Tanpa disadari sepasukan prajurit Kerajaan Lokananta telah mengepung tempat ini.
"Gandasari dan Arimbi! Kalian ditangkap atas perintah Sang Ratu!" teriak seorang
laki-laki gagah berpangkat panglima.
"Hei"!"
Serentak kedua wanita ini menghentikan pertarungan.
Gandasari mendengus sambil berkacak pinggang.
"Panglima! Pulanglah kau. Dan, jangan cari gara-gara...!"
bentak Gandasari.
"Kalianlah yang sebaiknya jangan cari gara-gara!
Menyerahlah sebelum kami paksa!" balas panglima itu.
"Kurang ajar!" maki Gandasari.
Gandasari melirik pada Ajiwirya. "Kakang! Bisakah kau membereskan mereka
untukku?" pinta Gandasari.
"Tentu saja! Ini kesempatan baik bagiku untuk menguji khasiat air 'Dewa
Langit',".jawab Ajiwirya mantap.
Begitu habis kata-katanya, Ajiwirya mencelat sambil memutar tongkat yang kedua
ujungnya runcing.
"Kakang Giri Sadaka! Bantulah agar pekerjaan Kakang Ajiwirya lebih mudah...,"
ujar Arimbi. "Beres!" sahut Giri Sadaka.
"Heaaat...!"
Senjata yang dimiliki Giri Sadaka berupa clurit besar langsung berputar-putar
menimbulkan suara menderu-deru tajam.
Tanpa banyak tanya lagi mereka membagi tugas. Ajiwirya menghadapi panglima
pasukan itu, sedangkan Giri Sadaka melayani serangan para prajurit yang setia
pada Sang Ratu.
Cras! Bret! "Wuaaakh...!"
"Ha ha ha...! Aku mampu membunuh mereka...!" teriak Giri Sadaka kegirangan.
"Clurit ini akan menghabisi mereka!


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Heaaa...!"
Melihat keadaan itu, nafsu angkara di hati Giri Sadaka bergolak. Kebengisan pun
meledak-ledak untuk mencari korban sebanyak mungkin.
Jres! Bret! "Aaa...!"
"Ha ha ha...!"
Agaknya, sikap Giri Sadaka membuat semangat Ajiwirya bertambah. Dia semakin
yakin mampu mengatasi lawan. Dan terbukti, dalam waktu singkat senjatanya
mematahkan pedang Panglima Kerajaan Lokananta.
Tak! Begitu pedang panglima itu patah, tombak Ajiwirya menyodok ke jantung. Namun
panglima itu cepat melompat ke belakang. Namun baru saja mendarat, Ajiwirya
telah mencelat.
Kaki kanannya langsung diayunkan ke dada.
Desss...! "Akh...!"
Tendangan itu telah menghantam Panglima Kerajaan Lokananta hingga terjajar
beberapa langkah. Dan belum sempat panglima itu berbuat apa-apa, tombak Ajiwirya
secepat kilat telah menghujam di dada kirinya.
Blesss! "Aaa...!"
Panglima itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan dada
kiri bolong. Di tak berkutik setelah beberapa saat menggelepar.
Melihat panglima mereka binasa, para prajurit Kerajaan Lokananta kocar-kacir.
Perlawanan mereka tak berarti banyak.
Ajiwirya melengkapi korban yang telah dibuat Giri Sadaka hingga tak bersisa!
"Hebat sekali, Kakang Giri Sadaka!" puji Arimbi.
"Kau juga, kakang Ajiwirya...." timpal Gandasari.
"Kau lihat, Kakak. Mereka bisa diandalkan, bukan?" tukas Arimbi.
"Memang. Tak kuragukan hal itu sedikit pun.'
"Lalu, apa yang membuatmu ragu?"
"Desta Ketu dan Guru."
"Aku yakin mereka berdua mampu mengatasinya!"
"Jangan gegabah, Arimbi!"
"Aku tidak takut pada siapa pun di istana ke-rajaan. Ayo, kita kembali dan
habisi mereka yang coba menentangmu!" dengus Giri Sadaka.
"Benar! Tak peduli dia setan belang dari neraka sekalipun!
Biar kami bereskan semuanya untuk kalian!" timpal Ajiwirya.
"Kau dengar itu, Kakak" Mereka menyanggupinya!" ujar Arimbi.
Gandasari masih terdiam. "Ayolah, beri keputusan! Hanya ada dua pulihan. Kembali
ke sana dan mengambil mahkota yang kau idam-idamkan, atau selamanya menjadi
buronan kerajaan?" desak Arimbi.
"Ya! Kau benar, Arimbi..," desah Gandasari.
"Jadi..."!"
"Kita ke sana!"
"Nah! Itu baru keputusan tepat!"
Arimbi baru saja hendak memberi perintah mendadak muncul sepasukan prajurit
Kerajaan Lokananta lainnya ke tempat itu. Mereka langsung dipimpin panglima
utama. Ikut dalam rombonga adalah Desta Ketu serta seorang laki-laki tua
bersorban putih memakai baju seperti pendeta.
"Hm.... Guru pun ternyata hadir...," guma Gandasari.
"Jangan pedulikan!" kata Arimbi, tegas.
"Gandasari! Apa yang kau perbuat di sini"! Kalian telah membunuh sekian banyak
prajurit kerajaan," tegur laki-laki berpakaian pendeta, ketika melihat mayat-
mayat prajurit Kerajaan Lokananta yang berserakan.
"Guru! Sebaiknya jangan campuri urusan ini" ujar Gandasari, bergetar suaranya.
"Murid kurang ajar! Berani betul kau berkat begitu padaku"!"
maki laki-laki bersorban itu.
"Guru! Kakak Gandasari benari Sebaiknya jangan campuri urusan ini!" timpal
Arimbi. "Selamanya aku tak pernah mengajarkan kalian berbuat kurang ajar! Kenapa kalian
ini"! Apa yang telah terjadi pada kalian"!"
"Sukang Jebar, ketahuilah. Kedua muridmu ini telah dirasuki hawa nafsu tamak
akan kekuasaan. Jadi, jangan berharap mereka akan berbaik-baik padamu. Kecuali,
kau berdiri di pihak mereka," kata Ki Desta Ketu.
"Aku tak percaya itu!" bentak laki-laki tua berpakaian pendeta yang bernama
Sukang Jebar. "Kau boleh tentukan pilihan. Sang Ratu memberi kebebasan padamu untuk bertindak.
Tapi menyangkut nasib mereka, ada di tanganku," tegas Ki Desta Ketu.
"Desta Ketu! Beri kesempatan padaku untuk menasihati mereka," pinta Ki Sukang
Jebar. "Silakan...!"
Pendeta itu menarik napas panjang sebelum memulai bicaranya.
"Gandasari dan Arimbi! Ketahuilah..., jalan yang kalian pilih ini salah. Untuk
apa hal itu kalian perbuat" Sia-sia saja. Dan, tak ada gunanya...," bujuk Ki
Sukang Jebar. "Sukar Jebar!" bentak Arimbi tanpa panggilan 'Guru'. "Sudah kukatakan padamu,
kami tak perlu nasihat serta campur tanganmu dalam soal ini! Pergilah kau!"
"Arimbi! Tahukah kau, kepada siapa tengah bicara?" tukas Ki Sukang Jebar.
"Aku tak peduli siapa kau, dan apa jabatanmu! Tapi kalau coba menentang, maka
kau musuh kami.. !" bentak Arimbi.
"Aku tidak berfhaksud buruk pada kalian... '
"Pergi kataku! Lupakan hubungan antara murid dan Guru di antara kita!" bentak
Arimbi. "Kalau kau membela mereka, menjadi lawan kami!"
"Hm... "
"Sukang Jebar! Waktumu habis. Kami akan bertindak!" ingat Ki Desta Ketu.
"Aku tahu. Namun, aku ingin kau mengabulkan satu hal, Desta Ketu," sahut Ki
Sukang Jebar. "Apa itu?"
"Mereka murid-muridku. Dan aku merasa bertanggung jawab atas kelakuan mereka.
Biarkan aku yang akan menangkap mereka!" pinta pendeta itu.
"Kau dapat kesempatan pertama, Sukang Jebar!" sahut Ki Desta Ketu mantap.
"Terima kasih."
Ki Sukar Jebar semakin mendekat. Sebaliknya, Gandasari dan Arimbi melangkah
mundur. Mereka tahu gelagat ini, dan segera memberi isyarat.
"Gandasari, Arimbi.... Aku terpaksa harus menangkap kalian!
Bersiaplah!" ujar Ki Sukang Jebar.
"Mundur kalian! Biar kuhadapi tua bangka ini1" dengus Giri Sadaka
"Hm! Manusia! Sebaiknya kau tak usah ikut campur persoalan kami...," gumam laki-
laki pendeta itu.
"Heaaa...!"
Namun Giri Sadaka menjawabnya dengan serangan kilat bertenaga dalam kuat.
*** 8 Ki Desta Ketu tak tinggal diam. Bersama panglima utama, dia segera menyerbu.
Namun, Ajiwirya cepat telah menghadang.
Sedangkan panglima utama ditahan oleh Gandasari. Sementara Arimbi dan para
prajuritnya membereskan para prajurit Kerajaan Lokananta yang jumlahnya dua kali
lipat. "Heaaat...!"
"HHh!"
Dalam waktu singkat pertarungan berlangsung seru. Melihat jumlah, mestinya pihak
kerajaan akan mudah membereskan para pengkhianat itu. Namun pada kenyataannya,
hal itu malah sebaliknya. Dengan adanya Arimbi, meski jumlah mereka sedikit,
tapi orang-orangnya berhasil membabat para prajurit kerajaan tanpa mengalami
kesulitan. Terlebih lebih Arimbi!
Sementara itu pertarungan antara panglima utama melawan Gandasari beriangsung
seru. Sayang, perlahan-lahan panglima kerajaan itu terdesak hebat, dan mesti
mengakui kehebatan murid Ki Sukang Jebar.
"Hiih!"
Kedua tangan Gandasari bergerak cepat menepis tebasan pedang panglima utama
kerajaan. Plak! Pedang itu kontan teriempar jauh. Sebelum panglima itu berbuat sesuatu, kaki
Gandasari menyodok silih berganti ke bagian dada. .
Des! Desss...! "Aaakh...!"
Panglima utama kerajaan ini terjajar ke belakang disertai keluhan tertahan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Gandasari. Kembali kakinya menyapu ke leher.
"Uts...!"
Panglima itu terkejut, namun cepat merunduk. Pada saat yang sama, tendangan
selanjutnya cepat dari Gandasari menyusul menghantam dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Kembali panglima itu terhuyung-huyung. Sementara Gandasari segera mengejar
secepat kilat seraya melepas pukulan bertubi-tubi.
Begkh! Des! Desss...!
"Aaa...!"
"Hei"!"
Kematian panglima itu membuat kaget Ki Desta Ketu dan Ki Sukang Jebar. Bukan
karena kepandaian gadis itu mampu mengatasi kelihaian sang panglima. Tapi,
membunuh seorang
panglima utama benar-benar mengumandang peperangan terhadap kerajaan.
"Heaaat...!"
Kelengahan Ki Sukang Jebar dimanfaatkan Giri Sadaka.
Tanpa memberi kesempatan, dicecamya guru dari Arimbi dan Gandasari dengan
pukulan jarak jauh berhawa maut.
"Uts...!"
Ki Sukang Jebar terkejut, namun cepat melenting ke udara.
Jderrr...! Sebuah lubang besar terkuak terkena hantaman Giri Sadaka.
Dan baru saja Ki Sukang Jebar berputaran di udara, Giri Sadaka telah
menghentakkan kedua tangannya. Dan....
Jderrr! "Aaakh!"
Tubuh Ki Sukang Jebar kontan terlempar ke belakang. Begitu jatuh di tanah, darah
tampak meleleh dari mulutnya.
"Heaaa...!"
Sementara Giri Sadaka telah melompat siap menghabisi nyawa Ki Sukang Jebar
dengan sekali hantam lagi. Tapi sebelum niatnya terlaksana...
"Manusia keparat! Lawanlah aku! Heaaat...!"
Mendadak berkelebat bayangan merah yang langsung melepas pukulan jarak jauh ke
arah Giri Sadaka Wuuusss!
"Hup!"
*** Secepat kilat Giri Sadaka menghindar dengan melompat ke belakang. Sehingga,
angin yang melunak tajam itu menghantam tempat kosong.
"Guru, kau tak apa-apa..."!"
"Sekartaji! Kau..., kau...," sebut Ki Sukang Jebar, terpatah-patah.
"Ya. Ini aku, Guru...,'' sahut sosok bayangan merah yang ternyata Sekartaji.
"Kau selamat?" tanya Ki Sukang Jebar.
Gadis berbaju merah itu mengangguk dengan wajah haru.
"Hei, Sekartaji! Minggirlah kau, sebelum kuhabisi nyawamu!"
bentak Giri Sadaka.
Mendengar itu darah Sekartaji mendidih. Dan secepat kilat tubuhnya berbalik,
memandang tajam.
Namun sebelum gadis itu melampiaskan kemarahannya, berkelebat sosok bayangan
putih. Dan tahu-tahu di samping Sekartaji berdiri seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih. Sebuah pedang bergagang kepala burung rajawali tampak tersampir di punggung.
"Sekartaji! Biar kuhadapi manusia durjana ini."
"Kakang Rangga...."
"Kau uruslah gurumu," ujar pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah."
"Hm.... Pendekar Rajawali Sakti...! Ternyata kau belum mampus!" dengus Giri
Sadaka. "Sayang sekali, harapanmu tidak terkabul...," sahut Rangga; kalem.
"Tapi sekarang aku yakinkan kematianmu!"
Giri Sadaka langsung lompat menerjang dengan senjata cluritnya.
Wut! Bet! Rangga seketika mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', untuk menghindar di
antara desingan senjata bagai orang mabuk. Tubuhnya meliuk-liuk. Lalu, secepat
kilat dia bergerak mendekat.
"Hiyaaat...!"
"Hei"!"
Giri Sadaka terkesiap, tak menyangka Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak
secepat itu Sesaat dia kelabakan.
Namun, dengan lincah tangannya mengibas untuk menangkis.
Plak! "Uhh...!"
Giri Sadaka merasakan tangannya linu bukan main saat menangkis pukulan. Belum
sempat dia berbuat apa-apa, tangan Rangga bergerak cepat menangkap senjata
cluritnya. "Lepas!"
"Uhh...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Rajawali Sakti menyentak senjata
Giri Sadaka. Lengan laki-laki tua itu nyaris putus kalau saja dia tak melompat
mengikuti arah sentakan Rangga.
"Heaaa...!"
Tepat ketika tubuh Giri Sadaka tersentak, Pendekar Rajawali Sakti segera
menghadiahi dua hantaman kaki kanan yang disertai tenaga dalam tinggi. Dan....
Des! Des! "Aaa...!"
Giri Sadaka memekik. Tulang dadanya kontan remuk.
Nyawanya melayang ketika jasadnya terhempas di tanah.
"Ohh...!"
Kematian Giri Sadaka membuat Gandasari dan Arimbi kecut.
Harapan mereka kini tertumpah pada Ajiwirya yang saat itu tengah mendesah Ki
Desta Ketu. "Kisanak, hentikan perlawananmu!" bentak Rangga.
"Hm!"
Mendengar itu, Ajiwirya mendelik garang. Da tanpa basa-basi segera perhatiannya
dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Rupanya kau belum mampus, he"!
Sudah ditakdirkan kalau kau bakal mampus di tanganku!"
dengus Ajiwirya.
Pemuda itu menggeram. Dan sebagai jawaban, senjata Giri Sadaka yang ada di
tangannya diputar.
Melihat itu Ajiwirya tak banyak bicara lagi. Langsung saja dia lompat menyerang.
Srak! Senjata di tangan Rangga berkelebat membabat tombak Ajiwirya.
"Putus!"
"Hei"!"
Ajiwirya terkejut melihat tongkatnya putus jadi dua. Namun secepat kilat
dilepaskannya pukulan maut ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
Wut! "Hiih!"
Rangga melompat ke atas menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dia
berputaran beberapa kali, lalu meluruk cepat bagai seekor anak panah dengan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'! Kedua tangannya mengebut cepat dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga....
Prak! "Aaa...!"
Ajiwirya terlempar beberapa langkah ke belakang sambil menjerit kesakitan. Kedua
tangannya memegangi kepalanya yang retak Dari sela-sela jannya tampak meleleh
darah segar. Begitu ambruk, nyawanya telah melayang ke neraka!
Bukan cuma Gandasari dan Arimbi yang terkejut melihat kematian Ajiwirya secara
mengenaskan. Tapi, yang lainnya pun sampai tercengang. Mereka tak menyangka


Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu mampu bergerak cepat laksana malaikat pencabut nyawa. Namun setelah
rasa kagetnya sirna, Ki Desta Ketu menghampiri.
"Rangga! Kau amat membantu kami. Sang Ratu pasti amat menghargai jasamu ini."
sambut Ki Desta Ketu.
"Terima kasih. Tapi, aku tidak akan kembali ke sana sebagai tawanan...," ucap
Rangga. "Tentu saja tidak. Kau akan kembali sebagai pahlawan. Aku akan mengatakan hal
ini pada Sang Ratu," tegas Ki Desta Ketu.
Rangga belum menjawab ketika terdengar keributan.
Ternyata Gandasari dan Arimbi berusaha kabur, namun cepat dihadang Sekartaji
serta beberapa prajurit.
"Sebentar, Kisanak Aku punya ganjalan dengan gadis-gadis itu," ujar Pendekar
Rajawali Sakti.
Rangga cepat berkelebat menghampiri Gandasari. Dia langsung berdiri di hadapan
gadis itu. "Aku telah berjanji hendak membalasnya padamu, bukan"
Bersiaplah."
Gandasari terkesiap, namun cepat menguasai diri. Segera digunakannya ilmu gaib
untuk menghajar pemuda itu.
"Percuma saja, Gandasari. Itu sama sekali tak berguna saat ini...," kata
Pendekar Rajawali Sakti, mengingatkan.
Rangga melangkah. Ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu yang hendak
menamparnya. Tap! Begitu tangan kiri Rangga mencekal, maka tangan kanannya menampar pipi Gandasari
beberapa kali Plak! Plak! Gadis itu mendelik garang. Mendadak lututnya menyentak untuk menghajar bagian
bawah perut Rangga. Namun, pemuda itu cepat menghantamnya dengan telapak tangan.
Plak! "Aaakh...!"
Gadis itu kontan meringis kesakitan.
"Saat ini aku mampu menghabisi nyawamu. Namun itu, tak kulakukan. Karena,
hukumanmu akan ringan. Kau harus dihukum berat Dan itu kewajiban mereka!" desis
Pendekar Rajawali Sakti seraya menelikung tangan Gandasari. Lalu diserahkannya
gadis itu pada Ki Desta Ketu.
Pada saat yang bersamaan, Sekartaji pun berhasil melumpuhkan Arimbi, dibantu
para prajurit kerajaan.
"Kisanak! Kuserahkan kedua orang ini padamu!" kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih. Rangga," ucap Ki Desta Ketu.
"Aku harap kalian bisa menghukum mereka dengan hukuman yang seberat-beratnya."
"Sang Ratu tahu, apa yang akan diperbuatnya. "
"Terima kasih."
"Rangga! Kau pun terpaksa harus ikut ke istana, sebagai saksi atas kejahatan
mereka." "Ya, baiklah. Tapi, jangan harap aku mau ditawan. Kalau kalian menahanku, aku
akan melawan!" tandas Rangga, mengingatkan.
"Tidak. Seperti yang tidak kukatakan, kau akan diperlakukan sebagai pahlawan. "
Rangga langsung berbalik. Dihampirinya Sekartaji.
"Apakah..., apakah kau akan kembali ke duniamu, Kakang Rangga?" tanya gadis itu
sebelum Rangga buka suara.
"Tentu saja, Sekartaji, Dunia manusia adalah tempatku. Dan, di sanalah
semestinya aku berada...,' sahut Pendekar Rajawali Sakti, lembut.
"Bolehkah aku menjengukmu...?" tanya gadis itu.
"Kau boleh menjengukku kapan saja kau.suka!"
"Terima kasih, Kakang....
"Hei, satu hal! Seperti yang dipesankan ayahmu, kau tak boleh mengaku kalau
beliau yang menyelamatkanmu. Buat seolah-olah mereka menduga-duga. Meski mereka
menduga kalau Ki Sapta Dewa yang menyelamatkanmu, kau tetap tidak boleh
mengaku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti
"Ya, aku tahu itu...," sahut Sekartaji.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan membuka suara lagi....
"Sekartaji...!"
Terdengar panggilan, membuat Rangga dan Sekartaji menoleh. Tampak seorang gadis
berbaju putih menghampiri.
"Harum Sari! Kapan kau datang kembali ke negeri Siluman"
Apakah kau akan berpihak pada para pengkhianat"!" tuding Sekartaji pada gadis
yang ternyata Harum Sari.
"Kau salah paham, Sekartaji! Justru kedatanganku ingin membantumu!" sahut Harum
Sari, lembut. "Bohong!" bentak Sekartaji.
"Dia benar, Sekartaji. Harum Sarilah yang membantuku keluar dari tahanan Sang
Ratu. Dia pula yang mengembalikan pedangku ini...," bela Pendekar Rajawali
Sakti. "Benar, Sekartaji! Kau ingat seorang hamba sahaya yang bernama Ambar" Itulah
aku. Aku waktu itu sedang menyamar dengan mengenakan topeng yang mirip Ambar Ini
kulakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sejak kau dibawa pulang ke Kerajaan
Lokananta, aku sudah curiga dengan Gandasari dan Arimbi. Makanya, kuputuskan
untuk menyusul. Benar saja, ketika sampai, aku mendengar kalau kau ditahan.
Kemudian kubuat topeng berwajah mirip Ambar. Ambar, sendiri kusembunyikan di kamarku.
Baru setelah itu aku membantumu.
Lalu aku juga membantu Kakang Rangga, aku pula yang memfitnah Kakak Sriwangi
dengan meletakkan panahnya di kamar Ibunda. Lalu aku menghubungi Guru...!" papar
Harum Sari. "Oh... Maafkan aku, Harum Sari. Terima kasih...," ucap Sekartaji.
Angin pun berhembus perlahan, mengelus kedua gadis itu yang saling berpelukan.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan senyum. Sulit mengartikan,
apa arti senyumannya.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Lembah Nirmala 3 Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana Malaikat Berdarah Biru 1
^