Pencarian

Rantau Satu Muara 2

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 2


kamu yang bayar. Kamu yang traktir narasumber!" balas Mas Aji
tegas. Newsroom tiba-tiba hening, mendengarkan dialog mereka.
"Mana mungkin aku nraktir mereka. Gaji pun tidak cukup."
"Baca baik-baik buku panduan penugasan. Kan sudah jelas
ditulis. Ada dana yang tersedia untuk mentraktir narasumber.
Tinggal minta saja."
Suatu kali, aku dapat tugas bersama Pasus untuk mewawancarai Pak Garda, seorang raja properti yang tidak hanya punya
hotel, tapi bahkan pulau dan bukit. Pak Garda menyanggupi
wawancara di restoran Nippon di sebuah hotel berbintang lima
sambil makan siang. Kami sempat ragu, karena kami tidak per81
rantau1muara.indd 81 nah mencoba makanan Jepang. Namun kami juga pantang untuk menampik tawaran ini.
"Lif, kalau menurut Mas Aji, jika kita yang minta wawancara,
maka kita yang bayar. Ini kesempatan aku membuktikan apa
memang benar ada dana untuk itu," seru Pasus.
Maka kami dengan penuh semangat menuruni tangga dan
antre di depan meja Mbak Risa, kasir majalah Derap. "Mbak,
kami ada tugas wawancara di restoran dengan narasumber penting. Kata Mas Aji boleh minta dana lobi?"
"Oh, tentu saja. Coba liat kertas penugasannya. Untuk berapa orang dan di mana?"
"Wah gak tau Mbak. Mungkin tiga orang. Tempatnya di restoran Nippon."
"Hmm Nippon itu restoran mahal. Bawa dua juta aja ya."
"Apa" Duit yang lebih banyak dari gajiku itu hanya untuk
traktir orang?" kata Pasus kaget. Aku hanya melongo.
"Yak, tanda tangani tanda terimanya," kata Mbak Risa seperti
tidak peduli dan menyodorkan sebongkah tumpukan uang
yang harum. Pasus membagi dua uang itu dan menyodorkan
separuhnya ke aku. "Belum pernah aku pegang duit tunai sebanyak ini. Kita kantongin berdua, biar kalo dicopet, gak semua
hilang," katanya. Saku kami menggembung tebal sehingga kami
harus berjalan dengan agak terbungkuk-bungkuk.
Selain mendapatkan wawancara yang bagus, kami berhasil
membuat Pak Garda kaget, karena Pasus merebut bon restoran
dari tangannya dan membayar lunas harga makanan yang mencapai sejuta rupiah dengan uang tunai yang kami tumpuk di
rantau1muara.indd 82 meja. Pak Garda menggeleng-geleng. "Baru kali ini saya ditraktir
wartawan. Padahal selama ini wartawan meminta saya yang
nraktir." "Kami beda, Pak. Ini Derap. Beda...," celetuk Pasus pongah
merebahkan diri ke sandaran kursi. Satu tangannya sibuk mencungkil gusi dengan tusuk gigi.
rantau1muara.indd 83 Wawancara Pocong iri... kiri... Bang!" Tinggi matahari sudah lebih dari sepenggalahan ketika aku melompat dari Metro Mini yang
melambat di depan kantor. "Pagi Dida," sapaku sambil melintasi meja resepsionis, lalu berjalan melewati lobi kecil yang diisi
beberapa sofa merah. Dida hanya melambaikan sebelah tangan
karena sedang mengangkat telepon.
Biasanya lobi ini sepi karena tamu-tamu kantor baru datang
menjelang siang. Tapi hari ini sudah ada seseorang yang duduk di ujung ruang tunggu. Dia tampak asyik membaca buku.
Mungkin kaget mendengar langkah kakiku, sekilas dia mengangkat kepala ketika aku lewat. Mata kami beradu sejenak. Darahku berdesir. Hanya satu detik, tapi mampu membuat detak
jantungku lebih cepat. Dia membuang muka ke bukunya lagi.
Aku meluruskan pandangan ke tangga dan bergegas naik ke
ruang redaksi dengan perasaan tidak jelas.
Walau sekilas, aku tidak akan lupa. Matanya bulat, berpadu
antara hitam dan putih cemerlang, diteduhi alis tebal hitam kelam. Alis itu, mata bulat itu. Aku seperti pernah kenal. Entah
di mana. Senin pagi ini ada rapat perencanaan redaksi, rapat sakral
bagi semua wartawan Derap. Di sini semua usulan berita dari
semua awak redaksi akan dibantai dari segala arah oleh awak
rantau1muara.indd 84 redaksi lainnya. Hanya usulan dengan angle yang teruji kuat dan
punya newspeg saja yang akan disebut "layak Derap" dan akhirnya diputuskan untuk diliput.
Aku menghidupkan komputer dan menajamkan lagi angle
usulan berita yang telah aku persiapkan selama tiga hari. Usulku adalah rubrik wawancara khusus tokoh Permesta yang masih
hidup, investigasi simpanan hasil korupsi seorang pejabat negara di luar negeri, dan liputan penemuan situs purba di pegunungan karst Jawa Barat. Minggu lalu, semua usulku gugur
dilibas oleh Mas Aji dan beberapa reporter lain. Pertanyaan mereka singkat-singkat tapi pedih, "Apa angle ini kuat?" atau "Apa
pentingnya kita menulis berita ini?" Karena aku tidak mampu
membela usulanku, Mas Aji cuma bilang, "Salam saja dulu ya
ke narasumbernya. Lain kali bisa ditulis kalau sudah layak."
Karena itu setiap presentasi pengajuan usulan berita selalu
membuat asam lambung kami para reporter bergolak. Kalaulah
kami berhasil mempertahankan angle dengan segenap data,
maka akan meluncurlah kalimat pedih lainnya untuk menguji
usulan kami. Misalnya, "Apa ini masih hangat?", "Ini yang pertama kali?", "Cukup dramatis dan unikkah?", "Siapa dia, ada
ketokohannya dan prestisiuskah?". Seandainya membuat usulan
berita itu tidak diwajibkan Mas Aji, mungkin sudah lama kami
pensiun menjadi pembuat usulan berita. Yang membuat kami
agak tenang adalah usulan berita dari Mas Malaka dan Mas Aji
sendiri pun bisa gugur kalau diserang oleh kami para awak Derap. Memang hidup bisa jadi kejam di rapat hari Senin. Tiada
pilih kasih kalau sudah bicara standar "layak Derap".
Badanku di lantai tiga, mataku lekat di layar komputer, tapi
rantau1muara.indd 85 pikiranku kembali melayang dua lantai ke bawah. Aku seperti
pernah kenal. Entah di mana.
Belum pernah aku sampai terganggu hanya oleh sebersit
pandangan. Apalagi hanya karena sepasang mata. Aku tidak
tahu apa maknanya, tapi aku merasa matanya cerdas. Seorang
gadis duduk di sofa merah, menunggu sambil membaca buku
berbahasa Inggris dengan matanya yang indah. Mungkin ini
kombinasi yang mampu membuat benakku meleleh.
Mungkin kalau mengobrol aku bisa ingat di mana kami
pernah bertemu. Sebelum sadar, aku sudah berjalan ke tangga,
menuruninya secepat kilat, langsung menuju lobi. Begitu kakiku mencecah lobi, aku ragu-ragu. Apa yang akan aku perbuat"
Menyapanya begitu saja" Ah, malu dan gengsi juga. Kalau begitu, aku menuju pintu perpustakaan saja. Pengalihan isu untuk
sementara. Setelah sejenak pura-pura membalik koran aku pamit ke
Kang Bima, staf riset dan perpustakaan. Dia melihatku dengan
wajah bingung, "Loh loh, buru-buru amat Lif. Kebelet ya?" Aku
biasanya berlama-lama di perpustakaan, sampai dia kadang perlu mengusirku.
Sebelum aku putar gagang pintu, sejenak aku rapikan rambut
dan kerahku di depan cermin. Aku sudah susun rencana kilat dalam hati. Begini rencananya. Begitu aku kuakkan pintu perpustakaan, aku akan berjalan dengan lagak santai. Seharusnya posisiku akan langsung setentang dengan kursi tempat
dia duduk. Semoga saja dia melihat ketika nanti aku lewat.
Begitu dia menengok, mungkin aku akan mulai menyapa atau
rantau1muara.indd 86 memulai obrolan tentang buku yang dibacanya. Kayaknya itu
jurus pembuka yang sopan dan baik.
Jikalau dia tidak bereaksi, maka aku akan terus berjalan
lurus ke arah Dida, lalu bertanya jadwal sopir yang bisa mengantarkanku meliput rubrik investigasi ke Kejaksaan Agung. Dia
duduk di dekat meja Dida. Dengan suara yang agak aku keraskan dari biasa, semoga pembicaraan ini bisa menarik perhatiannya. Lalu kami bisa mulai mengobrol. Sepertinya, ini jurus
alternatif yang pantas. Setelah menarik napas dalam, aku dorong pintu dengan
sedikit berdebar dan kuayunkan gerak langkah paling mantap
yang aku punya. Waktu terasa melambat. Langkahku terdengar
nyaring. Dagu terangkat beberapa derajat. Lalu aku melirik sedikit ke sofa merah tempat si gadis tadi duduk.
Tapi tidak ada seorang pun yang duduk di lobi. Aku celingak-celinguk. Ah, mungkin saja dia sedang di toilet. Dida yang
duduk dengan manis di meja resepsionis bertanya, "Nyari siapa
Mas Alif?" "Ehmm, Mbak yang tadi duduk di sini ke mana ya?"
"Baru aja pulang. Tuh masih keliatan punggungnya, lagi
nunggu bus. Kenal?" Aku tidak menjawab. Mataku mengarah ke luar. Di pinggir
jalan, kulihat dia melambaikan tangan. Bukan ke aku, tapi ke
sebuah Metro Mini reyot yang lewat. Aku masih punya kesempatan untuk keluar dan berteriak sambil melambai-lambai. Tapi
hei, siapa aku, siapa dia" Aduh Tuhan, kenapa aku tiba-tiba
berpikir ala film romantis" Aku baru sadar dari lamunan ketika
Dida bertanya lagi. rantau1muara.indd 87 "Wah belum kenal, udah naksir aja." Dida cengar-cengir
sambil menjulurkan lidahnya.
"Enggak. Aku kayaknya pernah kenal."
"Alah, kalo cewek cantik aja, ngaku kenal," ganggunya.
"Namanya juga usaha," kataku mengimbangi dengan senyum, "eh, Da, dia itu siapa?"
"Traktir makan siang, baru aku kasih tahu," godanya lagi.
Traktir mah gampang, tapi siapa dia?"
"Itu calon reporter baru, tadi habis wawancara dengan Mas
Aji. Udah deh, doain aja dia keterima, jadi bisa ketemu lagi besok-besok."
Wah, gadis itu calon wartawan" Kayaknya akan menyenangkan
kalau dia benar-benar lulus.
Love at the first sight" Naaa, aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Mana mungkin orang yang saling tidak kenal
langsung jatuh hati ketika pertama bersirobok pandang. Itu
hanya dongeng yang ada di novel, film, dan lagu saja. Di alam
nyata" Ahhh, gak mungkin.
Tapi kenapa aku sekarang masih berdebar setiap ingat sekelebat pandangan tadi" Inikah yang namanya jatuh hati" Kok
seperti lagu M.E "Inikah Cinta?" Otakku yang selama ini
mengagungkan logika bersikeras menolak. Pasti hanya pesona fisik sesaat. Tidak sahih. Tapi bagian otakku yang tidak
logis membela diri dengan hebat: Coba ingat hal sekejap tadi,
semuanya terasa kabur dan blur, yang tajam hanya bagian muka,
rantau1muara.indd 88 khususnya matanya saja. Persis seperti di film-film. Iya juga sih. Tapi
mengenal seseorang itu melalui proses, tidak melalui kerjapan
mata pertama. Suka, terkesima, kagum mungkin terjadi dalam
hitungan detik, tapi dia perlu diverifikasi dengan mengenal
karakter, pribadi, dan lain-lain. "Otak logis"-ku memenangkan
debat. Tapi "otak tidak logis"-ku melawan dengan berdoa pelan, semoga gadis di sofa merah itu lulus tes dan bisa bertemu lagi.
Dialog internalku terhenti ketika aku sadar harus segera ke
lantai tiga untuk rapat redaksi. Mas Aji paling tidak suka kalau
reporternya terlambat datang. "Yang membedakan kita dengan
media lain adalah kecepatan dan ketepatan waktu. Selalu pegang kedua pembeda ini," katanya.
Aku lintang pukang memanjat tangga secepatnya. Tapi dari
balik kaca jendela ruang rapat, aku lihat semua reporter sudah
hadir dan Mas Aji sudah berdiri di dekat papan tulis putih besar. Pintu sudah ditutup. Pembantaian usulan akan dimulai.
Tidak ada jalan lain, aku harus berusaha membuka pintu
diam-diam tanpa dilihat Mas Aji. Rencanaku, menunggu sampai
Mas Aji menulis di white board dan membelakangi pintu, saat
itulah aku menyelusup masuk.
Sejenak kemudian, Mas Aji membalikkan badannya dan mulai menulis beberapa usulan di white board. Ini kesempatanku.
Aku buka pintu pelan-pelan. Tapi alamak, semakin pelan aku
buka, semakin panjang bunyi engsel merengek. "Kreeek", pintu
berderik. Aku menyumpah-nyumpah kenapa Yono tidak pernah
meminyaki engsel pintu sial ini. Kenapa aku selalu bermasalah
dengan pintu" rantau1muara.indd 89 Badan Mas Aji berputar sembilan puluh derajat mendengar
engsel aus ini. Kepala Mas Malaka yang licin menoleh ke arah
pintu. Lalu semua muka orang mengikuti. Jangan-jangan Mas
Aji melarang Yono meminyaki engsel supaya tidak ada yang bisa
menyelinap tanpa suara. Aku tahu, setiap orang yang telat akan
mendapat penugasan tambahan yang pasti tidak menyenangkan.
Sayangnya, kali ini aku memang terlambat. Gara-gara gadis
bermata indah di sofa merah tadi, gerutuku.
"Nah ini, reporter baru sudah berani telat. Seperti biasa
nanti ada penugasan yang sangat menarik buat kamu Lif," kata
Mas Aji dengan senyum tipis dari balik kumisnya yang lentik.
Nadanya dingin. Bajunya hitam-hitam. Semoga mood-nya sedang
tidak gelap dan tidak memengaruhi penilaian masa percobaanku selama enam bulan ini.
"Kamar mayat. Setelah tengah malam."
"Hah?" "Sekali lagi, ingat, hanya setelah jam 12 malam berdentang.
Kalau perlu sekalian wawancarai mayat-mayat di RS Cipto itu,"
begitu kata Mas Malaka kepadaku.
Aduh ini pasti main-main dan gertakan sambal saja. Kenapa
harus setelah jam 12 malam"
"Mas Malaka, jangan bercanda gitu dong. Tugasku yang sebenarnya apa?" tanyaku mencoba tersenyum.
Dia melirikku tajam sekilas. "Sejak kapan aku bercanda kalau
bagi tugas. Kita sersan kan" Serius dulu, santai belakangan."
rantau1muara.indd 90 Aku terdiam lemas. Habis perkara. Ini ganjaranku terlambat
tadi. "Ini agar kita punya data mutakhir, per hari ini, berapa
mayat yang ada di sana. Khususnya korban kerusuhan dan
bentrokan massa," tegas Mas Malaka. Sejak beberapa hari ini jalanan Ibu Kota dipenuhi demonstrasi menjelang Sidang Istimewa MPR. Kalau dulu di awal reformasi yang turun ke lapangan
adalah mahasiswa dan militer, sekarang ada unsur masyarakat
dan Pam Swakarsa. Suasana jalan Ibu Kota terus memanas dan
bentrokan antarmassa dengan aparat meningkat.
Maka, ketika jarum pendek dan panjang bersatu padu di
angka 12 malam, aku meluncur ke RS Cipto Mangunkusumo
naik taksi di tengah rinai gerimis. Pak Jupri, petugas satpam RS
Cipto yang bermata sayu, menunjuk dengan dagunya ke arah
gang panjang yang gelap. "Sono no, jalan terus nanti ketemu kamar mayat," katanya sambil melanjutkan kantuknya.
Dengan was-was aku berjalan maju. Aku rapal doa-doa
dan bacaan suci lainnya. Aku tidak takut makhluk halus, tapi
kalau ketemu, aku tidak mau. Jadi wahai para jin dan setan,
menyingkirlah jauh. Ketika melintasi jalan gelap yang becek,
bunyi kecipak kakiku terdengar nyaring dan ditingkahi gonggongan anjing entah dari mana. Aku sampai di mulut lorong
panjang yang remang-remang, kiri-kananku tembok tua yang
mengelupas dan tiang-tiang kayu yang suram.
Badanku menegang ketika sebentuk benda dingin menyentuh
kudukku. "Ah hanya daun, jangan takut," kataku menyemangati
diri sendiri. Ujung-ujung dahan pohon yang basah, berayunayun seperti tangan hitam menggapai-gapai ke arahku. Angin
rantau1muara.indd 91 dingin yang mengelus kudukku berhasil memaksa bulu-bulu
remangku tegak berdiri dengan sikap sempurna. Akhirnya, di
ujung lorong jalan itu tampak sebuah bola lampu bersinar redup. Di antara tetes gerimis yang makin rapat, aku membaca
tulisan yang sudah kusam di dindingnya. "Kamar Jenazah".
Begitu aku mendekat ke pintunya, bau anyir menusuk hidung.
"Nyari siapa?" Aku sampai tersurut selangkah karena kaget.
Seorang bapak separuh umur tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Dia seperti malaikat versi sinetron lokal, semua putih, mulai
rambut, alis, sampai baju. Kulitnya saja yang sawo matang.
Melihat aku diam, dia bertanya lagi. "Cari saudara" Kecelakaan atau sakit?" tanyanya sambil membuka buku tulis besar.
Mungkin semacam buku absensi para mayat yang masuk ke
dalam kamar ini. "Nggak. Anu Pak, saya wartawan Pak, gak ada saudara di sini," jawabku dengan suara seret.
"Wah gak bakalan dijawab sama orang di sini Mas, lah wong
semuanya kan sudah jadi mayat. Gimana mau wawancaranya,"
katanya terkekeh. Aku tidak melayani candanya. "Mau mengecek jumlah jenazah korban kerusuhan yang masuk dari kemarin sampai malam
ini." "Oh, kalau itu lumayan ada beberapa, umumnya badannya
rusak. Ada di kotak nomor 1, 3, 6, dan 7. Lihat sendiri aja ya."
Begitu dia membuka pintu, hawa dingin berembus keluar, bagai
sedang membuka kulkas. Kotak-kotak besi dengan nomor menempel di dinding.
rantau1muara.indd 92 "Emmm Pak, boleh ditemenin bareng ke dalam...?" pintaku
terbata-bata. "Ah gak apa-apa Mas. Mereka semua sudah meninggal kok.
Gak akan mencolek atau mengganggu. Kecuali yang iseng... hahaha. Maaf saya masih harus ngepel bagian depan. Ada mayat
yang barusan darahnya masih berceceran di sana-sini. Masuk aja
sendiri.... Hati-hati aja yak, lantai masih basah."
Tiada pilihan lain. Bapak Malaikat ini tidak bisa diharapkan.
Jadinya tinggallah urusan antara aku dan jemaah mayat ini. Di


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara zikir, aku bisikkan salam kepada para penduduk kamar
ini. "Assalamualaikum." Tidak ada jawaban. Dan aku memang
tidak ingin mendengar ada yang menjawab.
Tugas dari Mas Malaka sangat spesifik, yaitu menghitung
jumlah mayat korban kerusuhan dan harus melihat agar bisa
mendeskripsikan kondisi mayat. Apakah memang rusak" Rusak
karena api, lebam pukulan, senjata api, atau benda tajam.
Mungkin mereka anggota milisi Pam Swakarsa yang bersenjata
bambu runcing dan senjata tajam lain.
Aku ulurkan tangan membuka kotak besi pertama yang tertanam di dinding. Kotak besi itu berderak terbuka. Kombinasi
bau busuk, anyir, dan obat menusuk hidung dan kabut tipis
meruap ke wajahku. Tangan kiriku menutup hidung, dan aku
tahan napas beberapa detik. Pulpen dan block note yang aku pegang bergetar.
Ujung kaki tanpa alas mencuat, kurus, keriput, dan pucat. Sebuah karton kecil diikatkan dengan karet gelang merah di pangkal jempol kakinya. Tulisannya: "Nama: tidak dikenal. Status:
rantau1muara.indd 93 korban kekerasan massa". Semakin aku tarik, aku bisa melihat
wajah yang lebam, rongga mata hancur, dan percikan darah
memenuhi mukanya. Dari mulutnya yang pecah menetes cairan
ber warna kuning. Perutku bergolak seperti akan memuncratkan
isinya. Mas Malaka memang super tega mengazabku dengan tugas ini. Gadis bermata indah itu bikin gara-gara.
Aku berlari ke ujung ruangan menuju sebuah tong sampah.
Di sela pintu yang terbuka aku bisa lihat Pak Malaikat cuma
geleng-geleng kepala lalu tertawa-tawa tanpa beban. "Lama-lama
juga nanti biasa Mas," katanya sambil menghirup kopi dengan
santai dan mencomot sepotong tempe goreng dari piring di mejanya.
Setelah memeriksa kotak besi kedua dan ketiga, aku menjadi
lebih tabah. Dengan sisa-sisa kewarasan, aku buka beberapa
kotak korban lain, mencatat segala detail dan memfoto kondisi
jenazah. Dan ketika aku mencapai kotak terakhir di ujung ruangan, aku melewati sebuah pintu yang terbuka. Otomatis aku
menoleh ke ruang sebelah. Di sana, sunyi sendiri di tengah
ruangan yang temaram, tampak meja panjang besi. Aku tidak
akan mungkin lupa. Sebuah badan tidur menghadapku. Mukanya baret-baret, matanya mencelat ke luar seperti nanar menatapku. Aku beristigfar. Sekujur badannya dilapisi kain putih.
Hanya bagian atas kepalanya belum diikat. Sebujur tubuh yang
sedang dalam proses menjadi pocong. Bulu kudukku berdiri
seperti duri. Aku melonjak dan sekonyong-konyong berlari bergegas ke arah Pak Malaikat.
"Pak, kok ada yang sudah jadi pocong di sini?" suaraku bergetar.
rantau1muara.indd 94 "Mana" Oh, itu mayat yang malang. Tidak dikenal dan tidak
ada yang mengambil. Sudah lumayan lama di sini, saatnya dibantu untuk dikafani dan dikubur besok. Tukang kafannya
tiba-tiba sakit perut, sekarang sedang ke belakang." Pak Malaikat
terkekeh lagi memperlihatkan gigi timahnya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa badanku diselubungi bau kamar mayat yang tidak hilang sampai beberapa hari.
Setelah aku mandi berkali-kali, aromanya masih serasa lekat di
setiap ujung rambut dan kulitku. Wajah-wajah mayat yang sedih
dan terkejut itu kadang muncul di mimpi-mimpiku. Aku hibur
diriku dengan mengulang-ulang nasihat Pak Malaikat: "Ah gak
apa-apa Mas. Mereka semua sudah mati kok. Gak akan bisa diwawancarai."
Bruk! Di ujung ruangan reporter, bunyi itu dimulai. Seperti
orang menepuk meja kayu, satu kali di setiap meja. Bunyi itu
makin lama makin dekat. Bruk! Dan sampai juga di mejaku. Majalah Derap edisi terbaru jatah reporter mendarat di depanku.
Dilempar satu per satu dengan penuh semangat oleh Yono,
seperti tauke melempar ikan di tempat pelelangan ikan. Dia
tidak terima ketika aku tuduh yang dia lakukan kurang sopan.
"Biar cepat Mas dan biar semangatnya kebawa seminggu," kilah
dia cengengesan. Office boy satu ini tampaknya telah dijangkiti
budaya egaliter kami para wartawan.
Senin pagi, hari terbit Derap. Inilah hari baru kami setelah
semua deadline minggu lalu lewat. Seperti ritual di Senin sebelumnya, aku dan teman-teman segera membuka majalah yang
rantau1muara.indd 95 masih terasa hangat di tangan dan menyisakan aroma percetakan. Lalu ruang redaksi akan senyap dan yang terdengar hanya
bunyi kertas yang dibalik helai demi helai. Yang kami baca
pertama bukan isi laporan utama, tapi berita yang kami liput.
Tujuannya hanya satu, memastikan reportase hasil jerih payah
kami dipakai dan nama kami ditulis sebagai kontributor untuk
berita itu. Pelan-pelan, pecahlah satu-satu suara berisik dari kawan-kawan. Ada yang ketawa-ketawa jumawa karena laporannya dimuat lengkap. Faizal kerap bersungut-sungut. "Begadang aku
mengejar narasumber, tapi hanya dikutip titik saja," kata Faizal.
Arti "dikutip titik" itu adalah eufemisme dari tidak dipakai sedikit pun.
Yang merasa tidak puas dengan hasil tulisan yang dia baca,
tersedia papan besar berjudul "Otokritik" di dinding ruang
rapat. Inilah papan demokratis. Siapa saja sah mengkritik, tentang apa saja dan kepada siapa saja. Tidak peduli itu bos tertinggi, atau hanya reporter pemula.
Minggu ini aku sendiri meringis sambil ketawa. Ada laporanku yang tidak dipakai dalam tulisan. Tapi ada yang malah
diberi ruang khusus. Di bagian laporan rubrik nasional tentang
kerusuhan ada sebuah boks kecil berjudul "Wawancara dengan
Pocong". Aku memang menceritakan dengan detail reportase
kemarin dalam tulisanku. Rupanya Mas Aji dan Mas Malaka
dengan kreatif menjadikan pengalamanku di kamar mayat sebagai judul kecil yang menarik. Aku tersanjung diberi boks
khusus. Tapi aku harus tabah menerima ledekan teman-teman
mendengar cerita aku dikejutkan pocong. Semoga pocong ini
membantu aku lulus masa percobaan enam bulan pertama.
rantau1muara.indd 96 Diplomasi Burung roma sambal terasi, jambal goreng kering, dan sayur
asem sayup-sayup menyusup ke newsroom dan mengalir
ke saraf hidungku. Air liurku mencair dan perutku pun tidak
ketinggalan bergendang. "Makanan siappp!" begitu Yono biasa
berteriak dengan lagak militer di depan pintu ruang rapat. Dalam sekejap, kami berduyun-duyun rehat dari kerja dan ikut
antrean mengular di depan meja prasmanan. Siapa cepat dia di
depan, tidak peduli jabatan. Mas Aji tepat di belakangku, Pasus
di depanku, dan yang menjadi juara paling depan adalah Faizal.
Tidak ada ladies first, apalagi pak bos duluan. Ini bukan berarti
malam selamatan. Ini malam deadline. Semua yang masih bertugas malam ini dapat jatah makan gratis.
Setelah sejenak bercanda sambil menikmati makan malam,
kami kembali khusyuk menyelesaikan tugas. Malam deadline
kali ini tampaknya akan jadi malam yang lebih panjang dari
malam-malam panjang sebelumnya. Edisi khusus berisi analisis
profil 48 partai yang akan ikut Pemilu 1999 sungguh memakan
energi dan waktu semua pasukan sersan. Aku kembali duduk
di depan komputer, memutar lagi tape recorder, dan meneruskan
transkrip wawancaraku dengan ahli sejarah politik, Dr. Taslim.
Setelah itu aku masih harus membuat profil lima partai baru
yang paling berpotensi memenangkan pemilu.
Di kubikel depanku, beberapa redaktur sedang tekun men97
rantau1muara.indd 97 jahit laporan kami agar enak dibaca dan punya struktur serta
logika yang runtut. Bunyi ketak-ketuk keyboard mereka bagai
bersahut-sahutan, bagai berirama house music. Menjelang tengah
malam baru ketegangan mengendor. Sebagai pelepas penat, para
redaktur ini punya ekspresi masing-masing. Ada yang melolonglolong menirukan lagu favoritnya. Ada yang mengambil gitar
dan berdendang tak tentu kunci di pojok ruangan. Ada juga
yang melawak, membuat orang sekantor sakit perut. Setelah
menampilkan bakat mereka, layaknya undur-undur, mereka
kembali ke balik komputer, sibuk menulis lagi.
Bagi kami reporter baru, melihat para redaktur menuliskan
berita serasa berdiri di belakang punggung seorang maestro yang
melukis. Kuasnya keyboard, kanvasnya layar komputer, palette-nya
analisa, wawancara, dan reportase. Malam-malam deadline adalah
malam aku dan Pasus belajar teknik dan seni menulis dengan
cara yang unik. Kami berdua bergerilya dari satu redaktur ke
redaktur lain. Biasanya gaya pendekatan kami dimulai dengan
muka mesem-mesem dulu, lalu beringsut mendekat. Selanjutnya kami keluarkan permohonan berisi rayuan, "Mas, boleh
numpang ngintip ya." Kalau mereka sedang kalut, tanpa menoleh, mereka akan mengibaskan tangan menyuruh kami enyah
dari kubikelnya. Kalau mereka mengangguk atau mendeham, atau diam saja,
kami terjemahkan sebagai mengiyakan. Maka kami akan dengan
sukacita berdiri di belakang kursi mereka sambil memanjangkan
leher. Di antara redaktur favorit yang layak intip adalah Mas Aji
dan Mas Farhan. Sulaman kata mereka tajam, berotot, tapi terasa mengalir seperti puisi. Mungkin ini yang dibilang orang
jurnalisme yang bercita rasa sastrawi.
rantau1muara.indd 98 Suatu kali Mas Aji bicara di rapat awal pekan. "Coba perhatikan," katanya sambil menunjuk majalah di tangannya. "Ini
contoh kegigihan wartawan berkualitas," katanya lagi dengan
senyum lebar. Pasus di sebelahnya berdiri tegap tapi dengan
muka tersipu-sipu yang dibuat-buat. Dia berhasil mendapatkan
wawancara eksklusif dengan Om Chen, salah satu orang terkaya
di Indonesia yang dianggap tersangkut mega korupsi yang tidak pernah diusut. Sudah bertahun-tahun dia diburu media
namun selalu bisa lepas bagai belut. Aku tahu betul minggu
lalu Pasus awalnya pesimistis dengan tugas ini. Semangatnya
terbit ketika mendengar lagu "Bento" dan "Bongkar". "Dengan
wawancara ini aku mungkin bisa memperbaiki negara ini," katanya mengangkat tangan terkepal.
Karena selalu ditolak oleh satpam yang berjaga di rumah
konglomerat ini, ia bertekad melawan dengan cara paling
sederhana. Menginap di taman kecil pas di depan rumah konglomerat itu. Benar-benar menginap. Dia sampai membawa tenda dan tikar untuk tidur melingkar di sana. Dia juga membawa
kertas besar bertuliskan spidol, "Mohon wawancara 5 menit
saja." Satpam telah berkali-kali mengusirnya tapi Pasus membela
diri bahwa dia berhak tidur di lahan publik. Mungkin karena
bosan melihat muka Pasus selalu ada di depan rumahnya, konglomerat ini menyerah juga.
Pasus tidak hanya dapat wawancara lima menit. Dia malah
menghabiskan setengah hari bersama Sang Konglomerat. Dimulai dari wawancara di mobil. Namun karena belum juga selesai,
Pasus diajak naik pesawat pribadinya ke Bandung. Dan Pasus
melakukan wawancara di atas awan.
rantau1muara.indd 99 Pasus berbisik kepadaku, "Tahu nggak Lif, ini pengalaman
pertamaku naik pesawat," katanya terkikik.
"Sus, bagaimana rahasianya dari lima menit jadi berjam-jam
gitu?" tanya Faizal.
"Gampang," kata Pasus menjentikkan jari. "Aku riset kalau
dia adalah penggemar burung dan ayam pelung. Dia punya burung cucakrowo, kacer, cendet, gletekan, kenari, dan banyak
lagi. Di kampungku dulu, bapakku punya beberapa burung kicau juara kecamatan dan aku yang mengurus mereka. Jadi aku
mengerti sekali kualitas dan cara mengurus burung. Begitu aku
memuji koleksi burung Om Chen, kami langsung akrab. Bahkan aku cerita makanan khusus burungku di kampung sono.
Dia mau mesen, supaya burung-burung piaraannya lebih bagus
suaranya. Diplomasi burung, Kawan."
"Sebagai the journalist of the week minggu ini, nama Pasus
kita sebut di "Surat dari Redaksi" dan tentu ada bonus di
akhir bulan," kata Mas Aji. Alangkah membanggakan kalau
nama kami sampai disebut di rubrik halaman pertama itu.
Kami bertepuk tangan riuh untuk Pasus. "Asyik, bulan depan
Pasus traktir kita sekantor!" seru Faizal mendeklarasikan secara
sepihak. "Daripada makan, bagaimana kalau kita nonton bareng.
Hari ini ada tiket pahe, paket hemat. Siapa mau ikut?" teriak
Pasus, mengatupkan kedua tangannya seperti corong sambil
berdiri di atas kursi. Ajakan Pasus kami sambut dengan gegap gempita, sampai
membuat Mas Aji geleng-geleng melihat ulah kami. "Eh,
100 rantau1muara.indd 100 nontonnya aja yang bareng ya, tapi bayar sendiri-sendiri," kata
Pasus sekali lagi membuat pengumuman. Nada kecewa mengudara. "Oh, ternyata Pasus bukan cuma doktor. Tapi spin doctor.
Tukang ngeles," balas Hana, reporter yang berpos khusus di
istana dan lihai berbahasa Inggris.
Bagaimanapun gaya Pasus ngeles, tapi kami tetap semangat
berbondong-bondong ke Metropole sore itu. Film yang kami
tonton: Life is Beautiful.
Suatu kali aku ditelepon Belle. "Hey, let"s get together at
Menteng Tavern this Thursday. Ngobrol-ngobrol sama jurnalis
asing lain." Sejak pertemuan pertama dulu, kami beberapa kali
bertemu di liputan lain. Belle biasanya tandem dengan Sapta, rekan sekantornya, seorang wartawan lokal yang bekerja di
media itu. Aku kemudian tahu kalau Belle berasal dari Quebec
dan Sapta berasal dari Bandung, sebelum dia kuliah ke Amerika.
Ajakan ini sudah beberapa kali datang kepadaku, tapi aku
selalu punya alasan untuk menolak. Aku sudah sering mendengar Tavern, sebuah restoran Italia dan bar yang menjadi tempat ngobrol para jurnalis asing sambil minum bir. Sebenarnya
aku kurang pede pergi sendiri karena takut makanannya mahal.
Lagi pula aku tidak minum minuman keras. Tapi daripada aku
terlihat kampungan karena selalu menolak datang, maka aku
ajak saja si Spin Doctor-ku, Pasus.
"Yuk, kita luaskan pergaulan. Penasaran juga aku apa sih
101 rantau1muara.indd 101 yang dibicarakan wartawan-wartawan bule ini. Dan siapa tahu
kau dapat jodoh bule," ajakku.
Dia terkekeh sendiri, tapi tidak keberatan untuk ikut. "Little
little I can speak-speak lah," katanya. Aku amati rasa percaya diri
Pasus meroket tajam sejak dia bisa menaklukkan Om Chen
tempo hari. Kadar kesombongannya juga naik beberapa kali
lipat. Kami sampai di Tavern pada jam tanggung. Sore hari tapi
belum jam makan malam. Belle dan Sapta melambai-lambaikan
tangan dari meja mereka, ketika kami ragu-ragu mau masuk ke
restoran berhalaman rindang ini. Beberapa warga asing asyik
mengobrol. Asap rokok mengepul di sana-sini, dan gelas kaca
berisi cairan berwarna kuning terang serta botol bir memenuhi
meja. Belle berdiri lalu memperkenalkan aku dan Pasus ke empat wartawan asing lain yang melingkari meja besar kami.
"Ayo-ayo pesan minum dulu," kata Belle. Aku mencuri pandang pada daftar harga. Aku hitung-hitung, sebotol air putih
harganya sama dengan lima porsi nasi padang di sebelah kantor.
Aku akhirnya memesan softdrink, sementara Pasus air putih.
Sebelum diledek, aku menjelaskan, "I don"t drink alcohol."
Diiringi sayup-sayup lagu Italia yang tidak kumengerti sepotong pun, kami mengobrol ngalor-ngidul. Tapi topik yang paling
menarik adalah tentang nasib Indonesia pasca-Reformasi. Seorang wartawan bule yang beralis pirang, sambil mengangkat
botol birnya berujar, "Bangsa ini sedang berjudi, antara bangkit,
atau kembali terpuruk. Tapi kalau melihat dinamika politik dan
kekerasan sekarang, tampaknya Indonesia akan kalah dalam
perjudian ini. Pemilu akan chaos. Kerusuhan Mei 1998 bisa
102 rantau1muara.indd 102 terulang. Sungguh sayang. Mungkin baru dua puluh tahun lagi
negara ini stabil." Aku agak terganggu dengan komentarnya yang pesimistis
tentang Indonesia. Aku menyela, "Jangan lupa, Indonesia sudah rindu ingin punya pemilu demokratis. Pemilu Juni nanti
pasti dibela dan dijaga semua orang. Saya tidak setuju dengan
pendapat Anda. Menurut saya, sebaliknya, ini awal kebangkitan
Indonesia. Mungkin dalam lima tahun sudah akan smooth sailing."
Dia menggeleng-geleng sambil memejamkan mata. Kemudian menyorongkan ujung botol bir ke mulutnya lagi, sambil
membalas komentarku, "In that case, kita lihat saja. Aku berani
bertaruh, bahwa Indonesia masih akan terus gonjang-ganjing
untuk sepuluh tahun mendatang. Akar korupsi terlalu dalam
dan pengaruh Orde Baru tidak gampang hilang."
Ingin aku sekali lagi membantah dengan lebih telak tapi
aku mengurungkan diri. Dalam hati, aku agak setuju dengan
dia tentang korupsi. Tapi aku tidak mau mengakui itu secara
terbuka. Dan aku masih berharap, Indonesia benar-benar bisa
bangkit dalam waktu cepat. Mungkin dia agak sedikit mabuk,
atau mungkin dia memang bicara serius. Belle dengan bijak
menengahi dan membelokkan pembicaraan ke topik olahraga.
Aku berbisik ke Belle, "Siapa sih orang itu?"
"Don"t worry. Tipenya memang sinis. Dia wartawan senior
untuk beberapa media asing. Sudah malang melintang puluhan
tahun di berbagai negara berkembang. Baru-baru ini dia menerbitkan buku tentang jejaring korupsi Indonesia."
103

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rantau1muara.indd 103 Habislah aku! Dia tentu punya segala data yang mendasari
pendapatnya tadi. Sedangkan aku bicara berdasarkan perasaan
saja. Mungkin dia benar tentang masa depan negara ini. Tapi
aku sungguh berharap yang akan terjadi adalah sebaliknya. Entah karena dia malas bicara denganku, tidak lama kemudian
pria beralis pirang ini melambaikan tangan pamit. Matahari
sudah makin condong ke Barat.
Di sela mengobrol, Belle menyorongkan lagi daftar menu
ke tanganku. "Coba deh, pasta Italia di sini enak sekali. Tuh
chef-nya," katanya menunjuk seorang bule berpeci putih tinggi
yang keluar-masuk dapur sedang bolak-balik mengangkat loyang
tipis bulat berukuran besar. Topi putihnya mengangguk-angguk
ketika dia memotong pizza.
Aku melirik Pasus, yang juga melirikku. Aku yakin pikiran
kami sama. Ini akhir bulan dan kami sedang berhemat. Karena
makanan di sini mahal sekali, kami akan menolak saja dengan
halus. Aku angkat bicara, "Terima kasih, kami masih ada liputan."
"Ayolah, sebentar lagi. Aku yang traktir," Belle memaksa.
Sapta menimpali, "Iya, rugi loh gak merasakan enaknya masakan
Chef Claudio." Pasus mengangkat pergelangan tangan kiri seakan mematut
arloji sebentar. Lalu berkomentar, "Kayaknya barang satu jam lagi masih bisa. Boleh, bisa Belle. Aku juga penasaran bagaimana
masakan koki Italia itu."
Dia tersenyum mantap penuh percaya diri. Aku memaki
Pasus dalam hati. Benar-benar menggunakan kesempatan. Aku
104 rantau1muara.indd 104 sepak kakinya di bawah meja. Dia tersenyum lagi dan tanpa
peduli sepakanku, dia langsung sibuk memelototi daftar makanan.
Pasta berlumuran pine nut dan daun basil cincang itu berhasil
membujuk kami untuk mengganti topik politik ke yang lebih ringan. Aku sibuk bercerita kepada Belle betapa Quebec akan
selalu ada di hatiku. Dia tersenyum senang ketika aku bilang,
"Quebec, je me souviens." Belle sendiri mengaku senang sudah satu tahun tinggal di Indonesia. Walau dia menyesal belum juga
bisa aktif berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Bagaimana
tidak senang" Sebagai koresponden asing dia diberi fasilitas
apartemen megah yang tegak di daerah Sudirman. Biaya hidup
murah dan sopir serta kendaraan tersedia. "Apakah setiap wartawan di kantor kamu mendapat tempat tinggal di kawasan di
Sudirman?" tanyaku. Sapta yang menjawab, "Hanya buat expat. Buat orang lokal
seperti saya tidak. Tapi lumayanlah, dapat gaji yang lebih besar
dari media lokal dan dapat tunjangan untuk mengontrak sambil
menabung punya rumah. Dulu sebagai wartawan media lokal,
mana cukup uangku. Mau nikah aja mikir-mikir," katanya tergelak. Aku dan Pasus ikut tergelak menertawakan nasib kami
sendiri. "Wah beruntung sekali kamu ya," kata Pasus.
"Secara duit memang beruntung sekali. Tapi dari kepuasaan
kerja, ya di media nasional seperti Derap-lah tempatnya. Kalian
bisa menuliskan berita yang bisa memberikan pengaruh kepada
kemajuan bangsa ini. Kalau aku sekarang kan tergantung
bagaimana angle yang diinginkan dari kantor pusat di luar
105 rantau1muara.indd 105 sana. Pertimbangan kami adalah menghasilkan berita yang
berkualitas dan bisa dijual ke pasar dunia. Bukan karena
pertimbangan kebaikan untuk negara dan rakyat Indonesia."
106 rantau1muara.indd 106 Wasiat Konfusius ku dan Pasus duduk memunggungi dinding musala sambil berselonjor kaki. "Enak juga makanan Itali itu ya
Lif, gratis pulak. Mantap kawan bule kita yang satu itu. Manis
lagi. Suka aku," kata Pasus sambil mengelus-elus perut yang
kekenyangan. Agak lama kami sama-sama diam. Pasus memicingkan mata tapi aku tahu dia tidak tidur. Mungkin dia
seperti aku, larut dengan pikiran tentang obrolan dengan Belle
tadi. Mungkin dia terkenang dengan cantiknya Belle. Aku terkenang dengan omongan Sapta.
"Jadi kita ini beruntung bekerja jadi wartawan lokal, ya" Katanya heroik."
Tidak ada jawaban. Mata Pasus terpejam. Aku jawil pinggangnya sampai dia terlonjak. "Hu"uh." Begitu saja jawabannya.
"Tapi, Sus, dengan gaji kita sekarang, kapan ya kita bisa nikah dan punya rumah?"
Dia menggelengkan kepala, membuka sebelah mata, dan
memandangku. "Ngomong nikah, udah punya calon belum kau?" katanya
menyindir. "Untuk single macam kita ni, gaji kita sudah lebih dari cukup
kok. Memadai. Tapi kalau mau kaya raya, jangan jadi wartawan
lokal. Kau jadilah macam Sapta itu. Kerja di media asing. Nis107
rantau1muara.indd 107 caya dalam beberapa bulan sudah bisa nabung dan melamar
anak orang." "Aku memang single, tapi ada tanggungan keluarga. Makanya
gak cukup Sus." "Niat kau ini cari duit, atau cari kepuasan kerja?"
Aku belum sempat menjawab, Pasus bicara lagi.
"Bersyukur dong. Kita orang yang terpilih dan beruntung bisa kerja di Derap. Jurnalistik yang berpihak kepada keadilan, kepada yang dikalahkan kekuasaan yang jumawa. Ini perjuangan,
Kawan. Itu kalau memang niat kau mau jadi wartawan."
Aku tersengat juga oleh kalimat Pasus itu. Apa niatku sebenarnya" Jadi wartawan yang idealis atau hanya sekadar mencari
tempat untuk mencari uang" Sebetulnya ujung jalan apa yang
ingin aku tuju" Apakah aku berjalan di jalan yang aku inginkan
untuk sampai di akhirnya" Apakah aku sedang menjalankan pepatah man saara ala darbi washala"
"Kalau kau ragu untuk terus jadi wartawan, ya jangan terus
di sini. Percuma. Udah tenaga habis, waktu habis, gak kaya-kaya
pula. Tapi bagiku, jurnalistik adalah jalanku, passion-ku, mengalir di urat darahku. Bahkan sudah mulai mencandu. Bagiku
gaji itu nomor dua. Yang utama apakah hatiku sejalan dengan
pekerjaan. Kepuasan batin."
"Berapa lama kau akan bertahan di Derap?" tanyaku.
"Kalau bicara jurnalistik di Indonesia sekarang, coba tunjukkan padaku, media mana lagi yang lebih baik dan jujur daripada
Derap" Bukan nama besar perusahaan yang aku cari, tapi tempat
kerja yang paling cocok dengan semangat jurnalismeku. Mau
108 rantau1muara.indd 108 belajar jadi wartawan hebat" Kantor kita tempat belajar yang
terbaik di Indonesia. Selama aku bisa terus belajar di sini,
aku akan tetap bersama Derap.... Kau sendiri macam mana?"
balasnya. "Entahlah Sus. Aku sebenarnya juga suka kantor ini. Tapi
aku merasa perlu punya penghasilan yang lebih besar."
"Kau pikirlah baik-baik. Apa yang kau cari. Uang akan habis
tandas dibelanjakan. Tapi yang kita sukai akan terus tinggal di
sini," katanya menunjuk dadanya. Ah, sejak kapan dia jadi filosofis. Kami berdiam diri lagi. Aku membalikkan badan menghadap tembok.
"Ya sudahlah, yuk, tidur kita. Masih ada liputan demonstrasi
mahasiswa dan buruh besok," katanya sambil menggapai sakelar
untuk mematikan lampu. "Sus, jangan matikan dulu, masih mau baca nih," kataku
sambil mengambil buku TOEFL yang tebal di bawah bantalku.
Ini kebiasaan burukku sejak lama, selalu tidur dengan lampu hidup. Hanya karena aku selalu merasa harus membaca sebelum
tidur, tapi kemudian tertidur ketika membaca.
"Emangnya besok mau wawancara narasumber berbahasa
Inggris?" "Enggak, aku baca ini untuk masa depan, bukan buat besok
hari Kawan." "Ke mana masa depan kau?"
"Siapa tahu aku dapat kesempatan sekolah ke luar negeri.
Harus bagus nilai TOEFL-ku."
109 rantau1muara.indd 109 "Terserah kaulah. Nanti aku doakan dalam mimpi," katanya
sambil menguap besar. Hanya perlu beberapa kali putaran kipas
di langit-langit, Pasus segera tertidur pulas. Setelah membolakbalik buku TOEFL selama satu jam, aku pun melayang dan
lampu tidak sempat aku matikan.
Pembicaraan dengan Sapta tempo hari terus terngiang-ngiang
di kepalaku. Sudah tiga lembar halaman buku harian aku habiskan untuk membahas tentang masa depan dan pekerjaanku.
Biasanya menuliskan masalah bisa menenangkanku. Tapi malam ini bahkan aku tak bisa memicingkan mata. Setelah sepuluh kali mencari posisi tidur, telentang, miring kiri-kanan, dan
segala macam gaya lainnya, aku tetap tidak bisa tidur dengan
segala pikiran yang tiba-tiba mengerubuti kepalaku. Aku menyerah untuk mencoba tidur.
Aku bangkit, beranjak turun ke perpustakaan. Siapa tahu
membaca bisa menenangkanku dan membuatku mengantuk.
Atau mungkin aku bisa menemukan buku tentang pekerjaan
yang bisa memotivasiku. Mungkin ada sesuatu yang bisa membuat aku punya keyakinan yang lebih kuat tentang masa depan
kerjaku. Perpustakaan Derap punya banyak buku yang bisa jadi referensi bagus untuk menulis laporan dan riset investigasi. Tapi
ternyata bukan sumber yang baik untuk seseorang yang sedang
mencari misi hidup. Capek membolak-balik buku tentang organisasi dan motivasi, aku kembali duduk di meja yang dipenuhi tumpukan majalah dari berbagai negara. Acak, aku
membolak-balik beberapa majalah. Tanganku terhenti di artikel
110 rantau1muara.indd 110 majalah Writer"s Quarterly yang berjudul, "Finding Your Passion
at Work". Isinya adalah kutipan dari ceramah penulis terkenal
Sidney Sheldon tentang kariernya di Academy of Achievement
tahun 1990. Kata penulis ini, "find what you want to do and do it". Temukan apa yang ingin kamu lakukan dan lakukan itu. Dan yang
lebih penting lagi katanya, "love what you are doing". Cintai apa
yang kamu lakukan. Sidney Sheldon berbagi resep kesuksesan bekerja adalah
ketika kita jatuh cinta dengan apa yang kita kerjakan. Sampai
kita asyik masyuk mengerjakannya. Sampai lupa diri dan waktu.
Sampai tidak pernah melihat jam dinding. "When you love what
you are doing, you do not look at the clock. It is just wonderful."
Resep dia yang lain adalah "give yourself more than expected."
Memberikan sesuatu lebih dari yang diharapkan. Kalau perlu
bangun jam 4 subuh untuk mulai bekerja. "No way you can not
go to the top." Aku mengangguk-angguk. Resep ini sejiwa dengan
man jadda wajada dan i"malu fauqa ma amilu seperti yang aku
pelajari di PM dulu. Artikel ini ditutup dengan sebuah kutipan kata-kata Konfusius, seorang filsuf China, "Carilah pekerjaan yang kamu cintai
dan kamu tidak akan pernah lagi bekerja satu hari pun sepanjang
hayat." Aku ambil buku harianku, aku salin kata-kata ini dengan
sepenuh hati. 111 rantau1muara.indd 111 Lelah membaca, menjelang jam 2 dini hari, aku kembali ke
musala. Merebahkan sebatang badanku yang terasa berat. Tapi di
tengah gelap dan embusan kipas itu justru aku tak kunjung tertidur. Aku bertanya-tanya pada diriku. Apa yang sebenarnya aku
cari sekarang sebagai wartawan" Karena aku benar-benar senang
mengerjakannya atau karena ingin mendapatkan penghasilan"
Aku ingin bekerja karena suka dan menikmati prosesnya seperti
kata Sidney Sheldon. Aku juga suka teman-teman dan atasanku.
Suasana kantor menyenangkan. Tapi kenyataannya, aku kini
perlu penghasilan yang lebih baik. Gajiku sekarang cukup buat
aku hidup sendiri dan sedikit membantu Amak dan adik-adik.
Tapi belum cukup untuk membebaskan Amak dari belitan
utang yang ditumpuknya diam-diam demi sekolah adik-adikku.
Soal utang ini aku memang baru tahu dari surat Amak yang
datang minggu lalu. Cerita dari Sapta tempo hari membuatku iri. Dia bisa sekolah ke Amerika atas tanggungan orangtua. Ketika sekolah di
Amerika, dia bekerja sambil kuliah. Kalau dia bisa kenapa aku
tidak" Mungkin saatnya aku berburu beasiswa lagi. Kali ini untuk
gelar S-2. Mungkin pekerjaan yang aku cintai itu sebetulnya menuntut ilmu. Mungkin tujuan yang ingin aku tuju itu adalah
ilmu, dan jalan yang aku lalui adalah belajar. Belajar dari buaian
sampai liang lahat. Itu doktrin yang aku dapatkan di Pondok
Madani dulu. 112 rantau1muara.indd 112 Wajah di Ujung Tangga engan sarung menyelempang di badannya, Mas Malaka
memanggilku, "Lif, coba ke sini sebentar, kita ngobrol di
ruang rapat kecil." Firasatku agak kurang enak. Jarang-jarang dia memanggil
khusus begini. "Ada masalah apa?" tanyanya pelan. "Saya dan Mas Aji memperhatikan kamu. Di dua edisi majalah terakhir kinerjamu turun. Reportase bolong-bolong, dan narasumber penting kadang
tidak tembus." Secepat ini mereka mengendus keraguanku dengan pilihan
kerja. Memang aku akui, setelah menggebu-gebu di dua bulan
pertama, sekarang semangat kerjaku turun. Semua terasa mulai
menjadi rutin dan agak terpaksa. Aku juga mulai merasa tidak
selalu menikmati liputan. Boks "Wawancara Pocong" adalah
prestasi terakhirku beberapa edisi yang lalu. Sejak itu datar saja
dan aku mulai khawatir juga dengan kemampuanku bisa lulus
masa percobaan. Bagaimana aku harus menjawab Mas Malaka"
"Mungkin saya perlu tantangan baru Mas." Aku kaget sendiri
dengan jawabanku ini. Padahal aku hanya menjawab asal-asalan
saja untuk berkelit dari interogasi yang lebih dalam. Aku tidak
ingin dia tahu aku sedang ragu dengan pilihan karierku.
"Bagaimana saya bisa percaya kamu bisa melakukan sesuatu
yang lebih sulit, jika tugas biasa saja ada yang tidak beres?"
113 rantau1muara.indd 113 "Saya yakin kemampuan saya besar, tapi belum tertantang saja. Beberapa minggu ini saya mulai bosan dengan rutinitas." Kata-kata itu deras meluncur begitu saja tanpa aku sadari. Dalam
hati, aku deg-degan, khawatir membuat Mas Malaka makin
sebal denganku. "Tantangan" Baik, saya beri kamu satu tantangan. Kalau
kamu tidak berhasil, kami perlu khawatir. Persaingan antar-reporter ketat. Tidak semua calon reporter akan kami rekrut,"
balasnya. "Oke siap Mas. Saya akan berjuang habis-habisan." Aslinya,
aku mengerut. Tapi aku sudah telanjur bicara. Malu rasanya menarik lagi kata-kataku.
"Ini! Minggu ini kamu saya beri tugas wawancara khusus
Jenderal Broto, petinggi TNI paling berpengaruh. Ini akan jadi bagian penting untuk lapsus nasib dwifungsi ABRI di era
Reformasi. Bagus tidaknya edisi minggu depan ada di tangan
kamu, Lif. Saya mau lihat apa betul kemampuanmu besar."
Pressure. Jantungku menari lebih cepat.
Siapa tidak kenal jenderal tinggi besar dengan temperamen
keras ini. Sangat antiwartawan, gayanya arogan dan kaku. Dia
kini konon dituntut di luar negeri karena dianggap melanggar
HAM di Irian Jaya. Di mana aku harus mencari Pak Jenderal"
"Tentu saja di Mabes-lah," kata Pasus tersenyum jahil melihat
aku berkeringat dingin mendapat tugas yang aku "minta" sendiri ini.
114 rantau1muara.indd 114 Di gedung Mabes aku disambut ajudan Jenderal Broto yang
berbaret hijau dan bertubuh kaku seperti sikapnya. "Jenderal
tidak bisa diganggu, sedang ada rapat emergensi negara di dalam," katanya ketus. Sejak Pak Harto turun, negara ini masih
saja terus dalam kondisi emergensi.
"Wawancara ini penting untuk informasi ke masyarakat."
"Rapat ini lebih penting buat rakyat. Silakan Anda pulang."
Emosiku tersulut juga. Kenapa juga dia menyuruh-nyuruh aku
pulang. "Pak, saya ini wartawan dan punya hak untuk bertanya. Saya
akan tunggu Pak." "Ini bukan ruang publik. Anda tidak bisa asal tunggu saja
di sini." "Tapi Jenderal adalah pejabat publik. Rakyat berhak bertemu


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pejabat negara. Kalau memang tidak ada kursi, saya
akan duduk di lantai saja Pak," kataku sambil menggelesot di
lantai ubin. Aku yakin jenderal ini tidak akan ke mana-mana,
karena mobil dinasnya, jip Land Rover all wheel drive hijau,
tegak gagah di depan lobi, beberapa meter di depanku.
"Ya terserah kamulah!" katanya kesal dan meninggalkanku.
"Saya orang penyabar, Pak," aku mencoba tersenyum.
Kaki dan pantatku sampai kesemutan setelah satu jam duduk di lantai. Ajudan berbaret hijau lewat lagi di depanku dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama, dia datang lagi, kali
ini menyeret sebuah kursi lipat merah. Tanpa bicara dia menyerahkan kursi itu kepadaku. Aku tersenyum dan berterima
115 rantau1muara.indd 115 kasih. Agaknya ajudan garang ini kasihan juga melihat aku duduk di ujung ruangan.
Ketika terkantuk menunggu, aku mendengar derap sekian
pasang sepatu dari arah ruang rapat. Pintu ruang rapat terbuka
dan beberapa orang berbaret hijau mirip ajudan tadi keluar. Lalu
serombongan perwira lain tampak keluar. Di tengah kawalan
mereka tampak jenderal yang aku rindukan itu. Badannya gelap, tegap semampai dan bergerak dengan cepat. Pantulan cahaya lampu di langit-langit membuat deretan bintang emas di
bahunya berkilat-kilat. Matanya lurus ke depan dengan rahang
terkatup keras. "Minggir Mas, Jenderal mau lewat!" hardik seorang pengawalnya ketika aku mendekat.
Hanya beberapa langkah lagi Sang Jenderal akan naik ke mobil dan meninggalkan tempat ini. Jika aku tak segera bergerak,
sia-sialah penantianku. Harus segera ada gebrakan. Sekejap
kemudian aku ingat taktik lama ketika aku mewawancarai jenderal lain di Pondok Madani. Aku kumpulkan tenaga dan aku
berteriak keras, "Assalamualaikum Pak Jenderal!"
Sejenak suaraku melantun-lantun di lorong lobi. Derap
sepatu tiba-tiba berhenti. Aku lihat Jenderal Broto memutar
badannya. Matanya tajam menghunjam ke arah mukaku.
"Siapa kamu?" sergahnya memecah hening. Suara baritonnya
menggema, mengandung marwah seorang jenderal. Sampaisampai aku perlu beberapa detik untuk menjawab.
"Saya Alif, wartawan majalah Derap, ingin wawancara penting
dengan Bapak tentang..."
"Ah, wartawan mengganggu saja di saat genting ini. Saya
116 rantau1muara.indd 116 tidak punya waktu!" Dia membalikkan badannya tidak peduli.
Sang Jenderal berjalan dengan langkah besar-besar menuju mobilnya.
Aku berlari menyusulnya. "Kalau Jenderal tidak mau jawab,
maka berita ini akan muncul tanpa komentar Anda. Mohon dibantu," kataku masih dengan suara keras. Ajudannya serentak
melihat ke arahku dengan wajah seperti melihat pengacau. Mereka pasti tidak biasa mendengar ada orang berteriak kepada
pemimpinnya. Aku pasrah sudah kalau akhirnya digulung oleh
orang-orang dengan fisik tegap ini.
Jenderal Broto mengibaskan tangannya ke para ajudan, "Siapkan mobil, ke Dephan, segera!" Sejurus kemudian terdengar
bunyi rem mobil mencicit ketika berhenti persis di depan Sang
Jenderal. Ajudannya menggapai gagang pintu.
Tidak akan aku lepas begitu saja Anda wahai Jenderal.
"Jenderal, kami punya bahan, bukti, dan foto yang dapat
menjatuhkan kredibilitas dan reputasi Anda. Boleh saya meminta konfirmasi Anda" Kalau Anda berkeberatan, majalah
kami akan tetap terbit dengan mencantumkan Anda tidak mau
berkomentar. Bahan yang kami pegang ini otentik dan dari
sumber tepercaya." Dia seperti tidak mendengar dan meloncat dengan gesit ke
atas jipnya. Tapi beberapa detik kemudian kaca hitam mobil itu
tiba-tiba turun. Pancinganku mungkin mengena.
"Bahan apa?" "Pelanggaran hak asasi di Indonesia bagian timur. Anda dituntut di Mahkamah Internasional."
117 rantau1muara.indd 117 "Alah, lagu lama! Saya tidak punya waktu menjawab urusan
itu!" "Sambil jalan gimana Jenderal?" tawarku.
"Kamu lihat saya sudah di mobil. Ini sudah mau berangkat!"
sergahnya sambil menaikkan lagi kaca hitam.
"Kalau begitu wawancara di mobil saja."
Kaca sudah setengah tertutup. Matanya membelalak besar.
Mungkin aku dianggap anak gila. Lenyap harapanku. Kalah telak sudah aku dengan tantangan Mas Malaka.
"Demi kehormatan TNI dan Anda!" teriakku mencoba
membujuk. Jip terus melaju pelan. Gagal sudah masa percobaan enam bulanku.
"Bicaralah demi nama baik Anda, anak istri, dan keluarga!"
teriakku melepaskan jurus terakhirku yang terasa sia-sia.
Jip melaju beberapa meter sebelum direm tegak. Lalu atret.
Berhenti di depanku. "Naik!" perintahnya menggelegar dari dalam mobil.
Seperti pesilat ulung, aku meloncat secepat kilat ke dalam
kabin jipnya. Duduk di samping Jenderal Broto di jok kulit
gelap ini saja sudah membuatku terintimidasi. Apalagi ketika
melihat bahunya yang setinggi kepalaku dan kerlap-kerlip segala
bintang serta tanda jasa yang bergelayut di sekujur seragamnya.
Ujung tongkat komando yang digenggamnya dengan teguh dua
kali tidak sengaja menyenggol kakiku. Keras dan dingin. Aku
coba tarik napas panjang sambil mengingat nasihat Kiai Rais
118 rantau1muara.indd 118 dulu, "Jangan takut pada manusia. Yang membatasi kita atas
dan bawah itu cuma langit dan tanah."
Beberapa kali dia terlihat geram dan kesal dengan pertanyaanku. Suaranya turun-naik menggelegar, mengalahkan suara radio. Melalui spion, sopirnya berkali-kali mengintip dengan mata
khawatir. Tapi sudah kepalang tanggung aku bacakan semua
daftar pertanyaanku sampai habis. Setelah lebih dari satu jam
wawancara di mobil sambil menembus lalu lintas Jakarta, dia
bilang, "Cukup, Anda harus saya turunkan di sini," katanya
dingin ketika sampai di depan kantor Departemen Pertahanan.
Dengan cepat aku ucapkan terima kasih dan langsung aku ambil langkah seribu.
Hampir tengah malam, aku baru sampai di musala. Capek
tapi puas karena aku bisa menjawab tantangan Mas Malaka.
Pagi itu setelah mandi di kantor, aku membuka jendela lantai tiga dan menyelipkan tangan ke luar. Hanya perlu dua kali
lambaian tangan, Mas Karyo penjual mi ayam sudah mafhum
arti pesananku. Dalam hitungan menit, semangkuk mi mengepul-ngepul terhidang di meja kerjaku. Sambil mengembus-embus mangkuk mi yang panas, aku balik-balikkan koran hari ini,
mencari angle yang menarik untuk usulan berita. Kantor sekitar
jam 9 pagi masih hening dan sepi. Waktu yang nikmat untuk
membaca. Tidak lama, Pasus duduk di sebelahku dengan membawa
sepiring ketoprak. Sambil makan dia menyisir rambutnya necis-
119 rantau1muara.indd 119 necis di depan kaca kecil yang diambil dari meja Hana. Tumben
sekali anak ini sudah centil sejak pagi.
"Eh, rapi dan wangi sekali. Mau nembak siapa lagi nih?"
godaku. "Rapi dan wangi bukan berarti nembak, Kawan. Kita harus
selalu berpenampilan baik dan menyenangkan, apalagi saat
pertemuan pertama. Kesan pertama selalu begitu menggoda.
Setelah itu terserah Anda. Kamu belum dengar" Hari ini ada
beberapa orang reporter baru yang masuk. Ada cewek juga lho."
"Dapat bocoran dari mana kamu?" Jantungku terasa berdegup lebih cepat. Pikiranku melayang ke arah si mata indah
kemarin. Siapa tahu dia. "Dari sumber yang layak dipercaya."
Gara-gara Pasus bertingkah pagi ini, aku pun kemudian sibuk pula merapikan rambut dan bajuku. Aku tidak mau kesan
pertamaku buruk. Pasus selama ini punya banyak teman perempuan. Yang diajaknya jalan juga berganti-ganti. Selain spin doctor,
dia kami gelari playboy cap dangdut.
Setiap orang yang akan masuk ke ruang redaksi pasti hanya
melalui satu tangga. Dan tangga ini pas di depan kubikelku.
Aku selalu mendengar bunyi langkah orang, lalu pelan-pelan
kepalanya muncul dari tangga bawah. Setelah empat bulan di
sini, aku sudah hampir hafal ciri dekak-dekak langkah hampir semua orang. Yansen dekaknya cepat dan serabutan. Faizal
ringan normal. Mas Aji satu-satu tapi pasti. Yang lucu Pasus,
langkahnya punya bunyi kombinasi 2-2-1. Yang paling gampang adalah membedakan derap jalan perempuan dan laki-laki.
120 rantau1muara.indd 120 Entakan dan ritmenya berbeda. Kadang aku iseng menebak
wajah siapa yang muncul di mulut tangga hanya dengan mendengar derap langkahnya menuju ke atas.
Kali ini aku memejamkan mata untuk menajamkan pendengaran. Aku ingin yang pertama kali mendengar dan melihat
reporter baru menjejakkan kaki di lantai newsroom ini.
Bunyi langkah ngesot, dengan beberapa kali berhenti. Ah, ini
pasti Yono yang sedang menyapu tangga.
Langkah kecil-kecil dan ringan. Hmm ini biasa Mbak Tina,
sekretaris redaksi. Setelah beberapa lama menunggu, muncul suara langkah perempuan. Tapi aku tahu ini bunyi kaki Dida. Tapi bersamanya
ada suara kaki lain. Ringan, cepat. Aku belum pernah mendengar. Apakah dia"
Aku tegakkan punggungku dari sandaran kursi dan aku
majukan badanku untuk melihat ujung tangga dengan jelas. Pelan-pelan tampak sebuah kepala yang muncul dari lantai bawah.
Entah kenapa mukaku terasa panas dan jantungku berdebur.
Benar, itu dia bersama Dida! Dia yang secara tidak langsung
telah mengazab aku ke kamar mayat. Mata itu kembali mengingatkan seseorang dan sebuah tempat. Entah di mana.
Sebelum semua orang bergerak, aku memberanikan diri untuk menyambut dia di ujung tangga.
"Anak baru ya?" pertanyaan pertamaku meluncur. Pertanyaan
yang terdengar bodoh. 121 rantau1muara.indd 121 Telepon Sang Jenderal ia kaget dan mengangkat muka. Sorot matanya yang indah
itu menerpaku. Dida yang ada di sebelahnya menutup
mulut, mencoba tertawa tanpa suara. Aku terjemahkan tawanya
ini sebagai ejekan. Dia memainkan tangannya memberi isyarat
yang kira-kira mungkin artinya "gile langsung ditempel aja anak
baru." Aku tidak peduli.
Anak baru ini tertawa ramah. "Baru dari mana dulu" Ini
kantor kedua saya dan sudah beberapa hari masuk untuk tugas
orientasi di lantai bawah," katanya. Wajahnya ceria, percaya diri, dan juga agak waspada. Jawabannya berlogika dan lengkap
informasi. Aku lancarkan serangan kedua. "Kenalkan, aku Alif, reporter
juga, angkatan pertama."
"Saya Dinara," katanya singkat. Mendengar namanya dan
melihat wajahnya, aku semakin yakin rasanya pernah ketemu.
Tapi di mana" Aku coba pancing dulu informasi yang lain.
"Ehm... dulu kuliah di mana?" tanyaku mencoba mencari
pertanyaan yang paling enak untuk menggiring ingatan bahwa
aku pernah bertemu dia. "Di Depok. Komunikasi UI," jawabnya. Menurut info yang
aku dengar, jurusan ini berisi anak pintar tapi juga gaul, artis,
dan kaya. Dia golongan yang mana ya"
122 rantau1muara.indd 122 "Asalnya mana?" Keluar lagi pertanyaan standar. Aku tibatiba tidak kreatif begini.
"Wah gue langsung diwawancara nih. Anak Jakarta dong,
dari lahir sampai gede gini ya di Jakarta." Dia anak ibu kota,
mungkin anak gaul. "Kalo waktu kuliah di UI Depok, jadi anak kos dong?" Aku
mencoba mencari-cari kesamaan nasib.
"Gak tuh, ngapain" Mending pulang aja tiap hari ke rumah.
Gue anak rumahan." Dia mungkin anak mami, manja, dan tidak
mau menderita di kos. Mungkin juga anak orang kaya. Mungkin juga
dia diantar jemput sopir pribadi.
Mungkin dia bukan cewek pintar sederhana seperti yang aku
bayangkan. Tapi wawancaraku belum selesai. Mungkin masih
bisa aku lakukan sebuah verifikasi terakhir.
"Kayaknya kita pernah ketemu, deh. Walau mungkin sekilas."
"Hmmmm. Masa sih?" katanya sambil melihatku sekilas.
"Pernah ke Cibubur nggak, sekitar tiga tahun lalu?"
Dia tersenyum saja. Menurutku bukan senyum mengerti,
tapi senyum bingung. Lalu dia geleng-geleng kepala dengan lemah.
"Wah nggak ingat. Ehmm, rumah gue di Jakarta Selatan,
jauh banget dari Cibubur. Kayaknya jarang banget ke sana, deh.
Emang kenapa?" Ah, mungkin aku saja yang ge-er, dia tidak pernah merasa
kenal aku. Atau, mungkin aku bukan laki-laki yang cukup ber123
rantau1muara.indd 123 kesan untuk diingat oleh seorang gadis. Alasan yang terakhir ini
lebih tepat, sepertinya. Aku mulai sangsi, jangan-jangan pernah kenal ini hanya imajinasiku saja. Tapi sudah kadung maju. Sekalian saja aku tanya
lebih spesifik. "Aku punya teman namanya Raisa, dulu kami sama-sama latihan di Cibubur. Dia pernah bawa temannya datang. Kayaknya
aku melihat kamu di sana deh." Apa boleh buat. Aku terpaksa
menyebutkan nama yang pernah menggoyahkan hatiku.
"Hah" Raisa itu sih sobat guee.... Ooo, iya. Gue pernah diajak waktu dia mau pergi ke Amerika."
"Kanada," jawabku membetulkan dengan girang.
"Iya, itu kan juga di Amerika, di bagian Amerika Utara maksudnya." Dia berkelit sambil tersenyum lebih ramah sekarang.
"Alhamdulillah ingat juga. Nah ingat gak kami bikin performance seni. Aku yang memeragakan silat Minang."
"Soriiiii banget, gue nggak ingat. Ingatnya cuma ada musikmusik Minang dan tarian dari Papua segala. Udah lama banget,
sih. Mungkin kita ketemu di sana ya?"
Hmm setidaknya dia gadis yang jujur. Tidak harus merasa
tidak enak bilang tidak. "Iya, aku teman satu tim ke Kanada dengan Raisa."
"Wah temannya teman berarti teman gue juga dong." Suaranya jauh lebih ramah dan akrab daripada tadi.
"Sip! Yang penting selamat bergabung di Derap ya," kataku
senang. Dia ternyata memang pernah aku lihat dan temui. Aku
lega. 124 rantau1muara.indd 124 Bunyi deham berkali-kali terdengar di belakangku. Waktu
aku tengok ke belakang ternyata sudah banyak yang antre untuk berkenalan dengannya. Laki-laki semua. Mulai Pasus yang
kembali menyisir rambut dengan tangan, Faizal, Yansen, dan
bahkan Yono saja ikut di ujung antrean dengan sapu di tangannya. Hanya Hana yang tampaknya kurang berminat, dan dudukduduk cuek di ujung meja rapat.
Wartawan perempuan menjadi makhluk minoritas di ruang
redaksi kami dan tentunya jadi perhatian semua orang. Tambahan anggota perempuan pasti disyukuri oleh para wartawan
laki-laki lajang. Dinara dirubungi teman-temanku yang ingin
berkenalan, dan dia dalam sekejap tampak akrab sekali dengan
Faizal yang rupanya kakak kelasnya di UI. Entah kenapa hatiku
tidak enak melihat Dinara dan Faizal ngobrol.
Rapat redaksi hari ini agak istimewa karena ada beberapa wajah baru. Mas Aji seperti biasa tampil dengan baju monokrom:
kali ini krem-krem dan membuka rapat dengan pengumuman.
"Saya senang dan berterima kasih kepada kalian semua karena mutu laporan minggu ini bagus sekali. Dan seperti biasa,
saya umumkan wartawan dengan reportase terbaik pada minggu
ini. Silakan berdiri.... Alif."
Hidungku kembang-kempis ketika disuruh berdiri dan mendapatkan tepukan dari seluruh penjuru ruang rapat. Ini kali
pertama aku jadi journalist of the week. Sementara Pasus sudah
beberapa kali. "Alif berhasil memaksa Jenderal Broto untuk mau diwawan125
rantau1muara.indd 125 carai di atas mobil dinas selama satu jam lebih. Pertanyaan-pertanyaan sulit juga berhasil memancing jawaban yang bagus. Ini
adalah cerminan reportase yang tidak pernah menyerah apalagi
untuk tokoh sulit seperti ini. Selamat. Kamu juga akan kita sebut di "Surat dari Redaksi" dan dapat bonus akhir bulan," kata
Mas Aji. Dengan ekor mata aku bisa melihat Dinara melirik sebentar
ke arahku dan ikut bertepuk tangan. Seperti kata Pasus, kesan
pertama itu penting. Belum lagi tepuk tangan reda, Mbak Tina dari sekretaris
redaksi tergopoh-gopoh masuk ruang rapat. Wajahnya tertekuk
horor. "Lif, sini dulu. Orang di telepon itu marah-marah dari
tadi dan ingin bicara dengan kamu langsung. Katanya dari Mabes." Semua mata memandang kepada aku. Mampuslah aku.
Ini pasti berhubungan dengan wawancara Jenderal Broto yang


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari ini terbit. Para tentara itu pasti sudah membaca. Bencana
apa yang akan datang ini"
"Halo, selamat siang. Saya Alif, apa yang bisa dibantu?" kataku mencoba memantapkan suara walau agak grogi.
"Saudara Alif, tolong tunggu sebentar." Lalu beberapa detik
hanya hening. Di belakangnya terdengar nada tunggu berupa
musik mars tentara. Aku sampai merasa harus berdiri dari posisi duduk, berdiri sikap sempurna untuk membuat suaraku
lebih tegas. Lalu sebuah suara yang berat terdengar, "Saudara Alif, saya
sudah baca hasil wawancara kita minggu lalu." Suara bariton
yang bernada memberi komando. Jenderal Broto. Aku meneguk
ludah. Peganganku ke gagang telepon mengencang. Bala apa
126 rantau1muara.indd 126 yang akan turun padaku" Baru minggu lalu Pasus diserang balik
oleh seorang konglomerat hitam. Pasus sampai diikuti ke manamana oleh preman. Dan kantor kami sempat dikepung oleh
pendemo bayaran. Bahkan ada yang melempar bom molotov ke
lapangan parkir Derap. Itu hanya gara-gara sebuah kalimat salah
kutip. Semoga kali ini bukan tentara yang mendatangi kantor
kami. "Saya sungguh keberatan dengan hasil tulisan di Derap," katanya seperti menikamku. Hawa dingin terasa mengaliri tulang
punggungku. Kakiku lemas, tubuhku doyong perlahan.
"Maaf Jenderal. Di bagian yang mana?" suaraku keluar juga
walau dengan nada tercekat.
"Terutama tentang pelanggaran hak asasi itu. Yang dilakukan
pasukan saya adalah membela negara kesatuan ini. Anda tidak
pernah tahu bagaimana kerasnya situasi perang di hutan. Pasukan harus terus bergerak menyergap, kalau tidak mau disergap. Kesatuan dan persatuan perlu dibela dengan nyawa.
Sayangnya, pertanyaan Anda menyudutkan saya dan angkatan
bersenjata," katanya meledak-ledak.
Aku hanya menggigit-gigit bibir saja. Membiarkan dia memuntahkan semua kegeramannya.
"Tapi setelah saya baca lagi, saya sadar era telah berubah.
Ini masa Reformasi. Walau tidak sepenuhnya sesuai dengan
keinginan saya, saya hargai usaha Anda menulis juga sisi baik
kami. Ada yang kita sepaham, ada yang tidak. Karena itu saya
akan mengirimkan surat resmi kepada redaksi menjelaskan halhal yang kita berbeda itu. Terima kasih."
127 rantau1muara.indd 127 "Siap Jenderal. Terima kasih Jenderal."
Klik. Telepon ditutup. Aku bengong sebentar. Di tengah kekesalanku kepada pemerintah dan militer, ternyata ada juga pejabat tinggi yang mau berpikiran maju untuk memprotes dengan
tulisan. Tidak main paksa, atau ancam, atau gaya penagih utang
kartu kredit itu. Berprasangka buruk itu tidak baik.
Aku kembali ke ruang rapat. Rapat singkat sudah bubar tapi
ruangan masih ramai. Dinara yang duduk di ujung meja sedang
sibuk meladeni pertanyaan awak redaksi lain. Bagai kembang
yang mekar, dia dikelilingi kumbang-kumbang. Dan sang kembang ini membagi perhatian dengan rata, senyum sana, senyum
sini. Betul-betul anak Jakarta yang gaul.
"Selamat ya, jadi journalist of the week. Great job!" tiba-tiba
Dinara berbisik kepadaku sore itu sambil lewat. Sekilas senyumnya terkembang. Aku terpaku sejenak.
128 rantau1muara.indd 128 Hubungan Gelap udah sebulan Dinara bergabung dengan kami, menjadi
bagian pasukan sersan. Gadis ini belajar seperti spons,
menyerap hal baru dengan lahap, aktif bertanya, beradaptasi
cepat, dan cerdas. Dia ramah, ramai, cantik, dan paling muda
di antara kami. Walau dia baik kepada semua orang, tapi menurutku dia tampak pemilih untuk berteman dekat.
Saat ini dia dekat dengan Faizal dan geng tamatan UI serta
anak Jakarta. Mungkin karena banyak persamaan latar belakang.
Bicara mereka saja pakai lu-gue. Aku sampai sekarang ngomong
lu dan gue saja tidak lurus dan kalau aku paksa, maka pelafalan
ala Minang-ku jadi bahan tertawaan. Melihat dandanan yang
modis serta sudah pula menenteng HP, dia pasti dari keluarga
berada. Saat ini hampir semua reporter masih pakai pager dan
baru beberapa redaktur yang punya HP.
Mungkin karena perbedaan-perbedaan itu, jelaslah aku bukan salah satu yang dipilihnya jadi teman akrab. Kami hanya
bertegur sapa sekadarnya, selebihnya aku pengamat dan pengagum dia dari jauh. Pernah dua kali kami dapat tugas liputan
bareng dan kami saling bantu sebagai tim. Aku coba mengobrol
tapi rasanya ada penghalang komunikasi kami. Entah apa itu.
Padahal kubikel kami berseberangan. Padahal aku yang pertama
mengucapkan selamat bergabung dan menyambutnya di ujung
tangga dulu. Padahal kami sama-sama teman Raisa.
129 rantau1muara.indd 129 Mau tidak mau aku berprasangka. Mungkin frekuensiku memang tidak cocok dengan dia. Jangan-jangan dia hanya merasa
nyaman dan nyambung dengan anak Ibu Kota saja. Mungkin dia
kurang bisa berkomunikasi dengan orang kampung dan lulusan
pesantren seperti aku. Tapi apa gunanya aku berprasangka. Setiap orang tentu berhak merasa nyaman atau tidak dengan orang
lain. Toh dia tidak memusuhiku. Dan yang paling penting, kenapa aku sampai sebegitu pedulinya terhadap dia yang belum tentu peduli dengan aku. Apa sihir pandangan pertama itu masih
bekerja" Entahlah. Kadang-kadang aku intip dia dari jauh sedang sibuk memainkan HP barunya yang sedang jadi tren, Nokia 3210. Sementara
aku sibuk menghitung-hitung sisa gaji setelah mengirim biaya
sekolah adik-adik di kampung. Jangankan punya HP, untuk
biaya bulanan saja aku perlu hemat-hemat. Dia kerap ngopi dan
makan-makan dengan kawan-kawan lain ke Pasaraya Manggarai
atau Metropole. Aku" Ah cukuplah aku melambaikan tangan
memesan nasi uduk di seberang kantor. Sudahlah, kami memang berbeda. Jadi enyahlah dari kepalaku.
Inilah masalahku, berlagak cuek, merasa tidak cocok, tapi
terus penasaran dengan Dinara. Atas nama penasaran itulah
kemudian aku bergerilya melakukan riset tentang dia. Pertama aku mengobrol dengan teman-teman UI-nya. Aku bikin
sedemikian rupa sehingga investigasiku tidak mencolok, hanya
sepotong-sepotong, sambil lalu. Aku bahkan melawan rasa segan
dan memberanikan diri menelepon Raisa hanya untuk bertanya
tentang Dinara. "Wah, aku mencium ada operasi terselubung nih," jawab
Raisa di ujung telepon, menggodaku.
130 rantau1muara.indd 130 "Ah, enggak, cuma mau kenal lebih baik aja, kan dia teman
kamu," kataku masih berkilah. Padahal aku tahu kilahku pun
tidak bermanfaat. "Alif, sejujurnya aku bisa bilang, dia gadis luar biasa. Menurutku dia bisa jadi teman yang asyik buat kamu. Hmmm, bahkan menurutku, dia orang yang cocok dengan kamu."
Mantap sekali suaranya mengatakan aku cocok dengan Dinara.
"Cocok apanya?"
"Dia itu suka baca, suka menulis, jago bahasa Inggris, ada
darah Minang, dan dia ada di Jakarta, sekantor pula dengan
kamu." "Lalu?" "Aku akan senang kalau dua orang yang aku kenal jadi teman dekat. Pokoknya aku berani mempromosikan Dinara kepadamu, dan aku akan promosikan kamu ke dia. Selanjutnya
terserah kalian berdua, hehe...."
Mukaku terasa panas. Seandainya Raisa melihatku, pasti mukaku bersemu merah. Baru saja mau investigasi latar belakang
Dinara, aku sudah mau dijodoh-jodohkan.
Dari investigasiku tentang Dinara, aku menemukan bahwa
dia punya dua saudara perempuan. Kakaknya Widy dan adiknya
Nindya. Dari kecil dia adalah anak yang aktif, ikut Paskibra, jadi
ketua OSIS, juara nyanyi, dan hampir selalu jadi juara kelas.
Bapaknya berdarah Minang dan bergelar Sutan Rangkayo Basa
dan ibunya bernama Utami dari Jawa. Karena itu dia kerap mudik ke Padang dan juga Jawa.
131 rantau1muara.indd 131 Profesi keluarga besarnya beragam pula, dari pegawai kantoran, pemusik terkenal, petinggi militer, sampai pengusaha.
Aku salut ketika mengetahui kalau dia juga sudah bekerja
sejak kuliah dengan niat mandiri secara ekonomi. Menjadi
wartawan adalah pilihan hatinya, karena sebenarnya dia sudah
mendapat job offer untuk bekerja menjadi staf PR di perusahaan
multinasional. Dia menolak tawaran itu walau dijanjikan gaji
yang lebih baik. Walaupun dari keluarga mampu dan punya lebih dari satu
mobil, anehnya dia tidak bisa menyetir mobil. Sampai sekarang
dia masih suka naik bus dan angkot. Satu lagi, aku sering
mendengar dia menyisipkan bahasa Inggris dalam obrolannya.
Kesannya agak sombong dan kebarat-baratan. Ternyata aku menemukan bahwa dia tamatan LIA dan punya sertifikat menjadi
guru bahasa Inggris. Dari dulu aku selalu cemburu dengan pengetahuan grammar para lulusan LIA.
Suasana politik menjelang pemilu semakin menggelegak.
KPU menetapkan 48 partai bisa berlaga dalam pemilu 7 Juni
1999. Seiring dengan meningkatnya suhu politik ini, makin
banyak pula berita yang perlu kami liput, tidak peduli hari dan
jam. Karena itu kini setiap Sabtu, ada dua wartawan yang bertugas piket di kantor sampai tepat tengah malam.
Aku sudah mendapat jatah piket pekan lalu jadi aku akan
bisa santai sepanjang Sabtu dan Minggu ini. Rencanaku akan
mencuci baju kotor dan main ke kos Uda Ramon. Tiba-tiba
Mas Malaka menghubungiku melalui pager. "Yansen sakit, to132
rantau1muara.indd 132 long gantikan dia untuk piket." Aku ingin menolak, apalagi
cucian sudah keburu aku rendam di ember. Tapi ketika pesan
pager kedua masuk, "Tolong bantu ya Lif, tidak ada teman lain
yang bisa", aku putuskan mengiyakan walau malas-malasan.
Ketika sampai di kantor Sabtu sore, aku baru sadar kalau
teman piketku hari ini adalah Dinara. Awalnya aku bersorak
dalam hati, tapi segera merasa malas begitu harus mencaricari topik bicara yang bisa membuat kami nyambung. Setelah
ngobrol basa-basi sebentar, akhirnya kami saling tahu diri dan
menyibukkan diri di kubikel dan komputer masing-masing.
Newsroom makin senyap, hanya menyisakan beberapa redaktur,
tim desain, editor bahasa, dan Yono yang ikut lembur.
Sehabis Magrib aku kelaparan dan meminta tolong Yono
untuk membelikan nasi bungkus di rumah makan Padang di
perempatan jalan. Untuk basa-basi, aku tawari Dinara, "Mau
ikut pesan nasi padang?"
"Mau dong. Aku pakai dendeng batokok lado mudo dan pucuak
ubi," jawabnya menyebutkan menu berbahasa Minang, walau
dengan pelafalan yang agak kaku. Ah, aku hampir lupa kalau
dia berdarah setengah Minang.
Dalam sekejap di meja rapat kami kini hanya tersisa dua gelas es teh yang tinggal separuh dan seperempat, juga dua helai
daun pisang yang licin berminyak, beraroma kuah gulai ayam,
dan dedak rendang yang harum. Aku bersendawa malu-malu.
Dinara pura-pura tidak mendengar dan mengeluarkan tisu dari
tasnya untuk mengelap tangannya. Pasus yang tiba-tiba muncul dari bawah tangga berteriak, "Yah, aku ketinggalan nih!
133 rantau1muara.indd 133 Enaknya makan padang itu kalau bareng-bareng kayak gini."
Dia ikut menarik kursi di meja kami sambil berteriak memanggil Yono untuk memesan satu porsi nasi padang lagi.
Aku melihat jam dinding. Masih empat jam lagi menuju tengah malam. Di luar, guruh sambung-menyambung, dan langit
mulai tiris, menurunkan gerimis. Dinara sudah tenggelam dengan novelnya, The Alchemist yang ditulis Paulo Coelho. Pasus sudah menandaskan hajat nasi padangnya dan sekarang
duduk berselonjor menumpangkan kaki di mejanya sambil
memejamkan mata. Kepalanya mengangguk-angguk sendiri dengan headphone menyumpal kupingnya. Apalagi kalau bukan
mendengarkan musik dangdut atau koleksi lagu Iwan Fals dari
CD Walkman. Aku mencoba membaca buku pembahasan soalsoal TOEFL yang baru kubeli di Senen. Satu-dua ubun-ubun
redaktur masih tampak bergerak-gerak di kubikel mereka di sisi
ruangan yang berseberangan dengan kami.
Jam 8 lewat 10 menit, telepon kantor berdering. Di seberang
sana terdengar suara Mas Malaka, "Alif, pasang speaker phone.
Kita perlu conference call untuk update perkembangan terakhir
dari koresponden daerah. Kalau tidak keburu kita muat di majalah, kita naikkan ke website."
Aku dan Dinara duduk di meja conference call di tengah
ruang redaksi. Kami sigap mengambil block note dan membuka
jalur telepon untuk mendengarkan laporan dari koresponden
Derap di Aceh, Jawa Timur, Ambon, juga Timor Timur. Ada
berita tentang seorang anak SD yang kecanduan minum bensin
dan menganggap rasanya lebih enak daripada Teh Botol. Sekarang kesehatannya terganggu dan orangtuanya menyesal karena
134 rantau1muara.indd 134 selama ini mengikuti permintaan anaknya, seloki bensin setiap
hari. Ada pula berita tentang seorang pemimpin aliran sesat di
sebuah kampung terpencil di Jawa Timur. Dia memimpin jemaahnya untuk saling meminumkan racun kepada jemaah lain,
sebagai bentuk penyerahan total demi mencapai kebahagiaan
hakiki. Ingin bahagia kok minum racun.
Kami berdua berbagi tugas untuk menyarikan laporan dari
daerah untuk dikirimkan ke tim website. Belum lagi aku selesai
mengetik, tiba-tiba semua gelap. Komputerku mati dengan bunyi tercekik. Sejenak terasa hening, sebelum beberapa redaktur
berteriak karena file-nya belum disimpan dengan aman di komputer. Lampu sempat hidup sebentar untuk kemudian mati
lagi. Yono terengah-engah berlari dari lantai bawah dan mengumumkan kepada kami, "Maaf Mas dan Mbak, kata tim mekanik, diesel kita rusak, lagi dibetulin dulu."
Di tengah gulita, hanya terdengar suara napasku dan Dinara
yang menghela panjang. "Kita ngapain ya?" tanyanya.
"Kita pasrah saja menunggu sampai tengah malam. Aturan
piket tidak boleh meninggalkan pos, kecuali untuk liputan atau
perintah dari Mas Aji atau Mas Malaka," jawabku tanpa bisa
melihat mukanya. Dinara tidak membalas komentarku, dia
mengeluarkan telepon genggamnya dan mendekatkan layarnya
yang terang ke halaman buku. Dia meneruskan membaca. Gerimis sudah berganti dengan hujan deras.
Selang beberapa menit yang ada hanya hening. Sesekali terdengar bunyi kertas dibolak-balik. Mungkin saja dia sebetulnya
tidak benar-benar membaca. Aku merasa kurang nyaman diamdiam di tengah gelap.
135 rantau1muara.indd 135 Ah, daripada diam tidak jelas, kenapa aku tidak mencoba
mengajak dia bicara lagi. Aku ingin melihat bagaimana gadis kota ini menanggapi obrolanku. Topiknya apa" Bisa tentang novel
The Alchemist yang sudah aku tamatkan beberapa tahun lalu
atau tentang dukun minum racun tadi. Dukun yang menang.
"Lucu juga cerita dukun itu ya?"
"Hu"uh." Halaman buku dan penerangan telepon genggamnya tidak bergerak. Dia masih membaca.
"Masa minum racun bareng untuk bahagia."
"Ya mungkin definisi bahagia bagi dia beda kali. Namanya
aja dukun." Dia membalik satu halaman. Matanya tetap lengket
di buku. "Apa kamu bahagia dengan hidupmu?"
Aku tersedak sendiri mendengar pertanyaanku yang terasa
garing dan nyaring. Sureal rasanya bertanya dengan gaya sok
filosofis di tengah kegelapan ini. Aku tidak bisa melihat ekspresinya. Yang jelas beberapa detik tidak ada suara dan gerakan.
Mungkin dia tidak mendengar atau malas menjawab. Barulah
ketika Yono datang membawa sebuah lilin, dia menggerakkan
tangannya. Gelangnya bergemerincing.
"Pertanyaan malam Minggu kok susah amat." Dengan sinar
lilin yang redup, aku bisa melihat dia tersenyum tipis. Mungkin
dia takjub atau terintimidasi dengan pertanyaan berat ini. Ah,
pastilah cukup berat buat anak kota yang gaul seperti dia. Tangannya terulur menggapai gelas tehnya. Embun dan sisa es
batu berpendar-pendar terkena cahaya lilin. Dia menatapku.
Matanya berkilat-kilat memantulkan nyala lilin kecil yang ber-
136 rantau1muara.indd 136 goyang-goyang itu. Dia mungkin mengulur waktu, dan aku menunggu jawabannya.
"Kebetulan gue lagi baca The Alchemist yang bercerita tentang
pencarian misi hidup. Bila misi hidup telah ditemukan, maka
manusia akan bahagia. Buat gue, bahagia adalah nyaman secara
batin dan lahir, dekat dengan keluarga, dan bisa berbuat baik.
Kalau ditanya sekarang apa gue bahagia" Ya, bahagia dong. Tapi
mungkin gue bisa lebih bahagia."
Oh, bisa juga dia menjawab. Ternyata dia bukan cuma anak
gaul biasa. Baik, kalau begitu sudah kepalang basah. Aku lanjutkan saja topik diskusi dalam gelap ini.
"Bagaimana cara kamu lebih bahagia?" aku kejar dia. Pertanyaan yang aku sendiri juga malas untuk menjawab, tapi aku
ingin tahu jawabannya. Aku lihat kilatan baru di matanya. Mungkin berbinar, atau
mungkin kesal. Entahlah, di bawah sinar lilin sulit menilai sorot mata. Tapi anehnya dia masih mau melayani pertanyaan
anehku.

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa ya. Mungkin dengan mencoba membahagiakan keluarga, teman, orang lain...."
Aku diam saja. Aku biarkan kalimat itu meresap ke dalam
kegelapan. Api lilin berkibar sedikit ketika sumbunya patah.
Gadis ini semakin menarik. Aku semakin bersemangat menguji
dan mewawancarainya. "Apa sih arti hidup buat kamu?" Suaraku seperti melantunlantun di ruang hampa. Kantor ini semakin senyap. Sesekali
saja terdengar lolongan Pasus yang mungkin sudah setengah
137 rantau1muara.indd 137 tidur mengikuti beberapa bait lagu Iwan Fals. Wo o ya o ya o ya
Bongkar.... Dinara tidak bersuara tapi menyandarkan punggungnya sampai kursi itu berbunyi. Pasti sebentar lagi dia bosan dan beranjak dari meja ini kembali ke kubikelnya. Terserah dialah. Tapi
setelah beberapa jenak, dia tidak beranjak dari tempatnya. Aku
penasaran menunggu jawabannya.
Dengan suara rendah nyaris berbisik dia berkata:
"Percaya atau tidak, ini pertanyaan gue setiap pagi ketika bangun tidur. What is the purpose of my life. Untuk apa hidup gue
ini. Kenapa gue hidup. Gue sempat takut bertanya karena capek
menjawab pertanyaan sendiri. Tapi gue kini terus bertanya. Kalau gue dapat jawaban yang memuaskan, mungkin gue akan
lebih bahagia lagi."
Aku mengangguk-angguk. Arahnya sudah benar. Mencari.
Mungkin dia belum menemukan. Dia tidak sedangkal yang aku
kira. "Kalau kamu" Apa artinya hidup?" Katanya membalikkan
pertanyaanku dengan telak. Dia kali ini menggunakan kata ganti kamu, bukan elu seperti kepada temannya yang lain.
Alamak, mati aku. Aku mainkan lelehan lilin yang masih panas untuk mengulur waktu sambil mencari jawaban. Aku kaiskais semua memoriku tentang jawaban filosofis yang pernah
aku tahu. Setelah aku habiskan teguk terakhir tehku, baru aku
siap menjawab. Dari mejanya, Pasus sedang berdendang "Bento" sambil mengetuk-ngetuk meja. Ah dia mengganggu diskusi
kami saja. 138 rantau1muara.indd 138 "Hidup itu seni menjadi. Menjadi hamba Tuhan, sekaligus
menjadi penguasa alam. Kita awal mulanya makhluk rohani,
yang kemudian diberi jasad fisik oleh Tuhan dengan tugas
menghamba kepada Dia dan menjadi khalifah untuk kebaikan
alam semesta. Kalau kedua peran ini bisa kita jalankan, aku yakin manusia dalam puncak bahagia. Berbakti dan bermanfaat.
Hamba tapi khalifah."
"Ck ck, dalem banget."
"Bukan dari aku, tapi itu yang aku dapat dari guru-guruku
di sekolah dulu." "Wah hebat. Sekolah di mana dulu?" tanyanya. Ah, dia pelupa. Seingatku aku pernah cerita.
"Sekolahku" Ini suatu yang jarang aku ceritakan ke orang
lain. Hanya orang-orang tertentu saja. Sangat personal," kataku
hati-hati. Lho kenapa tiba-tiba aku seperti mau curhat kepada
gadis yang belum kupercayai ini" Hmm, mungkin karena waktunya terasa pas saja.
"Semacam rahasia dong" Jangan cerita kalau tidak nyaman
loh." "Gak apa-apa, kebetulan ini ada hubungan dengan pertanyaan tadi."
"Oke, gue dengerin." Dia memajukan duduknya dan meletakkan bukunya tertelungkup di meja.
"Aku dipaksa nyantri empat tahun di Pondok Madani, di pedalaman Jawa Timur," kataku pelan-pelan, seakan-akan ini top
secret. Dia sampai memiringkan kepala untuk mendengar lebih
jelas. Memang di kantor tidak banyak orang yang tahu. Aku
139 rantau1muara.indd 139 bukan malu tapi takut nanti sedikit-sedikit disuruh jadi tukang
baca doa. Aku tidak suka karena biasanya doa hanya jadi acara
pelengkap dan dilakukan paling akhir ketika semua orang sudah kasak-kusuk mau makan atau pulang.
"Gue agak-agak ingat sekarang. Kayaknya Raisa pernah cerita.
Hebat banget bisa terpaksa empat tahun. Gue sih mungkin sudah kabur," katanya sambil tertawa kecil.
"Tapi yang awalnya paksaan, sekarang jadi kesyukuran. Aku
jadi mengerti tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup.
Seperti dari mana asal hidup ini, bagaimana mengisi hidup, dan
ke mana arah hidup."
"Orang yang beruntung," katanya menanggapi. Ah, dia lip
service. Mana tahu dia arti pendidikan karakter ala pesantren
yang sebenarnya. Tapi lip service juga tidak apa. Hidungku yang
tadi agak mampat kini terasa longgar membesar karena bangga.
"Tapi, apakah kamu sudah mencapai pengertian bahagia
itu?" tanyanya lagi sambil memiringkan kepala.
Ingin rasanya aku mengklaim kalau aku sudah bisa mencapai
itu. Untuk memperlihatkan bahwa aku tidak lemah dan tidak
dalam masa pencarian diri lagi.
"Aku terus berupaya mendekati dan menuju ke sana," jawabku mencoba diplomatis. Ah, padahal itu kalimat hampa. Aku
tidak tahu bagaimana Dinara menerjemahkan jawabanku itu.
Tiba-tiba tanganku melanggar lilin sampai terguling di meja
dan mati. Pasus yang sedang lewat berbaik hati membawa lilinnya untuk menyulut lilin baru buat kami. Pasus tetap tenggelam dengan musiknya. Bunyi ndut-ndut-nya bocor dari headphone-nya. Matanya merem-melek.
140 rantau1muara.indd 140 Dinara membuang muka ke gelas teh manisnya yang tinggal
berisi bonggol es batu. Dia aduk-aduk dengan sendok, padahal tidak ada air lagi. Mungkin dia juga sedang mengaduk pikirannya, menimbang apakah jawabanku cukup baik. Aku merasa kami seperti sedang menjajaki isi hati dan kepala masingmasing. Aku menikmati. Dan sepertinya dia juga menikmati.
Pager-ku di meja makan bergetar, mengirim riak ke air teh
yang masih tersisa di gelasku. Dari Mas Malaka.
"Tolong terima laporan koresponden dari Jepang dan Hongkong sekarang. Sebentar lagi mereka menelepon."
Kami kemudian mendekatkan kuping ke gagang telepon
dan sibuk mendengarkan dan mencatat laporan tambahan dari luar negeri. Untuk sementara pembicaraan kami tertunda.
Tapi di kepalaku, sebenarnya diskusi itu terus berlangsung. Di
kepalaku selalu ada dia, pertanyaannya, dan matanya. Dalam
pikiranku anak kota yang gaul dan manja ini mulai berubah.
Lilin tiba-tiba pudur. Sumbunya benar-benar habis. Gelap
gulita. "Wah, kita sudah menjalin hubungan gelap nih," kelakarku.
Dia hanya diam. Sebuah suara tawa halus terdengar.
"Semoga aja masa depan kita nggak ikut gelap," balasnya ringan. Hmm, dia membikin aku penasaran.
"Setelah gelap, pasti akan ada terang."
"Eh, kamu baca buku TOEFL dalam rangka apa nih?" Rupanya dia memperhatikan bacaanku selama ini.
"Mau tes, lagi mau berburu beasiswa ke Amerika."
141 rantau1muara.indd 141 "Wah keren!" Nah dia kayaknya tidak menyangka. Aku cuma nyengir.
"Sama dong kita. Gue juga lagi pengen nyari beasiswa ke
Inggris." "Aku doain. Sama-sama doain ya."
"Kalo perlu partner untuk tanya-jawab soal TOEFL, sini gue
bantuin. Gini-gini, pernah jadi guru LIA lho," katanya dengan
nada bangga. "Beneran bantu ya," jawabku senang.
Jam 12 malam berdentang, saatnya kami boleh pulang. Melihat dia harus naik taksi sendiri di tengah hujan di malam
buta, aku menawarkan diri untuk ikut naik taksi menemaninya
pulang. Dia tidak menolak. Pasus bersuit-suit dan melambailambai di belakang kami. Sepanjang jalan kami membahas tentang cita-cita sekolah ke luar negeri. Bahkan dia sudah mulai
mengirimkan formulir juga. "Inggris itu tempat belajar impian
gue. Apalagi program S-2-nya cuma setahun, jadi bisa hemat.
Nah nanti bonusnya, bisa nonton Liga Inggris langsung. Pokoknya gue pengen banget berfoto di kandang Arsenal, Chelsea, MU, dan Liverpool," katanya menggebu. Ah, kayak dia
mengerti bola saja. Sampai di depan pintu rumahnya, ibunya ternyata sudah
menunggu di balik pagar. Aku turun dari taksi dan memperkenalkan diri dengan kagok. "Terima kasih sudah mengantarkan
Dinara ya. Masuk dulu?" tawar Ibu Utami berbasa-basi.
Dalam situasi normal, aku akan menolak dengan sopan,
apalagi ini sudah dini hari. Tapi kombinasi hujan deras dan AC
142 rantau1muara.indd 142 taksi yang dingin, membuatku menerima tawaran itu. "Boleh
menumpang ke kamar kecil, Bu?"
"Lewat sini aja. Jangan sungkan, saya masih sambil kerja
kok," kata ibunya. Aku melewati garasi yang berisi dua sedan
untuk mencapai toilet di pojok ruang dalam yang masih terang
benderang. Di pojok ruang keluarga yang lapang tampak rak
buku sepenuh dinding, layaknya sebuah perpustakaan. Sebagian besar koleksi bukunya berbahasa Inggris. Di sebelah rak
buku ada komputer yang masih berdenging hidup. Di meja itu
tertumpuk buku-buku tebal tentang psikologi, sebagian halamannya terbuka. Di dinding terpasang ijazah sebuah pelatihan
dari Amerika atas nama Ibu Utami. Aku menebak-nebak,
mungkin Ibu Utami ini seorang dosen, tamat luar negeri,
pekerja keras, sehingga masih menulis penelitian sampai dini
hari ini. "Mengejar deadline juga Bu, seperti kami para wartawan?"
"Nggak juga. Saya saja yang suka menulis malam. Kebetulan
yang saya tulis adalah ilmu yang saya sukai. Tentang human behavior dan bagaimana meningkatkan kinerja dan kompetensi para
pekerja profesional. Passion saya. Kerja gini hobi," jawabnya dari
balik layar komputer. Ketika aku pamit, Dinara melepasku dengan tersenyum.
"Terima kasih ya untuk obrolan tadi dan gue udah diantar.
Hati-hati di jalan," katanya. Ada hawa hangat bersemayam di
dadaku. Hangat yang lama.
143 rantau1muara.indd 143 Magrib Terhebat atu bulan pertama sejak mengenalnya, aku habiskan untuk
menerka-nerka dia dari jauh. Bahkan tidak kuanggap dia
di level yang serius, sekadar anak kota pintar yang manja saja.
Boleh jadi dari keluarga kaya karena warisan turun-temurun.
Aku tidak pernah menyangka, tugas piket yang kuawali dengan malas-malasan kemarin mengubah peta hubungan kami.
Berbincang di meja rapat dalam gulita mengubah cara pandangku. Sejak malam itu, kami lebih sering mengobrol. Aku
merasa, dia mulai menganggapku bukan sekadar anak kampung
dan lulusan pesantren saja. Ceritaku tentang impian S-2 di
Amerika tampaknya membuat dia berpikir ulang, bahwa aku
anak kampung yang tidak kampungan.
Besoknya dia membawa banyak soal TOEFL yang kami bahas
bersama sambil makan siang. Aku senang sekali mendapat teman yang menyemangati proyek beasiswaku. Tawarannya untuk
membantuku bukan basa-basi. Rasanya aku tidak berjuang sendiri lagi.
"Legaaa!" teriakku sambil meregangkan kedua tangan ke
atas. Akhirnya selesai juga laporan wawancara panjangku dengan R.A. Kosasih, pembuat komik wayang Mahabharata yang
sangat terkenal itu. Sebagai penggemar berat komiknya sejak
144 rantau1muara.indd 144 masih di kampung, aku senang sekali usulanku disetujui rapat
untuk meliput keseharian seniman komik ini.
Dinara yang sedang lewat di belakangku menyeletuk, "Enaknya yang udah selesai. Gue baru dapat jadwal wawancara besok
nih. Narasumber ganti-ganti jadwal terus. Sebel." Dia menarik
kursi dan duduk di dekat kubikelku.
"Salah sendiri mau jadi wartawan," kataku bercanda.
Mukanya rusuh dan cemberut. Menurutku ini cemberut
pura-pura. Aku teruskan bertanya.
"Din, kamu kenapa sih mau jadi kuli tinta" Kan banyak peluang kerja lain. Kamu anak Jakarta, kuliah di Komunikasi UI,
dan... cantik pula," kataku. Sebenarnya, aku serba salah menyebut kata "cantik" yang aku sisip di akhir kalimat ini. Malu juga
aku kalau ketahuan sebetulnya aku menyanjung dia.
Dia terdiam sejenak. Cemberutnya sekejap sirna, dia menekuri ujung kakinya sambil tersenyum tipis dan rona wajahnya
agak merah. "Ih, gombal nih," katanya malu-malu. Aku juga malu dan
berdebar-debar. Untuk mengalihkan rasa gugup, kuulangi lagi
bertanya. "Ini pertanyaan serius. Kenapa mau susah-susah jadi wartawan?"
Matanya berkedip-kedip mengerling ke atas. Makin indah.
"Hmmm. Mungkin karena Tintin. Dia itu kan bisa bertualang
ke mana saja, mengungkap berbagai misteri dan kejahatan sebagai seorang wartawan. Dari kecil gue pengen kayak Tintin. Makanya jadi wartawan," kata Dinara.
145 rantau1muara.indd 145 "Kamu suka yang judulnya apa?" tanyaku. Untung aku sendiri pernah baca beberapa komik Tintin, jadi tidak kelihatan
clueless. "Oo banyak sekali. Gue nggak akan pernah bisa lupa, mulai
Tintin di Tibet, Lotus Biru, Perjalanan ke Bulan, sampai Tongkat
Raja Otokar," lanjutnya sambil menghitung-hitung dengan jari.
"Kalau bacaan waktu kecilku adalah serial Album Cerita Ternama, mulai dari Jules Verne, sampai The Last of the Mohicans.
Aku juga membaca karya Enyd Blyton, mulai dari Lima Sekawan,
Mallory Tower, sampai Si Badung. Aku bahkan membaca The Adventures of Tom Sawyer, Huckleberryfinn, dan Winnetou," kataku
tidak mau kalah. Walau dari kampung, aku beruntung punya
keluarga yang suka membaca. Buku The Adventures of Tom Sawyer dan Winnetou itu bahkan buku yang juga dibaca Ayah ketika
masih kecil. Tulisannya masih pakai ejaan lama dan telah dijilid
ulang oleh Ayah. Kalau Ayah dan Amak tidak bisa membelikan
buku, aku membaca buku di Perpustakaan Bung Hatta di
Bukittinggi. Dinara tidak berkedip sejenak. Mungkin dia terkesan dengan
bacaanku. "Kalau media, baca apa?" tanya dia.
"Tempo, Prisma, Panjimas, Haluan, Singgalang, dan koran lain."
"Ah, boring... dulu gue nggak tertarik politik. Jadi baca tabloid Bola aja," katanya tersenyum.
"Bola?" "Emangnya kenapa?"
146 rantau1muara.indd 146 "Itu kan tabloid olahraga. Nggak ada cewek baca itu."
"Gue cewek yang beda dong."
"Pasti nyarinya berita olahraga basket ya?" tanyaku menguji.
"Gak juga. Semua cabang olahraga, terutama sepak bola. Boleh diuji, gue masih hafal siapa saja yang ada di skuat Inggris,
Spanyol, Italia, Belanda, Jerman. MU" Arsenal" Real Madrid"
AC Milan" Ajax Amsterdam" Bayern Munich" Hafal juga. Pemain bola favorit gue Van Basten. Di rumah juga masih ada
jersey Marc Overmars," balasnya dengan cepat penuh semangat.
Ini gawat. Kelihatannya pengetahuan olahraganya lebih unggul daripada aku. Daripada nanti merembet dan membuatku
tampak kalah pengetahuan tentang sepak bola, aku belokkan
saja pembicaraan ke arah lain.
Pelan-pelan, Dinara jadi kawan bicara yang serius. Dia bagai
kawan lama yang hilang selama ini. Kami mengobrol sambil mengetik laporan, sambil mengedit berita, sambil liputan, sambil
makan siang, sambil menonton bareng teman sekantor di Metropole. Topik bicaranya juga sangat luas, mulai remeh-temeh,
sampai membahas soal tentang grammar di TOEFL. Menurutku,
di balik diskusi kami berdua, kami saling menguji, saling menjajaki, kadang saling berkompetisi. Sejauh ini aku terkesan.
Dia mungkin bisa jadi my best friend. Atau, mungkin lebih
dari itu" Azan dari masjid di belakang kantor lamat-lamat mengaliri
udara senja. Aku meluruskan badanku yang pegal karena du147
rantau1muara.indd 147 duk hampir dua jam di depan komputer untuk menuntaskan
transkrip wawancara dengan saksi mata kerusuhan Mei 1998.
Laporan yang menyeretku ke kenangan ketika aku melihat Jakarta dibakar dan bergolak.
Ujung jari kakiku mengail-ngail sandal jepit di bawah mejaku. Sambil menyeret kaki ke musala, mataku mencuri-curi
pandang ke meja Dinara. Tampaknya dia belum pulang dari
liputan. Aku menertawakan diri sendiri yang akhir-akhir ini
kadang merasa kehilangan dia. Atas dasar apa aku merasa kehilangan" Tidak memiliki, kok kehilangan. Aku menggeleng-gelengkan kepala sendiri.
Air wudu masih rintik-rintik dari wajahku ketika aku terlonjak, campuran antara senang dan kaget. Di depanku tahu-tahu
telah berdiri Dinara, yang juga terkejut melihat aku sampai tersentak. Aku merasa kulit muka dan kupingku memanas.
"Eh, mau ke toilet juga?" kataku mencoba sok tenang.
"Enggak, mau wudu." Dia tersenyum manis. Sebenarnya sudah beberapa kali aku lihat dia menuju musala. Tapi baru kali
ini kami benar-benar bertemu pas waktu salat.
"Eh, eh Lif." "Ya?" "Tungguin ntar, kita berjamaah salat Magrib-nya ya."
"Sip, aku tunggu." Degup berpacu di dadaku. Tentulah aku
mau menunggunya. Musala kecil yang sumpek, tempat aku
bergelung pada malam hari bersama Pasus, tiba-tiba terasa lebih
teduh dan sejuk. Aku kuatkan lafaz takbirku agar tidak kentara
148 rantau1muara.indd 148 getar suaraku. Aku pimpin doa setelah salat dan diamini oleh
suaranya di belakangku.

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai mengatupkan kedua tanganku di wajah sebagai penutup doa, aku ambil Alquran kecilku di rak musala. Hari Kamis
malam Jumat biasanya jadwalku membaca Yasin. Aku niatkan
mengirimi kebaikan bacaan mulia ini untuk almarhum Ayah
dan keluargaku yang telah mendahului kami.
Aku lirik ke belakang. Dia masih belum beranjak juga dari
sajadah. Aku bergumam pelan ke Dinara, "Duluan aja ya, aku
ngirim buat Ayah dulu." Lalu tanpa menunggu jawabannya,
pelan-pelan, aku baca Yasin secara tartil. Tidak keras, tapi cukup terdengar. Dengan irama seperti kami pelajari di Klub
Jam"iyyatul Qura, di Pondok Madani dulu.
Setengah halaman pertama surat Yasin sudah berlalu. Aku
lirik dengan ujung mata, Dinara ternyata masih belum beranjak
dari musala. Ah, mungkin dia mau mendengar aku mengaji.
Aku lanjutkan ayat selanjutnya. Tapi lamat-lamat di belakangku
ada suara mengikuti aku mengaji. Aku berhenti, dia juga berhenti, aku meneruskan, dia mengikuti. Aku berhenti di tengah
ayat, tapi dia masih terus bergumam sampai akhir ayat.
Wah, hebat juga dia mau ikut mengaji. Satu halaman lagi
berlalu. Aku mengambil jeda sebentar dan menoleh ke dia. Dinara yang dibalut mukena biru tersenyum manis. Aku pikir dia
pasti tadi juga membuka Alquran. Tapi di tangannya tidak ada
Alquran. "Gak bawa Alquran?"
"Enggak. Kalo Yasin aja nggak perlu."
149 rantau1muara.indd 149 Gaya betul jawabnya. "Emang hafal di luar kepala?"
"Dari sejak SMP gue alhamdulillah sudah hafal Yasin.
Emangnya kenapa?" Aku bingung. Profilnya tidak cocok. Bagaimana mungkin
gadis ibu kota yang sekolah di SMA 6 dan masuk Komunikasi
UI serta bergaya gaul ini hafal Yasin. Benar-benar aneh. Tapi
juga membuat aku terkagum-kagum. Kok, ada gadis seperti ini.
Aku teruskan membaca Yasin dengan perasaan tidak menentu. Dia terus mengikuti sampai tamat. Hatiku berdetak-detak
berirama menyaingi jam dinding di musala. Ini Magrib terhebat
dalam hidupku. Mungkin Raisa benar, Dinara memiliki banyak kecocokan
denganku. Bahkan dibanding Raisa yang dulu pernah menambat hatiku, Dinara punya banyak sisi yang membikin aku
penasaran dan terpesona Raisa memang pernah menyentuh
hatiku tapi Dinara yang mulai melelehkannya.
150 rantau1muara.indd 150 Antara Jakarta dan Bogor elepon kantorku berdering. Ketika kuangkat yang terdengar
hanya suara tawa menyembur-nyembur. Aku langsung tahu
itu tawa siapa. Randai! Dia selalu muncul di saat-saat yang tidak
pernah aku kira. "Hoi Alif, ba"a kaba wa"ang" Enak kerja di Jakarta?"
"Wa"ang masih betah saja di Bandung?"
"Aden baru pulang kampung. Ada titipan rendang dari amak
wa"ang. Nanti pas aden ke Jakarta, den bawakan."
"Ondeh, terima kasih banyak Kawan. Acara apa di kampung"
"Libur saja, sambil syukuran akhirnya diangkat jadi pegawai
tetap IPTN. Gaji alhamdulillah naik pula. Banyak lagi."
Ah, dia tahu di mana harus menohokku dengan telak. Masalah gaji ini masih menggangguku juga. Sampai pada titik aku
merasa menjadi sangat kompetitif dan materialistis. Seakan-akan
materilah yang menjadi tujuanku. Agak malu aku mengakuinya.
Misalnya, aku pernah menulis di buku harianku nama Randai
dan beberapa temanku yang sudah bekerja dan di sebelah nama
mereka, satu-satu kutuliskan jumlah gaji berdasarkan pengakuan
mereka. Aku banding-bandingkan diriku dengan yang lain. Rupanya banyak yang sudah mendapatkan penghasilan di atas
aku. Bahkan ada yang tiga kali lipat, karena mereka kerja di
151 rantau1muara.indd 151 perusahaan multinasional atau perusahaan minyak. Aku kadang menghujat diriku karena gampang iri dan selalu melihat
ke atas. Nyatanya, masih banyak temanku yang belum dapat
pekerjaan, atau malah di-PHK.
"Satu lagi Lif, mungkin tidak lama lagi aku disekolahkan pula ke Jerman, Lif. Eropa!"
"Selamat yo. Aden pun sedang mengurus sekolah ke Amerika,"
tukasku tidak mau kalah. Beasiswa S-2 yang aku incar adalah
Fulbright Scholarship yang terkenal sulit untuk didapat itu.
"Ini Amerika masih angan-angan kosong atau sudah benar
diurus?" Tawanya kembali menyembur.
Pertanyaan ini berhawa kompetisi. Dia selalu tahu bagaimana
memancing emosiku. Lihat saja nanti. Kalau aku jadi berangkat
ke Amerika, aku akan bisa membungkam gertakan Jerman-nya.
"Akan mengurus Fulbright."
Dengan suara sengau dia menukas, "Jangan ketinggian punya
mimpi, nanti jatuh dan sakit. Itu beasiswa keren yang hanya
buat orang-orang hebat. Mana mungkin wa"ang bisa dapat."
Aku membela diri habis-habisan karena tersinggung dengan
gayanya yang mengecilkan aku. Tapi apa gunanya aku bersitegang urat leher. Untuk menang melawan Randai aku hanya
perlu satu bukti. Bukti! Hanya itu yang bisa membungkamnya.
Walau tersinggung dan memanaskan hatiku, aku anggap
gaya Randai yang meremehkan aku ini sebagai tantangan yang
bisa aku jadikan energi besar untuk berjuang mendapatkan beasiswa ini. Lihat saja nanti Randai, akan aku buktikan siapa yang
paling benar di antara kita.
152 rantau1muara.indd 152 Begitu selesai bicara dengan Randai, saat itu juga aku
langsung menelepon Aminef, badan yang mengurus beasiswa
Fulbright di Jakarta. Tidak mau menunggu lama, siang itu juga
aku datang sendiri ke kantornya di Gunung Sahari untuk mengambil formulir beasiswa. Aku harus bergerak cepat sebelum
Randai memberi bukti lebih dulu kalau dia benar-benar jadi ke
Jerman. Sudah beberapa bulan ini aku riset, mencari sekolah S-2
yang paling pas untuk pengembangan ilmu dan karierku. Aku
bertekad mendalami seluk-beluk komunikasi dan media. Tuition
fee yang mencapai puluhan ribu dolar per tahun jelas tidak akan
bisa aku jangkau, kecuali aku mendapat beasiswa, atau bekerja
sambil kuliah. Jam 11 malam berdentang, Faizal dan Yansen menyeret kakinya pulang. Aku pun mulai mengantuk dan mataku sepet.
Tapi aku paksakan menyelesaikan satu bab latihan TOEFL lagi.
I have to go the extra mile. "TOEFL lagi TOEFL lagi, udah berapa
kali khatam tuh buku tebal. Sekali-sekali khatam Quran dong,"
goda Pasus yang mungkin sudah bosan melihat aku terobsesi
dengan buku ini. Ketika dia melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu musala, aku masih terus duduk di meja
kerjaku dan belum mengizinkan diriku untuk merebahkan diri
tidur. Sejenak aku edarkan pandanganku ke ruangan redaksi. Tidak ada satu manusia pun. Hanya bunyi detak jam dinding dan
dengkuran beberapa komputer yang lupa dimatikan rekan-re153
rantau1muara.indd 153 kanku sebelum pulang. Hanya aku seorang diri. The last man
standing. Telah berbilang malam-malam sepi seperti ini yang aku
lewatkan sendiri. Ketika kawanku tidur bergelung mendengkur,
aku sedang sibuk belajar, riset, dan membaca. Tapi aku tidak
sedih, karena aku tahu sedang dalam proses bekerja lebih keras
dari orang kebanyakan. Hanya itu cara yang aku tahu untuk
menjadi lebih baik. Malah, ketika newsroom semakin senyap, semakin bergolak
semangatku. Ketika malam makin gelap, semakin menyala tekadku. Aku tahu jika aku terus berjuang dalam sunyi, aku menuju sebuah tempat yang tidak semua orang akan sampai. Ke
tempat orang-orang terpilih saja. Orang-orang yang kerap dianggap aneh oleh orang kebanyakan. Tuhan ini Maha Melihat
siapa yang paling bekerja keras. Dan Dia adalah sebaik-baiknya
penilai. Tidak akan pernah Dia menyia-nyiakan usaha manusia.
Aku percaya setiap usaha akan dibalas-Nya dengan balasan sebaik-baiknya.
Sejak alam ini terkembang, malam-malam sepi telah menjadi
saksi orang-orang besar dalam sejarah. Malam yang hening
kadang menjadi waktu lahirnya karya-karya besar. Ada kekuatan
ajaib di dalam kerja keras dan perenungan di tengah kesenyapan
malam. Ada kemesraan yang personal dengan Zat Yang Kuasa
dalam sepi. Ada keberkahan di saat-saat sepertiga malam.
Mungkin ini waktu pintu langit terbuka untuk menyedot semua
doa manusia yang mengapung kepada Tuhan. Bahkan, Nabi
Muhammad pun melakukannya. Ketika Kota Mekkah terlelap,
dia mendekatkan diri dalam kepada Sang Pencipta di Gua Hira.
Di kepalaku berdengung-dengung pepatah Arab itu. Man
154 rantau1muara.indd 154 thalabal ula sahirul layali. Siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan, bekerjalah sampai jauh malam. Apakah setiap orang yang
bekerja jauh malam akan dapat kemuliaan dan keberhasilan" Tidak juga. Tapi pengalamanku menyatakan jika aku bekerja melebihi jam kerja orang kebanyakan, aku mungkin akan diganjar
dengan hasil di atas orang kebanyakan pula.
Aku kembangkan formulir beasiswa Fulbright yang harus
aku isi di meja. Hanya tiga halaman saja. Tapi aku sadar sekali,
inilah tiga halaman yang paling menentukan hidupku. Bertolak
dari tiga halaman inilah panitia beasiswa akan menentukan
apakah aku layak untuk dipanggil wawancara. Karena itu, tiga
halaman ini aku isi sebaris demi sebaris dengan hati-hati. Begitu
draft selesai, aku taruh di bawah bantal dan besok pagi aku pasti membaca ulang isinya. Aku patut-patut lagi, aku corat-coret,
dan aku tambah dan kurangi agar semakin baik. Pokoknya
sampai aku yakin, bahwa titik dan koma pun tidak salah posisi. Aku terus perbaiki dan perbaiki lagi selama dua minggu.
Misiku adalah membuat formulir ini error free, karena inilah
satu-satunya cara untuk mendapatkan kesempatan maju ke tahap selanjutnya. Aku ingin membuat juri tidak punya pilihan
dan celah untuk menggugurkan aku. Pilihan mereka hanya
memanggil aku. Karena itu formulirku harus sempurna. Perfect!
Tidak puas dengan mataku sendiri, aku meminta tolong Dinara untuk memberi masukan. "Dengan senang hati," jawabnya
cepat. Beberapa usulnya berhasil memperkuat logika formulirku,
dan memperbaiki kesalahan grammar. Kini aku merasa sudah
155 rantau1muara.indd 155 mengerahkan semua daya upaya untuk mengisi tiga halaman
formulir itu. Aku masukkan ke dalam amplop dan aku antar
sendiri ke kantor Aminef.
Ketika merebahkan badanku di lantai musala yang dilapisi
karpet tipis, aku tatap baling-baling timpang yang berderit-derit
di setentang keningku. Dengan pelupuk mata yang berat, aku
bubungkan doaku terakhir sebelum tidur. Semoga doaku ditiup
oleh baling-baling sampai ke langit. Ya Tuhan, mudahkanlah
jalanku menuntut ilmu ke negeri orang. Lalu aku telungkupkan
buku TOEFL ke mukaku, siapa tahu malam ini isi buku ini
mencair dan mengalir pindah ke otakku.
Impian kuliah ke luar negeri sering aku ceritakan ke kawankawan reporter di saat makan siang. Lama-kelamaan mungkin
mereka bosan karena ceritaku itu-itu saja. Sampai pernah aku
diingatkan Yansen untuk tidak sering mengumbar impian tinggi
ke orang lain, "Nanti jadi bunga kembang tidak jadi." Aku hanya tersenyum saja, kata-kata ini bukanlah yang pertama aku
dengar. Aku malah berpikir sebaliknya, kalau aku bercerita,
mungkin aku akan mendapatkan banyak doa dan dukungan
dari yang mendengar. Hanya satu orang yang selama ini tidak
tampak bosan ketika aku bercerita tentang impianku ini. Setiap
aku bercerita, dia memperhatikan dan matanya malah berbinar.
Dinara. Sambil menunggu hasil beasiswa Fulbright, aku terus mengirim e-mail dan mengisi aplikasi ke berbagai sekolah dan
lembaga beasiswa kampus masing-masing. Sudah ada tiga surat
yang datang, masing-masing dari kampus di Amerika, Inggris,
dan Australia. Jawabannya kira-kira senada walau ditulis oleh
156 rantau1muara.indd 156 orang yang berbeda: "Kami kekurangan alokasi beasiswa dan
tempat. Maaf, silakan coba tahun depan." Semua kata-kata
sopan yang intinya tetap sama: menolak. Belum ada kampus
yang siap menerimaku, apalagi memberiku beasiswa. Mungkin
belum saatnya. Aku masih menunggu jawaban dari 15 kampus
lain yang aku surati. Pernah suatu kali aku dan Dinara mendapat penugasan
liputan bareng naik kereta ke Bojong. Tujuan kami adalah mewawancarai kandidat penerima Nobel sastra, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya. Begitu kami naik kereta ekonomi di
Manggarai, semua kursi di kereta rakyat ini sudah penuh. Aku
membeli koran dan menggelarnya sebagai tikar untuk kami.
Tapi baru saja bersila di lantai, dia sudah sibuk membaca buku Elements of Journalism dan menyumpal kupingnya dengan
earphone. "Maaf, lagi dapat tugas baca buku ini dari Mas Aji.
Tinggal dikit lagi," katanya. Mas Aji punya kebiasaan mewajibkan kami membaca berbagai buku, lalu dia akan meminta kami
mempresentasikan di rapat redaksi. Melihat Dinara sibuk membaca, maka aku juga tidak mau kalah, pura-pura asyik dengan
buku tebalku: Graduate Record Examination atau GRE. Padahal
aku ingin sekali mengobrol, tapi dia terlihat sibuk.
Di stasiun berikutnya kami kedatangan tukang rujak yang
menjajakan dagangannya di plastik kecil. Aku memesan dua
porsi, sambil membuka kesempatan mengobrol. Dinara mencabut earphone-nya dan berterima kasih atas pesanan rujakku.
"Enak ya kamu, kalau jadi sekolah ke Amerika gitu. Gue se-
157 rantau1muara.indd 157 umur hidup tidak pernah merantau. Dari lahir sampai kuliah
dan kerja, ya tetap tinggal di rumah yang sama, bahkan di kamar yang sama. Ingin rasanya bisa keluar dari sarang. Terbang
jauh mencari pengalaman," katanya sambil mengunyah mangga
dan membalik buku tanpa melihatku.
Aku menadahkan tangan. "Amin, semoga rencana kita kedua-duanya tercapai."
"Amin juga," kata dia sambil menangkupkan bukunya ke wajah, seperti orang selesai berdoa. Lalu dia menurunkan bukunya
dari muka dan memandangku. Tidak lama, tapi sorot matanya
menancap dalam. Di antara gemeretak bunyi roda besi beradu dengan rel, aku
mendengar, "Gue tahu kamu akan segera pergi ke sana." Mukanya kembali fokus ke balik buku dan sibuk membaca. Ah,
pemanis di bibir saja. Mungkin hanya untuk menyenangkan
hatiku. "Maksudmu?" Kali ini dia meletakkan bukunya dan memandangku dengan
mata serius. "I see the quality in you. Tinggal tunggu waktu."
Aku saja masih mengumpulkan keberanianku. Dia malah
begitu yakin aku bisa. Tiba-tiba aku merasa badanku melayang
kesenangan. Kata-katanya terngiang-ngiang terus di kepalaku.
Dia percaya, bahkan lebih percaya daripada aku percaya pada
diriku. Sejak menyantap rujak itu kami jadi mengobrol seperti malam mati lampu itu. Awalnya akulah yang bertanya tanpa henti
kepadanya. Ketika aku capek bertanya, giliran dia bertanya
158 rantau1muara.indd 158 balik. Pertanyaan kami sungguh acak, terserah apa saja yang
muncul di kepala. "Ngomong-ngomong, kalau ke luar negeri ingin merasai hidup ke kota mana dulu?" tanyaku.
"I am a city girl. Gak bisa kalo gak tinggal di kota besar, kayak
London itu," katanya mantap.
"Kenapa harus London?"
"Hmmm karena...." Lalu dia memejamkan matanya. Dari
balik lensa kacamatanya aku bisa melihat bulu-bulu mata lentik
itu mengatup. Kelopaknya bekerjap-kerjap beberapa kali. Lalu
dia buka mata yang bulat itu, dengan sinar yakin.
"Waktu kuliah S-1 dulu, gue sering ke perpustakaan British
Council, banyak buku referensi ilmu komunikasi yang bilang
Westminster University di London punya jurusan ilmu jurnalistik dan komunikasi yang bagus. Gue liat kampusnya asyik
banget, ada yang di dekat Stadium Wembley dan ada yang di
Baker Street. Itu lho jalan yang terkenal karena novel Sherlock
Holmes, salah satu detektif favorit gue. Nggak nyambung ya"
Hehehe. Tapi London hanya awal impian saja, pada intinya gue
mau belajar kehidupan dengan keliling dunia. I want to see the
world," katanya mantap.
"Wow," jawabku. "Ini adalah esensi dari filosofi Minang,


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa alam terkembang adalah guru. Ini juga esensi dari syair
tentang perantauan dari Imam Syafii." Aku kemudian membacakan ke Dinara potongan syair yang menggetarkan itu, "...
Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman....
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang...."
159 rantau1muara.indd 159 "Wah bikin merinding. Biar gak lupa, tolong tulisin dong
buat gue." Maka aku dengan patuh menuliskan syair itu di block
note. Kali ini tukang tahu goreng lewat dan aku membeli dua plastik untuk kami.
Sambil mengunyah tahu, aku tanyai dia lagi, "Apa makna
keluarga buat kamu, Dinara?" Dia mengangkat mukanya dan
mengelap ujung bibirnya yang dilepoti minyak. Dia menutup
mulutnya dengan tangan. "Ntar dulu ya, masih mengunyah,"
katanya dengan suara tidak jelas. Dia menggigit sebuah cengek
hijau. Mungkin juga untuk mengulur waktu sambil memikirkan
jawaban. "Keluarga buatku adalah tempat pulang, mencari ketenangan
batin," katanya beberapa saat setelah meneguk air putih. Aku
mengangguk-angguk dan telah siap menyodorkan pertanyaan
lain. Begitu terus aku bombardir dia dengan pertanyaan anehaneh, suka-suka aku. Bagai tidak mau kalah, Dinara juga membalas balik. Kami seperti sedang bersilat saja, saling serang
dan tangkis dengan pertanyaan masing-masing. Kadang ada
serangan balik. Kadang ada juga tackle. Kami sedang mengukur
kekuatan masing-masing. Seru.
"Bagaimana agar kita menjadi manusia terbaik?" tanyanya
sambil melirik ke arahku. Hmm, dia rupanya juga sedang mengujiku. Tidak soal. Ini pertanyaan yang sudah berkali-kali dibahas ketika aku masih di Pondok Madani.
"Hmm, begini," kataku bagai memulai sebuah kuliah
160 rantau1muara.indd 160 umum. Dua penumpang baru naik gerbong, kami menggeser
tikar koran untuk memberi jalan.
"Kalau di pesantren kami diajarkan nasihat Nabi yang bilang:
khairunnas anfa"uhum linnas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang
bermanfaat buat orang lain. Nah bermanfaat kan bisa pakai apa
saja yang kita punya. Bahkan tersenyum saja sudah manfaat untuk menyenangkan hati orang yang melihatnya. Manusia yang
bermanfaat adalah manusia terbaik. The most succesful person,"
jawabku. Matanya mengerjap-ngerjap. Mungkin kagum, mungkin bingung, mungkin merasa dikhotbahi. Entahlah.
"Jawaban gaya pengajian nih," katanya sambil tertawa. Aku
cuma mengangguk dan tidak yakin harus bilang apa.
"Tapi ngomong-ngomong kita sudah di mana nih?" tanyanya.
Astaga. Sepanjang perjalanan kami terlalu asyik mengobrol
hilir-mudik, sampai tidak sadar kalau kami hampir sampai Stasiun Bogor.
"Tuh kan, kita jadi kebablasan deh. Kamu harus tanggung
jawab. Nanyanya aneh-aneh sih," kata Dinara protes dengan
bibir cemberut. Aku pikir dia marah, tapi sorot matanya tidak.
"Awas lho, cemberut itu tidak bermanfaat," gurauku.
Nyatanya, besok paginya, sebelum aku sempat menyelipkan
tangan di sela kaca jendela kantor untuk melambai ke tukang
mi di seberang jalan, Dinara sudah muncul di depanku. Di tangannya sebuah kantong plastik hitam.
161 rantau1muara.indd 161 Pendekar Panji Sakti 12 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Pelangi Dilangit Singosari 29
^