Pencarian

Rindukan Aku 2

Rindukan Aku Karya Andros Luvena Bagian 2


Terserahlah. Jawabku menyerah.
Kami sudah keluar kompleks, Gagah menuntunku ke sebuah mobil sport berwarna hitam yang terparkir di ujung gang.
Aku meminjam dari temanku. Katanya membukakan pintu mobil, kemudian dia berjalan memutar dan duduk di kusi kemudi.
Kenapa harus pakai mobil" memangnya kita mau kemana" tanyaku penasaran.
Nanti kau juga tahu. Jawabnya seraya mengerling padaku. Aku tersenyum, kemanapun ... yang penting bersamanya. Itu sudah cukup buatku.
Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)
Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia mengambil semua yang ada padaku.
"RatuBuku DELAPAN Aku merasa sedang berada di atas langit, melompat-lompat dari awan yang satu ke awan yang lainnya, berlari sambil tertawa. Gagah mengejar di belakang, tertinggal satu awan dariku. Hatiku terasa ringan, penuh dengan kebahagiaan. Setiap aliran darah di nadiku seakan meneriakkan kata aku bahagia . Gagah menangkapku, dia membuat aku terguling ... terhempas pada lembutnya hamparan awan.
Aku mendapatkanmu, Honey Amy. Honey Amy ... Honey Amy ....
Aku membuka mata, melihat Gagah yang sedang menepuk-nepuk pipiku lembut. Melihatku terbangun, Gagah tersenyum.
Mimpi indah" Tanyanya dengan senyum menggoda. Aku tersipu, membetulkan posisi dudukku. Emang kenapa" Gagah terkekeh, Tidak. Hanya saja, melihatmu tersenyum dalam tidur membuat aku senang.
Kita sudah sampai" tanyaku menglihkan perhatian. Ya.
Aku memperhatikan sekeliling, sepertinya dulu ... sudah lamaa sekali, aku pernah ke sini.
Kau ingat tempat ini" Aku menggeleng ragu.
Gagah membuka pintu mobil, keluar dan berjalan memutar, membukakan pintu untukku. Lalu mengulurkan tangan, membantu aku turun.
Dia menggandeng tanganku menuju ke suatu tempat, memasuki sebuah jalan setapak yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Gagah berhenti di depan sebuah rumah kecil terbuat dari bilik bambu yang atapnya terlalu pendek sehingga Gagah akan membungkuk jika memasukinya.
Sekarang ingat" tanyanya lagi.
Sesaat aku diam, mencoba menggali ingatan yang paling dalam. Kemudian kedua bola mataku terbuka lebar ketika mengingat sesuatu. Ini rumah Nini kan"
Gagah tertawa, Iya. Jawabnya.
Bukannya Nini sudah lama meninggal" tanyaku memperhatikan rumah yang sepertinya sudah lama kosong itu.
Kau betul, kata Gagah seraya menuntunku memasuki rumah tersebut. Ayo Amy.
Aku melangkah ragu mengikuti Gagah, memandang perempuan tua yang berdiri di depan pintu ketakutan. Perempuan itu sangat menakutkan, tubuhnya bungkuk dengan tonjolan besar pada punggung, rambutnya yang putih tergerai berantakan, dan mulutnya tidak berhenti mengunyah sesuatu.
Ini nenekku, kau bisa panggil dia Nini seperti aku. Kata Gagah meraih tangan perempuan tua itu dan menggoyang-goyangnya.
Nini tertawa padaku, aku mundur dan bersembunyi di belakang punggung Gagah, ketakutan melihat mulutnya penuh cairan merah. Mungkin darah, pikirku.
Tidak apa-apa, Amy. Gagah menenangkan aku.
Ulah sieun ka Nini ... Nini bergumam menggunakan bahasa asing yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Lalu, dia meludahkan darah yang ada di mulut. Itu bukan darah, Amy. Nini hanya nyeupah.
Aku tidak tahu apa itu nyeupah, tapi aku agak tenang ketika tahu itu bukan darah.
Nini tertawa, dia mengambil benda coklat kehitam-hitaman dari mulutnya dan meletakkan di sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, lalu menggelung rambutnya menjadi satu.
Ayeuna meureun babaturan maneh teu sieun deui ka Nini, Gah. Pan Nini geus teu siga jurig deui. Katanya masih tertawa.
Gagah ikut tertawa, Nini kan cantik, masa dikira jurig.
Memasuki ruang depan, aku ingat ruangan ini masih sama seperti dulu. Lantai yang masih tanah, tiga kursi kayu yang mengelilingi meja bundar kecil, dan sebuah dipan bambu beralas tikar yang terletak di salah satu sisi ruangan. Bahkan lentera dari botol masih menempel di dinding biliknya. Seperti tidak pernah ditinggalkan. Gumamku.
Aku menyuruh orang untuk membersihkan tempat ini, imbalannya mereka bisa memanfaatkan lahan sekitar. Kata Gagah memperhatikan sekeliling. Apa desa ini masih sepi seperti dulu" aku ingat hanya ada sedikit orang di desa ini, mungkin sekitar 20 orang, dengan tempat tinggal yang saling berjauhan.
Ya. Tidak ada yang suka tinggal di tempat terpencil. Hanya ada orang tua di sini, mereka yang muda pergi merantau.
Aku akan suka tinggal di sini ... gumamku melongok ke ruangan yang satunya. Seperti dugaanku, ruangan besar itu masih berupa dapur. Terlihat luas karena hanya diisi dengan rak piring kayu dan sebuah tungku panjang dari tanah. Setumpuk kayu bakar berada di salah satu sudut ruangan, tertutup selembar plastik yang lebar.
Gagah merangkul bahuku, Ayo keluar, ada yang ingin kutunjukkan. Aku menoleh, Apa" tanyaku penasaran.
Gagah hanya tersenyum, Ayolah. Katanya menggandengku. Aku harus menunda rasa ingin tahuku, mengikuti Gagah menuju belakang rumah. Melirik sebuah sumur pompa yang ada di situ, aku bertanya-tanya apa sumur pompa itu masih berfungsi seperti dulu.
Kau harus memompanya seperti ini agar airnya keluar.
Aku tertawa geli melihat Gagah yang bergerak naik turun untuk memompa tangkai besi sumur. Menghasilkan air yang melimpah di ember kecil kami. Tawaku terhenti ketika seember air itu mengguyurku, kali ini Gagah yang tertawa keras. Aku menyapukan telapak tangan ke muka, menghapus air di wajahku. Menunduk memperhatikan baju yang basah kuyup, lalu berpaling menatap Gagah marah. Tapi melihat ia yang terpingkal, membuat aku tersenyum. Kemudian kami tertawa bersama sambil saling memercikkan air. Lihat! tunjuk Gagah pada satu-satunya pohon besar di atas bukit belakang rumah Nini. Ayo ke sana. Ajaknya kembali menggandengku. Kami berjalan mendaki bukit yang tidak begitu tinggi, yang terhampar rumputrumput hijau sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar tumbuh bergerumbul, mempercantik bukit tersebut.
Sampai di atas, Gagah menyeretku ke bawah pohon, menghampiri sebuah ayunan dari roda mobil yang tergantung di salah satu dahan. Ayunannya masih ada. Teriakku tak percaya. Dulu Aki yang membuatkan ayunan itu untukku dan Gagah, membuat kami betah berlama-lama di tempat ini jika berkunjung. Apa masih kuat" aku mendongak dan menyentak tali ayunan ke bawah, mencoba kekuatan tali tersebut.
Mungkin. Gumam Gagah. Coba saja.
Hati-hati aku duduk di ayunan yang berbentuk seperti donat itu, tersenyum ketika mengingat masa kecilku bersama Gagah. Dulu, Gagah akan mengayunku dengan kencang, membuat aku berteriak-teriak antara rasa takut dan senang. Di tempat ini aku memberimu nama Honey Amy . Gumam Gagah mengayunku pelan. Ada senyum pada suaranya.
Kau mengingatnya" tanyaku mendongak menatap Gagah.
Aku ingat dengan pasti ketika kau menangis karena permenmu jatuh, dan aku menaiki pohon ini untuk mendapatkan madu dari sarang lebah agar kau berhenti menangis.
Aku tertawa mendengar ceritanya, sedikit merasa malu karena aku juga mengingat bagaimana kekanakannya aku saat itu.
Tiba-tiba Gagah berbalik menghampiri salah satu sisi pohon, berjongkok dan memperhatikan sesuatu.
Honey Amy, sini! panggilnya.
Aku turun dari ayunan, berjalan menghampirinya, membungkuk di samping Gagah.
Salah satu tangan Gagah menempel pada pohon, jarinya menelusuri sebuah guratan di atas kulit pohon tersebut. Gambar dua orang anak yang sedang bergandengan. Agak jauh dari gambar tersebut, ada dua buah garis dengan inisial nama di samping-sampingnya. Garis yang atas bertuliskan huruf G dan garis yang bawah bertuliskan huruf HA. Di bawah gambar kedua anak itu juga tertulis huruf yang sama.
Aku tersenyum, ikut menelusuri guratan tersebut dengan jari. Masih ada ya ... gumamku teringat saat kami mengukur tinggi badan di pohon itu. Aku akan menikah denganmu, Honey Amy. Di tempat ini. Kata Gagah, tangan kecilnya sibuk menggoreskan pisau kecil di atas kulit pohon. Aku belum pernah melihat orang menikah ... gumamku menerawang. Ketika menikah, pengantin wanita akan mengenakan pakaian seperti milik putri-putri dalam dongeng.
Mataku berbinar, berpaling menatap Gagah. Apa aku juga akan mengenakan pakaian itu" tanyaku antusias.
Gagah menghentikan gerakan tangannya, berbalik balas menatapku. Tentu saja. Kau pasti akan terlihat sangat cantik. Katanya dengan sungguh-sungguh. Jariku terhenti ketika Gagah meletakkan tangan di atas tanganku, meraih dalam genggamannya. Masih berjongkok, dia berbalik. Menatapku tajam dari balik bulu matanya yang lentik.
Katakan padaku, Honey Amy. Maukah kau menikah denganku" Waktu seakan berhenti, angin yang berhembus lembut terasa membuat segalanya menjadi sempurna.
Aku tidak tahu seperti apa reaksiku, tapi hatiku terasa melambung ke tempat yang penuh dengan bunga-bungaan, diselimuti dengan kabut merah jambu. Aku pikir, aku mengangguk. Karena kemudian Gagah berdiri dan memelukku erat, mencium bibirku penuh kelembutan.
Saat Gagah melepas ciumannya, dia menatapku dengan sorot matanya yang redup, bibirnya membentuk senyum yang sangat indah.
Sudut mataku terasa basah, aku menghapusnya cepat-cepat. Aku tidak akan menangis di hari bahagiaku. Tapi ketika Gagah kembali menciumku, aku tidak bisa menghentikan air mata yang mengalir.
Gagahku sudah kembali. "RatuBuku Saha Maneh" Kami yang sedang menghangatkan tubuh di depan tungku serentak menoleh. Melihat seorang laki-laki tua membawa sabit di depan pintu dapur. Aku beringsut ngeri, tapi Gagah malah berdiri dan tersenyum hangat. Mang Karsim, leres" tanya Gagah sopan.
Laki-laki tua itu terlihat mengerutkan kening, seolah sedang berpikir keras. Kemudian berteriak-teriak seraya mengacung-acungkan sabit. Aaahh ... anjeun teh Gagah" Leres pisan ieu teh Gagah"
Gah ... panggilku ngeri melihat laki-laki tua itu mengacung-acungkan sabit. Tapi Gagah tidak mendengarku.
Leres, Mang. Ieu abdi, Gagah. Aku menarik napas lega ketika laki-laki tua itu meletakkan sabit di tanah, berlari menghampiri Gagah dan menggoncang-goncangkan bahu Gagah. Atuuhh ... meuni ganteng pisan ayeuna mah. Teu siga abdi, enggeus kolot. Laki-laki itu terlihat sangat senang, Gimana kabarnya sekarang" Gagah tertawa, merangkul laki-laki tua itu hangat. Damang, Mang. Saya sehat. Gagah membimbing laki-laki tua itu, menghampiriku. Aku berdiri dan tersenyum.
Tepangkeun, Mang. Ieu teh Amy, calon pamajikan abdi Kata Gagah menyentuh bahuku. Honey Amy, ini Mang Karsim. Yang selama ini mengurus rumah Nini.
Aku mengangguk dan mengulurkan tangan.
Mang Karsim mengusap-usapkan tangan ke celana pendek hitam yang dipakainya, menyambut uluran tanganku dan menjabatnya erat. Calon pamajikan" Atuuh, meuni geulis pisan, enya"
Mang Karsim bilang, kamu cantik. Kata Gagah menjelaskan. Aku kembali tersenyum, Terimakasih, Mang.
Mang Karsim tertawa, melepaskan jabatan tangannya. Kemudian tiba-tiba dia berbalik seperti mengingat sesuatu, Sebentar ya. Katanya seraya meninggalkan kami.
Aku dan Gagah hanya saling pandang menahan senyum. Tak lama kemudian Mang Karsim kembali membawa singkong yang masih utuh dengan batangnya. Ubi ti kebon. Katanya meletakkan singkong itu di samping Gagah. Sok atuh dibakar.
Hatur nuhun pisan, Mang. Kata Gagah.
Mang Karsim tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang sudah ompong sebagian. Ulah gitu atuh, ini kan punya Den Gagah juga. Mang Karsim mengambil kembali sabitnya. Mamang pulang dulu, lamun ngabutuhkeun sasuatu, imah Mamang deuket tuh di ditu. Ujarnya menunjuk ke belakang rumah.
Iya, Mang. Mang Karsim meninggalkan kami setelah sebelumnya memamerkan kembali gigi ompongnya, membuatku tersenyum karena geli.
Tidak sopan menertawakan orang tua, tegur Gagah ketika Mang Karsim sudah tidak ada, tapi senyum lebar juga tak lepas dari wajahnya. Aku tertawa kecil, meraih singkong dan mengangkatnya tinggi-tinggi, Sepertinya enak. Gumamku.
Tidak sebelum dibakar. Sahut Gagah seraya mengambil singkong yang ada di tanganku.
Kemudian dengan cekatan dia memotong singkong itu dari batangnya, dan melemparkan ke dalam nyala api dalam tungku.
Aku duduk beralaskan daun pisang di depan tungku, mencari kehangatan. Menjelang sore di tanah pegunungan seperti ini udara terasa semakin dingin. Gagah menghampiri dan memeluk dari belakang. Kami saling terdiam, menikmati moment yang kami lewati bersama. Mendengarkan desir angin yang berhembus menggesek dedaunan di luar rumah, jangkrik yang mulai memperdengarkan suaranya, terkadang bunyi katak yang saling bersahutan. Terdengar sangat indah.
Aku bersandar pada bahu Gagah nyaman, memperhatikan ia yang serius membolak-balik singkong dengan satu tangannya yang memegang bilah bambu.
Aroma singkong bakar mulai menguar di udara. Aku menegakkan tubuh, tibatiba merasa kelaparan. Perutku yang berbunyi menarik perhatian Gagah, dia menoleh padaku dan menyeringai. Wajahku merah padam. Kau lapar. Gumamnya.
Aromanya membangunkan cacing dalam perutku. Sahutku berkelit. Gagah tertawa, dia menggerakkan bilah mengeluarkan singkong bakar dari tungku. Aku mendekatkan wajah mengendus aroma dan menghirupnya dalamdalam.
Hmm ... wanginya enak sekali. Gumamku.
Gagah meletakkan salah satu singkong pada selembar daun pisang, membelahnya menjadi dua, lalu meniupnya perlahan-lahan. Agak lama untuk membuat singkong itu menjadi dingin, dia mengambil sedikit singkong yang masih hangat dan menyuapkan ke mulutku. Aku melakukan hal yang sama untuknya, lalu kami tertawa bersama.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan singkong bakar itu, mengingat kami sudah sangat kelaparan. Kami makan sambil bercanda, Gagah tidak berhenti menggodaku, mengingatkan aku tentang kejadian-kejadian lucu di masa lalu, dan aku akan membalas mengolok-olok dia. Kemudian aku terbahak melihat wajah Gagah yang malu-malu. Sungguh, aku tidak pernah tertawa sekeras ini sebelumnya, sampai air mata keluar dari sudut mataku. Menjelang malam, setelah mandi dengan air yang sedingin es, Mang Karsim meminta kami untuk makan malam di rumahnya. Istrinya sangat ramah, tidak pernah berhenti tersenyum. Dia menghidangkan pepes ikan untuk kami, dengan beberapa macam sayuran mentah sebagai lalap. Masakannya sangat enak, aku bahkan tanpa malu-malu menghabiskan satu ekor ikan besar. Gagah tertawa melihatku makan sangat banyak.
Enak sekali. Gumamku, ketika aku merasa perutku sudah tidak kuat lagi menampung makanan.
Mang Karsim dan istrinya tertawa senang.
Mang Karsim punya kolam ikan" tanya Gagah masih menghisapi kepala ikan yang ada di tangannya.
Enteu, Mamang mancing di danau. Jawab Mang Karsim. Emang danaunya masih ada" tanyaku antusias.
Emang kamu pikir, danau seluas itu bisa menghilang begitu saja. Kata Gagah mencolek daguku.
Aku merengut kesal, melap bekas colekannya yang menyisakan bumbu pepes di dagu. Aku kan hanya tanya. Gerutuku.
Masih, besok ke sana atuh, kalian bisa berkeliling danau naik perahu Mamang. Kata Bi Warmi, istri Mang Karsim sambil memberesi bekas makan kami, aku beranjak membantunya. Tidak usah, Neng. Larangnya. Tidak apa-apa, Bi.
Aku berdiri mengikuti Bi Warmi menuju dapur, membantu mencuci piring. Selesai membantu Bi Warmi, aku kembali. Melihat Gagah yang sedang mengisi tembakau ke atas kertas rokok dan memilinnya dengan tangan, mengikuti cara Mang Karsim.
Gagah dan Mang Karsim terlibat pembicaraan seru menggunakan bahasa sunda yang tidak aku mengerti, sesekali tertawa bersama.
Kau ingin tidur" tanya Gagah menoleh padaku setelah terdiam beberapa saat.
Aku menggeleng, Tidak. Jawabku. Meski aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya bersama Mang Karsim, tapi aku menikmati melihat dia tertawa ceria.
Bagus. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Gumamnya mematikan api pada rokok hasil lintingannya. Kemudian berdiri, berpamitan pada Mang Karsim. Mang Karsim hanya mengangguk-anggukkan kepala, menikmati rokok yang sedang dihisapnya.
Bii, pergi dulu ya ... teriak Gagah sambil melongok ke dapur. Iya, Jang. Isuk kadieu deui nyak. Sahut Bi Warmi dari dalam. Iya, Bi. Hatur nuhun, Bi.
Bi Warmi kembali menyahut dari dalam, kali ini aku tidak begitu jelas mendengarnya.
Kemudian Gagah menggandengku keluar dari rumah Mang Karsim. Mau ke mana" tanyaku setelah berada di halaman rumah Mang Karsim. Gagah tidak menjawab, dia hanya menuntunku menuju ke atas bukit. Bulan yang bersinar menerangi jalan setapak yang kami lalui, suara binatang malam terdengar di balik semak di pinggir jalan. Mataku berkeliling mencaricari sesuatu.
Apa yang kau cari" tanya Gagah. Kunang-kunang.
Gagah tertawa, Mungkin sekarang kunang-kunang sudah punah. Mungkin mereka hanya sembunyi.
Atau mungkin sekarang sudah tidak ada anak yang menanam potongan kuku mereka lagi. Gagah tersenyum dan melirikku penuh arti.
Aku tersenyum. Aku akan menanam ini di bawah pohon kita. Kata Gagah menunjukkan potongan kuku yang ada di telapak tangannya.
Kalau kita menanamnya, apa akan menjadi pohon kuku" tanyaku ingin tahu. Gagah tertawa, Tidak. Tapi kuku-kuku ini akan berubah menjadi kunangkunang.
Mataku berbinar, Benarkah" Gagah mengangguk.
Ayo kita tanam. Ajakku antusias.
Malamnya aku dan Gagah menunggu di bawah pohon. Bersorak gembira ketika puluhan kunang-kunang beterbangan di sekitar kami. Tertawa gembira, kami berlari-lari mengejar kunang-kunang itu.
Tentu saja kisah itu hanya trik para orangtua agar anak-anaknya mau memotong kuku. Tapi bagiku saat itu, kisah itu adalah hal yang paling luar biasa yang pernah aku dengar.
Sampai di atas bukit, kira-kira sepuluh langkah dari ayunan kami, Gagah merebahkan tubuh. Kemarilah, Honey Amy. Katanya padaku. Aku ikut berbaring di sampingnya, mengikuti cara dia meletakkan satu tangan di bawah kepala. Kami terdiam, memperhatikan langit yang penuh bintang malam ini. Dengan bulan yang bersinar keperakan. Langit terlihat sangat cerah, hanya ada beberapa kabut tipis di antara bintang-bintang.
Gagah mengenggam tanganku yang bebas.
Kau ingat ketika menceritakan kisah Orion padaku" tanyaku lebih berupa bisikan.
Yah .... Ceritakan kisah yang lainnya.
Gagah terdiam sejenak, kemudian menghela napas. Ini kisah tentang bulan yang selalu berwajah muram. Gumamnya memulai.
Aku berpaling, memperhatikan siluet wajahnya yang menatap lurus ke arah bulan.
Tiap malam, Selene melintasi angkasa dari istana emasnya di timur dengan mengendarai kereta yang dihela dua ekor sapi jantan bertanduk sabit. Dia memberikan cahayanya yang lembut keperakan bagi bumi di malam hari. Aku terpesona dengan cara Gagah menceritakan kisah tersebut. Kau tahu, Honey Amy" Dalam perjalanannya, dia selalu ditemani oleh Vesper, sang Bintang Senja. Kala fajar menyingsing, bersama mereka akan menuju ke Sungai Ocean di sebelah barat dan kembali ke istananya di timur dengan mengendarai perahu.
Selene terdengar bahagia, lalu kenapa dia selalu berwajah muram" tanyaku memandang lurus ke arah bulan di atas langit.
Gagah mendekatkan kepalanya padaku, menunjuk ke arah bulan. Kau lihat" Bulan selalu bersinar keperakan, tapi terlihat pucat.
Aku mengangguk. Itu adalah gambaran Selene, dia dilukiskan sebagai wanita cantik yang mengenakan gaun dan berkerudung keperakan. Wajahnya pucat oleh duka. Kenapa dia selalu terlihat sedih" gumamku, memperhatikan cahaya pucat keperakan yang tertutup kabut tipis di permukaannya.
Konon suatu malam, saat dia sedang menjalankan tugasnya menerangi bumi, dia berjumpa seorang penggembala yang tampan bernama Endymion di Gunung Latmos. Selene jatuh cinta pada Endymion. Gumam Gagah tak melepas pandangannya dari bulan. Endymion yang juga jatuh cinta pada Selene memohon pada Jupiter agar disatukan dengan Selene. Jupiter memberikan pilihan pada Endymion untuk tetap menjadi manusia atau awet muda. Sayangnya Endymion memilih untuk tetap awet muda. Gagah mempererat genggaman tangannya, Akibatnya ia harus tidur selamanya .... Maka dia tidak akan pernah terbangun oleh sentuhan lembut jemari Selene yang membelai wajahnya, untuk mengatakan pada Selene bahwa dia juga mencintainya. Entah kenapa air mataku mengalir begitu derasnya, terus dan terus-terusan. Sama sekali tidak bisa kuhentikan.
"RatuBuku Keterangan Nini: Nenek Aki: Kakek Ulah: Jangan Sieun: Takut Meureun: Mungkin Nyeupah: Menginang Ayeuna: Sekarang Babaturan: Teman Maneh/Anjeun: Kamu Teu/Enteu: Tidak Deui: Lagi Siga: Seperti Enggeus: Sudah Jurig: Hantu Saha: Siapa Leres: Betul Ieu: Ini Pisan: Banget Tepangkeun: Kenalkan Pamajikan: Istri Geulis: Cantik Abdi: Saya Imah: Rumah Lamun: Kalau Hatur nuhun: Terima kasih Catatan penulis
Kisah Mytology dalam novel ini bersumber dari The Golden Age of Clasiccal Myths.
SEMBILAN Aku bermimpi ... berada di suatu padang yang luas ... tertidur di hamparan rumput hijau. Berpuluh-puluh ekor sapi dan domba mengelilingi, lalu aku melihat Gagah menghampiri ... dia meraih kepalaku ke atas pangkuannya, tapi kenapa wajahnya terlihat sedih" Aku melihat buliran kristal menetes dari sudut matanya, jari-jarinya menyentuhku lembut ....
Aku ingin membuka mata, aku ingin menghapus air matanya ... mengatakan padanya bahwa aku sangat mencintai dia. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menggerakkan tubuh, bahkan aku tak bisa membuka mataku. Hanya cahaya keperakan di atas sana ... menyinari tubuh kami dengan kelembutannya .... Lalu, aku terbangun dalam keadaan menangis. Menyadari cahaya keperakan yang aku lihat telah berubah menjadi sinar keemasan mentari. Aku meringkuk di sisi ranjang, memeluk tubuh dengan kedua tanganku, sedangkan air mata terus jatuh tanpa aku bisa menghentikannya.
Honey Amy ... kenapa, Sayang" Gagah terbangun, bergeser mendekat dan menyentuh bahuku lembut.
Aku menggeleng, tapi isakanku tidak bisa berhenti.
O, Sayang ... jangan menangis. Gagah merengkuhku, mendudukkan aku dalam pangkuannya, Katakan kenapa kau menangis"
Aku menyelusupkan wajah ke dada Gagah, menahan isakanku. Aku tidak tahu kenapa menangis, aku hanya merasa sedih ... sangat sedih. Beberapa lama aku masih terisak dalam dekapan Gagah, sampai aku merasakan kenyamanan, perlahan aku berhenti menangis, dan kembali mengantuk. Aku pun tertidur dalam pangkuan Gagah.
Saat aku terbangun, aku masih berada di pangkuan Gagah, melihatnya yang tengah membelaiku sayang.
Terkejut, aku segera menyingkir dari pangkuannya. Maafkan aku, apa aku tertidur lama"
Gagah menatapku geli. Kenapa menyingkir" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku tersenyum salah tingkah, Maaf, gumamku. Kakimu pasti sakit. Tidak juga, Gagah bangkit dari duduknya, aku cukup kuat jika hanya untuk memangkumu, Honey Amy.
Aku tersenyum mendengar nada angkuhnya, mengingatkanku pada Gagah kecil yang sok tahu.
Tunggu sebentar. Gagah meninggalkanku, keluar kamar.
Aku tidak ingin menunggu, aku turun dari ranjang dan mengikutinya. Di dapur, aku melihat Gagah tengah menyeduh teh dari air yang dijerangnya di atas tungku.
Kau tidak mendengarku, aku bilang tunggu.
Aku mengerucutkan bibir, tanpa mempedulikan ocehannya, berjongkok di depan tungku.
Bi Warmi mengantar sarapan untuk kita, kau mau makan" Perutku menjawab pertanyaan Gagah.
Gagah tertawa, Tentu saja kau kelaparan, ini sudah pukul 10 pagi. Dia meraih tangan dan menyeretku hingga berdiri, menggandengku menuju dipan beralaskan tikar yang ada di ruang depan.
Nasi putih yang masih mengepul terhidang di dalam bakul bambu, sepiring tempe goreng, ikan goreng dan sambal terasi tertata rapi di samping bakul nasi tersebut. Ditambah sayur asam khas Jawa Barat terlihat sangat menggoda. Sepertinya berat badanku akan bertambah drastis jika terlalu lama tinggal di sini. Gumamku, tidak benar-benar peduli dengan kenaikan berat badanku. Biasanya, aku susah makan. Beberapa tahun terakhir, selera makanku berkurang, membuatku terlihat kurus. Aku ingin menambah berat badan beberapa kilo lagi.
Mungkin, tapi bukan karena makanan ini ... Gagah melirikku penuh arti, Berat badanmu akan bertambah karena hamil anakku.
Aku menoleh cepat ke arah Gagah.
Kita akan menikah, Honey Amy. Hari ini kita akan pulang dan mempersiapkan segalanya, setelah kita menikah, kita kan tinggal di tempat ini. Apa kau keberatan.
Aku menggeleng kuat-kuat, Sama sekali tidak. Gumamku. Sudah kubilang, aku suka di sini.
Aku memicingkan mata melihat Gagah bergerak gelisah.
Aku belum menyiapkan cincin pertunangan kita. Gumamnya dengan wajah sedikit memerah. Begitu sampai di Jakarta, kita akan segera membeli cincin itu.
Aku tersenyum melihat dia berkata sambil malu-malu, memeluk pinggangnya erat. Aku tidak peduli dengan cincinnya. Gumamku bahagia. "RatuBuku
Kami akan pulang sore ini, tapi sebelum pulang, Gagah mengajakku ke danau. Menaiki perahu yang biasa dipakai memancing oleh Mang Karsim. Matahari belum terlalu tinggi, cahayanya hangat menyentuh kulit terasa sangat nyaman. Aku memandang tak berkedip pada Gagah yang ada di ujung perahu, berhadap-hadapan denganku yang duduk di ujung lainnya. Sedangkan tangan kananku menyentuh permukaan air, merasakan kesejukannya. Gagah menggerakkan dayung perlahan, melajukan perahu ke tengah danau. Tiba-tiba aku merasa lelah, merebahkan tubuh, aku setengah berbaring di atas perahu, bersandar pada gulungan jaring dan pelampung milik Mang Karsim. Kau lelah, Honey Amy"
Sedikit. Jawabku tersenyum.
Gagah berhenti mendayung, dia meletakkan kedua dayung itu pada tempatnya dan bergeser agak ke tengah. Kemarilah. Letakkan kepalamu di pangkuanku. Gumamnya.
Hati-hati aku berbalik, meletakkan kepala ke atas pangkuan Gagah hati-hati. Perahu berhenti di tengah danau, hanya bergerak perlahan mengikuti arus. Elusan tangan Gagah pada rambutku menghadirkan kenyamanan yang sangat. Aku menatap langit biru, semburat keemasan mentari menyisakan pendarpendar membentuk lingkaran putih pada kelopak mataku, membuatku sedikit terpejam. Suara desiran angin ... kecipak ikan yang melompat di permukaan danau ... atau cicitan burung dari kejauhan, terdengar sangat jelas di telinga. Aku menikmati ini, dan aku rasa aku tidak akan bisa berhenti tersenyum sekarang.
Honey Amy .... Ketenanganku terganggu suara cemas Gagah.
Aku membuka mata, melihat Gagah yang tengah memperhatikanku dengan khawatir.
Hidungmu berdarah .... Refleks aku terduduk, melap hidung dengan punggung tangan, melihat cairan kental kehitaman menempel di sana.
Diam, Honey Amy. Gagah membuka kaosnya, menempelkan kaos itu pada lobang hidungku yang berdarah dan mendongakkan kepalaku. Tidak apa-apa, Gagah. Aku sudah sering seperti ini, nanti juga sembuh sendiri. Kataku agak susah karena sebagian kaos menutup mulutku. Kau sering mimisan" Sejak kapan"
Aku berpikir, Sudah 2 tahunan ... mungkin lebih ... gumamku ragu. Kau pernah memeriksakan ini ke dokter"
Aku menggeleng. Sudah berhenti. Gumamku melepaskan tangan Gagah yang memegang kaos dari hidungku.
Gagah menyentuh pipiku, kecemasan terlihat jelas di kedalaman mata hitamnya. Kita akan ke dokter sore ini.
Aku tertawa, Tidak, Gagah. Ini hanya mimisan. Tolakku. Kumohon ... pinta Gagah memelas. Membuat aku tidak bisa menolaknya. "RatuBuku
SEPULUH Gagah melajukan mobil dengan pelan, dia terlihat tidak sesenang waktu berangkat.
Ada yang mengganggu pikiranmu" tanyaku ingin tahu.
Gagah menoleh, tersenyum padaku dan menurunkan satu tangannya dari roda kemudi untuk meremas tanganku. Aku punya kejutan untukmu. Gumamnya. O, ya" Apa" aku lupa dengan pertanyaanku tadi.
Gagah tertawa, Nanti, kau akan tahu kalau sudah sampai. Jawabnya misterius. Aku tidak sabar menunggu.
Tidurlah, wajahmu pucat, mungkin kau terlalu lelah. Gumam Gagah lagi, melirikku sekilas.
Aku tidak lelah. Aku berbohong. Aku memang lelah, tapi aku bisa mengatasi ini. Aku sudah terbiasa menahan rasa lelahku. Berceritalah. Kataku lagi, menyandarkan kepala menyamping agar bisa mengamati pria yang ada di sampingku.
Gagah melirikku lagi, tersenyum tipis. Cerita apa" Kisah mitologi Yunani lagi"
Aku menggeleng, Ceritakan kenapa kau meninggalkan kami" tanyaku pelan. Raut wajah Gagah langsung berubah keras, aku khawatir dia akan marah. Tidak usah kalau kau keberatan. Kataku cepat.
Gagah menghela napas. Aku bukannya tidak ingin cerita, Honey Amy. Aku hanya tidak ingin mengingat hal itu sekarang.
Mendengar suaranya yang sedih meluruhkan keingintahuanku. Maaf. Gumamku.
Jangan minta maaf, kau tidak melakukan kesalahan apapun. OK.
Gagah berpaling sekilas ke arahku, kemudian kembali fokus pada jalan raya. Mungkin aku bisa menceritakan yang lainnya. Tawarnya mencoba menghibur.
Aku tersenyum, Banyak yang ingin aku ketahui. Gumamku. Tanyakanlah.
Apa kau mau menjawabnya" Gagah tertawa. Akan kuusahakan.
Aku ingin tahu kau ke mana" Apa saja yang kau lakukan selama menghilang ... aku mendesah, apa kau merindukan aku" aku melirik Gagah saat mengucapkan kalimat terakhir, melihatnya yang menatapku sekilas. Aku merindukanmu ... sangat, Honey Amy.
Aku tidak tahu harus berkata apa, sorot matanya mengatakan semua itu. Selama ini aku tinggal di Bali. Bekerja di sebuah Cafe. Cafe" Di Bali"
Gagah tersenyum, Ya. Aku juga melanjutkan kuliah. Aku menatapnya takjub, Kau hebat. Gumamku kagum. Jangan membuatku besar kepala.
Aku sungguh-sungguh. Gagah melirikku, Aku tahu. Dia tersenyum simpul. Seperti apa Bali"
Bali ... cantik. Cantik"
Kau akan tahu jika ke sana.
Kau meledekku, gumamku cemberut. Aku tidak akan mungkin bisa ke sana.
Kenapa tidak" Kita bisa bulan madu di Bali jika kau mau. Deg ....
Aku menunduk tersipu, apa Gagah sungguh-sungguh dengan ucapannya" Gagah tertawa melihat reaksiku, kembali meremas tanganku. Kita kan ke sana. Putusnya kemudian.
Beberapa saat kami terdiam, aku menyandarkan kepala pada kaca jendela dan menikmati pemandangan yang kami lewati. Jalan yang berkelok-kelok dengan sawah-sawah berbentuk terasering pada sisinya, sungai yang sangat jernih mengalir di bawah sawah tersebut, terpecah menjadi dua arus ketika menghantam batu-batu besar di tengah-tengah sungai. Andai aku bisa mencelupkan kakiku ke sungai itu, sebentar saja ....
Kau ingin kita berhenti sebentar" tanya Gagah seolah mengerti apa yang kupikirkan.
Aku berpaling kepadanya, memandang memohon, Jika kau tidak keberatan. Gagah tertawa, menepikan mobil dan mematikan mesin.
Aku membuka pintu, langsung merasakan hembusan angin segar bagitu keluar dari mobil. menyatukan kedua tangan, aku meregangkannya ke atas, melemaskan otot-otot tubuhku yang mulai kaku.
Ayo turun. Ajak Gagah yang sudah di sampingku, menggamit tanganku dan menuntun menuruni tepi jalan.
Aku duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, melepas sepatu dan mencelupkan kedua kaki ke dalamnya, airnya yang sejuk membuatku berjingkat sedikit, kemudian tertawa senang. Gagah melinting celana panjangnya sebatas lutut, kemudian mengikuti caraku.
Gagah menggenggam tanganku erat, aku menyandarkan kepala pada bahunya. Aku memejamkan mata, menikmati bunyi desir angin yang melewati celahcelah dahan dan suara kicauan burung.
Ah, aku tidak ingin semua ini berakhir .... "RatuBuku SEBELAS
Gagah menghentikan mobil di depan gang komplek Kembang Dadap. Mengeluarkan sebuah kain tipis merah bata dari laci dashboard dengan senyuman di bibirnya. Aku mengangkat sebelah alisku penuh tanya. Kau harus menutup matamu, aku tidak ingin merusak kejutannya. Gumamnya dengan nada yang luar biasa gembira.
Aku tersenyum karenanya, menurut ketika dia mulai melingkarkan kain itu menutupi mataku. Lalu, aku mendengar Gagah membuka pintu mobil, dan tak lama kemudian dia sudah menuntun tanganku untuk turun dari mobil. Gagah membimbingku berjalan dengan hati-hati, samar mendengar bisikan orang-orang di sekitarku, entah apa yang mereka bicarakan. Aku membayangkan warga sekitar berdiri di samping gang memperhatikanku dengan bertanya-tanya, atau menertawakanku, membuat pipiku terasa hangat karena malu.
Stop, Honey Amy. Kata Gagah lembut di telingaku. Aku menghentikan langkah. Bersiaplah. Gumamnya lagi. Lalu, aku merasakan tangannya mulai membuka simpul kain yang melingkar di kepalaku.
Aku tidak langsung membuka mata begitu kain itu terlepas, merasa takut dengan apa yang akan kulihat. Debaran di dadaku memperkuat itu. Tapi, Gagah mendorongku dengan suaranya yang lembut, meyakinkan aku bahwa semuanya baik-baik saja.
Ayo, buka matamu. Aku membuka mata, yang pertama kulihat adalah kerumunan orang di sekitarku, menatapku dengan penuh gairah. Kegembiraan terpancar di mata mereka. Gagah menunjuk agak ke atas di depanku, aku mengikuti arah telunjuknya, dan ... aku melihat itu.
Sudut mataku terasa panas, dadaku terasa membengkak karena gairah yang kurasakan. Sama seperti beberapa pasang mata yang menatapku penuh harapan. Nanar, aku menatap plang yang terpasang di atas pintu masuk Kembang Dadap. Bukan lagi papan dari kayu tua bercat jingga yang warna-warnanya sudah memudar dengan beberapa kerutan di bagiannya karena terkena hujan. Tapi, sebuah plat besi yang terlihat kokoh. Dicat warna putih menuju krem dengan hiasan bunga-bunga kecil di sudut-sudutnya. Tidak ada tulisan Kembang Dadap dengan huruf besar-besar berwarna merah mencolok, dan garis putih tipis yang mengelilingi tulisan tersebut. Tapi, tiga kata yang tertulis di plang itu membuat dadaku membuncah karena bahagia.
HONEY AMY KONVEKSI Ada gambar sebuah mesin jahit di samping tulisan tersebut, lalu meteran dan gunting ... dan gambar sederhana sebuah baju.
Aku berbalik dan memeluk Gagah, meluapkan perasaan gembira yang kini memenuhi dadaku. Sorak sorai warga sekitar memenuhi komplek Kembang Dadap, salah ... bukan komplek Kembang Dadap lagi .... Batinku dengan bangga.
Kau ingin masuk" tanya Gagah, terdengar samar karena gemuruh suara orang-orang belum juga mereda.
Aku mengangguk, kemudian dengan tidak sabar mendahului Gagah masuk ke rumah. Sebagian kerumunan mengikutiku masuk. Meski aku sudah menduga, tapi aku tetap saja terkejut mendapati mesin-mesin jahit yang tertata rapi di ruang depan yang semula digunakan untuk berkumpul penghuni Kembang Dadap saat menanti kedatangan tamu berjumlah sekitar duapuluh-an.
Lampu disco yang tadinya terpasang di tengah ruangan kini ditanggalkan, berganti dengan papan-papan kecil bertuliskan Sewing ... Finishing ... lalu, di bagian belakang, di atas sebuah meja besar menggantung papan bertuliskan Cutting.
Bagaimana" tanya Gagah yang sudah ada di belakangku. Oh, Gagah ... aku tidak percaya kau melakukan ini. Aku tahu ini impianmu dari dulu.
Suatu saat nanti, aku akan mempunyai toko baju yang kujahit sendiri. Aku akan membuat baju yang indah-indah.
Aku akan membantumu, Honey Amy. Aku berjanji, aku akan membuatkanmu toko baju dengan mesin-mesin canggih seperti milik Bu Kartika. Aku menepati janjiku bukan, Honey Amy"
Aku mengangguk terharu, bersemangat ketika melihat teman-temanku dengan antusias mencoba menjalankan mesin-mesin tersebut, bahkan Sonny salah satu bodyguard Mamih semasa hidup yang bertubuh paling besar terlihat lucu ketika sedang mengoperasikan mesin obras. Di sampingnya, seorang lelaki bergaya kewanita-wanitaan terlihat sedang mengajari Sonny. Siapa laki-laki itu" tanyaku pada Gagah, daguku sedikit terangkat menunjuk pada laki-laki yang kumaksud.
Dia salah seorang pekerja temanku yang membuka konveksi juga. Akan tinggal di sini selama beberapa bulan untuk mengajari mereka mengoperasikan mesin.
Aku bisa mengajari mereka juga. Kataku bersemangat. Aku lama bekerja di konveksi, sangat paham untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut.
Gagah tertawa, Tentu saja kau bisa. Gumamnya, Tapi, sekarang kau harus istirahat. Wajahmu terlihat pucat, besok pagi kita ke dokter. Aku merasa baik-baik saja, Gagah. Aku masih ingin di sini. Kataku tanpa berpaling dari kesibukan di depanku.
Tidak. Kau harus tidur sekarang.
Aku bersungut ketika Gagah dengan keras kepala mendorongku lembut ke kamarku.
Biarkan aku mandi dulu. Gumamku kesal, meraih handuk yang tersampir di ujung ranjang.
Gagah terkekeh, Tentu. Atau kau ingin aku memandikanmu. Aku melemparkan handuk yang ada di tanganku ke arah Gagah, namun meleset karena dia berkelit dan bisa menangkap handuk itu dengan mudah. Aku menghampirinya dengan langkah menghentak, merebut kembali handukku dan meninggalkan dia yang masih terkekeh.
"RatuBuku Malam ini aku tertidur sangat lelap, bermimpi Gagah mendatangiku di tengah malam, tidur di sampingku, dan memelukku hangat.
Saat terbangun keesokan paginya, aku menyadari itu bukan mimpi. Melihatnya yang terbaring di sisiku, dengan wajah pulasnya membuatku tersenyum. Aku mengelus rambut ikalnya sayang, merasakan hembusan napasnya yang terasa hangat di wajahku.
Aku sangat bahagia ... sampai-sampai dadaku terasa sesak karenanya.
Jantungku seakan mengembang dan siap meledak karena terisi rasa bahagia yang berlebihan. Yang membuat bibirku terus mengembangkan senyuman. Honey Amy ....
Aku menarik tanganku cepat mendengar Gagah menyebut namaku, namun kemudian aku tahu dia hanya mengigau, matanya masih terpejam dan dengkuran halusnya masih terdengar.
Aku kembali tersenyum, apa dia memimpikanku"
Lalu, tanganku kembali terulur menyentuh dagunya yang kasar. Yang mulai ditumbuhi cambang-cambang kecil di sekitarnya.
Kau mengigau. Kataku suatu pagi di bulan Desember saat Gagah mengajakku camping menjelang akhir tahun teringat semalam aku sama sekali tidak bisa tidur karena Gagah terus berbicara di tengah tidurnya. Siapa" Aku" Itu tidak benar. Sangkalnya seraya memanaskan telapak tangan di samping api unggun yang kami buat.
Aku tertawa, Terdengar sangat jelas. Gumamku menyeruput kopi panas di tanganku. Sedikit membantu menghangatkan tubuh. Bahkan ketika kami duduk di depan api unggun dengan jaket tebal, sama sekali tidak membantu untuk mengusir hawa dingin pegunungan di akhir bulan Desember. Kau serius" Gagah berpaling dan menatapku tajam. Aku mengangguk, tersenyum lebar.
Apa yang kukatakan" tanyanya ingin tahu.
Aku menggeleng, memalingkan wajah dari Gagah, membalik ranting yang digunakan sebagai tusuk untuk membakar sosis. Tidak begitu jelas, aku tidak bisa mengingatnya. Gumamku menghindar.
Gagah terlihat lega, dia mengikuti aku membalik bakaran sosis. Tentu saja aku mengingtnya, dia mengucapkan dengan sangat jelas. Berkali-kali menyebut namaku dan mengatakan mencintaiku.
Aku menunduk menyembunyikan senyumku.
Tidak kusangka dia masih memiliki kebiasaan itu, berbicara dalam tidurnya. Honey Amy ....
Kali ini Gagah tidak mengigau, matanya terbuka lebar. Aku tertangkap basah sedang meraba pipinya.
Aku menarik tanganku. Namun, kalah cepat dengannya. Dia sudah mencengkeram erat pergelangan tanganku, menatapku dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
Lalu ... aku mulai mengerti ketika dia membawaku terbang menembus seluruh lapisan imajinasi yang tidak pernah terbayangkan. Menggenggam seluruh isi langit malam dan menebarkannya, menghasilkan kerlipan bintang perak di sekeliling kami.
Dalam desahan napas tipis kami, aku masih bisa mendengar suaranya yang berbisik lirih
Aku mencintaimu ... Honey Amy .... "RatuBuku
Aku menutupi tubuh telanjangku dengan selimut, menyembunyikan wajah yang merah padam. Sementara Gagah memelukku dari belakang, melingkarkan tangan kokohnya pada pinggangku. Napasnya yang masih memburu, menyapu helaian rambutku.
Aku tidak berani berbalik untuk menatap wajahnya, bagaimana tidak .... mengingat apa yang baru saja kulakukan membuatku sangat malu. Aku sudah pernah melakukan ini sebelumnya, tapi belum pernah aku merasa lepas seperti ini, mendesah dengan sangat keras ... meliukkan tubuh bersemangat mengikuti gerakannya ....
Oh, Tuhan .... Aku semakin menenggelamkan wajahku.
Gagah tertawa, membalik tubuhku untuk menghadapnya dan membuka selimut yang menutupi wajahku.
Kau sangat manis, gumamnya menatapku geli.
Aku tahu pipiku sudah sewarna dengan tomat sekarang. Aku mencubit perut kerasnya, membuatnya semakin tergelak, lalu menyembunyikan wajahku pada dada bidangnya.
Beberapa saat dia memelukku hangat, sampai aku merasa lebih baik. Aku harus mandi, gumamku enggan.


Rindukan Aku Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, kita ada janji dengan dokter jam sembilan. Sahutnya terdengar enggan juga.
Huh, kau masih mau membawaku ke dokter. Aku baik-baik saja, Gagah. Aku akan yakin kalau dokter yang mengatakan itu padaku. Katanya, mengecup bibirku sekilas sebelum bangun untuk memakai boxer-nya. Ya, tentu saja. Sungutku memalingkan wajah. Melilitkan selimut pada tubuhku dan berdiri untuk memakai bajuku juga.
Bergegaslah, Honey Amy. Aku menunggumu. Seru Gagah sebelum membuka pintu untuk keluar dari kamarku.
Aku terbelalak melihatnya melenggang hanya mengenakan boxer, meninggalkan celana panjang dan kaosnya di sini.
Aku baru akan memanggilnya ketika pintu kamarku sudah tertutup. Dia gila!
Bagaimana mungkin dia bersikap seperti itu, ada puluhan pasang mata di sini. Mereka pasti akan senang sekali menggodaku setelah ini.
"RatuBuku DUABELAS Gagah mengajakku ke rumah sakit di pusat kota. Katanya, dia mengenal salah seorang dokter di sana.
Apa temanmu tidak marah, kau belum mengembalikan mobilnya" tanyaku ingin tahu, melihat Gagah terlihat santai mengendarai mobil milik temannya. Gagah tertawa, Sebenarnya tidak, dia malah senang karena mobil jualannya laku.
Aku mengerutkan kening tidak mengerti, Bukannya kau meminjam darinya" Gagah menatapku meminta maaf, Bisa dibilang begitu sih, aku meminjam dengan memberikan DP padanya. Itu artinya aku membeli mobil ini dengan mengangsur.
Aku menyipitkan mata tidak suka, Kenapa kau tidak bilang dari awal. Gagah tertawa, mencubit pipiku sekilas. Tidak. Aku malu. Aku menahan senyum, Jadi lebih baik bilang pinjam daripada hutang" Yap. Gagah mengangguk dan tersenyum lebar.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, berpaling menatap ke luar jendela. Honey Amy.
Hmm. Dokter ini, dokter yang akan kita temui namanya Dr. Wiguna. Aku mengenalnya waktu di Bali. Dia menangani temanku yang sakit, dan setahun yang lalu dia pindah ke Jakarta.
Aku tertarik pada bagian Gagah mengatakan temanku , menoleh padanya dan menatap antusias. Teman" Kau tidak pernah bercerita memiliki teman. Sesaat aku melihat kesedihan di mata Gagah, tapi lalu menghilang bersamaan dengan senyumannya yang tulus.
Namanya Dino, kami sudah seperti saudara.
Aku tersenyum, menunggu Gagah menceritakan lebih lanjut. Namun, Gagah tidak melanjutkan ceritanya.
Dr. Wiguna ini, orangnya sangat ramah. Kau pasti menyukai beliau. Kata Gagah dengan antusias yang dilebih-lebihkan.
Aku mengangguk, memikirkan tentang teman Gagah yang bernama Dino, bertanya-tanya dalam hati, sakit apa sebenarnya dia" Kenapa Gagah terlihat enggan menceritakan tentang dia padaku"
Kita sudah sampai. Kata Gagah membuyarkan lamunanku. Gagah membelokkan mobil ke sebuah bangunan besar berwarna putih. Memarkir di tempat yang kosong dan mematikan mesin mobil. Aku masih setengah melamun ketika Gagah membukakan pintu untukku. Honey Amy.
Eh, ya. Sahutku bergegas turun.
Gagah menggandeng tanganku, agak menyeret ketika melintasi lorong rumah sakit.
Kepalaku berdenyut. Deja vu ... bayangan anak laki-laki mengenakan celana merah tengah menggandeng anak perempuan yang bagian belakang rok birunya tertutup kemeja putih melintas dalam pikiranku. Menggeleng cepat, aku mengikuti langkah lebar Gagah.
Dr. Wiguna bilang, kita bisa langsung ke ruangannya. Bisik Gagah di telingaku.
Di sebuah persimpangan lorong, Gagah berbelok ke kiri, berhenti di depan sebuah pintu dan mengetuknya perlahan.
Masuk saja, Gah. Sahut suara berat dari dalam.
Gagah mengerling padaku, menyeringai lebar. Dia sudah menungguku. Gumamnya, membuka pintu hati-hati dan melongokkan kepalanya. Dokter. Panggil Gagah.
Suara tawa yang serak terdengar, dilanjutkan dengan bunyi langkah yang tergopoh-gopoh. Ayo, masuk. Seru seseorang dari dalam, suaranya terdengar seperti laki-laki setengah baya.
Gagah membuka pintu lebih lebar, sekarang aku bisa melihat Dr. Wiguna. Seperti dugaanku, laki-laki itu sudah berumur, dengan kepala agak botak di bagian depan. Tapi, gerakannya masih cekatan.
Gagah menggandengku memasuki ruangan Dr. Wiguna.
Jadi ini yang namanya Amy" Atau Honey Amy" Dr. Wiguna berkata ramah, kilat canda terlihat di mata sejuknya.
Aku tersipu, hanya bisa mengangguk kepada Dr. Wiguna. Sedangkan Gagah tertawa pelan, mengulurkan tangannya pada Dr. Wiguna. Mereka berjabatan tangan hangat.
Apa kabar, Dokter" Baik. Kamu sendiri bagaimana" Seperti yang Dokter lihat. Jawab Gagah.
Kau terlihat bahagia. Apa karena gadis cantik ini" Dr. Wiguna beralih menatapku dengan senyum menggoda, berganti mengulurkan tangannya padaku.
Aku menyambut uluran tangan Dr. Wiguna.
Aku banyak mendengar tentangmu dari Gagah. Katanya hangat, menangkupkan satu tangannya pada jabatan tangan kami. Dia banyak menceritakanmu sewaktu kita masih di Bali.
Benarkah" Dokter. Tegur Gagah. Aku melirik Gagah, melihatnya yang tersenyum salah tingkah. Dr. Wiguna tergelak. OK, Amy. Ayo kita cari tahu apa penyakitmu. Ujar Dr. Wiguna setelah tawanya mereda, membuka tirai hijau pupus yang ada di samping mejanya.
Saya tidak sakit, Dok. Gagah yang terlalu berlebihan. Kataku mencoba menjelaskan.
Hmm, kalau begitu, kita buktikan Gagah salah. Sekarang berbaringlah di sana. Dr. Wiguna menunjuk ranjang besi putih di balik tirai dengan dagunya, sementara dia mencuci tangan di wastafel.
Aku melirik Gagah, dia mengangguk padaku dengan pandangan memohon. Ragu-ragu, aku melangkah menghampiri ranjang dan berbaring di atasnya perlahan.
Kata Gagah, kau sering mimisan, ya" tanya Dr. Wiguna berbarengan dengan suara tirai yang ditutup.
Ya, Dok. Sejak kapan" Mmm, aku menggigit bibirku mengingat, sekitar dua tahunan lebih ... mungkin ... gumamku ragu.
Dr. Wiguna mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dia mulai memeriksaku dengan stetoskop. Aku menahan senyum, merasa geli teringat terakhir kali logam dingin itu menyentuh kulitku mungkin saat aku berumur 5 tahun. Aku jadi merasa seperti anak kecil lagi.
Dr. Wiguna hanya sebentar menggunakan stetoskopnya. Dia lebih banyak memberikan pertanyaan-pertanyaan padaku. Seperti, apa aku sering mengalami nyeri sendi atau demam tinggi" Aku ingat, terkadang aku memang mengalami nyeri pada persendian tulangku, dan aku juga sering demam, maka aku bilang, iya. Kemudian Dr. Wiguna menanyakan, pernahkah aku melihat bercak biru kehitaman seperti lebam di kulit pada tubuhku" Aku mengangguk. Sesekali lebam seperti itu muncul di bagian-bagian tertentu pada kulitku. Megy bilang, itu karena dijilat setan . Lalu, saat Dr. Wiguna menanyakan apakah aku mudah lelah" Dia menatapku dengan sorot mata prihatin.
Ya, Dok. Saya cepat sekali lelah. Gumamku, menjawab pertanyaan Dr. Wiguna.
Dr. Wiguna mulai terlihat serius. OK, Amy. Kau boleh bersama Gagah lagi sekarang. Katanya seraya membuka tirai.
Aku turun dari ranjang, menghampiri Gagah yang menatapku khawatir dan duduk di sampingnya.
Dr. Wiguna duduk di depan kami, membetulkan letak kacamatanya. Aku melihat bibir keriputnya agak berkedut ketika dia mengerutkan kening. Seolah ada sesuatu yang membuatnya enggan bicara.
Bagaimana, Dok" tanya Gagah pelan.
Dr. Wiguna berdehem. Aku tidak yakin, Gagah. Kita harus melakukan tes terlebih dahulu.
Tes" Tes apa" tanya Gagah lagi.
Bibir Dr. Wiguna kembali berkedut. BMP Bone Marrow Puncture. "RatuBuku
Dalam perjalanan pulang, Gagah lebih banyak terdiam.
Aku tidak tahu apa itu tes BMP ... Bon Marry ... entah apa namanya, aku tidak bisa menyebutkannya dengan benar. Tapi, setelah Dr. Wiguna mengatakan itu, Gagah terlihat pucat. Dia menatapku sedih, kemudian menggenggam tanganku dengan tangannya yang gemetar.
Tidak bisakah dilakukan tes lain selain BMP, Dok" Saya dengar, sekarang bisa dilakukan dengan pemeriksaan kromosom BCR-ABL.
Kata-kata Gagah setelah mendengar ucapan Dr. Wiguna masih terngiang di telingaku.
Pemeriksaan kromosom BCR-ABL membutuhkan waktu yang lama, Gah. Bisa sampai satu bulan. Nanti kita akan lakukan tes darah terlebih dahulu, untuk mengetahui perlu tidaknya melakukan tes BMP, karena untuk sementara aku hanya menduga dari gejala-gejala yang Amy katakan. Jelas Dr. Wiguna melirikku.
Gagah tertunduk lesu, Saya khawatir Amy harus melakukan tes BMP seperti Dino, Dok. Gumamnya lirih. Sampel massa yang diambil, melalui tulang dada karena jarum bornya sudah terlalu pendek untuk mengebor tulang belakang.
Dr. Wiguna tertawa miris. Jangan khawatir, Gah. Pengambilan sampel BMP yang sekarang, semua dilakukan di tulang belakang, tidak lagi di tulang dada. Gah. Panggilku pelan.
Gagah menoleh sekilas, tersenyum padaku. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Ya, Honey Amy"
Tes BMP itu ... apakah sakit"
Gagah kembali menoleh padaku, pandangannya menenangkan. Dia mengelus punggung tanganku lembut. Tidak, hanya sedikit ngilu.
Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Gagah. Seperti .... Sakit apa aku" Kenapa harus tes BMP" Apakah sakit yang sama dengan yang diderita Dino teman Gagah" Apa kabarnya Dino sekarang, apa dia sudah sembuh" Tapi, semuanya tertelan kembali sebelum pertanyann itu benar-benar terucap. Karena ternyata, aku takut mendengar jawabannya.
Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)
Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia mengambil semua yang ada padaku.
"RatuBuku TIGABELAS Aku seakan melangkah di awang-awang, semua yang aku lakukan dan kulihat seakan berjalan dengan lambat. Pemeriksaan tes darah, tes BMP, ekspresi Dr. Wiguna ketika melihat hasil tesku, penjelasannya pada Gagah yang sama sekali tidak aku pahami ....
Lalu, aku mengerti ... ada yang tidak beres dengan diriku. CML. Krisis Blast.
Aku mendengar Dr. Wiguna berbisik pada Gagah, mereka menjauh dari ranjang tempatku berbaring di ruang perawatan rumah sakit.
Pagi tadi, aku resmi menjadi pasien di rumah sakit ini.
Aku melihat wajah Gagah menjadi pucat. Berpaling, aku menatap ke luar jendela, tidak ingin melihat kesedihan seperti apa yang terlihat dari mata pria itu.
Beberapa saat kemudian, Gagah kembali padaku, duduk di kursi samping ranjang dan menggenggam erat tanganku. Aku menoleh, tersenyum padanya. Gagah membalas senyumku, senyum yang dipaksakan, menatap manik mataku. Tiba-tiba dia terlihat begitu lelah, begitu putus asa. Aku rasa, aku tidak perlu menanyakan lagi apa penyakitku.
Aku ingin duduk. Gumamku.
Ya, tentu. Gagah menyetel ranjang agar aku bisa duduk dengan nyaman. Kemudian, dia duduk di sampingku, membiarkan aku bersandar pada bahunya. Sakitku ini, apakah parah"
Gagah menghela napas. Tapi dia tidak menjawab pertanyaanku. Dengan sendirinya aku pun mengerti.
Bolehkah aku tidur" bisikku.
Ya. Ya ... tentu, Honey Amy. Tidurlah. Apa kau ingin berbaring lagi" Tidak. Aku ingin tidur di bahumu. Seperti dulu.
Tentu. Suara Gagah terdengar bergetar.
Aku suka bahumu. Gumamku saat bersandar di bahunya seraya mengamati langit dari atas atap.
Gagah tertawa, Kenapa"
Entahlah, rasanya sangat nyaman saat bersandar seperti ini. "RatuBuku
Perutku terasa mual, sudah kedua kalinya aku mencoba mengeluarkan isi perutku di wastafel. Gagah memegangi pinggangku dan menarik rambutku ke belakang agar tidak terkena muntahan. Saat aku selesai, dia membersihkan mulutku dengan tissue, membimbing aku kembali ke tempat tidur. Membaringkanku perlahan.
Lemas, itu yang paling kurasakan saat ini selain mual dan pusing. Ini efek dari kemoterapi. Gumam Gagah menjelaskan. Tidak apa-apa, kau akan sembuh, Honey Amy. Bisiknya kemudian.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, berusaha menyembunyikan ketidakyakinanku dengan apa yang dikatakan Gagah.
Bagaimana kabar Megy dan yang lainnya" gumamku menayakan kabar teman-temanku. Sudah satu minggu aku di sini, dan aku merindukan mereka. Mereka baik, sangat sibuk dengan kegiatan baru mereka. Mungkin besok mereka akan menengokmu.
Mereka suka dengan pekerjaan baru mereka"
Pasti. Aku rasa, mereka sudah tidak sabar ingin menceritakan padamu tentang itu. Terutama Megy.
Aku menunduk, Aku menyesal tidak bisa ikut merasakan hal baru itu bersama mereka. Gumamku sedih. Aku ingin cepat sembuh dan pulang Kau akan sembuh, Honey Amy. Dan kau akan pulang untuk membantu mereka menjalankan konveksi kita. Gagah mengelus punggung tanganku menghibur, Setelah itu kita akan menikah. Kau harus merancang gaun pengantinmu mulai sekarang. Gumamnya lagi menatapku jenaka.
Aku tertawa pelan. Ya. Gaun pengantin yang kujahit sendiri, dan aku akan terlihat seperti putri-putri dalam dongeng.
Ketika menikah, pengantin wanita akan mengenakan gaun seperti milik putriputri dalam dongeng.
"RatuBuku Aku lupa dengan rasa sakitku, melihat mereka mengunjungiku. Memeluk mereka satu persatu dengan perasaan yang membuncah karena bahagia. Mendengarkan celoteh mereka dengan antusias. Ah, aku merindukan saat-saat seperti ini. Ketika, kami berkumpul di sumur seraya bergosip, suara baju yang dikucek, ember yang jatuh ke dalam sumur ... atau pekikan mereka ketika saling menciprat air.
Kenapa senyum-senyum" Megy mencolek daguku dan menghempaskan pantatnya ke atas kursi.
Melihat kalian ada di sini, aku teringat kebersamaan kita dulu. Gumamku tersenyum sayang.
Kau akan kembali, Amy. Kami menunggumu di rumah. Terimakasih. Bisikku tulus. Ke mana Gagah" Dia sedang berbicara dengan dokter. Aku menghela napas, Meg ... Megy mengangkat alisnya. Mungkin aku sakit parah.
Megy melebarkan matanya, Itu tidak benar, kau akan sembuh. Katanya antusias.
Aku tahu, Megy berbohong. Sikap antusiasnya yang berlebihan seolah ingin menyembunyikan sesuatu dariku.
Satu persatu mereka mulai keluar dari kamar, kesunyian kembali menyergap. Aku pulang dulu, Amy. Kata Megy pelan.
Kau akan kembali" Pasti. Aku akan sering menengokmu. Aku mengangguk.
Sunyi ... hanya bunyi desiran entah apa dari lorong rumah sakit. Mungkin penyedot debu yang digunakan petugas kebersihan ... atau suara lap pel yang bersentuhan dengan lantai.
Apa yang kau pikirkan"
Aku mendongak, tersenyum saat melihat Gagah berdiri di sampingku. Aku menggeleng, Hanya ... apa kau memperhatikan sesuatu, Gagah" Apa" Gagah duduk di sampingku.
Megy terlihat dekat dengan Sonny. Gagah tertawa, Kau menyadarinya juga ya"
Alisku menaut, Jadi, mereka benar-benar memiliki hubungan" Sudah beberapa hari yang lalu, aku pikir akhirnya Sonny berani meminta Megy jadi pacarnya.
Mulutku terbuka, Jadi mereka benar-benar pacaran" Gagah mengangguk mantap, Bukan hanya itu, mereka akan menikah secepatnya.
Benarkah" Kapan"
Aku pastikan tidak lebih cepat dari kita. Ujar Gagah setengah cemberut. Aku tertawa. Gagah mengusap rambutku.
Ayo kita menikah. Katanya membuatku kehilangan orientasi sejenak. Tapi, aku sakit. Gumamku pelan.
Tidak apa. Bisik Gagah, mengecup tepi keningku. Yang penting kita menikah ....
Ada yang menyesak di dada mendengar cara Gagah berbicara. Seolah, semua yang dia ucapkan tidak akan pernah terwujud.
Kau mau" tanyanya lagi.
Aku mendongak, menatap manik mata Gagah yang entah kenapa aku melihat kesedihan di sana. Aku mau. Jawabku.
Mungkin, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum waktu mengambil semua yang ada padaku.
"RatuBuku EMPATBELAS
Pernikahan .... Dulu, aku memikirkan pernikahan dengan senyum yang merekah di bibirku, gelembung angan penuh kebahagiaan seolah meletup mengiring setiap senyuman.
Kini, aku bahagia ... ketika Megy membawa kain sutra putih yang membiaskan cahaya setiap terkena lampu ... berlapis dengan sifon tipis terlihat begitu memukau ... aku bahagia. Namun, kebahagiannku kini beriringan dengan rasa takut. Takut aku tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk memakai gaun itu.
Perutku kembali mual, kakiku gemetar ketika mencoba turun dari ranjang menuju wastafel. Berpegangan pada tiang infus, aku hampir terjatuh ketika lengan kokoh menahan pinggangku.
Mau ke mana" tanya Gagah, yang kini sudah memelukku. Aku ... mual. Sahutku.
Gagah membimbingku ke wastafel, aku terharu melihat caranya mengumpulkan rambutku yang mulai menipis, menjauhkan dari mulutku agar tidak terkena muntahan.
Sudah ... bisikku. Gagah kembali membimbingku ke ranjang, membantuku berbaring. Waktunya minum obat. Kata Gagah meletakkan plastik bening yang dipegangnya ke atas nakas.
Aku melirik bungkusan itu, bermacam-macam pil yang harus kuminum ada di dalamnya.
Aku mendesah, Ada banyak obat yang harus kuminum. Bisikku pelan. Tidak apa, yang penting kau sembuh. Kata Gagah, mengeluarkan pil itu satu demi satu, tangannya sedikit bergetar.
Kemo membuat rambutku rontok ... gumamku.
Nanti akan tumbuh lagi, kau tidak usah khawatir. Gagah mengulurkan pil-pil yang ada di tangannya padaku.
Aku meraih dan menelan obat itu secara bersamaan, meminum air bening yang juga disodorkan Gagah.
Aku ingin jalan-jalan. Bisikku. Kau ingin ke taman"
Aku mengangguk. Gagah mendorong kursi roda ke dekatku, membantu aku duduk di atasnya, lalu mengambil jaket dan memakaikannya padaku. Sebelum dia mendorong kursi roda keluar, Gagah menyelimuti kakiku dengan selembar kain. aku menatap hamparan rumput yang terpangkas rapi, beberapa bunga yang bertangkai panjang bergoyang-goyang tertiup angin. Sesekali ada beberapa daun yang terjatuh dari ranting pohon, melayang perlahan sebelum jatuh dengan sempurna.
Aku teringat dengan pohon kita , di mana aku dan Gagah membuat goresan nama kami di sana. Di mana kami mengubur potongan kuku kami untuk melihat kunang-kunang. Tiba-tiba mataku terasa basah, rasanya baru kemarin kejadian itu terjadi.
Gagah meletakkan tangannya di atas bahuku, aku memejamkan mata ... Aku ingin menikah di bawah pohon kita. Kataku pelan. Tapi, kondisimu ...
Tolong .... Gagah terdiam. Aku tahu aku tidak akan hidup lama lagi. Aku hanya ... merasakannya. Maukah kau menceritakan tentang Dino padaku" pintaku. Gagah tidak menjawab.
Dia meninggal. Gumamku lebih berupa pernyataan.
Kau harus kembali ke kamarmu. Bisik Gagah, mendorongku berbalik. Aku tahu dia hanya ingin menghindari pertanyaan selanjutnya. Tapi, aku tidak akan menanyakan apa-apa lagi, semuanya sudah cukup jelas di mataku. Terkadang ... waktu tidak akan bisa menahan apa yang menjadi kebahagiaanku, bukan"
"RatuBuku Aku bersikeras untuk menikah di tempat yang aku inginkan, bahkan Gagah tidak bisa membujukku. Gagah menyerah, dia membicarakan keinginanku dengan Dr. Wiguna.
Mungkin aku egois ... kurasa tidak. Keadaan tubuhku benar-benar sudah memperingatkan aku, aku harus memperjuangkan apa yang aku inginkan, karena aku tahu ... ini akan jadi yang terakhir.
Dr. Wiguna akan memeriksamu, jika semuanya baik-baik saja ... kita akan berangkat besok. Bisik Gagah di telingaku, suaranya terdengar letih. Aku baik-baik saja, gumamku. Itu yang kurasakan sekarang. Aku memang masih lemah, tapi rasa mual dan pusingku mulai berkurang. Aku tidak terlalu terkejut ketika akhirnya Dr. Wiguna menyetujui permintaanku. Dia memang harus menyetujuinya, bukan" Aku yakin dia mengetahui sesuatu ... sesuatu yang aku dan Gagah juga ketahui, tapi kami berpura-pura itu tidak akan terjadi.
Sore harinya, Megy datang membawakan gaun pengantinku. Aku membentangkannya di atas pangkuan ... sangat indah. Warna putihnya terlihat cemerlang, dilapisi kain sifon panjang yang membuatnya akan terlihat elegan jika dikenakan. Manik-manik menyerupai kristal menempel dengan sempurna di bagian dada, memang bukan swarovski, tapi ini akan sangat sempurna. Aku tidak bisa tidur malam ini, berharap hari segera pagi. Tidurlah. Bisik Gagah, mengelus lenganku.
Aku takut ... aku berkata, aku takut jika aku memejamkan mata, aku tidak akan pernah bisa bangun lagi.
Jangan berkata seperti itu, kumohon. Suara Gagah terdengar bergetar. Aku merasa bersalah, dia terlihat rapuh, Tidak lagi.... Gumamku lirih. Kami hanya bisa saling menatap, menangkap semua mimpi ... menjadikannya pegangan bahwa kami masih bersama, untuk saat ini ... berharap memiliki waktu lebih lama.
Sampai fajar menampakkan sinarnya, mata kami sama sekali tidak terpejam ....
Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya ... dan aku, tidak memiliki kesempatan lagi untuk berlari.
"RatuBuku Perjalanan menuju rumah Nini hari ini, tidak sama dengan perjalananperjalanan yang pernah kami lakukan sebelumnya. Bahkan ketika kami masih kanak-kanak, aku akan dengan gembira menempelkan wajahku ke kaca jendela Bus.
Gagah memelukku di kursi belakang, membiarkan aku bersandar pada bahunya. Aku hanya melirik ke luar jendela, melihat pohon dan gunung-gunung seolah berlari di sisi kami. Dr. Wiguna ikut dengan kami, dia berbaik hati meminjamkan dua mobilnya untuk mengangkut pekerja konveksi yang kesemuanya teman-temanku. Mereka tidak akan melewatkan pernikahanku. Aku menatap Megy yang duduk di depan bersama Sony, merasa bahagia melihat kebersamaan mereka. Lalu, aku menoleh pada Gagah, membelai pipinya yang kini tercukur rapi.
Aku ingin terlihat tampan di hari pernikahanku. Dia memang tampan, apa dia tidak tahu itu"
Menjelang sore, aku sudah berada di rumah Nini. Duduk di pinggir ranjang dengan gaun pengantin yang sudah menempel di tubuhku. Kamar ini sudah dihias sedemikian rupa, aroma bebungaan semerbak memenuhi ruangan. Bi Warmi dan para tetangga wanita yang melakukan itu.
Korden pintu kamar tersingkap, aku menoleh, Gagah berdiri di tengah pintu, satu tangannya menahan korden yang disingkapnya.
Senyum lebar terukir di bibirku, Kau benar-benar terlihat tampan. Gumamku, memperhatikannya yang mengenakan stelan jas hitam dan kemeja putih. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya terlihat segar, meski aku melihat setitik kesedihan di bagian terdalam matanya.
Gagah hanya diam menatapku, tidak ada senyum di bibirnya. Apa aku sudah terlihat seperti putri-putri dalam dongeng" tanyaku memecah kesunyian.
Gagah melangkah mendekat, berlutut di hadapanku, tangannya menggenggam tanganku yang ada di atas pangkuan.
Kau ... jauh terlihat lebih cantik daripada putri-putri dalam dongeng. Bisiknya lirih.
Aku membelai pipi Gagah, Tersenyumlah, Gah. Ini hari pernikahan kita. Honey Amy ...
Aku meletakkan jari telunjukku ke bibirnya, menahan apa yang ingin ia ucapkan dengan suaranya yang bergetar. Lalu, perlahan ... kudekatkan wajahku, hingga aku bisa melihat dengan jelas ... kilauan cahaya seperti kristal menggenang di pelupuknya.
Ini hari pernikahan kita, bukan" bisikku serak, menempelkan dahiku pada dahinya.
Gagah mengangguk. Maukah kau tetap menjadi Gagah untukku" Kembali Gagah mengangguk.
Aku mengecup bibirnya sekilas, sebelum menjauh dari wajahnya. Bawa aku ke bukit sekarang.
Gagah berdiri, mengangkat tubuhku dalam gendongannya. Aku melingkarkan lenganku ke lehernya, sama sekali tidak berpaling dari matanya. Katakan, kita akan bahagia hari ini. Bisikku lagi. Kita akan bahagia hari ini. Gumam Gagah pelan.
Gagah melangkah perlahan keluar dari kamar, membawaku ke atas bukit, ke bawah pohon milik kami. Tempat di mana aku dan dirinya akan mengikat janji. Berjanjilah kau tidak akan menangis hari ini ... apapun yang terjadi. Gagah tidak menjawab, dia hanya memandang lurus ke depan, tapi aku merasakan jari-jarinya yang bersentuhan dengan kulitku gemetar. Aku tahu waktunya akan tiba ... dan jika itu tiba, berjanjilah kau akan selalu bahagia ... selamanya.
"RatuBuku LIMABELAS Angin bertiup cukup kencang ketika aku mencoba berdiri di bawah pohon. Bertumpu pada Gagah yang memelukku, menahan agar aku tidak terjatuh. Kibaran kain sifon karena angin, menampar-nampar wajah dan kakiku. Hari belumlah terlalu gelap meski petang menjelang, semburat kemerahan bercampur jingga melukis langit senja di ufuk barat. Beberapa burung terlihat terbang melintas menuju jalan pulang, melewati awan-awan tipis yang bergerak perlahan.
Sementara di bagian sisi langit lainnya ... bola bundar keperakan mulai bergulir naik.
Aku memperhatikan bibir Gagah yang bergerak pelan, mengucapkan janji pernikahan kami. Di antara deru angin yang berhembus ... bersahutan dengan nyanyian burung yang mengabarkan dia pulang ... lalu, suara tipis riak air danau....
Kemudian, saat bibirnya menyentuh bibirku ... aku mulai merasakan kebas pada setiap bagian tubuhku. Aku menahannya agar tetap terjaga, kumohon ... jangan sekarang. Beri aku beberapa detik lagi ....
Aku menatap Gagah sayu, Bawa aku ke perahu.... Bisikku pelan. Gagah mengangkat tubuhku, berjalan perlahan menuju danau, melewati kerumunan tamu yang ikut menghadiri pernikahan kami. Menaiki sebuah perahu, Gagah membaringkan aku dalam pangkuannya.
Aku melihat tangannya bergetar saat meraih dayung, bibirnya tidak berhenti mengucapkan kalimat yang membuat aku tidak bisa melepas senyuman. Aku mencintaimu, Honey Amy....
Aku tahu kau mencintaiku, karena aku pun begitu.
Perahu pun melaju, mengikuti arus yang bergerak pelan. Gagah berhenti mendayung ketika perahu sudah berada di tengah-tengah danau. Riakannya, mengombang-ambingkan perahu kami bagai buaian pengantar tidur. Aku tahu itu adalah planet. Kataku pelan, menunjuk ujung barat langit, mengarah pada satu titik dengan cahaya putihnya yang bersinar terang. Kau benar.... gumam Gagah parau, itu planet Jupiter. Hanya bisa dilihat di bulan Mei hari ini.
Sebelas Mei.... bisikku. Ya ... sebelas Mei.
Senja berganti malam, langit mulai gelap, bintang-bintang mulai bermunculan satu persatu, menghias langit malam bagai percikan kembang api yang kunyalakan setiap malam tahun baru. Aku bertanya-tanya ada berapa juta bintang yang berkerlip di sana, termasuk planet yang mungkin belum diketahui namanya.
My Dear.... bisikku lagi, boleh aku memanggilmu seperti itu" Gagah tidak menjawab, tapi aku merasakan anggukannya saat dagunya menyentuh puncak kepalaku.
My Dear.... Gumamku memejamkan mata. Sungguh, panggilan itu terdengar indah di telingaku. Ceritakan aku kisah tentang orion lagi, lalu ... ceritakan aku kisah tentang Selene....
Orion.... Suara Gagah seperti tercekat, Dia pria malang yang sangat mencintai Eos, sang fajar....
Aku mendekatkan tubuhku ke dada Gagah, bersandar pada lekuk lengannya yang kokoh. Suara Gagah yang mengalun pelan, membuatku terbuai, meski aku sudah pernah mendengar cerita itu sebelumnya.
Suara angin yang bergemerisik lirih, menyapu permukaan air danau ... lalu dari kejauhan ... terdengar derik jangkrik memecah kesunyian malam, bergabung dengan suara binatang malam laiannya. Kadang burung hantu ... kadang kepakan sayap kelelawar.
Aku membuka mataku kembali, bersitatap dengan Gagah yang sedang menatapku. Sorot matanya terlihat sedih, bibirnya terkatup rapat, baru saja selesai menceritakan kisah Orion.
Sekumpulan kunang-kunang beterbangan di sekitar kami, mengalihkan perhatianku. Apa ada anak-anak yang menanam kukunya tadi pagi" Aku akan menanam ini di bawah pohon kita. Kata Gagah menunjukkan potongan kuku yang ada di telapak tangannya.
Kalau kita menanamnya, apa akan menjadi pohon kuku" tanyaku ingin tahu. Gagah tertawa, Tidak. Tapi kuku-kuku ini akan berubah menjadi kunangkunang.
Aku tertawa kecil, mengingat sebaris kejadian dari ribuan memory yang kulewati bersama Gagah.
Honey Amy.... Bisik Gagah lirih, aku menangkap berjuta kesedihan pada suaranya.
Aku mengulurkan tangan, mengelus pipinya. Hal yang paling kusukai akhirakhir ini. Jangan sedih ... berceritalah lagi. Bisikku pelan, senyum tipis terukir di bibirku.
Gagah mulai bercerita lagi, kali ini tentang Selene. Perwujudan dari Bulan yang selalu berwajah muram, namun memiliki keindahan dengan cahayanya yang keperakan. Mengingatkanku akan pria yang kini sedang menatap wajahku sayu. Mataku terasa semakin berat ketika suara Gagah mulai mengalun seiring desahan angin. Gambaran wajah Gagah yang kulihat mulai memudar, semakin memudar ... sampai kemudian tergantikan dengan kegelapan. Maka, Endymion tidak akan pernah terbangun oleh sentuhan lembut jemari Selene yang membelai wajahnya, untuk mengatakan pada Selene bahwa dia juga mencintainya.
Suara itu semakin samar di telingaku, aku hanya bisa merasakan sentuhan jari Gagah di pipiku ... kemudian....
Aku bermimpi ... berada di suatu padang yang luas ... tertidur di hamparan rumput hijau. Berpuluh-puluh ekor sapi dan domba mengelilingi, lalu aku melihat Gagah menghampiri ... dia meraih kepalaku ke atas pangkuannya, tapi kenapa wajahnya terlihat sedih" Aku melihat buliran kristal menetes dari sudut matanya, jari-jarinya menyentuhku lembut ....
Aku ingin membuka mata, aku ingin menghapus air matanya ... mengatakan padanya bahwa aku sangat mencintai dia. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menggerakkan tubuh, bahkan aku tak bisa membuka mataku. Hanya cahaya keperakan di atas sana ... menyinari tubuh kami dengan kelembutannya.... Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)
Kini, aku tidak bisa menolak lagi, ketika perjalanan waktuku terhenti. "RatuBuku
EPILOG Andai aku tahu akhir sebuah cerita, akan kupaksa waktu mengikat kita berdua, memanfaatkan setiap masa yang ada ... sehingga ketika ikatan itu terlepas, aku sudah memiliki banyak kenangan bersamamu.
Jika memang ini takdirku ... aku menerimanya. Seperti engkau yang melepaskan senyum, dalam lelap panjangmu.
Memeluk tubuhmu seperti ini, mendekap kepalamu di dada ... melihat senyum yang terlukis di bibir pucatmu, aku menangis tanpa air mata. Ayunan perahu ... cahaya bulan yang keperakan, desir angin ... lalu, suara binatang malam yang bersahutan.... Memberitahuku bahwa semua sudah berakhir.
"RatuBuku Tongkatku membantu Aku berjalan menaiki bukit, tertatih-tatih menuju tempat yang paling ingin kutuju saat ini. Pohon tempat kau menungguku. Menyandarkan salah satu tangan sebagai tumpuan pada batang pohon, aku menyadari tubuhku sudah merenta. Napasku sudah tidak beraturan ketika akhirnya aku menjatuhkan pantatku untuk duduk di sampingmu. Tangan keriputku yang selalu bergetar membuka lembaran demi lembaran sebuah buku bersampul hitam yang sudah kumal dimakan waktu. Aku merindukanmu....
Adalah satu kalimat favorit yang selalu kubaca. Apa kau juga merindukanku seperti aku merindukanmu"
Aku menghela napas. Yah, aku juga merindukanmu ... selalu.
Kembali melanjutkan membuka lembaran buku. Tanganku terhenti ketika sampai pada lembaran-lembaran terakhir.
Aku tahu, kesempatanku semakin menipis. Waktu sudah mulai mengikisnya secara perlahan. Tapi, aku mensyukuri semua ini, aku bersyukur kau kembali ... aku bersyukur kau selalu ada di sampingku, saat ini.
Terkadang, aku bertanya-tanya dalam hati. Apa yang membuatmu dulu pergi" Lalu, apa yang terjadi dengan Dino" Meski aku sudah bisa menduganya ... aku selalu ingin jawaban darimu.
Bersandar pada pohon, aku memejamkan mata. Mengingat kejadian yang membuatku selalu menyesali keputusanku meninggalkanmu saat itu. Itu yang selalu kulakukan jika membaca lagi tulisanmu. Seakan berharap kau bisa mendengar untuk memaafkanku.
Aku harus berusaha keras untuk mengingatnya, ingatanku tidak lagi setajam waktu muda. Samar, aku mulai mengingat perselisihanku dengan Mamih. Jiwa mudaku memberontak dengan apa yang dilakukan Mami, ejekan dari temantemanku membuat aku membenci Mamih, dan ketakutanku yang paling dalam... membuat aku lari menjauh.
Aku tahu, suatu saat nanti ... kau akan menjadi seperti mereka. Itu membuatku muak dengan keadaan ini.
Aku akan menikahi Honey Amy. Putusku ketika itu.
Itu satu-satunya cara kau terlepas dari lingkaran hitam yang Mamih buat.
Memang berapa umurmu" Mamih mencibir mendengar ucapanku. Kau pikir anak ingusan sepertimu bisa begitu saja menikah" Terus, mau kau kasih makan apa istri dan anakmu" Minta sama Mamih"
Rahangku mengetat, perasaaan terhina meluap begitu saja. Akan kubuktikan kalau aku bisa hidup tanpa uang Mamih. Teriakku saat itu.
Lalu, aku memutuskan untuk pergi. Tak bisa tertahan meski kau meminta untuk tinggal.
Apa kau akan merindukanku" tanyamu.
Aku hanya terdiam, meski hatiku berteriak kencang Tentu saja aku akan merindukanmu, tidakkah kau mengerti aku sangat mencintaimu" . Tapi, yang bisa kulakukan saat itu hanya melangkah pergi.
Bertahun-taun aku tidak menghubungi Mami. Sampai entah dari mana Mami tahu nomor teleponku, dia menghubungiku, ingin aku kembali. Aku tidak bisa, saat itu Dino sangat membutuhkan aku. Aku hanya bisa berjanji untuk sesekali menelepon Mami, bagaimana pun, dia tetap ibuku.
Setiap menelepon Mami, aku sangat ingin menanyakanmu. Tapi, aku menahannya dengan segera mematikan telepon setelah memberi tahu aku baikbaik saja.
Aku takut ... aku takut mendengar kabar apa yang paling aku takutkan saat itu. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku dan mengurus Dino, sahabat yang sudah aku anggap saudaraku.
Lalu, apa yang terjadi dengan Dino"
Kau benar. Dia meninggalkanku karena penyakit yang sama denganmu. Itulah kenapa aku sangat ketakutan ketika kau mengatakan sering mimisan. Itulah kenapa aku memaksamu untuk ke Dokter ketika kau mengeluhkan gejala yang sama seperti yang dialami Dino.
Aku takut kehilangan lagi.
Tapi, ternyata waktu tetap mengambilmu. Tidak apa, aku tahu kau bahagia.
Jangan khawatir, ketika kau membaca ini ... aku menulisnya dalam keadaan bahagia.
Kau tahu" Kau pun akan bahagia. Menjalani kehidupanmu dengan baik-baik saja. Mungkin kau akan menikah ... kau akan memiliki anak-anak yang cantik dan tampan sepertimu, lalu mereka akan memberimu banyak cucu ... kemudian cicit. Kau tahu" Aku tertawa membayangkan itu.
Jadi, ketika kau melihat noda tetesan air yang mengaburkan tinta pada tulisanku, itu adalah tetesan air mata bahagia.
Berbahagialah Gagah ... selalu.
Aku tersenyum, kau benar Honey Amy ... aku bahagia.
Seperti yang kau bilang, aku memiliki banyak anak, mereka memberiku cucu yang lucu-lucu. Kemudian cucuku memberi aku cicit.
Tidak, aku tidak menikah. Hanya kau satu-satunya wanita yang ada di hatiku. Panti asuhan yang kudirikan sejak setahun kepergianmu, kuberi nama Honey Amy . Sebagai pengingat bahwa kau ibu mereka.
Kurasa aku menangis, karna aku merasakan pipi keriputku sudah basah. Cepatcepat kuhapus air mataku, aku sudah berjanji tidak akan menangis. Berjanjilah padaku kau tidak akan menangis....
Aku berjanji. Aku memejamkan mata, tersenyum mengingat kalimat terakhir yang kau tulis di bukumu. Kalimat yang selalu kuingat ... yang selalu kubayangkan kau mengucapkannya padaku, dengan senyumanmu yang indah, dengan tatapan matamu yang berkilau....
Rindukan aku. END overebook.blogspot.com Perawan Lembah Wilis 5 Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton Prahara Rimba Buangan 2
^