Pencarian

Turun Ke Desa 1

Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar Bagian 1


Jidaje Dapat Berdagang"tenggang
' imenurripang trem, yang penuh sesak muatannya sejak dari
Kramat sampai ke Kota lama. Ketika kereta itu berhenti dekat kantor
la'vascheBankl, gadis itu pun turun dengan hati hati sekali Bermula
dijejakkannya sebelah kakinya di tanah, kemudian sebelah lagi dan setelah
kuat tegaknya, barulah dilepaskannya terali trem yang dipegangnya. Ia
pun berjalan kaki arah ke sebelah barat, ke tempat ia bekerja.
Hari baru pukul tujuh lewat seperempat, masih pagi, dan sinar
matahari sedang sedap terasa di badan. Enak dan segar berjalan pada
waktu itu, lebih lebih bagi orang yang banyak dudlrkjdan berkendaraan.
Akan tetapi, sebab jalan terlalu ramai, ken daraan bersilang siur di
pusat kota perniagaan itu, Sartini terpaksa menepi nepi saja serta awas
memasang mata dan melangkahkan kakinya",
Pada sebuah simpangerripat ia badaisebentar, sambil memperhatikan
lalu lintas. Ia hendak menyeberang, menoleh dahulu ke kiri dan ke kanan,
ke muka dan ke belakang. Seorangiyang memikul dua keranjang bunga
bungaan, melintas di hadapannya. Tertarik matanya melihat bunga yang
segar mekar. Lupa ia seketika akan maksudnya hendak menyeberangi
jalan itu, bahkan tiada: sadar, bahwa ia sendiri pun menarik mata orang
lalu lintas yang ramaiitu.
"Bunga," katanya, sambil mendekati si pemikul, "bunga anggerek
tiga tangkai Sartini menarik pemandangan orang, memang, sebab elok parasnya.
Rambutnya yang tersanggul baik baik, hitam lebat, keriting di bahagian
sebelah kening dan bergerak berhelai helai ditiup angin, lalu melekatpada
alis matanya yang melengkung sebagai ser'autjatuh, adalah menambah
manis dan indah rupanya. Lehernya yangjenjang ber'palutkan selendang
sutra tipis, bajunya yang halus beragibunga terung hijau, yanglekat sesuai
di badannya yang bulat penuh, sanga'dah menghidupkan warna kulitnya
yang kuning langsat. Kainnya daripada batik Solo halus kehitaman
1 Kini bernama Bank Indonesia dan kereta trem telah dihapuskan.
dan berwiron kecil"kecil terpasangjirus ke kakinya, merupakan bentuk
tubuhnya yang tak ada cacat celanya. Kakinya yang beralaskan sepatu
sandal tinggi tumit berdiri lurus dengan tegap. Tas kulit buaya berwarna
cokelat, yang tergantung dibawah ketiaknyayang sebelah Lori, menambah
cakap dan tampan sikapnya. Matanya yang hitam bersih, tekernyit di
bawah alis yang hitam lebat itu melihat apa"apa dengan tajam. Bentuk
hidungnya yang mancung dan bangir manis menghiasi pipinya yang
halus dan kedua belah bibirnya yang merah, kecil sebagai limau seulas,
ber-padanan benar dengan bentuk wajahnya yang bunder telur itu.
Lain daripada segala keelokan itu, ada lagikelebihan gadis itu: gagah
dan gaya. Barang siapa bertemu dengan dia, bagaimana jua pun cepat
jalannya, niscaya tertegun dan tercengang memandang kepadanya.
Sementara pandangan lekat pada bunga yang dipegangnya itu,
sedang kernyit keningnya merupakan seorang yangtengah teringat akan
kenang"kenangan, ia pun tak insaf sedikit jua bahwa seorang laki"laki
yang duduk di dalam sebuah oto sedan menjulurkan mukanya keluar akan
mematut"matut perawakannya.
Orang itu bukannya tiada elok rupanya, melainkan tampan dan gaya
juga. Akan tetapi, ia telah berusia kira"kira 40 atau 45 tahun. Matanya
tajam berkilat"kilat dan kulitnya berwarna kehitam"hitaman seperti
waja. Kopiahnya daripada beledu hitam tinggi, telenglekatnya ke sebelah
kiri kepalanya. .Dari lagak dan bentuk tubuhnya yang agak besar tinggi
itu nyata sekali, bahwa ia bukan anak Indonesia sejati. Kumisnya yang
diguntingpendek"pendek, hanya tinggal sedikit saja di bawah hidungnya
yang besar, dan senyumnya yang agak menyeringai itu membayangkan
hatinya yang keras dan tabiatnya yang agak kasar.
Ketika ia melihat paras gadis itu, dipermainkannyalah matanya dan
bibirnya. Tak ada malunya sehingga ketika otonya sudah lewat dari gadis
itu, ia pun segera menoleh dari tingkap kaca belakang, supaya dapat
menentang wajahnya lama"lama. Akan tetapi, karena jalan bertambah"
tambah ramai, tidaklah sampai maksudnya. Sartini tak tampak lagi
olehnya. D alam pada itu gadis itu melihat"lihatjalan tempatlalu. Setelah agak
jarang sedikit deretan kendaraan, ia pun menyelinap ke seberang jalan.
Sekali"kali ia tidak tahu, bahwa ia telah menjadi tepatan pandang orang,
N. n Iskan-dar 03.4 &P
"!: V mmm-namum.- Bajaj aman: terutama pandang seorang yang berpengaruh dalam masyarakat dan
ternama dilakarta, bahkan di seluruh tanah Jawa, yaitu taklain daripada
orang yang beroto itu! Andaikata Sartini tahu sekalipun ia takkan insaf
jua, bahwa perkara yang sekecil itu akan dapat dipandang sebagai suatu
tanda perubahan besarbagi keadaan dirinya pada masa yang datang, yakni
suatu peristiwa, yang akan mengubah jalan kehidupannya yang senang
pada dewasa itu. Apalagi patut pula ia takkan menghiraukan minat orang itu karena
pikirannya dan ingatannya hanyalah terhadap kepada seorang"orang
saja, yakni kepada orang yang telah memberi dia kerja delapan bulan
lamanya "Mr. R. Sulemana" advokat dan pokrol yang ternama di ibu
negeri In donesia itu. Apalagi ingatannya sedang melayangkepada ahli hukum yang muda
belia itu "dan hampir setiap saat sedemikian" ia pun senantiasa meneerca
dirinya. Sangat pedih, rasa diiris"iris dengan sembilu hatinya, sebab
baginya tak ada suatu perbuatan yang seaib perbuatannya itu. Seorang
gadis menampakkan minatnyakepada seoranglaki"laki dengan tak diminta
atau diharap"harapkan Kebetulan hal itulah yang terjadi atas dirinya.
Mula"mula ia tidak percaya akan hal itu. Masa dia, Sartini
Arjono, seorang pu'oi terpelajar dan terdidik baik"baik dalam keluarga
bangsawan, anak seorang dokter-, akan menaruh cinta pada seseorang
yang tak pernah ingat dan bermimpikan dia. Istimewa pula masa dia,
anggota Persatuan Puti indonesia, yang mempertahankan kehormatan
kaum wanita, akan merendahkan derajat dirinya semacam itu kepada
seorang laki"laki. Padahal menoleh saja pun orang itu tak pernah
akan dia, walaupun mereka itu selalu bercampur dan sama"sama
bekerja. Apalagi laki"laki itu sudah berpunya, sudah bertali dengan
gadis lain. Mr. R. Suleman sudah bertunangan dengan nona Zuraidah,
seorang bintang film yang terkenal di Jawa dan di daerah sekelilingnya.
Adapun pertalian Suleman dan Zuraidah itu sudah menjadi buah
mulut orang, bahkan telah menggemparkan golongan orang terpelajar
dan bangsawan. Jangan kata keluarga Suleman sendiri! Bagaikan gila
mereka itu, demi didengarnya pertunangan yangtak disangka"sangka itu.
9. "Kini: R.Sulsmsn SH.JL'Ss1-jsna Hill-mm]
613 TW ke [lsm Sudah banyak gadis menak di Priangan yangberinginkan Suleman, yang
lebih daripada patut akanjodohnya. Akan tetapi, seorang pun tiada dapat
disamakannya dengan Zuraidah itu. Patut tak patut menurut timbangan
orang di luar "pada pendapatan Suleman pamili masuk orang luar dalam
hal perjodohan" ia tidak peduli, sebab yang berhajatkan Zuraidah bukan
oranglain, melainkan dia sendiriDan dia sendiri yang akan kawin dengan
anak komidiitu, dia sendiri pula yang akan menanggungkan segala akibat
perkawinan itu! Mengapa oranglain yangtak bersenanghati dan gemparF'
Timbangan orang luar, hem, tak peduli Dia cinta kepada Zuraidah dan
anak komidi itu pun cinta pula kepadanya. Habis perkara]
Memang Zuraidah sudah berjanji akan sehidup dan semati dengan
dia, telah rela akan sama"sama merenangilautan hidup! Apa lagi"J Memang
ketika mula"mula mata bertemu dengan mata, kerdip disela dengan keluh
dan kemudian ketika perasaan telah ditumpahkan ke atas kertas putih,
sungguh ketika itulah mereka bersumpah, bahwa mereka itu takkan
hidup kalau tidak bersama"sama. Biar bercerai dengan kaum kerabat, biar
terbuang dari kampung dan halaman, asal mereka berdua tetap bergaul
dan ber-kasih"kasihan.
Oleh sebab itu, bagaimanajua pun nasihat dan pertimbang"an sahabat
kenalan, betapa jua pun berang dan gusar keluarga"nya, betapa jua pun
buruk pandang orang dalam kampung dan negeri, namun Suleman tiada
mau tahu lagi. Ya, mesti kawin dengan Zuraidah. Kawin cinta dengan
cinta, di antara dua orang yang telah cukup umur, telah dewasa!
_T adi Suleman itulah yang diidam"idamkan hati Sartini, laki"laki
tunangan Zur-aidah itulah yang tak dapat dilupakannya.
Ketika ia sampai ke gedung bertingkat tiga di Kalibesar, ia pun
segera naik ke tingkat kedua, karena di situlah kantor advokat dan pokrol
"Suleman & Bakri" yang kenamaan itu. Di situlah di tengah"tengah
perusahaan orang Eropa yang ramai gelisah itulah, Sartini mengadu
untung. Di dalam kantor itu adalah empat buah kamar besar. Sebuah kamar
klr. Bakri, sebuah kamar Mr. R. Suleman, sebuah kamar pegawai yang
dikepalai oleh Nona Sartini Arjono, dan sebuah lagi kamar tempat
menerima tamu kedua ahli hukum itu. Lain daripada itu ada lagi sebuah
kamar kecil, tempat minum atau makan.
N. si mms" _-_.';_.-.' 6!)
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Sartini masuk ke dalam kamar- Mr. Suleman, a.kan meletak"kan
ketiga tangkai bunga anggerek itu di dalam jambangan yang terdiri di
atas mejanya. Setelah itu ia pun bergerak hendak keluar dan terus ke
kamarnya. Ketika ia hampir sampai ke meja tulisnya, tiba"tiba pintu terbuka. Ia
tertegun, tak jadi meletakkan tasnya, tetapi ia tidak berpaling ke pintu
yang berciut itu. Seperti biasa hatinya berdebar"debar agak kencang.
Dalam pada itu terdengarlah suara memberi tabik selamat pagi dengan
kuat"kuat. Baru Sartini tahu, siapa yang masuk itu. Bukan Mr. Suleman,
melainkan sekutunya. Mr. Bakri terus menuju ke meja gadis itu, akan meletakkan sepucuk
surat. "Lekas suruh tik surat ini, Nona Sartini," katanya, dan dengan tak
menantikan jawab ia pun ke kamarnya sendiri.
Sartini duduk kekursinya, seakan"akan 1idakmengacuhkan "perintak"
itu. Ia tidak suka kepadanya, meskipun meester muda itu tiada kurang
daripada lvlr. Suleman, baik tentang kecakapan dan kepandaian tentang
rupa dan gaya. Perasaan semacam itu bukan ada pada gadis itu saja, tetapi
ada pula di hatiorang muda im, walaupun ia selalu berlaku dengan hormat
dan baik akan dia. Sebelum duduk, Sartini menggantungkan tasnya dan selendang"
nya di sangkutan yang ada di dinding di belakangnya. Setelah itu ia
pun memandang ke cermin dinding di atas tempat cuci tangan. Dengan
tersenyum simpul diperbaikinyalah lekat bajunya. Tidak lama, sebab
segera ia terperanjat dengan agak masam. Apa gunanya kecantikan itu
baginya. Tiada dapat memikat hati orang yang dikehendakinya "Gila
seorang," pikirnya. "Saya tahu benar-, sedikit pun tak ada ia menaruh
minat akan diriku." Sungguhpun demikian ada juga sitawar sidingin bagi kalbunya.
Mr. Suleman amat percaya akan dia, kerjanya pun sangat dihargainya.
Kerapkali terdengar olehnya lvlr. Suleman memuji"muji akan dia kepada
Mr. Bakri dan pegawai lain"lain, bahwa ia seorang pegawaiyang pandai
dan rajin. Akan tetapi, sekalian pujian itu betul"betul sebagai penawar
atau pendinginkan hatinya yang sedih dan pedih saja.
Ia menekur ke meja tulisnya, sambil menenangkanjalan napasnya. Ia
hen dak mulai bekerja. Surat yang diletakkan Mr. Bakri tadiitu diambilnya,
dilihatnya dan dibacanya, lalu diserahkannya kepada tukangtikyang duduk
613 TW ke Dam tak jauh dari dia. Setelah itu dijembanya tangkai penanya. Akan tetapi
ketika matanya terlayang pada tempat surat"surat, tampaklah olehnya
setumpuk suratkabaryang belum dibuka. Rupanya pos yang datang pada
malam itu sudah diambil daribus oleh op as kantor, lalu ditaruhnya sebagai
biasa di atas mejanya. Segala koran itu pun diperitsanya, lalu disisihkannya
koran Belanda daripada koran Indonesia dan Tionghoa. Maka tampak
olehnya surat kabar dari Jawa Tengah yang bernama "Dunia Dagang",
lalu diambilnya dan dibukanya sampulnya. Di kolom perkara aang-terbaca
olehnya suatu kabar yang mengecutkan hatinya dan mem ucatkan warna
mukanya. Kabar itu singkat saja, tetapi terang isinya dan maksudnya:
Harga saham Kim" Matarm Mun benar"benar; sebab kmr padi the hmpir-'
n'dafcjafan fag'r'. Tiada sanggup bar-'sangat: dengm kmr padr'ymg farm"Jain
Sekalian arangymg menaruh safram Kim" Mataram the arafah khawatir akan
fif"-Iang uangnya Sartini tahu bemr, bahwa sebagian besar uanng. Suleman lekat
pada saham maskapai Kincir Mataram itu. Bukan itu saja, terutama klr.
Suleman pun bertanggungjawab atau perusahaan itu! Dan dalam dua tiga
pekan yang akhir itu Suleman amat gelisah rupanya. [tukah gerangan
sebabnya" ' Sementara Sartini berpikir"pikir demikian, terdengarlah bunyi
telepon di kamar sebelah. [a tegak berdiri, lalu masuk ke tempat induk
semangnya. Dengan segera dipegangnya pendengar telepon im, dibawanya
ke telinganya seraya katanya. "Hallo, ini kantor "S uleman &: Bakri" Ya,
selamat pagi. BelurnJ-baik .... Nomor telepon Tuan Ya, baik nanti saya
sampaikan Tabik'lg" Sartini berbalik ke kamarnya kembali Segala koran itu disusunnya
dan diletakkannya ke meja Suleman baik"baik. Kemudian ia pun duduk di
kursinya, lalu mulai bekerja.
Belum sepuluh menit ia bertekun menghadapi kerjanya, Suleman
datang dan terus ke kamarnya. Suaranya memberi hormat pada hari itu
berlainan benar dari biasa di telinga gadis itr. Biasanya hambar saja, tetapi
sekali itu dua kali hambar dan sebagai dipaksa"paksakan
Dengan hati berdebar"debar Sartini masuk ke kamar Suleman akan
mengabarkan nomor telepon tadi itu.
Setelah itu ia kembali ke meja tulisnya. Saran menggigit bibir dan
mengernyitkan alis matanya, ia pun bekerja pula. Akan tetapi, lonceng
N si mms" -'-?".'i &P
"!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
berbunyi di kamar tuannya. Dengan segera diambilnya beberapa pucuk
surat, dikepitnya. Ia masuk pula ke kamar Suleman, yang kebetulan
sedang menelepon. Ia berdiri di sisimeja tulisnya, sambil memperhatikan
gelagatnya bercakap dan gerak mata yang lincah manis. Demikian
kebiasaannya, sebagai anak kesayangan yang kemanja"manjaan. Agak
lancang"I Ya, dengan demikian moga"moga pandangberalih Akan tetapi,
ketika itu pun nyata kepadanya, bahwa Suleman tidakjua memedulikan laku
semacam itu. Malah kebalikannya mukanya yang elok itu agak pucat dan
lesu sebagai orang kepayahan. Dan gerak bibirnya seperti orang marah.
Meskipun ia men gerlin gkan mata dan menganggukkan kepala kepadanya,
pada perasaan Sartini matanya yang hitam jernih itu seakan"akan tidak
melihat dia ada di situ. Gadis itu mundur selangkah dan berdiri pula agak jauh, setelah
meletakkan surat"surat yang dikepitnya di atas meja tuannya itu.
Suleman baru dua tiga hari pulang dari Priangan. Tampak oleh
Sartini, ketika Suleman sedang membungkuk, batang lehernya merah
kehitaman bekas dimakan panas. Tentu ia banyak berjalan"jalan di daerah
negeri yang indah permai itu. Ke Lembang atau ke Tangkuban Perahu
dengan tunangannya" Tiba"tiba Sartini memicingkan matanya, serta
menunduk ke lantai, seakan"akan menahan hati, rindu. Kemudian ia pun
marah akan dirinya, mengapa semangatnya selemah itu
Perkakas pendengar telepon diletakkan Suleman di tempatnya.
Ia pun duduk lurus"lurus di kursinya, sambil berkata kepada Sartini
tentangperkara saham yang dibacanya tadi itu. Meskipun bunyi suaranya
menyatakan ketenangan hatinya, tapi pa da air mukanya tampak jua oleh
Sartini kegelisahannya. Setelah habis cakapnya, disebutnya beberapa
perkara yang harus dituliskan Sartini di dalam surat. Apabila surat itu
sudah selesai, katanya, hendaklah diletakkan di atas mejanya. Ia hendak
keluar sebemar, tetapi belum tahu lagipukul berapa ia akan hadir di kantor
pula pada hari itu.

Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sartini berbalik ke meja tulisnya, lalu mulai mengetik surat dengan
hati terharu biru. Kira"kira pukul dua belas barulah selesai pekerjaannya. Surat"surat
itu pun ditaruhnya di atas meja Suleman, supaya ditandatanganinya.
Ia berdiri sebentar dekat kursi induk semangnya, sambil memegang
sandaran kursi itu dengan lemah lembut. Dewasa itu ia lupa akan harga
dirinya, lupa akan kesombongannya. Yang teringat olehnya hanyalah
613 TW ke Dasa orang yang dikasihinya dengan diam"diam dalam batin itu. Ia sedang
dilamun ombak kesusahan. Siapa tahu, barangkali ia sedang mengira"
ngirakan berapa besar kerugian yang ditanggungnya. Bahkan, hilang atau
habis segala kekayaannya! Padahal ia sendiri, Sartini, tak dapat berbuat
apa"apa akan menolong dia. Ia pun terkejut, ketika telepon berbunyi: ring
Ia duduk di kursituannya, dan memegangi pendengartelepon itu. Ia tak
dapat bercakap, sebab sebentar im jua terdengar di telinganya suara yang
lemah lembut dan manis, yaitu suara seorang perempuan .. ..
"Engkau itu, Man, kekasihku?"
Sartini menggigit bibir. Ia kenal akan suara itu, kenal akan gayanya
Zuraidah, bintang film. "Hallo, ini kantor Mr. Suleman, dengan siapa saya bercakap?" kata
Sartini dengan menggagahi dir-inya.
Suara yang di ujung telepon itu pun segera berubah: lemah lembut
merayu"rayu bertukar dengan pendek tajam. Banyak perempuan yang
dapat berbuat demikian, apabila ia tahu, bahwa?"iabercakap"cakap dengan
perempuan pula. "Katakan kepada Mr Suleman, bahwa Nona Zuraidah
hendak bercakap dengan dia," ujarnya,
"Beliau tidak ada, barangkali boleh saya menyampaikan pesan Nona
kepadanya?" Ragu sebentar. Kemudian: 'Taftanyakan kepadanya, sudikah ia makan
di rumah saya!J Pukul satu betul."
"lvlr. Suleman sesak.]aehar hari ini, amat banyak kerjanya," sahut
Sartini dengan suara agak berolok"olok. "Mungkin ia tak kembali ke
kantor, sebelum uraikan tengah hari."
"0, begitu. Tapi usahakan, supaya pesan saya itu sampai kepadanya,"
kata Zuraidah dengan kasar Setelah itu, ditaruhnyalah pendengartelepon
dengan keras. Sartini termangu dan meletakkan penden gar teleponnya pula seb agai
mesin di tempatnya. Dengan diam"diam dituliskannya pesan itu di notes
yang terletak di meja tulis induk semangnya. Setelah itu, ia pun berbalik
ke kamarnya. Tak tenang sedikit jua jalan darahnya.
Waktu beristirahat tiba sudah. Kawan"kawannya sudah bersiap
hendak keluar. Ia sendiri seakan"akan tiada bernafsu hendak makan. Akan
tetapi, ia pergijua ke tempat makan, di sebelah kamarnya.
N si Liman _-_.';_.-.' 5!)
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Mula"mula dibasahinya mukanya, digosoknya dengan handuk. Sudah
itu dipakainya bedak harum tipis"tipis dan disisirnya rambutnya di atas
keningnya dan pelipisnya. Kemudian ia pun berjuntai"juntai di bangku
panjang sebentar, sekadar akan mendingin"dinginkan perasaan dan
pikirannya, sambil melayang"kan mata agak jauh dari jendela kaca. Di
hadapannya terbentang Kalibesar, yangkeruh menguning airnya. Di dalam
air itu ber"simpang siur berpuluh"puluh rakit bambu dan perahu, yang
bermuat perbagai macam barang. Dan di pinggir- sungai atau kali truck,
deleman, gerobak, dan lain"lain hilir-mudik dengan ramainya. Tambahan
pula orang bersepeda dan berjalan kakitiada terbilangbanyaknya. Sejurus
sekaliannya itu menarik perhatian gadis itu sehingga agak tenangjalan
darahnya. Dan setelah agak sejuk sedikitperasaannya, diambilnyalah roti
dan botol air kopi dari dalam tasnya. Ia pun makan dan minum, tertegun"
tegun. Beberapa lamanya ia dikamar makan itu tiada diketahuinya. Akan
tetapi, ketika ia telah berbalik ke kamarnya, terdengarlah olehnya suara
dua orang bercakap-cakap di kamar Mr. Bakri dengan perlahan"lahan.
Maka dipasangnya baik"baik telinganya, terdengar klr. Bakri berkata
dengan kasar "Kaujamin maskapaiitu dengan suka hatimu, dengan uangmu sendiri
Tak kaudengarkan nasihatku hmmm, sekarang setelah bangkrut kau
minta tolong kepadaku! Mana dap at aku menolong engkau
"Aku tidak minta tolong kepadamu, Bakri. Hanya aku hendak
meminjam uang kepada kongsi kita, yaitu di atas namamu juga, supaya
aku dapat membayar uang jaminanku itu," sahut Mr. Suleman, "supaya
maskapai tidak dinyatakan bangkrut." Dan bunyi suaranya menyatakan,
bahwa ia sangat berang, hampir hilang sabarnya.
"Sayang, sobat," jawab Bakri "Tak bisa, sebab bertentangan dengan
timbangan dan perasaanku."
"Coba timbang benar baik"baik dahulu, kawan," ujar Mr. Suleman
sebagai hendak menangis, karena menahan hati "Jangan engkau tolak
begitu saja permintaanku itu. Pikirkan dahulu melarat dan manfaatnya.
Engkau tahu, betapa nasibku kelak. Kalau sampai habis bulan ini tak ada
uang lima belas ribu rupiah di tanganku, tentu aku celaka. Tuntutan hakim
tak dapat ditolak, tak boleh ditangguhkan."
Sartini terperanjat, ketika ia ingat, bahwa ia telah mendengarkan
percakapan orang. Dengan segera ia duduk ke muka meja tulisnya, hendak
613 TW ke Dasa bekerja pula. Pikir-nya, ada tampak olehnya orang mengintai dari lubang
kuncipintr. Tetapi ia tidak tahu, siapa gerangan. Pintu tertutrp, dan ketika
dibukakannya, seorang pun tiada kelihatan di luar. Akan tetapi, hal itu
tak lama dipikir-kannya, sebab ingatannya selalu terhadap kepada perkara
Suleman itu. Tak dapattiada Suleman sudah bersesak benar"benar. Kalau
tidak, mustahil ia akan beriba"iba minta tolong kepada sahabatnya Dan
permohonan itu pun ditolak oleh Mr. Bakri dengan kasar, tak menaruh
kasihan sedikitjua. Sudah kerap kali Sartini berkata seorang diri, bahwa
ia tak suka akan dia. Sekarang tahu ia sudah, bahwa perasaannya yang
semacam itu bukan tiada beralasan.
Lima belas ribu rupiah sampai habis bulan. Kalau tidak ada, niscaya
Mr. Suleman bangkrut dan celaka l"Ieran, ajaib sekali! Masa uang
sekian di dalam dunia dagang sebagai dunia advokat itu tiada dapat
dipinjam! Uang limabelas riburupiah di Kalibesar, ha, ha, kalau orangmau
berselang"tenggang, sudi bertolong"tolongan berapa saja tentu dapat.
Mustahil tidak ada orang yang dapat menolong dia di pusat perniagaan,
di tempat uang mengalir sebagai banjir itu!
Akan tetapi, memang, dalam hal itu bukan perkara "dapat" yang
dipersoalkan, melainkan perkara "percaya" atau "mau" semata"mata. Sudah
dijalani Suleman rumah dua tiga orang sahabatnya yang beruang, yang
karib, yang seperjalanan dengan dia selama ini. Ia telah menyembah"
nyembah minta dikasihani, minta dilepaskan daripada kesulitan kepada
mereka itu, tetapi mereka menggelengkan kepala saja.
"Tak ada uang, sedang tersesak pula," kata mereka itu, sejawab saja
sekaliannya. Akhir- sekali ia minta tolong kepada kawan sekantor, sekongsi, "dan
ia pun kecewa benar"benar! Bahkan lebih lagi daripada itu: seakan"akan
kata kawan itu boleh diartikan isi hati musuh dalam selimut!
.N. Sa fskmdar _'_-'l'..-_',
mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Sanggup dWenofong kul lima petang, ketika segala kantor dagang di
() alibesar telah ditutup, kelihatan Mr. Suleman tergesa gesa
berjalan ke tempat otonya. Ia melompat mas uk ke dalam
kendaraan itu, merebahkan dirike sandaran belakang. Sopirmenghidupkan
mesin, dan kendaraan itu pun berlari dengan kencang arah ke Jatinegara.
Hatinya sangat kusut dan susah, sebab ia tahu, bahwa ia pun sudah di
pintu penjara. Betul ada juga uangnya yang lain sedikit lagi, tetapi tak
dapat dipergunakannya, sebab uang itu lekat pada suatu perusahaan lain.
Tambahan pula jumlahnya tiada cukup penutup utang, pembayar uang
jaminan yang ditanggungnya sendiri, karena maskapai kincir padi itu
jatuh. Pendeknya, kalau tak ada terjadi hal yang ajaib sampai habis bulan
itu, terang sudah ia bangkrut, masuk penjara dan tak dapat meneruskan
perusahaan sebagai pokrol lagi. Uang simpanan di bank tertulis di atas
nama kantor adwkat dan pokrol "Suleman rit Bakti", dan tidak dapat
diambilnya, kalau 'tidak ditandatangani oleh kedua duanya. Padahal :Mr.
Bakri sudah menolak mentah mentah, tak mau tahu akan halnya.
Apa sebabnya l'v'lr. Bakri tak mau menolong dia itu, Suleman tahu
betul. Mr. Bakri akan bersukacita, malah akan girang gembira benar,
apabila Suleman jatuh melarat. Ia menaruh hati pula kepada Zuraidah.
ladimereka itu sama sama memperebutkan seorang gadis, dan dalam
hal itu Suleman telah menang! Zuraidah sudah ada di dalam tangannya.
Sekarang Suleman khawatir, kalau ia bangkrut, mungkin Zuraidah akan
membalik belakang dari dia. Dan l'v'lr. Bakri berdendang paha
Hal itu memusingkan kepala Suleman, bahkan mengacau balaukan
pikirannya. Baru ia tiba di rumah, diteleponnyalah tunangannya. Kata ayahnya,
yang menyahuti telepon itu, Zuraidah pergi ke rumah komidi, sebab
Blmnya yang baru ketika itu akan dicobakan. Ia tak ada meninggalkan
pesan baginya. Tak dapat tidak Zuraidah berang kepadanya, karena ia
'tidak datang makan ke rumahnya pada tengah hari itu. Akan tetapi, hal
itu bukan kesalahannya. Ia berbalik ke kantor sudah lewat pukul tiga
petang, dan catatan di notesnya baru dilihatnya di atas mejanya ketika
orang sudah hampir pulang.
Suleman sudah mendengar-jua beberapa hari dahulu, bahwa gambar
itu akan diputar pada hariitu antara pukul enam dengan pukul delapan.
Dihentikan sebentarkira"kira pukul tujuh. "_T adi ada waktu akan bercakap
dengan dia di sana," pikirnya. Ia pun segera mandi menukar pakaian, lalu
berkendaraan pula ke panggungkomidi di Jalan Krekot
Pukul tujuh kurang seperempat ia sudah ada di hadapan Cinema
Theater. Otonya berhenti di dekat restoran, dan ia pun pergi ke serambi
muka menanti"nantikan waktu jeda itu.
Sedang ia berdiri melihat"lihat gambar programa yang ditaruh di
dinding, terdengarlah lonceng berbunyi tujuh kali. Suleman bergerak
ke pintu rumah komidi itu, akan menyongsong orang keluar. Tidak
ada kelihatan yang dinantinya. Ia pun bercakap dengan penjaga pintu.
Sejurus orang itu berlari ke dalam, dan tak lama kemudian ia pun berbalik
membawa kabar, bahwa Zuraidah sedang berunding dengan tuan pabrik
film. Hanya sehabis per-tunjukkan ia akan dapat bertemu dengan dia.
Dengan sabar Suleman menanti di luar, hilir mudik di serambi yang
luas dan terang bmderang itu. Banyak orang laki"laki dan perempuan,
segala bangsa, yangten gah sibuk membeli karcis, tetapi seorang pun tiada
menarik hatinya. Ia terus berjalan lambat"lambat menghitung langkah
serta mengerutkan keningnya. Payah benarrupanya Suleman menahan hati
atau memanis"maniskan air mukanya. Ia bukan masuk bilangan laki"laki
yang suka takluk kepada perempuan dengan tak beralasan. Tingkah laku
sanak saudaranya yangperempuan, kadang"ka dang kehendak ibunya pun
jua, kalau tak sesuai dengan pikirannya, segera dibantahnya dengan keras.
Akan tetapiterhadap kepada Zur-aidah yangjuita dan gaya itu seakan"akan
"mati kutunya" atau "layu daun telinganya", sebab sesungguhnya ia amat
kasih mesra akan dia. Entah ia sudah kena pesona, sebagai biasa dilakukan
oleh perempuan dunia kep ada laki"laki yang belum "bijaksana" dalam tipu
muslihatpergaulan, entah, tak dapat dikatakan. Yangnyata ialah Suleman
telah bersusah payah hendak bersua dengan dia. Padahal ia sehari"harian
itu bekerja di kantor dan di tempat lain. Serta pulang dari kantor dengan
belum makan apa"apa lagi, ia pun terus mencari dia Dan setelah tentu
tempatnya, disuruhlah pula ia menanti seperti pengawal halaman!
N ra manf 03.4 &P "!: V mmm-namum.- B:.Ilj nama Hampir pukul delapan barulah habis percobaan film itu. Beberapa
jurnalis dan bintang Blm, serta pegawai polisi keluar, sedang sekalian
orang yang hendak menonton pula masuk berasak"asakan.
Mr. Suleman berdiri dekat otonya, men anti di situ, sambil
melayangkan matanya ke pintu keluar yang ramai itu. Seorang gadis
muda, tetapi berpakaian seperti Raden Ayu Priangan, berdandan dengan
secantik-canbknya, bercukur dan bercat hitam halus dan lengkung alis
matanya, bermerahi pipinya dan bibirnya, sehingga ia menarik perhatian
orang banyak, tampaklah memandang ke sana ke mari sambi tegak ke
tempat yang lapang lagi terang. Ia pun kelihatan oleh Suleman, lalu
dihampirinya. "Bawa saya pulang," kata gadis itu dengan tak membeli salam sedikit
jua, melainkan berjalan ke tempat oto Suleman berhenti itu. "Saya amat
lesu." Dengan segera ia masuk ke dalam oto yang indah itu, duduk
mengenyakkan diri di sudut belakang sebelah kiri dan Suleman duduk di
sudut sebelah kanan. Baru oto itu bergerak dan berlari dijalan raya, Suleman beringsut
duduk di dekatnya, sambil meraba tangannya.
"Tak ada kauterima pesanku tadi?" tanya Zuraidah dengan masam,
seraya menarikkan tangannya dari genggaman tunangannya. Dan seakan"
akan Suleman telah menjawab, ia pun meneruskan perkataannya, "Tentu
pikir"mu, tak perlu diacuhkan."
"[dah, kekasihku," kata Suleman dengan manis seperti bermohon,
"jangan lekas salah terima. Sehari"harian tadi sibuk benar kerjaku,
tambahan pula pesanmu itu pun baru kuterima petang hari"
"Ya, aku maklum. Pikir-mu, engkau saja yang bekerja sibuk," ujar
Zuraidah dengan kasar. Suleman bersedekap dan mengalai ke sandaran belakang kendaraan
itu. Selama ini diperturutkannya saja segala kehendak gadis itu, supaya
senang bergaul "Z.uraidah kemanja"manjaan benar" tetapi pada malam
itu timbullah perasaan jantan dalam kalbunya. Tiada mau tunduk saja
kepada perempuan senantiasa, sekali"sekali ia hendak memperlihatkan
juga kepada tunangannya yangjuita itu, bahwa ia laki"laki sejati. Pada
saatitu iaberhajatkan perintanghati, perlu mendengarkan bujuk cumbuan
untuk menghilang"hilangkan rusuh dan susah, tetapi ia diperbuat oleh
613 TW lb" Dasa kekasihnya, yang diharapkannya akan jadi pelipur lara baginya, tak ubah
seperti anak nakal yang tak berharga agak serimis pun. Tak disangka"
sangkanya Zuraidah akan berpiil semacam itu. Amat panas hatinya. Sebab
itu ia pun berdiam diri saja, sambil mengurut"urut dadanya.
Samp ai"sampai ke GangAjudan kedua muda remaja itu tidak berkata"
kata lagi. Masing"m asing den gan pikirannya. Di muka sebuah rumah batu
yangindah, berhentilah oto itu. Zuraidah keluar dari dalamnya, lalu masuk
ke rumah itu. Mr. Suleman menurut di belakangnya, lalu duduk ke kursi
besar di serambimuka, amat lesu rupanya, sehingga ia terperanyak dan
menaria: napas panjang. Baru ia mengalaikan kepala dan menengadah ke
lampu listrik yangterangmenyilaukan mata ditentangmeja bundar yang
beralaskan kain sutra bersulam, datanglah seoranglaki"laki separuh baya
dari dalam ke dekatnya. "O, Raden," katanya dengan manis, "untung Raden jemput dan
antarkan Idah pulang. Kami sudah khawatir, [dah akan berjalan seorang
saja. Bagus film yang baru ini, Raden?"
Bapak Zuraidahitu duduk di kursi yang di seberang meja bundaritu,
berhadapan dengan bakal menantunya.
Mr. Suleman bangkit dari kedudukannya, lalu bersalam den gan orang
tua itu dengan hormat. "Rokok, Raden," ujar Bapak Zuraidah pula, sambil menyir"ihkan
tempat rokok perak yang terletak di atas meja itu, "dan, ya, tentu bagus
benar film itu, bukan?"
"Ya, Ayah, ba gus dan permai,"jawab lvlr. Suleman dengan berdusta,
sebab ia tidak melihat film itu. "Sayang Bapak sendiri tidak
Perkataan im tiada diteruskannya, karena Zuraidahnampak men dekati
mereka itu, setelah bertukar pakaian. Sederhana, pakaian dalam rumah,
tetapi tak kurang menarik pemandangan. Ia pun duduk ke sisi ayahnya.
Akan tetapi, baru sebentar ia duduk di kursi besar yang empuk itu,
ayahnya bangkit berdiri dan berjalan ke dalam dan tidak keluar"luar


Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Mr. Suleman mengambil majalah Diana Film dari atas meja, lalu di
balik"baliknya. Ia tidak hendak membaca, hanya sekadar akan memberi
jalan kepada pikirannya, supaya terhadap kepada suatu tujuan. Ia tidak
mau memulai bercakap"cakap, tetapi siap menanti Dalam pada itu
N Sa fanny 03.4 &P "!: V mmm-namum.- B:.Ilj nama bujang datang menghi"dangkan dua mangkuk teh dan kue"kue dalam
pales di hadapan mereka itu. Setelah ia berbalik ke ruang dalam kembali,
Zuraidah memandang kepada Suleman dengan sudut matanya. Ketika itu
Suleman sedang menunduk kepada majalah itu, seakan"akan sangat asyik
memperhatikan gambar seorang bintang film.
Pada pandang dan air muka gadis itu kelihatan gerak perubahan
semangatnya. Kadang"kadang terbayang kasih sayangnya terhadap
kepada tunangannya, yang gagah dan elok itu, dan kadang"kadang ia
pun mencibirkan bibirnya yang merah ber-gincu itu. Dalam ia berhal
sedemikian, sedang hatinya dan nafsunya berbantah"bantahan, Suleman
mengangkatkan kepalanya. Tiba"tiba matanya bertemu dengan mata
kekasihnya, dan Zuraidah pun tersenyum manis.
Hilangmarah, lenyap kesal darikalbu Suleman. Gerakbibir gadis yang
manis itu telah menimbulkan rasa gairah di dalam hatinya. Ia telah kena
pesona gaib pula. Tak putus"putus pujiannya akan kecantikan tunangannya
itu. Ia menarik napas panjang seraya membenarkan bisik desus orang,
"Patut segala laki"laki tergila"gila akan dia. Tak ada cacat cela parasnya
dan tubuhnya. Bibirnya, dagunya, hidungnya, raut mukanya, ya, segala
bahagian badannya seolah"olah dijadikan Tuhan untuk membangkitkan
rasa rindu"berahi orang saja." Akan tetapi, sejurus kemudian ia pun
menundukkan kepalanya, karena perasaannya itu sekonyong"konyong
dibantah oleh gerak hatinya.
Kecantikan lahir tidak sama dengan keelokan atau kesucian batin.
Hati Zuraidah keras sebagai batu. Hidupnya dikemudikan oleh hawa
nafsunya. Ia bertunangan dengan Suleman, sebagian karena laki"laki
itu menarik hatinya, tetapi sebagian pula karena ia percaya bahwa pada
suatu masa Suleman akan beroleh kedudukan yang tinggi dan utama
di dalam masyarakat. Dengan demikian tentu ia akan berdiri di sisinya
sebagai seorang isui yang berderajat mulia, akan dapat melepaskan nafsu
keduniaannya dengan sesuka"suka hatinya.
"Telah dingin air teh, Man," ujar Zuraidah dengan manis sehingga
Suleman mau tak mau menegakkan kepalanya pula, "mari kita minum."
Mr. Suleman memandang kepadanya, seakan"akan hendak
mengeluarkan perasaannya.
"lvlinum dahulu," ujar Zuraidah pula, seakan"akan ia tahu akan gerak
hati orang muda itu. Ia pun mengulurkan tangannya yang halus, sedang
61) TW lb" Dasa 75 : u."..f'" dijari manisnya bersinar"sinar cincin berlian ke cangkir teh yang terletak
di dekatnya. "Nanti tempelak menempelak."
Ketika itu sedikit pun tiada kelihatan lagi manisnya. Air mukanya
masam dan bunyi suaranya keras seperti memerintah.
Suleman terkejut pula, tetapi ia pun minum dan makan kue sekarat.
Sudah itu ia merokok sebatang. Zuraidah berkata sekali lagi, ujarnya, "Nah,
sekarang telah agak terang kabut, coba katakan apa kehendak hatimu."
"Aku tak mengerti tingkahmu pada malam ini, [dah," kata Suleman
dengan sabar, "seakan"akan
"Teruskan." "Seakan"akan ada yang tak enak pada hatimu terhadap kepada
diriku." "Memang, tadi telah kukatakan, bukan" Lain daripada itu aku
mendapat kabar, bahwa engkau di dalam susah. Maskapai Kincir-Mataram
pailit. Engkau pun kerugian pula. Benar itu?"
"Jadi kalau aku mendapat rugi, engkau
"Aku bersusah hati pula, kehendakmu?"
"Sekali kali aku tak berkehendak demikian. Akan tetapi, siapa yang
menceritakan hal itu kep adamu?"
"Tak perlu ditanyakan, sebab kabar itu pecah sudah."
Mr. Suleman telah tahu, siapayang memecah kabar itu. Lain tidak Mr.
Bakri, oleh karena tiap"tiap kerugiannya akan men"datangkan keuntungan
kepadanya, terhadap gadis itu. Oleh sebab itu, ia pun berkata dengan lurus,
"Benar, Idah. Habis segala har-taku. Mungkin aku ibarat belajar akan
bermula dari airflha"ra pula. Engkau harus menanti dengan sabar."
"Apa katamu?" tanya gadis itu. "Tentu saja engkau harus segera
berdaya upaya, supaya mendapat uang akan melepaskan diri daripada
kesusahan itu. Paman Penghulu Cianjur, misalnya, tentu bisa membantu
engkau." Mr. Suleman mengernyitkan alis matanya.
"Sesen pun aku tak mau minta bantu kepada Paman Penghulu,"
katanya. "Jadi Man lebih suka melarat, lebih suka kemalanganmu itu tersebar
di seluruh dunia" Dan sedang engkau mengakas"ngakas mencari makan
seperti ayam, sangkamu, aku akan sudi menantikan" Tidak, sobat, terima
kasih." N Sa fanny _-_.';_.-.' 6!)
:": mmm-namum.- B:.Ilj nama Mendenging telinga Suleman mendengar perkataan yang kasar
itu. Seolah"olah ia tidak berhadapan dengan gadis bangsanya Ia pun
terperanjat menantang matanya, lalu katanya, "Zuraidah
"Ya, apa boleh buat! Aku hendak hidup senang, bukan hendak
menumpang biduk tiris. Tak mungkin lagi
Baru hingga itu cakapnya, Raden Kusuma "ayah Zuraidah" datang
ke serambi muka kembali. Diam, seorang pun tak ada yang membuka
mulut beberapa detik lamanya. Raden Kusuma duduk ke sisi Suleman,
lalu memasang rokok, dan Suleman pun mengambil rokok sebatang
lagi. Geraknya tak ubah sebagai mesin, sambil menengadah ke loteng.
Sementara itu Zuraidah bangkit berdiri dan masuk ke dalam.
Suleman terkejut. Rokoknya yang baru separuh habis, dibuang"
kannya. Ia pun bermohon diri kepada bakal mentuanya, akan pulang ke
rumahnya. "Buru"buru saja" Makan di sini, barangkali Zuraidah menyajikan
makanan." "Maaf Ayah," dan ia pun tegak dari kursinya, seraya meng"ulurkan
tangannya kepada orang tua itu. "Ayah sampaikan saja salam saya
kepadanya." Mr. Suleman berjalan ke halaman, lalu terus ke otonya, sedang R.
Kusuma tercengang sebagai orang bisu.
Tak lama antaranya kendaraan itu pun telah berlari membawa
Suleman ke Jatinegara dengan kencang.
Sesampai ke rumahnya, ahli hukum yang muda itu terus masuk ke
dalam biliknya. Pikir-annya berkacau"balau, badannya seperti bayang"
bayang. Malapetaka yangmahahebat sudah terbayang dimatanya, bahaya
yang akan menimpa dirinya dan sukmanya. Sudah tampak"tampak olehnya
apa yang akan terjadi. Ketika itu barulah ia insaf benar"benar akan fiil
perangai, adat tabiat gadis yang cantik itu. Ia pun maklum, bahwa ia telah
tertipu. Zur-aidah sekali"kalitidak cinta kepad anya, melainkan beringinkan
hartanya dan derajatnya. Dari pihak dia sendiri rasanya tiada ketinggalan apa"apa lagi. Apa
kehendak perempuan itu sudah diperlakukannya, dan perasaannya ]pun
selalu ditandainya sebagai menantang minyak penuh. Tetapi balasnya"
Baru terdengar ia akanjatuh rugi, baru dalam kesempitan saja, Zuraidah
telah membalik belakang daripadanya. Ah, perempuan
613 Tur"arr lb" Dasa ?"
: u."..f'" Lama Suleman diharu biru pikiran sedemikian. Meskipun ia telah
makan, telah duduk bermenung bersunyi"sunyi di dalam gelap di serambi
rumahnya, telah merokok putus berulas, tetapi pikirannya masih terhadap
kepada tingkah Zuraidah tadijua. Dalam pada itu seorang anak muda
berkereta angin masuk ke dalam pekarangannya. Sangka Suleman,
tentu tukang pos, sebab pos malam biasa datang pukul sepuluh. Bukan,
melainkan bujang Zuraidah membawa sepucuk surat dan sebuah kotak
kecil bagi dia. "Untuk juragan Suleman dari enden Zuraidah," katanya dengan
takzim, sambil mengunjukkan kedua macam barang itu ke tangan Mr.
Suleman, yang berbaring di kursimalas.
"Terima kasih," kata Suleman, dan bujang itu pun berbalik ke Gang
Ajudan kembali Orang muda itu bangkit berdiri, lalu masuk ke dalam kamar"nya.
Dengan hati berdebar"debar surat itu pun dibukanya dan dibacanya:
Tug Mr. Sulemanyang terz'i(IW"matJ
Menyambung percakapan kita tadi baiklah sekarang saya katakan.
lag"r. dengan tegasJ bakwa saya tak dapat menarik-kan Tuan mulai mengaji-
dan' akf"ha"ta. Bukan demikian ttg-um luar" saja. Sebab itu lebih baik
kita kembali bersahabat saja. Tuan Kita putuskan. pertalian kita Pada
malam ini. Bersama ini saya kt'n'mkm pemberian Tum dakulu: sebentuk cincin
tanda bertunangan"Harap Tuan terima kembali dengan selmat
Wassalam, Zur-afdal: Berkunang"kunang pemandangan orang muda itu. Marah, berang,
sedih dan iba hati berganti"gantimengacau kalbunya. Suratitu diremasnya
dan kotak kecil itu pun hendak dicampak"kannya. Tidak ada malu semalu
itu! Ia seorang laki"laki, diperbuat perempuan sebagai sebuah kelereng
yang tak berharga sepeser jua pun. Dibuangnya, dilantingkannya,
bilamana tidak berguna lagi kepadanya. Ia pun bangkit berdiri, hendak
pergi menyerang gadis yang congkak itu.
Akan tetapi, tiba"tiba ia duduk kembali, terperanyak, sambil memegang
kepalanya dengan kedua belah tangannya. 'Wahai," pikirnya, "mengapa
N .si fanny 03.4 &P "!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
sampai hati dia memperlakukan daku serupa itu, mengapa selancang itu
benar mulutnya, memutuskan perjanjian yangtelah diucapkannya den gan
lidahnya sendiri di hadapan ayahnya kepadaku, bahwa dia cinta akan daku
dan suka menjadi is1riku kelak" Padahal janji itu telah kuterima dengan
janji pula, bahwasanya aku akan sehidup semati dengan dia. Meskipun
janji sedemikian belum dikunci dengan kabul nikah, tetapi pertunangan
sudah berarti sumpah setia yang harus dipelihara dan ditepati dengan
sebaik"baiknya. Sekarangpertunangan itu diputuskan oleh satu pihak saja,
dengan tidak membuktikan kesalahan pihak yang lain. Apa kesalahanku
terhadap kepadanya" Betul bertunangan itu berartijua mengadu ujung
penjahit, tinjau meninjautingkah laku dan batin sertacinta masing"masing.
Kalau tinjauan itu tidak memuaskan hati, memang salah satu pihak berhak
akan mengundurkan diri, tetapi apakah kekurangan batinku atau cintaku
kepadanya" Apa gerangan yang takkan memuaskan hatinya?"
Suleman menggeleng"gelengkan kepalanya. Sementara itu darahnya
yang panas mendidih tadiitu pun berangsur"angsur dingin pula. Sejurus
kemudian timbullah sifat laki"laki yang berakal di dalam dirinya.
"Ya, kini aku insaf sudah," katanya dengan tegas, "bahwa hal semacam
itu sudah biasa kerap kali terdapat pada perempuan congkak, ya,
perempuan yang dimanja"manjakan. Ia cuma ingat akan dirinya sendiri.
Cintanya tiada lain dari perhitungan laba rugi Oleh karena itu ia boleh
dikatakan tidak berhati berjantung, bengis dan ganas."
Mr. Suleman bangkit berdiri lalu pergi ke tempat tidurnya. Maka
dicobanya berbaring, akan menghilangkan segala kejadian itu dari
ingatannya. Bila ia tertidur, ia tidak tahu. Akan tetapi, ketika ayam berkokok
berbalas"balasan dan murai berkicau dengan riuh rendah, ia masihjaga,
sebab sekaliannya itu jelas terdengar olehnya.
Ketika ia dibangunkan oleh bujang-nya, hari sudah tinggi. Hampir
pukul sembilan. Dengan segera ia pergi ke belakang. Kemudian ia
berpakaian, minum teh dan naik ke oto yang telah menanti di halaman.
Ia akan berjuang pula dalam kehidupan dengan tenaga baru dan hati
berani. Segala yang dipercayainya selama ini "cinta perempuan yang
dipujanya; persahabatan laki"laki yang telah lama bekerja bersama"sama
dengan dia" sekaliannya itu lenyap sudah darikenang"kenangannya. Lebih
613 Tur"arr ke Desa hebat lagi, sebenarnya cinta dan persahabatan itu tidak ada sekali"kali,
katanya. Kini ia akan berusaha, akan bekerja pula seorang diri. Dengan
tidak berkawan dan bercinta! Dikatupkannya mulutnya, digertakkannya
gerahamnya. "Mereka itu tidak ubah sebagai setan, iblis, yangbersukacita
melihat kemelaratan seorangmanusia," pikirnya. Secara itu Zuraidah dan
Mr. Bakri tampak dimatanya.
Ia berharap akan bertemu dikantor dengan Mr. Bakri Sudah dikira"
kirakannya apa yang akan dikatakannya kepada sekutunya itu. Akan
tetapi, rupanya sudah didengarnya dari mulut Zuraidah hal ihwalnya.
Sebab itu ia tidak mau berhadap"hadapan muka dengan dia lagi. Maka
ditulisnya sepucuk surat, disuruhnya letakkan di atas meja meester muda
itu. Dalam surat itu tersebut, bahwa ia dengan tak disangka"sangka mesti
meninggalkan kota dengan segera.
Air muka Suleman yang keruh, parasnya yang lesu dan cahaya
matanya yangkabur itu menyedihkan hatiSarlini benar"benar Sakit pedih
sebagai disayat"sayat dengan sembilu. Nyata sekali kepadanya, bahwa Mr.
Suleman tidak dapat lagi bekerja dengan otaknya. Ketika ia telah tiga kali
salah menyebutkan isi surat yang akan dibuatnya, ia pun mengalai ke
sandaran kursinya serta mengeluh putus asa.
"Tuan Suleman," ujar Sartini memberanikan diri, "apa sebabnya
Tuan tidak beristirahat" Rupanya Tuan hari ini sangat payah, tak cakap
bekerja lagi." Sekali"kali tak terpikir oleh gadis itu, bahwa ia akan seberani itu
memberi ingat kepada induk semangnya.
Demi didengar Suleman nasihat itu, ia pun duduk lurus"lurus dan
memandang tenang"tenang kepada gadis yang bekerja di hadapannya
itu. Kemudian ia tertawa dengan geli hatinya. "Baru habis cuti bukan"
Tapi sebentar lagi banyak waktu untuk beristirahat panjang," katanya.
"Sebab itu sekarang sudah perlu rasanya aku memberi ingat kepadamu,
Sartini, bahwa engkau lebih baik mencari pekerjaan lain. Itu pun, kalau
engkau tidak mau tetap bekerja di sini dengan Mr. Bakri. Aku akan pergi
dari kantor ini" Tangan Sartini yang tengah memegang pinsil itu gemetar.
"Maksud Tuan hendak memutuskan kongsi dengan dia" Akan pergi
dari sini" Sangka Tuan, jika terjadi demikian, saya akan bekerja terus di
kantor ini dengan lvlr. Bakri itu?"
N .si fanny _-_.';_.-.' 6!)
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
"Kalau tidak, di mana engkau hendak mencari pekerjaan?"
"Tuan pikir, betulkah Tuan tidak perlu lagi mempergunakan tenaga
saya?" Suleman menggelengkan kepalanya. Sejurus kemudian ia pun berkata
pula, ",Ah lebih baik aku berkata terus terang kepadamu. Tak lama lagi
tentu halku akan diketahui oleh sekalian orang. Aku hampir bangkrut.
Tidak lebih baiklah engkau itu berbuat seperti mereka itu pula, sengaja
menjauhi diri yang tengah dilamun gelombang ini" Mereka itu sudah
mulai Kelihatan oleh Sartini bahwa Suleman berusaha benar"benar akan
menahan hatinya. Sebab terasa olehnya, bahwa ia telah terdorong karena
berang. "Sekali"kali tidak terpikir oleh saya akan menurutkan jejak mereka
itu, "itu pun kalau tidak Tuan paksa,"jawab Sartini dengan hati tetap.
"Kantor ini mesti kutinggalkan."
"Tidak, Tuan akan terlepas dari bahaya itu. Uang Tuan dalam


Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persekutuan cukup untuk bukan!"
"Betul, kalautak ada syarat yangmengalami aku akan mempergunakan
uang itu. Beberapa bulan yang lalu aku percaya, bahwa aku dapat
bertanding tentang perkara uang dengan kawan"kawan. Tapi nyata
salah perbuatanku itu. Lawan ku"sangk akan kawan. Kincir Mataram yang
dalam jaminanku telah kuieinkan menjual andil/saham kepada "kawan"
itu. Rupanya ia bukan sekadar membeli saja, tetapi telah memborong. Ya,
hampir sekalian saham KM. sudah ada di tangan lawanku yang teramat
kaya, yang tak ada bandingnya itu. Siapa orang itu baru aku ketahui,
ketika sudah terlanjur demikian. Akan menghela surut telah sukar, "tak
dapat lagi. Sementara itu lvlr. Bakri mencari"cari lantai terjungkat. Dan
ketika aku perlu akan pertolongannya, diperlihatkannyalah kekuasaannya.
Permintaanku ditolaknya dengan kasar. Perkara itu begini: Kalau sampai
habis bulan initak ada yang lima belas ribu padaku, tentu aku celaka. Tak
dipercayaioranglagi bekerja sebagaipokrol di kota ini Bahkan, siapa tahu,
barangkali tak mungkin lagi Dan pada waktu itu tak ada harapanku
akan men dapat uang penolak bahaya itu."
Sartini tahu betul, bahwa Suleman bercakap tidak dikemudikan
pikir-an la gi. Hampir ia tak ingat, den gan siapa ia memperkatakan hal yang
sulit itu. Asal bercakap saja, hanya terdorong oleh sakit hati. Dan asal
dapat mengeluarkan perasaannya, ia pun berceritera dengan terus terang.
613 Tur"arr ke Desa Supaya keluar isi dadanya, yang menjadikan dia berang dan putus asa.
"Tetapi tak adakah jalan lain untuk menyelesaikan perkara itu?"
tanya gadis itu. Suleman tertawa terkekeh"kekeh sebagai laku orang gila.
"Jalan lain hanya akan diperoleh, kalau Sayid Alwi bin Zahar dapat
dibujuk, supaya sekalian saham yang ada di dalamtangannya, yang sengaja
dibekukannya itu, dijalankan kembali. Baru perusahaan hidup pula dan
aku ter-tolong. Akan tetapi akan mencoba menahan"nahan kehendaknya
yang bengis itu sama dengan mencoba menahan air bah. Apa peduli
orang sebagai dia itu, walaupun sekalian orang jatuh bangkrut karena
perbuatannya?" "Jadi lawan Tuan itu Sayid Alwi bin Zahar," kata Sartini mengulang
perkataan induk semangnya. "Orang Arab yang kaya raya itu, bukan?"
"Ya, raja uang itu," sahut Suleman menganggukkan kepala"nya.
"Seorang yang sangat berpengaruh di tanah Jawa ini. Orang besar dalam
pemerintah hampir semuanya di dalam tangannya. Jadi engkau maklum
sudah, sedikit sekali harapan akan menang bertentangan dengan dia. Ah,
apa dayaku lagi." "Mudah"mudahan saya dapat menolong Tuan," ujar Sartini sambil
menarit napas panjang, "saya akan berusaha melepaskan
Suleman memandang kepadanya. Pada bibirnya kelihatan tertawa
mengejekkan. "Sartini," katanya, "tak ada perempuan yang suka menolong laki"
laki kalau laki"laki itu di dalam kesusahan. Agaknya baik jua, perkaraku
ini tidak di dalam tanganmu. Kalau aku terpaksa minta bantu kepadamu,
barangkali engkau sudah lari lebih dahulu."
"Jangan Tuan berkata begitu. Tidak baik, dan tidak pada tempatnya,
seorang gadis selalu berusaha akan berbuat baik kepada laki"laki, kalau ia
ada menaruh hati barang sedikit padanya."
Perkataan yang akhir itu keluar dari mulut Sartini dengan tidak
diketahuinya. Akan tetapi rupanya perkataan itu tidak diperhatikan oleh
ktr. Suleman. "Segala perempuan," katanya, "cuma kasih ketika udara
tenang dan baik. Kalau turun badai mereka itu tidak tahu betapa cepatnya
mencari tempat berlindung. Tak seorang jua perempuan yang berharga
bagi laki"laki dalam hal itu." Sambil tersenyum ia pun bangkit berdiri
dari kursinya. "Sayang, Sartini, apa boleh bu at! Akan tetapi engkau harus
N .si fanny 03.4 &P "!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
percaya kepadaku, bahwa perkataan itu aku keluarkan karena sudah ada
pengalamanku. Sudah, kembali ke pokok kaji: aku nasihatkan supaya
engkau mencari kerja lain."
"Jadi sudah tetap hati Tuan akan menutup perusahaan ini padahal
tak ada sangkut pautnya dengan kerugian Tuan dalam maskapai kincir
padi itu?" Mr. Suleman duduk kembali, seraya berkata dengan bertambah
sedih. "Betul engkau masih muda, Sartini, belum mengetahui seluk"beluk
perkara. Tak tahu engkau, bahwa orang selalu mengintai"intaikan
kesalahan atau kelemahan seseorang. Lebih"lebih kesalahan dan kelemahan
bangsa kita, bangsa'bumiputra", bangsa Inlander, walau ia masuk bilangan
orang terpelajar sekalipun. Seolah"olah bangsa asing, bangsa Belanda
misalnya, tiada pernah jatuh dalam perusahaannya. Apabila perusahaan
seorang [rdanderjatuh rugi dengan segera mereka itu membuka mulut
sebesar"besarnya. "Lihat," katanya, "meskipun bangsa, "bumipu'o"a" itu
telah terpelajar, telah bergelar Meester ini atau Dokter itu, tapi dalam
perusahaan atau perniagaan mereka itu sama saja: belum bisa berdiri
sendiri Mesti selalu dipimpin oleh orang Barat, jika hendak maju dan
berhasil sedangkan kecakapan bangsa Timurlain saja pun tak terlawan
oleh Inlmder." Sambil berkata demikian dikeluarkannyalah sehelai surat
kabar Belanda yang terbit pagi hari itu dari dalam tasnya. "Engkau baca
ini! Belum tentu lagi aku takkan dapat menentangbahaya itu, surat kabar
sana sudah bersorak"sorak dan mengejekkan bukan aku saja, tetapi telah
merembet"rembet bangsa kita jua, Tini, bahwa [nlander masih dungu
dan bodoh. Aku dicela, baik, karena memang aku telah salah kira dalam
perusahaan itu. Tetapimengapa bangsa kita turut dihinakan pula" Tidak,
Sartini, tak mungkin aku tinggal dalam lingkungan mereka itu lagi, aku
hendak terjun ke golongan lain, yang kuabaikan selama ini."
"Apa maksud Tuan?" tanya Sartini dengan heran.
"Aku telah ditinggalkan tolan sahabat di sini, baik oleh bangsa sendiri
baik pun oleh bangsa asing. Dan oleh perempuan jua. Ya, lebih"lebih
oleh perempuan. Seperti kataku tadi, sudah ada pengalamanku tentang
hal itu." Sartini tidak berkata lagi Hatinya sakit sebagai ditikam dengan
keris. Ia pun keluar dari dalam kamartuannya. Apa gerangan pengalaman
Suleman itu, maka ia berkata semacam itu"
613 Tur"arr ke Desa 52.3
: bi"-'" Jawab pertanyaan itu barulah diperolehnya pada petang hari itu, ketika
ia pulang dari kantor. Tatkala ia turun dari 1rem di Kramat, ia berjumpa
dengan Mariani, seorang bintang film jua. Gadis itu baru datang dari
rumah Zuraidah. Ke telinga Sartini dibisikkannya, bahwa pertalian
Zuraidah dengan lvlr. Suleman telah putus. Demikian katanya ketegasan
Zuraidah sendiri kepadanya.
Sartini terperanj at, "heran! Tapi *ddaklama, sebab tiba"tiba pikirannya
sudah menjalar-melalui beberapa saluran peristiwa yang dialaminya dalam
waktu yang akhir itu. "Kalau begitu," kata kalbunya, "tidak salah apabila
klr. Suleman mencela tingkah laku perempuan Sekalipun ia tidak
dapatmemben arkan pendirian orang muda itu, ketika ia menyamaratakan
segala perempuan. Seolah"olah sekalian kaum ibu itu kasar dan tamak,
hanya ingatkan diri sendiri saja, hanya menyangkutkan cinta kep ada harta
benda saja seperti Zuraidah yang telah meninggalkan dia itu. "Tidak,
"akan engkau lihat kelak, bahwa Zuraidah itu bukan gambaran seluruh
perempuan. Lihat, kalau engkau telah bebas Dengan pikir-an tetap
sedemikian Sartini berjalan cepat"cepat terus ke rumahnya."
.N. 35 liku-dar (dij.- -Wmmmun B:.Ilj Pusuk: Dalam 0122621" wakaf/vina"
rtini diam di Gang Anyar bersama sama dengan
gbunya, yang telah lama menjanda. Almarhum bapaknya dahulu
jadi dokter diMedan dan meninggal dunia di sana.
Sebulan setelah dr. Arjono dimakamkan, jandanya itu berangkat ke
Jakarta beserta dengan dua orang anaknya: Seno dan Sartini. Ia berasal
dari Jawa Tengah tetapi ia tiada mau pulang ke situ, pertama karena
perselisihan lama dengan orang tuanya, kedua karena ia har'us menurut
pesan almarhum suaminya: mendidik Seno sampai jadi dokter, walau
bagaimana jua pun susah penghidupannya.
Demikian asal mulanya Nyonya dr. Arjono tinggal di Jakarta yang
besar dan ramai itu. Sebenarnya ia telah ingin dan rindu akan bersua
dengan ayahnya, bekas bupati yang kaya dan kenamaan. Akan tetapi
apabila teringat olehnya kekerasan orang tuanya itu terhadap kepadanya,
hilanglah rindunya itu. Ia kawin dengan dr. Arjono dahulu tiada seizin
ayahnya. Bupa'tiitu bermaksud hendak mengawinkan dia dengan seorang
bangsawan di kraton Mataram, tetapi ia telah berkasih kasihan dengan
dr. Arjono sejak di bangku sekolah. Oleh sebab itu, kedua muda remaja
itu pun kawin dengan diam diam.
Telah dua orang anaknya, tetapi seorangpun belum bertemu dengan
neneknya. Entah mereka itu ada diaku cucu oleh bupati itu, entah tidak,
Nyonya Ar'jono tiada 'tahu, sebab itu sendiri pun seakan akan 'tidak berayah
lagi. Dahulu ia telah minta ampun dengan surat kepada ayahnya, tetapi
surat itu 'tidak berbalas. Hanya ada kabar terdengar olehnya, bahwa R.M.
Sontomulyo tak menganggap dia anak lagi. Sakit senangnya takkan
dipedulikannya, bahkan harta pusakanya pun "kalau ia berpulang" 'tidak
boleh dibagikan kepadanya atau kepada keturunannya.
Kabar angin, tetapi kabar yang sah tiada pernah diper' olehnya.
.ladi nyata sudah, bahwa Nyonya dr. Arjono harus mencari
penghidupan sendiri, tak dapat mengharapkan pertolongan keluarga.
Akan penambah nambah pensiunnya, yang tak seberapa besarnya, ia pun
terpaksa membiarkan Sartini makan gaji. Kalau tidak, tentu keperluan
sekolah Seno tiada dapat dieukupkan. Betul dr. Arjono ada meninggalkan
pusaka beberapa ribu rupiah, tetapi lama"kelamaan uang itu susut
jua. Akhirnya habis sama sekali, sebab sebagian dibelikannya kepada
rumah batu yang didiaminya itu, dan sebagian lagi dipergunakannya
pembeli perkakas dan buku"buku sekolah anaknya. Akan hal Sartini
tiada dinyusahkan pikirannya. Sebab, setelah Sartini keluar dari sekolah
menengah Sartini sendiri telah berniat hendak menolong ibunya. Ia
berjanji tiada akan kawin, kalau Seno belum jadi dokter.
Akan tetapi cita"cita kedua beranak itu patah di tengah. Baru lulus
dalam ujian kandidat kedua, Seno telah tergoda oleh seorang gadis
peranakan. Kedua merpati itu pun terbang dari Jakarta, sebab merekaitu
tiada dapat kawin dengan sewajarnya. Memang kawin campuran seperti
itu "antara Belanda dengan Inlander" selalu jadi pertikaian pikiran
dalam masyarakatjajahan. Pihak si penjajah, yang menganggap dirinya
senantiasa "tuan", merasa turun derajatnya, kalau perempuan Belanda
kawin dengan laki"laki Indonesia, walau si Indonesia itu berkelebihan
berlipat ganda sekalipun tentang martabat, kedudukan dan lain"lain
sebagainya. Apabila perlainan agama, tidak dapat diabaikan.
Sudah setahun lebih Sartini tinggal berdua saja dengan ibunya
yang telah agak tua itu, tiada bersanak saudara yang damping. Nyonya
dr. Arjono sudah beberapa kali menyuruh dia kawin, kalau sudah ada
jodoh yang disukainya. Memang sudah ada dua tiga orang laki"laki
datang kepadanya, akan meminta Sartini jadi istrinya. Tetapi ia tidak
mau memilih dan memutuskan sendiri Sebagai seorang perempuan yang
telah berpengalaman pahit, ia takkan melakukan paksaan kepada anaknya.
Dan tiap-tiap ia berunding dengan Sartini tentang perkara itu, Sartini
menggelengkan kepala saja. "Dahulu cita-cita saya keluar dari sekolah
hendak bekerja, supaya dapat membantu Ibu mendidik Kak Seno. Kalau
ia telahjadi dokter kelak, tentu ia dapat memelihara Ibu," katanya dengan
sungguh"sungguh. "Sekarang saya sudah bekerja, untuk Ibu semata"
mata, jadijangan disebut"sebutjua perkara kawin itu. Takkan terlampau.
Yang perlu kini ialah menambah"nambah pensiun Ibu. Kalau saya tak
bei-pencarian, pajak tanah dan pajak rumah kita ini saja pun tidak dapat
dibayar dengan pensiun Ibu itu, bukan?"
N. .se mms" _-_.';_.-.' 6P
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Sejak itu Nyonya dr. Arjono tidak mau lagimenyeb ut"nyeb ut perkara
itu. Ia sudah menyerah saja kepada nasib dan takdir. Istimewa pula, ia
sangat pereaya kepada keteguhan iman anaknya, yakin, bahwa Sartini
sanggup menjaga kehormatan dirinya dan orang tuanya.
Kawan Sartini tidak banyak. Akan tetapi, kalau ada seorang dua
temannya, mereka itu benar"benar kawan sehati belaka. Di antaranya ada
seorang yangkan'b sekali, yaitu R.A. Marlinah, mahasiswa Sekolah Tinggi
Kedokteran. Dahulu gadis itu sekelas dengan dia di AMS" dan ketika
Marlinah masuk ke Sekolah Tinggi Kedokteran itu, diperkenalkannyalah
dengan kakaknya. Alangkah senang hatinya, kalau hati Seno dapat dipikatnya. Akan
tetapi kakaknya itu terpikat lebih dahulu oleh gadis lain, yang tidak
seagama dan tidak pula sebangsa dengan dia. Sejak itu R.A. Marlinah
dipandang Sartini sebagai saudaranya, yangtelah hilangitu.
Ketika ia sampai di rumah petang hari, sesudah mendengar kabar
tentang haer. Suleman itu, dilihatnya Marlinah duduk di serambi muka
dengan ibunya. Ia pun segera masuk ke pekarangan dengan riang, seraya
berkata, "Sungguh engkau akan panjang umur, Linah. Baru teringat
olehku, sudah ada engkau menunggu aku." Dan ia pun naik ke serambi,
lalu berjabat tangan dengan gadis itu.
"Tetapi aku kecewa, sebab baru sebentar ini saja rupanya aku teringat
olehmu. Selama ini ke mana ingatanmu, Tini?" ujar Marlinah, sambil
menarik tangan Sartini, supaya ia duduk dekatnya.
"Bukan begitu, Linah. Benar: pucuk dicinta ulam tiba Tetapinanti
seeeeah, aku payah benar bekerja sehari ini Aku ganti pakaian sebentar.
"Dengan tak menantikan jawab sahabatnya, ia pun masuk ke dalam,
diturutkan oleh ibunya dengan matanya.
"Manis betul anak Ibu itu," kata Marlinah lambat"lambat kepada
Nyonya Arjono, setelah Sartini hilang di ruang tengah. "Baik hati dan
riang." "Tetapi dalam beberapa hariini lesu benaria rupanya," sahut Nyonya
Arjono seraya menarik napas panjang. "Sungguh berat kerjanya
Lampu lis'uik sudah terpasang, sehingga serambi itu telah terang
benderang. Marlinah meneruskan percakapan dengan ibu yang ramah
S &gmmeMaEdelbareSaFmI SMA.
61) TW h" Dew 2"
: bi"-'" itu, tak tahu, bahwa hari bertambah malam jua. Sartini sudah selesai
daripada mandi dan menukar pakaian, lalu duduk ke dekat sahabatnya.
Ketika itu barulah Nyonya Arjono masuk ke dalam, dan kedua sahabat itu
pun tinggallah bercakap"cakap berdua saja. Mereka itu tanya bertanya,
kalau"kalau mereka ada terpanggil menghadiri perjamuan kawin dr.
Alunad dengan Sulasteri, menteri kepala di Rumah Sakit Umum Negeri
yang akan dilangsungkan petang Sabtu di muka itu.
Mereka itu ada terpanggil, dan sama"sama mencari kawan akan
menghadiri perjamuan itu.
"Bolehjadiperjamuan itu sederhana saja,"kata Marlinah, "tetapitamu"
tamu niscaya orang terpelajar belaka, terutama dokter"dokter."
"Adajua orang kaya"kaya dan orang bes ar"bes ar," ujarSartini, "sebab
langganan dr. Alunadbanyakorang Cina, Arab, dan Belanda dari golongan
ekonomi dan pemerintahan. Kalau aku tak segan kepada Sulasteri yang
baik hati itu, malas aku datang."
"Mengapa?" "Entah, seraya 'di sana' awak."
"Jangan dijauhi. Tetapi, ya, dan aku karena malu kepada dr. Ahmad,"
sahut Marlinah. "Ia asisten guru besar di sekolahku."
"Kalau begitu kita perlu pergi Baik, tetapi apa yang akan kita bawa
dan dengan siapa kita pergi"J Aku tak mau, kalau kita berdua saja."
"Bersama"sama dengan kakakku. Ia terpanggil jua."
"Bagus." Setelah ditetapkan oleh mereka itu syarat"syarat akan menghadiri
perjamuan itu, baik tentang pakaian baik pun tentang pembawaan dan


Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain"lain, Marlinah mohon diri hendak pulang. Tak mau ia ditahan Sartini
akan makan, sebab di rumahnya ada pula tamunya.
Waktu panggilan itu datang sudah. Sartini telah selesai berdandan,
sederhana, tidak berlebih"lebihan, tetapi cukup menambah sari semarak
parasnya, karena segala pakaian dan perhiasan yang dikenakannya itu
sepadan dengan bemuk dan warna tubuhnya yang molek itu.
Sebentar antaranya Marlinah serta kakaknya datan g. Keduanya pun
telah berpakaian dengan sebaik"baiknya.
Ketiga mereka itu berangkat dengan oto yang telah menanti di
halaman, dilepas oleh ibu Sartini dengan ramah tamah.
N. .se mms" .-_-':_-i &P
"!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Kendaraan itu menuju arah ke Orange Boulevardtke rumah pengantin
itu. Sesampai ke sana, dilihatnya jamu sudah hadir. Tidak banyak, tetapi
semuanya orang besar"besar dan kaya"kaya. Oto sedan berderet"deret
menanti dihalaman, dan di tepijalan juga. Malu dan segan ketika mereka
itu masuk. Rumah yang besar dan indah itu penuh dengan bunga"bungaan
yang indah bersemarak, kiriman sahabat kenalan kedua belah pihaknya.
Ketiga tamu muda remaja itu melangkah ke dalam dengan tertib
sopan, terus berjalan ke tempat pengantin bersanding di pelaminan yang
dilingkungi dengan pelbagaiperhiasan dan karangan bunga, lalu memberi
selamat kepada keduanya. Mereka itu disambut oleh kedua pengantin itu den gan gembira.
Kemudian mereka itu pun disilakan orang duduk ditempat kehormatan. .Di
dekatnya sudah ada beberapa orang perempuan. Ada yang dikenalnya, ada
pula yang tidak. Akan tetapi. salam mereka itu disambut oleh sekaliannya
dengan sopan santun. Seorang perempuan muda yang dikenal oleh Sartini, isu-i dokter
jua, pindah duduk ke dekatnya. Mereka itu pun bercakap"cakap dengan
perlahan"lahan. Sekonyon g"konyong sekalian mata memandang kepada seorang laki"
laki, yang baru masuk dan terus menuju kepada pengantin. Isu-i dokter
itu pun berbisik ke telinga Sartini Sayid Alwi bin Zahar.
Sartini terkejut, agak pucat mukanya. Ia pun memperkatup"kan kedua
belah tangannya. Ketika orang kaya yang kenamaan itu menoleh ke kiri
dan ke kanan sambil membalas salam orang kepadanya, tampaklah oleh
Sartinibentuk dan rupanya denganjelas. Badannya besar tinggi, mukanya
hitam berbekas cambang yang dicukur habis dan kumisnya yang tebal
digunting dan ditinggalkan teronggok sedikit dibawah hidung. Jarinya
yang besar"besar penuh dengan cincin berlian yang kilau"kilauan dan
gemerlapan sinarnya. Seketika jua pikiran Sartini melayang kepada hal yang terjadi pada
diri induk semangnya. Tidak tersangka sedikitjua dalam hatinya, bahwa
ia akan bersama"sama atau bersua pada malam itu dengan orang, yang
hendak mencelakakan Mr. Suleman itu. Bukan buatan sakit hatinya.
4. Sekarang: Jalan Diponegoro.
613 TW ke Dew Makanan dan minuman diedarkanjenang. Sementara makan, orang
bercakap-cakap jua. Ada yang berpindah duduk ke dekat kenalannya
supaya agak bebas perasaan sedang "berjuang" itu. Marlinah telah asyik
berkelakar dengan kawannya sesekolah, kakaknya dengan seorang gadis
dan Sartini dengan istri dokter yang muda dan elok itu. Sayid Alwi
bin Zahar datang ke dekat mereka itu dan memberi hormat dengan
menganggukkan kepalanya yang besar itu.
"0, Tuan Alwi," kata nyonya dokter itu. "Saya perkenalkan: ini "ia
menunjuk kepada Sartini" Nona R.A. Sartini Arjono. Silakan duduk,
Tuan." Sartini duduk baik"baik ketika diperkenalkan itu, tetapihatinya amat
pedih rasanya. Entah apa sebabnya, bencinya telah timbul saja.
"Kebetulan sekali," kata Sayid Alwi bin Zahar kepada Sartini serta
duduk di kursi yang diduduki Marlinah tadi, di sebelah kanannya, "pada
suatu hari saya telah melihat Nona di tengah jalan."
"Saya?" ujar Sartini dengan heran. "Saya kira Tuan sesat."
"Tak pernah saya lupa akan rupa orang, apalagiparas Nona sendiri,"
sahut Sayid Alwi bin Zahar dengan senyumnya. "Kemarin dahulu Nona
berdiri di simpang empat belakang Javasche Bank. Saya tidak sesat
bukan?" Sartini kemalu"maluan memandang kepadanya.
"Jadi benar," ujar Sayid Alwi bin Zahar pula sambil tertawa"tawa.
"Kata saya ketika itu kepada diri saya: tentu saya akan berjumpa pula
dengan gadis itu kelak. Sebab, apabila saya berhajatkan sesuatu, niscaya
dikabulkan Tuhan." Nyonya dokterterkekeh"kekeh memperolok"olokkan Sartini dengan
geli hatinya: "Awas, Dik, Tuan Sayid Alwi dikasihani Allah." Akan tetapi,
ia tiada dapat terus mencampuripercakapan itu, seb ab ia harus menjawab
beberapa pertanyaan orang yang duduk di sebelah kanannya.
Rupanya hal itu menjadi suatu keuntungan pula bagi Sayid Alwi
bin Zahar, karena dengan demikian ia dapat berdua saja meneruskan
percakapan dengan Sartini yang telah gelisah itu. Memang, dan ia pun
bertambah benci kepada orang tua itu. Mau ia bangkit berdiri, duduk ke
tempat lain, tetapi terasa olehnya: kurang sopan pula berbuat demikian.
Oleh sebab itu, mau tak mau didengarkannya jua cakap orang itu dan
dij aw abnya sepatah"sepatah, mana yang dirasanya patut dijawabnya.
N .se film:-dar .-_-':_-i &P
"!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
"Jarang sekali kita bersua, Nona Sartini, apa sebabnya?"
Sartini tak lekas menjawab, sebab pertanyaan itu ganjil dan lancang
sekali Ia berasa dihinakan, tetapi akhirnya ia pun berkata jua dengan
senyuinnya, "Sebab dunia kita berlainan, Tuan. Saya ini hanya juru tulis
seorang pokrol, sedang Tuan boleh menghitam memutihkan dunia ini.
Ketika Tuan melihat saya kemarin dahulu itu, saya hendak ke kantor."
Sayid Alwi bin lahar-tertegun men den garj awab gadis itu. Berani dan
tegas, tetapi menarik hati. Muka Sartini dipandanginya tenang"tenang.
Ketika itu terasa oleh gadis itu, bahwa ia sedang berhadapan dengan
seekor ular bis a. "Tidak patut Nona bekerja jadi juru tulis," katanya. "Gadis rupawan
sebagai Nona ini dapat mengutak"ngatildtan laki"laki."
Merah padam muka Sartini mendengar perkataan yang di luar batas
kesopanan itu. Malu dan berang hatinya. Kalau ia tak tahu dan insaf, bahwa
ia dalam perjamuan, niscaya orang kaya yang tak tahu adat itu dimakinya.
Atau ia beranjak duduk ke tempat lain. Akan tetapi kesopanan dirinya
menyuruh dia menjawab dengan manis, "Sekali"kali saya tak berniat akan
berbuat semacam itu. Berbahaya kalau terlalu berkuasa, Tuan."
Orang kaya itu tertawa. 'Tak ada yang lebih baik di atas dunia ini
daripada kekuasaan," katanya dengan sombongnya.
"Kekuasaan hendak menekan orang lemah?" sahut Sartini dengan
berani. "Tak ada yang seburuk itu, pikir saya."
"Jadi Nona pikir, kekuasaan itu selalu merusakkan akibatnya"
Bagaimana pikiran Nona tentang kekuasaan yang membangkitkan
serta mendorong, supaya derajat manusia bertambah tinggi" Buruk
juga?" Dengan tak menantikan jawab gadis itu, ia pun terus bertanya,
"Dan kata Nona tadi, Nona jadi juru tulis pokrol, dan pokrol bangsa
apa?" "Bangsa saya sendiri."
"Hum, mengapa 1idakbangsa Belanda, misalnya. Sebab pokrol bangsa
ya, bagaimana timbangan Nona, kalau Nona jadi juru tulis saya?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya, sedang badannya telah gemetar
karena marah. Akan tetapi dapat ditahannya. "Tidak," katanya, "terima
kasih. Saya senangbekerja dengan bangsa saya sendiri, walaupun dimata
Tuan bangsa saya itu lemah, "dapat dipengapa"apakan saja."
61) TW .he BERI Sartini dipandangi oleh Sayid Alwi bin Zahar sebentar dengan tajam.
Jalan darahnya cepatrasanya. Pandang darijauh sungguh berlain dengan
pandang dari dekat ya, apa jua pun niat maksud yang terkandung
di dalam kalbunya terhadap kepada gadis itu, baik atau buruk, demi
diperhatikannya benar"benar paras dan gayanya, maka maksudnya yang
gaib itu pun semakin berurat berakar dengan kuatnya. Bahkan di dalam
dirinya sudah bergelora semacam perasaan, yang hampir"hampir tiada
dapat ditahan"tahannya. Keberanian ketangkasan dan terutamakecantikan
Sartini telah menetapkan hatinya, akan berkenalan benar"benar dengan
dia berkenalan, supaya Sartini dapat dimilikinya lahir dan batinnya.
"Nona Sartini," ujarnya dengan lemah lembut, "sudah saya nyatakan
tadi dengan terang, bahwa kalau terpikir oleh saya akan mendapat sesuatu
barang, bagaimanajua pun sulitnya, mesti saya perolehjua barangitu. Tak
saya pikirkan bagaimana akibat"nya ataujadinya."
"Sebab Tuan berkuasa."
"Ya, saya berkuasa dan kekuasaan itu senantiasa dapat saya per"
gunakan Demikian telah tetap dalam cita"cita saya, bahwa kita akan
bertemu jua kelak." "Tak berubah lagi pendirian Tuan?" tanya Sartini dengan berang,
sehingga ia lupa, bahwa ia berhadapan dengan orangkaya yang berkuasa.
".l ika saya minta kepada Tuan akan berbuat barang sesuatu, maukah Tuan
mengerjakan?" Sayid Alwi bin Zahar- tersenyum. "Bergantung kepada keadaan,"
katanya. "Tapi tak ada suatu rintangan bagi Nona akan minta tolong
kepada saya." Demi diden garSartini perkataan yang akhir itu, sekonyon g"konyong
besarlah hatinya. Hilang segala takutnya, sebab ia telah didorong
oleh suatu perasaan yang tiada ternilai dalam kalbunya. "Coba Tuan
pergunakan kekuasaan Tuan bagi suatu perkara. Hentikan percobaan
hendak membinasakan seorang laki"laki, yang teramat perlu bagi sebuah
maskapai kincir padi," katanya.
Sayid Alwi bin Zahar memandang kepada Sartini dengan heran dan
taajub. "Di mana Nona ketahui perkara itu?" tanyanya.
"Tak usah Tuan tanyakan di mana Saya tahu, saya maklum, bahwa
Tuan hendak menghancurkan usaha seseorang yang lurus dan tiada
bersalah." N .se film:-dar _-_.';_.-.' 6P
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
"Omong kosong," jawab orang kaya itu membantah. "Saya hanya
hendak mengajar seorang yang pandir-."
"Menghinakan pula "Ekonomibukan bahagian bangsa Nona. Maksud saya ekonomibesar,
seperti maskapai itu. Padakan saya bertani
"Sudah, jangan Tuan tambah jua luka hati saya. Jadi Tuan tidak
mau?" 'Tidakwalaupun permintaan itu dari seorang perempuan yang seelok"
eloknya. Apalagi, lain daripada niat hendak mengajar orang pandir itu,
perbuatanku itu sesuai pula dengan hasrat dan cita-citaku."
"Hasrat apa gerangan, Tuan?"
"Akan Nona ketahui kelak."
Sartini insaf sudah, bahwa tiada berguna meneruskan percakapan
dengan si kaya itu. "Saya kira," katanya seraya berdiri dari kursinya, "orang seperti Tuan
ini pada suatu ketika akan mendapat ganjaran jua daripada Tuhan. Tak
ada yang Tuan ingat dan pikirkan sepanjang hari, melainkan apa"apa
yang akan jadi laba bagi Tuan sendiri. Dalam pada itu Tuan tidak pula
berjuang dengan lurus, misalnya karena betul"betul Tuan berhajatkan
uang, dan sebagainya. Tidak, uang tidak perlu lagi bagi Tuan, kekayaan
Tuan sudah lebih daripada cukup. Kehormatan dan kemuliaan, ya, sekalian
kemewahan sudah ada padaTuan, tetapiTuan hendak ber-tambah berkuasa
juga. Demikian hasrat atau cita"cita Tuan itu, bukan?"
"Memang! Demikian sifat
"Kapitalis," kata Sartini dengan cepat. "Hendak membubung tinggi
saja! Akan tetapi terlalu tinggi .. . jatuh kata pepatah."
Tak seorang jua, baik laki"laki baik pun perempuan, yang berani
bercakap semacam itu dengan raja uang itu. Tetapi Sartini, entah karena
terlalu pedih hatinya, tidak sedikit jua menahan"nahan tutur katanya.
Ia tidak takut dan gentar melihat sinar matanya yang berapi"api itu
menentang mukanya. Sayid Alwibin Zahar berdiri pula, lalu berkata dengan tenang, "Saya
puji Nona: berani dan cantik."
"Maaf, Tuan, kawan saya telah gelisah. Sudah hendak pulang
rupanya." 613 Tur"rm .hr BERI Orang tua itu pun membungkukkan diri di hadapan gadis itr, dengan
agak dalam, sehingga Sartini undurkebelakang selangkah. Ketika ia telah
berdiri lurus dan tersenyum pula, Sartini mohon diri serta berjalan arah
ke tempat Marlinah dua bersaudara, yang telah tegak menantikan dia.
Ketiga mereka itu pergi kekamar temp atmengumpulkan tanda mata.
Bukan main banyaknya, dan bermacam"macam ragam pemberian orang.
Kemudian mereka itu masuk ke kamar pengantin yang penuh dengan
bunga"bungaan. Bersemarak, indah permai. Demikian jua kamar lain"
lain: cukup lengkap dengan perkakas dan perhiasan yang mahal"mahal
harganya. Setelah selesai daripada melihat"lihat keindahan dan kemewahan itu,
mereka itu pun mohon diri kepada dr. Ahmad suami istri, lalu turun ke
halaman Ketika Sartini akan keluar dari serambi muka, ia menoleh ke kiri
sebemar. Darahnya tersirap, karena matanya bertumbuk pula dengan
mata orang kaya itu. Rupanya ke mana saja Sartini pergi, diturutkannya
dengan pandangan yang tajam.
Di dalam taksi akan pulangSartini berdiam diri saja. Cakap Marlinah
yang riang girang serta memuji"muji alat yang permai itu, dijawabnya
dengan acuh tak acuh, sehingga heran jua hati Marlinah apa gerangan
sebabnya. Ketika Marlinah bertanya mengapa orang kaya itu asyik benar
bercakap"cakap dengan dia, dijawab oleh Sartini dengan pendek: 'Tak
apa"apa. Memang ia sudah kenal akan daku, kerap kali datang ke kantor
advokat Suleman." Demikian Sartini menghilangkan keraguan hati sahabatnya. Tetapi
hatinya sendiritidak dapat diobat"obatnya. Ia sangat berang kepada orang
itu, karena ia hendak mencelakakan Mr. Suleman dan lebih"lebih lagi,
karena daripada gelagatnya kelihatan bahwa ia ada mengandung sesuatu
maksud akan dirinya. Cih, ia jijik
Hampir tak dapat Sartini memejamkan mata semalam"malaman itu.
Sebab itu ketika ia bangun keesokan harinya, badannya sangat lesu rasanya.
Dan pikirannya pun tiada tenang sedikitjua. Biar tenggelam dunia ini,
asal ia tiada bertemu pula dengan orang itu.
Akan tetapi setelah ia makan pagi, hal itu lupa pula olehnya. Pikiran
lain terbit dalam hatinya, tak dapat dipalingkan oleh ma"salah lain"lain.
N .sr hlm-dar 03.4 &P
"!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Apabila ia dapat menolong Mr. Suleman. "Apa saja hartaku di atas dunia
ini, aku serahkan, asal ia tertolong," katanya.
Ia termenung. "Apa saja hartaku di dunia ini," katanya sekali lagi
dengan tiada diketahuinya. Tiba"tiba agak merah warna mukanya,
dan ia pun terlonjak dari kedudukannya. Terbayang pengharapan di
matanya. Sebab itu sejak ia berangkat dari rumah sampai ke kantor tak
lain pikirannya, melainkan hendak mengorbankan apa yang ada padanya
untuk menolong induk semangnya.
Kalau rumah ibunya digadaikannya" Tentu laku lima belas ribu.
Rumah itu besar, masih bagus dan kuat, terdiri di atas tanah ngendoms
Mesti laku, dan uang itu pun cukup penolong Suleman, sehingga ia luput
daripada bahaya. Mungkin" Tentu saja Suleman tidak boleh tahu, bahwa
ia yang menolong. Ya, ia akan menolong Suleman! Pikiran sedemikian


Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiada dapat hilang lagi dari ingatannya.
"Akan tetapi siapa yang akan memegang gadai itu" Kalau dijual,
barangkali ada orangyang mau membelinya. Memegang gadailima belas
ribu rupiah, ah, siapa yangmau berbuat demikian" Apalagi kalau diketahui
orang, bahwa orangyang menggadaiitu sedangtersesak sangat dan gadis
pula, tentu banyak susahnya."
Sehari"harian itu pikirannya berbalik"balik dan berputar"putar pada
perkara itu saja. Kebetulan tatkala hari sudah petang, kantor sudah hampir ditutup,
adalah surat"surat yang harus diantarkannya ke meja induk semangnya.
Ia pun masuk ke kamar pokrol muda itu. Suleman sedang memandang
kejendela dengan tenang. Tetapi tiada tampak olehnya orang lalu lintas
yangramai dijalan raya, jauh di bawah jendela itu. Tia da kelihatan olehnya
bahwa sekelilingnya banyak gudang uang bermiliun"miliun. Kekayaan
besar-, tetapi sekaliannya itu tak dapat menolong dirinya! Air mukanya
dan sinar matanya membayangkan, bahwa ia memandang hanya karena
ada mata saja. Hatinya sedih dan terharu. Bukan kepalangkasihan Sartini
melihat hal itu. "Mr Suleman," katanya dengan lemah lembut.
Orang muda itu pun berpaling kepadanya, dan tersenyum sedikit.
"Betul tak ada harapan Tuan lagi akan mendapat uang?"
.5 Semacam tanah menurut undang"undang Eropa, aro'nya: milik sendiri.
61) Tur"rm .hr Dew 3.5
: bi"-'" Suleman menggelengkan kepala dan sayu rawan: 'Tidak," katanya,
"tak ada yang dapat dijadikan uang. Aku akan duduk menanti di sini,
sampai datang malapetaka itu."
Dengan tangan gemetar surat"surat itu diletakkan oleh Sartini di
atas meja tuannya. Ia pun minta tabik, bermohon akan pulang, lalu keluar
dari kamar yang besar itu.
Suleman duduk lurus"lurus di atas kursinya, sambil berputar ke kiri
dan ke kanan perlahan"lahan. Ketika gadis itu akan hilang di balik daun
pintu, tiba"tiba terbidah suatu perasaan yang ganjil di dalam kalbunya.
Seolah"olah matahari takkan terbenam"benam! Padahal, sampai kepada
saat itu Sartini tak lain baginya melainkanjurutulisnya, anak semangnya,
orang gajiannya yang patuh, rajin dan sopan. Mengapa pada ketika itu
timbul pikiran yang ganjil itu. Padahal ia sudah merasa benci kepada
sekalian perempuan!!! Maka dipegangnya dengan kedua belah tangan kepalanya, yang
pening"pening pikat itu. Ia menekur ke meja, kepada surat"surat yang
diletakkan Sartini itu. Ketika itu teringat benar"benar olehnya, bahwa
rambut Sartini yang hitam lebat itu berombak"ombak di kefiingnya.
.N. Sr film:-dar _'_-'l'.'_',.-
mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Dorongan 015.515 Cinta at Sartini tetap sudah. Ia hendak berdaya upaya
elepaskan Suleman daripada kesusahan, daritekanan kapitalis!
"leh karena tak ada harta bendanya lain daripada rumah yang
didiaminya dengan ibunya itu' ia pun bermaksud hendak menggadaikan
tempat kediaman itu. Bukan ia 'tidak sayang kepada ibunya, bukan tak teringat olehnya
kesusahan yang akan dideritanya, kalau ia telah terpaksa menyewa rumah
kelak, tetapi apa boleh buat. Korban bagi Suleman terasa olehnya lebih
daripada apa jua pun. Malah ia takut akan terlambat, khawatir akan
berubah pula pikirannya. Oleh sebab itu, sesampai ke rumah pada hariitu
jua, dibuatnyalah sebuah iklan yang akan dimuatnya dalam surat surat
kabar. Pada keesokan harinya di pinggirjalan akan ke kantor, iklan itu pun
diserahkannya kepada surat kabar yang terb anyak dibaca orang di .lakarta
dan di luar kota atau di negeri lain lain.
Ketika ia telah masuk ke kamarnya, barulah ia insaf, bahwa ia
telah melakukan suatu pekerjaan besar, suatu perbuatan yang tak patut
diperbuat oleh seorang gadis seperti dia itu. Betul rumah itu tertulis di
atas namanya, rumahnya sendiri, bukan harta ibunya menurut undang
undang, tetapi sebagai seorang anak yang khidmat kepada ibunya,
terpelajar dan terdidik baik baik, patut sekaliia bermufakat dahulu dengan
orang tua itu. Sekarang ia berbuat menurut hasratnya sendiri saja. Sudah
beragak agak tangannya hendak mengangkat telepon, hendak meminta
kepada pemimpin surat surat kabar itu, supaya iklan itu jangan dimuat
dan dipandang sebagai tidak ada saja. Akan tetapi, akhirnya keraguan itu
hilang lenyap oleh kekuatan hatinya akan menolong Suleman. Tak ada
jalan lain lagi, supaya perbuatannya itu tersembunyi dan tidak diketahui
orang, hanya berlaku secara demikian. Jadi iklan itu niscaya akan dibaca
orang petang hari itu. Benar iklan itu sudah dimuat di tempat yang terang dan tertera
dengan huruf tebal dalam surat kabar yang dikehendakinya. Begini
bunyinya: Burung' nape: suhu mmgarrg' gadai sebuah rumh bulu yang besar lagi
kukuh Rprsnoo (fim baja." ribu ngaruh), hendrihhzh berhubungan dzngrrn harus
habar rm- dinganm. Li'l. Sefambat"fambamyapada 34" hari bu.-lan ini. Himpun
rmah yang ahan dagu derham ini Serda-rr di atas seb idang mh mlh-h, di pinggir
gungyung rmm' di hmpungrirnymt
Telah lalu beberapa hari. Sartini sudah berharap-harap akan menerima
surat dari orang yang beringinkan rumah itu. Akan tetapi sepucuk surat
pun tiada datang. Di kantor amat banyak kerjanya, sebab Suleman sedang sibuk
menyiapkan apa"apa yangperlu, kalau kantornya ditutup dan sebagainya.
Kebetulan pada ketika itu, dalam kerja berat dan sulit itu, timbullah
perasaan harga"menghargai di antara kedua mereka itu. Dalam masa itu
terasa oleh Suleman, seolah"olah ia takkan dapat bantuan, jika Sartini
tidak ada di dekatnya. Bagi Sartini nyata perasaan Suleman semacam itu,
lain tidak, karena ia rajin. Tambahan pula, karena dalam waktu yang akhir
itu pikiran Suleman terganggu dan ia pun berasa amat sunyi. Jadi sebagai
perintang"rintang hati, gadis itu pun didekatinya.
Sekali peristiwa, sesudah bekerja berat di kantor itu, Sartini diajak
oleh Suleman makan ke restoran. Ketika itu terasa oleh gadis itu, kalau
ia diajak oleh Suleman makan sedemikian sekali lagi, niscaya ditolaknya.
Ia takut sungguh, kalau"kalau terbuka rahasia hatinya. Sebab lain bemr
perasaannya, kalau ia berjalan bersama"sama dan bercak ap"cakap dengan
orang muda itu tentangperkara yang lain daripada kerja kantor. Tidak, ia
tidak berani menerima budi manis dan basa"basi induk semangnya itu.
Dalam pada itu waktu berjalan juga. Sehari dua hari, sepekan, dua
pekan dan telah sampai pada 50 hari bulan. Kalau dalam dua puluh empat
jam lagi tidak ada orang yang memperhatikan iklan itu, tentu celaka.
Terlambat sudah. Ia tahu, bahwa, Mr. Suleman sampai kepada hari
penghabisan masih berusaha akan meluputkan diri daripada bahaya itu.
Tetapi ia pun insaf pula, bahwa hanya sesuatu yang ajaib, yang akan dapat
memelih arakan dirinya. Padahal, yang aj aib itujarang sekali diperlihatkan
Tuhan di dalam zaman baru ini
Sartini gelisah, tak senang diam lagi. Di dalam 'u-em sepanjang
jalan pulang, tak lain yang dipikirkannya, melainkan hal Suleman
saja. Su dah tampak"tampak olehnya betap a kuyu meester m uda
N .sr Iskandar 03.4 &P
"!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
itu setelah kehilangan kehormatan, dan betapa pula ejekan "san a" terhadap
kepadanya dan bangsanya. Inlander tak sanggup berdiri sendiri
D ari Setasiun Kramat boleh dikatakan Sartini berlari"lari anjing,
supaya lekas tiba di rumah. Dan baru ia sampai ke halaman, diperiksanya
tempat surat lebih dahulu. Ada sepucuk surat bersampul putih persegi
empat panjang, beralamat seperti dalam iklan dan ditulis dengan mesin.
Rupanya surat itu, baru diantarkan kantor surat kabar ke sana. Setelah
diambilnya surat itu, ia pun segera masuk ke dalam. Untung ibunya tiada
kelihatan. Dengan cepat ia terus ke kamarnya.
Sebelum surat itu dibukanya, lebih dahulu diperiksanya capkantorpos.
Jakarta, tetapi si pengirimnya tiada tertulis. Bertambah keras hasratnya
hen dak mengetahui isinya. Dengan tangan gemetar dirobeknyalah
sampulnya. Sehelai surat di atas kertas putih halus dikeluarkannya dari
dalamnya, lalu dibacanya.
D alam surat itu tersebut, bahwa seorang yangberumah di Menteng
No. TS mau memegang gadai dengan harga yang sebanyak dikehendaki
itu, dengan suatu perjanjian yang akan diterangkannya, apalagi orang
yang empunya iklan no. 12 1 itu sudah berunding dengan dia. Oleh sebab
itu, orang itu pun dimintanya datang ke rumahnya pada SD"S"S 9 antara
pukul 6 dengan pukul " malam.
Suratitutidak bertandatangan. Sartinicuriga. Sangkanya, sipengirim
surat itu hendak mempermain"mainkan dia. Surat tawaran semacam itu,
tidak bertanda tangan" Ke Menteng, malam hari, seorang gadis berjalan
seorang diri! Tentu celabetul! Kalau iakelihatan oleh seseorangkawannya,
berjalan seorang diri ke Menteng, ke kampung orang asing, tentu jahat
saja persangkaannya. Sartini gemetar. Tidak mungkin, tidak berani ia ke
sana. Surat itu pun dir-emasnya.
Akan tetapi, kalau ia mau berbuat menurut bunyi surat itu, niscaya
besokSuleman tertolong dan dapat bekerja terus akan mencapaikemaj uan.
Jadi ia takkan terbenam masuk lumpur, melainkan naik ke atas Dan ia
pun cinta akan dia. Sungguh" Kalau benar ia cinta kepadanya, takutkah
ia berkorban sekecil itu" Hanya malu atau gentar akan dipermain"
mainkan orang" Belum tentu, apalagi bukantah ia cakap dan kuasa akan
mempertahankan namanya atau menjaga kehormatannya"
613 Turun .hr Dew Oleh mata hatinya tampak nyata rupa Suleman, yang telah lesu
kuyu karena putus asa. Sekali"kali tak sampai hatinya melihat keadaan
semacam itu. Sehelai dua helai uban telah tumbuh di pelipisnya dalam beberapa
hari itu. Hal itu memutus rangkai jantungnya. Sebab itu ia pun mesti
menolong dia, mesti Pukul enam telah berbunyi di ruang tengah dengan nyaring. Segera
dibasuhnya mukanya, diperbaikinya lekat pakaiannya dan dipupurkannya
bedak sedikit di pipinya dan di lehernya. Setelah itu ia pun pergi keluar.
Baru selan gkah dua langkah dari halaman, kelihatan sebuah taksi
kosong. Ia berkendaraan arah ke Gondangdia, ke kampung orang asing yang
kaya"kaya. Dijalan Menteng, di muka rumah no. '"9 yang besar lagi indah,
taksinya berhenti. Ia melompat keluar
Di muka pintu gerbang ia disambut oleh seorangjongos. Ia heran
melihat laku orang itu, sebagai telah tahu lebih dahulu, bahwa ia akan
datang. Ia pun disilakannya masuk ke pekarangan dengan hormatnya.
Bukan main terperanjat gadis itu, ketika dilihatnya nama yang tertulis di
dinding serambi rumah itu: Sayed rum bin Zizhi-.tr.
Sebagai disengat kalajengking Sartini undur ke belakang. Ketika ia
berpaling hendak keluar kembali, orang kaya itu pun datang dari ruang
tengah serta berkata dengan senyum manis, "Silakan masuk, Nona Sartini,
ke rumahku itu." Gadis itu tidak dapat berbuat apa"apa lagi. Betapa jua pun ia mesti
masuk dan duduk di ruang tengah sebagai mesin.
Bermula ia hendak duduk di serambi muka yang terang saja, tetapi
kata orang kaya itu, "Tidak baik di depan, apalagi perkara yang akan
dibicarakan penting sekali."
Ketika itu baru ia insaf, bahwasanya Sayid Alwi bin Zahar- sangat
berkuasa. Ada sesuatu kekuatan gaib padanya. Ia dapat memaksa orang
tunduk akan dia, walau berkeras bagaimana sekalipun.
"JadiNona lihat," katanya dengan senyumnya, sambil duduk ke kursi di
hadapan Sartini yang tengah termangu"mangu itu, "bahwa kehendak saya
akan berjumpa pula dengan Nona, diperkenankan Tuhan."
N .sr film:-dar _-_.';_.-.' 6!)
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Berapa helai kertas diletakkannya di atas meja, diimpitnya dengan
tempat kaca matanya. Di antara kertas itu kelihatan oleh Sartini guntingan
iklan yang dimuatnya dalam surat kabaritu. Rupanya pandangmata gadis
itu diperhatikannya, sebab ia berkatapula demikian, "Bagaimanapun cerdik
orang yang memasang iklan itu, lama kelamaan dapatjuga saya ketahui
orang itu, yakni Nona sendiri."
Sartini bertambah heran dan tafakur. Dari mana ia tahu, kalau tidak
dari salah seorangpegawai surat kabaritu" Niscaya orang yangmenerima
iklan itu dari tangannya atau pemimpin surat kabar itu sendiri. Ia hendak
menempelak mereka itu, "tak teguh memegang rahasia pers!
"Jangan Nona salah tampa kepada orang lain," ujar Sahid Alwi bin
Zahar sebagai menerka pikiran gadis itu. "Tak ada yang mengatakan
kepada saya bahwa Nona yang empunya iklan itu, bahwa Nona yang
hendak menggadai itu, tetapi saya telah mengira saja demikian. Sebab
itu segera saya katakan kepada Nona, bahwa saya suka menolong Nona
dengan tiada melihat rumah itu lebih dahulu, asal Nona sudi menurut
perjanjian dengan patuh."
Ketika itu baru Sartini mulai membuka mulut, baru berkata, walau
belum pasih sekalipun. Bukan karena ia takut, melainkan karena marah,
mengkal dan sakit hatinya.
"Sekali"kali tak terpikir oleh saya, bahwa saya akan sampai kemari."
"Sungguhpun demikian mungkin saya dapat berguna kepada Nona,
bukan" Istimewa bagi seorang gadis, yang berhajatkan uang lima belas
ribu rupiah." Sartini menggigit bibir, menahan marah dan mengkal hatinya.
Diam beberapa lamanya, sebab orang kaya itu menutup mulut
pula. Akan tetapi, diam sebagai itu banyak benar- artinya, dan sangat
menyesakkan napas gadis itu. Kemudian Sayid Alwi bin Zahar berkata
pula dengan sungguh"sungguh, sebagai memberinasihat kepada anaknya,
"Apa sebab Nona tidak datang atau berkirim surat kepada saya, akan
mengabarkan maksud Nona itu" Iklan semacam itu amat berbahaya.
Mungkin rumah Nona itujatuh ke tangan orang jahat, dan Nona sendiri
tidak selamat atau tidak aman. Jika diketahui orang siapa yang empunya
rumah itu, yakni seorang gadis cantik sebagai Nona tak dapat tidak
dicarinya daya upaya atau tipu muslihat akan memperoleh rumah itu
beserta isinya. Adakah Nona menerima surat lain?"
613 Turun .hr Bem "Tak sepucuk jua," sahut Sartini dengan tiada insaf Ia duduk di situ
sebagai di atas bara hangat, hen dak lari dengan secepat"cepatnya. Seb ab itu
dicobanyalah memberani"beranikan hatinya. Pikir-nya, bagaimanajua pun
takutnya kepada orang itu, pengharapannya cuma tergantung padanya.
Kalau iaberkeras tiada mau berurusan dengan dia, tentu orang yang sangat
dikasihinya akan jadi korban. Kedua belah tangannya diperkatupkannya
keras"keras. Ia pun memandang kepadanya serta berkata pula, "Perjanjian
apa yang akan Tuan hadapkan kepada saya?"
Selintas lalu Sayid Alwi bin Zaharmemandang kepadaSartini dengan
tajam. Rupanya buruk baik perasaan yang timbul dalam hatinya selama
berhadapan dengan gadis juita itu ditimbangnya dengan saksama. Sebab
itu ia pun berkata dengan hati"hati, "Nona hendak menggadaikan rumah
Nona lima belas ribu rupiah dan saya mau memegang gadai sekian, asal
Nona berjanji akan menurut perintah saya enam bulan lamanya. Mau
pergi ke mana saya suruhkan, berhenti kalau saya tegahkan. Dan kalau
saya kehendaki mengikutkan saya, Nona mesti mengikut dengan tak
bertangguh. Jika Nona mau berjanji demikian, sekarang jua akan saya
berikan uang itr ke tangan Nona. Surat gadai boleh kemudian Hal itu
akan saya selesaikan dengan notaris."
"Lebih dahulu harus Tuan terangkan, apa benar maksud Tuan kep ada
diri saya," sahut Sartini dengan hati berdebar"debar.
Orang kaya itu tersenyum.
"Nona sudi mengatakan kepada saya, apakah gunanya bagi Nona
uang sebanyak itu?" Ketika dilihatnya Sartini terkejut, pucat dan menggelengkan
kepalanya, ia pun berkata pula, "Kalau begitu, tak patut Nona tuntut


Turun Ke Desa Karya N. St. Iskandar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya saya menerangkan isi hati saya dengan sejelas"jelasnya. Tapi
saya percaya, Nona suka menurut perintah saya. Sekadar penyenangkan
hati Nona boleh saya bayangkan sedikit, bahwa Nona takkan saya suruh
mencuri atau membunuh orang. Sungguh, sekarang saya tak dap at berkata
dengan terus terang. Akan tetap, seperti saya katakan tempoh hari: hasrat
hatiku akan Nona ketahui kelak. Dan akan Nona lihat dengan segera,
bahwa surat perjanjian sudah saya karangkan. l"Ianya tinggal membubuh
tanda tangan saja lagi."
N .sr film:-dar _-_.';_.-.' 6!)
:": mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
Sayid Alwi bin Zahar tegak berdiri, lalu berjalan ke meja tulisnya.
Kemudian ia berbalik ke muka gadis itu kembali, seraya mengembangkan
sehelai kertas. "Tentu saja boleh Nona ubah atau Nona batalkan isi surat ini,
kalau Nona tidak setuju dengan kehendak saya itu," katanya dengan
senyumnya. Gemetar sendi tulang gadis itu. Ia pun membungkuk ke meja,
sambil menahan kedua belah sikunya dengan lututnya dan memegang
pipinya. Demikian ia duduk sebentar, seraya menatap isi surat itu. Akan
diter'mranya" Dapatkah ia berbuat demikian" Naik darah ke mukanya dan
meremang bulu romanya. Walau orang lain sekalipun membuatperjanjian
itu, bukan Sayid Alwi bin Zahar yang berkuasa itu, takkan jua mau ia
menurut atau membenarkan bunyinya. Tidak! Akan tetapi pula, kalau
tidak diturutnya, ah, terbayang rupa Suleman dihadapannya. Dan ia pun
menyesali dirinya, mengapa dalam waktu sempit semacam itu ia hendak
menarik diri" Ngeri dan gemetar sendi tulangnya
Sementara itu Sayid Alwi bin Zahar berkata pula dengan lemah
lembut. "Lain daripada itu saya dapatjua berjanji kepada Nona, bahwa Nona
akan mendapat apa"apa yang diinginiperempuan; akan bercampur dengan
orang baik"baik, akan tinggal di rumah yang indah. Pendeknya, Nona
akan hidup dengan kemewahan sebagai patut bagi seorang gadis yang
cantik manis." Sartini mengangkatkan kepala dan memandang tenang"tenang
kepadanya. "S aya tak berhaj atkan kekayaan, takberinginkan kemew ahan, katanya
dengan pedih hatinya. "Bagi diri saya sendiritak ada kehendak saya,kecuali
apa yang sudah ada pada saya sekarang ini Lagi pula, Tuan, saya heran,
perjanjian itu tak bersangkut paut dengan perkara gadai itu."
"O, perkara itu mudah. Boleh diurus kemudian, asal isi surat ini
telah Nona setujui dan telah Nona bubuhi tanda tangan," katanya, sambil
mempermainkan tangkai pena emas berlinta dengan jar-inya. "Jadi uang
itu bukan untuk dia," pikirnya. "Untuk kekasihnya?" Akan tetapi, tak ada
waktu baginya akan menyelidiki perkara itu. Ia mar-ah dalam hatinya,
lalu berkata pula agak keras. "Sebuah lagi pertanyaan saya kepada
613 Turun .hr Desa 43 : bi"-'" Nona. Barangkali Nona sudah ber"tunangan?" Dan ketika Sartini
menggelengkan kepala, ujarnya: "Atau hampir bertunangan?"
Gadis itutidakmemandangkepa da orangkaya itu. Akan tetapi, terasa
olehnya bahwa ia seol ah"olah hendak menikam dia den gan matanya yang
tajam sebagai serautitu. Sartini berang akan dirinya, ketika terasa olehnya
darah naik ke kepadanya. "Tidak," katanya dengan suara perlahan"lahan.
"S aya merdeka."
"Baik," kata Sayid Alwi bin Zahar seraya tersenyum masam, "karena
itu bertambah mudah perkara itu. Suatu syarat yang harus disebutkan
jua dalam surat itu, yakni Nona tidak boleh berniat hendak kawin selama
perjanjian itu belum putus."
Sartini tegak dari kursinya. Desakan sukma hendak lari dari situ,
agar maksud yang gda itu dapat diurungkan sebelum terlambat, teramat
keras terasa di dalam kalbunya. Akan tetapi ia berasa pening, sehingga
ia terpaksa berpegang ke sandaran kursi itu, supaya jangan jatuh.
Sungguhpun demikian ia hendak berlari jua ke pintu. Apalagi ia dapat
minta tangguh agak sebentar, supaya dapat menimbang"nimbangperkara
itu dengan tenang dan sabar! Sebentar saja. Akan tetapi tiap"tiap detik
sangat berharga dewasa itu. Keraguan im pun menyebabkan ia berkecilhati
pula Belum cukupkah besar cintanya kepada Suleman, maka ia bimbang
akan menyenangkan hatinya dengan berkorban semacam itu" Atau tidak
berhargakah cintanya itu bagi namanya"
"Saya tunggu ketetapan hati Non a," ujar orang tua itu dengan
sabar. Gadis itu memperhatikan sekeliingmeja tempat surat itu terhampar.
Ia duduk kembali, terperanjak. Air mukanya yang sebentar pucat dan
sebemarmerah itu direnungi oleh raja uang itu. Tampak olehnya, betapa
heba1nya ragu bimbangmenggoda perasaan gadis itu. Tapi ia sebagai acuh
tak aeuh. Tan gkaipena emasnya yang bertinta itu dipermain"mainkannya
jua dengan jarinya yang terhias einein berlian yang berkilau"kilauan itu.
Tak ubah lakunya, pada rasa hati Sartini, sebagai seekor ular naga besar,
yang menganga"ngangakan mulutnya akan menelan mangsanya.
"Kalau tidak kutandatangani surat ini," kata Sartini kepada dirinya,
"niscaya Suleman dalam dua puluh empat jam ini akan masuk penjara.
Hilang namanya yang baik selama"lamanya." Sekonyon g"konyong ia pun
N. Sa Liman -'-?".'i &P
"!: V mmm-namum.- B:.Ilj Pusuk:
berpaling kepada orang kaya itu, serta mengulurkan tangan kanannya.
"Berikan tangkai pena itu," katanya dengan suara tertahan"tahan di
kerongkongannya. "Biar saya
Tangkai pena emas itu pun diunjukkan si kaya itu ke tangan"nya
dengan diam"diam, sambil menunjukkan tempat yang kosong di bawah
surat itu. "Akan tetapi lebih baik Nona baca dahulu isinya, bukan?" katanya.
Maka Sartini pun menurutkan baris"baris surat itu dengan matanya
sebagai digerakkan mesin darikiii ke kanan dan kebalikannya, berulang"
ulang. Pokok isi surat itu, bahwa ia berjanji akan menurut segala kehendak
dan perintah Sayid Alwi bin Zahar dengan tidak bertangguh sedikitjua
pun, sebab ia telah menerima uang tunai daripadanya Rp15.DDD [lima
belas ribu rupiah). Perjanjian itu mulai berlaku pada 1 hari bulan Mei
1933 dan dijaminnya dengan rumahnya yang terdiri di atas tanah milik
di Gang Anyar no. 19 Jakarta.
"Nah, setuju?" tanya Sayid Alwi, ketika dilihatnya Sartini menger"
nyitkan alis matanya. "Darimana Tuan ketahui nomor rumah saya itu" Dalam iklan tidak
saya sebutkan, bukan?"
"Dari penyelidikan. Sebelum uangku keluar, harus kuselidiki dahulu
tukarnya." "Tetapiisi surat ini tidak Tuan selidiki, sehingga waktu "enam bulan"
tidak Tuan sebutkan di dalamnya."
"Perlu disebutkan" Saya tidak berkeberatan," kata si kaya itu dengan
senyumnya. "Baik," uj ar Sartini pula. Dan setelah ayat itu ditambahkannya,
barulah surat perjanjian itu ditandatanganinya.
Kehendaknya berlaku Sungguhpun demikian beberapa lamanya ia masih ragu"ragu dalam
hatinya, sehingga ia lupa akan mengembalikan tangkai pena itu kepada
orangkaya yang berkuasa itu. Kemudian ia pun berdirilurus"lurus, sambil
merenungi tanda tangannya yang tertulis dengan terang itu.
"Terima kasih. Saya percaya, bahwa Nona tak akan menye"sal berbuat
apa yang telah Nona perbuat sekarang ini," ujar Sayid Alwi bin Zahar
seraya mengeringkan tinta pada tanda tangan itu.
613 TW ke [lsm 45 : bi"-'" Pisau Tanduk Hantu 3 Mustika Lidah Naga 4 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 7
^