Pencarian

Untuk Sebuah Pengabdian 1

Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata Bagian 1


Satu Sedari tadi loko hanya duduk termenung menyendiri di atas
sebuah kursi rotan yang sudah tua di ruang tamu rumahnya. Sinar
matanya tampak kosongj menerawang menembus cakrawala. Di
luar, sore itu kelihatan lebih sepi dari biasanya. Sebab, memang
sejak berjam"jam yang lalu gerimis seakan tidak mau berhenti
membasahi bumi dan segala yang tergelar di atasnya. Suasana
seperti ini membuat orang malas ke luar rumah, apalagi untuk
bekerja ke sawah atau ladang mereka.
Joko bangkit dari tempat duduknya, melangkah ke jendela
yang menghadap ke barat. Di situ ia kembali duduk bermenung
diri seperti tadi. Meskipun matanya seperti ingin mendapati
sosok matahari senja yang tersembunyi di balik awan hitam yang
sejak siang tadi telah menutupinya, tetapi sesungguhnya mata
hatinya sedikit pun tidak menangkap apa-apa yang ada dalam
penglihatannya. Pikirannya jauh mengembara ke negeri-negeri
asing di seberang langit ke sebuah kegelisahan yang belakangan
ini selalu berkecamuk tidak henti"henti di benaknya.
Mungkin sudah berminggu-minggu hal seperti itu
dilakukannya. Seolah hidupnya terasa serba salah. Bahkan, ia kini
semakin jarang ke luar rumah untuk bermain"main dengan kawan"
kawan sebaya di kampung seperti biasanya. Dibyo dan Karman,
dua sahabat karibnya sewaktu masih sama"sama sekolah di kota
Bantul dulu, kini sudah lebih lima bulan pergi meninggalkannya
merantau ke Sumatra. Konon mereka kini sudah bekerja di sebuah
perkebunan kelapa sawit milik sebuah perusahaan besar di sana.
Bahkan, bulan yang lalu Karman sudah bisa mengirimkan wesel
untuk orang tuanya. Demikian pula Dibyo, kini ia juga sudah bisa membantu
ayah"ibunya untuk meringankan biaya sekolah ketiga adiknya.
loko merasa iri melihat keberhasilan kedua sahabatnya itu. Itulah
sesun gguhnya yang mem buatnya gelisah tidak karuan belakangan
ini. Namun, ia sendiri tidak mengerti harus bagaimana mengatasi
semua itu. Sudah berkali-kali ia menyampaikan keinginannya
untuk mencoba mengadu nasib di rantau orang kepada ibunya,
tetapi selalu saja gagal. Ibunya selalu melarangnya untuk
pergi meninggalkannya. Begitu juga ketika Dibyo dan Karman
bermaksud mengajaknya serta ke Sumatra dulu, ibunya langsung
menolak permintaannya ketika ia sampaikan hal itu pada malam
harinya. "Dengar baik-baik, Ko,"J ujar ibunya malam itu. "Ibu pada
dasarnya tidak ingin mengekang segala kemauanmu. Meskipun
ibu ini bukan orang berpendidikan, ibu cukup mengerti bagaimana
keinginan anak-anak muda seperti kamu atau kedua-kakakmu yan g
sudah pergi itu. Dulu, Parno dan Bambang juga"-merengek"rengek
sepertimu minta diizinkan pergi merantau..Akhirnya, mereka ibu
izinkan juga karena ibu masih bisa mengharapkanmu membantu
ibu bekerja. Tetapi, sekarang sudah Jain-keadaannya, Ko. Kamu
adalah satu-satunya harapan ibu. Nafri dan Larmin, kedua adikmu
itu, belum bisadiharapkan untuk 'membantu ibu mencari nafkah
guna menghidupi keluarga'kita. Kalau kamu nekat juga mau
meninggalkan ibu dan- kedua adikmu yang belum tahu apa"
apa itu, lalu siapa lag'iiy'ang bisa ibu harapkan untuk mem bantu
menggarap sawah2_-Itulah sebabnya, ibu selalu melarangmu untuk
ikut-ikutan merantau seperu kakak-kakakmu atau kedua temanmu
yang mau berangkat ke Sumatra itu."
"Tetapi, kalau saya terus"terusan menganggur dan hanya
membantu Ibu seperti sekarang ini, bagaimana mungkin kita bisa
mengubah keadaan keluarga kita, Bu. Saya tidak ingin keadaan
keluarga kitaterus hidUpdalam kekurangan seperti ini. Percayalah
Bu, saya hanya ingin membahagiakan Ibu dan melihat kedua adik
saya bisa sekolah setinggi-tingginya. Tidak hanya lulus SPG seperti
saya, kemudian menganggur dan menjadi beban keluarga."
";.- & mmm-namum.- B:.llj Pusuk:
r']oko... loko,"J ucap ibunya yang merasa kewalahan
menghadapi anaknya yang sudah menginjak dewasa itu. r'Kamu
ini tidak mau mengerti perasaan ibu. Semua orang tua tidak
ada yang ingin melihat anaknya hidup susah. Semua orang tua
ingin membuat anak-anaknya menjadi orang kaya, terpandang,
dan hidup senang berkecukupan. Tetapi, ingat Ko, tidak semua
orang tua bisa berhasil menjadikan anaknya seperti itu. Apalagi
ibumu ini. Walau ibu harus selalu bekerja susah"payah setiap
hari, hasilnya hanyamampu menghidUpi keluargadalam keadaan
pas-pasan. Namun, dengan keadaan seperti ini pun ibu sudah
cukUp bersyukur bisa menyekolahkanmu, Suparno, dan Bambang
sampai sekolah lanjutan. Mudah"mudahan bila ibu masih kuat
bekerja, Narti dan ].armin juga bisa melanjutkan sekolahnya kelak
sampai perguruan tinggi."J
"Tetapi, mana mungkin, Bu. Saya saja tidak bisa lagi
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Meskipun Ibu menyuruh
kuliah, bagaimana mungkin saya tega melihat Ibu membanting
tulang setiap hari seorang diri di sawah" Sementara itu, saya enak-
enak menunggu kiriman Ibu setiap bulan."J
"Syukurlah kalau kamu berpikir sampai ke sana, Ko. Itu artinya
kamu sudah menyadari tanggung jawabmu sebagai anak. Apalagi
kamu kini sudah harUS bertindak sebagai anak tertua di rumah ini
setelah kedua kakakmu pergi. Oleh karena itu, ibu harap Narti
dan ].armin kelak bisa kuliah bila mereka mau. Kamu sendiri nanti
tetap membantu ibu sementara adik-adikmu sekolah."
Joko kemudian diam saja mendengarkan ibunya. Ia selalu
merasa tidak cocok dengan pikiran"pikiran ibunya. Walaupun
demikian,iakagum padaketUIUSan hatiibunyadalam membimbing
anak"anaknya, seperti yang dirasakannya selama ini. Akan tetapi,
ia seringkah menganggap pikiran-pikiran ibunya masih terlalu
kolot. r'Bu, pokoknya saya ingin sekali waktu bisa merantau seperti
Mas Bambang dan Mas Parno. Dulu Ibu mengizinkan mereka,
tetapi mengapa sayatidak Bu" Padahal, ini kesempatan, mumpung
saya ada teman. ]adi, senang maupun susah di perantauan akan
bisa ditanggung bersama."J
"Ko, bersabarlah dulu. Tadi kan sudah ibu katakan mengapa
ibu mau mengizinkan kedua kakakmu itu. Kalau sekarang kamu
akan pergi pula seperti mereka, lalu bagaimana dengan ibu dan
adik-adikmu yang masih kecil itu."
"Tetapi, Ibu kan bisa bekerja sendiri. Kalau saya sudah tidak
ada di rumah, mau tidak mau Narti dan ].armin akan belajar
membantu pekerjaan Ibu."J
Kini ibu nya yang diam. Ia sudah tidak tahu lagi harus berkata
bagaimana kepada anaknya yang satu ini. Ia memang menyadari
suatu ketika harus melepas pula kepergian Joko, anak ketiganya
itu. Tetapi, sekarang ini ia benar" benar merasa belum siap.
Tenaga loko sangat ia butuhkan untuk membantu pekerjaannya
sehari"hari menggarap sawah yang cuma tinggal sepetak itu.
Sawah itulah satu"satunya sumber penghasilan untuk menghidUpi
keluarganya. Sepeninggal mendiang suaminya sudah dua petak
sawah dan ladangnya terjual untuk mengongkosi keberangkatan
Suparno dan Bambang, anak pertama dan keduanya, yang satu
per satu meninggalkannya untuk pergi merantau.
?"loko,"J kata ibunya kemudian, "jika saja almarhum ayahmu
masih hidup dan bisa bekerja seperti dulu, tentu keadaan keluarga
kita tidak seperti ini. Tentu ibu tidak pula akan melarangmu
pergi merantau meskipun sangat jauh. Tetapi, kamu harus ingat,
almarhum ayahmu sudah lama meninggalkan kita. Kini kedua
kakakmu juga sudahtidak bisa diharapkan lagi bantuan tenaganya.
Suparno katanya merantau ke jakarta untuk mencari pekerjaan,
tetapi sampai hari ini belum juga ada kabar beritanya. Sementara
";.- & mmm-namum.- B:.llj Pusuk:
Bam bang yang ke pulau seberang, baru sekali itu mengirim surat.
Di Kalimantan katanya juga sulit mencari pekerjaan tetap yang
memadai. Sampai kini mungkin iabelum beroleh pekerjaan tetap
yang dimaksudnya itu. Nah, kalau kamu ingin pula menuruti
mereka yang belum karuan ujung-pangkalnya itu, ibu sudah tidak
tahu lagi bagaimana harus menasihatimu. Ibu juga tidak bisa
membayangkan bagaimana harus bekerja sendirian menggarap
sawah, mengurus pekerjaan di rumah, dan menyekolahkan adik-
adikmu. Apalagi kini tenaga ibu sudah semakin berkurang."
Sang ibu diam lagi beberapa saat. Wajah nya tampak sedih
dan lesu. Dalam keadaan seperti itu, betapa kelihatan dengan
jelas tanda-tanda ketuaan di wajah dan sorot mat_anya. Joko tidak
berani lagi menentang kata-kata ibunya. Ia tidak-ingin membuat
raut muka dan hati orang tua itu lebih sedihbiffini ia hanya diam
dan menunduk dalam meskipun dalam benaknya berbagai
keinginan terUS berkecamuk. Tetapi, "ia'tidak tega melihat wajah
ibunya bersedih seperti itu. Kemudian, ia pandangi kedua adiknya
yang telah tertidur pulas di ba_lai=balai yang belum mengerti pahit
getir kehidUpan itu, semakin hatinya luluh nelangsa. loko tidak
kuasa berkata apa pun kepada ibunya bila melihat kenyataan itu.
Baru kemudian kesadarannyamuncul kembali, betapa agung dan
mulianya pengorbanan ibunya selama ini.
"Bu...,"J ucap loko akhirnya setelah beberapa saat saling
berdiam diri. "Sudahlah, Bu. Ibu tidak Usah lagi memikirkan semu a
itu. Saya sudah mengurungkan niat itu. Biarlah besok akan saya
bicarakan dengan Dibyodan Karman. Sayatidak ingin membiarkan
Ibu membanting tulang seorang diri untuk mencukupi kebutuhan
hidup sehari"hari dan membiayai sekolah Narti dan Larmin. Saya
sadar, saat ini tenaga saya adalah pengganti almarhum ayah,
Mas Pam o, dan Mas Bambang. Mudah"mudahan kelak keadaan
keluarga kita cepat berubah mendapat keberuntungan, mendapat
anugerah dari Tuhan."J
'if" film;. "nama: umu".nr Kini wajah ibunya tidak lagi kelihatan bersedih. Senyum tipis
keibuan tampak kembali terkembang di bibir tua itu. Matanya
kelihatan berseri menampakkan kebahagiaan. Berkedip"kedip
memandangi wajah anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Syukurlah kalau kini kamu sudah mau memahami perasaan
ibu, Ko. Setiap orang tua pasti berharap anak"anaknya menjadi
anak yang patuh dan berbakti kepada ibu"bapaknya. Percayalah,
Tuhan pasti membalas semua perbuatan baik umat-Nya dengan
berlipat kali kebaikan yang kita lakukan. Yah, ibu hanya bisa
berdoa mudah-mudahan kelak di kemudian hari kau akan
menemukan kehidupan yang lebih menyenangkan daripada
keadaan kita sekarang ini. Ibu doakan agar nanti kau menjadi
orang yang berguna dan terpandang," ujar sang ibu mengakhiri
kata"katanya. Demikianlah, sejak malam itu loko tidak berani lagi
menyampaikan hasratnya untuk pergi merantau meninggalkan ibu
dan kedua adiknya seperti kakak-kakaknya yang sudah bertahun-
tahun meninggalkan mereka berempat. Tetapi, kini sejak kembali
mendengarkeberhasilan Dibyodan Karman di Su matra, keinginan
itu kembali datang bergemuruh seperti gelombang laut yang
sed ang pasang. Hasrat merantau kembali bergejolak keras dalam
dadanya. Ingin rasanya ia segera menyusul kedua sahabatnya itu
dan kemudian ikut bekerjadi sana. Ia bayangkan nantinya dapat
mengirimkan sebagian dari uang gajinya sebulan untuk ibu dan
adik"adiknya di kampung. Pikiran"pikiran seperti itulah yang
senantiasa mengUSik ketenangan jiwanya belakangan ini.
Betapa ia tidak akan iri bila mendengar sendiri orang tua
Karman dengan penuh kebanggaan menceritakan keberhasilan
anaknya itu di perantauan. Betapa tidak tergiur hatinya bila melihat
orangtua Dibyo kini bisa membeli tape recorder dan membelikan
pakaian sekolah baru untuk ketiga anaknya yang masih sekolah itu
dari uang kiriman Dibyo. Namun, apa hendak dikata, Joko tidak
bisa menyamakan keadaan dirinya dan kedua sahabatnya itu. Ia
terpaksa harUS memendam hasratnya itu meski bagaimanapun
bergejolaknya. Ia kini adalah pengganti almarhum ayahnya. Ia
adalah satu-satu nya tumpuan harapan ibunya. Ia adalah tulang-
punggung keluarganya. Joko mengeluh dalam hati. Kegelisahan itu seakan tidak ada
ujung kesudahannya. Seraya bangkit dari duduknya di palang
jendela ia menggeliat malas. Menghirup udara dalam"dalam
dan kemudian menghembuskan pelan-pelan. Ia mendesah
panjang. Menggerak"gerakkan otot pinggang serta kedua tangan
dan kakinya, seperti mengadakan pelemasan usai berolah
raga keras setelah duduk selama berjam"jam di kursi rotan tua.
Sambil bersenandung kecil ia menutupi pintu dan jendela. Ia
riang"riangkan hatinya sekadar untuk mengatasi kegelisahan dan
kesunyian yang dirasakannya sejak tadi.
Adalah kegelisahan seorang penganggur yang dirasakannya
kini. Sudah dua tahun lebih loko menamatkan sekolahnya di
Sekolah Pendidikan Guru di kota Bantul. Meskipun sudah dua
kali berturut"turut ia ikut melamar dan mengikuti tes menjadi
guru, tetapi hingga kini belum juga ia mendapat kesempatan
untuk menjadi tenaga pendidik itu. Kini ia benar"benar merasakan
betapa tidak enaknya hidUp sebagai pengangguran dan hanya
menggantungkan hidup kepada orang tua. Namun, saat ini,
semua itu terpaksa harus dijalaninya demi kepatuhannya kepada
orang tua. Tetapi, terus mempertahankan hidup seperti sekarang
ini bagi loko sama sulitnya. Ia selalu diburu kegelisahan. Bagai
kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun enggan. Mungkin
itulah pepatah yang paling mengena untuk keadaan jiwanya yang
goncang saat ini. Di luar senjasemakin gelap. Udara bertambah din gin. Gerimis
masih asyik membelai pucuk pepohonan dan menyiram sawah
ladang para petani. Dari sebuah masjid di kejauhan terdengar
";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: suara azan magrib berkumandang syahdu, memanggil kaum
MUslim untuk segera melaksanakan kewajibannya. loko segera
ke pancuran mengambil air wudu. Sementara itu, ibu dan kedua
adiknya belum juga pulang sejak siang tadi menengok bibinya
yang sedang sakit di seberang desa.
Dua Matahari terik sekali. Panasnya serasa membakar kulit.
Tetapi, tampak para petani di petak-petak sawahnya masih giat
menekuni pekerjaannya sejak pagi tadi. Saat sekarang mereka
mulai mempersiapkan lahan masing"masing untuk segeraditanami
berbagai jenis padi. Musim hujan sudah datang sejak hampir
sebulan yang lalu. Dalam waktu"waktu seperti ini biasanya di
kampung tampak sunyi pada pagi hingga siang harinya. Hampir
semua orang sibuk bekerja menggarap sawah. Setelah malam
tiba, baru tampak para bapak tani berkelompok"kelom pok duduk
di tepi jalan atau di halaman rumah menikmati'r'rvaktu istirahatnya,
setelah seharian penuh bekerja mengolah'tahah pertanian mereka.
Sebagian lagi ada yang duduk-duduksalht'ai di dalam kedai sambil
mengobrol ngalor"ngidul tentangberbagai persoalan hidup yang
mereka hadapi, merokok, dan ininum kopi. Begitulah suasana


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang selalu terbentuk dan mewarnai kehidupan masyarakat di
hampir setiap desa sekitar-tempat tinggal keluarga loko pada saat
mUSim hujan seperti _;aat ini. Seolah warna kehidUpan seperti itu
berlangsung sebagailjkeabadian dalam setiap masyarakat agraris.
Di petak sawah mereka yang tinggal satu"satunya itu, loko
dan ibunya juga tidak kalah sibuknya di antara petani lainnya.
loko tengah sibuk membersihkan dan memperbaiki galangan,
sementara ibunya masih tekun mengumpulkan rumput-rumput
liar yang masih tersisa setelah dibajak oleh Pak Suro kemarin sore
karena mereka tidak punya alat bajak sendiri.
"Bu..., Bu...,"J panggil Joko seraya berdiri meluruskan otot-
ototnya. Namun, sang ibunya terUS saja menekuni pekerjaannya.
"Bu..., Ibu...!"J Joko mengulang lebih keras.
";.- i'; mmm-namum.- B:.llj eman: "Ada apa, Ko?" Baru ibunya menoleh. Tetapi, ia masih tetap
berjongkok dan tangannya juga masih sibuk mencari"cari gulma
yang masih tersisa di sana"sini.
"Sudah siang, Bu," lanjutloko.
"Ya sebentar lagi. Pekerjaan ibu masih tanggung. Istirahatlah
dulu kalau kau sudah lelah. Tunggu ibu merampungkan pekerjaan
yang tinggal sedikit ini."
"Wah, thank you my mother. Kebetulan sekali!" pekik loko
dengan bahasa gado"gado, Indonesia-Inggris, sambil segera
berlari ke pematang mencari tempat bernaung dari sengatan
panas matahari yang memang luar biasa siang ini. Ibunya masih
memandang terbingung"bingung tidak mengerti bahasa yang tadi
diUcapkan anaknya. Ketika Joko menghilang di balik semak, baru
sang ibu kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, loko
kini sudah terbaring melepas lelah di bawah pohon jambu yang
cukup rindang. Belum lama ibunyameneruskan pekerjaan, kembali terdengar
teriakan loko memanggilnya dari pematang yang hanya berjarak
sekitar puluhan meter itu. Tetapi, sang ibu tetap menekuni
pekerjaannya. Ia tidak memedulikan teriakan anaknya yang
memang masih suka bandel itu.
"Bu...! Ibu!" Kali ini sang ibu terpaksa menghentikan pekerjaannya. Sebab,
nyata yang memanggilnya bukan suara loko lagi. Ia berdiri dan
memandang ke pematang. "Ibu...! Ayo cepat pulang, Bu...!"
Sang ibu tersenyum. Dilihatnya Narti dan Larmin melambai"
lambaikan tangan di pematang.
"Ayo, pulang, Bu! Sudah siang!"
Narti kembali berteriak memanggilnya. Ibunya hanya
tersenyum dan memberi isyarat dengan mengangguk. Kemudian,
ia segera berkemas menyusul ketiga anaknya yang telah berdiri
menunggunya di pematang. Ia bergegas berjalan melewati
EB. galangan sawah yang licin dan kecil. Sesekali kakinya terpeleset
dan ham masuk lumpur sawah lagi. Melihat adegan lucu itu
ketiga anaknya yang men anti di pematang tertawa"tawa.
"Dasar anak"anak bandel semuanya!" bentak sang ibunya kesal
bercampur IUcu. "Ibu terpeleset malah ditertawakan. Seharumya
kalian membantu ibu supaya jangan terpeleset lagi."
Pipi Larmin dan Narti segera mendapat Upah dari ibu mereka
dengan cubitan gemas. Keduanya jadi meringis"ringis. Melihat
tingkah kedua adiknya itu loko tertawa geli.
"Nah, sekarang ayo pulang semua. Nanti kita terlalu siang
sampai di ru"rmah," ajak sang ibu seraya membimbing Larmin
dan Narti. "Eh, tidak biasanya hari ini kalian mau menjemput Mas loko
dan ibu ke sawah. Biasanya paling cuma hari Minggu kalian
mau menengok sawah kita. Ada apa, Min?" jbko menanyai adik
bungsunya. "Oh, iya. Mas Joko mau tahu" Tadi: ada Pak Pos mengantarkan
surat ke rumah." "Surat dari siapa, Min?"
"Dari Mas Bambang, Mas," Narti yang menyahut.
"Kalian sudah membacanya?"
"Belum, Mas.,Kaini tidak berani membukanya," sahut kedua
adiknya serempak..- "Alamatnya masih di Kalimantan, Ti?" Kali ini ibunya yang
bertanya kepada Narti. "Iya, Bu. Tetapi, sudah pindah ke kota Banjarmasin."
"Wah, kalau begitu, ayo kita cepat"cepat. Ibu ingin sekali
mendengar kabarnya. Nanti kamu bacakan, ya, Ti?"
"Iangan Mbak Narti, Bu. Saya saja yang membacakannya.
Nanti akan saya bacakan keras-keras. Saya sudah lancar membaca,
Bu," ujar Larmin menonjolkan diri kepada ibunya.
";.- i'; mmm-namum.- B:.llj eman: "Ya, boleh. Nanti kamu yang membacanya. Kami bertiga
akan mendengarkan dengan baik," ujar sang ibu mengalah.
Keempat anak"beranak itu pun segera melanjutkan langkah
mereka dengan tergesa"gesa. Begitu sampai di rumah, Larmin
langsung mengambil dan membuka amplop surat itu. Kemudian,
lembar surat dibentangkannya dengan sikap seperti seorang
deklamator yang akan segera membacakan puisi.
"Nah, sekarang Ibu, Mas loko, dan Mbak Narti bersiaplah
untuk menyimaknya! Dengarkan baik-baik! Nanti kalian akan
menjawab beberapa pertanyaan bacaan," ujar Larmin menirukan
gaya seorang guru. "Baik, Pak Guru kecil," sahut loko dan Narti bersamaan.
Sementara itu, ibu mereka hanya tersenyum-senyum melihat ulah
lucu anak"anaknya. Larmin mulai membacakan surat itu dengan suaranya yang
lantang. Meskipun ia baru duduk di kelas dua, tetapi cara dan
kecepatan membacanya sudah hampir seperti orang dewasa. Ia
sudah paham benar tanda"tanda baca yang mesti dipatuhinya
dalam membaca sehingga intonasi bacaannya menjadi bagus dan
jelas pula maksudnya. Isi surat itu ternyata mengabarkan bahwa Bambang sekarang
sudah memperoleh pekerjaan tetap sebagai karyawan kantor
sebuah perusahaan kayu di kota Banjarmasin. Menurut rencana,
sekitar dua bulan lagi ia mendapat kesempatan kursus manajemen
di kota Bandung bersama seorang rekan sekerja"nya selama
kurang-lebih enam bulan. Oleh sebab itu, sepulang mengikuti
kursus tersebut nanti, ia bermaksud mengajak sertaloko berangkat
ke Banjarmasin bersamanya. Hal ini membuat loko segera
melompat"lompat kegirangan. Pucuk dicinta ulam tiba Mataloko
berkaca"kaca memandangi ibunya. Kegembiraannya meluap"
luap. Kemudian, segera dipeluknya ibunya erat"erat. Ia merasa
bahwa hasrat merantaunya segera akan menjadi kenyataan.
EB. Sementara itu, Narti dan Larmin hanya bisa saling berpandangan
heran melihat tingkah kakaknya. Mereka tidak mengerti mengapa
loko sedemikian gembira mendengar janji Bambang yang akan
mengajaknya ikut Banjarmasin nanti.
"Bu, kali ini Ibu harus mengizinkan saya ikut Mas Bambang.
Sekarang tidak ada lagi alasan Ibu untuk melarang saya pergi. Ibu
mau mengizinkan saya kan, Bu?"
Joko kini mencoba lagi mengutarakan hasratnya yang
sudah lama selalu ditahan"tahannya. Namun, kali ini tidak lagi
atas keinginannya sendiri semata-mata sebab Bambang telah
memberinya peluang untuk itu.
"Ibu sekarang belum bisa memastikan, Ko. Mungkin ibu mau
mengizinkan, tetapi mungkin juga tidak. jadi, bersabarlah dulu
menunggu kakakmu. Pikirkanlah dahulu baik"baik supaya nanti
tidak menjadi penyesalan. Waktunya kan masih lama lagi," ujar
sang ibu membujuk. "Yaa... Ibu. Sejak dulu sayajuga sudah memikirkannya. Oleh
karena itu, sekali ini saya berharap Ibu memperbolehkannya. Lagi
pula di sana nantikan saya selalu bersama Mas Bambang, Bu."
"Itu mem ang benar, Ko. Tetapi, bagaimana dengan ibu dan
adik"adikmu nanti bila kamu tinggalkan. Apakah juga sudah
kaUpikirkan?" Kini persoalan itu kembali meragukan niat Joko. Bagaimana
nasib ibu dan kedua adiknya kelak bila sudah ditinggalkannya"
Itu yang menjadi pikirannya sekarang. Akan tetapi, hasratnya yan g
besar untuk merantau terus pula mengusik pikirannya. loko kini
benar-ben ar menghadapi pilihan yang sungguh sulit mencari jalan
keluarnya. "Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, Bu," keluh loko
melemah. Tampaknya ia sudah putUS asa dan tidak mampu mencari
cara terbaik dalam memecahkan masalah itu.
14 -'._', ";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: "Kalau begitu, nanti kita bicarakan dengan kakakmu
sepulangnya ia dari Bandung. Siapa tahu kakakmu itu mempunyai
cara yang terbaik guna mengatasi masalah ini," ujar sang ibu terus
membujuk. Joko menatap lekat wajah ibunya. Di situ ia mendapatkan
cahaya ketulusan dan kasih sayang yang dalam tidak berbatas.
"Benar, Bu. Biar bagaimanapun kita mesti menunggu Mas
Bam bang juga. Tetapi, enam bulan itu lama sekali rasanya, Bu."
"Meski lama, kan masih ada harapan. Dasar kamu tidak
penyabar, Ko." Joko hanya tersenyum kecut dilecehkan ibunya. Sementara
itu, hari masih terasa begitu panas menyengat. Angin yang bertiup
semilir tidak mampu membantu mengurangi rasa gerah yang
mereka rasakan siang itu. Di dalam rumah semakin terasa tidak
membetahkan penghuninya. loko kemudian membimbing kedua
adiknya mandi ke sumur di belakang rumah. Sang ibu pun kini
mulai sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang.
_f -_ 15 . _, gp Tiga Enam bulan memang merUpakan waktu yang terlalu lama
bagi seseorang yang menunggu seperti loko. Enam bulan baginya
serasa bagaikan bertahun-tahun. Selama itu pula ia selalu merasa
harap"harap cemas menunggu Bambang yang sedang menjalani
kursus di kota Bandung. Namun, hari ini loko boleh bergembira
sebab orang yang ditunggu"tunggunya itu benar"benar telah
berada di hadapan nya. Baru kemarin malam Bambang selesai mengikuti kursus
manajemen di sebuah hotel di kota sejuk itu. Perolehan selama
kurang-lebih enam bulan itulah yang harus dibawanya untuk
kemajuan perUSahaan tempatnya kini bekerja. Pada pagi harinya
baru ia bisa berangkat untuk pulang ke kampung halamannya
di pinggiran kota Bantul setelah menyelesaikan berbagai tugas
administrasi di sana. Di rumah orang tuanya Bambang kembali merasakan
ketenangan dan ketenteraman yang sesungguhnya. Selama di
Bandung, fisik dan pikirannya selalu dibebani oleh kegiatan-
kegiatan kursus yang sudah diprogram sedemikian rupa oleh
pihak penyelenggara. Siang"malam, selama enam bulan itu
merupakan hari"hari sibuk yang benar"benar menyita perhatian
dan kesungguhan kerja. Tetapi, kini, di rumah ini ia merasa seperti
orang yang baru terbebas dari penjara atau kerja paksa. Ia benar"
benar dapat merasa beristirahat dengan sepenuhnya. Tidak ada
lagi tuntutan-tuntutan kerja yang harus segera diselesaikannya.
"Bu, besok pagi saya mau ikut lagi ke sawah seperti dulu.
Sudah kangen rasanya sama bau lumpur dan daun padi. Tolong
besok dibangunkan, ya, Bu," pinta Bambang menjelang tidur
malam itu. ";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: "Iya, nanti akan ibu bangunkan pagi"pagi. Biar kau bisajalan"
jalan dulu menikmati lagi suasana pagi di kampung ini," sahut
sang ibu sambil membetulkan selimut Larmin yang sudah tertidur
pulas sejak habis isya tadi.
"Oh, ya, Bu. Padi kita bagaimana keadaannya. Sekarang
katanya baru musim tanam. Apa sudah tinggi, Bu?"
"Syukur alhamdulillah, semua kelihatannya sudah tumbuh
suburdan mulai tinggi. Daunnya tampak menghijau. Kemarin baru
di pupuk oleh adikmu. Seminggu lagi sebaiknya disemprot agar
lebih aman terhadap serangan bibit penyakit ataupun hama."
?"Wah, begitu lebih baik, Bu. Kata orang, sedia payung sebelum
hujan. Lebih baik mencegahnya dulu daripada membasminya
setelah merajalela."
Ibunya hanya tersenyum lepas. Ia tampak mulai mengantuk.
Kadang"kadang mulutnya menguap sambil terUS menanggapi
pertanyaan"pertanyaan Bambang. Melihat hal itu, Bambang pun
tidak lagi meneruskan pertanyaan-pertanyaannya. Sebenarnya
masih banyak pertanyaan yang ingin diajukannya Terutama
tentang keadaan dan segala perubahan di kampungnya setelah
ditinggalkan selama bertahun-tahun. Sebelum tidur ia kembali
berpesan agar dibangunkan pagi-pagi oleh ibunya. Beberapa
saat kemudian, suasana di rumah itu pun menjadi sunyi-lengang.
Kini yang terdengar tinggal bunyi binatang"binatang malam yang
bercengkerama dalam syahdunya malam itu.
Ketika Bambang bangun keesokan paginya matahari sudah
berjalan sepenggalah. Ia segera bangkit dari pembaringan dan
langsung mengitari ruangan rumah. Tetapi, tidak seorang pun
didapatinya. Kini ia malah tertawa sendiri setelah menyadari
semua penghuni rumah telah pergi, dan membiarkannya tidur
hingga siang hari. Rupanya tadi malam tidurnya terlalu nyenyak.
Maklumlah! Selama berbulan"bulan di kota Bandung tidurnya
tidak teratur. Kadang-kadang sudah larut malam baru ia pergi
tidur. EB. Beberapa saat lamanya bibirnya terus saja tersenyum"senyum
sendiri merasakan kelucuan itu. Ia yang dengan nada pasti
minta dibangunkan pagi"pagi oleh ibunya karena mau ikut ke
sawah tahu"tahu malah bangun menjelang pukul sepuluh siang.
WalaUpun demikian, Bambang tetap bertekad akan menyUSul
ibu dan adiknya ke sawah. Maka dengan tergesa"gesa ia berganti
pakaian dan segera berangkat menuju daerah persawahan yang
berjarak beberapa ratUS meter di belakang kampung.
Baru sekitar dua tahun Bambang meninggalkan kampung
ini. Namun, sepanjang perjalanan menuju persawahan matanya
telah menangkap beberapa keasingan yang dulu tidak pernah
dilihatnya. Dulu di sepanjang jalan ini tidak ada sebuah rumah
pun yang dilewati, tetapi kini sudah dua buah bangunan rumah
kecil berdiri di pinggirjalan. Dulu jalan ini masih merupakan jalan
setapak yang penuh becek dan lumpur, tetapi sekarang sudah
diperlebar dan berbatu kerikil. Dulu kebun cengkih Pak Supandi


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih terlihat tumbuh sumbur di ujung jalan ini, tetapi hari ini
Bambang hanya melihat pohon-pohon cokelat yang masih kecil
dan tanaman palawija. Entah berapa lagi perubahan yang tidak
sempat dilihatnya sebelum sampai di petak sawah orang tuanya.
Sesampai di sawah Bambang langsung disambut dengan
tertawaan oleh loko dan ibunya. Sambil tersipu"sipu Bambang
akhirnya ikut"ikutan tertawa meskipun tidak tahu apa yang
ditertawakannya. Beberapa orang yang sedang bekerja di dekat
sawah mereka hanya bisa geleng"geleng kepala melihat ulah
ketiga anak"beranak itu.
"Sudah pu as tidurnya, Mas?" Joko mencoba menggoda
kakaknya sambil terus tertawa"tawa.
"Kalian curang," jawab Bambang sambil melihat ibunya.
"Bukan curang, Mas. Coba tanya Ibu, siapa yang terus
mendengkur setelah dibangunkan berkali"kali?"
";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: Sekali lagi Bambang menatap ibunya. Seolah matanya ingin
mencari kebenaran kata"kata adiknya.
"Iya, kamu sudah berkali"kali ibu bangunkan. Tetapi, kamu
tetap saja tidur pulas dan tidak bergerak sedikit pun sampai ibu
bosan rasanya. Sudah saja kami tinggalkan berangkat ke sawah,"
ujar sang ibu menjelaskan.
"N arti dan Larmin berangkat sekolah, Bu?"
"Iya. Tadinya mereka juga mau membangunkanmu. Tetapi,
mereka tidak berani."
"Ohh...," ujar Bambang sambil manggut"manggut.
Beberapa saat kemudian, percakapan mereka pun tidak
terdengar lagi. Kini ketiganya sudah mulai disibukkan oleh
pekerjaannya masing-masing. Meskipun Bambang sudah lama
tidak ke sawah, tetapi ia masih cekatan bekerja mencabuti
rumput liar yang tumbuh di sela rumpun padi yang sudah mulai
tinggi menghijau itu. Tengah hari baru mereka meninggalkan
pekerjaannya lalu beranjak pulang.
"Bu...," ujar Bambangdalam perjalanan pulang siangitu. "Kini
waktu saya tinggal dua hari lagi. Apakah Ibu sudah memikirkan
soal keinginan saya mengajak loko ke Kalimantan tempo hari?"
Sang ibu segera menatap kedua anaknya. Kemudian, kembali
ia melangkah lurus ke depan.
"Itulah yang selalu ibu pikirkan belakangan ini. Tetapi, ibu
rasanya belum bisa memutuskan. Ibu masih bingung, Bang."
"Yah... izinkan sajalah, Bu! Dulu Mas Bambang dan Mas
Parno diizinkan, kenapa saya tidak, Bu?" sahut Joko.
"Bukan itu masalahnya, Ko," ujaribunya, "kini kamu menjadi
satu-satunya harapan ibu untuk membantu kerja di rumah. Kalau
kamu pergi juga, tentunya ibu akan semakin repot daripada
sekarang ini." "Ben ar, Ko. Ibu akan semakin kewalahan," sahut Bam bang.
EB. " hai-.e" , '-r__ .li ?"fly; ' &! c."; J V" ' ?" Apakah ibu sudah memikirkan soal keinginan saya
mengaiakjoko ke Kaiiman tan tempo hari?"
20 _-._,-_, Izwlrsulculuualmull'l Balai Puebla
"Dari urusan kerja mencari nafkah, memasak di dapur, dan
juga melayani keperluan sekolah Narti dan Larmin. Mereka belum
tahu apa"apa. Bahkan, masih banyak keperluan lain yang harus
dikerjakan ibu seorang diri. Iya, kan, Bu?"
Sang ibu tidak menjawab, tetapi sinar mata tua itu tampak
membenarkan ucapan anaknya. Sambil tersenyum menggoda,
Bam bang melanjutkan kata-katanya. "N ah, kalau dipikirkan
ke sana, maka akan terasa begitu pelik urusannya. Bagaimana
kalau tahun depan saja kau ikut ke sana, Ko" Mungkin nanti ibu
merasa lebih longgar hati untuk melepaskanmu pergi. Kalau tidak,
batalkan saja keinginan itu. Bagaimana, Joko?"
Joko kini tidak mau ikut bicara lagi. Tampak dari wajahnya
ia merasa kesal mendengarkan pembicaraan kakaknya. Sebab,
selama berbulan"bulan ia menanti"nantikan kedatangan Bambang,
ternyata setelah benar-benar datang hanya bisa mematahkan
semangatnya yang akhir"akhir ini kembali berkobar"kobar untuk
merantau ke negeri orang. loko ingin menunjukkan bahwa ia
juga bisa berbuat seperti kedua sahabatnya yang kini bekerja di
Sumatra itu, Dibyo dan Karman.
Tidak terasa ketiga anak"beranak itu telah sampai di rumah.
Namun, Bambang dan ibunya belum juga mendapatkan jalan
pemecahannya. Meskipun masalahnya tampak sepele, tetapi
sebenarnya merupakan masalah yang cuku p berat. Iika diputuskan
loko ikut ke Kalimantan, maka persoalan ibu nya di rumah semakin
menjadi masalah berat. ]ikadiputUSkan loko tetap tinggal bersama
ibu di rumah, maka Bambangtidaktahu bagaimana sikap adiknya
nanti setelah merasa dikecewakan. Yang jelas hingga sore hari loko
tidak mau lagi ikut bicara. Ditanya pun ia tidak mau menjawab.
Itu sebagai tanda protesnya.
Melihat sikap adiknya seperti itu, Bambang terpaksa
membicarakannya kembali dengan ibunya pada malam hari
menjelang waktu tidur. Walhasil, sang ibu akhirnya mengizinkan
EB. Bambang untuk mengajak serta loko bersamanya ke Kalimantan
meskipun terasa sangat berat. Namun, yang membuat pikiran sang
ibu sedikit ringan karena Bambang telah berjanji untuk mem bantu
ibunya setiap bulan untuk biaya sekolah dan keperluan adik-
adiknya. Di balik dinding kamar, bibir Joko tersenyum"senyum penuh
kemenangan. Hatinya gembira tidak terlukiskan saat itu. Ingin
rasanya ia langsung berjingkrak"jingkrak, tetapi segera rasa malu
menyadarkan luapan kegem biraan nya Ia tetap tertawa-tawa dan
bersenandung gembira di dalam hati. Sejak tadi ia terus saja
menguntit pembicaraan ibu dan kakaknya di ruang tamu.
"Meskipun saya pergi, saya akan selalu mengingatm u, Bu. ]ika
nanti sudah berhasil menjadi orang, saya akan selalu membantu
membiayai sekolah Narti dan Larmin. Saya ingin melihat mereka
bisa melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Saya
akan tetap berbakti kepadamu, Bu. Meskipun saya sudah jauh di
seberang lautan," janji Joko dalam hati dengan penuh ketulusan.
mmm-namum.- B:.llj eman: Empat Pelabuhan Tanjung Perak telah jauh di belakang. Kapal KM
Kelimutu yang ditumpangi Bambang dan loko terus m elaju dengan
pasti. Pinggiran kota Surabaya kini kelihatan cuma tinggal seperti
bintik-bintik hitam dan putih berkilat dalam luasnya gugusan wama
biru. Mereka terpaksa harUS berangkat lewat Surabaya karena ada
suatu urusan penting yang harus diselesaikan Bambang dengan
sebuah perusahaan induk di kawasan Tandes sehubungan dengan
tugasnya di perusahaan cabang di kota Banjarmasin.
"Mas Bambang, apakah Pulau Kalimantan masih lama baru
kelihatan" Sekarang Pulau Jawa sudah menghilang ditelan birunya
langit di belakang kita," suara Joko dengan rasa terkagum"kagum.
"Wah, mungkin sekarang ini kita belum menempuh separo
perjalanan, Ko. Kota Banjarmasin masih jauh di seberang sana,"
jelas Bambang sambil menunjuk ke arah utara tempat di mana
diperkirakannya letak Provinsi Kalimantan Selatan.
"Ngeri rasanya berada di tengah laut seperti ini, ya, Mas"
Di sekeliling kapal cuma warna biru yang kelihatan. Seolah laut
ini tidak ada batasnya. Laut dan langit tampak menjadi satu. Kita
seperti berlayar di bawah tempurung yang mahaluas."
"Kalau kita baru pertama kali berlayar, mem ang pemandangan
seperti ini terasa sangat mengerikan. Sebab, kita akan selalu
membayangkan tipisnya harapan hidUp bila menghadapi suatu
kecelakaan ditengah lautin i.Tetapi, perasaan seperti itu berangsur"
angsur akan hilang dengan sendirinya apabila kita sudah sering
bolak"balik mengarungi laut.
Coba kamu bayangkan, bagaimana beraninya anak-anak
nelayan yang masih kecil sudah ikut berlayar mengarungi laut
bersama ayah dan saudaranya hanya dengan menggunakan perahu
layar yang kecil. Mereka sejak kecil telah diajarkan untuk berani
melawan ganasnya gelombang dan badai yang bisa saja tiba-tiba
datang menerjang. Akan tetapi, bukan hanya keberanian yang
orang tua mereka tanamkan sejak kecil, melainkan juga tanggung
jawab sebagai anak laki"laki yang nantinya menjadi penopang
hidUp anggota keluarganya," ujar Bambang bercerita. Joko hanya
diam mendengarkan cerita kakaknya tadi. Ada perasaan aneh yan g
tiba"tiba timbul di hatinya tatkala mendengar cerita kakaknya tadi.
Ah, aku kan juga seorang laki"laki. Akulah yang nanti bertanggung
jawab menopang kehidupan keluargaku. Jadi, hidUpku haruslah
berhasil di rantau orang nanti, demikian tekad loko dalam hati.
Kapal yang mereka tumpangi naik-turun diterpa gelombang
laut yang mahaluas. Sekali"kali tampak beberapa ekor ikan
berlompatan seperti sedang berkejar"kejaran di sisi kapal. Waktu
pun tanpa terasa berjalan dengan cepat. Beberapa lama kem udian,
perjalanan panjang dan melelahkan itu segera akan berakhir.
Tidak jauh di depan mereka tampak bangunan"bangunan berderet
di pinggir pelabuhan. Kapal itu mulai melambatkan lajunya.
Perlahan-lahan kapal itu kini mulai merapatdi dermaga. Beberapa
orang tampak sibuk membantu menambatkan tali"tali yang telah
dilemparkan dari atas kapal. Suasana pelabuhan tampak riuh oleh
yang sibuk dengan urusannya masing" masing.
Setelah kapal merapat, Bambang dan Joko serta para
penumpang lainnya pun turun.
"Ramai jugaya Ma" Dulu, saya kira kota ini masih sangat sepi.
Soalnya dalam pelajaran IPS pulau ini terkenal dengan hutannya
yang lebat dan banyak yang masih perawan. jadi, saya hanya
membayangkan bagaimana suasana hutan yang sunyi."
"Itu karena kita tidak melihatnya secara langsung. Makanya
di kampung kita masih banyak orang yang percaya pada cerita
tentang orang Kalimantan yang suka makan manusia."
"Iya, Mas. Tadinya saya juga mau menanyakan cerita itu.
Bagaimana sebenarnya, Mas?"
2.4 -'._', ";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: Bambang tertawa"tawa kecil.
"Itu tidak benar, Ko," jawab Bambang masih dengan tawa
kecilnya. "Yah... mungkin juga dulu ada cerita rakyat tentang
suku Dayak yang melakukan upacara adat dengan mengorbankan
manusia yang sudah tUa, atau orang asing yang kebetulan tersesat
kedaerah mereka. Kata orang itu upacara Batiwah namanya. Selain
itU, mereka juga melakukan Upacara adat yang disebut Manpai
untuk upacara kematian, seperti Ngaben di Pulau Bali. Iadi, cerita
seperti itu mungkin sungguhan, tetapi mungkin pula hanya cerita
rakyat atau legenda yang banyak terdapat di tanah Iawa. Jika
memang benar, tentu hal itu hanya terjadi di zaman dulu. Sebab,
bila sekarang, tentu Upacara adat yang tidak berperikem anUsiaan
seperti itU sudah dilarang oleh pemerintah. Buktinya tetangga Mas
Bam bang di sini ada beberapa orang yang asli dari sukU Dayak.
Tetapi, mereka sama saja dengan kita. Malah kebanyakan mereka
sangat hormat pada orang lain. Konon anak"anak mereka juga
sudah banyak yang menjadi sarjana dan bekerja di kota lain,"
jelas Bam bang panjang-lebar.
"S ekarang kita ke mana lagi, Mas?"
"Ya, ke rumah Mas Bambang. Habis mau ke mana lagi?"
"Masih jauh, Mas?"
"Lumayan juga kalau jalan kaki. Sekitar dUa kilometer lagi.
Tetapi, kali ini kita naik bajaj saja. Biar cepat sampai di rumah.
Mas Bambang sudah lelah dan mengantuk."
Bambang kemudian memanggil sebuah bajaj. Setelah tawar"
menawar, mereka pUn segera berlalu meninggalkan Pelabuhan
Trisakti. Setiba di rumah, kedua kakak"beradik itU langsung tidur.
Rupanya mereka benar-benar merasa lelah setelah seharian
penuh berada di atas geladak kapal tanpa bisa memejamkan mata
barang sesaat pun. Lebih-lebih loko yang memang lebih merasa
asyik berada di luar kabin sam bil berangin"angin menikmati
pemandangan yang menakjubkan.
EB. Keesokan harinya Bambang kembali masuk kerja seperti biasa
di kantornya. Sementara itU Joko terpaksa hanya berdiam diri di
rumah menunggu sampai kakaknya pulang kerja. Baru pada sore
harinyaloko diajak Bambang berjalan-jalan melihat suasana kota
Banjarmasin dari dekat. Mereka berputar" putar di jantung kota.
Naik"turun pusat"pusat perbelanjaan dan tempat"tempat hiburan
yang ada sambil tanya-jawab terus berlangsung setiap memasuki
tempat ataU jalan baru. Bahkan, kadang"kadang tanpa ditanya
pun Bambang sudah menjelaskan segala sesuatu kepada adiknya.
CUkUp banyak pengetahuan mengenai kota Banjarmasin yang
diperoleh loko sepanjang sore ini.
H ari"hari beri kUtnya loko dibawa Bambang ke tempat"tempat
wisatayangadadisekitarkotaBanjarmasin.KiniJokosUdah melihat
sendiri bagaimana khasnya sUasana pagi di Pasar Terapung di
kampung Kuin. Hiruk"pikUknya tawar"men awar dan jual"beli dari
perahu ke perahu, atau dengan pembeliditebingsungai merUpakan
pemandangan sehari"hari di situ. Para wanitanya ham pir seragam
mengenakan topi lebar yang disebUt tanggui sambil sesekali
mendayung perahu jukung. loko juga telah menyaksikan sendiri
bagaimana jinaknya puluhan kera menyambut para turis yang
datang ke PUlau Kambang, sebuah pUlau kecil yang membelah
alur Sungai Barito di sebelah barat kota Banjarmasin. Berbulan-
bUlan kemudian, loko mUlai mengenal satU per satU seni budaya
tradisional Banjar, seperti tari Jepen, Hadrah, Mamanda Balam Ut,
dan sebagainya. Tidak IUpa Bambang selalu setia menjelaskan
segala hal yang memang sudah diketahuinya
Begitulah, Joko semakin lama semakin merasa betah tinggal
di Kalimantan. Lebih"lebih sejak setengah bUlan lalu Bambang
telah mencarikan pekerjaan untuknya di sebuah perusahaan kayu
lapis meskipun hanya sebagai bUruh harian. Tetapi, loko sudah
cukup merasa senang daripada setiap hari hanya tidur"tiduran di
rumah menunggu kedatangan kakaknya. Kini ia sudah mempunyai
";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: kesibukan tersendiri yang mampu mengurangi rasa kangennya
kepada orang tuadan kedua adiknya di kampung halaman. Setiap
hari ia dengan ikhlas menekuni pekerjaan itu. Bagi loko, pekerjaan
sekasar apa pun apabila masih berjalan di atas jalUr yang halal,
adalah pekerjaan mulia. Pekerjaan yang paling terkutuk hanyalah
yang merugikan orang lain.
Sekarang hari"hari kedUa kakak"beradik itU merUpakan hari
yang penuh kesibukan. Sejak pagi hari mereka berangkat kerja baru
menjelang malam keduanya bisa berkumpul kembali. Kadang"


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadang mereka harus bekerja lembur pada malam harinya. Oleh
sebab itu, kini semakin jarang mereka punya waktu luang UntUk
sekadar mengobrol, bercengkerama, atau berjalan"jalan seperti
dulu. Penghasilan Joko memang sangat kecil bila dibandingkan
dengan penghasilan kakaknya. Tetapi, meskipun demikian, diam"
diam ia sudah dua kali bisa mengirim wesel UntUk ibU dan adik"
adiknya di kampung dalam beberapa bulan terakhir ini.
"Kau sudah kangen sama ibu dan adik-adik, Ko?" Bambang
bertanya suatU malam. "Yah... begitulah, Mas. Tetapi, apa boleh bUat kalau sudah di
tempat yang jauh seperti ini. Kangen tinggal kangen. Habis mau
bagaimana lagi?" "Kau ingin pulang?"
"Pulang"!" Joko balik bertanya. "BarU beberapa bulan hidUp
di perantauan sudah mau pulang. Niat saya UntUk merantau sUdah
sejak lUlUs sekolah dUlU, Mas. Di kampung terlalu sulit mencari
pekerjaan, kecuali bertani. Sementara itu, sawah kita cuma tinggal
sepetak itU. Apa kita enak terUs"terUsan menganggur ikUt orang
tUa saja?" Bambang tersenyum-senyum mendengar jawaban polos
adiknya. Ia hanya bermaksud menggoda loko dan mendengar
EB. tanggapannya. Ia merasa senang mendengar tekad adiknya yang
penuh semangat itu. "Apakah sekarang kaU cUkUp senang menerima pekerjaanmu
yang ada sekarang ini, Ko?"
"Apa boleh buat, Mas."
"Misalnya, apabilan anti ad apekerjaan yang pu nya masadepan
lebih baik dari sekarang, apakah kau berniat ganti pekerjaan?"
"Tentu saja saya harus meninjaunya kembali, Mas. Siapa
yang tidak ingin hidUpnya lebih enak di dUnia ini" Saya rasa
semua orang menginginkan hidUp senang. jadi, kalau ada tawaran
pekerjaan yang memang lebih baik, tidak ada salahnya jika saya
mempertimbangkannya. Betul kan, Mas?"
"Ya benar. Nah, sekarang dengarkan baik"baik! Ini menyangkut
masa depanmU kelak. Mas Bambang siang tadi barU mendapat
informasi dari seorang teman di kantor. Kabarnya pada tahun ini
Pemda Kalsel akan menerima tiga ratus orang tenaga pengajar
UntUk sekolah dasar. Ten aga"tenaga pendidik tersebut akan
ditempatkan pada daerah"daerah transmigrasi dan daerah yang
agak terasing. Nah, bila kau berminat, kaU sendiri harus mencari
tahu kebenaran berita tersebut. Sebab, beritanya memang belum
jelas benar. Bila sudah pasti, segera persiapkan segala sesuatunya
yang diperlukan." "Kapan kira-kira waktunya, Mas?"
"justru itulah yang belum jelas. Segeralah cari tahu!
Mudah"mudahan ijazah sekolah gurU yang kaumiliki itu bisa
bermanfaa ." Joko akhirnya tidak lagi bertanya. Tetapi, ia sangat berharap
kabar yang dibawa kakaknya itu benar dan akan menjadi
kenyataan. Ia amat tertarik untuk ikut berlomba dalam pendaftaran
nanti. Menjadi seorang pendidik memang sudah menjadi jalan
yang dipilihnya sebelum masuk SPG dUlU.
";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: Untuk memperluas jangkauan mendapatkan informasi
selanjutnya, loko kadang"kadang datang sendiri ke kantor Pemda,
Depdikbud, ataU Depnaker setempat. Ia jUga semakin rajin
mendengarkan berita-berita yang disiarkan melalUi radio daerah.
Namun, berita lanjutan tentang hal itU yang lebih rinci belum juga
didapatkannya. Yang jelas bagi Joko tahun ini ia memang punya
harapan besar UntUk ikut mendaftar sebagai calon tenaga pendidik.
Beberapa hari yang lalu ia telah mendengar warta berita melalui
RRI Banjarmasin bahwa memang tahun ini Pemda Kalimantan
Selatan akan mengangkat sekitar tiga ratus orang tenaga pengajar.
Mereka akan ditempatkan pada sekolah dasar di selurUh pelosok
Kalimantan Selatan. Akan tetapi, waktU dan segala persyaratannya
belum dijelaskan. : . 29 Lima Sejak dimulainya pendaftaran Joko merasa optimis akan
berhasil dalam seleksi penerimaan calon gurU yang berlangsung
beberapa minggU lalu. NamUn, bagaimanapun iajuga merasakan
adanya rasa keragU"raguan dengan kemampuannya menjawab
soal"soal tes yang diajukan. Sebab, sUdah bertahun"tahun ia tid ak
pernah lagi mengulang kaji pelajaran yang pernah diterimanya
semasa sekolah dUlu. Tetapi, semangat perjuangannya jaUh
lebih besar daripada rasa kecil hati yang sesekali dirasakannya
menjelang waktu pengumuman itu tiba.
Begitulah, ketika hari yang dinanti"nantinya itU telah tiba,
dengan semangat juangnya yang tinggi.dan tidak pernah luntur
loko berangkat ke Kantor Pemerintah Daerah untuk melihat
pengumuman hasil tesnya beberapa waktu yang lalu. Kali ini pun
ia ditemani Bam bang, kakaknya.
Dari Banjar Raya, tempat di mana selama ini Bambang
bermukim,merekanaik mikroletjurusan TerminalAntasari.Dalam
perjalanan itu sedikit pun loko tidak tampak merasa gelisah. Ia
dUdUk dengan tenang di sebelah kakaknya. NamUn, yang pasti,
jauh di lUbUk hatinya terpatri janji-janji mUlia tentang semangat
pengabdiannya kelak bila ia sudah benar"benar menjadi seorang
pendidik. "Mas, jikaternyata saya benar"benar IUIUs nanti, apa kira"kira
hadiah Mas Bambang Untuk saya?" Ujar Joko memecah kebisuan
di perjalanan itu. "Kau maU hadiah" Boleh! Tetapi, tunggu Mas Bambang gajian
dUlU. Hadiah apa yang kannginkan?"
"ItU terserah Mas Bambang saja. Tidak pantas rasanya jika
saya yang menentukan hadiahnya. Coba kalaU saya minta kereta
api, apa Mas Bambang sanggup membelikannya?" seloroh loko
sam bil tertawa. ";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: "Sanggup," tantang Bambang.
"Yang benar, Mas?"
"Iya, benar. Asal engkau minta kereta api mainan."
Kedua kakak-beradik itu pun segera tertawa bersama-sama.
Para penumpang lain juga ikut-ikutan tertawa kecil mendengar
senda-gurau mereka. "Dengar, Ko! Yang pasti kau akan mas traktir makan dan
nonton ke bioskop nanti. Tetapi, itU nanti kalaU kamu IUIUs."
rrTerima kasih sebelumnya Mas! Rasa"rasanya di hati ini ada
keyakinan kalau saya akan lulus dalam seleksi penerimaan calon
gurU tersebut. Mudah"mudahan saja keyakinan saya itu menjadi
kenyataan ." Bambang hanya diam mendengar kata-kata adiknya.
Sementara itu, mikrolet terus melaju memasuki Ialan Kemboja.
Sesekali berhenti di halte bila ada penumpang yang turun dan ada
penumpang yang akan naik.
"Ko, sekarang ada persoalan lain yang lebih menarik sekaligUs
amat penting bagi kita" Ujar Bambang m enyambUn g pembicaraan.
"Ini menyangkut keterlibatan kita dalam keluarga. Menyangkut
masalah ibU dan adik"adikdi kampung. Apa kaU sudah rindU sama
mereka sekarang ini, Ko?"
Sejenak Joko terdiam. Matanya menerawang keanr menyapu
bangunan"bangunan kota yang berdiri megah di pinggiran jalan
yang mereka lewati. Namun, sesungguhnya, pikiran dan hatinya
kini sudah jauh melayang ke kampung halamannya. Kembali
terbayang olehnya lingkungan rumahnya, wajah ibu yang tulus,
Narti, Larmin, atau kawan"kawan sebayanya yangjaUh di seberang
sana. "Nah, kini pikiranmu pasti sudah sampai ke Pulau jawa,"
Ujar Bambang membuyarkan lamunan loko. "Tentunya kau sUdah
merindukan mereka, bukan?"
"Yah... begitulah, Mas," sahut Joko lemah sambil manggut-
manggut. "Rindu, ya, memang rindu. Tetapi, apa mau dikata"
Semua harus kita kesampingkan dulu untuk sementara. Mudah-
EB. mudahan lain waktu kita dapat rezeki yang cukup dan ada
kesempatan Untuk pulang menengok mereka. Sekarang yang
penting bagaimana nasib saya ini. ].ulUs atau tidak. Cuma itU
pilihannya. Soal ibu dan adik"adik, kemarin saya juga sudah kirim
surat dan minta doa restu mereka agar saya bisa diterima dalam
tes ini." "Syukurlah kalau kamu masih ingat mereka. Artinya kaU
memang selalu memperhatikan keadaan keluarga di sana."
"Itu sUdah janji saya, Mas. Saya selalu siap membantu ibU
membiayai sekolah Narti dan Larmin. TentU saja sesuai dengan
kemampuan yang saya miliki. Saya ingin melihat adik-adik bisa
sekolah lebih tinggi daripada kita sekarang."
"ItUlah tentunya yang diharapkan ibU dari kita, Ko. Oleh
karena itu, kita harus pandai"pandai mengatur keuangan kita agar
bisa membantu meringankan beban ibu."
"Kalau begitu, bagaimana jika nanti kita berbagi saja cara
membantu ibU membiayai sekolah adik-adik. Kalau Mas Bambang
yang membiayai sekolah Narti, maka saya yang mengongkosi
sekolah Larmin. Begitu kan lebih ringan, Mas."
Bambang sontak tertawa cekikikan, "Kamu sudah berpikir
terlalu muluk, Ko. Tesnya saja belum pasti lUlUs sudah maU
menyUsUn rencana segala."
Joko pun akhirnya ikut tertawa tersipu"sipu ketika menyadari
keadaannya sekarang. Pipinya tampak memerah karena rasa
malunya saat itu. Apalagi Bambang terus saja menertawainya.
Tidak terasa kini mereka telah sampai di Terminal Antasari.
Kantor yang mereka tuju masih beberapa kilometer lagi. Mereka
kemudian naik mikrolet jurusan lain yang melintasi komplek
perkantoran itu. Sesampainya di depan kantor mereka turun dan
segera melangkah memasuki halaman. Di situ telah banyak orang
berkerumun memadati rUangtempatdi mana papan pengumuman
di pasang. loko pun mulai tidak sabar lagi ingin secepatnya
melihat hasil tesnya. Ia segera ikUt berjejal mengerubungi papan
pengumuman yang menempel di tengah dinding ruang terbuka
";.- & mmm-namum.- B:.llj eman: itu. Di sitU tertempel sepotong kertas yang berukuran cukup lebar
berisi daftar nomor-nom or peserta tes pendaftaran guru yang
dinyatakan telah lulus, dan segera akan diangkat sebagai tenaga
pendidik yang baru. Dengan dada berdebar"debar Joko mengamati nomor demi
nomor yang tertera di halaman kertas pengumuman tersebut.
RUpanya dewa keberhasilan memang menyertainya hari ini.
Ketika nomor tesnya ia dapati tercantum di antara nomor"nom or
lainnya. Joko segera menerobos keluar dari kerumunan itu Untuk
menemui Bambang yang memang sejak tadi hanya menunggunya
di teras kantor. Wajah Joko saat itu persis seperti wajah seorang
anak kecil yang baru dibelikan balon gas oleh ayahnya. Tidak bisa
dikatakan bagaimana dalam kebahagiaannya saat itu.
"Mas! Mas Bambang! Berhasil, Mas! Saya lUlUs!" serU loko
seraya memeluk tUbUh kakaknya dengan kegembiraan yang
meluap"luap. "Ben ar"!" tanya Bambang seolah belum percaya.
"Iya, Mas. Coba Mas Bambang lihat sendiri. Ayo, Mas,"
ajak loko sambil menyeret tangan kakaknya untuk mengikutinya
masuk ruangan. Bambang terpaksa menuruti kemauan adiknya. Mereka
kemudian menyelusup dalam kerumunan orang banyak yang
masih berjejal. TelUnjUk tangan loko langsung menUnjUk di mana
nomor tesnya tercantum. Bambang pUn melihatnya dengan rasa
bangga bercampur haru. Tidak ada lagi kata-kata yang terUcap
dari mulutnya setelah melihat dengan jelas nomor tes Joko tertera
di antara deretan nomor lainnya. Di dalam hati berulang"Ulang ia
menchap syukur alhamdulillah.
Setelah merasa puas, kedua kakak-beradik itu kemudian ke
luar ruangan dan berlalu meninggalkan kantor menuju jalan raya.
Mereka naik mikrolet kembali menuju Pasar Baru.
"Kita jadi nonton, Mas?" Joko mengingatkan janji kakaknya
setelah mereka sampai di Pasar BarU.
EB. Bambang melirikjam tangannya "Wah, sekarang baru pukul
tiga Ko. Pertunjukan sore dimulai pada pukul empat. Lebih baik
kita makan dUlU sambil menunggu waktu."
"Yah... boleh juga. Mumpung ada orang baik hati hari ini,"
Ujar Joko berseloroh. "Memangnya belUm pernah ditraktir Mas Bambang, ha"!"
Joko hanya tertawa kecil. Mereka kemudian memasuki
sebuah rUmah makan yang tidak terlalU jauh dari tempat itU.
Kemudian, sambil menyantap makanan keduanya kembali larUt
dalam obrolan. Sesekali terden gar tawa lepas di sela pembicaraan
mereka. "Nah, sekarang Mas Bambang tidak perlu melecehkan
rencana muluk saya lagi. Ayo kita atur kembali rencana yang
sempat terbengkalai tadi. Kini Mas Bambang boleh menentukan
Untuk menyanggupi siapa yang akan dibantu di antara kedua adik
kita itu. Narti atau Larmin, Mas" Jika Mas Bambang memilih Narti,
maka saya harus mem biayai Larmin. Jika Mas Bambang maU pilih
Larmin, sayajU ga setuju. Kalau tid ak, pilih keduanya saja sekalian,
Mas?" "Huuu...," sahUt Bambang sambil mengemyitkan keningnya.
"Kasihan kamu nanti kalau terlalu cepat kaya."
"Mana ada seorang gUru yang bisa kaya, Mas. KalaU cuma
sekadar mengandalkan gaji, paling"paling bisa membeli sepeda
kumbang. KalaU ada kesempatan UntUk korUpsi, paling cUma bisa
korupsi beberapa kotak kapUrtUlis. Yang paling tinggi, ya, korupsi
waktulah...," kelakar Joko sambil tertawa"tawa.
"Ee, siapa tahu, Ko. Siapa yang bisa menebak nasib orang.
Misalnya, kamu termasuk salah satu gUru yang berprestasi, lalU
mendapat penghargaan dan tunjangan khusus. Mungkin berupa
gaji dUa kali lipat sebulan."
"Ah, itu cuma mungkin dalam mimpi, Mas. Apalagi kalau
cuma di tempat rendahan seperti guru SD, mana ada kesempatan
emas seperti itU Lain dengan pengusaha. Setiap merampungkan
satu proyek mereka dapat membeli sebuah mobil. Nah, secara
34 -'._', ";.- & mmm-namum.- Bajaj Pusuk: akal itu kan lebih memungkinkan, Mas."
"Ya, kalaU pengusaha yang juga nasibnya lagi mujur. Kalau
tidak, wah, malah mungkin lebih menderita daripada orang
seperti kita ini. Ko, coba kaU ingat kembali bagaimana tragisnya
nasib CV Bima Sakti di kota Bantul dulu setelah mereka bangkrut


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan gUlUng tikar. Konon, sekarang pemiliknya jatuh miskin dan
masih banyak menanggung hutang di bank. Nah, bagaimana
kalau sudah seperti itu."
"Semuanya memang tergantung pada Usaha dan nasib
seseorang, Mas. Tetapi, mudah-mudahan nasib kita senantiasa
mujur. Biar terus bisa membantu keluargadi kampung," UjarJoko
kembali mengingatkan persoalan tadi.
Bambang tersenyum. Ia segera mengerti maksUd adiknya.
"Kau maU bicara soal itu lagi?" ucap Bambang menjajaki
pikiran adiknya. Begini saja, Ko. Soal rencanamu mau membantu
ibU Untuk membiayai sekolah Narti dan Larmin memang penting,
tetapi itu bisa kita bicarakan lagi lain waktu di rumah. Lagi pula,
itU bukan masalah mendesak yang harus segera diselesaikan.
Sekarang kita lupakan dUlU Untuk sementara. Ayo habiskan
makannya. Sekarang sudah hampir jam pertunjukan. Kita harus
segera membeli karcis kalau tidak ingin ketinggalan."
Jokotidak menyahut lagi. Ia segera menyelesaikan makannya
Usai membayar makanan mereka langsung beranjak menuju
loket bioskop Banjarmasin Theatre. Bambang mengeluarkan
selembar Uang lima ribuan UntUk membayar dua lembar karcis
tanda masUk. Tidak lama kemudian, mereka pUn menghilang di
balik pintu masuk bioskop itu.
Selama pertunjukan film berlangsung, tampak Joko
mengikutinya dengan serius sampai Usai. Sebuah film menarik
yang mengisahkan bagaimana arus kehidupan yang ditempuh
oleh seorang seniman tari wanita di tengah ganasnya tuntutan
hidUp di kota metropolitan. Perjuangan berat mempertahankan
idealisme kesenian melawan kuatnya dominasi budaya populer
di Amerika. Harga seni dan kebudayaan yang menjunjung tinggi
EB. harkat kemanusiaan sudah nyata semakin merosot nilainya di mata
masyarakat indUstrial yang sudah diperbudak UrUsan ekonomi dan
harta benda. Apakah sudah demikian merosotnya harga kemanusiaan di
Amerika" Benarkah kehidUpan orang Barat itU memang rata"rata
sudah sangat indiyidual" Bagaimana seandainya hal semacam
itU jUga akan terjadi di negeri yang ber"Pancasila ini" Tetapi,
mungkinkah" Demikian, pertanyaan"pertanyaan yang muncul di benak
Joko seusai menonton film tersebut Akhirnya, ia mendapatkan
kesimpulan sendiri setelah pikirannya terus berputar sekitar
persoalan-persoalan itu bahwa memang di Indonesia pun tidak
mustahil kehidupan semacam itu akan pula terjadi dan berlaku
tanpa dikehendaki. Sebab, melihat pengalaman negara"negara
maju, kehidUpan indiyidUal itU seakan sUdah menjadi ciri
masyarakat industrial. Padahal kini Indonesia telah mulai bersiap
Untuk menjadi negera industri maju.
Lepas magrib baru kedua kakak"beradik itU sam pai di rumah.
Merekal angsUngterbaring melepas lelah. Matalokoberkedap"kedip
di bawah remang lampu. Cerita film yang baru saja ditontonnya
itU sesekali masih terlintas di matanya Kadang"kadang pikirannya
jauh melayang membayangkan hari"hari depannya kelak bila
sudah mengajar di depan kelas. Ia bayangkan bagaimana nanti
ia akan dipanggil murid-muridnya dengan panggilan Pak Guru
yang saat ini terasa sangat lucu di telinganya. Sesekali terbayang
pUla wajah ibunya yang tulUs, wajah Narti yang sendU, atau suara
Larmin yang jenaka. Semua bayangan itu berkelebat silih berganti
mengisi ruang pikirannya hingga larut malam.
mmm-namum.- Bajaj eman: Enam Selepas waktU isya, beberapa tetanggayangtadi sore diundang
Bambang mulai berdatangan. Beberapa rekan sekantornya yang
tadi siang sempat diundangnya juga sudah berdatangan sejak
lepas magrib tadi. Malam ini adalah malam syukuran Untuk
keberhasilan Joko diterima dalam pengangkatan gUru yang
diadakan pemerintah tahun ini. Seminggu yang lalU surat tugas
dan sUrat keputUsan pengangkatannya telah keluar. Besok ia akan
segera berangkat menuju tempat tugasnya.
"Assalamualaikum," suara seorang tamu memasuki halaman
rumah. r'ii'iialalaikum salam. Mari silakan masuk, Pak" sahut Bambang
ramah sambil mengenali wajah tamu itU sebelum sampai di
depannya. "Maaf, Nak Bambang. Agak terlambat. Soalnyatadi ada tamu
di rumah bapak. Tidak enak rasanya langsung meninggalkan," Ujar
tamu itu lagi seraya mengulurkan tangannya kepada Bambang.
"Wah, wah, Pak Haji rupanya Alhamdulillah Bapak berkenan
datang ke tempat kami," suara Bam bang ramah menyambut Pak
Haji SUhaimi sebagai tUa sepuh di lingkungan itu. "Mari, Pak
Haji. Langsung masuk saja! Kita masih menunggu beberapa orang
Undangan lagi." "Ya terima kasih. Ayo! Mari masUk semuanya" ajak Fak Haji
Suhaimi kepada beberapa orang yang masih berdiri di luar.
"Mari, Bapak"bapak. Mari silakan masUk dUlU sambil
menunggu yang belum datang," Ujar Bambang sekali lagi
mempersilakan tamu"tamunya memasuki ruangan.
Tidak berapa lama kemudian, tamu-tamu yang tadi masih
ditunggu Bambang berdatangan satu demi satu. Setelah semua
EB. undangan hadir, acara selamatan itu pun segeradimulai. Bambang
selaku tuan rumah lalU membuka acara.
"Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ujarnya
mengawali sambutannya. Kemudian, ia sejenak diam sambil
memandangi tamu-tamunya. Para tamu pUn tenang menunggu
kata"kata Bambang selanjutnya.
"Bapak"bapak dan Saudara sekalian," lanjut Bambang,
"pertama"tama saya sebagai tuan rumah mengucapkan banyak
terima kasih atas kesediaan Bapak dan Saudara semua meluangkan
waktu untuk datang menghadiri undangan kami pada malam ini.
Adapun tujuan kami mengundang Bapak"bapak dan Saudara
semua adalah dalam rangka acara syukuran atas keberhasilan
adik kami dalam mengikuti tes pengangkatan gurU yang diadakan
sebulan yang lalu. Besok hari, insyaAllah, sayadan Dik Joko akan
berangkat ke tempat tu gas itu. Untuk itu pula kami m ohon doa dari
Bapak dan Saudara semua, mudah"mudahan di tempat yang baru
itu nanti Dik Joko mendapatkan keselamatan dan ketenteraman."
"Amiin...," sahut para undangan hampir bersamaan. Mereka
saling berpandangan satu sama lain, dan kemudian manggut-
manggUt setelah mendengar penjelasan Bam bang.
"Bapak-bapak dan Saudara sekalian," lanjut Bambang lagi,
"kiranya saya tidak berpanjang"lebar dalam kata sambutan ini.
Namun, sebelumnya saya mohon maaf yang sedalam"dalamnya
seandainya dalam pelayanan kami pada malam ini terdapat hal-
hal yang kurang pada tempatnya. Karena itU, sudilah kiranya
Bapak dan Saudara semua untuk memaafkan dan memakluminya
Selanjutnya saya mintadengan hormat kepada Bapak Haji SU haimi
untuk memimpin acara selamatan ini hingga selesai.
Nah, kiranya sampai di sini saja kata sambutan dari saya.
Salah khilafnya mohon maaf. Akhirul kalam, wassalamu Jalaikum
warahmatu Ilahi wabarakatuh," Ujar Bambang menutUp kata
sam butannya. ";.- & mmm-namum.- Bajaj eman: Pak Haji Suhaimi pun segera mulai memimpin acara
selamatan itu dengan diawali pembacaan surat Ai"Fatikah.
Kemudian, disambung secara bersama"sama membaca surat Yasin
dan Shalawat Tafrijiyah sepuluh kali. Setelah itu, Pak Haji Suhaimi
membacakan doa selamat sebagai penutup acara.
Joko sedari tadi hanya berdiam diri saja. Ia merasa belum
pantas untuk ikut ambil bicara dengan para orang tua yang
menghadiri Undangan mereka itu. Hanya sesekali ia buka suara
apabila ditanya, atau karena dianggapnya sangat perlu.
"Selamat, NakJoko," sapa Pak Haji Suhaimi sambil menjabat
tangannya. "Muda"muda begini sekarang sudah menjadi Bapak
Guru. Ditugaskan di daerah mana tadi, Nak?"
"Di salah satu sekolah dasar di KabUpaten Tanah Laut, Pak
Haji," jawab Joko agak malu"malu.
"Oh, ya" Lengkapnya di mana itu, Nak?"
Joko diam sebentar mengingat"ingat. Keningnya tampak
berkerut-kerut seperti orang berpikir keras. "Emm... kalau tidak
salah ingat... di SDN Halimun, Kecamatan Kintapura."
"Wah, di mana pula itu, Nak?"
"Kami sendiri belum tahu persis tempat itu, Pak Haji. Kami
ini kan termasuk orang yang masih baru tinggal di Kalimantan ini.
Ke kabupatennya saja belum pernah. Apalagi ke pelosoknya Pak
Haji," ujarJoko menerangkan.
"Yah..., kalau bapak sebenarnya cUkUp sering juga ke Tanah
Laut. Tetapi, cuma sebatas kota kabupatennya saja Nak Joko.
Kalau ke Kecamatan Kintapura, juga tidak pernah tahu sama sekali.
Sampai setua ini bapak cuma dengar namanya saja," Ujar Pak Haji
Suhaimi dengan mata tuanya yang masih tampak berbinar"binar
itu. "Mudah-mud ahan tempat itu tidak terlalu jauh letaknya dari
kota kabupaten. Semoga Nak Joko nanti merasa betah tinggal di
sana. Soal jarak dan tempat tidak akan menjadi masalah lagi jika
kita sudah senang menerimanya"
EB. "...karena itu, kalau kita sedang di tengah masyarakat
desa, janganlah seperti orang di kota
"Mudah"m udahan begitu, Pak Haji," sahut Joko singkat.
"N ah, sekarangji ka boleh bapak berpesan,]ika N akJoko sudah
tinggal dan mengajar di sana jadilah guru yang baik dan harus
pandai-pandai membawa diri di tengah pergaulan masyarakat
Kita harUs menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain.
Perlu Nak Joko ketahui, cara hidUp orang desa tidak sama dengan
orang"orang yang tinggal di perkotaan seperti di sini, misalnya.
Karena itu, kalau kita sedang hidUp di tengah masyarakat desa
janganlah berbuat seolah-olah kita hidup dan tinggal di kota.
Nanti kita sendiri yangjadi susah. Ingat itu, NakJoko," pesan Pak
Haji Suhaimi sebelum berpamitan pulang.
"Insya Allah akan selalu saya ingat Pak Haji," sahut Joko
dengan suara lemah sambil mengantarkan orang tua itU sampai
di depan pintu. Setelah itu, tam u"tamu yang lain juga berpamitan minta diri
satu demi satu. Sebentar kemudian, suasana di rumah itu kembali
sepi. Kini yang terdengar hanyalah gemerincing suara piring-
sendok dari beberapa ibU tetangga yang sedang mencUci alat"
alat dapur di belakang rumah. Mereka memang sejak sore tadi
telah membantu menyiapkan segala keperluan dapur untuk acara
tersebut. BersamaBambangyang akan mengantarkan, keesokan paginya
Joko berangkat menuju tempat tugasnya Setelah menempuh
perjalanan selama satu jam lebih, sampailah mereka di Pelaihari,
kota Kabupaten Tanah Laut. Di tempat ini mereka menanyakan di
mana letak Kantor Cabang Dinas Depdikbud setempat. Kemudian,
dengan menumpang ojek sepeda motor mereka men uju ke kantor
tersebut guna melaporkan diri dan minta penjelasan lebih lanjut.
Sesudah itu, kembali kedua kakak beradik itu menuju ke terminal
kembali mencari taksi jurusan Kintapura tempat di mana Joko
akan memulai tugasnya sebagai seorang gUru.
Di sepanjang perjalanan itu Joko lebih banyak berdiam diri.
Namun, ketika melewati daerah perbukitan yang gUndUl, hatinya
jadi tertarik untuk mengetahui mengapa lingkungan itu bisa
menjadi gersang. Joko lalu mencoba bertanya kepada seorang
penumpang yang kebetulan duduk bersisian dengannya.
"Pak, daerah ini termasuk kecamatan mana?" Joko mulai
membuka pembicaraan. "Kecamatan Jorong. Desa Alur namanya Adik baru sekali
melintasi daerah ini?" orang itu balik bertanya.
"Benar, Fak. Baru sekali ini. Makanya saya sedikit bingung
melihat daerah ini. Gersang sekali kelihatannya. Di sana-sini
cuma ditumbuhi padang ilalang. Lalu, tonggak-tonggak akar yang
banyak itu bekas pohon"pohon apa. Pak?"
"Itulah bukti bekas"bekas kerakUsan manUsia Nak. Siapa
namanya?" "Joko Pranowo, Pak."
"Baiklah, Nak Joko," lanjut orang itu lagi, "dUlU daerah ini,
merupakan sebuah belantara yang penuh pepohonan lebat. Di
antara pohon"pohon itu yang paling mahal harganya adalah kayu
Ulin yang cukUp banyak tumbuh di sekitar tempat ini."
"Kayu ulin, Pak"!"
"Iya atau disebut orang juga kayu besi. Sebab, kerasnya
memang hampir menyamai besi."
"Oohhh..." ujarJoko mengerti, "Kalau di PulauJawa mungkin
bersaing dengan kayu jati, ya, Pak?"
"Yah, mungkin juga. Yang jelas orang berebutan Untuk
mendapatkannya secara cu ma"cuma. Dahulu daerah ini memang
belum ada yang mengurusnya, sehingga lama"kelamaan kayu"
kayu itu pun habis ditebang semua. Bahkan, di kemudian harinya
kayu"kayu lainnya pun turut dibabat pula sehingga kini kaulihat
sendiri daerah ini tinggal padang ilalang yang gersang. Tanahnya
pun sudah tidak subur lagi. Tonggak-tonggak kayu ulin itu kini
42. -'._', ";.- & mmm-namum.- Bajaj eman: tinggal menjadi tugu"tugu kegagalan manusia. Bukti kegagalan
kehidUpan nenek moyang kita mewariskan lingkungan Untuk
anak-cucunya." Joko manggut"manggut merasa kagum mendengar penjelasan
orangtua di sampingnya. Benar juga, kata Joko dalam hati. Jika
saja dulu para orang tua sempat memikirkan bahwa alam yang
mereka terima hanyalah titipan Tuhan untuk anak"cUcUnya, tidak
mungkin lingkungan ini menjadi padang ilalang yang gersang.
Tentu mereka akan merawatdan menjaganya dengan baik. Tetapi,
yah... manUsia memangtam ak sifatnya. Hal"hal seperti inilah yang
seh arusnya mendapat perhatian pemerintah sekarang ini. Oknum-
oknum yang tidak bertanggung jawab harus benar-benar ditindak
sesuai hukum yang berlaku. Demikian pikiran Joko saat itu yang
semakin larut dalam persoalan pelestarian lingkungan. Ia juga
sangat kagum pada jalan pikiran orang tua di sampingnya yang
telah banyak memberi masukan kepadanya.
Tidak berapa lama kemudian, mereka telah sampai di kota
Kecamatan Kintapura. Setelah membayar ongkos kendaraan,
mereka langsung mencari Kantor Depdikbud Kecamatan
Kintapura untuk kembali melaporkan diri dan minta informasi
lebih lengkap tentang data tempat tugas Joko. Meski saat itu hari
sudah menjelang pukul dua siang, tetapi mereka tetap berusaha
supaya bisa menyelesaikan urusan itu secepatnya.
Joko dan Bambang sedikit merasaterkejut setelah mendengar
penjelasan dari Bapak Kakandepdikbud Kecamatan Kintapura itu.
Beliau memberikan data tem pat tugas Joko selengkapnya sambil


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesekali memberi penjelasan tambahan.
"Dari kota kecamatan ini," ujar Pak Kakandepdikbud itu
menjelaskan, "Saudara bisa naik ojek dulu sampai ke Desa
Salaman Baru. Setelah itu, Saudara naik perahu kelotok melewati
Sungai Famandian, terUs belok ke Sungai Bidawang, dan naik ke
Desa Usung Gangsa. Nah, di sana sebaiknya Saudara melapor
dUlU kepada Kepala Sekolah Dasar setempat. Sekolah yang bakal
Saudara tempati nanti adalah sebuah sekolah dasar filial"nya.
Setelah itu, Saudara terpaksa harUs berjalan kaki menuju Desa
Halimun. Lamanya perjalanan kurang-lebih dua jam. Sampai
sekarang memang belum ada kendaraan yang menuju ke sana.
Sebab, jalannya masih berUpajalan setapak dan batu"batu runcing
karena desa tersebut berada di lereng Pegunungan MeratUs."
"Jadi, masih jauh dari tempat ini, Pak?" Joko bertanya dengan
gugup. "Benar. Jaraknya kira"kira lima belas kilometer lagi," ujar
Bapak Kepala Kantor itU tenang. Ia berUsaha tersenyum seolah
berusaha menghibur kedua tamunya yang tampak tegang itu.
Joko hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak pernah ia
Pendekar Bego 11 Pendekar Slebor 67 Rahasia Sebelas Jari Mutiara Dari Selatan 2
^