Pencarian

Untuk Sebuah Pengabdian 2

Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata Bagian 2


bayangkan bakal mendapatkan tempat tugas sejauh itu. Ingin
rasanya ia menolak, tetapi ia telah berjanji bersedia ditempatkan
di seluruh wilayah Republik Indonesia Dengan demikian,
sekalipun tempatnya jauh lebih terpen cil dari itu, ia harus bersedia
menerimanya. Kini ia hanya bisa memasrahkan segalanya kepada
Tuhan yang mengatur semesta alam. Dalam hati ia selalu berdoa
agar kelak bisa mendapat ketenangan dan ketenteraman dalam
menjalankan tugasnya di sana.
"Oh, ya bila tidak keberatan, saya mempersilakan Saudara
berdua untuk menginap di rumah kami malam ini. Sebab, bila
memaksakandirijugaUntUkmelanjUtkan perjalanan,kemungkinan
kalian berdua akan kemalaman di jalan. Apalagi bila malam ini
tidak ada perahu yang menuju ke sana. Tentu saja kalian tidak
dapat mencapai tempat itu. Akan tetapi, esok hari kebetulan
adalah hari pasar di sini. Jadi, besok pasti ada perahu kelotok yang
dapat mem bawa kalian sampai ke san a."
Sesaat keduanya saling berpandangan. Kemudian, Bambang
menyampaikan keputusannya.
"Baiklah kalau begitu. Pak. Kami akan menginap di rumah
Bapak malam ini. Apalagi kami sama sekali belum mengenal
daerah yang akan dilalui nanti."
..,: 5,3 mmm-namum.- Bajaj eman: "N ah. kalau demikian, sekarang mari kita pulang bersama"
sama. Hari sudah pukul dUa siang. Insya Allah besok akan ada
seorang petugas kami yang bersedia mengantarkan Saudara
berdua ke desa itu. Jika tidak ada perubahan jadwal, besok hari
Pak Muchtar ada kunjungan kerja ke SDN Lasung Gangsa. Jadi.
mungkin ia bisa saja sekalian langsung mengantarkan Saudara
berdua." "Terima kasih sebelumnya Pak."
"Ya sama-sama. Ayo, kita ke rumah!"
"Baik. Fak," sahut Bambang dan Joko seraya berjalan
mengikuti kepala kantor itU di belakangnya.
Tampak para pegawai kantor itu juga mUlai meninggalkan
tugasnya satu per satu. Hari sudah semakin siang. Panas matahari
masih terasa menyengat. Cahayanya yang jatuh pada permukaan
jalan berpasir yang mereka lewati pun terasa menambah gerah.
Meskipun rasa prihatin, cemas, dan takut masih bercampU r"
baurdalam hatinya saat itu, tetapi sesUngguhnyaJoko kini merasa
sedikit lega. Betapa tidak. Jalan telah sedikit terbuka bagi nya untuk
menuju sebuah pengabdian.
_f -_ 45 . _, 5P Tujuh Pagi tadi Bambang telah berangkat meninggalkan Joko Untuk
kembali ke Banjarmasin. Ia tidak bisa berlama"lama menemani
adiknya di tempat yang baru ini. Besok hari ia harus segera masuk
kerja kembali setelah tiga hari meninggalkan tugasnya. Meskipun
hati terasa berat untuk meninggal kan adiknya di tempat yang sunyi
seperti Desa Halimun ini, tetapi apa hendak dikata. Semua itU
adalah resiko yang harus ditempuh adiknya dalam menunaikan
tugas sebagai seorang guru sekolah dasar.
Di ambang pintu perumahan dinas gurU di sekolah itU
sudah berjam-jam Joko duduk seorang diri. Termenung sambil
bertopang dagu. Hatinya nelangsa memikirkan nasibnya di hari"
hari mendatang. Pikirannya rawan dibayangi kesunyian seolah
hidupnya berada dalam lingkaran kemustahilan. Kini ia benar-
benar merasakan hidUp seorang diri di tempat ini.
Desa Halimun memang sebuah desa yang cukup terpencil di
Kecamatan Kintapura. Letaknya lepat berada di tengah lingkung
pegunungan yang memagarinya bagai benteng raksasa sehingga
alam di desa ini mirip sebuah kawah yang mahaluas. Sesuai
dengan namanya, setiap pagi desa ini selalu ditutUpi oleh kabut
tebal hingga menjelang siang hari. Dengan demikian, dapat
dibayangkan betapa sejuknya udara di tempat ini.
SDN Halimun tepat berdiri di ujung desa sebelah barat, di
mUlUt satu daerah perkampungan yang agak ram ai penduduknya.
Tidak begitu jauh di belakangnya terbentang Sungai Landas yang
penuh riam dan berbatu"batu, membelah Desa Halimun hingga
bermuara di Sungai Bidawang di Desa Lasung Batu. Rumah-
rumah penduduk tampak masih sangatjarang dan berkelompok"
kelompok memencar tidak beraturan. Hanya di tengah desa, di
46 'if- "::; QE- v"nnmmm-uun Bajaj eman:
sekitar rumah kepala desa, kelihatan kelompok bangunan rumah
terbanyak dan sedikit ramai.
Joko kemudian melangkah ke halaman yang masih penuh
rumput liar agar lebih leluasa memandang alam lingkungannya.
Matanya menyapu sekeliling. Hanya tampak hijau hutan yang
memagari tempat tinggalnya. Ada sebentuk kesejukan yang terasa
di dalam batinnya saat itu. Betapa damai hidUp di alam terbuka
seperti ini, gumam Joko. Sekilas pikirannya membandingkan
dengan kehidupan kota. Meski jauh dari keramaian dunia luar,
tetapi hidUp tidak terUs didesak perkembangan zaman yang
serba rumit dan penuh persaingan. Orang-orang kota senantiasa
dikejar"kejar oleh tuntutan hidUp yang aneh"aneh. Mereka selalu
dibayangi rasa cemas, cemburu, dan gelisah. Namun, bila Joko
kembali terkenang keadaan dirinya kini, maka batinnya kembali
merasakan kesendirian dan kesepian. Ingin rasanya ia cepat"cepat
pulang ke Banjarmasin bersama kakaknya, atau kembali hidUp
berkumpul dengan ibu dan adik"adiknya di kampung halaman.
Namun, ia mencoba untuk tabah menghadapi kenyataan ini.
Sebagai guru muda ini merupakan sebuah tantangan baginya.
Inilah awal pengabdiannya. Pengabdian seorang guru muda di
sebuah desa yang jauh dari keramaian kota.
Dalam kesunyiannya itu tiba-tiba Joko dikejutkan oleh suara
seseorang yang menyapanya dari belakang. Wajahnya tampak
sedikit pucat ketika berpaling ke arah asal suara itu. Dilihatnya
seorang lelaki setengah baya sedang memikul sekebat kayu bakar
di bahunya. Joko agak ragu"ragu membalas menyapanya. Tetapi,
tampak orang itu segera memakluminya sebagai orang baru di
Desa Halimun. Ia pun segera hendak menerUSkan langkahnya.
"Ee... dari mana, Pak?" TegurJoko memberanikan diri. Suara
itU seolah ke luar tanpa dikehendakinya.
Lelaki itu kembali menghentikan langkahnya dan menoleh
ke arah Joko sambil tersenyum ramah. Kemudian, ia menurunkan
pikulannya ke sisi jalan. Sambil mengipas"ngipas badan dengan
topinya ia melangkah mendekati Joko.
"Kapan datangnya, Pak Guru?" tanya orang itU kemudian.
"Kemarin petang, Pak," sahut Joko agak gugup.
"Ooh...," ujar lelaki itu lagi sambil tersenyum dan manggut-
manggut. Agak bingung juga Joko menghadapi orang yang baru
dikenalnya itu. Dari mana tahU kalau ia adalah seorang guru
baru di sini. Sementara itu, ia sendiri baru datang kemarin sore
dan belum sempat mengenal siapa-siapa kecuali Pak Kades yang
tadi malam dijumpainya bersama Bambang Untuk melapor dan
sekaligus berkenalan. Namun, Joko tidak ingin ambil pusing dari
mana orang itu mendapatkan keterangan tentang dirinya. Ah,
paling" paling dari Pak Kades, pikirnya menyimpulkan.
"Lebih baik kita duduk"duduk di sana dulu sambil beristirahat,
Pak. Mungkin Bapak masih kelelahan habis mencari kayu," ajak
Joko sambil melangkah ke teras perumahan dinas itu.
Lelaki setengah baya itu langsung saja mengikuti Joko duduk
di teras rumah sambil terus mengipas"ngipaskan topinya. Keadaan
perumahan itu tampak masih kotor-kotor di sana-sini. Halaman
dan sekelilingnya masih penuh ditumbuhi rumputan liar karena
tidak terawat. Hari kemarin Joko dan Bambang hanya sempat
mem bersihkan bagian ruangan dalam dan tempat tidur.
"Bagaimana rasanya tinggal di tempat ini, Pak Guru?" tanya
orang itu lagi setelah duduk bersisian dengan Joko.
"Yah..., apa boleh buat, Pak. Di sini adalah tempat tugas
saya. Saya akan mencobanya untuk bisa betah tinggal di desa ini
meskipun memang terasa sangat sunyi."
"Pak Guru tidak merasa takut tinggal sendirian di sini" Dulu
juga pernah datang seorang guru muda seperti Pak Guru. Kira-kira
setahun yang lalu. Pak Asbi namanya. Namun, ia hanya sempat
43 -'._', ";.- QE- v"nnmmm-uun Bajaj eman:
dua bulan tinggal di sini, ia sudah pulang dan tidak pernah
kembali lagi kedesa ini."
"Ken apa jadi begitu, Pak?" Joko merasa kurang yakin.
"Entahlah, Pak Guru. Tetapi, begitulah kenyataannya. Pak
Asbi hanya sempat dua bulan mengajar di sekolah ini. Kebetulan
anak saya juga ada yang sekolah. Jadi, saya banyak tahU dari dia.
Anak saya sering menceritakan tentang Pak Asbi di sekolahnya."
"Ooh...," ujarJoko sambil menimbang-nimbang cerita orang
itU. Joko menangkap seperti ada yang dirahasiakan dari sorot
matanya. Lelaki itu diam, merasa tidak enak dipandangi Joko yang
seperti ingin menyelidik.
"Oh, ya, rumah Bapak di mana" Masih jauh, Pak?" Joko
merasa tertarik untuk mengenal orang itu lebih jauh.
"Ah, tidakjauh dari sini. Hanya sekitardua ratus meter lagi ke
timur membujurjalan ini," sahut lelaki setengah baya itu sambil
mengacungkan telunjuknya ke arah timUr jalan. "Nah, Pak Guru
boleh jalan"jalan ke sana kalau ingin tahu gubuk bapak. Tetapi,
maklum saja. Keadaannya terlalu sederhana, Pak Guru."
Joko tertarik mendengar tawaran orang itu untuk bertandang
ke rumahnya, terutama karena ia ingin mengenal lingkungan
masyarakatnya secara lebih dekat. Ini merupakan kesempatan
pembuka baginya untuk lebih jauh mengenal dan sekaligUs
melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarakatdi hari"hari yang
akan datang. "Wah, terima kasih sekali, Fak. Kalau boleh, saya ingin
sekarang saja langsung ke tempat Bapak. Mumpung hari belum
terlalu sore," ujar Joko memastikan kesediaannya.
"Oh, kalau begitu, mari Pak Guru bersip"siap. Kita langsung
saja berangkat." "Tetapi, maaf, saya telah merepotkan Bapak."
"Oh, tidak. Mari, Pak Guru."
Setelah mengunci pintu rumah, Joko pun segera mengikuti
langkah lelaki yang baru dikenalnya itU di belakang. Sepanjang
jalan keduanya kembali terlibat dalam perbincangan yang lebih
akrab. Dari beberapapendudukyang bertemu dan menegur mereka
di perjalanan tahulah Joko kalau lelaki berumur sekitar empat
puluhan itU bernama Pak Lumbah. Kemudian, baru diketahuinya
pula bahwa Pak Lumbah ternyata Ketua RT di lingkungannya
seperti yang tertera pada papan kecil di depan rumahnya.
"Wah, rupanya Bapak Ketua RT di sni," tegur Joko ketika
memasuki halaman rumah Pak Lumbah.
"Ah, macam"macam saja, Pak Guru. Cuma kebetulan
dipercaya Pak Kades. Habis tidak ada yang lain lagi," ujar Pak
Lumbah sedikit merendah. Kemudian, ia memanggil-manggil
istrinya untuk dibukakan pintu depan.
"Nah, ini anak sayayangsekolah itu. Baru kelas lima sekarang,"
kata Pak Lumbah ketika ternyata anaknya yang membukakan
pintu. Joko hanya manggut"manggut seraya tersenyum memandan gi
anak itu. Si anakjuga balas tersenyum"senyum malu.
"Nut, inilah guru barUmU yang akan menggantikan Pak Asbi
seperti yang kaUceritakan kemarin. Beliau baru datang kemarin
sore ke desa kita ini," ujar Pak Lumbah lagi. Ia lalu mengenalkan
anaknya yang kini sudah berUsia sebelas tahun itu kepada Joko.
Pak Lumbah menyilakan Joko Untuk masuk. Ia kemudian
minta diri sebentar untuk membersihkan diri ke belakang. Kini
Joko hanya ditemani anak Pak Lumbah di ruang tamu sehingga
suasana menjadi kurang hangat. Namun, Joko mencoba mengajak
anak itu untuk maU mengobrol dengannya.
"Wah, senang sekali bapak bertemu denganmu. Siapa
namamu?" Ujar Joko memancing anak itU agar bersuara.
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"Cenut," jawabnya singkat dan masih malu"malu.
"Oo, CenUt," Ujar Joko sambil mengangguk"anggukkan
kepalanya. "Jadi, Cenut sudah duduk di kelas lima, ya" Barapa
orang teman sekelasmU, Nut?"
"Delapan, Pak."
"Dimana saja rumah mereka?"
"Jauh"jauh, Pak Guru. Yang agak dekat dari sini hanya tiga
orang. Siti, Kacui, dan Budin. Yang kelihatan dari sini itu adalah
rumah Budin. Rumah Kacui dan Siti agak jauh di bawah sana,"
jelas Cenut sambil menunjuk ke bagian lembah sebelah selatan.
"Jadi, setiap hari mereka sekolah dari tempat yang berjauhan
seperti itu?" "Iya, Pak Guru. Memang rumah-rumah penduduk di sini
banyak yang berjauhan seperti itu. Bahkan, ada sebagian yang
suka pindah-pindah mengikuti kebun yang baru mereka garap."
Joko hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar keterangan
Cenut. Tidak berapa lama kemudian, Pak Lumbah sudah kembali
dUdUk bersamanya. Obrolan disambung kembali dengan suasana
lebih hangat. Menjelang sore hari Joko baru pulang dari rumah
Pak Lumbah. Begitu banyak pengalaman berharga yang telah
didapatkannya dari kedua anak"beranak itu. Paling tidak hal
itu akan berguna bagi rencana-rencana Joko selanjutnya dalam
mengemban tugas di desa ini. Ia berharap tidak hanya bisa
bertindak sebagai seorang guru yang mengajar dan m endidik anak"
anak di sekolah. Tetapi, lebih dari itu, ia ingin menyumbangkan
segala kemampuannya untuk kepentingan masyarakat banyak.
Kini Joko sudah mUlai memahami keadaan masyarakat Desa
Halimun. Ternyata penghidupan mereka masih banyak yang
melakukan sistem ladang berpindah. Padahal, tindakan semacam
itu justru nanti akan merugikan mereka sendiri. Pohon"pohon
terUs ditebang Untuk membuka ladang baru, sedangkan ladang
yang lama hanya ditinggalkan begitu saja tanpa ditanami dengan
pohon"pohon pengganti. Ini tentu mengakibatkan kesuburan
tanah di daerah ini habis terkikis air hujan sepetak demi sepetak.
Mereka tidak menyadari akan timbulnya akibat"akibat lain yang
lebih fatal puluhan tahun mendatang. Anak-cucu mereka yang
mewarisi alam ini di masa mendatanglah yang akan merasakan
akibatnya. Ini merupakan tantangan bagi Joko dalam mengemban
tugasnya selaku intelektual masyarakat. Ia harus berusahamem beri
pengertian agar masyarakatnya segera menghentikan cara ladang
berpindah itu. Ia harus mampu menemukan jalan keluarnya.
mmm-namum.- Balai Pusuk: Delapan

Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari pertama memasuki kelas, Joko memang merasa sedikit
kaku. Betapa tidak, bertahun-tahun sudah iameninggalkan bangku
sekolah dan melUpakan ilmU mendidik yang pem ah dipelajarinya.
Pengalaman mengajar yang sempat dijalaninya selama berbulan-
bulan sewaktu praktek menjelang masa berakhimya waktu
pendidikan di SPO dulu benar"benar telah diIUpakannya sama
sekali. Oleh karena itu, hari"hari permulaannya sebagai seorang
guru serasa bagai sebuah pekerjaan yang masih asing baginya.
Namun, yang membuatnya sedikit terhibur adalah sikap anak"anak
didiknya yang tampak sangat senang menerima kehadirannya di
tengah mereka. Wajah mereka tampak riang gembira menyambut
kedatangan guru barunya. Seolah mereka telah mendapatkan
kembali sesuatu yang hilang.
Selama ini anak-anak memang tidak memiliki guru tetap
sepeninggal Pak Asbi bertahun yang lalu. Mereka hanya
mendapatkan pengajaran oleh beberapa guru dari SDN Lasung
Gangsa secara bergantian. Satu orang guru biasanya mendapat
tugas selama satu minggu berturut-turut menginap di Desa
Halimun untuk menunaikan tugasnya mengajar di sana. Bahkan,
tidak jarang anak"anak itu tidak mendapatkan pengajaran sama
sekali jika gurU dari SDN Lasung Gangsa yang tiga orang itu
berhalangan datang ke sekolah mereka. Tetapi, setelah kehadiran
Joko di sekolah itu, anak"an ak kem bali belajar rutin seperti ketika
Pak Asbi masih berada di sana. Meskipun Joko harus mengajar
secara borongan beberapa kelas dalam waktu bersamaan.
Berbulan"bulan kemudian, Joko menjadi terbiasa dengan
tugasnya sehari-hari di sekolah. Ia sangat dekat dengan anak-
anak didiknya. Ia telah mampu tampil sebagai guru yang disegani
sebagai pengganti orang tua dan sekaligUs sebagai seorang
sahabat yang menyenangkan bagi murid-muridnya. Bahkan,
seringkali beberapa orang muridnya, seperti Cenut, Budin, dan
Kacui bersedia menginap Untuk menemaninya di rumah sambil
belajar bersama di bawah bimbingan Joko.
Bagi anak"anak kelas tinggi telah dibentuk kelompok"
kelompok belajar sesuai dengan jarak tinggal mereka agar bisa
belajar bersama pada sore atau malam hari. Hal itu sangat
ditekankan Joko kepada anak"anak didiknya karena ia sendiri telah
merasakan m anfaatnyayang besar sem asa masih di bangku sekolah
dulu. Ia tidak hanya sekadar bisa menganjurkan, tetapi secara
bergiliran kelompok"kelompok itU dikontrolnya sambil langsung
memberikan bimbingan. Selain itu, untuk anak kelas IV sampai
kelas VI diwajibkannya untuk mengikuti latihan kepramukaan
yang diadakan setiap hari Sabtu sore. Oleh karena keadaan yang
tidak memungkinkan, anak"anak itu berlatih bidang kepramukaan
dengan pakaian seragam seadanya. Apa boleh buat! Anak"anak
mendapatkan berbagai ilmu dan keterampilan dari latihan-latihan
yang diberikan. Di samping itu, kegiatan tersebut dimaksudkan
Untuk memanfaatkan waktu kosong mereka agar tidak terbuang
percuma hanya dengan bermain"main.
Di tengah pergaulan masyarakat pun Joko sudah tid ak asing
lagi. Tenaga dan pikirannya sering diminta Pak Kades Untuk
membantu menjalankan tugas-tugasnya di desa. Bersama Pak
Kades dan beberapa tokoh masyarakat lainnya ia juga telah
berhasil menyadarkan masyarakat dari kelalaian mereka dalam
menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai umat beragama.
Selama ini kebanyakan anggota masyarakat di desa itU masih buta
dengan ilmu dan masalah-masalah keagamaan. Mereka hanya
bisa memikirkan bagaimana cara memperoleh hasil pertanian
54 'if- "::; QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
yang sebanyak"banyaknya. Mereka hanya memikirkan bagaimana
cara mendapatkan penghasilan yang cukUp Untuk menghidUpi
keluarganya. Mereka cuma memikirkan soal"soal pekerjaan,
makan, dan tidur. Tetapi, sejak keterlibatan Joko di tengah
mereka, kini sudah banyak yang bisa melaksanakan sembahyang
dan aturan-aturan agama lainnya. Bahkan, kini mereka sudah
mendirikan sebuah masjid darurat yang masih sangat sederhana.
Sekarang tinggal satu masalah lagi yang masih menjadi
beban pikiran Joko. Kebiasaan sebagian masyarakat yang masih
bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah ladang itu
rupanya memang sulit untuk dihapuskan begitu saja. Mereka
banyak yang tidak menerima anjuran Joko untuk meninggalkan
cara yang merugikan itu tanpa melihat hasil yangnyata meskipun
jalan keluarnya sudah diusahakan Joko bere'ama aparat desa
lainnya. Pak Kades telah menghubungi pihak kecamatan Untuk
bisa menyediakan pupuk, obat" obatarc'iydan berbagai kebutuhan
para petani melalui KUD yang ada di-sana. Tetapi, sayang usaha
itU belum berjalan mUlUs berhubung masih sulitnya transportasi
ke Desa Halimun dari kecamatan meskipun pihak kecamatan juga
sudah mengupayakannya"."'sedemikian rUpa. Sebulan yang lalu
penduduk desa ini juga telah mendapatkan bantuan dari Dinas
Peternakan berupa_tatUsan ekor induk ayam dan puluhan ekor
kambing sebagai,,pinjaman. Namun, Usaha itu pun tampaknya
harus menunggu'hasilnya dalam waktu yang cukup lama sehingga
masyarakat masih belum yakin akan usaha"usaha pemerintah
untuk membantu kesejahteraan penghidupan mereka. Petugas
penyuluh lapangan telah pula berkali-kali didatangkan dari
kecamatan untuk memberikan bimbingan dan petunjuk"petunjuk
tentang cara bertani atau beternak yang baik dan berdaya guna.
Namun, perubahan yang diharapkan itu hanya terlihat dalam
jumlah yang masih kecil. Tetapi, bagaiman apUn Joko merasa yakin
bahwa sistem ladang berpindah yang masih dilakukan sebagian
masyarakat itu akan terhapus secara berangsur"angsur.
Kini tampak Joko selalu terlibatdalam hampir semua kegiatan
pembangunan yang ada di Desa Halimun ini. Ia termasuk orang
yang punya banyak kesibukan selain tugas rutinnya mengajar di
sekolah. Pendek kata kini gurU muda ini benar"benartel ah menyatu
dalam pergaulan di masyarakat. Ia telah bisa menempatkan diri
dengan baik di tengah para orang tua anak-anak muda dan lebih-
lebih lagi murid"muridnya. Namun, bagaimanapun pandainya
seseorang menempatkan diri di tengah masyarakat banyak,
mestilah ada pula hal"hal yang tidak bisa diatasinya. Sekecil
apa pun masalah itu. Itulah kekurangan seorang manusia dalam
hidUpnya Tidak ada gading yang tidak retak, kata pepatah lama.
Seribu orang yang menyukai di depan kita seribu orang pula yang
membenci di belakang kita. Demikian pula yang terjadi pada diri
Joko, guru muda yang punya semangat pengabdian begitu tinggi
ini. Di antara banyaknya anggota masyarakat yang menyukai dan
menerima kehadirannya di tengah mereka, ternyata ada pula
sekelompok orang yang tidak menyukai keberadaan nya di Desa
Halimun ini. Walaupun demikian, Joko berusaha untuk selalu bisa
berbuat sebaik-baiknya untuk orang lain. Sebab, ia sendiri tidak
tahu persis siapa"siapa yang membenci ataUpun menyukainya.
Orang bisa saja berlagak penuh hormat di hadapannya, tetapi di
belakang sesungguhnya sebagai orang yang paling memusuhinya.
Tetapi, paling tidak ia sudah mendapatkan gambaran tentang hal
itu dari beberapa muridnya dan orang tua yang memang sudah
sangat dekat dengannya. Konon, mereka yang tidak menyukai
keberadaannya di desa itu adalah sekelompok orang yang masih
ingin mempertahankan tradisi ladang berpindah karena merasa
terancam oleh Usaha Joko yang selalu menganjurkan Untuk
meninggalkan cara itu. Bahkan, mereka beralasan bahwa Joko
sesungguhnya ingin menghapus kebudayaan leluhur mereka yang
sudah turun-temurun sejak lama itu.
Bila berada di rumah seorang diri, Joko sering menimbang"
nimbang dan memperhitungkan kembali apa"apa yang telah
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
diperbuatnya selama ini. Kenapa masih ada orang yang tidak
bisa menerimanya di desa ini" Mungkinkah ia telah membuat
suatu kesalahan terhadap orang lain" Ataukah orang lain yang
salah paham terhadap maksud baiknya" Pertanyaan"pertanyaan
semacam itulah yang sering mengganggu pikirannya belakangan
ini. Sampai-sampai ia seringtidak bisatidur semalam suntuk hanya
memikirkan masalah itu. Kepada Pak Kades atau tokoh masyarakat lain seperti Pak
Lumbah, Joko juga tidak segan-segan Untuk minta nasihat ataUpun
sekadartukar pendapat bila menghadapi su atu masalah yang sulit
dipecahkannya sendiri. Seperti ketika suatu kali ia menghadapi
sejumlah penduduk yang datang minta pertanggungjawabannya
karena mereka gagal panen setelah menuruti anjurannya untuk
meninggalkan sistem ladang berpindah. Hampir sajaJoko mereka
keroyok beramai-ramai jika saja Pak Lum bah tidak segera datang
menengahi persengketaan itu. Joko sudah berusaha berkali-kali
menjelaskan bahwa kegagalan itu bukanlah karena kesalahannya,
tetapi karena merekasendiri yangtidak m enurUti petunjuk"petunjuk
yang telah diberikannya atau dari para penyuluh pertanian.
Namun, alasan"alasan yang diberikan Joko itu justru menambah
marah mereka saat itu. Untunglah Cenut yang kebetulan berada di
situ segera pulang memberitahukan hal itU kepada ayahnya
"Maaf, Pak Joko. Saya kira ini hanyalah kesalahpahaman,"
ujar Pak Lumbah saat itu, setelah orang"orang yang tadi hendak
mengeroyok Joko pulang semua. "Orang-orang seperti mereka
memang mudah sekali naik darah dan bertindak semaunya.
Apalagi jika ada orang lain yang suka menghasut dan menyulut"
nyulut kemarahan mereka Untuk tujuan tertentu."
"S aya mengerti, Pak. Itu memang tidak sepen uhnya kesalahan
pada mereka. Kasihan, mereka tidak pernah mengenyam
pendidikan sama sekali," Ujar Joko lemah dengan suara yang
masih terdengar bergetar. Wajahnya pun tampak masih pucat.
Kemudian, ia menarik napas panjang.
%i.a< Hampir saja joko mereka keroyok beramai-ramai jika
saja Pak Limbah tidak segera datang....
"n" kaanuu."
ii?" "Pak Joko," ucap Pak Lumbah lagi, "sebaiknya nanti malam
kita bicarakan masalah ini dengan Pak Kades. Kelihatannya mereka
masih adayang belum puas dengan Pak Joko. Saya khawatir suatu
ketika mereka akan datang lagi mengganggu ketenangan Bapak.
Apalagi jika ada yang ingin mengambil kesempatan."
"Yah..., sebaiknya memang begitu, Pak. Mungkin Pak Kades
bisa mencarikan jalan keluarnya yang terbaik. Paling tidak tentu
masyarakat merasa sedikit segan jika berhadapan dengan kepala
desa mereka." "Cuma saya khawatir kalau mereka sebenarnya hanya
diperalat orang lain yang juga tidak menyukai Pak Joko di desa
ini. Mungkinkah... ah, mudah-mudahan tidak. Saya berharap ini
hanya kesalahpahaman biasa."
Joko merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan
oleh Pak Lumbah terhadapnya. Ia ingin sekali mengetahui apa
sesungguhnya yang ditutup"tutupi oleh lelaki yang sudah cukup
lama dikenalnya ini. "Ada apa sebenarnya, Pak?" Joko mencoba memancing.
"Ah, tidak. Tidak ada apa"apa, Pak Joko. Saya yakin Pak Kades
nanti akan mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik."
"Tetapi, sepertinya ada sesuatu yang Bapak rahasiakan,"
desak Joko lagi. "N anti saja. Suatu ketika Pak Joko mungkin akan
mengetahuinya sendiri. Sekarang Pak Joko sebaiknya tidak usah
memikirkan masalah itu," ujar Pak Lumbah belum mau berterus
terang. Hal ini justru membuat hatiJoko semakin penasaran ingin
segera membuka tabir itu. Tetapi, untuk saat sekarang ia merasa
tidak perlu untuk tergesa"gesa mem bongkarnya. Biarlah sementara
rahasia ini menjadi catatan tersendiri dalam benaknya.
Setelah masalah itu dibicarakan den gan Pak Kades pada
malam harinya beberapa hari kemudian orang"orang yang
bermaksud mengeroyok Joko itu dipanggil oleh Pak Kad es
Untuk menghadapnya. Mereka diminta Untuk saling bermaafan.
Kemudian, Pak Kades menjelaskan sebab"sebab utama kegagalan
mereka sebagaimana pernah disampaikan oleh Joko pada saat
kejadian itu. Tampaknya mereka mulai menyadari kekeliruan dan
kelalaian yang mereka lakukan tempo hari. Setelah itu, di hari-hari
selanjutnya Joko sudah tidak merasakan ada halangan lagi dalam
menerUskan perjuangannya.
"Jika saja Bapak"bapak menuruti petunjuk"petunjuk yang
telah kami berikan dulu, insya Allah pekerjaan Bapak semua
memperoleh hasil yang memuaskan. Tetapi, kalau bercocok tanam
dengan cara baru ini masih tetap menerapkan cara kerja seperti
waktu di ladang berpindah, tentu sajatidak mungkin memperoleh
hasil yang baik. Sekarang kita harus menggunakan pupuk dan
obat"obatan bila diperlukan. Kesuburan tanah pertanian kita itu
lama-kelamaan pasti semakin berkurang. Oleh sebab itu, harUs
kita gantikan dengan pupuk. Baik pupuk buatan pabrik seperti
TSP dan Urea, maupun pupuk kandang dan kompos," jelas Pak
Kades panjang"lebar saat itu.
Warga desa yang mendengarkan penjelasan itu hanya
manggUt"manggut. Seorang pun tidak ada yang bernyali Untuk
buka suara di hadapan Pak Kades, apalagi untuk protes.
mmm-namum.- Balai Pusuk: Sembilan Libur caturwulan kedua ini anak-anak anggota Pramuka SDN
Halimun merencanakan akan mengadakan Perkemahan Sabtu"
Minggu Untuk pelaksanaan rencanatersebut anak"anak kelas 4, 5,
dan & disuruh Joko berkumpul pada jam pelajaran terakhir Untuk
membicarakan segala persiapan lapangan.
"Anak"anak sekalian...," kata Joko memulai rapat kecil itu,
"kini waktu kita tinggal dUa hari lagi. Besok hari Sabtu kalian
semua sudah akan menerima rapor masing-masing untuk melihat
nilai atau hasil selama caturwulan kedua ini. Siang harinya sekitar
pukul 14.01], semua anggota Pramuka yang ikut berkemah harus
sudah berkumpul kembali di sekolah ini. Paham?"
"Pahaaamm...," sahut anak-anak serentak.
"Selanjutnya Untuk menghadapi kegiatan itU kita harUs
mengadakan persiapan"persiapan mulai hari ini. Nah, sekarang
mari kita berbagi tugas mengenai siapa yang nanti akan
menyiapkan tenda, lampu, tikar, alat dapur minyak tanah, dan
kayu bakar. Untuk bahan makanan dan kelengkapannya kalian
harus membawanya masing-masing. Nanti harus ada anak yang
bertugas mencari kayu untuk persiapan api unggun pada malam
penutUpan Untuk itU bapak bersedia membantu kalian. Mudah-
mudahan tidak ada pekerjaan lain yang harus bapak selesaikan."
Kemudian, terdengar suara masing-masing anak yang
menyanggupi membawa alat yang mereka punya di rumah.
Suasana kelas menjadi ribut seketika. Ada yang menyanggUpi
membawa tikar, ada yang mau membawa lampu dan minyak
tanah, membawa tali, kayu, senter, dan lain"lain Anak"anak
perempuan sibuk pula membicarakan tentang alat"alat dapur dan
UrUsan memasak. Semua yang hadir dalam rapat kecil itu ikut


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengemukakan pendapatnya.
"Sudah! Sudah! Sekarangdiam semuanya!" ujarJoko berusaha
menenangkan suasana yang ribut itu. "Kedengarannya belum ada
yang menyanggUpi membawa tenda. Apakah di antara kalian ada
yang memilikinya?" Semua tidak ada yang menyahut. Mereka hanya saling
berpandangan satu sama lain. Menunggu"nunggu kalau ada di
antara teman mereka yang mengangkat tangan. Tetapi, sampai
beberapa lama belum ada juga yang buka suara.
"Tidak ada?" tanya Joko kem bali.
"Kelihatannya tidak ada yang punya, Pak," sahut Cen ut.
"Baiklah. Kalau begitu, nanti bapak saja yang
mengusahakannya. Mungkin saya dapat meminjamnya pada
Pak Kades bila tidak dipakai. Bila hanya ada satu tenda, maka
hanya kita pasang contoh dan sekaligus kita jadikan sebagai posko
perkemahan. Jadi, kecuali yang bertugas sebagai piket, semua
akan tidur di dalam ruang kelas saja. Anggaplah kamu sedang
tidur di kemah." Anak"an ak semua tertawa mendengar kelakar gurunya.
"Sementara untuk tugas"tugas yang lain," Joko melanjutkan,
"agar lebih cepat, bapak tentukan saja setiap regu. Regu Melati
bertugas membawa alat dapur selengkapnya, Regu Cempaka
membawa tikar, lampu, tali, dan minyak tanah, sedang Regu
Garuda nanti bersama bapak mencari kayu bakar ke hutan Untuk
persiapan memasak dan api unggun. Bagaimana semua regu?"
"Setujuuuu!" sahut anak"anak serempak dari masing"masing
regu. "Nah, kalau sudah akur, kita tinggal bergerak saja. Apakah
ada yang ingin bertanya dulu?"
Tidak ada yang menyahut. "Baiklah. Untuk Regu Melati dan Cempaka, sekarang bapak
beri waktu lima menit untuk membagi tugas anggotanya. Kedua
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
ketua regu boleh langsung memimpin anggotanya. Silakan. Untuk
Regu Garuda, sUpaya nanti siang secepatnya berkumpul di depan
sekolah ini. Cenut, Budin, ada pertanyaan?"
"Tidak ada, Pak. Kami sudah siap," sahut Cenut.
Regu Melati dan Regu Cempaka kini telah sibuk merumUskan
pembagian tugas mereka. Siti sebagai pimpinan Regu Cempaka
sudah menentukan beberapa tugas anggotanya. Demikian juga
pada Regu Melati, Siah ketua regunya tampak sibuk memimpin
anggota regunya mem bagi tugas.
Rencana perkemahan yang akan dilaksanakan pada hari
Sabtu dan Minggu lusa, kini telah rampung mereka rumuskan.
Tinggal nanti bagaimana kesanggupan para anggota regu untuk
menjalankan tugasnya masing"masing
Sekitar pukul 14.30 siang semua anggota RegU Garuda telah
berkumpul di sekitar lingkungan sekolah sambil bermain"main
Untuk menunggu gUru mereka. Beberapa saat kemudian Joko
menemui anak-anak yang sedang menunggunya di halaman
sekolah. Kemudian, ia memanggil Cenut dengan melambaikan
tangan agar segera menemuinya, Cenut pun berlari mendatangi
gurunya itu. "Nut, kalian tunggu dulu sebentar. Bapak mau salat lohor
dUlU Setelah itU kita langsung berangkat," kata Joko sebelum
masuk kembali. Cenut kemudian kembali berlari menemui teman"temannya
Untuk menyampaikan pesan sang guru. Mereka kembali bermain"
main sambil menunggu guru mereka selesai salat dan siap untuk
berangkat. "Anak"anak, sekarang kita berangkat. Apakah peralatan kalian
sudah dibawa semua?" ujar Joko mengingatkan anak"anak.
"S udah, Pak!" sahut semuanya bersamaan.
"Sudah makan siang semua?"
"Sudah!" "Bagus! Sekarang mari berangkat. Hari ini anggap saja kita
sedang rekreasi menjelajah hutan. Bapak sebenarnya juga sudah
lama ingin mengajak kalian jalan"jalan ke tengah hutan, tetapi
selalu saja gagal. Nah, mumpung kita ada yang dicari, ya sekalian
saja sambil menjelajah. Bapak ingin sekali melihat bagaimana
lebarnya hutan di sini, terutama ingin melihat pohon"pohon Ulin
yang sudah besar." "Tetapi, pohon di sekitar desa ini sudah tidak ada yang besar
lagi, Pak," sahut Gendut yang merasa banyak mengetahui tentang
keadaan hutan di sekitar Desa Halimun ini.
"Kenapa" Apakah sudah banyak yang ditebang?"
"Benar, Pak." "Oo, begitu," Joko manggut"man ggut. "O, ya, apakah benar
hutan di sini sudah dikelola oleh PT Hutan Kintap yang bekerja
sama dengan negara Korea itu?"
"Benar, Pak. Tetapi, kata orang, hutan di sekitar Desa
Halimun ini belum menjadi wilayah mereka," ujar Gendut lagi
menjelaskan. Sementara Cenut Didik, Budin, dan lainnya hanya
diam mendengarkan pembicaraan Gendut dan Pak GurU mereka,
karena memang tidak banyak mengetahui tentang seluk"beluk
hutan. "Kau tahu dari mana, Gendut?"
"Ya, dari oran g"orang tua, Pak."
"Kau sering masuk hutan rUpanya?"
"Tidak sering, Pak. Hanya pernah beberapa kali ikut Kak
Sulung mencari kayu bakar. Bahkan, pernah sampai jauh ke dalam
hutan itu," jelas Gendut lagi dengan rasa bangga.
"Wah, kalau begitu, kamu bapak tunjuk menjadi pemandu
wisata hari ini," ujarJoko sambil tertawa. "Soalnya, kita mungkin
harus masuk hutan hingga cukup jauh ke dalam. Kita harus
mendapatkan persediaan kayu yang cukup untuk memasak dan
membuat api Unggun nanti. Biar apinya tidak cepat habis."
64 'if- "::; QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
Sebentar kemudian, rombongan itu mulai melangkah
menyusuri jalan setapak di belakang sekolah. Jalan itu berkelok"
kelok dan penuh persimpangan. Kemudian, mereka memasuki
jalan yang membentang menuruti alur Sungai Jingah, salah satu
cabang Sungai Landas. Tidak lama kemudian, mereka sudah
sampai di tepi hutan. Sekawanan lutung berlompatan dari dahan
ke dahan kayu sambil mengerang"erang menyambut kedatangan
mereka. Regu Garuda yang beranggota tujuh orang itu dengan hati"
hati memasuki hutan. Sesekali mereka dikejutkan oleh binatang
liar yang berlari menyeberang jalan setapak yang mereka lalui.
Sambil terus melangkah mereka memungut kayu-kayu kering
yang kebetulan mereka dapatkan. Kemudian, kayu itu diletakkan
di pinggir jalan agar tidak terlalu berat membawanya, dan akan
diambil kembali saat perjalanan pulang nanti.
Ketika mereka sudah cukup jauh memasuki hutan, Joko mulai
menangkap adanya gejala baru di tengah hutan itu. Hatinya yang
sed ari tadi sudah bertanya-tanya, kini semakin tambah bertanya-
tanya. Kecurigaannya yang tadi mulai muncul, kini semakin
bertambah curiga. Tonggak"tonggak pohon besar yang bekas
ditebang itu semakin jauh ke tengah hutan semakin bertambah
banyak jumlahnya. Bahkan, kini di sekeliling mereka tonggak"
tonggak itu bertebaran tidak terhitung banyaknya. Kemudian,
Joko menyuruh anak buahnya Untuk berhenti sebentar tepat dekat
sebuah tonggak kayu yang ada di pinggir jalan itu.
"Anak"anak, kita beristirahat dulu sebentar. Bagi yang
membawa persediaan air minum, silakan minum dUlU. Bila ada
yang tidak membawa boleh minta pada temannya," ujar Joko
sambil duduk di atas tonggak kayu yang tampaknya belum terlalu
lama ditebang. Anak"anak serempak setuju. Masing"masing lalU mencari
tempat beristirahat yang enak. Selanjutnya, Joko memanggil
Gendut agar duduk di dekatnya. Ia merasa tertarik untuk lebih
jauh mengetahui tentang nasib tonggak-tonggak kayu seperti yang
kini didudukinya itu. Ia berharap Gendut banyak mengetahui
masalah itu dan mau menjelaskannya.
"Gendut," panggilnya lagi, "coba kautebak, bekas pohon apa
yang sekarang bapak duduki ini."
"Oo, tonggak ini, Pak. Mudah sekali menebaknya. Kayu jenis
ini sangat khas di hutan ini, Pak. Bahkan, tonggak-tonggak kayu
yang ada di sekeliling tempat kita ini rata"rata jenis kayu yang
sama." "Iya, tetapi apa namanya" Bilang saja menyerah kalau kamu
tidak tahu, Gendut..., Gendut!" ujarJoko memancing.
Gendut tersenyum, "Wah, gampang sekali mengenalnya,
Pak. Ini namanya kayu uiin... eh, kayu besi."
"Bagus! Berarti kamu cukup mengenal jenis"jenis kayu yang
ada di sini," puji si guru sambil mengacungkan jempolnya.
"Di hutan ini banyak sekali terdapat tonggak-tonggak kayu
seperti ini, Pak. Apalagi kalau kita terus berjalan sekitar satu
kilometer lagi. Wah, di sana malah lebih banyak daripada yang
ada ini, Pak. Bahkan, bukan hanya tonggak kayu besi saja tetapi
hampir semua jenis kayu yang besar," jelas Gendut lagi.
Joko semakin penasaran, "Apakamutahu siapa para peneban g
pohon itu, Gendut?" "Sa... saya tidak mengetahui, Pak," jawab anak itU gUgUp.
Wajahnya sontak memUcat. Ia tiba"tiba saja merasa bagai orang
ketakutan. "Ada apa Gendut?" Joko heran menangkap perubahan wajah
Gendut yang tiba"tiba saja menjadi pUcat tanpa sebab yang jelas.
"Sa... saya takut ketahuan mereka Pak."
Kini Joko kembali teringat pembicaraannya dengan Pak
Lumbah tempo hari. Pikirannya langsung menghubungkan
rasa ketakutan Gendut itu dengan sesuatu yang seperti selalu
disembunyikan Pak Lumbah dalam pembicaraan mereka.
Apakah sebenarnya rahasia itu. Hal itU membuat Joko semakin
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
tertarik untuk segera menyingkapnya. Tetapi, apa hubungannya
para penebang pohon dengan ketakutan masyarakat" Joko terus
menimbang-nimbang dan memikirkan pertalian antara keduanya.
Ia berusaha untuk mengorek beberapa keterangan dari Gendut
yang dianggapnyajuga mengetahui tentang masalah itu. Ia harus
pandai memancing dan menjebak agar anak itu mau buka suara
membeberkan rahasia itu kepadanya.
"Anak-anak," Ujar Joko kemudian, "sekarang kita menerUskan
perjalanan sekitar satu kilometer lagi. Kayu rasanya sudah cukup
banyak kita dapatkan. Tinggal kita membawanya nanti. Sekarang
bapak hanya ingin mengajak kalian jalan"jalan lebih jauh
memasuki hutan ini."
"Jangan, Pak. Kita pulang saja," Gendut mengUsulkan.
"Ken apa?" Gendut tidak menjawab. Wajahnya masih memperlihatkan
rasa takut. "Ayo, anak-anak. Sekarang semua berdiri kembali!"
Anak"anak anggota Regu Garuda itu pun segera berdiri dan
siap meneruskan perjalanan. Hanya Gendut yang tampaknya
tidak bersemangat mengikuti mereka. Ia masih duduk. Matanya
memandangi Joko seolah minta pengertian.
"Ayo, Gendut. Kamu kan penunjuk jalan," Joko mendesak.
"S aya tidak mau ikut, Pak. Saya takut!"
"Takut sam a siapa?"
Anak itu kembali tidak menjawab.
"Nah, sekarang kalau Gendut mau tinggal sendirian di sini,
kita tinggalkan saja," pancing Joko lagi.
"Jangan, Pak. Saya tidak berani tinggal sendiri di tempat ini,"
wajah Gendut semakin memelas. Ia seperti ingin menangis.
"Kalau begitu, sekarang jelaskan kenapa kamu takut. Jika
tidak, akan kami tinggalkan!"
Anak itu memandangi gurunya dengan ragu. Namun,
akhirnya, ia pUn terpaksa menjelaskan alasannya tidak berani ikut
meneruskan peijalanan memasuki hutan itu lebih jauh.
"Du... dUlU, Kak Sulung pernah mereka hajar karena berani
sam pai ke daerah mereka itu. Bahkan, mereka mengancam
akan membunuh siapa saja yang berani menghalangi pekerjaan
mereka," suara Gendut gugup dan terputus-putus.
"Mereka"! Siapa mereka itu, Gendut?" Joko pura"pura belum
mengerti. "Para penebang liar itu, Pak. Entah dari mana asal mereka,"
sahut Gendut masih dengan suara gemetar. Anak"anak lain yang
mendengar penjelasan Gendut tadi, kini mulai ciut semangatnya.
Mereka saling berpandangan ketakutan.
"Jadi, mereka yang menebangi pohon"pohon ulin yang ada
di sini?" "Benar, Pak. Semuadi desa ini tidak adayang berani menegur
perbuatan mereka. Orang-orang itu sangat kejam. Bahkan, kata
orang, dulu pernah ada seseorang yang mereka bunuh dan
dibuang di tengah hutan."
"Oo..,," ujar Joko manggut"manggut.
"Kita pulang saja, Pak," ajak anak"anak yang lain semakin
merasa ketakutan berada di hutan itu.
"Baiklah. Sekarang kita kumpulkan saja kayu-kayu yang sudah
ada ini. Juga yang ada di pinggir"pinggir jalan tadi. Kalau sudah,
mari kita kembali." Mereka pun segera berlalu meninggalkan tempat itu untuk
pulang. Kini Joko mulai mengerti mengapa penduduk Desa
Halimun tampak selalu merahasiakan cerita itu. Mereka tidak
berani sedikit pUn membicarakan atau menyinggung"nyinggung
masalah penebangan liar yang telah berlangsung sejak bertahun"
tahun itu. Jika ada seorang duayang sedikit berani membicarakan
keburukan mereka di tengah masyarakat, selalu saja mereka
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
mengetahuinya. Kemudian, nasib orang itu pun menjadi
incaran mereka. Hal itU juga menjadi bahan pikiran Joko Untuk
mempertimbangkan langkah selanjutnya.
Sepanjang perjalanan itu Joko masih memikirkan masalah
itU sambil menduga"duga kemungkinan lainnya. Ia juga kembali
teringat cerita orang tua yang menumpang satu mobil dengannya
ketika akan berangkat ke Kintapura dulu. Ia pUn membayangkan
bagaimana akhirnya hutan yang lebat ini akan menjadi daerah
tandus yang hanya ditumbuhi padang ilalang. Pohon-pohon kayu
besi yang banyak tumbuh di sini lama"kelamaan akan berubah
menjadi tonggak-tonggak keropos di daerah yang gersang.
Tonggak"tonggak itU nanti kembali akan menjadi tugu"tugu
kegagalan hidup manusia. Demi membayangkan semua itu, Joko
bertekad untuk menghentikan penebangan liar itU.
Sepuluh Dua hari seUsai acara Persami dengan anak"anak muridnya
Joko kembali menemui Gendut di rumahnya. Ia datang bersama


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cenut sebagai pen gawal setianya. Ia ingin mendapatkan keterangan
yang lebih jelas tentang para penebang liar itu, terutama dari
Sulung yang pernah berUrUsan dengan mereka. Tekad gUru muda
ini sekarang bukan saja ingin menghentikan perbuatan mereka,
tetapi sekalian meringkUs orang"orang yang tidak bertanggung
jawab dan merugikan negara itu.
"Dik Sulung," Ujar Joko sore itU meminta informasi lebih
lengkap tentang para penebang liar itu, "sekarang ceritakan
saja kepada saya apa yang pernah Dik Sulung ketahui tentang
komplotan penebang liar itU. Saya sangat membutuhkan bantuan
Dik Sulung dalam hal ini. "
"Apakah Pak Joko sudah memikirkan akibat buruk yang
mungkin akan menimpa kita nanti?" Sulung agak ragu.
"Untuk itulah saya harUs lebih banyak mengetahui tentang
mereka, Dik Sulung. Barangkali kaubisa membantu saya dalam
hal ini. Sebab, kalau perbuatan seperti itu terUs kita biarkan, lama"
lama hutan di sini akan gundul dan menjadi daerah yang tandus.
Karenanya kita wajib berUsaha menghentikan perbuatan mereka.
Kalau bukan kita, lalu siapa lagi?"
"Ah, mUstahil rasanya kalau hanya orang"orang seperti
kita yang bertindak. Mereka terlalu kuat. Saya tidak berani, Pak
Joko." "Berapa orang anggota komplotan itu yang pernah Dik Sulun g
ketahui" Apakah ada puluhan orang?"
"Yang saya ketahui hanya en am orang. Kebetulan waktu itu
komplotan mereka sedang berkumpul dekat tenda yang mereka
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
pasang secara berpindah"pindah. Tetapi, mungkin pula masih ada
kawan mereka di lain tempa ."
"Lalu, kenapa masyarakat di sini merasa takut bila jumlah
mereka hanya cuma enam orang?"
"Ah, sulit dipercaya, Pak Joko. Mereka memang orang-orang
pilihan. Konon, tubuh mereka kebal terhadap senjata. Kata orang-
orang, dulu mereka pernah bentrok dengan beberapa warga Desa
lesung Gangsa yang mencoba menghalangi perbuatan mereka.
Tetapi, sungguh malang nasib warga desa itu, dUa orang di antara
mereka mati terbunuh, dan lainnya ditinggalkan dalam keadaan
luka-luka yang mengenaskan. Sejak itu oran g"orang tidak berani
lagi mengganggu mereka."
"Ken apa orang"orang tidak mencoba menghubungi polisi?"
"Entahlah! Mungkin orang"orang sudah tidak mau berUrUsan
dengan mereka. Semua penduduk diancam apabila ada yang
berani menghubungi pihak kepolisian. Lagi pula ke kecamatan
cukUp jauh dari sini. Tidak cUkUp satu hari dan harUs melewati
daerah yang sangat sunyi."
"Hmm..,." Joko manggut"manggut. Semakin memahami
keadaan masyarakat selama ini. Kini ia telah berhasil memancing
keterangan dari Sulung yang ternyata m emang cukUp mengetahui
soal itU. SUlUng telah menceritakan segala yang pernah
diketahuinya tentang para penebang liar itu. Bahkan, ia sendiri
pernah dihajar oleh komplotan itu ketika tersesat ke daerah
perkemahan mereka. "Kalau begitu, apakah Dik SUlUng masih bersedia membantu
saya?" tanya Joko melanjutkan pembicaraan mereka.
"S aya tidak berani berurusan dengan mereka lagi, Pak Joko.
Kalau saya sampai diketahui, mereka pasti akan membunuh saya.
Saya juga telah diancam mereka. Saya takut, Pak Joko."
rrTidak. Dik Sulung tidak perlu takut. Kamu tidak akan
saya libatkan secara langsung. Saya hanya minta agar kau mau
menunjukkan tempat-tempat mereka yang mudah dicari. Setelah
itu, kau boleh sembunyi. Nanti saya yang akan menemui mereka.
Jika masih bisa saya akan mencoba menegur mereka secara baik"
baik." "Jika tidak?" "Akan kita lihat keadaan dulu. Bila terpaksa nanti saya akan
menghubungi pihak kepolisian di kecamatan."
"Ah, tidak mungkin rasanya. Jarak ke kecamatan terlalu jauh
dari desa ini. Kita sangat sulit menghubungi polisi. Padahal,
kita harUs selalu berhubungan untuk memberikan keterangan"
keterangan baru kepada mereka."
"ItU bisadiatur nanti, Dik Sulung. Sekarangyang penting saya
harus lebih banyak mengetahui tentangtempat"tempat komplotan
itu biasa berada, dan yang paling dekat dari desa agar mudah
menemukan mereka." "Baiklah...," ucap Sulung mulai melemah, "PakJoko, tempat
mereka sebenarnya tidak terlalu sUlit kita cari. Menjelang malam
biasanya mereka menurunkan batang-batang kayu yang telah
ditebang itu ke Sungai Paring agak jauh di sebelah selatan Desa
Kuranji. Anak sungai itu mengalir membelah hutan hingga
bermuara ke Sungai Bidawang. Penduduk Desa Lasung Gangsa
sering melihat mereka menghanyutkan gelondongan kayu itu
melewati Sungai Bidawang pada malam hari. Tetapi, penduduk
sudah tidak menghiraukan mereka lagi. Kemudian, batang-batang
kayu yang seperti rakit itu mereka belokan memasuki Sungai Luk
Buhaya dan menghilang disana."
"Sungai Luk Buhaya itU tembUs ke mana, Dik Sulung?"
"Entah. Penduduk desa tidak berani memasuki sungai itu.
Konon, di pertengahan sungai itu ada teluk yang dijaga oleh
puluhan buaya yang ganas dan gaib."
"Jadi, mereka menghilang setelah memasuki sungai itu"
Apakah mungkin juga tembus ke kecamatan, Dik Sulung?"
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"Mungkin saja. Tetapi, orang"orang di sini tidak ada yang
mengetahui hal itu. Sebab, tidak seorang pun yang berani mencoba
memasuki sungai itu sampai jauh."
"O, begitu. Wah, terima kasih dulu atas keteranganmu, Dik
Sulung. Ini tentu sangat berguna bagi saya. O, ya, bagaimana
kalau besok sore kita menemui orang"orang asing itu" Kita cukup
menghadang mereka ke muara Sungai Bidawang. Jadi, tidak
terlalu jauh dari perkampungan. Tidak pulaterlalU dekat dengan
sarang mereka yang di tengah hutan itU. Jadi, kita tidak mungkin
menghadapi kawanan mereka yang banyak."
"Tetapi, mereka kejam sekali. Saya tid ak berani lagi berUrUsan
dengan mereka, Pak Joko."
"Sudah saya katakan, Dik Sulung hanya menjadi penunjuk
jalan saja. Setelah sampai di tempat itu, kau boleh sembunyi di
tempat yang cukup aman"
"Kalau memang demikian, sekarang pUn kita boleh berangkat
jika Bapak menghendaki. Saya bersedia mengantarkan Pak Joko
sampai ke muara sungai itu. Hanya sekitar satu jam dari sini."
"Nah, itu baru namanya laki"laki, Dik Sulung. Lebih cepat itu
lebih baik. Sekarang mari kita siapkan segala sesuatunya. Kitajuga
perlu membawa senjata dan senter untuk jaga"jaga apabila harUs
bentrok dengan mereka."
"Kami juga mau ikut, Pak!" Cenut dan Gendut tiba"tiba
menawarkan diri dengan berani.
"Gendut, kau mau apa ke sana?" Sulung mencoba
memperingatkan adiknya. "Ah, tidak apa"apa. Kalian boleh sajaikUt. Tetapi, bila keadaan
membahayakan, kalian jangan coba"coba keluar dari tempat
persembunyian. Ingat itu!"
"Baik, Pak. Tetapi, tunggu sebentar! Saya akan ke rumah dulu
mengambil mandau kepunyaan ayah. Sebentar saja!" ujar Cenut
lalu berlari dengan cepat menuju rumahnya. Sebentar kemudian
ia telah kembali dengan menggenggam sebilah senjata khas
Kalimantan itu dalam bungkusan sarungnya.
"Wah, sayajuga akan membawa mandau ayah!" ucap Gendut
tidak mau kalah setelah melihat kawannya.
"Nah, kalau sudah siap, ayo, kita berangkat! Jangan lupa bawa
senter, Dik Sulung!" ujar Joko yang segera memimpin pasukan
kecil itU. Keempat orang itu pUn mulai melangkah dengan pasti
berlalu meninggalkan tempat mereka tanpa diketahui orang lain.
Joko memang berUsaha merahasiakan semua rencana itU Untuk
menjaga kemungkinan diketahui pihak mUsuh. Sebab, ia juga
merasa curiga kalau di Desa Halimun sudah ada orang yang
menjadi mata"mata para penebang liar itu.
Gendut dan Cenut melangkah dengan sikap seperti seorang
jago silat. Di pinggang mereka masing"masing tergantung sebilah
mandau yang panjang. Di perjalanan itu mereka berkhayal
benar-ben ar menjadi seorang jago silat yang digdaya dan sakti
mandraguna. Bisa melompat dari pohon ke pohon sambil
menyerang lawan dengan tendangan"tendangan maut. Bisa
menyerang musuh dengan pukulan jarak jauh yang mengandung
tenaga gaib luar biasa, seperti yang sering mereka dengar dari
cerita orang-orang tua. Kadang"kadang Joko tersenyum sendiri melihat ulah kedua
anak muridnya itu yang sesekali menggerakkan tangan atau kaki
mereka seperti sedang melakukan serangan. Ia sendiri hanya
membawa sebilah tongkat berukuran sekitar dua meter yang
terbuat dari kayu besi. Sementara itu, Sulung memegang senter
dan sebilah golok besar di tangannya.
Kurang"lebih sejam kemudian, keempat anggota pasukan
rahasia itu telah sampai di tepi Sungai Bidawang, tempat di mana
biasanya para penebang liar itu menurunkan batang"batang kayu
ulin untuk segera dihanyutkan.
Sulung, Gendut, dan Cenut langsung mencari tempat
persembunyian yang cUkUp aman dan tidak terlalu jauh dari
"4 -'._', ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
tepi sungai. Joko melemparkan toya yang dibawanya ke sebuah
tempat yang agak lapang sebagai senjata persiapan. Kemudian, ia
melangkah tenang menuju bibir sungai. Tidak seorang manUsia
pun yang dilihatnya di situ, kecuali hanya beberapa gelondongan
kayu yang telah dirakit rapi dan siap dihanyutkan.
Agak lama Joko mengamat"amati dan mencoba memasang
telinga sebaik"baiknya, tetapi tidak ada sesuatu pun yang
mencurigakan. Suasana di sungai tampak tetap tenang-ten ang saja.
Melihat keadaan seperti itu, Joko segera menuruni sungai melalui
akar-akar pohon yang menjuntai. laternyata mengambil air wudu,
karena sebentar lagi waktu salat magrib akan tiba. Kemudian, ia
kembali ke tempat persembunyian ketiga kawan kecilnya.
"Tidak ada siapa-siapadi sana. Sekarang saya mau salatdulu,"
Ucap Joko setelah menemui kawan"kawannya. "Apakah kalian
juga mau salat" Cepatlah berwudu, kita salat bersama."
"Benar tidak ada siapa-siapa di sungai, Pak?" tanya Cenut
agak takut. "Tidak ada. Cepatlah kalian bertiga ke sana. Mumpung orang-
orang itu belum datang."
Ketiganya pun segera melangkah menuju sungai dan
mengambil air wudu dengan tergesa"gesa. Hati mereka sempat
menjadi waswas ketika melihat beberapa batang kayu yang telah
adadi sungai itu. Kemudian, dengan jantung yang masih berdebar-
debar, ketiganya kembali ke tempat semula. Mereka pun segera
melaksanakan salat magrib berjamaah di tempat itu.
"S ekali-sekali kitajUgam erasakan sembahyang di hutan seperti
para gerilyawan kita dahUlU," ujarJoko seUsai salat. Kemudian, ia
segera kembali melangkah ke bibir sungai.
Belum ada beberapa menit Joko berdiri di bibir sungai tiba"
tibatel inganya mendengar suara beberapa orang yang tidak pernah
dikenalnyadari seberang sungai. Sejenak kemudian, bermunculan
sosok"sosok asing dari balik semak dan pohonan perdu. Seorang
yang di depan bertubuh gempal, disUsUl tiga orang berperawakan
sed ang, dan kemudian seorang lagi bertubuh tinggi"besar berjalan
di belakang keempat kawannya.
"Hm... lima orang. Yah... tak apa," batin Joko menenangkan.
Dalam keadaan senja yang semakin remang-remang itu, Joko
terUs diam mengikuti gerak"gerikdan pembicaraan mereka. Kini ia
yakin orang"orang itulah yang sedang ditunggunya. Kelima orang
itu kemudian mulai menuruni sungai dengan masing"masing
membawa sebuah tongkat bambu berukuran panjang. Mereka
berdiri meniti batang kayu itu dan melepas tali pengikat siap
untuk men anjaknya menyusuri sungai. Tampaknya mereka sama
sekali tidak menyadari akan keberadaan seseorang yang sedari
tadi terus mengikuti segala gerak"gerik mereka. Oleh karena itu,
Joko sengaja batuk"batuk memberi isyarat sambil berdiri tegak di
bibir sungai menunggu reaksi mereka.
"Hei, siapa itu!" bentak seorang yang bertubuh tinggi"besar
setelah mengetahui ada seseorang yang mengintai mereka.
Joko tertawa kecil. "Saya sedang menunggu kalian berlima.
Naiklah ke tebing ini saya ingin bicara dengan Saudara sekalian.
Penting sekali," ujar Joko tenang.
"Tidak perlu! Apa maUmu sebenarnya, ha"!"
"Sudah sayabilang, saya ingin bicara dengan Saudaraberlima.
Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."
"Bicaralah kalau kau mau bicara dari sana! Kami tidak tuli!
Peduli apa kami mau menurutimu, ha"!"
"Saya ingin Saudara semua naik dan bicara di sini. Kurang
sopan rasanya berbicara jarak jauh seperti ini."
"Huh, peduli apa kau dengan tata krama segala. Jangan
coba"coba cari perkara dengan kami. Kau belum tahu siapa kami
sebenarnya. Lebih baik kau pulang saja daripada mati di tempat
ini!" "Saya sudah tahu siapa kalian!" jawab Joko sam bil tertawa"
tawa melecehkan. "Kalian hanyalah cecunguk"cecunguk perusak
hutan di lingkungan ini. Kalian tidak menyadari kalau perbuatan
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
itu merugikan negara dan mengundang malapetaka bagi orang
banyak. Karena itu, saya ingin memperingatkan setiap orang yang
berbuat semau-maunya seperti kalian!"
"Siapa kau sebenarnya, orang muda?" ujar si tinggi-besar
geram karena mulai terpancing amarah nya.
"Kalian tidak perlu tahu siapa saya. Saya hanyalah wakil dari
orang banyak yang mencoba menghentikan perbuatan kalian!"
"Bedebah! Berani benar kamu! Akan kUhajar kau, tikUs
kecil!" Joko hanya tersenyU m"senyum mendengar ancaman itU.
"Campa! Jiluk! Cepat bereskan anak muda itu!"
Kedua orang yang diperintah si tinggi-besar itu pun segera
meloncat berenang menyeberangi sungai. Setelah naik di bibir
sungai, keduanya langsung menyerang Joko tanpa memberi
kesempatan bicara lagi. Sementara itu, si tinggi besar dan kedua
kawannya segera pula menyUsul menyeberangi sungai. Kemudian,
ketiganya berdiri di bibir sungai itu sambil menonton si gempal
dan Jiluk mengeroyok Joko dengan kemarahan yang meluap-


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luap. Kini terjadilah pertarungan sengit antara Joko dan kedua
musuh nyayang sudah kelihatan semakin kalap. Du amelawan satu.
Tetapi, pertarungan tangan kosong itU tampak masih seimbang.
Bahkan, si gempal dan kawannya berkali-kali menyerang dengan
sia-sia. Joko dengan mudah menangkis atau mengelakkan sepak
terjang musuh"musuhnya. Ia tetap tenang menghadapi mereka,
sehingga serangan"serangan musuh dapat terkontrol dengan baik.
Rupanya ilmu bela diri yang sempat dipelajarinya bertahun"tahun
sem asa sekolah di kota Bantul dul u mulai dipraktekkannya kembali
petang ini. Hari kian berangkat malam. Bulan mulai memancar
separoh bayang di langit barat.
Kedua musu hJoko kini tampak mulai kewalahan melawannya.
Napas mereka terengah"engah. Namun, keduanya masih kelihatan
sangat bernafsu Untuk membinasakan Joko. Tepat ketika si gempal
EB. kena tendangan Joko secara telak di ulu hati, dan terpental
beberapa langkah ke belakang, si Jiluk segera menghunus golok
dan mengayunkannya ketubuh Joko. Sesaat Joko sedikit panik
melihat kilauan golok itu di bawah keremangan sinar rembulan
sehingga sabetan senjata itu sempat merobekkan bagian bajunya
ketika ia melompat menghindarinya. Kemudian, karena merasa
terpojok, Joko kembali melompat dan melakukan salto beberapa
kali ke belakang. Tubuhnya berputar"putar ijpalitan di udara
seperti permainan sirkus yang menakjubkan hingga mencapai
tempat yang lebih lapang. Secepat kilat ia memungut toya yang
tadi dilemparkannya sebagai persiapan. Sekarang ganti mUsuhnya
yang tampak panik dan ragu"ragu untuk menyerah g.
Tidak jauh dari tempat itu, di balik rimbunan pohon"pohon
perdu tiga pasang mata sejak tadi terus menyaksikan kejadian itu
dengan rasa cemas bercampur kagum. Sulung, Gendut, dan Cenut
sungguh tidak menyangka keberanian dan kehebatan gurU muda
itU dalam menghadapi mUsuh"mUsuhnya yang terkenal angker
dan bengis. Cenut berkali"kali berdecak kagum melihat gurunya
bersalto dengan indah untuk menghindari serangan mUsuh dan
balik menyerang dengan jurUs"jUrUs yang jitU.
"Rompa! Tambun! Cepat bantu si Jiluk meringkUs tikUs kecil
itu!" teriak si tinggi"besar memerintah kedua anak buahnya yang
masih berdiri tegang melihat pertarungan kawannya.
Serentak kedua orang itu menghunus golok mereka dan
bergabung dengan si JilUk mengeroyok Joko. Kini Joko semakin
berhati"hati menghadapi orang" orang itu. Sambil mengontrol
gerak"gerik lawan yang mengelilinginya, Joko memutar toya di
tangannya dengan cepatnya hingga mirip sebuah baling" baling.
Dari balik persembunyian, kembali Cenut berdecak"decak
kagum melihat kepiawaian gurunya memainkan toya. Mata Cenut
dan kedua kawannya seperti tidak berkedip mengikuti jalannya
pertarungan seru dan menegangkan itu.
"Rompa! Ayo cepat! Jangan beri ampun lagi! Bunuh saja tikus
kecil itu!" teriak si tinggi"besar lagi melihat ketiga kawannya yang
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
tampak mulai kehilangan nyali. Tetapi, setelah mendengarteriakan
pimpinannya, Rompa dan kedua kawannya serentak menyerang
Joko dengan golok yang berkilat" kilat ditimpa sinar rembulan.
"Trangg...! Tranggg...!!"
Dua buah golok terpental dari tangan Tambun dan Jiluk
ketika mendapat tangkisan keras dari toya di tangan Joko yang
terUs berputar"putar. Si tinggi"besar tampak terkejut. Wajahnya
terlihat tegang. Joko kembali beraksi mendesak lawan"lawannya.
Satu pukulan toya yang cukup keras menghantam bagian kepala si
Tambun. Kemudian, giliran si Jiluk tulang keringnya kena pukulan
toya. Keduanya lalu lari terbirit"birit sambil menahan rasa sakit
pada kepala dan kaki mereka masing-masing.
"Rompa! Bodoh sekali kamu! Kenapa diam saja! Ayo, cepat
lari, eh, serang bangsat itu!" teriak si tinggi"besar kembali dengan
suara lebih keras dan salah-salah karena gugup.
Sulung, Gendut, dan Cenut ingin tertawa mendengar Ucapan
si tinggi" besar yang keliru dalam memerintah kawannya. Namun,
sedapat mungkin mereka menahan diri Untuk tidak melepaskan
tawa sehingga tUbUh mereka berguncang"guncang kegelian.
Yang bernama Rompa itu pun kini kembali bersiap untuk
melakukan serangan lagi. Joko mengarahkan Ujung toyanya ke
arah mata lawan dan terUs mengikuti seuap gerakannya. Kedua
orang itu terus saja bergerak memutar untuk mencari kesempatan
dan kelengahan lawan. Semakin lama gerakan mereka tampak
semakin cepat. Sejenak kemudian, terdengar bunyi benturan
"Taakkk...!" Golok si Rompa tepat menempel di tengah toya nyaris
membabat jari-jari Joko ketika ia berUsaha menangkis serangan
yang cepat itu. Secepat itu pula Joko mendorong tekanan golok
itu dengan keras dan balik menyerang dengan tendangan kaki
kanannya.Tendangan itU tepat mengenai bagian vital di selangkang
paha mu suhnya. Kemudian, toya di tangan Joko bergerak cepat
lalu menghantam bagian pelipis si Rompa. Laki"laki itu mengerang
kesakitan. Dengan terseok"seok ia melarikan diri menyUsul ketiga
kawannya mencebUr sungai.
Kini tinggal pemimpin komplotan yang masih berdiri tegang
di tempatnya sambil berUsaha tersenyum-senyum menepis
rasa takutnya menghadapi Joko seorang diri. Tangannya masih
bersitelekan di dada. Kemudian, ia melangkah sedikit mendekati
tempat Joko berdiri. "Ha. ha. ha. Kau memang hebat, anak muda. Tetapi, jangan
coba-coba melawan saya. Kau belum tahu siapa si Janggut, ha"!
Ha. ha. ha," Ucap si tinggi"besar itu sam bil tertawa"tawa mencoba
mempengaruhi Joko. Namun, Joko tetap kelihatan tenang
menghadapinya. "Tidak Usah banyak cingcong, Janggut! Jika kau masih
berminat menyusul kawan-kawanmu, bersiaplah!" balas Joko
tidak maU kalah, Ia kembali memutar"mutar toya di tangannya
dengan cepat. "Ha. ha. ha! Ha. ha. ha! Rupanya kau memang keras kepala,
tikUs kecil! Kalau itu yang kaU maU, golok ini akan segeramencabut
nyawamu!" ujar si tinggi"besar lagi sambil menghunus goloknya.
Ia mulai bersiap untuk menyerang dengan mengatur langkah"
langkah sebagai pembuka jurusnya.
"Ciaaattt...! Ciaaattt... !Ciaaattttt...!"
Sulung, Gendut, dan Cenut serentak berteriak keluar dari
persembunyian mereka dengan senjata terhunus di tangan. Si
Janggut sangat terkejut melihat kedatangan mereka yang secara
tiba"tiba keluar dari balik semak. Melihat musuhnya semakin
banyak, si tinggi-besar itu tampak panik dan gelisah. Kemudian,
tanpa mereka duga pemimpin komplotan itU segera meloncat
melarikan diri menyUsul keempat kawannya menyeberang
sungai. "Kejar dia!" pekik Cenut bersemangat.
"Tidak perlu. Biarkan saja mereka lari."
"Huh,ternyata orang itu lebih pengecutdari kawan"kawannya,
ya, Pak?" Ujar Gendut mengomentari.
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"Ya, mungkin dia mengira kita lebih banyak dari ini. Ia
juga pasti tidak tahu kalau orang-orang kecil seperti kamu yang
muncul." "Wah, ternyata Pak Guru hebat sekali."
"S udahlah. Yang penting kalian bertiga tetap merahasiakan
semua kejadian malam ini. Ini hanya rahasia kita berempat. Besok
pagi saya harus melaporkan hal ini kepada polisi kecamatan. Kita
harUs segera menghubungi mereka untuk minta bantuan. Jika
tidak, kita tidak mungkin bisa meringkus mereka sampai ke akar"
akarnya. Ayo, sekarang mari kita pulang sebelum sinar bulan yang
akan menerangi jalan kita hilang tertutup awan."
Keempat anggota pasukan kecil itu pun segera berlalu dari
tempat itu dengan kemenangan dan kepuasan. Joko berkali-
kali meraba"raba kUlit dekat bajunya yang tersobek. Ada sedikit
rasa perih di sana. Rupanya golok itu sempat pula menggores
pinggangnya. : . 81 Sebelas Tengah malam itu, jauh di hilir Sungai Luk Buhaya tampak
dUa orang bertubuh kUrUs mondar"mandir dengan gelisah di
depan sebuah truk yang diparkir di sisi gudang penampungan
kayu di tepi sungai. Tempat itu sekitar sepuluh kilometer dari
kota Kecamatan Kintapura. Tidak banyak orang yang mengetahui
tempat ini, kecuali segelintir orang saja yang memang terlibat
dalam Usaha penyelundUpan kayu besi dan jenis kayu mahal
lainnya. Sindikat ini telah berjalan bertahun-tahun tanpa banyak
rintangan yang berarti. "PUlan, sekarang sudah pukul tiga malam lewat. Kenapa
mereka belum juga datang?" ucap seorang di antaranya dengan
cemas. "Entahlah. Saya curiga ada sesuatu yang terjadi atas diri
mereka. Tetapi, ah, itu tidak mungkin. Biasanya Bang Janggut
selalu dapat mengatasi kesulitan apa pun dengan mudah," sahut
orang yang dipanggil Pulan.
"Ya biasanya memang begitu. Saya juga yakin akan
kemampuan Bang Janggut. Tetapi, mungkinkah mereka akan
mengkhianati kita?" "Ya itU juga mungkin. Misalnya karena Upah mereka kurang
tinggi. Padahal, pekerjaan mereka sangat berat dan berbahaya.
Tetapi, jika itU yang mereka maU, bukankah mereka bisa
mengUsulkannya kepada pimpinan. Saya yakin majikan kita pasti
akan memperhitungkannya."
"Ah, sudahlah! Jangan terlalu curiga. Kita tunggu saja dulu
sampai satu jam lagi. Apabila pukul empat mereka belum juga
datang, kita terpaksa kembali ke Kintapura untuk melaporkan hal
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
ini kepada pimpinan. Kita terpaksa batal membawa kayu"kayu ini
ke Banjarmasin." "Meskipun mereka sudah datang, kita jugatidak mungkin lagi
berangkat ke Banjarmasin kalau sudah dini hari begini. Belum
lagi waktu menaikkan kayu ke atas truk, wah, pasti kesiangan
jadinya." "Iya, ya Kalau saja kayu-kayu ini bisa kita angkat sendiri, tentu
kita tidak perlu menunggu anak buah Bang Janggut. Akan tetapi,
tUbUh kita yang kUrUs"kUrUs seperti ini mana ada kekuatan Untuk
mengangkat kayu ulin sebesar itu."
Keduanya pUn kemudian tertawa-tawa lUcu mengurai sunyi
malam itu. Setelah itu, mereka melangkah memasuki gudang dan
menaiki tumpukan kayu"kayu besi yang sudah dibentuk menjadi
balok"balok besar itu sambil bersungut"sungut Mereka tampak
merasa gusar melihat balok"balok itu.
Tidak berapa lama kemudian, dari arah sungai terdengar suara
beberapa orang yang mengeluh di sela kecipuk air sungai. Kedua
orang yang berada di gudang tadi segera menyongsong asal suara
itu ke bibir sungai. Tampaknya mereka sudah hafal benar suara"
suara yang tak lain adalah suara si Janggut dan anak buahnya.
"Wah, wah, lama benar kami harus menunggu kalian, kawan.
Setan apa gerangan yang mengganggu di perjalanan, ha?" seru si
PUlan dengan nada mengejek.
"Ah, diam kau, PUlan! Kalau tidak mau diam, kUtampar!"
bentak si Janggut yang bertubuh tinggi"besar itu.
"Jangan marah, kawan! Ada apa sebenarnya yang membuat
pasukanmu terlambat hingga menjelang pukul empat dini hari
begini baru datang?"
"Huh, hanya tikus kecil memang! Tetapi, ia telah membuat
perjalanan kami harUs tertunda malam ini!"
"Sudahlah, lebih baik kita segera kembali ke Kintapura
sebelum matahari terbit. Nanti saja laporkan apa yang menjadi
halangan perjalanan kalian rtu di hadapan pimpinan. O, ya, si
Rom pa ke mana?" "Ia tidak bisa ikut."
"Kalau begitu, cepat naik semua! Kita harus kembali ke
Kintapura sebelum kesiangan!"
Mereka pun segera naik ke dalam truk, lalu bergerak
meninggalkan tempat itU. Misi mereka malam itU telah gagal.
Padahal biasanya selalu berjalan dengan mulus. Sepanjang
perjalanan mereka tidak banyak bicara. Hati mereka diliputi
perasaan waswas menunggu sumpah serapah yang akan diterima
dari pimpinan mereka. Kira-kira seperempat jam kemudian, trUk itu telah sampai di
pinggiran kota Kecamatan Kintapura. Kendaraan tersebut langsung
diparkir dalam sebuah garasi bersama dua bUah truk lainnya yang
telah ada di samping kanan rumah yangterhitung paling mewah
di Kintapura. Di samping kirinya tampak berdiri sebuah gudang
tempat kayu"kayu perabotan rumah tangga berbagai ukuran yang
menandakan bahwa pemilik rumah itu adalah seorang penjual
kayu bangunan. Keenam orang yang tadi berada di dalam truk, kini tampak
mUlai melangkah menuju teras rumah mewah itu. Mereka sangat
terkejut ketika melihat seorang lelaki bertubuh gendut dan
berkepala sedikit botak telah berdiri di hadapan mereka sambil
mengisap rokok dengan pipanya yang terjuntai di bibir. Lelaki
itu semula mondar"mandir di teras samping rumah sebelum
kedatangan beberapa lelaki yang kini tengah menuju ke arahnya.
Sambil berkacak pinggang lelaki itu terus memandang keenam
orang yang kini berdiri menunduk di hadapannya. Matanya
melotot tajam di bawah keremangan lampu teras yang redup.
"Ma... maafBos. Kami terpaksa gagal berangkat ke Banjarmasin
malam ini," ujar si Pulan melapor sambil terbungkuk"bungkuk
seperti seseorang yang sedang menghadap sultan di keraton, di
zaman kerajaan dUlU. 34 -'._', ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"S udah! Cepat kalian naik ke ruang belakang!" bentak lelaki
gendut itu dengan kasar. Keenam orang itu pun segera menurut memasuki ruang
belakang tempat di mana biasa mereka berkumpul untuk
membicarakan sesuatu. Lelaki gendut itu kemudian beranjak
pula mengikuti orang"orang yang menjadi tamunya itu. Di ruang
belakang itu, lelaki gendut, tersebut lalu duduk di kursinya.
"Pulan! Jabir! Apa alasan kalian gagal berangkat malam ini,
ha"!" bentak lelaki itU sambil menghentakkan kakinya.
"Ee... em... bukan salah kami, Bos. Kami telah menunggu
Bang Janggutdan kawan-kawan selama berjam-jam, tetapi mereka
baru datang menjelang pukul empat. Tentu saja kami terpaksa
membatalkan rencana keberangkatan kami karena merasa sudah
kesiangan," jawab si Pulan dengan gugup. Ia takut sekali kalau-


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau tamparan lelaki itu bersarang lagi di pelipisnya seperu
beberapa waktu yang lalu.
"Benar, Janggut"!"
"Be... benar, Bos. Tetapi, hal itu tidak kami sengaja, Bos. Kami
mendapat rintangan ketika memasuki Sungai Bidawang."
"Apa"! Rintangan"!"
"Be... benar, Bos. Seseorang telah merintangi kami ketika
memasuki sungai itu."
"Bodoh benar kalian! Untuk apa saya memberikan Upah
tinggi-tinggi kalau hanya kegagalan begini yang kalian bawa! Apa
kalian pikir ini tidak merugikan usaha kita"! Berapa penghasilan
kita yang hilang malam ini. Para langganan kita akan merasa
tertipu dan tidak akan percaya lagi dengan kita. Apa kalian mau
!" ujar lelaki itu semakin berang.
berhenti bekerja di sini, ha"
"BU... bukan begitu, Bos. Tetapi, kami terpaksa harUs
menunda perjalanan karena dihadang orang itu. Kami tidak
berdaya menghadapinya, Bos."
"Huh, dasar tidak becus kerja kalian semua! Kalian cuma tahu
Upahnya saja!" Lelaki gendut dan botak yang menjadi pimpinan komplotan
penyelundup kayu itu kemudian bangkit lalu berjalan mondar"
mandir di hadapan keenam anak buahnya yang sedikit pun tidak
berani menantang tatapannya.
"Sudahlah Bos! Lebih baik beri kesempatan mereka Untuk
Misteri Dewa Seribu Kepalan 1 Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 8
^