Pencarian

Kitab Omong Kosong 2

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 2


Masalahnya adalah dengan siapa dia datang. Sinta terkesiap. Apakah itu berarti ia akan bertemu Rama" Saat itu hari menjelang senja, langit berwarna keemasan tapi belum kemerah-merahan. Segalanya bagai memantulkan cahaya emas. Batangbatang pohon, dedaunan, permukaan sungai dan batu-batu yang mencuat ke permukaan, semuanya keemasan. Sinta menuju ke tepi sungai, mencoba menegaskan pandangan.
Dalam rombongan berkuda yang terdiri dari seratus orang, Rama melaju paling depan. Di belakangnya Lawa dan Kusa, sisanya para pengawal kerajaan. Selama perjalanan Rama sibuk menduga, apakah Sinta akan me nerimanya" Terlalu lama mereka berpisah. Hati mungkin saja telah menjadi keras.
Apakah Ibu suka pulang ke Ayodya" Rama berteriak kepada Lawa dan Kusa yang ia minta berkuda di sampingnya.
Pulang ke Ayodya" Entahlah. Ibu sangat bahagia di tepi anak Sungai Gangga. Kami tidak pernah tahu rumah kami di Ayodya.
Mereka terus berkuda dalam dunia senja, membuat Rama terkenang alam pengembaraan. Itulah dunia yang pernah di arungi nya bersama Sinta, dunia penuh petualangan yang mende barkan, memikat dan mengagumkan. Ah, masa muda yang penuh kenangan.
Sinta menyaksikan derap dan laju orang-orang berkuda menuju ke arah nya. Makin lama makin dekat menembus tabir cahaya keemasan. Ia berdiri di seberang sungai. Rama berhenti di seberang lainnya. Lawa dan Kusa terus menyeberang.
Ibu! Kami pulang bersama Ayah!
Mereka turun dari kuda. Ibu dan anaknya berangkulan. Lihat Ibu, itu Ayah!
Dia mengajak kita pulang!
Sinta menatap kedua anaknya dengan tajam.
Bagaimana mungkin kalian berkata pulang, jika sejak lahir kalian tinggal di sini"
Lawa dan Kusa terdiam. Sinta dan Rama bertatapan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam waktu singkat Sinta merasakan kembali se gala penderi taan. Ia tidak ingin membicarakan apa pun dari masa yang telah lama silam.
Rama melihat Sinta dalam cahaya senja yang keemasan. Perpisahan 15 tahun tidak mengubah apa pun, ia tetap cemerlang, dengan kain sederhana seperti orang awam, Sinta memancar sebagai perempuan impian. Sinta, ini aku datang, ujar Rama.
Sinta melihat Rama yang sangat dicintainya, selamanya penuh pesona, mencekatkan hatinya. Namun sebaris luka menggores menyakitkan.
Untuk apa kau datang, Rama yang Agung, aku perempuan hutan sekarang, tak layak dipandang.
Rama kemudian berkata. Kita tidak pernah bicara sebelum kau menghilang. Aku tidak pernah bertanya, tidak pula memberi tuduhan. Orang-orang Ayodya memperbincangkan permaisuri kerajaan. Tidak layakkah aku mempertimbangkan" Belum tuntas kuredam kegalauan, dirimu sudah menghilang. Tanyakanlah kepada Laksmana, betapa aku merasa kehilangan.
kekuasaan. Berlakulah jujur Rama yang Agung, dikau tidak ingin menjadi raja tanpa du kungan, karena hanya de ngan dukungan rakyat Ayodya dikau tenang di sing gasana kerajaan.
Sinta istriku, ibu anak-anakku, aku datang kemari bukan untuk bertengkar. Aku tidak mempertaruhkan cinta untuk ke ku asaan. Baiklah kutanyakan saja sekarang, apakah engkau bisa membuktikan kesucian"
Sinta tersentak dan meledak dalam tangis penuh kesedihan. Duka me nyelimuti dunia. Senja mengendap tiba-tiba. Cahaya keemasan di segala tempat memudar, menyisakan keremangan sementara langit merah terbakar.
Lelaki yang malang, tidak mampu memisahkan cinta dari keang kuhan. Dunia ini harus menyerah kepada dirimu, wahai titisan Wisnu, sungguh semua ini adalah kesalahan pandangan. Hidupmu tiada boleh bernoda, bahkan tidak juga setitik noda. Apakah itu karena dikau sebetulnya dewa dan bukan manusia" Namun pandanganmu adalah kelemahan manusia, Rama, dikau sungguh tidak sempurna tapi sungguh kukatakan kepadamu Rama, berbahagialah menjadi manusia!
Di atas kudanya Rama terdiam. Tidak ada kalimat yang mampu dia ucap kan. Sinta melanjutkan kata-katanya sembari menahan isakan.
Dikau menuntut kesucian, Rama yang rupawan" Baiklah akan kube rikan! Demi Dewi Bumi yang melahirkan diriku, bi ar lah aku ditelan tanah yang me rekah, hilang lenyap selama-lamanya, jika diriku memenuhi tuntutan kesucian. Kuucapkan sumpahku ini Rama, untuk menunjukkan betapa kesucian tidak mungkin diabdikan kepada kuasa keangkuhan!
Bumi bergetar dan awan di langit berputar-putar setelah Sinta mengucapkan sumpahnya. Tanah di bawahnya merekah dan Sinta melayang ke bawah tanpa suara.
Ibuuuu!!! Lawa dan Kusa melompat berusaha menahan, namun tanah merekah itu telah menutup kembali.
Ibuuuu!!! Lawa dan Kusa menangis tak berdaya. Mereka menelungkup memeluk dan memukul-mukul tanah.
Ibuuuu!!! Tiada derita yang lebih menghancurkan lelaki selain kehi langan seorang ibu.
Senja yang sempurna dengan langit semburat jingga menggelap dengan segera. Dalam sisa cahaya senja Rama melihat seorang tua turun dari rumah panggung, menghampiri Lawa dan Kusa. Kedua remaja itu masih menangis, mereka menurut ketika orang tua itu membimbingnya.
Walmiki, orang tua itu, berkata kepada Rama yang masih saja duduk di atas kudanya.
Kembalilah Raja, kalau engkau bisa hidup 15 tahun tanpa Sinta, engkau akan mampu hidup tanpa Sinta untuk seterusnya. Kembalilah ke Ayodya, aku masih harus menamatkan cerita.
Rama mendengar suara binatang-binatang malam. Senja meremang dan menghitam.
anak gembala bermain layang-layang bidadari tersangkut kainnya lepas seekor macan mendatangi Semar minta dibacakan kisah Sri Tanjung terdengar seruling di lembah sepi duka nestapa sang anak kembar, o!
moksa etelah mencangkul seharian, rasanya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Satya. Untuk pertama kalinya tiba-tiba ia merasa puas. Sudah lama perasaan seperti ini tidak di alaminya. Setidaknya perlu satu tahun setelah bencana Persembahan Kuda itu berlalu, ia mulai bisa merasakan sesuatu yang berhubungan dengan rasa senang. Sebelumnya dunia selalu terasa muram, berat, dan menekan. Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang tercinta dalam seketika karena pembunuhan.
Satya melihat kambing-kambingnya yang merumput. Ia tersenyum riang. Bersama kawan-kawan sebayanya mereka ber usaha melupakan ke sedihan. Mereka dirikan kembali permu kiman yang telah rata dengan tanah, menjadi sesuatu mirip ke hidupan. Satya tak pernah menduga bahwa ia kini harus mem bangun kembali semuanya seperti nenek moyangnya. Beginilah leluhur kami melakukannya dahulu, pikirnya. Tiada waktu berduka bagi Satya. Mereka membuka kembali ladang, men dirikan rumah-rumah panggung, bahkan memba ngun pesanggrahan. Per mukiman mereka sunyi, terpencil, da hulu banyak orang datang mencari ketenangan. Di puncak bu kit mereka bangun sebuah pertapaan yang terlindung rimbun pepohonan. Orang-orang sadhu, para pengembara suci, sering berhenti di sana untuk mengolah kebatinan.
Bila malam tiba pada bulan Kartika, banyak orang datang memuja keindahan. Para penyair datang dengan tanah dan karas, setelah mendatangi sekian banyak pantai dan pegunungan, di sini mereka menyerahkan diri kepa da rembulan. Satya suka kepada pandangan mata para pemuja keindahan, tua muda laki perempuan, mata mereka berkilat-kilat menatap berkas cahaya yang merambati udara di tengah malam.
Hari masih siang, namun Satya tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba terdengar seseorang berlari mendatang.
Satya! Satya! Ada apa" Ada juru cerita! Satya bangkit. Ia selalu senang bila seorang juru cerita melewati desanya. Mereka hidup berkeliling ke seluruh dunia, mencari dan menuliskan kembali cerita, membacakannya di mana-mana.
Siapa" Entahlah. Dia sudah tua. Sudah lama"
Sudah dari tadi, aku juga baru datang.
Satya merasa menyesal tenggelam dalam lamunan sepanjang hari. Ketika ia tiba, juru cerita itu sudah sampai kepada akhir riwayatnya. Orangorang berkerumun di bawah pohon beringin yang teduh. Mendengarkan dengan terpesona. Juru cerita itu su dah tua namun suaranya meyakinkan. Dijelmakannya sebuah alam dengan kisah yang menggetarkan. Banyak perempuan meng usap matanya. Laki-laki pun berwajah muram. Ceritanya apa" Satya berbisik, tapi yang ditanya me nyu ruhnya diam.
Kala, Sang Waktu, mengunjungi Rama Aku ingin bicara denganmu, katanya, biarlah yang mengganggu dihukum dengan kematian.
Rama pun meminta Laksmana berjaga Biarkan Sang Waktu bicara kepadaku Laksmana, tak seorang pun boleh mengganggu.
Di dalam kamar Kala berkata, Waktumu habis Rama, pergilah dari dunia manusia.
Di luar kamar, datang Resi Druwasa
Biarkan aku bertemu raja, jika tidak biarlah seluruh Ayodya mengalami kematian. Laksmana berpikir, dan tahu saat hidupnya berakhir Dimasukinya kamar, mempersilakan Rama keluar Aku telah bertapa seribu tahun, kata Druwasa,
dikau Raja patut mengganjar. Rama mengganjar Druwasa dengan amerta Ayodya terhindar dari bencana, tapi Laksmana berkata,
Sudah tiba waktuku Rama, aku akan menghilang dalam yoga.
Laksmana pergi ke Sungai Serayu, melaksanakan sebuah pelajaran
Batas hidupmu sudah ditentukan, tak dapat diubah Bila kau mendekati saat ajalmu,
tuntunlah dia turun, dia yang bersemayam di raut muka,
supaya dia turun Gema yang suci berdiri dengan pucuknya, berhadapan dengan tenggorokan,
desaklah supaya dia turun Bunyi OM akan menjadi Tunggal
Tempatnya di dasar jantung Kalau kau kuat, bebaskan dari dalam menuju terang Kalau tidak kuat, ikuti dia ke atas, kejar lewat pembuluh utama, bukalah jalan lewat ubun-ubun
Inilah jalan Sadasiwa Dalam lubuk hati bersatu dengan langit yang tampak Lubuk hati maupun langit tak ada batasnya,
tak terputus-putus Bagaimana keduanya bersatu" Seperti batang bambu yang terbelah,
udara dalam bambu menyatu dengan udara di luar bambu
udara di langit udara yang menjadi tujuan
Itulah yoga langit, jalan yang tak terbayangkan,
karena tiada pikiran Tidak mempunyai maksud Tidak mempunyai keinginan Tidak ada teksnya
Kosong Tanpa ciri-ciri, tanpa bentuk, tanpa warna Seperti langit murni tanpa noda 2
Laksmana menghentikan pernapasannya Moksa sebagai cahaya
Setelah berkuasa selama 10.000 tahun,
Rama merasakan akhir kehidupan Dipanggilnya Lawa dan Kusa untuk berpamitan Kerajaan Ayodya dibagi dua,
Kosala Utara untuk Lawa Kosala Selatan untuk Kusa Dipesankannya kepada Hanuman, yang akan berumur panjang,
agar menjaga kebudayaan Sampaikan kisahku kepada semua orang.
Rama menuju Sungai Serayu Terlihat tiang-tiang cahaya
Ia mengucap AM Merata di seluruh tubuh
2 Soebadio, ibid., hlm. 95.
Lewat sembilan lubang Tubuh menjadi matahari
Ia mengucap AH Napas meninggalkan tubuh Tubuh menjadi rembulan Cantik, jernih, murni Penuh pengetahuan
Meditasi matahari, meditasi rembulan,
telah disatukan Begitulah jalan Sadasiwa Jelas, jernih, tanpa rintangan Bagaikan mutiara cemerlang Ke segala penjuru bersinaran Seolah bermandi cahaya siang
Harum, indah, manis Pengetahuan tanpa keraguan,
tak terputus, tanpa wujud Gema lebur dalam kehampaan Kehampaan dilahirkan
OM Kelepasan 3 Rama moksa, Wisnu disambut para dewata Gamelan berbunyi, dalang bersuluk,
pesinden menembang Para pendengar, pembaca tercinta sekalian
Inilah akhir kisah Ramayana Rama dan Sinta, masing-masing moksa yang satu membumi, yang lain mengudara Mungkinkah keduanya disatukan cinta" Ini pertanyaan, untuk direnungkan Kini Walmiki kembali ke awan
3 Ibid., hlm. 87 89. Dari padang terbuka, kuda itu berlari masuk kota. Berderap di lorong-lorong, lantas melompat masuk jendela. Pelacur yang tidur tengkurap dengan punggung terbuka itu membuka mata. Kuda, kuda, kamu dari mana" Aku bermimpi kamu mengembara, katanya. Lantas ia melihat punggungnya lewat cermin. Kuda itu masih ada.
PERJALANAN MANEKA rajah Pembawa Petaka senja turun di dalam kitab, o dunia terlipat ke balik huruf laut dan gunung berdesakan sehingga ikan ketemu macan jangan menangis begitu sayang ada wayang memburu dalang, o!
aneka menyisir rambutnya di depan cermin, ia melihat dirinya di sana dan bertanya-tanya. Bagaimana semua ini bisa ada" Belum sempat ia meneruskan pikirannya, pelacur-pelacur lain di rumah bordil itu seperti saling berebut membuka pintu. Maneka terkejut. Ada apa"
Mana Maneka" Mana" Apanya"
Kuda! Kuda" Kuda apa" Kuda putih!
Kuda putih apa" Maneka menoleh, di jendela yang berada di sisi lorong, sudah berkerumun orang banyak.
Ya, kuda itu masuk ke sini, kami semua melihatnya! Kuda" Masuk ke kamar ini" Aku baru saja bangun tidur, tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku memang bermimpi tentang kuda.
Bermimpi" Mimpimu apa" Barangkali mimpimu itu yang kami lihat Maneka.
Mana bisa" Aku hanya bermimpi kuda di punggungku ini pergi me ng embara.
Coba lihat. Seorang pelacur memutar badan Maneka, dan di punggung nya yang ter buka, setelah menyampingkan rambut panjangnya, memang terlihat rajah seekor kuda yang berlari.
Nah, ini dia! Memang ini kuda itu Maneka! Inilah kuda putih yang datang dari padang terbuka itu!
Tapi aku hanya bermimpi! Itu bukan mimpi Maneka, kami semua melihatnya! Maneka tertegun, ia melihat sekeliling, semua mata menatapnya. Aku bermimpi kuda itu mengembara, bagaimana mungkin kalian bisa melihatnya"
Sarita, sahabatnya, maju ke muka.
Itulah masalahnya Maneka, bagaimana kami semua bisa melihatnya"
burung sriti menembus kelam tiada bayangan di balik bulan asap kemenyan merayapi tilam perlahan-lahan menjelma kutukan, o!
cinta tapi kini tiada lagi cinta bagi Maneka, meskipun cinta yang paling pura-pura. Apakah peristiwa kuda yang melompat jendela dan kembali ke punggung Maneka itu dianggap keajaiban dunia" Ataukah semua orang sudah kerasukan Gelembung Rahwana" Entahlah apakah semua itu ada hubungannya, penulis cerita ini saja tidak me ngetahuinya, namun adalah suatu kenyataan betapa bahkan istri-istri menyuruh suaminya tidur dengan Maneka, dan sebaliknya suami-suami meminta istrinya melakukan hal yang sama.
Sarita berkata kepada pemilik rumah bordil itu.
Biarkanlah saya bergantian dengan Maneka, kasihan dia, tubuhnya hancur dan jiwanya luluh tiada berdaya.
Tidak bisa. Semua orang hanya menghendaki Maneka, dan ini kesempatanku satu-satunya. Kau sendiri tahu bagaimana tempat pelacuran ini menderita. Orang-orang di kota menghujat kita dan segelintir tamu hanyalah para pengembara yang sedikit uangnya.
Tapi engkau menyiksa Maneka, dahulu enam sampai tujuh tamu cukup lah, sekarang Maneka hanya istirahat menjelang pagi, siang-siang sudah ada tamu pula.
Sarita, engkau mau apa" Aku bisa mengusirmu sekarang juga! Semua orang itu hanya menghendaki Maneka, begitu selesai langsung mereka antri di belakangnya.
Engkau sudah gila, Maneka itu manusia.
Siapa bilang dunia ini tidak gila, Sarita. Ini juga belum apa-apa. Setiap hari menjelang pagi Sarita memeluk dan merawat Ma neka. Mereka berdua masing-masing dijual oleh ayah mereka sendiri ke tempat pelacuran itu, karena kemelaratan yang tidak tertahankan. Mereka semula tidak saling mengenal, namun karena kamarnya berdampingan maka persahabatan mereka jadi kental. Sudah lama keduanya ingin lari dan pergi, tapi tidak tahu caranya, tidak tahu mau ke mana, karena mereka berdua sungguh buta akan kehidupan dan dunia. Mereka dijual ketika masih terlalu remaja, jadi memang tidak tahu apa-apa, dan kedudukan mereka sebagai orang paria, tidak memberi kesempatan untuk mengerti apa maknanya menjadi manusia. Namun Sarita dan Maneka saling menyayangi seperti saudara, meski keduanya tidak bisa mem baca, nalu rinya sebagai perempuan tetap sempurna, dan keduanya tahu apa itu cinta.
Sarita mengelus rambut Maneka yang tidur di pangkuannya. Jendela terbuka dan terlihat rembulan di langit yang masih penuh bintang. Mata kedua perempuan itu menatap ke luar jendela, bagaikan tahu betapa keluasan semesta tiada artinya bagi mereka.
Sarita .... Ya, Maneka .... Tahukah kamu kenapa kita bernasib seperti ini" Tentu, karena kita berdua dijual ayah kita. Tahukah kamu kenapa kita dijual ayah kita" Karena kita miskin dan kita bodoh dan kita orang paria. Ya, tapi kenapa, kenapa, dan kenapa"
Sarita menghela napas. Mereka sering bertanya dan tak tahu jawabnya. Mengapa mereka harus lahir di sebuah dunia se perti ini" Semua ba yaran bagi pelacur di rumah bordil itu tidak pernah diserahkan kepada mereka. Para pe lacur tidak mendapat apa-apa karena bayaran itu dianggap pas untuk sewa kamar dan ongkos makan mereka. Sampai mati pun mereka tidak akan bisa membebaskan diri. Satu-satunya jalan ialah menung gu seorang tamu yang jatuh cinta, dan bersedia membayar suatu harga un tuk membebaskannya. Namun rumah bordil ini hanyalah suatu tempat pelacuran kelas bawah, orang-orang di kota itu tidak su di datang ke sana, dan para pengembara miskin yang singgah di kota itu pun tidak selalu membayar dengan uang, melainkan dengan barang-barang dagangan mereka. Tidak jarang yang da tang ke sana hanyalah pengemis-pengemis berpenyakit kusta yang berhasil mengumpulkan uang untuk membeli cinta, dan para pelacur memberinya cinta pura-pura dengan sangat terpaksa, karena itu lah satu-satunya sumber dana. Bila kusta menghinggapi me reka, segera mereka akan dibuang menjadi satu dengan penge mis-pengemis itu, yang tidak jarang kemudian memerkosanya.
Kenapa kita jadi begini, Sarita" Masih juga bertanya, Maneka" Bukan yang itu Sarita.
Yang mana" Tapi peristiwa kuda itu luar biasa. Aku tidak bisa melayani seluruh kota. Apa sebenarnya yang ada di kepala mereka"
Ini peristiwa tidak masuk akal yang biasa Maneka, karena hal-hal yang masuk akal hanya menyadarkan betapa diri mereka bukan apa-apa. Tapi kenapa aku, Sarita, kenapa aku"
Kalaulah aku tahu Maneka, kenapa kita tidak bertanya kepada seorang cendekia"
Esok malamnya Sarita mengundang seseorang yang dianggap cendekia, setiap jawaban atas pertanyaannya harus dibayar dengan cinta, tapi Sarita hanya memberikan tubuhnya.
Jadi kuda itu datang dari padang terbuka di luar kota. Ya Bapa.
Lantas berderap di lorong-lorong sebelum melompat masuk lewat jen dela"
Ya Bapa. Itu gambarnya" Ya Bapa, itu gambarnya, di punggung Maneka.
Orang cendekia itu meraba gambar kuda di punggung Maneka. Coba kau lihat, katanya, di kepala kuda itu ada sebentuk daun yang terbuat dari emas.
Ya, aku melihatnya, kata Sarita, jadi itu dari emas" Memang, kalau di kulit, mana kita tahu itu emas. Apa artinya"
Artinya inilah kuda yang digunakan untuk Persembahan Kuda, yang telah menimbulkan bencana di seluruh anak benua.
Bagaimana bisa ada di sini"
Kita bisa tanyakan, di mana kau buat rajah itu Maneka" Maneka berbalik dari tengkurapnya, mengikat rambutnya yang bergelombang seperti malam.
Rajah ini sudah ada sejak aku berada di dalam kandungan. Sarita ternganga.
Bagaimana mungkin" Mungkin saja Sarita, kata orang cendekia itu, artinya nasib Maneka ditentukan Walmiki, penulis cerita Ramayana.
Siapa itu Walmiki" Apa itu Ramayana"
Orang cendekia itu menatap Maneka dan Sarita sembari geleng-geleng kepala.
Dasar pelacur bodoh yang tidak pernah membaca.
Angin bertiup dari padang gurun, o! Membawa selembar daun bersajak Tangis bayi menguak sepi
Musair berdoa di sumur mati Menimba dunia dari keropak, o!
Pada suatu malam di dekat jendela di lorong itu, terlihat se sosok lelaki beserban yang menutupi seluruh wajahnya membawa enam ekor keledai. Ia berjalan kaki memegang tali kekang keledai yang terdepan, lantas berhenti di dekat jendela. Keledai yang bertali kekang dan berpelana itu juga terlihat membawa kantong-kantong kulit yang berisi air, daging kering, dan alat-alat berburu. Lima keledai yang lain tidak berpelana, tetapi digelayuti keranjang di kiri kanannya, dan keranjang itu besar. Biasanya keranjang itu diisi kayu api yang digunakan penduduk untuk berbagai macam keperluan, menanak nasi, memasak air, atau menghangatkan ruangan.
Di bawah jendela, sosok itu berhenti. Ia meletakkan tangan di mulut, menirukan suara burung hantu. Di langit malam, bulan sabit seperti sampan dalam perjalanan. Jendela pun terbuka.
Ayo! Cepat! Nanti orang-orang mabuk itu lewat!
Dari jendela terlihat sesosok tubuh yang semampai melompat, langsung masuk ke dalam keranjang di punggung keledai itu. Kemudian muncul sesosok lagi, juga semampai, lantas juga masuk ke dalam keranjang. Lelaki beserban itu lantas menutupi keranjang-keranjang itu dengan tumpukan sabut kelapa. Dalam keranjang-keranjang yang tergantung di punggung lima keledai yang lain, memang terdapat banyak sabut kelapa.
Lelaki beserban itu kemudian menaiki keledai yang berpelana, dan ber geraklah keledai itu pelan-pelan.
Maneka! Maneka! Terdengar suara bisikan. Sarita"
Sssst! Jangan berisik, nanti aku yang dapat kesulitan.
Malam kelam. Hanya terdengar langkah keledai-keledai itu sepanjang lorong. Di kiri kanan lorong itu dinding-dinding ru mah begitu tinggi, membuat lorong itu terasa sempit dan me nekan.
Sarita! Sssssttt! Sudah dibilang diam, kamu kan tahu apa yang ter jadi kalau ketahuan" Aku sendiri tidak kenapa mau membantu kalian! Di dalam keranjang, Maneka merasa gatal tidak keruan. Gatal sekali! Aku mau turun!
Terdengar suara Sarita. Tahan sedikit Maneka, jangan sampai kita mati.
Maneka menggaruk-garuk seluruh tubuh sebisanya. Ia me ringkuk di da lam keranjang seperti seonggok karung. Risiko pe rempuan yang lari dari rumah pelacuran sudah jelas, hukumannya adalah dirajam. Para pelacur hidup seperti budak belian, tidak memiliki kebebasan, dipergunakan tubuhnya seperti sapi perahan. Pelacur yang lari terakhir kali adalah Sumita. Ia begitu saja berlari di tengah malam karena memang tidak punya tujuan, hanya menjadi gila karena tiada kemampuan untuk bertahan. Nasibnya sungguh buruk, karena di gerbang kota ia tidak tahu harus apa. Para penjaga menangkapnya tanpa perlawanan. Sumita mati me ngenaskan setelah tiga hari menderita di tiang perajaman di tengah kota. Seisi penduduk kota tanpa perkecualian diwajibkan ikut merajamnya, dengan alat apa saja, sembilu boleh silet pun bisa. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Semenjak itu tiada lagi pelacur yang mencoba lari. Paling-paling akan terjadi mereka mati bunuh diri. Setidaknya setahun dua kali.
Mereka sampai di gerbang kota. Para penjaga tertidur di gardu. Tetapi pintu gerbang itu tertutup dan terkunci. Lelaki beserban itu pura-pura batuk, dan seorang penjaga terbangun.
Lelaki beserban, ini masih tengah malam, biasanya para pe ngembara tidur nyenyak di tempat pelacuran, kamu mau ke mana" Aku bukan pengembara tanpa pekerjaan, aku seorang pedagang. Oh, pedagang, kamu berdagang apa"
Kayu api. jika memergoki Maneka. Tetapi ia mendekati keranjang yang memang penuh sabut kelapa.
Ini semua sabut kelapa, mana kayu apinya" Habis terjual semuanya.
Ini semua untuk apa"
Oh, dalam perjalanan ini banyak gunanya, bisa berdiang di padang terbuka.
Hmmm. Penjaga itu tidak memeriksa apa-apa. Maneka dan Sarita da lam keranjang menahan napas. Mereka berdua baru sadar, betapa petualangan ini sungguh berbahaya.
Tapi ini lebih baik daripada Maneka harus melayani seisi kota, pikir Sarita, kalau tidak lari ia akhirnya akan mati juga.
Akan halnya dirinya, semua orang tahu Sarita sahabat Maneka. Jika Ma neka menghilang, tiada orang lain yang bisa dianiaya selain Sarita. Maka ia tak mungkin hanya membantu pelariannya, melainkan harus ikut lari juga.
Pedagang beserban, sebenarnya kamu mau ke mana" Tidak ada orang berangkat malam buta.
Lelaki beserban itu menghela napas.
Ketahuilah penjaga, aku akan pergi berziarah memuja Surya, pada saat terang tanah aku harus sudah tiba di Sungai Yamuna. Hmm. Berziarah" Hmmm.
Penjaga itu mengangguk-angguk sembari menuju gardu jaga. Bagus kamu masih mau berdoa, wahai pedagang, tidak hanya memikirkan keuntungan saja.
Oh, aku selalu berdoa untuk dunia, sekarang bukakan pintunya. Dengan kunci-kunci raksasa sebesar lengan, penjaga membuka pintu gerbang itu.
tidak beragama. Benar mereka berdua mempunyai harapan, impian, dan cita-cita, segala sesuatu yang mengatasi diri mereka, tapi jelas mereka tidak beragama sehingga sulit diceritakan pula bagaimana mereka berdoa.
Pintu terbuka, di luar sana keluasan terbentang, bintang-bintang bertabur di cakrawala seperti bisa dipungut setiap orang yang mendatanginya. Lelaki beserban itu menghela keledai-keledainya keluar, di dalam keranjang Maneka tiba-tiba merasa angin bertiup di antara anyaman yang renggang. Ia menyibakkan sabut kelapa, dan mengintip. Maneka, kita sudah di luar! Sarita berseru dari keranjang yang lain. Maneka kini menyibakkan sabut kelapa di atas kepalanya, lantas mene ngok keluar.
Aaahhh .... Ia menarik napas panjang.
Lelaki beserban itu menoleh ke belakang, dan tersenyum. Kita belum jauh, katanya, jangan terlalu yakin.
Maneka melihat ke belakang. Dilihatnya sebuah benteng besar melingkari kota. Pintu gerbang itu dilihatnya tertutup kem bali, dan benteng itu pun lama-lama semakin kecil. Maneka mencoba tidur di dalam keranjang.
gelandangan tidur di bawah jembatan mimpikan istana penuh kudapan tempe bacem, sayur asem, juadah ketan Cinderella tercebur di lautan santan, o!
Benteng itu masih kelihatan ketika keledai-keledai itu berhenti. Aku mau kencing, kata lelaki beserban itu, yang segera menghilang ke balik gundukan.
Aku juga, kata Sarita sambil keluar dari keranjang, dan kencing di tempat itu juga.
Maneka juga keluar dari keranjang. Ia melihat ke arah benteng. Perasaannya masih waswas.
Tiba-tiba dilihatnya pintu terbuka.
Ia melihat cahaya api. Sejumlah penunggang kuda menggebu ke arah mereka dengan obor di tangannya!
Sarita! Mereka mengejar kita!
Lelaki beserban itu datang berlari dari balik gundukan.
Cepat! Cepat! Naik! Mereka bertiga segera mencongklang keledai-keledainya. Lelaki beserban itu mengarahkan tiga dari keledai-keledainya ke arah lain, untuk memecah para penunggang kuda yang mengejar di belakang mereka. Cepat! Kalau kita berhasil mencapai sungai barangkali kita selamat! Maneka dan Sarita mencongklang keledai mereka sebisanya. Namun seberapa cepatlah lari seekor keledai" Para penunggang kuda itu memang masih jauh, namun cahaya obor itu tampak begitu pasti semakin mendekati mereka, semakin lama semakin mendekat. Maneka mencongklang keledainya seperti orang gila. Tak bisa dibayangkannya jika ia tertangkap oleh mereka. Ia tak bisa membayangkan dirinya diarak keliling kota dan setiap orang diwajibkan melempar batu kepadanya. Peristiwa yang menimpa Sumita hanya didengarnya saja, namun gambarannya terasa begitu nyata. Ia tak ingin terikat di tiang perajaman sementara setiap orang menggoreskan pisau yang bergaram ke kulitnya. Maneka mencongklang keledainya sekuat tenaga, lama-lama keledai itu larinya cepat juga. Ia melihat ke belakang. Sarita terjatuh dari keledainya yang berlari terus searah dengannya. Jangan berhenti! Teriak Sarita.
Maneka memang tidak bisa menghentikan keledainya. Ia tidak tahu harus bagaimana. Lelaki beserban itu berhenti sejenak, menoleh ke arah Sarita, tapi Sarita mengusir dengan tangannya. Dari jauh, tampak Sarita mengambil sebilah khukuri 4 dari balik bajunya, dan berlari mendaki sebuah bukit. Ia melambai para penunggang kuda, yang memang berbelok ke tempatnya.
Pergi! Sarita berteriak kepada lelaki beserban itu, lin dungi Maneka! Lelaki beserban itu pun mengejar Maneka.
Cepat! Cepat! Jangan berhenti!
Maneka menoleh ke belakang, dalam cahaya bulan dilihatnya Sarita menusukkan khukuri itu ke tubuhnya sendiri.
Saritaaa!! Berderai air mata Maneka dalam pelariannya. Tak terasa lagi derap ke ledainya. Kekelaman malam berkilauan dalam pandangan matanya yang
4 Belati Nepal. basah. Duka menenggelamkan dunianya. Sarita, Sarita, sahabatnya, telah berkorban untuk dirinya. Lelaki beserban itu mendahuluinya. Mereka telah tiba di tepi sebuah lereng. Ia memperlambat larinya, dan menahan laju keledai Maneka.
Kita turun di sini. Ia turunkan Maneka, dan menggebah keledai-keledai mereka agar terus berlari, sehingga mengecoh para pengejarnya. Lantas digelandangnya Maneka menuruni lereng menuju ke sungai. Malam hanya diterangi cahaya bulan sabit.
Kamu bisa berenang" Maneka menggeleng. Bagaimana bisa berenang jika keluar kota saja baru sekarang"
Pegang tanganku, ujar lelaki beserban itu.
Dipeganginya saja tangan lelaki itu dengan gugup, tahu-tahu seluruh ba dannya basah terendam air. Maneka yang sejak masih ingusan sudah jadi pelacur, yang hanya tahu ranjang tanpa tahu isi dunia, mengikutinya saja. Segalanya berubah tiba-tiba semenjak seekor kuda melompat dari jendela dan menempel di punggungnya. Desis air sungai membuatnya terkesiap. Ia mende ngar bunyi kecipak di permukaan, hanya kepalanya yang melewati batas air, sesekali terantuk ia kepada benda-benda yang dihanyutkan sungai.
Tenang saja, kita akan selamat, kata lelaki beserban itu, dan Maneka kemudian merasa tenang.
Sungai itu ternyata sangat besar, mereka tidak juga sampai ke seberang. Sudah beberapa kali Maneka minum air.
Awas! Sebatang kayu besar nyaris mengenai kepala Maneka. Segera lelaki beserban itu meraih ranting-rantingnya. Ia naik ke batang pohon itu, ke mudian menyeret Maneka naik juga, dan setelah itu tertelungkuplah ke duanya di batang pohon itu, dibawa arus menuju entah ke mana.
sungai malam menuju rembulan nasi uduk ditelan bayangan perempuan berdarah dalam jeritan keris berkarat luk-nya sembilan, o!
Mereka berdua masih tertelungkup di batang pohon itu ketika langit perlahan-lahan menjadi terang. Maneka bangun lebih dulu, melihat dunia se keliling yang terasa begitu asing. Dilihatnya rumah-rumah di tepi sungai, orang-orang mandi dan mencuci, dan perahu-perahu sampan hilir mudik di dayung. Sungai itu telah menjadi begitu luas. Maneka tertegun. Di manakah aku" Pikirnya sendirian.
Batang pohon itu diseret arus seperti perahu yang mempunyai tujuan, se olah-olah ada yang mengemudikannya. Kadang-kadang ada perahu besar yang berpapasan dekat sekali dengan batang pohon itu. Orang-orang di dalam perahu itu berdiri di satu sisi, melihat Maneka basah kuyup di atas pohon. Tiba-tiba seseorang di dalam perahu itu berteriak. He, lihat! Ada mayat!
Maneka menoleh dan ia menjerit. Lelaki beserban yang tertelungkup itu memang telah menjadi mayat. Di punggung nya menancap sebatang anak panah. Siapakah yang telah mema nahnya dari balik kelam" Seorang pemanah yang waspada lelaki beserban itu siapa, ataukah salah satu pengejarnya yang berkuda, ataukah panah pemburu yang menyasar saja" Dalam cahaya matahari yang bangkit dari balik hutan, bulu-bulu panah itu tampak mewah dan gagah. Panah itu menancap di punggung me nembus ke jantung.
Apalah yang bisa dilakukan Maneka" Ia berteriak minta to long, tapi kini batang pohon yang diseret arus itu telah menjauh dari tempat permukiman. Perahu besar tadi tidak berhenti. Perahu-perahu sampan yang berpapasan menjadi kecil dan jauh. Orang-orang seperti tidak peduli dengan nasibnya di batang pohon itu. Seolah-olah orang mati terbunuh itu biasa. Orang bernasib malang pun biasa, tak usah dikasihani begitu rupa.
Maneka tertelungkup kembali. Betapa dalam semalam telah dija laninya cerita tak terbayangkan. Sarita tewas dan kini lelaki beserban yang telah menolongnya juga tewas. Ia bahkan tak tahu siapa namanya, tak tahu bagaimana Sarita telah menghubungi nya, dan tidak tahu apa-apa ten tang bagaimana Sarita merancang ini semua. Siapakah lelaki beserban itu" Ia pasti seorang asing, karena tidak ada seorang pun berbusana seperti lelaki beserban itu, tampangnya pun berbeda, meski ia bisa berbicara dengan bahasa mereka. Bagaimanakah Sarita mengenalnya" Apakah ia se orang tamu yang berhasil dibujuknya" Semua pertanyaan ini tidak akan terjawab selamanya.
Matahari bertambah tinggi, mengeringkan pakaian Maneka. Ia masih ter telungkup setengah putus asa. Tak tahu ia apa yang harus dilakukannya, batang pohon itu dibawa arus tanpa bisa di kendalikannya. Terkadang ada orang di tepi sungai melambai-lambai, seperti mengira Maneka hanya main-main saja. Da ri jauh, lelaki beserban yang tertelungkup dengan panah di pung gungnya itu memang tidak terlalu jelas.
Di tepi sungai seorang anak gembala berlari-lari. Hai! Jangan tidur di situ!
Maneka menegakkan tubuhnya. Ia melihat anak gembala itu. Jangan tidur di situ!
Aku tidak tidur, aku tidak bisa berenang! Anak gembala itu terus berlari-lari di tepian. Tidak bisa berenang" Kenapa bisa ada di situ" Ceritanya panjang, tolonglah dulu!
Tetapi sungai itu sekarang berkelok, tepian sungai menjadi tebing curam, dan anak yang berlari itu menghilang. Maneka me rasa lapar sekarang, dan tahu harus membebaskan dirinya da ri pusaran takdir tak jelas yang menyeretnya. Sejak semula, bu kankah ini semua juga usaha penolakan derita yang ditimpa kan entah dari mana" Kemudian tebing curam di tepi sungai itu menjadi landai kembali, dan anak itu masih berlari-lari muncul dari balik pepohonan.
Hai! Aku masih di sini! Maneka melambai riang. Anak itu langsung terjun ke su ngai dan berenang mengejarnya. Dilihatnya cepat sekali anak itu berenang mendekat. Loncat turun! Kata anak itu.
Aku takut! Jangan takut! Maneka turun, melepaskan pohon itu, yang seperti tiba-tiba saja menjauh. Anak itu memegangnya, seperti sudah terbiasa menolong orang tenggelam.
Temanku! Maneka menunjuk.
Dilihatnya lelaki beserban itu untuk terakhir kalinya, de ngan anak panah menancap di punggungnya.
Anak itu membawa Maneka ke tepi. Bumi sepi sekali. Hanya serangga mendenging di dalam hutan. Maneka merayap di tepian, anak itu mengulurkan tangannya, bermaksud membantu Maneka berdiri, tapi Maneka memilih telentang di rumput yang terhampar hangat karena matahari. Anak itu duduk di sebelahnya dengan wajah polos. Air menetes-netes dari wajahnya.
Siapa namamu" Maneka, dan namamu" Satya. <"
Para Pengungsi enja seperti sari jingga yang berkibar-kibar di angkasa. Padang rumput yang terbentang luas disapu warna ke emas-emasan. Pemandang an begitu memesona, tetapi ha ti Maneka dipenuhi perasaan yang rawan. Sudah satu bulan ia berada di dalam pedati Satya, pedati yang ditarik seekor sapi Benggala, mengarungi wilayah terindah tapi mengenaskan, karena di sepanjang jalan mereka hanya bertemu dan berpisah dan ber temu dan berpisah lagi dengan arus pengungsi yang tampak begitu kumuh dan begitu nestapa, dengan wajah malang berjalan dan berjalan tanpa tujuan.
Rombongan pengungsi muncul dari bawah jurang ke jalanan, barisan pengungsi mengalir dari balik lembah di pegunungan, gelombang pengungsi muncul menuruni perbukitan, semuanya menyatu dalam kedukaan yang meng alir di padang rerumputan. Wajah-wajah yang kuyu dan pasrah memenuhi jalanan, di kiri kanan pedati Satya orang-orang dengan buntalan dan anak kecil di gendongan berjalan perlahan-lahan. Sesekali ada yang jatuh karena sakit atau meninggal sekalian, biasanya ditinggalkan begitu saja karena semua orang tenggelam dalam duka berkepanjangan. Tidak sedikit di antaranya kemudian berhenti begitu saja di tepi jalan, lantas tertawa-tawa dan menjadi gila.
kelam membuat ia tak pernah ingin mengingat-ingatnya lagi. Bersama Satya kini, Maneka belajar un tuk menyadari betapa ada dunia lain di luar kota di mana ia di lahirkan dulu itu, di mana sejak kanak-kanak ia hanya mengenal kehidupan pelacuran. Pelariannya membuat ia tahu betapa ia dulu hidup dalam kurungan.
Sekarang ia tahu di luar kota ada padang rumput, di luar padang rum put ada pegunungan, di balik pegunungan ada kota-kota lain. Kini ia tahu kota demi kota terhimpun menjadi sebuah negara dan jika ia me ngembara dari satu negeri ke negeri lain akan ditemuinya lautan luas yang bisa mengantarkannya ke benua lain. Maneka kini mengerti bahwa dunia tidak terbatas kepada apa yang bisa dilihatnya, di balik langit ada langit, di luar semesta ada semesta, dan ia tahu bahwa masih terlalu banyak hal bisa dipelajarinya.
Perlahan-lahan, Satya mengajarinya membaca. Jika masih terlalu sulit ma ka Satya membacakannya. Ketika Satya membacakan Ramayana, ia teringat gambar kuda di punggungnya, yang telah mengubah seluruh jalan hidupnya.
Jadi kau mau mencari Walmiki ke mana pun dia pergi" Ya, aku ingin dia mengubah nasib yang telah ditulisnya untukku. Walmiki, kurasa ia hanya menulis tentang para tokoh, orang-orang pen ting, pribadi-pribadi yang menggerakkan dunia. Bukan rakyat jelata. Kamu sendiri tahu tentang kuda di punggungku ini. Ya, itu memang kuda yang kulihat pada awal semua bencana ini. Kuda itu juga yang lewat ketika aku menonton pembacaan Ramayana. Oleh Walmiki"
Ya, oleh Walmiki sendiri, aku terlambat sebetulnya, hanya sempat men dengar bagian akhirnya.
Kamu tentu tahu bahwa kuda yang lewat itulah yang menempel di punggungku.
Memang. Dan itu terjadi karena dituliskan Walmiki. Itu yang kita tidak pernah tahu.
Apa mungkin ada penulis lain yang berkisah tentang kuda itu" Hmm. Bagaimana caranya aku tahu"
Itulah yang membuat Maneka ingin mencari Walmiki. Jika ia bisa me nentukan nasib para raja, kenapa ia harus tidak peduli kepada seorang pelacur seperti Maneka" Empu yang baik bukan hanya peduli kepada orang besar, justru terutama mereka harus peduli kepada orang-orang kecil. Maneka percaya, jika memang kehidupannya dituliskan oleh Walmiki, maka Walmiki bisa mengubah suratan takdirnya yang malang.
Bagaimana kamu akan mencarinya Maneka, ia berkelana membacakan cerita ke seluruh anak benua.
Ke arah mana dia pergi ketika kamu melihatnya" Ke arah senja.
Ke sanalah aku akan pergi, dan bertanya-tanya.
Satya yang sejak semula telah jatuh cinta kepada Maneka memaksakan diri untuk mengantarnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana seorang pe rempuan muda seperti Maneka akan mencari Walmiki yang belum jelas ada di mana.
Maneka, bagaimana caranya kamu akan mencari dia, semua itu memerlukan biaya"
Satya, kamu lupa, aku seorang pelacur, di mana pun bisa bekerja. Namun Satya tahu bahwa menjadi pelacur adalah pekerjaan merana, ia sangat khawatir Maneka terjebak ke dalam lingkaran setan perbudakan be ri kutnya.
Aku akan pergi bersamamu Maneka. Tapi Satya, kamu masih terlalu muda.
Satya masih 16 umurnya, tapi dia sedang jatuh cinta. Aku juga akan mencari Walmiki, kalau tidak aku hanya akan menjadi anak gembala.


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini menemaninya pula, tetapi ia tidak bisa memaksakan diri mencintainya. Mereka bisa tidur saling ber pelukan dalam pedati karena kedinginan, sementara pedati berjalan semalaman, tapi tidak pernah terjadi apa-apa.
Barangkali nanti ... Satya berpikir tentang keadaan mereka. Penderitaan yang disebabkan Persembahan Kuda telah membuatnya bijaksana.
Dalam sebulan belum ada tanda-tanda mereka menemukan jejak Walmi ki. Mereka mengarahkan pedatinya ke arah senja, dan yakin bahwa tiada ju rusan lain yang bisa ditempuh oleh Walmiki selain ke sana, kecuali jika Walikilia mengajaknya terbang di atas daun entah ke mana. Kita harus menemukannya, ujar Maneka.
Satya menurut saja. Setidaknya kita akan selalu melihat senja, katanya. Di arah senja, pemandangan memang selalu bicara, menya darkan adanya kehidupan serba sempurna yang dengan pasti binasa.
Baru sekarang aku tahu apa artinya makna, kata Maneka, kalau begitu hidupku sebelumnya sungguh maya.
Sepanjang perjalanan Maneka mempelajari huruf-huruf yang diberita hukan Satya. Kata pertama yang ingin diketahuinya adalah cinta, karena begitu banyak kata itu dalam Ramayana. Ia berpikir betapa suatu hari bisa menuliskan cerita.
Kalau aku bisa menulis seperti Walmiki, kukira aku bisa mengubah perjalanan hidupku, katanya.
Satya tertegun, karena tidak pernah mengira pikiran semacam itu ada.
rembulan berwarna hijau muda, o! menulis lakon sambil makan durian sungai cerita menuju kenyataan tak tahu dalang kehilangan wayang, o!
Para pengungsi di kiri kanan pedati mereka tidak selamanya orangorang menderita. Ada kalanya itu para penjahat yang tidak peduli nestapa sesama. Namun lebih sering terjadi, penderitaan itulah yang membuat me reka berpikir, betapa menjadi orang baik tidak ada gunanya. Pernah suatu ketika seseorang naik begitu saja ke pedati Satya.
Berikan perempuan itu, dan kurampas gerobakmu.
Satya sudah meraba kelewang untuk sebuah pertarungan, tetapi Maneka punya cara yang lebih menghemat tenaga.
Jika kau menghendaki aku, ikutilah aku ke semak-semak itu, kata Maneka.
Lelaki garang yang mengenakan kancut dan rompi hitam itu mengikuti nya dengan berangasan. Belum sampai di semak-semak Maneka sudah ditub ruknya. Tetapi di balik semak itu, sambil membiarkan tubuhnya dijamah, ia hunjamkan belati tajam ke punggung lelaki itu, tepat menembus jantungnya, sebelum kem bali ke pedati dengan tenang sekali. Satya tidak bertanya apa-apa karena mengerti hukum kekerasan dunia. Seseorang harus meng ambil suatu keputusan demi kehidupannya.
Dari manakah para pengungsi ini Satya"
Inilah akibat Persembahan Kuda. Setelah berjuta-juta orang mati, berpuluh-puluh juta yang hidup kini telantar. Kita hidup dalam dunia yang sudah hancur karena perang. Para pengungsi ini terpencar-pencar ke berbagai penjuru, dan sekarang semuanya ingin kembali, tapi negeri mereka tinggal puing-puing berserakan ....
Maneka melihat para pengungsi. Di sepanjang jalan hanya terlihat ber juta-juta pengungsi, dari segala jurusan saling ber sim pang arah menuju ke berbagai tujuan. Dunia kacau dan kehi dup an berantakan. Mudah untuk me nyerbu, membantai, dan menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah untuk membangunnya kembali. Kekejaman dan teror yang disebarkan balatentara Ayodya telah membuat rakyat jelata kehilangan kepercayaan kepada kehidupan. Penderitaan tidak melahirkan pere nung an, melainkan dendam terhadap kemapanan. Kejahat an marak di mana-mana. Perampokan, pemerkosaan, dan pem bunuhan bukan lagi suatu kesalahan. Segenap tentara telah terbunuh ketika menghadapi Ayodya, dan sisa perlawanan dimusnahkan pasukan Goa Kiskenda, tiada lagi para penjaga keamanan. Segelintir jagabaya apalah artinya, menghadapi khalayak yang hampir semuanya sudah berubah menjadi penjahat.
harus mengandalkan kekerasan. Setiap orang menyandang parang dan kewaspadaan. Tidak jarang pertarungan berlangsung hanya karena saling memandang. Kehidupan telah menjadi sangat sulit diperta hankan, setiap orang terancam kematian, meski sama sekali tidak mempunyai kesalahan.
Begitulah kehidupan di seluruh anak benua mengalami perubahan. Bencana penghancuran yang disebarkan pasukan Ayodya sungguh memorak-porandakan peradaban. Bangunan keilmuan yang telah dipelajari lenyap menguap bersama asap pembakaran. Para ilmuwan, cendekiawan, seniman, semuanya telah terbunuh seperti juga perpustakaan, perguruan, dan pusat keagamaan hancur lebur menjadi puing reruntuhan. Sistem rusak dan organisasi kacau. Kebudayaan harus dibangun kembali pelan-pelan. Kubah langit kembali diukur dan peredaran semesta diperkirakan. Detak jantung dicatat dan titik-titik tusuk jarum sekujur badan digambar ulang. Cara berhitung kembali dirumuskan dan resep membuat tahu goreng kembali dituliskan. Doa-doa berbagai agama yang tersisa di kepala diingat-ingat dan diajarkan. Semuanya menjadi berat karena manusia nyaris kehilangan kepercayaan. Pikir mereka bagaimana semua ini bisa dipertahankan jika Gelembung Rahwana masih beterbangan.
Ini semua memberikan Maneka banyak pelajaran, bahwa kemanusiaan harus selalu diperjuangkan. Ia ingin sekali bertemu Hanuman yang berumur panjang, karena mempunyai banyak pertanyaan. Tetapi lebih du lu ia ingin men cari Walmiki, untuk menggugat ia punya suratan. Jika kematian adalah sesuatu yang sudah ditentukan, apalah artinya kehidupan" Maneka berpikir se panjang jalan. Dalam perjalanan selama sebulan, Satya membagi banyak pe ngetahuan, mulai dari cara menanam sampai bersajak tentang rembulan, mulai dari memperhitungkan hujan sampai cara bercakap dengan binatang, mulai dari penghayatan suara-suara alam sampai serba-serbi perdagangan.
merayap mengikuti roda pedati, membuat Maneka melayang dalam mimpi-mimpi yang muram.
Apakah kita tidak bisa mencari jalan lain Satya, jalan yang tidak ada rintihan"
Inilah jalan ke arah senja, jika kita masih mau mencari Walmiki. Apakah semua ini ditulis oleh Walmiki"
Satya mengangguk. Kalau begitu semua ini harus dihentikan.
Asap kemenyan membubung ke awan Digiring angin menyeberangi lautan Kitab Penderitaan dibaca Hanuman Darah mengucur mengundang sawan Tunggu aku di pintu gerbang, kakang Tanpa kasih dan cinta ku kan datang, o!
Suatu ketika pedati mereka memasuki sebuah kota yang nya ris merupakan reruntuhan. Banyak orang mulai mendirikan kembali rumah-rumah mereka, tetapi sebagian besar masih mendirikan tenda-tenda darurat. Di berbagai bekas reruntuhan, Maneka melihat masih ada gelandangan mencari-cari barang yang bisa digadaikan.
Di balik tembok setelah memasuki gerbang kota yang lo rongnya panjang, dan setelah para penjaga memeriksa surat-surat jalan mereka yang tertulis di atas belahan sebuah bambu, mereka melihat sejumlah kedai yang dibuka untuk para pengembara. Ke sanalah Satya mengarahkan pedatinya, dan berhenti di sebuah kedai yang tampak ramai.
Mereka berdua masuk, duduk di sebuah sudut, dan meme san daging bakar yang dibumbui arak. Di tengah ruangan terlihat orang-orang mengelilingi seorang tukang cerita. Satya mende ngarkan sebentar. Itu cerita tentang Mahakala Si Pemakan Orang, katanya. Pemakan Orang" Bagaimana ceritanya"
Dengarkan saja ke sana. Maneka mendekat. Tukang cerita itu berkisah tanpa naskah. Di atas me ja ia menari, mendongeng, memerankan berbagai orang dalam ia punya dongengan.
Akulah Pangeran Sutasoma yang ditangkap oleh Mahakala dan di larikannya dalam gendongan. Mahakala Si Pemakan Orang telah menangkap seratus orang ksatria, yang siap dibunuhnya se bagai santapan. Mahakala memanggulku di bahunya yang kuat, dan sepanjang jalan kulihat pemandangan mengerikan.
Kemudian tukang cerita itu menyanyi.
Tanah penuh mayat berserakan, darah berlumuran
Api menyala-nyala kemerahan Lolong serigala-serigala mengerikan Burung-burung ruak, burung-burung gagak, menjerit-jerit di atas dahan gosong pohon hitam karena asap pancaka-pancaka yang didirikan
Pemandangan yang menakutkan, meski bagi orang yang paling punya keberanian 5
Lantas kembali kepada nada semula.
Waktu dilarikan dalam gendongan aku menangis, tapi bukan karena ke takutan. Mahakala tertawa melihat aku bercucuran air mata, dikiranya aku bukan ksatria utama, yang begitu takut kepada kematian. Maka aku pun berkata kepadanya,
Wahai Mahakala, Putra Sudasa yang berinduk singa betina, aku me na ngis bukan karena takut kau makan, melainkan karena kalau aku mati sekarang, itu berarti perjanjianku dengan seorang brahmana tidak tertuntaskan.
Hahahahahahaha, Mahakala tertawa, kalian ksatria men coba menipu ku diam-diam, apakah perjanjianmu dengan brah mana itu, dan kalau kubiar kan kaupenuhi perjanjian apakah cukup berjiwa ksatria untuk kembali dan kumakan.
Kukatakan kepada Mahakala, aku akan kembali sesuai per janjian, akan kuberikan nyawaku untuk memenuhi janji itu.
Tapi .... 5 Salinan dari Cariya-Pitaka, yang bersumber dari Jataka-Mala (abad IV), lihat Kern dan Rassers, Civa dan Buddha, hlm. 15.
Maneka! Maneka menoleh. Kamu jadi makan daging bakarnya atau tidak" Aku mau dengar dulu.
Terserah, aku sudah lapar sekali, aku makan dulu.
Maneka memerhatikan tukang cerita itu lagi. Ternyata ia pun berhenti.
Teruskan, kata orang-orang, kenapa kamu berhenti" Tukang cerita itu tersenyum.
Jataka-mala aneka ikut melemparkan uang saweran ke arah mangkuk yang terbuat dari tempurung kelapa di meja tukang cerita itu. Ia melihat orang itu sangat senang melihat tumpukan uang logam, yang segera ia pindahkan ke pundi-pundinya yang terbuat dari hasil samakan kulit bagal.
Teruskan sekarang, orang-orang menuntut.
Tukang cerita itu pun menari lagi di atas meja, dan sambil menari mulutnya berbunyi.
lagu kecapi berdenting perlahan-lahan mengalirkan kericik sungai keindahan seorang perempuan menyalin gurindam tiada teringat kekasihnya tenggelam, o!
Maka Mahakala, atau Kalmasapada, atau Purusada, itu pun melepaskan Sutasoma. Pergilah Sutasoma kembali ke Hastina, kerajaan ayahnya Sri Mahaketu, untuk menemui brahmana yang ditinggalkannya. Apakah yang sebenarnya telah terjadi"
Saya seorang penyair, kata brahmana itu, jika sang pange ran membe rikan hadiah, syair-syair itu akan saya bacakan.
Sutasoma, yang sangat menghormati para penggali sabda, segera mempersilakannya.
Brahmana itu baru mau mulai, ketika Mahakala, bangsawan pemakan daging manusia yang mengerikan itu datang.
Tapi siapakah Mahakala, dan kenapa dia datang"
Mahakala adalah anak Sudasa, Raja Ratnakanda yang suatu ketika dalam perjalanan perburuannya telah bersanggama dengan seekor singa betina. Setelah Mahakala dilahirkan, rupa-rupanya ia hanya doyan daging manusia, dan tiada daging manusia lain di kerajaan itu yang dipersembahkan kepada anak raja itu, selain daging rakyatnya sendiri. Semua ini menjadi pergunjingan.
Lihat bagaimana kerajaan ini telah memperlakukan rakyatnya. Apakah memang begitu caranya, jika anak itu perlu daging orang lantas daging anak kita dipersembahkan"
Heran, kenapa harus daging orang" Apa tidak bisa daging sapi atau men jangan"
Sedangkan singa saja tidak selalu makan daging orang. Memang, kenapa tidak makan daging zebra saja"
Heran, raja kita itu, bersanggama saja kok dengan singa betina. Sekarang anaknya jadi Pemakan Orang.
Baiklah anak itu harus makan daging orang, tapi kenapa harus daging kita, daging rakyat, seperti penderitaan kita ini ma sih kurang. Selalu rakyat yang jadi korban.
Itulah yang selalu terjadi di segala zaman.
Aku tidak mau memberikan dagingku, apalagi daging anakku, aku melawan.
Aku melawan. Aku melawan. Aku melawan.
nyak di antara mereka yang ang gota keluarganya juga jadi korban. Tentara membiarkan rakyat berseli weran di jalan-jalan, berjaga di berbagai sudut kota. Tidak ada pertumpahan darah dalam pemberontakan ini, karena mereka hanya menuntut untuk tidak dikorbankan.
Rakyat sudah terlalu banyak berkorban, ujar wakil mereka ketika menghadap Sudasa.
Mahakala mengungsi ke pedalaman. Ia pergi ke sebuah kuil gandarwa, dan meminta bantuan dunia hitam. Kuil itu terletak di dalam hutan, merupakan kuil yang sudah tua sekali, sehingga seluruh ukirannya tertutup lumut dan de bu letusan gunung ber abad-abad yang silam. Tidak banyak orang menge tahui ke ber adaan kuil itu, bahkan sebetulnya dari zaman itu belum per nah ada orang yang mendatanginya. Keberadaan kuil hanya diketahui dari sebuah kitab kuno yang tidak pernah dibuka para pustakawan. Disebutkan bahwa jika kitab itu dibuka akan terde ngar suara-suara yang mengerikan, bau busuk yang menyesakkan napas, dan siapa pun yang sempat membaca kalimat-kalimat di dalamnya akan mengalami mimpi-mimpi yang menyeramkan.
Pernah terjadi seorang pustakawan yang kurang persiapan membaca kitab itu dan menjadi kurang ingatan. Pada zaman da hulu konon hanya dukun-dukun jahat dan tukang tenung yang membaca kitab itu, dengan kesepakatan bahwa risikonya akan mereka tanggung sendiri. Sebagian da ri mereka menjadi gila sebelum selesai halaman pertama, sebagian lagi merasa cukup dengan membaca sampai setengah saja. Sampai di situ saja orang sudah bisa menguasai mantra-mantra pengundang gandarwa yang mengabdikan diri kepada kejahatan.
panan kitab yang merupakan ensiklopedi kejahatan itu, yang disebut Kamar Kitab-kitab Mistik. Adalah Mahakala yang suka berlama-lama membaca di sudut gelap itu, membuka halaman kitab yang berbau busuk dan mengeluarkan suara-suara mengerikan itu, setiap kali usai menyantap daging orang.
Demikianlah disebutkan bahwa di dalam kitab itu terdapat petunjuk tentang sebuah kuil yang bisa menghubungkan hamba-hamba kejahatan dengan imperium dunia hitam. Mahakala telah menghafalkannya di luar kepala karena ia tahu akan selalu ada lawan bagi kejahatan. Maka sejak terjadi pemberontakan ia melakukan perjalanan yang panjang. Karena rakyat negaranya sendiri memusuhinya, ia menyamar dalam berbagai bentuk per wujudan. Ia pernah menjadi pengemis, pernah menjadi perem puan, dan bahkan pernah menjadi seekor ikan pesut. Sebagai ikan pesut itulah ia mengarungi sungai menuju ke hulunya jauh di tengah hutan belantara di pegunungan.
Ketika sungai makin menyempit ia kembali ke wujud asli nya sebagai Mahakala, lantas berjalan selama seratus hari hanya berdasarkan petunjuk-petunjuk berbau klenik dan mistik untuk sampai ke kuil itu. Ketika kuil itu kelihatan ia harus menyeberangi paya-paya berair dalam. Tiada lain yang bisa dilakukannya selain merayap di atas batang-batang pohon yang saling melintang. Akhirnya ia masih harus menjalani berbagai macam upacara selama seminggu lamanya agar bisa masuk ke kuil gandarwa tanpa rintangan, dan di dalam kuil itu pun masih berbulan-bulan la ma nya ia mencari jalan di antara beribu-ribu lorong gelap yang membingungkan. Demikianlah untuk menjadi jahat pun diperlukan perjuangan dan ketabahan.
Inilah sebuah kuil purba yang tampaknya tidak didirikan oleh manusia. Bagaimana mungkin misalnya batu-batu empat persegi bisa berada di tengah paya-paya. Bahkan sampai ke dalam kuil pun air masuk setinggi pinggang, sebagai bagian yang telah dirancang. Maklumlah, kuil ini memang tidak dibangun untuk manusia, melainkan untuk gandarwa. Di sini lah para gandarwa ber sembahyang untuk memuja kekuasaan yang telah menciptakan mereka. Be lum pernah ada manusia menginjak tempat ini, dan tidak akan pernah, karena bagi manusia kuil ini tidak kelihatan oleh mata biasa. Benda yang tidak kasat mata hanya bisa dibaca oleh makhluk yang tidak kasat mata juga.
menjadi bayangan, bayangan-bayangan menjadi gambaran, menjadi tulisan, menjadi peradaban. Inilah kuil ba yang an setan, penuh dengan arca dan relief yang mengungkapkan sejarah kejahatan. Setiap cerita dari relief itu kalau dituliskan bisa mencapai seribu halaman. Seandainya manusia bisa melihat nya saja, bisa membayangkan, mereka pasti akan melakukan pe nye lidikan, pencatatan, dan penyingkapan. Karena bukankah ke jahatan memang datang dari pekatnya kegelapan" Begitulah keingintahuan manusia akan menyingkirkan ketakutan tapi inilah kuil yang tidak kelihatan dan hanya bisa dibayangkan.
Setelah genap setahun lamanya tenggelam dalam pencarian, maka Maha kala bisa berwawancara dengan gandarwa yang hanya terdengar suaranya. Selama setahun itu, Mahakala tidak pernah memakan manusia, sehingga wajahnya pucat, tubuhnya kurus, matanya kuning, dan bicaranya lemah.
Hmmm. Mahakala Si Pemakan Orang, kejahatan macam apakah kiranya yang akan kauperbuat, sehingga engkau tiba di kuil setan yang tidak pernah diziarahi manusia mana pun sejak didirikan"
O, Gandarwa, Sang Hantu, Setan Penjaga Kejahatan, dendamku ke pada sesama manusia tidak tertahankan. Mereka telah mengusirku dari kerajaan ayahku sendiri, dan kini aku meminta keadilan, berikan aku kekuatan untuk melakukan penindasan.
Mahakala, janganlah pernah lupa, engkau bukan sesama manusia seperti mereka. Meskipun engkau anak raja, ibumu itu seekor singa betina.
Apakah karena itu aku harus selalu dibedakan" Bukanlah kehendakku untuk lahir sebagai blasteran singa dan manusia. Ada lah kehendak alam membuat aku harus menyantap daging manusia selamanya. Semua itu kulakukan untuk mempertahan kan kehidupan.
Hmmmm. Engkau jangan salah sangka dengan singa betina itu Ma hakala. Engkau tidak dimaksudkan untuk lahir sebagai per wakilan kejahatan.
Tapi aku hanya bisa makan orang.
Barangkali singa itu adalah Sang Singa Besar dari wangsa Sakya, suatu keteladanan dan kelemahlembutan. 6
Mahakala tidak mengerti. 6 Kern dalam ibid., hlm. 32 catatan akhir No. 14.
Manusia tidak jahat semenjak dilahirkan, engkau jangan mencari pembenaran untuk makan sembarang orang.
Tapi Gandarwa, engkau seharusnya menjaga aku supaya tetap jadi jahat, tidak mengingatkan kepada kebaikan.
Ah, aku mengujimu Mahakala, apakah engkau memang sudah tidak bisa diluruskan.
Aku bersumpah untuk tetap menjadi jahat, dan merusak kebahagiaan.
Jika permintaanmu dikabulkan, bisakah engkau memberi imbalan" Aku akan melakukannya Gandarwa, atas nama kejahatan.
Berlayar sendirian di sungai darah Menanti senja yang langitnya merah Siapa di sana bibirnya merekah" Bulan menggelinding tak tentu arah, o!
Sepanjang sungai kemudian terdengar pawai lampor, ba ris an makhluk halus terdengar lewat tetapi tidak kelihatan. Pen duduk di tepi sungai mende ngar kan dari tepian. Terdengar bu nyi kereta, langkah kaki, dan nyanyian pe pe rangan. Mahakala mendapatkan segala bantuan. Hantu-hantu dan setan duruwiksa yang bergentayangan dikerahkan. Di antara penduduk di tepian, hanya yang mempunyai ilmu siluman bisa melihat pemandangan mencengangkan.
Apa yang kau lihat, Bapak"
Luar biasa, biasanya aku hanya melihat satu atau dua hantu gentayangan, kesasar mencari-cari makan dalam impian, eh, ini balatentara setan bekasakan. Oh, bentuknya aneh-aneh, indah-indah, lucu-lucu, dan warna-warninya aja ib, cemerlang bagaikan kristal, gemerlap intan, sepuhan pelangi, serba ke emas-emasan, serba keperak-perakan, setan-setan ini tidak menjijikkan, tidak me nakutkan, cantik, tampan, rupawan, tubuhnya patung pualam, busana nya adirancangan, suaranya lagu merdu berdentingden ting seperti impian, kata-katanya sabda keindahan yang memabukkan, o kenapa setan-setan ini seperti jawara kesenian"
Betul begitu, Pak" Kalau suaranya kau dengar bukan"
Ya, kudengar suara roda-roda kereta, debum kaki-kaki ga jah, ba risberbaris rancak, dan nyanyian peperangan, seperti paduan suara impian. Kau dengar musik pengiringnya"
Kudengar seruling logam, genderang kaleng, dan bunyi da wai dalam petikan. Apa yang kau lihat Bapak"
Dunia yang maya, Anakku, segalanya menakjubkan. Ada yang seperti manusia, tapi tubuhnya dari emas. Rambutnya pan jang keemas-emasan, panjang sekali, barangkali sampai 50 kaki. Ada gandarwa berwarna pelangi, setiap kali bergerak pelangi ber kilatan dan bertaburan seperti hujan. Para gandarwa berjalan, menari, menyanyi, dan terbang. Ada kereta-kereta kencana, ada tandu-tandu yang memancarkan cahaya kebiru-biruan, ada naga berkaki delapan dengan seratus kurcaci tertawa-tawa riang di atasnya. Seperti karnaval"
Tapi nyanyian itu nyanyian peperangan, mereka berangkat berperang melawan manusia.
Apa yang terjadi" Menurut nyanyian itu, pasukan gandarwa ini mengikuti Mahakala Si Pemakan Orang untuk berperang melawan rakyatnya sendiri.
Para penduduk di tepi jalan mendengarkan, nyanyian sung guh merdu se perti impian. Mereka tahu dunia makhluk halus ada lah dunia maya, dan merasa beruntung bisa mendengar suaranya. Pawai makhluk-makhluk ha lus dari dunia kejahatan ini menarik perhatian penduduk sepanjang su ngai. Perahu-perahu menepi seperti memberi jalan, dan mereka yang mempunyai ilmu siluman, sehingga bisa melihat dunia maya sebagai dunia nyata tercengang-cengang, karena kali ini memang bukan sembarang pemandangan. Pengalaman pemegang ilmu siluman ini sangat terbatas, kalau tidak tuyul yang mau mencuri uang, paling-paling genderuwo yang terjebak di pohon pisang. Ternyata itu semua bukan apa-apa.
Ah, kuda-kuda bersisik logam, dengan penunggang seperti orang tapi bertanduk menjangan.
Ah, makhluk-makhluk bercula, seperti badak tapi wajahnya singa, seperti gorila, tapi bersisik naga.
Ah, berjuta-juta sosok, berjuta-juta cahaya, berjuta-juta ba yangan saling menembus pandang. Mereka saling menembus jika bersentuhan. Peristiwa ini akan tinggal tetap sebagai dongengan.
Engkau dilahirkan ketika lampor itu lewat, itulah pasukan imperium setan yang membantu Mahakala untuk memerangi manusia ....
Berita itu terdengar oleh rakyat yang berontak memerangi Mahakala. Setahun ditinggal Mahakala, keadaan semakin runyam, karena rakyat itu ter nyata juga menginginkan kekuasaan. Dalam setahun jiwa mereka jadi rusak oleh pertentangan tak kunjung padam. Rakyat yang semula tampak selalu pasrah dan sederhana, sepeninggal Mahakala jadi ngelunjak. Di lapangan dan pasar-pasar mereka berpidato saling menggalang dukungan. Para petani yang biasanya nonton wayang sekarang merasakan pesona kekuasaan, lantas belajar melakukan penindasan. Rakyat kecil yang tidak mempunyai keinginan lain selain bekerja dengan tenang menjadi kehilangan kepercayaan. Dalam keadaan seperti itulah Mahakala datang.
Badai menyapu kota sebagai tipuan, begitu rakyat berlindung di balik tembok dan di balik gedung dari dalam tanah muncul air yang menjadi banjir. Rakyat yang kena tipuan sihir berlarian putus asa dengan jiwa tersiksa. Mereka yang mempunyai ilmu siluman semakin takut lagi karena dalam penyerangan ini setiap banaspati berwajah garang. Langit mengendap jadi moncong raksasa. Semua orang ketakutan. Mahakala tertawa terbahak-bahak penuh kesenangan, di tangan kiri dan tangannya yang perkasa ia sudah menggenggam daging orang.
Huahahahaha! Daging manusia enak! Huahahahahaha! Hanya perlu waktu sehari bagi Mahakala untuk merebut kembali keku asaan dari orang-orang awam. Di puncak bukit, ia tertawa-tawa dengan penuh rasa girang.
Mampus! Huahahahahaha! Mampus!
Wajah sang mayat menatap langit Merindukan jiwanya di balik awan Derita siapa yang begitu pahit
Setelah mati pun tetap menyakitkan, o!
Jejak Walmiki encana yang menimpa rahayat Ratnakanda tidak bisa ditanggu langi. Pesta kemenangan yang tiada habisnya ketika berhasil meng usir Mahakala, membuat mereka lupa betapa iblis tidak pernah mati. Capai dengan pesta mereka berebut kekuasaan. Rahayat yang masih belajar mengatasi takdir, akhirnya ditelikung balatentara asura dan pisaca yang ganas dan tak kenal ampun. Tidak ada korban jiwa, namun roh setiap orang dalam tubuh rakyat Ratnakanda telah terteror. Makhluk-makhluk halus yang ganas itu memasuki tubuh, mengacaukan perasaan, dan mengunci jiwa perjuangan dengan tali mati. Kini setiap orang hanya merasa ketakutan. Sehari setelah pendudukan kembali, wajah-wajah rakyat yang sebelumnya garang, kembali bertampang memelas, loyo, dan pasrah. Seperti lupa kepada pemberontakan mereka yang gemilang.
Demikianlah Mahakala memasuki istana dengan hati lapang, kini ia bisa kembali memakan orang setiap kali sarapan. Namun para gandarwa yang telah meraga sukma kepada patung-patung dalam istana, agar men dapat bentuk untuk mendunia, telah me nunggunya di balairung. Patung-patung segala bentuk itu kini bernyawa, bergerak kian kemari dengan serabutan, karena tidak semua patung yang ada di istana berbentuk makhluk hidup. Bukan hanya patung gupala atau ganesha yang kini bisa bergerak karena kerasukan, tetapi juga candi perwara menjadi bernyawa dan berjalan-jalan. Mereka memasuki balairung dan menunggu Mahakala.
Engkau telah mendapat kemenangan, wahai Pemakan Orang, kini kami menagih imbalan.
Katakan apa yang kalian inginkan Kawan Gandarwa, aku sekutumu akan menepati perjanjian.
Sediakan kami 100 ksatria sebagai korban. Baik, aku laksanakan.
Lantas para gandarwa, dandawa, duruwiksa, dan banaspati keluar dari patung-patung itu dan kembali ke sungai. Demikianlah disebutkan dalam hikayat, bagaimana sungai itu tiba-tiba menyala oleh api yang berwarna biru. Itulah peleburan balatentara setan, menjadi satu zat yang melalui sungai meluncur kembali ke kuil mereka di dalam hutan.
Sedangkan Mahakala segera bekerja. Dalam waktu singkat ditangkapnya 99 ksatria kerajaan. Tinggal satu lagi, lunaslah utang nya kepada kejahatan. Pada bulan Phalguna, ketika udara sejuk dan berkabut, di ma na kandang lembu penuh lumpur dan ketika tidak hujan para rahib meninggalkan pertapaan untuk mengemis susu, 7 ia sudah berada di luar ibukota Kerajaan Sing hala. Tinggal satu lagi dan ia akan tenggelam dalam kenikmatan makan orang tanpa gangguan. Raja Jayawikrama telah bersiap menghadapinya, meski patihnya menganjurkan untuk menyerah, mengingat nasib 99 raja lain. Tetapi Jayawikrama mengingat kan dirinya bukan sembarang raja, karena mempunyai lengan berajah cakra.
Pertempuran seru membenarkan kata-katanya, tetapi menjadi pengantar kematiannya. Mahakala mengeluarkan naga yang membelitnya, namun Jaya wikrama dapat membebaskan diri, bah kan memorak-porandakan pasukan raksasa Mahakala dengan taring naga itu. Mahakala hanya bisa membunuhnya. Tewaslah Jayawikrama. Tapi, dengan begitu jumlah korban tetap kurang satu orang. Mahakala kemudian memburu Raja Widharba dan menangkapnya, lantas mempersembahkan seratus ksatria itu sebagai korban.
Kurang! Gandarwa itu berujar dari balik kegelapan. Apa lagi yang kauinginkan, wahai Kejahatan. Berilah tambahan satu orang.
Mahakala tidak bertanya, bukan kejahatan namanya kalau bisa dipercaya, tetapi ia tak sadar betapa jalan lempang justru sedang menantinya.
7 Deskripsi alam dipinjam dari Monaguna, Sumanasantaka, kakawin dari zaman Kadiri, paruh terakhir abad XIII.
Saat itulah ia tiba di sebuah taman di Hastina, dan melihat Sutasoma dikelilingi keserbahalusan peradaban, di mana setiap bangsawan menghirup anggur merah dan anggur putih dengan sangat sopan.
dari balik kain transparan
perempuan bertanya di mana Siwa gugur daun terapung di kolam sayup terdengar megatruh melayang mantra pengundang kematian, o!
Sutasoma dilepaskan Mahakala dan kembali ke tempat dari mana ia di la rikan. Sepanjang jalan dilihatnya kembali peman dang an bencana yang ditebarkan Mahakala yang menitis ke dalam Purusada anak Sudasa dengan singa betina, sehingga jadi Pemakan Orang. Sekali lagi dilihatnya tanah yang merah karena darah dan mayat-mayat yang berserakan, langit yang menyala-nyala ke merahan, serigala melolong-lolong, dan burung ruak menje rit-jerit. Sepanjang jalan terlihat pancaka, tempat orang-orang dipanggang, tapi Sutasoma tetap meneruskan perjalanan karena teringat brahmana itu. Ia telah berjanji untuk mendengarkan se loka-seloka terindah, dan untuk itu ia berjanji akan memberi hadiah. Ketika diculik Purusada Si Pemakan Orang, Sutasoma lebih teringat kepada kekecewaan sang brahmana daripada nya wanya yang akan melayang.
Di istana Hastina, semua orang semula girang, tapi tak habis mengerti bagaimana Sutasoma akan menyerahkan diri.
Lebih baik bertempur sampai mati, kata mereka. Begitu juga kata ayahnya sang raja.
Aku hanya perlu brahmana itu, panggil dia kemari. Brahmana itu tiba, ia sendiri heran dengan semangat Sutasoma, tapi seloka itu dinyanyikannya juga.
Aku mempunyai empat seloka, dengarkanlah wahai Suta soma. Sutasoma, tamu-tamunya, dan seisi istana mendengarkan kata-kata yang dilagukan dengan merdu. Sutasoma sangat terkesan dan terpesona, tapi sang raja dan semua orang sangat tak nyaman. Apalah artinya keindahan jika sebentar lagi menjadi santapan"
Sesuai janji, hadiah lantas diberikan. Ketika Sutasoma berangkat, setiap orang meneteskan air mata. Bagaimana mungkin seseorang berangkat menemui kematian mengenaskan dengan tenang"
Bahkan Mahakala pun tercengang dengan ketenangan Su tasoma. Nah, sembelihlah aku sekarang. Telah kuberikan kepada brahmana itu kebahagiaan yang menjadi haknya, karena telah me nenggelamkan aku dalam kebahagiaan.
Mahakala, seperti biasa, tidak mengerti.
Bagaimana mungkin kamu bahagia, menjelang mati sebagai korban yang dipanggang"
Sutasoma tersenyum mendengar pertanyaan Mahakala. Inilah titik di mana ia tak bisa berputar.
Itulah masalahnya Mahakala. Engkau tidak mengerti ke indahan. Sudahlah, panggang aku sekarang.
Mahakala menengok pancaka. Ia penasaran.
Api di pancaka masih mengepulkan asap, engkau masih punya waktu, daging lebih sedap kalau dipanggang tanpa asap. Aku ingin mendengarkan dulu seloka keindahan itu.
Untuk apa" Seloka ini kata-katanya tentang kebaikan. Tidak ada hu bungannya dengan kejahatan.
Bacakanlah wahai Sutasoma, aku ingin mendengarkan. Sutasoma terus-menerus menolak.
Mahakala terus-menerus mendesak. Sutasoma terus-menerus menolak. Mahakala terus-menerus mendesak.
Sampai Sutasoma merasa waktunya sudah tiba.
Maka Sutasoma pun membacakan empat seloka, dan Mahakala menangis tersedu-sedu. Ia bersujud kepada Sutasoma.
Ampunilah aku Sang Bodhisatwa, katakanlah apa yang Tuan inginkan.
Sutasoma menyebutkan empat keinginan: agar Mahakala setia kepada kewajiban; agar Mahakala tidak melakukan kejahat an; agar semua tawanan di bebaskan; agar melepas kebiasaan makan daging orang.
Mahakala terperanjat, yang terakhir terasa sangat berat, na mun keharuan yang dalam telah memberinya pencerahan.
Bersama mereka membebaskan seratus tawanan, yang ketika melihat Sutasoma dari jauh pun telah merasa betapa hati terbuka seperti teratai disinari rembulan. 8
Maneka terpesona, cerita itu membuat laparnya hilang. Semua orang bubar setelah memberi upah tambahan kepada tukang cerita itu, tapi Maneka tetap tinggal.
Ada apa Nak, ceritanya kurang"
Aku tak tahu, apakah memang isi empat seloka itu tidak dibilang" Aku i ngin tahu seperti apa indahnya, sehingga membuat kejahatan menjadi kebaikan.
Tukang cerita itu mengangguk-angguk.
Itulah bagian yang paling sulit Nak, karena keindahannya mustahil diulang.
Jadi siapa yang pernah mendengarnya" Tentu saja tidak ada.
Apakah Bapak tidak pernah mendengarnya" Tidak juga.
Mungkin tidak ada juga yang pernah mendengarnya" Memang.
Kenapa" Karena keindahan sejati tak bisa didengar, tak bisa dipandang, dan tak bisa dipegang.
Tukang cerita itu kemudian pergi. Sampai kembali ke meja nya, Maneka belum mengerti.
Siapa tukang cerita itu Satya, apakah dia terkenal" Satya menengok tukang cerita itu sebentar. Oh, dia pernah lewat juga di Mantura, namanya Syura. Pandai benar dia bercerita.
Namanya juga tukang cerita, kalau tidak pandai bercerita, apa yang mau dia jual"
Maneka termenung. 8 Dari Jataka-Mala versi India, yang diadaptasi oleh Tantular ke ba hasa Jawa Kuno menjadi Purusada Syanta (Purusada Di te nang kan), yang lebih dikenal di Bali sebagai Sutasoma (antara 1365 1389). Dalam cerita yang didengar Maneka, kedua versi dipakai, me lalui Kern maupun Zoet mulder, Kalangwan (1983).
Masih mau daging bakar" Punyamu tadi kumakan. Maneka mengangguk, dan Satya memesan sekali lagi daging bakar dengan bumbu arak. Maneka memerhatikan kedai. Ini sebuah kedai yang cukup luas dan besar juga ternyata. Memang tampak serba darurat, tetapi sebagai kedai darurat tampak meya kinkan. Kedai ini tampak sebagai bekas rumah makan mewah yang pernah dijarah dan kini sedang dibangun kembali. Din dingnya kosong tanpa hiasan, malah tembok batanya terlihat hangus terbakar. Atapnya tinggi, karena ada tangga naik untuk tingkat atas yang melingkar seperti teras, sehingga yang makan di atas bisa melihat ke bawah. Di lantai atas itu banyak perempuan yang tertawa-tawa da lam pelukan, dan terlihat pula kamar-kamar yang disewakan. Meskipun miskin pengalaman, Maneka sangat mengenal bahasa tubuh dan bahasa pandangan perempuan-pe rempuan di atas itu.
Di lantai bawah para pengembara yang kelaparan makan de ngan lahap pada meja dan bangku yang terbuat dari papan-papan kayu tebal. Manusia segala bangsa tampak di sana dengan busana mereka yang aneka rupa. Mulai dari orang-orang Han yang bercaping lebar dan berbusana sutra; orang-orang Dashi berkerudung pelindung pasir dan berjelabah yang menyandang pedang melengkung panjang; orang-orang dari Jambhudvipa yang beserban maupun yang berambut ikal dan panjang; sampai orang Parsi yang kulitnya serba putih dan bermata tajam dengan rompi berkilat an. Bahkan terlihat pula orang-orang Suvarnadvipa yang berkulit sawo matang, maupun orang-orang tinggi besar dari daerah bersalju di utara, dengan sepatu yang membungkus betis dan tutup kepala berbulu lebat. Satya memberi tahu Maneka bahwa mereka berada di Jalur Sutra, yang menghubungkan anak benua dengan Tanah Tiongkok dan Kemaharajaan Ottoman.
Sampai ke manakah kita akan mencari Walmiki" Maneka bertanya. Ke mana pun kamu menghendakinya.
Selesai makan mereka mencari penginapan.
Aku ingin tidur tanpa terguncang-guncang, kata Satya, selama ini kita selalu tidur dalam pedati sepanjang perjalanan.
untuk disewa, tetapi sebagian pengungsi memilih untuk menggelar tenda. Orang-orang yang baru saja lepas dari derita Persembahan Kuda berusaha keras membangun kehidupan kembali. Perdagangan mulai berjalan, tetapi pemerintahan masih macet. Dengan hancurnya arsip-arsip dalam pembumihangusan, banyak terjadi kekacauan dalam pemilikan. Sehingga banyak orang harus mempertahankan rumahnya sendiri dengan senjata, atau merebutnya dengan kekerasan dari gerombolan yang menjarahnya. Setiap sebentar terlihat anak-anak kecil berlari dengan barang curian, sementara di berbagai ruang kosong terlihat para guru dikelilingi orangorang yang ingin menggali kembali pengetahuan. Peradaban telah hancur dan segalanya harus dimulai lagi dari depan.
Terdengar seorang guru membahasakan kembali keabadian. Sejak waktu yang tidak masuk akal, selama ribuan juta abad, tak terhitung banyaknya, aku telah mencapai hikmah tertinggi dan tidak pernah berhenti mengajarkan Hukum.
Banyak Bodhisatwa yang telah Kubangkitkan dan telah Kukukuhkan dalam pengetahuan tentang Buddha. Berpuluh-puluh ribu juta manusia tak terhingga banyaknya, telah Kubawa pada puncak ilmu dalam masa ribuan juta abad.
Bilamana Kutunjukkan bayangan Nirwana, maka itu hanya akal-akal yang diciptakan untuk mendidik manusia, walau sebe tulnya aku tidak padam dan selalu tetap menyampaikan Hukum pada tempat yang sama di puncak Rajawali .... 9
Pedati itu berdesak menembus pasar yang riuh rendah, ternyata ini se bu ah kota yang cukup besar. Maneka dan Satya me nengok ke kiri dan ke ka nan mencari penginapan. Lepas dari pasar mereka merayapi sebuah lorong di mana berdiri rumah-rumah loteng setinggi tiga sampai empat lantai. Di jendela-jendela loteng itu terlihat orang-orang yang pekerjaannya tidak jelas, hanya bermenung-menung saja di sana, melihat orang lewat.
Lihat, kata Satya, itu orang-orang yang kehilangan ke lu arganya. Tidak ada seorang pun di seluruh anak benua yang tidak kehilangan kelu-
9 Bagian dari Lamanya Kehidupan Tathagata dalam Sad dhar ma-Pun darika, salah satu kitab Mahayana yang paling kuno dan suci, di pergunakan lebih dari seribu tahun se be lum Sutasoma di tu lis kan. Kern., op. cit., hlm. 23-24.
arganya karena Persembahan Kuda. Banyak keluarga yang habis musnah seluruhnya, meninggalkan rumah-rumah yang kosong.
Kemudian mereka melihat sebuah papan bertuliskan: Peng inapan Maya. Papan itu tampak masih baru dipasang, Satya mem belokkan pedatinya mema suki halaman penginapan itu. Terlihat sejumlah kuda Persia yang sangat bagus, sejumlah bagal, sejumlah unta, dan beberapa kereta maupun pedati. Tandanya penginapan itu ramai. Di pintu masuk ada tulisan: Dua Keping Perak Semalam, Bayar di Depan. Itu cukup mahal sebetulnya, bagi mereka yang tidak punya pekerjaan.
Kita tidak usah menginap di sini Satya, kita bikin tenda saja di luar kota.
Satya memeriksa pundi-pundinya.
Aku masih ada uang, katanya, tapi setelah ini aku harus mencari pekerjaan.
Aku juga mau bekerja. Kerja apa"
Maneka teringat perempuan-perempuan yang tertawa di kedai, tapi ia tidak ingin mengatakannya kepada Satya. Meski begitu Satya ternyata bisa membaca pikirannya.
Kukira kamu tidak cukup bodoh untuk kembali ke lingkar an setan, ka tanya sambil masuk ke tempat pendaftaran. Maneka diam saja, tapi meng ikutinya.
Saya minta kamar, katanya.
Satya membayar untuk dua malam. Petugas penginapan menyodorkan buku catatan.
Tuliskan nama kalian di sini, katanya.
Sambil menulis, Satya memerhatikan nama-nama lain, dan terkejut .... Lihat, katanya kepada Maneka, Walmiki menginap di sini! Maneka menengok, dan perlahan-lahan mengeja. Wa-la-mi-ki.
Dia sudah pergi kemarin, kalian akan menempati ka marnya. Ini Walmiki tukang cerita"
Iya, kemarin dia bercerita di jalanan sana, dikerumuni banyak orang. Cerita apa"
Satya dan Maneka berpandangan. Sebulan perjalanan tanpa kejelasan. Mendadak saja Walmiki terasa begitu dekat.
Tahukah dia pergi ke mana"
Itu tidak dia katakan, dia hanya berkata: Ke mana kakiku melangkah, ke sanalah aku mengarah.
Nah, ke arah mana dia pergi" Ke arah senja.
menjual Ramayana di jalanan matahari tenggelam di persawahan menjual cinta dan peperangan siapa sudi becerminkan wayang mengapa harus mencari jawaban atas pertanyaan tanpa jawaban, o!
Dalam tidurnya Maneka bermimpi melihat Sarita. Sahabatnya tampak cantik sekali dalam sari berwarna lembayung senja. Sarita seperti mengambang, setengah terbang, mendekatinya, mengelus rambutnya, bibirnya, pipinya, lantas menghilang. Waktu terbangun hari sudah larut malam. Sepi tanpa suara. Dilihatnya Satya tertidur pulas di ranjang sebelah. Ia mem buka jendela kayu. Mereka berada di lantai dua. Maneka menengok ke bawah, dan melihat jalanan sangat sepi. Hanya tukang pijat buta berjalan sendirian. Tongkatnya berbunyi mengisi malam. Ada penjaja makanan dan minuman, tapi tak ada pembelinya. Ia ingin turun dan berbicara dengan seseorang, namun teringat pesan Satya bahwa di kota itu hukum belum ditegakkan, yang berarti tidak ada jaminan keamanan.
Maneka memandang bintang-bintang, dan teringat Sarita lagi. Diamdiam air mata Maneka mengalir di pipi. <"
siwaratrikalpa etelah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya Satya men dapatkan pekerjaan. Selama seminggu ia keluar masuk berbagai bidang pekerjaan, sampai menemukan pe kerjaan yang akan membuatnya mendapatkan cukup uang dengan segera, untuk melanjutkan perjalanan. Se telah menjadi asisten tukang martabak, kurir toko sepatu, dan asisten juru catat di pejagalan, Satya menjadi anggota tim penyalin naskah di bekas perpustakaan negara. Dalam penyerbuannya yang laksana air bah, balatentara Ayodya telah membakar dan menghancurkan gedung perpustakaan kota itu, sehingga ratusan ribu naskah dan arsip yang me rupakan catatan kebudayaan selama beratus-ratus tahun musnah tanpa sisa.
Untuk membangun kembali peradaban, setiap pengetahuan dituliskan kembali, dengan menggali sisa-sisa ingatan. Orang-orang yang memiliki pe ngetahuan mulai menulis kembali, sedangkan mereka yang sudah tidak mampu menulis diminta bicara saja, sementara para juru tulis mencatatnya. Kadangkala ditemukan naskah-naskah tua yang belum dikembalikan ke perpustakaan ketika serbuan itu terjadi, dan inilah naskah-naskah tersisa yang digandakan dengan cara menyalinnya kembali. Satya termasuk di an tara para juru salin ini. Setiap naskah harus disalinnya dua kali, dan nan ti orang lain akan menyalinnya masing-masing dua kali juga, dan se te rusnya, sehingga setidaknya setiap perpustakaan di setiap distrik di ne geri itu memilikinya.
huan yang didapatkan dari naskah-naskah yang disalinnya. Kalau ia tidak ingat janjinya kepada Maneka, untuk bersama-sama mencari Walmiki penulis Ramayana, barangkali ia akan lebih suka tinggal di kota ini saja.
Setidaknya dengan upah menyalin tiga naskah, bekal kita cukup untuk melanjutkan perjalanan, ujar Satya.
Maneka sendiri tidak pernah menanyakan kapan mereka akan berangkat kembali. Karena belum lancar membaca dan be lum bisa menulis, Maneka hanya bisa mencari pekerjaan yang murah bayarannya. Tetapi Maneka cukup cerdik untuk me man faatkan pedati dan sapi Benggala mereka. Dengan pedati itu Maneka menawarkan diri menjadi seorang pemandu wisata. Ia tahu begitu banyak orang-orang asing hilir mudik di kota ini, dan ia tahu banyak di antara mereka mungkin ingin mengusir kelelahan perjalanannya untuk sementara. Sebuah tawaran untuk berwisata mungkin akan menarik minat mereka.
Kota itu memang berada di tepian padang rumput yang bagaikan tak bertepi, namun di sisi lain kota itu terdapat pegu nungan dengan sebuah danau di atasnya. Jalan menuju ke danau itu berkelak-kelok, dan setiap kali berbelok pemandangannya berubah. Di kiri kanan jalan itu terdapat hutan pinus dengan jalan setapak yang kecil. Apabila jalan setapak itu diikuti kadangkala terdapat kuil-kuil terpencil, yang menghadap ke sebuah panorama menawan. Banyak orang suci mencari kuil-kuil semacam ini, untuk bermeditasi dalam kedamaian. Namun dalam bencana Persembahan Kuda, banyak kuil tempat bersembahyang diratakan dengan tanah, hanya tersisa yang berada di pegunungan. Maneka menawarkan paket-paket wisata dengan mengandalkan lingkung an. Berangkat pagi dan kembali si ang untuk wisata ke kuil dan hutan, berangkat pagi dan kembali malam untuk sampai ke danau.
ke arah percintaan. Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya ter kadang bergelora, dan sungguh memendam cinta diam-diam, sangat rapat menahan diri dan menjaga kepribadian. Begitulah hubungan lelaki dan perempuan ini, Maneka 20 tahun, dan Satya 16 tahun, dari luar merupakan persahabatan dan persaudaraan, namun di dalamnya ma sih merupakan rahasia alam.
Ruangan itu selalu terbuka dan pintunya tidak pernah terkunci. Bila Ma neka tiba lebih awal, dia menyediakan makanan un tuk Satya. Bila Satya tiba, dan Maneka masih berada di pegu nungan, ialah yang mempersiapkan ma kan malam. Keduanya suka memasak sayur-sayuran dengan bumbu saus tiram. Bila keduanya tiba dalam waktu bersamaan, terkadang keduanya ma kan di luar, mencari kedai di mana mereka bisa melihat tarian, mende ngarkan musik, dan menyaksikan para kawi membacakan puisi. Setiap akhir pekan mereka minum arak dan pulang dalam keadaan mabuk berangkulan. Musim dingin telah tiba, dan ma nusia membutuhkan kehangatan. Mereka menyisihkan uang un tuk baju-baju hangat dan pemanas ruangan. Artinya, Satya harus memperpanjang pekerjaan.
Aku harus menerima salinan tiga naskah lagi, baru cukup aman menyam bung perjalanan, sekalian menunggu akhir musim dingin, kata Satya.
Mereka duduk berhadapan dalam cahaya lilin di sebuah kedai minuman.
Tak ada masalah dengan itu, kata Maneka. Aku hanya khawatir Walmiki sudah jauh sekali.
Ya, tapi ke mana pun ia pergi, kita akan selalu bisa mengejarnya. Aku hanya takut kita kehilangan arah, dan Walmiki tidak akan pernah ketemu sama sekali.
Ia pergi ke arah senja bukan"
Ya, dan senja selalu berada di arah yang sama, tempat matahari terbenam.
Jadi apa yang kamu takutkan"
Dunia ini begitu luas Maneka, kita tidak pernah tahu ke bagian dunia mana Walmiki pergi di arah senja itu.
Mereka berdua terdiam. Masing-masing menuang arak dari kendi ke cangkir porselin.
Kamu putus asa, Satya"
Tidak, kalau kamu" Aku juga tidak.
Keduanya tersenyum, dan menenggak minumannya bersamaan. Apa pengalamanmu hari ini Maneka"
Kamu pasti senang mendengarnya. Apa"
Maneka hanya tersenyum. Satya jadi penasaran. Apa"
Maneka tersenyum lagi. Sudahlah, tidak usah bercerita kalau tidak mau bercerita. Satya beranjak pergi. Maneka menahannya.
Jangan cepat marah, Satya.
Ya, tapi untuk apa ceritamu kau tunda-tunda" Karena kau akan senang"
Apa yang akan membuatku senang" Tutuplah matamu Satya.
Satya menutup matanya. Terdengar suara yang sangat di akrabinya di meja.
Buka. Satya membuka mata. Ia melihat segulung keropak di atas meja. Ada orang tidak punya uang, membayarku dengan tulisan. Hah" Membayar dengan tulisan" Mestinya dia bayar berapa" Dua koin emas untuk perjalanan sampai ke danau. Wah, harga keropak ini setidaknya lima puluh koin emas. Oh, orang itu mempunyai satu peti berisi keropak. Peti itu ia panggul ke mana-mana.
Satya membuka gulungan itu.
Biasalah penulis kurang menghargai karya sendiri, katanya, dia pikir tulisan itu mengalir begitu saja seperti air sungai dari kepalanya. Aku ingin bisa menulis, Satya.
Engkau hanya bisa jadi penulis, setelah bisa jadi pembaca. Iya, aku sedang belajar membaca.
Yang aku maksud itu membaca dunia. Penulis yang tidak mampu membaca dunia, hanya akan jadi penyalin seperti aku. Mengutip sana dan mengutip sini, dan menceritakannya kembali kepada orang.
Penyalin pun baik, Satya.
Tetapi penyalin tidak menciptakan dunia baru, seorang penulis memperkaya dunia.
Maneka menuang minuman untuk Satya.
Aku tidak sependapat denganmu Satya, seorang penyalin jasanya sama besar dengan penulis yang mana pun, justru karena mereka mempertahankan keaslian naskah yang disalinnya, dan itu bukan pekerjaan gampang apalagi kalau kau menerjemahkannya dari bahasa dan huruf yang berbeda, itu luar biasa.
Satya menenggak minuman itu.
Menjaga keaslian dari salinan mungkin gampang, meskipun menjemukan, tapi bagaimana mungkin mempertahankan keaslian dalam terjemahan" Itu hal yang sebetulnya mustahil dilakukan.
Maneka menenggak habis minuman di cangkirnya.
Dalam hal itulah engkau telah memperkaya dunia Satya, karena dalam penerjemahan berlangsung penciptaan. Bukankah itu berarti kamu menciptakan kembali sebuah dunia"
Satya memandang Maneka yang matanya mulai merah. Maneka, engkau bicara seperti orang yang sudah sering membaca. Tidak Satya, minuman ini penyebabnya.
Mereka berdua tertawa, dan memesan cumi-cumi kering yang diolesi madu, bebek bakar dengan bumbu bawang, dan kambing masak kari. Sambil menunggu makanan, Satya membu ka gulungan keropak itu, lembaranlembar an daun lontar yang digurat-gurat oleh pengutik, dan ia mencoba membaca dalam keremangan lentera kedai.
Hmmm. Ini sebuah risalah tentang semesta, katanya. Apa katanya"
Satya pun, setelah melihat-lihat, membacakan suatu bagian. ... kalau kita meluncur di ruang angkasa dengan kecepatan cahaya matahari, ruang angkasa akan mengerut sampai ke titik nol, sedangkan waktu akan merentang luas menjadi kekekalan; lalu yang kita namakan benda, kalau memang ada, maka benda itu akan membesar tanpa ada batasnya .... 10
10 Dipinjam dari teori relativitas Einstein.
Apakah itu sebuah cerita"
Semacam cerita juga, tentang waktu dan ruang. Siapa tokoh-tokohnya"


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, tokoh-tokohnya bukan manusia, melainkan unsur-unsur yang membentuk semesta.
Bagaimana akhirnya" Ceritanya tanpa awal dan tanpa akhir, karena selalu ada de ngan ca ra yang berbeda-beda, penulisnya berusaha merumuskan sesuatu yang menjelaskan semua perbedaan itu dengan satu cara.
Tentu dia pintar sekali, berhasilkah dia"
Kita tidak akan pernah tahu sampai dibuktikan keliru. Dibuktikan keliru" Mengapa tidak dibuktikan benar saja" Karena kebenaran hanya sebuah dongeng, kebenaran itu tidak bisa dipegang dan hanya bisa dikira-kira, dengan cara-cara yang disetujui bersama, tapi tetap saja kira-kira, dan karena kira-kira maka sifatnya hanya untuk sementara. Kalau kekeliruan itu cara mengukurnya jelas, dan akan selalu menyisakan sesu atu yang belum keliru, sampai terbukti keliru juga, dan seterusnya.
Kalau semuanya keliru"
Semua pasti keliru, karena pengetahuan manusia tumbuh terus, tetapi tidak bisa melampaui cakrawala pengetahuan di hadapannya. Jadi semua hal yang kita ketahui ini omong kosong saja" Sebetulnya memang omong kosong saja, tapi manusia ber usaha membuat segala sesuatu bermakna.
Supaya apa" Supaya tidak merasa sia-sia. Misalnya"
Kelahiran kita. Maneka tertegun memandang Satya, mengusap rambutnya, tapi tidak ber kata apa-apa. Satya memandangnya dengan tajam, dan mengambil ta ngan Ma neka, mengelusnya perlahan. Saat itu pelayan datang dengan pesanan mereka.
Selamat makan, katanya sambil berlalu.
Mereka berdua makan tanpa suara. Begitu terus beberapa lama. Mengapa diam saja" Satya bertanya.
Tidak, tidak ada apa-apa.
Mereka meneruskan makan tanpa suara, padahal biasanya acara-acara makan mereka penuh dengan cerita. Tiba-tiba Maneka bertanya. Mengapa kamu mau pergi bersamaku Satya" Aku juga ingin pergi, melihat dunia.
Tapi Maneka tahu, Satya tidak mengatakan semuanya.
seperti pohon willow di tengah padang hatinya terpajang bagai pemandangan
Pulang dari kedai, melewati sebuah kuil, mereka melihat orang-orang me lakukan persembahan untuk Siwa. Kota itu ma sih penuh dengan berbagai pengungsi yang datang dan pergi. Di seluruh anak benua, berjuta-juta pengungsi masih hilir mudik dan tersangkut-sangkut di berbagai kota, termasuk kota di mana mereka tinggal, sebelum kembali ke daerah asal mereka. Bencana Persembahan Kuda, meski hanya berlangsung setahun, telah me morak-porandakan tata kehidupan di seluruh anak benua untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, ibarat sebuah luka yang dalam, menciptakan berjuta-juta gelandangan tak berumah dan tak bernegara yang hidup hanya dengan mengandalkan doa. Ha nya orang-orang tabah, orang-orang bersemangat tinggi, orang-orang berakal cerdik, dan para pedagang, yang berhasil menggeliat dalam kehidupan yang berat. Melihat orang-orang bersembahyang di depan patung Siwa, yang dari mata ketiganya menyorot cahaya, Maneka jadi teringat dirinya tidak beragama.
Apakah manusia harus menyembah sesuatu seperti itu" Aku hanya bisa bercerita tentang upacara itu, kuceritakan padamu tentang Siwaratrikalpa, kata Satya, aku menyalinnya mulai kemarin. Ya, ceritakanlah Satya.
Siwaratrikalpa untuk itu silakan pembaca mengutuk dan memaki-maki saya, penulis bodoh dan tak tahu diri ini, yang telah memberani kan diri menulis tanpa kemampuan sepantasnya.
Cerita dimulai dengan seorang pemburu bernama Lubdhaka, yang sedang melangkah di sebuah padang rumput yang penuh dengan gerumbul pohon bunga aneka warna. Kakinya melangkah di antara semak-semak sementara berbagai jenis kupu-kupu, mulai dari yang bersayap kuning sampai yang biru, mulai dari yang berbintik-bintik hijau sampai yang hitam, melayang-layang di celahnya. Padang rumput itu berakhir di sebuah pegunungan dan Lubdhaka meneruskan langkahnya di antara lembah dan puncak-puncak yang cemerlang. Itulah daerah perburuannya, pekerjaannya di dunia yang fana ini, untuk meng hidupi istri dan anak-anaknya, dan ia sungguh bahagia dengan semuanya.
Lubdhaka, sang pemburu dari suku Nisada, tak peduli de ngan larangan agama, bahwa membunuh makhluk hidup adalah suatu dosa. Bagaimana ia akan peduli, jika tidak pernah mengerti" Ia hanya seorang pemburu biasa yang membunuh binatang untuk mencari nafkah, untuk menghidupi keluarganya. Seperti semua pemburu ia mengenakan jubah pemburu ber warna biru tua, dan ia membawa panah serta busur, dan ia berjalan ke arah timur laut melewati taman-taman, pertapaan, dan pesanggrahan yang telah membuatnya terpesona.
Di tengah perjalanan ditemuinya suatu candi yang telah runtuh di de kat sebuah air terjun melalui jalan setapak yang sunyi. Inilah candi za man purba dari suatu agama yang telah di tinggalkan penganutnya. Patung-patung miring dan retak me ngenaskan, kepala-kepala raksasa bagai meneteskan air mata, dan lebih menyedihkan lagi gupala penjaga candi yang bergeletakan terkapar di atas tanah. Pondok-pondoknya sudah rusak, atapnya jebol, dan tiangnya doyong. Reliefnya mengharukan hati: gadis-gadis berdiri menengadah ke langit, seperti menyatakan kesedihan karena terkurung.
Sungguh kasihan candi-candi tua yang tidak lagi dikagumi dan tidak lagi dikunjungi penyair-pengembara.
Tetapi tidak ada yang bisa dilakukan pemburu seperti Lubdhaka, yang dalam buku dewa pencatat Citragupta, tidak pernah melakukan satu kebaikan pun di dunia. <"
malaikat berebut sukma ubdhaka berjalan mengarungi berbagai dimensi peman dang an. Suara pohon-pohon bambu yang saling mengge sek, seperti suara perempuan yang baru pertama kali me ngenal percintaan. Burung cucur dan burung tadah asih berkicau seperti sedang menangis. Nun di kejauhan pucuk-pucuk salju begitu putih dan begitu bersih di latar langit biru dan terang, sa ngat meyakinkan sebagai tempat bersemayamnya kesucian. Lubdhaka kemudian sampai di padang perburuan di mana pernah didapatkannya gajah, singa, badak, banteng, dan beruang. Jangan ditanya lagi kijang, kancil, dan babi hutan. Ia seorang pem buru yang memanah hanya untuk makan, jadi ia tidak akan pernah membunuh hanya untuk kesenangan. Namun menurut penyembah Siwa Si Mata Tiga, pekerjaan Lubdhaka niscaya per buatan yang bergelimang dosa. Membunuh binatang, mengorban kan makhluk lain, adalah perilaku yang tidak dibenarkan dan dilarang. Tetapi Lubdhaka dari suku Nisada yang bukan bangsa Arya tidaklah mengenyam pendidikan. Ia hidup dengan naluri mencari keselamatan, tanpa aturan agama maupun aturan moral.
Di rumahnya, istri dan anak-anak Lubdhaka menunggu. Seperti biasa ayahanda akan datang dengan daging binatang buruan, kata sang ibu kepada anak-anaknya, tunggulah dengan hati riang karena seperti biasanya pula hari ini akan menjadi bagian dari hari-hari yang menyenangkan.
Istrinya menyiapkan sayur dan anak-anaknya mencari buah-buahan. Tak tahu mereka betapa setelah hari siang, Lubdhaka belum juga menjumpai seekor pun binatang buruan.
Ke manakah perginya mereka" Lubdhaka bertanya-tanya. Perutnya sendiri menuntut diisi, sejak pagi ia belum sarapan, karena tidak ada sesuatu pun yang bisa dimakan. Belum pernah sebagai pemburu ia pulang dengan hampa tangan. Namun sampai hari siang pun tak satu panah pun telah dilepaskan. Di puncak sebuah gunung hatinya senang melihat pantai yang bergelombang di kejauhan.
Setelah turun ada kalanya berjam-jam ia harus menyibak padang alangalang. Elang berputar-putar di atasnya tapi terlalu jauh untuk dipanah, lagi pula daging burung terlalu sedikit untuk seluruh keluarganya dalam waktu sebulan. Kalau bisa mau rasanya Lubdhaka menunggang angin supaya bisa melewati padang dalam sekejap, masuk kembali ke dalam hutan. Ketika ia sampai ke hutan pun, ketika semua bunga mekar sepenuhnya, tiada juga binatang buruan.
Apalah artinya bunga merekah, jika perut kelaparan, pikirnya. Lubdhaka berjalan di antara kerindangan dengan kepala mendongak, mencium angin yang mungkin membawa bau binatang. Suara-suara serangga dan burung-burung kecil riuh rendah seperti memberi tahu binatang-binatang supaya pergi menjauh. Lubdhaka penasaran dan kelelahan. Akhirnya beristirahat di bawah pohon yang rindang. Sedih hatinya teringat anak istri menunggu peroleh an. Maka setelah bersantai selama satu jam Lubdhaka melanjutkan perjalanan.
semut berbaris memasuki lubang di dalam lubang terdapat semesta
Di antara dedaunan dilihatnya langit merah menyala. Sebentar lagi gelap tiba. Apakah yang harus dilakukannya"
Jika kembali ke pondoknya sekarang, ia akan kemalaman, tanpa hasil pula. Lubdhaka melangkah ke tepi telaga. Biasanya kijang atau banteng memenuhi salah satu sisinya. Kenapa kini semua tidak ada" Di telaga itu turun gerimis bagaikan tirai kabut. Langit yang tadi merah mendadak men dung. Gerimis gemericik di telaga seperti taburan jarum. Lubdhaka melangkah sepanjang tepi telaga dan memutarinya, melewati sulur-sulur yang masuk ke dasarnya, batang-batang pohon yang malang melintang, tak diketahuinya dalam keremangan malam terdapat lingga Batara Siwa.
Hari makin gelap, segalanya jadi gelap, tetapi permukaan te laga masih memantulkan sisa cahaya dari langit. Lubdhaka me merhatikan daun-daun kekuningan yang berlayar perlahan di atasnya. Ia tahu akan berat perjalanannya untuk pulang, dan pa da malam yang gelap, binatang-binatang buas tidak akan bisa diatasinya. Macan kumbang, macan tutul, dan harimau loreng putih sangat berbahaya dalam kegelapan. Lubdhaka berpikir betapa konyol seorang pemburu jadi santapan binatang.
Kini di tepi telaga, tidak ada yang bisa dilakukannya dalam kegelapan. Ia menyadari, hari itu adalah hari keempat belas pa ruh petang pada bulan ketujuh, bulan Bhadrawada. Lubdhaka membasuh wajahnya dengan air telaga, sebelum akhirnya menaiki sebuah pohon dengan batang yang dahan-dahannya miring di atas permukaan telaga. Dari sini ia bisa mengawasi datangnya bi natang buas untuk keselamatannya, selain juga bisa melihat binatang buruan datang untuk minum. Susah payah ia mencari tempat di atas pohon itu, tapi tidak ada pilihan daripada tidur di bawah dan diterkam macan.
demikian, tanpa disadarinya, Lubdhaka yang seharian tidak makan, telah melangsungkan upacara persembahan untuk Siwa, yang sudah seharusnya diadakan pada hari keempat belas paruh petang bulan ketujuh, tapi yang tidak pernah dilaksanakan manusia sehingga bahkan Siwa sendiri melupakannya. Padahal Lubdhaka tidak tidur sepanjang malam karena ketakutan terhadap binatang buas. Tetapi mata ketiga Siwa telah melihatnya.
Pemburu itu tidak memicingkan matanya sepanjang malam, sampai dilihatnya garis fajar yang pertama. Ia baru berani turun setelah permukaan telaga terlihat seluruhnya, dan tetap tak dili hatnya juga lingga Siwa di bawah pohon yang belum pernah di sentuh manusia, seperti dewa-dewa sendiri yang meletakkannya. Lubdhaka hanya merasakan udara yang dingin. Ia merapatkan jubahnya karena tiupan angin. Langit di timur memerah, seperti kain perempuan yang jatuh cinta. Bintang-bintang meredup, seperti mata gadis yang kuncup pada penyatuan pertama. Mata hari bangkit, membuat pohon-pohon berkilau, burung-burung berkicau seperti para ahli berdebat mencari kebenaran. 11
Taiko 9 Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie Istana Pulau Es 7
^