Pencarian

Kitab Omong Kosong 3

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 3


Kita lupakan saja semua pemandangan alam, langsung Lubdhaka sudah sampai di rumah. Inilah kata-kata istrinya.
Kekasihku, manakah yang kamu bawa pulang dari perburuan" Anak-anakmu kasihan sekali, tidak satu pun dari mereka sudah makan. Aku ti dak tahu apa yang diberikan ketika mereka lapar. Tapi kamu sudah datang sekarang dan kami senang me nyambut dan berjumpa denganmu.
Maka berceritalah Lubdhaka akan pengalamannya, yang mengerikan, menakutkan, dan bisa membuatnya kehilangan nyawa tapi ia tidak mengatakan sepatah pun tentang lingga Siwa.
Istrinya pun berkata lagi.
Kalaulah begitu ceritamu bapak anak-anakku, jangan lakukan lagi per buatan itu, mempertaruhkan nyawa seperti itu. Hatiku hancur mendengar ceritamu, bagaimana jadinya kalau engkau jatuh dan mati karena dimakan"
Demikianlah ia sediakan makanan dan minuman yang segar untuk su aminya, ia layani dengan sepenuhnya. Waktu mereka berangkat tidur,
11 Ungkapan-ungkapan Mpu Tanakung, dalam Siwaratrikalpa (19 69), terjemahan Teeuw, dkk., hlm. 80 83.
matahari sudah siap turun. Gerimis menyapu bu mi, disusul guntur dari selatan dan utara. Tidak usah kita ikuti bagaimana mereka tidur.
Demikianlah hidup mereka berlanjut, Lubdhaka terus-menerus berburu, sampai tiba saat ajalnya. Sukmanya membubung ke udara.
Saat itulah, cepat seperti kilat, para malaikat yang diperin tahkan Dewa Maut Yamadipati untuk menyiksa manusia tak berpahala datang menyambar sukma Lubdhaka. Barisan malaikat Yamadipati yang disebut kinkara ini ganas dan mengerikan, sesuai dengan peran mereka sebagai penyiksa. Sukma Lubdhaka yang baru saja melayang dari tubuhnya langsung disiksa. Diseret sepanjang langit, berputar tujuh kali melingkari bola bumi lantas dilontarkan ke luar angkasa. Malaikat kinkara yang meluncur lebih cepat dari cahaya telah menunggunya di sana, dan membe namkan Lubdhaka ke dimensi penyiksaan.
Sukmanya yang tak bertubuh ditarik ulur kian kemari, mem beri perasaan tercabik-cabik kepada Lubdhaka, seolah-olah ia masih memiliki tu buhnya, sehingga masih bisa menderita siksaan yang badaniah saja rasanya. Lubdhaka meraung-raung mengeluh kepada keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya, karena hanya kepada merekalah hidupnya terarah. Ia tak tahu-menahu tentang alam orang mati. Ia berteriak-teriak meminta keluarganya menyembah siapa pun yang telah membuatnya tersiksa. Sementara di bumi, keluarganya itu sedang mengkremasi tubuhnya, lantas menyebarkan abunya ke padang-padang tempat ia biasa berburu. Betapa besarnya kesakitan yang diderita Lubdhaka, terlihat dari perasaannya yang masih mempunyai tubuh, sehingga ia meminta tubuhnya menyerah, meskipun tubuhnya sudah tidak ada.
Lubdhaka meraung-raung, menjerit, dan memohon-mohon. Kepada siapakah aku harus mengeluh di angkasa kosong dan sepi" Tiada yang kukenal, yang kukenal jauh di bumi, yang di bumi tak akan men dengar. O, dengar, dengarlah kesakitanku dalam suara guntur dan ta ngisanku dalam air hujan, aku menangis kepada langit, istriku, tidak ada tempat mengadu.
Manusia bodoh, diamlah, semua ini karena hidupmu berdiri di atas kematian makhluk lain.
dan kepahitannya barisan malaikat gana yang mengabdi kepada Siwa datang. Malaikat gana yang serba tampan dan berbusana cahaya telah men coba merebut sukma Lubdhaka dari tangan malaikat kinkara.
Dari dimensi ke dimensi berlangsunglah pertempuran mahaseru antara malaikat-malaikat kinkara dan malaikat-malaikat gana, memperebutkan sukma Lubdhaka, yang terseret kian ke mari, terulur-ulur ke sana dan ke sini, jungkir balik tanpa ke sadaran. Para malaikat kinkara yang mengandalkan kemampuan teror dikibas dan dicacah-cacah para malaikat gana. Semesta ber keredap oleh cahaya, berkedip-kedip, meledak-ledak, menipis dan mengembang. Belum pernah terjadi kekacauan begini rupa. Para malaikat berubah-ubah wujud dari yang konkret sampai yang abstrak, timbul tenggelam, riuh rendah, hiruk pikuk, segalanya dalam bisikan. Dari dimensi ketiga, masuk ke dimensi kedua, di kejar sampai dimensi kesatu, meloncat lagi ke dimensi keempat. Sukma Lubdhaka seperti bola yang dilempar dan diperebutkan tanpa daya. Kadang-kadang sukma itu terbetot begitu rupa sam pai pecah tercabik-cabik menjadi sejuta. Para malaikat saling me nyodok dan memukul berebut sukma Lubdhaka.
yang sulit diceri takan, para malaikat gana berhasil memasukkan sukma Lubdhaka ke dalam kotak waktu, dan memindahkannya seketika ke surga.
Para malaikat kinkara yang merasa telah terkalahkan ambruk dan lemas seperti karung yang kosong, mereka menjadi butir-butir air yang jatuh sebagai gerimis di istana Yamadipati.
Hmmm. Hmmm. Hmmmm. Para malaikat pencabut nya wa yang perkasa bagaimana mungkin kehilangan satu nyawa manusia durhaka"
Jangan salahkan kami Yama, balatentara malaikat gana yang perkasa telah merebutnya.
Yamadipati tidak bisa mengerti, bagaimana Siwa mengambil alih pekerjaannya. Adakah kesalahan dalam hal sukma Lubdhaka" Ia memanggil Citragupta, dewa pencatat perilaku manusia. Periksalah Citragupta, adakah pembunuh binatang ini per nah berbuat kebaikan satu kali saja, sehingga ada alasan untuk menyelamatkan sukmanya dari siksa keadilan semesta"
Citragupta menggelengkan kepala.
Tak satu kali pun manusia ini pernah berbuat baik dalam hidupnya. Yamadipati pun mengembangkan sayapnya, kobaran api yang merentang sepanjang cakrawala. Dalam sekejap ia tiba di hadapan Siwa, Sang Mahadewa yang bermata tiga.
Kukembalikan api ini kepadamu Siwa, api kobaran neraka maupun api yang menghidupkan dunia.
Siwa telah siap dengan kedatangan Yama. Istri-istrinya yang abadi, indah, dan sempurna tiada tara, lengkap berada di sisinya. Satu di antara empat tangannya menggaruk-garuk kepala.
Engkau mempertanyakan sukma Lubdhaka"
Jiwa pelanggar aturan agama, mengapa kaubedakan satu nyawa durhaka"
Kuberitahukan kepadamu Yama, pemburu itu satu-satunya makhluk di seluruh semesta yang melaksanakan Malam Peribadatan Siwa, meski tak disadarinya.
Siwaratrikalpa" Ya, hari keempat belas paruh petang bulan ketujuh, bahkan dewad ewa pun melupakannya.
Bagaimana Lubdhaka ini bisa begitu taat ibadatnya"
Oh, dia memang tidak sengaja. Tanpa mengenal agama tak sengaja ia berpuasa dan semalaman berjaga, tepat pada hari keempat belas paruh petang bulan ketujuh. Lubdhaka bersembunyi di atas pohon, dan menjatuhkan selembar daun malam itu, yang mendarat di lingga Siwa satu-satunya persembah yangan yang aku sendiri lupa pernah memerintahkannya. Tapi inilah ibadat utama, upacara lain tak berpahala sampai sepersejuta Malam Peribadatan Siwa. Dewa-dewa telah khilaf, dan manusia mengingatkannya, meski tak sengaja.
Untuk itu dia bisa masuk surga" Siwa mengangguk.
Apakah itu adil, wahai Siwa" Hidupnya bergelimang dosa. Setiap aturan harus diperiksa kembali, Yama. Apakah kita bisa menghapus dosa"
Tidak ada dosa yang bisa dihapuskan, tapi terhadap setiap dosa bisa di lakukan penebusan. Itulah yang telah dilakukan Lubdhaka, meski tidak se ngaja. Peristiwa ini penting untuk manusia, bahwa siapa pun ia bisa me nebus dosanya, apa pun caranya.
Hmmm. Peristiwa ini juga bermakna penting Yama, karena manusia biasa, se orang pemburu asal suku Nisada 12 , bisa mendapat peran utama. Dunia tidak di tentukan kaum Arya yang mengenyam se genap pendidikan ksatria, bahkan tidak juga oleh dewa, biarlah setiap manusia kini menuliskan sendiri riwayat hidupnya.
Lantas apa pekerjaan kita, para dewa" Oh, tugas para dewa masih sama.
Apakah itu Siwa, jika manusia boleh menentukan sendiri nasibnya" Siwa mendongak, mata ketiga di dahinya memancarkan cahaya menembus cakrawala.
Para dewa hanya mempunyai satu tugas, yakni membuat keajaiban.
12 Nisada, berasal dari kata nisada, yang dalam bahasa San sker ta me nunjuk arti: suku non-Arya di India yang buas (di des kripsikan se bagai para pem buru, nelayan, perampok) , yang secara umum me ru pakan indikasi, orang dari suku ren dah mana pun, orang yang tak berkasta . Lubdhaka sendiri ber arti pemburu, yang oleh Ta na kung dijadikan nama, dalam Teeuw dkk., ibid., hlm. 146. Jadi is ti lah ni sa da me mang untuk me ming gir kan, seperti dalam Maha bha rata: Bam bang Ekalaya atau Pal gunadi ditolak Dorna jadi mu rid nya, ka re na tidak ber da rah Bharata, bukan bangsa Arya seperti Ar ju na, ta pi ber asal dari Nisada.
Membuat keajaiban" Itu pekerjaan tukang sulap. Saya mengundurkan diri sebagai dewa.
Oh, jangan begitu marah Yama, meskipun manusia mempunyai akal yang luar biasa setia kepada nalarnya, keajaiban selalu dirindukannya kitalah yang akan membuat kata keajaiban itu ada.
Yama mengerti, dan memutar tubuhnya, lantas lingkaran api padam di cakrawala, tanda ia pulang kembali ke istananya, me mantau jiwa-jiwa manusia.
seribu bintang, seribu matahari beredar di langit dalam sunyi, o!
menempuh Jalan Pos edati itu sudah merayap kembali pada suatu pagi, menuju ke arah matahari terbenam. Maneka melihat ke belakang, memandang kota yang hanya tampak bentengnya itu, yang kini semakin lama semakin kecil, dan akhirnya hilang dari pan dang an. Sapi Benggala itu tampak segar, rerumputan berkilau karena sisa embun memantulkan cahaya. Satya melanjutkan tidur nya di dalam, Maneka memegang tali kekang, meski sapi itu akan berjalan lurus saja kalau tidak pernah dibelokkan. Mereka telah sampai ke jalan pos, yang pernah dibuat dari ujung ke ujung ke setiap kota penting di seluruh anak benua, bahkan tembus sampai ke Jalur Sutra. Sapi itu kini akan terus merayapi jalan jika tidak pernah dihentikan. Genta di lehernya berbunyi pelan dan malas, tapi pedati itu terus saja merayap, merambah, dan mengarungi bumi dengan pasti.
Sapi, sapi, kamu kuat sekali, Maneka bicara sendiri. Satya yang setengah terbangun tertawa mendengarnya. Ajaklah bicara manusia, jangan sapi.
Kamu tidur sejak keluar kota, bagaimana aku mengajak bicara" Lagi pula, apa salahnya bicara dengan sapi, tampaknya ia mengerti. Sapi itu mengerti" Hmmm.
Bagaimana kamu yakin kalau dia tidak mengerti" Karena dia hanya sapi.
Kamu tahu cara berpikir sapi" Tidak, tapi tahu cara menyuruhnya.
Kalau tidak tahu, bagaimana kamu tahu dia tidak mengerti, sedangkan terbukti ia mengerti apa yang kamu minta.
Wah, maaf Maneka, aku masih ngantuk, kamu tahu aku baru pulang pagi, menafsirkan ajaran mazhab Nagarjuna yang ekstrem itu susah sekali. Untung sudah selesai semua sekarang, dan kita bisa pergi.
Ya, sudahlah, tidurlah Satya, tapi jangan tertawakan aku kalau bicara dengan sapi.
Pagi bangkit dengan indah, jalan pos yang membelah padang itu bagaikan ditaburi pasir emas. Satya dan Maneka terpaksa ber tahan di kota itu sampai musim dingin berakhir. Perpustakaan negara memberikan kitab-kitab yang sulit dialihkan huruf maupun bahasanya, sehingga membutuhkan waktu lama. Satya yang masih sangat muda harus mengikuti pe tunjuk seorang tua, untuk memahami mazhab Nagarjuna yang mengajarkan betapa ada dan tiada adalah sama-sama maya dan melebur ke dalam kekosongan absolut. Nyaris lima bulan Satya mengerjakannya. Tapi dengan begitu Maneka semakin banyak mendapat uang sebagai pemandu wisata, dan bekal mereka berdua bersama menjadi lebih dari cukup untuk perjalanan panjang.
Di tepi jalan itu bunga alang-alang yang seperti kapas putih terhampar berkilatan. Sesekali petugas pos menyalip mereka dengan kecepatan kuda yang luar biasa. Kuda hitam, kuda putih, kuda merah, kuda abu-abu bertotol hitam, kuda coklat dengan bercak putih, menderap seperti kilat membawa pesan-pesan antarnegara, pesan-pesan militer, pesan-pesan intelijen, maupun pesan per da gang an. Pesan-pesan itu kadang ditunggu oleh kapal-kapal di pelabuhan yang akan berlayar ke benua lain. Angin bertiup di sepanjang padang. Maneka bernyanyi riang. Mereka akan mencapai akhir padang itu di senja hari, melewati lembah di celah gunung, turun ke sebuah permukiman, dan memasuki jalan yang lebih besar lagi di Jalur Sutra. Ada banyak jalan menuju ke arah matahari terbenam, mereka belum menentukan yang mana.
itu. Desa-desa yang dibumihanguskan, sama seperti desa Satya, tampak baru saja didirikan kembali. Orang-orang yang cacat karena pertempuran, gelandangan tanpa tempat tinggal, ksatria-ksatria pengembara tanpa istana, tenda-tenda pengungsian, dan anak-anak yatim pi atu yang telantar masih saja terlihat sepanjang perjalanan. Me reka tidak hanya memenuhi kota-kota, tapi juga bertebaran di pedalaman, seolah-olah tanpa tujuan. Situasi tanpa pemerin tahan di bekas-bekas kerajaan yang dihancurkan, ke mudian juga melahirkan gerombolan-gerombolan yang saling berebut wilayah kekuasaan.
Demikianlah pedati itu terus berjalan perlahan. Satya dan Maneka kadang tidur sambil membiarkan pedati tetap berjalan semalaman, kadang pula berhenti memberi kesempatan sapi Benggala itu istirahat, merumput, atau mandi di tepi danau. De mikianlah mereka terus berjalan, dari desa ke desa, dari kota ke kota, melewati lembah dan padang, menyusuri sungai, mera yapi tepi jurang, dari wilayah ke wilayah dalam usaha mencari Walmiki. Setiap kali mereka bertanya, di sebuah kedai arak, kedai teh, atau kedai makan; di pasar sayur, pasar hewan, atau pasar bu dak; atau kepada para pengembara, para pedagang keliling, dan para biara wan, selalu mereka dapatkan jejak Walmiki, yang rupanya juga melalui jalan pos mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
Oh, sudah lama sekali dia pergi, waktu itu dia membawakan Matinya Kumbakarna di sini, ya di sini, tempat saya duduk ini.
Lihat pentas di tengah pasar itu" Nah di situlah tiga hari tiga malam dia mendongeng Ramayana, heran, betah sekali dia, yang nonton kok juga tahan, setiap malam selalu datang.
Oh, dia sebulan lamanya tinggal, tapi tidak di sini, di sana, di atas bukit itu ada candi tua" Nah, di sana. Setiap hari menulis saja pekerjaannya. Suatu hari menghilang begitu saja.
Saya berpapasan dengan dia di sana, jauh di tengah padang, membawa tongkat dengan buntalan, dia menuju arah matahari terbenam.
Maneka dan Satya terus saja berjalan dengan pedatinya. Ma neka merasa selalu melihat harapan, sedangkan Satya selalu senang selama berada di dekat Maneka.
tentang Lubdhaka, pikiran Maneka selalu teringat kehidupan hewan yang dimakannya.
Tidak apa-apa, kamu toh tidak beragama, kata Satya, hu kum apa pun tak berlaku untukmu.
Ya, tapi burung belibis ini sebetulnya bisa terbang kian ke mari dengan riang, mengapa ia harus mati untuk santapan"
Wah, orang beragama saja banyak yang boleh memakan binatang ternak atau buruan, yang penting ia tidak menghabiskan isi hutan, atau menyiksa binatang.
Aku tidak mau memakan makhluk bernyawa sekarang. Ka sihan kehidupannya yang riang, mati hanya untuk manusia tidak berpendidikan.
Maneka, kau boleh mengasihani binatang, tapi jangan kasihani dirimu sendiri, nanti kamu sulit mencapai kebahagiaan. Tapi aku bahagia sekarang Satya, penuh kegembiraan. Satya tidak berkomentar, ia tahu mata Maneka memancarkan ketakjuban, gairah yang menyala mengarungi kehidupan. Tak bisa dibayangkannya masa lalu Maneka yang sungguh-sungguh suram, menjadi budak belian pelacuran. Dalam perjalanan me reka tenggelam dalam berbagai percakapan sementara pedati meng arungi jalan pos yang menembus permukiman, pegunung an, dan hutan. Kadang-kadang mereka berhenti juga di sebuah penginapan, ba rang semalam dua malam, sebelum melanjutkan perjalanan. Ada kalanya berhari-hari kepanasan, kemudian ber hari-hari kehujanan, di mana pedati me reka mengarungi ja lan berlumpur yang berat, dan ada kalanya tersekap kabut di pe gu nungan tak bisa melihat jalan, sehingga mereka berhenti begitu saja menunggu hari terang, meski sampai semalaman. Satu hal yang pasti, semua jalan itu dilewati Walmiki, sesuai dengan ke te rangan yang mereka dapatkan.
Beberapa bulan kemudian, pedati itu memasuki sebuah desa yang ba gai kan tanpa harapan. Desa itu terdiri dari gubuk-gubuk beratap rumbia yang kusam, seperti sudah setahun didirikan tanpa perbaikan. Orang-orang hanya duduk mencangkung di depan ru mah dengan pandangan hampa. Orang tua yang tatapannya kosong, ibu-ibu menyusui anak tanpa suara, dan anak-anak de ngan ingus berleleran berbaju buruk, semuanya diam menatap pedati yang lewat perlahan.
Bapak, adakah kedai di desa ini" Maneka bertanya.
Orang-orang itu menggeleng saja, tidak bersuara, membuat Maneka ma las bertanya lagi. Tetapi ketika pedati berjalan kembali, anak-anak kecil mengikuti di belakangnya.
Apa mau mereka, Satya"
Lihat saja matanya, mereka kelaparan.
Heran, semua tanaman bisa tumbuh di sini, bagaimana mungkin kelaparan"
Pasti mereka dikuasai gerombolan, yang merampas semua hasil pekerjaan.
Tidak ada yang melawan"
Siapa yang harus melawan" Semua laki-laki sudah mati. Pedati itu berhenti di depan sebuah rumah. Satya turun, i ngin sekadar bertanya tentang apa saja, untuk mempelajari ke adaan. Baru ia melangkah, ter dengar suara orang merintih.
desa-desa dihancurkan laskar berkuda kesedihan melanda tanpa bisa dibendung rumah menjadi puing, mayat di mana-mana sisa badan dicabik penjahat kampung
Bapak yang merintih, apakah sahaya boleh datang" Jangan, jangan Anak datang, pergilah, atau kembali pulang. Kenapa Bapak, sahaya hanya ingin berkunjung. Jangan ....
Satya sudah berada di depan pintu, tapi ia menahan langkahnya. Bapak, sahaya hanya ingin membantu.
Sudahlah, sudah terlalu banyak kesedihan .... Kemudian terdengar lagi rintihan.
bagaikan seribu luka menghunjam tambah satu tak menjadi kesakitan
Mendengar itu Satya pun mundur, berbalik, dan segera menuju ke pedati.
Kita pergi, katanya, dan Maneka pun menggerakkan ke kang sapi Benggala itu.
Mereka merayap sampai keluar gerbang desa. Sampai di sana anakanak desa itu berhenti, meski mata mereka seperti ingin terus mengikuti. Satya tak menengok-nengok lagi. Wajahnya murung dan muram. Maneka tidak ber ta nya apa-apa. Sudah lama mereka menahan perasaan melihat penderitaan se panjang jalan. Satu pembunuhan menimbulkan luka satu keturunan, seribu pembantaian menimbulkan luka satu generasi. Bagaimana suatu bangsa akan tumbuh dengan luka panjang dalam sejarahnya" Bagaimanakah suatu kesakitan harus diterima"
Maneka menengok, anak-anak itu sudah tampak kecil. Me reka berlari-lari ke atas bukit supaya bisa tetap melihat pedati mereka menjauh, seperti melihat bagian dari diri mereka sendiri yang pergi. Maneka pun tak berkata-kata. Sepanjang jalan mereka bagai mengarungi perkabungan yang panjang. Cahaya harapan memercik di sana sini, tetapi keseluruhannya adalah kabut yang muram. Maneka berpikir kalau ia bisa menulis, pasti ia akan me nuliskannya, tapi jangankan menulis, sedang membaca pun ia terbata-bata. Padahal kata-kata itu sering melintasi kepalanya. Memang sering juga dilihatnya di pasar-pasar para penyair sastra lisan dikerumuni orang. Mereka menguasai kalimat-kalimatnya di luar kepala, malah mungkin juga langsung menciptakannya, seperti dalang teater boneka. Tetapi Maneka merasakan keajaiban luar biasa dengan huruf-huruf yang mulai dikenalnya. Dahulu huruf-huruf itu hanya bentuk ruwet misterius yang tak pernah ingin dimasukinya, begitu ia mulai bisa menyusun kata, pesona itu semakin menarik minatnya. Betapa mungkin dari coretan-coret an seperti itu bisa muncul kata seperti cinta" Cinta adalah kata pertama yang bisa ditulis Maneka. Bila mendengar cerita-cerita yang dibacakan itu, Maneka merasa betapa sesuatu semacam cinta ternyata bahkan bisa menjelma.
tertulis di kantong-kantong kulit yang melekat dengan badannya. Para pe tugas pos itu diwajibkan melindungi pesan-pesan ter tu lis itu dengan nyawanya, karena memang demi pesan-pesan itu lah mereka dibayar mahal. Ternyata menjadi petugas pos ini mempunyai risiko yang besar juga. Banyak di antara pesan-pesan yang ditulis di atas bilah daun lontar itu bersifat rahasia, dan berarti banyak pula pihak-pihak yang ingin merebut dan meng ungkapnya.
Para petugas itu diburu, dicegat, dan dijebak sepanjang jalan pos. Per sa ingan kekuasaan, persaingan perdagangan, dan persaing an antara perusahaan pos itu sendiri membuat profesi petugas pos menjadi karier berdarah. Dalam bidang ini berlangsung in trik intelijen yang paling intensif, karena kedekatannya dengan catatan-catatan rahasia.
Pernah berlangsung suatu insiden terkenal yang disebut Insiden Ka kawin Permaisuri. Syahdan ada seorang permaisuri can tik dari sebuah kerajaan, yang ternyata sangat berbudaya, ka rena setiap hari selalu membaca. Namun raja yang menjadi su aminya ternyata cukup bodoh, ketika mengira bahwa kakawin yang dibaca permaisuri adalah surat cinta seorang kekasih gelap. Alhasil, permaisuri itu dibuang, yang justru menyelamatkan diri permaisuri itu dari penjarahan musuh suaminya. 13 Bagaimana sang raja mendapatkan kakawin itu" Pasukan khusus yang selalu mengawalnya memburu petugas pos, merebut kakawin itu setelah membunuhnya, karena mengira itulah surat balasan sang permaisuri. Padahal, permaisuri yang tinggal di pesanggrahan hanya ingin mengembalikan kakawin itu ke perpustakaan negara di ibukota secepat-cepatnya. Kekeliruan memalukan itu segera tersebar, dan menjadi salah satu anekdot untuk menyebut risiko seorang petugas pos.
Maneka memerhatikan para petugas pos yang ditemuinya. Mereka memang lebih mirip seorang pendekar daripada seorang kurir. Mereka begitu me yakinkan ketika melaju di atas kuda nya, berpakaian praktis yang tidak ber kibar-kibar supaya tidak meng halangi laju kecepatan, dengan kantong-kantong kulit yang melintang di kuda maupun di punggungnya. Kantong yang melintang di kuda itu berisi surat-surat yang lebih kurang
13 Kisah ini meminjam sebuah subplot dari Sutasoma (antara 1365 dan 1389) yang ditulis Mpu Tantular.
penting dibanding yang dilekatkannya di badan. Mereka memang selalu menyoren pedang, bahkan tak jarang bersabuk selusin pisau terbang di pinggangnya. Dengan demikian jika ada gerombolan mencegat di depannya, ia akan merontokkannya tanpa harus menghentikan perjalanan.
Demikianlah pedati itu akhirnya sampai ke jalan persimpang an empat jurusan di daerah tandus yang sangat sepi, ketika dari arah utara terlihat de bu mengepul sepanjang jalan mendekati per empatan itu. Dari jauh terlihat penunggang kuda itu dengan cekatan melepaskan anak panah ke pedati mereka. Satya tak sempat berbuat apa-apa ketika anak panah bersiut menembus angin dan menancap seketika di kerai pedati. Penunggang kuda yang tampaknya seperti petugas pos itu berbelok ke barat, sambil berteriak, Tolong teruskan ke selatan.
tentang sebuah Kitab etika gulungan surat itu dibuka, ternyata merupakan sebuah peta. Satya tidak mengenal peta itu, karena tampaknya hanya menunjukkan sebuah wilayah yang tidak begitu luas. Nama-nama tempat maupun bentuk-bentuk di peta itu tidak dikenalnya, dan karena itu ia berkesimpulan, tempat-tempat itu berada di sebuah negeri yang jauh. Di beberapa tempat dalam peta itu, terdapat tanda silang yang bisa diartikan sebagai tujuan peta itu. Apakah yang berada di tempat tanda silang itu"
Maneka tahu apa artinya peta, tapi tak tahu bahwa sebuah peta bisa menjadi rahasia, sampai-sampai harus dibela dengan nyawa. Mereka saling berpandangan di persimpangan jalan itu.
Tanda-tanda silang ini pasti suatu tempat yang penting, kalau tidak mengapa ia harus menyelamatkannya sampai kehi langan nyawa" Satya bertanya-tanya.
Ke selatan katanya, Maneka menyahut, apa maksudnya" Mungkin tempat-tempat ini ada di arah selatan.
Mungkin bukan di selatan, tetapi orang yang harus mene rima peta ini ada di selatan.
Mungkin bukan semuanya, tapi ia meminta kita memba wanya ke selatan.
Tujuan kita ke arah matahari terbenam, apakah kita akan berbelok ke selatan"
Ya, bagaimana pula orang tahu kita membawa peta ini" Kita hanya bisa mencari tempat-tempat ini. Tapi tempat-tempat ini sama sekali tidak dikenal.
Mungkin di bagian lain dari anak benua, tapi aku pernah melihat peta dunia dan tempat ini juga tidak ada.
Kalau begitu pasti berada di pelosok sekali, bisa terpencil, bisa juga lorong-lorong kumuh di dalam kota.
Mereka berdua saling berpandangan. Hari sudah gelap. Kita bermalam di sini, kata Satya, sapi ini perlu istirahat. Sapi Benggala itu dilepasnya, yang lantas berjalan sendiri mencari rerumputan. Satya membuat api dan Maneka mengelu arkan bekal makanan mereka. Semenjak tidak dimakannya makhluk bernyawa, Maneka mengolah berbagai makanan dari tanaman dan akar-akaran.
Mereka baru memakan kentang bakar itu, ketika dari arah utara datang lagi seorang penunggang kuda. Ia datang pelan-pelan, karena lebih dulu tahu kedudukan mereka. Ia tidak turun dari kuda. Dalam cahaya api terlihat wajahnya yang penuh jenggot memutih. Kudanya abu-abu dan tampak sangat tegap, begitu ju ga penunggangnya. Lelaki berkuda itu membawa banyak sekali senjata. Di punggungnya bersilang dua buah pedang lurus. Di badannya bersilang busur dan di pinggang kirinya tergantung wadah anak-anak panah. Di pinggang kanannya tergantung pe dang melengkung, di perutnya terlilit sabuk dengan dua belas pisau terbang. Di tas pelananya terlihat sebilah tombak pendek dan tergantung pula sebuah kapak. Satya tahu bahwa di balik bajunya pun terselip senjata-senjata rahasia. Rambutnya yang panjang ditutup oleh ikat kepala merah. Bajunya dari kulit, tapi lengannya terbuka dengan rajah naga di sepanjang lengan kirinya. Di punggung tangan kanannya terdapat rajah cakra.
Selamat malam, katanya dengan suara yang berat, santai sekali kalian menyalakan api, musuh bisa membunuh sebelum kalian menyadari kehadir annya.
Selamat malam, jawab Satya, kami tidak punya musuh, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Penunggang kuda itu melirik Maneka, yang sedang mengurai sari-nya, sehingga tampak dadanya.
Ini zaman kekacauan, kata penunggang kuda itu, sebaik nya waspada dalam segala keadaan.
Kami tahu, dan kami selalu waspada, jawab Satya, apakah yang dicari seorang penunggang kuda yang melakukan perjalanan malam"
Saya mencari seseorang yang sangat berbahaya, katanya sembari turun dari kuda, apakah kalian melihatnya"
Ada beberapa orang yang berpapasan, kami tak tahu yang mana sangat berbahaya.
Hmm. Orang berjenggot itu lantas duduk di dekat api, dan menge luarkan bekal dari kantong kulit di pinggangnya, sepotong daging asap. Ia pun membawa bekal minumannya sendiri.
Mereka bertiga makan tanpa suara. Satya memberi tanda ke pada Ma neka agar merapatkan sari-nya menutupi dada. Maneka kemudian beranjak, tidur dalam pedati. Orang berjenggot itu hanya merebahkan diri dan memejamkan mata. Satya juga merebahkan diri di situ.
Dari celah kerai pedati Maneka mengintip. Orang itu tidur tanpa suara sama sekali. Apakah dia ada hubungannya dengan pengejaran itu" Ia me nge nakan sepatu lars yang tebal, dan tampak nya sudah bertahun-tahun tidak diganti, lusuh dan perkasa. Baju kulitnya pun berwarna tak jelas, meski terlihat disamak dengan baik sehingga enak dipakai. Apakah yang diburunya sampai sejauh ini" Sepanjang jalan Maneka terpesona oleh para pengembara yang melakukan perjalanan sendirian, pergi dari satu tempat ke tempat lain, memenuhi keinginan untuk menjelajah ruang, menghayati waktu, dan men da patkan pengalaman. Ia terpesona oleh orang-orang yang merelakan dirinya tak berteman, meninggalkan kampung halaman, hidup dengan penuh kesederhanaan. Namun ia selalu melihat mereka sebagai orang-orang yang luar biasa, seperti lelaki tegap yang tidur itu. Bukan tak mungkin ia tidak berkeluarga sama sekali, melakukan perjalanan sepanjang hayat, mengarungi berbagai ma rabahaya di dunia yang kacau ini, dan suatu hari mati entah di mana tak seorang pun mengenalinya.
tertentu; bukan pula ksatria, karena tidak membela nilai tertentu; seperti semua tukang, mereka menerima pesanan; tapi tidak seperti semua tukang, pekerjaan mereka penuh dengan seni mereka adalah pembunuh bayaran yang tidak hanya bekerja untuk uang, tapi untuk pelaksanaan se ni dalam pembunuhan. Apakah ia orang semacam itu" Satya per nah memberi tahu Maneka tentang adanya suatu sindikat pem bunuh yang bertanda rajah cakra. Mereka menerima pesanan se cara rahasia untuk membunuh siapa pun di pelosok mana pun.
hati manusia adalah labirin dalam kegelapan tanpa akalnya siapa pun tak kan menemu jalan
Waktu bangun pagi, Maneka dan Satya melihat orang itu datang dari arah barat perlahan-lahan. Begitu sampai ia langsung duduk dan menyeruput teh yang disediakan Maneka.
Aku tidak akan meneruskan perjalananku, katanya, orang berbahaya yang kuburu sudah mati.
Bagaimana seorang penunggang kuda bisa tahu, jika ia sendiri tidak melihatnya" Satya penasaran dan bertanya.
Orang itu tertawa. Alam selalu memberi tanda, jika kita bisa membacanya, ia menjelaskan, aku telah mengikuti dan membaca jejak orang berbahaya itu selama berminggu-minggu, aku tahu mereka berbelok di sini, dan ia sudah mati. Ia diburu oleh empat penunggang kuda dan salah seorang rupa-rupanya telah melukai orang itu. Kulihat darah kering dari tetesannya di atas tanah, dan kemungkinan besar panah yang melukainya beracun. Di ujung perbukitan sana kutemukan mayatnya, sudah digeledah dan akhirnya ditinggalkan. Aku menguburkannya dengan tumpukan batu.
Mengapa dia begitu berbahaya sehingga harus dibunuh" Karena ia membawa sebuah peta rahasia yang akan disampaikannya kepada para penguasa di seberang benua. Ia menuju ke kota-kota pelabuhan, tapi ternyata banyak pihak sudah meng endus dan mengejarnya.
Apakah yang begitu penting pada peta itu, sehingga ia harus dibunuh untuk mendapatkannya"
Orang itu mengelus-elus jenggotnya, menatap Satya dan Maneka berganti-ganti.
Apakah kalian akan merahasiakannya jika kukatakan" Kami tidak punya kepentingan dengan peta itu. Tidak ada manfaatnya bagi kami untuk mengatakannya kepada siapa pun.
Baiklah, karena kalian tampak jujur, aku akan katakan apa maksud peta itu. Kalian tahu bencana Persembahan Kuda telah memorak-porandakan seluruh kehidupan kita. Peradaban hancur lebur, kehidupan menjadi liar, kebudayaan bagaikan diulangi mu lai dari titik nol. Bukan hanya perpustakaan dan segenap isinya habis dibakar, tetapi juga ingatan manusia sangat terbatas untuk mengulangi semuanya dengan cepat. Satya mengangguk-angguk.
Karena membangun kebudayaan itu bukan hanya masalah ingatan, melainkan masalah membangun kembali cara-cara menumbuhkan kebudayaan, maka pengetahuan tentang cara-cara itulah yang kita butuhkan. Tanpa hal itu, kita harus mengulang kembali setidaknya suatu masa selama tiga ratus tahun untuk mengembalikan apa yang hilang, dan kemudian baru mulai meneruskan yang sebetulnya bisa dilakukan sekarang.
Namun ternyata tidak semua pengetahuan dalam kitab-kitab itu terbakar, karena dasar-dasar ilmu pengetahuan yang menjadi kunci penalaran segenap ilmu ternyata masih ada. Ki tab yang tersimpan di berbagai perpustakaan dan dibakar hanya lah salinannya, kitab aslinya terdapat secara terpisah-pisah di tempat-tempat yang terdapat dalam peta tersebut. Jika kita bisa mendapatkan kitab tersebut, kita menghemat waktu sepanjang tiga ratus tahun, karena kita tidak harus mencari kembali cara-ca ra menumbuhkan ilmu pengetahuan, melainkan tinggal menjalankannya. Penyalinan dan penggalangan kembali pendidikan tetap diperlukan, tetapi kunci-kunci ilmu pengetahuan telah di temukan, sehingga pengembangan bisa segera diselenggarakan, dan menumbuhkan peradaban.
ingin menguasainya maupun dengan pihak yang ingin menyelamatkan dan menyebarkannya. Sejumlah penjahat besar telah mengumpul kan modal untuk menghimpun sisa-sisa peneliti yang bisa di temukan, dan bersedia dibayar untuk kepentingan mereka, agar menemukan tempat itu. Setelah berbulan-bulan penyelidikan, diketahuilah bahwa kitab itu disimpan oleh Sang Hanuman.
Hah" Hanuman" Ya, kitab itu disimpan oleh Sang Hanuman yang bijaksana. Persoalan yang muncul kemudian, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana Sang Hanuman bersemayam.
Bukankah ia tinggal di Gunung Kendalisada"
Memang, tapi di manakah Gunung Kendalisada itu" Kita hanya mengetahui nama gunung yang menjadi tempat pertapaannya itu dari cerita Walmiki. Dalam kenyataannya, tidak seorang pun pernah mengetahui adanya Gunung Kendalisada itu.
Barangkali karena itu hanya cerita.
Cerita Walmiki, tapi cerita Walmiki itu nyata, ia menceritakan kembali sesuatu yang ada.
Satya teringat nama-nama tempat tak dikenal dalam peta itu. Sekarang ia tahu kenapa tak ada sangkut dengan segala se su atu yang dikenalnya. Peta itu menunjuk tempat-tempat di du nia maya.
Akhirnya ada seseorang yang mengetahui peta di mana terdapat Gu nung Kendalisada, lanjut orang berjenggot itu, ternyata peta itu ter dapat di perpustakaan negara Ayodya, satu-satunya perpustakaan yang tidak tersentuh oleh bencana Persembahan Kuda, karena berada di negara yang melakukan penyerangan. Ia mencuri peta itu dari sana dan menyelundupkannya ke luar. Da lam perjalanannya menuju para pemesan di mancanegara sudah banyak korban yang jatuh.
jatuh korban, dan peta itu berpindah tangan. Kadang-kadang sudah begitu dekat orang itu, tapi setiap kali lepas lagi, dan bila ketemu lagi-lagi sudah menjadi mayat. Sudah banyak korban peta itu. Banyak sekali.
Aku memburunya sepanjang padang rumput, masuk desa ke luar desa, menyusuri sungai, memasuki hutan, menuruni ju rang dan memasuki lorong-lorong paling kumuh di kota-kota besar yang paling rusuh, setiap kali peta itu lenyap meninggalkan mayat bergelimpangan. Terakhir kalian lihat sendiri, bagaimana kutemukan buruanku sudah menjadi mayat. Sekarang aku harus mulai dari awal lagi, karena para pengejar yang membunuhnya jelas tidak membawa peta itu. Jika peta itu ada, korban itu tidak akan digeledah begitu rupa.
Seperti apa" Mereka mengira peta itu disembunyikan di balik kulitnya, seperti dilakukan para petugas rahasia Dinasti Qin dari Tanah Tiongkok dahulu kala, jadi mereka mengulitinya.
Maneka dan Satya saling berpandangan. Luar biasa pentingnya peta itu, kata Maneka.
Memang, peta itu sangat penting sekarang, karena akan me nentukan perjalanan umat manusia, tapi semua korban yang jatuh itu hanya berkepen tingan kepada hadiah uangnya.
Siapa saja pemesannya"
Banyak sekali, mulai dari penyamun di gunung sampai raja yang mengabdi kejahatan.
Angin bertiup dingin. Seekor elang melintas di langit. Apa nama kitab itu" Maneka bertanya.
Jangan kaget mendengar namanya. Apa"
Kitab Omong Kosong. Satya dan Maneka terpana.
Hahahahahahaha! Jangan terlalu heran. Nama kitab itu tidak keliru sebagai kunci segala bidang dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu sebenarnya omong kosong saja.
Satya dan Maneka makin terbelalak.
sendiri, sementara kenyataan itu sendiri tidak mungkin diketahui, maka ilmu penge tahuan itu sendiri menggambarkan apa kalau bukan kekosongan" Hahahahahahahaha!
Tapi Kitab Omong Kosong itu ada isinya" Tentu ada, ya omong kosong itu! Hahahahaha! Satya dan Maneka menjadi sangat bingung.
Apa pun isinya Nak, itu hanya berada dalam kerangka kese pakatan antara para empu, bahwa bahasa ilmu yang digunakan bisa dimengerti oleh semua orang yang membacanya. Jadi bukan omong kosong sama sekali. Tapi memang disadari hanya meru pakan cara-cara mengarah kepada ke nyataan, dan jelas bukan ke nyataan itu sendiri. Sekali menggenggam omong kosong itu, ia menyiasati setiap persoalan ilmu pengetahuan.
Satya dan Maneka mengunyah pemahaman itu di otaknya. Orang itu terdiam. Terlihat betapa ia capai sekali, namun ia ber anjak menuju ke kudanya.
Aku harus pergi sekarang, katanya, peta itu tidak boleh jatuh ke tangan orang yang bermaksud jahat.
Satya berdiri. Penunggang kuda, siapakah yang mengutus Tuan untuk menyelamatkan peta itu"
Orang berjenggot itu naik ke atas punggung kudanya. Ia tersenyum memandang Satya dan Maneka.
Oh, apa pun yang kukatakan, pasti itu tidak penting, se orang pembunuh bayaran hidup sampai mati dengan penuh ke rahasiaan.
Penunggang kuda itu menyentuh perut kudanya dengan se patu, lantas kuda itu melangkah. Mereka melihatnya sampai menghilang di celah bukit.
Apa yang akan kita lakukan" Maneka bertanya kepada Satya, setiap orang yang membawa peta itu pasti mati. <"
Kisah Cupu terlarang atya membuka gulungan peta. Seperti dikatakan lelaki berkuda yang ternyata pembunuh bayaran tersebut, pada setiap tanda silang itu terdapat bagian-bagian kitab yang jika disatukan akan terkumpul menjadi Kitab Omong Kosong.
Bagaimana caranya pergi ke suatu tempat yang berada di dalam dongeng" Satya berpikir keras.
Banyak orang telah mati karena peta itu, namun apabila se se orang mendapatkan peta itu seperti dirinya, ia juga tidak akan bisa menggunakannya.
Lantas apa artinya peta ini" Ia menunjukkan suatu tempat yang tidak ada.
Tapi adanya peta itu pasti bermakna, ujar Maneka, kalau tidak, untuk apa peta itu ada"
Mereka berdua memandangi peta itu.
Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan peta ini, kata Satya.
Tapi peta itu ikut menentukan nasib kita. Caranya"
Satya terdiam. Di balik keluguannya Maneka sebetulnya terus-menerus berpikir, seperti mengeruk mata air di padang pasir, sangat bernafsu menemukan pengetahuan baru.
Ia kembali menekuni peta itu. Terdapat lima tanda silang, ar ti nya Kitab Omong Kosong terpecah menjadi lima bagian. Setiap bagian peta itu terdapat di sebuah gua yang masing-masing berada di lima puncak di Gunung Kendalisada, tempat pertapaan Sang Hanuman yang budiman. Jika gunung itu ditemukan, berarti seseorang masih harus mendaki lima puncak tersebut. Satya tidak merasa ia akan bisa melakukannya. Ia berasal dari daerah padang rumput. Segala hal yang berhubungan dengan budaya padang rumput dikuasainya, namun gunung adalah suatu perkara lain.
Tetapi rangsangan petualangan Maneka melonjak-lonjak, sedangkan Satya akan melakukan segalanya demi Maneka.
Petunjuknya ada di selatan, kata Maneka, orang itu tidak akan me nyebutkannya menjelang kematian, jika tidak ada sesuatu di selatan. Bagaimana dengan Walmiki"
Maneka termenung. Ia mencari Walmiki untuk mengubah nasibnya. Meng gugat sang empu yang telah menuliskan kod rat hidupnya. Namun be nar kah garis kehidupan manusia di ten tu kan seperti itu" Selama dalam perjalanan Maneka merasa se su atu tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang dirasanya tumbuh dari dalam dirinya sendiri, bukan seperti kodrat, bukan seperti tak dir, sesuatu yang ditentukannya sendiri. Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perka ra ini sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahagia membuat peta-peta perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapinya.
Aku pernah jadi pelacur yang paling murah, aku pernah di perkosa seisi kota, apa pun yang akan kualami tidak akan lebih buruk dari itu, pikir Maneka.
Walmiki pergi ke arah matahari terbenam, ia pergi ke selatan. Bukankah ia mampu menentukan nasibnya sendiri"
huruf-huruf melepaskan diri dari kitab menyusun dirinya sebagai kitab baru
Dalam perjalanan mereka ke selatan, setiap kali senja tiba Maneka selalu menoleh ke kiri. Dibayangkannya siluet seorang tua yang berjalan dengan buntalan di punggungnya. Mereka te lah berbulan-bulan mengarungi anak benua dengan gambaran seorang Walmiki di depan mereka. Setiap kali matahari teng gelam sebagai lempengan besi membara yang kemerah-merahan, me reka membayangkan Walmiki berjalan seperti itu, menyandang tongkat dengan gan tungan buntalan di punggungnya. Manakah yang lebih cepat, berjalan kaki atau menaiki pedati" Keduanya membayangkan setiap kali Walmiki harus berhenti untuk berce rita. Ia harus melakukannya karena seorang empu juga membu tuhkan biaya untuk melakukan perjalanannya. Saat Walmiki ber cerita itu, mereka merasa akan bisa mengejarnya, karena sangat sering juga mereka tidur dalam pedati sementara sapi Benggala itu berjalan terus sepanjang malam merayapi jalan pos menuju cakrawala. Tetapi kemudian ternyata mereka sendiri yang harus berhenti untuk mencari uang, terkadang sampai berbulan-bulan, sehingga Walmiki yang semula terasa hanya selangkah di depan hilang kembali menjadi bayangan.
Kini mereka pergi ke selatan, dengan tujuan yang lebih tidak pasti lagi, karena tujuan mereka berada di dalam dongeng. Namun apabila setiap do ngeng merupakan usaha mencerminkan kembali kenyataan, tentu ada sesuatu dari peta itu yang berhubungan de ngan dunia nyata, hanya saja mereka belum tahu hubungannya. Para empu tidak selalu berbicara secara langsung, mereka me nyatakan segala sesuatu dengan cara tidak langsung, karena mereka tidak hanya memberikan pengetahuan, tapi juga menularkan pengalaman. Sekarang mereka berdua mencari pintu gua yang akan mengantarkan mereka memasuki pengalaman dunia maya, dan Maneka merasakan suatu pengalaman ajaib karena seolah-olah menjadi lebih dekat lagi dengan Walmiki.
Apakah yang lebih bermakna dalam hidup ini, pikirnya, se suatu yang di lihat dan bisa dipegang, atau sesuatu yang berada dalam pikiran" Satya juga melihatnya, lempengan raksasa me rah membara yang tenggelam ke balik cakrawala, menyisakan sem burat cahaya jingga yang berkobar-kobar di angkasa, yang sa puan keemas-emasannya juga menyapu pedati mereka, sehingga mereka merasa mengarungi sebuah dunia yang segalanya terbuat dari emas.
Berpikir tentang Gunung Kendalisada, di mana terdapat per tapaan Sang Hanuman, membuat Satya teringat kisah wanara agung yang berbulu putih itu.
Apakah engkau mengetahui kisah Sang Hanuman, Ma neka" Bukankah ia berselibat"
Ya, tapi kenapa ia berselibat"
Maneka menggeleng. Maka, sembari bunyi genta sapi Benggala itu terdengar kluntang-kluntung, Satya bercerita tentang per selingkuhan Trijata.
mani menyiprat pada kelir, o! ke manakah sumpingmu dewi kelam terlambat, blencongnya mati anting-anting di sisi ranjang, o ...
Hanuman adalah putra Batara Guru dari Dewi Anjani, se orang putri cantik yang gilang gemilang tiada tara. Kisah ten tang bagaimana ia bisa berwujud wanara dan berbulu putih ha lus mulus ibarat benang-benang sutra adalah bagian dari kisah perselingkuhan nenek moyangnya. Demikianlah ulah leluhur bisa memengaruhi kehidupan keturunannya, dan sejarah kepahitan manusia berulang.
Alkisah, adalah seorang resi yang sangat mumpuni dalam meditasi, yakni Resi Gotama namanya. Ia tinggal di Padepokan Grastina yang terletak di lereng Gunung Sukendra. Alam sekitar padepokan itu sungguh indah dan sungguh permai, di mana pemandangan terbentang mencengangkan, dengan mega-mega di langit yang membentuk berbagai wujud dalam permainan angin. Padang dataran terhampar, dilekuk kelak-kelok sungai jernih yang mengalir pelahan, menyusuri tepi lereng, dengan pohon rimbun di sana sini, serta tugu-tugu serta prasasti dalam berbagai posisi.
tetap dipertahankannya ketika ia diturunkan ke bumi untuk menjadi istri seorang resi.
Surya yang perkasa, bagaimana jadinya nasibku, hidup di bumi di pertapaan nan sunyi, menjadi istri seorang resi, alim ula ma tak bervariasi, yang mengurung diri setiap hari dalam gua gelap untuk bermeditasi. Selamatkanlah diriku, larikan aku, jadikan aku istrimu.
Namun riwayat sang dewi telah dituliskan seperti itu. Di le reng gunung itu ia mempunyai tiga anak yang cantik dan ru pawan, seorang perempuan dan dua pria perkasa, yakni Anja ni, Subali, dan Sugriwa. Kepa da ketiga anaknya, Resi Gotama mengajarkan segenap ilmu, sehingga meskipun tinggal di tempat terpencil, ketiganya terdidik dan terpelajar seperti setiap mahasiswa utama.
Mereka bertiga mendapat pelajaran yang setara, meskipun begitu Dewi Anjani selalu mengungguli Subali dan Sugriwa dalam pengetahuan langit dan pengetahuan bumi, dan hal ini sangat menggelisahkan kedua ksatria itu. Meski keduanya tampak unggul dalam ilmu kesaktian, Subali dan Sugriwa tak suka menjadi bodoh di depan Anjani, namun tetap saja mereka tak mampu mengalahkan Anjani.
Subali dan Sugriwa kemudian mengira, bahwa Resi Gotama telah memberi pelajaran dengan cara membeda-bedakan. Mereka tak puas hanya menjadi digdaya, mereka ingin pula punya kuasa dalam pengetahuan dunia. Tiada mereka bisa mengerti betapa Anjani selalu bisa lebih kuasa dalam pengetahuan langit dan pe ngetahuan bumi, jangan-jangan menertawakan pula di dalam hati.
Ayahanda yang arif bijaksana dan memuja budi pekerti, adakah sesuatu yang Ayahanda tidak ajarkan kepada kami, tetapi diajarkan kepada kakak kami Dewi Anjani"
Tidak anakku, tidak ada alasanku untuk berbuat begitu. Namun Anjani kakak kami selalu lebih unggul dalam pe ngetahuan langit dan pengetahuan bumi, tak rela kami menjadi bodoh dan ditertawakan begini.
Namun pengetahuan Anjani begitu cemerlang seperti me megang kunci-kunci pengetahuan. Mengapa Ayahanda tidak memberikannya kepada kami"
Kunci-kunci pengetahuan" Aku tidak mengerti.
Anjani menguasai segalanya, dari astronomi sampai paleon tologi, meski tidak merasa benci, kami sungguh-sungguh iri.
Subali dan Sugriwa, berjuanglah untuk mengerti, pengetahuan tidak bisa diberikan, melainkan dipelajari.
Kedua pemuda itu pergi. Tetapi Resi Gotama yang mampu melihat kenyataan di balik gejala permukaan, kini merasa diliputi misteri. Ada sesuatu yang menyentakkannya dari balik dimensi meditasi yang sunyi. Cemburu dan iri hati atas pengetahuan duniawi. Apakah yang membuat Anjani lain dari biasa" Anaknya itu memang cerdas, namun pasti ada sesuatu yang luar biasa, sehingga bahkan Subali dan Sugriwa saudaranya sendiri merasa iri.
Dari manakah datangnya pengetahuan Anjani" Datangnya dari sebuah cupu yang dihadiahkan oleh ibunya, Dewi Indradi. Cupu itu berupa sebuah wadah, yang bisa diisi apa saja. Mungkin sirih, mungkin bubuk, mungkin pula perhiasan dan jimat. Tetapi cupu Anjani itu kosong saja, karena isinya sungguh-sungguh ajaib. Bila dibuka, tutupnya memperlihatkan seluruh keadaan langit dan bagian dalamnya memperlihatkan seluruh keadaan di dalam bumi. Tidak aneh jika Anjani bisa membuat Subali dan Sugriwa terheran-heran atas pengetahuannya akan peredaran semesta, kandungan mineral, sampai keduduk an Sanghyang Antaboga di Saptapratala.
Suatu hari, dari kejauhan Subali dan Sugriwa melihat Dewi Anjani sedang melihat-lihat cupu itu. Dewi Anjani duduk di bawah sebuah pohon, diiringi Aria Sraba, pengasuh yang selalu menyertainya.
Setiap anak Resi Gotama sejak kecil memang mempunyai pengasuh, karena sebagai bidadari Dewi Indradi dianggap tidak memahami ma salahmasalah manusia. Apabila Anjani diasuh oleh Aria Sraba, maka Subali di asuh oleh Aria Menda dan Sugriwa di asuh oleh Aria Jembawan. Para pengasuh itu sebetulnya para pen deta, dengan kemampuan setara ksatria. Setelah ketiganya dewasa, para pengasuh itu tetap menjadi pengiring, yang dimaksudkan sebagai asisten sekaligus pengawalnya.
Demikianlah dari jauh, di bawah pohon beringin yang rindang, dengan sulur bergelantungan, tampak Anjani tenggelam ke dalam dunia cupu. Memandangi cupu itu Anjani menembus dimensi, mengembara da lam belantara semesta, mencerap berba gai pemandangan. Ia melewati para murid yang men debat gu ru nya di tepi sungai, ia menunggang angin melewati pantai di ma na orang-orang memandang senja, ia berkelok dan meliuk di lorong-lorong Kathmandu, ia mengendap ke gua-gua gelap menyaksikan manusia purba melukisi dinding-dinding batu, ia melihat seekor elang melayang dengan anggun dan turun ke atas danau untuk menyambar seekor ikan yang menggelepar di cakarnya ketika melayang kembali ke angkasa. Demikianlah pikiran Anjani berkelebat, memahami hukum gaya berat, hukum berbagai kemungkinan, dan teori-teori tentang segalanya. Ditembusnya dada Siwa, nurani Wisnu, api Yama, dan racun bisa Brahma. Di selaminya mimpi-mimpi orang suci, alam pi kiran bayi, dan ke gairahan para pemain sepak bola. Ia menatap dengan ngeri da rah muncrat di arena adu manusia, jerit kijang diterkam buaya, dan panah melesat menusuk leher ular kobra. Anjani menyatu dengan bumi, menyaksikan semut beriringan, cacing menembus tanah, uret bergelung, dan akar tanaman memburu air. Bolehkah aku melihatnya, wahai Anjani kakak kami. Ia tersentak. Subali dan Sugriwa sudah berdiri di dekatnya. Mereka di iringi oleh Aria Menda dan Aria Jembawan. Empat sosok manusia berdiri me ngepungnya, membuat Anjani merasa dirinya sebagai terdakwa. Tapi dari balik beringin muncul Aria Sraba. Suasana jadi tegang. Para pengawal ini begitu setia, sehing ga mereka selalu berpihak kepada anak asuhnya, baik benar maupun salah.
Anjani memandang Subali dan Sugriwa. Mereka adalah saudarasaudara nya tercinta. Ia ulurkan cupu itu. Subali dan Sugriwa berganti-ganti melihatnya. Terkadang saling berebutan, karena pesona luar biasa yang di pancarkan dari dalamnya. Seke tika mereka mengerti, kenapa Anjani yang semenjak awalnya memang cerdas, semakin jadi cemerlang karena mengembara dalam dunia cupu yang meskipun maya tapi mencerahkan.
karena merupakan hu bung an terlarang, dan karena itu ibunya berpesan agar keberadaan cupu itu di raha siakan. Ibunya hanya ingin Dewi Anjani menjadi perempuan cerdas, agar mampu mengatasi masalah di dunia lelaki yang penuh kekerasan. Tak jelas, cupu itu diberikan sebelum, atau setelah ia menjadi istri Resi Gotama. Tak jelas pula, apakah Anjani tahu hubungan ibunya dengan Batara Surya itu.
Dewi Anjani mendadak merebut cupu itu dan lari menuju pertapaan. Subali dan Sugriwa mengejarnya.
Anjani kakak kami, mengapa engkau harus lari"
Anjani lari terus dengan bingung, apakah yang harus dikatakannya kepada sang ibu"
Subali dan Sugriwa memburunya sampai masuk pertapaan. Di dalam pertapaan yang penuh tiang dan lorong-lorong yang saling bermiripan, Anjani dan Aria Sraba sulit dicari, maka mereka pun menghadap ayahnya, yang sedang istirahat dari meditasi.
Mereka langsung menggugat.
Ayahanda Resi, mengapa Ayahanda bersikap tak adil dalam mengajar" Anjani mendapatkan anugerah lebih daripada kami. Apakah itu sikap seorang guru sejati"
Resi Gotama seorang yang waskita, namun tidak semua hal di dunia ini bisa diketahui manusia, apalagi jika merupakan sesuatu yang sengaja dirahasiakan.
perahu cinta melintasi hati, o ... membawa sejumlah penumpang pergi perahu cinta tak kembali
siapa menunggu sampai mati, o!
bidadari main biola ertapaan Grastina niscaya merupakan pertapaan yang luar biasa, karena semula pertapaan itu merupakan sebuah is tana dari sebuah kerajaan bernama Grastina. Dahulu kala istana itu dibangun oleh Kuntara yang mendirikan Kerajaan Grastina tersebut, dan setiap tahun seiring dengan laju kemakmurannya, istana itu semakin lama semakin bertambah megah. Arsitektur, konstruksi, dan aksesorinya tidak mewah, tetapi me rupakan karya rancang bangun yang istimewa. Lantai, tiangtiang, dan koridornya berpadu dengan posisi pintu, jendela, dan jalan tembus menunjukkan keanggunan suatu wangsa yang jaya. Batu dan ta naman, jembatan dan kolam, genta dan tirai, menjadi komposisi serba mencengangkan.
Kuntara kemudian digantikan oleh putranya, Suleka, yang dari istri bernama Sukami, mendapat anak bernama Gotama. Se jak kecil Gotama diasuh oleh Jembawan, suatu jin wanara ber tubuh manusia dari Cakraningrat yang disebut-sebut sebagai saudara Sukami. Apakah Sukami ini adalah jin wanara pula, tidak terlalu jelas, tetapi pastilah Jembawan ini yang kemudian mengasuh pula Sugriwa. Jadi ia ternyata sudah sangat tua.
menjadi raja. Berkali-kali Suleka memanggil Gotama dan mengajaknya bicara. Selalu dikatakannya bahwa taraf kejiwaan seorang pendeta bisa di capainya meski ia menikah, punya keturunan, dan menjadi raja. Tetapi Gotama ti dak pernah bersedia mempertimbangkannya, sehingga Suleka menjadi sangat kesal, dan mengusirnya dari istana. Kali ini Jembawan dilarang menemaninya, dan karena itu menjadi sangat se dih me ratapratap setengah mati.
Jangan pernah kembali jika tidak membawa istri, kata Suleka. Bagi Gotama, peristiwa ini hanya membuatnya semakin teguh bermeditasi. Ia mengembara ke berbagai penjuru dunia, sampai menemukan sebuah tempat yang sangat sunyi untuk bertapa. Alkisah, Gotama sangat kuat dalam menolak godaan duniawi. Bukan hanya makan minum, tidur, membuka mata, dan mandi saja yang bisa ditolaknya, Gotama bahkan bisa menutup jalan pernapasan, menghirup udara hanya melalui pori-pori kulitnya. Bertahun-tahun bertapa tidak membuatnya kurus kering dan kotor berdaki seperti orang-orang sadhu yang bergelandangan hanya berkancut di sepanjang anak benua, melainkan wajahnya menjadi bercahaya dan kulitnya tetap putih bersih mulus langsat seperti layaknya warga istana. Rambutnya memang bertambah panjang dari tahun ke tahun, tetapi tidak menjadi gimbal merah dengan kutu di bawah kulit kepala, melainkan hitam berkilat halus lurus tanpa secuil ketombe sama sekali, menandakan teknik meditasinya telah mencapai tingkat paripurna.
Avighnam astu Inilah Catur Viphala, urutan Empat Tingkat Pembebasan
Nihsprha, nirbana, niskala, dan nirasraya Nihsprha: Tak ada lagi yang ingin dicapai manusia
Nirbana: Tiada berbadan, tiada bertujuan Niskala: Menyatu dengan Yang-Serba-Tak-Ada Tanpa ciri, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa sisa
Jiwa mencapai niskala, bersemayam di kaki Bhattara Paramasiva
Nirasraya: Lebur dalam tubuhnya Jiwa bebas dari segala pengetahuan konseptual
Jiwa meninggalkan niskala, San Hyan Atma tiada Tak bersubstansi, tak berbentuk, tak berciri Masuk Dunia Tertinggi
Si murid tahu, memang demikian adanya Ia merenungkan cara, yang tepat diikuti manusia Agar kewajiban terlaksana, selama hidup di dunia
Menemukan intisari ciri-ciri Viphala Seorang yang bijak menjalankan upacara Melaksanakan Paramakaivalya, Pengasingan Sempurna Apakah kewajiban seorang bijak di dunia" Ia menepati tata upacara penyucian dunia
Menjalankan Parama-Kaivalya-Jnana, Pengetahuan tentang Pengasingan Sempurna Maka manusia menjadi parama pandita Melaksanakan keempat Viphala,
menemukan Pembebasan Lepas dari reinkarnasi, tiada lagi yang duniawi Mencapai kebahagiaan tertinggi, yang tak pernah berakhir
Tamatlah bab keempat Viphala Jangan sebar luaskan
Ini sangat rahasia Seketika menyebabkan kematian 14
Namun dengan ketangguhannya bermeditasi tidak berarti ia tak bisa di sentuh oleh pesona duniawi. Itulah yang terjadi ketika terdengar suara biola yang meliuk-liuk menggetarkan hati, sedangkan di antara suara biola yang meratap dan merintih itu terdengar pula tangis sesenggukan dari seorang perempuan yang seolah-olah menderita sekali.
Tempatnya bertapa itu sangat terpencil, tetapi suara biola itu seperti se ngaja memanggil-manggilnya, menunggang angin, merayapi udara, 14 Pembukaan Jnanasiddhanta. Soebadio, op. cit., hlm. 74-77.
mengendap ke dalam gua. Gotama membuka mata. Rasa ingin tahunya tak terbendung. Setelah bertapa selama lima tahun tanpa gerak sama sekali, bersila dengan punggung te gak dan tangan tertangkup, Gotama bisa langsung berjingkat de ngan ringan, seperti tidak pernah kehilangan tenaga sama sekali. Ia berjalan cepat ke arah sumber suara itu, menembus hutan, lan tas menuruni lereng, untuk tiba di sebuah sungai jernih yang mengalir dengan sangat tenang.
Di sanalah, di tepi sungai, dilihatnya seorang bidadari berdiri tegak me ma inkan biola. Ia hanya mengenakan kain yang dilu bangi tengahnya, dari lubang itulah kepalanya muncul, menjepit biola dengan dagunya pada tulang panggul. Kain itu berkibaran, diikat dengan seutas tali pada pinggangnya. Ia tidak me ngenakan apa-apa lagi. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar. Kakinya yang mulus tetapi tegap mengenakan sepatu bertali-tali yang me lingkari betisnya. Bidadari itu memainkan Konserto Empat Mu sim dengan biola kahyangan tan pa tandingan, daun-daun beterbangan bagai menari karena suara biola itu, sementara air mata berderai di pipinya.
Gotama terpesona. Tidak semua yang ada di dunia hanya nafsu belaka, ada juga cinta ajaib entah dari mana, yang bisa me nyambar seketika. Tiada di ketahuinya bidadari itu sedang me nangis sambil bermain biola karena derita cinta juga. Ia tu run ke bumi mencari kekasihnya, yakni Batara Surya, yang te lah memecah diri menjadi cahaya. Malang bagi sang bidadari, begi tu tiba di marcapada, seorang raksasa perkasa memergokinya. Sang bidadari tak mampu lari, karena tak bisa terbang lagi, aki bat perselingkuhannya dengan Batara Surya yang tak direstui. Se dang kan Batara Surya ternyata tak kuasa melepaskan kedewaannya. Perempuan itu terkorbankan, raksasa Gajendramuka mengancamnya pula.
Dengan tipu daya, bidadari berusaha menyelamatkan diri. Dimintanya istana intan berlian jika sang raksasa tetap juga menghendaki. Dipikirnya setiap raksasa pasti bodoh, yang satu ini pun tidak akan mampu memenuhi. Eh, ternyata permintaan itu disanggupi. Kini ia memainkan biola agar di dengar Ba tara Surya yang berada dalam cahaya, namun Gotama yang mendengarnya.
Bidadari yang bermain biola, hentikanlah tangismu, dan katakan apa kesedihanmu.
Ketika ia menghentikan gesekan biolanya, alam mendadak sunyi. Hanya kericik air menampar tepian. Bidadari itu menceritakan nasibnya, tetapi tak sepatah pun tentang Batara Surya. Pada akhir cerita, Gajendramuka muncul dari kejauhan memanggul karung yang menyala berkilauan, karena cahaya berkilatan intan berlian.
Dewi Indradi tak usah takut, kata Gotama, masalahmu akan aku atasi.
Maka ditempurlah Gajendramuka yang tinggi besar itu oleh Gotama. Betapa malang nasib raksasa yang tinggi besar dan gagah perkasa tetapi terlalu jujur dan cukup bodoh itu. Meski tidak pernah makan dan minum selama lima tahun, Gotama ber kelebat seperti cahaya mempermain-mainkan sang raksasa. Begitu bodohnya Gajendramuka, sehingga ia bertempur sambil tetap membawa karung, yang dengan isi batu-batu intan berlian itu tentu menjadi berat sekali.
Para pembaca sekalian, apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti tam paknya. Gotama menjadi begitu lincah karena Batara Indra telah meraga sukma ke dalam dirinya. Batara Indra melesat ke bumi karena doa Dewi Indradi yang bertubi-tubi melalui biolanya untuk mengatasi ancaman Gajendramuka. Alih-alih ditujukan kepada Batara Surya, ternyata Batara Indra yang juga mendengarnya. Ketika raksasa itu akhirnya tewas dan tubuhnya me nyatu dengan bumi, Gotama terlihat lemas sekali, selayaknya manusia yang bangun dari tapabratanya. Karung berisi intan berlian itu hancur dan isinya bergelindingan di tepi kali.
Dewi Indradi, sudikah kiranya sang dewi menjadi istriku" Bidadari itu teringat Batara Surya, tetapi menganggukkan kepala. Gotama pulang ke Grastina menghadap Suleka, yang ter nyata sepeninggal Gotama menjadi sakit-sakitan. Suleka menemui ajal di depan Gotama dan Dewi Indradi, dan diangkatlah Gotama menjadi raja.
Seperti daun yang menjadi kering kekuningan Istana megah jadi pertapaan berlumut kehijauan


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula Grastina di bawah Gotama meng ubah seluruh rakyatnya menjadi kependeta-pendetaan. Ini sebuah negeri di mana seluruh penghuninya tenggelam dalam me ditasi. Kehidupan sehari-hari terbengkalai dan negeri Grastina berubah sama sekali menjadi sebuah wilayah tetirah bagi ke hidupan keagamaan. Istana Grastina telah ditinggalkan seluruh pe ngawal, dayang, dan sida-sida menjadi pertapaan yang singup bersarang laba-laba. Para hulubalang, menteri, punggawa, dan pe nasihat negeri, semuanya me nekuni meditasi. Ibukota berubah menjadi pa depokan, dan sawah ladang berubah menjadi hutan. Demikianlah pengaruh seorang raja kepada rakyatnya.
Istana Grastina yang berubah menjadi pertapaan merupakan sebuah ke ajaiban dunia. Istana yang tadinya gemerlapan itu bukan hanya berubah men jadi pertapaan berlumut menghitam dan penuh serangga serta binatang melata. Dalam seratus tahun pepohonan telah tumbuh tanpa campur tangan manusia, bagaikan berusaha menelan pertapaan yang membisu itu. Akar-akar pohon besar menyodok dari dalam tanah, sulur-sulur mengepung, dan bagaikan cumi-cumi raksasa menelan mangsa. Lantai pertapaan di sana sini bergelombang dan mendongak terangkat oleh akar. Pohon-pohon tumbuh menutupi pintu, dinding-dinding bagaikan bergulat dengan akar yang menjulur dan me libat seperti ular piton raksasa. Dalam seratus tahun pertapaan Grastina men jadi contoh sempurna pertarungan kebudayaan dengan alam. Para ahli telah memutuskan bahwa keadaan itu akan dijaga, pohon-pohon tidak akan dipotong, akar dibiarkan menjalar, karena merupakan keunikan dunia ....
Sementara para penghuninya terus bertapa.
Di tempat itu juga mereka semua berkumpul di bekas ba lairung. Para cantrik menjauhkan diri. Ini sebuah pertemuan ke luarga. Pertapaan masih sepi seperti biasa, tapi kali ini suasana sangat tegang. Resi Gotama sejak tadi berdiam diri. Tiada seorang pun berani menyapanya. Ia duduk bersila. Tubuhnya hanya dibelit kain katun sekadarnya, rambutnya yang kelabu dibelit ikat kepala sutra kekuning-kuningan.
jangankan Resi Gotama, bah kan Dewi Indradi pun tak tahu harus menjawab apa ketika suaminya bertanya.
Istriku, dari manakah engkau mendapatkan cupu ini" Hening mencekam. Resi Gotama sungguh tidak mengerti betapa suatu rahasia bisa terpendam begitu lama dalam sebuah keluarga. Istrinya seorang bidadari, dan segala sesuatu yang berbau kedewaan tidak akan mengheran kannya, tapi keberadaan cupu itu tak pernah diketahuinya sedangkan cupu itu begitu istimewa. Ia bisa melihat seluruh isi langit dari tutupnya, dan ia juga bisa melihat seluruh isi bumi dari dalamnya. Tidak sembarang bidadari dan tidak sembarang dewa mempunyai kesempatan mendapat pengetahuan semacam itu, dan Gotama menjadi lebih mengerti kenapa Subali dan Sugriwa juga sangat ingin memilikinya. Dewi Indradi ....
Dewi Indradi tercekat, dadanya berdegup keras, karena jika Resi Gotama telah menyebut namanya, pertanda kemarahannya tak tertahankan. Pendeta pun manusia, dengan darah dan da ging yang sama. Bagaimana mungkin ia berterus terang tentang hu bungannya dengan Batara Surya, di depan anak-anaknya pula"
Anjani meratap. Ayahanda, sudahlah, semua ini kesalahan hamba ... Tapi Gotama terus mencecar bidadari itu, yang hanya tertunduk beku. Hai Dewi Indradi, mengapa engkau diam saja seperti tugu" Yang terjadi terjadilah: sang dewi berubah menjadi tugu.
cinta merayap dalam waktu diam membisu sepanjang abad tanpa kata tanpa suara
menanti cahaya untuk merambat, o!
Ketiga putra-putri Resi Gotama tertunduk, menyaksikan ibu nya men jadi tugu.
Ibumu masih ada anak-anakku, kelak ia akan menjadi bidadari kembali, ketika salah satu cucuku akan menimpakan tugu ini ke kepala Prahasta dari Alengkadirja. Kalian tidak kehilangan apa-apa.
Lantas Resi Gotama melemparkan tugu itu dengan kekuatan batinnya, yang melayang jatuh menyeberangi laut sampai ke Sri Lanka, ke sebuah tempat di mana akan terjadi pertempuran besar antara pasukan para raksasa dan balatentara berjuta-juta wanara yang dipimpin Rama, untuk merebut kembali Dewi Sinta yang dilarikan Rahwana.
Tugu itu jatuh di dekat semak-semak, sama sekali tidak me narik perhatian, seolah-olah sudah berada di sana lama sekali. Orang-orang yang melewati tugu itu tidak akan pernah bertanya, Lho, dari mana datangnya tugu ini, kapan dibuatnya, kemarin aku lewat di sini kok tidak ada" Tugu itu diam di sana seperti memang sudah seharusnya ada di sana. Tapi di pertapaan, mereka masih kehilangan ibunya. Ayahanda, kembalikanlah cupu itu kepadaku, sebagai kenanganku ke pada Ibu, ujar Anjani.
Sang Resi merenung, ia tahu inilah saat-saat yang genting. Anjani, ujar sang resi, cupu ini tidak jelas asal usulnya, se hingga aku tidak bisa menganggapnya sebagai milik ibumu yang telah diberikannya kepadamu. Sedangkan saudara-saudaramu pun ternyata menghendakinya pula. Aku hanya bisa melemparkan cupu ini kembali kepada rahasia alam semesta, dan terserah kepada kalian jika masih ingin memperebutkannya.
Nirmala. Betapa mengherankannya jika dipikirkan, bahwa tokoh-tokoh yang berubah wujudnya kelak karena Sungai Sumala, ternyata seumur hidupnya tidak pernah bersentuhan dengan Sungai Nirmala, yang sebetulnya terletak tidak terlalu jauh dari sana. Dengan kata lain, setelah diceritakan men jelma dari tutup cupu, Sungai Nirmala ini tidak pernah berperan lagi untuk selama-lamanya setidaknya menurut yang empunya cerita semula. Demikianlah adanya. <"
meditasi Cahaya ubali dan Sugriwa melesat seperti kilat, diikuti oleh Aria Menda dan Aria Jembawan. Dengan segera mereka tiba di tepi Sungai Sumala, mereka mengira cupu itu jatuh ke sana. Keduanya terjun berusaha saling mendahului. Begitu masuk air, jasmani mereka berubah menjadi wanara. Namun masing-masing tidak menyadarinya, karena sibuk mencari cupu itu di berbagai sudut di dasar sungai. Sampai keduanya mendadak saja saling berhadapan.
Krrhh. Monyet buruk, siapa kamu"
Krrhh. Siapa yang monyet" Sudah monyet, buruk lagi! Subali dan Sugriwa yang sudah menjadi monyet tidak saling mengenal. Mereka bertarung dengan kesaktian yang luar biasa itu, tetapi dengan nuansa wanara yang meraung, mencakar, dan menggigit. Air di dalam sungai bergolak, berasap, dan berubah-ubah warna. Uap membubung, ikan-ikan mati, dan arus menjadi ka cau. Api menyala di sepanjang permukaan sungai dan langit ber kedip-kedip membingungkan. Sungai bagaikan karpet yang dikebutkan tangan-tangan raksasa. Pertarungan itu berlangsung sangat seru, dan nyaris terjadi kerusakan lingkungan hidup yang luar biasa jika Aria Menda dan Aria Jembawan, yang juga telah berubah menjadi wanara, tidak sampai pula ke tempat itu. Adalah kedua pengasuh itu yang segera menyadari perubahan tersebut.
Astaga, kita menjadi wanara!
Kedua pengasuh itu meraung, begitu kerasnya sehingga Subali dan Sugriwa yang sedang bertarung menoleh.
He, siapa kalian monyet-monyet"
Oh, kami adalah Aria Menda dan Aria Jembawan! Paman Aria! Mengapa kalian menjadi monyet" Kita semua telah menjadi wanara, Raden ....
Subali dan Sugriwa bertatapan, barulah mereka sadari be tapa jasmani mereka masing-masing telah berubah. Mereka melihat tangan mereka yang ber bulu, meraba-raba tubuh mereka, seluruhnya telah berwujud jasmani wanara. Lebih mengejutkan lagi adalah ekor mereka yang berjuntai panjang. O, jagad dewa batara, apa yang telah terjadi"
Keempat insan itu saling memandang dengan sedih, sosok berjasmani wanara itu masih memiliki tatapan manusia, dan ta tapan itu adalah tatapan manusia yang berduka. Di dalam air, di tengah sungai yang mengalir dan ikan-ikan lalu lalang, keempat insan saling menatap dengan muram.
Keempatnya masih berada di dalam air, bagaikan malu muncul ke permukaan, ketika Anjani dan Aria Sraba tiba pula di bagian lain Sungai Sumala. Hari panas terik, dan Anjani serta Aria Sraba telah merayapi jalan perlahan-lahan, karena tentu saja Anjani yang mengenakan kain tidak bisa bergerak secepat kedua saudaranya. Panas terik gentalang oleh perubahan cuaca akibat pertarungan Subali dan Sugriwa. Setiba di Sungai Sumala yang jernih gemericik dan damai, keduanya menuju ke tepian dan membasuh wajahnya, maka paras Anjani yang elok dan begitu juga Aria Sraba, segera berubah menjadi tampang seekor kera.
Mereka saling menengok dan tersentak. Kutukan menimpa tanpa per ingatan. Begitulah petaka datang seperti kepastian. Anjani melihat wajahnya dalam bayangan di air. Ia pun langsung jatuh pingsan. Dewi Anjani, sadarlah Dewi ....
Pada saat itu Subali dan Sugriwa yang telah muncul dari dalam sungai mendengar ratapan Aria Sraba. Mereka lihat sosok perempuan yang pingsan, kulitnya masih langsat dan tubuhnya semampai, tetapi bagian yang tersentuh air, tangan dan wajah nya, adalah wajah seekor kera. Enam insan pada hari yang telah disuratkan itu berubah wujud sebagai wanara.
seperti kepastian sungai mengalir perubahan menjadi semacam takdir
Resi Gotama memandang keturunannya yang malang. Putra-putri bida dari yang rupawan berubah seketika menjadi makhluk berwujud kera. Tubuh mereka masih setinggi manusia, tetapi kulit, bulu, dan terutama wajahnya, jelas tidak ada bedanya dengan monyet yang suka menjerit-jerit di atas pohon. Hanya ekspresi wajah dan sorot matanya bagai memancarkan bahasa yang bisa dibaca.
Pertapaan Grastina sunyi dan senyap, hanya desah napas mereka ter dengar berat dan gelisah. Bagi Resi Gotama ini semua merupakan penanda, namun dari suatu petanda yang baginya belum jelas. Apakah ini suatu kutukan atas perilaku Dewi Indradi, yang sampai sekarang pun ba ginya adalah misteri; ataukah hukuman atas perilaku anak-anaknya dalam berebut cupu; ataukah sekadar malapetaka untuk menguji ketabahannya sebagai seorang pertapa" Istrinya menjadi tugu, anak-anak dan para pembantunya yang setia menjadi kera. Bagaimanakah peristiwa ini bisa diteri ma" Apakah kesalahan mereka begitu beratnya sehingga begitu pantas untuk kemalangan ini" Ataukah mereka hanya menjadi korban ujian dewa bagi dirinya" Seberapa jauhkah manusia harus menderita karena nasib buruk yang menimpa dirinya"
Anjani, Subali, dan Sugriwa, sang resi mulai bersabda, inilah saatnya kalian menguji ilmu pengetahuan yang telah be gitu lama dipelajari. Apakah ilmu pengetahuan itu sekadar men jadi pengetahuan, ataukah menjadi ilmu yang menyatu dalam darahmu, dan mengangkat harkatmu sebagai insan bumi yang berakal dan berbudi. Jasmani kalian adalah wanara, namun kalian adalah manusia, masih mampukah kalian menjadi manusia dengan jasmani wanara" Baik buruk, indah tak indah, sebenarnya bukan perkara jasmani itu sendiri, melainkan bagaimana sikap kita terhadap jasmani itu. Selama kita masih hi dup, tubuh tak terpisahkan dengan jiwa, tapi pikiran kita bisa memisahkannya. Meskipun begitu, daripada mengingkari tubuh, lebih baik kalian menerima kewanaraan kalian itu, dan memanusiakannya dengan jiwa berakal budi. Ten tu, tak begitu mudah menerima pikiran ini, apalagi dalam keguncangan jiwa tak terkendali.
Ayahanda, apakah kami bisa kembali menjadi manusia" Kalian adalah manusia, jika bersikap sebagai manusia. Kami ingin menjadi manusia, secepatnya.
Oh, itu perlu waktu, Anjani, Subali, dan Sugriwa, karena ni lai kemanusiaan itu harus kalian cari sendiri, dan tidak bisa dipesan. Bagaimanakah cara mencari nilai itu, Ayahanda yang bijaksana" Kalian harus merenungkannya cukup dalam, untuk men da patkan jawab an. Maka kuanjurkan kalian bertapa. Anjani, eng kau harus bertapa nyantoka, melakukan meditasi di tengah kali sampai sebatas mulut, dengan mulut terbuka, tidak makan apa pun selama-lamanya, kecuali jika makanan itu mengalir masuk dengan sendirinya ke mulutmu; Subali, engkau akan bertapa nga long, melakukan meditasi lewat cara bergantung dengan kakimu di atas pohon seperti kalong, engkau hanya boleh makan buah-buahan seperti juga kalong, dan catat peringatanku, jangan tergoda oleh kata-kata manis yang merayumu; Sugriwa, engkau bertapa ngidang, bermeditasi dengan kaki tanganmu di atas ta nah seperti kijang, dan seperti kijang pula engkau hanya boleh me makan rumput-rumputan kelak engkau harus mengabdi ke pada seorang titisan Batara Wisnu. Nah, anak-anakku, pergilah menjalani kodrat hidupmu, semoga semesta yang agung merestui. Kapi Sraba, Kapi Menda, dan Kapi Jembawan, demikianlah nama kalian sekarang, ikutilah asuhanmu, kalian akan menjadi saksi zaman.
padang rumput itu dan membuat pondok di kaki bukit dari mana sebulan sekali ia menengok asuhannya.
Meditasi ketiga anak Resi Gotama bagaikan badai di dunia kebatinan. Tapa Anjani yang keras menggetarkan naluri makhluk-makhluk sungai, se hingga mereka melakukan eksodus dari tempat-tempat yang jauh mengelilingi Anjani. Sungai menjadi penuh sesak, ikan besar kecil dan makhluk-makhluk air yang lain mendekati cahaya yang memancar dari tubuh Anjani. Tapa Subali tak kalah menggetarkan. Ia bagaikan menjadi raja kelelawar yang selalu dikelilingi kalong-kalong setiap malam tiba. Cahaya rembulan menerangi tanah, dedaunan, dan para kalong yang beterbangan di sekitar Subali. Jika perlu makan, Subali hanya perlu menyeringai dan pesan-pesan sonar ditangkap kalong-kalong yang membawakan buahbuah an dalam kematangan sempurna langsung ke mulutnya. Tapa Sugriwa paling bersahaja, dalam ke hidupan bertahun-tahun bagai seekor kijang, alang-alang di sekitarnya telah meninggi begitu rupa, sehingga Sugriwa hilang dari pandangan, namun ia tak pernah bergerak sama sekali.
Inilah cara tidur seorang bijak: Ia mengatur pernapasan dan menutup matanya
Seluruh jiwanya padam tanpa sisa Selama tidur sang bijak menemukan kelepasan
Tanpa mimpi tanpa perasaan Tapi yang tidak mengerti ajaran ini Dalam tidurnya terjebak cakrabhava Bermimpi, bergerak, bicara dalam tidurnya Itulah cara jiwa jatuh ke dalam neraka Tidak tahu pergantian tidur dan jaga
Bagi orang yang maklum akan cara-cara Tepat Sudah maklum akan tujuan-tujuan terbaik
Inilah Pengetahuan Rahasia Tentang cara-cara yang Tepat
Ini sangat rahasia Berbahagialah yang mengerti
Tapi seorang guru tidak sembarang mengajar Seyogyanya ia menyimpan rahasianya 15
Dari ketiga tapabrata ini, Pembaca yang Budiman hanya akan mengikuti kelanjutan Dewi Anjani, karena kita sedang me runut riwayat Sang Hanuman. Kisah Subali dan Sugriwa yang sebetulnya sangat seru, akan dilanjutkan pada kesempatan lain. Maafkanlah saya penulis yang bodoh ini terpaksa berbuat begini, tekniknya kurang canggih, malas mengarang, kurang berpengetahuan.
Syahdan, meditasi Dewi Anjani telah menimbulkan muncul nya kila-kila di kahyangan Jonggring Salaka. Apabila kila-kila itu muncul seluruh kahyangan menjadi berwarna ungu dan semua dewa seolah-olah menjadi putih. Kila-kila seperti asap tapi bukan asap, seperti genangan tapi bukan air melainkan cahaya, yang membedakan alam dewa dan manusia. Kila-kila memberi tanda kejadian di dunia yang harus diperhatikan para dewa. Kali ini kila-kila muncul di tengah berbagai bencana yang menimpa imperium para dewa itu. Baru saja kahya ngan itu diguncang oleh Rahwana dengan pasukan raksasanya. Dengan segala kesaktiannya para dewa tak mampu menghalangi raksasa berkepala sepuluh itu memboyong Dewi Tari.
Di antara kila-kila yang menggenang, Narada bertanya kepada Manikmaya.
Apa daya kita Adik Guru"
Rahwana baru bisa ditaklukkan di masa depan, para penakluknya hari ini belum dilahirkan.
Siapakah mereka Adik Guru"
Tentu adalah titisan Wisnu. Tapi kalau hanya itu saja sama sekali belum cukup, karena Rahwana ditakdirkan tak bisa mati. Rahwana tidak bisa ditundukkan oleh kekerasan, ia hanya bisa ditaklukkan oleh gabungan keberanian-kecerdasan-keagungan. Itu berarti ada tiga tokoh yang kelak harus bekerja sama menaklukkan Rahwana. Titisan Batara Wisnu akan menjelma sebagai penampilan kembali keagungan, adik Rahwana yang
15 Dari Pengetahuan Rahasia mengenai Sarana Tepat , sebuah teks dari zaman Majapahit. Soebadio, ibid., hlm. 79.
bernama Wibisana akan bertindak sebagai apa yang kumaksud dengan kecerdasan, tinggal kini siapa yang akan menjadi sosok keberanian. Siapa Adik Guru"
Aku pun belum tahu Kakang Narada. Oladalah, tiwas Adik Guru!
Demikianlah kedua dewa yang bingung itu akhirnya me la yang keluar, jalan-jalan di angkasa menunggang Lembu Andini. Sebagaimana layaknya para dewa, sebetulnya keduanya bisa terbang, tak jelas kenapa mereka masih harus menunggang Lem bu Andini yang memang bisa terbang. Apakah terbang itu ternyata juga melelahkan" Apakah para dewa pun bisa pula lelah dan kecapaian" Entahlah, tapi Batara Guru atau juga Siwa yang bertangan empat dan Batara Narada yang pendek gemuk serta berwajah lucu seperti selalu tertawa, kali ini duduk di atas punggung Lembu Andini, seperti duduk bersebelahan di bangku panjang, melayang-layang sepanjang langit.
Dengan kecepatan cahaya Lembu Andini menembus Lubang Hitam dan dalam seketika telah memasuki atmosfer bumi. Di atas bumi pun mereka tak tahu apa yang mereka cari. Selama ber bulan-bulan kedua dewa itu mengembara seperti malaikat yang tidak kelihatan, menyamar sebagai pedagang di pasar, kuli bangunan, pegawai istana, tukang bakso, maupun bandit gurun untuk mencari roh keberanian penakluk Rahwana, tetapi sampai setahun pun tidak juga ditemukan.
Sudahlah Kakang Narada, barangkali waktunya memang masih lama.
Mereka memanggil Lembu Andini yang disamarkan sebagai penarik pe dati. Melesatlah mereka kembali di antara mega-mega, mengelilingi bumi tujuh kali sebelum kembali ke Jonggring Sa laka. Namun dalam putaran ketujuh, terlihat suatu cahaya yang sangat menyilaukan, sehingga bahkan mata ketiga Siwa pun tak mampu menatapnya. Segera Batara Guru mengerti, inilah suatu tanda baginya.
jah kera ingin kembali menjadi manusia, dan menyatakan keinginannya dengan bertapa nyantoka, berendam di dalam kali sampai batas separuh mulutnya, hanya memakan apa yang dibawa arus ke dalam mulutnya itu.
Dalam mantra itu bisa diketahui pula apa yang harus dilakukannya. De mikianlah Batara Guru mengambil daun sinom, dan melemparkannya ke sungai. Daun sinom itu dibawa arus pelan-pelan, tersangkut semak-semak di pinggir di sungai di sana sini, sampai akhirnya tiba di mulut Dewi Anjani yang terbuka.
Merasakan sesuatu di dalam mulutnya, Dewi Anjani pun mengunyah dan menelan daun itu. Pada saat itu Batara Narada turun dari angkasa men de katinya, membangunkan tapabrata Anjani. Kapi Sraba yang sedang bergo lek di bawah pohon terkejut ketika untuk pertama kalinya melihat dewa me layang-layang. Dilihatnya bahwa dewa itu tidak anggun dan agung seperti yang selalu dibayangkannya, melainkan lucu seperti badut, dan mulutnya seakan-akan selalu tertawa, pendek dan gemuk pula.
Keluarlah dari sungai itu Anjani, dan engkau Kapi Sraba bantulah asuhanmu itu.
Kapi Sraba membentangkan kain bagi Anjani, yang segera menutupi tu buhnya ketika naik ke tepi sungai. Narada memandang perempuan berwajah kera itu. Narada atawa Kanekaputra adalah orang yang kena kutuk pula, dan tahu bagaimana jasmani berubah tanpa dikehendakinya. Dulu ia seorang tampan rupawan dan cerdas pula, namun karena terlalu suka berkelakar, Batara Guru yang jengkel tak sadar mengutuknya agar bertampang ba dut. Ini berarti Narada tahu pula makna tapabrata Anjani yang tiada pernah berhenti. Hanya manusia mempunyai kehendak dan rencana dalam hidupnya, yang akan selalu diperjuangkannya bahkan malaikat pun tidak memilikinya. Bahagialah manusia yang bisa merasakan derita. Hatinya merupakan dunia yang kaya.
daun sinom masuk ke perut Anjani hamil tanpa sanggama mengandung monyet berbulu putih Sang Hanuman pengawal dunia, o!
hanuman belajar terbang etelah Anjani menghentikan tapanya, cahaya yang menyi laukan itu hilang. Lingkungan di sekitar Sungai Madirda kembali menjadi teduh, bahkan kini gamelan Lokananta berbunyi, karena Batara Guru turun dari angkasa. Anjani bersimpuh dan berdebar, segenap rasa telah dimatikan nya ketika bertapa, namun kini perasaannya bergetar kembali dengan harapan bisa mewujud kembali menjadi manusia. Batara Guru itu turun dan turun, menunggang Lembu Andini. Dewi Anjani melihat dari bayang-bayang di bumi, dewa itu memang bertangan empat sehingga disebut pula Caturbuda atau Caturboja. Udara kemudian menjadi wangi. Dewa penguasa tiga dunia itu, marcapada du nia para dewa; madyapada dunia siluman; dan arcapada dunia manusia yang fana; kini telah berada di hadapannya. Apakah wajahnya yang jelita akan segera kembali"
Sebenarnya selama mengarungi alam batin dalam meditasi, Anjani telah sampai kepada kesadaran yang mengatasi soal-soal jasmani. Manusia berwajah kera merupakan tanda keterikatannya kepada alam. Kewanaraan adalah bagian dari kemanusiaan ju ga, kemanusiaan yang tidak akan pernah menjadi sempurna. Per ju ang an manusia adalah mengatasi ketubuhannya, sementara ketubuhan itulah yang akan selalu mengikatnya. Demikianlah manusia mondar-mandir antara dua kutub dan Anjani bertahun-tahun memusatkan perhatian untuk tidak melakukan ke sa lahan yang paling kecil sekalipun. Tidak bergerak. Menutup diri. Hidup di alam batin. Menjelma sebagai cahaya.
Dewi Anjani, kata Sang Batara, dikau akan menjadi bukti, betapa ke indahan tidak ditentukan oleh jasmani. Gunung menjadi indah bukan karena adanya gunung itu, melainkan karena ada ma ta yang memandangnya. Dengan cara memandang yang keliru, keindahan gunung tidak akan pernah tampak sama sekali. Demikian pula jasmani kita Anjani, wajahmu kera, namun ke ku atan batinmu memesona. Dikau telah menelan daun sinom An jani, bibit yang kukirimkan kepadamu. Dirimu akan mengan dung anakku Anjani, dan pada waktu dilahirkan wajahmu akan pulih seperti sediakala. Anakmu akan lahir berwujud wanara, dia akan menjadi anakku yang bungsu, dan dia akan membuktikan sepanjang zaman, bahwa keindahan bukanlah perkara jasmani. Hanuman, anak Tribuana, akan menjadi wanara agung, lambang keberanian dan kesucian dunia.
Maka Manikmaya mempersilakan Dewi Anjani dan Kapi Sraba duduk di punggung Lembu Andini. Begitulah lembu yang sakti itu, yang pung gung nya bepermadani, bulunya keemasan dan kepalanya berhias sutra berenda, mengangkasa bersama ke dua dewa itu dengan Anjani dan Sraba di punggung nya, lantas mereka berlima melesat melebihi kecepatan cahaya. Tetapi dalam kecepatan itu segala sesuatu tidaklah terlalu cepat bagi Anjani, ia melihat Sang hyang Pramesti tersenyum kepadanya, mesra, dan ia melihat pemandangan bagaikan tamasya. Dari bintang ke bintang, dari galaksi ke galaksi, menembus Lubang Hitam, menuju Suralaya. Batara Guru dan Batara Narada meluncur di depan Lembu Andini. Kain mereka berkibar-kibar keemasan. Kapi Sraba sempat ketakutan, namun melihat Anjani tenang ia pun tenang-tenang saja. Aneh, pikirnya, duduk di atas seekor lembu, melesat ke luar angkasa, bahkan menembus Lubang Hitam, tetapi tidak jatuh bagaikan duduk di atas sofa. Kapi Sraba menoleh ke belakang, bumi sudah tidak kelihatan lagi.
lebih cepat dari cepat lebih lambat dari lambat tiada perbedaan
di luar dimensi se hingga seketika ia menjadi wanara putih cemerlang keperak-perakan, dan untuk sekejap semesta ge lap gulita bahkan tanpa setitik cahaya. Dengan demikian dalam diri Hanuman tersimpan segenap unsur dalam cahaya semesta, dan segala gagasan tentang cahaya akan dikuasainya sama seperti penguasaan Batara Surya.
Wajah Anjani kembali secantik bidadari, segenap unsur kewanaraannya terpindahkan kepada Hanuman. Para bidadari di Papariwarna yang selama ini merasa heran, bagaimana mungkin Batara Guru mengangkat seorang pe rempuan berwajah kera men jadi bidadari, bahkan memperistrinya pula, pun menjadi terpesona. Anjani pun anak bidadari, namun lebih dari bidadari lain, sebagai manusia ia mendapat pengalaman yang memperkuat kepribadiannya. Ia bukan hanya cemerlang, anggun dan rupa wan, tapi juga menggetarkan. Meski sebagai manusia hidupnya habis di pertapaan, keindahannya meyakinkan sebagai penghuni kahyangan.
Perhatian menjadi pindah kepada Hanuman. Bayangkan, ada monyet putih di swargaloka, tempat permukiman para de wa. Memang, tak kurang banyak yang serba ajaib di Suralaya itu, mulai dari Lembu Andini yang ke emas-emasan, Semar dan To gog yang sudah turun ke bumi, maupun Ba tara Guru sendiri yang bertangan empat, bertaring, kakinya kecil, dan berleher ungu. Namun adanya Hanuman tetap saja menarik perhatian. Anak yang berasal dari daun sinom itu dididik oleh Batara Bayu yang sakti mandraguna. Segenap ilmu Sang Dewa Angin itu dikuasainya, sehingga ia juga bernama Bayutanaya atau Maruta atau Bayudara. Batara Bayu mengajarkan kepadanya ilmu terbang dan berjalan bersama angin. Namun Para Pembaca yang Budiman sekalian, tentang hal terbang ini, mohon maaf jika penulis akan menceritakan pula sebuah riwayat lain. Sekali lagi maafkan teknik perpindahan yang kurang mengibul ini.
di antara para wanara, sehingga Sugriwa menganggapnya sebagai pembuat onar. Maka Rama pun memberi jalan ke luar.
Pakailah telunjukku sebagai pijakan, Hanuman. Hah" Telunjuk"
Rama mengulurkan tangan, dan menudingkan jari telunjuknya. Berpijaklah di sini, kata Rama.
Hanuman pun meloncat ke atasnya, dan menggunakannya sebagai pijak an. Ternyata telunjuk Rama lebih kukuh daripada gunung. Hanuman me lesat ke angkasa, sehingga para wanara ter nganga menggaruk-garuk kepala.
Namun Hanuman melesat terlalu jauh, Alengkadirja yang merupakan pulau besar dilewatinya. Apa mau dikata, ia tidak bisa menghentikan laju terbangnya, karena bukan ia sendiri yang bisa terbang, melainkan karena kekuatan telunjuk Rama. Hanuman melihat Alengka lewat di bawahnya, tapi ia tak bisa turun, melewati pulau demi pulau di Samudra Hindia.
melayang di atas samudra, o
memandang perempuan berlayar sendiri mau ke manakah putri"
apa yang dicari" bumi bulat bukan persegi, o!
Ketika laju lontarannya mulai berkurang, ia mendarat di pulau kecil. Se buah pulau yang sungguh kosong dan tidak ada apa-apanya. Bukan hanya tidak ada gubuk, tidak ada manusia, dan tidak ada perahu, bahkan burung, serangga, dan semut pun tidak ada di sana. Hanuman tidak habis pikir. Tidak ada pohon, tidak ada tanah, hanya batu-batuan. Apakah yang bisa dilakukannya" Akhirnya Hanuman memilih untuk duduk, menunggu matahari tenggelam, karena memang tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilakukannya.
Matahari senja mengendap dengan pesonanya yang biasa. Lempengan raksasa merah membara tenggelam ke balik cakrawala. Lautan merah jingga, memantulkan langit yang berkobar-kobar. Hanuman duduk di atas batu, me rasakan angin menyapanya, sementara dari arah matahari itu muncul siluet se orang manusia dari balik cahaya keemas-emasan. Melangkah dengan pasti menuju Hanuman.
Ia tertegun. Sosok itu berjalan di atas air. Langkahnya pendek-pendek saja, tetapi mengapa dengan langkahnya yang pendek itu ia begitu cepat tiba" Ketika ia berada di depan Hanuman, terlihatlah orang sadhu yang ha nya berkancut dan kotor tubuhnya. Rambut nya yang panjang dan gimbal bagaikan tiada pernah bersisir selama ribuan tahun, namun parasnya tampak muda dan bercahaya. Hanuman segera menjadi waspada.
Apa yang kaunantikan di sini Hanuman" Menatap senja seperti meng harapkan cinta yang tidak akan pernah datang"
O, brahmana, aku seharusnya pergi ke Alengka, tetapi lompatanku terlalu jauh, sekarang aku tidak tahu berada di mana, dan bagaimana caranya menuju Alengka.
Orang sadhu itu tertawa. Jangan khawatir Hanuman, engkau akan bisa terbang ke sana. Terbang" Bagaimana caranya"
Orang yang datang dari cakrawala itu mengulurkan tangan nya. Tiba-tiba di tangannya itu terdapat mangkuk kecil berisi nasi.
Makanlah nasi ini, habiskan, kalau sudah habis kamu akan bisa terbang.
Bisa terbang" Apa mungkin" Orang itu tersenyum.
Sudahlah, habiskan saja dulu. Nasi saja, tidak ada lauknya" Kamu ingin bisa terbang atau tidak"
Tentu saja Hanuman ingin terbang, bebas melayang ke mana-mana seperti burung elang. Dimakannya nasi itu. Tetapi, ternyata nasi itu tidak habis-habis. Seberapa banyak pun ia makan, mangkuk itu selalu kembali terisi. Hanuman kebingungan. Perutnya sudah kenyang sekali. Apalagi ia makan nasi itu tanpa minum dan tanpa lauk sama sekali. Hahahahaha! Ayo, habiskan Hanuman!
Hanuman melihat lelaki berkancut dan berambut gimbal itu duduk di batu-batu besar bekas pecahan meteor yang terdapat di sepanjang pantai. Melihat caranya tertawa yang mengejek hati Hanuman menjadi panas. Nasi itu ditelan Hanuman bersama mangkuknya.
Ajaib. Orang sadhu itu tiba-tiba menghilang, hanya meninggalkan suara tawa. Terdengar gema kata-katanya.
Engkau memang cerdas Hanuman, mulai sekarang engkau tidak hanya bisa terbang. Engkau juga kebal, senjata apa pun tidak bisa melukaimu. Terbangmu cepat seperti kilat, indramu peka, dan tenagamu besar luar biasa. Selamat Hanuman. Pergunakanlah kesaktianmu untuk membela kebenaran.
Tapi apakah kebenaran itu" Bagaimana kita bisa tahu pasti sesuatu itu benar dan tidak benar"
Itulah masalahnya Hanuman, bagaimana kita tahu" Apalagi dengan pasti! Hahahahahahahaha!
Suara tawa itu menggema sebelum akhirnya menghilang dan alam memperdengarkan kembali kesunyian pulau batu. Angin sepoi, desah ombak, dan sisa senja setelah matahari tenggelam. Langit sungguh-sungguh merah dan membara. Hanuman tiba-tiba melayang setengah meter di atas tanah. Ia heran sendiri, merasa tubuhnya bisa mengambang dan bergerak seperti diinginkannya.
Mula-mula ia hanya berputar-putar di pulau itu. Lantas me loncatloncat di atas air. Baru kemudian ia mencoba terbang, melesat-lesat tidak keruan. Ka rena belum bisa mengatur tenaga dan kecepatan, kadang-kadang Hanuman terbangnya kebablasan. Sekali waktu ia tiba di Samudra Pasiik, kali lain ia membentur rembulan. Kemampuan pancaindranya pun membuat Hanuman bingung. Ia bisa mendengar gerak kepiting di balik batu, ratap tangis di pondok seseorang entah di mana, maupun desau angin di seberang benua. Ia bisa melihat siluman-siluman di lain dimensi berseliweran dan seolah-olah bertabrakan tumpang tindih dengan dimensi manusia. Semua perubahan ini membingungkannya, sehingga Hanuman menjadi pusing kepala. Segalanya menjadi baru dengan mendadak dan tak terduga. Diputarinya bumi tujuh kali dan kembali lagi ke pulau batu itu. Kembali termangu-mangu. Dipayungi langit senja, ia mencoba menenangkan diri. Dari sinilah semua itu bermula, pikirnya.
tampak bersama-sama. Hari telah menjadi malam ketika Hanuman merasa mendapatkan kunci-kunci cara memandang dunia yang sepintas lalu ruwet itu, sehingga dunia bagi Hanuman menjadi jelas sekali.
Dalam kisah ini, Hanuman tak pernah tahu bahwa orang sadhu itu ternyata Batara Indra, ayah Dewi Indradi, jadi merupakan kakek buyut Hanuman, meskipun ayah Batara Indra, yakni Batara Guru, adalah juga ayah Hanuman. Hmmm. Ruwet bukan"
Pembaca yang Budiman, kini kita kembali kepada alur se mula, bahwa Hanuman mendapat pelajaran terbangnya dari Ba tara Bayu. Mohon maklum dengan sisipan ini.
Demikianlah, Dewa Angin itu mengajarinya mengenal sifat-sifat angin, yang bisa lembut sepoi-sepoi maupun ganas membadai.
Berjalanlah bersama angin, hayati suhu udara, atur napasmu, lantas meleburlah bersama angin itu, maka engkau akan mampu terbang ke mana-mana. Engkau akan berada bersama layar perahu cadik yang mengembara dari Madura ke Madagaskar, engkau akan bertiup lembut menggo yangkan daun dan engkau akan menjadi begitu mengerikan ketika berputar seperti gasing menerbangkan rumah-rumah ke angkasa atau mengangkat ombak lautan setinggi gunung sebelum akhirnya menghempaskannya kembali ke pantai. Jagalah dirimu, jagalah terbangmu, menjadi angin, bersama angin, berjalan bersama angin, dan juga terbang tanpa angin di udara hampa dengan gravitasi berbeda. Dengan atau tanpa angin, inti terbang adalah sama, memanfaatkan peredaran semesta, sehingga engkau harus pula mempelajari sifat per edaran dan dimensi-dimensi ruang waktu semesta itu.
Mempelajari angin ternyata berarti mempelajari segala-galanya. Apa pun yang digerakkan dan menggerakkan angin harus dipelajari oleh Ha numan, membuatnya suntuk mendalami berbagai pengetahuan, dari ilmu pasti sampai puisi. Meskipun jas maninya wanara, Hanuman tumbuh sebagai makhluk yang beradab luar biasa, bahkan para dewa tak bisa mengunggulinya. Ia terlihat sering berdebat dengan Narada, dan dewa yang pan dai berdebat itu bisa dipojokkannya; ia belajar meditasi dari Batara Mahadewa, dan dewa mulia itu mengakui keteguhannya; ia mempelajari strategi pertempuran di darat dan di laut dari Batara Brahma, dan dewa itu menyatakan ia layak menjadi panglima; ia belajar main catur dari para bidadari, sampai mereka semua tidak pernah menang lagi.
Hanuman juga sangat rajin mengunjungi Sanghyang Sakra, dewa penyimpan surat-surat pusaka. Di sana ia pelajari segala hal yang mungkin ada di dunia.
Huaahhh, aku tidak mungkin mengetahui segalanya! Teriaknya suatu ketika.
Di depan para bidadari, Hanuman membacakan sebuah teks yang disukainya.
Segala sesuatu di dunia, bagai tempayan berisi air
Tuhan laksana matahari di langit Dipandang dari bawah kelihatan tunggal Bayangkan dibuat seribu tempayan Untuk mencerminkan cahaya-Nya Bayangkan jumlah tempayan seratus ribu
Atau bahkan sejuta Tentu semua memantulkan cahaya-Nya Pandanglah air di dalam tempayan-tempayan
Semua air di dalam tempayan Bersama-sama dengan cara yang sama
Memuat gambaran matahari Demikianlah Tuhan di dalam hati semua orang
Tiada suatu kekurangan Hati semua orang berisikan Tuhan Ini sebuah perumpamaan 16
Demikianlah Batara Bayu mengajarkan, bahwa belajar ter bang berarti belajar mengatasi segala pengetahuan, menuju pencerahan. <"
16 Sebagian dari Realisasi Ilahi mengenai Tujuan Sejati dalam Jnana siddhanta, dengan polesan. Soebadio, ibid., hlm. 97.
Labirin Durjana alengka api Benggala itu, dengan bunyi genta di lehernya yang kluntang-kluntung masih berjalan menghela pedati yang kerai di kanan kirinya dicat warna-warni. Pedati itu tiba di sebuah jalan panjang bagai tiada ber ujung, yang di kanan kirinya padang alang-alang memutih. Satya dan Maneka duduk menghadap ke belakang dengan kaki berjuntai-juntai. Udara cerah. Langit biru. Satya membuka peta yang baru saja dibelinya di sebuah toko kitab di salah satu kota yang mereka lewati. Kota itu, Gorakh pur, adalah salah satu kota di dekat perbatasan Nepal yang luput dari penjarahan balatentara Ayodya. Pedati itu selama berbulan-bulan telah menempuh perjalanan panjang menyu suri tepi Sungai Gangga yang datar, menjauhi Delhi yang banyak banditnya, dan mencari jalan ke Dataran Indus.
peradaban dan mendekati alam. Apalagi peradaban yang tersisa setelah bencana penjarahan dan pembakaran dalam Persembahan Kuda ibarat kata tinggal peradaban liar para bandit sahaja.
Mereka belum bisa menduga, apa yang akan terjadi di se la tan, di sebelah mana Kendalisada, dan apakah mereka akan bi sa menemukan tempat-tempat rahasia di mana Kitab Omong Kosong yang berisi kunci-kunci ilmu pengetahuan disimpan oleh Hanuman. Mereka masih menghadap ke belakang, kaki mereka berjuntai-juntai dan Maneka masih ingin mendengar riwayat Sang Wanara Agung.
Jadi siapakah Trijata itu, Satya"
Trijata adalah istri Hanuman, dan dia sama sekali tidak bersalah. Bagaimana ceritanya"
Begini Maneka, kita sudah berjalan berbulan-bulan tanpa berhenti, bagaimana kalau kita berhenti di desa di balik lembah itu, beristirahat dan menginap di sana, lantas mencari tukang cerita" Kita bisa memintanya berkisah tentang Hanuman dan Trijata.
Terserah kepadamu, Satya.
Begitulah mereka tiba di desa persinggahan itu. Banyak pengembara yang singgah di sana untuk beristirahat. Orang-orang Pashtun warga Dinasti Lodi, pengembara Tubo, dan pedagang permadani keliling dari Kashyapapura terlihat di sebuah kedai. Ada yang sekadar makan, minum, dan bercakap-cakap. Ada pula yang mengadu otaknya dengan bermain catur.
Satya dan Maneka yang telah melakukan perjalanan berbu lan-bulan segera menyewa kamar, mandi di anak sungai yang jer nih, dan tertidur. Mereka bangun di sore hari, minum teh, dan menanyakan apakah ada tukang cerita di daerah itu.
Tuan mencari tukang cerita" ujar pemilik penginapan, sayang sekali Tuan, beberapa hari yang lalu ada seorang tukang cerita yang bagus sekali, tetapi kini dia sudah pergi.
Siapa namanya" Saya lupa namanya Tuan, tetapi dia menceritakan Rama yana. Kami semua tidak pernah tidur mendengarkannya.
matahari terbenam, sedangkan mereka telah meninggalkan arah itu dan menuju ke selatan"
Seperti apa orangnya"
Seperti pengembara biasa saja Tuan, bajunya dari kain katun, mengena kan terompah, membawa tongkat kayu di bahunya dan di tongkat itu terikat buntalan.
Setiap orang yang melakukan perjalanan biasanya membawa tongkat dan buntalan, jadi bisa saja bukan Walmiki tapi bahwa dia membawakan Ra mayana"
Maneka bertanya. Apakah tidak ada tukang cerita lain"
Oh, tukang cerita di desa kami mati terbunuh oleh bandit-bandit gurun pasir har dalam perjalanan ke Rajashtan, se karang kami hanya me nunggu tukang-tukang cerita yang me ngembara dan singgah di sini.
Mereka melanjutkan minum teh, memesan roti dengan saus kari. Maneka berkata lagi.
Satya, kalau tidak ada tukang cerita, kamulah yang harus bercerita kepadaku.
Tapi aku sangat tidak pandai bercerita.
Waktu cerita tentang Lubdhaka aku mendengarkan. Itu tidak berarti cara berceritaku menarik.
Aku tidak peduli dengan caranya, Satya, aku hanya mau tahu apa ceri tanya.
Memang, tapi cerita itu hanya akan sampai dengan suatu cara, dan cara itulah yang akan menjadi ceritanya.
Barangkali kamu benar, tapi setiap cara itu setara.
Eragon 9 Animorphs - 39 Tersembunyi The Hidden Lembah Kodok Perak 3
^