Pencarian

Kitab Omong Kosong 4

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 4


Wah, boleh juga Maneka, tapi apa mungkin aku setara dengan Walmiki"
Walmiki boleh mengesankan banyak orang, tapi tidak ada yang boleh melarang aku terkesan padamu.
Satya terdiam. Apakah Maneka sudah berubah" Ia tidak berani menduganya.
Ayolah, ceritakan kepadaku tentang Trijata. Maka Satya pun bercerita tentang Trijata.
di bawah pohon lamtoro yang rindang di dalam taman Argasoka
Dewi Sinta duduk mengupas mangga kepada Trijata di hadapannya ia berkata, Buah ini kesukaan Rama.
Hanuman akhirnya tiba di Alengka. Ini sebuah kota yang luar biasa. Ka rena penduduknya raksasa, rumahnya tentu besar-besar pula. Bahkan luar biasa besarnya. Meskipun sudah bisa terbang, Hanuman cukup cerdas untuk tidak melayang-layang di atas kota di antara burung-burung camar. Alengka terletak di tepi pantai, merupakan kota dagang yang disinggahi kapal-kapal dari berba gai penjuru dunia. Negeri para raksasa itu tetap ber gaul dengan negeri-negeri lain yang berpenduduk manusia. Penduduk Alengka tingginya rata-rata 20 meter, Rahwana tingginya 30 meter, sedang kan Kumbakarna adalah raksasa di antara para raksasa begitu besar bagaikan tiada terukur. Walmiki memberikan ukurannya dengan cara begini: hanya dengan tiga langkah, bumi ini sudah dikelilinginya. Seluruh ke budayaan material mereka tersesuaikan dengan kenyataan itu. Tetapi karena mereka berhubungan dan membutuhkan manusia juga, kadangkadang secara ilegal untuk dimakan, Alengkadirja menyediakan fasilitas guna menjaga hubungan itu. Pelabuhan untuk kapal-kapal ukuran manusia, me reka sediakan karena membutuhkan barang-barang impor seperti minuman keras, sayur-mayur, dan obat-obatan.
17 Biografi Dewi Sukesi yang mengharukan dan dilematis biasa menjadi lakon wayang kulit Alap-alapan Sukesi atau Serat Sastrajendrahayuningrat; merupakan lakon favorit dalang kondang almarhum Ki Nartosabdo.
mentah-mentah. Berkat bantuan Prabu Somali, ayah Dewi Sukesi yang statusnya adalah ibu Rahwana, dari Paleburgangsa, yakni kerajaan raksasa-raksasa berbudaya, Alengkadirja menjadi lebih beradab, bahkan menjadi salah satu negara adikuasa. Ini salah satu sebab yang membuat manusia se nang berdagang dengan para raksasa, karena mereka nyaris membeli apa saja dan kebutuhan pangannya banyak sekali, sedangkan mereka sangat tidak pandai bercocok tanam. Para raksasa hanya suka berburu dan berperang. Kemudian Rahwana bahkan meminta para panglima Paleburgangsa yang paling berpeng alaman, seperti Prahasta, Jambu Mangli, dan Detya Kampa na, kakak-kakak Dewi Sukesi, bergabung ke Alengka, sehingga negeri itu semakin jaya. 17
Hanuman berkelebat di dalam kota para raksasa. Tembok-tembok kota dan benteng-bentengnya luar biasa tinggi dan menggetarkan. Hanuman tidak pernah mengira betapa pa ra raksasa mampu membangun kota yang dahsyat. Apabila ia menyempatkan diri melesat ke angkasa dan memandang Alengka dari posisi 90 derajat di atasnya, maka terlihatlah suatu mandala tata kota yang mencengangkan. Tepat di pusat terdapatlah istana Alengka dengan menara batu di puncaknya yang menjulang 1.000 meter dan disebut Jarum Langit. Me nara itu dirancang oleh Sarpakenaka, perempuan raksasa yang poliandris, serta di tancapkan sendiri oleh Kumbakarna sebelum tidur kembali dan hanya akan terbangun setiap satu semester. Tembok-tembok melingkari istana secara berlapis-lapis dalam bentuk bujur sangkar dan jarak antarlapis itu mencapai 10 kilometer, sedangkan lapisan itu mencapai tidak kurang dari 88 lapis, sehingga bisa dibayangkanlah betapa luas dan bagaimana bentuknya tata kota Alengka itu. Setiap lapisnya bagaikan menjadi sebuah kota tersendiri yang melingkari kota lain, dengan kompleks istana seluas 1.000 hektar di tengah-tengahnya, yang terletak 1.000 meter di atas permuka an laut. Lapis-lapis kota itu menurun dari dataran tinggi ke dataran rendah dan berakhir di tepi laut. Sepanjang kota dipenuhi dengan kanal-kanal melingkar maupun selokan menurun yang mengalirkan air dari sumber di gunung.
Istana Alengka sendiri mencoba meniru Jonggring Salaka yang pernah dikunjungi Rahwana, tetapi jika istana para dewa itu berkilat-kilat bagai kris tal maka istana Rahwana ini kelam menghitam karena batu alam berlumut men julang bagaikan stupa raksasa dengan tembok bermeriam melingkarinya. Di te ngah kompleks itulah terpacak Jarum Langit yang terkenal di se antero dunia. Pe rancang tata kota ini adalah Prahasta, tangan kanan Rahwana yang merupakan pemerintah Alengka sesungguhnya. Dengan labirin tembok raksasa seperti itu, mata-mata musuh yang mana pun tak akan menemukan apa yang dicarinya. Seluruh lekuk dan sudutnya persis sama, tanpa tanda dan ciri-ciri untuk membedakannya, bahkan rakyat Alengka sendiri tidak mengenal peta kotanya sendiri dengan utuh. Peta-peta yang di sediakan serba menipu dan membingungkan, sehingga setiap orang harus mencari seorang penunjuk jalan, dan para pemandu ini pun pengetahuan nya terbatas sama sekali. Penge tahuan yang lengkap tentang Alengka hanya diketahui Prahasta seorang. Di negeri para raksasa dengan tiga fraksi berbeda, demikian pikir Prahasta, itulah satu-satunya cara menyimpan rahasia. Sistem kontraintelijen Prahasta ini kelak akan dibakukan dengan istilah Labirin Durjana. Segala yang tertulis ini belum semuanya. Hanuman pun tahu, bahwa pengamatan dari angkasa juga sudah diperhitungkan oleh Prahasta.
Di tempat asing seperti ini, bagaimana caranya mencari Dewi Sinta" Se tiap kali ia mengira melihat istana, ternyata cuma rumah punggawa biasa. Hanuman hanya akrab dengan Jonggring Salaka dan Goa Kiskenda, kota para raksasa sangatlah berbeda, ia sempat menjadi bingung dibuatnya.
Saat itu dilihatnya iring-iringan yang membawa sajen di atas kepala. Hanuman mengenalinya sebagai sajen feminin, yakni sajen yang berkaitan dengan urusan-urusan perempuan, seperti doa agar tetap cantik, agar te tap subur, dan air susu ibunya sehat. Mengingat sajen itu dibawakan se rombongan perempuan yang kainnya seragam, Hanuman percaya sajen itu bukan sembarang sajen, melainkan berhubungan dengan sebuah kelas tertentu. Mengingat prada pada kain mereka yang gemerlapan, mungkin saja mereka adalah dayang-dayang istana, dan bukan tak mungkin bahkan merupakan persembahan Rahwana kepada Dewi Sinta dalam rangka merayunya. Setidaknya, prosesi lima puluh perempuan raksasa itu bisa membawanya masuk ke kompleks istana.
Ia merapal mantra dan menggoyang tubuhnya, lantas berubah menjadi monyet terkecil di dunia. Diikutinya prosesi yang membuat penduduk kota menepi, sampai gerbang kompleks istana terbuka menyambutnya. Penjagaan istana Alengka memang sangat ketat, karena Rahwana selalu merasa setiap makhluk membencinya, tetapi Hanuman melesat di antara kaki-kaki para raksasa dengan kecepatan angin. Bagaimanakah raksasa setinggi 20 meter bisa melihatnya"
Prosesi itu tidak memasuki istana, tetapi berbelok menuju keputren yang dibangun khusus untuk Dewi Sinta. Lagi-lagi pintu gerbangnya di jaga dengan ketat. Melalui pohon-pohon mangga raksasa yang lebat, tapi buahnya tetap seukuran biasa, dengan cepat sekali Hanuman sudah berada di dalam dari atas genting. Ia berlindung di balik dedaunan dan mengawasi. Rupa-rupanya di dalam masih banyak pintu dan setiap pintu dijaga dua pengawal yang mata nya begitu tajam sehingga nyamuk pun bisa dirontokkan oleh sorot matanya. Prosesi berhenti di depan pura, meletakkan sajennya di sana, dan kembali ke luar. Hanuman belum tahu di mana tempat Dewi Sinta.
Malam turun. Segalanya menggelap. Hanuman tidur di atas pohon. Ketika bangun lagi, sekitar pukul 06.00 pagi. Dilihat nya para penjaga di pintu tertidur. Seorang perempuan tampak melewati penjaga-penjaga itu, yang tidak terbangun sama sekali. Agaknya para penjaga itu waspada ketika hari gelap, tapi merasa saat hari terang keadaan sudah pasti aman. Perempuan itu berjalan melenggang, ia seorang manusia biasa. Apakah ia berhubungan dengan Dewi Sinta" Hanuman mendapat akal. Ia turun dari po hon, mendahului perempuan itu, seperti mencegatnya. Ketika perempuan itu melihatnya, ia menandak-nandak, seperti adegan-adegan topeng monyet. Perempuan itu tertawa.
Ah! Lucu! Dewi Sinta tentu senang mendapat hiburan seperti ini. Hanuman sebagai monyet kecil memeragakan adegan orang berangkat sekolah membawa buku, adegan orang menari, adegan orang mencangkul, ade gan orang berenang, dan akhirnya berjalan dengan tangan di bawah dan kaki di atas.
Monyet lucu! Ayo sini ikut aku!
nya berbagai lorong di dalam keputren. Setiap kali ada penjaga bertanya, perempuan itu berkata, Ini monyet milik Dewi Sinta, jangan coba-coba mengganggunya.
Dan monyet kecil menyeringai kepada penjaga-penjaga itu. Maka tibalah Hanuman di hadapan orang yang dicarinya. Sepagi itu, Dewi Sinta sudah tampak cemerlang dan bercahaya, tetapi wajahnya muram sekali. Hanuman datang dari suatu tempat di mana berkumpul para bidadari, namun diakuinya betapa Dewi Sinta adalah makhluk tercantik yang pernah dilihatnya. Ia duduk bersimpuh di tepi kolam yang bunga teratainya sedang merekah. Cahaya matahari menyapa permukaan air, ikan koi be renang-renang di dalamnya.
Sang Dewi, lihatlah apa yang saya bawa.
Sinta, anak Janaka, istri Rama yang diculik Rahwana itu me noleh. Hanuman belum pernah melihat wajah sesuram ini. Daun-daun bagaikan ikut layu karena kesedihannya. Seandainya ia tidak pernah terkecoh oleh Kala Marica, pikirnya, seandainya ia tidak usah peduli kepada kijang kencana terindah di dunia, barangkali ia sudah berada di sebuah pesanggrahan yang sejuk di tengah hutan, tenteram dalam keteduhan alam, dengan kericik suara air dari gunung yang menenangkan pikiran.
Perempuan yang diculik itu berdiri. Hanuman menatapnya. Tingginya tak sampai 170 sentimeter. Apakah yang berada dalam pikiran Rahwana yang tingginya 30 meter itu ketika ingin memperistrinya" Benarkah cinta bisa me ngaburkan kenyataan seperti itu" Hanuman teringat kata-kata ibunya, betapa semakin dipikirkan, dunia ini semakin penuh dengan keajaiban. <"
Cincin emas 22 Karat i depan Dewi Sinta, sebagai monyet kecil, Hanuman menandak-nandak. Ia bermain pantomim, ia menari, ia berakrobat, berjalan de ngan tangan dan kepala di bawah. Dewi Sinta tadinya murung, tapi kemudian menutupi mulutnya untuk menahan tawa, akhirnya tak tahan lagi putri jelita itu tertawa terbahak-bahak. Trijata, dari mana kamu dapatkan monyet ini, dia lucu sekali! Hanuman ingin kembali kepada wujud aslinya, tetapi ia tidak tahu apakah itu tidak akan mengejutkan keduanya. Ia tak ingin mereka lari ketakutan dan menimbulkan kegemparan. Maka Hanuman pun melompat ke atas pohon, bergelantungan dengan kakinya di atas pohon, dengan kepala terbalik melisankan teks Teladan Delapan Dewa, yang mengisahkan nasihat-nasihat Rama kepada Bharata, adiknya, tentang bagaimana caranya memimpin negara selama ia pergi berkelana.
Delapan Brata, teladan Delapan Dewa
genap delapan jumlahnya jangan kurang, jangan cacat, demi negara Indra yang pertama, disusul Surya kemudian Bayu, lantas Kuwera Baruna, Yama, Candra, Brama Teladan Delapan Dewa
Indra, parfum dunia penghambur derma dan dana rata ke seluruh semesta adil tiada membeda walau sanak saudara jika jadi penjahat
pasti bunuhlah dia Surya yang menyejukkan sabar tidak semaunya tabah tanpa amarah diam penuh kehalusan tanpa sakit tanpa terasa tapi tercapai tujuan
Bayu mengawasi semesta kehendak alam memutar buana tanpa batas tanpa tanda menemukan hasrat alam mengenali gerak-gerik kawula
itulah pesannya mengetahui isi hati kawula
Kuwera penjaga gudang sandang pangan jasmani dunia
mengatur haluan negara tak pernah lupa dan percaya diberikannya semua asal sungguh setia
tanpa pamrih dan tanpa batas
Baruna selalu bersenjata siang malam menjaga negara ilmu pengetahuan jadi pedoman
agar mengungguli jagad siapa pun tak jujur teratasi siapa buruk siapa baik segera ditanggulangi
Yama, pencabut nyawa ke mana laknat pergi ke sana ia mencari buru, usut, lacak sampai porak-poranda musnahkan sampah negara
Candra pengampun damai dan tertawa senyuman warna negara enak semua perintahnya kesayangan para pendeta
Brahma penghancur bergairah hadapi musuh mengerti para prajurit musnahlah para penyerang
luluh dan lantak tundukkan dengan hatimu 18
Dewi Sinta terperangah. Ini pasti bukan sembarang monyet. Trijata pun memikirkan hal yang sama.
Hai monyet, turunlah, katanya, tunjukkan siapa dirimu. Hanuman melompat turun. Menggoyang tubuhnya dan di hadapan Dewi Sinta menjelma sesosok wanara putih yang ce merlang penuh cahaya keagungan dan menundukkan.
18 Dipoles dan dibolak-balik dari Asta Brata (Delapan Ke wajib an Ne ga ra wan) dalam Serat Rama karya Kiai Yasadipura (Se marang, 1919), melalui Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Ne ga ra di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Ter je mahan Ya yas an Obor Indonesia (Ja kar ta, 1985).
Saya adalah Hanuman, wahai Sang Dewi, datang dari Pancawati, utusan Rama untuk mengetahui keadaan Sang Dewi.
Wanara putih setinggi manusia yang berbelit kain kotak-kotak hitam putih, tanda mewarisi kesaktian Bayu, itu mengulurkan tangannya, memberikan sebuah cincin kepada Dewi Sinta.
Cincin itu sederhana saja, emas 22 karat tanpa ukiran. Hanya melingkar saja. Namun Dewi Sinta tahu maknanya. Ia segera me masang cincin itu di jari manisnya.
Lihatlah Hanuman, ujarnya, sambil memperlihatkan jari-jarinya yang lentik, masih bisa kupakai, ini artinya aku ma sih suci dan setia.
Hanuman menatap Dewi Sinta, perempuan itu memiliki semua keanggunan yang membuat siapa pun tak berani menjamahnya. Rahwana telah menculiknya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dari tubuhnya bagaikan terpancar suatu aura, yang memancar dan menundukkan, cemerlang berkilatan. Hanuman segera paham, bahwa Sang Dewi adalah titisan Laksmi, pasangan Wisnu penjaga dunia, bagaimanakah tidak akan berwibawa" Terdengar suara Trijata yang mengejutkan.
Apakah yang dilakukan Sri Rama, Hanuman" Menguji kesetiaan seorang perempuan" Dia itu percaya kepada istrinya atau tidak" Aku Trijata, anak Wibi sana, menjadi saksi atas kemuliaannya. Tapi cincin pengujian itu Hanuman, hanyalah suatu penghinaan. Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin perilaku semacam itu datang dari seorang Rama. Dia itu mencintai istrinya atau tidak" Apakah kalau Rahwana pernah menjamahnya dalam kekuasaan nya yang tak terbatas itu berarti Dewi Sinta tak suci lagi dan Rama boleh meninggalkannya" Katakan kepada Rama itu, wahai utusan, sebagai perempuan Trijata merasa tersinggung.
Wanara putih itu terpana, Sinta memang anggun dan indah tiada ta ra, tetapi Trijata yang meledak-ledak lebih memikatnya. Kebesaran selalu me nge sankan, itulah yang diketahui Hanuman sebagai anak dewa, tetapi kemanusiaan yang bertaburan di bumi telah mengharukannya. Bagi Ha numan, kehancuran hati dan de rita yang tidak dirasakan para dewa membuat manusia lebih berharga.
Sudahlah Trijata, tidak dengan segera laki-laki bisa berubah, mereka telah terbiasa menguasai dunia, dan ingin pula menguasai cinta. Mereka tidak pernah belajar betapa mencintai itu bukanlah soal bagaimana me-
nguasai. Katakanlah kepada Rama, wahai Hanuman sang utusan, katakan apa yang terjadi dengan cincin ini, dan kukatakan kepadamu wahai wanara yang perkasa, cintaku kepada Rama tidak pernah berkurang.
Hanuman mengangguk. Betapapun terpisah oleh lautan, hati mereka yang saling mencintai sebetulnya bertautan. Perpisah an membuat pemahaman lebih sulit, namun cinta semakin matang jika jarak berhasil diatasi. Apakah yang berada di kepala Rama ketika memikirkan istrinya" Apakah yang berada dalam kepala Sinta selama berada di Alengka" Setiap orang hanya bisa menafsirkannya.
Trijata memandang Hanuman.
Apakah engkau akan langsung pulang" Tidak, aku ingin berkenalan dengan Rahwana. Hati-hatilah Hanuman, engkau berada di sarang durjana. Tenanglah Trijata, aku hanya ingin memberikan salam per kenalan. Lantas membubunglah Hanuman ke angkasa, dan turun kem bali di ke bun buah Rahwana yang berada di luar Taman Ar gasoka. Ia mengambil buah-buah mangga yang diberkati dewa, dan hanya boleh dimakan oleh Dewi Sinta. Pohon itu digoyang nya sehingga seluruh buahnya rontok ke tanah. Para pengawal istana terkejut dan berdatangan mengepung. Duratmaka, siapa kamu, berani mengacau di Alengka" Siapa yang duratmaka" Rahwana rajamu itulah yang durat maka! Hanuman melempari mereka dengan buah-buah mangga. Para raksasa yang rata-rata tingginya 20 meter kebingungan de ngan gerakan Hanuman yang gesit dan cepat. Buah-buah mangga itu menimpa mata mereka, masuk ke lubang hidung mereka, atau masuk ke mulut mereka yang selalu menganga. Para raksasa serabutan, sering terjatuh tanpa tahu sebabnya, lantas menjerit-jerit seperti kesetrum karena ulah Hanuman yang melesat-lesat seperti kilat tanpa tahu sebabnya. Hanuman menjungkirbalikkan mereka, memelorotkan kain mereka, mengudal-udal rambutnya, dan berjingkrak-jingkrak di atas atap dan tertawa.
Hahahahahaha! Para raksasa! Bertubuh besar dan mau ber kuasa! Tapi kosong kepalanya! Hahahahaha!
Seorang punggawa yang kesaktiannya di atas rata-rata datang dan tan pa banyak cakap menerkam Hanuman, tetapi Hanuman menghindar dan melompat ke punggungnya, lantas melumpuhkannya. Raksasa itu
jatuh berdebum. Debu mengepul ke udara, namun tiba-tiba ... srrrttt! Seutas panah rantai membelit tubuh Hanuman. Ia terguling ke tanah dan tidak bisa bergerak.
Dari balik debu muncul raksasa kecil dengan busana ksatria. Tingginya hanya 10 meter.
Siapa dia yang berani-beraninya mengacau di Alengka" Hanuman melihat wajah yang sangat dingin dan kejam. Ayo ringkus dia! Bawa ke hadapan Ayahanda!
Mendengar kata-katanya, Hanuman tahu itulah Indrajit. Put ra Rahwana dari Dewi Tari, putri Batara Indra. Seperti setiap ke turunan dewa, Indrajit juga mempunyai kesaktian dewa. Rambutnya yang panjang diikat oleh bandana berpaku-paku, sehingga ia bisa membunuh lawan dengan menanduknya. Bu sana Indrajit seperti hanya disiapkan untuk pertempuran. Senjata pusaka aneka ragam disandangnya.
Para raksasa mengambil Hanuman, tetapi meski tangannya terikat, mudah saja ia bersalto dan berpusing seperti gasing menendang-nendang mereka.
Jangan coba-coba menyentuh selembar pun dari buluku, wahai raksasa-raksasa maksiat. Ayo iringkan aku menuju rajamu.
Lantas Hanuman berjalan dan mereka mengiringinya, se perti para rahib mengikuti pendeta kepala. Berita kerusuhan yang baru pertama ka li terjadi, karena rakyat Alengka tidak pernah melakukan apa pun yang kiranya tidak berkenan bagi Rahwana, segera tersebar ke segala penjuru. Mereka berkumpul ke tepi jalan menyaksikan arak-arakan Hanuman bagaikan menonton pa wai. Hanuman mendongak, makhluk 180 sentimeter di antara lautan raksasa-raksasa 20 meter. Namun melihat para pengawal di belakangnya yang terpincang-pincang, terseret-seret, dan biru lebam, kaum yang selalu berperang itu mengerti betapa wanara putih ini bukan makhluk sembarangan.
Para raksasa sudah mendengar kasus penculikan Dewi Sin ta. Mereka telah mendengar bahwa di seberang lautan telah berkumpul semiliar wanara dari Goa Kiskenda yang dipimpin Sugriwa, siap membantu Rama dan Laksmana untuk membebas kan Sinta. Tentu saja para raksasa ini tidak takut sama sekali. Da lam 700 tahun pemerintahan Rahwana, memang Rahwana per nah dikalahkan tiga kali. Pertama kali oleh Danapati, tapi
ke mudian berhasil ditipu dan dibunuhnya setelah menyerahkan ajian Rawarontek; kedua kali oleh Subali, yang juga ditipunya untuk mendapat ajian Pancasona; lantas oleh Arjunasa srabahu, yang berhasil mengecilkan tubuh Rahwana, dan mengikatnya di roda kereta sehingga berputar-putar sepanjang perjalanan. Namun yang terakhir ini, meskipun titisan Batara Wisnu, sekarang sudah mati. Sedangkan jika Batara Wisnu menitis kembali, Rahwana tidak akan mati karena ia langsung bertapa dengan berdiri di atas satu kaki semenjak detik pertama kelahirannya, sehingga permin taannya untuk berumur panjang dipenuhi Sanghyang Pramesti.
Sikap rakyat Alengka terhadap penculikan itu sebenarnya tidak sama. Dalam rapat senat Alengkadirja, fraksi Paleburgangsa meminta Sinta dikembalikan, tetapi kalah suara dengan koalisi fraksi Lokapala dan fraksi hutan Kandawa. Fraksi Paleburgangsa menganut falsafah Prabu Somali, bahwa kedudukan setiap makh luk dalam semesta ini setara. Sehingga jika raksasa-raksasa dikenal sebagai pemakan daging, termasuk daging manusia, maka para rak sasa Paleburgangsa adalah kaum vegetarian, mereka ti dak mem bunuh makhluk hidup lain yang seharusnya bisa berbahagia jika tidak dimakan. Namun penduduk Alengka pada dasarnya mafhum, jika pun suara senat bulat meminta Sinta dikembalikan, Rahwana tidak akan menurutinya bahkan belum tentu se nat berani menyampaikan nya. Sudah lama mereka hidup dengan pe mikiran terpola. Teror terencana yang dilakukan Rahwana da lam 100 tahun pertama pemerintahannya, ber hasil mencetak pikiran-pikiran terpola untuk 600 tahun berikutnya, menghasilkan generasi-generasi raksasa bodoh dan dungu yang hanya tahu berperang.
Mereka melihat Hanuman terikat panah Nagarante yang dilepaskan Indrajit.
Ee! Monyet putih dari mana"
Itu monyet pengacau di Taman Argasoka. Sampai perlu Indrajit untuk menangkapnya" Ternyata dia anak buah Sugriwa.
Sugriwa sekarang membantu Rama.
Semenjak kasus penipuan Subali, posisi Goa Kiskenda selalu berkonfrontasi dengan Alengka. Kasus penculikan Sinta hanyalah suatu peletup untuk menyalurkan dendam lama. Rahayat aneka makhluk dari Goa
Kiskenda, sejak berada di bawah pemerintahan Lembusora dan Maesasura, telah menggenggam tradisi keprajuritan yang tinggi. Seperti balatentara Alengka, balatentara Goa Kiskenda juga pernah menyerbu kahyangan, ketika dua bandit berkepala banteng dan macan itu menghendaki Dewi Tara, bahkan berhasil merampas nya. Kemudian mereka mengabdi Subali, yang berhasil membunuh pimpinan mereka, dan mendalami se gala ajarannya. Subali yang selalu bertapa tergantung seperti kelelawar, memberikan kuliah-kuliahnya dengan bergantung se perti itu juga. Kelak Pembaca yang Budiman akan mengikuti konlik Subali dengan Sugriwa, tetapi kali ini harus disampaikan bagaimana konfrontasi antara Goa Kiskenda dan Alengka berlangsung di muka bumi.
Kapal-kapal yang menuju Alengka diboikot, sehingga tidak bisa meneruskan perjalanan; para raksasa yang berburu di hutan sering disergap, sehingga tidak kembali; binatang-binatang buruan diperintahkan menyingkir, sehingga para raksasa terpaksa beternak atau makan sayur-sayuran, sedangkan dalam hal itu, kecuali bagi yang berasal dari Paleburgangsa, mereka sangat tidak ahli. Sedikit banyak hal itu memengaruhi kehidupan Alengka. Ternyata negeri yang sangat kuat balatentaranya itu bisa digoyang tanpa pertempuran. Para raksasa sering gagal dalam usaha peternakannya, karena keburu memakannya mentah-mentah sebelum berkembang biak; dan jika mengandalkan sayur-sayuran saja, tu buh mereka menjadi lemas karena tidak terbiasa; pun untuk ke butuhan pangan yang luar biasa mereka harus mengimpor ber juta-juta ton sayuran tiap hari dari anak benua, tetapi pasukan Goa Kiskenda sering mencegat dan merampasnya.
Alengka yang pemberang tentu tidak tinggal diam. Beberapa kali terjadi burung-burung raksasa pemakan daging Alengka di kirim untuk menyambar monyet-monyet yang sedang le ngah, monyet-monyet biasa yang bukan prajurit Goa Kiskenda. Monyet-monyet ini digondol dengan paruh yang bergigi tajam ke angkasa, sampai jauh masih terdengar jeritannya yang memilukan. Para panglima Goa Kiskenda kemudian berhasil menjebak burung-burung itu, menaburi mereka dengan hama penyakit yang mematikan, dan memulangkannya, sehingga burung-burung pemakan daging ini punah tak bersisa lagi. Ini membuat dendam para raksasa lebih menyala. Mereka kirimkan mata-mata siluman yang tak kelihatan, untuk membuat kekacauan di Goa Kiskenda, namun siluman yang mestinya ti-
dak kelihatan ini terjaring oleh mantra-mantra Sugriwa, sehingga bentuk mereka sebagai setan duruwiksa mendadak kelihatan di siang hari bolong. Raungan mereka yang diterkam berjuta-juta monyet ini terdengar sampai Alengka kini mereka melihat Hanuman, wanara berbulu putih yang menjadi sekutu Rama dan Sugriwa. Tidakkah ini saat yang tepat untuk melampiaskan dendam"
Para raksasa setinggi 20 meter berdiri di tepi jalan melihat wanara setinggi 180 sentimeter diikuti para pengawal yang berjalan terseok-seok. Kenapa tidak dibunuh sekarang saja monyet itu"
Dia akan dihadapkan kepada Rahwana.
Di hadapan Rahwana, ketika semua orang menyembah dan bersujud tak berani mendongakkan muka, Hanuman memandang raja raksasa yang ting ginya 30 meter itu dengan tajam. Ia berdiri dengan tubuh terikat, tetapi pandangan matanya membuat Rahwana berkeringat dingin.
Untuk mengatasi ketakutannya, Rahwana melemparkan se buah pot bunga.
Kenapa kamu tidak bersujud, monyet"
Pot bunga itu hancur ketika mengenai kepala Hanuman, pot bunga se besar itu menjadi begitu rapuh, ambyar ke udara, me nabrak langit-langit, se hingga hancurlah segala perhiasan kristal yang serba gemerlapan dan serba mahal, hasil penjarahan dari istana negeri-negeri yang ditundukkannya.
Ketika Rahwana melihat ke arah Hanuman, terjadilah su atu keajaiban. Hanuman telah menurunkan ekornya ke lantai, me luruskannya seperti tiang yang berdiri di atas lantai, sehingga tubuhnya terangkat. Kemudian, ekor yang tegak seperti tongkat di lantai itu, ternyata mampu menyangga tubuh Ha numan yang meluncur ke atas didorong oleh ekornya, sehingga ia sejajar de ngan Rahwana. Ekor itu bisa mulur begitu panjang, sehingga Hanuman yang tangannya masih terikat berada tepat di depan wajah Rahwana.
Karena hal ini dilakukan ketika semua raksasa tertunduk, jelas pembangkangan Hanuman merupakan suatu penghinaan.
Monyet kurang ajar! Bakar dia hidup-hidup! <"
hanuman membakar alengka api yang menjilati langit, o ... seribu bintang menjadi muram asap membubung di layung senja selendang siapa melayang-layang tahanlah air matamu putri kelak Hanuman akan kembali, o!
ndrajit sendiri mengiringkan Hanuman ke alun-alun. Di seluruh permukaan bumi, tiada yang lebih luas daripada alun-alun negeri Alengka. Di tepi alun-alun para raksasa ber kumpul, ingin menyaksikan pembakaran seorang pengacau. Mereka sudah terbiasa dengan segala macam perilaku kejam, namun tidak biasanya kekejaman menjadi upacara kenegaraan seperti ini.
Bakarlah monyet putih ini hidup-hidup, biar Rama manusia kecil itu tahu, bahwa peraturannya tidak berlaku untuk kita! Apakah dia tidak tahu aku adalah hukum itu sendiri" Akulah hukum! Akulah dunia! Akulah segalanya! Mampuslah siapa saja yang menentangku! Huahahahahahahaha!
Suara Rahwana dipantulkan langit, dan bergema ke seluruh pelosok Alengka, bahkan dibawa angin menyeberangi laut, dan sampai ke telinga Ra ma. Namun titisan Wisnu itu tetap tenang di antara semiliar wanara yang me nunggu perintahnya.
Para raksasa mendekati Hanuman yang terikat kuat di tiang, dan mencaci makinya.
Monyet bule! Kamu akan mati terpanggang, kulitmu me ngelupas, dan tubuhmu hitam kaku seperti arang!
Engkau akan menjerit-jerit seperti monyet hutan yang di terkam macan! Mampuslah engkau, anak buah Sugriwa!
Bagaimana caranya monyet-monyet akan mengalahkan para raksasa" Kami akan membakar kalian semua, dan kalian semua akan kami makan!
Hanuman mendongak, menyaksikan kerumunan raksasa yang menenggelamkannya. Ia menyeringai dan mengeluarkan su ara menggeram. Raksasa-raksasa itu terkejut dan mundur. Suara geram Hanuman seperti datang dari belakang tengkuk mereka, dan suara menggeram itu sangat mengerikan.
Kerumunan yang merenggang itu pun kemudian tersibak. Hanuman mengira Indrajit atau punggawa istana akan menda tangi dan siap membakar nya, namun ternyata seseorang yang ti ada pernah disangkanya. De wi Trijata melangkah dengan tegas, cepat, dan berani. Tak seorang pun menghalanginya.
Kulepaskan ikatan itu Hanuman, dan terbanglah pulang. Trijata berada tepat di depan Hanuman. Wanara putih yang hanya per nah mengenal bidadari itu mencium bau manusia, ma nusia perempuan yang sungguh-sungguh membumi. Panca i ndranya yang peka dengan segera mengenali segala hal yang me ruap dari tubuh Trijata. Untuk pertama kalinya Hanuman menghadapi perempuan, manusia perempuan dalam arti yang se be narnya. Ketika diturunkan ke bumi, Hanuman langsung berada di Goa Kis kenda, kerajaan segala makhluk di bumi, kecuali manusia. Kemudian ia mengenal Rama dan Laksmana, lantas Dewi Sinta. Ketiganya titisan dewa, jadi adalah Trijata manusia sejati pertama yang ditemuinya, manusia perempuan dengan mata menyala-nyala. Rambutnya tertiup angin mengenai Hanuman. Ia berdada tegap dan membusung, bibirnya merah delima, dan bahunya terbuka.
Rahwana membunuh ayahku, Hanuman, raja yang bengis itu membunuh Wibisana ayahku, dan membuangnya ke sebuah jurang di Gunung Suwela.
Mata putri itu berkaca-kaca.
Ayahku hanya mengatakan agar kakaknya itu mengembalikan Dewi Sinta.
Hanuman tertegun. Jika Rahwana tega membunuh adiknya sendiri, kekejaman apa pun bisa dilakukannya. Ia bisa membawa terbang Dewi Sinta sekarang, tetapi bukan itu perintah Sri Rama kepadanya. Trijata me langkah maju.
Sekarang kubuka ikatanmu, Hanuman. Hanuman menolaknya.
Tenanglah putri, percayalah padaku, aku akan selamat dan ingin memberi pelajaran Rahwana.
Kamu yakin Hanuman" Engkau di tengah sarang naga. Percayalah Trijata, dan nanti kucari jenazah ayahmu di Gu nung Suwela. Kembalilah, jaga Dewi Sinta.
Trijata membalikkan badan, setelah mata mereka saling ber tatapan. Hanuman memandang langkah Trijata. Kini ia mengerti, ia menyukai lang kah Trijata yang seperti langkah seorang lelaki. Hanuman melihat Trijata lenyap di balik gerbang di luar alun-alun. Dari gerbang itu pula, datang gerobak raksasa membawa kayu bakar yang didorong lima raksasa berkepala gundul. Mereka itu raksasa-raksasa budak, mungkin tawanan dari negeri raksasa lain, hanya mengenakan kancut putih dan kaki mereka terikat rantai.
Kayu itu ditumpuk sampai Hanuman betul-betul tertimbun. Mana obornya" Terdengar teriakan punggawa, dan dibakarlah tumpukan kayu itu. Dalam waktu sekejap, api unggun itu menyala, sementara langit mulai berubah warna, makin lama makin kemerah-merahan. Di alun-alun, api berkobar dahsyat ba gaikan ingin membakar langit, sementara langit senja keme rah-merahan begitu rupa, seperti memang sedang terbakar. Dunia seolah-olah terbakar.
Para raksasa menikmati api itu, seperti biasa mereka menikmatinya dalam pembakaran dan penjarahan atas negeri-negeri yang mereka tundukkan. Monyet putih itu pasti sudah menjadi arang, pikir mereka, mati de ngan mengenaskan. Saat mereka berpikir seperti itu, mereka saksikan betapa seluruh timbunan api unggun itu mendadak terpencar ke segala pen juru, diiringi raung an wanara yang memekakkan telinga. Jeritan Hanuman sungguh dahsyat bukan alang kepalang. Gendang telinga para
raksasa yang berada di alun-alun itu pecah dan telinga mereka menjadi berdarah. Para raksasa itu terguling-guling sambil memegangi te linga, ham pir semuanya langsung menjadi tuli dan menjadi to lol dengan seketika. Mereka yang mendadak tuli panik bukan buatan, berteriak nyaris sama kerasnya, menularkan kepanikan luar biasa yang menjalar ke seluruh kota.
Timbunan kayu menyala yang tersebar itu membakar apa pun yang di timpanya. Jatuh di atap, atap pun terbakar. Jatuh di pa sar, pasar pun terbakar. Jatuh di gedung besar, gedung besar pun terbakar. Jatuh di ge robak, gerobak pun terbakar. Jatuh di pohon, pohon pun terbakar. Ja tuh menimpa tembok, tembok pun terbakar. Jatuh di pantai, pantai pun terbakar. Melayang ke langit, langit pun terbakar. Ibukota Alengka menyala dengan seketika. Hanuman di tengah alun-alun menjerit sambil mengangkat kedua tangannya. Seluruh tubuhnya yang putih bersih kini menyala oleh api yang berkobar-kobar. Ia tidak lagi tampak sebagai wanara putih, karena tubuhnya kini dibalut api. Ia tidak terbakar, ia berbusana api itu sendiri. Hanuman menjadi Wanara Api.
Kepanikan luar biasa mengharu biru Alengka, bukan hanya rumah-rumah sepanjang labirin itu terbakar dan menyala. Para raksasa juga menyala tubuhnya, meraung-raung kesakitan dengan penuh penderitaan. Hanuman terbang membawa sepotong kayu yang menyala, sisa rumah yang belum ter bakar, atau masih akan lama terbakarnya, disulut seperti menyulut sumbu yang mudah terbakar. Alengka betul-betul terbakar, api menari-nari menjilat langit, Hanuman berkelebat ke sana kemari dengan ganas.
Indrajit melepaskan panah-panah sakti untuk menurunkan hujan, tapi Hanuman yang bisa terbang secepat kilat menyambari panah-panah itu dan mematah-matahkannya, meremas-remasnya, menggigitinya, bahkan kadang menelannya, lantas memuntahkan kembali semuanya sebagai api yang membakar mega, kemudian mega-mega seputih kapas yang menyala itu diturun kannya ke atap rumah-rumah Alengka, sehingga bagaikan tiada tempat lagi di Alengka yang tidak menyala. Langit senja kemerah-merahan dihiasi api yang menyala-nyala menjilat-jilat ke udara di seluruh Alengka. Hanuman hanya menyisakan kompleks istana di puncak gunung batu itu, karena menjaga ke amanan Dewi Sinta dan juga Trijata. Ia melayang-layang di antara lidah-lidah api yang menjilati langit. Tubuhnya berbalut api menyala. Sesekali tampak indah, sesekali tampak mengerikan.
Rahwana! Rasakan semua ini, Rahwana! Ini belum sebe rapa! Hanuman berputar-putar di atas Alengka, labirin jalanan de ngan tembok-temboknya menyala-nyala, merah seperti bara, asap hitam bergum palgumpal. Rahwana menciptakan kabut yang basah, tetapi Hanuman segera mem buyarkannya. Prahasta mendongak ke angkasa, melihat wanara putih berkelebat bagaikan cahaya, dan tahu kebakaran ini hanya bisa ditunggu habisnya. Para panglima Alengka yang perkasa tercengang. Belum pernah mereka dipecundangi negeri mana pun di muka bumi, bahkan gabungan 25 negara pun mereka hancurkan sampai tak bersisa, tetapi kini hanya seekor kera telah mengobrak-abrik ibukota mereka.
Nun di kejauhan, di Gunung Gokarna, sang maharaksasa Kumbakarna menggeliat. Matanya melirik api yang tampak menjilat ke udara di kejauhan. Ia bisa meniup api itu supaya menjadi padam seketika, namun ia berpikir untuk mendiamkannya saja.
Biarlah pencuri istri orang itu merasa, pikirnya, meskipun ia tahu hanya akan membangkitkan dendam Rahwana.
Huuuahhhhhhhh! Kumbakarna menguap dan menggetarkan langit, lantas tidur kembali. Hanuman yang terbangnya sempat tergoyang melihat raksasa dahsyat itu.
Jangan sampai kami berhadapan dengan dia, pikirnya. Karena sulit memikirkan caranya menaklukkan raksasa sebesar itu.
Hanuman terbang merendah, menengok sebentar keadaan di sekitar tem pat tinggal Dewi Sinta, lantas mengangkasa ke Gunung Suwela, men cari mayat Wibisana, meninggalkan raksasa-raksasa Alengka dengan kepanikannya.
mayat yang terkapar seperti tidur, o riwayat anak malang yang jujur mengabdi negara tanpa cacat dibunuh raja karena menggugat Wibisana yang tampan bercahaya dengan otaknya melumpuhkan Alengka, o!
Dari angkasa Hanuman tidak bisa melihat apa-apa, maka ia turun dan terbang mendatar sepanjang lembah. Ia terbang ber kelak-kelok menyusuri
lembah dan jurang, mengikuti aliran sungai kecil, sampai akhirnya melihat mayat Wibisana yang ter telungkup. Hanuman merendah dan terbang pelan di atas su ngai mendekati mayat itu, langsung diangkatnya, dan sebentar kemudian melesat seperti kilat menembus awan kembali ke Pancawati, pesanggrahan yang dibangun Rama menjelang serbuan ke Alengka. Kapan Trijata bertemu Hanuman lagi" Maneka memotong. Masih nanti, masih ada Rama menghidupkan Wibisana dan lain sebagainya.
Lompati saja Satya, aku sedang ingin tahu kisah mereka berdua. Baiklah. Ini masih lanjutan kekejaman Rahwana.
Suatu ketika utusan Rahwana datang dari istana, mempersembahkan sebuah kotak yang terbuat dari emas permata. Kotak itu cukup besar, biasanya berisi intan berlian sebagai usaha Rahwana merayu Dewi Sinta. Hampir setiap hari kotak seperti itu tiba, dan Trijata menyebarkannya saja di halaman, menjadikannya batu kerikil yang berkilau-kilauan.
Entah kenapa, kali ini Sinta sendiri yang membukanya, dan begitu tutup kotak itu terbuka, ia langsung pingsan. Trijata mendekat, dan ia pun hampir pingsan sebetulnya. Tetapi Trijata adalah perempuan bernyali baja. Kotak itu berisi dua kepala. Seperti Rama dan Laksmana.
cinta di sini memutuskan nyawa di sana cinta tanpa hati selain kuasa membuta cinta seperti itu masihkah cinta namanya"
Adakah perempuan seperti Trijata" Ia berkata kepada Dewi Sinta. Izinkan saya pergi ke Pancawati, wahai putri, izinkan saya pergi untuk bertanya, benarkah Rama dan Laksmana sudah mati. Saya belum pernah me lihat Rama dan Laksmana, dan Sang Dewi merasa betapa kedua korban yang malang itu begitu mirip tidak ada bedanya. Putri merasa ragu, bahwa itu mungkin saja bukan tipuan, saya merasa ragu bahwa itu mungkin saja bukan yang sebenarnya. Kita berdua sama-sama meragukannya, biarlah saya membuktikannya. Saya akan pergi ke Pancawati, menyeberangi lautan dan bertanya.
Trijata, apakah itu tidak terlalu nekat"
Percayalah saya akan mengatasinya, putri, saya Trijata anak Wibisana, akan menghadapi segalanya demi Sang Dewi.
Aku berutang budi padamu, Trijata, janganlah pergi jika dikau enggan berangkat.
Trijata keluar dari Alengka dan menempuh pegunungan batu sendirian. Ia mengganti kainnya dengan celana berkantong banyak, dan mengenakan rompi dengan baju dalam seperti pria. Dengan sepatu kulit yang melindunginya sampai ke lutut, Trijata mendaki dan menurun dengan tabah melawan panas dan hujan. Dari ketinggian dilihatnya lautan yang memutih karena pantulan cahaya matahari. Sampai dua hari kemudian baru Tri jata bisa mencapai pantai. Cakrawala memanjang, memutih, dan mengabur.
Bagaimanakah caranya aku bisa menyeberangi lautan" Di tepi pantai, hanya terdengar hempasan ombak dan desau angin. Tri jata melangkah di antara batu-batu besar, tak tahu bagaimana caranya bisa me nyeberang. Seandainya ada Hanuman, pikirnya. Tapi tidak ada Hanuman, tidak ada apa-apa, kecuali cakrawala yang jauh.
Kemudian Trijata mencari sebuah batu besar yang datar di tepi pantai itu, dan naik ke atasnya. Dalam hembusan angin Samudra Hindia, perempuan itu melakukan yoga.
bunyi U lebur dalam bunyi A
bunyi A lebur dalam M bunyi MA lebur dalam anusvara
anusvara lebur dalam gema gema lebur dalam Kehampaan hanya Kehampaan dilahirkan atau yang melebihi Kehampaan dengan ciri Kehampaan tertinggi kasarlah sifat Dunia yang Tampak haluslah Yang Tampak-Tidak-Tampak yang tertinggi Kehampaan tak tampak
lebih tinggi lebih tinggi lagi
sungguh-sungguh Hampa 19 Sebagian dari Pengetahuan Rahasia mengenai Suku-kata OM, Kelepasan dalam Soebadio, op.cit., hlm. 89.
demikianlah Pengetahuan Suci tentang suku kata OM Kelepasan 19
Trijata memejamkan mata sekejap, tetapi semesta beredar seribu tahun. Trijata membuka mata, dan di hadapannya terdapat seekor kura-kura raksasa. Moncongnya yang menganga tepat berada di depannya.
Jangan takut putri, dikau ingin menyeberangi lautan" Na ik lah ke punggungku, aku akan membawamu ke tempat tujuan. Kura-kura raksasa, siapa kamu" Mengapa aku harus memercayaimu" Putri Wibisana, tidak ada yang harus ditakuti, aku berasal dari sebuah dunia di dalam dirimu.
Trijata tidak tahu maksudnya, tetapi ia naik juga. Lantas kura-kura itu pun melaut.
Tenang-tenang sajalah putri, dikau akan bertamasya. Trijata memang merasakan sebuah tamasya. Ia melihat laut biru dalam cahaya matahari yang cerah. Kebiruan laut dan kebi ruan langit bertemu di cakrawala, menenggelamkannya dalam kebiruan semesta. Di atas punggung kura-kura, Trijata merasa dirinya berada di suatu titik yang tidak pernah bergerak, hanya ombak tersibak yang mengingatkannya betapa mereka sedang bergerak. Dunia yang biru beredar pelan, tetapi kura-kura yang tampaknya bergerak lamban itu melaju cepat sekali.
Perempuan itu melihat lautan, pulau-pulau, dan perahu-pe rahu nelayan. Kapal-kapal layar yang besar dari mancanegara berseliweran. Trijata senang bisa menengok keluar dunia pewa yang an. Ia tidak suka dengan peranan yang sudah disuratkan. Ia selalu menggugat kehidupan yang sudah ditakdirkan. Ia sangat tidak setuju dengan gagasan betapa nasib sudah ditentukan. Trijata, anak sang ilsuf Wibisana, selalu berpikir tentang dunia. Para peneropong di tiang-tiang layar berteriak.
Hooooiiii! Perempuan di atas kura-kura!
Lantas para pelaut dan para penumpang berlarian ke sisi kapal, dan mereka akan melihat Trijata bersila di atas kura-kura, yang selalu membuat
mereka terpesona. Tidakkah seorang perem puan bermata cemerlang, yang bersila dengan meyakinkan di atas punggung kura-kura raksasa, memang akan penuh dengan pesona"
Perempuan jelita, dikau dari mana" Alengka!
Alengka" Negeri para raksasa" Seorang manusia perempuan bermata nyalang dari negeri paling mengerikan di dunia"
Perempuan bernyali, dikau mau ke mana" Pancawati!
Pancawati" Markas para teroris yang mengacaukan Alengka" Mereka telah mendengar bagaimana Sri Rama, seorang ksatria Ayodya, bermaksud menempur Rahwana karena menculik Sinta, istrinya, dengan bantuan makhluk-makhluk hu-tan dari Goa Kiskenda.
Trijata merebahkan tubuhnya di atas punggung kura-kura. Perjalanan ini membuatnya bahagia, karena ternyata banyak ma nusia seperti dirinya. Di Alengka hanya ada dua manusia, Wi bisana dan Trijata. Kemudian Dewi Sinta. Selebihnya siluman dan raksasa, setan bekasakan dan hantu duruwiksa. Di Pancawati hanya ada dua manusia, Rama dan Laksmana, se lebihnya makhluk-makhluk rimba. Namun di lautan ini ditemuinya berbagai bangsa manusia. Kapal-kapal berbendera dari berbagai negara. Ia ingin keluar dari dunia pewayangan. Tapi, di dunia manusia, apakah ada Hanuman"
Sembari memandang langit dan mega berarak di awan, Tri jata berharap akan melihat terbangnya Hanuman. Ia sendiri bertanya-tanya, dirinya menyeberang lautan karena ingin menge tahui keadaan Rama dan Laksmana yang sesungguhnya, demi Dewi Sinta, atau keinginannya sendiri yang seperti jatuh cinta kepada Sang Hanuman"
Apakah petualangannya yang gila, berlayar di atas punggung kura-kura yang tak dikenalnya, tidak sama membabi buta seperti cinta seorang Rahwana"
Trijata memandang langit, senyuman menghiasi wajahnya. <"
trijata dan Dua hanuman erjalanan Maneka dari kota kecilnya di bilangan Sungai Yamuna sampai kini menyusuri Sungai Indus tidak kalah panjangnya dengan perjalanan Trijata. Selama Satya ber kisah tentang riwayat Sang Hanuman, pedati mereka merayapi kota-kota Amritsar, Kapurthala, Faridkot, Abohar, Dunga Bunga, sampai ke Hanumangarh. Perjalanan itu memutar jauh, karena mereka harus menghindari daerah-daerah di mana banyak bandit berkeliaran. Kini mereka memasuki wilayah Gurun har. Tidak ada jalan lain selain berjalan terus ke selatan. Satya melihat peta. Masih jauh sekali, katanya.
Ia menghitung umur mereka berdua.
Mencari Walmiki saja belum tahu batas akhirnya, kini diselingi mencari Hanuman pula.
Kita mencari Kitab Omong Kosong, tukas Maneka. Ya, tetapi apa alasan Hanuman tidak mempertahankan ki tab yang terbagi lima itu, sementara ia bisa menyelamatkan dunia sekarang saja" Apakah ia tahu kitab itu dicari semua orang"
Itulah. Seandainya ia tahu, peta rahasia itu tidak berlaku lagi. Maneka berpikir. Terdapat alasan yang kuat, mengapa peta itu dibuat, antara lain tentu karena Hanuman tidak bisa menjaga nya lagi. Hanuman memang ditentukan berumur sangat panjang. Tetapi itu tidak berarti ia akan hidup untuk selama-lamanya. Mungkin saja Hanuman sudah mati, dan wanara itu membagi ki tabnya ke lima tempat di Gunung Kendalisada
berdasarkan isi nya, lantas menyerahkan petanya ke Perpustakaan Negara Ayodya. Betapapun, pikir Maneka, peta itu dibuat dengan bayangan tidak akan mengubahnya lagi.
Kita tak pernah tahu, ujar Satya setelah mendengar pemi kiran Maneka, dugaanmu bisa benar dan bisa salah, tetapi cukup masuk akal. Kita hanya tidak tahu di manakah Kendalisada itu.
Orang yang terbunuh itu meminta kita pergi ke selatan. Itu memang satu-satunya pegangan kita.
Begitulah mereka melakukan perjalanan ke selatan tanpa pegangan, ke cuali naluri pengembaraan. Selama itu pula keduanya menjelajahi dunia cerita, dan sekarang Maneka meminta Satya meneruskan kisah Hanuman. Angin berhembus dari pegunungan. Di ujung jalan terdapat sebuah pohon yang rindang.
Kenapa kita tidak berhenti sebentar Maneka, supaya sapi Benggala kita bisa merumput sebentar" Lihat di sana ada danau tempat dia bisa minum, dan kita bisa mandi sebentar sebelum meneruskan perjalanan.
Mereka beristirahat sepanjang hari itu, lantas membuat api pa da malam hari. Setelah memakan sisa roti bumbu kari dari be kal me reka, dan Maneka menyediakan seduhan teh, Satya meneruskan kisahnya.
seorang putri dan kura-kura berselancar sepanjang cakrawala punggung kura-kura berwarna merah pantulan cahaya senja menyala Trijata mengulurkan tangan menjamah matahari membara makin lama makin tenggelam perlahan tanpa lambaian, o!
Trijata tiba di tepi pantai pada malam hari. Untuk sejenak ia tertegun, apa yang bisa dilakukannya malam-malam di tempat asing seperti ini" Trijata belum pernah keluar dari Alengka. Ketika ia menoleh, kura-kura itu sudah le nyap. Malam tiba-tiba seperti semakin gelap. Sejenak ditangkapnya suara-suara berdesis dari dunia siluman yang tentu sudah mengerumuninya, tetapi Trijata tidak peduli. Ia meneruskan langkahnya.
Tentu ia tak tahu bahwa para penjaga perbatasan telah mengawasinya. Ia berjalan menembus hutan, berusaha mendaki, dan tidak diketahuinya betapa segenap pohon itu sudah penuh dengan wanara. Ketika keluar dari hutan, dilihatnya bukit-bukit sudah tertutup oleh wanara-wanara terganas di dunia. Ia melangkah maju. Kerumunan wanara itu tersibak, menimbulkan gelombang yang mengundang kedatangan para panglima. Trijata melihat para panglima Goa Kiskenda yang serba ajaib. Kapisraba Si Kepala Buaya, Cucak Rawa Si Kepala Burung, dan Harimenda Si Kepala Kambing. Hai manusia perempuan, kamu datang dari mana dan mau ke mana" Aku datang dari Alengka menunggang kura-kura raksasa, utusan Dewi Sinta, temukan aku dengan Sri Rama.
Para panglima terpesona, di dunia pewayangan tidak terlalu banyak pe rempuan seperti ini. Mengembara sendirian menyeberangi lautan ke daerah lawan bukanlah perilaku sembarangan. Trijata meneruskan langkahnya, dan tidak ada yang berani mencegahnya. Sampai Wibisana yang telah dihidupkan kembali dengan daun pohon Latamaosandi melihat putrinya.
Trijata berlari memeluk ayahnya.
Mereka bertangisan begitu lama, disaksikan semiliar wanara. Lantas Trijata melihat Rama dan Laksmana. Mereka berkilat seperti permata. Meski mereka hanya berbusana seperti pemburu sederhana, su dah jelas keduanya titisan dewa. Wajah mereka begitu bersih, seperti siapa pun yang ahli yoga, dan tindak tanduk mereka begitu tenang, seperti ketenangan jiwa di dalamnya. Rambut keduanya panjang dan bergelombang dengan anting-anting berkilatan. Wajah kedua ksatria itu memancarkan kedamaian. Tiada tampak sedikit juga keterasingan di tengah makhluk-makhluk rimba Goa Kiskenda. Trijata mengedarkan pandang dengan ter pana, dilihatnya Sugriwa, Hanggada, dan Hanila. Betapapun berwujud wanara, tatapan mereka sungguh manusia biasa.
Saya diutus Dewi Sinta, ujarnya kepada kedua ksatria, untuk melihat sendiri apakah benar Rama dan Laksmana sudah terbunuh. Kau lihat aku masih hidup Trijata, apa yang telah terjadi" Trijata menceritakan bagaimana Rahwana telah mengirimkan dua kepala kepada Dewi Sinta, yang sungguh mirip Rama dan Laksmana. Dalam usaha nya mengelabui Dewi Sinta, raja raksasa itu terbang ke Gunung
Jamus, untuk memenggal kedua anak kembarnya sendiri dari istrinya Dewi Kresnasih, yakni Sondara dan Sondari. Adik kedua saudara itu, Pramodana, dipenjarakan di negeri siluman Krendatala yang dikuasai istrinya yang lain, Ratu Krendawati.
Rama menggeleng-gelengkan kepala. Wibisana, apakah semua ini mungkin"
Rahwana juga bergelar Dasamuka, wahai titisan Wisnu, artinya ia mempunyai sepuluh watak dalam dirinya, dan watak-watak itu saling bertentang an. Rahwana bisa mencintai dengan begitu dahsyat, dan karena itu segenap istrinya menikah dengan sukarela. Dalam hal perempuan, pemaksaan bagi Rah wana adalah tabu, karena ia percaya akan merontokkan kejayaannya. Kini ia menyekap Dewi Sinta, tapi tetap menghormatinya, karena bagi Rahwana perempuan harus menyerahkan dirinya, sehingga ia me rayu dengan segala cara. Pemenggalan kepala kedua anaknya sendiri, yang mirip Rama dan Laksmana, adalah cara merayu Dewi Sinta. Seorang perempuan bisa tunduk karena kekerasan hati seperti itu. Trijata menukas.
Dewi Sinta hampir selalu berpuasa, agar tidak tergoda. Rama terdiam. Ia menyadari perjuangan istrinya lebih berat dari tentara, justru karena ia berada di tengah kemewahan yang sangat mungkin didapatnya.
Ia menatap Trijata. Perempuan mampu melakukan banyak hal yang tidak mampu dilakukan pria, meski mereka tidak menggunakan kekerasan sama sekali. Sikap yang mereka tunjukkan sering lebih keras daripada kekerasan itu sendiri. Semiliar wanara diam tak bersuara.
Trijata, anak Wibisana, engkau telah melihat aku dan Laksmana, kata kanlah kepada Dewi Sinta, kami berdua ditemani balatentara Goa Kiskenda. Kami akan menyerbu Alengka seperti gelombang tak tertahan, kami akan menang, dan aku akan merebut Dewi Sinta kembali. Tapi Trijata, bagaimana caranya kamu kembali ke Alengka"
Perempuan itu teringat kura-kura raksasa. Apakah ia akan muncul
lagi" Biarkanlah Hanuman mengantarkannya pulang, ujar Wibisana, supaya ia segera kembali menjaga Dewi Sinta.
Hanuman membopong Trijata di angkasa percintaan berlangsung tanpa kata-kata
Trijata bersandar di bahu Hanuman yang membopongnya terbang m e nyeberangi lautan. Di antara awan, ia meraba dada Hanuman yang bidang, seperti berusaha meyakinkan kembali betapa ia sangat terlindung. Namun angin membuatnya mengantuk dan ia pun tertidur. Di dalam tidurnya ia ber cinta dengan Hanuman.
Selama terbang, Hanuman berjuang keras menahan diri. Dengan kecepat an terbang Hanuman, pulau Alengka bisa dicapai dalam sekejap, tetapi kini Hanuman merasa terbang dalam ruang dan waktu yang lain. Ia membopong manusia perempuan pertama yang pernah dijumpainya, dan ketubuhan yang menempel kepadanya bagaikan tarik-menarik dua kutub magnit terhadap ja rum hatinya. Hanuman terbang melaju namun ia seperti tidak ke mana-mana, bercinta dengan Trijata yang tertidur, meski hanya membopongnya.
Maka, demikianlah kehendak semesta, buah percintaan di luar dimensi itu menjelma gumpalan cahaya dari pertemuan keduanya, dan gumpalan cahaya itu jatuh ke laut tanpa disadari Hanuman maupun Trijata.
Di dalam lautan, Batara Baruna yang punggungnya bersirip dan tubuhnya bersisik itu segera waspada.
O buah cinta tanpa kata-kata, kujadikan engkau seperti yang semestinya.
Menjelmalah Trigangga yang sangat mirip Hanuman, ber bulu putih perak berkilat-kilat.
Sementara Hanuman yang susah payah menahan rasa telah tiba di atas Alengka. Ia terbang berputar-putar melihat kota raksa sa yang hangus terbakar itu. Di mana-mana puing berserakan, seluruh kota menghitam seperti arang. Hanuman benar-benar telah memorak-porandakan kehidupan mereka. Konon para rak sasa itu terkadang saling bunuh karena tidak mampu meng atasi keputus asaan. Api yang membakar Alengka rupanya begitu hebat sehingga bara di sana sini masih menyala merah, asap masih mengepul di antara reruntuhan, dan mayat-mayat raksasa yang hangus terbakar bergeletakan saling menumpuk. Suasananya sungguh mengenas-
kan. Prahasta mengerahkan segenap tenaga un tuk membersihkan kota. Pertempuran belum dimulai, tapi mereka sudah ter pukul. Prahasta yang memahami segala jenis si asat tempur mafhum akan kecerdikan Hanuman, dan tahu mereka menghadapi angkatan pe rang yang bukan hanya tangguh tetapi cerdas. Kesaktian para panglima Alengka tidak usah diragukan, tapi siapakah yang begitu paham atas segala kelemahan mereka melebihi Wibisana" Sedangkan Wibisana sudah menyeberang ke pihak lawan.
Hanuman melihat bencana yang ditimbulkannya. Adakah raksasa yang tidak bersalah" Ia tahu rakyat selalu menjadi korban kepentingan para pengu asa. Ia terbang membubung, Trijata belum juga terbangun. Apakah ia akan membangunkannya sebelum berpisah, ataukah meninggalkannya begitu saja ketika ia masih tertidur" Di antara mereka belum terdapat banyak pertukaran kata, tetapi batin mereka saling terlibat dan impian mereka saling menggulat. Hanuman terbang merendah, ke Taman Argasoka. Kompleks istana terlin dung dari bencana kebakaran itu, tetap tenang, damai, dan menenteramkan. Ia membaringkan Trijata di bawah pohon, meletakkan kepalanya pada bantalan rumput yang tebal, lantas meninggalkannya dengan pandangan mesra. Ketika Trijata terbangun, ia sempat melihat Hanuman menghilang ke balik awan.
Hanuman ... desahnya pelan.
Di antara mega-mega, Hanuman mendengarnya.
peluh menetes di atas tilam, o berahi merayap dalam kelam tahan sedikit dirimu Jembawan hari ini Hanuman pulang siang, o!
Hanuman membuka pintu, di atas peraduan disaksikannya dirinya sendiri menggumuli istrinya. Mereka terperanjat, Hanuman terpesona siapakah dia yang begitu bernyali menyaru sebagai dirinya" Semangat macam apa yang membuatnya memiliki keberanian begitu rupa"
Trijata mengikatkan kain ke tubuhnya dengan tenang. Du duk bersimpuh di atas ranjang dengan kepala tertunduk. Di ha dapannya terdapat dua Hanuman. Salah satu dari mereka berdua adalah suaminya, sedangkan yang lain tentu orang lain. Bersama siapakah selama ini ia telah bercinta"
Seseorang telah menyaru sebagai Hanuman. Siapakah dia" Seseorang yang tidak dikenalnya, ataukah seseorang yang ternyata dikenalnya" Ini kenyataan dunia, pikirnya, bumi penuh dengan siluman yang mampu beralih rupa. Makhluk apakah dia yang telah memasuki wilayah yang paling pribadi dalam rumah tangganya"
Kepada dirinya sendiri Trijata bertanya, benarkah ia tidak tahu yang di peluknya selama ini adalah Hanuman" Seberapa jauhkah seorang perempuan bisa tidak mengenali seseorang sebagai bukan suaminya" Trijata mencoba un tuk tidak mengakui, betapa pada saat-saat di mana dirinya merasa melayang ia menyadari se suatu yang mungkin berasal dari bukan suaminya, tetapi yang sangat diharapkannya datang dari suaminya.
Sebagai perempuan ia mengenal apa pun yang dikehen dakinya, dan Trijata mengerti bagaimana ia mengambil apa yang dikehendakinya itu sesuatu yang tidak datang dari Hanuman, melainkan dari entah siapa, entah setan entah duruwiksa, tetapi yang betapapun telah membahagiakannya.
Sebetulnya Trijata mengerti, ia tidak mungkin tak mengenali nya, bahwa siapa pun ia yang telah memberinya kenikmatan du nia itu bukanlah suaminya, dan sudah lama Trijata menduga betapa Hanuman barangkali saja mengetahuinya. Namun semua itu memang tidak pernah betul-betul jelas seperti siang dan malam karena hidup ternyata memang tidak selalu jelas seperti tampaknya.
Setiap kali Hanuman atau sesuatu yang seperti Hanuman tiba dan melepaskan kainnya Trijata mengerti betapa sebetulnya ia pun tidak terlalu peduli apakah wanara jantan itu suaminya atau bukan suaminya selain betapa ia telah memberikan sesuatu yang dikehendakinya.
Tiada yang lebih diinginkan Trijata selain kehangatan yang telah dida patkannya, tiada yang lebih diinginkannya, dari siapa pun asalnya .... Hanuman, jangan bunuh dia, katanya.
Kau tahu dia bukan aku"
Trijata tidak menjawab, hanya menatapnya.
Hanuman tahu itu suatu jawaban. Ia juga segera sampai ke pada pengertian betapa kearifannya berada dalam ujian.
Jembawan Tua, pikirnya, siluman kera yang kerasukan Ge lembung Rah wana. Ia memang tidak akan membunuhnya. Jembawan Tua Si Wanara Ku ning, sudah ada semenjak zaman Lokapala, apakah yang bisa dilakukan
Ha numan kepadanya" Hanuman mempunyai mata yang mampu melihat tiga dunia, maka sosok yang sangat mirip dirinya di hadapannya itu segera mampu dikelupasnya sekali tatap, sehingga ia tahu terdapat Jembawan di dalamnya. Kapi Jembawan pengasuh Sugriwa. Hmm. Apakah Tri jata tidak akan menyesal"
Hanuman sendiri bukan tidak tahu masalah Trijata. Semenjak tampuk pimpinan Alengka diserahkan kepada Wibisana, ada lah Hanuman yang harus berjuang keras membangun negeri yang pernah dihancurkannya itu, dan riwayat percintaannya dengan Trijata segera menjadi sejarah, karena memanusiakan para raksasa memang bukan perkara mudah.
Ia bukan tidak mendengar ratapan malam Trijata yang dipantulkan kembali oleh rembulan, menghembuskan angin yang menggoyangkan daun-daun, memperdengarkan bunyi-bunyi yang tiada bisa lain selain membunyikan suara sepi. Hanuman mengerti suara Trijata yang berdesah lewat daun-daun bambu, ke ricik sungai di tepian, dan deru angin sepanjang pantai.
Sering Trijata mengajaknya ke pantai pada sore hari, menatap kapalkapal layar melintasi cakrawala, membayangkan pengembaraan ke tempat-tempat yang jauh, sekadar untuk menyatakan kembali betapa mereka berdua masih bersama.
Jembawan yang diutus Wibisana menyampaikan bingkisan, lantas meng ubah dirinya jadi Hanuman.
Apa yang kauinginkan dariku Trijata, katanya sebagai Hanuman. Aku menginginkan dirimu Hanuman, seluruhnya.
Hanuman yang arif mengerti apa yang telah terjadi. Ia meng ucapkan se lamat tinggal kepada Trijata, menegaskan kemantapannya untuk hidup ber selibat, menjadi pertapa di Gunung Kendalisada, menjaga dunia yang di tinggalkan Sri Rama.
Siapakah dia yang menjerit di dalam hatinya Menatap wanara perkasa menjadi kera tua renta, o!
bandit-bandit gurun har etika api unggun itu akhirnya padam, kedua pengembara itu sudah tertidur. Maneka tergeletak begitu saja di atas matras. Cerita tentang Hanuman sangat memukau nya, tetapi begitu cerita itu selesai, ia langsung terbang ke alam mimpi. Melihat Maneka tertidur, Satya pun memejamkan mata dan langsung pulas. Rupanya tubuh mereka tiada mampu lagi menahan kecapaian.
Api unggun masih menyisakan bara, merah padam di tengah malam. So sok-sosok tubuh bermunculan dari balik pohon. Mereka semua berbaju hitam, bahkan bertutup muka, sehingga nyaris tidak terlihat sama sekali. Sejumlah orang mendekati Maneka, sejumlah lain mendekati Satya. Meski tidak keli hatan, mereka masih bisa berbicara dengan isyarat-isyarat tangan.
Mendadak, salah seorang menyambar Maneka, memanggul dan melarikannya. Orang-orang di dekatnya ikut lari. Maneka sempat menjerit sebelum dibekap mulutnya.
Satya! Tolong! Satya memang terbangun, namun rupanya untuk itulah ditempatkan se jumlah orang mengitari dirinya. Begitu ia ber usaha bangkit, lima pasang ta ngan membekap mulut, memegangi tangan dan kaki. Bahkan kemudian se buah pukulan di tengkuk membuatnya pingsan.
Maneka dibekap mulutnya dengan tangan. Setelah itu ja lan darahnya di totok, sehingga ia menjadi lumpuh. Ia masih sa dar, bisa berpikir, dan melihat semuanya, tapi terkulai seperti seonggok karung, tidak bisa berka-
ta-kata. Sosok-sosok berbaju hitam seperti sosok yang memanggulnya itu berkelebat cepat di antara semak belukar dan pepohonan yang terdapat di tepi danau. Maneka merasa dirinya telah berteriak begitu keras tetapi ia tidak mendengar apa-apa. Ia dipanggul begitu rupa sehingga kepalanya berada di bawah, ta ngannya menggelantung lemas, dan dunia bagaikan terbalik.
Ia masih bisa berpikir. Siapakah orang-orang ini" Dari mana datangnya" Apakah yang akan mereka lakukan kepada dirinya" Apa yang terjadi dengan Satya" Dilihatnya bumi yang kelam dengan terguncang-guncang. Sosok-sosok ini tiba di tepi danau tempat kuda-kuda mereka ditambatkan. Kelompok yang menangani Satya pun segera tiba. Bersama-sama mereka menaiki kuda dengan sigap, dan berderap menembus malam. Maneka di sampirkan seperti gulungan karpet, berada di tengah seperti sedang dilindungi. Penunggang kuda yang membawa Maneka adalah sosok hitam tinggi besar yang tadi memanggulnya.
Mereka menderap dengan cepat di sepanjang tepi danau, lantas menaiki bukit-bukit, menempuh jalan berkelak-kelok dan sempit di tepi jurang. Sangat sering Maneka merasa kepalanya tergantung-gantung di tepi jurang itu, seperti melayang-layang. Setelah puncak-puncak bukit dilewati, rombongan berkuda itu menurun, menatap hamparan padang gurun har.
Saat itu fajar telah merekah. Pada sebuah dataran di atas bu kit mereka berhenti. Mereka membuka tutup kepala mereka, sehingga wajah orangorang itu sekarang kelihatan. Maneka yang dibaringkan tanpa daya, dibuka jalan darahnya, sehingga ia bisa bangkit, dan begitu bangkit langsung lari. Namun baru berlari beberapa meter, seutas tali tiba-tiba melibat tubuhnya dan ia jatuh terpelanting. Setelah itu ia merasa terseret di atas tanah dan rumputan, kembali ke hadapan orang-orang itu.
Mereka tidak berkata apa-apa, kecuali memandanginya. Maneka pun me mandangi mereka. Orang-orang itu tidak seperti para penjahat, meski tetap terkesankan sebagai orang-orang yang hidup di alam bebas, pasti bukan pustakawan, tetapi Maneka tidak bisa memastikan apa-apa. Ia selalu teringat Satya, tentu anak itu akan mencarinya. Ia tahu perhatian Satya kepadanya, dan ia tahu bagaimana Satya akan merasa galau dalam keadaan seperti ini.
Pagi semakin cerah. Daun-daun berwarna keemasan dan seekor kadal bergerak lincah di bawah semak, memerhatikan Ma neka yang melamun.
Ia merasa marah tapi tidak berdaya. Apa yang membuat orang-orang ini menculik nya" Mereka membuat api, memasak air, dan minum teh. Kemudian mereka juga menanak nasi berbau kari. Mereka sarapan pagi dengan nasi ber warna hijau kekuning-kuningan itu tanpa bicara sepatah pun. Seseorang melemparkan sosis bakar kepada Maneka, tapi ia meletakkannya saja. Ia lapar, tetapi Maneka telah menjadi se orang vegetarian. Orang yang melempar tampak marah, dan bermaksud melakukan sesuatu.
Belum lagi orang itu bangkit, lelaki bertubuh besar tadi memberi isyarat agar orang itu tidak melakukan apa-apa. Orang itu tetap berdiri. Aku hanya mau mengambil lagi sosis itu, katanya.
Ia mengambil sosis itu, berjongkok di depan Maneka, memakannya di hadapan perempuan itu, yang sebetulnya cukup lapar juga. Tetapi Maneka tidak mengatakan apa-apa. Ia memerhatikan bahwa busana serba hitam yang dikenakan orang-orang itu terbuat dari kulit yang disamak dengan baik, tetapi sebagian besar sudah kusam. Busana mereka semuanya hitam, tetapi tidak ber arti potongannya semuanya sama. Ada yang kebesaran, ada yang kesempitan. Seperti bukan milik sendiri. Seperti hampir semua orang yang bertualang di wilayah anak benua, mereka bersenjata lengkap. Bahkan semuanya bersabuk selusin pisau terbang.
Mereka tidak memberi Maneka makan apa-apa ketika me reka ber angkat kembali. Maneka dinaikkan ke seekor kuda yang rupa-rupanya me mang dipersiapkan untuknya. Ia tak berpikir untuk lari karena tahu itu akan sia-sia.
Rombongan itu terdiri dari sepuluh orang. Mereka menuruni bukit perlahan-lahan menuju gurun yang tampak gersang sekali di bawah. Angin dingin bertiup pelan. Kuda yang mereka tunggangi tampaknya terlatih di wilayah itu, sehingga tahu jalannya meski para penunggangnya tidak mengendalikan kekang. Mereka turun dan terus turun di perbukitan batu itu, sampai tiba di dataran, lantas melaju dengan kecepatan tinggi. Maneka diam di atas kudanya. Mereka masih menuju ke selatan, namun ia tidak tahu bagaimana Satya akan mencarinya.
Demikianlah mereka menderap sepanjang hari di gurun yang gersang itu. Sejauh diketahuinya dari percakapannya de ngan Satya bila sedang membuka peta, gurun itu adalah Gurun har di sisi timur Dataran Indus. Biasanya dalam perjalanan ke selatan para pengembara menyusuri Sungai
Indus, tetapi para pe nunggang kuda ini tampaknya menyeberangi gurun ke arah Aravalli. Karena kemampuan membacanya yang terbatas, Maneka cenderung mempunyai ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dikatakan Satya teringat olehnya, meski Satya sendiri kadang-kadang sudah lupa.
Mereka berkuda berhari-hari menempuh jarak yang tidak terbayangkan oleh Maneka. Para penunggang kuda itu nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. Mereka menderap sepanjang gurun yang gersang dengan membisu. Setiap kali berhenti pada senja hari, mereka menyalakan api dan mengeluarkan perbekalan masing-masing. Sebagian membakar daging binatang buruan yang mereka dapatkan di gurun, seperti ular atau kadal, sebagian lebih suka memakan daging asap yang mereka bawa. Maneka memerhatikan bahwa orang-orang ini tidak berasal dari suku atau kebangsaan yang sama. Mungkinkah karena itu mereka cenderung tidak saling berbicara" Mereka semua memang berwajah keras dengan tatapan mata tajam, namun ada yang matanya sipit, ada yang kulitnya hitam legam, ada yang rambutnya keriting, ada yang kulitnya sawo matang. Setelah memerhatikan dengan lebih cermat, dilihatnya betapa mereka semua memang berbeda. Ada yang matanya hijau, ada yang matanya biru, ada pula yang matanya abu-abu.
Semula Maneka masih tidak memakan apa pun yang dibe rikan, sehingga ia menjadi lemas sekali. Seorang di antara mereka bertanya karena kesal.
Apakah kamu seorang vegetarian"
Maneka mengangguk. Semenjak itu ia mendapatkan roti kering yang ter nyata juga dibawa orang-orang itu. Roti kering itu rasanya sangat tidak enak dan keras pula. Suatu ketika seseorang memberi contoh kepada Maneka. Ia mencelupkan rotinya ke dalam teh sebelum memakannya. Maneka meng ikutinya. Ternyata rasanya ajaib, dan roti yang berlubang-lubang itu ternyata bukan sembarang roti, melainkan roti yang sangat menyehatkan. Itu namanya roti-teh, kata seseorang sambil tersenyum. Maneka tidak membalas senyum itu. Ia merasakan tubuhnya tidak lemas lagi.
Roti ajaib, pikirnya, pantas orang-orang ini tampak begitu perkasa. Pada malam hari, sembari memandang bintang-bintang, Maneka teringat Satya. Bagaimanakah Satya akan mencarinya"
bagaimanakah caranya menolak suratan selain menulis suratan takdirnya sendiri"
Setelah sepuluh hari, perjalanan mereka berakhir di sebuah lembah de ngan ngarai yang curam. Celah menuju ke lembah itu bagaikan sebuah pintu rahasia yang tidak akan diketahui orang, karena celah itu sangat sempit, hanya cukup untuk satu kuda. Pe nunggangnya pun harus turun untuk melaluinya.
Ha! Selamat datang! Selamat datang! Terdengar suara yang sangat mengagetkan.
Di atas pohon, rupa-rupanya terdapat seorang penjaga. Ia duduk dengan kaki terayun-ayun pada sebuah dahan. Di tubuhnya malang melintang sabuk-sabuk pisau terbang. Seorang penyelonong yang teledor akan segera terkapar oleh sambaran pisau terbang itu. Mereka saling beruluk salam dan melaju kembali. Maneka merasa seperti memasuki dunia yang lain. Tubuhnya yang seolah-olah hancur setelah berkuda sepuluh hari menjadi segar kembali setelah melewati lembah yang serba hijau itu. Di lembah itu terdapat aliran anak sungai yang berkelok dengan manis sekali, dengan pantulan cahaya yang bagaikan langsung memindahkan dirinya ke dalam sungai-sungai kenangan.
Kita telah tiba, kata seseorang di belakangnya.


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tepi kelokan sungai itu terdapat tenda-tenda. Ketika me reka datang, orang-orang keluar dari tenda, seperti menyambutnya, tetapi rombongan berkuda itu berjalan terus menyibak para penyambutnya.
Maneka melihat perempuan dan kanak-kanak yang segar wajahnya, tidak seperti para pengungsi yang hampir selalu di te muinya sepanjang perjalanan nya. Setidaknya terdapat tiga ratus orang di lembah itu. Perlengkapan mereka seperti suku-suku pengembara, tetapi tampaknya mereka sudah cukup lama berada di sana. Terdapat perlengkapan membakar daging yang tersusun dari batu bata, juga tungku pembuatan roti. Maneka me rasa, jika tidak diculik barangkali ia suka bergabung dengan mereka, karena kelompok itu tampak begitu akrab dan damai.
Tapi karena ia diculik, sama seperti Rahwana menculik Sinta, ia tidak akan pernah sudi memberikan apa pun yang mereka kehendaki.
Mereka tiba di sebuah tenda besar. Ketika rombongan itu tiba, seorang tua keluar dari tenda itu. Rambutnya panjang dan putih, dan tubuhnya tegap sekali. Ia hanya mengenakan kain dari pinggang ke bawah. Di dada kirinya terlihat rajah cakra. Wajahnya tampak sangat keras. Alis matanya yang tebal pun sudah berwarna putih. Ia menatap Maneka dengan tajam.
Lelaki yang tinggi besar turun dari kuda dan memerintahkan Maneka turun.
Maneka turun. Orang tua itu mengitarinya, lantas dari belakang menarik sari Maneka ke bawah, sehingga punggungnya terbuka. Terlihat rajah kuda yang berlari itu.
Terdengar dengung dari mulut orang-orang yang berkerumun. Maneka tertunduk. Rajah itu lagi.
Seperti kutukan, pikirnya. Apakah ia harus menguliti pung gungnya agar terhindar dari suratan takdir yang berhubung an dengan gambar itu" Benar! Dia orangnya!
Orang-orang bersorak. Maneka menengok ke sekeliling. Ini membuat tubuhnya berputar, dan punggungnya yang berajah kuda berlari itu pun terlihat oleh semua orang, dan dengung itu terdengar lagi.
Maneka merasa kuda di punggungnya bergerak, meskipun ternyata tidak.
Siapakah yang menggambar kuda berlari itu" Ketika ia dilahirkan, gambar itu sudah ada di punggungnya. Selintas pintas ia teringat Walmiki, penulis Ramayana yang berkuasa atas nasib segala tokoh. Ia mencari Walmiki untuk mempertanyakan kese wenang-wenangannya. Karena kuda di punggungnya adalah kuda berlari dalam upacara Persembahan Kuda yang dilaksanakan Ayodya, dan menimbulkan bencana di seluruh anak benua, ia di perkosa seisi kota. Siapa lagi jika bukan Walmiki yang harus di tanya" Ataukah ada seorang penulis lain yang menuliskan riwayat Walmiki itu, yang juga menulis riwayat dirinya" Tapi siapa" Mengapa para penulis harus selalu menghidupkan kembali duka manusia"
Mencari Walmiki belum usai, kini mereka mencari Kitab Omong Kosong yang menjanjikan kunci-kunci ilmu pengetahuan, sehingga manusia tidak harus mengulangi masa selama 300 tahun untuk mencari kunci-kunci ilmu penge tahuan itu, dan kebangkrutan manusia yang lebih parah bisa terhindarkan. Namun letak Kitab Omong Kosong itu tersebut-
kan berada di dunia dongeng, sehingga tampaknya muskil untuk mencari dan menemukannya. Tetapi Maneka dan Satya telah bersepakat, jika dongeng dibuat berdasarkan pengalaman manusia atas kenyataan, dan bermaksud menggambarkan kembali kenyataan itu, maka pastilah ada suatu cara menemukan kenyataan dari dunia do ngeng itu, yakni kenyataan tentang manusia. Itulah yang membuat me reka percaya kepada peta tak jelas yang telah banyak memakan korban tersebut, dan membelokkan tujuan perjalanan mereka, dari mencari Walmiki ke arah matahari terbenam, menjadi mencari Kitab Omong Kosong ke selatan.
Kini tiba-tiba ia diculik dan rajah kuda di punggungnya menentukan nasib Maneka lagi.
Saudara-saudaraku, lihatlah punggung perempuan ini. Lihatlah. Itulah kuda yang pada suatu hari melompat dan berlari, sebagai kuda putih yang diikuti balatentara Ayodya yang perkasa. Negeri mana pun yang dilewati kuda itu diperangi dan dijarah, jika tidak menyerah kota-kotanya dibakar dengan kejam dan tanpa ampun. Lihatlah kuda itu, yang telah kembali ke tempatnya semula, adakah jaminan bahwa kuda tersebut akan tetap di sana selama-lama nya" Adakah" Adakah" Adakah"
Orang tua itu berpidato dengan lantang. Tangannya terkembang dan kepalanya mendongak ke atas seperti sedang bermain teater.
Bencana Persembahan Kuda telah membuat suku kita menjadi suku paria yang tak bernegara, mengembara sepanjang anak benua seperti gelandang an, yang memaksa kita semua menjadi bandit-bandit Gurun har. Saudara-saudaraku, kita adalah suku terhormat dari sebuah wangsa yang jaya. Apakah saudara-sauda raku tidak ingin kejayaan kita kembali" Apakah saudara-saudaraku tidak berniat membangun kembali sebuah negeri yang makmur, damai, dan indah tak terperi"
Ia tidak menunggu jawaban.
Jika kita ingin suku kita kembali berkuasa, wahai saudara-saudaraku sekalian, kita harus melakukan upacara korban.
Maneka tercekat. Dipandanginya orang tua itu. Ia menyadari kembali arti pemandangan yang dilihatnya. Jika suatu suku tinggal 300 orang dan tidak memiliki negeri lagi sampai hari ini, memang tampak telah terjadi pembantaian dan penghancuran yang tidak terbayangkan. Kota-kota bisa dibangun kembali, tetapi penjarahan balatentara Ayodya yang mengha-
nguskan perpustakaan, pusat kebudayaan dan pusat ilmu pengetahuan jelas telah tampak akibat-akibatnya. Takhayul marak dan bangkit. Penalaran digantikan oleh naluri liar yang banal.
Saudara-saudaraku, kita akan menguliti punggung perempuan ini, memajang gambar kuda itu di kuil pemujaan kita sebagai tolak bala, dan me ngubur perempuan ini hidup-hidup di puncak gunung, sebagai persembahan kepada para dewa!
salju meleleh di puncak gunung, o memperlihatkan mumi perawan siapakah dia yang dikorbankan" siapakah dia yang mengorbankan" wacana korban melayang-layang terdengar jeritan yang terpendam, o!
hanuman membuat totem aneka terperangah. Belum lagi ia sadar apa yang terjadi, ia merasa seseorang menyeretnya. Tanah mengepul karena seretan itu. Kemudian dirasakannya seseorang yang lain merebut dirinya. Kemudian seseorang yang lain lagi. Kemudian seseorang yang lain lagi. Maneka merasa dirinya jadi rebutan secara serabutan. Suku apakah mereka" Bangsa manakah mereka" Bandit-bandit Gurun har yang terdiri dari berbagai ma nusia campur aduk, bagaikan sisa peradaban dunia, telah men jadi sangat biadab. Wajah-wajah mereka kini garang seperti binatang buas. Mulut mereka menganga dan air liurnya menetes tanpa habisnya, seperti harimau mencium daging mentah yang segar kemerah-merahan. Tolongngngng!
Apalah artinya jeritan Maneka" Ketika bahkan perempuan dan kanakkanak pun menganiayanya" Ia masih jadi rebutan 300 manusia biadab, tapi mereka selalu menyeretnya ke satu tujuan. Begitulah Maneka diseret-seret seperti kambing, dan Maneka juga bertahan seperti kambing. Debu mengepul sepanjang jalan itu, dan Maneka bertahan sekuat tenaga seperti siapa pun yang mempertahankan hidupnya dari kematian mengerikan. Kadang satu orang yang kuat memegang satu tangan Maneka, kemudian orang lain menariknya ke arah lain, dan segerombolan lain menimbrungnya sehingga Maneka lepas sama sekali, terguling-guling mengepulkan debu. Janganlah ditanya wujud Maneka sekarang. Kulitnya bersaput debu, rambutnya merah karena tanah, matanya menyala seperti binatang buas. Maneka
sungguh lemas dan tak berdaya sebetulnya, tetapi kemarahan yang besar memberinya tenaga yang luar biasa pula.
Hhhrruuuaaahhh! Suatu ketika tak seorang pun mampu memegangnya. Ia ber ada di tengah lingkaran, dikitari orang-orang berbaju hitam yang ternyata begitu brutal bukan buatan. Maneka seperti makhluk yang bukan manusia. Ia menggeram-geram seperti harimau siap menerkam, tak seorang pun berani mendekatinya.
Lantas muncul sekelompok orang. Mereka melemparkan jaring. Srrrrtttt!
Maneka terjerat dan orang-orang itu langsung melarikannya menuju ke kaki bukit, perempuan dan kanak-kanak berlari mengikutinya dari belakang. Mereka bersorak-sorak, berteriak-teriak, dan sesekali menendang-nendang serta melemparinya dengan batu pula. Punggung Maneka terbuka, dan mata hari menyoroti nya. Tanpa diketahui para bandit itu, sinar matahari tersebut terpantul ketiga dunia, yakni dunia manusia, dunia siluman, dan dunia dewa. Sinar itu memancar-mancar dan berkedip-kedip tanpa terlihat mata manusia. Namun bagi mereka yang mampu melihatnya, bahkan semesta pun terasa denyutannya. Sinar me mancar-mancar itu melesat ke seantero jagad. Orang-orang sadhu membuka matanya, di kahyangan terbit kila-kila, dan dunia si lu man berdenyar-denyar oleh keprihatinan yang dalam.
Maneka merasakan penderitaan yang luar biasa. Kepahitan dan kesakitan serta buncah-buncah luka yang terpendam meruap seketika. Orangorang terus menyeretnya mendaki bukit dan di sepanjang jalan perempuan dan kanak-kanak terus menendang dan melemparinya dengan batu. Jangan ditanya pula luka-luka macam apa yang tertoreh dan bergores-gores di tubuh Maneka karena diseret melewati batu-batu padas yang tajam begitu rupa sehingga bahkan Maneka tidak merasakannya sebagai kesakitan lagi.
Menyerahlah perempuan dengan rajah kuda di punggungnya! Menyerahlah! Kamu terkutuk untuk menjadi korban!
Perempuan itu memberontak dengan dahsyat. Punggung bukit dipenuhi kerumunan 300 manusia yang menyemut dan be rebut menganiaya Maneka. Tidak ada satu pun tentang keba ik an bisa dikatakan dari peristiwa itu. Maneka terbenam dalam rawa-rawa derita menyakitkan.
Tetapi derita yang paling kelam pun memiliki cahayanya sendiri, membuka mata Sang Hanuman dari tapanya yang panjang. Dengan segera Sang Hanuman membaca cahaya itu, dan ma tanya mendadak menjadi beringas, merah menyala-nyala, per tanda kemarahannya langsung naik ke puncak. Mega-mega di atas Gunung Kendalisada yang berarak tenang terbakar me nyala-nyala. Sang Hanuman melayang-layang bahana murka. Ia melesat ke Gurun har.
berjuta-juta bulu putih, o ... beterbangan di angkasa setiap helai menjelma kata setiap kata menjelma cahaya, o!
Maneka sudah ditengkurapkan dengan paksa oleh seseorang yang memegang pisau melengkung, siap untuk menguliti rajah di punggung nya. Orang-orang bersorak haus kekejaman. Beberapa orang bahkan sudah menggali lubang untuk mengubur Maneka hidup-hidup di atas bukit itu.
Sang Hanuman datang dari angkasa tepat pada waktunya. Pi sau meleng kung itu sudah terayun menuju punggung Maneka. Tiba-tiba pemegang pisau itu menjerit ketika pergelangan ta ngannya terasa panas, ternyata dipegang oleh tangan berbulu putih. Hanuman berdiri tegak di sana, memegang tangan se orang bandit yang terkulai lemas. Dengan ringan diputar-putarnya tubuh bandit itu, dan dilemparkannya ke arah gerombolan biadab yang tidak menyadari siapa berada di hadapan mereka. Hanuman mengambil Maneka, menyandangkannya ke punggung, sementara gerombolan itu maju mengepungnya di puncak bukit itu. Mereka melepaskan pisau-pisau terbang me reka, namun Hanuman cukup mengibaskan tangan untuk menepiskannya.
Laknat! Nyahlah kalian! Hanuman menjejakkan kakinya ke bumi dan melesaklah tanah tempat berpijak orang-orang itu dan amblaslah orang-orang biadab itu ditelan bumi. Lolongannya terdengar jauh dan tidak menerbitkan rasa iba. Tiga ratus manu sia, termasuk perempuan dan kanak-kanak yang berkemungkinan besar menjadi iblis pe ngacau dunia terkubur seketika. Lubang yang diren-
canakan untuk me ngubur Maneka masih terbuka. Hanuman mengangkat tangannya dan tertanamlah sebuah totem di lubang itu, tinggi menjulang di puncak bukit, berkisah tentang 300 manusia jahat yang terhukum.
Bumi menjadi sunyi dan senyap. Hanya angin semilir ber tiup perlahan. Hanuman membawa Maneka ke tepi sungai, mera wat nya di sana. Dibasuhnya wajahnya. Dibersihkannya darah di seluruh tubuhnya. Diciptakannya sari baru yang langsung meng gulung tubuh Maneka. Debu-debu sirna dan ketika Maneka membuka mata ia merasa seperti baru pulang dari sebuah perjalanan yang panjang.
Di dada Hanuman, Maneka menangis sesenggukan.
Hanuman mengusap rambutnya dan tidak mengucapkan apa-apa. Apa lagi yang bisa dikatakan setelah peristiwa yang di alami Maneka" Perempuan itu menangis sampai tertidur. Hanuman menjaganya di tepi sungai itu, di antara tenda-tenda yang kini kosong. Sampai malam pun tiba, dan rembulan ternyata purnama.
Sang Hanuman menatap rembulan itu, mengangkat kedua tangannya, dan melolong panjang seperti serigala. Maneka tetap tertidur, tetapi lo longan itu terdengar ketiga dunia. Siapa pun yang mendengarnya bisa segera menge nalinya, karena lolongan itu merupakan suatu kisah yang panjang.
Para pendengar di tiga dunia menyimaknya, dan mereka mengikuti pe ristiwa itu, bagaimana seorang perempuan nyaris menjadi korban kebodohan. Betapa mahal harga yang harus di bayar oleh hancurnya kebudayaan. Berita itu tersebar ke mana-mana. Orang-orang sadhu saling menyampaikannya bila me reka mencuci diri di sungai. Para siluman saling membisikkannya dalam persentuhan antardimensi. Para pematung memahatnya sebagai totem-totem baru, yang tanpa disengaja begitu mirip dengan totem ciptaan yang menjulang di puncak bukit itu. Para penulis mencoba merangkai kata namun nyaris selalu gagal, ka rena memang sulit menerjemahkan lolongan menjadi puisi sementara Hanuman berpuisi dengan lolongan serigala yang panjang dan memilukan di malam bulan purnama di tepi sungai itu.
Di sana Hanuman melihat permukaan sungai yang berkilat karena cahaya bulan. Sudah ratusan tahun ia tidak keluar dari per tapaan dan keadaan
seperti tidak pernah berubah. Tidak ada lagi yang kesaktiannya sedahsyat Rahwana, tetapi ada yang kejahatannya berlebih-lebih tiada terkira.
Hanuman menghela napas. Seribu kali kejahatan dibasmi, sejuta kali ia lahir ke muka bumi. Bahkan perempuan dan kanak-kanak menganiaya! Apakah totem yang diciptakannya itu nanti akan bisa bercerita" Masih adakah artinya warta yang disampaikan manusia dari zaman ke zaman" Hanuman memba yangkan betapa kelak totem itu akan menjadi berlumut, kusam warnanya, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menafsirkan maknanya.
Pesan-pesan semakin sulit dibaca. Bagaimana jadinya" Tan da-tanda bertebaran dengan seribu satu makna. Bagaikan dosa-dosa yang terpendam, manusia harus menggali-gali untuk mengenali dan tidak meng ulanginya. Dosa-dosa tersaput tanda-tanda yang begitu mudah salah dibaca.
Mengapa begitu sulit menyatakan tentang sesuatu secara langsung saja, persis seperti kejadiannya" Hanuman telah lama mempelajari betapa sulitnya menentukan mana yang asli dan tidak asli, yang seperti dosa dan benar-benar dosa, yang seperti nyata dan benar-benar nyata segalanya hanya bisa digambarkan kembali, dengan berbagai-bagai cara berbahasa, dan bahasa-bahasa itu hanyalah perantara kepada sesuatu yang ingin dinyatakannya, bukan kenyataan itu sendiri. Maka Hanuman meneruskan lolongan serigalanya ke arah rembulan, mengabarkan kisah sedih tentang ketidakmungkinan manusia mencegah dosa-dosa yang akan dibuatnya, hanya karena kegagalan membaca tanda-tanda ....
Kelelawar beterbangan di dalam mimpi Maneka. Ia mela yang-layang dan mencoba berpegang kepada salah satu di antara kelelawar itu, tetapi gagal dan terpental entah ke mana. Segala dongeng yang pernah didengarnya bagai memasuki dunianya. Ia berada di tengah pasukan Mahakala, ia berada di ba wah pohon tempat tidurnya Lubdhaka, dan ia berada di antara para wanara Goa Kiskenda, sebelum akhirnya terbangun kembali melihat wanara yang sebenarnya.
Setiap kali Maneka terbangun, Hanuman meniup wajahnya supaya pe rempuan itu tertidur kembali, sampai tenaganya be tul-betul pulih. Ketika akhirnya Hanuman tidak meniup wajahnya lagi, di hadapannya tersedia bubur gandum yang dileleri madu. Ia bangkit dan baru merasa bagaimana tulangnya serasa remuk tanpa daya.
Maneka tidak melihat siapa-siapa di sekitarnya, tetapi bubur itu dima kannya saja. Ternyata sendok kayunya menyenggol pula kuning telur mentah di dalamnya. Hanuman seperti tahu Maneka seorang vegetarian.
Maneka menatap pemandangan di depannya, ternyata tidak berasal dari mimpi buruknya yang mengerikan. Ia berada di sebuah ranjang batu yang dilapisi kasur jerami di dalam sebuah gua. Bubur gandum dalam mangkuk kayu itu terletak di sebuah meja batu juga, dan apabila ia duduk untuk makan ia menghadapi sebuah pemandangan mengesankan di luar gua. Sambil menyantap dan menahan perihnya bibir serta lidah, disaksikannya air terjun di luar gua yang kericiknya mengesankan. Apakah ia sudah mati" Ataukah hanya mimpi"
Maneka tak sanggup makan lebih banyak lagi. Bibir dan lidahnya terlalu perih oleh penganiayaan itu dan jiwanya pun masih terasa berguncang. Ia hanya ingin diam saja, menenangkan dirinya.
Maka ia diam, mengatur pernapasan.
Segala penampakan kemudian menjadi bening, segala pendengaran kemudian menjadi hening.
Ia mendengar tetes air yang paling jauh di dalam gua, ia me lihat kertap embun yang paling tersembunyi di mulut gua. Aliran air yang melewati gua seperti bisikan, seperti desah, seperti desis, seperti percakapan yang pelan.
Maneka melangkah di dalam gua itu, yang di mana-mana basah meski ruangan tempat ia ditidurkan kering sama sekali. Ia melangkah di lantai batu putih, menuju aliran yang jernih itu.
Begitu dingin air itu ketika ia memasukkan kedua tangan nya. Begitu jelas kedua tangannya tampak di sana, dan betapa hal semacam itu memberikan kedamaian.
Tapi mengapa begitu sulit manusia menemukan kedamaian" Ia membasuh wajahnya dengan air jernih dan dingin itu. Betapa hidup bagaikan menjadi baru kembali. Ia minum seteguk dua teguk dari aliran bening itu. Betapa dunia berdenyut dengan tenaga yang baru sama sekali.
Tapi mengapa manusia begitu sulit mendapatkan sesuatu yang baru untuk hidupnya"
Jika kedamaian begitu sederhana, mengapa manusia tak mampu melihatnya"
Maneka sedang berpikir, manakah yang lebih baik: bergulat dengan per tanyaan-pertanyaan tidak berjawab, atau menerima kedamaian ini tanpa pertanyaan sama sekali, ketika terdengar suara seruling.
Sepintas ia teringat Satya, tapi tiupan Satya berbeda. Satya hanya tahu lagu-lagu gembala. Seruling yang ini seperti menyi bakkan udara, membentuk getaran, dan menerbitkan kila-kila. Maneka melangkah keluar gua, dan ia ter perangah, dunia seperti terbuat dari emas, berkilauan, mengertap-ertap, dan tampaklah olehnya danau keemasan yang berpendar itu. Ia seperti tidak ber ada di sebuah ruang dan waktu yang manusiawi, tapi ia tahu ini masih dunia manusia juga, namun dunia manusia yang ha nya bermakna dalam tatapan yang mencari dan memberi, bukan meminta. Manusia selalu menuntut dunia membahagiakannya, pernahkah ia berusaha membahagiakan dunia"
Di danau itu terlihat siluet sebuah perahu dengan seorang peniup seruling di atasnya. Perahu itu bergerak perlahan-lahan tanpa didayung, seperti digerak kan oleh kekuatan pikiran.
Peniup seruling itu mengenakan caping. Dalam siluet terlihat betapa pe niup seruling itu berekor, besar dan memanjang, diikat rapi di sepanjang punggungnya. Ia mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih, dan bulunya lebat serba putih kepe rak-perakan. Bahkan matanya nyaris tertutup sama sekali. Peniup seruling itu adalah wanara yang sudah lanjut usia. Tetapi tegak tu buhnya menunjukkan betapa ia perkasa. Maneka melangkah ke tepi danau, cahaya merambati udara, perahu itu menembus kabut dan menghilang. Tiba-tiba Maneka merasa kehancuran tubuhnya lenyap sama sekali. Suara seruling itu masih terdengar, makin lama makin jauh.
Siapakah wanara itu" Apakah dia Hanuman" Apakah me mang Hanuman atau dirinya menderita gangguan ingatan sehingga mencampuradukkan dongeng dan kenyataan" Tetapi mengapa harus memisahkan dongeng dan kenyataan jika dongeng katanya memang suatu cara menggambarkan kembali kenyataan" Di tiga dunia hanya terdapat satu wanara dengan ciri seperti itu, dan apabila ia telah melihatnya dengan mata kepala sendiri, meski dalam siluet bertabur cahaya keemasan, mengapa harus tidak meyakinkan diri bahwa itu memang Hanuman" Jika wanara itu bukan Sang Hanuman sendiri setidaknya memang mencitrakan Sang Hanuman juga.
Di atas danau tinggal kabut. Cahaya keemasan lenyap bersama suara se ruling. Di langit terlihat dua ekor burung berkejaran. Maneka melangkah sepanjang tepi danau yang rupanya terletak di sebuah dataran tinggi. Udara dingin. Angin lewat di jauhan. Ada jalan setapak sepanjang tepi danau itu, dan ada juga alat-alat penangkap ikan seperti jala dan bubu. Siapakah yang tinggal di sini" Jalan setapak itu licin dan seperti sering dilewati, tapi Maneka tidak melihat seorang pun dan seperti tidak akan ada seorang pun. Apakah hanya ada satu penangkap ikan tinggal di danau itu dan penangkap ikan itu adalah Sang Hanuman adanya" Jika memang Sang Hanuman tinggal di sini apakah ia berada di Gunung Kendalisada yang sedang dicari-carinya bersama Satya"
Terdengar suara seruling lagi. Tapi ... tapi, kali ini mirip sekali dengan tiupan seruling Satya yang sangat dikenalnya! Maneka berlari ke arah suara seruling itu, seperti tidak akan pernah di dapatinya lagi kesempatan itu.
merenda nasib di tengah kabut mencari cinta di dalam mimpi menulis puisi di atas babut lantas dibuang ke danau sunyi, o!
Kisah satya atya membuka mata. Hari sudah terang tanah. Sejenak ia tidak merasakan suatu perubahan yang berarti. Namun tatkala ia mulai bergerak, dan lehernya terasa sakit sekali, maka Satya pun ter ingat kembali peristiwa yang dialaminya. Ia mendengar suara Maneka yang dibekap, ia terbangun, berusaha bangkit. Ternyata dirinya pun dibekap pula. Seseorang memukul tengkuknya sampai ia pingsan.
Sekarang ia membuka mata. Masih rumput yang sama, masih langit yang sama, tapi Maneka tidak ada lagi. Ini bukan pertama kalinya Satya ter bangun tanpa Maneka. Ia pernah terbangun pada ketika lain, dan Ma neka hilang entah ke mana, tapi ia tahu pasti Maneka akan kembali, karena perempuan itu barangkali hanya pergi ke kali, ke pasar, ke hutan, atau ke ladang.
Satya bangkit. Ia berjalan menuju ke tepi danau. Dengan segera tujuan hidupnya menjadi lebih pasti, yakni mencari Maneka sampai ketemu, meski ia tak tahu apakah itu mungkin. Di danau itu ia disambut sapi Benggala yang kini matanya sayu, seperti tahu teman perjalanannya yang perempuan itu hilang diculik orang. Setelah membersihkan dirinya di sana, Satya mengikat kembali pedatinya ke sapi Benggala itu, dan segera berangkat.
Ia mencoba mengikuti jejak sampai ke sebuah desa. Dititipkannya pedati dan sapinya di sana, lantas membeli seekor kuda yang tegap dengan bayaran satu batang emas. Dengan kuda itu ia berpacu dengan waktu memburu Maneka. Nyaris ia tidak pernah tidur. Dari desa ke desa ditanyakannya
perihal sejumlah orang berkuda yang membawa seorang perempuan, tapi tidak ada yang menge tahuinya. Satya jelas telah menempuh jalan yang salah. Para penculik Maneka mendaki bukit dan turun lagi, sementara Satya melacaknya dari desa ke desa.
Untung ada seorang pengembara yang memperingatkannya. Bandit-bandit itu hanya datang ke desa untuk menjarah, mereka pasti memilih jalan yang sepi. Engkau harus mengenali ciri-ciri mereka, baru bisa mencari sarangnya. Setiap gerombolan itu mempunyai cirinya sendiri-sendiri.
Ciri" Ya, ada gerombolan yang merampok karena lapar, ada gerombolan yang merampok karena tujuan tertentu.
Pengembara itu melangkah lagi. Satya termangu. Memandang bukitbukit di kejauhan. Mengapa aku begitu bodoh" Pikirnya. Gerombolan ini pasti mempunyai maksud tertentu, karena mere ka tidak menyentuh satu pun dari harta bendanya. Semenjak bencana Persembahan Kuda itu, kepercayaan kepada agama-aga ma besar telah runtuh, sehingga tumbuh ratusan sekte yang mengembangkan ritualnya sendiri dengan pengikut masing-masing. Apakah gerombolan ini salah satu aliran seperti itu" Mereka semua berbaju hitam, tidak menjarah, tetapi menculik. Banyak sekte-sekte ini memisahkan diri dari orang banyak, menganggap diri mereka berbeda, dan bahwa perbedaan itu penanda betapa mereka lebih baik. Jika setiap sekte berpikir seperti itu, sekte ma nakah yang paling baik" Mungkinkah semuanya baik, atau ter nyata semuanya jelek"
Satya mencongklang kudanya meninggalkan desa, menyeberangi padang rumput. Berhari-hari ia berkuda, hanya sesekali saja beristirahat, menuju kaki bukit dan menuju Gurun har.
Banyak sekali sekte-sekte bertebaran di sana, pernah di dengarnya se se orang di kedai berkata, mereka bersembunyi di lembah, mendirikan tenda-tenda, dan saling berebut pengaruh.
Namun Gurun har itu luas dan gersang. Ketika Satya tiba di tepi Gu run har, ia merasa harus memastikannya. Maka ia pun memasuki ke dai persinggahan di tepi gurun itu. Di dalam ke dai itu banyak sekali pe ngembara dari berbagai suku bangsa. Satya mencari tempat duduk. Ternyata tidak ada.
Ia sudah mau berbalik ketika seseorang melambainya, dan menunjukkan bahwa kursi di depannya kosong. Satya pun datang ke sana dan pelayan mendatanginya.
Mau makan apa Tuan" Kalian punya apa saja"
Landak bakar bumbu merica, trenggiling bumbu kuning, biawak masak kecap, bistik ular sawah, kadal goreng terigu.
Satya terperangah dengan menu itu.
Ini kedai Sekte Melata, kata orang di depannya, mereka hanya makan daging binatang melata.
Apa tidak ada makanan yang biasa-biasa saja" Ada nasi putih bumbu kari.
Nah, itu saja, katanya. Pesanan itu segera datang, dengan minuman air sari buah entah apa. Satya makan sambil mencari-cari keterangan, se olah-olah ia membantu orang lain mencari saudaranya yang hilang.
Oh, zaman memang sudah sangat kacau. Banyak suku kembali kepada kehidupan awalnya yang bodoh, memuja batu-batu, mempersembahkan darah manusia, dan mengubur anak gadis hidup-hidup. Menguburnya hidup-hidup"
Ya, Persembahan Kuda memberi pelajaran betapa dewadewa tak patut disembah.
Jadi siapa yang patut"
Mereka bingung. Kadang-kadang pohon pun disembah pula. Heran. Mungkin maksudnya menyembah Tuhan, Satya meladeni. Kalau maksudnya Tuhan tidak apa-apa, ini menyembah pohon sebagai pohon. Semenjak buku-buku dibakar dan guru-guru dibunuh, banyak orang berlagak jadi nabi padahal hanya mau mencari makan dengan membual. Ada saja orang bodoh yang percaya, dan bencana itu membuat kita semua tambah bodoh, ha nya hidup dengan naluri bertahan. Di dunia ini bertebaran pa ra penipu, mereka menjual Tuhan-Tuhan baru hanya untuk ke pentingan diri sendiri, ada yang sampai istrinya dua puluh lima orang.
Satya memahami soal sekte-sekte pembohong itu. Pengikutnya orangorang yang jiwanya kosong, yang hanya merasa hidup jika memercayai sesuatu secara radikal dan habis-habisan, tanpa mempertanyakannya lagi.
Nasi bumbu karinya cepat habis. Ke manakah mencari Maneka" Kukira gadis yang hilang itu diambil bandit-bandit Gurun har. Mereka sedang mencari gadis dengan rajah kuda di punggungnya sejak lahir, sehingga mereka mengambil gadis mana saja yang berajah kuda di punggungnya karena tidak tahu bedanya.
Apa banyak gadis berajah kuda itu"
Yang sejak lahir hanya satu, yang lain hanya rajah biasa. Tapi gambarnya sama"
Sama! Bagaimana mungkin" Ada seorang tukang cerita keliling bernama Walmiki .... Satya tersentak. Walmiki lagi"
Walmiki" Ya, Walmiki yang modalnya hanya Ramayana. Dia mence ritakan tentang kuda dari punggung seorang pelacur yang tertidur, yang pada suatu hari melompat ke luar jendela dan menjadi kuda pada Persembahan Kuda Kerajaan Ayodya. Rupanya cara berce ritanya tentang kuda itu luar biasa, sehing-ga banyak perempuan menginginkan rajah kuda semacam itu di punggungnya.
Dan jadinya persis sama"
Persis sama! Padahal mereka hanya mendengar, dan tukang rajahnya pun lain-lain.
Ajaib! Memang ajaib! Tapi jadinya nasib mereka malang sekali, karena dukun para bandit Gurun har itu, yang sebetulnya juga hanya mendengar cerita Walmiki. Ia memerintahkan bandit-bandit itu mencari perempuan berajah kuda untuk dijadikan korban, untuk dikubur hidup-hidup. Bodoh!
Kita semua memang telah menjadi bodoh, dengan menjadi terlalu cinta kepada cerita-cerita yang bagus, sehingga memaksakannya untuk menjadi kenyataan itu sendiri.
Gila! Apa jadinya jika kita percaya atau terpaksa percaya kepada cerita, sehingga tidak bisa memisahkannya lagi dengan kehidupan nyata" Bagi Satya itu hanya berarti kehilangan Maneka, dan ini semua gara-gara Walmiki Si Tukang Cerita itu. Ia teringat bagaimana Walmiki bercerita
di desanya dulu. Memang menarik, mengesankan, bahkan ibarat suatu ruwatan bencana mereka tertebus oleh suatu kedamaian. Satya teringat bagaimana mereka dulu menari bersama-sama, dan kuda putih lewat di kejauhan. Jadi, kuda itu berasal dan kembali ke punggung Maneka.
Satya teringat punggung Maneka yang putih, ia selalu meli hatnya apabila Maneka tidur tengkurap, dan tentu dilihatnya rajah kuda itu pula.
Maneka, ia pernah bertanya, dari mana sebenarnya rajah kuda itu berasal"
Entahlah Satya, aku juga tidak mengerti, bagaimana mung kin rajah kuda ini sudah berada di punggungku sejak lahir.
Keajaiban itu pernah dimanfaatkan ayah Maneka yang mis kin dari kasta paria, karena begitu Maneka lahir ibunya langsung meninggal, padahal ibunya itulah yang selalu mencari nafkah. Maka ayahnya pun pergi ke tepi jalan dan berteriak-teriak di tengah kota.
Bayi ajaib! Bayi ajaib! Begitu lahir langsung bertato! Orang-orang kemudian memang menontonnya. Ayah Maneka meletakkan besek terbuka di hadapannya, dan dari setiap orang yang melihat punggung anaknya ia meminta uang. Orang-orang pun memberinya seringgit dua ringgit, karena memang terherankan oleh keanehan yang nyata: bagaimana mungkin ba yi itu bisa berajah gambar kuda di punggungnya" Misalnya pun tidak dari dalam kandungan, dirajah di luar pun sudah luar biasa, karena bayi tentunya tidak akan tahan dirajah dengan rumit begitu rupa. Apalagi jika ini memang betul-betul sudah berajah di dalam kandungan.
Patung Emas Kaki Tunggal 12 Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang Pengelana Rimba Persilatan 4
^