Pencarian

Misteri Di Balik Abu 1

Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari Bagian 1


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
HARYATI berjalan dengan langkah gontai. Sebelah tangannya menjinjing sebuah tas
plastik besar dan kaki-kakinya setengah menyeret sandal plastik yang
dikenakannya. Tatapannya lurus ke depan tapi sepertinya tak melihat sesuatu apa
pun. Pikirannya terasa kacau. Bingung. Kalut. Sungguhsungguhkah dia akan keluar"
Terus keluar, lewat pintu gerbang, lalu ke jalan" Benar-benar bebas" Aneh
rasanya setelah bertahun-tahun terkurung, tak boleh keluar, tak boleh ke manamana. Tapi dia juga takut! Mau ke mana dia" Setidak-tidaknya di dalam tempat
terkurung ini dia bisa bernaung, menjadi bagian dan punya identitas, walaupun
sebagai napi! Sedang di luar sana, di dunia yang begitu luas, dia bukan apa-apa
dan tak punya siapa-siapa. Malah bisa jadi dia dianggap sebagai hama.
"Waduh, mau bebas aja jalannya kayak siput!"
"Hei, kalau kamu segan keluar, biar aku saja yang gantiin!" Sindiran dari rekanrekannya itu menyadarkan
9 R)dirinya. Setakut-takutnya dia toh bebas. Tak ada yang melarang. Tak ada yang
mengatur. Bukankah dulu pun, di saat pertama masuk ke tempat bernama penjara
ini, dia juga ketakutan setengah mati"
"Nanti jangan bakar orang lagi, ya?" Dia tertegun dan menghentikan langkah.
Tibatiba dia merasa sedih tak kepalang. Kalau saja dia punya kamar pribadi,
setidak-tidaknya sebuah ruang di mana dia bisa punya privasi, pasti dia sudah
lari ke sana untuk melepas emosi yang menyesaki dadanya. Tapi dia tak punya apaapa. Maka dia memaksa diri berjalan lagi diiringi derai tawa. Matanya tetap
kering. Sesungguhnya dia tak punya teman di sini. Kenapa dia harus merasa berat
meninggalkan tempat ini"
"Yati!" Dia menoleh. Dua wanita berseragam menggapainya. Dengan patuh dia
mendekat. Salah seorang petugas yang memiliki wajah persegi dan bertubuh tambun
berkata padanya, "Di luar ada yang menjemputmu tuh. Jalannya jangan kayak siput, dong!" Suaranya
kedengaran tak menyenangkan. Sinis. Demikian pula komentar rekannya,
"Mestinya senang banget ketemu pelindung, ya" Kok malah pasang muka sedih. Apa
supaya dikasihani?" Tetapi kesinisan para petugas itu tidak menyentuh perasaan
Haryati. Dia toh sudah kebal dengan segala kesinisan selama bertahun-tahun. Ada
hal lain yang lebih mengejutkan. Ucapan mereka! Pelindung, katanya" Siapa
pelindung itu" Dia tidak
merasa memiliki seorang pelindung. Apakah itu Melinda, putrinya" Tetapi Melinda
sangat marah kepadanya, mungkin juga dendam sampai sekarang, karena selama enam
setengah tahun dalam kurungan, dia tidak pernah dijenguk Melinda. Ah, siapa
tahu" Segera muncul optimisme. Kegembiraan menggantikan kesedihan. Tapi dia tak
mau menanyakan siapa gerangan yang dimaksud para petugas itu. Dia membenci
mereka. Benci sekali. Sekarang dia baru tahu, kenapa selama ini dia mendapat
perlakuan yang lumayan baik dibanding sebagian rekan-rekannya yang lain. Dia
punya pelindung sedang rekan-rekannya itu tidak. Tentu saja
"si pelindung" di sini bukan dalam artian fisik, karena dia berada di luar
dinding penjara. Tanpa menyahut Haryati segera melangkah kembali. Sekarang lebih cepat. Setengah
berlari. Dia tak perlu takut lagi sekarang. Dia toh bukan bermaksud kabur. Dia
bebas! Jadi dia tak perlu lagi bermanis-manis dan merendah-rendah. Kebebasan
telah mengembalikan harga diri. Suara tertawa yang kedengaran mengejek cuma
memacu gerakannya. Di luar, matahari seolah menyambutnya dengan pelukan yang hangat. Darahnya
memanas dan mengalir lebih cepat, memberinya tambahan energi dan vitalitas. Baru
kali itu dia merasa betapa nikmatnya berada di alam bebas dalam keadaan bebas.
Dia perlu berdiam sejenak untuk mereguk dan meresapi semua itu. Lalu sadar
dengan terkejut oleh bunyi klakson mobil. Ah, si pelindung"
Sebuah mobil sedan hitam berada dalam jarak beberapa meter saja dari tempatnya
berdiri, tapi tak segera disadarinya karena keasyikannya tadi. Kembali dia
diingatkan. Cepat dia melangkah ke sana. Lalu tertegun. Seorang lelaki berada di
belakang kemudi. Cuma dialah satu-satunya isi mobil, tapi tampaknya dia bukan
sopir. Wajahnya tak dikenal oleh Haryati. Tampaknya lelaki itu berusia setengah
baya. Rambutnya sebagian besar sudah memutih. Kumisnya tebal, dan anehnya kumis
itu berwarna hitam tanpa uban. Kacamata hitamnya pun besar. Kulitnya yang sawo
matang sudah berkeriput. Dia segera tersenyum melihat Haryati yang
terbengongbengong saja memandanginya.
"Apa kabar, Yati" Kau baik-baik saja" Ayolah, masuk," dia menyapa sambil membuka
pintu mobil di samping tempat duduk di sebelahnya. Tetapi Haryati tidak
bergerak. Dia tetap berdiri di sisi pintu tempat si pengemudi berada. Keningnya
berkerut, mencoba mengenali identitas si pengemudi. Dia tidak mau sembarangan
ikut orang yang tidak dikenalnya.
"Siapa Bapak ini?" tanyanya dengan perasaan tegang. Si pengemudi tersenyum
dengan penuh pengertian. Dia membuka kacamata hitamnya, lalu mencabut kumisnya
yang ternyata palsu. "Masih ingat aku?" tanyanya. Haryati terkejut. Dia undur selangkah. Tentu
saja dia masih ingat. Orang di depannya ini adalah Daud Galih, salah satu dari
tiga hakim yang menjatuhinya hukuman tujuh tahun penjara!
"Pak. Pak Da. ud?" gagapnya dengan bingung.
"Jangan memanggilku Bapak lagi sekarang, Yati. Aku sudah pensiun. Kita
berhadapan tidak seperti dulu lagi. Aku tetap temanmu." Haryati menggelenggelengkan kepalanya. Pada suatu ketika dulu, lama berselang, Daud memang teman
dekatnya. Malah seorang kekasih. Tapi itu dulu. Apinya sudah lama padam,
walaupun kenangan tentang hal itu tak mungkin dihapus. Tapi justru kenangan
itulah yang membuat mereka tidak terlalu asing satu sama lain.
"Jadi kaulah si pelindung itu?" tanya Haryati setelah berhasil memulihkan
dirinya. "Jangan bilang begitu. Tak baik istilah itu."
"Tapi memang kau, bukan?"
"Cuma itu yang bisa kulakukan."
"Tapi kenapa?" "Tidak apa-apa. Sungguh, tak ada motivasi di balik itu. Aku cuma ingin
membantu." "Karena kasihan?"
"Ah." "Atau merasa bersalah karena telah menghukumku begitu berat untuk kesalahan yang
tidak kulakukan?" Daud Galih terkejut. Begitu pula Haryati yang merasa kelepasan
bicara. Cepat dia memalingkan muka. Tetapi Daud bertanya gencar,
"Kenapa kau berkata begitu sekarang" Bukankah dulu kau sudah mengakui semuanya?"
Haryati menutup mulutnya.
"Yati, kau menyembunyikan sesuatu!" seru Daud dengan perasaan resah.
"Sudahlah. Bukankah segalanya sudah berlalu" Tak ada gunanya lagi sekarang. Aku
tak mau membicarakannya." Melihat wajah Haryati yang keras dan kukuh, lebih
keras lagi oleh bekas luka memanjang di pipi kanannya, Daud segera sadar bahwa
dia tak | bisa memaksa Haryati pada saat itu. Dia harus bersabar. |
"Ayolah, naik ke mobil, Yat! Masa di situ terus?" bujuknya.
"Mau ke mana?" tanya Haryati ragu-ragu.
"Untuk sementara tinggalah di rumahku dulu. Baru kemudian kaupikirkan."
"Rumahmu?" tanya Haryati terkejut.
"Bagaimama dengan istrimu?"
"Dia sudah meninggal. Aku tinggal sendiri. Anakanak sudah kawin semua dan
tinggal di rumah masing-masing." Haryati masih juga tak beranjak.
"Tadinya kukira Melinda yang menjemput," katanya pelan, berusaha menyembunyikan
kekecewaan dan kepedihannya.
"Melinda" Mungkin dia tidak tahu."
"Tentu saja dia tidak tahu. Bagaimana mungkin dia bisa tahu, karena tak pernah
menjenguk. Tapi toh kupikir. siapa tahu." Haryati menelan ludah yang terasa
menghambat kerongkongannya.
"Sudahlah. Kan ada aku. Sama saja, kan" Ayo. lah."
Setelah Daud bergerak untuk keluar dari mobil, barulah Haryati berjalan memutari
mobil bagian depan lalu masuk. Daud meletakkan tas plastik bawaannya di bagian
belakang. Sesaat tatapan Haryati tertuju ke kaca spion, dia melihat bayangan
wajahnya sendiri. Spontan tangannya terangkat merabai bekas luka di pipinya.
Daud melihat gerakan tangannya.
"Kudengar juga perihal insiden itu, Yat. Menyesal sekali," katanya iba. Haryati
tersenyum sedih. "Tak apa-apalah. Toh aku sudah tua. Muka cacat tak jadi soal. Uh, sudah setengah
abad. Biar sajalah."
"Mestinya tak perlu terjadi. Sejak saat itulah kutitipkan kau pada petugas."
"Bukan petugas yang menyilet mukaku, melainkan sesama napi."
"Ya, aku tahu. Tapi kalau saja sejak awal aku berbaik-baik pada mereka, hal itu
tak akan terjadi." "Terima kasih, Daud. Bahagia sekali ada yang memperhatikan."
"Itu cuma soal kecil, Yat."
"Jadi itu sebabnya kau merasa perlu menyamar?"
"Ya. Perbuatanku itu sebenarnya toh melanggar peraturan, bukan" Tapi bagaimana
lagi" Di manamana yang namanya oknum selalu ada saja betapapun bagusnya
peraturan yang ada. Apalagi di tempat rawan seperti itu."
"Ah, kau baik sekali, Daud."Kata-kata itu kedengaran seperti keluhan. Daud
melirik untuk mengamati wajah Haryati. Untuk kesekian kalinya dia merasa
terenyuh. Betapa besar perubahan diri Haryati. Sesungguhnya dia tak mengenali
tadi. Kalau saja Haryati tidak langsung menuju mobilnya setelah diklakson,
seakan sudah tahu sebelumnya bahwa dirinya dijemput, tentulah dia tidak
mempedulikan. Di samping itu pegangannya yang lain adalah cacat di muka Haryati.
Lalu dia langsung menegur tanpa bertanya dulu, karena khawatir akan membuat
sedih perasaan Haryati. Dulu Haryati mudah sekali tersinggung, karena
perasaannya teramat halus. Ya, itu tentu dulu sekali, tapi dia masih ingat. Dulu
Haryati cantik. Bahkan di saat akhir persidangan pun dia masih kelihatan cantik.
Memang setiap orang akan menua sesuai umurnya, tetapi penampilan Haryati
sekarang sungguh mengejutkan. Wajahnya begitu tua dengan pipi teramat kendur
menurun hingga menarik ujung-ujung bibirnya ke bawah. Tambahan lagi cacat di
pipinya itu menambah kelainan. Sungguh mengejutkan. Tetapi dia berusaha keras
untuk tidak memperlihatkan. Untung di saat jumpa pertama dia tidak segera
melepas kacamatanya. Haryati seolah merasakan apa yang ada dalam pikiran Daud.
"Heran juga kau bisa mengenaliku tadi. Aku sendiri kaget melihat wajahku setelah
lama sekali tak pernah melihat cermin. Ngenes rasanya. Kau tidak kaget?"
Daud diam saja. N"Ah, pasti kau kaget juga. Pasti. Tapi sekarang tentu tidak
lagi." "Ya. Aku lebih kaget mendengar kata-kata yang pertama-tama kauucapkan tadi."
Sekarang giliran Haryati menutup mulutnya. Daud meliriknya lagi.
"Nanti saja di rumah kita bicarakan lagi, ya" Kita punya banyak waktu untuk
bicara. Sebentar lagi sampai."
"Apa gunanya dibicarakan, Daud" Masa lalu tak bisa kembali untuk diperbaiki."
Kata-kata itu memberi rasa dingin di hati Daud. Dia merasa tidak enak dan
waswas. Sepertinya bisikan naluri dan nuraninya selama bertahun-talun belakangan
ini akan jadi kenyataan. Bukankah bisikan itu pula yang mendorongnya untuk
membantu Haryati" Tak ada pembicaraan lagi sampai mobil berhenti di depan rumah
Daud. Sebuah rumah ukuran sedang yang sederhana tapi tampak rapi. Dan juga sepi.
Haryati terpesona melihat kesederhanaan di depan matanya. Mestinya dia sudah
bisa menduga dari kondisi mobil yang dikendarai Daud. Sebuah mobil tua. Tapi
entah kenapa dia sempat cemas kalau-kalau menemukan kemewahan dalam bentuk rumah
megah seperti rumahnya sendiri dulu. Setelah bertahun-tahun merenung dalam
penjara dia sudah menyimpulkan bahwa harta kekayaan cuma membawa masalah. Dan
masalah itu pula yang telah menjebloskannya ke dalam penjara. Andaikata dia
tidak kaya, atau lahir dari orangtua yang
tidak kaya, pastilah nasibnya akan lain. Tapi bukan cuma itu saja.
Kesederhanaan Daud membuatnya respek. Daud mengajak Haryati ke sebuah kamar
sambil membawakan tasnya.
"Kamarnya tak besar, Yat. Dan seprainya belum sempat kupasang," kata Daud.
"Biar kubereskan sendiri, Daud. Masa kau." sahut Haryati dengan mata berkacakaca. Dia masih saja tak habis pikir bagaimana mungkin Daud bisa sebaik itu
kepadanya. Bahkan anaknya sendiri melupakannya. Tapi dia sungguh yakin Daud
memang tak punya maksud lain kecuali menolong. Tak mungkin Daud masih menaruh
hati kepadanya, seperti juga dirinya kepada Daud. Setelah masing-masing berumah
tangga mereka, tak pernah bertemu lagi sampai saat-saat persidangan. Baru pada
saat itu dia tahu bahwa Daud berprofesi sebagai hakim, sedang Daud sendiri
tentunya baru tahu pula bahwa dia sedemikian kejinya hingga tega membunuh
sekaligus membakar suami sendiri! Jadi bila memang Daud tak punya motivasi lain,
tentunya Tuhan telah mengirimnya.
"Barangkali kau mau istirahat, Yat" Dan kalau kau mau minum."
"Ambil sendiri," sambung Haryati. Daud tersenyum.
"Hari ini pembantuku tidak masuk. Dia tidak menginap."
"Aku akan membantumu, Daud. Bukankah aku bekas ibu rumah tangga?"
"Ah, jangan. Kau tamuku, Yat.?"Pokoknya beres. Kaulihat saja nanti." Setelah
memahami bahwa tenaganya bisa bermanfaat di rumah itu, Haryati berubah dari loyo
menjadi sigap. Setelah membereskan kamarnya sendiri, dia segera berkeliling
rumah untuk membersihkan dan nerapikan segala sesuatu yang berantakan. Daud tak
bisa mencegah. Tetapi Haryati bisa membatasi diri ituk tidak memasuki kamar
tidur Daud. "Sudahlah, Yat. Kan capek" Besok juga pembantuku masuk."
"Kau lupa. Aku sudah terbiasa kerja."
"Sebaiknya kita ngobrol saja. Dan kau tentunya lapar."
"Ah, kau lapar" Belum masak?"
"Memang belum. Biasanya aku." Iaryati segera ke dapur untuk melihat bahanbahan
yang ada. Lalu dia bekerja. Daud terheranheran melihatnya. Rasanya seperti
mimpi. Ketika dia sudah mantap untuk menjemput Haryati dan mengajaknya tinggal
untuk sementara di rumahiya, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa suasana
rumahnya akan seperti itu. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah
kenyataannya bahwa sekarang dia bisa tinggal serumah dengan Haryati, anganangannya puluhan tahun yang lalu. Padahal dia dan Haryati sekarang sudah menjadi
kakekkakek dan nenek-nenek dengan suasana hati yang sudah berubah. Dengan
termangu-mangu Daud duduk di dapur, memandangi kerja Haryati sambil sesekali
mengulurkan tangan bila dibutuhkan. Dia heran me
R)nyaksikan betapa sigap dan terampilnya cara kerja Haryati. Segala gerakannya
serba efisien. Padahal dulu semasa muda dan kemudian menjadi nyonya rumah,
kemungkinan besar Haryati tak mengenal kerja seperti itu. Dan hal lain yang
diherankannya adalah perubahan dalam sekejap yang diperlihatkan Haryati, yaitu
antara saat awal kebebasannya dan sekarang. Tadi dia begitu loyo, tanpa semangat
hidup sama sekali. Sekarang dia bergerak lincah ke sana kemari. Lalu ada lagi
perbedaan kontras antara penampilan dan gerakan tubuh. Sepintas Haryati tampak
rapuh, tua, dan keropos. Tapi dari gerak-geriknya itu jelas bahwa dia sehat dan
masih kuat fisiknya. Haryati tertawa melihat Daud terbengong-bengOng.
"Kau tentu heran melihatku. Ya, inilah Haryati yang sekarang. Berubah sekali
dia, bukan?" "Ya." "Kau heran aku bisa begitu berubah?"
"Tidak. Itu wajar saja. Enam tahun enam bulan kau dipenjara. Tempat itu mengubah
seseorang." "Ah, kau ingat rupanya berapa lama aku di sana. Bukan tujuh tahun seperti vonis
yang kalian jatuhkan."
"Tentu aku ingat. Kau cuma mendapat remisi enam bulan."
"Ah, berapa banyak pun potongan yang kudapatkan akan sama saja. Penjara ya tetap
penjara. Apa bedanya" Keluar lebih cepat atau lebih lama,
aku tetap saja sendirian." Mereka berbicara tanpa Haryati menghentikan
pekerjaannya. Dia membuat semur daging dan telir mata sapi. Tak ada sayuran di
kulkas. Ada emping dan kerupuk tapi minyak goreng tak cukup.
"Mestinya tadi kita mampir dulu ke pasar swalayan," sesal Daud.
"Pasar swalayan?"
"Ya. Itu nama lain dari supermarket."
"Wah, aku ketinggalan banyak tentunya. Tapi lidakkah semua ini cukup" Sebentar
lagi nasi matang." "Tentu saja cukup. Aku lebih suka makan di rumah daripada di luar. Ah, sudah
beres. Mari kubantu kau cuci piring."
"Jangan. Biar aku bereskan sendiri saja. Kalau dibantu malah jadi repot. Sempit
untuk dua orang," alasan Haryati. Daud duduk kembali. Sesaat dia terkenang pada
anak-anaknya. "Jadi anakmu cuma Melinda seorang, Yat?"
"Ya. Dan anakmu?"
"Dua. Kedua-duanya perempuan. Seorang di Amerika dan seorang lagi di Semarang.
Ikut suami. Masing-masing punya anak dua juga. Jadi cucuku sudah empat orang."
"Melinda belum kawin pada saat aku masuk penjara. Entah sekarang. Dulu dia punya
kekasih lapi putus setelah. setelah peristiwa itu. Kekasihnya meninggalkannya
karena malu punya calon mertua seperti diriku." R)"Picik sekali!" seru Daud
marah. "Ya. Tapi susah juga menyalahkannya. Keluarganya pun malu berbesan denganku.
Mereka menekan anak itu agar memutuskan hubungan. Itulah salah satu sebab kenapa
Linda dendam padaku. Sebab lain sudah jelas, dia sangat menyayangi ayahnya,


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang aku dituduh membunuh ayahnya itu. Pasti dia lebih menyayangi ayahnya
daripada aku," kata Haryati dengan perasaan pahit. Walaupun Daud merasa terharu,
tapi dengan jelas dia bisa mendengar kata
"dituduh membunuh" yang barusan diucapkan Haryati. Tentu saja itu berbeda sekali
dengan pengakuan yang telah diucapkannya dulu. Apakah Haryati memang tidak
melakukannya ataukah itu cuma pengingkaran psikologis saja karena sekarang dia
sudah bebas" Tetapi Daud menahan diri untuk tidak menanyakannya lagi.
"Sudahlah. Kau tidak usah membicarakannya kalau hal itu cuma menyedihkan
perasaanmu saja," dia menghibur.
"Ah, tidak. Rasanya memang sedih, tapi lebih lega. Dulu aku cuma bisa
merenungkan dan menyimpulkannya sendiri, tak pernah bisa mengutarakannya pada
seseorang yang kupercaya. Aku tak mau ngomong pada sembarang orang. Apalagi di
penjara yang yang penghuninya punya beban mental sendiri-sendiri."
"Ya, kau memang perlu mengutarakannya, Yat," Daud menganjurkan.
"Entahlah. Aku juga tidak tahu mana yang perlukiutarakan dan mana yang tidak.
Mungkin tadi keceplosan saja."
"Terserah kau saja. Kalau kau merasa ingin bicara sebaiknya tak perlu ditahan."
"Ya. Mungkin sebaiknya begitu."
"Oh ya, bukankah sebaiknya Melinda diberitahu tentang kebebasanmu?"
"Aku tidak punya alamatnya."
"Tapi dia di Jakarta?"
"Sebelum aku masuk penjara dia memang ada ali kota ini. Dia kuliah ekonomi
akuntansi di Atnajaya. Sekarang tentunya sudah selesai. Ataukah putus kuliah"
Aku tidak tahu apa-apa. Tetapi aku sempat memberikan semua perhiasanku kepadanya
ituk dia jual dan uangnya bisa dimanfaatkan. Mobil dan rumah kami pun sudah
kuizinkan untuk dijual saja."
"Lantas kau tak punya apa-apa lagi, Yat?"
"Memang tak ada lagi. Semuanya sudah habis, Daud. Tapi aku tak menyesal. Harta
memang mudah sekali musnah." Mereka terdiam. Pikiran masing-masing beralih
sejenak. Daud teringat pada Deden Sofyan almarhum, suami Haryati, yang
sebenarnya tak dikenalnya. Tapi gosip meributkan bahwa Deden telah menghabiskan
sebagian besar harta Haryati, warisan dari orangtuanya, dengan membangkrutkan
beberapa perusahaan yang ditanganinya. Dalam persidangan hal itu disinggung oleh
jaksa penuntut sebagai alah satu alasan kemarahan Haryati hingga tega
R)membunuh suaminya. Tapi Haryati tak mau mengungkapkan banyak-banyak. Dia pun
tak menyalahkan suaminya untuk semua kebangkrutan itu. Cuma salah urus, katanya.
"Tapi aku bingung bagaimana pertanggungjawabanku terhadap Haryani nanti" Warisan
orangtuaku itu seharusnya kubagi dua bersama Haryani. Jadi mestinya aku tidak
berhak menjual rumahku untuk dimanfaatkan oleh Linda sepenuhnya. Sekarang
Haryani tidak kebagian apa-apa. Bagaimana kalau dia pulang dan menanyakan?"
keluh Haryati kemudian. "Memangnya ke mana sih adikmu itu?"
"Suratnya yang terakhir, tak lama setelah peristiwa itu. mengabarkan dia berada
di Amerika dan sudah kawin dengan cowok bule. Tapi dia tak menyertakan alamatnya
karena belum punya alamat pasti. Nanti kalau sudah pasti dia akan memberi tahu.
Nyatanya aku dipenjara selama bertahun-tahun. Tak ada yang menyampaikan surat
apa pun untukku. Barangkali nyasar. Entahlah kalau dia mengirimnya kepada Linda.
Mungkin Linda tahu."
"Kalau Yani tahu perihal nasibmu mustahil dia tidak pulang untuk menjengukmu.
"Apakah Yani masih binal seperti dulu kukemal?"
"Entahlah sekarang. Tapi menjelang peristiwa itu terjadi, kayaknya dia masih
saja kayak dulu. Sulit dikendalikan. Kabur dari rumah lalu berharihari lenyap
entah ke mana dan bila pulang berbuat
akan tak ada apa-apa. Kupikir dia punya sedikit kelaian. Hiperaktif begitu."
Daud mengembalikan ingatannya ke masa lalu.
"Ya, itu benar. bukankah dia pernah merayuku ketika kita masih.?" Dia tak
melanjutkan perkatauya dan jadi tersipu karenanya. Rasanya kurang pintas
mengenang hubungan mereka dulu dalam suasana seperti itu. Tetapi Haryati tidak
menyadari sikap Daud. Yang dipikirkannya cuma Haryani saja.
"Ah, Yani," keluhnya.
"Tapi bagaimanapun binalnya dia, tetaplah dia berhak atas harta warisan itu.
Bagaiia kalau dia menuntut, Daud" Tentunya bukan iku yang dia kejar, melainkan
Linda. Kasihan betul kalau anak itu dianggap menanggung utang."
"Ketika dia masih di sini, tidak tahukah dia tentang kesulitan perusahaan
kalian?" "Aku tidak menceritakan. Dia pun tak pernah bertanya. Paling-paling dia cuma
minta duit." "Kupikir dia akan mengerti, Yat. Sudahlah. Jangan merisaukan dulu hal yang belum
pasti. Sebaiknya kita makan dulu. Kulihat nasi sudah matang tuh." Mereka makan
tanpa banyak bicara. "Ah, dagingnya kurang empuk," komentar Haryati.
"Atau gigiku yang sudah tua?"
"Cukup, kok. Enak." Haryati tertawa.
"Latihan masaknya di penjara, Daud. Dulu mana bisa aku masak. Ah, sebenarnya
bukan tak bisa, melainkan malas!"
"Ya, kau memang anak manja. Aku ingat ketika
R)kau memegang pisau dapur tanpa bisa membedakan mana bagian tajamnya dan mana
tumpulnya." Haryati terbahak. "Apa iya aku sebodoh itu, Daud?"
Daud tertawa juga. "Bukan bodoh, tapi."
"Norak!" "Ya, kira-kira begitu."
Sambil makan diam-diam Daud memperhatikan. Haryati makan dengan cukup lahap.
Makanan pertama di luar penjara, pikirnya iba. Keibaannya itu mengingatkannya
kembali pada saat-saat ketika persidangan tengah berlangsung. Haryati nampak
begitu kecil dan rapuh di kursi terdakwa. Sepertinya tiap saat dia bisa jatuh
dan hancur berantakan. Penampilannya sungguh jauh dari gambaran seorang pembunuh
keji. Tetapi dalam kariernya sebagai hakim, dia sudah cukup sering menghadapi
tertuduh wanita yang terbukti dan juga mengakui telah membunuh suami mereka.
Penampilan mereka pun lemah lembut dan rapuh, di ambang keambrukan mental.
Sungguh tak masuk akal bagaimana mereka bisa tega hati membunuh dengan cara yang
keji, bagaikan seorang pembunuh berdarah dingin. Maka kesimpulannya bisa
diperoleh lewat penelusuran kehidupan si wanita dengan suaminya hari demi hari,
bisa dalam jangka pendek tapi bisa juga dalam jangka panjang. Kelakuan si suami
telah memberinya beban mental yang menumpuk terus lalu menimbulkan stres, suatu
kondisi berbahaya dengan akibat destruktif. Suami yang gemar menyiksa istrinya,
karena menganggapnyasebagai makhluk lemah yang tak bisa melawan, terus-menerus
menekan sampai suatu ketika si istri tiba-tiba berubah drastis dan tak
terkendali lagi. Pembunuhan dilakukan sebagai jalan keluar satusatunya dari
impitan dan tekanan batin yang tak terhingga.
Deden Sofyan sudah dikenal sebagai suami yang ringan tangan kepada istrinya, di
samping kegemarannya berjudi pula. Pembantu dan para tetangga dengan senang hati
memberi kesaksian iengenai penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan Deden
terhadap istrinya. Para tetangga sudah kenyang mendengar pekik kesakitan
Haryati, siang iaupun malam. Cuma Melinda yang menutup mulitnya rapat-rapat
mengenai hal itu. Mungkin memang benar seperti kata Haryati, bahwa anak itu
lebih sayang pada bapaknya daripada ibunya. Alangkah butanya kasih yang seperti
itu! Pertimbangan demikian itu pula yang menyebabkan vonis bagi Haryati jauh lebih
ringan dibanding dengan tuntutan jaksa yang sebanyak lima belas tahun. Tetapi
Daud sendiri menganggap itu masih terlalu berat untuk Haryati. Lepas dari
keterlibatan pribadinya dengan Haryati pada masa lalu, sesungguhnya dia kurang
percaya-susah percaya-bahwa Haryati bisa menjadi seorang pembunuh yang begitu
keji. Sekarang dia telah mendengar ucapan Haryati yang menyinggung ketidaksalahannya.
Tak salah dengarkah dia"Tiba-tiba Haryati tampak malu tersipu.
"Apakah aku kelihatan rakus, Daud?" tanyanya tiba-tiba. Daud terkejut.
"Tentu saja tidak. Kenapa?"
"Caramu memandangi."
"Ah, maaf. Bukan maksudku, Yat. Aku. aku teringat akan kata-katamu tadi. Tapi
sudahlah. Sekarang bukan saatnya membicarakan hal itu," kata Daud sambil
mengingatkan dirinya juga. Dia harus bersabar.
"Ayo, tambah lagi, Yat" Jangan malumalu. Anggaplah rumahmu sendiri," bujuknya.
"Ah, aku malu."
"Jangan begitu. Aku senang punya kawan. Sungguh, Yat. Lihat saja hidupku yang
sendirian begini. Setelah pensiun tiba-tiba aku jadi pengangguran."
"Ah, masa" Kau kan belum jompo, Daud. Keahlianmu masih bisa dimanfaatkan."
"Memang ada juga yang mau memanfaatkan, misalnya ada yang menawariku kerja di
bank." Daud tertawa geli.
"Wah, tahu apa aku tentang perbankan" Mau disuruh kerja apa?"
"Tentunya bidang hukum."
"Ah, aku tak berminat. Jadi pengacara pun tidak. Tapi seharusnya aku memang
melakukan sesuatu. Masa menganggur terus, hidup dari uang pensiun dan pemberian
anak-anak. Malu rasanya pada diri sendiri."
"Lantas kau tak punya rencana apa-apa" Barangkali ada hobi yang bisa
dimanfaatkan?" Haryati ikut berpikir.
"Sebenarnya aku punya angan-angan, Yat. Tapi kayaknya sulit untuk
direalisasikan.?"Katakan. Apa itu, Daud?"
"Jadi detektif swasta."
Haryati tersenyum. "Nah, kau menertawakan. Memang mustahil,
bukan?" "Tidak. Aku bukan menertawakan. Kau lupa, ya" Dulu kau pernah berangan-angan
seperti itu juga. Kau mengatakannya padaku. Tapi aku bilang, itu tentu
disebabkan kau terlalu menggemari cerita-cerita detektif. Rupanya sampai
sekarang keinginan itu tak pernah hilang. Aku pikir itu serius, Daud." Daud
merasa tersentuh. "Aku tak sangka kau masih mengingatnya, Yat. Tapi kalaupun anganangan itu bisa terealisasi,
barangkali tak ada orang yang menyewaku. Bahkan izin untuk berpraktek pun belum
tentu bisa kuperoleh."
"Tahu sama tahu kan bisa. Tak usah pasang papan nama. Tapi kupikir, kau tentu
tidak sembarang berangan-angan kalau tak punya kemampuan. Mungkin kau sadar
punya kelebihan-kelebihan dan kekuatan tertentu, Ya, kau tentu lebih memahami
dirimu sendiri. Mestinya kau dulu jadi reserse."
Daud tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Toh aku takkan frustrasi kalau angan-angan itu tak kesampaian. Aku sadar,
menjalani hidup ini bukan cuma untuk meraih angan-angan."
"Tapi kalau kau jadi reserse yang menangkapku, mungkin kau tak akan berpuas diri
dengan bukti nyata dan pengakuan."
R)Daud tertegun. Kata-kata Haryati itu kembali menggugah dan mengusiknya. Dia
mendorong piring kosongnya ke tengah meja lalu mengamati wajah Haryati dengan
cermat. Tapi yang dipandangi acuh tak acuh berpaling ke arah lain.
"Apa maksudmu, Yat?"
"Tidak apa-apa. Eh, kau enggak marah, Daud" Sudah kenyang?" Haryati mengalihkan
percakapan. "Ya, sudah. Tapi kau belum jawab pertanyaanku, Yat. Sudah dua kali aku mendengar
kata-katamu menjurus ke satu hal," desak Daud dengan tekad tak akan menunda lagi
apa yang ingin diketahuinya. Haryati berdiri tanpa berkata-kata. Dia menyibukkan
diri dengan membenahi meja lalu mengangkat tumpukan piring kotor untuk dicuci.
Tapi Daud tak membiarkannya. Dia mendekat, mengambil piring-piring itu dan
meletakkannya kembali ke atas meja. Lalu dia memegang kedua lengan Haryati dan
menatapnya dekat-dekat. "Katakan padaku, Yat. Ada apa sebenarnya" Ayolah. Jangan menyembunyikan. Apakah
kau masih kurang percaya padaku?" katanya dengan nada memohon. Mulanya Haryati
berusaha melepaskan pegangan Daud. Tapi cekalan tangan Daud semakin kuat.
Haryati tak bisa melepaskannya. Dia terpaksa membalas tatapan Daud. Di mata Daud
dia melihat kelembutan. Sesuatu yang tak pernah dilihatnya selama bertahun-tahun
dalam penjara. Pertahanannya runtuh. Dia tersedu. Kata-katanya keluar dengan
susah payah, "Bu.kan aku yang membunuh Deden. Bu.kan aku yang mem.ba. karnya. A. ku tidak ta.
hu apa-apa. Aaaah...! Aaaaa...!" Dia berteriak dan mengeluh dalam-dalam untuk
mengeluarkan ganjalan yang mengimpit dadanya. Sesudah itu dia terkulai lemas.
Kalau saja tak dipegangi oleh Daud tentu dia sudah jatuh ke lantai. Saat
berikutnya dia tersedu-sedu dalam pelukan Daud yang erat.
"Aku percaya, Yat. Aku percaya padamu," kata Daud setelah emosi Haryati mereda.
Haryati melepaskan pelukan dan memandang Daud dengan heran.
"Kau percaya?" tanyanya.
"Ah, kau cuma menghiburku saja."
"Sungguh." "Kenapa?" "Lho, perlukah soal kepercayaan ditanyakan" Dulu saat kau tengah diadili pun aku
tak yakin kau benar-benar melakukan hal itu. Tapi saat itu tentu berbeda karena
kau tak membantah sedikit pun. Untuk itu kau harus memberi penjelasan, Yat.
Kenapa kau mengaku" Kenapa kau menjalani hukumanmu tanpa protes?"
"Aku akan bercerita, Daud. Ya, aku akan menjelaskannya. Tapi berilah aku waktu
barang sebentar. Aku. aku merasa capek walaupun lega. Aku senang bisa
mengatakannya padamu. Aku bahagia kau percaya padaku."
"Benar. Sebaiknya kau istirahat dulu, Yat," kata Daud walaupun dia sebenarnya
tak sabar lagi. Di samping itu dia juga khawatir kalau-kalau Haryati
berubah pikiran lalu memutuskan untuk tidak bercerita karena menganggapnya tak
ada gunanya. "Yang kuperlukan bukan istirahat fisik, Daud, melainkan istirahat pikiran dan
mental. Sekarang aku merasa terkuras. Aku takut pada emosiku sendiri. Selama di
penjara aku belajar untuk menekan emosiku. Terus menekan. Aku harus mengingkari
bahwa diriku adalah manusia yang punya emosi. Sekarang aku bebas. Jadi bebas
pula untuk meledakkan emosiku, padahal sudah begitu lama tertekan. Ternyata
akibatnya seperti itu. Aku ngeri. Siapa tahu aku bisa mati karenanya. Mati
karena ledakan emosi. Akibatnya aku bisa merepotkan kau, Iya, kan?" Daud
mengangguk. Dia memahami dan menjadi sabar karenanya. Masih banyak waktu.
MELINDA, putri dan anak tunggal Haryati, berusia dua puluh lima tahun, cantik
dan mandiri tetapi angkuh oleh rasa harga diri yang tinggi. Wajahnya yang cantik
sering kali berkesan murung karena jarangnya dia tersenyum. Dan dia akan tampak
serius sekali kalau mengenakan kacamata bacanya. Penampilannya dapat membuat
lelaki iseng segan mendekat karena yakin tak akan mendapat tanggapan. Nyatanya
dia memang jarang didekati lakilaki kecuali untuk urusan bisnis dan persoalan
kantor tempat dia bekerja sebagai akuntan. Tetapi ada seorang pria, Lesmana-lima
tahun lebih tua dari Melinda-yang setia mendekati dan menemani selama dua tahun
terakhir, walaupun Melinda dengan tegas menyatakan dirinya cuma mau berteman
saja. Entah karena Lesmana terlalu optimis atau dia cukup puas dengan kondisi
seperti itu, dia pun tak gentar oleh pengakuan Melinda bahwa gadis itu punya ibu
pembunuh suami. Si kapnya tak berubah. "Aku kan berhubungan dengan kamu. Bukan
apa ibumu. Bahkan aku tak kenal siapa ibumu," dalihnya.
"Tapi orang bilang, anak itu tak jauh dari orangtua. Jadi."
"Ala, nonsens!" Lesmana memutus. Melinda mengangkat bahunya.
"Sekarang kamu bilang begitu, tapi nanti bisa lain. Dan kalau aku jadi istrimu
memang takkan ada masalah selama kita rukun-rukun saja. Tapi sekalinya pecah
perang, kau akan mengungkit-ungkit soal itu. Siapa tahu kau akan ketakutan
kalau-kalau aku akan membunuhmu dalam tidurmu lalu membakarmu."
"Tidak mungkin! Persangkaanmu terlalu jahat tentang diriku. Tega betul. Sudah
begini lama kita bergaul tapi dari dulu kau tetap saja bilang begitu. Masa sih
kau belum mengenalku?" keluh Lesmana.
"Manusia itu bisa berubah, Les," kata Melinda dengan lembut.
"Ya. Aku tahu. Tapi perubahan itu kan tak sampai begitu rupa hingga bertolak
belakang dengan kepribadiannya."
"Bisa saja. Buktinya adalah ibuku. Siapa sangka dia bisa begitu. Sebelum
terjadinya tragedi itu, dia adalah perempuan yang lemah lembut." Lesmana
memperhatikan wajah Melinda yang nampak keras ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Kalau begitu, tentunya ibumu telah mengalami hal-hal yang luar biasa. Katanya
dia stres karena perlakuan ayahmu."
"Karena itulah aku segan kawin. Lelaki adalah
R)makhluk labil yang mudah berubah. Sikapnya di saat sebelum kawin dan sesudah
kawin bisa bertolak belakang. Sebelum kawin dia manis dan mesra, tapi sesudahnya
berubah bengis dan keji." Di luar perhitungan Melinda, Lesmana tidak melancarkan


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembelaan terhadap kecaman kaumnya itu. Padahal Melinda sudah menyiapkan
komentar yang sinis. Lesmana mengatakan sesuatu yang tak terduga.
"Jadi ayahmu memang bengis dan keji seperti apa yang telah kudengar. Korankoran
menyebut hal itu. Tapi kau tak pernah bercerita."
"Aku tak mau membicarakan hal itu. Itu masalah keluarga. Kenapa aku harus cerita
ke sana kemari" Seharusnya masalah keluarga disimpan baikbaik sebagai masalah
pribadi," kata Melinda ketus.
"Jadi menurutmu seharusnya ibumu menyimpan juga masalah itu" Tapi kabarnya bukan
dia yang bercerita, melainkan pembantu dan para tetangga sebagai saksi dari
kekejaman ayahmu. Kau memang tak disebut-sebut. Jadi kau memang tahu, bukan?"
"Aku tak pernah melihat sendiri!"
"Tapi kau tahu. Kau tentu punya perasaan dan naluri."
"Orang lain sok lebih tahu perihal keluargaku daripada aku sendiri."
"Kau tidak seharian di rumah terus, bukan" Pasti pembantu lebih banyak tahu."
"Kenapa sih kau ngotot betul sama soal itu"
Aku tak suka!" R)"Aku simpati pada ibumu. Kenapa kau tidak" Dia ibunu, bukan" Kau anaknya satusatunya."
"Ah, kau tentu berpikir bahwa aku tak punya perasaan, bukan" Aku tidak simpati
pada ibuku karena perbuatannya. Bagaimanapun kejamnya ayahku, tidak seharusnya
ibuku membunuhnya. Apalagi dengan cara membakarnya. Aduh, sampai hati betul."
"Ibumu dalam keadaan stres berat. Itu kesimpulan ahli jiwa. Kabarnya orang stres
bisa melakukan hal-hal tak terduga."
"Tidak. Aku tidak bisa menerima alasan itu.
Sebelum seseorang jatuh dalam keadaan stres, dia masih bisa berpikir dan
bertindak wajar. Kenapa pada saat itu ibuku tidak berbuat sesuatu untuk
memperbaiki nasibnya" Dia tidak pernah mengadu atau mendiskusikannya denganku.
Aku kan sudah dewasa, cukup matang untuk memikirkan masalah keluarga."
"Dia tidak mau membuatmu pusing dan sedih. Kupikir, itu merupakan sikap yang
penuh tanggung jawab."
"Walaupun memang benar begitu, dia seharusnya tidak pasrah saja menerima
perlakuan ayahku. Dia perempuan terpelajar, Les. Jadi tahu benar akan hak-haknya
dan juga sadar akan kemampuannya untuk berdiri sendiri. Kenapa dia tidak
menentang perlakuan ayahku dan membebaskan dirinya dengan cara yang terhormat"
Dia bisa minta cerai misalnya. Sikap seperti itu bisa kumengerti karena aku
perempuan juga. Tapi membunuh" Ibukusudah mencoreng nama baik keluarga, dirinya
dan diriku. Dia cuma ingin memuaskan emosinya sendiri tanpa mau berpikir perihal
diriku. Apa yang akan terjadi pada diriku kalau dia dipenjara dan jadi terkenal
sebagai pembunuh" Aku, putri seorang pembunuh sadis!" seru Melinda kesal.
"Pernahkah kau bertanya seperti itu kepadanya?"
"Tentu saja pernah. Malah lebih dari sekali. Tapi dia tak pernah menjawab.
Sikapnya seperti orang linglung."
"Bukan cuma orang tidak terpelajar yang bisa jadi pembunuh, Lin. Orang
terpelajar pun bisa berbuat lebih gila lagi."
"Tentu saja aku tahu. Itu bukan hal baru. Tapi orang terpelajar bisa mencari
jalan keluar lebih baik. Orang bodoh dan miskin tidak bisa karena dia memang
tidak bisa apa-apa."
"Tak semua orang terpelajar bisa terus-menerus berpikir jernih. Mereka juga
punya emosi." "Ala, kau membela amat, sih" Tahu apa kau tentang ibuku" Kau tidak kenal dia,
kan?" tegas Melinda dengan tatap curiga.
"Aku memang ingin mengenalnya. Jadi aku ingin mengajakmu untuk menjenguknya di
penjara." "Tidak! Dulu kau pernah mengajakku juga. Jawabannya tetap sama. Tidak!"
"Kau keras sekali, Lin. Dia ibumu, kan?"
"Ya, tentu saja. Sampai kapan pun dia tetap ibuku."
"Apakah dia menyayangimu, Lin?"
"Ya." "Dan kau menyayanginya juga?" Melinda diam sejenak. Lalu dia menjawab pelan,
"Ya. Tapi aku juga menyayangi ayahku."
"Tidakkah kau membenci perbuatan ayahmu terhadap ibumu?"
"Tentu saja aku benci. Tapi tidak berarti aku harus membenci orangnya. Ingat,
aku tak pernah melihat perbuatan yang dituduhkan orang itu dilakukan oleh
ayahku. Aku melihatnya baik-baik saja."
"Jadi kau tidak percaya?"
"Bukannya tidak percaya, tapi sulit percaya." Lesmana termangu. Kadang-kadang
dia juga tak mengerti dirinya sendiri. Selama hampir dua tahun dia tetap setia
menjadi teman Melinda meskipun gadis itu tak pernah memberikan harapan apa-apa
padanya. Cuma teman saja. Tapi dia tak putus asa. Sebagai teman, Melinda sangat
menyenangkan, baik untuk berdiskusi maupun untuk bergurau. Mereka berdua
memiliki profesi yang sama walaupun bekerja di perusahaan yang berbeda. Mungkin
justru berjauhan begitu menjadi lebih baik efeknya dibanding dengan bekerja di
perusahaan yang sama. Pertemuan di luar perusahaan membuat suasana menjadi
segar. Melinda memang menyenangkan, asal jangan diajak bicara mengenai masalah
yang satu itu. Tetapi rasa penasaran Lesmana tak kunjung lenyap. Sepertinya
secara periodik muncul dan muncul lagi. Padahal dia bisa saja mengambil hati
Melinda dengan cara tidak lagi menyinggung masalah itu. Toh dia tidak
melakukannya. Bahkan R)sekarang dia melangkah lebih jauh lagi, yaitu mengajak Melinda mengunjungi
sang ibu di penjara. Dia memang ingin melihat dan berkenalan dengan Nyonya
Haryati. Sebabnya bukan karena dia ingin memahami motivasi perbuatan Nyonya
Haryati, tapi karena dia ingin memahami Melinda! Sudah cukup lama mereka
bergaul, tapi tetap saja dia merasa belum bisa memahami gadis itu. Jadi dengan
mengenal ibunya, dia berharap bisa pula mengenal anaknya. Di mata Lesmana,
Melinda seolah memasang tirai seputar dirinya rapat-rapat. Memang tirai itu
tembus pandang, tapi toh menyembunyikan. Sungguh membuatnya penasaran. Dia ingin
sekali menarik tirai itu lalu mencoba memahami apa yang akan dilakukannya kalau
sudah berhasil. Terus mengejar Melinda dan memperjuangkan cintanya dengan
menggunakan strategi baru" Atau berpuas diri dengan memahami saja" Sesungguhnya
dia tidak terlalu optimis bahwa Melinda mau menerima cintanya. Selama ini
tampaknya Melinda menyukai dirinya melulu sebagai teman karena dia memang tidak
punya teman. Toh ada kalanya dia merasa jengkel dengan sikap ketus dan judes
Melinda kepadanya. Tapi bila dia sudah memperlihatkan kejengkelannya, biasanya
cepatcepat Melinda mempermanis sikapnya. Hal itu membuatnya yakin bahwa Melinda
tak ingin kehilangan dirinya. Suatu keyakinan yang membuatnya bertahan.
"Jadi kau tak mau. Bagaimana kalau aku pergi sendiri menjenguk ibumu"
Boleh?"tanya Lesmana.
R)Melinda mengerutkan keningnya. Dia memandang jengkel. Sederet kata ketus sudah
berada di ujung lidahnya, tapi ketika beradu pandang dengan Lesmana sesaat dia
tertegun. Di wajah Lesmana dia melihat ekspresi yang terasa ganjil untuknya.
Apakah keinginan Lesmana itu merupakan obsesi" Dia tak ingat lagi sudah berapa
kali Lesmana mengajukan permintaan seperti itu. Biasanya dia menanggapinya
dengan kebosanan. Baru sekarang dia merasa tergugah. Mungkin karena baru
sekarang dia menangkap adanya dambaan di wajah Lesmana saat mengutarakannya.
Sebelumnya dia tak memperhatikan atau memang tak mempedulikan. Segera Melinda
memalingkan mukanya karena | perasaan malu yang menyergap tiba-tiba. Kenapa
justru orang lain begitu ingin menjenguk ibunya dan bukan dia si anak kandung"
"Boleh, Lin?" ulang Lesmana. Instingnya menemukan kelemahan dalam sikap Melinda.
Melinda mengangkat bahunya.
"Kalau kau mau pergi aku tentu tak bisa melarang. Tapi jangan kaubawa-bawa
namaku." "Maksudmu?" "Jangan bilang bahwa kau datang karena disuruh olehku." Lesmana diam sejenak
dengan perasaan tak puas. Mestinya Melinda tak perlu memberi syarat macam-macam.
Tetapi dia menghibur diri dengan keyakinan bahwa sikap Melinda itu bisa dianggap
sebagai suatu kemajuan. Dulu dia pernah mengajukan pertanyaan yang sama tapi
Melinda melarangnya dengan tegas. Demi persahabatan mereka dia terpaksa
mematuhi. "Baik," sahutnya kemudian.
"Bagaimana kalau kukatakan bahwa kau menitipkan salam untuknya?"
"Tidak! Jangan bawa-bawa namaku!"
"Baik, baik. Sudahlah, jangan merengut begitu." Melinda segera menyadari
kekasaran sikapnya. Dia menundukkan kepala. "Sori, Les," katanya pelan
"Tidak apa-apa."
"Aku tahu, di dalam hatimu kau tentu mengang
gapku sebagai anak durhaka yang tak tahu membalas jasa ibunya."
"Sama sekali tidak. Aku mengerti, kau tentu punya alasan untuk itu."
"Ah, mana mungkin kau bisa mengerti."
"Barangkali kau lebih mencintai ayahmu dari
pada ibumu. Jadi, walaupun ayahmu menyakiti ibumu..."
"Sudahlah, Les. Aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Tak punyakah kau topik
pembicaraan yang lain?"
Beberapa saat kemudian keduanya sudah terlihat pembicaraan soal film dan gosip
di kantor. Tetapi di sela-sela pembicaraan Lesmana sempat membangun rencana
untuk hari Minggu yang akan datang. Antusiasmenya tinggi.
Hari Minggu sore, Lesmana mendatangi paviliun kontrakan Melinda dengan membawa
berita baru. "Ibumu sudah bebas, Lin!" serunya. Melinda terkejut. Dia tak pernah menghitung
hari-hari yang lewat. Sudah berapa tahunkah waktu berlalu"
"Enam tahun enam bulan, Lin!" kata Lesmana, seakan mendengar pertanyaan Melinda
yang terucap dalam hati. "Ibumu mendapat remisi selama enam bulan."
"Kapan bebasnya?" tanya Melinda dengan jantung berdebar-debar. Tiba-tiba dia
merasa khawatir kalau-kalau ibunya muncul di depannya dan memohon tinggal
bersamanya. Tentu saja cuma dia satu-satunya keluarga dekat. Ke mana lagi ibunya
akan pergi" "Katanya sih seminggu yang lalu."
"Jadi sudah pergi" Ke mana?"
"Entah. Petugasnya tidak tahu," sahut Lesmana sambil memperhatikan wajah
Melinda. Adakah kekhawatiran di Situ" Melinda termangu sesaat. Apakah ibunya
sudah mempunyai tujuan" Apakah ibunya mencarinya" Tahukah ibunya di mana ia
tinggal" Mungkinkah ibunya bisa menelusuri alamatnya" Rasanya tak mungkin. Tibatiba muncul rasa bersalah yang serasa menghunjam jantungnya hingga terasa nyeri
dan pedih. Bahkan dia tak tahu seperti apa rupa ibunya kini! Enam tahun enam
bulan! Lesmana merasa iba ketika melihat kesedihan membayang di wajah Melinda.
Sekeras-kerasnya hati seseorang masih bisa mencair. Hati manusia
toh bukan batu. "Kutanyakan pada petugas, kenapa anak Bu Haryati tidak dikabari supaya bisa
menjemput. Dia bilang, tidak tahu kalau Bu Haryati punya anak. Sedang Bu Haryati
sendiri tidak bilang apa-apa," katanya penuh simpati. Di luar dugaan Lesmana,
Melinda kembali menjadi ketus. Wajahnya mengeras sesuai dengan ucapannya,
"Kan lebih baik begitu. Kalau tahu pasti dia datang kemari!" Lesmana ternganga
dengan perasaan gusar. Anak macam apa Melinda ini" Seharusnya dia pergi saja dan
tak perlu datang-datang lagi. Tak perlu melanjutkan hubungan. Melinda melihat
juga kegusaran di wajah Lesmana. Tapi dia memalingkan muka. Biarlah dia
sendirian. Biarlah semua orang memusuhi dan meninggalkannya. Toh sampai akhir
hayatnya predikat sebagai anak pembunuh akan tetap melekat pada dirinya. Dia
memang sempat merasa iba dan bersalah, tapi perasaan-perasaan itu buyar saat
terpikir bahwa ibunya sendirilah yang telah menciptakan situasi seperti itu.
Ibunya bukan cuma mencelakakan dirinya sendiri, tapi juga menyeretnya serta ke
dalam kubangan kehinaan. Tak ada yang menolongnya. Ke mana orang-orang yang
katanya mencintainya" Mereka lari karena jijik kepadanya.
"Bagaimana sih, kau ini..," ucap Lesmana gemetar karena menahan emosinya. Tapi
dia sempat menghentikan ucapannya ketika terpikir bahwa sesungguhnya dia tidak
berhak ikut campur dalam masalah itu. Akhirnya dia menjadi sedih karenamerasa
usahanya sia-sia saja. Mungkin sebaiknya dia membiarkan saja Melinda di dalam
dunianya sendiri. "Ya, kau memang tidak mengerti, bukan?" seru Melinda.
"Lebih baik aku tidak bertemu dengan ibuku daripada aku harus munafik beriba-iba
dan bermanis-manis kepadanya padahal di dalam hati aku marah sekali. Ataukah aku
harus terus terang kepadanya dengan menyatakan isi hatiku yang sebenarnya"
Mungkin dia akan kena serangan jantung oleh sikapku. Jadi mana mungkin aku me
nerimanya di sini untuk hidup bersamaku" Kami
akan saling menyiksa, Les. Aku akan menyiksanya dengan kemarahanku. Sedang dia
akan menyiksaku dengan kenangan mengerikan perihal ayahku. Aku pernah melihat
mayat ayahku yang hangus. Dia tak bisa kukenali lagi karena sudah kering, hitam
legam, dan berantakan. Satu tangannya tak ada lagi. Aku tak ingat, apakah itu
yang kanan atau yang kiri. Tangan satunya lagi, yang masih ada, sungguh
mengerikan. Jari-jarinya yang hitam melengkung seperti cakar. Pastilah tangan
yang hilang itu pun serupa dengan itu. Katanya, sudah dicari tak ketemu. Padahal
sudah dikais-kais dan dikorek-korek dengan cermat kalau-kalau tertindih abu
barang-barang yang terbakar. Aneh. Tangan bisa hilang. Tapi tangan itulah yang
sering meneror pikiranku. Aku ngeri. Selalu terpikir, bagaimana kalau sebenarnya
ayahku masih hidup ketika terbakar itu" Kalau sudah berpikir begitu aku marah
pada ibuku. Nah, kalau berpikir saja sudah
Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
marah apalagi melihatnya di depanku. Emosiku bisa mencuat dan aku bisa lupa
diri. Kau mengerti sekarang?" Melinda mencerocos melampiaskan unek-uneknya.
Lesmana ternganga oleh kengerian. Dan ketika mulutnya kembali terkatup dia
berkata dengan lembut, "Maafkan aku, Lin. Aku tidak tahu. Baru kali ini kau cerita begitu. Aku memang
ingin mengenal ibumu. Ingin sekali. Ah, dari dulu aku bilang begitu. Kau sudah
bosan tentu. Tapi motivasinya bukan sensasi melainkan karena dia adalah
perempuan yang telah melahirkan dirimu." Ekspresi Melinda melembut. Untuk
pertama kalinya muncul kesadaran bahwa Lesmana berbeda dengan lelaki lain yang
pernah akrab dengannya. Tetapi kesadaran ini masih dibayangi keraguan. Apakah
yang terucap oleh Lesmana itu memang sesuai dengan isi hatinya" Toh kali ini dia
tidak tega untuk mengungkapkan keraguannya itu.
"Aku juga minta maaf, Les. Rasanya aku memang telah bersikap tidak adil
kepadamu. Aku tahu banyak orang mengataiku sebagai perempuan sinis, judes,
ketus, dan entah apa lagi. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku jadi begitu bukan
tanpa sebab. Sesungguhnya aku ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa aku tak
mengemis belas kasihan. Aku bisa hidup dengan kekuatan sendiri dan juga
sendirian. Biar saja orang bilang beginibegitu, aku tak peduli. Sesungguhnya aku
sangat peduli, Les. Hatiku sakit biarpun wajahku tidak memperlihatkannya. Jadi
aku memang sengaja R)membuat orang menjauh dariku supaya aku terhindar dari sakit hati dan
kekecewaan." "Ya. Aku tahu."
"Kau tahu?" "Maksudku, aku telah memperkirakannya. Ternyata memang benar, bukan?"
"Jadi itu sebabnya kenapa kau tidak lari seperti yang lainnya" Tadinya kupikir
kau tergolong manusia langka atau memang belum saatnya kau lari seperti yang
lain." "Lalu kau menunggu-nunggu kapan saat itu tiba?" Melinda tersenyum malu.
"Ya," sahutnya terus terang.
"Aku tak mau berharap terlalu banyak darimu."
"Berharap apa?"
"Jadi temanku."
"Oh, aku kan tetap temanmu. Tak ada perubahan. Aku sudah tahu tentang dirimu.
Kenapa aku harus lari" Aku yakin, keangkuhan dan kejudesanmu itu cuma kamuflase.
Kau menyembunyikan dirimu yang asli."
"Ah, kau belum tahu banyak tentang diriku."
"Ya, memang belum banyak. Tak mungkin aku bisa tahu semuanya tentangmu, bukan"
Tapi dibanding orang lain, aku yakin pemahamanku tentang dirimu jauh lebih
banyak. Misalnya tentang Indra." Melinda terkejut.
"Indra?" ulangnya dengan wajah merona merah.
"Ya," sahut Lesmana sambil mengira-ngira apa sebenarnya makna perubahan wajah
Melinda ketika mendengar nama Indra.
"Ah, tahu apa kau tentang dia?" tanya Melinda dengan sikap acuh tak acuh. Tapi
Lesmana merasa tatapan mata Melinda tajam menyelidik.
"Bahwa dia dulu pacarmu yang serius tapi kemudian dia meninggalkanmu setelah
tragedi orangtuamu itu."
"Sebenarnya dia sendiri tidak ingin meninggalkan aku tapi orangtuanya memaksa.
Aku tak bisa menyalahkannya."
"Ya, tentu saja."
"Cuma itu komentarmu tentang dia?",
"Ya. Aku tak berani ngomong macam-macam. Aku tak kenal dia. Tapi kalau kau


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya bahwa masalahnya memang begitu, tentu benar. Kau lebih paham." Jawaban
itu memang diplomatis hingga Melinda tak punya alasan untuk merasa tersinggung
lalu melontarkan ucapan pedas. Tetapi tatapannya menjadi sayu. Dia berkata
lirih, "Sudah beberapa kali aku bertemu dia. Heran. Tanpa disengaja dan tanpa disangka
pertemuan yang kebetulan itu bisa terjadi. Di jalan, di pasar swalayan, di mana
saja. Pertemuan yang menyakitkan. Dia selalu nampak salah tingkah bila
melihatku. Sepertinya dia mau lari saja kalau bisa. Padahal aku berusaha
biasabiasa saja. Dia sudah berkeluarga. Istrinya cantik, anaknya manis, dan dia
sendiri kelihatan makmur. Sekali dia menelepon dan bertanya banyak tentang
diriku, termasuk apakah aku sudah punya pacar atau belum. Lalu dia minta maaf
lagi untuk peristiwa yang sudah cukup lama berlalu itu. Rupanya
dia masih menyimpan rasa bersalah. Aku bilang, lupakan saja. Tapi sesungguhnya
diam-diam aku justru senang dia begitu. Kalau aku merasa sedih, karena berpikir
bahwa seharusnya akulah yang berada di sampingnya dan anak manis itu adalah
anakku, dengan melihatnya salah tingkah begitu aku jadi terhibur. Kadang-kadang
aku berpikir, apakah dia bersikap begitu karena masih mencintaiku atau sematamata karena merasa bersalah saja."
"Apa kau sendiri masih mencintainya?" Melinda tidak menyahut. Dia memalingkan
muka. "Aku kan temanmu. Kalau kau cerita, rasanya jadi lebih lega," desak Lesmana.
Melinda menatapnya dan mencoba memahami makna ucapan itu. Tentu saja dia tahu
betul bahwa Lesmana mencintainya dan tetap menyimpan harapan bahwa dia akan
membalas cintanya. Hubungan sebagai teman ini cuma untuk menjaga kontinuitas
hubungan antara mereka. Kalau dia berterus terang, apakah Lesmana tidak akan
putus asa lalu pergi meninggalkannya"
"Sebenarnya aku tidak tahu apakah aku masih mencintainya atau tidak. Tapi aku
masih suka memikirkannya, apalagi kalau habis bertemu. Kadang-kadang aku
berkhayal macam-macam. Misalnya, dia tidak bahagia dengan istrinya lalu
bercerai, sesudah itu dia kembali berusaha mendekatiku. Jahat juga ya, pikiranku
itu?" Lesmana menggelengkan kepalanya.
"Kupikir, itu manusiawi, kok. Kau jujur mengakui hal itu."
"Lantas menurutmu apa maknanya" Apakah aku masih mencintainya atau tidak?"
"Kukira masih, Lin." Keduanya terdiam. Suasana menjadi hening. Tiba-tiba mereka
jadi segan satu terhadap yang lain. Serasa ada orang ketiga yang muncul di
tengah-tengah mereka, walaupun tak nampak, yaitu Indra.
Telepon berdering memecah keheningan. Melinda beranjak dengan perasaan lega
karena pengalihan suasana. Setelah telepon melekat di telinganya, wajahnya
menjadi cerah oleh senyuman. Sementara Lesmana memperhatikan.
"Oh, Oom Arya. Apa kabar, Oom?" kata Melinda. Kening Lesmana berkerut. Wajahnya
menjadi muram. Pelan-pelan dia mendekat dan pendengarannya dipertajam.
"Betul, Oom. Saya juga sudah dengar. Kabarnya, Mama sudah bebas. Tapi saya tidak
tahu dia pergi ke mana. Dia belum ke sini, kok. Wah, saya tidak tahu. Saya. saya
memang diberitahu. Maksud saya, saya tahu secara kebetulan saja. Ada teman yang
memberitahu. Petugas penjara" Tidak, Oom. Dia tidak mengabari karena memang
tidak tahu alamat saya." Melinda melirik ke arah Lesmana lalu memonyongkan
mulutnya. Tetapi Lesmana berbuat seakan tidak melihat. Dia pun tidak menjauh.
Sebaliknya dia justru mendekat hingga bersebelahan dengan Melinda.
"Saya tidak tahu Mama pergi dengan siapa, Oom. Ah, tidak usah, Oom. Jangan. Oom
nggak usah repot-repot. Iya. Sungguh. Terima kasih, Oon." Melinda meletakkan
telepon lalu dia mencubit Lesmana.
"Idih, nguping!" dia mengomel. Tapi kemudian dia tersenyum.
"Lucu orang itu, Les," katanya sambil menggelengkan kepala. Sikap Melinda itu
menjengkelkan Lesmana. "Lucu katamu, Lin" Lucu apaan sih" Memangnya dia ngomong apa?" tanyanya
penasaran. "Wah, curiga nih, ya" Jangan begitu. Dia baik, kok. Bukankah dia sudah banyak
membantuku?" "Memang betul. Tapi kau harus waspada. Orang yang tampak baik dan selalu
membantu itu belum tentu sungguh-sungguh baik. Siapa tahu ada maunya. Kayak
udang di balik batu. Biasanya oom oom seperti itu suka daun muda. Pada suatu
saat nanti akan kelihatan belangnya. Tapi. mau apa Sih dia?"
"Dia memberitahu bahwa Mama sudah bebas lalu menawarkan jasa untuk mencarinya."
"Kok baik" Kenapa dia harus repot-repot?"
"Ah, kamu. Kan dulu sudah kuceritakan, dia teman ayahku."
"Jadi teman ibumu juga?"
"Katanya sih nggak. Dia nggak kenal Mama. Soalnya hubungannya dengan Papa cuma
masalah bisnis. Tentu saja Mama tak kenal semua relasi Papa. Barangkali dia
pernah berutang budi pada Papa lalu mau membalasnya padaku."
"Atau memangsamu," kata Lesmana tajam.
"Sudahlah, hentikan kecurigaanmu itu, Les. Jangan lupa, aku bukan remaja lagi
yang gampang dibohongi atau dibujuk rayu oleh oom-oom. Aku bisa jaga diri, kok.
Hubunganku sama Oom Arya kan terbatas sekali. Tidak ada apa-apanya. Kau sendiri
tahu, kan?" "Memang benar. Tapi aku sering merasa tidak enak bila melihat tatapannya padamu.
Cara memandangnya khas begitu. Entahlah. Tak bisa kugambarkan dengan kata-kata."
"Kau terlalu peka. Jangan lupa. Dia punya istri yang cantik sekali. Lagi pula,
berapa kali sih kau pernah ketemu dengannya" Rasanya cuma dua kali. Dan sikapnya
juga baik sama kamu. Kau tahu" Dia pernah melepon untuk menanyakan apakah kau
tunanganku." "Oh ya" Kau tak pernah cerita. Jangan-jangan dia tanya begitu untuk mengecek
dirimu. Masih bebas atau sudah terikat. Jadi kalau masih bebas."
"Ala, sudahlah. Bosan," Melinda memutus. Tapi Lesmana masih penasaran.
"Lantas apa jawabmu waktu itu" Pasti kau bilang, aku cuma temanmu. Iya, kan?"
"Iya." "Padahal berbohong sedikit kan nggak apa-apa," keluh Lesmana.
"Coba kalau kau bilang iya, dia tentu tidak akan mencoba dekat-dekat lagi.
Buktinya sekarang dia nelepon menawarkan jasa baik. Huh." Lesmana nampak begitu
murung hingga Melinda merasa iba. Dia menepuk-nepuk punggung Lesmana.
"Sudahlah, Les. Aku tahu maksudmu baik. Kau mencemaskan aku, bukan" Percayalah.
Aku bukan orang yang gampang dikibuli. Kalau Oon Arya memang punya maksud buruk,
aku akan memakinya habis-habisan."
"Tak peduli dia sudah menolongmu?"
"Tak peduli." Lesmana nampak lega. Dia tak murung lagi. Melinda tertawa
melihatnya. "Aduh, Les. Kau seperti pacar yang cemburu saja. Eh, jangan tersinggung, lho.
Aku seharusnya berterima kasih ada orang yang memperhatikan dan memikirkan
diriku. Terima kasih ya, Les."
"Mestinya kau tidak meremehkan kekhawatiran orang terhadap dirimu. Tujuannya
untuk meningkatkan kewaspadaanmu. Jangan mudah terpengaruh oleh kebaikan orang.
Bersyukur dan berterima kasih tentu sudah sepatutnya. Asal jangan percaya
berlebihan." "Ya. Kau benar, Les. Tapi cobalah kita telusuri lagi kebaikan dan pertolongannya
kepadaku. Lalu kita diskusikan. Mau, Les?"
"Baik." "Pertama-tama, dia menghubungiku setelah kurang-lebih setahun ibuku dipenjara.
Dia mengenalkan diri lalu menyampaikan simpati. Katanya dia baru datang dari
Amerika lalu mendengar musibah itu. Rupanya hubungannya dengan ayahku cukup
akrab dan ayahku banyak bercerita tentang diriku padanya. Dia banyak tahu
tentang aku, tapi tidak kenal dan tidak tahu tentang ibuku. Bahkan pernah bertemu dengan ibuku pun
belum. Katanya dia ingin menjenguk ibuku di penjara tapi takut disangka macammacam. Maklum saja. Dia salah satu orang terkaya di negeri ini. Karena dia kaya,
maka kutawari rumahku, eh, rumah ibuku, untuk dibelinya. Ibuku sudah menyuruhku
untuk menjual rumah itu supaya hasilnya bisa dipakai untuk biaya pendidikan dan
hidupku. Sebelumnya sejumlah perhiasan ibuku sudah berhasil kujual. Tentu
menjual perhiasan lebih mudah daripada menjual rumah. Apalagi rumah itu.
Walaupun sudah diperbaiki, hingga bekas-bekas kebakaran tak ada lagi, citranya
yang mengerikan tetap ada. Rumah bekas tempat pembunuhan. Siapa yang mau beli
dengan harga pantas" Eh, ternyata Oom Arya mau. Bahkan dia tak menawar lagi.
Sebagai alasan dia cuma bilang ingin membantu."
"Lalu dia tinggal di situ. Tidak takut rupanya."
"Pasti dia orang yang berani. Tapi dia pernah bilang bahwa istrinya tidak tahu.
Lalu dengan bergurau dia memintaku untuk tidak memberitahu istrinya. Tentu cuma
gurau. Mustahil aku bilang-bilang karena aku tak kenal sama istrinya. Malu
dong." "Pertolongannya yang lain?"
"Sesekali dia suka nelepon untuk menanyakan apakah aku perlu bantuan. Atau dia
menanyakan perkembangan sekolahku. Perhatian yang diberikannya seperti layaknya
orangtua kepada anak. Katanya aku mirip anaknya yang meninggal waktu kecil."
"Ah, kamu disamakan dengan anak kecil?" potong Lesmana.
"Bukan begitu. Maksudnya, aku mengingatkannya pada anaknya. Kalau masih hidup
tentu seusia denganku. Nah, setelah sekolahku selesai aku butuh pekerjaan. Oom
Arya menolongku dengan memasukkan aku ke tempat kerjaku yang sekarang. Koneksi,
begitu. Tapi akibatnya aku jadi sering ragu-ragu apakah kedudukan sebagai kepala
bagian ini kuperoleh karena prestasi atau dorongan dari Oom Arya pada
perusahaan. Tentu aku bekerja
sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Tapi aku
tetap belum yakin. Sulit juga, ya?"
"Iya. Makanya jangan terlalu banyak menerima pertolongannya. Kau bisa kehilangan
kepercayaan diri." l
"Tidak. Itulah pertolongannya yang terakhir."
"Tetapi pertolongan yang terakhir itu membuatmu sulit percaya diri, bukan" Kalau
kautanyakan pada pimpinan perusahaanmu, tentu dia tak akan berterus terang. Hei,
bagaimana kalau kau pindah ke tempat kerjaku saja" Kabarnya ada lowongan untuk
akuntan baru." "Ah, sama saja dong. Di sana ada penolong lain lagi. Kamu!" Lesmana tertawa.
"Ya, ya. Betul juga," dia mengaku.
"Terakhir dia menawarkan pertolongan yang tadi itu. Mencari Mama," Melinda
meneruskan. "Rupanya dia selalu mengikuti perkembangan
keluargamu. Dia selalu ingin menolongmu, kapan saja dan di mana saja. Jarang ada
orang begitu." Ucapan Lesmana itu bernada mencemooh. Kali ini Melinda
menanggapinya dengan senyum. Sesungguhnya dia senang berdiskusi seperti itu
daripada dia harus memikirkannya sendiri.
"Dia bercerita bahwa pertemuannya yang pertama dengan Papa terjadi di Las
Vegas." "Las Vegas" Jadi mereka suka berjudi."
"Kukira begitu."
"Kau cuma mengira" Ah, ya, tentu karena kau tidak melihat sendiri." Melinda
tidak tersinggung. Dia malah meneruskan,
"Katanya, itu merupakan salah satu sebab kebangkrutan Papa. Tapi waktu itu aku
kurang percaya. Demikian pula Mama. Padahal seharusnya Mama lebih serius
memantau situasi. Desasdesus seperti itu kan tidak datang dibawa angin lalu.
Seorang istri harus lebih tanggap daripada anak, karena hak bersuara dan
kemampuannya tentu lebih besar daripada anak. Iya, kan?"
"Ya, benar. Jadi menurutmu, seharusnya ibumu itu berbuat sesuatu sebelum terjadi
kebangkrutan. Apa misalnya?"
"Mengambil alih perusahaan. Jangan lupa, sebenarnya kekayaan keluarga itu milik
Mama yang merupakan warisan dari kakekku. Aduh, untung saja kakek dan nenekku
sudah meninggal. Coba kalau masih hidup, betapa ngenes-nya mereka. Kasihan
sekali." "Tetapi ibumu tidak berbuat begitu tentu disebabkan kepercayaannya kepada
ayahmu. Atau ayahmu memang terlampau otoriter hingga ibunu tidak bisa apa-apa.
Apakah Oom Arya tidak bercerita perihal watak ayahmu?"
"Tentu saja tidak. Buat apa dia cerita yang jelek-jelek" Apalagi orangnya sudah
almarhum." "Ya, ya. Betul sekali. Sekarang kembali kepada persoalan semula. Apa lagi yang
dilakukan Oom Arya itu untukmu?" Melinda berpikir sebentar.
"Apa lagi, ya" Oh ya, dia pernah menawarkan bantuan keuangan. Tapi kutolak. Aku
tidak memerlukan. Uang hasil penjualan rumah yang didepositokan cukup untuk
keperluanku." "Bagus. Jangan mau kalau ditawari duit. Justru di balik duit itu selalu ada apaapanya."
"Aku juga tahu, kok."
"Baiklah. Kupikir sudah cukup orang itu kita bicarakan. Ada hal lain yang
mengganggu pikiranku. Setelah ibumu memberikan segala harta kepadamu, tentunya
dia tak punya apa-apa lagi sekarang. Bagaimana hidupnya sekeluarnya dari
penjara?" Melinda termangu. Tiba-tiba dia merasa egois karena tak berpikir ke
situ. Padahal itu penting karena merupakan masalah hidup-mati. Apakah dia
melupakan karena itu merupakan kepentingan ibu
nya seorang" Sebegitu besarkah kebencian dan kemarahannya"
"Aku akan mengembalikan uang hasil penjualan rumah kepadanya. Masih utuh kok di
bank," kata nya pelan. "Padahal kau tidak tahu di mana dia berada. Tidakkah seorang anak itu punya
tanggung jawab juga kepada orangtuanya dan bukan melulu kebalikannya?" tanya
Lesmana dengan keyakinan bahwa Melinda tidak akan marah lagi oleh ucapan yang
menyinggung ibunya. Melinda memang tidak menjadi marah. Sebaliknya dia menjadi
sedih. "Kau benar, Les. Kau benar," rintihnya.
"Seharusnya aku juga memikirkan dan mengurusnya. Anaknya cuma aku Seorang. Tapi
aku tak ingin menemuinya. Aku takut!" Lesmana meraih Melinda dan memeluknya. Dan
Melinda membiarkannya karena membutuhkan dekapan itu untuk meredakan emosinya.
Untuk pertama kalinya terjadi kontak fisik sedekat itu di | antara mereka.
Terasa mesra bagi Lesmana tapi tidak bagi Melinda. Baginya, Lesmana cuma
pelabuhan yang menenteramkan.
"Barangkali kau perlu waktu untuk mengatasi rasa takut itu, Lin. Pada suatu saat
kau akan mampu mengatasinya. Kau orang yang tabah, bukan" Pasti bisa. Sementara
itu, aku bersedia jadi perantara antara kau dan ibumu. Tapi sebelum itu tentu
saja aku harus mencarinya lebih dulu. Serahkanlah padaku. Bagaimana, Lin?"
"Baik, Les. Tapi jangan paksa aku untuk menemaninya."
"Tentu tidak. Aku berjanji. Aku hanya ingin menyalurkan rasa tanggung jawabmu
kepadanya supaya tidak menjadi beban batin bagimu."
Melinda setuju dan berterima kasih. Tetapi malam harinya dia diganggu mimpi
buruk yang mengerikan. Dia terbangun dengan pekikan. Kali ini tak ada pelabuhan
yang menenteramkan. Dia cuma seorang diri.
HARYATI melewatkan hari-harinya di rumah Daud sebagai nyonya rumah yang baik dan
penuh dedikasi. Kepada pembantu rumah tangga dia mengemalkan dirinya sebagai
kerabat Daud. Sementara itu Daud menunggu dengan sabar akan tibanya saat Haryati
memenuhi janjinya untuk bercerita. Saat paling ideal adalah selewat petang hari
ketika pembantu rumah tangga pulang ke rumahnya sendiri. Pada saat-saat itu
mereka mengisi waktu dengan memperbincangkan berbagai hal. Terlalu banyak yang
mau diceritakan, berupa pengalaman masing-masing selama kurun waktu yang begitu
panjang. Sedang bagi Haryati begitu banyak perkembangan dunia yang terlewat dari
pengetahuan dan pemahamannya selama dia dipenjara. Dengan demikian tak terasa
waktu berlalu. Penantian bagi Daud jadi tak membosankan. Tetapi saatnya tiba
juga ketika keingintahuan kembali mendesak untuk dipenuhi.
"Aku memang harus memenuhi janji," Haryati mengakui.
"Aku bukan melupakan. Setiap malam
aku memikirkannya. Aku ragu-ragu antara pentingtidaknya hal itu diungkapkan.
Apa bedanya sekarang, Daud" Aku sudah menjalani hukuman. Waktu yang sudah
terlewat itu tak bisa kembali lagi walaupun pada akhirnya kelak aku dinyatakan
tak bersalah. Kalau kuungkapkan lagi cuma menimbulkan penasaran saja. Tapi siapa
yang penasaran" Cuma kita berdua, Daud! Orang lain tentu tak peduli. Mereka
sudah puas dan tak ingin ada persoalan baru."
"Kalau kau melihatnya melulu dari sisi itu, bagaimana keadilan bisa ditegakkan"
Kau membiarkan pembunuh sebenarnya bebas berkeliaran. Tidakkah kau ingin dia
dihukum untuk perbuatannya?" Haryati termangu.
"Tidakkah kau marah pada orang itu karena harus menanggung hukumannya?" Daud
mencoba memanasi. Wajah Haryati memerah. Tampaknya hasutan Daud berhasil
memanaskan hatinya. "Pada suatu saat di penjara aku sering berpikir begitu dan menjadi marah
karenanya. Tapi lama kelamaan setelah aku kehilangan harapan rasanya aku jadi
apatis dan tak peduli lagi. Kuhibur diriku dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang
akan menghukumnya nanti. Berapa banyak kejahatan di dunia ini yang tak
terbongkar dan pelakunya tetap hidup terhormat sampai akhir hayatnya" Pasti tak
terhitung. Kasusku cuma salah satu. Dulu kukatakan aku perlu waktu untuk
menceritakannya. Sebenarkan dengan ragu-ragu,
"Kemudian kudapati diriku berada di halaman, terkapar di tanah dengan memegang
jerigen kosong berbau minyak tanah. Suasana sekitarku sudah hiruk-pikuk oleh
tetangga. Rumahku terbakar, pas di bagian kamar tidur. Api berhasil dipadamkan


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum memusnahkan seluruh rumah. Tapi Deden tidak. Dia sudah menjadi arang.
Begitu banyak orang yang menemukan dan melihat posisiku. Seperti orang
tertangkap basah, tak pelak lagi kalau tudingan tertuju padaku. Para tetangga
telah mendengar pertengkaran dan perkelahian kami sebelumnya."
"Ya. Semua itu sudah kuketahui. Tapi kau tidak menampilkan hal-hal baru. Ada
yang terlewatkan olehmu, yaitu waktu antara kau melihat Deden pergi tidur dan
saat kau menemukan dirimu terkapar di halaman. Apa yang terjadi di antara kedua
waktu itu?" "Itulah. Aku tidak bisa mengingatnya sampai sekarang. Apa yang sebenarnya
terjadi pada saat itu tak bisa kuceritakan karena aku memang tidak tahu. Tapi
aku tidak melakukannya, Daud. Dari mana asal jerigen bekas minyak tanah itu" Di
rumahku tak ada persediaan minyak tanah. Kami memakai kompor gas. Tetapi
penyidik menuduh aku sengaja mempersiapkannya."
"Dalam Berita Acara Pemeriksaan kau mengakui telah membunuh Deden dalam tidurnya
lalu mengguyurnya dengan minyak tanah dan kemudian membakarnya. Tapi tak
dijelaskan cara bagaimana kau membunuhnya karena kau selalu mengatakan tak
ingat. Sungguh kau tak ingat, Yat?" tanya Daud lembut.
"Bertahun-tahun dalam penjara aku terus memikirkan dan mengingat-ingatnya. Tapi
bagian itu tetap saja kosong dalam otakku. Tetapi keyakinanku tetap kuat bahwa
aku tidak pernah melihat jerigen itu sebelumnya dan tak pernah membeli minyak
tanah. Kedua tanganku sangat sakit bekas dipukul Deden. Bagaimana mungkin aku
bisa menggunakannya untuk membunuh dan membakarnya" Lalu tak ada ingatan tentang
cara bagaimana aku melakukan apa yang dituduhkan. Jadi aku memang
tidak melakukannya!"
"Kenapa kau tidak mengajukan argumentasi itu,
malahan mengakui semuanya?"
"Aku sudah mengajukannya tapi tidak diper
caya. Belakangan aku jadi meragukan diriku sendiri. Waktu yang kosong dari
ingatan itu membuatku berpikir, jangan-jangan memang aku yang melakukannya tapi
aku melupakannya karena shock. Aku bingung hingga rasanya lebih baik kalau aku
mengaku saja. Dengan mengaku aku mencari kelegaan. Sesungguhnya pada saat
dipukuli Deden itu aku mendoakan dia segera mati. Aku ingin dia mati. Janganjangan keinginan itu yang mendorongku" Tapi pikiran semacam itu timbul di saat
kebingungan menjeratku. Sesudah tenang kembali aku bisa merenungkan semuanya.
Bukan aku yang membunuhnya. Tetapi aku sadar, penegasan ini tidak didukung oleh
fakta. Apalagi saksi mata. Ceritaku ini tidak punya kekuatan yang
nya aku butuh semangat. Dan aku belum mendapatkannya sekarang. Aku cuma merasa
harus memenuhi janjiku padamu."
"Pikirkan betapa orang itu tertawa dengan senangnya di atas penderitaanmu," Daud
mencoba lagi. Haryati tersenyum. Dia merasa harus menghargai usaha Daud.
"Aku akan bercerita, Daud. Cuma aku perlu berpikir dari mana harus mulai.
Kayaknya aku harus mulai dengan mengulang kisah yang sudah kauketahui."
"Tidak apa-apa. Nanti aku akan menyela dengan pertanyaan."
"Baiklah. Ketika itu, malam hari pukul sebelas, Deden pulang dalam keadaan
marah-marah. Kupikir dia mabuk, tapi dari mulutnya tidak tercium bau minuman
keras. Mungkin dia habis berjudi lalu kalah. Dia memukulku tak kira-kira. Aku
melawan sekuat tenaga karena dorongan melindungi diri, tapi tentu saja aku tak
bisa menandingi dia. Untung saja dia berhenti menganiayaku pada saat kupikir aku
akan dibunuhnya. Oh ya, pada saat itu di rumah tak ada orang lain. Seorang
pembantu sedang pulang kampung dan seorang lagi tidak menginap. Tukang kebun
juga tidak menginap. Sedang Melinda berwisata ke luar kota bersama teman-teman
kelasnya untuk merayakan kelulusan mereka dari SMA. Sesudah puas menganiayaku
dia tertidur. Kemudian." Haryati berpikir sebentar. Keningnya berkerut dalam.
Lalu dia menerus dapat meyakinkan orang akan ketidaksalahanku. Bukan begitu, Daud?"
"Ya. Sayangnya kau tak dapat mengingat apa yang terjadi di waktu yang kosong
itu. Tapi bagiku, keteranganmu itu sudah cukup. Aku percaya bahwa kau memang
tidak bersalah." "Toh kepercayaan saja tidak cukup. Harus ada bukti," keluh Haryati.
"Mungkinkah selama waktu yang kosong itu kau sedang pingsan" Itu sebabnya kau
tak bisa mengingat apa-apa."
"Pingsan" Ah, apa iya" Tapi. mungkin juga, ya. Rasanya memang aneh. Tahu-tahu
aku sedang terkapar di tanah memegang benda yang belum pernah kulihat
kehadirannya di rumahku. Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Taruhlah kau memang pingsan, bisakah kau mengingat saat sebelumnya?"
"Setelah Deden pergi ke kamar tidur, aku terseok-seok mencari obat untuk
mengobati sakitsakit di tubuhku. Aku pakai balsem dan."
"Kau makan obat tidur?" potong Daud.
"Tidak," sahut Haryati dengan penuh keyakinan.
"Aku cuma memakai obat luar. Lalu aku duduk di sofa dengan tubuh dan hati yang
serasa hancur. Kenapa Deden begitu tega" Bukankah pantas saja kalau aku seringsering mengingatkan agar dia tidak lagi berjudi" Harta yang didapat dari jerih
payah kakekku seenaknya saja dia hambur-hamburkan."
"Jadi setelah Deden pergi, kau sempat mencnangkan diri" Lalu apa yang kaulakukan
setelah duduk-duduk" Pergi tidur juga atau.?"
"Oh, tidak. Aku tidak ingin pergi ke ruang yang sama tempat dia berada. Karena
memang mengantuk aku merebahkan diri di sofa."
"Lalu?" "Lalu... ah, aku tidak ingat. Ya, itu memang saat terakhir yang kuingat sebelum
aku sadar dalam keadaan terkapar di halaman."
"Sempatkah kau tertidur waktu di sofa itu?"
"Kayaknya iya."
"Mungkin ada yang membiusmu sewaktu kau tidur."
"Mungkinkah itu" Ah. kalau itu benar, tentu ada seseorang yang jahat," kata
Haryati dengan tengkuk meremang.
"Benar sekali. Orang itu membunuh Deden dan menimpakan kesalahannya kepadamu."
"Aduh, jahat sekali." Dan membayangkan kejahatan itu, mendadak muncul semangat
membara yang lama ditunggu-tunggu tapi tak kunjung muncul. Semangat yang membuat
hidupnya bergairah kembali karena sudah memiliki tujuan, yaitu menemukan si
jahat itu. Biarlah dunia tak mau mengakui ketidaksalahannya. Biarlah namanya
tetap tercoreng sebagai pembunuh kejam. Baginya sekarang, nama tak punya arti
lagi karena memang tak berarti di mata Tuhan. Tetapi dia akan mendapat kepuasan
dan kebahagiaan kalau berhasil menemukan si jahat karena berhasil membuktikan
pada dirinya sendiri tentang ketidak salahannya. Jadi
cuma penting bagi dirinya sendiri. Bukan buat orang lain. Dia akan punya
kepastian dan keyakin an. Bukan cuma mengandalkan kepercayaan dari
Daud seorang. Bukankah Melinda, anaknya sendiri, tidak mempercayainya"
"Tapi. siapakah dia?" katanya pada diri sendiri.
"Kita akan mencarinya, Yat."
"Kita?" Haryati bingung sesaat. Mereka adalah sepasang orang tua dengan segala
kelemahan masing-masing. Bagaimana caranya"
"Hei, jangan pesimis dulu. Kita memang bukan detektif jagoan seperti dalam filmfilm itu. Tapi kita akan melakukannya dengan cara kita sendiri. Tanpa kekerasan
dan tanpa mencolok."
"Kau menyebut "kita". Apakah aku termasuk?"
"Ya. Mula-mula kau memberiku informasi apa saja seputar teman dan relasi Deden,
lebih-lebih mereka yang tidak bersahabat atau pernah berselisih. Lalu aku akan
menyelidiki di luar. Tak perlu tergesa-gesa hingga kita bisa melakukannya dengan
tenang dan pikiran yang jernih. Itu penting
supaya ingatanmu segera kembali."
"Apa kau cenderung menyangka pelakunya ada
lah orang dekat atau orang yang dikenal, Daud" Tidak mungkinkah itu cuma
perampok biasa yang mau menghilangkan jejak" Ketika itu di dalam lemari ada
sejumlah uang yang lumayan besarnya. Lemari itu tentu saja sudah menjadi abu.
Tapi tidak jelas bagaimana nasib uang itu, apakah sudah diambil lebih dulu atau
turut menjadi abu." "Nyatanya perhiasanmu selamat hingga bisa kauberikan pada Melinda."
"Oh, untung saja barang itu tidak kusimpan di rumah, melainkan kutitipkan di
bank bagian penyimpanan barang berharga. Ah, untung sekali. Kalau lenyap, apa
yang bisa kuberikan pada Melinda?"
"Tetapi bila pelakunya itu perampok biasa, buat apa dia membakar mayat Deden"
Dia juga tidak perlu membunuh. Kalian berdua sedang tidur. Dia leluasa untuk
mengambil apa saja. Aku pikir, dia pastilah seseorang yang dekat dengan kalian
berdua, seseorang yang sangat mendendam kepada Deden hingga tega berbuat
begitu." "Aku tidak tahu apakah Deden punya musuh yang amat mendendam kepadanya. Menilik
perlakuannya padaku sepertinya layak kalau dia punya musuh. Tapi menurut
pengamatanku, justru pada orang-orang lain, terutama relasi dan teman-temannya,
sikapnya ramah dan supel. Tak pernah kulihat dia bersikap kasar kepada mereka.
Tapi tentu saja aku tidak tahu persis. Dia jarang mengenalkan relasi dan
temannya kepadaku. Banyak yang tidak kukenal. Kalau tidak terpaksa dia tidak mau
memperkenalkan, apalagi mengundang ke rumah. Jadi mengenai apa dan siapa mereka,
sayang sekali aku tidak tahu. Tampaknya Deden memang berniat mengucilkan aku
dari urusan bisnisnya. Aku tak boleh ikut campur. Tak boleh ikut tahu. Sekalipun
tahu, semua sudah bangkrut."
"Padahal semua itu milikmu."
"Mungkin justru karena itu maka dia merasa minder lalu mengatasinya dengan sikap
dan perlakuan otoriter."
"Ya, mungkin saja. Lelaki yang tak tahu diri," gerutu Daud sebal.
"Ah, jangan bilang begitu, Daud. Harta memang bisa membawa sial. Harta bisa
mengubah watak orang. Coba kalau aku bukan anak orang kaya, pasti jalan hidupku
akan lain." "Aku tak mengerti. Sampai saat ini kau tak pernah mengutuknya untuk perlakuan
kejinya padamu. Ada kesan kau membelanya. Kenapa, Yat?"
"Buat apa aku mengutuknya" Dia sudah menerima balasan yang teramat mengerikan."
"Memang dia yang mati, tapi mati pun dia tetap menyeretmu ke dalam penderitaan.
Dia mati tanpa memberimu kebebasan," kata Daud dengan kesal.
"Jangan lupa, Daud. Bukan dia yang menyeretku, tapi orang lain."
"Lagi-lagi kau membelanya. Apakah kau masih mencintainya, Yat" Dan itu pula
sebabnya kenapa kau tidak mau bercerai darinya sejak dulu-dulu?" Haryati tak
segera menjawab. Dia merenung sebentar sebelum berkata pelan,
"Aku pernah mengharapkan kematiannya seperti telah kuceritakan tadi Aku berdoa
semoga dia terkena serangan jantung atau mengalami kecelakaan lalu lintas, dan
banyak lagi." "Itu bukan jawaban atas pertanyaanku."
"Apakah kau sedang menginterogasi, Daud?" Daud terdiam. Tetapi Haryati
tersenyum. "Maaf, Daud. Aku cuma bergurau. Kukira kau memang berhak bertanya seperti itu. Kau
berhak merasa heran. Bahkan Melinda juga punya pertanyaan seperti itu.
Jeritannya selalu terngiang di telingaku seakan barusan saja aku mendengarnya.
'Kenapa Mam tidak cerai saja dari dulu kalau memang menderita" Mama kan pintar
dan terpelajar! Kenapa mau saja diperlakukan semena-mena kalau memang benar".
Demikian pertanyaannya. Aku tak bisa menjawabnya karena dia kurang percaya bahwa
ayahnya bisa bersikap keji kepadaku. Memang Deden tak pernah memukulku di
depannya. Kalaupun ada bekas memar dan luka yang tampak pada tubuhku, bisakah
Melinda percaya bahwa itu perbuatan papanya" Deden menyayanginya dan bersikap
lembut kepadanya. Kiranya susah bagi Melinda untuk membayangkan perilaku ayahnya
yang bertolak belakang."
"Kenapa dia tidak bisa bersikap sama juga kepadamu, dengan menyayangimu dan
bersikap lembut kepadamu?" tanya Daud penasaran.
"Kan sudah kukatakan tadi. Mungkin dia mengkompensasikan rasa mindernya dengan
sikap yang sadis. Dia ingin dianggap superior dan bisa menaklukkan aku dengan
kekejiannya. Tetapi adakalanya dia bisa bersikap lembut dan sayang kepadiaku.
Pada saat itulah aku luluh. Semua rasa sakitku sebelumnya scolah lenyap
seketika. Serta-merta aku memaafkannya. Sampai kemudian segalanya berulang
kembali." "Kau masih mencintainya," kesimpulan Daud.
"Ah, cinta" Apakah itu cinta" Jangan omong tentang cinta, Daud. Kupikir, janganjangan aku jadi masochist juga. Aku sudah terbiasa menerima pukulan dan kemudian
menikmatinya." Daud tertegun bagai kena pesona. Susah baginya untuk
menghubungkan Haryati yang sekarang dengan Haryati yang dulu. Perubahannya
terlalu besar. Dulu, Haryati begitu dimanja dan disayang orangtuanya. Jangankan
kena pukul, dibentak saja tak pernah. Haryati adalah anak ideal yang seharusnya
dijadikan teladan si adik, Haryani, yang punya perilaku jauh berbeda.
"Kau ngeri, Daud?" tanya Haryati dengan senyum memaklumi.
"Ah, tidak. Aku cuma takjub. Pengalamanmu luar biasa."
"Tapi sebaiknya kau tahu juga. Salah satu alasan kenapa aku tidak ingin bercerai
adalah Melinda. Dia terlalu sayang pada Deden. Kalau kami bercerai, pasti dia
terpukul sekali." "Kau tak mengatakannya pada Melinda" Mestinya kau bilang. Tak heran kalau dia
tak ingat lagi padamu. Selama bertahun-tahun tak sekali pun dia menjengukmu.
Bagaimana dia bisa mau membalas budi kalau tak diberitahu perihal budimu
kepadanya?" "Aku tak perlu dibalas," sahut Haryati tanpa emosi.
"Kau tak menghendakinya juga" Kau rela kalau dia terus membencimu?"
"Tentu saja tidak. Aku merindukannya dan aku
R)sedih karena dia tak ingat padaku. Tapi aku kan harus tahu diri, Daud.
Situasilah yang membuatnya seperti itu. Rasanya aku memang tak ingin ketemu dia
dalam keadaan sekarang ini. Barangkali nanti kalau kita sudah berhasil menemukan
si jahat. Pada saat itulah aku bisa merasa bangga dan bersih di depannya. Aku
adalah seorang ibu, istri, dan manusia yang berwibawa! Kalau tak begitu, mana
mungkin dia bisa respek kepadaku" Dia akan selalu memandangku dengan jijik dan
ngeri." Daud menepuk-nepuk pundak Haryati sebagai ungkapan simpati.
"Jadi kau tak mau menyuruhku mencarinya" Aku bisa kalau kau mau."
"Aku mau tapi jangan sekarang."
"Baik. Kalau begitu, kita kembali pada masalah tadi. Bagaimana dengan para
karyawan dari perusahaaan yang sudah bangkrut itu?"
"Setahuku mereka menerima PHK dengan pesangon yang layak, dalam arti tak ada
yang protes atau menuntut ini itu. Tapi bagaimana sebenarnya situasi di
perusahaan, aku kurang tahu."
"Kau bisa memberiku nama dari mantan karyawan yang bisa kutanyai." Haryati
berpikir sebentar. "Ada Esther Wijaya, sekretaris Deden. Lalu Pak Suminta, manajer umum, yang sejak
zaman ayahku masih aktif di perusahaan sudah memangku jabatan yang sama. Tak
pernah berubah sampai perusahaan bangkrut. Kukira usianya sekarang sudah lebih
dari enam puluh. Cuma dua orang itu yang layak kuajukan karena punya hubungan
paling dekat dengan R)Deden. Lewat mereka kau bisa cari informasi perihal yang lain. Siapa-siapa
orang penting di tiga perusahaan lain tidak kukenal, karena sudah bergantiganti. Sedang Pak Suminta adalah orang yang membimbing Deden ketika pertama
kalinya dia masuk perusahaan sebagai orang baru, yaitu ketika dia resmi menjadi
suamiku. Pak Suminta orangnya sabar, baik, dan telaten sekali meskipun agak
lamban. Alamatnya yang lama masih kuingat dengan jelas. Nanti kuberikan padamu.
Semoga dia belum pindah atau kena gusur. Sedang mengenai Esther tidak kuketahui.
Dulu dia indekos, tapi sekarang tentunya dia sudah pindah. Oh ya, Deden pernah
punya afair dengan Esther."
"Jadi dia play boy?"
"Ya. Begitulah. Itu risikonya punya suami tampan," kata Haryati datar.
"Kau menerimanya sebagai risiko?"
"Ya, jangankan mengandung risiko sepanjang pala. Berani menjalani, ya harus
berani pula menanggungnya."
"Tapi caramu itu adalah kepasrahan."
"Terserah dari sudut mana kau memandang. Nyatanya ada juga orang yang
berpendapat bahwa kepasrahanku itu merupakan keberanian. Ya, keberanian mencari
pukulan. Bila bercerai berarti aku
melarikan diri." Daud menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
menjadi bingung sendiri oleh perbedaan pendapat itu. Sebaiknya tak diteruskan.
R)Tetapi Haryati masih ingin bercerita mengenai masalah yang sama.
"Ketika aku tahu perihal hubungan Deden dengan Esther, emosiku seolah sudah
kebal. Aku tidak marah. Biasa-biasa saja. Mungkin sama halnya dengan pukulanpukulan yang kuterima, berita penyelewengannya pun membuatku terbiasa. Deden
sudah terlalu sering berhubungan dengan macam-macam perempuan. Biarpun dia
suamiku, toh jiwa raganya bukan milikku. Tetapi lain halnya ketika Deden
nyeleweng dengan Haryani."
"Haryani?" potong Daud kaget. Jangan-jangan dia salah dengar.
"Ya, Haryani. Bayangkan. Adik sendiri. Aku marah sekali. Itu salah satu sebab
kenapa Haryani tak mau bertemu denganku lagi. Jangankan mengi- | nap, datang
sebentar ke rumah pun dia tak mau. Kontakku dengan dia sudah putus. Hal itu
terjadi beberapa bulan sebelum tragedi itu. Mungkin sekitar tiga-empat bulan.
Berita mengenai dia kudapat lewat Melinda. Surat terakhirnya dari Amerika pun
dikirimnya kepada Melinda, lalu Melinda menyampaikannya padaku. Entah kenapa dia
begitu. Apakah dia marah karena aku marah ataukah malu. Nyatanya tak ada


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permintaan maaf kepadaku. Apakah dia menganggap boleh-boleh saja nyeleweng
dengan suami kakak sendiri?" Baru sekarang suara Haryati mengandung emosi.
Ingatan Daud jadi melayang ke masa lalu. Ketika hubungannya dengan Haryati
tengah mesramesranya, Haryani pun berusaha menggodanya,Gigih sekali usahanya itu
hingga menakutkan Daud. Sepertinya Haryani rela melakukan segala cara, yang tak
bermoral sekalipun, asal saja berhasil merebut Daud dari sisi kakaknya. Tetapi
justru kegigihan Haryani seperti itu membuat Daud mampu bertahan. Haryani pun
pergi dengan kecewa. Baru setelah itu Daud menceritakannya kepada Haryati, tapi
menganjurkan agar tidak memperpanjang masalahnya. Rupanya Haryati mematuhi
anjurannya karena tak terjadi keributan antara kedua bersaudara itu. Mungkin
Haryati memang tidak tahu, karena Daud sengaja tidak memberitahu betapa gigihnya
usaha Haryani. Kegigihan yang membangkitkan bulu romanya sampai sekarang.
"Dari dulu dia punya kelainan, Yat." I
"Itu kan dulu. Peristiwa denganmu itu sudah | sangat lama berlalu. Masa
sepanjang waktu yang lama itu dia tak kunjung jadi dewasa?"
"Kelainan dengan kedewasaan itu bisa saja tak ada hubungannya."
"Entahlah. Barangkali dari dulu dia benci padaku, karena dipikirnya orangtua
kami lebih sayang padaku. Padahal yang salah adalah dia sendiri."
"Kalau Deden menolaknya, hubungan tak akan terjadi, Yat."
"Kukira, Deden tak bisa disamakan denganmu, Daud. Kau lelaki yang kuat iman.
Deden tidak. Mana mungkin dia bisa menahan nafsunya bila ada makanan lezat
disorongkan ke depan mulutnya?" Daud tersenyum.
"Ah, aku merasa disanjung," katanya senang.
"Ya. Itu memang pujian untukmu, Daud," Haryati membenarkan. Pandangannya meredup
oleh kenangan masa lalu. Unik juga hubungan mereka, baik dulu maupun sekarang.
Dulu, mereka sangat akrab dan mesra dan yakin akan sehidup semati, karena
perpisahan tak terbayangkan bisa terjadi. Nyatanya setelah beberapa kali terjadi
perbedaan pendapat mereka berpisah. Maksudnya hanya untuk sementara, sekadar
meredakan emosi. Tetapi kemudian masing-masing menjalin hubungan dengan orang
lain dan segera saling melupakan. Cinta yang begitu menggebu-gebu bisa sirna
juga. Yang tinggal cuma kenangan. Tapi yang bagus dari perpisahan semacam itu
adalah tak adanya sakit hati. Tak ada dendam dan penasaran. Dan sekarang. |
"Kau melamun," Daud memutuskan renungan Haryati.
"Jadi kapan kau mau mulai bekerja, Daud?" Haryati mengalihkan masalah yang mulai
membosankannya itu. "Besok," sahut Daud bersemangat.
"Ah, aku juga ingin berbuat sesuatu. Masa di rumah saja," keluh Haryati.
"Kau tentu tak bisa keluar dan mengenalkan dirimu pada orang-orang. Sabarlah.
Aku akan menceritakan padamu apa saja yang kudapat," hibur Daud.
"Kadang-kadang aku heran kau mau menghabiskan waktumu untuk soal itu, padahal
itu menyangkut kepentinganku semata. Aku tak bisa membayarmu, lho."
"Kau sudah memberiku semangat untuk melakukan sesuatu yang menantang Besar
sekali artinya bagi orang sepertiku. Gairah hidupku serasa bertambah. Coba kalau
aku menganggur saja di rumah, bisa mati pelan-pelan." Haryati memandang Daud
dengan penuh rasa syukur di matanya, hingga yang dipandangi jadi tersipu.
"Sudahlah. Jangan pandangi aku seperti itu. Sepertinya aku dewa penolong saja."
"Kau memang dewa penolongku."
"Bukan." "Tapi aku menganggapmu begitu. Terserah aku, kan?"
"Ya. Terserahlah." Pada saat itu keduanya benar-benar menyadari bahwa jalinan
hubungan di antara mereka merupakan suatu persahabatan yang murni dan tulus.
Suatu bentuk hubungan yang tidak cuma memberi atau menerima saja, tapi keduanya
sekaligus. Tetapi mereka juga sadar bahwa hubungan seperti itu timbul karena
situasi dan kondisi. Kemungkinan besar tak akan sama halnya bila mereka masih
muda, tampan dan cantik. Situasi dan kondisi membuat mereka sadar diri. Malam
harinya, Haryati mendatangi Daud dengan usul baru.
"Aku punya ide, Daud. Begini, aku akan mencoba melamar kerja di bekas rumahku
dulu." Daud terkejut.
"Kerja" Kerja apa" Dan kenapa justru di situ?" Haryati tersenyum.
"Sebagai pembantu rumah
tangga tentu Kerja apa lagi yang lebih cocok buatku" Bukankah penampilanku
sangat menunjang" Bagaimana pendapatmu?" Haryati berdiri dan berputar-putar di
depan Daud. Tubuhnya semampai dengan tinggi sedang. Wajahnya menua tapi keibuan,
apalagi kalau dia memperlihatkan ekspresi lembut dan matanya memancarkan
kesayuan. Goresan memanjang di pipinya membangkitkan rasa iba yang mendalam,
tapi juga mengesankan ketabahan. Sepertinya dia habis mengalami musibah berat
tapi berhasil mengatasi dengan baik. Dan sebagian kepalanya sudah berwarna
putih. Dia bukan cuma seorang ibu, tapi juga seorang nenek! Tapi ketika ia
berjalan dengan langkah gagah, maka jelas kelihatan bahwa dia sesungguhnya cukup
bertenaga. Tentunya orang tidak mau mempekerjakan pembantu yang loyo.
Keseluruhan penampilan Haryati memang sesuai dengan citra seorang pembantu rumah
tangga yang baik, keibuan, jujur, tapi bertenaga. Tetapi justru karena itu hati
Daud menjadi terenyuh. Dia memalingkan muka karena matanya terasa basah.
"Masa jadi pembantu, Yat" Yang bener saja. Jangan, ah," dia melarang dengan
tegas. "Dengar dulu, Daud. Aku punya tujuan lain. Bukan cuma semata-mata jadi pembantu.
Begini. Dengan sehari-hari berada di tempat itu dan menghayati suasananya aku
bisa mencoba kembali mengingat hal-hal yang terlupakan. Di sana ada pesona
tempat kejadian. Bukankah rekonstruksi selalu dilakukan di tempat kejadian
peristiwa" Duluaku melakukan rekonstruksi sesuai dengan pengarahan, bukan
berdasarkan ingatanku sendiri. Nah, bagaimana?" Daud berpikir. Sebenarnya ide
itu cukup bagus. Apalagi kalau dia melihat semangat Haryati. Tidakkah keadaan
Haryati mirip dengan keadaannya sendiri" Mereka memperoleh semangat dari ide.
"Tapi mereka belum tentu membutuhkan pembantu, Yat."
"Akan kucoba. Siapa tahu" Dulu aku selalu kesulitan mendapat pembantu yang baik.
Sekalinya mendapatkan yang baik, sering kali direbut orang dengan iming-iming
gaji yang lebih tinggi. Siapa tahu sekarang masih seperti itu."
"Ya. Boleh juga dicoba. Nanti kuantar kau ke sana, tapi tentu saja kau tidak
turun di depan rumahnya. Lalu kutunggu kabarmu. Berhasil atau tidak."
"Wah, bagus sekali, Daud," kata Haryati dengan mata bersinar.
"Tapi jangan besok, Yat. Biarlah kucari informasi dulu perihal penghuni rumah
itu. Dengan demikian kau bisa lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi mereka."
Haryati setuju sekali. Dia pergi tidur dengan senang. Saat memejamkan mata dia
membayangkan rumah itu. Rumahnya dulu. Dia ingin sekali ke sana dan berada di
dalamnya lalu merasakan suasana sekitarnya. Ah, dia cinta sekali kepada rumah
itu. Tapi interiornya tentu sudah berubah sekarang. Walaupun demikian, dia
percaya kenangan dari suasana masa lalu bisa kembali lagi. Sesungguhnya,
benarkah cuma itu tujuannya ke sana, seperti apa yang dikatakannya pada Daud
tadi" Ah, sesungguhnya bukan cuma itu! Dalam kegelapan dia seakan melihat sebuah
bentuk. Jelas sekali seolah benda itu ada di depan matanya yang terbuka di bawah
sinar yang terang. Sebuah tangan dengan lima jari yang kering dan hitam,
melengkung bagai cakar! Dia mengenangnya tanpa rasa ngeri. Sebaliknya dia
mengingat-ingat lagi dengan perasaan hormat dan sayang. Masihkah benda itu
berada di sana, di tempat dia semula menguburkannya" Kini hanya benda itulah
satu-satunya peninggalan dari diri Deden. Rasa iba menguasainya saat ia
mengenang sepotong tangan itu. Sejahat-jahatnya, tak patut juga Deden menerima
kematian yang mengerikan seperti itu. Kalau dia mengenang segi-segi yang baik
dari diri Deden, dia meragukan kekejian Deden kepadanya. Dia tak bisa mengenang
lagi sakit dan nyeri yang pernah dirasakannya dulu, karena memang tak bisa
dirasakannya lagi sekarang. Yang itu memang cuma sakit fisik. Dia ingin melihat
lagi benda itu, bagian tubuh Deden yang tersisa di luar kuburnya. Entah kenapa
dia sampai menguburkannya sendiri, karena dorongan itu muncul begitu saja.
Setelah jenazah Deden diangkat dia masih punya kesempatan untuk memeriksa
kamarnya yang sudah menjadi puing. Saat mengais-ngais itulah dia menemukan
sepotong tangan yang tertinggal itu. Diam-diam,tanpa terlihat oleh petugas, dia
memasukkannya ke dalam sakunya. Lalu pada kesempatan yang berikutnya lagi dia
cepat-cepat menguburkannya di sudut halaman setelah membungkusnya dengan
saputangan. Dia berharap benda itu masih ada di sana. Tentu saja kalau dia bisa
ke sana. Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http:/cerita-silat.mywapblog.com
LESMANA mengarahkan mobil tuanya ke jurusan yang menuju rumah Arya Kusuma, atau
rumah Melinda dulunya. Dia belum pernah melihat rumah itu, tapi sekarang merasa
ingin. Entah karena dia sekarang punya waktu untuk itu atau terpengaruh karena
perbincangannya dengan Melinda belakangan ini. Dia sudah berjanji untuk mencari
Haryati, padahal dia belum tahu ke mana dan di mana mulainya. Para petugas di
penjara dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak tahu siapa penjemput Haryati.
Tetapi mereka sama-sama mencnangkannya dengan menceritakan bahwa Haryati punya
teman yang selalu memperhatikan keadaannya. Jadi tak usah dikhawatirkan. Padahal
bukan soal itu yang mendorongnya mencari Haryati. Sekarang dia ke rumah itu.
Mungkin dorongannya adalah untuk mencari semacam petunjuk atau sekadar ingin
melihat saja. Di rumah itulah awal mula terjadinya tragedi yang berkepanjangan
itu. Sebuah tragedi memang tak berdiri sendiri, melainkan membawa rentetan
tragedi berikutnya sebagai akibat. Sayang Melinda tak ikut serta hingga bisa
diajak berbincang mengenai rumah tempat peristiwa itu. Memang Melinda bukan
saksi mata, tapi dia meghabiskan masa kecilnya di situ. Tetapi Lesmana yakin,
Melinda tak akan mau ikut kalau diajak. Dan kalaupun ikut pasti dia tak mau
diajak berbincang mengenai soal itu. Padahal perbincangan semacam itu toh melulu
mengenai fakta, tanpa melibatkan emosi. Ataukah tak bisa" Lesmana menyusuri
jalan pelan-pelan. Seperti umumnya daerah elite, terasa nyaman suasana
sekitarnya. Jalannya besar dengan naungan pohonpohon besar di kedua tepinya.
Rumah-rumahnya bagus-bagus, walaupun tak terlalu besar. Halaman depannya luas ke
arah depan, sedang batas samping kiri kanan agak sempit hingga jarak dengan
tetangga berdekatan. Begitu saja terpikir olehnya, bahwa para tetangga mestinya
cukup banyak melihat dan mendengar mengenai keluarga Deden Sofyan. Saat dia
mencari nomor rumah itu dia melihat sebuah mobil yang kira-kira sama tuanya
dengan mobilnya sendiri tengah parkir di tepi jalan, lalu seorang perempuan tua
keluar berjalan menuju arah yang sama dengannya. Sedang mobil yang ditumpanginya
tetap menunggu di tempat semula. Perempuan itu berjalan pelan-pelan sambil
menengok kiri-kanan memandangi rumah-rumah yang dilaluinya. Sebentar-sebentar
dia berdiri diam seolah sedang menikmati pemandangan. Tetapi Lesmana tak begitu
menaruh perhatian. R')Kalaupun pandangannya terarah ke perempuan itu, karena jalan sedang sepi. Mau
tak mau tatapannya mengarah ke objek yang tengah bergerak. Dipikirnya, perempuan
tua itu tentu sedang mencari alamat seseorang seperti dirinya. Tetapi dia sempat
merasa heran, kenapa mobil yang mengantar perempuan itu tetap berhenti. Rumah
yang dicari segera nampak. Dia memarkir mobilnya tak jauh dari pintu pagar, lalu
mengarahkan pandangannya ke sana. Rumah yang bagus dengan halaman yang ditata
indah. Lalu pikirannya bergulir mereka adegan-adegan yang pernah terjadi di
sana, sesuai dengan apa yang dibacanya di koran-koran. Ketika itu, peristiwa itu
memang menjadi topik pemberitaan di semua koran Ibukota. Melinda tak pernah mau
memperbincangkan soal itu. l Tak lama kemudian sebuah mobil lain berhenti di
belakang. Dia tak menaruh perhatian sampai ketika tiba-tiba seseorang berdiri di
depan jendela mobilnya yang terbuka. Orang itu adalah si empunya rumah, Arya
Kusuma! Lesmana jadi tersipu kebingungan.
"Wah, saya kira siapa. Tahunya Lesmana, bukan" Teman Melinda?" sapa Arya ramah.
Lesmana tersenyum malu. Tetapi dia juga merasa jengkel. Arya menyebut nama
Melinda seakan punya hubungan yang akrab dan dekat. Lesmana serasa diingatkan
kembali akan segala unek-uneknya kepada lelaki setengah baya itu.
"Marilah masuk. Masa diam saja di pinggir
jalan," Arya mengundang dengan senyum ramahnya tetap mengembang.
"Ah, tak usah, Oom. Saya. saya tak bermaksud mampir. Cuma kebetulan lewat, kok,"
sahut Lesmana gugup. Dan dalam kegugupannya itu dia jadi merasa minder. Dari
balik jendelanya sosok Arya tampak begitu tegap dan gagah. Wajahnya pun tampan
dengan sorot mata penuh percaya diri. Benar-benar penampilan seseorang yang
matang. Bahkan uban di pelipisnya seperti bukan ciri ketuaan melainkan
kedewasaan yang matang. Benarbenar sosok seseorang yang bisa menjamin rasa aman.
Tak mengherankan kalau Melinda mempercayainya.
"Sebentar sajalah. Kalau memang cuma lewat masa berhenti di sini," kata Arya
sambil mengulurkan tangan untuk membuka pintu mobil LesIa Ila.
"Tidak usah, Oom. Terima kasih," Lesmana berusaha menolak. Tetapi pintu sudah
terbuka lalu Arya menarik lengan Lesmana. Pegangannya kukuh, memaksa tapi
bersahabat. Lesmana tak bisa menolak lagi. Meskipun Arya sepertinya menawarkan
persahabatan dengan caranya yang setengah memaksa itu, Lesmana yakin dia akan
diseret keluar kalau masih tetap menolak.
"Ayo kita minum kopi sama-sama," ajak Arya. Lesmana menyahut dengan gumam tak
jelas. Dia masih berusaha menenangkan dan memantapkan dirinya. Rasanya memang
bagaikan tertangkap basah melakukan sesuatu yang tercela. Dia memang sedang mengamati rumah orang.
Atau mengintip" "Biar saja mobilmu tetap di situ. Kau ikut mobilku masuk ke dalam. Yuk?" Arya
menggamit lengan Lesmana, seakan khawatir anak muda itu akan melarikan diri.
Sebelum mereka memasuki mobil Arya, mereka melihat seorang perempuan tua
mendekat ke pintu gerbang dan mengetuk-ngetuk. Lesmana mengenalinya sebagai
perempuan yang barusan dilihatnya. Rupanya rumah inilah yang ditujunya. Lesmana
memandang ke arah mobil yang membawa perempuan itu tadi menunggu. Dia tak bisa
melihatnya karena terhalang tikungan. Arya melepaskan pegangannya pada lengan
Lesmana lalu berjalan mendekati perempuan itu. Setelah ragu-ragu sebentar,
cepat-cepat Lesmana menyusul untuk ikut bergabung. Tak terlalu dekat tapi cukup
jelas baginya untuk melihat dan mendengar. Dia terkejut melihat wajah perempuan
tua itu setelah tatapannya terarah pada bekas luka di pipi si perempuan. Ciri
itu membuat wajah si perempuan tampak istimewa dan unik. Sangat tidak biasa.
Pasti akan lain halnya bila yang memiliki cacat itu lelaki. Bagi lelaki bisa
saja ciri seperti itu dianggap sebagai pertanda kejantanan. Tapi kalau
perempuan" Arya pun tampak terpesona sebentar. Tapi setelah dia menyadari
kehadiran Lesmana di dekatnya untuk sesaat wajahnya menyiratkan ketidaksenangan.
Semestinya anak muda itu menunggu saja di sana, di dekat mobil.
"Ada perdu apa, Bu?" tanyanya. Haryati, demikian si perempuan itu, membungkukkan
tubuhnya dengan sangat hormat.
"Selamat sore, Pak," katanya sambil tersenyum. Arya mengerutkan keningnya. Wajah
Haryati membuatnya tidak enak. Senyum Haryati memberi kesan aneh baginya, karena
membuat wajahnya jadi asimetris. Goresan memanjang di pipinya menghasilkan
kerutan-kerutan yang tak sama bentuknya dibanding dengan pipi yang satu lagi.
"Ya, selamat sore. Ada apa?" tanya Arya tanpa terlalu menyembunyikan
kecurigaannya. Sepintas mengamati dari atas ke bawah saja dia sudah tahu bahwa
perempuan di depannya ini pastilah kelas pembantu rumah tangga.
"Begini, Pak," Haryati membungkuk lagi.
"Saya dengar di sini membutuhkan pembantu. Jadi saya mau melamar kerja, Pak."
Mata Arya memperlihatkan kegusaran. Soal semacam itu tentu saja bukan urusannya.
Selain itu, mana mungkin dia punya pembantu yang berwajah seperti itu" Tapi dia
segera menyadari kehadiran Lesmana. Hal itu mencegahnya bertindak kasar, yaitu
mengusir perempuan itu secepatnya. Dia juga menyadari tatapan Lesmana yang penuh
perhatian. Anak muda itu tampak tertarik. Usil rupanya.
"Rasanya saya tidak perlu pembantu, Bu," jawabnya kemudian.
"Barangkali Ibu yang membutuhkan, Pak. Soalnya saya dengar."
"Saya tahu betul apa yang dibutuhkan di rumah ini, Bu," kata Arya tegas.
"Bolehkah saya ketemu Ibu, Pak?" Haryati berusaha dengan gigih sambil
mempertahankan sikap hormatnya. Dia juga memperlihatkan ekspresi keibuannya yang
sendu dengan tatapan sayu yang sudah dipelajarinya. Ternyata usahanya itu
berhasil menyentuh perasaan walaupun yang tersentuh adalah Lesmana.
"Ibu sangat membutuhkan pekerjaan rupanya, ya?" Lesmana bertanya.
"Betul, Nak. Saya cukup kuat karena biasa bekerja," kata Haryati sambil
menegakkan tubuhnya dan sedikit mengangkat wajahnya. Arya memalingkan muka
supaya tak tertatap olehnya wajah Haryati. Tetapi ucapan Lesmana membuatnya
merasa tak enak. "Ibu bisa bekerja di tempat saya. Tapi saya tak bisa memberi gaji yang besar,
bu," Lesmana menawarkan. Haryati menjadi bingung. Dia merasa terjerat oleh
situasi. Kalau memang benar dia membutuhkan pekerjaan tentunya dia harus
menerima tawaran itu. Tapi mana mungkin" Bukan itu tujuannya. Tetapi Arya tidak
memberi kesempatan pada Haryati untuk bereaksi. Dia sudah tidak tahan terhadap
ikut campurnya Lesmana. Katanya cepatcepat,
"Kalau begitu, boleh saja Ibu bicara sama istri saya. Terserah dia mau menerima
Ibu atau tidak." Pada saat itu tukang kebun berlari-lari mendekati ke pintu.
"Oh, Bapak sudah pulang" Saya kira pakai mobil. Oooh, mobilnya di luar?" katanya
bingung. "Pak Us, cepat kasih tahu Ibu. Di sini ada orang yang mau melamar kerja jadi
pembantu," kata Arya sambil melirik ke arah Lesmana. Sekarang dia berharap
Lesmana pamitan saja. Tak perlu memenuhi undangannya yang tadi begitu menggebu.


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian dia akan mempunyai kesempatan untuk melarang istrinya menerima
perempuan itu bekerja di rumahnya. Tetapi Lesmana tampaknya tidak akan memenuhi
harapannya itu padahal sudah jelas tidak mungkin dia membatalkan, apalagi
terang-terangan menyuruhnya pulang. Usman, si tukang kebun, menatap pada
Haryati. Di wajahnya terlihat kejutan, bukan kengerian. Dia malah tersenyum
geli. Di matanya, wajah perempuan berhiaskan bekas jahitan itu aneh tapi lucu.
Tambahan lagi perempuan itu sudah tua. Dia jadi teringat pada sebuah film silat.
"Hei, Pak Us kok senyum-senyum sih?" tegur Arya jengkel. Usman terkejut. Dia
cepat-cepat memperbaiki sikapnya.
"Maksud saya, kebetulan sekali, Pak. Pasti Ibu senang Soalnya si Iyem mau pulang
kampung," katanya buru-buru. Tetapi Usman menerima tatapan berang dari
majikannya. "Cepat sana, beritahu Ibu! Eh, buka pintu dulu!" bentak Arya. Setelah pintu
terbuka dan Usman berlari masuk,
Arya berkata pada Lesmana,
"Silakan masuk, Lesmana. Saya mau bawa mobil dulu." Tetapi Haryati tidak
dipedulikannya. Lesmana menggamit lengan Haryati.
"Yuk, kita masuk, Bu," ajaknya. Arya menoleh ke belakangnya dan melihat kedua
orang itu berjalan bersisian. Wajahnya muram dengan kesebalan. Dia merasa sial
hari itu. Kalau saja dia tidak repot-repot mengundang Lesmana masuk rumahnya,
tentu hal itu tak akan terjadi. Tanpa harus membuka pintu lebih dulu dia bisa
langsung mengusir perempuan tua jelek itu. Sekarang tentu sudah terlambat.
Istrinya bisa saja malah jatuh hati pada perempuan seperti itu. Sesungguhnya,
dia tidak ingin menimbulkan citra jelek di mata Lesmana karena anak muda itu
teman Melinda. Apa saja yang terjadi di sini tentu akan diceritakan Lesmana
kepada Melinda. Tak lama kemudian, Lesmana sudah duduk berhadapan dengan Arya di
teras yang menghadap ke taman sambil menikmati secangkir kopi panas berikut kuekue. Sementara itu di sudut lain, Nyonya Arya atau Astuti tengah mewawancarai
Haryati. Tak jelas percakapan mereka bagi kedua laki-laki itu. Tetapi gerakgerik dan ekspresi kedua perempuan itu bisa mereka tangkap dengan baik. Sesekali
perhatian Arya dan Lesmana tertuju ke sana. Masing-masing dengan maksud sendirisendiri.
"Jadi, apa sebenarnya tujuanmu nongkrong di depan rumah tadi?" Arya segera
memulai. Lesmana terkejut. Dia sadar, sesungguhnya itu
lah tujuan Arya mengundangnya masuk. Bukan sekadar keramah-tamahan, melainkan
kecurigaan. Tadi dia berpikir Arya melakukan hal itu karena dia teman Melinda,
lalu bermaksud mengambil hatinya supaya nanti bicara baik tentang dirinya di
depan Melinda. Pikirannya segera bekerja dengan
Cepat. "Bukankah ini dulunya rumah Melinda, Oom"
Saya tahu tentang tragedi yang menimpa keluarganya dulu. Ketika kebetulan lewat
saya teringat lalu berhenti untuk memandangi rumah ini. Saya baru pertama kali
ini melihatnya. Tak ada maksud apaapa, Oom. Cuma kepingin membayangkan saja."
Tatapan Arya yang tajam segera melembut. Tampaknya dia mempercayai keterangan
Lesmana itu. "Oh, begitu," katanya.
"Tapi sesungguhnya perbuatanmu itu bisa berbahaya, lho."
"Berbahaya?" tanya Lesmana heran campur kaget.
"Ya. Kau bisa disangka warga sekitar punya niat jelek. Biasanya perampok yang
mau ngerjain rumah orang mempelajari dulu situasi sebelum memulai. Daerah ini
pernah mengalami sebelumnya."
"Di sini tidak aman, Oom?"
"Di mana-mana juga tidak aman selama ada kesempatan. Kembali pada masalah tadi,
tentang tragedi keluarga Melinda itu. Apa saja yang diceritakan Melinda
kepadamu?" "Dia tidak pernah bercerita. Saya tahu dari koran."
"Kau tidak pernah bertanya kepadanya" Mustahil kau tidak tanya-tanya."
"Saya memang pernah bertanya, tapi dia tak mau cerita."
"Oh, begitu." Arya menoleh ke arah istrinya. Lama betul wawancara itu. Apa sih
yang dibicarakan" Lihat kepala Astuti mengangguk-angguk dengan tatapan penuh
perhatian, seakan tengah mendengarkan dongeng yang menarik. Tampaknya perempuan
tua jelek itu pandai mengambil hati orang. Kecuali hatinya tentu. Dia bukanlah
orang yang gampang dikibuli. Pandangan Lesmana juga ikut tertuju ke sana. Dia
sudah ingin pulang, tapi muncul keingintahuan. Apakah perempuan tua itu berhasil
diterima bekerja" Tampaknya usaha perempuan itu sangat gigih. Sayang rasanya
kalau tak berhasil. Begitu pentingkah kerja sebagai pembantu di rumah ini
baginya" Tadi dia menawarkan tapi tak mendapat tanggapan. Karena ingin tahu
hasil akhir dari usaha perempuan itu, dia bertahan di tempatnya. Tetapi dia juga
mengingatkan diri agar tidak memberikankan informasi perihal Melinda kepada
Arya. Menilik percakapan barusan, tampaknya memang mengarah ke sana. Apa lagi
yang diinginkan Arya darinya kalau bukan soal itu" Sesungguhnya, istri Arya
memang cantik dan anggun. Tetapi sebagai sesama lelaki, Lesmana tahu betul bahwa
masalahnya bukanlah istri cantik atau tidak hingga seorang suami menaruh
perhatian pada perempuan lain. Sebabnya, dia memang merasa tak cukup punya Satu!
"Kenapa Melinda tak mau cerita?" tanya Arya.
"Dia sedih, Oom."
"Ya. Kasihan sekali."
"Oom kenal baik sama ayahnya dulu, bukan" Begitu kata Melinda. Kenalnya di mana,
Oom" Apa relasi bisnis atau teman pribadi?" Arya tertegun sebentar. Dia tak
senang ditanyai. Bukan itu tujuannya. Tapi dia menjawab juga,
"Ya. Kami teman baik. Kau sendiri, apakah pacar Melinda atau teman biasa?"
"Saya sahabatnya, Oom. Seorang sahabat tentu lebih daripada pacar, apalagi
sekadar teman biasa. Apa Oom kenal juga sama ibu Melinda?" Dengan jengkel Arya
menggelengkan kepala. Ternyata anak muda ini cukup cerdik dengan menggunakan
teknik percakapan yang sama seperti yang digunakannya. Sebelum menjawab
pertanyaan itu dia menoleh lagi ke arah istrinya, lalu memandang si perempuan
tua. "Tidak. Saya tidak kenal. Tapi kabarnya dia cantik. Mungkin secantik Melinda,
ya?" katanya. Lesmana merasa sebal. Kalau Melinda tidak cantik, kau pasti tidak
mau mendekati dan berbaikbaik kepadanya, pikirnya. Dia mulai kehilangan
kesabaran lalu menoleh ke arah nyonya rumah. Tampaknya wawancara sudah akan
berakhir. Nyonya rumah berdiri dari duduknya, sedang si perempuan tua tetap di
tempatnya. Astuti mendekati suaminya.
"Aku menerimanya, Pap. Dia bisa segera masuk. Tapi dia mau mulai bekerja besok.
Lumayan sebagai pengganti si Iyem."
"Terserah padamu. Sudah kauteliti latar belakangnya?" jawab Arya, tak bisa lain.
Di depan Lesmana dia tak mau memberi kesan sebagai seorang suami yang mau ikut
campur masalah pembantu rumah tangga. Baginya itu menurunkan derajat. Pendeknya
asal jangan di depan orang luar. Sekarang dia akan mengalah. Tapi pada suatu
saat, pembantu jelek itu bisa saja dipecatnya. Alasan gampang dicari. Astuti
menyodorkan kartu penduduk Haryati Arya mengamatinya sejenak. Di situ tertulis
nama Yati S. Segera dia menggapai ke arah si perempuan tua yang berdiri di
tempat semula dia duduk. Haryati buru-buru mendekat. Gerakannya gesit.
"Nama Bibi Yati S.," kata Arya, yang sudah mengganti sebutan Ibu yang semula
dipakainya. "Singkatan apa S ini?"
"Solihin, Pak. Nama saya Yati Solihin," jawab Haryati lancar. Dia sudah bersiap
sebelumnya. Tentu saja tak boleh ada yang tahu bahwa dia seorang mantan
narapidana bernama Haryati Sofyan. Arya mengangguk.
"Baiklah. Cuma jangan panggil saya Bapak, tapi Tuan. Dan ini Nyonya," katanya
sambil menepuk istrinya. "Baik, Pak, eh, Tuan." Haryati mengangguk dan membungkuk dalamdalam lalu
pamitan. Jalannya tegak dan langkahnya gesit. Dia memang sedang gembira dan
bersemangat. Kabar gembira itu akan disampaikannya kepada Daud. Kasihan Daud
menunggu begitu lama."Wah, dia gesit sekali untuk perempuan berusia lima puluh,"
komentar Astuti. Lalu tatapannya tertuju kepada Lesmana. Yang ditatap sadar
dirinya belum berkenalan dengan nyonya rumah. Cepat dia mengulurkan tangan yang
dibalas dengan ramah oleh Astuti.
"Saya sudah cukup lama di sini. Permisi, Oom, Tante," Lesmana menggunakan
kesempatan itu untuk pamitan dan gembira karena Arya tidak menghalanginya lagi
sekarang. "Wah, dia memanggilku Tante," keluh Astuti.
"Masa pantas sih aku dipanggil Tante?"
"Tentu pantas saja. Dia menyebutku Oom. Jadi sebagai istriku, kau pantas saja
disebutnya Tante." "Aku kan belum setua kau."
"Ala, sudahlah. Ada hal lain yang kuherankan. Bagaimana mungkin kau bisa
Kemelut Di Pulau Aru 2 Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang Iblis Berbaju Hijau 2
^