Bunga Di Batu Karang 1
Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 1
Karya SH MINTARDJA Bunga Di Batu Karang Editor : Dino Jilid 01 MATAHARI sudah menjadi se makin tinggi. Sinarnya menusuk celah-celah dedaunan di pepohonan, me mbuat lukisan yang cerah di atas tanah yang le mbab. Sekali lagi Buntal berpaling. Dipandanginya sebuah rumah tua yang kecil, dan apalagi miring. Rumah yang untuk beberapa bulan didia minya bersama pa man dan bibinya. Anak itu menarik nafas dala m-dala m. Ia sudah me mutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Sejak ia menjadi yatim piatu, ia tinggal bersa ma pa man dan bibinya. Tetapi paman dan bibinya ternyata mengalami banyak kesulitan. Untuk me mberi makan dan pakaian saudara-saudara sepupunya, anak paman dan bibinya itu sendiri, mereka telah menga la mi kekurangan. Apalagi ia berada di rumah itu pula. Karena itu sekali lagi Meninggalkan ruma h itu. ia me mbulatkan niatnya.
Pagi itu, selagi paman dan bibinya pergi ke ladangnya yang hanya secuwil kecil, dan saudara-saudara sepupunya bermainma in di kebun belakang, Buntal me mutuskan untuk berangkat tanpa me mbawa be kal apapun.
Kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu juga, akan kemana saja ia me mbawa langkahnya. Tetapi iapun ke mudian menengadah ke langit, dan tanpa disadarinya ia berdoa semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang menurut ayahnya yang telah meningga l, agar menuntun langkahnya. Buntalpun ke mudian berjalan cepat-cepat agar ia segera menjadi se makin jauh. Meskipun pa man dan bibinya miskin, tetapi kepergiannya pasti tidak akan mere ka kehendaki. Karena itu, maka iapun telah meninggalkan keluarga miskin itu tanpa pamit. "Keadaan menjadi se makin buruk" desis Buntal di dala m hati. Ia tidak mengerti, perubahan apakah yang telah terjadi dalam tata pe merintahan. Namun terasa baginya, dan bahkan bagi anak-anak yang lebih kecil dari dirinya, bahwa sesuatu telah terjadi. Langkahnya semakin la ma me mbawanya semakin jauh dari rumah pa man dan bibinya. Ketika matahari berada dipuncak langit ia mula i me mbayangkan, bahwa paman dan bibinya pada saat-saat yang demikian itu ke mbali sejenak dari sawah untuk beristirahat. Apabila kebetulan ada, mereka se kedar makan seadanya bersama-sama dengan anak-anak mereka. "Paman dan bibi ttentu mencari aku" desisnya. Tetapi Buntal berjalan terus. Ia mencoba untuk meneguhkan hatinya, agar ia tidak menjadi ragu-ragu atau bahkan me langkah ke mbali ke rumah itu, rumah pa man dan bibinya yang miskin. Namun ketika matahari menjadi condong ke terasalah sesuatu di perutnya. Lapar. Barat,
Buntal mulai menjadi gelisah. Sebelumnya ia t idak me mikirkan, bagaimana ia mendapatkan makan di sepanjang perjalanannya. Dan kini baru ia sadar, bahwa ia menjadi sangat lapar.
Me mang kadang-kadang sehari penuh ia tidak makan nasi di rumah pa man dan bibinya yang miskin. Tetapi ada saja yang dapat diambilnya dari kebun, untuk sekedar mengisi perutnya. Kadang-kadang pohung, kadang-kadang nyidra atau garut atau apapun juga. Tetapi di perjalanan ini, ia tidak dapat mene mukan apapun juga. Keragu-raguan di hati Buntal mulai me lonjak. Kadangkadang timbul pula niatnya untuk ke mbali saja ke rumah paman dan bibinya. Tetapi ia t idak sa mpa i hati melihat keadaan rumah dan keluarga itu sehari-hari. Kadang-kadang Buntal harus menahan gejolak perasaannya, apabila ia mendengar adik sepupunya yang masih berumur setahun menangis karena lapar. Anaknya yang lebih tua duduk tepekur sambil menyeka air matanya. Yang lain tidur terlentang dengan le mahnya di a mben ba mbu. Sedang yang sulung, yang tiga tahun lebih muda daripadanya, duduk tepekur sa mbil menganya m keranjang. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Umurnya sendiri be lum mencapai limabelas tahun, sehingga adik sepupunya yang sulung itu belum mencapai duabe las tahun. Dan anak yang belum mencapai umur duabelas tahun itu harus sudah bekerja keras me mbantu ayah dan ibunya untuk mencari nafkahnya sehari-hari. Tetapi kini perutnya sendiri merasa lapar. Sedang perjalanannya sama sekali tida k berketentuan. Ia tidak akan dapat menghitung sampai kapan ia harus berjalan. Dan ke manalah. tujuan yang akan didatanginya. Ia tidak lagi me mpunyui saudara yang agak jauh seka lipun. Namun Buntal tidak berhenti. Ia me langkah terus dengan le mahnya. Semakin la ma se makin le mah, sehingga akhirnya ia jatuh terduduk diatas sebuah batu di pinggir ja lan. Ketika tanpa disadarinya Buntal menengadahkan kepalanya ke langit, dilihatnya cahaya yang kemerah-merahan telah
mulai me mbayang, sehingga sebentar lagi senja akan segera turun. Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia mendengar gemericik air parit, maka terasa lehernya menjadi sema kin kering. Karena Itu, maka perlahan-lahan ia beringsut mende kati parit itu. Apalagi ketika dilihatnya air yang bening menga lir diatas rerumputan yang hijau di dasar parit bercampur pasir yang keputih-putihan, maka iapun segera berjongkok diatas tanggul. Dengan kedua belah telapak tangannya ia menga mbil seteguk air untuk me nghilangkan hausnya yang tidak tertahankan, meskipun ia sadar, bahwa air itu tidak bersih sa ma sekali dari kotoran, karena diparit itu pula para petani mencuci kaki, tangan dan alat-alatnya apabila mereka pulang dari sawah. Tetapi lehernya terasa haus sekali. Buntal menarik nafas dalam-dala m ketika terasa tenggorokannya telah menjadi basah. Perlahan-lahan ia berdiri dan me mandang daerah di sekitarnya. Tetapi daerah itu adalah daerah yang asing baginya. Dan dengan de mikian ia sadair, bahwa ia telah benar-benar terpisah dari pa man dan bibinya. Ia tidak akan dapat menemukan jalan ke mbali, apabila ia tidak bertanya-tanya dengan susah payah. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Kecemasan se makin merayapi batinnya. Sebentar lagi mala m akan tiba, dan sebentar lagi seluruh permukaan bumi ini akan menjadi ge lap. "Apakah aku akan tetap berada di bula k dan t idur diatas rerumputan?" Tiba-tiba tengkuknya meremang. Dikejauhan dilihatnya seonggok pepohonan yang rimbun. Kalau itu sebuah ujung dari hutan yang me mbujur, meskipun hutan yang rindang, kadang-kadang masih ada juga seekor harimau yang tersesat keluar hutan dan mencari makan ke padukuhan. Mungkin
seekor lembu, mungkin ka mbing dan apabila ia berada di bulak itu mungkin dirinya. Dala m kece masan itu, Buntal melihat sebuah gubug yang bertiang agak tinggi. Sebuah gubug yang di siang hari dipakai untuk menunggu dan menghalau burung. "Mungkin tempat itu merupakan satu-satunya tempat yang paling baik buat bermala m. Tangga gubug itu cukup kecil, sehingga aku kira tidak, akan ada harimau yang dapat me manjat keatas. Meskipun agak ragu, Buntalpun berjalan juga menyusur pematang ke gubug itu. Besek pagi-pagi benar aku harus bangun dan meningga lkan gubug itu. Kalau aku kesiangan, dan ada seseorang yang mene mukan akju masih tidur, maka aku a kan mendapat seribu maca m pertanyaan. Ternyata gubug itu cukup panjang untuk menjelujurkan kakinya. Sambil mengge liat ia berbaring. Kepalanya diletakkan diatas kedua telapak tangannya. Senjapun semakin la ma menjadi se makin gelap. Seperti perut Buntal yang menjadi se makin lapar. Sekali-kali Buntal menarik nafas dalam-da la m. Udara yang segar terhisap masuk ke dadanya. Namun dada itu masih juga tetap gelisah dan ce mas. Dengan demikian Buntal tidak segera dapat tertidur. Berbagai maca m perasaan bergulat di dala m dirinya. Cemas, gelisah, takut dan juga lapar dan penat. Bahkan ia menjadi cemas pula apabila tiba-tiba saja pemilik gubug itu datang di ma la m hari untuk menengok sawahnya "Mudah-mudahan t idak ma la m ini" desisnya "mudahmudahan ia t idak me nengok sawahnya ma la m hari"
Namun kegelisahan itu me mbuatnya tidak segera dapat me meja mkan matanya, apalagi karena perutnya terasa menjadi se makin lapar. Namun oleh kepenatan yang sangat, kantuk yang tidak terlawan dan udara yang segar, akhirnya membuat Buntal terlena diatas gubug itu. Anak itu tidak menyadari, berapa lamanya ia tertidur diatas gubug itu. Na mun ia terkejut ketika terasa olehnya sinar matahari mulai menggigit kakinya. Dengan tergesa-gesa Buntal bangkit. "O, matahari telah tinggi" Sejenak ke mudian Buntal telah duduk di gubug itu sa mbil me mperhatikan keadaan di sekitarnya. Beberapa orang dilihatnya telah bekerja di sawahnya. Beberapa yang lain sedang menyelusuri parit yang mengalirkan a ir yang bening. "Aku harus segera pergi" desisnya "ka lau yang me mpunyai gubug ini datang, aku akan mengejutkannya dan mungkin aku disangkanya telah berbuat sesuatu yang merugikannya" Tetapi selagi Buntal me mbenahi dirinya, ia merasa gubug itu terguncang, sehingga karena itu maka dadanya segera menjadi berdebaran. Ia sadar, bahwa seseorang pasti sedang naik keatas gubug itu. Belum lagi ia se mpat berbuat sesuatu, tiba-tiba sebuah kepala telah menjenguk dari ba lik alas gubug itu. Seorang gadis kecil yang sa ma se kali tidak menyangka, bahwa ada seseorang diatas gubugnya, sedang memanjat naik untuk menyimpan bakulnya diatas gubug itu. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat seorang anak muda yang belum dikenalnya di da la m gubugnya itu. Karena itu, betapa ia terperanjat. Sejenak ia membe ku, namun ke mudian iapun segera me luncur turun. Tetapi karena
ia terlampau tergesa-gesa, maka iapun terperosek diantara mata tangga dan jatuh diatas tanah yang basah. Tanpa sesadarnya gadis kecil itu menjerit. Ke mudian tubuhnya terbanting ke dala m lumpur yang kotor. Jerit gadis kecil itu ternyata telah mengejutkan beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu. Bahkan Buntalpun terkejut pula. Dengan serta-merta ia menjengukkan kepalanya dan dilihatnya gadis itu sedang bergulat untuk bangkit dari lumpur yang licin. Buntal tidak berpikir apapun lagi. lapun segera turun dengan tergesa-gesa dan berusaha menolong gadis yang berlumuran tanah yang kotor itu. Sesaat kemudian beberapa orangpun datang berlari-lari ke gubug itu. Yang mereka lihat, Buntal sedang menarik gadis itu dan mencoba me mbantunya berdiri. Sedang tubuh gadis itu sendiri tiba-tiba menjadi le mas seperti tidak bertenaga. Karena terkejut yang amat sangat, maka gadis kecil itu menjadi pingsan karenanya. "He, apakah yang kau lakukan atas anak itu?" bentak seorang yang bertubuh pendek, tetapi sekuat kerbau jantan, yang ternyata dari urat-uratnya yang menonjol di permukaan kulitnya. "Aku tidak berbuat apa-apa" jawab Buntal ketakutan "Lepaskan" teriak seorang ana k muda. "Tetapi, tetapi...."
"Lepaskan" teriak yang lain. Tetapi Buntal tidak segera melepaskannya. "He, kenapa kau tidak mau me lepaskan?" "Ia le mas. Le mas se kali" suara Buntal tergagap "kalau aku lepaskan ia akan terjatuh" Sejenak orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan. Kemudian dua orang anak muda me loncat maju dan merenggut tubuh gadis itu dari tangan Buntal. Ternyata bahwa gadis itu benar-benar telah le mas dan jatuh pingsan. "Bawa dia menepi. Bersihkan tubuhnya dari lumpur" Gadis itupun ke mudian dipapah oleh dua orang anak-anak muda yang ke mudian meletakkannya di pe matang. Dengan selendangnya, wajah gadis yang berlumuran lumpur itupun ke mudian dibersihkannya. "Ayahnya belum datang?" bertanya seseorang. "Belum, la datang seorang diri" Kini se mua mata tertuju kepada Buntal. Orang yang bertubuh pendek dan berotot menonjol melangkah maju sambil menggera m "Apa yang kau lakukan he?" Buntal menjadi se makin ketakutan. Ia menyesal bahwa ia telah terbangun kesiangan, sehingga ia harus menga la mi perlakuan yang mendebarkan itu. "Kau apakan anak itu he?" "Aku, aku tida k apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa" " Bohong" sahut seorang anak muda yang bertubuh tinggi "mungkin kau ingin berbuat jahat. Apapun yang akan kau lakukan. Mungkin kau me lihat gadis itu me makai perhiasan.
Atau kau me mang akan berbuat jahat kepada gadis itu sendiri" "Tida k, aku tidak berbuat apa. Aku semala m me mang tidur di gubug itu. Mungkin ia terkejut me lihat a ku" "Jangan mengada-ada. Dan kenapa kau berada di gubug itu" Siapa kau dan dimana rumahmu?" Buntal menjadi se makin kebingungan. Ingin ia menyebut nama pa man dan bibinya. Tetapi jika de mikian, dan persoalan yang tidak diharapkannya ini menjadi persoalan yang berkepanjangan, maka pa man dan bibinya akan tersangkut pula. Padahal mereka sudah selalu dala m kesulitan untuk hidup mereka sehari-hari. Kalau mere ka harus berbuat sesuatu untuk dirinya, maka hidup merekapun akan se ma kin terbengkelai. "Siapa kau he?" seorang yang bertubuh t inggi me mbentak. "Na maku Buntal" jawabnya. Suaranya sudah menjadi gemetar. "Buntal, Buntal. Dima na rumahmu he?" Buntal ragu-ragu sejenak. "Dima na?" t iga orang berbareng me mbentak. Suara Buntal menjadi se makin ge metar. Jawabnya "Aku anak yatim piatu" "He?" "Aku yatim piatu" "Bohong. Bohong. Dimana rumahmu. Meskipun seandainya kau yatim piatu, namun kau pasti me mpunyai tempat tinggal" Buntal menjadi se makin bingung. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak me nyeret paman dan bibinya yang sudah terlampau sulit itu untuk mendapatkan kesulitan-kesulitan baru. Karena itu, maka ia ingin menunjukkan rumah yang
sudah la ma dit inggalkan, setelah ayahnya meninggal. Dan rumah itu sa ma sekali bukan rumahnya karena ia t inggal di pengengeran sekeluarga. "Dima na, dimana he" Apakah kau menjadi bisu" bentak orang-orang yang marah itu. "Aku, aku tidak me mpunyai rumah karena ayahku hanya seorang pelayan. Seorang abdi" "Dima na" "Surakarta" "Surakarta" Yang kau maksud kau tinggal di dala m kota Surakarta?" "Ya" "O, jadi kau anak orang kota" Tetapi kau sa ma sekali t idak tahu adat?" "Bukan, aku bukan orang kota. Ayah sekedar seorang abdi dari seorang bangsawan. Ayah adalah seorang juru pangangsu yang dahulu datang dari padesan juga" "Dima na ayahmu sekarang?" "Meninggal. Ayah sudah meninggal" "Dan kau?" "Aku diusir dari ruma h bangsawan itu" "Pantas. Pantas. Kau pasti berbuat tidak senonoh di rumah bangsawan itu. Kau pasti berbuat iahat seperti yang baru saja kau la kukan" "Tida k. Aku tidak berbuat apa-apa. Tetapi bangsawanbangsawan me mang terla mpau keja m sekarang" "Omong kosong. Kau pasti yang jahat" "Tida k. Aku tidak jahat. Sejak rumah itu sering dikunjungi kumpe mi, Raden Tumenggung Gagak Barong telah berubah"
"Kumpeni?" "Ya" "Omong kosong. Kau me mang seorang yang pandai berbohong. Sekarang kau masih mencoba berbohong, meskipun ka mi dapat me lihat sendiri apa yang sudah kau lakukan" "Aku tida k! berbuat apa-apa" Tiba-tiba seorang anak muda yang bermata setajam burung hantu maju kedepan. Dengan serta merta anak muda itu menerka m baju Buntal yang sudah kusut. Sambil menarik ia menggera m "Berkatalah berterus terang. Siapa kau sebenarnya, dan kenapa kau berada disini?" "Aku sudah mengatakan se muanya" "Bohong. Bohong" anak muda itu mulai me ngguncangguncang baju Buntal. Buntal menjadi se makin ge metar. Apalagi ketika dilihatnya beberapa orang maju mendekat dengan pandangan mata yang seakan-akan langsung menusuk jantung. "Ayo, berkatalah sebenarnya" orang lain berteriak. Dan Buntal menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba seseorang telah meloncat maju dan langsung menggengga m rambutnya. "Kalau kau berbohong sekali lagi, aku pukul mulut mu" Buntal benar-benar telah kehilangan akal. Tubuhnya menggigil seperti semala m suntuk terendam air. Wajahnya menjadi pucat seperti kapas. "Jawab. Apa yang sudah kau lakukan?" Mulut Buntal terdengar. bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak
"Jawab pertanyaanku" Buntal masih belum dapat mengucapkan kata-kata, sehingga orang-orang itu menjadi se makin marah. Kepala Buntal terputar ketika sebuah telapak tangan menampar pipinya. "Ayo bilang. Bilang bahwa kau telah mengganggu gadis, kecil itu diatas gubug. Untunglah bahwa ia justru terlempar dan sempat menjerit" "Tida k. Tida k" hanya itulah yang dapat diucapksn oleh Buntal karena tangan yang lain telah me mukul dagunya. Alangkah sakitnya. Dan alangkah sakit hatinya. Ia sama sekali tidak dapat melawan. Ketika ra mbut dan bajunya dilepaskan dan sebuah tangan lagi memukul pipinya. Buntal benar-benar telah terlempar dan terbanting jatuh diatas pematang, namun iapun ke mudian terguling ke dala m lumpur. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri. Namun ia tidak sempat tegak karena sebuah tendangan mengenai la mbungnya, dan mendorongnya seka li lagi jatuh ke dala m lumpur. "Bawa saja kepada Ki Jagabaya" berkata salah seorang dari mereka. "Pukuli saja disini. Di dala m keadaan seperti ini, orangorang gila pantas dibunuh saja" "O, jangan, jangan" teriak Buntal. "Kau sudah berani berbuat gila, kau me mpertanggung jawabkannya. Kenapa kau takut?" harus
"Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa" hanya kata-kata itulah yang dapat diucapkan oleh Buntal. Ia tidak dapat menemukan kalimat-kalimat yang la in di dala m keadaannya itu. Tetapi orang-orang itu tidak menghiraukannya lagi. Beberapa orang segera menariknya ke pe matang. Ke mudian
Buntal diseret seperti seonggok batang pisang kejalan di tengah-tengah sawah itu. Sejenak ke mudian wajahnya telah dihujani dengan pukulan-pukulan dan bahkan beberapa orang telah me ludahinya. Kepala Buntal segera menjadi pening. Kepalanya serasa menjadi retak dan pandangannya berkunang-kunang. Tetapi ia masih mendengar setiap orang me maki-makinya. "Gadis itu masih pingsan" terdengar seseorang berkata "bunuh saja anak jahanam itu. Ia me mbuat pedukuhan ini ternoda" "Ya bunuh, bunuh saja" Buntal tidak berdaya sama seka li untuk melakukan pembelaan. Sekilas terlintas di kepalanya, kenangan atas perjalanannya yang panjang sehingga ia sampai ke tempat ini. Dan terlintas pula di kepalanya, perjalanan yang seakan-akan telah terbentang di hadapannya. Jalan yang jauh lebih panjang dari ja lan yang baru saja dila luinya itu. "Aku akaa menyeberangi langit" katanya di dala m hati. Dan sesaat kemudian Buntal itu menjadi pingsan, la tidak merasakan lagi pukulan-pukulan yang bertubi-tubi mengenainya. Dengan lemahnya ia terkapar di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Dala m pada itu, selagi Buntal masih mengala mi hukuman yang sama sekali t idak diduganya, seorang tua berlari-lari diikuti oleh seorang ana k muda yang sebaya dengan Buntal menuju ke pematang. Orang tua itu adalah ayah dari gadis yang pingsan itu. Seseorang telah me mberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi di sawah. Ketika ia sampa i disisi anak gadisnya, segera ia berlutut. Diraba-rabanya tubuh anaknya, kemudian dipijit-pijitnya tengkuknya. Tetapi wajahnya tampak menjadi agak cerah
ketika ia mendengar anaknya itu merengek seperti dimasa kanak-kanaknya. "Arum" desis orang tua itu "kenapa kau?" Arum, gadis itu, me mbuka matanya. Dilihatnya ayahnya berjongkok di sampingnya. "Apakah yang terjadi?" Arum masih biugung sejenak. Na mun ke mudian ditolong oleh ayahnya ia mengangkat kepalanya. Sejenak ia me ncoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan, namun semakin la ma menjadi sema kin jelas. Dan tiba-tiba saja ia berkata kepada ayahnya "Aku terjatuh ayah. Aku terkejut sekali" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Dan tiba-tiba pula anaknya itu me mandang ke ja lan yang me mbujur diantara tanah persawahan. "Apa yang terjadi disana ayah?" ia bertanya sambil menunjuk orang-orang yang berkerumun sa mbil me nyepaknyepak. "Anak itu. Anak yang barangkali sudah berbuat jahat kepadamu" "Kenapa dengan anak itu?" "Orang-orang telah menganggapnya bersalah. Mereka me mukuli ana k itu" "Tida k ayah. Anak itu tidak berbuat apa-apa. Aku hanya terkejut dan aku terjatuh ketika aku meluncur turun, la berada diatas gubug, sedang aku baru saja naik keatas. Dan aku masih berdiri di tangga" "Aku sudah minta anak mas Juwiring untuk mencegahnya" Arum ke mudian duduk bersandar kedua tangannya. Kepalanya masih terasa pening. Namun ia menjadi ce mas,
apabila terjadi sesuatu atas anak yang dilihatnya duduk diatas gubugnya. Dala m pada itu, Juwiring telah berdiri ditengah-tengah lingkaran orang-orang yang mengerumuni Buntal yang terbaring di tanah. Sejenak ia masih me lihat beberapa pasang kaki menyepaknyepak tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Namun katika anak muda yang bernama Juwiring itu berdiri diantara mereka sambil me ma ndang berke liling, ma ka tiba-tiba saja orangorang yang berkerumun itu bergeser surut. "Kenapa dengan anak ini pa man?" bertanya Juwiring, Meskipun umurnya belum sa mpa i tujuh belas tahun, tetapi terasa wibawa yang besar me mancar dari nada kata-katanya. Tidak seorangpun yang segera menyahut. Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mulut mereka masih tetap terkatup rapat-rapat. Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia me mbungkukkan badannya dan meraba tubuh Buntal, ia berdesis "Pingsan. Anak ini telah, pingsan" Tiba-tiba mata Juwiring menjadi tajam me mandang setiap wajah yang ada di sekelilingnya. Satu-satu wajah itu tertunduk le mah. "Apakah salah anak ini?" seka li lagi ia bertanya. Tetapi tidak ada yang segera menjawab, sehingga akhirnya Juwiring maju selangkah mendekati orang yang bertubuh pendek kekar dan berotot seperti jalur-jalur pohon mera mbat di seluruh tubuhnya. "Paman" bertanya Juwring "apakah salah anak itu?" Orang itu tergagap sejenak. Namun karena tatapan mata Juwiring bagaikan menusuk jantungnya, akhirnya ia menjawab "Anak ini telah mengganggu Arum diatas gubugnya"
"O" Juwiring mengerutkan dahinya. Sekali ia berpaling, namun Buntal masih terbaring dia m. "Apakah yang sudah dilakukannya" Apakah ia mera mpas barang-barang milik Arum, ataukah ia berbuat lain?" Orang bertubuh kekar itu menjadi se makin bingung. Namun ke mudian ia menjawab "Ka mi hanya mendengar Arum menjerit. Dan ka mi datang berlari-larian. Ka mi melihat ke mudian anak itu sedang me meluk Arum yang le mah dan kotor" "Diatas gubug?" Orang itu mengge leng "Tida k. Di dala m lumpur" "Kalian yakin bahwa anak ini berbuat jahat?" Tidak seorangpun yang menjawabnya. "Kalian yakin bahwa ana k ini akan berbuat jahat terhadapi Arum?" "Ya?" "Begitu?" Masih be lum ada seorangpun yang menjawab. "Bagaimana kalau Arum terpekik karena ia terjatuh, dan ke mudian anak ini justru menolongnya dari lumpur?" Orang-orang itu masih terdia m. "Atau, apabila kalian yakin bahwa anak ini bersalah, akupun tidak berkeberatan anak ini dihukum. Apalagi kalau ia langsung akan berbuat jahat kepada Arum itu sendiri" anak muda itu terdia m sejenak sambil me mandang berkeliling, lalu selangkah ia bergeser mende kati orang yang tinggi "Kau juga yakin ia bersalah?" Orang tinggi itu menundukkan kepalanya, sementara Juwiring bergeser lagi. Seorang de mi seorang didekatinya dan
dengan nada datar bertanya kepadanya, apakah anak itu me mang bersalah. Tetapi setiap kepala tertunduk karenanya. "Baiklah. Kalian tida k ada yang menjawab dengan tegas, letapi karena kalian telah bertinda k, ma ka kalianpun pasti sudah meyakini kesalahannya. Karena itu, akupun akan ikut serta me mutuskan bahwa anak ini bersalah, karena ia telah berbuat jahat kepada Arum" Juwiring berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia melangkah mendekati seseorang yang berdiri di pa ling bela kang. Tanpa berkata apapun juga, orang itu diputarnya. Kemudian dia mbilnya sebuah sabit yang terselip dipunggungnya. Semua mata me mandang Juwiring dengan tegangnya. Apalagi ketika setapak demi setapak ia maju mendekati Buntal yang masih pingsan. "Agaknya kalian telah berkeputusan untuk me mbunuhnya. Sekarang, biarlah aku yang mela kukannya. Kalau kalian yakin anak ini bersalah, akupun yakin pula, sehingga pantaslah apabila ia dihukum mati" Sekali lagi Juwiring me ma ndang berkeliling. Karena tidak seorangpun yang menyahut, maka iapun melangkah maju. Dengan kaki renggang ia berdiri disisi Buntal yang terbaring di tanah. Setelah me mandang wajah anak yang pingsan itu sejenak, maka katanya "Aku akan me mbunuhnya. Aku akan me mbelah perutnya karena ia sudah berbuat jahat" Tetapi ketika Juwiring berjongkok di sa mping tubuh Buntal yang pingsan, tiba-tiba seorang yang berkumis keputihputihan berkata terbata-bata "Tetapi, tetapi kami belum yakin bahwa ia me mang bersalah" Juwiring mengangkat wajahnya. Dipandanginya orang yang berkumis putih itu. Bahkan ke mudian anak muda itupun berdiri dan me langkah mendekatinya "Kau pa man Dipa.
Sepengetahuanku, me mbunuh t ikuspun kau tidak ma u. Tetapi agaknya kau ikut serta menyakiti anak ini?" Orang berkumis putih dan bernama Dipa itu terdia m. Sekali ia menelan ludahnya. Na mun tidak sepatah kata lagi yang me luncur dari mulutnya. "Jadi bagaimana?" Juwiring bertanya. Karena tidak ada yaug menjawab, Juwiring me nepuk pundak seseorang "Apakah sebaiknya aku me mbunuhnya?" Orang itu menjadi tegang. Namun ke mudian ia berkala gemetar "Tidak. Tidak. Akupun tidak meyakini kesalahannya" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia me mandang seorang yang berwajah pucat, tanpa ditanya apapun orang itu berkata "Ya. Kami belum pasti, bahwa ia pantas dihukum, apalagi dibunuh" Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika sekali lagi ia me mandang setiap wajah, maka setiap wajah itupun menjadi se makin tunduk ke tanah. "Nah, ternyata kalian telah melakukan sesuatu dengan tergesa gesa. Setelah anak ini pingsan, dan bahkan hampir mati, barulah ka lian menyadari, bahwa kalian tida k berbuat atas dasar keyakinan. Seorang diantara kalian berteriak bahwa anak ini bersalah, ma ka kalian tida k se mpat lagi berpikir. Seperti kehilangan diri, kalian berebutan menjatuhkan hukuman atas anak ini. Dipa, Naya, Angga yang aku kenal sebagai orang-orang yang ramah dan baik hati, di dalaM keadaan tanpa sadar, telah mela kukan perbuatan ini" Kepala-kepala itupun menjadi sema kin tunduk lagi. Kalau saja mungkin, mereka akan berlari dan menyembunyikan wajah-wajah yang serasa menjadi panas. Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahanlahan ia mendekati Buntal. Dan Buntal agaknya masih juga pingsan.
"Panggil Kiai Danatirta itu" berkata Juwiring ke mudian. Dipa yang paling gemetar, segera berdiri dan berjalan tertatih-tatih di pematang, pergi ke tempat Kiai Danatirta menunggui anaknya Arum. "Kia i, Raden Juwiring me manggil Kiai" "O, baiklah. Duduklah disini Arum" "Aku ikut ayah" "Kau masih terla mpau le mah" "Tida k. Aku sudah baik" Kiai Danatirta me mandang anaknya ke mudian katanya "Marilah" sejenak. Namun
Kiai Danatirtapun ke mudian me mbimbing ana knya di sepanjang pematang pergi me ndapatkan Juwiring yang masih berdiri ditengah-tengah kerumunan orang-orang yang kebingungan itu. "Kia i" berkata Juwiring ke mudian "anak ini pingsan" "O" Arumlah yang menyahut "Kenapa" Kenapa ia pingsan, Raden?" "Bertanyalah kepada orang-orang ini" Arum me mandang orang-orang yang berdiri me mbe ku itu. Kemudian perlahan-lahan ia me langkah maju bersama ayahnya, Kiai Danatirta, mendekati Buntal yang pingsan. "Ayah" Arum ha mpir me mekik "wajahnya merah biru" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Perlahan-lahan ia berdesis "Apakah anak ini pantas mendapat hukuman yang begini berat?" "Ia tidak bersalah" berkata Arum ke mudian.
Dan ternyata kata-kata Arum itu bagaikan menyengat setiap hati yang me mbeku di sekitar Buntal yang pingsan itu. "Ambillah a ir" desis Kiai Danatirta. Seseorangpun ke mudian me nga mbil air dengan sehelai daun yang disobeknya pada sebatang pohon pisang yang tumbuh di pinggir parit. Setitik de mi setitik, Kia i Danatirta meneteskan air di mulut Buntal. Sambil me mijit-mijit bagian tubuhnya yang lain, Kiai Danatirta berusaha me mbangunkan Buntal yang pingsan itu. Sejenak kemudian terdengar anak itu merintih. Semakin la ma semakin keras. Bahkan kemudian terdengar ia mengaduh. "Ia telah sadar" desis Kiai Danatirta. Juwiringpun ke mudian berjongkok pula di sampingnya. Ditatapnya wajah yang biru pengab itu dengan dada yang berdebar-debar. Juwiring menyadari, betapa sakitnya wajah itu, dan bahkan se luruh tubuhnya. "Terlalu" Juwiring berdesis "mudah-mudahan anak ini berjiwa besar" Ketika sebuah pedati lewat di jalan persawahan itu, maka Juwiringpun segera menghentikannya. Dengan sangat ia minta agar pemiliknya bersedia menolong me mbawa Buntal ke rumah. Ke rumah Kia i Danatirta. Ternyata pemilik pedati itu tidak berkeberatan. Dengan senang hati ia me menuhi permintaan Juwiring dan Kiai Danatirta itu. Perlahan-lahan tubuh Buntal itu diangkat dan dibaringkan di dala m pedati. Setiap kali terdengar ia me ngaduh. Na mun matanya masih terpejam, dan kesadarannya masih belum pulih sa ma sekali.
Ketika Buntal perlahan-lahan me mbuka matanya, tampaklah atap rumah yang sa mar-sa mar. Semakin la ma menjadi sema kin jelas. Kemudian dilihatnya wajah-wajah yang cemas di sisinya. Wajah yang belum pernah dilihatnya. Namun ketika ia mencoba menggerakkan tubuhnya, terasa seakan-akan seluruh tulang belulangnya berpatahan. Alangkah sakitnya, sehingga tanpa sesadarnya iapun mengaduh tertahan-tahan. "Jangan bergerak dahulu. Tubuhmu masih terla mpau le mah. Bahkan mungkin terlampau sakit. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia masih harus selalu menyeringai apabila rasa sakit mulai menusuk kulitnya. "Apakah kau haus?" Buntal me mandang orang yang bertanya kepadanya. Seorang yang sudah me manjat ke pertengahan abad. Sedang seorang lagi ada lah seorang anak muda yang sebaya dengan dirinya. Seandainya ada selisih umur, maka selisih itu tidak lebih dari saru atau dua tahun. "Dima nakah aku ini?" desis Buntal ha mpir tida k terdengar. "Kau berada di rumahku, di rumah Kiai Danatirta. Dan anak muda ini adalah Raden Juwiring" Buntal menarik nafas dala m-dala m, seakan-akan ia mencoba mengurangi perasaan sakit yang menusuk-nusuk. "Tenangkan hatimu" berkata Juwiring "Kau akan dirawat dengan baik disini" Buntal me mandang Juwiring dengan heran. Tetapi ia tidak segera bertanya apapun juga. Namun sejenak kemudian Buntal terkejut ketika ia melihat seorang gadis yang me masuki bilik itu sa mbil me mbawa sebuah belanga kecil. Gadis itulah yang dilihatnya me manjat tangga gubug dan ke mudian jatuh ke dala m lumpur.
Karena itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Dipandanginya gadis itu seperti me mandang hantu. Bahkan ke mudian terloncat kata-katanya "Aku tida k bermaksud apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa terhadapnya" "Kia i Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya le mbut "Ya. kau me mang tidak berbuat apa-apa" Buntal heran mendengar jawaban itu. Karena itu iapun justru terdiam sejenak. "Arum" berkata Kiai Danatirta "letakkan belanga itu disini" Gadis itupun ke mudian meletakkan belanga kecil itu di lantai di dekat pembaringan Buntal. Sejenak ia me mandang anak yang terbaring kesakitan itu dengan pandangan iba. Bahkan tanpa sesadarnya ia bertanya "Kau sakit?" Buntal menjadi bingung, bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu, ia terdia m me mbeku. Arum yang berdiri termangu-mangu itupun ke mudian menundukkan wajahnya. Sebelum ia mendengar jawaban Buntal, ia telah pergi me ningga lkan bilik itu. "Ia adalah anakku" berkata Kiai Danatirta. "O" Buntal menjadi berta mbah ce mas "Tetapi aku tidak berniat berbuat apa-apa" "Ya, ya. Aku percaya kepadamu. Kau tidak berbuat apaapa. Anakku, Arum, juga berkata bahwa kau tidak berbuat apa-apa" "O" Buntal mengerutkan keningnya. "Siapa na ma mu?" bertanya Juwiring ke mudian.
Buntal me mandang anak muda itu sejenak, lalu jawabnya "Buntal. Na ma ku Buntal" "Buntal" ulang Juwiring "dimana rumahmu?" Buntal menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak me mpunyai rumah. Aku t idak me mpunyai ayah dan ibu lagi" "Yatim piatu?" "Ya" "Tetapi kenapa kau berada di gubug itu. sehingga Arum terkejut karenanya?" "Aku berjalan menuruti langkah kakiku. ke mala man, aku berma la m di gubug itu" Ketika aku
Kiai Danatirta yang ikut mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang mempunyai pandangan yang luas tentang hidup dan kehidupan, ia melihat kejujuran di wajah Buntal. Karena itu ma ka ia sa ma seka li tidak berprasangka apapun kepada anak yang kesakitan itu. "Aku akan mencoba mengobati badanmu yang merah biru" berkata Kiai Danatirta. Buntal me mandangnya dengan penuh keheranan. Ia me lihat wajah kedua orang yang menungguinya itu bagaikan titik-titik e mbun di hatinya yang gersang. "Bergeserlah sedikit ke mudian. menepi" berkata orang tua itu
Buntal mencoba bergeser sedikit. Tetapi terasa seluruh tubuhnya menjadi sakit, seolah-olah tulang-tulangnya telah menusuk-nusuk kulit dan dagingnya. Na mun ditahankannya perasaan itu sekuat-kuatnya. Meskipun ia menyeringai, tetapi ia kini tidak mengeluh lagi. "Tolong anak mas" berkata Danatirta kepada Juwiring "peganglah be langa ini"
Juwiringpun ke mudian me megang belanga yang berisi cairan yang berwarna coklat kehita m-hita man, se mentara Kiai Danatirta mulai mengendorkan seluruh pakaian Buntal. Dengan le mbut Kiai Danatirta mula i mengusap seluruh bagian badan Buntal dengan cairan itu. Cairan yang terasa hangat di tubuh yang biru pengab. "Dengan de mikian tubuhmu tidak a kan me mbengkak Buntal" desis Kiai Danatirta. Buntal tidak menyahut. Namun tiba-tiba terasa getarangetaran yang aneh mengusik hatinya. Sentuhan tangan yang le mbut itu telah menumbuhkan sebuah kenangan di hati Buntal. Kenangan kepada ayah dan ibunya yang telah mendahuluinya. Ia masih teringat se masa kanak-kanak, apabila ia terjatuh dan terkilir, ibunya selalu mengusapnya dengan pipisan beras kencur. Di sore hari setelah mandi, menje lang tidur. Meskipun ayah dan ibunya orang yang miskin, tetapi mereka berusaha sejauh-jauh dapat mereka lakukan, untuk me mbuat Buntal menjadi seorang anak yang baik. Yang me me liharanya dengan penuh kasih sayang. Dari ucapan tangan Kiai Danatirta itu ternyata telah mengungkat kenangan itu. Terbayang kembali di rongga matanya, ibunya duduk di bibir pe mbaringannya, sedang ayahnya berjalan mondar mandir dengan tangan bersilang di dadanya, apabila ia menjadi sa kit. Bahkan kadang-kadang ia me lihat titik a ir mata di sudut mata ibunya yang redup. Tiba-tiba perasaan haru yang sangat melonjak djdasar hatinya. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun setitik air mata telah menge mbun di pelupuknya, bahkan ke mudian menga lir di pipinya yang pengap. Juwiring melihat air mata yang meleleh itu. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya "Apakah tubuhnya justru menjadi sakit sekali?"
Pertanyaan itu mengejutkan Buntal. Dengan sisa tenaganya ia mengangkat tangannya dan mengusap matanya. "Tida k" jawabnya "tubuhku merasa se makin baik" "Tetapi kenapa kau justru menangis" Selagi kau dipukuli dan pingsan di pinggir ja lan, aku tidak melihat matamu menjadi basah. Tetapi kini justru kau mulai menit ikkan air mata" Buntal mencoba mengge lengkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan "Tida k. Aku tida k menangis" Juwiring menarik nafas dalam-da la m. Ia tidak bertanya lagi meskipun ia merasakan sesuatu yang menyentuh perasaan anak itu, meskipun ana k itu tidak mau mengatakannya. Apalagi ketika Ke mudian Kia i Danatirta berkata "Sudahlah Buntal. Tenangkan hatimu. Cobalah untuk tidur agar tubuhmu menjadi segar" Na mun t iba-tiba "Apakah kau sudah makan?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengetuk hati Buntal, sehingga betapa ia bertahan, tetapi tilik air matanya menjadi semakin deras menga lir di pipinya. Kiai Danatirta ternyata ma mpu me mbaca perasaan anak itu, sehingga ia berkata kepada Juwiring "Tungguilah anak ini anak mas. Aku akan pergi ke bela kang sebentar" Juwiring menganggukkan kepalanya. Namun ia mengerti juga apa yang akan dilakukan oleh Kiai Danatirta. Agaknya anak ini me mang belum ma kan. Sejenak ke mudian seorang gadis masuk, ke dala m bilik itu. Tampaknya ia sudah menjadi sehat benar, seolah-olah tidak ada lagi bekasnya, bahwa ia baru saja terjatuh dan pingsan karenanya. "Minuman hangat" desisnya sa mbil me letakkan sebuah mangkuk berisi air jahe yang panas dengan segumpa l gula kelapa diatas sebuah nampan kayu. Sejenak ia berdiri
me mandang wajah Buntal yang biru pengab. Sepercik penyesalan me mbayang di wajah Arum. "Kalau aku tidak berteriak" katanya di dalam hati "orang-orang itu tidak akan berbuat apa-apa atasnya" namun lalu "Tetapi aku sa ma sekali t idak sengaja. Aku terkejut se kali" Tetapi Arum tida k mengucapkan kata-kata lagi. Iapun me langkah keluar dari bilik itu. Seorang pembantu telah menyediakan makan nasi hangat buat Buntal setelah Kiai Danatirta me mberitahukan bahwa anak itu perlu makan. Dan Arumlah yang me mbawa ma kanan itu masuk ke biliknya. "Makanlah" berkata Juwiring selelah makanan itu tersedia. Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ia bertahan sekuatkuatnya agar perasaannya tidak meledak. Diusapnya air matanya yang me mbasah. "Makanlah" Juwiring "Aku belum ma kan" kira ulang kau
Buntal menganggukangguk perlahan. "O" desis Juwiring "Kau belum dapat bangkit sendiri" Marilah, aku tolong kau bangun" Juwiringpiin ke mudian menolong Buntal untuk bangkit dan duduk di pembaringan. Tubuhnya yang sudah dilumuri dengan param oleh Kiai Danatirta kini merasa agak menjadi segar. "Makanlah" se kali lagi Juwiring me mpersilahkan.
Buntal merasa agak malu juga. Tetapi tiba-tiba terasa perutnya yang lapar meronta, justru ketika hidungnya mulai disentuh, oleh asap nasi hangat dan sepotong ikan air kering. Buntal menelan ludahnya. la bukan saja belum ma kan pagi ini, tetapi ke marin sehari penuh ia juga belum makan. Juwiring bergeser maju. Sambil tersenyum ia bertanya "Kau dapat makan sendiri?" "Ya, ya. Aku dapat makan sendiri" jawab Buntal terbatabata. "Tanganmu tidak sakit?" Buntal menggeraktkan tangannya. Sebenarnya lengannya juga merasa sakit. Tetapi ia menggeleng "Tidak. Lenganku tidak sakit" "Kalau begitu ma kanlah sendiri" Buntal merasa agak malu-ma lu juga. Seandainya perutnya tidak terasa sangat lapar, ia akan berkeberatan makan sendiri di pe mbaringan, seperti seseorang yang kecukupan dan dilayani oleh pe mbantu-pe mbantunya. Tetapi karena perutnya yang mendesak, akhirnya disenduknya juga nasi dari celing ba mbu dengan entong tempurung. Dengan sayur dedaunan yang hijau dan sepotong ikan kering, ma ka ia mula i menyuapi mulutnya yang sakit. Alangkah nikmatnya. Jarang sekali ia sempat makan nasi hangat dengan sepotong ikan air, meskipun ia dapat mencarinya sendiri di sunga i. Apalagi apabila perutnya sedang sangat lapar seperti saat itu, setelah meneguk air jahe dengan gula ke lapa. "Tetapi harganya terlampau mahal" katanya di dala m hati "wajahku harus menjadi biru pengab dan seluruh tubuhku terasa sakit. Untunglah bahwa aku belum mati diinjak-injak"
Demikianlah setelah makan dan minum, tubuh Buntal terasa menjadi se ma kin segar. Kini ia tingga l berjuang me lawan rasa sakit. Tidak lagi melawan rasa lapar pula. Bahkan sejenak ke mudian tanpa disadari, Buntal berbaring sambil me meja mkan matanya. Lambat laun se muanya tidak dapat diingatnya lagi. Tetapi kini ia tidak pingsan. Ketika Buntal telah tertidur nyenyak maka Juwiringpun meninggalkannya sendiri di da la m bilik itu. Sekali Arum menengoknya juga dari ambang pintu, namun kemudian iapun me langkah pergi sa mbil menutup pintu itu. Demikianlah, ma ka semua yang telah terjadi itu, menjadi sebab, bahwa Buntal untuk seterusnya diminta tinggal di rumah Kia i Danatirta. Sebuah padepokan kecil disebuah padukuhan yang subur. Padepokan yang dina mainya Padepokan Jati Aking dide kat padukuhan Jatisari. "Bukankah kau tidak me mpunyai orang tua lagi?" bertanya Kiai Danatirta setelah Buntal dapat berjalan-jalan lagi meskipun kekuatannya belum pulih ke mba li. "Ya Kiai. Aku sudah yatim piatu" "Jika demikian, kau tidak akan menolak seandainya aku minta kau tinggal untuk seterusnya di padepokan ini" Terasa sesuatu melonjak di hati Buntal. Ia tidak menyangka bahwa ia akan terdampar pada suatu tempat yang terla mpau baik buat dirinya, meskipun ia sadar, bahwa untuk seterusnya ia tidak akan diperla kukan seperti pada saat-saat ia masih belum dapat bangkit dan berjalan sendiri. Na mun apapun yang akan dilakukan, tinggal di padepokan yang bersih dan sejuk ini pasti akan sangat menyenangkan. "Aku sudah biasa be kerja keras. Seandainya aku disini harus bekerja keras, maka aku tidak a kan berkeberatan. Tetapi padepokan ini rasa-rasanya me miliki kesejukan yang tenang" Buntal berguma m di da la m hatinya.
"Bagaimana me nurut pendapat mu?" Buntal menundukkan kepalanya. Namun terdengar ia menjawab lirih "Aku senang sekali Kia i, apabila aku diperkenankan tingga l disini. Aku me mang tidak me mpunyai lagi te mpat untuk menompangkan diri" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu "Jadi, kemanakah sebenarnya tujuanmu ketika kau bermala m di gubug itu sehingga kau me ngala mi nasib kurang baik?" "Aku me mang tidak me mpunyai tujuan Kiai. Aku berjalan saja menurut langkah ka kiku" Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. dimintanya Buntal berceritera tentang dirinya. Kemudian
Dengan singkat Buntal mengisahkan riwayatnya. Tetapi ia masih tetap mela mpaui na ma-na ma pa man dan bibinya. Ia tidak ingin me nyangkutkan kedua orang itu bersa ma anakanaknya pada persoalan apapun juga agar mereka tidak semakin terlibat dala m kesulitan. "Jadi ayah dan ibumu me njadi abdi Katumenggungan?" "Ya Kiai, Tumenggung Gagak Barong" "Tumenggung Gagak Barong. Aku pernah mengenal na ma itu. Tetapi apakah ia sekarang berhubungan dengan orangorang asing yang mulai banyak berkeliaran di Sura karta?" Buntal mengangguk le mah. Kiai Danatirta me mandang Buntal dengan tatapan mata iba. Seandainya anak itu tidak mendapatkan te mpat yang baik, maka hari depannya pasti akan menjadi sangat sura m. Banyak sekali didengarnya ceritera tentang anak-anak yang tersesat masuk ke dala m lingkungan orang-orang jahat. Anak yang sebenarnya mempunyai bekal yang baik jasmaniah dan rohaniah, namun karena ia berada di lingkungan yang hitam, akhirnya hati merekapun menjadi hitam pula.
Dan kini, selain para penjahat yang berhati kelam, maka Surakarta menghadapi persoalan baru. Persoalan orang-orang yang berhati hita m tetapi berkulit putih. Orang-orang yang bukan saja membentuk kelompok-ke lompok kecil yang mera mpok orang-orang kaya, tetapi orang berhati hitam dan berkulit put ih itu telah me mbentuk suatu kelompok raksasa yang merampok bukan saja orang-orang kaya, tetapi juga orang-orang miskin. "Buntal" berkata Kiai Danatirta kemudian "Kalau kau me mang t idak berkeberatan, baiklah. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan disini. Setiap orang di padepokan ini harus bekerja sesuai dengan tugas masingmasing. Semua harus bekerja keras. Hanya dengan bekerja keras kita dapat mencukupi kebutuhan kita" "Ya Kiai. Aku akan berusaha bekerja apa saja yang harus aku kerjakan" "Bagus. Kalau kau me mang sudah berbeka l tekad di hatimu, maka kau pasti akan dapat melakukannya. Kau akan menjadi kawan Raden Juwiring" Buntal mengangguk-angguk kecil. Sejak ia melihat untuk pertama kalinya, ia agak tertarik pada bentuk dan ujud jasmaniah Raden Juwiring yang agak berbeda dengan ujud anak-anak padesan. Tetapi ia tidak berani menanyakannya hal itu kepada Kiai Danatirta. Tetapi agaknya orang tua itu mengerti pertanyaan yang tersimpan di hati Buntal, sehingga iapun ke mudian berkata "Buntal, Raden Juwiring tida k berasal dari padepokan ini atau padukuhan di sekitar padepokan ini. Ia berasal dari kota, dan bahkan ia adalah anak seorang bangsawan. "Bangsawan?" bertanya Buntal. Tiba-tiba saja wajahnya menegang, sehingga Kia i Danatirta melihat perubahan itu dengan jelas. Karena itu Kiai Danatirta me lihat pula sesuatu yang tersirat di dala m hati Buntal.
"Apakah kesanmu tentang seorang bangsawan, Buntal?" Buntal menundukkan kepalanya. Tetapi ia tida k menyahut. "Coba katakan, apa kesanmu tentang seorang bangsawan. Katakan seperti yang sebenarnya tersimpan di dala m hatimu. Raden Juwiring tidak duduk bersa ma kita sekarang, dan aku tidak akan mengatakan apapun kepadanya, apakah kesanmu baik atau buruk" Buntal masih menundukkan kepalanya. "Katakan Kau pasti sudah mengenal Tumenggung Gagak Barong. Kau pasti mengenal keluarganya dan kalau ada, anakanaknya. Apakah kau me mpunyai kesan khusus atau kau menganggapnya bahwa seorang bangsawan tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan?" Buntal masih juga ragu-ragu. Tetapi Kiai Danatirta berkata lebih lanjut "Wajahmu menunjukkan kesan yang lain, Buntal" Buntal tidak dapat ingkar lagi. Karena itu ma ka jawabnya "Ya Kiai. Aku me mang terpengaruh sekali oleh keadaanku selagi aku masih tinggal di Tumenggungan. Pada umumnya seorang bangsawan adalah orang yang keras hati dan menganggap ka mi, orang-orang kebanyakan, sama sekali tidak berarti di dala m tata kehidupan. Mereka dapat berbuat apa saja atas kami. Dan mereka selalu menganggap ka mi bersalah" Kiai Danatirta mengangguk. Buntal mengatakannya dengan hati-hati sekali. "Jadi, apakah kau diperlakukan Katumenggungan, Buntal?" Buntal menganggukkan kepa lanya. "Juga ayahmu?" berusaha seperti untuk itu di
Sekali lagi Buntal mengangguk. Na mun diantara nafasnya yang memburu ia berkata terbata-bata "Terlebih-lebih di saat terakhir" "Dan kau diusirnya" "Ya Kiai" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian ditepuknya bahu Buntal yang menundukkan kepa lanya dalamdalam "Me mang Buntal. Ada bangsawan yang bersikap demikian. Yang merasa dirinya lebih tinggi derajadnya dari kebanyakan orang. Mereka merasa diri mereka keturunan raja-raja yang berkuasa" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi seperti manusia kebanyakan, dimanapun juga dan di dalam lingkungan apapun juga, ada beberapa perkecualian. Diantaranya adalah Juwiring. Raden Juwiring" Buntal mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itupun ke mudian tertunduk ke mbali. "Raden Juwiring adalah seorang anak muda yang baik. Buntal, meskipun ia lahir dari tetesan darah seorang bangsawan. Dan demikianlah agaknya, bahwa kita dilahirkan dalam lingkungan yang berbeda, tetapi tiada berbeda. Sifatsifat yang kemudian melekat pada diri kita masing-masing itulah yang me mbuat kita mene mukan bentuk pribadi kita. Dan sifat-sifat itu dipengaruhi oleh, banyak hal diluar diri kita sendiri, dikehendaki atau tidak dikehendaki" Buntal mengerutkan keningnya. Dengan susah payah ia mencoba menangkap maksud Kiai Danatirta. Namun perlahanlahan ia melihat juga, meskipun sa mar-sa mar, ma ksud dari kata-kata itu. "Karena itu Buntal" berkata Kiai Danatirta selanjutnya "Cobalah untuk mengenal Juwiring sebaik-baiknya tanpa prasangka"
Buntal menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Maaf Kiai. Mungkin a ku terdorong perasaan dan me mpunyai penilaian yang salah terhadap seseorang. Tetapi aku baru saja mengetahui bahwa Raden Juwiring ada lah seorang bangsawan" "Dan kau sudah me mpunyai beka l anggapan tentang seorang bangsawan, meskipun ia bukan Juwiring. Anggapan itulah yang harus kau nilai. Mungkin kau tidak hanya melihat Tumenggung Gagak Barong saja. Mungkin kau mendengar dari kawan-kawanmu, mungkin dari orang lain tentang sifat seorang bangsawan. Dan semuanya itu me mbuat bayanganbayangan yang kelam di dala m hatimu. Namun cobalah, untuk me mandang dengan cara la in atas Raden Juwiring yang kebetulan juga seorang bangsawan" Sekali lagi Buntal mengangguk-angguk. Jawabnya lirih "Ya Kiai. Aku akan mencoba untuk me mandangnya sebagai Raden Juwiring itu sendiri, tanpa pengaruh prasangka yang sudah me mbe kas di dala m hati" Kian Danatirta tersenyum. Ternyata Buntal bukan anak yang terlampau dungu meskipun ia hanya anak seorang abdi. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, se mua unsur manusiawi dapat ditemuinya disetiap kelahiran, di dalam lingkungan yang berbeda tetapi tidak berbeda itu. "Kau sudah berpijak pada alas yang benar Buntal. Raden Juwiring hanya kebetulan saja lahir disela-sela lingkungan bangsawan. Kau harus menilainya sebagai unsur badaniah. Tetapi tidak sebagai unsur rohaniah" Buntal menjadi aga k bingung. Na mun Kiai Danatirta berkata "Kenang sajalah kata-kataku. Kalau kau masih belum jelas sekarang, pada suatu saat kau akan dapat menilainya. Dala m pada itu, sikapmu sendiripun sudah menjadi se ma kin matang"
"Ya Kiai" sahut Buntal. Kepalanya masih tertunduk dan seperti yang dikatakan oleh Kia i Danatirta, sebagian dari persoalan itu baru dapat diingatnya saja di dalam kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat me mecahkannya. "Nah, sejak sekarang kau dapat berbuat sesuatu sebagai seorang kawan yang paling dekat dengan Raden Juwiring, karena di padepokan ini t idak ada orang lain kecua li ka lian berdua, anakku Arum, dan beberapa orang pembantu yang agaknya dunianya sudah tidak sesuai lagi dengan Raden Juwiring, karena mereka pada umumnya sudah berumur jauh lebih tua" Buntal menganggukkan kepalanya "Terima kasih atas kese mpatan ini Kiai" sambil menjawab
"Cobalah menyesuaikan diri, hidup djpadepokan kecil yang sepi ini" Tetapi suasana di padepokan kecil itu ternyata sangat menarik bagi Buntal. Ia merasa jemu hidup di dala m kebisingan rumah Tumenggung Gagak Barong. Derap kuda dan kereta yang hilir mudik. Bentakan-bentakan yang keras dan menyakitkan hati. Kesibukan yang tidak pernah selesai, di dapur, di halaman dan dimana saja. Sejak matahari terbit sampai matahari terbena m setiap orang harus berbuat sesuatu dalam hiruk pikuk yang menje mukan. Menggosok tiang-tiang pendapa yang berukir dan bersungging halus, me mbersihkan lantai yang sudah bersih. Menjatahkan diri dan duduk bersila dimanapun juga mereka bergapasan dengan Raden Tumenggung. Dan segala maca m pekerjaan yang gelisah. Berbeda dengan keadaan di padepokan ini. Bukan berarti bahwa setiap orang di padepokan ini hanya sekedar bermalasma lasan. Tetapi kerja yang dilakukan justru me mbawa ketenteraman di hati. Bekerja di antara dedaunan yang hijau segar. Di dalam silirnya angin dan desir ranting-ranting yang bergerak lembut. Di kejauhan terdengar suara tembang yang
ngelangut dibarengi dengan suara seruling ge mbala rerumputan.
di Demikianlah maka Buntal merasa kerasan tinggal di padepokan itu. Dari hari ke hari ia mulai me ngenal Juwiring lebih dala m. Selain itu juga Arum. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, sebenarnyalah bahwa Juwiring me mpunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda dari kebanyakan bangsawan yang pernah dikena lnya. Raden Juwiring ternyata tidak me mandang orang lain jauh lebih rendah dari dirinya. Ia menganggap setiap orang saudaranya. Sedangkan Arum adalah seorang gadis yang berhati le mbut. Kadang-kadang masih terucapkan olehnya, penyesalan yang dalam, justru karena ia berteriak di saat-saat mereka bertemu untuk pertama kali. "Kau tidak sengaja mence lakakan aku" berkata Buntal. "Aku hanya terkejut sekali waktu itu. Aku tidak menyangka bahwa ada orang la in diatas gubug sepagi itu" Buntal tersenyum. Bahkan ke mudian ia berkata "Jika tidak demikian, maka a ku tidak akan mendapat kese mpatan tinggal di padepokan ini" Arumpun tersenyum pula. Katanya "Alangkah senangnya kalau kau datang ke rumah ini tanpa biru pengap seperti itu" "Alangkah senangnya. Tetapi itulah yang terjadi" Keduanya tertawa. Tawa yang segar di padepokan yang tenteram. Namun de mikian ada sebuah teka-teki bagi Buntal yang masih belum terjawab. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya kepada siapapun karena keseganannya. "Kenapa Raden Juwiring itu berada di padepokan ini?" Tetapi Buntal sela lu mengge lengkan kepalanya sambil
berguma m kepada diri sendiri "Ah, itu bukan persoalanku. Ia sudah berada disini. Dan ia bersikap ba ik kepadaku" Dengan demikian maka anak muda yang berada di padepokan itu berhasil menyesuaikan diri mereka masingmasing. Bukan saja Buntal dan Juwiring yang sedikit lebih tua daripadanya, tetapi juga Arum. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak saja harus bekerja keras di sawah dan ladang setiap hari. Ada sesuatu yang Baru bagi Buntal. Di padepokan itu Raden Juwiring tidak saja hidup sederhana seperti kehidupan orang kebanyakan, tetapi ia juga me mpe lajari sesuatu dari Kiai Danatirta. Mula-mula Buntal hanya diperkenankan menyaksikan. Di tempat yang tertutup Raden Juwiring me mpelajari ilmu olah kanuragan. Ilmu ketangkasan badaniah dan tata bela diri. "Menarik sekali" berkata Buntal di dala m hatinya. Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada siapapun. Namun setiap kesempatan yang didapatnya untuk menyaksikan latihanlatihan olah kanuragan. Buntal merasa beruntung se kali. Agaknya Kiai Danatirta melihat minat yang begitu besar tersirat di wajah Buntal yang sengaja diperkenankannya me lihat latihan-latihan itu. Bahkan, pada suatu saat, tanpa disadari oleh Buntal, Kia i Danatirta melihat anak itu menirukan gerak-gerak yang dilihatnya pada latihan-latihan Di te mpat tertutup itu. "Buntal" berkata Kiai Danatirta kepada Buntal yang dipanggilnya menghadap "Apakah kau tida k je mu melihat latihan-latihan bagi Raden Juwiring itu?" Buntal mengangkat wajahnya. Tampa k sesuatu tersirat di wajah itu. Na mun ke mudian wajah itu tertunduk. Perlahan-lahan terdengar Buntal menjawab "Tidak Kiai. Aku senang sekali melihatnya"
"Raden Juwiring telah agak la mbat mula i dengan penyadapan ilmu olah kanuragan. Tetapi aku masih berpengharapan, bahwa ia akan segera maju dan menguasai ilmu yang aku berikan kepadanya" Buntal hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Buntal" suara Kiai Danatirta menjadi dala m "Apakah kau juga berminat untuk ikut me mpelajari ilmu se maca m itu?" Sekali lagi Buntal mengangkat wajahnya. Dari sorot matanya, Kiai Danatirta melihat gejolak di dada anak muda itu. "Apakah kau juga ingin?" ulang Kiai Danatirta. "Sebenarnyalah mengatakannya" Kiai. Tetapi aku tidak berani
Kiai Danatirta tersenyum. Sa mbil mengangguk-angguk ia berkata "Aku me mang sudah menduga. Dan aku tidak berkeberatan apabila kau tidak saja mengawani Raden Juwiring setiap hari, tetapi juga mengawaninya menyadap ilmu kanuragan itu" "Terima kasih Kia i. berterima kasih se kali" Apabila aku diperkenankan, aku
Kiai Danatirta menepuk bahu Buntal. Kalanya "Tetapi olah kanuragan bukan sekedar suatu perma inan, Buntal. Bukan seperti permainan jira k, sembunyi-se mbunyian di bulan terang. Juga tidak serupa dengan binten dan bantingan di pasir tepian sungai. Meskipun binten dan bantingan juga me merlukan ketangkasan, tetapi itu sekedar permainan. Tidak ada cara lain yang pernah dipergunakan dala m binten selain cara-cara yang sampai sekarang berlaku. Juga bantingan. Siapa yang berada di bawah dala m hitungan tertentu la akan kalah. Tidak boleh menggigit, tidak boleh me nggelitik dan menarik ra mbut"
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi ilmu olah kanuragan me merlukan wa ktu untuk mengerti dan apalagi mendala minya" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Apakah kau dapat mengira-ngira kan, berapa waktu yang kau perlukan untuk me mpelajari ilmu itu?" Buntal tida k menyahut. "Kau me merlukan waktu bertahun-tahun Buntal. bertahun-tahun. Ya,
Tetapi kau dapat me lakukannya bertahap. Setapak demi setapak. Dan setiap langkah, merupakan kebulatan-kebulatan tertentu" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Apakah kau sanggup?" Buntal me mandang Kiai Danatirta sejenak, lalu "Ya Kia i. Aku sanggup" "Apakah kau sudah berpikir baik-baik" "Sudah Kiai" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa sebenarnya Buntal me mang ingin sekali mela kukannya. Tetapi seperti yang dikatakan, ia tidak berani menge mukakannya kepada siapapun. "Kalau begitu baiklah. Aku me mberi kesempatan kepada mu untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi kau harus bersungguhsungguh. Di dala m tiga bulan, aku akan melihat ke majuanmu. Kalau kau t idak berhasil mencapai taraf yang sewajarnya, maka sayang sekali, kau tidak akan dapat meneruskannya" Buntal me mandang Kiai Danatirta sejenak. Kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Na mun de mikian terbayang di wajahnya, tekad yang mantap untuk ikut serta berlatih diri, menyadap ilmu olah kanuragan itu.
"Kau masih belum jauh ketinggalan dari Raden Juwiring" berkata Kiai Danatirta selanjutnya "Aku akan mencoba menyesuaikan ilmu yang bersa ma-sa ma akan kalian pe lajari" "Ya Kia i" jawab Buntal. Terasa sesuatu melonjak di dadanya. Ia sama seka li t idak bermimpi bahwa ia akan mendapat kese mpatan yang baik itu. "Tetapi Buntal. Ada beberapa pantangan dan kewajiban yang harus kau lakukan dengan tertib, apabila kau mulai me mpe lajari ilmu olah kanuragan" berkata Kiai Danatirta selanjutnya "Apakah kau a kan bersedia me lakukannya" Buntal menganggukkan kepa lanya. "Buntal. Kalau sekali kau mencecap ilmu dari padepokan ini maka untuk seterusnya kau tidak akan pernah dapat me lepaskan diri dari kewajiban-kewajiban dan pantanganpantangan itu. Seumur hidupmu. Kau mengerti arti dari tanggung jawab itu?" Buntal menjadi ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian ia menganggukkan kepalanya. Katanya "Aku mengerti Kia i" "Baiklah. Aku akan mencobanya. Tetapi seandainya kau gagal setelah tiga bulan, namun pantangan dan kuwajiban itu masih akan tetap berlaku bagimu sepanjang hidupmu, kecua li apabila ke mudian kau berniat melepaskan diri dari keluarga kami untuk seterusnya pula, serta menanggung segala akibatnya" Buntal masih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dengarlah baik-baik" berkata Kiai Danatirta kemudian "pantangan lahiriah yang dapat aku beritahukan sebagai salah satu contoh adalah, kau harus merahasiakan bahwa di padepokan ini telah dilakukan penurunan ilmu olah kanuragan, sehingga dengan de mikian kau tidak boleh menunjukkan ke ma mpuanmu dimanapun juga apabila kau tidak terpaksa
sekali. Dan kau harus menghindarkan kesan, bahwa ilmu yang kau miliki itu kau dapat dari padepokan ini" Buntal menganggukkan kepa la. "Ke mudian, sebenarnyalah bahwa semua kemungkinan itu sumbernya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kau harus berjanji, bahwa ilmu yang kau dapat itu, sejauh-jauh mungkin kau pergunakan untuk ke manusiaan dan mencari ridho dari Tuhan Yang Maha Kuasa" Buntal sejenak. termangu-mangu
"Maksudku, bahwa dengan ilmu itu ke lak, kau harus berusaha berjalan dala m kebenaran" "O" Buntal menganggukangguk "Ayahku dahulu juga berkata begitu. Aku harus pasrah diri kepada Tuhan" Kiai Danatirta mengerut kan keningnya. Katanya "Jadi ayahmu juga berkata begitu?" "Ya Kiai" Kiai Danatirtapun mengangguk. Ternyata meskipun ayah Buntal sekedar seorang pelayan, tetapi ia me mperhatikan sekali kepada anaknya, bukan saja hidup jasmaniahnya, tetapi juga hidiup rohaniahnya. Tentu saja sesuai dengan ke ma mpuan dan pengetahuannya. Demikianlah, maka kese mpatan yang diberikan kepada Buntal itu sangat menggembirakan Raden Juwiring. Me mpelajari olah kanuragan seorang diri, terasa kurang
mengga irahkan. Tetapi berdua, agaknya suasananya akan menjadi lebih hidup. Keduanya dapat saling mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada diri masing-masing Sedangkan Kiai Danatirta sendiri akan mendapat bahan pertimbangan dari perke mbangan kedua murid-muridnya itu. Namun de mikian, tidak seorangpun yang mengetahui bahwa di padepokan kecil itu dua orang anak-anak muda sedang menerima ilmu olah kanuragan. Karena tidak seorangpun yang tinggal di padukuhan itu yang mengetahui, bahwa Kiai Danatirta adalah seorang yang mumpuni. Mereka hanya mengenalnya sebagai seorang tua yang baik, yang me mpunyai pengetahuan yang luas dan menjadi tempat untuk mendapatkan nasehat dan petunjuk-petunjuk apabila di dala m perjalanan hidup seseorang dijumpai kesulitan. Namun tidak seorangpun yang menyangka, bahwa dibalik wadagnya yang tampaknya le mah, Kiai Danatirta me miliki ilmu yang tinggi dalam olah kanuragan. Seperti yang dijanjikan kepada diri sendiri, ilmu itu hanya akan diberikan kepada mere ka yang sesuai di hatinya. Dan yang sesuai baginya adalah anak-anak muda yang lembah manah. Anak-anak muda yang rendah hati dan jujur. Terlebihlebih adalah anak-anak muda yang mengenal dirinya sendiri sesuai dengan tempatnya di dalam ala m semesta, serta hubungan yang akrab antara ala m yang besar dan ala m kecil di dala m putaran waktu dan kejadian, dalam ikatan sebab dan akibat, yang berporos pada suatu sumber gerak yang Maha Mengetahui. Dan pilihan Kiai Danatirta pertama-tama jatuh pada seorang keturunan bangsawan yang sedang berprihatin. Raden Juwiring. Namun ke mudian ia melihat sesuatu yang tidak kalah bobotnya yang terdapat di dalam diri anak muda yang sederhana, yang diketemukannya dengan cara yang aneh. Buntal.
Meskipun de mikian Kiai Danatirta cukup berhati-hati la t idak segera menuangkan pokok-pokok ilmu yang sebenarnya dari ilmunya. Yang sebenarnya diberikan dalam bulan-bulan pertama sa mpai ketiga adalah sekedar olah kanuragan yang pada umumnya dikuasai oleh anak-anak muda dan apalagi prajurit-prajurit, yang tidak me mpunyai ke khususan sama sekali. Namun de mikian, murid-muridnya itu seakan-akan sudah harus bekerja berat dan berlatih mati-matian. Sehingga dengan demikian Kiai Danatirta dapat menilai, apakah ia akan dapat melanjutkan atau harus dia mbil keputusan la in. Kiai Danatirta tidak mau me ngulangi kesalahannya lagi. Bagaimanapun juga, sebagai manusia ia pernah khilaf. Orang yang mula-mula dapat menumbuhkan kepercayaannya, ternyata telah menimbulkan banyak kesulitan padanya, sehingga ia harus meninggalkan padepokannya yang lama dan tinggal di padepokannya yang baru ini. Orang yang pertama kali berhasil me masuki perguruannya ternyata bukanlah orang yang diharapkannya. Kiai Danatirta selalu me nghela nafas dala m-dala m apabila ia terkenang masa-masa la mpau yang pahit itu. Tetapi seluruh kesalahan itu tidak dapat aku timpakan padanya desisnya setiap kali "Anakku juga ikut bersalah" Dan terbayang kembali hubungan yang sangat akrab antara muridnya itu dengan anak puterinya. Dan saat itu, Kiai Danatirta yang masih me mpergunakan na ma lain, sama seka li tidak berkeberatan. Bahkan ia mengharap bahwa muridnya itu kelak a kan menjadi pewaris ilmunya, sekaligus menantunya. Tetapi ternyata harapan itu sama seka li tidak dapat terwujud. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Malapetaka. Ternyata puterinya sama sekali tidak bermaksud hidup bersama muridnya. Hubungan yang akrab itu adalah sekedar hubungan antara orang serumah. Sejauh-jauhnya hubungan
antara kakak beradik. Ternyata puterinya telah menjatuhkan pilihan atas cintanya kepada orang lain. Kepada anak muda yang lain. Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Peristiwa itu selalu mengingatkannya, bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Seorang manusia yang le mah, jasmaniah dan rohaniah. "Tuhan telah menegur aku dengan cara yang sangat keras " keluh Danatirta "Aku waktu itu me mang terla mpau bangga atas kelebihanku dari orang-orang kebanyakan. Tetapi Tuhan telah menunjukkan ke le mahanku. Kele mahan yang tidak dipunyai oleh orang lain yang aku anggap jauh lebih lemah daripadaku" Orang tua itu menarik nafas dala m-dala m, dan ia me lanjutkannya di dala m hati "ternyata yang lemah itu me miliki kekuatan, dan yang kuat itu me miliki kele mahan. Mungkin aku dapat menunjukkan ke lebihanku dala m olah kanuragan, tetapi tidak dalam menuntun anak. Orang yang paling le mah di dala m olah kanuragan dapat menuntun anaknya sampai ke puncak ke ma mpuan untuk sesuatu bidang unsur hidup manusiawi. Tetapi aku tidak" Orang tua itu mengelus dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ingin menekan gejola k yang meronta-ronta di dala m dadanya itu. Terbayang kembali betapa anak perempuannya itu menolak segala nasehatnya, dan atas kehendaknya sendiri, ia telah dilarikan oleh laki-laki yang dicintainya. Namun itu bukan peristiwa yang terakhir. Muridnya yang menjadi panas tanpa setahunya telah mencari kedua anakanak muda itu. Betapa pahitnya ketika ia kemudian mengetahui bahwa kedua la ki-laki muda itu mati sa mpyuh di dalam satu perke lahian yang jantan. Keduanya me mperguna kan keris dengan warangan yang kuat, dan kedua-duanya ternyata telah tergores oleh keris itu, sehingga jiwa mereka t idak tertolong lagi.
Dengan de mikian, maka tida k ada yang dapat dilakukan sebagai seorang ayah untuk menga mbil anaknya kembali, anaknya yang justru telah mengandung. Hidup yang pahit itu harus ditanggungkannya. Ketika cucunya lahir, maka ibu yang selalu dibebani oleh perasaan bersalah itu tidak dapat tertahan hidup lebih la ma lagi. Anak perempuan Kiai Danatirta yang melahirkan anak perempuan itupun ke mudian meninggal. Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Cucunya itulah yang kini bernama Arum. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Arum adalah cucunya. Di tempatnya yang baru itu. Sejak ia me mbuka padepokan kecil yang dina mainya seperti hatinya yang kering, padepokan Jati Aking, di sebelah padukuhan Jatisari, ia sudah menganggap Arum sebagai pengganti anaknya yang telah hilang dari hatinya itu. Dengan sepenuh hati Kiai Danatirta mendidik cucunya itu, agar ia dapat menebus kelengahannya selagi ia momong anaknya perempuan, sehingga terjadi peristiwa yang sangar me mbe kas di hatinya. Namun tiba-tiba Kiai Danatirta itu bagaikan terlonja k di tempat duduknya. Dengan suara gemetar ia berkata kepada diri sendiri "Sekarang aku telah menyediakan minyak itu didekat api. O, alangkah bodohnya aku ini. Di padepokan ini sekarang ada dua orang anak muda. Aku sendirilah yang mene mpatkan mereka disini. Di padepokan ini, bersama-sama dengar Arum" Kesadaran itu ternyata telah mence maskan hati Kiai Danatirta. Sekali-sekali terbayang wajah Raden Juwiring yang selalu dihiasi dengan senyum yang menawan. Ke mudian wajah Buntal yang sederhana tetapi bersungguh-sungguh penuh pengertian atas alas keprihatinan.
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Keduanya telah terlanjur berada di padepokannya. Dan keduanya baginya adalah anak muda yang baik. "Suatu masa pendadaran bagiku" berkata Kia i Danatirta, lalu "sa mpai umurku setua ini, aku masih harus menja lani ujian yang berat. Mudah-mudahan kali ini aku dapat mengatasinya. Dan mudah-mudahan kedua anak-ana k muda ini me mpunyai perhatian yang berbeda dari muridku yang dahulu. Atau tergantung kepadaku, bagaimana caraku mengarahkan hubungan mereka bertiga " Namun kesadaran itu telah membuat Kia i Danatirta menjadi berhati-hati. Dan ia merasa bersyukur atas kenangan yang selalu me mbayang, sehingga seakan-akan ia selalu dihadapkan pada sebuah cermin untuk sela lu me lihat cacat di wajahnya. Dan setiap kali Kiai Danatirta selalu berkata, bukan saja kepada diri sendiri, tetapi juga kepada murid-muridnya "Di dalam kekuatan terdapat kelemahan, dan di dala m kele mahan terdapat kekuatan. Tetapi pada pekan-pekan pertama ia mulai me mberikan latihan kepada muridnya itu, telah timbul suatu persoalan baru bagi Kia i Danatirta. Anaknya, Arum minta kepadanya dengan sepenuh hati, bahkan sambil merengek, agar ia diperkenankan ikut me mpelajari olah kanuragan. "Kau seorang gadis" berkata ayahnya "Tidak menjadi kebiasaan seorang gadis mempe lajari olah kanuragan" "Tetapi aku ingin sekali ayah. Biarlah orang lain tidak. Kalau ayah mau menurunkan ilmu itu kepada orang lain, kenapa tidak kepadaku" Kepada anaknya, meskipun aku seorang perempuan?" "Arum. Me mpe lajari ilmu kanuragan bukanlah sekedar menjadi seorang yang tangguh. Tetapi sesuai dengan wadag seorang Laki-laki, ia pantas pergi dari satu tempat ke tempat
yang lain untuk menga malkan ilmunya. Tetapi tidak bagi seorang gadis. Tidak pantas sama seka li, dan bahayanya jauh lebih dahsyat dari seorang laki-la ki" "Apakah seorang laki-laki tida k dapat menjumpa i bahaya" Apakah seorang Laki-laki tidak akan pernah menjumpa i lawan yang mela mpauinya, tetapi selalu demikian bagi pere mpuan" Dan perempuan selalu tidak akaln dapat melepaskan diri dari bahaya?" "Bukan begitu Arum. Bahaya yang paling besar bagi seorang laki-laki adalah maut. Tetapi tida k bagi pere mpuan. Kau mengerti" Masih ada bencana yang lebih dahsyat dari maut, justru karena ia terlepas dari maut itu" Arum menundukkan kepa lanya, la mengerti ma ksud ayahnya. Perempuan me mang me mpunyai kele mahannya sendiri. Mungkin dala m sebuah perjalanan ia berte mu dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya. Tetapi orang itu tidak me mbunuhnya. Dan karena justru ia tidak dibunuh itulah ia akan jatuh ke dala m neraka yang lebih jahat dari mati. Tetapi tiba-tiba saja Arum mengangkat wajahnya sa mbil menyahut dengan serta meria "Aku akan me mbunuh diri di dalam keadaan yang de mikian" "Arum" suara Kiai Danatirta merendah "bunuh diri bukannya penyelesaian yang baik. Justru seorang yang bunuh diri akan menjumpai persoalan tanpa selesai, karena persoalannya beralih menjadi persoalan dan pertanggungan jawab kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Jelasnya bunuh diri apapun alasannya adalah perbuatan dosa" "Baiklah, aku tida k akan me mbunuh diri. Tetapi a ku akan me milih melawan sa mpai mati seperti La ki-laki. apabila kebetulan saja aku mengala mi perist iwa yang pahit itu" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Hati anak perempuannya itu me mang keras, sekeras hati ibunya.
Dengan de mikian maka kece masan mulai merayapi dada orang tua itu. Kalau pada suatu saat anaknya ini tergelincir, maka ia a kan mengeraskan hatinya di dala m kesesatannnya itu seperti ibunya. Karena Kiai Danatirta tidak segera menjawab, maka Arum mendesaknya "Kenapa ayah dia m saja?" "Baiklah aku me mikirkannya Arum" "Kenapa harus dipikirkan?" "Tunggulah sehari dua hari. Aku akan menimbang ba ik dan buruknya" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi kenapa kau tiba-tiba saja ingin ikut serta me mpe lajari olah kanuragan" Kenapa t idak sebelum ini?" "Aku tida k tahu ayah. tetapi me mang tiba-tiba saja aku ingin me mpelajarinya" "Baiklah. Ba iklah. Aku akan me mpertimbangkannya" "Apa yang harus dipertimbangkan" Aku menyatakan keinginanku me mpelajarinya. Bukan untuk dipertimbangkan. Akulah yang bermaksud berbuat dan aku akan berbuat" Dada Kiai Danatirta berdesir mendengar jawaban itu. Jawaban itu mirip benar dengan jawaban ibunya ketika ia mencoba mencegahnya berhubungan dengan seorang Laki-laki diluar padepokannya. Ibu Arum itu menjawab "Ayah tidak perlu me mpersoalkannya. Akulah yang akan kawin. Bukan ayah. Karena itulah, akulah yang me mutuskannya" Pada saat itu. hampir saja ia mena mpar mulut anaknya. Untunglah bahwa ia masih dapat mengendalikan dirinya, meskipun saat itu ia menganca m "Ka lau la ki-laki itu masih datang lagi kepadamu, aku bunuh dia" Tetapi yang terjadi justru anaknya dibawa lari, Dan muridnyalah yang me mbunuh la ki-laki itu sa mpyuh dengan ke matian sendiri. Dua jiwa telah menjadi korban.
Sejenak Kia i Danatirta merenung. Na mun karena ayahnya tiba-tiba saja me mandang kekejauhan, dan bahkan terbayang perasaan yang pedih di matanya tanpa diketahui sebab yang sebenarnya, Arum menjadi berdebar-debar. Ia menyangka, bahwa kata-katanya lelah menyakiti hati ayahnya. Sama sekali tidak terbayang di kepalanya, bahwa ayahnya yang sebenarnya adalah kakeknya itu sedang membayangkan suatu masa la mpau yang panjang. "Ayah" tiba-tiba Arum berjongkok di hadapan ayahnya yang duduk di bibir a mben "Kenapa ayah merenung?" "O" Kia i Danatirta terkejut. Kemudian iapun tersenyum sambil berkata "Tidak apa-apa Arum" "Apakah kata-kataku me luka i hati ayah?" Kiai Danatirta menarik nafas dalam. Jawabnya "Tidak Arum. Tetapi ayah ingin anaknya menuruti kata-katanya. Tentu saja, ayah tidak selalu benar. Tetapi kadang-kadang seorang tua, betapapun bodohnya, mempunyai firasat tentang anakanaknya" "Maafkan aku ayah" suara Arum merendah "Aku tidak akan me maksa ayah. Aku akan menurut segala nasehat ayah. Aku hanya sekedar menyatakan keinginan hatiku. Tetapi terserahlah kepada ayah" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Inilah bedanya Arum dengan ibunya. Ternyata Arum me mpunyai kele mbutan di sa mping kekerasan hatinya. Karena Kiai Danatirta tidak segera menjawab, ma ka Arumpun berkata pula "Apakah ayah marah kepadaku?"
"O, tidak. Tida k Arum. Aku t idak marah" "Tetapi ayah dia m saja " "Aku sedang berpikir" "Ayah tidak usah memaksa diri untuk menga mbil keputusan sekarang. Aku akan menunggu" Kiai Danatirta me mandang Arum sejenak. Ke mudian sekali lagi ia tersenyum "Ya. Kau me mang harus menunggu" Meskipun Arum ke mudian meninggalkan Kiai Danatirta, namun Kiai Danatirta masih tetap dibebani oleh persoalan itu. Dicobanya untuk menilai untung ruginya. Permintaan Arum baginya merupa kan suatu persoalan yang me mang baru. Ibunya dulu sa ma sekali tida k tertarik pada olah kanuragan. Bahkan sebagian hidupnya telah dihabiskannya bekerja di sawah dan di dapur. Dan sebagian yang lain untuk dengan dia m-dia m mene mui la ki-laki yang ke mudian me larikannya. "Apakah ada baiknya aku me mberi kesempatan kepada Arum untuk me mpelajari olah kanuragan?" pertanyaan itu mulai merayap di hatinya "Ia akan me mpunyai suatu perhatian khusus di da la m hidupnya" Namun demikian, Kiai Danatirta masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Ia memang pernah mendengar atau membaca di dala m kitab-kitab, bahwa pernah ada raja-raja perempuan di Tanah Jawa ini. Pahlawan-pahlawan perempuan di ceritera pewayangan dan prajurit-prajurit perempuan. Tetapi lingkungannya sendiri belum pernah melahirkan seorang perempuan yang mumpuni di da la m olah kanuragan. "Aku akan me lihat ke mungkinan-ke mungkinannya" berkata Kiai Danatirta ke mudian kepada diri sendiri. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang masak, maka Kiai Danatirta ma mpu me nilai setiap unsur gerak dari ilmunya dari beberapa segi. Dan itulah sebabnya, maka sejak ia mulai me mpertimbangkan ke mungkinan me mberikan ilmu
kanuragan kepada Arum Kiai Danatirta mulai mela kukan penilaian lebih saksa ma lagi atas ilmunya. Di ma la m hari, ketika seisi padepokan itu sudah tidur, maka masuklah ia ke dalam bilik tertutupnya. Dia matinya ke mbali setiap tata gerak dari yang paling sederhana sa mpai kepada yang paling sulit. Tiba-tiba Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia mene mukan beberapa unsur gerak yang dapat disesuaikan dengan ke ma mpuan kodrati seorang perempuan. Tetapi Kiai Danatirta masih belum puas dengan penemuannya yang hanya sekedar unsur-unsur gerak yang terselip di da la m keseluruhan tata gerak, sehingga tidak merupakan suatu kebulatan yang utuh. Namun justru karena itu, maka Kia i Danatirta ternyata telah me mulai dengan suatu kerja yang baru. Menyusun ilmu kanuragan khusus untuk seorang perempuan, namun yang tidak ka lah dah-syahnya dari ilmu yang diperuntukkannya bagi seorang laki-la ki berdasarkan perbedaan wadagnya. Setiap kali Kiai Danatirta berletnu dengan Arum, tampa klah pertanyaan tersirat di wajah anak itu. Tetapi Kiai Danatirta masih belum me mberikan jawaban. Dan betapapun gelisahnya dada gadis itu, namun Arum juga tida k bertanya kepada ayahnya. Dala m pada itu. Raden Juwiring dan Buntal masih teras me lakukan latihan-latihan di bawah tuntunan Kiai Danatirta. Meskipun masih merupa kan gerak-gerak dasar dan bersifat umum, tetapi kedua anak-anak muda itu merasa bahwa mereka harus bekerja keras dan dengan penuh kesungguhan. Ternyata kedua anak-anak muda itu me mberikan kepuasan kepada Kiai Danatirta. Keduanya adalah anak-anak yang baik. Dan keduanya me mpunyai tubuh yang me mungkinkan bagi mereka untuk mela kukan latihan-latihan yang berat seperti yang dikehendaki oleh Kiai Danatirta.
Namun di mala m hari, apabila padepokan itu sudah sepi, Kiai Danatirta masih berada dibilik tertutup itu sendiri. Dengan tekun ia me matangkan bentuk baru dari ilmunya, meskipun isinya tidak berbeda. Pada suatu malam yang sepi, Arum terkejut ketika ia mendengar pintu biliknya bergerit. Dengan serta merta ia bangkit dan duduk di pe mbaringannya. Namun gadis itu menarik nafas dalam-dala m ketika ia me lihat ayahnya berdiri dimuka pintu. "Apakah kau sudah tidur Arum?" Arum menggelengkan kepalanya "Belum ayah. Udara panas sekali sehingga a ku tida k dapat tidur" Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Kalau kau masih belum ingin tidur, ke marilah Marilah kita duduk diluar sejenak, untuk menyegarkan badan" Arum me ngerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. iapun segera bangkit berdiri dan me mbenahi paka iannya. Kemudian diikutinya ayahnya melangkah keluar me lalui pintu pringgitan me lintasi pendapa. Arum menarik nafas. Ayahnya itupun kemudian duduk di tangga pendapa. "Disini tidak begitu panas" berkata ayahnya. "Ya ayah" "Duduklah disini" Arumpun ke mudian duduk di sa mping ayahnya. "Arum" suara ayahnya menjadi dala m "Apakah kau masih tetap pada keinginanmu?" "Apa ayah?" bertanya Arum. "Olah kanuragan?"
"O. Ya ayah. Aku hampir tida k sabar menunggu jawaban ayah. Aku kira ayah sudah melupakannya, atau sengaja me mbiarkan saja persoalan itu" "Kenapa ka lau begitu?" "Aku tidak mau ayah. Aku harus mendapatkan ilmu seperti orang lain di padepokan ini, meskipun aku pere mpuan" "Bagaimana kalau ayah berpendirian lain?" "Tida k. Ayah tidak akan berpendirian lain. Aku me merlukannya. Kalau a ku tida k minta kepada ayah, lalu kepada siapa?" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah sifat Arum yang sebenarnya. Sekeras sifat ibunya. Namun Kiai Danatirtapun ke mudian berkata "Jadi kau telah mencabut pendirianmu itu?" "Pendirian yang mana" Aku tidak pernah mencabut sikap yang telah aku tentukan" "Arum" berkata ayahnya "Bukankah kau mengatakan waktu itu kepada ayah, bahwa kau menyerahkan se muanya kepadaku. Apakah aku akan mengijinkan atau tidak" Bukankah kau tidak akan me ma ksa ayah dan menurut segala nasehat ayah" "O" kepala gadis itupun tertunduk. Perlahan-lahan ia berdesis "Maafkan ayah. Aku me mang tidak akan me ma ksa ayah dan aku akan me nurut segala kehendak ayah" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Di sa mping sifat-sifatnya, Arum telah berhasil menguasai dirinya sendiri meskipun kadang-kadang terlepas. Tetapi untuk seterusnya, ia harus berhati-hati, agar Arum tetap dapat me melihara keseimbangan itu. Bahkan agar ia semakin dekat dengan penguasaan diri tanpa me manjakan perasaannya. Dan inilah kelebihan Arum dari ibunya. Melihat Arum menundukkan kepa lanya dalam-dala m dengan
penuh kecewa Kiai Danatirta menjadi iba. Karena itu maka katanya "Bagus Arum. Kau adalah anak yang baik. Kau akan tetap menurut nasehat ayah dan tidak akan me ma ksa. Bukankah begitu?" "Ya ayah" suara Arum dala m sekali. Bahkan ha mpir t idak terdengar, karena Arum sedang berusaha untuk menahan air matanya yang telah me manasi pe lupuknya. Tetapi tiba-tiba ia terperanjat ketika ayahnya berkata "Arum. Tetapi bukankah aku belum mengatakan keputusanku tentang permintaanmu?" Arum mengangkat wajahnya. Sepercik harapan me mbayang di wajahnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya "Jadi maksud ayah?" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Perlahan-lahan ia berkata "Arum. Sebenarnya me mang kurang lajim seorang gadis me mpelajari olah kanuragan. Namun karena kau adalah anakku, maka aku telah mencoba untuk menyingkirkan kejanggalan itu dari hatiku" Sebelum Kiai Danatirta melanjutkan kata-katanya, Arum telah melonja k dan berlutut di hadapan ayahnya sambil berkata "Terima kasih ayah. Terima kasih" Sebuah senyum yang cerah membayang di bibirnya, meskipun di matanya secercah air telah membasahi pelupuknya. Namun sebenarnya Kiai Danatirta me mpunyai kepentingan yang. lain pula. la ingin me mperguna kan keinginan Arum untuk me mpelajari ilmu kanuragan itu sebagai cara untuk menghindarkan ke mungkinan-ke mungkinan yang tidak dikehendaki, justru karena di padepokan itu sudah terlanjur terdapat dua orang anak-anak muda.
Demikianlah, maka Arum merasa bahwa dadanya menjadi terlampau lapang. Keinginannya akan terwujud. Bukan saja laki-laki yang boleh menyadap ilmu kanuragan, tetapi ayahnya kini sudah me mperkenankannya untuk ikut serta. "Tetapi" berkata ayahnya "Kau harus tetap seorang gadis Arum. Kau harus tetap berlaku sebagai seorang gadis. Dan kau harus tetap menunjukkan sifat-sifatmu di antara kawankawanmu. Kau tidak boleh menunjukkan perubahan apapun yang terjadi pada dirimu, seandainya kelak kau berhasil menguasai ilmu kanuragan ini" "Aku berjanji ayah" "Dan kau tida k pernah ingkar janji?" Arum tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Dala m pada itu, maka Arum tida k sabar lagi menunggu hari-hari berikutnya. Ia ingin segera mulai. Ia ingin segera me mpe lajari ilmu yang sela ma ini hanya dapat dilihatnya. Tetapi ayahnya masih belum me mulainya, beberapa hari telah lewat. meskipun
"Apakah ayah hanya sekedar menyenangkan hatiku saja" berkata Arum di da la m hatinya "Tetapi untuk seterusnya ilmu itu tidak pernah diberikannya?" Namun pada suatu senja, Arum telah dipanggil ayahnya dibangsal latihan. Ketika ia masuk, ternyata di dalam bilik yang agak luas itu telah menunggu Raden Juwiring dan Buntal. "Apakah kalian a kan berlatih" bertanya Arum. Hampir berbareng keduanya mengge leng. Juwiringlah yang ke mudian menjawab "Ka mi telah dipanggil oleh Kiai Danatirta di luar saat-saat berlatih" Arum mengerutkan keningnya. Agaknya ayahnyalah yang masih belum ada di ruang itu.
Tetapi Arum tidak menunggu terlalu la ma. Sebentar ke mudian ma ka Kiai Danatirtapun telah datang pula ke dala m ruangan itu. "Anak-anakku" berkata orang tua itu sejenak ke mudian "aku me mang me manggil kalian bersa ma-sama. Ada sesuatu yang harus aku beritahukan kepada kalian" Ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. "Pertama-tama, aku me mberitahukan kepada Raden Juwiring dan Buntal, bahwa Arum ternyata menyatakan keinginannya untuk me mpe lajari olah kanuragan. Suatu hal yang janggal bagi seorang gadis. Tetapi itu adalah keinginannya. Dan akupun tidak berkeberatan" Kia i Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi sudah barang tentu, bahwa meskipun ilmu ka lian bersumber pada sifat dan watak yang sama, na mun pasti ada perbedaannya di da la m ungkapan, karena bagi seorang laki-laki tentu ada bedanya dari seorang perempuan" Ketiga anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Terbayang sebuah senyum di bibir Arum. Sedang Juwiring dan Buntal mengangguk-angguk tanpa sesadarnya. Tetapi terlebih-lebih lagi, aku akaln me mberitahukan kepada kalian, hubungan yang harus kalian mengerti setelah kalian berguru bersama-sa ma" Kiai Danatirta berhenti sejenak. Dipandanginya wajah ketiga anak-anak muda itu satu de mi satu. Lalu " Setelah kalian menjadi murid dari satu perguruan, maka kalian akan menjadi tiga orang bersaudara. Tidak ada bedanya dengan saudara sekandung. Akulah yang menjadi ayah kalian dan ilmu yang akan kalian serap itu adalah pengikat dari persaudaraan kalian" Ketiga anak-anak muda itupun menundukkan wajahnya. "Nah, biarlah aku me nentukan siapakah yang paling tua di antara kalian, di antara saudara sekandung di dalam penyadapan ilmu ini" berkata Kia i Danatirta ke mudian "Bukan
berdasarkan waktu kehadirannya di padepokan ini. Jika seandainya demikian, maka Arumlah yang akan menjadi paling tua. Tetapi berdasarkan umur, Raden Juwiring akan menjadi saudara tertua. Buntal akan menjadi anak kedua dan yang bungsu adalah Arum. Sudah tentu sejak sekarang, kalian tidak akan me manggil dengan istilah lain dari istilah persaudaraan ini, dan ka lian akan me manggil aku ayah. Me mang agak berbeda dengan sebutan perguruan, tetapi aku me mang tidak ingin menunjukkan kepada tetangga-tetangga kita. bahwa kita telah mendirikan suatu perguruan kanuragan" Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. mereka terpukau oleh kata-kata Kiai Danatirta. Sejenak
"Apakah kalian tidak berkeberatan?" bertanya Kiai Danatirta ke mudian "terutama Raden Juwiring, yang berasal dari keluarga yang agak berbeda dengan kami disini. Dengan Buntal dan dengan Arum" "Ah" Juwiring berdesah "Apakah bedanya?" "Jadi kau tidak berkeberatan?" bertanya Kiai Danatirta. Juwiring mengge lengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Aku merasa mene mukan saudara sekandung yang dapat aku hayati daripada saudaraku yang sebenarnya. Disini aku mene mukan keda maian hati yang sebenarnya. Di istana ayahnda aku merasa tersiksa. Meskipun aku tinggal rumah yang mewah dan besar, tetapi setiap saat selalu dibayangi oleh kedengkian dan iri" Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. "Baiklah kau me ma ng tida k berkeberatan. Untuk seterusnya aku hanya akan me manggil na ma kalian masing-masing, karena kalian adalah anak-anakku. Tetapi aku sa ma sekali tidak berhasrat untuk merubah na ma itu" Ketiga anak-anak muda itu tidak menyahut.
"Nah, dengan de mikian ma ka kita me mpunyai keluarga baru yang besar sekarang. Tetapi jangan menunjukkan perubahan apapun kepada orang lain. Kepada tetanggatetangga dan kawan-kawan kalian di padukuhan ini. Ka lian harus tetap seperti kemarin. Juga Juwiring masih tetap seperti Raden Juwiring, karena setiap orang mengetahui bahwa kau adalah seorang bangsawan yang dititipkan kepadaku, untuk mendapatkan tuntunan olah kajiwan. Bukan olah kanuragan" Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi ia tida k menyahut Sesaat terbayang kehidupan yang telah ditinggalkannya. Terbayang sebuah istana yang megah dari seorang bangsawan yang kaya. Tetapi justru karena ayahnya seorang yang kaya, dan tidak hanya mempunyai seorang isteri, maka rumah yang megah itu telah menjadi sarang kedengkia in dan iri. Setiap orang selalu curiga kepada orang lain. Kebencian tidak lagi dapat dihindarkan lagi. Sehingga akhirnya ia terle mpar ke padukuhan kecil itu karena bermaca m-maca m alasan yang sebagian terbesar tidak benar sama sekali, la sadar, bahwa ia sekedar disingkirkan dari lingkungannya yang sedang bergulat berebut kesempatan untuk mendapatkan warisan terbesar. "He m" Juwiring menarik nafas dalam-da la m. Terbayang pula wajah adik seayah tetapi tidak seibu yang umurnya hampir bersa maan dengan umurnya "Rudira" Juwiring terkejut ketika ia mendengar Kiai Danatirta berkata "Sudahlah. Aku tidak me mpunyai persoalan lagi kini. Kalian dapat meninggalkan ruangan ini. Besok kita akan mulai dengan ilmu kanuragan dari padepokan ini yang sebenarnya. Selama ini, kalian sekedar mendapat dasar-dasar olah kanuragan pada umumnya. Meskipun waktu yang aku tetapkan sebagai waktu percobaan dan pendadaran belum habis, tetapi aku percaya kepada kalian, bahwa kalian akan selalu me lakukan se mua petunjukku sebaik-ba iknya"
Demikianlah maka ketiga anak-ana k muda itu meninggalkan bilik te mpat mereka berlatih. Terasa sesuatu yang lain di dalam diri mereka Kini mereka harus menganggap yang satu dengan yang lain sebagai saudara. Saudara sekandung. Dihari-hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, ketiganya mulai mendapatkan latihan-latihan khusus. Mereka mulai me mpe lajari unsur-unsur gerak yang agak lain dari unsur-unsur gerak yang sela ma ini mereka pelajari. Sedangkan Arum telah mendapat waktu tersendiri di dala m latihan-latihan yang me mang hanya diperuntukkan baginya. Tetapi di dala m tata gerak dasar, mereka kadang-kadang juga berlatih bersa ma. Ternyata mereka tidak mengecewakan hati Kiai Danatirta. Mereka bertiga berlatih bersungguh-sungguh. Kadang-kadang diluar dugaan, bahvta mereka ma mpu mela kukan latihanlatihan yang berat untuk waktu yang melampaui waktu yang sudah ditentukan oleh gurunya. "Mereka benar-benar telah melakukan dengan sepenuh hati "berkata Kia i Danatirta di da la m hatinya. Namun dala m pada itu, darah keturunan Juwiring masih tetap menjadi teka-teki bagi Buntal. Ia sa ma seka li tidak berani bertanya, darimanakah sebenarnya ia datang. Dan putera siapakah ia sebenarnya. "Apakah ia putera seorang pengeran yang lahir dari seorang selir?" pertanyaan itulah yang selalu me lonjak di dalam hatinya. Namun dala m pada itu, meskipun Juwiring telah menjadi anak angkat yang sekaligus murid Kia i Danatirta, namun pengaruhnya bagi orang-orang di sekitarnya masih tidak berubah. Bagaimanapun juga ujud lahiriahnya adalah seorang bangsawan yang memang lain dari orang-orang kebanyakan.
Bagi tetangga-tetangga Kiai Danatirta, kehadiran seorang bangsawan di padepokan itu me mpunyai pengaruh tersendiri. Sikap mereka yang sangat hormat dan segan kepada Juwiring sama seka li tidak berubah, meskipun mereka lahu bahwa sesuatu telah terjadi, sehingga Juwiring harus berada di padepokan Kia i Danatirta untuk menuntut ilmu kajiwan. Me mpelajari kesusasteraan dan tata kesopanan. Tetapi diluar dugaan mereka, bahwa di sa mping itu se mua, Juwiring juga me mpe lajari ilmu kanuragan. Demikianlah dari waktu ke waktu, ketiga anak-anak muda di padepokan Kia i Danatirta itu berke mbang dengan pesatnya, sesuai dengan ida man orang tua itu. Bukan saja dala m olah kanuragan. Tetapi tabiat dan sifat merekapun menunjukkan ketulusan hati mereka. Di siang hari mereka bekerja seperti kebanyakan anak-anak padukuhan itu. Mereka pergi ke sawah. Me mbawa alat-alat pertanian dan pupuk. Sedang Arum pergi kesunga i mencuci pakaian dan berbelanja kepasar. Kemudian ikut menanjak nasi dan masak di dapur seperti kebanyakan gadis-gadis padesan. Demikianlah kehidupan yang tenang itu berjalan terus, sehingga pada suatu saat, seekor kuda yang tegar berlari me masuki hala man padepokan itu. Seorang laki-laki selengah umur yang ke mudian menarik kekang kuda itu, segera me loncat turun. Kiai Danatirta yang berada di pringgitan, bergegas menjengukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil menyongsong orang berkuda itu sambil menyapanya "O, kau Dipanala" Orang yang kini telah berdiri di ha la man menganggukkan kepalanya, jawabnya "Ya ka kang" "Ke marilah. Sudah la ma kau tidak datang" Dipanalapun ke mudian naik ke pendapa dan dipersilahkan masuk ke pringgitan. itu
Keduanyapun kemudian duduk berhadapan diatas sehelai tikar pandan. Sejenak mere ka saling menanyakan kesela matan masing-masing setelah agak la ma mereka tidak bertemu. "Sudah la ma sebenarnya aku ingin datang kepedukuhan ini. Tetapi aku masih terla mpau sibuk" "Apa kerjamu sebenarnya" Bukankah kau hanya harus menghadap setiap keliwon dan duduk di regol dala m?" "Ya, tetapi aku me mpunyai pekerjaan juga di Da le m Kapangeranan" "Apa kerjamu?" bertanya Kiai Danatirta. Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya ke mudian "Me mang tida k ada. Tetapi rasa-rasanya aku menjadi sangat sibuk. Semakin la ma rumah itu menjadi semakin gersang" "Kenapa" Bukankah di dala mnya tersimpan harta benda yang tidak ternila i jumlahnya" "Justru itulah sebabnya. Sekarang Raden Ayu Manik sudah tidak ada lagi di Dale m Kapangeranan" "Raden Ayu Manik" Bagaimana mungkin?" "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Istana Pangeran Ranakusuma. Tidak seorangpun akan menyangka bahwa pada suatu saat Raden Ayu Manik keluar dari istana itu dan ke mbali ke ayahandanya"
"Bagaimana sikap Pangeran Raksanagara ketika puterinya. dike mbalikan kepadanya?" "Betapa panas hati Pangeran tua itu. Tetapi ia tidak dapat, berbuat banyak. Ia tidak lagi dapat menantang perang tanding, karena tata kehidupan kebangsawanan sudah bergeser. Kini di Istana Pangeran Ranakusuma sering terjadi semaca m bujana ma kan dan minum untuk menghormat tamutamunya" "Siapakah tamu-ta mu itu?" Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Itulah yang sangat mence maskan. Ta munya adalah orang-orang asing" "Kumpeni maksudmu?" Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Danatirta berdesah sambil me ngusap dadanya. Terbayang kini di rongga matanya, tata cara yang asing itu mulai merayap masuk ke dala m tata kehidupan para bangsawan dan pembesar di pusat pemerintahan. Meskipun Kiai Danatirta menyadari bahwa tidak se mua adat dan tata cara orang asing itu jelek, karena menurut anggapan lahiriah merekapun orang-orang beradab, telapi kadang-kadang ada yang terasa seperti duri di dala m daging sendiri. "Jadi siapakah yang sekarang berkuasa di istana Pangeran Ranakusuma?" "Raden Ayu Sontrang " "Raden Ayu Sontrang?" "Ya, nama panggilan dari Raden Ayu Galihwarit, puteri Pangeran yang agak kurang waras itu" "Pangeran Sindurata?" "Ya"
Kiai Danatirta hanya dapat mengelus dadanya. Meskipun sepengetahuan orang banyak ia bukan seorang bangsawan yang me mpunyai lingkungan hidup setaraf dengan mereka menurut bentuk lahiriah, tetapi yang terjadi itu me mbuat hatinya terlampau pedih. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata "Jadi bagaimana dengan Raden Juwiring?" Ki Dipanala mengedarkan tatapan matanya keseputarannya. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang di ruangan itu. "Raden Juwiring tidak ada di rumah. Ia pergi ke sawah dengan Buntal" "Siapakah Buntal itu?" "Seorang anak pedesaan, sekedar untuk mengawani Raden Juwiring disini. Tetapi nanti a ku ceriterakan tentang anak itu" "Jadi anak itu tida k ada?" "Tida k" "Kakang Danatirta" berkata Dipanala ke mudian "nasib anak muda itu me mang kurang baik. Selama ini, sepeninggal ibunya, nasibnya seakan-akan tergantung dari belas kasihan Raden Ayu Manik, karena meskipun ia anak tirinya, Raden Ayu Manik sendiri tida k me mpunyai anak. Tetapi sekarang Raden Ayu Manik tidak ada lagi di istana itu. Hidupnya akan menjadi semakin terasing dari ke luarganya, sehingga pada suatu saat ia akan dilupakan. Apalagi derajat ibunya tidak setingkat dengan Raden Ayu Manik dan Raden Ayu Sontrang" Dantirta menundukkan kepalanya. Desisnya "Ya, Rara Putih me mang tidak setingkat dengan Raden Ayu keduanya. Tetapi aku me letakkan harapan kepada Raden Ayu Manik, bahwa ia akan berhasil me mbawa Raden Juwiring ke mbali ke istana itu meskipun untuk waktu yang la ma. Tetapi harapan itu akan menjadi se makin sura m"
"Ya ka kang. Yang se karang ha mpir tidak dapat dikendalikan adalah Raden Rudira dan adiknya Raden Ajeng Warih. Mereka merasa lebih berkuasa dari ayahanda Pangeran Ranakusuma " "Aku sudah menyangka. Karena kedua anak-anak itulah agaknya Raden Ayu Sontrang sampai hati menyingkirkan saudara sepupunya sendiri dari istana" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi sebenarnya Raden Ayu Galihwarit yang disebut Sontrang itu tidak usah berusaha mengusir puteri itu, karena ia tidak berputera. Raden Ayu Manik tida k akan me merlukan pe mbagian kekayaan sua minya, karena ia tidak me mpunyai anak keturunan" "Bukan anak keturunannya sendiri. Raden Ayu Manik selalu berbicara tentang Raden Juwiring yang kini ada di padepokan ini. Itulah sebabnya Jika demikian, maka hak Raden Juwiring akan menjadi sa ma dengan hak Raden Rudira. Itulah yang me mbuat Raden Ayu Sontrang berusaha menyingkirkan Raden Ayu Manik" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya "Apakah kau mengetahui cara yang dipergunakan untuk me ngusir Raden Ayu Manik?" "Seperti yang dilakukan buat mengusir Raden Juwiring. Adalah kebetulan seka li bahwa Pangeran Raksanagara, ayah Raden Ayu Manik, sangat me mbenci kepada kumpeni. Dan kebencian itu dapat dimanfaatkan dengan baik sekali oleh Raden Ayu Sontrang. Ia minta bantuan kumpeni untuk mendesak Pangeran Ranakusuma, agar Raden Ayu Manik, puteri seorang yang me mberi kumpeni itu dike mbalikan kepada ayahnya. Kalau tidak, kumpeni tidak akan mau berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma di da la m segala hal" "Gila. Benar-benar perbuatan yang sangat licik. Alangkah bodohnya orang-orang asing itu. Mereka telah diperalat untuk kepentingan pribadi dan nafsu keta makan"
"Tida k kakang. Bukan suatu kebodohan. Orang-orang asing itu juga orang-orang tama k. Mereka adalah orang-orang yang selalu kehausan apapun juga " "Tetapi apakah yang mereka dapatkan dari Pangeran Ranakusuma?" "Kumpeni ingin mendapatkan dukungan yang kuat dari kalangan istana Surakarta untuk dapat me mberikan tekanantekanan lebih berat lagi bagi Kangjeng Sunan. Kalau para Pangeran sudah berhasil dipengaruhinya, dengan segala maca m cara. sebagian dengan janji-janji dan sebagian lagi dengan harta benda, maka kedudukan Kangjeng Sunan akan menjadi se makin le mah. Dengan de mikian maka se mua persetujuan yang dipaksakan oleh kumpeni tida k akan dapat ditolaknya lagi" Dipana la berhenti sejenak, lalu "Tetapi secara pribadi kumpeni itu juga mendapat imba lan dari persoalan pribadi Raden Ayu Sontrang dan Raden Ayu Manik" "Apa yang mereka dapatkan?" Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Ditatapnya wajah Kiai Danatirta sejenak. Namun ke mudian ia hanya menelan ludahnya saja -sambil menundukkan kepalanya. "Apakah yang mereka dapatkan secara pribadi?" desak Kiai Danatirta" "Maaf kakang. Sebenarnya aku tidak sampa i hati untuk mengatakannya. Tetapi apaboleh buat. Kau me mang perlu mendapat ga mbaran seluruhnya" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "berat seka li untuk me ngatakannya, justru menyangkut na ma baik seorang puteri bangsawan" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ketajaman perasaannya segera menangkap persoalan yang belum dapat dikatakan oleh Ki Dipanala. Karena itu justru Kia i Danatirtalah yang kemudian berkata "Dipanala. Aku mengerti. Bukankah kau berma ksud mengatakan bahwa kumpeni-kumpeni itu mendapat imbalan secara pribadi juga" Aku tahu bahwa
Raden Ayu Galihwarit, meskipun sudah berputera sebesar Raden Rudira, namun nampaknya masih muda dan cantik. Menilik sifat-sifatnya yang licik, maka me mang mungkin seka li terjadi, bahwa ia telah mengorbankan kehormatannya sebagai seorang puteri bangsawan untuk mendapat jalan, mengusir Raden Ayu Manik" Ki Dipanala menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut "Dugaan itu tepat kakang. Ia bahkan mendapatkan segala-galanya. Bukan sekedar bantuan mengusir Raden Ayu Manik, tetapi ia me mang me merlukannya. Bukankah kau tahu, bahwa Pangeran Ranakusuma tidak lagi dapat berbuat apaapa untuknya?" "He m" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m "benarbenar suatu perbuatan yang me malukan. Memalukan bukan saja bagi para bangsawan, tetapi juga bagi kita seluruhnya. Bagi orang berkulit sawo matang ini" Ki Dipanala mengangguk-angguk. Tetapi kata-katanya terputus ketika Arum me langkah masuk ke pringgitan sambil menjinjing mangkuk minuman. "Arum" desis Ki Dipanala "Kau sudah prigel menghidangkan suguhan buat ta mu-tamu ayahmu" "Ah paman" Arum berdesah "Tetapi marilah pa man. Sekedar air untuk menghilangkan haus" "Terima kasih Arum. Berapa pekan paman tidak datang ke mari. Kau tampaknya cepat tumbuh dan sekarang kau benar-benar seorang gadis dewasa. He, berapa umurmu?" Arum t idak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya. "Ia pantaran dengan anakku yang bungsu. Bukankah begitu kakang?" Kiai Danatirta menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya. Hanya berselisih dua pekan"
Ki Dipanala mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian "Sering datanglah ke rumah pa man. Kau akan banyak melihat" "Terima kasih pa man. La in kali ka lau ayah mengijinkannya "Ki Dipanala tersenyum. Dipandanginya Arum yang bergeser surut ke mudian meninggalkan pringgitan. "Anakmu cepat menjadi besar kakang" Kiai Danatirta mengangguk" "Ta mpaknya jauh lebih dewasa dari anakku yang masih senang berma in pasaran di hala man" Kiai Danatirta tertawa. "Ia akan menjadi gadis yang tinggi besar seperti ibunya" berkata Ki Dipana la ke mudian. Kiai Danatirta tidak menyahut. wajahnya menjadi sura m. Tetapi tiba-tiba saja
Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipanala. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut ibu Arum yang sudah tidak ada lagi itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia berusaha menga lihkan pe mbicaraan "Kapan Raden Juwiring ke mba li dari sawah?" "Biasanya setelah tengah hari" jawab Kia i Danatirta "Apakah kau akan mene muinya?" Dipanala merenung sejenak, la lu "Tetapi aku ka li ini t idak me mbawa apapun buat Raden Juwiring. Aku sama sekali tidak berhasil mendapat sekedar belanja buat anak muda yang ma lang itu. Apalagi sepotong pakaian" "Ah, jangan kau pikir lagi tentang belanja dan pakaian. Ia sudah berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan ini. Jangan kau rusakkan lagi dengan kebiasaan yang cengeng di istana Kapangeranan itu" Dipanala me ngangguk-angguk.
"Kalau kau ingin bertemu dengan Raden Juwiring, jangan kau katakan apa yang terjadi di rumah itu. Ia akan menjadi semakin prihatin. Kalau perasaan mudanya tidak dapat dikendalikannya, ma ka pada suatu saat akan meledak dengan dahsyatnya. Padahal ia tidak mempunyai kekuatan apapun di belakangnya, sehingga ledakan itu pasti hanya akan menghancurkan dirinya sendiri" "Ya kakang. Tetapi sebaiknya ia mengetahui, bahwa kadang-kadang Raden Rudira menyebut namanya. Bahkan anak itu ingin me lihat dimana Raden Juwiring tingga l" "Buat apa ia melihat te mpat ini?" "Itulah yang mence maskan. Aku kira ia masih belum puas bahwa Raden Juwiring hanya sekedar tersisih. Ia pasti me mpunyai tujuan yang lain yang barangkali tidak akan dapat kita bayangkan, hati apakah yang sudah bermukim di dadanya" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Terbayanglah tatapan mata yang tajam seorang bangsawan muda yang bernama Rudira itu. Bangsawan muda yang berhati hita m seperti hati ibunya, Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang. Seorang perempuan bangsawan yang bertubuh tinggi besar, berkulit kuning langsat. Wajahnya yang bulat seperti bulan purna ma dihiasi dengan sepasang mata yang berkilat-kilat. Tetapi di dala m dadanya yang mendebarkan jantung itu, tersembunyi hati yang hita m leka m. Dan kehita man hatinya itu telah menurun kepada kedua anakanaknya. Raden Rudira dan adiknya. "Kalau hal itu kau anggap perlu Dipanala, katakanlah. Tetapi hati-hati, jangan menimbulkan kece masan yang berlebih-lebihan di hatinya. Dipanala mengangguk sa mbil menjawab "Aku mengerti kakang" "Tunggulah sa mbil minum. Ia akan segera datang"
Lambang Penyebar Kematian 2 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Geger Ratu Racun 3
Karya SH MINTARDJA Bunga Di Batu Karang Editor : Dino Jilid 01 MATAHARI sudah menjadi se makin tinggi. Sinarnya menusuk celah-celah dedaunan di pepohonan, me mbuat lukisan yang cerah di atas tanah yang le mbab. Sekali lagi Buntal berpaling. Dipandanginya sebuah rumah tua yang kecil, dan apalagi miring. Rumah yang untuk beberapa bulan didia minya bersama pa man dan bibinya. Anak itu menarik nafas dala m-dala m. Ia sudah me mutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Sejak ia menjadi yatim piatu, ia tinggal bersa ma pa man dan bibinya. Tetapi paman dan bibinya ternyata mengalami banyak kesulitan. Untuk me mberi makan dan pakaian saudara-saudara sepupunya, anak paman dan bibinya itu sendiri, mereka telah menga la mi kekurangan. Apalagi ia berada di rumah itu pula. Karena itu sekali lagi Meninggalkan ruma h itu. ia me mbulatkan niatnya.
Pagi itu, selagi paman dan bibinya pergi ke ladangnya yang hanya secuwil kecil, dan saudara-saudara sepupunya bermainma in di kebun belakang, Buntal me mutuskan untuk berangkat tanpa me mbawa be kal apapun.
Kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu juga, akan kemana saja ia me mbawa langkahnya. Tetapi iapun ke mudian menengadah ke langit, dan tanpa disadarinya ia berdoa semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang menurut ayahnya yang telah meningga l, agar menuntun langkahnya. Buntalpun ke mudian berjalan cepat-cepat agar ia segera menjadi se makin jauh. Meskipun pa man dan bibinya miskin, tetapi kepergiannya pasti tidak akan mere ka kehendaki. Karena itu, maka iapun telah meninggalkan keluarga miskin itu tanpa pamit. "Keadaan menjadi se makin buruk" desis Buntal di dala m hati. Ia tidak mengerti, perubahan apakah yang telah terjadi dalam tata pe merintahan. Namun terasa baginya, dan bahkan bagi anak-anak yang lebih kecil dari dirinya, bahwa sesuatu telah terjadi. Langkahnya semakin la ma me mbawanya semakin jauh dari rumah pa man dan bibinya. Ketika matahari berada dipuncak langit ia mula i me mbayangkan, bahwa paman dan bibinya pada saat-saat yang demikian itu ke mbali sejenak dari sawah untuk beristirahat. Apabila kebetulan ada, mereka se kedar makan seadanya bersama-sama dengan anak-anak mereka. "Paman dan bibi ttentu mencari aku" desisnya. Tetapi Buntal berjalan terus. Ia mencoba untuk meneguhkan hatinya, agar ia tidak menjadi ragu-ragu atau bahkan me langkah ke mbali ke rumah itu, rumah pa man dan bibinya yang miskin. Namun ketika matahari menjadi condong ke terasalah sesuatu di perutnya. Lapar. Barat,
Buntal mulai menjadi gelisah. Sebelumnya ia t idak me mikirkan, bagaimana ia mendapatkan makan di sepanjang perjalanannya. Dan kini baru ia sadar, bahwa ia menjadi sangat lapar.
Me mang kadang-kadang sehari penuh ia tidak makan nasi di rumah pa man dan bibinya yang miskin. Tetapi ada saja yang dapat diambilnya dari kebun, untuk sekedar mengisi perutnya. Kadang-kadang pohung, kadang-kadang nyidra atau garut atau apapun juga. Tetapi di perjalanan ini, ia tidak dapat mene mukan apapun juga. Keragu-raguan di hati Buntal mulai me lonjak. Kadangkadang timbul pula niatnya untuk ke mbali saja ke rumah paman dan bibinya. Tetapi ia t idak sa mpa i hati melihat keadaan rumah dan keluarga itu sehari-hari. Kadang-kadang Buntal harus menahan gejolak perasaannya, apabila ia mendengar adik sepupunya yang masih berumur setahun menangis karena lapar. Anaknya yang lebih tua duduk tepekur sambil menyeka air matanya. Yang lain tidur terlentang dengan le mahnya di a mben ba mbu. Sedang yang sulung, yang tiga tahun lebih muda daripadanya, duduk tepekur sa mbil menganya m keranjang. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Umurnya sendiri be lum mencapai limabelas tahun, sehingga adik sepupunya yang sulung itu belum mencapai duabe las tahun. Dan anak yang belum mencapai umur duabelas tahun itu harus sudah bekerja keras me mbantu ayah dan ibunya untuk mencari nafkahnya sehari-hari. Tetapi kini perutnya sendiri merasa lapar. Sedang perjalanannya sama sekali tida k berketentuan. Ia tidak akan dapat menghitung sampai kapan ia harus berjalan. Dan ke manalah. tujuan yang akan didatanginya. Ia tidak lagi me mpunyui saudara yang agak jauh seka lipun. Namun Buntal tidak berhenti. Ia me langkah terus dengan le mahnya. Semakin la ma se makin le mah, sehingga akhirnya ia jatuh terduduk diatas sebuah batu di pinggir ja lan. Ketika tanpa disadarinya Buntal menengadahkan kepalanya ke langit, dilihatnya cahaya yang kemerah-merahan telah
mulai me mbayang, sehingga sebentar lagi senja akan segera turun. Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia mendengar gemericik air parit, maka terasa lehernya menjadi sema kin kering. Karena Itu, maka perlahan-lahan ia beringsut mende kati parit itu. Apalagi ketika dilihatnya air yang bening menga lir diatas rerumputan yang hijau di dasar parit bercampur pasir yang keputih-putihan, maka iapun segera berjongkok diatas tanggul. Dengan kedua belah telapak tangannya ia menga mbil seteguk air untuk me nghilangkan hausnya yang tidak tertahankan, meskipun ia sadar, bahwa air itu tidak bersih sa ma sekali dari kotoran, karena diparit itu pula para petani mencuci kaki, tangan dan alat-alatnya apabila mereka pulang dari sawah. Tetapi lehernya terasa haus sekali. Buntal menarik nafas dalam-dala m ketika terasa tenggorokannya telah menjadi basah. Perlahan-lahan ia berdiri dan me mandang daerah di sekitarnya. Tetapi daerah itu adalah daerah yang asing baginya. Dan dengan de mikian ia sadair, bahwa ia telah benar-benar terpisah dari pa man dan bibinya. Ia tidak akan dapat menemukan jalan ke mbali, apabila ia tidak bertanya-tanya dengan susah payah. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Kecemasan se makin merayapi batinnya. Sebentar lagi mala m akan tiba, dan sebentar lagi seluruh permukaan bumi ini akan menjadi ge lap. "Apakah aku akan tetap berada di bula k dan t idur diatas rerumputan?" Tiba-tiba tengkuknya meremang. Dikejauhan dilihatnya seonggok pepohonan yang rimbun. Kalau itu sebuah ujung dari hutan yang me mbujur, meskipun hutan yang rindang, kadang-kadang masih ada juga seekor harimau yang tersesat keluar hutan dan mencari makan ke padukuhan. Mungkin
seekor lembu, mungkin ka mbing dan apabila ia berada di bulak itu mungkin dirinya. Dala m kece masan itu, Buntal melihat sebuah gubug yang bertiang agak tinggi. Sebuah gubug yang di siang hari dipakai untuk menunggu dan menghalau burung. "Mungkin tempat itu merupakan satu-satunya tempat yang paling baik buat bermala m. Tangga gubug itu cukup kecil, sehingga aku kira tidak, akan ada harimau yang dapat me manjat keatas. Meskipun agak ragu, Buntalpun berjalan juga menyusur pematang ke gubug itu. Besek pagi-pagi benar aku harus bangun dan meningga lkan gubug itu. Kalau aku kesiangan, dan ada seseorang yang mene mukan akju masih tidur, maka aku a kan mendapat seribu maca m pertanyaan. Ternyata gubug itu cukup panjang untuk menjelujurkan kakinya. Sambil mengge liat ia berbaring. Kepalanya diletakkan diatas kedua telapak tangannya. Senjapun semakin la ma menjadi se makin gelap. Seperti perut Buntal yang menjadi se makin lapar. Sekali-kali Buntal menarik nafas dalam-da la m. Udara yang segar terhisap masuk ke dadanya. Namun dada itu masih juga tetap gelisah dan ce mas. Dengan demikian Buntal tidak segera dapat tertidur. Berbagai maca m perasaan bergulat di dala m dirinya. Cemas, gelisah, takut dan juga lapar dan penat. Bahkan ia menjadi cemas pula apabila tiba-tiba saja pemilik gubug itu datang di ma la m hari untuk menengok sawahnya "Mudah-mudahan t idak ma la m ini" desisnya "mudahmudahan ia t idak me nengok sawahnya ma la m hari"
Namun kegelisahan itu me mbuatnya tidak segera dapat me meja mkan matanya, apalagi karena perutnya terasa menjadi se makin lapar. Namun oleh kepenatan yang sangat, kantuk yang tidak terlawan dan udara yang segar, akhirnya membuat Buntal terlena diatas gubug itu. Anak itu tidak menyadari, berapa lamanya ia tertidur diatas gubug itu. Na mun ia terkejut ketika terasa olehnya sinar matahari mulai menggigit kakinya. Dengan tergesa-gesa Buntal bangkit. "O, matahari telah tinggi" Sejenak ke mudian Buntal telah duduk di gubug itu sa mbil me mperhatikan keadaan di sekitarnya. Beberapa orang dilihatnya telah bekerja di sawahnya. Beberapa yang lain sedang menyelusuri parit yang mengalirkan a ir yang bening. "Aku harus segera pergi" desisnya "ka lau yang me mpunyai gubug ini datang, aku akan mengejutkannya dan mungkin aku disangkanya telah berbuat sesuatu yang merugikannya" Tetapi selagi Buntal me mbenahi dirinya, ia merasa gubug itu terguncang, sehingga karena itu maka dadanya segera menjadi berdebaran. Ia sadar, bahwa seseorang pasti sedang naik keatas gubug itu. Belum lagi ia se mpat berbuat sesuatu, tiba-tiba sebuah kepala telah menjenguk dari ba lik alas gubug itu. Seorang gadis kecil yang sa ma se kali tidak menyangka, bahwa ada seseorang diatas gubugnya, sedang memanjat naik untuk menyimpan bakulnya diatas gubug itu. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat seorang anak muda yang belum dikenalnya di da la m gubugnya itu. Karena itu, betapa ia terperanjat. Sejenak ia membe ku, namun ke mudian iapun segera me luncur turun. Tetapi karena
ia terlampau tergesa-gesa, maka iapun terperosek diantara mata tangga dan jatuh diatas tanah yang basah. Tanpa sesadarnya gadis kecil itu menjerit. Ke mudian tubuhnya terbanting ke dala m lumpur yang kotor. Jerit gadis kecil itu ternyata telah mengejutkan beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu. Bahkan Buntalpun terkejut pula. Dengan serta-merta ia menjengukkan kepalanya dan dilihatnya gadis itu sedang bergulat untuk bangkit dari lumpur yang licin. Buntal tidak berpikir apapun lagi. lapun segera turun dengan tergesa-gesa dan berusaha menolong gadis yang berlumuran tanah yang kotor itu. Sesaat kemudian beberapa orangpun datang berlari-lari ke gubug itu. Yang mereka lihat, Buntal sedang menarik gadis itu dan mencoba me mbantunya berdiri. Sedang tubuh gadis itu sendiri tiba-tiba menjadi le mas seperti tidak bertenaga. Karena terkejut yang amat sangat, maka gadis kecil itu menjadi pingsan karenanya. "He, apakah yang kau lakukan atas anak itu?" bentak seorang yang bertubuh pendek, tetapi sekuat kerbau jantan, yang ternyata dari urat-uratnya yang menonjol di permukaan kulitnya. "Aku tidak berbuat apa-apa" jawab Buntal ketakutan "Lepaskan" teriak seorang ana k muda. "Tetapi, tetapi...."
"Lepaskan" teriak yang lain. Tetapi Buntal tidak segera melepaskannya. "He, kenapa kau tidak mau me lepaskan?" "Ia le mas. Le mas se kali" suara Buntal tergagap "kalau aku lepaskan ia akan terjatuh" Sejenak orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan. Kemudian dua orang anak muda me loncat maju dan merenggut tubuh gadis itu dari tangan Buntal. Ternyata bahwa gadis itu benar-benar telah le mas dan jatuh pingsan. "Bawa dia menepi. Bersihkan tubuhnya dari lumpur" Gadis itupun ke mudian dipapah oleh dua orang anak-anak muda yang ke mudian meletakkannya di pe matang. Dengan selendangnya, wajah gadis yang berlumuran lumpur itupun ke mudian dibersihkannya. "Ayahnya belum datang?" bertanya seseorang. "Belum, la datang seorang diri" Kini se mua mata tertuju kepada Buntal. Orang yang bertubuh pendek dan berotot menonjol melangkah maju sambil menggera m "Apa yang kau lakukan he?" Buntal menjadi se makin ketakutan. Ia menyesal bahwa ia telah terbangun kesiangan, sehingga ia harus menga la mi perlakuan yang mendebarkan itu. "Kau apakan anak itu he?" "Aku, aku tida k apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa" " Bohong" sahut seorang anak muda yang bertubuh tinggi "mungkin kau ingin berbuat jahat. Apapun yang akan kau lakukan. Mungkin kau me lihat gadis itu me makai perhiasan.
Atau kau me mang akan berbuat jahat kepada gadis itu sendiri" "Tida k, aku tidak berbuat apa. Aku semala m me mang tidur di gubug itu. Mungkin ia terkejut me lihat a ku" "Jangan mengada-ada. Dan kenapa kau berada di gubug itu" Siapa kau dan dimana rumahmu?" Buntal menjadi se makin kebingungan. Ingin ia menyebut nama pa man dan bibinya. Tetapi jika de mikian, dan persoalan yang tidak diharapkannya ini menjadi persoalan yang berkepanjangan, maka pa man dan bibinya akan tersangkut pula. Padahal mereka sudah selalu dala m kesulitan untuk hidup mereka sehari-hari. Kalau mere ka harus berbuat sesuatu untuk dirinya, maka hidup merekapun akan se ma kin terbengkelai. "Siapa kau he?" seorang yang bertubuh t inggi me mbentak. "Na maku Buntal" jawabnya. Suaranya sudah menjadi gemetar. "Buntal, Buntal. Dima na rumahmu he?" Buntal ragu-ragu sejenak. "Dima na?" t iga orang berbareng me mbentak. Suara Buntal menjadi se makin ge metar. Jawabnya "Aku anak yatim piatu" "He?" "Aku yatim piatu" "Bohong. Bohong. Dimana rumahmu. Meskipun seandainya kau yatim piatu, namun kau pasti me mpunyai tempat tinggal" Buntal menjadi se makin bingung. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak me nyeret paman dan bibinya yang sudah terlampau sulit itu untuk mendapatkan kesulitan-kesulitan baru. Karena itu, maka ia ingin menunjukkan rumah yang
sudah la ma dit inggalkan, setelah ayahnya meninggal. Dan rumah itu sa ma sekali bukan rumahnya karena ia t inggal di pengengeran sekeluarga. "Dima na, dimana he" Apakah kau menjadi bisu" bentak orang-orang yang marah itu. "Aku, aku tidak me mpunyai rumah karena ayahku hanya seorang pelayan. Seorang abdi" "Dima na" "Surakarta" "Surakarta" Yang kau maksud kau tinggal di dala m kota Surakarta?" "Ya" "O, jadi kau anak orang kota" Tetapi kau sa ma sekali t idak tahu adat?" "Bukan, aku bukan orang kota. Ayah sekedar seorang abdi dari seorang bangsawan. Ayah adalah seorang juru pangangsu yang dahulu datang dari padesan juga" "Dima na ayahmu sekarang?" "Meninggal. Ayah sudah meninggal" "Dan kau?" "Aku diusir dari ruma h bangsawan itu" "Pantas. Pantas. Kau pasti berbuat tidak senonoh di rumah bangsawan itu. Kau pasti berbuat iahat seperti yang baru saja kau la kukan" "Tida k. Aku tidak berbuat apa-apa. Tetapi bangsawanbangsawan me mang terla mpau keja m sekarang" "Omong kosong. Kau pasti yang jahat" "Tida k. Aku tidak jahat. Sejak rumah itu sering dikunjungi kumpe mi, Raden Tumenggung Gagak Barong telah berubah"
"Kumpeni?" "Ya" "Omong kosong. Kau me mang seorang yang pandai berbohong. Sekarang kau masih mencoba berbohong, meskipun ka mi dapat me lihat sendiri apa yang sudah kau lakukan" "Aku tida k! berbuat apa-apa" Tiba-tiba seorang anak muda yang bermata setajam burung hantu maju kedepan. Dengan serta merta anak muda itu menerka m baju Buntal yang sudah kusut. Sambil menarik ia menggera m "Berkatalah berterus terang. Siapa kau sebenarnya, dan kenapa kau berada disini?" "Aku sudah mengatakan se muanya" "Bohong. Bohong" anak muda itu mulai me ngguncangguncang baju Buntal. Buntal menjadi se makin ge metar. Apalagi ketika dilihatnya beberapa orang maju mendekat dengan pandangan mata yang seakan-akan langsung menusuk jantung. "Ayo, berkatalah sebenarnya" orang lain berteriak. Dan Buntal menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba seseorang telah meloncat maju dan langsung menggengga m rambutnya. "Kalau kau berbohong sekali lagi, aku pukul mulut mu" Buntal benar-benar telah kehilangan akal. Tubuhnya menggigil seperti semala m suntuk terendam air. Wajahnya menjadi pucat seperti kapas. "Jawab. Apa yang sudah kau lakukan?" Mulut Buntal terdengar. bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak
"Jawab pertanyaanku" Buntal masih belum dapat mengucapkan kata-kata, sehingga orang-orang itu menjadi se makin marah. Kepala Buntal terputar ketika sebuah telapak tangan menampar pipinya. "Ayo bilang. Bilang bahwa kau telah mengganggu gadis, kecil itu diatas gubug. Untunglah bahwa ia justru terlempar dan sempat menjerit" "Tida k. Tida k" hanya itulah yang dapat diucapksn oleh Buntal karena tangan yang lain telah me mukul dagunya. Alangkah sakitnya. Dan alangkah sakit hatinya. Ia sama sekali tidak dapat melawan. Ketika ra mbut dan bajunya dilepaskan dan sebuah tangan lagi memukul pipinya. Buntal benar-benar telah terlempar dan terbanting jatuh diatas pematang, namun iapun ke mudian terguling ke dala m lumpur. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri. Namun ia tidak sempat tegak karena sebuah tendangan mengenai la mbungnya, dan mendorongnya seka li lagi jatuh ke dala m lumpur. "Bawa saja kepada Ki Jagabaya" berkata salah seorang dari mereka. "Pukuli saja disini. Di dala m keadaan seperti ini, orangorang gila pantas dibunuh saja" "O, jangan, jangan" teriak Buntal. "Kau sudah berani berbuat gila, kau me mpertanggung jawabkannya. Kenapa kau takut?" harus
"Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa" hanya kata-kata itulah yang dapat diucapkan oleh Buntal. Ia tidak dapat menemukan kalimat-kalimat yang la in di dala m keadaannya itu. Tetapi orang-orang itu tidak menghiraukannya lagi. Beberapa orang segera menariknya ke pe matang. Ke mudian
Buntal diseret seperti seonggok batang pisang kejalan di tengah-tengah sawah itu. Sejenak ke mudian wajahnya telah dihujani dengan pukulan-pukulan dan bahkan beberapa orang telah me ludahinya. Kepala Buntal segera menjadi pening. Kepalanya serasa menjadi retak dan pandangannya berkunang-kunang. Tetapi ia masih mendengar setiap orang me maki-makinya. "Gadis itu masih pingsan" terdengar seseorang berkata "bunuh saja anak jahanam itu. Ia me mbuat pedukuhan ini ternoda" "Ya bunuh, bunuh saja" Buntal tidak berdaya sama seka li untuk melakukan pembelaan. Sekilas terlintas di kepalanya, kenangan atas perjalanannya yang panjang sehingga ia sampai ke tempat ini. Dan terlintas pula di kepalanya, perjalanan yang seakan-akan telah terbentang di hadapannya. Jalan yang jauh lebih panjang dari ja lan yang baru saja dila luinya itu. "Aku akaa menyeberangi langit" katanya di dala m hati. Dan sesaat kemudian Buntal itu menjadi pingsan, la tidak merasakan lagi pukulan-pukulan yang bertubi-tubi mengenainya. Dengan lemahnya ia terkapar di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Dala m pada itu, selagi Buntal masih mengala mi hukuman yang sama sekali t idak diduganya, seorang tua berlari-lari diikuti oleh seorang ana k muda yang sebaya dengan Buntal menuju ke pematang. Orang tua itu adalah ayah dari gadis yang pingsan itu. Seseorang telah me mberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi di sawah. Ketika ia sampa i disisi anak gadisnya, segera ia berlutut. Diraba-rabanya tubuh anaknya, kemudian dipijit-pijitnya tengkuknya. Tetapi wajahnya tampak menjadi agak cerah
ketika ia mendengar anaknya itu merengek seperti dimasa kanak-kanaknya. "Arum" desis orang tua itu "kenapa kau?" Arum, gadis itu, me mbuka matanya. Dilihatnya ayahnya berjongkok di sampingnya. "Apakah yang terjadi?" Arum masih biugung sejenak. Na mun ke mudian ditolong oleh ayahnya ia mengangkat kepalanya. Sejenak ia me ncoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan, namun semakin la ma menjadi sema kin jelas. Dan tiba-tiba saja ia berkata kepada ayahnya "Aku terjatuh ayah. Aku terkejut sekali" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Dan tiba-tiba pula anaknya itu me mandang ke ja lan yang me mbujur diantara tanah persawahan. "Apa yang terjadi disana ayah?" ia bertanya sambil menunjuk orang-orang yang berkerumun sa mbil me nyepaknyepak. "Anak itu. Anak yang barangkali sudah berbuat jahat kepadamu" "Kenapa dengan anak itu?" "Orang-orang telah menganggapnya bersalah. Mereka me mukuli ana k itu" "Tida k ayah. Anak itu tidak berbuat apa-apa. Aku hanya terkejut dan aku terjatuh ketika aku meluncur turun, la berada diatas gubug, sedang aku baru saja naik keatas. Dan aku masih berdiri di tangga" "Aku sudah minta anak mas Juwiring untuk mencegahnya" Arum ke mudian duduk bersandar kedua tangannya. Kepalanya masih terasa pening. Namun ia menjadi ce mas,
apabila terjadi sesuatu atas anak yang dilihatnya duduk diatas gubugnya. Dala m pada itu, Juwiring telah berdiri ditengah-tengah lingkaran orang-orang yang mengerumuni Buntal yang terbaring di tanah. Sejenak ia masih me lihat beberapa pasang kaki menyepaknyepak tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Namun katika anak muda yang bernama Juwiring itu berdiri diantara mereka sambil me ma ndang berke liling, ma ka tiba-tiba saja orangorang yang berkerumun itu bergeser surut. "Kenapa dengan anak ini pa man?" bertanya Juwiring, Meskipun umurnya belum sa mpa i tujuh belas tahun, tetapi terasa wibawa yang besar me mancar dari nada kata-katanya. Tidak seorangpun yang segera menyahut. Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mulut mereka masih tetap terkatup rapat-rapat. Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia me mbungkukkan badannya dan meraba tubuh Buntal, ia berdesis "Pingsan. Anak ini telah, pingsan" Tiba-tiba mata Juwiring menjadi tajam me mandang setiap wajah yang ada di sekelilingnya. Satu-satu wajah itu tertunduk le mah. "Apakah salah anak ini?" seka li lagi ia bertanya. Tetapi tidak ada yang segera menjawab, sehingga akhirnya Juwiring maju selangkah mendekati orang yang bertubuh pendek kekar dan berotot seperti jalur-jalur pohon mera mbat di seluruh tubuhnya. "Paman" bertanya Juwring "apakah salah anak itu?" Orang itu tergagap sejenak. Namun karena tatapan mata Juwiring bagaikan menusuk jantungnya, akhirnya ia menjawab "Anak ini telah mengganggu Arum diatas gubugnya"
"O" Juwiring mengerutkan dahinya. Sekali ia berpaling, namun Buntal masih terbaring dia m. "Apakah yang sudah dilakukannya" Apakah ia mera mpas barang-barang milik Arum, ataukah ia berbuat lain?" Orang bertubuh kekar itu menjadi se makin bingung. Namun ke mudian ia menjawab "Ka mi hanya mendengar Arum menjerit. Dan ka mi datang berlari-larian. Ka mi melihat ke mudian anak itu sedang me meluk Arum yang le mah dan kotor" "Diatas gubug?" Orang itu mengge leng "Tida k. Di dala m lumpur" "Kalian yakin bahwa anak ini berbuat jahat?" Tidak seorangpun yang menjawabnya. "Kalian yakin bahwa ana k ini akan berbuat jahat terhadapi Arum?" "Ya?" "Begitu?" Masih be lum ada seorangpun yang menjawab. "Bagaimana kalau Arum terpekik karena ia terjatuh, dan ke mudian anak ini justru menolongnya dari lumpur?" Orang-orang itu masih terdia m. "Atau, apabila kalian yakin bahwa anak ini bersalah, akupun tidak berkeberatan anak ini dihukum. Apalagi kalau ia langsung akan berbuat jahat kepada Arum itu sendiri" anak muda itu terdia m sejenak sambil me mandang berkeliling, lalu selangkah ia bergeser mende kati orang yang tinggi "Kau juga yakin ia bersalah?" Orang tinggi itu menundukkan kepalanya, sementara Juwiring bergeser lagi. Seorang de mi seorang didekatinya dan
dengan nada datar bertanya kepadanya, apakah anak itu me mang bersalah. Tetapi setiap kepala tertunduk karenanya. "Baiklah. Kalian tida k ada yang menjawab dengan tegas, letapi karena kalian telah bertinda k, ma ka kalianpun pasti sudah meyakini kesalahannya. Karena itu, akupun akan ikut serta me mutuskan bahwa anak ini bersalah, karena ia telah berbuat jahat kepada Arum" Juwiring berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia melangkah mendekati seseorang yang berdiri di pa ling bela kang. Tanpa berkata apapun juga, orang itu diputarnya. Kemudian dia mbilnya sebuah sabit yang terselip dipunggungnya. Semua mata me mandang Juwiring dengan tegangnya. Apalagi ketika setapak demi setapak ia maju mendekati Buntal yang masih pingsan. "Agaknya kalian telah berkeputusan untuk me mbunuhnya. Sekarang, biarlah aku yang mela kukannya. Kalau kalian yakin anak ini bersalah, akupun yakin pula, sehingga pantaslah apabila ia dihukum mati" Sekali lagi Juwiring me ma ndang berkeliling. Karena tidak seorangpun yang menyahut, maka iapun melangkah maju. Dengan kaki renggang ia berdiri disisi Buntal yang terbaring di tanah. Setelah me mandang wajah anak yang pingsan itu sejenak, maka katanya "Aku akan me mbunuhnya. Aku akan me mbelah perutnya karena ia sudah berbuat jahat" Tetapi ketika Juwiring berjongkok di sa mping tubuh Buntal yang pingsan, tiba-tiba seorang yang berkumis keputihputihan berkata terbata-bata "Tetapi, tetapi kami belum yakin bahwa ia me mang bersalah" Juwiring mengangkat wajahnya. Dipandanginya orang yang berkumis putih itu. Bahkan ke mudian anak muda itupun berdiri dan me langkah mendekatinya "Kau pa man Dipa.
Sepengetahuanku, me mbunuh t ikuspun kau tidak ma u. Tetapi agaknya kau ikut serta menyakiti anak ini?" Orang berkumis putih dan bernama Dipa itu terdia m. Sekali ia menelan ludahnya. Na mun tidak sepatah kata lagi yang me luncur dari mulutnya. "Jadi bagaimana?" Juwiring bertanya. Karena tidak ada yaug menjawab, Juwiring me nepuk pundak seseorang "Apakah sebaiknya aku me mbunuhnya?" Orang itu menjadi tegang. Namun ke mudian ia berkala gemetar "Tidak. Tidak. Akupun tidak meyakini kesalahannya" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia me mandang seorang yang berwajah pucat, tanpa ditanya apapun orang itu berkata "Ya. Kami belum pasti, bahwa ia pantas dihukum, apalagi dibunuh" Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika sekali lagi ia me mandang setiap wajah, maka setiap wajah itupun menjadi se makin tunduk ke tanah. "Nah, ternyata kalian telah melakukan sesuatu dengan tergesa gesa. Setelah anak ini pingsan, dan bahkan hampir mati, barulah ka lian menyadari, bahwa kalian tida k berbuat atas dasar keyakinan. Seorang diantara kalian berteriak bahwa anak ini bersalah, ma ka kalian tida k se mpat lagi berpikir. Seperti kehilangan diri, kalian berebutan menjatuhkan hukuman atas anak ini. Dipa, Naya, Angga yang aku kenal sebagai orang-orang yang ramah dan baik hati, di dalaM keadaan tanpa sadar, telah mela kukan perbuatan ini" Kepala-kepala itupun menjadi sema kin tunduk lagi. Kalau saja mungkin, mereka akan berlari dan menyembunyikan wajah-wajah yang serasa menjadi panas. Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahanlahan ia mendekati Buntal. Dan Buntal agaknya masih juga pingsan.
"Panggil Kiai Danatirta itu" berkata Juwiring ke mudian. Dipa yang paling gemetar, segera berdiri dan berjalan tertatih-tatih di pematang, pergi ke tempat Kiai Danatirta menunggui anaknya Arum. "Kia i, Raden Juwiring me manggil Kiai" "O, baiklah. Duduklah disini Arum" "Aku ikut ayah" "Kau masih terla mpau le mah" "Tida k. Aku sudah baik" Kiai Danatirta me mandang anaknya ke mudian katanya "Marilah" sejenak. Namun
Kiai Danatirtapun ke mudian me mbimbing ana knya di sepanjang pematang pergi me ndapatkan Juwiring yang masih berdiri ditengah-tengah kerumunan orang-orang yang kebingungan itu. "Kia i" berkata Juwiring ke mudian "anak ini pingsan" "O" Arumlah yang menyahut "Kenapa" Kenapa ia pingsan, Raden?" "Bertanyalah kepada orang-orang ini" Arum me mandang orang-orang yang berdiri me mbe ku itu. Kemudian perlahan-lahan ia me langkah maju bersama ayahnya, Kiai Danatirta, mendekati Buntal yang pingsan. "Ayah" Arum ha mpir me mekik "wajahnya merah biru" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Perlahan-lahan ia berdesis "Apakah anak ini pantas mendapat hukuman yang begini berat?" "Ia tidak bersalah" berkata Arum ke mudian.
Dan ternyata kata-kata Arum itu bagaikan menyengat setiap hati yang me mbeku di sekitar Buntal yang pingsan itu. "Ambillah a ir" desis Kiai Danatirta. Seseorangpun ke mudian me nga mbil air dengan sehelai daun yang disobeknya pada sebatang pohon pisang yang tumbuh di pinggir parit. Setitik de mi setitik, Kia i Danatirta meneteskan air di mulut Buntal. Sambil me mijit-mijit bagian tubuhnya yang lain, Kiai Danatirta berusaha me mbangunkan Buntal yang pingsan itu. Sejenak kemudian terdengar anak itu merintih. Semakin la ma semakin keras. Bahkan kemudian terdengar ia mengaduh. "Ia telah sadar" desis Kiai Danatirta. Juwiringpun ke mudian berjongkok pula di sampingnya. Ditatapnya wajah yang biru pengab itu dengan dada yang berdebar-debar. Juwiring menyadari, betapa sakitnya wajah itu, dan bahkan se luruh tubuhnya. "Terlalu" Juwiring berdesis "mudah-mudahan anak ini berjiwa besar" Ketika sebuah pedati lewat di jalan persawahan itu, maka Juwiringpun segera menghentikannya. Dengan sangat ia minta agar pemiliknya bersedia menolong me mbawa Buntal ke rumah. Ke rumah Kia i Danatirta. Ternyata pemilik pedati itu tidak berkeberatan. Dengan senang hati ia me menuhi permintaan Juwiring dan Kiai Danatirta itu. Perlahan-lahan tubuh Buntal itu diangkat dan dibaringkan di dala m pedati. Setiap kali terdengar ia me ngaduh. Na mun matanya masih terpejam, dan kesadarannya masih belum pulih sa ma sekali.
Ketika Buntal perlahan-lahan me mbuka matanya, tampaklah atap rumah yang sa mar-sa mar. Semakin la ma menjadi sema kin jelas. Kemudian dilihatnya wajah-wajah yang cemas di sisinya. Wajah yang belum pernah dilihatnya. Namun ketika ia mencoba menggerakkan tubuhnya, terasa seakan-akan seluruh tulang belulangnya berpatahan. Alangkah sakitnya, sehingga tanpa sesadarnya iapun mengaduh tertahan-tahan. "Jangan bergerak dahulu. Tubuhmu masih terla mpau le mah. Bahkan mungkin terlampau sakit. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia masih harus selalu menyeringai apabila rasa sakit mulai menusuk kulitnya. "Apakah kau haus?" Buntal me mandang orang yang bertanya kepadanya. Seorang yang sudah me manjat ke pertengahan abad. Sedang seorang lagi ada lah seorang anak muda yang sebaya dengan dirinya. Seandainya ada selisih umur, maka selisih itu tidak lebih dari saru atau dua tahun. "Dima nakah aku ini?" desis Buntal ha mpir tida k terdengar. "Kau berada di rumahku, di rumah Kiai Danatirta. Dan anak muda ini adalah Raden Juwiring" Buntal menarik nafas dala m-dala m, seakan-akan ia mencoba mengurangi perasaan sakit yang menusuk-nusuk. "Tenangkan hatimu" berkata Juwiring "Kau akan dirawat dengan baik disini" Buntal me mandang Juwiring dengan heran. Tetapi ia tidak segera bertanya apapun juga. Namun sejenak kemudian Buntal terkejut ketika ia melihat seorang gadis yang me masuki bilik itu sa mbil me mbawa sebuah belanga kecil. Gadis itulah yang dilihatnya me manjat tangga gubug dan ke mudian jatuh ke dala m lumpur.
Karena itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Dipandanginya gadis itu seperti me mandang hantu. Bahkan ke mudian terloncat kata-katanya "Aku tida k bermaksud apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa terhadapnya" "Kia i Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya le mbut "Ya. kau me mang tidak berbuat apa-apa" Buntal heran mendengar jawaban itu. Karena itu iapun justru terdiam sejenak. "Arum" berkata Kiai Danatirta "letakkan belanga itu disini" Gadis itupun ke mudian meletakkan belanga kecil itu di lantai di dekat pembaringan Buntal. Sejenak ia me mandang anak yang terbaring kesakitan itu dengan pandangan iba. Bahkan tanpa sesadarnya ia bertanya "Kau sakit?" Buntal menjadi bingung, bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu, ia terdia m me mbeku. Arum yang berdiri termangu-mangu itupun ke mudian menundukkan wajahnya. Sebelum ia mendengar jawaban Buntal, ia telah pergi me ningga lkan bilik itu. "Ia adalah anakku" berkata Kiai Danatirta. "O" Buntal menjadi berta mbah ce mas "Tetapi aku tidak berniat berbuat apa-apa" "Ya, ya. Aku percaya kepadamu. Kau tidak berbuat apaapa. Anakku, Arum, juga berkata bahwa kau tidak berbuat apa-apa" "O" Buntal mengerutkan keningnya. "Siapa na ma mu?" bertanya Juwiring ke mudian.
Buntal me mandang anak muda itu sejenak, lalu jawabnya "Buntal. Na ma ku Buntal" "Buntal" ulang Juwiring "dimana rumahmu?" Buntal menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak me mpunyai rumah. Aku t idak me mpunyai ayah dan ibu lagi" "Yatim piatu?" "Ya" "Tetapi kenapa kau berada di gubug itu. sehingga Arum terkejut karenanya?" "Aku berjalan menuruti langkah kakiku. ke mala man, aku berma la m di gubug itu" Ketika aku
Kiai Danatirta yang ikut mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang mempunyai pandangan yang luas tentang hidup dan kehidupan, ia melihat kejujuran di wajah Buntal. Karena itu ma ka ia sa ma seka li tidak berprasangka apapun kepada anak yang kesakitan itu. "Aku akan mencoba mengobati badanmu yang merah biru" berkata Kiai Danatirta. Buntal me mandangnya dengan penuh keheranan. Ia me lihat wajah kedua orang yang menungguinya itu bagaikan titik-titik e mbun di hatinya yang gersang. "Bergeserlah sedikit ke mudian. menepi" berkata orang tua itu
Buntal mencoba bergeser sedikit. Tetapi terasa seluruh tubuhnya menjadi sakit, seolah-olah tulang-tulangnya telah menusuk-nusuk kulit dan dagingnya. Na mun ditahankannya perasaan itu sekuat-kuatnya. Meskipun ia menyeringai, tetapi ia kini tidak mengeluh lagi. "Tolong anak mas" berkata Danatirta kepada Juwiring "peganglah be langa ini"
Juwiringpun ke mudian me megang belanga yang berisi cairan yang berwarna coklat kehita m-hita man, se mentara Kiai Danatirta mulai mengendorkan seluruh pakaian Buntal. Dengan le mbut Kiai Danatirta mula i mengusap seluruh bagian badan Buntal dengan cairan itu. Cairan yang terasa hangat di tubuh yang biru pengab. "Dengan de mikian tubuhmu tidak a kan me mbengkak Buntal" desis Kiai Danatirta. Buntal tidak menyahut. Namun tiba-tiba terasa getarangetaran yang aneh mengusik hatinya. Sentuhan tangan yang le mbut itu telah menumbuhkan sebuah kenangan di hati Buntal. Kenangan kepada ayah dan ibunya yang telah mendahuluinya. Ia masih teringat se masa kanak-kanak, apabila ia terjatuh dan terkilir, ibunya selalu mengusapnya dengan pipisan beras kencur. Di sore hari setelah mandi, menje lang tidur. Meskipun ayah dan ibunya orang yang miskin, tetapi mereka berusaha sejauh-jauh dapat mereka lakukan, untuk me mbuat Buntal menjadi seorang anak yang baik. Yang me me liharanya dengan penuh kasih sayang. Dari ucapan tangan Kiai Danatirta itu ternyata telah mengungkat kenangan itu. Terbayang kembali di rongga matanya, ibunya duduk di bibir pe mbaringannya, sedang ayahnya berjalan mondar mandir dengan tangan bersilang di dadanya, apabila ia menjadi sa kit. Bahkan kadang-kadang ia me lihat titik a ir mata di sudut mata ibunya yang redup. Tiba-tiba perasaan haru yang sangat melonjak djdasar hatinya. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun setitik air mata telah menge mbun di pelupuknya, bahkan ke mudian menga lir di pipinya yang pengap. Juwiring melihat air mata yang meleleh itu. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya "Apakah tubuhnya justru menjadi sakit sekali?"
Pertanyaan itu mengejutkan Buntal. Dengan sisa tenaganya ia mengangkat tangannya dan mengusap matanya. "Tida k" jawabnya "tubuhku merasa se makin baik" "Tetapi kenapa kau justru menangis" Selagi kau dipukuli dan pingsan di pinggir ja lan, aku tidak melihat matamu menjadi basah. Tetapi kini justru kau mulai menit ikkan air mata" Buntal mencoba mengge lengkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan "Tida k. Aku tida k menangis" Juwiring menarik nafas dalam-da la m. Ia tidak bertanya lagi meskipun ia merasakan sesuatu yang menyentuh perasaan anak itu, meskipun ana k itu tidak mau mengatakannya. Apalagi ketika Ke mudian Kia i Danatirta berkata "Sudahlah Buntal. Tenangkan hatimu. Cobalah untuk tidur agar tubuhmu menjadi segar" Na mun t iba-tiba "Apakah kau sudah makan?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengetuk hati Buntal, sehingga betapa ia bertahan, tetapi tilik air matanya menjadi semakin deras menga lir di pipinya. Kiai Danatirta ternyata ma mpu me mbaca perasaan anak itu, sehingga ia berkata kepada Juwiring "Tungguilah anak ini anak mas. Aku akan pergi ke bela kang sebentar" Juwiring menganggukkan kepalanya. Namun ia mengerti juga apa yang akan dilakukan oleh Kiai Danatirta. Agaknya anak ini me mang belum ma kan. Sejenak ke mudian seorang gadis masuk, ke dala m bilik itu. Tampaknya ia sudah menjadi sehat benar, seolah-olah tidak ada lagi bekasnya, bahwa ia baru saja terjatuh dan pingsan karenanya. "Minuman hangat" desisnya sa mbil me letakkan sebuah mangkuk berisi air jahe yang panas dengan segumpa l gula kelapa diatas sebuah nampan kayu. Sejenak ia berdiri
me mandang wajah Buntal yang biru pengab. Sepercik penyesalan me mbayang di wajah Arum. "Kalau aku tidak berteriak" katanya di dalam hati "orang-orang itu tidak akan berbuat apa-apa atasnya" namun lalu "Tetapi aku sa ma sekali t idak sengaja. Aku terkejut se kali" Tetapi Arum tida k mengucapkan kata-kata lagi. Iapun me langkah keluar dari bilik itu. Seorang pembantu telah menyediakan makan nasi hangat buat Buntal setelah Kiai Danatirta me mberitahukan bahwa anak itu perlu makan. Dan Arumlah yang me mbawa ma kanan itu masuk ke biliknya. "Makanlah" berkata Juwiring selelah makanan itu tersedia. Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ia bertahan sekuatkuatnya agar perasaannya tidak meledak. Diusapnya air matanya yang me mbasah. "Makanlah" Juwiring "Aku belum ma kan" kira ulang kau
Buntal menganggukangguk perlahan. "O" desis Juwiring "Kau belum dapat bangkit sendiri" Marilah, aku tolong kau bangun" Juwiringpiin ke mudian menolong Buntal untuk bangkit dan duduk di pembaringan. Tubuhnya yang sudah dilumuri dengan param oleh Kiai Danatirta kini merasa agak menjadi segar. "Makanlah" se kali lagi Juwiring me mpersilahkan.
Buntal merasa agak malu juga. Tetapi tiba-tiba terasa perutnya yang lapar meronta, justru ketika hidungnya mulai disentuh, oleh asap nasi hangat dan sepotong ikan air kering. Buntal menelan ludahnya. la bukan saja belum ma kan pagi ini, tetapi ke marin sehari penuh ia juga belum makan. Juwiring bergeser maju. Sambil tersenyum ia bertanya "Kau dapat makan sendiri?" "Ya, ya. Aku dapat makan sendiri" jawab Buntal terbatabata. "Tanganmu tidak sakit?" Buntal menggeraktkan tangannya. Sebenarnya lengannya juga merasa sakit. Tetapi ia menggeleng "Tidak. Lenganku tidak sakit" "Kalau begitu ma kanlah sendiri" Buntal merasa agak malu-ma lu juga. Seandainya perutnya tidak terasa sangat lapar, ia akan berkeberatan makan sendiri di pe mbaringan, seperti seseorang yang kecukupan dan dilayani oleh pe mbantu-pe mbantunya. Tetapi karena perutnya yang mendesak, akhirnya disenduknya juga nasi dari celing ba mbu dengan entong tempurung. Dengan sayur dedaunan yang hijau dan sepotong ikan kering, ma ka ia mula i menyuapi mulutnya yang sakit. Alangkah nikmatnya. Jarang sekali ia sempat makan nasi hangat dengan sepotong ikan air, meskipun ia dapat mencarinya sendiri di sunga i. Apalagi apabila perutnya sedang sangat lapar seperti saat itu, setelah meneguk air jahe dengan gula ke lapa. "Tetapi harganya terlampau mahal" katanya di dala m hati "wajahku harus menjadi biru pengab dan seluruh tubuhku terasa sakit. Untunglah bahwa aku belum mati diinjak-injak"
Demikianlah setelah makan dan minum, tubuh Buntal terasa menjadi se ma kin segar. Kini ia tingga l berjuang me lawan rasa sakit. Tidak lagi melawan rasa lapar pula. Bahkan sejenak ke mudian tanpa disadari, Buntal berbaring sambil me meja mkan matanya. Lambat laun se muanya tidak dapat diingatnya lagi. Tetapi kini ia tidak pingsan. Ketika Buntal telah tertidur nyenyak maka Juwiringpun meninggalkannya sendiri di da la m bilik itu. Sekali Arum menengoknya juga dari ambang pintu, namun kemudian iapun me langkah pergi sa mbil menutup pintu itu. Demikianlah, ma ka semua yang telah terjadi itu, menjadi sebab, bahwa Buntal untuk seterusnya diminta tinggal di rumah Kia i Danatirta. Sebuah padepokan kecil disebuah padukuhan yang subur. Padepokan yang dina mainya Padepokan Jati Aking dide kat padukuhan Jatisari. "Bukankah kau tidak me mpunyai orang tua lagi?" bertanya Kiai Danatirta setelah Buntal dapat berjalan-jalan lagi meskipun kekuatannya belum pulih ke mba li. "Ya Kiai. Aku sudah yatim piatu" "Jika demikian, kau tidak akan menolak seandainya aku minta kau tinggal untuk seterusnya di padepokan ini" Terasa sesuatu melonjak di hati Buntal. Ia tidak menyangka bahwa ia akan terdampar pada suatu tempat yang terla mpau baik buat dirinya, meskipun ia sadar, bahwa untuk seterusnya ia tidak akan diperla kukan seperti pada saat-saat ia masih belum dapat bangkit dan berjalan sendiri. Na mun apapun yang akan dilakukan, tinggal di padepokan yang bersih dan sejuk ini pasti akan sangat menyenangkan. "Aku sudah biasa be kerja keras. Seandainya aku disini harus bekerja keras, maka aku tidak a kan berkeberatan. Tetapi padepokan ini rasa-rasanya me miliki kesejukan yang tenang" Buntal berguma m di da la m hatinya.
"Bagaimana me nurut pendapat mu?" Buntal menundukkan kepalanya. Namun terdengar ia menjawab lirih "Aku senang sekali Kia i, apabila aku diperkenankan tingga l disini. Aku me mang tidak me mpunyai lagi te mpat untuk menompangkan diri" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu "Jadi, kemanakah sebenarnya tujuanmu ketika kau bermala m di gubug itu sehingga kau me ngala mi nasib kurang baik?" "Aku me mang tidak me mpunyai tujuan Kiai. Aku berjalan saja menurut langkah ka kiku" Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. dimintanya Buntal berceritera tentang dirinya. Kemudian
Dengan singkat Buntal mengisahkan riwayatnya. Tetapi ia masih tetap mela mpaui na ma-na ma pa man dan bibinya. Ia tidak ingin me nyangkutkan kedua orang itu bersa ma anakanaknya pada persoalan apapun juga agar mereka tidak semakin terlibat dala m kesulitan. "Jadi ayah dan ibumu me njadi abdi Katumenggungan?" "Ya Kiai, Tumenggung Gagak Barong" "Tumenggung Gagak Barong. Aku pernah mengenal na ma itu. Tetapi apakah ia sekarang berhubungan dengan orangorang asing yang mulai banyak berkeliaran di Sura karta?" Buntal mengangguk le mah. Kiai Danatirta me mandang Buntal dengan tatapan mata iba. Seandainya anak itu tidak mendapatkan te mpat yang baik, maka hari depannya pasti akan menjadi sangat sura m. Banyak sekali didengarnya ceritera tentang anak-anak yang tersesat masuk ke dala m lingkungan orang-orang jahat. Anak yang sebenarnya mempunyai bekal yang baik jasmaniah dan rohaniah, namun karena ia berada di lingkungan yang hitam, akhirnya hati merekapun menjadi hitam pula.
Dan kini, selain para penjahat yang berhati kelam, maka Surakarta menghadapi persoalan baru. Persoalan orang-orang yang berhati hita m tetapi berkulit putih. Orang-orang yang bukan saja membentuk kelompok-ke lompok kecil yang mera mpok orang-orang kaya, tetapi orang berhati hitam dan berkulit put ih itu telah me mbentuk suatu kelompok raksasa yang merampok bukan saja orang-orang kaya, tetapi juga orang-orang miskin. "Buntal" berkata Kiai Danatirta kemudian "Kalau kau me mang t idak berkeberatan, baiklah. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan disini. Setiap orang di padepokan ini harus bekerja sesuai dengan tugas masingmasing. Semua harus bekerja keras. Hanya dengan bekerja keras kita dapat mencukupi kebutuhan kita" "Ya Kiai. Aku akan berusaha bekerja apa saja yang harus aku kerjakan" "Bagus. Kalau kau me mang sudah berbeka l tekad di hatimu, maka kau pasti akan dapat melakukannya. Kau akan menjadi kawan Raden Juwiring" Buntal mengangguk-angguk kecil. Sejak ia melihat untuk pertama kalinya, ia agak tertarik pada bentuk dan ujud jasmaniah Raden Juwiring yang agak berbeda dengan ujud anak-anak padesan. Tetapi ia tidak berani menanyakannya hal itu kepada Kiai Danatirta. Tetapi agaknya orang tua itu mengerti pertanyaan yang tersimpan di hati Buntal, sehingga iapun ke mudian berkata "Buntal, Raden Juwiring tida k berasal dari padepokan ini atau padukuhan di sekitar padepokan ini. Ia berasal dari kota, dan bahkan ia adalah anak seorang bangsawan. "Bangsawan?" bertanya Buntal. Tiba-tiba saja wajahnya menegang, sehingga Kia i Danatirta melihat perubahan itu dengan jelas. Karena itu Kiai Danatirta me lihat pula sesuatu yang tersirat di dala m hati Buntal.
"Apakah kesanmu tentang seorang bangsawan, Buntal?" Buntal menundukkan kepalanya. Tetapi ia tida k menyahut. "Coba katakan, apa kesanmu tentang seorang bangsawan. Katakan seperti yang sebenarnya tersimpan di dala m hatimu. Raden Juwiring tidak duduk bersa ma kita sekarang, dan aku tidak akan mengatakan apapun kepadanya, apakah kesanmu baik atau buruk" Buntal masih menundukkan kepalanya. "Katakan Kau pasti sudah mengenal Tumenggung Gagak Barong. Kau pasti mengenal keluarganya dan kalau ada, anakanaknya. Apakah kau me mpunyai kesan khusus atau kau menganggapnya bahwa seorang bangsawan tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan?" Buntal masih juga ragu-ragu. Tetapi Kiai Danatirta berkata lebih lanjut "Wajahmu menunjukkan kesan yang lain, Buntal" Buntal tidak dapat ingkar lagi. Karena itu ma ka jawabnya "Ya Kiai. Aku me mang terpengaruh sekali oleh keadaanku selagi aku masih tinggal di Tumenggungan. Pada umumnya seorang bangsawan adalah orang yang keras hati dan menganggap ka mi, orang-orang kebanyakan, sama sekali tidak berarti di dala m tata kehidupan. Mereka dapat berbuat apa saja atas kami. Dan mereka selalu menganggap ka mi bersalah" Kiai Danatirta mengangguk. Buntal mengatakannya dengan hati-hati sekali. "Jadi, apakah kau diperlakukan Katumenggungan, Buntal?" Buntal menganggukkan kepa lanya. "Juga ayahmu?" berusaha seperti untuk itu di
Sekali lagi Buntal mengangguk. Na mun diantara nafasnya yang memburu ia berkata terbata-bata "Terlebih-lebih di saat terakhir" "Dan kau diusirnya" "Ya Kiai" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian ditepuknya bahu Buntal yang menundukkan kepa lanya dalamdalam "Me mang Buntal. Ada bangsawan yang bersikap demikian. Yang merasa dirinya lebih tinggi derajadnya dari kebanyakan orang. Mereka merasa diri mereka keturunan raja-raja yang berkuasa" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi seperti manusia kebanyakan, dimanapun juga dan di dalam lingkungan apapun juga, ada beberapa perkecualian. Diantaranya adalah Juwiring. Raden Juwiring" Buntal mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itupun ke mudian tertunduk ke mbali. "Raden Juwiring adalah seorang anak muda yang baik. Buntal, meskipun ia lahir dari tetesan darah seorang bangsawan. Dan demikianlah agaknya, bahwa kita dilahirkan dalam lingkungan yang berbeda, tetapi tiada berbeda. Sifatsifat yang kemudian melekat pada diri kita masing-masing itulah yang me mbuat kita mene mukan bentuk pribadi kita. Dan sifat-sifat itu dipengaruhi oleh, banyak hal diluar diri kita sendiri, dikehendaki atau tidak dikehendaki" Buntal mengerutkan keningnya. Dengan susah payah ia mencoba menangkap maksud Kiai Danatirta. Namun perlahanlahan ia melihat juga, meskipun sa mar-sa mar, ma ksud dari kata-kata itu. "Karena itu Buntal" berkata Kiai Danatirta selanjutnya "Cobalah untuk mengenal Juwiring sebaik-baiknya tanpa prasangka"
Buntal menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Maaf Kiai. Mungkin a ku terdorong perasaan dan me mpunyai penilaian yang salah terhadap seseorang. Tetapi aku baru saja mengetahui bahwa Raden Juwiring ada lah seorang bangsawan" "Dan kau sudah me mpunyai beka l anggapan tentang seorang bangsawan, meskipun ia bukan Juwiring. Anggapan itulah yang harus kau nilai. Mungkin kau tidak hanya melihat Tumenggung Gagak Barong saja. Mungkin kau mendengar dari kawan-kawanmu, mungkin dari orang lain tentang sifat seorang bangsawan. Dan semuanya itu me mbuat bayanganbayangan yang kelam di dala m hatimu. Namun cobalah, untuk me mandang dengan cara la in atas Raden Juwiring yang kebetulan juga seorang bangsawan" Sekali lagi Buntal mengangguk-angguk. Jawabnya lirih "Ya Kiai. Aku akan mencoba untuk me mandangnya sebagai Raden Juwiring itu sendiri, tanpa pengaruh prasangka yang sudah me mbe kas di dala m hati" Kian Danatirta tersenyum. Ternyata Buntal bukan anak yang terlampau dungu meskipun ia hanya anak seorang abdi. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, se mua unsur manusiawi dapat ditemuinya disetiap kelahiran, di dalam lingkungan yang berbeda tetapi tidak berbeda itu. "Kau sudah berpijak pada alas yang benar Buntal. Raden Juwiring hanya kebetulan saja lahir disela-sela lingkungan bangsawan. Kau harus menilainya sebagai unsur badaniah. Tetapi tidak sebagai unsur rohaniah" Buntal menjadi aga k bingung. Na mun Kiai Danatirta berkata "Kenang sajalah kata-kataku. Kalau kau masih belum jelas sekarang, pada suatu saat kau akan dapat menilainya. Dala m pada itu, sikapmu sendiripun sudah menjadi se ma kin matang"
"Ya Kiai" sahut Buntal. Kepalanya masih tertunduk dan seperti yang dikatakan oleh Kia i Danatirta, sebagian dari persoalan itu baru dapat diingatnya saja di dalam kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat me mecahkannya. "Nah, sejak sekarang kau dapat berbuat sesuatu sebagai seorang kawan yang paling dekat dengan Raden Juwiring, karena di padepokan ini t idak ada orang lain kecua li ka lian berdua, anakku Arum, dan beberapa orang pembantu yang agaknya dunianya sudah tidak sesuai lagi dengan Raden Juwiring, karena mereka pada umumnya sudah berumur jauh lebih tua" Buntal menganggukkan kepalanya "Terima kasih atas kese mpatan ini Kiai" sambil menjawab
"Cobalah menyesuaikan diri, hidup djpadepokan kecil yang sepi ini" Tetapi suasana di padepokan kecil itu ternyata sangat menarik bagi Buntal. Ia merasa jemu hidup di dala m kebisingan rumah Tumenggung Gagak Barong. Derap kuda dan kereta yang hilir mudik. Bentakan-bentakan yang keras dan menyakitkan hati. Kesibukan yang tidak pernah selesai, di dapur, di halaman dan dimana saja. Sejak matahari terbit sampai matahari terbena m setiap orang harus berbuat sesuatu dalam hiruk pikuk yang menje mukan. Menggosok tiang-tiang pendapa yang berukir dan bersungging halus, me mbersihkan lantai yang sudah bersih. Menjatahkan diri dan duduk bersila dimanapun juga mereka bergapasan dengan Raden Tumenggung. Dan segala maca m pekerjaan yang gelisah. Berbeda dengan keadaan di padepokan ini. Bukan berarti bahwa setiap orang di padepokan ini hanya sekedar bermalasma lasan. Tetapi kerja yang dilakukan justru me mbawa ketenteraman di hati. Bekerja di antara dedaunan yang hijau segar. Di dalam silirnya angin dan desir ranting-ranting yang bergerak lembut. Di kejauhan terdengar suara tembang yang
ngelangut dibarengi dengan suara seruling ge mbala rerumputan.
di Demikianlah maka Buntal merasa kerasan tinggal di padepokan itu. Dari hari ke hari ia mulai me ngenal Juwiring lebih dala m. Selain itu juga Arum. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, sebenarnyalah bahwa Juwiring me mpunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda dari kebanyakan bangsawan yang pernah dikena lnya. Raden Juwiring ternyata tidak me mandang orang lain jauh lebih rendah dari dirinya. Ia menganggap setiap orang saudaranya. Sedangkan Arum adalah seorang gadis yang berhati le mbut. Kadang-kadang masih terucapkan olehnya, penyesalan yang dalam, justru karena ia berteriak di saat-saat mereka bertemu untuk pertama kali. "Kau tidak sengaja mence lakakan aku" berkata Buntal. "Aku hanya terkejut sekali waktu itu. Aku tidak menyangka bahwa ada orang la in diatas gubug sepagi itu" Buntal tersenyum. Bahkan ke mudian ia berkata "Jika tidak demikian, maka a ku tidak akan mendapat kese mpatan tinggal di padepokan ini" Arumpun tersenyum pula. Katanya "Alangkah senangnya kalau kau datang ke rumah ini tanpa biru pengap seperti itu" "Alangkah senangnya. Tetapi itulah yang terjadi" Keduanya tertawa. Tawa yang segar di padepokan yang tenteram. Namun de mikian ada sebuah teka-teki bagi Buntal yang masih belum terjawab. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya kepada siapapun karena keseganannya. "Kenapa Raden Juwiring itu berada di padepokan ini?" Tetapi Buntal sela lu mengge lengkan kepalanya sambil
berguma m kepada diri sendiri "Ah, itu bukan persoalanku. Ia sudah berada disini. Dan ia bersikap ba ik kepadaku" Dengan demikian maka anak muda yang berada di padepokan itu berhasil menyesuaikan diri mereka masingmasing. Bukan saja Buntal dan Juwiring yang sedikit lebih tua daripadanya, tetapi juga Arum. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak saja harus bekerja keras di sawah dan ladang setiap hari. Ada sesuatu yang Baru bagi Buntal. Di padepokan itu Raden Juwiring tidak saja hidup sederhana seperti kehidupan orang kebanyakan, tetapi ia juga me mpe lajari sesuatu dari Kiai Danatirta. Mula-mula Buntal hanya diperkenankan menyaksikan. Di tempat yang tertutup Raden Juwiring me mpelajari ilmu olah kanuragan. Ilmu ketangkasan badaniah dan tata bela diri. "Menarik sekali" berkata Buntal di dala m hatinya. Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada siapapun. Namun setiap kesempatan yang didapatnya untuk menyaksikan latihanlatihan olah kanuragan. Buntal merasa beruntung se kali. Agaknya Kiai Danatirta melihat minat yang begitu besar tersirat di wajah Buntal yang sengaja diperkenankannya me lihat latihan-latihan itu. Bahkan, pada suatu saat, tanpa disadari oleh Buntal, Kia i Danatirta melihat anak itu menirukan gerak-gerak yang dilihatnya pada latihan-latihan Di te mpat tertutup itu. "Buntal" berkata Kiai Danatirta kepada Buntal yang dipanggilnya menghadap "Apakah kau tida k je mu melihat latihan-latihan bagi Raden Juwiring itu?" Buntal mengangkat wajahnya. Tampa k sesuatu tersirat di wajah itu. Na mun ke mudian wajah itu tertunduk. Perlahan-lahan terdengar Buntal menjawab "Tidak Kiai. Aku senang sekali melihatnya"
"Raden Juwiring telah agak la mbat mula i dengan penyadapan ilmu olah kanuragan. Tetapi aku masih berpengharapan, bahwa ia akan segera maju dan menguasai ilmu yang aku berikan kepadanya" Buntal hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Buntal" suara Kiai Danatirta menjadi dala m "Apakah kau juga berminat untuk ikut me mpelajari ilmu se maca m itu?" Sekali lagi Buntal mengangkat wajahnya. Dari sorot matanya, Kiai Danatirta melihat gejolak di dada anak muda itu. "Apakah kau juga ingin?" ulang Kiai Danatirta. "Sebenarnyalah mengatakannya" Kiai. Tetapi aku tidak berani
Kiai Danatirta tersenyum. Sa mbil mengangguk-angguk ia berkata "Aku me mang sudah menduga. Dan aku tidak berkeberatan apabila kau tidak saja mengawani Raden Juwiring setiap hari, tetapi juga mengawaninya menyadap ilmu kanuragan itu" "Terima kasih Kia i. berterima kasih se kali" Apabila aku diperkenankan, aku
Kiai Danatirta menepuk bahu Buntal. Kalanya "Tetapi olah kanuragan bukan sekedar suatu perma inan, Buntal. Bukan seperti permainan jira k, sembunyi-se mbunyian di bulan terang. Juga tidak serupa dengan binten dan bantingan di pasir tepian sungai. Meskipun binten dan bantingan juga me merlukan ketangkasan, tetapi itu sekedar permainan. Tidak ada cara lain yang pernah dipergunakan dala m binten selain cara-cara yang sampai sekarang berlaku. Juga bantingan. Siapa yang berada di bawah dala m hitungan tertentu la akan kalah. Tidak boleh menggigit, tidak boleh me nggelitik dan menarik ra mbut"
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi ilmu olah kanuragan me merlukan wa ktu untuk mengerti dan apalagi mendala minya" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Apakah kau dapat mengira-ngira kan, berapa waktu yang kau perlukan untuk me mpelajari ilmu itu?" Buntal tida k menyahut. "Kau me merlukan waktu bertahun-tahun Buntal. bertahun-tahun. Ya,
Tetapi kau dapat me lakukannya bertahap. Setapak demi setapak. Dan setiap langkah, merupakan kebulatan-kebulatan tertentu" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Apakah kau sanggup?" Buntal me mandang Kiai Danatirta sejenak, lalu "Ya Kia i. Aku sanggup" "Apakah kau sudah berpikir baik-baik" "Sudah Kiai" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa sebenarnya Buntal me mang ingin sekali mela kukannya. Tetapi seperti yang dikatakan, ia tidak berani menge mukakannya kepada siapapun. "Kalau begitu baiklah. Aku me mberi kesempatan kepada mu untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi kau harus bersungguhsungguh. Di dala m tiga bulan, aku akan melihat ke majuanmu. Kalau kau t idak berhasil mencapai taraf yang sewajarnya, maka sayang sekali, kau tidak akan dapat meneruskannya" Buntal me mandang Kiai Danatirta sejenak. Kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Na mun de mikian terbayang di wajahnya, tekad yang mantap untuk ikut serta berlatih diri, menyadap ilmu olah kanuragan itu.
"Kau masih belum jauh ketinggalan dari Raden Juwiring" berkata Kiai Danatirta selanjutnya "Aku akan mencoba menyesuaikan ilmu yang bersa ma-sa ma akan kalian pe lajari" "Ya Kia i" jawab Buntal. Terasa sesuatu melonjak di dadanya. Ia sama seka li t idak bermimpi bahwa ia akan mendapat kese mpatan yang baik itu. "Tetapi Buntal. Ada beberapa pantangan dan kewajiban yang harus kau lakukan dengan tertib, apabila kau mulai me mpe lajari ilmu olah kanuragan" berkata Kiai Danatirta selanjutnya "Apakah kau a kan bersedia me lakukannya" Buntal menganggukkan kepa lanya. "Buntal. Kalau sekali kau mencecap ilmu dari padepokan ini maka untuk seterusnya kau tidak akan pernah dapat me lepaskan diri dari kewajiban-kewajiban dan pantanganpantangan itu. Seumur hidupmu. Kau mengerti arti dari tanggung jawab itu?" Buntal menjadi ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian ia menganggukkan kepalanya. Katanya "Aku mengerti Kia i" "Baiklah. Aku akan mencobanya. Tetapi seandainya kau gagal setelah tiga bulan, namun pantangan dan kuwajiban itu masih akan tetap berlaku bagimu sepanjang hidupmu, kecua li apabila ke mudian kau berniat melepaskan diri dari keluarga kami untuk seterusnya pula, serta menanggung segala akibatnya" Buntal masih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dengarlah baik-baik" berkata Kiai Danatirta kemudian "pantangan lahiriah yang dapat aku beritahukan sebagai salah satu contoh adalah, kau harus merahasiakan bahwa di padepokan ini telah dilakukan penurunan ilmu olah kanuragan, sehingga dengan de mikian kau tidak boleh menunjukkan ke ma mpuanmu dimanapun juga apabila kau tidak terpaksa
sekali. Dan kau harus menghindarkan kesan, bahwa ilmu yang kau miliki itu kau dapat dari padepokan ini" Buntal menganggukkan kepa la. "Ke mudian, sebenarnyalah bahwa semua kemungkinan itu sumbernya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kau harus berjanji, bahwa ilmu yang kau dapat itu, sejauh-jauh mungkin kau pergunakan untuk ke manusiaan dan mencari ridho dari Tuhan Yang Maha Kuasa" Buntal sejenak. termangu-mangu
"Maksudku, bahwa dengan ilmu itu ke lak, kau harus berusaha berjalan dala m kebenaran" "O" Buntal menganggukangguk "Ayahku dahulu juga berkata begitu. Aku harus pasrah diri kepada Tuhan" Kiai Danatirta mengerut kan keningnya. Katanya "Jadi ayahmu juga berkata begitu?" "Ya Kiai" Kiai Danatirtapun mengangguk. Ternyata meskipun ayah Buntal sekedar seorang pelayan, tetapi ia me mperhatikan sekali kepada anaknya, bukan saja hidup jasmaniahnya, tetapi juga hidiup rohaniahnya. Tentu saja sesuai dengan ke ma mpuan dan pengetahuannya. Demikianlah, maka kese mpatan yang diberikan kepada Buntal itu sangat menggembirakan Raden Juwiring. Me mpelajari olah kanuragan seorang diri, terasa kurang
mengga irahkan. Tetapi berdua, agaknya suasananya akan menjadi lebih hidup. Keduanya dapat saling mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada diri masing-masing Sedangkan Kiai Danatirta sendiri akan mendapat bahan pertimbangan dari perke mbangan kedua murid-muridnya itu. Namun de mikian, tidak seorangpun yang mengetahui bahwa di padepokan kecil itu dua orang anak-anak muda sedang menerima ilmu olah kanuragan. Karena tidak seorangpun yang tinggal di padukuhan itu yang mengetahui, bahwa Kiai Danatirta adalah seorang yang mumpuni. Mereka hanya mengenalnya sebagai seorang tua yang baik, yang me mpunyai pengetahuan yang luas dan menjadi tempat untuk mendapatkan nasehat dan petunjuk-petunjuk apabila di dala m perjalanan hidup seseorang dijumpai kesulitan. Namun tidak seorangpun yang menyangka, bahwa dibalik wadagnya yang tampaknya le mah, Kiai Danatirta me miliki ilmu yang tinggi dalam olah kanuragan. Seperti yang dijanjikan kepada diri sendiri, ilmu itu hanya akan diberikan kepada mere ka yang sesuai di hatinya. Dan yang sesuai baginya adalah anak-anak muda yang lembah manah. Anak-anak muda yang rendah hati dan jujur. Terlebihlebih adalah anak-anak muda yang mengenal dirinya sendiri sesuai dengan tempatnya di dalam ala m semesta, serta hubungan yang akrab antara ala m yang besar dan ala m kecil di dala m putaran waktu dan kejadian, dalam ikatan sebab dan akibat, yang berporos pada suatu sumber gerak yang Maha Mengetahui. Dan pilihan Kiai Danatirta pertama-tama jatuh pada seorang keturunan bangsawan yang sedang berprihatin. Raden Juwiring. Namun ke mudian ia melihat sesuatu yang tidak kalah bobotnya yang terdapat di dalam diri anak muda yang sederhana, yang diketemukannya dengan cara yang aneh. Buntal.
Meskipun de mikian Kiai Danatirta cukup berhati-hati la t idak segera menuangkan pokok-pokok ilmu yang sebenarnya dari ilmunya. Yang sebenarnya diberikan dalam bulan-bulan pertama sa mpai ketiga adalah sekedar olah kanuragan yang pada umumnya dikuasai oleh anak-anak muda dan apalagi prajurit-prajurit, yang tidak me mpunyai ke khususan sama sekali. Namun de mikian, murid-muridnya itu seakan-akan sudah harus bekerja berat dan berlatih mati-matian. Sehingga dengan demikian Kiai Danatirta dapat menilai, apakah ia akan dapat melanjutkan atau harus dia mbil keputusan la in. Kiai Danatirta tidak mau me ngulangi kesalahannya lagi. Bagaimanapun juga, sebagai manusia ia pernah khilaf. Orang yang mula-mula dapat menumbuhkan kepercayaannya, ternyata telah menimbulkan banyak kesulitan padanya, sehingga ia harus meninggalkan padepokannya yang lama dan tinggal di padepokannya yang baru ini. Orang yang pertama kali berhasil me masuki perguruannya ternyata bukanlah orang yang diharapkannya. Kiai Danatirta selalu me nghela nafas dala m-dala m apabila ia terkenang masa-masa la mpau yang pahit itu. Tetapi seluruh kesalahan itu tidak dapat aku timpakan padanya desisnya setiap kali "Anakku juga ikut bersalah" Dan terbayang kembali hubungan yang sangat akrab antara muridnya itu dengan anak puterinya. Dan saat itu, Kiai Danatirta yang masih me mpergunakan na ma lain, sama seka li tidak berkeberatan. Bahkan ia mengharap bahwa muridnya itu kelak a kan menjadi pewaris ilmunya, sekaligus menantunya. Tetapi ternyata harapan itu sama seka li tidak dapat terwujud. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Malapetaka. Ternyata puterinya sama sekali tidak bermaksud hidup bersama muridnya. Hubungan yang akrab itu adalah sekedar hubungan antara orang serumah. Sejauh-jauhnya hubungan
antara kakak beradik. Ternyata puterinya telah menjatuhkan pilihan atas cintanya kepada orang lain. Kepada anak muda yang lain. Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Peristiwa itu selalu mengingatkannya, bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Seorang manusia yang le mah, jasmaniah dan rohaniah. "Tuhan telah menegur aku dengan cara yang sangat keras " keluh Danatirta "Aku waktu itu me mang terla mpau bangga atas kelebihanku dari orang-orang kebanyakan. Tetapi Tuhan telah menunjukkan ke le mahanku. Kele mahan yang tidak dipunyai oleh orang lain yang aku anggap jauh lebih lemah daripadaku" Orang tua itu menarik nafas dala m-dala m, dan ia me lanjutkannya di dala m hati "ternyata yang lemah itu me miliki kekuatan, dan yang kuat itu me miliki kele mahan. Mungkin aku dapat menunjukkan ke lebihanku dala m olah kanuragan, tetapi tidak dalam menuntun anak. Orang yang paling le mah di dala m olah kanuragan dapat menuntun anaknya sampai ke puncak ke ma mpuan untuk sesuatu bidang unsur hidup manusiawi. Tetapi aku tidak" Orang tua itu mengelus dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ingin menekan gejola k yang meronta-ronta di dala m dadanya itu. Terbayang kembali betapa anak perempuannya itu menolak segala nasehatnya, dan atas kehendaknya sendiri, ia telah dilarikan oleh laki-laki yang dicintainya. Namun itu bukan peristiwa yang terakhir. Muridnya yang menjadi panas tanpa setahunya telah mencari kedua anakanak muda itu. Betapa pahitnya ketika ia kemudian mengetahui bahwa kedua la ki-laki muda itu mati sa mpyuh di dalam satu perke lahian yang jantan. Keduanya me mperguna kan keris dengan warangan yang kuat, dan kedua-duanya ternyata telah tergores oleh keris itu, sehingga jiwa mereka t idak tertolong lagi.
Dengan de mikian, maka tida k ada yang dapat dilakukan sebagai seorang ayah untuk menga mbil anaknya kembali, anaknya yang justru telah mengandung. Hidup yang pahit itu harus ditanggungkannya. Ketika cucunya lahir, maka ibu yang selalu dibebani oleh perasaan bersalah itu tidak dapat tertahan hidup lebih la ma lagi. Anak perempuan Kiai Danatirta yang melahirkan anak perempuan itupun ke mudian meninggal. Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Cucunya itulah yang kini bernama Arum. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Arum adalah cucunya. Di tempatnya yang baru itu. Sejak ia me mbuka padepokan kecil yang dina mainya seperti hatinya yang kering, padepokan Jati Aking, di sebelah padukuhan Jatisari, ia sudah menganggap Arum sebagai pengganti anaknya yang telah hilang dari hatinya itu. Dengan sepenuh hati Kiai Danatirta mendidik cucunya itu, agar ia dapat menebus kelengahannya selagi ia momong anaknya perempuan, sehingga terjadi peristiwa yang sangar me mbe kas di hatinya. Namun tiba-tiba Kiai Danatirta itu bagaikan terlonja k di tempat duduknya. Dengan suara gemetar ia berkata kepada diri sendiri "Sekarang aku telah menyediakan minyak itu didekat api. O, alangkah bodohnya aku ini. Di padepokan ini sekarang ada dua orang anak muda. Aku sendirilah yang mene mpatkan mereka disini. Di padepokan ini, bersama-sama dengar Arum" Kesadaran itu ternyata telah mence maskan hati Kiai Danatirta. Sekali-sekali terbayang wajah Raden Juwiring yang selalu dihiasi dengan senyum yang menawan. Ke mudian wajah Buntal yang sederhana tetapi bersungguh-sungguh penuh pengertian atas alas keprihatinan.
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Keduanya telah terlanjur berada di padepokannya. Dan keduanya baginya adalah anak muda yang baik. "Suatu masa pendadaran bagiku" berkata Kia i Danatirta, lalu "sa mpai umurku setua ini, aku masih harus menja lani ujian yang berat. Mudah-mudahan kali ini aku dapat mengatasinya. Dan mudah-mudahan kedua anak-ana k muda ini me mpunyai perhatian yang berbeda dari muridku yang dahulu. Atau tergantung kepadaku, bagaimana caraku mengarahkan hubungan mereka bertiga " Namun kesadaran itu telah membuat Kia i Danatirta menjadi berhati-hati. Dan ia merasa bersyukur atas kenangan yang selalu me mbayang, sehingga seakan-akan ia selalu dihadapkan pada sebuah cermin untuk sela lu me lihat cacat di wajahnya. Dan setiap kali Kiai Danatirta selalu berkata, bukan saja kepada diri sendiri, tetapi juga kepada murid-muridnya "Di dalam kekuatan terdapat kelemahan, dan di dala m kele mahan terdapat kekuatan. Tetapi pada pekan-pekan pertama ia mulai me mberikan latihan kepada muridnya itu, telah timbul suatu persoalan baru bagi Kia i Danatirta. Anaknya, Arum minta kepadanya dengan sepenuh hati, bahkan sambil merengek, agar ia diperkenankan ikut me mpelajari olah kanuragan. "Kau seorang gadis" berkata ayahnya "Tidak menjadi kebiasaan seorang gadis mempe lajari olah kanuragan" "Tetapi aku ingin sekali ayah. Biarlah orang lain tidak. Kalau ayah mau menurunkan ilmu itu kepada orang lain, kenapa tidak kepadaku" Kepada anaknya, meskipun aku seorang perempuan?" "Arum. Me mpe lajari ilmu kanuragan bukanlah sekedar menjadi seorang yang tangguh. Tetapi sesuai dengan wadag seorang Laki-laki, ia pantas pergi dari satu tempat ke tempat
yang lain untuk menga malkan ilmunya. Tetapi tidak bagi seorang gadis. Tidak pantas sama seka li, dan bahayanya jauh lebih dahsyat dari seorang laki-la ki" "Apakah seorang laki-laki tida k dapat menjumpa i bahaya" Apakah seorang Laki-laki tidak akan pernah menjumpa i lawan yang mela mpauinya, tetapi selalu demikian bagi pere mpuan" Dan perempuan selalu tidak akaln dapat melepaskan diri dari bahaya?" "Bukan begitu Arum. Bahaya yang paling besar bagi seorang laki-laki adalah maut. Tetapi tida k bagi pere mpuan. Kau mengerti" Masih ada bencana yang lebih dahsyat dari maut, justru karena ia terlepas dari maut itu" Arum menundukkan kepa lanya, la mengerti ma ksud ayahnya. Perempuan me mang me mpunyai kele mahannya sendiri. Mungkin dala m sebuah perjalanan ia berte mu dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya. Tetapi orang itu tidak me mbunuhnya. Dan karena justru ia tidak dibunuh itulah ia akan jatuh ke dala m neraka yang lebih jahat dari mati. Tetapi tiba-tiba saja Arum mengangkat wajahnya sa mbil menyahut dengan serta meria "Aku akan me mbunuh diri di dalam keadaan yang de mikian" "Arum" suara Kiai Danatirta merendah "bunuh diri bukannya penyelesaian yang baik. Justru seorang yang bunuh diri akan menjumpai persoalan tanpa selesai, karena persoalannya beralih menjadi persoalan dan pertanggungan jawab kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Jelasnya bunuh diri apapun alasannya adalah perbuatan dosa" "Baiklah, aku tida k akan me mbunuh diri. Tetapi a ku akan me milih melawan sa mpai mati seperti La ki-laki. apabila kebetulan saja aku mengala mi perist iwa yang pahit itu" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Hati anak perempuannya itu me mang keras, sekeras hati ibunya.
Dengan de mikian maka kece masan mulai merayapi dada orang tua itu. Kalau pada suatu saat anaknya ini tergelincir, maka ia a kan mengeraskan hatinya di dala m kesesatannnya itu seperti ibunya. Karena Kiai Danatirta tidak segera menjawab, maka Arum mendesaknya "Kenapa ayah dia m saja?" "Baiklah aku me mikirkannya Arum" "Kenapa harus dipikirkan?" "Tunggulah sehari dua hari. Aku akan menimbang ba ik dan buruknya" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi kenapa kau tiba-tiba saja ingin ikut serta me mpe lajari olah kanuragan" Kenapa t idak sebelum ini?" "Aku tida k tahu ayah. tetapi me mang tiba-tiba saja aku ingin me mpelajarinya" "Baiklah. Ba iklah. Aku akan me mpertimbangkannya" "Apa yang harus dipertimbangkan" Aku menyatakan keinginanku me mpelajarinya. Bukan untuk dipertimbangkan. Akulah yang bermaksud berbuat dan aku akan berbuat" Dada Kiai Danatirta berdesir mendengar jawaban itu. Jawaban itu mirip benar dengan jawaban ibunya ketika ia mencoba mencegahnya berhubungan dengan seorang Laki-laki diluar padepokannya. Ibu Arum itu menjawab "Ayah tidak perlu me mpersoalkannya. Akulah yang akan kawin. Bukan ayah. Karena itulah, akulah yang me mutuskannya" Pada saat itu. hampir saja ia mena mpar mulut anaknya. Untunglah bahwa ia masih dapat mengendalikan dirinya, meskipun saat itu ia menganca m "Ka lau la ki-laki itu masih datang lagi kepadamu, aku bunuh dia" Tetapi yang terjadi justru anaknya dibawa lari, Dan muridnyalah yang me mbunuh la ki-laki itu sa mpyuh dengan ke matian sendiri. Dua jiwa telah menjadi korban.
Sejenak Kia i Danatirta merenung. Na mun karena ayahnya tiba-tiba saja me mandang kekejauhan, dan bahkan terbayang perasaan yang pedih di matanya tanpa diketahui sebab yang sebenarnya, Arum menjadi berdebar-debar. Ia menyangka, bahwa kata-katanya lelah menyakiti hati ayahnya. Sama sekali tidak terbayang di kepalanya, bahwa ayahnya yang sebenarnya adalah kakeknya itu sedang membayangkan suatu masa la mpau yang panjang. "Ayah" tiba-tiba Arum berjongkok di hadapan ayahnya yang duduk di bibir a mben "Kenapa ayah merenung?" "O" Kia i Danatirta terkejut. Kemudian iapun tersenyum sambil berkata "Tidak apa-apa Arum" "Apakah kata-kataku me luka i hati ayah?" Kiai Danatirta menarik nafas dalam. Jawabnya "Tidak Arum. Tetapi ayah ingin anaknya menuruti kata-katanya. Tentu saja, ayah tidak selalu benar. Tetapi kadang-kadang seorang tua, betapapun bodohnya, mempunyai firasat tentang anakanaknya" "Maafkan aku ayah" suara Arum merendah "Aku tidak akan me maksa ayah. Aku akan menurut segala nasehat ayah. Aku hanya sekedar menyatakan keinginan hatiku. Tetapi terserahlah kepada ayah" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Inilah bedanya Arum dengan ibunya. Ternyata Arum me mpunyai kele mbutan di sa mping kekerasan hatinya. Karena Kiai Danatirta tidak segera menjawab, ma ka Arumpun berkata pula "Apakah ayah marah kepadaku?"
"O, tidak. Tida k Arum. Aku t idak marah" "Tetapi ayah dia m saja " "Aku sedang berpikir" "Ayah tidak usah memaksa diri untuk menga mbil keputusan sekarang. Aku akan menunggu" Kiai Danatirta me mandang Arum sejenak. Ke mudian sekali lagi ia tersenyum "Ya. Kau me mang harus menunggu" Meskipun Arum ke mudian meninggalkan Kiai Danatirta, namun Kiai Danatirta masih tetap dibebani oleh persoalan itu. Dicobanya untuk menilai untung ruginya. Permintaan Arum baginya merupa kan suatu persoalan yang me mang baru. Ibunya dulu sa ma sekali tida k tertarik pada olah kanuragan. Bahkan sebagian hidupnya telah dihabiskannya bekerja di sawah dan di dapur. Dan sebagian yang lain untuk dengan dia m-dia m mene mui la ki-laki yang ke mudian me larikannya. "Apakah ada baiknya aku me mberi kesempatan kepada Arum untuk me mpelajari olah kanuragan?" pertanyaan itu mulai merayap di hatinya "Ia akan me mpunyai suatu perhatian khusus di da la m hidupnya" Namun demikian, Kiai Danatirta masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Ia memang pernah mendengar atau membaca di dala m kitab-kitab, bahwa pernah ada raja-raja perempuan di Tanah Jawa ini. Pahlawan-pahlawan perempuan di ceritera pewayangan dan prajurit-prajurit perempuan. Tetapi lingkungannya sendiri belum pernah melahirkan seorang perempuan yang mumpuni di da la m olah kanuragan. "Aku akan me lihat ke mungkinan-ke mungkinannya" berkata Kiai Danatirta ke mudian kepada diri sendiri. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang masak, maka Kiai Danatirta ma mpu me nilai setiap unsur gerak dari ilmunya dari beberapa segi. Dan itulah sebabnya, maka sejak ia mulai me mpertimbangkan ke mungkinan me mberikan ilmu
kanuragan kepada Arum Kiai Danatirta mulai mela kukan penilaian lebih saksa ma lagi atas ilmunya. Di ma la m hari, ketika seisi padepokan itu sudah tidur, maka masuklah ia ke dalam bilik tertutupnya. Dia matinya ke mbali setiap tata gerak dari yang paling sederhana sa mpai kepada yang paling sulit. Tiba-tiba Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia mene mukan beberapa unsur gerak yang dapat disesuaikan dengan ke ma mpuan kodrati seorang perempuan. Tetapi Kiai Danatirta masih belum puas dengan penemuannya yang hanya sekedar unsur-unsur gerak yang terselip di da la m keseluruhan tata gerak, sehingga tidak merupakan suatu kebulatan yang utuh. Namun justru karena itu, maka Kia i Danatirta ternyata telah me mulai dengan suatu kerja yang baru. Menyusun ilmu kanuragan khusus untuk seorang perempuan, namun yang tidak ka lah dah-syahnya dari ilmu yang diperuntukkannya bagi seorang laki-la ki berdasarkan perbedaan wadagnya. Setiap kali Kiai Danatirta berletnu dengan Arum, tampa klah pertanyaan tersirat di wajah anak itu. Tetapi Kiai Danatirta masih belum me mberikan jawaban. Dan betapapun gelisahnya dada gadis itu, namun Arum juga tida k bertanya kepada ayahnya. Dala m pada itu. Raden Juwiring dan Buntal masih teras me lakukan latihan-latihan di bawah tuntunan Kiai Danatirta. Meskipun masih merupa kan gerak-gerak dasar dan bersifat umum, tetapi kedua anak-anak muda itu merasa bahwa mereka harus bekerja keras dan dengan penuh kesungguhan. Ternyata kedua anak-anak muda itu me mberikan kepuasan kepada Kiai Danatirta. Keduanya adalah anak-anak yang baik. Dan keduanya me mpunyai tubuh yang me mungkinkan bagi mereka untuk mela kukan latihan-latihan yang berat seperti yang dikehendaki oleh Kiai Danatirta.
Namun di mala m hari, apabila padepokan itu sudah sepi, Kiai Danatirta masih berada dibilik tertutup itu sendiri. Dengan tekun ia me matangkan bentuk baru dari ilmunya, meskipun isinya tidak berbeda. Pada suatu malam yang sepi, Arum terkejut ketika ia mendengar pintu biliknya bergerit. Dengan serta merta ia bangkit dan duduk di pe mbaringannya. Namun gadis itu menarik nafas dalam-dala m ketika ia me lihat ayahnya berdiri dimuka pintu. "Apakah kau sudah tidur Arum?" Arum menggelengkan kepalanya "Belum ayah. Udara panas sekali sehingga a ku tida k dapat tidur" Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Kalau kau masih belum ingin tidur, ke marilah Marilah kita duduk diluar sejenak, untuk menyegarkan badan" Arum me ngerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. iapun segera bangkit berdiri dan me mbenahi paka iannya. Kemudian diikutinya ayahnya melangkah keluar me lalui pintu pringgitan me lintasi pendapa. Arum menarik nafas. Ayahnya itupun kemudian duduk di tangga pendapa. "Disini tidak begitu panas" berkata ayahnya. "Ya ayah" "Duduklah disini" Arumpun ke mudian duduk di sa mping ayahnya. "Arum" suara ayahnya menjadi dala m "Apakah kau masih tetap pada keinginanmu?" "Apa ayah?" bertanya Arum. "Olah kanuragan?"
"O. Ya ayah. Aku hampir tida k sabar menunggu jawaban ayah. Aku kira ayah sudah melupakannya, atau sengaja me mbiarkan saja persoalan itu" "Kenapa ka lau begitu?" "Aku tidak mau ayah. Aku harus mendapatkan ilmu seperti orang lain di padepokan ini, meskipun aku pere mpuan" "Bagaimana kalau ayah berpendirian lain?" "Tida k. Ayah tidak akan berpendirian lain. Aku me merlukannya. Kalau a ku tida k minta kepada ayah, lalu kepada siapa?" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah sifat Arum yang sebenarnya. Sekeras sifat ibunya. Namun Kiai Danatirtapun ke mudian berkata "Jadi kau telah mencabut pendirianmu itu?" "Pendirian yang mana" Aku tidak pernah mencabut sikap yang telah aku tentukan" "Arum" berkata ayahnya "Bukankah kau mengatakan waktu itu kepada ayah, bahwa kau menyerahkan se muanya kepadaku. Apakah aku akan mengijinkan atau tidak" Bukankah kau tidak akan me ma ksa ayah dan menurut segala nasehat ayah" "O" kepala gadis itupun tertunduk. Perlahan-lahan ia berdesis "Maafkan ayah. Aku me mang tidak akan me ma ksa ayah dan aku akan me nurut segala kehendak ayah" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Di sa mping sifat-sifatnya, Arum telah berhasil menguasai dirinya sendiri meskipun kadang-kadang terlepas. Tetapi untuk seterusnya, ia harus berhati-hati, agar Arum tetap dapat me melihara keseimbangan itu. Bahkan agar ia semakin dekat dengan penguasaan diri tanpa me manjakan perasaannya. Dan inilah kelebihan Arum dari ibunya. Melihat Arum menundukkan kepa lanya dalam-dala m dengan
penuh kecewa Kiai Danatirta menjadi iba. Karena itu maka katanya "Bagus Arum. Kau adalah anak yang baik. Kau akan tetap menurut nasehat ayah dan tidak akan me ma ksa. Bukankah begitu?" "Ya ayah" suara Arum dala m sekali. Bahkan ha mpir t idak terdengar, karena Arum sedang berusaha untuk menahan air matanya yang telah me manasi pe lupuknya. Tetapi tiba-tiba ia terperanjat ketika ayahnya berkata "Arum. Tetapi bukankah aku belum mengatakan keputusanku tentang permintaanmu?" Arum mengangkat wajahnya. Sepercik harapan me mbayang di wajahnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya "Jadi maksud ayah?" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Perlahan-lahan ia berkata "Arum. Sebenarnya me mang kurang lajim seorang gadis me mpelajari olah kanuragan. Namun karena kau adalah anakku, maka aku telah mencoba untuk menyingkirkan kejanggalan itu dari hatiku" Sebelum Kiai Danatirta melanjutkan kata-katanya, Arum telah melonja k dan berlutut di hadapan ayahnya sambil berkata "Terima kasih ayah. Terima kasih" Sebuah senyum yang cerah membayang di bibirnya, meskipun di matanya secercah air telah membasahi pelupuknya. Namun sebenarnya Kiai Danatirta me mpunyai kepentingan yang. lain pula. la ingin me mperguna kan keinginan Arum untuk me mpelajari ilmu kanuragan itu sebagai cara untuk menghindarkan ke mungkinan-ke mungkinan yang tidak dikehendaki, justru karena di padepokan itu sudah terlanjur terdapat dua orang anak-anak muda.
Demikianlah, maka Arum merasa bahwa dadanya menjadi terlampau lapang. Keinginannya akan terwujud. Bukan saja laki-laki yang boleh menyadap ilmu kanuragan, tetapi ayahnya kini sudah me mperkenankannya untuk ikut serta. "Tetapi" berkata ayahnya "Kau harus tetap seorang gadis Arum. Kau harus tetap berlaku sebagai seorang gadis. Dan kau harus tetap menunjukkan sifat-sifatmu di antara kawankawanmu. Kau tidak boleh menunjukkan perubahan apapun yang terjadi pada dirimu, seandainya kelak kau berhasil menguasai ilmu kanuragan ini" "Aku berjanji ayah" "Dan kau tida k pernah ingkar janji?" Arum tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Dala m pada itu, maka Arum tida k sabar lagi menunggu hari-hari berikutnya. Ia ingin segera mulai. Ia ingin segera me mpe lajari ilmu yang sela ma ini hanya dapat dilihatnya. Tetapi ayahnya masih belum me mulainya, beberapa hari telah lewat. meskipun
"Apakah ayah hanya sekedar menyenangkan hatiku saja" berkata Arum di da la m hatinya "Tetapi untuk seterusnya ilmu itu tidak pernah diberikannya?" Namun pada suatu senja, Arum telah dipanggil ayahnya dibangsal latihan. Ketika ia masuk, ternyata di dalam bilik yang agak luas itu telah menunggu Raden Juwiring dan Buntal. "Apakah kalian a kan berlatih" bertanya Arum. Hampir berbareng keduanya mengge leng. Juwiringlah yang ke mudian menjawab "Ka mi telah dipanggil oleh Kiai Danatirta di luar saat-saat berlatih" Arum mengerutkan keningnya. Agaknya ayahnyalah yang masih belum ada di ruang itu.
Tetapi Arum tidak menunggu terlalu la ma. Sebentar ke mudian ma ka Kiai Danatirtapun telah datang pula ke dala m ruangan itu. "Anak-anakku" berkata orang tua itu sejenak ke mudian "aku me mang me manggil kalian bersa ma-sama. Ada sesuatu yang harus aku beritahukan kepada kalian" Ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. "Pertama-tama, aku me mberitahukan kepada Raden Juwiring dan Buntal, bahwa Arum ternyata menyatakan keinginannya untuk me mpe lajari olah kanuragan. Suatu hal yang janggal bagi seorang gadis. Tetapi itu adalah keinginannya. Dan akupun tidak berkeberatan" Kia i Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi sudah barang tentu, bahwa meskipun ilmu ka lian bersumber pada sifat dan watak yang sama, na mun pasti ada perbedaannya di da la m ungkapan, karena bagi seorang laki-laki tentu ada bedanya dari seorang perempuan" Ketiga anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Terbayang sebuah senyum di bibir Arum. Sedang Juwiring dan Buntal mengangguk-angguk tanpa sesadarnya. Tetapi terlebih-lebih lagi, aku akaln me mberitahukan kepada kalian, hubungan yang harus kalian mengerti setelah kalian berguru bersama-sa ma" Kiai Danatirta berhenti sejenak. Dipandanginya wajah ketiga anak-anak muda itu satu de mi satu. Lalu " Setelah kalian menjadi murid dari satu perguruan, maka kalian akan menjadi tiga orang bersaudara. Tidak ada bedanya dengan saudara sekandung. Akulah yang menjadi ayah kalian dan ilmu yang akan kalian serap itu adalah pengikat dari persaudaraan kalian" Ketiga anak-anak muda itupun menundukkan wajahnya. "Nah, biarlah aku me nentukan siapakah yang paling tua di antara kalian, di antara saudara sekandung di dalam penyadapan ilmu ini" berkata Kia i Danatirta ke mudian "Bukan
berdasarkan waktu kehadirannya di padepokan ini. Jika seandainya demikian, maka Arumlah yang akan menjadi paling tua. Tetapi berdasarkan umur, Raden Juwiring akan menjadi saudara tertua. Buntal akan menjadi anak kedua dan yang bungsu adalah Arum. Sudah tentu sejak sekarang, kalian tidak akan me manggil dengan istilah lain dari istilah persaudaraan ini, dan ka lian akan me manggil aku ayah. Me mang agak berbeda dengan sebutan perguruan, tetapi aku me mang tidak ingin menunjukkan kepada tetangga-tetangga kita. bahwa kita telah mendirikan suatu perguruan kanuragan" Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. mereka terpukau oleh kata-kata Kiai Danatirta. Sejenak
"Apakah kalian tidak berkeberatan?" bertanya Kiai Danatirta ke mudian "terutama Raden Juwiring, yang berasal dari keluarga yang agak berbeda dengan kami disini. Dengan Buntal dan dengan Arum" "Ah" Juwiring berdesah "Apakah bedanya?" "Jadi kau tidak berkeberatan?" bertanya Kiai Danatirta. Juwiring mengge lengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Aku merasa mene mukan saudara sekandung yang dapat aku hayati daripada saudaraku yang sebenarnya. Disini aku mene mukan keda maian hati yang sebenarnya. Di istana ayahnda aku merasa tersiksa. Meskipun aku tinggal rumah yang mewah dan besar, tetapi setiap saat selalu dibayangi oleh kedengkian dan iri" Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. "Baiklah kau me ma ng tida k berkeberatan. Untuk seterusnya aku hanya akan me manggil na ma kalian masing-masing, karena kalian adalah anak-anakku. Tetapi aku sa ma sekali tidak berhasrat untuk merubah na ma itu" Ketiga anak-anak muda itu tidak menyahut.
"Nah, dengan de mikian ma ka kita me mpunyai keluarga baru yang besar sekarang. Tetapi jangan menunjukkan perubahan apapun kepada orang lain. Kepada tetanggatetangga dan kawan-kawan kalian di padukuhan ini. Ka lian harus tetap seperti kemarin. Juga Juwiring masih tetap seperti Raden Juwiring, karena setiap orang mengetahui bahwa kau adalah seorang bangsawan yang dititipkan kepadaku, untuk mendapatkan tuntunan olah kajiwan. Bukan olah kanuragan" Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi ia tida k menyahut Sesaat terbayang kehidupan yang telah ditinggalkannya. Terbayang sebuah istana yang megah dari seorang bangsawan yang kaya. Tetapi justru karena ayahnya seorang yang kaya, dan tidak hanya mempunyai seorang isteri, maka rumah yang megah itu telah menjadi sarang kedengkia in dan iri. Setiap orang selalu curiga kepada orang lain. Kebencian tidak lagi dapat dihindarkan lagi. Sehingga akhirnya ia terle mpar ke padukuhan kecil itu karena bermaca m-maca m alasan yang sebagian terbesar tidak benar sama sekali, la sadar, bahwa ia sekedar disingkirkan dari lingkungannya yang sedang bergulat berebut kesempatan untuk mendapatkan warisan terbesar. "He m" Juwiring menarik nafas dalam-da la m. Terbayang pula wajah adik seayah tetapi tidak seibu yang umurnya hampir bersa maan dengan umurnya "Rudira" Juwiring terkejut ketika ia mendengar Kiai Danatirta berkata "Sudahlah. Aku tidak me mpunyai persoalan lagi kini. Kalian dapat meninggalkan ruangan ini. Besok kita akan mulai dengan ilmu kanuragan dari padepokan ini yang sebenarnya. Selama ini, kalian sekedar mendapat dasar-dasar olah kanuragan pada umumnya. Meskipun waktu yang aku tetapkan sebagai waktu percobaan dan pendadaran belum habis, tetapi aku percaya kepada kalian, bahwa kalian akan selalu me lakukan se mua petunjukku sebaik-ba iknya"
Demikianlah maka ketiga anak-ana k muda itu meninggalkan bilik te mpat mereka berlatih. Terasa sesuatu yang lain di dalam diri mereka Kini mereka harus menganggap yang satu dengan yang lain sebagai saudara. Saudara sekandung. Dihari-hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, ketiganya mulai mendapatkan latihan-latihan khusus. Mereka mulai me mpe lajari unsur-unsur gerak yang agak lain dari unsur-unsur gerak yang sela ma ini mereka pelajari. Sedangkan Arum telah mendapat waktu tersendiri di dala m latihan-latihan yang me mang hanya diperuntukkan baginya. Tetapi di dala m tata gerak dasar, mereka kadang-kadang juga berlatih bersa ma. Ternyata mereka tidak mengecewakan hati Kiai Danatirta. Mereka bertiga berlatih bersungguh-sungguh. Kadang-kadang diluar dugaan, bahvta mereka ma mpu mela kukan latihanlatihan yang berat untuk waktu yang melampaui waktu yang sudah ditentukan oleh gurunya. "Mereka benar-benar telah melakukan dengan sepenuh hati "berkata Kia i Danatirta di da la m hatinya. Namun dala m pada itu, darah keturunan Juwiring masih tetap menjadi teka-teki bagi Buntal. Ia sa ma seka li tidak berani bertanya, darimanakah sebenarnya ia datang. Dan putera siapakah ia sebenarnya. "Apakah ia putera seorang pengeran yang lahir dari seorang selir?" pertanyaan itulah yang selalu me lonjak di dalam hatinya. Namun dala m pada itu, meskipun Juwiring telah menjadi anak angkat yang sekaligus murid Kia i Danatirta, namun pengaruhnya bagi orang-orang di sekitarnya masih tidak berubah. Bagaimanapun juga ujud lahiriahnya adalah seorang bangsawan yang memang lain dari orang-orang kebanyakan.
Bagi tetangga-tetangga Kiai Danatirta, kehadiran seorang bangsawan di padepokan itu me mpunyai pengaruh tersendiri. Sikap mereka yang sangat hormat dan segan kepada Juwiring sama seka li tidak berubah, meskipun mereka lahu bahwa sesuatu telah terjadi, sehingga Juwiring harus berada di padepokan Kia i Danatirta untuk menuntut ilmu kajiwan. Me mpelajari kesusasteraan dan tata kesopanan. Tetapi diluar dugaan mereka, bahwa di sa mping itu se mua, Juwiring juga me mpe lajari ilmu kanuragan. Demikianlah dari waktu ke waktu, ketiga anak-anak muda di padepokan Kia i Danatirta itu berke mbang dengan pesatnya, sesuai dengan ida man orang tua itu. Bukan saja dala m olah kanuragan. Tetapi tabiat dan sifat merekapun menunjukkan ketulusan hati mereka. Di siang hari mereka bekerja seperti kebanyakan anak-anak padukuhan itu. Mereka pergi ke sawah. Me mbawa alat-alat pertanian dan pupuk. Sedang Arum pergi kesunga i mencuci pakaian dan berbelanja kepasar. Kemudian ikut menanjak nasi dan masak di dapur seperti kebanyakan gadis-gadis padesan. Demikianlah kehidupan yang tenang itu berjalan terus, sehingga pada suatu saat, seekor kuda yang tegar berlari me masuki hala man padepokan itu. Seorang laki-laki selengah umur yang ke mudian menarik kekang kuda itu, segera me loncat turun. Kiai Danatirta yang berada di pringgitan, bergegas menjengukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil menyongsong orang berkuda itu sambil menyapanya "O, kau Dipanala" Orang yang kini telah berdiri di ha la man menganggukkan kepalanya, jawabnya "Ya ka kang" "Ke marilah. Sudah la ma kau tidak datang" Dipanalapun ke mudian naik ke pendapa dan dipersilahkan masuk ke pringgitan. itu
Keduanyapun kemudian duduk berhadapan diatas sehelai tikar pandan. Sejenak mere ka saling menanyakan kesela matan masing-masing setelah agak la ma mereka tidak bertemu. "Sudah la ma sebenarnya aku ingin datang kepedukuhan ini. Tetapi aku masih terla mpau sibuk" "Apa kerjamu sebenarnya" Bukankah kau hanya harus menghadap setiap keliwon dan duduk di regol dala m?" "Ya, tetapi aku me mpunyai pekerjaan juga di Da le m Kapangeranan" "Apa kerjamu?" bertanya Kiai Danatirta. Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya ke mudian "Me mang tida k ada. Tetapi rasa-rasanya aku menjadi sangat sibuk. Semakin la ma rumah itu menjadi semakin gersang" "Kenapa" Bukankah di dala mnya tersimpan harta benda yang tidak ternila i jumlahnya" "Justru itulah sebabnya. Sekarang Raden Ayu Manik sudah tidak ada lagi di Dale m Kapangeranan" "Raden Ayu Manik" Bagaimana mungkin?" "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Istana Pangeran Ranakusuma. Tidak seorangpun akan menyangka bahwa pada suatu saat Raden Ayu Manik keluar dari istana itu dan ke mbali ke ayahandanya"
"Bagaimana sikap Pangeran Raksanagara ketika puterinya. dike mbalikan kepadanya?" "Betapa panas hati Pangeran tua itu. Tetapi ia tidak dapat, berbuat banyak. Ia tidak lagi dapat menantang perang tanding, karena tata kehidupan kebangsawanan sudah bergeser. Kini di Istana Pangeran Ranakusuma sering terjadi semaca m bujana ma kan dan minum untuk menghormat tamutamunya" "Siapakah tamu-ta mu itu?" Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Itulah yang sangat mence maskan. Ta munya adalah orang-orang asing" "Kumpeni maksudmu?" Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Danatirta berdesah sambil me ngusap dadanya. Terbayang kini di rongga matanya, tata cara yang asing itu mulai merayap masuk ke dala m tata kehidupan para bangsawan dan pembesar di pusat pemerintahan. Meskipun Kiai Danatirta menyadari bahwa tidak se mua adat dan tata cara orang asing itu jelek, karena menurut anggapan lahiriah merekapun orang-orang beradab, telapi kadang-kadang ada yang terasa seperti duri di dala m daging sendiri. "Jadi siapakah yang sekarang berkuasa di istana Pangeran Ranakusuma?" "Raden Ayu Sontrang " "Raden Ayu Sontrang?" "Ya, nama panggilan dari Raden Ayu Galihwarit, puteri Pangeran yang agak kurang waras itu" "Pangeran Sindurata?" "Ya"
Kiai Danatirta hanya dapat mengelus dadanya. Meskipun sepengetahuan orang banyak ia bukan seorang bangsawan yang me mpunyai lingkungan hidup setaraf dengan mereka menurut bentuk lahiriah, tetapi yang terjadi itu me mbuat hatinya terlampau pedih. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata "Jadi bagaimana dengan Raden Juwiring?" Ki Dipanala mengedarkan tatapan matanya keseputarannya. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang di ruangan itu. "Raden Juwiring tidak ada di rumah. Ia pergi ke sawah dengan Buntal" "Siapakah Buntal itu?" "Seorang anak pedesaan, sekedar untuk mengawani Raden Juwiring disini. Tetapi nanti a ku ceriterakan tentang anak itu" "Jadi anak itu tida k ada?" "Tida k" "Kakang Danatirta" berkata Dipanala ke mudian "nasib anak muda itu me mang kurang baik. Selama ini, sepeninggal ibunya, nasibnya seakan-akan tergantung dari belas kasihan Raden Ayu Manik, karena meskipun ia anak tirinya, Raden Ayu Manik sendiri tida k me mpunyai anak. Tetapi sekarang Raden Ayu Manik tidak ada lagi di istana itu. Hidupnya akan menjadi semakin terasing dari ke luarganya, sehingga pada suatu saat ia akan dilupakan. Apalagi derajat ibunya tidak setingkat dengan Raden Ayu Manik dan Raden Ayu Sontrang" Dantirta menundukkan kepalanya. Desisnya "Ya, Rara Putih me mang tidak setingkat dengan Raden Ayu keduanya. Tetapi aku me letakkan harapan kepada Raden Ayu Manik, bahwa ia akan berhasil me mbawa Raden Juwiring ke mbali ke istana itu meskipun untuk waktu yang la ma. Tetapi harapan itu akan menjadi se makin sura m"
"Ya ka kang. Yang se karang ha mpir tidak dapat dikendalikan adalah Raden Rudira dan adiknya Raden Ajeng Warih. Mereka merasa lebih berkuasa dari ayahanda Pangeran Ranakusuma " "Aku sudah menyangka. Karena kedua anak-anak itulah agaknya Raden Ayu Sontrang sampai hati menyingkirkan saudara sepupunya sendiri dari istana" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi sebenarnya Raden Ayu Galihwarit yang disebut Sontrang itu tidak usah berusaha mengusir puteri itu, karena ia tidak berputera. Raden Ayu Manik tida k akan me merlukan pe mbagian kekayaan sua minya, karena ia tidak me mpunyai anak keturunan" "Bukan anak keturunannya sendiri. Raden Ayu Manik selalu berbicara tentang Raden Juwiring yang kini ada di padepokan ini. Itulah sebabnya Jika demikian, maka hak Raden Juwiring akan menjadi sa ma dengan hak Raden Rudira. Itulah yang me mbuat Raden Ayu Sontrang berusaha menyingkirkan Raden Ayu Manik" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya "Apakah kau mengetahui cara yang dipergunakan untuk me ngusir Raden Ayu Manik?" "Seperti yang dilakukan buat mengusir Raden Juwiring. Adalah kebetulan seka li bahwa Pangeran Raksanagara, ayah Raden Ayu Manik, sangat me mbenci kepada kumpeni. Dan kebencian itu dapat dimanfaatkan dengan baik sekali oleh Raden Ayu Sontrang. Ia minta bantuan kumpeni untuk mendesak Pangeran Ranakusuma, agar Raden Ayu Manik, puteri seorang yang me mberi kumpeni itu dike mbalikan kepada ayahnya. Kalau tidak, kumpeni tidak akan mau berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma di da la m segala hal" "Gila. Benar-benar perbuatan yang sangat licik. Alangkah bodohnya orang-orang asing itu. Mereka telah diperalat untuk kepentingan pribadi dan nafsu keta makan"
"Tida k kakang. Bukan suatu kebodohan. Orang-orang asing itu juga orang-orang tama k. Mereka adalah orang-orang yang selalu kehausan apapun juga " "Tetapi apakah yang mereka dapatkan dari Pangeran Ranakusuma?" "Kumpeni ingin mendapatkan dukungan yang kuat dari kalangan istana Surakarta untuk dapat me mberikan tekanantekanan lebih berat lagi bagi Kangjeng Sunan. Kalau para Pangeran sudah berhasil dipengaruhinya, dengan segala maca m cara. sebagian dengan janji-janji dan sebagian lagi dengan harta benda, maka kedudukan Kangjeng Sunan akan menjadi se makin le mah. Dengan de mikian maka se mua persetujuan yang dipaksakan oleh kumpeni tida k akan dapat ditolaknya lagi" Dipana la berhenti sejenak, lalu "Tetapi secara pribadi kumpeni itu juga mendapat imba lan dari persoalan pribadi Raden Ayu Sontrang dan Raden Ayu Manik" "Apa yang mereka dapatkan?" Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Ditatapnya wajah Kiai Danatirta sejenak. Namun ke mudian ia hanya menelan ludahnya saja -sambil menundukkan kepalanya. "Apakah yang mereka dapatkan secara pribadi?" desak Kiai Danatirta" "Maaf kakang. Sebenarnya aku tidak sampa i hati untuk mengatakannya. Tetapi apaboleh buat. Kau me mang perlu mendapat ga mbaran seluruhnya" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "berat seka li untuk me ngatakannya, justru menyangkut na ma baik seorang puteri bangsawan" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ketajaman perasaannya segera menangkap persoalan yang belum dapat dikatakan oleh Ki Dipanala. Karena itu justru Kia i Danatirtalah yang kemudian berkata "Dipanala. Aku mengerti. Bukankah kau berma ksud mengatakan bahwa kumpeni-kumpeni itu mendapat imbalan secara pribadi juga" Aku tahu bahwa
Raden Ayu Galihwarit, meskipun sudah berputera sebesar Raden Rudira, namun nampaknya masih muda dan cantik. Menilik sifat-sifatnya yang licik, maka me mang mungkin seka li terjadi, bahwa ia telah mengorbankan kehormatannya sebagai seorang puteri bangsawan untuk mendapat jalan, mengusir Raden Ayu Manik" Ki Dipanala menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut "Dugaan itu tepat kakang. Ia bahkan mendapatkan segala-galanya. Bukan sekedar bantuan mengusir Raden Ayu Manik, tetapi ia me mang me merlukannya. Bukankah kau tahu, bahwa Pangeran Ranakusuma tidak lagi dapat berbuat apaapa untuknya?" "He m" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m "benarbenar suatu perbuatan yang me malukan. Memalukan bukan saja bagi para bangsawan, tetapi juga bagi kita seluruhnya. Bagi orang berkulit sawo matang ini" Ki Dipanala mengangguk-angguk. Tetapi kata-katanya terputus ketika Arum me langkah masuk ke pringgitan sambil menjinjing mangkuk minuman. "Arum" desis Ki Dipanala "Kau sudah prigel menghidangkan suguhan buat ta mu-tamu ayahmu" "Ah paman" Arum berdesah "Tetapi marilah pa man. Sekedar air untuk menghilangkan haus" "Terima kasih Arum. Berapa pekan paman tidak datang ke mari. Kau tampaknya cepat tumbuh dan sekarang kau benar-benar seorang gadis dewasa. He, berapa umurmu?" Arum t idak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya. "Ia pantaran dengan anakku yang bungsu. Bukankah begitu kakang?" Kiai Danatirta menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya. Hanya berselisih dua pekan"
Ki Dipanala mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian "Sering datanglah ke rumah pa man. Kau akan banyak melihat" "Terima kasih pa man. La in kali ka lau ayah mengijinkannya "Ki Dipanala tersenyum. Dipandanginya Arum yang bergeser surut ke mudian meninggalkan pringgitan. "Anakmu cepat menjadi besar kakang" Kiai Danatirta mengangguk" "Ta mpaknya jauh lebih dewasa dari anakku yang masih senang berma in pasaran di hala man" Kiai Danatirta tertawa. "Ia akan menjadi gadis yang tinggi besar seperti ibunya" berkata Ki Dipana la ke mudian. Kiai Danatirta tidak menyahut. wajahnya menjadi sura m. Tetapi tiba-tiba saja
Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipanala. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut ibu Arum yang sudah tidak ada lagi itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia berusaha menga lihkan pe mbicaraan "Kapan Raden Juwiring ke mba li dari sawah?" "Biasanya setelah tengah hari" jawab Kia i Danatirta "Apakah kau akan mene muinya?" Dipanala merenung sejenak, la lu "Tetapi aku ka li ini t idak me mbawa apapun buat Raden Juwiring. Aku sama sekali tidak berhasil mendapat sekedar belanja buat anak muda yang ma lang itu. Apalagi sepotong pakaian" "Ah, jangan kau pikir lagi tentang belanja dan pakaian. Ia sudah berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan ini. Jangan kau rusakkan lagi dengan kebiasaan yang cengeng di istana Kapangeranan itu" Dipanala me ngangguk-angguk.
"Kalau kau ingin bertemu dengan Raden Juwiring, jangan kau katakan apa yang terjadi di rumah itu. Ia akan menjadi semakin prihatin. Kalau perasaan mudanya tidak dapat dikendalikannya, ma ka pada suatu saat akan meledak dengan dahsyatnya. Padahal ia tidak mempunyai kekuatan apapun di belakangnya, sehingga ledakan itu pasti hanya akan menghancurkan dirinya sendiri" "Ya kakang. Tetapi sebaiknya ia mengetahui, bahwa kadang-kadang Raden Rudira menyebut namanya. Bahkan anak itu ingin me lihat dimana Raden Juwiring tingga l" "Buat apa ia melihat te mpat ini?" "Itulah yang mence maskan. Aku kira ia masih belum puas bahwa Raden Juwiring hanya sekedar tersisih. Ia pasti me mpunyai tujuan yang lain yang barangkali tidak akan dapat kita bayangkan, hati apakah yang sudah bermukim di dadanya" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Terbayanglah tatapan mata yang tajam seorang bangsawan muda yang bernama Rudira itu. Bangsawan muda yang berhati hita m seperti hati ibunya, Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang. Seorang perempuan bangsawan yang bertubuh tinggi besar, berkulit kuning langsat. Wajahnya yang bulat seperti bulan purna ma dihiasi dengan sepasang mata yang berkilat-kilat. Tetapi di dala m dadanya yang mendebarkan jantung itu, tersembunyi hati yang hita m leka m. Dan kehita man hatinya itu telah menurun kepada kedua anakanaknya. Raden Rudira dan adiknya. "Kalau hal itu kau anggap perlu Dipanala, katakanlah. Tetapi hati-hati, jangan menimbulkan kece masan yang berlebih-lebihan di hatinya. Dipanala mengangguk sa mbil menjawab "Aku mengerti kakang" "Tunggulah sa mbil minum. Ia akan segera datang"
Lambang Penyebar Kematian 2 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Geger Ratu Racun 3