Runtuhnya Kerajaan Manchuria 3
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria Bagian 3
gunakan Sun Kwan Tek untuk melarikan diri.
Mengetahui lelaki itu hendak melarikan diri, Bala-
dewa kembali bertindak. Dilepaskan pedangnya yang
masih menancap di perut lawan. Lalu tubuhnya berge-
rak cepat, melompat dan menubruk tubuh lawan yang
belum begitu jauh tempatnya berdiri.
"Hup!"
Tubuh Baladewa dan tubuh Sun Kwan Tek berguli-
ngan di atas tanah. Keduanya berusaha saling men-
cengkeram lawan.
Sementara itu, Bong Mini yang sejak tadi menyaksi-
kan pertarungan dari jauh, kini mendekat dan meng-
amati dua lelaki gagah yang sedang baku hantam de-
ngan tangan kosong.
Baladewa dan Sun Kwan Tek masih bergulingan di
atas tanah. Sedangkan tangan keduanya saling men-
cengkeram leher lawan dengan kuat.
Dukkk! Tangan kanan Sun Kwan Tek yang semula men-
cengkeram leher lawan, tiba-tiba bergerak memukul
wajah Baladewa yang berada di atas tubuhnya.
Baladewa melepaskan cekikan kedua tangannya
pada leher lawan. Sedangkan tubuhnya sendiri terhe-
nyak ke belakang. Sebelum sempat bangkit, Sun Kwan
Tek bergerak memburunya.
Dukkk! "Hekh!"
Sun Kwan Tek memekik tertahan. Sedangkan kedua
tangannya meraba perutnya yang sakit. Pada saat hendak menubruk tubuh lawan yang
masih berbaring di
atas tanah, rupanya kaki Baladewa bergerak cepat
menendang keras perutnya.
Baladewa cepat berdiri dan melayangkan tinjunya
pada muka lawan yang masih meringis kesakitan.
Dukkk! "Aaakh!"
Tubuh Sun Kwan Tek terjengkang ke belakang. Ba-
ladewa segera memburunya.
Dukkk! Dukkk! Pukulan bertubi-tubi ke wajah Sun Kwan Tek dilan-
carkan Baladewa. Tak ada tiga tarikan napas, sekujur wajah lelaki itu dibanjiri
darah segar. Baladewa yang tidak pernah memberi ampun la-
wannya, kembali berbuat sadis. Tubuh Sun Kwan Tek
yang sudah tak berdaya itu dihantam berkali-kali.
Crukkk! Tulang-tulang rusuk lawan remuk seketika saat tiga
kepalan tangan Baladewa menghantamnya. Kemudian
ujung-ujung tulang rusuk yang patah itu tersembul
menembus kulit tubuhnya.
Sun Kwan Tek menggeliat berbareng raungan pan-
jang, menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Baladewa bertambah nafsu melihat geliatan tubuh
Sun Kwan Tek. Kembali dihantamnya lawan. Kali ini
tinju Baladewa merangsek wajah Sun Kwan Tek.
Crokkk! Dua biji mata Sun Kwan Tek langsung terlepas dari
ceruknya saat pukulan 'Tangan Geledek' Baladewa
menghantam wajah lelaki itu. Belum puas dengan hal
itu, Baladewa mendaratkan pukulannya kembali seca-
ra bertubi-tubi.
"Aaakh!"
Sun Kwan Tek memekik tertahan saat tiga pukulan
Baladewa mendarat telak di wajah dan kepalanya. De-
tik itu pula, Sun Kwan Tek mati. Otaknya menyembur
keluar dari kepalanya yang retak.
Baladewa berdiri tegak sambil menatap mayat la-
wan lekat-lekat.
"Sadis!" desis Bong Mini.
Baladewa memalingkan pandangannya ke arah
Bong Mini seraya tersenyum kecut.
"Apa lagi tindakan kita selanjutnya?" tanya Bala-
dewa. "Kau ingin terus menyertai perjuanganku?" Bong
Mini balik bertanya.
"Sehidup semati! Itulah janjiku padamu!" kata Bala-
dewa dengan wajah sungguh-sungguh.
Bong Mini tersenyum kecil.
"Baiklah kalau begitu. Kita akan terus menggempur
Istana Kaisar Thiang Tok di lembah sana!" kata Bong Mini. Jarinya menunjuk
istana kerajaan yang berdiri di seberang lembah.
Baladewa menoleh ke arah yang ditunjuk Bong
Mini. Kepalanya mengangguk-angguk saat matanya
memandang jelas bangunan megah itu.
"Kita bergerak sekarang!" kata Bong Mini lagi seraya melangkah.
"Tunggu!"
Tiba-tiba terdengar seruan seseorang.
Bong Mini dan Baladewa membalikkan tubuh. Di
sana, keduanya melihat Bongkap dan rombongannya
tengah bergerak ke arah mereka.
Bongkap dan rombongannya terkejut saat menje-
jakkan kaki ke tempat di mana Bong Mini dan Bala-
dewa berada. Karena mereka melihat mayat-mayat
prajurit yang bergeletakan di sekitar tempat itu.
"Apakah kalian yang melakukan pembantaian ini?"
tanya Bongkap. Bong Mini dan Baladewa saling berpandangan. Ke-
mudian kepala keduanya mengangguk.
"Kalau begitu, kita segera bertindak!" kata Bongkap.
Bong Mini terkejut senang mendengar ucapan pa-
panya. Tanpa mengulur-ulur waktu lagi, mereka segera bergerak melakukan
penyerbuan ke Istana Kaisar
Thiang Tok. *** 7 Malam siap beringsut.
Cahaya matahari mulai memendar di belakang pun-
cak pegunungan sebelah barat. Tepat sebelum kegela-
pan menyelimuti bumi, rombongan Bong Mini telah be-
rada di sekitar benteng Istana Kerajaan Manchuria.
Melihat bahaya mengancam, lima puluh prajurit
yang bertugas di luar benteng segera bertindak. Rom-
bongan Bong Mini diserang dengan tombak dan pe-
dang mereka masing-masing. Dalam waktu singkat,
denting senjata dan pekik peperangan berbaur menjadi satu.
Pertempuran tak seimbang berlangsung sengit. Na-
mun jika ditilik dari segi kemampuan dan kepandaian, pasukan Bong Mini jelas
lebih unggul dibanding pihak musuh. Seni perang pun hanya sedikit yang mereka
ketahui. Tidak heran bila dalam pertempuran itu pihak Bong Mini lebih banyak
menelan korban ketimbang
para prajurit Kerajaan Manchuria.
Trang trang trang!
Benturan senjata yang datang dari arah berlawanan
itu terdengar berdenting nyaring mengilukan. Bunga
api berpijar di sana-sini, membuat suasana benar-benar mencekam, mengerikan dan
penuh darah. "Hiyaaat!"
Bong Mini mengeluarkan lengkingan tinggi. Kemu-
dian tubuhnya melesat sambil berputar seperti baling-baling kapal. Begitu pula
dengan pedangnya yang bergerak tak kalah cepat menyambar sepuluh penge-
royoknya. Singngng! Bret! Sinar merah yang bergulung cepat itu menyambar
lima musuhnya. Dalam sekejap mata, lima orang yang
terbabat pedang Bong Mini tewas mengerikan.
Sementara itu, para prajurit Kerajaan Manchuria
yang berada di dalam benteng terkejut mendengar dentang senjata dan teriakan
kematian di luar benteng.
Kericuhan itu memancing mereka untuk membuka
gerbang. Saat gerbang terkuak, mereka terkesiap bukan ke-
palang melihat pemandangan yang tak disangka itu.
"Cepat bantu mereka!" perintah seorang dari me-
reka. Kemudian dua ratus prajurit berhamburan ke
luar benteng untuk membantu teman-temannya me-
nyerang pasukan Bong Mini. Sedangkan prajurit yang
memberi komando segera melangkah ke dalam istana.
Di ruang kebesaran, Kaisar Thiang Tok tampak se-
dang bercakap-cakap dengan lima panglima perang-
nya. Percakapan mereka tiba-tiba terpenggal manakala seorang prajurit tergopoh-
gopoh memasuki ruangan
itu. "Kau telah melanggar aturan! Kau memasuki rua-
ngan ini tanpa kupanggil!" bentak Kaisar Thiang Tok seraya berdiri murka.
"Maafkan hamba, Tuanku!" ucap prajurit itu sambil
menjura dalam-dalam. "Sesungguhnya kelancangan
hamba memasuki ruangan ini karena ingin menyam-
paikan berita buruk kepada Tuanku!" lanjutnya.
Kaisar Thiang Tok dan lima panglima perangnya
menaikkan alis mendengar ucapan prajurit itu. Me-
reka, saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Berita apa yang ingin kau sampaikan, prajurit?"
tanya Kaisar Thiang Tok ingin segera mendengar.
"Di luar telah terjadi pertempuran antara prajurit
kerajaan dengan para pemberontak!" jelas prajurit itu.
Kaisar Thiang Tok dan lima panglima perangnya
terkejut. Wajah mereka kian berkerut tegang.
"Pemberontak!" desis Kaisar Thiang Tok seperti ber-
tanya pada diri sendiri.
"Benar, Tuanku! Malah prajurit kita yang berjumlah
ratusan orang hampir dikalahkan para pemberontak
itu!" lapor prajurit itu kembali.
Penuturan prajurit itu tentu saja sangat menge-
jutkan Kaisar Thiang Tok dan para panglimanya.
"Keparat!" maki Kaisar Thiang Tok geram. Urat-urat
di keningnya mulai menonjol, menunjukkan kalau ke-
marahannya sudah demikian memuncak. "Kita segera
ke sana!" Lima panglima perang dan prajurit tadi segera
mengikuti langkah kaisarnya yang berjalan lebih dahu-lu. Sampai di halaman
istana, Kaisar Thiang Tok dan lima panglimanya menjadi terkejut manakala melihat
benteng yang selama ini berdiri kokoh sudah runtuh
sebahagian akibat pertempuran dahsyat itu. Mereka
menjadi lebih terkejut ketika melihat lelaki berlengan buntung yang begitu
tangkas menghadapi serangan
para prajurit istana.
"Jahanam! Dia telah menyerang lebih dahulu!" Kai-
sar Thiang Tok murka. Wajahnya terbakar kemarahan.
"Thiang Tok, majulah! Jangan hanya pandai menon-
ton pertempuran!" tiba-tiba terdengar teriakan bernada mengejek. Dan suara itu
terlontar dari mulut Bongkap.
Secara kebetulan dia melihat Kaisar Thiang Tok ber-
sama lima panglima perangnya.
"Buntung keparat!" Kaisar Thiang Tok mendesis
marah. "Apakah orang itu yang selama ini menggayuti piki-
ran Tuanku?" tanya Panglima Cong Siat Fong sambil
memperhatikan kegigihan Bongkap menghadapi kero-
yokan prajurit kerajaan.
"Ya. Itulah orang yang bernama Bong Khian Fu!"
Kaisar Thiang Tok menegaskan.
"Kalau begitu, biar kami beresi orang itu!" ujar
Panglima Cong Siat Fong, lelaki berwajah bengis.
"Hati-hati, dia amat berbahaya!" kata Kaisar Thiang Tok memperingatkan. "Kalau
bisa, tangkap Bong Khian Fu hidup-hidup. Aku ingin mengakhiri nyawanya secara
perlahan-lahan!" lanjutnya.
"Baik, Tuanku!" ucap Panglima Cong Siat Fong. Ke-
mudian bersama empat temannya, ia bergerak menuju
kancah pertempuran.
*** Pertempuran semakin seru dan dahsyat. Korban
banyak berjatuhan dari kedua belah pihak. Terutama
di pihak kerajaan. Selain banyak yang mati, tidak sedikit pula yang terluka
parah dan tidak dapat melanjutkan pertempuran.
Sementara itu, Bongkap atau Bong Khian Fu masih
bertahan terhadap serangan gencar para prajurit la-
yaknya air bah. Setiap kali ada prajurit yang tewas, prajurit yang lain selalu
menggantikannya.
Wut wut wut! Lima larik sinar pedang menyambar kepala, perut,
dan kaki Bongkap dengan ganas. Secepat kilat Bong-
kap memiringkan tubuhnya ke belakang berbareng
lompatan setinggi dua meter. Ketika meluncur turun, tubuhnya berpusing bagai
baling-baling kapal.
Bret bret bret!
Sinar putih menyambar dari putaran tubuhnya ke
arah para pengepung. Akibatnya, tiga prajurit lang-
sung mati di ujung pedang Bongkap. Kemudian masih
dengan tubuh berpusing, Bongkap kembali melancar-
kan serangan dengan dua jurus kungfu andalan, 'Pe-
dang Samber Nyawa' dan 'Tanpa Bayangan'. Kedua ju-
rus inilah yang dikerahkan sejak awal pertempuran.
Singngng! Bret bret bret!
"Aaakh!"
Lima prajurit kerajaan mati sekaligus dengan kepa-
la terpisah dari badan.
Wut wut wut! Selarik sinar putih pantulan dari sebatang pedang
lawan menyambar bagai lidah kilat ke arah Bongkap
yang mulai mengurangi putaran tubuhnya. Untunglah
mata Bongkap cukup jeli menangkap sinar pedang itu.
Dengan cepat tubuhnya berguling di udara. Karena
demikian cepat berputar, tubuhnya terlihat bagai bola yang ditendang ke udara.
Cong Siat Fong, Bong Cun Min, serta puluhan pra-
jurit yang melakukan serangan terperangah menyaksi-
kan tubuh Bongkap berputar di udara. Dan ketika tu-
buh Bongkap meluncur ke bawah dengan kecepatan
deras, mereka segera menyambut dengan sabetan pe-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang. Trang trang trang!
Sabetan puluhan pedang yang bergerak cepat itu
segera ditangkis oleh Bongkap.
"Uh!"
Lima prajurit memekik tertahan manakala terjadi
benturan pedang, karena Bongkap telah menyalurkan
tenaga dalam yang luar biasa melalui pedangnya. Telapak tangan kelima prajurit
itu seketika terasa perih membuat mereka melempar pedang ke samping. Sedangkan
tubuh mereka terjengkang ke belakang.
Bongkap yang terkenal ganas dalam setiap pertem-
puran langsung menerjang mereka seraya menya-
betkan pedangnya.
Bret bret bret!
Creb! Lima prajurit yang belum mampu bangkit itu lang-
sung tewas tersayat pedang Bongkap.
Di lain pihak, Panglima Cong Siat Fong dan Bong
Cun Min memburu Bongkap dengan ganas.
Wut wut! Angin yang ditimbulkan gerakan dua pedang kedua
lawan menderu di sekitar tubuh Bongkap dengan ke-
ras. "Hup!"
Bongkap berguling ke belakang sejauh dua tombak.
Sebelum tubuhnya bangkit, Panglima Cong Siat Fong
dan Bong Cun Min kembali menyerangnya. Begitu ce-
pat dan ganas, membuat Bongkap kewalahan dan ter-
paksa bergulingan kembali di tanah tanpa mampu me-
lakukan serangan.
Sret! Ujung pedang Bong Cun Min menggores bahu ka-
nan Bongkap. Saat itu pula darah membasahi seba-
gian pakaiannya.
Bongkap bergulingan, tanpa dapat meraba bahunya
yang terluka. Dia memang tak bisa melakukan hal itu karena tangan kirinya sudah
tak ada lagi. Pada kesempatan yang sama, Cong Siat Fong segera
mengirimkan totokan ke tengkuk lawan dengan dua ja-
rinya. "Ekh!"
Bongkap mengeluh pendek. Gerakan tubuhnya
langsung terhenti dan tak dapat bergerak lagi. Seluruh tubuhnya lumpuh, kecuali
matanya yang berkilat-kilat murka pada kedua lawan.
Bibir panglima Cong Siat Fong dan Bong Cun Min
menyeringai melihat lawan tak berdaya.
"Ternyata hanya seperti ini kehebatan Bong Khian
Fu yang dikhawatirkan Kaisar Thiang Tok!" cemooh
Panglima Cong Siat Fong. Kemudian didekatinya Bong-
kap yang masih tergeletak di tanah, lalu dibawa me-
nuju ruang istana.
Kaisar Thiang Tok tersenyum senang melihat Pang-
lima Cong Siat Fong datang membawa tubuh Bongkap
yang sudah tak berdaya. Cong Siat Fong sendiri men-
dudukkan Bongkap pada sebuah kursi.
"Hm...! Ternyata orang-orangku tidak mengalami
banyak kesulitan untuk merobohkanmu, Bong Khian
Fu!" ejek Kaisar Thiang Tok seraya menyeringai.
Bongkap tak bisa berbuat apa-apa untuk menang-
gapi ejekan itu. Hanya kedua matanya saja yang me-
mandang tajam ke arah Thiang Tok, penuh kemarahan
dan dendam. "Bawa dia ke kamar tahanan!" perintah Kaisar
Thiang Tok kepada empat pengawal khususnya.
Tanpa banyak cakap, dua di antara lima orang pe-
ngawal pribadinya menghampiri Bongkap dan lang-
sung menggiringnya ke kamar tahanan. Sedangkan
Kaisar Thiang Tok, Panglima Cong Siat Fong, Bong
Cun Min, dan dua prajurit lain mengikuti dari bela-
kang. *** Kamar tahanan itu terletak dalam ruang bawah ta-
nah di belakang istana. Luas ruangan itu sekitar seratus meter persegi.
Dindingnya dibangun dengan batu-
batu kali. Bagian luarnya dilapisi besi baja yang terlihat kokoh, sehingga tahan
untuk masa puluhan ta-
hun. Ruang bawah tanah itu hanya memiliki satu kamar
dengan luas sekitar empat meter persegi. Dindingnya berupa tembok batu setinggi
satu meter yang bersam-bung dengan jeruji besi. Sedangkan bagian lain dibiarkan
kosong tanpa kamar, kecuali tumpukan peti-peti
barang. Bongkap sudah berada di ruang tahanan. Dia diikat
kuat di sebuah kursi. Tubuhnya begitu lemas, karena masih dalam pengaruh
totokan. Kaisar Thiang Tok berdiri menyeringai memandangi
lelaki yang pernah menjabat sebagai panglima kera-
jaannya. "Masih ada seorang lagi yang belum berhasil kita
tangkap!" ujar Kaisar Thiang Tok pada kedua panglima perangnya.
"Putri tahanan ini maksud Tuanku?" tanya Pangli-
ma Cong Siat Fong.
"Ya!"
"Kalau orangtuanya berhasil kita tangkap, tentu pu-
trinya lebih mudah diringkus," kata Panglima Cong
Siat Fong meremehkan.
"Benar, Tuanku!" sela Bong Cun Min. "Aku yakin,
Liu Sun Jie, Cong A Thit, dan Ngi Ik Cin akan berhasil menangkap gadis itu,"
lanjutnya. Kaisar Thiang Tok mengangguk-angguk sambil ter-
senyum kecil. "Mungkin hanya gadis itu yang akan kubiarkan hi-
dup. Kecuali kalau sudah tua dan wajahnya berubah
keriput," ceracau Kaisar Thiang Tok dengan bibir
mengurai senyum sambil membayangkan kecantikan
Putri Bong Mini, walau ia sendiri belum pernah meli-hatnya.
Mendengar ucapan Kaisar Thiang Tok yang cabul
itu, darah Bongkap bergejolak. Ingin sekali dicabik-cabiknya mulut Kaisar Thiang
Tok kalau saja tubuh-
nya tidak sukar digerakkan.
*** Pertempuran antara kaum pemberontak dengan
prajurit kerajaan sudah mereda. Korban banyak berjatuhan, terlebih di pihak
prajurit. Karena walaupun
berjumlah sampai ratusan orang, pasukan kerajaan
masih kalah unggul dalam tehnik berperang dibanding lawan.
Banyaknya korban di pihak musuh, bagi Bong Mini
bukan berarti pertempuran menjadi lebih ringan. Dia tampak masih cukup kewalahan
menghadapi tiga musuhnya. Yang dihadapi kali ini bukanlah puluhan prajurit yang
mudah dirobohkan, melainkan tiga panglima perang yang cukup tangguh dan sadis.
Malah ia hampir terdesak oleh hujaman-hujaman pedang yang me-
ngurung dirinya.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini melenting setinggi dua tombak.
Kemudian tubuh mungil itu berputaran di udara
menghindari serangan pedang Liu Sun Jie, Cong A
Thit, dan Ngi Ik Cin. Setelah itu, kedua kakinya menjejak di tempat yang agak
jauh dari arena pertarungan semula.
Sambil menjejakkan kaki, Bong Mini menyebarkan
pandangannya ke sekitar tempat pertempuran. Dia
mencari-cari sesuatu. Tapi yang dicarinya tidak juga terlihat.
"Papa tidak ada!" desis Bong Mini dengan wajah
khawatir. Melihat gadis itu berdiri bimbang, ketiga lawannya
segera memburu untuk melancarkan serangan susu-
lan. Trangngng! Walaupun konsentrasi Bong Mini buyar karena me-
mikirkan papanya, ia masih mampu menangkis huja-
man tiga pedang lawan yang mengarah padanya. Ma-
lah dengan kemarahannya yang mendadak muncul
akibat kehilangan papanya, ia berhasil menyodokkan
Pedang Teratai Merah-nya.
Creb! "Aaakh!"
Cong A Thit memekik tertahan ketika ujung pedang
Bong Mini menusuk perutnya. Dalam sekejap, darah
menyembur dan membasahi pedang gadis itu. Selan-
jutnya, tubuh yang berdiri limbung itu ambruk dan
mati seketika. Liu Sun Jie dan Ngi Ik Cin terkejut bukan main ke-
tika melihat gadis itu dapat merobohkan temannya.
"Keparat! Rasakan pedangku!" hardik Liu Sun Jie
geram. Kemudian dilanjutkan dengan serangan pe-
dangnya yang bergerak miring untuk menyambar leher
Bong Mini. Trangngng! Bong Mini menangkis serangan pedang lawannya
seraya memiringkan tubuh ke samping. Disusul de-
ngan sebuah tendangan lurus kaki kanannya ke dada
lawan. Bukkk! "Aaakh!"
Liu Sun Jie memekik kaget ketika mendapat ten-
dangan Bong Mini. Pedang di tangan kanannya terle-
pas dan jatuh di samping Bong Mini. Sedangkan tu-
buhnya sendiri terjengkang ke belakang.
Mendapat kesempatan baik itu, Bong Mini langsung
memburu dan hendak menghujamkan pedangnya ke
arah Liu Sun Jie. Namun baru saja pedangnya hendak
diayunkan, selarik sinar pedang berkelebat menuju kepalanya.
"Hup!"
Bacokan pedang Ngi Ik Cin yang mengarah ke ke-
pala Bong Mini bisa ditangkap dengan tangan kirinya.
Disusul dengan satu sabetan pedang ke perut lawan.
Bret! Dengan ganas pedang Bong Mini menyayat tubuh
lawannya hingga terputus dua.
Liu Sun Jie terbelalak kaget melihat kesadisan Bong Mini. Dia tidak menyangka
gadis muda secantik Bong
Mini mampu melakukan tindakan ganas itu. Lebih ka-
get lagi setelah mengetahui tingkat kepandaian Bong Mini yang demikian tinggi.
Sejak melihat papanya tidak ada, Bong Mini ber-
ubah menjadi panik. Ia mengkhawatirkan keselamatan
Bongkap. Kalau papanya menghilang dari arena per-
tempuran, berarti pihak kerajaan telah berhasil me-
nangkapnya. Oleh karena itu ia berubah geram dan ingin mengakhiri pertarungan
secepatnya. Dan untuk
mempercepat pertarungan, terpaksa ia mengikuti gerakan Pedang Teratai Merah yang
mempunyai kekuatan
gaib. Sehingga setiap kali pedangnya mengenai sasa-
ran, selalu diakhiri dengan kematian yang mengerikan.
Liu Sun Jie berdiri gentar menghadapi Bong Mini.
Apalagi ketika mata gadis itu mencorong tajam, seolah-olah hendak melumat
tubuhnya. Tapi segentar apa
pun, mau tidak mau ia harus menghadapi gadis itu.
Mengingat jabatannya sebagai panglima perang.
"Heh, kenapa bengong!" ejek Bong Mini. "Atau kau
gentar karena tidak memiliki pedang?" lanjut Bong
Mini. "Pakailah pedangku ini!"
Singngng! Pedang Teratai Merah yang dilemparkan Bong Mini
segera disambut oleh Liu Sun Jie dengan tangkas. Kemudian dia mengamati pedang
milik Bong Mini itu be-
berapa saat. Hatinya begitu kagum melihat pedang
yang selalu memancarkan sinar merah berbentuk bu-
nga teratai. "Hm..., aku merasa pedang ini mempunyai kesak-
tian yang luar biasa," gumam Liu Sun Jie penuh keya-kinan. "Ternyata gadis itu
begitu bodoh telah memberikan pedang ini kepadaku!" bisik hatinya. Kemudian
dipandangnya lawan yang berdiri di hadapannya.
"Aku pasti dapat membunuhnya dengan pedang
sakti ini!" gumam Liu Sun Jie, menyeringai angkuh.
Saat itu dia merasa yakin dapat memenangkan perta-
rungan. Apalagi Bong Mini kini tak bersenjata.
"Hiyaaat!"
Liu Sun Jie mengeluarkan pekikan tinggi saat tu-
buhnya mencelat ke arah Bong Mini. Pedang di ta-
ngannya merangsek dalam gerakan lurus, sedang ta-
ngan kirinya setengah terbentang ke depan.
Wut! Pedang yang dihujamkan ke arah kepala Bong Mini
berkelit ke samping kiri. Begitu kuat! Sehingga tubuh Liu Sun Jie ikut
terpelanting, lalu jatuh bergulingan di atas tanah. Sedangkan gadis yang hendak
menjadi sa-sarannya itu malah berdiri tenang sambil tersenyum
menyaksikan lawannya yang sibuk sendiri
Liu Sun Jie sangat terkejut melihat kenyataan itu.
Ia hendak berusaha melepaskan Pedang Teratai Merah
yang digenggamnya. Namun niatnya itu tidak terlaksa-na. Sekujur tangan hingga
jari-jemarinya terasa ter-kunci rapat. Ketika ia hanya dapat telentang di atas
tanah karena putus asa, Pedang Teratai Merah memberikan kekuatan gaib pada
tangan kanan Liu Sun Jie, sehingga tangan tersebut bergerak tanpa kendali.
Mata Liu Sun Jie membelalak penuh kengerian keti-
ka ujung pedang itu berbalik arah tepat ke perutnya.
Ingin ditariknya kembali senjata aneh itu tapi sia-sia.
Tenaga gaib di dalam Pedang Teratai Merah begitu
kuat menarik tangan Liu Sun Jie. Creb!
"Aaakh!"
Mulut Liu Sun Jie memekik tertahan ketika Pedang
Teratai Merah menancap perutnya sendiri, seolah-olah dia melakukan bunuh diri.
Tidak lama kemudian, ia
tewas dengan dua biji mata mendelik serta lidah menjulur keluar.
Setelah Liu Sun Jie mati, Pedang Teratai Merah se-
gera melepaskan diri dari genggamannya. Senjata itu melayang ke Bong Mini. Lalu
masuk ke sarungnya.
Bong Mini menghela napas menyaksikan peristiwa
tadi. Kemudian tubuhnya berkelebat cepat menuju
ruang dalam istana.
*** 8
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaki Bong Mini melangkah perlahan. Dia menyeli-
nap pada setiap ruangan di dalam Istana Kaisar
Thiang Tok. Namun setiap ruangan yang dimasuki ter-
nyata kosong. Jangankan mendapatkan papanya, Kai-
sar Thiang Tok sendiri belum juga ditemukan.
"Hm..., pasti kaisar itu telah menyembunyikan pa-
pa," pikir Bong Mini. Gadis itu berdiri mematung. Matanya menyebar ke
sekeliling, mencari kamar-kamar
rahasia. Di saat itu, empat lelaki tiba-tiba memburu ke arah Bong Mini dan langsung
mengurungnya dengan pedang di tangan masing-masing.
Bong Mini berdiri tegang. Diamatinya mereka de-
ngan sorot mata tajam. Ketika mengetahui kalau pe-
ngepungnya adalah para pengawal kerajaan, Bong Mini berkata ringan.
"Kalian sebaiknya minggir! Aku cuma berurusan de-
ngan Kaisar Thiang Tok!" usir Bong Mini tenang. Na-
mun pandangannya tetap tajam menusuk mata para
pengepungnya. Empat pengawal setia Kaisar Thiang Tok yang ditu-
gaskan menjaga pintu ruang bawah tanah mendengus
geram. Kemudian tanpa komando lagi, mereka mela-
brak Bong Mini.
Wut wut wut! Dengan tenang Bong Mini menghindari serangan
itu. Tubuhnya melenting ringan. Dan secara tiba-tiba kedua kakinya bergerak
mencari sasaran.
Duk duk! Sepasang kaki Bong Mini berhasil menendang wa-
jah dua penyerang yang berada di kiri dan kanannya.
Keduanya langsung terhuyung ke belakang. Setelah
melakukan tendangan, Bong Mini sendiri langsung me-
lompat menjauhi lawannya.
"Sudah kukatakan, sebaiknya kalian beritahu saja
di mana Kaisar Thiang Tok keparat itu berada!" ketus Bong Mini.
"Keparat! Kau pikir kami gentar melihat sepak ter-
jangmu tadi!" dengus seorang dari mereka. Kemudian
ia menyerang Bong Mini kembali. Begitu pula dengan
ketiga temannya.
Melihat keempat pengawal itu bergerak kembali ke
arahnya, Bong Mini segera mengerahkan jurus kungfu
'Tanpa Bayangan'. Dalam sekejap, tubuhnya sudah
berpusing. Dan begitu para pengeroyoknya sudah
mendekat, Bong Mini langsung mengerahkan jurus
'Tendangan Maut'-nya.
Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua prajurit yang terkena tendangan Bong Mini ta-
di, kembali merasakan kaki Bong Mini. Kali ini tendangan Bong Mini begitu
dahsyat menghantam dagu dan
dada mereka. Membuat kedua orang itu memekik ter-
tahan. Sedangkan tubuh keduanya terlempar dua
tombak ke belakang.
Brukkk! Dua tubuh yang membentur lantai secara bersa-
maan itu terdengar berdebum. Keduanya meringis di-
siksa sakit yang teramat sangat pada pundak dan pantat mereka. Untuk beberapa
saat, kedua pengawal itu hanya dapat bergulingan tanpa mampu berdiri.
Sementara itu di luar istana, pertarungan antara
para pendekar dan prajurit kerajaan masih saja ber-
langsung, walaupun tidak seramai sebelumnya.
Baladewa, Prabu Jalatunda, Ningrum, Yin Yin,
Thong Mey, Ratih Purbasari, Ashiong, Sang Piao, dan
Kao Cin Liong yang semula bertarung dengan lawan
masing-masing, kini bergabung menghadapi dua puluh
prajurit Kerajaan Manchuria. Mereka bersatu menye-
rang dan saling melindungi.
Walaupun jumlah lawan terbilang sedikit, prajurit
kerajaan tampak agak gentar menghadapi gabungan
para pendekar itu. Mereka mengakui kalau tingkat kepandaian lawan lebih tinggi
dibanding kepandaian mereka. Namun demikian, mereka tetap bertahan dan
melakukan penyerangan disertai pekikan-pekikan ting-gi. "Aaakh...! Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kesakitan dan kematian terdengar
susul-menyusul. Dilanjutkan dengan tewasnya enam
prajurit. Belum lagi yang terluka akibat sabetan pedang Baladewa, Yin Yin, Sang
Piao, dan Ashiong. Se-
dangkan Prabu Jalatunda, Thong Mey, Ratih Purbasa-
ri, dan Kao Cin Liong, sibuk pula menghadapi sembi-
lan prajurit yang masih bertahan. Tetapi tidak lama kemudian, mereka berhasil
pula ditewaskan.
Setelah melihat seluruh prajurit itu tewas, para
pendekar itu langsung memburu ke dalam istana.
Akhirnya mereka sampai di tempat pertarungan
Bong Mini melawan empat pengawal pribadi Thiang
Tok. Melihat Bong Mini masih bertarung, Baladewa lang-
sung melompat ke kancah pertarungan. Disabetkan
pedangnya ke arah dua pengawal yang berdiri gentar
melihat kedatangan para pendekar.
Bret bret! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua pengawal itu memekik tinggi ketika pedang Ba-
ladewa menyambar tangan kanan mereka masing-
masing. Bagai menebas pelepah pisang, tangan kedua-
nya terpotong sebatas bahu dan jatuh bersama pedang yang digenggamnya.
Darah mengucur deras dari bagian bahu kedua le-
laki itu. Membuat dua temannya yang masih berguli-
ngan di lantai membelalak ngeri. Wajah mereka lang-
sung pias. Apalagi ketika Bong Mini mendekati mereka dengan wajah garang.
"Ampun, Nona! Jangan bunuh kami!" rengek seo-
rang pengawal yang masih terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil ketakutan.
"Aku akan mengampuni kalian jika sudah memberi-
tahukan di mana kaisar menawan papaku!" sergah
Bong Mini tegas.
Hati empat pengawal tadi semakin ciut saja ketika
gadis itu menyebut kata papa. Mereka kini tahu kalau gadis berwajah cantik yang
berilmu tinggi itu putri Bong Khian Fu.
"Kami..., kami akan memberitahukannya, Nona. As-
al Nona mau melindungi kami jika Kaisar Thiang Tok
murka kepada kami karena telah membocorkan raha-
sia!" kata pengawal tadi, terbata-bata.
"Hm..., baik!" ucap Bong Mini berjanji. "Sekarang,
coba kau sebutkan di mana tempatnya!" lanjutnya.
"Di..., di sana! Di bawah tanah!" ucapnya lagi sam-
bil menunjuk ke sebuah lorong remang berpenerang
obor. Bong Mini bangkit perlahan sambil menoleh ke lo-
rong yang luasnya sekitar satu meter itu.
"Kita segera ke sana!" ajak Baladewa tidak sabar.
"Ya. Tapi ingat! Kaisar Thiang Tok aku yang hada-
pi!" kata Bong Mini.
"Terserah!" sahut Baladewa, pasrah terhadap kei-
nginan Bong Mini. Ia sendiri sadar kalau kepandaian Bong Mini di atas
kepandaiannya. Setelah mendapat kata sepakat, Bong Mini dan pen-
dekar lain melangkah menyusuri lorong. Sedangkan
empat pengawal kerajaan tadi melangkah di depan me-
reka sebagai penunjuk jalan.
*** Di ruang bawah tanah, keadaan Bongkap tampak
menyedihkan. Lelaki itu masih dalam keadaan duduk
terikat di atas sebuah kursi. Sementara Panglima Cong Siat Fong dan Panglima
Cong A Thit melakukan penyiksaan sadis terhadapnya. Mereka memukuli wajah
Bongkap bertubi-tubi hingga bengkak membiru dan
mengucurkan darah.
"Cukup!" Kaisar Thiang Tok memberi aba-aba. Bi-
birnya tersenyum angkuh pada Bongkap.
Dua panglima perang yang melakukan penyiksaan
terhadap Bongkap segera menghentikan pukulannya.
"Pindahkan dia dan ikat di tali gantungan!" perintah Kaisar Thiang Tok lagi.
Dua panglima perang itu segera melaksanakan pe-
rintah kaisarnya. Keduanya membuka ikatan, lalu me-
nyeret Bongkap untuk mengikatnya kembali ke tiang
gantungan yang terletak di sebelah kamar tahanan.
Kaisar melangkah mendekati Bongkap yang sudah
terikat tak berdaya itu. Ditatapnya Bongkap penuh ke-licikan.
"Sebelum kuhabisi nyawamu, kau harus menyaksi-
kan dulu percumbuanku dengan putrimu bila tiga
panglimaku berhasil membawanya ke sini!" desis Kai-
sar Thiang Tok dengan kalimat terpatah-patah hingga setiap kata terdengar jelas.
"Phuih!"
Bongkap meludahi wajah Kaisar Thiang Tok hingga
berlumur darahnya.
Mendapat perlakuan kurang ajar dari tawanannya
itu, Kaisar Thiang Tok menjadi murka.
Plak plak! Dua tamparan keras mendarat di wajah Bongkap
yang sudah berlumuran darah. Namun Bongkap se-
dikit pun tidak mengeluarkan rintihan. Rasa sakit dan perih itu ditahannya
dengan merapatkan mulutnya
kuat-kuat bersama kedua matanya yang terpejam.
Brakkk! Tiba-tiba pintu terbuka keras. Selanjutnya, Bong
Mini dan rombongannya bergerak memasuki ruang ta-
hanan. Kaisar Thiang Tok dan dua panglimanya membalik-
kan badan ke arah pintu dengan wajah terkejut. Ke-
terkejutan mereka semakin memuncak manakala pan-
dangan ketiganya tertuju pada para pendekar yang
berdiri gagah. Rasa terkejut itu bukan saja hinggap pada diri Kai-
sar Thiang Tok dan dua panglimanya, tetapi juga
menghinggapi diri Bongkap yang masih terpejam me-
nahan rasa perih di wajahnya. Ketika kedua matanya
terbuka, keterkejutan itu berubah menjadi kegembi-
raan. Apalagi saat melihat kehadiran Bong Mini.
"Jahanam! Pengecut!" geram Bong Mini ketika sepa-
sang matanya melihat keadaan Bongkap yang terikat
di tiang gantungan.
Kaisar Thiang Tok tersenyum pongah. Kemudian
ketiganya melangkah dan berdiri di dekat Bong Mini
dengan posisi yang menyerupai bulan sabit.
Sementara itu, Baladewa dan para pendekar lain
melangkah berpencar untuk menyaksikan dari kejau-
han Bong Mini yang mulai berhadapan dengan tiga la-
wannya. Sedangkan empat pengawal kaisar yang men-
jadi penunjuk jalan tampak berdiri terpisah dari rombongan Bong Mini.
Bong Mini berdiri gagah dan tenang di tengah ketiga pengepungnya. Matanya
meneliti wajah ketiga orang
itu, memilih mana-mana yang mungkin berbahaya dan
mencari kelemahan bentuk kepungan mereka.
"Apa kau putri Bong Khian Fu?" tanya Kaisar
Thiang Tok dengan mata liar meneliti keindahan tubuh Bong Mini.
"Tepat! Akulah Putri Bong Mini yang akan meng-
hancurkan seluruh penghuni istana ini!" sahut Bong
Mini lantang. Kaisar Thiang Tok tersenyum genit dengan mata tak
lepas memandang dua bukit yang menyembul di dada
Bong Mini. Saat itu pula darah birahinya berdesir, me-manasi seluruh tubuhnya.
"Sayang, gadis muda dan cantik yang mempunyai
tubuh molek terjun ke dunia penuh darah dan pekik
kematian!" kata Kaisar Thiang Tok dengan suara te-
nang. "Phuih!" Bong Mini meludah ke samping kanan.
"Kaisar tua yang tidak tahu diri!" maki Bong Mini dengan mata berkilat-kilat.
Melihat sikap Bong Mini, Kaisar Thiang Tok malah
tertawa terkekeh-kekeh. Matanya yang sipit semakin
tak terlihat. "Apakah kau sudah siap berhadapan de-
nganku, Kelinci Manis?"
Bibir Bong Mini menyeringai meremehkan. Tawa ke-
cil yang keluar dari bibir mungilnya membekukan ke-
gairahan lawan. "Seorang pendekar selalu siap walaupun sedang tidur nyenyak!"
pongah Bong Mini.
"Majulah kalian bertiga. Tak ada gunanya banyak
cakap!" tantang Bong Mini lagi.
Walaupun ucapan Bong Mini membuat panas teli-
nga Panglima Cong Siat Fong dan Panglima Cong A
Thit, Kaisar Thiang Tok tampak tenang-tenang saja.
Dia seperti tak tersinggung sedikit pun.
"Apakah kedatanganmu ke sini hendak membe-
baskan papamu?" tanya Kaisar Thiang Tok. Sebelum
Bong Mini menyahut, ia telah melanjutkan ucapannya,
"Kalau memang itu tujuanmu, dia akan segera kube-
baskan. Dengan catatan, kau harus bersedia menjadi
istriku!" Mendengar ucapannya yang genit, bukan cuma
Bong Mini yang terlihat marah, tetapi juga Baladewa.
Malah ingin sekali ia menyerang kaisar genit itu. Tapi karena ia ingat pesan
Bong Mini yang ingin menyele-saikan persoalan itu sendirian, maka Baladewa pun
segera menahan amarahnya.
"Aku bukan saja hendak membebaskan papaku, te-
tapi juga ingin membunuhmu!" berang Bong Mini.
Mendengar jawaban itu, wajah Kaisar Thiang Tok
yang semula tenang dan penuh kegenitan, berubah
menjadi merah. Darah panas bergolak menjalar ke se-
kujur tubuhnya. Sedangkan dua panglimanya yang se-
jak tadi membendung amarah, tampak mencabut pe-
dang masing-masing.
Andai saja saat itu Bong Mini melakukan sedikit ge-
rakan mata atau tubuh yang keliru, pedang mereka
pasti menyerbu ke arahnya seperti udara menyerbu
ruang hampa. Namun karena Bong Mini tetap berdiri
kokoh dengan mata yang tetap waspada, dua panglima
itu tetap berdiri tenang untuk menunggu perintah kaisarnya.
"Kalian berdua sudah memegang senjata, bergerak-
lah! Jangan hanya menunggu perintah seperti budak!"
Kata-kata yang dilontarkan Bong Mini seperti mi-
nyak tertuang dalam nyala api, membuat kemarahan
dua lelaki itu meletup tak terkendali lagi. Tanpa menghiraukan kaisarnya,
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keduanya bergerak menyerang
gadis yang berdiri angkuh di depan mereka.
Wut wut! Dua pedang terayun ke tubuh Bong Mini dengan
dahsyat. Bong Mini yang sejak tadi sudah siap meng-
hadapi serangan cepat melompat satu tindak ke bela-
kang. Dilanjutkan lompatan ke depan, melewati kepala dua penyerangnya.
Sing sing sing!
Sinar merah berbentuk bunga teratai tampak berki-
lauan menerangi ruang bawah tanah ketika Bong Mini
mengeluarkan pedang yang tersandang di punggung-
nya. Ruang bawah tanah yang hanya diterangi oleh api obor di sudut-sudut
dinding, dalam sekejap diterangi warna merah.
Kaisar Thiang Tok dan kedua panglimanya terce-
ngang menyaksikan pedang di genggaman Bong Mini.
Baru kali ini mereka melihat pedang yang selalu me-
mancarkan sinar merah berbentuk bunga teratai itu.
Membuat mereka menafsirkan pedang itu menyimpan
satu kekuatan yang luar biasa.
"Hiyaaat!"
Bong Mini melabrak dua lawannya yang masih ter-
tegun. Crokkk! Leher Cong A Thit terbabat pedangnya sampai lepas
dari badan. Kepalanya menggelinding ke arah Kaisar
Manchuria itu dan terhenti tepat di dekat jari kakinya.
Sedangkan darah yang menyembur lewat leher yang
terbabat itu tampak membasahi lantai hingga berubah merah.
"Hiyaaat!"
Teriakan mengerikan kembali terdengar. Bukan saja
dari mulut Bong Mini, tetapi juga dari mulut Cong Siat Fong. Mereka bertarung
penuh kemarahan yang memuncak. Keduanya sudah seperti binatang buas yang
hendak mencabik-cabik lawan masing-masing.
Singngng! Pedang Bong Mini mendesing kian kemari di udara,
menyambar tubuh lawannya.
Crok crok crok!
Dengan ganas Bong Mini membabat habis tubuh
Cong Siat Fong. Darah dan otaknya berpercikan saat
senjata Bong Mini mendarat di kepala lawan. Sedang-
kan jari-jemari tangannya beterbangan di udara terke-na sabetan pedang Bong
Mini. Kaisar Thiang Tok dan empat pengawal yang meng-
antarkan rombongan Bong Mini tadi tampak berdiri tegang dengan wajah memucat
menyaksikan penyembe-
lihan brutal itu. Begitu pula dengan Bongkap dan para pendekar di pihak Bong
Mini. Mereka heran Bong Mini dapat berbuat sesadis itu. Berbeda dengan
pertarungan-pertarungan sebelumnya.
Sebenarnya perlakuan kejam Bong Mini terhadap
Panglima Cong Siat Fong tadi di luar kehendaknya. Dia sendiri berusaha ingin
mengendalikan kekuatan gaib
dalam pedang yang digenggamnya itu. Tapi entah ke-
napa, tenaga gaib yang biasanya mampu dikendalikan, kini tidak bisa ditaklukkan!
Tenaga Bong Mini kalah kuat dengan kekuatan gaib pedang itu. Mau tak mau
Bong Mini harus mengikuti gerakan pedangnya.
Sampai akhirnya Bong Mini tidak sanggup lagi me-
ngendalikan kekuatan Pedang Teratai Merah. Dile-
paskannya gagang pedang itu. Ketika terlepas dari
genggaman Bong Mini, Pedang Teratai Merah langsung
meluncur deras ke arah Kaisar Thiang Tok.
Kaisar Thiang Tok membelalak ngeri melihat pedang
itu melayang ke arahnya. Belum sempat ia berpikir untuk melakukan sesuatu,
pedang Bong Mini itu telah
mendarat ke tubuhnya.
Creb! "Aaakh!"
Kaisar Thiang Tok memekik tertahan saat ujung Pe-
dang Teratai Merah menembus perutnya hingga ke
punggung. Tubuhnya terhuyung sebentar, lalu roboh.
Dia tewas detik itu juga.
Seperti memiliki kehendak sendiri, pedang Bong
Mini bergerak mencabut diri ketika Kaisar Thiang Tok roboh berlumuran darah.
Kemudian pedang yang masih mengucurkan darah lawan itu bergerak mendekati
Bong Mini dan masuk ke sarungnya.
Walaupun para pendekar telah mengetahui kesak-
tian pedang Bong Mini, sebagian dari mereka sempat
tercengang pula menyaksikan peristiwa tadi.
Setelah Kaisar Thiang Tok dan pengikutnya mati,
Bong Mini berlari memburu papanya. Dilepasnya tali
yang mengikat Bongkap, lalu segera dipeluknya erat-
erat. Saat itu air mata kebahagiaan meleleh lewat celah-celah bulu matanya.
Bongkap membalas pelukan putrinya tanpa gairah.
Tenaganya masih tetap lemah akibat siksaan Panglima Perang Kaisar Thiang Tok,
walaupun sejak tadi telah terbebas dari pengaruh totokan yang bertahan beberapa
jam itu. "Putri Bong Mini!" panggil Yin Yin memecahkan ke-
heningan. Bong Mini melepas pelukan papanya dan menoleh
ke arah Yin Yin dengan mata yang masih berair.
"Kalau pedang yang kau miliki itu memiliki kekua-
tan gaib yang luar biasa, kenapa tidak sejak dulu saja kau perintahkan pedang
itu untuk membasmi Kaisar
Thiang Tok dan pengikutnya?" lanjut Yin Yin.
Bong Mini tersenyum. Ia maklum terhadap perta-
nyaan sahabat lamanya itu.
"Apa yang kau katakan memang benar," kata Bong
Mini. "Tapi kita sendiri tidak bisa sembarang perintah.
Karena Pedang Teratai Merah hanya dapat bergerak
dan melakukan pertempuran sendiri bila aku dalam
keadaan terdesak!" lanjut Bong Mini.
Yin Yin dan para pendekar mengangguk-angguk
mengerti. Baru beberapa saat Bong Mini menghentikan uca-
pan, entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang wanita bergaun putih panjang
berdiri di dekat pintu. Wajahnya cantik dengan tubuh tinggi semampai. Sedang-
kan bibirnya yang merah merekah tampak tersenyum
pada Bong Mini sambil melangkah mendekati.
"Putri Teratai Merah!" desis Bong Mini dengan mata
membelalak. Begitu pula dengan yang lain. Mereka terbelalak karena baru kali ini
melihat seorang wanita yang demikian cantik mempesona. Dan kecantikan
serta daya pesonanya tidak membuat birahi lelaki te-rangsang, tetapi justru
membuat mereka hormat dan
tidak mempunyai keberanian untuk menggoda. Tidak
seperti kecantikan yang dimiliki wanita lain.
"Aku datang ke sini hendak mengucapkan selamat
karena kau telah berhasil memperjuangkan kemerde-
kaan rakyat!" ucap Putri Teratai Merah seraya meng-
ulurkan tangannya.
Mendapat uluran tangan itu, Bong Mini tidak me-
nyambutnya dengan jabatan tangan. Dia malah mera-
patkan tubuhnya erat-erat di pelukan Putri Teratai Merah, seolah tidak ingin
berpisah. Sementara butiran air mata kembali membasahi kedua pipinya.
Putri Teratai Merah membalas pelukan Bong Mini
dengan penuh kasih sayang.
Hening. Bongkap, Baladewa, Prabu Jalatunda, Ningrum,
dan para pendekar hanya dapat termangu-mangu me-
nyaksikan adegan yang mengharukan itu.
"Aku tidak lama, sayang!" ucap Putri Teratai Merah
seraya mengusap-usap rambut Bong Mini. "Aku datang
ke sini karena ada sesuatu yang hendak kusampaikan
padamu!" lanjutnya.
Bong Mini merenggangkan pelukan. Ditatapnya Pu-
tri Teratai Merah dengan kepala menengadah.
"Berita apa yang hendak kau sampaikan itu?" ucap
Bong Mini sendu.
"Aku menyampaikan kepadamu kalau Pedang Te-
ratai Merah sudah waktunya kembali ke tempat asal-
nya!" kata Putri Teratai Merah.
Bong Mini tertegun. Hatinya merasa berat untuk
melepaskan pedang sakti yang selama ini telah banyak membantu perjuangannya.
Putri Teratai Merah tersenyum. Dia dapat menduga
apa yang sedang menggayuti hati dan pikiran Bong
Mini saat itu. "Jangan khawatir! Pedang itu akan tetap menjadi
milikmu. Kapan saja kau rindu atau membutuhkan-
nya, Pedang Teratai Merah akan datang menemuimu
tanpa kau minta!" ucap Putri Teratai Merah lembut,
menenangkan perasaan Bong Mini.
"Baiklah kalau begitu," kata Bong Mini yang mulai
menyadari kalau tugas Pedang Teratai Merah untuk
membantu perjuangannya sebenarnya sudah selesai.
Kemudian diserahkannya pedang tersebut pada Putri
Teratai Merah. Sungguh menakjubkan, ketika berada di tangan Pu-
tri Teratai Merah, pedang sakti itu berubah bentuk
menjadi dua tangkai kembang Teratai Merah. Hal itu
tentu saja sangat mengejutkan para pendekar yang
menyaksikannya itu.
"Nah, sekarang aku akan kembali ke istanaku!" pa-
mit Putri Teratai Merah seraya mengecup kening Bong Mini. Setelah itu, ia pun
melangkah pergi tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya.
"Siapa dia?" sebuah pertanyaan pendek terlontar
dari para pendekar secara bersamaan.
"Dialah Putri Teratai Merah, pemilik pedang yang
selama ini kupergunakan!" sahut Bong Mini menje-
laskan. Para pendekar mengangguk-angguk.
"Di mana dia tinggal?" tanya Ningrum ingin tahu.
"Dia tinggal di Istana Putri, di alam gaib. Tapi dia pernah hidup ratusan tahun
silam!" jelas Bong Mini
lagi. Para pendekar kembali mengangguk-angguk. Lalu
mereka pun meninggalkan ruang bawah tanah itu.
Termasuk empat pengawal Kaisar Thiang Tok yang su-
dah bergabung dengan rombongan Bong Mini.
*** 9 Keindahan melengkapi malam itu. Bulan tanggal
empat belas bergayut penuh di kebeningan cakrawala.
Tak setitik awan pun menodainya. Sinarnya menyapu
lembut ke wajah sendu sang bumi.
Dalam keindahan malam itu, semua rakyat, tua-
muda, lelaki, dan perempuan berbondong-bondong
menuju istana Kerajaan Manchuria. Wajah mereka me-
mancarkan sinar kegembiraan yang teramat sangat,
karena selama hidup di negeri Manchuria, baru malam ini mereka dapat
menginjakkan kaki di istana.
Kedatangan mereka ke istana kaisar tidak lain un-
tuk memenuhi undangan Bongkap untuk mengadakan
pesta kemenangannya terhadap kekuasaan Kaisar
Thiang Tok. Selain mengadakan pesta kemenangan, malam itu
Bongkap juga mengadakan pesta pernikahan tiga pa-
sang pemuda-pemudi. Baladewa dengan Putri Bong
Mini, Ashiong dengan Ratih Purbasari, sedangkan
Sang Piao berpasangan dengan Thong Mey. Dan seka-
rang, tiga pasang pengantin itu tengah berdiri gembira menyambut ucapan selamat.
Bukan saja dari rakyat
kalangan atas dan menengah, tetapi juga dari rakyat golongan bawah. Malah
Bongkap sengaja mengundang
rakyat miskin lebih banyak lagi. Maksudnya tidak lain agar mereka yang selama
ini hidup menderita, dapat
juga merasakan kesenangan dan kebahagiaan, walau
hanya satu hari. Dan bagi mereka yang tidak memiliki pakaian bagus, Bongkap
memberikan pakaian para
prajurit kaisar yang telah tewas untuk mereka kena-
kan di malam pesta yang meriah itu. Kaum papa yang
sehari-harinya hanya mengenakan pakaian butut, kini terlihat lebih gagah dan
perlente. "Saudara-saudara sekalian!" Bongkap membuka
ucapan setelah berakhirnya acara ucapan selamat ke-
pada ketiga mempelai. "Malam ini merupakan awal ke-
bahagiaan bagi kita semua. Karena kita telah bebas
dari belenggu kebiadaban Kaisar Thiang Tok dan pengikutnya. Oleh karena itu,
pada malam yang berbahagia ini pula, aku yang pernah menjabat sebagai panglima
perang di negeri ini akan mengadakan pemilihan kaisar baru sebagai pemimpin
kalian. Dalam hal ini, pemilihan kaisar kuserahkan kepada kalian. Silahkan
kalian pilih orang yang cocok untuk diangkat sebagai kaisar negeri Manchuria
yang baru!" lanjut Bongkap di hadapan ribuan rakyat negeri Manchuria yang
berkumpul di halaman istana.
Rakyat yang hadir di tempat itu tampak bercakap
satu dengan yang lainnya. Percakapan mereka terde-
ngar bergemuruh, tak jelas apa yang diucapkan. Yang pasti, mereka
memperbincangkan masalah pengangka-tan kaisar baru.
Dalam gemuruh itu, Yin Yin yang berdiri mendam-
pingi Bongkap mengangkat kedua tangannya sebagai
isyarat agar rakyat bersikap tenang. Kemudian setelah
suasana reda kembali, Yin Yin berkata kepada mereka,
"Bagaimana kalau aku menjadi wakil kalian untuk me-
nunjuk kaisar kita yang baru?"
"Setujuuu...!"
Gemuruh sambutan terdengar dari kerumunan rak-
yat. "Bagaimana kalau aku memilih Bong Khian Fu se-
bagai kaisar baru kita?" tanya Yin Yin lagi.
"Setujuuu...!"
Suara yang penuh persatuan itu kembali memecah
keheningan malam.
Yin Yin tersenyum sambil menoleh pada Bongkap.
"Bagaimana, Susiok?"
Bongkap tidak segera menyahut. Kecuali meman-
dang Yin Yin sekilas. Kemudian beralih memandang
kerumunan rakyat.
"Apakah kalian tidak menyesal memilihku sebagai
kaisar negeri ini?" tanya Bongkap.
"Tidak!" Rakyat menjawab serempak.
"Kalau memang demikian, baiklah. Dan malam ini
aku berjanji di hadapan kalian, akan kulaksanakan
jabatan baru ini sebaik mungkin, sesuai dengan harapan kalian!" ucap Bongkap,
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menetapkan ikrar.
"Hidup Bong Khian Fu!"
"Hidup kaisar kita yang baru!"
Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut rakyat bersama luapan
kegembiraan. Bongkap diam-diam terharu, air matanya menitik
melihat dukungan rakyat yang demikian tulus kepa-
danya. "Susiok. Kenapa Susiok menangis?" tanya Yin Yin
ketika sempat melihat butiran air mata mengalir di kedua pipi Bongkap yang sudah
mengendur. "Aku terharu dengan pernyataan rakyat yang demi-
kian tulus!" sahut Bongkap dengan suara bergetar.
"Sudah sepatutnya Susiok menerima jabatan kai-
sar!" kata Yin Yin seraya tersenyum.
Bongkap memandang Yin Yin dengan mata berkaca-
kaca. Kemudian tangan kanannya mendekap gadis itu
erat-erat. "Terima kasih atas kepercayaanmu, Yin Yin!"
Mendengar ucapan itu, Yin Yin ikut terharu. Ia pun
menitikkan air mata, air mata kebahagiaan.
Setelah acara pemilihan kaisar yang baru usai,
Bongkap dan Yin Yin masuk ke dalam istana, di mana
tiga pasang pengantin dan para pendekar berada. Se-
dangkan rakyat yang tadi berkerumun, kini berpesta
sambil menikmati hidangan dan nyanyian yang diku-
mandangkan wanita-wanita cantik bersuara merdu.
Membuat suasana malam itu benar-benar meriah.
*** Sebulan sudah Bongkap menjadi kaisar. Dan sela-
ma sebulan itu, Bongkap melakukan perombakan-pe-
rombakan undang-undang yang selama ini diberlaku-
kan oleh Kaisar Thiang Tok. Kalau zaman Kaisar
Thiang Tok rakyat dipungut upeti dengan jumlah yang sangat besar dan mencekik
leher, kini pungutan upeti itu diringankan, sesuai dengan penghasilan rakyat
dalam setiap panen. Sedangkan sawah dan ladang yang
dulu milik Kaisar Thiang Tok, kini telah dikembalikan kepada rakyat yang semula
memilikinya. Untuk jabatan panglima, Bongkap memilih Sang
Piao, Ashiong, dan Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Ma-ta Dewa yang selamat ketika
bertempur melawan pa-
sukan Kaisar Thiang Tok. Sedangkan para prajuritnya diambil dari rakyatnya
sendiri. Para pemuda yang semula menganggur, kini telah mendapat pekerjaan yang
sangat baik. Suatu hari, ketika Bongkap, Prabu Jalatunda, Ning-
rum, Baladewa, Bong Mini, dan Yin Yin tengah ber-
kumpul di ruang pertemuan, Prabu Jalatunda me-
nyampaikan maksudnya kepada Bongkap.
"Bongkap!" ucap Prabu Jalatunda sambil menatap
wajah sahabatnya yang duduk di seberang meja. "Su-
dah saatnya aku kembali ke Selat Malaka!"
Bongkap tercekat. Ia baru sadar kalau Prabu Jala-
tunda mempunyai tanggung jawab di negerinya. Me-
nanggapi ucapan Prabu Jalatunda, Bongkap hanya da-
pat mendesah tanpa mampu menahan. Walaupun ia
sangat mengharapkan sahabat yang sudah menjadi
mertua putrinya itu tetap tinggal di istananya.
"Sebagai sahabat yang sudah menjadi satu kelu-
arga, aku berkeinginan kau tetap tinggal di sini. Namun karena aku mengerti akan
tanggung jawabmu di
negeri Selat Malaka, aku pun tidak dapat menahan
keinginanmu!" tutur Bongkap datar.
"Terima kasih atas pengertianmu, Bongkap!" ucap
Prabu Jalatunda.
"Kau sendiri bagaimana, putriku?" Bongkap meng-
alihkan pertanyaan kepada Bong Mini yang duduk di
sebelah kanannya.
Mendapat pertanyaan itu, mendadak Bong Mini me-
nutupkan wajah dengan kedua telapak tangannya. Se-
dangkan bahunya terguncang-guncang karena mena-
han isak tangis.
Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa,
dan Yin Yin tampak bingung melihat Bong Mini men-
dadak menangis.
"Mengapa kau tiba-tiba menangis, Sayang?" lembut
Bongkap bertanya sambil mengusap kepala Bong Mini.
"Papa!" desah Bong Mini. Disapunya air mata, ke-
mudian ia memandang wajah Bongkap dengan wajah
sendu. "Sebenarnya aku sangat mencintai dan menya-
yangi Papa. Aku ingin selalu berdekatan dengan Papa
selama-lamanya. Tapi...," Bong Mini tidak melanjutkan ucapan karena terpenggal
tangis kembali.
"Papa mengerti. Papa mengerti!" ucap Bongkap, me-
mahami maksud putrinya. "Maksudmu kau sekarang
sudah menjadi milik Baladewa?"
Bong Mini mengangguk.
"Dan suamimu mengajak tinggal di negeri Selat Ma-
laka?" Bong Mini kembali mengangguk.
Bongkap menghela napas dengan sebaris senyum
kecil. "Sebenarnya papa pun sangat berat berpisah de-
nganmu. Tapi apa boleh buat. Perpisahan merupakan
takdir yang telah digariskan Tuhan, saat kau sudah
berumah tangga. Dan tanggung jawab papa pun se-
karang sudah beralih pada suamimu, Baladewa!" ucap
Bongkap, bijak.
Bong Mini menghentikan tangisnya. Dia mencoba
mencerna ucapan papanya.
"Tapi walau kita berpisah, ikatan batin, cinta, dan kasih sayang antara orangtua
dan anak tetap ada. Begitu pula sebaliknya. Karena hal itu yang membuat ki-ta
selalu merasa dekat, walau terpisah oleh bentangan samudera," lanjut Bongkap.
"Kau mengerti, Sayang?"
"Aku mengerti, Papa!" sahut Bong Mini. Kepalanya
mengangguk lamat.
Bongkap tersenyum seraya membenamkan kepala
Bong Mini dalam pelukannya.
*** Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa, dan Bong
Mini telah kembali ke negeri Selat Malaka. Di sana mereka menjabat sebagai
pemimpin negeri. Dan atas usul Bong Mini, Baladewa mendirikan istana di bekas
rumah Bong Mini yang sudah menjadi reruntuhan. Bala-
dewa dan Bong Mini membangun istana di atas rerun-
tuhan rumah Bongkap dengan pertimbangan agar ma-
kam Sinyin, mama Bong Mini, yang terletak di samping istana bisa terawat dengan
baik. Sedangkan Bongkap, Sang Piao, Ashiong, Yin Yin, dan Kao Cin Liong menja-
lani kehidupan di negeri Manchuria.
Tiga bulan setelah Bongkap dan Bong Mini berpi-
sah, Bongkap dan Yin Yin menikah. Kesediaan Yin Yin menjadi istri Bongkap bukan
karena tahta atau harta yang dimiliki Bongkap, tetapi karena Bongkap seorang
lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Bukan saja
terhadap Yin Yin, tetapi juga kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Sehingga
rakyat negeri Manchuria
yang dulu dihujani penderitaan demi penderitaan, kini telah menjadi negeri yang
makmur, penuh sandang
pangan. Dengan dinobatkannya Bongkap sebagai kaisar di
negeri Manchuria dan Bong Mini di negeri Selat Ma-
laka, banyak orang Manchuria berkunjung ke negeri
Selat Malaka. Mereka bukan saja melancong untuk
menikmati keindahan pantainya, tetapi juga sebagai
imigran yang menetap di Selat Malaka. Dan kedua ne-
geri itu menjadi negeri yang tak bisa dipisahkan.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** *** 4 *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** *** *** 8 *** *** 9 *** *** SELESAI Hina Kelana 25 Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Kisah Membunuh Naga 20
gunakan Sun Kwan Tek untuk melarikan diri.
Mengetahui lelaki itu hendak melarikan diri, Bala-
dewa kembali bertindak. Dilepaskan pedangnya yang
masih menancap di perut lawan. Lalu tubuhnya berge-
rak cepat, melompat dan menubruk tubuh lawan yang
belum begitu jauh tempatnya berdiri.
"Hup!"
Tubuh Baladewa dan tubuh Sun Kwan Tek berguli-
ngan di atas tanah. Keduanya berusaha saling men-
cengkeram lawan.
Sementara itu, Bong Mini yang sejak tadi menyaksi-
kan pertarungan dari jauh, kini mendekat dan meng-
amati dua lelaki gagah yang sedang baku hantam de-
ngan tangan kosong.
Baladewa dan Sun Kwan Tek masih bergulingan di
atas tanah. Sedangkan tangan keduanya saling men-
cengkeram leher lawan dengan kuat.
Dukkk! Tangan kanan Sun Kwan Tek yang semula men-
cengkeram leher lawan, tiba-tiba bergerak memukul
wajah Baladewa yang berada di atas tubuhnya.
Baladewa melepaskan cekikan kedua tangannya
pada leher lawan. Sedangkan tubuhnya sendiri terhe-
nyak ke belakang. Sebelum sempat bangkit, Sun Kwan
Tek bergerak memburunya.
Dukkk! "Hekh!"
Sun Kwan Tek memekik tertahan. Sedangkan kedua
tangannya meraba perutnya yang sakit. Pada saat hendak menubruk tubuh lawan yang
masih berbaring di
atas tanah, rupanya kaki Baladewa bergerak cepat
menendang keras perutnya.
Baladewa cepat berdiri dan melayangkan tinjunya
pada muka lawan yang masih meringis kesakitan.
Dukkk! "Aaakh!"
Tubuh Sun Kwan Tek terjengkang ke belakang. Ba-
ladewa segera memburunya.
Dukkk! Dukkk! Pukulan bertubi-tubi ke wajah Sun Kwan Tek dilan-
carkan Baladewa. Tak ada tiga tarikan napas, sekujur wajah lelaki itu dibanjiri
darah segar. Baladewa yang tidak pernah memberi ampun la-
wannya, kembali berbuat sadis. Tubuh Sun Kwan Tek
yang sudah tak berdaya itu dihantam berkali-kali.
Crukkk! Tulang-tulang rusuk lawan remuk seketika saat tiga
kepalan tangan Baladewa menghantamnya. Kemudian
ujung-ujung tulang rusuk yang patah itu tersembul
menembus kulit tubuhnya.
Sun Kwan Tek menggeliat berbareng raungan pan-
jang, menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Baladewa bertambah nafsu melihat geliatan tubuh
Sun Kwan Tek. Kembali dihantamnya lawan. Kali ini
tinju Baladewa merangsek wajah Sun Kwan Tek.
Crokkk! Dua biji mata Sun Kwan Tek langsung terlepas dari
ceruknya saat pukulan 'Tangan Geledek' Baladewa
menghantam wajah lelaki itu. Belum puas dengan hal
itu, Baladewa mendaratkan pukulannya kembali seca-
ra bertubi-tubi.
"Aaakh!"
Sun Kwan Tek memekik tertahan saat tiga pukulan
Baladewa mendarat telak di wajah dan kepalanya. De-
tik itu pula, Sun Kwan Tek mati. Otaknya menyembur
keluar dari kepalanya yang retak.
Baladewa berdiri tegak sambil menatap mayat la-
wan lekat-lekat.
"Sadis!" desis Bong Mini.
Baladewa memalingkan pandangannya ke arah
Bong Mini seraya tersenyum kecut.
"Apa lagi tindakan kita selanjutnya?" tanya Bala-
dewa. "Kau ingin terus menyertai perjuanganku?" Bong
Mini balik bertanya.
"Sehidup semati! Itulah janjiku padamu!" kata Bala-
dewa dengan wajah sungguh-sungguh.
Bong Mini tersenyum kecil.
"Baiklah kalau begitu. Kita akan terus menggempur
Istana Kaisar Thiang Tok di lembah sana!" kata Bong Mini. Jarinya menunjuk
istana kerajaan yang berdiri di seberang lembah.
Baladewa menoleh ke arah yang ditunjuk Bong
Mini. Kepalanya mengangguk-angguk saat matanya
memandang jelas bangunan megah itu.
"Kita bergerak sekarang!" kata Bong Mini lagi seraya melangkah.
"Tunggu!"
Tiba-tiba terdengar seruan seseorang.
Bong Mini dan Baladewa membalikkan tubuh. Di
sana, keduanya melihat Bongkap dan rombongannya
tengah bergerak ke arah mereka.
Bongkap dan rombongannya terkejut saat menje-
jakkan kaki ke tempat di mana Bong Mini dan Bala-
dewa berada. Karena mereka melihat mayat-mayat
prajurit yang bergeletakan di sekitar tempat itu.
"Apakah kalian yang melakukan pembantaian ini?"
tanya Bongkap. Bong Mini dan Baladewa saling berpandangan. Ke-
mudian kepala keduanya mengangguk.
"Kalau begitu, kita segera bertindak!" kata Bongkap.
Bong Mini terkejut senang mendengar ucapan pa-
panya. Tanpa mengulur-ulur waktu lagi, mereka segera bergerak melakukan
penyerbuan ke Istana Kaisar
Thiang Tok. *** 7 Malam siap beringsut.
Cahaya matahari mulai memendar di belakang pun-
cak pegunungan sebelah barat. Tepat sebelum kegela-
pan menyelimuti bumi, rombongan Bong Mini telah be-
rada di sekitar benteng Istana Kerajaan Manchuria.
Melihat bahaya mengancam, lima puluh prajurit
yang bertugas di luar benteng segera bertindak. Rom-
bongan Bong Mini diserang dengan tombak dan pe-
dang mereka masing-masing. Dalam waktu singkat,
denting senjata dan pekik peperangan berbaur menjadi satu.
Pertempuran tak seimbang berlangsung sengit. Na-
mun jika ditilik dari segi kemampuan dan kepandaian, pasukan Bong Mini jelas
lebih unggul dibanding pihak musuh. Seni perang pun hanya sedikit yang mereka
ketahui. Tidak heran bila dalam pertempuran itu pihak Bong Mini lebih banyak
menelan korban ketimbang
para prajurit Kerajaan Manchuria.
Trang trang trang!
Benturan senjata yang datang dari arah berlawanan
itu terdengar berdenting nyaring mengilukan. Bunga
api berpijar di sana-sini, membuat suasana benar-benar mencekam, mengerikan dan
penuh darah. "Hiyaaat!"
Bong Mini mengeluarkan lengkingan tinggi. Kemu-
dian tubuhnya melesat sambil berputar seperti baling-baling kapal. Begitu pula
dengan pedangnya yang bergerak tak kalah cepat menyambar sepuluh penge-
royoknya. Singngng! Bret! Sinar merah yang bergulung cepat itu menyambar
lima musuhnya. Dalam sekejap mata, lima orang yang
terbabat pedang Bong Mini tewas mengerikan.
Sementara itu, para prajurit Kerajaan Manchuria
yang berada di dalam benteng terkejut mendengar dentang senjata dan teriakan
kematian di luar benteng.
Kericuhan itu memancing mereka untuk membuka
gerbang. Saat gerbang terkuak, mereka terkesiap bukan ke-
palang melihat pemandangan yang tak disangka itu.
"Cepat bantu mereka!" perintah seorang dari me-
reka. Kemudian dua ratus prajurit berhamburan ke
luar benteng untuk membantu teman-temannya me-
nyerang pasukan Bong Mini. Sedangkan prajurit yang
memberi komando segera melangkah ke dalam istana.
Di ruang kebesaran, Kaisar Thiang Tok tampak se-
dang bercakap-cakap dengan lima panglima perang-
nya. Percakapan mereka tiba-tiba terpenggal manakala seorang prajurit tergopoh-
gopoh memasuki ruangan
itu. "Kau telah melanggar aturan! Kau memasuki rua-
ngan ini tanpa kupanggil!" bentak Kaisar Thiang Tok seraya berdiri murka.
"Maafkan hamba, Tuanku!" ucap prajurit itu sambil
menjura dalam-dalam. "Sesungguhnya kelancangan
hamba memasuki ruangan ini karena ingin menyam-
paikan berita buruk kepada Tuanku!" lanjutnya.
Kaisar Thiang Tok dan lima panglima perangnya
menaikkan alis mendengar ucapan prajurit itu. Me-
reka, saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Berita apa yang ingin kau sampaikan, prajurit?"
tanya Kaisar Thiang Tok ingin segera mendengar.
"Di luar telah terjadi pertempuran antara prajurit
kerajaan dengan para pemberontak!" jelas prajurit itu.
Kaisar Thiang Tok dan lima panglima perangnya
terkejut. Wajah mereka kian berkerut tegang.
"Pemberontak!" desis Kaisar Thiang Tok seperti ber-
tanya pada diri sendiri.
"Benar, Tuanku! Malah prajurit kita yang berjumlah
ratusan orang hampir dikalahkan para pemberontak
itu!" lapor prajurit itu kembali.
Penuturan prajurit itu tentu saja sangat menge-
jutkan Kaisar Thiang Tok dan para panglimanya.
"Keparat!" maki Kaisar Thiang Tok geram. Urat-urat
di keningnya mulai menonjol, menunjukkan kalau ke-
marahannya sudah demikian memuncak. "Kita segera
ke sana!" Lima panglima perang dan prajurit tadi segera
mengikuti langkah kaisarnya yang berjalan lebih dahu-lu. Sampai di halaman
istana, Kaisar Thiang Tok dan lima panglimanya menjadi terkejut manakala melihat
benteng yang selama ini berdiri kokoh sudah runtuh
sebahagian akibat pertempuran dahsyat itu. Mereka
menjadi lebih terkejut ketika melihat lelaki berlengan buntung yang begitu
tangkas menghadapi serangan
para prajurit istana.
"Jahanam! Dia telah menyerang lebih dahulu!" Kai-
sar Thiang Tok murka. Wajahnya terbakar kemarahan.
"Thiang Tok, majulah! Jangan hanya pandai menon-
ton pertempuran!" tiba-tiba terdengar teriakan bernada mengejek. Dan suara itu
terlontar dari mulut Bongkap.
Secara kebetulan dia melihat Kaisar Thiang Tok ber-
sama lima panglima perangnya.
"Buntung keparat!" Kaisar Thiang Tok mendesis
marah. "Apakah orang itu yang selama ini menggayuti piki-
ran Tuanku?" tanya Panglima Cong Siat Fong sambil
memperhatikan kegigihan Bongkap menghadapi kero-
yokan prajurit kerajaan.
"Ya. Itulah orang yang bernama Bong Khian Fu!"
Kaisar Thiang Tok menegaskan.
"Kalau begitu, biar kami beresi orang itu!" ujar
Panglima Cong Siat Fong, lelaki berwajah bengis.
"Hati-hati, dia amat berbahaya!" kata Kaisar Thiang Tok memperingatkan. "Kalau
bisa, tangkap Bong Khian Fu hidup-hidup. Aku ingin mengakhiri nyawanya secara
perlahan-lahan!" lanjutnya.
"Baik, Tuanku!" ucap Panglima Cong Siat Fong. Ke-
mudian bersama empat temannya, ia bergerak menuju
kancah pertempuran.
*** Pertempuran semakin seru dan dahsyat. Korban
banyak berjatuhan dari kedua belah pihak. Terutama
di pihak kerajaan. Selain banyak yang mati, tidak sedikit pula yang terluka
parah dan tidak dapat melanjutkan pertempuran.
Sementara itu, Bongkap atau Bong Khian Fu masih
bertahan terhadap serangan gencar para prajurit la-
yaknya air bah. Setiap kali ada prajurit yang tewas, prajurit yang lain selalu
menggantikannya.
Wut wut wut! Lima larik sinar pedang menyambar kepala, perut,
dan kaki Bongkap dengan ganas. Secepat kilat Bong-
kap memiringkan tubuhnya ke belakang berbareng
lompatan setinggi dua meter. Ketika meluncur turun, tubuhnya berpusing bagai
baling-baling kapal.
Bret bret bret!
Sinar putih menyambar dari putaran tubuhnya ke
arah para pengepung. Akibatnya, tiga prajurit lang-
sung mati di ujung pedang Bongkap. Kemudian masih
dengan tubuh berpusing, Bongkap kembali melancar-
kan serangan dengan dua jurus kungfu andalan, 'Pe-
dang Samber Nyawa' dan 'Tanpa Bayangan'. Kedua ju-
rus inilah yang dikerahkan sejak awal pertempuran.
Singngng! Bret bret bret!
"Aaakh!"
Lima prajurit kerajaan mati sekaligus dengan kepa-
la terpisah dari badan.
Wut wut wut! Selarik sinar putih pantulan dari sebatang pedang
lawan menyambar bagai lidah kilat ke arah Bongkap
yang mulai mengurangi putaran tubuhnya. Untunglah
mata Bongkap cukup jeli menangkap sinar pedang itu.
Dengan cepat tubuhnya berguling di udara. Karena
demikian cepat berputar, tubuhnya terlihat bagai bola yang ditendang ke udara.
Cong Siat Fong, Bong Cun Min, serta puluhan pra-
jurit yang melakukan serangan terperangah menyaksi-
kan tubuh Bongkap berputar di udara. Dan ketika tu-
buh Bongkap meluncur ke bawah dengan kecepatan
deras, mereka segera menyambut dengan sabetan pe-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang. Trang trang trang!
Sabetan puluhan pedang yang bergerak cepat itu
segera ditangkis oleh Bongkap.
"Uh!"
Lima prajurit memekik tertahan manakala terjadi
benturan pedang, karena Bongkap telah menyalurkan
tenaga dalam yang luar biasa melalui pedangnya. Telapak tangan kelima prajurit
itu seketika terasa perih membuat mereka melempar pedang ke samping. Sedangkan
tubuh mereka terjengkang ke belakang.
Bongkap yang terkenal ganas dalam setiap pertem-
puran langsung menerjang mereka seraya menya-
betkan pedangnya.
Bret bret bret!
Creb! Lima prajurit yang belum mampu bangkit itu lang-
sung tewas tersayat pedang Bongkap.
Di lain pihak, Panglima Cong Siat Fong dan Bong
Cun Min memburu Bongkap dengan ganas.
Wut wut! Angin yang ditimbulkan gerakan dua pedang kedua
lawan menderu di sekitar tubuh Bongkap dengan ke-
ras. "Hup!"
Bongkap berguling ke belakang sejauh dua tombak.
Sebelum tubuhnya bangkit, Panglima Cong Siat Fong
dan Bong Cun Min kembali menyerangnya. Begitu ce-
pat dan ganas, membuat Bongkap kewalahan dan ter-
paksa bergulingan kembali di tanah tanpa mampu me-
lakukan serangan.
Sret! Ujung pedang Bong Cun Min menggores bahu ka-
nan Bongkap. Saat itu pula darah membasahi seba-
gian pakaiannya.
Bongkap bergulingan, tanpa dapat meraba bahunya
yang terluka. Dia memang tak bisa melakukan hal itu karena tangan kirinya sudah
tak ada lagi. Pada kesempatan yang sama, Cong Siat Fong segera
mengirimkan totokan ke tengkuk lawan dengan dua ja-
rinya. "Ekh!"
Bongkap mengeluh pendek. Gerakan tubuhnya
langsung terhenti dan tak dapat bergerak lagi. Seluruh tubuhnya lumpuh, kecuali
matanya yang berkilat-kilat murka pada kedua lawan.
Bibir panglima Cong Siat Fong dan Bong Cun Min
menyeringai melihat lawan tak berdaya.
"Ternyata hanya seperti ini kehebatan Bong Khian
Fu yang dikhawatirkan Kaisar Thiang Tok!" cemooh
Panglima Cong Siat Fong. Kemudian didekatinya Bong-
kap yang masih tergeletak di tanah, lalu dibawa me-
nuju ruang istana.
Kaisar Thiang Tok tersenyum senang melihat Pang-
lima Cong Siat Fong datang membawa tubuh Bongkap
yang sudah tak berdaya. Cong Siat Fong sendiri men-
dudukkan Bongkap pada sebuah kursi.
"Hm...! Ternyata orang-orangku tidak mengalami
banyak kesulitan untuk merobohkanmu, Bong Khian
Fu!" ejek Kaisar Thiang Tok seraya menyeringai.
Bongkap tak bisa berbuat apa-apa untuk menang-
gapi ejekan itu. Hanya kedua matanya saja yang me-
mandang tajam ke arah Thiang Tok, penuh kemarahan
dan dendam. "Bawa dia ke kamar tahanan!" perintah Kaisar
Thiang Tok kepada empat pengawal khususnya.
Tanpa banyak cakap, dua di antara lima orang pe-
ngawal pribadinya menghampiri Bongkap dan lang-
sung menggiringnya ke kamar tahanan. Sedangkan
Kaisar Thiang Tok, Panglima Cong Siat Fong, Bong
Cun Min, dan dua prajurit lain mengikuti dari bela-
kang. *** Kamar tahanan itu terletak dalam ruang bawah ta-
nah di belakang istana. Luas ruangan itu sekitar seratus meter persegi.
Dindingnya dibangun dengan batu-
batu kali. Bagian luarnya dilapisi besi baja yang terlihat kokoh, sehingga tahan
untuk masa puluhan ta-
hun. Ruang bawah tanah itu hanya memiliki satu kamar
dengan luas sekitar empat meter persegi. Dindingnya berupa tembok batu setinggi
satu meter yang bersam-bung dengan jeruji besi. Sedangkan bagian lain dibiarkan
kosong tanpa kamar, kecuali tumpukan peti-peti
barang. Bongkap sudah berada di ruang tahanan. Dia diikat
kuat di sebuah kursi. Tubuhnya begitu lemas, karena masih dalam pengaruh
totokan. Kaisar Thiang Tok berdiri menyeringai memandangi
lelaki yang pernah menjabat sebagai panglima kera-
jaannya. "Masih ada seorang lagi yang belum berhasil kita
tangkap!" ujar Kaisar Thiang Tok pada kedua panglima perangnya.
"Putri tahanan ini maksud Tuanku?" tanya Pangli-
ma Cong Siat Fong.
"Ya!"
"Kalau orangtuanya berhasil kita tangkap, tentu pu-
trinya lebih mudah diringkus," kata Panglima Cong
Siat Fong meremehkan.
"Benar, Tuanku!" sela Bong Cun Min. "Aku yakin,
Liu Sun Jie, Cong A Thit, dan Ngi Ik Cin akan berhasil menangkap gadis itu,"
lanjutnya. Kaisar Thiang Tok mengangguk-angguk sambil ter-
senyum kecil. "Mungkin hanya gadis itu yang akan kubiarkan hi-
dup. Kecuali kalau sudah tua dan wajahnya berubah
keriput," ceracau Kaisar Thiang Tok dengan bibir
mengurai senyum sambil membayangkan kecantikan
Putri Bong Mini, walau ia sendiri belum pernah meli-hatnya.
Mendengar ucapan Kaisar Thiang Tok yang cabul
itu, darah Bongkap bergejolak. Ingin sekali dicabik-cabiknya mulut Kaisar Thiang
Tok kalau saja tubuh-
nya tidak sukar digerakkan.
*** Pertempuran antara kaum pemberontak dengan
prajurit kerajaan sudah mereda. Korban banyak berjatuhan, terlebih di pihak
prajurit. Karena walaupun
berjumlah sampai ratusan orang, pasukan kerajaan
masih kalah unggul dalam tehnik berperang dibanding lawan.
Banyaknya korban di pihak musuh, bagi Bong Mini
bukan berarti pertempuran menjadi lebih ringan. Dia tampak masih cukup kewalahan
menghadapi tiga musuhnya. Yang dihadapi kali ini bukanlah puluhan prajurit yang
mudah dirobohkan, melainkan tiga panglima perang yang cukup tangguh dan sadis.
Malah ia hampir terdesak oleh hujaman-hujaman pedang yang me-
ngurung dirinya.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini melenting setinggi dua tombak.
Kemudian tubuh mungil itu berputaran di udara
menghindari serangan pedang Liu Sun Jie, Cong A
Thit, dan Ngi Ik Cin. Setelah itu, kedua kakinya menjejak di tempat yang agak
jauh dari arena pertarungan semula.
Sambil menjejakkan kaki, Bong Mini menyebarkan
pandangannya ke sekitar tempat pertempuran. Dia
mencari-cari sesuatu. Tapi yang dicarinya tidak juga terlihat.
"Papa tidak ada!" desis Bong Mini dengan wajah
khawatir. Melihat gadis itu berdiri bimbang, ketiga lawannya
segera memburu untuk melancarkan serangan susu-
lan. Trangngng! Walaupun konsentrasi Bong Mini buyar karena me-
mikirkan papanya, ia masih mampu menangkis huja-
man tiga pedang lawan yang mengarah padanya. Ma-
lah dengan kemarahannya yang mendadak muncul
akibat kehilangan papanya, ia berhasil menyodokkan
Pedang Teratai Merah-nya.
Creb! "Aaakh!"
Cong A Thit memekik tertahan ketika ujung pedang
Bong Mini menusuk perutnya. Dalam sekejap, darah
menyembur dan membasahi pedang gadis itu. Selan-
jutnya, tubuh yang berdiri limbung itu ambruk dan
mati seketika. Liu Sun Jie dan Ngi Ik Cin terkejut bukan main ke-
tika melihat gadis itu dapat merobohkan temannya.
"Keparat! Rasakan pedangku!" hardik Liu Sun Jie
geram. Kemudian dilanjutkan dengan serangan pe-
dangnya yang bergerak miring untuk menyambar leher
Bong Mini. Trangngng! Bong Mini menangkis serangan pedang lawannya
seraya memiringkan tubuh ke samping. Disusul de-
ngan sebuah tendangan lurus kaki kanannya ke dada
lawan. Bukkk! "Aaakh!"
Liu Sun Jie memekik kaget ketika mendapat ten-
dangan Bong Mini. Pedang di tangan kanannya terle-
pas dan jatuh di samping Bong Mini. Sedangkan tu-
buhnya sendiri terjengkang ke belakang.
Mendapat kesempatan baik itu, Bong Mini langsung
memburu dan hendak menghujamkan pedangnya ke
arah Liu Sun Jie. Namun baru saja pedangnya hendak
diayunkan, selarik sinar pedang berkelebat menuju kepalanya.
"Hup!"
Bacokan pedang Ngi Ik Cin yang mengarah ke ke-
pala Bong Mini bisa ditangkap dengan tangan kirinya.
Disusul dengan satu sabetan pedang ke perut lawan.
Bret! Dengan ganas pedang Bong Mini menyayat tubuh
lawannya hingga terputus dua.
Liu Sun Jie terbelalak kaget melihat kesadisan Bong Mini. Dia tidak menyangka
gadis muda secantik Bong
Mini mampu melakukan tindakan ganas itu. Lebih ka-
get lagi setelah mengetahui tingkat kepandaian Bong Mini yang demikian tinggi.
Sejak melihat papanya tidak ada, Bong Mini ber-
ubah menjadi panik. Ia mengkhawatirkan keselamatan
Bongkap. Kalau papanya menghilang dari arena per-
tempuran, berarti pihak kerajaan telah berhasil me-
nangkapnya. Oleh karena itu ia berubah geram dan ingin mengakhiri pertarungan
secepatnya. Dan untuk
mempercepat pertarungan, terpaksa ia mengikuti gerakan Pedang Teratai Merah yang
mempunyai kekuatan
gaib. Sehingga setiap kali pedangnya mengenai sasa-
ran, selalu diakhiri dengan kematian yang mengerikan.
Liu Sun Jie berdiri gentar menghadapi Bong Mini.
Apalagi ketika mata gadis itu mencorong tajam, seolah-olah hendak melumat
tubuhnya. Tapi segentar apa
pun, mau tidak mau ia harus menghadapi gadis itu.
Mengingat jabatannya sebagai panglima perang.
"Heh, kenapa bengong!" ejek Bong Mini. "Atau kau
gentar karena tidak memiliki pedang?" lanjut Bong
Mini. "Pakailah pedangku ini!"
Singngng! Pedang Teratai Merah yang dilemparkan Bong Mini
segera disambut oleh Liu Sun Jie dengan tangkas. Kemudian dia mengamati pedang
milik Bong Mini itu be-
berapa saat. Hatinya begitu kagum melihat pedang
yang selalu memancarkan sinar merah berbentuk bu-
nga teratai. "Hm..., aku merasa pedang ini mempunyai kesak-
tian yang luar biasa," gumam Liu Sun Jie penuh keya-kinan. "Ternyata gadis itu
begitu bodoh telah memberikan pedang ini kepadaku!" bisik hatinya. Kemudian
dipandangnya lawan yang berdiri di hadapannya.
"Aku pasti dapat membunuhnya dengan pedang
sakti ini!" gumam Liu Sun Jie, menyeringai angkuh.
Saat itu dia merasa yakin dapat memenangkan perta-
rungan. Apalagi Bong Mini kini tak bersenjata.
"Hiyaaat!"
Liu Sun Jie mengeluarkan pekikan tinggi saat tu-
buhnya mencelat ke arah Bong Mini. Pedang di ta-
ngannya merangsek dalam gerakan lurus, sedang ta-
ngan kirinya setengah terbentang ke depan.
Wut! Pedang yang dihujamkan ke arah kepala Bong Mini
berkelit ke samping kiri. Begitu kuat! Sehingga tubuh Liu Sun Jie ikut
terpelanting, lalu jatuh bergulingan di atas tanah. Sedangkan gadis yang hendak
menjadi sa-sarannya itu malah berdiri tenang sambil tersenyum
menyaksikan lawannya yang sibuk sendiri
Liu Sun Jie sangat terkejut melihat kenyataan itu.
Ia hendak berusaha melepaskan Pedang Teratai Merah
yang digenggamnya. Namun niatnya itu tidak terlaksa-na. Sekujur tangan hingga
jari-jemarinya terasa ter-kunci rapat. Ketika ia hanya dapat telentang di atas
tanah karena putus asa, Pedang Teratai Merah memberikan kekuatan gaib pada
tangan kanan Liu Sun Jie, sehingga tangan tersebut bergerak tanpa kendali.
Mata Liu Sun Jie membelalak penuh kengerian keti-
ka ujung pedang itu berbalik arah tepat ke perutnya.
Ingin ditariknya kembali senjata aneh itu tapi sia-sia.
Tenaga gaib di dalam Pedang Teratai Merah begitu
kuat menarik tangan Liu Sun Jie. Creb!
"Aaakh!"
Mulut Liu Sun Jie memekik tertahan ketika Pedang
Teratai Merah menancap perutnya sendiri, seolah-olah dia melakukan bunuh diri.
Tidak lama kemudian, ia
tewas dengan dua biji mata mendelik serta lidah menjulur keluar.
Setelah Liu Sun Jie mati, Pedang Teratai Merah se-
gera melepaskan diri dari genggamannya. Senjata itu melayang ke Bong Mini. Lalu
masuk ke sarungnya.
Bong Mini menghela napas menyaksikan peristiwa
tadi. Kemudian tubuhnya berkelebat cepat menuju
ruang dalam istana.
*** 8
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaki Bong Mini melangkah perlahan. Dia menyeli-
nap pada setiap ruangan di dalam Istana Kaisar
Thiang Tok. Namun setiap ruangan yang dimasuki ter-
nyata kosong. Jangankan mendapatkan papanya, Kai-
sar Thiang Tok sendiri belum juga ditemukan.
"Hm..., pasti kaisar itu telah menyembunyikan pa-
pa," pikir Bong Mini. Gadis itu berdiri mematung. Matanya menyebar ke
sekeliling, mencari kamar-kamar
rahasia. Di saat itu, empat lelaki tiba-tiba memburu ke arah Bong Mini dan langsung
mengurungnya dengan pedang di tangan masing-masing.
Bong Mini berdiri tegang. Diamatinya mereka de-
ngan sorot mata tajam. Ketika mengetahui kalau pe-
ngepungnya adalah para pengawal kerajaan, Bong Mini berkata ringan.
"Kalian sebaiknya minggir! Aku cuma berurusan de-
ngan Kaisar Thiang Tok!" usir Bong Mini tenang. Na-
mun pandangannya tetap tajam menusuk mata para
pengepungnya. Empat pengawal setia Kaisar Thiang Tok yang ditu-
gaskan menjaga pintu ruang bawah tanah mendengus
geram. Kemudian tanpa komando lagi, mereka mela-
brak Bong Mini.
Wut wut wut! Dengan tenang Bong Mini menghindari serangan
itu. Tubuhnya melenting ringan. Dan secara tiba-tiba kedua kakinya bergerak
mencari sasaran.
Duk duk! Sepasang kaki Bong Mini berhasil menendang wa-
jah dua penyerang yang berada di kiri dan kanannya.
Keduanya langsung terhuyung ke belakang. Setelah
melakukan tendangan, Bong Mini sendiri langsung me-
lompat menjauhi lawannya.
"Sudah kukatakan, sebaiknya kalian beritahu saja
di mana Kaisar Thiang Tok keparat itu berada!" ketus Bong Mini.
"Keparat! Kau pikir kami gentar melihat sepak ter-
jangmu tadi!" dengus seorang dari mereka. Kemudian
ia menyerang Bong Mini kembali. Begitu pula dengan
ketiga temannya.
Melihat keempat pengawal itu bergerak kembali ke
arahnya, Bong Mini segera mengerahkan jurus kungfu
'Tanpa Bayangan'. Dalam sekejap, tubuhnya sudah
berpusing. Dan begitu para pengeroyoknya sudah
mendekat, Bong Mini langsung mengerahkan jurus
'Tendangan Maut'-nya.
Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua prajurit yang terkena tendangan Bong Mini ta-
di, kembali merasakan kaki Bong Mini. Kali ini tendangan Bong Mini begitu
dahsyat menghantam dagu dan
dada mereka. Membuat kedua orang itu memekik ter-
tahan. Sedangkan tubuh keduanya terlempar dua
tombak ke belakang.
Brukkk! Dua tubuh yang membentur lantai secara bersa-
maan itu terdengar berdebum. Keduanya meringis di-
siksa sakit yang teramat sangat pada pundak dan pantat mereka. Untuk beberapa
saat, kedua pengawal itu hanya dapat bergulingan tanpa mampu berdiri.
Sementara itu di luar istana, pertarungan antara
para pendekar dan prajurit kerajaan masih saja ber-
langsung, walaupun tidak seramai sebelumnya.
Baladewa, Prabu Jalatunda, Ningrum, Yin Yin,
Thong Mey, Ratih Purbasari, Ashiong, Sang Piao, dan
Kao Cin Liong yang semula bertarung dengan lawan
masing-masing, kini bergabung menghadapi dua puluh
prajurit Kerajaan Manchuria. Mereka bersatu menye-
rang dan saling melindungi.
Walaupun jumlah lawan terbilang sedikit, prajurit
kerajaan tampak agak gentar menghadapi gabungan
para pendekar itu. Mereka mengakui kalau tingkat kepandaian lawan lebih tinggi
dibanding kepandaian mereka. Namun demikian, mereka tetap bertahan dan
melakukan penyerangan disertai pekikan-pekikan ting-gi. "Aaakh...! Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kesakitan dan kematian terdengar
susul-menyusul. Dilanjutkan dengan tewasnya enam
prajurit. Belum lagi yang terluka akibat sabetan pedang Baladewa, Yin Yin, Sang
Piao, dan Ashiong. Se-
dangkan Prabu Jalatunda, Thong Mey, Ratih Purbasa-
ri, dan Kao Cin Liong, sibuk pula menghadapi sembi-
lan prajurit yang masih bertahan. Tetapi tidak lama kemudian, mereka berhasil
pula ditewaskan.
Setelah melihat seluruh prajurit itu tewas, para
pendekar itu langsung memburu ke dalam istana.
Akhirnya mereka sampai di tempat pertarungan
Bong Mini melawan empat pengawal pribadi Thiang
Tok. Melihat Bong Mini masih bertarung, Baladewa lang-
sung melompat ke kancah pertarungan. Disabetkan
pedangnya ke arah dua pengawal yang berdiri gentar
melihat kedatangan para pendekar.
Bret bret! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua pengawal itu memekik tinggi ketika pedang Ba-
ladewa menyambar tangan kanan mereka masing-
masing. Bagai menebas pelepah pisang, tangan kedua-
nya terpotong sebatas bahu dan jatuh bersama pedang yang digenggamnya.
Darah mengucur deras dari bagian bahu kedua le-
laki itu. Membuat dua temannya yang masih berguli-
ngan di lantai membelalak ngeri. Wajah mereka lang-
sung pias. Apalagi ketika Bong Mini mendekati mereka dengan wajah garang.
"Ampun, Nona! Jangan bunuh kami!" rengek seo-
rang pengawal yang masih terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil ketakutan.
"Aku akan mengampuni kalian jika sudah memberi-
tahukan di mana kaisar menawan papaku!" sergah
Bong Mini tegas.
Hati empat pengawal tadi semakin ciut saja ketika
gadis itu menyebut kata papa. Mereka kini tahu kalau gadis berwajah cantik yang
berilmu tinggi itu putri Bong Khian Fu.
"Kami..., kami akan memberitahukannya, Nona. As-
al Nona mau melindungi kami jika Kaisar Thiang Tok
murka kepada kami karena telah membocorkan raha-
sia!" kata pengawal tadi, terbata-bata.
"Hm..., baik!" ucap Bong Mini berjanji. "Sekarang,
coba kau sebutkan di mana tempatnya!" lanjutnya.
"Di..., di sana! Di bawah tanah!" ucapnya lagi sam-
bil menunjuk ke sebuah lorong remang berpenerang
obor. Bong Mini bangkit perlahan sambil menoleh ke lo-
rong yang luasnya sekitar satu meter itu.
"Kita segera ke sana!" ajak Baladewa tidak sabar.
"Ya. Tapi ingat! Kaisar Thiang Tok aku yang hada-
pi!" kata Bong Mini.
"Terserah!" sahut Baladewa, pasrah terhadap kei-
nginan Bong Mini. Ia sendiri sadar kalau kepandaian Bong Mini di atas
kepandaiannya. Setelah mendapat kata sepakat, Bong Mini dan pen-
dekar lain melangkah menyusuri lorong. Sedangkan
empat pengawal kerajaan tadi melangkah di depan me-
reka sebagai penunjuk jalan.
*** Di ruang bawah tanah, keadaan Bongkap tampak
menyedihkan. Lelaki itu masih dalam keadaan duduk
terikat di atas sebuah kursi. Sementara Panglima Cong Siat Fong dan Panglima
Cong A Thit melakukan penyiksaan sadis terhadapnya. Mereka memukuli wajah
Bongkap bertubi-tubi hingga bengkak membiru dan
mengucurkan darah.
"Cukup!" Kaisar Thiang Tok memberi aba-aba. Bi-
birnya tersenyum angkuh pada Bongkap.
Dua panglima perang yang melakukan penyiksaan
terhadap Bongkap segera menghentikan pukulannya.
"Pindahkan dia dan ikat di tali gantungan!" perintah Kaisar Thiang Tok lagi.
Dua panglima perang itu segera melaksanakan pe-
rintah kaisarnya. Keduanya membuka ikatan, lalu me-
nyeret Bongkap untuk mengikatnya kembali ke tiang
gantungan yang terletak di sebelah kamar tahanan.
Kaisar melangkah mendekati Bongkap yang sudah
terikat tak berdaya itu. Ditatapnya Bongkap penuh ke-licikan.
"Sebelum kuhabisi nyawamu, kau harus menyaksi-
kan dulu percumbuanku dengan putrimu bila tiga
panglimaku berhasil membawanya ke sini!" desis Kai-
sar Thiang Tok dengan kalimat terpatah-patah hingga setiap kata terdengar jelas.
"Phuih!"
Bongkap meludahi wajah Kaisar Thiang Tok hingga
berlumur darahnya.
Mendapat perlakuan kurang ajar dari tawanannya
itu, Kaisar Thiang Tok menjadi murka.
Plak plak! Dua tamparan keras mendarat di wajah Bongkap
yang sudah berlumuran darah. Namun Bongkap se-
dikit pun tidak mengeluarkan rintihan. Rasa sakit dan perih itu ditahannya
dengan merapatkan mulutnya
kuat-kuat bersama kedua matanya yang terpejam.
Brakkk! Tiba-tiba pintu terbuka keras. Selanjutnya, Bong
Mini dan rombongannya bergerak memasuki ruang ta-
hanan. Kaisar Thiang Tok dan dua panglimanya membalik-
kan badan ke arah pintu dengan wajah terkejut. Ke-
terkejutan mereka semakin memuncak manakala pan-
dangan ketiganya tertuju pada para pendekar yang
berdiri gagah. Rasa terkejut itu bukan saja hinggap pada diri Kai-
sar Thiang Tok dan dua panglimanya, tetapi juga
menghinggapi diri Bongkap yang masih terpejam me-
nahan rasa perih di wajahnya. Ketika kedua matanya
terbuka, keterkejutan itu berubah menjadi kegembi-
raan. Apalagi saat melihat kehadiran Bong Mini.
"Jahanam! Pengecut!" geram Bong Mini ketika sepa-
sang matanya melihat keadaan Bongkap yang terikat
di tiang gantungan.
Kaisar Thiang Tok tersenyum pongah. Kemudian
ketiganya melangkah dan berdiri di dekat Bong Mini
dengan posisi yang menyerupai bulan sabit.
Sementara itu, Baladewa dan para pendekar lain
melangkah berpencar untuk menyaksikan dari kejau-
han Bong Mini yang mulai berhadapan dengan tiga la-
wannya. Sedangkan empat pengawal kaisar yang men-
jadi penunjuk jalan tampak berdiri terpisah dari rombongan Bong Mini.
Bong Mini berdiri gagah dan tenang di tengah ketiga pengepungnya. Matanya
meneliti wajah ketiga orang
itu, memilih mana-mana yang mungkin berbahaya dan
mencari kelemahan bentuk kepungan mereka.
"Apa kau putri Bong Khian Fu?" tanya Kaisar
Thiang Tok dengan mata liar meneliti keindahan tubuh Bong Mini.
"Tepat! Akulah Putri Bong Mini yang akan meng-
hancurkan seluruh penghuni istana ini!" sahut Bong
Mini lantang. Kaisar Thiang Tok tersenyum genit dengan mata tak
lepas memandang dua bukit yang menyembul di dada
Bong Mini. Saat itu pula darah birahinya berdesir, me-manasi seluruh tubuhnya.
"Sayang, gadis muda dan cantik yang mempunyai
tubuh molek terjun ke dunia penuh darah dan pekik
kematian!" kata Kaisar Thiang Tok dengan suara te-
nang. "Phuih!" Bong Mini meludah ke samping kanan.
"Kaisar tua yang tidak tahu diri!" maki Bong Mini dengan mata berkilat-kilat.
Melihat sikap Bong Mini, Kaisar Thiang Tok malah
tertawa terkekeh-kekeh. Matanya yang sipit semakin
tak terlihat. "Apakah kau sudah siap berhadapan de-
nganku, Kelinci Manis?"
Bibir Bong Mini menyeringai meremehkan. Tawa ke-
cil yang keluar dari bibir mungilnya membekukan ke-
gairahan lawan. "Seorang pendekar selalu siap walaupun sedang tidur nyenyak!"
pongah Bong Mini.
"Majulah kalian bertiga. Tak ada gunanya banyak
cakap!" tantang Bong Mini lagi.
Walaupun ucapan Bong Mini membuat panas teli-
nga Panglima Cong Siat Fong dan Panglima Cong A
Thit, Kaisar Thiang Tok tampak tenang-tenang saja.
Dia seperti tak tersinggung sedikit pun.
"Apakah kedatanganmu ke sini hendak membe-
baskan papamu?" tanya Kaisar Thiang Tok. Sebelum
Bong Mini menyahut, ia telah melanjutkan ucapannya,
"Kalau memang itu tujuanmu, dia akan segera kube-
baskan. Dengan catatan, kau harus bersedia menjadi
istriku!" Mendengar ucapannya yang genit, bukan cuma
Bong Mini yang terlihat marah, tetapi juga Baladewa.
Malah ingin sekali ia menyerang kaisar genit itu. Tapi karena ia ingat pesan
Bong Mini yang ingin menyele-saikan persoalan itu sendirian, maka Baladewa pun
segera menahan amarahnya.
"Aku bukan saja hendak membebaskan papaku, te-
tapi juga ingin membunuhmu!" berang Bong Mini.
Mendengar jawaban itu, wajah Kaisar Thiang Tok
yang semula tenang dan penuh kegenitan, berubah
menjadi merah. Darah panas bergolak menjalar ke se-
kujur tubuhnya. Sedangkan dua panglimanya yang se-
jak tadi membendung amarah, tampak mencabut pe-
dang masing-masing.
Andai saja saat itu Bong Mini melakukan sedikit ge-
rakan mata atau tubuh yang keliru, pedang mereka
pasti menyerbu ke arahnya seperti udara menyerbu
ruang hampa. Namun karena Bong Mini tetap berdiri
kokoh dengan mata yang tetap waspada, dua panglima
itu tetap berdiri tenang untuk menunggu perintah kaisarnya.
"Kalian berdua sudah memegang senjata, bergerak-
lah! Jangan hanya menunggu perintah seperti budak!"
Kata-kata yang dilontarkan Bong Mini seperti mi-
nyak tertuang dalam nyala api, membuat kemarahan
dua lelaki itu meletup tak terkendali lagi. Tanpa menghiraukan kaisarnya,
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keduanya bergerak menyerang
gadis yang berdiri angkuh di depan mereka.
Wut wut! Dua pedang terayun ke tubuh Bong Mini dengan
dahsyat. Bong Mini yang sejak tadi sudah siap meng-
hadapi serangan cepat melompat satu tindak ke bela-
kang. Dilanjutkan lompatan ke depan, melewati kepala dua penyerangnya.
Sing sing sing!
Sinar merah berbentuk bunga teratai tampak berki-
lauan menerangi ruang bawah tanah ketika Bong Mini
mengeluarkan pedang yang tersandang di punggung-
nya. Ruang bawah tanah yang hanya diterangi oleh api obor di sudut-sudut
dinding, dalam sekejap diterangi warna merah.
Kaisar Thiang Tok dan kedua panglimanya terce-
ngang menyaksikan pedang di genggaman Bong Mini.
Baru kali ini mereka melihat pedang yang selalu me-
mancarkan sinar merah berbentuk bunga teratai itu.
Membuat mereka menafsirkan pedang itu menyimpan
satu kekuatan yang luar biasa.
"Hiyaaat!"
Bong Mini melabrak dua lawannya yang masih ter-
tegun. Crokkk! Leher Cong A Thit terbabat pedangnya sampai lepas
dari badan. Kepalanya menggelinding ke arah Kaisar
Manchuria itu dan terhenti tepat di dekat jari kakinya.
Sedangkan darah yang menyembur lewat leher yang
terbabat itu tampak membasahi lantai hingga berubah merah.
"Hiyaaat!"
Teriakan mengerikan kembali terdengar. Bukan saja
dari mulut Bong Mini, tetapi juga dari mulut Cong Siat Fong. Mereka bertarung
penuh kemarahan yang memuncak. Keduanya sudah seperti binatang buas yang
hendak mencabik-cabik lawan masing-masing.
Singngng! Pedang Bong Mini mendesing kian kemari di udara,
menyambar tubuh lawannya.
Crok crok crok!
Dengan ganas Bong Mini membabat habis tubuh
Cong Siat Fong. Darah dan otaknya berpercikan saat
senjata Bong Mini mendarat di kepala lawan. Sedang-
kan jari-jemari tangannya beterbangan di udara terke-na sabetan pedang Bong
Mini. Kaisar Thiang Tok dan empat pengawal yang meng-
antarkan rombongan Bong Mini tadi tampak berdiri tegang dengan wajah memucat
menyaksikan penyembe-
lihan brutal itu. Begitu pula dengan Bongkap dan para pendekar di pihak Bong
Mini. Mereka heran Bong Mini dapat berbuat sesadis itu. Berbeda dengan
pertarungan-pertarungan sebelumnya.
Sebenarnya perlakuan kejam Bong Mini terhadap
Panglima Cong Siat Fong tadi di luar kehendaknya. Dia sendiri berusaha ingin
mengendalikan kekuatan gaib
dalam pedang yang digenggamnya itu. Tapi entah ke-
napa, tenaga gaib yang biasanya mampu dikendalikan, kini tidak bisa ditaklukkan!
Tenaga Bong Mini kalah kuat dengan kekuatan gaib pedang itu. Mau tak mau
Bong Mini harus mengikuti gerakan pedangnya.
Sampai akhirnya Bong Mini tidak sanggup lagi me-
ngendalikan kekuatan Pedang Teratai Merah. Dile-
paskannya gagang pedang itu. Ketika terlepas dari
genggaman Bong Mini, Pedang Teratai Merah langsung
meluncur deras ke arah Kaisar Thiang Tok.
Kaisar Thiang Tok membelalak ngeri melihat pedang
itu melayang ke arahnya. Belum sempat ia berpikir untuk melakukan sesuatu,
pedang Bong Mini itu telah
mendarat ke tubuhnya.
Creb! "Aaakh!"
Kaisar Thiang Tok memekik tertahan saat ujung Pe-
dang Teratai Merah menembus perutnya hingga ke
punggung. Tubuhnya terhuyung sebentar, lalu roboh.
Dia tewas detik itu juga.
Seperti memiliki kehendak sendiri, pedang Bong
Mini bergerak mencabut diri ketika Kaisar Thiang Tok roboh berlumuran darah.
Kemudian pedang yang masih mengucurkan darah lawan itu bergerak mendekati
Bong Mini dan masuk ke sarungnya.
Walaupun para pendekar telah mengetahui kesak-
tian pedang Bong Mini, sebagian dari mereka sempat
tercengang pula menyaksikan peristiwa tadi.
Setelah Kaisar Thiang Tok dan pengikutnya mati,
Bong Mini berlari memburu papanya. Dilepasnya tali
yang mengikat Bongkap, lalu segera dipeluknya erat-
erat. Saat itu air mata kebahagiaan meleleh lewat celah-celah bulu matanya.
Bongkap membalas pelukan putrinya tanpa gairah.
Tenaganya masih tetap lemah akibat siksaan Panglima Perang Kaisar Thiang Tok,
walaupun sejak tadi telah terbebas dari pengaruh totokan yang bertahan beberapa
jam itu. "Putri Bong Mini!" panggil Yin Yin memecahkan ke-
heningan. Bong Mini melepas pelukan papanya dan menoleh
ke arah Yin Yin dengan mata yang masih berair.
"Kalau pedang yang kau miliki itu memiliki kekua-
tan gaib yang luar biasa, kenapa tidak sejak dulu saja kau perintahkan pedang
itu untuk membasmi Kaisar
Thiang Tok dan pengikutnya?" lanjut Yin Yin.
Bong Mini tersenyum. Ia maklum terhadap perta-
nyaan sahabat lamanya itu.
"Apa yang kau katakan memang benar," kata Bong
Mini. "Tapi kita sendiri tidak bisa sembarang perintah.
Karena Pedang Teratai Merah hanya dapat bergerak
dan melakukan pertempuran sendiri bila aku dalam
keadaan terdesak!" lanjut Bong Mini.
Yin Yin dan para pendekar mengangguk-angguk
mengerti. Baru beberapa saat Bong Mini menghentikan uca-
pan, entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang wanita bergaun putih panjang
berdiri di dekat pintu. Wajahnya cantik dengan tubuh tinggi semampai. Sedang-
kan bibirnya yang merah merekah tampak tersenyum
pada Bong Mini sambil melangkah mendekati.
"Putri Teratai Merah!" desis Bong Mini dengan mata
membelalak. Begitu pula dengan yang lain. Mereka terbelalak karena baru kali ini
melihat seorang wanita yang demikian cantik mempesona. Dan kecantikan
serta daya pesonanya tidak membuat birahi lelaki te-rangsang, tetapi justru
membuat mereka hormat dan
tidak mempunyai keberanian untuk menggoda. Tidak
seperti kecantikan yang dimiliki wanita lain.
"Aku datang ke sini hendak mengucapkan selamat
karena kau telah berhasil memperjuangkan kemerde-
kaan rakyat!" ucap Putri Teratai Merah seraya meng-
ulurkan tangannya.
Mendapat uluran tangan itu, Bong Mini tidak me-
nyambutnya dengan jabatan tangan. Dia malah mera-
patkan tubuhnya erat-erat di pelukan Putri Teratai Merah, seolah tidak ingin
berpisah. Sementara butiran air mata kembali membasahi kedua pipinya.
Putri Teratai Merah membalas pelukan Bong Mini
dengan penuh kasih sayang.
Hening. Bongkap, Baladewa, Prabu Jalatunda, Ningrum,
dan para pendekar hanya dapat termangu-mangu me-
nyaksikan adegan yang mengharukan itu.
"Aku tidak lama, sayang!" ucap Putri Teratai Merah
seraya mengusap-usap rambut Bong Mini. "Aku datang
ke sini karena ada sesuatu yang hendak kusampaikan
padamu!" lanjutnya.
Bong Mini merenggangkan pelukan. Ditatapnya Pu-
tri Teratai Merah dengan kepala menengadah.
"Berita apa yang hendak kau sampaikan itu?" ucap
Bong Mini sendu.
"Aku menyampaikan kepadamu kalau Pedang Te-
ratai Merah sudah waktunya kembali ke tempat asal-
nya!" kata Putri Teratai Merah.
Bong Mini tertegun. Hatinya merasa berat untuk
melepaskan pedang sakti yang selama ini telah banyak membantu perjuangannya.
Putri Teratai Merah tersenyum. Dia dapat menduga
apa yang sedang menggayuti hati dan pikiran Bong
Mini saat itu. "Jangan khawatir! Pedang itu akan tetap menjadi
milikmu. Kapan saja kau rindu atau membutuhkan-
nya, Pedang Teratai Merah akan datang menemuimu
tanpa kau minta!" ucap Putri Teratai Merah lembut,
menenangkan perasaan Bong Mini.
"Baiklah kalau begitu," kata Bong Mini yang mulai
menyadari kalau tugas Pedang Teratai Merah untuk
membantu perjuangannya sebenarnya sudah selesai.
Kemudian diserahkannya pedang tersebut pada Putri
Teratai Merah. Sungguh menakjubkan, ketika berada di tangan Pu-
tri Teratai Merah, pedang sakti itu berubah bentuk
menjadi dua tangkai kembang Teratai Merah. Hal itu
tentu saja sangat mengejutkan para pendekar yang
menyaksikannya itu.
"Nah, sekarang aku akan kembali ke istanaku!" pa-
mit Putri Teratai Merah seraya mengecup kening Bong Mini. Setelah itu, ia pun
melangkah pergi tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya.
"Siapa dia?" sebuah pertanyaan pendek terlontar
dari para pendekar secara bersamaan.
"Dialah Putri Teratai Merah, pemilik pedang yang
selama ini kupergunakan!" sahut Bong Mini menje-
laskan. Para pendekar mengangguk-angguk.
"Di mana dia tinggal?" tanya Ningrum ingin tahu.
"Dia tinggal di Istana Putri, di alam gaib. Tapi dia pernah hidup ratusan tahun
silam!" jelas Bong Mini
lagi. Para pendekar kembali mengangguk-angguk. Lalu
mereka pun meninggalkan ruang bawah tanah itu.
Termasuk empat pengawal Kaisar Thiang Tok yang su-
dah bergabung dengan rombongan Bong Mini.
*** 9 Keindahan melengkapi malam itu. Bulan tanggal
empat belas bergayut penuh di kebeningan cakrawala.
Tak setitik awan pun menodainya. Sinarnya menyapu
lembut ke wajah sendu sang bumi.
Dalam keindahan malam itu, semua rakyat, tua-
muda, lelaki, dan perempuan berbondong-bondong
menuju istana Kerajaan Manchuria. Wajah mereka me-
mancarkan sinar kegembiraan yang teramat sangat,
karena selama hidup di negeri Manchuria, baru malam ini mereka dapat
menginjakkan kaki di istana.
Kedatangan mereka ke istana kaisar tidak lain un-
tuk memenuhi undangan Bongkap untuk mengadakan
pesta kemenangannya terhadap kekuasaan Kaisar
Thiang Tok. Selain mengadakan pesta kemenangan, malam itu
Bongkap juga mengadakan pesta pernikahan tiga pa-
sang pemuda-pemudi. Baladewa dengan Putri Bong
Mini, Ashiong dengan Ratih Purbasari, sedangkan
Sang Piao berpasangan dengan Thong Mey. Dan seka-
rang, tiga pasang pengantin itu tengah berdiri gembira menyambut ucapan selamat.
Bukan saja dari rakyat
kalangan atas dan menengah, tetapi juga dari rakyat golongan bawah. Malah
Bongkap sengaja mengundang
rakyat miskin lebih banyak lagi. Maksudnya tidak lain agar mereka yang selama
ini hidup menderita, dapat
juga merasakan kesenangan dan kebahagiaan, walau
hanya satu hari. Dan bagi mereka yang tidak memiliki pakaian bagus, Bongkap
memberikan pakaian para
prajurit kaisar yang telah tewas untuk mereka kena-
kan di malam pesta yang meriah itu. Kaum papa yang
sehari-harinya hanya mengenakan pakaian butut, kini terlihat lebih gagah dan
perlente. "Saudara-saudara sekalian!" Bongkap membuka
ucapan setelah berakhirnya acara ucapan selamat ke-
pada ketiga mempelai. "Malam ini merupakan awal ke-
bahagiaan bagi kita semua. Karena kita telah bebas
dari belenggu kebiadaban Kaisar Thiang Tok dan pengikutnya. Oleh karena itu,
pada malam yang berbahagia ini pula, aku yang pernah menjabat sebagai panglima
perang di negeri ini akan mengadakan pemilihan kaisar baru sebagai pemimpin
kalian. Dalam hal ini, pemilihan kaisar kuserahkan kepada kalian. Silahkan
kalian pilih orang yang cocok untuk diangkat sebagai kaisar negeri Manchuria
yang baru!" lanjut Bongkap di hadapan ribuan rakyat negeri Manchuria yang
berkumpul di halaman istana.
Rakyat yang hadir di tempat itu tampak bercakap
satu dengan yang lainnya. Percakapan mereka terde-
ngar bergemuruh, tak jelas apa yang diucapkan. Yang pasti, mereka
memperbincangkan masalah pengangka-tan kaisar baru.
Dalam gemuruh itu, Yin Yin yang berdiri mendam-
pingi Bongkap mengangkat kedua tangannya sebagai
isyarat agar rakyat bersikap tenang. Kemudian setelah
suasana reda kembali, Yin Yin berkata kepada mereka,
"Bagaimana kalau aku menjadi wakil kalian untuk me-
nunjuk kaisar kita yang baru?"
"Setujuuu...!"
Gemuruh sambutan terdengar dari kerumunan rak-
yat. "Bagaimana kalau aku memilih Bong Khian Fu se-
bagai kaisar baru kita?" tanya Yin Yin lagi.
"Setujuuu...!"
Suara yang penuh persatuan itu kembali memecah
keheningan malam.
Yin Yin tersenyum sambil menoleh pada Bongkap.
"Bagaimana, Susiok?"
Bongkap tidak segera menyahut. Kecuali meman-
dang Yin Yin sekilas. Kemudian beralih memandang
kerumunan rakyat.
"Apakah kalian tidak menyesal memilihku sebagai
kaisar negeri ini?" tanya Bongkap.
"Tidak!" Rakyat menjawab serempak.
"Kalau memang demikian, baiklah. Dan malam ini
aku berjanji di hadapan kalian, akan kulaksanakan
jabatan baru ini sebaik mungkin, sesuai dengan harapan kalian!" ucap Bongkap,
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menetapkan ikrar.
"Hidup Bong Khian Fu!"
"Hidup kaisar kita yang baru!"
Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut rakyat bersama luapan
kegembiraan. Bongkap diam-diam terharu, air matanya menitik
melihat dukungan rakyat yang demikian tulus kepa-
danya. "Susiok. Kenapa Susiok menangis?" tanya Yin Yin
ketika sempat melihat butiran air mata mengalir di kedua pipi Bongkap yang sudah
mengendur. "Aku terharu dengan pernyataan rakyat yang demi-
kian tulus!" sahut Bongkap dengan suara bergetar.
"Sudah sepatutnya Susiok menerima jabatan kai-
sar!" kata Yin Yin seraya tersenyum.
Bongkap memandang Yin Yin dengan mata berkaca-
kaca. Kemudian tangan kanannya mendekap gadis itu
erat-erat. "Terima kasih atas kepercayaanmu, Yin Yin!"
Mendengar ucapan itu, Yin Yin ikut terharu. Ia pun
menitikkan air mata, air mata kebahagiaan.
Setelah acara pemilihan kaisar yang baru usai,
Bongkap dan Yin Yin masuk ke dalam istana, di mana
tiga pasang pengantin dan para pendekar berada. Se-
dangkan rakyat yang tadi berkerumun, kini berpesta
sambil menikmati hidangan dan nyanyian yang diku-
mandangkan wanita-wanita cantik bersuara merdu.
Membuat suasana malam itu benar-benar meriah.
*** Sebulan sudah Bongkap menjadi kaisar. Dan sela-
ma sebulan itu, Bongkap melakukan perombakan-pe-
rombakan undang-undang yang selama ini diberlaku-
kan oleh Kaisar Thiang Tok. Kalau zaman Kaisar
Thiang Tok rakyat dipungut upeti dengan jumlah yang sangat besar dan mencekik
leher, kini pungutan upeti itu diringankan, sesuai dengan penghasilan rakyat
dalam setiap panen. Sedangkan sawah dan ladang yang
dulu milik Kaisar Thiang Tok, kini telah dikembalikan kepada rakyat yang semula
memilikinya. Untuk jabatan panglima, Bongkap memilih Sang
Piao, Ashiong, dan Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Ma-ta Dewa yang selamat ketika
bertempur melawan pa-
sukan Kaisar Thiang Tok. Sedangkan para prajuritnya diambil dari rakyatnya
sendiri. Para pemuda yang semula menganggur, kini telah mendapat pekerjaan yang
sangat baik. Suatu hari, ketika Bongkap, Prabu Jalatunda, Ning-
rum, Baladewa, Bong Mini, dan Yin Yin tengah ber-
kumpul di ruang pertemuan, Prabu Jalatunda me-
nyampaikan maksudnya kepada Bongkap.
"Bongkap!" ucap Prabu Jalatunda sambil menatap
wajah sahabatnya yang duduk di seberang meja. "Su-
dah saatnya aku kembali ke Selat Malaka!"
Bongkap tercekat. Ia baru sadar kalau Prabu Jala-
tunda mempunyai tanggung jawab di negerinya. Me-
nanggapi ucapan Prabu Jalatunda, Bongkap hanya da-
pat mendesah tanpa mampu menahan. Walaupun ia
sangat mengharapkan sahabat yang sudah menjadi
mertua putrinya itu tetap tinggal di istananya.
"Sebagai sahabat yang sudah menjadi satu kelu-
arga, aku berkeinginan kau tetap tinggal di sini. Namun karena aku mengerti akan
tanggung jawabmu di
negeri Selat Malaka, aku pun tidak dapat menahan
keinginanmu!" tutur Bongkap datar.
"Terima kasih atas pengertianmu, Bongkap!" ucap
Prabu Jalatunda.
"Kau sendiri bagaimana, putriku?" Bongkap meng-
alihkan pertanyaan kepada Bong Mini yang duduk di
sebelah kanannya.
Mendapat pertanyaan itu, mendadak Bong Mini me-
nutupkan wajah dengan kedua telapak tangannya. Se-
dangkan bahunya terguncang-guncang karena mena-
han isak tangis.
Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa,
dan Yin Yin tampak bingung melihat Bong Mini men-
dadak menangis.
"Mengapa kau tiba-tiba menangis, Sayang?" lembut
Bongkap bertanya sambil mengusap kepala Bong Mini.
"Papa!" desah Bong Mini. Disapunya air mata, ke-
mudian ia memandang wajah Bongkap dengan wajah
sendu. "Sebenarnya aku sangat mencintai dan menya-
yangi Papa. Aku ingin selalu berdekatan dengan Papa
selama-lamanya. Tapi...," Bong Mini tidak melanjutkan ucapan karena terpenggal
tangis kembali.
"Papa mengerti. Papa mengerti!" ucap Bongkap, me-
mahami maksud putrinya. "Maksudmu kau sekarang
sudah menjadi milik Baladewa?"
Bong Mini mengangguk.
"Dan suamimu mengajak tinggal di negeri Selat Ma-
laka?" Bong Mini kembali mengangguk.
Bongkap menghela napas dengan sebaris senyum
kecil. "Sebenarnya papa pun sangat berat berpisah de-
nganmu. Tapi apa boleh buat. Perpisahan merupakan
takdir yang telah digariskan Tuhan, saat kau sudah
berumah tangga. Dan tanggung jawab papa pun se-
karang sudah beralih pada suamimu, Baladewa!" ucap
Bongkap, bijak.
Bong Mini menghentikan tangisnya. Dia mencoba
mencerna ucapan papanya.
"Tapi walau kita berpisah, ikatan batin, cinta, dan kasih sayang antara orangtua
dan anak tetap ada. Begitu pula sebaliknya. Karena hal itu yang membuat ki-ta
selalu merasa dekat, walau terpisah oleh bentangan samudera," lanjut Bongkap.
"Kau mengerti, Sayang?"
"Aku mengerti, Papa!" sahut Bong Mini. Kepalanya
mengangguk lamat.
Bongkap tersenyum seraya membenamkan kepala
Bong Mini dalam pelukannya.
*** Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa, dan Bong
Mini telah kembali ke negeri Selat Malaka. Di sana mereka menjabat sebagai
pemimpin negeri. Dan atas usul Bong Mini, Baladewa mendirikan istana di bekas
rumah Bong Mini yang sudah menjadi reruntuhan. Bala-
dewa dan Bong Mini membangun istana di atas rerun-
tuhan rumah Bongkap dengan pertimbangan agar ma-
kam Sinyin, mama Bong Mini, yang terletak di samping istana bisa terawat dengan
baik. Sedangkan Bongkap, Sang Piao, Ashiong, Yin Yin, dan Kao Cin Liong menja-
lani kehidupan di negeri Manchuria.
Tiga bulan setelah Bongkap dan Bong Mini berpi-
sah, Bongkap dan Yin Yin menikah. Kesediaan Yin Yin menjadi istri Bongkap bukan
karena tahta atau harta yang dimiliki Bongkap, tetapi karena Bongkap seorang
lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Bukan saja
terhadap Yin Yin, tetapi juga kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Sehingga
rakyat negeri Manchuria
yang dulu dihujani penderitaan demi penderitaan, kini telah menjadi negeri yang
makmur, penuh sandang
pangan. Dengan dinobatkannya Bongkap sebagai kaisar di
negeri Manchuria dan Bong Mini di negeri Selat Ma-
laka, banyak orang Manchuria berkunjung ke negeri
Selat Malaka. Mereka bukan saja melancong untuk
menikmati keindahan pantainya, tetapi juga sebagai
imigran yang menetap di Selat Malaka. Dan kedua ne-
geri itu menjadi negeri yang tak bisa dipisahkan.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** *** 4 *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** *** *** 8 *** *** 9 *** *** SELESAI Hina Kelana 25 Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Kisah Membunuh Naga 20