Pencarian

Bunga Di Batu Karang 16

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 16


agak lama ditinggalkannya itu, tidak pernah menyinggungnyinggung tentang Raden Ayu Galihwarit dan tentang ibunya sendiri. Seakan-akan ia mulai hidupnya sejak ia ke mbali ke istana itu, dan tidak tahu menahu sama sekali tentang apa yang pernah terjadi di istana itu sebelumnya. Dala m waktu yang dekat, para pelayan dan abdi di Ranakusuman sudah melihat pembedaan yang jelas, antara Raden Rudira dan Raden Juwiring. Juwiring bukan seorang anak muda yang senang berteriak me manggil pelayanpelayannya dan memaka inya, me merintah dan sekedar marah-marah, selain merajuk terhadap ibu dan ayahandanya. Tetapi Raden Juwiring ma mpu melakukan berbagai maca m kerja. Bahkan yang para pelayannya mengala mi kesulitan, terutama terhadap kuda yang banyak terdapat di kandang. Dengan de mikian, maka para abdi di Ranakusuman segera mengenalnya sebagai seorang anak muda yang baik. Mereka yang biasa melayani Raden Rudira yang manja, merasakan, betapa Raden Juwiring sudah selalu ma mpu melayani dirinya sendiri Rara Warihpun merasakan perbedaan yang jauh antara kedua kakaknya itu. Bahkan kemudian rasa-rasanya ia malu kepada diri sendiri. Seharusnya setiap orang yang sudah meningkat dewasa tidak lagi terlalu banyak menggantungkan diri kepada orang lain. Sehingga dengan de mikian sikap dan tingkah laku Juwiring, merupakan contoh yang sangat baik baginya. Perlahan-lahan Warihpun mencoba untuk menirunya. Hidupnya yang seakan-akan telah terhempas jatuh ke dalam jurang yang paling dala m itu me mberinya kesempatan untuk mencari ja lan bagi masa depannya. Seakan-akan ia kini mendapat bimbingan untuk bangkit dan me mupuk kepercayaan kepada diri sendiri. Pangeran Ranakusuma yang menga mari perke mbangan hubungan kedua anaknya itu menarik nafas dalam-dala m. Bahkan setiap kali ia merasa bersukur, bahwa jarak yang ada
di antara mereka se makin la ma menjadi sema kin pendek. Juwiring yang benar-benar sudah dapat berpikir secara dewasa itu, berusaha untuk menghindarkan ke mungkinan yang dapat me mbatasi hubungannya dengan Rara Warih, apalagi mengungkit persoalan-yang sudah lampau dan yang dapat menjadi duri di dala m hati masing-masing. Sedang Rara Warih yang terbentur pada kejamnya kehidupan, berusaha untuk mene mukan sandaran pada diri sendiri dan me mupuk pengakuan, bahwa Juwiring sebenarnya adalah anak muda yang baik. Namun dengan de mikian, maka Pangeran Ranakusuma itupun ke mudian sa mpai pada suatu kesimpulan, bahwa kehadirannya di istana Ranakusuman bukannya suatu hal yang mut lak. Bahwa ia mendapat kesimpulan tentang anakanaknya itu, telah melepaskannya dari kebimbangan untuk bertindak lebih jauh sebagai seorang laki-laki terhormat di Surakarta. Tidak ada seorangpun yang tahu, apa yang dipikirkannya. Meskipun sa ma sekali tida k menyangkut kekuasaan yang semakin bertambah-ta mbah dari orang asing itu atas Surakarta, namun sebagai seorang Senapati, maka Pangeran Ranakusumapun me mpunyai sikap yang pasti bagi dirinya sendiri. Tetapi pada saatnya ia akan me lakukan rencananya itu, dipanggilnya Ki Dipanala menghadap dan hanya kepadanya sajalah Pangeran Ranakusuma itu mengatakannya. "Pangeran" Ki Dipanala menjadi tegang "ha mba mengharap Pangeran me mikirkannya berulang ka li. Apakah rencana itu tidak dapat dibatalkan, atau Setidak-tidaknya ditunda?" "Tida k Dipana la. Aku sudah bertekad. Apalagi menurut penglihatanku, hubungan antara Juwiring dan adiknya sudah menjadi semakin baik. Dengan demikian, seandainya aku tidak akan pernah ke mba li lagi ke rumah ini, aku sudah tenang meninggalkannya"
"Tida k Pangeran. Masih ada persoalan yang harus diperhitungkan. Mungkin akibat daripada peristiwa itu akan berkepanjangan" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Na mun ia menggeleng sa mbil berkata "Apaboleh buat Dipanala. Aku sudah menjadi seorang pengkhianat bagi Sura karta, karena aku selalu berhubungan dengan orang-orang asing dan bahkan me mberi kese mpatan kekuasaan mereka berke mbang, sekedar untuk pe muasan diri sendiri. Dengan de mikian, maka aku sudah menjadi seorang yang mementingkan diriku sendiri. Tetapi apakah artinya, jika dengan demikian justru diriku sendiri inilah yang ke mudian mendapat hinaan itu?" Ki Dipanala termenung sejenak. Yang terbayang adalah peristiwa yang mengerikan akan terjadi. Tetapi ternyata ia tidak dapat mencegahnya. Dan apa yang direncanakan oleh Pangeran Ranakusuma itu benar-benar dilakukannya. Ketika bulan bulat di langit, dan udara cerah, Pangeran Ranakusuma telah me merintahkan menyiapkan keretanya. "Ayahanda akan menghadap ke istana?" bertanya Rara Warih. Pangeran Ranakusuma menjadi bimbang sejenak. Dipandanginya wajah anaknya yang tidak lagi secerah saat ibundanya masih ada di istana ini. "Apakah ayahanda dipanggil oleh Kangjeng Susuhunan?" Mata Pangeran Ranakusuma menjadi redup. Ke mudian terdengar ia berdesah perlahan-lahan. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Baik-ba iklah di rumah. Dimana ka masmu Juwiring?" "Di belakang ayahanda" "Panggillah ia menghadap"
Rara Warih mengerutkan keningnya. Tetapi ia t idak bertanya lagi. Dipanggilnya Juwiring, yang sedang berada di belakang. Ketika Juwiring ke mudian menghadap ayahandanya, ia terkejut melihat sikap dan tatapan mata Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia tida k berani bertanya sesuatu sebelum Pangeran Ranakusuma sendiri me mberitahukan kepentingannya. Sejenak Juwiring menunggu. Dan ke mudian didengarnya suara ayahnya dalam "Baik-baiklah di ruma h Juwiring. Aku senang melihat kalian telah berubah dan saling mendekatkan diri sebagai dua orang ka kak beradik" kata-kata Pangeran Ranakusuma terputus. Agaknya masih ada yang akan dikatakannya, tetapi rasa-rasanya tidak dapat dilontarkannya. Juwiring merasakan sesuatu yang lain pada ayahandanya. Karena itu, maka setelah beberapa saat ia menunggu, ayahnya masih tetap berdiam diri, maka iapun ke mudian bertanya "Kemanakah ayahanda akan pergi se karang ini?" "Ada tugas yang harus aku lakukan Juwiring" "Perintah Kangjeng Susuhunan?" Sejenak Pangeran Ranakusuma termangu-mangu. Na mun sejenak kemudian bibirnya tersenyum sambil berkata "Tentu. Tentu perintah Kangjeng Susuhunan. Nah, tinggallah di rumah baik-baik. Mungkin aku tidak pulang mala m nanti" Kedua kakak beradik itu termangu-ma ngu. Namun mereka tidak dapat bertanya lebih jauh, karena Pangeran Ranakusumapun ke mudian meninggalkan keduanya dan turun ke halaman. Keretanya sudah siap menunggu di bawah tangga sehingga sejenak ke mudian Pangeran Ranakusuma itupun hilang di balik pintu keretanya yang segera berderap.
-ooo0dw0ooo- (Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 11 PETANI dari Sukawati itupun ke mudian duduk di atas batu nisan sambil me mandang berkeliling. Kuburan itu benar-benar telah sepi. Na mun untuk beberapa la manya ia tidak meninggalkan batu nisan itu. Sambil me mandang daun se mboja yang bergetar disentuh angin Petani dari Sukawati itu berkata kepada diri sendiri "Tetapi sudah ada se maca m kesadaran pada rakyat kecil. Mudah-mudahan mereka masih me miliki keberanian. Kegagalan yang pernah terjadi mudah-mudahan tidak me mbunuh keberanian mereka sa ma sekali" Petani itupun ke mudian berdiri sa mbil mengusap keningnya. Matahari sudah menjadi se makin rendah, dan sebentar kemudian hilang di balik cakrawa la. Dan mala m yang kela mpun mulai me nyelubungi Surakarta. Tetapi petani dari Sukawati itu masih berada dikuburan. Ternyata ketika mala m menjadi se makin kela m, sesosok bayangan yang lain bergerak-gerak di balik dinding batu yang menge lilingi ma ka m itu. Sejenak ke mudian terdengar bunyi burung kedasih yang ngelangut. Na mun ternyata dari dalam
kuburan itu terdengar suara burung yang sama seakan-akan menyahut suara burung yang pertama. Beberapa saat kemudian, maka sesosok bayangan yang me manggul sesuatu di pundaknya meloncat masuk dan mengendap di antara batu-batu nisan yang besar dan cungkup-cungkup yang gelap. "Bawa ke mari" terdengar suara berat. "Ha mba Pangeran" jawab orang yang memanggul sesuatu di punda knya itu. "Sekarang adalah giliran kita untuk menguburnya" berkata suara yang pertama. "Ha mba Pangeran" "Cepat, galilah tanah yang masih basah di sa mping kuburan Rudira" suara itu berhenti sejenak, lalu "Apakah kau seorang diri?" "Ha mba Pangeran. Ha mba datang seorang diri" "Baiklah. Marilah a ku bantu" Di da la m keremangan mala m, ma ka dua sosok bayangan itupun sibuk menggali lubang di sa mping kuburan Rudira yang masih basah, sehingga tida k menimbulkan kecurigaan jika seseorang besok datang kekuburan itu. Ketika lubang itu sudah cukup dala m, maka merekapun segera me masukkan benda yang me manjang dan terbungkus tebal yang dipanggul di atas pundak orang yang meloncati pagar itu. "Ada berapa?" "Lima Pangeran. Dan menurut pe mbicaraan yang sudah kami lakukan, mereka akan menga mbilnya dua hari lagi"
"Bagus, dan berhati-hatilah. Senjata-senjata api semaca m itu sangat ka mi perlukan. Untuk melawan kumpeni, ada baiknya kita juga me miliki senjata api meskipun t idak banyak" Demikianlah, maka senjata api itupun ke mudian ditimbuninya dengan baik, sehingga tida k meninggalkan bekas. "Marilah kita pergi. Mudah-mudahan mendapatkan senjata se maca m itu yang la in" kita akan
"Ha mba Pangeran. Tetapi mudah-mudahan juga tida k ada orang yang berprasangka bahwa kitalah yang telah mene mbak Raden Rudira" "Tentu tidak. Tidak ada orang yang tahu bahwa kita me miliki senjata api. Dan orang-orang sudah yakin bahwa sebenarnya yang menemba k Rudira adalah kumpeni" "Mudah-mudahan pula ke matian Raden Rudira dapat me mbangkitkan harga diri rakyat Surakarta dan para bangsawan" "Tetapi sebagian dari para bangsawan telah benar-benar kehilangan harga diri dan keberanian" Tidak terdengar jawaban. Sejenak kemudian mereka berdua masih saja merenungi senjata-senjata api yang tertimbun di lubang itu. "Sudahlah, marilah segera kita hilangkan bekas-bekas kita, dan kita segera dapat meninggalkan te mpat ini" Keduanyapun ke mudian menyamarkan timbunan senjata api itu sebaik-baiknya sehingga mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan dapat mengetahuinya. Dengan hati-hati keduanyapun meningga lkan kuburan itu. Ternyata mereka me merlukan waktu yang cukup la ma untuk mengga li dan menimbuni kuburan senjata itu, sehingga ma la m sudah me njadi sema kin jauh.
Dala m pada itu, selagi mereka merayap keluar dari kuburan itu. di istana Pangeran Sindurata telah terjadi sesuatu yang mengge mparkan. Ketika perlahan-lahan Raden Ayu Galihwarit mulai sadar, maka Pangeran Sindurata menjadi ge mbira. Tetapi untuk sadar sama sekali. Raden Ayu Galihwarit me merlukan waktu ha mpir setengah hari. Namun berbeda dengan dugaan Pangeran Ranakusuma, bahwa ternyata Raden Ayu Galihwarit benar-benar menjadi agak baik. Ia mulai me ngenal dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya. "Galihwarit" Panggil ayahandanya yang sudah kembali dari Ranakusuman. "Ayahanda" desis Galihwarit. "Ya Galihwarit. Aku adalah ayahandamu. Apakah kau sudah menjadi se makin ba ik?" Raden Ayu Galihwarit me mandang ayahandanya yang tampak masih agak kabur. Ke mudian ke luarganya yang lain. Keluarga yang tinggal di rumah orang tuanya. Bukan di rumahnya sendiri. "Beristirahatlah saja dahulu Galihwarit. Jangan pikirkan apapun juga" Galihwarit tidak menjawab. Kepalanya terasa pening sekali dan perutnya menjadi mual. Bayangan yang kabur itupun kadang-kadang bagaikan menghilang lagi. Wajah-wajah yang tampak tida k seperti sewajarnya. Kepala yang terlalu besar dan mata yang hita m kela m. Na mun kadang-kadang bayangan yang aneh itu dapat dikenalnya seorang demi seorang, sebelum menjadi kabur dan seolah-olah berubah bentuknya. Ketika Raden Ayu Galihwarit akan muntah, maka ayahandanya yang cemas berkata "Pejamkan saja mata mu. Mungkin kau menjadi pening dan rasa-rasanya ruangan ini sedang berputar"
"Ya ayahanda" "Nah, cobalah tidur. Jangan hiraukan apa-apa lagi" Raden Ayu Galihwarit mencoba me meja mkan matanya yang kabur. Namun sekali-se kali ingin juga ia melihat orangorang yang ada disekitarnya. Tetapi pandangannya masih saja terasa terganggu. Kadang-kadang ia tidak dapat melihat apapun lagi, selain keputih-putihan. Seakan-akan ia berada di dalam gumpa lan awan yang pe kat. "Tidurlah" terdengar suara ayahandanya. Raden Ayu Galihwarit me meja mkan matanya. tidak menyahut. Tetapi ia
Namun dala m pada itu, ketika Raden Ayu Galihwarit mencoba mengingat apa yang telah terjadi dengan dirinya, mulailah angan-angannya menelusuri masa-masa yang telah terjadi. Raden Ayu itu dapat teringat meskipun samar-sa mar, mulai saat ia pergi meningga lkah istananya untuk me menuhi undangan beberapa orang perwira kumpeni. Diingatnya pula betapa meriahnya pertamuan itu, karena seorang perwira asing yang lucu dan senang bergurau. Dengan bahasa Jawa yang patah-patah ia mencoba berbicara terlalu banyak, sehingga suasananya menjadi sangat ramai. Raden Ayu itupun berhasil mengingat saat-saat ia meningga lkan istana yang mulai menjadi sepi, dan diingatnya pula saat-saat ia berpindah kereta di pinggir jalan. Tiba-tiba dada Raden Ayu Galihwarit berdesir. Seakan-akan terbayang meskipun masih agak kabur seperti wajah-wajah yang mengelilinginya, gambaran berikutnya dari peristiwa yang dialaminya. Seakan-akan ia mendengar derap kaki kuda menyusul keretanya dan kemudian disusul suara tembakan dan sesosok tubuh terbanting jatuh.
Disela-sela derai suara tertawa yang suram bagaikan suara hantu yang mene mukan sesosok mayat terkapar di tengah jalan, ia seakan-akan mendengar seorang kumpeni mengumpat. Dan ketika Raden Ayu Ga lihwarit bagaikan me ma ksa diri untuk mengingat apa yang selanjutnya terjadi, terasa sesuatu bagaikan menghentakkan dadanya. Tiba-tiba saja sebuah jerit yang panjang telah terloncat dari mulutnya. Ternyata kenangannya telah mula i menyentuh bayangan sesosok tubuh yang terkapar di pembaringan oleh luka peluru. Dan tubuh itu adalah tubuh anaknya sendiri. Raden Rudira. "Galihwarit" desis Pangeran Sindurata bingung "Kenapa" Kenapa?" yang menjadi
Yang terdengar kemudian adalah tangis yang me ledak. Di dalam bayangan yang gelap, Raden Ayu Galihwarit melihat dirinya sendiri dicengka m oleh iblis yang paling laknat. Karena itu, disela-sela tangisnya terdengar ia meratap "Bukan maksudku. Bukan ma ksudku untuk menjerumuskan kau ke dalam bencana itu Rudira. Bukan a ku. Bukan aku yang me mbunuhmu" "Galihwarit, Galihwarit" Pangeran Sindurata menjadi bingung, sedang orang-orang lainpun seakah dicengkam oleh kecemasan yang luar biasa. Tetapi kejutan yang telah mengguncang perasaan Galihwarit itu mulai mengganggu syarafnya lagi. Karena itulah, maka bayangan yang semula sa mar-samar dan se makin la ma menjadi se makin je las itupun telah menjadi kabur ke mbali. Dan bahkan hilang sama sekali. Yang ke mudian mencengka mnya adalah kegelapan dan ketidak sadaran. Itulah sebabnya, maka kata-kata yang terloncat dari bibirnyapun sa ma se kali tidak terkendali lagi. Pengakuan-pengakuan yang kemudian mula i mengalir telah benar-benar mengganggu perasaan Pangeran Sindurata. Karena itulah maka tiba-tiba iapun berteriak keras-keras kepada orang-orang yang ada di dalam bilik itu "Pergi, semua
pergi. Tingga lkan menungguinya"
bilik ini. Biarlah aku sendiri yang Sejenak orang-orang yang ada di dala m bilik itu termangumangu. Na mun karena itu, ma ka sekali lagi Pangeran Sindurata berteriak "Pergi, cepat. Pergi" Orang-orang yang ada di dalam bilik itu mulai bergeser. Seorang demi seorang mereka keluar dari dala m bilik itu. Para emban dan juga ke luarganya. Saudara-saudaranya dan bahkan orang-orang tua. Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Sambil menangis ia meratapi peristiwa yang baru saja terjadi, dan yang mengakibatkan ke matian Raden Rudira. Meskipun tidak jelas dan tidak berurutan, na mun ternyata bahwa Pangeran Sindurata berhasil menangkap igauan yang terlontar dari mulut Raden Ayu Galihwarit. Rasa-rasanya setiap kata yang didengarnya telah menghanta m dadanya. Ia sadar, bahwa ternyata selama ini puterinya yang telah berhasil menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya dari istana Ranakusuman itu telah terperosok ke dala m lumpur yang kotor. "Me malukan sekali, me ma lukan sekali" gera m Pangeran Sindurata. Ketika ke mudian dipandanginya wajah anaknya itu, terbayang betapa ia telah melakukan perbuatan yang terkutuk untuk mencapai cita-citanya. "Anak setan" tiba-tiba ia menggeram. Lalu "Siapakah yang mengajarimu berbuat de mikian?" Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak mengerti pertanyaan itu. Dengan kedua tangannya ia mengusap air matanya. Dan tibatiba saja gangguan pada syarafnya menjadi sema kin parah. Karena itulah ma ka tangisnya tidak lagi terdengar. Bahkan di
luar dugaan Pangeran Sindurata Raden Ayu Galihwarit mulai tersenyum. "Gila, gila. O, kau sudah menjadi Gila" Pangeran Sindurata berteriak. Terdengar Raden Ayu Galihwarit tertawa. Dan suara tertawanya telah mengguncang hati Pangeran Sindurata. Pangeran yang yang mudah sekali hanyut dalam arus perasaannya itu. Tingkah lakunya, suara tertawanya dan kata-katanya itu benar-benar me mbuat Pangeran Sindurata bagaikan dihe mpaskan ke dala m suatu lingkaran yang menghisapnya ke dalam dunia yang ke la m dan me ma lukan. Karena itu, ketika Raden Ayu Ga lihwarit sekali lagi menyebut nama kumpeni di dala m hubungan yang lain dengan dirinya, maka darahnya bagaikan telah mendidih. Tiba-tiba saja ia me loncat menerka m pundak puterinya. Sambil mengguncang-guncangnya ia berkata "Galihwarit. Jadi kau benar-benar telah menjadi gila" Bukan saja gila dala m arti yang sewajarnya, seperti yang terjadi atasmu sekarang, tetapi kau telah sejak lama menjadi gila dengan tingkah la kumu yang terkutuk itu" Raden Ayu Galihwarit menyeringai karena terasa pundaknya menjadi sakit. Tetapi kemudian ia tersenyum sambil berkata "Jangan sakiti aku. Kau tidak usah mema ksaku. Jika kau dapat menyediakan mutiara yang berwarna kelabu itu, kau tidak akan kecewa" "O, o" Pangeran Sindurata menjadi le mas. Terhuyunghuyung ia melangkah menjauhi puterinya dan terduduk di atas pembaringan. "He, mana mutiara itu" Mana?" "Tida k. Tida k" Pangeran Sindurata justru menjadi bingung.
Raden Ayu Galihwarit tertawa. Perlahan-lahan ia mende katinya. Wajahnya yang pucat itu benar-benar me mbayangkan wajah seorang iblis betina yang cantik tetapi berbisa. Pangeran Sindurata menjadi se makin bingung. Setiap langkah puterinya. rasa-rasanya dadanya menjadi sema kin pepat. Namun Raden Ayu Galihwarit masih saja melangkah maju. "Jangan, jangan" Pangeran Sindurata itupun ha mpir berteriak. Tetapi Raden Ayu Galihwarit justru tertawa tertahan-tahan. Tiba-tiba sesuatu bergejolak di dalam hatinya. Getaran yang tidak dapat dimengertinya, namun yang kadang-kadang me mang terasa hinggap di hatinya itu. Getaran itulah yang kadang-kadang me mbuatnya kehilangan penga matan diri. sehingga beberapa orang menyebutnya agak kurang menguasai kesadarannya. Demikianlah ketika Raden Ayu Galihwarit tinggal lagi selangkah daripadanya, dan sambil tertawa me mandanginya, Pangeran Sindurata tidak dapat lagi menguasai getaran di dalam dadanya itu. Wajahnya yang tegang menjadi se ma kin tegang, dan matanya menjadi liar. Tanpa diduga-duga maka iapun sekali lagi meloncat menerka m Raden Ayu Galihwarit. Kali ini t idak dipundaknya, tetapi tepat mencengka m leher. "O" Raden Ayu Galihwarit masih se mpat berdesah. Namun suaranya hilang karena tenggorokannya tiba-tiba saja tersumbat. "Iblis betina" geram Pangeran Sindurata "Kau telah me lumuri nama ku dengan noda yang tidak terhapuskan. Kau me mang harus mati. Kau telah dengan tidak langsung
me mbunuh anakmu sendiri dan melumuri na maku dengan kehinaan. Kau me mang harus mat i. Kau harus mati" Dan tangan Pangeran Sindurata mencengka m semakin keras, sehingga Raden Ayu Galihwarit yang sedang terganggu syarafnya itu sama seka li tidak dapat mengeluh lagi. Namun dala m pada itu, selagi tangan Pangeran Sindurata yang sedang bingung itu sema kin erat mencengka m leher puterinya, tiba-tiba saja pintu bilik itu terdorong dengan kerasnya. Seseorang meloncat masuk dan dengan suara bergetar berkata sambil menarik tangan Pangeran Sindurata "Ka mas Pangeran, jangan. Jangan dilakukan" Pangeran Sindurata yang masih mencengka m leher puterinya berpaling. Dilihatnya adiknya dengan wajah yang cemas mencoba menahannya. "Jangan kau cegah aku adimas. Jangan" "Ingatlah ka mas. Yang ka mas lakukan itu sama seka li bukan suatu penyelesaian. Tetapi ka mas justru sedang me mbuka persoalan baru lagi" Pangeran Sindurata berpikir sejenak. Na mun dala m pada itu angannya menjadi sema kin mengendor. "Lepaskan ka mas, lepaskan"
Seperti didorong oleh tenaga gaib ma ka tangan Pangeran Sinduratapun terlepas dari leher Raden Ayu Galihwarit. Namun dalam pada itu, tubuh puterinya itupun sudah menjadi demikian le mahnya. Untunglah bahwa Pangeran Sindumurti, adik Pangeran Sindurata yang lahir dari ibu yang sama, cepat menangkap ketika Galihwarit terhuyung-huyung. Dipapahnya ke manakannya yang sedang terganggu itu dan dibaringkannya di pe mbaringan. Tetapi mata Raden Ayu Galihwarit masih saja terpejam meskipun nafasnya mulai menga lir tersengal-sengal. "Kenapa Sindurata. kau cegah a ku adimas?" gera m Pangeran
"Ka maspun ternyata telah diguncang oleh kejutan perasaan. Seperti yang sering terjadi, kamas tidak dapat mengenda likan perasaan yang sedang melonja k" "Me malukan sekali. Ia mengigau tentang laki-la ki. Dan lakilaki itu ada lah orang-orang asing" "Ka mas" berkata Pangeran Sindumurti "Bukankah tentang orang asing itu a ku sudah beberapa kali menyebutnya di hadapan kamas. Tetapi ka mas sendiri berhubungan terlalu rapat dengan mereka. De mikian juga agaknya Galihwarit " "Tetapi aku tidak mengajarinya berbuat de mikian?" "Tetapi ka mas telah me mbiarkannya bermain-ma in dengan air. Pada suatu saat Galihwarit telah menjadi basah karenanya. Kesalahan ini jangan seluruhnya dibebankan kepada Galihwarit. Tetapi sebagian pada kamas sendiri dan sebagian pada sua minya, Pangeran Ranakusuma" Pangeran Sindurata menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia sempat me mandang ke lubang pintu yang terbuka, dilihatnya beberapa orang masih menunggu meskipun pada jarak yang agak jauh dengan wajah yang termangu-mangu.
"Kau dengar pembicaraan ka mi" tiba-tiba saja Pangeran Sindurata bertanya. "Aku yang ada di luar pintu mendengarnya dan mengetahui dengan pasti apa yang kamas lakukan. Tetapi para pelayan sudah aku suruh menjauh, agar mereka tidak mendengar lebih banyak lagi persoalan Galihwarit" Pangeran Sindurata termenung sejenak. Na mun ke mudian terasa dadanya bagaikan dicengkam oleh perasaan yang bercampur baur di da la m dadanya. Kecewa, cemas, malu dan juga ketakutan. Perlahan-lahan ia melangkah ke sudut ruangan dan terduduk dengan le mahnya. "Ka mas" berkata Pangeran Sindumurt i "Ba iklah kita berusaha. Mungkin ada tabib yang pandai yang dapat menye mbuhkannya. Sementara ini sebaiknya ka mas juga beristirahat menenangkan hati" "O" keluh Pangeran Sindurata "sementara ini Galihwarit masih akan tetap mengigau. Ia masih dapat berteriak-teriak tentang sesuatu yang dapat mena mbah noda di dala m hidupku yang tidak begitu cerah ini" "Biarlah ia tetap tinggal di dala m biliknya. Aku akan me mbantu ka mas menjaganya agar ia tidak pergi keluar seorang diri dan tida k me mbiarkan ia berbicara" "Kau akan tingga l di sini siang dan mala m?" "Tentu bukan aku seorang diri. Kita bergantian. Dan sekali waktu isteriku dapat juga me mbantu dan beberapa orang pelayan yang dapat dipercaya" Pangeran Sindurata tidak dapat menolak pendapat adiknya. Me mang ia tidak me ndapat jalan lain daripada itu. Apalagi pikirannya yang sedang kacau itu sama sekali tidak dapat dipergunakannya dengan sebaik-baiknya.
Namun de mikian, untuk menyimpan Raden Ayu Galihwarit itu Pangeran Sindurata telah menyediakan sebuah bilik yang khusus. Bilik yang jarang dipergunakannya dan terletak di bagian belakang istananya meskipun masih berada di lingkungan da la m. Bilik itu ke mudian seakan-a kan menjadi sebuah bilik yang menyerupai sebuah te mpat untuk menye mbunyikan Raden Ayu Galihwarit. Pangeran Sindumurt i yang me miliki pandangan yang lebih jauh dari ka kaknya, masih se mpat me layani Raden Ayu Galihwarit seperti me layani seorang anak yang cengeng dan nakal. "Ia me merlukan sikap yang khusus ka mas" berkata Pangeran Sindumurti "Kita tidak dapat berbuat kasar. Kita harus berusaha menga lihkan perhatiannya dari orang-orang yang selalu disebut na manya. Biarlah perhatiannya tertuju pada Barang-barang yang di sukainya. Makanan atau pa kaian" "O" desis Pangeran Sindurata "Aku harus menyimpan seorang yang gila di da la m rumah ini" "Tetapi itu adalah darah daging kamas sendiri" Pangeran Sindurata hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dala m. Bencana yang dahsyat ternyata telah menimpa ke luarganya. Anaknya menjadi gila, dan cucunya mati tertemba k oleh orang-orang asing yang selama ini dianggapnya sebagai bangsa yang akan dapat me mbawa kebahagiaan di dala m hidupnya, yang dengan ringan tangan memberikan banyak sekali hadiah yang berharga baginya. Tetapi Pangeran Sindurata tidak menerima peristiwa itu tanpa berbuat apa-apa. Ketika ia kemudian se mpat berbicara dengan adiknya, Pangeran Sindumurti, merekapun mendapat kesimpulan bahwa peristiwa ini tentu me mpunyai alasan yang tidak dimengertinya. Dan alasan itulah yang harus mereka ketemukan.
"Untuk se mentara aku tidak akan dapat menemui Pangeran Ranakusuma " desis Pangeran Sindurata "Aku menjadi sangat ma lu. Ia tentu sudah mengetahui dan me ndengar igauan Galihwarit pula sehingga dibawanya Galihwarit ke mbali ke rumah ini, meskipun ia tida k mengatakannya" "Ya ka mas. Tetapi biarlah kita melihat perke mbangan keadaan dengan hati yang dingin. Jika kita dibakar oleh perasaan, maka kita akan mudah berbuat salah" Pangeran Sindurata mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ia tidak berhasil segera menyingkirkan pergolakan yang terjadi di dalam dadanya. Dan karena itulah, maka iapun telah dicengka m oleh keprihatinan yang dala m. Dala m pada itu se lagi ma la m menjadi se makin dala m beberapa orang berkuda telah me masuki kota Sura karta. Beberapa orang prajurit peronda yang sedang nganglang terkejut mendengar derap itu. Apalagi pada suasana yang sedang buram karena ke matian Raden Rudira, maka prajurit itupun ke mudian berusaha menghentikan orang berkuda yang berpacu di ja lan raya itu, apalagi di mala m hari. Ketika orang-orang berkuda itu sudah berhenti, maka pemimpin peronda yang bersenjata tombak itupun segera mende katinya. Tombaknya masih merunduk di bawah dadanya. Namun di da la m keadaan yang gawat itu, ia selalu berhati-hati menghadapi setiap ke mungkinan. Orang-orang berkuda itu masih tetap berada di punggung kuda ketika prajurit itu bertanya "Siapakah kalian?" Orang yang berkuda di pa ling depan itupun menjawab "Ka mi adalah keluarga istana Ranakusuma" "He?" "Aku sendiri ada lah abdi Ranakusuman" "Yang lain"
"Raden Juwiring. Putera tertua dari Pangeran Ranakusuma. Aku baru saja me mberitahukan kepadanya bahwa Raden Rudira telah meninggal" "O" prajurit itupun ke mudian menganggukkan kepalanya dalam-da la m diikuti oleh para peronda yang lain. Katanya "Maaf Raden. Raden sudah terlalu la ma tidak tinggal di dala m kota, sehingga ka mi tidak segera dapat mengenal" Raden Juwiring tersenyum. Katanya "Aku me mang tidak banyak dikenal" Para peronda itu tidak menjawab. Mereka menganggap bahwa ucapan Raden Juwiring itu merupakan suatu sindiran bagi mereka. Tetapi sebenarnya Juwiring sa ma se kali tidak hendak berbuat demikian. Sesuatu di dala m hatinyalah yang telah mendesak kata-kata itu meloncat dari mulutnya. "Jika de mikian" berkata para peronda itu "Silahkan Raden me lanjutkan perjalanan" Demikianlah ma ka iring-iringan itupun bergerak pula dan sejenak ke mudian kuda-kuda itupun telah berlari di jalan raya yang sepi. Lampu minyak yang terpancang di sebelahmenyebelah jalan me mberikan sedikit pertolongan di dala m gelapnya mala m sehingga mere ka tidak mendapatkan kesulitan me nelusuri jalan kota. "Kakang Juwiring sangat dihormati di sini" bisik Arum kepada Buntal. Na mun ternyata bahwa Juwiringpun mendengarnya juga sehingga sebelum Buntal menyahut, Juwiring telah mendahuluinya "Hanya kebetulan. Mereka sebenarnya tidak menghormati aku, tetapi mereka menghormat i derajat ayahanda Pangeran. Jika aku bukan putera ayahanda Pangeran Ranakusuma, ma ka kedudukanku akan lain. Berbeda dengan seseorang yang dihormati karena pribadinya sendiri" Arum menjulurkan lidahnya sa mbil berdesis "Ternyata Raden Juwiring mendengarnya"
"Ah kau" sahut Buntal "Kau t idak sedang berbisik. Tetapi kau berteriak" "Tetapi bukankah menjawab lagi. sebenarnya begitu?" Buntal t idak
Namun dala m pada itu, utusan dari Ranakusuman yang berada di antara mereka berpaling juga me mandang Juwiring sejenak. Dan anak muda itu berkata lebih lanjut "Ada orang yang dihormati me mang karena ia pantas dihormati. Ia telah me lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang dan apalagi bagi Surakarta. Tetapi aku belum pernah berbuat apaapa" Tidak ada yang menyahut. Namun agaknya Juwiring tidak sedang bergurau. Tetapi ia bersungguh-sungguh. Sejenak kemudian mereka telah berada di tengah-tengah kota Surakarta. Sebentar lagi mereka sudah berada di jalan lurus yang menuju ke istana Ranakusuman. Derap kaki-kaki kuda itu telah mengejutkan beberapa orang penjaga di regol Ranakusuma n. Ketika mereka menjenguk lewat sebuah lubang di pintu regol, mereka me lihat dua orang yang berdiri di muka pintu itu. "Siapa?" "Aku, bersama Raden Juwiring" "O, Raden Juwiring" desis seseorang yang kemudian dengan tergopoh-gopoh me mbuka pintu regol. Ketika pintu itu terbuka, maka Juwiringpun segera bertanya "Apakah pa man Dipanala ada?" "Ada Raden. Ada. Silahkan masuk" "Aku tidak datang sendiri. Aku datang bersama ke manakan Ki Dipana la. Panggillah"
Seorang penjaga dengan tergesa-gesa pergi ke ruang dalam yang masih terang benderang. Didapatinya Ki Dipanala duduk bersila di ruang dala m. Agaknya ia selalu siap menunggu setiap perintah. di sampingnya duduk seorang pelayan yang lain. "Ki Dipana la" penjaga regol itu berdesis "Raden Juwiring telah datang. Ia menunggumu di regol" "Kenapa tidak segera saja masuk?" "Ia tidak datang seorang diri. ke manakan Ki Dipana la" "Ke manakanku?" "Ya" Ki Dipanala berpikir sejenak. Dan tiba-tiba saja ia teringat kepada dua orang saudara seperguruan Juwiring. Karena itu, maka iapun segera berdiri dan turun ke hala man menyongsong ana k-anak yang datang dari Jati Aking. Dugaannya me mang tepat. Yang datang adalah Raden Juwiring. Sedang di sebelah regol menunggu Buntal dan Arum. "Marilah Raden" berkata Ki Dipanala "Ayahanda sudah menunggu" Lalu katanya kepada Buntal dan Arum "Marilah ngger. Silahkan masuk" Juwiring segera mendekati Ki Dipanala sa mbil berbisik "Biarlah mereka berada di rumah paman lebih dahulu karena menurut ayah, ma ksudku guru di Jati Aking, biarlah ia tidak menga la mi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pergaulan di rumah ini" "O, tentu tidak. Silahkan, tida k ada keberatan apa-apa seandainya langsung dipersilahkan masuk. Masih ada te mpat yang barangkali sesuai untuk mereka di da la m istana ini" Ia datang bersama
"Tetapi tentu ada banyak orang di dalam. Tentu beberapa orang bangsawan dan keluarga ayahanda terdekat yang berjaga-jaga" lalu tiba-tiba suaranya merendah "Bukankah benar adimas Raden Rudira meninggal?" "Ya Raden. Ha mpir di luar dugaan sa ma seka li" Raden Juwiring mengangguk-angguk, lalu diulanginya " Biarlah mere ka tinggal di rumah pa man untuk ma la m ini. Besok biarlah mere ka aku perkenalkan kepada ayahanda Pangeran" "Jika de mikian, baiklah Raden. Biarlah aku bawa mereka ke rumah. Se mentara itu silahkan Raden masuk" Ketika Juwiring me masuki ha la man rumahnya, maka Buntal dan Arum telah dibawa oleh Ki Dipanala ke rumahnya mela lui jalan se mpit di luar dinding ha la man istana. Setelah mene mpatkan kedua anak-anak muda itu dan menyerahkannya kepada keluarganya, maka Ki Dipanalapun segera kemba li ke istana Ranakusuman. Ternyata kedatangan Juwiring di istana Ranakusuman itu telah menarik perhatian setiap orang yang ada di dalam istana itu. Semuanya me mandangnya dengan tanggapan masingmasing. Beberapa orang bangsawan yang dekat dengan Raden Ayu Galihwarit menganggap kedatangan Juwiring itu sebagai suatu usaha untuk mempergunakan kesempatan, justru karena Rudira baru saja hilang dari istana itu. "Sst" desis seorang perempuan bangsawan "Cepat benar Juwiring mengetahui bahwa adiknya telah meninggal" "Tentu Pangeran Ranakusuma telah mengirimkan utusan untuk me mberitahukannya" "Anak itu tentu bersorak di dala m hati. Ke matian Rudira me mberikan peluang baginya untuk menguasai seluruh kesempatan yang pernah dimiliki oleh Rudira"
"Masih ada adik pere mpuannya" "Apakah daya seorang perempuan" "Ia akan bersua mi" Kawannya berbicara tidak menyahut. Mereka hanya sekedar me mandang saja ketika Juwiring lewat terbungkukbungkuk di hadapan mereka langsung masuk ke ruang dala m. "Dima na ayahanda?" bertanya Juwiring kepada Ki Dipanala yang telah berada di istana itu pula. "Di dala m. Ayahanda Raden ternyata terlampau letih. Lahir dan batin. Agaknya ayahanda Raden telah tertidur meskipun sambil duduk di dala m bilik" Juwiring menjadi ragu-ragu sejenak. Meskipun ia adalah putera yang sulung, tetapi rasa-rasanya ada jarak yang selama ini me mbatasi antara dirinya dengan ayahandanya. "Silahkan Raden" berkata Ki Dipanala. "Di mana ibunda?" "Masih di istana ayahandanya. Pangeran Sindurata" "Apakah ibunda Galihwarit tidak menunggui keberangkatan jenazah adinda Rudira?" "Tida k Raden" Juwiring mengangguk-angguk. Agaknya tanpa Raden Ayu Galihwarit, rasa-rasanya Juwiring tidak begitu segan me masuki bilik ayahandanya yang sedang tertidur sambil duduk oleh kelelahan yang mencengka m. Lahir dan batin. Perlahan-lahan Raden Juwiring me masuki pintu bilik. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi beberapa orang me mandanginya dengan bayangan perasaan yang berbedabeda di wajah mereka.
"Setelah tidak ada Rudira, anak itu merasa dirinya dapat berbuat apa saja di sini" desis seorang bangsawan tua. Tidak ada yang menyahut. Mereka melihat Raden Juwiring itu hilang di ba lik pintu. Ternyata langkah Raden Juwiring telah mengejutkan ayahandanya yang sebenarnya tidak tidur nyenyak. Rasarasanya hanya bagaikan terlena beberapa saat. Sejenak Pangeran Ranakusuma me mperhatikan seorang anak muda yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan ngapurancang. Kepalanya tertunduk dan pandangannya jatuh hampir di atas kakinya sendiri. "Juwiring" desis Pangeran Ranakusuma. "Ya ayahanda. Aku telah datang karena ayahanda berkenan me manggil" Pangeran Ranakusuma berdiri sa mbil menarik nafas dalam-dala m. Didekatinya anak lakilakinya itu. Kemudian sambil menepuk bahunya ia berkata "Adikmu telah tida k ada lagi" "Ya ayahanda, seperti yang tersebut di dalam surat ayahanda." "Ya, akulah yang me mbuat surat itu. Aku cemas bahwa kau sudah tidak me mpunyai kepercayaan lagi kepada ayahmu, sehingga kau tidak mau datang meskipun aku telah me manggilmu"
"Aku tentu akan menjalankan segala perintah ayahanda" "Bagus Juwiring. Ternyata kau anak yang baik. Selama ini aku mencoba mengena lmu. Tetapi baru ma la m ini aku berhasil, justru setelah adikmu t idak ada" Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar suara dari sela-sela pintu yang kemudian terbuka "Ayahanda terpengaruh oleh hilangnya kakangmas Rudira. Ayahanda merasa kesepian, dan anak itu ayahanda anggap dapat menggantikan kedudukan ka mas Rudira. Tidak. Anak itu tidak kita perlukan di istana ini" "Warih" desis Pangeran Ranakusuma "ini juga kakakmu, Warih" Rara Warih me mandang Juwiring sejenak. Na mun ke mudian sa mbil me ma lingkan wajahnya ia berkata "Ia tidak pantas berada di istana ini" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Perlahan-lahan didekatinya anak gadisnya sambil bertanya "Warih. Sudahlah. Marilah kita lupakan pertikaian di antara keluarga kita. Sebaiknya kita mencoba mene mpatkan diri kita masing-masing di dala m hidup ke keluargaan yang rukun" "Ayahanda" berkata Rara Warih "Bukankah ayahanda sudah mengusirnya dan mene mpatkannya di padukuhan yang jauh" kenapa sekarang ia berada kembali di istana ini, tepat pada saat meninggalnya ka mas Rudira?" "Aku me manggilnya" "Kenapa ayah memanggilnya" Tentu karena ayah sedang merasa kehilangan. Ayah menganggap bahwa orang itu dapat menggantikan ka mas Rudira yang hilang" "Bukan begitu Warih. Ia me mang keluarga kita sendiri" "Tetapi ia tidak sederajad dengan aku dan ka mas Rudira "
Terasa sesuatu berdesir di dada Juwiring. Untunglah bahwa. ia tidak datang langsung bersa ma Buntal dan Arum. Jika keduanya ada di ruang itu juga, maka ia akan menderita ma lu karenanya di hadapan saudara-saudara seperguruannya itu, yang selama ini kurang mengerti persoalan yang ada di antara keluarganya. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Kau harus belajar me lihat kenyataan. Bagaimanapun juga Juwiring adalah anakku. Dan kau juga anakku" "Tetapi ibunya tidak sederajad dengan ibuku" Dala m pada itu rasa-rasanya dada Juwiring menjadi semakin panas sehingga sebelum Pangeran Ranakusuma menjawab, Juwiring telah mendahului menyahut "Ayahanda. Baiklah. Jika kedatanganku me mang tida k dapat diterima oleh keluarga ini, maka sebaiknya aku pergi. Aku sudah datang me menuhi surat ayahanda meskipun aku terla mbat, karena aku tidak dapat menyaksikan keberangkatan jenazah adimas Rudira" "Dan itu me mang tidak perlu bagimu" sahut Rara Warih. Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Rasa-rasanya ia ingin mengendapkan gejola k yang me mba kar dadanya. "Tida k Juwiring" berkata ayahandanya "Kau tetap di sini. Sebagian kata Warih me mang benar. Aku kesepian. Kau adakah anakku laki-laki seperti Rudira. Dan kaupun berhak berada di rumah ini, karena rumah ini me mang rumah kita. Rumah keluarga kita" "Tentu tidak" potong Warih "Jika ibunda datang ke istana ini, ma ka ibunda tentu akan menga mbil sikap yang lebih tegas dari sikapku" "Ibumu tidak a kan datang lagi ke rumah ini Warih" jawab Pangeran Ranakusuma. "Kenapa?" Rara Warih menjadi tegang.
Pertanyaan Rara Warih itu ternyata telah mengejutkan Pangeran Ranakusuma yang di luar sadarnya telah menyebut sesuatu tentang isterinya di hadapan Rara Warih. Karena itu, untuk beberapa saat ia termangu-mangu. Ia tida k segera mene mukan jawaban atas pertanyaan puterinya itu. "Ayahanda?" desak Rara Warih "Kenapa ibunda tidak akan ke mbali lagi ke istana ini?" "Bukan ma ksudku berkata begitu Warih" jawab Pangeran Ranakusuma ke mudian "Aku hanya ingin me ngatakan bahwa ibunda mu mungkin me merlukan waktu yang lama untuk menenangkan goncangan perasaannya itu" "Dan hati ibunda akan terguncang lagi apabila ia melihat orang itu berada di dala m istana ini" "Mungkin akan terjadi sebaliknya" jawab Pangeran Ranakusuma "mungkin Juwiring dapat menawarkan hatinya. Anak itu telah diasuhnya pula selagi masih bayi, sebelum kakakmu lahir, meskipun jaraknya tidak begitu jauh. Baru sejak Rudira lahir ibumu tidak se mpat lagi menyentuh Juwiring karena ia sibuk dengan anaknya sendiri" "Tetapi ketika orang itu menjelang dewasa, maka ia sudah hanyak sekali menyakiti hati ibunda sehingga ia harus pergi dari istana ini. Pada saat itu ayahanda merestui keputusan itu juga" "Ya karena di antara keduanya, maksudku Rudira dan Juwiring agaknya kurang dapat hidup rukun meskipun mereka seayah. Karena itulah maka salah seorang dari keduanya harus menyingkir. Tetapi sekarang Rudira sudah tidak ada lagi" "Tetapi aku masih ada. Jika aku tida k dapat hidup rukun dengan orang itu, siapakah yang akan ayahanda singkirkan?" Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-ma ngu. Ia merasa benar-benar mendapat cobaan perasaan yang maha
berat. Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menyahut pertanyaan Warih itu. "Ayahanda" terdengar Juwiring berkata "Apa salahnya jika aku kembali ke Jati Aking. Aku dapat hidup tenang sebagai seorang petani tanpa memalingkan diri dari sikap seorang anak terhadap ayahandanya jika me mang ayahanda me mberikan perintah apapun. Aku tetap seorang anak yang harus patuh kepada orang tuanya. Jika aku t inggal di padepokan Jati Aking, itu adalah karena aku sedang menuntut ilmu. Ilmu kesusasteraan, ilmu pe merintahan dan ilmu kajiwan yang lain" "O" kata-kata Juwiring itu justru me mbuat bati Pangeran Ranakusuma menjadi pedih. Dengan suara yang berat ia menjawab "Kau tetap di sini Juwiring" Lalu katanya kepada Rara Warih "Kau juga tetap di sini Warih. Cobalah saling mengenal dan coba lah saling mende katkan diri. Kalian adalah anak-anakku" "Ayahanda" berkata Rara Warih "Jika orang itu tetap berada di istana ini, akulah yang akan pergi ke istana eyang Pangeran Sindurata" "Tida k" tiba-tiba Juwiring langsung menjawab "A ku akan ke mbali ke Jati Aking seperti pesan Kiai Danatirta" Pangeran Ranakusuma menahan dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ia ingin menahan dadanya yang akan retak. Dengan suara yang dalam ia berkata "Baiklah jangan kita perbincangkan sekarang. di luar masih banyak orangorang yang berjaga-jaga sepeninggal Rudira. disini kita sudah mulai bertengkar di antara keluarga sendiri" "Tida k. Ayah harus me mberikan ketegasan sekarang. Orang itu, atau akulah yang harus pergi dari rumah ini" "Aku akan meninggalkan istana ini" jawab Juwiring.
"Ya, ya" sahut Pangeran Ranakusuma "terserah saja kepada keputusan kalian. Tetapi dia mlah. Sekarang bukan waktunya untuk berbicara tentang hal itu. Sebaiknya kalian mene mui saudara-saudara kalian yang ada di ruma h ini mala m ini. Kawanilah mereka berjaga-jaga dan layanilah jika mereka me merlukan sesuatu. Bukan justru kalian bertengkar sendiri. Jika ada orang lain yang mendengar, maka kesan atas kita akan jelek sekali" Rara Warih memandang Juwiring dengan sorot mata yang me mancarkan kebencian yang mendala m. Sejenak ia masih berdiri di muka pintu. Namun iapun ke mudian me langkah keluar dan pergi ke bilik sebelah. Ketika dijumpa inya di dala m bilik itu bibinya, adik Raden Ayu Galihwarit, sedang beristirahat oleh kelelahan, tiba-tiba saja Rara Warih berlari dan me meluknya sambil menangis. "Warih" bibinya itupun segera bangkit. "Bibi" terdengar suaranya di antara isaknya. "Kenapa kau me nangis lagi" Sudahlah. Seharusnya kau mencoba menenangkan hatimu. Jika ibumu mengetahui bahwa kau masih saja menangis, maka ia tida k akan segera dapat menjadi tenang. Bukankah kau sayang kepada ibunda?" Rara Warih mengangguk. "Mala m ini, di rumah eyang Pangeran Sinduratapun tentu banyak orang yang menunggui ibunda mu. Mudah-mudahan ibunda mu sudah sadar, dan ma mpu mengendapkan perasaannya" Sekali lagi Rara Warih menganggukkan kepalanya. "Karena itu, sudahlah" "Bibi" berkata Rara Warih kemudian "Aku sudah mencoba untuk menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Tetapi tiba-tiba saja orang itu datang ke dalam istana ini. Apakah aku harus berdia m diri dan me mbiarkannya berada di sini?"
"Siapa Warih?" "Juwiring" Bibinya menarik nafas dala m-dala m. Lalu katanya "Biarlah ayah-andamu menyelesaikannya" "Ayahandalah yang justru memanggilnya. Selagi ayah merasa kehilangan, maka orang itu dianggapnya dapat menjadi pengganti kakanda Rudira. Tetapi orang itu sama sekali t idak sederajad dengan kakanda Rudira" "Seharusnya ia tidak ke mba li ke istana ini" "Bukankah kehadirannya itu sangat menyakitkan hatiku. Hatiku yang luka karena kehilangan ka mas Rudira, dan kini ditambah lagi dengan kehadiran orang yang hanya akan mengotori istana ini" "Tetapi barangka li ia se kedar mena mpakkan diri pada saat jenazah adiknya dima ka mkan" "Tida k. Ayahanda menghendakinya agar ia tetap tinggal disini" Bibinya mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Baiklah. Jika ibunda mu telah sehat sama seka li dan ke mbali ke istana ini, maka anak itu pasti a kan segera pergi" "Tetapi menurut ayahanda, ibunda tidak akan ke mbali lagi, atau Setidak-tidaknya ibunda me merlukan wa ktu yang lama untuk dapat dengan tatag ke mba li me masuki rumah ini" Bibinya mengusap kening Rara Warih sa mbil berkata "Sudahlah. Sebaiknya kau tidak me mpersoalkannya lagi. Jika kau letih, berist irahatlah. Tidurlah sejenak, biarlah aku mene mui sanak ke luarga yang duduk di ruang dala m" "Tida k bibi. Aku tidak letih. Biarlah a ku mene mui mereka. Dan biarlah bibi beristirahat"
"Aku sudah cukup beristirahat. Marilah, kita bersa ma-sama mene mui mere ka" Demikianlah keduanya keluar dari da la m bilik itu dan pergi ke ruang dalam. Ketika mereka melalui pintu bilik Pangeran Ranakusuma, mereka masih mendengar suaranya meskipun perlahan-lahan sekali. Dala m pada itu di da la m bilik itu Pangeran Ranakusuma berusaha meyakinkan Juwiring, bahwa hati adiknya itu pasti akan segera lunak ke mbali. Iapun a kan menjadi kesepian dan me merlukan seseorang di dalam rumah itu selain ayahandanya yang sering pergi untuk me lakukan tugasnya sebagai seorang Pangeran dan seorang perwira prajurit Surakarta. "Ayahanda" berkata Juwiring "Seperti pesan Kia i Danatirta, biarlah aku ke mbali ke Jati Aking. Mungkin akan lebih ba ik bagiku. Apalagi sebenarnyalah kedatanganku tidak seorang diri" "Dengan siapa kau datang" Dengan Kia i Danatirta?" "Tida k ayahanda, tetapi dengan Arum, anak gadis Kiai Danatirta, dan Buntal, anak angkatnya" "Dima na mereka sekarang?" "Mereka berada di rumah Ki Dipana la. Aku sudah me mbayangkan bahwa akan terjadi persoalan karena kehadiranku, meskipun tidak setajam yang a ku te mui" "Sudahlah. Jangan hiraukan. Biarlah besok kita berbicara lagi. Sekarang, kau dapat menemui ke luarga kita di ruang depan" Tetapi Juwiring menjadi ragu-ragu. Katanya "Ayahanda, apakah aku masih dapat diterima berada di lingkungan para bangsawan. Ada semacam perasaan rendah diri menghinggapi diriku menghadapi sikap dan tatapan mata mereka"
Pangeran Ranakusuma mengerut kan keningnya. Ditatapnya wajah anak laki-la ki itu sejenak. Wajah yang memang mengesankan wajah seorang anak bangsawan. Beberapa orang mengatakan bahwa Juwiring mirip sekali dengan wajahnya sendiri pada saat bayi itu dilahirkan. Kemudian di dalam perke mbangannya wajah Juwiring lebih mendekati wajah ibunya. Sejenak Pangeran Ranakusuma tida k menyahut. Sepercik perasaan bersalah telah melonjak di da la m dadanya. Anak itu seakan-akan sudah diasingkannya, sehingga terpisah dari lingkungan para bangsawan. Juwiring selama ini hidup di padepokan yang terpencil, yang menurut pendengarannya ia telah berusaha menyesuaikan diri hidup di lingkungan para petani dan justru telah terjun ke dala m sawah berlumpur. Dan kini ia mencoba menariknya dari kehidupan itu dan ke mbali ke dala m lingkungan para bangsawan. "Juwiring" berkata Pangeran Ranakusuma "mungkin kelengkapan lahiriah dapat me mbuatmu diganggu oleh perasaan rendah diri. Tetapi kau adalah benar-benar anakku" Raden Juwiring tidak menyahut. "Me mang sepantasnya kau berpakaian seperti seorang bangsawan. Kau dapat memaka i pakaianku. Tentu sudah tidak terlampau besar. Bahkan mungkin agak se mpit" "Ayahanda" desis Juwiring "biarlah aku me ma kai pakaianku sendiri. Aku sudah biasa me ma kai pakaian seperti ini" "Tetapi kau berada di dala m lingkunganmu sendiri sekarang. Kau harus mengenakan paka ian sepantasnya. Bukan karena pakaianmu maka kau diterima di dala m lingkunganmu, na mun kesan pertama yang ta mpak pada seseorang adalah caranya berpakaian. Karena itu jangan menolak. Kau harus hadir di antara mereka dala m pakaian yang pantas bagi seorang putera Pangeran. Jika kau segan
me ma kai pakaianku, pakailah pa kaian Rudira, yang barangkali tubuhnya tidak terpaut banyak daripada mu" "Terima kasih ayahanda. Kesannya akan lebih jelek lagi jika aku me ma kai pakaian adimas Rudira. Semua orang akan me mancangku sebagai seorang anak muda yang tidak tahu diri" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m. "Ayahanda, mereka yang ada di pendapa sudah me lihat aku dala m pakaian ini. Agaknya tidak pantas jika aku ke mudian berganti pakaian dengan pakaian yang pantas bagi seorang putera Pangeran" "Baiklah Juwiring. Tetapi sebaiknya kau me mang me mbersihkan diri sejenak, lalu berganti paka ian yang manapun yang kau kehenda ki setelah perjalananmu, lalu temuilah sanak keluarga terdekat yang ada di ruang dalam dan di pendapa" Juwiring tidak dapat menolak. Sebenarnyalah bahwa ia me mang segan mene mui sanak ke luarganya yang seakanakan sudah terpisah dari dunianya. Bukan saja ada semacam perasaan rendah diri, tetapi baginya dunia semaca m istana ayahanda ini sama se kali t idak menarik. Hubungan yang kaku di antara mereka karena batasan unggah-ungguh. Sikap yang tidak wajar dan lingkungan dunia yang tidak dilandasi oleh kenyataan hidup yang sebenarnya bagi keseluruhan rakyat Surakarta. Istana ini bagaikan dunia yang terpisah, yang me milih batasan-batasan kehidupan tersendiri. Sambil melangkahkan kakinya ke pakiwan, sekilas Juwiring terkenang kepada seseorang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati. Ia yakin bahwa orang yang menyebut petani dari Sukawati itu benar-benar seorang Pangeran seperti ayahandanya yang justru lebih muda. Dan menurut gambaran angan-angan Juwiring, cara hidup dan sikap petani dari
Sukawati itu tentu jauh berbeda dengan cara hidup dan sikap ayahandanya berserta sanak keluarganya. Ketika Raden Juwiring berada di hala man bela kang, tampaklah seluruh bagian bela kang istana ini menjadi terang benderang seperti sedang ada sebuah peralatan. Tiba-tiba saja timbullah ke inginannya untuk me lihat-melihat ruang dan bilik-bilik di belakang istananya. Juwiring tertarik ketika ia melihat beberapa orang duduk me lingkar di atas tikar yang putih. Na mun suasananya diliputi oleh ke mura man. "Mereka adalah pengawal setia adimas Rudira" berkata Juwiring. Bahkan ke mudian terbayang betapa para pengawal itu pernah mencoba menyerangnya di bawah pimpinan Sura dan kemudian masih saja terbayang tingkah laku Mandra, sepeninggal Sura. Tetapi Juwiring tida k me lihat Mandra. Dan akhirnya Juwiringpun mengetahui seluruhnya, apa yang telah terjadi atas Raden Rudira, Raden Ayu Galihwarit dan Mandra, ketika Juwiring berte mu dengan Ki Dipanala. "Mereka adalah kawan-kawan dekat Mandra" berkata Ki Dipanala "meskipun ia berkhianat, tetapi tidak sebaiknya kita me mba las denda m pada mayatnya. Itulah sebabnya, ketika mereka yang melawat Raden Rudira mengantarkannya ke maka m, ma ka mayat Mandrapun dibawa ke kuburan pula" Raden Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia menjadi semakin muak me lihat kehidupan di balik dinding-dinding istana yang gemerlapan, tetapi yang dikotori oleh nafsu dan ketamakan yang berlebih-lebihan. "Tetapi di saat terakhir adimas Rudira masih mencoba me mpertahankan kehormatan nama keluarga Ranakusuman" desis Juwiring. "Ya Betapapun nakal dan bengalnya anak muda itu, tetapi ternyata ia masih me mpunyai harga diri. Ia tidak peduli bahwa
ia akan berhadapan dengan kumpeni ketika ia mengetahui ibunya pergi bersama mereka. Mandralah yang benar-benar pengkhianat yang sangat licik" Raden Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia semakin je las dapat melihat kepalsuan yang bersarang di dalam hidup yang terla mpau berlebih-lebihan ini. "Karena itu pa man" berkata Raden Juwiring "Aku berkeberatan jika ayahanda menghendaki a ku tingga l di rumah ini ke mbali. Aku sudah menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan. Dan rasa-rasanya hidup di padepokan jauh lebih segar dari kehidupan di istana ini, di sini semuanya digulat oleh kebanggaan lahiriah. di sini nilai seseorang ditentukan oleh gemerlapnya permata yang dipakainya. Orang-orang di dalam istana semaca m ini rasarasanya semakin la ma se makin jauh dari hake kat dirinya, sebagai mahluk yang diciptakan oleh Maha Penciptanya. Mereka sama sekali tidak pernah menyebut kebesaran Yang Mah Esa lagi da la m hidupnya sehari-hari. Yang mereka dambakan hanyalah kebendaan se mata-mata. Bagi mereka, orang-orang asing itu lebih banyak memberikan harapan daripada Kasih dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Bagi mereka, hidup hari ini agaknya jauh lebih penting dari kehidupan akhirat" Ki Dipanala me ma ndang Raden Juwiring dengan tatapan mata yang aneh. Yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang anak muda yang tidak jauh berselisih umur dengan Raden Rudira yang baru saja dimaka mkan. Tetapi pengaruh kehidupan di padepokan Kiai Danatirta itu me mbuatnya jauh lebih dewasa menanggapi kehidupan ini. Bukan saja ala m dunia ini, tetapi juga a la m setelah mati. Namun demikian, Ki Dipana la itu kemudian menyahut "Raden. Jika me mang ayahanda menghendaki Raden ada di sini, aku ingin menyatakan pendapatku, bahwa sebaiknya Raden bersedia. Ibarat orang yang bertempur, maka Raden
berada di medan yang paling depan. Memang istana ini me merlukan perubahan. Seandainya Raden tidak dapat merubah tata kehidupan beberapa orang bangsawan di Surakarta, Setidak-tidaknya keluarga ini dapat Raden selamatkan" "Ah, apakah yang dapat aku banggakan dengan pribadiku, sehingga paman berharap aku dapat menumbuhkan perubahan di sini" Baru saja Diajeng Warih mohon kepada ayahanda untuk mengusirku dari istana ini" "Di sinilah letak ketabahan hati seseorang. di medan yang paling depan me mang me merlukan ketabahan hati, keberanian dan ke ma mpuan mengatasinya. Aku yakin bahwa Raden dapat mela kukannya" Tetapi Raden Juwiring menggelengkan kepalanya. Katanya "Ada bermacam-maca m alasan pa man. Aku orang asing di sini. Dan aku masih ingin menye mpurnakan ilmu yang aku sadap dari ayah di Jati A king" "Raden tidak usah menghentikannya. Raden dapat menye mpurnakannya dengan cara yang sesuai dengan keadaan Raden. Namun menurut pertimbanganku, kehadiran Raden di sini sangat diperlukan" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "Jika diperlukan, aku dapat me mbantu Raden berhubungan dengan para bangsawan yang tidak puas terhadap keadaan sekarang ini" Raden Juwiring terdia m sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Aku tidak akan berarti apa-apa paman. Bahkan aku akan dapat hanyut jika aku terjun ke dalam arus banjir yang deras" "Di sinilah Raden dapat menguji diri sendiri. Apakah Raden hanya selembar daun kering yang jatuh ke dala m arus, ataukah sebongkah batu karang yang kuat berakar di dala m bumi. Jika Raden hanya selembar daun, maka Raden me mang akan hanyut sampai ke mulut samodra. Tetapi jika Raden
adalah batu karang yang tegak dengan kuat, maka Raden akan menjadi pegangan mereka yang ingin me nyelamatkan diri dari arus itu" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. "Raden. Memang Raden tidak usah sekokoh Pangeran Mangkubumi. Tetapi Raden dapat merupakan ga mbaran daripadanya di dala m lingkungan Raden" Sejenak Juwiring merenung. Na mun katanya ke mudian "Aku akan mencoba me mikirkannya paman" "Silahkan Raden" berkata Ki Dipana la "sekarang silahkan Raden pergi ke pakiwan. Tentu ayahanda
menunggu" Juwiringpun ke mudian pergi ke pakiwan me mbersihkan dirinya. Namun dala m pada itu, kata-kata Ki Dipana la masih saja berkumandang di telinganya. Terasa sesuatu bergejolak di dala m hatinya. Meskipun ia masih belum dapat menga mbil kesimpulan yang pasti, namun apa yang dikatakan oleh Ki Dipanala itu me mang sangat menarik. "Aku akan pergi ke pendapa" katanya kemudian "Aku t idak perlu merasa diriku kecil. Aku tidak perlu me maka i pakaian yang gemerlapan seperti layaknya seorang putera Pangeran. Aku akan hadir sebagaimana aku yang ada. Juwiring adalah Juwiring. Diterima atau tidak diterima, itu sama sekali bukan
persoalanku. Tetapi kenyataanku"
aku harus tetap berada pada Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia sudah menemukan sikap yang mapan. Dan ia tidak akan menghiraukan tanggapan orang lain atasnya. Demikianlah setelah me mbersihkan diri, Juwiring me mbenahi pakaiannya. Pakaian yang sudah dipakainya itu. Dengan langkah yang pasti ia pergi ke pendapa seperti yang dimaksud oleh ayahandanya untuk menemui sanak kadangnya yang berjaga-jaga setelah kematian adiknya seayah. Kehadirannya me mang sangat menarik perhatian. Beberapa orang masih saja me mandanginya dengan tatapan mata yang kurang sedap. Namun Juwiring sa ma sekali tidak menghiraukannya. Ia duduk di antara mere ka, saudarasaudara sepupunya dengan dada tengadah. Meskipun ada juga sepercik pengakuan, bahwa ibunya adalah seorang perempuan yang tidak sederajad dengan ibu saudara-saudara sepupunya itu, namun Juwiring telah mene mukan kepribadian sendiri Dengan sikap yang wajar ia mencoba mene mpatkan dirinya di antara sanak kadangnya meskipun agak kaku. Tetapi Juwiring tidak berusaha mengisi keasingannya dengan tingkah laku yang berleburan. Meskipun ia tidak me njadi susut sekecil cucurut tetapi ia juga tidak me ngge mbung sebesar kerbau. Ia adalah Juwiring. Saudara-saudaranya merasa agak canggung juga berbicara dengan anak muda yang sudah beberapa lamanya tidak ada di antara mereka. Bahkan ada di antara mereka yang me ma lingkan wajahnya dan berbicara di antara mereka sendiri. Tetapi Juwiring tidak me nghiraukannya. Ia bersikap seperti sikapnya.
Satu dua ada juga di antara mereka yang berbicara sepatah dua patah kata. Ada juga yang bertanya kepadanya tentang keadaannya selama ini. "Kau sudah la ma tidak tampa k di antara saudara-saudara sepupumu?" bertanya seorang bangsawan yang baru saja me la mpaui masa mudanya. "Ya pa manda" jawab Juwiring "se la ma ini aku berada di padepokan yang terpencil" "O. Apakah yang kau la kukan di sana?" "Me mpelajari beberapa jenis pengetahuan yang mungkin bermanfaat bagi hidupku kelak" "Kenapa harus dicari di padepokan yang terpencil" Apakah di Surakarta kurang orang-orang panda i yang dapat menuntunmu me mpelajari beberapa maca m ilmu" Dari ilmu kajiwan sa mpai ilmu kanuragan" Sepandai-pandai orang padepokan yang terpencil itu, namun mereka tidak akan dapat me la mpaui kepandaian orang-orang kota. Misalnya ka mas Ranakusuma sendiri, la mumpuni segala maca m ilmu. Tata pemerintahan, kesusasteraan, kajiwan dan juga kanuragan, sehingga ka mas Pangeran diangkat menjadi seorang Senapati. Jika kau berguru kepada ayahandamu sendiri, tentu tida k akan kalah dari gurumu yang sekarang, yang tentu tidak begitu me maha mi tata pe merintahan dan unggah-ungguh" "Pamanda " jawab Juwiring "Agaknya me mang de mikian. Tetapi ada semacam ilmu yang aku dapatkan di padepokan itu, yang agaknya tidak akan dapat aku cari di dala m kota ini" "Apa?" "Bertani. Aku sudah mendekati se mpurna di dala m hal bercocok tanam. Bukan saja sekedar mengetahui cara dan beberapa macam perhitungan dan pertimbangan. Yang wajar dan yang dipengaruhi oleh kepercayaan, tetapi aku juga sudah pandai mela kukannya"
"Ya. Aku dengar kau sudah sudi melumuri tubuhmu dengan lumpur" "Ya" "Itukah sebabnya maka kau me maka i pakaian serupa ini di dalam pertemuan ini?" "Kenapa dengan pa kaianku?" Bangsawan lawan bicaranya itu tersenyum. Katanya "Agaknya kau benar-benar ingin menunjukkan bahwa kau adalah seorang petani yang pernah di sebut-sebut oleh almarhum Rudira sebagai seorang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati?" "O, tentu tidak pamanda. Nama Petani dari Sukawati itu adalah nama yang besar. Bagaimana mungkin aku dapat mengharap untuk menya mainya, Setidak-tidaknya menyerupainya" Petani dari Sukawati ma mpu mela kukan beberapa maca m perbuatan yang dapat kita anggap aneh. Ia me miliki ilmu yang jarang ada duanya. Sepi angin. Sapta pemeling. Sapta Pangganda dan sebagainya" "Kau berpendapat de mikian?" "Ya. Petani dari Sukawati bukannya se mbarang orang" Bangsawan itu menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, maka dilihatnya beberapa orang me mperhatikan juga pembicaraan itu. Namun justru dengan demikian bangsawan itupun terdia m. Rasa-rasanya setiap mata bertanya-tanya kepadanya, kenapa ia bersedia bercakap-cakap dengan anak padepokan Jati Aking itu. Cahaya kemerah-merahan ternyata telah mulai me mbayang di ujung Timur. Semala m suntuk para tanlu berjaga-jaga di pendapa dan ruang dala m. Mereka ikut menyatakan keprihatinan mere ka atas meningga lnya Rudira karena peluru.
Demikianlah, ma ka seorang demi seorang para tamu itupun justru mohon diri. Hanya beberapa orang yang paling de kat sajalah yang ke mudian tingga l di istana Ranakusuman. Ternyata bahwa keluarga Ranakusuman sendiri, merasa agak asing dengan Juwiring. Beberapa orang dengan segan menghormat inya seperti mereka harus menghormat Rudira. Tetapi jika terpandang oleh mereka itu pakaian Juwiring yang sederhana, maka hormat yang mereka berikan itupun segera menjadi ha mbar. "Ternyata bahwa bentuk lahiriah seseorang sangat berpengaruh" berkata Juwiring di dala m hati "Na mun demikian, tindak tanduk dan tingkah lakulah yang akan menentukan meskipun baru ke mudian" Ketika hala man istana Ranakusuman menjadi terang oleh cahaya pagi, maka sebagian terbesar dari tamu-ta mu itupun telah meningga lkan istana Ranakusuman. Ma kin sedikit orang yang berada di rumah itu, rasanya menjadi semakin canggung bagi Raden Juwiring. Seorang demi seorang mereka meninggalkan pendapa sambil me mandang wajah Juwiring. Bahkan ada satu dua yang termangu-mangu bahwa orang itu bukannya Juwiring. Namun akhirnya mereka bersepakat bahwa karena Juwiring seakan-akan telah dilontarkan ke padepokan itu, maka dengan sengaja ia menunjukkan keadaannya, justru di dalam saat yang agak kalut. Bukan saja kekalutan di dalam istana Pangeran Ranakusuma, tetapi kekalutan yang tampak sema kin gelap di atas bumi Surakarta. Apalagi beberapa orang di antara mereka pernah mendengar ceritera Rudira tentang Petani dari Sukawati. Dengan de mikian ma ka beberapa orang di antara mereka yang meningga lkan istana Ranakusuman itu bersa ma-sama saling berbisik "Agaknya ia ingin disebut Petani dari Sukawati"
"Tida k. Ia berada di padepokan Jati Aking, sehingga ia akan menyebut dirinya Petani dari Jati Aking" Bangsawan-bangsawan muda itu tertawa berkepanjangan. Pangeran Ranakusuma yang melepaskan tamu-ta munya di anak tangga pendapa istananya melihat, betapa canggungnya hubungan antara Juwiring dengan sanak kadangnya. Berbeda sekali dengan Rudira. Meskipun Rudira me mpunyai kesenangan sendiri, terutama berburu, na mun di dala m pergaulan ia justru nampak agak menonjol. Mungkin karena ia senang me mbuat tentang perburuan yang sering dilakukannya. Pangeran Ranakusuma hanya dapat menarik nafas. Sekali lagi ia merasa bersalah, karena ia telah mengasingkan anak muda yang baik itu dari lingkungannya. "Ia harus kemba li ke rumah ini" katanya di dala m hati "Aku harus dapat menda ma ikannya dengan Warih. Aku me merlukan kedua-duanya" Namun Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa untuk itu, bukannya kerja yang mudah dilakukannya. Ia pasti akan me merlukan waktu yang cukup panjang dan barangkali berbagai kesulitan akan ditemuinya. Bahkan me mang mungkin sekali ia gagal. Tetapi Pangeran Ranakusuma me lakukannya. sudah bertekad untuk
Di hari yang ke mudian me njadi se ma kin panas oleh matahari yang mera mbat se makin tinggi, Ranakusuman menjadi semakin sepi. Beberapa orang yang masih ada di istana itu menjadi lelah, dan sebagian telah tertidur, sengaja atau tidak sengaja. Sedang yang lain masih sibuk me mbersihkan pendapa, ruang dalam dan halaman. Sedang beberapa orang perempuan masih ada di dapur untuk menyiapkan makan dan hidangan apabila masih ada tamutamu yang baka l datang di hari itu.
Pangeran Ranakusuma yang lesu ke mudian duduk di ruang dalam menghadapi se mangkuk minuman panas untuk menyegarkan tubuhnya. Ketika ia meneguk minuman yang manis dan hangat itu, tubuhnya me mang merasa agak segar. Tetapi minuman itu tida k berhasil menyegarkan jiwanya yang letih dan sa kit. Tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma teringat kepada anak laki-lakinya. Karena itu, maka disuruhnya seorang pelayannya me manggilnya. "Dima na kau sela ma ini Juwiring?" bertanya ayahandanya "sejak kau pergi dari pendapa, kau tidak kelihatan lagi" "Aku ada di be lakang ayahanda, bersama pa man Dipana la" "Te mpat mu adalah di sini. di ruangan ini. di dala m istana ini dimana kau suka. Tida k di be lakang" Juwiring me ngangguk "Terima kasih" dala m-dala m sa mbil menjawab
"Karena itu" berkata Pangeran Ranakusuma selanjutnya "sebaiknya kau berada di sini. Mudah-mudahan adikmu berubah sikap. Sebenarnya ia seorang gadis yang baik meskipun ma nja. Tetapi karena ia baru saja kehilangan kakak laki-lakinya, maka ia menjadi agak gugup dan tidak se mpat me mikirkan sikap dan kata-katanya. Karena itu, kau yang lebih tua, hendaklah mencoba dengan telaten dan sabar untuk me le mbutkan hatinya" Raden Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia menjawab juga "Ba iklah ayahanda. Aku akan mencoba selagi aku masih berada di rumah ini" "Kau akan tetap tinggal di sini" "Ayahanda. Seandainya aku menga mbil keputusan demikian, maka akupun harus ke mbali ke padepokan Jati Aking untuk minta diri"
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi kau harus me mutuskan terlebih dahulu" "Aku akan me mikirkannya ayahanda. Tetapi apakah kehadiranku di rumah ini t idak akan mengganggu ketenangan?" "Apa yang kau ma ksudkan Juwiring?" "Ayahanda, aku sudah biasa hidup di padepokan kecil. Sudah biasa hidup sebagai seorang petani. Mungkin t ingkah lakukupun sudah berubah, sehingga aku lebih mirip seorang petani daripada seorang putera ayahanda. Mungkin aku sudah menjadi kasar dan tida k mengenal lagi unggah-ungguh di antara para bangsawan" "Kau belum la ma tinggal di Jati Aking. Mungkin tata kehidupan di Jati Aking me mpengaruhi sikap dan kebiasaanmu. Tetapi setelah kau berada di istana ini untuk beberapa bulan, maka kebiasaan itupun akan hilang dengan sendirinya. Sejak kecil kau hidup di antara para bangsawan. Kau akan segera mengena li kebiasaanmu itu ke mbali" Juwiring tidak segera menjawab. Kepalanya yang tertunduk menjadi se makin tertunduk. Tanpa disadarinya, iapun ke mudian menarik nafas dala m-dala m sa mbil berpaling ke pintu-pintu bilik yang masih tertutup. "Warih dan bibinya sedang tidur. Merekapun lelah" "Ya ayahanda" "Aku menunggu keputusanmu" Juwiring tida k segera menjawab. Beberapa kali ia menimbang apa kah yang sebaiknya dila kukan. Na mun ia masih tetap ragu-ragu dan goyah. "Ayahanda" akhirnya ia berkata "Baiklah aku berbicara dengan anak dan anak angkat Kiai Danatirta itu.
Sebenarnyalah kami sudah dipersaudarakannya. Dan kami menganggap Kiai Danatirta sebagai ayah ka mi" "Karena kau merasa sudah tidak berayah lagi?" "Tida k. Sama sekali tidak ayahanda. Jika aku diangkat menjadi anaknya itu adalah karena ia tidak mau me mbatasi dirinya karena aku adalah muridnya. diperlakukannya seperti anaknya sendiri. Demikian Buntal" juga lagi Aku juga
Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Meskipun Juwiring me ngingkarinya, namun rasa-rasanya ada juga kekosongan di hati anak yang jauh dari ayahnya, apalagi ia sudah tidak beribu lagi, sehingga dengan de mikian ia mencari sandaran kepada orang yang dekat padanya, yang mengasihinya dan me mperlakukannya dengan le mbut. "Aku adalah seorang ayah yang jelek seka li" katanya di dalam hati "Aku ha mpir saja kehilangan hatinya. Mudahmudahan aku belum terla mbat. Dan mudah-mudahan Juwiring tidak menganggap bahwa akupun sedang mencari sandaran karena hatiku menjadi kosong sepeninggal Rudira" "Ayahanda" berkata Juwiring ke mudian "Aku akan mohon diri sejenak untuk pergi ke ruma h pa man Dipana la. Aku ingin mene mui kedua saudara angkatku itu" "O" Pangeran Ranakusuma "Panggil saja mereka ke mari" mengerutkan keningnya
"Mereka adalah anak-anak padepokan ayahanda. Anak yang tinggal jauh dari kehidupan yang setertib istana ini" "Bawalah mereka ke mari. Aku ingin melihat anak-anak itu. Apabila mereka salah sikap, itu bukan karena mereka tidak mau berbuat sebaik-baiknya. Tetapi aku mengerti, bahwa mereka me mang tida k dapat berbuat lebih ba ik daripada itu"
Juwiring berpikir sejenak, lalu "Baiklah jika ayahanda me mang menghendakinya. Aku akan mengajak pa man Dipanala untuk me ma nggilnya" "Panggillah" Juwiringpun ke mudian meninggalkan ruang dala m itu dan mencari Ki Dipanala untuk dibawanya me manggil kedua saudara seperguruannya. "Apakah yang harus aku katakan jika aku menghadap seorang Pangeran?" bertanya Arum. "Tida k apa-apa" jawab Juwiring "Jika kau ditanya, maka kau menjawab jika kau mengetahui jawabnya. Tidak ada bedanya dengan berbicara dengan aku dan Buntal" "Tentu berbeda. Aku harus duduk sambil menunduk dala mdalam. Setiap kali aku harus menye mbah dan me mbungkukkan kepala, begitu?" "Ya. Sebenarnya hanya kepada Kangjeng Susuhunan saja kita menyembah. Tetapi para pengeranpun ingin dise mbah. Bahkan ada kalanya putera-putera Pangeran minta juga dise mbah" "Jadi bagaimana dengan aku?" "Sekehendakmulah" "Ah, tentu tidak" "Menyembahlah" potong Ki Dipana la "Tidak ada salahnya. Tetapi Pangeran Ranakusuma bukan seorang bangsawan yang tinggi hati" "Cita-citanyalah yang agaknya terlampau tinggi" desis Juwiring "Tetapi sayang . . " kata-katanya terputus. Ki Dipanala me mandanginya dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan. Namun ia tidak mengucapkannya, karena ia seakan-akan dapat mengerti, bahwa Juwiring tidak
sependapat dengan keinginan ayahnya untuk mendapatkan kedudukan yang terlalu tinggi di dala m istana Susuhunan dan kehmpahan ke kayaan di istananya sendiri. Demikianlah ma ka kedua anak-anak Jati Aking itupun mengikut i Juwiring me masuki ruang dala m istana Ranakusuman yang dipenuhi dengan berbagai maca m hiasan dan perlengkapan yang sangat asing bagi keduanya, terutama Arum. Bagi Buntal, meskipun tidak sebaik istana ini. ia pernah tinggal di rumah seorang bangsawan di Sura karta ini pula, sebelum ia ke mudian berkeliaran tanpa tujuan. Bahkan ternyata Arum tidak dapat menahan keinginannya untuk me mperhatikan setiap benda yang ada di sekitarnya. Yang baginya kadang-kadang dianggapnya aneh dan tidak diketahui gunanya sama sekali. "Aku tidak tahu, buat apakah sebenarnya guci-guci itu?" Ia berdesis "Apakah kadang-kadang perlu disediakan air di dala m ruangan ini?" "Tida k" sahut Juwiring "guci-guci itu tida k lebih dari sebuah hiasan" "Hiasan" Jadi tida k ada gunanya selain hiasan itu" "Ya" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini me lihat sendiri, betapa istana seorang Pangeran menyimpan harta kekayaan yang tidak ada taranya. Ketika terpandang olehnya la mpu minyak yang tergantung di ruang tengah, ia berdesis "He, permata sebesar itu dan bergantungan di situ?" "Sst" Buntal mengga mitnya "Bukan permata. Itu terbuat dari bahan yang jauh lebih murah dari permata" Arum me narik nafas dala mi
"Kita menunggu sejenak" berkata Juwiring "Agaknya ayahanda baru ada di dalam. Biarlah a ku mengatakannya bahwa kalian telah datang" "Kau duduk di permadani itu bersa ma Buntal" "Jangan tinggalkan ka mi" desis Arum. "Tetapi . . " "Bersa ma aku" potong Buntal "Aku sudah pernah berada di dalam lingkungan seperti ini" Arum hanya menarik nafas dalam-da la m. Tetapi hatinya berdebar-debar juga. Jauh lebih berdebar-debar daripada berada di tengah hutan yang lebat yang dihuni oleh binatangbinatang buas sekalipun. Juwiringpun ke mudian meningga lkannya mencari ayahandanya yang agaknya sedang masuk ke dala m biliknya. "Apakah mereka Ranakusuma. sudah datang?" bertanya Pangeran
"Mereka ada di ruang dala m ayahanda" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku a kan segera datang" Katanya
Ketika Juwiring ke mbali ke ruang dala m, dilihatnya Arum masih saja mengagumi perhiasan dan alat-alat rumah tangga yang ada di ruang dala m itu. "Ayahanda akan segera datang" berkata Juwiring yang ke mudian duduk bersa ma kedua saudara seperguruannya itu di atas sebuah permadani yang berwarna ke merah-merahan" "Tikar ini bagus seka li. Tetapi rasa-rasanya kulitku agak gatal" bisik Arum. "Bukan tikar" sahut Buntal "ini adalah permadani yang dibeli dari seberang lautan"
"O, dari mana?" "Dari jauh seka li" "Di rumah pa man Dipanala juga ada tikar, eh, permadani seperti ini. Tetapi tidak sebagus ini dan tidak begitu gatal seperti ini" "Permadani di rumah paman Dipana la itu justru sudah terlalu tua sehingga bulu-bulunya sudah habis" Arum masih akan bertanya lagi. Tetapi suaranya ditelannya ke mbali ketika ia mendengar Juwiring berkata "Itulah ayahanda sudah datang" Arum cepat menundukkan kepalanya. Sekilas Buntal masih me lihat Pangeran Ranakusuma berjalan mendekatinya. Ketika Pangeran itu duduk di tengah-tengah ruangan itu, maka Buntalpun menunduk pula. Sesaat Pangeran Ranakusuma me mandang anaknya Raden Juwiring yang duduk bersama kedua anak-anak Jati Aking itu. Hampir saja ia me manggilnya dan mene mpatkan anaknya itu di sisinya. Tetapi ketika teringat olehnya bahwa ketiga anakanak muda itu sudah diangkat menjadi saudara, maka niatnyapun diurungkannya. Arum yang tunduk dala m-da la m merasakan suasananya menjadi tegang. Ia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sedang Pangeran Ranakusuma itu masih saja berdiam diri untuk beberapa saat la manya.
Baru ke mudian Pangeran itu berkata "Kaliankah anak-anak angkat Kia i Danatirta?" Buntal mengangkat tangannya untuk menye mbah sa mbil menjawab "Ya Pangeran. Hamba adalah anak-anak angkat Kiai Danatirta" "Aku, eh, hamba bukan. Ha mba adalah anaknya" "O, aku sudah mendengar dari Juwiring, bahwa kau adalah anak Kiai Danatirta. Dan kalian sudah diangkat menjadi saudara bersama-sama dengan anakku, Juwiring" Buntal menye mbah dan menjawab "Ha mba Pangeran. di padepokan Jati Aking, ka mi adalah saudara angkat" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ketika Arum dengan sudut matanya mencuri pandang, hampir saja Juwiring tidak dapat menahan senyumnya. Dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma me mandang Buntal dengan tajamnya. Ternyata anak Jati Aking ini me miliki unggah-ungguh yang cukup baik. Seakan-akan ia sudah me mpe lajari tata kehidupan di rumah seorang bangsawan. Karena itu, ma ka iapun mula i tertarik kepada pribadinya yang sederhana namun tampa knya cukup baik. Sedang Arum, gadis Jati Aking itu agaknya masih asing sama sekali. Sikapnya, caranya duduk dan berbicara meskipun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya. Meskipun kepalanya tunduk dala m-dala m, namun setiap kali gadis itu mencoba untuk me lihat keadaan sekelilingnya dengan sudut matanya. Tetapi Pangeran Ranakusuma mengerti. Gadis itu sa ma sekali tidak ingin berbuat kurang baik. Ia adalah orang yang baru di dala m lingkungan yang asing baginya. "Anak-anak muda" berkata Pangeran Ranakusuma seterusnya "Sebenarnyalah kalian sudah mengetahui, bahwa Juwiring adalah anakku. Dalam keadaan yang tidak didugaduga, adiknya telah meninggal. Karena itu, Juwiring adalah
tinggal satu-satunya anak laki-la ki bagiku. Bukan maksudku untuk me misahkannya dari ka lian yang sudah dipersaudarakan, tetapi bagaimana pendapat kalian jika ka lian saja tinggal di sini?" "O" Arum t iba-tiba mengangkat wajahnya. Namun hanya sejenak, karena ketika ia sadar, maka iapun segera menundukkan kepa lanya ke mbali. "Dan itu bukan berarti bahwa ka lian harus terpisah dari ayah kalian. Kia i Danatirta. Setiap kali kalian dapat pergi ke Jati Aking" Buntal me mandang Juwiring dengan sudut matanya. Namun anak muda itu segera menyadari, bahwa sebenarnya Pangeran Ranakusuma ingin agar Juwiring ke mbali ke istana ini. Na mun agaknya Juwiringlah yang berkeberatan karena selama ini ia sudah berada di dala m lingkungan yang baginya cukup me nyenangkan. "Kalian akan mendapat tuntunan di dala m berbagai maca m hal, kalian akan me mpelajari unggah-ungguh, tata susila dan sopan santun sesuai dengan lingkungan ini" "Ampun Pangeran" jawab Buntal sambil menyembah "bagi hamba, hal itu merupa kan suatu karunia yang luar biasa. Tetapi jika de mikian, bagaimana dengan ayah angkat hamba di padepokan Jati Aking. Ayah akan menjadi kesepian dan barangkali juga tidak ada yang dapat me mbantunya mengerjakan sawahnya. Memang ada beberapa orang pembantu di padepokan Jati Aking, tetapi tentu mereka tidak akan dapat bekerja seperti ka mi yang merasa diri ka mi anakanak Kiai Danatirta" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Dan seperti yang diduga oleh Buntal, maka iapun berkata "Jika demikian, aku dan Juwiring akan minta pertimbangan kalian, bagaimana jika Juwiring sajalah yang harus mondar-mandir kian ke mari, karena ia juga anakku, tetapi juga anak Kiai Danatirta"
Buntal tida k dapat menyahut. Tetapi iapun berpaling kepada Juwiring, seakan-akan me mpersilahkan anak itu menjawabnya. Karena iapun sadar, bahwa bagi Pangeran Ranakusuma yang paling penting adalah Juwiring. "Aku sudah bertanya kepadanya" berkata Pangeran Ranakusuma "Tetapi ia me merlukan pendapat ka lian" "Bagaimana pendapat Raden Juwiring sendiri Pangeran?" bertanya Buntal. Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Meskipun Buntal anak padepokan, tetapi caranya, sikapnya dan kata-katanya menunjukkan bahwa ia dapat berpikir dengan baik. Karena itulah maka Buntal me njadi se ma kin menarik bagi Pangeran Ranakusuma. Maka jawab Pangeran Ranakusuma ke mudian "Ba iklah. Juwiring sudah menjawab ketika a ku bertanya kepadanya. Iapun merasa berkeberatan. Tetapi ada semacam kuwajibanku untuk minta kepadanya agar ia tinggal di istana ini. Ada banyak alasan yang dapat aku ke mukakan. Tetapi baiklah. Kalian tentu tidak akan dapat menga mbil kesimpulan. Yang paling baik bagiku adalah mene mui Kia i Danatirta sendiri. Aku pernah menyerahkan anakku kepadanya lewat Ki Dipanala. Maka akan datang saatnya aku minta kese mpatan untuk mengasuh anakku itu sendiri. Tentu saja dengan tidak mengurangi penghargaanku atas kesediaan Kiai Danatirta mengasuh Juwiring sela ma ini" Buntal masih tetap menundukkan kepalanya. Na mun Arumlah yang tiba-tiba saja bertanya "Jadi ma ksud Pangeran, kakang Juwiring, eh, Raden Juwiring harus meninggalkan Padepokan?" "Tida k sepenuhnya. Ia akan tetap berada di kedua tempat. Kadang-kadang di sini dan kadang-kadang di padepokan" Arum mengerutkan keningnya. Dipandanginya Juwiring sejenak. Rasa-rasanya berat hatinya untuk berpisah dengan
saudara-saudara angkatnya. Setiap kali mere ka mela kukan apa saja bertiga. Bekerja berlatih dan bergurau meskipun kadang-kadang mereka sering juga bertengkar. Arum yang ke mudian menundukkan kepalanya itupun sangat menarik perhatian Pangeran Ranakusuma. Sekilas teringat olehnya, betapa Rudira seolah-olah tidak dapat me lepaskan gadis itu dari angan-angannya, meskipun Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa yang ada pada diri Rudira waktu itu barulah sekedar tertarik me lihat kecantikan wajah gadis itu. Dan ternyata gadis yang bernama Arum itu me mang cantik, dan seperti kebanyakan gadis padepokan ia tampak jujur dan berterus-terang. "Jika Juwiring me merlukannya, aku tidak akan berkeberatan" berkata Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya "Agaknya gadis itupun cerdas dan lincah. Jika ia mendapat tuntunan yang baik. tentu ia akan dapat segera menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru" Tetapi Pangeran Ranakusuma t idak me ngatakannya. Apalagi ke mudian timbul juga persoalan di dala m hatinya, bahwa gadis itu adalah gadis padepokan. Sampai saatnya, maka akan timbul persoalan seperti persoalan Juwiring sendiri, karena ibunya bukan seorang keturunan bangsawan yang sederajad, sehingga seakan-akan Juwiring telah menga la mi tekanan batin yang berat. Apalagi keturunan seorang gadis padepokan. Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Biasanya para bangsawan menga mbil gadis-gadis padesan dan padukuhan hanya sekedar sebagai selir, sebagai perempuan yang hanya sekedar memenuhi selera para bangsawan, yang apabila bangsawan itu menjadi je mu, maka perempuan-pere mpuan padesan itu kadang-kadang dile mparkan begitu saja tanpa pertanggungan jawab apapun, dan kadang-kadang ada juga yang di dala m keadaan
mengandung diberikan sebagai pere mpuan, triman kepada hamba laki-lakinya untuk diperisterikan. "Tetapi Juwiring agaknya lain" berkata Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya pula "Ia mengala mi hidup di padepokan, sehingga ia akan dapat menghargai nilai seorang yang dilahirkan di padepokan kecil" Dala m pada itu, selagi mereka berdia m diri untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba mereka mendengar pintu yang berderit. Ketika hampir bersa maan mereka berpaling, dilihatnya seorang gadis keluar dari pintu sebuah bilik di sebelah ruang yang menjorok ke da la m menghubungkan ruang dala m dengan ruang depan istana yang besar itu. Warih, yang keluar dari biliknyapun terkejut melihat beberapa orang duduk di permadani di ruang dala m menghadap ayahandanya. Karena itu maka iapun segera mende katinya. Ternyata di antara mereka yang duduk di permadani itu terdapat kakaknya, Juwiring. "Siapakah mereka itu ayahanda?" bertanya Rara Warih". "Mereka adalah anak-anak padepokan Jati Aking Warih" "O, anak padesan itu se mpat ayahanda terima di ruang dalam?" Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Arum bergeser sejengkal sambil mengangkat wajahnya, memandang gadis yang baru bangun dari tidurnya itu. Tetapi Buntal mengga mitnya dan me mberinya isyarat untuk berdiam diri saja. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Anak-anak Jati Aking ini adalah anak-anak Kia i Danatirta. Anak-anak dari seorang yang memiliki ke lebihan dari orang kebanyakan meskipun lebih senang t inggal di padukuhan"
"Tetapi bagaimanapun juga. mereka adalah anak-anak padesan" Rara Warih terdiam sejenak, lalu "O, jadi mereka adalah anak-anak padepokan te mpat tinggal ka mas Juwiring?" "Ya Warih" "Dan gadis ini" Tentu gadis inilah yang sering disebut kamas Rudira berna ma Arum" Warih mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu "Me mang cantik se kali" Arum mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi Buntal mengga mitnya. "Pantas sekali" berkata Warih "sepantasnya me mang ka mas Juwiring duduk bersa ma anak-anak padesan. Tidak bersama kami dan juga t idak bersa ma ayahanda" Seleret warna merah melonjak di wajah Juwiring. Dengan susah payah ia berusaha menahan hatinya yang ha mpir tidak dapat dikendalikan lagi. Dala m pada itu, agaknya Pangeran Ranakusumapun t idak senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak ingin melukai hati anak gadisnya yang baru saja kehilangan kakaknya. Maka katanya tertahan-tahan "Sudahlah Warih. Pergilah ke belakang" "O, jadi sekarang akulah yang harus pergi ke belakang ayahanda?" "Maksudku, pergilah ke pakiwan. Me mbersihkan diri ke mudian berpakaian. Hari ini tentu masih ada beberapa orang tamu yang akan berkunjung ke mari" "Dan ayah sudah mempunyai seseorang yang akan menerima mereka" "Ya" jawab Pangeran Ranakusuma "Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka tidak akan bertanya tentang kau" Jawaban ayahnya itu menyentuh hati Rara Warih. Terasa bahwa ayahnya sudah mula i kehilangan kesabaran. di dalam
keadaan tertentu Pangeran Ranakusuma dapat menjadi keras dan bahkan kasar seperti menghadapi lawan di peperangan. Rara Warihpun terdiam. Iapun ke mudian meningga lkan ruangan itu pergi ke belakang. "Kau me mang harus bersabar Juwiring" berkata Pangeran Ranakusuma "Anak itu terla mpau dimanjakan oleh ibunya, seperti juga Rudira. Tetapi aku me ngharap bahwa ia akan sembuh, dan ia akan dapat mengerti keadaan dirinya di dalam lingkungan keluarganya" Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Na mun ternyata sikap Rara Warih itu justru mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Kadang-kadang tumbuh juga keinginan Juwiring untuk pergi dan meninggalkan rumah itu dengan segenap isinya yang sombong dan tinggi hati. Tetapi kadang-kadang sikap yang kasar itu telah merupakan suatu tantangan yang harus dijawabnya. Bukan ditinggalkannya. Namun bagi Arum dan Buntal, suasana di istana itu benarbenar tidak menyenangkannya. Mereka tida k akan dapat me mbiarkan diri mereka dihinakan terus-menerus. Tangan Arum seakan-akan sudah menjadi gatal. Rasa-rasanya ingin ia mena mpar pipi gadis yang cantik, adik seayah dari Raden Juwiring. Karena itu, maka ketika Rara Warih sudah tidak ta mpak lagi. Buntalpun berkata "Ampun Pangeran, rasa-rasanya hamba sudah, cukup menyulit kan Pangeran dan Raden Juwiring. Perkenankan, hamba berdua kembali ke pondok paman Dipana la. "Sebaiknya ka lian bermala m di sini" berkata Pangeran Ranakusuma. "Ampun Pangeran, paman Dipanala telah menerima ha mba berdua dengan baik. Seperti juga ke murahan Pangeran. Karena itu bagi ha mba, tidak ada bedanya tingga l di rumah paman Dipanala dan di dalam istana ini. Tetapi agaknya istana
ini masih terlampau sibuk, sehingga ha mba akan dapat mengganggu" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia semakin tertarik kepada anak muda ini. Meskipun ia anak padepokan, tetapi unggah-ungguhnya sudah cukup lengkap dan ba ik. "Tetapi kalian jangan bergegas kembali ke padepokan" berkata Pangeran Ranakusuma "Kalian harus menunggu beberapa hari lagi. Mungkin kalian se mpat melihat perubahan sikap Warih, Dan kalian akan tenang berada di rumah ini" "Ha mba Pangeran. Ha mba berdua me mang berkeinginan untuk menunggu Raden Juwiring" "Bagaimana jika ia tetap di sini?" "Setidak-tidaknya keputusannya yang akan dapat hamba sampaikan kepada ayah di padepokan" "Baiklah. Aku tidak berkeberatan kalian tinggal pada Dipanala. Setiap saat jika kau ingin, datanglah. Dan jika aku me merlukan kau, aku akan me manggil. Jika kalian me merlukan sesuatu selama kalian berada di kota ini, katakanlah kepada Juwiring. Aku a kan berusaha untuk kalian, agar kalian tida k sia-sia berada di kota ini untuk beberapa hari. Mudah-mudahan kalian dapat melihat isi kota ini dan ke mudian kerasan tingga l di sini pula " "Terima kasih Pangeran. Hamba sangat berterima kasih atas kemurahan itu. Dan kini perkenankanlah ha mba berdua mohon diri" "Baiklah. Katakan kepada me merlukannya menghadap" Dipanala, bahwa aku
Demikianlah maka Arumpun minta diri pula, dan diantar oleh Juwiring mere ka pergi ke pondok Ki Dipanala, sedang Ki Dipanala sendiri dipanggil untuk menghadap Pangeran Ranakusuma.
Agaknya Pangeran Ranakusuma me mang menaruh perhatian atas kehadiran anak-anak muda itu, ternyata kepada Ki Dipana lapun dikatakannya agar keperluan anak-ana k muda itu dia mbilkannya dari Ranakusuman. Makan, minum dan kebutuhan mereka sehari-hari se la ma mereka berada di Surakarta. Dala m pada itu, ternyata Arum menjadi segan untuk me masuki hala man Ranakusuman. Baginya Rara Warih adalah sesosok hantu betina yang menakutkan. Sebenarnya ia sama sekali tidak takut kepada gadis itu, tetapi karena gadis itu puteri Pangeran Ranakusuma, maka ia tidak a kan dapat berbuat apa-apa. Dan keseganannya itulah yang menyiksanya. Namun, dalam kese mpatan lain, Arum senang sekali berjalan-jalan berkeliling kota Surakarta. Kadang-kadang mereka berdua saja dengan Buntal, na mun kadang-kadang mereka pergi bersa ma Ki Dipanala. Baik Arum maupun Buntal tidak mau me ngganggu Juwiring yang agaknya ikut menjadi sibuk di dala m istana ayahandanya menerima tamu yang masih saja berdatangan. Bukan saja dari Surakarta, tetapi juga dari te mpat-tempat yang jauh. Tetapi sebenarnya bagi Juwiring sendiri, kehadirannya di istana itu sangat menje mukannya. Setiap hari ia terikat oleh adat dan tata cara yang sudah lama dilupakannya. Apalagi meskipun tidak me maksa, ayahandanya selalu minta kepadanya untuk mengenakan pakaian yang lebih pantas bagi seorang putera Pangeran daripada pakaian petaninya itu. Meskipun de mikian, hubungannya dengan Rara Warih masih tetap selalu tegang. Rara Warih benar-benar tidak mau mendengarkan se mua nasehat ayahandanya. Meskipun setiap kali ayahandanya me mberitahukan hubungannya dengan Juwiring, Rara Warih selalu menundukkan kepalanya dan berdiam diri, tetapi sikapnya kepada Juwiring rasa-rasanya masih belum berubah.
Namun, ternyata bahwa sikap Rara Warih itulah yang telah semakin la ma se makin menebalkan niat Raden Juwiring untuk tetap tinggal di istana ayahandanya, meskipun ia tidak bermaksud meninggalkan padepokan Jati Aking sa ma sekali. Ia dapat hilir mudik setiap saat di antara kedua tempat yang dapat dicapai dengan berkuda itu. Sementara itu, Arum masih sela lu ingin melihat keadaan di dalam kota Surakarta. Setiap hari ia menyelusuri jalan yang belum dilewatinya. Ternyata Buntal yang pernah tinggal di kota itu masih juga mengenal beberapa bagian dari jalan-jalan yang ramai. "Me mang menyenangkan t inggal di te mpat yang ra mai ini" desis Arum "Sebenarnya aku kerasan tingga l di kota. Tetapi tidak di rumah ka kang Juwiring. Adiknya terlalu keras kepala dan sombong" "Mungkin di dala m sepekan dua pekan, kau kerasan tinggal di kota ini. Tetapi jika kita sudah terlibat di dala m persoalan hidup dan kehidupan, kita akan merasakan, betapa pahitnya hidup di kota, justru dinegerinya sendiri" "Kenapa?" Buntal tidak menjawab. Tetapi dilihatnya sebuah kereta yang berderap kencang mela mpaui mereka berdua. "Kau lihat, siapa yang ada di dala m?" "Ya, Orang asing"
"Nah, orang-orang asing itu semakin la ma menjadi se makin banyak berada di Sura karta" "Ya. Satu dua aku sudah melihatnya. Mereka me mbawa pedang panjang di la mbung" "Mereka adalah prajurit-prajurit" "Apakah mereka juga ma mpu berkelahi dengan pedangnya itu?" "Ya, mereka adalah orang-orang yang mengenal tata berkelahi dengan baik. Mereka dapat me mpergunakan pedangnya dengan sempurna menurut ilmu yang mereka pelajari" "Darimana kau tahu?" "Aku pernah me lihat mereka me mperlihatkan ke ma mpuannya di da la m suatu perte muan para bangsawan. Meskipun agaknya mereka sedang bergurau, namun aku me lihat bagaimana mereka me mperguna kan pedang. Tetapi waktu itu a ku masih terlalu bodoh untuk menilai" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia bertanya "He, bukankah kau waktu itu masih terlalu bodoh untuk menila i. Kenapa kau dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka cakap bermain pedang?" "Aku masih ingat, bagaimana mereka menggerakkan pedang itu. Tetapi sayang, bahwa mereka me mpercayakan ke ma mpuannya pada kecepatan tangannya. Mereka hampir tidak me manfaatkan kakinya selain bergeser selangkah de mi selangkah, maju dan mundur" jawab Buntal. Arum mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya "Apakah menurut kesimpulanmu, ilmu pedang yang kita pelajari me mpunyai ke lebihan?" "Aku tidak berkata begitu, tetapi kita me manfaatkan kecepatan gerak kaki selain tangan kita. Kita berloncatan
sambil mengayunkan pedang. Tetapi orang-orang asing itu sekedar bergeser untuk menghadapi lawannya yang berputar sekalipun" "Mereka pandai menghe mat tenaga" "Tetapi mereka akan bingung menghadapi lawan yang lincah tangan dan kakinya. Apalagi apabila di samping pedang, tiba-tiba saja kita menyerang dengan kaki" "Itu dugaanmu. Bukankah kau masih terlalu bodoh waktu itu?" Buntal tersenyum sa mbil mengangguk "Ya. Aku masih terlalu bodoh waktu itu" Demikianlah mere ka berbicara tentang kota, orang-orang asing, dan tentang hidup yang semakin sulit. Bahkan di jalanjalan kota itupun mereka sering berpapasan dengan orangorang yang berpakaian lebih jelek lagi dari paka ian-pakaian petani di padukuhan Jati Sari. "Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin" berkata Buntal "Mereka bekerja sehari untuk hidup mereka sehari. Dan bahkan kadang-kadang tidak mencukupi. Apalagi yang me mpunyai keluarga yang besar. Upah yang mereka terima tidak seberapa banyak, sedang mereka harus bekerja sejak matahari terbit sa mpai matahari terbenam di bawah anca man dan bentakan-bentakan yang kasar, lebih kasar dari petanipetani" Arum me mandang Buntal dengan kerut-merut di kening. Dengan nada yang tinggi ia bertanya "Tetapi rumah kakang Juwiring itu dihiasi dengan Barang-barang yang nilainya tidak terhitung. Apakah mereka t idak dapat me mberikan satu dua maca m Barang-barang yang seolah-olah tidak berguna itu untuk menolong orang-orang miskin. di rumah kakang Juwiring, Barang-barang itu sekedar untuk hiasan. Tetapi bagi orang-orang yang berbaju koyak itu, nilainya tentu besar
sekali. Barang-barang itu dapat ditukar dengan pakaian yang utuh meskipun tidak usah yang mahal" "Itulah kehidupan di kota, Arum. Orang-orang kota seakanakan tidak saling berhubungan yang satu dengan yang la in. Seandainya ada orang yang kelaparanpun, orang-orang kota tidak me mpedulikan lagi. Yang seorang kaya raya dan berlebih-lebihan, sedang yang lain miskin dan lapar" "Tentu tida k begitu" "Kenapa tidak?" "Aku me lihat seorang penge mis" "Ya. di sini banyak penge mis" "Jika tidak ada orang yang mau berbe las kasihan, tentu tidak akan ada penge mis" Buntal menarik nafas. Jawabnya "Jalan pikiranmu benar. Tetapi apakah artinya belas kasihan yang sepotong-sepotong itu" Dengan me mberi sedekah sekedarnya, sebenarnya hampir tidak berarti apa-apa bagi penyelesaian masalahnya" "Aku tida k mengerti" "Mereka masih tetap kaya raya dan orang-orang miskin tetap miskin" "Jadi apa yang harus mereka lakukan untuk menolong orang-orang miskin?" "Pertama-tama tentu menolak kedatangan orang-orang asing yang semakin la ma se makin berkuasa dibumi Surakana. Mereka ternyata telah menghisap kekayaan lanah ini. Kemudian me ncari sebab ke miskinan yang se makin menjalar ini. Ketiadaan kerja dan penghisapan yang bukan saja dilakukan oleh kumpeni, tetapi juga oleh penjilat-penjilat itu" Arum me ngerutkan keningnya.
"Mereka benar-benar telah lupa untuk bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah diberikan kepada mereka, mereka lupa untuk me mberikan sebagian kecil dari harta mereka kepada orang miskin. Harta itu adalah titipan dari Tuhan, akan datang masanya, harta-harta tersebut akan diambil ke mba li olehNya" Arum kini mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Mereka lebih me mentingkan diri mereka sendiri. Ayah memang pernah mengatakannya, bahwa hidup kita masa kini sudah banyak ditemukan perbuatan-perbuatan manusia yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, mereka sudan mengingkari Tuhannya" "Kata-kata ayah itu benar. Dan kita dapat melihat lebih jelas pada kehidupan orang-orang kota daripada di padukuhan" Arum tidak menyahut. Tetapi ia tertarik kepada beberapa anak-anak muda yang berkuda di jalan kota. Ternyata mereka adalah anak-anak muda yang cukup menguasai kuda masingmasing. Menilik sikap dan pakaian mereka, maka mereka tentu bangsawan-bangsawan muda. Ternyata pula satu dua orang yang sudah mengenal mere ka menganggukkan kepala dalam-da la m. "He, mereka adalah bangsawan-bangsawan" desis Arum "Apakah kita harus berjongkok?" "Agaknya tidak. Mereka bukan para Pangeran" "Dari mana kau mengetahui?" "Orang-orang yang sudah mengenal mereka t idak berjongkok" desis Buntal "sebenarnya terhadap para Pangeranpun kita t idak perlu berjongkok, apalagi di kota" Arum me ngangguk-angguk. Tetapi ia tida k menjawab. Namun Arum menjadi berdebar-debar ketika salah seorang dari anak-anak muda yang naik kuda itu me mandangnya
dengan tajam. Bahkan ke mudian tersenyum sa mbil berkata "He, tentu gadis itu yang pernah disebut-sebut oleh kamas Rudira, putera pamanda Pangeran Ranakusuma" Yang lain me mandang Arum dengan kerut merut di kening. Salah seorang dari mereka bertanya "Darimana kau tahu?" "Aku pernah me lihat mereka berdua di depan regol istana pamanda Pangeran Ranakusuma bercakap-cakap dengan kamas Juwiring. Sikapnya dan tingkah lakunya menunjukkan bahwa keduanya sudah terlampau biasa bergaul dengan kamas Juwiring. Bukankah seperti yang dikatakan orang, kamas Juwiring datang ke istana ayahandanya dengan me mbawa dua orang anak Jati Aking. Yang seorang di antaranya adalah Arum. Yang dahulu sering disebut-sebut oleh ka mas Rudira" Arum yang juga mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Sepercik warna merah me mbayang di wajahnya yang me mang ke merah-merahan oleh terik matahari yang setiap hari menyengatnya apabila ia berada di tengah sawah. Sedang Buntal yang berada di sampingnya menjadi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia mencoba untuk meyakinkan, apakah pendengarannya itu benar. Sementara itu, anak-anak muda itupun tidak hanya sekedar menyebut na manya, tetapi mereka telah mendekati kedua anak-anak Jati Aking itu. Salah seorang dari ana k-anak muda yang berada di punggung kuda itu berkata puli setelah ia menjadi sema kin dekat "Pantas kamas Rudira tergila-gila kepada gadis ini semasa hidupnya. Ia me mang cantik se kali. Sayang jika ia masih saja hidup di padepokan terpencil itu" Kata-kata itu benar-benar telah menggetarkan hati kedua anak-anak padepokan Jati Aking. Na mun Buntal masih tetap menyadari dirinya sehingga diga mitnya Arum yang ha mpir saja menyingsingkan ka innya dan me loncat menyerang.
"Tahanlah sedikit hatimu Arum" bisik Buntal "Kita seakanakan berada di daerah asing" Arum menarik nafas dala m-dala m, seolah-olah ingin mengendapkan batinya yang bergejolak. Desisnya "Tetapi mereka menghina kita" "Biarlah apa yang akan dikatakannya. Mereka adalah anakanak bangsawan. Jika kita terlibat dalam pertengkaran dengan mereka ma ka kita akan mendapatkan kesulitan" "Apakah bangsawan dapat berbuat sekehendak hatinya?" "Tentu tida k" "Kenapa kau paksa aku menahan hati?" Tetapi Buntal tidak se mpat menjawab. Iring-iringan beberapa anak muda berkuda itu sudah berada di hadapan mereka. Seorang dari mereka yang ada di paling depan tersenyum sambil bertanya "He, bukankah kau berna ma Arum " Arum me mandang anak muda itu dengan tajamnya. Hampir saja ia lupa bahwa ia berhadapan dengan beberapa orang anak bangsawan. Dan ketika ia me nyadarinya, maka iapun segera menundukkan kepalanya. "Anak itu adalah adikku Raden" berkata Buntal ke mudian. "O" desis salah seorang anak-anak muda diatas punggung kuda itu "Tetapi bukankah benar ana k itu berna ma Arum?" "Raden benar. Anak itu berna ma Arum" "Dan bukankah anak itu yang sering disebut-sebut oleh kamas Rudira se masa hidupnya?" "Aku tidak tahu Raden Tetapi tentu bukan anak padesan seperti ka mi" "Kalian datang dari Jati Aking?"
"Ya Raden. Ka mi datang dari Jati A king" "Kalian kenal dengan ka mas Rudira dan ka mas Juwiring?" "Ka mi mengenal kedua-duanya Raden" "Kalau begitu, kita pasti" berkata salah seorang dari mereka kepada yang lain "gadis itu me mang cant ik" "Lalu bagaimana jika gadis itu cantik?" bertanya yang lain. Anak muda itu tersenyum. Katanya "Sayang kamas Rudira sudah meningga l. Jika ia masih hidup, maka nasibku akan menjadi se makin ba ik. Bukan saja menjadi gadis padepokan tempat ka mas Juwiring terasing, tetapi mungkin kau akan menjadi selir ka mas Rudira " Darah Arum serasa mendidih mendengar ke lakar yang menyakit kan hati itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Buntal, sebaiknya ia menahan hati. "Tetapi meskipun ka mas Rudira sudah meninggal, mungkin kamas Juwiring mau menga mbilmu menjadi selir ya?" ejek yang lain. Terasa dada Buntalpun terguncang. Ia sadar, bahwa seharusnya ia menahan hati seperti yang dikatakannya kepada Arum. Tetapi ketika ia mendengar na ma Juwiring yang dihubungkan dengan Arum, terasa dadanya bergetar. "He m" untunglah bahwa ia masih tetap sadar. Katanya di dalam hati "hatikulah yang telah dikotori oleh nafsu" "He, cah Jati Aking" salah seorang dari mereka hampir berteriak "Baga imana jika kau ikut a ku saja" Aku juga putera seorang Pangeran. Kau akan menjadi selirku. Jangan takut aku sia-siakan. Jika sa mpa i saatnya kau dapat aku berikan sebagai seorang triman kepada pembantu ayahandaku, seorang Lurah Istana yang masih muda" Dada Arum ha mpir-ha mpir saja menjadi retak. Apalagi ketika dengan sudut matanya ia melihat beberapa orang
Munculnya Ratu Siluman Darah 1 Pendekar Bloon 3 Pemikat Iblis Petaka Kuil Tua 2
^