Pencarian

Bunga Di Batu Karang 17

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 17


me mandang hal itu dari kejauhan, seakan-akan mereka menonton sebuah pertunjukan yang menyenangkan. Tiba-tiba saja salah seorang dari anak-anak bangsawan itu maju se makin de kat. Dari atas punggung kuda, tanpa didugaduga tangannya terjulur menyentuh dagu Arum. Sentuhan itu benar-benar telah melenyapkan segala pertimbangan. Apalagi ketika ke mudian terdengar suara tertawa yang meledak. Tetapi suara tertawa itu tiba-tiba saja terputus, ketika Arum tanpa dapat mengenda likan dirinya lagi menangkap tangan itu dan menghentakkannya keraskeras. Anak muda yang ada di atas punggung kuda itu sama sekali tida k menduga, bahwa gadis itu akan berbuat demikian. Karena itu ma ka ia sama sekali tidak bersiap untuk me mpertahankan keseimbangannya. Hentakan itu telah menyeretnya dan me mbantingnya di tanah. ternyata
Semua orang yang menyaksikan ha l itu terkejut bukan buatan, Gadis itu adalah seorang gadis petani, sedang anakanak muda yang berkuda itu adalah anak-anak bangsawan. Selain daripada itu, merekapun heran melihat kekuatan gadis padesan yang telah menyeret seorang anak muda yang gagah dari atas punggung kuda dan terjerembab di tanah.
Buntalpun terkejut bukan buatan. Sekilas ia menjadi bingung, na mun segera ia sadar, bahwa tentu akan terjadi sesuatu atasnya dan atas Arum. Sebenarnyalah bahwa perbuatan Arum itu telah menggetarkan dada para bangsawan muda itu. Serentak mereka meloncat turun. Beberapa orang di antara mereka menolong anak muda yang terjerembab dan bahkan berdarah pada hidungnya itu. "Kau gila" bentak salah seorang dari ana k-anak muda itu "Apakah kau sadari, apa yang kau lakukan?" Arum menjadi bingung. Tetapi ia sudah terlanjur me lakukannya. Dan ia tidak mau dihinakan seperti gadis liar di sepanjang jalan. Karena itu, jika harus terjadi sesuatu atasnya, apaboleh buat. Tubuhnya me mang tida k dibiarkan disentuh oleh orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. "Maaf Raden" Buntal agaknya masih berusaha untuk menge kang diri "Sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh adikku itu di luar sadarnya. Ia terkejut karena hal yang serupa belum pernah diala minya, sehingga karena itu ia telah berbuat sesuatu di luar sadarnya. Sebagai seorang gadis, tentu ia tidak akan mungkin dapat berbuat de mikian jika tidak terdorong oleh perasaan terkejut, atau bahkan ketakutan yang amat sangat" "Kenapa ia menjadi takut" Apakah yang sudah dilakukan oleh Dimas itu" Ia hanya menyentuhnya. Lebih daripada itu tidak" "Raden benar. Dan sentuhan itulah yang sangat ditakutinya. Kami selalu dibayangi oleh batasan-batasan hidup yang ketat di padukuhan ka mi. Ka mi tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis kita masing-masing jika tidak ada hubungan apapun juga. Itulah sebabnya sentuhan itu sangat
menakutkannya, karena hukumannya bukan sekedar hukuman badani, tetapi kecemasan rohani yang a kan berkepanjangan" "Omong kosong" bentak anak muda itu "Kalian telah dengan sengaja melawan para bangsawan. Aku tahu, kalian sudah diracuni oleh perasaan yang tidak berpijak pada kebenaran dan kenyataan. Kalian diracuni oleh pikiran seolaholah para bangsawan itu bertindak menurut kehendaknya sendiri. Dan racun itulah yang me mbuat ka lian berani menentang ka mi" Buntal menjadi se makin berdebar-debar. Jawabnya "Tidak Raden yang terjadi benar-benar suatu kebetulan tanpa disadari" "Dengar anak padesan" bentak anak muda itu "Tidak ada yang dapat menentang kehendak kami. Ka mi dapat berbuat baik jika ka mi kehendaki. Tetapi ka mi juga dapat berbuat kasar. Kami dapat berbuat apa saja berdasarkan atas kedudukan ka mi. Jika ka mi kehendaki, ka mi dapat menga mbil adikmu itu tanpa alasan. Orang di kota inipun t idak berani menentangnya. Bahkan mere ka akan berbangga jika salah seorang keluarganya ka mi kehenda ki untuk menjadi selir-selir kami. Apalagi orang padesan seperti kalian. Dan karena kalian sudah melakukan kesalahan, maka terpakai atau tidak terpakai, kami menghendaki Arum" Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan hati Buntal. Betapa pun ia menahan hati, na mun rasa-rasanya jantungnya sudah mulai tersentuh ujung duri. Apalagi oleh dorongan perasaan yang kurang dikenalnya sendiri, telah me mbuatnya terbakar ketika ia men dengar bahwa anak-anak muda itu ingin me mbawa Arum. Sebelum sempat menjawab Buntal mendengar anak muda itu berkata "Jangan me mbantah. Kau lihat, kita dikelilingi oleh banyak orang yang mengutuk ke lakuan gadis ini. Jika ka lian mencoba berbuat sesuatu, melarikan diri misalnya, orangorang itu akan serentak mengejar kalian seperti mengejar
pencuri. Apalagi jika kalian bertemu dengan sekelompok prajurit, dan aku menyerahkan Arum kepada mereka, akibatnya, kalian akan menyesal seumur hidup" Dada kedua anak-anak Jati Aking itu sudah terbakar. Benarkah yang terjadi harus de mikian" "Jangan me mbantah lagi" bentak seorang anak muda yang lain. "Ikut ka mi" berkata yang la in lagi. "Akulah yang akan me mbawanya pulang" berkata anak muda yang hidungnya berdarah "Aku me merlukan obat nyeri di hidungku ini. Meskipun agaknya gadis ini agak liar, tetapi aku akan me nundukkannya" Buntal sudah kehilangan kesabarannya. Karena itu maka katanya "Raden, maafkan kami jika ka mi terpaksa menolak keinginan yang tidak sesuai dengan nurani kami, adat kami dan terutama kepercayaan kami. Perbuatan semaca m itu adalah dosa. Dan kami tidak akan me mbiarkan diri ka mi me lakukannya" "Dia m" bentak anak muda yang hidungnya terluka "Ka lian tidak wenang me mbantah" "Jadi inikah kebenaran dan kenyataan yang Raden katakan" Inikah pertanda bahwa a kulah yang sudah dibius oleh racun kebencian tanpa alasan seolah-olah para bangsawan bertindak aas kehendak sendiri tanpa menghiraukan perasaan ka mi?" "Tutup mulutmu" Anak muda yang lain berteriak "ini adalah hukuman atas kebiadaban gadis itu. Ia harus diajar untuk sedikit me ngenal adab dan sopan santun" Buntal sudah tidak ma mpu lagi menahan hati. Wajahnya menjadi merah dan tangannya gemetar. Tetapi karena ia masih tetap sadar, maka pergolakan di dala m dadanya itu
me mbuatnya bagaikan terbakar. Dengan de mikian justru mulutnya menjadi seakan-akan terbungka m. Dala m pada itu, Arum sendiri sudah kehilangan pengendalian diri, sehingga meskipun ia tidak berkata apapun juga, namun apabila seseorang berani menyentuhnya, maka ia akan melawan apapun yang akan terjadi atasnya kemudian. Namun agaknya anak-anak muda itupun telah benar-benar marah. Seorang yang paling kekar di antara mereka maju beberapa langkah sambil berkata kepada anak muda yang hidungnya berdarah "A mbil anak ini, dan bawa ke mana kau suka. Jika orang tuanya menuntut, maka ia akan digantung di alun-alun sebagai pertanda bahwa ia sudah melawan kekuasaan Surakarta" Anak muda yang hidungnya berdarah menya mbung "Jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan menyiksa dirimu" Tetapi ketika anak muda yang hidungnya berdarah ia me langkah maju, maka Arumpun segera bersiaga. "He, apakah yang akan kau lakukan?" Arum menggeretakkan giginya. Meskipun ia mengenakan kain panjang yang ketat karena ia tidak mengira bahwa ia akan menghadapi persoalan itu, namun tangannya telah siap untuk berbuat sesuatu jika diperlukan. "Apakah kau gila?" anak muda yang hidungnya berdarah itu menggera m. Arum masih tetap berdia m diri. Tetapi ia tetap bersiap untuk berkelahi. Dan setiap orang me lihat sikapnya itu. Sehingga dengan de mikian orang-orang yang berkerumun meskipun tidak berani me ndekat, menjadi heran. "Apakah gadis ini sudah gila?" Mereka bertanya kepada-diri sendiri.
Anak muda yang berdarah hidungnya itu menjadi termangu-mangu. Na mun yang bertubuh kekar itupun ke mudian berkata "Jika ia. me lawan, ikat ia pada kuda mu. Biarlah anak laki-la ki yang sombong itu menjadi urusanku. Dimas t idak usah menghiraukannya" Darah Buntalpun bagaikan sudah mendidih sa mpai ke ubun-ubunnya. Karena itu ia berkata "Ba iklah, jika Raden me mang ingin mengala minya. Aku terpaksa me mpertahankan diri" "Bagus" teriak yang bertubuh kekar "Kau a kan menyesal. Ayah ibumu akan menyesal, dan seluruh padepokanmu akan menyesal" Buntal tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara, yang lain, yang telah mengejutkan setiap orang yang ada di tempat itu. Ternyata seorang anak muda telah datang mende kati lingkaran pertengkaran itu. Meskipun ia berkuda, tetapi karena kuda. itu berjalan perlahan-lahan, dan semua perhatian dipusatkan kepada, mereka yang sedang bertengkar, maka kedatangan anak muda berkuda itu telah mengejutkan. Apalagi tiba-tiba saja ia berkata "inikah t ingkah laku anak-ana k muda di Surakarta" Anak-anak muda yang sedang mengerumuni Buntal dan Arum itu me mandanginya sejenak. Lalu anak yang bertubuh kekar itupun menjawab "Ia berani menentang kekuasaanku di sini" "Apakah kau sudah mencoba mencari sebabnya, kenapa ia menentang kekuasaanmu?" anak muda itu bertanya "dan apakah sebenarnya kekuasaan itu me mang ada pada kalian" Kalian harus me mpunyai dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa kalian me mpunyai ke kuasaan" "Aku seorang putera Pangeran" jawab anak muda yang bertubuh kekar "sedang mereka ada lah anak-anak padesan" "Lalu?"
"Mereka tida k saudaraku"
berhak melawan a ku dan saudara- "Aku tida k me mbiarkan mere ka jatuh ke tanganmu" "Aku anak seorang Pangeran. Aku berhak menga mbilnya" "Hak itu sebenarnya tidak ada. Jika hak itu ada, maka akupun juga berhak" "Tetapi, tetapi . . " anak yang hidungnya berdarah itu menyahut. Namun ana k muda di atas punggung kuda itu me motong "Aku tahu. Kalian akan menyebut ibuku. Tetapi aku tahu, bahwa ada di antara kalian yang beribu sederajad dengan ibuku. Bahkan di bawahnya. Tetapi yang penting, aku adalah putera seorang Pangeran dengan sah. Ayahandaku adalah seorang Panglima. Nah, kalian mau apa. Jika kalian menghenda ki, aku juga berani berkelahi melawan ka lian. Satu demi satu, atau bersama-sama. Jika kalian ingin me ma merkan kekuasaan ayah kalian, akupun dapat mengatakan bahwa pangkat ayahandaku lebih tinggi dari pangkat ayah kalian di dalam kedudukannya sebagai Panglima. Nah, apalagi" "Gila. Apakah ka mas Juwiring menghendaki gadis itu?" "Aku tidak berkata begitu" jawab anak muda di atas punggung kuda itu "Tetapi ketika aku me ndapat laporan tentang tingkah laku kalian, maka aku harus bertanggung jawab, Akulah yang me mbawa mereka ke mari" Juwiring berhenti sejenak, lalu "dan seandainya kalian bukan putera Pangeran, maka kalian akan menyesal, sebab laki-la ki padepokan itu ma mpu me mbuat kepa la mu bengkak. Apakah kau tidak percaya?" "Aku tida k percaya" "Kau ingin mencoba?" Anak yang kekar itu termangu-mangu sejenak, lalu katanya "Aku akan me mbuktikan bahwa aku tidak sekedar berdiri
bersandar kekuasaan ayahanda. Tetapi jika perlu aku dapat me milin lehernya. Atau barangkali me matahkan tangannya" "Benar begitu?" "Aku pasti" "Kita lihat, apakah di dalam keadaan yang sama kau benarbenar dapat berbuat seperti yang kau katakan" "Persetan. Aku ingin mencobanya" Juwiring mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Buntal yang masih termangu-mangu. Sebenarnyalah, bahwa Buntal dicengka m oleh kebimbangan yang da la m. Ia tidak biasa melihat sikap yang angkuh pada Juwiring. Na mun tiba-tiba anak muda itu benarbenar seorang anak muda yang angkuh dan tinggi hati. Bahkan ia telah menyebut-nyebut kekuasaan yang ada pada ayahandanya, salah seorang Panglima di Surakarta. "Baiklah" berkata Juwiring kemudian "Tetapi aku minta jaminan, bahwa ka lian t idak a kan licik" "Maksudmu?" "Apabila kalian ka lah, kalian harus mengaku kalah, dan tidak me mperpanjang persoalan ini. Tetapi jika ka lian ingkar, maka akulah yang akan mengambil alih persoalan ini dari anak muda Jati Aking itu" "Aku bukan pengecut" teriak ana k muda bangsawan itu. "Bagus" berkata Juwiring "Kita akan bertemu sore nanti saat matahari terbenam di pinggir Bengawan. Setuju?" Sejenak anak-anak muda bangsawan itu termangu-mangu. Namun anak muda yang kekar itu ke mudian menyahut "Bagus. Aku akan pergi ke tepi Bengawan di tikungan di bawah bendungan. Aku akan me mbuktikan bahwa aku tidak hanya dapat sekedar berbicara dan menakut-nakuti. Tetapi
aku me mperingatkan sebelumnya, jangan menyesal apabila terjadi sesuatu atas anak padesan itu" "Aku yang bertanggung jawab. Jika ia sakit, akulah yang akan me manggil tabib. Jika kakinya patah, biarlah aku berusaha me mulihkannya" "Bagus. Datanglah. Kita akan me lihat siapakah yang hanya sekedar bisa berbicara tanpa berbuat sesuatu" Anak muda itu tida k menunggu jawaban Juwiring. Iapun segera meloncat ke punggung kudanya. Demikian juga kawankawannya yang lain, sedang anak muda yang hidungnya berdarah itupun dengan susah payah telah berada di punggung kudanya pula. "Sore nanti tulang-tulang iga mu akan rontok anak yang dungu" geram anak muda yang kekar itu ketika kudanya lewat dekat sekali di hadapan Buntal "Dan kali ini adalah kali yang pertama dan terakhir kau melihat kota Sura karta" Buntal tida k menjawab. Dibiarkannya saja kuda-kuda itu lewat hampir menginjak kakinya. Tetapi agaknya iapun sudah dijalari oleh keangkuhan Juwiring, sehingga ia tidak mau bergeser sama sekali dari te mpatnya. Berbeda dengan Buntal, Arumlah yang bergeser di belakang. Buntal. Ia tidak mau ana k-anak muda yang sedang pergi itu menyentuhnya lagi, agar ia tidak usah me mbantingnya lagi. Sejenak ke mudian ma ka bangsawan-bangsawan muda itu meninggalkan. Buntal dan Arum. Kuda-kuda merekapun ke mudian berlari-larian di jalan, kota, sehingga orang-orang yang melihat pertengkaran itu dari kejauhan segera berlarilarian me mencar. Sepeninggal anak-anak muda itu, maka Juwiringpun ke mudian mendekati Buntal. Sambil tersenyum, ia berkata "Maaf. Aku telah me mbuat perjanjian sebelum aku berbicara
dahulu dengan kau. Tetapi menghadapi anak-anak bengal itu kadang-kadang kitapun harus bersikap bengal" Buntal menarik nafas dalam-dala m, sementara Arum bertanya "Jadi, menurut perjanjian itu, kakang Buntal harus berkelahi di pinggir Bengawan sore nanti?" "Ya" "Kau yakin bahwa kakang Buntal tidak akan cedera?" "Aku mengenal bangsawan-bangsawan muda yang hanya pandai berbicara itu. Mereka tidak akan berbahaya bagi kalian" "Tetapi sebaiknya bukan kakang Buntal. Karena persoalannya berkisar karena kehadiranku, maka biarlah aku saja yang akan berkelahi me lawan mereka" "Ah, jangan. Bagaimanapun juga. mereka me miliki banyak akal untuk me maksa kan ke inginannya. Sebaiknya kau tidak usah datang sore nanti" "Aku akan datang" Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu "Kita tidak tahu apakah mereka tidak ingkar kepada kejantanan yang mereka sebut-sebut itu. Jika mereka menjadi licik, dan me mbawa beberapa orang pengawal seperti Rudira yang setiap kali me mbawa Sura dan ke mudian Mandra, ma ka persoalannya akan berbeda" "Tetapi aku dapat menjaga diriku sendiri" "Ke ma mpuan seseorang terbatas Arum. Sedang jumlah mereka t idak terbatas" Arum masih akan menyahut. Tetapi Juwiring berkata "Sudahlah. Ke mbalilah ke pondok pa man Dipanala. Nanti aku akan datang ke pondok itu. Kita dapat berbicara lebih tenang. Sekarang kita sedang menjadi tontonan orang"
Barulah Arum menyadari keadaannya. Ketika ia me mandang berkeliling, ternyata masih banyak orang yang mengawasinya dari kejauhan. Karena itu maka katanya "Me mang sebaiknya kita ke mbali saja" Dengan tergesa-gesa Arum dan Buntalpun ke mudian meninggalkan tempat itu. De mikian pula Juwiring yang berkuda itu. Di sepanjang jalan Arum masih saja mengumpat-umpat dan beikata kepada Buntal "Aku yang akan berke lahi. Mereka harus tahu, bahwa aku bukan perempuan liar yang dapat dengan seenaknya dijadikan selir-selir seperti yang disebutsebutnya itu" Buntal tidak menyahut. Ia tahu benar sifat Arum. Jika ia me mbantah, Arum dapat saja tiba-tiba berteriak di pinggir jalan. Karena itu, maka Buntal berjalan saja sa mbil berdia m diri. Hanya sekali-sekali ia berdesis sambil menganggukkan kepalanya. "He, kau tida k mau mendengarkan?" "Aku mendengar" "Kenapa kau dia m saja" Kau tidak setuju" "Bukan aku t idak setuju Arum, tetapi sebaiknya kita berbicara di rumah pa man Dipanala" "Apa salahnya kita berbicara sambil berjalan?" "Nanti kita menjadi tontonan lagi" Arum me mandang berkeliling. Tida k banyak orang yang dijumpainya di ja lan itu. Na mun jika ia bertengkar dengan Buntal ma ka orang-orang itu tentu akan berkerumun dan menonton. Karena itu Arumpun ke mudian terdiam meskipun hatinya menjadi jengkel se kali.
Demikianlah, ketika. mereka sudah berada di rumah Ki Dipanala, maka merekapun mulai me mbicarakan persoalan yang sedang mereka hadapi. Setiap kali Juwiring mencegah, maka Arumpun me njadi sema kin bernafsu untuk ikut pergi kepinggir Bengawan. Juwiring sudah la ma mengenal Arum. Bahkan ayahnyapun kadang-kadang sulit untuk mencegah gadis itu. Karena itu, maka Juwiringpun ke mudian berkata "Terserah kepada mu Arum. Tetapi jika kau me mang ingin ikut bersama ka mi, kau harus sudah bersiap me nghadapi setiap ke mungkinan" "Ya. Aku sudah siap" jawab Arum, na mun ke mudian "Tetapi, kenapa kakang Juwiring menyerahkan hal itu kepadaku. Bagaimana sikap kakang sebenarnya?" "Ya terserah kepada mu. Sebenarnya aku berkeberatan" "Kenapa" Aku sudah menjelaskan bahwa aku sudah siap menghadapi apapun" "Karena itu, terserah saja kepadamu" "Jangan terserah. Jika kakang, eh, Raden mengijinkan aku akan pergi" "Jika tida k" "Apakah alasannya. Aku bukan anak-anak menggantungkan diriku kepada selendang ibunya" yang
"Ah, sudahlah Arum. Me mang susah berbicara dengan kau. Jika aku berkata terserah, kau tidak puas. Jika aku melarang kau me maksa. Tetapi jika aku berkata "Baik, kita akan pergi Kau sangka a ku sekedar me muaskan hatimu saja" Wajah Arum menjadi tegang. Namun ketika ia me mandang wajah Buntal yang tidak dapat menahan senyumnya, Arumpun tanpa sengaja telah tersenyum pula. Tetapi ketika ia sadar, maka iapun tiba-tiba me ncubit Buntal dengan tangan kiri dan
Juwiring dengan tangan kanannya, terlonjak dari tempat duduknya.
sehingga keduanya "Jadi bagaimana, bagaimana " desisnya "terserah saja. Aku tidak mau berbicara" "Sudahlah" berkata Juwiring "Jika kau mau pergi, pergilah. Tetapi nanti dulu, jangan me mbantah. Aku tidak sekedar me muaskan hatimu. Kau sudah cukup dewasa menghadapi keadaan. Karena itu, jika kau berkeras untuk ikut serta, maka kaupun sudah yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa atasmu" Arum t idak menyahut. Tetapi wajahnya jadi sura m. Juwiring yang melihat wajah itupun menarik nafas dalamdalam. Dan seperti biasanya, iapun tidak lagi me mpersoalkannya dengan Arum. "Kau dapat me maka i kuda yang ada di kandang hala man rumah ayahanda Pangeran, Buntal. Datanglah sebelum senja. Aku akan datang lebih dahulu agar aku dapat melihat, apakah tidak akan ada kecurangan yang berbahaya" "Baiklah Raden" jawab Buntal "sebenarnya aku tidak ingin berkelahi. Tetapi mereka telah me maksa aku berbuat demikian" "Sekali-sekali bangsawan-bangsawan muda itu me mang harus mendapat peringatan, agar lain kali ia sedikit menghargai orang lain" "Kau juga bangsawan seperti mereka " guma m Arum. Juwiring yang sedang tegang itu justru tersenyum. Jawabnya "Bangsawan yang tercecer dari lingkungannya" "Salahmu. Jika kau ingin bergabung dengan mereka, maka kau dapat berbuat apa saja, karena kau me miliki ilmu kanuragan yang melebihi mereka. "Ah"
"Seenaknya saja mereka menyebut tentang perempuan. Jangankan menjadi selir, menjadi isteri bangsawan yang sahpun aku tidak ma u. Aku menyadari bahwa aku seorang padesan. Anakku akan tersia-sia meskipun ayahnya seorang bangsawan" Juwiring me ngerutkan keningnya, sementara Buntal mengga mit gadis itu. Tetapi Arum tidak me nyadari kekeliruannya, bahkan ia bertanya dengan nada kesal "Apa. Kau akan berkata apa?" Buntal menundukkan kepalanya. Sedang Arum masih akan berbicara terus. Tetapi tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya wajah Juwiring yang mura m me mandang ke kejauhan. "O" Arum terhenyak. Barulah ia sadar, bahwa kata-katanya telah menusuk hati Juwiring justru karena Juwiring menga la minya. Meskipun ibunya bukan orang padesan, dan bahkan juga keturunan bangsawan, namun tida k sederajad dengan isteri-isteri Pangeran yang lain, maka ia menga la mi suatu tekanan perasaan yang berat, apalagi ia me mpunyai seorang ibu tiri seperti Raden Ayu Galih Warit. "Maaf Raden" desis Arum dengan nada yang dala m "Bukan maksudku menyinggung perasaanmu" Juwiring tersentak. Kemudian menggeleng-ge lengkan kepalanya. Katanya "Tidak. Tidak apa-apa. Aku baru berangan-angan tentang bengawan itu" Arum tida k menjawab lagi. Ia merasa bersalah, bahwa kata-katanya sedikit terdorong sehingga aga knya telah menyentuh dasar hati Juwiring yang me mang sudah terluka itu. "Sudahlah. Jangan berbicara apa-apa lagi. Kita bertemu nanti di pinggir bengawan. Anak-anak itu adalah anak-anak yang pantas mendapat peringatan"
Buntal dan Arum hanya sekedar menganggukkan kepalanya saja. Mereka tidak mau mena mbah goresan pada luka di hati Juwiring. Demikianlah, maka Juwiringpun ke mudian minta diri. Namun agaknya masih ada sesuatu yang tersangkut di hati Buntal sehingga ketika mereka sudah berdiri di hala man, anak muda itu justru bertanya "Raden, sebenarnya aku tidak mengerti. Apakah bangsawan-bangsawan muda itu ga mbaran dari Surakarta yang akan datang" Bukankah mereka kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda mereka di dalam pemerintahan?" Juwiring mengerutkan keningnya. "Aku pernah mengena l Raden Rudira. Tetapi ternyata ia tidak berdiri, sendiri dala m sikapnya. Ada beberapa orang yang bersikap seperti Raden Rudira itu. Dengan demikian, aku menjadi ce mas melihat ga mbaran negeri ini di masa mendatang, yang dekat. Anak-anak muda yang berkeliaran dan justru mereka tidak me miliki i! mu yang cukup" "Tida k Buntal. Bukan itu ga mbaran masa mendatang. Kita masih me mpunyai harapan bahwa di antara bangsawanbangsawan muda, apakah ia keturunan pertama atau kedua dari pe megang kekuasaan di Surakarta kini, masih ada yang tetap menyadari tugasnya. Kita mengenal beberapa nama yang dapat diharapkan. Baik dari sikap, perbuatan dan ilmu yang mereka miliki. Kita berharap bahwa mereka akan mendapat kese mpatan untuk me merintah negeri ini ke lak. Tetapi . . " Juwiring menarik nafas dala m-dala m, lalu "tetapi seperti yang sudah kita ketahui, agaknya kumpeni me mpunyai pengaruh yang kuat" Buntal menarik nafas dalam-da la m. "Dan kita pernah mendengar ceritera tentang pemberontakan yang pernah terjadi. Tidak hanya satu dua kali. Tetapi beberapa kali. Dan setiap ka li, maka kumpeni
tentu berhasil meneguk keuntungan daripadanya. Namun demikian, kadang-kadang kita me mang tidak dapat lagi menanggung tekanan batin yang tiada taranya sehingga me ma ksa kita untuk me lepaskah diri dari belenggu penindasan, meskipun kadang-kadang kita harus menebusnya dengan maut" Buntal mendengarkan keterangan itu dengan saksa ma. Namun ke mudian ia berguma m "Sokurlah jika masih ada orang yang menyadari keadaan ini. Ka mi yang tinggal jauh dari kota justru merasakan sesuatu yang menekan hati ketika kami melihat kehidupan di dala m kota ini. Sama sekali1 bukan berdasarkan hati yang iri semata-mata. Tetapi sebuah kecemasan yang bergolak di dala m dada ini" "Kau benar. Jika kita bicara dengan nurani yang bersih, maka setiap orang akan mengakuinya. Gemerlapnya istanaistana yang indah dan cantiknya wanita-wanita di dalam kota ini bukan la mbang ge merlapnya Surakarta dan cantiknya tanah ini yang seakan-akan telah dinodai oleh bangsa asing dengan kedok perdagangan dan persahabatan. Buntal hanya mengangguk-angguk saja. Namun ternyata angan-angannya telah hinggap pada seorang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati. Dan ha mpir-di luar sadarnya ia berdesis di dala m hatinya "Pangeran Mangkubumi. Mudahmudahan ia berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat Surakarta" "Sudahlah" berkata Juwiring ke mudian "Aku akan ke mbali ke rumah ayahanda yang asing bagiku itu. Jangan lupa, datanglah menjelang matahari terbenam. Aku akan datang lebih dahulu" "Baiklah Raden" sahut Buntal "mudah-mudahan aku t idak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan. Apalagi jika ke mudian menyangkut Pangeran Ranakusuma dan beberapa orang bangsawan yang lain"
Juwiring hanya tersenyum saja. Meskipun senyum yang kecut. Demikianlah Buntal menjadi gelisah. Direnunginya dirinya sendiri di da la m lingkungan yang asing baginya. Tiba-tiba saja ia sudah terlibat di a la m pertentangan kekerasan. Ia harus berkelahi melawan bangsawan-bangsawan muda itu. Dan sudah barang tentu baliwa sesuatu dapat terjadi di luar dugaan. Bangsawan di Surakarta me mpunyai hak yang seakan-akan mela mpaui hak orang kebanyakan. Agaknya Arum tidak begitu me nghiraukannya. Yang dipikirkannya adalah, bahwa ia tidak mau dihinakan oleh siapapun. Ia sama sekali t idak me mperhitungkan ke mungkinan-ke mungkinan yang lain yang dapat terjadi. Meskipun ia pernah mendengar dari beberapa orang tentang hak para bangsawan, namun haknyalah untuk me lindungi dirinya sendiri dan apalagi na ma baiknya. Karena itulah, maka ketika matahari menjadi semakin condong ke Barat, Buntal menjadi se makin gelisah. Tetapi ia masih me mpercayakan persoalan berikutnya apabila timbul, kepada Juwiring, karena Juwiring adalah seorang dari lingkungan mere ka. Dan agaknya ayahandanyapun telah menerima ke mba li sebagai anaknya sepenuhnya. Buntal yang gelisah itu terkejut ketika dilihatnya dua orang abdi dari Ranakusuman datang ke rumah Ki Dipanala dengan me mbawa masing-masing seekor kuda. "Raden Juwiring me merintahkan ka mi menyerahkan kudakuda ini" berkata abdi itu kepada Buntal. "Terima kasih" sahut Buntal. Dan iapun sadar bahwa ia me mang harus pergi. "Apakah Raden Juwiring ada di istana?" bertanya Buntal lebih lanjut "Tida k. Raden Juwiring sudah pergi"
"Sendiri?" "Ya, sendiri" "Terima kasih" desis Buntal ke mudian. Sepeninggal kedua orang abdi Ranakusuman itu Buntal menjadi semakin gelisah. Tetapi ia me mang harus pergi ketepi Bengawan untuk berkelahi. Tetapi yang menjadi persoalan baginya kemudian adalah Arum. Karena itu, maka iapun pergi kepadanya dan bertanya "Apakah kau akan me ma kai. kain panjang seperti itu?" "Kenapa?" "Kita pergi berkuda. Dan kuda yang diberikan kepada kita adalah kuda Ranakusuman yang tegar dan besar. Bukan kuda kita yang agak lebih kecil. Dengan demikian kita akan menjadi lebih gagah. Tetapi yang penting kuda-kuda itu lebih tinggi dan barangkali kita masih harus me mperkenalkan diri" "Jadi bagaimana sebaiknya menurut pertimbanganmu?" "Bagaimana jika kau berpakaian laki-laki" Sela in lebih a man bagimu sendiri, tentu kau tidak akan terlalu menarik perhatian orang di sepanjang jalan" Arum mengerut kan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa jika a ku berkuda dala m paka ian pere mpuan. Kenapa harus menarik perhatian" Apakah pere mpuan tidak pantas naik kuda seperti seorang laki-laki?" "Arum" berkata Buntal " di dala m keadaan ini sebaiknya kita tidak berbicara tentang sikap kita terhadap persa maan atau perbedaan di antara kita. Tetapi kita berbicara tentang kenyataan. Barangkali kau akan dapat menjawab sendiri, apakah sebaiknya kau berpakaian seperti seorang laki-la ki atau tetap dalam paka ianmu"
Arum tidak menyahut. Kali ini ia harus mengakui kebenaran pendapat Buntal. Karena itu, maka kepa lanya hanya terangguk-angguk kecil saja. Dala m pada itu, selagi mereka berbincang, maka merekapun terhenti untuk menganggukkan kepa la mereka ketika mereka melihat Ki Dipanala mendatanginya. Sambil tersenyum orang tua itu bertanya "Apakah kalian akan pergi dengan kuda-kuda itu?" "Ya pa man" jawab Buntal. "Ke mana?" Buntal menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak segera mene mukan jawabnya. Apakah ia harus berkata terus terang, atau masih harus merahasiakannya. Buntal tidak tahu apa yang sudah dikatakan oleh Juwiring kepada Ki Dipanala itu. Tetapi Ki Dipanala itupun ke mudian tersenyum sa mbil berkata "Aku sudah mendengar dari Raden Juwiring. Kalian harus pergi ke pinggir bengawan" "Ya pa man" jawab Buntal sa mbil menundukkan kepalanya. "Me mang mendebarkan hati. Tetapi apaboleh buat. Raden Juwiring akan dapat menanggung jika terjadi akibat apapun" "Ya pa man" sahut Buntal. Ki Dipanala me mandang Buntal dengan mata yang buram. Sebenarnya ia menjadi kasihan melihat anak-anak muda itu terlibat dalam kekerasan tanpa mereka kehendaki sendiri. Tetapi iapun sadar, bahwa baik Buntal ma upun Juwiring adalah anak-anak muda pula sehingga darah merekapun masih cepat mendidih. Karena itu, di samping keseganannya, maka menurut dugaan Ki Dipanala ada juga se maca m kebanggaan pada Buntal. Na mun ia tahu bahwa murid-murid Danatirta itu me mpunyai pengekangan diri yang cukup baik dibanding
dengan anak-anak muda sebayanya. Jika terpaksa terjadi sesuatu yang bersifat keras, tentu ada alasan yang cukup kuat telah me maksa mereka untuk me lakukannya. "Paman" berkata Buntal ke mudian "Aku tidak tahu, apakah yang aku lakukan ini benar atau salah. Tetapi kakang Juwiring telah menga mbil sikap. Dan a ku harus melakukannya" "Buntal" sahut Ki Dipanala "Raden Juwiring sekarang sudah mendapatkan kedudukannya kemba li sebagai putera Pangeran Ranakusuma. Mungkin karena Raden Rudira sudah meninggal, sehingga Pangeran Ranakusuma me merlukan seorang anak laki-laki, tetapi juga mungkin karena Pangeran Ranakusuma telah berhasil menila i dirinya sendiri, dan menganggap apa yang terjadi pada Raden Juwiring itu ke liru karena dorongan nafsu ketamakan Raden Ayu Galih Warit. Dengan demikian, maka jika bangsawan-bangsawan muda itu ingin mencari sandaran kepada ayahanda masing-masing, ma ka Raden Juwiringpun dapat melakukannya" "Aku mengerti pa man" desis Buntal "Tetapi apakah pa man tidak akan pergi ke Bengawan" Ki Dipanala mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa Buntal menjadi agak ce mas juga. Bukan karena iai harus berkelahi, dan raence maskan ke ma mpuan lawan-lawannya. Tetapi karena Buntal sendiri merasa sebagai seorang anak padesan. Ia harus menyandarkan nasibnya kepada orang lain jika perselisihan ini ke mudian berke mbang. "Aku tidak dapat pergi Buntal. Mungkin Pangeran Ranakusuma me merlukan aku. Sekarang aku justru me mpunyai banyak pekerjaan. Seolah-olah semua persoalan ditumpahkan kepadaku seja k meninggalnya Raden Rudira" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika berpaling dilihatnya Arumpun ta mpak menjadi gelisah. ia
"Percayakah persoalan-persoalan yang dapat timbul kepada Raden Juwiring. Jika ia mene mui kesulitan, aku akan mencoba
iku me mikirkannya" berkata Ki Dipanala ke mudian, lalu "pergilah. Aku akan ke mbali ke Ranakusuman" Sejenak ke mudian, maka Arum dan Buntalpun telah selesai berkemas. Arum me ma kai pakaian seorang laki-laki, sehingga dalam sekilas tidak seorangpun yang dapat mengenalnya sebagai seorang gadis. Demikianlah maka keduanyapun ke mudian segera pergi kepinggir bengawan seperti yang sudah dijanjikan. Meskipun Buntal telah siap menghadapi segala kemungkinan, namun hatinya masih berdebar-debar juga. "Kita tidak me merlukan senjata kakang?" bertanya Arum. "Tida k. Kita tidak akan bertempur mati-matian. Kita hanya akan sekedar me muaskan diri sendiri dengan perke lahian ini. Kalah atau menang. "Tetapi, bukankah kakang Juwiring mengatakan bahwa ke ma mpuan kita hanya terbatas, sedang jumlah mereka hampir tida k terbatas. Apakah itu tidak berarti bahwa mereka dapat mela kukan sesuatu yang tidak wajar, atau katakanlah agak licik dan curang?" "Me mang mungkin. Tetapi senjata hanya akan me mbahayakan diri kita sendiri. Tentu kita tidak a kan dapat me mperguna kan Kita tidak a kan dapat melukai seorangpun dari mereka dengan sengaja me mpergunakan senjata yang sudah kita persiapkan. Dengan demikian kita akan berhadapan dengan kesulitan yang lebih luas lagi di te mpat yang asing ini" Arum mengangguk-angguk. Ia mengerti ma ksud Buntal, sehingga karena itu, maka iapun tidak bertanya lebih lanjut. Namun de mikian di da la m hatinya ia berkata "Kecuali senjata yang dapat kita rampas pada waktu itu. Dengan demikian berarti bahwa kita benar-benar sekedar me mbela diri" Ketika Arum ke mudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sudah bertengger di ujung Barat. Namun
masih dapat melihat dengan jelas wajah-wajah orang yang berjalan di sepanjang jalan me mandangnya dengan heran. Jarang sekali ada orang-orang berkuda di tengah-tengah kota selain para bangsawan muda dan prajurit. Kadang-kadang me mang ada para pedagang yang tergesa-gesa menyelesaikan persoalannya. Tetapi tidak anak-anak muda berpakaian petani seperti Buntal dan Arum. -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 12 NAMUN kedua anak-anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan mereka yang me mandanginya sambil bertanya di dala m hati. Mereka maju terus, meskipun tidak terla mpau kencang. Ternyata Buntal masih mengenal dengan baik jalan menuju ke pinggir bengawan seperti yang telah dijanjikan. Meskipun jalan itu ke mudian menjadi aga k sulit, namun merekapun semakin kuna menjadi se makin dekat dengan bengawan yang berarus deras dan berwarna lumpur. Ketika kuda mereka menuruni tebing yang agak landai dan sampai di atas pasir tepian, maka keduanyapun terkejut. Ternyata mereka me lihat tidak saja bangsawan-bangsawan muda yang dijumpainya dan yang telah bertengkar dengan mereka tetapi jumlah itu telah bertambah lagi. "Nah, ternyata yang dikatakan Raden Juwiring itu benar" desis Arum. "Apa boleh buat" sahut Buntal. "Dan kita dapat dile mparkan ke da la m bengawan itu"
"Apa boleh buat. Tetapi mereka tidak akan me lakukannya di hadapan Raden Juwiring, putera Pangeran Ranakusuma, seorang Senapati yang disegani di Surakarta ini" "Dan agaknya kita sudah mula i menyandarkan diri" "Apa boleh buat" Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu berjalan di atas pasir tepian. Perlahan-lahan keduanya maju mendekati segerombol bangsawan-bangsawan muda yang sudah menunggu. "Ha, ternyata keduanya datang" berteriak salah seorang dari mereka. "Apakah yang seorang itulah Arum. Na mpa knya seperti seorang laki-laki" Seorang bangsawan muda tiba-tiba saja meloncat naik ke punggung kudanya dan menyongsong Buntal. Beberapa langkah di hadapannya ia berteriak "Yang seorang adalah gadis itu. Ia berpakaian seorang laki-la ki. Pantas sekali. Justru ia tampak sebagai seorang anak muda yang tampan sekali. Aku justru jatuh cinta kepadanya" Kata-kata itu bagaikan bara yang menyentuh telinga Arum dan Buntal. Tetapi mereka berdua sa ma sekali tidak menyahut. Mereka masih tetap maju perlahan-lahan. Bangsawan yang seorang, yang meyongsongnya itu masih saja mengitari keduanya sambil bsrteriak "Kita tidak dapat sekedar bermain-main. Agaknya anak ini yakin benar akan dirinya" Arum dan Buntal masih berdia m diri. Mereka mengerutkan kening ketika mereka melihat Raden Juwiring me langkah maju. Katanya kepada Buntal. "Nah, ke marilah. Kita akan me mbuat perjanjian. Perjanjian seorang laki-laki"
Bangsawan muda yang berkuda di sebelah Arum itu berkata "Tidak ada yang menyebut aku seorang perempuan. Sedangkan gadis inipun berpakaian seperti laki-la ki" "Bukan pakaiannya" jawab Juwiring "A ku tahu bahwa seorang laki-laki dapat saja berbuat seperti perempuan. Tetapi juga sebaliknya, seorang perempuan dapat berbuat seperti seorang laki-laki" "Apa yang dilakukan oleh Laki-laki dan apa yang dilakukan oleh pere mpuan?" "Laki-laki akan menghargai kelaki-la kiannya di dala m setiap persoalan. Apa yang dikatakan dilakukannya. Ia yakin akan sikapnya, tetapi tidak mengingkari kenyataan. Ia berani me mpertahankan keyakinannya, tetapi berani mengakui kesalahannya apabila hal itu disadarinya" "Dan pere mpuan?" "Perempuan kadang-kadang menggantungkan diri kepada laki-laki. Ia pasrah kepada keadaan meskipun kadang-kadang harus menge luh. Menekan perasaan di dala m dadanya sambil menekan gejolak hati. Tetapi sudah aku katakan, kadangkadang terdapat kelainan. Dan ka lian akan me lihat kelainan itu di sini" Bangsawan-bangsawan muda itu me mandang Juwiring dengan heran. Lalu salah seorang di antara mereka bertanya "Apa yang akan kita lihat di sini?" "Tida k apa-apa. Tetapi marilah kita me mbuat perjanjian. Perjanjian yang saling kita hormati" sahut Juwiring. "O" bangsawan muda yang bertubuh ke kar itupun maju selangkah "Aku tahu, kau menyangka bahwa ka mi akan berbuat curang. Itulah yang kau ma ksud, bahwa kita akan me lihat kelainan di sini" "Sokurlah jika ha l itu tidak terjadi"
"Kau sudah menghina ka mi. Dan kami tidak rela me mbiarkan diri ka mi me ndapat penghinaan se maca m itu" "Karena itu kalian harus me mbukt ikan, bahwa aku ke liru" "Persetan, Suruh anak itu turun dari kudanya. Kita akan me lihat, siapakah yang curang dan licik" Juwiring mengangguk-angguk Biarlah ia mendekat" sa mbil menyahut "Ya.
Buntal yang sudah ada di dekat segerombol anak-anak muda itupun me loncat turun dari kudanya diikuti oleh Arum. Sekilas mere ka masih me lihat warna-warna merah yang tersangkut di bibir me ga yang bergumpalan me nghiasi langit yang jernih. "Cepat katakan" geram bangsawan muda yang bertubuh kekar itu "Apakah yang kita jadikan syarat dari perkelahian ini. Aku sudah tida k sabar lagi" "Kita saling menghormati" sahut Juwiring "yang kalah harus segera menyatakan kekalahannya dan yang menang tidak akan berbuat lebih banyak lagi. Itu agaknya syarat yang paling lunak, tetapi me madai" "Persetan?" desis anak muda yang bertubuh kekar itu, "selebihnya?" "Tida k ada. Kita sudah saling mengetahui bahwa jika kita bertanding, kita tidak boleh menggigit dan menggelitik" "Cukup" bentak anak muda yang masih ada di punggung kuda, yang semula menyongsong Buntal dan Arum "Kau menganggap ka mi seperti kanak-kanak yang baru pandai berjalan" "Bukan ma ksudku. Tetapi biarlah kita menjadi jelas pada persoalan yang sama-sama kita hadapi. Kita akan menjadi saksi" "Sekarang, kita mulai sekarang" desis anak muda yang lain.
"Kita me mbuat lingkaran. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Dan kita harus sudah mulai. Kita akan menguji siapakah yang me miliki indera lebih taja m di da la m kegelapan" Demikianlah maka anak-anak muda itupun segera me mbuat sebuah lingkaran. Mereka berdiri di atas pasir yang basah dengan hati yang berdebar-debar. "Cepat, masuk ke dala m arena" berkata salah seorang dari mereka. Bangsawan muda yang bertubuh kekar itupun segera masuk ke da la m lingkaran. Juwiring yang berdiri di pinggir lingkaran itupun ke mudian me ma nggil Buntal "Masuklah. Lawanmu sudah siap. Kita hanya ingin melihat, apakah jika kalian dibiarkan berkelahi, yang sedang me miliki ke kuasaan dan kewenangan sela lu menang " "Kau jangan sela lu menghina ka mi" bentak ana k muda yang bertubuh kekar itu. Lalu "Kenapa bukan kau saja yang me masuki arena" Kita akan berjanji bahwa kita tida k akan menyeret orang tua kita masing-masing, karena aku tahu bahwa pamanda Ranakusuma adalah seorang Senapati yang terpandang" "Kau dan aku sederajad. Jika kau menganggap dirimu me mpunyai hak dan wewenang khusus, me la mpaui hak dan wewenang anak padesan, maka akupun me mpunyainya, sehingga perkelahian di antara kita, siapapun yang menang tidak akan dapat me mberikan jawaban atas pertanyaan kita" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Seakan-akan ia melihat Juwiring yang lain daripada Juwiring yang rendah hati di padepokan Jati Aking. Juwiring yang ada di pinggir arena itu adalah Juwiring yang agak sombong dan tinggi hati. Tetapi seperti yang sudah dikatakannya, di hadapan anak-anak muda yang bengal itu, maka Juwiringpun harus bersikap serupa. "Cepatlah, jangan ragu-ragu" berkata Juwiring kepada Buntal yang masih berdiri di te mpatnya.
Buntalpun ke mudian me langkah maju mendekati lawannya di arena. Sejenak ia me mandang wajah bangsawan muda yang bertubuh kekar. Tubuh yang memiliki ke mungkinan yang sangat baik jika bangsawan muda itu mendapat tuntunan yang tepat di dala m olah kanuragan. Karena itu, seperti yang selalu dinasehatkan oleh Kiai Danatirta, Buntal tidak me mandang rendah lawannya meskipun menurut Juwiring, anak-anak muda itu ha mpir tidak pernah menuntut ilmu apapun juga se lain berbuat bengal. "Nah, kita akan segera muliai" berkata Juwiring "Marilah kita bersama-sa ma menjadi saksi. Saksi yang jujur atas perkelahian yang ba kal terjadi" "Jangan banyak bicara bertubuh kekar. "Baik. Mulailah" Bangsawan muda yang bertubuh kekar itu mulai bergerak. Dipandanginya Buntal yang mula i samar-sa mar. Sejenak keduanya bergeser, seakan-akan ingin mene mukan kele mahan lawannya. Sepintas Buntal dapat melihat, bahwa lawannya tentu bukannya belum pernah me mpe lajari olah kanuragan. Sikapnya dan tatapan matanya mengatakan kepadanya, bahwa anak muda yang bertubuh kekar itupun tentu sudah me mpe lajari ilmu kanuragan. Dengan demikian Buntal menjadi semakin berhati-hati. Apalagi bayangan langit yang semakin bura m mengaburkan wajah anak muda yang bertubuh kekar itu. Namun ada juga baiknya bagi Buntal karena yang tampak ke mudian adalah semaca m bayangan saja yang kehitam-hita man, sehingga ia tidak melihat perbedaan yang jelas antara anak muda itu dengan orang-orang lain. di dalam gelapnya mala m, maka tidak ada lagi bedanya, bayangan seorang bangsawan dan orang kebanyakan. lagi" desis bangsawan yang
Dala m pada itu, maka sejenak ke mudian, terjadilah perkelahian itu. Sekejappun Buntal tidak berbicara sa mpai pada saatnya ia menghindari serangan yang pertama. Ternyata bahwa bangsawan muda yang bertubuh kekar itu agaknya me mang pernah me mpe lajari ilmu kanuragan. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia masih dapat dengan dada tengadah menyerang Buntal yang masih dipengaruhi oleh perasaan segan. Namun dala m serangan-serangan itu, Buntal segera mengetahui bahwa bangsawan muda itu masih belum menguasai benar ilmu yang dipe lajarinya. Agaknya selama ini ia hanya me mbanggakan kekuatan tubuhnya yang kekar itu, sehingga tata geraknya sama sekali tida k menguntungkannya. Meskipun de mikian Buntal masih harus berhati-hati. Anak muda itu benar-benar me mpunyai kekuatan yang luar biasa. Adalah kebetulan sekali bahwa Buntalpun telah me mpelajari ilmunya dengan cara yang berbeda dengan Juwiring, yang lebih banyak menyandarkan juga pada gerak jasmaniahnya, sehingga di da la m saat tertentu, jika terjadi benturan kekuatan, Buntal ma mpu mengimbangi kekuatan lawannya. Bahkan kadang-kadang Buntal dengan sengaja tidak menghindari serangan anak muda yang bertubuh kekar itu, tetapi me mbenturnya dengan kekuatannya pula. Meskipun mala m menjadi ge lap, tetapi keduanya mampu meneruskan perkelahian itu dengan sengitnya. Mereka berganti-ganti menyerang dan bertahan. Silih ungkih, seolaholah keduanya me miliki ilmu yang seimbang. Tetapi sebenarnya Buntal segera ma mpu menguasai lawannya apabila ia menghendakinya. Ia me miliki be kal jauh lebih banyak dari anak muda yang bertubuh kekar itu. Apalagi di dala m ke la mnya mala m ketajaman penglihatannya sangat me mbantunya. Namun de mikian ada sesuatu yang menahannya untuk tidak segera memenangkan perkelahian itu. Ternyata ia mempunyai
rasa hormat pula kepada para bangsawan. Buntal masih mengharap bahwa jika ia ke mudian me nang, maka ke menangannya itu tidak terla mpau menyakitkan hati lawannya, yang kebetulan adalah seorang bangsawan. Tetapi agaknya berbeda dengan Arum. Ia dapat melihat kelebihan Buntal seperti juga Juwiring. Rasa-rasanya ia ingin mendorong anak muda itu agar segera menyelesaikan perkelahian, ke mudian dengan de mikian mereka akan meyakini kelebihan anak-anak padesan dari para bangsawan. Sementara itu, bangsawan-bangsawan muda yang menyaksikan perkelahian itupun menjadi berdebar-debar. Bagi mereka perkelahian itu adalah perkelahian yang dahsyat sekali, karena mereka melihat keduanya saling mendesak dan kadang-kadang keduanya terdorong surut oleh benturan yang keras. Namun sebenarnyalah bahwa anak muda itu menjadi heran. Kenapa bangsawan muda yang kekar itu tidak segera menguasai lawannya yang sekedar anak padesan. Mereka ingin segera melihat anak Jati Aking itu menyerah, dan ke mudian bera mai-ra mai mereka akan dapat menghinakannya. Apalagi beserta anak muda itu, datang juga Arum meskipun ia me mperguna kan pakaian seorang la ki-laki. Dala m pada itu, selagi kedua anak-anak muda itu masih saja berkelahi, ternyata ada juga seorang bangsawan muda yang tidak dapat menahan hatinya me lihat Arum justru dala m pakaian seorang laki-laki. di dalam gelap, Arum sama sekali tidak menghiraukan lagi orang-orang yang berdiri di seputar arena. Perhatiannya sepenuhnya terpusat kepada perkelahian itu, sehingga karena itu, maka ia berdiri saja tanpa prasangka terhadap bangsawan-bangsawan muda itu. Dan itulah kesalahannya. Setiap kali ia justru mendesak seseorang yang berdiri di sebelahnya, sehingga anak muda itu telah kehilangan ke ma mpuannya untuk mengenda likan dirinya.
Hampir di luar sadarnya, bangsawan muda itu menyentuh tubuh Arum. Dan adalah di luar dugaan Arum, bahwa sentuhan-sentuhan di lengan dan punggungnya itu adalah suatu kesengajaan. Ia menyangka bahwa mereka saling mendesak karena perhatian mere ka terhadap perkelahian itu. Tetapi tangan itu ternyata semakin jauh merayapi tubuh Arum, sehingga perlahan-lahan Arum mulai me mperhatikan tangan itu meskipun ia masih tetap berdia m diri saja. Akhirnya sampai saatnya, Arumlah yang tidak dapat menahan dirinya. Ketika tangan itu masih saja menjalari tubuhnya, tiba-tiba saja tangan itu telah terpilin keras-keras. Bahkan ke mudian tangan itu seakan-akan terangkat di atas bahu Arum yang merendah. Sebuah tarikan yang menghentak telah me le mparkan anak muda itu lewat di atas pundak Arum dan terbanting jatuh di atas pasir. Hal itu benar-benar telah mengejutkan. Bangsawan muda yang terbanting jatuh itu terkejut bukan kepalang. Ia menyadari dirinya setelah ia berbaring di atas pasir yang basah. Beberapa orang justru berdiri bingung dan de mikian juga Juwiring. Bukan saja mereka yang berdiri di seputar arena, bahkan mereka yang sedang berkelahi itupun terkejut pula sehingga perkelahian itu terhenti karenanya. Bangsawan muda yang terbanting itu tertatih-tatih berdiri sambil menyeringai. Tangannya rasa-rasanya akan patah dan punggungnya bagaikan retak. Meskipun de mikian ia masih mencoba untuk me mpertahankan harga dirinya Dipaksanya tangannya yang sakit itu untuk bertolak pinggang sambil menggera m. "Perempuan Gila" Ia mengumpat "Jika kau seorang lakilaki, ma ka aku patahkan tanganmu" "Cobalah" jawab Arum "Kitalah sekarang yang berkelahi di arena"
Juwiring menjadi ce mas, sehingga iapun mende katinya. Tetapi agaknya kemarahan Arum sudah sa mpa i ke puncaknya sehingga tanpa menghiraukan apapun lagi ia me langkah maju sambil berkata "Marilah kita bertindak adil. Persoalan ini adalah persoalanku dengan anak muda yang lancang itu. Sebenarnya kamilah yang harus menyelesaikannya Bukan orang la in. Bukan kakang Buntal dan bukan anak muda yang lain. Tetapi ka mi yang me mang me mpunyai persoalan. Ke mudian aku telah terpaksa me mbuka persoalan yang lain. Anak muda inipun agaknya anak muda yang lancang. Setelah perkelahian yang pertama, aku akan me lawan orang kedua ini" Bangsawan-bangsawan muda yang berdiri melingkar itu terkejut bukan kepalang. Ternyata gadis ini benar-benar me miliki sesuatu yang dapat dipercaya. Karena itulah maka merekapun menjadi termangu-mangu untuk beberapa saat. Dala m pada itu maka Juwiringpun ke mudian mendekatinya. Dengan hati-hati ia berkata "Sabarlah Arum" "Akulah yang dihinakannya. Dan akulah yang paling berhak me mbersihkan na maku" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia sudah mengenal sifat Arum. Namun de mikian ia tidak dapat me mbiarkan Arum terseret oleh perasaannya. Karena itu maka katanya kemudian "Di dala m persoalan ini, kita me mpunyai cara tersendiri, Arum. Dan kita sedang mencoba mene mpuh ja lan yang paling ba ik bagi kita" "Tetapi tidak paling baik bagiku. Mungkin kakang Buntal dapat memenangkan perkelahian itu, karena seharusnya ia sudah sejak perkelahian itu dimula i, dapat menjatuhkan lawannya. Tetapi agaknya ia merasa segan melakukannya. Tetapi kemenangan ka kang Buntal adalah penyelesaian sementara bagiku. Karena apabila aku sedang berjalan sendiri dima-oapun, mungkin akan mereka jumpai, maka akan timbul
persoalan serupa menyelesaikannya"
jika aku sendiri tida k mencoba Dada Juwiring menjadi se ma kin berdebar-debar. Tetapi ia harus mencegahnya. Jika Arum tidak dapat mengendalikan diri, maka tingkah lakunya akan dapat menyinggung perasaan anak-anak muda itu sehingga persoalannya akan berke mbang semakin luas. Namun dala m pada itu, sebelum Juwiring se mpat berkata sesuatu lagi, mereka terkejut oleh suara bernada tinggi dari kegelapan, sehingga serentak mereka berpaling. Yang tampak hanyalah sebuah bayangan kehitam-hitaman yang berjalan mende kati arena itu. "Alangkah bodohnya bangsawan muda di Surakarta ini" berkata bayangan itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Juwiring berdesis "Pa manda Hargase mi" Namun ke mudian
Dan hampir berbareng anak-anak muda yang lainpun berdesis "Pa manda Pangeran Hargasemi" Bayangan itupun menjadi sema kin de kat. Dalam keremangan mala m tampa klah seorang Pangeran yang masih muda berdiri sa mbil bertolak pinggang. Terdengar ia tertawa pendek. Lalu katanya pula "Kalian tidak melihat kenyataan yang terjadi di hadapan kalian" Bangsawan muda itupun segera mengerumuninya. Bagi bangsawan muda yang berada di pinggir bengawan itu, Pangeran Hargasemi telah me mberikan sesuatu yang rasarasanya menyenangkan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun karena sehari-hari Pangeran Hargasemi merupakan kawan bermain yang baik, maka merekapun menya mbutnya dengan ge mbira. Berbeda dengan mereka adalah Juwiring. Meskipun Juwiring tida k terla mpau banyak mengenal Pangeran yang
masih muda itu, namun sedikit banyak ia pernah mendengar bahwa Pangeran Hargasemi adalah kawan yang baik bagi anak muda yang benga l itu dan terlebih-lebih lagi Pangeran muda itu adalah sahabat yang sangat dekat dengan kumpeni. Tetapi yang terlebih mendebarkan jantung, Pangeran Hargasemi me miliki ilmu olah kanuragan yang t inggi. Sejenak Pangeran Hargasemi me mandang Juwiring. Lalu katanya "Juwiring sekarang menjadi se makin ta mpan setelah ia berada di padepokan Jati Aking. Melihat anak-anak padesan itu berkelahi maka kitapun seharusnya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Juwiring tentu memiliki ilmu kanuragan padesan yang kasar itu" Juwiring tidak menyahut, meskipun dengan susah payah ia menahan hatinya. Dala m pada itu Buntal dan Arumpun menjadi terheranheran. Mereka mendengar bagaimana bangsawan-bangsawan muda itu menyebut orang yang baru saja datang itu. Karena itu, mereka masih juga menyadari bahwa mere ka tidak dapat berbuat tanpa pertimbangan lebih jauh terhadap seorang Pangeran meskipun masih cukup muda. "Kalian ternyata terlampau dungu" berkata Pangeran Hargasemi itu "Sudah la ma aku melihat perkelahian di arena. Aku me lihat juga bagaimana gadis itu me mbanting lawannya dalam sekejap" Pangeran muda itu berhenti sejenak, lalu "seharusnya kalian menyadari bahwa kalian bukanlah lawan mereka. Anak muda yang berke lahi di arena itu sebenarnya sama seka li t idak berimbang. Anak Jati Aking itu masih menaruh hormat kepada lawannya karena lawannya adalah seorang bangsawan seperti yang dikatakan oleh gadis itu. Dan tidak ada seorangpun di antara kalian yang dapat menga lahkah gadis itu. Nah, siapa yang tidak percaya dapat mencobanya" Tidak seorangpun yang menyahut, sedang Juwiring, Buntal dan Arum masih saja berdiri termangu-mangu.
Pangeran Hargasemi mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Bagus. Kalian harus menyadari bahwa gadis itu me mang me miliki kelebihan. Karena itu, kalian tidak usah mencoba menyentuhnya jika tangan kalian tidak ingin dipatahkannya" tiba-tiba saja Pangeran Hargasemi itu tertawa. Suara tertawanya terdengar aneh dan tanpa disadarinya bulubulu kulit Arumpun terasa mere mang. "Ah, sudah mengadakan menga lahkan Juwiring, ia sayembaranya dirinya" barang tentu, gadis seperti Arum itu dapat sayembara tanding. Siapa yang dapat saudara-saudara seperguruannya termasuk akan dapat me milikinya. Atau barangkali akan berbunyi, siapa yang dapat mengalahkan "Gila" menggera m. Arum
Juwiring berpaling. Ia mencoba me mberi isyarat agar Arum mencoba menahan diri. Tetapi di dalam kegelapan isyarat itu tidak tertangkap oleh Arum. Pangeran Hargasemi masih tertawa. Katanya "Gadis itu me ma ng agak liar. Tetapi menyenangkan. He, siapa yang jatuh cinta kepadanya?" Bangsawanbangsawan muda itu saling berpandangan sejenak. Na mun suasananya tiba-tiba telah berubah dengan kehadiran Pangeran Hargasemi. Bahkan
ketika Pangeran Hargase mi tertawa lebih keras lagi, beberapa orang yang lain telah tertawa pula. "Ayo, siapa yang akan memasuki sayembara tanding" Tidak ada" Jika tidak ada, akulah yang akan me masuki saye mbara tanding itu. Dan aku akan memilih lawan yang paling tangguh. Juwiring. Tentu Juwiringlah yang paling sempurna di antara murid-murid guru olah kanuragan padesan terpencil itu. Jika aku kalah, aku menyerah meskipun aku akan dile mparkan ke dalam bengawan. Tetapi jika aku menang, aku akan mendapatkan Arum. Nah, jika aku mendapatkannya, kalian, anak-anak muda yang telah bersusah payah berkerumun di sini. tidak usah ce mas" Pangeran muda itu tertawa, dan bangsawan muda yang lainpun tertawa riuh. Lalu "Jika ayahnya marah, biarlah aku yang menyelesaikan. Jika ia me mpunyai sepasukan cantrik, aku akan me minja m tiga orang kumpeni. Tak ada orang yang dapat melawan kumpeni sekarang. Betapa tinggi ilmunya, jika tubuhnya tersentuh peluru, ma ka iapun akan mat i" "Cukup" teria k Arum yang tubuhnya menjadi ge metar "Aku akan berkelahi sa mpai mati" Tetapi Pangeran Hargasemi tertawa "Jangan mati. Aku dapat mengalahkanmu tanpa me mbunuhmu" Kemarahan Arum tiba-tiba telah me mbakar ubun-ubunnya. Tetapi dengan de mikian mulutnya justru seakan-akan tersumbat karenanya. Dala m pada itu, tanpa disadari, berbareng Juwiring dan Buntal melangkah mendekati Arum. Me mang tidak ada cara lain dari pada me mpertahankan kehormatan itu dengan apa saja yang dimilikinya. Termasuk nyawanya. Tetapi Pangeran Hargasemi tidak menghiraukannya. Katanya "Kalian akan menjadi saksi. Dan untuk itu kalian akan mendapat upah daripadaku nanti. Nanti atau besok atau lusa "
Suara tertawapun meledaklah di pinggir bengawan itu. Wajah Arum rasa-rasanya seperti tersentuh bara. Oleh ke marahan yang me muncak, maka tubuhnya menjadi gemetar. "Nah, baiklah ka lian bertiga berkelahi bersa ma-sama. Aku tidak berkeberatan" ia berhenti sejenak, lalu "Jika terjadi sesuatu atas kalian, terutama atas Juwiring, maka bukan maksudku me nyeret kemarahan Ka mas Ranakusuma. Aku tahu bahwa Juwiring menyandarkan diri kepada ka mas Pangeran, karena kamas Pangeran adalah seorang Senapati yang berpengaruh. Tetapi pengaruhnya tidak akan dapat menyentuh aku, karena seperti ka mas Pangeran, akupun me mpunyai sahabat perwira-perwira kumpeni" "Pamanda " berkata Juwiring yang sudah tidak dapat menahan hati lagi "Aku mohon maaf, bahwa jika aku menentang kehendak pa manda, bukan berarti aku menentang kehendak orang tua. Tua dalam pengertian darah, karena agaknya umur pa manda tidak jauh di atas umurku. Tetapi aku terpaksa mencegah pa manda bertindak sewenang-wenang." Pangeran Hargasemi tertawa. Katanya "Kau me mang be lum mengenal aku. Aku me miliki ke ma mpuan berkelahi melawan kau bertiga. Bahkan lipat dua sekalipun. Karena itu jangan berusaha mencegah a ku" "Pamanda. Apakah demikian contoh yang pamanda berikan kepada ka mi, anak-ana k muda ini" Pangeran yang masih muda itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelepar di sepanjang tepi bengawan. Katanya disela derai tertawanya "Jangan berbicara tentang anak-anak muda, tentang contoh yang baik dan yang buruk. Sekarang marilah kita berbicara dengan jujur. Aku ingin gadis itu. Itu adalah pengakuan yang jujur. Dan anak-anak muda me mang harus jujur"
"Itukah kejujuran yang pamanda ajarkan kepada ka mi" Juga seandainya kami ingin menga mbil Kangjeng Kia i Plered sekalipun. Karena ka mi ingin jujur, maka ka mi harus datang menghadap Kangjeng Susuhunan dan mohon untuk menga mbil tombak itu?" "Jangan banyak bicara lagi. Kau tidak dapat melawan aku dipandang dari segala segi. Derajadku lebih tinggi, karena aku Pangeran. Umurku lebih tua meskipun sedikit, dan ilmuku lebih mantap dari ilmumu. Nah, kau mau apa. Kau tidak dapat berbuat apa-apa. Aku adalah seorang Pangeran" Darah Juwiring tiba-tiba telah mendidih. Meskipun ia menyadari bahwa Pangeran Hargase mi adalah seorang anak muda yang me miliki ilmu yang hampir se mpurna, namun ia tidak me mpunyai jalan lain. Namun sekali lagi tepian itu diguncang oleh suara tertawa berkepanjangan. Suara itu datang dari sebuah rakit di pinggir bengawan. Rakit yang tiba-tiba saja berada di tempat itu tanpa diketahui kapan datangnya. Kini semua mata tertuju kearah rakit itu. Sebuah pelita minyak terletak di ujungnya. di sebelah pelita itu duduk seseorang sambil me me luk lututnya. Para bangsawan yang ada di tepian bengawan itu me njadi termangu-mangu sejenak. Seolah-olah mereka telah melihat sesuatu yang tidak sewajarnya. Suara tertawa itupun ke mudian mereda. Orang yang berada di dala m rakit itu masih duduk sambil me me luk lututnya di sebelah Pe lita minyak yang menyala. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya me mpunyai ke ma mpuan yang tanpa tanding di antara para bangsawan itupun ke mudian me langkah maju. Di dekatinya rakit yang berhenti di pinggir bengawan itu sambil bertanya "Siapakah kau he?"
Orang di atas rakit itu masih belum menjawab "Siapa kau, dan apakah maksudmu mengganggu ka mi yang sedang bermain-main " "Maaf Pangeran" jawab orang itu "Bukan ma ksud kami mengganggu Pangeran yang sedang berma in bersama para bangsawan muda dari Surakarta ini. Tetapi aku sangat tertarik kepada permainan yang tuan lakukan" "Apakah yang menarik perhatianmu?" telah
"Perma inan itu sendiri. Agaknya Pangeran sedang bermain kekuasaan. di sini ada dua orang anak-anak dari padesan. Seorang laki-la ki dan seorang perempuan. di antara sekian banyak bangsawan muda, bahkan ada seorang Pangeran yang masih muda pula, tetapi hanya seorang sajalah yang berpihak kepada kedua anak padesan itu. Itulah yang menarik. Menurut pendapatku permainan itu kurang adil. Bagaimana jika jumlah para bangsawan yang ada itu dibagi. Ke mudian beradu binten. Atau bantingan di atas pasir" "Siapa kau he" Apa kepentinganmu dengan permainan kami ini?" "Tida k apa-apa. Tetapi sa ma sekali t idak adil" "Kau salah. Kami tidak bersa ma-sama bermain melawan kedua anak-anak padesan itu. Justru aku me mpersilahkan mereka untuk me lawan a ku bertiga. Nah, kau dengar"
"O, begitu. Sayang sekali. Seharusnya Pangeran tidak usah menakut-nakuti mereka dengan kedudukan Pangeran. Mungkin salah seorang dari mereka akan dapat mengalahkan Pangeran. Tetapi sudah barang tentu mereka akan segan me lakukannya, karena mereka takut akan akibatnya. Apalagi Pangeran Hargasemi adalah seorang Pangeran yang bersedia duduk di bawah atas kaki orang-orang asing itu, sehingga dengan demikian Pangeran akan segera mendapat bantuan mereka apabila diperlukan. Bahkan menghadapi Pangeran Ranakusuma seka lipun, meskipun Pangeran Ranakusuma juga seorang Pangeran yang bersedia bekerja bersama dengan kumpeni. Maksudku, Pangeran Ranakusuma. Bukan Raden Juwiring" Pangeran Hargasemi benar-benar menjadi bingung menghadapi persoalan itu. Seakan-akan orang yang duduk di atas rakit itu telah mengena l mereka seorang de mi seorang. Karena itu, maka hatinya menjadi se makin terbakar. Katanya "Jangan banyak bicara. Jika kau ingin ikut serta dalam permainan ini, cepat, turun dari rakit mu" Orang itupun tiba-tiba berdiri. Sekali loncat ia sudah berada di atas pasir. Dikibaskannya kainnya yang se mula diselubungkannya di atas punggungnya. Namun orang itu masih saja mengenakan tudung-kepala ba mbunya yang dianyam runcing. "Gila, kau akan me lawan seorang Pangeran" Meskipun kau me mpunyai nyawa rangkap tujuh, tetapi kau akan menyesal" geram Pangeran Hargasemi. "Jangankan seorang Pangeran. Seorang Rajapun wajib dilawan jika ia berbuat sa lah dan apalagi sewenang-wenang" "Persetan. Aku akan me mbunuhmu dan me le mparkan mayatmu ke dala m bengawan" "Aku hidup di bengawan, dan mencari penghidupan dibengawan itu pula. Aku adalah tukang satang yang
mendapat upah karena menyeberangkan orang lain yang ingin me lintasi bengawan. Jika aku ke mudian mati dibengawan itu pula, artinya aku sudah bersatu dengan bengawan itu" "Persetan" bentak Pangeran Hargase mi "bersiaplah" "Baik Pangeran. Aku sudah siap" Pangeran Hargasemi yang marah sa ma sekali tidak dapat mengenda likan dirinya lagi. Sebagai seorang anak muda yang berilmu, maka iapun t idak ragu-ragu lagi menghadapi lawannya, seorang tukang satang. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang tukang satang yang telah berani mengganggunya itu. Namun Pangeran Hargase mi itu terkejut bukan buatan. Serangan yang dila mbari dengan ke marahan yang meluap itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan hampir tanpa diketahuinya, lawannya telah beringsut di sisinya sambil berkata "Ilmu Pangeran me mang dahsyat sekali. Pantas Pangeran berani menantang anak-anak itu untuk me lawan bertiga" "Tutup mulut mu" Pangeran Hargasemi berteriak. Tetapi orang itu justru tertawa sambil berkata "Jangan marah. Aku berkata sebenarnya. Kau memang me miliki ke ma mpuan yang luar biasa dibanding dengan usia Pangeran yang muda itu" Pangeran Hargasemi tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin dahsyat. Namun serangannya itu bagaikan sia-sia saja. Mala m yang gelap itu seakan-a kan menjadi se ma kin gelap, sehingga kadang-kadang ia telah kehilangan lawannya. Dan tiba-tiba saja lawannya itu telah berada di belakangnya atau di sampingnya sambil tertawa pendek.
Sikap itu benar menyakitkan hatinya. Kemarahan yang me lonjak-lonjak di dadanya me mbuat Pangeran Hargase mi semakin kehilangan pengendalian diri. Namun de mikian, ia sama sekali tidak berdaya menghadapi lawannya. Seorang tukang satang. Para bangsawan yang memperhatikan perkelahian itu menjadi termangu-mangu. Merekapun menyadari, bahwa Pangeran Hargasemi tidak ma mpu mengimbangi lawnnya. Sekali-seka li mereka terpaksa menahan nafas jika mereka me lihat Pangeran Hargasemi kehilangan lawannya. Namun dengan sangat terperanjat meloncat me mutar tubuhnya ketika ia sadar bahwa lawannya sudah berada di belakangnya. Semakin la ma sema kin ternyata bahwa Pangeran Hargasemi bukan lawan orang yang menyebut dirinya tukang satang itu. Nafas Pangeran muda itu menjadi terengah-engah dan bahkan rasa-rasanya telah terputus di kerongkongan. Sedang orang yang menyebut dirinya tukang satang itu masih tetap segar dan sekali-sekali masih terdengar suara tertawanya. "Nah" katanya kemudian "Apakah Pangeran masih akan bermain lebih la ma lagi?" "Persetan" geram Pangeran Hargasemi disela-sela nafasnya yang hampir terputus. "Aku rasa permainan kita sudah cukup la ma. Karena itu, sebaiknya kita mengakhirinya saja" berkata tukang satang itu ke mudian "Tetapi dengan syarat. Jangan ganggu anak-anak Jati Aking itu. Kedua anak padesan yang kau anggap tidak berharga, bahkan dapat dihinakan seperti yang sudah kau lakukan, dan yang seorang adalah kemanakanmu sendiri. Raden Juwiring. Jika kau berjanji, aku tidak akan berbuat apaapa" "Gila, itu urusanku" "Berjanjilah dengan janji jantan"
"Itu urusanku" "Bukankah kau telah berjanji akan berlaku sebagai seorang laki-laki" Seorang laki-laki a kan mengakui kenyataan yang dihadapinya. Jika ia kalah, ia akan me ngaku kalah" "Bukan aku yang berjanji" "Baik" gera m tukang satang "Jika de mikian, kau akan aku singkirkan dari tepian ini. Aku akan mengikat mu di atas rakit dan menghanyutkannya. Aku tidak tahu, apakah kau akan terbawa oleh arus bengawan itu sa mpai ke laut" "Gila" "Berjanjilah" "Aku tida k peduli" Dan sebelum mulutnya terkatup rapat, maka tiba-tiba saja rasa-rasanya tangannya akan patah terpilin. Sambil menyeringai Pangeran Hargasemi mencoba untuk melepaskan diri. Na mun rasa-rasanya himpitan tangan itu justru menjadi semakin kuat, bagaikan akan mere mukkan tulang. "Pangeran, berjanjilah bahwa Pangeran mengganggu anak-anak Jati Aking itu" "Siapapun a ku, tetapi berjanjilah" "Katakan, siapa kau" suaranya terputus oleh himpitan rasa sakit. "Sudah aku katakan, siapa aku tidak penting. Yang penting harus berjanji" Pangeran Hargasemi tidak dapat menahan rasa sakit di tangannya. Karena itu, maka betapapun beratnya ia akhirnya berkata "Karena kegilaanmu saja maka aku terpaksa me menuhinya" tidak akan
"Siapa kau" Siapa kau he?" bertanya Pangeran Hargasemi.
"Terima kasih. Apapun alasannya. Aku percaya bahwa katakata yang Pangeran ucapkan ini adalah kata-kata seorang lakilaki. Terlebih-lebih lagi kata-kata seorang kesatria" Perlahan-lahan tangan yang terpilin itupun dilepaskannya. Dan sambil menyeringai Pangeran Hargasemi me mijit tangannya yang kesakitan itu. Namun tiba-tiba ia berkata "He tukang satang. Apakah kau sangka bahwa kau dapat melawan ka mi se muanya?" Tukang satang itu terkejut. Dengan heran ia bertanya "Apakah maksud Pangeran?" "Aku dapat me merintahkan mengepung dan menangkapmu" "Itu tidak mungkin. Itu tidak jantan" "Aku tidak peduli. Tetapi kau harus ditangkap karena kau berani melawan seorang Pangeran yang berkuasa di Surakarta ini" Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Lalu "Jadi, maksud Pangeran, Pangeran akan ingkar janji" "Jika perlu. Untuk menegakkan keda maian di Surakarta" Sejenak tukang satang itu berdia m diri. Namun ke mudian "Suatu masa yang suram benar-benar telah melanda Surakarta. Seorang bangsawan tertinggi di Surakarta sudah tidak me menuhi janjinya. Ini adalah pertanda yang buruk bagi kerajaan yang sudah rapuh ini. Sebentar lagi pasar akan kehilangan ge manya, dan telaga akan kehilangan mata airnya. Surakarta akan menjadi suatu kerajaan yang miskin. Bukan miskin harta benda karena justru a kan datang berlimpah, tetapi miskin harga diri, terutama harga diri sebagai suatu bangsa" ke manakanku untuk
Kata-kata itu terasa menyentuh hati para bangsawan itu. Sejenak mereka termangu-ma ngu. Na mun yang sejenak itu telah me mbuat setiap dada rasa-rasanya menggelepar. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Hargasemi sa ma sekali tidak mau mendengar kata-kata di sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan ia berteriak "Aku akan menyeretmu menghadap kumpeni yang akan menyuapimu dengan peluru. Meskipun kau me mpunyai aji tameng waja-sekalipun, kau tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut " Tetapi tukang patang itu menggeleng. Katanya "Tidak. Peluru bagiku tidak lebih berbahaya dari sebilah keris yang baik. Ujung peluru t idak akan ma mpu melubangi tudung kepalaku yang terbuat dari ba mbu ini. Tetapi keris yang baik, atau tombak Kiai Baru misalnya, akan dapat menyobek kulitku" Pangeran Hargasemi termangu-mangu sejenak. Dan tukang satang itu berkata lagi "Pangeran. Aku menjadi heran. Pangeran adalah seorang yang berilmu. Seharusnya Pangeran mengetahui, bahwa kita tida k perlu merasa diri kita kecil menghadapi peluru. Seharusnya Pangeran mengetahui bahwa kita dapat melindungi diri kita terhadap keganasan peluru itu" Sejenak Pangeran Hargasemi terdia m. Sekilas terbayang kekuatan-kekuatan gaib yang pernah dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta. Para prajurit dan penghuni-penghuni padepokan yang tersebar. Meskipun mereka tidak kebal sekalipun, na mun mereka me mpunyai ke ma mpuan untuk me lawan peluru. Kecepatan tangan mereka melontarkan pisau-pisau kecil dan ketepatan bidik mereka, sama seka li tidak ka lah dari ketangkasan pe luru kumpeni. Tetapi ketika ia menyadari, bahwa ia berdiri di antara para bangsawan muda, dan ketika ia menyadari ke kalahannya me lawan tukang satang itu, kemarahannya telah membakar jantungnya kembali. Dan seka li lagi ia berteriak "Tangkap tukang satang itu"
Para bangsawan muda itu menjadi ragu-ragu. Mereka menyadari bahwa tukang satang itu me miliki ilmu yang luar biasa, sehingga untuk menangkapnya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Namun terdengar sekali lagi perintah Pangeran Hargasemi "Tangkap orang itu. Aku akan me lumpuhkannya, sementara kalian mengepung agar ia tida k dapat lari. Kalian dapat menyerang dari segala arah, dan ke mudian menangkap dan menyeretnya, agar tidak menjadi kebiasaan tukang satang untuk menentang para bangsawan" Sekilas ta mpak tukang satang itu berdiri seakan-akan me mbe ku. Namun ke mudian ia berkata "Jangan memaksa aku me lakukan perlawanan. Kalian harus menyadari, bahwa kalian adalah anak-anak ingusan yang merasa dirinya ma mpu me langkahi gunung Ke lut. Jika aku terpaksa berkelahi me lawan kalian, maka anak-anak Jati Aking itu tentu akan berpihak kepadaku. Ka mi bere mpat akan me mbuat kalian tidak dapat bangkit lagi sampa i matahari terbit besok dan me mbiarkan kalian terbaring di tepian ini" "Kalian akan digantung karena perbuatan itu" desis seorang bangsawan yang bertubuh kecil. "Kalian tida k akan dapat mene mukan aku" "Ka mi akan me nangkap se mua tukang satang di Sura karta" Tukang satang itu tertawa. Katanya "Kalian tentu tidak akan dapat mene mukan aku. Mungkin rakitku. Tetapi sesudah ini untuk beberapa la manya aku tidak akan turun ke bengawan. Aku akan menghindari penangkapan yang me mang mungkin saja ka lian lakukan" "Gila. Kau mengorbankan keselamatanmu" kawan-kawanmu untuk
"Bukan maksudku. Tetapi jika de mikian, kalianlah yang bertindak sewenang-wenang"
Pangeran Hargasemi termenung sejenak. Na mun ke mudian katanya "Dan kau akan mati kelaparan karena kau tidak mendapatkan nafkah untuk waktu yang panjang, karena setiap kali ka mi a kan mencarimu" "Ada beberapa alasan. Pangeran tidak mengenal aku dengan baik. Ada berpuluh-puluh orang tukang satang yang berpakaian seperti aku. Ke mudian, aku tidak akan ke laparan meskipun aku tidak turun ke bengawan untuk waktu yang la ma, karena aku juga seorang petani yang dapat hidup dari hasil sawahku. Apakah dengan demikian Pangeran juga akan menangkap semua petani di Surakarta" Atau barangkali di daerah yang lebih se mpit, aku adalah petani dari Sukawati" Pengakuan itu bagaikan guruh yang meledak di atas tepian. Anak-anak dari Jati Aking itu terkejut bukan buatan. Mereka sudah pernah mengenal petani dari Sukawati. Tetapi tiba-tiba saja di ma la m hari mereka sa ma sekali t idak dapat mengenalnya. Karena itu maka merekapun segera mencoba untuk menga matinya di dala m gelapnya mala m. Tetapi, rasa-rasanya orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati ini me mang agak lain. Orang ini agaknya lebih pendek sedikit dari orang yang dikenalnya bernama petani dari Sukawati itu. "Tudung kepa lanya yang tinggi itulah barangkali yang me mbuat ia agak lain. Biasanya ia me makai caping yang rendah" berkata Juwiring di da la m hatinya. Namun dala m pada itu bukan saja ketiga anak-anak Jati Aking itu yang terkejut mendengar pengakuan tukang satang yang menyebut dirinya juga sebagai petani dari Sukawati. Beberapa orang di antara mereka pernah mendengar nama itu. Pernah mendengar seseorang menyebut dirinya petani dari Sukawati tanpa menyebut na ma sebenarnya. Rudira yang pertama-tama menjumpainya pernah berceritera kepada saudara-saudaranya tentang orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu.
Karena itu, maka dada mereka menjadi se makin berdebaran. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya paling tua di antara para bangsawan kemanakannya itupun berdiri termangu-mangu untuk beberapa la manya. "Nah Pangeran" berkata petani dari Sukawati "Pangeran dapat menangkap se mua petani dari Sukawati. Tetapi ka mi adalah rakyat yang tinggal di dalam daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi. Karena itulah maka setiap tindakan terhadap kami, para petani dari Sukawati, Pangeran harus me mpersoalkannya lebih dahulu dengan Pangeran Mangkubumi" Pangeran Hargasemi masih tetap berdiam diri. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, ma ka untuk beberapa la manya ia berdiri saja seperti patung. Dala m pada itu, terdengar tukang satang yang juga menyebut dirinya petani dari Sukawati itu berkata "Sudahlah Pangeran. Kita hentikan persoalan ini sa mpa i di sini. Biarlah anak-anak Jati Aking itu pergi tanpa diganggu dan tanpa mengganggu Pangeran dan para bangsawan-bangsawan muda yang lain. Akupun akan minta diri. Mudah-mudahan Pangeran tidak me mbuka persoalan dengan kakanda Pangeran, yang me mpunyai ka lenggahan di daerah Sukawati itu. Jika Pangeran berurusan dengan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran agaknya akan menyesal, karena Pangeran sudah mengetahui sikap dan pendirian Pangeran Mangkubumi" Pangeran Hargasemi sama sekali tidak menjawab. Dan orang itu berkata kepada Juwiring "Nah Raden Juwiring. Bawalah kedua anak itu ke mba li. Udara mala m di pinggir bengawan ini agaknya kurang ba ik bagi mereka dan bagi Raden Juwiring sendiri" Juwiring me njadi ragu-ragu sejenak. Na mun orang itu berkata "Silahkan. Akupun akan pergi dari tempat ini. Mungkin
ma la m ini a ku masih mene mukan satu dua orang ke mala man yang akan menyeberang" Juwiring yang termangu-mangu menjawab "Terima kasih" itupun ke mudian
Orang itu tertawa. Katanya "Selamat ma la m" Lalu kepada Pangeran Hargasemi ia berkata "Ingat, jangan ganggu lagi anak-anak itu. Sela mat ma la m" Tukang satang itupun ke mudian melangkah surut beberapa langkah. Ke mudian iapun me loncat dan berlari di tepian yang basah kembali kerakitnya. Namun beberapa langkah ke mudian ia berhenti sebelum ia me loncat ke atas rakitnya. Sejenak ia termangu-mangu. Lalu sambil berpaling ke dalam kege lapan ia berkata "He, kenapa kau berada di situ?" Semua orang yang melihatnya berpaling pula kearah pandangan mata tukang satang itu. Tetapi mereka tidak me lihat sesuatu. "Baiklah" berkata tukang-satang itu "Aku akan pergi lebih dahulu" Tukang satang yang juga menyebut dirinya petani dari Sukawati itupun ke mudian meloncat ke atas rakit. Demikian lincahnya, sehingga rakit yang berada di atas air itu seakanakan sama sekali tidak terguncang oleh loncatannya. Bahkan la mpu minyak yang berada di atas rakit itupun masih tetap menyala berkeredipan di dala m ge lap. Sepercik cahayanya yang jatuh di atas air bengawan yang berwarna lumpur itu me mantul ke ke merah-merahan. Dala m pada itu, ketika tukang satang itu sudah berada di atas rakitnya, Pangeran Hargasemipun mengumpat sambil bergeremang "Gila. Orang gila" Lalu tiba-tiba katanya kepada Juwiring "Kau sangka aku akan me lepaskan kalian pergi. Meskipun tukang satang itu akan ke mbali, namun ka mi akan menangkap kalian bertiga. Aku akan menyelesaikannya dengan kamas Ranakusuma. Agaknya kau merasa bahwa
Senapati perang seperti kamas Ranakusuma itu akan dapat me mbebaskan kau dari kesalahanmu kali ini" Raden Juwiring termangu-mangu. Tanpa sesadarnya ia me mandang tukang satang yang masih ada di atas getek di tepi bengawan. "Kau mengharap bantuannya" Aku tida k peduli siapakah petani dari Sukawati itu. Namanya sesaat dapat me mpesona kami. Tetapi jika ia turun lagi ke tepian, kami akan menangkapnya juga" "Gila" berkata Juwiring di dala m hatinya Hargasemi me mang licik seka li" "Pamanda
"Nah, daripada kau harus mengala mi nasib yang jele k. Menyerahlah" Tetapi Juwiring, Buntal dan Arum justru me mpersiapkan dirinya menghadapi ke mungkinan yang dapat terjadi. Dala m pada itu, terdengar suara tukang satang dari. atas rakitnya "Jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?" "Persetan" Tukang satang itu masih berdiri tegak di dekat la mpu minyak yang berkeredipan disentuh angin. Na mun sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi para bangsawan itu terkejut. Mereka melihat seseorang me langkah me ndekat. di dala m gelap, mereka hanya melihat sebuah bayangan yang kehitamhitaman. "Kalian benar-benar licik dan pengecut" berkata bayangan itu. "Siapa lagi kau?" bertanya Pangeran Hargasemi "ternyata kalian datang bukan seorang diri. Dan kalianpun akan digantung di alun-alun. Se muanya. He, apakah masih ada yang bersembunyi?" "Tida k pa manda. Tidak ada yang bersembunyi"
"O, siapa kau?" Bayangan itu mende kat. Beberapa langkah di hadapan Pangeran Hargasemi ia berhenti dan berkata "Apakah pamanda tidak mengenal aku lagi?" Sejenak Pangeran Hargasemi me mandang orang itu dengan saksama. Tetapi mala m menjadi bertambah gelap. Karena itu ia tidak segera mengenalnya. "Seharusnya pamanda tidak lupa kepadaku. Bukankah belum terlalu la ma aku meninggalkan Surakarta. Barangkali adimas Juwiring lebih la ma berada di Jati Aking daripada aku" "Siapa kau, siapa?" "Said. Apakah pa manda mengena l na ma itu" "He" jantung Pangeran Hargase mi seakan-akan berhenti berdetak. Lamat-lamat ia mendengar tukang satang itu tertawa. Tetapi kini hatinya dicengka m oleh orang yang berdiri dihadapannya itu. "Apakah pa manda mengenal aku" "Said, Said" suara itu terdengar bergetar. Dan tiba-tiba saja ia menjadi pucat, seperti bangsawan-bangsawan yang lain.
"Maaf pamanda, bahwa aku tiba-tiba saja telah mengganggu. Adalah kebetulan saja a ku berada di te mpat ini" Pangeran Hargasemi tida k segera menjawab. Dipandanginya bayangan itu dengan saksama. Dan sebenarnyalah bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Raden Mas Said. "Pamanda " berkata Raden Mas Said "permainan pa manda benar-benar mengerikan. Apalagi pamanda sudah mendapat peringatan dari pa manda. eh, maksudku tukang satang itu" "Kau kenal tukang Hargasemi. satang itu?" bertanya Pangeran
"Tida k pa manda. Tetapi siapapun orang itu, namun ia bersikap jantan. Dan pa manda harus menghargainya" "Tetapi, tetapi apa sangkut pautmu dengan permainanku ini?" "Perma inan yang menyangkut na ma baik kita semua. Sikap pamanda tida k mencerminkan sikap seorang bangsawan yang baik. Karena itu, seharusnya pa manda tidak mela kukannya" Pangeran Hargasemi menggera m. Katanya "Said, kau ternyata telah berkhianat terhadap Surakarta. Jika kehadiranmu di sini diketahui oleh kumpeni, maka kau akan ditemba k mati tanpa a mpun" "Jika mereka dapat me lakukan, tentu sudah mereka lakukan" "Kau licik sekali. Tetapi bukankah kau sudah berjanji kepada kamas Pangeran Mangkubumi untuk tidak me mbuat kerusuhan lagi?" "Ya. Aku sudah menyatakan kepada pamanda Pangeran Mangkubumi. Pamanda Pangeran Mangkubumi adalah orang yang sempurna bagiku. Ia seorang yang menjunjung tinggi perike manusiaan. Dari sudut itulah terutama pandangan
Pangeran Mangkubumi, kenapa ia menghentikan pemberontakanku. Pangeran Mangkubumi melihat korban semakin berjatuhan di kedua belah pihak, sedang tujuanku rasa-rasanya masih sangat jauh. Tetapi sudah barang tentu bukan maksud pa manda Mangkubumi menentang cita-citaku. Dan itu aku paha mi, karena sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga me mpunyai pendirian yang sa ma. Tetapi karena kematangannya berpikir, maka perhitungannya jauh lebih cermat dari padaku. Dan itu aku akui" Raden Mas Said berhenti sejenak, lalu "Tetapi jika aku berjanji kepada pamanda Pangeran untuk menghentikan gerakanku untuk sementara, bukan berarti aku harus me mbiarkan pamanda Pangeran Hargasemi untuk berbuat sewenang-wenang, karena aku tahu, bahwa pamanda Pangeran Mangkubumipun me mbenci tingkah laku yang de mikian" "Bohong. Jika ka mas Pangeran Mangkubumi melihat kau ada di sini, maka kau akan ditangkapnya. Kau tidak akan dapat menghindari tangannya yang bagaikan me miliki ke ma mpuan seribu pasang tangan" "Dan pamanda me miliki aji pame ling dan penggenda m. Jika pamanda menghendaki, pa manda dapat menangkap aku sekarang. Tetapi tidak. Dan aku yakin, pamanda Pangeran Mangkubumi mengetahui, bahwa aku ada di sini. Nah, sekarang sebaiknya pamanda Pangeran Hargase mi me mbiarkan adimas Juwiring dan kedua ana k-anak muda Jati Aking itu meninggalkan arena permainan pamanda yang me mua kkan ini. Berbeda dengan pa manda Pangeran Mangkubumi, aku adalah seorang yang kasar dan barangkali pamanda Pangeran Hargasemi a kan menyebutku liar. Tetapi tidak apa. Pamanda Pangeran Mangkubumi a kan berbuat dengan bijaksana. Tetapi mungkin a ku akan berbuat lain. Aku akan me matahkan lengan pa manda Hargase mi dan barangka li me le mparkan salah seorang dari kamas atau dimas yang ada di sini ke da la m bengawan"
Ancaman itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya mumpuni itupun tiba-tiba telah menjadi ge metar. Raden Mas Said memang dapat berbuat apa saja seperti yang dikatakan. Apalagi apabila di dala m gelapnya mala m, di balik pepohonan di pinggir bengawan itu bersembunyi orang-orangnya. Meskipun menurut penglihatan sehari-hari Raden Mas Said sudah tidak berbuat apa-apa lagi, tetapi ternyata pada suatu saat ia masih mungkin me lakukan suatu tinda kan yang berbahaya. "Pamanda Pangeran" berkata Raden Mas Said "Aku tahu benar, siapakah pamanda ini. Pamanda adalah sahabat kumpeni yang paling baik. Karena itu, sebenarnya bagi aku, adalah cukup alasan untuk mele mparkan pa manda ke dala m bengawan. Tetapi sebaiknya aku me ngingat pesan pa manda Mangkubumi, bahwa masih dicari jalan yang lebih baik untuk mengungkat harga diri kita sebagai bangsa di mata orang asing itu. Dan a ku sebaiknya tidak berbuat sesuatu yang merugikan usaha pa manda Pangeran Mangkubumi. Tetapi jika usaha itu gagal, Pangeran Mangkubumi yang berwatak air dan api itu, akan dapat bertindak dengan dahsyat sekali. Air adalah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, demikian juga api. Tetapi jika air itu datang bagaikan banjir bandang, dan api menya mbar bagaikan lidah langit yang menyala, maka manusia adalah mahluk yang sangat le mah menghadapinya" Kata-kata itu benar-benar telah melumpuhkan hati bangsawan-bangsawan muda yang ada di pinggir bengawan itu. Bahkan Pangeran Hargasemipun sa ma sekali tidak berdaya menghadapi ancaman itu. Maka iapun ke mudian menundukkan kepa lanya dengan lesu. "Sudahlah pa man" berkata Raden Mas Said "aku tidak dapat terlalu lama bersada di sini. Tetapi biarlah aku menyaksikan adimas Juwiring meninggalkan tempat ini bersama kedua anak-anak muda dari Jati Aking itu" lalu
katanya kepada Juwiring "tinggalkan tempat ini adimas. Bawalah Buntal dan Arum bersa ma mu" Juwiring mengerutkan keningnya. Ternyata Raden Mas Said itu mengenal na ma Buntal dan Arum. Tetapi Juwiring tidak sempat bertanya. Karena Said berkata "Cepat, sebelum ada sikap yang dapat me mba kar dadaku, dan me mbuat aku kehilangan ke kang atas diriku sendiri menghadapi bangsawanbangsawan cengeng itu" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Lalu katanya "Terima kasih ka mas. Aku minta diri" "Ke mbalilah kepada pamanda Ranakusuma. Katakan kepada pamanda Ranakusuma, apa yang kau lihat di sini. Bukan maksudku menentang pa manda Ranakusuma, Senapati yang sulit dicari tandingnya di peperangan. Tetapi sekedar mohon agar pamanda Ranakusuma menjadi lebih mengerti menghadapi pengkhianat-pengkhianat seperti aku ini" Juwiring menjadi berdebar-debar. "Pergilah adimas. Mudah-mudahan kau menjadi sumber kesadaran pamanda Ranakusuma, bahwa sebenarnyalah ia sebangsa dengan aku dan dengan pa manda Pangeran Mangkubumi. Meskipun ia seorang Senapati yang pilih tanding, tetapi aku masih berharap bahwa pada suatu saat pamanda Ranakusuma menyadari kediriannya" Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku akan mencoba ka mas" "Nah, pergilah" Juwiringpun ke mudian berpaling kepada Buntal dan Arum yang menghayati peristiwa itu dengan hati yang tersentaksentak. "Marilah kita pergi"
Buntal dan Arum tida k menyahut. Namun ha mpir di luar sadarnya mereka berpaling me mandang ketepi bengawan. Ternyata rakit yang semula berada di situ dengan sebuah la mpu minyak dan tukang satang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu sudah t idak ada di tempatnya. "Rakit itu sudah t idak ada" desis Arum. "Ya" jawab Buntal sa mbil me loncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian ketiga ekor kuda itupun berderap meninggalkan tepian yang basah itu dengan kesan yang aneh di hati ketiga anak-ana k muda itu. "Ternyata di perut kota Surakarta ini tersimpan berbagai maca m isi" desis Arum. "Kau baru melihat sebagian" sahut Juwiring. "Apalagi yang penting?" "Andrawina, kembul dahar dan semacamnya di samping ke melaratan dan ketakutan. Tetapi juga perjuangan dan usaha yang tidak henti-hentinya seperti yang baru saja kita lihat" "Ya. Aku telah salah duga terhadap Surakarta" berkata Arum "ternyata Surakarta bukan sebuah, lumbung orangorang yang pasrah, pengecut dan tamak. Ternyata di sini ada anak-anak muda yang terjaga seperti Raden Mas Said" "Dengan de mikian kita masih me mpunyai harapan. Juga terhadap petani dari Sukawati itu" "Petani yang aneh" desis Buntal "Apakah keadaan se maca m itulah yang dapat disebut seseorang mampu mencela putra manda la puteri?" "Mungkin. Tetapi petani dari Sukawati menyimpan seribu ke mungkinan" itu me mang
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berdesis "Apa yang kita lihat sekarang atas petani dari Sukawati itu ternyata berlainan dengan yang pernah kita lihat sebelumnya, dan mungkin se kali akan berbeda dengan yang akan kita lihat ke mudian" "Tetapi orang-orang yang me miliki ketajaman pandangan akan dapat mengenalnya. Tentu ka mas Said dapat mengenalnya pula" "Agaknya me mang de mikian. Tetapi apakah Pangeran Hargasemi tidak dapat mengenalnya?" "Mungkin ia sama sekali tidak menduga, sehingga ia tidak menghubungkan petani dari Sukawati, yang datang sebagai tukang satang itu dengan pa manda Pangeran Mangkubumi" Buntal mengangguk-angguk. Ke kagumannya kepada para pemimpin yang sebenarnya masih tetap bersikap, menjadi semakin besar. Meskipun agaknya untuk beberapa langkah di permulaan itu petani dari Sukawati dan Raden Mas Said tidak sejalan, tetapi agaknya mereka me mpunyai arah yang sama. Dan seperti dikatakan oleh Raden Mas Said sendiri, Pangeran Mangkubumi me mpunyai pertimbangan yang lebih matang dari pertimbangan seorang anak muda. Demikianlah merekapun ke mudian saling berdia m diri dalam cengka man angan-angan masing-masing, se mentara kuda-kuda mereka berlari-lari kecil di jalan kota yang mulai sepi. Lampu-la mpu minyak berkeredipan di sudut-sudut jalan menerangi kota yang menjadi sura m. Sementara itu, di tepi bengawan, Pangeran Hargasemi dan para bangsawan yang lainpun segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Mereka dengan hati yang berdebardebar me lihat Raden Mas Said meninggalkan mereka. "Tukang satang itu sudah pergi" katanya sambil berpaling "Tetapi jangan sangka bahwa kau dapat melepaskan diri dari pengawasannya. Petani dari Sukawati itu adalah orang yang
dapat melihat apa yang ingin dilihatnya. Ia tidak terkekang oleh batas dan te mpat" Dada Pangeran Hargasemi dan ke manakan-ke manakannya menjadi sema kin berdebaran. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut. Baru ketika Raden Mas Said hilang dari tatapan mata mereka, maka Pangeran Hargasemipun segera pergi ke kudanya yang diikat agak jauh dari te mpat itu. Para bangsawan yang lainpun setelah menga mbil kuda masingmasing segera mengikutinya. "Aku tidak tahu, siapakah yang curang" geram Pangeran Hargasemi untuk melontarkan kekecilan diri "Said atau ka mas Mangkubumi. Menurut keterangan kamas Mangkubumi, Said dan pengikut-pengikutnya sudah tidak akan mengganggu Surakarta lagi" Salah seorang bangsawan muda yang mengikut i Pangeran Hargasemi itu berdesis "Apakah petani dari Sukawati itu dapat diserahkan saja kepada pa manda Pangeran Mangkubumi?" "Bodoh kau" bentak Pangeran Hargasemi yang sedang kecewa itu "Ka mas Pangeran tentu akan melindunginya seandainya ia tahu, siapakah orang yang menyebut dirinya tukang satang itu dan kemudian mengaku pula sebagai petani dari Sukawati. Dan hal yang serupa ini me mang harus dilaporkan kepada kumpeni. Agaknya Sukawati me miliki orang-orang yang sudah terlatih dengan baik untuk menghadapi keadaan yang se makin gawat. Dan agaknya kamas Pangeran Mangkubumi tidak sekedar berma in-main" Bangsawan-bangsawan muda yang lain tidak menyahut. Ketika Pangeran Hargasemi ke mudian meloncat ke punggung kuda, ma ka anak-anak muda itupun segera berpacu meninggalkan tepi bengawan yang menjadi senyap dan gelap.
Ternyata apa yang telah terjadi itu telah menggoncangkan hati beberapa orang bangsawan muda di Surakarta. Meskipun tanggapan mereka berbeda-beda. Yang kemudian menjadi persoalan di dalam hati mereka, justru bukannya Arum dan Buntal yang dengan sengaja telah mereka lupakan. Yang ke mudian selalu terbayang adalah sikap beberapa orang bangsawan yang terpandang di Surakarta. Paman dan ke manakan-ke manakan mereka sendiri. Alangkah jauh bedanya, bagaikan siang dan mala m, dan bagaikan langit dan bumi, jika mereka bertemu dengan saudara sepupu mereka yang bernama Raden Mas Said dan juga Juwiring yang sudah beberapa lama berada di Jati Aking, dibandingkan dengan diri mereka sendiri, atau pamanda para bangsawan-bangsawan muda itu yang lain. Mereka akan tergetar juga hatinya jika mereka menyebut na ma Pangeran Mangkubumi, dan beberapa orang bangsawan yang dengan tegas menentang kekuasaan kumpeni yang se ma kin bertambah-ta mbah. Beberapa di antara mereka menjadi terguncang. Mereka mulai berpikir dan menilai diri sendiri. Apakah yang selama itu sudah dilakukan" Dan dengan susah payah mereka mencoba me mbayangkan sikap Juwiring, meskipun ayahandanya, Pangeran Ranakusuma adalah seorang yang termasuk de kat dengan kumpeni, apalagi ibu tirinya, ibu Raden Rudira. Lebih tajam lagi adalah sikap Raden Mas Said, yang sudah dengan tanpa tedeng aling-aling me mbuka medan peperangan me lawan kumpeni. Dan lebih dari itu semuanya adalah sikap Pangeran Mangkubumi yang bagaikan air bengawan yang sangat dalam. Tegas, dan seakan-akan mengandung kekuatan tersembunyi yang sulit dijajagi, meskipun dila mbari dengan kebijaksanaan yang matang. Namun justru kekuatan yang matang seperti kematangan sikap dan kebijaksanaannya itulah yang sangat berbahaya bagi kedudukan kumpeni di Sura karta. Bukan saja para bangsawan yang bersikap le mah menghadapi kehadiran orang asing itu karena berbagai maca m alasan, mungkin karena harta benda yang melimpah,
mungkin karena didorong oleh nafsu berkuasa dan pangkat, mungkin oleh ke inginan yang lain lagi yang beribu maca m itulah, na mun juga Raden Mas Said kadang-kadang menjadi bingung me nghadapi sikap Pangeran Mangkubumi. Kadangkadang Raden Mas Said yang muda itu tida k telaten menunggu, seakan-akan menunggu turunnya hujan dimusim kering. Ketika pada suatu saat, Raden Mas Said tidak dapat menahan hati lagi, maka ia me merlukan dengan dia m-dia m menghadap pa manda Pangeran Mangkubumi untuk mendapatkan penjelasan tentang sikapnya yang sulit dimengerti itu. "Pamanda, apakah aku masih harus menunggu?" bertanya Raden Mas Said "sela ma ini aku me matuhi perintah pa manda agar untuk sementara aku menyingkir. Tetapi sekarang pamanda masih be lum berbuat apa-apa sehingga kumpeni rasa-rasanya menjadi se makin berpengaruh atas Surakarta" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya "Said. Banyak hal yang masih harus dipertimbangkan. Jika aku menga mbil sikap yang keras sebelum aku matang berpikir, maka yang terjadi adalah sekedar bentrokan tanpa arah. Kita berdua sudah berhasil menghindarkan diri dari benturan dan adu domba, meskipun kau harus banyak berkorban karena kau harus menarik diri dari te mpat yang sudah berhasil kau duduki. Na mun se mentara itu, aku mendapat kese mpatan untuk menyusun ke kuatan. Dan dala m masa yang senggang ini, aku yakin bahwa kaupun mendapat kesempatan serupa. Kau dapat menyegarkan orang-orangmu. Jika perlu pada suatu saat semuanya akan dapat melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Sementara ini kita dapat bersikap seperti keadaan kita selama ini, seolah-olah kita adalah domba aduan yang saling bertengkar. Sokurlah bahwa ada usaha lain yang dapat dilakukan sela in kekerasan" "Tida k mungkin pa manda. Tidak akan ada ja lan lain"
"Said, coba renungkan. Mungkin aku dipengaruhi oleh sikap yang cengeng sehingga aku tidak dapat bertindak seperti kau" Pangeran Mangkubumi terdia m sejenak. Kepalanya tiba-tiba menunduk dala m-da la m, dan suaranya menjadi datar "Aku menjadi ngeri mendengar anca man kumpeni dan anca manmu akhir-akhir ini" "Maksud pa manda?" "Said. Ketika anak buahmu berhasil me mbinasakan enam orang kumpeni di pinggir kota, bukankah kumpeni menge luarkan maklumat, untuk menangkap orang yang me mbunuh kumpeni itu. Jika dala m waktu yang ditentukan pembunuh itu tida k tertangkap, maka kumpeni akan menga mbil sepuluh nyawa sebagai ganti setiap kumpeni yang terbunuh. Dan sepuluh nyawa itu adalah sepuluh nyawa bangsa kita siapapun mereka. Bersalah atau tidak bersalah" "O" Raden Mas Said menganggukkan kepalanya "Aku sudah menjawab pa manda" "Bagaimana jawabmu?" "Jika kumpeni me laksanakan anca man itu, maka setiap orang bangsa kita yang terbunuh, aku akan mengambil sepuluh orang sebagai gantinya" "Kumpeni?" "Ya, atau orang yang berpihak kepada mereka dan apa lagi yang terbukti me mbantu mereka " Pangeran Mangkubumi me narik nafas dalam-da la m. Dengan nada yang berat ia berkata "Said. Aku mengerti caramu berpikir. Mungkin pada suatu saat, kita tidak dapat menghindarkan diri dari t indakan serupa itu. Tetapi sebelum kita kehilangan sepuluh ganda yang tiada akan henti-hentinya, maka aku akan mencoba mene mpuh jalan lain" Raden Mas Said mengerutkan keningnya. Lalu di antara kedua bibirnya ia berdesis "Maksud pa manda?"
"Said. Baik sepuluh orang untuk menukar jiwa seorang kumpeni, maupun ke mudian sepuluh orang dari setiap orang yang terbunuh oleh kumpeni itu, adalah darah. daging kita. Mungkin mere ka adalah pengkhianat-pengkhianat. Mungkin mereka me nodai perjuangan kita untuk menegakkan kebebasan kita. Tetapi bagiku Said, rasa-rasanya masih terlampau pedih me lihat mereka menjadi sasaran ke marahan kita dan juga sasaran ke marahan kumpeni" "Jadi maksud pa manda, agar kita bertindak lebih lunak lagi sehingga se makin banyak orang yang akan berpihak kepada orang asing itu?" "Tida k Said. Hanya caranya sajalah yang harus kita pertimbangkan baik-ba ik. Jika kita dapat memberikan kesadaran kepada rakyat kita tanpa ke kerasan, sehingga mereka merasa bertanggung jawab terhadap hari depan kita sendiri, maka kita akan berbesar hati" "Pamanda. Setiap cita-cita harus dila mbari kesediaan untuk berkorban. Memang mungkin akan ada korban yang jatuh. Jika kita hanya sekedar inginkan cita-cita tanpa berani mengatasi kesulitan, maka tidak ada yang akan dapat kita capai, karena setiap cita-cita tentu akan mene lan bebanten. Dala m keadaan yang sema kin gawat ini, tentu kita tidak dapat sekedar menunggu. Dan aku minta ijin untuk me mulai ke mba li perjuangan yang panjang ini pa man"
"Said. Aku me ngerti. Jiwa mu yang muda dan bergolak bagaikan api di kawah Gunung Merapi itu merupakan penggerak yang utama bagi kita. Tetapi aku minta waktu sedikit lagi. Mudah-mudahan a ku berhasil, atau jika t idak, maka persiapan kitapun akan me njadi se ma kin matang. Jika ke mudian terpaksa harus jatuh korban, apaboleh buat" Raden Mas Said menarik nafas dalam-dala m. Ia sebenarnya tidak sabar lagi menunggu. Tetapi Pangeran Mangkubumi adalah satu-satunya orang yang disegani di Sura karta Karena itu, betapa hati menggelegak, na mun ia masih tetap menahan diri. Ia masih harus berse mbunyi dan menurut nasehat pamannya, agar ia tidak berbuat sesuatu. Setiap kali terngiang di telinganya "Said, Jika aku berhasil me mada mkan api yang kau nyalakan, maka aku akan mendapat banyak kesempatan me mpersiapkan Sukawati. Kecurigaan terhadapku akan berkurang, dan aku dapat menuntut hak resmi atas tanah Sukawati itu. Bukan karena keta makanku, bahwa aku mengorbankan cita-cita mu sekedar untuk mendapat tanah kalenggahan yang luas. Tidak. Tetapi yang penting bahwa aku dan kau akan mendapat kesempatan mene mpa diri, itulah yang penting. Dengan persetujuan itu aku mendapat banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu di Sukawati, dan kau sekarang tidak lagi mendapatkan banyak pengawasan. Karena kau menghentikan kegiatanmu, maka kumpeni agaknya menganggap bahwa apimu telah ha mpir pada m" Raden Mas Said hanya menundukkan kepalanya saja. "Marilah untuk se mentara kita tetap dalam sikap kita. Kau pergunakan kesempatan ini untuk me mpersiapkan pasukanmu yang tersebar. Sedang aku akan me mpersiapkan orangorangku. Jika kumpeni tidak mau menyadari keadaan, kita akan bergerak dengan kekerasan. Dan apaboleh buat. Namun sementara ini, aku adalah orang yang berhasil menghentikan kegiatanmu. Dan aku minta kau menerimanya dengan re la"
Raden Mas Said tidak pernah dapat menolak sikap pamannya itu. Pamannya me mang seorang yang me mpertimbangkan perjuangan dari segala segi. Dan pamannya tidak sampa i hati me lihat korban berjatuhan dari hari kehari dan se ma kin la ma se ma kin berganda. Namun, setelah hal itu berlaku beberapa saat, ternyata kumpeni tidak juga merubah sikapnya. Setiap kali kumpeni justru menunjukkan sikap angkuhnya dan seakan-akan bahwa bangsa yang berkulit putih itu me mpunyai martabat yang lebih tinggi dari bangsa yang berkulit sawo. Dala m pada itu Pangeran Mangkubumipun sadar, bahwa Raden Mas Said tentu akan semakin bersakit hati terhadap kumpeni, na mun da la m pada itu, Pangeran Mangkubumi yang me lihat ke mungkinan yang tipis untuk merubah keadaan tanpa kekerasanpun telah me mpersiapkan diri sebaik-ba iknya. Meskipun de mikian, setiap kali Pangeran Mangkubumi masih diragukan O leh hubungan ka kak beradik dengan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Sebagai dua orang bersaudara, Pangeran Mangkubumi adalah adik yang dekat dari Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Tetapi dari sikap dan pandangan hidup, mereka semakin la ma seakan-akan me njadi sema kin jauh. Raden Mas Said melihat persoalan yang rumit di dala m diri Pangeran Mangkubumi itu. Darah mudanyalah yang setiap kali mendorongnya untuk me nghadap pa manda dengan dia mdia m. Dan setiap kali ia selalu me mpersoalkan keadaan yang menurut pertimbangannya menjadi se makin sura m. "Aku mengerti Sa id" jawaban itu sela lu didengar oleh Raden Mas Said yang muda. "Kapan kita akan berbuat sesuatu pamanda. Bukan sekedar pengertian atas segalanya yang terjadi"
"Ya, ya. Kita akan berbuat sesuatu. Tetapi jika kau me mperhatikan keadaan, maka sedikit de mi sedikit, aku berhasil me mpengaruhi Kangjeng Susuhunan. Beberapa perkem bangan sikap terasa sangat mengge mbira kan" "Tetapi sikap itu tidak terasa sampai ke lapisan yang paling rendah dari rakyat kita pa man" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Lalu katanya "Said. Aku ingin seka li waktu kau datang ke Sukawati" Demikianlah dala m waktu yang sudah ditentukan, Pangeran Mangkubumi menunggu kehadiran Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi tersenyum melihat Raden Mas Said itu datang sebagai seorang yang berambut putih dan me mbawa beberapa bilah keris. "Ke marilah Kiai" berkata Pangeran Mangkubumi "Aku me mang me merlukan sebilah keris dapur Mendarang" Raden Mas Said itupun tersenyum. Tetapi ia berbisik "Kumpeni menje lajahi padukuhan di sebelah Timur bengawan" Pangeran bengawan?" Mangkubumi terkejut "Sebelah Timur
"Ya paman. Tetapi karena aku telah terlanjur berjanji untuk datang, akupun datang pula dengan cara ini" Namun sikap kumpeni itu me mbuat dada Pangeran Mangkubumi menjadi bergejolak. Kumpeni sudah menjelajahi daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah tersinggung. "Mereka mulai curiga terhadap kediamanku sela ma ini" desis Raden Mas Sa id. "Baiklah Sa id. Tinggallah di sini beberapa saat" Dan yang beberapa saat itu dipergunakan oleh Raden Mas Said sebaik-baiknya. Baru ke mudian setelah mengenal serba sedikit atas tanah Sukawati, ia mengangguk-angguk sambil berkata "Agaknya paman me mang me miliki
perhitungan yang jauh lebih matang. Kini aku tahu, bahwa sebenarnyalah pamanda tidak sedang tertidur di atas Tanah Sukawati. Maaf pamanda, sebenarnyalah sebelumnya ada dugaanku, bahwa paman mula i terlena di atas kehijauan sawah Sukawati yang subur ini" Pangeran Mangkubumi tersenyum. Katanya "Nah, sejak saat ini, kita me mang sudah didesak untuk se ma kin matang menghadapi keadaan. Jika kita harus mempergunakan kekerasan, kitapun akan me mpergunakannya. Namun kita harus menyadari, bahwa kita berbuat sesuatu untuk ke manusiaan aan dilandasi oleh ke manusiaan, sehingga akibat perang yang terlampau ganas dan mengerikan harus kita hindari sejauh-jauh dapat kita lakukan" Raden Mas Said meningga lkan Sukawati dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan ia melihat, bukan saja Sukawati yang telah berhasil dibentuk oleh Pangeran Mangkubumi, na mun rakyat di sekitarnyapun mulai dijalari oleh sikap yang serupa. Sehingga karena itulah, maka Raden Mas Sa id justru menjadi semakin mapan menilai pa mandanya, Pangeran Mangkubumi. Dan bahwa sebenarnyalah pamannya telah menyiapkan diri seperti yang dikatakannya. "Dengan persiapan yang lebih baik, kita tidak terperosok ke dalam sikap yang bodoh, seperti serangga terbang ke dalam api" berkata Raden Mas Said di dala m hatinya. Demikianlah Surakarta benar-benar bagaikan gunung berapi yang tampaknya tenang dan Agung. Terapi sebenarnyalah didalamnya bergolak api yang tiada tara panasnya. Dala m pada itu di dala m ke melutnya keadaan, Pangeran Ranakusuma sebagai seorang Senapati yang berpengaruh di Surakarta, mendapat banyak keterangan-angan dan laporanlaporan mengenai keadaan yang buram. Namun sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma sedang menghadapi
Neraka Karang Hantu 1 Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api Ratu Tanah Terbuang 2
^