Pencarian

Bunga Di Batu Karang 19

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 19


Sebelum Kangjeng Susuhunan menga mbil keputusan, ternyata usaha untuk me misahkan Pangeran Mangkubumi dari rakyatnya itu sudah diketahuinya, sehingga dengan de mikian, maka Pangeran Mangkubumipun dengan tergesa-gesa telah menyiapkan dirinya menghadapi setiap ke mungkinan. Dala m kalutnya udara di atas Surakarta itu, maka di padepokan Jati Aking, Buntal dan Arum sela lu melatih diri, untuk mendapatkan tingkat ke ma mpuan yang me madai di dalam suasana yang se makin panas itu. Bahkan bukan saja Buntal dan Arum, tetapi Raden Juwiring masih juga kadang-kadang datang mene mui gurunya. Tetapi ternyata semakin la ma menjadi sema kin jarang. Bahkan kadang-kadang untuk wa ktu yang cukup panjang, Juwiring. sa ma sekali tida k mena mpakkan diri di padepokannya. Buntal merasakan kela inan itu. Dan apalagi apabila setiap kali Arum selalu bertanya kepadanya, kenapa Juwiring sudah terlampau la ma tidak mengunjungi padepokan. Meskipun perasaan rindu kadang-kadang tersembul juga di hati Buntal, na mun kerinduan Arum terhadap Juwiring itu kadang-kadang terasa menyentuh hatinya. Ia sendiri tidak berani mendengar apakah sebabnya, maka kadang-kadang ia tidak senang mendengar Arum selalu bertanya tentang Juwiring. "Kita sa ma-sa ma mengerti" jawabnya suatu kali ketika tidak pada Arum
bertanya kepadanya, kenapa Juwiring sudah la ma tidak berkunjung. "Barangkali Raden Juwiring pernah mengatakan sesuatu kepadamu, tetapi tida k kepadaku" sahut Arum. "Tida k. Raden Juwiring tidak pernah mengatakan apapun kepadaku. Sebenarnyalah aku juga mengharap ia datang. Tetapi selebihnya aku tida k mengerti" Arum tidak bertanya lagi. Ia dapat mengerti jawaban Buntal. Namun ia tidak dapat merasakan, bahwa di balik katakata anak muda itu terselip perasaan yang asing bagi Arum. Demikianlah, Juwiring se makin la ma menjadi semakin jarang datang kepada gurunya, sehingga pada suatu saat, rasa-rasanya Juwiring telah benar-benar melupa kan, bahwa ia adalah anak yang diasuh di dalam olah kanuragan di padepokan Jati Aking. Dala m pada itu, Juwiring sendiri ternyata telah tenggelam di dala m hidup keluarganya yang-mulai menjadi tenang. Rara Warih mulai menyadari, apakah arti Juwiring bagi keluarganya. Ia adalah seorang anak muda yang baik dan me miliki ilmu yang cukup, me la mpaui ka kaknya Raden Rudira. Bukan hanya di dala m olah kanuragan, tetapi di dala m segala hal. Warih tidak pernah mendengar Juwiring me mbentakbentak, berteriak tidak ada artinya dan me merintahkan para pelayan dan pengawalnya untuk melakukan sesuatu yang aneh. Hampir di dala m setiap tindakan, Juwiring me lakukannya dengan penuh tanggung jawab, sehingga dengan demikian, maka para pelayan, abdi dan pengawal, yang semula tidak mau me ngerti kenapa anak itu harus hadir di istana ayahandanya, mulai menyesal atas sikapnya. Selain ketenangan yang berangsur-angsur pulih ke mbali, maka Juwiringpun ternyata telah mene mukan seorang guru yang baru. Ayahandanya sendiri.
Ternyata ayahandanya juga memiliki ke ma mpuan yang luar biasa. Ilmunya yang tinggi dan pengalamannya yang luas, me mbuat Pangeran Ranakusuma benar-benar seorang Panglima. Dari ayahandanya itulah Juwiring menyadap ilmu kanuragan di samping ilmu yang telah dimilikinya. Ternyata ayahandanyapun tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Ia me mpe lajari serba sedikit ilmu yang dimiliki Juwiring. Kemudian me mberikan ilmunya tanpa menumbuhkan pertentangan di dala m diri anak laki-lakinya itu. Dari hari kehari na mpa k, bahwa Juwiring benar-benar seorang yang memiliki daya tangkap yang luar biasa atas ilmu kanuragan. Apalagi ia sudah me mpunyai dasar pengetahuan secara umum bagi olah kanuragan itu, sehingga ia tidak banyak mene mui kesulitan menerima ilmu dari ayahandanya. Bahkan dari hari kehari, ilmunya menjadi kian meningkat dengan pesatnya. Pangeran Ranakusuma sendiri merasa heran, bahwa Juwiring akan ma mpu menangkap ilmu yang diberikan itu begitu cepat. Dengan de mikian, maka perlahan-lahan istana Ranakusuman itupun telah melupakan seorang pere mpuan bangsawan yang pernah berkuasa. Bahkan Warih sendiri perlahan-lahan me lupakan ibunya yang berada di rumah kakeknya. Bukan melupa kannya sebagai seorang ibu, tetapi me lupakan kejutan yang mengguncangkan isi istana itu. Setiap kali Warih masih selalu bertanya tentang keadaan ibunya. Tetapi ia tidak mau datang menengoknya sebelum ia yakin bahwa ibunya tidak akan dipengaruhi lagi oleh kenangan yang sangat pahit itu. Tetapi dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma sendiri sa ma sekali tida k pernah menyebutnya lagi. Ia tidak ingin terle mpar di dalam kenangan yang sangat pedih. Ia mencoba mengisi waktunya untuk kepentingan kedua anaknya. Juwiring dan Warih.
Dengan sepenuh perhatian, Pangeran Ranakusuma mene mpa Juwiring agar menjadi seorang La ki-laki yang mumpuni, di dala m olah kanuragan, di dalam olah kajiwan, dan ilmu pe merintahan. Pangeran Ranakusuma me manggil seorang yang ahli untuk me nuntun Juwiring agar ia menjadi seorang bangsawan yang baik di segala bidang. Sedang bagi Warih, Pangeran Ranakusuma menyerahkannya kepada seorang perempuan yang meskipun sudah agak lanjut usia, tetapi masih me mpunyai kelincahan di dalam banyak hal. Me masak, menghias diri, me melihara dan mengatur rumah seisinya. Seperti cita-citanya bagi Juwiring, maka Pangeran Ranakusumapun mengharap agar Warih menjadi seorang perempuan bangsawan yang sempurna. Bukan saja seorang bangsawan yang cantik dan pandai menghias diri, tetapi ia harus menjadi seorang perempuan bangsawan yang ma mpu menjadikan ruma h tangganya kelak, sebuah rumah tangga yang tenang da mai dan berwibawa. Dengan de mikian, dengan kesibukan yang semakin meningkat, Juwiring benar-benar tidak pernah lagi datang ke padepokan Jati Aking. Ia tenggelam dala m latihan-latihan olah kanuragan, belajar ilmu-ilmu yang lain yang harus dimilikinya dan sedikit waktu untuk beristirahat dan menyesuaikan diri dengan kedudukannya. Sekali-sekali Juwiring pernah mengikut i ayahnya di dala m himpunan para bangsawan dan mulai berkenalan dengan orang asing yang berkuasa di Surakarta. "Kau harus bersikap baik terhadap mereka Juwiring" berkata ayahnya "Apapun yang kau simpan di dala m hati, tetapi di hadapan mereka, kau harus menunjukkan sikap yang sopan dan beradab, agar kita tidak disebutnya sebagai bangsa yang tidak mengenal sopan santun dan tidak berperadaban" Dan Juwiring tidak berusaha menentang pesan ayahandanya. Perlahan-lahan ia menyesuaikan dirinya dengan
pergaulan yang semula terasa asing baginya. Namun la mbat laun, iapun me njadi terbiasa pula. Demikian pulalah di da la m hidupnya sehari-hari. Meskipun ia tetap seorang anak muda yang rendah hati, tetapi kini Juwiring adalah benar-benar seorang putera Pangeran. Pakaiannya, sikapnya dan hubungan yang dilakukannya sehari-hari. Saudara-saudara sepupunya yang semula tidak mau mengenalnya lagi, satu dua sudah ada yang mulai bergaul meskipun t idak terla mpau rapat Sikap dan tingkah lakunya itu, menimbulkan kekecewaan yang sangat pada Buntal dan Arum. Meskipun mereka tidak sempat menyaksikan sikap dan tingkah laku itu, namun sekali. mereka pernah juga mendengarnya. Sumber yang paling dapat dipercayainya adalah Ki Dipanala sendiri. Ki Dipanala ternyata sama sekali tidak ingin me mutuskan hubungannya dengan Kiai Danatirta. Ia masih sering datang mengunjunginya. Daripadanyalah maka Buntal dan Arum mendengar, bahwa Raden Juwiring kini sudah berhasil menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang seharusnya bagi seorang putera Pangeran. "Seharusnya ia tidak perlu be lajar" berkata Arum sa mbil mengerutkan dahinya "Ia me mang putera Pangeran. Sebelum tinggal di sini, ia tentu sudah terbiasa dengan. hidup seperti yang dilakukannya sekarang ini" "Ya" Ki Dipanala mengangguk-angguk "Tetapi sudah la ma ia terpisah dari pergaulan para bangsawan, sehingga ia harus berusaha menyesuaikan dirinya ke mbali" "Apakah artinya ia berada di sini beberapa waktu yang lalu" Jika akhirnya ia melupakan padepokan ini, dan terlebih-lebih lagi segala cita-cita yang dengan berkobar-kobar pernah dikatakannya di sini?" Ki Dipanala menarik nafas dalami. Dengan hati-hati ia berkata "Ia sama sekali tidak melupa kan padepokan ini. Tetapi
ia kini sedang disibukkan oleh berbagai maca m pe kerjaan yang dibebankan kepadanya oleh ayahandanya" "Tentu, itu adalah suatu usaha untuk memisahkannya dari padepokan ini" bantah Arum, la lu "dan apakah gunanya ia me mpe lajari olah kanuragan, jika ia ke mudian menjadi murid dari orang lain meskipun itu ayahandanya sendiri" Kenapa baru sekarang" Kenapa tidak dahulu" Ternyata Raden Juwiring kini benar-benar telah menjadi pengganti Raden Rudira" Ki Dipanala t idak segera menyahut. Sekilas ditatapnya wajah Kia i Danatirta yang le mbut. "Arum" berkata Kia i Danatirta "Apakah salahnya jika Raden Juwiring menyesuaikan diri dengan tata cara hidup keluarganya. Biarlah ia berada di dala m lingkungannya. Itu me mang sudah ha knya" "Tetapi apakah artinya padepokan ini baginya" Seperti silirnya angin di pegunungan. Alangkah segarnya jika wajah yang gersang bagaikan dibuat oleh desir yang le mbut. Tetapi angin itu sudah berlalu. Dan tidak akan pernah diingatnya ke mbali" Kiai Danatirta justru tersenyum melihat wajah anaknya yang tegang. Katanya "Tetapi kita tidak dapat merampas haknya. Dan apakah sebenarnya yang pernah dihayatinya di padepokan ini" Apa yang kita lakukan di sini, adalah sematamata suatu kewajiban. Dan kita tidak akan pernah menuntut pamrih bagi diri sendiri, penghargaan atau pujian dan imbalan berupa apapun. Jika kita me lepaskan seekor burung yang kita selamatkan dari mulut seekor kucing, maka kita tidak akan pernah mengharap burung itu datang kemba li kepada kita dengan me mbawa butiran-but iran padi seperti di dala m dongeng anak-anak me njelang t idur" Arum tidak menjawab lagi. Tetapi kepalanya menunduk dalam-da la m, Ki Dipanala yang menyaksikannya hanya dapat
mengangkat bahu. Ia mengerti, bahwa pergaulan yang cukup la ma itu telah menumbuhkan ikatan persaudaraan yang dalam. Keduanya me mang sudah dinyatakan sebagai saudara angkat apalagi mereka pada dasarnya adalah saudara seperguruan bersama dengan Buntal. Namun dala m pada itu. Buntal me mpunyai tanggapan yang lain. Sebenarnya iapun me mpunyai perasaan seperti yang dikatakan oleh Arum. di antara kekecewaan dan kerinduan kepada saudara angkatnya. Tetapi mendengar keluhan Arum di hadapannya itu, rasa-rasanya ia me mpunyai tanggapan yang lain. Seakan-akan ia mendengar keluhan rindu seorang gadis atas seorang laki-laki muda yang telah menarik hatinya. Karena itu, maka Buntal justru tidak mengatakan sesuatu. Ia bahkan harus berjuang mengatasi kerisauan hatinya sendiri. Dengan susah payah ia mencoba untuk tidak berprasangka buruk, dan bahkan katanya kepada diri sendiri "Alangkah hita mnya hati ini" Demikianlah, maka di saat-saat tertentu, masih terasa, bahwa kepergian Juwiring dari padepokan Jati Aking, telah menumbuhkan perubahan di dala m tata kehidupan di padepokan itu. Bahkan ke mudian timbul di hati Buntal suatu keinginan, agar sebaiknya Juwiring tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di padepokan itu. "Gila" Ia mengumpati dirinya sendiri "perasaan ini adalah suatu pengkhianatan. Aku agaknya telah me mentingkan diriku sendiri. Aku sudah digulat oleh kedengkian karena aku ingin me misahkan Arum dari Juwiring" Namun betapa ia menjadi sakit karena benturan dengan dirinya sendiri. Antara tata krama, unggah-ungguh dan tuntutan hatinya sebagai seorang laki-laki muda. Tetapi betapapun sakitnya, ia harus menahan hati. Ia harus tetap seperti yang ada selama ini. Bahwa Buntal adalah
saudara angkat seperguruan.
Arum, dan keduanya adalah saudara Dengan demikian maka Buntalpun sela lu berusaha menekan perasaannya. Dialihkannya semua persoalan pada dirinya ke dalam mesu diri. Berlatih dengan tekun tanpa mengenal lelah. Siang dan ma la m, apabila kerja di sawah sudah selesai, maka ia selalu berada di dalam sanggar untuk menye mpurnakan ilmu kanuragannya. Kadang-kadang ia berlatih sendiri, kadang-kadang dengan gurunya dan Arum. Sebagai seorang tua, Kiai Danatirta mengetahui, bahwa ada sesuatu yang agaknya tersembunyi di dala m hati Buntal. Kemauannya melatih diri agak berlebih-lebihan. Meskipun dengan demikian ke majuannya di dala m olah kanuragan menjadi se makin pesat, tetapi Kiai Danatirta melihat ke mundurannya di la in segi dari kehidupan Buntal. "Anak muda itu sekarang sering menyendiri" berkata Kiai Danatirta di dalam hati. Tetapi orang tua itu tidak segera dapat menebak, perasaan apakah yang sebenarnya tersembunyi di da la m diri muridnya itu. Dan Buntalpun me mang tidak ingin menunjukkan gejolak hati yang sebenarnya. Dengan sepenuh hati. Buntal me mperdala m ilmunya hampir setiap saat. Ketika udara sedang gelap karena mendung yang menyaput langit di ujung mala m. Buntal berdiri terengah-engah di belakang sanggar. Keringatnya bagaikan diperas dari dalam tubuhnya. Baru saja ia menyelesaikan sebuah latihan yang berat. Sengaja tidak di dalam sanggar, agar ia dapat bergerak dengan bebas, tidak dibatasi oleh dinding-dinding bangsal yang dirasanya terlampau se mpit. Apalagi hala man di belakang sanggar itupun dibatasi oleh dinding batu ha mpir berkeliling, sehingga latihannya sama sekali tidak mengganggu orang la in atau terganggu karenanya.
Buntal menengadahkan wajahnya ketika dilihatnya lidah api me loncat di langit. Tetapi ia masih be lum ingin beristirahat. Ia masih ingin melanjutkan latihannya. Sekali lagi Buntal bersikap. Beberapa kali ia melakukan gerakan-gerakan yang sedang dipelajarinya sifat dan ke mungkinannya. Berkali-kali gerak itu diulanginya. Sehingga akhirnya ia me nganggukkan kepalanya. Tetapi Buntal terkejut, ketika kilat menya mbar di langit, dilihatnya sesuatu bergerak di balik gerumbul di sudut halaman. Sejenak ia me mbe ku, namun ke mudian ia masih saja berpura-pura tidak melihat sesuatu. Dilanjutkannya latihan-latihan yang dilakukannya itu, dari tata gerak yang satu, dihubungkan dengan tata gerak yang lain dalam rangkaian yang serasa. Namun de mikian, ia masih tetap me mperhatikan bayangan yang sekilas dilihatnya. Jika kilat menya mbar lagi di langit, Buntal mengharap bahwa ia akan dapat melihatnya sekali lagi untuk meyakinkan, bahwa ia tidak sekedar diganggu oleh bayangan yang hanya sekedar mirip saja dengan bayangan seseorang. Beberapa saat lamanya Buntal masih tetap me latih diri di dalam kege lapan. Meskipun perhatiannya kini terbagi antara latihan dan gerumbul di sudut, namun ia masih tetap bergerak terus agar seandainya di balik gerumbul itu benar-benar ada orang yang mengintainya, orang itu masih akan. tetap berada ditempatnya. Ternyata bahwa sejenak kemudian kilat benar-benar me mancar di langit. Sepercik sinarnya menyambar seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul. Meskipun Buntal tidak dapat melihat dengan jelas, tetapi ia kini yakin, bahwa yang berada di balik gerumbul itu me mang seseorang. Bukan sekedar dedaunan yang bergerak disentuh angin.
Karena itu, Buntalpun mulai mencari jalan, bagaimana ia dapat mendekati gerumbul itu tanpa menumbuhkan kecurigaan. Sejenak Buntal berpikir, sehingga tata geraknya menjadi sedikit kendor. Na mun sejenak ke mudian Buntal justru telah mengerahkan segenap kema mpuan geraknya. Ia meloncat tinggi-tinggi sa mbil me mutar tangannya diudara. Kemudian menyapu dengan kakinya rendah ha mpir me lekat tanah. Sekali ia berguling, berputar dan mela kukan gerakan-gerakan yang aneh. Bahkan ia meloncat dan berputar diudara. Dengan demikian Buntal bergerak ha mpir diseluas hala man di bela kang Sanggar itu, sehingga tanpa menimbulkan kecurigaan, sampa i juga ia di sebelah gerumbul itu. "Nah, aku kira aku sudah cukup de kat" katanya di dala m hati. Karena itu, sejenak ia mengumpulkan tenaganya, dan sesaat kemudian iapun segera me loncat menerka m bayangan yang ada di balik gerumbul itu. Tetapi ternyata Buntal keliru. Orang yang berada di balik gerumbul itu t idak tinggal dia m dan me mbiarkan dirinya diterka mnya. Meskipun orang di balik gerumbul itu agak terkejut melihat Buntal yang tiba-tiba saja meloncat kearahnya, namun sa mbil berjongkok ia se mpat me nghindar diri dengan meloncat melangkah ke sa mping. Ketika Buntal yang gagal itu bersiap, maka orang itupun telah bersiap pula menghadapi segala ke mungkinan.
Tetapi Buntal tertegun sejenak. Bahkan kemudian ia berdiri termangu-mangu. Orang itu tidak la in adalah Arum. "Kau berada di sini Arum?" suaranya tergagap. Arum menundukkan kepalanya. Ia tidak lagi bersikap garang seperti jika ia henda k berte mpur. Tetapi tiba-tiba saja Arum telah menjadi seorang gadis yang tersipu-sipu. "Kenapa kau berada di sini?" sekali Buntal mendesak sa mbil mende katinya. "Tida k apa-apa. Aku me mang ingin menyusulmu berlatih di sanggar. Tetapi ternyata kau tidak ada di dala m bangsal itu" "Tetapi kau tidak me maka i kelengkapan untuk berlatih" Tanpa disadarinya Arum me mandang pa kaiannya dari ujung kaki sa mpai keujung tangannya. Ia me mang tidak mengenakan ke lengkapan untuk berlatih. Karena itu asal saja ia menjawab "Aku me mang tidak ingin berlatih. Aku hanya sekedar ingin melihat, karena badanku rasa-rasanya lelah sekali hari ini" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Tetapi jawaban itu dapat dimengertinya. Bahkan ia mencoba mengerti, karena Arum justru berse mbunyi. Agaknya gadis itu ingin melihat perkembangan ilmunya tanpa mengganggunya atau me mbuatnya ragu-ragu justru karena ia sadar bahwa seseorang sedang me mperhatikannya. Namun yang tidak dimengerti oleh Buntal, justru sikap Arum yang agak berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Tampak Arum saat itu agak letih dan ragu-ragu. "Arum" berkata Buntal ke mudian "Apakah kau sedang sakit?" Arum mengge lengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab "Tidak Buntal. Aku tidak sakit. Tetapi rasa-rasanya hatiku tida k secerah saat-saat lampau"
Dada Buntal menjadi berdebar-debar. Yang pertama-tama diingatnya adalah Juwiring. Tentu gadis ini merindukan anak muda yang sudah cukup la ma tida k mena mpa kkan dirinya. Dan hampir di luar sadarnya Buntal berkata "Arum, sebaiknya kau tidak usah me mikirkannya lagi. Ia sudah pergi, dan meskipun aku juga mengharap, tetapi ia tidak akan dapat ke mbali di antara kita seperti biasanya" Tetapi Buntal menjadi terkejut ketika Arum menjadi tegang. Dan bahkan bertanya "Apakah yang kau ma ksud?" Buntal termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian dipaksanya menjawab "Aku kira seperti aku kau mengharap kakang Juwiring datang dan berada lagi di antara kita" Arum menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Aku tidak me mikirkannya lagi. Meskipun ia saudara angkatku dan aku menganggapnya sebagai kaka k kandungku sendiri, tetapi ia sudah melupakan kita di padepokan yang terpencil ini" "O" Buntal mengangguk-angguk "Jadi, apakah yang kau pikirkan?" Arum mengangkat wajahnya. Sekilas Buntal me lihat matanya yang bercahaya. Tetapi mata itupun ke mudian menjadi pudar ke mbali. "Aku tidak apa-apa kakang. Aku hanya terlalu le lah. Kemarin aku me maksa diri berlatih terla mpau la ma. Dan hari ini akulah yang me mbuka pe matang, karena ketika aku berada di sawah kebetulan a ir berlimpah. Saat itu kau be lum datang, sehingga akulah yang me lakukannya" Buntal mengangguk kecil. Tetapi sesuatu yang tidak terkatakan dapat ditangkapnya pada wajah dan kata-kata Arum. Tetapi Arum benar-benar tida k mengatakan sesuatu. Bahkan ke mudian ia duduk saja dengan kepala tunduk di atas
sebuah batu yang besar, sedang Buntal dengan gelisah berdiri di sebelahnya. Kilat di langit seakan telah me mbangunkan keduanya. Arum yang kemudian berdiri itupun berkata "Aku akan masuk kakang. Apakah kau masih akan me lanjutkan?" Buntal menggeleng "Tidak Arum. Akupun sudah lelah sekali" Arum me mandang Buntal dengan tatapan mata yang lain. Dan tiba-tiba saja di da la m tangkapan pandangan Buntal, yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang gadis yang meningkat menjadi dewasa dan matang. Buntal harus berjuang menahan gejola k perasaannya. Karena itu, maka iapun ke mudian berpaling sa mbil me lontarkan kegelisahannya dengan berkata agak keras "Arum, lihat. Langit mendung sekali. Tidak ada sebuah bintangpun yang tergantung di langit" Tetapi Arum hanya sekedar menjawabnya "Ya ka kang" Buntal menarik nafas. Perbedaan sikap Arum me mbuatnya semakin ge lisah dan bingung. Tetapi Arumpun ke mudian me langkah meninggalkan Buntal yang berdiri termangu-mangu. di muka pintu butulan sanggar ia berpaling sa mbil berkata "Sebaiknya kaupun beristirahat kakang. Kau tentu lelah pula, setelah sehari-harian kau bekerja di sawah dan di rumah" Buntal mengangguk. Jawabnya ragu-ragu "Ba iklah Arum" "Kau be lum ma kan ma la m" Buntal mengangguk. Sepeninggal Arum, Buntal menjadi se ma kin gelisah. Ia tidak mengerti, kenapa Arum tiba-tiba saja berubah.
"Apakah hal ini sudah dilakukannya beberapa kali?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Namun ke mudian ia me ma ksa dirinya menga mbil kesimpulan "Se muanya adalah kebetulan. Jika hatinya menjadi letih, itu tentu karena ia berusaha me lupakan kakang Juwiring" Buntal menengadahkan wajahnya di dalam kebimbangan. Dilihatnya langit semakin suram dan rasa-rasanya awan yang basah tergantung rendah sekali. Perlahan-lahan Buntal melangkah. Sejenak ia berhenti di dalam sanggar. Dilihatnya di bangsal tertutup itu berbagai maca m senjata tergantung pada dinding. Jarang sekali orang yang masuk ke da la m bangsal itu se lain dirinya sendiri, Kiai Danatirta dan Arum. Ternyata bahwa sikap Arum telah menumbuhkan teka-teki di dala m hatinya. Namun ia masih saja selalu dipengaruhi bayangan Juwiring yang sudah tidak datang ke padepokan ini. Sambil berja lan perlahan-lahan Buntal mengeringkan keringatnya. Kemudian ditinggalkannya bangsal itu, dan perlahan-lahan iapun pergi ke pakiwan. Udara mala m terasa terlalu panas oleh mendung yang tebal. Sejenak Buntal berada dipakiwan me mbersihkan dirinya sebelum seperti biasanya ia pergi ke ruang belakang untuk makan mala m. Dan seperti biasanya pula, Buntal adalah orang yang terakhir ma kan mala m. Kiai Danatirta kadang-kadang sudah me mperingatkannya, agar ia me mbiasakan diri makan lebih awal, agar perutnya tidak terganggu. Tetapi sekali dua ka li setelah peringatan itu, maka ka mbuhlah kebiasaannya makan di jauh ma la m, sehingga t idak ada seorangpun lagi yang berada di dapur mengawaninya. Bahkan pernah makan dan lauk pauk yang disediakan baginya telah habis dimakan tikus. Tetapi kali ini Buntal terkejut. Ketika ia me masuki dapur yang sepi dilihatnya Arum duduk di atas amben yang besar di
sudut dapur itu sa mbil bermain-main dengan ujung kain panjangnya. "Arum" sapa Buntal "Kau belum tidur?" Arum me mandang Buntal sejenak, lalu "Aku juga be lum makan " "O. Biasanya kau melayani ayah dan ke mudian kau makan pula" "Ya. Tetapi sore ini aku berada di bela kang sanggar itu setelah aku menyediakan ma kan ayah" Buntal tida k menyahut. Dikibaskannya tangannya yang masih basah dan ke mudian iapun duduk pula di a mben besar itu. Sekilas dilihatnya di atas geledeg persediaan makan baginya sudah tersedia seperti biasanya. Tetapi sebelum ia berdiri dan menga mbilnya, maka Arum telah bangkit dan gadis itulah yang kemudian menga mbil persediaan itu dan me letakkannya di atas a mben. Buntal menjadi termangu-mangu. Hal itu tidak biasa dilakukan oleh Arum. Biasanya jika ia tidak berlatih pula, ia berada di biliknya di saat-saat begini. Kadang-kadang berbincang dengan ayahnya mengena i ilmu yang sedang dipelajarinya. Bahkan kadang kadang ayahnya sempat me mberikan arti dari setiap gerak yang pernah dipe lajari, sehingga Arum dan kadang-kadang Buntal pula, mengerti bahwa gerakan yang dilakukan me mpunyai arti dan sifat tersendiri. Agaknya Arum mengetahui bahwa Buntal menjadi heran me lihat perubahan itu. Karena itu, Arumpun menjadi berdebat pula. Meskipun de mikian ia mencoba menjelaskan "Hari ini aku tidak begitu bernafsu untuk makan ka kang. Tetapi biarlah aku mencobanya" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.
Keduanyapun ke mudian ma kan bersa ma di dala m dapur yang sepi. Yang terdengar hanyalah sentuhan-sentuhan mangkuk dan kadang-kadang gerak bibir mere ka. Mala m itu, setelah makan, merekapun segera pergi ke bilik mereka masing-masing. Seakan-akan tidak ada apa-apa yang terjadi. Bahkan mereka tidak terla lu banyak berbicara dan apalagi me mbicarakan masalah-masa lah yang penting. Namun sebenarnya, yang terjadi di dala m hati mereka adalah gejolak yang riuh. Meskipun keduanya kemudian sudah berada di atas pembaringan, namun mereka masih saja duduk dengan gelisah. Ternyata sebagai seorang gadis, Arumpun tidak dapat menghindarkan dirinya dari naluri ke manusiaannya. Meskipun ia me miliki kelebihan dari gadis lain di da la m olah kanuragan, tetapi hatinya adalah hati seorang gadis. Itulah sebabnya, ia telah dicengka m pula oleh perasaan yang serupa dengan gejolak perasaan di dala m dada Buntal. Betapa kedua anak muda itu berusaha menghindarkan diri masing-masing, tetapi mereka ternyata bagaikan sudah masuk ke dala m jebakan. Namun de mikian, masing-masing masih berusaha merahasiakan gejolak perasaan itu, sehingga yang seorang tidak dapat menerka apakah yang sebenarnya tumbuh di hati yang lain. Namun dala m pada itu, sebagai seorang tua yang me miliki ketajaman tanggapan terhadap anak-anaknya, apakah itu anaknya sendiri, atau anak angkatnya, maka Kiai Danatirtapun me lihat sesuatu yang berbeda di dalam hubungan anak-anak muda itu. Setiap hari ia mencoba me mperhatikan, seakanakan ada sesuatu yang berkembang di hati masing-masing, semakin la ma menjadi se makin me kar. Kiai Danatirta yang pernah mengalami kepahitan karena peristiwa yang terjadi atas anak gadisnya sehingga
menimbulkan persoalan yang sa ma sekali t idak dihendaki, menanggapi peristiwa ini dengan sangat berhati-hati. Meskipun ia sadar, bahwa kemungkinan yang demikian me mang dapat saja terjadi. Apalagi keduanya menyadari bahwa mereka sebenarnya bukannya saudara sedarah. Mereka hanyalah saudara angkat dan saudara seperguruan. Tetapi agaknya Buntal sendiri, masih saja selalu diganggu oleh bayangan Juwiring yang kadang-kadang me mbuatnya kehilangan pegangan. Buntal yang perasa itu, tidak dapat menyingkirkan sebuah prasangka, bahwa jika Arum rasarasanya menjadi semakin dekat di hatinya, itu adalah karena Arum sendiri sedang merasa kesepian sepeningga l Juwiring. Meskipun demikian, seperti matahari yang harus terbit di ujung Timur, demikian juga perasaan anak-anak muda itu tidak dapat dibendung lagi. Sepercik isyarat telah sama-sama mereka hayati. Kata hati yang tidak menyentuh indera wadag, namun dapat di tanggapi dengan firasat yang mencengka m perasaan masing-masing. Kiai Danatirta masih me mbiarkan hati kedua anak-anak muda itu me kar, selama mereka masih berbuat di dala m batas-batas yang wajar. Dengan hati-hati ia mengikuti perkembangan hubungan keduanya. Dan orang tua itupun mengetahui, bahwa kedua anak-anak muda itu sama seka li belum menyatakan sikap dan gejola k hati masing-masing dengan terbuka. "Mudah-mudahan tida k terjadi masalah-masalah yang dapat mengungkit ke mbali luka di hatiku" berkata orang tua itu kepada diri sendiri. Tetapi perke mbangan keadaan di padepokan Jati Aking itu tidak dapat berdiri sendiri lepas dari pengaruh perke mbangan keadaan, sejalan dengan panasnya udara di Sura karta. Beberapa orang bangsawan dan justru pejabat tertinggi di Surakarta yang merasa iri hati terhadap Pangeran
Mangkubumi, bukan saja atas daerah kelenggahannya yang luas, juga karena Pangeran Mangkubumi terlalu de kat dengan rakyatnya, sehingga Pangeran itu mempunyai pengaruh yang sangat luas, semakin la ma sema kin jauh menyebarkan berita dan desas-desus tentang Pangeran Mangkubumi, sehingga akhirnya Kangjeng Susuhunan terpaksa me mperhatikannya. Tetapi Pangeran Mangkubumi telah menila i keadaan itu dengan tepat. Karena itu, maka iapun menjadi sema kin bersiaga menghadapi setiap ke mungkinan. Meskipun pada dasarnya Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang tidak menghenda ki darah tertumpah di atas tanah tercinta ini, tetapi apabila tanah ini se makin la ma akan se ma kin jauh tenggela m di dala m perbudakan, ma ka me mang tida k ada jalan lain daripada melepaskan beberapa orang korban sebagai bebanten dari perjuangan yang harus dilakukan untuk menyela matkan Sura karta. Dan arus yang panas itu ternyata telah menyentuh padepokan Jati Aking pula. Padepokan Jati Aking ternyata telah dikejutkan oleh kehadiran seorang penunggang kuda. Meskipun orang itu bukan lagi seorang anak muda, tetapi wajahnya tampak cerah dan tubuhnya ternyata cukup terpelihara. Namun agaknya Buntal yang kebetulan ada di halaman segera dapat mengenalinya. Dengan bergegas ia menyongsongnya sa mbil tersenyum "Putut Srigunting " Orang yang sudah menginja k usia pertengahan itu tersenyum. Sambil meloncat dari punggung kudanya ia menya mbut anak muda yang menyongsongnya itu. Sambil mengguncang lengan Buntal Putut itupun berkata "Kau berkembang dengan pesatnya" "Ah" Buntal tersenyum mendengar pujian itu "Kau me njadi semakin muda" Putut itupun tertawa. Lalu "dimana kah Kiai Danatirta?"
"Marilah, ayah berada di dala m" Sejenak ke mudian, maka Putut itupun telah duduk di pendapa bersama Buntal dan Kiai Danatirta sendiri. Sejenak ke mudian Arumpun telah menghidangkan minuman dan makanan. "Gadis yang lengkap" berkata Putut Srigunting "Ia ma mpu bermain pedang, tetapi ia dapat dengan lembut menghidangkan hidangan seperti gadis pingitan" Wajah Arum menjadi merah. Tetapi ia tersenyum saja tanpa menjawab sepatah katapun. Sejenak merekapun ke mudian berbincang tentang keselamatan dan keadaan di padepokan masing-masing. Namun akhirnya sampailah mereka pada pokok pe mbicaraan. Agaknya Putut Srigunting datang ke padepokan Jati Aking bukan sekedar ingin menengok Buntal dan saudara-saudara seperguruannya, tetapi kedatangannya memang me mbawa suatu ma ksud yang penting. Penting bagi Buntal dan penting bagi Kiai Sarpasrana. "Kia i Danatirta" berkata Putut Srigunting ke mudian "kedatanganku adalah karena aku mendapat perintah dari Kiai Sarpasrana. Agaknya keadaan di Sura karta sudah tidak dapat disejukkan lagi. Kedatangan orang-orang baru dan denda m yang menyala di hati perwira-perwira kumpeni me mbuat mereka menjadi se makin kasar. Ditambah lagi dengan
kedengkian dan keta makan yang merajalela pada beberapa bangsawan tertinggi di Surakarta. Mereka ingin me mperguna kan pengaruh mereka untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak mereka sukai, terutama Pangeran Mangkubumi" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Karena itu Kiai, aku telah berjalan mengelilingi Surakarta. Aku harus me mberitahukan kepada orang-orang yang mengerti a kan arti kecintaan terhadap tanah air, agar mereka mulai menyatukan diri di da la m satu ikatan yang teguh" Kiai Danatirta mulai berdebar-debar. Lalu "Maksudmu?" "Kia i Sarpasrana telah mengumpulkan setiap orang yang mungkin dapat me mbantu perjuangan untuk menega kkan hak kita atas tanah tercinta ini. Saatnya sudah terla mpau dekat, bahwa kita harus berbuat sesuatu" "Maksudmu, Pangeran Mangkubumi sudah bersiaga?" Putut Srigunting ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian katanya "Aku percaya kepada Kiai. Karena itu, aku berani mengiakannya bahwa Pangeran Mangkubumi me mang sudah bersiap" "Apakah yang harus kita kerjakan di sini?" "Masih be lum dapat disebutkan sekarang, karena Pangeran Mangkubumi belum me njatuhkan perintah. Tetapi yang penting dari kedatanganku ini, adalah bahwa kita harus berkumpul di padepokan Kiai Sarpasrana untuk beberapa saat. Kemudian ka mi akan me mencar ke daerah-daerah yang me merlukan apabila saatnya me mang sudah tiba" "Jadi?" "Kia i Sarpasrana minta agar murid-murid Kiai apabila bersedia datang pula ke padepokan ka mi untuk bergabung dengan pasukan yang me mang sudah disiapkan"
Kiai Danatirta terdiam sejenak. Sambil mengangguk-angguk ia meraba-raba janggutnya yang sudah mula i me mutih. Namun dala m pada itu, dada Buntal dan Arum me njadi berdebar-debar. Mereka belum tahu pasti ma kna dari permintaan Putut Srigunting itu. Namun mereka sudah dapat meraba artinya, bahwa udara di atas Surakarta sudah menjadi semakin panas, sehingga air yang ada di kota ini bagaikan akan mendidih karenanya. "Putut Srigunting" berkata Kia i Danatirta "sebenarnya berat bagiku untuk melepaskan murid-muridku yang sa ma sekali belum me miliki bekal yang cukup. Na mun de mikian, segala sesuatunya masih tergantung kepada anak-anak itu sendiri. Terutama Buntal, karena Juwiring sekarang sudah jarang sekali datang ke padepokan ini" "Ka mi, dari padepokan Kiai Sarpasrana sudah mengetahui bahwa Raden Juwiring pada dasarnya sudah tidak berada di padepokan ini lagi. Sepeninggal Raden Rudira, Raden Juwiring diminta oleh ayahandanya untuk berada di istana Ranakusuman. Bahkan aku mendengar kisah di antara dendang para pedagang, bahwa Raden Juwiring me mperdala m ilmu kanuragan dari ayahandanya sendiri" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. ke mudian kepalanyapun terangguk le mah. Sejenak
"Kita t idak dapat me mbicarakannya lagi" Arumlah yang ke mudian me nyahut "menurut ayah, biarlah ia mendapatkan haknya sebagai seorang putera Pangeran" "Ya" Putut Sriguntingpun mengangguk-angguk pula "biarlah ia mendapatkan haknya" ia berhenti sejenak, lalu "karena itu yang sekarang aku minta untuk datang menyatukan diri dengan ka mi adalah Buntal. Hanya Buntal" Buntal mengangkat wajahnya. Sejenak dipandanginya gurunya dengan hati yang berdebar-debar, dan sejenak ke mudian wajah Arum yang menegang.
"Hanya kakang Buntal sendiri?" bertanya gadis itu. "Ya" "Aku juga murid Kiai Danatirta" berkata Arum ke mudian "Jika murid-murid Kiai Danatirta harus ikut di dala m perjuangan ini, ma ka akupun akan ikut serta, meskipun aku adalah seorang gadis" Putut Srigunting menarik nafas. Katanya sambil tersenyum "Kia i Sarpasranapun telah menduga. Tetapi menurut pertimbangan yang luas, sebaiknya kau tetap berada di padepokan ini" "Kenapa?" "Kau akan sendirian di padepokan ka mi" "Maksudmu bahwa di padepokan itu tida k ada seorang perempuanpun yang ikut serta di dala m perjuangan?" "Ya, secara langsung. Yang ada hanyalah mereka yang berkerja di dapur dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain" "Aku dapat bekerja di dapur dan mengerjakan pekerjaan lain seperti gadis-gadis yang lain" "Tetapi kau diperlukan di padepokan ini" "Tida k. Aku akan me milih berada di antara pasukan yang akan bertempur menghadapi kumpeni dan para penjilat" Putut Srigunting menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Sayang. Sebaiknya jangan sekarang. di Sukawati sedang disiapkan sepasukan perempuan yang akan ikut berjuang di medan. Nah, pada saatnya kau akan ikut bersama mereka" "Tetapi kapan. Kapan pada saatnya itu akan datang?" Kiai Danatirta yang tahu akan sifat anaknya itupun ke mudian terpaksa menengahi "Arum. Kau juga diperlukan. Tetapi dala m tahap berikutnya. Kini yang penting bagi Kiai Sarpasrana adalah sebuah pasukan yang kuat, yang terdiri
dari Laki-laki. Kau tahu, bahwa ada beberapa perbedaan kodrati antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Bukan di dala m olah kanuragan dan keprajuritan. Tetapi kelengkapan sifat dari kita masing-masing. Karena itu, akan dibentuk khusus sebuah pasukan yang terdiri dari perempuanperempuan yang me mpunyai sifat kodrati yang bersamaan sehingga yang satu tidak terasa mengganggu yang la in" Arum me ma ndang ayahnya sejenak. Namun ternyata yang dikatakan oleh ayahnya itu dapat dimengertinya, sehingga meskipun me mbayang kekecewaan yang dalam di wajahnya, tetapi ia tidak me mbantah lagi. "Nah, selain dari itu se mua, kau sebaiknya mengawani ayah yang menjadi se makin tua ini di rumah Arum" Arum tidak menjawab. Namun rasa-rasanya seperti seseorang yang kehilangan miliknya yang paling berharga. Kepergian Buntal dari rumah itu benar-benar telah mengguncang perasaannya meskipun tidak terucapkan. "Ia tentu akan merasa sangat kesepian" berkata ayahnya di dalam hatinya "baru saja ia berhasil melepaskan Juwiring. Kini ia harus kehilangan Buntal pula" Tetapi Kiai Danatirta tahu akan arti perjuangan itu. Karena itu maka ia tida k dapat menahan Buntal. Meskipun de mikian Kiai Danatirta me mpersilahkan Putut Srigunting untuk berbicara langsung dengan Buntal. Untuk beberapa saat Buntal me mang ragu-ragu. Ada sesuatu yang memberati hatinya untuk meninggalkan padepokan ini. Tetapi ia tidak akan dapat ingkar jika kuwajiban me mang me manggil. Apakah artinya perasaan benci dan muak terhadap ketidak-adilan yang terjadi di Surakarta, apabila perasaan itu sekedar disimpannya saja di dalam hati" Dan apakah artinya kekagumannya terhadap kesuburan tanah air ini, jika ia sekedar hanya mau me metik hasilnya. Apalagi ia sadar, bahwa kesuburan tanah ini semakin
la ma menjadi se makin tidak berarti bagi mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di bumi ini. Dan apalagi kesuburan ini tidak akan berarti apa-apa bagi keturunannya, bagi anak cucu, karena hasilnya akan dihisap sebanyak-banyaknya oleh orang-orang asing itu. Dengan de mikian, maka akhirnya Buntal itupun berkata "Aku akan ikut bersa ma mu Putut Srigunt ing. Aku akan berada di dala m lingkungan pasukan yang akan berdiri di belakang Pangeran Mangkubumi, karena aku tahu, bahwa Pangeran Mangkubumi a kan mengangkat senjata, berjuang untuk me mpertahankan hak ka mi atas bumi ini" Putut Sri Gunting menarik nafas dalam-da la m. Sambil mengangguki ia berkata "Aku me mang sudah menduga, bahwa kau tida k akan berkeberatan" Buntal tidak me nyahut. Tanpa disadarinya dipandanginya wajah Arum yang tunduk. Buntal menjadi berdebar-debar ketika ia me lihat Arum mengusap matanya yang basah. Berbagai perasaan yang bergulat di hatinya. Na mun ke mudian ia berkata kepada diri sendiri "Tentu Arum merasa bahwa ia akan menjadi sema kin kesepian karena kedua saudara seperguruannya telah pergi" "Kia i Danatirta" berkata Putut Srigunting ke mudian "ternyata Buntal bersedia meningga lkan padepokan ini dan pergi ke padepokan kami. Kiai Sarpasrana tentu akan senang sekali" "Tentu Buntal merasa bahwa itu memang sudah menjadi kuwajibannya" jawab Kiai Danatirta. "Terima kasih Kiai" berkata Srigunting ke mudian "Tetapi aku tidak dapat menyertainya jika ia akan segera berangkat. Aku masih harus meneruskan perjalananku. Dan perjalananku akan berakhir di Surakarta sendiri" "Jadi maksudmu?"
"Aku akan segera meninggalkan padepokan ini. Biarlah Buntal besok atau lusa pergi seorang diri mene mui Kiai Sarpasrana, karena aku tidak akan segera ke mbali. Perjalananku masih akan me merlukan waktu tiga sampai lima hari. Baru kemudian, jika se mua tugasku selesai, aku dapat pulang ke mbali. " Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia mengerti, bahwa di dala m keadaan yang menentukan ini, Putut Srigunting tentu me mpunyai tugas yang cukup banyak. Sehingga karena itu, maka katanya "Baiklah Putut Srigunt ing. Buntal tentu tidak akan berkeberatan untuk pergi sendiri mene mui Kiai Sarpasrana. Biarlah ia besok atau lusa berangkat, sementara ia akan mempersiapkan bekalnya lebih dahulu, karena ia tentu akan berada di padepokanmu untuk waktu yang la ma" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Bukankah begitu Buntal?" Buntal tergagap. Dan dengan serta-merta ia menyahut "Ya, ya Guru. Aku akan berke mas lebih dahulu" "Terima kasih. Dengan de mikian, tugas kita masing-masing akan dapat kita tunaikan dengan baik" Putut Srigunting itupun ke mudian bergeser setapak sambil berkata "Aku kira aku sudah cukup la ma berada di padepokan ini" "E, nanti dulu. Aku tidak a kan menahanmu menja lankan tugas, apalagi mengha mbat. Tetapi tunggulah sebentar, kami sedang menyiapkan makan bagimu. Dan apakah kau tidak lebih baik menunggu matahari condong sehingga perjalananmu tidak terla mpau panas?" "Me mang tidak bijaksana menola k rejeki. Terima kasih Tetapi sudah barangtentu setelah aku kenyang aku akan segera pergi" Sebenarnyalah seperti yang dikatakan. Setelah selesai makan dan berist irahat sejenak, maka Putut Sriguntingpun meneruskan perjalanannya, menya mpaikan pesan dari Kiai
Sarpasrana kepada orang-orang yang dipercayainya dan bersedia me mbantu perjuangan yang agaknya akan menjadi semakin keras. Sepeninggal Putut Srigunt ing, maka Buntalpun segera me mpersiapkan diri. Mengumpulkan pakaian yang ada padanya. Membersihkan senjatanya dan menyiapkan dirinya untuk menghadapi persoalan yang agaknya akan menjadi sangat menarik baginya. Kiai Danatirta yang mengerti, apakah yang akan dihadapi oleh Buntal ke mudian, me mberikan berbagai maca m pesan. Dan lebih dari itu, maka ketika matahari telah terbenam di ujung Barat, maka Kia i Danatirtapun me manggil Buntal di sanggarnya bersama Arum. "Buntal" berkata Kia i Danatirta "Apakah kau sadari, apakah yang akan kau te mpuh kelak jika kau sudah berada di padepokan Kiai Sarpasrana?" Buntal mengangguk le mah. Jawabnya "Ya ayah. Aku mencoba untuk me mbayangkan perjuangan yang akan dilakukan oleh Kiai Sarpasrana" "Perjuangan yang keras dan akan me makan wa ktu yang la ma Buntal. Menurut kesan yang aku tangkap pada pembicaraan kita dengan Putut Srigunt ing, agaknya kita me mang akan segera mulai. Agaknya Pangeran Mangkubumi sudah tidak dapat menahan diri lagi" "Apakah yang akan terjadi ke mudian adalah perang yang dahsyat ayah?" bertanya Arum. Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Mungkin sekali Arum. Yang akan terjadi adalah perang. Perang me lawan kumpeni" "Tetapi bagaimanakah kedudukan Kangjeng Susuhunan ke mudian ayah?"
"Kedudukan Kangjeng Susuhunan me mang sulit. Tetapi agaknya kumpeni me mpunyai pengaruh yang semakin besar, di sa mping beberapa bangsawan yang saling mengiri dan dengki. Itu adalah sumber ke menangan kumpeni. Sebenarnya kesalahan terbesar terletak pada kita sendiri, jika kita dapat dibenturkan melawan kita sendiri. Jika tetangga kita berhasil mengadu dua orang saudara kandung berebut warisan, maka yang paling bersalah adalah kedua saudara kandung itu sendiri. Barulah ke mudian kita mengutuk tetangganya yang berusaha mengadu kedua orang saudara kandung itu. Jika kita selalu menyalahkan orang lain tanpa mengetahui kesalahan sendiri, ma ka kesalahan yang serupa itu akan selalu berulang. Dan korban yang paling parah adalah kita sendiri siapapun yang akan menang dan siapapun yang akan kalah. Dan pihak yang tidak terkalahkan siapapun yang menang, adalah kumpeni" "Tetapi jika terjadi perang, dan Kangjeng Susuhunan ternyata berdiri bersama dengan kumpeni, apakah dengan demikian mereka yang berdiri berseberangan tidak dapat disebut me mberontak terhadap kekuasaan raja. Apalagi jika benar Pangeran Mangkubumi akan mengangkat senjata, maka ia akan melawan rajanya dan saudara tua yang harus dihormatinya. Bukankah dengan de mikian, orang-orang yang tidak senang terhadap sikap itu akan mengatakan bahwa Pangeran Mangkubumi telah me lepaskan kesetiaan yang harus dimiliki oleh setiap bangsawan apapun yang terjadi" Mereka harus setia kepada Kangjeng Susuhunan sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan mereka harus setia kepada Surakarta?" "Kau benar Arum. Dan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi adalah kesetiaan yang tidak terbatas itu. Pangeran Mangkubumi tidak ingin me lihat Surakarta sema kin la ma semakin tenggela m. Kerajaan asing yang kini sema kin mencengka m kekuasaan Kerajaan Surakarta ini harus disingkirkan. Sedangkan bagi Pangeran Mangkubumi,
kekuasaan atas Surakarta satu-satunya terletak pada Kangjeng Susuhunan, sehingga jika ia berjuang, maka ia ingin me mulihkan kekuasaan Kangjeng Susuhunan. Lepas dari perkembangan selanjutnya, jika Kangjeng Susuhunan benarbenar menjadi khilaf" Arum mengangguk-angguk. Ia melihat meskipun sa marsamar, bahwa Pangeran Mangkubumi me mang tidak dapat me milih ja lan lain. Dala m pada itu, Buntalpun mengangguk-angguk mendengar pe mbicaraan itu Ia agaknya telah me ma ha mi apa yang harus dilakukannya. Ia akan berada di dala m sebuah barisan yang akan berada di medan yang keras melawan pasukan kumpeni dan bahkan mungkin pasukan Surakarta sendiri yang telah disesatkan oleh beberapa orang pemimpinnya yang kehilangan pegangan pengabdiannya kepada Surakarta. Sekilas terlintas kenangannya atas Raden Juwiring yang telah sekian la manya tidak pernah datang ke padepokan itu. Jika ia ke mudian menjadi murid ayahandanya, Pangeran Ranakusuma, yang menjadi salah seorang Senapati pasukan Surakarta yang terpandang dan hubungannya dengan orangorang kulit putih terlampau dekat, maka apakah yang kira-kira akan dilakukan di dala m pergolakan yang akan terjadi itu. Selagi Buntal merenungi saudara seperguruannya itu, maka Kiai Danatirtapun berkata "Buntal, kau masih me mpunyai kesempatan satu dua hari di padepokan ini. Aku berma ksud di da la m wa ktu yang sangat
singkat ini, mencoba untuk menyempurnakan bekalmu. Tentu, tidak ada seorangpun di dunia ini yang sempurna di dala m segala hal. Na mun kita dapat berusaha mende katinya, meskipun kita sadar, bahwa kita tidak akan dapat mencapainya" Buntal me mandang gurunya sejenak, namun ke mudian iapun menundukkan kepa lanya. "Nah, bersiaplah. Aku ingin me mberikan puncak ilmu padepokan Jati Aking. Mungkin masih jauh dari tingkatan ilmu para bangsawan, termasuk Pangeran Ranakusuma. Tetapi dari pada kau masih belum me milikinya, maka. kau akan semakin jauh ketinggalan. Apalagi bagimu me mang sudah saatnya untuk mewarisi segenap ilmu yang ada padaku sampai tuntas. Kemudian terserahlah kepadamu, apakah kau a kan ma mpu menge mbangkannya. Dasar ilmu yang aku peroleh pada saat aku berikan. Selanjutnya aku berusaha menge mbangkannya sendiri, sa mpai pada bentuk yang kau lihat sekarang ini" Buntal masih menundukkan wajahnya. Tetapi ia menyahut "Terima kasih guru. Aku akan mengucapkan beribu terima kasih. Mungkin a ku akan terle mpar ke medan, dan harus berhadapan dengan prajurit Surakarta yang tangguh atau dengan kumpeni yang me miliki jenis ilmunya tersendiri. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan padepokan Jati Aking, dan tidak mengecewakan padepokan Kiai Sarpasrana yang me mpercayai aku untuk ikut di da la m barisannya" "Baiklah Buntal. Tetapi karena di sini aku me mpunyai dua orang murid, maka agar aku bertindak adil, maka kedua muridku itu akan menerima ha knya masing-masing. Dan keduanya tidak berbeda. Meskipun yang seorang adalah seorang laki-laki dan yang lain seorang pere mpuan" Arum terkejut mendengar keterangan ayahnya itu, sehingga ia bergeser setapak maju. Hampir di luar sadarnya ia berkata "Jadi ayah memperkenankan aku untuk bersamasama menerima punca k ilmu Padepokan Jati Aking"
"Ya Arum. Tetapi selanjutnya kau harus bersikap sebagai seorang gadis yang dewasa penuh. Bukan saja di dalam sikap dan kodratmu sebagai gadis, tetapi sebagai seorang yang telah dewasa me miliki puncak ilmu dari Jati Aking" Wajah Arum bersinar sesaat. Katanya "Terima kasih ayah" "Marilah. Agar kita masih me mpunyai waktu yang cukup. Aku me merlukan dua mala m untuk me mberikan puncak ilmuku kepada ka lian" Demikianlah maka Buntal dan Arumpun segera me mpersiapkan dirinya. Membenahi pakaiannya dan mengatur segenap kelengkapan tubuh dan jiwanya untuk menerima puncak ilmu Jati Aking. Sejenak mereka me musatkan segenap pikiran dan perasaan untuk memulainya dengan suatu latihan yang khusus, sehingga me merlukan keadaan yang khusus pula. Ketika se muanya sudah tersedia, kesiagaan jasmani dan rohani, ma ka Kiai Danatirtapun mulai melakukan gerakangerakan yang me mpersiapkan kedua muridnya untuk sa mpai pada puncak ilmunya. Di luar bilik mala m menjadi se makin kela m. Langit yang luas bagaikan ha mparan wajah yang hitam kela m. Awan basah yang tebal tergantung dari ujung sa mpai keujung cakrawala. Yang terdengar di dala m bangsal latihan itu hanyalah desah nafas. Justru loncatan-loncatan kaki yang ringan, seakan-akan tidak menimbulkan suara sama sekali oleh kecepatan gerak yang hampir sempurna. Semakin la ma semakin cepat, semakin cepat. Dan mengalirlah unsur-unsur gerak yang tertinggi dari ilmu padepokan Jati Aking. Namun sejenak ke mudian suara desah nafas dan kadangkadang sentuhan ujung kaki itu lenyap ditimpa deru hujan yang turun dengan lebatnya seperti dituangkan dari langit.
Dedaunan yang tertidur nyenyak bagaikan diguncang oleh titik-titik air yang tertumpah menimpanya. Tetapi yang berada di dalam sanggar, sama sekali t idak menghiraukannya. Juga tidak menghiraukan titik-titik air hujan yang menyusup lewat atap yang kurang rapat. Perhatian mereka sedang terpusat pada tata gerak puncak dari ilmu padepokan Jati Aking. Demikianlah mereka terbena m di dala m suatu pe musatan pikiran pada puncak ilmu itu. Ketika lewat tengah mala m hujan mereda, dan ke mudian tingga l titik-titik yang le mbut saja yang menyentuh genangan-angan air di hala man, maka mereka bertiga masih saja berada di dala m sanggar itu. Namun akhirnya mereka berhenti pula setelah keringat mereka bagaikan terperas dari segenap tubuh. Betapa lelahnya ketiganya. Terutama Arum. Bagaimanapun juga, secara kodrati, kema mpuan jasmaniahnya tidak dapat disa makan dengan Buntal. Karena itulah maka Kiai Danatirta tidak me maksakannya untuk menuntaskan ilmu itu hanya dalam satu mala m saja. Di hari berikutnya, rasa-rasanya tubuh Arum menjadi sangat letih. Namun ia tidak me maksa diri untuk tetap berada di dala m biliknya. Meskipun tidak selincah seperti di hari-hari lain, na mun Arum pergi juga ke dapur menyiapkan makan yang akan dibawanya ke sawah, karena Buntalpun seperti biasanya perg juga untuk mengairi sawah. Ketika ke mudian hari menjadi gelap, dan Buntal sudah me mbersihkan diri, makan ma la m dan beristirahat sejenak, mulailah mereka bertiga mengurung diri di da la m sanggar. Dan seperti mala m sebelumnya, mereka mene mpa diri untuk menyadap puncak ilmu yang dimiliki oleh Kia i Danatirta. Seperti yang diduga oleh Kiai Danatirta, ternyata muridmuridnya ma mpu menerima ilmu itu. Meskipun ternyata bagi Arum terasa betapa letih dan lelahnya. Namun ia telah
berusaha sekuat-kuatnya sampai pada unsur gerak yang terakhir yang harus dilakukannya dila mbari dengan segenap ungkapan watak dan sifatnya. Perlahan-lahan setiap gerakan telah meningkatkan la mbaran ilmu itu, sehingga akhirnya sampai pada punca knya yang paling dahsyat. Sebuah gerakan yang terakhir, telah me lontarkan mereka ke dala m suatu keadaan yang semula sa mar, tetapi semakin la ma se makin jelas dala m bentuk arah isinya. Terasa pada kedua anak-anak muda itu, sesuatu mengge lepar di dala m dadanya. Dan nafas merekapun bagaikan tersumbat. Namun mereka sudah sa mpai pada taraf terakhir, sehingga mereka me ma ksa duri untuk melepaskan tata gerak yang terakhir, sebuah lontaran kekuatan yang dahsyat. Berbareng dengan lontaran kekuatan yang dahsyat itu, terasa tubuh mereka bagaikan kehilangan keseimbangan. Rasa-rasanya mereka tidak lagi berpijak di bumi. Sejenak mereka terhuyung. Sedang mereka masih belum berhasil menghe mbuskan nafas dengan wajar. Buntal me meja mkan matanya. Ia masih dapat menghentakkan dirinya dengan sisa tenaganya. Dan kemudian dengan susah payah menghirup nafas betapapun sendatnya. Sambil bersandar pada dinding bangsal, Buntal perlahan-lahan mencoba untuk menguasai keadaan tubuhnya dengan tenaga yang masih ada padanya. Sekali, dua ka li, Buntal menarik nafas dalam-da la m. Kemudian perlahan-lahan, nafasnya bagaikan menga lir lagi dengan wajar, sehingga Buntal berhasil menguasai keseimbangannya sepenuhnya, betapapun tubuhnya merasa sangat letih. Tetapi ketika ia me mbuka matanya, dilihatnya Kiai Danatirta telah mengangkat Arum pada kedua tangannya dan me mbaringkannya di atas sehelai t ikar di sudut bangsal.
"Anak ini pingsan" berkata Kiai Danatirta. Meskipun masih agak pening, Buntalpun kemudian mende katinya. Ditatapnya wajah Arum yang pucat. Matanya terpejam dan bibirnya terkatup rapat-rapat. Perlahan-lahan Kia i Danatirta menggerakkan tangannya. Dengan pengala man dan pengetahuan yang ada padanya, maka iapun segera berhasil me mbangunkan gadis yang pingsan itu. "Ayah" desisnya. Perlahan-lahan matanyapun terbuka. Yang pertama-tama tampak meskipun agak kabur, adalah wajah ayahnya yang menungguinya. "Bagaimana keadaanmu kini Arum?" bertanya ayahnya. "Baik ayah. Aku merasa sangat letih, tetapi aku merasa segar. Aku agaknya menjadi t idak sadarkan diri sejenak. Namun kini, semuanya rasainya menjadi se makin jernih" "Ya Arum. Mudah-mudahan kau akan selalu dala m keseimbangan jiwa setelah kau menguasai ilmu itu. Kau tidak boleh kehilangan penga matan diri, dan justru karena kau me miliki kelebihan, kau akan menjadi Arum yang la in" Arum masih saja tersenyum. Ketika ayahnya meraba keningnya ia berkata "Aku akan mengingatnya ayah" Buntal yang berjongkok di sisi tikar yang terbentang itupun menjadi berdebar-debar. Arum yang pucat dan tersenyum itu rasa-rasanya menjadi se makin cerah Tatapan matanya me mang menjadi se makin bening. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Demikianlah, ma la m itu kedua murid padepokan Jati Aking itu telah sampai kepada ujung ilmunya. Namun de mikian yang mereka kuasai adalah baru sekedar pokok ilmu itu sendiri. Kemungkinan dan perke mbangan selanjutnya, adalah terserah
kepada mereka yang memilikinya, dan tentu tergantung kepada pembawaan pribadi seseorang.
sangat Dala m pada itu Buntal masih ingin beristirahat sehari lagi di padepokan Jati Aking sebelum ia akan menerjunkan diri ke dalam suatu kancah yang akan merupakan suatu pengenalan baru baginya. Salah satu segi kehidupan yang paling dibenci oleh manusia, namun yang selalu terjadi di sepanjang abad. Perang adalah peristiwa yang paling mengerikan. di dalam perang segala ke mungkinan yang keras, kasar dan bahkan kadang-kadang menyerupai t indakan yang buas dan liar, dapat terjadi. Dan hal itu disadari oleh setiap orang. Na mun perang masih saja sela lu terjadi. Demikianlah yang tanda-tandanya akan terjadi di Surakarta. Pangeran Mangkubumi adalah seseorang yang benci kepada peperangan. Ia sadar, bahwa perang berarti ke matian dan kepedihan. Perempuan akan kehilangan suaminya, gadis akan kehilangan kekasihnya dan Surakarta akan kehilangan rakyatnya yang paling baik. Tetapi apakah ia harus duduk termenung merenungi nasib Surakarta yang buruk ini sambil mengutuk peperangan, sedang di seluruh Surakarta rakyat menjadi se makin me larat dan tertindas. Dan Buntal a kan turun ke da la m peperangan itu. Ke dala m suatu keadaan yang me mungkinkan seseorang me mbunuh sesama dengan ujung senjata. "Buntal" berkata Kiai Danatirta kepada muridnya yang sudah akan meninggalkannya "lakukanlah kuwajibanmu. Aku me mang sering me ndengar te mbang rawat-rawat di antara para pertapa di ujung-ujung pegunungan, bahwa tidak ada yang lebih suci daripada menda mba kan ketenangan. Tetapi mereka melupa kan salah satu ujud dari pada kasih antara sesama. Dan itulah yang harus kau lakukan. Melindungi manusia dari ketidak adilan. Bukan sekedar meneriakkannya di simpang e mpat sa mbil mengacukan tangan tinggi-tinggi. Tetapi dengan perbuatan yang nyata. Meskipun perbuatan
yang nyata itu berupa perang. Dan di sinilah kita berdiri. Kadang-kadang kita me mang harus mela kukan sesuatu yang kita benci. Tetapi kita harus tetap berdiri di atas lembaran hati yang bersih" Buntal menganggukkan kepalanya sambil berdesis "Aku mengerti guru" Demikianlah, Buntalpun telah siap me ningga lkah padepokan Jati Aking. Jika besok matahari terbit di Timur, ia akan berangkat menuju ke padepokan Kia i Sarpasrana yang pernah didatanginya. Namun ma la m itu, sesuatu tidak dapat dihindarkan dari sudut hatinya. Rasa-rasanya bayangan Arum tidak dapat disingkirkan dari rongga matanya. Dala m keadaan yang khusus itu, Buntal tidak dapat ingkar lagi kepada dirinya sendiri. Ternyata Arum benar-benar telah mencuri hatinya. Betapapun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun gejolaknya terasa melanda dinding jantung. Tetapi Buntal tidak dapat berbuat banyak selain menekan perasaan itu dalam-da la m. Ia tidak berani menyatakannya kepada siapapun juga. Kepada Arum, dan apalagi kepada Kiai Danatirta. Setiap kali, ia teringat kepada seorang anak muda bangsawan yang bernama Juwiring. Rasa-rasanya Juwiring merupakan batas yang me misahkannya dari Arum. Namun, Buntal masih selalu berusaha berpikir jernih, sehingga ia masih saja berhasil me mbatasi persoalan itu di dalam dirinya sendiri. Tetapi untuk mengurangi beban yang rasa-rasanya hampir tidak terpikulkan, maka ha mpir di luar ke mauannya sendiri. Buntal me langkah keluar biliknya dan melalui pintu butulan ia menjenguk keluar rumah.
Terasa udara yang segar berhembus mengusap wajahnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang berkeredipan di langit. di sudut cakrawala masih ta mpak segumpa l awan yang kelabu. Na mun ke mudian bergeser ditiup angin mala m yang sejuk. Ketika Buntal ke mudian me langkah keluar pintu, ia menjadi termangu-mangu. Telinganya yang tajam menangkap desir langkah le mbut di be lakangnya. Karena itu, maka iapun berpaling. "Arum" Buntal terkejut melihat Arum berdiri termangumangu di belakang pintu. Arum tidak menjawab. Tetapi tampak sekilas cahaya yang berkilat di matanya. Kemudian gadis itu menundukkan kepalanya pula. Buntal melangkah ke mbali masuk ke dala m rumah. Sejenak keduanya termangu-mangu. Na mun ke mudian Arum me langkah dan duduk di amben yang besar di ruang belakang itu. Hampir di luar sadarnya Buntal mengikutinya dan duduk di amben itu pula. Beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Rasa-rasanya mereka telah dibatasi oleh perasaan masing-masing yang sukar ditebak. Tetapi tanpa kata-kata, ada sesuatu yang terucapkan. Pada tatapan mata dan sikap mereka yang asing, masing-masing telah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sudah agak la ma terpendam di dala m diri. Namun, akhirnya terucapkan juga pertanyaan dari mulut Buntal "Kau masih be lum tidur Arum?" Arum menggeleng le mah. Katanya "Aku tidak dapat tidur kakang" "Kenapa?"
Arum t idak segera menjawab. Ditatapnya wajah Buntal sejenak lalu, terbata-bata ia bertanya "Kau jadi pergi besok?" "Ya Arum" "La ma?" "Aku tidak dapat mengatakan Arum. Tetapi agaknya aku akan berada di dala m medan yang berat. Aku menyadarinya" Arum menunduk sema kin dala m. Tetapi terlontar dari bibirnya "Jika tugasmu selesai kakang, aku harap kau segera ke mbali. Bukankah kau akan ke mbali ke padepokan ini, dan bukan ke tempat lain?" Terasa dada Buntal menjadi berdebar-debar. Sejenak ia justru terbungkam. Namun ke mudian terdengar suaranya dalam nada berat dan datar "Aku akan ke mbali ke padepokan ini Arum. Aku adalah anak yang kabur kanginan. Aku tidak me mpunyai orang tua lagi, sehingga karena itulah, maka aku menganggap Kiai Danatirta adalah satu-satunya tempat bagiku untuk berlindung" Arum mengangkat wajahnya. Ditatapnya Buntal sejenak. Namun gadis itu ke mbali menundukkan kepalanya sambil berguma m lirih "Tentu ayah akan senang seka li" Tidak ada pe mbicaraan lagi di antara mereka. Tetapi kedua hati anak-anak muda itu rasanya telah bersentuhan. Mereka tidak me merlukan kata-kata yang berkepanjangan. Namun mereka masing-masing telah dapat menghayati, apakah yang sebenarnya tersembunyi di balik kedia man itu. Ketika Arum ke mudian ke mbali ke dala m biliknya, maka Buntalpun masuk pula ke da la m biliknya yang terasa sepi. Besok ia a kan meninggalkan bilik yang sudah la ma dihuninya. Mula-mula bersama Juwiring, namun ke mudian sejak Juwiring meninggalkan Jati Aking, ia berada di dala m bilik itu sendiri. Meskipun sejak Juwiring masih ada, ia kadang-kadang berada di dala m bilik itu sendiri jika Juwiring menunggui sawahnya di
ma la m hari, tetapi kesendirian yang dirasakannya kini, adalah perasaan yang mendera pusat hatinya. Tetapi Buntal harus menjelajahinya tanpa dapat menyingkir lagi. Namun dengan demikian, maka ha mpir se mala m suntuk ia sama sekali tidak dapat me meja mkan matanya. Hanya sesaat sebelum fajar menyingsing, matanya yang berat itupun terkatup untuk beberapa la manya. Buntal terkejut mendengar ayam jantan berkokok di ujung pagi. Tergesa-gesa ia bangkit dan pergi ke pakiwan. Setelah me lakukan se mua kewajibannya, yang jasmani dan yang rohani, maka iapun me mbenahi dirinya. Menyiapkan sebungkus pakaian dan sebilah pedang tergantung di la mbung, dan sebilah keris di punggung. "Hati-hatilah di perjalanan Buntal " pesan Kiai Danatirta ketika ia mengantar Buntal sa mpai ke regol ha la man. "Aku akan selalu berhati-hati guru" sahut Buntal "Aku mohon doa dan restu sepanjang perjuanganku yang tidak aku ketahui sa mpai kapan a kan berakhir" Kiai Danatirta tersenyum. Sa mbil menepuk bahu anak muda itu ia berkata "Tetapi perjuangan itu tentu akan ada akhirnya. Bagaimanapun bentuknya" Buntal me mandang Kiai Danatirta yang tersenyum itu. Perlahan-lahan ia berkata "Mudah-mudahan aku dapat melihat akhir dari perjuangan itu" Dan tiba-tiba saja Arum yang berdiri di sisi ayahnya menyahut "Kenapa tidak kakang?" Buntal menarik nafas. Katanya "Perjuangan yang akan dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi adalah perjuangan yang keras. Itulah sebabnya maka ada kalanya korban akan berjatuhan. Dan setiap orang di dala m pasukannya, akan menghadapi ke mungkinan yang sa ma"
"Benar Buntal" potong gurunya "Tetapi se mua yang akan terjadi, sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika maut me mang sudah datang menjemput kita masing-masing, maka kita tidak akan dapat me milih te mpat dan waktu. Karena itu, perjuangan adalah arena pengabdian yang tidak lebih berbahaya dari setiap kerja yang kita lakukan" "Ya guru" sahut Buntal. "Na mun ada lah kuwajiban kita untuk berusaha. Dan usaha yang pantas kau lakukan di dala m perjuangan bersenjata adalah berhati-hati dan t idak me mbanggakan diri sendiri" Sekali lagi Buntal mengangguk. "Nah pergilah, kami di sini mengharap kedatanganmu ke mbali. Aku dan juga Arum" Wajah Arum menjadi merah mendengar kata-kata ayahnya. Dan apalagi ketika ayahnya itu meneruskan "Aku mendengar pembicaraanmu se mala m" "Ah" wajah Arum t iba-tiba menjadi se makin tunduk. Sedang Buntal mencoba untuk tersenyum betapapun kecutnya. Akhirnya anak muda itupun me loncat ke punggung kudanya. Hatinya me mang berat untuk meningga lkan Jati Aking, dan terutama Arum dan ayahnya. Tetapi kuwajiban rasa-rasanya me mang sudah me manggilnya. Sekali-seka li Buntal masih berpaling. Dilihatnya Arum menggerakkan tangannya dan tanpa sesadarnya Buntalpun me la mbai pula. Tetapi sejenak ke mudian, kudanya bagaikan terbang meninggalkan padepokan Jati Aking. Bahkan ke mudian meninggalkan Jati Sari. Beberapa orang petani yang sudah la ma bergaul dengan anak muda itu masih se mpat bertanya dari pematang "He, Buntal. Kemana kau sepagi ini. Aku baru akan pulang setelah se mala m suntuk me nunggui air"
Buntal me mperla mbat kudanya. Jawabnya "Sekedar me le maskan ka ki-kaki kudaku pa man. Sudah la ma kudaku tidak berlari kencang." "Tetapi kau me mbawa bekal dan senjata?" Buntal tersenyum "Se kedar ke lengkapan jika aku tersesat sampai ke hutan" Petani itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi karena Buntal menjadi semakin jauh, dan kudanyapun sudah mula i berpacu ke mbali. Sekali-seka li Buntal menengadahkan wajahnya kelangit. Dilihatnya matahari pagi me manjat se makin tinggi. Burungburung liar berterbangan di atas tanah persawahan yang hijau segar. Buntal menarik nafas dalam-da la m. "Apabila terjadi perang" katanya di da la m hati "maka tanaman yang hijau itu a kan lumat diinjak kaki-ka ki kuda jika tempat ini menjadi ajang peperangan itu" Tetapi kadang-kadang seperti yang pernah didengarnya, seseorang harus melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jika seseorang telah berada di dalam keadaan tanpa pilihan, maka hal itu harus dilakukannya. Kuda Buntal berpacu se makin cepat. Sebelum matahari sampai ke puncak langit, maka Buntal telah mene lusur daerah hutan perburuan. Tetapi kali ini ia tidak ingin singgah ke hutan yang digawar dengan lawe. Bahkan ia tida k me milih jalan lain ketika ia sa mpa i ke daerah hutan yang masih liar. la tahu bahwa jalan itu jarang seka li dila lui orang. Tetapi jalan itu adalah jalan yang me mintas. Namun ternyata bahwa jalan itu terla mpau sepi. Agaknya jarang sekali orang-orang yang lewat jalan yang memotong daerah pinggiran hutan yang masih agak lebat.
Tiba-tiba Buntal terkejut ketika ia me lihat beberapa orang berkuda lewat di jalan itu pula, justru berlawanan arah. Sebuah iring-iringan yang agaknya sudah lelah. "Siapakah mereka " bertanya Buntal kepada diri sendiri "Agaknya sebuah iring-iringan yang mene mpuh jarak yang jauh, atau menjumpai persoalan-persoalan lain yang me mbuat mereka jadi sangat letih" Buntal menjadi berdebar-debar. Ia melihat dua orang berkuda di paling depan. Ke mudian berjarak beberapa langkah, tampa k seekor kuda yang berjalan la mbat. Jauh di belakang, masih dapat dilihatnya seekor kuda lagi muncul dari balik bayangan sebuah gerumbul liar di pinggir hutan itu. Tetapi agaknya orang-orang berkuda itu tertarik pula me lihat seorang anak muda berkuda di hadapan mereka. Karena itu, orang yang berada di paling depan itupun segera menarik kekang kudanya sehingga kudanya berhenti menyilang jalan. Buntal me mang sudah me mperla mbat derap kudanya. Beberapa langkah dari kuda yang menyilang jalan sempit itu. Buntal berhenti. "Siapa kau anak menyilangkan kudanya. muda?" bertanya orang yang
Buntal menjadi ragu-ragu. Ia belum mengenal orang itu. Jika orang itu bukan kawan-kawan yang berdiri di pihak yang sama, maka keadaannya akan menjadi se makin sulit. Apalagi ketika ia masih melihat satu dua ekor kuda muncul dari balik gerumbul-gerumbul. "Siapa?" Yang paling a man bagi Buntal adalah menghindari ke mungkinan na manya dapat segera disangkutkan dengan pihak-pihak yang sedang bertentangan. Karena itu maka jawabnya "Aku anak Jati Sari"
"Na ma mu?" "Buntal. Aku sedang pergi untuk menengok pa manku" "Dima na rumah pa manmu?" "Sukawati" Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka merenung. Na mun sejenak ke mudian orang yang menyilangkan udanya itupun bergerak maju seakan-akan me mberi jalan bagi Buntal untuk lewat. "Kenapa kau pergi seorang diri?" bertanya orang tu ke mudian. "Aku biasa berkunjung ke rumah pa man. Jalan ini sudah sering aku lalui" Orang itu masih mengerutkan keningnya. "Apakah kau tidak berbohong?" "Tida k. Aku berkata sebenarnya" Sejenak orang-orang itu termangu-mangu. Na mun ke mudian dilihatnya pedang Buntal yang tergantung di sisinya. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka mendekat sambil berkata "Kau me mbawa sepasang senjata. Sebilah pedang dan sebilah keris" Buntal menjadi berdebar-debar. Namun diusahakannya agar ia tetap tenang jawabnya "Ya. di daerah ini sering terdapat binatang buas. Karena itu aku bersenjata sepasang" Namun dala m pada itu, selagi mereka berbicara, seorang anak muda yang berkulit hita m bermata merah mendesak maju sa mbil berkata "Rampas senjatanya. Itu sangat berbahaya. Mungkin ia orang yang berbahaya bagi kita atau justru bagi Sukawati" Debar di dada Buntal me njadi se makin cepat menggelepar. Tetapi ia masih tetap tenang.
"Berikan senjatamu" "Ah" jawab Buntal "Jika aku berte mu dengan binatang buas, aku tidak a kan dapat berbuat apa-apa" "Aku tida k peduli. Berikan senjata mu" "Jangan Ki Sanak" suara Buntal menjadi se makin datar "senjata ini sangat aku perlukan" "Tida k bagi orang-orang seperti kau. Orang-orang malas yang hanya me mentingkan diri sendiri. Hanya orang-orang yang hidup di medan sajalah yang pantas bersenjata" Buntal menjadi ragu-ragu. Ada kalanya ia ingin mengatakan tentang dirinya, bahwa ia adalah murid Jati Aking dan sedang me menuhi panggilan Pangeran Mangkubumi mela lui Kiai Sarpasrana di Sukawati. Namun ia masih saja dibayangi oleh keragu-raguan karena ia tidak tahu pasti, dengan siapa ia berbicara. Dala m pada itu anak muda yang berkulit hitam itu mendesaknya terus. Bahkan ke mudian ana k muda itu mende katinya sambil me mbentak "Cepat. Kami tidak sedang bertamasya. Kami sedang mene mpuh perjalanan yang jauh. Berikan senjata itu sekarang." Dada. Buntal yang berdebar-debar menjadi se makin berdebar-debar. Dan agaknya anak muda itu masih saja mendesaknya terus. Sementara itu, orang-orang yang lebih tua, yang justru mula-mula menahan Buntal dengan menyilangkan kudanya berkata "Kita akan me meriksanya. Aku kira ia tidak bermaksud apa-apa" "Belum tentu paman" jawab anak muda yang berkulit hitam "Kita harus me ngetahui dengan pasti, bahwa orang ini tidak berbahaya bagi kita. Siapa tahu, ia merupakan petugas sandi dari Surakarta atau kumpeni"
Mendengar kata-kata itu Buntal mulai mendapat petunjuk bahwa orang-orang itu tentu bukan orang-orang yang berpihak kepada kumpeni. Karena itu maka katanya kemudian "Ki Sanak. Sebenarnya aku adalah murid dari perguruan Jati Aking. Aku akan pergi mene mui Kiai Sarpasrana, salah seorang pengikut Pangeran Mangkubumi" "Kau dapat mengigau apa saja" berkata anak muda berkulit hitam itu sehingga Buntal terkejut pula karenanya. "Anak muda dari Jati Aking" berkata yang lebih tua dari anak muda yang berkulit hita m "Aku ingin menggeledah Barang-barangmu. Jika kau me mbawa Barang-barang yang mencurigakan, maka aku a kan menga mbil sikap la in" "Silahkan Ki Sanak. Aku tidak berkeberatan" jawab Buntal yang bahkan ke mudian me loncat turun dari kudanya. Orang yang sudah lebih tua itupun turun pula dari kudanya dan mende kati kuda Buntal. Dilihatnya Barang-barang yang dibawanya, yang tidak lebih dari pakaian-pa kaian kumal. "Ia tidak me mbawa apapun juga. di dalam bungkusan pakaian itu tida k terdapat Barang-barang lain. Apalagi senjata api" "Tetapi itu belum merupa kan pertanda bahwa ia tidak akan berbuat apa-apa" "Ia hanya bersenjata tajam seperti kita. Ia hanya seorang diri. Tidak banyak yang dapat dila kukan. Biarlah ia lewat. Kita jangan mena mbah lawan di sepanjang jalan" "Aku tetap menghendaki senjatanya" Buntal menjadi se makin bingung menghadapi anak muda berkulit hita m ini. Tetapi ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyerahkan senjatanya. Apapun yang terjadi.
Dala m pada itu, orang yang sudah lebih tua yang agaknya me mimpin iring-iringan itu berkata "Kau me ma ng keras hati. Tetapi dengar, anak muda itu a kan menjawab" "la tidak perlu me mberikan pendapat apapun juga. Aku me merlukan senjatanya" "Sayang" sahut Buntal "senjata ini adalah pe mberian guruku dari Jati Aking. Tentu saja a ku berkeberatan" "Gila, aku akan me maksa mu" "Jangan Ki Sanak. Jika kau berkeras untuk menga mbil senjataku, aku akan berkeras untuk me mpertahankan" "Persetan" Anak muda berkulit hitam itupun meloncat pula dari kudanya beberapa langkah di hadapan Buntal. Orang-orang yang melihat sikap kedua anak-anak muda itu menjadi tegang. Orang yang sudah lebih tua di dalam pasukan yang lewat itu, menjadi termangu-mangu. Namun ke mudian ia berkata "Baiklah kita akan me lihat, apakah kau akan berhasil menga mbil senjatanya. Dan di dalam perkelahian ini, kita tidak ingin me lihat jatuh seorang korbanpun. Jika kau berhasil menga lahkannya, maka kau akan dapat merampas senjatanya, tetapi sebaliknya jika kau kalah, maka kau harus mengurungkan niatmu untuk mera mpas senjata itu, dan kau tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapapun" "Baik, baik" jawab ana k muda berkulit hita m itu. Demikianlah, maka beberapa orang yang sudah berada di dekat kedua anak-anak muda itupun berkerumun. Satu-satu masih saja ada seekor kuda dengan penunggangnya yang muncul dari ba lik gerumbul. Ketika mereka melihat orangorang berkerumun, maka mereka yang datang ke mudianpun ikut berkerumun pula. Demikianlah, maka anak muda yang hita m itu me mpersiapkan dirinya. Dipandanginya Buntal dengan tajamnya. Sekilas tampak keheranan me mbayang di
wajahnya. Ternyata anak muda yang berkulit hita m itu menjadi heran me lihat sikap Buntal yang meyakinkan. Sejenak ke mudian maka anak muda itu bergeser selangkah maju, dan Buntalpun berdiri dengan ma pan pada kedua kakinya yang renggang. "Kau benar-benar keras kepala" berkata anak muda berkulit hitam "Tetapi persoalannya bukan lagi persoalan kecurigaan. Tetapi sikapmu terla mpau sombong". Buntal tidak menjawab. Tetapi matanya tidak terlepas uari ujung ka ki lawannya. Seperti yang diduga, maka iapun segera melihat kaki itu mulai bergerak. Cepat sekali. Dan Buntalpun se mpat melihat arah serangan yang deras itu, sehingga ia masih ma mpu menge lak selangkah ke sa mping. Dengan de mikian maka serangan itu sa ma seka li t idak mengenai sasarannya. Serangan anak muda berkulit hita m itu lewat sejengkal dari tubuh Buntal yang condong. Namun anak muda itu t idak me mbiarkan lawannya sempat me mperbaiki keadaannya. Iapun segera berputar pada sebuah tumitnya dan sebuah serangan mendatar menyambar la mbung Buntal. Serangan itu terlampau cepat untuk die lakkan. Karena itu tidak ada jalan la in bagi Buntal kecuali menangkis serangan itu. Tetapi karena Buntal belum tahu pasti ke ma mpuan lawannya, maka Buntalpun tidak dengan serta merta me mbentur kekuatan itu. Dengan lincahnya ia berkisar sa mbil me mukul kaki yang menyambar mendatar itu dengan sepenuh tenaga. Terdengar sebuah keluhan tertahan. Hampir saja anak muda berkulit hita m itu terdorong jatuh. Untunglah bahwa ia masih sempat meloncat dengan sebelah kakinya dan bertahan untuk tetap berdiri.
Namun dengan de mikian, anak muda berkulit hita m itu dapat menjajagi kekuatan dan ke ma mpuan Buntal, sehingga untuk selanjutnya ia tidak dapat menganggap Buntal sebagai sekedar anak-anak yang sedang berbangga karena ia mulai dapat berjalan. Demikianlah ma ka perkelahian itupun berlangsung se makin la ma semakin sengit. Ternyata anak muda yang berkulit hitam dengan sekuat tenaganya berusaha memenangkan perkelahian itu. Na mun Buntalpun mengerti, bahwa persoalannya sebenarnya sudah berkisar. Anak muda itu kini bukannya sekedar ingin mera mpas senjata karena kecurigaannya. Tetapi kini anak muda berkulit hitam itu semata-mata ingin me mpertahankan harga dirinya. Tentu ia tidak mau dikalahkan oleh Buntal di hadapan kawankawannya, karena ternyata Buntal me miliki ke ma mpuan di luar dugaannya. Namun sebaliknya Bunlalpun tidak mau dikalahkan karena dengan demikian ia akan kehilangan senjatanya. Karena itu, maka perkelahian itupun menjadi se makin seru. Masing-masing tidak mau kehilangan kese mpatan untuk tertahan dan jika mungkin me menangkan perkelahian. Namun dengan de mikian Buntal tidak lagi sekedar dikuasai oleh perasaannya ingin mengalahkan lawannya. Semakin la ma ia justru menjadi se makin yakin, bahwa kema mpuan lawannya tidak dapat mengimbangi. ke ma mpuannya. Lambat laun lawannya tentu akan dapat dikuasainya, jika ia tidak me mbuat kesalahan yang besar di dala m perkelahian itu. Bukan saja Buntal yang menyadari akan hal itu. Tetapi orang yang lebih tua dan anggauta-anggauta pasukan yang lain itupun mengetahui pula, sehingga iapun dapat menga mbil kesimpulan bahwa Buntal pasti akan me menangkan perkelahian itu. Na mun iapun menyadari, bahwa harga diri anak buahnya yang berkulit hitam itu tentu akan tersinggung
jika ia tidak dapat me menangkan perkelahian itu, sehingga ia akan dapat berbuat sesuatu di luar sadarnya. Karena itu, ma ka orang itupun berusaha untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang ba ik agar kedua belah pihak tida k mendapat kesulitan dan tersinggung karenanya. Apalagi ketika ia melihat, bahwa agaknya lawan anak buahnya itu meskipun masih muda, namun me miliki pertimbangan yang lebih mengendap menilik sikapnya dan tata geraknya di dalam perkelahian itu. Tetapi belum lagi orang itu mene mukan sesuatu, tiba-tiba seorang yang bertubuh raksasa, yang baru saja datang mende kati arena itu, meloncat turun dari kudanya. Dengan serta-merta ia menyibakkan orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu, yang semakin la ma ternyata menjadi se ma kin banyak. "Cukup, cukup" ra ksasa itupun ke mudian berteriak, sehingga suaranya bagaikan menggeletarkan seisi hutan. Semua orang yang berada di sekitar arena itu terkejut. Mereka yang sedang bertempurpun terkejut pula, sehingga hampir di luar sadarnya, keduanya meloncat surut. Raksasa itu kini berdiri di dala m lingkungan orang-orang yang semakin banyak berkerumun. Dengan tajamnya orang itu me mandang kedua anak-anak muda yang sedang berkelahi itu berganti-ganti. "Untunglah lawanmu seorang yang baik hati" geram raksasa itu sambil me mandang anak muda yang berkulit hitam itu "Jangan merasa dirimu me miliki ke ma mpuan yang setingkat dengan anak muda itu, karena kau seolah-olah dapat bertahan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi sebenarnyalah bahwa kau telah dikasihani, sehingga kau tidak segera dikalahkannya" Anak muda berkulit hita m itu me mandang raksasa itu dengan keragu-raguan yang me mbayang di wajahnya.
"Kau tidak percaya?" bentak raksasa itu. Anak muda berkulit hitam itu tidak menjawab. Sekilas disa mbarnya wajah Buntal yang disaput oleh keragu-raguan. Sejenak-Buntal me mang berdiri saja dengan tegang. Namun ketika raksasa itu tersenyum padanya, iapun me langkah setapak maju sa mbil berdesis "Kaukah itu?" "Ya, anak muda. Kau tentu tidak lupa kepadaku" "Sura" "Ya aku Sura" Tegapi wajah Buntal masih tetap me mbayangkan keraguraguan, sehingga sambil tersenyum Sura berkata "Aku sekarang sudah mene mukan diriku sendiri. Aku kini merasa diriku benar-benar seorang yang bebas, yang dapat menentukan pilihan. Seperti sudah kau ketahui, sejak aku meninggalkan Raden Rudira, aku kemba li ke rumahku yang kecil, miring dan bocor di saat hujan turun. Keadaan yang jauh berlawanan dengan kehidupan yang pernah aku lihat di kota, me mbuat aku terbangun dari mimpi. Aku merasa bahwa aku harus berbuat sesuatu. Dan kini aku sudah me milih tempat" Buntal mengangguk-angguk. menjawab. Tetapi ia masih belum
"Nah, barangkali kau masih tetap bertanya-tanya, dimana aku sekarang berdiri" "Jangan kau katakan" desis anak muda berkulit hita m itu. "Kau tida k usah curiga kepadanya" Sura berhenti sejenak lalu "Kita adalah laskar Raden Mas Sa id. Nah, apakah kau sedang me lakukan suatu tugas dari perguruanmu?" "Aku akan pergi ke Sukawati. Aku akan menghadap Kiai Sarpasrana"
"O. Bagus. Sukawati sedang bersiap-siap meskipun menurut pendapat kami, persiapan itu terlampau la mban. Tetapi itu lebih baik daripada tidak berbuat sesuatu" "Tentu dengan pertimbangan yang masak" "Ya, ya" Sura berpikir sejenak, lalu "Tetapi kau dapat me milih di antara Sukawati atau ka mi" Buntal me mandang Sura dengan taja mnya. ke mudian ia bertanya "Apakah ada bedanya?" Namun
"Pada dasarnya tidak. Tetapi kami me miliki gairah yang lebih besar" "Bukan Sura. Bukan perbedaan gairah perjuangan. Tetapi tentu ada pertimbangan lain yang lebih dala m daripada masalah-masalah lahiriah yang kita lihat. Sebenarnyalah perang adalah peristiwa yang tidak dikehendaki oleh siapapun. Tetapi jika tida k ada jalan la in, maka apaboleh buat" "Ka mi tidak menunggu sa mpai ka mi terantuk pada keharusan itu, karena kami tahu, bahwa akhirnya jalan itulah yang akan ka mi pilih" Buntal menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia tidak ingin berbantah mengenai persoalan itu. Karena itu, maka katanya ke mudian "Ba iklah aku a kan me mpertimbangkannya. Tetapi karena aku sekarang sedang bertugas, maka jika tida k ada keberatan apapun, aku akan me lanjutkan perjalanan" Anak muda yang berkulit hita m, yang baru saja berkelahi me lawan Buntal me mandang Sura dengan sorot mata bertanya-tanya. Dan agaknya Sura dapat mengerti, sehingga katanya "Biarlah ia pergi. Ia bukan orang yang berbahaya bagi kita. Bahkan kita berharap, pada suatu ketika kita akan bekerja bersama dengan anak muda yang baik itu" Tidak seorangpun yang menjawab. Dan Sura berkata terus "Nah, ingat-ingatlah. Kita harus berbuat sebaik-baiknya sehingga kita tidak terjerumus ke dala m arus perasaan melulu.
Sampa i saat ini kita selalu mencuriga i orang-orang yang tidak bersama kita menyelusuri jalan, hutan dan sungai. Tetapi sebenarnyalah bahwa di luar pasukan kita, masih banyak orang yang melakukan perjuangan untuk kepentingan tanah ini dengan caranya masing-masing. Dan kalian harus menghargai mereka seperti kalian menghargai diri kalian sendiri" Tidak ada yang menyahut. Lalu "Buntal. Silahkan meneruskan perjalanan. Kita akan berada di dala m tugas kita masing-masing. Sa mpa ikan sa la mku kepada Kiai Sarpasrana. Meskipun aku belum mengenalnya langsung, tetapi aku pernah mendengar na manya di antara nama-na ma para pengikut Pangeran Mangkubumi" "Baiklah. Terima kasih Sura" Sura tersenyum. Ke mudian dengan suatu isyarat pasukan itupun melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan se mpit dan daerah yang berhutan. Sejenak Buntal termangu-ma ngu. Yang dijumpa inya itupun sebuah pasukan. Tetapi pasukan itu tidak tergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian maka seakan-akan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi telah berjalan sendiri-sendiri menurut cara masing-masing. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Katanya di dala m hati "Cara ini t idak boleh berjalan terlalu la ma " Na mun ke mudian seakan-akan ia menyadari dirinya sendiri "Tentu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said lebih mengerti akan ha l ini" Buntal ke mudian tersenyum sendiri. Perlahan-lahan ia me langkah menuntun kudanya. Justru karena ia melihat sebuah mata air di bawah sebatang pohon yang besar. Diberinya kese mpatan bagi kuda untuk meneguk air sejenak. Kemudian dengan tangkasnya ia me loncat naik dan berpacu meninggalkan te mpat itu.
Dala m pada itu, Arum yang tinggal di padepokannya, merasa sema kin sepi. Kepergian Buntal me mbawa kesan yang lebih dala m di hatinya daripada kepergian Juwiring. Mungkin sepeninggal Juwiring ia masih me mpunyai seorang saudara seperguruan di padepokannya. Tetapi sepeninggal Buntal, ia benar-benar seorang diri. Dengan demikian, maka pekerjaannya menjadi semakin banyak. Ia harus pergi ke sawah di pagi hari. Kadang-kadang harus mela kukan tugas kedua saudara seperguruannya meskipun ayahnya sering me mperingatkannya. "Biarlah aku dan para pembantu sajalah yang me lakukannya Arum" berkata ayahnya kepada gadis itu. "Biarlah ayah. Apakah bedanya?" "Kau adalah seorang gadis" Arum me mandang ayahnya dengan herannya. Bukankah ayahnya mengetahui bahkan ayahnya telah me mbentuknya menjadi gadis yang lain dari kebanyakan gadis di padukuhan Jati Sari" Dan ayahnya mengetahui dengan pasti, bahwa tenaganya tidak jauh berbeda dengan tenaga Juwiring dan Buntal, dan bahkan jauh mela mpaui ana k-anak muda di padukuhannya. Agaknya ayahnya menyadari akan hal itu. sehingga meskipun Arum tidak mengucapkannya, namun ayahnya menjawab "Kau me mang seorang gadis yang la in Arum. Tetapi kau tida k dapat berbuat lain seperti itu di lingkungan kehidupan kita, di tengah-tengah para petani. Apalagi di padepokan ini terdapat beberapa orang laki-la ki. Mereka akan menyangka bahwa kau anak tiriku. Seorang gadis harus bekerja keras, sedang di rumahnya terdapat beberapa orang laki-laki" "Ah, kenapa ayah merisaukan pendapat tetangga?"
"Pertanyaanmu aneh Arum. Kita tidak hidup sendiri. Kita hidup di dala m lingkungan kehidupan yang sudah terbentuk. Karena itu kita harus menyesuaikan diri. Jika ada perbedaan di antara kita dan para tetangga, maka kita harus menguranginya sehingga yang na mpak adalah perbedaan yang sekecil-kecilnya" Arum tida k menyahut lagi. Ia mengerti keberatan ayahnya, sehingga karena itu, maka kepa lanya terangguk-angguk kecil. Namun dengan de mikian padepokan itu rasa-rasanya menjadi se makin sepi. Tanpa Buntal dan tanpa Juwiring. Di da la m kesepian itu, kadang-kadang Arum terperosok ke dalam sebuah angan-angan yang asing baginya. Kadangkadang me mang terbayang kedua saudara seperguruannya. Namun ke mudian yang paling jelas terlukis di rongga matanya adalah Buntal. Rasa-rasanya Buntal me mpunyai kedudukan yang khusus di dala m hatinya. Anak itu me mang agak lebih kasar dari Juwiring. Ba ik sikapnya, maupun ujudnya. Namun rasa-rasanya Buntal adalah orang yang paling sesuai bagi kehidupan di padepokan. Bukan kehidupan di istana seperti istana Ranakusuman. Beberapa hari sepeningga l Buntal, tidak terjadi sesuatu yang menarik di padepokan Jati Aking, selain kesepian yang semakin menghunja m jantung. Orang-orang Jati Aking dan Jati Sari bekerja seperti biasanya. Mereka memelihara sawah dengan tekun dan bersungguh-sungguh, karena sawah mereka adalah sumber kehidupan mereka se keluarga. Makan, pakaian dan segala kebutuhan hidup bersumber dari hasil. sawah yang mereka garap itu. Tetapi ketika suasana di Surakarta menjadi se makin la ma semakin panas, maka udara yang panas itu menga lir se ma kin deras ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun. "Ayah" bertanya Arum pada suatu saat kepada ayahnya "Apakah ayah percaya bahwa tersebar berita, laskar yang
menentang Kumpeni itu bukan saja me lakukan peperangan dimana-mana tetapi juga perampokan dan penyamunan disekitar daerah Sura karta ini?" Ayahnya mengerutkan keningnya "Darimana kau dengar berita itu Arum?" "Ha mpir setiap orang me ngatakannya pagi ini ayah. di sawah orang-orang berceritera tentang perampokan di daerah Maja. Seorang saudagar yang meskipun tidak begitu kaya, tetapi me miliki beberapa ekor ternak dan perhiasan, telah dira mpok sa mpai habis. Bahkan ternaknyapun dibawa pula oleh, perampok-perampok itu" "Darimana mereka tahu bahwa mereka adalah laskar yang menentang kumpeni?" "Mereka berkata tentang diri mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa yang dia mbilnya itu adalah sekedar sumbangan bagi perjuangan menentang penjajahan" "Sekedar sumbangan, tetapi dia mbilnya se mua kekayaan yang ada?" "Ya ayah" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Na mun tiba-tiba ia berkata "Apakah orang-orang itu me mperlihatkan ciri dari laskar yang mereka sebut laskar yang menentang kumpeni itu?" "Tida k ayah. Tetapi mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang dari pasukan Raden Mas Said" "Ah" dengan serta-merta Kia i Danatirta bergeser. Lalu "Arum. Kita harus berhati-hati menerima berita semaca m itu. Karena orang-orang itu dengan terus-terang menyebut dirinya dari laskar Raden Mas Said. kita justru menjadi curiga karenanya" "Kenapa?" bertanya Arum.
"Arum" berkata ayahnya "ada beberapa cara untuk me mukul lawannya. Jika Kumpeni tidak siap untuk berperang, maka ia dapat me mpergunakan cara lain, di antaranya perampokan-pera mpokan itu" "Maksud ayah?" "Mereka mengupah beberapa orang untuk melakukan kejahatan. Orang-orang itu dipersenjatainya dengan baik. Hasil ra mpasannya akan merupakan upah tambahan dari yang diterimanya dari kumpeni" "Dan mereka dengan sengaja menyebut dirinya orangorang yang disegani oleh kumpeni, agar kedudukan mereka menjadi sulit. Begitu ayah?" bertanya Arum "Licik seka li" "Nah, berhati-hatiiah. Jika kau mendengar berita apapun di saat seperti ini, kau harus mampu menyaringnya. Kau mengerti?" "Aku mengerti ayah. Tetapi bagaimana dengan pendapat yang sudah terlanjur tersebar di antara rakyat?" "Kita dapat menjelaskannya. Tetapi harus dengan sangat berhati-hati. Jika telinga kumpeni mendengar, maka akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan bagi kita di sini" Arum mengerutkan keningnya dan ayahnya meneruskan "Tentu kumpeni tidak a kan berdia m diri mendengar bahwa usahanya dapat diraba orang. "Aku mengerti ayah" "Karena itu Arum, untuk menjelaskan kebenaran merupakan suatu perjuangan tersendiri apabila kebenaran itu merupakan cacat bagi kumpeni" "Baiklah ayah" Arum berguma m seperti kepada diri sendiri "Aku akan berhati-hati. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak dapat berdiam diri, me mbiarkan na ma Raden Mas Said itu tercemar. Aku mengenal Raden Mas Said secara pribadi
meskipun hanya sekilas ketika aku mengikut i Raden Juwiring ke Surakarta. Karena itu, aku yakin bahwa ia me mang tidak akan me mbiarkan ana k buahnya melakukan hal itu, sebab hal itu akan menodai perjuangannya. Bahkan seluruh perjuangan kita" "Tentu kau benar anakku. Tetapi berhati-hatilah" Arum tidak menyahut. Tetapi ia yakin bahwa yang dikatakan oleh ayahnya itu benar. Kumpeni tentu menggunakan aka l yang licik untuk menghancurkan na ma lawannya. Tetapi pada suatu saat. Arum terpaksa datang lagi kepada ayahnya sambil berkata "Ayah, semala m tiga orang pera mpok telah dibunuh oleh kumpeni" Ayahnya semula tidak begitu tertarik kepada ceritera itu. Namun Arum mendesaknya "Ayah. jadi bagaimanakah yang sebenarnya menurut ayah. Jika mereka itu benar-benar orang yang diupah oleh kumpeni, kenapa mereka harus dibunuh sendiri oleh kumpeni" "Apakah kau heran?" "Tentu ayah" Ayahnya me mandang Arum dengan taja mnya. Namun ke mudian ia tersenyum sa mbil bertanya "Coba Arum, pecahkan persoalan yang kau herankan itu. Seharusnya kau tidak saja memiliki ke ma mpuan dala m olah kanuragan, tetapi juga di dala m kecerdasan me mecahkan persoalan" Arum menjadi sema kin heran. Sambil bersungut-sungut ia berguma m "Ayah justru berteka-teki" "Bukan berteka-teki. Tetapi sepantasnya kau dapat menebak apakah sebabnya maka hal itu dilakukan oleh kumpeni" Arum terdia m sejenak, la mencoba untuk mene mukan alasan, kenapa kumpeni telah me lakukan hal itu. Tetapi
meskipun untuk beberapa saat ia merenung, na mun ia masih belum dapat me mecahkannya. "Arum" berkata ayahnya "Jika kau memukul seekor kucing dengan tongkat, kemudian kau me lihat pe milik kucing itu datang, maka kau tidak segan-segan untuk mele mparkan bahkan me matahkan tongkat itu, agar pemiliknya tidak menuduhmu, bahwa kau sudah memukul kucingnya yang lari terbirit-birit" "O" Arum menyahut hampir berteriak "Aku tahu ayah. Kumpeni sengaja me mbunuh orang-orang upahannya sendiri untuk melenyapkan jejak ke licikannya. Dengan demikian, maka ra kyat tidak akan menyangka bahwa kumpeni telah dengan sengaja mengacaukan perjuangan Raden Mas Said dan juga Pangeran Mangkubumi apabila sa mpa i saatnya ia kehilangan kesabaran dan kehilangan harapan untuk me mecahkan persoalan Surakarta dengan dama i tanpa menitikkan darah lebih banyak lagi" Ayahnya tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya "Benar Arum. De mikianlah ga mbaran dari ke licikan kumpeni. Caranya memecahkan persoalan adalah cara yang tidak pernah terbayang di dalam angan-angan kita sebelumnya. Tetapi setelah beberapa lama kita mengena l mereka, maka kitapun akan segera dapat mengetahui, apakah yang telah mereka la kukan. Ha mpir sa ma dengan cara-cara yang ditempuh oleh penjahat-penjahat kecil yang tidak mengenal kejantanan" "Tetapi kita perlu mengetahui cara-cara itu ayah, sehingga kita tidak akan se lalu terjebak di dala m kelicikannya" "Ya Arum. Kita me mang harus me mpe lajari ilmunya. Ilmu yang licik dan pengecut. Sebelumnya kita tidak pernah mengenalnya. Apalagi kesatria dan bangsawan yang turun temurun me miliki darah jantan. Tetapi jika kita me mpe lajarinya bukan ma ksud kita untuk
me mperguna kannya. Namun dengan de mikian kita tidak akan dapat masuk ke dala m perangkap" "Apalagi mereka sama sekali tidak menjadi malu dan menyesal apabila cara-caranya yang licik itu ke mudian kita ketahui. Mereka sama se kali tidak me mpedulikannya. Seakanakan mereka tida k pernah me lakukan apapun juga" "Nah, demikianlah Arum. Kau sudah tahu bahwa yang terbunuh itu me mang orang-orang kumpeni sendiri" "Betapa keja mnya ayah. Mereka mengorbankan jiwa orang lain untuk me ngelabui perjuangan rakyat Surakarta" "Ya. Memang keja m sekali. Mereka tidak menghargai jiwa manusia. Mereka menganggap bahwa jiwa kita, orang-orang yang me mpunyai kulit berwarna itu, seperti jiwa buda k-budak yang tidak berharga sa ma sekali" Tiba-tiba Arum menggera m. Katanya "Kita tidak dapat me mbiarkan diri kita kehilangan martabat kemanusiaan kita" "Dan itulah yang diperjuangkan oleh Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi dengan caranya masing-masing. Namun yang agaknya sebentar lagi. Pangeran Mangkubumipun akan me ne mpuh cara yang sa ma" "Ya. Kakang Buntal telah dipanggilnya. Tentu bukan hanya kakang Buntal sendiri, tetapi berpuluh-puluh, bahkan beratusratus" Kiai Danatirta menganggukkan kepalanya. Lalu katanya "Arum, kau dapat menjelaskan apa yang kau ketahui tentang kumpeni itu kepada rakyat Jati Sari. Tetapi seperti yang aku katakan, kau harus berhati-hati. Kumpeni me mpunyai telinga dan mata dimana-mana. Justru orang-orang yang me miliki kulit seperti kulit kita inilah yang telah merusakkan setiap usaha kita dengan upah yang besar. Tetapi upah itupun hanya sekedar janji, karena orang-orang itupun pada saatnya akan
dibunuh sebagai pera mpok dan yang lain disebutnya sebagai pengikut Raden Mas Said" Arum menyadari keadaan itu. Karena itulah, maka ia dengan sangat berhati-hati berusaha untuk mengatakan kebenaran yang diketahuinya. Mula-mula hanya di dala m lingkungan kecil, yang diketahuinya me mpunyai sikap yang sejalan menghadapi kumpeni, meskipun mereka tidak dapat berbuat apapun juga karena mereka tidak me miliki ke kuatan. "Me mang masuk a kal" desis seorang tua berjanggut putih "darimana kau ketahui akal licik itu Arum?" "Aku hanya menduga-duga saja kake k. Mungkin aku sa lah" "Kau benar. Aku yakin kau benar. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan perjuangan Raden Mas Said" Pendirian itupun perlahan-lahan menja lar dari orang-orang yang satu kepada orang yang lain. Sehingga akhirnya tidak ada lagi yang dapat mengatakan, bahwa yang pertama-tama meragukan tindakan kumpeni itu ada lah Arum. Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Danatirta, maka ada jiwa telinga kumpeni yang mendengarnya, bahwa di padukuhan kecil yang berna ma Jati Sari. ada orang-orang yang menganggap bahwa kumpeni telah mela kukan kecurangan itu. Itulah sebabnya maka di padukuhan Jati Sari kadangkadang ta mpak orang-orang yang tidak dikenal lewat di jalan padukuhan mereka. Meskipun sejak la ma jalur ja lan itu selalu dilalui oleh banyak orang, dan kadang-kadang orang-orang yang tidak dikenal, tetapi bagi Kiai Danatirta. tampak ada perbedaan tingkah laku dari orang-orang yang me mpunyai maksud-maksud tertentu di daerah Jati Sari. Itulah sebabnya maka Kiai Danatirta selalu berpesan kepada Arum untuk berhati-hati.
"Arum, sudah banyak orang yang bersikap benar menanggapi pera mpokan dan pe mbunuhan yang me ma kai kedok laskar Raden Mas Said. Karena itu, janganlah menyebarkannya lagi, karena akhir-akhir ini aku menaruh curiga kepada beberapa orang yang tidak aku kenal mondarmandir di padukuhan ini" "Apakah maksudnya?" bertanya Arum. "Tentu mereka mendapat laporan bahwa rakyat Jati Sari mencurigai desas-desus tentang perampok-perampok itu" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah ayah. Aku akan diam. Pengertian itu sudah cukup tersebar di antara rakyat Jati Sari. Namun de mikian ayah, apakah orang prang yang sampai saat ini masih bersedia diperalat itu tidak mengerti bahwa kawan-kawannya terbunuh setelah tidak diperlukan hgi?" "Mungkin mereka mengerti, tetapi mereka me mpunyai sesuatu yang lebih berharga menurut dugaan mereka sendiri dari kawan-kawannya yang terbunuh. Atau mereka menyangka bahwa kawan-kawannya yang terbunuh itu telah berkhianat dan harus dimusnahkan" Arum mengangguk-angguk. Itu adalah sikap yang sangat licik dari kumpeni. Tetapi Arum juga me mpunyai dugaan lain "Bukan saja kelicikan kumpeni. Tetapi juga karena kebodohan kita sendiri. Apalagi karena kita adalah orang-orang yang tamak, yang segera tergelincir karena ge merlapnya sekeping uang" Dan orang yang demikian itu sebenarnya memang ada. Ketika Arum dan beberapa orang kawan-kawannya, sedang duduk di bawah sebatang pohon duwet di pategalan, dilihatnya dua orang anak muda yang berpakaian seperti pedagang-pedagang yang kecukupan lewat di jalan di sebelah pategalan itu. Ketika keduanya melihat beberapa orang gadis
yang sedang duduk, maka keduanyapun saling berpandangan sejenak, lalu langkah mere kapun terhenti. Gadis-gadis yang sedang duduk berteduh itupun menjadi berdebar-debar. Mereka belum mengenal kedua anak-anak muda itu. "Apakah aku dapat bertanya Ki Sanak" desis salah seorang dari keduanya sa mbil me langkah mendekat. Tidak ada seorangpun dari gadis-gadis itu yang menjawab. Mereka saling berdesakan dan bahkan ada di antara mereka yang menjadi tersipu-sipu dan me malingkan wajahnya. "Aku tida k apa-apa. Aku hanya ingin bertanya" Seorang gadis yang bertubuh pendek me mberanikan diri untuk menjawab "Silahkan. Jika aku dapat menjawab, aku akan menjawabnya" Anak muda itu tersenyum. Katanya "Bagus. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih" Arum yang juga berdiam diri me mperhatikan kedua anak muda itu berganti-ganti. Tetapi ia merasa bahwa keduanya belum pernah dilihatnya. "Siapakah na ma mu" bertanya anak muda itu kepada gadis yang bertubuh pendek. Gadis itu terdia m sejenak sa mbil me nutup senyumnya dengan telapak tangannya. Wajahnya menjadi merah. Apalagi ketika anak muda yang tampan dan berpakaian cukup ba ik itu berjongkok di hadapan gadis-gadis yang sedang duduk itu, disusul dengan anak muda yang seorang lagi. "Siapakah na ma mu?" desak anak muda itu. Gadis yang bertubuh pendek itu bergeser surut sehingga merekapun menjadi se makin berdesak-desakan.
"Ah, kenapa kau malu "Anak muda itu tersenyum "Kau cantik seka li" "Ah" gadis itu tiba-tiba saja menyembunyikan wajahnya. Belum pernah ia mendengar seorang anak muda me mujinya langsung di hadapannya. Bahkan kadang-kadang ia merasa rendah diri karena tubuhnya yang pendek dan wajahnya yang agak kasar. Karena itu ketika seseorang me mujinya sebagai seorang gadis yang cantik, ma ka serasa jantungnya akan berhenti berdetak. "Baiklah" berkata anak muda itu "mungkin kalian tidak mau mendengar seseorang me muji. Itu adalah kebiasaan gadisgadis padesan. Tetapi cobalah, katakan, apakah kalian sering me lihat sesuatu yang menarik perhatian di padukuhan kalian?" Gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Sebagian dari mereka me njadi bingung. Tetapi gadis yang bertubuh pendek itu justru mengangkat wajahnya. Ia merasa berhutang budi kepada anak muda yang sudah me mujinya itu. "Maksud tuan?" gadis itu bertanya. Anak muda itu tersenyum. Dan sekali lagi ia bertanya "Siapa na ma mu?" Meskipun gadis itu menjadi tersipu-sipu lagi. tetapi ia menjawab "Warsi. Na maku Warsi" "Hanya Warsi?" Gadis itu me ngangguk. "Na ma yang manis sekali " -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 14 SEKALI lagi Warsi menyembunyikan wajahnya dan bergeser surut. Sedang kawan-kawannya mulai berani tertawa tertahan-tahan sambil mendorong tubuh Warsi yang pendek itu. "Dan siapa na ma mu ana k manis?" tiba-tiba yang lain bertanya sambil me mandang Arum yang duduk bersandar batang pohon duwet. Sebenarnya Arum me mpunyai sikap yang lain daripada gadis-gadis kawannya bermain. Tetapi ia tidak mau menyatakan dirinya dan kematangan jiwanya. Itulah sebabnya, maka iapun berpura-pura menunduk sambil bermain-main dengan ujung kainnya. "Siapa?" Arum t idak menjawab. Tetapi kawan-kawannyalah yang menyebut na manya. "Arum. Na manya Arum" "O, nama yang bagus sekali" desis anak muda itu.
Tetapi Arum sendiri tetap menundukkan kepalanya sambil mengumpat di dala m hati "Me muakkan seka li" Meskipun de mikian Arum masih tetap menundukkan kepalanya, dan dibiarkannya kawan-kawannya menyebut namanya berulang kali dan yang lain mengguncang-guncang. Anak-anak muda itu tertawa melihat sikap gadis-gadis desa yang masih diliputi oleh perasaan malu dan segan. Tetapi mereka dapat mengerti, karena lingkungan hidup yang me mbentuk mereka ada lah de mikian. "Baiklah" berkata anak-anak muda itu "Aku tidak akan me ma ksa kalian untuk bersikap lain. Tetapi kalian tentu me miliki selera seperti gadis-gadis yang lain. Gadis-gadis kota dan gadis-gadis di daerah yang lebih ramai dari padukuhan sepi ini. Apakah ka lian pernah melihat permainan seperti ini?" Gadis-gadis itu tertarik ketika salah seorang dari anak-anak muda itu menga mbil seuntai kalung merjan yang bagus dari kantong yang dibawanya. Sambil mengguncang-guncang kalung itu, ia berkata "Se mua gadis senang me miliki kalung seperti ini. Meskipun kalung ini tida k se mahal kalung e mas, tetapi kalung ini tampaknya lebih cerah dan menyenangkan" "Bagus seka li" ha mpir berbareng beberapa orang gadis me mujinya. "Tentu" sahut anak muda itu "Aku me mbeli ka lung ini di Semarang. Bagus sekali. Sebagus nama-nama Arum dan Warsi" "Ah" gadis-gadis itu mulai saling mendorong lagi. Dan Arumpun t idak mau bersikap lain meskipun ia mengumpatumpat di da la m hatinya. "Baiklah. Tetapi, ada yang ingin aku tanyakan kepada kalian. Yang perta ma, siapa yang senang akan ka lung merjan
Memanah Burung Rajawali 10 Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri Sepasang Pedang Iblis 3
^