Pencarian

Bunga Di Batu Karang 18

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 18


keadaan yang buram di dala m dirinya sendiri, di dala m keluarganya. Ternyata bahwa Rara Warih benar-benar tidak segera dapat dilunakkan hatinya. Bahkan ia sudah menganca m untuk meninggalkan rumah ayahnya dari pergi ke rumah eyangnya, jika Juwiring tidak segera pergi me ningga lkan rumah itu. "Warih" berkata ayahandanya "Kau tidak boleh berkeras hati seperti itu" "Aku akan tinggal bersa ma ibunda" jawab Warih "barangkali hal itu akan lebih baik bagiku" dan tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa maka ibunda tidak segera kembali ke rumah ini ayah. Kamas Rudira sudah dipanggil ke mbali oleh Tuhan. Dan tentu saja kita tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ibunda tentu sudah mulai tenang dan menerima kenyataan ini dengan hati yang lapang" "Sudahlah Warih. Biarlah ibumu berada di rumah eyangmu untuk se mentara. Jika ia sudah merasa tidak terganggu lagi ketenangannya, maka ia a kan ke mbali dengan sendirinya" "Ah, bukan begitu ayah. Tentu ayahanda yang harus menje mput. Bukan ibunda yang datang dengan sendirinya" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Lalu "Sudahlah. Sebaiknya kau tidak mengganggu ketenangan ibumu. Kau harus mencoba bersikap dewasa, Warih. Kau adalah satu-satunya anak gadisku. Karena itu, kau sangat aku perlukan di sini. Tanpa kau, maka rumah ini bagaikan hala man yang tidak me miliki sebatang pohon bungapun. Gersang" "Tetapi ayah harus menyingkirkan anak padesan itu" "Ia kakakmu Warih. Tidak ada bedanya dengan Rudira. Jika kau mendekatkan hatimu, maka kau a kan merasakan bahwa ia benar-benar kaka kmu" "Tida k. Aku tida k dapat sederajat dengan ibuku" menerimanya. Ibunya tidak
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak dapat mengatakan sesuatu yang menggelepar di dala m hatinya, bahwa derajat seseorang tidak menentukan kelurusan hatinya. Bahwa Raden Ayu Galih Warit yang lebih tinggi derajatnya dari ibu Juwiring tida k menja min bahwa hatinya lebih putih. "Apakah anak itu harus mengetahui keadaan ibunya?" Ia bertanya kepada diri sendiri "biarlah ia mengetahui dengan sendiri. Aku tidak sa mpai hati mengatakannya. Jika ia me ma ksa untuk pergi ke istana eyangnya, mungkin ada juga baiknya" Ternyata pikiran itu telah mengganggu perasaan Pangeran Ranakusuma. Bahkan ia telah dicengka m oleh keragu-raguan yang dalam. Bagi Juwiring, sikap adiknya itu selalu menggelitiknya. Justru seakan-akan merupa kan tantangan yang harus dijawabnya. Karena itu, ketika ayahnya sekali lagi bertanya kepadanya, maka Juwiringpun menjawab "Ayahanda. Aku akan pergi ke Jati Aking bersama kedua saudara angkatku. Aku akan me mbicarakannya dengan Kiai Danatirta, apakah sebaiknya aku berada di Jati Aking atau di Sura karta" "Juwiring" berkata Pangeran Ranakusuma "Jika. tidak ada sebab sebelumnya, jawabmu tidak akan dapat aku terima. Aku adalah ayahmu. Akulah yang menentukan, sehingga kau tidak perlu bertanya dan me mbicarakan dengan siapapun juga. Tetapi aku tidak dapat ingkar, bahwa selama ini aku bukannya seorang ayah yang baik bagimu, sehingga akupun tidak berani me larangmu. Pergilah dan sa mpaikan sala mku kepada Kiai Danatirta. Aku akan minta kau dengan resmi seperti aku pernah menyerahkan kau kepadanya lewat Ki Dipanala. Karena itu biarlah Ki Dipanala menyertaimu" Demikianlah ma ka Juwiringpun segera me mpersiapkan dirinya, Agaknya Buntal dan Arumpun sudah merindukan padepokannya setelah untuk beberapa hari mereka berada di
kota. Setelah mereka me lihat betapa keruhnya udara di atas kota yang tampaknya se makin ge merlapan itu. Diiringi oleh Ki Dipanala merekapun mohon diri kepada Pangeran Ranakusuma untuk meninggalkan kota dan ke mba li ke padepokan mere ka yang terasa tenteram dan da mai. "Sekali-sekali kalian Pangeran Ranakusuma. harus, datang kemari" berkata
"Terima kasih Pangeran jika hamba diijinkan untuk sekalisekali datang ke mari. Agaknya hamba berdua pada suatu saat tentu akan merindukan kota yang ra mai ini dengan segala maca m isinya" "Baiklah. Kalian dapat me mbawa bekal yang sudah disiapkan oleh Ki Dipana la dan sekedar oleh-oleh buat Kiai Danatirta. Aku mengharap dalam waktu yang dekat Ki Dipanala ke mbali dengan me mbawa Juwiring serta, meskipun ia seterusnya akan mondar-mandir antara kota ini dan padepokan Jati Aking seperti yang aku harapkan, kalianpun berbuat demikian pula" Dengan me mbawa beberapa maca m pe mberian dari Pangeran Ranakusuma, ma ka anak-anak Jati Aking itupun segera memacu kudanya, kembali ke padepokan yang rasarasanya sudah terlalu lama mereka tinggalkan. Apalagi Arum, yang hampir tidak pernah berpisah dengan ayahnya untuk waktu yang agak panjang, sehingga ketika kudanya sudah berlari di luar regol kota, rasa-rasanya ia segera ingin bertemu dengan ayahnya itu. "Sela ma ini tentu ayah pergi ke sawah seorang diri" katanya. "Tentu tidak me mbantunya" Arum. Beberapa orang cantrik dapat
"Mereka kadang-kadang masih be lum dapat dipercaya me lakukan pe kerjaan penting, sehingga tentu ayah sendiri
yang melakukannya. Mereka bekerja tanpa berpikir selain me mperguna kan tenaganya saja" Buntal mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Rasa-rasanya perjalanan kembali ke padepokan Jati Aking itu terlampau la ma lagi Arum. Namun kesegaran udara padesan me mbuatnya segar setelah untuk beberapa lama, rasa-rasanya nafasnya tercekik oleh kehidupan kota. Se mula Arum berpendapat, bahwa orang-orang kota, terutama para bangsawan adalah orang-orang yang hidup dengan ikatanikatan yang membatasi gerak dan tingkah laku mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang sopan, lembut dan bahkan hampir tidak berbuat sesuatu jika tidak perlu. Juwiring merupakan contoh ga mbaran tentang para bangsawan. Menurut Arum, Juwiring adalah bangsawan yang tersisih dan sudah la ma hidup di padesan sehingga bangsawan yang tinggal di kota tentu lebih lembut dan beradab dari padanya. Namun ternyata ia keliru. Kota yang kaya itu adalah kota yang dipenuhi dengan nafas yang kotor dan kasar. Beberapa bangsawan yang dijumpainya di pinggir bengawan ternyata me mpunyai sifat dan watak yang jauh lebih kasar dari para petani. Para petani betapapun kasarnya, namun pada umumnya me miliki kejujuran. Tetapi tidak bagi mereka yang ada di pinggir bengawan itu. Namun betapapun la mbatnya menurut perasaan Arum, kuda-kuda itupun se ma kin la ma menjadi se makin de kat dengan Jati Aking. Sekali-sekali mereka me mang perlu beristirahat dan me mberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka yang berpacu itu untuk meneguk air bening di parit yang mengalir di pinggir jalan, dan makan rerumputan hijau yang segar. Dala m pada itu, ternyata Rara Warih di Surakarta, tidak dapat dicegah lagi oleh ayahandanya. Dengan keras ia me ma ksa untuk pergi ke rumah ka keknya.
"Sebaiknya kau berpikir lebih jernih lagi Warih" berkata ayahnya "Kau jangan me mbuat ibunda mu sema kin bersedih" "Bukan aku. Tetapi ayahanda" "Kenapa aku Warih" "Ayahanda menyuruh anak Jati Aking itu untuk kembali lagi ke mari. Bahkan ayahanda menyertakan Ki Dipanala untuk menya mpaikannya kepada gurunya agar ia diperkenankan ke mbali. Sudah aku katakan ayahanda, bahwa aku tidak dapat menerima nya di rumah ini seperti yang pernah dikatakan oleh ibunda. Apalagi sepeninggal ka mas Rudira. Anak itu tentu merasa menjadi raja di ruma h ini, dan aku adalah sekedar inang pengasuhnya" "Jangan berprasangka Warih. Juwiring sudah biasa berprihatin sejak kecil. ia tidak akan berbuat seperti itu" "Aku harus mendengar pendapat ibunda dahulu ayahanda" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m Dan karena ia tidak dapat mencegah lagi, maka diperintahkannya menyiapkan kereta untuk mengantarkan Warih ke rumah kakeknya. Kedatangan Warih seorang diri telah mengejutkan eyangnya, Pangeran Sindurata, sehingga dengan tergesa-gesa ia menyongsong cucunya yang dikasihinya itu. "Warih, kau sendiri?" bertanya Pangeran Sindurata. Warih merendah sedikit sa mbil menjawab "Ya eyang"
"Dima na ayahmu?" "Ayah ada di rumah, eyang" "Jadi ia sampai hati melepaskan kau sendiri?" "Sebenarnya ayahanda berkeberatan aku datang ke mari. Tetapi aku telah me maksa. Dan ayahanda tidak mengantarkan aku selain me merintahkan menyiapkan kereta dan saisnya" "O" Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dala m, lalu "Marilah masuklah" Warihpun ke mudian mengikuti Pangeran Sindurata masuk ke dala m. Sejenak ia termangu-mangu, lalu iapun bertanya seolah-olah di luar sadarnya "Dimanakah ibunda?" Pangeran Sindurata menarik nafas dala m-dala m. Lalu "Duduklah dahulu. Bibimu ada di sini" "Bibi?" "Ya" sahut eyangnya. Dan sebelum ia meninggalkan Warih seorang perempuan bangsawan telah muncul dari balik pintu. Ia adalah adik kandung Raden Ayu Galihwarit yang me mpunyai hubungan gelap dengan Pangeran Ranakusuma. "Kau Warih " sapanya sambil tersenyum. Warihpun tertawa sambil menyahut "Ya bibi. Sudah lama bibi datang?" "Sudah tiga hari aku berada di sini. Aku mengawani ibumu Warih" "O" Ia berdesis "Apakah ibunda masih belum se mbuh dari kejutan itu" Bibinya tidak segera menyahut. Tetapi iapun kemudian duduk di sisi Warih sambil berkata "Duduklah dahulu. Biarlah para pelayan menghidangkan minuman. Kau tentu haus"
"Ya, duduklah dahulu Warih" berkata Pangeran Sindurata "Aku akan ke pendapa" Pangeran Sinduratapun kemudian pergi ke pendapa dengan hati yang berdebar-debar. Jika Warih berkeras untuk menjumpai ibundanya, maka gadis itu akan menjumpai kekecewaan. Meskipun kadang-kadang Raden Ayu Galih Warit sudah cukup sadar, namun kejutan yang kecil saja dapat me mbuatnya ka mbuh ke mba li dan mengigau tanpa terkendali. Jika ia me lihat Warih, ma ka ke mungkinan itu a kan dapat terjadi, karena Warih akan menuntun kenangannya atas Raden Rudira, yang mati di hadapan hidungnya tanpa diketahuinya. Bahkan di dala m saat-saat tertentu Galih Warit telah merasa bersalah, seolah-olah ia sendirilah yang telah me mbunuhnya. Dengan kepala tunduk Pangeran Sindurata itu berjalan di sepanjang tangga pendapa. Hatinya yang gelisah me mbuatnya bimbang, seakan-akan hari-harinya telah menjadi gelap. Pangeran Sindurata terkejut ketika t iba-tiba saja ia me lihat seseorang berjongkok di bawah tangga. Sambil menyembah orang itu berkata terbata-bata "Ampun Pangeran. Apakah hamba harus menunggu cucunda atau hamba sudah diperkenankan mendahului ke mbali ke Ranakusuman?" Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya. Dipandanginya sais itu sejenak, lalu iapun bertanya "Siapa kau?" "Ha mba adalah sais kereta Pangeran Ranakusuma yang mengantarkan puteri ke mari?" "O, kau yang mengantarkan Warih?" "Ha mba Pangeran" "Pergilah. Biarlah Warih di sini. Jika ia me maksa ke mbali, biarlah keretaku diperguna kannya"
"Ha mba Pangeran. Jika demikian maka ha mba akan mohon diri" Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, la berjalan lagi hilir mudik. Tetapi ketika ia melihat kereta itu bergerak, maka timbullah pikirannya yang lain, sehingga tiba-tiba saja ia bertepuk tangan keras-keras sambil berteriak "Berhenti, he, berhenti" Seorang juru taman yang mendengarnya dan mengerti maksudnya segera berlari-lari menghentikan kereta yang sudah bergerak maju. Pangeran Sinduratapun ke mudian me la mbaikan tangannya me manggil sais yang dengan tergesa-gesa meloncat turun dari keretanya dan menghadap Pangeran Ranakusuma Dengan kepala tunduk iapun ke mudian berjongkok dihuwah tangga pendapa. "Jangan pergi dahulu. Mungkin Warih tidak akan terlalu la ma tinggal di sini. Taruhlah kereta itu di tempat yang terlindung oleh terik matahari, dan barangkali kau dapat me mberi minum dan makan kuda-kuda mu lebih dahulu. Dan jika kau sendiri haus, pergilah ke be lakang" Sais itu termangu-mangu ke mudian "Ha mba Pangeran" sejenak. Namun katanya
Pangeran Sindurata tidak menghiraukannya lagi. lapun berjalan pula hilir mudik di tangga pendapa. "Mudah-mudahan Warih dapat dibujuk oleh bibinya" berkata Pangeran Sindurata itu di dala m hatinya. Namun agaknya Warih yang keras hati itu ingin bertemu dengan ibunya betapapun bibinya me mbujuknya. "Aku akan me mbicarakan dengan ibunda. Anak Jati Aking itu kini merasa dirinya terlalu berkuasa di istana Ranakusuman" katanya dengan suara yang dalam. "Apa yang sudah dikerjakan" Apakah ia pernah berbuat kasar terhadapmu, Warih?"
Rara Warih termangu-mangu sejenak, la mencoba mencari jawab. Tetapi ia menjadi bingung sendiri, karena ia tidak mene mukan sesuatu yang dapat disebutnya sebagai jawaban. Juwiring me mang be lum pernah berbuat apa-apa. Karena itu untuk beberapa saat Rara Warih justru terdiam sambil me nundukkan kepalanya. "Warih" berkata bibinya "Sudahlah. Jika anak itu me mang tidak berbuat apa-apa, biarlah untuk se mentara ia tinggal di sana jika me mang ayahandamu menghenda ki. Tetapi jika ibunda mu sudah baik sa ma sekali, biarlah ia berusaha mengusirnya seperti yang pernah dilakukannya" "Tida k bibi. Orang itu harus segera pergi" Bibinya menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Sudahlah, tenanglah. Segala sesuatunya akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Percayalah" Warih menjadi ge lisah. Ia tahu bahwa Juwiring a kan minta diri kepada gurunya di Jati Aking dan ke mudian akan t inggal di istana Ranakusuman. Dan itulah yang me mbuatnya terlampau gelisah. Jika ibunya dapat diaja knya berbicara, maka ibunya tentu akan menentangnya. Biasanya ayahandanya tidak pernah menentang jika ibundanya sudah bersikap agak keras. Tetapi ibunya kini sedang dala m keadaan yang lain. Sejenak Rara Warih duduk bersama bibinya. Seorang pelayan menghidangkan se mangkuk minuman panas dan beberapa potong ma kanan. Rara Warih sudah terbiasa makan jenis makanan yang lain dari makanan yang dijumpainya di Surakarta. Makanan yang dihidangkan itupun sejenis makanan yang datang oleh pengaruh kumpeni. Tetapi ketika Rara Warih sudah minum seteguk dan makan sepotong ma kanan, iapun mendesak lagi kepada bibinya untuk bertemu dengan ibunya.
"Warih. cobalah mengerti. Apakah kau tidak kasihan kepada ibumu" Pertanyaanmu dapat menimbulkan persoalan baru di dala m dirinya. Jika kau me mang tidak mau t inggal bersama anak yang kau sebut berasal dari Jati Aking itu, tinggallah untuk beberapa saat di rumahku" Rara Warih mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh atas tawaran itu. Biasanya ia berada di ruma h eyangnya, dan bahkan beberapa orang sepupunyapun berada di rumah ini. Tetapi kini bibinya menawarkan agar ia tinggal diminatinya. "Pikirkan baik-baik Warih" berkata bibinya. "Bibi" bertanya Warih ke mudian "Jika aku t idak ingin tinggal di rumahku sendiri, kenapa aku t idak t inggal pada eyang di sini?" Bibinya tersenyum. ketenangan Warih" Katanya "Ibumu me merlukan
Rara Warih menarik nafas dala m-dala m. Na mun keinginannya untuk bertemu dengan ibunya justru menjadi semakin mendesak. Meskipun de mikian, ia mencoba menahan diri. Na mun de mikian di luar sadarnya ia berkata "Pintu bilik ibunda bibi. Apakah ibunda tidak terganggu oleh angin. Apakah tidak sebaiknya pintu itu ditutup?" Bibinya menjadi termangu-mangu. Ia mendapat kesulitan untuk menjawab, karena sebenarnya Raden Ayu Galih Warit tidak berada di dalam bilik yang terbuka itu. Meskipun demikian, bibinya itupun berdiri dan melangkah menutup daun pintu yang terbuka itu. "Ibunda mu sedang tidur nyenyak" berkata bibinya. "Apakah aku dapat menengoknya" Bukankah selagi tidur ibunda tida k me lihat aku" "Duduklah" bibinya mencegah, lalu "Warih. apakah kau pernah menjumpa i makanan jenis ini" Ka mi mendapatkan dari
seorang perwira kumpeni. Makanan ini disimpan dalam te mpat tertutup yang rapat" Tetapi Warih mengangguk. Katanya "Ayahanda mempunyai banyak jenis ma kanan se maca m ini" "O" bibinya mengangguk-angguk. Namun ia menjadi gelisah karena na mpaknya Warihpun menjadi gelisah. Dala m pada itu, ma ka Pangeran Sinduratapun ke mudian ikut duduk bersa ma dengan mereka. Dicobanya untuk me mbicarakan berbagai masa lah yang tidak menyangkut Raden Ayu Galihwarit. Namun setiap kali Rara Warihlah yang selalu menyebut-nyebut nama ibundanya. Dengan de mikian, ma ka baik Pangeran Sindurata. maupun bibi Warih itu menjadi ce mas. Apakah jika Rara Warih berada di istana itu sehari penuh, mereka akan tetap dapat me ma ksanya untuk duduk di tempatnya tanpa mendapatkan ibundanya sama sekali" Dala m pada itu. kelika Rara Warih sedang pergi ke pakiwan, bibinyapun berkata "Ayahanda, sebenarnya Warihpun sudah dewasa" Ayahnya, Pangeran Sindurata tidak segera menjawab. Direnunginya wajah anak perempuannya itu. Namun ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam hati anaknya itu. Sebenarnyalah, bahwa di dalam hati perempuan bangsawan itu justru dijalari oleh pikiran yang aneh. Sejak Raden Ayu Galihwarit tidak lagi mungkin diterima di istana Ranakusuman sebelum ia sembuh benar-benar, ia merasa seakan-akan mendapat kebebasan yang lebih luas untuk berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma. Karena itu, kadang-kadang ia harus berjuang untuk menindas godaan itu. Meskipun demikian, sepercik kabut yang kelam telah meliputi hatinya. Apakah salahnya jika Warih mengetahui keadaan ibunya dan ke mudian karena itu ia menjadi sa kit hati dan kehilangan
segala gairah hidupnya" Bukankah dengan de mikian berarti bahwa Pangeran Ranakusuma menjadi se makin bebas untuk berbuat apa saja" Sedangkan anak la ki-lakinya yang pernah berada di Jati Aking itu tentu tidak akan banyak menca mpuri persoalan ayahandanya, karena bahwa ia diijinkan ke mbali ke istana itupun agaknya telah me mbuatnya berterima kasih sampai keujung ubun-ubun. "Tetapi bagaimana jika Warih justru me nggantungkan dirinya sepenuhnya kepada ayahandanya setelah ia dikecewakan oleh ibunya?" pertanyaan itu timbul juga di dalam hati bibi Warih itu. Tetapi lalu dijawabnya "Pangeran Ranakusuma adalah seorang Senapati, la tentu terlampau sering meninggalkan rumahnya dan anak-anaknya dengan alasan apapun. Dan Warih tidak akan dapat mencegahnya meskipun di saat". Pangeran Ranakusuma ada di rumahnya, gadis itu menjadi sangat manja" Karena itu, maka selagi Pangeran Sindurata masih termenung, iapun berkata selanjutnya "Ayahanda, lambat atau cepat, akhirnya Warihpun akan mengetahuinya pula " Pangeran Sindurata mengangguk-angguk. Tetapi ia ke mudian berkata "Tetapi tidak sekarang. Hatinya masih terlalu getas. Justru karena Juwiring ada di istananya pula, Biarlah aku menyuruhnya kemba li saja. Aku telah menahan keretanya agar menunggu" "Tetapi alasan apakah yang harus kita katakan kepadanya ayahanda?" "Katakan, bahwa ibundanya masih be lum dapat mene mui siapapun. "Aku sudah terlanjur mengatakan bahwa ibunya sedang tidur nyenyak. Dan sudah barang tentu ia menunggu sa mpai ibunya terbangun" Pangeran Sindurata menjadi bingung, sehingga ia t idak sempat berpikir apapun lagi. Apalagi ketika kepalanya mulai
pening, ma ka katanya "Kepalaku mulai sakit. Tengkukku rasarasanya menjadi tegang. Penyakitku akan ka mbuh ke mbali jika aku harus me mecahkan persoalan yang sangat rumit ini bagiku. Karena itu, terserah saja kepadamu. Tetapi kau harus sadar, bahwa jika Warih mengetahui keadaan ibunya, ia akan menga la mi kejutan yang tidak ka lah dahsyatnya seperti saat Rudira meninggal. Dan kau harus bersiap menghadapi persoalan itu. Jika terjadi apa-apa dengan Warih di sini, maka persoalan kita dengan Pangeran Ranakusuma akan menjadi semakin berta mbah-tambah. Kebenciannya kepadaku akan menjadi berganda. Tetapi akupun akan menjadi muak me lihatnya" Anak perempuannya itu mengerutkan keningnya. Na mun iapun ke mudian menjawab "Mudah-mudahan Warih cukup tabah. Persoalan itu akan datang juga akhirnya. Bukankah ayahanda dapat menduga bahwa Pangeran Ranakusuma tidak berkeberatan melepaskan Warih dengan kemungkinan serupa itu" Ternyata Warih diperkenankan datang sendiri. Bahkan kareta itu diberikannya untuk mengantarkan Warih. Apakah hal ini bukan suatu isyarat, bahwa ayahandanya tidak berkeberatan jika Warih mengetahui persoalan yang sebenarnya, justru karena ia sudah dewasa?" Pangeran Sindurata me mijit tengkuknya yang mulai sakit. Katanya "Terserah kepadamu. Aku akan berbaring. Aku akan minum perahan daun selederi itu, agar kepalaku tidak terlanjur sakit" Ketika ke mudian Rara Warih kembali dari Pakiwan, maka Pangeran Sindurata telah tidak ada di ruangan tengah. Pangeran tua itu telah berada di dalam biliknya dan berbaring sambil me meja mkan matanya. Sejenak Rara Warih termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya tentang eyangnya yang tidak tampak duduk di antara mereka.
"Warih" berkata bibinya kemudian "sebenarnya sangat berat bagiku dan eyangmu, untuk me mpertemukan kau dengan ibunda mu. Karena agaknya kejutan itu masih me mpengaruhinya sela ma ini" "Tetapi bibi, aku kira aku harus bertemu dengan ibunda segera sebelum ka mas Juwiring itu ke mbali ke istana Ranakusuman. Jika ibunda se mpat me mbicarakan dengan ayahanda, maka tentu ayahanda sempat mengirimkan utusan untuk mencegah kedatangan anak Jati Aking itu" Sejenak bibi Warih itu dilanda oleh kebimbangan. Sekalisekali ia masih mencoba me mpertahankan dirinya dari godaan perasaan dan nafsunya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat me lawannya lagi sehingga akhirnya ia berkata "Terserahlah kepadamu Warih. Tetapi aku dan eyangmu telah mencoba mencegahmu. Jika terjadi sesuatu dengan ibumu, itu adalah kesalahanmu" "Ah" desah Rara Warih "Kenapa bibi berkata de mikian?" "Aku tahu bahwa ibunda mu belum se mbuh sa ma seka li" Rara Warih termangu-ma ngu sejenak. Na mun ke mudian ia berkata "Aku akan berhati-hati. Aku hanya ingin me mohon agar ibunda sudi mengurungkan niat ayahanda memanggil kamas Juwiring. Jika ibunda masih akan beristirahat di sini, aku hanya ingin ibunda menulis surat kepada ayahanda, bahwa ibunda tida k sependapat jika anak Jati Aking itu ke mbali lagi ke istana. Jika ayahanda masih me mikirkan kesehatan ibunda untuk seterusnya, maka tentu ayahanda akan mengabulkannya. Sebab jika tida k maka ibunda tidak akan segera mendapatkan ketenangannya ke mbali" Bibinya menarik nafas dalam-dala m. Lalu kepadamu Warih. Jika kau ingin berte mu, marilah" "Terserah iapun
Rara Warih menjadi berdebar-debar. Tetapi ke mudian berdiri ketika bibinyapun berdiri pula.
"Ibunda mu ada di bilik be lakang Warih" "O" Rara Warih terkejut "Apakah ibunda tidak ada di dala m bilik itu?" "Di sini agaknya terlalu ribut me merlukan ketenangan" bagi ibunda mu yang
Rara Warih tidak menyahut lagi. Ia mencoba mengerti keterangan bibinya itu. Dan iapun ke mudian me langkah mengikut i bibinya ke bilik belakang, meskipun masih ada di dalam lingkungan istana dala m. Sejenak Warih berpaling me mandangi pintu yang tertutup. Ia mengira bahwa ibunya ada di dala m ketika pintu itu terbuka. Ternyata ibundanya tidak ada di dala m bilik itu. Dengan langkah yang bimbang Rara Warih mengikuti bibinya. di depan pintu bilik yang tertutup mereka berhenti sejenak. Bibinya masih se mpat berkata "Jangan membuatnya terkejut dan bersedih Warih" Warih mengangguk "Ya bibi" Perlahan-lahan bibinya me mbuka kan pintu bilik itu. Sejenak ia berdiri termangu-ma ngu. Namun sejenak ke mudian iapun tersenyum sambil berkata "Apakah kau menjadi sema kin baik?" Terdengar sebuah tarikan nafas yang dalam. "Masuklah" "Aku datang mengantarkan Warih" "Warih. Warih ada di sini?" bertanya Raden Ayu Galih Warit yang berbaring di pe mbaringannya. Warih yang menahan kerinduannya tidak dapat bersabar lagi. Tiba-tiba saja ia berlari dan me me luk ibunya yang masih tetap berbaring. "Ibunda" desisnya "ibunda sudah se mbuh sa ma se kali?"
Sambil me mbela i ra mbut anaknya Raden Ayu Galih Warit berkata "Aku sudah menjadi se makin baik Warih" Setitik air mata jatuh dari pelupuk Rara Warih. Katanya dengan suara serak "Aku sudah sangat rindu. Dan aku menunggu ibunda setiap saat" Ibunya tersenyum. Katanya "Jika ibunda sudah baik sa ma sekali, ibunda akan segera ke mbali" "Tentu ibunda. Jika sekiranya ibunda sudah sanggup, sebaiknya ibunda segera ke mbali. Nanti aku akan me layani semua kebutuhan ibunda" Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ketika hatinya akan tergelincir ke dala m kepedihan, dengan sekuat tenaganya ia bertahan, dan mencoba menyingkirkan segala perasaannya, justru karena anak gadisnya ada di dalam bilik itu. Ternyata Raden Ayu Galih Warit berhasil. di dala m hatinya Raden Ayu Galih Warit itu berkata "Aku tidak boleh kehilangan kesadaran selagi Warih ada di sini. Aku harus tetap menyadari setiap kata yang aku ucapkan. Dan aku harus bertahan dari deraan perasaan yang hampir tidak tertanggungkan lagi" Dengan pemusatan segenap akal budi, maka untuk beberapa saat Raden Ayu Galih Warit ternyata ma mpu bertahan. Ketika kenangannya hampir saja menyentuh Rudira, dengan cepat ia menekannya dan mencoba me musatkan segenap perhatiannya kepada Rara Warih. "Warih" katanya sambil me ngusap ra mbut anaknya "kau datang pada saat yang baik" "Ya ibu. Aku mengharap agar mengganggu ketenangan ibunda" kedatanganku tidak
"Tida k Warih. Kau justru me mbuat aku menjadi ge mbira"
Warih menekankan kepalanya ke dada ibunya. Rasarasanya seperti kehangatan di masa kana k-kanaknya tidur bersama ibunya di mala m yang sepi. Bibinya yang masih berdiri di muka pintu menjadi tertegun me lihatnya. Agaknya kehadiran Warih me mbuat hati ibunya semakin cerah. "Tetapi jika Warih mula i me mbicarakan persoalannya, maka yang akan terjadi agaknya berbeda sekali" katanya di dala m hati. Tetapi untuk beberapa saat Warih tidak mengatakan apaapa. "Duduklah" terdengar suara Raden Ayu Galih Warit kepada adiknya. Perlahan-lahan ia me langkah maju dan duduk di atas sebuah tempat duduk dari kayu yang beralaskan beludru. "Ibunda" berkata Warih ke mudian sa mbil mengangkat wajahnya dan bahkan kemudian bangkit dan duduk di sisi ibundanya "Aku berharap agar ibunda segera sembuh dan ke mbali ke rumah. Rumah kita menjadi sepi dan rasa-rasanya kering" Raden Ayu Galih Warit tersenyum. Hampir saja ia terlempar ke dalam kenangan yang dapat menyuramkan kesadarannya. Namun ia ke mudian berkata "Jika aku sudah se mbuh Warih, aku akan datang" Rara Warih mengangguk-anggukkan kepa lanya. Terlintas di dalam bayangan angan-angannya, Juwiring mulai berkuasa di istana Ranakusuman dan me merintah para abdi dan pelayan. Karena itu. ia tidak lagi dapat mengendalikan diri lagi. Rasarasanya semua yang tersimpan di da la m hatinya, akan ditumpahkannya kepada ibundanya tanpa mengingat keadaannya.
Tetapi sebelum ia megucapkan sesuatu, maka sa mbil tersenyum Raden Ayu Galih Warit berkata "Warih. Aku tahu, bahwa banyak sekali persoalan yang akan kau katakan kepadaku. Tetapi aku minta, kau menahankannya di dala m hatimu. Aku masih terlalu le mah, Warih. Bukan saja badani, tetapi juga rohani. Setiap kejutan, setiap persoalan yang berat, masih dapat me mbuat aku kehilangan kesadaran. Ketahuilah, bahwa saat ini aku sedang berjuang untuk me mpertahankan kesadaranku. Agaknya aku berhasil. Tentu saja dengan kerelaanmu me nahan hati" "O" Rara Warih berdesah. Tetapi ketika ia melihat wajah ibunya yang meskipun dibayangi oleh sebuah senyuman di bibirnya, namun wajah itu terla mpau pucat, ia tidak dapat menolaknya. Kacanya "Me mang ada yang akan aku katakan ibunda. Tetapi jika ibunda tida k dapat mendengarkannya sekarang, barangkali di saat la in" "Terima kasih Warih" "Meskipun de mikian ibunda " berkata Rara Warih kemudian "Apakah aku diperkenankan menyebut sebuah saja dari persoalan yang paling cepat harus diselesaikan?" Raden Ayu Galih Warit mengerutkan keningnya. Namun ia mengge lengkan kepalanya sa mbil berkata "Jangan Warih, jangan sekarang" Sebuah kekecewaan me mercik di wajah Warih. Ia ingin mengatakan persoalan Juwiring, agar ibunyapun dapat menga mbil sikap segera. Tetapi ia menjadi ragu-ragu melihat keadaan ibunya. Yang menjadi kecewa ternyata bukan saja Warih. Tetapi bibinyapun menjadi kecewa. Ia ingin me lihat Warih terkejut dan kemudian kehilangan segala gairah hidupnya apabila ia mendengar ibunya mengigau tentang dirinya sendiri, sambil menyebut beberapa na ma laki-laki. Dan laki-laki itu adalah kumpeni.
Tetapi yang didengarnya adalah suara Rara Warih "Baiklah, ibu. Jika ibu me mang tida k berkenan, biarlah aku kemba li besok atau lusa. Tetapi secepat-cepatnya" Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-da la m. Sekali lagi ia harus me musatkan segenap pikiran dan perasaannya untuk melawan gangguan pada pusat syarafnya. Dengan sepenuh ke mauan ia me malingkan perasaannya. Bahkan Raden Ayu Galih Warit itu tersenyum "Kau me mang sangat bijaksana Warih. Kau adalah anakku yang paling baik. Sekarang, tolong ibunda akan minum" "O" Rara Warihpun ke mudian berdiri. Sejenak ia me mandang bibinya, seakan-akan ia ingin bertanya dimanakah letak. mangkuk minuman ibundanya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, ia mengatakan sesuatu, ia sudah melihat sebuah mangkuk di atas na mpan. Beberapa maca m buah-buahan dan makanan. Dengan cekatan Rara Warih menga mbil ma ngkuk itu dan menyerahkannya kepada ibunya. Setelah minum seteguk, maka Raden Ayu Galih Warit tersenyum pula sambil berkata "Terima kasih Warih. Aku merasa segar hari ini. Aku akan mencoba untuk tidur sejenak. Apakah kau akan bermala m di sini?" Rara Warih ragu-ragu. Tetapi ibunya meneruskan "Ke mbali sajalah ke ayahmu. Ayahmu sendiri. Barangkah kau diperlukannya" "Akulah yang selalu sendiri ibunda. Ayah terlampau sering menghadap ke istana" Ibunya mengerutkan keningnya. Namun katanya "Baiklah. Tetapi lebih baik bagimu ada di rumah. Supaya ada yang disegani oleh para abdi dan pe layan" Rara Warih mengangguk-anggukkan kepa lanya.
"Aku me mbawa kereta ayahanda" berkata Rara Warih "dan kereta itu me mang masih me nunggu di hala man" Ibunya tertawa "Baiklah. Agaknya kau me mang akan segera kemba li" Rara Warihpun kemudian minta diri. Betapapun ia merasa kecewa, tetapi ia harus menahan diri agar ibundanya tidak mendapat kejutan lagi. Rara Warihpun ke mudian meninggalkan bilik itu betapapun ia merasa kecewa, seperti juga bibinya yang kecewa meskipun alasannya berlainan. "Jika tida k sekarang, pada saatnya Warih akan mengetahui" katanya di dalam hati "Jika ibundanya telah sembuh, maka akan timbul persoalan pada keluarga itu. Apakah ka mas Ranakusuma dapat menerimanya ke mba li" Namun belum lagi mereka meningga lkan pintu bilik itu terlalu jauh, langkah mereka tiba-tiba tertegun. Mereka mendengar suara isak di dala m bilik itu. Sepeninggal Rara Warih agaknya ibundanya tidak dapat bertahan lebih la ma lagi. Tiba saja tangisnya meledak. Seperti biasanya ia mula i dilanda oleh penyesalan yang tiada taranya. Sejenak Rara Warih dan bibinya tertegun. Namun ketika Rara Warih akan berlari mendapatkan ibunya yang sedang menangis maka lengannya ditarik oleh bibinya dengan gerak naluriah sa mbil berkata "Jangan Warih" "Tetapi ibunda menangis" "Jangan" Rara Warih mengibaskan tangan bibinya. Ke mudian iapun berlari masuk ke dala m bilik itu. Ketika pintu bergetar, maka tiba-tiba saja tangis Raden Ayu Galih Warit terputus. Ditatapnya anak gadisnya yang berlari me masuki ruangan itu. Namun ternyata syarafnya sudah mulai
terganggu. Ketika ia melihat Rara Warih mendekatinya, tibatiba saja ia justru tertawa sambil berkata "He, kenapa kau datang berlari-lari. Aku tidak akan pergi sebelum kau me mberikan senjata itu" Rara Warih terkejut bukan buatan. Wajah ibunya sudah berubah sama sekali, sehingga Rara Warih justru me langkah surut. Suara tertawa ibunya menjadi semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Sejenak ia me mandang Rara Warih. Namun ke mudian iapun menelungkup sa mbil menye mbunyikan wajahnya di bawah kedua telapak tangannya. "Bukan aku yang me mbunuh. Bukan. Bukan" "Bibi" Warihpun menjadi gemetar. Dan tiba-tiba saja ia berlari me me luk bibinya. "Tenanglah Warih" "Bibi. Apakah yang telah terjadi dengan ibunda?" "Tida k apa-apa Warih. Tetapi itu adalah sisa-sisa dari kejutan yang tidak terhindarkan lagi" "Tetapi, tetapi ibunda menangis" Bibinya tidak menyahut. Dan tanpa dapat dike kang lagi, maka mula ilah Raden Ayu Galih Warit mengigau sepatahsepatah.
"Warih" berkata bibinya "biarlah aku me manggil e mban yang sudah biasa melayani ibunda mu" "Aku takut bibi. Aku takut" Bibinya termenung sejenak, la lu "Marilah. Ikutlah" Rara Warihpun ke mudian mengikuti bibinya me manggil e mban yang sudah biasa melayani Raden Ayu Galih Warit jika gangguan syarafnya kambuh ke mbali. Namun dala m pada itu, meskipun hanya sekilas, Warihpun sempat mendengar igauan ibunya. Sepatah-patah yang didengarnya me mbuat hatinya berdebar-debar. Seakan-akan ia mendengar suara baru yang menge mandang dari dunia yang asing baginya. Mula-mula Warih tidak tahu arti dari igauan yang sepotongsepotong itu. Namun sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa, terasa sentuhan-sentuhan pada dinding hatinya. Semakin la ma terasa sema kin dala m dan pedih. "Bibi" Wajah Rara Warih menjadi pucat. Melihat wajah yang seputih kapas itu, bibinyapun terkejut pula. Keringat dingin yang me mbasahi wajah itu, seolah-olah Warih baru saja selesai mandi. Sepercik kekecewaan meloncat di hati bibinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan Warih sudah mendengar sebagian besar dari rahasia ibunya yang selama ini tersembunyi baginya Warih yang sama sekali tida k siap mengala mi kejutan semaca m itu, bahkan bermimpipun ia tidak berani me mbayangkannya, tiba-tiba ia telah terbentur pada kenyataan itu. Karena itu, maka nadinya bagaikan tidak berdaya lagi. Sesaat ia mencoba bertahan. Namun ke mudian matanya menjadi ge lap dan gadis itupun me njadi pingsan. Ketika Warih sadar, ia sudah berbaring di dala m bilik depan. Dilihatnya bibinya duduk di sebelahnya sambil
mengusap a ir mata. Ia benar-benar menyesal me lihat akibat yang terkesan di hati gadis itu. Di sebelah pe mbaringan itu, Pangeran Sindurata duduk dengan tegangnya. Kepalanya dibalut dengan ikat kepalanya untuk menahan pening yang bagaikan menyengat tengkuk. "Eyang" Warih mulai me nangis "Apakah yang sebenarnya sudah terjadi atas ibunda?" "Sudahlah Warih" berkata Pangeran Sindurata "Jangan hiraukan" "Tetapi aku mendengar ibunda terputus. Dan tangisnyapun me ledak. mengigau" suaranya
Beberapa saat lamanya Rara Warih tenggelam di dala m isak tangisnya. Tetapi perlahan-lahan tangis itupun mereda pula. "Warih" berkata bibinya yang pelupuknya masih basah "Kau sudah cukup dewasa. Kau wajib menghadapi kenyataan ini dengan hati yang tabah. Lambat atau cepat, kau pasti akan mengetahuinya juga. Karena itu, agar kau tidak selalu dicengka m oleh rahasia yang menyelubungi ibunda mu, maka sebaiknya kau segera mengetahuinya" "Tetapi kenyataan itu terlampau keja m bagiku bibi. Tetapi apakah aku benar-benar mendengar igauan ibunda?" "Kau harus tabah. Kematian ka masmu Rudira itulah yang benar-benar telah mengguncangkan hati ibunda mu, sehingga penyesalan yang tiada taranya telah membuatnya kehilangan kesadarannya" "Tetapi apakah benar seperti apa yang dikatakan ibunda di dalam ketida k sadarannya tentang ibunda itu sendiri bibi?" "Kita se muanya tidak mengetahuinya Warih"
"Sela ma ini aku me nganggap bahwa tidak ada noda sehitam itu di dala m keluarga ka mi" suara Warih terputus oleh isaknya yang ke mbali mulai menyesak. Bibinya menundukkan kepa lanya. dihadapkan pada suatu pengakuan. Tiba-tiba iapun
"Bagaimana jika pada saatnya Warih mengetahui keadaan ayahnya" Warih menganggap ayahnya kini sebagai satusatunya tempat bergantung. Meskipun mula-mula Warih kecewa, bahwa ayahnya me mpunyai isteri lebih dari seorang, namun apabila gadis itu mengetahui bahwa disa mping isteriisterinya itu masih ada pere mpuan lain, dan pere mpuan lain itu adalah bibinya sendiri, maka hatinya tentu akan menjadi semakin parah" berkata bibinya itu di dala m hatinya. Sejalan dengan penyesalan yang mula i mencengka m dadanya. Bukan saja karena ia telah seakan-akan dengan sengaja me le mparkan Rara Warih ke dala m keadaan yang pahit, namun juga karena hubungannya dengan Pangeran Ranakusuma. Apalagi kedua-duanya adalah orang yang telah berumah tangga. Karena itulah ma ka bukan saja Rara Warih, tetapi di pelupuk mata bibinya itupun, titik-titik air rasa-rasanya menjadi se makin banyak menga mbang. Pangeran Sindurata yang tua, yang kepalanya sering diganggu oleh perasaan sakit dan pening itupun menjadi semakin pening. Tetapi ia sempat juga mencoba melunakkan hati Rara Warih, sehingga akhirnya ia berkata "Sudahlah Warih. Sekarang kau tahu, kenapa aku dan bibimu berusaha untuk mencegahmu me ne mui ibunda mu. Tetapi agaknya semuanya telah terjadi. Kau harus bersikap dewasa. Dan agar hatimu tidak menjadi se makin pedih, sebaiknya kau ke mba li kepada ayahmu. Kau dapat berbicara dengan ayahmu dengan cara orang dewasa. Kau bukan anak-anak lagi. Terlebih-lebih lagi karena keadaan ibunda mu itu. Sekarang kau harus percaya kepada dirimu sendiri, bahwa kau ma mpu mengatasi
setiap keadaan yang bertentangan dengan keinginan dan bayangan di dala m angan-anganmu. Kau harus berani menghadapi kenyataan betapapun pahitnya" Rara Warih mencoba menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa ia akan dapat me lakukannya Namun demikian, ia berkata "Baiklah eyang. Sebaiknya aku kembali pula. Aku akan mengatakannya kepada ayahanda, apa yang aku jumpai di sini. Agaknya ayahandapun me mang me mbiarkan aku mendengar sendiri apa yang telah terjadi. Ternyata ayah telah me mbiarkan aku me mpergunakan kereta itu" Pangeran Sindurata mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis "Agaknya kami dan juga ayahandamu menganggap bahwa kau benar-benar telah dewasa" Rara Warih yang masih menit ikkan air mata mengangguk le mah. Rasa-rasanya hatinya bagaikan menga mbang di awang-awang tanpa alas. Namun ia berusaha untuk mendengarkan setiap nasehat dari kakek dan bibinya. Demikianlah, sejenak ke mudian tanpa menengok ibundanya lagi, karena Warih tidak sa mpai hati, iapun ke mba li kerumahnya. di sepanjang jalan tangannya sibuk mengusap matanya yang basah. Di be lakang keretanya berderap seekor kuda yang me mbawa seorang pengawal yang mendapat perintah dari Pangeran Sindurata untuk mengantarkan Warih sa mpa i ke istana Ranakusuman. Ketika ia naik ke pendapa rumahnya, terasa rumah itu terlampau sepi. Sepi seka li. Meskipun di regol ada juga para pengawal dan para abdi yang sibuk di kebun dan halaman, tetapi rasa-rasanya rumah itu adalah rumah yang tidak berpenghuni.
Perlahan-lahan Rara Warih melintasi pendapa. Ia tertegun sejenak ketika ia melihat pintu bergerak. Dan hatinya tiba-tiba terguncang ketika ia me lihat ayahnya berdiri di depan pintu. Rara Warih sesaat bagaikan me matung. Na mun ke mudian iapun berlari me meluk ayahnya sambil berdesah me me las "Ayah. Ayah. Aku tidak beribu lagi" Pangeran Ranakusuma adalah seorang Panglima yang pilih tanding di peperangan. Tetapi menghadapi pengakuan anaknya itu rasa-rasanya matanya menjadi panas dan lehernya bagaikan tersumbat. "Ayahanda" desis Rara Warih disela-sela tangisnya "Kenapa ayahanda tidak mengatakan kepadaku sebelumnya" Pangeran Ranakusuma me mbe lai ra mbut anak gadisnya. Setelah ia berhasil mengatur perasaannya, maka katanya "Masuklah Warih" Rara Warih mencoba menahan isaknya. Perlahan-lahan, dibimbing oleh ayahandanya ia masuk ke ruang da la m. Na mun tiba-tiba saja gadis itu berlari masuk ke dala m biliknya dan menangis tersedu-sedu sa mbil mene lungkup. Pangeran Ranakusuma berdiri sejenak di pintu yang terbuka. Dibiarkannya saja anaknya memeras air matanya. Dengan de mikian, maka beban dihalinya akan menjadi bertambah ringan, seolah-olah sebagian telah ditumpahkan bersama air matanya. Pangeran Ranakusuma ke mudian meninggalkan bilik itu dan duduk di hadapan pintu yang masih terbuka. Rasarasanya ia tidak sampai hati meninggalkan anak gadisnya, yang oleh kelelahan haii dan tubuhnya, telah tertidur sambil menelungkup. Seperti perasaan Warih, sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma merasa betapa sepi istananya itu. Sekilas ia terkenang kepada isterinya yang telah diserahkannya ke mba li
kepada orang tuanya juga kepada isterinya yang sudah meninggal dan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Juwiring, bahkan sekilas terbayang wajah adik kandung Raden Ayu Galih Warit. Namun bayangan-bayangan itu ditekankannya dala mi di da la m dadanya. Sebagai seorang Senapati perang, maka ia harus dapat me mpergunakan akalnya sebaik-baiknya untuk me mecahkan setiap persoalan. Bukan sekedar perasaan. Dan persoalan pribadinya itupun dicobanya direnunginya dengan pertimbangan nalar. "Kedua anak-anak itu harus mene mukan suatu cara untuk dapat berkumpul di da la m rumah ini sebagai anak-anakku" katanya di dala m hati. Ketika ke mudian Rara Warih terbangun, maka agaknya ia sudah menjadi agak tenang. Ia tidak lagi menangis meskipun tampak betapa luka di hatinya terasa sangat pedih. Seolaholah di dala m waktu yang pende k, ia sudah kehilangan dua orang yang paling dikasihinya. Kakaknya, Raden Rudira dan kini ibunya, yang meskipun masih hidup, tetapi pengakuan di luar sadarnya itu bagaikan sebuah benteng yang tebal dan tinggi, yang me mbatasi ikatan di antara dirinya dengan ibunya. Setelah me mbersihkan dirinya dipakiwan. ma ka Rara Warih mencoba untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang rasa-rasanya baru sama sekali di dala m rumahnya itu. Tidak ada lagi yang akan memanjakannya dengan berlebih-lebihan. Ayahnya, karena tugasnya sebagai seorang Senapati, terlampau sering meninggalkan istananya. Pangeran Ranakusuma me mbiarkan anak gadisnya berbuat apa saja. Tetapi hari itu, ia sa ma sekali t idak sa mpa i hati meninggalkannya seorang diri di rumah. Sementara itu, Ki Dipana la yang menyertai Juwiring dan kedua adik seperguruannya, telah menghadapi Kiai Danatirta di Jati Aking. Banyak persoalan yang dikatakannya. Namun akhirnya sampai juga ia kepada persoalan pokok dari
kehadirannya, menyampaikan pesan Pangeran Ranakusuma untuk minta agar Kiai Danatirta mengijinkan Juwiring ke mba li ke istana Ranakusuman, meskipun itu bukan berarti bahwa ia harus meningga lkan Jati Aking. "Jarak antara Surakarta dan Jati. Aking tidak terlampau jauh" berkata Ki Dipanala ke mudian. Lalu "Kakang, jika aku diperbolehkan me mberikan pertimbangan, aku tidak berkeberatan jika Raden Juwiring ada di istana Ranakusuman. Dala m saat ini, Pangeran Ranakusuma seolah-olah sedang terlempar ke dala m dunia yang kosong. Jika Raden Juwiring berhasil menembus dinding hatinya yang kosong itu, tentu ia akan mendapat tempat. Bukan untuk kepentingan pribadi seperti Raden Rudira, tetapi untuk kepentingan yang jauh lebih luas dari kepentingan pribadi itu" Kiai Danatirta segera mengerti ma ksud Ki Dipanala. Sebenarnya iapun sependapat, bahwa Pangeran Ranakusuma perlu dibangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Bahkan kadang-kadang dengan mimpi yang indah yang dapat me mbuatnya me mbenci dirinya sendiri. Ke luarganya dan bangsanya. Tetapi rasa-rasanya, sangat berat baginya untuk me lepaskan Juwiring. Sudah la ma anak muda itu tingga l di padepokannya. Bahkan rasa-rasanya Juwiring sudah seperti anaknya sendiri. Meskipun setiap saat Juwiring akan dapat datang ke padepokan ini, tetapi anak itu tidak akan ta mpak lagi mondar mandir di ha la man, bekerja di sawah dan pategalan, serta berada di bangsal latihan. "Apakah tidak ada jalan lain yang dapat dite mpuh" Orang tua itu bertanya kepada Ki Dipanala. "Aku tahu kakang. Sangat berat rasanya melepaskan Raden Juwiring. Tetapi aku berharap, agar kakang memberikan kesempatan yang luas kepadanya untuk me mbentuk masa depannya dengan semua kesempatan dan ke mungkinan yang
ada padanya, selain harapan-harapan yang jauh lebih berharga dari itu" "Aku mengerti. Dan aku seharusnya tidak boleh berkeberatan. Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari berbicara tentang kepentingan diriku pula. Tentang perasaan seorang tua, dan tentang ketergantungan perasaanku tanpa keseimbangan nalar. Aku mengerti, seperti kesadaran seorang yang menangisi dan berteriak me manggil na ma seseorang yang telah mati. di dalam keadaan yang wajar, ia tentu mengerti, bahwa suaranya tidak akan dapat didengar, dan yang mati tidak akan ke mba li. Tetapi di dala m saat tertentu, kesadaran itu menjadi pudar jika kita mengala minya" Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. Kiai Danatirta adalah orang yang mumpuni, sehingga ia menyadari pergolakan di da la m dirinya sendiri. Menyadari kebura man kesadarannya. Menyadari kepincangan pertimbangan nalarnya. Namun setelah merenung sejenak, Kiai Danatirta itu berkata "Agaknya me mang tidak ada yang dapat aku la kukan dari pada mengiakannya" orang tua itu berhenti sejenak, lalu "Bukan karena aku seseorang yang me miliki ke ma mpuan untuk mengatasi kesulitan perasaan sendiri. Tetapi yang lebih dari pada itu, aku mengerti bahwa aku tidak a kan dapat me lawan kehendak Pangeran Ranakusuma. Selain ia seorang Pangeran, ia juga ayah dari Raden Juwiring itu. Sebagai seorang ayah, ia me mpunyai wewenang mut lak untuk itu" Sekali lagi Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Me mang tidak akan ada keputusan la in yang dapat diambil oleh Kiai Danatirta. Ia tentu tidak akan me manggil Raden Juwiring dan bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau tidak, karena menurut pertimbangannya, Raden Juwiring tidak me mpunyai pilihan selain me lakukan perintah ayahandanya seperti pada saat ia harus meninggal istana itu. Demikianlah maka ia sekarang harus ke mbali ke dala mnya, meskipun
Raden Juwiring pernah bersikap untuk tida k mengaitkan dirinya lagi dengan istana dan keluarganya. Tetapi kini agaknya ada pertimbangan lain. Namun sebenarnyalah. Juwiring dicengka m oleh kebimbangan. Meskipun ia tidak berada di antara gurunya dan Ki Dipanala, namun ia duduk sendiri di dala m biliknya sambil merenungi dirinya sendiri, ke luarganya dan Surakarta. "Kelebihan harta benda tidak menja min kebahagiaan sebuah keluarga" katanya di dalam hati "meskipun jika aku harus me milih, apakah aku lebih senang menjadi seorang yang kaya atau seorang yang miskin, aku akan me milih untuk menjadi seorang yang kaya. Namun aku tidak akan dapat ingkar, bahwa kekayaan bukan satu-satunya sumber kebahagiaan" Dan Juwiring melihat ke da la m dirinya sendiri, keluarganya yang kisruh meskipun bergelimang kekayaan dibanding dengan keluarga yang tampak tenang dan damai dipadepokan Jati Aking ini. Jika fajar mulai me merah di Timur, dan angin pagi yang segar bertiup di antara dedaunan, kemudian bayangan matahari yang menguning di wajah air jernih yang mengalir di parit-parit, disusul dengan kerja dipanasnya pagi, terasa betapa hidup ini teramat segar dan tenang. Suara seruling yang dilontarkan oleh anak-anak yang mengge mbalakan kambing ditebing kali, dentang palu pandai besi di perapian, dan rengek anak-anak me njelang minum susu ibunya di antara lenguh le mbu dan kerbau, adalah suasana dama i yang tidak akan dite mukan di da la m kota Surakarta yang sibuk oleh derap kehidupan yang terasa terlampau cepat dan tergesagesa. "Aku adalah sa lah seorang dari masa yang akan segera tertinggal oleh derap ja man" desis Juwiring di dala m hatinya
"Tetapi aku senang menikmati hidup yang damai"Tetapi ke mudian "Na mun aku tidak dapat menge lakkan jalan hidup yang terbentang di hadapanku. Jalan yang menjadi se ma kin ramai dan riuh. Dan apakah aku akan me mbiarkan diriku semakin jauh ketinggalan, selagi ada kese mpatan untuk mene mukan penghidupan baru yang barangka li a kan dapat menjadi pancadan untuk menge mbangkan hidup di padesan ini tanpa meninggalkan ciri-ciri kedama ian dan bentuk kekeluargaan yang rapat?" Pertanyaan itupun ikut bergulat di dala m hati Juwiring. Namun iapun sadar, bahwa apapun keputusannya, jika ayahnya me maksakan kehendaknya, ia tidak akan dapat menge lak. Dan itulah sebabnya ia ke mudian berkata kepada diri sendiri. "Aku harus me mbentuk jalanku sendiri, bukan sekedar terseret oleh arus betapapun derasnya, jika arus itu tidak sesuai dengan nuraniku" Dengan sandaran itulah Juwiring ke mudian me mutuskan di dalam hatinya, ia akan pergi ke Kota dan mencoba hidupi di dalam istana yang megah sebagai putera seorang Pangeran yang menjabat Senapati yang berpengaruh di Surakarta. Tanpa me mbicarakannya lebih dahulu, Kia i Danatirta dan Juwiring me mang me mpunyai kesimpulan yang sama, apapun alasannya. Juwiring akan meninggalkan padepokan Jati Aking. Ketika akhirnya keputusan itu saling disepakati dengan, beberapa pesan dari Kiai Danatirta, maka rasa-rasanya padepokan itu akan menjadi sepi bagi penghuninya yang tinggal. Kiai Danatirta yang kemudian me manggil anak-anak angkatnya itupun menjelaskan bahwa tida k ada jalan yang lebih baik bagi Raden Juwiring daripada meninggalkan padepokan ini. Tetapi bukan berarti bahwa tida k akan ada hubungan lagi di antara mereka, karena Juwiring akan selalu mondar mandir antara Surakarta dan Jati Aking.
"Apakah tidak lebih ba ik kau tetap ada di sini ka kang" berkata Buntal ke mudian "Tetapi kau sering menengok keluarga mu yang ada di Kota" "Keluarganya me merlukannya" berkata Kiai Danatirta "betapapun beratnya, aku harus melepaskannya. Tetapi seperti yang aku pesankan kepadanya, bahwa Raden Juwiring bukan saja sekedar mengisi kesepian hati ayahandanya, tetapi ia wajib me mberikan arah kepada keluarganya di dalam masamasa yang sura m bagi Surakarta ini. Dan karena itulah maka waktunya akan lebih banyak diperlukan di istananya. Namun demikian, ia masih harus menye mpurnakan ilmunya. Dan aku berharap sepekan sekali Raden Juwiring a kan datang" "Ya ayah" jawab Juwiring "Aku akan selalu datang. Aku menyadari bahwa ilmuku masih jauh dari mencukupi. Apalagi ketika aku berada di lingkungan para bangsawan. Terlebihi lagi ketika aku bertemu dengan Ka mas Said di pinggir bengawan. Maka aku merasa diriku masih terla mpau kecil" "Tentu" Kia i Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya "Me mang masih diperlukan waktu yang jauh untuk mende kati ke ma mpuan Raden Mas Said, Meskipun kau tidak berhasil menyama inya, tetapi Setidak-tidaknya kau dapat me mperguna kan ke ma mpuan yang sedikit ada pada mu untuk kepentingan yang baik. Baik bagi sesama dan terlebih-lebih bagi Surakarta, dan baik dala m pandangan Yang Maha Pencipta" Raden Juwiring menundukkan kepalanya, la sadar, bahwa kepergiannya dari Jati Aking ke mbali ke Surakarta, bukannya akhir dari hidup keprihatinannya. Justru ia baru mulai dengan pengabdian yang nyata meskipun baru akan dimulai dari lingkungan kecil, istana Ranakusuman. Akhirnya, datanglah saatnya Juwiring benar-benar meninggalkan Jati Aking bersa ma Ki Dipanala. Terasa setiap hati menjadi berat. Buntal yang hampir setiap saat selalu
bersamanya di dala m kerja, tidur dan bergurau, merasakan betapa ngela-ngutnya perpisahan itu. Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ia merasakan pergolakan yang aneh di dalam hatinya. Air mata Arum itu bagaikan ujung-ujung duri yang menyentuh jantungnya. Terasa juga pedihnya. "Arum menangis karena kakang Juwiring meninggalkan padepokan ini" katanya di da la m hati. pergi
Namun ke mudian dengan segenap kema mpuan kesadarannya, ia mencoba menekan perasaan itu. Katanya kepada diri sendiri "Itu adalah wajar sekali Ia sudah berkumpul la ma sebagai saudara di dala m satu rumah. Kepergian Juwiring tentu akan me mpengaruhi perasaannya. Jangankan Arum seorang gadis betapapun ia me miliki ke ma mpuan ilmu kanuragan. Sedangkan aku, seorang la kilakipun, rasa-rasanya terlampau berat untuk berpisah dengan orang yang sudah lama t inggal bersa ma dan menga la mi persoalan dari nasib yang serupa" Meskipun demikina, setiap kali ia melihat tetesan air mata Arum, rasa-rasanya jantungnya masih tersentuh pula. "Aku bukannya pergi untuk sela ma-la manya" berkata Juwiring ketika mereka sudah berada di regol padepokan "Aku akan datang setiap kali. Kita masih akan selalu bertemu dan berlatih bersa ma. Mungkin aku akan ketinggalan karena aku hanya sempat berlatih sepekan sekali, sedangkan kalian akan me lakukannya setiap hari. Namun aku sadar, bahwa aku masih harus me ningkatkan ilmuku. Dan Jati Aking adalah sumber ilmu itu" Arum menganggukkan kepa lanya. Tetapi tidak sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutnya. "Ka mi di sini a kan selalu menunggu jika saatnya kau datang" berkata Buntal kemudian "mudah-mudahan kau berhasil berdiri sebagai batu karang yang teguh di tengah arus
banjir bandang. Kau akan dapat menjadi pegangan, bukan justru kau akan hanyut di dala mnya" "Kau akan selalu berdoa untukku" sahut Juwiring "Aku sadar betapa lemahnya manusia. Karena itu, aku me merlukan sandaran, kekuatan hati yang datang dari Maha Kuasa" "Kau akan selalu mendapatkannya anakku" berkata Kiai Danatirta ke mudian "Tetapi jangan lupa menja lankan se mua perintah-perintahNya, yang terutama perintah lima waktu, dan berdoalah me mohon kepadaNya. Siang dan ma la m" "Ya ayah. Jika aku tidak menjalankannya, berarti aku sudah menjauhinya. Dan itu pertanda kegagalanku" "Tuhan akan dekat, kalau kita mende katkan diri kita kepadaNya" Juwiring menundukkan kepalanya. menyentuh hatinya dala m-da la m. Pesan itu terasa
"Aku titipkan anak ini kepada mu" berkata Kiai Danatirta kepada Ki Dipanala. "Aku akan berbuat sebaik-baiknya kakang. Dan aku akan menyerahkannya kepada ayahandanya. Selanjutnya, bukan Raden Juwiringlah yang kau titipkan kepadaku, tetapi kami, seisi istana Ranakusuman mengharapkannya, dan menitipkan diri sendiri kepada anak muda ini" "Ah" Raden Juwiring berdesah. Demikianlah maka datanglah saatnya perpisahan itu. Raden Juwiring dan Ki Dipanalapun segera meloncat ke punggung kudanya dan meninggalkan padepokan Jati Aking dengan hati yang berat, meskipun ia masih a kan selalu datang setiap pekan. Karena itu pulalah, maka se mua Barang-barangnya, pakaiannya dan apa saja, tidak dibawanya, agar setiap saat ia me merlukan jika ia datang ke padepokan itu, tidak harus me mbawanya lagi dari kota.
Untuk beberapa la ma, keduanya sa ma seka li t idak berbicara. Ki Dipanala mengerti, bahwa Juwiring masih berusaha mengendapkan perasaannya. Agaknya iapun merasakan sesuatu yang hilang ditinggalkan di padepokan Jati Aking. Hubungan yang rapat dengan Buntal dan Arum sebagai saudara sekandung saja. Sikap yang lembut dari Kiai Danatirta, dan suasana yang nyaman dan da mai. Namun ke mudian di sela-sela derap suara kudanya, Juwiring berkata "Pa man, rasa-rasanya aku akan pergi ke daerah yang asing bagiku meskipun aku sebenarnya pulang ke rumah orang tuaku" "Tetapi keasingan itu tidak akan terasa lama. Raden" jawab Ki Dipana la. "Aku tidak tahu, terhadapku. Tetapi menghiraukannya" bagaimana sikap aku bertekad diajeng untuk Warih tidak
"Sebaiknya untuk sementara Raden menjauhinya, la berhati keras seperti ayahanda dan tinggi hati seperti ibundanya" Juwiring mengangguk-angguk. Warih baginya adalah tantangan pertama di da la m rumahnya itu. Ke mudian para pengawal yang semula berada di bawah pengaruh Raden Rudira dan bahkan telah me musuhinya dan juga me musuhi Ki Dipanala. Tetapi bagi Juwiring, mereka tidak a kan banyak me mberikan kesulitan, karena apapun yang akan mereka lakukan, mereka tidak akan berani menerima akibat untuk dilepas dari pekerjaannya, atau bahkan menerima hukuman dari ayahandanya. Tetapi jika keadaan me ma ksa, maka Juwiring sendiri akan dapat menghadapinya jika mereka me mperguna kan kekerasan akibat kebencian yang sudah dipupuk bertahun-tahun oleh Rudira. "Yang paling sulit bagiku justru ada lah diajeng Warih sendiri. Tetapi justru sikap Warih itulah ma ka rasa-rasanya aku harus menjawab tantangannya"
Di da la m perjalanan berikutnya, mereka masih berbicara lagi tentang banyak hal. Kadang-kadang Juwiring tidak dapat menye mbunyikan keragu-raguannya. Namun Dipanala agaknya telah memantapkan keputusannya untuk ke mba li ke istana ayahandanya. Di padepokan Jati Aking, Ki Danatirta masih harus me mberikan penje lasan kepada Arum untuk mengendapkan hatinya yang melonja k karena kepergian Juwiring yang sudah dianggapnya sebagai saudara kandungnya sendiri. Sedang Buntal didera oleh persoalannnya sendiri. Perpisahan itu me mang me mbuatnya mura m. Tetapi tangis Arumpun telah menimbulkan persoalan yang betapapun disingkirkannya, masih saja sela lu mengge litiknya. Demikianlah, maka dahari berikutnya, Juwiring telah mulai dengan tata kehidupannya yang baru. Ia kini tidak berada di rumah ayahandanya sekedar sebagai seorang tamu. Tetapi ia kini adalah putera Pangeran Ranakusuma. Bagi para pelayan dan abdi di istana itu, timbullah berbagai maca m dugaan tentang putera Pangeran Ranakusuma yang seorang ini. Beberapa orang menganggapnya sebagai musuh yang berbahaya. Juwiring tentu akan mempergunakan kesempatan untuk me mbalas denda m, karena mereka merasa pernah me lakukan tindakan kekerasan di masa la mpau, baik selagi mereka masih dipimpin oleh Sura maupun ke mudian oleh Mandra. Sedang beberapa orang yang lain, menganggap pribadi Juwiring jauh berbeda dari Rudira, sehingga mereka menganggap bahwa kedatangannya yang tidak se kedar sebagal tamu itu, akan me mbawa angin baru di istana Ranakusuman. Tetapi yang pertama-tama harus di atasi oleh Juwiring adalah perasaan rendah diri yang sela ma ini me mbayanginya. Terutama terhadap keluarga ayahandanya dan keluarga ibu Rara Warih yang masih sering berkunjung karena mereka mengerti kegelapan yang sedang menyelubungi istana itu.
Di hari-hari yang pertama, Rara Warih masih tetap orang asing baginya. Namun se kilas, Juwiring me lihat perbedaan sikap dan tanggapan pada adik perempuannya itu. Rara Warih tidak lagi me mandangnya sebagai seorang budak yang hina, meskipun ia masih dibayangi oleh perasaan segan dan ma lu. Tetapi pada hari-hari berikutnya, ayahnya dengan telaten mencoba me mperte mukan kedua saudara seayah iitu. Dan adalah di luar dugaan Raden Juwiring, bahwa sikap Warih selanjutnya adalah sikap yang ramah dan ba ik. "De mikian cepatnya perubahan itu terjadi" bertanya Juwiring di dala m hatinya "Agaknya ayahanda berhasil menje laskan se mua persoalan yang menyangkut aku dan diajeng Rara Warih" Namun sebenarnyalah Raden Juwiring tidak mengetaliui, bahwa Rara Warih yang merasa dirinya seakan-akan berdiri di atas menara gading karena ayahandanya seorang Pangeran dan ibundanya seorang bangsawan yang lebih tinggi dari ibu Juwiring itu harus me lihat kenyataan, betapa rendahnya martabat ibundanya sebagai manusia. Dengan de mikian, Rara Warih yang meningkat dewasa itu ma mpu me ne mukan arti dari martabat seseorang. Bukan karena ia seorang putera Pangeran, bahkan putera seorang Raja sekalipun. Tetapi martabat seseorang ditentukan oleh tingkah laku dan perbuatan yang dilandasi oleh hati yang bersih dan jujur. Itulah sebabnya, maka ia tidak berani lagi mengagungkan diri karena tingkat kebangsawanannya yang lebih tinggi dari Juwiring. Tingkah laku dan perbuatan ibundanya me mbuat Rara Warih menjadi rendah diri pula. Seakan-akan ia tidak lebih dari anak seorang yang tidak me mpunyai harga sama sekali. Bahkan setiap kali ia bertanya kepada diri sendiri "Apakah kamas Juwiring juga mengetahui persoalan ibunda?" Tetapi di hari-hari berikutnya, Juwiring yang mencoba menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di istana yang sudah
agak lama ditinggalkannya itu, tidak pernah menyinggungnyinggung tentang Raden Ayu Galihwarit dan tentang ibunya sendiri. Seakan-akan ia mulai hidupnya sejak ia ke mbali ke istana itu, dan tidak tahu menahu sama sekali tentang apa yang pernah terjadi di istana itu sebelumnya. Dala m waktu yang dekat, para pelayan dan abdi di Ranakusuman sudah melihat pembedaan yang jelas, antara Raden Rudira dan Raden Juwiring. Juwiring bukan seorang anak muda yang senang berteriak me manggil pelayanpelayannya dan memaka inya, me merintah dan sekedar marah-marah, selain merajuk terhadap ibu dan ayahandanya. Tetapi Raden Juwiring ma mpu melakukan berbagai maca m kerja. Bahkan yang para pelayannya mengala mi kesulitan, terutama terhadap kuda yang banyak terdapat di kandang. Dengan de mikian, maka para abdi di Ranakusuman segera mengenalnya sebagai seorang anak muda yang baik. Mereka yang biasa melayani Raden Rudira yang manja, merasakan, betapa Raden Juwiring sudah selalu ma mpu melayani dirinya sendiri Rara Warihpun merasakan perbedaan yang jauh antara kedua kakaknya itu. Bahkan kemudian rasa-rasanya ia malu kepada diri sendiri. Seharusnya setiap orang yang sudah meningkat dewasa tidak lagi terlalu banyak menggantungkan diri kepada orang lain. Sehingga dengan de mikian sikap dan tingkah laku Juwiring, merupakan contoh yang sangat baik baginya. Perlahan-lahan Warihpun mencoba untuk menirunya. Hidupnya yang seakan-akan telah terhempas jatuh ke dalam jurang yang paling dala m itu me mberinya kesempatan untuk mencari ja lan bagi masa depannya. Seakan-akan ia kini mendapat bimbingan untuk bangkit dan me mupuk kepercayaan kepada diri sendiri. Pangeran Ranakusuma yang menga mari perke mbangan hubungan kedua anaknya itu menarik nafas dalam-dala m. Bahkan setiap kali ia merasa bersukur, bahwa jarak yang ada
di antara mereka se makin la ma menjadi sema kin pendek. Juwiring yang benar-benar sudah dapat berpikir secara dewasa itu, berusaha untuk menghindarkan ke mungkinan yang dapat me mbatasi hubungannya dengan Rara Warih, apalagi mengungkit persoalan-yang sudah lampau dan yang dapat menjadi duri di dala m hati masing-masing. Sedang Rara Warih yang terbentur pada kejamnya kehidupan, berusaha untuk mene mukan sandaran pada diri sendiri dan me mupuk pengakuan, bahwa Juwiring sebenarnya adalah anak muda yang baik. Namun dengan de mikian, maka Pangeran Ranakusuma itupun ke mudian sa mpai pada suatu kesimpulan, bahwa kehadirannya di istana Ranakusuman bukannya suatu hal yang mut lak. Bahwa ia mendapat kesimpulan tentang anakanaknya itu, telah melepaskannya dari kebimbangan untuk bertindak lebih jauh sebagai seorang laki-laki terhormat di Surakarta. Tidak ada seorangpun yang tahu, apa yang dipikirkannya. Meskipun sa ma sekali tida k menyangkut kekuasaan yang semakin bertambah-ta mbah dari orang asing itu atas Surakarta, namun sebagai seorang Senapati, maka Pangeran Ranakusumapun me mpunyai sikap yang pasti bagi dirinya sendiri. Tetapi pada saatnya ia akan me lakukan rencananya itu, dipanggilnya Ki Dipanala menghadap dan hanya kepadanya sajalah Pangeran Ranakusuma itu mengatakannya. "Pangeran" Ki Dipanala menjadi tegang "ha mba mengharap Pangeran me mikirkannya berulang ka li. Apakah rencana itu tidak dapat dibatalkan, atau Setidak-tidaknya ditunda?" "Tida k Dipana la. Aku sudah bertekad. Apalagi menurut penglihatanku, hubungan antara Juwiring dan adiknya sudah menjadi semakin baik. Dengan demikian, seandainya aku tidak akan pernah ke mba li lagi ke rumah ini, aku sudah tenang meninggalkannya"
"Tida k Pangeran. Masih ada persoalan yang harus diperhitungkan. Mungkin akibat daripada peristiwa itu akan berkepanjangan" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Na mun ia menggeleng sa mbil berkata "Apaboleh buat Dipanala. Aku sudah menjadi seorang pengkhianat bagi Sura karta, karena aku selalu berhubungan dengan orang-orang asing dan bahkan me mberi kese mpatan kekuasaan mereka berke mbang, sekedar untuk pe muasan diri sendiri. Dengan de mikian, maka aku sudah menjadi seorang yang mementingkan diriku sendiri. Tetapi apakah artinya, jika dengan demikian justru diriku sendiri inilah yang ke mudian mendapat hinaan itu?" Ki Dipanala termenung sejenak. Yang terbayang adalah peristiwa yang mengerikan akan terjadi. Tetapi ternyata ia tidak dapat mencegahnya. Dan apa yang direncanakan oleh Pangeran Ranakusuma itu benar-benar dilakukannya. Ketika bulan bulat di langit, dan udara cerah, Pangeran Ranakusuma telah me merintahkan menyiapkan keretanya. "Ayahanda akan menghadap ke istana?" bertanya Rara Warih. Pangeran Ranakusuma menjadi bimbang sejenak. Dipandanginya wajah anaknya yang tidak lagi secerah saat ibundanya masih ada di istana ini. "Apakah ayahanda dipanggil oleh Kangjeng Susuhunan?" Mata Pangeran Ranakusuma menjadi redup. Ke mudian terdengar ia berdesah perlahan-lahan. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Baik-ba iklah di rumah. Dimana ka masmu Juwiring?" "Di belakang ayahanda" "Panggillah ia menghadap"
Rara Warih mengerutkan keningnya. Tetapi ia t idak bertanya lagi. Dipanggilnya Juwiring, yang sedang berada di belakang. Ketika Juwiring ke mudian menghadap ayahandanya, ia terkejut melihat sikap dan tatapan mata Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia tida k berani bertanya sesuatu sebelum Pangeran Ranakusuma sendiri me mberitahukan kepentingannya. Sejenak Juwiring menunggu. Dan ke mudian didengarnya suara ayahnya dalam "Baik-baiklah di ruma h Juwiring. Aku senang melihat kalian telah berubah dan saling mendekatkan diri sebagai dua orang ka kak beradik" kata-kata Pangeran Ranakusuma terputus. Agaknya masih ada yang akan dikatakannya, tetapi rasa-rasanya tidak dapat dilontarkannya. Juwiring merasakan sesuatu yang lain pada ayahandanya. Karena itu, maka setelah beberapa saat ia menunggu, ayahnya masih tetap berdiam diri, maka iapun ke mudian bertanya "Kemanakah ayahanda akan pergi se karang ini?" "Ada tugas yang harus aku lakukan Juwiring" "Perintah Kangjeng Susuhunan?" Sejenak Pangeran Ranakusuma termangu-mangu. Na mun sejenak kemudian bibirnya tersenyum sambil berkata "Tentu. Tentu perintah Kangjeng Susuhunan. Nah, tinggallah di rumah baik-baik. Mungkin aku tidak pulang mala m nanti" Kedua kakak beradik itu termangu-ma ngu. Namun mereka tidak dapat bertanya lebih jauh, karena Pangeran Ranakusumapun ke mudian meninggalkan keduanya dan turun ke halaman. Keretanya sudah siap menunggu di bawah tangga sehingga sejenak ke mudian Pangeran Ranakusuma itupun hilang di balik pintu keretanya yang segera berderap.
-ooo0dw0ooo- (Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Karya SH MINTARDJA Bunga Di Batu Karang Editor : Dino Jilid 13 KI DIPANALA yang berada di regol mengangguk dala mdalam. Na mun ha mpir di luar sadarnya ia berkata "Hati-hatilah Pangeran" Juwiring mendengar pesan itu la mat-la mat. Kecurigaan di hatinya tiba-tiba menjadi sema kin me kar. Ayahandanya jarang sekali mengenakan paka ian kebesarannya sebagai seorang Senapati perang, apalagi me mbawa senjata rangkap. Sebilah pedang di la mbung dan keris pusakanya di punggung. "Apakah sesuatu akan terjadi?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak ma u menyatakan kegelisahannya kepada adiknya. Tetapi sejenak kemudian, iapun pergi keluar ruang dalam. Kepada adiknya ia mengatakan, bahwa masih ada sesuatu yang harus dikerjakan di kandang kuda. Namun Raden Juwiring t idak pergi ke kandang kuda. la langsung mene mui Ki Dipanala, dan me maksa agar Ki Dipanala me ngatakan apa yang diketahui tentang ayahandanya.
Sejenak Ki Dipanala termangu-mangu. Namun katanya ke mudian "Aku percaya kepada Raden. Tetapi Radenpun harus melindungi kepercayaanku kepada Raden" "Aku mengerti. Katakan" Sejenak Ki Dipanala masih termangu-mangu. Na mun ke mudian dikatakannya pula rencana yang akan dila kukan oleh ayahandanya, Pangeran Ranakusuma. "Jadi ayahanda akan mela kukannya sekarang?" "Ya Raden. Tetapi akupun menjadi gelisah. Rasa-rasanya aku ingin menyaksikan apa yang akan terjadi" "Aku pergi bersa ma mu pa man" "Ah jangan Raden. Raden belum mengenal keadaan kota ini sebaik-ba iknya sejak orang-orang asing itu berkuasa" "Aku pergi bersa ma pa man" "Mereka sangat curang dan licik" "Justru karena itu" Ki Dipanala menarik keningnya. Tetapi ia masih juga berusaha mencegah Raden Juwiring. Namun agaknya Juwiring tetap pada pendiriannya. Sehingga akhirnya Ki Dipanala berkata "Terserahlah kepada Raden. Tetapi kita harus berhatihati" Demikianlah ma ka keduanyapun segera me mpersiapkan diri. Ki Dipanala me ngerti, apa yang akan terjadi dan ke mana mereka harus pergi. Dala m pada itu, di tepi bengawan, beberapa orang telah berkumpul. Bahkan di bawah pepohonan yang berpencaran dengan liarnya terdapat beberapa buah kereta. Ketika orangorang itu melihat la mpu kereta di kejauhan dan kemudian mendengar derap kaki kuda, merupa kan segera menyibak. Seorang yang berpakaian seorang Senapatipun ke mudian
menyongsong sa mbil berdesis "Tentu ka mas Ranakusuma. Ia tidak pernah ingkar janji" Ketika kereta itu mende kat, maka orang-orang yang sudah ada di tepi bengawan itupun menjadi tegang. Beberapa orang kumpeni yang ada juga di te mpat itu menjadi tegang pula. Ternyata yang mereka duga adalah benar. Yang datang adalah Pangeran Ranakusuma. Demikian Pangeran Ranakusuma turun dari keretanya, maka iapun langsung mende kati orang-orang yang menunggunya sambil berkata "Aku sudah siap. Bulan sudah berada di ujung pepohonan di seberang bengawan. Sudah waktunya kita mulai" Orang-orang yang ada di tepian itupun segera menyiba k. Beberapa orang yang mendapat tugaspun segera tampil ke depan. Empat orang. Yang dua orang adalah orang asing dalam pakaian kebesarannya sedang yang dua orang adalah bangsawan tertinggi di Sura karta. "Kalian akan me njadi saksi" geram Pangeran Rana-kusuma "Aku adalah laki-la ki yang akan me mbela nama baikku. Aku minta perang tanding dengan pedang" Seorang kumpeni maju sa mbil menjawab dengan bahasa yang patah-patah "Baik. Kalian akan melakukan perang tanding. Memang kehormatan dapat diselesaikan dengan me lakukan duel. Apakah peraturan yang Pangeran pilih" "Tida k ada peraturan buat perang tanding, selain aku atau Dungkur yang harus mati" "Ah, tidak begitu Pangeran. Ada peraturan yang lebih lunak dari itu" "Aku atau Dungkur yang akan mati. Di arena perang tanding atau tidak. Aku tidak dapat menghirup udara di Surakarta ini bersama dengan Dungkur"
"Pangeran" kumpeni itu masih berusaha melunakkan hati Pangeran Ranakusuma "Kita sudah la ma bekerja sama di Surakarta ini untuk kepentingan kita bersama. Untuk ke majuan Surakarta, supaya Surakarta dapat mencapai tingkat kerajaan di luar pulau ini, dan menyamai daerah-daerah di daratan Barat. Karena itu, janganlah kita me mbuat jarak di antara kita" "Aku tetap menghormati kalian sebagai bangsa asing yang me mbawa peradaban baru di tanah ini. Aku tida k akan menarik kerja sa ma yang sudah kita pupuk. Tetapi persoalanku dengan Dungkur bukan persoalan kerja sama antara kerajaan Surakarta dan kerajaan Belanda. Tetapi persoalan itu adalah persoalan dua orang laki-laki yang akan me mbe la na ma ba iknya masing-masing" "Aku dapat mengusulkan agar orang itu dipindahkan dari Surakarta dan ditarik ke Betawi" "Terserah. Tetapi persoalanku harus selesai. Meskipun ia sudah pergi dari bumi Surakarta, tetapi jika ada kesempatan aku akan tetap menantangnya perang tanding. Laki-laki itu sudah menyentuh isteriku. Bagi seorang bangsawan, seorang isteri bernilai seperti dirinya sendiri, meskipun isteriku juga me mpunyai noda-noda kele mahan" Perwira kumpeni itu menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia me mandang kepada Dungkur, maka dilihatnya wajah yang tegang dan tangan yang mengepal. Ternyata bahwa kumpeni yang bernama Dungkur itupun telah siap melakukan perang tanding sa mpai mati. "Aku adalah kesatria" berkata kumpeni itu "Apalagi martabatku sebagai seorang kulit putih lebih tinggi dari martabatmu" "Tutup mulut mu" potong Pangeran Ranakusuma "Jangan mengungkat martabat kemanusiaan kita. Kita dilahirkan sa ma. Dan sekarang, salah seorang dari kita akan mati. Setelah
matipun tidak akan ada bedanya di antara kita. Jika mayat kita dikuburkan di bumi, maka yang akan t inggal ada lah kerangka yang terdiri dari tulang-tulang melulu" "Persetan" Dungkur ha mpir berteriak "Marilah kita mula i. Bangsa kulit putih adalah bangsa yang ditakdirkan menguasai orang-orang kulit berwarna seperti kau. Dan sudah ditakdirkan pula bahwa ka mi dapat menga mbil apa yang ka mi kehendaki. Termasuk isterimu" Setiap orang terkejut ketika tiba-tiba saja Dungkur mengaduh. Tida k seorangpun tahu, bagaimana dapat terjadi. Tangan Pangeran Ranakusuma rasa-rasanya telah menampar pipi Dungkur. Padahal jarak keduanya lebih dari satu langkah. Selagi orang yang mengitari mereka menjadi terheranheran, maka Pangeran Ranakusumapun maju setapak sambil menyingsingkan kain panjangnya dan menyangkutkannya pada ikat-pinggangnya. Diputarnya keris yang ada di punggung, sehingga berada di la mbung. Dungkurpun menjadi heran, bahkan tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi pipinya benar-benar terasa sakit. "Ah, ini adalah semacam permainan yang tidak bermutu" katanya di dalam hati "Jika pedangku menyentuh dadanya, maka dadanya itu tentu akan sobek dan darahnya akan mengucur di tanah kelahirannya yang sebentar lagi akan lepas dari tangannya ini" Demikianlah, karena Pangeran Ranakusuma dan Dungkur telah tidak lagi dapat melunakkan hati mereka, maka perang tanding itupun segera akan dimulai, dengan tekad, salah seorang dari mereka a kan mati. Kapitan Dungkur ada lah seorang perwira yang me miliki pengalaman yang tiada taranya. Ia telah menjelajahi beberapa benua mengarungi lautan dan bahkan mengala mi perang dibanyak daratan. Dungkur t idak pernah gentar melihat kapal di tengah laut yang menaikkan panji-panji bergambar
tengkorak dan pedang bersilang karena bajak laut yang betapapun ganasnya, tidak banyak dapat berbuat terhadap kapal-kapal Be landa yang di pertahankan oleh orang-orang terlatih di dala m peperangan di daratan maupun di lautan. Kini yang dihadapinya tidak lebih dari seorang pribumi yang me ma kai ka in panjang dan baju hita m berlengan panjang pula. Berikat pinggang sejengkal dan me ma kai tutup kepala. "Uh." Dungkur t iba-tiba meludah "mengge likan sekali. Kau, orang yang hidup di dala m dunia yang la mbat akan mencoba me lawan aku" Barangkali kau belum pernah melihat betapa ganasnya lautan dan apalagi bajak laut. Kau belum pernah menga la mi peperangan yang sebenarnya di benua lain. Kau sekarang sudah berani menantang aku berperang tanding. Malanglah nasib anakmu yang cantik itu. Sebenarnya jika kau berkeberatan me mberikan isterimu, aku a kan menga mbil anakmu saja" Pangeran Ranakusuma. me mandang perwira kumpeni yang akan menjadi saksi dala m perang tanding itu sa mbil berkata "Inikah ga mbaran dari keseluruhan bangsa mu yang kau katakan me mpunyai martabat yang tinggi?" "Tida k, tidak Pangeran. Seperti bangsamu juga, kadang kadang ada di antara kami yang me mpunyai sifat dan watak yang lain" jawab seorang perwira kumpeni. "Dan Dungkur adalah contoh dari kela inan itu?" "Dia m" bentak Dungkur "Kita akan mula i" Dungkur tida k menunggu jawaban Pangeran Ranakusuma. Dengan serta merta ditariknya pedangnya yang panjang, dengan sebuah pelindung bagi jari-jarinya yang menggengga m hulu. Kemudian sebuah rantai yang melingkar di tangannya, terikat pada hulu pedang itu, sehingga jika pedang itu terlepas, maka pedang itu akan tetap tersangkut di tangannya.
Pangeran Ranakusumapun menarik pedangnya pula. Pedangnya jauh lebih sederhana. Tidak mengkilap seperti pedang Dungkur, bahkan agak kehita m-hitaman. Tetapi pedang Pangeran Ranakusuma adalah bukan se mbarang pedang. Pedang itulah yang sela ma ini disebutnya Kiai Pagerwesi. Dengan de mikian keduanya sudah berdiri saling berhadapan. Beberapa orang saksi berdiri mengelilinginya. Beberapa erang perwira kumpeni dan beberapa orang bangsawan tertinggi di Sura karta. Pangeran Ranakusuma me mbenahi kain panjangnya yang sudah tersangkut diikat pinggangnya yang besar. Setapak demi setapak ia maju me ndekati lawannya. Dungkurpun telah bersiap melayaninya. Ia berdiri agak condong. Badannya dimiringkannya, sedang pedangnya lurus terjulur ke depan. Satu tangannya terangkat di belakang seakan-akan merupakan pengatur keseimbangan dari badannya yang miring itu. Tetapi Pangeran Ranakusuma bersikap lain. Ia menghadap lawannya. Pedangnya bersilang di muka dadanya. Setapak demi setapak ia masih saja melangkah mende kat Dungkur menjadi heran me lihat sikap itu. Tetapi ke mudian ia tersenyum dan berkata di dala m hatinya "Orang ini me mang dungu. Ia sekedar dibakar oleh kemarahannya saja. Agaknya demikianlah Senapati Surakarta mela kukan perang tanding. Tanpa me miliki pengetahuan sama sekali atas senjata yang dipergunakannya"
Dengan gerak yang bagaikan acuh tidak acuh saja, Dungkur menggerakkan ujung pedangnya. Berputar sedikit, dan ke mudian terjulur lurus mengarah ke dada. Ia tidak ingin segera melukai lawannya. Ia hanya ingin mengganggunya saja. Tetapi Dungkur terkejut ketika dengan sebuah gerakan kecil, Pangeran Ranakusuma me loncat ke sa mping, sambil mengangkat pedangnya. Pedang itupun kemudian terayun deras sekati mengarah ke leher Dungkur. Gerakan itu sama sekali tidak sulit. Dungkur segera menyilangkan pedangnya menangkis serangan itu dan me mukulnya ke sa mping. Namun sa ma sekali tida k diduganya. Pukulan itu ternyata didorong oleh kekuatan yang luar biasa, sehingga tangkisannya yang pertama itu telah mengejutkannya. Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Kekuatan yang sama sekali tidak diduganya telah menghanta m pedangnya. Jauh lebih kuat dari ayunan pedang seorang bajak laut bertubuh raksasa yang pernah mencoba mengganggu kapa lnya di lautan. Karena Dungkur sama seka li t idak me mpersiapkan diri menghadapi kekuatan yang tidak terduga-duga dari seseorang sekedar me makai ka in panjang, celana setinggi lutut dan berikat kepala itu, maka pedangnya telah terlepas dari tangannya. Untunglah bahwa rantai yang tersangkut dipergelangan tangannya tidak terlepas sehingga pedang itu masih tetap tersangkut di tubuhnya. Pangeran Ranakusuma berdiri me mbeku sejenak, dengan sengaja ia memberikan kese mpatan kepada lawannya untuk me mperbaiki keadaannya. Benturan yang pertama-tama itu benar telah mengejutkan beberapa orang yang menjadi saksi dari perang tanding itu,
terutama para perwira kumpeni. Mereka tidak menyangka, bahwa hal itu dapat terjadi, karena mereka menganggap bahwa Dungkur ada lah seorang yang me miliki ilmu pedang yang dikagumi oleh kawan-kawannya. "Dungkur tidak bersiap" berkata para perwira itu di dalam hatinya "Ia menganggap lawannya terlampau le mah, seperti orang-orang pribumi yang pernah dite muinya selama penjelajahannya di beberapa benua" Sejenak ke mudian Dungkur telah menggengga m pedangnya kemba li. Sejenak ia me mpersiapkan diri. Kini ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang pribumi yang oleh lingkungannya disebutnya seorang Pangeran. Sejenak ke mudian ma ka perkelahian itupun telah meledak lagi. Dungkur berusaha menyerang dengan tangkasnya. Tetapi setiap kali ujung pedangnya bagaikan menghanta m dinding. Ternyata Pangeran Ranakusuma adalah seorang yang sangat tangkas me mpergunakan pedangnya, meskipun dengan cara yang tidak dimengerti. Bahkan setiap kali Dungkur menjadi bingung, karena lawannya selalu berloncatan melingkarlingkar seperti seekor kijang. Dungkur telah menga la mi perte mpuran pedang beberapa kali. Lawannya sering pula berloncatan jika terdesak. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak berbuat demikian. Ia selalu bergerak melingkar dan ke mudian menge lilingnya sehingga ia harus berputar sambil menjulurkan pedangnya. Namun tibatiba lawannya itu menyerang sa mbil me loncat kearah yang tidak diduganya sama sekali. Keringat Dungkur itu segera me mbasahi pakaiannya. Namun tangannya yang lincah itu setiap kali masih berhasil menangkis serangan pedang Pangeran Ranakusuma. Bahkan Dungkur masih dapat mengharap, bahwa bertempur dengan cara yang ditempuh oleh Pangeran Ranakusuma itu tentu akan segera menghabiskan tenaga.
Karena itu. Dungkur untuk se mentara hanya bertahan saja sambil berputar. Kakinya yang merendah pada lututnya bergeser dengan cermat mengikut i arah pedangnya. ia berharap, bahwa dalam waktu yang singkat, Pangeran Ranakusuma yang bertempur dengan cara yang aneh dan menurut pendapat Dungkur agak liar dan kasar itu. akan segera kehabisan tenaga. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Semakin la ma Dungkur menjadi sema kin bingung menghadapi cara yang aneh dari seorang bangsawan Surakarta ini, seorang Senapati perang dari kerjaan yang disangkanya jauh terbelakang dibanding dengan kerajaan di daratan Benua Barat. Untuk beberapa lama Dungkur masih tetap ma mpu me mpertahankan dirinya dengan kelincahan tangannya. Tetapi ia masih saja bergeser pada kedua ka kinya setapak demi setapak. Kadang-kadang berputar dan sedikit meloncat. Sedang Pangeran Ranakusuma bertempur bagaikan burung sikatan. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Sekali-sekali ujung pedangnya me matuk, ke mudian terayun menyambar lawannya. Dan sesaat kemudian berputar seperti balingbaling. Para perwira kumpeni menjadi bingung pula me lihat cara itu. Cara yang hampir tida k pernah dilihatnya. Jika di dala m peperangan di daerah ini ia melihat pedang yang berputaran seperti itu, disangkanya bahwa prajurit-prajurit Surakarta me mang prajurit-prajurit yang dungu. Namun di dala m perang tanding, barulah mereka menyadari bahwa tata gerak yang demikian dapat me mbuat lawannya menjadi bingung. Yang ke mudian lebih dahulu susut tenaganya adalah justru Dungkur sendiri. Meskipun ia sudah berusaha me nghe mat tenaganya, dan mengharap lawannya akan kehabisan nafas, namun ternyata bahwa tangannya merasa menjadi se ma kin le mah dan nafasnya sudah berangsur-angsur menjadi sendat.
Karena itulah, maka ia menjadi semakin terdesak oleh serangan-serangan Pangeran Ranakusuma yang se ma kin dahsyat. Dungkur menjadi bingung ketika tiba-tiba saja pedang Pangeran Ranakusuma me matuk dari sa mping. Namun ia masih berhasil menghindar dan berusaha menangkis serangan itu. Tetapi dengan cepat Pangeran Ranakusuma menarik pedangnya dan menyerang mendatar. Dungkur tidak me mpunyai kesempatan untuk menghindar lagi. Sekali lagi ia me mpergunakan ke lincahan tangannya untuk menangkis serangan itu. Tetapi ayunan pedang Pangeran Ranakusuma ternyata terlampau keras, sehingga benturan yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Seperti yang pernah terjadi, tangan Dungkur tidak ma mpu lagi bertahan. Karena itu, maka ketika perasaan sakit menyengat pergelangannya, maka pedangnyapun telah terlepas dari tangannya. Tetapi pada saat itu, pedang Pangeran Ranakusuma terjulur lurus. Dungkur me lihat ujung pedang itu. Tetapi ia tidak berdaya lagi. Ia hanya sempat menge lakkan diri bergeser setapak. Namun ujung pedang itu masih juga menyobek lengannya. Terdengar ia mengeluh tertahan. Ujung pedang itu telah mendorongnya sehingga ia ha mpir saja kehilangan keseimbangannya. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak melepaskannya. Sekali lagi ia meloncat menyerang dan di dalam keadaan yang sulit itu, Dungkur ha mpir tida k dapat berbuat apa-apa. Ketika ia berusaha menggeliat, maka keseimbangannyapun tidak lagi dapat dikuasai, sehingga iapun jatuh terbanting. Namun agaknya justru memberinya kesempatan untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang yang langsung menghunja m di jantungnya, karena justru ketika ia terjatuh, maka tusukan pedang Pangeran Ranakusuma tidak mengenai
dadanya. Tetapi kali ini pundaknyalah yang sobek oleh pedang lawannya yang berwarna kehita m-hita man itu. Meskipun tusukan itu tidak langsung me mbunuhnya, namun ternyata Dungkur sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. Badannya serasa menjadi lumpuh oleh perasaan sakit yang tidak terkira. Sekali ia berguling di pasir sa mbil mengerang kesakitan. Agaknya Pangeran Ranakusuma masih belum puas. Ia sudah bertekad untuk berperang tanding sampai salah seorang dari mereka mati di arena. Karena itu, maka ia masih me loncat sekali lagi sa mbil mengangkat pedangnya. Namun pada saat itu, seorang perwira kumpeni yang lainpun meloncat pula sa mbil berkata gugup "Sudah cukup Pangeran. Sudah cukup" "Aku sudah berkata, bahwa satu di antara kita harus mati" "Tetapi itu tidak berperike manusiaan" "Ia juga tidak berperike manusiaan, karena ia sudah menoda i isteriku dan sekaligus me mbunuh anakku" "Tetapi, ia sudah Pangeran ka lahkan" "Aku harus me mbunuhnya seperti ia me mbunuh anakku. Noda yang me lekat pada ke luargaku harus ditebus dengari nyawa" "Tida k Pangeran. Itu tidak baik" "Minggir, atau kau Pangeran Ranakusuma. akan menggantikannya" bentak
Tetapi tiba-tiba seorang perwira kumpeni yang lain menggera m "Itu perbuatan gila. Kau benar-benar bangsa yang biadab"
Kemarahan Pangeran Ranakusuma menjadi semakin menyala di dadanya. Karena itu, maka iapun segera me loncat menghadapi perwira kumpeni yang telah mengumpatinya itu. Tetapi langkah Pangeran Ranakusuma tertegun. Ia melihat kumpeni itu me mbawa senjata api pendek di tangannya dan teracung kepadanya. Karena itu maka iapun ke mudian menggera m "Licik. Marilah kita berperang tanding dengan senjata tajam" "Kau gila. Kau me mang harus dibunuh Pangeran. Kau me lukai seorang perwira kumpeni sehingga parah" "Persetan. Ia harus dibunuh" "Kau yang harus dibunuh" bentak kumpeni itu. "Tida k" perwira kumpeni yang tertua itulah yang ke mudian mencoba mencegahnya. Tetapi yang berdiri di tepian itu adalah prajurit-prajurit. Prajurit dari kerajaan Be landa yang terbiasa hidup di medan perang, di darat dan di lautan. Itulah sebabnya, maka darah merekapun cepat mendidih me lihat akibat dari perang tanding itu. Namun de mikian, Pangeran-Pangeran yang ada di tepian itupun prajurit-prajurit pula. Mereka me mpertaruhkan nyawanya bagi nama ba ik dan kehormatannya secara pribadi. Karena itu, ketika perwira yang me megang senjata api pendek itu melangkah setapak de mi setapak mendekati Pangeran Ranakusuma, maka ha mpir tidak dapat diketahui, apa yang telah terjadi, namun tiba-tiba seorang Pangeran yang masih jauh lebih muda dari Pangeran Ranakusuma telah menyekap Perwira kumpeni itu dari belakang, dan ujung kerisnya telah mele kat la mbung. "Jika kau berkeras kepala, aku akan mengingkari se mua kerja sama yang pernah kita lakukan. Aku akan membunuhmu dengan kerisku" geram Pangeran itu.
Perwira itu tertegun. Tetapi ia tidak se mpat berbuat sesuatu karena keris Pangeran itu benar-benar telah terasa di la mbungnya. Dala m pada itu, perwira kumpeni yang tertua itupun berteriak "Aku me mberikan perintah. Hentikan se muanya" Perwira-perwira kumpeni yang lain, yang telah bersiappun menjadi ragu-ragu. Dan perwira tertua itu berkata "Kita tidak boleh mengorbankan hubungan baik sela ma ini karena persoalan pribadi. Persoalan negara adalah jauh lebih penting dari persoalan pribadi" Mereka yang berdiri di pinggir bengawan itu menjadi termangu-mangu. Na mun ke mudian seorang perwira berkata "Tetapi lukanya parah sekali" "Bawalah kepada tabib supaya lukanya segera diobati" perintah perwira itu. Kumpeni itupun ke mudian mengangkat Dungkur ke dala m sebuah kereta. Namun terasa, ketegangan yang semakin me muncak. Dan sebelum kereta itu berderap Pangeran Ranakusuma me nggeram "Jika ia se mbuh, aku tantang ia berkelahi sa mpai mati. Aku tidak puas dengan kelicikan kalian, orang-orang yang menyebut dirinya kesatria dari Barat" "Cukup" bentak seorang perwira kumpeni yang lain. "Licik" teriak seorang Pangeran "Kalian me mang licik. Perang tanding sampai mati, berarti yang kalah harus menandai diri dengan ke matian. Dan perwira kumpeni adalah licik sekali. Ke matian baginya lebih berharga dari kehormatan" "Dia m" bentak perwira kumpeni itu. "Cukup" teriak perwira kumpeni yang paling tua di antara mereka "Persoalan ini harus kita anggap sudah selesai. Marilah kita ke mba li dan me lupakannya" Tetapi Pangeran Ranakusuma tida k beranjak dari tempatnya. Ketika ia melihat kereta yang membawa Dungkur
meninggalkan tepian itu ia menggera m "A kan datang saatnya aku me mbunuhnya" "Kita akan me lupakan semuanya" berkata perwira kumpeni yang tertua "Kita sekarang akan ke mba li dan tida k seorangpun di antara kita yang akan menceriterakan peristiwa ini kepada siapapun juga" Pangeran Ranakusuma tidak menjawab. Tetapi dendam masih ta mpak menyala di dadanya. Noda pada isterinya adalah noda terhadap kehormatannya. Dan kematian anaknya adalah hentakkan yang sangat berat pula baginya. Ketika kereta yang membawa Dungkur dan kemudian perwira-perwira kumpeni yang lain itu meninggalkan tepi Bengawan, maka Pangeran Ranakusuma pun ke mudian menarik nafas dalam-dala m. "Tetapi hukuman itu sudah cukup baginya kamas" berkata salah seorang Pangeran yang mendekatinya, "Belum" sahut Pangeran Ranakusuma "hanya ke matian yang dapat menebus se mua peristiwa yang pernah dilakukan" Pangeran yang kemudian berdiri di sisinya itu tidak menjawab lagi. Ia sudah mengenal tabiat Pangeran Ranakusuma. Jika ia sudah bersikap de mikian, maka tidak akan ada orang lain yang dapat me lunakkannya kecuali dari dirinya sendiri. Dala m pada itu, sebelum para Pangeran itu meningga lkan tepian, maka dua orang yang melihat semua peristiwa itu dari balik gerumbul-gerumbul liar, dengan hati-hati meninggalkan tempatnya. Mereka tidak berani berjalan dengan cepat, karena desir kakinya akan didengar oleh para Pangeran yang ada di tepian. Kedua orang itu adalah Juwiring dan Dipanala. Mereka berdua melihat apa yang terjadi di tepian itu, meskipun kadang-kadang tidak begitu jelas. Namun mereka dapat menangkap kesan keseluruhan dari peristiwa itu.
Bukan saja kesan tentang peristiwa itu, tetapi bagi Juwiring persoalannya menjadi se ma kin jelas. Ia mengerti apa yang telah terjadi atas Raden Ayu Galihwarit. Dan anak muda itu dapat me mbayangkan, betapa pahitnya perasaan ayahandanya menghadapi peristiwa yang hita m itu. Ketika keduanya sudah berada agak jauh dari tepian dan tidak lagi dapat dilihat oleh para Pangeran, maka keduanyapun kemudian menyusup ke dala m gerumbul menga mbil kuda mereka yang me mang ditambatkannya agak jauh. Tetapi ketika mere ka berdua sudah berada di punggung kuda, mereka terkejut bukan buatan ketika mereka mendengar seseorang bertanya "Kau menyaksikan peristiwa itu?" Keduanya serentak berpaling. Dilihatnya seorang anak muda yang bertolak pinggang di belakang mereka. "O" Juwiringpun segera meloncat turun, diikuti oleh Ki Dipanala. "Kalian tida k usah turun" cegahnya. Tetapi Juwiring dan Ki Dipanala sudah berdiri di atas tanah. "Ka mas juga menyaksikan?" bertanya Juwiring. "Ya. Aku melihat dari awal sampa i akhir. Dan bukankah kau dapat melihat, bahwa sebenarnya pamanda Ranakusuma adalah seorang Senapati yang mumpuni" Bukan saja di dala m olah kanuragan secara pribadi di dala m perang tanding, tetapi ia adalah seorang Senapati yang sempurna di peperangan" "Ya ka mas" "Orang asing itu kini melihat, bahwa Surakarta bukannya sebuah Kerajaan yang diperintah oleh anak-anak cengeng. Tetapi bahwa ayahandamu telah dapat melepaskan dendamnya. Meskipun orang asing itu tidak terbunuh seketika,
tetapi aku yakin, ia akan mati, karena pedang ayahandamu adalah pedang yang sesungguhnya. Bukan sekedar pedang ma inan seperti milik kumpeni itu. Karena itu, meskipun tidak disaksikan oleh pa manda Ranakusuma, namun orang asing itu tentu tidak akan pernah dilihatnya lagi berada di Surakarta. Namun agaknya pamanda Ranakusuma tidak puas jika ia tidak me lihat kumpeni itu mati di hadapannya" Juwiring me ngangguk. Katanya "Tetapi di da la m sikapnya mengenai negeri ini, aku masih meragukannya. Apakah ayahanda dan para Pangeran itu akan berubah" "Itu masih diperlukan wa ktu. Tetapi mudah-mudahan" Raden Juwiring t idak menyahut lagi. Dan ana k muda itupun ke mudian berkata "Sudahlah. Bukankah kau a kan mendahului pamanda Ranakusuma pulang ke istana Ranakusuman?" Juwiring tersenyum menjawab "Ya ka mas" "Pergilah" "Apakah ka mas akan tinggal di sini?" "Aku berada di segala te mpat" Raden Juwiringpun ke mudian meninggalkan tempat itu. Kudanya berpacu cepat sekali diikuti oleh Ki Dipanala. Mereka me mang ingin mendahului ayahandanya yang agaknya masih berbincang beberapa la manya di tepian dengan para Pangeran. Tetapi Pangeran Ranakusumapun tidak terlalu la ma berada di antara mereka. Agaknya para Pangeran itu berusaha untuk dan
menenangkannya. Namun Pangeran Ranakusuma masih tetap pada pendiriannya. "Ka mas" berkata seorang Pangeran yang masih lebih muda daripadanya, yang ketika terjadi perang tanding, telah menyekap seorang perwira yang akan mempergunakan senjata api "Memang ka mi dapat mengerti, betapa dendam telah me mbakar hati kamas. Tetapi kamas juga sudah mendapat kese mpatan" "Aku harus yakin, bahwa orang itu dapat aku bunuh. Jika oleh tabib yang menurut beritanya sangat pandai dan dapat menye mbuhkan berbagai maca m penyakit itu, dapat diobatinya, maka a ku a kan mengulangi perang tanding ini" Para Pangeran itupun terdiam. Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang berbicara lagi. Pangeran Ranakusumapun ke mudian segera naik ke dala m keretanya dan sejenak kemudian kereta itupun telah berderap menyusur jalan kota yang remang-remang. Beberapa buah pelita minyak terpancang di pinggir ja lan berkeredipan disentuh angin. Ketika Pangeran Ranakusuma sa mpai di istananya, jauh ma la m, Juwiring sudah berada di dala m biliknya. Ketika ia berdiri dan melangkah keluar, ayahandanya lewat dan berkata "Beristirahatlah. Kenapa kau belum tidur?" Tetapi ayahandanya sama sekali tidak berhenti. Pangeran Ranakusuma itu langsung masuk ke dala m biliknya. Ia tidak ingin dilihat oleh Juwiring, bahwa pakaiannya kusut dan kotor, bahkan sepercik noda darah telah mengotori bajunya. Dala m pada itu, kereta yang me mbawa Dungkurpun telah langsung mendapatkan tabib yang me mang di tempatkan di Surakarta bagi para kumpeni yang ada di kota itu. Tetapi ternyata bahwa lukanya yang parah tidak me mungkinkannya lagi untuk bertahan. Ketika ia me masuki pintu bilik tabib itu
dengan dipapah oleh kawan-kawannya, maka perwira kumpeni itu menghe mbuskan nafasnya yang terakhir. "Mati" desis kawannya. Dungkur itupun ke mudian dibaringkan di atas sebuah pembaringan. Lukanya yang parah itulah yang telah mencabut nyawanya. "Ke matian ini harus ditebus oleh orang-orang pribumi yang liar itu" gera m seorang perwira yang masih muda. Tetapi perwira yang paling tua di antara mereka mengge lengkan kepalanya. Katanya "Kita adalah kesatria dari benua Eropa yang lebih beradab. Kita akan menghargai kejantanan. di dalam perang tanding ini, semuanya harus kita anggap sudah selesai. Bagi kita, Surakarta adalah suatu negeri, yang sangat penting. Pada saat terakhir, kita sudah berangsur-angsur dapat menguasai lebih banyak lagi jalurjalur perdagangan dan bahkan pemerintahan. Jangan kalian merusak usaha yang kita buka dengan susah payah. Surakarta agak berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Surakarta me miliki kekuatan dan lebih dari itu me miliki kesadaran kebangsaan yang tinggi. Karena itulah kita harus berhati-hati" "Tetapi apakah kita harus me mbiarkan penghinaan ini?" "Itu adalah kesalahannya sendiri" berkata perwira yang tua itu "Jika ia tidak terlibat di da la m persoalan yang menyangkut kehormatan seorang kesatria di Surakarta, maka ia tidak akan sampai pada akhir hidupnya yang pedih. Tetapi perkelahian yang terjadi adalah adil. Kematiannya merupakan peringatan bagi kita se mua, bahwa kita me mang harus berhati-hati mengisi kesepian" Perwira yang lebih muda itu terdia m. Tetapi tampaknya ia masih saja dibakar oleh denda m, seperti denda m yang menyala di hati Pangeran Ranakusuma sendiri.
Namun dala m pada itu, kumpeni tidak dapat lagi menye mbunyikan ke matian perwiranya itu. Meskipun demikian masih ada saja dalih yang dapat mengurangi hangatnya persoalan. Kumpeni berhasil menyebar berita, bahwa perwiranya, yang mati itu karena diserang oleh penyakitnya yang sebenarnya sudah-lama ditanggungkannya. Namun karena tugas-tugasnya, maka rasa sakit itu sama sekali tidak dihiraukannya. "Dungkur meninggal karena sakit perut yang parah" berkata orang-orang di pinggir jalan. "Ya, tiba-tiba saja semala m ia diserang oleh perasaan sakit, sehingga seakan-akan pernafasannya tersumbat. Akibatnya nyawanya tidak tertolong lagi meskipun mereka me mpunyai seorang tabib yang sangat pandai dan dapat mengobati segala maca m penyakit. Tetapi kepandaian seseorang me mang terbatas jika maut me mang telah menje mput" Kematian perwira kumpeni itu ternyata telah mengge mparkan se mua pihak. Meskipun pada umumnya rakyat Surakarta percaya bahwa kematian perwira kumpeni itu karena sakit perut, tetapi kalangan yang lebih tinggi masih harus berpikir beberapa kali untuk me mpercayainya. Terlebihlebih lagi para perwira tinggi kumpeni di Jakarta. Pemimpin tertinggi kumpeni di Kota Intan itu segera mengirimkan utusan untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang menimpa seorang perwiranya itu. Pimpinan Kumpeni di Surakarta dan Semarang tidak dapat ingkar atas apa yang sebenarnya terjadi. Namun mereka me mbatasi persoalan itu pada persoalan pribadi se mata. Namun ternyata pimpinan kumpeni telah mendapat peringatan keras dari atasan mereka. Persoalan pribadi dengan seorang bangsawan tertinggi di Surakarta sangat tidak menguntungkan, apalagi seorang Pangeran yang selama ini bersikap baik terhadap kumpeni.
Ternyata kemudian menurut penyelidikan, bukan saja Dungkur yang terlibat di da la m persoalan harga diri Pangeran Ranakusuma. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Pangeran Ranakusuma sudah menyiapkan tantangantantangan berikutnya bagi beberapa orang perwira kumpeni yang lain. Dengan tergesa-gesa pimpinan tertinggi di Surakarta dan Semarang, segera memerintahkan mereka yang terlibat itu untuk dipindahkan dari Surakarta. Dengan demikian, maka terjadi beberapa perubahan jabatan di antara mereka. Beberapa orang baru tampak mulai berkeliaran di kota. Namun ternyata bahwa orang-orang baru yang belum mengenal Surakarta dengan baik itu me mpunyai sikap yang lain. Mereka ternyata adalah prajurit! yang kasar dan me ment ingkan pedang dan senjata daripada sikap yang ramah dan ba ik, sehingga dengan de mikian, sikap kumpeni di Surakarta menjadi se makin gila. Dita mbah lagi dengan perwira-perwira muda yang merasa tersinggung kehormatannya karena kematian seorang kawannya oleh seorang pribumi di dala m perang tanding, seakan-akan kesatria dari negeri Atas Angin itu tida k dapat mengimbangi ke ma mpuan kesatria dari negeri yang liar ini. Akibatnya, terasa sekali dala m kehidupan rakyat di Surakarta. Rasa-rasanya kumpeni menjadi se ma kin buas dan kasar. Sikapnya kepada rakyat kecil se makin semena-mena. Namun karena itulah maka darah kesatria di Surakarta menjadi se makin me ndidih karenanya. Dengan de mikian ma ka udara di atas Surakarta rasarasanya memang menjadi se makin panas. Ketegangan yang tersaput oleh sikap yang pura-pura semakin la ma menjadi semakin nyata. Dan suasana itu telah dihayati oleh para pemimpin di Surakarta, terutama Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang menjadi sema kin berprihatin.
"Kapan aku dapat mula i" kadang-kadang anak muda itu tidak dapat menahan hatinya lagi. Tetapi bangsawan muda itu masih harus menyabarkan dirinya. Agaknya saatnya memang be lum datang, meskipun sudah dekat. Namun demikian, bangsawan muda itu tidak terlampau ketat me mbatasi anak buahnya, jika terpaksa sekali terlibat di da la m benturan yang me mang kadang-kadang terjadi dengan kumpeni. Memang terla mpau sulit baginya untuk menghentikan sa ma sekali perlawanan yang sudah lama dilakukannya. Namun dala m pada itu, selagi rakyat Surakarta bergejolak oleh tindakan-tinda kan yang kasar dan keras dari kumpeni, maka dengan akal yang licik, kumpeni berhasil menusukkan jarum perpecahan yang lebih parah di dala m pimpinan pemerintahan. Beberapa orang bangsawan, para bupati, dan bahkan ke mudian pepatih Susuhunan sendiri, mula i dijangkiti perasaan iri terhadap Pangeran Mangkubumi. Tanpa mereka sadari, racun yang dibiuskan di telinga mereka, berhasil me mbangunkan usaha, agar Susuhunan mencabut hak Pangeran Mangkubumi atas bumi kelenggahannya di Sukawati. Dengan de mikian, maka Sukawati akan dapat dibagikan kepada beberapa orang bangsawan yang lain. Tetapi di luar sadar mereka, yang paling berkepentingan adalah kumpeni sendiri. Jika Sukawati terlepas dari tangan Pangeran Mangkubumi, maka keadaannya pasti akan berubah. Menurut penyelidikan kumpeni, keadaan di Sukawati sebenarnya telah benar-benar parah. Rakyat Sukawati telah berhasil dibangunkan dari t idur mereka dan dari mimpi yang buruk sela ma ini. Dengan demikian, ma ka dikalangan istana Kangjeng Susuhunan mula i terdengar bisik-bisik di antara para bangsawan, bahwa Sukawati me mang harus ditarik. Adalah berlebih-lebihan bagi seorang Pangeran untuk menerima tanah kalenggahan seluas Sukawati.
If I Stay 3 Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang Siapa Ayahku 1
^