Pencarian

Bunga Di Batu Karang 20

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 20


ini. Dan yang kedua, apakah kalian sering melihat sesuatu yang menarik perhatian di daerah ini" "Maksud tuan?" beberapa orang gadis bertanya bersamasama "Apakah kalian pernah melihat perampok yang berkeliaran di sini" Atau mendengar beritanya bahwa di sini ada perampok-pera mpok. Atau laskar yang la in" Gadis-gadis itu saling berpandangan. "Ka mi me mang sedang mencari keterangan tentang perampok-pera mpok agar perjalanan ka mi tida k terganggu" "Tetapi" tiba-tiba salah seorang gadis bertanya "Bukankah perampok-pera mpok itu sudah ditangkap" "Tentu belum se mua" kawannya yang menyahut "Tetapi berita tentang perampok itu me mang bersimpang siur di sini" "Maksudmu?" bertanya salah seorang anak muda itu "Apakah di sini ada laskar yang bukan pera mpok?" "Tida k ada. Semuanya tidak ada. Tetapi ka mi mendengar bertanya, bahwa sebenarnya perampok-perampok yang pernah disebut sebagai laskar Raden Mas Sa id itu sebenarnya salah. Mereka adalah orang-orang yang sengaja dibuat oleh kumpeni untuk mengelabui rakyat, agar membenci pasukan Raden Mas Said" Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka me mang pernah me ndengar, bahwa sikap rakyat Jati Sari terhadap perampok-pera mpok itu me mang agak lain. Ternyata bahwa rakyat Jati Sari tidak mudah dike labui seperti rakyat di Padukuhan-padukuhan terpencil la innya. Dala m pada itu, dada Arum menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat mencegah kawan-kawannya mengatakan apa yang mereka ketahui.
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
"Jadi" berkata salah seorang dari kedua anak-anak muda itu "Kalian tidak percaya bahwa yang mera mpok itu laskar Raden Mas Said, dan menganggap bahwa mereka justru orang-orang yang sengaja dibuat oleh kumpeni?" "Ya" sahut seorang gadis kurus. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi keduanya lalu tersenyum sa mbil me ngayunkan ka lung merjannya. Katanya "Nah, siapakah yang senang me miliki kalung ini" Hampir berbareng gadis-gadis itu berteriak "Aku, aku" Anak-anak muda itu tertawa. Katanya "Baik, baik. Jangan berebut. Aku me mbawa banyak sekali kalung merjan. Kalung ini me mang tidak terlalu mahal. Tetapi sangat menarik. Kawan-kawanmu yang kebetulan tidak ada di sini tentu akan iri hati. Nah, hitunglah, ada berapa orang gadis di sini?" Gadis-gadis itupun saling me nghitung di antara mereka sendiri. Dan berebutan, mereka berteriak "Tujuh, tujuh "Tetapi yang lain berkata "delapan, delapan orang" "Salah" seorang anak muda itu berkata "Delapan. Benar, ada delapan orang. Nah, aku akan me mberikan delapan kalung merjan yang besar" Anak muda itupun ke mudian bangkit dan menga mbil kalung merjan. Sambil me langkah se makin dekat ia mengulurkan tangannya menyerahkan kalung itu. Gadis-gadis itupun ke mudian berebutan berdiri untuk menerima ka lung itu. Tetapi anak muda itu masih belum me mberikan. Katanya "Sebentar. Masih ada satu pertanyaan. Siapakah yang mula-mula mengatakan bahwa perampokperampok itu adalah kaki tangan kumpeni" Bukan anak buah Raden Mas Said?" Gadis-gadis itu terdia m. Sejenak mereka saling me mandang. Tetapi akhirnya mereka berdesis "Ka mi tidak tahu. Tetapi yang kami dengar adalah dari orang-orang tua
kami. Mereka kadang-kadang berbicara tentang perampokperampok itu jika mereka berada di sawah atau pategalan" Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu "Tetapi sebut salah seorang dari mereka yang berpendirian begitu. Aku ingin bertanya kepadanya karena aku akan mene mpuh perjalanan jauh, agar aku mengetahui persoalannya dengan pasti" Arum menjadi berdebar-debar. Tetapi seperti gadis-gadis yang lain ia ikut mengerumuni merjan itu agar tidak menimbulkan kesan yang la in. Namun de mikian, ia sedang berpikir, bagaimanakah sebaiknya menjawab pertanyaan itu, Arum menjadi sema kin cemas ketika ia me lihat seorang kawannya yang berparas bulat telur dengan mata yang bulat berkata meskipun dengan kepala tunduk "Barangkali a ku tahu" Arum tidak mau me mbiarkan kawannya itu menyebut nama seseorang. Sebab dengan demikian orang itu akan dapat menjadi rambatan untuk mene mukan sumber yang sebenarnya. Dan sumber itu adalah dirinya sendiri. Karena itu dengan serta-merta ia menyahut "Ya, aku juga tahu. Orang yang mula-mula mengatakannya adalah seorang yang bertubuh gemuk. Aku tahu benar karena aku me lihatnya" Kawan-kawannya kini berpaling kepada Arum. Kedua anak muda itupun me mperhatikan kata-katanya dengan saksa ma. "Orang bertubuh gemuk dan naik seekor kuda berwarna coklat. Ia datang bersama seorang yang bertubuh sedang dengan kuda be lang-belang. Merekalah yang mengatakan kepada orang-orang yang saat itu sedang berada di sawah, bahwa perampok-pera mpok itu bukan anak buah Raden Mas Said" "Jadi kau mendengar sendiri ceritera orang itu?" bertanya anak muda itu dengan wajah yang tegang.
"Aku mendengar sendiri" jawab Arum. Anak-anak muda itu mendekatinya. Lalu "Katakan, katakan, apa yang kau dengar dari mereka" Dan Arumpun mulai menyusun ceritera tentang dua orang berkuda yang pertama-tama mengatakan bahwa pera mpokperampok itu bukan anak buah Raden Mas Said. Arumpun mengatakan bahwa perampok-pera mpok yang terbunuh itupun hanyalah sekedar umpan untuk me mancing kepercayaan rakyat dengan mengorbankan jiwa orang-orang tamak itu. Lalu akhirnya "Tetapi orang itu menganca m agar kami t idak menyebutkan mere ka berdua. Bahkan keduanya berkata bahwa semua kaki tangan kumpeni akhirnya akan dibunuh oleh kumpeni sendiri untuk menghapuskan jejak" Kedua anak muda itu menjadi se makin tegang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Menilik sikap dan tatapan mata gadis-gadis Jati Sari, mereka telah berkata dengan jujur. Dan sudah, barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat menyusun ceritera itu sendiri. "Kenapa kau sekarang mengatakan tentang kedua orang itu?" bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu "Bukankah mereka telah menganca m bahwa kau tida k boleh menyebut mereka" "Mereka sekarang sudah pergi jauh sekali. Dan mereka tentu tidak tahu bahwa sekarang aku mengatakannya kepada tuan" Anak-anak muda itu tersenyum. Pikiran gadis desa me mang terlampau sederhana. Na mun jujur dan dapat dipercaya. Itulah sebabnya maka kedua anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata "Terima kasih. Nah, sekarang aku akan me mbagi kalung merjan ini"
Gadis-gadis itupun se makin berdesakan maju. Tetapi anak muda yang me megang kalung merjan itu masih belum me mberikannya. Dan bahkan ia masih bertanya "Tunggu sebentar. Aku masih ingin bertanya kepada Arum" Arum me njadi se ma kin berdebar-debar. "Arum. Kenapa ceritera orang gemuk itu tersebar di Jati Sari" Apakah kau mengatakan kepada kawan-kawanmu, bahwa apa yang dikatakan oleh orang ge muk itu benar?" Arum menjadi termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian jawabnya "Aku tidak mengatakan" "Jadi siapa saja di antara kau dan orang-orang yang ada di sawah waktu itu yang menyebarkan pendapat orang gemuk berkuda coklat itu?" Arum me nggelengkan kepalanya. Katanya "Aku tidak tahu" Anak muda itu tersenyum. Katanya "Sudahlah, jangan hiraukan lagi. Kau menjadi pucat Tetapi kau justru bertambah cantik" "Ah" Arum me njadi tersipu-sipu. "Nah, kau akan mendapat dua untai kalung merjan" berkata anak muda itu "dan kau mendapat kehormatan me milih lebih dahulu" Wajah Arum masih ke merah-merahan. Apalagi ketika tangan anak muda itu menyentuh dagunya sambil berkata "Pilihlah" Kawan-kawannya mendorong Arum se makin de kat. Dan Arum tidak melawan. Dengan ragu-ragu ia memilih dua untai kalung yang berwarna kebiru-biruan di antara warna kuning yang lembut. "Kau pandai me milih warna. Kau tida k me milih warna yang tajam. Kau me mpunyai kelainan dengan gadis-gadis yang lain"
berkata anak muda itu "caramu me milih warna sangat menarik" Sekali lagi Arum menundukkan kepalanya. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi berdebar-debar. Ternyata kedua orang itu me miliki ketajaman perasaan yang tidak disangkanya. Caranya memilih warna me mang tidak sejalan dengan sikapnya yang seperti gadis-gadis yang lain, bodoh, jujur, dan sederhana. Tetapi ia tidak menduga, bahwa orang-orang yang tidak dikena l itu me mperhatiknya sampai pada caranya me milih warna. Dan ternyata ketika anak muda itu me mberi kese mpatan kepada Warsi untuk me milih ka lung merjan itu, ia me milih kalung yang berwarna merah, kuning tajam diseling oleh warna ungu yang tua. Sedang kawan-kawannya yang lain me milih warna-warna yang menyolok dan silau. Setelah semuanya me miliki kalung itu, maka kedua anak muda itupun ke mudian berkata "Nah, semuanya sudah me miliki kalung yang bagus. Sekarang aku akan pergi. Aku akan meneruskan perja lanan meskipun aku masih belum mendapat keterangan yang jelas mengenai perampokperampok itu, sehingga aku masih ragu-ragu. Baiklah. Tetapi barangkali a ku boleh singgah di rumahmu pada kese mpatan lain Warsi, dimana rumahmu?" "Ah rumahku hanya sekedar gubug miring yamg jelek. Malu ah?" gadis itu menye mbunyikan wajahnya di punggung kawannya. Anak muda itu tersenyum. Lalu "Ka lau Arum. dimana rumahmu?" Sebelum Arum menjawab, kawan-kawannya telah mendahului "Itu, di padepokan itu. Rumahnya besar, halamannya luas" "Ah" Arumpun menunduk da la m-dala m.
"O" anak muda itu mengangguk-anggukkan kepa lanya, lalu "Baiklah. Jika kau tidak berkeberatan, aku akan singgah. Jika aku kela k lewat di daerah ini lagi, aku akan me mbawa kalung merjan yang berwarna lunak seperti kesenanganmu Arum" Arum tidak menjawab. Ha mpir saja ia me mukul tangan anak mudai itu ketika tangan anak muda itu sekali lagi menyentuhnya. Untunglah bahwa ia menyadari keadaannya pada waktu itu sehingga ia hanya dapat melangkah surut, dan bersembunyi di antara kawan-kawannya. "Sudahlah, ka mi akan mohon diri. Terima kasih atas sikap kalian yang ra mah. Kalian adalah gadis-gadis yang cantik. Gadis-gadis desa adalah gadis-gadis yang cantik, justru karena kalian bekerja setiap hari" Ketika gadis-gadis itu menjadi tersipu-sipu, maka kedua anak muda yang ta mpan itupun me langkah meninggalkan mereka. Sekali mereka masih berpaling dan mela mbaikan tangannya. Gadis-gadis itupun berebutan membalas la mbaian tangan itu dengan me la mbaikan kalung-ka lung mere ka yang berwarna cerah. Ternyata kalung itu sangat menyenangkan hati gadis-gadis itu, selain Arum. Ia menjadi gelisah dan ce mas. Firasatnya mengatakan bahwa kedua anak-anak muda itu tidak me lepaskan perhatian mereka kepadanya. Bukan sebagai seorang gadis yang menurut mereka adalah gadis yang cantik. Tetapi kelengahannya me milih warna dan barangkah dengan demikian kedua anak muda itu menghubungkan hal itu dengan sikapnya yang la in, telah me mbuatnya gelisah. "Marilah kita pulang" gadis-gadis itupun saling mengajak. Mereka ingin segera menunjukkan ka lung masing-masing kepada orang tua mereka dan kepada kawan-kawannya yang kebetulan tidak bersa ma mereka. "Marilah, marilah" Mereka saling menyahut.
"Sebentar lagi aku a kan menyusul ka lian" berkata Arum "Aku masih akan me metik terung" "Marilah aku bantu" "Terima kasih. Silahkan berjalan dahulu" Gadis-gadis itupun ke mudian meningga lkan Arum yang pergi ke pategalannya untuk menga mbil beberapa buah terung. Namun sebenarnya Arum ingin me misahkan diri dari kawan-kawannya. Ia ingin me ndapat kesempatan merenungi apa yang baru saja terjadi. Sambil me metik terung, Arum mencoba menilai lagi sikapnya, kata-katanya dan pilihannya. "He m" Arum menarik nafas dalam-dalam "mudah-mudahan tidak menumbuhkan persoalan bagiku dan apalagi bagi padepokan Jati Aking" Ketika Arum ke mudian meninggalkan pategalannya, langkahnya tertegun ketika ia me lihat dua orang lain lagi berjalan dengan tergesa-gesa. Ketika keduanya me lihatnya maka merekapun berhenti pula. Tetapi kali ini orang itu sangat menarik perhatian Arum. Bahkan ke mudian dengan tergesa-gesa ia mendekatinya sambil berdesis "Pa man"
Orang itu adalah seorang yang bertubuh raksasa. Sambil tersenyum ia berkata "Bukankah kau Arum, saudara seperguruan Raden Juwiring" "Ya pa man. Darimana pa man, atau akan kemana?" jawab Arum yang sudah mengetahui serba sedikit tentang perkembangan watak orang bertubuh raksasa itu. Orang itu me mandang kawannya sejenak, lalu katanya "Ada sedikit kepentingan. Tetapi aku tidak akan mengganggumu, kecuali jika kau mengerti" "Maksud pa man?" "Arum" berkata orang itu "Aku telah berte mu dengan Buntal" "He, dimana pa man Sura berte mu dengan Buntal?" Sura tersenyum sejenak, pertemuannya dengan Buntal. la lu diceriterakannya
"O, pada saat kakang Buntal berangkat ke Sukawati?" bertanya Arum, namun kemudian "Tetapi apakah paman sekarang berada di da la m laskar Raden Mas Said" "Ya. Aku tidak usah bersembunyi, karena aku tahu sikapmu dan sikap ayahmu. Aku sedang dalam perjalanan mengikuti dua orang anak muda yang aku kira pergi ke padukuhan ini. Menurut keterangan, mereka harus mendapatkan keterangan tentang sikap orang-orang Jati Sari yang aneh, yang menentang pendapat umum, bahwa ka mi, laskar Raden Mas Said adalah perampok-pera mpok" "Tetapi apakah me mang de mikian?" "Tentu tidak Arum. Me mang mungkin ada satu dua orang yang menodai perjuangannya dengan ketamakan. Tetapi sikap kalian sudah benar. Aku sudah mendengar sikap orang-orang Jati Sari. Perampok-pera mpok itu me mang dibuat oleh kumpeni, meskipun ada di antara mereka yang diupah untuk
dibunuh. Dan upah itu tidak akan pernah mereka terima" Sura terdiam sejenak, lalu "Apakah kau melihat dua orang yang tidak ka lian kenal lewat di padukuhan ini?" "Paman, kadang-kadang di daerah ini me mang lewat orang-orang yang mencurigakan. Tetapi baru saja ada dua orang anak muda yang lewat me mbawa kalung-kalung merjan ini. Mereka me mang bertanya tentang sikap ka mi" "Nah itulah yang aku ikuti. Tetapi aku kehilangan jejaknya di bulak sebe lah. Dimana mereka sekarang?" Arum menjadi ragu-ragu. Sejenak dipandanginya wajah Sura, kemudian wajah kawannya yang tampaknya selalu bercuriga. "Paman" berkata Arum "Mereka menga ku sebagai pedagang. Mereka me mang ingin mendapat keterangan tentang perampok-pera mpok itu, yang katanya agar mereka tidak mene mui kesulitan di perjalanan" Sura mengangguk-angguk mereka lah yang ka mi ikut i" sa mbil tersenyum "Ya,
Wajah Arum menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya ia berdesis "Apakah ma ksud pa man?" Sura mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tertawa sambil berkata "Jangan takut Arum. Aku tidak akan mera mpoknya" "O, tidak, tidak. Bukan maksudku pa man" Arum me njadi tergagap. Tetapi Sura justru tertawa. "Tida k apa-apa. Memang di masa seperti ini, setiap orang pantas dicurigai. Tetapi aku minta kau percaya kepadaku. Jika kau bertemu dengan Buntal, bertanyalah tentang aku" "Ya, ya paman. Aku percaya" Arum menarik nafas, lalu "kedua orang itu lewat jalan ini" "Apa saja, yang dilakukan menurut pengetahuanmu?"
Arum me njadi ragu-ragu. Tetapi iapun ke mudian menceriterakan apa yang dilihat dan didengar dari kedua anak-anak muda yang tampan dan mengaku pedagang itu. Dikatakannya pula niat keduanya untuk singgah, karena ia sudah menyebut orang gemuk berkuda coklat sebagai sumber berita tentang perampok-pera mpok yang sebenarnya adalah kaki tangan kumpeni Sura mengangguk-angguk pula. Katanya "Kau sudah me lakukan sesuatu yang berbahaya bagimu Arum. Tetapi siapakah sebenarnya sumber berita itu jika kau mengetahuinya" Arum masih tetap ragu-ragu. Dan akhirnya ia mengge lengkan kepalanya sambil menjawab "Aku tidak tahu paman" "Baiklah. Aku akan mencoba mengikutinya. Mungkin aku terpaksa menghentikan mereka dan me mbawanya ke mbali ke kota. Atau, menghadap Raden Mas Said atau orang-orang kepercayaannya" Arum mengangguk kecil. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh Sura. Tetapi ia tida k menjawab. "Sudahlah Arum. Berhati-hatilah. Jaga dirimu baik-baik Kau adalah anak Kiai Jati Aking, maksudku Kiai Danatirta dari Jati Aking. Kau tentu me miliki kelainan dari gadis-gadis sebayamu, kau akui atau tidak kau akui. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atasmu" Arum menundukkan kepa la sambil menyahut "Aku tidak lebih dari seorang gadis padesan pa man" "Ah, semua orang dari padepokan Jati Aking sangat berendah hati. Raden Juwiring adalah sebuah ga mbaran yang paling baik bagi anak-anak muda bangsawan. Buntal dan tentu juga kau"
Wajah Arum masih tetap menunduk. Tida k dibuat-buat seperti ketika dua orang anak-anak muda yang me mbawa merjan itu me muji kecantikannya. "Pulang sajalah Arum. Dan ceriterakan semuanya kepada ayahmu. Semua yang kau dengar dan kau lihat. Ayahmu akan dapat menga mbil kesimpulan" Arum me nganggukkan kepalanya. Sura dan kawannyapun ke mudian minta diri untuk me lanjutkan perjalanannya. Mereka berdua masih mengharap untuk dapat mene mukan kedua anak muda yang telah me mbagikan merjan kepada gadis-gadis Jati Sari Sepeninggal Sura, maka Arumpun bergegas pulang sa mbil menjinjing bakul yang berisi beberapa buah terung. Di sepanjang jalan, angan-angannya selalu dibayangi oleh kedua anak-anak muda yang me mang mencurigakan itu. Ketika ia sa mpai padukuhan Jati Sari, ia me lihat kawankawannya yang mendahuluinya, ternyata berdiri di depan gardu dikerumuni oleh kawan-kawannya yang lain. Mereka saling berebutan me lihat kalung merjan yang berwarna cerah dan yang jarang dijumpai di padukuhan itu. Arum yang mendekati mereka yang berada di depan gardu itupun ke mudian dikerumuni pula oleh kawan-kawannya. Mereka pun ingin melihat kalung yang dimiliki Arum. Bahkan dua untai. "Ia me milih lebih dahulu daripada kami" berkata salah seorang temannya. "Ia mendapat dua untai. Kami masing-masing satu" sahut yang lain. "O, agaknya anak muda itu jatuh cinta kepadamu Arum" gurau seorang kawannya yang tidak mendapat kalung. Wajah Arum menjadi merah.
"Ya. Anak muda yang kaya itu jatuh cinta kepadamu. Beruntunglah kau Arum. Ia tentu akan datang kembali dan me mbawa kalung lebih banyak lagi" "Ah" Arum tidak menjawab. Jika ia menjawab sepatah saja maka kawan-kawannya akan mengganggunya semakin taja m. Karena itu ma ka Arum rianya dapat menundukkan kepa lanya. Tetapi agaknya kawan-kawannya tidak begitu tertarik pada kalung Arum yang berwarna lunak itu. Mereka lebih senang merjan yang berwarna tajam, sehingga seorang kawannya berkata "He. Arum, kenapa kau memilih warna yang suram ini?" Sejenak Arum termangu-mangu. Na mun ke mudian katanya "Aku menjadi ge metar sehingga aku tidak dapat me milih. Aku menga mbil saja di antara untaian ka lung di tangannya" Kawan-kawannya tertawa riuh Dan salah seorang berkata "Ya, sekali-seka li anak muda itu menganutnya" Dan Warsi berteriak "Di dagunya" Meledaklah suara tertawa di sudut desa itu, sehingga beberapa orang laki-laki yang berada di sawah dipinggir desa itu berpaling sejenak. Dilihatnya gadis-gadis padesan sedang bergurau dengan riuhnya, sehingga mereka hanya dapat menarik nafas saja. Seorang tua yang lewat di dekat merekapun berhenti sejenak dan bertanya "Apa yang menarik?" "O, kakek" sahut Warsi "ka lung merjan yang bagus" Kakek itu berhenti sejenak, lalu "Darima na kau dapatkan kalung ini?" "Dari dua orang pedagang yang lewat" "He, kau sudah kenal?" "Belum"
"Bagaimana mungkin ia me mberi kalung merjan?" "Ka mi tidak minta. Merekalah yang memberikan kepada kami" Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya "Anak-anak gadis sekarang tidak lagi mengenal diri. Seharusnya kalian menolak me nerima pe mberian dari laki-la ki yang belum kalian kenal. Kalian belum tahu pasti ma ksud dari laki-laki itu, siapapun mereka" "Keduanya orang baik, kek?" "Siapa tahu di dalam untaian kalung itu terdapat gunaguna. Kalian tentu akan tergila-gila kepada laki-laki itu, dan kalian akan diseret ke dalam cengkera mannya. Pada saatnya kalian akan dile mparkan setelah kalian tidak berharga lagi baginya" Gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Namun salah seorang menjawab "Tidak kek. Guna-guna itu tidak akan berpengaruh jika kalung ini sudah a ku langkahi" Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat gadis itu meletakkan ka lungnya di tanah dan ke mudian kalung itu dilompatinya tiga kali. Kawan-kawannyapun menirukannya kecua li Arum. "He, kau tidak Arum. Apakah benar-benar kau telah kena guna-guna itu" Arum mengge leng, jawabnya "Tidak. Aku sudah me lakukannya lebih dahulu dari kalian. Ketika ka lian mendahului aku, aku sebenarnya ingin melakukan hal itu, tetapi aku malu terhadap kalian. Karena itu, aku berpura-pura menga mbil buah terung." "O, jadi kau sudah mendahului ka mi?" Arum me nganggukkan kepalanya.
Kakek tua itu masih saja mengge leng-gelengkan kepa lanya. Dan sekali lagi ia berguma m sa mbil me langkah pergi "Gadisgadis sekarang tidak lagi me mbatasi dirinya. Siapa tahu kalian akan kehilangan kesadaran. Jika laki-laki itu lewat sekali lagi kalian akan kepelet dan mengikutinya tanpa sadar" Gadis-gadis itu me mbiarkan laki-laki tua itu pergi. Ketika laki-laki tua itu telah hilang dikelokan, merekapun tertawa berkepanjangan. Seorang gadis yang berwajah panjang tertawa paling keras sambil berkata "Jika kalung-kalung itu mengandung gunaguna, maka Arumlah yang perta ma-tama a kan mencari la kilaki itu, karena ia mendapat dua untai ka lung sekaligus" Dan yang lain menyahut "Ya. Tentu Arum yang akan mencarinya lebih dahulu" "Ah" Arum tersenyum. Tetapi di dala m hati ia berkata "Aku me mang ingin mencarinya. Tetapi seperti paman Sura, aku ingin menangkap mereka dan menyerahkan kepada Raden Mas Said. Tidak untuk kepentingan yang lain" "Arum" Anak yang berwajah panjang yang be lum me ndapat kalung merjan itu masih berkata "Marilah kita me mbagi nasib. Berikan kalung yang seuntai kepadaku. Biarlah aku saja yang kelak mencarinya, bukan kau" Suara tertawa gadis-gadis itu bagaikan me ledak. Arumpun tertawa pula sehingga air matanya mengambang di pelupuknya. "Cepat, sebelum kau benar-benar dicengka m oleh gunaguna itu" "Katakan saja, kau ingin me mpunyai ka lung merjan" berkata Arum ke mudian. Dan gadis berwajah panjang itu menyahut "Ba iklah. Agaknya me mang begitu. Aku ingin me miliki kalung merjan" "Pantas, kau me mang pandai me mbujuk" teriak yang lain.
"Sst, jangan iri. Siapa tahu, Arum berbaik hati" "Baiklah" berkata Arum. Dan sebe lum Arum me lanjutkan gadis itu sudah me loncat sa mbil berkata "Nah, jangan iri" "Tunggu" berkata Arum "Aku belum se lesai. Aku ingin mengatakan, bahwa aku a kan mencoba minta beberapa lagi untuk ka lian jika aku bertemu" Sekali lagi gadis-gadis itu bersorak. Kali ini mereka mengejek kawannya yang berwajah panjang. "Sayang, sayang manis" seorang gadis gemuk mendekati sambil me mbelai ra mbutnya. "Aku akan menangis saja" berkata gadis berwajah panjang itu "Silahkan" seorang kawannya tiba-tiba menyahut "Kami me mang sudah la ma tidak melihat kau menangis" "Tida k jadi" Arumpun tertawa. Tetapi sebenarnyalah ia melihat kekecewaan di wajah kawannya. Bukan sekedar bergurau. Karena itu, maka iapun mendekatinya sambil berkata "Jangan merajuk. Aku akan me mberikan kepada mu yang seuntai. Benar-benar akan aku berikan" Gadis itu menjadi bingung sejenak. Tetapi ketika Arum benar-benar menyerahkan seuntai kepadanya, tiba-tiba saja ia me loncat sa mbil me me luk Arum. "Terima kasih. Kau me mang gadis yang paling cantik di Jati Sari. Kau me mang pantas diguna-guna i oleh laki-laki lewat itu" "Hus, aku t idak jadi me mberimu" "O, tidak, tidak. Akulah yang cantik, dan akulah yang pantas diguna-gunai oleh laki-laki" Gadis-gadis itu masih saja bergurau. Bahkan di sepanjang jalan pulang ke rumah masing-masingpun, mereka masih saja
berkelakar, sehingga orang-orang yang tinggal di sebelahmenyebelah jalan menjengukkan kepala mereka lewat pintu depan yang terbuka. "Ah, anak-anak itu" desisnya. Ketika gadis-gadis itu sa mpai ke rumah masing-masing, maka merekapun segera menceriterakan tentang laki-la ki yang tidak mereka kenal, dan me mberikan ka lung kepada mereka. Beberapa orang tua me mang menjadi ce mas. Tetapi gadisgadis itu berkata "Mereka tida k akan berbuat apa-apa ayah. Mereka hanya sekedar lewat. Dan mereka telah ka mi beritahu tentang perampok-perampok sehingga mereka akan dapat menyesuaikan diri mereka sela ma perjalanan" Orang-orang tua merekapun hanya menganggukanggukkan kepalanya saja, karena mereka tidak begitu mengerti tentang perampok-pera mpok yang sedang menjadi bahan pembicaraan itu. Berbeda dengan mereka, meskipun Arumpun menceriterakan peristiwa itu kepada ayahnya, namun arah pe mbicaraannya agak lain. Arum sa ma sekali tidak tertarik kepada kalung itu sendiri, tetapi ia tertarik kepada sikap dan pembicaraan kedua laki-laki muda itu. Seperti Sura, maka Kia i Danatirtapun kemudian dapat menangkap apa yang menarik perhatian kedua anak-anak muda itu. Karena itu maka katanya "Arum, me mang ada ke mungkinan bahwa keduanya akan datang ke rumah ini" "Paman Sura juga mengatakan begitu" "Sura" ulang ayahnya "dimana kau berte mu pa manmu Sura?" Arumpun menceriterakan serba sedikit perte muannya dengan Sura, dan dikatakannya pula, bahwa ia telah menunjukkan kalungnya dan mengatakan tentang laki-la ki muda itu.
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya "Peristiwa ini bukan peristiwa yang akan berdiri sendiri. Jika Sura berhasil mene mukan kedua orang itu, akan dapat terjadi persoalanpersoalan yang menyangkut kita semuanya" Arum dapat mengerti persoalan yang dikatakan oleh ayahnya itu, sehingga karena itu, maka iapun tidak akan dapat me lepaskan tanggung jawabnya, jika sesuatu terjadi atas Jati Sari. Namun, di Jati Sari, seakan-akan ia berdiri sendiri di dalam sikap dan perbuatan. Orang-orang lain tidak banyak menghiraukan persoalan yang dapat timbul di masa-masa yang dekat. Ada beberapa anak muda yang dapat dipercaya di dalam sikap. Tetapi mereka tidak me miliki bekal untuk berbuat banyak. Jika terjadi sesuatu, maka mereka justru harus menyingkir, agar tida k menjadi korban yang sia-s ia saja. "Seharusnya ayah tidak selalu menyelimuti dirinya dengan sikap yang pura-pura ini" berkata Arum "Seperti Kiai Sarpasrana, ayah dapat berbuat bagi anak-anak muda itu" Tetapi Arum tidak berani mengatakannya kepada ayahnya. Ia hanya sekedar mengatakan hal itu di da la m hati. Na mun ia berpengharapan bahwa dalam keadaan yang me maksa, ayahnya akan menga mbil sikap yang lain. Demikianlah, maka kedua orang yang membawa ka lung merjan itu tetap merupakan persoalan bagi Arum. Sehariharian ia tidak dapat tenang. Setiap kali dipandanginya kalung merjannya. Bahkan ketika ia ke luar dari padepokannya di sore hari, kalung itu tetap dibawanya. "He, ke mana Arum?" bertanya seorang kawannya. "O" Arum berhenti, lalu "ke sawah sebentar mengambil bakul. Aku tadi minta seorang pe mbantu me met ik lombok. Dan aku akan menga mbilnya sendiri ke sawah" "Ah, kau tidak dapat pisah dengan ka lungmu" Arum tersenyum. Tetapi ia tidak dapat menjawab.
Ketika langit menjadi sura m, padepokannya. Ia sejenak terhenti bertemu dengan beberapa orang maka ia sa mpai di padepokan bersembunyi di bawah ka ki langit. "Menga mbil lombok ini ayah"
Arum baru kemba li ke di simpang e mpat karena kawannya. Karena itulah ketika matahari sudah
"Darimana kau Arum" bertanya ayahnya. "Yang kau susul sudah datang lebih dahulu" "Aku berhenti di simpang e mpat sebentar ayah. Kawankawan ada di sana" Kiai Danatirta tidak bertanya lagi. Dibiarkannya anaknya mandi dan berganti paka ian. Namun Arum menjadi termangu-ma ngu di dala m biliknya. Ada sesuatu yang selalu mengganggu perasaannya. Kalung itu. Tetapi ia yakin bahwa hal itu bukan karena guna-guna. Tetapi justru karena kehadiran Sura dan pesan ayahnya. Sejenak ke mudian ma ka Arumpun makan ma la m bersama ayahnya. Kini tidak ada orang lain di antara mereka, karena Juwiring sa ma sekali tidak pernah mena mpa kkan diri lagi, dan Buntal telah berada jauh dari Jati Sari, di antara anak-anak muda yang dipersiapkan oleh Kia i Sarpasrana di sekitar daerah Sukawati. Tetapi mereka berdua terkejut ketika seorang pe mbantunya masuk ke ruang dala m sambil me mbungkuk "Kiai, ada dua orang tamu" "Siapa?" "Aku belum pernah melihatnya Kiai" "Masih muda" potong Arum. "Ya. Masih muda dan agaknya orang-orang kota"
Arum menjadi berdebar-debar, dan ayahnya berdesis "Apakah mereka datang?" Arum t idak segera menjawab. "Te muilah Arum. Kau buka saja anakku, tetapi kau adalah murid perguruan Jati Aking" Arum me mandang ayahnya sejenak. Dengan ragu-ragu iapun ke mudian bertanya "Maksud ayah?" "Arum. Kau tentu tahu, apa yang akan dilakukan. Tetapi kaupun tahu apa yang seharusnya kau lakukan. Tetapi ingat, kau harus berusaha agar kau tida k mengguncangkan ketenangan padepokan ini di saat-saat sekarang" Arum tidak segera menjawab. Dipandanginya ayahnya sejenak, kemudian orang yang datang me mberitahukan kehadiran ta mu-ta mu itu. "Persilahkan mereka duduk di pendapa" berkata Arum kepada pembantunya itu "Katakan bahwa ka mi sedang makan" "Baiklah" sahut pe mbantunya sa mbil me langkah surut. Ketika hal itu diberitahukan kepada ta mu itu, mereka menjadi agak ragu-ragu. Salah seorang dari mere ka berkata "Dima nakah mereka makan?" "Di ruang da la m" jawab pe mbantu itu. "Katakan, bahwa aku hanya sebentar" "Sudah aku katakan. Dan merekapun sudah ha mpir selesai makan" Kedua tamu itu saling berpandangan sejenak. Lalu yang seorang menjawab "Baiklah aku tunggu di hala man saja. Udara terlampau panas" Pembantu itu tidak dapat me maksa mereka. Dari kegelapan ia hanya dapat melihat kedua orang itupun ke mudian
me mencar. Yang seorang pergi ke regol halaman dan yang lain hilir mudik di sisi pendapa. "Mencurigakan seka li" desis pe mbantu Kiai Danatirta itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecua li masuk lagi ke lrang dalam dan me mberitahukannya kepada Kia i Danatirta dan Arum. "Biar sajalah" berkata Arum "awasi mereka dari kegelapan. Tetapi jangan kau ganggu mereka" Sepeninggal pe mbantunya Arum bertanya "Apa yang mereka lakukan itu ayah?" "Mereka agaknya ce mas bahwa kau akan me larikan diri. Mereka tentu me mpunyai pertimbangan-pertimbangan yang rumit seperti yang mereka ketahui tentang tugas mereka yang penuh dengan rahasia itu, maka mereka menganggap bahwa orang lainpun sela lu berprasangka terhadap mereka " Arum me ngangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ia masih bertanya "Apakah aku akan mene mui mereka sendiri?" Ayahnya menggelengkan kepalanya "Tidak Arum, akupun akan melihat tampang mereka itu" Arumpun ke mudian meningga lkan ruang dala m setelah ia me mbenahi mangkuk dan sisa-sisa ma kan mereka. di muka pintu Arum terhenti sejenak. Ayahnya me mandanginya dari kejauhan. Tetapi agaknya ia mengerti, apa yang diragukan oleh anaknya. Senjata. Karena itu ma ka Kiai Danatirtapun mengge lengkan kepalanya, sehingga Arum dapat menangkap pula maksudnya, bahwa ia harus me ne mui tamunya tanpa mencurigakannya. Perlahan-lahan Arum me mbuka pintu depan. Ditebarkannya tatapan matanya menyapu pendapa rumahnya, ke mudian keremangan mala m di hala man. Samar-samar ia melihat
bayangan yang hilir mudik di hala man, sedang yang lain berdiri di bagian da la m regol yang tertutup. "Silahkan" Arum me mpersilahkan ta mu-tamunya. "O. Terima kasih" sahut yang seorang. Arum segera mengenal. Suara itu me mang suara orangorang yang pernah memberinya merjan. Karena itu, maka rasa-rasanya jantungnya berdetak semakin cepat. Ketika keduanya mendekati pendapa, dan sinar la mpu minyak mulai meraba wajah-wajah mereka, Arumpun menjadi pasti bahwa keduanya itulah yang datang seperti yang pernah mereka katakan. "Aku benar-benar singgah ke rumahmu anak manis" berkata salah seorang dari mere ka sa mbil na ik ke pendapa. Arum tersenyum sambil menundukkan kepa lanya. Tetapi iapun ke mudian berdesis "Silahkan duduk" Keduanyapun duduk di atas tikar yang putih di tengahtengah pendapa di bawah lampu minyak yang menyala terang. Sambil tersenyum salah seorang dari mereka berkata "Ke marilah. Kenapa kau masih berada di situ?" "Aku akan mengatakannya kepada ayah, bahwa tuan-tuan datang kemari" "Tida k perlu. Aku datang mengunjungimu. Bukan ayahmu" "Tetapi sepantasnyalah bahwa ayah mene mui tuan-tuan" "Pantas atau tidak pantas, itu tidak penting. Tetapi aku tidak ingin mengganggu ayahmu yang barangkali baru beristirahat, atau bahkan sudah tidur" "Belum, ayah baru saja ma kan" "Sudahlah. Jangan ganggu ayahmu"
Tetapi sebelum Arum menjawab, pintu pringgitan itupun terbuka lagi dan ayahnya telah berdiri sambil me mbenahi ikat kepalanya. "Maaf tuan-tuan, agaknya aku terlambat menyambut tuantuan" "Ah, kami sebenarnya tidak ingin me ngganggu ketenangan Kiai. Barangka li bapak baru beristirahat atau bahkan sudah berbaring di pe mbaringan. Silahkan Kia i me lanjutkannya. Aku hanya me merlukan Arum saja. Aku pernah bertemu siang tadi di pategalan. Dan aku tertarik me lihat sikapnya yang agak lain dari kawan-kawannya" "Apakah yang lain?" bertanya ayahnya "Ia tidak ada bedanya dengan kawankawannya. Tetapi anakku me mang agak lebih dungu dari mereka. Sedikit ma las, dan banyak bergurau tanpa arti. Itulah yang tidak aku senangi" ayahnya berhenti sejenak. Lalu "Silahkan. Barangka li aku dapat mengawani kalian sejenak" "Tida k perlu. Tinggalkan ka mi bertiga" berkata salah seorang dari kedua tamu itu. "Ah" Kiai Danatirta tertawa "Tuan juga senang bergurau. Biarlah aku duduk bersa ma tuan" "Aku tidak bergurau Kia i. Biarlah a ku berbicara dengan Arum" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Lalu "Apakah tuan tidak bergurau?"
"Tida k. Ka mi t idak sedang bergurau. Ka mi ingin berbicara dengan anakmu. Dan ka mi tida k ingin mengganggumu" "Tuan" suara Kiai Danatirtapun merendah "Jika demikian, maka a ku se makin ingin duduk bersama tuan-tuan. Aku kira tidak pantas seorang gadis menerima ta mu laki-laki tanpa orang tuanya" Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun agaknya ayah Arum berkeras untuk ikut mene muinya, sehingga karena itu maka kedua anak muda itu tidak dapat menolaknya lagi. "Nah tuan, silahkan tuan berbicara dengan anakku. Aku tidak akan me ngganggu. Seperti yang aku katakan, bahwa aku ada di sini sekedar agar anakku tidak menjadi buah pembicaraan orang Jati Sari. Apalagi anakku adalah seorang gadis padepokan yang menurut tetangga-tetangga kami di Jati Sari, padepokan ini merupakan daerah kecil terpencil yang menjadi arena untuk me mpelajari olah kajiwan, meskipun sekedar ilmu kajiwan dari padepokan kecil yang tentu tidak akan banyak berarti" Keduanya me mandang orang itu dengan kerut-merut di kening. Dan salah seorang dari merekapun berkata "Baiklah. Duduk sajalah di situ. Tetapi jangan mengganggu pertanyaanpertanyaanku kepada Arum" Sejenak Kia i Danatirta terdia m. Na mun ke mudian ia mengangguk "Ba iklah tuan" "Sebenarnya tidak ada persoalan yang penting yang aku bawa" berkata salah seorang dari mere ka, lalu "Tetapi sebelum a ku bertanya yang lain, aku ingin menunjukkan sebuah kalung merjan yang paling bagus yang pernah aku punyai. Bukan saja warnanya yang cerah, tetapi untainyapun agak lain dengan yang pernah aku berikan kepada mu Arum" "Ah" Arum berdesah.
"Ternyata bahwa kau adalah gadis yang paling cantik dari padukuhan ini. Karena itu maka aku lebih senang datang ke rumahmu daripada ke rumah orang lain. Terlebih-lebih lagi karena kau melihat dua orang berkuda. Yang seorang bertubuh ge muk dan berkuda coklat" Dada Arum berdesir. Tentu ceriteranya itulah yang sangat menarik perhatian. Ceritera yang dikarangkannya dengan tibatiba saja untuk menghindari kecurigaan kedua orang itu. Namun akibatnya justru sebaliknya. Kedua orang itu benarbenar datang kepadanya. Agaknya mereka dengan sungguhsungguh menganggap ceriteranya itu sebenarnya telah terjadi. Karena Arum tidak segera menjawab maka orang itupun berkata "Jangan takut Arum. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sekedar ingin mendengar ceritera tentang orang-orang berkuda itu" "Bukankah aku sudah mengatakannya" sahut Arum. "O, kau me mang sudah mengatakannya. Tetapi barangkali kau mengetahui lebih banyak lagi?" "Tida k" "Baiklah. Jika demikian, selain kau siapa sajakah yang mendengar ceritera tentang perampok-pera mpok itu" Dan barangkali kau sudah mengenal mere ka, karena mereka tentu berasal dari padepokan ini pula" Arum termangu-mangu sejenak, namun ke mudian katanya "Aku sudah tidak ingat lagi, siapa saja yang waktu itu ada di sekitar tempat itu" Laki-laki muda itu tersenyum. Katanya "Kau dibayangi oleh ketakutan dan prasangka. Aku benar-benar sekedar mencari keterangan agar perjalananku selalu selamat. Jangan menduga yang bukan-bukan. Sebaiknya kau menceriterakannya kepadaku. Dengan demikian, jika kau me mang ketakutan, aku dapat bertanya kepada orang lain itu.
Bukan kepada mu. Jika aku datang kepada mu, se mata-mata aku hanya ingin me mberimu kalung merjan. Gelang dan perhiasan-perhiasan yang lain. Kau me mang sangat cantik" Kiai Danatirta yang ada di sisi Arum hanya menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia sama sekali tidak ikut di dala m pembicaraan itu. "Kenapa kau tidak mau menyebut salah seorang dari mereka Arum?" Arum menggeleng sa mbil berkata "Aku benar-benar tidak ingat lagi. Apakah yang ada di tempat itu waktu itu beberapa orang laki-laki atau beberapa orang pere mpuan" "Tetapi kau ingat bahwa kau tidak sendiri?" "Ya. Aku tidak sendiri. Tetapi aku tidak ingat lagi, dengan siapa aku berada di sawah waktu itu" "Itu mustahil seka li Arum. Kau tentu ingat seorang dari mereka" "Aku benar-benar tida k ingat" Anak muda itu menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Baiklah Arum, jika kau tidak ingat, aku tentu tidak akan dapat me ma ksa. Tetapi seperti yang aku katakan, aku me mpunyai seuntai kalung merjan yang jauh lebih bagus. Marilah, kita ambil sebentar kalung itu. Aku meninggalkannya di dala m kereta" "Kau me mbawa kereta?" "Ya. Aku me mbawa kereta" "Tadi siang kau tidak me mbawa kereta. Darimana kau mendapatkan kereta itu?" "Tadi siang aku juga me mbawa kereta. Tetapi aku tinggalkan di ujung bula k, karena aku sengaja ingin me masuki padukuhan kecil ini untuk mendapatkan keterangan.
Arum mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingatingat apakah Sura yang membayangi kedua orang itupun tidak me mbawa kendaraan apapun. Juga tidak me mbawa kuda. Tetapi me mang mungkin sekali mereka me mbawa kereta atau kuda yang dit inggalkannya di luar pedukuhan. "Marilah Arum. Kalung itu jauh lebih bagus dari ka lung yang aku bawa siang tadi. Hanya kepada gadis secantik kau saja yang aku akan me mberikan ka lung itu" Arum menjadi termangu-mangu. Hanya gadis padesan yang paling bodoh sajalah yang tidak menaruh kecurigaan apa-apa terhadap kedua orang yang akan memberinya kalung yang tertinggal di kereta. Tetapi justru karena Arum bukan anak yang paling dungu di padesaannya, ia digelitik oleh perasaan ingin tahu apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh kedua orang itu. "Kenapa kau termenung" Apakah kau takut?" Arum menggelengkan kepala. Katanya "Tidak. Aku tidak takut. Tetapi tentu tidak pantas aku mengikuti di mala m begini. Sedangkan tuan bukan sanak dan bukan kadangku" Kedua Laki-laki itu tertawa. Salah seorang berkata "Gadisgadis padesan me mang banyak bertingkah. Tetapi aku tahu, itu bukan karena kau merajuk atau karena maksud-maksud buruk. Tetapi karena kau me mang benar-benar anak padesan yang masih dicengka m oleh perasaan-perasaan yang sebenarnya tidak berarti lagi bagi ja man ini. di kota, peradaban orang-orang asing itu telah sama sama kita miliki. Batas antara laki-laki dan perempuan se makin dekat dan akhirnya tentu akan hilang sa ma sekali" "Ah" Arum berdesah "Tentu tidak. Kita bukan orang-orang asing itu" "Tetapi apa salahnya kita menyadap peradabannya. Bukankah dengan peradabannya mereka ma mpu menaklukkan lautan dan mengelilingi dunia ini" Sedang kita yang berpegang
teguh pada peradaban kita yang picik ini, apakah yang dapat kita capai" Dunia pada suatu saat tentu akan terasa menjadi sempit, dan kitapun harus berada di tengah-tengah pergaulan yang sempit itu. Kenapa kita harus takut kepada peradaban asing itu?" "Tuan" Kiai Danatirtalah yang menyahut "kadang-kadang me mang kita merasa bahwa kita menjadi bagian dari pergaulan dan peradaban yang semakin dekat dari isi bumi ini. Tetapi bagi orang-orang tua seperti aku ini, yang barangkali masih tetap terkebelakang, memang merasa bahwa kita harus terjun ke dalamnya. Tetapi jika kita berada di tengah-tengah dunia ini, ma ka kita adalah kita. Kita bukan orang yang terjun dan tenggelam. Tetapi kita terjun dan tetap berada di antara mereka sebagai kita-kita ini. Sebagai sebuah pribadi yang akan mereka kenal dan me mang me mpunyai ke lainan seperti juga pribadi-pribadi yang lain, yang memiliki kediriannya masing-masing" Kedua anak-anak muda mengerutkan keningnya, namun salah seorang daripadanya kemudian tertawa sambil berkata "Kau tidak akan dapat hidup di dala m ala m yang dibayangi oleh harga diri yang berlebih-lebihan itu terus menerus. Jika demikian, maka orang lain telah me miliki tujuh buah kereta yang ditarik oleh delapan ekor kuda karena ia tidak membatasi diri di dala m lingkungan dan hubungannya dengan orang asing, ma ka kau a kan tetap berjalan ka ki sa mpa i kesegala penjuru pulau ini jika kau me mpunyai keperluan. Tetapi itu adalah persoalanmu sendiri. Aku tidak akan berkeberatan" Orang itu berhenti sejenak, lalu "Tetapi sebaiknya kau biarkan anak gadismu menikmati hidup di masa re majanya. Jika kau akan tetap di dalam dunia yang terke belakang, itu terserah. Umurmu tingga l beberapa tahun lagi. Tetapi lepaskan anak gadismu menikmat i hidup ini sepuas-puasnya. Jika ia mau, ia akan menjadi orang yang terhormat di kota"
"Ah, biarlah ia. tetap menjadi anak padesan" sahut Kiai Danatirta. Baiklah. Itu bukan persoalanku. Sekarang, biarlah aku mene mui janjiku. Aku akan me mberinya kalung merjan yang paling bagus" Arum menjadi ragu-ragu. Tetapi keinginannya untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu menjadi sema kin besar. Dan agaknya ayahnyapun mengetahuinya pula, sehingga ha mpir di luar dugaan kedua anak-anak muda itu, Kiai Danatirtapun berkata "Baiklah tuan. Jika tuan ingin me mberinya kalung, biarlah aku mengantarkannya sa mpai ke kereta tuan" Kedua anak muda itu sa ling berpandangan. Tetapi salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata "Baiklah. Baiklah. Marilah kita pergi" Arum menarik nafas dalam-dala m. Ia menjadi se makin tenang, karena ayahnya ikut pula bersa manya. Demikianlah maka Arumpun diantar oleh Kia i Danatirta turun ke halaman dan keluar dari regol. Beberapa saat la manya mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan di dala m gelapnya ma la m. Agaknya padukuhan itu menjadi lengang. Beberapa orang menjadi segan keluar dari rumahnya di ma la m hari setelah terjadi berita yang mendebarkan tentang perampok-pera mpok yang berkeliaran. Tetapi mala m me mang terlampau dingin sehingga ma las juga berada di gardu-gardu. Ketika mereka sampai di luar padukuhan, mereka sama sekali tida k melihat seekor kudapun. Apalagi sebuah kereta sehingga Arum yang me mang sudah bercuriga itupun bertanya "Dimanakah kereta tuan?" "Di sana, di ujung bulak" "Di ujung bulak?" ulang Arum. "Ya, di ujung bulak di sebelah sudut padukuhan"
Arum tidak menjawab. Ia berjalan saja diiringi oleh ayahnya. Namun ketika mereka sampa i keujung bulak, maka mereka masih belum me lihat sesuatu, sehingga sekali lagi Aram bertanya "Tuan, dimanakah kereta tuah?" Sejenak keduanya tidak menjawab. Tetapi mereka masih saja me langkah me masuki bulak yang ge lap. "Tuan" langkah Arumpun ke mudian terhenti. Demikian juga Danatirta. "Kenapa kau berhenti?" bertanya salah seorang dari kedua laki-laki muda itu. "Kereta tuan tidak ada" Laki-laki itu menarik nafas, lalu "Ya, keretaku me mang tidak ada" "Jadi, apakah maksud tuan sebenarnya?" "Marilah, kita a mbil ka lung itu di Surakarta. Kalung itu bukan hanya dari merjan, tetapi dari emas. Kita singgah sebentar di rumah kawanku. Sebenarnyalah bahwa aku meninggalkan keretaku di sana. di daerah Losari" "Losari?" "Ya" "Bukankah padukuhan Losari itu jauh dari sini?" "Masih lebih jauh ke Surakarta" "Ah, tidak tuan. Biarlah aku dan ayah kemba li saja ke padepokan" "Jangan Arum. Aku me merlukan kau. Me mang aku t idak me merlukan ayahmu. Biarlah ayahmu ke mbali. Kau me mpunyai keterangan yang berharga tentang orang gemuk berkuda coklat. Dan kau adalah gadis yang cukup cantik. Kau
akan mendapat tempat yang baik di Surakarta. Orang-orang asing akan me mberi apa saja yang kau minta. Dan jika mereka t idak ma u, maka akupun bersedia me melihara mu" "Gila" Arum berteriak. "Jangan berteriak di mala m hari" "Tuan" berkata Kiai Danatirta "sebenarnya bukan caranya tuan berbuat begitu sebagai seorang laki-la ki Surakarta. Tuan telah mengecewakan aku. Aku menganggap bahwa orang orang Surakarta adalah orang-orang jantan dan bersifat kesatria" "Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berbuat demikian" orang itu tertawa "Kami tidak lagi ingin dicengka m oleh kebodohan ka mi, seolah-olah dengan kejantanan dan sifat-sifat kesatria kita akan dapat mencukupi kebutuhan kita" "Kebutuhan lahiriah" "Itulah yang sangat menarik. Seperti kecantikan lahiriah anakmu" "Tuan, tentu aku tidak akan membiarkan anakku tuan bawa" "Persetan" "Ijinkanlah a ku me mbawa anakku pulang" Kedua anakanak muda itu termenung sejenak. Lalu salah seorang berkata "Jangan cari perkara Kia i. Pulanglah sendiri" Kiai Danatirta menjadi termangu-mangu. Ia masih raguragu untuk berbuat sesuatu, karena dengan demikian akan dapat menimbulkan akibat yang berkepanjangan. Menurut penilaiannya, kedua anak-anak muda itu tentu bukan orang kebanyakan. Keduanya pasti orang-orang yang mendapat kepercayaan dari kumpeni atau dari para bangsawan yang berpihak kepada kumpeni untuk mengumpulkan keterangan tentang sikap orang-orang Jati Sari.
"Jika salah seorang dari keduanya berhasil me larikan diri. atau barangkali ada kawan-kawannya yang ada di sekitar tempat ini dan melihat peristiwa ini terjadi, maka akibatnya akan menjadi sangat luas" berkata Kiai Danatirta di dala m hatinya "Tetapi jika aku me mbiarkan Arum mereka bawa, maka banyak ke mungkinan dapat terjadi. Jika Arum terjerumus ke dala m lingkungan mereka, maka ia akan menga la mi nasib yang sangat malang. Dan bahkan tidak dapat dibayangkan sebelumnya" Namun dala m pada itu kedua anak-anak muda itupun telah me mperhitungkan setiap ke mungkinan. Mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Menurut pengalaman mereka, para penghuni padepokan, bukan saja menguasai olah kajiwan, tetapi olah kanuragan pula. Karena itu, maka mereka tidak mau kehilangan kese mpatan untuk me mbawa Arum pergi. Sebelum terjadi sesuatu yang akan dapat menyulitkan mereka, maka tiba-tiba saja, hampir di luar penglihatan mata, tangan salah seorang dari kedua anak muda itu telah me lingkar dileher Arum. Sebuah pisau be lati kecil tergenggam di tangan itu, sedang ujungnya telah menyentuh leher Arum yang menjadi tegang. "Jangan berbuat sesuatu Kiai" berkata salah seorang anak muda itu "Kau tentu masih sayang kepada anakmu. Jika kau mencoba untuk me lakukan sesuatu yang mencurigakan, maka pisau ini akan menusuk leher anakmu" ia berhenti sejenak, lalu "Arum, kenapa dilehermu tidak
tersangkut kalung merjan itu?"
Arum me ngumpat di dala m hati. Tetapi ia tida k bergerak sama seka li, karena ujung pisau itu terasa mene kan lehernya. "Pergilah Kia i" berkata anak muda itu "pergilah. Atau kau ingin melihat leher anakmu ini sobek?" "Jangan" suara Kiai Danatirta yang menjadi sangat cemas. "Pergilah. Dan jangan mencoba me mbuat keributan dengan me mbangunkan tetangga-tetanggamu, apalagi mengejar kami. Karena dengan demikian kau akan me mpercepat ke matian anakmu" Kiai Danatirta tidak dapat berbuat lain. Jika ia berbuat sesuatu, betapapun ia mampu bergerak dengan cepat, tetapi pisau itu tentu lebih cepat menghunja m dileher anak gadisnya. Karena itu, Kiai Danatirta tidak a kan me mpunyai pilihan, la harus tunduk kepada perintah ana k-anak muda itu. "Cepatlah Kiai. Jangan membuat ka mi marah" geram anak muda itu. Perlahan-lahan Kia i Danatirta me langkah mundur. Dipandanginya saja wajah Arum yang tegang. di dalam kegelapan Kia i Danatirta tidak melihat bahwa wajah itu menjadi se merah bara. "Aku tidak akan berbuat apa-apa terhadap anakmu jika kau menurut perintahku, dan seterusnya tidak mengganggu" berkata anak muda yang menganca m leher Arum dengan pisau itu. Kiai Danatirta tidak menjawab lagi. Iapun ke mudian berjalan perlahan-lahan menjauhi kedua anak-anak muda yang sudah berhasil menguasai Arum. "Nah, sekarang kau seorang diri ana k muda itu setelah Kiai Danatirta tidak me mang hanya me merlukan kau. Bukan kawanku telah menunggumu. Mereka manis" berkata anak kelihatan lagi "Aku ayahmu. Dua orang adalah orang-orang
yang baik, yang akan me mberimu apa saja, asal kau menjawab pertanyaan mereka dengan baik. Misalnya, tentang orang gemuk berkuda coklat itu. Dan tentang tetanggatetanggamu yang kebetulan mendengar juga orang gemuk berkuda coklat itu berceritera" Arum tida k menjawab. Ia tidak me mberikan kesan bahwa ia me miliki kelainan dari gadis-gadis biasa. Karena itu, maka iapun menurut saja perintah yang diberikan oleh kedua orang yang menga mbilnya itu. Dengan demikian, maka orang-orang itupun menjadi tidak mencurigainya lagi, bahwa ia a kan me lawan, atau Setidaktidaknya akan melarikan diri. Anak muda yang mengacukan pisaunya itu telah menyarangkannya kembali. Namun demikian keduanya masih tetap berjalan sebelah menyebelah Arum. Di perjalanan itu Arumpun berusaha untuk mene mukan jalan, agar ia dapat melepaskan diri dari keduanya. Arum sama sekali tidak tahu, sampa i berapa jauh ke ma mpuan kedua orang itu di dala m olah kanuragan. Na mun yang jelas bagi Arum, bahwa anak-anak muda itu tentu me mbawa senjata. Setidak-tidaknya pisau-pisau belati seperti yang diacukan ke lehernya. Dengan hati-hati Arum me ncoba menyentuhkan tangannya kela mbung sa lah seorang dari keduanya dengan berpura-pura kakinya terperosok sebuah lubang di tengah jalan. Dan ternyata sentuhan itu memberikan kesan kepadanya, bahwa sebenarnyalah senjata anak-anak muda itu bukan hanya sebuah pisau belati kecil itu. di bawah kainnya terdapat sarung sebilah pisau be lati yang lebih besar, bahkan ha mpir sebuah pedang kecil yang pendek. Sedang hulunyapun dise mbunyikannya di bawah bajunya yang longgar. Dengan de mikian Arumpun menjadi bimbang. Apakah ia akan dapat berbuat sesuatu. Apalagi kedua orang itu berkata,
bahwa masih ada dua orang kawannya lagi yang sedang menunggu. Di sepanjang langkahnya Arum mencoba me mperhitungkan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Jika ke mudian mere ka sampai kepada kedua orang yang menunggu itu, ma ka ia akan menga la mi kesulitan yang lebih besar untuk melepaskan diri. "Tetapi bagaimanakah akibatnya jika kedua orang ini me miliki ke ma mpuan yang tinggi?" Arum bertanya kepada diri sendiri. Dan pertanyaan itupun disusul pula oleh pertanyaan lain "Na mun tentu tidak a kan lebih baik jika aku berada di antara orang-orang yang tidak aku kenal dan berjumlah lebih banyak lagi. sehingga aku t idak dapat me mbayangkan apa yang akan terjadi atas diriku nanti" Arum terkejut ketika tiba-tiba saja salah seorang anak muda yang berjalan di sisinya itu mengga mitnya sambil berkata "Jangan risau. Ayahmu pulang dengan sela mat. Dan kaupun akan sela mat jika kau tida k berbohong" Arum mencoba me mandang wajah anak muda itu. Namun kepalanya di palingkannya ketika anak muda itu menyentuh pipinya "Kau t idak a kan menga la mi apapun juga, justru karena kau cantik. Bahkan mungkin kau akan mendapat perlakuan khusus dari mereka" Arum menjadi se makin mua k kepada anak muda itu. Sepercik penyesalan telah meraba hatinya. Jika ia tidak menyebut orang gemuk berkuda coklat, maka ia tidak akan menga la mi nasib serupa itu. "Tida k" Ia menggera m di dala m hati "Aku tida k mau sa mpai kepada dua orang lain lagi yang tidak aku kenal. Apapun yang akan terjadi, aku harus berusaha. Jika kedua orang ini ternyata me miliki ke ma mpuan yang tinggi, biarlah eku mat i di sini. Itu lebih baik daripada aku akan jatuh keta-ngan orang-
orang yang tentu akan me meras keteranganku dengan segala maca m cara. Dan bahkan mungkin dengan cara yang paling buas yang dapat dilakukan atas seorang pere mpuan" Dan ternyata Arumpun telah berketetapan hati. Karena itu, ia tidak mau me nunggu lebih la ma lagi. Apalagi saat itu mereka masih berjalan di jalan persawahan yang agak jauh dari padesan. "Aku harus berbuat sesuatu sebelum aku sa mpai keujung bulak itu" katanya di da la m hati. Arumpun ke mudian me mpersiapkan dirinya. Ia telah me mpe lajari ilmu olah kanuragan sa mpai tuntas, meskipun masih perlu dike mbangkan lebih jauh. Namun dengan bekal yang ada, ia harus me mpertahankan dirinya dari kebuasan orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Untuk beberapa saat ke mudian Arum masih saja berjalan dengan kepala tunduk. Dibiarkannya saja anak muda itu mengganggunya, bahkan kadang-kadang menyentuhnya. Namun adalah di luar dugaan mereka, bahwa tiba-tiba saja Arum me loncat selangkah surut, dan me mpersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap ke mungkinan. Kedua anak-anak muda itu terkejut bukan kepalang. Dengan serta merta merekapun ke mudian berhenti dan berpaling. Na mun Arum tidak me mberinya kesempatan sama sekali, justru karena ia tidak mengerti tingkat ilmu dari kedua orang itu. Tetapi Arum sudah me mutuskan bahwa ia a kan berjuang dengan sekuat tenaga sampai ke mungkinan yang terakhir. Jika ia gagal, dan kedua anak muda itu berhasil me mbawanya, maka ia tentu akan memilih mati. Ia pernah mendengar bagaimana kumpeni atau orang-orangnya berbuat terhadap orang-orang yang dicuriga i dan t idak disenanginya. Apalagi ia adalah seorang gadis.
Sebelum kedua orang itu se mpat berbuat sesuatu, maka Arumpun sudah me mulainya. Ia berusaha untuk lebih dahulu me lumpuhkan seorang dari antara mereka, karena dengan demikian ia akan berhadapan dengan seorang saja lagi. Setidak-tidaknya ia a kan dapat mengurangi ke ma mpuan yang seorang itu. Karena itulah, maka sebelum keduanya sadar sepenuhnya akan persoalan yang dihadapinya, sebuah serangan telah me luncur menghanta m dada salah seorang dari kedua anak muda itu. Serang kaki yang lurus mendatar, sehingga karena itu maka anak muda yang tidak menduga akan menga la mi serangan yang demikian keras dan cepatnya itu, tidak sempat berbuat apa-apa. Yang terdengar ke mudian adalah hentakan yang keras di dada anak muda itu disusul oleh keluhan yang tertahan. Kemudian anak muda itu terhuyung-huyung dan jatuh terlentang. Peristiwa itu benar-benar telah mengejutkan anak muda yang seorang lagi. Namun dengan gerak naluriah iapun segera bersiap dan bahkan senjatanya telah tergenggam di tangannya. Seperti dugaan Arum, sebuah pedang yang pendek sekali, na mun cukup berbahaya bagi lawannya. Menghadapi senjata pendek itu Arum harus berhati-hati. Tetapi ia sempat melihat dengan sudut matanya, anak muda yang seorang itu menggapaikan tangannya dan perlahanlahan mencoba bangkit. Tetapi demikian anak itu berhasil duduk bersandar tangannya, sekali lagi Arum menyerangnya dengan kakinya tepat mengenai pe lipisnya. Sekali lagi terdengar anak muda itu mengaduh, na mun ke mudian iapun jatuh pingsan. Tetapi berbareng dengan itu, anak muda yang la in, yang telah siap dengan senjatanya, menyadari sepenuhnya apa
yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka iapun segera menyerang dengan pedang pendeknya. Arum se mpat menge lak. Sebuah loncatan yang panjang telah me le mparkannya agak jauh dari lawannya, sehingga ia sempat me mpersiapkan dirinya menghadapi lawannya yang bersenjata itu. Namun dala m pada itu terasa angin ma la m menyentuh kakinya sampa i kepaha. Ternyata bahwa kain panjangnya telah tersobek pada serangannya yang pertama hampir sampai ke ikat pinggangnya. "Aku tidak se mpat me ma kai paka ian khususku" desisnya di dalam hati "Tetapi apa boleh buat. Lebih baik kainku yang tersobek daripada kulitku" Demikianlah keduanya ke mudian terlibat di dala m perkelahian yang sengit. Anak muda itu harus mengakui, bahwa gadis yang dihadapinya saat itu bukannya gadis kebanyakan. Dan itu adalah di luar dugaannya. Arum yang tidak ingin-mengala mi perlakuan yang tidak adil atas dirinya, dan bahkan kemudian berke mbang bukan saja sekedar atas dirinya, tetapi atas orang-orang di padukuhannya, telah bertempur sekuat-kuatnya. Meskipun lawannya menggengga m sebuah pedang pendek, na mun Arum tida k mengala mi terla mpau banyak kesulitan. Bahkan ia masih berhasil me mbuat lawannya itu menjadi bingung. Kadang-kadang Arum me loncat surut, namun ke mudian me lingkar dan menyerang menyusup ayunan pedang pendek lawannya. Tetapi lawannya benar-benar seorang yang licik di dala m kesulitan ia mencoba mencari jalan la in untuk menundukkan lawannya. Karena itu maka katanya kemudian "Kau me mang luar biasa Arum. Aku tida k menyangka bahwa di Jati Sari ada seorang gadis yang lengkap seperti kau. Seorang gadis yang bukan saja cantik dan manis, tetapi juga seorang gadis yang me miliki ke ma mpuan berte mpur yang luar biasa"
Arum t idak menghiraukannya. Ia masih tetap bertempur dengan sengitnya sehingga lawannya itu terdesak beberapa langkah. "Arum, kenapa kalungmu tida k kau pakai" Kau tentu akan bertambah cantik dengan kalung merjanmu" Arum menjadi muak. Dan tiba-tiba saja ia menjawab "Kalung yang tidak berharga itu sudah aku berikan kepada orang lain" "Kenapa?" "Aku tidak me merlukannya. Aku menerimanya sekedar untuk menyenangkan hatimu. Tetapi ternyata kau adalah orang yang paling me muakkan" "Ah" Orang itu berdesah. Tetapi suaranya terputus karena serangan Arum yang se makin dahsyat. Ternyata bahwa kalung merjan itu tidak me mberikan kesan apapun bagi Arum. Sejak gadis itu memilih kalung merjan, ia sudah me mpunyai penilaian yang lain terhadap Arum. Ternyata bahwa tidak seperti gadis lain-lainnya, Arum tidak me merlukan kalung itu. "Kenapa kau tida k senang akan kalung merjan itu?" anak muda itu masih me ncoba bertanya. Arum tidak menjawab. Ia berusaha untuk menghancurkan lawannya. Apalagi mereka sudah tidak berada di padukuhannya lagi sehingga jika be kas dari peristiwa itu dikete mukan, maka tetangga-tetangganya tidak akan menga la mi akibat yang parah karena hilangnya kedua orang itu. Karena kalung itu sama seka li tidak me mpengaruhi Arum, maka orang itu mencari akal yang la in. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berkata "Arum, aku ha mpir gila kau buat. Mungkin kau sengaja me mpengaruhi agar aku tidak dapat bertempur seperti seharusnya. Jika aku berkelahi melawan
perampok-pera mpok anak buah Raden Mas Said, aku tentu sudah me mbunuhnya. Tetapi sekarang yang aku lawan adalah seorang gadis yang cantik, yang tidak menutup tubuhnya dengan lengkap" Dada Arum bergetar mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya sebelah tangannya berusaha mengatupkan kainnya yang sobek sa mpa i ke ikat pinggangnya. "Aku tidak dapat berbuat banyak atasmu Arum. Tanpa banyak kesulitan kau akan dapat me menangkan pertempuran ini. Justru karena kau singkapkan ka in panjangmu" "Gila" Arum ha mpir berteriak. Tetapi kini setiap kali ia sibuk dengan kainnya yang sobek. Anak muda itu tertawa. Katanya "Apakah kau menghendaki aku menyerah" Tetapi apakah kau akan menja min keselamatanku" "Persetan" bentak Arum "Aku akan me mbunuhmu" "Tetapi itu tidak jujur. Kau me mpergunakan cara yang tidak kesatria" Arum menjadi se makin berdebar-debar. Bahkan kadangkadang ia menjadi bingung. Karena itu, sebelah tangannya menjadi seakan. terikat pada kain panjangnya, dan tata gerak kakinya tidak lagi selincah sebelumnya. Setiap kali anak muda itu menyebut seolah-olah ia telah berbuat sengaja, sehingga dengan de mikian ia telah berbuat licik. Karena itulah, maka Arum tidak lagi dapat me musatkan perhatiannya kepada lawannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung, sehingga pedang lawannya menjadi sema kin berbahaya baginya. Setiap kali dadanya berdesir jika ia mendengar lawannya tertawa dan menunjuk kainnya yang sobek itu dengan ujung pedangnya. "Gila" teria k Arum ke mudian "Kaulah yang licik"
"Kenapa aku" Aku tidak berbuat apa-apa. Bahkan aku bersedia menyerah jika kau menghendaki. Bukan karena ke ma mpuanmu yang tinggi, tetapi justru karena kain panjangmu yang sengaja kau sobek sampai ke ikat pinggang itu" "Gila, gila, gila " bagaimanapun juga Arum adalah seorang gadis. Itulah sebabnya maka kele mahannya sebagian besar ada pada dirinya sendiri. Pada perasaannya. Dan lawannya telah me mpergunakan sebaik-baiknya. Bahkan ha mpir menangis Arum berteriak "Kau pengecut. Kau tidak berani bertempur dengan jujur?" "Kaulah yang tidak jujur Arum" terdengar anak muda itu tertawa "ketika aku melihat kau di pategalan, aku sudah hampir menjadi gila. Apalagi sekarang, dengan caramu yang berhasil itu, aku benar-benar tidak ma mpu melawanmu" "Tutup mulut mu, tutup mulut mu. Kita sedang berte mpur" Justru terdengar suara tertawa. Bukan saja tertawa ke menangan karena Arum menjadi se makin terdesak. Tetapi tertawa licik yang la mbat laun akan dapat menghancurkan pertahanan di dala m dada Arum. Sejenak Arum bagaikan kehilangan akal. Ia hanya sekedar bertahan dan menghindar. Ia sama sekali tidak lagi dapat menyerang dengan garang, apalagi me mpergunakan kakinya yang lincah. Bahwa Arum ke mudian benar-benar terdesak, sama sekali bukan karena ia tidak ma mpu mengimbangi ilmu lawannya, tetapi semata-mata karena perasaannya sebagai seorang gadis padepokan yang hidup dala m lingkungan kecil. Anak muda itu merasa bahwa ia pasti akan berhasil menguasai Arum dengan caranya. Bahkan kemudian tumbuh pula di dala m hatinya, keinginannya untuk menangkap Arum hidup-hidup.
"Tetapi ia akan dapat menjadi liar dan berbahaya" berkata orang itu di dala m hatinya. Tetapi la lu "Aku dapat mengikat tangannya dan membiarkannya berpakaian tidak lengkap seperti itu" Sebenarnyalah bahwa semakin la ma Arum menjadi semakin terdesak. Bahkan sekali-sekali pedang lawannya bagaikan akan menyentuh tubuhnya. Dala m keadaan yang semakin terdesak itu Arum menjadi sangat gelisah. Namun ia masih tetap sadar, bahwa jika ia dapat ditangkap oleh orang itu, ia akan mengalami nasib yang parah. Karena itu, di da la m kesulitan yang se makin menghimpitnya, Arum mencoba me mpertimbangkan apa yang sebaiknya dilakukan. Akhirnya Arum me mutuskan bahwa baginya akan lebih baik bertempur da la m paka iannya yang compang ca mping daripada tertangkap oleh orang yang me muakkannya itu. "Aku harus me nghancurkannya sa ma seka li, agar ia t idak meninggalkan bekas yang selalu me manaskan hati jika aku pada suatu saat bertemu dengan orang ini" berkata Arum di dalam hatinya. Dengan keputusannya itu, maka Arumpun ke mudian mene mukan keseimbangannya ke mbali. Ia mencoba mengkesampingkan perasaannya dan me mpergunakan nalarnya. Jika ia masih selalu dibayangi oleh perasaan malu dan segan karena pakaiannya, maka ia pasti akan mendapatkan ma lu yang jauh lebih besar lagi. Sejenak ke mudian anak muda itu terkejut. Aram tiba-tiba me lepaskan sebelah tangannya yang selalu me megangi kainnya yang sobek sampai ke ikat pinggang. Dan tiba-tiba saja Arum telah mene mukan bentuk perlawanannya ke mbali.
Sejenak anak muda itu dicengka m oleh kece masan. Namun ke mudian ia berusaha me mpengaruhi Aram dengan cara yang sama. Tetapi Aram tidak me nghiraukannya. Bahkan ia berkata hampir di luar sadarnya "Aku tidak peduli. Mala m cukup gelap untuk me lindungi aku" Jawaban itu mengejutkan lawannya. Apalagi ketika ia me lihat Arum se makin cepat bergerak. Bukan saja tangannya, tetapi juga kakinya. "He, kau tidak mengenal ma lu. Ternyata kau bukan seorang gadis yang baik seperti yang aku duga" Anak muda itu hampir berteriak. Tetapi Arum menjawab "Me mang a ku bukan seorang gadis yang baik seperti yang kau duga" Anak muda itu menggera m. Ia kini merasa bahwa caranya untuk me mpengaruhi Arum sudah tidak dapat dipercaya lagi. Agaknya Arum tida k lagi menghiraukan kainnya yang sobek ha mpir sampai ke ikat pinggang. Karena itu, maka anak muda itu menjadi ge lisah. Meskipun ia bersenjata, tetapi ia tidak dapat menguasai Arum sama sekali. Bahkan se kali-se kali Arum berhasil menyusup di antara ayunan pedangnya, dan menyerangnya dengan dahsyatnya. Anak muda itu mengaduh tertahan ketika kaki Arum berhasil menyentuh la mbungnya. Kemudian tangan gadis itu mengenai pelipisnya sehingga ia terdorong beberapa langkah surut,
"Aku akan dikalahkannya" desis anak muda itu di dala m hati. Karena itu, ia harus me lepaskan niatnya untuk menangkap Arum untuk dirinya sendiri. Ternyata ia lebih menyukai nyawanya sendiri daripada Arum. Dala m keadaan yang paling sulit, maka terdengar anak muda itu bersuit nyaring. Suaranya bagaikan bergema me mantul pada dinding-dinding padukuhan. Dada Arum me njadi berdebar-debar karena ia mendengar suara suitan yang serupa di kejauhan. Agaknya kawan anak muda itulah yang menjawab isyarat Arum. "Mereka pasti akan datang" berkata Arum di dala m hatinya. Dengan de mikian, ke mbali Arum me njadi gelisah. Bukan karena pakaiannya yang sobek, tetapi karena di arena itu tentu akan hadir beberapa orang laki-la ki. Laki-laki yang kasar, buas dan liar. Sejenak Arum mencoba me mecahkan cara yang paling baik untuk melawan. Sudah barang tentu ia tidak mau menyerah kepada orang-orang yang buas dan liar itu. "Apakah aku harus melarikan diri?" bertanya Arum kepada diri sendiri. "Agaknya aku dapat mene mpuh cara itu. Sama sekali bukan karena aku menjadi licik dan pengecut. Tetapi perkelahian yang gila ini me mbuat aku ngeri. Bukan oleh ke matian tetapi oleh persoalan la in yang lebih gila dari mati" Namun sebelum Arum se mpat menga mbil sikap, maka ia sudah melihat dua orang berdiri di pematang sambil bertolak pinggang. "He, apa yang kau lakukan?" bertanya salah seorang dari mereka. "Me metik bunga. Tetapi aga knya bunga ini berduri"
"Dan kau tida k dapat mengatasinya" "Aku ingin bunga ini tetap cantik" Kedua orang yang berdiri di pematang itu tertawa. Tibatiba salah seorang dari mereka bertanya dengan nada yang tegang "He, apakah kawanmu yang terbaring itu?" "Ya" "Mati?" "Aku tida k tahu" "Huh, ternyata kalian tidak dapat berbuat apa-apa melawan orang perempuan. He, agaknya di Jati Sari ada perempuan yang aneh" "Inilah perempuan yang aku katakan itu. Ialah yang menerima pe mberianku dua untai kalung merjan" "Dan kini ia me lawanmu" Anak muda yang sedang bertempur me lawan Arum itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat me mbantah, bahwa serangan Arum benar-benar mena kjubkan. Kedua orang yang berada di pe matang itupun me njadi heran pula. Ternyata bahwa gadis itu me miliki ke ma mpuan yang tidak dapat diabaikan. Sejenak kedua orang yang berdiri di pematang itu masih menilai, betapa berbahayanya gadis Jati Sari itu. Sehingga mereka sa mpai pada suatu kesimpulan, bahwa mereka tidak akan dapat membiarkan seorang kawannya itu bertempur seorang diri. "Kita harus ikut ca mpur" desis salah seorang dari mereka. Arum menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat mencegah. Ia sadar bahwa lawan-lawannya me mang orangorang yang sangat licik" dan tidak tahu malu. sehingga karena
itu, tidak akan ada gunanya menggugat kejantanan dan cara perang tanding seperti seorang kesatria. Yang dipikirkan Arum adalah bagaimana ia akan ma mpu me lawan ketiga orang itu sekaligus. Karena mereka tentu akan segera turun ke arena. Ketika Arum me lihat salah seorang lawannya yang terbaring itu ma ka tiba-tiba saja ia teringat, bahwa orang itupun tentu bersenjata seperti kawannya. Karena itu, tiba-tiba saja ia menyerang lawannya dan mendesaknya menjauh. Kemudian dengan tiba-tiba ia me loncat kesisi orang yang terbaring itu. Sebelum seorangpun dapat mencegahnya, ternyata Arum sudah mencabut sehelai pedang pende k. Dengan pedang pendek itu Arum bertekad untuk melawan ketiga orang lawannya meskipun ia sadar, bahwa ketiga lawannya itu bukannya lawan yang ringan. "Apaboleh buat. Aku harus bertempur. Tetapi menghadapi orang-orang yang licik, aku tidak perlu me mpertahankan kejantanan. Jika perlu aku dapat melarikan diri, bahkan berteriak sekalipun" berkata Arum di dala m hatinya. Demikianlah, maka dengan pedang pendek itu Arum telah siap menghadapi segala ke mungkinan. Menghadapi ketiga orang laki-laki yang bukan orang kebanyakan. Tetapi ia sudah bertekad apapun yang terjadi, ia tidak akan menyerah. Lebih baik lari atau mati sa ma seka li. Ternyata Arum tidak usah menunggu terlalu la ma. Kedua orang itupun perlahan-lahan mende kati arena dan salah seorang menggera m "Kita akan ikut dalam perma inan yang menyerangkan itu" Arum sadar sepenuhnya, bahwa ia harus me musatkan segenap perhatian dan ke ma mpuannya atas ketiga lawannya. Ia tidak boleh terganggu oleh keadaan dirinya sendiri.
Sekali-seka li anak muda yang bertempur pertama kali me lawan Arum masih mencoba mengganggunya karena kainnya yang sobek. Dan agaknya kedua orang kawannya yang kemudian berada di dalam arena itupun segera tertarik dan ikut pula me mperolok-olokkannya. Tetapi Arum benarbenar tidak peduli lagi. Ia sudah siap bertempur dengan sepenuh tenaga. Demikianlah sejenak ke mudian Arum me mang harus bertempur melawan tiga orang sekaligus. Ternyata bahwa ia benar-benar harus memeras segenap kema mpuan yang ada padanya. Lawan-lawannya, yang meskipun harus juga berusaha keras untuk menundukkan Arum, ternyata semakin la ma merasa, bahwa mereka akan berhasil. Meskipun seka li-seka li mereka terkejut melihat kecepatan bergerak Arum dan bahkan serangan-serangannya kadang-kadang di luar dugaan, tetapi mereka bertiga dapat bekerja bersama sebaik-baiknya untuk me mancing tenaga Arum tertumpah se luruhnya. "Gadis yang luar biasa ini akan segera menjadi le lah. Dan jika ia sudah tidak ma mpu lagi berbuat selincah itu, maka ia akan dengan mudah ditundukkan" berkata salah seorang dari mereka. Arum menggera m, la sadar sepenuhnya, bahwa ia memang telah mengerahkan segenap ke ma mpuan yang ada padanya, sehingga dengan de mikian, maka ia tidak a kan dapat bertahan terlalu la ma. Tetapi jika ia tidak mengerahkan segenap tenaga dan ke ma mpuannya, ia tidak akan berhasil mengimbangi ke ma mpuan ketiga orang lawannya. Namun ternyata perhitungan ketiga orang itu me leset. Setelah mereka bertempur beberapa la manya, tenaga Arum nampaknya sama sekali belum susut. Anak Jati Aking yang sudah me mbiasakan diri berlatih untuk wa ktu yang panjang itu masih tetap dapat me mpertahankan keseimbangan tubuh dan ilmunya.
"Apakah anak ini kepanjingan setan" desis salah seorang lawannya yang menjadi sangat heran melihat ke ma mpuan dan ketahanan tubuh Arum. Tetapi mereka harus menghadapi kenyataan itu. Dan mereka harus bertempur terus. Dala m pada itu, anak muda yang semula pingsan itupun mulai me ngejapkan matanya. Udara mala m yang segar, dan angin yang basah telah mengusap wajahnya. Kepalanya yang terasa akan pecah itupun berangsur-angsur menjadi ringan dan kesadarannya perlahan-lahan menjadi pulih ke mba li. Ketika ia mengangkat kepalanya, dilihatnya gadis yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu masih berte mpur melawan tiga orang. Dan ketiga orang itu adalah kawan-kawannya. Anak muda itu menarik nafas. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia meraba la mbungnya. Pedangnya ternyata sudah tidak ada. Tetapi di la mbungnya yang lain masih terselip sebuah pisau belati. Meskipun pisau itu terla mpau kecil, na mun itu akan lebih baik daripada ia tidak bersenjata sama se kali. Sejenak ia masih tetap berbaring dia m. Ia mencoba me mulihkan kekuatannya dan segenap kesadarannya. Baru sejenak ke mudian ia mulai bangkit. Dengan pisau belati di tangan ia me langkah mende kati arena perkelahian itu. Meskipun dadanya masih terasa sakit, tetapi ia sudah merasa ma mpu untuk ikut di dala m perke lahian itu bersama dengan tiga orang kawannya. Arumlah yang ke mudian menjadi se makin berdebar-debar. Kini ia harus bertempur me lawan empat orang sekaligus. Meskipun ilmunya cukup tinggi, tetapi keempat orang yang sudah mendapat kepercayaan sebagai petugas-tugas sandi itu ternyata me miliki ilmu yang cukup pula, sehingga untuk
me lawan keempatnya bersama-sama merupakan pekerjaan yang sangat berat baginya. Sebenarnya kelemahan hati Arum justru dibebani oleh perasaannya sebagai seorang gadis. Ia masih belum me mpunyai pengala man sa ma sekali di dala m tata kehidupan yang luas di luar padukuhannya. Itulah sebabnya ia selalu cemas bahwa ia akan dapat tertangkap hidup dan menga la mi perlakuan yang parah. Kecemasannya itulah yang ke mudian mendorong Arum semakin de kat kepada keputusan untuk menghindarkan dirinya dari arena dan mendekati padukuhan. Yang ke mudian paling penting baginya adalah menghindarkan dirinya dari tangan keempat lawannya yang menakutkan itu. Justru karena ia seorang gadis, dan lawannya adalah e mpat orang laki-laki yang seakan-akan menjadi se makin la ma se ma kin buas. Bulu-bulu tengkuk Arum mere mang ketika ia mendengar salah seorang dari kee mpat lawannya itu berkata "Menyerah sajalah anak manis. Ka mi a kan me mperlakukan kau sebaikbaiknya" "Kubunuh kau" bentak Arum yang mulai disentuh lagi oleh kebingungannya menghadapi Laki-laki itu. Terdengar suara tertawa. Dan keempatnya itupun mengepung Arum se makin rapat. Namun demikian mereka sebenarnya masih dihinggapi oleh perasaan kagum dan bahkan ce mas, karena Arum masih saja bertempur dengan gigihnya. Nafasnya masih tetap teratur, meskipun kadangkadang Arum sudah harus menarik nafas dala m-da la m. Namun akhirnya ternyata bahwa tenaga Arumpun mulai susut. Keempat orang lawannya itupun menjadi sema kin yakin, bahwa mereka akan segera dapat menguasai gadis itu sepenuhnya.
Arum yang merasa bahwa ia tidak dapat lagi me mpertahankan tenaga dan ke ma mpuannya karena nafasnya mulai mengganggu, menjadi sema kin ce mas. Bahkan ke mudian ia menjadi agak bingung. Ia sama sekali belum me miliki pengala man untuk menyelesaikan kesulitan serupa itu. Bahwa ia harus menghindari dari tangan kee mpat orang itulah yang sela lu dipikirkannya, atau mati sa ma se kali. Kegelisahan yang semakin mengganggu Arum justru me mpercepat kesulitannya sendiri. Beberapa kali ia sudah me mbuat kesalahan sehingga senjata lawannya hampir saja mengenainya. Sedang serangan-serangannya semakin jauhdari sasaran. Dengan demikian Arumpun menjadi se makin terdesak. Keseimbangannya perlahan-lahan semakin menjadi kisruh. Dan bahkan ke mudian Arum benar-benar sudah berada di dalam kesulitan. Lawan-lawannya me lihat kesulitan pada gadis yang bernama Arum itu. Karena itu, maka tanpa mereka bicarakan sebelumnya, seolah-olah mereka me mpunyai niat yang sa ma. Keempat orang itupun ke mudian mengepung Arum sema kin rapat dan berusaha agar gadis itu tidak dapat lagi menghindar dari tangan mereka. Arum mengumpat-umpat di dala m hati. Na mun ia ke mudian bertekad untuk mati saja, karena agaknya ia tidak akan berhasil meloloskan dirinya dari kepungan itu. Dala m puncak kesulitan itu, tiba-tiba Arum dikejutkan oleh suara tertawa. Bukan dari kee mpat orang yang mengepungnya. Tetapi suara itu agak jauh dari arena perkelahian di tengah bulak itu. "Kau tidak dapat ingkar lagi Arum" terdengar suara diselasela suara tertawa itu. Dada Arum menjadi sema kin menggelepar. Agaknya kawan-kawan orang itu berdatangan se makin banyak.
Tetapi ternyata bukan Arum saja yang terkejut mendengar suara itu. Keempat orang yang mengepungnya itupun agaknya terkejut pula sehingga seakan-akan merekapun berhenti menyerang dan berpaling kearah suara itu. Dan mereka mendengar suara itu lagi dari dalam kegelapan "Nah, sekarang aku melihat sendiri, bahwa padepokan Jati Aking benar-benar merupakan sebuah padepokan yang pantas dikagumi. Aku tidak akan heran bahwa Raden Juwiring dan Buntal dapat bertempur seperti seekor banteng terluka. Tetapi yang sekarang aku lihat adalah kau. Arum" Arum menjadi se makin bingung. Na mun ke mudian di dala m kegelapan ia me lihat bayangan dua orang berjalan di pematang. Yang seorang, yang berjalan di depan adalah seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Tiba-tiba Arum dapat mengenali suara itu setelah ia merenung sejenak. Ha mpir di luar sadarnya ia berteriak "Paman Sura" Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya "Ya. Aku Sura. Sudah lama aku me lihat kau berkelahi. Tetapi aku sengaja me mbiarkan saja kau sampa i pada puncak ilmumu. Ternyata empat ekor kelinci jantan yang merindukan seekor harimau betina ini akan menjadi sangat kecewa" "Siapa kau?" tiba-tiba salah seorang dari keempat orang yang berkelahi me lawan Arum itu bertanya lantang. Sura tertawa lagi. Ia kini menjadi se makin de kat dan dengan sebuah loncatan ia berdiri di pinggir ja lan di tengah bulak itu. Keempat orang yang baru saja bertempur dengan Arum itu menjadi termangu-mangu. Mereka melihat seorang yang bertubuh raksasa berdiri sa mbil tertawa. "Siapa kau?" salah seorang dari kee mpat orang itu mengulangi pertanyaan itu.
"Kau tentu pernah mendengar ceritera Arum tentang seseorang yang berkuda coklat. Nah, itu adalah aku" jawab Sura. "Kau" Tetapi Arum menyebutnya seorang bertubuh gemuk" "Anak padukuhan adalah anak yang berpikir sederhana. Baginya tidak ada bedanya, apakah ia bertubuh gemuk atau bertubuh seperti aku ini" Keempat orang itu me mandang Sura dengan tegang. Tubuh Sura bukan tubuh yang dapat disebut gemuk. Tetapi ia bertubuh besar seperti raksasa. "Nah, lebih baik kau bertanya kepadaku langsung dari pada kau bertanya kepada gadis itu. Mungkin kau t idak akan menga la mi kenyataan yang sangat memalukan, bahwa e mpat erang laki-laki muda tidak dapat mengalahkan seorang gadis padesan yang bernama Arum, yang masih senang bermain pasaran di padepokannya" "Dia m" bentak salah seorang dari kee mpat orang itu. "He, kenapa kau me mbentak" Bertanyalah kepadaku apa yang kau kehendaki. Jangan kepada Arum" Sura berhenti sejenak, lalu "Mungkin kau ingin mendapat penjelasan siapakah yang pertama-tama me mbantah berita bahwa perampok-pera mpok yang kadang-kadang me mbunuh, dan yang di antara mereka telah berhasil dibunuh oleh prajurit Surakarta dan kumpeni adalah anak buah Raden Mas Said. Bukankah begitu" Baiklah, aku sajalah yang menjawab. Tentu akan lebih jelas dari Arum karena akulah yang disebutnya orang gemuk berkuda coklat" "Cepat, katakan "Anak muda yang me mberi merjan Arum itulah yang ke mudian me mbentaknya. "Aku mengikut i kau sejak siang tadi, sejak ka lian me mbagikan kalung merjan kepada gadis-gadis Jati Sari"
"Persetan, aku ingin dengar jawabmu. Siapakah kau dan apakah yang sudah kau katakan kepada orang-orang Jati Sari tentang perampok-pera mpok itu" "Nah, pertanyaan itu lebih baik" "Cepat, jawablah pertanyaan itu" "Kau selalu tergesa-gesa. Baiklah. Namaku Sura. Tentu kau sudah mendengar Arum me manggil na maku. Yang aku katakan kepada orang Jati Sari adalah, bahwa ceritera tentang perampok itu tidak benar. Anak buah Raden Mas Said bukan perampok. Mungkin me mang ada satu dua di antara kami yang merampok. Tetapi itu adalah orang-orang gila yang harus ka mi singkirkan dari antara ka mi. Tetapi yang lebih gila dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat seperti kau. He, berapa upah yang kau terima, sehingga kau bersedia menjual keterangan tentang Jati Sari kepada kumpeni itu?" "Tutup mulut mu" Orang yang tertua di antara keempat orang itu me mbentak "Ka mi adalah prajurit-prajurit yang setia. Kami berjuang untuk menegakkan wibawa Surakarta" Sura tertawa. Katanya "Baiklah. Jika demikian, aku harus me mberikan keterangan lebih banyak lagi tentang perampokperampok itu. Sebenarnyalah bahwa tidak ada hubungan apapun antara perampok dengan pasukan Raden Mas Said yang berjuang untuk mengusir ke kuasaan orang asing itu. Nah, apakah sudah jelas" Itulah yang aku ceriterakan kepada orang-orang Jati Aking di sawah. Akulah orangnya yang berkuda coklat itu, kau dengar?" Sejenak keempat orang itu termangu-mangu. Arumpun menjadi bingung. Ia merasa sekedar berbohong ketika ia menyebut orang gemuk berkuda coklat. Tetapi karena ia sudah menceriterakan hal itu kepada Sura, maka Sura agaknya berusaha menga mbil alih ceritera itu daripadanya. "Apakah kau juga anak buah Raden Mas Said?"
"Ya. Aku adalah anak buah Raden Mas Said. Karena itu aku tahu pasti, bahwa kau sedang berusaha menyebarkan kabar bohong agar rakyat Surakarta membenci Raden Mas Said. Tetapi agaknya kau tidak akan berhasil, karena perjuangan kami yang tidak mengenal menyerah ini ka mi landasi dengan suara hati rakyat yang sebenarnya" "Persetan. Jika demikian, sepantasnya kaulah yang harus dibawa dan dihadapkan kepada kumpeni" Sura masih saja tertawa. Katanya "Baiklah. Tetapi sebaiknya biarlah kumpeni saja yang datang kepada kami dan menangkap ka mi. Bukan kau" "Jangan sombong. Kami telah mendapat kepercayaan untuk menangkap orang yang mengacaukan kebija ksanaan pemerintahan Surakarta sekarang ini. Karena itu, menyerahlah. Kalian akan ka mi tangkap" Sura tertawa semakin keras. Katanya "Sebaiknya kau bercermin pada tengkukmu. Mana mungkin kau akan me mbawa ka mi. Sedangkan seorang gadis padepokan saja telah berhasil me ngacaukan perlawanan ka lian bere mpat" Sura berhenti sejenak, lalu "Nah. kalian dapat menghitung. Aku datang berdua, sedang Arum masih tetap berada di sini. Tentu kau akan dapat me mbuat perbandingan. Meskipun aku tidak sekuat anak-anak Jati Aking, namun aku akan dapat me mbantunya, mengganggu pe musatan pe matian kalian, sehingga seorang demi seorang ka lian akan dibantai di sini oleh Arum" Sura berhenti sejenak, lalu "eh. maksudku, ka lian akan dapat dilumpuhkannya dan aku akan me mbawa kalian menghadap Raden Mas Sa id, jika Arum tida k berkeberatan" "Persetan" Orang-orang itu menggera m. Na mun mereka telah menyiapkan diri mereka untuk me lawan orang yang menyebut dirinya berna ma Sura dan mengaku sebagai anak buah Raden Mas Sa id itu.
Namun de mikian, sebenarnyalah telah timbul kece masan di dalam hati kee mpat orang itu. Me lawan Arum seorang diri mereka tidak dapat segera menga lahkannya. Apalagi kini datang dua orang yang akan me mbantunya. Betapapun le mahnya kedua orang itu, na mun kehadiran mere ka tentu akan mena mbah kekuatan pada pihak Arum. Apalagi menilik bentuk dan sikap orang yang menyebut dirinya bernama Sura itu, maka rasa-rasanya bulu tengkuk orang-orang itu menjadi mere mang karenanya. Tetapi tidak ada ja lan la in bagi mereka. Jika mereka tertangkap oleh anak buah Raden Mas Said, maka nasib merekapun akan me njadi sangat buruk. Karena itu, ma ka kee mpat orang itupun telah me mpersiapkan diri mereka untuk menghadapi segala ke mungkinan. "Ki Sanak" bertanya Sura kemudian "Apakah t idak ada niat pada kalian untuk menyerah saja" Kalian akan menga la mi perlakuan dan nasib yang lebih baik daripada jika kalian me mberikan terlalu banyak perlawanan. Yang dapat kalian berikan hanyalah sekedar me mperpanjang waktu, dan me mbuat hati Arum se ma kin terbakar. Jika gadis Jati Aking itu ke mudian menjadi benar-benar marah, maka kalian akan menyesal" "Jangan banyak bicara" bentak salah seorang drai keempat lawan Arum. "Baiklah, jika de mikian, aku tidak akan berbicara lagi"
Dada keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Sura me langkah perlahan-lahan maju ke depan. Dengan suara yang datar ia berkata "Arum, aku minta ijin untuk turut dala m permainan ini. Kau tidak berkeberatan?" "Tentu tida k pa man" jawab Arum. "Baiklah, Marilah kita berpencar. Kita akan mengurung keempatnya. Bukan kitalah yang harus mereka kurung" Hampir di luar sadarnya, Arumpun me njauhi Demikian seorang kawan Sura yang hampir mengucapkan sepatah katapun itu. Sura. tidak
Sejenak ke mudian, maka mereka se muanya yang ada di bulak itu telah menggengga m senjata masing-masing. Sesaat la manya mereka masih bergeser beberapa langkah. Na mun tiba-tiba Sura meloncat maju menyerang sambil mengayunkan goloknya yang besar. Lawannyapun telah siap menyambutnya, sehingga dengan demikian maka merekapun segera terlibat di dala m perkelahian yang sengit. De mikian pula kawan Sura yang seorang itu. Iapun segera terjun di dala m perkelahian itu. Yang masih termangu-mangu justru Arum sendiri. Sejenak ia. melihat perkelahian itu. Sura dan seorang kawannya masing-masing harus berkelahi me lawan dua orang. Dan Arum tidak me ngerti kenapa ia sendiri tidak mendapatkan lawan dan seolah-olah lawan-lawannya tidak menghiraukannya lagi. "Agaknya mereka telah benar-benar kebingungan" berkata Arum di da la m hatinya. Tetapi Arum sendiri tidak segera berbuat apa-apa. Bahkan seakan-akan ia melihat pertunjukan yang sangat menarik baginya. Sejenak ia menunggui perkelahian itu. Sekali-se kali ia mengerutkan keningnya. Kadang-kadang tangannya menghentak-hentak. Dan bahkan sekali-sekali ia me mekik di
luar sadarnya, seperti kebanyakan gadis-gadis yang sedang dicengka m ketegangan. Namun ke mudian Arum menjadi heran me lihat perke lahian itu. Ia sendiri tidak yakin kepada penglihatannya. Ternyata Sura dan seorang kawannya yang masing-masing harus me lawan dua orang itu me ngala mi kesulitan. "Aneh" berkata Arum "Aku sendiri dapat melawan mereka bersama-sama meskipun akupun ke mudian menga la mi kesulitan" Sura bagi Arum adalah orang yang luar biasa. Yang me miliki kekuatan yang besar dan kema mpuan berkelahi yang tinggi. Tetapi ternyata bahwa melawan dua orang petugas sandi itu, ia harus berjuang sekuat-kuatnya, meskipun ta mpak juga di dala m perkelahian itu bahwa tenaganya me mang luar biasa. Jika perkelahian itu dibiarkan saja, belum tentu bahwa Sura akan segera dapat menyelesaikannya dengan baik. Namun dengan de mikian. seolah-olah Arum dihadapkan pada sebuah cermin tentang dirinya sendiri. Ternyata bahwa ke majuan yang pernah dicapai di dalam olah kanuragan sudah sedemikian jauhnya. Jika Sura memuji ke ma mpuannya, sama sekali bukannya suatu hal yang dibuat-buat. Ternyata bahwa menurut penilaiannya di dalam perke lahian itu, ilmunya sendiri telah berada di atas ke ma mpuan Sura. Demikianlah perke lahian itupun sema kin la ma menjadi semakin sengit. Sura dan kawannya harus mengerahkan segenap kema mpuan yang ada padanya. Dengan mengerahkan segenap ke kuatannya Sura sekali-sekali berhasil mendesak lawannya. Jika ia mengayunkan pedangnya yang besar dengan sekuat tenaganya, maka kedua lawannya itu sama sekali tidak berani menangkisnya, sehingga mereka terpaksa berloncatan mundur.
Akhirnya Arumpun menjadi je mu melihat perkelahian itu. Jika dibiarkannya, maka perkelahian itu akan berlangsung semala m suntuk, dan bahkan belum dapat dipastikan bahwa Sura akan dapat keluar dengan selamat. Demikian juga seorang kawannya itu. Karena itu, maka iapun ke mudian mendekat sa mbil berkata "Paman Sura. Apakah paman masih ingin berte mpur dengan cara ini se mala m suntuk?" "Ah" terdengar Sura berdesah. Tetapi ia. masih sempat tertawa "Sudah aku katakan. Tentu aku tidak akan dapat mengimbangi ke ma mpuan anak-anak Jati Aking" "Paman selalu me muji" "Terus terang, aku mengala mi kesulitan sedikit dengan kelinci ini" "Tutup mulut" salah seorang lawannya me mbentak sa mbil menyerang dengan serunya, sehingga Sura terkejut karenanya. Namun ke mudian diputarnya pedangnya yang besar itu sehingga lawannya itu tidak dapat mendekatinya lebih rapat lagi. Arum me mekik kecil, karena iapun terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Tetapi kemudian ia tertawa kecil sambil berkata "Pa man, apakah aku boleh ikut serta" "Ah, jangan bergurau Arum. Aku menjadi ma lu mendengar tawaranmu" Arum masih tertawa, sedang lawannyapun mengumpatumpat t idak habis-habisnya. Tiba-tiba saja Arum merasa melihat suatu permainan yang mengasyikkan di dala m keje muannya. Karena itu, maka iapun me langkah se makin dekat sambil berkata "Aku akan terjun. Mala m sudah se makin larut, dan udara menjadi se ma kin dingin"
Hampir di luar dugaannya, maka salah seorang lawan Sura itu menyahut "Sudah tentu, karena kau tidak mengenakan pakaian dengan ba ik" Arum mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia meraba kainnya dan menelakupkannya. Tetapi karena kain itu me mang sudah sobek, maka setiap ka li angin ma la m yang dingin telah menghe mbusnya. Namun seka li lagi Arum mene mukan keseimbangan perasaannya kembali. Maka katanya "Bukan wa ktunya kau sebut-sebut lagi. Kita sudah me mbicarakannya sejak semula, dan agaknya sudah terla mpau sering kau sebut-sebut" Jawaban itu membuat lawan-lawan Sura itu menjadi berdebar-debar. Sejenak ke mudian Arum sudah berdiri di antara mereka yang sedang bertempur. Sekali-sekali ia masih disentuh oleh keragu-raguan, namun ke mudian iapun mulai menggerakkan senjatanya. Lawannya sudah mengetahui betapa kema mpuan gadis yang cantik itu. Karena itu, maka dua di antaranya me lepaskan lawannya dan bertempur melawan Arum yang segera mulai me nyerang salah seorang dari mereka. Namun dengan de mikian akhir dari perkelahian itu sudah mulai terbayang. Keempat lawan Arum yang kini harus me lawan tiga orang itu segera merasakan tekanan yang berat, sehingga debar di jantung merekapun menjadi se ma kin berdentangan. "Gadis ini benar-benar luar biasa" desis salah seorang dari mereka. Ternyata bahwa perkelahian itupun segera menuju keakhirnya. Ke ma mpuan Arum benar-benar mengagumkan. Apalagi kini ia hanya melawan dua orang saja di antara keempat lawannya.
Dala m pada itu Surapun segera berhasil menguasai seorang lawannya. Demikian pula kawannya. Sehingga dengan demikian, maka tidak ada kesempatan lagi bagi keempat orang itu untuk mengharap dapat me menangkan perkelahian itu. Namun ternyata bahwa mereka benar-benar bukan orangorang jantan di dalam kesulitan itu, salah seorang lawan Arum ternyata berusaha untuk me larikan diri, setelah ia mengumpankan kawannya sendiri dengan mendorongnya ke depan, sehingga hampir saja ia melanggar Arum yang terkejut. Tetapi Arum se mpat menghindar. Bahkan ia masih sempat me mukul orang yang terhuyung-huyung itu dengan sisi telapak tangan kirinya, sehingga orang itu justru terjerembab jatuh menelungkup. Bukan saja wajahnya yang mencium tanah, dan hidungnya yang me mbentur batu dan menjadi berdarah, tetapi ternyata pukulan Arum telah me mbuatnya pingsan. Kawannya, yang mendorongnya dengan sekuat tenaganya, untuk mengha lang-halangi Arum agar ia mendapat kesempatan, segera berusaha melarikan diri. Namun ternyata nasibnya justru lebih buruk dari kawannya yang pingsan itu, karena Arum yang marah tida k se mpat berpikir panjang. Tiba-tiba saja ia me le mparkan pedang pendeknya dengan sekuat tenaganya.
Yang terdengar kemudian adalah pekik kesakitan yang me lengking menyobek heningnya mala m, seakan-akan menggetarkan dedaunan yang tidur dengan tenang di sebelah menyebelah ja lan bulak itu. Arum sekilas me lihat orang itu terhenti. Kemudian sejenak ia berdiri terhuyung-huyung, dan jatuh terjerumus ke dala m parit. di punggungnya masih menghunja m pedang pendek yang dile mparkan Arum dengan se kuat tenaganya. Tetapi Arum sendiri ke mudian me me kik sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia sama sekali tidak sengaja me mbunuh lawannya dengan cara yang mengerikan itu. Yang dila kukan itu sekedar gerak naluriahnya, namun yang di dasari oleh ilmunya yang tuntas. Sura dan kawannya ternyata telah menyelesaikan pekerjaan mereka pula. Dengan sebuah ayunan yang keras, Sura berhasil mele mparkan senjata lawannya, sehingga dengan ge metar lawannya itu tida k dapat mela kukan perlawanan lagi ketika ujung pedang Sura menyentuh dadanya. "Kau menyerah?" bentak Sura. Lawannya tidak menjawab. "Jika tida k, aku a kan menekan pedang ini" "Aku menyerah" desisnya. Sura menarik nafas dalam-dala m, senjatamu dan duduklah menepi" lalu "Le mparkan
Orang itu me le mparkan senjatanya dan kemudian duduk bersila di atas tanggul parit di pinggir jalan, sambil menundukkan kepa lanya. "Tautkan tanganmu di atas tengkuk" perintah Sura. Orang itupun ke mudian me ntautkan kedua tangannya di atas tengkuk.
Sementara itu, kawan Sura telah meluka i lawannya sehingga orang itupun tidak dapat melawannya lagi meskipun ia tidak mati. Perlahan-lahan Sura mende kati Arum yang masih dicengka m oleh debar jantungnya. Dengan suara yang dala m Sura berkata "Sudahlah Arum. Kau t idak berbuat sa lah" Arum masih dicengka m oleh debar jantungnya yang keras. Namun perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya dan me mandang kepada Sura. Katanya "Aku tidak sengaja me lakukannya pa man" "Itulah ga mbaran dari benturan kekerasan. Perkelahian dan di dala m bentuknya yang besar adalah peperangan. Hampir dapat dikatakan tidak seorangpun dengan sengaja menjerumuskan diri di dala m peperangan. Setiap orang menginginkan kehidupan yang tenang dan damai. Tetapi pada suatu saat kita akan sampai pada daerah kehidupan yang tidak kita inginkan ini" Arum me nundukkan kepalanya dala m-dala m. Dala m pada itu kawan Sura menjadi heran. Tidak banyak gadis yang memiliki ke ma mpuan seperti Arum. Gadis yang hampir sempurna di dala m olah kanuragan, tetapi yang gemetar me lihat lawannya terbunuh dengan darah yang terpancar dari lukanya. "Paman" berkata Arum ke mudian "Bagaimanakah dengan orang-orang ini" Jika mereka dibiarkan di sini. dan para petugas sandi dari Surakarta melihatnya, apakah tidak akan ada akibat yang tidak menyenangkan bagi padukuhan di sekitar tempat ini?" "Tentu Arum. Karena itu, biarlah aku me mbawa semua orang yang ada di bula k ini. Biarlah aku menguburkan yang mati dan me mbawa yang hidup menghadap Raden Mas Said atau orang-orang kepercayaannya"
Arum t idak segera menjawab. "Dengan demikian, kau dan padukuhan di sekitar tempat ini tidak usah bertanggung jawab atas hilangnya keempat orang petugasnya, karena tidak seorangpun yang akan menyangka bahwa kaulah yang me lakukannya. Sementara itu, aku akan mengatakan bahwa kau telah me mbantu a ku, bahkan ha mpir menentukan, sehingga kee mpat orang ini dapat tertangkap" Arum termangu-mangu sejenak, lalu "Terserahlah kepada paman" "Baiklah. Aku akan me mbawanya. Sebentar lagi yang seorang itu tentu akan sadar ke mba li. Aku sudah melihat ia mulai bergerak. Yang terluka itupun tidak terla mpau parah, sedang yang seorang lagi masih sehat wa lafiat" Arum me nganggukkan kepalanya. "Nah Arum. Jika kau akan kembali ke padepokanmu, silahkan. Mungkin ayahmu telah menunggumu dengan gelisah, meskipun ayahmu percaya sepenuhnya akan ke ma mpuanmu" Arum mengangguk sekali lagi sa mbil menjawab "Baiklah paman. Terserahlah kepada paman untuk menghilangkan jejak ke matian petugas sandi itu" "Serahkanlah kepadaku" Arum me mandang Sura sejenak, lalu kepada kawannya berganti-ganti. Kemudian setelah minta diri, iapun segera ke mbali ke padepokannya dengan hati yang masih berdebardebar. Jika teringat olehnya, lawannya mengaduh dan ke mudian terhuyung-huyung karena pedang pendeknya menghunja m di punggung, maka iapun menjadi kian berdebar-debar. "Tetapi aku tidak dapat berbuat la in" katanya kepada diri sendiri Dan setiap kali terngiang kata-kata Sura di telinganya
"Itulah ga mbaran dari benturan kekerasan. Perkelahian dan di dalam bentuknya yang besar adalah peperangan" Arum me narik nafas dala m-dala m. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mendengar desir langkah di belakangnya sehingga tiba-tiba saja ia telah bersiap dan me mutar tubuhnya menghadap kearah suara itu. Di dala m kege lapan ia melihat sesosok tubuh yang berjalan di bela kangnya. Tetapi yang sama se kali tidak berusaha menghindar atau bersembunyi ketika ia sudah menghadapinya. Arum menjadi berdebar-debar. Mungkin ia harus bertempur lagi menghadapi orang yang lebih berat dari kee mpat orang yang telah berada di bawah kekuasaan Sura itu. Tetapi ketika orang itu menjadi se makin de kat, maka Arumpun ke mudian berdesis "Ayah" Terdengar suara ayahnya tertawa kecil sambil menyahut "Ya Arum" "Dari manakah ayah datang?" "Kenapa kau bertanya bersama mu dari rumah?" begitu" Bukankah aku pergi
"Tetapi ayah sudah pulang lebih dahulu" "Itulah orang tua Arum. Orang tua kadang-kadang selalu dibebani oleh perasaan cemas terhadap anaknya meskipun anaknya sudah cukup masak menghadapi masa lahnya sendiri. Aku tentu tidak akan dapat me mbiarkan kau dibawa oleh orang-orang itu meskipun aku tahu bahwa kau akan dapat mengatasi kesulitanmu. Tetapi jika pa manmu Sura tida k hadir di arena. mungkin kau me merlukan cara lain untuk mengatasi lawan-lawanmu yang sebenarnya cukup berat bagimu. Kema mpuan mereka di dala m kelompok yang ternyata terdiri
dari empat orang pilihan itu me ma ng berada di atas ke ma mpuanmu" "Ayah melihat?" "Ya Arum. Aku me lihat sejak permulaan" "Dan ayah mengetahui kehadiran pa ma Sura" "Ya. Tetapi pamanmu Sura tida k mengetahui bahwa aku menungguinya" ayahnya berhenti sejenak, lalu "Tetapi Arum. Jangan me mbiasakan diri merasa aku selalu menungguimu. Sebenarnya aku ragu-ragu untuk mengatakan kepada mu ka li ini bahwa aku ada di dekat mu saat itu. Aku me mpunyai pertimbangan lain, bahwa aku tetap diam dala m ha l ini agar kau tidak merasa bahwa setiap kali kelak, aku tentu ada di dekatmu jika kau mendapat kesulitan. Dengan de mikian kau akan menjadi le mah dan kurang berusaha. Padahal sudah barang tentu bahwa aku tidak akan sela lu dapat berbuat seperti ini" Arum mengerti maksud ayahnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab "Aku mengerti ayah" "Nah baiklah. Marilah kita percepat langkah kita" "Bagaimana dengan pa man Sura?" "Biarlah pamanmu menyelesaikan kesanggupannya. Agaknya tawanannya yang sehat itulah yang dipaksanya untuk mengusung temannya yang terbunuh. Ia akan menguburnya dan melenyapkan se mua be kas-bekas perkelahian itu" Arum menarik kepalanya. nafas sambil mengangguk-anggukkan
Demikianlah ma ka keduanyapun kemudian berjalan semakin cepat. Tetapi ketika sampai di padepokan, Arum tidak mau masuk me lalui pintu depan rumahnya. Ia langsung pergi ke pintu butulan dan masuk lewat belakang. Baru setelah ia berganti pakaian maka iapun pergi ke ruang tengah mene mui
ayahnya yang duduk menghadapi semangkuk minuman panas. Agaknya beberapa orang pelayannya menjadi gelisah pula sepeninggal Arum, sehingga mere ka tetap menunggu sampai saatnya Arum dan ayahnya pulang. Bahkan se mpat menyediakan minuman panas bagi mereka. Dala m pada itu Sura sibuk dengan tawanannya. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, maka yang masih sehat itulah yang harus me mbawa mayat kawannya, sedang Sura dan kawannya me mbantu kedua orang yang la in. Bahkan ketika mereka sampa i ke tanah pekuburan, maka orang itu pulalah yang harus menggali lubang. "Tida k ada cangkul" katanya. "Carilah di rumah yang paling dekat. Mungkin di kandang le mbu dan kerbau. Biarlah a ku tunggui orang-orang ini" berkata Sura kepada kawannya. Akhirnya kawan Sura itupun mene mukan cangkul itu di sebuah kandang. Setelah mengubur kawannya yang terbunuh itu, maka tawanan itu masih harus me mapah kawannya yang terluka. Sedang kawan Sura me nolong orang yang baru sadar dari pingsannya karena tengkuknya dipukul oleh Arum dengan sisi telapak tangannya. "Kita akan pergi jauh. Apakah kalian tidak me mbawa kuda atau kereta atau apapun yang kau sembunyikan atau kau titipkan kepada seseorang?" bertanya Sura kepada orangorang itu. Ternyata mereka menyediakan kuda yang mereka tinggalkan di tengah-tengah pategalan, seperti juga kuda Sura. Karena itu maka merekapun ke mudian menga mbil kuda yang mereka simpan di te mpat yang berbeda-beda. "Sudah tiga hari aku berkeliaran di daerah ini menunggu kedatangan kalian" berkata Sura "Agaknya petugas sandi yang
Autumn In Paris 3 Candika Dewi Penyebar Maut V I I I Dewi Penyebar Maut X I 2
^