Pencarian

Memanah Burung Rajawali 10

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 10


kapadanya, 'Baiklah, bangsat lelaki, aku tak akan lihat kitabmu!' Dia jawab aku,
'Eh, perempuan bangsat, aku justru berbuat baik terhadapmu! Jikalau kau lihat
ini, kau tentu ingin mempelajarinya, tetapi kau tidak mengerti ilmu dalam,
tubuhmu bisa rusak.' Aku jawab, 'Baiklah! Jangan kau terus mengaco-belo!' Tapi
ia mengajarkan aku Kiu Im Pek-ku Jiauw dan Cwie-sim-ciang, yaitu cengkeramnan
Tulang Putih serta Pukulan Meremukkan Hati. Kemudian terjadilah pertempuran di
atas gunung itu. Kanglam Cit Koay telah mengepung aku. 'Mataku! Mataku!' Ya, aku
merasakan sangat sakit pada mataku, aku merasa gatal sekali. Aku empos
semangatku, aku lawan serangan racun. Aku tidak mati, tetapi mataku buta!
Suamiku pun binasa! Itulah pembalasan! Pernah kami membinasakan kakaknya dan
mata adiknya dibikin buta."
Mengingat itu semua, dengan sendirinya cekalan Bwee Taiuw Hong menjadi semakin
keras dan giginya pun bercatrukan.
"Matilah aku kali ini..." kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Entah dia bakal gunai
cara kejam bagaimana akan siksa aku hingga aku terbinasa...." Karenanya, ia lantas
berkata: "Eh, sekarang aku tidak menghendaki hidup pula! Aku hendak minta suatu
apa padamu, harap kau suka meluluskannya."
"Kau hendak minta sesuatu dari aku?" Bwee Tiauw Hong tanya, ia tertawa dingin.
"Ya," jawab Kwee Ceng. "Di tubuhku ada beberapa rupa obat, aku minta kau tolong
serahkan itu pada Onng Totiang yang sekarang ini lagi mondok di penginapan Ang
Ie, di luar kota barat."
"Seumurku aku tidak pernah melakukan kebaikan!" Tiauw Hong membilang.
Dia tidak ingat lagi berapa banyak kesengsaraan yang dideritanya dan berapa
banyak jiwa yang telah dibunuhnya, tetapi pertempuran dahsyat di atas gunung
itu, ia masih ingat jelas sekali. Sekonyong-konyong matanya menjadi gelap, ia
tidak dapat melihat sinar bintang lagi.
"Suamiku berkata," dia berkata di dalam hatinya lagi, ngelamun, "'Aku tidak
bakal ketolongan lagi...rahasianya Kiu Im Cie Keng ada di dadaku....' Itulah kata-
katanya yang terakhir. mendadak hujan turun seperti di tuang-tuang. Lalu Kanglam
Cit Koay perhebat serangannya atas diriku. bebokongku telah kena tertinju.
Penyerang itu sempurna ilmu dalamnya, dia membikin aku merasa sakit sampai di
tulang-tulangku. Aku pondong tubuhnya si lelaki bangsat, aku kabur. Aku tidak
dapat melihat musuh-musuhku itu, tetapi mereka juga tidak mengejar. Itulah aneh!
Hujan turun hebat sekali, langit mestinya gelap gulita, dan mereka itu tidak
dapat melihat aku. Aku berlalri-lari di dalam hujan. Tubuhnya si lelaki bangsat
mulanya masih hangat, lalu perlahan-lahan menjadi dingin. hatiku pun turut
menjadi dingin karenanya. Seluruh tubuhku bergemetar, dinginnya luar biasa.
'Lelaki bangsat, apakah benar-benar kau telah mati"' Aku bertanya. 'Kau yang
begini lihay, kau mati tidak karuan"' aku cabut pisau belati dari pusarnya,
darah lantas muncrat keluar. Sebenarnya apakah yang heran" Orang dibunuh,
darahnya pasti mengalir keluar. Aku sendiri, entah berapa banyak orang telah aku
bunuh.... Sudahlah, aku pun harus mati bersama si lelaki bangsat. Hanya, tanpa ada
orang yang memanggil dia lelaki bangsat, oh, bagaimana tawar! Lantas aku bawa
ujung belati ke mulutku, dibawah lidah. Itulah temapt kematianku. Tiba-tiba aku
kena raba huruf-huruf ukiran di gagang pisau belati itu. Aku lantas meraba-raba.
Itulah dua huruf 'Yo Kang'. Ah, kiranya pembunuh si lelaki bangsat itu bernama
Yo Kang! Mana dapat aku tidak menuntut balas" Sebelum membinasakan Yo Kang itu,
mana boleh aku mati" Maka itu aku meraba ke dadanya si lelaki bangsat, akan cari
rahasianya kitab Kiu Im Cie Keng itu. Sia-sia aku mencari, aku tidak
mendapatkannya. Aku penasaran! Aku lalu mencari di rambut kepalanya, terus ke
bawah. Tidak ada bagian anggotanya yang aku bikin kelompatan. Tempo aku meraba
pula dadanya, di situ aku merasakan kulit dagingnya yang rada luar biasa."
Bwee Tiauw Hong lantas mengasih dengar suara tertawa kering dari tenggorokannya.
Hebat suara itu, menyeramkan, Kwee Ceng sampai bergidik.
Bwee Tiauw Hong merasa ia telah berada pula di gurun pasir, hujan besar telah
membasahkan seluruh tubuhnya, akan tetapi tubuh itu ia rasakan panas sekali. Dia
merasa seperti telah meraba dada suaminya, yang ia selalu panggil dengan sebutan
'lelaki bangsat', sebagaimana dia sendiri dipanggil 'perempuan bangsat' oleh
suaminya itu. Nyata dada itu dicacah dengan jarum, merupakan huruf-huruf dan
peta. Itu dia rahasianya Kiu Im Cie Keng. Hian Hong khawatir kitabnya dicuri
orang, dia cacah tubuhnya sendiri, setelah itu ia bakar kitabnya itu.
"Memang," demikian dia ngelamun pula, "Suhu yang demikian lihay, kitabnya masih
kena kita curi. Maka siapa berani tanggung yang kitab kami pun tak ada yang
bakal mencurinya" Maka ia kata pada waktu itu, 'Bagus betul pikiranmu ini. Ini
artinya, selama orangnya masih hidup, kitabnya pun ada, setelah orangnya mati,
kitabnya lenyap bersama.' Aku lantas gunai pisau belati mengiris kulit dadanya
si lelaki bangsat. Ah, hendak aku memberi obat kepada kulit itu, supaya tidak
menjadi nawoh dan rusak, ingin aku membawa-bawanya di tubuhku. 'Aku ingin kau
selalu mendampingi aku...' Ketika itu aku tidak bersedih lagi sebaliknya aku
tertawa terbahak-bahak. Dengan kedua tanganku, aku lantas menggali sebuah liang
besar. Di situ aku kubur si lelaki bangsat. 'Kau ajarkan aku cengkaraman Kiu Im
Pek-ku Jiauw, sekarang dengan kepandaian itu aku menggalikan kau liang kubur.
Lantas aku sembunyikan diri di dalam gua, aku khawatir Kanglam Cit Koay dapat
mencari aku. Sekarang ini aku bukannya tandingan mereka, maka tunggulah aku
selesai dengan pelajaranku. Hm! itu waktu akan aku jambret setiap batok kepala,
setiap hati manusia! Aku akan belajar, tidak peduli aku bisa terluka di dalam
atau tidak. Peduli apa! Berselang dua hari, selagi perutku lapar, aku dengar
suara pasukan tentara lewat di depan guaku. Mereka itu bicara dengan bahasa
Nuchen dari negara Kim, aku lantas keluar dari tempat sembunyiku, aku minta
barang makanan. Pangeran yang memimpin pasukan itu mengasihani aku, dia suka
menolong, malah ia terus ajak aku ke istananya si Tiongtouw. Belakangan aku
mendapat tahu, pangeran itu adalah Pangeran Chao Wang, putra nomor enam dari
raja Kim. Aku bekerja di taman belakang, bekerja menyapui rumput, di situ secara
diam-diam aku menyakinkan ilmu kepandaianku. Beberapa tahun telah lewat tanpa
ada yang mengetahui perbuatanku itu. Semua orang menganggap akulah seorang
wanita tua yang buta yang harus dikasihani."
"Kemudian pada suatu tengah malam.... Ah! Pangeran cilik yang nakal itu telah
datang ke taman belakang, untuk mencari telur burung, dia telah mempergoki aku
lagi menyakinkan cambuk perak.
Ia lantas menggerembengi aku, dia memaksa minta aku memberi pelajaran padanya.
Terpaksa aku ajarkan dia tiga jurus. Sekali saja, ia telah dapat belajar dengan
baik. Ternyatalah ia berotak terang sekali! Aku jadi gembira, maka aku terus
mengajari dia. Aku hendak mengajari dia segala macam kepandaian asal dia suka
bersumpah tidak membuka rahasia kepada siapa juga, tidak kecuali kepada ongya
dan onghui. Aku mengancam, asal rahasia bocor, akan aku cambuk toblos batok
kepalanya!" "Lewat beberapa bulan, pangeran cilik itu memberitahukan kepada aku, bahwa ongya
hendak pergi lagi ke Mongolia. Lantas aku minta supaya aku diajak, agar aku bisa
bersembahyang di kuburan suamiku. Ongya menerima baik permintaan itu. Dia sangat
menyayangi pangeran kecil itu, yang segala keinginannya senantiasa dipenuhi. Oh,
disana tidak dapat aku mencari tulang-tulangnya si lelaki bangsat. Lantas aku
hendak mencari Kanglam Cit Koay. Sungguh aku sangat beruntung, di sana aku
dapatkan tujuh saudara imam dari Coan Cin Kauw. Mataku tidak bisa melihat, cara
bagaimana aku bisa melawan mereka" Di antara mereka, yang lihay tenaga dalamnya
adalah Tan Yang Cu Ma Giok. Asal ia membuka mulutnya, walaupun ia tidak
berbicara keras, suaranya dapat terdengar sampai di tempat jauh. Perjalananku ke
Mongolia itu tidak sia-sia belaka. Aku dapat mendesak kepada Ma Giok, hingga ia
secara sembarangan mengajari aku sepatah kata rahasianya ilmu dalam. Sepulangnya
ke istana, aku berdiam di dalam terowongan dalam tanah, di mana aku menyakinkan
kepandaianku. Tidak dapat ilmu dalam itu dipeljarakan tanpa petunjuk, aku
mempelajarinya dengan memaksa. Kesudahannya, separuh tubuhku ini tidak dapat
digeraki. Aku melarang si pangeran cilik datang padaku. Ia tidak ketahui yang
pelajaranku telah tersesat. Coba kalau bocah ini tidak menerobos masuk ke dalam
terowongan, pastilah aku akan mati kelaparan di dalam situ. Hm, rupanya dari si
lelaki bangsat yang memimpin bocah itu datang padaku, supaya ia menolongi aku,
supaya kemudian aku bunuh si bocah untuk menuntu balas untuknya!"
Saking senang dan gembiranya, Tiauw Hong tertawa berkakakan tak hentinya. Dia
tertawa haha tercampur hmhm, tertawa dingin!
Bab 22. Pertempuran Dahsyat
Wanita ini tertawa, hingga tubuhnya menggetar, sedang tangan kanannya
mengerahkan tenaganya. Kwee ceng merasakan tenggorokannya tercekik keras sekali.
Di saat mati atau hidup itu, ia pegang tangan si wanita, untuk dipaksa
melepaskan cekikannya. Ia telah mendapatkan pelajaran dari Ma Giok, ia sudah
menyakinkannya beberapa tahun, tenaga dalamnya telah cukup kuat, sedang juga, ia
dapat tenaga akibat darah ular yang ia sedot. Pengejarannya Nio Cu Ong dan
pertempurannya sama Wanyen Kang membuatnya tenaga obat menguatkan tubuhnya. Maka
juga, ia berontak dengan berhasil.
Bwee Tiauw Hong terperanjat. "Tidak jelek kepandaiannya bocah ini!" pikirnya.
Dia lantas menjambak pula, sampai tiga kali.
Kwee Ceng selalu berkelit dengan berhasil.
Panas hatinya Tiauw Hong, dia berseru panjang, tangannya menyambar ke batok
kepala. Itu dia pukulannya yang berbahaya, pukulan Cwi-sim-ciang.
Kwee Ceng kalah pandai, tangan kanannya pun masih dicekal si wanita, tidak dapat
ia berkelit lagi. Tapi dia pun nekat, maka ia angkat tangannya yang kanan, untuk
menangkis. Begitu kedua tangannya beradu, Bwee Tiauw Hong sudah lantas menarik pulang
tangannya. Tangannya itu telah tergetar, juga seluruh tubuhnya menjadi panas. Ia
menjadi heran sekali. Ia berpikir: "Aku berlatih tanpa guru, aku tersesat. Bocah
ini sebaliknya sempurna ilmu dalamnya. Kenapa aku tidak mau memaksa dia untuk
mengajari aku?" Maka kembali ia mencekik leher si bocah itu. "Kau telah membunuh suamiku, tidak
ada harapan algi untuk kau hidup lebih lama!" ia kata dengan bengis. "Tetapi
jikalau kau meu dengar perkataanku, akan kau membikin kau mati dengan puas!
Jikalau kau membela, aku nanti siksa padamu!"
Kwee Ceng tidak menjawab.
"Bagaimana Tan Yang Cu mengajarkan kau ilmu bersemadhi"!" Tiauw Hong tanya.
Kwee Ceng dapat menerka isi hati orang. Ia berpikir; Ah, kau ingin aku
mengajarkan kau ilmu tenaga dalam! Tidak nanti! Biar aku mati, tidak nanti aku
membikin harimau tumbuh sayap!" Maka ia lantas tutup rapat kedua matanya, ia
tidak pedulikan ancamanan orang.
Bwee Tiauw Hong mengerahkan tenaga di tangan kirinya, hal itu membuat Kwee Ceng
merasai lengannya sakit sekali. Tetapi ia sudah nekat, malah ia kata: "Kau
memikir untuk mendapatkan kepandaianku" Hm! Baiklah siang-siang kau matikan
keinginanmu itu!" Tiauw Hong kendorkan pencetannya. "Aku berjanji akan mengantarkan obatmu kepada
Ong Cie It, untuk menolongi jiwanya," katanya lemah lembut.
Mendengar ini, Kwee Ceng berpikir. "Inilah urusan penting," katanya dalam
hatinya. Lekas ia bilang: "Baik! Tapi kau mesti bersumpah dulu - sumpah yang
berat, nanti aku ajarkan kau ilmu yang Ma Totiang ajarkan aku."
Tiauw Hong lantas saja menjadi kegirangan. "Orang she Kwee...." katanya, dengan
sumpahnya, "Sesudah si bocah she Kwee yang baru mengajari aku ilmu dalam dari
Coan Cin Kauw, apabila aku si orang she Bwee tidak mengantarkan obat kepada Ong
Cie It, biarlah tubuhku tidak dapat bergerak seluruhnya, biarlah aku tersiksa
untuk selama-lamanya!"
Wanita ini baru memberikan sumpahnya itu lalu tiba-tiba di sebelah kiri mereka,
sejarak belasan tembok, ada orang membentak dengan dampratannya; "Budak hina,
lekas kau munculkan dirimu untuk terima binasa!"
Kwee Ceng kenali itu suara bentakan, ialah dari Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay.
Lantas ia dengar pula suara seorang lain, "Budak cilik ini mesti ada di dekat-
dekat sini! Jangan khawatir, dia tidak bakal lolos!"
Sembari berbicara, mereka itu jalan pergi.
Kwee Ceng terkejut. "Kiranya Yong-jie masih ada disini," pikirnya. "Dan dia
telah dipergoki mereka itu...." Dia lantas berpikir pula. Setelah itu, ia kata
kepada Bwee Tiauw Hong; "Kau masih harus melakukan baik satu hal lagi, jika
tidak, kau boleh siksa aku, aku akan tutup mulutku!"
"Masih ada apalagi"!" tanya Tiauw Hong yang murka sekali.
"Aku ada punya satu sahabat, satu nona kecil," sahut si anak muda: "Sahabatku
itu lagi dikejar-kejar lawannya. Kau mesti turun tangan untuk menolongi
sahabatku itu!" "Hm!" Tiauw Hong kasih dengar ejekannya. "Cara bagaiman aku bisa mengetahui di
mana adanya sahabatmu itu" Sudah, jangan ngoceh terus! Lekas kau jelaskan ilmu
itu!" Dia pun kembali memencet.
Kwee Ceng menahan sakit, hatinya cemas dan mendongkol. Ia membandel. "Kau mau
menolongi atau tidak, terserah padamu!" katanya keras. "Aku suka bicara atau
tidak, terserah padaku!"
Tiauw Hong kewalahan. "Baiklah bocah, aku menerima baik permintaanmu,"
bilangnya. "Bocah cilik yang bau, aku tidak sangka Bwee Tiauw Hong satu jago
yang telah malang melintang di kolong langit ini, sekarang aku mesti menyerah
kepada segala kehendakmu!"
Kwee Ceng tidak menyahuti, dia hanya berkoak-koak: "Yong-jie, ke mari! Yong-jie!
Yong-jie....." Baru dua kali Oey Yong dipanggil, tiba-tiba dia telah muncul dari gerombolan
pohon kembang mawar di samping mereka. Dia lantas menyahuti: "Sudah lama aku ada
di sini....!" Memang nona itu sudah sekian lama bersembunyi di situ, maka itu dia pun telah
denar pembicaraan di antara Tiauw Hong dan Kwee Ceng. Dia menjadi terharu dan
tertarik hatinya kepada si pria, yang begitu perhatikan dan menyayangi
kepadanya. Tanpa merasa, air matanya turun meleleh di kedua belah pipinya yang
halus. Tapi ia tidak menangis terus, hanya ia lantas kata pada Bwee Tiauw Hong:
"Bwee Jiak Hoa, lekas kau merdekakan dia!"
Kwee Ceng heran, begitu pun Bwee Tiauw Hong.
Bwee Jiak Hoa itu adalah nama benar dari Tiauw Hong, nama sebelum ia berguru,
nama itu tidak dikenal kaum kongouw. Nama itu pun sudah beberapa puluh tahun
tidak pernah terdengar lagi. Sekarang Tiauw Hong dengar nama orang menyebutnya,
ia terperanjat. "Kau siapa"!" ia tanya, suaranya bergemetar.
Oey Yong menjawab, katanya: "Di dalam tumpukan cita menyembunyikan pedang
mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang tetamu....Aku she Oey...."
Tiauw Hong menjawab terlebih kaget lagi. "Kau...kau....!" tanyanya membentak.
"Kau bagaimana"!" balas tanya Oey Yong. "Masih ingkatkah kau kepada puncak Cek
Cui Hong, gua Twie In Tong dan paseban Sie Kiam Teng dari pulau Tho-hoa-to di
Tang Hay?" Tiauw Hong berdiam, ia merasakan seperti tubuhnya melayang-layang. Semua puncak,
gua dan paseban itu adalah tempat, dimana ia biasa pesiar semasa dia masih
belajar silat. Heran ia akan mendengar disebutnya semua itu.
"Kau pernah apa dengan Oey Suhu, yang namanya Yok di atas dan Su di bawah?" ia
tanya kemudian. "Bagus!" seru si nona. "Kau nyatanya belum melupai ayahku! Tapi juga ayahku
belum melupakannya kau! Dia telah datang sendiri menjenguk padamu!"
Tiauw Hong ingin berbangkit bangun akan tetapi kakinya tidak mau menurut
perintah. Ia menjadi kaget, seumpama kata semangatnya terbang pergi. Ia menjadi
bingung sekali. "Lekas lepaskan dia!" Oey Yong berkata pula.
Tiba-tiba pula Tiauw Hong ingat: "Selama ini suhu tidak pernah meninggalkan Tho
Hoa To, maka cara bagaimana dia bisa datang kemari" Bukankah aku tengah di
perdayakan?" Menyaksikan keragu-raguan orang, Oey Yong berlompat tinggi setombak lebih,
selagi lompat, ia putar tubuhnya dua kali sebelum tubuhnya turun, ia menyerang
ke arah Tiauw Hong. Itulah jurus "Burung garuda terbang ke langit" dari Cwie-
sim-ciang. Sembari menyerang, ia menaya: "Kau sudah mencuri kitab Kiu Im Cie
Keng, kau mengertikan jurus ini?"
Tiauw Hong merasakan serangan itu dari anginnya saja, ia angkat tangannya untuk
menangkis seraya ia berkata: "Sumoay, marilah kita bicara baik-baik! Mana suhu?"
Oey Yong tidak segera menjawab, di waktu tubuhnya turun ke bawah, ia lantas ulur
tangannya akan sambar Kwee Ceng guna ditarik.
Memang Oey Yong ini adalah putrinya Oey Yok Su, Tocu pemilik pulau dari pulau
Thoa Hoa To di Tang Hay, Laut Timur. Dia adalah anak tunggal dan tersayang.
Ibunya telah meninggal dunia karena kesulitan bersalin setelah ia dilahirkan.
Dalam kedukaannya, Oey Yok Su menghibur diri dengan merawat dan memanjakan
putrinya ini dengan dibantu sejumlah pelayan. Karena ia sangat disayang, ia
menjadi sangat nakal. Ia cerdas sekali tetepi dalam pelajaran ilmu silat, ia
kurang bersungguh-sungguh, ia tidak dipaksa ayahnya itu yang ingat ia masih
berusia terlalu muda. Maka itu, walaupun Oey Yok Su ada satu jago yang lihay,
anaknya baru mendapat permulaan saja dari kepandaiannya itu.
Pada suatu hati Oey Yong pesiar kelilingan di pulaunya itu, sampai ia tiba di
gua, dimana ayahnya telah mengurung musuhnya. Ia bicara sama musuh itu. Ia
merasa kasihan, ia memberikan sedikit arak. Belakangan Oey Yok Su ketahui
perbuatan anaknya itu, ia gusar, ia tegur anaknya itu. Belum pernah Oey Yong
ditegur, ia menjadi tidak senang, maka itu ia pergi buron dengan menaiki sebuah
getek kayu. Ia menyamar sebagai satu pemuda melarat, ia pergi ke mana ia suka,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai di Kalgan ia - diluar dugaannya - bertemu sama Kwee Ceng, malah keduanya
tertarik satu pada yang lain hingga mereka lantas saja menjadi bersahabat erat.
Oey Yong pernah dengar ayahnya omong tentang Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong,
kedua murid ayahnya itu, maka itu ia jadi tahu nama benar dari Tiauw Hong.
Tentang kata-katanya tadi, yaitu: " Di dalam tumpukan cita menyembunyikan pedang
mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang tetamu", itulah
nyanyiannya Oey Yok Suk yangs ering dinyanyikan, maka setiap muridnya kenal itu
baik sekali. Ia sengaja menyebutkan itu, untuk menggertak kepada Tiauw Hong,
yang kepandaiannya tidak dapat ia tandingi. Benar-benar Tiauw Hong jeri dan
melepaskan Kwee Ceng. Tiauw Hong masih berpikir: "Suhu telah datang, entah dengan cara apa dia bakal
menghukum aku..." Mukanya menjadi pucat kapan ia ingat kebengisannya Oey Yok Su,
tubuhnya menggigil sendirinya. Ia buta tetapi ia seperti membayangkan guru itu
dengan bajunya warna kuning muda, dengan pundaknya menggendol sebuah pacul kecil
peranti menggali obat-obatan, lagi berdiri di hadapannya. Mendadak tubuhnya
menjadi lemas, seperti habis sudah ilmu silatnya, ia terus mendekam ke tanah
seraya berkata: "Teecu ketahui dosaku yang mesti dibunuh berlaksa kali, tetapi
teecu mohon sukalah guru mengampunkan teecu dari hukuman mati mengingat mata
teecu telah buta dan separuh tubuhku cacat..."
Kwee Ceng heran menyaksikan orang demikian ketakutan dan pasrah sedang begitu
jauh yang ia ketahui, si Mayat Besi biasanya galak dan telengas, musuh bagaimana
tangguh juga tidak dapat buat ia jeri.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya. Ia tarik tangan Kwee Ceng, terus ia menunjuk
ke luar jendela. Itu artinya ia mengajak sahabat itu lari bersama, buat
menyingkir dari istana itu.
Kwee Ceng baru memandang ke tembok tatkala di belakang mereka, mereka dengar
satu suara seruan yang disusul tertawa panjang, lalu di sana muncul seorang yang
tangannya menggoyang-goyang kipas.
"Anak yang baik, aku tidak kena kau jual!" orang itu berkata sambil tertawa.
Oey Yong lantas kenali Auwyang Kongcu, yang ia tahu ilmu silatnya lihay, dan
orang pun hendak membekuk padanya. Ia mengerti yang ia sukar lolos, tetapi ia
cerdik sekali, segera ia dapat akal, lantas ia menghadapi Bwee Tiauw Hong dan
berkata: "Bwee Suci, ayah paling dengar perkataanku, sebentar nanti aku mohonkan
ampun kepadanya, hanya sekarang kau mesti mendirikan dulu beberapa jasa baik,
supaya ayah suka mengampunkannya."
"Jasa baik apakah itu?" Bwee Tiauw Hong tanya.
"Ada orang busuk lagi menghina aku," Oey Yong terangkan. "Akan aku berpura-pura
tidak sanggup melawan, kaulah yang mesti hajar dia. Sebentar ayah datang, kapan
ia lihat kau membantui aku, hatinya tentu girang."
Tiauw Hong suka memberikan bantuannya. Kata-katanya ini sumoy, adik seperguruan,
membuat ia mendapat harapan, hingga semangatnya bangun dengan mendadak.
Sementara itu Auwyang Kongcu lagi mendatangi bersama keempat murid wanitanya.
Begitu dia tiba di depan mereka bertiga, Oey Yog tarik tangannya Kwee Ceng,
untuk memernahkan diri di belakangnya Bwee Tiauw Hong. Nona ini telah pikir,
begitu lekas Tiauw Hong dan si kongcu bertempur, ia mau ajak sahabatnya itu
menyingkirkan diri. Auwyang Kongcu melihat Tiauw Hong sedang duduk numprah, nyonya itu berserba
hitam dan romannya tidak luar biasa, ia ulur tangannya akan sambar Oey Yong.
Mendadak saja ia merasakan angin menyambar ke arah dadanya, ia lihat tangan si
nyonya menjambak secara hebat. Ia kaget bukan main. Belum pernah ia mendapat
serangan sehebat ini. Lekas-lekas ia mengetok denagn kipasnya ke lengan si
nyonya, tubuhnya pun dibawa berlompat berkelit. Walaupun begitu, ia masih kurang
sebat, dengan menerbitkan suara memberebet, ujung bajunya robek sepotong sedang
kipasnya patah menjadi dua potong. Yang membikin ia terkejut sekali adalah
keempat muridnya telah roboh terguling, apabila ia mendekati mereka, untuk
memeriksa, nyata mereka sudah putus jiwanya semua, otak mereka telah dilobangi
lima jari tangan. Itulah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Kongcu ini menjadi murka sekali, tidak banyak omong lagi, ia lompat maju, untuk
menyerang Bwee Tiauw Hong. Ia keluarkan kepandaiannya yang istimewa, ialah "Sin
To Soat San Ciong", atau "Unta Sakti Gunung Salju".
Bwee Tiauw Hong membuat perlawanan dengan Kiu Im Pek-kut Jiauw, kedua tangannya
bergerak panjang dan pendek, sambungan tulang-tulangnya mengasih dengar suara
meretek, hingga Auwyang Kongcu tidak berani merapatkan diri.
Oey Yong hendak menggunai ketikanya untuk menyingkir, ia baru menarik tangan
Kwee Ceng atau tiba-tiba ia dengar bentakan di belakangnya, disusul sama
serangan dua tangan. Itulah Hauw Thong Hay yang telah datang ke situ dan lantas
menyerang, ke arah muka, sebab dia tahu si nona memakai lapis berduri.
Segera setelah itu, ke situ pun datang See Thong Thian bersama Nio Cu Ong dan
Pheng Lian Houw. Chao Wang bersama putranya repotnya mencari orang yang menculik onghui, mereka
berlari-lari bersama barisan pengiring mereka, di dalam dan di laur istana.
Nio Cu Ong lihat bagaimana Auwyang Kongcu terdesak, sampai bajunya robek dan
terlihat baju dalamnya. Ia pun lantas ingat bagaimana di dalam gua ia telah
dipermainkan nyonya itu, ia menjadi gemas sekali sambil berseru, ia maju akan
membantui si pemuda mengepung.
See Thong Thian dan Pheng Lian Houw menanti di pinggiran, bersiap untuk
membantui. Hati mereka tapinya gentar menyaksikan kehilayan si nyonya.
Oey Yong main berkelit terhadap pelbagai serangan Hauw Thong Hay, ia membuatnya
orang she hauw itu kewalahan.
Tidak lama, Bwee Tiauw Hong merasakan repot melayani dua lawan yang tangguh.
Tiba-tiba ia tarik sebelah tangannya dan menyambar bebokongnya Kwee Ceng seraya
ia berseru: "Kau podong kedua kakiku!"
Kwee Ceng kaget, ia tidak mengerti maksud orang, akan tetapi ia insyaf bahwa
mereka bekerjasama menangkis musuh, ia turut perkataan orang itu, segera ia
membungkuk memegang kedua pahanya Tiauw Hong, untuk diangkat.
Dengan tangan kirinya Tiauw Hong tangkis serangan Auwyang Kongcu, dengan tangan
kanannya ia jambak Nio Cu Ong, semabri berbuat demikian, ia kata kepada Kwee
Ceng: "Kau pondong aku, kau kejar si orang she Nioitu!"
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti maksud orang. Pikirnya: "Dia tidak dapat
menggunai kedua kakinya, dia membutuhkan bantuanku!" Ia terus bekerja. Ia bukan
lagi pondong si nyonya, dia hanya memanggulnya, lalu dia bergerak kesana ke mari
menuruti setiap petunjuk nyonya itu, untuk maju memburu, guna mundur sembari
menangkis atau berkelit. Ia bertenaga besar, enteng tubuhnya, dan tubuh Tiauw
Hong tidak berat, ia jadi dapat berbegrak dengan leluasa. Maka setelah itu Tiauw
Hong manjadi menang diatas angin.
"Bagaimana sih caranya menyakinkan ilmu dalam?" dia tanya Kwee Ceng selagi ia
melayani musuh. Dia tidak dapat melupakan ilmu itu.
"Dudk numprah, lima hati di hadapkan ke langit," Kwee ceng menjawab.
"Apa itu ynag dinamakan lima hati?" Tiauw Hong menanya pula.
"Dengan itu dimaksudkan telapakan dua tangan, telapakan kedua kaki dan embun-
embunan." Girang Tiauw Hong hingga ia menjadi bersemangat, hingga ketika ia menjambret Nio
Cu Ong, dia dapat mengcengkram pundaknya. Maka tidak tempo lagi, pundaknya orang
she Nio itu berlumuran darah, hingga ia mesti melompat menyingkir.
Kwee Ceng lompat, untuk memburu, tatkala ia melihat Kwie-bun Liong Ong See Thong
Thian maju membantu suteenya untuk menggerubungi Oey Yong, ia menjadi kaget,
lantas ia putar tubuhnya. "Hajar dulu ini dua orang!" ia kata pada Tiauw Hong.
Nyonya itu sudah lantas kasih bekerja kedua tangannya, ynag kiri ke arah
bebokongnya Hauw Thong Hay. Dia ini mengkeratkan diri, untuk berkelit. Di luar
dugaannya tangan si nyonya, maka kagetlah ia tempo bebokongnya kena dijambak,
hingga tubuhnya segera diangkat, sedang di lain pihak lima jari tangan kanan si
nyonya itu menyambar ke abtok kepalanya. tanpa berdaya lagi, ia menjadi lemas
sekujur tubuhnya, tak dapat ia bergerak lagi.
SeeThong Thian menyaksikan itu, kagetnya bukan main. Ia berlompat, untuk
menghalau lengan nyonya itu. Karenanya kedua tangan beradu satu sama lain.
keduanya menjadi kaget, tangan mereka sama-sama kesemutan.
Berbareng dengan itu, dari arah kiri terdengar suara angin menyambar. Itulah
serangan kim-chie-piauw, atau senjata rahasia yang berupa uang dari Pheng Lian
Houw. Tiauw Hong dapat tahu datangnya serangan gelap, ia menangkis dengan melemparkan
tubuhnya Hauw Thong Hay ke arah datangnya piauw itu, maka Thong Hay lantas saja
berkoak, "Aduh!" karena tepat ia terkena piauw itu.
See Thong Thian kaget, apapula ia dapatkan tubuh sutee itu bakal jatuh ke tanah.
Kalau ia terbanting, celakalah sutee itu. Terpaksa ia melompat maju, untuk
menanggapi dengan menyambar pinggang si adik seperguruan itu, ynag terus ia
lemparkan. Maka kali ini Thong Hay bisa kerahkan tenaganya, hingga ia jatuh
dengan wajar. Tiauw Hong melemparkan tubuh orang dan See Thong Thian menolongi sutee itu,
semua itu terjadi dalam sejenak, menyusuli itu, Tiauw Hong segera diserang dari
tiga penjuru, oleh piauwnya Pheng Lian Houw, oleh Auwyang Kongcu dan See Thong
Thian. Bwee Tiauw Hong memasang kupingnya, lantas jari-jari tangannya dipakai
menyentil, akan menyentil balik setiap piauw, dari itu, semua piauw itu mental
kembali, menyerang kepada Auwyang Kongcu, Pheng Lian Houw dan See Thong Thian,
juga kepada Nio Cu Ong, yang turut maju pula.
"Apakah itu yang dinamakan mengumpulkan ngo-heng?" Tiauw Hong menanya lagi.
"Itulah kayu dari Tong-hun, emas dari See-pek, api dari Lam Sin, air dari Pak
Ceng, dan tanah dari Tiong Ie."
Ngo-heng ialah kayu, emas, api, air dan tanah.
"Apakah itu yang disebut mengakurkan su-ciang?"
"Itu artinya menyimpan mata, mengebalkan kuping, meluruskan napas dan menutup
lidah." "Tidak salah! Itu yang dinamakan ngo-kie-tiauw-goan - lima hawa dipusatkan
kepada asalnya?" "Itulah, mata tidak melihat tetapi semangatnya ada di jantung, kuping tidak
mendengar tetapi pendengarannya ada di geginjal, lidah tidak berbunyi tetapi
pemikirannya ada di hati, dan hidung tidak mencium bau tetapi rohnya ada di
peparu." Girang Tiauw Hong mendapatkan keterangan ini. Sudah belasan tahun ia menyakinkan
Kiu Im Cie Keng, tidak pernah ia mengerti itu. Maka ia menanya. Dengan begini ia
telah memecah perhatiannya, belum lagi Kwee Ceng menjawab ia, pundak kirinya dan
iga kanannya telah terkena hajar oleh Auwyang Kongcu dan See Thong Thian. Ia
bertubuh kuat akan tetapi toh hajaran itu membikin ia merasakan sangat sakit.
Oey Yong pun menjadi cemas. Ia mengharap Tiauw Hong bisa melibat musuh-musuhnya,
supaya ia bisa ajak Kwee Ceng kabur, siapa tahu, pemuda ini mesti membantui
orang. Segera juga Tiauw Hong terdesak dibawah angin. Ia heran atas tidak datangnya
bala bantuan, maka akhirnya ia teriaki Oey Yong: "Eh, darimana kau memancing
begini banyak musuh lihay" Mana suhu?" Ia menanya demikian, sebenarnya ia
berkhawatir. Sungguh tak ingin ia bertemu sama gurunya, yang ia tahu telengas,
"Dia bakal segera datang!" Oey Yong menyahuti. "Mereka ini bukannya tandinganmu!
Umpama kata kau duduk di tanah, mereka tidak nanti dapat mengganggu selembar
rambutmu!" Ia ingin membangkitkan kejumawaannya si Mayat Besi, supaya Kwee Ceng
dilepaskan. Tetapi Tiauw Hong tengah sulit sekali, ia repot melayani musuh-
musuhnya. Nio Cu Ong berseru, ia berlompat menerjang.
Tiauw Hong merasakan ada serangan di kiri dan kanannya, ia mementang kedua
tangannya untuk menangkis, tetapi ia merasakan rambutnya ada yang tarik. Itulah
nio Cu Ong, yang menyambar rambutnya itu. Ia kaget, begitu pun Oey Yong.
Nona ini segera menyerang punggungnya orang she Nio itu, atas mana Cu Ong
menangkis dengan tangan kanannya, sekalian dia hendak membangkol tangannya si
nona itu, sedang tangan kirinya tidak melepaskan rambutnya si Mayat Besi.
Untuk membebaskan dirinya, Tiauw Hong menyambar ke rambutnya, maka bagaikan
sitebas, rambutnya itu kutung putus, menyusul mana, ia serang Nio Cu Ong.
Dengan mencelat ke samping, Cu Ong menolong dirinya. Sementara itu Pheng Lian
Houw lantas mengetahui wanita itu adalah Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek
Hong Siang sat, maka itu, apabila ia dapat kenyataan Oey Yong membnatui si Mayat
Hidup, dia menegur : "Eh, budak cilik! Kau bilang kau bukannya murid Hek Hong,
nyata kau mendusta!"
Oey Yong tidak mau mengalah. "Dia guruku?" dia membalik, mengejak. "Lagi seratus
tahun ia belajar silat, dia masih belum mampu menjadi guruku!"
Lian Houw heran. Terang mereka berdua sama ilmu silatnya. Kenapa si nona
menyangkal" Kenapa agaknya si nona tidak menghormati Tiauw Hong itu"
Justru itu terdengarlah suaranya See Thong Thian: "Memanah orang lebih dulu
memanah kudanya!" Kata-kata itu ditujukan kepada Kwee Ceng, yang ia lantas rabu
kakinya. Tiauw Hong kaget. Ia tahu Kwee Ceng masih lemah, kalau naka itu roboh, ia pun
bisa susah. Maka itu, ia membungkuk, untuk menyambut kakinya orang she See itu.
Justru itu, dengan tubuhnya si nyonya turun rendah, Auwyang Kongcu membarengi
menumbuk bebokongnya. Tiauw Hong mengasih dengar suara "Hm!" Mendadak saja tangan kanannya terayun,
lalu terlihat berkelebatnya satu sinar putih terang. Nyata ia telah kasih keluar
cambuknya, dengan apa ia menyambet ke empat penjuru. Cambuknya itu bergerak
bagaikan naga beracun, hingga empat lawannya mesti menjauhkan diri.
Pheng Lian Houw berpikir: "Ini perempuan buta mesti lebih dulu dibinasakan,
jikalau suaminya si Mayat Perunggu keburu datang, sungguh sulit!" Ia memikir
demikian karena ia tidak tahu Tan Hian Hong sudah terbinasa.
Sebenarnya cambuk Tong-liong Gin-pian dari Bwee Tiauw Hong lihay sekali, di
dalam kalangan enam tombak, siapa kena dicambuk, dia mesti terbinasa, cuma
sekarang ia menghadapi Auwyang Kongcu berempat...semua bukan sembarang orang. Ia
cuma bisa membikin mereka itu merenggangkan diri.
Pheng Lian Houw penasaran, sambil berseru, dia menjatuhkan diri, untuk menyerbu
dengan bergulingan. Tiauw Hong tidak tahu orang hendak membokong dia, dia tetapi melayani ketiga
musuhnya. Adalah Kwee Ceng, yang menjadi kaget sekali, dalam takutnya, ia
menjerit. Atas ini tahulah Tiauw Hong atas datangnya musuh-musuh, ia lantas ulur
tangan kirinya, guna menjambret si orang she Pheng itu.
Oey Yong tidak dapat membantu Tiauw Hong lagi, karena cambuk orang merintangi
majunya. Dilain pihak, ia melihat ancaman bahaya untuk si Mayat Besi - artinya
untuk ia sendiri berdua sama Kwee Ceng. Ia lantas dapat akal, maka ia berteriak:
"Semua berhenti! Aku hendak bicara!"
Pheng Lian Houw, yang bisa membebaskan diri, begitupun ketiga kawannya, tidak
mengambil mumat atas teriakan itu, mereka terus mengurung.
Oey Yong berkhawatir dan penasaran, hendak ia berteriak pula, atau tiba-tiba ia
dengar lain orang mendahulukan padanya: "Semua berhenti, aku hendak ada bicara!"
Suara itu datangnya dari arah tembok.
Oey Yong segera berpaling. Enam orang, yang tubuhnya tinggi kate tdak rata,
tertampak berdiri di atas tembok. Tapi malam ada gelap, muka mereka tidak
terlihat nyata. Pheng Lian Houw semua tahu, ada datang orang dari pihak ketiga, merek atidak
ambil peduli, mereka berkelahi terus.
Rupanya keenam orang di atas tembok itu tidak dapat manahan sabar, dua
diantaranya sudah lantas lompat turun. Merek ini masing-masing bersenjatakan
joan-pian dan pikulan besi, dengan senjatanya itu, mereka lantas serang Auwyang
Kongcu. Orang yang mencekal joan-pian itu, cambuk emas, ynag tubuhnya kate,
membarengi mendamprat: "Bangsat tukang petik bunga, kemana kau hendak lari"!"
Kwee Ceng dengar suara orang, ia menjadi girang sekali. "Suhu lekas tolongi
teecu!" ia berteriak.
Memang keenam orang itu adalah Kanglam Liok Koay. Sejak di Utara mereka terpisah
dari Kwee Ceng, muridnya mereka itu, kemudian mereka menguntit delapan murid
wanita dari Pek To San. Diwaktu malam, mereka lantas mempergoki Auwyang Kongcu
beserta sekalian muridnya merampas anak gadisnya suatu keluarga baik-baik.
Mereka gusar, mereka lantas menyerang.
Auwyang Kongcu membuat perlawanan, tetapi Liok Koay telah berlatih bersungguh-
sungguh di gurun pasir, telah memperoleh banyak kemajuan, mereka membikin ia
kewalahan. Begitulah tubuhnya kena dihajar tongkatnya Kwa Tin Ok dan kakinya
tertendang Cu Cong. Merasa tidak ungkulan, terpaksa ia lepaskan si nona
mangsanya itu dan lari kabur. Dua muridnya terhajar binasa masing-masing oleh
Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat.
Wat Lie Kiam Han Siauw Eng lantas menolong si nona, yang ia gendong pulang ke
rumahnya. Kemudian Auwyang Kongcu dikejar, tetapi ia licin dan dapat meloloskan
diri. Liok Koay juga tidak mengejar dengan berpisahan, karena mereka ketahui,
kalau bertempur satu lawan satu, pihaknya tidak sanggup. Tapi mereka terus
melakukan penyeledikan. Inilah tidak sukar, sebab rombongannya Auwyang Kongcu
gampang dikenali dari dandanan mereka yang serba putih itu. Begitulah mereka
menguntit hingga di onghu, istananya Chao Wang itu.
Diwaktu gelap, gampang sekali untuk melihat pakaiannya rombongan Auwyang Kongcu
itu, maka itu Lam Hie Jin dan Han Po Kie sudah lantas melakukan penyerangan.
Mereka kaget akan dengar teriakannya Kwee Ceng. Empat yang lainnya turut heran
juga. Merekanjuga lantas mengawasi, hingga mereka dapat lihat dengan tegas: Bwee


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiauw Hong si Mayat Besi telah bersilat dengan cambuknya, dia sepertinya duduk
bersilat di pundaknya Kwee Ceng. Rupanya bocah itu berada dibawah pengaruh
orang. Karena ini tanpa bersangsi lagi, Han Siauw Eng maju menyerang si Mayat
Besi yang ia sangat benci itu, sedang Coan Kim Hoat maju untuk menolongi
muridnya. Pheng Lian Houw semua heran atas datangnya enam orang itu, apapula mereka itu
lantas menyerang Auwyang Kongcu, menyerang si Mayat Besi juga. Lian Houw lantas
menggulingkan tubuh, akan keluar dari gelangan. Kemudian ia berteriak: "Semua
berhenti! Aku hendak bicara!" Teriakannya nyaring sekali, menulikan telinga.
Nio Cu Ong bersama See Thong Thian mendahulukan mundur.
Kwa Tin Ok, yang dengar teriakan hebat itu, percaya yang orang adalah orang
lihay, maka ia pun teriaki saudara-saudaranya: "Shatee dan citmoay, tahan dulu!"
Dua saudara itu menurut, begitupun yang lainnya, mereka semua mundur.
Tiauw Hong pun sudah berhenti bersilat, ia hanya bernapas memburu.
Oey Yong sudha lantas menghampirkan murid ayahnya itu. "Kali ini kau telah
berjasa!" katanya. Tapi kepada Kwee Ceng ia memberi tanda dengan gerakan tangan,
agar sahabatnya itu melemparkan tubuh orang.
Kwee Ceng mengerti, untuk simpangi perhatian si Mayat Besi, ia memberi
keterangan atas pertanyaan orang tadi. Akhirnya ia berkata: "Nah, kau ingatlah
baik-baik!" Berbareng dengan itu, dengan mengerahkan tenaga, ia melemparkan
tubuh si nyonya sampai jauhnya setombak lebih, ia sendiri segera lompat mundur.
Hanya, belum lagi ia menaruh kaki di tanah, cambuk perak yang bergemerlapan
sudah lantas menyambar kepadanya. Cambuk itu ada banyak gaetannya.
"Celaka!" teriak Han Po Kie, yang menyaksikan bahaya mengancam muridnya. Tanpa
ayal lagi ia menyerang dengan Kim-liong-pian, cambuknya, si Naga Emas. Maka
kedua cambuk itu beradu keras. Ia kaget, telapakan tangannya sakit. Cambuknya
itu terlepas, terlibat dan tertarik sama cambuknya Bwee Tiauw Hong. Ia menyerang
Kwee Ceng begitu lekas ia dapatkan tubuhnya dilemparkan. Ketika ia jatuh ke
tanah, lebih dahulu ia menampa dengan tangannya, habis itu ia duduk dengan hati-
hati. Ia ketahui datangnya Kanglam Liok Koay begitu lekas ia dengar suaranya Kwa
Tin Ok. Ia mendongkol berbareng khawatir. Ia pikir: "Aku cari mereka ke mana-
mana, hari ini mereka mengantarkan diri. Coba hari bukannya hari ini, pasti aku
bersyukur sangat kepada Langit dan Bumi. Sekarang ini aku lagi dikurung oleh
musuh, aku hampir tidak dapat bertahan, jikalau aku mesti tambah musuh dalam
dirinya Tujuh Manusia Aneh ini, pastilah aku bakal binasa...." Ia lantas mengertak
gigi. Ia lantas mengambil keputusan: "Nio Lao Koay beramai tak ada permusuhannya
dengan aku, maka hari ini baiklah aku terbinasa bersama-sama dengan Cit Koay
saja!" Ia cekal keras cambuknya, ia memasang kuping, akan dengari gerak-geriknya
Cit Koay itu. Ia tahu orang muncul yang berenam, ia heran: "Dari Cit Koay cuma
muncul yang enam, entah yang satunya lagi bersembunyi di mana...?" Ia tidak tahu
yang Siauw Bie To Thio A Seng telah terbinasa di tangan suaminya.
Liok Koay bersama rombongannya Nio Cu Ong berdiam semua, mereka pun memernahkan
diri di jarak tujuh tombak dari wanita kosen itu yang cambuknya sangat lihay.
"Anak Ceng, kenapa mereka itu bertempur?" Cu Cong berbisik kepada muridnya. "Kua
sendiri, mengapa kau bantui perempuan siluman itu?"
"Mereka hendak membunuh aku, dia menolongi," jawab Kwee Ceng.
Biauw Ciu Sie-seng heran.
"Aku minta kau memberitahukan nama kamu"!" Nio Cu Ong menegur Kanglam Liok Koay.
"Tengah malam buta, kau lancang masuk ke dalam istana, kamu hendak berbuat apa?"
"Aku she Kwa," menyahut Tin Ok. "Kami bersaudara bertujuh orang. Orang Kangouw
menyebut kami Kanglam Cit Koay."
"Oh, Kanglam Cit Koay!" kata Pheng Lian Houw. "Sudah lama aku mengagumi nama
kamu!" See Thong Thian tapinya berteriak: "Bagus! Cit Koay telah datang sendiri! Aku
orang she See hendak belajar kenal, untuk melihat Cit Koay yang namanya demikian
besar, kepandaiannya sebenarnya bagaimana!"
Thong Thian gusar karena ia ingat penghinaan yang diterima empat muridnya. Ia
lantas lompat ke depannya Pheng Lian Houw.
Auwyang Kongcu berdiam sambil bersiap. Ia bermusuh dengan Liok Koay dan Bwee
Tiauw Hong, yang satu merusak usahanya, yang lainnya membinasakan muridnya atau
gundiknya tersayang. Inilah ketikanya untuk turun tangan.
See Thong Thian maju sambil mengawasi keenam Manusia Aneh itu. Ia dapatkan Kwa
Tin Ok bercacat mata dan kakinya, Han Siauw Eng satu nona yang manis, Coan Kim
Hoat kurus kering, Han Po Kie kate dampak dan gemuk, sedang Cu Cong lemah lembut
bukan seperti orang Rimba Persilatan. Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin, yang
romannya gagah. Karena itu, segera ia serang si Tukang Kayu dari gunung Lam San
itu. Lam Hie Jin menancap pikulannya, tanpa bersuara, ia menangkis serangan. Ia lihay
akan tetapi baru beberapa jurus, tahulah ia bahwa ia bukannya tandingan musuh
she See itu. Karena ini, Han Siauw Eng lantas maju dengan pedangnya dan Coan Kim
Hoat dengan dacinnya. Pheng Lian Houw tidak berdiam saja melihat kawannya dikerubuti, sambil berseru
keras, ia lompat maju akan rintangi Coan Kim Hoat, yang senjatanya yang luar
biasa itu hendak dirampasnya. Tapi Kim Hoat lihay, gerakannya aneh, ia serangn
musuh ini hingga si musuh kaget dan mesti berkelit dengan lompatan jungkir balik
"Ular naga membalik tubuh."
"Eh, senjata apa senjata kau ini?" dia tanya, heran, sesudah berkelit ke kiri
dan ke kanan. "Ini toh barang yang diperantikan menimbang di pasar tetapi kau
pakai untuk menyerang orang!"
Coan Kim Hoat mendongkol dan menyahut: "Dacin ini untuk menimbang kau, babi!"
Lian Houw murka dikatakan babi, lantas ia menyerang dengan hebat, hingga ia
membikin Kim Hoat terdesak.
Meyaksikan saudara keenamnya itu kewalahan, Han Po Kie berlompat maju. Cambuknya
kena dirampas Bwee Tiauw Hong tetapi ia punyakan kepalannya.
SeeThong Thian dan Pheng Lian Houw benar lihay, walaupun mereka dikepung, mereka
masih menang diatas angin. Karena ini, Kwa Tin Ok dan Cu Cong lantas maju, untuk
membantui saudara-saudaranya itu, dengan begitu, mereka jadi bertempur dalam dua
rombongan dengan masing-masing tiga lawan satu. Kali ini pihak Liok Koay yang
menang di atas angin. Pertempuran di antara Oey Yong dan Hauw Thong Hay juga berjalan dengan seru.
Sebenarnya Thong Hay lebih lihay terapi ia kalha gesit dan ia pun jeri untuk
beju lapis si nona, dari itu tidak berani ia menghajar tubuh orang. Karena ini
Oey Yong yang dapat mendesak, hingga lawannya itu main mundur.
Auwyang Kongcu telah memasang mata, ia ketahui pihaknya keteter, maka ia lantas
mengambil keputusan: "Baiklah aku binasakan dulu ini beberapa manusia jahat. Si
wanita siluman, biar bagaimana tidak nanti ia dapat kabur, dia boleh dibereskan
belakangan..." Segera ia lompat ke sampingnya Kwa Tin Ok. Ia bergerak dengan jurus
"Sekejap seribu lie" dari ilmu silatnya Sin To Soat-san-ciang. Ia pun lantas
membentak: "Kamu usilan, bangsat buta, maka kau rasailah lihaynya kongcumu!"
Lalu tangannya kanannya meninju.
Kwa Tin Ok mendengar suara angin di kanan, ia menangkis dengan ujung tongkatnya,
tetapi ia kebogehan, sebab serangan datang dalam rupa tangan kiri lawan. Ia
lantas saja berkelit denagn mendak, berbareng dengan mana, ia menyerang pula
dengan jurusnya "Arhat menunjuk pengaruh".
Auwyang Kongcu menyingkir dari serangan itu, tetapi ia bukannya menyingkir untuk
berlari, hanya ia lompat kepada Lam Hie Jin, yang ia terus serang, hingga Hie
Jin terkejut dan mesti berbalik akan melayani.
Melayani Hie Jin pun Auwyang Kongcu pun tidak mau mengulur tempo, ia lantas
tinggalkan musuh ini, untuk menyerang yang lain. Begitu ia berkelahi, hingga ia
menempur Liok Koay dengan bergantian. Maka teranglah, ia tengah mengganggu
musuh-musuhnya itu, hingga Pheng Lian Houw dan See Thong Thian jadi dapat
bernapas. Suasana kembali terbalik, Liok Koay yang mulai keteter pula.
Nio Cu Ong sementara itu terus memasang matanya terhadap Kwee Ceng, maka tempo
ia menginsyafi aksinya Auwyang Kongcu itu, ia lantas lompat kepada bocah itu
sambil ulur tangannya, ia menjambret dengan kedua tangannya.
Kwee Ceng bukan tandingan jago ini, dalam beberapa jurus saja ia sudah terdesak,
malah lekas juga dadanya kena dicengkram. Dengan tangan kanannya, Cu Ong
menjambak ke arah perut, untuk membikin pecah perut orang, supaya ia bisa
menghisap darah anak muda itu.
Dalam saat berbahaya itu, Kwee Ceng membela diri. Ia mengkeratkan perutnya,
hingga terdengar suara robek dari bajunya, hingga belasan bungkusan obatnya kena
disambar musuh. Nio Cu Ong dapat mencium bau obat, ia masuki semua bungkusan itu ke dalam
sakunya, setelah mana kembali ia menjambak.
Kwee Ceng berontak sekuat-kuatnya, ia dapat meloloskan diri, terus ia lari ke
arah Bwee Tiauw Hong sambil berteriak: "Tolongi aku!"
Girang Tiauw Hong mendengar suara orang. Ia memang ingin meminta beberapa
keterangan pula kepada anak muda itu.
"Kau peluki aku! Jangan takuti Lao Kaoy!" ia menyahuti.
Kwee Ceng tahu, satu kali ia peluk wanita itu, ia tidak bakal lolos pula, karena
itu, ia tidak berani menghampirkan, ia hanya lari berputaran dekat, di
sekitarnya. Nio Cu Ong memburu, hingga ia memasuki kalangan smabaran cambuknya si wanita
kosen, sembari mengejar, ia waspada terhadap nyonya itu terutama terhadap
cambuknya. Bwee Tiauw Hong sendiri memperhatikan suaranya Kwee Ceng, gerak-geriknya, maka
juga mendadak saja ia geraki cambuknya, untuk merabu kakai si anak muda!
Oey Yong melayani Hauw Thong Hay dengan selalu memperhatikan Kwee Ceng. Ia
terkejut ketika Kwee Ceng kena dijambret Nio Cu Ong, untuk menolongi, sudah
tidak keburu lagi. Sekarang ia melihat kawannya terancam cambuknya Tiauw Hong,
ia dapat menolong, maka dengan meninggalkan Thong Hay, ia lompat ke arah cambuk!
Ia tidak takuti cambuk itu, meskipun ia tahu, kecuali ayahnya, sukar dicari orag
yang bisa mengalahkannya. Ia pun bukannya hendak menangkis, hanya ia berlompat
ke atas cambuk di mana ia menggulingkan tubuhnya.
Kwee Ceng tertolong dari bahaya tetapi sekarang Oey Yong yang kena kelibat
cambuk itu, yang terus ditarik Bwee Tiauw Hong. Atas itu Oey Yong lanats
berseru: "Bwee Jiak Hoak, beranikah kau melukai aku"!"
Kaget Tiauw Hong mengenali suaranya Oey Yong, hingga ia memandikan peluh dingin.
Dia pun berpikir: "Cambukku banyak gaetannya, sekarang aku lukai budak ini,
bagaimana suhu dapat mengampunkan aku" Tapi sudah terlanjur, baiklah aku
habiskan dia dulu!" Maka dia terus menarik, hingga ia dapat cekal tubuh si nona,
untuk diletaki di tanah. Ia percaya tubuh si nona itu sudah tercengkeram
pelbagai gaetan cambuknya.
Justru itu Oey Yong tertawa geli. Ia memakai lapisan joan-wie-kah, tubuhnya
tidak terluka, melainkan baju luarnya dan dalamnya pada robek. Dengan jenaka ia
berkata: "Kau merusaki pakaianku, aku minta ganti!"
Tiauw Hong melongo. Dari suaranya orang, ia dapat tahu nona itu tidak kesakitan.
Dengan tiba-tiba ia ingat, maka katanya dalam hatinya: "Ah, tentu saja baju
lapis berduri dari suhu telah diberikan padanya!" Ia lantas menyahuti: "Ya,
encimu ini yang salah, nanti aku pasti mengganti bajumu ini..."
Oey Yong lantas menggapai pada Kwee Ceng.
Anak muda itu menghampirkan, ia berdiri jauhnya tujuh atau delapan kaki dari
Tiauw Hong. Sekarang ia tidak dihampirkan oleh Nio Cu Ong, yang jeri kepada
cambuknya si wanita lihay itu.
Kanglam Liok Koay sekarang berkelahi dengan mengumpulkan diri, belakang dengan
belakang, denagn begitu mereka dapat melayani See Thong Thian, Pheng Lian Houw,
Hauw Thong Hay dan Auwyang Kongcu berempat. Thong Hay ditinggalkan Oey Yong, ia
lantas membantui kawannya itu. Inilah cara berkelahi yang Liok Koay baru
pahamkan dan melatih selama mereka berdiam di gurun pasir. Dengan begitu, mereka
tidak usah repot-repot menjagai punggung mereka. Meski begini, mereka keteter
juga. Han Po Kie terluka pundaknya, ia berkelahi terus. ia takut keluar dari kalangan,
khawatir nanti benteng perlawanannya itu menjadi dobol. Ia berkelahi sambil
menggertak gigi, sebab Pheng Lian Houw yang lihay sudah cecar padanya.
Kwee ceng lihat gurunya yang nomor tiga itu terancam bahaya, melupakan segala
apa, ia lari menghampirkan, terus ia serang bebokongnya Pheng Lian Houw dengan
jurusnya, "Membuka mega untuk menolak rembulan."
"Hm!" Pheng Lian Houw mengasih dengar suara si hidung. Ia berkelit, lantas ia
memutar tubuh untuk membalas menyerang.
Justru itu terlihat muncul dari gombolan pohon bunga, sambil berlari-lari
mendatangi, dia berseru: "Semua suhu, ayahku ada urusan penting untuk mana ia
minta bantuan kamu! Lekas!"
Orang itu mengenakan kopiah emas, kopiahnya miring. Ialah siauw-ongya Wanyen
Kang, si pangeran muda. Pheng Lian Houw semua menjadi bingung. Masing-masing mereka lantas berpikir:
"Ongya adalah yang mengundang kami semua, sekarang dia ada punya urusan penting,
cara bagaimana aku tidak pergi membantu dia?" Karena ini, mereka lantas lompat
mundur, keluar dari gelanggang.
"Ibuku telah dibawa buron penjahat," Wanyen Kang beritahu dengan perlahan. "Ayah
minta semua suhu membantu mencari, untuk menolongi. Tidak nanti kami berani
melupakan budi suhu semua!"
Pangeran ini datang secara kesusu, malampun gelap, ia tidak dapat melihat Bwee
Tiauw Hong, yang numprah di tanah.
"Onghui telah orang bawa lari, inilah hebat!" pikir Lian Houw semua. "Kalau
begitu, apa perlunya kami berdiam di dalam istana?" Mereka juga menduga: "Pasti
Liok Koay ini lagi menjalankan siasat memancing harimau turun dari gunung, untuk
melibat kami semua. dilain pihak, kawannya pergi menculik onghui!" Karena ini
tanpa sangsi lagi, mereka lari mengikuti Wanyen Kang, mereka meninggalkan musuh-
musuh mereka. Nio Cu Ong berlari paling belakang, ia pergi dengan perasaan sangta tidak puas.
Ia ingat Kwee Ceng darah siapa ia belum sempat hisap. Justru itu, Kwee Ceng
teriakin dia: "Eh, kau pulangi obatku!" Dalam sengitnya, ia menimpuk dengan
senjata rahasianya, yaitu paku Cu-ngo Touw-kut-teng.
Cu Cong lompat maju, dengan kipasnya ia sampok paku itu, sesudah jatuh ia
pungut, terus dibawa ke hidungnya, untuk dicium. "Oh, paku beracun Cu-ngo Touw-
kut-teng! Inilah paku yang asal menemui darah lantas menutup tenggorakan orang
hingga orang mati seketika!"
Nio Cu Ong tercengang mengetahui orang kenal pakunya itu.
"Apa?" dia menanya seraya ia merandak, tubuhnya pun diputar.
Cu Cong lari menghampirkan, dengan tangan kirinya ia angsurkan paku itu. "Ini ,
aku kembalikan pada kau, tuan!" katanya sembari tertawa.
Cu Ong pun ulur tangannya untuk menyambuti. Ia tidak jeri karena ia tahu orang
kalah daripadanya. Cu Cong dapat lihat ujung baju orang penuh rumput dan debu, ia gunai tangan
bajunya untuk menyapu itu.
"Siapa kesudian kau mengambil hatiku"!" Cu Ong membentak, terus ia putar
tubuhnya untuk berlalu. Kwee Ceng menjadi masgul sekali. "Dengan begitu saja kita pulang..." katanya
menyesal. Satu malaman ia menumpuh bahaya, kesudahannya obat tak didapatkan
juga. Untuk menggunai kekerasan, harapannya tidak ada.
"Mari kita pulang!" mengajak Tin Ok selagi muridnya ragu-ragu. Ia pun mendahului
lompat ke tembok, maka lima saudaranya lantas menyusul.
"Bagaimana dia, toako?" Han Siauw Eng tanya sambil ia menunjuk Tiauw Hong.
"Kita telah memberikan janji kepada Ma Totiang, biar kita mengasih ampun
padanya," sahut kakak tertua itu.
Oey Yong tertawa haha-hihi, ia tidak memberi hormat kepada Liok Koay. Ketika ia
pun lompat ke tembok, ia naik ke ujung lainnya.
"Adik kecil, mana suhu?" Tiauw Hong tanya nona itu.
"Ayahku?" balik tanya Oey Yong masih tertawa. "Tentu sekali ayah berada di pulau
Thoa Hoa To! Tidak pernah ayah meninggalkan rumah! Ada apa kau menanyakannya?"
Tiauw Hong menjadi sangat gusar, hingga napasnya memburu. Ia tahu ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Setelah berhenti sejenak, ia kata pula: "Kau toh yang
membilangnya kalau suhu datang ke mari!"
Oey Yong tertawa pula. "Tanpa aku dustakan kau, mana kau mau lepaskan dia?"
Dengan "dia" ia maksudkan Kwee Ceng.
Tiauw Hong murka bukan kepalang, dengan kedua tangannya ia menekan tanah, lantas
saja ia bangkit berdiri, lalu dengan tindakan terhuyung-huyung, ia menubruk
kepada si nona. Ia telah keliru menyakinkannya ilmu silat dala, akibatnya kedua
kakinya mati, dan makin ia memaksakan diri, makin pendek napasnya. Tapi kali
ini, ia lupa segalanya. Oey Yong terkejut, lekas ia lompat turun ke lain sebelah, untuk lari menghilang.
Tiba-tiba Tiauw Hong sadar. "Eh, mengapa aku bisa jalan?" tanyanya pada diri
sendiri. Justru ia sadar, habis ia menanya, mendadak ia roboh pula, kedua
kakinya lemas dan kaku. Ia pun pingsan.
Gampang sekali kalau Liok Koay hendak merampas jiwa orang akan tetapi untuk
menepati janji kepada Ma Giok, mereka tidak mau turun tangan, maka itu mereka
berlalu dengan terus. Mereka ajak Kwee Ceng bersama.
"Eh, anak Ceng, kenapa kau berada disini?" kemudian Han Siauw Eng menanya.
Kwee Ceng menjawab guru ini dengan tuturkan semua pengalamannya, sampai ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berikhtiar untuk menolongi Ong Cie It.
"Kalau begitu, mari kita tolongi Ong Totiang!" Cu Cong mengajak.
Bab 23. Bisa Lawan Bisa Yo Tiat Sim girang bukan main dapat menemukan istrinya, malah ia dapat menolongi
juga, dari itu ia pondong erat-erat istrinya itu ketika ia lari keluar dengan
melompati tembok istana. Di bawah tembok, Liam Cu menantikan ayahnya dengan pikiran tegang. Ia tidak
sabaran dan cemas juga. Ia heran ketika ia lihat ayahnya kembali dengan
memondong seorang wanita.
"Ayah, siapa ini?" ia lantas tanya.
"Inlah ibumu!" sahut ayah itu. "Mari lekas kita menyingkir!"
Liam Cu kaget dan heran. "Ibuku?" ia menegasi.
"Perlahan!" Tiat Sim mengasih ingat. "Sebentar kita bicara." Ia sudah lantas
lari. Kira-kira serintasan, Pauw Sek Yok tersadar. Ketik aitu fajar sudah menyingsing,
di antara cahaya pagi remang-remang, ia lihat orang yang memondongnya, ialah
suami yang ia buat pikiran siang dan malam. Ia heran hingga ia menyangka ia
sedang bermimpi. Ia ulur tangannya, akan meraba muka suaminya.
"Toako, apakah aku juga sudah mati?" ia tanya. Ia percaya suaminya itu sudah
meninggal dunia. Tiat Sim girang hingga ia mengucurkan air mata. "Kita tidak kurang suatu apa...."
sahutnya halus. Ia berhenti dengna tiba-tiba sebab kupingnya segera dengar suara
berisik berupa teriakan-teriakan dan melihat cahaya terang dari banyak obor.
Satu barisan serdadu sedang lari mendatangi. Ia dengar nyata: "Jangan kasih
lolos penjahat yang menculik onghui!"
Tiat Sim menjadi kecil hatinya. Ia melihat kesekelilingnya, ia tidak dapatkan
tempat untuk menyembunyikan diri. Di dalam hatinya ia kata: Thian mengasihani
aku hingga hari ini aku dapat bertemu sama istriku kembali, kalau sekarang akan
terbinasa, tak usah aku menyesal...!" Lantas ia kata pada anaknya: "Liam Cu,
anakku, kau peluklah ibumu...!"
Sejenak itu terbayanglah di matanya Pauw Sek Yok pengalamannya delapan belas
tahun yang lampau, pada peristiwa di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, di kampung
halamannya itu. Ia dipondong oleh suaminya dan dibawa lari sekuat-kuatnya, di
dalam gelap petang mereka dikejar tentara. Delapanbelas tahun lamanya mereka
telah berpisah, ia berduka dan terhina saking terpaksa, atau sekarang, baru saja
ia bertemu kembali dengan suaminya, peristiwa dahulu bakal terulang pula. Maka
ia rangkul leher suaminya, tidak mau ia melepaskannya.
Menampak tentara pengejar datang semakin dekat, Yo Tiat Sim menjadi nekat.
daripada terhina ia rela terbinasa dalam pertempuran. Dari itu ia paksa
melepaskan rangkulan istrinyaitu yang ia serahkan kepada anak gadisnya. Ia
lantas lari memapaki tentara pengejarnya. Dalam dua tiga gebark saja, ia telah
dapat merampas sebatang tobak. Senjata ini membangunkan semangatnya, ia bagaikan
harimau tumbuh sayap. Opsir yang memimpin pasukan itu bernama Thung Couw Tek, dia kena ditusuk pahanya
hingga ia terjungkal dari kudanya, atas mana tentaranya lantas kabur serabutan.
Tanpa pemimpinnya, mereka ketakutan.
Lega juga hatinya Tiat Sim yang mengathui pasukan itu tidak dipimpin oleh opsir
yang kosen, ia pun menyesal yang ia tidak sempat merampas kuda musuh. Tidak ayal
lagi, ia ajak istri dan anaknya lari terus.
Setelah terang tanah, Pauw Sek Yok dapatkan suaminya berdarah di sana sini. Ia
menjadi kaget sekali. "Kau terluka?" ia tanya.
Di tanya begitu, tiba-tiba saja Tiat Sim merasakan sakit pada belakang telapakan
tangannya. baru sekarang ia ingat tadi ia telah dismabar sepuluh jari tangannya
Wanyen Kang, hingga tangannya itu mengeluarkan darah, karena repot melarikan
diri, ia tidak rasai itu, ia lupa pada sakitnya. Sekarang ia pun merasakan kedua
lengannya sakit dan sukar digeraki.
Pauw Sek Yok lantas balut tangan suaminya itu.
Hampir itu wkatu kembali terdengar suara sangat berisik, lalu terlihat debu
mengepul baik dan mengulak. Itulah tandanya satu pasukan besar lagi mendatangi.
"Sudahlah, tak usah dibalut....!" kata Tiat Sim sambil menyeringai. Ia lantas
menoleh kepada gadisnya dan kata: Anak, kau menyingkirlah seorang diri! Ibumu
dan aku akan berdiam disini...."
Liam Cu tidak menangis, hatinya tegang sekali. Ia menginsyafi bahaya, tapi ia
menajadi tenang. Ia angkat kepalany. "Biarlah kita bertiga mati bersama!"
katanya gagah. Sek Yok heran, ia mengawasi nona itu. "Dia...dia mengapa adalah anak kita?" dia
tanya. Tiat Sim hendak menjadwab istrinya tetapi ia daptakan tentara itu sudah semakin
mendekat, justru itu, dilain jurusan ia melihat datangnya dua imam yang satu
berkumis dan rambutnya ubanan, wajahnya sangat berwales asih, yang lain kumisnya
abu-abu, sikapnya gagah, dibelakangnya tergendol sebatang pedang. Melihat mereka
itu, Yo Tiat Sim tercengang, lantas ia sadar. Dalam kegirangan sangat, ia
berseru menyapa salha satu imam itu: "Khu Totiang, hari ini kembali aku bertemu
denganmu!" Imam itu memang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee serta saudara seperguruannya, Tan Yang
Cu Ma Giok. Mereka hendak menempati janji dengan Giok Yang Cu Ong Cie It, akan
bertemu di kota raja, guna membicarakan urusan pibu dengan pihak Kanglam Liok
Koay. berdua mereka datang dengan terburu-buru, di luar dugaan, di sini mereka
bertemu dengan Yo Tiat Sim suami-istri. Khu Cie Kee telah sempurna Iweekangnya,
maka sekalipun telah bertambah delapan belas tahun umurnya, wajahnya tetapi
seperti dahulu hari itu, cuma rambutnya yang berubah. Karena itu ia tidak lantas
mengenal waktu ia dipanggil dan melihat Tiat Sim, hingga ia mengawasi saja.
Tiat Sim bisa menduga orang lupa padanya, ia berkata: "Apakah totiang masih
ingat peristiwa delapan belas tahun yang lampau di dusun Gu-kee-cun di Lim-an,
tatkala selagi kita minum arak kita menumpas musuh?"
"Jadinya tuan....!" menegaskan imam itu.
"Aku yang rendah ialah Yo Tiat Sim," Tiat Sim berkata cepat. "Semoga totiang
tidak kurang suatu apa."
Habis berkata, orang she Yo itu lantas menjatuhkan diri berlutut di depan orang
suci itu. Tiang Cun Cu lekas membalas hormat, tetapi ia tetap ragu-ragu. Setelah hampir
duapuluh tahun, disebabkan penderitaannya, Tiat Sim berubah roman dan suaranya
juga. Orang she Yo ini bisa mengerti kesangsiannya si imam. Di lain pihak hatinya
tegang melihat tentara pengejar telah mendatangi semakin dekat. Mendadak saja ia
geraki tombaknya dan menikam imam itu dengan tipu tombaknya. Ia pun berseru:
"Khu Totiang, kau telah melupakan aku tetapi kau tentu tidak dapat melupakan ini
ilmu tombak dari keluarga Yo!"
Tiang Cun Cu terkejut tetapi ia mundur. Ia lantas mengenali ilmu tombaknya
Keluarga Yo itu, maka sekarang ia ingat ebtul peristiwa delapanbelas tahun dulu
ketika ia mencoba ilmu silat orang. Ia menjadi girang bercampur terharu dapat
bertemu sama kenalan lama ini. "Oh, Yo Laotee!" katanya. "Kau masih hidup....!"
Tiat Sim tarik pulang tombaknya. Ia tidak sahuti imam itu, hanya lantas ia kata:
"Totiang, tolongilah aku!"
Imam itu bisa mengerti keadaan orang. Ia menoleh ke arah tentara pengajar.
Lantas ia tertawa. "Suheng, hari ini kembali aku mesti membuka pantangan
membunuh!" katanya, kepada saudara seperguruannya. "Aku harap kau tidak gusari
aku!" Ma Giok mengerti, ia menjawab: "Kurangilah pembunuhan! Gertak saja meraka itu!"
Khu Cie Kee tertawa nyaring dan lama, lantas ia maju ke arah tentara itu, yang
sudah lantas sampai, malah mendapatkan dia menghalang-halangi, mereka itu terus
menerjang dengan begis. Dengan hanya mementang kedua tangannya, ia lantas
menarik roboh dua serdadu berkuda itu, tubuh siapa terus ia timpuki ke serdadu
yang lainnya yang lagi mendatangi. Maka lagi dua serdadu roboh pingsan.
Luar biasa sebatnya imam ini, dengan cara itu ia robohkan lagi delapan serdadu,
delapan-delapannya ia timpuki bergantian kepada kawan mereka, maka lagi-lagi ada
delapan serdadu yang terguling. Kejadian ini membikin kaget serdadu-serdadu yang
lainnya, mereka lantas putar kuda mereka, untuk lari balik.
Belum lagi semua serdadu kabur, di antara mereka muncul seorang yang tubuhnya
besar dan kekar, yang kepalanya licin mengkilap. Dia membentak: "Darimana
datangnya si bulu campur aduk ini!" Lantas tubuhnya mencelat ke depan Tiang Cun
Cu, yang terus ia serang.
Kata-kata "bulu campur aduk" itu adalah hinaan untuk suatu imam. Tiang Cun Cu
tidak menghiraukan itu, hanya melihat orang demikian lincah, ia hendak menguji
tangan orang. Ia tangkis seragan itu.
Kedua tangan beradu dengan keras dan bersuara nyaring, habis itu keduanya mundur
sendirinya masing-masing tiga tindak.
Khu Cie Kee heran hingga ia kata di dalam hatinya: "Kenapa di sini ada orang
begini lihay?" Selagi si imam ini terheran-heran, adalah Kwie-bun Liong Ong - demikian si
lanang itu - merasakan tangannya sakit, hingga ia kaget berabreng mendongkol,
maka sekali ia maju menyerang.
Kali ini Khu Tiang Cun tidak berani bergerak sembarangan, dengan sabar ia
melayani, sesudah belasan jurus, tangannya menyampok kepala orang hingga di
kepalanya See Thong Thian bertapak lima jari berwarna merah.
Orang she See ini insyaf, dengan tangan kosong ia tidak bisa berbuat apa-apa,
lantas ia meraba pada pinggangnya di mana ia selipkan genggamannya yang berupa
pengayuh besi yang berat, dengan itu ia menyerang pula, menghajar pundak si imam
dengan jurusnya "Souw Cin menggendol pedang".
Khu Cie Kee tetap bertangan kosong, setelah berkelit, ia membalas menyerang. Ia
bersedia melayani musuh yang bersenjata itu. Adalah masksudnya, untuk merampas
senjata lawan. Tetapi See Thong Thian telah punyakan latihan beberapa puluh
tahun, tak gampang senjatanya itu dapat dirampas. Sebaliknya, dia bergerak
dengan gesit sekali. Tiang Cun Cu heran juga atas kegagahan orang, hingga ia ingin tanya she dan
namanya lawan ini. Hanya, belum sampai ia membuka mulutnya, dari belakang ia
dengar ini pertanyaan yang nyaring sekali: "Kau ada totiang mana dari Coan Cin
Kauw?" Ia lantas berlompat, untuk menoleh, hingga ia melihat empat orang berdiri
berendeng. Itulah Nio Cu Ong bersama Pheng Lian Houw, Auwyang Kongcu dan Hauw Thong Hay
yang telah lantas dapat menyusul See Thong Thian.
Khu Cie Kee lantas mengangguk kepada mereka itu seraya memberikan penyahutannya:
"Pinto she Khu. Pinto mohon tanya nama mulia dari tuan-tuan."
Nama Tiang Cun Cu kesohor sekali di Selatan dan Utara, maka itu Pheng Lian Houw
berempat saling mengawasi, hati mereka berkata: "Pantaslah dia bernama besar,
dia memang gagah." Pheng Lian Houw sendiri berpikir lebih jauh: "Kita sudah
melukakan Ong Cie It, itu artinya ganjalan dengan Coan Cin Kauw, sekarang kita
bertemu sama Khu Cie Kee, baiklah ia sekalian dibunuh saja! Ini adalah ketika
yang paling baik untuk mengangkat nama kita!" Karena berpikir begini, la lantas
berseru: "Mari maju berbareng!" Ia pun lantas mengeluarkan sepasang poan-koan-
pitnya, dengan apa ia terus terjang imam itu. Ia menerjang sambil berlompat. Ia
tahu lawan lihay, maka itu lantas ia menotok kepada kedua jalan darah kin-jie
dan pek-hay-hiat. Khu Cie Kee tidak heran yang orang sudah lantas menerjang kepadanya, ia cuma
berpikir, "Si kate ini galak sekali! Dia pun agaknya lihay!" Ia lantas menghunus
pedangnya, tetapi ia berkelit dari serangan orang, sebaliknya, ia menikam ke
pinggangnya See Thong Thian. Ketika ia telah menarik pulang pedangnya itu, ia
meneruskan menikam jalna darah ciang-bun-hiat di iganya Hauw Thong Hay.
Jadi dengan sekali bergerak, imam ini telah melayani tiga lawan. Inilah cara
berkelahi yang langka. Hampir saja Hauw Thong Hay terkena pedang, syukur ia keburu berkelit, tetapi ia
kena disusuli, kempolannya kena didupak si imam.
Pheng Lian Houw dan See Thong Thian lantas menyerang, Nio Cu Ong menyusul untuk
mengepung. Orang she Nio ini terperanjat untuk kesebatannya si imam.
Auwyang Kongcu melihat bagaimana si imam ini dilibat See Thong Thian dan Pheng
Lian Houw dan bagaimana Nio Cu Ong merangsak dari kirinya, ia pun lantas
menggunai ketika untuk mengeroyok. Dengan tangan kiri hanya mengancam, ia
menotok dengan kipasnya di tangan kanan, mengarah tiga jalan darah hong-bwee,
ceng-cok dan pwee-sim di punggung si imam.
Kelihatannya Khu Cie Kee sudah sangat terdesak, ketiga jalan darahnya itu bakal
menjadi sasaran kipas yang istimewa itu, atau mendadak satu bayangan berkelebat
si samping si kongcu, lalu kipasnya dia ini kena ditahan.
Itulah Ma Giok yang membantu saudaranya. Imam ini heran mendapatkan munculnya
begitu banyak orang pandai, yang terus menggeroyok saudaranya, sedangkan ia tidak mengerti, Auwyang Kongcu pun menyerang secara
membokong itu, maka terpaksa ia lompat maju untuk menghalangi.
Auwyang Kongcu lihat berkelebatnya satu bayangan, sambil menarik pulang
kipasnya, yang hendak dirampas, ia memandang bayangan itu, ialah seoarng imam
berusia lanjut, ubanan rambut dan kumisnya. Ia lantas menduga kepada anggota
Coan Cin Kauw yang tertua. Ia pun lompat ke belakang.
"Tuan-tuan siap?" tanya Ma Giok. "Kita tidak kenal satu dengan lain, ada salah
paham apakah di antara kita" Aku minta sukalah tuan-tuan menjelaskannya."
Imam ini berbicara dengan sabar sekali, suaranya halus, tidak keras dan
mengagetkan seperti suaranya Pheng lian Houw, tetapi pada itu ada nada yang
mengandung pengaruh, hingga dengan sendirinya orang-orang yang lagi bertempur
itu pada lompat mundur, akan terus mengawasi orang suci ini.
"Apaha she totiang yang mulia?" Auwyang Kongcu bertanya.
"Pinto berasal dari keluarga Ma," Ma Giok menyahut, tetap sabar.
"Oh, kiranya Tan Yang Cinjin Ma Totiang!" berkata Pheng Lian Houw, suaranya
tetap keras. "Maaf, maaf!"
"Pengetahuan pinto tentang agamaku masih terlalu sedikit, sebutan Cinjin itu
tidak berani pinto terima," menolak Ma Giok.
Pheng Lian Houw mencoba bersikap halus, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir:
"Kita telah bentrok dengan pihak Coan Cin Kauw, di belakang hari pastilah sukar
untuk menyelesaikan masalah ini, sekarang dua anggota utama dari mereka berada
disini, baiklah kita berlima mengepung mereka itu untuk membinasakannya. Perkara
di belakangada soal lain. Hanya, apakah di sini masih ada lain-lain
saudaranya....?" Ia lantas melihat ke sekitarnya. Di situ cuma tertampak Yo Tiat
Sim sekeluarga bertiga jiwa. Maka ia lantas berkata: "Nama Coan Cin Kauw sangat
kesohor, kami sangat mengaguminya. Mana lagi lima saudara totiang" Silahkan
minta mereka itu sudi menemui kami." Itulah kata-kata pancingan.
"Nama kami kosong belaka, cuma untuk ditertawakan tuan-tuan," menyahut Ma Giok.
"Kami bertujuh sudara tinggal di beberapa propinsi, ada sukar untuk kami datang
berkumpul. Kali ini kami datang ke Tiong-touw untuk mencari Ong Sutee, baru saja
kami mendapat tahu alamatnya, justru kami hendak menjenguk dia, di sini
kebetulan kita bertemu sama tuan-tuan. Ilmu silat di kolong langit ini banyak
perbedaannya tetapi asal mulanya adalah satu, maka itu bagaimana pula jikalau
kita mengikat persahabatan?"
Imam ini jujur, ia tidak menduga bahwa orang lagi memancing padanya.
Pheng Lian Houw girang sekali. Orang cuma berdua dan mereka belum sempat menemui
Ong Cie It. Maka boleh ia mengeroyok. Tapi ia masih tertawa, ia berkata:
"Totiang berdua tidak mencela kami, itulah bagus sekali. Aku she Sam dan namaku
Hek Miauw." Ma Giok dan Khu Cie Kee heran, mereka pikirkan siapa Sam Hek Miauw ini, yang
namanya aneh. Nama itu berarti Tiga Kucing Hitam. Sama sekali mereka belum
pernah mendengarnya. Orang toh lihay....
Pheng Lian Houw selipkan senjatanya di pinggangnya, ia menghampirkan Ma Giok.
"Ma Totiang, aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini," katanya seraya
mengangsurkan tangannya, untuk berjabat tangan, tapi telapakan tangannya dibalik
ke bawah. Ma Giok menyangka orang bermaksud baik, ia pun mengulurkan tangannya, buat
menyambuti. Ia merasa orang memegang keras sekali, ia berpikir; "Kau hendak uji
tenagaku, baiklah!" Ia tersenyum, sembari tenaganya dikerahkan. Tiba-tiba ia
merasakan lima jari tangannya sakit, seperti tertusuk jarum. Saking kaget, ia
lantas menarik pulang tangannya itu.
Pheng Lian Houw tertawa tetapi ia mencelat mundur setombak lebih.
Ma Giok melihat telapakan tangannya, lima jarinya berlobang kecil masing-masing
dan bergaris hitam. Ketika tadi Pheng Lian Houw menyelipkan senjatanya, berbareng ia menarik keluar
senjata rahasianya, yaitu ban Tok-hoan-taya, yang tipis seperti benang tetapi
disitu ada lima batang jarumnya, jarum yang telah dipakaikan racun yang keras
seklai, siapa terluka hingga di dagingnya, dalam tempo enam jam dia bakal
terbinasa. Ia sengaja memakai nama Sam Hek Miauw, untuk membuat Ma Giok
memikirkan, selagi orang tidak bercuriga, ia gunai jarum jahatnya itu. Ketika Ma
Giok insyaf ia telah dicurangi dan hendak ia menyerang, si licik sudah lompat
mundur. Khu Cie Kee heran melihat saudaranya berjabat tangan tapi sudah lantas
menyerang. "Kenapa?" tanyanya.
"Jahanam licik, dia telah melukai aku dengan racun!" menyahut Ma Giok, yang
berlompat maju, untuk menyerang pula.
Khu Cie Kee kenal baik kakak seperguruannya ini, yang sangat sabar, yang untuk


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa puluh tahun tidak pernah berkelahi, sedang sekarang ia menyerang dengan
"Sam Hoa Cie Teng Ciang-hoat", ialah ilmu pukulan paling lihay dari kaumnya, ia
mengerti sebabnya kegusaran itu. Maka ia pun menggeraki pedangnya, ia lompat
maju ke depan Pheng Lian Houw, untuk menerjang.
Pheng Lian Houw sempat mencabut poan-koan-pitnya, dengan itu ia menangkis,
beruntun dua tikaman, terus ia membalas satu kali. Ia tidak tahu, tangan kirinya
Tiang Cun Cu lihay seperti tangan kanannya ang memegang pedang. Imam ini
menyambuti poan-koan-pit, yang ia sambar ujungnya, terus ia menggentak ke
samping seraya berseru: "Lepas!"
Pheng Lian Houw pun ada seorang jago, senjatanya tidak terlepas, ia lawan keras
dengan keras, waktu ia mengerahkan tenaga dan menarik, hebat kesudahannya, ialah
poan-koan-pitnya itu terputus menjadi dua potong!
"Bagus!" Khu Cie Kee memuji, tetapi ia terus menyerang pula dengan dua-dua
tangannya. Pheng Lian Houw segera main mundur, karena ia merasakan tangan kanannya
kesemutan, hingga hatinya menjadi gentar.
Di lain pihak, See Thong Thia dan Nio Cu Ong maju memegat Ma Giok, sedang
Auwyang Kongcu dan Hauw Thian Hay segera membantui Pheng Lian Houw.
Khu Cie Kee heran kenapa mendadak berkumpul orang-orang tangguh ini. Ia ingat,
semenjak menempur Kanglam Cit Koay, sudah delapan tahun belum pernah ia menemui
tandingan. Karena ini, ia bersilat dengan sungguh-sungguh.
Dikepung bertiga, Khu Cie Kee tidak jatuh di bawah angin, tidak demikian dengan
kakak seperguruannya. Tangan Ma Giok menjadi bengkak dan hitam, rasannya kaku
dan gatal. Itulah tanda bekerjanya racun dahsyat. Inilah tidak disangka imam
itu, yang menduga kepada racun biasa. Makin ia bergerak, jalan darahnya makin
cepat. Karena menginsyafi bahaya, segera ia menjatuhkan diri untuk duduk
bersemadhi, guna mencegah ransakan racun, sedang dengan tangan kirinya
melindungi diri. Nio Cu Ong menyerang terus dengan senjatanya yang merupakan gunting panjang dan
See Thong Thian dengan pengagayuh besinya. Maka itu, selang beberapa puluh
jurus, Ma Giok terancam bahaya. Ia mesti melawan musuh di luar dan di dalam
tubuhnya. Khu Cie Kee heran melihat kelakuan kakaknya itu, yang seperti dari embun-
embuannya terlihat mengepul hawa seperti uap. Hendak ia menolongi tetapi ia
tidak sanggup, ketiga musuhnya mendesak keras padanya. Benar Hauw Thong Hay rada
lemah tetapi Auwyang Kongcu lebih gagah daripada Pheng Lian Houw. Karena hatinya
berkhawatir, ia kena terdesak.
Yo Tiat Sim tahu ilmu silatnya tidak berarti, akan tetapi melihat kedua imam itu
terancam bahaya, ia maju menyerang Auwyang Kongcu, yang ia arah punggungnya.
"Saudara Yo, jangan maju!" mencegah Khu Cie Kee. "Percuma kau mengantarkan
jiwa...." Belum habis ucapan imam ini, Auwyang Kongcu sudah menendang patah tombak orang
dengan kaki kirinya dan kaki kanannya mendupak roboh orang she Yo itu.
Adalah di itu waktu, dari kejauhan terdengar lari mendatanginya beberapa ekor
kuda akan kemudian ternyata, yang datang itu adalah Wanyen Lieh bersama Wanyen
Kang. Wanyen Lieh melihat istrinya duduk di tengah, ia girang, segera ia
menghampirkan. Justru itu sebatang golok menyambar kepadanya. Syukur ia keburu
berkelit. Ia segera mendapatkan, penyerangnya itu satu nona dengan baju merah,
yang goloknya lihat. Nona itu segera dikepung pengikut-pengikutnya.
Wanyen Kang heran menampak gurunya dikepung, ia lantas berteriak: "Semua
berhenti! Tuan-tuan berhenti!"
Pangeran ini mesti berteriak beberapa kali, barulah Pheng Lian Houw semua
berlompat mundur. Wanyen Kang segera menghampirkan gurunya, untuk memberi hormat.
"Suhu, mari teecu mengajar kenal," katanya kemudian. "Inilah beberapa cianpwee
Rimba Persilatan yang diundang ayahku."
"Hm!" bersuara imam itu, yang segera menghampirkan kakaknya, yang pun sudah
tidak berkelahi lagi. Ia terkejut akan melihat tangan kanan kakaknya itu menjadi
hitam terus sampai di lengan.
"Ha, racun begini lihay!" serunya. Lantas ia berpaling kepada Pheng Lian Houw,
akan perdengarkan suaranya yang keren: "Keluarkan obat pemunahnya!"
Pheng Lian Houw bersangsi, ia melihat orang segera sampai pada ajalnya.
Ma Giok sendiri mengempos terus semangatnya, ia berhasil mencegah menjalarnya
racun itu, yang perlahan-lahan mulai turun.
Wanyen Kang lari kepada ibunya, ia berkata: "Ma, akhirnya kita dapat cari kau!"
Tapi pauw Sek Yok berkata dengan keras: "Untuk menghendaki aku kembali ke
istana, tidak dapat!"
Wanyen Kang dan Wanyen Lieh menjadi heran. "Apa"!" kata mereka.
Pauw Sek Yok menunjuk kepada Yo Tiat Sim, ia kata nyaring: "Suamiku masih belum
mati, meski ia pergi ke ujung langit dan pangkal laut, akan aku ikuti dia!"
Wanyen Lieh heran tetapi ia dapat segera menoleh kepada Nio Cu Ong. Ia mengasih
tanda dengan tekukan mulutnya.
Nio Cu Ong mengerti, sekejap saja ia telah menyerang Yo Tiat Sim dengan tiga
batang pakunya. Khu Cie Kee yang waspada dapat melihat serangan orang she Yo itu, ia menjadi
kaget. Ia tidak mempunyai senjata rahasia untuk mencegah paku itu. Tiat Sim
tebtu tak dapat berkelit. Tapi ia tidak putus asa. Ia menyambar satu serdadu di
dekatnya, tubuh orang itu ia lemparkan ke arah antara paku dan Tiat Sim.
Segera terdengar jeritannya serdadu yang menjadi korban ketiga batang paku itu.
Melihat itu Nio Cu Ong menjadi gusar, ia lompat kepada si imam untuk menerjang.
Pheng Lian Houw dapat melihat suasana. Ia memangnya tidak sudi menyerahkan obat
pemunahnya. Tidak ayal lagi ia berlompat kepada pauw Sek Yok, untuk menangkap
onghui yang dicari Wanyen Lieh itu.
Khu Cie Kee melihat sepak terjang orang itu, ia pun lompat menyerang, mulanya
menikam Nio Cu Ong, lalu membabat si orang she Pheng itu. Mereka ini berdua
terpaksa lompat mundur. Khu Cie Kee segera menghadapi Wanyen Kang, yang ia bentak: "Anak tidak tahu apa-
apa, kau mengaku penjahat sebagai ayahmu selama delapan belas tahun, hari ini
kau bertemu ayahmu yang sejati, kenapa kau masih tidak hendak mengenalinya"!"
Wanyen Kang memang telah mendengar keterangan ibunya, ia percaya itu delapan
bagian, sekarang ia dengar perkataan gurunya ini, ia lantas menoleh kepada Yo
Tiat Sim. Ia melihat seorang dengan pakaian tua dan pecah, pakaian itu kotor
dengan tanah. Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, ia tampak orang tampan
dengan pakaian indah. Maka dua orang itu beda bagaikan langit dengan bumi. Ia
lantas berpikir: "Mustahilkah aku meninggalkan kekayaan dan kemulian untuk
mengikuti seorang melarat, untuk hidup merantau" Tidak, berlaksa kali tidak!"
Maka ia lantas berseru, "Suhu, jangan dengari ocehan iblis ini! Suhu, tolonglah
ibuku!" Khu Cie Kee menjadi sangat mendongkol. "Kau sesat, kau tidak sadar, kau kalah
dengan binatang!" Ia mendamprat.
Pheng Lian Houw melihat guru dan murid bentrok, mereka perkeras serangan mereka.
Wanyen Kang juga mendapatkan gurunya dalam bahaya tetapi ia berdiam saja.
Imam itu menjadi sangat murka. "Binatang, lihat aku!" dia membentak.
Wanyen Kang berdiam, hatinya ciut. Ia memang paling takut pada gurunya itu. Maka
ia berharap-harap Pheng Lian Houw semua memperoleh kemenangan, supaya gurunya
terbinasakan, dengan begitu ia akan selamat untuk selanjutnya.
Tidak lama, lengan kanan Khu Cie Kee kena ditusuk ujung gunting Nio Cu Ong,
lukanya tidak hebat tetapi mengeluarkan darah.
Ma Giok melihat bahaya mengancam, ia mengeluarkan sebiji liu-seng, ia sulut itu,
lalu melemparkannya, maka suatu sinar api biru lantas meluncur ke udara. Itulah
pertandaan di antara kaum Coan Cin Pay.
"Imam tua itu mencari kawan!" berseru Pheng Lian Houw, lantas ia meninggalkan
Khu Cie Kee untuk menyerang Ma Giok. Ia lantas dibantu See Thong Thian.
Baru mereka ini bergebrak satu kali, di jurusan Barat Laut terlihat meluncurnya
satu sinar biru juga. "Ong sutee di arah kiri sana!" berseru Khu Cie Kee girang. Ia geser pedangnya ke
tangan kiri terus ia menyerang hebat, hingga ia dapat membuka jalan.
"Ke sana!" berseru Ma Giok yang menunjuk ke arah Barat Laut.
Yo Tiat Sim bersama Liam Cu, putrinya dengan melindungi Pauw Sek Yok, lari ke
arah yang ditunjuk itu, di belakang mereka, Ma Giok menyusul. Imam ini sudah
berlompat bangun. Khu Cie Kee perlihatkan kepandaiannya, ia menghalangi di belakang.
See Thong Thian berniat mencekuk Pauw Sek Yok, ia berlompat ke depan, tetapi
semua percobaannya sia-sia belaka, ia dirintangoi kalau bukan oleh Khu Cie Kee
tentu oleh Ma Giok. Tidak lama tibalah mereka di hotel kecil di mana Ong Cie It mengambil tempat.
Khu Cie Kee heran bukan main. "Kenapa Ong Sutee masih belum menyambut?" ia
berpikir. Ia baru berpikir atau ia segera melihat munculnya adik seperguruannya
itu, yang jalan dibantu tongkat.
Dua-dua pihak terkejut. Mereka sama-sama tidak menyangka, dari kaum Coan Cin
pay, sekarang terluka justru mereka yang paling tangguh.
"Mundur ke dalam hotel!" Khu Cie Kee lantas berseru.
"Serahkan onghui baik-baik, aku nanti ampunkan kamu semua!" Wanyen Lieh berseru.
"Siapa menghendaki pengampunan kau bangsat anjing dari negara Kim"!" mendamprat
Tiang Cun Cu. Sembari membuka mulutnya, imam ini terus membikin perlawanan
dengan hebat, hingga mau tidak mau, Pheng Lian Houw semua mengaguminya.
Yo Tiat Sim menyaksikan pertempuran itu, ia anggap tidak seharusnya Khu Cie Kee
bertiga menjadi korbannya, maka tiba-tiba saja ia tarik tangan Sek Yok, untuk
pergi keluar, sambil ia berseru: "Semua berhenti! Di sinilah ajal kami!"
Di tangannya Tiat Sim mencekal tombaknya, dengan itu ia lantas tikam ulu
hatinya, maka ia terus roboh dengan berlumuran darah.
Sek Yok tidak berduka karenanya, ia juga tidak tubruk suaminya itu, sebaliknya
ia tertawa menyeringai, terus ia cabut tombak itu dari tubuh suaminya, untuk
gagangnya ditancap ke tanah. Ia menghadap Wanyen Kang seraya berkata: "Anak,
masih kau tidak percaya ayahmu yang sejati ini?" Tapi ia tidak menanti jawaban,
segera setelah perkataan itu, ia tubruki dirinya ke ujung tombak itu, maka ia
pun roboh dengan mandi darah.
kejadian ini ada sangat ehbat, semua orang tidak menduganya, maka juga
pertempuran berhenti sendirinya.
Wanyen Kang sangat kaget, sambil menjerit: "Ibu!" ia lari untuk menolongi ibunya
itu. Ia lantas menangis melihat dada ibunya tertancap tombak.
Khu Cie Kee lantas memeriksa lukanya kedua orang itu, ia putus asa.
Wanyen Kang memeluki ibunya, dan Liam Cu ayahnya. Keduanya menggerung-gerung.
"Saudara Yo," berkata Tiang Cun Cu pada Tiat Sim. "Kau hendak memesan apa" Kau
bilanglah padaku, nanti aku lakukan semua itu."
Belum lagi Tiat Sim sempat menjawab, orang pada menoleh ke arah mereka, karena
mereka mendengar tindakan dari banyak kaki orang. Segera mereka melihat
datangnya Kanglam Liok Koay bersama Kwee Ceng.
Enam Manusia aneh itu dapat melihat See Thong Thian beramai, mereka menduga
bakal terjadi pertempuran lagi, mereka lantas menyiapkan senjata mereka masing-
masing. ketika mereka sudah datang dekat, mereka menjadi heran. Di sana ada dua
orang terluka dan masing-masing tengah dipeluki dan yang lainnya mengawasi
dengan roman tidak wajar.
Kwee Ceng kenali Yo Tiat Sim, segera ia menghampirkan. "Paman Yo, kau kenapa?"
tanyanya. Napasnya Tiat Sim sudah lemah, ia kenali anak muda itu, ia tersenyum. "Dahulu
hari ayahmu dan aku telah berjanji, kalau kami mendapat anak lelaki dan
perempuan, kami akan berbesan, tetapi juga anak pungutku ini ada seperti anakku
sendiri...." Ia menoleh kepada Khu Cie Kee, akan meneruskan; "Totiang, tolong kau
rekoki perjodohan ini, aku mati pun akan meram."
"Tenangkan hatimu, saudara Yo," menyahut si imam ini.
Pauw Sek Yok rebah di samping suaminya, tangan kirinya mencekal erat tangan
suaminya itu, agaknya ia takut sekali suaminya nanti pergi. Ia seperti sudah
tidak ingat apa-apa akan tetapi samar-samar ia masih dapat dengar pesan
suaminya. Tiba-tiba ia angkat tangannya, untuk merogoh sakunya, darimana ia
keluarkan sebilah pisau belati: "Ini buktinya...." katanya, lalu ia tersenyum dan
berhenti jalan napasnya. Khu Cie Kee menyambuti pisau itu. Ia kenali pisau yang dulu hari ia berikan di
Gu-kee-cun, Lim-an. Pada pisau terukir terang dua huruf "Kwee Ceng"
Yo Tiat Sim pun kata pada anak muda itu: "Masih ada sebilah lagi, ialah ditangan
ibumu. Dengan mengingat ayahmu, aku minta baik-baiklah kau perlakukan anakku
ini." "Aku nanti urus semua, tenangi dirimu," janji pula Khu Cie Kee.
Yo Tiat Sim benar-benar merapatkan kedua matanya dengan tentram.
Kwee Ceng berduka sekali berbareng pusing kepala. "Yong-jie begitu baik
terhadapku, mana bisa aku menikah dengan orang lain?" katanya dalam hatinya.
Lalu ia menjadi kaget, ia berpikir pula: "Kenapa aku melupai putri Gochin" Khan
Agung telah jodohkan putrinya itu kepadaku! Ini......ini....bagaimana....?"
Selama hari-hari belakangan ini, Kwee Ceng sering ingat tuli tetapi tidak
sedikitpun outri Gochin. Cu Cong beramai berdiam saja atas pesan Tiat Sim itu. Memang mereka tidak
berniat menolak pesan terakhir itu tetapi mereka tidak jelas duduknya hal,
mereka tidak berani berlaku lancang.
Wanyen Lieh telah mesti menghadapi kejadian hebat itu, ia berduka bukan main. Ia
lantas saja memutar tubuhnya, untuk meninggalkan tempat itu. Sejak ia mengambil
pauw Sek Yok menjadi istrinya, ia telah mencoba segala daya untuk merebut
cintanya nyonya itu, tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya. Selama belasan tahun,
Pauw Sek Yok tidak pernah melupai Yo Tiat Sim, suaminya itu.
Menampak pangeran itu berlalu, See Thong Thian beramai segera ngeloyor pergi
juga, disebabkan ragu-ragu untuk menempur pula ketiha imam dari Coan Cin Pay,
sudah mereka itu cukup tangguh, sekarang di samping mereka itu ada Kanglam Liok
Koay. Khu Cie Kee dapat melihat orang hendak angkat kaki. "He, Sam Hek Miauw,
tinggalkan obatmu!" ia membentak.
Pheng Lian Cu menoleh, ia tertawa lebar. "Cecu kamu she Pheng!" sahutnya.
"Akulah yang kaum kangouw julukan Cian ciu Jin-touw! Kau keliru lihat, Khu
Totiang?" Gentar juga Khu Cie Kee. "Pantaslah ia lihay sekali," pikirnya. Tapi kakaknya
terancam bahaya. Maka ia kata: "Tidak peduli kau seribu tangan atau selaksa
tangan, obat itu kau mesti tinggalkan! Jangan harap kau bisa meloloskan diri!"
Imam ini mengejek dengan selaksa tangan, sebab julukan "Cian Ciu" dari Pheng
Lian Houw berarti "seribu tangan."
Lantas Khu Cie Kee lompat menyerang.
Pheng Lian Houw mempunyai tinggal sebatang poan-koan-pit tetapi ia tidak takut,
ia menyambut serangan itu, hingga mereka jadi bertempur pula.
Cu Cong melihat Ma Giok duduk bersemedhi, napasnya lagi diempos, sedang sebelah
tangan orang hitam legam, ia tanya imam itu kena dapat luka.
"Dia berjabat tangan denganku, siapa tahu dia menggunai jarum beracun,"
menyahuti imam itu. Dengan "dia" ia maksudkan Pheng Lian Houw.
"Baiklah, itu tidak berarti!" kata Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay.
Ia terus berpaling kepada kakaknya dan berkata; "Toako, mari kasihkan aku satu
biji leng-jie!" Kwa Tin Ok tidak mengerti maksud orang tetapi ia berikan barang yang diminta.
Leng-jie itu ialah lengkak beracun.
Cu Cong mengawasi dua orang yang lagi bertempur itu, ia tidak ungkulan
memisahkan mereka, maka itu ia kata pula kepada kakaknya; "Toako, mari kita
pisahkan mereka itu, aku ada daya untuk menolong Ma totiang."
Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam tahu adiknya itu sangat cerdik, ia mengangguk.
Si Mahasiswa Tangan Lihay itu lantas saja berseru: "Kiranya di sana Cian Ciu
Jin-touw Pheng Cecu! Kita ada orang sendiri, lekas berhenti berkelahi, aku
hendak ada bicara!" Ia mengatakan demikian tetapi ia tarik tangan kakaknya, maka
berdua berbareng mereka menyerbu kepada dua orang yang asyik bertempur itu. Yang
satu memegang kipas, yang lain tongkat, dengan itu mereka memisahkan.
Dua-dua Khu Cie Kee dan Pheng Lian Houw heran mendengar perkataan orang yang
membilang mereka semua adalah "orang sendiri". Mereka suka memisah diri dulu,
untuk mendengar penjelasan.
Dengan tertawa manis, Cu Cong menghadapi Pheng Lian Houw. Ia kata: "Kami Kanglam
Cit Koay dengan Tiang Cun Cu Khu Cie Kee telah bentrok pada delapan belas tahun
yang lampau, itu waktu lima saudara kami telah terluka parah, tetapi Khu totiang
pun terluka oleh kami. Urusan itu sampai sekarang masih belum dapat di...." Ia
lantas menoleh kepada Khu Cie Kee, untuk menanya; "Bukankah benar begitu,
totiang?" Tiang cun Cu mendongkol sekali. Ia menduga orang hendak membuat perhitungan
disaat ia menghadapi musuh berbahaya. Maka ia menjawab dengan nyaring: "Tidak
salah! Habis kau mau apa"!"
"Tetapi kita pun ada punya sangkutan sama See Liong Ong," berkata Cu Cong. "Aku
dengar See Liong Ong bersahabat sangat erat dengan Pheng Ceecu, karena kami
mendapat salah dari See Liong Ong, kami jadi turut bersalah terhadap ceecu..."
"Haha...tidak berani aku menerima itu!" tertawa Pheng Lian Houw.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Cong tertawa, ia berkata pula: "Karena Pheng Ceecu dengan Khu Totiang serta
Kanglam Cit Koay ada bermusuhan, bukankah kamu kedua pihak jadi adalah orang
sendiri" Maka itu, perlu apa kamu bertarung lagi" Dengan begitu, bukankan aku
dengan Pheng Ceecu pun ada orang sendiri" Mari, mari kita mengikat
persahabatan!" Si Mahasiswa Tangan Lihay mengulur tangannya, untuk menarik tangannya orang she
Pheng itu. Pheng Lian Houw cerdik, ia bercuriga untuk kata-kata tidak karuan juntrungan
dari Cu Cong. Bukankah Coan Cin pay telah menolongi murid Kanglam Cit Koay"
Tidakkah berarti mereka berdua bersahabat" "Tidak, aku tidak dapat diakali,
obatku tidak boleh diperdayakan!" Tapi melihat orang mengulurkan tangan, lekas-
lekas ia selipkan senjatanya, berbareng ia keluarkan ban beracunnya.
"Saudara Cu, hati-hati!" Khu Cie Kee memberi ingat. Ia terkejut.
Cu Cong berpura-pura tidak mendengar, ia ulur terus tangannya, kelingkingnya
ditekuk. Dengan begitu ia telah membangkol ban orang.
Pheng Lian Houw tidak merasakan apa-apa, ia berjabat tangan dengan si Mahasiswa.
Keduanya lantas mengerahkan tenaga masing-masing.
Mendadak Pheng Lian Houw merasakan tangannya sakit sekali, lekas-lekas ia
menarik tangannya itu, untuk dilihat. Untuk kagetnya, telapakan tangannya telah
berlubang tiga, darahnya yang mengalir berwarna hitam. Ia merasakan gatal,
gatal-gatal enak, sakitnya lenyap. Tapi ia orang yang lihay, ia insyaf bahwa ia
telah kena racun yang jahat. Makin tidak sakit, makin hebat racun itu. Ia juga
merasa lukanya kaku. Ia kaget berbareng gusar, ia juga tidak mengerti kenapa ia
sudah kena dicurangi. Ketika ia angkat kepalanya, ia dapatkan Cu Cong berdiri di
belakangnya Khu Cie Kee, tangan kirinya mengangkat ban beracunnya yang dijepit
dengan dua jari, tangan kanannya menunjuki sebuah lengkak hitam, ujung yang
tajam dari buah itu penuh darah.
Kanglam Cit Koay yang nomor dua ini bergelar si Mahasiswa Tangan Lihay, maka
tangannya itu benar-benar lihay sekali. Ketika ia mau berjabat tangan, dia sudah
siapkan lengkaknya, tempo kedua tangan nempel satu sama lain, ia gaet ban tangan
orang dan ujung lengkaknya bekerja!
Bukan main murkanya Pheng Lian Houw, ia berlompat untuk menerjang.
"Kau mau apa"!" membentak Khu Cie Kee, yang melintangi pedangnya.
Cu Cong segera berkata: "Pheng Ceecu, lengkak ini adalah lengkak kakakku,
senjata rahasia yang istimewa, siapa terluka karena ini, biarnya ia pandai
mengukir langit, ia tidak bakal hidup lebih daripada tiga jam!"
Pheng Lian Houw merasakan tangannya kaku, ia mau percaya keterangan itu, maka
tanpa merasa, dahinya mengeluarkan keringat dingin.
"Kau mempunyai jarum beracunmu, aku mempunyai ini lengkakku yang beracun juga,"
berkata pula Cu Cong. "Kedua racun beda sifatnya, maka beda juga obatnya.
Marilah kita bersahabat, kita saling menukar obat. Akur?"
Belum lagi Pheng Lian Houw menyahuti, See Thong Thian sudah majukan diri seraya
berkata: "Bagus! Kau keluarkan obatmu!"
"Toako, berikan dia obat itu!" Cu Cong bilang pada kakaknya.
Kwa Tin Ok merogoh dua bungkusan kecil dari sakunya, Cu Cong menyambuti itu.
Khu Cie Kee segera melangkah di tengah. "Saudara Cu, jangan kena terperdayakan!"
ia memberi ingat. "Mesti dia yang menyerahkan dulu obatnya!"
Cu Cong tertawa. "Perkataan satu laki-laki mesti dibuktikan dengan kepercayaan,"
ia kata. "Aku tidak khawatir dia tidak memberikannya."
Pheng Lian Houw merogoh sakunya. Mendadak mukanya menjadi pucat. "Celaka!"
serunya perlahan sekali. "Obatku lenyap...!"
Melihat orang ayal-ayalan, Khu Cie Kee murka. "Hm, kau masih mainkan tipu
iblismu!" ia membentak. "Saudara Cu, jangan berikan!"
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: "Kau ambillah! Kita ada bangsa orang budiman,
kata-kata kita ada seumpama kuda dicambuk lari, aku bilang kasih tentu mesti
dikasihkan!" See Thong Thian tahu tangan orang lihay, ia tidak berani menyambuti dengan
tangan, sebagai ganti tangannya, ia lonjorkan senjata pengayuhnya.
Cu Cong meletaki obat di atas pengayuh itu dan See Thong Thian menariknya, untuk
menjumput itu. Orang heran dengan kejadian ini. Mengapa Cu Cong memberikan obatnya" Kenapa ia
tidak memaksa supaya pihak sana yang memberikan obatnya terlebih dahulu"
See Thong Thian masih menyangsikan obat adalah obat yang tulen, ia kata:
"Kanglam Cit Koay adalah orang-orang kenamaan, tidak dapat ia mencelakai orang
dengan obat palsu!" Cu Cong tertawa. "Tidak nanti, tidak nanti!" ia berkata seraya dengan perlahan-
lahan mengasihkan lengkaknya kepada Kwa Tin Ok, kemudian dari sakunya ia
keluarkan beberapa rupa barang ialah sapu tangan, kim-cie-piauw, beberapa potong
perak hancur serta sebuah pie-yan-hu putih.
Pheng Lian Houw melihat semua barang itu, ia melengak. Itulah semua barang
kepunyaannya. Ia heran kenapa semua itu ada di tangan lain orang. Ia tidak
menyangka, selagi berjabat tangan, Cu Cong telah perlihatkan kepandaiannya.
Cu Cong buka tutupnya pie-yan-hu itu, yang di dalamnya terbagi dua. di situ ada
obat bubuk masing-masing berwarna merah dan abu-abu.
"Bagaimana ini dipakainya?" ia tanya Pheng Lian Houw.
"Yang merah untuk dimakan, yang abu-abu untuk dibeboreh," sahut ceecu itu
terpaksa. Cu Cong menoleh kepada Kwee Ceng. "Lekas ambil air! Juga dua buah mangkok!" ia
menyuruh. Bocah itu lari ke dalam hotel, untuk mengambil mangkok dan air, maka sebentar
kemudian ia sudah mulai merawat Ma Giok. Mangkok yang satunya ia mau kasihkan
kepada Pheng Lian Houw. "Tunggu dulu!" mencegah Cu Cong. "Kasihkan pada Ong totiang!"
Kwee Ceng melengak tetapi ia serahkan mangkok itu. Ong Cie it juga heran.
"Eh, bagaimana dipakainya dua bungkus obat kamu ini?" See Thong Thian menanya.
Ia tidak sabaran. "Tunggu sebentar, jangan kesusu!" Cu Cong bilang. "Baru satu jam tiga perempat
menit, dia tidak bakal mati...." Sembari berkata, Cu Cong mengeluarkan sari
sakunya belasan bungkus obat.
Melihat itu Kwee Ceng girang bukan buatan. "Itulah obatnya Ong Totiang!" ia
berseru. Ia lantas menyambuti semua obat itu, ia bukai bungkusannya dan letaki
di depan Ong Cie It. Ia kata: "Totiang, pilihlah sendiri mana yang kau
butuhkan." Ong Cie It mengawasi semua obat itu, ia menjumput gu-cit, dan tiga lainnya, ia
terus masuki itu ke dalam mulutnya, untuk dikunyah, lalu disusuli dengan air.
Nio Cu Ong mendongkol berbareng mengagumi sang lawan. "Begini lihay si mahasiswa
jorok ini," pikirnya. "Ia cuma mengebuti bajuku, obat itu sudah lantas pindah ke
tangannya..." Karena gusar, ia memutar tubuh mencabut guntingnya. "Mari, mari! Mari kita
mengadu senjata!" ia menantang.
"Mengadu senjata?" Cu Cong tertawa. "Oh, sungguh-sungguh aku tidak sanggup
menandinginya!" Khu Cie Kee pun menyela, "Tuan ini adalah Ceecu Pheng Lian Houw, tetapi tuan-
tuan yang lainnya belum kami kenal..."
See Thong Thian dengan suaranya yang serak, memperkenalkan kawan-kawannya.
"Bagus!" seru Tiang Cun Cu. "Di sini telah berkumpul semua orang Rimba
Persilatan yang kenamaan. Sayangnya selagi kita belum memperoleh keputusan
menang dan kalah, kedua belah pihak ada orang-orangnya yang terluka. Aku pikir
baiklah kita menjanjikan lain hari untuk bertemu pula."
"Begitu paling baik!" Pheng Lian Houw menyahuti. "Sebelum menemui Coan Cin Cit
Cu, mati pun kita tak dapat memeramkan mata! Tentang harinya, silakan Khu
Totiang yang menetapkan sendiri."
Khu Cie Kee tahu lukanya Ma Giok dan Ong Cie It memerlukan rawatan beberapa
bulan, sedang saudara-saudaranya yang lain terpencar kelilingan, sukar mencari
mereka itu dalam waktu yang pendek, karena ia menyahut: "Baiklah setengah tahun
kemudian diharian Pwee gwee Tiong Ciu, kita berkumpul sambil memandangi si Putri
Malam sembari menyakinkan juga ilmu silat. Bagaimana penglihatan Pheng Ceecu?"
Pheng Lian Houw setuju dengan pilihan hari itu, pertengahan musim rontok. Ia
mengetahui dengan baik, kalau Coan Cin Cit Cu kumpul semua, dengan mereka
dibantu oleh Kanglam Cit Koay, jumlah mereka pun menjadi terlebih besar, karena
mana pihaknya sendiri perlu mencari kawan. Selama setangah tahun, pasti ia
sempat mencarinya. Kebetulan Chao Wang menghendaki mereka pergi ke Kanglam untuk
mancuri surat wasiatnya Gak Hui, bolehlah mereka kedua pihak sekalian bertemu di
sana. Maka itu, ia pun berkata: "Khu Totiang, sungguh pandai kau memilih hari
Pwee gwee Tiong Ciu itu! Karena itu aku anggap kita pun baik sekali memilih juga
tempat yang tepat! Aku memikir kepada kampung halaman dari Kanglam Cit Hiap!"
"Bagus, bagus!" menyahuti Khu Cie Kee. "Baiklah, bila tiba waktunya, kita boleh
berkumpul di lauwteng Yan Ie Lauw di tengah telaga Lam Ouw di Kee-hin. Aku
menganggap tidaklah suatu halangan jikalau tuan-tuan mengundang beberapa
sahabatmu." "Baiklah, begini ketetapan kita!" kata Pheng Lian Houw singkat.
"Pheng Ceecu," berkata Cu Cong setelah kepastian itu. "Dua bungkus obat di
tanganmu itu, yang putih untuk dimakan, yang kuning untuk dipakai di luar."
Selama itu tangan kanan Pheng Lian Houw sudah kaku sebagian, selama berbicara
dengan Khu Cie Kee, ia menahan sakit, maka itu begitu mendengar perkataannya Cu
Cong, tidak berayal sedetik juga, ia lantas makan obat yang putih itu.
Kwa Tin Ok dengan suaranya yang dingin berkata," Pheng Ceecu, dalam tempo tujuh
kali tujuh, empatpuluh sembilan hari kau mesti pantang minum arak! Kau pun mesti
memantang paras elok! Kalau tidak nanti di harian Pwee gwee Tiong Ciu di Yan Ie
Lauw kita tidak bakal kekurangan cecu satu orang, hingga karenanya pastilah
lenyap kegembiraan kami!"
Pheng Lian Houw merasa bahwa ia diejek, tetapi karena orang bermaksud baik, ia
tidak menunjuk kemurkaa. "Terima kasih untuk perhatianmu!" ia bilang. Ia sungkan
menyebutkan kebaikan hati orang.
See Thong Thian sudah lantas menolongi kawan itu memakai obat luar, habis mana
ia mempepayang ya untuk diajak berlalu.
Wanyen Kang berlutut di tanah, ia paykui empat kali kepada mayat ibunya,
kemudian ia paykui beberapa kali kepada Khu Cie Kee, gurunya itu, habis itu
tampa mengucap sepatah kata, ia berlalu dengan mengangkat kepala.
"Eh, Kang-jie, apakah artinya itu"!" sang guru menanya, membentak.
Wanyen Kang tidak menyahuti, ia juga tidak berjalan bersama rombongannya Pheng
Lian Houw, ia hanya mengambil sebuah tikungan di pojok jalan.
Khu Cie Kee terdiam. Tetapi ia segera sadar, maka itu ia terus memberi hormat
kepada Kwa Tin Ok beramai seraya berkata: "Jikalau hari ini kami tidak mendapat
pertolongan Liok Hiap, pastilah kami bertiga sudah kehilangan jiwa kami.
Mengenai muridku itu, yang tidak ada sekelingking murid Liok Hiap, untuk
pertemuan nanti di Cui Siang Lauw di Kee-hin, disini aku menyatakan taklukku."
Kanglam Liok Koay senang mendengar perkataan si imam, dengan begitu tidak sia-
sialah yang mereka telah membuat tempo delapanbelas tahun di gurun pasir. Kwa
Tin Ok lantas menjawab dengan merendah.
Sampai di situ, selesai sudah pembicaraan mereka. Ma Giok dan Ong Cie It lantas
dipepayang masuk ke dalam rumah penginapan. Coan Kim Hoat pergi membeli peti
mati untuk merawat jenazahnya Yo Tiat Sim dan Pauw Sek Yok, suami istri.
Khu Cie Kee bersusah hati melihat Bok Liam Cu yang sangat berduka itu.
"Nona, bagaimana hidupnya ayahmu selama beberapa tahun ini?" ia menanya.
Bab 24. Pengemis Dengan Sembilan Jeriji
"Selama belasan tahun ayah telah mengajak aku merantau ke Timur dan ke Barat,"
menyahut si nona. "Belum pernah kami berdiam di suatu tempat lamanya sepuluh
hari atau setengah bulan. Ayah membilang, dia hendak mencari satu orang....seorang
engko she Kwee....."
Perlahan sekali suara si nona, kepalanya pun tunduk. Ia likat.
Khu Cie Kee menoleh ke arah Kwee Ceng. "Bagaimana caranya ayahmu mendapatkan
kau?" ia tanya si nona pula.
"Aku ada orang asal Gu-kee-cun di Lim-an," Liam Cu menyahut pula. "Sejak kecil
aku telah tidak mempunyai ayah dan ibu, aku tinggal menumpang sama seorang
bibiku. Bibi itu tidak perlakukan baik padaku, demikian pada suatu hari ia telah
memukul aku serta tidak memberikan aku nasi untuk berdahar, selagi aku menangis
di depan pintu, lewatlah ayah angkatku ini. Ia merasa kasihan padaku, ia bicara
sama pamanku, lalu ia ambil aku sebagai anak pungut. Demikian aku diajak
merantau, diajari ilmu silat. Untuk mencari engko she Kwee itu, aku turut ayah
merantau. Aku mesti sering melakukan pertempuran, karena ayah telah mengibarkan
benderanya, bendera untuk pibu guna mencari pasangan...."
"Nah, inilah soalnya," berkata Khu Cie Kee. "Baiklah kau mengerti, ayahmu itu
bukan she Bok, dia she Yo. Selanjutnya kau baik memakai she Yo juga."
"Tidak, aku bukan she Yo, baik aku tetap she Bok," berkata si nona itu. Ia
bersangsi. "Kenapa" Apakah kau tidak percaya aku?" tanya si imam.
"Bukan aku tidak percaya, aku cuma ingin tetap memakai she Bok."
Melihat orang berkukuh, imam itu tidak memaksa. Bukankah orang baru saja
kehilangan ayahnya dan hatinya sangat berduka" Ia tidak tahu, didalam hatinya,
Liam Cu sudah menyerahkan diri kepada Wanyen Kang. Kalau Wanyen kang itu berayah
she Yo, dia pun she Yo juga, maka kalau ia memakai she Yo, mana bisa mereka
menikah" Ong Cie It sementara itu merasakan satu kesangsian. Setelah makan dan pakai
obat, ia merasa segar, sembari rebah di pembaringan, ia mendengari pembicaraan
saudaranya dan nona itu. Ia ingat bagaimana si nona bertanding sama Wanyen Kang.
"Eh," tanyanya," Kau bilang kau diajari silat oleh ayahmu, kenapa buktinya kau
lebih gagah daripada ayahmu itu?"
"Itulah disebabkan pada suatu hari ketika aku berumur tigabelas tahun, aku
bertemu sama seorang berilmu, Liam Cu menyahut. "Untuk tiga hari lamanya dia
ajarkan aku ilmu silat. Sayang otakku buta, tidak dapat aku mewariskan semua
pelajaran yang diajarkan itu..." kata si nona pula.
"Jikalau ia cuma mengajarkan tiga hari, kenapa kau jauh lebih lihay daripada
ayahmu?" imam itu menanya pula. "Siapakah orang berilmu itu?"
"Maaf, totiang, bukannya aku berani mendusta, sebenarnya aku telah mengangkat
sumpah, dari itu tidak berani aku menyebutkan namanya."
Ong Cie It berdiam, ia tidak menanya lebih jauh. Tapi ia berpikir terus, ia
mengingat-ingat ilmu silatnya si nona selama dia melayani Wanyen Kang. Sekian
lama ia masih tidak mengingatnya, ia tidak dapat mengenali. Hal ini membuatnya
bertambah heran. "Khu Suko," akhirnya ia tanya kakaknya, "Bukankah kau telah mengajari Wanyen
Kang selama delapan atau sembilan tahun"
"Tepatnya sembilan tahun enam bulan," menjawab Khu Cie kee. "Ah, aku tidak
sangka sekali bocah itu ada begini punya tidak berbudi...."
"Ah, benar-benar aneh?" Cit It bilang.
Cie Kee heran. "Kenapa?" tanyanya.
Cit It diam, ia tidak memberi jawaban.
"Khu Totiang," Tin Ok menanya. "Bagaimana caranya kau dapat mencari turunannya
Yo Toako itu?" "Itulah terjadi secara kebetulan," sahut Tian Cun Cu. "Semenjak kita membuat
perjanjian, aku pergi kemana-mana mancari turunan kedua keluarga Yo dan Kwee
itu. Selama beberapa tahun, aku tidak memperoleh hasil. Karena ini aku merasa
bahwa dalam halnya pibu, pihak kami pastilah kalah. Tapi aku tidak putus asa.
Aku mencari terus. Kembali aku balik ke Gu-kee-cun. Pada suatu hari aku melihat
beberapa hamba negeri pergi ke rumahnya saudara Yo itu, mereka mengangkut pergi
semua barang perabotan rumah tangga. Aku heran, lantas aku menguntit mereka. Di
luar dugaan mereka, aku mendapat dengar pembicaraan mereka. Nyatanya mereka
bukanlah sembarang orang. Merekalah pengikut-pengikutnya pangeran Chao Wang dari
negara Kim, mereka sengaja datang untuk mengangkuti isi rumahnya saudara Yo.
Mereka bilang, tidak boleh ada barang yang kurang, tak terkecuali bangku, meja
dan tombak serta luku juga. Oleh karena itu aku heran, aku jadi bercuriga, maka
aku menguntit mereka terus sampai di Tiongtouw."
Mendengar sampai disitu, Kwee Ceng sadar. Selama berdiam di dalam gedung
Pangeran Chao Wang, ia pernah melihat kamarnya Pauw Sek Yok serta
perlengkapannya. Ia heran seorang istri Pangeran, tetapi perlengkapan rumahnya
sangat miskin.... Khu Cie Kee melanjuti keterangannya: "Malamnya aku pergi memasuki gedung
pangeran itu. Ingin aku mendapat kepastian apa perlunya barang-barang demikian
diangkut jauh-jauh, dibawa ke istana. Setelah aku memperoleh kenyataan, aku
menjadi sangat gusar berbareng berduka dan terharu sekali. Ternyata Pauw Sek
Yok, istrinya saudara Yo itu, sudah menjadi onghui, menjadi istrinya Pangeran
Chao Wang itu. Saking murkanya, berniat aku lantas membunuh Sek Yok itu.
Kemudian aku mengubah pikiranku itu. Segera aku mendapat kenyataan, Sek Yok
tinggal di sebuah rumah batu yang kecil, di situ ia memeluki dan mengusap-usap
tombaknya saudara Yo, semalam-malaman ia menangis saja. Teranglah ia tidak dapat
melupakan suaminya itu. Karena itu, aku batal membunuhnya. Kemudian lagi aku
mendapat keterangan, putranya Pangeran Chao Wang itu adalah putranya saudara Yo.
Bendera Darah 1 Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu Pendekar Bloon 6
^