Pencarian

Bunga Di Batu Karang 26

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 26


ternyata memiliki perasaan kasih di antara sesama. Demikian tebalnya perasaan itu sehingga mampu mengatasi perasaan dendam dan benci yang mencengka m hati perempuan pribumi itu. "Dan ia tidak sa mpai hati menghunja mkan pedangnya di dadaku" desahnya. Namun ke mudian kumpeni itu menggeretakkan giginya sambil me nggera m "Tida k. Aku tida k perlu belas kasihan itu" Tetapi yang terdengar di lubuk hati adalah jawaban "Bukan sekedar belas kasihan. Tetapi itu adalah perasaan kasihan" Kumpeni itu berdesis. Sekali-sekali ia menggeliat dala m kegelisahan seakan-akan lukanya terasa menjadi pedih. Itulah sebabnya seorang yang merawatnya selalu mengawasinya. Tetapi kegelisahan kumpeni itu bukan karena lukanya itu. Ia merasa bahwa ia dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak dapat dimengerti. Perempuan pribumi yang nampaknya masih dipengaruhi oleh keterbelakangan di da la m peradaban dunia yang luas, na mun ternyata memiliki peradaban batin yang tinggi. Namun akhirnya kumpeni itu dapat menguasai perasaannya. Karena itu maka iapun menjadi tenang, dan ke mudian berhasil me meja mkan matanya meskipun hanya sesaat oleh kelelahan lahir dan batin. Ketika ia ke mudian me mbuka matanya, terasa badannya menjadi agak segar. Dilihatnya di dalam biliknya dua orang kumpeni yang sedang bercakap-cakap perlahan-lahan. Ternyata yang seorang adalah seorang perwira. Pemimpinnya. "Tidur sajalah" berkata komandan itu. Kumpeni yang terluka itu berusaha untuk bangkit Tetapi tubuhnya masih terlampau le mah, dan komandannya itupun menahan punda knya sambil berkata "Kau harus tetap berbaring"
Kumpeni itu menarik nafas dala m-dala m. "Kau sudah menjadi agak tenang. Bukankah kau ingin bertemu dengan aku" Tabib yang menolongmu berkata, bahwa ada sesuatu yang akan kau katakan. Barangkali akan sangat berguna bagi Sura karta" Kumpeni yang terluka itu mengerut kan keningnya. "Apakah kau mengenal salah seorang dari pemberontak ku?" bertanya komandannya. Kumpeni itu mengerutkan keningnya. Terbayang wajah perempuan yang me megang pedang itu. Terngiang nama perempuan itu disebut oleh kawan-kawannya. Namanya Arum. Dan jika kumpeni me mbawa Raden Juwiring besertanya, maka ke mungkinan besar akan segera dapat diketemukan. Kemudian pere mpuan itu akan dapat diperas untuk menyebut nama-na ma la in dari pe mberontak-pe mberontak itu, bahkan mungkin orang-orang sepadukuhan yang tersangkut di dalamnya. Mungkin orang-orang itu tidak pulang ke rumahnya, tetapi dengan menangkap keluarganya, isteri dan anak-anaknya, maka setiap laki-la ki yang tidak berhati batu akan segera kembali. Apalagi jika dijanjikan penga mpunan meskipun ke mudian mereka akan dipancung di hadapan umum untuk menakut-nakuti orang-orang pribumi yang akan berpihak kepada pe mberontak. Baik Pangeran Mangkubumi maupun Raden Mas Said. Dala m pada itu komandannya mendesaknya "Coba sebut saja nama itu, atau barangkali jalan yang paling ba ik untuk mene mukannya" Kumpeni itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika bibirnya bergerak untuk menyebut na ma pere mpuan yang sombong itu, tiba-tiba saja ia me njadi ragu-ragu. "Siapa?" desak komandannya pula
Sejenak kumpeni itu merenung. Namun tiba-tiba dengan suara gemetar ia berkata "Maaf komandan, aku tidak dapat menyebutnya" "Kenapa?" "Aku tidak tahu, kenapa aku telah lupa sama sekali. Aku me mang mendengar sebuah nama disebut. Tetapi nama itu terlampau sukar dan panjang" "Kau tentu dapat mengingat-ingatnya" Kumpeni itu termenung sejenak. Dibenaknya seolah-olah menari na ma Arum. Arum. Tetapi sesuatu telah menahannya untuk menyebut nama yang sama sekali tida k dilupakannya itu. "Apakah kau tidak dapat mengingatnya sama sekali" Kumpeni itu mengge leng "Terla lu gila. Barangkali aku sudah menjadi gila komandan. Tetapi aku benar-benar tidak dapat mengingatnya, meskipun hanya satu suku kata dari nama yang panjang itu" Komandannya itu mengerutkan keningnya, katanya "Kau harus mene mukan na ma itu" Kumpeni itu menggeleng "Ingatanku menjadi gelap" "Gila, sebut sebuah na ma" Kumpeni itu me mandang komandannya yang wajahnya menjadi ke merah-merahan. Tetapi sekali lagi ia menggeleng le mah "Aku a kan berusaha komandan. Tetapi ingatanku sekarang benar-benar sedang gelap" Komandannya menjadi sangat kecewa. Bahkan marah Tetapi sebelum ia me mbentak lagi, tabib yang merawat kumpeni itu mendekatinya dan berkata "Ia masih harus banyak beristirahat"
"Tetapi ia bodoh sekali. Ia harus dapat mengingat nama yang didengarnya itu" "Me mang na ma pribumi sangat sulit untuk diingat" berkata tabib itu. "Aku dapat mengingatnya jika aku mendengar. Itu termasuk salah satu dari tugasnya. Jika ia tidak dapat mengingatnya, kita kehilangan kese mpatan untuk mencari jejak. Setidak-tidaknya sekelompok pe mberontak itu. Dan dengan demikian kita tahu pasti, apakah yang dihadapi oleh para prajurit itu pe mberontakan Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Said" "Tetapi ia tidak dapat dipa ksa untuk berpikir terla mpau banyak. Tubuhnya masih terlampau le mah. Sebaiknya biarlah ia beristirahat lagi" "Ia sudah cukup la ma beristirahat" Tetapi tabib itu menggeleng. Katanya "Goncangan perasaannya telah me mbuatnya menjadi kehilangan ingatan itu. Mudah-mudahan ia akan dapat mene mukan ke mba li ingatan yang hilang itu" Komandannya terdiam sejenak. Tetapi nampak kekecewaan yang sangat me mancar disorot matanya. Namun ia tidak dapat me maksa kumpeni itu untuk mengatakan sesuatu yang tidak dapat dikatakannya. Apalagi tabib yang merawatnya berkeberatan untuk me mberinya kesempatan. "Baiklah" berkata koma ndan itu "Aku akan pergi. Tetapi usahakan ia dapat mengingat semuanya. Namanya, dan barangkali ciri-cirinya. Aku ingin mene mukan orang itu" "Baik" jawab tabib itu "de mikian ia dapat mengingat atau mengucapkan sebuah na ma, aku akan mencatatnya" Demikianlah maka komandan kumpeni itupun ke mudian meninggalkan bilik itu dengan wajah yang bersungut-sungut. Seorang pengawalnya masih berpaling me mandang kawannya
yang terbaring itu sejenak. Namun iapun ke mudian meninggalkan bilik itu pula mengikuti komandannya. Kumpeni yang terbaring itu termenung sejenak. Ia me lihat tabib yang merawatnya berdiri di sisinya. "Kau masih dipengaruhi oleh kegelisahan dan kebingungan" berkata tabib itu "tenangkan hatimu. Jangan hiraukan pertanyaan komandanmu. Pada suatu saat kau akan teringat nama itu. Na ma orang-orang pribumi ha mpir sa ma " "Tentu tida k. Ada dua orang yang na manya jauh berbeda" jawab kumpeni itu "Mangkubumi dan Said. Itu baru dua na ma. Maka jika kita mendengar sepuluh na ma, maka na ma itu akan sangat jauh berlainan" Tabib itu me ngangguk. "Me mang na ma itu ternyata sangat berlainan. Apalagi orang-orang pribumi tidak me mpergunakan nama keluarga di be lakang na manya. Jika mereka menjadi dewasa, maka mereka akan me milih na manya sendiri. Bahkan pegawai istana di Surakarta terlampau sering berganti na ma jika jabatan mereka berganti pula" Namun dala m pada itu, kumpeni yang terbaring karena luka-lukanya itu sama seka li tida k lagi me mikirkan untuk mengingat nama Arum yang sebenarnya dapat dengan mudah disebutnya. Ia sudah me mutuskan untuk t idak me ngatakan kepada siapapun bahwa perempuan yang telah meluka inya itu bernama Arum. Kepada Raden Juwiringpun tida k. Demikianlah, setelah setiap kelompok prajurit Surakarta yang tersebar berhasil berkumpul barulah mereka mengetahui bahwa bagaimanapun juga, banyak di antara mereka yang tidak dapat ke mbali. Sedangkan yang terlukapun berdesakkan untuk mendapat perawatan. Bahkan beberapa di antara mereka yang harus berbaring di pe mbaringan dengan luka parah di tubuhnya. Tetapi di antara mereka hanya ada dua orang kumpeni yang berhasil ke mbali ke Surakarta.
Ketika para pemimpin di Surakarta kemudian berkumpul dan me mbicarakan peristiwa yang baru saja terjadi, maka mereka tidak lagi dapat mengela kkan, bahwa perang sudah benar-benar dimula i. "Kita tida k sekedar me mancing mereka untuk mengetahui kekuatan mereka " berkata Panglima prajurit Surakarta yang dihadapkan kepada Pangeran Mangkubumi dan seka ligus Raden Mas Said "Tetapi kita benar-benar sudah berada di dalam perang terbuka" "Ya" berkata seorang perwira kumpeni "Aku sudah kehilangan beberapa orang. Kita tidak dapat lagi berbuat lebih baik dari langsung mengge mpur pusat pertahanannya" "Apakah kau sudah me mpertimbangkan seluruh kekuatan Pangeran Mangkubumi?" bertanya Pangeran Ranakusuma yang ada di antara mereka pula. "Tida k lebih dari segerombolan orang-orang daerah Sukawati dan sekitarnya" Tetapi Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepa lanya. Katanya "Kau keliru. Kekuatan Pangeran Mangkubumi tidak terhitung besarnya. Jika perang yang sebenarnya mulai berkobar ma ka di segala te mpat akan bangkit kesatuankesatuan yang berpihak kepadanya. Meskipun mereka bukan prajurit-prajurit terlatih, tetapi mereka adalah orang-orang
yang me mpunyai bekal ilmu secara pribadi dan dala m jumlah yang tidak terbatas" "Apa maksud Pangeran sebenarnya?" bertanya perwira itu "Apakah Pangeran ingin menakut-nakuti ka mi atau Pangeran me mang tida k berhasrat untuk menindas pemberontakan Pangeran Mangkubumi?" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang warna merah di wajahnya. Katanya "Aku tidak tahu maksud pertanyaanmu" "Pertanyaanku jelas. Pangeran justru melemahkan tekad kami" "Kau adalah seorang prajurit" jawab Pangeran Ranakusuma "bahkan menurut pendengaranku, kau pernah menjelajahi benua dan lautan. Tetapi kau masih bertanya, apakah maksudku" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak lalu "sebagai seorang prajurit kita tidak a kan dapat menipu diri sendiri. Kita tidak dapat me mperkecil arti lawan kita sekedar untuk menyenangkan hati sendiri atau sekedar untuk me mbangkitkan keberanian. Kita harus tahu pasti, berapakah jumlah lawan yang kita hadapi untuk dapat menyiapkan pasukan yang me madai" "Aku sudah tahu" potong perwira itu "Pangeran tida k usah mengajari a ku. Aku me mang sudah pernah menjelajahi benua dan lautan. Aku pernah menga la mi peperangan dengan orangorang yang berkebudayaan tinggi dan me mpergunakan senjata api. Bukan sekedar batang-batang bambu yang diruncingkan" "Tetapi kau t idak mau me ndengar kenyataan, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi tida k terhitung jumlahnya, dan tidak dapat disebut tempatnya, karena pasukan itu berlebaran di setiap padukuhan dan jumlahnya tida k dapat disebut dengan bilangan. Bertanyalah kepada setiap prajurit Surakarta yang jujur menghadapi Pangeran Mangkubumi dan
Raden Mas Said. Akupun mencoba menyebut dengan jujur, meskipun aku tidak akan menyerah. Menurut ukuran kesatria Surakarta, maka perjuangan ini akan dise lesaikan sa mpai tuntas" Kumpeni itulah yang kemudian menjadi merah. Kulitnya yang keputih-putihan na mpak baga ikan tersentuh api. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu Panglima yang telah diserahi kekuasaan oleh Kangjeng Susuhunan Pa ku Buwana itupun berkata "Tidak ada gunanya kita bertengkar. Aku dapat mengerti kebenaran dari pendapat ka lian. Karena itu. marilah kita mencari jalan untuk menyelesaikan peperangan ini dala m waktu yang singkat dan korban yang sekecil-kecilnya dari kedua belah pihak." Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Dipandanginya wajah kumpeni itu sejenak. Tetapi ia tidak mengucapkan sesuatu. Dala m pada itu Panglima itupun ke mudian mendengarkan beberapa laporan dari para pemimpin ke lompok, pendapat mereka, dan ke mudian berkata "Kita me mang tidak sedang bermain-main. Menurut penga matanku, yang kalian hadapi baru pasukan Pangeran Mangkubumi. Karena itu sebelum Raden Mas Said menga mbil bagian di dala m peperangan yang lebih besar, maka kita harus menyusun rencana terperinci untuk me mbatasi setiap gerakan Pangeran Mangkubumi, dan apabila mungkin me mada mkannya sama sekali" Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Tetapi tampak di bibirnya sikapnya yang sangat menjengke lkan bagi kumpeni meskipun perwira kumpeni itupun masih harus menahan diri. Namun akhirnya di dala m pertemuan itu, para Senapati berpendapat, bahwa Surakarta tidak boleh terlambat. Justru Surakartalah yang harus menga mbil sikap karena jelas bahwa Pangeran Mangkubumi sudah me mberontak.
"Aku akan menghadap Kangjeng Susuhunan me laporkan se mua yang telah terjadi" berkata Panglima. "Kita susun dahulu rencana sebaik-baiknya" perwira kumpeni yang me nghadiri perte muan itu.
dan berkata "Tida k perlu" sahut Pangeran Ranakusuma "Kita menghadap Kangjeng Susuhunan. Jika Kangjeng Susuhunan me merintahkan agar kita langsung menyerang kedudukan Pangeran Mangkubumi, maka kita akan mela kukannya. Tetapi jika Kangjeng Susuhunan menga mbil kebijaksanaan lain, kita harus tunduk a kan keputusannya" "Tida k mungkin ada keputusan lain" potong kumpeni itu "satu-satunya jalan, Pangeran Mangkubumi harus dihancurkan" "Kenapa tidak mungkin?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Kita tidak dapat menunggu agar bukan kitalah yang akan menjadi hancur" "Yang berkuasa di Surakarta adalah Kangjeng Susuhunan Paku Buwana. Bukan piha k la in" Sekali lagi wajah kumpeni itu menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Panglima pasukan Surakarta itupun segera berkata "Kita akan menghadap Kangjeng Susuhunan. Kita akan mengusulkan untuk menghancurkan Pangeran Mangkubumi. Ke mudian Raden Mas Sa id. Setelah Pangeran Mangkubumi ma ka Raden Mas Said tentu tidak akan terlampau sulit " Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak berkata apapun. Akhirnya Panglima itu me mutuskan untuk me mbicarakan persoalan yang gawat itu di dalam lingkungan yang lebih kecil. Panglima menunjuk tujuh orang termasuk seorang perwira kumpeni untuk mohon menghadap Kangjeng Susuhunan
untuk melaporkan peristiwa yang sudah terjadi dan ke mudian menentukan sikap seterusnya. "Se makin banyak orang yang ikut di dala m pe mbicaraan ini. persoalannya akan menjadi semakin kabur" berkata Panglima "Apalagi bahaya bahwa semua rencana itu akan mere mbes sampai ke telinga Pangeran Mangkubumi akan me njadi lebih besar" "Jadi apakah ada orang yang pantas kita curigai?" tiba-tiba Pangeran Ranakusuma bertanya. "Bukan maksudku" jawab Panglima "Tetapi kita wajib berhati-hati" "Itu bija ksana sekali" berkata kumpeni "Aku me mang t idak dapat me mpercayai setiap orang di Surakarta ini" "Baiklah" berkata Panglima me laksanakannya segera" itu "Kita dapat
Pangeran Ranakusuma me mandang Panglima dan perwira kumpeni itu berganti-ganti. Namun ia masih na mpak menyimpan sesuatu di dala m hatinya. Dala m pada itu, setelah pertemuan itu dibubarkan, maka ketujuh orang yang telah ditunjuk itupun segera menghadap Kangjeng Sultan. Selain perwira kumpeni yang seorang itu, terdapat pula Pangeran Ranakusuma sebagai Senapati pengapit, dan seorang yang memiliki penga la man dan ilmu yang cukup. Panglima pasukan yang dipersiapkan untuk melawan Pangeran Mangkubumi itupun ke mudian me mberikan laporan kepada Kangjeng Susuhunan tentang tindakan pertama yang sudah diambil oleh prajurit Surakarta. Mereka telah berhasil me mancing pasukan Pangeran Mangkubumi dan dapat menduga kekuatannya. "Ampun Kangjeng Susuhunan, ternyata bahwa kekuatan Pangeran Mangkubumi jauh lebih besar dari yang kami duga
sebelumnya. Pangeran Mangkubumi dapat menyiapkan pasukan sebanyak yang disiapkan oleh Surakarta, bahkan me la mpaui. Setiap kelompok prajurit telah mendapat gangguan dan kadang-kadang cukup gawat" "Aku sudah kehilangan beberapa orang prajurit" berkata perwira kumpeni itu. Kangjeng Susuhunan mengerutkan keningnya. Namun tanpa diduga sebelumnya, Kangjeng Susuhunan itu justru tertawa. Katanya "Ternyata kalian me mang terla mpau bodoh dengan mengumpankan pasukan-pasukan kecil yang tersebar itu" "Ampun Kangjeng Susuhunan. di tempat-tempat yang diduga me mpunyai kekuatan pengikut Pangeran Mangkubumi pasukan Surakarta sudah diperkuat" "Tetapi tidak ma mpu berbuat apa-apa atas pasukan adimas Pangeran Mangkubumi. Dan ternyata bahwa bukan hanya pasukan yang berada di tempat-tempat yang diduga de kat dengan pemusatan pasukan Pangeran Mangkubumi sajalah yang mendapat serangan. Tetapi semua kelompok prajurit yang kau sebarkan di sekitar kota" Panglima itu mengerut kan keningnya. Dan sebelum ia sempat menjawab, Kangjeng Susuhunan telah melanjutkan "Korban telah jatuh. Untunglah bahwa adimas Pangeran Mangkubumi masih merasa dirinya sekeluarga dengan kalian, sehingga ia berpesan untuk tida k menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya atas kedua belah pihak" Kangjeng Susuhunan berhenti sejenak, lalu "banyak prajurit yang terluka, tetapi kemba li dengan sela mat. Tetapi di antara mereka hanya ada dua orang kumpeni yang lolos dari maut, meskipun yang seorang luka-luka" Orang-orang yang mendengar keterangan itu me njadi heran. Ternyata Kangjeng Susuhunan telah mengetahui semuanya sebelum laporan resmi itu disa mpa ikan.
Dengan de mikian maka para pe mimpin Surakarta itu berpendapat bahwa Kangjeng Susuhunan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan keadaan, sehingga ia telah menunjuk petugas-tugas sandinya sendirii yang dapat me mberikan laporan dengan lengkap tanpa menunggu laporan para pemimpin prajurit Surakarta. Namun dengan de mikian, maka para pe mimpin prajurit itupun menyadari, bahwa dengan petugas-petugas khusus yang langsung me mberikan laporan kepada Kangjeng Susuhunan, maka mereka tidak akan dapat berbohong. Mereka tidak akan dapat mengatakan kuntul sebagai gagak, dan tidak dapat mengatakan gagak sebagai kuntul. Mereka harus mengatakan apa yang sebenarnya ada dan sebenarnya terjadi. Karena para pemimpin prajurit itu masih saja termangumangu, ma ka Kangjeng Susuhunanpun ke mudian berkata "Bagaimana" Apakah ada yang salah?" "Tida k Kangjeng Susuhunan" jawab Panglima "se muanya benar seperti yang Kangjeng Susuhunan sebutkan" "Jika de mikian, apakah rencana kalian?" "Ha mba belum menentukan sikap. Kedatangan hamba menghadap Kangjeng Susuhunan ada lah dala m rangka menyusun tindakan berikutnya. Kami akan mengadakan pertemuan, dan kami akan menentukan sikap. Barangkali Kangjeng Susuhunan akan me mberikan pesan kepada kami, sehingga dapat menunjukkan arah perjuangan ka mi me mbebaskan Surakarta dari pengaruh para pe mberontak" Kangjeng Susuhunan menahan nafas sejenak. Sekilas dipandanginya wajah perwira kumpeni yang berdiri di hadapannya. Benar-benar suatu sikap yang menyakit kan hati. Tetapi karena adat mereka de mikian, ma ka Kangjeng Susuhunan tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akan berbuat demikian pula jika mereka menghadap rajanya sendiri.
Namun dala m pada itu, terpercik di dala m hatinya, bahwa sebenarnya usaha untuk menghent ikan pe mberontakan Pangeran Mangkubumi itu tidak terla mpau sulit. Jika ia me miliki keberanian untuk bertindak mengusir kumpeni dari Surakarta dan me mbatalkan se mua persetujuan yang pernah dibuat, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh Raja-raja sebelumnya. "Betapa penakutnya menge luh di da la m hati. aku ini" Kangjeng Susuhunan
Sementara itu para pemimpin prajurit di Surakarta masih duduk tepekur. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh Kangjeng Susuhunan. Tetap! ternyata kemudian Kangjeng Susuhunan berkata "Siapkan dahulu rencana sebaikbaiknya. Kemudian sampa ikan rencana itu kepadaku. Aku akan me mpelajarinya dan me mutuskan" Para pemimpin prajurit Surakarta itu serentak mengangguk-angguk kecil. Tetapi di dalam hati terbersit pertanyaan "Berapa la ma keputusan itu akan jatuh?" Namun mereka merasa, bahwa kela mbatan itu datangnya harus bukan dari mereka. Mereka harus segera menyiapkan rencana dan menyampa ikan kepada Kangjeng Susuhunan. "Menurut ingatanku, Kangjeng Susuhunan itupun seorang prajurit yang baik. Kangjeng Susuhunan seharusnya tahu apa yang harus dila kukan. Yang mana yang segera dan yang mana yang dapat diambil keputusan ke mudian" berkata Panglima di dalam hatinya. Karena itu, demikian mereka meninggalkan ruangan, merekapun segera menentukan waktu untuk berte mu dan me mbicarakan rencana untuk menghadapi pe mberontakan Pangeran Mangkubumi ke mudian juga Raden Mas Said. Ternyata bahwa para prajurit Surakarta itu memang ma mpu bertindak cepat. Merekapun segera menjalankan tugasnya sebaik-baiknya. Mereka hanya sekedar pulang ke
istana masing-masing untuk sesaat, kemudian mereka telah siap untuk berangkat lagi menghadiri pertemuan yang diadakan khusus untuk me mbicarakan cara-cara yang sebaiknya untuk menumpas pe mberontakan dengan bantuan kumpeni. "Kau harus bersiap Juwiring" berkata ayahandanya sesaat sebelum ia turun ke hala man "se muanya sudah mulai" "Ya ayahanda" sahut Juwiring. "Kita tidak dapat berbuat banyak. Tetapi semuanya sudah mapan. Nanti sebentar lagi aku a kan menghadiri pertemuan penting untuk me numpas pe mberontakan. Kaupun harus me mpersiapkan pasukanmu" "Apakah pasukanku juga akan diikut sertakan ayahanda?" "Aku masih belum tahu pasti. Tetapi pasukan berkuda akan merupakan pasukan yang sangat diperlukan. Setiap Senapati Surakarta tentu me mperhitungkan bahwa Pangeran Mangkubumi akan me mpergunakan cara-cara yang khusus. Ia akan me mbawa pasukannya dalam gerakan yang cepat. Seperti kabut ia datang, tetapi seperti kabut ditiup angin, mereka a kan cepat menghilang" "Dengan de mikian ma ka pasukan berkuda akan merupakan pasukan yang penting di dala m perang ini" "Ya. Tetapi jika rencana yang sepintas sudah a ku dengar akan dibicarakan nanti adalah perang yang tentu akan merupakan perang besar. Surakarta bermaksud sekaligus menumpas pasukan Pangeran Mangkubumi sebelum mereka menyebar. Atau Setidak-tidaknya induk pasukannya termasuk Pangeran Mangkubumi sendiri. Petugas-tugas sandi telah dapat menemukan tempat yang diduga, tetapi agaknya mende kati kebenaran, tempat tingga l Pangeran Mangkubumi untuk se mentara" "Sukawati?"
"Justru tidak di Sukawati" Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi ketika ayahanda berkata "Nanti aku akan me mberitahukan, apa saja yang harus kita lakukan setelah kami me nga mbil keputusan di dala m pe mbicaraan ini. Mungkin pembicaraan nanti a kan berlangsung la ma " "Ya ayahanda" "Jagalah adikmu baik-baik. Jangan kau beritahukan peristiwa-peristiwa yang dapat mengge lisahkannya" "Ia sudah mendengar ayahanda, karena hampir se mua orang sudah mendengar pula" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Na mun ia masih-berpesan "Tetapi usahakan agar kau dapat menenangkan hatinya" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu "dimana Warih sekarang?" "Ia berada di dapur ayahanda. Diajeng Warih sekarang senang berada di dapur" "Sokurlah. la harus berubah. Dan agaknya ia sudah berusaha menyesuaikan dirinya" Demikianlah ma ka Raden Juwiring mengantar ayahandanya sampai ke mulut regol. Ketika kereta yang me mbawa ayahandanya berlari semakin kencang, maka sa mbil menundukkan kepalanya ia melintasi hala man rumahnya dan langsung na ik ke tangga pendapa. Langkahnya tertegun ketika ia me lihat adiknya berdiri di depan pintu sa mbil me mandanginya dengan tajamnya. "O, aku kira kau masih ada di dapur" desis Juwiring. Adik perempuannya menarik nafas dalam-dala m. Na mun sesuatu nampaknya tersembunyi di ba lik tatapan matanya.
"Ka mas" gadis itu berkata perlahan-lahan "Jadi haruskah aku selalu dise lubungi oleh teka-teki tentang Surakarta, tentang tugas ayahanda dan tugas-tugasmu ka mas?" Raden Juwiring termangu-mangu sejenak. Ke mudian iapun bertanya "Aku tidak mengerti. Apakah yang kau ma ksudkan?" "Ayahanda selalu berpesan agar ka mas tidak me mberitahukan persoalan-persoalan yang terjadi kepadaku. Ayahanda selalu berpesan agar kamas me nenangkan hatiku. Tetap bukankah dengan de mikian ayahanda sekedar menyelubungi keadaan dengan sehelai tabir yang lapuk, yang setiap saat bila angin yang agak kencang berhembus, tabir itu akan sobek" Jika aku sa ma sekali tida k mengetahui apa yang tersembunyi di balik tabir itu, ma ka aku akan terkejut seka li me lihatnya, dan aku akan kehilangan pegangan untuk seterusnya. Karena itu kamas, sebaiknya kau selalu mengatakan apa yang kau ketahui kepadaku, agar aku tidak selalu dibayangi oleh teka-teki dan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan" Juwiring menegang sejenak. Na mun ke mudian ia tersenyum. Katanya "Itulah kasih sayang seorang ayah. Ayahanda tidak mau melihat kau menjadi gelisah dan apalagi cemas. Tetapi aku sudah me ngatakan kepada ayahanda, bahwa kau sudah mendengar se muanya" "Dan ayahanda minta kepadamu agar me mbuat a ku tenang dan tidak gelisah" "Ya" "Dan mendapat ga mbaran yang lain dari peristiwa yang sudah terjadi itu?" Juwiring tertawa. Katanya "Sudahlah. Jangan terlampau banyak berprasangka. Sebenarnyalah yang terjadi tidak segawat seperti yang dikatakan orang. Ayahanda sekarang sedang mengadakan pembicaraan dengan Panglima dan para kau berusaha
Senapati, bagaimana cara yang me mbuat Surakarta menjadi tenang" "Ada jalan lain" desis adiknya. "Yang mana?" bertanya Juwiring.
sebaik-baiknya untuk "Jika orang asing itu pergi dari Surakarta, maka pa manda Pangeran Mangkubumi tidak akan me mbrontak. Dan ayahanda tidak usah menjadi Senapati perang melawan kadang sendiri seperti pamanda Pangeran Mangkubumi" gadis itu berhenti sejenak, lalu "Pa manda Pangeran Mangkubumi adalah orang yang sangat baik. Bukankah ketika ka mas Rudira meninggal, pamanda Pangeran Mangkubumi termasuk orang yang pertama-tama menjenguknya aku tahu, bahwa pamanda Pangeran tentu tidak senang terhadap anak-anak muda seperti ka mas Rudira saat itu" Terasa dada Juwiring berdesir. Sebuah kenangan telah me lintas di dadanya. Kenangan tentang Rudira, dan tentang padepokan Jati Aking. Bahkan terkenang olehnya saat-saat Dipanala datang kepadanya, dan ia berkata "Aku tidak me mpunyai sangkut paut lagi dengan istana Ranakusuman" Raden Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Namun ke mudian iapun segera berkata "Sudahlah. Kau jangan menghiraukan lagi pe mberontakan Pa manda Pangeran Mangkubumi. Bukan maksudku untuk menyembunyikan kenyataan yang terjadi di Surakarta. Tetapi sebaiknya kau tidak usah me mikirkannya. Biarlah itu menjadi tugas ayahanda dan para Senapati. Kemudian jika saatnya datang, biarlah akupun berangkat ke medan tanpa me mbuat pertimbangan sendiri" "Jadi menurut ka mas, apakah kita sebaiknya menjadi semaca m seekor kuda yang sudah dipasang di depan sebuah kereta. Kadang-kadang seekor kuda bahkan ditutup matanya sama sekali, sehingga kuda itu berlari saja seperti dikehendaki oleh sais tanpa mengetahui arah"
"Tentu tidak. Maksudku, ayahanda tahu apa yang harus dilakukan. Apa yang harus diputuskan" "Kumpeni me mang harus pergi" desis gadis itu. Sekilas terbayang diangan-angannya, senjata api itu me ledak dan kakaknya, Raden Rudira terlempar dari punggung kudanya. Terbayang pula, apa saja yang pernah terjadi atas ibundanya. Raden Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Tanpa sesadarnya ia me mandang sesuatu yang nampak sedikit mencuat diikat pinggang adiknya di bawah ke mbennya. "Patrem itu tentu selalu dibawanya" berkata Juwiring di dalam hatinya. Dengan de mikian Raden Juwiring dapat me mbayangkan kegelisahan di hati adiknya, seorang gadis. Jika kumpeni dan prajurit Surakarta kalah, dan kota ke mudian diduduki orangorang yang disebut pemberontak, maka ia akan menjadi barang rampasan dan oleh orang-orang yang disebut pemberontak itu, ia tentu akan diperlakukan sebagai perempuan ra mpasan yang tidak ada harganya. Tetapi adiknya itupun menyadari, bahwa kumpeni justru sudah me mperlakukan pere mpuan-pere mpuan di Surakarta sebagai barang ma inan. Gadis itu me meja mkan matanya ketika seolah-olah terbayang tingkah laku ibundanya di rongga matanya. "Kau dige lisahkan oleh angan-anganmu" berkata Juwiring sambil me nepuk pundak adiknya. Adiknya me mandanginya sesaat Na mun gadis ke mudian berlari ke da la m biliknya. itupun
Ketika Juwiring menyusulnya, dilihatnya adiknya sudah menelungkup di pe mbaringannya sambil menangis. "Kau dihantui oleh bayangan angan-anganmu sendiri" berkata Juwiring sambil duduk di sebelah adiknya "Sudahlah.
Jangan risau. Tidak akan terjadi perubahan apapun di Surakarta" "Aku takut kamas" terdengar suara gadis itu disela-sela isak tangisnya "Aku tidak mau me lihat ke mungkinan yang manapun yang bakal terjadi. Aku tida k mau kumpeni me mperlakukan perempuan-perempuan di Surakarta ini seperti me mperlakukan ibunda. Dan a ku juga t idak mau menjadi perempuan ra mpasan yang diperlakukan tidak lebih baik dari benda-benda rampasan yang la in jika prajurit Surakarta kalah" Juwiring menarik nafas dalam-da la m. Yang dikatakan oleh adiknya adalah tepat seperti yang diduganya. "Kau tida k perlu gelisah. Bukankah di se kitar kita masih lengkap prajurit-prajurit pengawal" Aku adalah Senapati pasukan berkuda, sedang ayahanda adalah Senapati yang disegani" "Justru karena peperangan" itulah kalian akan sela lu berada di
"Ayahanda akan menyerahkan kau kepada paman Dipanala dan beberapa orang pengawal pilihan. Jika terpaksa kau dapat mene mpatkan dirimu di bawah perlindungan prajurit-prajurit Surakarta di istana. Tidak a kan ada apa-apa" Tetapi adiknya masih terisak meskipun la mbat laun akhirnya ia terdia m juga. Bahkan ke mudian Juwiring mendengar desah nafas adiknya yang teratur. Ternyata gadis itu tertidur sa mbil menelungkup di pe mbaringannya. Juwiringpun ke mudian tidak mengusiknya. Ditinggalkannya adiknya keluar dari bilik itu. Dengan hati-hati ia menutup pintu dan ke mudian me langkah ke dala m biliknya sendiri. Sejenak Juwiring duduk termangu-mangu. Kini ia sendiripun mula i dipengaruhi oleh kegelisahan. Sebenarnyalah semuanya dapat terjadi atas Surakarta. Kekuatan Pangeran
Mangkubumi me mang t idak dapat diperhitungkan lebih dahulu. Ternyata bahwa kelompok- ke lompok prajurit Surakarta telah mendapat serangan serentak dari pasukan Pangeran Mangkubumi. "Tentu ada orang dala m yang me mberikan kabar tentang rencana mencegatan senjata itu" berkata Raden Juwiring di dalam hatinya "Jika tida k, maka pa manda Pangeran Mangkubumi tentu t idak a kan mengetahui seluruh kelompok prajurit yang disebarkan oleh Surakarta di sekitar kota untuk mera mpas segala jenis senjata" Sementara itu, Pangeran Ranakusima telah berada bersama dengan beberapa orang yang telah ditentukan untuk menyusun rencana tindakan yang segera harus dia mbil oleh prajurit Surakarta, sebelum Pangeran Mangkubumi bergerak lebih luas lagi. "Tida k ada jalan lain kecuali me mbinasakannya segera" berkata kumpeni. "Jika hal itu sa ma-sa ma kita setujui, ma ka persoalannya adalah, bagaimana kita akan dapat me mbinasakan Pangeran Mangkubumi" bertanya seorang Senapati. "Kita harus dengan tindakan yang cepat menyergap pusat ke mudi pe mberontakannya. Menangkap hidup atau mati Pangeran Mangkubumi dengan beberapa orang Pangeran yang lain" "Mereka tentu terpencar" "Jika de mikian yang penting adalah Pangeran Mangkubumi" "Tida k se mudah yang kau katakan" desis Panglima. "Surakarta menyediakan pasukan sejauh dapat dihimpun" berkata kumpeni itu "Aku a kan menyediakan prajuritku yang ada di Surakarta seluruhnya. Kita kepung tempat tinggal mereka. Ke mudian kita binasakan. Se mua bangunan kita bakar, dan semua orang kita bunuh, sehingga tida k ada yang
terlampau. Menurut pendengaranku Pangeran Mangkubumi dapat merubah dirinya dalam segala bentuk penyamaran. Karena itu, untuk menghindari penyamaran yang sempurna, maka se mua laki-laki yang tertangkap harus dibunuh. Siapapun mereka " Para Senapati dari Surakarta terdiam sejenak. Bagaimanapun juga. pemberontak-pe mberontak itu adalah keluarga orang orang Surakarta sendiri. Namun de mikian agaknya para Senapati segan menge mukakannya dihadapan perwira kumpeni itu, sehingga untuk beberapa saat tidak seorangpun yang mengatakan sesuatu pendapat. Tetapi akhirnya Pangeran Ranakusuma berkata "Jika semua laki-laki dibunuh, maka akan jatuh banyak sekali korban yang tidak berarti di antara rakyat Surakarta" Para Senapati yang mendengar kata-kata Pangeran Ranakusuma itu mengangguk-angguk. Merekapun t idak akan dapat me mbiarkan pe mbunuhan yang semena-mena itu terjadi di antara rakyat Surakarta. Namun de mikian merekapun me nyadari bahwa korban pasti akan jatuh di kedua belah pihak. Tetapi bukan pe mbunuhan dan pembantaian seperti yang dikatakan oleh kumpeni itu. Dala m pada itu perwira kumpeni itupun menjawab "Tetapi jika kita tidak berani bertindak tegas, maka pemberontakan itu akan cepat menjalar" "Kita harus dapat menyelesaikan persoalan ini dengan tegas, tetapi bijaksana" berkata Panglima. "Itu adalah kebija ksanaan" jawab kumpeni "Jika kita berani me mberikan korban dengan tidak ragu-ragu, maka t idak akan ada orang lain yang berani berpihak kepada Pangeran Mangkubumi. Bukankah dengan de mikian ada keseimbangan sehingga tidak akan jatuh korban-korban baru yang akan
berceceran disegala tempat. Bukankah itu juga diperhitungkan atas pertimbangan yang sa ma dengan pertimbangan kalian?" Para Senapati mengerutkan keningnya. Tetapi Pangeran Ranakusuma berkata "Aku dapat mengerti. Tetapi alangkah baiknya jika korban dapat dibatasi sekecil-kecilnya. Kita tidak usah mengada kan pe mbantaian dimanapun juga. Kita usahakan untuk mengepung tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi. Kita tidak me mbiarkan seorangpun lolos. Jika kita berhasil me maksa mereka meletakkan senjata, kita akan dapat dengan segera mengenal Pangeran Mangkubumi" "Bagaimana jika tidak?" bertanya perwira kumpeni. "Kita berte mpur. Tetapi ada bedanya antara bertempur sampai orang terakhir dengan me mbunuh se mua orang la kilaki" Kumpeni menahan kata-kata yang sudah hampir meloncat dari bibirnya ketika Panglima pasukan Surakarta berkata "Aku sependapat. Kita bertempur sa mpa i mereka menyerah atau musna sa ma sekal. Bukan pembunuhan se mata-mata. Kita akan mene mukan Pangeran Mangkubumi di antara mereka. Baru ke mudian kita me mikirkan Raden Mas Said" Perwira kumpeni tidak me mbantah lagi. Ia mengerti bahwa betapapun tipisnya ternyata masih juga ada perasaan kebangsaan di antara para bangsawan dan Senapati itu. Karena itu maka jalan yang paling baik adalah menerima ketentuan itu dengan perintah khusus bagi kumpeni, me mbunuh setiap laki-la ki yang dijumpainya. Pembicaraan itu masih dilanjutkan. Setelah pokok pikiran itu diterima, maka merekapun mula i me mbicarakan cara yang dapat mereka te mpuh untuk mela ksanakannya. -o0d-o0o-w0o-
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 19 "BESOK kita akan mendapat kepastian, dimana Pangeran Mangkubumi berada. Petugas-tugas sandi telah menyebar, dan bahkan ada di antara mereka yang berhasil menyusup di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi. Meskipun Pangeran Mangkubumi jarang sekali me mperlihatkan dirinya, tetapi dengan usaha yang bersungguh-sungguh, orang itu tentu akan dapat mengetahui dimana Pangeran Mangkubumi itu berada" "Tetapi Pangeran Mangkubumi dapat berada di beberapa tempat sekaligus. Meskipun Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya tetap satu, namun orang itu akan dapat tersipu oleh bentuk-bentuk Pangeran Mangkubumi yang lain, sehingga yang dilaporkannya bukannya tempat Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya" berkata Pangeran Ranakusuma. Tetapi Panglima pasukan Sura karta itu tersenyum. Katanya "Yang akan menyelesaikan masalah ini bukannya anak-anak. Bukan orang yang baru menyelesaikan masa berguru pada seorang pertapa. Tetapi ia adalah orang yang sudah kenyang makan asin manisnya kehidupan, yang kasar maupun yang
halus. Yang badaniah ma upun yang bersifat le mbut dan tidak kasat mata" "Aku tidak peduli" potong kumpeni itu "yang penting ia berhasil mengetahui kedudukan Pangeran Mangkubumi dengan cerdik dan me mpergunakan aka l. Tidak dengan dongeng-dongeng yang disadap pada ceritera-ceritera khayal di ja man batu" "Terserah atas penilaianmu" jawab orang Senopati "tetapi untuk melawan ilmu Pangeran Mangkubumi diperlukan ketajaman indera. Kelima indera kita yang nampak, tidak akan dapat kita pergunakan, sehingga kita me merlukan indera yang lain" "Kita mene mpuh cara kita masing-masing" berkata Panglima "tetapi kita harus me madukannya dala m suatu kerasama yang seimbang. Dengan de mikian barulah kita akan berhasil" "Terserahlah" desis kumpeni itu "bagiku, akal yang jernih akan me menangkan segala perjuangan. Tetapi jika kalian masih menganggap perlu adanya kepercayaan atas ilmu hitam itu, terserahlah. Yang penting bagi kita adalah mengetahui dimana Pangeran Mangkubumi itu berse mbunyi. Bukan orangorang ke mbar yang disa markan seolah-olah Pangeran Mangkubumi. Petugas-tugas sandi itu harus me mpunyai ketajaman pengenalan atas Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya. Betapapun miripnya, tetapi orang-orang yang menya mar sebagai Pangeran Mangkubumi di beberapa tempat itu tentu me mpunyai perbedaan-perbedaan. Mungkin suaranya, mungkin caranya berjalan" Para pemimpin prajurit Surakartapun merasa tidak perlu lagi menanggapi pendapat perwira kumpeni itu, sehingga merekapun ke mudian hanya mengangguk-angguk saja. "Baiklah" berkata Panglima selanjutnya "kita serahkan kepada petugas-tugas sandi, cara yang manakah yang akan
mereka pilih. Tetapi kita harus mene mukan dengan pasti persembunyian Pangeran Mangkubumi" Tidak ada lagi yang me mbantah sehingga pe mbicaraan selanjutnyapun dapat dilakukan. Para Senapati yang dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma itupun segera merencanakan cara yang paling baik untuk menyergap dengan sasaran sementara sesuai dengan laporan terakhir, laporan yang paling dapat dipercaya tentang kedudukan Pangeran Mangkubumi Se mentara itu, mereka akan me merintahkan petugas-tugas sandi untuk mendapatkan kepastian dengan menghubungi orang-orang mereka yang berhasil menyusup di dala m pasukan yang mereka anggap pemberontak itu. "Kita menunggu satu hari satu malam" berkata Pangeran Yudakusuma yang menjadi Panglima pasukan Surakarta. "Tida k boleh tertunda lagi" berkata kumpeni "satu hari satu ma la m adalah waktu yang terla mpau panjang" "Tida k mungkin kurang dari itu jika kita tidak mau gaga l" jawab Panglima itu kita harus tahu dengan pasti. Bukan sekedar kira-kira" Akhirnya pembicaraan itupun menga mbil beberapa sikap. Sikap yang harus mereka rahasiakan, agar sikap itu tidak sampai menjalar dari mulut ke mulut yang akhirnya dapat sampai ke telinga Pangeran Mangkubumi. Namun dala m pada itu, setiap Senapati sudah mendapat tugasnya masing-masing Pasukan yang sudah ditentukan ikut serta di dala m tugas yang besar dan berat harus segera dipersiapkan meskipun mereka tidak boleh mengetahui lebih dahulu tujuan dari persiapan mereka. Yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar meraba-raba. Mungkin setiap prajurit menyadari bahwa mereka dipersiapkan untuk me lawan Pangeran Mangkubumi, tetapi mereka tidak tahu pasti, kapan dan dima na.
"Se mua harus siap dala m waktu sehari se mala m sejak matahari terbit besok" berkata Panglima "pada saatnya kita akan mengumpulkan mereka. di mala m berikutnya kita mulai bergerak dan mengepung pemusatan pasukan Pangeran Mangkubumi setelah kita mengetahui dengan pasti, dimanakah ia berse mbunyi, dan berapa kekuatannya di dala m pemusatan itu. Selain pasukannya yang berada di te mpat tersebut, kitapun harus mengetahui pasukan cadangan yang akan dapat me mbantui setiap saat, sehingga kitapun harus me mpersiapkan pasukan untuk me motong pasukan cadangan mereka" Demikianlah setelah persoalan pokok terpecahkan, mereka mulai me mbicarakan pasukan-pasukan yang akan disertakan di dala m tugas itu. Ke mudian cara yang paling baik untuk menyerang. Para Senapati itu sependapat, bahwa tempat pemusatan Pangeran Mangkubumi untuk se mentara diperkirakan berada di salah satu padukuhan di sebelah selatan Matesih. Dan padukuhan yang paling mungkin itu adalah padukuhan Pandan Karangnangka, "Kita harus me ngepungnya rapat-rapat di mala m hari. Tidak boleh ada lubang seujung duripun yang dapat dipergunakan Pangeran Mangkubumi untuk lolos. Pada saat matahari terbit di pagi berikutnya, kita mulai maju dan menjerat semua orang yang ada di dalam padukuhan itu, sementara pasukan cadangan harus berjaga-jaga apabila ada bantuan yang datang dari manapun juga" berkata Panglima. "Se makin cepat sema kin baik, selagi pengaruh Pangeran Mangkubumi belum me luas ke Padukuhan-padukuhan yang lain" berkata seorang Senapati. Keputusan itulah yang ke mudian dia mbil. Dilengkapi dengan pasukan-pasukan yang akan disertakan beserta Senapati masing-masing. Termasuk seke lompok pasukan
kumpeni yang me mpunyai kelengkapan perang yang lebih baik dari prajurit-prajurit Surakarta. "Kita tidak boleh me mbiarkan pe mberontakan itu menjalar semakin luas seperti Raden Mas Said sebelum ia terusir. Setelah Pangeran Mangkubumi, harus segera diselesaikan pula pasukan Raden Mas Sa id dengan cara yang sa ma. Menghancurkannya dengan cepat dan tuntas" berkata Senapati yang lain. "Nah" berkata Panglima ke mudian "kita tinggal me laksanakan. Jika ternyata ada perubahan mengenai te mpat persembunyian Pangeran Mangkubumi, ma ka sebagian besar persoalannya sudah kita pecahkan. Kita tinggal merubah beberapa bagian dari arah serangan kita" Demikianlah pe mbicaraan itupun diakhiri. Pangeran Ranakusuma dengan perwira kumpeni yang ikut serta dalam pembicaraan itu, mendapat tugas khusus untuk merencanakan arah setiap kelompok. Mereka harus menyusun dengan teliti, dengan me mperhatikan setiap lorong yang menusuk ke dala m padukuhan itu. Parit, pematang, pepohonan besar tidak dapat mereka abaikan, termasuk gardu-gardu dan pagar batu yangagak tinggi. "Sebelum kita menyerang, kita akan me manggil setiap pemimpin kelompok. Setelah saatnya kita berangkat, kita akan menunjukkan kepada mereka, jalur jalan yang manakah yang harus mereka lalui Setiap ke lompok harus tahu pasti, agar merek tida k saling berebut lawan, dan dengan demikian dapat menumbuhkan ke le mahan dan kelengahan pada bagianbagian tertentu" berkata Panglima perang itu. "kita akan me mpergunakan gelar induk dari arah jalan yang paling besar me masuki padukuhan itu "berkata Pangeran Ranakusuma " di bagian lain sebagian besar adalah kelompokkelompok yang sekedar bertugas menutup kepungan agar tidak seorangpun yang dapat lolos"
"Kita akan me nerima keseluruhan dari rencana itu" jawab Panglima "besok pagi a ku a kan me mpe lajarinya" Dengan demikian maka pembicaraan itupun dilanjutkan hanya oleh Pangeran Ranakusuma dan perwira kumpeni yang dianggap me mpunyai pengala man yang cukup, sedang Pangeran Ranakusuma selain seorang Senapati yang disegani, juga me mpunyai bahan pengenalan yang cukup pula atas daerah itu. Keputusan yang diambil oleh Pangeran Ranakusuma dan perwira kumpeni itupun ke mudian merupa kan lencana yang masak dengan segala persoalan yang menyangkut sergapan besar-besaran itu. Tetapi amatlah sulit untuk mendapat kesepakatan. Mereka me mpunyai pertimbangan yang berbeda. Namun itulah yang dikehendaki oleh Pangeran Yudakusuma. Justru karena perbedaan pandangan dan sikap, maka mereka akan me lahirkan rencana yang sudah tersaring. Setelah semuanya selesai, maka keputusan-keputusan itupun disusun seba ik-baiknya dan siap untuk disampaikan kepada Kangjeng Susuhunan. "Aku akan menghadap langsung" berkata Pangeran Yudakusuma "Aku harus meyakinkan Kangjeng Susuhunan bahwa semuanya harus berjalan cepat sesuai dengan rencana. Jika tidak, ma ka kita akan ketinggalan dan persoalan selanjutnya akan berkepanjangan. Bukan hanya ketinggalan satu dua hari, tetapi jika lebih itu sudah pecah dan berterbangan bercerai berai dari sarangnya, maka mereka akan menjadi jauh lebih berbahaya daripada saat mereka masih tertidur nyenyak di dala m sarangnya" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, perwira kumpeni sudah mendahului "Cepat, dan usahakan agar Kangjeng Susuhunan dapat mengerti"
Pangeran Yudakusumapun ke mudian langsung pergi menghadap Kangjeng Susuhunan, sementara yang lain dapat ke mbali ke rumah masing-masing. "Baiklah, berikan rencana yang sudah kau susun seba ikbaiknya itu" berkata Kangjeng Susuhunan setelah menerima Pangeran yang mendapat tugas untuk me mimpin prajurit Surakarta mengepung pasukan Pangeran Mangkubumi. "Kangjeng Susuhunan, hamba mohon keputusan sekarang" jawab Pangeran Yudakusuma, "Aku akan me mpelajarinya" Keadaan sudah me maksa. Jika kita terlambat, maka Surakarta benar-benar akan menjadi lautan medan pertempuran yang sangat mengerikan. di setiap padesan dan padukuhan akan terjadi pe mbunuhan dan kekerasan" Kangjeng Susuhunan merenung sejenak "Tuanku, ha mba merasa bertanggung jawab atas rencana yang sudah hamba susun bersama dengan saudara-saudara hamba, para Senapati dan perwira kumpeni. Rencana itu adalah rencana yang paling baik yang dapat kami susun untuk waktu yang tepat seperti tercantum di dala m rencana ka mi itu" "Kau harus me mberi kese mpatan aku me mikirkannya" berkata Kangjeng Susuhunan "Aku adalah Raja. Aku bukan sekedar Senapati Agung di Surakarta, tetapi aku juga pelindung dan pangayoman lahir dan batin" "Ha mba mengerti Kangjeng Susuhunan, justru karena kedudukan tuanku itulah ma ka ha mba mohon, agar hamba diperkenankan mela ksanakan kuwajiban hamba secepatcepatnya. Sebenarnyalah, bahwa hamba tidak akan sanggup lagi mengendalikan keadaan jika ha mba terla mbat sesaat saja dari rencana yang sudah ha mba serahkan"
"Jadi apa yang harus a ku setujui, jika aku belum mengerti persoalannya" "Seperti yang sudah Hamba jelaskan dihadapan tuanku. Pelaksanaan dalam garis-garis kecil terdapat di dalam susunan lengkap yang ha mba serahkan kepada tuanku itu" Kangjeng Susuhunan menjadi termangu-mangu. Ia kini benar-benar berdiri dipersimpangan jalan yang pelik. Jika ia menga mbil keputusan segera, maka kedudukan Pangeran Mangkubumi tentu akan menga la mi kesulitan. Menurut penjelasan Panglima prajurit Surakarta, semuanya sudah diatur rapi. Seakan-akan tidak akan ada kesalahan sama sekali yang dapat dilakukan oleh pasukan Surakarta bersama kumpeni da la m tugas mereka menghancurkan pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Na mun apabila Kangjeng Susuhunan tidak me mberikan keputusan segera, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan. Dan tentu akan t imbul kekerasan yang bertebaran di seluruh sudut Matara m dan se kitarnya. Seperti yang dikatakan oleh Panglima itu, jika lebah sudah tercerai beraikan dari sarangnya, mereka akan menjadi semakin berbahaya, karena lebah itu akan menjadi liar dan buas. Dala m kebimbangan itu, terngiang kata-kata Panglima "Sebenarnyalah bahwa hamba tidak a kan dapat mengenda likan keadaan jika ha mba terla mbat sesaat saja" Kangjeng Susuhunan menarik nafas dalam-da la m. Dala m pada itu, karena Kangjeng Susuhunan tidak segera menjawab, Pangeran Yudakusuma itu berkata "A mpun tuanku. Mala m ini semua Senapati sudah dihubungi. Mereka harus menyiapkan pasukan mereka da la m waktu sehari se mala m, seperti yang hamba sebutkan di dala m keseluruhan rencana hamba. Karena menurut pertimbangan ha mba, menyiapkan prajurit Surakarta untuk sebuah peperangan yang besar, diperlukan waktu dan di dalam pelaksanaannya tidak mengejutkan dan me mbuat kegelisahan. Lebih dari itu, tidak
segera menimbulkan kecurigaan pada petugas-tugas sandi lawan" Kangjeng Susuhunan masih berdia m diri. Terbayang pasukan Surakarta bersiap sepenuhnya di te mpat masingmasing tanpa mengetahui rencana dengan pasti. Baru setelah merekabergerak, mereka akan diberitahukan, apa yang harus merela lakukan. "Ampun Kangjeng Susuhunan" berkata Panglima itu "perintahkan ha mba untuk me laksanakan secepatnya. Hamba akan segera mohon diri dan me mberitahukan, bahwa Kangjeng Susuhunan sudah me njatuhkan perintah untuk me laksanakan" Kangjeng Susuhunan Pakubuwana itu masih termangumangu. Hatinya masih diragukan oleh ke mungkinan yang dapat terjadi. Apapun yang dipilihnya, namun keadaannya me mang sudah menjadi rumit. Maju atau mundur, ia menyadari bahwa ia akan me mbentur kesulitan bagi dirinya sendiri dan bagi Surakarta. Terasa betapa sulitnya keadaannya, sehingga rasa-rasanya kepalanya menjadi pening. Kesehatannya yang semakin la ma menjadi semakin mundur itu me mang tidak menguntungkan baginya dalam keadaan seperti itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak selain berusaha mengobati dirinya sendiri. Bahkan tabib yang manapun juga sudah dipanggilnya untuk mencoba me mulihkan kesehatannya. "Kangjeng Susuhunan" berkata Panglima itu "ha mba, hanya menunggu perintah pelaksanaannya. Seterusnya, tuanku dapat menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada kami. Pada suatu saat hamba akan datang lagi melaporkan kehadapan Kangjeng Susuhunan, bahwa Pangeran Mangkubumi telah dapat ka mi tangkap, hidup atau mati" Kangjeng Susuhunan menarik nafas dala m-dala m. Me mang tidak ada pilihan lain lagi baginya. Ia harus memilih, Surakarta
akan hancur bersa ma peradabannya karena peperangan yang akan me mbakar seluruh daerah Mataram, atau Pangeran Mangkubumi harus diikhlaskannya. Sejenak Kangjeng Susuhunan me mandang Panglima itu sambil mengusap dadanya. Namun ke mudian katanya "Baiklah. Jika kalian tidak dapat menunggu lagi barang sehari, lakukanlah rencana kalian. Tetapi seperti pesan yang pernah aku berikan bahwa yang penting di dala m peperangan ini bukannya suatu perlombaan me mbunuh sebanyak-banyaknya. Seorang Senapati yang baik adalah mereka yang dapat mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan titik darah yang sekecil-kecilnya di kedua be lah piha k. Seorang Senapati harus dapat mengendalikan anak buahnya agar mereka t idak, berubah menjadi liar seperti kehidupan rimba raya" Panglima pasukan Surakarta itu menarik nafas. Terngiang kata-kata perwira kumpeni yang ada di dala m pe mbicaraan selagi ia menyusun rencana penyerbuan ke sarang Pangeran Mangkubumi "Se mua laki-laki harus dibunuh" Tetapi Panglima itu ke mudian menjawab "A mpun Kangjeng Susuhunan. Ha mba akan me mperhatikan semua pesan tuanku" "Bukan sekedar diperhatikan. Tetapi kau harus me laksanakan perintah itu" berkata Kangjeng Susuhunan tegas. "Ha mba tuanku" Pangeran Yudakusuma kepalanya. menundukkan
"Nah, pergilah. Kau dapat meniru Pangeran Mangkubumi yang berhasil mengendalikan anak buahnya. Kau dapat bertanya kepada prajurit yang kau sebar di seputar kota dengan cara yang bodoh sekali. Mereka yang terluka, dan tidak lagi dapat me lawan, ma ka mereka seakan-akan dibiarkan saja oleh lawan-lawan mereka"
Pangeran Yudakusuma menggeram di dala m hati. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Kangjeng Susuhunan na mpaknya sangat terpengaruh oleh sikap Pangeran Mangkubumi. "Pangeran Mangkubumi me ma ng adiknya tersayang" berkata Pangeran Yudakusuma di da la m hatinya. Tetapi justru karena itu, perasaan iri hati telah melonjak di dala m hati. Hadiah Tanah Sukawati yang berlebih-lebihan tidak dapat diterima oleh beberapa orang Pangeran, termasuk Pepatih Surakarta. "Nah, pergilah. Mudahmudahan kalian berhasil tanpa me lepaskan korban terla mpau banyak" "Ha mba mohon restu tuanku" jawab Panglima itu. "Aku akan berdoa bagi Surakarta" jawab Kangjeng Susuhunan. Namun dala m pada itu, Panglima itupun tidak segera beringsut dari tempatnya sehingga Kangjeng Susuhunan bertanya "Apalagi yang kau tunggu?" "Ampun Kangjeng Susuhunan. Seingat Ha mba, jika seseorang mendapat tugas langsung atas perintah tuanku, maka tuanku me mberikan pertanda bahwa kuwajiban yang dipikul itu adalah kuwajiban me mangku kekuasaan tertinggi di Surakarta" Kangjeng Susuhunan menarik nafas dalam-da la m. Sejenak ia termangu-ma ngu. Na mun ke mudian katanya "Baiklah Panglima. Aku akan me mberikan pertanda bahwa yang kau lakukan adalah perintah yang aku berikan. Bawalah salah satu
tunggul kerajaan sebagai pertanda itu. Kau dapat me mbawa tunggul Kiai Se mi atau Kiai Baru, beserta panji-panjinya Kiai Kemitir. Pangeran Yudakusuma mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Ampun tuanku. Sebenarnyalah bahwa tugas hamba kali ini adalah tugas yang sangat berat. Setiap prajurit menyadari, siapakah Pangeran Mangkubumi itu. Seorang Pangeran yang pilih tanding dan dila mbari dengan segala maca m ilmu yang tida k dimiliki oleh orang. lain. Sa mpai pada ilmu yang ha mpir tidak dikenal lagi sekarang ini. Ilmu Sepi Angin dan ilmu Lelimunan. Itulah sebabnya maka jika tuanku berkenan, maka ha mba mohon untuk mendapat bekal bukan saja sebagai pertanda, tetapi juga sebagai lambaran ke kuatan hamba, pusaka yang tidak ada duanya, Kangjeng Kia i Pleret" Terasa dada Kangjeng Susuhunan bergetar. Sekilas tumbuh dugaan di dalam hati Kangjeng Susuhunan, bahwa agaknya Pangeran Yudakusuma mengetahui bahwa tombak Kangjeng Kiai Pleret telah diberikannya kepada Pangeran Mangkubumi. Namun ke mudian Kangjeng Susuhunan itu berhasil menguasai dirinya meskipun ia tidak dapat me lenyapkan ketegangan di wajahnya. Meskipun de mikian, ia berkata "Panglima. Seharusnya kau mengetahui, bahwa Kangjeng Kiai Pleret tidak akan dapat keluar dari gedung perbendaharaan pusaka tanpa aku sendiri berangkat ke medan" Wajah Panglima itu menjadi tegang. Ditatapnya wajah Kangjeng Susuhunan sejenak. Namun ke mudian sa mbil menundukkan kepalanya ia berkata "Kangjeng Susuhunan, di dalam persoalan yang paling gawat seperti sekarang ini apakah hamba tidak dapat me mohon kepada Kangjeng Susuhunan, seakan-akan Kepergianku langsung mengantar Kangjeng Susuhunan sendiri ke medan perang" "Jadi yang kau ma ksud, permintanmu atas tombak Kangjeng Kiai Pleret itu merupa kan perlambang, bahwa kau mohon aku sendiri menjadi Senapati Agung di peperangan?"
"Tida k tuanku. Sama seka li tida k. Bahkan seandainya tuanku ingin pergi ke medan, ha mba harus berusaha mencegahnya. Selagi masih ada para Pangeran dan para Senapati, maka Kangjeng Susuhunan tidak perlu beranjak duri istana. Apalagi Pangeran Mangkubumi adalah saudara muda Kangjeng Susuhunan yang tidak pantas tuanku layani sendiri. "Jadi?" "Yang ingin ha mba mohon adalah sekedar pusaka Mataram turun tumurun" "Sudah aku katakan. Kangjeng Kiai Pleret tidak akan dapat keluar dari istana tanpa aku sendiri. Tanpa Raja sendiri turun ke medan" "Tuanku, bukankah pada saat yang gawat, Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, pernah memberikan pusaka Kangjeng Kiai Pleret kepada putera angkatnya, Mas Ngabehi Loring Pasar, yang kemudian bergelar Panembahan Senapati ing Ngalaga, pada saat Mas Ngabehi Loring Pasar sedang menge mban tugas yang paling gawat me lawan Adipati dari Jipang" Kangjeng Susuhunan termenung sejenak. Namun ke mudian "Ada perbedaannya. Mas Ngabehi loring Pasar, leluhur kita itu me mang sudah diharapkan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya untuk menggantikannya kelak, setelah ia mengetahui betapa le mahnya sifat dan sikap puteranya sendiri, Pangeran Benawa yang kemudian menjadi Adipati di Jipang" Wajah Pangeran Yudakusuma menjadi merah sekilas. Tetapi ia berusaha untuk me nyembunyikan perasaannya yang tergetar. Dan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana itu me lanjutkan "Bukankah keadaan yang sekarang agak berbeda?" Panglima itu menarik nafas dalam-dala m. Lalu "A mpun Kangjeng Susuhunan. Jika demikian, baiklah, pada saat hamba akan maju ke medan, ha mba akan menghadap dan
mohon diperkenankan me mbawa pertanda kuasa Kangjeng Susuhunan meskipun bukan Kangjeng Kiai Pleret" "Aku sudah mengatakan, kau dapat me mbawa panji-panji Kiai Ke mitir bersa ma tunggulnya yang dapat kau pilih di antara beberapa tunggul yang ada" Panglima itu me mbungkuk dala m-da la m. Tetapi di dala m hati berkata "Hanya sebuah tunggul kerajaan, bukan sebuah tombak pusaka yang dapat mencabarkan segala kesaktian Pangeran Mangkubumi" Namun Pangeran Yudakusuma masih me mpunyai kepastian bahwa ia akan dapat mengalahkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Menilik pe mbicaraan di antara para Senapati, maka na mpak bahwa pasukan Mataram benar-benar sudah siap untuk menghancurkannya. Jika Pangeran Mangkubumi me mperguna kan ilmunya di dalam peperangan itu, masih dapat diharapkan, beberapa orang Senapati akan dapat mengimbanginya, meskipun bersama-sama. "Jika Pangeran Mangkubumi sendiri turun ke peperangan tanpa bersedia menyerah, maka Pangeran Ranakusuma dan aku sendiri a kan menghadapinya. Ka mi dapat menyatukan ilmu yang ada pada ka mi berdua untuk me lawan ilmu yang bertimbun di dala m diri Pangeran Mangkubumi. Jika perwira kumpeni itu trampil, selagi Pangeran Mangkubumi me musatkan perlawanan ilmunya atas kami, maka ia akan dapat menemba k dengan senjata apinya, dan mudahmudahan dapat mene mbus kulit Pangeran Mangkubumi itu" berkata Panglima itu di da la m hatinya. Dengan demikian, maka Pangeran Yudakusuma sama sekali tidak dapat lagi mengatasi perintah Kangjeng Susuhunan. Ia tidak akan dapat me mbawa pusaka yang dikehenda kinya. Kiai Pleret.
Tetapi bahwa Kangjeng Susuhunan telah dapat dipaksanya untuk menyetujui rencananya dan bahkan segera dapat dilaksanakan, me mbuat Pangeran Yudakusuma berbesar hati. Waktu itu akan sangat berharga baginya. Dan jika ia dapat me manfaatkannya, maka ia tentu akan dapat berhasil dengan baik tanpa me mberikan korban sebanyak-banyaknya. "Jika kumpeni ingin me mbantai pengikut Pangeran Mangkubumi sebanyak-banyaknya itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Tentu prajurit-prajurit Surakarta tidak akan berbuat demikian, karena pengikut Pangeran Mangkubumi adalah orang-orang Surakarta pula seperti prajurit-prajurit itu sendiri. Jika ada denda m yang meledak, adalah wajar seka li terjadi di peperangan. Di peperangan seseorang akan bersikap lain dengan apabila orang itu berada di te mpat ibadah" Pangeran Yudakusuma masih saja berguma m untuk dirinya sendiri. Perintah Kangjeng Susuhunan untuk segera me laksanakan rencananya, segera disampaikannya kepada Pangeran Ranakusuma dan perwira kumpeni itu. Agar berita itu tidak menja lar ke telinga orang yang tidak dikehendaki, maka Panglima itu datang sendiri langsung menjumpa i kedua orang itu berturut-turut "Baiklah" berkata Pangeran Ranakusuma "Akupun akan segera bersiap. Pasukan di bawah panji-panji sayap kiri dan kanan akan segera disiapkan bersa ma Senapati Pengapit seorang" Pangeran Yudakusuma mengangguk-angguk. Ia me njadi berbesar hati me lihat Pangeran Ranakusuma aga knya dengan sepenuh hati mela kukan rencana ita. Apalagi apabila Tumenggung Sindura dapat menyesuaikan dirinya. Maka semuanya tentu akan segera berakhir. Demikianlah perintah Kangjeng Susuhunan untuk me laksanakan rencana itupun segera sampai ke telinga setiap Senapati, terutama yang ikut serta menyusun rencana itu.
Kemudian mereka bersepakat untuk menyebarkan perintah, bahwa setiap pasukan akan diikut sertakan di dala m tugas itu untuk bersiapa tanpa mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Perintah terakhir akan diberikan setelah mereka berangkat menuju kesasaran. Meskipun setiap prajurit tentu akan dapat menduga tugas apa yang harus mereka lakukan, tetapi mereka belum tahu dengan pasti, kemana mere ka harus pergi serta bentuk tugas apa yang akan mereka lakukan. Di antara pasukan yang akan ikut di dalam tugas itu adalah sekelompok pasukan berkuda di bawah seorang Senapati yang masih muda, Raden Juwiring. Demikian ia mendapat perintah, ma ka iapun segera mengumpulkan anak buahnya. Sepasukan prajurit berkuda terpilih dari antara pasukan berkuda yang lain. Apalagi setiap saat Raden Juwiring sendiri me mberikan latihan-latihan khusus kepada anak buahnya. Meskipun banyak di antara mereka yang umurnya lebih tua, namun di dala m olah kanuragan. Senapati muda itu pantas dikagumi. Tetapi Juwiring tidak dengan sombong me ma merkan ke ma mpuannya sendiri. Ia mengakui, bahwa setiap orang me mpunyai kelebihannya masing-masing. Karena itulah, maka ia me mberikan kesempatan kepada setiap prajurit yang me miliki ke lebihan, untuk melimpahkan kelebihannya kepada kawan-kawannya. Seorang prajurit berkuda yang sudah setengah baya, me miliki ke ma mpuan yang luar biasa di dala m olah senjata lentur. Ia mampu me mpergunakan berbagai jenis senjata lentur. Cemeti, cambuk, bahkan seutas tampar sabut. Maka orang itupun setiap ka li diberi kese mpatan untuk me mberikan ilmunya serba sedikit kepada kawan-kawannya. Meskipun kawan-kawannya tidak akan dapat menyama inya di dala m me mperguna kan senjata itu, namun, dengan demikian kawankawannya akan mendapat tambahan pengala man dan
pengetahuan. Dalam keadaan terpaksa, mereka akan dapat me mperguna kannya untuk me mpertahankan diri. Sedang yang lain, yang mampu me lontarkan segala jenis senjatapun harus mengajarkan kema mpuannya kepada kawan-kawannya, sehingga setiap orang di dalam pasukan Raden Juwiring ma mpu me lontarkan pisau belati sa mbil berpacu di atas punggung kudanya. Dengan de mikian maka setiap prajurit dari pasukan berkuda yang berada di bawahi pimpinan Raden Juwiring, merupakan sepasukan prajurit kebanggaan, terutama bagi Pangeran Ranakusuma. Mereka masing-masing ma mpu me mperguna kan jenis-jenis senjata yang beraneka ragam. Bahkan senjata-senjata yang dapat di ketemukian dimanapum juga. Tongkat, batu, tangkai kayu, cambuk le mbu, dan bahkan dalam keadaan terpaksa, kain panjang mereka sendiri, atau ikat kepa la. Seorang prajurit mengajarkan kepada kawannya, bagaimana dala m keadaan terpakai mereka dapat mengikat sebuah batu pada sudut ikat kepalanya, dan me mperguna kannya sebagai senjata yang dapat melawan pedang dan tombak. Dala m pada itu, seperti yang direncanakan, maka setiap kelompokpun segera me mpersiapkan diri sepenuhnya untuk berangkat ke medan, meskipun mereka be lum tahu medan yang mana. Mereka melengkapi setiap kelompok dengan bekal secukupnya. Senjata dan beberapa orang penghubung dan cadangan. "Agaknya kita akan dihadapkan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi" berkata seorang prajurit. "Ya. Surakarta tidak pernah me mpersiapkan diri seperti sekarang ini. Meskipun tidak na mpak, tetapi kelompokkelompok yang terpencar telah bersiap dibarak masing-
masing. Pada saatnya kita akan berkumpul di alun-a lun dan berangkat ke medan" Dala m waktu yang direncanakan, pasukan Surakarta benarbenar sudah siap tanpa me lontarkan kesan yang menggoncangkan suasana hidup sehari-hari. Tidak banyak orang yang mengetahui, apa saja yang telah dilakukan oleh para prajurit yang na mpaknya tidak ke luar dari barak mereka. Ketika waktu yang satu hari satu mala m telah habis, maka setiap prajurit benar-benar tidak boleh meninggalkan tempatnya Malam nanti mere ka harus pergi. Tetapi hanya para Senapati sajalah yang tahu, bahwa mala m nanti mereka akan mengepung te mpat kedudukan Pangeran Mangkubumi. Seperti yang diperhitungkan se mula, ma ka beberapa orang petugas sandi telah meyakinkan bahwa Pangeran Mangkubumi berada di Karangnangka. "Orang kita yang berhasil menyusup ke dalam tubuh pasukan Pangeran Mangkubumi dan yang dapat aku hubungi me lihat sendiri Pangeran Mangkubumi" "Pangeran Mangkubumi dapat berada di beberapa tempat" sahut Pangeran Yudakusuma. "Tetapi keluarganya ada di Pandan Karangnangka pula" petugas sandi itu menjelaskan "isteri dan putera-puterinya ada pula di sana. Bahkan orang itu juga melihat Pangeran Hadiwijaya berada di antara mereka" "Sudah aku duga. Tetapi yakinkah dengan pasti. Jangan sampai kita salah langkah. Masih ada wa ktu" "Petugas sandi yang berhasil masuk kelingkungan Sukawati tidak me lihat Pangeran Mangkubumi di sana. Dan tidak ada petugas yang lain yang me mberikan keterangan, bahkan ke mungkinan me lihat Pangeran Mangkubumi" Di siang hari menjelang mala m yang ditentukan, kehidupan di Surakarta sama se kali tidak menga la mi perubahan. Pasar-
pasar masih juga penuh dengan orang-orang yang menjual hasil sawah dan hasil pe kerjaan tangannya. Meskipun uang yang diterimanya tidak me mada i, tetapi yang tidak me madai itu bagi mereka adalah lebih baik dari tida k sa ma seka li. Demikian juga kehidupan orang-orang bangsawan dan kumpeni. Kereta yang hilir mudik, dan kehidupan yang me limpah di antara merekapum berjalan seperti biasa. Namun para bagsawan yang ikut menangani kegiatan keprajuritan sajalah yang tidak ada di istana masing-masing, karena mereka sudah bersiap untuk melakukan tugas yang akan dibebankan kepada mere ka. Satu dua nampak prajurit yang bertugas meronda berkeliling kota. Tetapi itupun tida k menimbulkan kesan apapun, karena setiap hari hal yang serupa itu selalu na mpak di jalan-ja lan raya. Bahkan kadang-kadang dua orang prajurit berkuda lewat tanpa menumbuhkan kecurigaan. Di hari itu, di istana Pangeran Yuda kusuma telah berkumpul para Senapati yang malam nanti akan melakukan tugas terpenting untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi. Meskipun kota Surakarta sendiri tidak na mpak kesibukan apapun, tetapi di dala m istana itu na mpak ketegangan mencengka m setiap dada. Dengan pasti para Senapati itu menentukan tempat bagi pasukan masing-masing. Gelar perang yang a kan menerka m Pandan Karangnangka. Sementara yang lain bersiaga mengepung dari arah yang ditentukan pula. Mereka harus menahan usaha melarikan diri dari pasukan yang ada di dalam padukuhan itu. Menghadapi pasukan yang berkelompok di padukuhan itu, tidak ada gelar yang lebih baik dari gelar yang lengkung. Diinduk pasukan Pangeran Yudakusuma akan me mimpin seluruh prajurit. Dan di induk pasukan itu pula akan terdapat Senapati penghubung. di depan Pangeran Yudakusuma
terdapat tiga orang Senapati yang akan me mimpin sergapan dari induk pasukan se mentara Pangeran Yudakusuma masih harus me mimpin seluruh kepungan. Jika keadaan memaksa, barulah Pangeran Yudakusuma sendiri akan berada di ujung. Apalagi apabila Pangeran Mangkubum sendiri telah turun di peperangan. "Pangeran Mangkubumi dapat mene mpuh dua pilihan. Dengan jantan turun melawan induk pasukan dan me mimpin seluruh anak buahnya, yang berarti akan terjadi perang Senapati atau memilih jalan lain. Lolos dari peperangan dengan mengorbankan anak buahnya. Jika demikian maka Senapati yang me mimpin kelompok-ke lompok yang mengepung padukuhan itulah yang harus menahannya. Dan akan lenyaplah se mua ceritera tentang segala macam ilmu yang bertimbun dala m dirinya. Tetapi jalan lolos itupun tidak akan dapat dite mukannya" berkata Pangeran Yudakusuma. Dala m pada itu Pangeran Ranakusuma yang akan me mimpin sayap kiri dan Tumenggung Sindura disayap kanan, merenungi rencana itu sebaik-baiknya. Merekapun menyadari betapa beratnya melawan Pangeran Mangkubumi. Apalagi mereka mengetahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah Senapati perang yang tidak ada duanya di Surakarta. "Gelar yang disusun secermat-cermatnya ini, mungkin tidak akan berarti sama se kal" berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hati "Pangeran Mangkubumi akan dengan mudah me mecahkan kepungan justru ditentang arah gelar yang menyerang Pandan Karangnangka. Meskipun sebagian kelompok-kelompok pasukan kumpeni akan dipencarkan, selain yang berada diinduk pasukan, tetapi mereka tidak akan dapat banyak berbuat" Dala m pada itu, agaknya Tumenggung Sindura me mpunyai gagasan yang serupa. Namun ia tidak t inggal dia m seperti Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia berkata "Pangeran Yudakusuma. Jika saat gelar kita merayap mendekati
padukuhan itu, dan saat itu, gelar yang disusun Pangeran Mangkubumi bergeser me mecah kepungan diasah la in, maka gelar kita tidak akan dapat bertemu. Pangeran Mangkubumi dapat menyusun gelar Gedong Minep yang bergerak cepat meninggalkan padukuhan itu. Atau karena Pangeran Mangkubumi adalah seorang Senapati yang berani, maka ia dapat me milih gelar Cakra Byuha dan berputar menyobek kepungan tanpa menunggu kedatangan induk pasukan kita dalam ge lar Wulan Punanggal atau Sapit Urang sekalipun. Bahkan ge lar yang dinasehatkan oleh perwira-perwira kumpeni itu" "Tumenggung Sindura" jawab Pangeran Yudakusuma "Aku masih mengharap Pangeran Mangkubumi bersikap jantan dan bertempur beradu dada. Jika tidak, maka kepungan yang kita susun adalah kepungan yang kuat. Dan bukankah kita sudah menyediakan pasukan berkuda yang lengkap" Jika kepungan mulai retak, maka pasukan berkuda akan bergerak mengisi keretakan itu. Dan bukankah hal ini sudah kita perhitungkan sebaik-baiknya" Tumenggung Sindura mengangguk-angguk Tangannya meraba-raba hulu kerisnya yang me miliki ciri tersendiri. Hulu keris itu terbuat dari kayu cangkring yang utuh. Seakan-akan begitu saja dipatahkan dari dahannya, dan ke mudian diterapkan pada keris itu. Dan keris itulah yang sangat disegani oleh Senapati-Senapati yang lain, seolah-olah keris itu me miliki tuah yang luar biasa. Namun de mikian Tumenggung Sindura yang kaya dengan pengalaman itu masih berkata "Pangeran. Dala m perang yang akan dila kukan oleh Pangeran Mangkubumi, kita harus me mpunyai penilaian yang lain. Menurut penga matanku, menilik pasukan yang tidak begitu besar yang dimiliki oleh Pangeran Mangkubumi, ia tidak a kan me mperhitungkan kejantanan dari perang beradu dada itu. Ia akan me milih jalan
yang barangkali agak lain dari penilaian yang sela ma ini kita kenal" Pangeran Yudakusuma mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kearah Pangeran Ranakusuma, maka dilihatnya Pangeran Ranakusuma menunduk. Seolah-olah ia tidak me mperhatikan kata-kata Tumenggung Sindura. "Jadi, bagaimana ma ksudmu?" Yudakusuma ke mudian. bertanya Pangeran
"Aku hanya me mperingatkan. Semua berjalan seperti yang sudah direncanakan. Tetapi aku masih berharap bahwa cara yang dapat ditempuh oleh Pangeran Mangkubumi itu mendapat perhatian. Jika ia berusaha lolos dari peperangan di dalam keadaan seperti ini, tentu tidak akan dapat dinilai sebagai tindakan pengecut. Seterusnya, apabila ia berhasil lolos ia akan me mperguna kan cara itu. Menyergap dan lenyap. Dan itu adalah salah satu caranya berperang Apakah kita dapat menyebutnya pengecut?" jawab Tumenggung Sindura. Pangeran Yudakusuma me ngangguk-angguk. Ia mengerti maksud Tumenggung Sindura itu. Karena itu, ma ka iapun menyahut "Baiklah. Setiap Senapati yang mengepung padukuhan itu akan mendapat perintah agar mereka tidak lengah. Jika agaknya mereka tidak kuat menahan desakan pasukan yang sedang dikepungnya, maka penghubungnya harus segera me mberikan isyarat" Tumenggung Sindura tidak menyahut me mang de mikian yang harus terjadi. lagi. Agaknya
Dala m pada itu, ketika se mua persoalan telah dipecahkan bahkan sa mpai pada perbeka lan dan ma kan seluruh pasukan, karena ke mungkinan bahwa perang itu tidak a kan selesai dalam waktu yang pendek, maka Pangeran Yudakusuma itupun ke mudian berkata "Se mua Senapati yang ada di tempat ini tidak boleh meningga lkan tempat. Nanti, jika ma la m mulai turun, kalian harus langsung ke mbali kepada pasukan ka lian"
Para Senapati mengerutkan keningnya. Tetapi mereka me mang sudah menduga. Dan merekapun mengerti, bahwa hal itu dilakukan oleh Pangeran Yudakusuma untuk mengurangi ke mungkinan rahasia yang telah mereka susun itu mere mbes ke telinga Pangeran Mangkubumi. Tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi perwira kumpeni dan orang-orang terpenting, termasuk Pangeran Ranakusuma dan Tumenggung Sindura. Justru merekalah yang harus me lihat kesiagaan pasukan yang berpencar, meskipun tanpa Senapati masing-masing. Pangeran Ranakusuma dengan beberapa orang Senapati terpenting segera me mbagi tugas. Merekapun segera menarik garis silang yang me mbagi Surakarta dan sekitarnya. Mereka harus segera berpencar untuk melihat apakah kesiagaan prajurit Surakarta sudah me mada i. Sehari yang na mpaknya tidak ada perubahan apa-apa itu ternyata telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para perwira tinggi di Surakarta. Meskipun demikian para perwira di Surakarta itupun selalu me mperhitungkan keadaan. Untuk mencapai barak-barak para prajurit, mereka pergi berkuda hanya dengan dua atau tiga orang pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang-berkereta seperti kebiasaan mereka sehari-hari. Karena itulah, maka rencana para prajurit Surakarta untuk mengepung Pandan Karangnangka itu tidak tercium oleh para petugas sandi. Baik petugas sandi yang ditinggalkan oleh Pangeran Mangkubumi, maupun petugas-tugas sandi yang disebarkan oleh Raden Mas Said di Surakarta. Yang na mpak oleh mereka hanyalah beberapa persiapan khusus yang lebih banyak bersifat menjaga dan bertahan apabila kota diserang oleh Pangeran Mangkubumi ma upun Raden Mas Said. Sama sekali tidak na mpa k persiapan untuk segera menyerang, bahkan mengepung dan menghancurkan sa ma sekali pasukan Pangeran Mangkubumi.
Dengan demikian, seperti kehidupan di Surakarta yang tidak mengala mi perubahan, maka kehidupan di Pandan Karangnangka dan sekitarnyapun sama sekali tidak menga la mi perubahan. Rakyat di daerah itu bekerja seperti biasa. Ketika matahari terbit, mereka me mpersiapkan diri untuk pergi ke sawah. Setelah makan sepotong ketela pohon yang langsung dicabut dari halaman bela kang dan begitu saja direndam di dalam bara, maka merekapun segera menuna ikan kuwajiban masing-masing Sedang para prajurit yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi yang mengikutinya meningga lkan Surakarta beserta para pengawalpun sama sekali t idak menduga, bahwa Surakarta akan bertindak sedemikian cepatnya. Bahkan Pangeran Mangkubumi sendiri, tidak me mperhitungkan ke mungkinan serangan yang bakal datang menje lang dini hari di ma la m yang baka l datang. Itulah sebabnya, maka kesiagaan Pangeran Mangkubumipun tidak me ncapai punca k ke ma mpuannya. Beberapa kelompok prajurit yang bertebaran di padukuhan di sekitarnya sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi serangan yang besar dan yang diperhitungkan oleh para Senapati di Surakarta, sekaligus menghancurkan. Bahkan beberapa orang di antara pengikut Pangeran Mangkubumi yang tersebar itu, masih se mpat pergi ke sawah masingmasing seperti kebiasaan mereka. Yang nampak sibuk di antara mereka adalah pande-pande besi empu dan mranggi. Mereka me mpersiapkan senjata sebanyak-banyaknya untuk menghadapi setiap ke mungkinan. Jika kumpeni dan Prajurit-prajurit Surakarta mengulangi usahanya melucuti, senjata rakyat Surakarta dengan mencegat mereka di sepanjang jalan, maka mereka akan segera dapat dipersenjatai ke mbali. Sementara itu, para pengikut Pangeran Mangkubumi yang berada di Sukawatipun t idak mendapat perintah khusus dari
Pangeran Mangkubumi untuk menghadapi keadaan. Meskipun mereka selalu bersiaga, tetapi mereka tidak me mperhitungkan bahwa mala m nanti akan ada prahara dan banjir bandang yang menyerang Pandan Karangnangka. Dala m pada itu, petugas-tugas sandi yang berada di kotapun me mang tidak me mberikan laporan yang dapat menumbuhkan pertimbangan bahwa sebuah serangan besarbesaran akan melanda pasukan Pangeran Mangkubumi itu, karena para petugas sandi memang tidak melihat persiapan yang cukup di Surakarta. Buntal yang pada saat itu berada di Sukawati, sa ma sekali juga tidak menduga, bahwa Pandan Karangnangka akan dikepung oleh pasukan Surakarta dan kumpeni. Meskipun seperti kawan-kawannya ia selalu bersiaga, na mun ia tidak me mpersiapkan diri untuk langsung berbuat sesuatu, atau me masuki arena pertempuran yang besar. Sehari itu para pengikut Pangeran Mangkubumi di Sukawati justru tidak berbuat apa-apa sama sekali. Mereka berlatih seperti biasa. Pasukan yang menjadi inti kekuatan Pasukan Mangkubumi me mang t idak ada henti-hentinya berlatih dan mena mbah ke ma mpuan bertempur. Dalam kelompok dan seorang demi seorang. Para pelatih mereka mene mpa setiap orang di dala m pasukan int i itu sehingga mereka merupakan kekuatan yang luar biasa. Untuk menjaga ke kuatan pasukan Pangeran Mangkubumi, maka ke kuatannya tidak seluruhnya diletakkan di sekitar Pangeran Mangkubumi sendiri. Dan itulah sebabnya maka selain pasukan yang kuat di Pandan Karangnangka, pasukan yang berada di Sukawati adalah pasukan yang tida k dapat diabaikan. Apalagi selain mere ka yang berada di dalam pasukan inti kekuatan itu, setiap la ki-laki di Sukawati adalah prajurit yang dengan tekun melatih diri. De mikian kerja mereka di sawah senggang, maka mere kapun segera me megang senjata dan berlatih me mpergunakan senjata itu.
Dimanapun mereka me mpunyai waktu, maka waktu itu mereka perguna kan sebaik-ba iknya. Dua tiga orang yang berada di sawahpun segera melibatkan diri dala m latihan yang bersungguh-sungguh jika kerja mereka selesai. Anak-anak muda yang berada di tepian sunga i. Yang berada di bendungan dan justru yang berada di gardu-gardu. Sedang anak-anak seolah-olah mendapatkan perma inan baru. Mereka me mperguna kan tongkat-tongkat ba mbu untuk melatih diri. Dan anak-anak itupun me ndapat bimbingan sebaik-baiknya sehingga yang mereka lakukan adalah permulaan dari latihan me mperguna kan senjata yang sebenarnya. Lewat tengah hari, seperti biasanya Buntal mendapat tugas untuk pergi ke Pandan Karangnangka bersama dua orang kawannya Mereka merupakan penghubung tetap antara kedua tempat itu, agar setiap persoalan dapat segera diketahui bersama-sama. Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, kedatangan Buntal di Pandan Karangnangka tidak mendapatkan berita-berita yang menarik. Laporan yang didengarnya dari petugas-tugas di Pandan Karangnangka hanyalah, penjagaan di lorong-lorong masuk kota Surakarta diperkuat. Beberapa orang dari pasukan berkuda nampa k meronda disehiruh kota. Para Perwira dan Senapati mengadakan peninjauan langsung kebarak-barak para prajurit. Buntal yang ke mudian bersa ma dengan dua orang kawannya beristirahat di sebuah gardu sama sekali tidak tertarik akan laporan itu. Mereka menunggu berita yang lebih panas dari sekedar penjagaan yang diperkuat di lorong-lorong masuk. Bukan pula sekedar kesibukan para Senapati di Surakarta mengunjungi barak-barak para prajurit. "Pangeran Mangkubumi dengan para Pangeran sedang me mpersiapkan diri me mbagi tugas" berkata seorang prajurit yang berada di gardu itu pula.
"Bagaimana jika tiba-tiba saja prajurit Surakarta menyergap daerah ini" bertanya Buntal. "Kita sudah bersiaga. Surakarta tidak akan berbuat secepat itu. Mereka akan me mperhitungkan setiap ke mungkinan dari setiap gerakan mereka" "Tetapi menggerakkan prajurit-prajurit yang sudah terlatih akan jauh lebih mudah dari menggerakkan rakyat yang bertebaran seperti Pangeran Mangkubumi" "Tetapi ke kuatan yang ada sudah me madai. Untuk bertempur dala m arena gelarpun ke kuatan yang ada di Pandan Karangnangka tentu sudah cukup. Selebihnya, semuanya dapat dipersiapkan" Buntal tidak bertanya lagi. Yang diajaknya berbicara adalah seorang prajurit yang me miliki pengala man dan pengetahuan medan jauh lebih banyak daripadanya, meskipun mungkin secara pribadi Buntal me miliki kelebihan. Dengan lesu Buntal dan kawan-kawannya berbaring di gardu itu sambil me nunggu perintah, apakah ia sudah dapat ke mbali ke Sukawati. Tidak ada persoalan lagi sebenarnya yang harus dibicarakan. Tetapi adalah keharusan baginya untuk menunggu perintah, bahwa tugasnya hari itu sudah selesai. Ketika ia menjadi je mu berbaring di gardu, maka iapun me langkahkan kakinya menyusuri ja lan padukuhan. Di sebuah
halaman yang luas, di depan sebuah pendapa yang besar, Buntal berhenti. Dilihatnya beberapa orang sedang berlatih di bawah terik matahari yang sudah mula i turun ke Barat mende kati cakrawala. Tiba-tiba saja Buntal terkejut ketika seorang penghubung dengan tergesa-gesa memanggilnya. Dengan nafas terengahengah ia berkata "A ku cari kau ke mana-mana" "Aku menunggu di gardu. Tetapi tiba-tiba saja aku menjadi jemu" "Buntal" penghubung itu bersungguh-sungguh "ada tugas khusus untukmu" Buntal termangu-mangu sejenak. Ia masih belum tahu pasti, apakah kawannya itu berkata bersungguh-sungguh atau sekedar bergurau saja. Namun menilik ketegangan di wajahnya, maka Buntal dapat menduga bahwa ia berkata bersungguh-sungguh. "Kau dipanggil" berkata penghubung itu. "Siapa?" "Ki Wandawa" "He" Buntal mengerutkan keningnya "Ki Wandawa?" "Ya" Buntal mengangguk-angguk. Jika yang mengundang itu Ki Wandawa maka persoalannya tentu cukup penting. Biasanya penghubung-penghubung sajalah yang me mberitahukan kepadanya bahwa tugasnya sudah selesai hari itu, dan tidak ada persoalan yang penting yang harus di tangani. Tetapi kali ini ia dipanggil oleh Ki Wandawa. "Apakah kau tahu persoalannya?" bertanya Buntal. "Tida k" jawab penghubung itu.
"Kenapa kau dapat mengatakan bahwa persoalan yang akan dibebankan kepadaku penting?" "Kakang Wandawa tida k pernah me mbicarakan masalah atau me mberikan tugas-tugas yang tidak penting" Buntal mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku akan menghadap" "Waktunya sangat sempit" de mikianlah pesannya. Buntal tida k menjawab lagi. Iapun ke mudian dengan tergesa-gesa pergi untuk menghadap Ki Wandawa Dengan dada yang berdebar-debar Buntal me masuki sebuah ruangan khusus. di dala m bilik itu hanya ada seorang saja yang duduk di sebuah a mbin yang besar. Ketika orang itu me lihat Buntal di muka pintu, maka iapun ke mudian me manggilnya "Ke marilah Buntal" Buntal merasakan bahwa nada itu adalah nada yang tergesa-gesa. Sehingga karena itu maka Buntalpun segera bergeser mendekat. "Duduklah" Buntal mengangguk. Iapun ke mudian duduk sa mbil menundukkan kepalanya di hadapan orang yang bernama Ki Wandawa itu. "Buntal" berkata Ki Wandawa "bukankah kau berasal dari Jati Aking?" Pertanyaan itu mendebarkan hati Buntal. Dengan ragu-ragu ia menjawab "Ya Ki Wandawa" "Nah, jika de mikian, maka kaulah yang akan mendapatkan tugas itu. Pergilah ke Jati Aking" "Tugas apakah yang harus aku bawa ke Jati Aking?"
"Kau akan mengetahuinya nanti. Tetapi ingat, kau hanya boleh berhubungan dengan orang yang ditentukan. Orang kita sendiri, karena persoalannya adalah sangat rahasia" "Maksud Ki Wandawa?" Ki Wandawa termenung sejenak. Ke mudian katanya "Buntal, ada persoalan yang sangat penting dan rahasia, sehingga Surakarta tidak mengirimkan utusan langsung ke mari. Jika ada penghubung langsung datang ke Pandan Karangnangka, ma ka penghubung itu akan cepat diketahui, meskipun masih ada ke mungkinan untuk lolos. Jika penghubung itu mengala mi nasib yang buruk dan tertangkap, maka ada ke mungkinan perintah yang sangat rahasia itu dapat diperas, dan sumber keterangannya dapat diungkap. Tetapi tidak dengan penghubung yang datang itu. Ia hanya mendapat perintah untuk menunjuk seseorang pergi ke Taman di Ka ki Bukit" "Apakah artinya?" "Me mang hanya orang-orang tertentu yang mengetahui. Penghubung itupun tidak mengetahui arti dari tempat yang di sebut Taman Di ka ki bukit. Dengan de mikian tempat itu akan tetap terlindung" ia berhenti sejenak, lalu "yang dimaksud Taman di ka ki Bukit adalah padepokan Jati Aking" "O" "Sebenarnyalah bahwa Jati Aking termasuk padepokan yang dapat kita percaya. Karena itu, Jati Aking menjadi salah satu tempat yang ditentukan untuk mengadakan hubungan rahasia" Buntal mengangguk-angguk. Ia kini mengetahui bahwa berita itu tentu berita yang sangat penting sehingga diperlukan hubungan berganda. Dengan demikian Buntalpun menyadari pentingnya tugas yang harus dilaksanakannya.
"Buntal" berkata Ki Wandawa "pergilah ke Ta man di kaki Bukit. Kau akan bertemu dengan Bintang Se latan" Buntal mengerutkan keningnya. "Akupun tidak tahu, siapakah Bintang Selatan itu. Tetapi kau harus menyebut dirimu sebagai jawabannya Angin Utara" sambung Ki Wandawa "Kau mengerti?" Buntal mengerutkan keningnya. Namun iapun ke mudian menjawab "Ya. Aku me ngerti" "Nah, pergilah. Secepatnya. Waktu tinggal sedikit. Aku tidak tahu pasti, waktu yang tinggal sedikit itu dihubungkan dengan peristiwa yang mana" Ki Wandawa berkata selanjutnya "namun kau harus me manfaatkan waktu sebaikbaiknya" "Baik Ki Wandawa." "Hati-hatilah. Bukan mustahil rahasia ini sudah diketahui oleh lawan. Dengan demikian kau harus me masuki Jati Aking dengan sangat berhati-hati. Jangan sampai kau terjebak oleh siapapun yang nampaknya kau kenal baik-baik. Kau hanya boleh berhubungan dengan Bintang Selatan. Jika ada orang lain yang ada di Jati Aking dan tidak menyebut dirinya Bintang Selatan kau harus berhati-hati. Tidak hanya satu dua orang saja yang mengenal Jati Aking dengan baik" "Baiklah Ki Wandawa. Aku mohon diri untuk pergi ke Jati Aking" "Sadarilah. Tida k boleh ada rahasia yang mere mbes dari mulut mu tentang Pandan Karangnangka " Buntal menarik nafas dalam-dala m. Ia menyadari pesan itu. Jika ia tertangkap oleh petugas-tugas sandi atau prajurit Surakarta, maka ia harus tetap dia m sa mpai mat i seka lipun.
"Pergilah. Sendiri, agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Rahasia yang diketahui oleh banyak orang tidak akan berarti lagi" Buntalpun segera minta diri. Ia harus pergi secepatnya ke Jati Aking dengan tugas yang sangat berat, tanpa ada orang lain yang boleh ikut me mikulnya. Sejenak ke mudian ma ka seekor kuda telah berderap keluar dari padukuhan Pandan Karangnangka. Buntal me macu kudanya secepat-cepat dapat, agar ia dapat mempergunakan waktu yang terlampau pendek, meskipun ia tida k tahu pasti batas dari waktu yang terlalu pendek itu. Di sepanjang jalan ia selalu mengingat-ingat, nama-na ma yang harus didengar dan disebutnya Bintang Selatan dan ke mudian ia harus menyebut dirinya Angin Utara. Barulah rahasia itu dapat didengarnya dan ke mudian dibawanya kepada Ki Wandawa. "Tetapi bagaimanakah jika orang yang disebut Bintang Selatan itu tertangkap?" ia bertanya di dala m hati. Na mun dijawabnya "Itu me mang mungkin se kali terjadi. Bukan hanya Bintang Selatan itu sajalah yang mungkin tertangkap, tetapi akupun mungkin tertangkap" Namun Buntal dapat mengerti, bahwa jalan yang dite mpuh itu adalah jalan yang paling aman bagi petugas sandi yang ada di Surakarta. Orang yang pergi ke Jati Aking tentu tidak akan mendapat pengawasan yang ketat seperti orang yang pergi ke Pandan Karangnangka. "Jika orang yang pergi ke Pandan Karangnangka itu ternyata dapat lolos, maka orang yang pergi ke Jati Aking itupun tentu dapat lolos pula" katanya di dala m hati. Buntalpun ke mudian berpacu se makin cepat. Ia akan sampai ke Jati Aking setelah gelap. Kemudian ia harus kemba li lagi ke Pandan Karangnangka.
Meskipun angan-angan Buntal dipenuhi oleh persoalanpersoalan yang rumit, namun ia sempat juga memikirkan Arum. Sudah agak mendesak pula keinginannya untuk mene mui gadis itu. Meskipun hanya sekedar berte mu. Tiba-tiba terbersit sebuah bayangan yang lain. Bayangan seorang bangsawan yang kemudian menjadi Senapati pasukan berkuda di Surakarta. "Raden Juwiring juga me ngetahui sikap guru" berkata Buntal di dala m hatinya. Lalu "tetapi apakah Surakarta sudah menga mbil keputusan untuk berbuat sesuatu" Dan apakah rahasia itu adalah rahasia tentang keputusan tindakan kekerasan yang akan dia mbil oleh Sura karta?" Namun semuanya masih tetap merupakan teka-teki. Dan Buntal tidak mau lagi me mbuat kepalanya sendiri menjadi pening me mikirkan teka-teki yang tentu tida k akan dapat dipecahkannya sendiri. Yang dipikirkan ke mudian adalah justru Raden Juwiring. Jika Surakarta mengetahui rahasia Jati Aking yang dipergunakan sebagai te mpat untuk me lakukan hubungan antara petugas-petugas sandi dengan orang-orang Pangeran Mangkubumi, ma ka tentu Raden Juwiring akan mendapat tugas untuk bertindak, karena ia. adalah orang yang paling mengetahui tentang Jati Aking, seperti Juga Ki Wandawa me milihnya untuk pergi ke Jati Aking. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Sebenarnya sebagai anak muda, ia terikat hubungan yang mendala m dengan Raden Juwiring. Setelah beberapa lama ia bersa mal berada di padepokan Kia i Danatirta, rasa-rasanya Juwiring benar-benar sudah seperti saudaranya sendiri. Bersama-sama mereka me lakukan tugas sehari-hari. bersama-sama mereka berlatih dan bahkan bersa ma-sama mere ka pergi mene mui Ki Sarpasrana. "Tetapi keadaan itu telah berubah" berkata Buntal "sejak Raden Rudira meningga l, maka Raden Juwiring bukan lagi
keluarga ka mi. Ia sudah kehilangan se muanya Bahkan kepribadiannya" Apalagi apabila teringat oleh Buntal akan Arum. Bagaimanapun juga ia merasa bahwa Raden Juwiring me mpunyai banyak kelebihan daripada dirinya. Jika pada suatu saat Arum menjatuhkan pilihan kepada Raden Juwiring, maka hidupnya tentu akan menjadi se makin sepi. Tanpa orang tua dan sanak kadang. Dan lepaslah se kuntum bunga dari tangannya. Kuda Buntal itu berpacu se makin cepat. Rasa-rasanya ia ingin segera sampai ke Jati Aking. Ketika matahari telah menyentuh cakrawala di ujung Barat, rasa-rasanya Buntal ingin me macu kudanya lebih cepat. Bahkan apabila mungkin terbang me mintas. Namun ia tidak dapat menuntut lebih banyak lagi dari kudanya yang sudah berlari secepat-cepat dapat dilakukan itu. Apalagi jalan di hadapannya kadang-kadang bukanlah jalan yang baik, sehingga ia justru perlu me mperla mbat, agar kudanya tidak terperosok ke dalam kubangan yang terdapat di tengahtengah jalan. Angin senja terasa semilir menyentuh keningnya. Sekalisekali Buntal menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya cahaya matahari yang kemerah-merahan tersangkut di bibir awan putih yang berarak di langit. "Alangkah cerahnya senja ini" berkata Buntal di dala m hatinya. Tetapi senja yang cerah ini telah dibayangi oleh ke melutnya mendung di atas Surakarta karena pertentangan yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri, sejak kumpeni semakin da la m mencengka mkan kekuasaannya atas bumi tercinta ini" Ketika ke mudan matahari benar-benar telah tenggela m. Buntal telah menjadi se makin dekat dengan Jati Aking. Sekilas
ia masih melihat warna-warna merah di langit, namun sejenak ke mudian langitpun menjadi sura m. Buntal tidak lagi berani me macu kudanya dengan kecepatan penuh. Jalan-jalan yang kadang-kadang berlubanglubang dan batu-batu yang bertebaran dapat menjadi sentuhan kaki kudanya. Dengan de mikian, maka rasa-rasanya jarak ke Jati Aking itu menjadi se makin jauh karenanya. Dengan dada yang berdebar-debar Buntal melintasi bulakbulak panjang yang menjadi hijau ge lap, dihiasi oleh cahaya kunang kunang yang seakan-akan seperti ditaburkan di atas daun-daun padi yang mula i rimbun. Sedang di langitpun bintang-bintang bergayutan dari ujung sa mpa i ke ujung. Buntal menjadi se makin berdebar-debar ketika ia sudah me masuki jalan yang langsung me masuki padukuhan Jati Sari. Lewat padukuhan itu ia akan me lintasi bulak yang sempit, dan langsung me masuki padukuhannya, Jati Aking, yang terpisah oleh bula k yang sempit dengan padukuhan induknya, Jati Sari. Tetapi Buntal ke mudian menjadi ragu-ragu. Ia tida k tahu pasti, apakah padukuhannya tidak mendapat pengawasan dari para petugas dari Surakarta. Bahkan ke mudian Buntal mulai me mbayangkan, bahwa di balik pepohonan itu telah menunggu prajurit-prajurit Surakarta yang akan menjebaknya. Jika petugas sandi Surakarta yang berpencaran menangkap isyarat akan kedatangannya di Jati Aking maka ia tentu tidak
akan dapat kembali lagi ke dala m lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi. Karena itu, maka Buntalpun segera menghentikan kudanya. Ia tidak ingin me masuki padukuhan Jati Sari. Ia ingin mende kati padepokannya lewat arah yang lain. Na mun ia tetap harus berhati-hati jalan yang manapun yang akan dipilihnya. Buntal menarik kekang kudanya, sehingga kudanya segera berputar dan berlari kearah yang berlawanan. Kemudian kuda itupun berbelok me lingkari padukuhan Jati Sari, lewat Jalan sempit menuju ke padepokan Jati Aking. Tetapi Buntal t idak akan berkuda terus sa mpai ke hala man padepokannya. Beberapa puluh langkah dari padepokannya, ia berhenti dan mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. "Aku harus yakin, bahwa tidak ada petugas-tugas sandi atau prajurit-prajurit Surakarta yang sudah siap menunggu kedatanganku. Betapapun tinggi ke ma mpuan ayah Kiai Danatirta, jika prajurit-prajurit Surakarta datang dalam jumlah yang banyak, apalagi disertai Senapati-Senapati terpilihnya, tentu mereka akan berhasil me nguasai guru beserta Arum. Yang mere ka lakukan ke mudian tinggal berse mbunyi sa mbil menunggu kedatanganku" Karena itu maka Buntalpun ke mudian mendekati padukuhannya dengan sangat berhati-hati. Kudanya ditinggalkannya terikat beberapa tonggak dari padepokan itu. Menurut pengamatan Buntal yang semakin dekat dengan padepokannya, ternyata padepokan itu rasa-rasanya masih tetap tenang. Ia tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan sama sekali. Ia tidak melihat orang-orang lain di daerah padepokannya. "Agaknya padepokan Jati Aking masih tetap aman" berkata Buntal di da la m hatinya.
Meskipun de mikian ia harus tetap berhati-hati. Rasarasanya padepokan itu justru terla mpau sepi. Sejenak Buntal menunggu untuk meyakinkan, apakah ia benar-benar tidak akan terjebak. Ternyata padepokan itu tetap saja sepi. Para pembantu padepokan itu tentu sudah masuk ke dala m bilik masingmasing, kecuali mereka yang pergi ke sawah untuk menunggui arus air. Tetapi Buntal masih tetap berhati-hati. Dengan penuh kewaspadaan Buntal merayap se makin dekat. Buntal menarik nafas dala m-dala m ketika ia berdiri di belakang dinding batu yang me mbatasi halaman padepokannya. Rasa-rasanya me mang tidak ada orang lain di dalam padepokannya itu. Apalagi sepasukan kecil prajurit yang menunggu kedatangannya. Namun Buntal tidak segera menga mbil kudanya. Ia masih tetap dengan hati-hati me langkah masuk ke hala man padepokannya, dan kemudian dia m-dia m pergi ke longkangan di sa mping. Tetapi Buntal terkejut bukan kepalang. Dengan menahan nafas ia kemudian melekat pada dinding yang menyekat longkangan itu. "Seekor kuda" desis Buntal. Sebenarnyalah Buntal melihat seekor kuda yang belum di kenalnya. Seekor kuda yang besar dan tegar. Tetapi ia pasti, bahwa kuda itu bukan kuda padepokan Jati Aking. Semakin jelas ia menga mati kuda itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata kuda itu adalah seekor kuda menurut jenis dan pakaiannya, adalah seekor kuda dari pasukan berkuda Surakarta.
Buntal mulai ragu-ragu. Sekilas terbayang olehnya Juwiring, seorang perwira muda pada pasukan berkuda di Sura karta. "Ia mengenal padepokan ini dengan baik" berkata Buntal di dalam hatinya "jika rahasia Ta man di ka ki Bukit sudah didengar oleh orang-orang Surakarta, maka gagallah semuanya" Tetapi Buntal tidak berhenti sampa i di dinding longkangan itu. Perlahan-lahan ia bergeser dengan penuh kewaspadaan. Ia berhenti di sudut longkangan, di dala m bayangan kegelapan. Dengan dada yang berdebaran ia melihat seberkas sinar yang terlempar ke luar pintu sa mping dan jatuh di atas tanah yang kemerah-merahan. "Apakah sudah ada orang yang menunggu aku?" bertanya Buntal dengan ragu-ragu "apakah orang itu Bintang Selatan atau orang yang akan menjebak a ku?" Buntal mencoba mengatur perasaannya. Namun ke mudian ia menjadi agak tenang. Katanya "Tentu seorang penghubung dari Surakarta. Aku harus segera mene muinya. Mungkin ia berhasil merampas seekor kuda dari pasukan berkuda dan me mperguna kannya sekali" Buntalpun bergeser mendekati pintu. Tetapi ketika selangkah lagi ia mendekati berkas cahaya la mpu yang me loncat keluar itu, ia tertegun, la mendengar suara Arum tertawa pendek. Dan bahkan terdengar suara Arum "Kau me mang me mbuat aku bingung Raden" Dan rasa-rasanya dada Buntal akan retak ketika kemudian ia mendengar suara lain, suara seorang laki-laki. Dan suara itu dikenalnya baik-baik. Raden Juwiring. "Aku tida k dapat, mengatakan kepada mu sebelumnya Arum" berkata Raden Juwiring "Tetapi untunglah belum terlambat, sehingga se muanya masih dapat diluruskan."
"Se muanya tidak aku duga sebelumnya. Aku menjadi bingung" Dan yang terdengar kemudian adalah keduanya tertawa cerah. Buntal adalah seorang anak muda. Ia sadar bahwa ia sedang menge mban tugas yang berat Tetapi ternyata bahwa tiba-tiba saja ia menjumpa i persoalan lain di padepokan Jati Aking. Persoalan tentang dirinya sendiri. Tetapi Buntalpun ke mudian menggera m "Tentu Raden Juwiringpun mendapat tugas seperti aku. Ia harus bertindak terhadap seseorang yang akan melakukan hubungan sandi di Jati Aking. Dan agaknya Arum telah berhasil dipengaruhinya" Campur baurnya tugas sandinya dan kepentingan pribadinya telah mendorong Buntal menjadi garang. Ia mulai mengenangkan masa-masa la mpaunya di padepokan Jati Aking. Buntal seolah-olah me lihat, bagaimana dengan tiba-tiba saja ia terlempar ke padepokan itu. Pada saat itu Juwiring sudah lebih dahulu ada di padepokan ini. Terbayang pula hubungan antara Arum dan Juwiring yang sangat rapat. Jika Arum ke mudian me mbenci Juwiring, hanyalah karena Juwiring meninggalkan cita-citanya yang telah terbentuk di padepokan ini. Tetapi sebagai manusia Juwiring me mpunyai seribu maca m kelebihan dari padanya. Juwiring adalah seorang bangsawan yang kaya raya. Sepeninggal Raden Rudira, Juwiring adalah satu-satunya anak laki-la ki Pangeran Ranakusuma. Apalagi ia ke mudian adalah seorang perwira pasukan berkuda di Surakarta, "Kini Raden Juwiring siap untuk me nga mbil Arum" katanya di dala m hati "dan bahkan mungkin ke matianku pula, karena aku adalah pengikut Pangeran Mangkubumi" Buntal tidak dapat berpikir lebih panjang lagi. Tiba-tiba saja ia kehilangan penga matan dirinya. Sikap Juwiring benar-benar tidak dapat dimaafkannya lagi. Bagi Buntal Juwiring telah
mengkhianati cita-citanya sendiri, dan kini mengkhianatinya dengan menga mbil Arum. Dengan garangnya Buntalpun ke mudian meloncat ke pintu. Terasa dadanya bagaikan terbakar ketika ia melihat Arum dan Juwiring duduk berdua saja di atas sebuah amben yang sempit. Juwiring dan Arum terkejut melihat seseorang tiba-tiba saja sudah berdiri dia mbang pintu. Bahkan bukan saja berdiri dengan wajah yang merah padam, tetapi juga dengan sebuah pedang terhunus. "Buntal" desis Juwiring dan Arum ha mpir bersa maan. Buntal sudah tida k mendengar lagi. Dengan suara ge metar ia berkata "Raden Juwiring. Akhirnya kita bertemu lagi setelah kau mengkhianati pribadimu sendiri. Se karang kita berhadapan sebagai dua pihak yang me mang sedang bermusuhan. Kau berdiri di pihak kumpeni seperti ayahandamu yang sudah menjilat kepada orang asing itu, dan aku adalah pengikut Pangeran Mangkubumi" "Buntal" desis Raden Juwiring. Arum yang menjadi bingung sesaat, kemudian berkata "Kakang Buntal, duduklah. Kita akan berbicara dengan baik. Raden Juwiring me mang menunggu kedatanganmu" "Aku mengerti. Aku sudah mendengar sebagian percakapanmu. Aku me mang sudah merasa bahwa sejak kita masih berkumpul di sini, segalanya aku tidak dapat menyamai Raden Juwiring. Aku adalah seorang anak kabur kanginan. Tanpa ayah dan ibu. Seandainya ada, mereka adalah ha mbahamba dan budak-budak yang tidak berarti. Aku adalah seorang anak yang mengembara di bulak-bulak panjang. di ma la m hari berselimut langit dan e mbun, di siang hari dibakar terik matahari" Buntal berhenti sejenak "namun tiba-tiba senjatanya teracu "tetapi aku mempunyai harga diri. Aku tidak mengkhianati cita-cita perjuangan padepokan Jati Aking"
"Sabarlah Buntal" berkata Juwiring sareh. "Kau me mang me mpunyai kelebihan yang tidak terhitung daripadaku. Kau me miliki segala-galanya. Harta, pangkat dan wajahmu adalah wajah seorang bangsawan" "Buntal" desis Arum. "Kau tidak usah ingkar Arum. Jika me mang itulah yang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan. Selama ini aku me mang belum pernah mengatakan apapun kepadamu" "Kau salah ka kang" "Aku yakin bahwa aku benar" Buntal menggera m "tetapi masih ada persoalan lain yang harus diselesaikan. Aku tidak akan menuntut apapun kepada mu Arum. Kau me mang berhak me milih. Tetapi sebelumnya aku akan menyelesaikan persoalanku lebih dahulu. Aku adalah pengikut Pangeran Mangkubumi" Seleret warna merah menyala di wajah Raden Juwiring. Tetapi ia masih berusaha untuk menyabarkan dirinya. Katanya "Duduklah Buntal. Marilah kita berbicara dengan baik. Berbicara secara dewasa. Bukan seperti kanak-kanak yang berebut makanan" "Aku tidak me mpunyai waktu" sahut Buntal. Kemudian "Raden. Aku sudah mengetahui apa saja yang Raden la kukan selama ini. Kau adalah Senapati pasukan berkuda. Kau pula yang telah datang ke padepokan ini untuk me ncari dua orang petugas sandi dari Sura karta yang hilang. Dan banyak lagi yang sudah kau lakukan sela ma ini sebagai seorang prajurit Surakarta dan seorang putera bangsawan. Dan kini. setiap orang mengetahui bahwa ayahandamu merupa kan salah seorang dari pada Senapati yang terpilih untuk ikut me merangi Pangeran Mangkubumi. Bahkan Pangeran Ranakusuma adalah orang yang paling mungkin dihadapkan kepada Pangeran Mangkubumi. Dan sekarang, apakah yang
akan kau lakukan" Apakah kedatanganmu me mbawa tugas keprajuritanmu atau sekedar ingin menje mput Arum?" "Kakang" suara Arum menjadi ge metar "Kau sebaiknya duduk dahulu kakang. Kau mendengarkan penjelasan yang akan diberikan oleh Raden Juwiring" "Tida k perlu Arum Se muanya sudah jelas bagiku" "Tida k" "Ya" "Tida k. Kau tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Karena itu duduklah dan dengarkan kata-kata Raden Juwiring" "Apakah aku harus mendengarkan penjelasannya, kenapa ia datang menga mbilmu?" suara Buntalpun me njadi se ma kin garang "Arum. Kenapa tida k kau katakan sebelumnya. Dan kenapa kau me mbiarkan a ku menyimpan harapan. Sekarang sudah jelas bagiku. Seperti yang sudah aku duga, bahwa pada suatu saat, Raden Juwiring akan datang untuk mengusir aku dari padepokan ini" Buntal menggera m "tetapi tidak. Aku kini bukan sekedar Buntal, anak kabur kanginan. Tetapi aku menge mban tugas sebagai pengikut Pangeran Mangkubumi. Aku harus me musnahkan siapa saja yang aku jumpai dan mencoba merintangi usahaku" "Buntal. Marilah kita lenyapkan kesalah paha man ini" berkata Raden Juwiring. Tetapi Buntal seolah-olah tidak mendengar. Iapun segera bersiaga sambil berkata "Bersiaplah Raden Juwiring" "Kau tergesa-gesa Buntal. Persoalannya bergeser dari persoalan yang seharusnya" akan dapat
Duel Di Butong 4 Boysitter Karya Muharram R Dendam Sejagad 4
^