Pencarian

Duel Di Butong 4

Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 4


Akhirnya Lau-to-pacu muncul juga, hasil kemenangan jelas sangat gemilang, hal
ini terbukti dari suaranya yang rada parau saking gembiranya.
Kemudian ia mengumumkan secara resmi, "Sekali gempur, semua sasaran tertumpas.
Operasi Halilintar telah mencapai sukses seluruhnya!"
Perencanaan yang rapi, gerakan yang cepat dan tepat, asalkan kedua hal ini
terpenuhi, segala pekerjaan pasti akan berhasil dengan baik."
Tapi Lau-to-pacu seolah-olah telah melupakan sesuatu. Dia tidak tanya Liok Siau-
hong apakah pekerjaannya telah berhasil dengan baik, lalu darimana dia tahu
operasi ini telah mencapai sukses seluruhnya" Kecuali dia masih berada di
ruangan pendopo ketika lampu menyala kembali dan dapat dilihatnya kopiah emas
sudah tidak terpakai lagi di atas kepala Ciok Gan.
Siau-hong tidak tahan, ia bertanya, "Apakah engkau tidak lupa minta sesuatu
barang padaku?" Mendadak ia menanggalkan capingnya, segera kopiah emas memancarkan cahaya
kemilau di bawah cahaya lampu.
Tapi Lau-to-pacu hanya memandang sekejap saja lantas berkata, "Aku tidak perlu
terburu-buru." "Dengan sendirinya engkau tak perlu terburu-buru," ujar Siau-hong dengan
tertawa, "sebab yang kau inginkan memang bukan kopiah emas ini melainkan pedang
pusaka Jit-sing-kiam itu."
Mestinya dia tidak mau mengucapkan kata-kata ini, tapi mendadak ia tidak tahan
dan tercetus dari mulutnya, "Pada waktu kurebut kopiah emas ini, tentu Ciok Gan
akan mengangkat tangannya untuk menahan kopiah, pada kesempatan itulah lantas
kau rebut pedang pusaka yang tergantung di pinggangnya."
Lau-to-pacu memandangnya dengan dingin dan menunggu ceritanya lebih lanjut.
"Meski rahasia terletak pada batang pedang pusaka itu, namun Ciok Gan tidak
pernah menggunakannya untuk memeras siapa pun. Sebaliknya kau tetap kuatir,
sebab salah satu rahasia yang paling penting di antaranya menyangkut rahasia
pribadimu, tidak boleh dengan sendirinya rahasiamu jatuh ke tangan orang kedua
lagi." Lau-to-pacu ternyata tidak menyangkal, katanya, "Ya, tangannya selalu memegang
tangkai pedangnya, maka perlu kugunakan dirimu, seterusnya dia pasti akan
menganggap dirimu adalah biang keladi samua kejadian ini."
"Mengapa?" tanya Siau-hong.
"Sebab pada waktu kau turun tangan tadi pasti menggunakan tenaga cukup keras,
kopiah emas ini tentu terpencet mendekuk oleh jarimu, padahal setiap orang tahu,
orang yang mampu menyambar kopiah dari kepalanya dengan dua jari, kecuali Liok
Siau-hong saja mungkin tidak ada orang kedua lagi di dunia ini. Jadi inilah
bukti yang paling kuat."
Siau-hong menghela napas, "Wah, kiranya bukan cuma kau gunakan diriku untuk
memencarkan perhatiannya, malahan hendak kau peralat diriku untuk menanggung
semua dosamu." "Ya, ini namanya sekali tembak dua burung," kata Lau-to-pacu.
Hal ini merupakan kunci terakhir daripada seluruh rencana operasi mereka, baru
sekarang Liok Siau-hong tahu duduknya perkara.
Ia hanya menyengir saja, katanya, "Tapi aku tetap tidak mengerti, jika sudah
dapat kau rampas pedangnya, mengapa tidak sekalian kau bunuh dia?"
"Sebab dia toh tak dapat hidup lama lagi," jawab Lau-to-pacu.
"Oo, sebab apa?" tanya Siau-hong dengan terkejut.
"Sebab dia mengidap penyakit maut yang tak tersembuhkan, usianya paling lama
hanya bertahan dua-tiga bulan lagi."
"Pantas dia terburu-buru mengangkat ahli waris untuk menggantikan kedudukannya."
"Tapi sayang, anak murid Bu-tong yang cocok menggantikan kedudukannya sekarang
telah kita bunuh seluruhnya."
Siau-hong menatapnya tajam, "Maka sekarang kedudukan Ciangbun Bu-tong-pay
terpaksa harus diserahkannya kepadamu?"
Mendadak tangan Lau-to-pacu tergenggam erat, jengeknya, "Hm, sesungguhnya kau
seorang pintar, kata-kata ini seyogianya tidak kau utarakan."
"Cuma sayang, aku tidak tahan dan harus kukatakan," ujar Siau-hong.
Mendadak Lau-to-pacu berteriak, "Lo-lopocu, Koan Thian-bu, Toh Thi-sim, Ko Tiu,
Hay Ki-koat, Koh Hui-hun!"
Setiap kali dia menyebut namanya, orang yang bersangkutan segera tampil ke depan
dan mendelik terhadap Liok Siau-hong.
Lau-to-pacu lantas mendengus pula, "Coba, kau lihat mereka berenam ini mampu
mengatasi dirimu atau tidak?"
"Dua-tiga orang pun sudah cukup, apalagi enam orang," sahut Siau-hong.
"Memangnya kau ingin mereka turun tangan?" jengek Lau-to-pacu.
"Aku tidak ingin."
"Habis, mengapa tidak lekas kau menyerah?" "Sebab kutahu mereka pasti takkan
turun tangan padaku," kata Siau-hong.
Mendadak Lau-to-pacu membentak bengis, "Bekuk dia!"
Suaranya sangat keras dan berwibawa, tapi keenam orang itu diam saja, seperti
berubah menjadi tuli mendadak, bergerak pun tidak.
Seketika sorot mata Lau-to-pacu menciut. Sebaliknya Siau-hong tertawa.
"Jika mereka mau turun tangan, maka hanya seorang yang akan mereka tangkap,"ujar
Siau-hong dengan tersenyum. "Siapa?" tanya Lau-to-pacu. "Kau!" jawab Siau-hong
Benar juga, serentak keenam orang itu berputar tubuh menghadapi Lau-to-pacu dan
berkata berbareng, "Apakah kau perlu tunggu kami turun tangan?"
Sekujur badan Lau-to pacu serasa kaku dingin, ucapnya, "Jika tidak ada diriku,
Saat ini mungkin tulang-belulang kalian sudah hancur tanpa bekas, masakah kalian
berani mengkhianati diriku?"
"Mereka tidak ingin mengkhianati dirimu, mereka cuma menyesal karena perbuatanmu
yang salah," sela Siau-hong. Keadaan ruang di bawah tanah ini tetap tenang, kecuali Liu Jing-jing dan Siau
Jui, setiap orang sama bersikap tenang saja, perubahan yang mengejutkan ini
seakan-akan sudah berada dalam dugaan mereka.
Masakah orang-orang ini sudah berkhianat semua padanya" Tangan Lau-to-pacu
terkepal erat katanya, "Apa perbuatanku?"
"Meski rencanamu sangat rapi dan rahasia, tapi ada setitik lubang kelemahan yang
fatal," tutur Siau-hong.
Tentu saja Lau-to-pacu tidak percaya. Betapapun dia tidak percaya, sebab rencana
yang rapi ini sudah diperiksa dan dipertimbangkannya lagi sampai beberapa kali.
"Kebagusan rencanamu ini terletak pada orang-orang yang ikut beroperasi ini,
semuanya sebenarnya sudah mati, tapi kau bikin mereka berubah menjadi orang yang
sesungguhnya tidak pernah ada, dengan sendirinya orang Kangouw tak akan
memperhatikan gerak-gerik mereka."
Siau-hong tertawa, lalu menambahkan, "Cuma sayang, hal ini justru juga merupakan
titik kelemahan yang paling besar dalam rencanamu itu."
Lau-to-pacu merasa tidak mengerti.
Uraian Liok Siau-hong justru memang tidak mudah dimengerti siapa pun.
Segera Siau-hong bertutur pula, "Jika kau rias Ko Tiu menjadi Cui-siang-hui,
biarpun kepandaian merias Kian-long-kun setinggi langit juga hasil kerjanya
tetap akan dikenali orang, sedikitnya sanak keluarga Cui-siang-hui akan
mengenalinya." Ia tepuk-tepuk pundak 'Koan-keh-po', lalu berucap pula, "Dan dia ini telah kau
rias begini, pada hakikatnya di dunia tidak terdapat seorang macam begini,
dengan sendirinya juga tidak ada orang dapat mengenali dia."
Uraian ini rasanya terlebih mudah dimengerti orang. Dengan sendirinya Lau-to-
pacu juga mengerti, hal ini memang termasuk salah satu titik pokok
perencanaannya. "Tapi kau pun melalaikan sesuatu," kata Siau-hong pula.
"Sesuatu apa?" tanya Lau-to-pacu.
Siau-hong menuding muka 'Koan keh-po', lalu berkata, "Ko Tiu dapat menyamar
seperti ini, dengan sendirinya orang lain juga dapat menyamar cara begini."
Lau-to-pacu tidak menyangkal. Cukup ada sehelai kedok manusia yang terbuat
dengan bagus, ditambah lagi seorang ahli rias, siapa pun dapat dirias menjadi
begini. "Sesudah Ko Tiu menyamar seperti ini, tentu juga tidak ada orang dapat
mengenalinya," ucap Siauhong pula.
Sebab di dunia ini memang tidak ada seorang demikian, maka tidak ada orang yang
akan memperhatikan dia, sampai Lau-to-pacu juga tidak terkecuali.
Tiba-tiba tangan Lau-to-pacu bergemetar, teriaknya, "Jangan-jangan orang ini
bukan Ko Tiu lagi?" "Akhirnya kau paham juga maksudku," ujar Siau-hong dengan tertawa.
'Koan-keh-po' juga tertawa, sekuatnya ia menarik kedok yang dipakainya, segera
tertampaklah wajah seorang perempuan yang berusia belum begitu lanjut.
Dengan sendirinya dia bukan KoTiu.
"Nona ini adalah saudara Kongsun-toanio dahulu," tutur Siau-hong dengan tertawa,
"dia juga sahabatku yang baik, seketika sukar bagiku menemukan Koan-keh-po yang
bukan lelaki dan bukan perempuan serupa Ko Tiu itu, terpaksa kuminta dia kemari
membantu aku." Seketika Lau-to-pacu melengak, "Kau dapat merias Ko Tiu menjadi
begini, dengan sendirinya aku pun dapat menyuruh orang merias dia menjadi
demikian," kata Siau-hong pula.
"Jangan-jangan Kian-long-kun telah mengkhianati aku?" kata Lau-to-pacu dengan
gemas. "Sebab dia juga manusia," Siau-hong mengangguk. "Dia bukan anjing. Anjing benar-
benar juga akan melompat dan menubruk dinding bilamana sudah kepepet, apalagi
manusia." "Dia beliam mati?" tanya Lau-to-pacu.
"Jika dia mati, cara bagaimana kita dapat merias nona ini sehingga serupa benar
dengan Koan-keh-po, sampai kau pun tak dapat membedakannya."
"Kedoknya juga diambil dari Ko Tiu?" tanya Lau-to-pacu.
"Ya, dikelupas dari muka Ko Tiu."
"Dan di mana Ko Tiu sendiri?"
"Sudah terlalu banyak urusan yang dicampurinya, dia perlu istirahat."
Mendadak Liu Jing-jing bertanya, "Apakah pada malam ketika berada di
perkampungan Yap Leng-hong itulah kau kerjai dia?"
Baru sekarang teringat olehnya, malam itu setelah lampu padam, tahu-tahu mereka
lantas menghilang. Kiranya pada kegelapan itu Liok Siau-hong telah membekuk Ko
Tiu, Koh Hui-hun dan Hay Ki-koat. Lalu tiga orang kawannya dipalsukan menjadi Ko
Tiu bertiga, bahkan memakai kedok muka yang sama dan diproses oleh ahli rias
yang sama pula, yaitu Kian-long-kun, si jaka anjing.
"Jadi tempo hari Kian-long-kun juga berada di sana?" tanya Jing-jing pula.
"Ya, dia memang sudah menunggu di sana," jawab Siau-hong. "Pada hari kedua,
lebih dulu kusuruh orang mencarikan seekor anjing yang serupa, pada waktu
pelayan restoran membawa anjing keluar berjalan-jalan, kedua ekor anjing lantas
saling tukar." Bentuk anjing umumnya tidak banyak berbeda, kecuali orang yang berdekatan dan
memiaranya setiap hari, jarang orang memperhatikan dan dapat membedakannya.
Liu Jing-jing menghela napas, katanya, "Aku memang sudah mencurigai pelayan
itu." "Rasa curigamu memang selalu besar," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Dan siapakah orang yang gemar menggali cacing ini?" tanya Jing-jing.
"Dia itulah pelayan restoran yang membawa anjing berjalan-jalan itu."
"Memangnya siapa dia?" "Sukong Ti-sing!"
Selain termashur sebagai maling sakti budiman dengan Gin-kang maha tinggi dan
kecerdikannya melebihi orang biasa, bahkan dia juga seorang ahli rias muka.
"Jangan-jangan semua orang yang berada di sini bukan lagi orang yang semula?"
tanya Jing-jing pula. "Hanya dua orang saja masih tetap sama."
"Dua orang siapa?"
"Aku dan kau." "Mengapa hari itu kalian tidak turun tangan padaku?"
"Sebab kau terlalu berdekatan dengan Lau-to-pacu, kami takut diketahui olehnya
Mendadak Liu Jing-jing menggreget, ia terus menjotos hidung Liok Siau-hong.
Siau-hong tidak menghindar, tapi jotosan Liu Jing-jing juga tidak kena
sasarannya, sebab tahu-tahu tangannya dipegang orang. Namun dia masih melototi
Liok Siau-hong dengan gemas dan berteriak,
"Kuingin kau tahu sesuatu."
"Urusan apa?" tanya Siau-hong.
"Satu-satunya orang yang paling berdekatan denganku ialah dirimu!" teriak Jing-
jing. Hati Siau-hong rada pedih dan juga haru. Namun seorang kalau ingin berbuat
sesuatu hal yang bermanfaat bagi orang banyak, mau tak mau dia harus berkorban
sedikit. Sedapatnya Siau-hong berlagak tidak melihat air mata Jing-jing yang bercucuran,
sedapatnya dia tidak memikirkan hal ini.
Seumpama dia mau menyesal dan harus menangis kan juga dapat menunggu sampai
besok. Sekarang masih banyak urusan yang harus dikerjakannya. Sebab dia ialah Liok
Siau-hong. Ada orang memotong sumbu lentera yang sudah menjadi arang, maka cahaya lentera
lantas berubah lebih terang.
Lau-to-pacu berbalik menjadi lebih tenang daripada tadi, kembali ia bertanya,
"Jika kalian sebelumnya sudah menguasai situasi, mengapa kalian tetap
melaksanakan tugas sesuai rencanaku semula?"
"Sebab kami belum .lagi tahu sesungguhnya siapa Lau-to-pacu, maka perlu
kupancing kau masuk perangkap."
Dan ini baru merupakan sendi utama keseluruhan rencana, sampai sekarang juga
belum pernah dia lihat wajah asli Lau-to-pacu, belum ada orang yang pernah
melihatnya. Lau-to-pacu menjengek, "Sekarang selekasnya kalian akan dapat mengelahui
siapakah aku sesungguhnya, cuma sayang, Thi-koh dan lain-lain sudah tidak dapat
mengetahui untuk selamanya."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa pula, "Kau kira mereka sudah mati benar-benar" Coba
kau lihat siapakah mereka ini?"
Serentak lubang masuk ruang bawah tanah itu terbuka, sebarisan orang melangkah
turun perlahan, jelas mereka itulah Thi-koh Hwesio, Ong Cap-te, Ko Hing-kong,
Koh-tojin, Lau-jit si mata elang, Cui-siang-hui dan lima tokoh utama murid Bu-
tong-pay. Di antaranya terdapat juga si kakek tinggi besar yang belum diketahui
namanya itu. Dan ada lagi Ciok Gan, dia berjalan paling akhir.
Pada waktu Ciok Gan turun ke bawah, lubang masuk itu masih tetap terbuka.
Saat itu Siau-hong lagi berkata, "Dengan kaum ahli rias muka seperti Ok-
locianpwe, Sukong Ti-sing dan Kian-long-kun, untuk pura-pura mati dengan
sendirinya bukan pekerjaan yang terlalu sulk, apalagi
Belum habis ucapannya, mendadak Laii-to-pacu meloncat ke atas, secepat terbang
ia melayang keluar. Dia sudah memegang pedang, pedang yang sudah terlolos dari
sarungnya. Pedang dan orangnya seakan-akan bergabung menjadi satu, secepat kilal ia serang
Ciok Gan yang berada paling belakang..
Tapi Ciok Gan juga berpedang. Sesudah rahasia pada tangkai pedang diambil, Jit-
sing-kiam itu berada kembali lagi di tangannya. Segera ia bermaksud melolos
pedang tapi bawah iga mendadak terasa sakit, luka baru dan luka lama berjangkit
sekaligus. Tahu-tahu pedang Lau-to-pacu sudah mengancam di depan te'nggorokannya, orangnya
sudah mengitar ke belakang Ciok Gan dan menelikung sebelah tangannya sambil
membentak, "Bila kalian berani bergerak, segera kubunuh dia!"
Terpaksa semua orang diam, tidak berani bergerak.
Meski Ciok Gan dikatakan mengidap penyakit maut yang tak tersembuhkan, tapi
tidak ada yang suka menyaksikan ketua Bu-tong-pay yang saleh dan dihormati ini
mati di bawah pedang. Terpaksa semua orang menyaksikan Lau-to-pacu menyurut mundur dengan membawa Ciok
Gan sebagai sandera. "Meski rencanaku tidak terlaksana seluruhnya, tapi rencana kalian tampaknya juga
gagal total," jengek Lau-to-pacu. Liok Siau-hong tersenyum, "Jika kubiarkan kau pergi, dapatkah kau perlihatkan
wajahmu yang asli?" "Tidak bisa!" bentak Lau-to-pacu. Lalu ia terbahak-bahak, "Selamanya tidak ada
yang dapat melihat lagi wajah asliku, tidak ada selamanya
Tapi mendadak gelak tertawanya terhenti dan tubuhnya terjungkal ke depan,
terguling ke bawah undakan dan terkapar di lantai, dari punggungnya kelihatan
darah segar mengucur seperti air mancur. Capingnya juga terpental.
Seorang melangkah turun dari undakan lubang, masuk ke sana dengan perlahan, pada
tangannya memegang sebilah pedang panjang, pada ujung pedang masih meneteskan
darah. Air muka Liok Siau-hong berubah seketika. Kalau saja mukanya tidak memakai
kedok, orang banyak pasti akan terkejut, sebab perubahan air mukanya sungguh


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar biasa dan menakutkan.
Yang turun dari undakan lubang masuk itu bukanlah Sebun Jui-soat, tapi Bok-
tojin. Dialah orang yang berjalan paling belakang, yang masuk terakhir. Jelas Lau-to-
pacu tidak menyangka di belakang Ciok Gan masih ada orang lain lagi, jadi
seperti ular mencaplok katak, di sam ping sedang mengincar lagi si pawang ular.
Liok Siau-hong seperti juga tidak menyangka akan kedatangan Bok-tojin, ia
memandangnya dengan terkejut, lalu memandang pula Lau-to-pacu yang terkapar di
tengah genangan darah, katanya tiba-tiba, "Mengapa kau bunuh dia" Mengapa tidak
kau biarkan dia hidup untuk dimintai keterangan?"
"Rahasianya sudah kita ketahui, biarpun ditanyai lagi juga tidak lebih daripada
itu," jawab Bok-tojin. "Meski seranganku agak keras hingga membinasakan dia,
tapi juga hilanglah bahaya di kemudian hari."
"Namun kita belum lagi melihat wajahnya yang asli?" ujar Siau-hong,
"Orang mati kan juga tak akan berubah muka aslinya?" kata Bok-tojin dengan
tertawa. Siau-hong melengak, lalu tertawa dan berkata, "Ai, beberapa hari ini aku terlalu
lelah sehingga kepala pun pusing."
"Setiap orang tentu pernah kepala pusing, paling celaka jika tidak punya kepala
lagi untuk pusing," ujar Bok-tojin dengan tertawa.
Ketika Liok Siau-hong membalik tubuh Lau-to-pacu dan melihat mukanya, kembali ia
melengak. Yang terlihat olehnya ternyata sebuah wajah yang tak bermuka, matanya yang
celung seakan-akan sedang mengejeknya, "Selamanya tiada orang dapat melihat
wajahku yang asli, tidak ada selamanya Semua orang sama melengak juga, sampai
Liu Jing-jing juga melongo.
Sebaliknya Ciok Gan lagi menghela napas panjang, ucapnya, "Meski dia tak
berwajah juga kukenal dia."
"Dengan sendirinya kau kenal, aku pun kenal," ucap Bok-tojin dengan rawan. Ia
mendongak, tampaknya bertambah tua dan loyo, lalu menambahkan, "Orang ini adalah
murid murtad perguruan kami, Ciok Ho."
"Bukan," kata Liok Siau-hong, "dia bukan Ciok Ho."
Nadanya tegas dan pasti, dia percaya penuh atas dirinya sendiri, baginya,
persoalan ini telah diyakininya benar-benar. Kalau tidak yakin, tidak nanti dia
bicara demikian kepada orang-orang yang hadir di rumah ini.
Tempat ini adalah sebuah kamar tulis yang indah, sebuah tempat yang sangat
terahasia dan aman. Siapa pun kalau mau masuk ke kamar tulis ini harus melalui tujuh pintu yang
terjaga dengan sangat ketat.
Yang berjaga di luar hampir setiap orang adalah tokoh Bu-lim kelas satu di zaman
ini, di antaranya meliputi anak murid pilihan dari Bu-tong-pay, Siau-lim-pay,
Gan-tang-san dan Pah-san, juga beberapa Tocu perairan Tiangkang yang terkenal cerdik dan lihai. Tanpa izin khusus pasti
tidak ada orang yang dapat menerobos ke dalam rumah ini. Maka apa yang mereka
bicarakan di sini pasti takkan bocor.
Mereka menyebut tempat ini sebagai 'sarang elang', rencana operasi mereka
terhadap Yu-leng-san-ceng atau perkampungan hantu itu ditetapkan tiga bulan yang
lalu ketika rapat rahasia di 'sarang elang' ini.
Tentu saja ini merupakan rencana operasi yang sangat rahasia. Menurut rencana,
langkah pertama ialah Sebun Jui-soat harus dibujuk supaya ikut dalam operasi
ini, akan dibikin supaya terjadi bentrok seru antara Sebun Jui-soat dan Liok
Siau-hong, agar terjadi permusuhan dan dendam kesumat, supaya orang Kangouw sama
tahu Sebun Jui-soat bertekad akan membunuh Liok Siauhong.
Hal ini tidak mudah terlaksana, sebab Sebun Jui-soat bukan orang yang gampang
menerima bujukan. Siapa tahu sekali ini Sebun Jui-soat tidak menolak, jelas dia merasa tertarik
oleh rencana mereka, bisa mengejar Liok Siau-hong untuk membunuhnya adalah
pekerjaan yang menarik, sebab itulah satu-satunya syarat yang dikemukakannya
adalah Liok Siau-hong harus kabur dengan sungguh-sunguh, sebab dia juga akan
mengejar dengan sungguh-sungguh, jika sampai tersusul, bisa jadi dia benar benar
akan membunuh Liok Siau-hong.
Lantaran itulah, pada waktu buron, senantiasa Liok Siau-hong waswas dan
berkeringat dingin sebab kuatir kalau benar-benar tersusul oleh Sebun Jui-soat.
Langkah kedua menurut rencana adalah mengatur arah buron Liok Siau-hong, harus
dibuat sedemikian rupa sehingga secara tidak sengaja Liok Siau-hong mengadakan
kontak dengan orang Yu-leng-san-ceng sehingga tidak dicurigai.
Di tengah buron itu Liok Siau-hong harus menghadapi segala kesukaran dengan
tenaga sendiri dan dilarang berhubungan dengan siapa pun.
Apakah Liok Siau-hong dapat menyusup masuk ke Yu-leng-san-ceng" Semula mereka
tidak mempunyai keyakinan. Akan tetapi mereka rela menyerempet bahaya.
Sudah lama mereka tahu sindikat yang disebut Yu-leng-san-ceng itu, cuma sebegitu
jauh belum diperoleh data-datanya, hanya dari seorang tak dikenal yang sekarat,
diketahui tidak lama lagi sindikat ini akan melakukan sesuatu pekerjaan besar
yang mengguncangkan dunia.
Sebab itulah operasi mereka harus dimulai selekasnya, sebab kemudian diketahui
mereka bahwa orang yang sekarat itu ternyata Koh Hui-hun adanya, orang yang
seharusnya sudah mati di bawah pedang Sebun Jui-soat bebarapa tahun yang lalu.
_ Koh Hui-hun melarikan diri dari Yu-leng-san-ceng, dia diuber Ciok Ho dan
terjerumus ke dalam jurang yang beribu kaki tingginya, meski beruntung tidak
mati, tapi kedua kakinya patah, berkat tekadnya yang bulat dan ketahanan
fisiknya, ia merangkak selama lima hari empat malam di dasar jurang itu,
akhirnya dapat bertemu dengan seorang Tosu pencari daun obat di tengah
pegunungan sunyi itu. Tosu itu adalah murid Bu-tong-pay, akhirnya Koh Hui-hun berhasil menceritakan
rahasia Yu-leng-san-ceng, cuma sayang, yang diketahuinya tidak banyak, malah
keadaannya juga sudah kempas-kempis dan akhirnya tak tertolong.
Lantaran itulah sejak mula Liok Siau-hong sudah tahu orang yang disebut 'Piauko'
itu sebenarnya bukan Koh Hui-hun.
Pencetus rencana operasi ini adalah Ciok Gan, ketua Bu-tong-pay. Orang pertama
yang dicarinya ialah Liok Siau-hong.
Ia yakin, jika di dunia ini ada seorang yang mampu menunaikan tugas operasi yang
maha sulit dan berat ini, tidak perlu disangsikan lagi orang itu adalah Liok
Siau-hong. Akan tetapi Liok Siau-hong menyadari melulu tenaga sendiri saja pasti tidak
cukup, dia perlu mencari beberapa pembantu yang dapat diandalkan. Ia anggap
salah seorang yang tidak boleh kurang ialah Sukong Ti-sing.
Untuk membujuk Sukong Ti-sing memang jauh lebih sulit daripada membujuk Sebun
Jui-soat, untung dia mempunyai satu kelemahan. Yaitu gemar bertaruh, lebih-lebih
bertaruh dengan Liok Siau-hong, bertaruh apapun dia mau.
Maka Siau-hong lantas bertaruh dengan dia, "Jika aku gagal, harus kau gali
cacing bagiku." Ketika Sukong Ti-sing menyadari perangkap ini, menyesal pun sudah terlambat,
agar dia tidak kalah, terpaksa ia harus membantu sepenuhnya agar Liok Siau-hong
mencapai sukses. Selamanya Sukong Ti-sing memang seorang yang pegang janji.
Tapi dia juga berkeras minta diberi seorang pembantu yang tidak boleh kurang,
dia minta Liok Siau-hong mencarikan Hoa Ban-lau baginya.
Cara pemikiran Hoa Ban-lau sangat cermat dan sukar dibandingi orang lain,
mungkin lantaran dia tidak dapat melihat, maka waktu untuk berpikir menjadi jauh
lebih banyak daripada orang lain.
Begitulah, maka perencanaan awal telah diputuskan oleh mereka di 'sarang elang'
ini. Dengan sendirinya tenaga mereka berempat saja tidak cukup, maka mereka menarik
pula enam orang lagi. Yaitu Thi-koh Hwesio dari Siau-lim, Ong Cap-te dari Kay-
pang, Cui-siang-hui dari Tiang-kang, Ko Hing-kong dari Gan-tang-san, Koh-tojin
dari Pah-san dan si mata elang Lau-jit.
Maklumlah, dalam perguruan keenam tokoh itu juga terdapat murid murtad yang
menggabungkan diri dengan Yu-leng-san-ceng, pengaruh mereka juga tersebar di
antara jalan dari Yu-leng-san-ceng menuju ke Bu-tong-san.
Yang paling penting, mereka adalah orang-orang yang dapat tutup mulut serupa
mulut botol tersumbat, pasti takkan membocorkan rencana kerja mereka yang harus
dirahasiakan ini. Dipandang dari luar, 'sarang elang' mereka cuma sebuah rumah berloteng yang
sangat umum di tengah kota, dibeli atas nama seorang anak buah mata elang. Tiga
ruangan di bawah loteng digunakan untuk berdagang, yang satu toko obat, satu
lagi restoran dan sebuah toko peti mati.
Pegawai ketiga perusahaan itu adalah anak murid mereka yang terpilih, jujur dan
cekatan. Jadi yang mengetahui rencana operasi cuma mereka bersepuluh orang, sisa lainnya
cuma pelaksana atas perintah saja. Dan sekarang di antara mereka bersepuluh
sudah hadir delapan orang.
Liok Siau-hong memandangi mereka satu per satu, ia mengulangi lagi ucapannya
tadi, "Dia bukan Ciok Ho, pasti bukan!"
Ciok Gan tidak hadir, jelas karena sakitnya sangat berat, tinggal satu-satunya
yang pernah melihat Ciok Ho adalah Thi-koh Hwe-sio.
Dahulu waktu Bu-tong-pay hendak mengangkat ahli waris, mendadak Ciok Ho merusak
wajah sendiri sehingga batal pencalonannya, waktu itu paderi saleh Siau-lim-si
ini juga hadir sebagai salah seorang tamu undangan. Dia melihat sendiri wajah
tanpa muka itu, barang siapa asalkan pernah melihatnya, sekejap pasti sukar
melupakannya. Sebab itulah ia lantas menyatakan keyakinannya. "Kau pernah melihat wajahnya,
dia pasti Ciok Ho adanya."
"Yang mati di bawah pedang Bok-tojin dengan sendirinya Ciok Ho adanya, tapi Ciok
Ho bukanlah Lau-to-pacu, pasti bukan," kata Siau-hong pula.
"Berdasarkan apa kau bicara demikian?" sela Sukong Ti-sing tiba-tiba.
"Sebab kutahu siapa Lau-to-pacu," jayvab Siau-hong. "Memangnya siapa dia?" tanya
Sukong Ti-sing pula. "Bok-tojin!" kata Siau-hong.
Sukong Ti-sing terkejut, semua orang juga terkejut. Selang agak lama, perlahan
Thi-koh Hwesio menggeleng kepala dan berucap, "Tidak benar, tidak mungkin dia."
"Apa alasanmu?" tanya Siauhong.
"Puluhan tahun yang lalu, banyak kesempatan baginya untuk menjadi ketua Bu-tong,
tapi dia malah menyerahkan kedudukan itu kepada Sutenya, yaitu Bwe-cinjin,"
tutur Thi-koh. "Dari kejadian ini terbukti dia tidak kemaruk kepada kedudukan
dan kekuasaan, mana bisa dia berbuat hal-hal yang tidak pantas ini?"
"Semula aku juga tak percaya, malahan ada maksudku mengikut-sertakan dia dalam
gerakan kita ini," kata Siau-hong.
"Masakah ada orang tidak setuju?" tanya Thi-koh.
Siau-hong mengangguk, "Ya, Ciok Gan anti. Hoa Ban-lau juga tidak setuju."
"Apa sebabnya?" tanya Thi-koh pula, yang ditanyainya sekali ini ialah Hoa Ban-
lau. Tokoh tunanetra itu tampak ragu, tuturnya kemudian dengan perlahan, "Waktu itu
bukan maksudku mencurigai dia, aku cuma merasa dia terlalu berdekatan dengan
Koh-siong Kisu dan sukar menyimpan rahasia terhadap Koh-siong."
"Kau pun menyangsikan ketulusan Koh-siong Kisu?" tanya Thi-koh Hwesio.
"Ilmu silatnya sangat tinggi, akan tetapi asal-usulnya dan aliran perguruannya
tidak pernah diketahui orang," ucap Hoa Ban-lau.
"Dia seorang petapa, setiap orang tentu mempunyai kisah masa lampau. Tapi dia
tidak ada, seolaholah begitu lahir lantas menjadi pertapa."
Thi-koh termenung, tanyanya kemudian, "Dan sebab apa Ciok Gan anti Bok-tojin?"
"Sebab dia tahu Bok-tojin tidak secara sukarela menyerahkan kedudukannya kepada
Bwe-cinjin," tutur Siau-hong. "Apakah dia juga serupa Ciok Ho, karena berbuat sesuatu yang melanggar paraturan
agama dan perguruan, maka terpaksa menyerahkan kedudukannya?"
"Ya, kukira begitu," kata Siau-hong. "Memangnya apa yang telah diperbuatnya?"
tanya Thi-koh dengan kening bekernyit.
"Entah, Ciok Gan tidak mau menerangkan," ucap Siau-hong.
Kebusukan keluarga sendiri tak boleh disiarkan kepada orang luar, betapapun Bok-
tojin adalah paman gurunya, sesepuh Bu-tong-pay yang masih hidup, dengan
sendirinya Ciok Gan tidak mau nama perguruan sendiri tercemar.
Koh-tojin dari Pah-san tidak tahan, tanyanya, "Sesungguhnya dahulu Bok-tojin
pernah melakukan perbuatan apa yang melanggar peraturan agama?"
"Dia tidak saja kawin di luar, bahkan juga melahirkan anak," tutur Siau-hong.
Seketika Thi-koh menarik muka, "Omongan iseng orang tidak boleh sembarangan
dipercaya, apalagi kata-kata yang menyangkut nama baik orang, terlebih tidak
boleh dipercaya dan juga jangan sembarangan diucapkan."
Siau-hong mengiakan. Tiba-tiba Sukong Ti-seng menyela pula, "Tapi kalau dia berani berucap, tentu dia
mempunyai dasar yang meyakinkan."
"Tidak boleh cuma yakin saja, tapi bukti nyata," kata Thi-koh.
Dan Liok Siau-hong tidak memegang bukti.
Menurut analisanya, biarpun Thi-koh Taysu juga tidak bisa tidak mengakui
kebenarannya. Bahwa Sim Sam-nio adalah isteri Yap Leng-hong, tapi Sim Sam-nio melahirkan anak
bagi Lau-to-pacu, mestinya Sim Sam-nio berdosa kepada Yap Leng-hong dan bukan
terhadap Lau-to-pacu, tapi mengapa Lau-to-pacu justru benci padanya bahkan
membunuh Yap Leng-hong"
Sebabnya Lau-to-pacu ialah Bok-tojin dan Bok-tojin adalah piauko atau kakak
misan Sim Sam-nio atau juga suaminya yang sesungguhnya.
"Waktu itu Bok-tojin masih muda dan kuat, Sim Sam-nio juga cantik remaja di
depan Thi-koh Taysu cara bercerita Liok Siau-hong tidak berani terlalu blak-
blakan, namun maknanya cukup jelas.
Tidak perlu disangsikan lagi, ada hubugan gelap di antara kedua saudara misan
berlainan jenis kelamin itu, apa mau dikata, wak tu itu Bok-tojin sudah
merupakan murid Bu-tong-pay yang menonjol, dengan sendirinya tidak dapat menjadi
suami-isteri dengan Sim Sam-nio secara resmi, sebab itulah dia menggunakan akal
'pinjam sewa', dibiarkan Sim Sum-nio secara resmi jadi isteri Yap Leng-hong,
dibiarkan Yap Leng-hong menjadi ayah bagi anaknya." _
"Mengapa pilihannya jatuh atas diri Yap Leng-hong?"
"Sebab Yap Leng-hong juga pernah belajar ilmu pedang di Bu-tong-san, bahkan Bok-
tojin sendiri yang mengajarnya, demi gurunya sendiri, yang menjadi murid rela
berkorban." Tapi kemudian Bok-tojin bertambah tua, sepanjang tahun lebih sering mengembara,
Sim Sam-nio tidak tahan hidup kesepian, dari pura-pura menjadi sungguhan, dia
mengadakan hubungan gelap dengan Yap Leng-hong.
Waktu Bok-tojin mengetahui isterinya melahirkan anak lagi, yang seharusnya tidak
ada dengan sendirinya lantas diketahui hubungan Sim Sam-nio dengan Yap Leng-
hong, keruan dia dendam. Tapi dia terlebih dendam kepada. Bu-tong-pay, sebab muridnya, yaitu Ciok Ho,
juga mengalami nasib yang sama seperti dia dan terpaksa menyerahkan kedudukan
ketua kepada saudara seperguruan yang lain.
Mestinya dia menaruh harapan atas diri Ciok Ho, sekarang semua harapan itu
sirna, terpaksa dia menempuh jalan lain.
'Balas dendam' dan 'kekuasaan', dua macam hal ini memang sangat besar
kekuatannya, salah satu di anlaranya sudah cukup membuat orang menyerempet
bahaya dan bertindak tanpa mengenal cara.
"Akan tetapi inipun belum dapat membuktikan Bok-tojin adalah Lau-to-pacu," kata
Thi-koh. "Aku masih mempunyai bukti lain," tutur Siau-hong.
Pada waktu upacara berlangsung, hanya Bok-tojin saja yang dapat mendekati Ciok
Gan, hanya dia saja yang tahu rahasia tersimpan dalam pedang. Rahasia itu
mungkin sekali mengenai rahasia pribadinya waktu dia terpaksa mengundurkan diri
dari percalonan ketua dahulu, maka rahasia ini harus didapatkan olehnya.
Hanya dia paham terhadap seluk-beluk Bu-tong-pay sendiri, maka dapatlah dia
mengatur jalan mundur yang aman setelah melakukan pembunuhan, bahkan para
kesatria harus ditinggaikan di ruang pendopo sehingga tidak mampu mengejarnya.
Tiang-cing dan Tiang-jing adalah murid langsung anak buahnya, hanya Bok-tojin
sendiri yang dapat menguasai mereka. Pribadi Ciok Ho biasanya juga congkak dan
menyendiri, hanya Bok-tojin saja yang dapat memerintahnya.
Beberapa hal ini meski cuma dugaan saja, tapi sudah cukup untuk dirangkai
menjadi satu garis yang lengkap. Apalagi pada Liok Siau-hong masih terpegang
satu segi yang penting, yaitu mengenai Koh Hui-hun, meski sebelumnya sudah
diketahui Piauko bukan Koh Hui-hun, tapi sejauh itu belum lagi diketahui asal-
usulnya. "Dan sekarang sudah kau ketahui asal-usulnya?" tanya Thi-koh.
Siau-hong mengangguk, "Ya, Piauko ialah Koh-siong Kisu."
Keterangan ini kembali membuat semua orang terkejut.
"Akhir-akhir ini Bok-tojin dan Koh-siong Kisu selalu berada bersama tanpa
terpisahkan, sering mengembara bersama, bahkan jejaknya sukar diraba, sebab
mereka sering-sering perlu pulang ke Yu-leng-san-ceng," demikian tutur Siau-hong
pula.

Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pertemuan besar di Bu-tong-san kali ini, semua orang menduga Koh-siong pasti
akan hadir, tapi dia justru tidak muncul," kata Koh-tojin.
"Hal ini disebabkan dia telah kukurung di Hang bawah tanah di perkampungan
keluarga Yap," ujar Siau-hong.
"Apakah dapat kau buktikan dia ialah Koh-siong Kisu?" tanya Thi-koh Hwesio.
"Pernah kulihat cara turun tangannya, ilmu pedangnya sangat tinggi, juga sangat
luas pengetahuannya, kulihat ilmu pedangnya sangat mirip dengan ilmu pedang Koh-
siong, perawakan dan bentuk wajahnya juga sangat mirip, jika ditambah lagi
sedikit jenggot dan beberapa utas rambut uban, maka tiada ubahnya lagi dengan
Koh-siong Kisu." "Pantas selalu kurasakan lagak lagu Koh-siong Kisu agak tidak beres, kiranya dia
tidak berani memperlihatkan wajah aslinya terhadap orang lain," sela Sukong Ti-
sing. Thi-koh termenung, katanya tiba-tiba, "Masih ada sesuatu ciri lagi."
"Ciri apa?" tanya Siau-hong.
"Jika Bok-tojin betul-betul Lau-to-pacu mengapa tidak bergabung dengan kalian di
Boan-jui-lau menurut perjanjian?"
"Hal ini disebabkan dia mengetahui urusan sudah ada perubahan," kata Siau-hong.
"Sudah ada orang membocorkan rahasia kita."
"Siapa yang membocorkan rahasia kita," tanya Thi-koh.
"Dengan sendirinya orang tak dikenal yang muncul mendadak itu," jawab Siau-hong
dengan tersenyum. Orang yang tak dikenal dan muncul mendadak dengan sendirinya ialah si kakek
tinggi besar itu. "Urusan ini mestinya tak boleh diketahui oleh orang kesebelas, mengapa kalian
membawa satu orang lebih?" tanya Siau-hong pula.
"Kau tahu siapa dia?" Koh-tojin balas bertanya. Siau-hong tidak tahu.
Maka Koh-tojin menyambung, "Apakah kau tahu ada seorang Susiokku, dia adalah
kepala suku turun-temurun di perbatasan Hun-lam, kepala suku Miau."
Mendadak Liok Siau-hong melonjak bangun, "Hah, maksudmu Liong Beng, Liong Hui-
say?" Koh-tojin tersenyum, "Dia tidak pernah datang ke Tionggoan sini, pantas engkau
tidak kenal dia." "Kalian juga membiarkan dia ikut dalam gerakan rahasia ini?" tanya Siau-hong.
"Dia merajai daerah perbatasan sana, kedudukannya agung, hidup berjaya dan
dipuja, sukar dilandingi orang Kangouw biasa, masa kau kira dia dapat menjual
kita dan membocorkan rahasia kita?" kata Koh-tojin pula.
Seketika Liok Siau-hong bungkam. Akan tetapi segera teringat olehnya siapakah
orang ini, juga teringat sebab apa dirinya selalu merasa pernah kenal orang ini.
Mendadak ia merasa mulut sendiri terasa kecut dan getir, seperti habis makan
sekuali daging busuk. "Sekarang kita cuma ada satu jalan untuk membuktikan apakah dugaanmu tepat atau
tidak?" kata Thi-koh Hwesio.
"Jalan apa?" tanya Koh tojin.
"Minta Ciok Gan menceritakan rahasia yang tersimpan di dalam tangkai pedangnya."
Semua orang setuju. Jika Bok-tojin menyerahkan haknya kepada Sutenya adalah
karena hubungan gelapnya dengan Sim Sam-nio, ini membuktikan bahwa dia memang
Lau-to-pacu adanya. "Meski Ciok Gan tidak suka membocorkan rahasia tokoh angkatan tua perguruan
sendiri, tapi dalam keadaan begini, mau tak mau harus diceritakannya," ujar Thi-
koh. "Apakah dia sudah pulang ke Bu-tong-san?" tanya Siau-hong.
"Sebelum fajar dia sudah berangkat pulang," tutur Thi-koh.
"Saat ini apakah Bok-tojin juga berada di Bu-tong-san?" tanya Siau-hong pula.
"Kami pun kuatir mungkin ada orang akan bertindak padanya, maka sengaja kuminta
Ong Cap-te mengiringi dia pulang ke sana."
"Jika begitu, kita harus lekas menyusul ke Bu-tong untuk mencari keterangan
sejelasnya," kata Koh-tojin.
Tiba-tiba Siau-hong menghela napas, gumamnya, "Kuharap keberangkatan kita
sekarang belum lagi terlambat."
"Tapi sudah terlambat," mendadak seorang menanggapi di luar.
Bagian 6 - Tamat Tertampak Ong Cap-te telah muncul.
Sesudah berduduk dan mengusap keringatnya dan mengembus napas, perlahan barulah
Ong Cap-te bertutur, "Pejabat ketua Bu-tong yang ke-13, Ciok Gan, sudah wafat
pada sebelum lohor tanggal 14
bulan empat dalam usia 47."
Hati semua orang sama tenggelam, tidak ada yang bergerak dan tidak ada yang
bersuara. Selang agak lama baru ada yang bertanya, "Cara bagaimana kematiannya?"
"Dia mengidap penyakit maut yang sangat berat," tutur Ong Cap-te.
"Penyakit apa?" tanya Thi-koh Hwesio. "Penyakit radang hati (kanker), dengan
sendirinya Bok-tojin sudah memeriksanya dan diketahui hidup Ciok Gan takkan
lebih seratus hari lagi."
"Bok-tojin pernah memeriksa penyakitnya?" Siau-hong terkesiap.
"Ilmu pertabiban Bok-tojin cukup tinggi. aku pun rada paham ilmu pengobatan,"
ujar Ong Cap-te. "Menurut pendapatmu, dia benar-benar wafat karena penyakitnya itu?"
"Tidak perlu disangsikan lagi," sahut Ong Cap-te. Perlahan Siau-hong berduduk
kembali, berdiri pun terasa sangat berat.
Air muka Thi-koh Hwesio kelihatan prihatin, ucapnya, "Adakah dia meninggalkan
pesan dan menunjuk ahli waris?"
"Semula semua orang juga mengira dia pasti meninggalkan surat wasiat, tapi tidak
dapat diketemukan," jawab Ong Cap-te.
Air muka Thi-koh bertambah kelam. Ia cukup tahu tata tertib rumah tangga Bu-
tong-pay, bilamana pejabat ketua wafat karena sesuatu sebab tak terduga tanpa
meninggalkan surat wasiat, maka kedudukan ketua akan dijabat oleh tokoh paling
terhormat dan tertua dalam perguruan.
Dan sekarang tokoh Bu-tong-pay yang paling terhormat jelas. Bok-tojin.
Thi koh menghela napas, "Tak tersangka 30 tahun kemudian dia tetap menjabat
ketua Bu-tong-pay." "Mungkin hal ini sudah lama diduganya," ucap Siau-hong dengan tersenyum getir.
Semua orang sama maklum, sekarang bila tidak ada bukti nyata, jelas lebih-lebih
tak dapat mengganggu gugat lagi terhadap Bok-tojin. Pejabat ketua Bu-tong-pay
tentu saja tidak boleh sembarangan dinista orang.
Sekarang mereka benar-benar tidak punya sesuatu bukti, umpama betul Bok-tojin
adalah Lau-to-pacu juga mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Ong Cap-te berucap pula dengan berduka, "Meski Ciok Gan sendiri menyadari
ajalnya sudah dekat, tapi juga tidak menyangka akan mati mendadak begini."
"Masakah tiada satu patah kata pesan terakhir waktu dia meninggal?" tanya Siau-
hong. "Dia cuma mengucapkan satu kalimat,"jawab Ong Cap-le.
"Apa yang dikatakannya?" tanya Siau-hong.
"Dia minta kuberitahukan padamu bahwa dugaanmu memang tidak salah."
Serentak Liok Siau-hong bcrdiri, tapi perlahan duduk kembali, gumamnya, "Tidak
berguna lagi, biarpun dugaanku tidak keliru juga tidak berguna lagi."
Dia pernah tanya Ciok Gan apakah dahulu Bok-tojin terpaksa menarik diri dari
pencalonan pejabat ketua berhubung ada skandal pribadi, waktu itu Ciok Gan tidak
mau menjawab. Sekarang dia mau menjawab, tapi sudah terlambat.
Rahasia yang tersimpan di dalam tangkai pedang tidak perlu diragukan lagi,
sekarang pasti sudah jatuh di tangan Bok tojin, mereka tidak mampu
memperlihatkan sesuatu bukti lagi.
"Meski dugaanmu tidak keliru, tapi engkau masih berbuat keliru," kata Thi-koh
pula. "Keliru apa?" tanya Siau-hong.
"Jika kau tahu ada orang bermaksud merebut pedangnya, mestinya tidak boleh kau
biarkan Ciok Gan menyimpan rahasia itu pada tangkai pedangnya.
"Kita bertindak demikian hanya untuk memancing dia ke Boan-jui-lau menurut
perjanjian, dengan begitu baru dapat kita bongkar kedoknya di sana, bila rahasia
dalam tangkai pedang itu orisinil, hal ini tentu akan diketahuinya dan
menimbulkan rasa curiganya.
Dia menghela napas menyesal, lalu menyambung, "Tentu saja waktu itu kita tidak
menyangka urusan ini akan bocor dan mendadak dia berubah pikiran."
"Peduli siapa dia, yang jelas dia memang seorang yang hebat," ujar Thi-koh
dengan gegetun. "Walaupun rencananya gagal total, tapi sampai detik terakhir dia belum lagi
kalah." Semua orang berduduk dengan diam dan lesu. Meski rapi dan rapat rencana mereka,
tak tersangka akhirnya tetap terjadi kericuhan.
"Apakah sekarang kita benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa padanya?" tanya
Koh-tojin. Siau-hong termenung sejenak, ucapnya kemudian, "Bisa jadi dapat kutemukan satu-
dua akal." "Akal apa?" tanya Koh-tojin.
"Bukankah sekarang Susiokmu juga berada di Bu-tong-san?" tanya Siau-hong tiba-
tiba. "Tidak," jawab Koh-tojin.
"Kau tahu saat ini dia berada dimana?"
"Kutahu majikan Coan-hok-lau (nama restoran) adalah bekas anak buahnya, maka
hari ini sengaja memotong seekor sapi dan mengundang Susiok makan sepuasnya, hal
ini biasanya tidak disia-siakan oleh Susiok."
Seketika mata Siau-hong mencorong terang, "Dia gemar makan daging?"
"Gemar sekali, pada hakikatnya tidak boleh satu hari tanpa makan daging."
"Makannya banyak tidak?" "Banyak sekali."
Siang hari, pada pintu Coan-hok-au tertempel sepotong kertas merah
pemberitahuan,"Ada tamu agung,istirahat satu hari".
Meski istirahat, tapi pintu restoran tidak tertutup. Maka begitu masuk ke situ
segera terlihat Liong Beng. Liong Hui-sayyang tinggi besar dan gagah perkasa
itu. Di tengah ruangan tiga meja direntet menjadi satu, di atas mea tertaruh satu
kuali besar daging rebus.
Caranya makan daging tidak suka diiris kecil-kecil dan diberi bumbu segala, dia
suka melalapnya dengan potongan besar.
Ruangan makan sebesar itu hanya ditunggu seorang pelayan saja, sampai majikan
restoran juga tidak ada. Waktu makan daging,
Liong Beng tidak suka diganggu orang, juga tidak suka bicara. Akan tetapi dia
tidak menyuruh orang merintangi masuknya Liok Siau-hong.
Dengan langkah lebar Siau-hong menuju ke tengah, ia ambil sebuah kursi dan
berduduk di depan orang, lalu menyapa sambil terawa, "Engkau baik-baik saja?"
"Baik," jawab Liong Beng.
"Kukenal kau," kata Siau-hong pula.
"Aku pun kenal kau, Liok Siau-hong bukan?"
"Tapi aku tidak kenal Liong Beng, aku cuma kenal dirimu."
"Apakah diriku bukan Liong Beng?"
"Engkau memang Liong Beng, kepala suku Liong Hut-say, apakah bukan lagi Ciangkun
yang gemar makan daging?"
Liong Beng tidak tertawa lagi, terpancar cahaya tajam dari matanya, ia melototi
Liok Siau-hong. "Ciangkun ternyata tidak mati, Ciangkun masih tetap makan daging," kata Siau-
hong pula. "Daging enak dimakan," kata Liong Beng.
"Jika Kian-long-kun dapat menyamarkan dirimu menjadi serupa Ciangkun, dengan
sendirinya juga dapat menyamarkan orang lain menjadi begitu, apalagi kalau orang
mati, bentuknya kan tidak banyak berbeda."
"Mengapa Ciangkun bisa mati?" tanya Liong Beng.
"Sebab kudatang di sana."
"Kau datang dan Ciangkun lantas mati?"
"Urusan Ciangkun sangat penting, kecuali Lau-to-pacu, orang lain tidak boleh
mengetahui wajah aslinya, jika mati lebih cepat kan juga lebih aman."
"Betul, orang mati memang paling aman, siapa pun takkan memperhatikan orang
mati." "Cuma sayang, akhir-akhir ini orang mati sering-sering hidup kembali."
Liok Beng menyendok segayung daging, tiba-tiba ia bertanya, "Kau makan daging?"
"Makan," jawab Siau-hong.
"Makan banyak" "Banyak."
"Baik, mari makan!" lebih dulu Liong Beng makan sendiri segayung daging, lalu
mengangsurkan gayung kepada Liok Siau-hong dan berkata, "Lekas makan yang
banyak, daging enak!"
Siau-hong juga menyendok segayung, katanya, "Daging memang lezat, cuma sayang
terkadang benar-benar bisa membikin orang mati."
"Ciangkun makan daging, kau pun makan daging, semuanya makan daging, tapi yang
makan daging belum pasti Ciangkun adanya."
Siau-hong mengakui kebenaran ucapan itu.
Mendadak mata Liong Beng menampilkan senyuman misteriusnya, dengan suara
tertahan ia mendesis, "Maka selamanya engkau tak dapat membuktikan bahwa aku
inilah Ciangkun." Ia bergelak tertawa dan menambahkan pula, "Dan kau hanya makan daging saja."
Siau-hong ingin tertawa, tapi tidak dapat. Rasa daging memang empuk dan sedap,
tapi baru makan setitik, seketika air mukanya berubah.
Liong Beng tertawa, "Caramu makan hari irii tampaknya tidak cepat, juga tidak
banyak." "Kau sendiri sudah makan banyak?" tanya Siau-hong. "Sangat banyak," jawab Liong
Beng. "Dan sekali ini mungkin benar-benar akan menghendaki nyawa."
"Nyawa siapa?" tanya Liong Beng.
"Nyawamu," begitu bicara demikian, serentak Siau-hong menahan meja terus
melayang ke seberang, secepat kilat ia hendak menutuk Hiat-to di sekitar jantung
Liong Beng. Cuma sayang ia lupa di tengah meja masih ada satu kuali daging. Gerakan Liong
Beng alias Ciangkun juga sangat cepat, mendadak ia dorong kuali itu, kuah daging
panas berhamburan. Terpaksa Siau-hong menghindar dan berteriak, "Duduk saja, jangan bergerak."
Dengan sendirinya Liong Beng tidak mau menurut, mendadak ia melompat bangun dan
melayang keluar. Gerakannya sangat cepat dan. sangat keras. Karena itulah racun
yang mengeram di dalam perutnya mendadak bekerja dan menyerang jantungnya.
"Di dalam daging ada racun, bila bergerak segera tidak lanjut ucapan Siau-hong,
sebab Ciangkun lantas roboh terkapar dan tidak terdengar lagi ucapannya.
Daging dalam kuali itu benar-benar telah membuat melayang jiwanya. Pada waktu
roboh, mukanya telah berubah hitam dan binasa.
Siapakah yang memasak sekuali daging ini" Dimanakah majikan restoran ini"
Pelayan yang berdiri jauh di sana sampai terkesima ketakutan. Segera Siau-hong
menjambret leher bajunya dan membentak, "A tar aku pergi ke dapur."
Yang masak daging itu seharusnya berada di dapur. Namun di dapur hanya ada
daging dan tidak ada orang.
Di atas tungku masih ada sekuali daging rebus, kuali besar, serupa kuali di
dapur Bu-tong-san, daging sekuali penuh tampaknya belum lagi masak benar.
Air muka Siau-hong berubah pula, ia tidak tahan dan tumpah-tumpah. Tiba-tiba
terbayang olehnya, daging dalam kuali itu mungkinkah daging manusia"
Sekarang yang bisa menjadi saksi bagi Liok Siau-hong mungkin sekali tersisa
seorang saja. Apakah dia Piauko atau Koh-siong juga boleh, yang diharapkan Liok Siau-hong
adalah orang yang akan dilihatnya nanti masih hidup.
Sekarang berada dimanakah orang itu" Untung cuma Siau-hong sendiri yang tahu.
Liang di bawah tanah di perkampungan keluarga Yap dengan sendirinya tidak mutlak
suatu tempat yang aman, sebelumnya dia sudah mengantar tawanannya di suatu
tempat rahasia yang tak terpikirkan oleh siapa pun.
Permainan sudah hampir berakhir, dengan sendirinya dia harus menyimpan rahasia
bagi kepentingan sendiri.
Senja di permulaan musim semi, cahaya sang surya masih gilang gemilang, perlahan
Siau-hong menyusuri jalan raya, seperti tidak ada tempat tujuan.
Kedua sisi jalan raya terdapat macam-macam orang, ia dapat melihat mereka dan
mereka juga melihat dia, tetapi dia tidak tahu di antara mereka ada berapa orang
yang sedang mengintainya secara diam-diam.
Pada ujung jalan raya sana tiba-tiba berlari datang sebuah kereta kuda dengan
cepat dan hampir saja menubruk Liok Siau-hong, sekilas dari dalam jendela kereta
seperti melongok sebuah kepala dan memandangnya sekejap, kelihatan sepasang mata
yang terang. Jika dia boleh memandangnya dengan cermat, dia pasti dapat mengenali orang itu.
Cuma sayang ketika dia hendak memandangnya, kereta itu sudah lewal. Mata yang
terang itu membuat perasaan Siau-hong tidak tenteram, aneh juga, lirikan seorang


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak dikenal mengapa dapat membuatnya waswas. Mungkinkah orang itu memang
tidak asing lagi baginya"
Sedapatnya ia tidak memikirkan hal ini, pada ujung jalan ia membeli dua biji
apel pada penjual buah di tepi jalan, sebuah diberikan kepada seorang anak kecil
yang termenung di samping penjual buah, apel yang lain digerogotinya sembari
berjalan. Yang dipikirnya sekarang adalah menemukan titik kelemahan Bok-tojin, apakah Bok-
tojin juga bermaksud membunuhnya"
Daging yang hampir merenggut nyawanya tadi mesti cuma dimakannya sedikit dan
segera tertumpah, tapi sampai sekarang perut masih terasa tidak enak. Untung
kadar racun dalam daging tidak keras, jika keras, racunnya tentu lebih cepat
ketahuan. Sebenarnya Liong Beng bukan seorang yang lamban reaksinya, soalnya daging yang
dimakannya sudah terlampau banyak.
Jika Siau-hong tadi makan daging lebih banyak, tentu Bok-tojin tidak perlu
menguatirkan apa-apa lagi. Siau-hong sendiri juga tidak perlu pusing pula.
Orang yang melongok dari jendela kereta tadi seperti seorang perempuan, mulut
kuda penarik kereta tampak berbuih tebal, tampaknya terlalu jauh menempuh
perjalanan dan berlari kencang pula. Siapakah dia" Datang darimana"
Sedapatnya Siau-hong tidak mau memikirkan urusan ini, tapi justru sukar
dilupakan. Timbul semacam firasat yang aneh, terasa orang itu sangat penting baginya.
Padahal orang yang paling penting baginya bukanlah si dia melainkan Koh-siong
Kisu alias Piauko. Tempo hari, pada waktu lampu padam, Siau-hong sendiri yang membekuknya, juga Hay
Ki-koat dan Ko Tiu, mereka dikurungnya di Hang bawah tanah belakang
perkampungan. Semua orang yang datang dari Yu-leng-san-ceng kini sudah terkurung
di sana. Sejak hari pertama meninggalkan gunung, segera Siau-hong menyerahkan lukisan
wajah orang-orang itu kepada si pelayan pawang anjing, serentak orang di 'sarang
elang' terpencar dan bergerak sehingga orang-orang itu terjaring seluruhnya.
Lalu Kian-long-kun, Sukong Ti-sing dan Ong Cap-te merias kawan sendiri menjadi
serupa mereka. Liok Siau-hong tidak begitu mempedulikan mati hidup mereka, toh mereka pasti
tidak tahu siapa Lau-to-pacu sesungguhnya, mereka kan orang-orang yang
seharusnya sudah lama mati"
Tapi bagaimana dengan 'Piauko' alias Koh-siong Kisu" Kemana Siau-hong
menyembunyikan Piauko dan dengan cara bagaimana membawanya pergi" Rasanya dia
tidak ada kesempatan membawa pergi seorang hidup.
Tanpa terasa Siau-hong tertawa terhadap dirinya sendiri. Sesudah menembus sebuah
gang, ia tiba kembali di rumah penginapan sendiri. Yaitu hotel yang ditempatinya
pada waktu mereka baru datang tanggal 11 yang lalu.
Sesudah menurunkan muatan dan membereskan kereta, lalu mereka pergi minum arak,
pada waktu minum arak baru bertemu dengan 'keponakan perempuannya' dan akhirnya
sampai di Boan-jui-lau, Kereta dan rangselnya masih tertinggal di hotel, kuli
yang disewanya di tengah jalan malahan sedang menunggu pembayaran upah dari dia.
Agaknya dia sudah melupakan hal ini, seperti baru sekarang teringat. Cepat ia
membayar upah rnereka dan diberi ekstra upah pula. Tapi lantas dirasakan agak
penasaran, segera ia suruh kusir memasang kereta dan berkata, "Cuaca hari ini
sangat cerah, kuingin pesiar keliling kota, hendaknya kau bawa diriku berputar-
kayun, nanti kutraktir kau minum arak."
Cuaca memang cerah, manusia pengendara kereta dan kuda penarik kereta sudah
cukup beristirahat, maka cara bekerjanya juga cukup bersemangat.
Tempat ini bukan saja merupakan jalan yang harus dilalui bilamana mau pergi ke
Bu-tong-san, juga kota yang terdekat dengan pegunungan Bu-tong. Setelah keluar
dari kota, pemandangan pegunungan yang hijau permai lantas terpampang di depan
mata. Di samping hutan di kaki gunung mereka berhenti, baru sekarang Siau-hong ingat
terlupa membawa arak. "Tadi sudah kujanjikan mentraktir kau minum arak," kata Siau-hong sambil memberi
uang kepada si kusir, "Nah, belikan arak, beli arak yang banyak, sisanya
unlukmu." Dengan sendirinya jarak tempat ini dengan tempat penjual arak tidak dekat, tapi
mengingat uang yang diterimanya, kusir itu tetap berangkat dengan gembira.
Saat itu sudah dekat magrib, cahaya senja sangat indah, pegunungan ternama
pusatnya agama To itu tampak sangat permai. Cuma di sekitar sini tidak ada jalan
menuju ka atas gunung, cukup jauh pula jaraknya dengan tempat pesiar dan kuil
indah di atas gunung. Maka ke arah mana pun memandang, tidak kelihatan seorang
pun. Mendadak Siau-hong menyusup ke bawah jok kereta. Padahal di bawah situ tidak ada
apa-apa, untuk apa dia menyusup ke situ" Apakah mau tidur"
Namun dia tidak memejamkan mata, malahan seperti lagi bergumam, "Hanya kelaparan
dua-tiga hari saja tSkkan mati kelaparan, apalagi kaum pertapa biasanya juga
tidak makan terlalu banyak."
Tapi rasanya dia juga bukan lagi bergumam, apakah di bawah kereta itu masih ada
orang lain" Siau-hong ketuk-ketuk papan dasar kereta, dari suaranya dapat diketahui di bawah
adalah kosong, jelas masih ada satu lapis rahasia, jika di situ disembunyikan
satu orang memang bukan pekerjaan sulit.
Tempo hari, waktu berada di perkampungan keluarga Yap, sebelum Liu Jing-jing
bangun tidur dan orang lain sibuk menyamar, diam-diam Siau-hong telah
menyembunyikan 'Piauko' ke bawah kereta ini.
Seorang setelah ditutuk Hiat-to kelumpuhannya dan dikurung di bawah kereta,
meski suatu perlakuan sadis, tapi Siau-hong menganggap ada sementara orang
memang pantas mendapatkan sedikit siksaan semacam ini.
"Meski sekarang kau sedikit tersiksa, tapi asalkan kau mau membantu diriku,
kujamin takkan membikin susah lagi padamu, engkau tetap dapat menjadi pertapa
yang baik. Dia melepaskan papan pemisah, segera seorang menggelinding jatuh. Seorang hidup,
tanpa diperiksa juga kelihatan seorang hidup, sebab pada waktu dia jatuh ke
bawah, sekujur badannya sama bergerak.
Setelah orang ini jatuh keluar, menyusul lantas jatuh keluar lagi satu orang dan
satu lagi. Padahal jelas-jalas Liok Siau-hong hanya menyembunyikan satu orang di sini,
mengapa sekarang bisa berubah menjadi tiga orang. Tiga orang hidup dan dapat
bergerak, bahkan bergerak sangat cepat dan banyak sekali perubahannya.
Bagian bawah kereta memang tidak luas, sendirian saja kurang bebas, apalagi
sekaligus bertambah lagi tiga orang. Seketika Siau-hong terdesak hingga tidak
dapat bergerak. Sebaliknya ketiga orang itu serentak berubah seperti ikan cumi-
cumi, semuanya menindih di atas tubuh Siau-hong dan menggelutinya beramai-ramai,
lima buah tangan serentak menutuk Hiat-tonya.
Aneh juga, mengapa tiga orang hanya ada lima tangan" Apakah satu di antaranya
cuma bertangan satu" Apakah orang yang bertangan satu ini Hay Ki-koat"
Belum lagi Liok Siau-hong sempat melihat jelas muka mereka, tahu-tahu dia sudah
terangkat oleh mereka dan dibanting ke pojok kabin kereta dan tak bisa berkutik
lagi. Terdengar suara ringkik kuda di luar sana sedang membedal cepat ke depan.
Ketiga orang itu telah berduduk dan memandang Liok Siau-hong dengan dingin,
seorang jelas Ko Tiu, seorang lagi Hay Ki-koat, tapi orang ketiga bukan Piauko
melainkan Toh Thi-sim. Padahal di bawah kareta hanya bersembunyi Piauko seorang, sekarang dia justru
menghilang" Kemana perginya" Lantas cara bagaimana ketiga orang ini bisa berada di situ"
Siapa pula yang mengendarai kereta di depan itu" Apakah si kusir yang disuruh
pergi beli arak tadi"
Mendadak Siau-hong tertawa, ingin bicara, tapi tak dapat, Tutukan mereka cukup
keras, jangankah bicara, tertawa saja sukar bersuara.
Jelas mereka tidak ingin mendengar bicaranya, juga tidak suka melihat
tertawanya, tapi bilamana mereka menghendaki dia bicara, mau tak mau dia harus
bicara. Tangan Toh Thi-Sim direntang lalu digenggam pula sehingga ruas jarinya
mengeluarkan suara keriat-keriut, tangan yang tidak kenal ampun.
Ko Tiu memandangi tangan rekannya, tiba-tiba ia bertanya, "Sudah berapa tahun
kau jadi Hing-tong-tongcu (kepala seksi hukum)?"
"Sembilan belas tahun," jawab Toh Thi-sim. "Di bawah tanganmu ini adakah orang
yang berani tidak bicara sejujurnya?" tanya Koh Tiu pula. "Tidak ada," kata Toh
Thi-sim. "Konon banyak kesempatanmu untuk menjadi pemimpin besar, mengapa tidak kau
lakukan?" "Sebab seksi hukum terlebih menarik bagiku." "Kau suka melihat orang lain
tersiksa?" "Betul."
Ko Tiu tertawa, Hay Ki-koat juga tertawa, suara tertawa ke duanya serupa suara
logam digosok membuat orang merasa ngilu.
"Sungguh aku sangat ingin melihat kemahirannya masa 1ampau," ujar Hay Ki-koat
dengan tertawa. "Selekasnya akan dapat kau lihat," kata Ko Tiu.
"Apakah ruang pemeriksaan sudah siap?"
Ko Tiu mengangguk, "Jangan kuatir, caranya memeriksa pesakitan pasti sangaj
menarik dan khas." Siau-hong memejamkan mata, kalau bisa ia pun ingin menutup telinganya. Sungguh
tidak mengenakkan percakapan mereka itu, tapi justru bukan omong kosong belaka.
Tahu-tahu di luar kereta sudah berubah gelap gulita, cahaya rembulan dan kerlip
bintang pun tidak kelihatan.
Terdengar kumandang suara gemuruh memekak telinga, agaknya kereta kuda itu telah
memasuki sebuah terowongan atau gua, sampai sekian jauhnya barulah berhenti di
dalam gua itu. Ko Tiu menghela napas lega dan berucap, "Sudah sampai!"
"Di sini ruang hukum Lau Toh?" tanya Hay Ki-koat.
KoTiu terkekeh-kekeh, "Inilah istananya raja akhirat."
Mereka lantas menyeret turun Liok Siau-hong, serupa orang meraih sebuah karung
rusak dan diseret begitu saja, sebentar menumbuk pintu kereta lain saat
membentur dinding gua sehingga kepala Liok Siau-hong benjut dan pusing tujuh
keliling, sampai tulang pun hampir patah.
Ko Jiu sengaja berlagak menyesal dan mengomel, "Ai, yang kau seret bukan peti
rusak, mengapa tidak sedikit hati-hati."
"Aku tidak dapat melihat jelas," jawab Hay Ki-koat.
Ucapannya juga tidak salah, di dalam gua ini sungguh gelap gulita, sampai jari
sendiri pun tidak kelihatan.
Makin maju ke depan makin sempit maka kesempatan kepala terbentur lebih keras
akan bertambah banyak. Tapi apa daya, terpaksa Siau-hong cuma meringis saja.
Untung pada saat itu juga dinding di depan berbunyi suara "krek-krek", mendadak
muncul sebuah lubang dan terlihat cahaya. Bukan saja ada cahaya, juga ada meja
dan kursi. Di atas meja terpasang lilin putih yang umumnya digunakan upacara sembayang
kepada orang mati, sudah lebih separoh lilin putih itu terbakar.
Api lilin gemerdep, agaknya angin meniup masuk dari celah-celah gua sana
sehingga merupakan lubang hawa alamiah bagi gua ini.
Seenaknya Hay Ki-koat melemparkan Liok Siau-hong ke depan meja, lalu berucap,
"Ehm sungguh tempat yang baik."
"Seumpama sepuluh ribu orang mencari di sekitar sini hingga tiga tahun tiga
bulan juga sukar menemukan tempat ini," tukas Ko Tiu.
Hay Ki-koat ketuk-ketuk kepala Liok Siau-hong dengan kaitannya dan berkata,
"Jika sukar menemukan tempat ini, siapa yang akan menolongnya?"
"Biarpun dia berteriak minta tolong kepada bapak dan biangnya juga tidak ada
yang mendengar." "Wah. jika begitu, kan dia pasti akan mati?"
"Tapi takkan terlalu cepat matinya."
"Sebab apa?" tanya Hay Ki-koat.
"Sebab akan kubikin dia mati dengan perlahan dan perlahan sekali," sambung Toh
Thi-sim. Hay Ki-koat tertawa, dilihatnya Ko Tiu sedang mengamat-amati bangun tubuh Liok
Siau-hong, ia bertanya pula, "Jika kau disuruh turun tangan padanya, pisaumu
akan mulai memotong dari bagian mana?"
Ko Tiu menepuk tangan Liok Siau-hong dan berkata, "Tentu saja akan kumulai
memotong kedua jarinya."
"Jika aku, pasti akan kucabut dulu alias matanya," kata Hay Ki-koat.
"Kedua alis yang mana?" tanya Ko Tiu. "Dengan sendirinya alis yang tumbuh di
atas bibirnya itu." Begitulah kedua orang itu bercanda dengan gembira ria seolah sedang menghadapi
seekor domba yang akan disembelih.
Biasanya Liok Siau-hong adalah seorang yang sabar dan berpikiran terbuka, namun
perasaannya tekadang serupa seorang yang sudah berada di dalam wajan berminyak
mendidih. Tampaknya dia memang tidak ada harapan lagi, kalau bisa mati dengan cepat sudah
mujur baginya. Siapa tahu, pada saat itulah dalam kegelapan di luar sana tiba-tiba berkumandang
suara orang tertawa dingin.
"Siapa"!" serentak Ko Tiu, Hay Ki-koat dan Toh Thi-sim melompat ke sana.
Ketiga orang tergolong jago kelas tinggi, gerakannya eepat, reaksinya juga
gesit, jarang yang mampu menghadapi kerubutan mereka.
Padahal orang di luar itu seperti cuma sendirian, jadinya orang ini seperti
sengaja mengantar kematian saja.
Begitu menerjang keluar, serentak mereka menggunakan posisi mengepung. Tak
peduli siapa pendatang ini, tidak nanti mereka membiarkannya pergi lagi dengan
hidup. Hay Ki-koat sangat tangkas dan ganas, kaitan pada sebelah tangannya yang buntung
itu juga senjata yang tidak kenal ampun, dengan kaitan siap merobek tubuh lawan
ia mendahului menerjang ke depan.
Dengan tangan siap menyerang To Thi-sim menyusul di belakang rekannya.
Kembali terdengar lagi suara mendengus, dalam kegelapan mendadak sinar pedang
berkelebat secepat kilat disertai suara mendenging nyaring.
Terdengar suara "tring" sekali, kaitan baja menghantam dinding dan memercikkan
lelatu api, sekilas terlihat kaitan baja membawa sepotong tangan kutung.
Menyusul Toh Thi-kim juga roboh terjungkal, darah segar menyembur dari lehernya
serupa air mancur. Menjerit saja tidak sempat, tahu-tahu Hay Ki-koat dan Toh Thi-sim sudah roboh
dan binasa. Sungguh pedang yang cepat. Di bawah berkelebatnya sinar pedang, dalam kegelapan
seperti ada bayangan manusia.
Melihat orang ini, kontan Ko Tiu menyurut mundur setindak demi setindak. Mukanya
berkerut-kerut ketakutan serupa mendadak melihat munculnya setan iblis, setelah
mundur beberapa langkah, mendadak ia jatuh terkulai, air mata, ingus, ludah, air
kencing dan kotoran perut semuanya mengalir keluar. Nyata dia telah mati
ketakutan. Siapakah yang dapat membuatnya ketakutan sehebat ini" Siapakah yang mampu
memainkan pedang secepat ini" Apakah Sebun Jui-soat"
Segera tertampaklah seorang muncul dari kegelapan ....
Yang muncul dari kegelapan adalah seorang berjubah panjang berwarna kelabu dan
mamakai caping bambu serupa tampah.
Pendatang ini ternyata bukan Sebun Jui-soat melainkan Lau-to-pacu.
Seketika Liok Siau-hong merasa dingin seperti kejeblos ke dalam Hang es. Bahwa
dia ingin memegang titik fatal orang ini, dengan sendirinya orang ini juga
menghendaki jiwanya. Akan tetapi suara Lau-to-pacu ternyata sangat halus, dia lantas bertanya malah,
"Adakah mereka memperlakukan kasar padamu?"
Siau-hong hanya menyengir saja. Sesudah diseret dan tertumbuk dinding gua sekian
kali, urat nadinya terasa sudah mulai lancar dan sudah bisa bicara. Tapi dalam
keadaan begini dan di tempat seperti ini, apa pula yang dapat dikatakannya"
"Betapapun tak boleh mereka memperlakukan kasar kepadamu, mereka tidak
setimpal," kata Lau-to-pacu pula.
Siau-hong tidak tahan untuk tidak bicara, "Baru sekarang kutahu, rupanya
sebelumifya sudah kau rencanakan akan membunuh mereka bilamana pekerjaanmu sudah
selesai." Lau-to-pacu tidak menyangkal, "Bunuh sampai habis, seorang pun tidak boleh
tertinggal." "Bisa jadi Hang bawah tanah di Boan-jui-lau itu adalah tempat kubur mereka."
"Liang bawah tanah di perkampungan. keluarga Yap itu juga serupa," tukas Lau-to-
pacu. Siau-hong menghela napas, "Rencanamu ternyata belum gagal sama sekali."
"Kan sudah kukatakan, rencanaku pasti takkan gagal," Lau-to-pacu tertawa.


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terpaksa Liok Siau-hong harus merigaku, tampaknya sekarang, kemenangan terakhir
tetap akan diperolehnya. "Betapapun pemikiranku terlebih rapi daripadamu," kata Lau-to-pacu pula dengan
tersenyum. "Misalnya ada sepuluh lapis benteng pertahananku sudah sembilan lapis kau bobol,
pada akhirnya engkau kehabisan tenaga dan ambruk sendiri."
"Sudah kau perhitungkan aku yakin tidak mampu membongkar wajah aslimu?"
"Di dunia sekarang tiada seorang pun yang dapat menjadi saksi bagimu, siapa yang
mau percaya kepada apa yang kau katakan?"
"Masih ada satu orang," ujar Siau-hong.
"Siapa?" tanya Lau-to
acu. "Kau sendiri," jawab Siau-hong.
Lau-to-pacu terbahak-bahak.
"Hanya kau sendiri tahu apa yang kukatakan memang benar, maka harus kau bunuh
diriku untuk menutup mulutku."
"Dan bagaimana dengan dirimu" Apakah kau sendiri percaya sepenuhnya terhadap
cara berpikirmu?" "Aku Siau-hong merasa ragu.
"Kutahu kau pun tidak percaya sepenuhnya, kecuali kau tanggalkan capingku ini
dan melihat sendiri wajahku yang asli."
Betapapun Siau-hong tidak bisa menyangkal.
"Masih ada hal lain, kau pun keliru," kata Lau-to-pacu pula.
"Hal apa?" tanya Siau-hong.
"Aku tidak ingin membunuhmti."
"Tidak ingin membunuhku?" Siau-hong menegas.
Lau-to-pacu tertawa. "Mengapa kubunuh dirimu" Padahal keadaanmu sekarang apa
bedanya dengan orang mati?"
Dia tersenyum dan tinggal pergi dengan tenang, "Orang yang tidak berharga
kubunuh pasti takkan kubunuh."
"Dan sekarang bolehkah kulihat sesungguhnya siapa engkau?" teriak Siau-hong.
"Tidak boleh," jawab Lau-to-pacu tanpa menoleh.
Sinar lilin gemerdep dan sudah hampir padam.
Lau-to-pacu sudah pergi, dinding raksasa pada lubang masuk itu pun sudah
tertutup rapat. Seumpama Liok Siau-hong dapat bergerak dengan bebas, juga pasti tidak dapat
keluar lagi dengan hidup.
Tempat ini serupa sebuah kaleng yang tertutup rapat, lalat saja tidak sanggup
terbang keluar. "Untuk apa kubunuhmu" Keadaanmu sekarang tiada bedanya dengan orang mati!"
ucapan ini masih tcrngiang di telinga Liok Siau-hong.
Memang tidak ada bedanya, 'kaleng' yang tertutup rapat ini adalah kuburannya.
Cepat atau lambat setiap orang pasti akan masuk kubur, cuma daripada duduk
menunggu kematian di dalam kuburan, kan lebih baik mati saja terlebih cepat.
Celakanya, sebegitu jauh cara untuk mati lebih cepat saja sukar diperolehnya.
Lilin sudah hampir habis terbakar, jiwanya bukankah mirip dengan lilin ini"
Sampai sekarang baru disadarinya ternyata dirinya sendiri bukanlah 'superman'
yang serba sukses dan serba bisa.
Jika sebelum ini dia selalu dapat lolos dari bahaya pada detik yang terakhir,
mungkin semua itu hanya karena 'hokki' saja.
Akan tetapi setelah menghadapi lawan menakutkan seperti Lau-to-paou, hokki
menjadi tidak berguna sama sekali.
"Kutahu kau sendiri pun tidak percaya sepenuhnya kepada pemikiranmu sendiri
terkecuali kau lihat wajahku yang asli", teringal olehnya ucapan Lau-to-pacu
ini. Sekarang dia tak bisa lagi melihatnya untuk selamanya, terpaksa soal ini harus
dibawanya serta ke neraka. Apakah benar dia perlu menuju ke neraka"
Api lilin akhirnya padam, namun dia tetap masih hidup.
Jika berduduk menunggu kematian di dalam kuburan sudah tergolong konyol, duduk
menanti kematian dalam kegelapan terlebih konyol lagi.
Teringat banyak h'al oleh Liok Siau-hong, terkenang pula banyak orang, bahkan
teringat olehnya akan sepasang mata yang indah di balik jendela kereta itu.
Dalam keadaan begini dan tempat ini, mengapa dia terkenang kepadanya" Memangnya
sepasang mata mencorong terang dari seorang perempuan lalu saja ada sangkut-
pautnya dengan sesuatu hal yang misterius"
Tiba-tiba hawa di ruang rahasia ini terasa sumpek. Siau-hong mulai berkeringat,
butiran keringat berjatuhan dari dahinya. Mendadak ia merasakan tangan sendiri
sudah dapat bergerak. "Engkau mempunyai sepasang tangan yang tidak ada bandingannya di dunia, kedua
jarimu itu adalah mestika yang tak ternilai harganya."
Setiap orang bilang demikian. Tapi apa yang dapat dikerjakan oleh kedua jarinya
yang tak ternilai harganya itu sekarang, hanya dapat meraba dan memijat kaki
sendiri, supaya dia lebih sadar dan jangan selalu menganggap awak sendiri luar
biasa. Namun sesudah sadar justru akan tambah menderita. Jika dapat tidur akan jauh
lebih baik. Begitu mendusin dan mengetahui dirinya sudah berada di neraka,
bukankah terlebih menyenangkan"
Namua dia justru tidak dapat tidur.
Menyusul datangnya kegelapan dan rasa sumpek adalah kelelahan, kelaparan dan
kehausan. Kehausan biasanya terasa terlebih menyiksa. Entah sampai kapan baru siksaan
demikian akan berakhir" Mungkin sampai mati!
Tapi bilakah baru akan mati"
Mendadak Siau-hong bernyanyi, lagunya tetap lagu anak-anak yang sering
dinyanyikannya itu. Masa emas anak-anak, kenangan masa lampau yang indah, bahkan penderitaan waktu
dulu kini pun berubah menjadi manis.
Kiranya kehidupan manusia sedemikian berharga, mengapa kebanyakan manusia baru
akan sayang kepada kehidupannya bilamana sudah dekat ajalnya"
Tiba-tiba dalam kegelapan ada suara "brak" yang keras, dinding raksasa itu
mendadak terbalik. Tertampak cahaya lampu, serombongan orang membanjir masuk, di antaranya terdapat
Thi-koh Hwesio, Ong Cap-te, Hoa Ban-lau. Yang berjalan paling depan adalah
seorang Tosu tua berambut putih, jelas dia inilah Bok-tojin.
Menghadapi ajal mendadak mendapat pertolongan, hal ini seharusnya pantas dibuat
girang, tapi mendadak Liok Siau-hong dibanjiri rasa gusar, saking gemasnya
hampir saja ia jatuh kelengar ....
Esoknya, tanggal 15, menjelang petang di ruangan yang sunyi dan tenang, hanya
terkadang terdengar gemerisik daun bambu di luar. Inilah Ting-tiok-siau-wan,
pavilyun mendengarkan suara bambu di Bu-tong-san, tempat sang ketua menerima
tetamu. Tamu agung yang berkunjung sekali ini ialah Liok Siau-hong.
Dia berbaring di tempat tidur tanpa bergerak, sedang memandangi langit-langit
kamar, tiada ubahnya seperti orang mati.
"Kalau saja Bok-cinjin tidak teringat kepada sebuah Hang di belakang gunung,
sekali ini kau pasti mati," yang bicara ini ialah Thi-koh Hwesio. "Tempat itu
biasanya untuk mengurung anak murid Bu-tong-pay yang berbuat salah, sekarang
tertib perguruan mereka tidak sekeras dahulu, tempat itu pun jarang didatangi
orang. Sekali ini boleh dikatakan masih mujur."
Mujur" Persetan! Tambah mendongkol Siau-hong mendengar ucapan tersebut.
"Tapi kau pun tidak boleh seluruhnya berterima kasih kepada kemujuran, yang
membawa kami ke sana mencari dirimu adalah Bok-cinjin."
Samar-samar makna yang dikemukakan paderi agung Siau-lim-si ini, tapi maksudnya
cukup jelas. Nyata dia tidak lagi mencurigai Bok-tojin adalah Lau-to-pacu, sebab: Kalau dia
Lau-to-pacu, kenapa dia membawa kami pergi menolong kau"
Jalan pikiran orang lain dengan sendirinya sama, teori ini serupa dengan 'satu
tambah satu sama dengan dua', cukup sederhana dan cukup gamblang.
Sebab itulah sebutan Bok-tojin lantas berubah menjadi Bok-cinjin (Cinjin adalah
sebutan kepada pendeta To atau Tau yang tinggi ibadatnya).
Namun Liok Siau-hong sendiri cukup mafhum seluk-beluk urusan ini. Ia tahu bila
Bok-tojin membunuhnya, ini berarti semua orang sukar menemukan sesuatu bukti dan
semua orang pasti tetap curiga.
Tapi kalau sekarang dia menyelamatkan Liok Siau-hong, hal ini tidak cuma
membuktikan dia bukan Lau-to-pacu, bahkan dapat mendatangkan rasa terima kasih
dan hormat orang banyak. Terpaksa Liok Siau-hong mengakui hal ini adalah perencanaan yang paling licik
dan paling rapi yang pernah diketahuinya selama ini, Bok-tojin benar-benar lawan
yang paling menakutkan yang pernah dihadapi selama hidupnya.
Tidak perlu disangsikan lagi peristiwa ini pun merupakan kegagalan paling besar
selama hidupnya, sekarang mau tidak mau ia harus mengaku kalah.
Dalam had meski dia sangat jelas duduknya perkara ini, tapi tidak bisa
diceritakannya, sebab biarpun dia bercerita juga takkan dipercaya orang.
Terpaksa dia hanya bertariya satu kalimat saja, "Darimana kalian mengetahui aku
menghadapi bahaya dan terkurung di sini."
"Kami yakin engkau pasti takkan hilang begitu saja tanpa sebab, di belakang kaki
gunung Bu-tong kami menemukan keretamu, di dalam kereta terdapat sepotong
bajumu, leher bajunya robek, juga ada kotoran yang kelihatan bekas bergulat di
atas tanah." Jawaban ini sudah cukup membuktikan dia mengalami bahaya, sebab itulah dia tidak
bertanya pula. Sementara itu senja sudah tiba, di luar tiba-tiba bergema bunyi genta yang
nyaring. "Hari ini adalah upacara Bok-cinjin menjabat ketua Bu-tong secara resmi, apa pun
juga engkau harus hadir untuk mengucapkan selamat," demikian kata Thi-koh
Hwesio. Menyaksikan seorang yang seharusnya mendapatkan hukuman setimpal, tapi sekarang
malah mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, dengan sendirinya kejadian ini
membuat hati Siau-hong tidak enak.
Tapi mau tak mau dia harus hadir. Dia tidak ingin mengelak.
Ia ingin diketahui Bok-tojin bahwa kekalahan yang dialaminya ini meski membuat
hatinya sangat pedih, tapi tidak merobohkan dia.
Meski dia harus mengaku kalah, tapi ia ingin mengaku kalah dengan berdiri tegak
berhadapan di sana. Angin meniup menimbulkan gemersik daun bambu di luar, cuaca sudah mulai gelap.
Di ruangan pendopo sudah terang benderang, Bok-cinjin memakai kopiah emas dan
berpedang tujuh bintang, di bawah cahaya lampu tampaknya bertambah kereng dan
terhormat. Bok-tojin yang dahulu suka mengembara kian kemari dan hidup melarat itu kini
sudah tidak ada lagi. Yang berdiri di sini sekarang ialah Bok-cinjin, pejabat
ketua Bu-tong-pay ke-14 yang tidak boleh diremehkan siapa pun.
Diam-diam Siau-hong memperingatkan dirinya sendiri perlu ingat betul-betul hal
ini. Lalu dia membetulkan pakaiannya dan melangkah ke depan, ia menjura dan
berucap, "Selamat bahagia Totiang menaiki kedudukan terhormat ini, terimalah
salam hormat Liok Siau-hong!"
Bok-cinjin tersenyum sambil memegang sebelah lengannya, "Ah, Liok-tayhiap jangan
banyak adat." Liok Siau-hong juga tersenyum dan berkata pula, "Dengan susah payah akhirnya
tercapailah cita-cita Totiang, sebaliknya Liok Siau-hong tetap Liok Siau-hong
dan bukan Liok-tayhiap segala."
Meski sikapnya ramah dan menghormat, namun ucapannya mengandung sindiran tajam.
Lebih-lebih kata "akhirnya tercapailah cita-cita Totiang".
Nyata Siau-hong ingin Bok-cinjin mengetahui bahwa meski dia sudah kalah, tapi
pasti bukan orang dungu yang tidak tahu apa-apa.
Maka Bok-cinjin berkata lagi dengan tertawa, "Ah, jika Liok Siau-hong masih
tetap Liok Siauhong, tentu Tosu tua juga tetap Tosu tua, kita masih tetap
bersababat, betul tidak?"
Meski sambil tertawa, namun sorot matanya menampilkan sinar tajam juga. Tiba-
tiba Siau-hong merasakan ada semacam arus tenaga yang maha kuat tersalur dari
tangan Bok-tojin. Dalam sekejap ini, pejabat ketua Bu-tong yang terhormat dan diagungkan sudah
tidak ada lagi dan telah berubah pula menjadi Lau-to-pacu yang angkuh, culas
tapi juga cerdik dan gagah perkasa itu.
Dia seperti juga ingin memberitahukan kepada Liok Siau-hong, "Biarpun kau tahu
siapa diriku juga tidak berhalangan, memangnya apa yang dapat kau lakukan atas
diriku?" Kedua tangannya yang memegang lengan Liok Siau-hong dan semula bermaksud
mengangkat bangun tamunya ini mendadak berubah menjadi berat dan berdaya menekan
ke bawah. Daya tekanan kuat ini dapat menimbulkan dua akibat, tulang kedua lengan tertekan
patah atau orangnya tertekan ke bawah dan bertekuk lutut.
Bagi Liok Siau-hong, tulangnya boleh patah seratus kali juga tidak sudi bertekuk
lutut di depan orang ini. Syukur tulangnya tidak patah, sebab serentak ia pun
mengerahkan tenaga sepenuhnya kepada kedua lengannya.
Yang terjadi kini adalah keras lawan keras, yang lemah akan kalah, dalam hal ini
tidak ada jalan mengelak dan. mengalah segala.
Kungfu mengatasi musuh untuk memperoleh kemenangan juga terdiri berbagai macam
cara, ada yang menang dengan tenaga dalam, ada yang unggul dengan tenaga luar,
ada yang menang dengan keuletan, ada juga yang menang karena lebih cerdik.
Perubahan ilmu silat Liok Siau-hong memang beraneka macam ragamnya dan sukar
diraba musuh, mestinya kungfunya tergolong yang terakhir itu.
Akan tetapi sekarang dia sudah kadung mengerahkan tenaga sejati, serupa anak
panah yang sudah terpasang di busurnya, atau orang sudah telanjur menunggangi
harimau, ingin menarik diri juga tidak keburu lagi.
Maklumlah, tenaga lawan sesungguhnya terlalu kuat, bila dia menarik kembali
tenaganya, sekujur badan pasti akan tertekan remuk.
"Krek", balok batu yang berada di bawah kakinya sudah hancur, butiran keringat
sebesar kedelai juga mulai menetes dari dahinya.
Air muka orang yang berdiri di sekitar mereka sama berubah, tapi semuanya hanya
menyaksikan saja dengan mata terbelalak.
Tenaga kedua orang tampaknya setali-tiga-uang alias sama kuat, bila ada orang
ketiga ikut dalam pertarungan ini, sedikit selisih tenaganya tentu salah seorang
di antara mereka akan celaka, tapi orang ketiga ini mungkin juga akan binasa
oleh pergolakan tenaga mereka. Lantaran itulah siapa pun tidak berani
menyerempet bahaya. Sesungguhnya Liok Siau-hong juga tidak perlu menyerempet bahaya, sebab sudah
dirasakannya pada saat terakhir Bok-cinjin hendak mengerahkan tenaganya tadi,
mestinya dia masih sempat menarik diri, akan tetapi ia sudah pernah mengalah
satu kali, dia tidak sudi mengalah lagi.
Akibatnya sekarang dia merasa napas sendiri tambah berat, denyut jantung tambah
keras, sampai biji mata pun melotot seperti mata ikan mas.
Satu-satunya kekuatan yang mendukung daya tahannya adalah karena dia juga
melihat keadaan Bok-tojin pun tidak lebih baik daripadanya.
Tampaknya siapa pun yang memenangkan pertarungan ini, harga yang harus
dibayarnya pasti juga sangat besar, mestinya Bok-tojin juga tidak perlu berbuat
demikian. Mungkin dia tidak menyangka Liok Siau-hong memiliki kebe-ranian dan jiwa pantang
menyerah demikian ini, bisa jadi sekarang Bok-tojin sudah mulai menyesal.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar berlari masuk seorang Tojin muda,
tampaknya sangat gelisah, seperti telah terjadi sesuatu yang gawat, kalau tidak,
mana dia berani menerobos begitu saja ke dalam ruangan pendopo ini.
Mendadak Bok-tojin tertawa dan bergeser dua tindak ke samping, daya tekan beribu
kati pada kedua lengan Liok Siau-hong itu mendadak lenyap sirna, hal ini
membuatnya hampir terbang ke atas karena kehilangan pegangan secara mendadak.
Sungguh tak terpikir olehnya lawan dapat menarik kembali begitu saja tenaga
tekanannya dalam keadaan begitu, tampaknya dia kalah pula dalam pertarungan ini.
Sebelum dia sempat berganti rtapas, didengarnya Bok-tojin sudah berbicara dan
menanyai tosu muda tadi, "Ada urusan apa?"
"Sebun Jui-soat datang!" jawab Tosu muda itu dengan gugup.
"Ada tamu agung, kenapa tidak disilakan masuk ke sini?"
"Dia berkeras naik ke atas gunung dengan membawa pedang," tutur si Tosu muda
dengan tangan masih gemetar. "Tecu sekalian tidak mampu menanggalkan pedangnya,
kini para Suheng yang berjaga di Kay-kiam-ti sana juga sudah terluka oleh
pedangnya." Kejadian ini sungguh sangat gawat, selama beratus tahun ini tidak ada orang yang
berani sembarangan menyatroni Bu-tong-san.
"Orangnya berada dimana sekarang?" tanya Bok-tojin.
"Masih di Kay-kiam-ti, Patsusiok (paman guru kedelapan) sedang berusaha
menahannya di sana,"
lapor Tosu muda itu.

Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan Bok-tojin telah meraba tangkai pedangnya, tangannya kurus kering, tapi
pegangannya mantap, jarinya panjang dan kuat. Bilamana tangan ini memegang
sebilah pedang yang cocok, bukankah tangan ini terlebih menakutkan daripada
Sebun Jui-soat. Mendadak Bok-tojin melangkah keluar dengan cepat. Melihat kepergiannya itu, hati
Siau-hong timbul semacam perasaan takut yang sukar dikatakan.
Hanya dia saja pernah melihat pedang orang ini, jika di dunia ini masih ada
seorang yang mampu mengalahkan Sebun Jui-soat, maka tidak perlu disangsikan lagi
orang itu ialah Bok-tojin ini.
Agaknya di Kay-kiam-ti atau kolam penanggal pedang segera akan merah dibanjiri
darah. Dan darah siapakah"
Liok Siau-hong tidak berani memastikannya, betapapun dia tidak boleh membiarkan
Sabun Jui-soat mati di tangan orang ini. Dia harus mencari akal untuk mancegah
pertarungan ini. Bok-tojin sudah melintasi halaman depan sana dan keluar pintu kuil, cepat Siau-
hong menyusul ke sana. Di luar kuil pepohonan menghijau permai, di balik semak semak tetumbuhan yang
lebat sana seperti sedang mengintip sepasang mata yang mencorong terang.
Hati Liok Siau-hong berdebur, pada saat itulah seorang yang berbaju belacu
putih, baju orang berkabung mendadak melompat keluar dari balik semak-semak
dangan pedang terhunus, secepat kilat pedangnya lantas menusuk ke hulu hati Bok-
tojin. Saat itu tangan Bok-tojin juga sedang memegang tangkai pedangnya, sebenarnya
dengan sangat mudah dapat dia melolos pedang dan mengalahkan si penyergap ini,
bahkan dengan sangat gampang penyergap ini dapat dibunuhnya.
Tapi entah mengapa, pedang tidak dilolosnya, ketika melihat perempuan yang
berbaju berkabung ini, dia seperti melongo tertegun. Dan pada detik itulah
pedang perempuan berbaju putih itu telah menembus hulu hatinya.
Bok-tojin tidak lantas roboh, ia pandang nona itu dengan tercengang, seperti
tidak percaya kepada apa yang terjadi. Air mukanya bukan cuma tercengang saja,
juga menampilkan semacam perasaan duka dan pedih yang sukar dilukiskan.
"Kau ... kau bunuh diriku?" tegurnya kemudian dengan suara terputus-putus.
"Kau bunuh ayahku, dengan sendirnya kubunuh kau!" jawab nona itu.
"Ayahmu?" "Ya, ayahku adalah Lau-to-pacu yang mati di bawah pedangmu itu."
Mendadak kulit muka Bok-tojin berkerut-kerut, ucapan nona itu serupa jarum yang
menusuk telak pada hatinya, bahkan jauh lebih telak dan lebih tajam daripada
pedang yang bersarang di hulu hatinya ini.
Mandadak wajahnya menampilkan semacam perasaan takut yang sukar dilukiskan,
jelas bukan rasa takut mati.
Yang ditakutinya adalah kejadian di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dan
sukar dibayangkan dalam sekejap ini mendadak telah memberikan jawabannya. Segala
hal yang mestinya tidak dipercayanya, dalam sekejap ini membuatnya mau tidak mau
harus percaya. Mendadak ia menghela napas dan bergumam, "Bagus... bagus Inilah dua patah kata
terakhir yang diucapkannya, habis ini dia lantas roboh dan tidak pernah bangun
lagi untuk selamanya. Liok Siau-hong menyaksikan pedang itu bersarang di hulu hatinya juga menyaksikan
dia roboh terkulai, dirasakan sekujur badan sendiri sedingin es, wajahnya juga
menampilkan semacam rasa takut yang sukar dilukiskan.
Inilah hukum Yang Maha Kuasa, barang siapa berdosa, dia akan manerima
ganjarannya yang setimpal tanpa terkecuali.
Alam halus seakan-akan benar ada semacam kekuatan gaib yang tak kelihatan yang
menentukan nasib manusia, tidak ada seorang pun yang pantas mendapatkan
hukumanNya dapat lolos. Kekuatan ini meski tidak kelihatan dan tidak dapat diraba, tapi setiap saat
dapat dirasakan oleh setiap orang akan kehadiranNya.
Rasa takut Bok-tojin tadi juga disebabkan dia merasakan kehadiranNya. Sekarang
hal ini juga dirasakan oleh Liok Siau-hong, timbul rasa hormat dan segannya,
hampir saja ia berlutut di tengah kegelapan ini.
Orang lain juga sama tergetar, selang agak lama barulah ada anak murid Bu-tong-
pay yang menerjang maju untuk mengepung si pembunuh gelap itu.
Tapi segera si nona membentak, "Kalian mundur semua, apa yang kulakukan akan
kuselesaikan sendiri."
Dalam kegelapan malam wajahnya yang pucat lesu itu tampaknya cantik dan anggun
sekali, serupa malaikat perempuan penuntut balas, ucapnya pula, "Aku bernama Yap
Soat, akulah putri Lau-to-pacu, jika ada orang menganggap aku tidak boleh
menuntut balas bagi kematian ayahku, silakan maju dan membunuh saja diriku."
Mendadak ia menarik leher bajunya sehingga terpampang dadanya yang putih bersih.
Namun tidak ada orang yang berani mendekatinya.
Setiap orang seakan-akan sama terpengaruh oleh kecantikannya, oleh sikapnya yang
anggun dan suci itu, lebih-lebih Liok Siau-hong. Hanya dia saja yang tahu
sesungguhnya siapa ayah Yap Soat yang sebenarnya, sebab ... Bok-tojin ialah Lau-
to-pacu." Dengan sendirinya ia tak dapat memberitahukan hal ini, ia tidak sampai hati dan
juga tidak mau memberitahukannya. Apalagi, umpama dikatakannya juga tidak ada
orang yang mau percaya. Akibat ini adalah gara-gara perbuatan Bok-tojin sendiri, sekarang dia telah
makan hasil kejahatan sendiri, meski perencanaannya rapi, tapi tak terduga
olehnya betapapun dia tak bisa lolos dari tangannya.
"Sebenarnya aku telah mati di rawa itu, namun aku tidak mati," kata Yap Soat.
Dia seorang nona pemburu macan tutul, dengan sendirinya dia seorang sabar,
tekun, jauh lebih tahan derita dan bahaya apa pun, sudah lama dia menguasai
kesabaran menunggu, sebab itulah dia dapat menunggu sampai sekarang, sampai
datangnya kesempatan paling baik untuk turun tangan.
"Aku tidak mati, sebab Thian menghendaki aku membalas sa-kit hati," katanya pula
dengan suara dingin dan tenang. "Sekarang cita-citaku sudah terkabul, aku takkan
menanti kalian turun tangan, sebab
Baru sekarang dia memandang Liok Siau-hong, sorot matanya menampilkan semacam
perasaan yang sukar dijelaskan, bukan duka, juga bukan derita, namun hati siapa
pun pasti akan hancur bilamana melihatnya.
Hati Liok Siau-hong hancur, remuk rendam. Tapi Yap Soat lantas menegakkan kepala
lagi, bisa melihatnya sekejap agaknya sudah terpenuhi angan-angannya yang
terakhir, dan dia pasti takkan menunggu orang lain turun tangan padanya, dia
akan menyelesaikan dirinya sendiri....
Darah yang perlu mengucur sudah mengalir habis, air kolam di bawah 'tebing
penanggal pedang' masih jernih, Bu-tong-san juga masih menjulang tinggi dan tegak, tetap
pegunungan suci, pusatnya agama To yang dikagumi orang, tanah sucinya dunia
persilatan. Yang berubah adalah manusianya, dari hidup sampai mati, da ri muda menjadi tua,
perubahan yang terjadi ini terkadang datangnya sangat mendadak.
Segala persoalan cinta kasih, dendam, budi dan rahasia, kini sudah terpendam
untuk selamanya bersama dengan datangnya perubahan mendadak itu, semuanya sudah
terpendam di lubuk hati Liok Siau-hong yang paling dalam.
Sekarang dia cuma ingin mencari suatu tempat yang tidak ada orang, tempat yang
sunyi untuk melewati kehidupannya dengan tenang.
Sebelum fajar menyingsing, ia lantas turun gunung, tak diketahuinya bahwa di
kaki gunung masih ada seorang sedang menunggunya.
Seorang berdiri di samping Kay-kiam-giam, tebing penanggal pedang, seorang
berbaju putih mulus. Perlahan Siau-hong mendekatinya dan menegur, "Kini segalanya sudah selesai,
mengapa engkau belum lagi pergi?"
"Meski segalanya sudah selesai, tapi lakonnya belum tamat," jawab orang itu,
Sebun Jui-soat. "Memangnya apa pula yang akan kau lakukan?" tanya Siau-hong.
"Aku mengejar beribu li jauhnya, tujuanku hanya ingin membunuh seorang," sahut
Sebun Jui-soat. "Sekarang orang yang kuburu belum mati, aku ingin meniupkan satu lagu baginya,
lagu kematian dan kutiup dengan pedangku."
"Orang yang kau maksudkan adalah diriku?" tanya Siau-hong.
"Ya, kau!" kata Jui-soat.
"Masakah kau lupa, pengejaranmu padaku hanyalah pura-pura saja?"
"Aku cuma tahu pada umumnya orang Kangouw tidak membedakan pura-pura atau
sungguhan, pokoknya bila kau masih hidup bcrarti penghinaan bagiku."
Siau-hong memandangnya, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Apakah sengaja kau
paksa aku turun tangan, ingin kau coba apakah aku mampu mematahkan jurus
seranganmu yang tidak ada bandingannya di dunia ini?"
Sebun Jui-soat tidak menyangkal.
"Kutahu engkau sangat ingin tahu jawaban soal ini, aku pun tahu inilah
kesempatan yang paling baik bagimu. Cuma sayang, engkau tetap sukar mencobanya."
"Sebab apa?" tanya Sabun Jui-soat.
Senyuman Siau-hong tampak letih dan kesal, sahutnya dengan hambar, "Asalkan
pedangmu terlolos dari sarungnya, segera kau tahu apa sebabnya, untuk apa pula
kau tanyakan sekarang?"
Masa Siau-hong tidak bersedia untuk menghindari serangan Sebun Jui-soat"
Sebun Jui-soat memandangnya sampai sekian lama, kabut tampak mulai mengambang
mengelilingi alam sana, mendadak Sebun Jui-soat membalik tubuh dan menuju ke
balik kabut. "He, kenapa tidak jadi turun tangan?" seru Siau-hong.
Tanpa menoleh Sebun Jui-soat menjawab, "Sebab hatimu sudah mati, pada hakikatnya
engkau hanya seorang mati!"
"Hatiku sudah mati" Apakah benar hatiku sudah mati?" Siau-hong bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri. Apakah aku sudah tidak mampu berbuat sesuatu lagi serupa
orang mati?" Pertanyaan ini hanya dia sendiri yang dapat memberikan jawabannya.
Di tengah remang kabut sudah kelihatan cahaya subuh di ufuk timur, Liok Siau-
hong membusungkan dada dan menuju ke arah cahaya terang dengan langkah lebar.
T A M A T Api Di Puncak Merapi 1 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Misteri Pulau Neraka 7
^