Pencarian

Bunga Di Batu Karang 32

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 32


"Jika Pangeran Mangkubumi t idak me mberontak, maka kita tidak harus me mberikan tanda takluk itu?" jawab orang pertama. "Kau bodoh. Jika kumpeni itu lebih la ma berada di Surakarta, ia tidak hanya minta tanda takluk berupa pondok emas. Tetapi segalanya yang ada pada kita akan dimintanya. Sawah, ladang, pekarangan dan akhirnya kita semua akan menjadi buda k-budak yang tidak berarti" jawab yang lain. "Itu pikiran yang sangat picik" jawab orang pertama "Mereka datang untuk me mberikan kebahagiaan hidup kepada kita" "Mereka adalah pera mpok yang maha besar. He, bukankah kita kadang-kadang me ngumpati pencuri yang menga mbil seekor ayam di kandang kita. Nah, apa yang diambil kompeni dari kita" Pera mpok hanya me maksa me mbawa apa yang dapat mereka bawa. Tetapi maha pera mpok ini telah me ma ksa kita menyediakan barang-barang yang akan mereka rampok" jawab yang lain. Namun perselisihan itu justru telah berkembang. Sebagian dari rakyat Surakarta menganggap sumber kesalahan adalah Pangeran Mangkubumi yang telah me mberontak. Namun. sebagian yang lain semakin merasa, bahwa mereka me mang me merlukan perlindungan dari ke kuasaan golongan yang mereka anggap sebagai pera mpok yang tidak terlawan kehendaknya. Peristiwa-peristiwa se maca m itu t idak luput dari perhatian Pangeran Mangkubumi. Sikap yang sangat licik dari kumpeni itu me mbuat Pangeran Mangkubumi sangat berprihatin. Ia semula tidak menduga, bahwa kelicikan orang asing itu benarbenar tanpa perasaan perikemanusiaan sa ma sekali. Orangorang asing yang menganggap dirinya sebagai manusia yang me miliki kelebihan dala m peradaban. Yang mengatakan bahwa kedatangannya di negeri ini justru untuk
menge mbangkan ilmu yang mereka punyai bagi kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kumpeni dan prajurit Surakarta atas Raden Juwiring. Mereka tanpa maluma lu telah menangkap seorang gadis yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang persoalan ayahanda dan kakandanya. Namun ia sudah disekap sebagai taruhan. Tetapi masalah yang dialami oleh Raden Juwiring itu telah sampai pula kepada Pangeran Mangkubumi. Dengan nada datar ia berkata kepada Ki Wandawa yang memberikan laporan kepada Pangeran itu "Sokurlah. Mudah-mudahan Rara Warih benar-benar tidak menga la mi kesulitan untuk seterusnya" Dengan berdebar-debar Juwiring menunggu Hari terakhir dari batas waktu yang diberikan kepadanya, sebagaimana orang-orang miskin itupun dengan berdebar-debar dan gelisah berusaha mengumpulkan uang di antara kelompok-kelompok mereka. Sebenarnyalah ketidak adilan telah menjalar dan me mbakar sendi-sendi kehidupan di Surakarta. Sementara orang-orang miskin itu diperas oleh kumpeni untuk me nyerahkan upeti sebagai tanda takluk agar mereka tidak dianggap ikut serta me mberontak, maka di Surakarta sendiri kumpeni telah me mbagikan barang-barang yang mewah kepada para pemimpin pe merintahan dan para Senapati. Seolah-olah kumpeni itu datang ke Surakarta dengan hadiah yang me limpah dari kerajaan mereka di seberang lautan. Mereka menje lajahi benua dan samodra dengan niat khusus datang ke Surakarta untuk me mberikan tanda persahabatan yang tidak ternilai harganya. Ketika seorang Demang mengumpati para pemimpin Surakarta yang bodoh dan mudah dikelabuhi itu, kawannya, juga seorang De mang yang berada di dala m lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi berkata "Tida k kakang.
Orang-orang Surakarta tidak sebodoh itu. Mereka bukan orang-orang berjiwa tumpul dan sa ma seka li t idak tahu, bahwa kumpeni telah menipu mereka. Tetapi sebagaimana seseorang yang terkena suap, maka para pe mimpin yang berpihak kepada kumpeni itu menjadi pura-pura bodoh dan tidak tahu. Sebenarnya mereka mengerti, tingkah laku kumpeni di negeri ini. Tetapi justru karena ketamakan mereka itulah, maka mereka lebih senang disebut bodoh dam tidak mengerti bahwa kumpeni telah mengadu domba di antara mereka dengan rakyat Surakarta sendiri" Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Nampa knya me mang begitu. Kau benar. Adi na mpaknya me mandang keadaan dari sudut yang lebih baik dari tanggapanku. Ternyata akulah yang bodoh. Bukan para pe mimpin dan para Senapati di Surakarta" Dala m pada itu, maka hari kelima sebagaimana merupakan batasan bagi Juwiring telah la mpau. Dengan hati yang gelisah Juwiring menunggu apakah ada sesuatu yang terjadi atas Rara Warih. Bagaimanapun juga jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar wara-wara bahwa pimpinan pasukan berkuda di Surakarta dan kumpeni telah melaksanakan dengan tegas sebagaimana di umumkan sebelumnya terhadap Rara Warih. Namun de mikian, masih terbuka kese mpatan bagi Raden Juwiring dan para pengikutnya, para prajurit pasukan berkuda yang menyeberang, untuk datang menyerahkan diri. Sehingga masih ada ke mungkinan untuk me mperingan hukuman yang telah dijatuhkan atas Rara Warih. "Jika ibunda mu telah berjanji untuk melindungi adikmu itu, maka ia akan melakukannya" berkata Ki Wandawa "karena pada umumnya seseorang yang keras hati seperti ibunda mu itu, juga seorang yang bertanggung jawab"
"Tetapi apakah aku diperkenankan untuk me mbuktikannya sehingga aku benar-benar yakin akan kesela matannya?" beritanya Juwiring. Ki Wandawa tida k berkeberatan. Dengan cara seperti yang pernah dilakukan bersa ma Buntal dan Arum, Raden Juwiring dapat meyakinkan dirinya bahwa wara-wara itu hanya sekedar usaha untuk mengelabuinya, karena Rara Warih masih tetap berada di istana Sinduratan. Namun dala m kese mpatan Rara Warih dapat berbicara sendiri kepada Raden Juwiring, maka dengan nada me me las ia berkata "Bawa aku serta kakangmas. Aku tidak tahan menga la mi tekanan perasaan di sini. Aku tidak dapat menerima dengan ikhlas cara yang ditempuh oleh ibunda bagi kebebasanku" Juwiring mengerutkan keningnya, la mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rara Warih, Juwiringpun mengetahui apakah yang pernah dilakukan oleh ibundanya Galihwarit sebelum ia diantar pulang ke istana Sinduratan. Namun untuk me mbawa Rara Warih pada saat semacam itu, dimana justru dirinya sedang menjadi pusat perhatian para prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, tentu akan sangat berbahaya. Karena itu, maka Raden Juwiring itupun berkata "Aku mengerti kesulitan perasaanmu diajeng. Tetapi tunggulah keadaan sedikit mereda. Kau dan aku saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan di kalangan para prajurit dari pasukan berkuda dan kumpeni. Cobalah menahan perasaan dengan sabar. Apa yang dilakukan ibunda sekarang, tentu berbeda tujuannya dengan apa yang dilakukan oleh ibunda pada saat itu" "Tetapi apakah sudah sewajarnya kakang, bahwa cara apapun dapat ditempuh untuk mencapai satu tujuan?" bertanya Rara Warih.
"Tentu tida k diajeng. Tetapi apa yang dila kukan oleh ibunda me mpunyai penila ian tersendiri" jawab Raden Juwiring "Kita akan dapat menilai apa yang pernah dilakukan oldh ibunda sebelumnya" "Ya, aku mengerti kakang. Bukankah kau bermaksud bahwa ibunda telah menga la mi ke majuan berpikir. Yang dilakukan itu sekarang me mpunyai latar belakang dan tujuan lebih baik dari yang pernah dilakukan sebelumnya" sahut Rara. Warih. Raden Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Bagaimanapun juga, bagi Rara Warih, seorang gadis yang menginjak masa dewasa, tindakan ibundanya itu benar-benar sangat menusuk perasaannya. Tetapi ia itidak dapat mencegahnya. Siapapun tidak, apalagi karena hal itu dilakukan dengan dasar landasan sikap satu pengorbanan seorang ibu buat anak gadisnya. Karena itu, maka Rara Warihpun tidak dapat me maksa untuk mengikut inya saat itu. Tetapi ia berharap bahwa ia tidak harus terlalu la ma menunggu. Demikianlah, maka Raden Juwiringpun segera minta diri. Namun dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit berkata kepadanya "Juwiring. Aku sudah terlanjur tenggelam ke dalam lumpur. Lebih ba ik aku dapat me mungut mutiaranya sekaligus daripada aku hanya sekedar harus berlumuran tanpa arti, atau hanya untuk tujuan yang tunggal. Karena itu, aku harap kau sering datang kemari. Jika kau berhalangan, kau dapat mencari seorang penghubung yang dapat kau percaya" "Maksud ibunda?" bertanya Raden Juwiring. "Mungkin aku dapat mendengar serba sedikit pembicaraan orang-orang asing tentang rencana mereka dalam hubungannya dengan Pangeran Mangkubumi atau para Pangeran yang telah manunggal dengannya" jawab ibundanya.
Raden Juwiring menarik nafas panjang. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud oleh Raden Ayu Galihwarit yang mengatakannya tanpa tedheng aling-aling di hadapan anak gadisnya. Namun dala m pada itu, Arumlah yang menyahut "Apakah aku dapat melakukan tugas itu" Mungkin, aku dapat me lepaskan diri dari perhatian para prajurit dam kumpeni, karena aku be lum banyak dikenal" Raden Ayu Galihwarit me mandang gadis itu sejenak. Kemudian sa mbil mengusap ra mbut Arum ia berkata "Tugas ini adalah tugas yang berat anak manis" "Aku akan mencobanya" jawab Arum "sebagaimana orangorang lain yang dengan suka rela memanggil tugas yang berat dalam perjuangan ini" Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya kemudian "Segala sesuatu terserah pertimbangan Juwiring. Mungkin kau dapat melakukan. Mungkin orang lain. Tetapi aku minta ada semaca m pertanda bagi orang yang dipercaya menghubungi aku. Kita dapat berjanji, apakah yang harus diucapkannya, agar aku percaya bahwa orang itu adalah utusanmu Raden Juwiring" Juwiring merenung sejenak. Lalu katanya "Baiklah ibunda. Aku akan me mberikan, pesan agar orang yang datang kepada ibunda, kecuali di antara kami bertiga, untuk mengucapkan nama keris yang akan aku labuh ke Gunung Lawu seperti pesan ayahanda, Cangkring" "Baiklah. Hanya orang yang menyebut nama keris itu yang aku percaya bahwa ia adalah utusanmu. Selanjutnya aku akan berpesan kepada orang itu, kata sandi berikutnya, untuk utusan mendatang. Jangan Jupa" Demikianlah, Raden Juwiring dan saudara angkatnya meninggalkan istana Sinduratan. Seperti biasanya, maka Rara Warih ke luar regol hala man me ndahului saudara-saudaranya.
Namun dala m pada itu, Raden Juwiring sudah mendapat kepastian, bahwa prajurit dari pasukan berkuda tidak sungguh-sungguh bertindak atas Rara Warih. Karena itu, maka menurut pertimbangan Raden Juwiring, maka ia me mpunyai kese mpatan untuk me lakukan tugas yang dibebankan-oleh ayahandanya, menyingkirkan keris milik Ki Sindura, Tetapi ternyata bahwa rencana itupun masih harus tertunda. Seperti pesan ibundanya, maka tiga hari setelah Juwiring menghadap, maka ia ingin me menuhi permintaan ibundanya sebelum ia pergi ke Gunung Lawu. Menurut laporan yang sampai pada pasukan Pangeran Mangkubumi, prajurit Surakarta dan kumpeni na mpak me lakukan kegiatan yang meningkat. Karena itu, mungkin ada sesuatu yang dapat didengarnya dari Raden Ayu Galihwarit. "Kenapa kakang lebih percaya kepada orang lain, dari pada kepadaku?" bertanya Arum. "Soalnya bukan tidak percaya" jawab Juwiring "Tetapi tugas ini adalah tugas yang sangat berat. Biarlah orang lain yang me lakukannya. Kau dapat melakukan tugas-tugas yang lain saja" "Kakang" minta Arum "A ku mohon kali ini kakang percaya kepadaku" Aku bukan Iagi-kanak-kana k yang harus dimanjakan di padepokan. Tetapi sudah waktunya aku menge mban tugas-tugas se maca m ini. Apalagi tugas ini bukanlah tugas pancer. Bukan akulah yang seharusnya mendapat keterangan bagi pasukan Pangeran Mangkubumi. Tetapi yang kita lakukan adalah se kedar mencari keterangan pelengkap. Yang barangkali berguna bagi bahan banding keterangan yang seharusnya didapat oleh petugas sandi yang sebenarnya" Raden Juwiring menarik nafas dala m-dala m. dipandanginya wajah Buntal yang tegang. Sekilas
Namun akhirnya Raden Juwiring itupun berkata kepada Buntal "Aku serahkan keputusan terakhir kepada mu" Buntal menarik nafas dala m-dala m. Bagaimanapun juga. ia merasa berat untuk me lepaskan Arum. Karena itu. hampir di luar sadarnya ia berkata "Biarlah aku mengantarkannya" Wajah Juwiring menegang. Tetapi Buntal telah mendahuluinya berdesis "Jangan takut terjadi sesuatu atas kami berdua. Mungkin kakang Juwiring menganggap bahwa bahaya yang menganca m lebih gawat adalah justru datang dari ka mi berdua sendiri Bukan dari kumpeni" "Ah" desis Arum "Kita bukan orang-orang gila. Kita sedang berada dalam perjuangan" "Maaf" potong Juwiring "bukan ma ksudku" "Baiklah. Bagaimana pendapat mu, jika a ku juga pergi?" bertanya Buntal ke mudian "Tetapi jangan mengatakan bahwa kau akan pergi juga. Dalam keadaan seperti ini, agaknya akan sangat berbahaya" "Baiklah. Tetapi kita harus minta ijin kepada Ki Wandawa. Mungkin ada pesan sandi yang harus kau ketahui" berkata Juwiring. Sebenarnyalah bahwa dalam keadaan yang gawat, Ki Wandawa telah mengirimkan beberapa petugas sandi langsung dari pusat pertahanan Pangeran Mangkubumi di Gebang. Karena itu, maka untuk tidak terjadi salah paha m, maka Buntal dan Arum yang akan memasuki Kota Surakartapuin telah mendapat pesan pula dari Ki Wandawa dengan kata sandi yang berlaku untuk t iga hari. "Ingat" berkata Juwiring kepada Buntal dan Arum "jika kau bertemu dengan petugas sandi Pangeran Mangkubumi, kau harus dapat menyahut jika mereka menyapa dengan kata sandi. Jika seseorang menyapa kata "sapu" maka kau harus menjawab "angin" Kau mengerti?"
"Ya. Kami akan berusaha untuk mengingat-ingat pesan itu" jawab Buntal. "Baiklah. Besok kalian akan berangkat pagi-pagi benar" berkata Juwiring Demikianlah ketika mala m turun. Arum justru me njadi gelisah. Telah beberapa kali ia masuk ke kota Surakarta bersama kedua saudara angkatnya. Namun tugas yang akan dilakukan esek pagi. justru atas permintaannya sendiri, me mbuatnya berdebar-debar. Dala m pada itu, mala m itu Rara Warihpun tidak dapat nyenyak pula. Hampir setiap ma la m ia gelisah karena ibundanya pergi. Ketika senja turun, sebuah kereta telah menje mput ibundanya. Kereta yang sudah sering datang ke istana Sinduratan. Bahkan kadang-kadang dengan seorang perwira kumpeni. Ketika istana itu menjadi sepi. hatinya semakin ngelangut. Bahkan ia tida k dapat menahan lagi air matanya yang me mbasahi bantalnya, betapapun ia mencoba bertahan. Namun demikian, Rara Warih itupun sibuk me mbersihkan wajahnya ketika ia mendengar derap kaki-kaki kuda yang me masuki ha la man. Sapi mala m telah terkoyak seperti hati Rara Warih sendiri. Rara Warih menutup telinganya ketika ia mendengar langkah-langkah gontai di serambi. Ke mudian terdengar suara ibundanya tertawa. Nyaring tetapi ngeri. "Silahkan Raden Ayu masuk" terdengar suara berat yang tersendat-sendat. Dan Rara Warihpun mengerti, itu suara seorang perwira kumpeni yang mengantarkan ibundanya. "Raden Ayu tentu pening" terdengar suara itu pula. "Aku tidak apa-apa" Raden Ayu tertawa pula "ma la m masih panjang. He, mana alas kakiku. O, lampu-la mpu menjadi buram"
"Raden Ayu sedang mabuk. Silahkan masuk" perwira kumpeni itu me mpersilahkan. "Tinggalkan aku di sini. Aku tidak apa-apa. Aku kenal dimana aku harus masuk " se kali lagi suara Raden Ayu meninggi. Nampa knya perwira kumpeni itu termangu-mangu. Na mun ke mudian terdengar derap sepatunya melangkah menjauh. Sejenak ke mudian terdengar kereta itu pergi. Demikian suara kereta itu hilang terdengar pintu sa mping diketuk perlahan. "Warih, Warih. Kau sudah tidur?" suara ibundanya merendah. Di telinga Rara Warih suara itu berbeda sekali dengan suara ibundanya ketika perwira kumpeni itu masih ada. Sekali lagi Rara Warih mengusap matanya. Perlahan-lahan ia melangkah ke pintu. Sebentar kemudian pintu itupun berderit. Ketika pintu terbuka, maka Raden Ayu itupun mencium kening puterinya. Namun terasa nafas Rara Warih menjadi sesak. di mulut ibundanya ia mencium bau minuman keras. "Ibunda me mang sedang mabuk" katanya di da la m hati. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara Raden Ayu Galihwarit tenang "Aku tidak apa-apa Warih. Aku memang sengaja berkumur dengan minuman keras. Tetapi aku tidak menelannya. Dan akupun me mang berusaha agar aku dianggap oleh mereka sedang ma buk" Rara Warih tercenung sejenak. ibundanya yang sudah melangkah "Tutuplah pintunya" Ia tersadar ketika masuk itu berkata
Rara Warih tersentak. Namun iapun ke mudian menutup pintu sa mping dan mengikuti ibundanya masuk ke dala m bilik.
Ketika ibundanya berganti pakaian, Rara Warih duduk di bibir pe mbaringannya sambi me nundukkan kepa lanya. Tetapi ia tidak ingin me nunjukkan kepada ibundanya, betapa hatinya bagaikan tersayat melihat tingkah ibundanya itu. Meskipun demikian, Rara Warih bertanya-tanya pula di dalam hatinya, kenapa ibundanya berpura-pura mabuk. Dala m pada itu, sambil me mbuka pakaiannya, Raden Ayu itu berkata perlahan-lahan "Warih. Sebenarnya aku me merlukan ka kanda mu. Aku harap ia datang dalam satu hari ini. Jika tidak, maka yang akan terjadi itu akan menggoncangkan perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said" Wajah Rara Warih berkerut. Sekilas ia melihat ibundanya yang nampak masih muda dan cantik. Na mun kata-kata ibundanya itu me mang menarik perhatiannya. "Apakah yang ibunda ketahui tentang rencana kumpeni?" bertanya Rara Warih tiba-tiba. "Justru itulah aku telah berpura-pura mabuk" jawab ibundanya "dengan demikian mereka tidak menganggap bahwa aku dengan sadar mendengar pembicaraan sebagian dari antara para perwira kumpeni dan beberapa orang Senapati prajurit Surakarta" "Ibu mendengar berita penting?" bertanya Warih pula. "Ya. Kumpeni sudah menyiapkan pasukan segelar sepapan bersama prajurit Surakarta untuk mengepung Pana mbangan" jawab ibundanya. "Panambangan" Bukankah Panambangan merupakan iandasan perjuangan Raden Mas Said?" desis Rara Warih. "Ya. Karena itulah, maka berita ini harus segera didengar oleh Raden Mas Said" desis ibundanya. "Kapan mereka akan me lakukannya?" bertanya Rara Warih.
"Secepatnya. Pada akhir pekan ini mereka mulai beri gerak sehingga pasukan Raden Mas Said akan terjepit. Mereka telah me mperhitungkan segala sesuatu sehingga Raden Mas Said tidak akan se mpat lolos" jawab ibundanya, lalu "dengan demikian, maka Pangeran Mangkubumi dala m keseluruhan akan menjadi le mah, karena kekuatan Raden Mas Said cukup besar di antara seluruh pasukan Pangeran Mangkubumi dan para pemimpin lainnya yang sedang berjuang menegakkan kewibawaan Sura karta" Rara Warih menjadi tegang. Kemudian katanya "Jika dala m dua hari ini kakanda Juwiring tidak datang, biarlah aku akan mencarinya" "Tida k mungkin Warih. Kita belum tahu dimana Pangeran Mangkubumi me mbangun landasan perjuangan. Kita hanya mendengar bahwa Pangeran Mangkubumi berada di Gebang, di samping pasukanmya yang berada di Sukawati. Tetapi untuk mene mukan satu orangpun di antara mereka di padukuhan Gebang, tentu akan sangat sulit " cegah ibundanya. "Tetapi itu lebih ba ik daripada kita tida k berusaha sama sekali ibunda" bantah Rara Warih yang sebenarnyalah bahwa iapun ingin meninggalkan istananya, meningga lkan daerah pertentangan di dala m hatinya sendiri. "Kita harus mencari jalan lain" desis ibundanya "tetapi kita me mang wajib mengerti ja lan" Ibundanya yang telah selesai dengan berganti pakaian itupun masih pergi ke pakiwan. Ke mudian setelah ia berada ke mbali di dala m biliknya maka iapun me mbaringkan dirinya sambil berdesis "Aku lelah seka li Warih. Aku ingin tidur" Rara Warih tidak menjawab. Ketika ibundanya berbaring, maka iapun telah mencoba berbaring pula di pe mbaringannya. Namun ternyata bahwa Raden Ayu Galihwaritlah yang telah tertidur lebih dahulu dengan nyenyaknya.
"O" desis Rara Warih "ibunda dapat tidur nyenyak tanpa digelisahkan oleh tingkah lakunya" Namun akhirnya, menjelang pagi, Rara Warihpun menjadi lelap pula. Meskipun de mikian, di da la m tidur, rasa-rasanya ia masih saja dibayangi oleh kegelisahan dan mimpi yang buruk tentang dirinya sendiri dan tentang ibundanya. Tetapi justru karena gadis itu baru dapat le lap menjelang pagi, maka iapun telah terla mbat bangun pula. Rara Warih terkejut ketika ia me mbuka matanya, ia sudah melihat cahaya cerah masuk ke dala m biliknya lewat pintu yang terbuka. Perlahan-lahan ia bangkit di pe mbaringan yang lain ibundanya telah tidak na mpak. Karena itulah, ma ka iapun segera bangkit dan me langkah keluar. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia me lihat dua orang anak muda, saudara angkat kakandanya, telah duduk pada sehelai tikar di sera mbi. "O, sepagi ini kalian telah datang?" bertanya Rara Warih. "Ya puteri. Ka mi sengaja datang pagi-pagi, selagi masih belum terlalu panas, dan ka mi tidak akan ke ma la man di jalan pada perjalanan ke mbali" jawab Arum. "Ibunda menunggu kehadiran kalian sejak tadi ma la m. Untunglah bahwa pagi ini ka lian benar-benar datang" berkata Rara Warih. "Ya puteri. Rasa-rasanya me mang ada yang berpesan di dalam hati ini, agar secepatnya kami menghadap" jawab Arum. Ke mudian katanya "Kami sudah menghadap Raden Ayu yang baru pergi ke bela kang sebentar" "Apakah ibunda sudah me mberikan pesan-pesannya?" bertanya Warih. "Belum. Raden Ayu belum mengatakan apa-apa" jawab Arum.
Warihpun ke mudian me mpersilahkan keduanya menunggu. Namun sebelum ibundanya datang sekali lagi ia berpesan "Katakan kepada kakangmas Juwiring. Kapan aku diijinkan bersamanya dan bersa ma ka lian" Arum hanya dapat mengangguk kecil sambil berdesis "Akan aku sa mpaikan, demikian aku ke mbali" Warih tidak dapat berkata lebih banyak lagi, karena ibundanya telah datang. Warihlah yang ke mudian meninggalkan kedua anak muda itu dan pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya. Dala m pada itu, ma ka Raden Ayupun telah me mberikan beberapa penjelasan mengenai rencana kumpeni dan pasukan Surakarta untuk menyerang Pena mbangan. "Ternyata kumpeni ingin mele mahkan kedudukan Pangeran Mangkubumi dari bagian-bagiannya" berkata Raden Ayu Ranakusuma "jika ia berhasil, maka ia akan dengan mudah menghancurkan kekuatan-kekuatan para pengikut Pangeran Mangkubumi yang tersebar. Baru yang terakhir mereka akan me mukul induk kekuatan Pangeran Mangkubumi" Berita itu merupakan berita yang sangat penting bagi Pangeran Mangkubumi. Karena itu, maka berita itu harus segera mereka sa mpa ikan kepada Ki Wandawa. Raden Ayu Ranakusuma me mberikan secara terperinci rencana kumpeni untuk mengepung Pena mbangan menurut pendengarannya. "Cepat sampaikan berita ini" berkata Raden Ayu Ranakusuma "bukan berarti aku mengusirmu. Tetapi kau dapat mengerti ma ksudku" "Ya Raden Ayu. Kami mengerti. Sema kin cepat berita ini sampai kepada Ki Wandawa. agaknya me mang se makin baik" jawab Arum.
Meskipun de mikian, Arum dan Buntal se mpat juga sekedar minum dan makan makanan yang disuguhkan kepada mereka. Baru ke mudian mere ka mohon diri. Ternyata berita itu benar-benar menggelisahkan Ki Wandawa. Ketika ia menerima Raden Juwiring yang menghadap bersama Buntal dan Arum untuk me mberikan laporan tentang rencana kumpeni itu, maka Ki Wandawa segera mengadakan uraian tentang laporan-laporan yang lain. Akhirnya Ki Wandawa menga mbil kesimpulan, berdasarkan beberapa laporan, bahwa keterangan Arum dan Buntal itu dapat dipercaya. Apa yang didengar oleh Raden Ayu Ranakusuma itu tentu merupakan bagian dari satu keputusan yang besar. Karena itu, maka Ki Wandawapun secara terperinci telah me laporkan segalanya itu kepada Pangeran Mangkubumi. Dilengkapi dengan sikap dan pertimbangan Ki Wandawa sendiri. Pangeran Mangkubumipum merenungi laporan itu beberapa saat. Kemudian katanya "Siapkan beberapa orang pilihan. Mereka harus pergi ke Pena mbangan dan menya mpaikan suratku kepada Raden Mas Said" Ternyata bahwa pilihan Ki Wandawa jatuh kepada Raden Juwiring yang pernah me mimpin bagian dari pasukan berkuda. Bersama Buntal ia mendapat perintah untuk menghadap Raden Mas Said di Penambangan untuk menyampa ikan surat kepada Raden Mas Said. Untuk perjalanan yang panjang dan berbahaya ini, Juwiring telah mohon kepada Kiai Danatirta, agar menahan Arum yang tentu akan ingin mengikutinya Agar gadis itu tidak menjadi sangat kecewa, maka ia mendapat tugas untuk menghadap Raden Ayu Ranakusuma se lang satu hari ke mudian.
"Hindari daerah Jatimalang" pesan Ki Wandawa "sepasukan prajurit Surakarta dan kumpeni berada di Jatimalang dala m kesiagaan tinggi" "Baik Ki Wandawa" jawab Juwiring "Ka mi akan me milih jalan yang pada hemat kami, tidak terlalu gawat, tetapi juga tidak me lingkar terlalu panjang" "Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan" berkata Ki Wandawa. Sebenarnyalah Arum ha mpir saja me maksa untuk pergi bersama mereka. Tetapi ketika Juwiring justru menyuruhnya menghadap Raden Ayu Ranakusuma, maka iapun akhirnya bersedia untuk t inggal. "Perke mbangan keadaan ini cepat sekali terjadi" berkata Juwiring "Karena itu, semakin sering kita berhubungan dengan ibunda Galihwarit, kita akan se makin banyak dan cepat mendapat keterangan. Meskipun dengan de mikian, seolaholah kita ikut menyakit i hati diajeng Warih. Namun pada suatu saat, aku akan mengambil sikap khusus, sesuai dengan keinginan diajeng Rara Warih untuk berada di antara kita" Juwiring berhenti sejenak, lalu "jika besok aku belum ke mbali, dan kau mendapat keterangan yang penting dari ibunda, maka kaupun harus segera menghadap Ki Wandawa" Demikianlah, maka Juwiring dan Buntal tidak me mbuang waktu lagi. Merekapun ke mudian berpacu dengan kuda yang tegar dan besar langsung menuju ke Pena mbangan. Jarak yang cukup jauh, apalagi mereka masih harus menghindari prajurit Surakarta dan kumpeni yang diketahui berpusat di Jatimalang. Segalanya rasa-rasanya menjadi tergesa-gesa. Namun Raden Juwiring yang pernah menjadi salah seorang Senapati muda dala m lingkungan pasukan berkuda itupun tidak mengecewakan. Se mentara Buntal yang pernah mene mpa diri
di padepokan Jati Aking itupun dapat mengimbangi ketrampilan berkuda Raden Juwiring. Kedua anak muda itu berpacu seperti angin. Mereka bukan saja harus secepatnya menghadap Raden Mas Said. Tetapi merekapun harus dapat mengatasi hambatan-ha mbatan yang mungkin timbul di perjalanan. Ternyata bahwa keduanya tidak menjumpa i rintangan yang berarti. Meskipun demikian, mereka se mpat me lihat, betapa rakyat Surakarta menjadi semakin menderita karena tingkah laku kumpeni. Dengan licik mereka berusaha mele mparkan segala kesalahan kepada Pangeran Mangkubumi dan mereka yang mene mpatkan diri di dala m garis perjuangannya. Raden Juwiring dan Buntal se la mat menghadap Raden Mas Said. Mereka segera menyampaikan surat dari Pangeran Mangkubumi, yang me mberikan beberapa keterangan dan petunjuk. Ternyata Raden Mas Said sependapat sepenuhnya dengan Pangeran Mangkubumi. Karena itu, dengan cepat ia me manggil beberapa orang pe mimpin dala m pasukannya. Beberapa saat mereka berunding. Kemudian Juwiring dan Buntalpun dipanggilnya menghadap di antara para pemimpin pasukan Raden Mas Sa id. "Aku akan me mberikan jawaban" berkata Raden Mas Said "jika karena sesuatu hal surat itu harus aku musnahkan di perjalanan, maka sa mpaikan pesanku, bahwa pasukanku sudah siap menghadapi segala ke mungkinan. Sesuai dengan petunjuk yang aku terima, serta pertimbangan dari para pemimpin di dala m pasukanku, aku akan pergi ke Keduwang. Segalanya akan aku ja lankan sebagaimana seharusnya" Dengan demikian, maka Raden Juwiringpun harus segera ke mbali pula menghadap Pangeran Mangkubumi untuk menya mpaikan surat balasan Raden Mas Said. Namun jika mereka menganggap perlu, surat itu dapat mereka
musnahkan, sementara mereka telah mengetahui isi surat dari Raden Mas Said itu. Pagi-pagi benar di hari berikutnya. Raden Juwiring dan Buntal itupun berpacu ke mba li ke Gebang, landasan utama pasukan Pangeran Mangkubumi. Angin pagi yang silir telah mengusap wajah-wajah mereka. Sementara langit yang merah mulai diwarnai oleh sinar matahari pagi yang sebentar lagi akan naik ke punggung Gunung. "Hari ini Arum menghadap Raden Ayu Ranakusuma" guma m Buntal tiba-tiba. "Ya" sahut Juwiring "Tetapi ia sudah terbiasa me lakukannya. Na mpaknya orang-orang Surakarta masih tetap menghormat seorang perempuan, sehingga mereka tidak mencurigainya" "Arum me mang pantas untuk menjadi seorang penjual jamu. Agaknya ia akan me mbawa reramuan ja mu dan seperti biasanya mangir dan lulur" desis Buntal. Namun, bagaimanapun juga Raden Juwiring menangkap kegelisahan hati anak muda itu. Surakarta sedang dalam suasana yang hangat, karena persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Surakarta dan kumpeni. Karena itu, maka Juwiringpun berkata "Buntal. Aku kira perhatian para prajurit Surakarta dan kumpeni lebih banyak tertuju kepada orang laki-laki. Meskipun de mikian, bukan berarti bahwa Arum tida k harus berhati-hati. Aku kira pengenalan Arum atas keadaan Surakarta akan banyak menolongnya" Buntal mengangguk-angguk. Iapun berusaha untuk menenangkan hatinya. Yang dilakukan oleh Arum adalah hal yang sudah dua tiga kali dilakukannya tanpa ada kesulitan. Seandainya di Surakarta diadakan pe meriksaan pada setiap orang yang lewat di pintu gerbang, pada Arum tidak akan
dikete mukan apapun juga. selain reramuan obat-obatan, mangir dan lulur yang sebenarnya. Sebenarnyalah pada saat itu Arum sudah mende kati kota Surakarta, Ketika matahari ke mudian terbit. Arum berjalan semakin cepat agar ia tidak keriangan. Kedatangannya di istana Sinduratan disambut oleh Rara Warih yang wajahnya seolah-olah bertambah hari bertambah mura m. Na mun kedatangan Arum na mpa knya telah me mberikan satu he mbusan udara yang segar. "Marilah" Rara Warih me mpersilahkan "Apakah kau hanya seorang diri?" "Ya puteri. Aku hanya seorang diri" jawab Arum. "Kau me mang luar biasa. Dala m keadaan yang gawat ini, kau berani mela lui lapisan-lapisan peronda di Surakarta" desis Arum. "Aku hanyalah seorang perempuan, puteri. Tidak ada seorangpun yang menghiraukan. Seorang perempuan padesan yang sama seka li t idak berarti bagi mereka" jawab Arum. "Tetapi kau cantik Arum" desis Rara Warih "kecantikan kadang-kadang dapat menjadi racun bagi diri kita sendiri" "Apakah maksud puteri?" bertanya Arum. "Kecantikan a kan dapat menjerat kita ke da la m kesulitan. Kadang-kadang kita akan mengala mi peristiwa yang paling pahit di dala m kehidupan ini justru karena kita cantik. Tetapi mungkin dengan penuh kesadaran, kita dengan sengaja menjerumuskan diri ke da la m satu kehidupan yang gelap, justru karena kita cantik. Seseorang dapat me mpergunakan kecantikannya untuk maksud tertentu. Baik atau buruk, dengan cara yang baik, tetapi juga dengan cara yang buruk" Arum mengangguk kecil. Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Rara Warih. Tidak sela manya kecantikan itu
menguntungkan. Namun kadang-kadang dengan kecantikan seorang perempuan dapat menggulung bumi. Warihpun ke mudian mengajak Arum menghadap ibundanya. Dipersilahkannya gadis itu menunggu di serambi, sementara ia me mberitahukan kedatangan gadis Itu kepada ibundanya yang sedang berhias. "O, gadis itu datang lagi?" bertanya Raden Ayu kepada Rara Warih. "Ya ibunda, ia hanya datang seorang diri" jawab Rara Warih. "Seorang diri?" wajah Raden Ayu itupun menegang. Tergopoh-gopoh ia ke luar dari biliknya. Tetapi ketika Arum ke mudian menceriterakan bahwa Raden Juwiring dan Buntal mendapat tugas ke Penambangan, maka Raden Ayu itupun menarik nafas dala m-dala m. "Sokurlah" berkata Raden Ayu "Aku menjadi ce mas, bahwa sesuatu telah terjadi dengan anak-anak itu" "Tida k Raden Ayu. Tidak terjadi sesuatu dengan mereka. Justru karena mereka sedang bertugas, maka aku diperintahkannya untuk menghadap Raden Ayu" berkata Arum ke mudian. "Baiklah. Tetapi agaknya masih belum ada sesuatu perkembangan yang menarik perhatian" jawab Raden Ayu. "Akupun tahu, bahwa sebenarnya tugas ini sekedar menahan agar aku t idak me ma ksa ikut ke Pena mbangan" jawab Arum dengan nada da la m. Raden Ayu itu tersenyum. Katanya "Kau me mang lebih ba ik datang kepadaku daripada ke Pena mbangan. Kau tentu me mbawa mangir dan lulur. Ternyata mangir dan lulur yang kau bawa itu benar-benar bermutu tinggi. Aku senang me ma kainya. Dan akupun sudah mencoba menawarkan
kepada beberapa orang puteri. Mereka mulai tertarik dan ingin me mbe li. Bukankah dengan de mikian ada alasanmu untuk datang setiap saat ke rumah ini" "Ya, ya Raden Ayu. Aku akan mengatakan kepada ayah, agar ayah me mbuatnya lebih banyak lagi" sahut Arum. Raden Ayu itupun tertawa. Namun ke mudian katanya "Arum. Meskipun de mikian ada satu hal yang dapat kau sampaikan kepada para pemimpin da la m pasukan Pangeran Mangkubumi, bahwa pasukan yang akan dikirim ke Penambangan itu adalah pasukan yang langsung berangkat dari kota ini. Mereka tidak menggerakkan pasukan di Jatimalang. Bahkan pasukan di Jatima lang itu telah disiapkan untuk mencegat jika ada bantuan datang dari arah utara, tentu maksudnya pasukan dari Sukawati atau dari Gebang, bagi pasukan Raden Mas Said yang berada di Penambangan, apabila Pena mbangan telah terkepung" Arum mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah Raden Ayu. Aku kira hal ini penting juga aku sa mpaikan. Msskipun barangkali para pe mimpin pasukan khususnya pasukan sandi Pangeran Mangkubumi sudah mengetahui, bahwa pasukan Surakarta dan kumpeni berada di Jatimalang, namun mereka perlu mendapat keterangan bahwa pasukan itu telah disiapkan untuk me motong setiap iring-iringan pasukan yang menuju ke Penambangan" Setelah beristirahat sebentar, maka Arumpun ke mudian mohon diri untuk segera ke mbali ke Gebang. Namun dala m pada itu, tiba-tiba saja Rara Warih me mohon kepada ibundanya "Ibunda, apakah aku diperkenankan ikut bersama dengan Arum ke Gebang" Aku ingin tingga l bersama kakangmas Juwiring dan pa manda Pangeran Mangkubumi" Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Namun katanya ke mudian "Aku tidak berkeberatan Warih. Tetapi jangan sekarang, maka kau akan menjadi beban bagi Arum,
sementara Arum yang hanya seorang gadis itu masih harus menjaga dirinya sendiri" Sementara itu Arumpun me nyambungnya "Jangan sekarang puteri. Aku akan menjadi ketakutan. Aku tidak akan berani me mpertanggung jawabkan puteri di sepanjang perjalanan" Kekecewaan yang dalam me mbayang di wajah Rara Warih. Tetapi iapun menyadari, bahwa dengan demikian ia hanya akan menjadi beban saja bagi gadis itu. Karena itu, betapapun hatinya bergejolak, maka ia harus tetap berada di sisi ibundanya. Betapapun hatinya menjadi semakin pahit. Sejenak ke mudian, ma ka Arumpun meningga lkan istana Sinduratan. Ia merasa bahwa satu dua orang bangsawan muda, pernah mengena lnya ketika ia berkunjung ke istana Ranakusuman. Tetapi pengenalan yang sekilas itu tentu tidak akan banyak menimbulkan kesulitan kepadanya, justru karena pakaiannya yang lusuh dan sikapnya sebagai seorang gadis kebanyakan yang lewat di jalan-jalan raya seperti kebanyakan perempuan padesan. Namun dala m pada itu, Arumpun sempat melihat kesiagaan prajurit Surakarta. Sepasukan prajurit dari pasukan berkuda lewat berderap di sepanjang jalan kota. Ketika ia berpapasan dengan dua orang laki-laki, ia mendengar bahwa pasukan itu baru pulang dari alun-a lun ke barak mere ka, setelah mereka mengadakan latihan sodoran. Dari orang lain, Arumpun mendengar bahwa latihan-latihan menjadi se makin meningkat. Bahkan ha mpir tidak pernah ada hari yang luang. "Tentu persiapan bagi pasukan yang akan menuju ke Penambangan" desis Arum.
Sebenarnyalah bahwa kumpeni telah menyiapkan pasukannya sebaik-baiknya. Mereka menyadari, bahwa kecuali pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Pangeran Mangkubumi di Gebang atau di Sukawati, ternyata bahwa pasukan Raden Mas Saidlah yang paling kuat. Karena itu, maka untuk menghancurkan Penambangan, kumpeni dan pasukan Surakarta telah mengerahkan pasukannya yang terbaik. Pasukan yang langsung dikirim dari kota Surakarta. Seperti yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit kepada Arum, bahwa pasukan di Jatimalang justru disiapkan untuk mencegat jika ada bantuan yang menuju ke Pena mbangan. Namun dala m-pada itu, di hari-hari yang semakin dekat, kumpeni dan para Senapati di Surakarta telah meniupkan kabar angin, bahwa pasukan yang disiapkan itu justru akan menuju ke Gebang, langsung me mukul induk pasukan Pangeran Mangkubumi. Tetapi kumpeni dan para Senapati tidak me ngetahui, bahwa rencana mere ka sudah didengar oleh Pangeran Mangkubumi, justru karena kelengahan satu dua orang perwiranya di meja bujana andrawina dan di bawah segarnya senyum Raden Ayu Galihwarit yang menjadi se makin cantik. Kumpeni dan para pemimpin prajurit Surakarta benar-benar telah siap. Sepasukan berkuda akan ikut bersa ma pasukan segelar sepapan untuk mengepung Pena mbangan. Bahkan mereka yakin, bahwa pasukan Raden Mas Said akan dapat ditumpasnya sampa i punah. Sementara itu, Arumpun telah ke luar dari pintu gerbang kota. Para prajurit yang berjaga-jaga di pintu gerbang sama sekali tidak menghiraukannya. Yang lewat itu bagi mereka adalah seorang gadis padesan seperti kebanyakan gadis padesan yang pergi ke kota untuk menjual hasil kebun dan pategalannya. Pada saat Arum dala m perjalanan ke mbali. Juwiring dan Buntal masih juga me macu kudanya. Jarak yang ditempuh
oleh Juwiring dan Buntal berlipat ganda dari jarak yang ditempuh Arum. Tetapi karena mereka berkuda, maka merekapun akan dapat lebih cepat sampai. Apalagi mereka berangkat pada dini hari, sementara Arum baru mendekati kota. Tetapi agaknya tidak seperti saat mereka berangkat menuju ke Penambangan. Ketika mereka ke mba li dari Penambangan, me lalui padukuhan kecil di hadapan padukuhan Jatimalang, mereka telah dilihat oleh beberapa orang peronda dari pasukan Surakarta yang berada di Jatimalang. Na mpaknya mereka menjadi curiga melihat dua orang berpacu dengan kencangnya. Karena itulah, maka ampat di antara merekapun segera mengejarnya. Namun ternyata bahwa kuda Raden Juwiring dan Buntal berlari lebih cepat, sehingga keempat kuda itu telah berjuang sekeras-kerasnya untuk dapat menyusul. Justru semakin la ma semakin jelas, bahwa dua di antara keempat ekor kuda itu telah tertinggal. Dua yang lain masih ma mpu untuk berlari mencoba mengimbangi langkah ka ki kuda Juwiring. dan Buntal. "Mereka mengejar kita" desis Raden Juwiring. "Hanya dua orang" sahut Buntal. "Empat orang" jawab Raden Juwiring. "Yang dua tertingga l. Tetapi yang dua itu agaknya masih berusaha untuk menyusul kita" "Apakah kita akan me layani mereka?" bertanya Raden Juwiring. "Terserahlah kepada Raden" jawab Buntal "Tetapi kita me mpunyai kewajiban untuk menya mpaikan ba lasan Raden Mas Said" Raden Juwiring mengangguk. Karena itu, iapun tidak ingin menunggu orang-orang yang me ngejarnya.
Namun tiba-tiba saja Buntal berdesis "Mereka me motong jalan" "Gila" gera m Raden Juwiring "Kita tidak se mpat menge lak lagi. Tidak ada jalan simpang Atau kita akan terjun ke sawah untuk menghindar?" Buntal tidak se mpat menjawab. Dua ekor kuda yang berhasil me motong lewat jalan setapak itu, se makin la ma menjadi se makin mendekati ja lur jalan yang ditempuh oleh Juwiring dan Buntal, justru di hadapan mereka. "Mereka lebih mengenal daerah ini" berkata Juwiring. Sementara itu, ketika mereka berpaling, meskipun masih cukup jauh, dua orang penunggang kuda la innya, masih juga mengejar mere ka. "Tida k ada ke mungkinan lain" desis Buntal, "Baiklah Buntal. Kita akan berte mpur. Aku terbiasa bertempur di punggung kuda, karena aku adalah seorang Senapati muda prajurit Surakarta dari pasukan bekuda. Cobalab menyesuaikan diri. Kuasai kuda mu baik-baik. Medan ini me mang tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda. Tetapi aku akan langsung menjatuhkan salah seorang dari keduanya demikian merekan masuk keja lur jalan ini. "Tetapi kita belum pasti, siapakah mereka" desis Buntal. "Aku mengenal se mua ciri dari para prajurit di Surakarta. Mereka adalah prajurit Surakarta, tetapi bukan dari pasukan berkuda meskipun mereka berkuda. Agaknya mereka me mang sedang meronda " jawab Juwiring. "Jadi, kita akan langsung melawan mere ka?" bertanya Buntal. "Kita harus menga mbil keuntungan pada benturan pertama. Ingat, mereka bere mpat. Sebentar lagi, dua orang
penunggang kuda yang menyusul di belakang itu akan sa mpai pula di sini" jawab Juwiring. Buntal mengangguk. Ia percaya kepada Raden Juwiring, karena iapun menganggap bahwa pengalaman Raden Juwiring di lingkungan keprajuritan lebih banyak dan luas. Sebenarnyalah Raden Juwiring telah meninggalkan Buntal beberapa langkah. Ia tidak mau terlambat. Demikian kedua ekor kuda lawan itu masuk ke jalur jalan yang dilaluinya, maka iapun harus berhasil Sesaat kemudian mereka masih berpacu. Dua ekor kuda yang memotong jalan itupun menjadi se makin dekat, kedua orang penunggangnya itupun sudah siap pula menghadapi segala ke mungkinan. Juwiring me mperhatikan sikap dari kedua orang penunggang kuda itu. Mereka akan me masuki jalur jalan dari arah kanan. Ada sedikit keuntungan padanya, karena keduanya agaknya akan me megang senjata mereka dengan tangan kanan. Ketika mereka menjadi se makin dekat, maka kedua orang penunggang kuda yang me motong jalan itupun telah menarik senjata mereka. Seorang yang berkumis lebat berada di depan, dan seorang yang berkulit kehita m-hita man berada di belakang. Juwiringpun telah siap menghadapi penunggang yang di depan. Ia berharap Buntal dapat menyesuaikan diri menghadap yang seorang lagi. Saat-saat yang menegangkan itupun me njadi se makin dekat. Ketika beberapa langkah lagi, mereka akan sa mpai kesimpang tiga, maka Raden Juwiring telah mencabut pedangnya. Sekaligus pedangnya itupun telah terayun dengan perhitungan yang tepat. Ternyata ia dapat menyesuaikan waktu seperti yang dikehendakinya. Kuda yang me motong jalan itu masuk selangkah lebih dahulu. Namun dengan
cepatnya kuda Raden Juwiring telah menyambarnya. Sekali ayun senjata Raden Juwiring telah tergores dipundak lawannya yang belum se mpat mene mpatkan diri. Buntal ternyata menjadi berdebar-debar. Ia berusaha berbuat seperti Raden Juwiring. Tetapi, di saat terakhir ia telah merubah niatnya. Ia mempunyai perhitungan tersendiri. Ketika lawannya me lihat kawannya yang mendahuluinya tidak sempat menangkis pada serangan pertama, maka orang itu berusaha memperla mbat kudanya untuk mendapatkan kesempatan mengatur benturan di simpang tiga. Tetapi Buntalpun me mperla mbat kudanya Justru dengan demikian maka kedua ekor kuda itupun bertemu di simpang tiga. Penunggang kuda yang berkulit kehita m-hita man itu ternyata telah menjadi bimbang me lihat Buntal yang sama sekali tidak menarik senjatanya. Namun pada saat ia masih termangu-mangu, Buntal telah meloncatinya dan mendorongnya bersama-sa ma jatuh di tanah, sebelum orang itu se mpat mengayunkan senjatanya, Keduanyapun jatuh berguling-guling beberapa langkah. Kemudian ha mpir bersamaan merekapun berloncatan berdiri tegak. Baru pada saat yang demikian Buntal menggengga m senjatanya. Pada saat yang bersamaan Raden Juwiring telah me mutar kudanya Ternyata ia memang lebih cepat dari lawannya. Sekali lagi ia menyambar dengan senjata terayun. Namun lawannya sudah siap menangkis serangan itu meskipun ia telah terluka di pundak kiri. Meskipun de mikian serangan Raden Juwiring me mbuatnya cemas. Ketika ia menangkis senjata Raden Juwiring yang terayun, sehingga terjadi benturan senjata, maka terasa tangan prajurit yang telah terluka itu me njadi sa kit
Sebenarnyalah bahwa Raden Juwiring pantas untuk menjadi Senapati pada pasukan berkuda. Selagi lawannya me mperbaiki kedudukannya serta genggaman pedangnya, kuda Raden Juwiring me lingkar hampir mele kat sehingga kuda lawannya yang terkejut me lonjak dan surut beberapa langkah. Sekali lagi terdengar prajurit itu mengeluh. Pedang Raden Juwiring telah sekait lagi menggores lengan, justru tangan kanan. Prajurit itu menjadi se makin gelisah. Luka di punda k kiri dan lengan kanannya itu terasa menjadi pedih Ketika darah mengucur se makin banyak, maka iapun bertambah resah. Tetapi ia masih berharap, kedua orang kawannya yang lain, yang menjadi se makin de kat, akan dapat me mbantunya. Sementara itu, orang yang kehita m-hita man yang berhadapan dengan Buntal masih sempat bertanya "Siapa kalian, he?" "Sudah jelas" jawab Buntal "seharusnya kanan mengerti siapa ka mi. Ka mi adalah orang-orang padepokan Raga Tunggal" "Aku belum pernah mendengar padepokan Raga Tungga l" desis orang itu. Buntal tertawa. Katanya "Karena kau akan mati, maka kau boleh mengerti, siapakah ka mi. Da la m ke melut seperti ini slangkah suburnya daerah perburuan ka mi. Tidak ada orang yang sempat me mperhatikan tingkah laku ka mi. Ka mi adalah segerombolan pera mpok yang paling ditakuti di daerah Utara. Kami mencoba keuntungan ka mi di daerah Selatan, Ternyata daerah Selatan justru lebih subur. Ka mi tidak takut bertemu dengan Pangeran Mangkubumi atau para pengikutnya" "Setan" geram prajurit yang berkulit kehitam-hita man itu "ternyata kalian telah merendahkan martabat para prajurit Surakarta. Sekarang kalian harus menyerah dan karena kalian
telah me lakukan kejahatan dala m keadaan seperti sekarang, maka kalian a kan digantung di alun-alun" "Kenapa kau ributkan ka mi" Bagi ka mi, lebih baik ka mi rampok sendiri daripada pendok emas dan intan berlian dira mpok oleh kumpeni. Di tangan ka mi, barang-barang itu hanya berpindah tempat. Tetapi tidak akan diangkut ke tanah di seberang benua dan sa modra" jawab Buntal. Prajurit berkulit kehita m-hita man itu menggera m. Sejenak ke mudian iapun telah siap menyerang Buntal. Na mun Buntal telah bersiap pula menghadapinya. Karena itu, ketika prajurit itu menika mnya langsung pada arah jantung, Buntal se mpat bergeser. Justru dengan tangkasnya pula ia mengayunkan pedangnya mendatar. Prajurit itupun sempat menangkis serangan Buntal. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Pada satu putaran di atas sebelah kakinya ia menga mbil jarak. Ke mudian dengan tangkasnya pula ia me loncat menyerang. Keduanyapun kemudian bertempur dengan sengitnya. Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa pedang Buntal dapat bergerak lebih cepat. Pada saat-saat yang menentukan, derap dua ekor kuda menjadi se makin dekat. Sementara itu, lawan Juwiring yang telah terluka, hampir tidak ma mpu lagi melawan. Ia seakan-akan menyerahkan nasibnya kepada kudanya yang kemudian me mbawanya lari menyongsong kedua orang kawannya. Juwiring tidak mengejar mereka, karena ia tida k mau terjebak. Namun ia menjadi ce mas karena kuda Buntal yang tidak nampa k lagi. Tetapi ia tidak se mpat me mikirkannya lebih la ma. karena kedua orang lawannya yang baru menjadi semakin de kat. Tetapi Juwiring tida k menjadi ce mas. Ia tahu pasti bahwa Buntal akan dapat mengalahkan lawannya sebelum kedua orang baru itu sempat menguasainya.
Sebenarnyalah, ketika kedua orang lawannya yang baru itu mende kat, diiringi oleh prajurit yang terluka itu, maka Buntal telah menghentakkan senjatanya mengarah lambung. Tetapi lawannya tidak me mbiarkan la mbungnya disayat oleh pedang Buntal. Karena itu, dengan serta merta, ia telah mengayunkan pedangnya me mukul pedang Buntal. Tetapi Buntal menarik serangannya dengan cepat. Dengan tiba-tiba saja ia telah me loncat dengan pedang terjulur menika m jantung, di saat dada lawannya sedang terbuka. Lawannya tidak se mpat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat me mandangi dengan wajah tegang ujung pedang yang dengan de mikian cepatnya me matuknya. Tetapi pada saat ujung pedang itu hampir menyentuh kulit, telah terbersit perasaan iba di hati Buntal melihat sorot mata lawannya. Karena itu pada saat yang tepat, ia sempat menggerakkan pergelangan tangannya sedikit sehingga ujung pedangnya telah bergeser. Meskipun pedang itu masih menika m bagian tepi dadanya, tetapi pedang itu tidak langsung me mbelah jantungnya. Namun terdengar orang itu berdesah. Buntal yang kemudian menarik pedangnya melihat darah mengucur dari luka yang menganga. Tetapi orang itu tidak langsung jatuh dan mati karena lukanya itu. Dala m pada itu, kedua orang berkuda yang baru datang itupun telah mulai berte mpur me lawan Juwiring. Meskipun ia harus me lawan dua orang, tetapi keadaan medan menguntungkannya, sehingga kedua orang itu tidak sempat menyerang bersa ma dari arah yang berbeda. Tetapi ketika lawan Buntal itu sudah tidak berdaya, meskipun ia masih se mpat merangkak me nepi maka Buntalpun me langkah mendekati medan. Se mentara seorang penunggang kuda yang telah dilukai oleh Juwiring menjadi semakin le mah duduk di punggung kudanya.
Dala m pada itu, dua orang prajurit yang bertempur me lawan Juwiring itupun segera menyesuaikan diri. Karena mereka t idak me ndapat banyak kese mpatan untuk bertempur berpasangan, maka akhirnya yang seorang telah berusaha untuk menyerang Buntal. Di luar dugaan, orang itupun telah me mutar kudanya dan langsung menyambar Buntal yang masih berdiri termangu-mangu. Buntal terkejut ketika ia me lihat pedang orang berkuda itu terayun ke lehernya. Karena itu, maka dengan serta merta iapun segera me loncat dan jatuh berguling. Ha mpir saja ia terperosok masuk ke dala m parit yang ternyata airnya tidak terlalu bersih. Ketika Buntal me loncat bangkit, maka ia me lihat kuda itu telah menyambarnya lagi. Karena itu, maka iapun segera me loncati parit di pinggir jalan itu, sehingga senjata lawannya tidak dapat menggapainya. -ooo0dw0ooo-
Jilid 24 NAMPAKNYA lawannya menjadi marah. Karena itu, maka japun segera menghentikan kudanya dan me loncat turun. Buntal yang me mang lebih mantap bertempur diatas tanah, segera meloncati parit itu lagi dan dengan tegak ia berdiri menghadapi lawannya yang mende katinya. Pertempuran yang serupa telah terjadi pula Raden Juwiring dengan kema mpuannya bertempur diatas kuda, telah mendesak lawannya. Namun na mpa knya kurang cermat mengenda likan kudanya, sehingga tiba-tiba saja kudanya telah tergelincir dan jatuh terguling kedala m parit, Malang bagi prajurit itu. Diluar kuasanya mengendalikan diri, ternyata senjatanya telah melukainya sendiri. Lambungnya telah dikoyak taja m senjatanya sendiri Karena itu, ketika kudanya berusaha untuk bangun, justru prajurit itu dengan susah payah berusaha untuk bangkit. Tetapi Juwiring terkejut ketika melihat darah mengalir dari tubuh lawannya. Barulah Juwiring sadar, bahwa lawannya telah terluka karena senjatanya sendiri.
Yang masih me mberikan perlawanan adalah lawan Buntal. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berjambang panjang, tetapi ia tidak akan berdaya jika Juwiringpun ikut pula me lawannya. Karena itu, maka Juwiring yang masih duduk di punggung kudanya berkata "Sudahlah. Menyerah sajalah. Tidak ada gunanya kau melawan. Ka mipun sebenarnya tidak ingin me lawan prajurit Surakarta. Jika kami terpaksa me lakukannya, maka ka mi hanya sekedar menghindar. Mungkin kalian akan menangkap ka mi, karena kami adalah orang-orang dari padepokan didaerah Utara." "Padepokan Tunggal"desis menya mbung. Rasa Buntal
Lawan Buntal yang terluka di pinggir jalan, yang mendengar jawaban itu menjadi heran. Yang diucapkan itu berbeda dengan pendengarannya terdahulu. Karena itu. tiba-tiba saja ia ingin meyakinkan. Betapa sakit mencengka m dadanya, namun ia masih bertanya "Padepokan Rasa Tunggal atau Raga Tunggal " " Buntal tergagap. Namun ke mudian dijawabnya "Raga Tunggal. Bukankah a ku mengatakannya sejak se mula Raga Tunggal" Nah, jika ka lian ingin me mburu ka mi pergilah ke padepokan Raga Tungga l," Prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tiga orang kawannya sudah tidak berdaya. Meskipun de mikian, ia masih bertanya "Jika aku me nyerah, apa yang akan kau lakukan ?"
Sebagaimana pesan yang selalu didengar dari para pemimpin pasukan Pangeran Mangkubumi, maka Juwiringpun menjawab "Aku tidak akan berbuat-apa-apa. Tetapi jangan berusaha menangkap ka mi." Prajurit itu menjadi heran. Tetapi na mpaknya kedua anak muda itu bersungguh-sungguh, karena Buntalpun berkata "Jika ka mi ingin me mbunuh, ka mi sudah me mbunuh. Karena itu, jika kau me mang masih ingin hidup, menyerah sajalah. Tetapi dengan syarat." "Apa ?" bertanya prajurit itu. "Aku a mbil kuda mu, karena kuda ku telah hilang." jawab Buntal, Prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu me mang merasa, bahwa anak-anak muda itu sengaja menyinggung perasaannya dengan sikapnya. Tetapi ia tidak me mpunyai pilihan lain. karena sebenarnyalah bahwa ia masih belum ingin mati. Karena itu, maka para prajurit itupun menyatakan tidak akan menangkap mereka dan me mberikan kuda yang diminta oleh Buntal. Sejenak ke mudian, maka kedua anak muda itupun telah rneninggaikaln medan. Na mun Buntal mendapat seekor kuda tidak setegar kudanya sendiri. Tetapi tiba-tiba saja bagaikan bersorak ia berkata "He, lihat." Ketika mereka berpacu sa mpa i batas pategalan mereka me lihat seekor kuda yang sedang dengan tenang makan rerumputan dipinggir jalan. "Itu kuda ku." desis Buntal. "Kuda itu na mpa knya masih me nunggumu" sahut Juwiring.
Karena ku maka Buntalpum telah berganti kuda. Sementara itu kuda yang dipinja mnya itupun dihadapkanmya kearati pemiliknya. Kemudian dengan satu lecutan kuda itu berderap berlari tanpa penunggang. Sementara itu, prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu telah mengumpulkan kawan-kawannya yang terluka. Yang tinggal di tempat itu. hanyalah dua e kor kuda. Karena itu. maka agar mereka tidak terlalu la ma, diusahakannya agar setiap ekor kuda dapat me mbawa dua orang bersa ma-sama. Tetapi merekapun terkejut ketika mereka mendengar derap seekor kuda berlari kearah mereka. Ternyata kuda itu adalah kuda yang dipinja m oleh anak-anak muda yang menga ku dari padepokan Raga Tungga l. "Siapakah sebenarnya mereka?" bertanya orang bertubuh tegap itu seolah-olah kepada diri sendiri. Hampir diluar sadarnya, orang yang berkulit kehita mhitaman, yang terluka dliidada menyahut "Mungkin mereka adalah para pengikut Pangeran Mangkubumi " "Tandanya ?" bertanya kawannya yang terluka oleh senjata sendiri "Mereka tidak me mbunuh kita." jawab arang yang berkulit kehita m-hita man "aku merasa, bahwa anak muda itu sengaja me mbiarkan a ku hidup, justru karena ia menggeser tika man senjatanya." Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian orang yang bertubuh tegap itu berkata "Cepat, sebelum luka ka lian itu menuntut lebih banyak lagi dari kalian. " Demikianlah maka dengan kuda yang ada, para prajurit itu ke mbali ke Jatima lang. Dengan pakaian yang di kotori oleh darah mereka sendiri, maka prajurit itu bagaikan merangkak ke mbali kepada kawan-kawannya.
Kedatangan mereka telah mengejut kan. Seorang Senapati muda langsung bertanya "Apakah kau bertemu dengan para pengikut Pangeran Mangkubunti?" Orang yang berkulit kehitam-hita man itulah yang dengan serta merta menjawab "Tidak Senapati. Kami bertemu dengan sekawanan perampok yang justru me mpergunakan kesempatan pada saat-saat seperti ini." "Perampok" Dan ka lian tidak dapat menangkap mereka ?" bertanya Senapati itu. "Menurut laporan yang aku dengar, mereka hanya berdua saja." "Ya. Ketika ka mi melihat dari padukuhan sebelah, mereka me mang hanya berdua. Kami mengejarnya berempat Tetapi ternyata ada tiga orang kawannya telah menunggu di ujung bulak sebelah. Selagi ka mi bere mpat bertempur melawan lima orang perampok, telah datang lagi dari arah yang berbeda, seorang yang ternyata adalah pemimpinnya." "Ena m orang perampok. Dan kalian adalah prajurit. Surakarta." geram Senapati itu. "Ya. Kami berhasil bertahan. Mereka telah melarikan diri dengan me mbawa beberapa orang terluka. Tetapi ka mi sudah terlalu lemah, sehingga ka mi tidak akan mungkin mengejarnya lagi " jawab orang berkulit kehita m-hitaman itu. Senapati itu agaknya kurang me mpercayai keterangan itu. Dipandanginya wajah-wajah pucat dari ketiga orang lainnya. Namun orang bertubuh tegap itupun mengangguk sa mbil menjawab "Ka mi tida k mendapat kesempatan terlalu banyak. Para perampok itu ternyata memiliki ke ma mpuan yang cukup untuk melawan ka mi selain jumlah mereka yang lebih banyak. Karena itu. ka mi tidak dapat menangkap seorangpun diantara mereka, meskipun ka mi dapat melukai beberapa orang. Mungkin me mbunuhnya, karena mereka se mpat dibawa oleh kawan-kawannya."
"Bodoh sekali" gera m Senapati itu "musnakan rnereka. Perampok-pera mpok me mang berusaha untuk me manfaatkan keadaan." Keempat orang itu tidak menjawab. Namun Senapati itupun ke mudian berkata "Obati luka mu. " Para prajurit yang terluka itupun ke mudian telah pergi ke belakang barak mereka untuk mene mui tabib pasukan yang segera mengobatinya. Dala m pada itu Raden Juwiring dan Buntal telah berpacu semakin cepat. Perkelahian itu telah mera mpas waktu mereka cukup panjang. Sehingga karena itu, maka mereka harus berpacu lebih cepat lagi, agar mereka tidak terlalu la ma mencapai daerah pertahanan Pangeran Mangkubunii untuk me mberakan surat jawaban Raden Mas Said yang sudah mereka mengerti isinya. Namun dala m pada itu, perjalanan Arum ketika ia ke mbali itupun tidak selancar ketika ia berangkat. Ketika ia sampai di bulak panjang yang sepi, tiba-tiba saja ia berpapasan dengan dua orang berwajah kasar. Seorang masih muda sedangkan yang lain mendekati pertengahan abad. Semula Arum tida k menghiraukan mereka. Jarak yang ditempuh sudah menjadi tidak terlalu panjang lagi. Sebentar lagi ia a kan me masuki daerah pengawasan pasukan Pangeran Mangkubumi. Namun ternyata kedua orang itu telah menghentikannya. Anak muda itu berdiri ditengah jalan sa mbil bertola k pinggang, sementara orang yang separo baya itu berdiri termangumangu di pinggir jalan. Aram menjadi berdebar-debar. Menilik bahwa kedua orang itu bersenjata, maka agaknya keduanya adalah bagian dari satu pasukan. Tetapi pasukan yang mana.
Arum mengena l ka limat-ka limat sandi apabila diperlukan. Karena itu apabila keduanya adalah orang-orang dari pasukan Pangeran Mangkubumi ma ka keduanya tidak akan berbahaya baginya. Tetapi, ternyata bahwa jantung Arumpun berdebar semakin cepat. Nampaknya keduanya memiliki sifat yang agak berbeda dari para pengikut Pangeran Mangkubumi. Karena itu, moka Arumpun menjadi semakin berhati-hati ketika ia mendekati kedua orang yang na mpaknya sengaja menunggunya. "Jika keduanya orang-orang yang dipasang kumpeni, aku akan menjadi sangat bingung. Jika aku melawan, ma ka ia akan dapat melihat bahwa aku me miliki ke ma mpuan serba sedikit. Jika pada suatu saat aku bertemu lagi dengan mereka di kota apabila aku menghadapi Raden Gaiihwaiit, maka mereka akan dapat berbahaya bagiku." berkata Arum didala m hatinya, Kedua orang itu t idak menegornya sa mpai Arum berada beberapa langkah saja dihadapan anak muda yang berdiri ditengah jalan itu. Tetapi ketika Arum melangkah menepi, barulah anak muda itu beringsut. Sambil tersenyum ia bertanya "He, anak manis. Dari mana, he ?" Arum mengerutkan keningnya. Namun ke mudian sa mbil me langkah surut ia menjawab "Dari kota, Ki Sanak." "Ada apa ke kota " Apakah kau mempunyai sanak kadang di kota " Bukankah di kota suasananya sedang kisruh setelah kumpeni ada di Surakarta." desis ana k muda itu. "Tida k Ki Sanak. Di kota tidak ada apa-apa. Aku berjualan jamu dan mangir serta lulur untuk pere mpuan-pere mpuan kota." jawab Arum. "O, begitu" jawab anak muda itu "agaknya karena itu maka kau cantik. He, apakah daganganmu itu laku " " "Sebagian" jawab Arum,
Dala m pada itu, orang yang separo baya itupun berdesis "Ambil saja uangnya. Jangan terlalu la ma." Arum mengerutkan keningnya. Atas sikap, itu, ia sudah dapat menduga, bahwa keduanya tentu bukan para pengikut Pangeran Mangkubumi. Atau seandainya keduanya pengikut Pangeran Mangkubumi juga. maka keduanya sudah menyalahi paugeran bagi pasukan Pangeran Mangkubumi. Anak muda yang berdiri ditengah jalan itupun berdesis "Tida k hanya uangnya paman, tetapi gadis, eh. perempuan ini terlalu cantik, apakah ia gadis atau bersuami atau janda muda. " Wajah Arum menjadi tegang. "Kau sudah ka mbuh" desis orang yang separo baya. Tetapi anak muda itu tertawa. Katanya "Paman jangan berpura-pura. Jika aku bawa gadis ini, pa manlah yang akan lebih senang dari aku sendiri, karena paman me merlukannya lebih banyak." Laki-laki separo baya itu mengerutkan Jawabnya "Ambil uangnya. Kita segera pergi." keningnya.
"Paman agaknya menjadi ce mas, bahwa daerah ini menjadi daerah pengamatan pasukan Pangeran Mangkubumi. Jangan takut paman. Bulak ini terlalu panjang, sepi dan jarang dila lui orang. Jika perempuan ini berteriak, tida k akan ada seorangpun yang mendengar. Di sawah disekitar te mpat ini. aku tidak melihat seorangpun yang sedang bekerja. Sementara jika pasukan Pangeran Mangkubumi nganglang lewat bulak ini, jauh-jauh kita sudah melihatnya." jawab anak muda itu. "Anak setan" geram orang tua itu "jika kau ingin berbuat sesuatu, lakukanlah. Aku hanya me merlukan uangnya. Bukankah ia baru saja menjual ja mu, mangir dan lulur" He,
perempuan yang ma lang, berikan uangmu. Aku hanya me merlukan uangmu. " Arum menjadi se makin tegang, la tidak mendapat uang. Ia hanya membawa bekal seperlunya diperjalanan. Apalagi jika ia me mperhatikan anak muda yang berdiri ditengah jalan itu. Hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi dengan de mikian Arumpun me ngetahui, bahwa orang itu bukan kaki tangan kumpeni. Juga bukan orangorang dari pasukan yang manapun juga. Kesimpulan Arum. orang-orang itu adalah perampok atau penyamun yang menga mbil kese mpatan justru pada saat yang sedang gawat. "Berikan uangmu, analk manis" desis anak muda itu "dan berikan apa saja yang aku kehenda ki. " Wajah Arum menjadi merah. Tetapi ia sudah dapat menga mbil sikap tegas. Orang-orang iitu harus dilawannya. Meskipun Arum belum mengetahui tataran kemampuannya, namun Arum tidak akan menyerahkan apapun yang diminta, oleh orang-orang itu. Sejenak Arum menga mati senjata orang-orang itu. Keduanya me mbawa parang yang tidak terlalu panjang, tetapi nampaknya besar dan berat. Sementara Arum sendiri tidak me mbawa senjata panjang, la hanya menyembunyikan beberapa senjata pendek dibawah setagennya. Pisau-pisau belati kecil yang akan dapat me mbantunya jika terpaksa. "Jangan mencoba menentang kehendak ka mi" berkata anak muda itu" bulak ini terla mpau panjang. Meskipun kau berteriak, suaramu akan hilang ditelan luasnya bulak ini, sementara seperti yang kau lihat, tidak ada seorangpun yang bekerja disawahnya disaat seperti ini. " Arum mengumpat didala m hati. Hambatan itu justru datang dari orang-orang gila seperti itu. Bukan dari prajurit Surakarta, dan bukan puja dari Kumpeni.
"Tetapi aku dapat bertindak tegas menghadapi mereka" berkata Arum didala m hatinya. Sementara itu, orang yang sudah separo baya itu berkata kepada kawannya dengan lantang "Jika kau menjadi gila me lihat gadis itu, terserah. Tetapi aku akan menga mbil uangnya dan pergi. Lakukan apa yang kau lakukan seterusnya tanpa menghiraukan a lku lagi." Anak muda itu tertawa. Katanya "Sejak kapan kau me njadi demikian le mbut hati." "Daerah ini adalah daerah pengawasan pasukan Pangeran Mangkubumi. Setiap saat orang-orangnya dapat saja muncui dibula k ini. Dan kata tidak akan mendapat kese mpatan untuk lolos." "Baiklah" berkata anak muda itu "jika kau pergi, pergilah. Aku akan menga mbil apa saja yang dapat aku ambil dari perempuan ini. Termasuk uangnya. Katakan, di-mana kau akan menunggu aku. " Kawannya menggera m. Na mun katanya "Aku akan me mbawa uangnya lebih dahulu." Ia berhenti sejenak, lalu katanya kepada Arum "He, anak ma lang. Berikan uang itu kepadaku. Kau tentu mendapat uang dari pere mpuanperempuan yang sudah bersolek dengan mangir, lulur dan me me lihara ke mudaan mereka dengan rera muan ja mu. " "Aku tidak me mbawa uang" jawab Arum "aku hanya menyerahkan barang-barang itu. Semuanya adalah urusan ibuku. Uangnyapun a kan diterima oleh ibuku kela k." "Jangan begitu" desis orang yang separo baya itu "aku sudah berusaha untuk menghindarkan diri dari tindakantindakan yang lebih gawat bagimu. Karena itu, serahkan saja uangmu. Ke mudian aku akan pergi." "Aku tidak me mpunyai uang. Aku t idak bohong" jawab Arum.
Orang itu. menarik nafas dalam-dala m. Sementara anak muda itu tertawa "Percayalah. Perempuan imi tida k mudah menyerahkan uangnya. Karena itu, jangan terlalu berbaik hati." "Na mpaknya perempuan ini me mang keras kepala" sahut yang lain "apakah kau ingin ka mi berdua menyeretmu keluar dari daerah ini" Disebelah padesan itu terdapat sebuah sungai. Menelusuri sungai itu, kami akan dapat sampai kesarang kami. Apakah kau ingin mengikuti ka mi ?" Wajah Arum terasa bagaikan tersentuh bara. Karena itu, maka iapun menjawab "Ba iklah. Aku akan datang kesarangmu kelak bersa ma Ki Jagabaya dari padukuhan ini. Kau akan diseret dan di pertontonkan kepada seluruh penghuni Kademangan ini " "He" wajah kedua orang itu menegang. Sementara itu, anak muda itupun menyahut "Jangan lancang berbicara dengan aku. Aku dapat berbuat apa saja. Halus, kasar dan barangkali akan dapat me mbuat kau menyesal seumur hidup mu, " Arumpun menjadi se makin marah pula. Karena itu, maka iapun menjawab "Jangan menganca m dan mena kut-nakuti aku. Ingat, daerah ini adalah daerah pengawasan pasukan Pangeran Mangkubumi seperti yang kau katakan sendiri. Setiap saat, pasukan peronda akan lewat. Sementara menunggu mereka, aku akan me lawan kalian berdua." Kata-kata itu benar-benar me mbingungkan kedua orang itu. sehingga untuk sejenak, keduanya justru berdia m diri sambil berpandangan. "Ki Sanak" berkata Arum ke mudian "a ku masih me mberi kesempatan kalian untuk menyingkir dari ja lan ini sebelum pasukan peronda Pangeran Mangkubumi lewat dan menyeret kalian ke daerah pertahanannya untuk diadili."
Wajah anak muda itupun masih na mpa k tegang. Namun ke mudian ia tertawa sambil berkata "Luar biasa. Kau adalah perempuan yang luar biasa. Kau tidak menjadi ge metar melihat kami dan rencana ka mi, bagaimana ka mi akan me mperlakukan kau. Justru kau masih se mpat berusaha untuk me mbebaskan dirimu dengan menggertak ka mi." "Aku tidak me nggertak. Aku akan mela kukannya" desis Arum sambil melepaskan keba yang didukungnya dengan selendang di la mbungnya. "Bagaimanapun juga, aku wajib melawan kalian, Cacingpun akan mengge liat jika terinjak ka ki. Apalagi aku." Sikap Arum benar-benar mengherankan kedua orang itu. Namun anak muda ku berkata "Sikapmu sema kin menarik anak manis. Perempuan yahg de mikian adalah pere mpuan yang sangat menarik perhatianku." Namun anak muda itu terkejut bukan buatan. Sebelum ia sempat tertawa lagi, tiba-tiba terasa wajahnya bagaikan dibakar dengan api. Ternyata Arum yang sudah melepaskan keba pandannya itu, telah meloncat pendek, mendekati anak muda itu dan langsung menampar pipinya. Demikian kerasnya, sehingga terasa pipi anak muda itu bagaikan terbakar. Sementara itu ketika ia meludah, ternyata giginya telah berdarah. Yang dila kukan Arum itu me mang sangat mengejutkan. Namun sekaligus Arum dapat menjajagi serba sedikit, kekuatan dan daya tahan lawannya. Ternyata anak muda tiu tidak se mpat mengelak, meskipun Arumpun sadar, bahwa hal
itu disebabkan karena anak muda itu lengah dan tidak menduga sa ma sekali, bahwa hal itu akan terjadi Namun dala m pada itu, apa yang dilakukan Arum itu benarbenar menggetarkan hati. Keduanyapun menyadari, bahwa ternyata perempuan yang menga ku penjual rera muan ja mu, mangir dan luhur itu bukannya pere mpuan kebanyakan. Karena itu, maka keduanyapun bergeser surut. Dengan suara lantang anak muda itu berkata "Pere mpuan ini agaknya perempuan gila. Baiklah, kau akan menyesal karena kau sudah menghina ka mi. Kami dapat me mbuat kau malu dan menyesal sepanjang hidupmu. Tetapi ka mipun dapat me mbunuhmu dan me mbiarkan mayatmu terkapar di jalan bulak ini." "Kau kira aku menjadi ge metar mendengar ancaman mu itu ?" jawab Arum "marilah. Aku terpaksa melakukannya untuk me mpertahankan diri dan sedikit me mberi peringatan kepada perampok dan penya mun yang me manfaatkan keadaan yang gawat ini.". Kedua orang berwajah kasar itu termangu-mangu. Na mun anak muda itupun berkata "Baik. Kau me mang sangat menarik anak manis. Kau menjadi se makin menarik bagiku." Anak muda itupun tiba-tiba saja telah bersiap. Sementara kawannyapun telah bergeser. Dengan suara berat ia berkata "Kau sudah menyakiti hati ka mi." Arum tidak melihat kemungkinan lain daripada berkelahi me lawan kedua orang itu. Tetapi karena ia t idak me ma kai pakaian khususnya, ma ka rasa-rasanya memang agak canggung juga baginya. Namun de mikian ia terpaksa menyingsingkan bukan saja lengan bajunya, tetapi juga kain panjangnya, "Anak gila" geram anak muda yang mencegatnya.
Arum t idak menghiraukannya, la tidak ingin mengala mi bencana yang gawat menghadapi kedua orang itu. Karena itu, maka ia t idak menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh kedua orang lawannya. Ternyata kedua orang laki-laki berwajah kasar itu masih juga menganggap bahwa Arum adalah seorang pere mpuan yang meskipun me miliki ke lebihan, tetapi tidak akan mengejutkan mereka. Sehingga karena itu, ma ka keduanya tidak segera mencabut senjatanya. "Perempuan yang banyak tingkah" gera m anak muda itu "aku masih dapat bersabar saat ini. Tetapi jika kau keras kepala, maka kau akan menga la mi perla kuan yang sangat buruk. Ka mi akan me nyeretmu ke sarang ka mi. Dan kau akan dapat membayangkan, apa yang dapat terjadi dengan beberapa orang kawan-kawanku jika mereka melihatmu." Arum tida k menjawab. Tetapi ia sudah siap me nghadapi segala ke mungkinan. "Na mpaknya anak ini me mang keras kepala" desis orang yang sudah separo baya "baiklah. Aku akan merampas uangnya. Dan aku kira karena kekerasan hatinya, ia wajib mendapat hukuman di sarang kita nanti." Arum masih tetap berdia m diri. Tetapi ia sudah benar-benar siap. Dala m pada itu, anak muda yang menganggap Arum hanyalah seorang perempuan yang keras kepala, telah me langkah mende kat. Dijulurkannya tangannya untuk menjajagi kesigapan lawannya, Namun agaknya Arum mengerti, sehingga ia sa ma sekali tidak berbuat sesuatu karena ia tahu, tangan itu t idak a kan sa mpai menyentuhnya. Sikap Arum itu justru mendebarkan. Ternyata perempuan itu me miliki pengamatan yang tajam atas gerak lawannya. Karena itu, ma ka orang yang sudah separo baya itu bergerak lebih jauh lagi. Ia mula i menyerang, meskipun belum
bersungguh-sungguh. Tetapi tangannya benar-benar telah mengarah kening. Arum bergeser selangkah surut. Tetapi ia masih be lum berbuat yang lain. Ketenangan sikap Arum me mbuat kedua orang itu se makin bersungguh-sungguh menghadapinya. Ketika orang yang lebih tua itu menarik tangannya, maka anak muda kupun tidak sabar lagi. Ia mulai dengan serangan yang sebenarnya. Sambil me loncat maju tangannya terjulur kearah pundak Arum. Arum me nyadari, bahwa lawannya mula i menjadi marah dan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Ia dengan cermat mengelakkan serangan lawannya. Namun seperti yang diperhitungkannya, demikian ia bergeser, lawannya itupun telah meloncat menyerang dengan kakinya mengarah la mbung. Tetapi Arumpun telah siap menghadapinya. Iapun telah bertekad untuk melawan dengan bersungguh-sungguh. Bahkan Arumpun sadar, bahwa pada saatnya kedua orang itu tentu akan mempergunakan senjatanya apabila mereka terdesak. Namun de mikian Arum harus tetap berhati-hati, karena ia belum tahu t ingkat ke ma mpuan lawannya yang sebenarnya. Dengan tangkas Arumpun melnmcat menghindar. Tetapi ternyata bahwa kawannya yang lebih tua itu, tidak me mbiarkan gadis itu melepaskan diri. Karena itu, dengan serta merta iapun telah menyerang juga. Barulah keduanya menyadari, bahwa perempuan itu benarbenar tangkas. Ia ma mpu bergerak lebih cepat dari kedua orang itu. Kedua orang yang merasa dirinya sudah kenyang makan gara m petualangan dala m benturan-benturan ilmu dan kekuatan.
Karena itu, maka orang yang lebih tua itupun berguma m "Ternyata perempuan ini merasa me mpunyai bekal ilmu untuk melawan kita berdua. Itulah agaknya ia dengan sengaja menentang setiap keinginan kita. Mungkin dengan sengaja pula ia ingin menunjukkan ke ma mpuannya. " "Tida k" jawab Arum "kau me ma ksa aku untuk me mperguna kan ilmu kanuragan. Tetapi bahwa sikapmu telah menunjukkan siapakah ka lian, maka telah timbul pula keinginanku untuk menangkap kalian." "Huh. pere mpuan sombong" geram anak muda itu "kau kira kau dapat melakukannya. Kaulah yang a kan menyesal." Arum tida k menjawab. Tetapi ketika ia bergeser, tiba-tiba saja anak muda itu telah menyerangnya sekali lagi. la ingin bergerak cepat, sebelum Arum siap sepenuhnya. Dengan ayunan yang keras ia me mukul kening Arum dengan sisi telapak tangannya. Namun Arum mengelak. Bahkan dengan tangkas iapun mulai menyerang. Tetapi karena ia tidak me makai pakaian khususnya, maka Arum tidak menyerang dengan kakinya. Sambil meloncat dan me mbungkukkan badannya Arum telah menyerang la mbung. Meskipun serangan Arum kurang mapan, tetapi kecepatannya bergerak telah me mungkinkan tangannya mengenai lawannya. Arum sengaja menyerang dengan ujungujung jarinya yang terbuka dan merapat. Perasaan sakit telah menyengat lambung anak muda itu. Sambil menyeringai dan mengumpat ia meloncat surut. Arum yang sudah siap untuk me mburunya, ternyata harus mengurungkan niatnya karena orang yang lebih tua itu telah berusaha untuk melindungi kawannya. Dengan cepat orang itu menyerang Arum dengan kakinya langsung mengarah perut.
Arum bergeser selangkah. Ketika ka ki lawannya gagal menggapai perutnya, maka dengan tangannya Arum me mukul kaki itu me nyamping. Ternyata kekuatan Arum sama seka li tidak diduga oleh lawannya yang lebih tua itu. Pukulan pada kakinya telah mendorongnya da la m satu putaran. Ha mpir saja ia terjatuh, karena keseimbangannya yang goyah oleh putaran itu. Namun dengan susah payah ia berhasil menguasai keseimbangan ke mbali, se mentara kawannya yang sudah berhasil menguasai dirinya itupun telah berusaha untuk menolongnya pula dengan serangan yang cepat. Namun betapapun juga, ternyata Arum ma mpu bergerak lebih cepat. Meskipun ia harus bertempur me lawan dua orang, tetapi ia masih ma mpu me mbuat kedua lawannya iitu menjadi bingung. Sementara lawannya hanya bertumpu pada kekuatan dan kekasarannya, Arum telah bertempur dengan dasar-dasar ke ma mpuan, ilmu dan kecepatan gerak. Meskipun de mikian perke lahian itu se makin la ma me njadi semakin seru. Kedua orang yang mencegat Arum itu nampak menjadi se makin kasar. Mereka tidak lagi berusaha untuk bertindak lebih ba ik menghadapi seorang pere mpuan, Justru karena perempuan itu ternyata me miliki ke ma mpuan untuk me lawan mereka, ma ka mereka merasa tersinggung karenanya. Mereka bukan saja sekedar ingin mera mpas uang atau apa saja dari perempuan itu, tetapi harga diri mereka benar-benar telah direndahkan. Karena itu, maka keduanyapun berusaha untuk bertempur dengan segenap kema mpuan mereka. Keduanya telah bertempur berpasangan dengan sebaik-baiknya. Namun ternyata bahwa keduanya tidak segera dapat menguasai perempuan itu hanya seorang diri. Dala m pada itu, kedua orang itu tidak dapat bersabar lagi. Kemarahan dan harga diri mere ka tidak lagi dapat dikendalikan. Meskipun keduanya semula ragu-ragu, apakah
dua orang laki-la ki yang berkelahi melawan perempuan harus menarik senjata mereka.
seorang Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyatan. Keduanya tidak segera dapat mengalahkan pere mpuan itu. Karena itu, maka mereka tida k ingin me mbuang waktu lebih banyak lagi. Dengan senjata. mereka te mu a kan segera menguasainya. Bahkan jika perlu, kematian pere mpuan itu tidak akan me mbebani perasaan mereka, karena keduanya sudah terbiasa me mbunuh siapa saja yang tidak menuruti ke mauan mereka tanpa menganut satu paugeranpun. Dala m pada itu, Arum telah melihat gelagat itu. Karena itu ia harus berpikir untuk mengatasinya. Jika keduanya bersenjata, maka ia tentu akan mengala mi kesulitan. Bagaimanapun juga, dua orang itu sudah terbiasa bermain dengan senjata. Dengan de mikian, maka Arum harus bertinda k lebih cepat. Ia sadar, bahwa ia akan menghadapi kesulitan dengan senjata-senjata itu. Namun Arum tidak kehabisan akal. Sesaat sebelum keduanya menarik senjatanya, Arum telah menyerang mereka dengan garangnya. Bagaikan angin pusaran ia berputar, me loncat dan menyerang dari arah yang tidak terduga. Dalam keadaan yang demikian Arum telah melupakan paka iannya. Meskipun ia tida k berpakaian khusus. Tetapi pertimbanganpertimbangan lain telah mendorongnya untuk bertempur lebih garang. Kedua lawannya terkejut melibat perubahan sikap gadis itu. Bahkan anak muda yang mencegatnya itu, tidak se mpat menge lak ketika Arum menghanta m la mbungnya dengan kakinya. Demikian ia menarik ka kinya, sambil berputar ia telah menyerang lawannya yang lain dengan tangan yang terjulur lurus kearah dada.
Arum me mang me ma ncing kekisruhan. Disaat keduanya berusaha untuk me mperbaiki kedudukan mere ka, sehingga kerja sama mereka dapat disusun ke mba li, maka Arum tibatiba saja telah melibat anak muda itu dala m perke lahian jarak pendek. Jangkauan tangan Arum telah menangkap pergelangan tangan anak muda itu dan me milinnya. Yang terjadi itu de mikian cepatnya, sehingga anak muda itu tidak se mpat berbuat sesuatu. Apalagi ketika tiba-tiba Arum telah menghanta m punggungnya dengan lutut, dan dengan serta merta mendorong anak muda itu sehingga jatuh tertelungkup. Adalah diluar perhitungan mereka bahara se muanya itu dapat terjadi begitu cepat. Anak muda itu baru menyadari, apakah yang telah terjadi, ketika tiba-tiba saja terasa wajahnya mencium debu. Ternyata tangan perempuan itu tidak sele mbut yang diduganya ketika ia melihat Arum berjalan mendekatinya dari arah kota. Anak muda itu mengira, bahwa perempuan itu adalah sebagaimana kebanyak perempuan cantik, berkulit le mbut dan berhati lemah. Tetapi ternyata perempuan yang seorang ini, agak berbeda dengan pere mpuan kebanyakan. Dala m pada itu, kawannya yang melihat sikap Arum, tidak menunggu lebih la ma lagi. Tiba-tiba saja ditanganinya telah tergenggam senjatanya tanpa memikirkan harga dirinya lagi, meskipun yang dilawannya hanya seorang perempuan.
Namun orang itupun terkejut bukan kepalang. Selagi ia sudah siap untuk menyerang, juga dalam usahanya menyela matkan kawannya yang sedang berusaha untuk bangkit, dilihatnya perempuan itupun telah me megang senjata pula ditanganinya. Baru kedua orang itu sadar, bahwa dalam pergulatan berjarak pendek antara anak muda itu dengan Arum, maka Arum telah berhasil menarik senjata anak muda itu diluar sadar pemiliknya. Dengan demikian, wajah kedua orang laki-laki kasar itu menjadi sema kin tegang. Ketika anak muda itu berhasil berdiri dan menguasai keseimbangannya, iapun menjadi bingung karena senjatanya sudah terlepas dari sarungnya. "Licik" gera m anak muda itu "kau curi senjataku. " "Sudah adil" jawab Arum "kalian me mbawa sebilah senjata, akupun me mbawanya. Aku tidak menghitung jumlah orangnya. " "Persetan" geram anak muda yang marah itu "ke mbalikan senjataku. " "Jangan merengek seperti kanak-kanak kehilangan ma inan. Tang sedang kita pertaruhkan sekarang adalah nyawa kita masing-masing." jawab Arum. Kedua laki-laki itu menggera m. Tetapi mereka tidak dapat me ma ksa Arum menyerahkan senjatanya. Namun dala m pada itu, laki-laki muda yang sudah tidak berpedang itupun telah mengurai ikat pinggangnya. Sambil mengikatkan kain panjangnya pada pinggangnya, ia berkata "Ikat pinggangku tida k kalah nilainya dengan parang itu. Jika kau tersentuh ikat pinggangku, maka kulit mupun tentu akan terkelupas." "Terserahlah" jawab Arum "tetapi agaknya aku lebih senang me mpergunakan senjata mu."
Orang yang lebih tua itu tidak sabar lagi. Iapun segera menggerakkan parangnya yang terjulur mendatar. Sekalisekali ia bergeser, sementara ujung pedangnya masih tetap mengarah kedada Arum, Arum masih se mpat mengelak dengan sebuah loncatan pendek. Na mun da la m pada itu, lawannya yang muda telah me loncat sambil mengayunkan ikat pinggang kulitnya yang tebal. Hampir saja ujung ikat pinggang itu menyambar Wajahnya. Untunglah bahwa Arum masih sempat mengela k. Dengan me miringkan kepalanya ia dapat me mbebaskan diri dari sambaran ujung ikat pinggang yang me ma ng akan dapat mengo-yahkan kulit diwajahnya. "Kurang sedikit " gera m anak muda itu "jika kulit pipimu tersentuh, maka tulanglah kecantikanmu. " Arum tidak menanggapinya. Ia sudah bersiap dengan parangnya, meskipun parang itu agak terlalu berat dibandingkan dengan pedangnya sendiri. Dala m pada itu, maka kedua orang lawannya itupun telah berpencar. Nampaknya mereka menjadi se makin cermat menghadapi perempuan yang garang itu. Keduanya telah me milih arah dan keduanya berusaha untuk saling mengisi dalam serangan-serangan berikutnya. Tetapi Arum tida k sekedar me mbiarkan dirinya terperangkap kedalam serangan-serangan lawan yang dapat bekerja bersama dengan baik. Tetapi ternyata bahwa iapun dapat menentukan jalannya perkelahian itu. Karena itulah, maka justru Aramlah yang telah menyerang lebih dahulu. Ia me mutar parangnya. Namun ke mudian parangnya itu telah mematuk anak muda yang bersenjata ikat pinggangnya.
Anak muda itu terpaksa meloncat menge lak, karena senjata, tidak dapat dipergunakannya untuk menangkisnya. Namun sa mbil mengela k, anak muda itu telah siap mengayunkan senjatanya jika Arum me mburunya. Bahkan dalam pada itu, kawannya yang lebih tua itupun telah me mburu Arum untuk mencegah Arum bertindak lebih jauh atas anak muda yang terdorong surut itu. Tetapi adalah tidak terduga-duga, bahwa Arum justru menyongsong lawannya yang tua. Dengan tangkas Arum me mukul senjata lawannya kesamping, ke mudian dengan satu putaran maka senjata Arum justru telah mengarah kedada lawannya. Lawannya, menjadi bingung, se mentara senjatanya terpukul kesa mping, dala m sekejap senjata lawannya telah me mburunya. Yang dapat dilakukan adalah berusaha untuk mengela k. Tetapi ketika Ia me miringkan tubuhnya, maka ujung parang Arum telah menyentuh pundaknya. "Gila. Kau benar-benar betina liar dan buas" gera m lawannya yang tua. "Jangan mengumpat-umpat begitu kasar" sahut Arum. La lu "Kita akan bertempur dengan senjata. Bukan sekedar mengumpat dan mencaci ma ki." "Persetan" geram lawannya yang tua, yang kemudian telah mengacukan senjatanya pula. Sementara perhatian Arum tertuju kepada lawannya yang tua, maka yang muda itupun telah dengan diam-dia m meloncat menyerang leher Arum
dengan ikat pinggangnya. Demikian kerasnyar sehingga terdengar desir angin yang bersuit nyaring. Namun sekali lagi serangan ku gagal. Ternyata Arum masih sempat mengela k. Sa mbil berputar dan merendah. Arum mengayunkan senjatanya mendatar, justru pada saat tangan anak muda itu terayun. Yang terdengar adalah pekik kesakitan. Senjata Arum telah menyentuh sisi dada anak muda itu, sehingga dagingnya telah terkoyak karenanya. Luka itu tidak terlalu da la m, seperti luka lawannya yang tua. Namun bahwa keduanya telah terluka, maka keduanyapun menjadi sema kin gelisah. Betapapun juga luka itu terasa nyeri, sementara darahpun mengalir menghangati kulitnya. Melihat kedua lawannya menjadi gelisah, Arum me njadi semakin garang. Ia mendesak kedua lawannya, sehingga keduanya hanya dapat meloncat-loncat menghindari serangan Arum yang menjadi se ma kin cepat. Dala m pada itu, selagi kedua orang perampok itu kebingungan, terdengar derap kaki kuda dikejauhan. Ketika mereka yang bertempur itu berkese mpatan berpaling sejenak, merekia melihat dikejauhan dua orang penunggang kuda me macu kudanya seperti angin. Kedua perampok itu menjadi se makin gelisah. Mereka tidak tahu, siapakah yang berpacu itu. Na mun tentu bukan kawankawan mereka. Karena itu, ma ka mereka harus segera menga mbil sikap. Untuk melawan seorang pere mpuanpun ternyata mereka tida k ma mpu. Apalagi jika ternyata kedua orang itu adalah pengikut Pangeran Mangkubumi atau prajurit Surakarta yang tidak akan me mbenarkan t ingkah laku mereka pula.
Dengan demikian, maka orang yang lebih tua itupun segera me mberikan isyarat untuk me larikan diri selagi luka mereka masih belum me mbuat mereka menjadi lumpuh. Karena itu, ma ka dengan serta merta keduanyapun segera bergeser surut dan meloncat berlari meninggalkan Arum. Ada juga niat Arum untuk mengejar mereka. Tetapi ia tidak dapat bebas berlari, karena kain panjangnya. Sehingga dengan demikian, iapun mengurungkan niatnya. Bahkan kemudian timbul pula kece masannya atas dua orang berkuda itu. "Aku harus berbohong" berkata Arum didala m hatinya samlbil me mbetulkan kain panjangnya dan melepaskan parangnya "aku harus mengatakan bahwa yang seorang telah mengganggu aku, sedangkan yang la in telah me nolong a ku. Ketika yang mengganggu aku lari, maka penolongku itu berusaha mengejarnya. Mudah-mudahan mereka tidak melihat jelas apa yang telah terjadi. " Arumpun ke mudian menga mbil kebanya yang diletakkan disaat ia harus menghadapi kedua orang itu dan me mbawanya dengan selendang dila mbungnya. Namun Arum justru bergera mang ketika kedua orang itu menjadi sema kin de kat. Ternyata keduanya adalah Buntal dan Juwiring. Sambil menarik kekang kudanya Juwiring bertanya "Kau baru pulang dari kota Arum" Dan apakah yang telah terjadi " " "Kalian juga baru pulang ?" Arum bertanya pula. "Ya. Ka mi baru pulang." jawab Juwiring. "Kalian singgah di mana saja?" bertanya Arum pula. "Ka mi tida k singgah di manapun" jawab Buntal. Ke mudian "Tetapi apa yang terjadi ?" "Tida k apa-apa" jawab Arum.
Juwiring menarik nafas dalam-da la m. Ha mpir berbareng dengan Buntal, ia meloncat turun dari kudanya. "Aku me lihat dua orang yang berlari meninggalkan tempat ini" desis Juwiring. "Tida k apa-apa. Mereka tidak apa-apa" jawab Arum. Buntal me mungut parang yang basah oleh darah. Dengan nada dalam ia berkata "Katakan Arum. Tentu sesuatu telah terjadi " Kenapa kau tidak mau menyebutnya." "Kalian juga tidak singgah" guma m Arum. mau mengatakan, dimana ka lian
"Ka mi tida k singgah dimana-mana " Juwiringlah yang menyahut. Arum termenung sejenak. Ketika ia me lihat Buntal menimang parang yang dipergunakannya, maka iapun menjawab "Dua orang penyamun. Mereka sangka, aku me mbawa uang, karena aku menjawab bahwa aku baru saja dari kota menjua l ja mu, mangrr dan lulur bagi pere mpuanperempuan kota." "Parang siapa ?" bertanya Buntal "nampaknya parang ini telah meluka i seseorang " " "Aku yang me mperguna kannya, aku pinjam sa lah seorang dari kedua penyamun itu" jawab Arum. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Ia sadar, bahwa Arum telah me lukai kedua atau salah seorang dari lawannya. Tetapi tidak terlalu parah, sehingga keduanya masih se mpat me larikan diri. Juwiringpun na mpa knya mengerti juga. Karena itu, maka katanya "Marilah kita ke mba li segera. Mungkin kita sudah ditunggu oleh Ki Wandawa. Barangkali kau ingin me mperguna kan salah seekor kuda itu Arum. Biarlah aku dan Buntal me ma kai yang lain berdua."
"Tentu tidak mungkin. Aku berkain panjang Aku t idak terbiasa menunggang kuda dengan tubuh miring. Aku dapat jatuh terpelanting" jawab Arum. Ke mudian "Pergi sajalah dahulu. Aku akan berjalan kaki." Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Baiklah. Kita akan berjalan kaki." "Jika ka lian tergesa-gesa, kenapa kalian tida k berkuda saja ?" bertanya Arum. "Tida k. Ka mi tidak tergesa-gesa" jawab Juwiring. Arum tidak menjawab lagi, Iapun ke mudian me langkah me lanjutkan perjalanan diikut i oleh Juwiring dan Buntal. Namun dala m pada itu Buntal masih bertanya "Kau tinggalkan saja parang itu disitu " " "Apakah aku harus me mbawanya ?" Arum ganti bertanya. Buntal tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih sempat me le mparkan parang itu menepi. Dengan de mikian, maka mereka bertigapun telah berjalan ke mbali ke daerah pertahanan pasukan Pangeran Mangkubumi untuk melaporkan tugas masing-masing. Sementara itu, disepanjang jalan Buntalpun masih se mpat pula berceritera kepada Arum, bahwa pedangnyapun telah dibasahi oleh darah prajurit Surakarta yang mencurigai dan mengejarnya. "Kau bunuh orang itu ?" bertanya Arum. "Tida k. Aku tidak me mbunuhnya" jawab Buntal, lalu "kakang Juwiringpun t idak me mbunuh lawannya pula." Demikianlah, meskipun agak la mbat akhirnya mereka sampai kebarak mere ka dianstara pasukan Pangeran Mangkubumi. Setelah me mberitahukan hasil perjalanannya kepada Kiai Danatirta, maka merekapun minta diri untuk langsung menghadap Ki Wandawa.
"Sokurlah" berkata Ki Wandawa "kalian ternyata telah selamat sa mpai kete mpat ini. Agaknya perjalanan di-daerah Surakarta saat ini menjadi se makin banyak hambatannya. Sementara Arumpun me ngala mi gangguan di perjalanan. " "Tetapi itu adalah suatu kebetulan saja Ki Wandawa" berkata Arum kemudian "jalan itu biasanya sepi dan tidak ditambah oleh para penyamun, apalagi disaang hari. Nampa knya perjalananku kali ini menga la mi nasib yang buruk, sehingga aku telah berjumpa dengan dua orang penyamun." "Mungkin me mang suatu kebetulan Arum. Tetapi mungkin kejahatan me mang sema kin meningkat dala m keadaan yang tidak menentu ini." berkata Ki Wandawa "dan itu harus kau tangkap sebagai suatu isyarat, bahwa kalian harus berhati-hati menghadapi segala pihak." Arum menundukkan kepalanya. Sementara Juwiring dan Buntal mengangguk-angguk kecil. "Baiklah" berkata Ki Wandawa "semua laporan kalian akan aku sampa ikan kepada Pangeran Mangkubumi. Baik mengenai surat Raden Mas Said sebagai surat balasan Pangeran Mangkubumi, maupun keterangan Raden Ayu Galihwarit kepada Arum tentang kekuatan yang akan dipergunakan oleh kumpeni dan prajurit Surakarta untuk mengge mpur ke kuatan Raden Mas Said." "Ka mi me nunggu perintah selanjutnya" berkata Raden Juwiring "mungkin ka mi mendapat perintah untuk menga mati perang yang akan berkobar antara kumpeni dengan pasukan Raden Mas Said, atau bagian dari pasukan Raden Mas Said yang akan menarik diri." "Sebaiknya ka lian menunggu" jawab Ki Wandawa "jika ada perintah, maka kalian akan dipanggil menghadap." Dengan bahan yang didapat dari Juwiring, Buntal dan Arum, ma ka Ki Wandawapun segera menghadap. Setelah menya mpaikan surat dari Raden Mas Said, maka Ki Wandawa
pun melaporkan keterangan Raden Ayu Galihwarit yang disa mpaikan oleh Arum, tentang kekuatan yang sudah dipersiapkan untuk mengepung kekuatan Raden Mas Said. "Jadi pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang akan digerakkan adalah ke kuatan langsung dari kota "desis Pangeran Mangkubumi, "Ya, Pangeran." jawab Ki Wandawa. "Aku sudah mengira. Justru karena pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang berada di Jatimalang seolah-olah tidak menga la mi perubahan. Tidak ada persiapan dan tidak ada penambahan pasukan." guma m Pangeran Mangkubumi ke mudian. La lu "J ika de mikian Ki Wandawa, kita harus menjajagi kekuatan kumpeni dan prajurit Surakarta di Jatimalang dengan cermat, agar kita dapat me mperhitungkan langkah dengan tepat." "Apakah Pangeran akan me mukul Jatimalang pada saat kumpeni dan prajurit Surakarta mengepung pasukan Raden Mas Said ?" bertanya Ki Wandawa. "Aku kira, kita tidak akan bergerak langsung." jawab Pangeran Mangkubumi "agaknya aku condong untuk menga mbil langkah yang lebih bermanfaat daripada langsung me mukul Jatimalang." "Maksud Pangeran?" bertanya Ki Wandawa. "Menurut suratnya, maka a ku sudah dapat melepaskan pasukan Said untuk menghindar tanpa menca mpurinya" berkata Pangeran Mangkubumi "aku yakin bahwa ia dapat bertindak dewasa. Karena itu, maka aku ingin me musatkan perhatianku untuk satu gerakan tertentu." Ki Wandawa mengangguk kecil. Ia tidak bertanya lebih jauh. Nampaknya Pangeran Mangkubumi masih akan me mikirkannya, dan mungkin juga a kan me mbicarakannya dengan beberapa orang pe mimpin yang lain.
Dala m pada itu, sebenarnyalah pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta sudah siap melakukan rencana mereka. Sejalan dengan persiapan yang semakin matang, maka merekapun se makin menyebarluaskan kabar bahwa pasukan kumpeni dan prajurit Mataram siap untuk langsung me mukul pasukan induk Pangeran Mangkubumi. Beberapa orang petugas sandi telah me mberikan peringatan kepada Ki Wandawa akan berita yang tersebar luas di Surakarta itu. Na mun Ki Wandawa sedang menunggu rencana Pangeran Mangkubumi untuk mengimbangi gerak kumpeni dan prajurit Surakarta itu. Meskipun de mikian Ki Wandawa tidak lengah. Segala ke mungkinan me mang dapat saja terjadi. Mungkin pula pada saat terakhir, kumpeni merubah stopnya. Pasukannya justru benar-benar pergi ke pusat pertahanan pasukan induk Pangeran Mangkubumi, Karena itu, atas persetujuan Pangeran Mangkubumi, maka para petugas sandipun telah disebarkan untuk menga mat gerak pasukan kumpeni dan pasukan Surakarta. Sementara itu, pasukan di induk kekuatan Pangeran Mangkubumi-pun telah dipersiapkan sebaik-ba iknya untuk bergerak setiap saat. "Aku lebih percaya kepada keterangan Raden Ayu Galihwarit dari kabar angin yang tersiar di Sura karta. Meskipun demikian pasukan kita harus dipersiapkan. Jika tidak untuk menghindari lawan, maka pasukan itu akan aku pergunakan justru menusuk sarang lawan." berkata Pangeran Mangkubumi. Ki Wandawa berusaha melaksanakan pesan itu sebaikbaiknya. Namun ternyata bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri agaknya ingin meyakinkan apa yang akan terjadi, sehingga karena itu, maka untuk beberapa saat Ki Wandawa tidak dapat mene mukan Pangeran Mangkubumi didala m pondoknya.
Sudah menjadi kebiasaan Pangeran Mangkubumi untuk berada di sembarang tempat dise mbarang waktu. Karena itulah, maka Pangeran Mangkubumi sendiri telah menyaksikan, ke mana pasukan kumpeni dan Surakarta itu pergi. Agaknya bukan saja para petugas sandi, tetapi menjelang tengah mala m, ketika pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta keluar dari pintu gerbang, dari jarak yang tidak terlalu jauh, Pangeran Mangkubumi se mpat menyaksikannya. Sambil menarik nafas dala m-dala m ia berkata kepada diri sendiri "Sokurlah Sa id sudah mengetahuinya. Jika ia se mpat dikepung oleh pasukan yang de mikian kuatnya, maka ia akan berada dalam keadaan yang sangat gawat." Namun Pangeran Mangkubumipun yakin, bahwa pasukan Raden Mas Said akan se mpat menghindari pertempuran terbuka me lawan pasukan yang sangat kuat itu. Bahkan Pangeran Mangkubumipun yakin, bahwa pasukan Raden Mas Said yang akan meninggalkan Pana mlbangan a kan dapat me masuki Keduwang dengan sela mat dan mendudukinya. Setelah Pangeran Mangkubumi yakin, bahwa pasukan itu menuju kearah Pana mbangan, ma ka iapun segera bergeser menjauhi iring-iringan itu. Pangeran Mangkubumi menganggap penting untuk segera berada diantara pasukannya dan bertindak cepat mengimbangi pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menyerang Penambangan. Namun dala m pada itu, bukan saja Pangeran Mangkubumi yang menyaksikan iring-iringan itu menuju ke Pena mbangan. Seorang anak muda menyaksikan pula pasukan yang kuat itu meninggalkan kota. "Kumpeni benar-benar ingin me mbinasakan pasukanku" desis anak muda yang me lihat iring-iringan yang kuat itu,
namun ditempat lain sehingga ia tidak bertemu dengan Pangeran Mangkubumi. Sejenak ke mudian anak muda itupun bergegas menuju ketempat yang tersembunyi untuk menga mbil kudanya yang ditunggui oleh seorang pengawalnya. "Kita harus cepat mendahului iring-iringan itu" berkata Raden Mas Said. "Mereka sudah berangkat?" bertanya pengawalnya. "Ya. Tetapi pasukan kita sudah siap untuk menghindar. Kita tidak akan terjebak. Kita akan meninggalkan sekelompok keci yang akan me mancing pasukan yang kuat itu untuk benarbenar me masuki Pena mbangan yang kosong." berkata Raden Mas Said. Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu berderap dalam gelapnya mala m. Namun agaknya keduanya telah menguasai medan yang akan dilaluinya dengan baik. Mereka menga mbil jalan me mintas, melalui jalan sempit. Namun yang jaraknya menjadi jauh lebih pendek dari jalan yang ditempuh oleh kumpeni. Apalagi sebagian besar pasukan itu berjalan kaki, meskipun diantara mereka ikut pula sebagian dari prajurit dari pasukan berkuda Surakarta yang terkenal. Dala m pada itu, Raden Mas Saidpun sadar, bahwa kumpeni tentu ingin mengepung Penambangan dan menjelang fajar menyala, mereka akan mendekati daerah pertahanan, sehingga saat matahari terbit, mereka benar-benar akan menyerang. "Mereka akan se mpat beristirahat sejenak menje lang pagi" berkata Raden Mas Said "tetapi mereka akan mene mukan tempat yang telah kosong." "Perjalanan mereka yang cukup panjang itu akan sia-sia. Sementara besok mereka akan mendapat laporan, bahwa
Keduwang telah me misahkan diri dari kekuasaan Surakarta yang dipengaruhi oleh kumpeni." guma m pengawalnya. Sementara itu, kedua ekor kuda itupun berpacu semakin cepat. Di dinginnya ma la m, angin bertiup bagaikan menghunja m sa mpai ketulang. Beberapa bulak lagi dari Pena mbangan, Raden Mas Said dan pengawalnya terpaksa menghent ikan kuda mereka ketika mereka melihat beberapa orang yang menunggu mereka di tengah-tengah jalan. Nampa knya mereka sebagai petani-petani dengan cangkul dipunda k. Namun Raden Mas Said yakin bahwa mereka bukan petani-petani yang sedang menunggu air. "Berhentilah sebentar Ki Sanak" sapa salah seorang petani itu. Raden Mas Said yang berhenti beberapa langkah dihadapan orang itu menyahut "Siapakah kalian" Bulan, api atau angin" " "O" orang yang berpakaian petani itu mengangguk sa mbil menyahut "silahkan." Raden Mas Said tersenyum. Katanya "Bagus. Kalian harus menguasai daerah ini sebaik-ba iknya. Tidak boleh ada seorang petugas sandi lawan yang mengetahui apa yang sedang terjadi di daerah Pena mbangan." "Baik. Kami akan mela ksanakan sebaik-baiknya "jawab petani itu.
Namun dala m pada itu, salah seorang dari mereka berdesis "Bukankah salah seorang dari keduanya adalah Raden Mas Said sendiri?" Raden Mas Said mendengar suara itu. Dengan serta meria ia menyahut "Lupa kan. Raden Mas Said tidak akan berkeliaran pada saat yang gawat ini. Ia berada diantara pasukannya di Penambangan." Orang-orang yang berpakaian petani itupun ke mudian menyibak. De mikian kuda-kuda itu berderap, mereka segera duduk ke mbali dipinggir parit, seolah-olah mereka benarbenar petani-petani yang sedang menunggui air yang tidak begitu banyak mengalir. "Aku kira salah seorang diantara mereka adalah Raden Mas Said sendiri" desis sa lah seorang dari mereka. "Kau me mang bodoh. Tentu seperti yang dikatakannya, Raden Mas Said ada diantara pasukannya dala m keadaan yang gawat ini" sahut kawannya. Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi orang yang sudah mengenal Raden Mas Said itu tetap merasa dirinya telah bertemu dengan Raden Mas Said sendiri, meskipun tidak dikatakannya. Dala m pada itu, ternyata perjalanan Raden Mas Said tidak hanya terhenti satu dua kali. Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengucapkan kata-kata sandi. Na mun dengan demikian, Raden Mas Said justru merasa tenang, karena para pengikutnya telah melakukan perintahnya dengan sebaikbaiknya. Justru pada saat yang paling gawat. Ketika Raden Mas Said ke mudian sampa i ke Pena mbangan, maka iapun segera me manggil para pe mimpin dari para pengikutnya. Dengan singkat ia me mberikan beberapa petunjuk. Kemudian katanya "Waktu kita tidak terlalu banyak."
"Kita sudah siap" jawab seorang pe mimpin pasukannya. "Baiklah. Kita akan segera meninggalkan daerah ini. Jika kita terlambat, maka kita benar-benar tidak akan dapat keluar dari kepungan." berkata Raden Mas Said, yang ke mudian me lanjutkan "Apakah pasukan yang akan memancing perhatian itu sudah dipersiapkan pula ?" "Segalanya sudah siap" jawab seorang Senapati muda. Raden Mas Said mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Kita akan meninggalkan tempat ini langsung menuju ke Keduwang. Se mentara pasukan yang akan me mancing perhatian kumpeni dan pasukan Surakarta itupun akan segera menyusul ka mi. Hati-hatilah dengan pasukan berkuda. Di sebelah gumuk Watu Pitu, akan menunggu sepasukan yang akan dapat me mbebaskan pasukan yang akan me mancing perhatian itu jika pasukan berkuda mengejarnya. Aku perlu mengingatkan, pasukan berkuda adalah pasukan khusus yang me miliki ke lebihan dari pasukan yang lain yang apalagi diantara mereka terdapat pasukan berkuda dari pasukan kumpeni. Dengan senjata api, mereka benar-benar merupakan lawan yang sangat berbahaya. Karena itu, pasukan yang akan me mancing perhatian kumpeni itupun harus dengan cekatan meninggalkan Penambangan apabila tugas mereka sudah selesai, dengan berkuda pula. Jangan me milih jalan lain kecuali lewat gumuk Watu Pitu." Demikianlah, maka Raden Mas Said dan se luruh kekuatannyapun telah meninggalkan Penambangan menuju ke Keduwang. Meskipun de mikian, Raden Mas Said telah meninggalkan sebagian kecil dari pasukannya yang terpilih untuk me mberikan kesan bahwa Pena mbangan tidak kosong. Dala m pada itu, selagi kekuatan kumpeni dan prajurit Surakarta yang besar menuju ke Penambangan, maka Pangeran Mangkubumipun telah ke mbali ke Gebang. Mala m itu juga Pangeran Mangkubumi telah me manggil para pemimpin pasukannya.
Pusaka Negeri Tayli 12 Wiro Sableng 186 Jenazah Simpanan Mencari Bende Mataram 11
^