Pencarian

Bunga Di Batu Karang 33

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 33


"Kumpeni benar-benar menuju ke Penambangan" berkata Pangeran Mangkubumi "a ku telah mendapat laporan terperinci. " Para pengikutnya mengangguk-angguk. Na mun sebagian dari mereka me mperhitungkan, bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri tentu melihatnya apa yang telah dilakukan oleh kumpeni. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang bertanya. "Karena itu" berkata Pangeran Mangkubumi ke mudian "kita harus ma mpu me ngimbangi gerakan kumpeni, sehingga dengan demikian, kita tidak hanya sekedar menjadi sasaran serangan mereka dan sekedar menghindarkan diri." "Maksud Pangeran ?" bertanya seorang Senapatinya. "Besok, kita me masuki kota Surakarta." jawab Pangeran Mangkubumi. Jantung para pengikutnya menjadi berdebar-debar. Demikian tiba-tiba pasukannya harus menyerang kota Surakarta. "Jangan cemas akan kekuatan kita" berkata Pangeran Mangkubumi pula "kita akan berhasil menguasai seluruh kota. Dan kita akan meningga lkan kota, sebelum kumpeni dan para prajurit Surakarta ke mba li dari Pena mbangan." Para pengikutnya mengangguk-angguk. Langkah itu agaknya akan saingat me mpengaruhi sikap dan pandangan Rakyat Surakarta terhadap kekuatan Pangeran Mangkubumi. Mereka yang menganggap bahwa Pangeran Mangkubumi dapat diabaikan, akan me lihat satu kenyataan bahwa Pangeran Mangkubumi bukan kanak-kanak yang sekedar sedang merajuk, Tetapi perjuangannya berdiri diatas satu alas yang kuat. Baik dari segi keyakinan akan kebenarannya, maupun dari segi kekuatan dan ke ma mpuan menghimpun, menggerakkan dan wibawanya terhadap pasukannya.
Dengan rencana Pangeran Mangkubumi me masuki kota, akan terbuka pulalah mata kumpeni, dengan siapa ia berhadapan. Apalagi jika serangannya atas Penambangan gagal, sementara pasukan Pangeran Mangkubumi berhasil menguasai kota. Demikianlah, maka mala m itu juga, Pangeran Mangkubumi menyiapkan pasukannya yang me mang sejak sebelumnya telah diatur sebaik-baiknya untuk menghadapi segala ke mungkinan. Bahkan ke mungkinan menyingkir dari Gebang jika kumpeni benar-benar menuju ke daerah pertahanannya itu. Dengan de mikian, ma ka persiapan itu tida k me merlukan waktu yang panjang. Pasukan di Gebang dan juga atas perintah Pangeran Mangkubumi lewat seorang penghubung, palsukan di Sukawatipun telah bersiap pula. "Na mpaknya kumpeni akan me masuki Penambangan saat matahari terbit. Kitapun akan me masuki kota saat matahari terbit atau lewat sesaat." berkata Pangeran Mangkubumi. Maka sejenak ke mudian, pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat telah berangkat menuju ke kota Surakarta yang ditinggalkan oleh kumpeni dan sebagian besar dari prajurit Surakarta termasuk pasukan berkuda. Satu gerakan yang sama seka li tidak diduga oleh kumpeni dan para pe mimpin di Surakarta. Mereka mengira bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi sedang bersiap menunggu kedatangan kumpeni yang akan menyerangnya atau menghindar ke Utara. Tetapi ternyata di saat pasukan Surakarta bergerak ke Penambangan justru Pangeran Mangkubumi telah bergerak ke kota. Meskipun Pangeran Mangkubumi tida k akan dapat mencapai kota tepat saat matahari terbit, namun ia tidak akan terlalu siang me masuki gerbang. Namun jika kota telah bangun, dan pasar mula i mengumandang, ma ka kehadirannya me mang akan dapat me mbuat kebingungan. Tetapi sepecti biasanya, Pangeran Mangkubumi telah menjatuhkan perintah
agar para pengikutnya sama sekali tidak mengganggu rakyat Surakarta. Setiap pelanggaran akan mendapat hukuman yang berat. Sementara itu, pasukan kumpeni dan pasukan Surakarta telah mendekati Pena mbangan. Ketika cahaya fajar mulai me mbayang, mereka sudah berada di a mbang pintu sasaran. Namun dala m pada itu, pasukan itu telah dikejutkan oleh obor-obor yang tiba-tiba saja menyala. Satu, dua, tiga dan berpuluh-puluh. Sejenak ke mudian, maka terdengar sorak me mbahana baga ikan me nggugurkan langit Pasukan yang kuat itu terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa pasukan lawan telah menyongsongnya. Karena itu, mereka t idak terla lu siap menghadapinya. Apalagi ketika obor-obor itu telah menyala, maka mereka me lihat, sepasukan laskar berkuda telah menyerang mereka dengan lontaran-Jontaran lembing. Belum lagi mereka sempat mengatur diri, ternyata bahwa para penyerang itu tidak saja melontarkan le mbing, tetapi mereka yang me mbawa oborpun telah dile mparkan kearah pasukan Surakarta. Sejenak ketegangan telah mencengka m. Na mun pasukan Surakarta itu sempat bertebaran untuk menghindari obor yang menyala yang langsung dilemparkan kearah mereka dari laskar berkuda yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka di-sa mping lontaran-lontaran le mbing.
Beberapa orang kumpeni telah mengaduh. Le mbing itu cukup taja m untuk menghunja m kedala m tubuh mereka. Sementara apipun menyala disebelah menyebelah. Apalagi selain api obor, beberapa orang sengaja mele mparkan bumbung-bumbung minyak yang kemudian tumpah dan disa mbar api-api obor, sehingga untuk beberapa saat lamanya pasukan yang kuat itu terpecah. Dala m keadaan yang demikian, maka laskar berkuda itupun segera meninggalkan medan. Dengan satu isyarat, maka kuda-kuda itupun segera berlari meningga lkan pasukan Surakarta. Pada saat itulah terdengar senapan meledak. Tetapi laskar Raden Mas Said telah menjadi se makin jauh. Mereka datang sekejap, kemudian menghilang didala m kere mangan dini hari. Kuda mereka menerobos tanah pategalan. Menuju ke jalan kecil di pinggir padukuhan sebelah untuk ke mudian menghilang kedala m pintu gerbang padukuhan itu. Namun pada saat itu terdengar perintah melengking. Pasukan berkuda harus mengejar mereka sampai dapat. "Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Sementara yang lain langsung mengepung Pena mbangan. Kedatangan kita sudah diketahui oleh Raden Mas Said." perintah Panglima pasukan itu. Seorang kumpeni berpangkat mayor. Pasukan itupun ke mudian bergegas menuju ke Penambangan yang sudah dekat. Mereka akan langsung me masang ge lar, mengepung daerah itu dengan ketat, Sementara itu, sebagian dari pasukan berkuda tengah mengejar pasukan Raden Mas Said yang melarikan diri. Ternyata pasukan berkuda dari Surakarta yang sebagian dari mereka adalah kumpeni, adalah prajurit-prajurit berkuda yang tangkas. Kuda-kuda merekapun adalah kuda-kuda yang tegar dan kuat, sehingga meskipun mere ka telah tertinggal beberapa saat, namun mereka yakin akan dapat mengejar,
dan menghancurkan pasukan berkuda yang menyerang mereka, yang jumlahnya me mang tida k terlalu banyak. Tetapi laskar berkuda itu tidak melarikan diri menuju ke Penambangan. Me mang sepercik pertanyaan telah timbul pada hati letnan Panlangen yang mengenal arah Penambangan di atas peta. "Mereka pergi ke mana ?" bertanya Panlangen kepada seorang Senapati muda dari pasukan berkuda Surakarta. "Aku tidak tahu. Tetapi mereka tidak pergi ke Penambangan" jawab Senapati muda yang benar-benar sudah mengenal daerah itu. Letnan Panlangen pemimpin pasukan berkuda itu tiba-tiba saja, tertawa sambil me macu kudanya. Disela-sela suara derap kudanya ia berkata lantang "Orang-orang pribumi yang bodoh. Mereka berusaha memancing agar pasukan Surakarta tidak pergi ke Pena mbangan. Dan itu adalah pikiran yang bodoh sekali. Jika kita mengejar mereka, mereka sangka, bahwa tidak ada lagi pasukan yang pergi ke Penambangan. Pasukan yang justru pasukan yang terkuat." Senapati muda ku tidak menjawab. Sementara itu, pasukan berkuda yang mengejar laskar Raden Mas Said, telah melihat dalam bayangan fajar, kuda-kuda yang berderap dihadapan mereka. Dibulak panjang Panlangen melihat, bahwa laskar Raden Mas Said itu tidak ma mpu maju secepat pasukan berkuda dari Surakarta. "Sebentar lagi kita akan menghancurkan mere ka" gera m Panlangen "orang-orang pribumi yang bodoh itu telah melukai beberapa orang kumpeni, dan barangkali telah me mbunuh satu dua orang diantara mereka dengan lembing-le mbing bambu itu. Kita tidak akan me maafkan mere ka. Setiap pengkhianat harus dibunuh dimanapun kita mene mukan mereka."
Senapati muda itu masih tetap berdiam diri. Tetapi rasarasanya jantungnya menjadi semakin tegang, ketika jarak antara pasukan berkuda dengan laskar Raden Mas Said itu menjadi se makin de kat. Panlangen yang tidak sabar lagi itupun meneria kkan abaaba untuk me mpercepat laju pasukan itu. Selagi mereka berada di bulak panjang dan padang ila lang, maka medan akan lebih menguntungkan daripada jika mereka berada di padukuhan-padukuhan yang banyak ditumbuhi pepohonan. Jarak antara kedua pasukan itu memang menjadi se makin dekat. Dalam pada itu, seorang anak muda bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat, yang me mimpin pasukan Raden Mas Said itupun me mberikan isyarat agar pasukannya bergerak leblilh cepat pula. Jantung merekapun menjadi berdebar-debar pula ketika mereka me lihat sebuah gumuk yang besar di sebelah jalan yang menikung dibelakang gumuk itu. Gumuk itulah yang disebut gumuk Watu Pitu. "Kita harus mencapai gumuk itu" anak muda berja mbang itu me mberikan aba-aba dengan lantang. Setiap orang didala m pasukannyapun menyadari, jika pasukan berkuda itu mencapai mereka sebelum mereka melalui gumuk itu, maka mereka a kan menga la mi kesulitan. Tetapi kuda-kuda dari laskar Raden Mas Said itu me mang tidak sebaik kuda dari pasukan berkuda Surakarta. Dengan demikian, jarak antara kedua pasukan itu me mang menjadi semakin pende k. "Hancurkan mereka " perintah Panlangen itu menggelegar bagaikan bunyi guruh. Kuda para prajurit dan kumpeni dari pasukan berkuda itu menjadi se makin laju. Tiba-tiba saja seorang prajurit berkuda berkata "Di belakang gumuk itu jalan menikung ke-kanan. Kita dapat me motong lewat padang me lingkari gumuk itu."
"Jalan berbahaya" sahut Senapati muda itu. "Tida k. Ilalang itu tidak begitu lebat dan tinggi. Aku mengenal daerah ini dengan baik." Senapati itu berpikir sejenak. Na mun ke mudian katanya "Bawa kelompokmu. Tida k lebih. Tugasmu hanya mengha mbat." Prajurit itupun segera me misahkan diri dengan kelompoknya yang hanya berjumlah sepuluh orang. Tetapi yang sepuluh orang itu a kan dapat mengejutkan pasukan berkuda yang sedang mereka kejar. Ke mudian mengha mbatnya. Dalam pada itu, pasukan yang mengejar itupun akan segera mencapai laskar itu dan menghantam mereka dari bela kang, sehingga laskar Raden Mas Said itu akan musna sa ma se kali." Seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, padang ilalang diseputar gumuk itu tidak berbahaya bagi kuda-kuda yang berderap. Ilalangnya tidak terlalu lebat dan tinggi, sedang tanah dibawahnyapun datar dan tidak berbatu padas. Karena itu, maka prajurit itu berharap untuk dapat me motong iring-iringan laskar Raden Mas Sa id di balik gumuk yang disebut gumuk Watu Pitu itu. Namun yang terjadi, sama sekali tidak seperti yang direncanakan oleh prajurit itu. Dan juga tidak seperti yang diperhitungkan oleh letnan Panlangen. Ternyata laskar berkuda Raden Mas Sa id ku, tidak berlari terus meninggalkan lawan-lawannya yang sudah menjadi semakin dekat. Demikian mereka me lintasi gumuk itu, maka anak muda berja mbang yang me mimpin pasukan itu, me mberikan isyarat dengan suitan nyaring, yang disambut dengan isyarat yang sama. Karena itu, maka anak muda berja mbang itupun meyakini, bahwa pasukan yang dipersiapkan di gumuk itu tidak terlambat dan tepat berada dite mpat yang sudah ditetapkan.
Karena itu, maka de mikian mereka sa mpai ditikungan. maka terdengarlah anak muda, itu meneria kkan aba-aba agar pasukan berkuda ku berhenti dan siap menghadapi lawan yang akan segera menyerang. Keadaan itu, ternyata telah mengejutkan pasukan yang mengejarnya. Panlangen dan Senapati prajurit Surakarta dari pasukan berkuda itu mendengar isyarat yang bersahutan. Karena itu, naluri keprajuritan merekapun telah menggerakkan Panlangen untuk mengangkat tangan sambil me mberikan perintah agar pasukannya me mperla mbat laju mereka. Namun segalanya telah terlambat. Dalam kere mangan fajar yang menjadi se ma kin terang, Panlangen me lihat pasukan berkuda lawannya berbalik ditikungan. Sementara itu, tiba-tiba saja mereka telah mendapat serangan anak panah yang bagaikan hujan dari balik bebatuan di gumuk Watu Pitu. Panlangen dengan cepat mengatur pasukannya. Diteriakkannya aba-aba dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh laskar Raden Mas Said. Na mun dala m pada itu, serangan mereka yang tiba-tiba itu telah berhasil mengacaukan pasukan Panlangen dan pasukan berkuda dari Surakarta. Selagi pasukan itu menjadi kacau, maka laskar berkuda Raden Mas Said me mpersiapkan diri menghadapi segala ke mungkinan. Tetapi mereka tidak menyerang pasukan yang sedang kacau itu, untuk me mberi kesempatan kepada kawankawannya yang berada dii balik batu-batu padas untuk menyerang dengan lontaran anak panah. Namun ketika pasukan berkuda dari Surakarta itu sedang berusaha untuk menyusun kekuatannya, muncullah sepuluh orang berkuda yang me lingkari gumuk Watu Pitu. Orang-orang itu terkejut, ketika mereka me lihat justru pasukan berkuda yatag ingin dicegatnya itu berhenti ditikungan. Apalagi ketika mereka menyadari, bahwa telah terjadi sesuatu diluar perhitungan mereka. Ternyata diantara
bebatuan di gumuk itu terdapat pasukan lawan yang sudah siap menunggu kedatangan mereka. Dala m keremangan pagi yang sa mar, mereka ternyata tidak segera dapat melihat orang-orang yang seolah-olah telah tersamar di bebatuan. Baru kemudian, lontaran-lontaran senjata itu telah menyatakan, bahwa di gumuk Watu Pitu itu terdapat sepasukan yang memang sengaja menunggu kehadiran prajurit berkuda dari Sura karta. Pasukan berkuda Raden Mas Saidpun terkejut me lihat sepuluh orang berkuda yang muncul dari balik gumuk. Na mun demikian mereka melihat pakaian dan ciri-cirinya, meskipun pagi masih re mang, merekapun segera mengenal, bahwa mereka ada lah prajurit dan pasukan berkuda. Untuk sesaat pemimpin pasukan Raden Mas Said itu raguragu, justru karena mereka adalah prajurit Surakarta. Namun akhirnya, ketika ia me lihat kumpeni yang berhasil menyusun diri siap dengan senjata api mereka, maka pe mimpin pasukan berkuda itupun segera meneriakkan perintah, agar pasukannya segera menyerang. Bukan saja mere ka yang berkuda. Na mun de mikian perintah itu terdengar, maka bermuncullanlah laskar Raden Mas Said dari balik bebatuan. Mereka masih saja menyerang dengan anak panah, sehingga kumpeni dan prajurit dari pasukan berkuda Surakarta, terpaksa berusaha untuk menghindar atau menangkis. Namun dala m pada itu, pasukan berkuda Raden Mas Said itupun telah menghadap ke mba li kearah mereka dan menyerang seperti angin prahara. Pasukan berkuda kumpeni dan prajurit Surakarta itu me mang prajurit pilihan. Tetapi menghadapi keadaan yang tiba-tiba, mereka menjadi berdebar-debar pula. Serangan ternyata datang dari dua arah, dengan kekuatan yang hampir
seimbang, sementara orang-orang yang muncul dari gumuk itu masih saja menyerang dengan anak panah mereka. Satu dua orang kumpeni. telah terluka. Karena itu, maka senjata merekapun segera mulai meledak. Na mun dala m pada, itu, pasukan berkuda Raden Mas Said telah menyerang mereka, sehingga mereka terpaksa bertempur dengan senjata jarak pendek. Sebenarnya seorang demi seorang, pasukan kumpeni dan prajurit dari pasukan berkuda Surakarta, me mpunyai ke ma mpuan yang jauh lebih ba ik. Tetapi ternyata mereka telah terjebak dala m satu keadaan yang tidak menguntungkan. Pada benturan kedua pasukan itu, kumpeni telah kehilangan beberapa orang prajurit yang terluka, sementara prajurit Surakartapun mengalami keadaan yang serupa. Ternyata bahwa jumlah pasukan Raden Mas Said yang terdiri dari dua kelompok itu, jumahnya jauh lebih banyak. Sehingga dengan demikian, maka kumpeni dan pasukan berkuda Surakarta itu segera mengala mi kesulitan. Sepuluh orang yang berusaha memotong jalan itupun segera memasuki arena pula. Namun merekapun segera tenggelam dala m keributan perte mpuran. Letnan PaJnlangen yang hanya sempat mene mba kkan senjatanya satu kali, telah mencabut pedangnya. Dengan garangnya ia bertempur diatas punggung kuda. Ternyata ia benar-benar seorang Senapati yang memiliki ke ma mpuan tinggi dari pasukan kumpeni. Itulah sebabnya ia dipercaya untuk me mimpin pasukan berkuda gabungan antara kumpeni dan prajurit Sura karta dari pasukan berkuda. Tetapi ia menghadapi musuh yang terlalu banyak. Dalam hiruk pikuk perte mpuran ia berhadapan tidak saja lawan yang berada diatas punggung kuda. Tetapi beberapa orang laskar
Raden Mas Said telah menyerangnya dengan tombak sa mbi berlari-lari, karena mereka tidak berkuda. Kecuali letnan Panlangen dan kumpeni, prajurit dari pasukan berkuda Surakartapun me miliki kelebihan. Itulah sebabnya Raden Mas Said sendiri telah me mperingatkan, agar mereka berhati-hati menghadapi pasukan berkuda itu. Tetapi betapapun kuatnya pasukan berkuda itu, na mun akhirnya mereka tidak dapat mengingkari kenyataan. Tombak para pengikut Raden Mas Said itu telah menyentuh kumpeni itu seorang de mi seorang. Seperti yang direncanakan, yang menjadi sasaran utama adalah justru kumpeni. Setiap Raden Mas Said bertemu dengan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran itu selalu menekankan, bahwa lawan yang sebenarnya bagi mereka adalah kumpeni. Bukan prajurit Surakarta sendiri. Bahwa dalam perte mpuran yang sengit itu, terpaksa ada juga prajurit Surakarta yang terbunuh, itu adalah diluar ke ma mpuan usaha mereka yang menghindar, karena sebenarnyalah bahwa prajurit Surakarta itu, telah berusaha pula untuk benar-benar me mbunuh. Dala m pertempuran yang sengit itu, maka korbanpun mulai jatuh. Seorang demi seorang ujung-ujung tombak telah menyusup diantara tulang-tulang iga kumpeni. Satu-satu mereka berjatuhan dari punggung kuda. Ternyata prajurit dan pasukan berkuda dan kumpeni tidak berhasil menguasai lawannya yang dengan sengaja telah menjebak mereka. Se mentara itu, merekapun tidak se mpat lagi minta bantuan dari Surakarta. Apalagi jika diingat bahwa prajurit yang berangkat ke Penambangan adalah sekelompok prajurit yang pating baik dari Surakarta, termasuk prajurit dari pasukan berkuda. Tidak ada jalan ke mbali bagi letnan Panlangen. Setelah pedangnya merah oleh darah, maka datang giliran ia harus
mengakui keunggulan pasukan Raden Mas Said yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pasukannya. Dengan marah ia menyaksikan seorang demi seorang kumpeni yang jatuh, terluka dan ke mudian terbunuh di peperangan itu. Namun dala m pada itu, pasukan Raden Mas Said sebagaimana umumnya para pengikut Pangeran Mangkubumi telah mendengar dan selalu mendengar, bahwa lawan mereka adalah kumpeni. Meskipun de mikian da la m perte mpuran yang seru, maka tidak akan dapat dihindari, bahwa satu dua prajurit Surakarta dari pasukan berkuda itupun telah tersentuh senjata. Bahkan satu dua diantara mereka telah terjatuh dan terkapar ditanah. Letnan Panlangen yang marah itupun berte mpur dengan garangnya. Pedangnya menyambar-nya mbar. De mikian pula pasukan berkuda kumpeni yang lain, telah berte mpur dengan ke marahan dan kebencian. Apalagi ketika mereka melihat kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka oleh senjata orang-orang yang mereka anggap liar, yang bertempur dengan le mbing-le mbing ba mbu dan parangparang pemotong kayu. Tetapi le mbing-le mbmg ba mbu dan parang pemotong kayu itu ma mpu juga menghunja m kedala m tubuh mereka. Pertempuran itupun menjadi se makin sengit. Tetapi tidak ada lagi harapan Panlangen untuk dapat mengalahkan lawannya. Karena itu, maka t idak ada ke mungkinan lain yang paling baik daripada menghindarkan diri. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar aba-aba yang diteriakkan oleh letnan itu. Aba-aba yang diberikan kepada pasukannya untuk meningga lkan arena. Sebenarnyalah kecemasan telah menceka m setiap orang yang masih tersisa dalam pasukan berkuda itu. Mereka sama sekali sudah tidak berpengharapan. Sementara merekapun tidak ingin untuk me mbunuh diri dengan me minja m tangan
pasukan Raden Mas Said. Karena itu, demikian mereka mendengar aba-aba dari letnan Panlangen, maka merekapun segera berusaha melepaskan diri dari keterikatan pertempuran. Sekali lagi pasukan berkuda itu menunjukkan ketangkasan mereka. Dengan tangkasnya mereka menghindar dan dengan cepat pula mereka berhasil melepaskan diri dari pertempuran yang seru itu. Pada saat pasukan berkuda dari Surakarta yang terdiri dari prajurit Surakarta sendiri dan kumpeni itu meninggalkan arena, maka anak muda yang berja mbang, berkumis dan berjanggut lebat itupun telah me mberikan aba-aba untuk tidak mengejar mere ka. "Kenapa mereka kita lepaskan saja ?" bertanya salah seorang dari laskar Raden Mas Sa id itu. "Tida k ada gunanya. Kuda mereka jauh lebih baik dari kuda kita. Kita tida k akan dapat mengejarnya. Jika kita mencoba, maka jarak diantara pasukan kita dengan mereka akan semakin la ma menjadi sema kin panjang." jawab pe mimpin pasukan Raden Mas Sa id itu. Dala m pada itu, ternyata bekas medan itu telah basah oleh darah. Mayat masih terbujur lintang mengerikan. Sebagian besar dari mereka adalah kumpeni yang merasa diri mereka orang yang lebih tinggi derajat dan martabatnya dari orang berkulit sawo. Na mun tida k dapat dihindari bahwa korbanpun telah jatuh diantara prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, dan bahkan mereka dari pasukan Raden Mas Said sendiri. "Kita masih me mpunyai tugas yang harus kita lakukan dengan cepat" berkata pemimpin dari pasukan berkuda Raden Mas Said itu. "Tugas apa lagi?" bertanya salah seorang dari laskarnya.
Pemimpin pasukan itupun merenung sejenak. Na mun ke mudian katanya dengan nada datar "Bagaimana dengan mayat-mayat ini?" Kawan-kawannyapun mengerutkan keningnya. Mereka tidak akan sa mpai hati meningga lkan mayat itu terkapar begitu saja. "Kita a kan menguburkan mereka " desis pe mimpin pasukan itu. "Apakah kita tidak me mikirkan ke mungkinan, bahwa pasukan Surakarta itu akan datang lagi dengan jumlah yang jauh lebih besar " Se luruh pasukan berkuda akan datang dan mengepung kita." sahut salah seorang anak buahnya. Pemimpin pasukan itu termangu-mangu. Na mun akhirnya ia berkata "Kita akan singgah di padukuhan terdekat. Kita akan minta kepada mereka untuk mengubur mayat-mayat. itu. Tetapi kita tidak a kan dapat meninggalkan mayat kawankawan kita sendiri. Kita akan me mbawanya menuju ke te mpat yang sudah ditentukan dan menguburkannya disaina. Baru ke mudian kita akan menyusul ke Keduwang." Tidak ada jalan la in yang lebih ba ik. Karena itu, maka laskar Raden Mas Said itupun segera mencari kawan-kawan mereka yang terbunuh diantara mayat yang berserakan, sementara yang terluka parah telah mendapat perawatan sementara, bahkan lawan se kalipun. Ternyata bahwa ada beberapa ekor kuda dari pasukan berkuda Surakarta yang masih berkeliaran di sekitar medan itu tanpa penunggangnya. Dengan demikian, maka laskar Raden Mas Said itu kecuali se mpat menga mbil senjata kumpeni yang terbunuh, merekapun mendapat juga beberapa ekor kuda yang besar dan tegar. Demikianlah, dengan kuda-kuda yang besar itu, para pengikut Raden Mas, Said itu telah me mbawa kawankawannya yang terluka dan yang gugur dipertempuiran.
Meskipun demikian, mereka tidak sampa i hati me mbiarkan mayat itu tanpa diperlakukan sebagaimana seharusnya. Karena itu, maka merekapun telah singgah di padukuhan terdekat. Kepada penghuni padukuhan itu pemimpin laskar Raden Mas Said itupun minta agar mereka bersedia se kedar me lakukan tindak terpuji untuk me ngubur mayat yang berserak-kan di sebelah gumuk Watu Pitu, dan merawat yang terluka. "Ada beberapa pertimbangan" berkata pemimpin pasukan itu "kecuali dari segi sikap yang terpuji atas dasar perike manusiaan, juga atas pertimbangan kesehatan penghuni padukuhan ini sendiri. Jika mayat-mayat itu me mbusuk, maka akibatnya akan kurang baik bagi penghuni padukuhan ini. "Tetapi apakah hal itu tidak akan me mbuat kita mendapat bencana. Jika para prajurit Surakarta dan kumpeni menuduh kita terlibat dala m hal ini, maka masih kita akan menjadi sangat buruk." "Mereka tahu siapa yang telah me mbunuh kawankawannya" jawab pemimpin pasukan Raden Mas Said itu "karena itu, selagi mereka masih tetap manusia dan apalagi prajurit Surakarta sendiri, tentu akan mengucapkan terima kasih kepada kalian. Tetapi ada kemungkinan kawan-kawan mereka t idak a kan ke mba li lagi kete mpat ini. Mereka akan pergi ke Penambangan, menggabungkan diri dengan induk pasukan mereka, setelah mereka mengala mi kerugian yang sangat besar didaerah ini. Karena ka lian harus merawat mereka yang terluka untuk se mentara." Meskipun ragu-ragu, na mun a khirnya penghuni padukuhan itupun menyatakan kesediaan mereka untuk mela kukannya. Setelah mendengar kesanggupan itu, barulah rje mimpin pasukan itu merasa tenang. Setelah mengucapkan terima kasih, ma ka mere kapun segera meninggalkan tempat itu, menuju ke te mpat yang sudah ditentukan sebe lum mereka me masuki Keduwang.
Dala m pada itu, pasukan Raden Mas Said itupun telah dibagi menjadi dua. Yang berkuda akan mendahului mela lui jalan yang lebih besar, sementara yang berjalan kaki akan mene mpuh jalan me mintas, melewati jalan-jalan sempit dan bahkan pe matang-pematang. Namun jaraknya menjadi jauh lebih dekat. Sementara itu, pasukan induk Surakarta benar-benar telah mengepung Pena mbangan. Mereka yakin bahwa mereka akan berhasil menghancurkan, pasukan Raden Mas Said. Seperti letnan Panlangen, merekapun menganggap bahwa serangan kecil itu hanyalah sekedar me mancing perhatian untuk menga lihkan sasaran. "Menurut perhitungan ka mi" berkata seorang Senapati dari Surakarta "mereka tidak sempat menghindar dari daerah ini Demikian pasukan berkuda mengejar penyerang-penyerang yang tidak seberapa jumlahnya itu, beberapa orang petugas sandi telah mendahului perjalanan pasukan ini. Tidak secrangpun yang sempat keluar dari daerah Pena mbangan." "Tetapi bahwa mereka mengerti kedatangan kita itupun merupakan satu persoalan" jawab kumpeni berpangkat, mayor yang menjadi Panglima pasukan Surakarta yang terdiri dari prajurit-prajurit terbaik dari Sura karta dan kumpeni itu. "Kita akan menunggu sejenak" berkata Senapati itu "pasukan berkuda itu akan segera datang. Kita tidak usah cemas, bahwa meskipun orang-orang yang berada didalam kepungan ini mengetahui kehadiran kita, mereka tidak akan dapat mengela kkan diri lagi." Namun ternyata bahwa pasukan berkuda itu tidak segera datang, "Orang-orang pribumi itu se mpat perlawanan" desis Mayor kumpeni itu. juga mengadakan
Namun akhirnya, mereka melihat juga iring-iringan pasukan berkuda yang letih mendekati kepungan induk pasukan Surakarta di Pena mbangan. Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Keadaan mereka yang parah, me mberikan kesan yang sangat buruk bagi Panglima pasukan Sura karta itu. Dengan garangnya Mayor iitu menerima Panlangen yang menghadap dengan kepala tunduk. Pada punggung Panlangen sendiri terdapat noda darah, karena punggungnya me mang tersentuh senjata. Dengan nada dala m. Panlangen me mbelikan laporan, apa yang telah terjadi dengan pasukannya, sehingga tanpa dapat dicegah lagi, pasukannya telah menjadi parah seperti yang dapat disaksikan itu. "Gila, anak monyet, sambar geledek" Mayor ilu mengumpat-umpat. Sementara letnan Panlangen hanya dapat menundukkan kepalanya oleh berbagai perasaan yang bercampur baur dihatinya. Kemarahan mayor itu tidak terkatakan. Dengan wajah merah me mbara ia ke mudian me mbentak "Apakah kau tidak ma mpu mengalahkan monyet-monyet itu he ?" "Jumlah mereka terlalu banyak, mayor" jawab Panlangen:. "Kalian me mang pengecut. Berapa banyaknya, tetapi mereka harus dapat dibinasakan" gera m mayor yang ha mpir menjadi gila itu. Karena itu tiba-tiba ia berkata lantang "Kita hancurkan Penambangan. Se mua orang harus dibunuh kecua li Raden Mas Said. Ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya. Dan ia akan dibunuh di alun-alun Surakarta dengan tali gantungan dihadapan ra kyat." Panlangen tidak menjawab. Tetapi ia mengenal mayor itu dengan baik. Karena itu, maka iapun dapat me mbayangkan, apa yang akan terjadi di Penambangan. Mayor itu akan benar-
benar melakukan seperti yang dikatakannya. Semua orang harus mati. Sementara mayor itu me merintahkan untuk mengurung Penambangan se makin se mpit, ma ka pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat dari arah Gebang dan Sukawati telah mende kati kota. Pasukan itu menjadi tergesa-gesa ketika matahari sudah mulai me ma njat langit. Dengan cermat Pangeran Mangkubumi telah me mbagi pasukannya. Beberapa orang Pangeran dan bangsawan yang ada didalam pasukannya .telah di bagi dalam beberapa kelompok. Mereka akan me mimpin kelompok-ke lompok yang akan berpencar dida la m ko,ta. "Kita harus me mberikan kesan, bahwa seluruh kota sudah kita kuasai meskipun hanya untuk sementara" berkata Petngeran Mangkubumi, Demikianlah, ma ka ketika panasnya matahari pagi mulai terasa gatal, kota sudah mulai menjadi gelisah. Satu dua oiang telah melihat kedatangan pasukan yang kuat itu, sehingga merekapun dengan ce mas telah berusaha untuk me mberitahukan hal itu kepada para prajurit yang berjagajaga di pintu gerbang. Namun sebelum mereka se mpat berbuat sesuatu, pasukan itu benar-benar telah datang. Tidak hanya dari satu arah, tetapi dari beberapa arah. Pasukan yang me masuki kota tidak saja melalui gerbang-gerbang uta ma, tetapi juga melalui jalan jalan kecil disisi utara kota Surakarta. Sejenak ke mudian kota Surakarta menjadi ge mpar. Sebenarnya itulah yang tidak diinginkan oleh Pangeran Mangkubumi. Tetapi apaboleh buat. Tidak ada lagi waktu yang lebih baik dari saat itu, selagi kumpeni dengan pasukannya yang terkuat sedang berada di luar kota bersama sebagian besar prajurit Surakarta.
Kedatangan pasukan Pangeran Mangkubumi itupun segera tersiar keseluruh kota. Beberapa orang kumpeni yang masih ada dikota segera bersiap. Pasukan berkuda yang tinggal-pun segera keluar dari baraknya. Bersama sepasukan kumpeni mereka menyongsong pasukan Pangeran Mangkubumi yang me masuki kota lewat gerbang utama yang menghadap ke Utara. Pertempuranpun segera berkobar. Jalan-jalan kota telah menjadi ajang peperangan. Terdengar beberapa kali ledakan senjata api. Tetapi jarak demikian dekat, sehingga perang yang kemudian terjadi adalah perang dengan senjata pendek. Tetapi yang me masuki kota lewat pintu gerbang utama adalah sebagian saja dari pasukan dala m keseluruhannya. Sementara itu, maka kelompok-ke lompok yang lain dari pasukan Pangeran Mangkubumi telah menebar. Dala m pada itu, prajurit Surakarta segera mengala mi kesulitan. Tekanan pasukan Pangeran Mangkubumi terasa sangat berat. Apalagi pasukan mereka yang terkuat sedang meninggalkan kota menuju ke Pena mbangan. Namun seperti yang dicemaskan Pangeran Mangkubumi, prajurit-prajuritnya tidak leluasa bertempur me lawan kumpeni dan pasukan Sura karta, justru karena kebingungan rakyat Surakarta sendiri. Beberapa keluarga yang ketakutan justru berlari-larian di sepanjang jalan. Mereka menjadi kebingungan dan sebagian tidak lagi tahu, kemana mere ka akan mengungsi. Tetapi menurut pendengaran mereka, pasukan Pangeran Mangkubumi adalah pasukan pe mberontak yang garang, yang akan mence lakai rakyat Surakarta. Sebagian besar rakyat yang tinggal di kota Surakarta percaya akan kabar itu. Orang-orang yang me mbenci Pangeran Mangkubumi dengan sengaja mengatakan bahwa Pangeran itu telah memberontak karena ia tidak mau tunduk kepada perintah Sri Paduka Kangjeng Susuhunan. Pangeran itu tidak mau menyerahkan tanah Kalenggahannya yang
terlalu banyak. Akhirnya bahkan Pangeran Mangkubumi telah menyatakan ingin mengusir Kangjeng Susuhunan dari tahtanya, dan kemudian menggantikannya, Ternyata kumpeni telah me manfaatkan rakyat yang kebingungan itu. Justru mereka dapat dipergunakan sebagai perisai disaat-saat kumpeni tidak ma mpu lagi bertahan. Di belakang rakyat yang kebingungan kumpeni menarik diri masuk ke loji. Dala m pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kumpeni yang belum se mpat melarikan diri, menjadi sasaran kemarahan pasukan Pangeran Mangkubumi, sehingga korbanpun telah berjatuhan. Tetapi kengerian yang memuncak, me ma ksa rakyat Surakarta sendiri menjadi ha mbatan dari gerakan Pangeran Mangkubumi. Dan itu sudah diperhitungkan oleh Pangeran Mangkubumi jika mereka kesiangan masuk kedala m kota. Na mun mereka sudah terlanjur. Karena itu, maka pasukan Pangeran Mangkubumipun berusaha menyesuaikan diri. Mereka sama seka li tidak mengganggu rakyat yang sedang mengungsi. Sebagian dari mereka telah masuk kedala m keraton lewat gerbang belakang. Bagi mere ka tidak ada tempat lain yang lebih a man daripada berada didalam lingkungan dinding keraton yang dijaga oleh para prajurit dan bahkan diantara mereka terdapat beberapa orang kumpeni bersenjata api. Semua pintu gerbangpun ke mudian ditutup. Sekali-seka li pintu itu masih harus dibuka jika ada. beberapa orang pengungsi yang me maksa untuk masuk. "Gila, usir mereka" bentak Selor, seorang sersan kumpeni yang berkumis lebat. "Mereka ketakutan diluar" sahut searang Senapati muda "biarlah mereka mendapat ketenangan disini."
"Itu tidak boleh. Hala man istana ini harus bersih dari orangorang dungu dan pengecut itu" bentak Selor "usir mere ka dan biar mereka berada diluar." "Diluar dinding ini terjadi pertempuran. Orang-orang yang tak bersenjata ini akan dapat mati terinjak-injak kaki kuda" Senapati muda itupun ke mudian me mbentak. "Aku perintahkan, bawa mereka keluar. Mereka mengganggu disini. Siapa tahu diantara mereka terdapat petugas-petugas sandi dari pe mberontak itu" sersan Selor semakin marah. Tetapi Senapati muda itupun menjadi se makin marah pula. Katanya "Mereka tidak mengganggu disini. Mereka hanya sekedar mengungsi karena ketakutan." "Jika kau tidak mau mengusir mere ka, kumpeni akan mengusir mereka " teriak sersan berkumis lebat itu. Senapati muda itupun telah kehilangan kesabarannya pula. Dengan lantang ia menjawab "Kau bukan pimpinan-ku. Kau tidak dapat me merintah aku. Istana inipun bukan istana rajamu. Ini adalah istana Kangjeng Susuhunan Paku Buwana. raja di Surakarta. Istana ini seharusnya me mang me mberikan perlindungan kepada rakyat yang ketakutan." "Aku tidak pedui. Aku akan mengusir mereka" teriak Selor lebih keras sambil menarik pedangnya "siapa yang tidak mau pergi, aku bunuh ia disini." Tetapi Senapati itu tidak kalah marahnya. Iapun telah menya mbar tomba k seorang penjaga yang berdiri termangumangu sa mbil berteriak pula "Lakukan. Coba lakukan jika kau jantan. Ayo, jika kau berani berbuat sesuatu terhadap rakyat Surakarta dihadapan mataku. Perutmu a kan aku koyak dengan tomba k ini. Biar na ma mu saja yang ke mbali ke seberang lautan tempat asalmu," "Gila. Kau juga pe mberontak ya" gera m Selor.
"Aku berada di bumiku sendiri. Aku melindungi rakyatku yang ketakutan. Dan kau akan mena mbah kalut pikiran mereka dengan tingkah lakumu yang biadab" jawab Senapati itu sa mbil1 menggeretakkan giginya. Untunglah, bahwa karena keributan itu, telah datang pemimpin-pe mimpin mereka yang sempat berpikir lebih bening. Seorang letnan kumpeni telah menenangkan hati sersan Selor dan me merintahkannya untuk tidak meneruskan niatnya, sementara seorang Senapati Surakarta yang lebih tuapun telah berusaha me mbawa Senapati muda itu bergeser dari tempatnya. "Setan itu akan mengusir para pengungsi yang ketakutan" geram Senapati muda itu. "Tida k, la tidak akan melakukannya lagi" desis Senapati yang lebih tua "sebaiknya kita tidak berselisih diantara kita, sedangkan pasukan Pangeran Mangkubumi telah berada diluar dinding istana ini. Kangjeng Susuhunan tentu akan menjadi semakin ge lisah." "Tetapi aku t idak dapat me mbiarkan kebiadaban itu berlaku, justru oleh orang-orang yang katanya akan me mbawa peradaban baru di Surakarta, bagi kepentingan rakyat Surakarta." "Sudahlah" berkata Senapati yang lebih tua "kita bersiap menghadapi ke mungkinan, jika pasukan Pangeran Mangkubumi me masuki hala man istana dari arah manapun juga." Senapati muda itu tidak menjawab. Na mun masih terasa dentang jantungnya yang me mukul-mukul dinding dadanya. Sementara itu, kota Surakarta benar-benar telah dikuasai oleh pasukan Pangeran Mangkubumi. Hanya beberapa bagian dari barak-barak prajurit sajalah yang dibiarkannya, untuk mencegah korban yang tidak terhitung jumlahnya. Jika sekelompok pasukannya me masuki barak prajurit yang tidak
lagi dapat dipertahankan sebaik-baiknya karena sebagian besar dari mereka sedang dalam perjalanan ke Pena mbangan, maka tidak akan dapat dicegah lagi bahwa perasaan akan mulai berbicara, tidak lagi dengan ujung-ujung lidah, tetapi dengan ujung senjata. Pangeran Mangkubumi sudah me mperhitungkannya sebelumnya, sehingga karena itu, maka para Senapatinyapun telah berbuat serupa pula. Dala m pada itu, barak-barak prajurit Surakartapun telah menutup segala regol dan pintu-pintu teteg di hala man dan seketheng. Juga pintu regol istana Ranakusuman yang dipergunakan oleh pasukan berkuda. Namun dala m pada itu, para prajurit yang menarik diri kedala m barak-barak mereka, selain yang berada di istana, telah bersiap menghadapi ke mungkinan terakhir. Sebagai seorang prajurit, maka agaknya merekapun akan me lawan sampai ke mungkinan yang terakhir Namun dala m pada itu, Tumenggung Reksanata, salah seorang Senapati pada pasukan Pangeran Mangkubumi telah menghadap dan mohon ijin untuk me nyerang barak-barak prajurit yang tersisa. "Mereka tidak akan dapat melawan kekuatan kita" berkata Reksanata. Namun Pangeran Mangkubumi menggeleng sa mbil berkata "Biarlah mereka melihat dan menjadi saksi, apa yang telah kami lakukan. Seandainya kalian me masuki barak-barak prajurit dan me mbunuh mereka se muanya, apakah kesan dari rakyat Surakarta sendiri dan apa pula kesan yang akan timbul pada diri Kangjeng Susuhunan terhadap kita yang telah menyatakan janji untuk berusaha mengusir kumpeni, belum lagi- jika kita menghitung korban diipihak kita."
Reksanata mengangguk-angguk Na mun ia masih mohon "Jika de mikian, biarlah loji itu kita bakar dan se mua sisa kumpeni kita binasakan." "Apakah kau t idak me lihat Reksanata" berkata Pangeran Mangkubumi "mereka t idak saja bersiap dengan senapansenapan. Tetapi mereka telah me mpersiapkan beberapa buah meria m. Sebenarnya, kita akan dapat memasuki loji itu dari segala arah dan menumpas mereka. Tetapi jika meria mmeria m itu meledak, maka korban a kan berjatuhan. Bukan saja dari antara kita sendiri, tetapi kau dapat me mbayangkan meria m-meria m itu me ledak dida la m kota, dan rumah-rumah penduduk yang tidak bersalah itupun akan dapat menjadi sasaran. Demikian pula pengungsi-pengungsi yang masih saja hilir mudik kebingungan." "Lalu apa yang akan kita capai dengan serangan ini Pangeran?" bertanya Senapati itu. "Kita menunjukkan kepada kumpeni, bahwa kita ma mpu berbuat sesuatu yang besar, terpimpin dan terkendali. Juga satu ketegasan sikap yang kita sa mpaikan kepada Kangjeng Susuhunan. Khususnya sikap kita menghadapi kumpeni." Raksanata menarik nafas dalam-dala m. De mikian besar cinta Pangeran Mangkubumi terhadap rakyat Surakarta, meskipun sebagian dari rakyat yang tinggal di kota itu me mbencinya. Pertempuran masih terjadi dibeberapa bagian dari kota. Namun justru para prajurit Surakarta itupun berusaha menarik diri me masuki dinding hala man istana untuk bertahan bersama prajurit-prajurit yang lain yang telah lebih dahulu me masuki hala man istana bersama kumpeni yang bertugas berjaga-jaga dan me lindungi istana. Tatapi pasukan Pangeran Mangkubumi yang mendapat pesan mawanti-wanti untuk tidak bertinda k sewenang-wenang tidak berusaha untuk menghancurkan mereka. Apalagi
berusaha mengejar mereka me masuki regol ha la man samping dan belakang istana. Sementara itu, dala m hiruk pikuk yang terjadi di kota, Juwiring, Buntal dan Arum yang ikut pula didala m pasukan Pangeran Mangkubumi se mpat singgah meskipun hanya sekejap di istana Sinduratan. Ketika mereka yakin, bahwa jalan-jalan telah menjadi sepi dan tidak ada orang yang me lihatnya, maka merekapun minta ijin kepada Ki Wandawa untuk singgah barang sekejap. "Waktu kita sangat terbatas" jawab Ki Wandawa. "Hanya sekejap untuk mengucapkan terima kasih" sahut Arum. Ki Wandawa mengerut kan keningnya. Namun ke mudian iapun tersenyum sa mbil menyahut "Sa mpaikan ucapan terima kasih ka mi se muanya kepada Raden Ayu Galihwarit. Ternyata karena keterangannya, kita dapat berbuat sebaik-baiknya." Sebenarnyalah Juwiring, Buntal dan Arum hanya singgah sekejap. Mereka menya mpaikan ucapan terima kasih sebagaimana dipesan oleh Ki Wandawa, "Sering-seringlah datang" berkata Raden Ayu Galihwarit "aku yakin, setelah peristiwa ini, tentu akan disusul oleh peristiwa yang lebih besar. Kumpeni tentu sema kin mendenda m dan mereka akan berusaha untuk menebus kekalahannya." "Terima kasih ibunda" desis Juwiring. Sejenak ke mudian merekapun minta diri. Na mun dala m pada itu, Juwiriing me lihat mata adik perempuannya menjadi berkaca-kaca, "Apakah aku dapat ikut bersama mu ka kangmas?" bertanya Rara Warfh.
"Kita da la m keadaan yang sangat gawat sekarang ini diajeng." jawab Juwiring "mungkin beberapa saat lagi, diharihari mendatang aku akan me mpertimbangkannya." Rara Warih tidak menjawab. Tetapi ketika Juwiring, Buntal dan Arum yang mohon diri itu meninggalkan sera mbi sa mping, Bara Warih se mpat berbisik ditelinga kakandanya "Aku tidak tahan lagi kakangmas. Ibunda me mbuat hatiku hancur. Disa mping pengertianku a kan usaha ibunda me mbantu perjuangan Pangeran Mangkubumi, na mun alangkah pahitnya me lihat, kenyataan, cara-cara yang telah dipergunakan oleh ibunda yang telah merendahkan martabat kita sekarang." Juwiring hanya menarik nafas dalam-da la m. Ia tidak dapat menjawab karena Raden Ayu Galihwarit berada beberapa langkah saja dibela kangnya. Namun ibu yang sudah mengenyam pahit getirnya kehidupan mela mpaui kebanyakan pere mpuan itu na mpaknya mengerti perasaan anak gadisnya. Karena itu, ia justru menjauh. Rara Warih memang me merlukan tempat untuk me muntahkan segala yang menyesak didadanya, agar anak itu tidak menjadi se makin la ma se makin menderita. Rara Warih yang melihat ibundanya justru mendahului keregol, yang kemudian seolah-olah dengan hati-hati mengintip keluar, sempat mengulangi "Aku tidak a kan tahan menga la mi hal seperti ini." "Tetapi tida k sekarang diajeng." jawab Juwiring. "Aku tidak tahan. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Kecuali a ku adalah anak yang berhadapan dengan ibundanya, akupun mengerti bahwa yang dilakukan oleh ibunda itu bermanfaat bagi perjuangan." desis Rara Warih. "Ikhlaskan cara yang dipilih oleh ibunda, diajeng." bisik Juwiring.
"O" Rara Warih terkejut. Namun tiba-tiba ia me meluk Juwiring sa mbil menangis "Ka kangmas, sampai hati kau mengatakan de mikian. Aku tahu, bahwa ibunda Galihwarit bukan ibunda mu, sehingga kau tida k merasakan perasaan seperti yang aku rasakan." "Bukan. Bukan" sahut Juwiring dengan serta merta. Sekilas ia me mandang Raden Ayu Galihwarit yang masih berdiri diregol. Namun ibundanya itupun ke mudian me langkah mende katinya. Dengan nada lugu seakan-akan tidak mengetahui sa ma sekali perasaan anak gadisnya ia berkata "Jangan kau tahan kakandamu Warih. Biarlah ia mela kukan tugasnya demi perjuangan dala m keseluruhan." Rara Warih berusaha untuk menahan tangisnya. Sementara iapun melepaskan tangannya sambil berdesis "Kapan kau datang kembali ?" "Aku belum tahu. Tetapi kau jangan salah mengerti" Juwiring masih ingin me mperbaiki kata-katanya yang ternyata telah menyinggung perasaan adiknya. Rara Warih tidak menjawab lagi lapun ke mudian me lepaskan Juwiring yang menjadi berdebar-debar. Seolaholah ia tidak sampai lati meninggalkan adiknya dala m keadaan salah paha m. Tetapi ia tidak dapal tinggal terlalu la ma di istana Sinduratan. Karena itu, maka se kali lagi ia mohon diri dan keluar dengan hati-hati dari istana itu, agar tidak menimbulkan sa lah paha m. Sepeninggal Juwiring. Buntal dan Arum, Pangeran Sindurata keluar pula kehala man sa mbil berkata lantang "Ke mana anak-anak bengal itu. Ia dapat membuat rumah ini dicuriga i." "Mereka adalah anak-anakku ayahanda. Tentu aku akan menerima nya kapanpun mereka datang." jawab Raden Ayu Galihwarit.
Sementara itu. Raden Juwiringpun telah melapor ke mbali kepada Ki Wandawa dan ke mba li kedala m pasukannya. Arum, yang oleh kawan-kawan Juwiring dan Buntal disebut gadis aneh. tetap berada diantara mereka pula. Sementara itu Pangeran Mangkubumi masih tetap berada didala m kota. Bahkan seolah-olah mutla k menguasai seluruh kota. Prajurit Surakarta telah menarik diri dan tidak me mberikan perlawanan lagi, sementara pasukan kumpenipun telah menyusun pertahanannya di baraknya selain mereka yang berada di istana. Tetapi Pangeran Mangkubumi seolah-olah tidak mengusik mereka. Pangeran Mangkubumipun sa ma sekali tidak menyentuh bagian dala m istana. Ketika sebagian dari pasukannya me lintas di alun-alun, ternyata yang berada di paling depan dengan payung keemasan, bukanlah Pangeran Mangkubumi sendiri. Hal itu telah se mpat menimbulkan persoalan didala m istana. Dan adalah diluar dugaan Pangeran Mangkubumi bahwa ternyata di belakang para pengawal istana yang kuat. Kangjeng Susuhunan sendiri mencoba melihat suasana di luar istana, meskipun hanya terbatas pada keadaan di alun-alun dan sekitarnya. Ketika sebagian pasukan Pangeran Mangkubumi yang dipimpin oleh seorang Senapati yang bukan Pangeran Mangkubumi sendiri meskipun dengan payung keemasan itu sudah lewat, maka alun-alun itu menjadi sepi. Seolah-olah Surakarta adalah kota mati. Tetapi Pangeran Mangkubumi me mang tida k ingin mengganggu istana. Ia cukup sadar, bahwa Kangjeng Susuhunan Paku Buwana itupun seorang prajurit. Jika istananya tersinggung, apapun alasannya, maka ia akan bangkit dan mungkin Kangjeng Susuhunan sendiri yang akan me mimpin perlawanan untuk menyela matkan istananya.
Apalagi dalam keadaan yang bagaimanapun juga, Pangeran Mangkubumi sela lu ingat, bahwa ia sama seka li t idak akan me lawan Kangjeng Susuhunan. Yang dilawannya adalah pengaruh kumpeni yang semakin la ma menjadi se makin kuat di Surakarta. Perjanjian demi perjanjian yang bagaikan mata rantai yang mengikat Surakarta, semakin la ma se makin erat. "Kangjeng Susuhunan telah me mberikan restu kepadaku ketika aku menyatakan niat untuk me lawan kumpeni" berkata Pangeran Mangkubumi kepada dirinya sendiri. Namun dala m pada itu, ternyata seorang petugas sandi me laporkan, bahwa mereka telah melihat seorang petugas keprajuritan Surakarta dalam penya maran, telah berkuda kearah Timur. Tidak mustahil bahwa keduanya telah pergi ke Penambangan atau ke Jatimalang. "Tentu ke Jatimalang" desis Pangeran Mangkubumi "Lalu, apakah yang sebaiknya kita lakukan sekarang" bertanya salah seorang Senapatinya yang dipanggilnya berkumpul. "Apakah kita merasa sudah cukup dengan gerakan ini untuk me mberikan kesan seperti yang kita kehendaki ?" Pangeran Mangkubumi adalah seorang pemikir yang cerdas. Ia dapat me mperhitungkan keadaan dengan baik dan cermat. Seolah-olah Pangeran Mangkubumi itu dapat melihat yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Dala m keadaan yang tiba-tiba itu Pangeran Mangkubumi berkata "Kita akan menyongsong pasukan yang akan datang dari Jatimalang." Para Senapati pasukan Pangeran Mangkubumi itu menjadi berdebar-debar. Namun sikap Pangeran Mangkubumi itu adalah langkah yang paling tepat yang dapat dilakukan oleh pasukannya. Karena itu, maka Pangeran Mangkubumipun segera me merintahkan untuk mengumpulkan pasukannya. Agaknya
kesan yang timbul tentang pasukan itu sudah cukup bagi kota Surakarta dan penghuni-penghuninya. Dala m pada itu. seorang Senapati telah bertanya "Apakah Pangeran percaya bahwa pasukan yang berada di Jatimalang itu akan datang me mbantu pasukan Surakarta yang ada di kota ini ?" "Aku me mpunyai perhitungan yang de mikian" berkata Pangeran Mangkubumi "pasukan di Jatima lang itu mengetahui bahwa pasukan terkuat telah pergi ke Penambangan. Karena itu, maka mere ka tentu mence maskan nasib para prajurit dan kumpeni yang ada di kota ini. Karena prajurit dan kumpeni yang tersisa tidak terlalu banyak." Para Senapati itupun mengangguk-angguk. Perhitungan Pangeran Mangkubumi jarang sekali meleset. Karena itu, maka para Senapati itupun telah menyiapkan pasukannya sebaik-baiknya. Pasukan Surakarta dan kumpeni di Jatimalang termasuk pasukan yang kuat. Sejenak ke mudian setelah pasukan itu bersiap, maka merekapun segera meninggalkan kota menuju ke arah Timur. Sebenarnyalah bahwa dua orang berkuda yang berhasil lolos dari tangan pasukan Pangeran Mangkubumi telah sampai ke Jatima lang. Mereka segera me laporkan apa yang telah terjadi di kota Surakarta. "Gila" geram letnan Belangker yang berada di Jatimalang "kita Harus me mbantu pasukan kumpeni yang ada di kota." Senapati Surakarta yang berada di Jatimalang itupun sependapat. Kekuatan prajurit Surakarta yang tinggal agaknya kurang mencukupi untuk melindungi istana dan seluruh kota. Karena itu ma ka prajurit Surakarta dan kumpeni yang berada di Jatimalang telah me mpersiapkan diri dengan tergesa-gesa untuk pergi ke kota, me mbantu pasukan yang menurut perhitungan mereka t idak a kan cukup kuat me lawan pasukan Pangeran Mangkubumi.
Demikianlah dengan tergesa-gesa letnan Belangker telah me mbawa pasukan Surakarta dan kumpeni menuju ke arah Barat. Mereka harus segera mencapai kota sebelum kota itu hancur sa ma. sekali. "Pasukan yang ada akan dapat bertahan untuk sementara" berkata Belangker "se mentara kita datang dan menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Belum tentu hal semaca m ini dapat kita lakukan jika bukan Pangeran Mangkubumi sendiri me masuki perangkap. Mungkin kita akan gagal jika pasukan kita yang kuat datang mengepung Sukawati atau Gebang." Senapati prajurit Surakarta hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi iapun merasa ce mas, bahwa pasukan itu akan terlambat. Karena itu, maka Senapati itu lebih senang me mpercepat perjalanan mereka daripada sekedar bermimpi menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Setelah menempuh perja lanan beberapa la ma, maka merekapun mendekati Bengawan yang me mbujur seolah-olah me mbatasi sisi kota Sura karta bagian Timur. Seluruh pasukan itu menjadi berdebar-debar. Mereka me mbayangkan, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi telah menguasai sebagian besar dari kota, Na muni jika mereka datang, mereka akan segera membebaskan seluruh kota dari tangan Pangeran Mangkubumi. Prajurit dan kumpeni yang hampir menjadi putus-asa tentu akan segera bangkit, Pasukan Surakarta yang terlatih dan kumpeni yang telah menje lajahi benua dan Samodra itu benar-benar mampu bergerak cepat Mereka senlah-olah telah tahu pasti, apa yang harus mereka la kukan saat mereka berada dipinggir bengawan. Beberapa orang tukang satang tidak dapat menolak, ketika para prajurit dan kumpeni me merintahkan agar mereka me mbawa para prajurit dan kumpeni menyeberang. Berapa
saja gethek yang ada, seluruhnya telah dipergunakan oleh para prajurit dan kumpeni. Meskipun de mikian, gethek yang ada tidak cukup banyak untuk me mbawa mereka sekaligus. Sebagian mereka yang terdiri dari prajurit-prajurit Surakarta harus menunggu gethek itu sudah sa mpa i kesisi sebelah Barat. Demikianlah, sebagian pasukan gabungan itu telah di bawa dalam beberapa gethek yang ada. Dengan me meras keringat tukang satang telah bekerja keras agar pasukan itu dapat menyeberang secepat mungkin. Letnan Belangker telah me mbentak-bentak t idak sabar, seolah-olah tukang satang itu dengan sengaja telah me mperla mbat gethek mereka. "Cepat sedikit" letnan itu berteriak. Tetapi tukang satang itu telah mengerahkan segenap tenaganya. Mereka tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Apalagi arus bengawan itu agak lebih besar dari biasanya. Namun adalah diluar dugaan mereka, ketika tiba-tiba saja. demikian mereka sa mpai tepi bengawan di seberang Barat, telah muncul pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat. Dengan sengaja mereka mengejutkan pasukan yang mulai menginjakkan kakinya di tepian bengawan itu. Tidak banyak kese mpatan yang dapat mereka lakukan. Kumpeni yang ada diantara mereka, tidak se mpat me mpersiapkan senjata api mereka, ketika tiba-tiba saja pasukan Pangeran Mangkubumi yang telah menunggu itu muncul dari balik gerumbul-gerumbuil perdu, dari balik tanaman disawah dan dari balik batu-batu padas. "Gila" teria k letnan Belangker "apa artinya ini." Lalu terdengar ia meneriakkan aba-aba "Bunuh se mua lawan." Para prajurit Surakarta dan kumpeni itupun segera menyongsong pasukan Pangeran Mangkubumi. Na mun demikian tiba-tiba, sehingga sebagian dari mereka menjadi
bingung dan tida k tahu apa yang harus segera mereka lakukan. Mereka sadar, ketika tiba-tiba saja mereka telah terdorong masuk ke bengawan. Dengan susah payah mereka harus berusaha untuk tidak hanyut Meskipun sebagian besar diantara para prajurit Surakarta itu berhasil menyelamatkan diri, namun beberapa puluh langkah dari te mpat mereka terjatuh karena dorongan lawan, sementara senjata-senjata mereka sebagian telas terlepas di bengawan. Sementara itu, ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi me mperlakukan kumpeni dengan sikap yang berbeda. Para pengikut Pangeran Mangkubumi tidak sekedar mendorong mereka kedala m air, tetapi mendorong mereka dengan ujung pedang dan tombak. Dengan demikian, maka kumpeni itupun de mikian cepatnya telah menjadi susut. Pada kejutan pertama, para pengikut Pangeran Mangkubumi berhasil me mungut korban yang cukup banyak pada pihak kumpeni. Tetapi mereka me mang orang-orang yang tabah dan berani. Meskipun kawan-kawan mereka telah terbunuh dan terluka, namun yang lain masih bertempur dengan garangnya, sementara para prajurit Surakarta yang berhasil naik dari air bengawan telah siap me mbantu mereka. Tetapi mereka masih harus mene mukan senjata, karena senjata mereka telah terjatuh. Namun mereka yang masih tetap me megang senjata maka merekapun langsung menerjunkan diri kedala m peperangan.. Sementara itu, ternyata tukang-tukang satang yang seharusnya kembali ke seberang sebelah Timur itupun tidak segera kembali. Sebagian dari merekapun menjadi kebingungan dan ketakutan, sehingga ada diantara mereka yang justru terjun kedalam air dan meninggalkan gethek mereka tertambat di-tepian sebelah Barat, sementara mereka sendiri berenang menjauhi hiruk pikuk pertempuran itu.
Para prajurit yang masih berada di seberang Timur bengawan, berteriak-teriak me manggil para tukang satang. Tetapi mereka hanya, dapat mengumpat-umpat, karena tukang satang yang ketakutan itu tidak lagi mendengarkan suara mereka. Dengan demikian para prajurit di seberang Timur itu menjadi kebingungan. Tetapi mere ka tidak berani turun kedala m air dan menyeberang ke sebelah Barat dengan berenang dala m air yang cukup deras arusnya itu. Karena jumlah mereka yang terbagi, maka prajurit Surakarta dan kumpeni yang sudah berada di sebelah Barat bengawan itu sama seka li t idak dapat melawan pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat. Karena itu, ma ka yang tersisa itupun telah terdesak. Semakin la ma semakin jauh ke Selatan disepanjang bengawan. Akhirnya tidak ada pilihan lain dari mereka, keuali me larikan diri. Karena itulah, maka ketika mereka sudah kehilangan kese mpatan, ma ka letnan Belangker itupun meneria kkan isyarat kepada anak buahnya untuk me mbebaskan diri dari lawan mereka. Demikianlah, kumpeni dan para prajurit itupun segera me lakukan gerakan mundur. Dengan dilindungi oleh tembakan tembakan senjata api yang tidak banyak lagi yang tersisa dan sama sekait tidak terarah, mereka telah berusaha melarikan diri dari medan pertempuran. Seperti yang banyak dila kukan, maka pasukan Pangeran Mangkubumi itupun tidak mengejar mereka. Tidak terlalu jauh dari bengawan, pasukan itu akan masuk kedala m kota. Mungkin perte mpuran itu a kan dapat menggugah pertempuran lain didala m kota yang akan dapat mencelakai rakyat Surakarta sendiri. Dengan de mikian, maka Pangeran Mangkubumi t idak mengejar pasukan lawan yang menarik diri kedala m kota.
Untuk beberapa saat Pangeran Mangkubumi masih tetap berada dipinggir bengawan. Sementara itu di sebelah Timur sebagian dari prajurit Surakarta masih tingga l. Namun ketika pasukan Surakarta yang tinggal itu melihat kawan-kawan mereka menarik diri, maka mere kapun justru tidak berusaha lagi untuk menyeberang. Apalagi para tukang satang tidak lagi berada di gethek masing-masing, atau mereka justru telah me larikan diri bersa ma gethek mereka mengikut i arus bengawan ke Utara. Namun akhirnya Pangeran Mangkubumi merasa, bahwa yang mereka lakukan sudah cukup banyak pada hari itu. Sementara langitpun menjadi merah, karena matahari yang sudah sema kin turun di sebelah Barat. "Kita sudah menguasai kota sekitar setengah hari" berkata Pangeran Mangkubumi kepada para Senapatinya "aku kira kesan yang kita timbulkan sudah cukup. Mereka akan mengerti, bahwa pasukan kita bukan pasukan liar yang ganas dan dengan penuh nafsu untuk me mbunuh dan merusak. Tentu saja, kita tidak dapat menghindarkan diri sa ma seka li dari korban-korban yang jatuh. Karena itu, kita akan mengikhlaskan mere ka yang telah gugur dala m perjuangan ini. " Ternyata para Senapati dan setiap orang didalam pasukan Pangeran Mangkubumi itu dapat menanggapi ma ksudnya. "Sekarang kita dapat ke mbali ke Gebang, sambil me mbawa korban yang sempat kita selamatkan." berkata Pangeran Mangkubumi ke mudian "aku kira, pasukan yang mengepung Penambangan akan segera kemba li jika mereka menyadari bahwa Penambangan telah kosong. Sebenarnyalah bahwa. Panglima pasukan gabungan yang mengepung Penambangan itupun akhirnya mene mukan Penambangan yang telah kosong. Betapa dada Panglima pasukan itu hampir meledak. Mereka telah menyiapkan pasukan yang sangat kuat. Namun perjalanan mere ka itu
sama sekali tida k berarti. Bahkan sebagian dari pasukan berkuda mereka telah menjadi korban karena kebodohan mereka. "Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi adalah orang yang sama-sama licik. Mereka tidak berani bertempur berhadapan" Mayor yang menjadi Panglima pasukan gabungan yang kuat itu mengumpat-umpat. Ia menjadi sangat marah, bukan saja karena ia gagal menangkap Raden Mas Said, tetapi juga karena justru pasukannya telah menjadi korban. Sebagian dari pasukannya yang terbaik, pasukan, berkuda, telah terjebak dan menjadi parah. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Penambangan benar-benar telah kosong. Karena itu. maka kumpeni telah melepaskan ke marahan mereka terhadap ujud, bentuk dan bangunan-bangunan yang ada di Penambangan. Rumah-rumah, banjar, gapura-gapura dan apa saja yang sebenarnya tidak bersalah sa ma sekali, telah disentuh oleh lidah api. sehingga keba karan yang besarpun telah me landa Pena mbangan. Tidak ada orang yang berusaha untuk me mada mkan api. Tidak ada setitik airpun yang dilontarkan keda la m api yang menyala bagaikan menjilat langit. Asap mengepul tinggi menggapai awan. Demikianlah, ma ka Pena mbangan telah menjadi lautan api Sebagaimana Pangeran Mangkubumi yang ke mbali ke Gebang dengan menga mbil ja lan penyeberangan yang lain, maka prajurit Surakarta dan kumpeni di Penamibanganpun ke mbali menje lang. matahari terbenam. Mereka yang lelah lahir dan batin itu akan dapat berjalan lebih tenang di mala m hari. Namun berbeda dengan prajurit Surakarta dan kumpeni yang mengala mi kegagalan mutla k, maka pasukan Pangeran
Mangkubumi telah berhasil me lakukan satu kewajiban sesuai dengan yang mereka rencanakan. Bahkan kepada para prajurit Sura karta yang tertahan di sebelah Timur bengawan, pasukan Pangeran Mangkubumi itu masih se mpat mela mbai-la mbaikan tangan mereka, seperti seorang saudara muda yang mengucapkan sela mat tinggal kepada saudara tuanya, menjelang sebuah perjalanan yang panjang. Lamat-la mat para prajurit Surakarta itupun me lihat pula. Dala m cahaya merahnya senja, para prajurit itu menjadi heran me lihat sikap pasukan Pangeran Mangkubumi. Bahkan ada satu dua orang diantara mereka, yang diluar sadar, telah me la mbaikan tangannya pula, "He" desis kawannya sambil mengga mitnya "apa yang kau lakukan " Apakah mereka kawan-kawanmu ?" Prajurit yang mela mbaikan tangan itu terkejut. Namun ke mudian ia menjawab "Bukan. Bukan apa-apa. Tetapi aku tahu bahwa anak bibiku ada yang berada dala m lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi." Namun prajurit disebelahnya lagi justru berkata "Adik kandungku berada dala m pasukan Pangeran Mangkubumi." "Dan kau tida k mencegahnya" bertanya kawannya. "Adalah satu kebetulan bahwa a ku telah berte mu ketika kami tanpa berjanji bersama-sa ma pulang pada saat yang sama" sahut prajurit itu, "Apa yang kau katakan kepadanya?" bertanya kawannya. "Aku bertanya apakah ia yakin akan kebenaran langkahnya. Ketika ia menjawab dengan satu keyakinan yang teguh, maka aku berkata kepadanya. Teruskan saja. " "Apakah kau ingin pada suatu ketika bertemu dengan adikmu di satu medan ?" bertanya kawannya pula.
"Seandainya kami bertemu, tidak akan terjadi apa-apa. Aku tidak akan dapat membunuhnya karena ia adalah adik kandungku. Dan ia tidak a kan me mbunuhku, karena ia sudah mendapat pesan dengan sungguh-sungguh dari setiap Senapati di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi, bahwa musuhnya bukan prajurit Surakarta." "Omong kosong" jawab seorang prajurit berkumis lebat "ternyata banyak juga prajurit Surakarta yang mati." "Hal itu tidak a kan mungkin dihindari. Apa yang harus dilakukan oleh seseorang jika orang lain berusaha me mbunuhnya" Kitalah yang dengan dendam dan benci tanpa tahu alasan dan sebabnya memusuhi mereka." jawab prajurit itu. "Na mpaknya kau sudah mulai terpengaruh oleh adik kandungmu itu." berkata prajurit berkumis lebat. Kawannya yang lain tiba-tiba menengahinya "Sudahlah. Kita harus me mikirkan, bagaimana kita akan menyebetang. Tukang-tukang satang itu me njadi ketakutan dan lari tidak tentu arah. Tentu saja kita tidak akan dapat berenang me lintasi bengawan ini." Kawan-kawannya yang hampk saja berbantah itupun terdiam. Pasukan Pangeran Mangkubumi sudah menjauh. Dan gelap yang turunpun me njadi se ma kin pekat. Namun akhirnya pasukan itu harus menyusur tepian kearah yang berbeda dengan pasukan Pangeran Mangkubumi untuk mene mukan te mpat penyeberangan yang lain. Ketika pasukan yang pertama, yang dipimpin oleh letnan Belangker mendekati gerbang kota. maka sudah terasa olehnya, bahwa kedatangannya tentu sudah terlambat. Belangker sudah menduga, bahwa yang mencegatnya dipinggir bengawan itu adalah pasukan Pangeran Mangkubumi yang baru saja menduduki kota.
Karena itu, de mikian pasukan yang sudah tidak utuh lagi itu me masuki kota. maka yang nampak dimana-mana adalah kesepian dan kegelapan yang mencengka m. "Gila" gera m letnan Belangker "kita terla mbat. Kota sudah ditinggalkan. Sedangkan pasukan kita sendiri menjadi parah." Senapati Surakarta yang menyertainya tidak menjawab. Pasukan itu me mang sudah parah. Selain yang luka. banyak diantara mereka yang terbunuh. Bahkan mungkin masih terdapat kawan-kawan mereka yang terluka tertinggal di pinggir bengawan, selain yang terbunuh. "Kita menuju ke istana Susuhunan" desis Belangker "apa yang terjadi diistana itu." Senapati itu hanya mengangguk saja. Na mun harapannya sudah sangat tipis bahwa mereka akan dapat bertemu dengan kawan-kawannya didala m istana. Bahkan timbul sebuah pertanyaan "Apakah Kangjeng Susuhunan masih berada di istana" " Surakarta benar-benar sepi seperti kuburan. Jika prajurit Surakarta masih menguasai keadaan, mereka tentu akan nampak di jalan-ja lan, terutama di jalan-jalan uta ma. Namun seperti yang di katakan oleh Belangker, pasukan yang sudah terluka parah itu menuju ke istana mela lui gerbang samping. Sejenak Belangker termangu-mangu berdiri di pintu gerbang yang tertutup rapat. Namun akhirnya iapun mengetuk gerbang itu dengan keras setelah me mperingatkan pasukan yang tersisa untuk bersiaga. Sebenarnyalah pasukan yang berada didala m istana itupun telah bersiap menghadapi ke mungkinan yang terakhir dari serangan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Ketika penjaga regol yang siap dengan senjata telanjang mendengar kehadiran satu pasukan diluar pintu, mereka telah bersiap-
siap. Seorang diantara mereka telah me laporkan dan seorang Senapati telah berada digerbang itu pula. Ternyata yang terdengar diluar regol ada lah suara letnan Belangker. Na mun Senapati itu tidak segera me mbuka pintu gerbang. Seorang prajurit ditugaskannya untuk melihat pasukan itu lewat tangga yang disandarkan pada dinding halaman sa mping. "Siapa tahu. seorang kumpeni yang tertawan telah dipaksa untuk mengetuk pintu." berkata Senapati itu. Prajurit yang menengok mereka lewat dinding hala man itu ke mudian melihat, bahwa sebenarnyalah yang berada di dalam gelapnya ma la m di luar dinding adalah prajurit Surakarta dan kumpeni. Setelah me mberi isyarat kepada Senapati yang berada di depan regol, maka Senapati itupun me merintahkan untuk me mbuka pintu regol. Letnan Belangkerlah yang ke mudian bersiap-siap menghadapi segala ke mungkinan. Bahkan ia menduga, bahwa yang berada di balik pintu regol itu bukan lagi prajurit Surakarta dan kumpeni, tetapi pasukan Pangeran Mangkubumi. De mikian regol itu terbuka, maka mereka akan langsung menyerangnya. Namun ternyata tidak seperti yang dicemaskannya. Ketika pintu terbuka, maka eorang Senapati berdiri tegak menyambut kedatangan pasukan itu. Letnan Belangkerpun ke mudian menyatakan, bahwa pasukan itu adalah pasukan yang berada di Jatimalang. Setelah mendapat laporan bahwa kota diserang, merekapun dengan tergesa-gesa telah berusaha untuk mencapai kota. "Silahkan me mbawa me mpersilahkan. pasukanmu masuk" Senapati itu
Dala m pada itu, Belangkerpun telah diterima oleh perwiraperwira kumpeni. Seorang kapten bertanya dengan nada keras "Kau hanya me mbawa sebagian kecil dari pasukanmu?" Letnan Belangker menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun harus melaporkan apa yang telah dia la minya. Kapten itu mengumpat-umpat. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan letnan Belangker. Yang terjadi benar-benar diluar ke ma mpuan penga matan dan perhitungannya. "Jadi. bagaimana dengan pasukan yang kau tinggalkan di seberang bengawan" bertanya kapten itu. "Mudah-mudahan mereka dapat mencari jalan sendiri" jawab Belangker. Kami tidak dapat me mberikan petunjuk apaapa, karena demikian ka mi me ndarat dari rakit-rakit yang menyeberangkan ka mi, pasukan itu tiba-tiba saja telah menyerang. Sebagian dari ka mi terjerumus kedala m bengawan. Sebagian yang lain tidak dapat mengelakkan senjata, mereka." Kapten itu mengumpat-umpat se makin keras. Namun akhirnya ia bertanya "Bagaimana keadaan kota setelah kau lewat pintu gerbang dan me masuki kota ini " "Sepi, seperti kuburan" desis Belangker itu. "Jadi pasukan orang-orang liar itu. benar-benar telah pergi?" bertanya kapten itu. "Ya. Kami tida k menjumpai mereka didala m kota, kecuali diipinggir bengawan itu," jawab Belangker. Kapten itupun ke mudian me merintahkan para prajurit dan kumpeni yang terluka untuk mendapat perawatan. Namun Belangkerpun melaporkan bahwa mungkin masih ada orangorang terluka yang tertinggal.
"Kita akan pergi ke bengawan" berkata kapten itu "kita akan singgah di loji, dan me mbawa kumpeni yang tersisa bersama ka mi." "Tida k ada lagi lawan seorangpun" desis Be langker. "Siapa tahu" jawab kapten itu "mereka sangat licik dan pengecut." Belangker t idak menjawab, lapun menganggap pasukan lawan itu licik dan pengecut. Demikianlah, maka sebagian pasukan yang berada di halaman istana itu keluar dari regol samping. Diantara mereka terdapat Belangker dan beberapa orangnya yang tidak cidera, sementara yang lain mendapat kesempatan untuk berisrahat, dan apabila perlu mereka dapat menggant ikan pasukan yang meninggalkan istana itu. Dala m pada itu, pasukan kecil itupun telah menjelajah jalan-jalan kota. Mereka singgah di loji dan me mberitahukan kepada pimpinan pasukan kumpeni yang tersisa di loji itu, bahwa kapten itu me merlukan kumpeni yang ada untuk bersama-sama pergi ke bengawan. "Berbahaya kapten" jawab seorang kumpeni "bagaimana jika pasukan liar itu masih berada ditepi bengawan" "Kita singgah di barak pasukan berkuda Surakarta. Prajurit yang tersisa akan bersama kita, dan demikian pula prajuritprajurit yang lain." Dala m waktu singkat dan tergesa-gesa, disusun sepasukan prajurit yang cukup banyak, yang akan pergi ke bengawan. Mereka seolah-olah sudah siap seandainya pasukan Pangeran Mangkubumi masih berada di te mpat itu. Namun menurut perhitungan kapten itu, Pangeran Mangkubumi yang telah meninggalkan kota dan tidak me mburu pasukan Be langker, tentu telah pergi.
Dengan dia m-dia m pasukan itu meninggalkan kota. Pintu gerbang kota sama seka li tidak dijaga oleh seorang prajuritpun. Sepinya kota Surakarta apalagi di mala m hari, me mang seperti yang dikatakan oleh letnan Belangker. Seperti kuburan. Namun pasukan itu terkejut, ketika tiba-tiba saja muncul dari dala m kege lapan, sepasukan laskar dihadapan mereka. Dengan serta meria, kapten itupun meneriakkan aba-aba agar pasukannya segera bersiap menghadapi ke mungkinan. Tetapi ternyata aba-aba itu telah memperkena lkan pasukan itu kepada pasukan yang baru datang. Pasukan yang datang itu adalah prajurit yang telah ditinggalkan oleh Belangker di seberang bengawan. Sehingga dengan demikian, maka dapat dihindari salah paha m. Ternyata prajurit yang baru datang itu harus mene mpuh perjalanan beberapa lama sebelum mere ka mene mukan tempat penyeberangan yang lain. Baru ke mudian mereka berhasil menyeberang dan dengan tergesa-gesa menuju ke kota. "Kita akan menga mbil kawan-kawan kita yang terbunuh dan terluka di pinggir bengawan" berkata Belangker kepada pasukannya yang baru datang itu. Yang kemudian me merintahkan mereka untuk ikut serta menuju ke bengawan. Ternyata bahwa prajurit Surakarta dan kumpeni itu tidak menjumpai ha mbatan apapun juga. Mereka se mpat menga mbil kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka. Dengan obor-obor mereka mencari diantara semak-se ma k dan pohon-pohon perdu di pinggir bengawan itu. Namun yang ke mudian mere ka katakan kepada kawankawan mereka setelah mereka ke mbali ke Surakarta, bahwa pasukan mereka telah berhasil mengha lau pasukan Pangeran Mangkubumi.
Mala m itu juga, prajurit Sura karta dan kumpeni yang telah yakin bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi telah menarik dirii telah turun ke jalan-jalan. Pasukan berkuda telah meronda sa mpai kesudut-sudut bahkan sa mpai keluar regol kota. Mala m itu juga seorang kapten kumpeni menghadap Kangjeng Susuhunan yang masih tetap berada diantara para pimpinan prajurit di Surakarta untuk me laporkan bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi telah mundur. "Ka mi telah menghalau mereka " berkata kapten itu. Untuk beberapa saat Kangjeng Susuhunan tetap terdiam, Sementara kapten itu berkata pula "Ka mi berhasil me mukul mundur pasukan Pangeran Mangkubumi dari kota dan mendesaknya sa mpai kepinggir bengawan. Akhirnya pasukan Pangeran Mangkubumi itu mundur kearah Utara menyusuri tepian. Mereka meninggalkan mayat dan kawan-kawan mereka yang terluka. " Kangjeng Susuhunan itupun mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata "Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang terluka itu, Dimana mereka sekarang ?" Pernyataan itu me mbuat kapten yang me mberikan laporan itu tergagap. Namun akhirnya ia menjawab "Mereka masih berada di tepi bengawan." "Aku akan pergi ke tepi bengawan." sabut Kangjeng Susuhunan dengan nada datar. -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Bunga Di Batu Karang Editor : Dino Jilid 25 "Jangan, jangan Kangjeng Susuhunan. Tuan harus tetap tinggal di istana. Sangat berbahaya bagi Tuan jika Tuan keluar dari istana apalagi pergi ke bengawan. Mungkin masih ada satu dua kelompok kecil orang-orang yang ingin me mbunuh diri" desis kapten itu. Lalu "mohon Tuan mengetahui, pasukan Pangeran Mangkubumi adalah pasukan liar yang licik" Tetapi jawab Kangjeng Susuhunan bena-benar mengejutkan "Aku muak mendengar bualanmu. Jangan berbohong kepadaku. Aku mengerti apa yang terjadi di luar dinding hala man istana ini" Kapten itu termangu-mangu. Na mun iapun sadar, bahwa Kangjeng Susuhunan tentu sudah mendengar laporan serba sedikit tentang apa yang telah terjadi. Tetapi kapten kumpeni itupun yakin, bahwa yang dikatakan oleh Kangjeng Susuhunan itu adalah sekedar untuk me nutupi kece masannya saja. Namun se mentara itu, jalan-jalan kota Surakarta rasarasanya menjadi hidup lagi meskipun di ma la m hari. Tetapi yang hilir mudik di jalan-ja lan adalah para prajurit dan kumpeni dengan laga k mereka masing-masing. Seolah-olah
me mang merekalah yang telah berhasil mengusir pasukan Pangeran Mangkubumi yang sekitar setengah hari telah menguasai kota. Ternyata kota itu menjadi semakin ra mai menjelang pagi hari. Ternyata pasukan yang meningga lkan Pena mbangan dengan penuh kesal telah me masuki kota pula. Penduduk kota Surakarta sendiri masih belum berani keluar dari rumah atau tempat mereka mengungsi. Yang berada di halaman istana masih tetap berada di ha la man, sementara yang menutup pintu rumahnya erat-erat, masih belum juga berani me mbuka. Namun pagi hari itu Surakarta menjadi ra mai. Pasukan yang datang dari Penambangan itupun sangat mengejutkan. Mereka me mbawa kawan-kawan mereka yang terluka. Namun ternyata bahwa ada pula kawan-kawan mereka yang hanya ke mbali na manya saja, karena mereka tidak se mpat me mbawanya. Dala m pada itu, Kumpeni benar-benar merasa terpukul. Mereka yang menganggap dirinya me miliki banyak ke lebihan dari orang-orang pribumi dengari pengala man mereka menje lajahi benua dan samodra, ternyata telah gagal mutlak meskipun mere ka telah menyusun rencana dengan cermat dengan mengerahkan ha mpir seluruh kekuatan kumpeni yang berada di Surakarta. Namun beberapa orang perwira, kumpeni me mang orangorang yang cerdas. Demikian mereka bertemu setelah kegagalan-kegagalan itu, maka mere ka langsung mengurai sebab-sebab dari kegagalan mere ka. Satu kesimpulan yang mereka dapatkan adalah, bahwa rencana mereka agaknya telah bocor "Tentu ada pengkhianat di antara kita" berkata kumpenikumpeni itu.
Beberapa orang perwira prajurit Surakarta yang mendengarkan kesimpulan itupun sependapat. Kegagalan yang pahit itu agaknya bukan satu kebetulan. Dengan de mikian, ma ka kecurigaan-kecurigaan mulai timbul di antara para perwira di Surakarta. Bebocoran itu tidak mungkin dila kukan oleh para perwira kumpeni. Karena itu, maka pengkhianat itu tentu terdapat di lingkungan orangorang Surakarta sendiri. Perwira-perwira prajurit Surakarta me mang sulit untuk me mbantah. Agaknya memang tida k mungkin jika seorang kumpeni dengan sengaja telah me mbocorkan rahasia yang mereka pegang teguh. Menurut pengetahuan para perwira di Surakarta, tidak seorang perwira kumpenipun yang me mpunyai kepentingan lain di Surakarta, kecuali tugas-tugas yang mereka e mban sebagai prajurit dan pimpinan kumpeni. Namun para perwira prajurit mene mukan, menghancurkan baiknya. perwira itu, baik perwira kumpeni maupun Surakarta telah berjanji untuk bersama-sama siapakah pengkhianat yang telah segala rencana yang telah disusun sebaik-
"Pengkhianatan ini tidak kalah berbahayanya dari pengkhianatan Pangeran Ranakusuma dan anak laki-lakinya yang semula berada di lingkungan pasukan berkuda" berkata seorang perwira kumpeni. Bagaimanapun juga para perwira prajurit Surakarta itupun ikuit tersentuh pula perasaan mereka. Tetapi mereka tidak dapat membantah, diam merekapun tidak dapat mengatakan yang lain dari kenyataan itu. Kenyataan dari sudut pandangan kumpeni dan para prajurit dari Surakarta. Dala m pada itu, ketika matahari menjadi se makin tinggi dan tidak terdengar lagi pertempuran-pertempuran di dala m kota, maka satu de mi satu penduduk yang ketakutan itupun mencoba me mbuka pintu rumahnya. Yang mengungsi di
halaman istanapun telah diberi tahu oleh para prajurit bahwa keadaan sudah menjadi a man. "Ka mi telah mengha lau pe mberontak-pe mberontak itu" berkata seorang sersan kumpeni "Ka mi me mbunuh orangorang yang keras kepala" Para pengungsi itu menjadi berdebar-debar. Tetapi prajurit Surakarta sendiripun me mberitahukan kepada mereka, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi me mang sudah ditarik dari kota. Satu demi satu, orangorang yang mengungsi itupun keluar dari gerbang sa mping. Ketika ternyata jalan-jalan tidak lagi menjadi ajang pertempuran, maka merekapun keluar seperti laron keluar dari liangnya. Berduyun-duyun dan setengah berlari-lari orangorang yang mengungsi itu pulang ke rumah masingmasing. Di sepanjang jalan mereka merasa a man karena mereka banyak berpapasan dengan prajurit yang meronda. Bahkan merekapun bertemu pula dengan kumpeni-kumpeni berkuda yang melibat lihat keadaan kota Surakarta setelah setengah hari dikuasai oleh pasukan Pangeran Mangkubumi. Namun de mikian, beberapa rumah masih tertutup rapat. Regol beberapa orang bangsawanpun masih be lum terbuka. Ketika seorang perwira kumpeni dengan beberapa orang pengawalnya lewat di muka pintu gerbang istana Sinduratan, maka mere ka melihat pintu regol masih tertutup rapat. Tetapi
ketika seorang di antara mereka di luar sadar menyentuh pintu gerbang itu, ternyata pintu itu tida k diselarak, sehingga pintu itupun terbuka sejengkal. Perwira kumpeni itupun t iba-tiba saja telah tertarik untuk me masuki ha la man istana itu. Beberapa ekor kuda itupun ke mudian berderap me masuki hala man. Beberapa orang pelayan istana itu terkejut. Seorang di antara merekapun telah me mberitahukan kehadiran beberapa orang kumpeni itu kepada Pangeran Sindurata dan kepada Raden Ayu Galihwarit. Jantung puteri itupun berdebar. Bagaimanapun juga ia me mpunyai hubungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Namun de mikian, sebagaimana ia panda i me mulas wajahnya, maka seolah-olah tidak ada kegelisahan apapun juga, ia keluar dari se ketheng. Ketika Raden Ayu sa mpai di ha la man, ayahandanya telah berada di hala man. Perwira kumpeni. dan para pengawalnya yang sudah meloncat turun itupun menjadi kecewa ketika yang menemui mereka adalah Pangeran Sindurata. Namun akhirnya mereka tersenyum juga ketika mereka melihat Raden Ayu keluar sa mbil tertawa. "Marilah, aku persilahkan kalian naik ke pendapa " Raden Ayu itu me mpersilahkan. "Aku juga Sindurata. sudah me mpersilahkan" sahut Pangeran
Perwira itu ternyata menguasai bahasa yang diucapkan oleh Raden Ayu Galihwarit. Tetapi beberapa orang kawannya tidak mengerti, sehingga mereka hanya mengangguk-angguk dan tersanyum-senyum saja. "Terima kasih" jawab perwira itu "a ku sedang bertugas. Tetapi kenapa pintu itu tidak di kancing. Apakah kalian tidak cemas dengan pe mberontak-pe mberontak itu?"
"Tentu" jawab Raden Ayu mendahului ayahandanya "kami baru saja membuka selaraknya ketika keadaan menjadi berangsur baik. Sebelumnya kami telah menyelaraknya. Kami takut, jika ada dendam di antara bekas pengawal Pangeran Ranakusuma. Karena mereka tida k dapat melepaskan denda m mereka kepada para prajurit atau kumpeni, mereka akan dapat mencari sasaran yang tidak a kan dapat melawan" Perwira itu tertawa. Katanya "Jangan takut. Pemberontakpemberontak itu tidak akan dapat berbuat-apa-apa. Mereka datang untuk menyerahkan nyawa beberapa orang di antara mereka tanpa hasil yang pantas untuk mere ka" "Tetapi ka mi bukan prajurit" jawab Raden Ayu. "Dala m keadaan yang gawat rumah ini tentu akan mendapat pengawasan yang sebaik-baiknya" jawab perwira itu. "Terima kasih. Marilah, silahkan duduk" sekali lagi Raden Ayu itu me mpersilahkan. Tetapi kumpeni itu menggeleng. Jawabnya "Aku akan meneruskan tugas ini. Ka mi mohon diri Pangeran" Pangeran Sindurata yang mendengarkan pembicaraan itupun menyahut dengan serta merta "Silahkan. Terima kasih atas perhatian kalian" Sejenak ke mudian kumpeni-kumpeni itupun me ningga lkan istana Sindurata. Demikian mereka hilang di balik regol, maka Pangeran Sinduratapun berkata "Hati-hatilah Galihwarit. Tentu mereka bukannya tidak me mpunyai ma ksud tertentu datang ke mari. Mungkin mereka mengira atas beberapa keterangan, bahwa tempat ini menjadi tempat persembunyian orang-orang Pangeran Mangkubumi. atau dugaan-dugaan lain yang menyangkut persoalan seperti itu. Karena itu, kedatangan anak-anak padepokan itu me mbuat aku menjadi ce mas"
Tetapi Raden Ayu itupun hanya tertawa saja. Bahkan ke mudian ia berkata "Jangan ce mas ayahanda. Hanya itulah yang dapat aku persembahkan kepada Surakarta. Mungkin sebuah permata. Tetapi aku harus me mungutnya dari dala m lumpur" Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dala m. Na mun iapun segera meningga lkan Raden Ayu dan naik. ke pendapa. Sejenak ke mudian Pangeran itupun telah hilang di balik pintu pringgitan. Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu sejenak di halaman. Ia sadar betapa kotornya cara yang ditempuhnya. Iapun sadar, bahwa Warih yang telah dewasa itu tersiksa dengan sikapnya. Tetapi ia tidak me mpunyai cara lain untuk mengabdi kepada Surakarta sebagai tebusan atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap suami dan rakyat, bahkan yang telah mera mpas korban anak laki-lakinya pula. Raden Ayu itu menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia me langkah ke seketheng. Namun ia terkejut ketika Raden Ayu itu melihat anak gadisnya muncul dengan tergesa-gesa "Apa yang terjadi ibunda. Aku baru dari pakiwan ketika aku mendengar dari seorang pelayan, bahwa beberapa orang kumpeni telah datang?" Betapa pahitnya, namun Raden Ayu itupun tersenyum, Jawabnya "Tidak apa-apa manis" Tetapi Rara Warih masih saja ge lisah dan bertanya pula "Apakah ada hubungannya dengan peristiwa yang baru saja terjadi?" "Tida k. Tidak ada apa-apa. Kita menjadi gelisah karena kita mengetahui apa yang kita lakukan. Tetapi orang lain yang tidak mengetahuinya, tidak a kan menjadi gelisah seperti kita" jawab ibundanya.
"Jadi, kenapa mereka singgah?" bertanya gadis itu pula. "Tida k apa-apa. Mereka sedang meronda. Aku kira mereka me masuki setiap hala man istana untuk menanyakan keselamatan setiap penghuninya. Dengan demikian, maka mereka berusaha untuk mendekati hati rakyat Surakarta, seolah-olah mereka adalah pe lindung-pelindung yang baik" jawab Raden Ayu Galihwarit. Rara Warih tidak bertanya lagi. Bersama ibundanya iapun ke mbali ke ruang dala m lewat pintu sa mping di belakang seketheng. Dala m pada itu. perlahan-lahan Surakarta mulai hidup ke mbali. Orang-orang yang merasa bahwa keadaan menjadi se makin aman. telah me mbuka pintu rumahnya. Mereka menjadi sibuk dengan keperluan mereka masingmasing setelah di hari sebelumnya mereka tidak sempat berbuat apa-apa. Bahkan makanpun rasarasanya mereka tidak sempat me lakukannya oleh kegelisahan, kecemasan dan ketakutan. Sementara orang-orang Surakarta mula i me lakukan kewajibannya sehari-hari, maka para prajuritpun masih saja hilir mudik di setiap pintu gerbang, nampak pasukan yang kuat berjagajaga. Di istana, ternyata Kangjeng Susuhunan masih saja di bayangi oleh kegelisahan. Bahkan ke mudian Kangjeng
Susuhunan itu me merintahkan para Panglima untuk bersiapsiap. Katanya "Aku akan me lihat, apa yang telah terjadi di Surakarta" Seorang Kapten kumpeni dengan ragu-ragu mencoba mencegahnya. Katanya "Kangjeng Susuhunan, sebaiknya tuan tidak meningga lkan istana. Mungkin masih terjadi sesuatu. Selebihnya biarlah kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemberontak itu dibenahi. Dengan demikian Kangjeng Susuhunan tidak akan melihat betapa liarnya pasukan pemberontak itu. Hal itu hanya akan mena mbah gelisah Kangjeng Susuhunan saja" "Kapten" jawab Kangjeng Susuhunan "Aku adalah prajurit seperti kau. Seandainya aku berte mu dengan pasukan lawanpun aku t idak akan lari. Aku dapat me mimpin sendiri pasukan Surakarta untuk menghadapi mereka di medan" "Tetapi Kangjeng Susuhunan sekarang adalah seorang Raja. Dalam keadaan tertentu, maka keselamatan Kangjeng Susuhunan merupakan masalah bagi seluruh prajurit Surakarta, karena Kangjeng Susuhunan adalah pe megang kekuasaan di Surakarta. Jika terjadi sesuatu atas Kangjeng Susuhunan, maka akibatnya bukan saja di bidang keprajuritan yang kebilangan pengikatnya" "Dengan de mikian maka seorang Raja akan menjadi golek pajangan yang tidak berarti apa-apa bagi rakyatnya" jawab Kangjeng Susuhunan. Lalu "Aku me merintahkan untuk me mpersiapkan pasukan. Aku akan melihat-lihat keadaan seluruh kota. Aku tidak akan me mpergunakan kereta, tetapi aku akan berkuda" Tidak ada orang yang dapat mencegahnya lagi. Kangjeng Susuhunan me mang ingin melihat apa yang telah dilakukan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi di da la m kota Surakarta. Sejenak ke mudian, maka pasukan pengawal Kangjeng Susuhunan itupun sudah siap. Kuda yang akan
dipergunakannya itupun telah siap pula. Seekor kuda yang tegar dan berwarna gelap. Ketika terdengar aba-aba di belakang regol halaman samping istana Kangjeng Susuhunan, maka regol itupun perlahan lahan terbuka. Dengan gelar kebesaran sepenuhnya Kangjeng Susuhunan meninggalkan hala man istana menge lilingi kota Surakarta untuk melihat apa yang telah terjadi sebenarnya. Sebagaimana seorang prajurit, maka Kangjeng Susuhunanpun me mbawa ke lengkapan seorang prajurit. Seorang Senapati pengawal yang berkuda dekat di belakangnya me mbawa sebatang tombak pende k yang dibelit dengan cinde pada tangkainya, sementara seorang yang lain me mbawa songsong kebesaran yang berwarna emas. Rakyat Surakarta yang baru saja berani turun ke jalan telah terkejut melihat iring-iringan itu. Mereka melihat songsong keemasan yang mereka kenal sebagai songsong Kangjeng Susuhunan sendiri. Meskipun se mula mereka ragu-ragu, namun a khirnya mereka melihat, sebenarnyalah bahwa Kangjeng Susuhunan telah menelusuri jalan-ja lan kota untuk me lihat-lihat keadaan. Dala m pada itu, Kangjeng Susuhunan sendiri menjadi berdebar-debar ketika ia sudah berada di jalan-jalan raya. Rasa-rasanya ia akan melihat, betapa kota Surakarta menga la mi kerusakan yang sangat berat karena kehadiran pasukan Pangeran Mangkubumi. Rumah-rumah banyak yang dibakar dan hancur menjadi abu. Apalagi rumah-rumah mereka yang dianggap berhubungan dengan orang-orang asing yang berada di Surakarta. Bahkan mungkin istana-istana Pangeran yang berpihak kepada Kangjeng Susuhunan. Namun sedikit demi sedikit ketegangan mengendor. Setelah mene mpuh sebagian kecil kota Surakarta maka sa mbil menarik nafas Kangjeng Susuhunan itu berguma m di dala m itupun mulai jalan-jalan di dalam-dala m hati "Adimas
Mangkubumi me me nuhi janjinya. Ia tidak me musuhi rakyat Surakarta" Sebenarnyalah tidak banyak kerusakan yang berarti di kota Surakarta. Jika ada kerusakan-kerusakan kecil, maka hal itu dapat di mengerti. Dala m perte mpuran yang terjadi di seluruh kota maka sudah tentu terjadi hentakan-hentakan perasaan yang sulit dikendalikan. Namun dala m keseluruhan, Kangjeng Susuhunan benar-benar mengagumi kesetiaan Pangeran Mangkubumi kepada janjinya. Ketika iring-iringan itu melintas tidak terlalu jauh dari loji yang dihuni kumpeni, maka Kangjeng Susuhunan telah me lihat beberapa bangunan yang hancur. Tetapi sama sekali bukan karena perbuatan pasukan Pangeran Mangkubumi. Menilik bekas-bekasnya, justru meria m kumpenilah yang telah menghancurkannya. Agaknya kumpeni berusaha mengusir pasukan Pangeran Mangkubumi yang mende kati loji itu dengan tanpa menghiraukan apakah pe luru meria mnya akan dapat menimbulkan kerusakan justru pada rumah-rumah penduduk. Ketika Kangjeng Susuhunan berpaling kearah seorang perwira kumpeni yang ada di dala m iring-iringan itu, maka dengan sengaja kumpeni itu berpura-pura menunduk me mperhatikan sesuatu pada dirinya. Demikianlah, maka Kangjeng Susuhunan me lihat sendiri apa yang telah terjadi, seolah-olah ia me lihat saat-saat pasukan Pangeran Mangkubumi berada di dalam kota selama kira-kira setengah hari. Namun dala m pada itu, bahwa Kangjeng Susuhunan telah turun ke jalan-ja lan raya, di kota, maka rasa-rasanya rakyat Surakartapun menjadi se ma kin tenang. Mereka merasa, bahwa Kangjeng Susuhunan itu benar-benar telah me mperhatikan keadaan mereka.
Ternyata bahwa Kangjeng Susuhunan tidak sekedar melalui jalan-jalan raya saja. Dalam beberapa hal, Kangjeng Susuhunan justru me lintas di ja lan-jalan se mpit Bahkan turun di hala man seseorang untuk berbicara dengan penghuninya yang menya mbut kehadiran Kangjeng Susuhunan sa mbil berjongkok di hala man. Dari percakapan-percakapan itupun Kangjeng Susuhunan mengetahui bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi me mang tidak mengganggu rakyat Surakarta dari tingkatan yang paling tinggi sa mpai tingkatan yang paling rendah, kecuali benturanbenturan senjata dengan para prajurit. Demikianlah setelah melihat-lihat keadaan seluruh kota, maka Kangjeng Susuhunanpun ke mbali ke istana dengan kesan tersendiri Namun demikian, Kangjeng Susuhunan tidak banyak berbicara dengan para pengawalnya dan dengan para perwira kumpeni. Namun dala m pada itu, para perwira kumpeni dan para Senapati di Surakarta, masih tetap pada sikap mereka. Menurut pengamatan mereka, tentu ada pengkhianat yang tersembunyi di lingkungan mereka sehingga rencana-rencana yang telah mereka susun sebaik-baiknya itu dapat diketahui oleh lawan. Dala m pada itu, selagi ra kyat Surakarta berusaha me mulihkan keadaan kehidupan mereka sehari-hari, di istana telah diterima laporan bahwa Raden Mas Said yang meninggalkan Pena mbangan telah menyusun pe merintahan di daerah Keduwang. Keduwang telah menjadi daerah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Bupati yang me merintah bagi Raden Mas Said sendiri telah bersiap-siap untuk ke mbali ke Pena mbangan. "Penambangan telah hancur" geram perwira kumpeni yang me mimpin sergapan ke Pena mbangan yang gagal itu.
"Ia akan dapat me mbangun daerah itu dala m waktu singkat meskipun dengan bangunan-bangunan darurat Tetapi Penambangan me mpunyai daerah yang subur yang dapat menjadi lumbung bagi pasukan Raden Mas Sa id" jawab salah seorang Senapati prajurit Surakarta. Kumpeni itu hanya dapat mengumpat. Untuk menyerang Penambangan lagi tentu me merlukan waktu dan perhitungan yang cermat, karena kegagalan yang mereka alami itu, telah mengecilkan arti kumpeni bagi Surakarta. Karena itu, maka kumpeni dan para Senapati akan berusaha mencari lebih dahulu, siapakah pengkhianat yang berada di antara mereka. Sehingga dengan de mikian, maka untuk se mentara kumpeni tidak me mpunyai rencana untuk menyerang. Kumpeni dan pasukan Surakarta me musatkan kekuatannya pada tempat-tempat tertentu yang merupakan pusat-pusat pertahanan untuk me mbendung seandainya ada serangan sekali lagi ke jantung kota. Sepasukan prajurit dan kumpeni yang diperlengkapi dengan senjata-senjata api dan meria m ke mbali berada di Jatimalang, sementara pasukan yang lain berada di padukuhan sedikit di luar kota menghadap ke arah Sukawati. Meskipun de mikian bukan berarti bahwa tempat-te mpat lain diaba ikan. Dala m pada itui, Raden Ayu Galihwaritpun mendengar dari mulut para perwira kumpeni yang berbau minuman keras, bahwa di antara prajurit Surakarta tentu ada satu atau lebih pengkhianat yang telah menggagalkan semua rencana kumpeni yang telah tersusun rapi, "Siapa lagi yang akan berkhianat?" bertanya Raden Ayu Galihwarit kepada seorang perwira kumpeni yang masih muda. Perwira itu mengge leng. Jawabnya "Itulah yang harus kami cari"
"Pengkhianat itu harus dapat ditangkap sebe lum me ledak seperti Pangeran Ranakusuma yang langsung me mberontak di dalam ge lar yang dipimpinnya. Dengan demikian ia telah menika m langsung dari dala m tubuh sendiri. Bahkan anak la kilakinyapun telah ikut pula me lakukannya" "Aku muak mendengar na manya" geram Raden Ayu Galihwarit "ketika aku masih berada di istana Ranakusuman anak itu aku usir pergi. Aku tidak mau tinggal bersama anak anak padesan yang tidak tahu diri. Tetapi demikian aku meninggalkan istana itu sepeninggal anak laki-lakiku sendiri, maka anak padesan itu telah dipanggil masuk. Agaknya keduanya mene mukan ja lan yang sa ma. Berkhianat" Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya bukankah Pangeran Ranakusuma sudah mati?" "Tetapi
"Tetapi anak yang me muakkan itu justru masih hidup" sahut Raden Ayu Galiihwarit "bahkan anak itu telah sempat menjerumuskan anak gadisku ke dala m tangan pasukan berkuda yang menganggap bahwa dengan menahan Warih, Juwiring a kan menyerah. O, alangkah mudahnya menga mbil satu kesimpulan. Juwiring dan Warih bagaikan air dengan minyak. Bahkan seandainya Warih digantung sekalipun, Juwiring tidak akan meratapinya. Bahkan ia a kan mengucap sukur bahwa pada satu kesempatan ia akan dapat me miliki semua peninggalan Pangeran Ranakusuma" "Ya. Raden Ayu benar. Memang bodoh itu Panglima pasukan berkuda" sahut perwira kumpeni itu "Tetapi bukankah Raden Ayu sudah dapat menga mbil gadis itu dan me mbawanya pulang?" "Sudah. Dengan surat kumpeni a ku telah me mbawanya pulang" jawab Raden Ayu. "Itu sudah cukup untuk se mentara" jawab perwira itu "kumpenilah yang selanjutnya akan menangkap pengkhianat kecil itu dan menggantungnya di alun-alun. Kepalanya
ke mudian akan dipengga l dan ditanjir dengan ujung tombak di gerbang samping istana Kangjeng Susuhunan, agar setiap orang yang lewat mengerti, apa yang pantas oleh para pengkhianat" Raden Ayu hanya mengangguk-angguk saja. Namun dengan demikian ia mengerti bahwa kumpeni benar-benar sedang berusaha untuk mene mukan seorang pengkhianat di antara para prajurit Surakarta. Karena itu, maka Raden Ayu itupun menjadi se ma kin berhati-hati. Iapun sadar, bahwa jika mere ka tidak mene mukan pengkhianat itu di antara para prajurit, maka kumpeni akan berpaling kepada orang-orang yang berhubungan dengan mere ka. Ketika di hari-hari berikutnya, setelah keadaan kota menjadi tenang kembali, Arum dan Buntal yang memasuki istana Sinduratan telah mendapat peringatan dari Raden Ayu Galihwarit, bahwa keadaan menjadi se makin gawat bagi mereka. "Adalah tepat, bahwa kalian tidak datang bersama Juwiring" berkata Raden Ayu "nampaknya kumpeni menjadi semakin berhati-hati. Meskipun, da la m penyamaran, na mun Juwiring akan dapat lebih mudah dikenali oleh kawankawannya dari pasukan berkuda yang selalu meronda di seluruh kota"
"Ya Raden Ayu. Agaknya Ki Wandawa sudah me mperhitungkannya pula, sehingga untuk menghubungi Raden Ayu selanjutnya, kami berdualah yang mendapatkan tugas itu" jawab Buntal. Raden Ayupun kemudian me mberitahukan bahwa agaknya untuk se mentara kumpeni tida k akan melakukan gerakangerakan keluar. Mereka masih akan me mbuat perhitungan ke dalam, sehingga mereka ingin mene mukan lebih dahulu, siapakah pengkhianat yang berada di antara mere ka. "Meskipun de mikian, bukan berarti bahwa kalian tidak akan lagi sering datang ke tempat ini" berkata Raden Ayu Galihwarit "kecuali mungkin sekali kumpeni merubah pendiriannya sehingga dengan tiba-tiba merencanakan satu gerakan keluar, agaknya kehadiran Arum ke rumah ini dapat me mberikan suasana yang lain bagi Warih" Arum menundukkan kepalanya. Iapun merasa, jika ia hadir di istana itu, Rara Warih na mpak menjadi ge mbira, seperti anak-anak yang mendapat kawan untuk berma in. Tetapi jika saatnya untuk meninggalkan istana itu tiba, maka wajah gadis itupun ke mbali menjadi mura m. "Ka mi akan se lalu datang Raden Ayu" berkata Buntal ke mudian, namun ka lanya pula "Tetapi untuk beberapa hari kami a kan me laksanakan perintah Pangeran Ranakusuma" "Perintah yang mana?" bertanya Raden Ayu. "Di saat terakhir, Pangeran Ranakusuma me merintahkan Kepada Raden Juwiring untuk menyingkirkan sebilah keris yang telah melukai Pangeran Ranakusuma. Agaknya keris itu pulalah yang telah menyebabkan Pangeran itu gugur" jawab Buntal. "Keris Tumenggung Sindura seperti yang pernah ka lian ceritarakan itu?" bertanya Raden Ayu Galihwarit. "Ya Raden Ayu" jawab Buntal.
"Baiklah. Tetapi kalian benar-benar harus berhati-hati. Keris itu menurut pendengaranku, me mang keris linuwih. Sebagaimana na mpa k pengaruhnya kepada Tumenggung Sindura semasa hidupnya, Ia adalah seorang prajurit yang keras, tegas tetapi juga terlalu cepat menga mbil keputusan untuk me mbunuh. Menurut keterangan beberapa orang yang tentu juga diketahui oleh Pangeran Ranakusuma, na mun agaknya tidak sempat mengatakannya kepada Juwiring, bahwa keris itu menuntut ke matian de mi ke matian. Ke matian yang dirahasiakan di dala m lingkungan keluarga Tumenggung Sindurata telah beberapa kali terjadi Tumenggung Wiguna menurut ceritera juga terbunuh oleh keris itu, meskipun ia saudara kandung Tumenggung Sindura sendiri dala m perselisihan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Tetapi rakyat Surakarta menganggap bahwa Tumenggung Wiguna telah ditenung oleh lawan-lawannya yang tersembunyi di dalam lingkungan pasukannya. Beberapa orang ingin menduduki jabatannya, sehingga akhirnya ia meninggal oleh tenung yang keras. Buntal mengangguk-angguk. Se mentara itu Raden Ayu berkata selanjutnya "Kelebihan dari keris itu adalah, bahwa keris itu dapat me mpengaruhi pribadi seseorang pada saatsaat tertentu. Seolah-olah keris itupun merupakan satu pribadi yang dapat berbuat sesuatu atas pribadi orang lain pada saatsaat dikehendakinya. Karena itu, kalian harus berhati teguh selama ka lian menyimpan keris itu. Aku setuju bahwa keris itu harus segera di labuh ke gunung Lawu. Sebenarnyalah bahwa Tumenggung Sindurapun telah menanggung akibat dari pengaruh keris itu pada pribadinya. Sebelum ia mendapatkan keris itu, pribadinya jauh berbeda dari saat-saat ia mulai menyimpan keris itu. Hampir se mua orang yang sebayanya mengetahui akan ha l itu" Buntal masih mengangguk-angguk. Ke mudian jawabnya "Terima kasih Raden Ayu. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Juwiring. Dan sebenarnyalah bahwa menurut
rencana kami, besok ka mi akan me mbawanya ke Gunung Lawu, mumpung kumpeni agaknya sedang sibuk dengan persoalan ke dala m tubuh sendiri" "Berhati-hatilah" pesan Raden Ayu "namun, demikian ka lian ke mbali dari Gunung Lawu, aku minta kalian segera datang ke mari. Mungkin ada sesuatu yang penting perlu kalian ketahui" "Baik Raden Ayu" jawab Buntal "Ka mi a kan segera menghadap setelah ka mi turun" Demikianlah, Raden Ayu masih me mberikan beberapa pesan kepada kedua anak-anak muda itu. Namun ke mudian, keduanyapun mendapat kesempatan untuk beristirahat dan berbicara tentang beberapa hal dengan Rara Warih. Lewat tengah hari kedua anak muda itupun minta diri. Setiap kali mereka harus menjelaskan kepada Rara Warih, bahwa keadaan masih belum mapan jika Rara Warih akan ikut bersama mereka. "Pada saatnya kami a kan menje mput puteri" berkata Arum ketika ia melihat wajah itu menjadi mura m. Keterangan Raden Ayu itu ternyata telah menguatkan rencana Juwiring untuk me ningga lkan pasukannya dalam beberapa hari. Ia ingin me menuhi pesan terakhir dari Pangeran Ranakusuma, untuk menyingkirkan keris yang sangat berbahaya itu. Bukan saja karena racunnya yang seolah-olah tidak terlawan, tetapi juga karena satu kepercayaan bahwa keris itu dapat me mpengaruhi pribadi seseorang. Buntal dan Arumpun. ke mudian segera menghadap Kiai Danatirta setelah mereka ke mba li dari kota. Bersama Raden Juwiring mereka me mberikan laporan tentang pembicaraanmereka dengan Raden Ayu Galihwarit kepada Kiai Danatirta.
"Sokurlah bahwa Raden Juwiring tidak pergi bersa ma mu ke kota" desis Kia i Danatirta. "Ya" sahut Arum "ha mpir di setiap saat ka mi berte mu dengan prajurit dari pasukan berkuda. Jika kakang Juwiring ada bersama ka mi, maka satu dan di antara mereka tentu akan dapat mengenalinya, sehingga hal itu akan sangat berbahaya bagi dirinya" "Untuk beberapa saat sebaiknya kakang Juwiring me mang tidak usah pergi ke kota" desis Buntal. "Aku me mang tidak akan ke kota sampai aku menyelesaikan kewajiban terakhir yang dibebankan ayahanda kepadaku" jawab Juwiring. "Jadi kalian benar-benar akan pergi ke Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris itu?" bertanya Kiai Danatirta. "Ya ayah" jawab Jiuwiring "keris itu me mpunyai pengaruh yang kurang baik bagi seseorang" "Mungkin" jawab Kiai Danatirta "jika de mikian, maka ka lian harus me mpersiapkan diri sebelum berangkat. Kalianpun harus me mberitahukan, dan selebihnya minta ijin kepada Ki Wandawa" "Aku pernah mengatakan kepada Ki Wandawa tentang rencana itu" jawab Juwiring "Tetapi aku belum me ngatakan kepastiannya. Nampaknya sekarang rencana itu sudah pasti. Menurut ibunda Galihwarit, untuk beberapa la manya kumpeni tidak akan mengadakan gerakan besar-besaran. Karena itu, maka untuk se mentara aku tidak perlu menghadap ibunda. Demikian pula Buntal dan Arum. Na mun itu bukan berarti bahwa kita se muanya dapat meninggalkan kewaspadaan" "Menurut rencana mu, kapan kau dan adikmu akan berangkat?" bertanya Juwiring. "Aku juga akan pergi" potong Arum.
Badai Fitnah Latanahsilam 1 Lima Sekawan Minggat Cinta Di Awal Tiga Puluh 2
^