Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 12

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 12


sampai sekarang masih hidup. Apakah yang melukai Ang
Nio Cu juga dia ?" "Ya. pemilik Gedung Hitam itu adalah murid
pewarisnya!" "Hei." teriak Ciok Yau Je, "jika benar begitu, engkau
telah berhasil menyingkap sebuah rahasia besar yang
selama ini tak diketahui dunia persilatan ..."
"Lo koko, aku hendak pergi ke lembah Ki lin-koh lagi !"
"Mau apa ?" "Mencari Tio Hong Hui dan menyelesaikan urusan
Tionggoan- thayhiap."
"Baik, aku akan menemanimu."
"Berapa jauhnya dari sini ?"
"Lebih kurang setengah jam."
Keduanya segera lari menuruni gunung. Karena kain
kerudungnya hilang maka saat itu Cu Jiang menampakkan
wajahnya yang aseli. Selama dalam perjalanan dia tetap
memikirkan tentang diri gadis Ki Ing yang ternyata begitu
kemati-matian mencintainya. Kini setelah dapat menemukan bagai mana asal usul nona itu maka
pandangannya terhadap nona itupun berobah.
Tetapi justeru karena hal itu maka diapun kehilangan
faham. Asmara, benar2 merupakan sesuatu yang menggelisahkan hati manusia. Ksatrya yang gagah dan
berani dapat menabas putus leher musuh, membunuh
semua lawan. Tetapi berapakah jumlah ksatrya gagah yang
mampu memutuskan libatan asmara, mampu membunuh
asmara hatinya" Jika ia nanti akan menyingkap asal usul diri nona itu,
lalu bagaimana reaksi Ki Ing" Bagaimana reaksi nona itu
apabila tahu bahwa ayahnya telah memberi tugas
kepadanya (Cu Jiang) untuk membunuh ibu nona itu"
Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah tiba
di mulut gua. Rupanya Cu Jiang sudah tak sabar lagi. Ia
terus menerjang masuk seraya berteriak:
"Lo koko, mari kita masuk!"
"Baik, tetapi harus hati-hati!"
Tiba ditempat Cu Jiang melakukan pertempuran
kemarin, ternyata mayat manusia aneh dan Sam Bok
thiancun sudah tak kelihatan lagi. Hanya ceceran darah dan
dua gunduk makam baru. Cu Jiang menjemput kain kerudung tetapi kedok sudah
tak dapat dipakai lagi. "Lo koko. kedoknya sudah rusak."
"Lempar saja, aku masih punya."
"Kurasa tak perlu lagi. Wajahku sudah terbuka dan
musuhpun sudah kelihatan."
"Baik, kalau mau pakai, bilang. Lalu bagaimana kita
sekarang?" "Masuk kedalam lembah."
"Ayo!" Dangau gunakan ilmu meringankan tubuh keduanya
berlincahan melintasi gunduk2 batu dan tiba didasar
lembah. Tetapi yang ada hanya puing2 batu. Tio Hong Hui
tentu sudah menghancurkan markasnya.
Cu Jiang kecewa. Untuk mencari Tio Hong Hui bukan
hal yang gampang. "Menghancurkan markas dan mengubur kedua orang itu
tentu makan waktu setengah malam. Dengan begitu Tio
Hong Hui dan puterinya tentu belum lama meninggalkan
lembah ini. Mereka tentu menuju ke Gedung Hitam. Jika
kita kejar, kemungkinan dapat menyusul mereka," kata
Ciok Yau Je. Cu Jiang mengiakan. Keduanya segera meninggalkan
lembah itu. Setelah keluar dari daerah gunung, Cu Jiang
mengusulkan supaya mereka berpencar.
"Kita nanti bertemu di kuil tua diluar kota Keng-ciu itu, "
katanya. Ciok Yau Je setuju. Selama menempuh perjalanan Cu
Jiang tak mau mengenakan kerudung muka. Kecuali
beberapa pentolan Gedung Hitam, anak buah mereka
jarang yang kenal akan wajahnya.
Dua hari dua malam terus menempuh perjalanan tetapi
dia tak melihat jejak wanita itu. Cu Jiang makin penasaran.
Kecuali tidak mengambil jalan yang sama, tentulah wanita
itu akan tersusul. Hari kedua diwaktu petang, Cu Jiang tiba di sebuah kota
kecil Bian yang. Dia memutuskan untuk bermalam. Setelah
masuk kedalam kota dia memilih rumah penginapan Lu-an.
Dia minta kamar di loteng agar dapat melihat setiap pejalan
yang lalu di jalan situ. Tiba2 ia melihat sebuah tandu bercat biru yang keluar
dari pintu rumah penginapan. Cu Jiang terkejut dan buru2
turun loteng, mencari jongos:
"Siapakah yang naik tandu itu?"
"Seorang wanita dengan anak perempuannya. Anaknya
cantik sekali dan mamanya . . ."
"Uang kamarku!" cepat Cu Jiang susupkan sekeping
perak ke tangan jongos, lalu melangkah keluar.
Jongos terkejut dan lari menyusul: " Tuan, terlalu banyak
ini!" "Kelebihannya, buat engkau!" tanpa berpaling Cu Jiang
lanjutkan langkah. Tiba2 disebuah jalan dilihatnya tandu
itu berjalan pelahan-lahan.
Di jalan besar tak leluasa untuk turun tangan maka
diapun terus mengikuti dari kejauhan.
Lebih kurang satu Ii jauhnya, pejalan mulai berkurang
tetapi pada Saat itu Cu Jiangpun melihat bahwa disebelah
muka tampak seorang tua berjubah hitam yang berjalan
mengikuti di belakang tandu.
Cu Jiang segera cepatkan langkah dan ketika hampir
dekat, orang tua jubah hitam itu tiba2 berpaling. Melihat
wajah orang tua itu makin yakinlah Cu Jiang bahwa yang
berada dalam tandu itu tentu Tio Hong Hui dan Ki Ing.
Orang tua jubah hitam itu tak lain adalah Ki Gui Kah,
kepala busu dari Gedung Hitam. Jelas dia sedang mengawal
keamanan nyonya majikannya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan Ki Gui Kah, Cu
Jiang lambatkan langkah lagi dan terpisah agak jauh. Jika
turun tangan ia harus membasmi Ki Gui Kah dulu.
Tak berapa lama tandupun tiba diluar kota yang sepi.
Orang di jalanpun jarang2. Cu Jiang anggap sudah
waktunya untuk bergerak. Lebih dulu ia mengenakan kain
cadar menutup mukanya lalu menyelinap kedalam hutan.
Setelah berputar-putar mengitari jalan, dia terus loncat
keluar menghadang Ki Gui Kah:
"Berhenti!" bentaknya.
Ki Gui Kah berhenti. Mengamati penghadang itu,
wajahnya berobah seketika.
"Apakah engkau Toan-kiam-jan-jin ?" serunya.
"Benar." "Mau apa?" "Minta nyawamu!"
Ki Gui Kah menggigil lalu menyurut mundur tiga
langkah dan mencabut pedang.
Cu Jiangpun mencabut pedang dan menggembor:
"Hai..." Tetapi pada saat itu juga. Ki Gui Kapun taburkan
pedangnya sehingga Cu Jiang gelagapan dan terpaksa
memutar pedangnya. Dan tepat pada saat Cu Jiang sibuk
menangkis, Ki Gui Kapun terus loncat menyusup kedalam
hutan. "Hai, mau lari kemana engkau!" Cu Jiang cepat mengejar
tetapi Ki Gui Kah sudah lenyap bayangannya.
"Hm, menurut peraturan Gedung Hitam, bukankah
tokoh yang mempunyai kedudukan akan mendapat
hukuman berat apabila takut berhadapan dengan musuh."
pikirnya. Tetapi serentak ia terbeliak karena teringat akan
tujuannya. Apabila Tio Hong Hui sampai lolos, bukankah
akan sia2 saja jerih payahnya itu"
Cepat ia menerobos keluar dari hutan dan dilihatnya
tandu itu masih benda pada jarak berpuluh tombak. Segera
mengejar dan menghadang: "Jangan bergerak!" bentaknya.
Keempat lelaki yang memikul tandu serentak meletakkan
tandu dan terus lari ketakutan. Cu Jiang tak menghiraukan
mereka. Menghampiri ke muka pintu tandu dia memberi
perintah supaya penumpangnya keluar.
"Siapa?" terdengar lengking suara seorang wanita.
Dan sesaat kain tenda tersingkap maka sesosok tubuh
gemuk segera melesat keluar. Cu Jiang terlongong-longong
tak dapat berkata apa2. Sementara menyusul lagi sesosok
tubuh yang langsingpun keluar dari tandu itu.
Kali ini Cu Jiang benar2 seperti terbang semangatnya
sehingga dia mundur tiga langkah matanya dipentang lebar
dan tubuh gemetar. Sampai lama baru dia dapat membuka
mulut : "Toanio, kiongcu, kalian..."
Yang muncul dari tandu itu bukan Tio Hong Hui dan
puterinya tetapi si wanita gemuk dan puteri raja Tayli.
Bahwa wanita gemuk itu kembali ke Tionggoan itu
masih dapat dimengerti tetapi bahwasanya kiongcu dari
Tayli itu juga ikut, Cu Jiang benar2 seperti bermimpi.
Puteri itupun terkejut memandang Cu Jiang, serunya
dengan nada gemetar: "Apakah engkau Cu sausu?"
"Benar." Dengan wajah sedih, wanita gemuk itu bertanya rawan:
"Nak. engkau tahu aku ini siapa?"
"Bibiku." "Oh, engkau sudah tahu."
"Toa-suheng Ho Bun Cai yang memberitahukan hal itu
kepadaku." "Apakah dia masih menjabat congkoan di Gedung
Hitam?" "Dia telah tertimpa kemalangan."
"Apa katamu?" wanita gemuk membelalak.
"Toa-suheng sudah . . ."
"Hai, mengapa terjadi begitu?"
"Pada saat menutup mata, toa-suheng mengatakan kalau
dia dicelakai Bulim-seng-hud Sebun Ong!"
"O, Tuhan!" wanita gemuk mengeluh. Air matanya
bercucuran deras. Puteri tak mengerti apa pembicaraan mereka. Dia hanya
melihat saja kedua orang itu.
Beberapa pejalan yang lalu di tempat itu terpaksa
mengitari jalan karena tengah-2 jalan dipenuhi oleh tandu.
"Bibi, di sini kita mengganggu jalan, lebih baik kita
bicara di dalam hutan," bilik Cu Jiang.
Wanita gemuk mengangguk. Setelah mengambil barang
bekal dari dalam tandu, ia memimpin tangan kongcu
berjalan ke arah hutan. Cu Jiang mengikuti dari belakang.
Mereka memilih beristirahat di sebuah tempat yang bersih
dalam hutan itu. Puteri kerutkan dahi dan berkata:
"Sausu, kitakan orang sendiri. Buka saja kerudung
mukamu." Cu Jiang mengangguk dan terus melepaskan kain cadar
yang menutup mukanya. "Hai ....!" tiba2 puteri menjerit kaget.
Cu Jiang tahu apa yang dikejutkan puteri. Sambil
tersenyum ia memberi keterangan:
"Karena beruntung bertemu dengan tabib sakti, wajahku
dapat dipulihkan seperti semula."
"Apakah wajah yang sudah rusak dapat di pulihkan
kembali?" puteri setengah tak percaya.
"Dapat, " sahut Cu Jiang, "tetapi itu tergantung dari
rejeki luar biasa." "Ih, ternyata di dunia terdapat ilmu pengobatan yang
dapat merobah ketentuan alam ..."
"Tetapi dewasa ini, di dunia kiranya hanya ada seorang
saja yang mempunyai ilmu kepandaian seperti itu. "
"Siapa namanya?"
"Kui-jiu Sin-jin."
"Enak benar kedengarannya nama itu tetapi aku asing
sama sekali dengan tokoh2 Tionggoan .... sausu, engkau
benar2 seorang pria yang tampan !" seru puteri.
Walaupun puteri raja tetapi kerajaan Tayli terletak
didaerah selatan yang terpencil. Kebudayaan dan alam
kehidupan di kerajaan itu masih serba bersahaja sehingga
perangai puteri Itupun lugu, Apa yang dikandung dalam
hati terus di utarakan di mulut.
Cu Jiang tersipu-sipu merah mukanya.
"Nak, coba engkau ceritakan bagaimana toa suhengmu
sampai dicelakai orang ?" si nyonya gemuk berseru dengan
nada rawan. "Dibunuh Bu-lim-seng-hud Sebun Ong."
"Mengapa Sebun Ong membunuhnya " Bukankah
diantara mereka berdua tiada dendam permusuhan suatu
apa ?" "Juga terhadap tit ji, diapun berulang kali hendak
mencelakai," kata Cu Jiang.
Tit-Ji berarti anak keponakan, digunakan Cu Jiang untuk
menyebut dirinya kepada khuma atau bibinya.
"Kenapa ?" "Entah, hanya dia yang tahu."
"Ah, tak nyana pertemuanku dengan toa-suhengmu di
kota pegunungan itu merupakan yang terakhir kali," nyonya
gemuk atau Poan toanio menghela napas.
Hidung Cu Jiang mengembang air. Dengan mengertak


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gigi dia bergumam: "Sebun Ong harus membayar hasil perbuatannya !"
"Bagaimana dengan semua musuh2 keluargamu ?" tanya
Poan toanio. "Ya, memang tit-ji justeru hendak minta petunjuk bibi.
Sesungguhnya permusuhan apakah yang telah terjalin
antara ayah dengan ketua Gedung Hitam itu ?" Cu Jiang
balas bertanya. "Pada hakekatnya perkataan pada dalih "pohon tinggi
tentu menderita angin besar, nama besar tentu terancam
bahaya . .." "Tetapi bukankah ayah sudah menyingkir mengasingkan
diri ?" "Ya. memang dia sepertinya hendak menyingkiri
permusuhan." "Lalu mengapa sampai terjadi permusuhan itu."
"Lawan telah mengeluarkan Si-pay (Amanat maut),
dalam pertempuran, ayahmu telah menghancurkan dua
belas jago2 ko-Jiu musuh dan melukai ketua Gedung
Hitam. Setelah Itu musuh lalu mengundang Sam Bok
thiancun." "Hm, Sam Bok thiancun ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. Apa engkau pernah mendengar nama orang itu?"
"Harap bibi suka melanjutkan lagi."
"Ayahmu bukan tandingan Sam Bok thiancun. Dalam
pertempuran sengit hampir saja ayahmu tak dapat
meloloskan diri. Sejak itu dia merasa malu karena
mengecewakan harapan kaum persilatan yang telah
menyebutnya dengan gelar Kiam-seng (Dewa pedang). Dan
menjaga kemungkinan musuh akan melakukan pembunuhan habis-habisan maka ayahmu lalu berusaha
untuk menyembunyikan diri atau menyingkir dari kejaran
musuh !" "Tetapi musuh tatap tak mau melepaskannya?"
"Dendam itu harus dibalas !" seru Poan toa-nio.
"Apakah bibi tahu akan riwayat ketua Gedung Hitam ?"
"Tidak tahu. Dia adalah benggolan durjana pada masa
itu. Sekalipun menyelundup menjadi congkoan di Gedung
Hitam sampai bertahun-tahun, tetapi toa-suhengmu tetap
tak pernah dapat melihat wajahnya yang aseli dan asal usul
dirinya. Toa-suhengmu tak percaya kalau orang mampu
merahasiakan diri selama-lamanya. Pada suatu hari dia
pasti dapat mengetahuinya!"
"Yang jelas, iblis itu adalah anak murid pewaris dari Sam
Bok thiancun!" kata Cu Jiang.
"Bagaimana engkau tahu ?" Poan toanio kaget.
"Tit-ji telah dapat membinasakan Sam Bok thiancun."
seru Cu Jiang dengan geram. Poan toanio menggigil.
"Apa " Engkau dapat membunuh Sam Bok thiancun ?"
"Ya." "Dimana ?" "Di lembah Ki-lin-koh yang terletak dibelakang gunung
Kiu-kiong-san." "Ah, nak. ini benar2 kejutan besar. Dengan kepandaianmu itu, dapatlah kiranya engkau menghibur
para arwah yang telah menjadi korban keganasan momok
itu." "Tit-ji sudah terlanjur bersumpah untuk mencuci Gedung
Hitam dengan darah."
"Mencuci dangau darah ?" tiba2 puteri terkejut,
"mengapa harus begitu " Apakah kecuali balas dendam
berdarah, di dunia persilatan itu tiada lain urusan lagi ?"
Baginda Toa Hong-ya dari negeri Tayli menganut agama
Buddha. menjunjung welas asih. Dia paling benci dengan
pertumpahan darah. Puteripun sedikit banyak lelah
mewarisi perangai ayahandanya.
"Apakah kiongcu tahu akan penderitaan hidupku?" Cu
Jiang tertawa hambar. "Ya. toanio yang menceritakan."
"Kiongcu, bagaimana pendirian kiongcu?"
"Ah, tak perlu membicarakan soal itu. Engkau menyebut
aku dengan sebutan kiongcu dan akupun memanggilmu
Sausu atau ciangkun. Rasa2nya janggal. Bagaimana kalau
kita berganti dengan lain sebutan saja?"
"Sebutan apa?" "Sesuai dengan adat istiadat Tionggoan, bagaimana
kalau engkau panggil aku nona Toan dan aku menyebutmu
Cu toako" " Cu Jiang gelengkan kepala.
"Tidak! Tata-susila tak boleh dihilangkan."
Puteri tundukkan kepala dan berkata sendu:
"Apakah engkau masih membenci perbuatanku ketika
pertama kali aku melihat wajahmu?"
"Tidak," Cu Jiang gopoh menjawab, "sama sekali aku tak
mengandung pikiran semacam itu. Memang wajahku waktu
itu, aku sendiripun juga ngeri melihatnya."
"Kalau begitu engkau anggap wajahku tentu buruk?"
desak puteri. "Kiongcu secantik bidadari menjelma di dunia,
bagaimana aku berani menghina?"
OdwO Puteri mengangkat muka dan menatap Cu Jiang dengan
pandang mendesak. Cu Jiang tergetar hatinya. Dia tak asing
dengan sinar mata begitu dari seorang gadis Ho Kiong Hwa
dan Ki Ing juga pernah menatapnya dengan pandang mata
begitu, hati puteri telah terpancar keluar melalui sinar
matanya. Tetapi dia sudah beristeri, disamping diapun hanya
seorang busu, sedang gadis itu seorang puteri raja, apakah
dia layak menjadi pasangannya"
"Jika tidak begitu engkau tentu memandang diriku ini
seorang gadis dari daerah liar," seru puteri pula dengan
nada rawan. "Ah, kiongcu makin lama makin jauh," Cu Jiang
tergopoh-gopoh. Poan toanio tersenyum. "Apakah salahnya untuk berganti dengan lain sebutan
saja?" Cu Jiang merah mukanya. "Bibi, engkau tak tahu . . ."
"Nak, kutahu Kiongcu suka kepadamu, seharusnya
engkau berbahagia!" "Bibi, aku . . ."
"Baiklah, hari masih panjang, kelak kita bicara lagi."
Cu Jiang terpaksa menurut dengan beralih pada lain
pembicaraan. Dia bertanya bagaimana bibinya bersama
puteri dapat tiba di Tiong goan.
Wajah Poan toanio kembali gelap.
"Waktu aku berada di istana, aku telah menerima berita
dari toa-suhengmu yang mengatakan bahwa Gok jin-ji itu
tak lain adalah engkau sendiri. Hari pembalasan sudah di
ambang pintu. Maka akupun membulatkan tekad kembali
ke Tionggoan. Kiongcu ingin sekali menikmati alam
pemandangan Tiong goan yang permai dan memaksa ikut .
. ." "Oh, dewasa ini suasana dunia persilatan sedang
terancam bahaya, keselamatan jiwa kiongcu ..."
"Asal tidak menunjukkan diri tentu tiada halangan
apa2." sahut Poan toanio.
"Perkumpulan Thong thian-kau dan Gedung Hitam
sama2 mengincar jiwaku. Apabila mereka tahu kalau bibi
dan kiongcu mempunyai hubungan dengan aku. akibatnya
tentu runyam sekali . . ."
"Oleh karena itu di depan umum, hendaknya kita jangan
menonjolkan hubungan itu. Di samping itu masih ada
empat orang ko jiu istana Tayli yang mengawal
keselamatan kiongcu . . ."
"Apakah bibi sudah bertemu dengan Ki Siau Hong dan
kawan-kawannya?" "Hm." "Bibi tahu juga nasib yang diderita Ong Kian?"
"Ya, tahu. Berita itu sudah disampaikan ke Tayli. "
"Tit-ji sungguh merasa tak enak hati."
"Bukan salahmu. Sekali orang berani turun ke
gelanggang dunia persilatan, tentu tak dapat menghindari
hal2 yang buruk." "Apa petunjuk dari suhu?"
"Hanya sepatah. Jangan mengecewakan harapan
baginda." "Baik," sahut Cu Jiang tegas.
"Nak, kalau panggil aku tetap saja dengan sebutan
"toanio". Aku suka dengan sebutan itu."
Cu Jiang mengiakan. "Kita tak boleh terlalu lama disini, Kemanakah engkau
hendak pergi ?" tanya Poan toanio.
"Tit-ji hendak ke Keng-ciu."
"Setelah itu?" "Ke Gedung Hitam!"
"Benar! Kok-su masih mengirim sebuah pesan .... "
"Bagaimana?" "Apabila tugas berat itu sudah engkau selesaikan, apabila
engkau tak mau kembali ke Tayli, engkau boleh tinggal di
Tionggoan." Sejenak Cu Jiang merenung dan kemudian mengatakan
bahwa soal itu kelak akan ia pertimbangkan lagi.
"Sausu sudah memutuskan untuk tidak kembali ke
Tayli!" tiba2 puteri menyeletuk.
Cu Jiang terbeliak. "Bagaimana kiongcu dapat mengatakan demikian?"
Puteri tertawa rawan, sahutnya:
"Tanyalah pada hatimu sendiri."
Cu Jiang dapat menyelami kata2 puteri itu. Jelas puteri
itu menuduh bahwa dia takkan mau menerima cinta puteri,
Cu Jiang tak mau menjawab. Ia berpaling kepada bibinya.
"Pemikul tandu toanio sudah melarikan diri, lalu
bagaimana?" "Nanti akan ku usahakan lagi. Eh, benar, siapakah orang
tua yang mengikuti di belakang tandu tadi ?"
"Kepala pasukan pengawal dalam dari Gedung Hitam
yang bernama Ki Gui Kah."
"Bagaimana engkau menyelesaikannya?"
"Sayang dia dapat lolos."
Sejenak merenung Poan toanio berkata:
"Rasanya akan terjadi sesuatu yang tak terduga lagi.
Karena curiga dia lalu mengikuti tandu, kemudian engkau
hajar tetapi dia dapat lolos. Dia tentu penasaran. Dan
paling tidak jejak kita tentu sudah diketahuinya ..."
"Mungkin tidak begitu mencemaskan karena dia tak tahu
penyamaranku." "Bagaimana engkau dapat mengejar tandu yang kami
naiki ?" "Karena tit-ji menyangka bahwa yang berada dalam
tandu ini, orang yang hendak kucari."
"Siapa orang itu ?"
"Ratu-kembang Tio Hong Hui dan anaknya."
"Ah..." Tiba2 kesiur angin yang lembut bertiup. Poan toanio dan
puteri tak merasakan apa2 tetapi telinga Cu liang yang
tajam cepat dapat menangkap kesiur angin itu dan dapat
pula mengetahui bahwa ada serombongan orang yang
tengah mendatangi. Serentak ia bangun berdiri.
"Toanio, ada orang datang. Lekas ajak kiong cu menuju
kearah barat hutan ini. Dan yang datang bukan hanya
seorang !" Poan toanio mengangguk-angguk.
"Nak, hati2 menghadapi mereka. Selanjutnya kalau
mengadakan hubungan, kita gunakan sandi rahasia."
"Baik." "Kiongcu, mari kita berangkat," kata nyonya gemuk itu.
Namun sejenak puteri menatap Cu Jiang. Bibirnya gemetar
hendak mengucap sesuatu tetapi tak jadi. Dia terus
mengikuti wanita gemuk itu melintasi hutan.
Cu Jiang mengantar kedua wanita itu dengan pandang
penuh arti. Yang seorang, putri raja dari sebuah kerajaan di
pedalaman selatan. Yang seorang, adalah bibinya, satu-
satunya keluarga yang masih hidup dalam dunia.
Cu Jiang dapat menangkap apa arti sinar mata puteri
yang bersinar-sinar memancarkan luapan kasih hati
kepadanya. Sementara itu suara dari kejauhan itu makin terdengar
jelas, menyusup disela-sela dan Cu Jiang cepat mengenakan
kain kerudung mukanya lagi dan duduk bersandar pada
sebatang pohon. Kedua matanya setengah dipejamkan.
Pada lain kejab terdengar suara kata2 orang: "Ui tongcu,
apakah engkau anggap lawan akan terperangkap siasat
kita?" "Tentu," sahut yang ditanya, "saat ini pengaruh Thian-
thong-kau sedang berkembang sedangkan gerombolan Sip-
pat-thian-mo itu sama sekali tak memandang mata pada
orang persilatan ... "Kalau siasat ini tak termakan mereka dan lawan dapat
menguasai Oh-yang, kita siapkan siasat lagi di Hun yang.
Dan pihak kita pasti akan keluar sebagai yang utuh
sendiri... ." "Li hu-hwat, bagaimana dengan tempat ini ya, disini kita
mulai mempersiapkan."
Mendengar pembicaraan itu tahulah Cu Jiang bahwa
mereka anak buah Gedung Hitam tetapi tujuannya bukan
mengejar dia melainkan hendak mengatur siasat untuk
menghadapi Thian-thong-kau.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rombongan pendatang itu berhenti pada jarak puluhan
tombak dari tempat Cu Jiang. Beberapa saat kemudian
terdengar kesiur angin menggetar daun2 pohon.
Diam2 Cu Jiang menimang. Kalau tujuan anak buah
Gedung Hitam itu hendak mengarah tokoh gerombolan
Sip-pat-thian-mo, sungguh suatu kesempatan bagus sekali
baginya. Ia memutuskan, untuk sementara takkan
menampakkan diri dulu. Ia berbangkit lalu mencari tempat bersembunyi yang
lebih rapat. Dari celah2 daun yang menutup tempatnya, ia
dapat mengintai gerak-gerik mereka.
Ia terkejut ketika melihat dua lelaki tua baju hitam dan
serupa orang Pengawal Hitam tengah menggantung empat
sosok mayat pada batang pohon.
Kemudian mereka menggali liang disekeliling pohon itu.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, keempat Pengawal
Hitam itu meninggalkan tempat itu tetapi kedua lelaki tua
baju hitam masih berada disitu.
"Siap!" "Lepaskan pertandaan rahasia !"
"Jangan, tunggu sebentar lagi. Biar kaum Iblis itu mulai
curiga dulu baru lepaskan pertandaan rahasia untuk
menjebak mereka!" "Kalau ketiga iblis itu tidak semua muncul ?"
"Muncul satu, bunuh satu !"
Mendengar ucapan kawannya, lelaki tua baja hitam itu
tertegun, kemudian berkata:
"Menurut keterangan dari korban tadi, Jika melepaskan
panah-api panca-warna, menandakan kalau ada peristiwa
besar. Entah apakah keterangannya dapat dipercaya."
"Tentunya dapat dipercaya."
"Menurut kata Ki thongleng, Toan-kiam Jan-jin sudah
muncul disekitar tempat ini, Entah mau apa dia ?"
"Hal itu mudah saja ditebak. Kalau bukan mencari
sasaran kepada Gedung Hitam kita, tentulah perkumpulan
Thong-thian-kau.." "Hm, sungguh sombong sekali manusia itu berani
menentang dua kekuatan besar yang merajai dunia
persilatan dewasa ini !"
"Tetapi memang ilmu pedangnya luar biasa sekali. Ki
thongleng mengaku bukan tandingannya."
"Bagaimana kalau ketua kita."
"Ah, Jangan membicarakan soal itu lagi!"
"O, ya, ya." "Segera saja mulai bekerja !"
"Baik," kata salah seorang tua itu lalu mengeluarkan
sebuah benda dari kantong baju dan menyulut korek.
Sepercik sinar bintang melayang ke udara dan pletak, benda
itu meledak menghamburkan bunga api warna warni.
Melihat itu Cu Jiang tahu apa yang terjadi. Anak buah
Gedung Hitam berhasil menangkap anak murid Thong
thian-kau, setelah dikorek keterangannya lalu dibunuh.
Kemudian ditempat itu mereka memasang perangkap
dengan melepaskan panah api sebagai umpan.
Setelah melepas panah-api panca warna, kedua lelaki tua
itupun cepat2 meninggalkan tempat itu. Tetapi baru dua
puluh tombak jauhnya, pandang mata mereka nanar ketika
melihat seorang yang wajahnya bertutup kain hitam, tegak
menghadang ditengah jalan.
Keduanya berhenti dan salah seorang memekik keras.
"Toan-kiam Jan-jin!" Wajah kedua lelaki tua itu tampak
ketakutan sekali. "Ingin kubertanya beberapa patah kata kepada kalian,"
seru Cu Jiang yang saat itu dalam perwujudan sebagai
Toan-kiam-Jan-jin lagi. "Soal apa ?" seru salah seorang dengan gemetar.
"Untuk menghadapi pihak manakah rencana yang kalian
siapkan dalam hutan itu," tanya Cu Jiang.
"Perlu apa engkau tanyakan hal itu?"
"Jangan bertanya apa2, cukup engkau memberi jawaban
saja !" Kedua lelaki tua itu saling bertukar pandang, kemudian
tertawa mengekeh. "Mungkin engkau tentu gembira sekali mendengarkannya. Rencana itu kami tujukan kepada iblis
nomor sebelas, dua belas dan lima belas dari gerombolan
Sip-pat thian mo!" "Hm, Bagus, aku memang girang sekali, tetapi .. ."
"Bagaimana ?" "Kalian juga harus serahkan jiwa!"
Kedua lelaki tua itu pucat dan menyurut mundur
beberapa langkah. Tangannya meraba pedang.
Cu Jiang tak mau membuang waktu.
"Bersiaplah menjaga diri!" serunya seraya menerjang.
Mencabut pedang dan menyerang maju, hampir dilakukan
dengan serempak dalam gerak yang luar biasa cepatnya.
"Huak, huak" kedua lelaki tua itupun rubuh. Cu
Jiangpun bersembunyi lagi di tempat tadi. Lebih kurang
menunggu sampai sepeminum teh lamanya, tiba2 muncul
beberapa lelaki dalam pakaian kuning emas. Mereka
terkejut melihat tubuh yang tergantung diatas pohon.
"Berhenti !" teriak salah seorang yang menjadi pimpinan
rombongan, "tunggu dulu perintah dari ketiga Huhwat
kita!" Tak berapa lama, muncul tiga sosok tubuh yang tinggi
besar. Sedikitpun gerak mereka tak bersuara.
Cu Jiang tegang. Jelas ketiga orang itu tentu iblis nomor
sebelas, dua belas dan lima belas dari Sip pat-thian-mo.
"Kawanan kerucuk itu memang menjemukan sekali."
kata salah seorang dari ketiga pendatang itu, "Ong thaubak
!" Pimpinan rombongan baju emas tadi segera tampil
memberi hormat: "Murid siap mendengar perintah."
"Lepaskan mayat itu !"
Ong thaubak mengiakan lalu memberi perintah dan
empat orang baju emas segera naik keatas pohon. Mereka
masing2 menurunkan sesosok mayat.
"Potong saja talinya dengan pedang," perintah Ong
thaubak. "Baik!" seru keempat baju emas lalu mencabut pedang
dan membabat tali penggantung. Keempat mayat itu
meluncur jatuh. Bum . .. Serempak pada saat mayat2 itu jatuh di tanah
terdengarlah letupan keras dan asap tebal segera bergulung-
gulung menyelimuti empat penjuru. Pohon tumbang,
tubuh2 manusia beterbangan.
Cu Jiang juga terpental beberapa meter dari tempat
persembunyiannya, Ia rasakan seperti terjadi gempa bumi
hebat. Setelah asap menipis, barulah dia tahu apa yang terjadi.
Sekeliling tempat itu penuh dengan darah dan kutungan2
anggauta badan. Mengerikan sekali. Daerah seluas lima
tombak keliling, hampir sudah binasa semua.
Baru Cu Jiang berdiri, tiba2 ia mendengar suara orang
menggembor. "Oo, engkau budak !"
Ia terkejut dan mengangkat muka. Ah, ternyata saat itu
dia sudah dikepung olah tiga manusia aneh yang bertubuh
tinggi besar. Ia terkejut dan heran mengapa ketiga iblis
durjana itu tak sampai mati dalam ledakan itu.
"Budak, bukankah engkau yang disebut Toan kiam-jan-
jin itu?" salah seorang iblis bertanya.
"Benar !" "Engkau berani menggunakan siasat licik itu?"
"Rasanya aku belum pernah melakukan pekerjaan selicik
itu!" "Kalau begitu .. ."
"Ingat saja hutang piutangmu dengan pihak Gedung
Hitam !" "Budak, Mengapa engkau memusuhi pihak kami ?"
"Anggap saja sebagai Jalan kearah kesejahteraan!"
"Untuk kesejahteraan " Ha. ha ha. ha . .. ." enam pasang
biji mata yang berapi-api mencurah kearah wajah Cu Jiang,
seolah hendak menelan hidup-hidupan.
Baru mendengar nama Sip-pat-thian-mo saja, orang
persilatan pasti sudah menggigil nyalinya. Apalagi kalau
bertemu dengan salah seorang anggautanya.
Tetapi berhadapan dengan ketiga iblis dari Sip-pat-thian-
mo itu, Cu Jiang tak gentar sama sekali. Dia memang
sedang mengemban tugas untuk membasmi kawanan Sip-
pat-thian-mo yang ganas itu. Untuk menyelamatkan dunia
persilatan dan kepentingan negeri Tayli.
"Pedang tak bermata, harap kalian suka mempertimbangkan !" seru Cu Jiang.
Tetapi peringatan Cu Jiang itu hanya disambut dengan
gelak tawa oleh ketiga iblis.
"Mengapa kalian tertawa ?"
"Budak, apa yang engkau kehendaki supaya kami bertiga
mempertimbangkan?" "Hancurkan kepandaian kalian sendiri dan lekas
tinggalkan dunia persilatan !"
Kembali ketiga iblis itu tertawa nyaring.
"Budak, apakah engkau tengah mengigau dalam
bermimpi ?" salah seorang iblis itu berseru.
"Aku mengatakan yang sejujurnya!"
"Tetapi justeru akulah yang hendak mencincang
tubuhmu." "Rupanya kalian memaksa aku harus turun tangan !"
"Akan kubeset kulitmu hidup-hidupan !" sahut ketiga
iblis itu. Tiba2 Cu Jiang mendapat pikiran. Untuk meringankan
bebannya, ia tak boleh memberi kesempatan sehingga
ketiga momok itu dapat bersatu untuk mengerubutinya.
Suhu dan baginda Toan Hong-ya memang menitahkan
supaya kawanan Sip-pat thian mo itu jangan dibasmi
semua. Tetapi terhadap kawanan durjana semacam mereka,
sukar untuk melaksanakan perintah itu.
Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedang kutung.
Ketiga iblis itupun saling bertukar pandang lalu serempak
mengangkat tangan mereka ...
Tiba2 dengan kecepatan seperti kilat menyambar, Cu
Jiang menyerang kepada iblis yang berada disamping
kanan. Dia menggunakan tenaga penuh. Terdengar suara
orang tertahan, darah menyembur dan iblis itupun
terhuyung-huyung empat lima langkah, bluk. ia jatuh
terduduk. Serempak pada saat itu juga pukulan dahsyat dari kedua
iblis telah melanda Cu Jiang sehingga anak muda itu
terpental mundur sampai lima enam langkah.
Dengan menggembor seram, kedua iblis itu terus loncat
menerjang Cu Jiang seraya lepaskan empat buah pukulan
maut. Cu Jiangpun ayunkan pedang. Kiam-gi atau hawa
pedang menyongsong pukulan lawan, menimbulkan
benturan keras. Cepat sekali kedua momok itu mengisar kaki berganti
langkah. Mereka menyerang dari kanan kiri. Cu Jiang
gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk menghindar, tetapi kepandaian kedua momok itu memang
bukan olah2 hebatnya. Mereka dapat menguasai setiap gerakannya, menyerang
dan menarik pukulan, dilakukan dengan sempurna. Setelah
menilai posisi gerak putaran Cu Jiang, keduanya lalu
menyerang gencar. Cu Jiang terpaksa memutar pedang untuk menyerang
iblis yang menyerangnya dari kanan.
"Huak . .. ." terdengar pula suara erang yang ngeri, iblis
itu rubuh tetapi punggung Cu Jiang termakan pukulan iblis
yang berada dikiri. Cu Jiang terseok-seok kebelakang
sampai beberapa langkah dan hampir rubuh.
Darahnya bergolak keras, pandang matanya gelap.
Tetapi ia masih memiliki kesadaran pikiran. Waktu
terhuyung-huyung dia menjurus ke sebelah samping.
Siut, siut, siut angin tajam yang berasal dari pancaran
jari, berhembus lewat disisinya. Kurang sedikit saja dia
tentu hancur tubuhnya. Angin tajam itu telah menyasar
pohon dan menimbulkan tiga buah lubang.
Karena kedua kawannya sudah mati. iblis Itu marah
sekali. Saat itu Cu Jiang sudah menyelinap ke belakangnya.
"Anda menduduki urutan yang ke berapa ?" Seru Cu
Jiang. Iblis itu berputar tubuh. Dia pancarkan lagi semburan
tenaga-jari yang sakti seraya menyahut: "Aku berada di
urutan nomor sebelas!"
"Apakah anda Kim ci-mo?" tanya Cu Jiang seraya
menghindar. Tetapi baru dia tegak, punggungnya telah
dilanda angin pukulan dahsyat.
"Uh .,..," ia sempoyongan hampir rubuh. Ternyata yang
menyerangnya itu adalah iblis yang terluka dan jatuh
terduduk itu. Saat itu Cu Jiang terhuyung beberapa langkah
di mula iblis. Setelah berhenti dan berdiri tegak, ia menegur.
"Dan anda termasuk urutan yang ke berapa?"
"Kelima belas !"
"Hai, anda benar2 tak bernama kosong Hek sim-mo!"
seru Cu Jiang. "Budak, Jiwamu memang alot sekali!"
"Jika begitu, yang telah mendahului berangkat itu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentulah iblis nomor dua belas Toan bing-mo ...." dalam
berkata-kata itu Cu Jiang sudah melesat kemuka Kim ci-mo
atau iblis Jari-emas. Ia mengangkat pedang kutung dan
berseru: "Sekarang giliran anda yang akan kuberangkatkan ke
akhirat!" "Jangan tekebur!" Kim-ci mo menggembor, mengendapkan tubuh, kedua tangan menjulur dan jari-
jarinya menebar. Saat itu Cu Jiang baru menyadari bahwa ujung jari
lawan berwarna kuning emas, seperti menjepit jarum atau
paku emas. Tiga batang jarum itu telah mengenai batang
pohon dan pohonpun berlubang.
Apabila dirinya sampai terkena jari emas itu, uh, ngeri
juga membayangkan bagaimana akibatnya.
Barang siapa menyerang dulu, dia tentu memperoleh
posisi yang kuat, Ya, benar dan Cu Jiang-pun segera
kembangkan ilmu pedang Thian-te-kau-thay dan menyerang dengan cepat. Tring. tring.... Terdengar bunyi berdering-dering dan percikan sinar
emas berhamburan, Cu Jiang rasakan bahu kirinya nyeri
sekali sampai menusuk tulang. Dia tahu kalau terkena jari-
emas lawan. Dari rasa sakit, ia duga Jari-emas atau Kim-ci itu tentu
mengandung racun. Huakkkkk. Terdengar pekik seram dan tubuh Kim-ci-mo terhuyung-
huyung, bluk, dia jatuh terkapar berlumuran darah.
Cu Jiang cepat mengeluarkan mustika katak dan
disusupkan ke dalam mulutnya. Kemudian ia berpaling ke
arah Hek sim mo. Iblis itu tengah merangkak bangun. Wajahnya seperti
binatang yang buas. Mustika katak itu memang bukan olah2 sakti nya. Dalam
beberapa kejap saja bahu kirinya yang terluka itu sudah
lenyap sakitnya. Cu Jiang muntahkan mustika itu dan
disimpannya lagi. "Budak, engkau pasti mati!" seru iblis Hek-sim mo atau
Hati-hitam sambil memandang Cu Jiang.
"Iblis tua, apakah engkau memastikan bagiku?"
"Engkau telah terkena racun dari Kim ci, walaupun
tenaga dalamnya sudah sempurna sekali, pun hanya
mampu bertahan untuk beberapa waktu saja. Jika tidak
menggunakan tenaga, memang tak apa2. Tetapi begitu
engkau bergerak mengeluarkan tenaga, racun itu akan
menyerang ulu hatimu !"
"Belum pasti begitu !"
"Aku bersedia menolongmu ..."
"Ha, haa, kalau anda mati dulu, tentu tak dapat melihat
aku mati, bukan ?" Hek sim-mo mundur beberapa langkah. Wajahnya
berkerenyutan lalu berseru tegang:
"Walaupun aku dicari sebagai iblis berhati hitam,
sebenarnya tidak begitu ..."
"Bagaimana ?" "Kalau engkau sekarang ingin hidup, aku dapat
membantumu tetapi..."
"Tetapi ada syaratnya, bukan ?"
"Tentu." "Apa syaratnya ?"
"Hancurkan kepandaianmu sendiri, nanti baru kuberitahu obat penawar."
Cu Jiang tertawa gelak2. "Caramu itu terlalu kekanak-kanakan. Biarlah kulawan
racun dalam tubuhku itu dan akan kuantar anda ke akhirat
lebih dulu !" "Coba saja kalau engkau tak percaya !"
"Kalau aku turun tangan anda tentu mati !"
"Tak apa, cobalah !"
Cu Jiang masukkan pedang kedalam sarung lalu berkata
dengan dingin: "Bagaimana kalau kugunakan pukulan
tangan saja ?" Hek-sim-mo tertawa aneh, teriaknya: "Bagus kesombonganmu ini memang tak ada duanya dalam
dunia!" "Sebenarnya aku tak ingin membasmi habis-habisan.
Silakan anda menghancurkan ilmu kepandaian anda sendiri
dan kubebaskan dari kematian !" seru Cu Jiang.
"Engkau bermimpi?"
"O. anda benar2 ingin mati?"
Tiba2 Hek-sim-mo ayunkan kedua tangan menghantam.
Dia ingin memancing Cu Jiang supaya balas menghantam
dengan sepenuh tenaga agar racun Kim-ci segera
berkembang menyerang uluhatinya.
Cu Jiang memang menangkis dengan dorongkan kedua
tangan. Dia menggunakan tenaga penuh.
Bum..... Terdengar benturan keras dan seketika Hek-sim mo
muntah darah lalu jatuh terduduk lagi.
"Bagaimana ?" seru Cu Jiang.
Betapapun hitam hati Hek-sim-mo tetapi ia baru rontok
nyalinya ketika melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa.
Pada hal racun Kim-ci itu ganasnya bukan kepalang.
Orang yang kepandaiannya kurang, seketika tentu mati.
Dan yang kepandaiannya tinggi, hanya dapat bertahan
beberapa waktu saja. "Toan-kiam-jan-jin engkau... tidak terkena racun itu ?"
serunya terbata-bata. "Racun semacam Kim-ci masakah mampu berbuat apa2
terhadap diriku ?" "Engkau..." "Kejahatan anda sudah melewati takaran, matipun masih
enak!" Cu Jiang terus maju dan mengangkat tinju,
diarahkan ke kepala Hek-sim-mo.
Saat itu Hek-sim-mo sudah tak berdaya sama sekali. Dia
meraung lalu muntah darah. Pada saat tinju hendak
diayunkan tiba2 Cu Jiang menghentikannya.
"Budak, engkau bermaksud bagaimana?" teriak Hek-sim
mo. Saat itu tiba2 Cu Jiang teringat akan pesan suhunya agar
jangan mengobral pembunuhan. Pun baginda Toan Hong-
ya juga melarang pertumpahan darah apabila tak terpaksa.
Cu Jiang berkata. "Kali ini kuberi ampun jiwamu, Kuharap engkau
memberitahukan kepada kawan-kawanmu, setelah dapat
membubarkan Thong-thian-kau. lekaslah kalian tinggalkan
dunia persilatan . . ."
0odwo0 "Huh, siapa sudi menerima ampunmu ?"
"Apa yang telah kukatakan tentu kulaksanakan, engkau
akan tetap hidup tetapi ilmu kepandaianmu harus
dilenyapkan agar engkau jangan berbuat kejahatan lagi."
"Bunuhlah aku!" teriak Hek-sim-mo marah, "toh nanti
tentu ada orang yang akan membalaskan engkau budak . . ."
"Engkau tak dapat menuruti kehendakmu sendiri!" seru
Cu Jiang dan serentak dia pancarkan tenaga-sakti dari Jari.
Seketika Hek-sim-mo gemetar, meraung keras dan muntah
darah. Ilmu kepandaian dihancurkan, bagi seorang tokoh
persilatan ternama, jauh lebih tersiksa daripada dibunuh.
Terutama durjana2 seperti gerombolan sip-pat-thian-mo itu.
"Budak, bunuhlah aku saja !" Hek-sim-mo meraung-
raung pilu. Cu Jiang tertawa dingin: "Dengarkan, aku hendak titip
pesan supaya engkau sampaikan kepada kawan kawanmu.
Bahwa aku memang ditugaskan untuk membasmi
gerombolan Sip-pat-thian-mo!"
Hek-sim mo menggigil keras.
Sementara Cu Jiangpun terus ayunkan langkah keluar
dari hutan. Dia menghitung-hitung jumlah gerombolan Sip-
pat-thian-mo yang telah diselesaikan. Hek sim-mo dan
Kiam-mo telah dihancurkan ilmu kepandaiannya. Long-
sim-mo, Kiau-thian-mo, Gong mo, Toa lat Sin-mo, Bu-mo
dan tadi di tambah pula dengan Kim-ci mo serta Toan leng-
mo, semua berjumlah tujuh iblis yang telah dibunuhnya.
Dengan demikian kedelapan belas iblis itu sekarang
sudah berkurang separuh. Suhunya pernah mengatakan
bahwa yang paling ditakutkan ialah apabila Lo Mo atau
iblis tertua diantara mereka, masih hidup.
Sip-pat-thian mo sudah begitu menggelisahkan dunia,
ketua mereka tentu lebih hebat lagi.
Kemudian ia beralih memikirkan diri putri Tayli yang
mengembara ke Tiong goan itu. Sungguh berbahaya sekali
tindakan puteri itu. Apalagi hanya ditemani oleh Poan
toanio, tentu setiap saat terancam bahaya.
Diam2 Cu Jiang cemas. Teringat betapa sikap dan nada
puteri itu kepadanya Cu Jiangpun makin gelisah. Dia
menyadari dirinya hanya seorang persilatan biasa, tentu tak
layak menjadi pasangan hidup puteri itu.
Juga tali pernikahannya dengan Ho Kiong Hwa sudah
menjadi kenyataan, sukar untuk diputuskan lagi.
Teringat akan Ho Kiong Hwa, ia membayangkan betapa
nasibnya yang malang. Gadis itu seorang yang baik, layak
mendapat curahan kasihan.
Saat itu dia sudah muncul dijalan besar. Sebenarnya dia
hendak mengejar Jejak Ratu-bunga Tio Hong Hui dan
puterinya tetapi diluar dugaan dia bertemu dengan puteri
Tayli dan Poan toanio, kemudian dapat membasmi tiga
iblis sip pat-thian-mo. Hari itu dia tiba di sebuah dusun yang tak jauh dari kota
Keng-ciu. Saat itu hari sudah petang tetapi dia ingin lekas2
berjumpa dengan Ang Nio Cu.
Maka setelah mengisi perut disebuah rumah-makan,
iapun meneruskan perjalanan lagi. Diperhitungkannya
bahwa menjelang tengah malam nanti dia tentu tiba
ditempat Ang Nio Cu. Entah bagaimana keadaannya,
apakah lukanya sudah sembuh.
Beberapa li jauhnya, tiba2 sesosok bayangan hitam lewat
disisinya dengan menggunakan ilmu lari yang cepat.
Walaupun malam gelap tetapi mata Cu Jiang yang tajam
dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Pengawal
Hitam. Terhadap musuh besar dari Gedung Hitam, dia tak
pernah mau memberi kelonggaran. Diikutinya Pengawal
Hitam itu. Beberapa waktu kemudian, orang itu membiluk
kesebuah jalan kecil dan lebih kurang satu li jauhnya
tampak sebuah pedesaan yang terdiri dari beberapa rumah
kaum pemburu. Pengawal Hitam itu lari menuju ke desa yang sunyi
senyap itu. Bahkan lampu2 pun sudah dipadamkan semua.
Rupanya kehidupan mereka miskin maka merekapun
sangat berhemat. Setelah melompat pagar tembok yang pendek. Pengawal
Hitam itu terus masuk ke dalam sebuah rumah yang terdiri
dari tiga petak. Terdengar anjing menyalak tetapi sesaat
kemudian sudah sirap lagi.
Cu Jiang dengan hati2 mengikuti masuk. "Siapa?"
terdengar suara orang dari dalam rumah.
"Aku, yah, Sam Long"
"Mengapa tengah malam pulang ?"
"Ada urusan penting, lekas buka pintu."
"Ya, tunggu sebentar."
Penerangan dalam rumah dinyalakan dan terdengar
suara wanita bergumam lalu suara anak kecil terkejut
bangun. Pintu terbuka dan masuklah Pengawal Hitam itu. Yang
membuka pintu seorang lelaki setengah tua. Kemudian
muncul seorang wanita muda yang mengempo bayi.
Sambil mengucal-ucal mata, lelaki tua itu menegur:
"Sam Long, ada peristiwa apa?"
"Yah, ringkasilah barang2, kita pergi dari sini!" kata
Pengawal Hitam dengan gopoh.
"Ada kejadian apa sih ?" seru wanita muda itu agak
gemetar. Pengawal Hitam yang bernama Sam Long Itu belum ada
tiga puluh tahun umurnya. Cakap juga wajahnya.
"Kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini. Kalau mereka
tahu, tentu celaka kita !" kata Pengawal Hitam itu.
"Katakan apa yang terjadi!" lelaki tua itu berseru
gemetar. Pengawal Hitam itu membuka bajunya dan melongok
keluar dengan pandang cemas, lalu berkata:
"Yah, aku telah melarikan diri dari mereka."
"Mengapa " Apa yang terjadi ?"
"Cong-koan kami yang lama Ho Bun Cai telah dibunuh,
ditanam ditepi sungai. Enam orang Pengawal Hitam yang
mempunyai hubungan rapat dengan Hu congkoan, sudah
ada lima orang yang dibunuh. Tinggal aku seorang maka
akupun nekat melarikan diri."
"Oh !" seru lelaki itu.
"Ai !" wanita muda itupun menjerit.
Sam Long melanjutkan lagi. "Tadi aku kebetulan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan tugas meronda diluar. Ditengah jalan
kawanku yang bernama Tong Co Ju memberi tahu tentang
peristiwa itu maka . . . akupun segera melarikan diri."
"Nak, walaupun dunia ini lebar sekali, tetapi tak
mungkin kita dapat bersembunyi," kata lelaki tua itu.
"Tetapi kita tak dapat menunggu kematian tanpa berdaya
apa-apa. . ." "Bawalah isterimu pergi sejauh mungkin. Biarlah aku
tetap menjaga warisan leluhur kita ditempat ini. Matipun
aku ingin berkubur disini!"
San Long bertekuk lutut dihadapan ayahnya dan
meratap: "Anak tidak berbakti, mohon ayah..."
"Kita akan menuju kemana ?"
"Kota Pek-te-shia."
"Apa " Pek-te-shia ... mengapa ?"
"Kota itu merupakan daerah kekuasaan perkumpulan
Thong-thian-kau. Disana pengaruh Gedung Hitam tidak
seberapa." "Tetapi kota itu ribuan li jauhnya. Mampukah kita
mencapai kesana dengan selamat?"
"Yah, jangan hiraukan soal itu, kita nanti akan
menyamar ...." "Bangun !" Sam Longpun berbangkit, pipinya bercucuran air mata.
isterinyapun pucat dan berkata dengan gemetar: "Dulu lebih
baik engkau jangan masuk perkumpulan Gedung Hitam
itu." "Ah, tak perlu menyesali hal itu, tak ada gunanya. Aku
berhutang budi kepada Ho congkoan yang telah menolong
jiwaku. Dialah yang minta kepadaku supaya masuk sebagai
pengawal dari Gedung Hitam. Sudah tentu aku tak dapat
menolak." "Ah," isterinya menghela napas.
"Pergilah kalian berdua, aku tetap akan tinggal disini."
sahut lelaki tua itu berkata dengan mantap.
Sam Long menangis: "Yah. mereka tentu takkan
melepaskan engkau." Tetapi orang tua itu tetap kukuh: "Aku sudah tua, tak
tahan menempuh bahaya sejauh perjalanan itu . ..."
Tiba2 dari ruang tengah melayang sebuah benda yang
tepat jatuh keatas meja, tring ....
"Amanat Maut!" teriak Sam Long ketika melihat benda
itu. Seketika ia menggigil seperti orang sakit demam.
Wajahnya pucat seperti mayat.
Lelaki tua dan isteri Sam Long juga kaget. Bayinya
menangis. "Ah, habis riwayat kita sekarang" Sam Long mengernyut
geraham. Sebuah suara seram terdengar dari ruang tengah.
"Kang Sam Long, keluarlah!" seru suara itu.
Sejenak memandang kepada ayah dan isterinya Sam
Long menendang pintu dan melangkah keluar. Ayah dan
isterinyapun mengikuti ke pintu.
Dihalaman muka tampak empat sosok tubuh. Yang tiga
mengenakan pakaian hitam seperti Sam Long dan yang
seorang lelaki tua berlengan tunggal. Ditingkah cahaya
bulan remang, wajah orang tua itu tampak menyeramkan
sekali. Sam Long memberi hormat di hadapan orang berlengan
satu itu. "Menghaturkan hormat kepada congkoan !"
Lelaki berlengan tunggal itu tertawa seram: "Kang Sam
Long, tak usah banyak omong, tahukah engkau akan
peraturan Gedung kita " Bagaimana tindakanmu ?"
Rupanya Sam Long sudah menentukan keputusan.
Dengan suara tenang dia berkata: "Cong-koan, hamba tahu
akan kesalahan hamba, terserah bagaimana hukuman yang
hamba terima. Tetapi hamba hendak mengajukan sebuah
permohonan !" "Apa ?" "Mohon keluarga hamba dibebaskan dari hukuman .."
"Engkoh Sam..." wanita muda menjerit dan menangis.
Bayinya juga ikut menangis keras.
Lelaki tua berlengan satu itu berpaling ke arah seorang
pengawal: "Jangan sampai membikin kaget para tetangga
sekeliling. Hentikan tangis mereka !"
Pengawal Hitam itu segera mencabut pedang dan
menghampiri. Melihat itu Sam Long berseru kepada
isterinya: "Lekas masuk jangan bersuara."
Dengan wajah sedih dan takut, wanita itu mendekap
mulut anaknya dan masuk kedalam. Pengawal Hitam itu
melanjutkan langkahnya. Kang Sam Long juga mencabut pedang dan berteriak:
"Li San Beng, jangan membunuh orang yang tak berdosa.
Semuanya aku yang bertanggung jawab !"
Lelaki berlengan tanggal mengangkat tangan, memberi
isyarat agar Li Sin Bang kembali ke tempatnya lagi.
Kemudian lelaki lengan satu itu memandang Sam Long,
serunya: "Kang Sam Long, engkau berani mencabut
pedang?" "Congkam, mohon keluargaku yang tak berdosa ini
diberi ampun. Hamba rela menerima hukuman apapun
juga!" jawab Sam Long.
"Sekarang jawablah beberapa pertanyaanku dengan terus
terang," kata lelaki lengan satu itu, "kesatu, masukmu ke
dalam Gedung Hitam adalah Hu congkoan yang
mengusulkan. Lalu tugas apa yang Ho Bun Cai berikan
kepadamu?" "Tidak memberi tugas apa2." kata Sam Long dengan
keraskan hati. "Hm. dalam sekian tahun, apa saja yang engkau telah
lakukan untuknya ?" "Hamba bertugas sebagai Pengawal Hitam dan selalu
bertindak menurut perintah atasan. Tak pernah hamba
melakukan sesuatu yang melanggar peraturan."
"Ah, baik sekali engkau hendak menghindar. Engkau
tentu kenal jelas tentang diri Ho Bun Cai . . ."
"Hamba tak tahu."
"Dan kaki tangannya itu ?"
"Cong-kam, hamba benar2 tak tahu."
"Rupanya semua pertanyaanku itu sia2 saja."
"Hamba menjawab dengan sejujurnya."
"Baik Pengawal, kemarilah!"
Ketiga Pengawal Hitam serempak menghadap.
"Seret keluar orang2 dalam rumah itu tetapi jangan
sampai menimbulkan suara gaduh !"
Setelah mengiakan ketiga Pengawal Hitam segera
melangkah kedalam rumah. Tetapi secepat itu Sam
Longpun sudah melintangkan pedang menghadang.
"Congkam, apakah hendak memaksa hamba melawan ?"
serunya dengan bengis. "Engkaukan sudah melawan !"
"Silakan . . ." seru Sam Long mengucap sepatah kata,
tiba2 lengan congkam itu berayun dalam gerak setengah-
lingkar lalu kembali lagi ke tempatnya.
Telapak tangan Sam Long terkulai dan pedangnyapun
terlepas. Dia tegak seperti patung. Jelas jalan darahnya
telah ditutuk oleh lelaki bertangan tunggal itu.
Ketiga Pengawal Hitam menyerbu ke dalam, menyeret
isteri Sam Long dan ayahnya. Memang mereka tak menjerit
dan menangis karena jalan-darahnya sudah ditutuk.
Sepasang mata Sam Long merah membara, keringat
bercucuran deras. Walaupun tak dapat berkutik tetapi
mulutnya masih dapat bicara.
"Jika keluarga sampai dibunuh, aku Kang Sam Long
sekalipun jadi setan, tetap akan jadi setan untuk membalas
dendam ini !" serunya.
Lelaki tua berlengan tunggal itu hanya menyambut
dengan tertawa iblis. Berpaling kearah Pengawal Hitam
yang membawa bayi: "Bawa ke-sampingnya!"
Pengawal Hitam itu segera membawa bayi .....
^^Jilid 20 Halaman 26/27 Hilang^^
......hendaki orang tua dan perempuan itu hidup.
Janganlah engkau ikut campur urusan ini !"
Cu Jiang tak menghiraukan, ia memberi peringatan keras
kepada kedua Pengawal Hitam itu.
"Dengarkan, serambut saja kalian berani mengganggu
kedua orang itu, kalian pasti kucincang !"
Kedua Pengawal Hitam itu gemetar.
Kemudian Cu Jiang berpaling lagi kepada Li Ho.
serunya: "Lengan anda yang putus itu bukankah terjadi
ketika di gunung Bu-leng-san dahulu?"
Wajah Li Ho berobah seketika, serunya. "Budak, apakah
engkau benar2 putera dari Cu Beng Ko ?"
"Orang she Li, sudah lama aku mencarimu !"
"Siapa namamu ?"
"Cu Jiang !" "Hm, bukankah dahulu eagkau sudah terlempar kebawah
jurang ....." "Tuhan belum menghendaki aku harus mati."
"Tidak ! Tidak ! Engkau . . . tentu si Gok-jin ji itu."
Serentak Cu Jiang mencabut kain penutup muka dan
tampaklah wajahnya yang tampan. Melihat itu Li Ho
menyurut mundur. "Engkau ,.. pelajar baju putih itu ?"
"Benar," "Umurmu sungguh panjang .. ."
"Li Ho, siapakah yang turun tangan waktu di gunung
dahulu itu ?" "Engkau kira aku tentu mau memberitahu ?"
"Mungkin." "Engkau ngimpi!"
Cu Jiang maju selangkah, matanya berapi-api, serunya:
"Li Ho, engkau hendak membayar apa yang telah engkau
lakukan selama ini?"
"Budak," teriak Li Ho. "selangkah engkau berani maju
lagi, lelaki dan wanita ini tentu kuhabisi jiwanya !"
Cu Jiang berpaling kearah kedua Pengawal Hitam,
serunya: "Kurasa mereka takkan berani melakukan."
"Coba saja kalau engkau tak percaya !"
"Ya, aku memang hendak mencoba . . ." Sambil
mengangkat pedang kutung, Cu Jiang maju selangkah lagi.
Cring, Li Ho juga mencabut pedang. Sekali-pun
lengannya tinggal satu tetapi sikapnya memang masih
berwibawa. Jelas bahwa ilmu pedangnya tentu hebat.
Keduanya saling mencurah perhatian, menunggu
kesempatan. Dalam pada itu Kang Sam Long-pun
mencabut pedang dan menghampiri ke samping kedua
Pengawal Hitam. Jika kedua Pengawal Hitam itu berani membunuh ayah
dan isterinya, diapun akan menyerang.
Sampai beberapa saat masih belum terjadi gebrakan
tetapi saat itu kepala Li Ho sudah bercucuran keringat dan
matanya mulai berkunang-kunang. Dalam mata seorang
ahli pedang, tanda2 itu sudah menunjukkan suatu
kesalahan yang fatal. "Hait . . . tring . . . ngekkk !"
Terdengar gemboran, denting benturan dan suara
menguak ngeri. Hanya dalam sekejap mata, mautpun sudah
menyambar nyawa. Lima buah tusukan celah menghias
tubuh Li Ho. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.
Cu Jiang cepat berputar tubuh dan menghadap ke arah
kedua Pengawal Hitam : "Lepaskan !"
Kedua Pengawal Hitam itu ngeri dan tanpa disadari
telah melepaskan ayah dan isteri Kang Sam Long.
Melihat itu Kang Sam Long buru2 menyarungkan
pedang lalu menarik kedua ayah dan isterinya. Cu Jiangpun
memancarkan tenaga dari jari untuk membuka jalan darah
kedua orang yang tertutuk itu.
"Kang Sam Long, lekas benahi2 barang-mu dan
tinggalkan tempat ini !" seru Cu Jiang lalu mengambil dua
butir beng cu (mutiara) dan dilemparkan: "Benda ini
rasanya cukup untuk membuat rumah baru lagi."
Kang Sam Long terlongong-longong mengawasi Cu
Jiang. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengeluarkan kata2. "Ho Bun Cai itu suhengku, engkau harus mengerti dan
lekaslah pergi !" seru Cu Jiang.
Kang Sam Long mendesah kejut, memungut mutiara
lalu menghaturkan hormat: "Budi anda akan kuukir sampai
mati!" habis berkata dia terus memimpin tangan ayah dan
istrinya masuk kedalam rumah.
Tiba2 kedua Pengawal Hitam loncat hendak melarikan
diri. Tetapi Cu jiang cepat membentak: "Berhenti !"
Kedua Pengawal Hitam itu terpental kembali ketempatnya semula dan tahu2 Cu Jiang sudah menghadang dimuka mereka.
"Menurut peraturan Gedung Hitam, anak buah yang
melarikan diri dari lawan, akan dihukum mati!"
Wajah kedua Pengawal Hitam itu pucat seperti mayat.
Mengangkat pedang kutung. Cu Jiang berseru: "Mati
dalam pertempuran merupakan kematian yang gemilang
dari seorang ksatrya. Sekarang hunuslah pedang kalian dan
siaplah membela diri!"
Kedua Pengawal Hitam itu sejenak melihat kearah
congkam mereka yang masih duduk ditanah. Dengan
gemetar keduanya menyurut mundur.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lekas cabut pedang. Aku hanya menyerang dalam satu
jurus, Jika kalian mampu membela diri tentu akan
kulepaskan pergi !" Kedua Pengawal Hitam Itu saling bertukar pandang lalu
mencabut pedang. "Awas, terimalah seranganku !" Cu Jiang berseru,
pedang berkelebat dan terdengarlah jerit auman ngeri
memecah kesunyian malam. Kedua Pengawal Hitam
terkapar dalam kubangan darah.
Setelah menyelesaikan kedua Pengawal Hitam, Cu Jiang
menghampiri ketempat Li Ho:
"Orang she Li, membunuh, memperkosa, engkau tentu
turut ambil bagian, bukan ?"
Li Ho membisu. Cu Jiang menengadahkan kepala. Sekilas terbayang akan
pemandangan delapan belas bulan yang lalu. Darah,
kepingan daging dan tubuh yang telanjang.
"Li Ho, engkau mau menjawab atau tidak, sama juga.
Aku akan mencincang tubuhmu !"
Wajah Li Ho berkerenyutan menyeramkan sekali.
Dengan lengannya yang tinggal satu itu dia berusaha untuk
berbangkit. Cu Jiang pelahan-lahan mencabut pedang dan
sekali ayun, Li Ho menjerit ngeri lalu jatuh terduduk lagi.
Pedang kutung berulang kali bergerak kian kemari,
seiring dengan jeritan ngeri yang berturut-turut, Li Ho telah
berobah menjadi manusia darah yang terkapar dan
meregang-regang. Dia harus menderita siksaan yang hebat
sebelum jiwanya melayang...
Cu Jiang menghela napas. Setelah memasukkan pedang,
ia lantas membuang mayat Li Ho ke-dalam sumur dan
ditutup. Saat itu sudah lewat tengah malam. Dia terus lari
menuju kejalan besar dan melanjutkan perjalanan ke kota
Kang ciu. Tiba ditempat Ang Nio Cu terluka, haripun sudah
menjelang fajar. Saat itu tentulah Ang Nio Cu masih tidur.
Dia sungkan untuk membangunkan dan terpaksa mondar-
mandir di luar biara. Tetapi beberapa waktu kemudian, dia tak sabar lagi terus
masuk kedalam biara. Sengaja dia batuk2 dan memberati
langkah kakinya. Tiba2 dia merasakan sesuatu yang tak wajar. Batuk dan
langkah kaki berat, tentu akan mengejutkan mereka tetapi
mengapa tetap sunyi senyap saja.
Ya, benar, paling tidak Ang Nio Cu tentu menyuruh
salah seorang muridnya untuk berjaga diluar tetapi
mengapa tak seorangpun yang tampak"
Tiba2 dipintu ruang tempat Ang Nio Cu dirawat, tampak
pintu terbuka dan keadaannya sunyi saja.
"Taci..." Cu Jiang berteriak keras. Tak ada penyahutan.
Ia memperhitungkan tentulah Ang Nio Cu sudah sembuh
dari lukanya, masakan sampai tak tahu kalau ada orang
masuk kedalam biara itu. Dengan cemas Cu Jiang terus melesat masuk kedalam
ruang. Ah, tempat tidur tua kosong melompong, tak ada
orangnya sama sekali. Apakah Ang Nio Cu sudah pindah
ke lain tempat" Toh, tak mungkin. Bukankah dia sudah
berjanji akan bertemu ditempat itu "
Cu Jiang memandang ke sekeliling ruang untuk mencari
sesuatu jejak. Tiba2 pandang matanya terbeliak dan hatinya
berdebar keras. Di lantai terdapat bekas darah dan bekas2
pertempuran. Celaka! Ang Nio Cu tentu telah menderita
bencana. Tiba2 ia mendengar helaan napas orang dari sudut
ruang. Ah. Cu Jiang menjerit kaget dan cepat melesat
ketempat itu. Sesosok tubuh manusia yang berlumuran
darah rebah di lantai. Dia adalah seorang anak buah Ang
Nio Cu. Napasnya sudah lemah sekali.
Cu Jiang berjongkok dan berteriak:
"Apakah yang telah terjadi " Kemana mereka?"
Tetapi nona itu tak menjawab lagi. Cu Jiang kucurkan
keringat dingin. Memeriksa denyut nadi tangan nona itu, ia
mengeluh dalam hati. Urat-nadi jantungnya sudah tak
normal jalannya. Rasanya sukar ditolong lagi.
Cu Jiang bingung. Satu-satunya jalan untuk mendapat
keterangan harus bertanya kepada nona itu. Segera ia
mencekal tangan nona itu dan menyalurkan tenaga-murni.
Beberapa saat kemudian tampak mata nona itu bergerak-
gerak dan mulutnya menghembus napas.
"Engkau masih mengenal aku " Di mana dia?" seru Cu
Jiang. Mulut nona itu bergerak-gerak tetapi tak dapat
mengeluarkan kata2. Cu Jiang menghapus keringat di
jidanya lalu menyaluri tenaga-murni lagi.
Akhirnya wanita itu dapat mengeluarkan suara lemak
seperti ngiang nyamuk : "Nona Thong-thian Keng-cia . . .
cabang, . . markas. .."
"Nona" Siapa dia ?" Cu Jiang gopoh menegas. Tetapi
wanita itu menghembuskan napas yang terakhir, kepala
terkulai dan melayanglah jiwanya.
Cu Jiang terpaksa lepaskan cekalannya. Sesaat ia tak
tahu apa yang harus dilakukan. Siapa yang dimaksudkan
nona itu " Kawanan pengiring itu selalu menyebut Ang Nio
Cu sebagai majikan. Lalu pengiring yang dua orang, Soa Tan Hong dan Gu
Kiau, kemanakah mereka "
Thong-thian Kang-ciu, Jelas berarti partai Thong thian-
kau di Kangciu. Tetapi dimanakah letak cabang markasnya"
Ia menggali lubang untuk mengubur mayat wanita itu.
Sampai terang tanah Cu Jiang masih termenung-menung
dalam biara untuk merenung siasat.
Kembali ia terkejut ketika daun pintu yang berlumuran
darah, Juga diluar biara. Ia segera menuruti bekas2 ceceran
darah itu yang menuju ketepi hutan. Mengeliarkan
pandang, seketika lunglailah semangatnya. Hampir saja dia
rubuh. Dua sosok mayat rebah berselang. Jelas kedua mayat itu
adalah Song Tan Hong dan Gi Kiau. Karena ketiga
pengiringnya sudah dibunuh, jelas Ang Nio Cu tentu
menderita bencana. Setelah beberapa saat termenung seperti patung karena
menyaksikan kebiadaban orang persilatan yang gemar
melakukan pembunuhan, akhirnya Cu Jiang mengubur
kedua mayat itu. Matahari bersinar gemilang tetapi dalam pandangan Cu
Jiang, tak lain hanya darah merah.
Tiba2 terdengar langkah kaki orang. Cu Jiang cepat
berpaling ke belakang. Tiga tombak jauhnya, tampak tegak
seorang baju merah yang mukanya bertutup kain.
"Taci, engkau... tak kena apa2 ?" serentak Cu Jiang
berteriak kegirangan. Memang yang muncul itu adalah Ang Nio Cu. Tetapi
dia tak menjawab melainkan melangkah maju beberapa
langkah. Ketika mata saling beradu. Cu Jiang tergetar
hatinya. Sinar mata Ang Nio Cu sedemikian rupa seperti
yang belum pernah dilihatnya selama ini.
"Taci, apakah yang telah terjadi?" seru Cu Jiang.
"Adik, engkau telah datang," kata Ang Nio Cu dengan
nada rawan, "tetapi... terlambat . . ."
"Apa" Terlambat?" Cu Jiang makin kaget. "Dendam
telah terjadi, tak dapat dihapus kembali!"
Cu Jiang melesat maju dan berseru gemetar: "Taci,
sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"
"Engkau sudah melihat mayat2 itu?"
"Ya, sudah kukubur. Siapa yang membunuhnya."
"Kedua iblis Hong-gwat-mo dan Thian-kau-mo beserta
belasan anak buahnya."
Marah Cu Jiang meluap-luap. Iblis Hong-gwat mo
pernah ia kalahkan ketika berjumpa dibiara Lian hoa yan di
luar kota Li-jwan dulu. Tetapi Thian-kau-mo dia belum
pernah bertemu. "Apakah Thian-kau-mo itu termasuk iblis yang ke empat
belas?" tanyanya. "Benar, dia menjabat sebagai ketua cabang kota Keng
ciu, dibantu oleh Hang-gwat-mo .. .. "
"Bagaimana peristiwa itu telah terjadi?"
"Demi kepentingan isterimu Ho Kiong Hwa!" Hati Cu
Jiang tergetar keras: "Karena dia?"
"Hm." "Bagaimana urusannya?"
"Ketika dia menuju ke biara tua, dia telah dibuntuti
musuh . . ." "Perlu apa musuh hendak mengikutinya?"
"Karena kecantikannya!"
"Dimana dia sekarang?"
"Pergi jauh!" "Dimana letak cabang Keng ciu itu?"
"Dari sini delapan li menuju ke timur akan terdapat
sebuah gedung. " Cu Jiang diam sejenak lalu mengertek gigi:
"Aku hendak membuat perhitungan ..."
"Tunggu !" Ang Nio Cu mencegah.
"Taci hendak memberi pesan apa lagi?"
"Bagaimana dengan perjalananmu kemari?"
"Dapat membasmi iblis tua!"
"Siapa?" "Sam-bok thian cun, guru dari ketua Gedung Hitam."
"Ah." "Aku akan pergi dan nanti kita bicara lagi!"
"Aku masih hendak bicara."
"Silakan." Ang Nio Cu berdiam sejenak, katanya: "Pedang yang
engkau serahkan untuk tanda pengikat pernikahan itu Ho
Kiong Hwa telah menyerahkan kembali kepadaku.. .."
"Kenapa?" "Dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepadamu.
Tetapi kupikir, akan kuminta kepadamu supaya benda itu
kusimpan sebagai kenang-kenangan. Tentang gelang
kumala yang dia berikan kepadamu, dia minta supaya
engkau simpan sebagai kenangan selama-lamanya .. ."
"Apakah artinya ini?" Cu Jiang terkejut. Dia merasa ada
sesuatu yang terjadi. "Tali pernikahan itu diputuskan !"
-oo0dw0oo- Jilid 21 Gemetar tubuh Cu Jiang sehingga dia sempoyongan
mundur sampai tiga langkah, serunya:
"Tali pernikahan bukan seperti mainan kanak-kanak.
Dan taci sendiri yang telah menjodohkan, mengapa . . ."
"Karena dia sudah tak bermuka lagi bertemu dengan
engkau!" "Aku benar2 tak mengerti."
Dengan nada rawan. Ang Nio Cu berkata. "Sekarang dia
merasa seperti bunga layu yang telah gugur tercampak
dilumpur!" Cu Jiang terlongong-longong sampai beberapa saat.
Lama sekali baru dia dapat berkata:
"Ini . . . ini . . . . bagaimana terjadi ?"
"Dia telah dinodai Hong gwat-mo dengan cara
kekerasan. . ." Saat itu Cu Jiang rasakan dirinya seperti disambar petir.
Dia tegak mematung, hatinya hancur berkeping-keping.
Beberapa waktu kemudian tiba2 dia tertawa nyaring.
Nadanya penuh menghambur kedukaan dan dendam
kesumat. "Adik ku. ini memang sudah takdir," setelah Cu Jiang
berhenti tertawa, barulah Ang Nio Cu menghiburnya.
Pukulan batin yang diderita Cu Jiang saat itu tak kalah
dengan ketika melihat kedua orang tuanya mati terbunuh
dahulu. Dia rasakan bumi serasa berputar cepat, tubuh
terhuyung-huyung hingga mau jatuh. Mulutnya tak henti-
hentinya mengigau: "Takdir! Nasib! Apakah ini yang disebut nasib?" tiba2 dia
terus lari. "Adik Wan, tunggu dulu" teriak Ang Nio Cu, tetapi Cu
Jiang sudah tak menghiraukan lagi. Dia lari seperti orang
kalap. Dalam sekejap saja dia sudah mencapai delapan li.
Sebuah gedung besar tampak menyembul ditengah
gerumbul pohon. Sekeliling penjuru merupakan sawah ladang yang tak
terurus dan beberapa rumah petani. Dia tak sangsi lagi
bahwa gedung besar itu tentu markas cabang Keng-ciu.
Dia segera melangkah dengan kaki sarat menuju ke
gedung itu. Tiba di tepi hutan, terdengar bentakan orang
yang menyuruhnya berhenti. Dua orang bu-su (orang
persilatan) berpakaian ringkas warna biru, menghadang
jalan. Cu Jiang dengan mata menyala-nyala memandang kedua
orang itu. "Cari mati. berhenti!" teriak kedua busu itu.
Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan dan tetap melangkah
maju. Kedua penjaga itupun segera mencabut pedang dan
menyongsong. Tiba2 Cu Jiang dorongkan kedua tangannya. Seketika segulung angin dahsyat berhamburan
melanda ke muka. Huak, huak, sebelum sempat bergerak kedua penjaga itu
sudah muntah darah dan terlempar sampai beberapa meter
jauhnya. Cu Jiang tak menghiraukan mereka, terus
lanjutkan langkah. Rupanya dia sudah hangus terbakar oleh bara dendam
yang menyala-nyala. Bagi seorang lelaki, tunangan atau isteri dinodai orang,
merupakan hinaan yang tak dapat ditahan lagi.
Tujuh delapan sosok tubuh manusia berhamburan lari
menghampiri. Salah seorang berteriak:
"Siapa kau yang berani mati masuk kedalam markas" "


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Jiang tak mau menjawab Dengan menirukan gaya
Toan-kiam jan-jin, dia berjalan dengan kaki terpincang-
pincang. Kedelapan orang itu segera menyerbu. Tetapi kepandaian mereka kalah dengan kawanan Pengawal
Hitam dari Gedung Hitam. Terdengar jerit menguak beberapa kali dan dari delapan
orang itu, yang lima sudah rubuh mandi darah.
Sambil mencekal pedang kutung yang masih berlumuran
darah, Cu Jiang terus melangkah maju.
"Toan- kiam-jan jin!" sisa ketiga orang yang masih hidup
itu serempak menjerit keras dan terus lari masuk kedalam.
Setelah melintas jalan dari papan batu tampaklah sebuah
gedung bertingkat yang dipagari dengan pagar tembok.
Sepasang pintu besar berbentuk huruf pai, tampak
terpentang lebar. Tetapi di dalamnya tak tampak barang
seorangpun juga. Tentulah kedelapan orang tadi bertugas
menjaga pintu besar itu. Terdengar gemuruh derap kaki berlari mendatangi dan
pada lain saat muncul belasan busu. Yang di muka sendiri
seorang lelaki tua brewok, tangannya mencekal sebatang
golok kui thau-to (golok kepala setan) bergigi tebal. Alisnya
lebat, mata bundar dan wajahnya menyeramkan sekali.
Orang itu menerobos ke luar pintu sedang di
belakangnya berjajar belasan anak buahnya.
Cu Jiang hentikan langkah, memandang lelaki tua itu
dengan menyala-nyala. Lelaki tua itupun balas menatap Cu
Jiang lalu menyeringai: "Toan-kiam-jan-jin, perkumpulan kami memang justeru
hendak mencari engkau..."
"Tak perlu dicari, " sahut Cu Jiang dengan nada dingin,
"aku tentu akan datang sendiri."
"Perlu apa engkau datang kemari?"
"Membikin perhitungan!"
"Perhitungan apa?"
"Darah !" "Aku ...." "Siapa nama anda?"
"Song Piu, menjabat sebagai penilik."
"Menyingkirlah! "
"Engkau kira engkau boleh bertindak semaumu sendiri?"
"Aku tak punya waktu meladeni engkau!" Cu Jiang
menutup kata-katanya dengan taburkan pedang kutung.
Lelaki tua itupun mengangkat golok kui-thau-tonya tetapi
belum sempat ia memainkannya, mulutnya sudah menguak
darah dan tubuh terkulai rubuh, goloknya terlempar sampai
beberapa meter memancarkan letikan bunga api.
Kawanan anak buah itu serasa melayang semangatnya,
mereka cepat menyiak ke samping, Cu Jiang melangkah
masuk. Di halaman yang merupakan sebuah lapangan,
tampak kosong melompong. Sepanjang tepi lapangan
berjajar-jajar perumahan.
Tampak orang2 sibuk lari kian kemari. Ada yang meniup
terompet pertandaan bahaya. Tetapi Cu Jiang mengangkat
kepala ayunkan langkah menuju ke bangunan gedung di
tengah. Sepanjang jalan tiada yang menghalangi. Tiba di muka
gedung besar, berpuluh-puluh busu dari kedua samping
gedung berhamburan muncul sembari lepaskan senjata
rahasia. Untuk menghadapi hujan taburan senjata rahasia itu, Cu
Jiang gunakan tata langkah Gong gong poh-hwat.
Dan kelompok busu itu bergabung untuk menghadang
tetapi Cu Jiang masih mampu menyelinap kian kemari.
Yang terdengar hanya jerit pekik ngeri, darah muncrat dan
pedang2 yang berhamburan melayang.
Setelah itu tubuh2 kawanan busu yang malang melintang
menggeletak tumpang tindih. Berpuluh busu itu tak
seorangpun yang masih hidup.
Tampak pula gelombang kedua dari puluhan busu yang
berlari larian datang tetapi mereka berhenti pada jarak lima
tombak. Suasana dalam gedung markas itu tampak tegang
sekali. Menunggu sampai beberapa waktu tetap tak melihat
kedua iblis itu muncul, diam2 Cu Jiang menimang. Markas
itu luas sekali, kalau kedua Iblis itu sengaja bersembunyi,
tentu akan memakan waktu untuk mencari mereka.
Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan siasat,
mendesak mereka supaya munculkan diri.
Dia mundur ke tempat serambi. Setelah menyarungkan
pedang, dia lalu kerahkan tenaga dan menghantam
sebatang tiang besar, bum . . . tiang berkisar tempat dan
rubuhlah wuwungan rumah menimbulkan suara yang
gemuruh sekali. "Tua bangka Hong-gwat, Jika engkau tetap tak berani
keluar, sarangmu ini akan kuhancurkan dan kubasmi semua
anak buahmu!" teriaknya nyaring.
Tetapi tetap tiada penyahutan sama sekali. Karena tak
sabar, Cu Jiang kembali menghantam sebuah tiang di
sebelah kiri, bum .... para2 rumah bagian tengah
berhamburan roboh. "Hayo, Thian-kau, Hong-gwat, apakah kalian benar2 tak
berani unjuk muka" " teriak Cu Jiang lagi. Namun tetap
tiada jawaban suatu apa. Karena marah, Cu Jiang terus lari menghampiri
kawanan busu yang berjajar-jajar di tempat jauh itu.
Kembali terdengar jeritan ngeri. Cu Jiang benar2 seperti
harimau lapar yang menerkami kawanan kambing.
Kawanan busu itu memang berkepandaian tinggi tetapi
berhadapan dengan Cu Jiang mereka tak ubah sebagai
kawanan ayam yang menjadi bulan2an serangan burung
elang. "Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang
menggeledek. Cu Jiang berhenti. Mayat2 berserakan
memenuhi tempat itu. Yang masih hidup hanya beberapa
orang saja. Dua lelaki bertubuh tinggi besar muncul. Ke duanya tak
lain adalah Hong-gwat mo dan Thian kau mo. Keduanya
diiring oleh tujuh orang anak buah yang mempunyai
kedudukan tinggi. "Iblis tua, sudah berapa banyak gadis2 suci yang telah
engkau celakai?" teriak Cu Jiang.
"Budak kecil, kalau engkau tanyakan hal itu, aku sudah
tak ingat lagi !" "Kalau peristiwa kemarin itu, apa engkau tidak ingat
lagi." "Bagaimana ?" "Engkau harus membayar sampai seratus kali lipat."
"Bagai mana cara membayarnya ?"
"Aku akan mencuci markas ini dengan darah!"
Mendengar itu menggigil hati sekalian orang yang berada
di tempat itu. "Toan-kiam-jan-jin, mulutmu memang besar sekali.
Engkaulah yang harus membayar semua perbuatanmu
disini." tiba2 Thian-kau-mo membentak keras2.
"Serbu!" Hong-gwat-mopun segera memberi perintah.
Kedua iblis Itu terus berkisar memecah diri dan menyerang
dari kanan kiri. Ketujuh jago yang di belakang merekapun
segera berpencar mengepung.
Terdengar letupan dari pukulan yang beradu. Tubuh Cu
Jiang terhuyung tetapi kedua iblis itupun menyurut mundur
selangkah. Pada saat itu barisan ketujuh jago serempak
menyerang dengan senjata pedang.
Cu Jiang mencekal pedang kutung lalu memutarnya,
tring, tring, tring.... seorang Jago tua rubuh dan enam orang
mundur. Kedua iblis segera melemparkan pukulan dahsyat
untuk menutup lubang yang bobol itu.
Menilik cara mereka bertempur, jelas kalau sudah diatur
lebih dulu. Pedang hanya dapat digunakan untuk jarak dekat. Kalau
mengandalkan hawa-sakti yang dipancarkan pada gerakan
pedang, sukar untuk melukai kedua iblis itu.
Menghadap pukulan yang mampu menghancurkan
karang dan kedua iblis itu, memang tak menguntungkan Cu
Jiang. Hawa pedang terdampar dan Cu Jiang sendiripun
terpaksa harus sempoyongan. Dalam kesempatan itu,
keenam jago segera menerjang dengan pedangnya.
Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat.
sambil pancarkan tenaga-penuh pada gerak pedang kutung,
ia berlincahan menghindar dan menabas.
Hiiak, huat ,.. kembali tiga orang lawan terkapar ditanah.
Tetapi pukulan sedahsyat bumi terbelah segera melandanya.
Cu Jiang mundur sampai tiga empat langkah, Darahnya
bergolak-golak keras. Setelah empat dari tujuh jago2 anak buah kedua iblis itu
terbasmi, kini hanya tinggal tiga orang. Dan ketiga jago itu
memang tak mampu menyelonong melakukan serangan
lagi. Sejenak mengurusi pernapasan, kini Cu Jiang pun maju
menyerang Thian kau-mo. Serangan kali ini dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dan harus dapat merobohkan
lawan. Iblis Thian-kau-mo memekik ngeri, tubuhnya terhuyung-
huyung lalu rubuh. Melihat gelagat tak baik, iblis Hong
gwat-mo berputar tubuh terus melarikan diri. Tetapi Cu
Jiang lebih cepat untuk menghadang.
"Anjing tua, akan hendak mencincang tubuhmu menjadi
bakso !" Hong-gwat mo membentak dan menghantam dengan
kedua tangannya terus melenting ke samping. Pukulan iblis
itu memang istimewa. Anginnya tidak berhembus lurus
melainkan berputar-putar seperti angin lesus. Ia terkejut dan
tak sempat lagi untuk menghindar.
Dalam keadaan yang genting, ia masih dapat
melontarkan pedang kutung kearah Hong-gwat-mo yang
saat itu sudah loncat keatas wuwungan rumah.
"Uh..." iblis itu menjerit dan meluncur jatuh. Cu Jiang
yang berhasil membebaskan diri dari libatan angin lesus
terus menyusuli dengan sebuah hantaman dahsyat, bummm
. . Tubuh Hong gwat-mo yang hampir tiba di tanah, mental
lagi sampai dua tombak jauhnya. Rusuk kirinya berhias
pedang kutung yang menyusup sampai ke tangkainya. Iblis
itu masih meregang-regang nyawa.
"Anjing tua." Cu Jiang loncat menghampiri "ketahuilah,
nona yang engkau cemarkan kesuciannya semalam itu
adalah calon istriku."
Sepasang mata iblis itu membeliak dan mulutnya hanya
menganga tak dapat bicara lagi.
Setelah mencabut pedangnya. Cu Jiang berkata pula:
"Anjing tua, engkau harus membayar hutangmu !"
Cu Jiang benar2 sudah kehilangan diri. dia marah sekali
atas peristiwa yang telan diderita Ho Kiong Hwa. Maka
dilampiaskan dendam kemarahannya itu dengan mencincang tubuh Iblis itu.
Setelah itu ia menyulut api dan membakar markas
gerombolan iblis2 terkutuk itu. Kemudian ia kembali ke
biara tua untuk menemui Ang Nio Cu.
Sesosok tubuh langsing tengah tegak memandang
mentari pagi yang baru timbul di ufuk timur. Rupanya
semangat dan perhatian orang itu seperti tercurah
sepenuhnya sehingga ia tak tahu kalau Cu Jiang sudah
berada di belakangnya. Cu Jiang menduga tentulah Ang Nio Cu itu sangat
berduka sekali atas peristiwa yang menimpa diri Ho Kiong
Hwa. "Taci, aku sudah kembali," akhirnya ia berseru.
"Ih ..." Ang Nio Cu menghela napas dan pelahan-lahan
berputar tubuh. Cu Jiang tak berani beradu pandang dengan Ang Nio
Cu. Ia merasa sinar mata nona itu benar2 menghancurkan
hati. "Adik." akhirnya beberapa saat kemudian Ang Nio Cu
berkata dengan suara rawan. "semula dunia ini terasa indah
sekali, siapa tahu ternyata hanya impian di musim semi."
"Taci." "Sejak dahulu kala, wanita cantik tentu bernasib jelek.
Kiong Hwa memang kasihan sekali."
"Nasib telah menggariskan jalan hidup yang kejam
terhadap dirinya." "Adik. bagaimana hasilmu ke markas iblis itu ?"
"Kedua iblis itu sudah kucincang dan markasnya
kubakar!" "Terima kasih engkau telah membalaskan sakit hati
Kiong Hwa." "Ah, mengapa taci mengatakan begitu. Sudah tentu hal
itu merupakan kewajibanku!"
"Adik .. . apakah engkau dapat mengijinkan dia
bersemayam dalam hatimu untuk selama lamanya ?"
Sepasang mata Cu Jiang memancar terang dan dengan
nada bersungguh dia berkata. "Taci, aku hendak bertanya
beberapa hal kepadamu."
"Apa ?" "Apakah hubungan taci dengan Ho Kiong Hwa?"
Ang Nio Cu tercengang. "Sudah tentu amat erat sekali, hampir seperti diriku
sendiri." "Ah, dalam hubungan apakah itu?"
"Adik, hal itu kelak akan kuterangkan lagi kepadamu."
Cu Jiang tak berani mendesak lebih lanjut.
"Taci. tolong kasih tahu dimana beradanya Ho Kiong
Hwa saat ini .... "

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buat apa?" "Aku harus mencarinya."
"Engkau.... masih mau mencarinya?"
"Kenapa taci heran" Bukankah dia itu isteriku" Tali
hubungan itu tentu tak dapat diputuskan selama-lamanya."
"Adik, dia sudah bukan isterimu lagi. Tali pernikahan itu
sudah putus." "Tidak! Aku tidak setuju! Aku tetap akan menjadi suami
isteri untuk selama-lamanya dengan dia. Tak ada alasan
mengapa aku harus membuangnya. Apakah itu kesalahannya" Tidak, dia tak bersalah, dia mendapat
kecelakaan . . ." "Adik," kata Ang Nio Cu dengan gemetar. "dia bukan
lagi sesuci dia yang dulu, dia laksana permata yang sudah
pecah . . ." "Apakah dia merasa rendah diri begitu" Tidak! Yang
ternoda hanya tubuhnya tetapi jiwanya masih tetap suci
bersih. Kuanggap dia tak beda dengan dulu. Yang berbeda
hanya dia mempunyai penderitaan hatin tetapi kini
musuhnya sudah terbunuh. Tak perlu dipikirkan lagi. Yang
lampau biarlah lalu ..."
"Adik, kata-katamu itu ... tentu akan menghiburnya
sampai mati." "Taci, dimanakah tempatnya?"
"Tak perlu engkau mencarinya. Dia sudah menentukan
keputusan. Jika engkau mencarinya, hanya akan menambah derita hatinya saja."
"Taci, kumohon engkau ..."
"Tetapi akupun tak tahu ke mana perginya. Dia hanya
mengatakan bahwa sejak saat ini dunia sudah tak ada lagi
manusia yang bernama Ho Kiong Hwa . . ."
"Ah, tentulah taci tak mau memberitahu kepadaku!"
"Adik yang baik, sudahlah, lupakan saja dia!"
"Tidak! Tak mungkin aku melupakannya!" teriak Cu
Jiang dengan kalap, "aku tak dapat melupakannya, tidak
dapat melupakannya!"
Nadanya amat tegas bagaikan paku menancap di kayu.
Betapapun dingin atau keras hati seseorang tentu akan
trenyuh juga mendengar ucapan itu.
Ang Nio Cu menghela napas: "Adik, mari kita ke
gunung Keng-san." Cu Jiang mengangguk: "Baik, apabila urusanku sudah
selesai, ke ujung duniapun aku tetap akan mencarinya!"
"Ah, cintamu itu hanya tinggal kenangan belaka."
"Tidak, cinta itu tetap akan kulanjutkan sampai kapan
pun juga." "Adik, kita berpencar saja dan ketemu lagi di mulut
gunung Keng-san." "Apakah tidak baik bersama-sama saja?"
"Kurang leluasa. "
"Setelah memasuki gunung, kita akan menyerang secara
terang-terangan atau..."
"Secara terang-terangan saja tak perlu pakai tedeng
aling2." "Baik." "Silakan berangkat dulu, aku hendak tinggal disini
beberapa jenak lagi. Tiga tetua angkatan terdahulu,
bertahun-tahun mengikuti aku. Sekarang mereka telah
tiada, sudah selayaknya kalau aku tinggal beberapa waktu
lagi untuk mengenang mereka ... ."
Cu Jiang terharu. Perpisahan memang merupakan
peristiwa yang mengharukan hati. Baik pisah hidup
maupun karena meninggal. "Taci, dari sini aku akan melalui Tang yang, Wan-an lalu
menuju ke Keng-san. Kita bertemu didesa gunung itu."
Ang Nio Cu mengiakan dan Cu Jiangpun segera minta
diri. Dia pergi dengan membawa hati yang hancur sehingga
lupa makan dan lupa segala. Hari itu dia hanya mampu
mencapai jarak sepuluhan li. Disebelah muka tampak
sebuah bukit tanah merah.
Ketika ia melintasi jalan yang membelah tengah2 bukit
itu, tiba2 dari jauh terdengar suara harpa. Dia terkejut dan
sadar dari lamunannya. Ia memasang telinga dan
memperhatikan bahwa suara harpa itu berasal dari arah
kanan tak jauh dari bukit itu.
Harpa itu aneh sekali suaranya. Nadanya seperti orang
yang baru belajar, menusuk telinga menyebabkan hati
kacau dan perasaan tak keruan.
Memandang ke muka, tak berapa jauh ia melihat
gulungan asap mengepul dari arah bukit itu. Sejenak
berhenti, Cu Jiang melanjutkan langkah lagi. Tiba2 suara
harpa itu berobah, nadanya penuh dengan hawa
pembunuhan sehingga perasaan Cu Jiang tak enak dan
darah dalam tubuhnyapun ikut bergolak. Dia terkejut dan
hentikan langkah. Suara harpa itu memang menimbulkan
kecurigaan. Sesaat kemudian timbulkan keinginannya untuk mengetahui. Setelah menenangkan semangat dan perasaan,
dia segera menuju ke arah kepulan asap. Tiba2 harpa
berhenti. Melintasi sebuah gundukan tinggi, pemandangan di
sebelah muka membuatnya terkejut. Tampak api unggun
yang berasal dari tiga batu yang dijajar, di atas batu itu
digantung sebuah kuali besar yang airnya mendidih. Asap
dan uap air mendidih itu bergulung-gulung campur jadi
satu. Disamping api unggun itu duduk seorang nenek tua baju
kuning. Wajahnya seperti burung dara, rambutnya yang
putih sudah banyak yang rontok. Dia tengah mendekap
sebuah harpa. Matanya memejam, diam tak berkutik.
Dengan rasa heran Cu Jiang menghampiri. Ia melihat
jelas tubuh nenek itu menyerupai pohon jeruk yang layu,
sepasang tangannya seperti cakar burung, kuku panjang dan
runcing, kulitnya mengeriput. Sukar menentukan usianya.
Entah apa yang sedang dilakukan nenek itu tetapi
didengar dari petikan harpa tadi tentulah nenek itu seorang
persilatan. Karena sampai beberapa jenak nenek itu tetap tak
bergerak, Cu Jiangpun tak sabar, tegurnya:
"Pohpoh, apakah yang sedang engkau lakukan?"
Kelopak mata nenek agak terbuka dan dari celah selaput
matanya memancar sinar yang membuat Cu Jiang terkejut
sekali. Sinar mata nenek itu jelas menunjukkan seorang
yang memiliki tenaga dalam yang tinggi.
"Siapa engkau?" seru nenek itu.
"Orang2 menyebut diriku sebagai Toan-kiam-jan-jin."
"O, Toan-kiam . . . jan-jin!"
"Pohpoh, menggodok kuali besar . . ."
"Menggodok orang!"
Cu Jiang melonjak kaget: "Apa" Menggodok orang?"
Nenek itu membuka kelopak mata dan menyahut dingin:
"Benar, menggodok orang!"
"Buat apa?" "Dimakan." Cu Jiang mendelik, serunya: "Ah, mengapa nenek
bergurau?" Nenek itupun deliki mata dan napasnya memburu keras,
serunya: "Sudah hidup seabad, perlu apa aku bergurau
dengan seorang bocah yang belum tulang bau susu ibunya
seperti engkau!" Cu Jiang menyurut mundur selangkah. Memandang
kuali besar dan berseru penuh keheranan: "Pohpoh
memasak orang untuk dimakan?"
"Ya." "Siapa yang pohpoh masak itu?"
"Dia datang sendiri."
Hampir Cu Jiang tak percaya pendengarannya. Belum
pernah ia mendengar orang yang memasak makanan dari
tubuh orang. Jika nenek itu seorang gila, ah, tentu
berbahaya sekali bagi keselamatan dunia persilatan. Tetapi
mengapa dia belum pernah mendengar dalam dunia
persilatan terdapat tokoh yang suka makan orang?"
"Siapa nama pohpoh yang mulia?" tanyanya.
"Pertandaanku yalah harpa."
Cu Jiang tertegun lagi. Dia belum pernah mendengar
tokoh persilatan yang memakai ciri pertandaan harpa.
"Maafkan pengetahuanku yang sempit sehingga tak
mengetahui diri pohpoh."
"Ya, sudahlah."
"Mengapa tak tampak orang yang datang mengantar
diri?" "Sudah datang."
"Di mana?" "Engkau!" Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya sehingga dia
menyurut selangkah lalu berteriak:
"Aku ?" Tiba2 nenek itu berdiri dan memandang Cu Jiang
dengan mata menyala: "Benar !"
"Pohpoh sudah memperhitungkan bahwa aku tentu
datang kemari ataukah karena melihat aku datang lalu
hendak menggodok diriku?"
"Aku memang sengaja menungguimu."
Cu Jiang menggigil, serunya: "Pohpoh memang sengaja
menunggu kedatanganku?"
"Ya, benar!" "Tetapi kitakan belum pernah kenal?"
"Siapa bilang" Engkau telah berhutang banyak sekali
peristiwa berdarah, harus membayar."
"Ini ... . bagaimana jelasnya?"
"Engkau akan masuk ke dalam kuali itu sendiri atau
perlu aku harus turun tangan?"
"Apakah omongan pohpoh ini sungguh2?"
"Mengapa tidak?"
Serentak bergeloralah darah Cu Jiang. Hawa pembunuhan merangsang dadanya.
"Harap memberitahu siapa pohpoh ini?" teriaknya.
"Sudah kukatakan, pertandaan diriku ialah harpa, kalau
engkau tak tahu. Jangan banyak omong lagi!"
"Aku berhutang darah apa kepada pohpoh?"
"Bagaimana nasib dari kawanan Sip-pat-thian-mo itu?"
Seketika sadarlah Cu Jiang. Ia tertawa nyaring: "Oh,
kiranya engkau salah seorang komplotan kawanan iblis itu.
Bagus, aku gembira dapat membasmi seorang kutu penyakit
. . . . " Nenek itu mendengus: "Asal sudah tahu saja, agar kalau
mati jangan engkau menjadi setan penasaran !"
Tiba2 Cu Jiang teringat akan kata2 suhunya bahwa
dibelakang kawanan Sip pat-thian-mo itu, masih terdapat
beberapa iblis tua. mungkin sudah mati. Tetapi kalau
mereka masih hidup, tentu sukar dihadapi.
Ia duga, nenek ini tentulah salah seorang dari iblis tua
yang berdiri dibelakang Sip pat-thian-mo.
Teringat akan hal itu. Cu Jiang berseru dingin : "Sebagai
tokoh dibelakang Sip-pat-thian-mo, sudah lama aku
mengagumi pohpoh !" Menuding pada kuali yang mendidih, nenek itu berseru
seram: "Bocah, engkau turun sendiri, tentu lebih nyaman.
Kalau suruh aku turun tangan, engkau tentu mati secara
pelahan !" Cu Jiang mengertek gigi, serunya: "Mungkin akulah
yang hendak meminta engkau terjun kedalam kuali itu !"
"Mana orang2 ini !" teriak nenek itu dan serentak dua
sosok bayangan muncul dari balik gunduk bukit disebelah.
Cepat sekali mereka sudah melesat tiba.
Dua orang lelaki bertubuh kekar dengan wajah
menyeramkan. Yang satu memanggul tiga batang kayu,
yang satu membawa tali. Tanpa bicara apa2 mereka terus mengikat ketiga batang
kayu itu dalam bentuk segi tiga, lalu dipasang diatas kuali
dan diberi gantungan tali. Setelah itu keduanyapun
mundur. Menunjuk pada tiang segi-tiga, si nenek berseru pula:
"Bocah, engkau hendak kugantung diatas tiang itu lalu
pelahan-lahan kuturunkan kedalam kuali. Nah. engkau
dapat merasakan sendiri betapa rasanya kalau digodok
dengan pelahan-lahan itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Asal engkau mampu
melakukan, akupun tak menghiraukan harus mati dengan
cara apa saja !" "Bagus, nyalimu sungguh besar." seru nenek itu. "aku tak
dapat menemukan cara lain lagi, bagaimana harus
menyuruhmu mati secara lebih menderita lagi . . ."
"Nenek tua, kata-katamu itu terlalu pagi engkau
ucapkan. Nanti saja apabila engkau sudah berhasil
meringkus aku, barulah engkau boleh bergembira!"
"Bocah edan, rupanya aku terpaksa harus turun tangan . .
." "Silakan !" Cu Jiang mencabut pedang kutung dan pasang kuda2. Ia
percaya nenek itu tentu lebih lihay dari gerombolan Sip-pat-


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

thian-mo. Dia tak berani memandang sepele. Dia
pancarkan tenaga penuh hingga pedang itu memancarkan
hawa yang menyeramkan. Nenek itupun harus melintangkan harpa, matanya
memancarkan sinar pembunuhan yang buas.
Suasana tempat itu sunyi senyap. Keduanya sama2 maju
dua langkah dan mencapai jarak yang dapat dilakukan
pertempuran. Cu Jiang telah mempersatukan semangat, pikiran, tenaga
dan pedang menjadi satu. Baru sekali itu dia benar2 harus
menumpahkan seluruh semangatnya untuk menghadapi
musuh. Mungkin nenek itu terlalu memandang rendah lawan
atau mungkin dia terlalu membanggakan diri. Setelah
merenung diapun mendesuh lalu menghantamkan harpanya
dari samping. Gerakannya tampak biasa2 saja tetapi
sebenarnya mengandung perubahan2 yang sukar diduga
dan ditaksir. Cu Jiangpun ayunkan pedang untuk melawan keras
dengan keras. Tring .., keduanya menyurut mundur
selangkah. Saat itu Cu Jiang baru mengetahui bahwa harpa nenek
itu terbuat daripada baja murni. Diam2 dia terkejut. Tenaga
yang terpancar dari harpa itu sedahsyat gunung rubuh
sehingga tangan Cu Jiang kesemutan.
Diam2 ia terkejut dan mengagumi nenek itu. Yang
mampu menerima Jurus Thian-te kau thay, barulah nenek
itu saja. Nenek itu juga mengetahui kesaktian Cu Jiang. Diapun
terkejut tetapi cepat dia sudah tenang kembali.
"Hait.... !" terdengar lengking dan gemboran ketika
kedua senjata beradu lagi. Kali ini Cu Jiang yang
melancarkan serangan. Setelah itu keduanya menyurut
mundur lagi. Tetapi keadaannya agak berbeda. Baju nenek itu dari
bahu sampai keujung lengan telah rompal sehingga
lengannya yang kurus kering tampak tergurat dengan
goresan pedang yang memanjang.
Kali ini nenek itu benar2 marah bukan kepalang
sehingga rambutnya sama tegak berdiri. Wajahnya yang
penuh keriput itu makin menyeramkan. Harpa bergetar-
getar mendengung. Cu Jiang meningkatkan kewaspadaannya.
Kembali terdengar pekik dan gemboran ketika keduanya
berhantam lagi. Bayangan harpa menggunduk seperti
gunung, sinar pedang bertebaran seperti awan. tring, tring . .
Sejurus, dua jurus, tiga jurus. Ternyata tenaga
kepandaian keduanya hampir berimbang. Dalam pertempuran maut itu, keduanya telah menghamburkan
tenaga dalam yang menakjubkan. Tiada ampun lagi dalam
pertempuran itu kecuali salah seorang roboh.
Tring .... terdengar dering keras sekali disusul oleh erang
tertahan. Cu Jiang sempoyongan sampai lima enam
langkah baru dapat berdiri tegak.
Kain kerudung mukanya hampir separoh telah basah
dengan darah. Pedang kutung menjulai kebawah dan
napasnya tersengal-sengal keras.
Nenek itu juga tersurut mundur sampai dua meter, mulut
menyembur darah dan harpapun jatuh ke tanah.
Keadaannya lebih mengerikan. Kedua lelaki kekar tadi
hanya terlongong-longong kaget.
Cu Jiang cepat2 mengatur pernapasannya. Beberapa saat
kemudian dia sudah dapat bergerak, mengangkat pedang
dan menghampiri ke tempat nenek itu.
"Nenek, ambillah harpamu agar engkau dapat menyerah
dengan hati puas," serunya.
Wajah si nenek yang penuh keriput tampak berkerenyutan. Dia melangkah maju memungut harpa lalu
mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tetap berapi-
api memandang Cu Jiang, "Toan kiam jan-jin, engkau satu-satunya musuh tangguh
yang pernah kujumpai seumur hidup. Beranikah engkau
mendengar petikan harpaku?"
"Silakan! "sahut Cu Jiang dengan angkuh. Si nenek terus
duduk bersila dan melintangkan harpa dipangkuan.
Matanya menunduk dan jari jarinya yang menyerupai cakar
burung itupun mulai meraba senar harpa, trung
Bagaikan suitan nyaring yang berasal dari langit.
Seketika gundahlah hati Cu Jiang. Buru2 dia menenangkan
pikiran dan mengarahkan tenaga-murni untuk melawan.
Tring, tring, trung. trung . . . . Makin lama harpa makin
deras. Nadanya mengandung kumandang rintihan setan.
Cu Jiang menggerenyet gigi, mengeraskan semangat untuk
menahan darah yang bergolak keras.
Suara Harpa makin deras dan riuh. Bagai langit berputar,
bumi bergetar dan badai prahara mengamuk, gelombang
tam menghempas dahsyat. Dunia seakan kiamat ....
Seperminum teh lamanya, sekonyong-konyong suara
harpa itu berhenti. Cu Jiang rasakan tenggorokannya
manis- anyir, ia muntahkan segumpal darah segar. Bajunya
basah kuyup dengan keringat.
Brungng .... harpa nenek itu tiba2 jatuh ke tanah.
Mulutnya mengalir darah dan sinar matanya pun redup.
Setelah mengusap darah di mulut, Cu Jiang melangkah
ke tempat nenek itu, serunya:
"Pohpoh, engkau ingin mati dengan pedang ini atau
turun mencebur ke dalam kuali itu sendiri?"
Nenek itu meraung-raung. "Budak, engkau menang,
hayo bunuhlah aku." Sejenak Cu Jiang memandang ke arah kuali yang masih
mendidih itu. Dilihatnya kedua lelaki gagah tadi sudah
terkapar tak bernyawa. Jelas mereka mati karena suara
harpa maut tadi. Memandang kembali ke arah nenek, Cu Jiang berkata.
"Pohpoh, kalau menggodokmu itu kelewat tak berperi
kemanusian. Lebih baik kuantar dengan pedang saja!"
"Bunuhlah! Jangan . . . banyak omong!"
Cu Jiangpun segera mengayunkan pedang dan nenek itu
pejamkan mata menunggu maut.
Tetapi pada saat pedang hampir mendarat di leher si
nenek, tiba2 Cu Jiang menghentikannya. Melihat rambut
yang sudah putih dan banyak yang rontok di kepala si
nenek, hati Cu Jiang tak tega.
Seorang nenek yang sudah begitu tua renta, masih dapat
hidup berapa tahun lagi"
"Mengapa tak lekas turun tangan" Engkau hendak
mengapakan diriku?" seru si nenek.
Cu Jiang menarik pedangnya dan berseru dingin:
"Engkau sudah di tepi lubang kubur. Aku tak tega
membunuhmu, kali ini kuampuni jiwamu . . ."
"Tutup mulutmu! Aku tak sudi menerima ampunmu!"
"Tidak, aku sudah terlanjur berkata, takkan kutarik
kembali. Kalau mau mati, silahkan engkau bunuh diri
sendiri !" "Jahanam ..." "Hanya satu hal yang pasti akan kulakukan. Yaitu ilmu
kepandaian yang membuat engkau melakukan kejahatan itu
harus kulenyapkan..."
"Engkau berani?"
Sebagai jawaban Cu Jiang acungkan jarinya untuk
menotok. Nenek itu mengerang ngeri dan berguling-guling
ke tanah. "Pohpoh, sekarang engkau boleh tenang2 melewatkan
sisa hidupmu!" Nenek itu menggeliat duduk dan bergumam dengan
sedih: "Sungguh tak kira, aku Harpa penyambar nyawa, yang
begitu ditakuti dunia, sekarang harus hancur di tangan
seorang bocah yang tak ternama ...."
Mendengar kata2 itu terkejutlah Cu Jiang. Nama Harpa-
penyambar nyawa itu rasanya dia pernah mendengar tetapi
ia lupa entah di mana. Ah, benar. teringat dahulu mendiang ayahnya pernah
menceritakan bahwa dalam dunia persilatan memang
terdapat sepasang iblis besar yakni Harpa-sambar nyawa
dan Genderang-pelelap-jiwa. Kedua iblis itulah yang
menghabiskan jago2 dari lima partai persilatan besar.
Cu Jiang benar2 tak menduga bahwa nenek yang
dihadapannya itu tak lain adalah Toh Hun pi-peh atau
nenek Harpa-penyambar nyawa. Nenek itu tentu sudah
berumur 100 tahun lebih. Apakah Jui-beng-to itu
Genderang pelelap nyawa itu, apakah masih hidup dalam
dunia" "O, kiranya engkau tak lain adalah Toh-hun-pi peh yang
melakukan kejahatan setinggi gunung. Sebenarnya kalau
kubunuh mati itu sudah jauh lebih murah menilik dosamu.
Tetapi biarlah kali ini kuampuni asal engkau masih dapat
hidup untuk menebus dosamu." seru Cu Jiang.
"Budak hina, sungguh tak kukira siapa manusia dalam
dunia persilatan yang mampu mengajarkan ilmu kesaktian
begitu hebat kepadamu ..."
"Kalau tak dapat menduga, ya sudahlah !"
"Jangan bermulut besar ! Kelak pasti akan terdapat
seseorang yang akan membereskan Jiwamu !"
"O. si Jui-beng-ko itu ?"
"Benar." "Jangan kuatir, kalau dia tak bertemu aku, aku akan
mencarinya." "Engkau .. . mengapa bermusuhan dengan Sip pat thian-
mo?" "Untuk memulihkan kesejahteraan dunia persilatan."
"Aku tak punya waktu, sampai jumpa !" habis berkata
Cu Jiang terus melanjutkan perjalanan. Diam2 dia masih
merata terkejut. Kiranya gerombolan Sip- pat thian mo itu
adalah murid2 dari sepasang iblis Toh hun-pi-peh dan Jui-
beng-ko. Jika kedua momok itu berada disitu, tak mungkin
dia mampu mengalahkan mereka.
Setelah dapat melakukan pembalasan di gunung Keng-
san lalu menghancurkan markas Thong-thian kau di kota
Pek te-shia, tugasnya yang penting telah selesai. Sisanya dia
dapat mempergunakan untuk jejak calon isterinya Ho
Kiong Hwa. Diapun juga terkenang kepada si dara baju hijau Ki Ing
atau tepatnya bernama Cukat Bengcu. Diam2 ia heran atas
kesalahan faham dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok atau
ayah dari nona itu yang mengira bahwa yang mencelakai
dirinya adalah si Buddha - hidup - Sebun Ong. Padahal jelas
isteri dari Cukat Giok itu kini telah diperisteri oleh ketua
Gedung Hitam. Dalam peristiwa itu tentu terjadi sesuatu
yang masih gelap. Saat itu haripun sudah mulai gelap. Tiba2 ia mendengar
jeritan nyaring yang mengerikan memecahkan kesunyian
malam. Cu Jiang terkejut dan cepat2 lari menuju ke arah
tempat itu. Ia tiba di sebuah anak sungai di tengah hutan. Di
seberang anak sungai itu tampak sebuah pemandangan
yang membuatnya marah sekali. Wanita gemuk atau Poan
toanio beserta dua anggauta pengawal Su-tay-kojiu yakni Ki
Siau Hong dan Ko kun sedang dikepung oleh kawanan
orang yang tak dikenal. Sedang puteri dari Tayli tak tampak
bayangannya. Di tengah gelanggang pertempuran itu sudah
rebah empat orang baju busu.
Dalam pertempuran itu ada sebuah pemandangan yang
menyebabkan darah Cu Jiang naik seketika. Dalam
lingkaran kepungan orang2 itu, Poan toanio bertiga telah
bertempur dengan Ratu- bunga Tio Hong Hui dan putrinya,
dibantu oleh dua orang lelaki tua baju hitam. Dengan
demikian jelas bahwa gerombolan yang mengepung itu
tentulah dari pihak Gedung Hitam.
Cu Jiang serentak hendak muncul tetapi tiba2 ia
mendapat pikiran dan menahan diri. Dia hendak
memperhatikan keadaan di seberang itu dengan lebih jelas
lagi. Yang menjadi pemikirannya, mengapa puteri tak
berada dengan Poan toanio "
Di belakang tepi anak sungai itu terdapat sebuah
gerumbul hutan pohon yang melingkari tiga buah rumah
pondok. Rumah itu memancarkan penerangan.
Saat itu bintang2 bermunculan di angkasa sehingga
pertempuran itu dapat dilihat jelas. Sesaat terdengar Ratu
bunga Tio Hong Hui tersenyum.
"Putri negeri Tayli berkunjung ke Tionggoan, masa kami
dari pihak Gedung Hitam tak menyambutnya." serunya.
"Jika kalian berani mengganggu kongcu, kelak tentu
akan menerima pembalasan yang mengerikan." seru Poan
toanio. Mendengar itu tercekatlah hati Cu Jiang. Dengan begitu
jelas puteri telah jatuh di tangan musuh. Kedua pengawal
dari Tayli, Ki Siau Hong dan Ko Kun, telah mendapat
perintah agar merahasiakan diri. Tetapi karena saat itu
mereka terang2 muncul dan bertempur dengan musuh,
tentulah karena keadaan sudah gawat sekali.
"Cu Heng ih, karena engkau mempunyai rejeki besar dan
banyak pengalaman, tentulah diangkat menjadi inang besar
di negeri Tayli," seru Tio Hong Hui lagi.
"Tio Hong Hui." teriak Poan toanio, "hendak kalian
mengapakan kongcu kami?"
"Tidak apa2," sahut Tio Hong Hui tenang2, "pihak kami
hanya ingin menjamunya sebagai tetamu agung. Asal raja
Toan Hong ya mau memberikan kitab Giok-kah kim-keng,
setiap saat kongcu boleh kembali ke negeri Tayli!"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau ngimpi!"
"Bukan, aku tidak bermimpi tetapi itu memang
kenyataan." "Engkau kira Tayli mau tunduk pada tuntutanmu itu?"
"Demi keselamatan kongcu, lebih baik kita tak saling
merusak persahabatan."
"Engkau kira mampu melakukan hal itu?"
"Kukira bisa." "Engkau mengira Tayli tak mempunyai jago?"
"Cu Heng Ih, meskipun engkau mengatakan begitu,
tetapi aku tak dapat merobah apa yang telah kukatakan.
Kedua sahabatmu itu boleh kembali ke Tayli untuk
menghaturkan laporan tetapi engkau .... harus tetap tinggal
di sini." "Apa?" "Anak keponakanmu si Toan kiam jan jin itu apabila
tahu kalau engkau bertamu di gedung kami tentu akan
datang, ha, ha, ha .... "
"Tio Hong Hui, jangan buru2 bergiring dulu. Apakah
engkau yakin dapat menjamin dirimu bakal pulang dengan
selamat?" "Tentu !" "Engkau mempunyai keyakinan begitu?"
"Tentu saja karena saat ini mungkin kongcu sudah
berada di Gedung Hitam!"
Mendengar itu serasa terbanglah semangat Cu Jiang.
Ternyata kongcu sudah ditawan oleh orang2 Gedung
Hitam untuk dijadikan sandera. Dia harus bertindak. Kalau
terlambat dan sampai terjadi sesuatu dengan diri kongcu,
bagaimana kelak dia harus memberi pertanggungan jawab
di hadapan baginda Toan Hong-ya"
Wajah Poan toanio berobah seketika.
"Kalian berdua tentu sudah jelas." seru Tio Hong Hui
kepada Ki Siau Hong dan Ko Kun. Kami minta agar
kongcu ditukar dengan kitab Giok kah kim keng. Silakan
kalian pergi dan kami pujikan supaya selamat tiba di negeri
Tayli!" Dengan mengertek gigi Ki Siau Hong berseru:
"Hujin, kelak engkau pasti menyesal."
"Ah takkan begitu, " Tio Hong Hui tersenyum.
"Hujin, tunggu dan lihatlah saja nanti," seru Ko Kun
"Ya, kami tentu akan menunggu kabar baik dari kalian."
Tio Hong Hui berseru lagi.
"Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau." tiba2 Poan
toanio berteriak kalap dan terus maju menyerang. Tetapi
salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera
songsongkan tangan dan Tio Hong Hui pun menyurut
mundur. Poan toanio bertempur seru melawan lelaki tua baju
hitam itu. Diam2 Cu Jiang terkejut dan kagum
menyaksikan kepandaian dari wanita gemuk yang menjadi
bibinya itu. Baru kali itu ia mengetahui kepandaian dari
bibinya "Bukan urusan kalian, silakan pergi!" seru Tio Hong Hui
kepada kedua pengawal dari Tayli.
Tampak wajah Ki Ing yang berada di samping, mengerut
tak puas atas sikap mamanya.
Melihat itu Cu Jiang tak dapat bersabar lebih lama.
Setelah dia ayunkan tubuh melayang melewati anak sungai
kecil itu. Selekas menginjak tepi, dia ayunkan lagi kaki
untuk melayang kedalam kepungan.
"Hai siapa itu ?"
"Huak..." lelaki tua yang bertempur melawan Poan
Toanio. serentak roboh dan di gelanggang pertempuran
telah bertambah dengan seorang bertutup muka dan
mencekal pedang kutung. "Toan kiam-Janjin !" serempak terdengar pekik kejutan.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun berobah girang
bukan kepalang. Wajah Tio Hong Hui berobah wajahnya.
Ki Ing kerutkan alis. Sekalian anak buah Gedung Hitam
yang berada di tempat itupun pucat.
0oodwoo0 Cu Jiang langsung menghampiri ke hadapan Tio Hong
Hui dan berseru dengan dingin:
"Nyonya Gedung Hitam, selamat bertemu lagi."
Tio Hong Hui menyurut mundur dua langkah.
"Toan kiam-jan-Jin. engkau benar2 panjang umur!"
serunya. "Kalau aku tak panjang umur. habis siapa yang akan
membereskan kalian kawanan kurcaci ini semua?" seru Cu
Jiang. "Apa kehendakmu ?"
"Tidak menghendaki apa2. Lebih dulu bebaskan dulu
puteri ?" "Kalau tidak?" "Semua orang-orangmu yang berada di tempat ini pasti
tak ada satupun yang hidup!"
"Rupanya engkau juga mempunyai hubungan dengan
negeri Tayli ?" "Sudahlah. Jangan banyak bicara !"
"Kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam, bagaimana ?"
"Sederhana sekali. Akan kurebut kembali puteri itu dan
nyawaku sebagai tebusannya !"
"Apakah semudah itu ?"
Cu Jiang berpaling kearah bibinya: "Toanio, kapan
kongcu dilarikan ?" "Kemarin pagi."
"Saudara Song Pek Liang Juga sudah mengejar ke sana.
Di sepanjang Jalan tentu dia meninggalkan jejak pengenal."
kata Ki Siau Hong. Cu Jiang menimang-nimang. Dia dapat mencapai
markas Gedung Hitam di gunung Keng-san dalam satu
hari. Maka ia mengangguk, serunya:
"Toanio. Ki-heng dan Ko-heng, bersiaplah untuk
membantai kawanan anjing2 ini !"
Habis berkata. Cu Jiang melirik kearah Ki Ing dengan
pandang meminta maaf. Kemudian berkata bengis kepada
Tio Hong Hui: "Apakah aku harus menyebutmu sebagai nyonya
Gedung Hitam atau nyonya Cukat ?"
Mendengar itu seketika wajah Tio Hong Hui pucat lesi.
Ki Ing pun terkejut memandang pada pelajar baju putih
yang pernah mencuri hatinya itu.
Cu Jiang tertawa dingin, Katanya pula: "Tio Hong Hui,
karena hendak mencari engkau, beberapa kali aku hampir
kehilangan nyawa!" "Engkau .. . hendak mencari aku !"
"Benar." "Perlu apa?" "Heh, heh, aku melakukan permintaan orang untuk
menyerahkan barang kepadamu!"
"Barang apa ?" Tio Hong Hui makin tegang.
"Kalau sudah melihat engkau tentu tahu sendiri," sahut
Cu Jiang, lalu mengambil dompet titipan dari Ko-tiong-jin
atau Orang-dari lembah yaitu Tiong-goan thayhiap atau
pendekar besar dari Tionggoan, Cukat Giok.
Dia menjepit benda itu dengan kedua jari tangan kirinya,
serunya: "Kenalkah engkau akan benda ini ?"
Gemetar tubuh Tio Hong Hui dan wajahnya makin
pucat. Dia berpaling kepada puterinya "Nak, masuklah
kedalam pondok itu!"
"Mengapa?" Ki Ing terkejut.
"Turutilah kata-kataku. Keadaan sudah sangat genting,
aku tak menghendaki engkau terlibat dalam bahaya !"
"Apakah .... begitu?"
"Anakku, apa maksudmu ?"
"Aku tetap akan tinggal disini."
"Kusuruh engkau tinggalkan tempat ini."
"Tidak !" sahut Ki Ing dengan mantap.
"Puteri nyonya seharusnya hadir disini."
"Engkau hendak menjadikannya sandera dan hendak
menukar dengan puteri Tayli itu?"
"Nyonya, engkau tentu tahu bahwa aku tak akan berbuat
begitu." "Budak perempuan, mengapa engkau masih tak mau
pergi !" teriak Tio Hong Hui.
"Tak mau !" "Nyonya, biarlah dia hadir disini..." kata Cu Jiang.
"Toan-kiam-jan-Jin baiklah, engkau hendak mengatakan
apa ?" "Silakan nyonya mengatakan dulu kenal atau tidak
dengan benda ini ?" "Kenal!" "Bagus," Cu Jiang mengangguk, "suami nyonya Cukat
tayhiap, minta tolong kepadaku untuk menyerahkan benda
ini kepadamu !" "Apa maksudnya ?"
"Serahkan kemari!"
"Tunggu dulu, aku hendak bertanya....*"
"Soal apa?" "Bukanlah nyonya telah bersatu hati dengan Buddha-
hidup Sebun Ong " Mengapa nyonya menjadi isteri dari
ketua Gedung Hitam?"
Wajah Ki Ing mulai bergolak dan sepasang matanya
yang indah, mulut membulat.
Tio Hong Hui mulai berkeringat.
"Engkau tak perlu mengurus soal itu !" teriaknya
melengking. "Kalau nyonya tak mau menerangkan, terpaksa aku
harus mencari lain bukti!"
"Apalagi kata Cukat Giok ?"
"Dia sudah tak dapat hidup lama lagi di dunia ini. Hanya
satu satunya yang masih menjadi ganjalan hatinya yalah
tentang benda ini." "Serahkan kepadaku !" teriak Tio Hong Hui.
Cu Jiangpun terus melontarkan dan Tio Hong Hui
menyambutinya. Tubuhnya gemetar tak berkata apa-apa.
"Apakah nyonya tak mau membuka dan memeriksa
isinya ?" seru Cu Jiang.
Tio Hong Hui memandang dengan penuh dendam
kebencian kepada Cu Jiang lalu membuka bungkusan itu
dengan jarinya: "Apakah isinya ?"
"Persembahan dari suami nyonya!"
"Apa ?" baru berkata begitu, wajah Tio Hong Huipun
berobah seketika dan cepat melemparkan bungkusan itu,
serunya: "Ra...cun..."
Dia terus rubuh terkulai di tanah. Sekalian orang
menjerit kaget. Dan Ki Ingpun terus hendak lari menubruk
mamanya. Tio Hong Hui bergeliatan, meregang-regang. Menderita
kesakitan yang hebat. Mulutnya tak henti-hentinya merintih
dan mengerang-erang. "Toan-kiam-jan-jin, engkau sungguh keji, menggunakan
cara yang begitu biadab!" tiba2 lelaki baju hitam tadi
membentak. "Huak .,.." terdengar jeritan ngeri dan lelaki tua itu pun
rubuh mandi darah. Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun tertampak ikut
turun tangan. Karena Cu Jiang berada disitu sudah tentu
kawanan anak buah Gedung Hitam itu pecah nyalinya.
Mereka lari tunggang langgang.
Yang kepandaian rendah, harus meninggalkan tubuhnya
yang sudah tak bernyawa. Cu Jiang tegak di samping Ki Ing yang menangisi
mamanya. Dia sedang merenungkan cara bagaimana
hendak memberi penjelasan kepada nona itu.
Tiba2 Poan toanio melesat dan terus menyambar Ki Ing:
"Ia dapat dijadikan penukar kongcu !"
"Toanio, lepaskanlah!" seru Cu Jiang.
"Mengapa?" Poan toanio terkejut.
"Jangan menjadikannya barang penukar kong-cu!"
"Kenapa tidak?"
"Aku pernah menerima budi pertolongannya menyelamatkan jiwaku, " sahut Cu Jiang.
"Menarik garis tajam antara budi dan dendam memang
benar. Tetapi keadaan kongcu saat ini .... "
"Sukalah toanio lepaskan dia lebih dulu. "
"Keselamatan kongcu?"
"Aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk menolongnya." Mendengar janji itu terpaksa Poan toanio mau
melepaskan Ki Ing. Jelita itu tidak menangis. Tak mengucurkan setetes air
matapun juga. Wajahnya merah biru dan tiba2 dia meraung
kalap: "Engkau telah membunuh mamaku!" terus menyerang Cu Jiang. Pemuda itu menghindar dengan gerak langkah Gong
gong-poh hwat, sembari berseru:
"Nona, dengar dulu, aku hendak bicara .."
Tetapi Ki Ing kalap. Dia menyerang makin hebat dan
melancarkan jurus2 maut. Karena berulang kali berseru
memberi peringatan tetap tak digubris, akhirnya Cu Jiang
balas menyerang, mencengkeram lengan si nona seraya
berseru: "Dengarkan dulu aku hendak menceritakan tentang
peristiwa itu..." "Tak perlu, engkau telah membunuh mamaku!" teriak Ki


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ing. "Nona, aku hanya melaksanakan permintaan dari . . ."
"Tutup mulutmu " Aku dapat menandingi engkau,
bunuh sajalah aku !"
"Tiada alasan aku harus membunuhmu . . ."
"Jika engkau tak mau membunuh aku, aku bersumpah
pada suatu hari tentu akan membunuhmu !"
"Dengarkan dulu keteranganku . . "
Ternyata Tio Hoag Hui masih belum mati. Tiba2 dengan
terputus-putus dia berseru:
"Anakku ... kemarilah ..."
"Lepaskan !" teriak Ki Ing dengan mata melotot.
Tertegun oleh sikap yang begitu berani dari si nona, Cu
Jiangpun melepaskannya. Nona itu menubruk dan
memeluk mamanya lalu mengangkatnya terus dibawa pergi
.... "Dengarkan dulu," cepat Cu Jiang melesat menghadang,
"aku harus memberitahu kepadamu bahwa engkau ini
sebenarnya berasal. .."
"Enyah!!" "Engkau harus mendengarkan keteranganku !"
"Tidak!!" Wajah Tio Hong Hui saat itu sudah berobah kehitam-
hitaman. Dengan terengah-engah wanita itu berkata
"Toan-kiam .... jan-jin tujuanmu ... telah tercapai .. . aku
. . , segera mati ... dia . . memang anak kandungku., .
biarlah aku dan anakku ... . pada saat terakhir . ..." sampai
disitu ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
nyawanya putus. Cu Jiang terlongong. Sementara
Ki Ing terus memondong tubuhnya dibawa lari.
"Sausu, engkau membiarkan dia lari?" seru Ki Siau
Hong. Cu Jiang menghela napas: " Biarlah mereka ibu dan anak
dapat bersama dalam saat2 terakhir!"
" Apakah itu bukan budi pekerti seorang perempuan?"
"Aku mempunyai pertimbangan sendiri." Cu Jiang deliki
mata membentak marah. "Jika kongcu sampai terjadi apa2, bagaimana kami atau
menghadap baginda dan Koksu?" Ko Kun menyeletuk.
"Kalian boleh membawa batang kepalaku!" sahut Cu
Jiang getas. Mendengar penyahutan dan sikap Cu Jiang, kedua
pengawal dan Tayli itu leletkan lidah dan tak berani berkata
apa2 lagi. "Nak, jangan membawa adatmu sendiri," seru Poan
toanio pula. Cu Jiang terdiam sejenak lalu berkata:
"Sekarang juga aku hendak mengejar kongcu, toanio dan
kedua saudara itu boleh mengikuti secara diam2. Setelah
berhasil merebut kongcu, aku segera akan kembali. Karena
saudara berdua dan saudara Song Pek Liang sudah
mengunjuk diri, dan gerombolan Sip pat-thian mo pun
sudah tinggal separoh kurang. tak menguatirkan. Setelah
kubebaskan kongcu, kalian boleh mengantarkannya ke
Tayli." Ki Siau Hong dan Ko Cun hanya mementang mata tak
menyahut. "Toanio," kata Cu Jiang dengan nada menyesal,
"kuharap toanio bersama kedua saudara itu lebih dulu
berangkat. Aku hendak mengejar Tio Hong Hui dengan
puterinya itu, demi untuk menyelesaikan urusan yang orang
minta tolong kepadaku!"
"Nak, aku benar2 tak mengerti."
Terpaksa Cu Jiang menceritakan peristiwa dahulu ketika
dia dilempar musuh kebawah jurang, telah ditolong oleh
Ko-tiong Jin, Ternyata Ko-tiong-jin itu tak lain adalah
Tionggoan-tayhiap Cukat Giok yang kemudian minta
tolong kepadanya untuk mencari isteri dan putrinya.
"Tio Hong Hui dan nona itu tak lain adalah isteri dan
puteri dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok." kata Cu Jiang.
"Oh," Poan toanio mendesuh kejut, "kiranya demikianlah peristiwa itu."
"Toanio, aku segera akan mengejar jejak nona Beng Cu."
seru Cu Jiang terus melesat keluar dari pondok.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun pun segara
tinggalkan tempat itu. Cu Jiang terkejut ketika memandang ke empat penjuru
tak tampak barang seorangpun juga.
Ia masih mempunyai kewajiban untuk menyerahkan
kantong kain dari Cukat Giok kepada puterinya. Begitu
pula ia merasa wajib harus menerangkan asal usul diri Ki
Ing agar nona itu tidak salah paham.
Lari sampai empat lima li, tetap ia kehilangan jejak Ki
Ing yang membawa mamanya itu. Tak mungkin nona itu
mampu lari sejauh itu. Mungkin karena malam gelap, nona
Sampul Maut 8 Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Runtuhnya Sebuah Kerajaan 2
^