Pencarian

Iblis Pulau Neraka 1

Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka Bagian 1


IBLIS PULAU NERAKA oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Wajah bumi dihujani sengatan panas. Siang me-
mang sudah demikian matang, membawa bola raksasa
alam yang bersinar gencar ke puncaknya. Satwa pagi
tidak lagi memperdengarkan senandungnya. Barang-
kali mereka enggan terpanggang di hari yang tak bersahabat itu. Hanya terdengar
desah angin panas yang menelusupi dedaunan kering.
Di bawah pancaran sinar matahari yang menyengat
itu, dua puluh orang berkuda tampak duduk gagah di
punggung kuda masing-masing. Mereka mengelilingi
dua orang gagah. Seorang lelaki setengah baya berpakaian pangsi warna hitam
bernama Jaim. Dan seorang
lagi pemuda tampan berpakaian terpelajar dengan
warna kuning muda, sedangkan baju di bagian da-
danya tampak lukisan naga emas yang amat indah.
Dia bernama Khian Liong. Mereka berdua baru saja
menghentikan pertempuran setelah mendengar deru
dan ringkik kuda yang dipacu oleh kedua puluh orang yang mengepung.
Lelaki setengah baya yang sebelumnya bertanding
dengan pemuda tampan itu melangkah ke depan dan
memberi hormat pada seorang penunggang kuda.
Penunggang kuda yang berumur sekitar lima puluh
tahun dan berwajah hitam beringas itu hanya meman-
dang sekilas pada Jaim. Lalu sepasang matanya yang
hitam kemerah-merahan beralih pada tiga mayat yang
tergeletak di tanah. Setelah beberapa saat terpaku pa-da tiga mayat yang
bersimbah darah itu, matanya me-
mandang ke arah Khian Liong yang sejak tadi berdiri gagah di hadapannya.
Kemudian mata itu beralih
mengawasi lukisan naga emas di baju pemuda terse-
but. "Siapa dia?" tanya lelaki berjubah hitam seraya me-
mandang Jaim. Suaranya besar dan pecah, sehingga
terdengar berwibawa.
"Dia seorang pemuda asing yang melakukan pem-
bunuhan terhadap tiga temanku, Ketua!" sahut Jaim
yang ternyata anak buah lelaki berjubah hitam itu.
"Hm...!" gumam lelaki berjubah hitam seraya me-
mandang pemuda yang memiliki lukisan naga emas
pada baju bagian dadanya itu.
"Tangkap pemuda itu! Hidup atau mati!" perintah
lelaki berjubah hitam yang menjadi pemimpin pasukan berkuda itu.
Mendapat perintah itu, Jaim dan lima belas pe-
nunggang kuda langsung bergerak mengepung pemu-
da tampan tersebut. Sedangkan pemimpin mereka ber-
sama empat orang lain pergi memacu kudanya menuju
rumah orang-tua Bong Mini yang dijadikan istana.
Melihat musuhnya demikian banyak dan gagah-ga-
gah, Khian Liong tampak gentar. Ia merasa tidak mam-pu melawan mereka yang
mempunyai senjata lengkap.
Jalan satu-satunya, ia harus melarikan diri agar tidak mati konyol. Namun untuk
melarikan diri pun dia belum mempunyai kesempatan. Karena pasukan berku-
da itu demikian ketat mengepung dirinya.
"Majuuu...!"
Teriak beberapa orang dari mereka yang dilanjutkan
dengan acungan pedang ke arah pemuda yang dike-
pung. Khian Liong sejak tadi berdiri terpaku memikirkan
cara melarikan diri, segera menggerakkan pedangnya
untuk melakukan tangkisan sabetan pedang lawan.
Trang trang trang!
Benturan senjata milik pemuda tampan dengan
enam belas pengeroyoknya terdengar nyaring. Disertai pijar-pijar api yang
memercik terang. Berbaur dengan teriakan-teriakan membahana dari pasukan
berkuda. Pemuda tadi benar-benar kewalahan menghadapi
serangan gencar para pengeroyoknya. Sehingga dalam
menghadapi serangan itu ia hanya dapat menangkis
dan mengelak dengan cara melompat, bersalto dan
bergulingan tanpa mampu membalas serangan lawan.
Di saat keadaan Khian Liong tersudut, tubuhnya
membuat gerakan reflek yang tidak disadarinya.
Hiat hiat hiat!
Pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu
melompat berputar sambil menyabet-nyabetkan pe-
dang ke arah pengepungnya dengan kecepatan yang
amat dahsyat. "Akh!"
Dua lengkingan tertahan terlontar dari mulut pe-
ngepungnya, disusul dengan robohnya dua orang dari
mereka disertai darah yang mengucur dari leher yang nyaris putus tersayat pedang
Khian Liong. Pasukan berkuda lain terlihat terkejut melihat dua
temannya tewas akibat sabetan pedang lawan. Mereka
tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu mam-
pu melakukan perlawanan walau telah dikepung ketat.
Ini menunjukkan kalau pemuda yang memiliki baju
berlukis naga emas itu memang seorang tangguh yang
tak dapat dianggap ringan.
Melihat para pengepungnya terpaku memandangi
dua temannya yang tewas, Khian Liong segera meng-
gunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Tubuh-
nya melompat melewati kepala para pengepungnya.
"Kejar dia! Bunuh!" teriak beberapa orang yang me-
lihat lawannya akan melarikan diri. Dan rekan mereka yang lain segera tersadar,
Khian Liong yang hendak
melarikan diri dari kepungan segera dikejar. Namun
dengan tangkas pula pemuda itu melepas pukulan ja-
rak jauh ke arah mereka yang hendak mencoba mena-
han kepergiannya.
Beberapa pengepung yang mencoba memburunya
terhuyung terkena sambaran angin kencang yang ke-
luar dari telapak tangan Khian Liong. Kemudian tubuh yang terkena sambaran angin
itu terjungkal dari atas kudanya.
"Kejar!"
"Tangkap!"
"Serang!"
"Bunuh!"
Teriakan-teriakan lantang keluar dari mulut mereka
ketika mengetahui mangsanya lolos dari kepungan.
Suara ringkik kuda dan deru langkah kakinya kembali terdengar ketika mengejar
pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas.
Pemuda yang baru saja melarikan diri tadi bukan-
lah seorang pemuda biasa. Ia memiliki kepandaian il-mu silat yang cukup
diandalkan. Bila pasukan berku-
da itu melakukan perlawanan satu persatu, belum ten-tu mereka dapat
mengalahkannya. Namun karena me-
reka melakukan penyerangan secara keroyokan, maka
pemuda itu berpikir lebih baik mengambil langkah seribu daripada harus melakukan
perlawanan dan mati
konyol. Melihat pasukan berkuda terus mengejar, Khian
Liong segera mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.
Dalam waktu sekejap tubuhnya sudah melesat di anta-
ra rimbunnya pepohonan, jauh meninggalkan para
pengejarnya. Walau begitu, para pengejar terus mem-
buru dengan memacu kuda mereka lebih cepat lagi.
*** Bong Mini masih terbaring bersama puluhan mayat
yang tergeletak di antara reruntuhan rumahnya. Tam-
paknya mayat-mayat itu sudah beberapa hari di sana.
Terbukti dari banyaknya lalat yang menghinggapi serta bau busuk yang memenuhi
udara. "Ah...!" Bong Mini mengeluh lemah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya yang
memakan waktu cukup
lama. Kemudian dicobanya untuk mengangkat kepala.
Tapi ia hanya dapat menggerakkannya beberapa senti
dari tanah. "Sudah berapa lama aku di sini?" tanyanya berbisik.
Bong Mini menurunkan kepalanya kembali. Ia be-
lum mampu bertahan lebih lama untuk menegakkan
kepala. Setelah beberapa saat dibaringkan di tanah, ia mencoba mengangkat
kepalanya kembali. Pandangannya kini tertuju pada pintu gerbang yang terbuka.
"Oh...!" ia kembali mengeluh dengan wajah terkejut
ketika matanya melihat mayat-mayat bersimbah darah
kering yang bergelimpangan di sekitarnya. "Nafsu manusia benar-benar sudah gila.
Manusia mereka anggap seperti hewan yang mudah disembelih tanpa rasa peri-
kemanusiaan!" kutuk Bong Mini samar.
Bong Mini mencoba mengangkat kepalanya lebih
tinggi lagi dengan cara menekan kedua tangannya di
tanah. Tapi tubuhnya seperti kehilangan tenaga sama sekali. Jangankan untuk
mencoba bangkit, untuk
mengusir lalat-lalat yang mendengung di sekitarnya
pun tak dapat dilakukan.
Rupanya aku sudah pingsan cukup lama, pikir
Bong Mini sambil mencoba menggerak-gerakkan kedua
pergelangan tangannya. Ketika menggerakkan kedua
pergelangan tangannya, tiba-tiba ia merasa ada benda kecil yang menusuk bagian
pinggulnya. Lalu tangannya merayap lemah di tanah untuk menjangkau ba-
gian pinggulnya yang terasa sakit dari celah baju. Dengan tubuh yang masih
terbaring lunglai, Bong Mini
mencoba menarik dua benda kecil yang menusuk ping-
gulnya. Hm..., jarum hitam beracun! Gumam Bong Mini da-
lam hati, ketika matanya melihat benda yang tadi menusuk pinggulnya. Untunglah
aku telah memiliki ilmu kekebalan tubuh. Kalau tidak, tentu jarum beracun ini
akan menghabisi nyawaku! Lanjutnya sambil terus
mengawasi ujung jarum berwarna hitam.
Apa yang dikatakan Bong Mini memang benar. Wa-
laupun jarum beracun itu mampu menembus tubuh-
nya, tapi tidak akan menyebabkan kematian baginya.
Sebab ia telah memiliki ilmu kekebalan tubuh yang diberikan oleh Kanjeng Rahmat
Suci gurunya. Kecuali
hanya mempengaruhi kekuatan tenaganya hingga le-
mah seperti apa yang dirasakannya saat itu.
Rupanya telah terjadi pertempuran dahsyat di ru-
mahku ini! Kata Bong Mini dalam hati. Kemudian ia
merebahkan kembali tubuhnya. Ia mulai memusatkan
hati dan pikirannya sambil mengerahkan ilmu 'Batin
Pengusir Racun'. Sebuah ilmu yang dapat mengusir
racun dari dalam tubuh hanya dengan memusatkan
pikiran dan hati pada racun dalam tubuh.
"Hep!"
Bong Mini menahan napasnya beberapa saat. Se-
bentar kemudian, ia pun merasakan cairan yang agak
kental keluar di sekitar pinggul yang terasa nyeri.
Bong Mini kembali menyusupkan tangan kirinya ke
celah baju untuk mengetahui cairan apa yang keluar
dari lubang bekas tusukan jarum hitam beracun itu.
Ia menghela napas lega ketika melihat cairan kental kehijau-hijauan menempel
pada tangan kiri yang dipakai untuk meraba tadi.
"Syukurlah. Racun ini telah keluar dari dalam tu-
buhku!" desah Bong Mini sambil membersihkan cairan
racun yang seperti getah pada rumput di dekatnya.
Saat racun itu menempel pada rumput, rumput yang
semula hijau segar berubah menguning dan mati.
Bayangkan! Bagaimana kalau racun itu masuk ke da-
lam tubuh yang tidak memiliki kekebalan" Tentu akan mengalami nasib seperti
rumput-rumput itu.
Di cakrawala, awan gelap tampak bergerombol me-
ngerikan, menutupi seluruh permukaan langit. Mem-
buat alam di sekitarnya menjadi gelap, walaupun hari belum petang benar.
Petir mulai menyalak amat keras, menggetarkan bu-
mi tempat gadis mungil itu berbaring. Disusul dengan butiran-butiran air hujan
yang menimpa mayat-mayat
serta tubuh sang gadis berumur delapan belas tahun
itu. Mendapat siraman rintik hujan, hati Bong Mini
menjadi gembira. Ia menengadahkan kepalanya seraya
membuka mulut agar air hujan yang turun rintik-rin-
tik itu membasahi tenggorokannya yang kering.
Tubuh Bong Mini berangsur segar ketika tetesan air
hujan dapat diteguk hingga sedikit mengusir haus
yang menggelantung di kerongkongannya.
Baru beberapa detik ia menengadahkan kepala, me-
nikmati butiran-butiran air hujan yang sejuk, tiba-tiba ia merasakan bumi
menderam seperti ledakan kawah
gunung. Lewat matanya yang masih kuyu, ia melihat
pusaran angin sedang melaju mendekatinya. Disusul
dengan barisan penunggang kuda yang meluncur ke
arahnya. "Pasukan berkuda!" desis Bong Mini ketika melihat
sekelompok orang berkuda keluar dari dalam rumah-
nya. Dengan serta-merta ditelungkupkan kembali wa-
jahnya ke tanah. Dalam sekejap mata pasukan ber-
kuda itu telah melewati mayat-mayat yang berserakan dengan angkuh.
Bong Mini berbaring menelungkup dengan kedua
mata terpejam. Hatinya memohon kepada Yang Maha
Kuasa agar dirinya tidak terinjak-injak oleh puluhan kaki kuda seperti yang
dialami mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Harapan Bong Mini terka-
bul. Langkah kuda itu hanya melewati tubuhnya bebe-
rapa senti. Kemudian semuanya berlalu.
Untuk beberapa saat tubuh Bong Mini masih ter-
diam kaku dengan kedua mata terpejam. Ketika kedua
telinganya tidak mendengar lagi derap kaki kuda, barulah ia membuka matanya
perlahan-lahan. Digerak-
gerakkan kedua kaki dan tangannya, seakan ia tak
percaya kalau tubuhnya tidak terluka. Padahal lang-
kah-langkah kaki kuda itu terasa begitu dekat menjejak di antara tubuhnya.
Gadis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat
yang sudah lusuh terkena debu itu kembali mengang-


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kat kepalanya. Kemudian dengan susah-payah ia men-
coba bangkit lalu melangkah terhuyung-huyung menu-
ju rumahnya yang tinggal serakan puing.
Sampai di ruang tengah reruntuhan rumah itu, ia
berdiri termangu menyaksikan keadaan kamarnya
yang tak berbentuk lagi. Bahkan tempat tidur dan seluruh isi kamar itu tertimbun
oleh puing-puing.
Perang, desah Bong Mini dalam hati. Rumah Ini te-
lah menjadi ajang pertempuran!
Pada saat itu, bayangan wajah papanya dan pendu-
duk desa di sekitar tempat tersebut mengambang di
pelupuk matanya.
"Papa, di mana kau" Apakah kau sudah mati?"
ucap Bong Mini dengan rona wajah sedih. Telaga be-
ning di matanya yang selama ini kering mendadak me-
luap kembali. Kemudian air telaga itu pelan-pelan ber-gulir menuju dua pipinya
yang kotor oleh debu dari celah-celah bulu matanya.
Mama, apakah tempat tinggalmu juga telah runtuh
seperti ini" Tiba-tiba ia teringat makam mamanya yang terletak di sebelah
rumahnya. Kemudian kakinya melangkah terhuyung ke tempat pembaringan terakhir
tubuh mamanya. Dan sampai di sana, matanya meli-
hat tembok makam mamanya sudah tidak utuh lagi.
Bagian nisan telah hancur. Hanya sepotong tembok sa-ja yang terlihat masih utuh.
"Oh, Mama! Rumahmu telah dihancurkan orang.
Sungguh biadab mereka!" keluh Bong Mini terisak se-
raya merangkul tembok makam yang tinggal sepotong.
Kemudian, mendadak ia tercekat, melepaskan pelu-
kannya pada makam. Benaknya teringat oleh pasukan
berkuda yang tadi melintasinya. Wajah yang semula
sedih berubah merah merona dan tegang.
Pasti anjing-anjing berkuda itu yang telah menye-
rang orang-orang papa! Geram Bong Mini dalam hati
disertai sepasang matanya yang berkilat-kilat.
"Bong Mini!" tiba-tiba salah satu mayat yang tidak
jauh darinya mengangkat kepala dan memanggilnya
dengan suara parau.
Bayang-bayang dalam kepala Bong Mini menghilang
seketika. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya mere-
mang. Hatinya berdetak ciut mendengar teguran parau itu. Namun ia tetap
memberanikan diri untuk menoleh ke arah suara yang memanggil.
"Aowww!" Bong Mini menjerit. Mukanya ditutup ce-
pat ketika melihat seraut wajah pucat yang banyak di-lumuri darah kering dengan
tangan kiri buntung. Se-
hingga ia tidak mengenali benar siapa orang itu. Apa-
lagi ia hanya melihat sekilas karena dicekam rasa takut terlebih dahulu.
"Bong Mini, jangan takut!" kata lelaki setengah baya yang berusaha mengangkat
kepalanya itu. Suaranya
terdengar parau. "Pandanglah aku lekat-lekat. Apakah kau masih mengenaliku?"
Bong Mini menurunkan kedua tangannya perlahan.
Dengan kedua mata yang masih terpejam, ia mencoba
menarik napas berkali-kali untuk menenangkan pera-
saannya yang masih diliputi keresahan. Kemudian se-
telah merasa keberaniannya tumbuh kembali, ia me-
malingkan wajahnya lagi dan menatap laki-laki tadi.
"Papa, kaukah itu?" desah Bong Mini agak keras.
Karena suaranya kalah oleh rintik-rintik hujan.
"Ya. Aku Bongkap. Papamu!" suara lelaki itu mem-
benarkan. "Kau..." Kau masih hidup?" tanya Bong Mini hampir
tak percaya. Karena di sekelilingnya bergelimpangan mayat-mayat yang menyebarkan
bau busuk. "Ya, Sayang. Aku masih hidup!" sahut Bongkap de-
ngan suara yang lemah. Kemudian ia merangkak, me-
nyeret tubuhnya dengan susah-payah. Bong Mini pun
mencoba bangkit mendekati papanya dengan langkah
yang masih terhuyung. Kemudian ia terduduk sambil
menggenggam tangan papanya yang tinggal sebelah
itu. "Aku tidak percaya kalau kau masih hidup!"
"Mana bisa aku mati!" sahut Bongkap pongah. Ke-
mudian tubuhnya rebah kembali di atas tanah dengan
wajah meringis menahan sakit. "Aku tidak mau mati
sebelum kejahatan sirna dari negeri Selat Malaka ini!"
"Ya. Dan sekarang ini hanya Papa yang bisa sela-
mat!" "Tapi aku belum bisa berdiri!"
"Aku akan bantu, Papa. Mari kita pergi dari sini!"
ajak Bong Mini sambil berusaha membangkitkan tu-
buh Bongkap agar dapat berdiri. Tapi baru saja ia menarik lengan kanan papanya,
tiba-tiba terdengar derap langkah kuda. Semakin lama suara itu terdengar semakin
jelas. Seolah-olah tengah menuju mereka ber-
dua. Ketika derap langkah kuda itu semakin dekat,
Bong Mini melihat pasukan berkuda tadi. Segera direbahkan tubuhnya di antara
mayat-mayat yang berge-
limpangan. Di antara serakan mayat, Bong Mini membuka ke-
dua matanya sedikit untuk mengetahui orang-orang
berkuda itu. Pasukan berkuda itu menghentikan kudanya di te-
ngah-tengah mayat yang bergelimpangan. Mata mereka
menyebar ke seluruh reruntuhan rumah.
"Tidak ada yang mencurigakan!" ucap seorang di
antara mereka ketika melihat tidak ada orang selain mereka di sekitar reruntuhan
rumah. "Ya. Kita segera kembali saja ke markas!" sahut te-
mannya yang lain sambil sesekali memandang mayat-
mayat yang telah menyebarkan bau busuk. Tidak lama
kemudian pasukan berkuda itu segera menarik tali
kekang kudanya dan memacu dengan cepat.
Pasukan berkuda tadi tidak lain orang-orang yang
melakukan pengeroyokan terhadap Khian Liong. Me-
reka datang ke reruntuhan rumah itu tidak lain hen-
dak meneliti keadaan sekeliling. Khawatir ada orang lain di sekitar tempat itu
seperti pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas tadi. Ketika yakin tidak
ada orang yang mencurigakan, barulah mereka pergi menuju markasnya.
"Kita selamat!" bisik Bong Mini pada papanya ketika mengetahui pasukan berkuda
tadi telah lenyap. De-
ngan susah-payah, ia kembali membantu Bongkap un-
tuk dapat berdiri. Setelah papanya dapat bangkit, keduanya pun melangkah
perlahan melintasi mayat-
mayat yang berserakan bersama puing-puing.
*** 2 Awan hitam yang semula bergayut tebal di cakra-
wala, bergerak lambat menuju utara. Langit yang mendung, perlahan-lahan terang
kembali, meski sore itu matahari telah berada di ujung sebelah barat. Sesaat
lagi, tentunya matahari akan lenyap pula oleh kegelapan malam yang menjemputnya.
Walaupun dengan tenaga setengah terkuras dan
langkah terhuyung-huyung, akhirnya Bong Mini dan
Bongkap berhasil melintasi mayat-mayat yang berge-
limpangan. Kini mereka berada di sebuah semak-se-
mak terlindung yang masih berada dalam lingkungan
rumah tersebut.
"Papa tinggal di sini dulu sebentar!" kata Bong Mini sambil membantu
menyandarkan tubuh Bongkap di
sebuah pohon. "Mau ke mana?" tanya Bongkap parau.
"Aku akan menguburkan mayat-mayat itu!" Bong
Mini menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelim-
pangan. "Kenapa kau menyia-nyiakan waktu hanya mengu-
rus mayat-mayat itu, Putriku?" tanya Bongkap dengan wajah keheranan.
"Justru aku tidak dapat pergi meninggalkan tempat
ini sebelum dapat mengubur semua mayat-mayat itu,"
sahut Bong Mini.
"Kalau aku melarang dan memaksamu untuk terus
meninggalkan tempat ini?" pancing Bongkap.
Bong Mini mengembangkan senyumnya.
"Aku tahu siapa Papa. Papa tidak mungkin akan
berbuat seperti itu. Kalaupun Papa benar-benar mela-rangku untuk mengubur mayat-
mayat itu, terpaksa
aku membangkangnya!"
Bongkap terbelalak mendengar ucapan putrinya
yang baru ditemuinya itu. Dia tidak menyangka sete-
lah kurang lebih dua tahun tidak bertemu, putrinya telah memiliki pendirian
sekokoh batu karang.
"Sudah dua tahun kita tidak saling bertemu. Sekali
bertemu kau sudah pandai membangkang. Siapa yang
mengajarimu, heh?" tanya Bongkap pura-pura marah.
"Aku memang anak Papa yang wajib mengikuti se-
gala kehendak Papa. Tapi bukan berarti aku harus
menjadi seekor bebek yang menurut ke sana-sini. An-
dai aku mengikuti kehendak Papa yang tidak benar,
sama artinya Papa menyeretku ke dalam kesesatan,"
dalih Bong Mini, mengemukakan pendapatnya dengan
suara tegas tanpa ragu-ragu. Tapi sikapnya tetap hormat, sebagaimana anak
terhadap orang-tua.
Sepintas lalu, ucapan Bong Mini itu memang ku-
rang ajar. Tetapi karena di balik ucapannya itu menyimpan satu kebenaran, maka
Bongkap bukannya
marah, malah jadi terkagum-kagum terhadap putrinya.
"Kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, laksa-
nakanlah!"
"Terima kasih, Papa!" ucap Bong Mini. Sesungguh-
nya ia sendiri sudah tahu bahwa ucapan dan kemara-
han papanya itu hanya sebagai pancingan belaka.
Kaki Bong Mini melangkah menuju tempat mayat-
mayat tergeletak. Satu persatu tubuh tanpa nyawa itu
dikumpulkan. Setelah berkumpul semua, baru ia
menggali tanah dengan menggunakan sebilah pedang
milik salah satu mayat.
Aneh! Kalau tadi ia merasakan tubuhnya lemah,
bahkan ketika membantu papanya berjalan ia hampir
saja jatuh, tapi ketika ia mengumpulkan mayat-mayat dan mulai menggali lubang
untuk makam mereka, tubuhnya tidak merasa letih sedikit pun. Malah semakin ia
bersemangat, semakin bertambah pula tenaganya.
Bongkap yang duduk bersandar di bawah sebuah
pohon menyaksikan putrinya sedang bekerja keras
menggali tanah dengan tatapan mata yang takjub.
Sungguh tak sia-sia aku merawat, menyayangi dan
mendidiknya. Karena dia sekarang telah tumbuh men-
jadi seorang gadis remaja yang mempunyai pendirian
yang kuat. Sungguh aku bangga terhadap putriku
sendiri! Gumam hati Bongkap sambil terus meman-
dang putrinya yang masih bekerja keras menggali ta-
nah. Tanpa merasakan letih sedikit pun, Bong Mini terus
menggali tanah. Tapi karena usaha penggaliannya ma-
sih terlalu lama untuk mencapai kedalaman yang di-
harapkan, ia pun menjadi tidak sabar. Lalu ia meng-
ambil pedangnya sendiri dan mulai menggali tanah lagi dengan dua pedang. Ketika
ia hendak menggerakkan
Pedang Teratai Merahnya, tiba-tiba pedang itu lepas dari genggaman Bong Mini.
Kemudian ia bergerak sendiri untuk menggali tanah dengan kecepatan yang luar
biasa. Saking cepatnya hingga menimbulkan angin
kencang di sekitarnya, membuat tanah galian itu ber-hamburan lalu menumpuk di
sekitar mulut lubang
yang sudah tergali dalam.
Melihat kejadian pedang itu, bukan saja Bong Mini
yang merasa takjub, Bongkap pun terbelalak kaget!
Tanpa berkedip, matanya terus mengawasi Pedang Te-
ratai Merah yang memiliki kesaktian itu.
Bong Mini tersadar dari ketercengangannya. Kemu-
dian ia segera mengangkat mayat yang telah terkum-
pul satu persatu dan memasukkannya ke dalam lu-
bang. Sedangkan Pedang Teratai Merah terus mem-
buat galian yang baru sebanyak tiga lubang.
Bong Mini telah selesai menimbun mayat-mayat
yang sudah berada di dalam lubang. Kini empat gun-
dukan besar terlihat di halaman rumahnya yang po-
rak-poranda. "Maafkan aku yang terlambat datang, sehingga ti-
dak sempat membantu kalian dalam pertempuran!"
ucap Bong Mini setengah berbisik. Tubuhnya berdiri
menghadap empat kuburan besar. Sedangkan dari ke-
dua matanya tampak air mata berurai membasahi ke-
dua pipinya yang terlihat letih dan lusuh.
Bongkap, yang sejak tadi memperhatikan tingkah
anaknya dari kejauhan, menjadi terharu mendengar
ucapan Bong Mini tadi. Dengan susah-payah ia beru-
saha bangkit dan melangkah menuju tempat putrinya
berlutut di hadapan salah satu gundukan. Di sana dia berdiri di belakang
putrinya dengan kedua matanya
yang berkaca-kaca.
Suasana hening beberapa saat. Hanya desir angin
senja mengusik lembut, membelai rambut bapak dan
anak itu. Setelah lama terpaku di depan makam para pen-
gawal yang telah gugur, Bongkap dan Bong Mini me-
langkah gontai meninggalkan rumah mereka. Matahari
telah tersungkur ke tempat persembunyiannya. Alam
yang semula terang-benderang, kini ditelan kegelapan.
Membuat rumah-rumah penduduk dan pepohonan be-
rubah menjadi bayang-bayang hitam.
"Papa bisa bertahan?" tanya Bong Mini seraya me-
lingkarkan tangan Bongkap ke bahunya untuk mem-
bantu papanya berjalan. Sengaja ia tidak menolong
mengobati luka Bongkap karena yakin akan kemam-
puan papanya untuk mengobati sendiri.
"Aku baik-baik saja!" sahut Bongkap. Sesungguh-
nya ia sendiri dapat berjalan tanpa bantuan Bong Mini.
Tapi sengaja hal itu tidak dilakukan karena ia merasa rindu terhadap putri
kesayangannya yang menghilang
sekian lama. Hening kembali. Hanya jangkrik saja yang mulai
ramai bernyanyi. Ditingkahi oleh senandung katak. Sehingga lengkaplah kesunyian
yang melingkupi malam
itu. Bong Mini dan Bongkap terus berjalan menembus
kegelapan. Tanpa terasa keduanya telah jauh mening-
galkan rumah mereka yang telah porak-poranda.
"Kita istirahat di sini!" usul Bongkap ketika keduanya telah sampai di tengah


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hutan Lodan. Bong Mini menurut. Kemudian keduanya mengam-
bil tempat yang agak nyaman untuk beristirahat
"Aku ingin mencari kayu bakar dulu!" cetus Bong
Mini. "Jangan lama-lama!" kata Bongkap.
Bong Mini mengangguk sambil tersenyum. Kemu-
dian ia segera melangkah untuk mencari kayu bakar.
Diikuti pandangan mata papanya yang masih menyim-
pan kerinduan. Tidak begitu lama Bongkap menunggu, Bong Mini
muncul dengan membawa setumpuk kayu bakar. Ke-
mudian kayu-kayu bakar itu disusun untuk api un-
ggun. Setelah itu Bong Mini segera menyulutnya. Perlahan keadaan di sekeliling
mereka yang sebelumnya
gelap berubah terang. Api unggun yang bergerak di
udara seperti lambaian tangan penari, menerangi wa-
jah keduanya sekaligus menghangatkan mereka.
Dalam jilatan cahaya api unggun, Bong Mini tam-
pak membersihkan wajah papanya dari bercak darah
yang mulai mengering. Dibersihkan darah kering itu
dengan menggunakan daun-daun basah yang sempat
ditimpa hujan sebelumnya. Ketika darah kering telah terkelupas, ia membasuh
wajah Bongkap dengan
menggunakan selendang kuning miliknya yang diambil
dari pundaknya.
"Putriku. Coba ceritakan bagaimana kau bisa terle-
pas dari cengkeraman orang-orang Perguruan Topeng
Hitam?" tanya Bongkap ketika wajahnya telah diber-
sihkan. Bong Mini mengambil tempat duduk yang lebih nya-
man di samping papanya. Kemudian ia menceritakan
pengalamannya selama berpisah dengan Bongkap. Da-
ri pertama ia dibawa oleh Ketua Pasukan Perguruan
Topeng Hitam sampai berada di kediaman Kanjeng
Rahmat Suci. Bongkap termangu-mangu mendengar kisah putri-
nya. Hatinya bersyukur bahwa Bong Mini selamat dari cengkeraman orang-orang
Perguruan Topeng Hitam.
"Sekarang, aku ingin mendengar cerita Papa, kena-
pa keadaan Papa menjadi demikian?" Bong Mini balik
bertanya. Karena sejak tadi, hal tersebut yang meng-ganjal hati, hingga
membuatnya sedih.
Bongkap menghela napas berat. Sorot matanya
tampak kosong memandang ke arah api unggun yang
bergoyang-goyang tertiup angin.
"Mereka adalah sekelompok bajak laut dari negeri
Lanoa yang berkeliaran di pesisir Selat Malaka. Di selat itu, mereka melakukan
pembajakan terhadap nelayan-nelayan, sehingga para nelayan segan melintasi Selat
Malaka lagi karena kawasan itu telah dikuasai me-
reka!" jabar Bongkap. Kemudian ia menceritakan se-
pak-terjang para bajak laut yang selalu melakukan perampokan terhadap para
nelayan yang berlayar di Se-
lat Malaka. Termasuk menjarah harta dan wanita-
wanita muda yang tinggal di sekitar kawasan itu.
"Kemudian aku memerintahkan seluruh pengawal
untuk memberantas gerakan mereka yang merugikan
rakyat. Tapi tidak ada kabar berita dari mereka sampai sekelompok bajak laut itu
menyerang dan membantai
sebagian pengawal dan orang-orang yang sedang berlatih silat di rumah!" tutur
Bongkap, mengakhiri ceritanya.
"Siapa sebenarnya para pembajak itu, Papa?" tanya
Bong Mini. "Mereka menamakan dirinya Iblis Pulau Neraka, ka-
rena mereka tinggal di Pulau Neraka, sebelah barat Selat Malaka!" sahut papanya.
"Papa tahu pemimpin mereka?"
Bongkap menggelengkan kepala.
"Kita harus membuat perhitungan!" geram Bong
Mini. Rahang gadis cantik itu mengeras bersama gemeletuk giginya.
"Tentu saja, Putriku. Tapi tidak sekarang. Aku me-
merlukan waktu untuk memulihkan kesehatanku!" sa-
hut Bongkap. "Selama Papa beristirahat, biar aku yang akan me-
numpas iblis-iblis keparat itu!" ujar Bong Mini. Suaranya masih terdengar geram,
dihela kegusaran untuk secepatnya membabat habis para perampok dan membantai
orang-orangnya.
"Kau tak akan mampu, Putriku. Mereka terlalu ku-
at!" sergah Bongkap, menyangsikan kemampuan Bong
Mini. "Kalau dipikir, tidak ada manusia yang paling kuat
atau paling hebat, Pa. Sebab di antara yang kuat masih ada yang lebih kuat.
Sehebat-hebatnya manusia,
masih ada yang lebih hebat lagi. Di atas langit masih ada langit! Kita tidak
punya daya dan kekuatan apa-apa bila Yang Menguasai diri kita tidak menggerak-
kannya!" sahut Bong Mini dengan semangat berapi-api.
"Siapa Yang Menguasai diri kita itu, Putriku?"
"Tuhan Yang Maha Kuasa!" tegas Bong Mini.
Bongkap tercengang mendengar jawaban Bong Mini.
Dia tidak mengira kalau putrinya telah mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Terutama cara berpikirnya.
Di saat mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-
tiba terdengar derap langkah kuda dari depan.
"Ada dua orang menuju kemari, Papa!" bisik Bong
Mini. "Ya. Kita harus siap-siap menghadapi jika mereka
hendak berniat jahat!" timpal Bongkap seraya berusa-ha bangkit. Namun tubuhnya
kembali roboh lalu ter-
sandar di sebatang pohon. Pahanya masih terasa sakit karena dua peluru yang
menembusnya belum sempat
dikeluarkan. "Papa tenang saja di sini. Aku yang akan mengha-
dapi kedua orang itu!" sergah Bong Mini, menenang-
kan Bongkap. Kemudian ia bangkit untuk bersiap-siap menyambut kedatangan dua
penunggang kuda itu.
"Tuan Bongkap, benarkah Tuan di situ"!" tiba-tiba
salah satu penunggang kuda berteriak ke arah mereka.
Bongkap dan Bong Mini tercekat kaget. Mereka
kenal betul suara orang itu.
"Apakah kau Ashiong"!" balas Bong Mini untuk me-
nguatkan dugaannya. Sedangkan matanya meman-
dang lurus ke arah dua penunggang kuda yang mulai
mendekat ke arah mereka.
"Benar. Aku Ashiong dan Sang Piao!" sahut suara
itu lagi. Setelah berkata begitu, keduanya telah berada di hadapan Bong Mini dan
Bongkap. Kemudian mereka
meloncat dari punggung kuda dan memberi hormat
kepada Bongkap.
"Kami baru saja dari rumah Tuan, tapi betapa ter-
kejutnya aku ketika melihat rumah Tuan hancur. Le-
bih terkejut lagi ketika kulihat empat makam besar di halaman rumah. Sedangkan
Tuan sendiri tidak ada di
tempat itu. Apa sebenarnya yang terjadi, Tuan?" tanya Ashiong dengan nada suara
prihatin dan tatapan sedih melihat keadaan raja yang dicintainya.
Bongkap tidak segera menjawab. Hanya kedua ma-
tanya saja yang mencorong tajam memandang dua pe-
ngawal setianya secara bergantian.
"Cerita kalian sendiri bagaimana hingga selamat se-
perti ini?" Bongkap balik bertanya. Ia sungguh tidak percaya melihat dua
pengawal setia yang diandalkan
itu masih hidup dan kini dapat menyertainya.
"Kami berdua menyelamatkan diri setelah seluruh
pasukan tewas!" sahut Sang Piao menjelaskan.
"Kenapa kalian begitu tega meninggalkan mayat-
mayat teman sendiri?" tanya Bong Mini.
"Dua orang melawan pasukan tangguh yang demi-
kian banyak, sama artinya melakukan bunuh diri!" sahut Sang Piao.
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Sang Piao la-
gi. "Untuk sementara waktu, kalian harus menyela-
matkan papaku ke tempat yang lebih aman agar dapat
beristirahat dengan baik. Sedangkan masalah Iblis Pulau Neraka, biar aku yang
akan membereskan!" sahut
Bong Mini mewakili papanya.
"Bagaimana mungkin Putri menghadapi mereka
sendirian?" sergah Sang Piao ragu.
Bong Mini tersenyum melihat sikap dua pengawal
setia Bongkap yang meragukan kemampuannya. Ia
sendiri sebenarnya bukan karena merasa memiliki ke-
saktian sehingga berani menyatakan itu, tetapi karena dendamnya terhadap
kejahatan orang-orang Iblis Pulau Neraka yang telah membantai para pengawal dan
prajurit papanya.
"Sudahlah! Lihat bagaimana nanti saja. Saat ini
yang harus kita pikirkan adalah mencari tempat per-
istirahatan papa!" kata Bong Mini tanpa mau banyak
cakap lagi. "Apakah kita harus mencarinya malam ini juga?" ta-
nya Sang Piao. "Sebaiknya memang begitu. Udara malam ini ku-
rang baik untuk kesehatan papaku!" sahut Bong Mini.
"Aku pikir juga begitu!" celetuk Ashiong.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" usul
Sang Piao. Bong Mini dan Ashiong segera menghampiri papa-
nya yang terlihat mulai letih. Kemudian mereka mem-
bantu Bongkap berjalan menuju kuda. Di punggung
kuda, Bongkap ditemani oleh Bong Mini. Sedangkan
Sang Piao bersama Ashiong.
Tidak lama kemudian mereka pun segera mening-
galkan api unggun yang sudah menjadi arang, lalu
menembus kegelapan malam.
*** 3 Siang itu langit tampak cerah. Matahari bersinar
gencar, seakan hendak menyingkap gerombolan awan
yang berusaha menutupi cahayanya. Angin panas ber-
hembus semilir, merontokkan daun-daun pepohonan
yang sudah kering.
Di bawah terpaan sinar matahari yang menyengat,
dua ekor kuda tampak berjalan lambat. Sedangkan di
masing-masing punggung kuda itu duduk dua orang
gagah. Tiga laki-laki dan seorang perempuan remaja.
Usia remaja itu sekitar delapan belas tahun. Bermata sipit dan bertubuh mungil.
Rambutnya yang panjang
dikepang dua. Sedangkan rambut bagian atasnya di-
kucir dengan bentuk seperti bunga mengembang dan
bagian belakangnya dibiarkan tergerai bebas.
Keempat orang tersebut tidak lain Bong Mini, Bong-
kap, Ashiong dan Sang Piao. Mereka baru saja sampai di Kampung Dukuh, setelah
semalaman mencari rumah untuk beristirahat. Wajah mereka tampak kuyu
karena belum sempat tidur.
Di saat mereka menghentikan langkah kuda di
kampung yang jarang penduduknya itu, tiba-tiba me-
reka mendengar jeritan perempuan meminta tolong.
Dengan sigap mereka bergegas menuju asal suara yang ternyata berasal dari sebuah
gubuk tua. Tanpa menunggu komando lagi, Ashiong dan Sang
Piao segera melompat dari punggung kuda lalu mendo-
brak pintu yang tertutup itu.
Brakkk! Pintu terkuak keras. Empat lelaki bertubuh tinggi
kekar yang berada di dalam tampak terkejut. Mereka
serentak menoleh ke arah pintu.
"Lelaki pengecut yang hanya berani mengganggu
wanita!" maki Ashiong dengan nada geram. Sorot ma-
tanya menusuk tajam ke arah empat lelaki bertubuh
kekar itu. Ashiong tahu betul, siapa mereka.
Keempat lelaki itu tidak lain para pengikut Perkum-
pulan Iblis Pulau Neraka. Mereka bernama Inggang,
Danu, Sadewo, dan Rebek. Mereka datang ke tempat
itu hendak melakukan penjarahan barang-barang mi-
lik rakyat serta mengganggu kaum wanita yang masih
muda seperti saat itu mereka lakukan terhadap wanita yang berada di dalam gubuk.
"Monyet buduk! Berani benar kau mengganggu ke-
senangan orang!" geram lelaki yang bernama Inggang.
Dia berperawakan tinggi besar dan kasar. Kulitnya hitam mengkilat dengan rambut
ikal panjang tak ter-
urus, berikat kepala merah. Matanya besar kemerah-
merahan dengan kumis tebal melintang. Membuat o-
rang gentar melihat penampilannya. Sedangkan cela-
nanya model pangsi dan berbaju koko merah yang
kancingnya dibiarkan terbuka, seakan memamerkan
bulu dadanya yang hitam lebat.
"Sebuah keasyikan yang menjijikkan dan harus di-
musnahkan!" sahut Ashiong tak kalah geram.
"Setan kurap! Rasakan pukulanku ini!" tuntas ber-
kata begitu, Inggang langsung menyerang Ashiong de-
ngan penuh nafsu. Begitu pula ketiga temannya yang
lain. Mereka segera mengeroyok Sang Piao.
Ashiong dan Sang Piao cepat melompat ke belakang
agar perkelahian tidak merusakkan rumah tua itu. Sedangkan gadis remaja yang
sudah robek-robek baju-
nya, dengan wajah ketakutan bergeser ke sudut kamar sambil menutupi bagian
tubuhnya yang terbuka.
Sementara itu, Bong Mini yang masih menjaga tu-
buh lemah papanya, tetap duduk di punggung kuda
sambil menyaksikan pertempuran antara Ashiong dan
Sang Piao melawan keempat lelaki itu. Sengaja dia tidak turun tangan karena
yakin kalau dua pengawal
kepercayaan papanya itu dapat menjatuhkan keempat
lawan mereka. Menyadari pukulan tangan kosongnya luput dari
sasaran, Inggang segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Dengan
nafsu yang membukit, ia segera merangsek ke arah lawan sambil menyabet-nya-
betkan pedangnya.
Wut wut wuttt! Senjata lelaki bertubuh kasar dan berwajah bengis
itu menyambar-nyambar tubuh Ashiong dengan cepat.
Terkadang golok yang digunakan untuk menyerang itu
memancarkan pantulan sinar matahari.
Trang!

Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini Ashiong menangkis serangan lawan dengan
pedang. Bunga api memercik ketika dua senjata me-
reka beradu dengan keras.
Pertempuran berlangsung sengit. Ashiong dan Sang
Piao masing-masing menghadapi dua lawan bersenjata
golok. Dalam pertempuran itu mereka sama-sama hen-
dak mengungguli kehebatan lawannya. Itu sebabnya
mereka tak sungkan-sungkan lagi mengerahkan tena-
ga dalam pada tangan yang menggenggam senjata. Aki-
batnya mereka selalu merasa kesemutan bila terjadi
benturan senjata.
Sementara itu, di punggung kuda, Bong Mini dan
Bongkap tetap menyaksikan pertempuran itu dengan
tatapan takjub melihat serangan dan tangkisan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Mereka menilai kalau empat orang dari
Perkumpulan Iblis Pulau Neraka itu jelas telah menguasai ilmu permainan golok.
Terbukti dari serangan-serangan mereka yang begitu gen-
car dan cepat. Terkadang golok mereka berputar-putar seperti baling-baling
kapal. Ashiong dan Sang Piao pun tidak mau kalah. Me-
reka yang menguasai ilmu pedang sejak di negeri Manchuria, melakukan gerakan
yang sama hebatnya, me-
ngimbangi kehebatan lawan. Bahkan lewat jurus 'Pe-
dang Samber Nyawa', senjata di genggaman kedua le-
laki itu berkelebat kian kemari dengan dahsyat. Dan saking cepatnya, pedang itu
seolah-olah lenyap. Hanya suitan-suitan angin saja yang terdengar menyambar-
nyambar ke arah lawan.
Breb! Ujung pedang Ashiong yang mengarah ke tubuh pa-
ra lawan dengan gerakan menusuk, menembus tubuh
Rebek. Seketika itu juga darah terpercik bersamaan
dengan limbungnya tubuh orang itu. Ketika ia menarik pedangnya dari tubuh Rebek,
pengikut Perkumpulan
Iblis Pulau Neraka itu langsung ambruk tanpa dapat
bergerak lagi. Melihat temannya mati bersimbah darah, wajah In-
ggang tampak merah menegang. Sorot matanya berbi-
nar-binar merah. Seiring dengan darahnya yang bergolak panas menerobos sekujur
tubuhnya. Sehingga pa-
da saat itu juga tubuhnya telah melompat menerjang
ke arah Ashiong dengan permainan golok yang se-
makin gila. "Hiaaat!"
Wut wut wuttt! Teriakan melengking yang disusul oleh deruan golok
terdengar, mengagetkan Ashiong. Namun dengan ce-
pat, Ashiong menghindari serangan lawan dengan ge-
rakan melompat setinggi tiga meter. Tubuhnya berpu-
tar di udara lalu hinggap di atas tanah yang jaraknya sepuluh meter dari tempat
lawan berdiri. Di lain pihak, Sang Piao tampak tengah mengimba-
ngi jurus-jurus dua lawannya dari Iblis Pulau Neraka.
Bahkan gerakannya kini begitu cepat melebihi gerakan lawannya. Sampai suatu saat
ujung pedangnya sempat
menggores bahu Sadewo, salah seorang lawan.
Bret! Sadewo terpekik kaget. Tangan kirinya langsung
memegang bahu kanan yang terluka dan mengelua-
rkan darah. "Bangsat!" dengus orang itu. Kemudian tubuhnya
bergerak menyerbu lawannya dengan mata berkilat-
kilat serta napas yang memburu hingga ia hilang kon-trol. Akibatnya" Ujung
pedang Sang Piao menancap ke perutnya. Ia terpekik kesakitan. Tubuh Sadewo
ambruk ke tanah. Menggeliat-geliat sebentar lalu diam tanpa nyawa lagi.
Melihat Sadewo ambruk bersimbah darah, Danu
yang turut menyerang Sang Piao menjadi ciut hatinya.
Kemudian tubuhnya segera melompat dan lari mening-
galkan ajang pertempuran itu. Kini tinggal Inggang
yang masih melayani ketangguhan Ashiong. Tapi ia
pun mulai gentar menghadapi lawannya. Apalagi keti-
ka melihat temannya tunggang-langgang melarikan di-
ri. Konsentrasinya buyar dan serangannya pun menja-
di kacau. Keadaan seperti itu, tentu saja sangat menyenang-
kan Ashiong. Tanpa membuang waktu lagi ia segera
menghujamkan pedangnya ke arah lawan.
Wut wut wuttt! Gagal. Namun segera disusul dengan sebuah ten-
dangan lurus ke dada lawan dengan cara memutar tu-
buhnya terlebih dahulu.
"Hegh!"
Inggang terpekik pendek saat tubuhnya membentur
batu yang cukup besar akibat dorongan kaki lawan
yang tepat mengenai dadanya. Sebelum ia membalik-
kan tubuh, Ashiong telah berdiri di dekat kepalanya.
Dan tanpa banyak cakap lagi, kakinya menjejak keras di dada lawan yang masih
telentang itu. "Aaakh...!"
Pekik kematian meluncur dari mulut Inggang. Da-
rah kehitam-hitaman keluar dari mulutnya ketika kaki Ashiong menghantam dadanya.
Kemudian ia mati dengan sepasang mata yang melotot serta lidah yang
menjulur mengerikan!
Sepi. Tak ada lagi teriakan atau denting senjata.
Ashiong dan Sang Piao menatap tiga tubuh lawan
yang bermandi darah dengan tatapan mata puas ka-
rena telah dapat mengakhiri sepak-terjang mereka
yang selalu membuat teror bagi penduduk kampung.
Walaupun masih banyak bajingan lain di samping me-
reka. Termasuk Ketua Perkumpulan Iblis Pulau Nera-
ka. Saat mereka terpaku memandangi tiga mayat yang
bergeletakan, tiba-tiba muncul gadis yang hendak di-perkosa oleh empat lelaki
dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka tadi. Dia seorang gadis pribumi berumur
kira-kira delapan belas tahun, seumur dengan Bong Mini.
Wajahnya cantik, berhidung mancung dengan dua biji
matanya yang bundar gemerlap. Kulitnya langsat de-
ngan rambut bergelombang yang panjang terurai.
"Terima kasih atas pertolongan kalian!" hatur gadis itu dengan suara yang
berdesah basah.
Ashiong dan Sang Piao hanya membalas ucapan itu
dengan senyuman dan anggukan lembut. Sedangkan
mata mereka tak henti-hentinya memandang kecanti-
kan gadis itu. Kemudian mereka saling menoleh seraya
mengerlingkan mata masing-masing dengan bibir ter-
senyum. Lalu dengan serempak keduanya mendekati
gadis cantik itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Ashiong dan Sang Piao
bersamaan dengan sikap yang saling mendahului se-
perti orang yang berebut perhatian.
Gadis cantik yang mempunyai sepasang mata ber-
binar-binar itu tersenyum kemayu.
"Aku baik-baik saja. Tapi....!" sahut gadis itu tidak dilanjutkan.
"Tapi apa?" kembali pertanyaan mereka berbare-
ngan. Sehingga sekali lagi mata keduanya saling menatap dengan hati kesal.
"Orang-tuaku!" sahut gadis itu pendek.
"Ada apa dengan orang-tuamu?" kali ini Sang Piao
dapat mendahului.
"Mereka dibunuh oleh iblis-iblis jahanam itu," lirih gadis itu dengan wajah
murung. Air matanya mulai
merembes membasahi kedua lekuk-lekuk pipinya yang
lembut kekuning-kuningan.
Ashiong dan Sang Piao tertegun beberapa saat. Ke-
duanya saling berpandangan. Lalu seperti ada yang
memberi komando, keduanya melangkah masuk me-
nuju tempat di mana kedua orang-tua gadis itu ber-
ada. Diikuti oleh sang gadis.
Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan tingkah ke-
dua pengawal setia papanya tampak tersenyum-se-
nyum. "Kasihan mereka. Seharusnya dalam usia mencapai
tiga puluh tahun mereka sudah kawin!" ucap Bongkap
yang juga menyaksikan tingkah laku kedua pengawal-
nya. "Tapi mereka seperti tidak memikirkan itu!" kata
Bong Mini. "Mana mungkin bisa terpikir oleh mereka. Setiap
hari mereka selalu dihadapkan pada pedang, golok,
dan bau amis darah!" sahut Bongkap.
Bong Mini tertegun. Diam-diam hatinya merasa ka-
sihan juga kepada dua pengawal papanya yang selalu bergelut dengan perang,
sehingga mengabaikan kepen-tingannya sendiri. Meski itu merupakan perbuatan
yang terpuji dengan mendahulukan kepentingan orang
banyak dan mengesampingkan kepentingan pribadi.
"Kita turun, Papa?" usul Bong Mini.
Bongkap menjawab dengan anggukan kepala.
Tubuh Bong Mini segera meloncat dari punggung
kuda terlebih dahulu. Setelah itu, baru papanya dibantu turun. Kemudian mereka
melangkah beriringan ke
dalam gubuk tua itu.
Beberapa saat keduanya terdiam ketika mendengar
isak tangis gadis tadi. Sedangkan di hadapannya ter-bujur dua mayat yang sudah
kaku membiru. Tentu
mereka orang-tua sang gadis.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan
aku tidak mungkin tinggal di gubuk ini sendirian!"
ucap sang gadis di sela isak tangisnya.
Keempat orang di sekitarnya menoleh ke arahnya
dengan penuh rasa iba.
Ashiong mengalihkan pandangannya ke arah Bong-
kap. "Tuan! Bagaimana kalau kita beristirahat di sini saja sekalian menemani
gadis ini agar tidak merasa
kesepian?" usulnya.
Mata Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan.
Kemudian mereka tersenyum penuh arti.
"Apa yang dikatakannya sungguh baik. Aku sangat
menyetujui. Daripada aku sendirian lalu akan menjadi sasaran empuk manusia-
manusia iblis tadi!" gadis itu menyahut menyetujui.
"Kalau memang demikian, baiklah. Aku menyetujui
usulmu, Ashiong!" sahut Bongkap sambil memandang
pengawalnya itu.
Ashiong yang memang sudah bersimpati terhadap
gadis itu menjadi senang hatinya. Ia pun tersenyum
ketika rajanya menyetujui usul yang diajukan tadi.
*** Setelah menguburkan kedua orang-tua gadis itu,
mereka mengambil tempat duduk di ruang depan de-
kat pintu untuk melanjutkan percakapan.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Bongkap dengan tata-
pan iba. "Ratih Purbasari!" sahut sang gadis.
Bongkap mengangguk-angguk sambil menatap haru
pada gadis yang duduk di depannya.
"Paman siapa?" Ratih balik bertanya.
"Namaku Bongkap!" sahut Bongkap. "Dan ini Bong
Mini, putriku!" lanjut Bongkap, memperkenalkan pu-
trinya. Ratih Purbasari tampak tersentak kaget mendengar
nama itu. Ia merasa pernah mendengar tentang diri
Bongkap. Bukan saja dari orang banyak, tetapi juga
dari orang-tuanya di kala mereka masih hidup.
"Kalau begitu, Paman seorang raja!" cetus gadis itu seraya membenarkan letak
duduknya untuk memberi
hormat kepada Bongkap dan Bong Mini.
Bongkap tersenyum melihat perubahan sikap Ratih
yang begitu mendadak.
"Kenapa tiba-tiba kau merubah sikap?"
"Karena Paman seorang raja!" sahut Ratih dengan
sikap yang hormat.
"Bersikaplah seperti biasa sebagaimana kala perta-
ma tadi kau belum mengenalku!"
"Aku tidak berani, Tuan!" sahut Ratih, tetap bersi-
kap hormat "Kenapa?" tanya Bongkap. Keningnya berkerut
"Seperti yang kukatakan tadi, Tuan adalah seorang
raja yang harus dihormati!"
"Aku menyukai kalau kau tetap memanggilku de-
ngan sebutan paman, sekaligus bersikap kepadaku se-
bagaimana seorang keponakan terhadap pamannya,"
kata Bongkap. Ratih Purbasari menatap wajah lelaki setengah baya
itu dan berkata dengan sikap yang sungguh-sungguh,
namun tetap ramah dan halus. "Tuan! Waktu kedua
orang-tuaku masih hidup, mereka selalu memperingat-
kan agar aku selalu menghormati orang-tua dan selalu ingat akan tatakrama serta
berlaku sopan santun. Karena sekarang aku telah mengetahui bahwa Tuan seo-
rang raja, maka sudah semestinya kalau aku bersikap hormat dan memanggil dengan
sebutan Tuan!"
Bongkap memandang gadis itu dengan terkagum-
kagum. Namun demikian, dia mencoba memancing
ucapan Ratih kembali.
"Engkau terlalu memegang peraturan, Ratih!"
Ratih Purbasari tersenyum. Sikapnya tetap tenang,
halus, dan sopan. "Tuan, manusia di dunia ini tidak bisa lepas dari peraturan.
Bila manusia hidup tanpa peraturan, tentu kehidupan ini akan menjadi liar,
sehingga tidak berbeda dengan kehidupan binatang.
Maaf, Tuan, jika aku terlalu lancang berbicara!"
Beberapa saat ruangan itu diisi kesenyapan.
Bongkap, Bong Mini, dan dua pengawal setianya sa-
ling berpandangan dengan wajah tercengang. Kemu-
dian mereka mengalihkan pandangan kepada Ratih
Purbasari dengan sinar mata terkagum-kagum. Mereka
tidak menyangka kalau gadis lembut yang agak pema-
lu itu mempunyai pandangan yang demikian arif.
"Ratih Purbasari!" cetus Bong Mini tiba-tiba. "Apa
yang kau katakan tadi memang benar. Hidup, memang
akan menjadi kacau bila tanpa peraturan. Namun, bila kita terlalu memegang
peraturan pun hidup ini akan
menjadi kaku. Menurutku, di dalam segala macam hal
harus diperlukan kebijaksanaan. Dengan kebijaksa-
naanlah manusia akan selalu dapat melakukan per-


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

timbangan-pertimbangan, mana yang baik, mana yang
buruk. Mana yang benar, atau tidak," tutur Bong Mini mengemukakan pendapatnya
mengambil jalan tengah.
Kalau tadi Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao terke-
jut mendengar ucapan Ratih Purbasari, kini mereka
tercengang pula mendengar kata-kata Putri Bong Mini.
Kata-katanya pun mengandung kebenaran pula.
"Lalu selanjutnya bagaimana?" tanya Ratih.
"Ratih Purbasari. Karena aku telah menganggapmu
sebagai putriku, itu pun jika kau setuju, maka lebih baik jika kau memanggilku
dengan sebutan paman,
bagaimana?" kata Bongkap.
"Aku sangat gembira sekali mendengar ketulusan
Tuan untuk mengangkatku sebagai anak. Dan jika
Tuan memang menghendaki agar aku tetap memanggil
dengan sebutan paman, aku pun akan menuruti. Se-
bab aku telah menjadi anak angkat Tuan!" sahut Ratih Purbasari dengan sikap yang
masih tetap halus dan
lembut. "Nah, begitu... Aku menjadi senang mendengarnya!"
ucap Bongkap sambil tersenyum. "Sekarang, aku akan
memperkenalkan kepadamu dua pengawalku ini. Yang
sebelah kananmu itu bernama Ashiong sedangkan
yang di sebelah kirimu bernama Sang Piao. Kedua-
duanya masih lajang. Tinggal kamu pilih salah satu di antara mereka!" ujar
Bongkap, setengah bergurau.
"Ah, Paman ada-ada saja!" sergah Ratih dengan se-
ulas senyum malu. Wajahnya mendadak merah me-
rona. Sementara yang lainnya tersenyum cerah, seo-
lah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap diri mereka. Bahkan Bongkap yang
tadi merasakan sakit di
bagian pahanya, mendadak hilang karena terbawa oleh suasana gembira.
*** 4 Pulau Neraka berada di sebelah barat Selat Malaka.
Tempatnya sunyi. Penuh dengan pepohonan besar
yang menjulang tinggi. Binatang buas banyak berkeliaran di pulau itu. Apalagi
bila malam telah merambah, lolongan srigala lapar, desisan ular serta raungan
ha-rimau kerap terdengar di sana. Sehingga tak seorang pun berani datang ke
pulau itu, apalagi untuk men-diaminya.
Setelah sekian lama Pulau Neraka tak berpenghuni,
datanglah sekelompok bajak laut yang berasal dari negeri Lanoa. Mulanya mereka
berlayar untuk melaku-
kan pembajakan terhadap perahu-perahu nelayan dan
kapal para saudagar yang melintasi Selat Malaka.
Suatu hari, ketika para pembajak itu beristirahat di Pulau Neraka, mereka
terkesan terhadap keadaan pulau tersebut. Selain tak berpenghuni, juga karena
banyak ditumbuhi oleh pepohonan yang besar dan lebat.
Benar-benar merupakan tempat yang sangat aman se-
bagai persembunyian atau tempat tinggal tetap mere-
ka. Akhirnya mereka menjadikan tempat itu sebagai
markas para bajak laut.
Di sana mereka membuat perkumpulan dengan na-
ma Iblis Pulau Neraka. Sebuah perkumpulan yang ter-
diri dari tokoh-tokoh sesat yang bukan saja datang da-ri negeri Lanoa, tetapi
juga dari wilayah setempat. Mereka bergabung dengan satu tekad, menguasai dan
memeras rakyat.
Perkumpulan Iblis Pulau Neraka dipimpin oleh seo-
rang penduduk asli negeri Lanoa yang hijrah ke pulau tersebut. Dia bernama
Gonggo Gung. Tubuhnya besar
berotot dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima senti meter. Tubuhnya
hitam berkilat. Berbibir tebal dengan hidung besar dan agak pesek. Sedangkan
sepasang matanya kelihatan merah menyala. Sehingga tak
seorang pun mampu lama-lama bertatapan mata de-
ngannya. Dia berjubah merah yang panjangnya seba-
tas lutut. Umurnya sekitar empat puluh tahun.
Sebagaimana biasanya siang itu, para pengikut Iblis Pulau Neraka baru terbangun
dari tidurnya, termasuk Gonggo Gung. Dan seperti biasa pula, setiap bangun
tidur mereka berhadapan dengan arak. Bahkan minu-
man ini bisa dikatakan sebagai minuman pokok bagi
Perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Sehari saja mereka
tak bertemu dengan arak, maka seharian itu pula me-
reka tidak bergairah. Oleh karena itu setiap hari Gonggo Gung selalu
memerintahkan beberapa ketua pasu-
kannya untuk mencari dan mengumpulkan arak.
"Untuk beberapa hari ini, kalian tidak perlu lagi melakukan pembajakan di laut.
Selain pelayaran sepi, ju-ga harta yang kita peroleh dari rampasan tangan
Bongkap cukup untuk kebutuhan kita dalam waktu
beberapa lama!" kata Gonggo Gung saat berkumpul
dengan anak buahnya sambil menikmati arak dan
buah-buahan. Wajah anak buahnya kelihatan berseri mendengar
ucapan Gonggo Gung. Dengan begitu, mereka bisa ber-
senang-senang lebih lama tanpa harus bekerja keras
lagi. "Tapi walaupun begitu, kita akan mendapatkan pe-
kerjaan baru yang lebih penting lagi!" tambah Gonggo Gung membuat anak buahnya
yang sebelumnya berseri-seri berubah tegang.
"Pekerjaan apa itu, Ketua?" celetuk seorang anak
buahnya yang sudah setengah mabuk.
"Melakukan penyerangan terhadap Perguruan To-
peng Hitam!"
"Perguruan Topeng Hitam?" gumam beberapa orang
anak buahnya. "Ya. Karena sekarang ini yang paling ditakuti dan
tengah berkuasa di negeri ini adalah Perguruan Topeng Hitam. Sehingga kalau kita
mampu membasmi mereka, maka dalam waktu sekejap, negeri ini akan jatuh ke tangan
kita!" "Itu masalah mudah, Ketua. Bongkap dan pengikut-
nya saja bisa kita habisi nyawanya, apalagi Perguruan Topeng Hitam!" sahut salah
seorang anak buahnya.
"Tapi Perguruan Topeng Hitam mempunyai anak
buah yang demikian banyak dan kepandaian yang tak
bisa dianggap remeh!" ucap Gonggo Gung, menje-
laskan kepada anak buahnya yang belum tahu benar
tentang Perguruan Topeng Hitam yang sekarang ber-
kuasa di negeri Selat Malaka.
"Jumlah kita pun sangat banyak. Ditambah lagi
dengan persenjataan kita yang lengkap. Maka dalam
waktu sekejap, perguruan itu akan hancur seperti
nasib Bongkap dan pengikutnya!" sela seorang anak
buahnya yang lain.
"Benar, Ketua. Serahkan saja semuanya pada kami,
maka semuanya akan beres!" celetuk seorang anak
buahnya lagi. Belum sempat Gonggo Gung menyahuti ucapan a-
nak buahnya, tiba-tiba muncul empat belas anak buah lain yang diperintahkan
untuk menangkap seorang pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas di bagian
kanan dadanya. "Mana anak muda itu?" tanya Gonggo Gung datar.
"Gagal!" lapor Jarot yang menjadi pemimpin pasu-
kan. "Maksudmu?" tanya Gonggo Gung sambil berdiri
angker. "Pemuda itu melarikan diri setelah membunuh dua
teman yang lain!" sahut Jarot menjelaskan.
"Goblok! Kenapa kalian tidak mengejarnya"!" geram
Gonggo Gung dengan suara meninggi karena mulai di-
bakar gejolak api amarahnya.
"Kami sudah berusaha, Ketua. Tapi dia memiliki il-
mu peringan tubuh yang amat sempurna sehingga
kami tertinggal jauh. Andai di antara kami ada pasukan bersenjata api, tentu
pemuda itu pun dapat kami ringkus!" kata Jarot.
Gonggo Gung terdiam. Seolah-olah menyadari keke-
liruannya. Begitu pula dengan anak buahnya. Mereka
membisu sambil memandang wajah pemimpinnya ta-
kut-takut. Di saat mereka terdiam begitu, tiba-tiba mata me-
reka dikejutkan oleh kedatangan Danu yang terengah-
engah. "Ada apa lagi denganmu, Danu" Mana tiga teman-
mu yang lain?" tanya Gonggo Gung dingin. Namun ma-
tanya begitu tegang memandang Danu. Ia sudah me-
ngira pasti ada yang tidak beres dengan anak buahnya itu. "Mereka tewas!" jawab
Danu singkat. Brakkk! Tangan Gonggo Gung yang kasar itu menggebrak
meja di hadapannya. Sehingga meja pada bagian yang
dipukulnya itu rusak. Termasuk sebagian gelas di atas meja yang karena tergetar
oleh pukulan tangan Gonggo Gung jatuh ke lantai.
"Siapa yang melakukan itu?" geram Gonggo Gung
dengan mata berkobar-kobar.
"Anak buah Bongkap!" sahut Danu.
Semua orang yang hadir di ruangan itu saling ber-
pandangan dengan tatapan mata tegang mendengar
pengakuan Danu. Karena mereka pikir, semua pengi-
kut Bongkap telah musnah, termasuk Bongkap sen-
diri. "Bicara yang benar!" geram Gonggo Gung dengan
suara tertahan di kerongkongan karena menahan ma-
rah. "Aku bicara apa adanya, Ketua," ucap Danu sung-
guh-sungguh. "Bukankah kau tahu sendiri bahwa Bongkap ber-
sama orang-orangnya telah tewas semua"!"
"Semula memang begitu, Ketua! Tapi kenyataannya,
aku melihat sendiri kalau dua pengikut Bongkap ma-
sih hidup. Bahkan Bongkap sendiri menyaksikan per-
tempuran kami dengan dua pengikutnya!"
"Dusta!" sentak Gonggo Gung dengan kemarahan
yang meledak-ledak. Sedangkan matanya yang merah
berkilat-kilat memandang anak buahnya yang membe-
rikan laporan itu.
"Aku bersedia dibunuh atau dihukum apa saja jika
ucapanku tadi tidak benar!" cetus Danu tanpa rasa takut.
Suasana sepi. Gonggo Gung dan pengikutnya yang berada di tem-
pat itu berdiri tegang setelah mendengar ucapan Danu.
Mereka mulai percaya dengan ucapan Danu.
"Dia bersama berapa orang?" tanya Gonggo Gung
dengan suaranya yang berubah lunak.
"Tiga orang, Ketua. Dua lelaki dan seorang lagi ga-
dis cantik bertubuh mungil," ujar Danu menjelaskan.
Jaim, seorang anak buah Gonggo Gung tersentak
kaget mendengar keterangan tentang seorang gadis
yang ikut serta dengan Bongkap.
"Apakah gadis itu mengenakan pakaian berwarna
merah dan berselendang kuning?" tanya Jaim ingin
tahu. "Tepat!" sahut Danu cepat.
"Kau mengenal gadis itu, Jaim?" tanya Gonggo
Gung. "Maaf, Ketua! Gadis itulah sebenarnya yang mem-
buat kami ribut dengan pemuda yang memiliki baju
berlukis naga emas itu. Tapi menurutku, gadis itu pun sudah tewas oleh serangan
jarum beracun yang kule-pas ke arahnya. Karena saat pemuda yang memiliki
baju berlukis naga emas menghadangku, gadis itu te-
lah roboh di depan pintu gerbang," jawab Jaim menjelaskan.
Gonggo Gung tercenung beberapa saat mendengar
keterangan Jaim. Keningnya yang berkerut menunjuk-
kan bahwa ia sedang berpikir keras. Menganalisa tentang hubungan antara Bong
Mini dengan pemuda itu.
"Kalau memang demikian cerita kalian, aku yakin
gadis itu mempunyai hubungan erat dengannya!" ucap
Gonggo Gung menyatakan pendapatnya. "Tapi aku
sendiri bingung, ada hubungan apa gadis itu dengan
Bongkap?" lanjut Gonggo Gung seperti bertanya pada
diri sendiri. *** Matahari menghujamkan panasnya ke wajah bumi.
Gerombolan awan putih tampak berjalan menyingkir,
menjadikan hamparan langit terang dan bersih.
Dalam pancaran sinar matahari yang demikian me-
nyengat, Sang Piao tampak menunggang kuda di Bukit
Girik. Begitu lambat ia menjalankan kudanya, seakan hendak menikmati pemandangan
alam Bukit Girik
yang memang demikian indah.
Sedang asyiknya ia menunggang kuda, tiba-tiba
matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang tergele-
tak di bawah sebuah pohon tak jauh dari tempatnya.
Siapa wanita yang tergeletak di tanah itu" Pikir
Sang Piao sembari memutar kudanya menuju gadis
itu. Kemudian ia segera melompat turun dan mendeka-
tinya. Hm..., tampaknya ia pingsan! Gumamnya dalam ha-
ti setelah melihat tubuh wanita itu dari dekat.
Sang Piao berlutut di dekat gadis itu, dengan mak-
sud hendak menyadarkannya. Akan tetapi, baru saja
ia hendak menundukkan wajah, tiba-tiba wanita yang
disangkanya pingsan itu meloncat dan langsung me-
mukul Sang Piao.
Wuttt..., plak!
"Auhhh...!"
Wanita muda belia berwajah kotor dan berambut
kumal itu menjerit ketika tangannya tertangkis oleh tangan Sang Piao. Lalu dia
terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk.
Sejenak mata wanita muda belia itu mengamati wa-
jah Sang Piao dengan tatapan mata tajam penuh seli-
dik. Selanjutnya wanita itu malah menangis tersedu-
sedu sambil mengguling-gulingkan tubuh di tanah. Ia meraung-raung seperti anak
kecil yang tidak diberi
uang jajan. Setelah menangis dan berguling-gulingan begitu, se-
jenak tangisnya dihentikan lalu memandang tajam ke
arah Sang Piao kembali. Dengan sikap takut-takut ia bangkit dan melangkah mundur
perlahan-lahan. Sedangkan tatapannya terus tertuju pada Sang Piao yang masih
berlutut memperhatikan tingkah gadis belia itu.
"Jangan...! Jangan bunuh nenekku...! Jangan! Le-
paskan...! Lepaskan diriku!"


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rahasia Sebelas Jari 1 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kitab Serat Biru 3
^