Pencarian

Iblis Pulau Neraka 2

Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka Bagian 2


Sang Piao tertegun memandangi tingkah laku wa-
nita itu. Hatinya begitu terenyuh. Kasihan, semuda itu sudah tidak waras, bisik
hati Sang Piao. Kemudian ia bangkit perlahan-lahan dengan mata yang terus
tertuju ke arah wanita yang telah kehilangan pikirannya.
"Nona, tenang Nona...," ucap Sang Piao hati-hati.
Sedangkan kakinya terus melangkah mendekati wanita
muda belia itu.
"Kau...! Kau mau memperkosa aku..." Hi hi hi...!"
wanita itu tertawa renyah. Seolah-olah matanya melihat sesuatu yang lucu.
Saat dia tertawa lepas, Sang Piao diam-diam meng-
amati wajahnya yang tampak begitu cantik.
Dia seorang gadis cantik. Tapi sayang, pikirannya
tidak waras! Gumam Sang Piao dalam hati, memuji ke-
cantikan gadis yang hilang ingatannya itu.
Gadis itu memang cantik sekali. Usianya masih
muda, sekitar enam belas tahun. Matanya sipit seperti orang keturunan Tionghoa.
Kulitnya putih mulus. Sedangkan tubuhnya tampak padat berisi. Dapat di-
bayangkan bagaimana keelokannya jika melangkah.
Namun sayang, semua keindahan yang dimiliki gadis
itu tertutup oleh debu yang melumurinya.
Setelah puas tertawa, tiba-tiba gadis itu kembali
menangis tersendat-sendat.
"Awas kau Iblis Pulau Neraka! Akan kubakar dan
kubunuh kalian semua!" teriaknya dengan sinar mata
yang menaruh dendam.
Mendengar sebutan Iblis Pulau Neraka, Sang Piao
mendadak kaget bukan main. Dia langsung mengira
bahwa gadis itu korban kebiadaban iblis-iblis itu.
"Jahanam mereka! Teganya merusak kehormatan
wanita sampai sedemikian rupa!" geram Sang Piao tak tertahan. Kemudian kakinya
melangkah mendekati gadis itu untuk menenangkannya. Tapi sebelum tangan
Sang Piao sempat mendekat, gadis itu memberikan
tamparan ke arah mukanya. Dengan cepat Sang Piao
menangkap tangan gadis itu dan menotoknya. Tuk!
Tuk! Tubuh gadis itu langsung terkulai lemas. Hanya ke-
dua matanya saja yang sayu memandang Sang Piao.
Tapi dari sepasang matanya yang sayu itu memancar-
kan sinar liar.
Melihat tubuh gadis itu terkulai, Sang Piao lang-
sung membungkuk dan menggendong tubuhnya. Dia
heran mengapa wajah yang kotor, lusuh dengan ram-
but kumal tak terurus itu mendatangkan rasa iba di
hatinya" Mengapa dia tertarik untuk memberikan per-
tolongan kepada gadis itu" Ah..., dia menghela napas.
Tak dapat dijawabnya pertanyaan-pertanyaan yang da-
tang saat itu. Namun ada satu hal yang ia tahu, bahwa ia menolong gadis gila itu
karena khawatir akan di-ganggu lagi oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka atau
orang jahat yang lain jika dibiarkan di situ. Daripada gadis itu mengalami
penderitaan yang lebih berat lagi, lebih baik ia membawa dan menyelamatkannya.
Begitu pikirannya saat itu.
Setelah tubuh sang gadis berada dalam gendongan-
nya, Sang Piao segera melompat ke punggung kuda
dan memacunya dengan cepat.
*** Di cakrawala nan luas, matahari telah bergeser ke
arah barat. Sinarnya yang semula kemilau, pudar perlahan-lahan. Berganti dengan
cahaya jingga yang re-
dup. Angin berhembus sepoi-sepoi basah. Sementara
kabut mulai turun lembut dalam gerakan yang ang-
gun. Sang Piao telah sampai di Kampung Dukuh, di ma-
na Bongkap, Bong Mini, dan Ashiong menginap semen-
tara di rumah Ratih Purbasari. Saat Sang Piao telah menjejakkan kaki di rumah
tersebut, keempatnya berdiri terkejut melihat kedatangan Sang Piao yang
menggendong seorang gadis.
"Siapa yang kau bawa itu, Sang Piao?" tanya Bong-
kap dengan wajah yang masih menunjukkan kehera-
nan. "Gadis malang," sahut Sang Piao singkat. Lalu ia
membaringkan gadis itu di atas dipan yang terbuat da-ri bambu.
"Maksudmu?" tanya Bongkap lagi tak mengerti.
Sang Piao bergerak dua langkah menghampiri
Bongkap dan tiga orang lainnya yang masih terlungu-
lungu keheranan. Kemudian ia menceritakan bagai-
mana ia menemukan gadis itu dan membawanya pu-
lang. "Dia salah seorang gadis yang menjadi korban ke-
buasan orang-orang Iblis Pulau Neraka!" kata Sang
Piao mengakhiri ceritanya.
Semua orang yang hadir di ruang itu tampak berdiri
geram. Sorot matanya berkobar-kobar, menyimpan sa-
tu kemarahan yang tak tertahankan.
Bong Mini yang tadi begitu sungguh-sungguh men-
dengar cerita Sang Piao merasakan darahnya bergolak hebat. Giginya bergemerutuk.
Matanya berkilat tajam,
menggetarkan siapa saja yang bertatapan dengannya.
Itulah puncak kemarahan Bong Mini. Hatinya terasa
disayat-sayat melihat nasib kaumnya yang selalu di-
perlakukan seenaknya oleh lelaki.
"Papa! Izinkanlah aku untuk pergi menumpas Iblis
Pulau Neraka itu!" ucap Bong Mini bergetar.
Bongkap diam beberapa saat untuk mempertim-
bangkan keinginan putrinya. Selain khawatir akan keselamatan putrinya, ia juga
masih dalam suasana rin-du pada Bong Mini.
"Jangan khawatir, Papa! Aku punya perhitungan
sendiri dalam menghadapi Iblis Pulau Neraka!" kata
Bong Mini lagi saat melihat Bongkap terdiam ragu. Setelah itu, tubuhnya langsung
melesat ke luar dengan kecepatan yang sulit dijangkau oleh pandangan manusia
biasa. Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao tersentak kaget
melihat kepergian Bong Mini yang tiba-tiba. Kemudian mereka ikut melesat ke luar
berusaha untuk mengejarnya. Tapi tidak berhasil. Karena sudah sejak tadi tubuh
Bong Mini menghilang dari pandangan mereka.
Akhirnya, dengan langkah gontai Bongkap kembali
masuk ke dalam gubuk.
Sampai di dalam, Bongkap duduk termenung. Ia
bukan mengkhawatirkan keselamatan putrinya, tetapi
justru memikirkan ilmu Bong Mini yang sudah meng-
alami kemajuan. Hal itu terlihat dari kepergian Bong Mini yang begitu cepat
menghilang seperti kilat
"Bagaimana, Tuan" Apakah kami berdua harus me-
nyusul dan menyertai tuan putri?" tanya Sang Piao.
Bongkap sadar dari ketercenungannya. Dia mene-
gakkan kepala dan memandang dua pengawal setia-
nya. "Tidak usah!" sahut Bongkap datar.
"Bukankah Tuan mengkhawatirkan keselamatan
tuan putri?" tanya Sang Piao.
"Semula memang demikian. Tapi setelah melihat ke-
pergiannya yang begitu cepat menghilang, aku mulai
sadar dengan kemajuan yang diperoleh putriku selama ini!" kata Bongkap.
"Lalu, apa yang harus kita perbuat sekarang?" ta-
nya Sang Piao lagi.
"Tunggulah beberapa hari sampai tenagaku pulih
kembali!" jawab Bongkap.
Sebenarnya luka di tangan kiri Bongkap yang bun-
tung serta paha kirinya sudah tidak begitu sakit. Hanya tinggal menunggu sampai
tenaganya benar-benar
kuat untuk terjun ke medan pertempuran. Bersabung
nyawa kembali untuk membumihanguskan angkara
murka yang mengotori dunia.
*** 5 Malam itu sangat cerah. Bulan bersinar penuh,
membuat alam terselubung sinar temaram. Sangat in-
dah untuk dinikmati. Ditambah lagi dengan suara
jangkrik yang tidak pernah berhenti bernyanyi, mem-
bangun suasana malam yang ramah berbagi suka.
Bong Mini telah sampai di Desa Pamanukan. Se-
buah desa penghubung untuk menuju Pulau Neraka.
Dia tampak melangkah tenang dan tegap, memancar-
kan jiwa satria dirinya.
Kini gadis itu memasuki sebuah warung nasi di de-
sa itu. Di sana, ia mengambil tempat yang agak me-
nyudut sebagaimana biasa. Hal itu dilakukan agar ia
leluasa memandang orang-orang yang keluar masuk
kedai itu. Di seberang meja makannya, duduk empat lelaki
yang sedang menikmati hidangan. Sesekali satu di antara empat orang lelaki itu
melirik Bong Mini. Dan
Bong Mini pun balas menatap sepasang mata liar lelaki itu dengan sorot matanya
yang tajam penuh selidik.
Di saat ia bertumbukan mata dengan lelaki itu, se-
nampan hidangan yang dipesan Bong Mini datang.
Bong Mini cepat menyambut hidangan yang diantar
oleh seorang perempuan setengah baya yang masih
tampak cantik. Segera ia menyantapnya. Dalam waktu
sekejap, hidangan yang baru diantar itu habis tanpa sisa, tanpa mempedulikan
lelaki yang masih memandangnya.
"Bayarannya mana, Den?" wanita setengah baya
yang menjadi pemilik warung itu terlihat meminta bayaran kepada keempat lelaki
yang duduk di depan me-
ja Bong Mini. Mata keempat lelaki itu saling berpandangan. Di-
susul kemudian dengan suara tawa yang terbahak-
bahak. "Kau mau minta bayaran" Nih!" kata seorang lelaki
di antara mereka sambil menaruh uang di atas meja
sebanyak tiga keping.
Wanita cantik setengah baya yang memiliki tubuh
bahenol segera mendekati meja tersebut. Tapi ketika tangannya hendak mengambil
tiga keping uang itu, lelaki yang mengeluarkan kepingan uang tadi meraih
pinggulnya dengan ketat.
"Ini bayaran yang sebenarnya!" ujar lelaki yang me-
rangkul pinggul wanita setengah baya itu seraya men-daratkan ciuman ke pipinya.
Mendapat perlakuan yang kurang ajar, pemilik wa-
rung tadi meronta-ronta sambil memukul-mukulkan
kedua tangannya ke tubuh lelaki itu. Namun yang di-
pukul malah tertawa terbahak-bahak, bahkan mempe-
rerat rangkulannya.
"Heh!" bentak Bong Mini yang tiba-tiba sudah berdi-
ri di antara mereka dengan kedua tangan berkacak
pinggang dan mata mendelik.
Keempat lelaki itu serentak menoleh ke arah Bong
Mini dengan wajah menunjukkan keterkejutan. Namun
ketika melihat kecantikan gadis mungil itu, mereka
langsung cengengesan.
"Apa mata kalian sudah buta, memeluk seorang
wanita yang sudah tidak segar lagi" Kenapa bukan aku saja yang kalian peluk" Kan
lebih menggairahkan?"
lanjut Bong Mini dengan nada suara yang berubah
lembut agar dapat memancing reaksi keempat lelaki
itu. "Kau..., kau ingin dipeluk, Nona?" tanya seorang lelaki di antara mereka
dengan sepasang mata jelalatan memandang dua bukit yang tersembul di dada Bong
Mini. Bong Mini mengangguk sambil tersenyum menggo-
da. Melihat sikap Bong Mini yang begitu menggairah-
kan, seorang lelaki segera memburunya.
"Eit, nanti dulu!" cegah Bong Mini ketika tubuhnya
hendak disentuh oleh tangan kasar lelaki itu. "Aku kurang bergairah bila yang
memeluk tubuhku hanya seo-
rang!" "Maksudmu?" tanya lelaki yang hendak memeluk-
nya tadi. "Aku ingin kalian berempat memelukku semuanya
tanpa harus bergantian!" jawab Bong Mini masih de-
ngan sikap yang menggoda.
Mendengar kata-kata Bong Mini yang begitu meng-
gairahkan, keempat lelaki tadi langsung menghampirinya dan mencoba untuk memeluk
tubuh Bong Mini
dengan napas yang mulai turun naik. Namun, sebelum
tangan-tangan kasar itu menyentuh tubuhnya, Bong
Mini segera menyambut dengan seruntun hantaman
kaki dan tangannya. Dilanjutkan dengan gerakan tu-
buhnya yang langsung melesat ke luar kedai.
"Bangsat! Kita ditipu!" seru salah seorang dari ke-
empat lelaki itu. Tubuhnya segera melesat ke luar untuk memburu Bong Mini.
Perempuan setengah baya yang sejak tadi berdiri
ketakutan segera berlari kecil menuju pintu untuk menyaksikan pertempuran antara
Bong Mini melawan
keempat lelaki bertubuh kekar itu.
"Hait..., yeahhh!"
Tubuh Bong Mini melompat ketika keempat lelaki
itu serentak menyerangnya. Kemudian ia memberikan
serangan balasan lewat kedua tangan dan kakinya, sehingga keempat lawan yang
memang berkepandaian
jauh di bawah Bong Mini, terpental jatuh disertai sem-buran darah segar yang
keluar dari mulut mereka.
"Kalian harus banyak belajar lagi untuk menjadi
seorang lelaki!" ejek Bong Mini. Kaki kanannya menjejak dada salah seorang
lawannya yang tak berdaya. Setelah berkata begitu, ia berjalan mendekati pemilik
warung yang menyaksikan pertempuran itu dari balik
pintu rumah makan.
"Ini untuk membayar hidangan yang telah aku ma-
kan dan hidangan yang dimakan keempat orang itu,"
kata Bong Mini seraya memberikan lima keping uang
kepadanya. Dilanjutkan ucapannya, "Ibu kenal dengan orang-orang itu?"
"Tentu saja, Non. Kampung ini malah sudah berada
dalam kekuasaan mereka!" sahut ibu pemilik warung.
"Maksud Ibu?" Bong Mini mengerutkan keningnya.
"Mereka orang-orang Perguruan Topeng Hitam!" ja-
wab pemilik warung itu menjelaskan.
Bong Mini terkejut mendengar nama perguruan itu.
Perguruan itu yang membuat ia terpisah dari papanya selama dua tahun. Dan
sekarang Perguruan Topeng
Hitam ternyata telah menguasai seluruh perkampu-
ngan di negeri Selat Malaka dan menyebarkan kesesa-


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tan serta menciptakan keonaran di kalangan pendu-
duk seperti yang dilakukan oleh keempat lelaki yang dibuatnya tak berdaya tadi.
Bong Mini tercenung. Ia menimbang-nimbang kepu-
tusan yang harus diambilnya. Apakah terus melan-
jutkan perjalanannya menuju Pulau Neraka atau me-
nundanya untuk berhadapan dengan orang-orang Per-
guruan Topeng Hitam" Tapi akhirnya, setelah menda-
pat pertimbangan yang baik, Bong Mini mengambil ke-
putusan untuk menghadapi Perguruan Topeng Hitam
terlebih dahulu. Mengingat perguruan ini telah menan-capkan kuku-kukunya di
seluruh kampung negeri Se-
lat Malaka. Menurutnya hal itu lebih berbahaya!
"Kalian orang-orang Perguruan Topeng Hitam?" ta-
nya Bong Mini sambil mendekati seorang lelaki yang
masih tersengal-sengal lemah.
"Beb..., beb..., benar, Nona!" jawabnya dengan suara tersendat-sendat.
"Kalau memang begitu, antarkan aku ke tempat pe-
mimpinmu!"
Keempat lelaki tadi saling berpandangan tak per-
caya. "Kenapa kalian bengong begitu?" tanya Bong Mini
heran. "Tidak apa-apa, Nona. Aku hanya kaget mendengar
permintaan Nona yang ingin berjumpa dengan ketua
kami. Aku khawatir akan keselamatan Nona!" tukas
seorang dari mereka memberanikan diri.
"Heh" Kenapa kau berbicara begitu" Bukankah ka-
lian pengikutnya?" Bong Mini bertanya heran. Sedangkan sepasang matanya menatap
lelaki itu begitu tajam, seolah-olah hendak menembus pikirannya.
"Kami memang masuk Perguruan Topeng Hitam,
tapi itu pun terpaksa!" sahut lelaki tadi mewakili ketiga temannya.
"Maksudmu?" tanya Bong Mini, masih tak mengerti.
"Aku dan tiga temanku ini dipaksa mereka untuk
masuk menjadi anggota Perguruan Topeng Hitam. An-
dai tidak mau, nyawaku pada saat itu juga akan me-
layang!" jawab lelaki itu menjelaskan mengapa ia dan ketiga temannya masuk ke
Perguruan Topeng Hitam
yang terkenal sesat. "Kalaupun kami tadi bersikap kurang ajar pada perempuan
pemilik kedai tadi, itu pun sebenarnya hanya sikap pura-pura kami. Agar kami
tidak dicurigai mata-mata Perguruan Topeng Hitam.
Kami cuma ingin selamat dari ketelengasan mereka
yang tidak ingin melihat kesalahan sekecil apa pun."
Tubuh Bong Mini diam tak bergerak. Sepasang ma-
tanya masih tertuju pada lelaki itu. Namun sinar matanya yang semula berkilat-
kilat berubah redup. Seolah-olah telah dapat membaca isi pikiran lelaki itu.
Sebelumnya dia memang telah menduga kalau keempat
lelaki itu bukan tokoh utama Perguruan Topeng Hitam seperti orang-orang yang
pernah dihadapi sebelumnya.
Terbukti ketika ia baru saja membuka serangan,
keempat lelaki itu tidak berkutik tanpa melakukan serangan kembali. Ditambah
lagi dengan sikap mereka
yang mengkhawatirkan keselamatannya ketika diminta
mengantar ke Perguruan Topeng Hitam. Padahal, ka-
lau benar-benar orang pilihan dari Perguruan Topeng Hitam, tentu mereka akan
sangat gembira jika mendengar ia hendak mendatangi perguruan mereka, ka-
rena sudah pasti gadis bertubuh mungil dan berwajah cantik itu akan menjadi
santapan mereka. Tapi keempat orang ini lain. Mereka justru mengkhawatirkannya.
Ini menunjukkan kalau keempat lelaki itu sesungguh-
nya berasal dari orang baik-baik.
"Kalian tak perlu mengkhawatirkan aku. Kalau me-
mang kalian masuk Perguruan Topeng Hitam karena
terpaksa dan sekarang ingin kembali menjadi orang
baik-baik seperti sebelum masuk Perguruan Topeng
Hitam, maka bantulah aku!" kata Bong Mini dengan
suara lembut dan penuh persahabatan. Begitulah
Bong Mini. Ia akan menjadi gadis yang liar dan tega membunuh jika orang yang
dihadapinya sudah tidak
mengenal arti kebenaran. Tapi sifat itu akan berubah lunak dan penuh rasa iba
jika musuh yang dihadapinya mengakui kesalahannya dan berjanji untuk mem-
perbaiki diri seperti empat lelaki yang dihadapinya ki-ni. "Apakah Nona menerima
jika kami hendak menjadi
pengikutmu?" tanya seorang di antara mereka.
"Kenapa tidak" Karena untuk menumpas kejahatan
seperti perbuatan orang-orang Perguruan Topeng Hi-
tam memang memerlukan pejuang-pejuang sejati yang
tidak mementingkan kebutuhan dan keselamatan pri-
badinya sendiri!" sahut Bong Mini.
Mendengar ucapan Bong Mini, keempat lelaki tadi
menjadi malu hati. Mereka mulai berpikir, kalau gadis muda yang cantik itu pasti
mempunyai keberanian dan pengabdian yang demikian tinggi. Kenapa sebagai lelaki
mereka tidak demikian" Begitulah pikiran di benak mereka masing-masing.
Akhirnya, berkobar juga se-
mangat juang di dada mereka.
"Baiklah, Nona. Kami bersedia mengantarkan Nona
ke markas Perguruan Topeng Hitam!" tegas lelaki itu dengan semangat yang mulai
berbunga. "Terima kasih! Kita berangkat sekarang!" ucap Bong
Mini dengan wajah berseri karena dapat menyadarkan
mereka. *** Malam terus merangkak hingga larut. Bulan pur-
nama seperti bergayut di atas dahan dengan sinar
yang lembut, menerangi alam raya.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam,
Bong Mini dan keempat lelaki tadi sampai di halaman Perguruan Topeng Hitam yang
letaknya masih berada
dalam wilayah Kampung Pamanukan.
Sebenarnya, pusat Perguruan Topeng Hitam berada
di Bukit Setan. Di sana pula Kidarga dan Nyi Genit
tinggal. Sedangkan Perguruan Topeng Hitam yang ber-
ada di Kampung Pamanukan hanya merupakan pergu-
ruan kecil yang dipimpin oleh ketua pasukan bernama Yang Seng. Adapun maksud
dari penempatan para ketua pasukan di seluruh wilayah perkampungan, tidak lain
agar mereka bisa cepat melakukan aksi di wilayah kampung yang diduduki masing-
masing. Dan untuk
melakukan pertemuan dengan ketua perkumpulan,
Kidarga dan Nyi Genit, hanya sebulan sekali dengan
membawa hasil rampokan yang diperoleh masing-
masing ketua pasukan.
Dengan dibuatnya perguruan-perguruan kecil di se-
tiap perkampungan seperti Kampung Pamanukan dan
Kampung Girik yang dipimpin oleh Giwang, maka me-
reka akan lebih mudah menyebarkan kesesatan dan
menangkap orang-orang yang dicurigai. Sehingga tidak
ada kesempatan bagi penduduk kampung untuk mela-
kukan pemberontakan. Mereka terjaga ketat oleh anak buah Perguruan Topeng Hitam.
Demikianlah gambaran singkat mengenai perkem-
bangan Perguruan Topeng Hitam sejak kepergian Bong
Mini selama dua tahun. Sehingga pantas jika Bong
Mini terheran-heran melihat ada markas Perguruan
Topeng Hitam di tengah kampung. Karena yang ia tahu markas itu berada di Bukit
Setan. "Wah, kalian membawa gadis cantik untuk kami ru-
panya," sambut seorang murid Perguruan Topeng Hi-
tam yang sedang berkumpul di atas dipan yang terle-
tak di halaman perguruan. Ditemani oleh empat pe-
rempuan muda yang masih cantik-cantik serta bebe-
rapa botol minuman keras.
Keempat orang yang menyertai Putri Bong Mini di-
am saja mendengar teguran temannya itu. Begitu pula dengan Bong Mini. Hanya
pandangan matanya saja
yang tajam meneliti ke arah orang-orang itu.
"Kemarilah, Nona! Jangan sungkan-sungkan!" ujar
lelaki tadi dengan keadaan yang sudah setengah ma-
buk. "Aku ingin bertemu dengan pemimpin!" tegas Bong
Mini dengan sikap tenang.
"Wah, belum apa-apa sudah ingin bertemu dengan
ketua. Duduk-duduk saja di sini bersama kami. Nona
kan masih lelah!" sela lelaki lainnya sambil menghampiri Bong Mini lalu menarik
tangannya. Tapi gadis yang ditarik tangannya malah balik mencekal pergelangan
tangan lelaki itu dan menghentakkannya. Disusul de-
ngan hajaran lututnya yang bersarang di dada lelaki itu. "Oekkk!"
Mulut lelaki yang terkena hantaman di dadanya
langsung memuntahkan cairan merah.
Sebelas murid Perguruan Topeng Hitam yang sejak
tadi duduk di atas dipan langsung terperanjat melihat temannya tersungkur di
tanah. Dalam sekian detik
mereka bergerak mengurung Bong Mini.
"Aku tidak punya urusan dengan kalian. Aku da-
tang ke sini hanya ingin berjumpa dengan pemimpin
kalian!" bentak Bong Mini dengan mendelikkan ma-
tanya. "Sombong benar kau, kelinci! Hadapilah aku sebe-
lum kau bertemu dengan ketua kami!" kata seorang lelaki berwajah beringas yang
dihiasi berewok lebat.
"Jangankan kau! Seluruh murid Perguruan Topeng
Hitam yang menyerangku pun akan kuhadiahkan ke-
matian!" geram Bong Mini.
"Sombong sekali ucapanmu itu, Nona!" geram lelaki
berewok itu dengan tubuh yang sudah siap melakukan
serangan. "Percuma kau menyerangku sendirian. Hanya akan
mengantarkan nyawa saja!" ejek Bong Mini.
"Kelinci liar! Akan kurobek mulutmu yang lancang
itu!" setelah berkata begitu, lelaki berwajah berewok tadi segera mengadakan
serangan. Namun dengan sikap tenang, gadis bertubuh mungil yang mengenakan
baju merah ketat itu menyambutnya dengan baik.
Dug! Rahang lelaki berewok itu terkena pukulan tangan
Bong Mini dengan telak. Akibatnya dia terhuyung se-
saat lalu jatuh ke belakang.
"Sudah kubilang jangan sendiri, goblok!" ejek Bong
Mini. Bibirnya tersenyum sinis.
"Kuntilanak! Serang dia!" teriak lelaki berewok itu seraya bangkit kembali dan
siap melakukan serangan.
Sepuluh temannya yang sudah mengepung Bong
Mini langsung menyerbu ke depan dan melakukan se-
rangan dengan senjata golok yang tergenggam di ta-
ngan masing-masing.
Menghadapi sebelas golok yang disabetkan tangan
pengeroyoknya, Bong Mini pun segera mencabut Pe-
dang Teratai Merah.
Pyar pyar pyar!
Cahaya merah berbentuk bunga teratai menyala te-
rang. Sehingga suasana di sekitar itu tampak terang-benderang.
Orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang tadi
hendak melakukan serangan, serentak menghentikan
gerakan. Mata mereka terbelalak dan mulut mereka
menganga. Takjub terhadap sinar yang dipancarkan
pedang di genggaman Bong Mini. Baru kali ini mereka melihat keajaiban sebuah
pedang. Dalam keadaan melongo takjub seperti itu, sebe-
narnya Bong Mini dapat dengan mudah membabat me-
reka. Tapi tentu saja ia tak ingin melakukan perbuatan itu, sebab akan
memberikan kesan curang bagi dirinya. Untuk itu ia cukup menyadarkan mereka de-
ngan sebuah bentakan melengking.
"Heh! Ngapain kalian melongo seperti sapi ompong!"
Mendengar teguran Bong Mini, dua belas orang Per-
guruan Topeng Hitam segera sadar dari ketercenga-
ngannya. Lalu mereka serentak bergerak menyerang
Bong Mini. Wut wut wut! Trang trang trangngng!
Angin kebutan dan denting senjata mereka terde-
ngar merambah udara.
Bong Mini yang sudah mendapat gemblengan dari
gurunya, Kanjeng Rahmat Suci, dengan gesit dapat
menangkis dan menghindari serangan golok-golok la-
wan yang mengancam tubuhnya. Malah tanpa diduga
oleh lawannya, Pedang Teratai Merah yang di tangan
Bong Mini mendarat di beberapa tubuh lawan.
Bret bret! Creb!
Sabetan pedang itu mendarat pada leher dan perut
lawan. Sehingga tiga orang di antara mereka berdiri limbung sesaat dan akhirnya
jatuh tersungkur di tanah dengan mata membelalak kejang.
"Sudah kubilang, kalian tak akan mampu melaku-
kan serangan dengan baik!" lantang Bong Mini sambil terus melakukan tangkisan
dan serangan. Sementara itu di sudut lain, empat orang pengikut
Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar dan jadi
pengikut Bong Mini, asyik menyaksikan pertempuran
yang tak seimbang itu. Mereka tidak turut terjun ke kancah pertempuran karena
memang dilarang oleh
Bong Mini karena khawatir mereka akan celaka.
"Kuperingatkan sekali lagi, hentikan serangan kali-
an sebelum kesabaranku habis!" seru Bong Mini di tengah kesibukannya menghadapi
serbuan lawan. Na-
mun orang-orang itu tidak mengindahkan peringatan
Bong Mini. Mereka masih yakin akan mampu mengha-
dapi seorang gadis muda belia itu. Bahkan dengan
gencar mereka terus mencecar tubuh Bong Mini.
"Baiklah jika kalian masih membandel!" usai berka-
ta begitu, Bong Mini langsung mengarahkan pedang-
nya pada tubuh para pengeroyoknya.
"Hiaaat!"
Bret bret bret! Crokkk!
Pedang Bong Mini langsung membabat habis para
pengepungnya. Dalam waktu sekejap mereka terjung-
kal dengan mulut mengerang-erang.
"Aaakh...!"
Blekkk! Tubuh para pengepungnya yang terkena sabetan
pedang Bong Mini jatuh satu persatu bagai daun ke-
ring. Keempat lelaki yang sejak tadi menyaksikan perke-
lahian itu dengan penuh takjub, segera menghampiri
Bong Mini yang kini berdiri tegak memandangi mayat-
mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
"Apa yang harus kuperbuat lagi sekarang?" tanya
seorang dari keempat lelaki itu.


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Panggillah pemimpin mereka ke sini!" perintah
Bong Mini dengan napas yang masih memburu.
"Baiklah! Kami akan segera memanggil!" kata keem-
pat orang itu serempak. Tanpa banyak cakap lagi me-
reka segera melangkah ke dalam. Tak lama kemudian
mereka keluar kembali bersama seorang lelaki muda.
Lelaki itu berumur sekitar tiga puluh lima tahun.
Tubuhnya sedang dan kekar. Kulitnya putih dan ber-
mata sipit. Rambutnya panjang terikat dengan pakaian warna kuning membungkus
kulitnya yang putih. Dialah Yang Seng, Ketua Perguruan Topeng Hitam.
"Hm..., rupanya dia yang memimpin pasukan ini!"
gumam Bong Mini ketika melihat sosok tubuh Yang
Seng. Dia memang telah melihatnya saat Giwang dan
pasukannya menyerang pasukan Partai Persatuan Ular
Hitam (jelasnya, silakan baca serial Putri Bong Mini sebelumnya dalam episode:
'Hilangnya Seorang Pendekar').
Yang Seng melangkah dengan tenang. Namun keti-
ka matanya melihat mayat-mayat yang berserakan, dia menjadi terkejut. Apalagi
mayat-mayat itu adalah tubuh para pengikutnya. Dari serakan mayat, panda-
ngannya beralih pada Bong Mini yang tengah berdiri
tegak sambil menggenggam sebilah pedang berlumur
darah. "Rupanya kau datang hendak membuat kerusuhan,
Nona!" geram Yang Seng dengan sorot mata berkobar-
kobar gusar. "Ini semua kesalahan mereka. Mereka menyerangku
tanpa memiliki ilmu silat yang baik!" kilah Bong Mini tenang.
Walaupun ucapan Bong Mini itu datar, tetapi justru
membuat telinga Yang Seng sangat panas. Ucapan itu
mengandung ejekan yang amat pedas.
"Apa keinginanmu yang sebenarnya, Bocah Som-
bong?" tanya Yang Seng, masih mencoba menahan
amarahnya. "Hm...!" ketus Bong Mini. "Ketahuilah bahwa keda-
tanganku ke sini tidak lain hendak menebas kepa-
lamu!" geram Bong Mini seraya menudingkan pedang-
nya yang berlumuran darah ke arah Yang Seng.
Mendengar ucapan Bong Mini yang demikian lan-
tang, tentu saja sangat mengejutkan Yang Seng. Wa-
jahnya yang memerah menahan marah bertambah ter-
bakar. "Dasar perempuan! Dikasih hati malah kurang a-
jar!" geram Yang Seng sambil maju beberapa langkah
ke arah Bong Mini.
"Kalau itu penilaianmu terhadap wanita, tunjuk-
kanlah keberanianmu! Jangan hanya bisa memperkosa
dan menculik saja!" kembali Bong Mini mengejek.
Yang Seng yang memang sejak tadi sudah naik pi-
tam, kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Tan-
pa banyak cakap lagi, ia langsung mengirim serangan pada Bong Mini. Tapi gadis
yang berdiri di depannya itu bukan gadis sembarangan. Ia telah memiliki
kepandaian silat dan ilmu kesaktian yang cukup dibangga-
kan. Dengan gesit gadis itu menghindari serangan lawannya dengan cara meloncat
berputar dan berdiri
kembali di atas tanah, tepat di belakang musuhnya.
Yang Seng yang sudah kalap karena merasa diper-
mainkan oleh gadis kecil itu segera membalikkan tu-
buh dan menyerang kembali lawannya.
Tapi Bong Mini yang sudah siap menghadapi sera-
ngan musuh, segera berkelit dengan cara memiringkan tubuhnya sedikit ke samping.
Sedangkan kakinya te-rangkat lurus, menendang ke perut lawan.
Bug! Tendangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu te-
rasa menyesakkan, hingga lawannya terjungkal dua
langkah ke belakang. Tapi segera ia berdiri kembali dengan sorot mata yang merah
memandang Bong Mini.
"Jahanam! Akan kuremukkan tubuhmu!" geram
Yang Seng sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
"Hiaaat..., hah...!"
Yang Seng menghentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Namun, lagi-lagi gadis yang dihadapinya dengan cepat dapat mengelak.
Sehingga tenaga dalam yang dihentakkan Yang Seng bukan mengenai tubuh Bong
Mini, melainkan tembok perguruannya sendiri.
Brukkk! Tembok dinding rumah yang terkena hantaman te-
naga dalam Yang Seng langsung ambruk berkeping-ke-
ping. Dan itu sangat membuat Yang Seng makin gusar.
"Heh! Perempuan tengik! Sebutkan siapa namamu
sebelum nyawamu kuantar ke neraka!" geram Yang
Seng dengan napas memburu menahan gejolak darah-
nya yang mulai memanasi sekujur tubuhnya.
"Akulah Bong Mini. Putri Bongkap!" sahut Bong Mi-
ni, lantang. Yang Seng terperangah kaget ketika nama Bongkap
disebutkan. Dia tahu betul siapa Bongkap. Karena
Bongkap satu-satunya orang yang menjadi penghalang
bagi Perguruan Topeng Hitam. Kini dia berhadapan
dengan seorang gadis mungil yang mengaku putrinya
Bongkap, maka bertambah besarlah kemarahannya.
"Kebetulan kalau kau putrinya Bongkap. Karena su-
dah lama Perguruan Topeng Hitam akan membunuh
dan menghancurkan seluruh keluarga Bongkap!" ujar-
nya, setelah itu Yang Seng langsung mengirim pukulan
'Angin Setan Mencekik Leher' yang didapatnya dari Nyi Genit, istri Kidarga.
Bong Mini yang sudah siap menghadapi serangan
lawan menjadi heran. Karena hentakan dari kedua te-
lapak tangan lawan tidak memberikan reaksi apa-apa.
Namun beberapa detik kemudian ia merasakan angin
dingin yang mendekati lehernya. Kemudian angin yang menimbulkan dingin seperti
es itu seperti membelit lehernya. Belitan angin dingin itu semakin lama
bertambah keras menekan lehernya bagai mencekik.
Gadis bertubuh mungil itu berusaha meronta, me-
lepaskan angin dingin yang mencekik lehernya. Namun semakin ia bergerak, semakin
kuat pula cekikan angin itu. Melihat Bong Mini kewalahan menghadapi serangan
'Angin Setan Mencekik Leher', Yang Seng tertawa terbahak-bahak.
"Rasakanlah, tikus kecil. Sudah waktunya kau ku-
kirim ke neraka!" ejek Yang Seng di sela tawanya.
Keempat lelaki dari Perguruan Topeng Hitam yang
sudah menjadi pengikut Bong Mini merasa khawatir
akan keselamatan gadis itu. Mereka ingin menolong,
tapi tidak tahu bagaimana caranya. Sebab mata me-
reka sendiri tidak melihat sesuatu yang menyerang
Bong Mini. Selain itu mereka juga tidak tahu, jurus apa yang dipergunakan Yang
Seng dalam menyerang
lawannya. Karena mereka baru enam bulan mengikuti
gerakan Perguruan Topeng Hitam.
Dalam keadaan kritis itu, Bong Mini tiba-tiba ter-
ingat pada ilmu batin dan 'Pukulan Tapak Hangus'
yang diberikan oleh Kanjeng Rahmat Suci. Maka de-
ngan sisa kekuatan yang masih ada, kedua jurus itu
digabungkan menjadi satu. Dipejamkannya kedua ma-
tanya seraya menarik napas, menahannya sejenak, ke-
mudian dihempaskannya kuat-kuat.
"Hah!"
Hasilnya, angin setan yang mencekik lehernya tadi
berangsur-angsur mengendur dan hilang entah ke ma-
na. Yang Seng menghentikan tawanya. Dipandangnya
lawan dengan wajah terkejut. Dia tidak menyangka
sama sekali kalau gadis itu dapat mementahkan se-
rangan angin setannya yang demikian dahsyat dan
mematikan. Setelah lepas dari bahaya yang mengancamnya,
Bong Mini segera melancarkan serangan ke arah lawan dengan kedua telapak tangan
dihentakkan ke depan.
Wesss! "Aaakh...!"
Yang Seng yang belum sempat mengelak langsung
terpental dalam jarak sepuluh meter. Kemudian tu-
buhnya menggelepar-gelepar di tanah hingga akhirnya mati dengan tubuh hangus
bagai terbakar.
Bong Mini menghela napas lega melihat lawannya
tewas. Kemudian ia melangkah ke arah empat wanita
yang tadi bersama pasukan Yang Seng dan empat lela-
ki yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu de-
ngan takjub. "Kembalilah kalian ke rumah masing-masing bila ti-
dak ingin menjadi mangsa orang-orang liar seperti mereka." Beberapa tarikan
napas, Bong Mini hanya me-
mandang mereka. Lalu dia melanjutkan, "Dan kalian
berempat, antarkan mereka ke rumah masing-masing.
Setelah itu berangkatlah ke Kampung Dukuh, sebelah
barat kampung ini. Karena di sana papaku tinggal.
Bergabunglah dengan papaku jika ingin membantu
perjuanganku!" kata Bong Mini kepada keempat lelaki yang telah sadar itu.
"Segala perintahmu akan kulaksanakan!" sahut se-
orang dari mereka.
"Kalau begitu kami juga akan ke sana dan belajar
pada orang-tuamu!" sela seorang wanita, mewakili ketiga temannya.
Bong Mini diam beberapa saat seraya memandangi
wajah keempat wanita itu.
"Kalian ingin membantuku?" tanya Bong Mini sung-
guh-sungguh. "Ya!" sahut keempat wanita itu serempak.
Hati Bong Mini gembira mendengar jawaban yang
penuh semangat. Karena sesungguhnya ia bercita-cita hendak memajukan kaum wanita
agar tidak menjadi
bulan-bulanan kaum lelaki.
"Baiklah kalau begitu. Berangkatlah kalian sekarang juga. Pergunakanlah kuda-
kuda milik Perguruan Topeng Hitam agar perjalanan lebih cepat," ucap Bong Mini.
"Kau sendiri hendak ke mana?" tanya seorang lelaki
di antara mereka.
"Aku ingin ke Pulau Neraka!"
Keempat lelaki itu tercengang mendengar Pulau Ne-
raka yang menjadi tujuan Bong Mini. Sebab Pulau Ne-
raka adalah tempat bersarangnya para iblis durjana
yang sekarang ini mulai merajalela dan menjadi perhitungan orang-orang Perguruan
Topeng Hitam. Bong Mini dapat membaca keterkejutan orang-o-
rang di sekelilingnya itu. Sehingga dia cepat berkata,
"Berangkatlah kalian. Jangan buang-buang waktu!"
Empat lelaki dan empat perempuan yang menyatakan
diri menjadi pengikut Bong Mini segera mengikuti perin-tahnya. Mereka melangkah
menuju kandang kuda yang
tak jauh dari tempat itu. Tidak lama kemudian, mereka pun berangkat meninggalkan
markas Perguruan Topeng
Hitam yang berada di Kampung Pamanukan.
Setelah kedelapan orang itu pergi dengan menung-
gang kuda, Bong Mini segera meninggalkan tempat itu menuju Pulau Neraka
sebagaimana tujuannya semula.
*** 6 Waktu mulai merayap ke pagi. Matahari perlahan-
lahan keluar dari peraduannya. Sedetik pun dia tak
pernah terlambat dalam menjalankan tugas rutin di
garis edarnya. Ayam jantan melantunkan kokoknya,
seakan hendak membanggakan kelantangan suaranya
pada satwa lain.
Dalam suasana pagi seperti itu, tiba-tiba terdengar rombongan orang berkuda
menuju Pulau Neraka. Derap langkah kuda itu terdengar bergemuruh riuh. Pertanda
bahwa iring-iringan kuda itu berjumlah banyak.
Pasukan berkuda tersebut terdiri dari para pesilat
tangguh dari Perguruan Topeng Hitam. Tujuan mereka
tidak lain hendak melakukan penyerbuan terhadap
Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, di bawah pimpinan
seorang ketua pasukan bernama Giwang. Mereka da-
tang ke tempat itu setelah mendengar kalau Perkum-
pulan Iblis Pulau Neraka akan melakukan penyera-
ngan terhadap Perguruan Topeng Hitam dengan tujuan
hendak menguasai negeri Selat Malaka. Karena selama
ini yang menguasai negeri itu adalah Perguruan To-
peng Hitam yang dipimpin oleh Kidarga dan Nyi Genit.
Dan kekuasaan itu diraih oleh Perguruan Topeng Hi-
tam setelah mereka berhasil membabat pasukan Bong-
kap yang hingga sekarang tidak terdengar lagi sepak-terjangnya.
Mendengar ada satu perkumpulan di Pulau Neraka
yang terdiri dari orang-orang tangguh dan akan merebut kekuasaan di negeri Selat
Malaka, maka Kidarga
segera memerintahkan Giwang untuk menyiapkan pa-
sukan untuk melakukan penyerangan ke pulau itu se-
belum orang-orang Iblis Pulau Neraka mendahuluinya.
Penampilan orang-orang Perguruan Topeng Hitam
kali ini memang berbeda. Kalau biasanya mereka sela-lu menggunakan topeng hitam
sebagai penutup wajah,
maka sekarang mereka melepaskan atribut semacam
itu. Bahkan pakaian yang biasanya selalu bermodel
pangsi warna hitam, sekarang berubah menjadi ber-
macam-ragam. Sehingga tak seorang pun dapat me-
ngenali kalau mereka orang-orang Perguruan Topeng
Hitam. Ketika tinggal beberapa kilo lagi iring-iringan berkuda itu akan sampai di
tempat tujuan, dari kejauhan mereka melihat sekelompok orang berkuda pula yang
memacu ke arah mereka. Jumlahnya pun hampir se-
imbang dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Karena dua pasukan berkuda yang bergerak dalam
arah berlawanan ini saling memacu, maka dalam wak-
tu singkat kedua pasukan ini sudah saling berhadapan dalam jarak sekitar sepuluh
meter. Kedua pasukan yang tidak saling mengenal ini tam-
pak berhenti dengan mata beradu pandang. Begitu ta-
jam pandangan mereka, seakan saling menyelidiki.
"Siapakah kalian" Kenapa menghalangi perjalanan
kami?" tanya Giwang dengan sorot mata yang menco-
rong tajam ke arah lelaki berjubah merah.
"Seharusnya kami yang bertanya, mengapa kalian
menghalangi perjalanan kami?" sergah lelaki berjubah merah tidak mau kalah.
"Kami tidak menghalangi perjalanan kalian. Kalian-
lah yang sengaja menghalangi perjalanan kami!" ujar Giwang, juga tidak mau
kalah. "Baik kalau itu tuduhanmu, aku terima!" kata lelaki berjubah merah, agak
mengalah. "Tapi cobalah kau sebutkan hendak ke mana tujuanmu! Sebab dari tempat


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini tidak ada lagi perkampungan kecuali Pulau Nera-
ka!" lanjut lelaki berjubah merah lagi.
"Aku memang hendak ke Pulau Neraka!" sahut Gi-
wang. "Untuk apa ke sana?" tanya lelaki berjubah merah
penuh selidik. "Aku ingin bertemu dengan tokoh-tokoh Iblis Pulau
Neraka!" sahut Giwang terus terang.
"Kebetulan kalau begitu. Aku adalah salah satu ke-
tua pasukan dari Iblis Pulau Neraka!" ucap lelaki berjubah merah pula.
Giwang dan pasukannya terkejut mendengar penga-
kuan lelaki berjubah merah. Mata mereka mencorong
tajam pada pasukan berkuda di hadapan mereka.
Memang benar kalau pasukan yang sedang berha-
dapan dengan Giwang adalah Pasukan Iblis Pulau Ne-
raka. Sedangkan lelaki berjubah merah itu bernama
Jarot. Dialah orang kepercayaan Iblis Pulau Neraka
untuk menjadi pimpinan pasukan.
Jarot seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan
berotot. Matanya merah dan besar. Sedangkan di ba-
gian wajahnya terhias kumis yang demikian lebat dan jenggot pendek. Dan pada
pinggang bagian kirinya ter-
selip sebuah pedang panjang serta sebuah golok di
pinggang kanan.
Sebenarnya Jarot bersama pasukannya di pagi itu
juga mempunyai tujuan yang sama dengan pasukan
Giwang. Mereka diperintahkan oleh Gonggo Gung, Ke-
tua Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, untuk melaku-
kan penyerangan terhadap orang-orang Perguruan To-
peng Hitam. "Suatu keberuntungan yang tak terduga rupanya,
sehingga kita bisa bertemu di tempat yang menye-
nangkan ini!" kata Giwang, segera menutupi keterkeju-tannya.
"Apa maksudmu sebenarnya ingin mendatangi Pu-
lau Neraka?" tanya Jarot yang tidak menginginkan
pembicaraan jadi bertele-tele.
Giwang tertawa sejenak. Kemudian memandang la-
wannya lurus-lurus.
"Kalau aku menyebutkan nama Perguruan Topeng
Hitam, tentu kau akan menebak maksud tujuanku!"
ucap Giwang dengan sikap pongah.
Kini Jarot dan pasukannya yang berbalik kaget
mendengar nama perguruan itu. Mereka memang hen-
dak mencari orang-orang Perguruan Topeng Hitam dan
melakukan penyerangan.
"Sekarang, apa yang kau inginkan?" tanya Jarot pu-
ra-pura tidak tahu. Pikirnya, siapa tahu mereka hendak melakukan persekutuan
dengan Perkumpulan Ib-
lis Pulau Neraka.
Giwang kembali tertawa mendengar pertanyaan Ja-
rot. "Sungguh terlalu bodoh mengajukan pertanyaan
itu!" kata Giwang dengan sikapnya yang tetap pongah.
"Aku ingin menebas orang-orang yang akan merong-
rong kekuasaan Perguruan Topeng Hitam di negeri ini!"
Wajah Jarot merah padam mendengar ucapan yang
mengandung ejekan itu. Kemudian dengan geram dan
tak kalah angkuhnya ia berkata, "Cobalah kalau kau
mampu melakukannya. Orang-orang Iblis Pulau Ne-
raka tak pernah gentar dengan omongan kosong se-
perti itu!"
"Bangsat! Kalian benar-benar ingin mati rupanya!"
dengus Giwang. Darahnya panas.
"Sudah aku bilang, jangan omongan melulu yang
dibesarkan. Buktikan!" tantang Jarot.
"Setan roban! Serbu...!" geram Giwang seraya mem-
beri aba-aba kepada pasukannya.
Dua puluh orang berkuda yang dipimpin oleh Gi-
wang bergerak menyerang pasukan Iblis Pulau Neraka
yang berjumlah lima belas orang. Mereka menyerbu
buas dengan mengacung-acungkan golok dan pedang
ke arah lawan yang kemudian disambut pula dengan
acungan pedang oleh pasukan Iblis Pulau Neraka.
"Hiaaat!"
Trang trang trangngng!
Tidak lama kemudian, tempat itu pecah menjadi sa-
tu keriuhan yang amat dahsyat. Ringkik kuda, denting senjata, debu yang
mengepul. Semuanya menciptakan
sebuah suasana yang menggidikkan hati, penuh den-
gan genangan dan bau amis darah.
Giwang terbelalak melihat ketangkasan pasukan
yang dipimpinnya. Dua orang dari pasukan Iblis Pulau Neraka sudah tumbang
bersimbah darah, terhantam
sabetan pedang dan golok pasukannya, tetapi dari pi-haknya pun banyak yang
terluka. Giwang tampak ge-
ram melihat seorang dari pasukan Iblis Pulau Neraka yang begitu tangkas
memainkan pedang. Orang itu tidak lain Jarot yang sudah mengamuk sejadi-jadinya.
Dia memang orang yang paling bengis di antara selu-
ruh pasukan Iblis Pulau Neraka. Karena itu ia mendapat julukan si Raja Tega.
Pedang di tangan Jarot telah menebas lima penge-
royoknya. Belum lagi yang terluka parah. Sehingga memancing Giwang untuk
menggebah kudanya untuk
melakukan penyerangan pada Ketua Pasukan Iblis Pu-
lau Neraka itu.
*** Tidak jauh dari tempat pertempuran, seorang gadis
bertubuh mungil dan berwajah cantik dengan pakaian
merah ketat membungkus tubuhnya tengah berjalan
dengan tenang. Wajahnya tampak berseri-seri ketika
sepasang matanya yang jernih dan sipit itu menatap
pemandangan alam di bukit tempatnya berpijak. Kare-
na selain banyak ditumbuhi oleh pepohonan segar
dengan udaranya yang sejuk, dari bukit itu ia juga dapat melihat gunung-gunung
di kejauhan yang menju-
lang tinggi. Di matanya gunung-gunung yang menju-
lang tinggi itu hanya terlihat seperti permadani hijau yang menghampar indah.
Wanita bertubuh mungil serta berwajah cantik de-
ngan umur kurang lebih delapan belas tahun itu tidak lain Putri Bong Mini yang
sudah sampai di Bukit Birnam, sebuah bukit yang letaknya berdekatan dengan
Pulau Neraka. Tidak jauh dari tempat Bong Mini berjalan, kira-kira sekitar lima belas meter,
seorang pemuda berpakaian terpelajar dengan lukisan naga emas di bagian kanan
dada bajunya yang berwarna kuning tampak sedang
membayangi langkahnya. Sepasang matanya yang sipit
tak lepas-lepasnya memandang Bong Mini. Dialah pe-
muda yang lari ketika diserang oleh Pasukan Iblis Pulau Neraka ketika berada di
dekat reruntuhan rumah
Bong Mini. Setelah agak jauh melangkah, telinga Bong Mini
menangkap teriakan-teriakan lantang dari arah sela-
tan. Ia tahu betul bahwa teriakan-teriakan itu merupakan pekik pertempuran yang
amat ganas. Hatinya
langsung terpancing untuk berjalan lebih cepat ke
arah pertempuran itu.
Melihat gadis cantik bertubuh mungil berjalan de-
ngan cepat, pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas segera mempercepat
langkahnya pula, menyusul
arah langkah Bong Mini.
Di sana, mata Bong Mini melihat dua pasukan yang
sedang bertempur dengan ganas. Dari dua pasukan
itu, Bong Mini melihat pasukan yang satu itu menga-
lami kekalahan yang begitu berat. Terbukti dari ba-
nyaknya korban yang berjatuhan, termasuk yang me-
ngalami luka berat hingga tak dapat melakukan penyerangan. Hanya tiga orang saja
yang masih bertahan
dalam gempuran lawan yang beringas bagai badai.
Pasukan yang menderita kekalahan itu adalah pa-
sukan Perguruan Topeng Hitam. Sedangkan tiga orang
yang mencoba bertahan menghadapi Pasukan Iblis Pu-
lau Neraka tidak lain Giwang dan dua temannya.
Siut siut! Tiba-tiba dua batang jarum hitam meluncur deras
ke arah dua teman Giwang. Akibatnya" Dua orang
yang tidak memiliki kekebalan tubuh langsung ter-
sungkur di atas tanah dan tak dapat berkutik lagi.
Bong Mini yang menyaksikan pertempuran itu ter-
kejut bukan main ketika melihat jarum hitam yang
menusuk dua orang itu. Dia sadar sekarang kalau pa-
sukan yang masih kuat dengan sisa pasukan sepuluh
orang itu adalah orang-orang Iblis Pulau Neraka yang sedang dicari-carinya. Maka
tanpa berpikir siapa pa-
sukan yang mengalami kekalahan itu, Bong Mini lang-
sung meloncat ke ajang pertempuran dan langsung
menghadang pasukan Iblis Pulau Neraka.
"Hiaaat !"
Bret bret! Pedang Teratai Merah yang digenggam Bong Mini
langsung menebas leher dua orang pasukan Iblis Pu-
lau Neraka tanpa ampun. Sehingga kepala mereka ter-
lepas dari tubuhnya.
Ketika mengetahui gadis mungil yang dibayanginya
terjun ke medan pertempuran dan membantu pasukan
yang mengalami kekalahan, pemuda yang memiliki lu-
kisan naga emas di bajunya, alias Khian Liong, segera melompat ke tengah
pertempuran dan membantu Bong
Mini yang sudah mengamuk menyabet-nyabetkan pe-
dangnya ke arah pasukan Iblis Pulau Neraka.
Jarot dan pasukan yang dipimpinnya benar-benar
terkejut ketika melihat kedatangan dua anak muda
yang melakukan penyerangan terhadap mereka. Apa-
lagi ketika melihat Bong Mini telah dapat menewaskan dua temannya. Ketika mata
Jarot mengamati pakaian
yang dikenakan Bong Mini, pikirannya tiba-tiba ter-
ingat pada cerita Danu dan Jaim tentang gadis yang
ikut serta dengan Bongkap ketika Danu dan ketiga temannya diserang oleh dua
pengawal setia Bongkap.
Sedangkan ciri gadis yang disebutkan oleh Danu dan
Jaim waktu itu mirip dengan gadis yang sedang diha-
dapinya sekarang.
"Siapa kau, gadis kecil"! Beraninya mencampuri
urusanku"!" dengus Jarot dengan sorot mata berkilat-kilat diburu amarahnya.
"Sebagai orang yang berpijak di negeri ini, apa yang terjadi di sini tentu
merupakan kewajibanku untuk
melibatkan diri. Apalagi terhadap kebiadaban orang-
orang Iblis Pulau Neraka!" ketus Bong Mini sambil berusaha menangkis dan
mengelak serangan Jarot dan ti-
ga pembantunya.
Mendengar ucapan gadis bertubuh mungil itu, Jarot
menjadi geram. Begitu pula dengan tiga temannya
yang sejak tadi mengepung dan menyerang Bong Mini.
Mereka semakin beringas.
"Terlalu sedikit bila aku menghadapi empat cecu-
nguk!" seru Bong Mini, sengaja memancing kemarahan
lawannya. Walaupun ia tahu kalau empat orang yang
menyerangnya itu merupakan orang-orang yang ke-
mampuannya tidak dapat dianggap remeh. Dengan
berkata begitu, Bong Mini berharap agar lawannya terpancing dan menyerangnya
dengan penuh nafsu. De-
ngan begitu ia dengan mudah akan dapat menakluk-
kan mereka. Karena biasanya, orang yang sudah kalap akan menyerang lawannya
dengan membabi buta,
tanpa perhitungan yang matang.
Pancingan Bong Mini itu ternyata mengena. Terbuk-
ti dari serangan keempat lawannya yang semakin liar, seolah-olah hendak
menerkamnya. Sementara itu, Giwang yang mempunyai sifat licik,
diam-diam pergi meninggalkan kancah pertempuran
ketika mengetahui ada dua orang yang membantunya.
Sehingga Bong Mini dan Khian Liong masing-masing
harus menghadapi empat orang lawan. Untunglah ke-
duanya mempunyai kepandaian yang sangat tangguh.
Sehingga pertempuran yang tidak seimbang itu menja-
di seru. Bahkan dengan tangkas mereka dapat meng-
imbangi para pengeroyoknya.
Siut siut! Tiba-tiba Jarot melancarkan jarum-jarum hitam be-
racunnya ke arah Bong Mini. Tetapi Bong Mini yang
matanya sudah diasah tajam lewat puasa mutih sela-
ma empat puluh hari empat puluh malam dapat me-
nangkap kelebatan jarum-jarum beracun yang keluar
dari tangan pemimpin pasukan itu. Dengan cepat tu-
buhnya bergerak, menghindari jarum-jarum hitam
yang mengandung racun mematikan itu.
Melihat lawan dapat mengelak dari serangan jarum
hitam beracunnya, Jarot jadi semakin bernafsu. De-
ngan rasa penasaran membludak, ia kembali melan-
carkan jarum-jarum hitam beracunnya ke arah Bong
Mini dengan gencar.
Lagi-lagi Bong Mini dapat mengelakkan senjata ra-
hasia itu. Bahkan sambil mengelak ia masih sempat
melancarkan serangan ke arah tiga pengeroyoknya
yang lain. Brettt! Pedang yang digenggam Bong Mini menyambar pe-
rut lawan, membuat luka dalam yang menggidikkan.
"Aaakh...!"
Lawan yang terkena sabetan pedang itu mengerang
dengan kedua tangan memegangi perutnya yang sudah
robek dan mengeluarkan darah segar. Tubuhnya ber-
putar limbung sebentar, kemudian mati.
Setelah seorang lawannya mati di ujung pedangnya,
Bong Mini kembali melancarkan serangan lewat ten-
dangan dan pukulan tangan yang sudah dialiri Ilmu
'Tapak Hangus' yang didapat ketika berguru pada Kanjeng Rahmat Suci.
Dukkk...! Plak plak!
Tendangan kaki dan pukulan tangan yang dilaku-
kan Bong Mini langsung mengenai sasaran.
"Aaakh!"
Dua orang yang terkena tendangan dan pukulan
tangan Bong Mini langsung menjerit dan roboh. Kemu-
dian tubuh kedua orang itu berubah hangus seperti


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbakar. Itulah kedahsyatan ilmu 'Tapak Hangus'.
Jarot yang menjadi Ketua Pasukan Iblis Pulau Ne-
raka tersentak kaget melihat tiga orang teman yang
membantunya itu terkapar kaku di atas tanah. Se-
hingga dengan mata kalap dan nafsu yang tak terken-
dalikan, ia menyerang Bong Mini tanpa perhitungan
yang matang. Bong Mini yang menyadari kelemahan serangan la-
wannya itu segera menyambutnya dengan Pedang Te-
ratai Merah yang terkenal sakti.
Bret! Cleb! Sabetan dan tusukan ujung pedang Bong Mini
mengakhiri nyawa Ketua Pasukan Iblis Pulau Neraka.
Di lain tempat, Khian Liong pun sudah dapat me-
newaskan dua lawannya. Tinggal dua orang lagi yang
masih bertahan dan melakukan serangan gencar ter-
hadap pemuda itu. Namun serangan itu pun tidak ber-
langsung lama. Karena setelah Bong Mini dapat meng-
habisi nyawa Ketua Pasukan Iblis Pulau Neraka, Khian Liong dapat pula menewaskan
seorang pengeroyoknya.
Kini ia tinggal melawan seorang lawan lagi.
Seorang dari Pasukan Iblis Pulau Neraka yang ma-
sih hidup itu tampak mulai digerayangi rasa takut
menghadapi Khian Liong. Apalagi ketika menyadari kalau di sekelilingnya sudah
tidak ada lagi teman-te-
mannya yang hidup, termasuk pemimpinnya. Sampai
akhirnya dia segera melompat tinggi dan mengambil
langkah seribu, meninggalkan dua anak muda yang
masih berdiri gagah di kancah pertempuran itu.
Pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu
menoleh ke arah Bong Mini. Begitu pula dengan Bong
Mini. Sehingga antara keduanya terjadi adu pandang
yang cukup lama.
"Siapakah Koko" Dan mengapa berada di tempat ini
serta turut bertempur dengan Pasukan Iblis Pulau Neraka?" tanya Bong Mini agar
ia bisa terlepas dari pandangan lelaki muda yang mempunyai pesona luar bi-
asa itu. "Namaku Khian Liong. Aku ke sini hanya kebetulan
saja. Dan ketika melihat kau bertempur dengan orang-orang itu, aku segera turut
terjun membasmi orang-
orang Iblis Pulau Neraka tadi!" jawab Khian Liong.
Apa yang dikatakan oleh pemuda itu memang be-
nar. Dia adalah Khian Liong yang dua tahun lalu sempat bertemu dengan Bongkap
dan pengawal setianya.
Dia bertemu dengan Bongkap karena ingin meminta
bantuan agar dapat menolong rakyat negeri Manchuria yang tertindas oleh
kesewenangan rajanya (baca episode sebelumnya: 'Hilangnya Seorang Pendekar').
Bong Mini mengangguk-angguk mendengar penjela-
san pemuda yang bernama Khian Liong itu.
"Kalau begitu, kita sama-sama kebetulan di tempat
ini dan bertempur dengan pasukan Iblis Pulau Nera-
ka!" cetus Bong Mini seraya mengembangkan senyum-
nya yang amat lembut.
"Siapa nama, Nona?" tanya Khian Liong bersama se-
nyuman simpatik.
"Namaku Bong Mini," sahut Bong Mini, memperke-
nalkan namanya.
Khian Liong tercenung mendengar nama itu. Ke-
ningnya berkerut seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Koko seperti heran mendengar namaku?" tanya
Bong Mini saat mengetahui perubahan wajah pemuda
di hadapannya. "Ah, tidak!" sahut Khian Liong cepat, sambil ter-
senyum. "Aku cuma mengingat nama seseorang mirip
dengan namamu!"
"Siapa dia?" tanya Bong Mini ingin tahu.
"Bongkap."
Bong Mini tersentak. Karena nama yang disebutkan
pemuda itu tidak lain papanya sendiri.
"Heh, kenapa kau terkejut" Apa kau kenal nama
itu?" tanya Khian Liong melihat keterkejutan pada wajah gadis mungil di
hadapannya. "Tentu saja aku mengenalnya. Karena orang yang
kau sebutkan itu tidak lain papaku sendiri?"
"Hah?" kini Khian Liong yang balik terkejut "Jadi,
kau putri Bongkap yang dikabarkan hilang dua tahun
yang lalu itu?" tanya Khian Liong dengan wajah yang masih menunjukkan
keterkejutan. "Ya. Dan sekarang aku telah berkumpul kembali de-
ngan papa!" sahut Bong Mini.
"Sekarang, di mana papamu?" tanya Khian Liong
penuh semangat.
"Dia berada di Kampung Dukuh bersama dua pe-
ngawal!" sahut Bong Mini memberitahu.
"Apakah aku bisa ke sana menemuinya?"
"Tentu saja. Tapi aku tak dapat mengantarkanmu!"
"Tak mengapa. Aku sudah lama mencari-cari papa-
mu karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan pa-
danya!" ucap Khian Liong.
"Kalau begitu segeralah ke sana. Mumpung hari
masih pagi!" saran Bong Mini cepat.
"Ya. Aku memang akan segera ke sana!" usai berka-
ta begitu, pemuda itu pun segera meninggalkan Bong
Mini yang memandanginya sampai tubuh Khian Liong
menghilang dari pelupuk matanya. Setelah itu ia pun melanjutkan perjalanannya.
Namun baru beberapa
meter kakinya melangkah, tiba-tiba ia terhenti. Pikirannya teringat pada kata-
kata Khian Liong yang menyatakan ada hal penting yang akan dibicarakan den-
gan papanya. Pembicaraan penting apa, ya" Pikir Bong Mini ter-
cenung. Sedangkan hatinya ragu untuk melanjutkan
langkahnya ke Pulau Neraka. Karena diliputi oleh rasa ingin tahu mengenai
pembicaraan penting yang dikatakan pemuda yang baru dikenalnya tadi, dia
akhirnya memutar untuk kembali ke Kampung Dukuh menemui
papanya. *** 7 Gonggo Gung benar-benar tak dapat menahan ma-
rah saat Jurik, orang yang selamat dari tangan Khian Liong, melapor bahwa
seluruh pasukan yang dipimpin
oleh Jarot telah tewas.
"Kalau menghadapi orang-orang Perguruan Topeng
Hitam kami telah menang, Ketua! Tapi saat itu muncul sepasang anak muda yang
melakukan pembelaan terhadap Perguruan Topeng Hitam dan membabat habis
pasukan kita!" lapor Jurik menjelaskan kekalahan
yang dialami oleh pasukannya.
Gonggo Gung mengerutkan keningnya dengan sorot
mata mencorong ke arah anak buahnya.
"Siapa sepasang anak muda itu?" tanya Gonggo
Gung. "Mereka tidak menyebutkan namanya, Ketua. Tapi
kalau dilihat dari penampilannya, kedua orang itu mirip dengan ciri-ciri yang
disebutkan oleh Jaim dan Da-nu!" sahut Jurik.
"Hm..., mungkinkah mereka sepasang kekasih?"
"Bisa jadi, Ketua. Apalagi kedua orang itu sama-
sama orang Tionghoa!" sambut Jurik, membenarkan
dugaan pemimpinnya.
Gonggo Gung terdiam. Keningnya berkerut dalam.
Pertanda kalau dia sedang memutar pikirannya. Bu-
kan memikirkan Perguruan Topeng Hitam, melainkan
memikirkan sepasang anak muda yang telah membuat
seluruh pasukan yang diutus untuk melakukan pe-
nyerangan terhadap Perguruan Topeng Hitam tewas
semua. Gadis itu tidak mempan oleh serangan jarum hitam
beracun. Sekarang dia melakukan pembantaian terha-
dap orang-orangku yang demikian banyak jumlahnya.
Bahkan Jarot yang kupercaya untuk memimpin pasu-
kannya telah tewas pula di tangan gadis itu. Ini menunjukkan bahwa gadis itu
bukan orang sembara-
ngan! Demikian pikiran yang ada di benak Gonggo
Gung. "Kita harus punya cara lain untuk menaklukkan se-
pasang anak muda itu!" kata Gonggo Gung setelah be-
berapa saat terdiam.
"Bagaimana caranya, Ketua?" tanya Jaim yang me-
mang sejak tadi berada di ruangan itu bersama-sama
pengikut Perkumpulan Iblis Pulau Neraka lain. Mereka terdiri dari para jago
bermain senjata. Jumlahnya kurang lebih dua puluh orang.
"Bujuk kedua orang itu agar mau bersekutu dengan
kita!" ujar Gonggo Gung mengemukakan hasil pikiran-
nya. "Bagaimana mungkin mereka mau, Ketua?" kata Ja-
im. "Kalau hanya sekadar membujuk begitu, jelas me-
reka tidak mau. Oleh karena itu janjikan sesuatu yang memikat!" kata Gonggo
Gung. Beberapa orang anak buahnya yang berada di rua-
ngan itu tampak mengangguk-angguk.
"Berikan kedudukan sesuai dengan permintaan me-
reka. Dengan perjanjian, mereka turut kita dalam melakukan penyerangan terhadap
orang-orang Perguruan
Topeng Hitam!" lanjut Gonggo Gung menjelaskan gaga-
san yang dimaksud.
Beberapa orang anak buahnya kembali mengang-
guk. "Ketahuilah oleh kalian bahwa kita sangat membu-
tuhkan orang-orang tangguh seperti mereka untuk da-
pat memperkuat gerakan kita!" lanjut Gonggo Gung dengan wajah yang mulai cerah.
Pikirnya, dengan cara
seperti ini kedua anak muda itu pasti dapat ditaklukkan dan dijadikan sebagai
kaki tangannya. "Namun
untuk membujuk mereka, kita memerlukan seorang
yang berpenampilan menarik dengan tutur kata penuh
simpatik!"
Kembali anak buahnya mengangguk-angguk. Kare-
na hanya itu yang dapat mereka lakukan saat itu. Lagi pula setiap rencana selalu
datang dari pemimpin mereka sendiri, Gonggo Gung. Termasuk rencana penye-
rangan ke Perguruan Topeng Hitam yang kandas di te-
ngah jalan karena terhalang oleh sepasang anak muda, Bong Mini dan Khian Liong.
"Ong Lie, kau lebih tepat untuk melakukan tugas
ini!" seru Gonggo Gung kepada salah seorang anak
buahnya yang sejak tadi duduk tenang di sebelah kirinya.
Ong Lie adalah seorang pemuda keturunan Tiong-
hoa berumur kurang lebih tiga puluh tahun. Sedang-
kan tinggi badannya sekitar 1,75 senti meter. Sebuah ukuran yang paling tinggi
di antara teman-temannya
yang berada di Perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Seu-
kuran dengan tinggi Gonggo Gung. Berkulit langsat
dengan ukuran tubuh sedang, namun berotot. Alisnya
agak tipis dan pendek. Hidungnya berukuran sedang
dengan bibir tipis. Di atas bibirnya tumbuh kumis
yang tercukur rapi. Dagunya hijau, bertanda bahwa
jenggotnya baru saja dicukur. Rambutnya panjang
mengkilat dan terkucir rapi. Sedangkan pakaiannya
bermodel baju koko warna biru muda, dengan hiasan
sepasang burung dara yang tengah terbang berwarna
kuning dengan lingkaran coklat pada lehernya. Indah sekali lukisan itu! Ditambah
pula dengan model ce-lananya yang lebar di paha dan mengecil di bagian
ujung kakinya. Membuat penampilannya semakin me-
narik bagi siapa saja yang melihatnya.
Pemuda yang bernama Ong Lie itu mengangguk
hormat ketika mendapat tugas dari Gonggo Gung.
"Aku akan menjalankan tugas itu sebaik mungkin!"
kata Ong Lie. "Bagus! Persiapkanlah rencana-rencana selanjut-
nya!" perintah Gonggo Gung.
"Baik, Ketua!" sahut Ong Lie. Kemudian ia melang-
kah ke luar untuk melaksanakan tugasnya mencari
Putri Bong Mini.
"Lima belas orang di antara kalian tetap bergerak ke kampung-kampung untuk
mencari orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Sedangkan kalian berempat tetap
di sini bersamaku!" lanjut Gonggo Gung kepada anak
buahnya yang masih berada di ruangan itu.
"Baik, Ketua!" sahut seluruh anak buahnya serem-
pak. Kemudian lima belas orang di antara mereka me-
langkah ke luar untuk menjalankan tugasnya ke kam-
pung-kampung, sedangkan empat orang lagi tetap di
ruangan itu bersamanya.
*** Sementara itu di Bukit Setan, Ketua Perguruan To-
peng Hitam tampak marah-marah. Meja yang di hada-
pannya digebrak keras, hingga patah berantakan. Se-
pasang biji matanya yang besar kelihatan merah me-
nyala seperti lidah api yang siap membakar.
Giwang yang baru saja tiba di tempat itu tampak
menggigil ketakutan. Begitu pula dengan dua puluh
lima murid-murid lain yang sejak tadi menemani Ki-
darga di ruangan itu. Mereka mundur beberapa lang-
kah dengan tubuh mengkeret.
Kemarahan Kidarga, Ketua Perguruan Topeng Hi-
tam memang sangat beralasan. Anak buahnya yang se-
lama ini dibanggakan karena ketelengasannya terha-
dap rakyat, justru harus mati dengan tubuh koyak-
moyak. Ditambah lagi dengan kabar kematian Yang
Seng yang ditugaskan memimpin pasukan di Kampung
Pamanukan serta Giwang yang mengambil langkah se-
ribu. "Kalian semuanya tidak becus! Goblok! Tak bisa
kerja apa-apa!" murka Kidarga dengan sepasang ma-
Renjana Pendekar 11 Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung Satria Terkutuk Kaki Tunggal 3
^