Pencarian

Pedang Teratai Merah 3

Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Bagian 3


desanya. Melihat kedatangan kepala desa bersama pengikut-
nya, para penduduk yang masih ada di tempat itu
tampak menyingkir dengan wajah menunjukkan keta-
kutan. Hanya Bong Mini saja yang masih berdiri di
tempat menyambut kedatangan rombongan kepala de-
sa itu. Sementara itu, Baladewa yang sejak tadi memper-
hatikan Bong Mini di tengah kerumunan penduduk
Desa Anjungan, tetap tak bergeming dari tempatnya. Ia ingin melihat sejauh mana
Bong Mini menyelesaikan
masalah penduduk di kampung itu.
*** 7 Bong Mini berdiri dengan sikap tenang. Namun ma-
tanya tajam meneliti ketiga belas orang yang sudah mengelilinginya itu. Kemudian
matanya tertuju pada lelaki bertubuh tinggi besar. Wajahnya banyak ditumbuhi
oleh kumis dan jenggot. Sedangkan matanya yang hitam dan besar begitu tajam
menatap ke arah Bong
Mini. "Dialah orang yang membunuh tiga orang teman
kami, Ketua!" lapor seorang dari mereka yang tadi melarikan diri.
"Hm, rupanya kalian melarikan diri untuk memang-
gil anjing-anjing hitam ini!" ujar Bong Mini sambil memandang ketiga orang yang
melarikan diri tadi secara bergantian.
Tiga lelaki itu saling berpandangan, kemudian me-
reka menoleh pada lelaki bertubuh tinggi besar yang dipanggil ketua.
"Nah, Ketua bisa dengar sendiri ucapan sombong
bocah tengik itu!" ucap lelaki yang berkata tadi.
Lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam
yang disebut ketua itu maju selangkah ke arah Bong Mini. Sesaat dia terdiam.
Hanya matanya saja mencorong tajam mengamati wajah Bong Mini. Kemudian dia
bicara dengan suara tenang berwibawa.
"Nona, rupanya Anda tidak mengetahui kalau mere-
ka orang-orang utusanku. Rupanya Nona baru mema-
suki dunia persilatan hingga seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan
tidak mengenal daerah.
Karena itu, jika Nona mau bersikap ramah dan minta maaf, kami pun akan menyudahi
urusan ini karena
Nona masih kuanggap kanak-kanak!"
"Bagiku, siapa pun yang mengutus mereka aku tak
peduli. Aku datang ke sini tanpa sengaja. Kemudian aku melihat seorang lelaki
tua tengah dikeroyok dan mencoba menengahinya. Apakah itu salah?" tanya
Bong Mini dengan sikap yang masih tenang.
"Bukankah orang-orangku telah menjelaskan bah-
wa orang tua itu seorang pencuri?" lelaki bertubuh tinggi besar itu balik
bertanya. "Apakah karena dia pencuri lalu kita memukulinya
sampai mati" Di manakah kewibawaan hukum" Apa-
lagi barang yang dicurinya bernilai tidak seberapa.
Hanya sehelai kain untuk persiapan istrinya yang akan melahirkan. Nah, apakah
sepadan siksaan yang ia terima dengan perbuatannya?" tanya Bong Mini dengan
suara lantang. "Tapi ini hukum yang telah kuberlakukan puluhan
tahun. Jadi tak seorang pun yang dapat membantah-
nya!" sahut lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam.
"Kalau yang menegakkan hukum itu dirimu, maka
aku berkeyakinan kalau kau adalah seorang kepala
desa ini. Tapi ingatlah Bapak Kepala Desa, bahwa hukum itu harus berwibawa dan
dihormati. Bukan malah menakut-nakuti masyarakat!" kata Bong Mini dengan
sikap yang penuh keberanian. Sejak kecil ia memang telah dibekali oleh
orangtuanya tentang tata cara pem-buatan hukum. Apalagi dia seorang anak raja,
hingga sedikit banyak tahu masalah hukum.
Kepala desa yang tidak lain bernama Pak Bagol itu
tersentak kaget melihat sikap gadis mungil yang demikian lantang berbicara
kepadanya. Seolah-olah hendak mempermalukan dirinya di hadapan orang banyak.
Rasa terkejut itu bukan saja menghinggapi diri Pak Bagol, tetapi juga melanda
orang-orang di sekitarnya,
termasuk Baladewa. Hingga diam-diam ia melangkah
dan menyelinap di antara kerumunan orang banyak
untuk menyaksikan lebih dekat lagi.
"Bocah sombong. Berani benar kau berbicara pada-
ku!" dengus Pak Bagol dengan wajah merah padam ka-
rena menahan marah.
"Maafkan aku Kepala Desa Yang Terhormat, jika
aku lancang berbicara dan berkesan menggurui. Se-
sungguhnya, aku hanya berbicara sesuai dengan apa
yang kuketahui!" ucap Bong Mini, mencoba meredakan amarah Pak Bagol. Ia sendiri
memang tidak ingin
membuat kericuhan di desa itu. Apalagi dengan kepala desanya. Dia hanya ingin
mengusulkan agar hukum
yang telah diberlakukan di desa itu hendaknya diperbaiki lagi. Namun karena Pak
Bagol sudah telanjur
merasa dipermalukan sebagai seorang tokoh masyara-
kat, maka sikap permohonan maaf Bong Mini pun ti-
dak didengarnya sama sekali. Malah ia semakin ma-
rah. Darahnya bergolak mengalir ke seluruh tubuhnya.
"Bocah sombong! Dengarkan baik-baik. Permoho-
nan maafmu bisa aku terima jika kau bersujud di ha-dapanku dan mencium telapak
kaki!" dengus Pak Ba-
gol dengan sorot mata berkilat-kilat.
Bong Mini yang sudah mencoba menyabarkan Pak
Bagol, kini berubah panas mendengar ucapan kepala
desa itu. Maka dengan wajah bersemu merah serta suara yang berapi-api ia pun
menyambut ucapan kepala desa yang mengandung penghinaan itu.
"Aku bersedia berlutut mencium telapak kakimu ji-
ka kau bersama cecunguk-cecungukmu mampu me-
langkahi mayatku!"
Mendengar ucapan Bong Mini yang mengandung
nada tantangan, telinga Pak Bagol menjadi panas. Ke-marahan yang sejak tadi
ditahannya langsung mem-
bludak tanpa bisa dibendung lagi. Dengan suara pecah menggelegar, Pak Bagol
langsung memberikan perintah kepada para pengikutnya.
"Tangkap bocah tengik itu!"
Mendapat perintah itu kedua belas orang pengikut-
nya langsung mengurung rapat Bong Mini. Mereka be-
rusaha menangkap gadis cantik itu hidup-hidup.
Bong Mini yang menyadari dirinya berada di tempat
yang tidak menguntungkan segera melompat ke atas
ketika kedua belas pengurungnya bergerak serentak
hendak menangkapnya.
Melihat Bong Mini yang dikurung oleh dua belas le-
laki bertubuh kasar dan beringas, hati Baladewa menjadi was-was. Namun ia
sendiri berusaha menahan diri untuk tidak segera memberikan pertolongan. Ia
masih yakin kalau saudara seperguruannya mampu menghadapi lawan sebanyak itu.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan bentakan me-
lengking. Tubuhnya berkelebat, meloncat tinggi me-
lampaui kepala para pengepungnya. Dan, ketika kedua belas pengepungnya hendak
menghalangi, ia berbalik mendorongkan tangan kanannya yang mengandung
tenaga 'Telapak Tangan Sakti'.
Wuttt! Angin keras yang ditimbulkan 'Telapak Tangan Sak-
ti', warisan dari Putri Teratai Merah menyambar lawannya. Sehingga mereka yang
berusaha menghalan-
ginya terdorong ke belakang disertai teriakan kaget karena terpaan hawa panas.
Barisan pengepung kacau-balau. Namun kedua be-
las orang itu kembali berdiri tegak sambil terus mendesak gadis mungil yang
menjadi musuh mereka.
Di lain pihak, Bong Mini yang sudah mendapat ke-
sempatan untuk bernapas segera mencabut Pedang
Teratai Merahnya. Seketika itu juga sinar merah berbentuk bunga teratai memancar
terang saat pedang itu dikeluarkan dari sarungnya.
"Pedang Teratai Merah!" desis Pak Bagol dengan ke-
dua mata terbelalak. Ia hampir tidak percaya gadis se-kecil itu memiliki Pedang
Teratai Merah. Ia sendiri pernah berusaha beberapa kali untuk mendapatkan pe-
dang itu tapi tidak pernah berhasil. Karena setiap kali ia mencoba, selalu
diganggu oleh pasukan iblis menyerupai ular yang menyerangnya. Dan kini, ketika
melihat gadis mungil yang diserang anak buahnya memiliki Pedang Teratai Merah,
ia pun turut melakukan serangan.
"Kepung gadis itu! Jangan sampai lolos!" seru Pak
Bagol mengingatkan para pengikutnya.
Dua belas orang anak buah kepala desa semakin
bersemangat ketika melihat pemimpinnya sendiri bersama-sama mereka turut
melakukan pengepungan
terhadap gadis lincah itu.
Bong Mini yang sudah siap menghadapi serangan
dari ketiga belas lawannya, segera melakukan perlawanan lewat jurus 'Telapak
Tangan Sakti' dan Pedang Teratai Merah.
"Hiaaat!"
Pak Bagol mengeluarkan lengkingan tinggi saat tu-
buhnya melompat ke tengah pertempuran.
Wuttt! Desss! Angin yang ditimbulkan jurus 'Telapak Tangan Sak-
ti' mendorong enam lawannya hingga terhuyung. Dan
ketika para pengeroyok itu semakin kacau dalam men-gatur posisinya, Bong Mini
segera memainkan pedangnya dengan kecepatan yang amat dahsyat.
Sing sing sing!
Tubuh dan pedang Bong Mini bagaikan bola api
yang menggelinding ke sana kemari, membuat perta-
hanan lawannya semakin kacau-balau dan tak dapat
lagi mempertahankan keutuhan gerak mereka.
"Aaakh!"
Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang amat me-
nyayat hati. Lalu disusul dengan robohnya enam lawan dengan tubuh yang amat
mengerikan. Ternyata mereka mati terkena sabetan Pedang Teratai Merah milik Bong
Mini yang terkenal sakti.
Setelah merobohkan enam orang lawannya, Bong
Mini kembali membalikkan tubuhnya untuk menye-
rang tujuh penyerang lain. Ia terus mengamuk mema-
inkan pedang saktinya ke arah lawan.
Para pengepung yang memang sudah kacau-balau
dalam melakukan serangan semakin bertambah kelim-
pungan ketika melihat enam orang temannya mati. Ditambah lagi dengan serangan
dahsyat yang kini dilancarkan oleh gadis mungil yang menjadi lawan mereka.
Sehingga jalan satu-satunya bagi mereka adalah me-
nyelamatkan diri agar terhindar dari serangan pedang Bong Mini yang amat dahsyat
itu. Bret bret bret!
"Aaakh!"
Musuh yang berusaha menyelamatkan diri mati di
ujung pedang Bong Mini yang sudah mengamuk seja-
di-jadinya. Kini mereka semua roboh dengan tubuh yang ma-
lang melintang di antara darah yang membasahi ta-
nah. Tinggallah Pak Bagol yang masih bertahan hidup.
Sebenarnya Pak Bagol sudah gentar menghadapi
gadis mungil yang menjadi lawannya itu. Tapi karena keinginannya untuk memiliki
Pedang Teratai Merah
begitu menggebu-gebu, ia pun memaksakan diri untuk
terus menghadapi lawannya sampai titik darah peng-
habisan. Percuma saja aku melarikan diri kalau tak berhasil merebut pedang di
tangan lawan, pikirnya.
"Kau boleh bangga dapat merobohkan para pengi-
kutku. Tapi kau tak akan mungkin berhasil meroboh-
kanku bila bertanding dengan tangan kosong!" tantang Pak Bagol. Namun
sesungguhnya tantangan itu hanya
sebuah jebakan belaka. Sebab kalau Bong Mini me-
layani tantangan itu, ia akan mudah merebut Pedang Teratai Merah.
Pancingan Pak Bagol berhasil. Bong Mini menggele-
takkan pedangnya di atas tanah dan menunggu sera-
ngan lawannya dengan tangan kosong.
"Hiaaat!"
Pak Bagol meluruk ke arah Bong Mini dengan me-
ngerahkan ilmu Gerak Pukul yang terkenal ganas.
Wuttt! Bong Mini menghindari serangan itu dengan cara
melompat setinggi dua meter. Sehingga pukulan yang mengeluarkan angin dahsyat
itu luput dari sasaran.
Menyadari pukulannya luput, Pak Bagol segera
membalikkan tubuhnya untuk kembali menyerang.
"Hiy hiy hiy!"
Lewat jurus 'Cakar Macan', Pak Bagol berusaha
mencengkeram tubuh lawan. Dari kedua tangannya
yang berbentuk cakar, keluar hawa panas serta uap
putih yang menyebarkan bau amis darah.
Bong Mini terkejut juga melihat serangan itu. Ia ta-hu bahwa cengkeraman itu
mengandung racun yang
mematikan. Itu merupakan serangan khas yang biasa
dipergunakan oleh para tokoh golongan hitam. Dari jurus yang dilancarkan Pak
Bagol, ia sudah dapat menebak bahwa kepala desa itu seorang tokoh silat dari
golongan hitam. Oleh karena itu Bong Mini akan segera
membasminya agar ajarannya yang menyesatkan tidak
turun pada masyarakat yang dipimpinnya.
Untuk menghindari serangan lawan, Bong Mini
mencoba mempergunakan ilmu Halimun Sakti. Se-
buah ilmu yang membuat dirinya terlihat samar-samar oleh pandangan orang lain,
bahkan tidak kelihatan
sama sekali. Dan ilmu ini mempunyai gerakan yang
lambat dan tenang seperti halnya halimun yang perlahan-lahan turun menyelimuti
bumi. Ini merupakan salah satu ilmu dari jurus 'Pancar Sinar Sakti' yang
diwariskan oleh Putri Teratai Merah. Sehingga saat musuhnya menyerang, tubuh
Bong Mini melayang ringan
seperti bulu yang tertiup angin. Sehingga serangan lawannya luput dari sasaran
walau bagaimanapun he-
batnya pukulan yang dikerahkan Pak Bagol.
Suit suit suit!
Sebuah angin keras bersuitan ketika Bong Mini
membalas serangan dengan melakukan tamparan ke-
dua tangannya. Ini menunjukkan kedua telapak ta-
ngannya mengandung tenaga sakti yang amat ampuh.
Wesss! Pak Bagol terhenyak kaget ketika menyadari tampa-
ran tangan lawannya mengandung angin pukulan yang
demikian cepat dan dahsyat. Sehingga dia mengelak
cepat dan berusaha mencengkeram lengan Bong Mini.
"Heppp!"
Bukkk! Tubuh kepala desa itu langsung terjungkal dan


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelinding di tanah ketika tangannya menyentuh
tangan Bong Mini. Tapi dengan gerakan reflek, kepala desa segera bangkit berdiri
menghadap Bong Mini dengan muka merah. Sedangkan di tangan kanannya ter-
genggam sebilah golok yang sudah berwarna hitam.
Pertanda kalau golok itu sudah sering dilumuri racun.
Gadis berbaju merah dan bertubuh mungil tampak
tersenyum-senyum melihat kecurangan lawannya.
"Hanya begitu saja kemampuanmu bertempur de-
ngan tangan kosong!" ejek Bong Mini.
Lelaki bertubuh tinggi besar yang sudah terpancing amarahnya itu semakin kalap
mendengar ejekan Bong
Mini. Dan tanpa berkata lagi, tubuhnya langsung meloncat dan melabrak lawan
dengan goloknya.
Wut wut wut! Bong Mini melompat menghindari serangan golok
yang cepat dan menimbulkan angin kencang itu. Dan
ketika kakinya menjejak tanah kembali, ia langsung balik menyerang Pak Bagol
lewat totokan jari telunjuknya.
Cep cep cep! Totokan jari telunjuknya bukan main cepat menga-
rah pada leher lawan, hingga kepala desa yang belum sempat membalikkan tubuhnya
tidak dapat menghindari serangan. Ketika leher Pak Bagol terkena totokan kedua
jari telunjuk lawan, tubuhnya terasa lemas dan tenaganya pun terasa hilang
seketika. Membuat golok yang tergenggam di tangannya terlepas jatuh. Namun
ketika tubuhnya jatuh di tanah, ia langsung bergulingan menuju Pedang Teratai
Merah milik Bong Mini
yang tergeletak. Kemudian ia bangkit dengan Pedang Teratai Merah yang sudah
tergenggam di tangannya.
Apa yang terjadi pada lawannya tentu sangat me-
ngejutkan hati Bong Mini. Karena ilmu menotok jalan darah yang dimilikinya tak
mampu mempecundangi
lawannya. Padahal ilmu menotok yang dimilikinya sangat dahsyat. Tak seorang pun
yang selamat bila tubuhnya sudah terkena totokan kedua jari telunjuknya.
Pak Bagol merupakan orang yang pernah bergabung
dengan tokoh-tokoh sesat. Selama terjun dalam dunia
sesat, telah banyak ilmu-ilmu hitam yang dimilikinya.
Salah satunya ilmu Sentuh Tanah Bangkit Berdiri. Sebuah ilmu ciptaan seorang
pemimpin golongan hitam
yang tujuannya untuk menaklukkan totokan lawan
dengan cara bergulingan di atas tanah. Bila tubuh terkena totokan dan langsung
bergulingan di tanah maka ilmu menotok jalan darah tidak akan mempan. Hingga
tidak heran jika totokan Bong Mini tadi tidak mempen-garuhi keadaan lawannya.
Kebangkitan Pak Bagol itu memang sangat menge-
jutkan hati Bong Mini. Apalagi ketika melihat musuhnya itu telah menggenggam
sebilah pedang kepunya-
annya. Kegugupan tiba-tiba menyergapnya. Ia merasa kalau dirinya sekarang ini
tidak lagi mampu menandi-ngi kepala desa itu setelah berhasil merampas Pedang
Teratai Merah. "He he he..., akhirnya aku berhasil mendapatkan
pedang pusaka ini!" ucap kepala desa itu tertawa senang. "Sudah lama aku
berusaha memilikinya, tapi ba-ru kali ini kesampaian!" lanjut Pak Bagol sambil
memandangi pedang yang selalu memancarkan sinar me-
rah berbentuk bunga teratai. Kemudian pandangannya yang mengandung kegembiraan
itu diarahkan pada
gadis bertubuh mungil yang jadi lawan tangguhnya.
"Bocah tengik, kali ini tamatlah riwayatmu! Aku
akan membunuhmu dengan pedang milikmu sendiri!"
ancamnya dengan bibir menyeringai. Kemudian ia bergerak untuk melakukan
serangan. Namun sebelum ia
melaksanakan niatnya untuk menyerang Bong Mini,
tiba-tiba sesosok tubuh melintas di udara dan berdiri di hadapannya.
Pak Bagol terkejut melihat kehadiran seorang pe-
muda berbaju rompi hitam yang tak lain Baladewa itu.
"Siapa dan apa urusanmu ikut campur dengan per-
soalan ini"!" geram kepala desa itu dengan sepasang mata tajam mencorong ke
pemuda di depannya.
"Sebaiknya kau tidak usah banyak tanya. Keha-
diranku di tempat ini jelas akan menghancurkanmu!"
tandas Baladewa tak kalah geram.
Mendengar ucapan itu, Pak Bagol tertawa terbahak-
bahak. Apa yang dikatakan Baladewa itu dianggapnya hanya sebuah lelucon belaka.
"Kalau kau hendak mengantarkan nyawa bersama
gadis yang kau lindungi itu, bersiaplah untuk mati!"
geram Pak Bagol. Ia bersiap-siap mengacungkan pe-
dangnya untuk menyerang Baladewa dan Bong Mini.
Namun di saat pedang itu mengacung dan hendak di-
hujamkan ke arah Bong Mini dan Baladewa, tiba-tiba Pedang Teratai Merah yang
digenggamnya bergerak
melepaskan diri dan melayang ke udara disertai sinar merah berbentuk bunga
teratai. Sing...! Cuat cuat!
Bong Mini dan Baladewa berseru kagum melihat ke-
ajaiban itu. Begitu pula dengan sebagian penduduk
yang sejak tadi menyaksikan pertempuran. Mata me-
reka tidak berkedip menatap Pedang Teratai Merah
yang menari-nari di udara sambil memancarkan ca-
haya merah. Hingga suasana malam di sekitar arena
pertempuran itu menjadi terang-benderang.
Beberapa saat setelah pedang itu menari-nari di
udara, tiba-tiba ia menukik cepat ke tubuh Pak Bagol.
Creb! Ujung Pedang Teratai Merah langsung menancap di
tenggorokan kepala desa itu hingga tewas.
Setelah tubuh Pak Bagol tidak berkutik lagi, pedang itu bergerak seperti ada
seseorang yang menarik ujung pedang itu dari leher korban. Kemudian Pedang
Teratai Merah bergerak perlahan menuju Bong Mini dan ber-
sandar di dada gadis mungil itu.
Bong Mini yang sejak tadi terkagum-kagum pada
pedang pusakanya, menjadi bertambah gembira meli-
hat pedang itu kembali dalam pelukannya. Dan de-
ngan penuh kasih sayang ia mengambil pedang itu
dengan kedua tangan serta menciumnya bertubi-tubi.
"Terima kasih sahabatku! Terima kasih!" ucap Bong
Mini dengan wajah berseri-seri saking gembira me-
nyambut Pedang Teratai Merahnya.
Beberapa saat suasana menjadi hening. Mereka
sama-sama terpaku memandang Pedang Teratai Merah
yang menyimpan keajaiban itu. Setelah puas, panda-
ngan mereka beralih pada tubuh kepala desanya yang sudah tak bernyawa lagi.
"Kebiadaban kepala desa dan pengikutnya telah be-
rakhir. Sekarang mulailah kalian hidup tenteram. Cari-lah orang yang benar-benar
jujur dan bijak untuk
menjabat kepala desa yang baru!" pesan Bong Mini kepada penduduk Desa Anjungan.
Setelah itu tubuhnya
melesat pergi dengan cepat. Diikuti oleh saudara seperguruannya, Baladewa.
Para penduduk yang berkerumun di tempat itu me-
natap kepergian Bong Mini dan Baladewa dengan pan-
dangan kehilangan. Sedangkan hati mereka merasa
menyesal karena belum sempat mengucapkan terima
kasih kepada pendekar sakti itu. Terutama orang tua yang merasa ditolong dari
amukan massa. *** 8 Malam terus merayap perlahan, hingga tidak terasa
kegelapan pun semakin menguasai hari. Sedangkan
rembulan redup sudah sejak tadi bersembunyi di balik hamparan awan hitam.
Ditambah dengan angin yang
berhembus sepoi-sepoi basah, membuat malam itu be-
nar-benar mencekam.
Sesosok tubuh tampak melesat menuju hutan.
Langkahnya begitu cepat, seolah-olah ada yang diburunya. Hingga tidak
mempedulikan hawa dingin me-
nusuk tulang sum-sumnya.
Sosok bayangan yang tengah menembus kegelapan
itu tidak lain Putri Bong Mini yang baru beberapa jam yang lalu meninggalkan
Desa Anjungan. Dan kini ia
tengah berlari di sebuah hutan yang penuh ditumbuhi pepohonan besar.
Di tengah perjalanan, Bong Mini menghentikan
langkahnya. Ia mulai merasakan kesenduan yang
aneh. Ah..., mengapa malam ini aku merasa kehilangan
sesuatu" Desah hati Bong Mini seraya menyandarkan
tubuhnya di sebuah batang pohon.
Masalah kesepian karena hidup sendiri memang
merupakan hal yang biasa baginya. Selama ini ia hidup dalam suasana yang serba
lembut dan indah. Tapi biarpun demikian, kesepian yang melandanya malam
ini merupakan kesepian yang aneh serta baru dialami.
Pada saat dirinya mencoba menebak perasaan apa
yang merasuk hatinya itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mendekatinya.
Bong Mini tersentak kaget. Ia siap menyambut se-
suatu yang tidak diinginkan. Namun ketika mengeta-
hui siapa yang berdiri di hadapannya, Bong Mini segera mengubah sikapnya
kembali. Hanya raut wajahnya
saja yang menunjukkan kebencian.
"Ngapain kamu ke sini sembunyi-sembunyi?" tanya
Bong Mini dengan suara ketus.
"Kau sendiri ngapain di sini?" pemuda yang tidak
lain Baladewa itu balik bertanya.
"Aku..., aku...." Bong Mini menjawab gugup. Ia tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Namun sebelum kegu-gupannya itu diketahui oleh Baladewa, Bong Mini
segera menambahkan. "Aku sedang beristirahat!"
Baladewa tersenyum. Diawasinya wajah Bong Mini
dalam kegelapan.
"Sebaiknya kita mencari penginapan!" Baladewa
mengusulkan. Bong Mini terdiam. Hatinya menyetujui usul Bala
dewa. "Udara malam ini terlalu dingin. Tidak baik buat
kesehatan!" lanjut Baladewa lagi.
Bong Mini masih diam. Ia terenyuh mendengar uca-
pan Baladewa yang penuh perhatian itu.
"Bagaimana" Kau setuju dengan usulku!" tanya Ba-
ladewa lagi sambil memandangi wajah Bong Mini lekat-lekat
Tanpa menjawab, Bong Mini langsung melangkah
menuju perkampungan. Diikuti oleh Baladewa.
Di dalam kegelapan malam itu, tanpa diketahui oleh Bong Mini maupun Baladewa,
tujuh bayangan manusia tengah membuntuti perjalanan mereka dengan
amat hati-hati. Sehingga jejak langkah mereka tak sedikit pun menimbulkan suara.
"Bagaimana kalau kita sergap sekarang juga?" usul
orang pertama dengan suara berbisik. Khawatir ter-
dengar oleh dua pemuda yang tengah dikuntit.
"Jangan gegabah!" sergah orang kedua yang berada
di sampingnya dengan tetap mengawasi langkah Bong
Mini dan Baladewa dari jarak yang agak jauh. "Bukannya aku takut menghadapi
mereka berdua. Dengan
kekuatan kita sekarang ini aku yakin dapat menga-
lahkan mereka. Tetapi kita harus ingat kalau pertempuran bukan tujuan kita. Kita
hanya bermaksud me-
rebut pedang pusaka di tangan gadis itu. Jadi, tunggu-lah kesempatan yang baik
untuk dapat mengambil pu-
saka itu tanpa harus melukai mereka berdua, teruta-ma gadis itu!"
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Ke-
tua?" tanya orang pertama kepada orang kedua yang
ternyata ketua dari ketujuh penguntit itu.
"Mengikuti tempat tujuan mereka!" sahut lelaki ke-
dua yang menjadi ketua dari ketujuh orang itu.
Suasana hening. Hanya suara jangkrik saja yang
terdengar mengerik di sepanjang jalan yang mereka lalui. Setelah agak lama
menempuh perjalanan, Bong
Mini dan Baladewa tiba di sebuah kampung yang ber-
nama Desa Babakan. Kemudian mereka memasuki
Penginapan Kejora yang masih buka satu-satunya. Di sana, mereka langsung memesan
kamar. Satu untuk
Bong Mini dan satu lagi untuk Baladewa. Lalu, keduanya melangkah masuk ke kamar
masing-masing. Di dalam kamar, Bong Mini tidak segera merebah-
kan badan, melainkan duduk di tepi ranjang. Namun
baru beberapa menit ia duduk, tubuhnya merasa pa-
nas disertai keringat yang mulai mengucur membasahi wajahnya. Akhirnya ia tidak
tahan dan langsung keluar kamar untuk mengangin-anginkan tubuhnya.
*** Angin malam semilir lembut mengusapnya ketika
Bong Mini telah berada di luar penginapan, mengusir kegelisahan serta keringat
yang tadi membasahi wajahnya.
Di saat ia asyik menikmati angin malam yang mele-
na rambutnya, tiba-tiba sepasang telinganya menangkap suara tidak wajar yang
datang dari arah depan.
Kemudian kakinya melangkah hati-hati menuju suara
itu. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba empat lelaki setengah baya melompat
dari balik semak-semak dan langsung mengepung Bong Mini. Disusul kemudian oleh
tiga lelaki lain yang muncul dari arah yang dicurigai Bong Mini.
Bong Mini berdiri tegang sambil memandang penge-
pungnya satu persatu. Kemudian mata yang jeli dan
tajam itu beralih memandang seorang lelaki setengah baya yang umurnya kurang
lebih empat puluh tahun.
Pasti dia yang menjadi pemimpin orang-orang ini!
Duga hati Bong Mini merasa yakin. Karena umur lelaki itu jauh lebih tua
dibandingkan dengan keenam orang lainnya yang rata-rata berumur sekitar tiga puluh ta-hunan.
"Apa maksud kalian menghadangku?" tegur Bong
Mini hati-hati. Disertai sikap dan pandangan matanya yang tetap waspada.
Lelaki setengah baya berpakaian pangsi hitam dan
berwajah hitam kelam yang telah diduga pemimpin
pengeroyok oleh Bong Mini segera melangkah dua ta-
pak ke arah Bong Mini.
"Maafkan kami kalau kehadiran malam ini menge-
jutkan, Nona!" ujarnya dengan suara berat dan pecah.
Sehingga walaupun suaranya pelan, namun dapat ter-
dengar dengan jelas oleh orang-orang sekelilingnya.
"Tapi ketahuilah Nona kalau kami tidak bermaksud
buruk kepadamu!"
Hm..., bagaimana mungkin kalian tidak mempunyai
niat buruk terhadapku. Sedangkan kedatangan kalian saja mencurigakan! Gerutu
Bong Mini dalam hati.
"Lalu apa maksud kalian yang sebenarnya?" tanya
Bong Mini ingin tahu.
Lelaki setengah baya itu diam beberapa saat dengan sepasang mata tajam
memandangi Pedang Teratai Merah yang tersandang di punggung gadis bertubuh
mungil itu. "Ketahuilah, Nona. Aku sudah lama mendambakan
Pedang Teratai Merah yang Nona bawa itu. Tapi sam-


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pai sekarang aku tidak berhasil mendapatkannya. Dan beberapa jam yang lalu, aku
melihat pedang yang ku-dambakan itu berada di tangan Nona saat bertempur
dengan orang-orang Desa Anjungan. Oleh karena itu, sudilah kiranya Nona
memberikan pedang pusaka itu
kepadaku. Percayalah! Kami akan pergi segera setelah memiliki pedang itu tanpa
melukai Nona sedikit pun!"
kata lelaki setengah baya yang berpakaian pangsi itu.
Mendengar ucapan itu, Bong Mini bukannya marah
malah tersenyum manis. Kemudian tangannya menca-
but Pedang Teratai Merah dan diarahkannya ke depan.
"Ambillah pedang ini jika kau ingin memilikinya!"
ucap Bong Mini dengan sikap tenang.
Lelaki setengah baya yang menjadi Ketua Perkum-
pulan Harimau Siluman bukan orang yang bodoh. Ia
merupakan tokoh aliran sesat yang telah banyak ma-
kan asam garam di dunia persilatan. Sehingga ketika Bong Mini menyuruhnya
mengambil pedang yang masih tergenggam di tangannya, ia segera memerintah
seorang anak buahnya untuk mengambil. Anak buah
yang diperintah segera melangkah untuk mengambil
pedang di tangan Bong Mini. Namun belum sempat
tangannya menyentuh Pedang Teratai Merah, sebuah
tendangan Bong Mini mendarat telak di perutnya. Sehingga tubuh orang itu
terjungkal ke belakang.
Melihat sikap Bong Mini yang berbuat kasar terha-
dap anak buahnya, Ketua Perkumpulan Harimau Si-
luman itu marah bukan main.
"Telah kukatakan kepadamu tadi, Nona. Aku tidak
akan mengganggumu. Tapi kenapa sekarang kau yang
melakukan kekerasan kepada anak buahku?" ucapnya
masih menahan marah.
"Hm...!" sinis Bong Mini. "Bagaimana mungkin ka-
lian tidak akan menggangguku. Kedatangan kalian sa-ja sangat tidak sopan.
Apalagi dengan seenaknya hendak mengambil pedang pusaka yang telah kumiliki
ini!" ketus Bong Mini. Diletakkannya Pedang Teratai Merah di punggungnya
kembali. Ketua Perkumpulan Harimau Siluman yang semula
menganggap Bong Mini sebagai gadis kecil yang tidak mengetahui apa-apa mengenai
pedang pusaka itu
menjadi geram ketika menyadari kalau gadis kecil itu memiliki kepandaian dan
kecerdikan yang luar biasa.
Jadi, tanpa membuang waktu lagi, ia memerintah keenam anak buahnya untuk
menyerang Bong Mini.
Mendapat perintah itu, keenam anak buahnya sege-
ra bergerak mengepung Bong Mini dengan golok ter-
hunus di tangan masing-masing.
Golok keenam orang dari Perkumpulan Harimau Si-
luman yang diarahkan kepadanya segera disambut
oleh Bong Mini dengan tangkas.
"Hiat hiat hiaaat!"
Wes wes wesss! Lengkingan dari setiap mulut lawan serta hembu-
san angin yang ditimbulkan dari kebatan-kebatan golok memecahkan keheningan
malam. Sementara itu, di sebuah kamar penginapan, Bala-
dewa yang sejak tadi tergolek di atas ranjang dan belum memejamkan mata,
tersentak kaget mendengar
teriakan-teriakan keras yang mengerikan. Dengan cepat tubuhnya melompat dari
atas ranjang dan melesat ke luar untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sesampai di luar halaman penginapan itu, betapa
kagetnya ia ketika mengetahui kalau orang yang bertempur ternyata Putri Bong
Mini melawan enam pengeroyoknya. Walaupun begitu ia tidak segera mengambil
tindakan untuk melakukan pembelaan terhadap saudara seperguruannya itu. Ia
menyelinap diam-diam di antara rimbunnya pepohonan bunga untuk menyaksikan
pertempuran itu lebih dekat.
Ketua Perkumpulan Harimau Siluman tertawa ter-
bahak-bahak melihat ketangkasan anak buahnya yang
mendesak lawan. Sehingga gadis bertubuh mungil itu semakin tersudut dan hanya
mampu melakukan gerakan-gerakan mengelak, berguling atau bersalto.
Menyadari serangan keenam lawan yang demikian
gencar, Bong Mini segera mengambil tindakan dengan meloncat agar mendapat
kesempatan mencabut Pedang Teratai Merah.
"Hiaaa!"
Tubuh Bong Mini secepat itu pula melenting di uda-
ra, melewati kepala-kepala musuhnya. Dalam gerakan melompat itu, tangannya
secepat kilat menyambar pedang yang tersandang di punggungnya.
Crat crat crat!
Suasana di tempat pertempuran yang semula agak
remang, kini menjadi terang-benderang ketika Pedang Teratai Merah tergenggam di
tangan Bong Mini. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Putri Bong Mini segera
memainkan pedangnya ke arah para pengeroyoknya.
Bret bret bret!
Ujung pedang Bong Mini langsung menebas tiga
leher lawan hingga tewas.
Melihat tiga anak buah yang diandalkannya itu
tumbang dengan cepat di ujung pedang gadis bertubuh mungil, pemimpin pengeroyok
menjadi murka. Tubuhnya melesat ke tengah pertempuran untuk turut me-
nyerang gadis cantik itu.
Bong Mini segera menyambut sabetan golok pemim-
pin pengeroyok dengan pedangnya.
Trang trang trangngng!
Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar
api yang amat terang. Maklumlah, golok pemimpin
pengeroyok itu pun bukan senjata sembarangan. Golok itu mempunyai kesaktian yang
luar biasa. Dapat berubah-ubah bentuk sesuai dengan kebutuhan si pemi-
liknya. Dan senjata itu ia dapatkan dari Iblis Marakayangan ketika bertapa di
Gunung Sangiang untuk
bertemu dengan Putri Teratai Merah. Namun karena ia mempunyai niat yang jelek
maka keinginan untuk bertemu dengan Putri Teratai Merah tidak kesampaian.
Namun sebagai gantinya ia bertemu dengan Iblis Marakayangan yang menjelma
sebagai gadis cantik yang
menggiurkan. Kemudian gadis cantik jelmaan Iblis Marakayangan itu memberikan
sebilah golok padanya
dengan satu syarat ia harus bercumbu dengannya.
Lelaki setengah baya itu tidak keberatan mendapat
persyaratan yang dianggapnya ringan itu. Ia sendiri tertarik dengan gadis cantik
alam gaib jelmaan Iblis Marakayangan itu. Akhirnya ia mendapatkan sebilah
golok sakti yang sekarang dipergunakannya untuk melawan Bong Mini.
Trang trang trangngng!
Benturan dua senjata yang berkelebat dalam arah
yang berlawanan telah membuat keduanya terpental
hebat. Karena mereka menggunakan tenaga sakti ma-
sing-masing. Ilmu Pembangkit Tenaga milik Bong Mini dan ilmu Badai Menghantam
Karang milik lawannya.
Kemudian keduanya segera bangkit dan saling berha-
dapan kembali. Di saat Bong Mini memasang kuda-kuda untuk me-
lancarkan serangan kembali kepada Ketua Pasukan
Harimau Siluman itu, tiba-tiba tiga orang anak buahnya datang menyerang dengan
gencar. Untung saat itu Bong Mini dalam keadaan waspada, sehingga serangan
ketiga pengeroyoknya disambut dengan tangkasnya.
Bret bret clebbb!
Pedang Teratai Merah milik Bong Mini langsung
menebas perut dan leher lawan dengan dahsyat. Da-
lam sekejap mata ketiga tubuh lawannya berputar lim-bung. Lalu jatuh tanpa dapat
berkutik lagi. Melihat para pengikutnya tumbang di tangan Bong
Mini, Ketua Pasukan Harimau Siluman itu bertambah
murka. Golok di tangannya diputar-putar hingga mencapai kecepatan yang sulit
dijangkau mata manusia biasa. Ketika putarannya terhenti, golok itu berubah
menjadi sebilah golok yang panjangnya melebihi Pedang Teratai Merah.
"Kelinci busuk! Kau harus mati di tanganku!" geram Ketua Pasukan Harimau Siluman
sembari menge-batkan goloknya dengan gerakan membacok.
Takkk! Golok panjang yang digenggam lelaki bertubuh ke-
kar tepat mengenai pundak lawannya dengan kecepa-
tan yang cukup keras. Namun anehnya, pundak gadis
yang terkena bacokan golok panjangnya tidak menga-
lami cidera sedikit pun. Apalagi mengeluarkan darah.
Sebaliknya, pertempuran antara golok dan pundak ga-
dis itu membuat senjata lawannya terpental bahkan
terlepas dari genggaman tangan Ketua Pasukan Hari-
mau Siluman. Kekuatan tubuh Bong Mini yang tidak mempan oleh
bacokan senjata lawannya bukan sesuatu yang aneh.
Sebab ketika berada di Gunung Muda, ia telah mendapatkan ilmu kekebalan senjata
itu dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci.
Melihat kekebalan tubuh lawannya, Ketua Pasukan
Harimau Siluman menjadi terkejut bukan main. Na-
mun sebelum ia sempat menyadari keterpanaannya,
sebuah tendangan Bong Mini mengenai pahanya. Tu-
buhnya terpelanting lima meter ke belakang.
Kerasnya tendangan kaki Bong Mini ternyata tidak
membuat lawannya gentar. Karena dia sendiri bukan
orang yang bisa dianggap ringan. Banyak ilmu-ilmu
sesat pemberian Iblis Marakayangan yang dimilikinya.
Sehingga ketika tubuhnya terpelanting, Ketua Pasukan Harimau Siluman langsung
bangkit dan berdiri kembali dengan keadaan tubuh yang masih segar.
Perkelahian antara kedua orang ini memang meru-
pakan perkelahian yang amat hebat dan menarik.
Orang-orang yang menginap di Penginapan Kejora
yang sejak tadi terbangun dan menyaksikan pertempuran itu menjadi terkagum-kagum
melihat kehebatan
gadis bertubuh mungil itu. Saking menariknya pertempuran kedua orang itu, mereka
malah maju beberapa
langkah untuk menyaksikan lebih dekat.
"Hiaaat..!"
Ketua Pasukan Harimau Siluman mengirim hanta-
man Sinar Mata Iblis lewat kedua telapak tangannya yang direntangkan lurus ke
depan, disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Sehingga Sinar Mata
Iblis yang berwarna merah kekuning-kuningan itu me-
nyambar-nyambar ke arah kepala Bong Mini.
Melihat lawannya menyerang dengan tangan ko-
song, Bong Mini pun melayani dengan tangan kosong
pula. Namun bukan berarti dia harus mengadu tenaga untuk melawan serangan Sinar
Mata Iblis yang dilancarkan lawannya itu. Walau ia sendiri percaya kalau mengadu
tenaga secara langsung belum tentu ia kalah kuat. Namun karena ia tahu bahwa
lawannya itu mempunyai tenaga yang amat kuat, maka kalah atau
menang tetap akan merugikan dirinya. Karena itu ia tidak menangkis serangan
Sinar Mata Iblis dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak saling
mengadu tenaga secara langsung.
Menyadari lawannya menangkis serangan Sinar Ma-
ta Iblis yang dikerahkannya dari samping, cepat-cepat lelaki itu memukul ke arah
Bong Mini dengan telapak tangan kirinya yang terbuka.
Melihat serangan kedua itu, mau tidak mau Bong
Mini meloncat ke depan lawan dan menyambutnya
dengan telapak tangan kanannya. Dua telapak tangan berkekuatan dahsyat bertemu.
Dukkk! Ptakkk! Pertemuan kedua telapak tangan itu membuat tu-
buh keduanya terpental ke belakang. Kemudian mere-
ka kembali berdiri berhadapan dalam jarak yang cu-
kup jauh. "Haiiit...! Yaaah!"
Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan pekikan keras
yang memekakkan telinga. Disusul kemudian dengan
tubuhnya yang meloncat tinggi ke depan. Saat tubuhnya masih berada di udara, ia
menyerang gadis cantik bertubuh mungil itu dengan tangan kirinya. Inilah jurus
pamungkas milik lelaki setengah baya itu, setelah berkali-kali gagal dalam
serangan sebelumnya.
Melihat lawannya menyerang seperti itu, Bong Mini
menyambutnya dengan loncatan yang sama. Pendekar
mungil itu tanpa ragu-ragu lagi mengeluarkan tiga il-mu gabungan yang terdiri
dari ilmu peringan tubuh, ilmu tenaga dalam pemberian Bongkap dan ilmu keba-
tinan warisan dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci. Il-mu gabungan ini dia namakan
dengan jurus 'Tiga Rak-sa', sebuah ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan.
Sehingga begitu dia meloncat sambil menggerakkan
kedua tangannya dengan jari-jari lurus terpentang ke depan, terdengar suara yang
bersiutan. Siut siut siut..!
Baladewa dan beberapa penginap yang menyaksi-
kan pertandingan itu hanya sempat melihat tubuh kedua orang perkasa itu meloncat
dan turun ke atas tanah dalam posisi saling membelakangi.
Bong Mini dengan cepat membalikkan tubuh ketika
kedua kakinya menjejak tanah. Sementara lawannya
diam tak bergerak membelakanginya. Rupanya dia terkejut melihat baju bagian
depannya robek dan ada
tanda menghitam pada dadanya. Itu tentu akibat pukulan 'Tiga Raksa' yang
dilancarkan Bong Mini. Pukulan itu mengenai tubuh lawan tanpa terasa sakit, tapi
tahu-tahu tubuh yang terkena pukulan itu terluka seperti apa yang dialami lelaki
setengah baya yang menjadi Ketua Pasukan Harimau Siluman.
Tubuh lelaki yang masih berdiri tegak itu, perlahan-lahan membalik kaku dan
memandang Bong Mini.
Sekilas lelaki itu memang tidak mengalami luka se-
dikit pun. Tapi dari hidung, telinga, mulut, dan kedua matanya sedikit demi
sedikit menetes darah yang berwarna kehitam-hitaman. Dan darah itu terus
mengalir membasahi pakaian yang dikenakannya.
Setelah beberapa saat memandang Bong Mini, lelaki
setengah baya itu melangkah ke arahnya dengan ter-
huyung-huyung. Bong Mini yang sejak tadi terpana menyaksikan lu-
ka yang diderita lawannya segera sadar dan memasang kuda-kuda kembali ketika
lelaki yang menjadi lawannya itu melangkah mendekati. Tapi saat itu pula lawan-
lawannya memberi aba-aba kepada Bong Mini
agar tidak menyerangnya. Hingga akhirnya Bong Mini membatalkan niat untuk
menyerang. Namun sikapnya
tetap waspada. Khawatir jika lawannya itu bersikap curang seperti yang pernah
dialaminya ketika bertempur melawan Kepala Desa Lumajang.
"Nona..., hegh!" ucap lelaki setengah baya itu de-
ngan wajah seperti menahan sakit di dalam tubuhnya.
"Kau telah beruntung mendapatkan Pedang Pusaka
Teratai Merah. Padahal hampir semua tokoh persilatan mendambakan pedang tersebut
walaupun harus melakukan puasa mutih dan tapa selama empat puluh hari empat
puluh malam. Namun karena niat mereka buruk, tidak seorang pun dari mereka yang
berhasil bertemu dengan pemiliknya, Putri Teratai Merah. Kini pedang yang
menjadi rebutan itu sudah berada di ta-
nganmu. Karena itu berhati-hatilah kau membawanya.
Sebab selain aku, tentu masih ada lagi orang yang ingin merebut pedang pusaka
itu!" selesai berkata begitu, tubuh lelaki itu ambruk seperti sebatang balok.
Bong Mini yang sejak tadi tertegun mendengar kata-
kata yang diucapkan lelaki itu, kini setengah berlari mendekati tubuhnya. Ketika


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia memeriksa, ternyata
lelaki setengah baya itu sudah tewas akibat serangan ilmu batin 'Tiga Raksa'
yang mengguncangkan seluruh isi tubuhnya.
*** 9 Selama dalam perjalanan menuju ke rumahnya,
Bong Mini kerap berhadapan dengan orang-orang sesat atau tokoh-tokoh hitam yang
hendak merebut Pedang
Pusaka Teratai Merah miliknya. Namun dengan ilmu
kesaktian yang sekarang dimilikinya, ia mampu meng-gagalkan niat buruk para
tokoh hitam. Tidak heran ji-ka sekarang ini sepak-terjangnya mulai dikenal oleh
masyarakat banyak, terutama oleh orang-orang dunia persilatan. Bukan saja karena
ilmu kesaktian yang dimilikinya, tetapi juga karena Pedang Teratai Merah yang
selalu tersandang di punggungnya. Karena memang pedang itu yang menjadi pusat
perhatian dan dambaan orang-orang dunia persilatan.
"Kita berpisah di sini!" ucap Bong Mini ketika kakinya menginjak tanah pesisir
Selat Malaka. "Bagaimana kalau aku langsung ikut serta ke ru-
mahmu?" ucap Baladewa mengusulkan. Sesungguh-
nya hatinya berat untuk berpisah dengan gadis yang selama ini membuat hatinya
terkekang asmara.
"Jangan!" sahut Bong Mini cepat.
"Kenapa?"
"Papaku galak!"
"Kebetulan. Aku pernah menjadi pawang, jadi tahu
bagaimana cara menjinakkannya!" canda Baladewa
sambil mengembangkan senyumnya.
Hati Bong Mini mendadak berdetak tak menentu ke-
tika melihat senyum pemuda itu. Senyum lembut yang selama ini selalu membuat
hatinya bergetar tak menentu.
"Jangan bercanda, ah!" entah perasaan apa yang
berkecamuk dalam diri Bong Mini saat itu. Karena se-
cara tiba-tiba, wajah dan ucapannya yang selalu ketus mendadak berubah lembut.
Selembut kulitnya yang
putih mulus. Mengetahui perubahan sikap Bong Mini yang dras-
tis itu, Baladewa senang bukan main. Namun bukan
berarti ia harus seenaknya berbicara dengan gadis itu.
Karena pikirnya, gadis cantik bertubuh mungil itu
mempunyai sifat musiman seperti alam yang kadang-
kadang hujan, terkadang panas. Begitu pula dengan
sifat Bong Mini yang suka berubah-ubah. Hari ini ramah, besoknya masam atau
sebaliknya. Oleh karena
itu Baladewa selalu menahan diri pada keinginan-keinginan yang diperkirakan akan
menyinggung perasaan gadis yang membuatnya kasmaran itu.
"Aku serius!" kata Baladewa.
"Sudah, ah! Kita berpisah dulu sekarang. Nanti kita pun akan berjumpa lagi!"
ucap Bong Mini.
"Baiklah kalau itu sudah kehendakmu. Aku pun
sudah rindu pada kedua orangtuaku!" balas Baladewa.
Padahal sesungguhnya hatinya ingin selalu berdekatan Bong Mini.
Setelah mencapai kata sepakat, akhirnya kedua
pemuda yang sama-sama menyimpan bara asrama itu
berpisah, mengambil jalan masing-masing. Bong Mini mengambil arah sebelah kiri
sedangkan Baladewa berjalan ke arah kanan.
*** Matahari di cakrawala telah terdiri tegak lurus. Si-
narnya memancar garang, menyengat sampai ke kulit
kepala. Di bawah pancaran sinar matahari yang demikian
terik itu, Bong Mini terus melangkah menuju rumah-
nya. Sepanjang perjalanan, hatinya selalu merasa di-
kungkung kesepian yang teramat sangat.
Ada apa gerangan dengan hatiku" Tanya hati Bong
Mini. Karena baru kali ini ia merasakan kesepian yang begitu mengusik hati dan
pikirannya. Dari jarak yang agak jauh di belakangnya, tanpa
disadari deh Bong Mini seorang pemuda tampak meng-
awasinya. Pemuda itu cukup tampan. Berbadan se-
dang dengan umur sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti seorang terpelajar
namun di bagian dada bajunya yang berwarna kuning muda itu ada sebuah
lukisan seekor naga emas. Rambutnya panjang dan di-ikat di tengah kepala.
Sedangkan kumisnya yang tipis itu tampak terpelihara dengan baik. Pakaiannya pun
bagus dan bersih, terbuat dari bahan sutera halus.
Sepatu yang dikenakan kakinya tampak terpelihara.
Ditambah lagi dengan sepasang matanya yang sipit
dan berbinar-binar, membuat penampilan pemuda itu
semakin menarik.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan, sampai-
lah Bong Mini di halaman rumahnya. Tapi ia sangat terkejut melihat rumahnya yang
porak-poranda. Dan
sebelum ia berpikir lebih lanjut mengenai apa yang terjadi terhadap rumahnya
itu, tiba-tiba tubuhnya terjatuh lemas dan tak sadarkan diri. Seolah-olah ada
sesuatu benda beracun yang menusuk tubuhnya.
Pemuda yang sejak tadi membuntuti Bong Mini
tampak terkejut ketika melihat gadis yang dibayanginya itu roboh. Matanya liar
memandangi sekeliling. Ia merasa ada orang lain di sekitar tempat itu.
Apa yang diduga pemuda itu ternyata benar. Karena
setelah Bong Mini tergeletak di tanah, empat lelaki berpakaian rompi hitam
keluar dari balik semak-semak dan berlari meninggalkan tempat itu.
Melihat empat lelaki berbaju rompi meninggalkan
tempat itu, pemuda tampan tadi segera mengejarnya.
Dia yakin, pasti mereka yang telah membuat gadis
yang dibuntutinya roboh.
Karena lari keempat orang itu tidak begitu cepat,
akhirnya pemuda yang memiliki lukisan Naga Emas di bagian dada bajunya dapat
menyusul mereka.
"Berhenti!" tahan pemuda itu saat mendahului
langkah mereka lalu berdiri menghadang keempat
orang berbaju rompi yang dicurigainya.
Keempat lelaki yang dihadang serentak menghenti-
kan langkah. Mereka berdiri tegang, memandang peng-hadangnya dengan tatapan mata
yang tajam dan liar.
"Siapa kau dan mengapa menghalangi perjalanan
kami"!" tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.
"Phuih! Seharusnya aku yang bertanya; mengapa
kalian berbuat kejam terhadap gadis yang hendak
memasuki pintu gerbang itu!" sentak pemuda itu,
langsung menuduh.
"Itu urusanku!" sahut lelaki tadi.
"Kalau memang urusanmu, baik. Tapi kau tidak bi-
sa melepaskan tanggung jawab perbuatanmu begitu
saja!" balas pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada bagian dada bajunya.
"Hm..., lalu apa maumu, tikus busuk"!" maki lelaki itu mulai geram.
"Aku hanya ingin membalas perbuatanmu terhadap
gadis itu!" sahut pemuda itu dengan sikap gagah.
"Apa kau punya kepandaian sehingga berani me-
nantangku?" bentak lelaki itu dengan sorot mata yang mencorong.
Pemuda tampan yang memiliki lukisan naga emas
di bajunya melangkah maju menghampiri mereka de-
ngan langkah yang tegap, tanpa rasa takut sedikit pun.
Malah wajahnya yang tampan itu kelihatan berseri-seri memandang orang yang
berada di hadapannya seorang
demi seorang. Kemudian, setelah dirinya terkurung
keempat lelaki yang dihadangnya, pemuda itu berkata,
"Bila kalian hendak mencoba, silakan berhadapan denganku!"
"Pemuda sombong!" bentak lelaki lain. Bersamaan
dengan itu tubuhnya sudah menerjang ke depan de-
ngan totokan jari-jari tangan yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh jalan
darah terpenting di tubuh bagian depan pemuda yang diserangnya.
Wes wes wes! Serangan lelaki itu dapat dielakkan dengan baik.
Malah ketika tubuhnya mengelak dari lawan, pemuda
tadi berseru keras disertai pukulan balasan yang menyambar-nyambar.
Mendapat satu serangan maut lelaki yang mengi-
rimkan serangan menotok tadi segera mengelak lincah.
Kemudian ia balas menendang dari kiri yang dapat dielakkan juga oleh lawannya.
Dibalas dengan tendan-
gan oleh pemuda itu.
Des! Dukkk! Tendangan si pemuda tepat mengenai selangkangan
lawan, sehingga ia kelojotan dan jatuh bergulingan di tanah menahan sakit.
"Jahanam! Rupanya kau benar-benar hendak ber-
tempur dengan kami!" geram seorang yang lain ketika melihat lelaki tadi masih
berguling-gulingan tak beda dengan seekor ayam yang disembelih. Lalu ia meloncat
ke depan dan berhadapan dengan pemuda itu.
"Segeralah menyerang jika kau memiliki ilmu yang
lebih tinggi dari temanmu itu!" kata pemuda itu memancing amarah lawannya.
"Setan buduk! Akan kurobek mulutmu yang som-
bong itu!" geram lelaki itu seraya mencabut pedang.
Kemudian tubuhnya segera melabrak ke depan dengan
pedang berkelebat menyambar-nyambar tubuh pemu-
da itu. Mendapat serangan pedang yang demikian gencar
dari lawannya, pemuda tadi segera mencabut pedang-
nya pula untuk menahan serangan senjata lawan.
Trang trang trang!
Tubuh lelaki itu terguling dengan kecepatan deras.
Sebab pedang lawan yang dipergunakan untuk me-
nangkis ternyata disertai pengerahan tenaga dalam.
Sehingga pada saat senjatanya beradu, tubuh lelaki itu langsung terpental
disertai tangannya yang perih.
Dua orang temannya yang sejak tadi menyaksikan
pertempuran itu segera melompat ke depan menge-
pung pemuda itu ketika menyadari bahwa pemuda itu
terlalu tangguh jika dihadapi satu lawan satu.
Sementara itu, lelaki pertama yang tadi bergelinjang menahan sakit pada
selangkangannya segera bangkit
kembali dan turut mengepung pemuda itu. Sehingga
terjadilah pertempuran yang tak seimbang. Satu lawan empat.
"Aku ingin mengetahui sampai di mana keheba-
tanmu itu!" selesai berkata begitu seorang lelaki yang menjadi ketua segera
menerjang lawannya dengan ayunan tongkat yang tergenggam di tangan kanan. Begi-
tu pula dengan ketiga temannya yang lain. Mereka serentak bergerak untuk
melakukan tindakan yang se-
rupa. Pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada ba-
junya segera mengelakkan ayunan tongkat itu dengan menerobos masuk ke depan
sambil mengayunkan pedangnya dengan gerakan membacok ke arah salah seo-
rang lawan yang bersenjatakan tongkat hitam itu.
Mengetahui pemuda itu akan membacok dirinya, le-
laki yang bersenjata tongkat segera memiringkan tubuhnya. Sedangkan tongkat yang
digenggamnya berge-
rak menghajar kepala lawan. Namun pemuda itu cepat menghindar dengan cara
bergulingan. Beberapa saat kemudian, suasana di sekitar tempat
itu telah ramai oleh benturan senjata mereka. Menciptakan suara yang nyaring dan
keras. Dalam suasana pertempuran yang dahsyat itu, tiba-
tiba lelaki bersenjata tongkat memutar tongkatnya demikian cepat, sehingga
senjata itu berubah menjadi seperti baling-baling. Dari putaran tongkat itu
timbul desingan angin yang amat keras dan dingin. Dengan
tangan yang masih memutar tongkatnya, lelaki itu bergerak maju menyerang
lawannya. Untuk beberapa saat lawan yang diserang kebi-
ngungan. Ia tidak tahu bagaimana cara membalasnya.
Namun karena putaran tongkat itu telah menyerang-
nya, pemuda itu akhirnya menghindar ke belakang.
Tapi tongkat hitam yang tadi berputar-putar, mendadak bergerak menyodok ke arah
tubuhnya, sehingga ia harus menangkis dengan pedang yang digenggamnya.
Trakkk! Aneh! Tongkat yang berukuran kecil itu tidak patah ketika berbenturan dengan
pedang miliknya. Malah
dengan hebat tongkat itu menegak dan melakukan ge-
rakan menotok ke arah tubuhnya yang masih bersalto menghindari serangan. Tapi
dengan cepat pula pemuda itu memperlihatkan kemahiran permainan pedang-
nya lalu menangkis serangan tongkat itu.
Trakkk! Karena posisi pemuda itu tidak menguntungkan,
akhirnya ia terhuyung terkena sambaran angin tong-
kat yang mendesing-desing di sekitar tubuhnya. Na-
mun demikian, ia sempat mengirimkan beberapa kali
serangan pedang ke arah lawan yang mengeroyoknya.
[] "Aaakh...!"
Seorang penyerang terkena sabetan pedangnya, la-
wannya terdengar mengaduh. Disusul kemudian de-
ngan tubuhnya yang ambruk tanpa dapat berkutik la-
gi. Melihat seorang temannya tewas oleh pedang lawan, tiga orang lain menjadi
geram. Mereka segera melakukan serangan dengan membabi-buta. Seluruh kemam-
puan tempur mereka kerahkan. Tujuan mereka cuma
satu, tubuh lawan.
"Aaakh...!"
Seorang dari mereka kembali mengaduh kesakitan
karena pergelangan tangannya terhantam sinar merah.
Rupanya pemuda itu telah melancarkan pukulan sinar merahnya yang sangat hebat.
Tapi walau demikian, ia pun tidak luput terkena hantaman tongkat lawannya.
Deg! Ujung tongkat lawan menghantam dadanya hingga
ia terhuyung beberapa langkah ke belakang. Dalam
keadaan itu, lawan yang memiliki senjata tongkat hitam kembali mencecar. Namun
dengan cepat pemuda
itu mengibaskan tangannya. Membuat serangan tong-
kat lawan terhenti karena terkurung sinar merah yang keluar dari telapak
tangannya. Lelaki pemegang tongkat berkelit dan mengguling-
kan tubuhnya. Sedangkan tangannya segera diki-
baskan ke arah pemuda itu. Bersama dengan itu terlihat jarum-jarum beracun
meluncur cepat ke arah la-
wan. Namun pemuda itu tidak kalah tangkas. Ia kembali
mengibaskan tangannya untuk menahan serangan ja-
rum beracun milik lawannya. Sehingga senjata rahasia itu hangus terbakar oleh
gulungan sinar merah yang dikeluarkan tangan pemuda itu.
Melihat serangannya gagal, lelaki itu melemparkan
tongkat ke arah lawannya dengan keras. Kali ini pemuda itu pun bergulingan
menghindarinya.
Creb! Tongkat hitam itu menancap dalam di tanah hingga


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai setengahnya. Disusul kemudian dengan sabe-
tan sebuah pedang yang dilancarkan oleh seorang temannya yang lain. Membuat
pemuda itu terus bergu-
lingan menghindari serangan kedua orang lawannya
yang terasa begitu tangguh. Namun pada saat bergu-
lingan itu, dia mendapatkan peluang untuk melancarkan serangan pedang kepada
salah seorang penye-
rangnya. Bet! "Aaa...!"
Saking bernafsunya hendak membunuh pemuda
yang masih bergulingan, lelaki yang menggunakan sebilah pedang tidak menyadari
kalau pada saat tubuh lawan bergulingan, pemuda itu melancarkan serangan
pedangnya ke arah lawan dan tepat mengenai paha
kanannya. Sehingga lelaki itu terjatuh dan tak bisa bangkit kembali karena paha
kanannya hampir putus.
Dengan terjatuhnya lelaki itu, tentu saja telah
memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk
memperbaiki posisi tubuhnya. Cepat-cepat ia berdiri, sekian detik kemudian ia
mulai membuka jurus yang
disebut dengan 'Seribu Tangan Bayangan'. Kalau di-
amati benar-benar, jurus itu tampak berasal dari
Tiongkok yang merupakan kombinasi dari jurus 'Tanpa Bayangan' dengan jurus
'Angin Ribut' hasil ciptaannya sendiri. Sehingga tercipta sebuah jurus yang amat
ce- pat, memikat dan berbahaya bagi siapa saja yang menjadi lawannya.
Kini kedua lelaki yang berbeda usia itu berdiri saling berhadapan dengan mata
yang sama-sama mena-
tap tajam dan penuh waspada. Seakan mencari kele-
mahan lawan. Lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot yang me-
mang telah bernafsu hendak menghabisi nyawa pemu-
da itu segera melancarkan serangan yang begitu cepat dan penuh tenaga. Namun
serangan itu segera disambut oleh lawannya dengan sebuah tangkisan yang pe-
nuh dengan tenaga pula.
Desss...! Dua pukulan itu berbenturan, disusul sebuah sodo-
kan ke ulu hati lelaki itu. Tapi dengan cepat ia pun menarik tangannya dan
memapak sodokan tangan
pemuda tadi dengan gaya membacok. Dilanjutkan
dengan memutarkan tubuhnya sambil menendang lu-
rus ke wajah pemuda itu dengan kecepatan melebihi
serangan pemuda yang menjadi lawannya.
Pemuda itu mengelak dengan cara menundukkan
badannya agak ke samping. Kemudian dilanjutkan
dengan tubuhnya yang bergulingan karena kaki la-
wannya telah bergerak kembali ke arahnya. Benar-
benar sebuah jurus kungfu yang sangat bagus dan
menarik. Di saat keduanya saling baku hantam, tiba-tiba terdengar suara menderu. Disusul
kemudian dengan sua-
ra ringkik kuda yang mendekati mereka, membuat dua orang tangguh yang tengah
bertanding itu menghentikan serangan lalu menoleh pada rombongan
orang berkuda yang sudah mengelilingi mereka.
Siapakah pasukan berkuda yang baru tiba terse-
but" Siapa pula pemuda yang memiliki lukisan naga
emas di baju bagian dadanya" Bagaimanakah nasib
Bong Mini yang roboh begitu saja" Apa yang terjadi sebenarnya" Ikutilah serial
Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode: 'Iblis Pulau Neraka'!
SELESAI Scan/Edit: Clicker
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** 5 *** *** *** 6 *** *** 7 *** 8 *** *** 9 *** SELESAI Bulan Berdarah 1 Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman Memperebutkan Bunga Wijaya 1
^