Pencarian

Pedang Teratai Merah 2

Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Bagian 2


kin lama makin besar. Menghampiri dan melingkari
tubuhnya. Sehingga tubuhnya berlumur cahaya putih
keperakan. Pada hari-hari berikutnya, ia kembali melihat ber-
bagai macam cahaya sebesar buah kelereng di depan-
nya. Warnanya ada yang kuning, biru, hijau dan me-
rah. Kemudian keempat cahaya itu bergerak ke arah-
nya secara perlahan dan masuk ke dalam dua bola
matanya. Sebenarnya Bong Mini sudah khawatir dengan na-
sib dirinya di dalam goa yang gelap gulita itu. Namun karena ia telah bertekad
bulat, kekhawatiran itu pun berubah menjadi kepasrahan. Tanpa mempedulikan
keadaan dirinya lagi. Dalam kepasrahan itu, ia semakin dapat melihat dan
merasakan peristiwa-peristiwa gaib yang selama dalam hidupnya tak pernah
dialami. Pada malam keempat puluh, peristiwa-peristiwa
gaib kembali ia alami. Peristiwa gaib pada malam terakhir itu benar-benar
peristiwa yang sangat menak-
jubkan dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya.
Karena pada malam terakhir itu, ia merasakan dirinya melayang di udara,
mengitari alam jagat raya. Dan di saat tubuhnya melayang itu ia banyak melihat
pemandangan alam gaib yang amat indah dan menakjubkan!
Setelah ia mengalami perjalanan yang cukup lama,
tiba-tiba ia sampai pada sebuah istana yang tak kalah indah dari pemandangan
yang ia saksikan sebelum-
nya. Seluruh tembok dan isi ruangan istana itu dihiasi oleh emas dan intan
berlian, sehingga tampak gemer-lapan. Lantainya dilapisi oleh permadani hijau.
Membuat Bong Mini benar-benar senang dan lupa di mana ia berada. Hanya satu yang
ia tahu bahwa dirinya berada di alam yang serba menyenangkan.
Istana megah yang banyak ditaburi oleh emas dan
intan berlian itu nampak sepi. Tak seorang pun yang berada di ruangan itu
kecuali dirinya. Namun begitu, ia tak merasa takut sedikit pun. Malah dengan
wajah gembira kakinya melangkah memasuki ruangan demi
ruangan. Setelah semua ruangan dilihat dan dinikmati, sam-
pailah ia di ruangan perpustakaan istana. Di ruangan itu ia duduk berlama-lama
sambil membaca-baca bu-ku. Bong Mini terkesima beberapa saat, sebab buku
yang kebetulan ia baca merupakan sebuah kitab yang memuat tentang pelajaran-
pelajaran silat. Dan isinya pun begitu komplit. Mulai pelajaran silat yang
berasal dari negeri Cina sampai pada pelajaran silat yang berasal dari negeri
timur. Namun sayangnya, bahasa
yang digunakan dalam buku itu bukan bahasa lugas
yang biasa digunakan sehari-hari, melainkan bahasa hati yang mengandung sastra.
Di mana dalam mema-haminya memerlukan perenungan-perenungan yang
amat dalam serta memakan waktu yang cukup lama.
Sebab setiap isi yang terkandung dalam setiap kalimat mempunyai makna yang
sangat dalam. Walaupun begitu, Bong Mini tetap membacanya. Karena dari setiap
halaman kitab itu ada beberapa kalimat yang bisa ia pahami dengan baik.
Di saat ia asyik membawa kitab yang bertuliskan
kata-kata sastra, entah dari mana datangnya, tiba-tiba
muncul seorang perempuan muda yang amat cantik.
Kecantikannya sangat sulit disamakan dengan wanita lain yang ada di dunia.
Apalagi dilukiskan dengan ka-ta-kata.
"Selamat datang ke istanaku, Gadis Manis!" sambut
wanita berparas cantik itu seraya menyunggingkan senyum ke arah gadis mungil
yang tengah asyik memba-
ca kitab sastra itu.
Bong Mini tersentak mendengar sapaan lembut dan
ramah itu. Lebih terkejut lagi ketika melihat wanita je-lita itu melangkah
menghampiri dengan senyuman
yang tak lekang dari bibirnya yang merah basah. Sedangkan gaun putih yang
dikenakan wanita itu tam-
pak bergeser menyapu lantai.
Oh...! Betapa cantiknya wanita itu. Pasti dia seorang putri yang menghuni istana
ini, tebak hati Bong Mini dalam keterpanaannya. Dan dugaan itu semakin kuat
lagi ketika Bong Mini menoleh pada mahkota yang dikenakan wanita itu.
"Si..., siapakah kau?" tanya Bong Mini gugup. Bu-
kan karena takut. Melainkan karena ia masih terpeso-na terhadap kecantikan yang
dimiliki wanita itu.
Wanita cantik itu tersenyum ramah.
"Aku adalah penghuni istana ini," kata wanita can-
tik itu dengan suara lembut berdesah.
Bong Mini tak memberikan reaksi apa-apa terhadap
jawaban gadis cantik itu. Ia masih terbius oleh wajah cantik wanita yang berdiri
di depannya. "Sedang baca buku apa?" tanya wanita cantik itu
lagi ketika melihat Bong Mini masih diam terpaku.
"Aku..., aku membaca kitab sastra!" sahut Bong
Mini masih gugup.
Lagi-lagi wanita itu tersenyum. Sedangkan kedua
matanya yang indah menatap tajam pada Bong Mini.
"Kau mengerti maksudnya?" tanya wanita cantik itu
dengan sinar mata yang gemerlap.
"Hanya beberapa kalimat saja yang bisa aku paha-
mi," sahut Bong Mini dengan wajah menengadah me-
natap wanita cantik di hadapannya. Tubuh wanita itu memang lebih tinggi
dibanding dengan ukuran tubuhnya sendiri.
"Bagus?" tanya wanita cantik itu seperti meman-
cing. "Sungguh bagus! Hampir semua pelajaran silat di
jagat ini terangkum dalam kitab silat sastra ini. Dan aku sangat tertarik untuk
mempelajarinya!" sahut
Bong Mini. "Buku yang kau pegang itu memang buku pelajaran
silat yang paling bagus dan lengkap. Tidak seorang pun yang memilikinya kecuali
aku!" Bong Mini mengangguk-angguk kecil. Sedangkan
matanya tetap memandang lurus pada wanita cantik
yang menghuni istana indah itu.
"Tapi kenapa kau sampai tertarik hendak mempela-
jarinya?" pancing wanita cantik itu lagi.
"Aku ingin sekali memiliki ilmu-ilmu silat yang ada dalam kitab sastra ini.
Kalau bisa menguasai seluruhnya!" sahut Bong Mini.
"Kalau kau sudah memiliki semuanya?"
"Aku akan abdikan kepada kepentingan rakyat!"
"Dengan berlagak seperti jagoan?" wanita cantik itu terus memancing jawaban Bong
Mini. "Sekali-kali tidak. Aku hanya ingin membaktikan
ilmu yang ada itu kepada orang lemah yang benar-
benar membutuhkan pertolonganku!" sahut Bong Mini.
Wanita cantik itu mengangguk-angguk. Wajahnya
menunjukkan kepuasan terhadap jawaban Bong Mini.
Kemudian buku sastra yang sejak tadi dipegang oleh
Bong Mini diambilnya dengan hormat, sebagaimana ta-ta krama yang berlaku dalam
istana kerajaan.
"Sebenarnya tanpa dipelajari pun kau sudah memi-
liki ilmu-ilmu yang ada dalam kitab sastra ini," tutur wanita cantik itu.
"Maksudmu?" tanya Bong Mini tidak mengerti.
"Kau sudah menguasai seluruh ilmu silat yang ada
dalam kitab ini!" jelas wanita cantik itu.
"Bagaimana mungkin" Melihat buku itu pun baru
kali ini!" kilah Bong Mini keheranan.
"Kau benar. Tapi tanpa disadari kau telah mempela-
jari dan menguasai ilmu itu sebelum membaca buku
ini!" Bong Mini tergugu tak mengerti.
"Tahukah kau, berapa lama perjalananmu ke negeri
ini?" tanya wanita penghuni istana indah itu.
Bong Mini diam mengerutkan kening. Sejauh itu, ia
tidak tahu berapa lama ia menempuh perjalanan me-
nuju istana yang terbuat dari emas dan intan berlian itu. Karena seingatnya, ia
datang ke istana indah itu tanpa direncanakan. Apalagi sampai dapat menghitung
hari perjalanannya.
"Aku tidak tahu, berapa lama aku menempuh perja-
lanan ke sini. Karena tak terbersit sedikit pun aku punya rencana ke sini. Ini
hanya kebetulan," sahut Bong Mini jujur.
Wanita cantik penghuni istana indah itu tampak
mengangguk-angguk. Disertai senyuman yang tak per-
nah lekang dari bibirnya.
"Kau benar. Tapi kau tidak tahu bahwa puasa dan
tapa yang kau jalani selama empat puluh hari empat puluh malam itu merupakan
jalan untuk bisa sampai
ke istanaku ini!" ucapnya.
Bong Mini mengangguk-angguk mengerti. Wajahnya
sungguh-sungguh memperhatikan wanita di hadapan-
nya. "Sebenarnya banyak orang yang hendak berkunjung
ke istana ini dan bertemu denganku. Tapi Yang Kuasa tidak mengizinkannya!"
lanjut wanita cantik itu lagi.
"Kenapa begitu?" tanya Bong Mini ingin tahu.
Lagi-lagi wanita cantik itu tersenyum lembut. Sea-
kan-akan hendak memamerkan giginya yang putih dan
berbaris rapi. "Ada beberapa hal yang menghalangi perjalanan
mereka untuk bisa sampai ke tempat ini," jelas wanita cantik itu. "Salah satunya
memaksakan kehendak dan sombong!"
Bong Mini mengangguk mengerti.
"Mengapa bisa begitu?" tanya Bong Mini ingin tahu.
"Kalau itu yang kau tanyakan, maka aku pun akan
bertanya kepadamu; Apakah kau suka terhadap orang
yang sombong?" wanita cantik itu balik bertanya.
"Tidak!" sahut Bong Mini cepat
"Bila kau tidak menyukai orang yang sombong ba-
gaimana pula dengan Tuhan yang telah menciptakan
semua makhluk dan dunia. Oleh karena itu mereka tidak diizinkan Yang Maha Kuasa
untuk bertemu de-
nganku dan diganti dengan orang lain, sesuai dengan kadar kebersihan hati
masing-masing!" kata wanita
cantik itu menjelaskan.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana denganku?"
"Kau lain. Kau hanya punya satu niat hendak
memberantas kejahatan dan melindungi manusia yang
lemah. Tanpa punya rencana jahat, apalagi hendak
bertemu dengan menguasai ilmuku. Dan pertemuan
kita pun seperti yang kau katakan tadi; tanpa sengaja!"
Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Apakah kitab Panca Sinar Sakti itu merupakan il-
mu-ilmu yang kau miliki?" tanya Bong Mini.
"Ya. Semua ilmu silat dan kesaktian yang kumiliki
berada dalam kitab sastra ini. Karena memang aku
yang menulisnya!" sahut wanita cantik itu menje-
laskan. "Kalau begitu, ilmu yang kudapatkan sekarang ini
merupakan warisan darimu," kata Bong Mini berpen-
dapat. Sebab tadi wanita itu mengatakan bahwa pelajaran silat yang ada dalam
kitab sastra yang dibacanya telah dikuasai seluruhnya tanpa disadari.
"Benar. Kaulah yang hendak mewarisi ilmu-ilmu
yang kumiliki!" jawab wanita cantik itu.
Bong Mini diam, memahami kata-kata wanita cantik
yang baru dilihatnya.
"Tapi ingat! Pergunakanlah ilmu itu sebaik mung-
kin. Janganlah kau berlaku angkuh apalagi bertindak semena-mena dengan ilmu
kesaktian yang kau miliki
itu. Sebab kesombongan dan kesewenang-wenangan
akan menghancurkan dirimu sendiri!" pesan wanita
cantik itu. Bong Mini terdiam. Memahami kata-kata wanita
cantik di hadapannya.
"Apa nama ilmu-ilmu yang telah kumiliki itu?"
tanya Bong Mini ingin tahu.
"Sungguh banyak. Tapi semua nama ilmu kesaktian
yang kuwariskan kepadamu itu terangkum dalam satu
nama yaitu Panca Sinar Sakti. Artinya lima anggota tubuh yang memancarkan sinar
kesaktian!" jelas wanita cantik itu.
"Kalau boleh aku tahu, apa saja kesaktian lima
anggota tubuh itu?" tanya Bong Mini sungguh-
sungguh. "Lima anggota tubuh yang mengandung kesaktian
itu antara lain; mata, telinga, mulut, tangan dan kedua kakimu!" sahut wanita
cantik itu tanpa segan-segan menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk. Kemudian sambil
membenarkan letak duduknya ia berkata, "Sudah se-
jak tadi kita bercakap-cakap. Tapi aku belum mengenal namamu!"
Wanita itu tersenyum lembut penuh keramahan.
"Namaku Putri Teratai Merah," wanita cantik itu
menyebutkan namanya.
"Lalu, apa nama istana ini?" tanya Bong Mini lagi.
Karena sejak tadi ia memang hendak menanyakan hal
itu. "Tempat ini disebut Istana Putri. Karena semua yang menghuni istana ini
terdiri dari kaum putri!"
"Tapi aku tidak melihat penghuni lain selain diri-
mu?" tanya Bong Mini agak heran.
"Mereka sedang bermain-main di taman bunga. Kau
ingin melihatnya?" tanya wanita cantik itu.
Bong Mini menganggukkan kepala, diiringi senyum-
nya yang lembut dan manis. Kemudian keduanya sege-
ra berjalan beriringan menuju taman bunga yang le-
taknya di belakang istana.
Tidak lama kemudian, keduanya sampai di taman
belakang Istana Putri. Di sana para putri lain tengah bersenda-gurau di antara
barisan bunga teratai merah.
Bong Mini yang sejak tadi kagum melihat keadaan
istana dan kecantikan wajah Putri Teratai Merah, kini semakin kagum ketika
memandang para penghuni Istana Putri lain. Karena hampir semua putri yang ada
dalam taman bunga itu mempunyai wajah cantik dengan umur rata-rata masih muda
belia, sehingga sulit baginya untuk menilai siapa yang tercantik di antara
mereka. Ditambah lagi dengan gaun yang sama-sama
berwarna putih dan terjuntai panjang. Ia semakin bi-ngung. Dan gaun putih yang dikenakan para penghuni Istana Putri itu sangat pas
bila dipadu dengan bunga teratai merah yang tumbuh di sekitar taman bunga itu.
"Putri Teratai Merah, apakah semua putri yang se-
dang bermain di taman bunga itu berada dalam keku-
asaanmu?" tanya Bong Mini ingin tahu.
"Aku tidak mampu menguasai mereka. Sebab selain
aku ada lagi yang lebih berkuasa!" sahut Putri Teratai Merah.
"Siapa?"
"Yang Maha Kuasa!" sahut Putri Teratai Merah.
"Aku hanya memimpin mereka. Karena kebetulan
tingkat kepandaianku lebih tinggi!"


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bong Mini mengangguk-angguk. Hatinya begitu ka-
gum pada Putri Teratai Merah. Dia menjadi pemimpin tanpa menguasai bawahannya.
Berbeda dengan manusia lain. Begitu diangkat jadi pemimpin langsung merasa
berkuasa dan memerintah serta bertindak pada
bawahannya seenaknya. Tanpa mau berpikir lagi bah-
wa sesungguhnya yang berkuasa atas mereka itu ada-
lah Yang Maha Kuasa.
Di saat Bong Mini tengah terkagum-kagum pada pa-
ra putri penghuni istana, tiba-tiba seorang putri di antara mereka yang tengah
bermain di taman bunga itu melihat ke arahnya dan memberikan senyum. Kemudian
putri yang memberikan senyum itu melangkah
menghampirinya dengan menggenggam tiga tangkai
bunga teratai merah. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, putri itu
memberikan setangkai bunga teratai merah kepada Bong Mini.
Bong Mini menatap putri yang membawa bunga te-
ratai merah dengan wajah ragu-ragu. Kemudian pan-
dangannya dialihkan kepada Putri Teratai Merah yang
disambut dengan anggukan dan senyuman lembut. Se-
telah mendapat anggukan itu, barulah Putri Bong Mini berani menerimanya. Tapi
betapa tersentaknya hati
Bong Mini. Karena ketika berada di kedua telapak tangannya, bunga teratai itu
mendadak berubah menjadi sebilah pedang yang amat indah. Di tengah-tengah pedang
itu keluar cahaya merah yang sangat terang dengan bentuk menyerupai bunga
teratai merah. "Ambillah pusaka itu. Pedang Teratai Merah yang
kau genggam telah kuwariskan padamu!" kata Putri
Teratai Merah. Bong Mini masih terpaku dalam keheranan yang
bercampur bahagia.
Dalam keadaan yang masih terpana itu, putri pem-
bawa bunga kembali memberikan setangkai bunga lagi kepada Bong Mini. Ketika
bunga itu berada di tangan Bong Mini, keanehan pun kembali terjadi. Setangkai
bunga yang baru diterimanya itu berubah menjadi sabuk pedang yang dihiasi oleh
lukisan bunga teratai merah.
"Masukkanlah pedang itu ke dalam sarungnya!" ka-
ta Putri Teratai Merah.
Bong Mini mengikuti apa yang dikatakan oleh Putri
Teratai Merah. Ia memasukkan pedang ke dalam sa-
buk teratai merah dengan amat hati-hati. Seolah-olah ia tengah menggenggam
sebuah permata yang mudah
pecah. Cuat cuat cuat!
Sinar merah berbentuk bunga teratai kembali ter-
pencar ketika ujung pedang dimasukkan ke dalam sa-
rungnya. "Nah, lengkaplah sudah apa yang kau miliki seka-
rang ini. Dan sudah waktunya pula kau kembali ke
duniamu!" ujar Putri Teratai Merah.
Bong Mini tertegun. Dia heran dengan sebutan kata
'duniamu' yang dikatakan Putri Teratai Merah. Lalu alam apa yang sekarang tengah
diinjaknya bersama
Putri Teratai Merah"
"Semua ilmu dan pedang yang kumiliki telah kuwa-
riskan kepadamu. Pergunakanlah semua warisan itu
dengan baik. Jangan sombong dan takabur dengan
semua ilmu yang kau miliki itu. Karena seperti apa yang telah kujelaskan sejak
pertama tadi bahwa kesombongan dan ketakaburan itu akan hancur oleh
perbuatannya sendiri!" lanjut Putri Teratai Merah
memberikan petuah.
Bong Mini mengangguk-angguk, memahami kata-
kata Putri Teratai Merah.
Putri Teratai Merah mengambil setangkai bunga te-
ratai merah yang masih tertinggal di tangan si pembawa kembang tadi. Kemudian
kembang teratai merah
itu disematkan pada bagian baju sebelah kanan yang dipakai Bong Mini. Setelah
itu ia memegang kedua
pundak Bong Mini seraya tersenyum menatapnya.
"Segeralah kembali ke tempatmu. Dan ingat apa
yang kupesan tadi!" kata Putri Teratai Merah setengah mengingatkan.
"Aku akan selalu mengingatnya!" janji Putri Bong
Mini. "Bagus! Sekarang mari kuantar kau pulang!" kata
Putri Teratai Merah sambil membimbing tangan Bong
Mini. Keduanya melangkah beriringan menuju luar istana.
Ketika sampai di luar Istana Putri, tanpa diberikan kesempatan untuk mengucapkan
terima kasih kepada
Putri Teratai Merah, tubuh Bong Mini mendadak te-
rangkat dengan ringan. Lalu perlahan-lahan melayang di udara seperti yang
dialaminya pertama tadi. Se-
dangkan di bawahnya, Putri Teratai Merah melambai-
lambaikan tangan sambil tersenyum lembut, sebagai
isyarat ucapan selamat jalan kepada Bong Mini. Bong Mini membalas pula dengan
lambaian tangan dari
udara sampai mereka tak terlihat lagi.
*** 5 Hari sudah pagi. Bias sinar matahari pagi yang berwarna kuning pucat memancar
dari ufuk timur. Se-
hingga alam yang tadi gelap gulita oleh kabut, kini terang-benderang. Seolah-
olah memberikan peringatan
kepada semua makhluk di bumi untuk menjalankan
tugas rutinnya sehari-hari.
Di Gunung Muda, suasana pagi tampak lebih terasa
lagi. Udara dingin yang sejak petang kemarin menyelimuti, perlahan-lahan pudar.
Berganti dengan keha-
ngatan sinar matahari yang menyegarkan. Daun dan
rerumputan yang menderita kedinginan semalaman
suntuk mulai segar sempurna.
Di dalam sebuah goa yang amat gelap, Putri Bong
Mini tampak terbaring lesu.
Apa yang telah terjadi pada diriku" Bisik hatinya.
Matanya bergerak lemah, mengedar ke sekeliling goa yang gelap. Kemudian ia
mencoba mengangkat kepala, tapi hanya mampu terangkat beberapa inci dari tanah.
"Ahhh!" desah Putri Bong Mini sambil menjatuhkan
kepalanya kembali. "Sudah berapa lama aku tak sa-
darkan diri di ruang yang gelap ini?" lanjutnya bertanya-tanya.
Ketika tubuhnya melayang-layang di udara saat
berpisah dengan Putri Teratai Merah yang berada di alam gaib, Bong Mini
merasakan badannya terjerem-bab dan membentur dinding begitu keras. Setelah itu
ia tidak ingat apa-apa lagi. Baru pagi tadi ia membuka matanya kembali dan
menyadari keadaannya.
Bong Mini membalikkan badannya ke posisi mene-
lungkup. Kemudian dengan sisa tenaganya ia merang-
kak perlahan menyusuri lorong goa menuju luar.
Walaupun dengan gerak merayap, akhirnya Bong
Mini sampai di mulut goa. Di sana, ia merebahkan
kembali tubuhnya untuk beristirahat. Sedangkan na-
pasnya tampak terengah-engah karena letih.
Sementara itu, matahari pagi telah berdiri sepeng-
galan di cakrawala. Sinarnya yang semula hangat-
hangat kuku, berangsur-angsur panas. Seolah-olah
hendak membakar alam bersama isinya.
Setelah agak lama beristirahat, tubuh Bong Mini
yang semula lemah tanpa daya, berangsur-angsur se-
gar kembali. Malah kedua kakinya yang semula tidak bisa digerakkan, kini telah
dapat diajak berdiri, walau agak tertatih-tatih. Kemudian dengan langkah
terseret, Bong Mini berjalan menuju gubuk gurunya yang berja-rak sekitar lima
ratus meter dari goa tempat ia bertapa.
*** Dalam perjalanannya menuju gubuk Kanjeng Rah-
mat Suci, kondisi tubuh Bong Mini banyak mengalami peningkatan. Bukan saja
langkah kakinya yang mulai tegar, tetapi juga wajahnya yang tadinya lesu, kini
tampak segar walaupun masih terlihat pucat. Semua
itu disebabkan oleh kehangatan sinar matahari yang menerpa tubuhnya. Sehingga
peredaran darah yang
tadinya mengalir lambat telah kembali stabil. Ditam-
bah lagi dengan keadaan lingkungan yang banyak di-
tumbuhi oleh pepohonan, membuat udara murni yang
terisap membuat tubuhnya segar.
Tidak lama menempuh perjalanan, ia sampai di de-
kat gubuk gurunya. Di sana, matanya melihat Kanjeng Rahmat Suci tengah duduk di
atas dipan yang terbuat dari belahan bambu sambil memilah-milah tasbih hi-
tamnya. Ketika matanya melihat kedatangan Putri
Bong Mini yang tak diduganya itu, Kanjeng Rahmat
Suci langsung tercekat kaget. Jemari tangan kanannya yang sedang memilah-milah
tasbih mendadak berhenti. Sedangkan dua bola matanya yang cekung tak berkedip
melihat Bong Mini yang semakin dekat melang-
kah ke arahnya. Seolah-olah ia tidak percaya akan penglihatannya.
"Kanjeng!" sapa Bong Mini lembut seraya menyung-
gingkan senyum di bibirnya yang kering dan kebiru-
biruan. Karena selama empat puluh hari tubuhnya
hanya terisi oleh beberapa kepal nasi dan air putih.
"Kau?" tanya Kanjeng Rahmat Suci dalam kera-
guan. "Kenapa, Kanjeng" Apakah Kanjeng sudah lupa ter-
hadap muridnya sendiri?" tanya Bong Mini merasa heran melihat sikap gurunya yang
ragu-ragu dalam me-
nyambut kedatangannya.
"Tidak!" sahut Kanjeng Rahmat Suci cepat.
"Tapi kenapa Kanjeng seperti ragu menyambut ke-
datanganku?" tanya Bong Mini setengah mendesak.
"Aku cuma heran. Gadis seusiamu masih kelihatan
tegar. Padahal puasa mutih dan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam
hanya mampu dilakukan oleh orang-orang seusiaku. Itu pun masih banyak di antara
mereka yang tidak kuat. Tapi kau nampak
begitu segar dan mampu menempuh perjalanan sepan-
jang lima ratus meter!" ujar Kanjeng Rahmat Suci mengemukakan rasa herannya.
Bong Mini tercenung. Ia turut heran terhadap diri-
nya sendiri. Kenapa sejak tadi perutnya tidak merasa lapar. Padahal selama empat
puluh hari empat puluh malam di pertapaan, ia tidak menemukan makanan
yang mengenyangkan ataupun minuman yang dapat
menghilangkan rasa hausnya. Tapi kenapa ia tidak
merasa lapar"
Memang, pertama kali keluar dari dalam goa, ia me-
rasakan tubuhnya sangat letih. Berjalan pun ia me-
rangkak-rangkak. Tapi bukan karena kelaparan yang
mendera tubuhnya. Melainkan karena peredaran da-
rahnya yang tidak stabil. Sebab selama empat puluh hari itu tubuh tidak
bergeming dari tempat duduknya.
Ia tetap bersila dengan pikiran, hati, mata, dan seluruh tubuhnya terpusat pada
Yang Maha Kuasa. Sehingga
pada saat bergerak, anggota tubuhnya terasa kaku dan lemah.
"Aku sendiri tidak mengerti, Kanjeng. Kenapa tu-
buhku mendadak segar," desah Bong Mini setelah be-
berapa saat terdiam.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Kau tahu siapa yang memberi kekuatan pada diri-
mu itu?" "Apakah Yang Menguasai diri kita?" Bong Mini balik bertanya.
"Ya!" sahut Kanjeng Rahmat Suci cepat. "Rupanya
kau telah mengetahui pula siapa Yang Menguasai diri manusia!"
"Semua itu aku dapatkan dari bertapa, Kanjeng!"
sahut Bong Mini.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.
"Itulah kasih sayang Tuhan kepada manusia yang
benar-benar hendak berjumpa dengan-Nya. Tapi ke-
hendak itu pun harus disertai oleh tekad yang mantap dan penuh kesabaran. Sebab
Tuhan lebih sayang terhadap orang yang mempunyai tekad baja dan kesaba-
ran tinggi. Sehingga Dia memberikan kelebihan di atas kekurangan manusia atau
memberi kekuatan di balik
kelemahannya!" tutur Kanjeng Rahmat Suci men-
jelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk mendengar ucapan
gurunya. "Sekarang, pergilah makan dulu. Setelah itu kita
kembali melanjutkan percakapan!" ujar Kanjeng Rah-
mat Suci lagi. Bong Mini menurut. Ia hendak segera masuk untuk
mengambil makanan. Tapi baru saja membalikkan tu-
buh, ia berpapasan dengan Baladewa yang baru saja
keluar dari gubuknya.
Sesaat kedua insan berlainan jenis itu saling ber-
pandangan. Namun Bong Mini cepat-cepat mengelak-
kan pandangan mata Baladewa yang terasa menghu-
jam hatinya itu.
"Kalau begitu biar saja Baladewa yang mengambil-
kan makanan untukmu!" ujar Kanjeng Rahmat Suci
ketika melihat kehadiran Baladewa.
"Tidak usah, Kanjeng. Aku bisa mengambilnya sen-
diri, kok!" sergah Bong Mini cepat. Lalu buru-buru kakinya melangkah ke dalam
gubuk gurunya tanpa
mempedulikan Baladewa yang masih terpaku meman-
danginya. *** Suatu hari, Kanjeng Rahmat Suci menyuruh Bong
Mini untuk memanggil Baladewa yang sedang mengga-
rap ladang di kebun yang tak jauh dari gubuknya.
Waktu makan siang memang telah tiba. Mereka akan
makan bersama. "Bong Mini, tolong panggilkan Baladewa ke sini!"
perintah Kanjeng Rahmat Suci.
"Baik, Kanjeng!" sahut Bong Mini ramah. Lalu ia segera menuju ladang di mana
Baladewa tengah bekerja.
"Heh! Kau dipanggil Kanjeng!" sentak Bong Mini, se-tibanya di ladang. Wajahnya
yang lembut dan manis
ketika berhadapan dengan gurunya, kini berubah ke-
tus dan asam. "Kau panggil siapa?" tanya Baladewa dengan nada
suara sabar. "Siapa lagi kalau bukan situ!" hardik Bong Mini.
"Kenapa tidak panggil namaku saja?" nada suara
Baladewa tetap terdengar sabar.
"Bodo! Suka-sukaku!" ketus Bong Mini sambil terus
berlalu. Kanjeng Rahmat Suci yang diam-diam memperhati-
kan tingkah kedua muridnya hanya tersenyum-se-
nyum sambil menggelengkan kepalanya.
Selesai mengisi perutnya dengan beberapa suap na-
si, Bong Mini kembali menemui Kanjeng Rahmat Suci
yang lebih dahulu selesai makan. Kini beliau duduk di atas dipan bersama


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baladewa. "Sebentar sekali makannya?" tanya Kanjeng Rahmat
Suci menyambut kehadiran Bong Mini yang sudah du-
duk di hadapannya.
"Cukup mengganjal perut agar tidak terlalu kosong
saja, Kanjeng!" kata Bong Mini.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Itu cara makan yang baik. Makan ketika perut la-
par dan berhenti sebelum merasa kenyang!" kata Kanjeng Rahmat Suci, bijak.
Baladewa yang duduk di sebelahnya tampak me-
nundukkan muka ketika mendengar ucapan gurunya
tadi. Sebab selama ini ia sering makan banyak serta tidak berhenti sebelum
perutnya kenyang.
"Sekarang, coba kau ceritakan tentang pengalaman
batinmu selama berpuasa mutih dan bertapa!" pinta
Kanjeng Rahmat Suci kepada Bong Mini.
Bong Mini diam sejenak. Ia mencoba mengumpul-
kan seluruh daya ingatnya. Setelah ingatannya ter-
kumpul semua, barulah ia menceritakan semua pe-
ngalamannya selama bertapa. Mulai dari saat ia melihat berbagai macam cahaya
yang masuk ke dalam ke-
dua matanya sampai pada perjalanannya menuju Ista-
na Putri dan bertemu dengan Putri Teratai Merah.
"Begitulah pengalamanku selama menjalani tapa,
Kanjeng!" kata Bong Mini, mengakhiri ceritanya.
Kanjeng Rahmat Suci tampak takjub mendengar ce-
rita Bong Mini. Baru kali ini ia dapat mendengar cerita gaib yang mengesankan.
Dan cerita itu dialami langsung oleh murid angkatnya sendiri.
"Apakah Kanjeng dapat menjelaskan makna dari
pengalaman-pengalaman gaibku itu?" Bong Mini balik bertanya.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk. Kemu-
dian dia diam sejenak dengan kening berkerut, seolah-olah sedang berpikir.
Sedangkan Bong Mini yang du-
duk di hadapannya menunggu penjelasan Kanjeng
Rahmat Suci dengan wajah sungguh-sungguh. Ia ingin benar mendengar.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Kau jangan khawatir! Putri Teratai Merah yang kau temui itu benar-benar asli!"
kata Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kekhawatiran wajah muridnya.
"Bagaimana Kanjeng bisa yakin bahwa dia Putri Te-
ratai Merah yang asli?" tanya Bong Mini ingin tahu.
Lagi-lagi Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Kemu-
dian ia menghirup kopinya yang tinggal setengah gelas.
"Memang tidak mudah untuk mengenali Putri Te-
ratai Merah yang asli," kata Kanjeng Rahmat Suci
sembari meletakkan gelas kopinya. "Tapi ada tiga hal yang dapat meyakinkan kita
bahwa dia benar-benar
Putri Teratai Merah!" lanjut Kanjeng Rahmat Suci.
"Apa ketiga ciri-ciri itu, Kanjeng?" tanya Bong Mini ingin tahu.
Kanjeng Rahmat Suci menelan ludah. Kedua mata-
nya yang cekung mencorong tajam ke arah Putri Bong Mini. Sedangkan hatinya kagum
melihat sikap murid
gadisnya yang begitu pandai bertanya dan selalu penasaran. Hal itu menunjukkan
akan kepintaran dan ke-
cerdikan muridnya.
"Ciri-ciri dari Putri Teratai Merah yang asli; bila berbicara selalu mengandung
nasihat-nasihat yang
baik. Bersikap ramah dan selalu tersenyum," kata
Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk. Ia membenarkan
apa yang dikatakan oleh gurunya itu.
"Yang kedua," lanjut Kanjeng Rahmat Suci. "Wari-
san pedang yang dia berikan berbeda dengan pedang
lainnya. Seluruh pedang dan sabuknya selalu meman-
carkan cahaya merah berbentuk bunga teratai. Se-
dangkan yang ketiga; bila hendak berpisah dia selalu menyematkan bunga teratai
merah. Entah itu pada
rambut atau pada bagian baju yang kita pakai!" ujar Kanjeng Rahmat Suci
menjelaskan ketiga ciri-ciri dari para Putri Teratai Merah yang asli.
Bong Mini termangu mendengar keterangan guru-
nya. Karena apa yang dikatakan oleh Kanjeng Rahmat Suci sama persis dengan apa
yang dialaminya ketika dirinya berada di Istana Putri.
"Sinar yang pertama kali kau lihat itu disebut ilmu!"
kata Kanjeng Rahmat Suci setelah beberapa saat terdiam.
"Maksud Kanjeng, ilmu itu berbentuk sinar?" po-
tong Bong Mini.
"Ya. Dan itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang
yang berhati bersih!" sahut Kanjeng Rahmat Suci.
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Sekarang, ada sesuatu yang ingin aku pesankan
kepadamu!"
"Apa itu, Kanjeng?"
"Begini!" Kanjeng Rahmat Suci membenarkan letak
duduknya. "Semua ilmu dan pedang milik Putri Teratai Merah telah diwariskan
kepadamu. Oleh karena itu
aku berpesan agar kau dapat memelihara benda wari-
san itu sebaik mungkin. Pergunakanlah ilmu yang telah kau kuasai itu untuk
kebajikan dan hindari segala macam keangkuhan!" lanjut Kanjeng Rahmat Suci
berpesan. "Terima kasih atas nasihat Kanjeng. Mudah-mu-
dahan aku dapat mengamalkan ilmu itu sesuai dengan harapan Putri Teratai Merah
dan Kanjeng!" ucap Bong Mini tanpa berani berjanji. Karena menurutnya janji itu
sangat berat. Bila kenyataannya janji tersebut tidak bisa ditepati, selain
dikejar-kejar oleh perasaan berdo-sa juga tidak akan dipercaya lagi oleh orang
yang di-janjikan. Karena itu ia selalu mengucapkan kata mudah-mudahan bila
mendapat tugas. Walaupun tugas
yang diberikan kepadanya itu ringan.
"Nah, sekarang pergilah beristirahat. Pulihkan kembali seluruh kekuatan
tubuhmu!" kata Kanjeng Rah-
mat Suci lagi. "Baik, Kanjeng!" ucap Bong Mini cepat. Sesungguh-
nya ia pun sudah sejak tadi hendak beristirahat. Tidur
sepuas-puasnya agar kedua matanya tak terlihat ce-
kung karena tidak pernah tidur selama empat puluh
hari empat puluh malam sewaktu ia menjalani tapa.
Tanpa menoleh pada Baladewa yang sejak tadi du-
duk mendengarkan percakapan mereka berdua, Bong
Mini turun dari dipan dan langsung melangkah menu-
ju gubuknya. Diikuti oleh pandangan mata Kanjeng
Rahmat Suci dan Baladewa.
Ketika sampai di gubuknya, Bong Mini menggan-
tungkan Pedang Teratai Merah di sudut kamar. Setelah itu ia merebahkan tubuhnya
di atas dipan yang hanya beralaskan sehelai tikar usang. Dia tidur dengan cara
telentang menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman daun rumbia.
Sedangkan pikirannya terus menerawang, mengingat-ingat kembali apa yang
dipesankan oleh gurunya tadi.
Setelah pikirannya terasa letih mengingatkan segala nasihat yang didapatnya,
baik dari Kanjeng Rahmat
Suci maupun dari Putri Teratai Merah, barulah Bong Mini dapat memejamkan mata.
Ia tidur dengan pulas.
*** 6 Hari sudah merembang menuju malam. Di cakra-
wala yang tak terbatas, bulan tampak bersinar terang, dikelilingi berjuta
bintang yang bertaburan. Membuat langit malam itu benar-benar semarak.
Gunung Muda yang biasanya selalu tenggelam oleh
kegelapan malam, kini tampak agak remang terkena
sorotan sinar rembulan. Ditingkahi suara jangkrik
yang bernyanyi. Seolah-olah tengah berpesta-pora da-
lam menyambut bulan purnama yang muncul pada se-
tiap tanggal lima belas.
Di sebuah gubuk tua, tempat tinggal Kanjeng Rah-
mat Suci, tampak dua lelaki dan seorang wanita muda tengah duduk santai di atas
dipan sambil menikmati singkong bakar dan segelas kopi masing-masing. Mereka
tidak lain adalah Kanjeng Rahmat Suci, Baladewa, dan Putri Bong Mini.
"Malam ini ada sesuatu yang hendak kusampaikan
kepada kalian!" ucap Kanjeng Rahmat Suci membuka
percakapan. "Apa itu, Kanjeng?" tanya Baladewa dan Bong Mini
bersamaan. Lalu keduanya saling berpandangan. Tapi baru beberapa detik, Bong
Mini segera mengalihkan
pandangannya ke arah gurunya dengan wajah masam.
Sedangkan Baladewa tampak tersenyum tenang sambil
mengarahkan pandangannya ke arah Kanjeng Rahmat
Suci kembali. "Baladewa!" ucap Kanjeng Rahmat Suci memandang
pada murid lelakinya.
"Ya, Kanjeng!" sahut Baladewa.
"Sejak umur sebelas tahun kau berada di sini dan
sekarang sudah berumur delapan belas tahun, berarti sudah tujuh tahun kau berada
di gunung ini bersama-ku."
"Benar, Kanjeng!" jawab Baladewa membenarkan.
"Nah, dalam masa yang cukup lama itu, aku merasa
kau sudah banyak menimba ilmu di sini. Karena itu
sudah saatnya kau amalkan ilmu yang kau peroleh
kepada orang banyak," kata Kanjeng Rahmat Suci.
Baladewa termangu mendengarkan kata-kata gu-
runya. "Sebab itu kau boleh kembali pada kedua orang-
tuamu," lanjut Kanjeng Rahmat Suci.
"Tapi, Kanjeng. Hatiku masih betah tinggal di sini!"
potong Baladewa, keberatan untuk meninggalkan tem-
pat itu. Karena kalau dia meninggalkan Gunung Muda berarti ia harus berpisah
dengan gurunya yang selama delapan tahun membimbingnya dalam ilmu bela diri.
"Ahhh! Jangan jadi orang cengeng! Buat apa me-
nuntut ilmu jauh-jauh kalau hanya mendekam di ka-
mar melulu!" celetuk Bong Mini dengan suara dan sikap yang ketus.
Telinga Baladewa mendadak panas mendengar uca-
pan Bong Mini yang mengandung nada ejekan. Namun
karena yang melontarkan kata-kata saudara sepergu-
ruannya dan menarik hatinya pula, maka api amarah
yang semula bergolak cepat-cepat ia tahan. Sehingga nada ejekan Bong Mini itu
disambutnya dengan sung-gingan senyum.
"Apa yang dikatakan oleh saudara seperguruanmu
itu benar," kata Kanjeng Rahmat Suci membenarkan
pendapat Bong Mini. "Sebab ilmu yang kita miliki bukan sekadar untuk membela dan
melindungi diri kita.
Tapi juga untuk menindak perbuatan manusia yang
sewenang-wenang."
"Aku mengerti, Kanjeng," sahut Baladewa sambil
melirik gadis cantik di depannya. Tapi orang yang dili-rik justru membalas
dengan cibiran.
"Begitu pula dengan Bong Mini. Walaupun kau ting-
gal di sini tidak selama Baladewa, tapi kau sudah lebih dari cukup dalam
menguasai ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu, selepas dari tempat ini, jadilah
'raja kecil' sesuai dengan namamu!" kata Kanjeng Rahmat Suci se-
raya menoleh pada Bong Mini.
"Mudah-mudahan, Kanjeng!" sahut Bong Mini.
"Apa ada seorang raja wanita yang kecil?" Baladewa menggoda.
"Heh! Jadi lelaki jangan ceriwis!" bentak Bong Mini.
Matanya mendelik membuat sepasang matanya yang
hitam gemerlap itu semakin indah dipandang mata.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum melihat tingkah
kedua muridnya yang berlainan jenis itu.
"Menjadi raja itu bukan dilihat dari besar kecilnya tubuh seseorang. Bila ia
mampu membuat simpati rakyat, jujur, welas asih kepada sesama maka ia berhak
menjadi raja atau ratu. Tapi sebaliknya, walaupun
orang itu mempunyai tubuh tinggi besar, ditakuti semua rakyat, namun bila
bermoral bejat, jelas harus disingkirkan. Sebab penyakit hatinya itu akan
merusak manusia lain," kata Kanjeng Rahmat Suci memba-
las ucapan Baladewa dengan sungguh-sungguh.
Baladewa tersenyum malu. Ia tidak menyangka ka-
lau godaannya terhadap Bong Mini mendapat tangga-
pan serius dari gurunya.
Kanjeng Rahmat Suci mengerti perasaan muridnya,
maka ia segera mengembalikan pembicaraannya ke
masalah semula.
"Nah, karena kalian sudah waktunya mengamalkan
ilmu kepada kepentingan rakyat, aku berpesan agar
kalian berjalan seiring dalam menumpas segala macam kejahatan."
Baladewa tersenyum senang ketika mendengar pe-
san gurunya agar mereka berdua dapat seiring sejalan.
Ini berarti akan membuka peluang baginya untuk me-
lunakkan hati Bong Mini.
"Tapi sebelum kalian berdua melaksanakan niat
bakti itu, sebaiknya temuilah dulu kedua orangtua kalian. Karena bagaimanapun
juga, doa restu kedua
orangtua sangat berpengaruh pada perjuangan yang
kita lakukan. Khususnya doa seorang ibu."
"Tapi bagaimana dengan mamaku yang sudah me-
ninggal?" tanya Bong Mini.
"Orangtua yang sudah meninggal akan mendukung
perjuangan anaknya yang mulia tanpa sepengetahuan
kita, termasuk para pejuang di jalan kebenaran. Karena pada hakikatnya mereka
itu tidak mati. Mereka tetap hidup di sisi Tuhan!" tutur Kanjeng Rahmat Suci
menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk mendengar penjela-
san gurunya. Hatinya bersyukur berhasil dibimbing
oleh seorang guru yang benar-benar alim dan bijaksa-na. Sehingga banyak ilmu
yang ia dapatkan. Bukan sa-ja ilmu tentang seni bela diri, tetapi juga yang
menyangkut ilmu pengetahuan.
"Itu saja pesanku. Selamat berjuang!" sambung
Kanjeng Rahmat Suci memberikan semangat kepada
kedua muridnya. Sebaliknya, Bong Mini merasa terha-ru mendengar ucapan itu.
Sebab ucapan itu secara tidak langsung merupakan kata perpisahan antara dirinya
dengan Kanjeng Rahmat Suci. Padahal hatinya selalu ingin bersama-sama dengan
orang tua yang bijak itu. Di lain pihak, Kanjeng Rahmat Suci pun dapat
membaca perasaan kedua muridnya. Karena itu de-
ngan penuh bijak ia berkata: "Aku tahu! Perpisahan ini memang sangat memberatkan
perasaan kita masing-masing. Tapi kita juga harus ingat, berpisah untuk berjuang
merupakan hal yang lebih penting, sebab
menyangkut kepentingan orang banyak!"
Bong Mini dan Baladewa tampak mengangguk-
angguk. Perasaan berat untuk berpisah dengan gu-
runya yang sejak tadi menggayuti hati mereka perlahan-lahan pudar. Berganti
dengan semangat juang.
*** Esok paginya, di saat bulan masih menampakkan
cahayanya yang pucat, Bong Mini dan Baladewa tam-
pak berjalan menyusuri tanah Gunung Muda, menuju
rumah mereka masing-masing.


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus jalan sama-sama, Bong Mini!" ucap Ba-
ladewa ketika melihat langkah Bong Mini lebih cepat dari langkahnya.
"Peduli amat!" ketus Bong Mini sambil terus berja-
lan, tanpa mempedulikan Baladewa yang berusaha
mengejar langkahnya.
"Kau harus ingat pesan Kanjeng!"
"Justru karena aku ingat pesan Kanjeng, langkahku
masih bisa kau lihat. Kalau tidak, tentu langkahku lebih cepat dari ini!" kilah
Bong Mini masih bernada ketus.
Baladewa mengeluh. Ia kesal terhadap dirinya sen-
diri karena belum dapat meluluhkan hati gadis yang sejak pandangan pertama telah
membuatnya kasmaran.
Baladewa yang langsung jatuh cinta pada Bong Mini
memang bisa dipahami. Sebab sejak berumur sebelas
tahun ia tidak pernah berjumpa dengan seorang gadis sebayanya. Sehingga ketika
pertama kali bertemu dengan Bong Mini yang mempunyai wajah cantik dan
bertubuh mungil menggemaskan, ia langsung kasma-
ran dan bertekad hendak memilikinya. Namun ketika
melihat sikap Bong Mini yang acuh tak acuh terha-
dapnya, Baladewa hilang harapan dan nyaris putus
asa. "Adikku!" panggil Baladewa ketika dapat menyeja-
jarkan langkahnya dengan Bong Mini.
"Enak saja kau panggil adik! Memangnya usiamu
lebih tua dariku!" sergah Bong Mini.
"Lalu aku harus memanggil apa?"
Bong Mini bungkam. Langkahnya semakin diperce-
pat "Bong Mini, kenapa kau tak pernah bersikap ramah padaku?" tanya Baladewa
sambil terus mengimbangi
langkahnya. "Tanyakan saja pada dirimu sendiri!" singkat Bong
Mini. "Justru karena itu aku bertanya kepadamu. Aku ti-
dak tahu, apa yang membuatmu bersikap seperti itu"!"
"Kalau tidak tahu, ya sudah!"
Baladewa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal sambil mengeluh. Ia sudah kehabisan cara untuk dapat meluluhkan hati Bong
Mini. Sebaliknya Bong
Mini malah tertawa geli dalam hati melihat tingkah Baladewa yang serba salah.
"Kalau memang persoalan di sungai beberapa waktu
yang silam masih mengganjal perasaanmu, maafkan-
lah aku! Bukankah Yang Maha Kuasa selalu memberi
maaf kepada umatnya walau sebesar apa pun do-
sanya?" Bong Mini mendadak menghentikan langkahnya ke-
tika mendengar kata-kata Baladewa. Dia berdiri tegak menghadap Baladewa.
Sedangkan matanya yang hitam
gemerlap memandang tajam ke arah pemuda itu.
Hati Baladewa menjadi girang ketika melihat sikap
Bong Mini. Ucapanku tadi berhasil meluluhkan hati
Bong Mini, pikirnya.
"Dengar Baladewa yang tampan!" kata Bong Mini
tegas. Tapi mendadak hatinya tersentak sendiri. Karena tanpa disadari ia
mengatakan tampan pada pemuda di hadapannya itu. Tapi keterkejutan itu segera ia
tu-tup kembali dengan ucapan selanjutnya. "Dosa kepada Tuhan memang sangat mudah
mendapat ampunan ji-ka manusia itu benar-benar memohon dan tidak men-
gulangi lagi perbuatannya. Tapi jika kesalahan itu dilakukan terhadap sesama
manusia tidak mudah untuk
mendapatkan maaf. Karena dalam diri manusia ada
sifat yang baik dan buruk!" setelah berkata begitu, Bong Mini kembali
melanjutkan langkahnya.
"Bong Mini, tunggu!" cegah Baladewa sambil beru-
saha menyejajarkan langkahnya kembali.
Bong Mini kembali menghentikan gerak kakinya
dan memandang tajam pada Baladewa.
"Ada apa lagi?"
"Apakah kita tidak bisa berdamai lagi?"
"Sekali aku bilang tidak, ya tidak. Ngerti?" kedua bola mata Bong Mini mendelik
semakin indah, membuat Baladewa menjadi gemas terhadapnya. Tapi ia
sendiri tidak bisa gegabah. Sebab untuk mendekati
wanita semacam Bong Mini memerlukan waktu yang
berlarut-larut. Ibarat percampuran air dengan garam.
Beberapa saat suasana hening. Keduanya tidak
berkata apa-apa lagi. Kecuali terus berjalan dalam ke-bisuan yang mereka
pertahankan. Waktu terus berjalan menurut aturannya. Tanpa te-
rasa matahari telah tenggelam di sudut langit sebelah barat, pertanda bahwa
waktu malam mulai tiba. Suasana alam yang tadinya terang-benderang, kini tampak
meremang karena disinari oleh cahaya matahari yang sudah begitu redup.
Seiring dengan cepatnya perjalanan waktu, secepat
itu pula Bong Mini dan Baladewa telah jauh mening-
galkan Gunung Muda. Kini mereka tengah menjejak-
kan kaki di tanah Desa Anjungan. Sebuah desa kecil yang sarat dengan penduduk.
Sehingga rumah-rumah
yang menjadi tempat tinggal mereka tampak berdere-
tan, tanpa sejengkal lahan kosong pun yang membatasinya.
"Sungguh padat penduduk desa ini!" gumam Bala-
dewa sambil memandang rumah-rumah yang berjejer
di kanan kirinya.
Bong Mini, yang berjalan di sebelahnya sependapat
pula dengan pendapat Baladewa. Namun pendapatnya
itu ia tahan saja dalam hati. Sedangkan kedua ma-
tanya terus memandang lurus ke depan, pada lampu-
lampu alit yang dipasang di depan rumah-rumah pen-
duduk. "Ada baiknya kita mencari warung nasi dan pengi-
napan untuk malam ini!" usul Bong Mini tanpa meno-
leh. "Itu lebih baik. Kebetulan perutku pun sudah terasa perih!" kata Baladewa dengan
hati gembira. Karena gadis yang sejak tadi berdiam diri itu mulai mau membuka
suara dan mengajaknya berbicara.
Sedang asyiknya mereka berjalan, tiba-tiba terde-
ngar suara riuh orang-orang kampung yang disertai
dengan teriakan-teriakan lantang.
Bong Mini dan Baladewa menghentikan langkah se-
jenak. Keduanya memasang telinga baik-baik untuk
menemukan arah suara itu. Dan ketika yakin dari ma-na asal suara itu, keduanya
segera melesat meng-
hampiri. Tidak lama mereka berlari, mata keduanya tiba-tiba melihat sekelompok orang
tengah berkerumun, mengelilingi seorang lelaki tua.
"Hajar!"
"Habisi!"
"Bunuh!"
Beberapa orang di antara mereka berteriak-teriak
sambil menuding ke arah lelaki tua yang dikerumuni.
Kemudian mereka serentak bergerak memukuli lelaki
tua itu. Melihat orang-orang kampung memukuli seorang le-
laki tua dengan penuh nafsu, Bong Mini segera mem-
buru ke arah kerumunan itu.
"Berhenti!" teriak Bong Mini.
Mendengar bentakan itu, orang-orang yang memu-
kuli lelaki tua segera menghentikan gerakan. Mereka bergerak mundur dua langkah
sambil memandang
Bong Mini yang berdiri dengan gagah.
"Siapa kau" Kenapa mencampuri urusan kami?"
tanya seorang di antara mereka disertai tatapan mata yang tajam, penuh selidik.
"Maaf! Aku bukan hendak mencampuri urusan ka-
lian. Aku hanya kasihan melihat seorang lelaki tua dikeroyok oleh puluhan lelaki
yang muda perkasa!" sahut Bong Mini tenang.
"Tapi kau tidak tahu, kenapa kami sampai memu-
kuli orang tua keparat ini!" kata lelaki tadi seraya me-nudingkan jari
telunjuknya ke arah orang tua yang
berjongkok menahan sakit di hadapannya.
"Justru karena itu aku ingin mengetahui persoa-
lannya, kenapa orang tua itu sampai kalian pukuli?"
timpal Bong Mini dengan sikap yang masih tenang.
"Dia seorang pencuri!" sahut lelaki pertama itu
menjelaskan. "Betul. Dia seorang pencuri!" timpal beberapa orang lain, mendukung.
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu. Tapi izinkan aku untuk
membelanya!" kata Bong Mini.
"Heh! Sudah tahu orang tua ini seorang pencuri
mengapa masih ingin membelanya" Apakah kau masih
ada hubungan keluarga dengannya"!" tukas lelaki pertama.
"Dia memang bukan kaum kerabatku. Tapi sebagai
manusia aku berhak membela orang lain yang me-
mang membutuhkan pembelaan!" lantang Bong Mini.
Pengeroyok yang berjumlah kurang lebih dua puluh
orang tampak terpana mendengar ucapan Bong Mini.
Mereka tidak mengira kalau gadis secantik itu mem-
punyai jiwa pemberani. Sehingga mereka menjadi ya-
kin kalau dia bukan penduduk desa itu. Sebab para
gadis Desa Anjungan tidak mempunyai keberanian se-
perti itu. Apalagi melakukan pembelaan terhadap
orang yang jelas bersalah di hadapan orang banyak.
"Orang tua ini memang telah bersalah. Tapi bukan
berarti kesalahan yang diperbuatnya itu dijadikan alasan untuk tidak
mengampuninya!" tegas Bong Mini
dengan suara lantang.
Puluhan orang di hadapannya tampak terdiam
mendengarkan. Bahkan di antara mereka ada yang
terpesona mendengar ucapan Bong Mini yang menyen-
tuh hati itu. Di sudut lain, di tempat yang terlindung oleh sebatang pohon besar, Baladewa
memandang sikap dan
ucapan Bong Mini dengan terkagum-kagum. Ia bangga
mempunyai saudara seperguruan yang berjiwa pembe-
rani. Apalagi sifat pemberani itu tumbuh dalam diri gadis yang selama ini
membuatnya kasmaran.
"Aku ingin bertanya, siapa di antara kalian yang tidak pernah melakukan
kesalahan?" terdengar suara
lantang Bong Mini lagi.
Orang-orang di hadapannya masih berdiri tertegun
tanpa ada yang berani menyahut. Bahkan di antara
mereka ada yang terlihat menundukkan kepala, seo-
lah-olah menyadari kesalahannya.
"Hampir semua orang tidak lepas dari dosa. Ini wa-
jar! Karena dalam diri kita ada sifat tercela sekaligus sifat terpuji. Sehingga
pada perbuatan kita pun ada
yang baik dan ada pula yang buruk!" kata-kata yang diungkapkan Bong Mini terasa
mengalir semanis ma-du. Merasuk kuat pada benak pendengarnya. Sehingga sebagian
di antara mereka ada yang tertunduk, mere-nungi ucapan Bong Mini.
Baladewa yang sejak tadi memperhatikan dan men-
dengarkan ucapan Bong Mini dari kejauhan makin
terpesona mendengar untaian kalimat yang dilontar-
kan mulut gadis yang disenanginya itu.
"Sebenarnya perbuatan yang dilakukan orang tua
ini merupakan penyelewengan biasa yang kerap dila-
kukan oleh manusia berbatin lemah. Sama seperti
orang yang menderita semacam penyakit. Bedanya,
yang sakit bukan tubuh melainkan hatinya. Yang se-
harusnya kalian lakukan jelas mengobati penyakit itu, bukan malah membunuhnya
tanpa pertimbangan akal
sehat!" lanjut Bong Mini.
Beberapa saat suasana hening. Mereka seolah-olah
terkesima mendengar kata-kata yang meluncur dari
bibir mungil seorang gadis cantik yang berdiri di hadapan mereka.
"Tapi hukuman ini sudah lama diberlakukan dan
disetujui oleh kepala desa!" sahut orang pertama yang sejak tadi selalu menjadi
juru bicara bagi yang lain.
"Baik! Tapi hukuman itu sendiri tidak akan menjadi pelajaran dan membuat jera
orang lain. Buktinya,
orang tua ini masih melakukan pencurian!" sahut
Bong Mini tegas dan tenang.
"Aku berpendapat, hukuman yang dijatuhkan pada
orang tua ini lebih kotor dibandingkan dengan perbuatannya. Dan dari kekotoran
hukum ini pasti akan melahirkan manusia-manusia yang bermoral rendah!"
Bong Mini menghentikan ucapannya sejenak untuk
menelan ludah yang mulai kering karena terlalu ba-
nyak berbicara.
"Menurutku, alangkah baiknya kita menuntun me-
reka yang tersesat agar mau kembali ke jalan yang lurus!" lanjut Bong Mini.
Penduduk Desa Anjungan yang tadi turut memukuli
lelaki tua itu tampak tercenung. Seolah-olah tengah mencerna pendapat yang
dilontarkan oleh gadis asing yang baru dikenal. Sedangkan orang tua yang tadi
dikeroyok oleh penduduk kampung merasa gembira ka-
rena mendapat pertolongan dari seseorang yang tak
dikenalnya. Dan dia berharap dalam hati agar dirinya terbebas dari tuduhan
orang-orang kampung itu.
Sementara itu, lelaki pertama yang menjadi juru bicara melangkah mendekati Putri
Bong Mini. Diikuti
oleh lima lelaki lain. Mereka berjalan tegang dengan sinar mata mencorong
seperti menyimpan kebencian.
"Kau bocah perempuan yang hendak menghasut pi-
kiran penduduk kampung ini rupanya!" kata lelaki pertama itu dengan nada geram
menyimpan marah.
Bong Mini membalas ucapan lelaki itu dengan bibir
terkembang. "Aku hanya mengemukakan pendapat tanpa mem-
punyai maksud apa-apa!" sahut Bong Mini dengan si-
kap yang masih tenang. Namun demikian, matanya te-
tap waspada. Menjaga segala kemungkinan yang akan
terjadi. "Apa urusanmu dengan hukum yang berlaku di
kampung ini!" bentak lelaki pertama itu mulai naik pi-tam.
"Memang bukan urusanku. Tapi aku tidak tega ter-
hadap masyarakat, terutama orang tua itu untuk me-
nerima hukuman keji yang berlaku di kampung ini!"
Bong Mini tetap mempertahankan pembelaannya ter-
hadap lelaki tua yang nyaris mati dikeroyok itu.
"Bangsat! Rupanya kau hendak berlagak menjadi
pahlawan di kampung ini!" geram lelaki pertama sambil memasang kuda-kuda, siap
menyerang Bong Mini.
Namun yang akan diserang tampak tenang-tenang sa-
ja. Sedikit pun tidak memberikan reaksi terhadap
enam lelaki yang sudah mengepungnya.
"Heh, Bocah Tengik! Pergilah kau dari tempat ini


Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum habis kesabaranku!" geram lelaki kedua yang berdiri di dekat lelaki
pertama. "Aku tidak akan pergi sebelum orang tua itu kalian bebaskan!" balas Bong Mini.
"Bocah keparat! Apa kau mempunyai kepandaian
sehingga berani mengganggu urusanku!" bentak lelaki pertama. Darahnya mulai
mendidih karena merasa di-tantang oleh gadis kecil.
"Sebaiknya kau coba saja untuk mengetahuinya!"
sahut Bong Mini sembari tersenyum ringan.
Telinga keenam lelaki itu panas mendengar ucapan
Bong Mini. Karena secara tidak langsung gadis kecil itu telah menantang mereka.
Sehingga mereka pun serentak mengepung Bong Mini.
Baladewa yang sejak tadi menunjukkan rasa kagum
terhadap Bong Mini, kini berubah was-was melihat gadis idamannya dikeroyok oleh
enam lelaki bertubuh
kekar dan berwajah kasar. Namun ia sendiri belum ingin melakukan pembelaan. Dia
ingin melihat dulu
sampai di mana kemampuan saudara seperguruannya
itu dalam bermain silat.
Seorang lelaki bertubuh tinggi kekar yang menge-
pung Bong Mini segera maju ke depan dan langsung
berhadapan dengan Bong Mini.
Menghadapi seorang lelaki yang siap menyerangnya
itu, Bong Mini tampak masih tenang-tenang saja. Bibirnya mengulum senyum dengan
kedua tangan meli-
pat di depan dadanya. Mirip seorang guru yang tengah melihat muridnya berlatih
silat. "Hiyaaat!"
Lelaki yang berhadapan dengan Bong Mini langsung
menyerang gadis itu dengan sebuah lompatan setinggi satu meter. Kaki kanannya
lurus ke depan menyerang tubuh lawan.
"Uts!"
Bong Mini memiringkan badannya sedikit ke sam-
ping, sambil melepas pukulan pada kaki lawan yang
mengarah padanya.
Plakkk! Lelaki yang terkena pukulan tangan Bong Mini pada
betisnya langsung terjungkal ke belakang. Tapi kemudian ia segera bangkit
kembali dan berdiri tegang
menghadap Bong Mini. Dengan kecepatan yang dah-
syat dia kembali menyerang Bong Mini.
"Hiy! Hiy!"
Jurus 'Totok Ayam Makan Cacing' yang dikeluarkan
oleh lelaki itu begitu gencar menyerang Bong Mini. Ta-pi dengan cepat gadis
bertubuh mungil itu mengi-
baskan kedua tangannya untuk menangkis sambil me-
langkah mundur dua tindak.
"Wut wut wuttt!"
Lelaki tadi cepat menarik tangannya kembali. Lalu
melangkah maju kembali dan mendesak lebih gencar.
Wut wut wuttt! Jurus 'Monyet Mengamuk' datang bertubi-tubi ke
arah Bong Mini. Bukan saja tangannya yang memukul, tetapi kedua kaki lelaki itu
pun turut pula menyerang dengan tendangan-tendangan istimewa. Gadis itu
terkejut. Serangan yang dahsyat itu memancing Bong
Mini untuk mengerahkan jurus 'Ombak Pemecah Ka-
rang' yang didapatnya dari papanya ketika berumur
lima belas tahun.
Singngng...! Wut wut wuttt!
Jurus 'Ombak Pemecah Karang' yang dikerahkan
lewat kedua tangan Bong Mini menimbulkan suara a-
ngin yang mendesing dan menyambar-nyambar de-
ngan dahsyat, susul-menyusul seperti ombak lautan.
"Aaakh...!"
Tubuh lelaki itu terlempar jauh ke belakang bagai
daun kering yang tertiup angin. Lalu jatuh dengan kepala membentur batang pohon.
Melihat betapa temannya dapat dijatuhkan oleh ga-
dis kecil itu, kelima lelaki lain yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu
segera mencabut golok
yang terselip di pinggang masing-masing. Mereka serentak mengepung Bong Mini
dengan sinar mata ga-
nas. "Tangkap dia hidup atau mati!" terdengar perintah
lelaki pertama dengan suara lantang. Perintah itu
memberikan pengertian bahwa teman-temannya boleh
membunuh gadis kecil yang amat lihai dan gesit itu.
Mendapat perintah tersebut, empat orang temannya
yang sudah bersiap-siap segera membuat lingkaran,
membentuk barisan aneh dan berlari-lari mengelilingi tubuh Bong Mini.
Zigzag zigzag! Melihat serangan ketat seperti itu, sedikit pun Bong Mini tidak merasa gentar.
Malah dengan gusar ia segera mencabut pedang warisan Putri Teratai Merah yang
tersangkut di punggungnya.
Sreset! Crat crat crat!
Sinar merah berbentuk bunga teratai berkerjap-
kerjap menyilaukan mata ketika pedang milik Bong
Mini keluar dari sarungnya.
Kelima orang pengeroyoknya terpana dengan mulut
menganga ketika melihat cahaya merah berbentuk te-
ratai yang memancar dari pedang gadis.
Baladewa yang sejak tadi menyaksikan keindahan
gerak tubuh Bong Mini, kini tercengang terkagum-
kagum melihat sinar merah berbentuk bunga teratai
yang terpancar dari pedang Bong Mini. Dia merasa yakin kalau Pedang Teratai
Merah yang baru dimiliki
Bong Mini mempunyai kesaktian yang amat dahsyat!
"Perketat barisan dan serang bocah itu!" tiba-tiba lelaki pertama yang menjadi
pemimpin keempat teman-
nya menyadarkan. Sehingga mereka segera tersadar
dari ketercengangan dan segera memperketat barisan anehnya.
Walaupun tingkat kepandaian mereka jauh di ba-
wah Bong Mini bila melawan satu persatu, namun bila sudah membentak barisan
semacam itu, kekuatan mereka akan bertambah dahsyat. Karena tenaga mereka
akan terpusat menjadi satu bentuk serangan.
Sambil berlari mengelilingi Bong Mini, kelima lelaki itu segera melakukan
serangan bertubi-tubi serta saling melindungi dengan mengarahkan golok susul-
menyusul ke arah Bong Mini.
Zigzag, zigzag!
Wut wut wut! Suara langkah dan angin yang ditimbulkan oleh
langkah kaki dan golok lawan terdengar dahsyat beri-rama.
Bong Mini yang sudah melaksanakan puasa mutih
selama empat puluh hari di Gunung Muda dan men-
dapat warisan pedang dari Putri Teratai Merah segera memutar pedangnya dengan
ilmu Pedang Teratai Merah yang amat hebat.
Sing sing singngng!
Pedang Bong Mini yang berkelebat cepat tampak
membentuk gulungan sinar berwarna merah yang
amat menyilaukan mata.
Lima orang yang membentuk barisan berlari itu se-
gera menangkis dengan golok ketika gulungan sinar merah mencuat ke arahnya.
Trang trang trang!
Bong Mini menangkis golok-golok yang mengarah
padanya dengan Pedang Teratai Merah.
Sret sret sret!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua orang lawan terpekik ketika ujung pedang Bong
Mini menebas leher dan perut mereka.
Melihat tiga orang telah mati di tangan gadis kecil itu, ketiga orang yang lain
langsung mengambil langkah seribu. Mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama.
Bong Mini menghela napas lega sambil memandang
kepergian ketiga lawannya. Sedangkan pedang warisan Putri Teratai Merah
dimasukkan kembali ke dalam sarungnya lalu disandang di punggungnya.
Setelah punggung ketiga lawan yang melarikan diri
tidak terlihat lagi, Bong Mini segera menghampiri
orang tua yang tadi dipukuli.
Empat belas orang yang turut mengeroyok lelaki tua itu segera mundur beberapa
langkah dengan sikap
takjub pada Bong Mini.
"Siapakah Bapak dan benarkah telah melakukan
pencurian?" tanya Bong Mini dengan suara yang lem-
but dan ramah. "Namaku Karma!" kata lelaki tua itu menyebutkan
namanya. "Aku memang telah melakukan pencurian
selembar kain milik seorang anak buah Pak Bagol!"
lanjut orang tua yang bernama Karma itu, mengakui
perbuatannya. "Siapakah Pak Bagol itu?" tanya Bong Mini ingin ta-hu, "Dia seorang kepala desa
di kampung ini!" sahut Pak Karma.
"Lalu untuk apa Bapak mencuri selembar kain?"
desak Bong Mini.
"Aku terpaksa, Non. Karena istriku akan melahir-
kan!" sahut Pak Karma dengan suara sedih.
Pak Karma dan istrinya memang hidup serba keku-
rangan. Malah terkadang mereka hanya makan sekali
dalam sehari karena tidak ada bahan makanan yang
lebih. Ladang singkong yang hanya sepetak masih la-ma memberikan hasil.
Sedangkan barang-barang su-
dah habis ditukar dengan bahan makanan untuk me-
nyambung hidup mereka, hingga habis tanpa sisa. Karena itu Pak Karma terpaksa
mencuri ketika melihat istrinya akan melahirkan.
Bong Mini menghela napas. Hatinya terenyuh men-
dengar pengakuan Pak Karma yang menyentuh pera-
saannya. "Nah, cobalah kalian pikir dan renungkan. Setim-
palkah hukuman yang akan ia terima dengan barang
yang dicurinya?" tanya Bong Mini pada kerumunan
orang yang masih berdiri terpaku memandang Bong
Mini. "Membuat undang-undang hukum perlu pemikiran
yang matang agar bisa berwibawa dan ditaati. Bukan untuk menakut-nakuti!" lanjut
Bong Mini seraya menyebarkan pandangannya ke arah orang-orang yang
berkerumun. "Sebenarnya kami pun menyadari hal itu, Nona. Ta-
pi kami hanya rakyat biasa yang harus menaati semua perintah pemimpin. Kalau
tidak, kepala desa akan
memerintahkan begundal-begundalnya untuk me-
nangkap kami dan membunuhnya!" kata salah seorang
di antara mereka, memberanikan diri.
Bong Mini tertegun beberapa saat mendengar uca-
pan itu. Ia mulai berpendapat bahwa kepala desa itu mempunyai tujuan-tujuan
tertentu dalam menggunakan jabatannya. Dan tujuan itu tentu saja bukan hal yang
baik. "Kalau memang demikian, biar aku yang akan me-
nyelesaikan ini dengan kepala desa kalian yang ditakuti itu!" tegas Bong Mini,
membuat para penduduk
menghela napas lega dan gembira menyambut niat
Bong Mini untuk menolong mereka. Salah satunya
memperbaiki hukum yang kurang berwibawa di desa
itu. Baru beberapa menit Bong Mini berkata, tiba-tiba muncul kepala desa dengan
dua belas orang pengikutnya, termasuk tiga orang yang tadi melarikan diri.
Rupanya, mereka melarikan diri untuk melaporkan peristiwa itu kepada pemimpin
Pedang Kayu Cendana 4 Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas Pedang Inti Es 1
^