Pencarian

Rahasia Pengkhianatan Baladewa 2

Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa Bagian 2


penduduk Kampung Dukuh jika tidak berhasil mem-
bawa kepala Bongkap ke sini! Kau tahu" Nyawa Bong-
kap lebih berarti dibanding seratus nyawa penduduk!"
lanjut Kidarga dengan sorot mata berkilat-kilat.
Di saat kemarahannya memuncak, tiba-tiba muncul
Bareh, salah seorang penjaga pintu gerbang.
"Lapor, Ketua!" kata Bareh.
"Bicaralah!" ujar Kidarga dalam kemarahan.
"Ada seorang lelaki hendak bertemu dengan Ketua!"
"Siapa dia?"
"Hamba lupa menanyakan namanya. Tapi dilihat
dari pakaiannya, tampaknya dia seorang pengemis!"
sahut Bareh. Kidarga tercenung sesaat, mengira-ngira maksud
kedatangan pengemis yang tak dikenalnya itu.
"Suruh dia masuk!" perintah Kidarga akhirnya.
Bareh segera meninggalkan tempat itu untuk men-
jemput pengemis yang sedang menunggu di pintu ger-
bang. Tidak lama kemudian, Bareh sudah kembali ber-
sama lelaki berpakaian pengemis. Dialah Siangkoan
Kun Hok, Ketua Perkumpulan Pengemis Sakti yang
berhasil melarikan diri saat bertempur dengan pengikut Bong Mini di Kota Girik.
Beberapa saat pengemis itu diam terpaku melihat
orang-orang di hadapannya.
"Kalau tidak salah duga, apakah Anda yang berna-
ma Kidarga?" tanya Siangkoan Kun Hok langsung me-
nebak. Karena dari tiga lelaki yang berdiri di hadapannya, hanya Kidarga yang
terlihat berwibawa. Berbeda dengan dua orang lain yang terlihat seperti ayam
kehu-janan. "Dugaanmu benar. Lalu kau sendiri siapa?" tanya
Kidarga. Ditatapnya pengemis itu.
Pengemis yang menyebarkan bau busuk dan beru-
mur sekitar enam puluh tahun itu tertawa terkekeh.
Giginya yang kuning kehitaman terlihat jelas, diiringi oleh hawa kurang sedap
yang keluar dari mulutnya.
"Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang
tokoh perguruan yang namanya telah menjadi buah
bibir para pendekar di seluruh negeri. Bahkan dikenal oleh para pendekar dari
negeri lain seperti negeri Manchuria, tempat tinggalku!"
Kidarga diam menatap pengemis yang tengah meng-
oceh itu. "Kau bicara bertele-tele tanpa menyebutkan siapa
namamu!" ujar Kidarga agak kesal.
"O, ya. Maafkan sikapku jika telah membuatmu
jengkel. Tapi perlu kau ketahui kalau sikapku seperti ini dapat menghilangkan
rasa ramah dan jengkel dalam dirimu. Makanya, walaupun aku sudah tua, tapi
wajahku masih terlihat muda. Hanya saja penuh di-
hinggapi debu. Tapi itulah ciri khasku," celoteh pengemis busuk itu sambil
tersenyum-senyum.
Sebenarnya Kidarga sangat muak melihat tingkah
pengemis yang menyebarkan bau busuk dari pakai-
annya itu. Namun karena ingin mengetahui maksud
tujuannya, maka ia mencoba untuk bersabar.
"Sebaiknya langsung saja sebutkan namamu!" pinta
Kidarga, berusaha meredam kemarahannya.
"Hm, ya. Hampir lupa," kata pengemis itu seraya
merubah sikapnya agak serius setelah melihat kema-
rahan memancar dari mata dan wajah Kidarga. "Na-
maku Siangkoan Kun Hok!" tambah pengemis itu,
memperkenalkan diri.
"Hm..., terus terang saja. Sudah banyak kukenal
orang-orang gagah di dunia persilatan. Namun belum
pernah aku mengenal namamu!" ucap Kidarga. Ke-
ningnya berkernyit, sedangkan sepasang matanya tak
henti-hentinya memandang Siangkoan Kun Hok.
"Tentu saja, Ketua. Karena aku datang dari negeri
jauh. Tepatnya dari Desa Cao. Aku diutus oleh Thiang Tok, Raja Manchuria untuk
datang ke negeri ini dan
bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!" sahut
Siangkoan Kun Hok menjelaskan.
Kidarga mengangguk-angguk. Wajahnya tidak me-
nunjukkan keterkejutan sedikit pun mendengar pe-
ngemis itu utusan Raja Manchuria. Karena sebelum-
nya dia telah mendapat kabar kalau Thiang Tok akan
mengirimkan para pendekar dan prajurit kerajaan un-
tuk membantu gerakannya.
"Baiklah, kuterima kedatanganmu di perguruan ini.
Tapi sebelumnya, aku ingin mengetahui tentang ting-
kat kepandaianmu," kata Kidarga.
"Memang begitu sebaiknya agar tidak meragukan
Ketua!" balas pengemis itu. Kemudian dia bersama Kidarga melangkah menuju ruang
latihan silat. Dalam perjalanannya menuju ruang latihan silat,
Siangkoan Kun Hok tampak tersenyum-senyum. Dia
berpikir, "Untuk bisa diterima di perguruan itu ia harus menunjukkan
kepandaiannya sebaik mungkin.
Termasuk ujian kesetiaan dan kesungguhan hatinya
untuk bekerjasama dengan Kidarga."
Sampai di ruang latihan, Kidarga langsung mem-
perkenalkan Siangkoan Kun Hok dengan Baladewa.
"Saudara Siangkoan Kun Hok. Inilah Baladewa yang
akan menguji kepandaianmu!" ucap Kidarga.
Siangkoan Kun Hok tersenyum seraya mengulurkan
tangannya. Baladewa menyambut uluran tangan itu
dengan bibir tersenyum serta memandang dengan so-
rot mata yang tajam pada pengemis busuk yang berdiri di hadapannya.
Dalam sunggingan senyumnya, diam-diam Siang-
koan Kun Hok berkeyakinan kalau dia pasti akan da-
pat mengalahkan pemuda itu dalam beberapa gebra-
kan saja. Keyakinannya tumbuh karena ia melihat
tampang Baladewa yang masih muda, tampak mentah
dalam dunia persilatan.
"Sudah siap, Saudara Siangkoan Kun Hok?" tanya
Baladewa. Siangkoan Kun Hok mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian keduanya melangkah ke ruang tengah.
Tempat di mana mereka akan bertanding.
Setelah dinyatakan lulus dalam uji coba dengan
Khian Liong dan diangkat menjadi pembantu Kidarga,
Baladewa pun diangkat pula menggantikan kedudukan
Khian Liong sebagai tenaga penguji para pendekar
yang hendak bergabung dengan perguruan itu. Se-
dangkan Khian Liong hanya mendapat satu tugas un-
tuk memata-matai dan menangkap Bongkap serta
Bong Mini. Baladewa dan Siangkoan Kun Hok telah berdiri ber-
hadapan dengan gagah. Disaksikan oleh Kidarga dan
beberapa pendekar lain yang baru memasuki ruangan.
Di antaranya terlihat pula Tiga Pendekar Siluman Ular Belang. Mereka datang ke
tempat tersebut setelah
mendapat kabar dari Gembil bahwa ada seorang pen-
gemis yang hendak diuji untuk bersekutu dengan Per-
guruan Topeng Hitam.
"Mulailah menyerangku, Siangkoan Kun Hok!" tan-
tang Baladewa dengan sepasang mata mencorong ta-
jam ke arah lawan tanding.
"Baiklah kalau itu permintaanmu!" sahut Siangkoan
Kun Hok. Dia siap melakukan serangan ke arah Bala-
dewa. "Hiaaat...!"
Wesss! Tubuh Siangkoan Kun Hok berkelebat hingga me-
ngeluarkan suara nyaring dengan melompat ke arah
lawan setinggi dua meter. Sedangkan kedua tangannya melakukan gerakan menotok ke
bahu Baladewa. "Uts!"
Baladewa membungkukkan badannya ke depan un-
tuk menghindari serangan itu. Disusul dengan gerakan tangan kanan untuk
menangkis tangan lawan.
"Huppp!"
Siangkoan Kun Hok menarik tangannya kembali. Ia
membatalkan niatnya untuk menotok tubuh lawan ke-
tika melihat Baladewa melakukan gerakan menangkis.
Kemudian tubuhnya melompat mundur sejauh dua
tombak dan kembali berdiri gagah menghadap Bala-
dewa. "Hiaaat!"
Kali ini giliran Baladewa melakukan serangan de-
ngan jurus 'Tendangan Geledek' yang menyambar wa-
jah lawannya. "Eittt!"
Siangkoan Kun Hok memiringkan tubuhnya ke
samping. Namun dengan cepat Baladewa memutar tu-
buhnya untuk menangkap kaki lawan yang belum
sempat mengatur kuda-kuda kembali.
"Uts!"
Wut wut wut! Siangkoan Kun Hok segera melompat dan bersalto
menghindari serangan yang mengandung hawa panas
dari kedua tangan Baladewa saat melesat di dekat kedua kakinya. Itulah serangan
'Tangan Beracun' yang
dimiliki Baladewa saat berguru pada Kanjeng Rahmat
Suci. "Hiyaaat...!"
Wet wet wet! Baladewa kembali melompat dengan kecepatan
tinggi ke arah lawan. Disertai tendangan kaki dan pukulan berantai, membuat
lawan tandingnya terdesak
tanpa dapat melakukan serangan balasan.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, Siangkoan Kun
Hok tiba-tiba menjatuhkan diri. Dilanjutkan dengan mengguling-gulingkan tubuhnya
di lantai. Tatkala tubuhnya meliuk-liuk, ia melakukan serangan pada Ba-
ladewa. Itulah jurus 'Ular Sanca Mematuk Mangsa'
yang dimiliki Siangkoan Kun Hok.
Wes wes wesss! Suara berdesis keluar dari mulut Siangkoan Kun
Hok berbareng dengan serangan gencar ke tubuh la-
wan. Kidarga dan para pendekar sesat lainnya berseru
kagum menyaksikan pertandingan itu.
"Uuuh...!"
Berkali-kali seruan kagum terdengar memenuhi
ruangan latihan silat. Karena pertandingan kali ini memang benar-benar menarik
dan mengagumkan.
Dalam kekagumannya melihat pertandingan itu, di-
am-diam Kidarga memberikan penilaian kepada Siang-
koan Kun Hok. Bila dalam uji kepandaian silat itu Baladewa sukar menaklukkan
lawannya, lalu bagaimana
nanti jika berhadapan dengan Bongkap, Bong Mini,
dan musuh lainnya. Pasti sangat seru dan dia yakin
Siangkoan Kun Hok dapat unggul.
"Cukup!" tiba-tiba Kidarga berseru menghentikan
pertandingan yang sedang berlangsung seru itu. Kedua orang yang tengah bertempur
langsung menghentikan
gerakan dan menghormat kepada Kidarga.
"Bagaimana, Ketua" Apakah sudah puas?" tanya
Siangkoan Kun Hok.
"Ya. Aku sudah puas. Dan aku langsung menyata-
kan, kau berhak menjadi pengikutku!" sahut Kidarga
dengan wajah yang masih menunjukkan kekaguman.
"Terima kasih, Ketua!" ucap Siangkoan Kun Hok
gembira. "Sekarang, marilah kita ke ruang tamu untuk me-
nikmati hidangan bersama-sama sebagai tanda ke-
gembiraan karena telah mendapatkan pendekar baru
yang tangguh!" ucap Kidarga. Lalu kakinya melangkah menuju ruang tamu, diikuti
oleh para pendekar lain.
*** Kidarga dan para pendekar lain duduk di ruang ta-
mu. Mereka tampak bercakap-cakap sambil menikmati
minuman anggur dan buah-buahan yang telah dis-
ediakan oleh dua pelayan cantik.
"Ada yang harus kau ketahui mengenai musuh kita
sebelum kalian menjalankan tugas!" ucap Kidarga
membuka percakapan.
"Apa itu, Ketua?" tanya Siangkoan Kun Hok ingin
segera tahu. "Untuk menghadapi musuh yang merongrong per-
guruan, kalian harus hati-hati dan jangan menganggap remeh. Sebab Bongkap dan
Bong Mini merupakan ba-pak dan anak yang sangat lihai dalam hal kepandaian
silat!" lanjut Kidarga menjelaskan.
Baladewa amat terkejut mendengar nama Bong Mini
disebutkan. Karena nama gadis yang disebutkan Ki-
darga tadi tidak lain kekasihnya sendiri. Namun demikian ia cepat-cepat merubah
sikapnya kembali agar keterkejutannya tidak terbaca oleh Kidarga atau para
pendekar yang hadir di situ.
"Dua pendekar inilah yang menjadi perhitungan kita
sekarang ini. Karena tidak mustahil mereka mengum-
pulkan para pendekar juga untuk bersekutu!" lanjut
Kidarga. Para pendekar yang hadir di situ tampak mengang-
guk-angguk paham.
"Tadi aku mendapat kabar dari Gembil bahwa dua
puluh lima orang yang kuutus untuk membakar dan
menangkap Bongkap di Kampung Dukuh telah tewas
di tangan Bongkap dan pengikutnya. Termasuk Gi-
wang, pemimpin pasukan yang selama ini kubangga-
kan. Ini membuktikan pada kita kalau Bongkap me-
mang bukan orang sembarangan. Untuk menyingkir-
kannya kita harus mengerahkan pendekar-pendekar
tangguh yang kepandaiannya melebihi Giwang," kem-
bali Kidarga berkata.
Para pendekar yang hadir di ruangan itu masih di-
am, menunggu kata-kata Kidarga selanjutnya.
"Namun yang menjadi beban pikiranku saat ini ada-
lah istriku sendiri. Sampai hari ini ia belum juga kembali dari Desa Larangan.
Padahal kepergiannya sudah lewat dari batas waktu yang telah ditentukan."
Siangkoan Kun Hok terkejut. Benaknya tiba-tiba te-
ringat pada Nyi Genit yang bertarung dengan seorang gadis mungil di halaman


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah Makan Hin-Hin di Ko-ta Girik.
"Pasti wanita bernama Nyi Genit itu adalah istri Kidarga," pikir Siangkoan Kun
Hok yakin. Sebab pada
saat bertarung dengan gadis bertubuh mungil, Nyi Genit menyebut dirinya sebagai
Ketua Perguruan Topeng
Hitam. Namun ia sendiri tidak berani menceritakannya kepada Kidarga. Kalau hal
itu diungkapkan, berarti telah membongkar kelemahannya sendiri karena tidak
mampu membantu Nyi Genit saat bertempur.
"Besok, aku minta kau dan beberapa orang pasu-
kan pilihanmu pergi mencari jejak istriku. Aku yakin dia sudah pulang dari Desa
Larangan!" kata Kidarga, memerintah Siangkoan Kun Hok.
Siangkoan Kun Hok terkejut mendapat perintah itu.
"Kau sanggup?"
"Tentu. Tentu, Ketua!" sahut Siangkoan Kun Hok
cepat, menutupi keterkejutannya. "Tapi ke mana harus mencarinya, Ketua?" lanjut
Siangkoan Kun Hok pura-pura.
"Carilah di kampung-kampung sekitar negeri ini.
Mungkin istriku mendapat tantangan dari orang-orang yang mengikuti jejak Bongkap
dan Bong Mini!" jawab
Kidarga. "Baiklah, Ketua! Besok pagi akan kulaksanakan!"
sahut Siangkoan Kun Hok.
"Kalau begitu, pertemuan hari ini sudah cukup. Kita tinggal menunggu kedatangan
para prajurit kerajaan
yang kabarnya satu minggu lagi akan sampai di sini.
Setelah itu kita langsung bergerak ke kampung-kam-
pung untuk mencari Bongkap dan putrinya!" kata Ki-
darga. Lalu ia melangkah menuju kamarnya. Sedang-
kan para pendekar melangkah ke tempat yang mereka
sukai. *** 5 Matahari pagi bersinar cerah. Menyegarkan kembali
pepohonan yang tumbuh di sekitar Desa Padomorang,
setelah semalaman suntuk didera kabut dingin yang
menyelimuti. Dalam suasana pagi yang cerah itu, Bong Mini dan
delapan pendekar lain telah sampai di halaman rumah Prabu Jalatunda, di Desa
Padomorang. Ketika mereka
hendak memasuki pintu gerbang, empat penjaga se-
gera datang menghadang.
"Siapa Nona dan hendak bertemu dengan siapa?"
tanya seorang penjaga pintu gerbang dengan sorot ma-ta penuh selidik. Lelaki itu berpakaian silat putih-putih, dilengkapi kain batik sebatas
lutut yang dilingkarkan di pinggangnya.
Bong Mini tercenung beberapa saat. Ia tidak me-
nyangka jika rumah Bibi Ningrum atau Prabu Jalatun-
da telah begitu jauh berbeda. Kalau dulu setiap tamu bebas masuk dan keluar
tanpa penjagaan ketat, kini
malah sebaliknya. Pada setiap pintu masuk, berdiri pa-ra penjaga pintu. Lengkap
dengan tombak dan ta-
mengnya. "Apakah Bibi Ningrum dan Paman Prabu sudah
pindah dan diganti oleh penghuni baru?" pikir Bong
Mini. Sebelum ia berpikir lebih lanjut, pemimpin penjaga pintu gerbang tadi
kembali mengajukan pertanya-an. "Siapakah Nona dan ada keperluan apa?" tanya
penjaga pintu gerbang itu kembali.
"Namaku Bong Mini. Aku hendak bertemu dengan
Bibi Ningrum," sahut Bong Mini ramah.
Mendengar nama Bong Mini, empat penjaga pintu
gerbang itu terkejut bukan main. Kemudian mereka
serentak membungkuk hormat.
Bukanlah hal yang mengherankan jika mereka
mendadak bersikap hormat kepada Bong Mini. Karena
sedikit banyak mereka sudah mendengar tentang se-
pak terjang gadis itu dalam menghadapi kerusuhan
yang dilakukan oleh orang-orang Perguruan Topeng
Hitam. "Silakan! Silakan masuk Nona!" hatur pemimpin
penjaga pintu gerbang dengan hormat. Suaranya yang
semula garang dan tegas, berubah lunak seperti pe-
ngawal yang berhadapan dengan rajanya. Selanjutnya, pengawal itu segera ke dalam
untuk memberitahukan
istri Prabu Jalatunda. Sedangkan Bong Mini dan delapan pendekar lain duduk di
ruangan tamu. Tidak begitu lama menunggu, pengawal yang mem-
beritahukan pemilik rumah itu segera kembali bersa-
ma seorang wanita tinggi semampai berkulit kuning
langsat. Sedangkan rambutnya yang panjang berge-
lombang diikat di tengah kepala. Adapun pakaian yang dikenakannya terbuat dari
bahan sutera halus berwarna biru muda. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Dialah wanita yang bernama Ningrum, istri Prabu Jalatunda.
Beberapa saat kedua wanita cantik yang berbeda
usia itu saling berpandangan dengan sinar mata gem-
bira. "Bibi Ningrum!" pekik Bong Mini seraya mengham-
bur, lalu memeluk wanita setengah baya yang masih
memperlihatkan kecantikannya itu.
Ningrum yang masih terpaku memandangi gadis
yang selama ini hilang dari pandangannya segera me-
nyambut pelukan Bong Mini dengan penuh suka cita.
"Dari mana saja kau, Sayang" Selama ini aku me-
rindukanmu!" desah Ningrum. Dipeluk dan diciuminya
wajah Bong Mini berulang kali. Sementara dua butir
air matanya sempat jatuh ke wajah gadis mungil yang tengah menengadah
menatapnya. Dia menitikkan air
mata haru karena dapat berjumpa lagi dengan gadis
yang selama ini menggayuti benaknya.
Bong Mini tidak segera menjawab. Ia masih asyik
membenamkan kepalanya dalam pelukan Ningrum.
Entah kenapa, setiap berada dalam pelukan istri Prabu Jalatunda itu, ia selalu
ingin berlama-lama dan selalu teringat pada mamanya yang telah tewas beberapa
tahun lalu. Karena itu, Bong Mini pun sempat menitik-
kan air mata ketika berada dalam pelukan Ningrum.
Setelah lama saling melepas rindu, Bong Mini sege-
ra merenggangkan tubuhnya dari pelukan Ningrum.
Dan ia terkejut ketika menyadari penampilan Ningrum berbeda dengan penampilannya
beberapa tahun lalu.
"Bibi berlatih silat?" tanya Bong Mini sendu.
Ningrum tersenyum sambil mengangguk.
"Sejak setahun lalu, Paman Prabu memberikan lati-
han silat. Bukan saja kepada Bibi, tetapi juga kepada para pemuda desa ini. Dan
hari ini tugas Paman meng-ajar diganti oleh papamu!" tutur Ningrum menjelaskan.
"Papa" Papa ada di sini?" desah Bong Mini dengan
wajah gembira. Karena dugaannya benar.
"Semalam papamu ke sini dengan membawa seba-
gian penduduk Kampung Dukuh. Papamu mencerita-
kan peristiwa yang menimpa penduduk kampung ter-
sebut. Sehingga aku dan Paman Prabu memutuskan
agar mereka tinggal di sini sekaligus ikut berlatih silat," ujar Ningrum
menjelaskan. "Aku pun sempat menyaksikan sisa reruntuhan
rumah yang dibakar oleh iblis-iblis Perguruan Topeng Hitam!" sambut Bong Mini.
"Sekarang, di mana Papa?"
"Di belakang. Memberikan pelajaran silat!" sahut
Ningrum. Dialihkannya pandangan ke arah delapan le-
laki gagah yang sejak tadi berdiri menyaksikan adegan haru mereka. "Siapa
mereka, Anakku?"
"O, ya. Aku hampir lupa memperkenalkan mereka
kepada Bibi!" ucap Bong Mini. Dia segera memperke-
nalkan nama delapan pendekar yang ikut bersamanya.
"Pendekar Teluk Naga berasal dari negeri Jenghoa,
sebelah barat Tiongkok sedangkan Pendekar Mata De-
wa berasal dari negeri Manchuria!" kata Bong Mini
menjelaskan. Ningrum mengangguk-angguk.
"Dua lagi?" tanya Ningrum.
"Mereka berasal dari Philipina, tepatnya dari negeri Lanoa!" sahut Bong Mini
menjelaskan asal negeri Ong Lie dan Seyton. Sengaja ia tidak menjelaskan kalau
mereka dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka. Ia tidak ingin kejahatan orang yang
sudah sadar diungkit dan menjadi buah bibir masyarakat nantinya. Cukup dirinya
sendiri yang tahu siapa Ong Lie dan Seyton sebenarnya, timbang Bong Mini.
Ningrum mengangguk-angguk puas. Setelah itu, ia
pun mengajak Bong Mini dan delapan pendekar tadi
menuju ruang latihan silat.
Di saat mereka berjalan menyusuri ruangan luas
menuju tempat berlatih, samar-samar telinga mereka
mendengar bentakan-bentakan berirama dari orang-
orang yang sedang berlatih.
"Haiiit.., hah! Haiiit..., ha! Haiiit.., yaaat..!"
Berulang-ulang teriakan berirama itu terdengar di
telinga Bong Mini, sebelum melihat ruangan latihan silat. Begitu Bong Mini,
Ningrum, dan delapan pendekar lain keluar dari pintu ruang megah itu, mata
mereka melihat ruang latihan silat yang cukup luas, tanpa din-ding penyekat.
Sehingga bila waktu pagi, teriakan-
teriakan orang yang sedang berlatih silat amat jelas terdengar sampai keluar
ruangan. Bagi penduduk Desa Padomorang sendiri, teriakan-
teriakan berirama semacam itu sudah bukan sesuatu
yang asing lagi. Mereka tahu kalau dalam ruangan belakang rumah saudagar kaya
itu serombongan orang,
baik tua atau muda, tengah berlatih silat.
Bong Mini menatap kagum pada orang-orang yang
berlatih silat itu. Mereka begitu bersemangat dan ber-sungguh-sungguh.
"Kau mau langsung menemui papamu atau mem-
buat kejutan terlebih dahulu?" kata Ningrum, mena-
warkan pilihan.
Bong Mini diam sejenak. Matanya menangkap sosok
papanya yang nampak begitu gagah berdiri tegak me-
nyaksikan serombongan orang berlatih silat. Timbul
keinginan hatinya untuk menggoda keasyikan papanya
itu. "Bibi. Bisakah Bibi pinjamkan pakaian untukku?"
desah Bong Mini.
"Kau mau mengganti pakaian?" tanya Ningrum.
"Aku ingin menggoda keasyikan Papa!"
Ningrum tersenyum.
"Aku yakin! Anak manja sepertimu selalu bikin
ulah!" sahut Ningrum seraya tersenyum kemayu. Lalu
ia mengajak Bong Mini ke kamarnya, meninggalkan
delapan pendekar yang tampak berdiri kagum melihat
orang yang berlatih silat.
Sebenarnya mereka hendak menyaksikan latihan si-
lat itu lebih dekat lagi. Namun karena Bong Mini hendak membuat kejutan terhadap
Bongkap, mereka pun
tetap menyaksikan latihan itu dari kejauhan. Malah
mereka menyaksikannya di dekat pintu rumah, tempat
yang lebih tersembunyi lagi. Sehingga bila ada orang dari tempat berlatih
menengok ke arah tersebut, mereka bisa cepat bersembunyi di balik tembok rumah.
Sementara itu, Bong Mini telah selesai berpakaian.
Karena pakaian Ningrum lebih panjang dan besar, ia
tak perlu lagi melepaskan pakaiannya. Sedangkan pa-
kaian Ningrum yang kepanjangan digulung hingga pas.
"Aku pergi dulu, Bi!" kata Bong Mini setelah ia me-
ngenakan penutup wajah dari kain. Penampilannya
kali ini agak berbeda.
Di lain sisi, sekelompok orang yang sedang berlatih silat tampak semakin
bersemangat mengeluarkan jurus-jurusnya, hingga suara yang mereka hentakkan
pun bertambah tinggi pula.
Di saat mereka berlatih sungguh-sungguh, tiba-tiba
seseorang melompat dari tembok pagar rumah dan
langsung melakukan serangan, membuat mereka ku-
car-kacir tak menentu.
"Ilmu silat kalian masih mentah!" teriak orang ber-
topeng biru sambil terus melakukan serangan ke arah sepuluh orang yang
mengepungnya. "Siapa kau dan kenapa membuat huru-hara di si-
ni"!" bentak seorang pengepung.
"Aku tidak ada urusan dengan kalian! Aku hanya
ingin bertemu dengan Bongkap!" terdengar sahutan
wanita itu yang tidak lain Putri Bong Mini.
Bongkap yang sejak tadi berdiri mengawasi murid-
muridnya terhenyak kaget mendengar namanya dis-
ebutkan. Setelah mampu menguasai keterkejutan, de-
ngan gagah kakinya melangkah mendekati.
"Siapa kau, wanita bertopeng" Dan ada apa kau
mencariku?" tegur Bongkap dengan suara berwibawa.
"Hm! Jadi kau yang bernama Bongkap" Bagus! Se-
karang hadapilah seranganku!" ketus Bong Mini de-
ngan suara yang sengaja dirubah kasar agar tidak dikenali papanya.
"Nanti dulu!" cegah Bongkap tenang, berusaha ber-
sabar. "Apa salahku hingga kau hendak menyerang-
ku?" "Tidak ada gunanya aku menjelaskan sekarang!" ke-
tus Bong Mini. "Nah, bersiaplah!" lanjut Bong Mini
sambil menahan tawa melihat Bongkap tidak menge-
nali suaranya. Sikap menantang Bong Mini tidak lain hanya ingin
berlatih silat dengan papanya. Karena sejak pulang da-ri Gunung Muda, ia belum
punya kesempatan untuk
melakukan latihan. Pertemuannya dengan Bongkap
saat itu terburu terganggu oleh kerusuhan yang dilakukan Iblis Pulau Neraka.
Bong Mini telah membuka jurus silat yang pernah
diajarkan Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda.
"Hiaaat!"
Bong Mini mengeluarkan pekikan tinggi berbare-
ngan dengan tendangan lurus ke depan untuk menye-
rang Bongkap dengan gerakan yang begitu cepat, hing-ga menimbulkan bayang-
bayang. Namun dengan cepat
Bongkap mengelak ke samping. Tendangan dahsyat itu
pun luput dari sasaran. Namun ketika sepasang kaki-
nya telah menyentuh tanah, Bong Mini kembali mem-
buat serangan. Wut wut wut! Tangan dan kaki Bong Mini bergerak cepat dan gen-
car menyerang Bongkap, membuat Bongkap harus ber-
salto ke belakang dan ke samping untuk menghindari
serangan. Selanjutnya, Bongkap membuka jurus 'Pu-
kulan Berantai'. Sebuah jurus yang bergerak cepat dan dapat mengimbangi jurus
dahsyat yang dipergunakan
wanita bertopeng.
"Haiiit!"


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Debbb! Tangan keduanya bertemu. Kemudian dengan cepat
keduanya menarik kembali.
Bukkk! Bukkk! Tubuh kedua orang yang bertanding itu terjungkal
ke belakang saat menarik tangannya masing-masing.
Prabu Jalatunda dan para pesilat lain yang menyak-
sikan pertandingan itu tampak terkagum-kagum. Begi-
tu pula dengan Ningrum dan delapan pendekar yang
dibawa Bong Mini tadi. Tanpa disadari, mereka telah
maju mendekat tempat pertandingan dan berbaur de-
ngan para pesilat di arena latihan.
Bongkap dan Bong Mini telah bangun kembali. Me-
reka sama-sama berdiri gagah.
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki, anak som-
bong!" bentak Bongkap.
Mendapat bentakan dari Bongkap, Bong Mini jadi
terkejut. Ia tidak mengira kalau papanya benar-benar telah lupa terhadap
dirinya. Ketika ingat wajahnya ber-selubung topeng, ia pun jadi tersenyum.
Berarti maksudnya hendak menggoda Bongkap berhasil.
"Akan kujelaskan maksudku menyerangmu asal
kau layani lagi satu seranganku ini!" usai berkata begitu, Bong Mini langsung
melesat ke arah papanya de-
ngan cepat. "Haiiit!"
Wut wut wut! Jurus 'Tendangan Berantai' yang dilakukan Bong
Mini terus mencecar bagian wajah dan perut papanya.
Dengan tenang Bongkap menghindar. Pada kesempa-
tan berikutnya, ia pun melancarkan serangan ke arah gadis bertopeng itu.
"Heppp!"
Tangan Bongkap yang tinggal sebelah itu segera me-
nangkap kaki lawan dan memukulnya dengan cepat.
Plakkk! "Auhhh!"
Bong Mini terjatuh sambil mengaduh. Bongkap ce-
pat-cepat menghampiri dan mengulurkan tangannya
sambil tersenyum.
"Kau benar-benar telah memiliki ilmu yang tinggi,
Putriku!" ucap Bongkap tanpa melepas senyumnya.
Rupanya dia telah dapat mengenali suara Bong Mini
sejak tadi. Bong Mini terkejut karena ternyata papanya telah
mengenali dirinya. Dengan perasaan malu, ia bangkit dengan mengambil uluran
tangan Bongkap. Dibukanya
kain penutup wajahnya.
"Maafkan sikapku tadi, Pa. Habis selama ini aku ti-
dak punya kesempatan berlatih dengan Papa!" ucap
Bong Mini dengan sikap manja.
Bongkap tersenyum dan memeluk putrinya.
"Papa justru senang dengan sikapmu itu!" ucap
Bongkap saat mendekap putrinya. "Tapi sayang...!"
"Kenapa, Pa?" tanya Bong Mini seraya melepaskan
pelukannya, lalu memandang papanya.
"Walau sudah besar, sifat manjamu tidak juga ber-
ubah!" kata Bongkap sambil memijit hidung putrinya
yang mungil. "Idiiih, Papa! Badan begini kecil dibilang besar!" ra-juk Bong Mini.
Bongkap tertawa terbahak. Dia senang dengan si-
kap putrinya yang tetap bersikap seperti ketika di
Manchuria. Lincah dan manja.
Para pesilat yang tadi diganggu latihannya oleh
Bong Mini jadi tercengang. Mereka baru tahu kalau
gadis bertopeng yang tadi menyerang ternyata anak
Bongkap. "Anak manja kalau datang memang selalu bikin ke-
jutan!" tiba-tiba terdengar suara di antara pesilat. Dan ketika Bong Mini
menoleh, ternyata Prabu Jalatunda
tengah berjalan mendekatinya.
"Paman!" ucap Bong Mini seraya menghormat "Ma-
afkan jika latihan tadi terganggu!" lanjut Bong Mini.
Prabu Jalatunda hanya tersenyum sambil mende-
katkan kepala Bong Mini ke dadanya.
"Paman kaget sekali kepadamu!" ucap Prabu Jala-
tunda. "Sudah bertemu dengan Bibi Ningrum?"
"Sudah, Paman!"
"Wah, kalau begitu kau telah berencana dengan Bibi
Ningrum untuk menyerang papamu tadi!" tebak Prabu
Jalatunda. Bong Mini hanya tersenyum sambil menoleh pada
Ningrum yang sudah berdiri di belakangnya. Namun
ketika menoleh ke sebelah Ningrum, senyumnya jadi
terhenti. Pandangannya tajam meneliti gadis cantik
yang berdiri di sebelah kanan Ningrum.
"Kau" Thong... Mey!" ucap Bong Mini ragu.
"Benar, Cici Mini!" jawab gadis itu. Bibirnya mene-
bar tersenyum girang karena Bong Mini masih menge-
nalinya. "Wah, kau sudah besar sekarang. Bagaimana cerita-
nya hingga bisa berkumpul di sini?" tanya Bong Mini.
"Sang Piao yang telah menyelamatkan dan memba-
waku ke sini!" sahut Thong Mey.
Bong Mini mengerutkan kening.
"Jadi, kau yang dibawa oleh Sang Piao ketika sakit
beberapa waktu lalu?"
"Benar, Cici!"
Bong Mini mengangguk-angguk sambil matanya te-
rus mengamati wajah cantik itu. Dia tidak mengira kalau gadis itu adalah gadis
yang pernah dikenalnya dua tahun lalu, saat ia berjalan-jalan melihat keadaan
penduduk (baca episode 1: 'Sepasang Pendekar dari
Selatan'). "Sekarang, mari kita masuk ke ruang dalam. Sudah
sejak tadi para pelayan menghidangkan makanan un-
tuk kita!" ajak Ningrum sambil melingkarkan tangan-
nya ke bahu Bong Mini. Kemudian kedua wanita can-
tik yang berbeda usia ini melangkah ke dalam, diikuti oleh para pendekar lain.
Untuk beberapa saat, rumah Prabu Jalatunda yang
setiap harinya dipenuhi oleh suara-suara teriakan orang yang berlatih silat,
kini berubah menjadi suasana gembira. Karena pada hari itu juga, Ningrum
langsung menyuruh dua orang pelayannya untuk membuat hi-
dangan istimewa sebagai acara penyambutan keha-
diran Bong Mini. Dia membuat acara syukuran yang
dihadiri oleh para pesilat dan delapan pendekar yang menyertai Bong Mini.
"O ya, Papa dan Paman. Perkenalkan delapan pen-
dekar yang kubawa ini!" kata Bong Mini memperkenal-
kan. Ketika Bongkap serta Prabu Jalatunda menjabat ta-
ngan delapan pendekar itu, Bong Mini segera menam-
bahkan ucapannya. "Mereka ini orang-orang yang
akan membantu perjuangan kita!"
Bongkap dan Prabu Jalatunda mengangguk-angguk
kagum pada mereka.
"Terima kasih atas kesediaan kalian yang berkenan
membantu perjuangan rakyat!" ucap Bongkap ramah.
"Semua itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai
manusia yang harus hidup tolong-menolong!" kata Kao Cin Liong. Kemudian mereka
pun sama-sama duduk
untuk menikmati hidangan yang telah tersedia di lantai beralaskan tikar.
*** 6 Malam dingin dan sunyi. Bong Mini rebah di atas
ranjang dalam kamar tersendiri. Tapi walaupun ia berada di kamar yang luas,
indah dan apik, ia tetap tidak bisa tidur. Hatinya gelisah. Pikirannya mengawang
pa-da seorang pemuda yang sudah merebut hatinya. "Ka-
sihan Baladewa", pikirnya. Di sini ia bisa tidur di kasur empuk dengan makanan
yang enak. Sedangkan Baladewa" Mungkin ia makan seadanya dan tidur di tem-
pat sembarangan. Malam ini tentu Baladewa kedi-
nginan. "Eh, kenapa aku jadi mengingat Baladewa?" bisik-
nya, tersadar dari lamunan. Kemudian dia berusaha
memejamkan mata. Tapi sejauh itu usahanya sia-sia.
Semakin dia berusaha memejamkan kedua matanya,
semakin gelisah pula hatinya. Akhirnya ia keluar dari dalam kamar dan berjalan
menuju taman bunga yang
terhampar di sekitar rumah mewah itu.
Ketika berada di tempat itulah perasaan yang semu-
la gelisah berubah tenang. Apalagi ketika melihat bunga-bunga indah beraneka
warna serta menikmati sa-
paan angin malam yang mempermainkan anak ram-
butnya, membuat hati dan pikirannya terhibur.
Di saat asyik berjalan-jalan sambil menikmati udara sejuk yang memanjakan kulit,
tiba-tiba matanya melihat Ningrum sedang duduk di ruang tengah disertai
isak tangisnya.
"Ada apa dengan Bibi Ningrum?" tanya Bong Mini.
Kemudian dengan langkah hati-hati dihampirinya wa-
nita setengah baya yang tengah terisak itu.
"Bibi Ningrum," tegur Bong Mini setengah berbisik.
"Mengapa menangis?"
Ningrum menghentikan isak tangisnya. Wajahnya
yang suram menengadah, memandang gadis yang ber-
diri di sampingnya. Dalam keadaan sedih itu, ia berdiri menghadap Bong Mini dan
memeluknya. Isak tangisnya kembali terdengar. Kali ini lebih memilukan.
Bong Mini menghela napas agar dapat menahan air
matanya yang terasa hendak turut meleleh. Hatinya
mudah terenyuh bila melihat orang bersedih. Apalagi orang yang sedang menangis
itu berada dalam pelukannya seperti saat ini.
"Apa yang membuat Bibi Ningrum menangis?" bisik
Bong Mini. Ningrum melepas pelukannya. Kemudian ia duduk
di kursi panjang, tempatnya semula. Diikuti oleh Bong Mini yang duduk di
sampingnya. "Aku teringat putraku, Baladewa," sahut Ningrum di
sela sisa tangisnya.
Bong Mini tercenung beberapa saat. Sesungguhnya
ia pun merasakan kerinduan seperti yang dialami
Ningrum. Itu sebabnya ia tidak bisa memejamkan ma-
ta. "Sudah, Bi. Bibi Ningrum jangan mengingatnya terus-menerus!" kata Bong Mini,
berusaha menghibur.
Bukan dia sok pintar menasihati orang yang lebih tua.
Tapi karena ia tahu kalau orang yang sedang dirun-
dung kesedihan, biasanya sulit untuk berpikir jernih.
Oleh karena itu Bong Mini mencoba memancing piki-
ran yang kosong itu agar dapat berfungsi kembali.
"Bagaimana aku tidak sedih dan mengingatnya te-
rus-menerus. Baru seminggu tinggal di sini, dia sudah pergi lagi. Tanpa tahu
kapan akan kembali," tutur Ningrum.
"Semua orang yang dekat dengan Baladewa akan
merasakan hal itu, termasuk Paman Prabu Jalatunda.
Tapi bukan berarti kesedihan itu harus diikuti setiap hari. Itu hanya akan
menambah kesusahan kita," ungkap Bong Mini, menyatakan pendapatnya.
Ningrum menghentikan tangis lalu memandang
Bong Mini lamat-lamat.
"Kau berbicara seperti nenek-nenek saja. Dari buku
mana kau pelajari semua itu?" tanya Ningrum, masih
dengan wajah yang basah. Namun seulas senyum
sempat tersembul di bibirnya.
"Itu kudapatkan bukan dari buku. Membaca buku
pun tidak ada artinya bila hanya untuk dihafal dan hanya dijadikan perhiasan
untuk menasihati orang lain, sementara jiwanya sendiri kosong," kilah Bong Mini.
"Lalu dari mana kau dapatkan?"
"Dari pengalaman yang telah kupelajari. Terutama
pengalaman kematian Mama dan perpisahan dengan
Papa akibat pertempuran," sahut Bong Mini.
"Kau benar-benar seorang gadis yang pandai. Pan-
tas papamu begitu murung ketika kehilanganmu," kata Ningrum setengah memuji.
Wanita setengah baya itu
mulai dapat menyingkirkan kesedihannya dengan ke-
hadiran Bong Mini. Disapanya sisa air mata yang me-
ngambang di pelupuk matanya. Termasuk yang mem-
basahi pipi wanita itu. Sesaat kemudian dia mencoba melepas senyum.
"Kepandaian itu pun datang karena pertambahan
pengalaman dan usia!" sahut Bong Mini seraya me-
ngulum senyum. "Berapa sekarang usiamu?"
"Dua puluh tahun!"
"O, ya" Tapi badanmu tetap kecil?" gurau Ningrum
dengan wajah terkejut, tidak mengira kalau gadis di dekatnya telah beranjak
menjadi gadis remaja.
"Habis, Papa memberiku nama Mini, sih! Makanya
tak pernah besar-besar!" balas Bong Mini bersama ta-wa berderai. Begitu pula
dengan Ningrum. Membuat
suasana sepi saat itu pecah oleh tawa mereka yang
berdesah. "Kalau saja Baladewa ada di sini sekarang, tentu dia akan kagum dan terpesona
padamu!" cetus Ningrum.
"Ah, Bibi. Itu kan pendapat Bibi sendiri!" kilah Bong Mini seraya tersenyum.
Sengaja dia tidak memberitahu tentang hubungannya selama ini dengan Baladewa.
*** Sementara itu, Khian Liong, yang sedang mencari
jejak Bong Mini telah menjejakkan kedua kakinya di
Kota Girik. "Huh! Sulit juga mencari gadis itu!" keluh Khian
Liong. Ia sudah hampir putus asa mencari Bong Mini.
Dengan rasa malas, Khian Liong melanjutkan lang-
kahnya. Kali ini tujuannya bukan hendak mencari
Bong Mini, melainkan mencari warung nasi agar dapat mengisi perutnya yang sudah
lapar. Setelah menempuh perjalanan lima ratus meter,
sampailah ia di Rumah Makan Hin-Hin. Dengan wajah
gembira, Khian Liong menghampiri rumah makan ter-
sebut. Tapi ketika tinggal sepuluh meter lagi mencapai rumah makan itu, tiba-
tiba matanya tertuju pada potongan selendang hitam yang tergeletak di pekarangan
rumah makan. Dia langsung membungkuk dan mengambil potongan selendang hitam itu.
"Aku seperti mengenal pemilik selendang ini!" gu-
mam Khian Liong. Terus diawasinya potongan selen-
dang itu. "Hm, ya. Ini milik Nyi Genit. Istri Kidarga!"
desis Khian Liong, memastikan. Kemudian ia mema-
sukkan potongan selendang hitam tersebut di balik bajunya.
Bergegas lelaki itu kembali menuju Bukit Setan dan


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membatalkan niatnya untuk makan di rumah makan
tadi. Ia ingin cepat-cepat menemui Kidarga untuk
memperlihatkan potongan selendang yang diketemu-
kannya. *** Sementara itu di Bukit Setan, Kidarga dan para
pendekar yang bersekutu dengannya tampak gembira.
Malam itu Kidarga mengadakan pesta tuak untuk me-
nyambut kehadiran para pendekar sesat yang telah
berkumpul di Bukit Setan.
"Nah, saudara-saudara sekalian! Nikmatilah pesta
malam ini sepuas-puasnya. Sebentar lagi kita akan
melaksanakan semua rencana yang sudah kita atur!"
seru Kidarga di tengah para pendekar yang tengah tertawa senang dengan
minumannya. "Hidup Kidarga! Hidup Perguruan Topeng Hitam!"
sambut para pendekar itu sambil mengangkat gelas
minumannya tinggi-tinggi.
Dalam suasana gembira itu, tiba-tiba muncul Khian
Liong yang baru pulang mencari jejak Bong Mini.
Kidarga yang mengetahui kehadiran Khian Liong
segera menghampiri.
"Bagaimana" Berhasil?" tanyanya.
"Gagal!" sahut Khian Liong pendek. Wajahnya sedi-
kit menunjukkan kegusaran.
"Maksudmu?" tanya Kidarga dengan wajah sung-
guh-sungguh. "Aku belum menemukan kembali jejak Bong Mini!"
Kidarga tampak menghela napas. Wajahnya gusar.
"Tapi masalah itu hal yang mudah, Ketua. Aku bisa
mencari Bong Mini atau Bongkap serta melakukan
pendekatan di lain hari. Namun sekarang ini ada kabar yang lebih penting buat
Ketua!" kata Khian Liong mengalihkan persoalan.
"Apa itu?" tanya Kidarga dengan kening berkerut.
Khian Liong mengeluarkan sesuatu dari balik ju-
bahnya. "Ketua tentu mengenali potongan selendang hitam
ini!" lanjut Khian Liong. Diperlihatkannya potongan selendang hitam.
Kidarga mengamati potongan selendang hitam itu
dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berubah, sedang-
kan matanya memandang Khian Liong lekat-lekat.
"Ini selendang milik istriku!" sergah Kidarga dengan wajah terkejut.
"Tadi aku pun menduga demikian, Ketua. Sehingga
kubawa selendang ini dan memperlihatkan kepada Ke-
tua!" kata Khian Liong.
"Di mana kau menemukannya?" tanya Kidarga lagi.
"Aku menemukannya di Kota Girik, saat hendak
memasuki sebuah Rumah Makan Hin-Hin," lapor
Khian Liong. Kidarga tertegun. Wajahnya gusar. Dia sudah me-
nyangka kalau istrinya telah bertempur dengan seo-
rang pendekar sakti dan mengalami kekalahan. Ter-
bukti dari selendang saktinya yang terputus dan di-
tinggalkan begitu saja.
Dalam kemarahan yang memuncak, Kidarga lang-
sung membentak kepada seluruh pendekar yang se-
dang asyik menikmati minuman.
"Hentikan pesta kalian! Hentikan!" geram Kidarga.
Suaranya begitu keras menggema.
Para pendekar yang tengah asyik menikmati minu-
man itu langsung terdiam. Mereka serentak meman-
dang Kidarga dengan wajah keheranan.
Baladewa yang sejak tadi hanya mengamati jalan-
nya pesta tuak di sudut ruangan segera melangkah
menghampiri Kidarga.
"Apa yang telah terjadi, Ketua?" tanya Baladewa.
Kidarga memandang tegang pada wajah Baladewa.
"Ada seorang pendekar sakti di negeri ini dan ber-
hasil mengalahkan kesaktian istriku!" kata Kidarga dengan suara berat dan
bergetar. "Bagaimana Ketua tahu kalau istri Ketua menderita
kekalahan?" tanya Baladewa ingin tahu.
"Putusnya selendang sakti milik istriku ini telah menunjukkan kekalahannya!"
sahut Kidarga seraya mem-
perlihatkan selendang hitam milik Nyi Genit yang putus tertebas pedang Bong Mini
saat bertempur.
Baladewa mengangguk-angguk sambil memandangi
selendang hitam yang panjangnya satu meter itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ketua?" tanya
Baladewa seolah-olah siap mendapat tugas.
"Menghubungi pemilik rumah makan itu dan me-
nanyakan orang yang telah berhadapan dengan istri-
ku. Selanjutnya, mencari jejak istriku serta pendekar yang telah
mengalahkannya!" kata Kidarga dengan na-da suara yang masih menyimpan kemarahan.
Dia ti- dak mengira kalau kesaktian istrinya dapat dikalahkan oleh seseorang yang belum
diketahui ciri-cirinya.
Baladewa dan beberapa orang pendekar yang berdiri
di dekat Kidarga tampak mengangguk-angguk.
"Khian Liong, kembalilah ke Kota Girik. Tanyakan
ciri-ciri pendekar yang telah bertempur dengan istriku itu!" perintah Kidarga.
"Akan kulaksanakan, Ketua!" kata Khian Liong.
"Dan kau Siangkoan Kun Hok, cari istriku sampai
dapat!" lanjut Kidarga kepada pengemis penyebar bau busuk.
"Siap, Ketua!" ujar Siangkoan Kun Hok.
"Bagaimana dengan tugasku, Ketua?" tanya Bala-
dewa. "Kau tetap di sini, menunggu tugas yang lebih be-
rat!" kata Kidarga. Ia sengaja menyerahkan tugas berat kepada Baladewa sesuai
dengan kepandaian yang dimilikinya.
Khian Liong diam-diam mangkel kepada Baladewa
yang mendapat tugas lebih terhormat. Kebenciannya
terhadap Baladewa semakin dalam.
"Khian Liong, Siangkoan Kun Hok. Jalankan tugas
kalian sebaik-baiknya!" ucap Kidarga lagi.
"Baik, Ketua!" sahut Khian Liong dan Siangkoan
Kun Hok berbarengan. Kemudian keduanya melang-
kah keluar. *** 7 Pagi hari, sebagaimana biasa rumah Ningrum telah
ramai oleh teriakan orang-orang yang sedang berlatih silat.
"Haiiit..., hah! Haiiit..., hah! Haiiit..., yaaat!"
Hentakan-hentakan berirama keras terdengar beru-
lang-ulang dan penuh tenaga.
Bong Mini yang menyaksikan latihan itu tampak
tersenyum kagum. Terutama kepada Ningrum, Thong
Mey, dan Ratih Purbasari. Walaupun mereka baru be-
lajar silat, tapi gerakan tubuh mereka begitu luwes dan hampir sempurna. Hal itu
karena ditunjang oleh ke-cerdasan dan daya tangkap mereka yang amat cepat.
Tidak heran jika setiap jurus yang diturunkan pelatih-nya, baik Prabu Jalatunda
maupun Bongkap selalu
dapat dikuasai dengan baik. Apalagi Ningrum yang sudah dua tahun berlatih silat,
tentu kemahirannya sudah bisa diandalkan. Sedangkan Thong Mey dan Ratih
Purbasari juga belajar kungfu pada Sang Piao dan
Ashiong, tanpa sepengetahuan Bongkap.
"Mereka orang-orang berbakat!" puji Bongkap yang
berdiri di samping putrinya sambil terus mengawasi ti-ga puluh orang yang sedang
berlatih silat. Mereka terdiri dari pria dan wanita berumur sekitar dua puluh
sampai empat puluh tahun.
"Kalau saja dari dulu mereka punya kesempatan
untuk berlatih silat, tentu desa mereka akan aman da-ri orang-orang sesat yang
mengacau ketenteraman!"
kata Bong Mini.
"Semua peristiwa ada hikmahnya, Putriku. Adanya
Perguruan Topeng Hitam yang mengacaukan negeri ini
pun ada hikmahnya!" kata Bongkap.
Bong Mini menoleh pada Bongkap dengan wajah tak
mengerti. "Kenapa Papa berkata begitu" Padahal sudah jelas
kalau Perguruan Topeng Hitam telah melakukan tin-
dakan-tindakan biadab, tak berperikemanusiaan!" ce-
tus Bong Mini. Bongkap tersenyum bijak. Dia maklum dengan per-
tanyaan putrinya.
"Kalau orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak
membuat kerusuhan di negeri ini, tentu mereka tidak menyadari pentingnya ilmu
bela diri," kata Bongkap
menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk mengerti.
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin kubicara-
kan pada Papa," ucap Bong Mini.
"Tentang apa?"
"Mengenai pemuda yang bernama Khian Liong," sa-
hut Bong Mini. "Khian Liong?" ucap Bongkap seperti bertanya pada
dirinya sendiri. "Hm, ya. Papa ingat. Dia pun pernah menceritakan pertemuannya
denganmu ketika berkunjung ke Kampung Dukuh!" lanjut Bongkap setelah i-
ngat nama pemuda yang dimaksud putrinya. "Ada apa
dengan dia?"
Bong Mini tidak segera menyahut. Dia menoleh pa-
da papanya sekilas, lalu melangkah perlahan me-
ninggalkan tempat berlatih. Diikuti oleh papanya.
"Kita harus hati-hati terhadap dia, Pa!" kata Bong
Mini sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Memangnya kenapa?" tanya Bongkap agak terke-
jut. Bong Mini tersenyum tipis.
"Papa mau tahu siapa dia?"
Bongkap diam. "Dia mata-mata Raja Manchuria yang diutus ke sini
untuk menangkap Papa!"
Bongkap terkejut mendengar penjelasan putrinya.
Seolah tidak percaya pada ucapan Bong Mini.
"Kamu ngomong apa, heh?"
"Aku bicara yang sebenarnya, Pa!" sahut Bong Mini
meyakinkan. "Bagaimana mungkin seorang pemuda yang bertu-
tur kata lemah lembut dan sopan mau menjadi mata-
mata Raja Tiongkok keparat itu?" kilah Bongkap sera-ya menghentikan langkahnya.
"Lagi pula dia datang ke sini untuk meminta bantuanku menolong rakyat negeri
Manchuria yang sedang mengalami penindasan!"
Bong Mini lagi-lagi tersenyum.
"Papa. Tidak semua orang yang sopan dan lemah
lembut dalam bertutur kata memiliki hati dan niat
yang baik. Papa sendiri pernah mengatakan kepadaku
bahwa menilai seseorang tidak bisa dilihat dari pe-
nampilannya. Karena penampilan lahiriah manusia
bukan jaminan dari hati dan niat manusia itu sendiri.
Papa ingat?" ungkap Bong Mini.
"Ya, Papa ingat! Memang Papa sendiri yang menga-
takan itu kepadamu," sahut papanya.
"Tapi kenapa sekarang Papa jadi tertipu oleh pe-
nampilan Khian Liong?" tanya Bong Mini.
"Gerak-geriknya tak mencurigakan. Lagi pula, jika
dia hendak berbuat jahat, bisa saja dia membunuh
Papa dengan mudah. Apalagi perkenalanku dengan
Khian Liong sudah berjalan dua tahun, sejak kau
menghilang," tutur Bongkap menyatakan alasannya.
"Manusia punya cara sendiri untuk memperdaya
seseorang yang tidak disukainya. Ada yang terang-
terangan, ada pula secara diam-diam. Di depan meme-
luk kita penuh keakraban. Sedangkan tangannya hen-
dak membunuh kita dari belakang!" kata Bong Mini
mengungkapkan pendapatnya.
Bongkap tercenung mendengar kata-kata Bong Mini
yang mengandung kebenaran itu.
"Dari mana kau tahu kalau Khian Liong mata-mata
Raja Tiongkok?" tanya Bongkap mulai percaya.
"Dari Tiga Pendekar Mata Dewa. Mereka datang ke
sini justru mencari Khian Liong," ujar Bong Mini. "Kalau Papa ingin tahu jelas,
Papa bisa tanyakan langsung pada mereka," lanjut Bong Mini.
Bongkap mengangguk-angguk. Kemudian keduanya
melanjutkan langkah untuk menghampiri Tiga Pen-
dekar Mata Dewa yang sedang asyik menyaksikan para
pesilat berlatih. Kebetulan para pesilat sudah selesai berlatih, hingga mereka
pun bisa langsung bercakap-cakap di ruang pertemuan yang letaknya berdekatan
dengan ruang tamu.
*** "Saudara Kao Cin Liong, apakah kau kenal betul de-
ngan Khian Liong?" tanya Bongkap setelah mereka berkumpul di ruang pertemuan.
Termasuk Prabu Jalatun-
da, Ningrum serta pendekar lain yang duduk mengisi
ruang pertemuan itu.
"Kami memang tidak kenal dekat dengan Khian
Liong. Melihat wajahnya pun tidak pernah. Tapi me-
ngenai kepergiannya ke negeri ini dan ciri-ciri orang itu kami ketahui dari
seorang penduduk yang bisa dipercaya," sahut Kao Cin Liong menjelaskan.
Bongkap mengangguk-angguk.
"Tapi apa benar-benar bisa dipercaya keterangan
penduduk itu kalau Khian Liong mata-mata Kerajaan
Manchuria?" tanya Bongkap lagi.
"Aku dapat membuktikannya," sela Seyton tiba-tiba.
Bongkap menoleh pada Seyton.
"Coba jelaskan!" pinta Bongkap.
"Saat kami bertempur dengan pengikut Perguruan
Topeng Hitam, Khian Liong ada di antara mereka. Pada
pertempuran itu, kami dapat mengalahkannya, lalu
Khian Liong bersama seorang temannya memacu kuda
untuk kembali ke markasnya di Bukit Setan!" tutur
Seyton. Bongkap kembali mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, peristiwa pembakaran rumah pendu-
duk di Kampung Dukuh yang dilakukan orang-orang
bertopeng ada hubungannya dengan Khian Liong. Ka-
rena sebelumnya ia berkunjung ke sana dan mene-
muiku," gumam Bongkap.
"Bisa jadi, Papa. Dia langsung mengutus pasukan
Perguruan Topeng Hitam setelah mengetahui di mana
Papa berada!" timpal Bong Mini.
"Ya, Papa pikir juga begitu," sahut Bongkap sepen-


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat. "Lalu, apa tindakan kita selanjutnya, Bongkap?" ta-
nya Prabu Jalatunda. "Sebab bagaimanapun juga kita
tidak bisa membiarkan rakyat menderita lebih lama,"
lanjut Prabu Jalatunda.
"Aku punya usul!" potong Kao Cin Liong.
"Katakan!"
"Kita langsung saja membentuk pasukan! Sebab
dua hari lagi, prajurit kerajaan akan tiba di Selat Malaka," ujar Kao Cin Liong.
Kabar itu ia ketahui sehari sebelum ia berangkat ke negeri Selat Malaka. "Jadi,
sebelum mereka sampai di Bukit Setan, ada baiknya kita
menghadang dan menyerang mereka!"
"Sebuah pendapat yang baik, Papa!" cetus Bong
Mini, langsung menyetujui.
Bongkap mengangguk-angguk. Ia sendiri sangat
menyetujui usul yang disampaikan Kao Cin Liong.
"Bagaimana dengan yang lain" Apakah setuju de-
ngan pendapat Kao Cin Liong?" tanya Bongkap sambil
mengedar pandangannya ke sekeliling ruangan yang
dipenuhi oleh para pendekar dan pesilat.
"Setuju sekali!" sahut para pendekar yang hadir se-
rentak. "Nanti dulu!" sergah Ningrum tiba-tiba, membuat
semua yang hadir terpana dan memandang ke arah-
nya. "Kuminta, sebelum melakukan penyergapan terha-
dap prajurit Kerajaan Manchuria, izinkanlah aku mencari putraku, Baladewa. Aku
mengkhawatirkan kese-
lamatannya. Karena sekarang ini dia berjuang sendiri-an," kata Ningrum.
Bongkap dan Prabu Jalatunda terhenyak. Apalagi
Bong Mini. Harus diakui Bong Mini bahwa dalam ha-
tinya sudah terpatri nama Baladewa, sekaligus sosok dan pribadinya. Tak heran
kalau gadis itu merasakan getaran halus di dadanya saat nama Baladewa disebut
Ningrum. "Bibi Ningrum. Tetaplah Bibi di sini! Biar aku yang mencari putra Bibi!" kata
Bong Mini, berusaha mene-nangkan perasaan Ningrum. Sesungguhnya, ia sendiri
mempunyai perasaan yang sama dengan Ningrum.
Bahkan semalam ia pun tidak dapat tidur karena sela-lu memikirkan Baladewa yang
belum diketahui ke-
adaannya. "Betul?" tanya Ningrum dengan wajah gembira. Dia
sangat setuju kalau Bong Mini yang langsung mencari putranya. Pikirnya, siapa
tahu Bong Mini tertarik pada Baladewa atau sebaliknya. Karena secara diam-diam
ia ingin sekali kalau Putri Bong Mini jadi menantunya.
Bong Mini mengangguk sambil tersenyum.
"Aku akan berangkat sekarang juga mencari putra
Bibi," sahut Bong Mini. Kemudian pandangannya di-
alihkan pada Bongkap untuk meminta izin. "Papa. Aku berangkat dulu!" Bong Mini
mencium kedua pipi Bongkap dengan manja.
"Hati-hati!" pesan Bongkap memperingatkan.
"Ya, Papa!" sahut Bong Mini. Kemudian dengan lin-
cah kakinya melangkah keluar, diiringi pandangan
Bongkap, Ningrum, Prabu Jalatunda, dan para pende-
kar lain. "Dia seorang gadis luar biasa yang mengagumkan!"
puji Kok Thai Ki ketika tubuh Bong Mini telah menghilang dari pandangan mata
mereka. Bongkap tersenyum bangga mendengar pujian ter-
hadap putrinya itu.
"Dalam usianya yang masih muda, dia mampu
mengimbangi dan mengalahkan Nyi Genit, seorang to-
koh Perguruan Topeng Hitam!" lanjut Kok Thai Ki.
Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum serta para pe-
silat yang hadir di situ tampak tersentak mendengar ucapan Kok Thai Ki.
"Apa aku tidak salah dengar, Saudara Kok Thai Ki?"
tanya Bongkap ragu.
"Aku melihat sendiri bagaimana gagahnya Putri
Bong Mini menghadapi Nyi Genit!" tambah Kok Thai Ki.
"Apa yang dikatakan Saudara Kok Thai Ki tadi me-
mang benar!" Kao Cin Liong ikut menambahkan. "Nya-
wa kami pun diselamatkan oleh Putri Bong Mini dari
cengkeraman Nyi Genit!" lanjut Kao Cin Liong.
Bongkap dan semua yang hadir di situ mengang-
guk-angguk. Ia mulai percaya ucapan Kok Thai Ki
maupun Kao Cin Liong.
"Kalau begitu, kita sekarang sudah siap melakukan
penyerangan ke Bukit Setan!" ujar Prabu Jalatunda.
"Benar, Prabu. Kekalahan Nyi Genit di tangan Bong
Mini, bisa dijadikan ukuran untuk melihat kepandaian Kidarga!" kata Kao Cin
Liong. Mendengar pujian beruntun terhadap Putri Bong
Mini, Bongkap hanya dapat diam dengan bibir terse-
nyum. Perasaan bangganya hanya terpancar dari wa-
jahnya. *** Bong Mini terus berjalan tenang di bawah hujaman
terik matahari yang tegak lurus di cakrawala. Wajahnya tampak begitu berseri,
seolah tidak mempedulikan kegarangan sinar matahari yang begitu menyengat.
Sedang asyiknya ia berjalan di tengah Hutan Roban,
tiba-tiba lima lelaki bertubuh tinggi besar dan bertam-pang beringas muncul dari
balik semak belukar. Mere-ka langsung menghadang Bong Mini.
Bong Mini menghentikan langkahnya. Pendekar
muda itu berdiri gagah dengan mata mencorong ke
arah lima lelaki yang menghadangnya. Hatinya jijik
melihat penampilan kelima lelaki itu. Karena selain tubuh mereka tinggi besar
dan hitam, kelima lelaki itu pun tidak mengenakan baju. Seolah-olah sengaja
memperlihatkan otot-otot seperti kawat baja. Sedangkan pada kepala botak mereka,
tersisa segunduk ram-
but di tengahnya. Dan segunduk rambut sepanjang li-
ma belas sentimeter itu diikat buntut kuda. Sehingga penampilan kelimanya
semakin seram. "Siapa kalian berlima" Bisakah aku melanjutkan
perjalanan?" tanya Bong Mini lembut. Ia mencoba bersikap tenang menghadapi
kelima orang berumur seki-
tar empat puluh tahun itu.
Sebelum kelima orang itu menjawab, tiba-tiba me-
loncat seorang lelaki dari atas pohon, lalu berdiri terkekeh-kekeh ke arah Bong
Mini. "Nona masih mengenaliku?" tanya lelaki itu.
Bong Mini masih diam. Matanya meneliti kehadiran
lelaki berpakaian pengemis itu. Ia merasa kesal de-
ngannya. "Apakah kau salah seorang dari Perkumpulan Pen-
gemis Sakti?" tanya Bong Mini menebak.
Lelaki itu terkekeh kembali.
"Ternyata ingatanmu tajam juga, Nona!" sahut lelaki berpakaian pengemis yang
tidak lain Siangkoan Kun
Hok, orang yang ditugaskan Kidarga untuk mencari jejak Nyi Genit. Sebagai orang
yang telah tahu kalau Nyi Genit menderita kekalahan ketika melawan Bong Mini,
Siangkoan Kun Hok tidak melaksanakan tugasnya seorang diri. Dia mengajak lima
pengikut Perguruan Topeng Hitam untuk sama-sama mencari jejak Nyi Genit
yang belum diketahui rimbanya.
Bong Mini tersenyum mengejek pengemis yang sela-
lu menyebarkan bau amis itu. Kemudian matanya be-
ralih memandang lima lelaki yang bertelanjang dada.
"Apakah kalian berlima tidak salah memilih lelaki
pecundang menjadi pemimpin pasukan?" sindir Bong
Mini sambil tersenyum sinis.
"Phuih! Kau pikir aku takut karena kau berhasil
mengalahkan Nyi Genit"!" geram Siangkoan Kun Hok.
Tanpa ia sadari kalau ucapannya tadi telah menge-
jutkan lima temannya.
"Saudara Siangkoan Kun Hok. Kenapa kau tidak te-
rus terang kepada Kidarga kalau kau mengetahui per-
tempuran antara Nyi Genit dengan gadis ini?" tanya
seorang dari lima temannya agak geram. "Karena kalau Siangkoan Kun Hok berterus
terang, tentu mereka tidak harus mencari jejak Nyi Genit," pikirnya.
"Lelaki pecundang macam pengemis ini mana mau
berterus terang di hadapan pemimpin kalian!" Bong
Mini menyela, seolah sengaja memancing kemarahan
Siangkoan Kun Hok.
"Bocah tengik! Kau rasakan pukulanku!" usai ber-
kata begitu, Siangkoan Kun Hok langsung membuka
serangan dengan pukulan 'Tangan Geledek' ke wajah
gadis yang berdiri tenang di depannya.
Wut! Plakkk! Pukulan tangan Siangkoan Kun Hok yang mengan-
dung tenaga dahsyat itu segera dielakkan Bong Mini
dengan memiringkan tubuhnya sedikit ke samping. Se-
dangkan tangan kirinya menangkap tangan kanan
yang mengarah ke wajahnya itu. Dilanjutkan dengan
pukulan tangan kanannya ke wajah lawan.
"Huppp!"
Bong Mini segera menarik tangan kanannya kemba-
li ketika Siangkoan Kun Hok hendak menangkisnya.
Sedangkan tangan kirinya yang masih memegangi ta-
ngan kanan lawan segera dihentakkan ke bawah diser-
tai tendangan lutut ke wajah lawan.
Dukkk! "Aaakh!"
Siangkoan Kun Hok terpekik ketika lutut Bong Mini
menghentak wajahnya, hingga ia terdongak dari ter-
huyung ke belakang. Namun demikian, dengan sikap
gagah ia kembali berdiri menghadap Bong Mini yang
tampak tetap tenang.
"Hiaaat!"
Siangkoan Kun Hok mengeluarkan lengkingan ting-
gi bersama terjangan ke arah Bong Mini. Sedangkan
kedua tangannya melakukan gerakan menotok ke ba-
hu kiri dan pinggang kanan lawan.
Dengan mudah Bong Mini menyambut serangan itu.
Jari-jari kedua tangannya mengerahkan jurus menotok pula. Ketika serangan lawan
mendekat, kedua tangan
Bong Mini segera menyambutnya.
Tuk! Tuk! Ujung-ujung jari Siangkoan Kun Hok melekat erat
pada ujung-ujung jari tangan Bong Mini. Ketika Siangkoan Kun Hok hendak
menariknya, seketika itu juga ia merasakan hawa panas di sekitar ujung-ujung
jari tangannya. Semakin dia berusaha melepaskan jari-
jarinya, semakin lekat dan semakin panas pula terasa
olehnya. Hingga bibirnya terlihat meringis menahan
perih yang teramat sangat.
"Hiaaat! Huhhh!"
Tiba-tiba Bong Mini menggerakkan tangan ke atas,
hingga tangan Siangkoan Kun Hok yang masih me-
nempel pada jari-jarinya ikut terbawa ke atas. Kemudian ia menariknya kembali ke
bawah disertai henta-
kan keras. Bukkk! "Aaakh!"
Siangkoan Kun Hok memekik keras. Hentakan ta-
ngan Bong Mini yang mengandung kekuatan dahsyat
telah membuat tubuhnya tersungkur dengan wajah
mencium tanah. Sedangkan jari-jarinya yang tadi me-
nempel terlepas dari tangan Bong Mini.
Dengan wajah meringis menahan sakit, Siangkoan
Kun Hok bangkit kembali.
"E, eh! Masih bandel! Tidak kapok, ya?" ejek Bong
Mini sambil tersenyum.
"Aku belum kalah, Tikus Kecil!" dengus Siangkoan
Kun Hok dengan lagak angkuh. Padahal saat itu ia merasakan seluruh tulangnya
ngilu. Bong Mini mencibir melihat kesombongan lawan.
Padahal ia tahu kalau Siangkoan Kun Hok tengah me-
rasakan sakit luar biasa. Terlihat dari wajahnya yang masih meringis-ringis.
Sebenarnya Siangkoan Kun Hok menyadari akan
ketinggian ilmu lawannya. Bahkan ia merasa sudah tidak sanggup melanjutkan
pertarungan. Namun karena
takut dilecehkan oleh kelima temannya serta dikeluarkan dari Perguruan Topeng
Hitam, maka ia pun me-
maksakan diri untuk melanjutkan pertarungan.
Di pihak lain, lima temannya dari Perguruan Topeng
Hitam terpaku melihat Siangkoan Kun Hok dibuat ti-
dak berdaya oleh seorang gadis mungil. Kenyataan itu
membuat mata mereka terbuka. Tak heran kalau pe-
mimpin mereka, Kidarga, kewalahan menghadapi gadis
bernama Bong Mini ini. Gadis itu memang tidak bisa
dianggap remeh. Apalagi telah mampu mengalahkan
Nyi Genit. Keduanya telah berhadapan kembali. Siangkoan
Kun Hok telah siap dengan jurus barunya yang disebut
'Macan Lapar Mengamuk'. Dengan jurus ini wajahnya
berubah liar. Kedua tangannya terangkat dengan jari-jari merenggang seperti
kuku-kuku macan yang hen-
dak menerkam mangsa. Sedangkan kedua kakinya se-
Perawan Lembah Wilis 18 Panji Sakti Karya Khu Lung Matahari Esok Pagi 11
^