Runtuhnya Kerajaan Manchuria 1
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria Bagian 1
RUNTUHNYA KERAJAAN MANCHURIA Oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pantai Selat Malaka dihujam panas siang itu.
Keangkuhan matahari membuat bumi bagai terpang-
gang. Angin pantai pun menjadi terasa menyiksa. Seakan tidak ingin lagi mengirim
keramahan pada mak-
hluk penghuni bumi.
Di bawah siraman sinar matahari itu, puluhan pen-
dekar tampak berdiri gagah, seolah-olah tidak mempedulikan sengatan matahari.
Mereka terbagi dalam dua kelompok besar. Sebagian tergabung dalam pasukan
Bongkap. Sedang sebagian yang lain adalah pasukan
Kerajaan Manchuria.
Di antara dua pasukan yang saling berhadapan itu,
Bong Mini tampak berdiri gagah. Matanya memandang
Panglima Liu Hen Hui yang juga tengah menatapnya.
Sedangkan tangan kanannya menggenggam cambuk
hitam sepanjang tiga meter.
"Siapa kau, Bocah Lancang!" geram Panglima Liu
Hen Hui. Dia benar-benar jengkel karena niat untuk
membunuh Bongkap dengan cambuk hitamnya terha-
lang oleh kehadiran gadis itu.
Sebenarnya bukan panglima dan prajurit Kerajaan
Manchuria saja yang terkejut melihat kehadiran Bong Mini yang tiba-tiba itu.
Para pendekar di pihak Bongkap pun sangat tercengang bercampur gembira. Me-
reka tercengang karena Bong Mini mampu menyela-
matkan Bongkap dengan sangat mudah. Meski Bong-
kap di bawah ancaman cambuk hitam Panglima Liu
Hen Hui. Sedangkan mereka gembira karena Bong
Mini hadir pada waktu yang tepat.
"Aku adalah Putri Bong Mini!" ujar Bong Mini te-
nang. Panglima dan prajurit Kerajaan Manchuria tampak
tercengang ketika mendengar nama itu. Biarpun baru
kali ini berjumpa dengan Bong Mini, mereka sudah
mendengar tentang sepak terjangnya dari kaisarnya,
Thiang Tok. Thiang Tok mengatakan kalau gadis itu
mempunyai kepandaian melebihi Bongkap. Dan itu te-
lah mereka saksikan saat Bong Mini muncul menyela-
matkan papanya secara tiba-tiba.
"Ha ha ha...!" Panglima Liu Hen Hui terbahak-ba-
hak, menutupi keterkejutannya. "Aku tidak menyang-
ka kalau putri Bongkap memiliki wajah yang demikian cantik!"
Bong Mini tersenyum sinis mendengar pujian itu.
"Jangan banyak bicara. Hadapilah aku jika kau ma-
sih punya nyali dan kepandaian!" ketus Bong Mini. Dia sudah tidak ingin membuang
waktu lebih lama untuk
menghajar orang-orang kaisar Kerajaan Manchuria.
Tantangan yang mengandung ejekan tadi membakar
kedua telinga Panglima Liu Hen Hui. Ia pernah berhadapan dengan pendekar-
pendekar wanita, tapi baru
kali ini mendapat tantangan dari wanita berusia muda.
Ketika tantangan itu terlontar dari mulut Bong Mini, tentu saja darahnya
langsung berdesir panas ke seluruh tubuh.
"Bocah setan!" maki Panglima Liu Hen Hui sambil
menggulung cambuk hitam, lalu memasukkannya
kembali ke dalam jubah. Kemudian diambilnya pedang
yang terjatuh saat bertarung melawan Bongkap (untuk lebih jelasnya, ikuti serial
Putri Bong Mini episode: 'Api Berkobar di Bukit Setan'). Setelah pedang
tergenggam di tangannya, ia kembali berdiri gagah. Matanya memandang tajam pada
Bong Mini yang sejak tadi mem-
perhatikan gerak-geriknya.
Baladewa yang sejak tadi berdiri di dekat ibunya,
Ningrum, menjadi cemas. Kakinya segera melangkah
menghampiri Bong Mini.
"Bong Mini, mundurlah! Biar kulayani panglima
itu!" pinta Baladewa. Ia merasa kasihan kalau kekasihnya yang baru datang harus
pula bertarung melawan
Panglima Liu Hen Hui, lelaki berkepandaian tinggi.
"Tidak perlu!" ketus Bong Mini tanpa menoleh pada
Baladewa sedikit pun. "Persoalan ini menyangkut pribadi papa dengan kaisar
Kerajaan Manchuria!" lanjutnya.
Baladewa menghela napas. Dia tidak bisa lagi men-
cegah keinginan gadis yang memang mempunyai sifat
keras itu. "Kalau kau ingin membantuku, hadapilah para pra-
jurit agar pertarungan cepat selesai!" sergah Bong Mini lagi.
"Heh, Cecunguk! Minggir!" Panglima Liu Hen Hui
membentak kesal pada Baladewa.
Sebagai pemuda berumur dua puluh tahun yang
masih dipenuhi gejolak emosi, Baladewa merasa ter-
singgung mendengar bentakan itu. Dengan wajah be-
rang, tubuhnya berbalik. Dipandangnya Panglima Liu
Hen Hui dengan mata memerah bagai bara.
"Manusia tengik! Majulah kalian semua!" tantang
Baladewa. Telinga para prajurit Kerajaan Manchuria menjadi
panas mendengar tantangan panas itu. Kemudian me-
reka menyerang Baladewa serentak. Bagai air bah, mereka berhamburan ke depan.
Hal itu tidak dibiarkan
begitu saja oleh pasukan Bongkap.
Trang trang trangngng!
Serangan pasukan Kerajaan Manchuria yang ber-
jumlah lima puluh orang itu segera disambut oleh para pendekar di pihak Bongkap
yang sejak tadi sudah siap menghadapi pertarungan.
Saat itu pula, Pantai Selat Malaka menjadi hiruk-
pikuk. Deburan ombak yang susul-menyusul berbaur
dengan pekikan kematian serta bau amis darah.
Sementara itu, Bongkap yang sejak tadi menahan
rasa nyeri akibat sabetan cambuk Panglima Liu Hen
Hui di punggungnya, kini telah bangkit dan melakukan serangan bersama para
pendekar lain. Seolah-olah ra-sa sakit di punggungnya hilang seketika.
Hiyaaat! Panglima Liu Hen Hui menyerang Bong Mini dengan
permainan pedang yang diberi nama ilmu 'Pedang Na-
ga Merah'. Ilmu yang dipelajarinya ketika berada di Bukit Naga Merah.
Wut wut wut! Sinar pedang berwarna merah yang memanjang
menyambar-nyambar leher dan perut Bong Mini dalam
kecepatan menggila.
Bong Mini sempat terkejut mendapat serangan yang
demikian dahsyat dan gencar itu. Tapi dengan cepat ia mengelakkan serangan itu
dengan cara merunduk,
melompat, dan bersalto ke belakang. Ketika dia berdiri kembali, tangannya sudah
mencabut Pedang Teratai
Merah. Sreset! Pedang yang selalu memancarkan sinar merah ber-
bentuk bunga teratai itu tergenggam di tangan kanan Bong Mini. Siap untuk
menyambut serangan lawan selanjutnya.
Sementara itu, Bongkap dan para pendekar lain
pun telah pula berhadapan dengan lawan masing-ma-
sing. Bongkap berhadapan dengan lima prajurit Kera-
jaan Manchuria. Begitu tangkas dan gigih. Seluruh tenaga dan kepandaiannya
dikerahkan untuk melawan
lima pengeroyoknya.
Pertempuran tak seimbang tidak hanya dihadapi
Bongkap, tetapi juga para pendekar lain. Seperti Tiga Pendekar Mata Dewa dan
Pendekar Teluk Naga, mas-
ing-masing menghadapi sembilan prajurit Kerajaan
Manchuria. Baladewa dan Ashiong menghadapi lima
lawan masing-masing. Sedangkan Prabu Jalatunda
dan Sang Piao berhadapan dengan lima pengeroyok-
nya. Begitu pula dengan Ningrum, Thong Mey, dan Ra-
tih Purbasari yang begitu gigih melawan tiga penge-
royok masing-masing.
Sementara Bong Mini, tidak bisa memandang remeh
lawan yang cuma seorang. Karena kepandaian silat
Panglima Liu Hen Hui jauh lebih tinggi dibanding para prajuritnya. Hanya orang
berkepandaian tinggi yang
mampu berhadapan dengan panglima itu. Sedangkan
Bongkap saja masih bisa dirobohkan. Padahal kepan-
daian silatnya seimbang dengan Panglima Liu Hen Hui.
Untunglah pada saat kritis, Bong Mini segera datang menyelamatkan Bongkap dan
langsung berhadapan
dengan Panglima Liu Hen Hui.
"Hiyaaat!"
Panglima Liu Hen Hui kembali memekik panjang
berbareng terjangan ke arah Bong Mini. Sedangkan pedang di tangan kanannya
menghujam lurus ke kepala
Bong Mini dengan gerakan membacok.
Trangngng! Pedang Panglima Liu Hen Hui segera ditangkis oleh
Bong Mini sambil memiringkan tubuh ke samping. Di-
susul dengan serangan balasan.
Wut wut wut! Trangngng!
Singngng! Sambaran pedang Bong Mini mengarah ke tubuh
lawan dengan ganas. Ketika Panglima Liu Hen Hui
mencoba menangkis, pedangnya langsung terpental
tinggi dan jatuh di luar kancah pertarungan. Sedangkan tubuhnya sendiri
terhenyak dua tombak ke bela-
kang. Dukkk! "Auh!"
Panglima Liu Hen Hui mengaduh pendek ketika
pantatnya mencium tanah dengan keras. Sedangkan
tangan kanannya masih terasa perih saat terjadi bentrokan pedang tadi. Namun
demikian, ia masih mampu
bangkit seraya memandang Bong Mini dengan sorot
mata yang menyimpan kemarahan.
Sementara itu, Bongkap dan para pendekar sedang
mendesak musuh penuh keganasan. Bahkan mereka
berhasil merobohkan beberapa orang lawan.
Sejak awal, Bongkap begitu gigih menghadapi la-
wan-lawannya. Kini dia berhasil merobohkan dua dari lima prajurit yang
dihadapinya. "Hiyaaat!"
Tubuh Bongkap berputar bagai baling-baling kapal,
berbareng dengan satu pekikan membahana. Sementa-
ra berputar, tubuhnya melesat setinggi dua meter ke arah lawan. Sehingga
pedangnya yang ikut berputar
hanya tampak sebagai sinar memanjang yang bergu-
lung. Itulah gabungan silat antara jurus 'Tanpa
Bayangan' dan jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Tiga prajurit Kerajaan Manchuria tampak terkejut
melihat tubuh lawan yang bergulung itu. Mereka tahu betul jurus yang digunakan
lawan. Karena mereka
pernah mendengar dan melihat sendiri keampuhan ju-
rus-jurus yang berasal dari negeri mereka itu. Sebelum mereka mengambil posisi
untuk menghadapi serangan
itu, sinar panjang yang bergulung telah tiba di dekat mereka.
Bret! Crokkk! Pedang Bongkap yang bergerak cepat bagai kilat itu
berhasil mengenai dua sasaran. Sabetan pertama
mengenai leher lawan hingga kepalanya pisah dari badan, sedangkan sabetan kedua
membacok kepala la-
wan yang lain hingga terbelah dua.
Kedua lawan yang terkena sabetan pedang berdiri
limbung sebentar sampai akhirnya roboh dan mati
tanpa mengeluarkan pekikan sedikit pun.
Di lain pihak, Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Pur-
basari pun sedang berjuang gigih menghadapi sembi-
lan pengeroyok. Mereka melakukan perlawanan de-
ngan cara saling melindungi. Ningrum dan Ratih Pur-
basari berdiri berlawanan dengan punggung yang ham-
pir bersentuhan. Sedangkan Thong Mey berdiri di samping keduanya.
Setelah ketiganya membuat posisi saling membela-
kangi, pedang di tangan kanan mereka diangkat agak
menyilang, sedangkan tangan kiri ketiganya terkem-
bang miring di depan dada masing-masing.
Sembilan lawan mereka bergerak maju mengelilingi
tiga wanita cantik itu. Mereka menyerang dengan gerakan-gerakan aneh. Gerakan
berlari mengelilingi sambil menyambar-nyambarkan pedangnya dengan gerakan
menusuk. Wut wut wut! Serangan pedang mereka memang sambil lalu saja.
Namun banyaknya senjata yang mengarah pada ketiga
wanita itu, tentu saja sangat berbahaya. Untunglah ketiganya mampu menangkis
dengan pedang masing-
masing. Trang trang trangngng!
Benturan pedang yang berlawanan itu menimbul-
kan denting amat nyaring yang susul-menyusul.
"Aaakh aaakh aaakh!"
Pekikan kaget terdengar dari mulut para prajurit
Kerajaan Manchuria manakala senjata mereka ter-
tangkis oleh pedang ketiga lawan. Empat orang di antara mereka terpaksa
melepaskan senjata dari geng-
gamannya karena tidak kuat menahan getaran dan ra-
sa perih di telapak tangan.
Kenyataan tersebut, membuat para prajurit itu sa-
dar kalau tiga wanita cantik yang diserang memiliki kekuatan amat hebat.
Sehingga ketika telah berada
pada posisi semula, mereka langsung mengurung dan
menyerang dengan gencar.
"Aaakh...!"
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pekikan tertahan yang susul-menyusul datang dari
arah lain. Ternyata pekikan itu datang dari lima belas prajurit yang tewas di
tangan Prabu Jalatunda, Baladewa, Ashiong, Sang Piao, Tiga Pendekar Mata Dewa,
dan Pendekar Teluk Naga. Mereka sengaja melakukan
perlawanan bersama agar pertempuran lebih cepat be-
rakhir. Sementara itu, pertarungan antara Bong Mini dan
Panglima Liu Hen Hui masih berlangsung. Malah se-
makin sengit. Karena kali ini, Panglima Liu Hen Hui menggunakan cambuk hitam
yang panjangnya sekitar
dua meter. Kemudian Cambuk Lidah Naga Merah itu
bergerak menyambar tubuh Bong Mini.
Wut! Tarrr! Wut! Tarrr!
Ujung cambuk itu menyambar tubuh lawan dengan
dahsyat. Namun dengan cepat, Bong Mini mengelak-
kan serangan dengan melompat ke arah lawan.
Dukkk! "Uuuh!"
Kepala Bong Mini langsung membentur perut la-
wan. Tubuh panglima itu terhenyak ke belakang. Se-
dangkan cambuknya terlepas dan langsung melayang
di udara, kemudian jatuh di luar arena pertarungan.
Bukkk! Tubuh Panglima Liu Hen Hui menyusul jatuh telen-
tang di atas tanah. Namun dengan cepat, Panglima Liu Hen Hui bangkit dengan
sorot mata yang tetap tajam
memandang Bong Mini.
Gadis bertubuh mungil berpakaian merah ketat itu
sudah tidak ingin lagi mengulur-ulur waktu. Ketika
Panglima Liu Hen Hui bangkit berdiri, ia segera menyerang dengan sabetan pedang
ke kepala lawan.
Wut wut wut! Dengan tangkas, Panglima Liu Hen Hui mengelak-
kan serangan itu. Tubuhnya dimiringkan ke samping
sambil merunduk. Sehingga pedang lawan yang ber-
kelebat cepat itu luput dari sasaran. Namun Bong Mini tidak berhenti sampai di
situ. Ia segera menyusulkan serangan dengan tendangan kaki kanannya.
Dukkk! Tendangan Bong Mini begitu telak menghantam wa-
jah lawannya, hingga tubuh Panglima Liu Hen Hui
kembali terjengkang ke belakang. Sebelum ia sempat
bangkit kembali, Bong Mini segera memburu dan me-
lancarkan serangan pedangnya.
Bret! "Aaakh!"
Ujung pedang Bong Mini merobek perut Panglima
Liu Hen Hui dengan sadis. Saat itu juga Panglima Liu Hen Hui memekik kaget
sambil meraba perutnya yang
sudah menganga lebar. Seolah hendak memperli-
hatkan isi perutnya.
Walaupun perutnya telah terkena sabetan pedang,
Panglima Liu Hen Hui masih tampak kuat. Dia berdiri terhuyung dengan mata
berpijar penuh kemarahan
yang sukar dikendalikan. Dengan gerakan lemah,
Panglima Liu Hen Hui menendang Bong Mini. Sedang-
kan kedua tangannya tetap mendekap perut yang ma-
sih mengeluarkan darah.
"Uuuh!"
"Hep!"
Dengan tenang serta senyum di bibir, Bong Mini
menangkap tendangan Panglima Liu Hen Hui yang
bergerak lemah ke arahnya. Kemudian kaki kanan la-
wan yang telah tertangkap tangan kirinya itu ditarik sedikit ke dekatnya.
Crokkk! "Aaakh!"
Panglima Liu Hen Hui memekik tertahan ketika pe-
dang di tangan Bong Mini membacok pinggangnya. Pa-
da saat itu juga tubuhnya terbelah dua dan tewas.
Bong Mini berdiri tegak sambil memandangi mayat
Panglima Liu Hen Hui dengan perasaan puas. Setelah
itu pandangannya dialihkan pada para pendekar yang
masih bertarung. Matanya melihat Ningrum, Thong
Mey, dan Ratih Purbasari masih gigih menghadapi
sembilan lawan mereka. Kemudian dengan Pedang Te-
ratai Merah yang masih berlumur darah, Bong Mini
melesat ke arah mereka.
"Hiyaaat!"
Seraya mengeluarkan lengkingan tinggi, Bong Mini
melenting ke arah sembilan prajurit yang mengeroyok tiga wanita cantik itu.
Sedangkan pedang di tangan
kanannya berlumur darah berkelebat ke arah lawan
disertai dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga
'Inti Udara Bergulung'.
Bret bret bret!
Duk duk duk! "Aaakh!"
Lima dari sembilan pengeroyok tiga wanita cantik
itu memekik kaget. Rupanya kelebatan pedang Bong
Mini menyabet leher dua prajurit. Sedangkan tiga prajurit lain terhantam tangan
kiri Bong Mini yang me-
ngandung 'Inti Udara Bergulung'. Dalam sekejap, lima orang yang terkena serangan
Bong Mini itu roboh tak bernapas lagi.
Empat prajurit yang masih hidup tampak terkejut
melihat serangan mendadak dan mematikan itu. Sera-
ngan mereka yang tadinya mengarah teratur pada
Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari, kini menja-di kacau.
Ketika mengetahui siapa penyerangnya, hati mereka
menjadi kecut. Karena pikir mereka, "Kalau gadis bertubuh mungil yang tadi
berhadapan dengan Panglima
Liu Hen Hui mengalihkan penyerangan ke arah me-
reka, sudah tentu dia akan merobohkan lawannya de-
ngan mudah."
Rasa terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu
menyelinap dalam diri prajurit Kerajaan Manchuria.
Juga dalam diri tiga wanita cantik itu. Dan ketika mengetahui kalau yang
membantu mereka Putri Bong
Mini, hati mereka menjadi lega.
"Kalian hadapilah empat manusia jahanam itu!"
usai berkata begitu, Bong Mini melompat kembali ke
arah para pendekar. Sedangkan matanya tertuju pada
Prabu Jalatunda yang sedang berusaha mati-matian
melawan lima pengeroyoknya. Dan seperti yang dila-
kukan terhadap sembilan prajurit Kerajaan Manchuria tadi, Bong Mini pun segera
menyerang lima pengeroyok Prabu Jalatunda secara tiba-tiba.
Bret! Crokkk! Pedang Bong Mini menyambar tangan kanan seo-
rang prajurit yang sedang mengarahkan pedangnya ke
tubuh Prabu Jalatunda hingga putus sebatas siku. Sedangkan sabetan kedua
mengenai kepala lawan hingga
terbelah dua. Lawan berdiri limbung sesaat, selanjutnya roboh tak bernapas lagi.
Tiga orang yang selamat dari sabetan pedang Bong
Mini dan seorang prajurit yang buntung karena sa-
betan pedang Bong Mini menjadi terkejut. Serempak
mereka mengalihkan pandangan ke arah gadis yang
menyerang secara tiba-tiba.
"Kalian memang anjing-anjing buduk yang perlu di-
beri pelajaran!" geram Bong Mini seraya menatap em-
pat prajurit yang terpana memandangnya. Sebelum
mereka sadar dari keterkejutan, tubuh Bong Mini su-
dah melesat kembali.
"Hiaaat!"
Tubuhnya melenting setinggi satu meter ke depan
bersama satu pekikan tinggi. Sedangkan pedangnya
bergerak mencari sasaran.
Bret bret! Dua prajurit kembali tewas tanpa sempat memekik
ketika pedang Bong Mini membabat leher mereka hing-
ga putus. "Keparat!" geram dua prajurit lain ketika melihat
dua teman mereka mati dalam keadaan mengenaskan.
Dengan cepat mereka menggerakkan pedangnya ke
arah Bong Mini.
Singngng...! Siuttt!
Trang trang trang!
Gadis bertubuh mungil yang sudah memiliki ilmu
kedigdayaan ini segera menyambut serangan pedang
dua prajurit itu dengan gerakan yang gesit.
Trangngng! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua lawan Bong Mini memekik keras ketika lengan
mereka diterabas hawa dingin yang menyelusup mela-
lui senjata, membuat lengan mereka seperti membeku.
Karena pada saat terjadi bentrokan pedang, Bong Mini sudah mengerahkan ilmu
'Salju Meredam Raga'. Salah
satu ilmu warisan Putri Teratai Merah.
"Majulah kalian kalau ingin kukirim ke neraka ber-
sama panglima kalian!" tantang Bong Mini dengan bi-
bir tersenyum sinis.
Dua prajurit itu terkejut. Keduanya segera menoleh
ke tempat pertarungan Bong Mini dan Panglima Liu
Hen Hui tadi. Mereka benar-benar tersentak saat melihat pangli-
ma mereka mati dengan tubuh terpotong dua. Saat itu juga timbul perasaan gentar
di hati mereka. "Kalau
Panglima Liu Hen Hui yang terkenal hebat dan sadis
saja dapat dikalahkan oleh gadis itu, bagaimana de-
ngan mereka?" begitu pikir keduanya. Namun karena
mereka sudah telanjur berhadapan, lari pun percuma.
Maka dengan cepat rasa gentar itu disingkirkan.
"Bangsat!" ujar dua prajurit kerajaan itu bersama-
an, sebagai cara mengusir rasa gentar. Kemudian ke-
duanya segera menyerang Bong Mini kembali dengan
pedang terhunus.
Sing sing sing!
"Hup!"
Bong Mini memasukkan pedang ke dalam sarung-
nya kembali. Kemudian dengan tenang dan berani, dua pedang yang menyambar dari
arah kiri dan kanannya
disambut dengan tangan kosong.
Dua prajurit itu terbelalak kaget menyaksikan la-
wan dengan berani menangkap kedua pedang mereka.
Karena menurut mereka, bagaimanapun kuatnya se-
seorang, tentu telapak tangannya akan tersayat jika menangkap pedang dengan
tangan telanjang.
"Hiiiy!"
Dua prajurit itu mengerahkan tenaga sekuat mung-
kin untuk membetot pedang mereka agar telapak ta-
ngan Bong Mini tersayat. Namun bagaimanapun kuat
mengerahkan tenaga, pedang mereka tetap tak berge-
rak sedikit pun dari genggaman Bong Mini. Membuat
hati mereka semakin gentar saja.
Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari takjub
menyaksikan keberanian Bong Mini. Mata mereka tak
berkedip sedikit pun untuk mengetahui tindakan Bong Mini selanjutnya.
"Hiiiy!"
Bong Mini menarik dua pedang lawan yang digeng-
gamnya. Begitu kuat, sehingga tubuh kedua prajurit
itu pun turut pula tertarik ke depan. Selanjutnya,
Bong Mini melepas genggaman dan memukul lawan.
Dukkk! Dukkk! Kedua tangan Bong Mini yang sudah dialiri ilmu
'Salju Meredam Raga' memukul dada lawan dengan ke-
ras. Membuat tubuh mereka terlempar ke belakang.
"Hekh! Hekh!"
Dua prajurit itu memekik tertahan ketika tubuh
mereka terjatuh di atas pasir pantai. Sedangkan dada yang terkena pukulan
telapak tangan Bong Mini didera rasa sakit dan sesak yang amat hebat, akibat
hawa dingin yang keluar dari telapak tangan Bong Mini. Dengan tubuh masih tergeletak,
kedua prajurit itu me-
mandang Putri Bong Mini dengan perasaan was-was,
takut dan sebagainya. Mereka ingin lari menyela-
matkan diri, tapi tidak mampu. Karena saat itu tubuh mereka terasa dingin dan
membeku seperti ditimbun
dalam salju. Dengan sikap tenang dan senyum sinis, Bong Mini
melangkah mendekati dua prajurit yang belum dapat
berdiri itu. "Sudah saatnya kau menyusul panglima dan te-
man-temanmu!"
Keduanya tampak terkejut bukan main. Wajah me-
reka tampak pucat, penuh ketakutan. Sebelum keter-
kejutan dua prajurit itu hilang, tiba-tiba Bong Mini yang berdiri di antara
mereka melompat kecil setinggi satu meter, disertai lengkingan tinggi.
"Hiyaaat!"
Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua prajurit itu memekik tertahan saat Bong Mini
menjatuhkan kakinya yang melebar itu ke leher me-
reka masing-masing. Tubuh mereka langsung bergelin-
jang seperti kambing disembelih. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Mereka mati
dengan lidah menjulur dan leher membiru seperti dicekik.
Prabu Jalatunda yang sejak tadi menyaksikan per-
tarungan Bong Mini sempat terkejut melihat kegara-
ngan Bong Mini. Terutama saat kaki Bong Mini menje-
jak leher dua lawannya. Namun ia sendiri maklum,
mengingat kematian mama Bong Mini saat terjadi per-
tarungan dengan pihak Kerajaan Manchuria (untuk le-
bih jelasnya, baca episode: 'Sepasang Pendekar dari Selatan').
Pertarungan seru antara pihak Bong Mini dengan
prajurit Kerajaan Manchuria yang datang ke Selat Malaka sudah mulai surut.
Korban banyak berjatuhan di pihak pasukan Kerajaan Manchuria. Hal ini bukan sa-
ja karena ketangkasan para pendekar, tetapi juga rasa gentar mereka saat melihat
kematian Panglima Liu
Hen Hui. Kesempatan itu digunakan para pendekar
untuk menyerang dan mendesak lawan sampai tewas.
Bongkap telah berhasil menewaskan lawan-lawan-
nya. Begitu pula dengan Pendekar Mata Dewa, Pende-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kar Teluk Naga, Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Pur-
basari. Hanya Baladewa saja yang masih bertarung dengan dua lawannya.
Para pendekar yang telah selesai bertarung melang-
kah untuk menyaksikan pertarungan Baladewa de-
ngan dua prajurit Kerajaan Manchuria.
"Hiaaat!"
Sing sing! Dua prajurit memekik tinggi berbareng terjangan ke
arah Baladewa. Sedangkan pedang yang di genggaman
mereka dihujamkan ke arah lawan dengan gerakan
menusuk. "Uts!"
Baladewa menghindari serangan dua pedang yang
datang dari arah kiri dan kanannya dengan cara me-
lompat. Sambil melompat dia mengerahkan jurus 'Ten-
dangan Geledek' ke arah lawan.
Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua prajurit itu terhenyak ke belakang. Sedangkan
pedang mereka terlepas dari tangan masing-masing.
Sebelum keduanya kembali mengatur kuda-kuda, Ba-
ladewa sudah melancarkan jurus 'Tendangan Geledek'-
nya kembali. Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Tendangan Baladewa begitu beruntun dan cepat,
sukar dielakkan. Sehingga dua prajurit yang tadi masih terhuyung itu terbanting
ke belakang disertai pekikan kesakitan.
Baladewa yang sudah tidak ingin memberikan ke-
sempatan pada kedua lawan untuk melakukan sera-
ngan segera menyerangnya kembali.
"Uuuh!"
Dua prajurit yang terbanting ke tanah itu berguli-
ngan menghindari tendangan kaki Baladewa yang de-
mikian cepat dan dahsyat Kemudian mereka bangkit
dan membuat posisi serangan dari arah kiri dan kanan Baladewa.
Bongkap dan Bong Mini serta para pendekar lain
yang menyaksikan pertarungan itu sempat kagum me-
lihat ketangguhan dua prajurit Kerajaan Manchuria
itu. Mereka begitu kuat. Berbeda dengan prajurit lain.
Begitu pula terhadap Baladewa yang mampu mengha-
dapi dua lawannya dengan tangan kosong. Bahkan
senjata yang tadi digunakan oleh dua prajurit itu terlepas oleh getaran
tendangan Baladewa. Kini mereka
sama-sama bertarung dengan tangan kosong.
"Hiaaat!"
Tubuh kedua prajurit itu mencelat ke arah Bala-
dewa disertai pekikan nyaring untuk melakukan sera-
ngan pukulan. "Uts!"
Duk duk! Baladewa melakukan gerakan melompat setinggi sa-
tu meter disertai tendangan kedua kakinya yang tepat mengarah pada muka
lawannya. Membuat dua prajurit
itu kembali terhenyak ke belakang.
Baladewa yang sudah ingin mengakhiri pertarungan
itu segera mengirimkan serangan pada seorang lawan
dengan cengkeraman kedua tangannya. Tapi tanpa di-
duga, seorang prajurit yang masih telentang di atas tanah menyambut kedatangan
Baladewa dengan sera-
ngan kakinya. "Uts!"
Baladewa menangkap tendangan itu. Kemudian ka-
ki kanannya menjejak selangkangan lawan dengan ke-
ras. "Aouw!"
Prajurit itu memekik kesakitan. Tubuhnya menge-
jang seketika dan mati. Karena selangkangannya dire-mukkan kaki Baladewa.
"Hiaaat!"
Seorang prajurit yang masih hidup mengeluarkan
lengkingan tinggi. Tubuhnya berkelebat menyambar
Baladewa. Mendengar lengkingan itu, tubuh Baladewa cepat
berbalik untuk menyambut serangan lawan.
"Hup!"
Baladewa menangkap tangan kanan lawan yang
mengarah ke mukanya dengan tangan kiri. Sedangkan
tangan kanannya yang sudah mengandung ilmu 'Pu-
kulan Tangan Dewa' memukul dada lawan dengan ke-
ras. "Auh!"
Prajurit itu memekik tertahan. Mulutnya memun-
tahkan darah segar. Ketika tubuhnya terhuyung ke belakang, Baladewa mengirim
kembali sebuah tendangan
dahsyat. Dukkk! Tendangan Baladewa mengenai wajah lawan. Mem-
buat lelaki itu jatuh telentang. Saat itu pula, Baladewa menerkamnya dengan
ganas, kemudian mencekik leher prajurit itu.
"Aaakh! Aaakh!"
Lawan mengeluarkan erangan tertahan. Tidak lama
kemudian, ia mati dengan tubuh mengejang dan mata
melotot. "Huh...!"
Baladewa menghela napas lega. Kemudian tubuh-
nya bangkit dan melangkah ke tempat para pendekar
berkumpul. "Kita segera berangkat!" kata Bongkap, mengajak
para pendekarnya. Kemudian mereka bergerak menuju
kapal peninggalan pasukan Kerajaan Manchuria. Sete-
lah semuanya naik, kapal pun bergerak menuju negeri Manchuria.
*** 2 Waktu terus berputar.
Matahari yang sejak pagi menerangi bumi telah la-
ma terbenam di ufuk timur. Berganti dengan cahaya
rembulan yang menampakkan diri sepenuhnya. Pepo-
honan, rumah-rumah penduduk serta benda-benda
lain yang biasa ditelan kegelapan malam, kini terlihat samar.
Bulan purnama di malam itu, bukan saja menera-
ngi perkampungan, tetapi juga menerangi seluruh lautan. Membuat panorama malam
di sekitar pantai men-
jadi indah dan syahdu.
Jauh di tengah laut, sebuah kapal tampak berlayar
tenang di atas tarian gelombang kecil. Itulah kapal milik kaisar Kerajaan
Manchuria yang berhasil direbut pasukan Bong Mini dari tangan pasukan Kerajaan
Manchuria. Di bawah siraman rembulan yang syahdu itu, seo-
rang gadis cantik berumur dua puluh tahun tampak
berdiri menikmati pemandangan alam sekitar. Wajah-
nya yang cantik tampak menengadah menatap sapa
ramah bulan purnama. Bibirnya yang mungil tampak
tersenyum. Seolah-olah mengagumi sinar rembulan
yang bergayut di cakrawala itu.
"Oh..., alangkah indahnya panorama malam ini!"
desah gadis itu dengan wajah berseri. Rambutnya me-
nari-nari tiada henti, tertiup hembusan angin malam.
Dari sebuah pintu kapal yang tak jauh dari tempat
gadis itu berdiri, muncul seorang pemuda tampan berpakaian setengah jubah
berwarna putih dengan teru-
san celana panjang longgar yang juga berwarna putih.
Sedangkan pada bagian pinggangnya melingkar se-
buah sabuk warna merah. Membuat penampilan pe-
muda itu benar-benar gagah dan mengagumkan.
Dengan langkah perlahan, pemuda tampan itu men-
dekati gadis tadi dan berdiri di belakang punggungnya.
"Belum tidur?" tegur pemuda itu ramah.
Gadis cantik yang sedang menikmati sinar rembu-
lan itu tersadar dari keasyikannya dan menoleh ke asal suara yang menegurnya.
"Aku masih ingin menikmati pemandangan yang in-
dah ini," desah gadis yang tidak lain Bong Mini, sambil mengalihkan pandangannya
pada riak kecil di bawah
kapal yang ditumpanginya.
Pemuda yang tidak lain Baladewa, melangkah dua
tindak dan berdiri sejajar dengan Putri Bong Mini. Matanya pun turut memandang
air laut. "Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padamu,"
ujar Baladewa dengan pandangan yang tetap tertuju
pada air laut. "Tentang apa?" tanya Bong Mini datar.
"Tentang kepergianmu semalam suntuk."
Bong Mini tersenyum tipis. Dia tak menoleh sedikit
pun pada Baladewa.
"Aku pergi untuk melepaskan rasa kangen pada
Kanjeng," sahut Bong Mini datar.
"Jadi kau pergi hanya untuk itu?" tanya Baladewa
terkejut. Badannya berbalik. Dipandangnya wajah
Bong Mini yang masih asyik memandang bayangan bu-
lan di permukaan laut
"Ya," desah Bong Mini.
"Kalau kau memang pergi ke tempat Kanjeng Rah-
mat Suci, kenapa tidak mengajakku?"
Bong Mini tersenyum hambar.
"Bagaimana aku mau bilang padamu. Sedangkan
kau sendiri tidak mau mendengarkan keluhanku," ka-
ta Bong Mini. "Aku tidak mau mendengarkan keluhanmu yang
rindu pada Kanjeng karena waktu dan keadaannya ti-
dak tepat," Baladewa berdalih.
"Ya, aku tahu. Dan karena itu, aku berangkat sen-
diri tanpa memberitahu siapa pun!" ketus Bong Mini
seraya menatap tajam pada Baladewa.
Baladewa menghela napas berat
"Lalu bagaimana dengan keadaan Kanjeng" Apakah
dia juga menanyakan diriku?" tanya Baladewa agak
kesal karena ucapan Bong Mini yang bernada ketus.
Kini Bong Mini yang berbalik menghela napas. Ke-
mudian dengan langkah gontai dia berjalan menjauhi
Baladewa dan berdiri memandang lautan bebas. Se-
dangkan kedua tangannya bertopang pada dinding bu-
ritan kapal. "Aku tidak sempat berkata sepatah kata pun!"
"Maksudmu?" tanya Baladewa sambil melangkah
mendekati Bong Mini. Dia berdiri di sampingnya.
"Kanjeng sudah pergi sebelum aku sempat mene-
muinya!" "Pergi?" tanya Baladewa dengan wajah tak mengerti.
Bong Mini tidak menyahut. Hanya air matanya saja
yang merembas lewat celah-celah bulu matanya. Ke-
mudian telaga bening itu mengalir meliuk-liuk di kedua pipi lembut gadis itu.
Melihat kekasihnya menangis, Baladewa semakin ti-
dak mengerti. Tapi untuk mengajukan pertanyaan, ia
pun merasa segan. Tanpa dapat berbuat apa-apa, Ba-
ladewa tak berkedip memandang air mata kekasihnya
yang sudah memanjang sampai di dagu.
"Kanjeng sudah tiada," mulai Bong Mini lagi, setelah beberapa saat terdiam.
Suaranya begitu pelan. Bahkan hampir tak terdengar.
"Bicara apa kamu"!" tanya Baladewa. Suaranya ter-
dengar meninggi.
Bong Mini menoleh. Wajah Baladewa dipandang de-
ngan uraian air mata. Wajahnya sendu layaknya ca-
haya redup rembulan.
"Kanjeng telah wafat!" desah Bong Mini menje-
laskan. "Apa" Kanjeng wafat"!" tanya Baladewa terkejut Ke-
dua biji matanya pun melotot, seakan hampir keluar.
Bong Mini yang sudah terisak tidak dapat menya-
hut, kecuali menganggukkan kepala. Itu pun sambil
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Tidak!" bantah Baladewa bersama luapan emosi.
"Kanjeng orang baik dan suci. Dia tidak boleh mati!"
lanjut Baladewa, tidak mau menerima berita yang di-
sampaikan Bong Mini.
Sikap Baladewa yang tidak mau menerima kenya-
taan itu memang bisa dimaklumi. Karena sejak ber-
umur sebelas tahun ia sudah berada dalam pengawa-
san Kanjeng Rahmat Suci. Jadi bagi Baladewa, Kan-
jeng Rahmat Suci bukan cuma gurunya, tetapi juga
sebagai orangtua.
Melihat sikap Baladewa, Bong Mini menghentikan
isak tangisnya dan memandang Baladewa dengan ma-
ta lembab. "Baladewa!" ucap Bong Mini dengan suara lembut
"Kenapa kau tidak mau menerima berita kematian
Kanjeng?" lanjut Bong Mini.
"Aku..., aku sangat mencintainya dan menganggap-
nya sebagai orangtuaku," sahut Baladewa.
"Aku mengerti. Aku pun mempunyai perasaan yang
sama denganmu. Tapi ingat, kita jangan berlebihan
mencintai seseorang hingga tidak sudi menerima ke-
nyataan pahit seperti ini," tutur Bong Mini lembut.
"Kematian itu terlalu cepat buat Kanjeng!" kata Ba-
ladewa dengan sikap yang masih menampakkan pe-
nyesalan. "Ya," balas Bong Mini. "Tapi siapa yang dapat meng-
elak dari takdir?"
Lama Baladewa terdiam. Perkataan Bong Mini baru-
san membuat dia merasa harus merenungi kembali ar-
ti hidup yang singkat ini. Sampai akhirnya dia menghela napas. Hatinya lega.
Karena kata-kata Bong Mini
tadi telah menyadarkan dirinya kalau setiap makhluk hidup tidak bisa lepas dari
takdir yang telah digariskan Tuhan.
"Rupanya kerinduanmu terhadap Kanjeng itu meru-
pakan isyarat atas kematiannya," kata Baladewa. Ma-
tanya memandang kosong pada bulan yang bercermin
di air laut. "Ya," sahut Bong Mini pendek. Sesungguhnya ia
pun masih sedih atas kematian Kanjeng Rahmat Suci.
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya, keduanya pun larut dalam kesedihan. Te-
rutama Baladewa yang tidak sempat melihat wajah gu-
runya untuk yang terakhir kali.
*** Sementara itu, ruang Istana Kerajaan Manchuria
tampak begitu hening. Enam prajurit tampak berdiri
pongah di kiri kanan pintu masuk ruang kebesaran
kaisar. Sedangkan di dalam ruangan itu, Kaisar Thiang Tok tampak duduk di kursi
kebesarannya. Matanya
menatap dua prajurit yang berlutut di atas lantai ber-lapis permadani merah.
"Bagaimana dengan Kidarga dan Nyi Genit?" tanya
Kaisar Thiang Tok yang berusia sekitar enam puluh
tahun itu. "Hamba tidak tahu persis, Tuanku! Hamba hanya
melihat kobaran api dan kepulan asap di sekitar Bukit Setan!" kata seorang dari
dua prajurit yang melapor.
Kaisar Thiang Tok mengangguk-angguk.
"Lalu, di mana kalian melihat mayat para prajurit?"
"Hamba melihat di sekitar Bukit Tengkorak!" jawab
prajurit tadi. "Hamba berkesimpulan, setelah memba-
kar markas Perguruan Topeng Hitam, pasukan Bong-
kap bertemu dengan prajurit kerajaan yang sudah
sampai di Bukit Tengkorak, lalu mereka bertempur!"
lanjut prajurit itu lagi.
Kaisar Thiang Tok kembali mengangguk-angguk.
Wajahnya tampak keruh seperti sedang berpikir keras.
"Bong Khian Fu benar-benar seorang yang tang-
guh!" gumam Kaisar Thiang Tok seraya berdiri. Dia
hanya mengenal Bongkap dengan sebutan Bong Khian
Fu, sebagai nama asli Bongkap ketika mengabdi pada
Kerajaan Manchuria beberapa tahun lalu (untuk lebih jelasnya, baca episode:
'Sepasang Pendekar dari Selatan').
Dengan langkah perlahan, Kaisar Thiang Tok mon-
dar-mandir di sekitar tempatnya berdiri. Pakaian kera-jaannya yang panjang,
berwarna kuning serta terbuat dari bahan sutera halus yang mahal tampak berjum-
bai-jumbai menyapu lantai.
Setelah beberapa saat berjalan mondar-mandir dan
berpikir, kaisar yang suka memelihara jenggot tipis dan panjang itu berdiri di
depan kursi kebesarannya.
Sedangkan matanya memandang dua pengawal yang
berdiri memegangi tombak.
"Panggil para panglima perang ke sini!" perintah Kaisar Thiang Tok.
"Siap, Tuanku!" sahut dua pengawal itu seraya
membungkuk. Kemudian dengan gagah mereka me-
langkah meninggalkan ruangan itu.
"Kalian boleh pergi!" perintah Kaisar Thiang Tok kepada dua prajurit yang
memberikan laporan.
"Baik, Tuanku!" ucap kedua prajurit itu serentak.
Kemudian secara bersamaan pula mereka melangkah
keluar. Setelah ruangan itu kosong, Kaisar Thiang Tok
kembali duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya ku-
sut dan gelisah memikirkan keadaan Perguruan To-
peng Hitam yang sudah habis terbakar.
Baru beberapa saat ia merenung di kursi kebesa-
rannya, tiba-tiba muncul dua pengawal bersama lima
lelaki gagah. Lima lelaki itu berjubah merah dengan ikat pinggang berwarna
kuning emas melingkar di
pinggang. Dalam lingkaran ikat pinggang itu terselip sebilah pedang panjang yang
sarungnya terbuat dari
perak asli. Sedangkan kepala mereka tampak licin,
seolah-olah tak satu rambut pun yang bersedia tum-
buh. Lima lelaki gagah berkepala botak yang usianya se-
kitar lima puluh tahun itu terus melangkah dan berdiri dalam jarak dua tombak
dari tempat kaisarnya.
"Tuanku memanggil kami?" ujar Cong Siat Fong,
Ketua Perkumpulan Naga Perak.
"Ya, aku memang memanggil kalian berlima!" kata
Kaisar Thiang Tok seraya berdiri. "Duduklah!"
Lima lelaki gagah yang tergabung dalam Perkumpu-
lan Naga Perak itu melangkah satu tindak ke dekat
kaisarnya dan duduk bersila di kiri kanan tempat duduk Kaisar Thiang Tok.
"Ada apa Tuanku memanggil kami?" tanya Liu Soen
Jie. Kaisar Thiang Tok tidak segera menjawab. Hanya matanya memandang lima orang
yang menjadi panglima perangnya.
"Aku ingin menyampaikan kabar buruk kepada ka-
lian!" kata Kaisar Thiang Tok.
Lima Naga Perak itu terhenyak dan saling berpan-
dangan. "Dua dari lima puluh orang prajurit yang kukirim ke negeri Selat Malaka telah
kembali lagi ke sini dan me-ngabarkan tentang kekalahan Perguruan Topeng Hi-
tam oleh pasukan Bongkap!" sambung Kaisar Thiang
Tok, menjelaskan tentang berita buruk yang dimak-
sud. Para panglima perang Kerajaan Manchuria itu kem-
bali terkejut dan saling pandang.
"Lalu bagaimana dengan para pendekar dan prajurit
yang kita kirim?" tanya Cong Siat Fong.
"Para pendekar yang kita kirim telah tewas semua.
Begitu pula dengan para prajurit pengiriman pertama.
Sedangkan lima puluh orang prajurit yang terakhir ki-ta kirim belum diketahui
nasibnya. Karena dua prajurit yang melapor tadi tidak sempat bertemu pasukan
Bongkap ketika kembali lagi ke negeri ini!" tutur Kaisar Thiang Tok.
Lima orang dari Perkumpulan Naga Perak itu meng-
angguk-angguk. "Lalu, apa yang hendak Tuanku perintahkan kepa-
da kami?" tanya Cong Siat Fong.
Kaisar Thiang Tok merebahkan punggungnya pada
sandaran kursi.
"Aku minta kalian melatih dan memperketat pasu-
kan!" ujar Kaisar Thiang Tok dengan pandangan lurus ke depan.
"Apakah kami dan para prajurit akan dikirim ke sa-
na?" tanya Cong Siat Fong.
"Ini untuk berjaga-jaga saja," kata Kaisar Thiang
Tok. "Aku merasa yakin kalau pasukan Bongkap akan
datang ke sini untuk melakukan penyerbuan!" lanjut
Kaisar Thiang Tok.
Lima lelaki gagah dari Perkumpulan Naga Perak itu
mengangguk-angguk mengerti.
"Kalau boleh kami tahu, berapa banyak sebenarnya
pasukan Bongkap itu?" tanya Cong Siat Fong.
"Sebenarnya jumlah pasukan mereka tidak banyak.
Namun begitu, mereka memiliki kepandaian yang luar
biasa," ucap Kaisar Thiang Tok menjelaskan. "Teruta-ma Bongkap dan putrinya!"
lanjut Kaisar Thiang Tok
yang sudah tahu betul bagaimana kehebatan Bongkap
dalam menumpas musuh-musuhnya. Hal itu diketahui
saat Bongkap masih mengabdikan diri padanya seba-
gai panglima perang.
Lima orang Perkumpulan Naga Perak yang menjadi
panglima perang Kerajaan Manchuria itu mengangguk-
angguk. "Nah, laksanakan perintahku!" ujar Kaisar Thiang
Tok. "Baik, Tuanku!" ucap kelima orang Perkumpulan
Naga Perak bersamaan. Kemudian mereka bangkit dan
melangkah meninggalkan ruangan itu.
*** 3 Malam datang menjemput. Kegelapan menyelimuti
bumi. Udara dingin yang setiap malam selalu turun di negeri Manchuria, kini
menyapa kembali. Menusuk
sampai ke tulang sumsum.
Dalam keremangan bumi yang hanya diterangi bu-
lan sabit, pasukan Bong Mini telah tiba di sebuah da-taran kecil berumput yang
melandai ke tenggara, menciptakan pemandangan indah di daerah sekitar. Pada
siang hari, para petani bisa menggiring kuda dan lem-bunya ke sana untuk
merumput. Tapi malam itu, tak
seekor binatang pun yang terlihat atau terdengar. Ketenangan di sana hanya
terpecah oleh hembusan angin malam, membelai daun pepohonan dan rerumputan.
Pasukan Bong Mini terus berjalan menyusuri pa-
dang rumput itu tanpa merasa lelah sedikit pun. Hing-ga mereka sampai di satu
tempat bernama Kampung
Dunsina. Sebuah desa kecil tempat Bong Mini dilahirkan.
"Inilah tempat tinggal keluargaku saat aku menja-
bat Panglima Perang Kerajaan Manchuria," kata Bong-
kap, memperkenalkan nama desa yang dipijaknya.
Para pendekar, termasuk Prabu Jalatunda yang
berjalan di samping Bongkap tampak mengangguk-
angguk sambil menyebarkan pandangan pada peman-
dangan alam di sekitar mereka.
"Aku tidak melihat rumah-rumah penduduk seba-
gaimana perkampungan lain," tukas Prabu Jalatunda
ketika pandangannya hanya menemukan pepohonan
besar. "Kita baru memasuki pinggiran kampung. Sekitar
dua kilo meter dari sini, rumah-rumah penduduk akan segera tampak!" kembali
Bongkap menjelaskan.
Prabu Jalatunda mengangguk-angguk sambil terus
berjalan menuju pertengahan kampung.
"Papa!" tegur Bong Mini yang berjalan di belakang
Bongkap bersama Ningrum, Thong Mey, dan Ratih
Purbasari. "Hm, ada apa?" tanya Bongkap tanpa menoleh. Ka-
rena sedang bercakap-cakap dengan Prabu Jalatunda
sambil berjalan.
"Bagaimana kalau langsung ke rumah kita?" usul
Bong Mini. "Siapa tahu rumah kita masih utuh dan belum ditempati orang!"
lanjutnya. "Ya, kita lihat saja. Kalau masih kosong, bisa kita jadikan tempat tinggal
sampai tugas kita selesai," sahut Bongkap, menyetujui pendapat putrinya.
Mereka terus berjalan. Dan karena perjalanan me-
reka diselingi percakapan, tanpa terasa mereka sampai di tempat tujuan.
Bongkap menghentikan langkahnya. Diikuti oleh
para pendekar lain.
"Papa!" desah Bong Mini saat mendekati papanya.
Dan berdiri di samping Bongkap. "Kenapa kampung ki-
ta jadi begini?" lanjut Bong Mini seperti bertanya pada dirinya sendiri ketika
menyaksikan rumah-rumah
penduduk yang porak-poranda.
Bongkap tidak menyahut. Dia melanjutkan langkah,
mendekati reruntuhan sebuah rumah. Tapi langkah-
nya segera berhenti ketika matanya terantuk pada ge-limpangan mayat di halaman
reruntuhan rumah ter-
sebut. Dari bau busuk yang menyebar, dapat disim-
pulkan kalau orang-orang itu telah mati sekitar dua atau tiga hari yang lalu.
"Menyedihkan sekali!" ucap Bongkap sambil meng-
amati mayat yang tergeletak di dekat kakinya. Sedangkan Bong Mini melanjutkan
langkah untuk memasuki
reruntuhan rumah.
"Papa, lihatlah!" seru Bong Mini tiba-tiba dengan
suara yang agak keras.
Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa,
dan Kao Cin Liong segera memasuki reruntuhan se-
buah rumah bilik yang tinggal tiang-tiangnya saja.
"Lihatlah, Papa! Ini benar-benar perbuatan biadab!"
maki Bong Mini dengan nada geram.
Bongkap dan beberapa pendekar yang masuk ke re-
runtuhan rumah melihat sesosok mayat wanita yang
tergeletak di atas dipan bambu. Pakaian bagian depannya terkoyak-koyak, hingga
memperlihatkan bagian
tubuh mayat wanita muda itu.
"Pasti wanita ini diperkosa sebelum dibunuh!" lan-
jut Bong Mini. Bongkap menghela napas berat. Wajahnya me-
merah tegang seperti menyimpan kemarahan yang
amat sangat "Siapa manusia yang melakukan perbuatan keji ini!"
geram Bongkap. "Aku yakin, ini pasti perbuatan orang-orang suru-
han Kaisar Thiang Tok!" sela Kao Cin Liong berpendapat.
"Sudah sejauh inikah kebiadaban Kaisar Thiang
Tok?" geram Bongkap.
"Begitu yang kutahu sebelum berangkat ke negeri
Selat Malaka untuk menyusul kalian!" sahut Kao Cin
Liong. "Mereka tidak hanya meminta upeti yang tinggi, tetapi juga melakukan
penyiksaan, pembunuhan, dan
pemerkosaan terhadap rakyat yang tidak bisa mem-
bayar upeti!" lanjut Kao Cin Liong menjelaskan.
Bongkap dan Bong Mini terdiam. Namun di balik
itu, mereka memendam sebongkah kegeraman.
"Kita harus bertindak, Papa!" cetus Bong Mini sete-
lah beberapa saat terdiam.
"Tentu saja, Putriku!" timpal Bongkap setuju. Ke-
mudian dengan langkah lesu ia kembali keluar, di ma-na para pendekar lain
berada. Begitu pula dengan
Bong Mini dan yang lain.
"Kita lanjutkan perjalanan!" kata Bongkap dengan
suara yang masih terdengar geram.
"Ke rumahmu?" tanya Prabu Jalatunda.
"Ya. Mudah-mudahan di sana tidak terjadi apa-
apa!" sahut Bongkap. Kemudian bersama para pende-
kar lain, dia melanjutkan perjalanan menuju rumah
Bongkap yang terletak dua kilo meter lagi dari tempat itu.
*** Waktu terus merayap. Malam pun semakin larut.
Membuat udara di malam itu bertambah dingin.
Dalam suasana malam yang larut dan dingin itu,
Bongkap dan pengikutnya telah sampai di tempat tu-
juan. Harapan untuk menemukan rumahnya dalam
keadaan utuh ternyata kandas. Sebagian rumah di se-
kitar tempat itu sudah berubah menjadi hamparan ta-
nah luas, termasuk rumahnya.
Beberapa rumah terlihat masih utuh. Karena para
penghuninya tidak turut melarikan diri ke Selat Ma-
laka. Sedangkan tempat tinggal keluarga yang berangkat dengan Bongkap ke Selat
Malaka langsung dihan-
curleburkan oleh pihak Kerajaan Manchuria.
Beberapa saat Bongkap dan Bong Mini tercenung.
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan merenungi rumah mereka yang dihancurkan.
Melainkan memikirkan penderitaan rakyat yang demi-
kian menyedihkan, akibat kesewenang-wenangan kai-
sarnya. Belum sempat mereka sadar dengan keadaan seke-
liling, tiba-tiba puluhan lelaki gagah berloncatan dari belakang dan langsung
mengepung mereka.
Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya tersentak ka-
get. Mereka langsung memegangi senjata masing-
masing. Mata mereka memandang tajam pada dua pu-
luh pengepung yang juga tengah mengamati mereka
dengan pedang terhunus di tangan kanan masing-
masing. Dua puluh orang yang mengurung para pendekar
itu terdiri dari para pemuda gagah. Kurang lebih berusia dua puluh lima tahun.
Berpakaian model jubah
warna merah dengan ikat pinggang hitam. Rambut me-
reka panjang digelung ke atas. Rata-rata berwajah
tampan dengan sepasang mata tajam penuh selidik ke
arah para pendekar yang dikurung.
"Siapa kalian"! Dan apa tujuan kalian menghadang
kami"!" tanya Bongkap dengan sikap tenang. Namun
matanya tetap waspada, menjaga serangan mendadak
yang mungkin akan dilakukan para pengepung yang
belum diketahui asal-usulnya itu.
"Kami orang-orang dari Perguruan Tapak Tangan
Suci. Lalu siapa kalian"!" sahut Fu Yen, pemimpin dua puluh pemuda gagah itu.
"Kami tidak mempunyai nama perkumpulan!" jawab
Bongkap. "Tapi kalau kalian ingin tahu, akan kuperkenalkan namaku!"
"Sebutkan saja siapa namamu!" kata Fu Yen tidak
sabar. "Namaku Bong Khian Fu!" ucap Bongkap, memper-
kenalkan namanya. Sengaja nama aslinya disebutkan.
Karena nama itu terkenal di negeri Manchuria.
Dua puluh pemuda gagah itu terkejut ketika men-
dengar nama Bong Khian Fu disebutkan. Mereka ber-
pandangan satu dengan yang lain. Kemudian tanpa
komando, mereka memasukkan pedang kembali ke da-
lam sarungnya dan langsung mendekati Bongkap.
"Maafkan tindakan kami yang lancang tadi!" kata
Fu Yen seraya menjura hormat
Para pendekar di pihak Bongkap tampak terkejut
melihat perubahan sikap para pengepung yang men-
dadak itu. Kecuali Bongkap dan Bong Mini. Karena
mereka tetap yakin kalau nama Bong Khian Fu masih
dikenal oleh orang-orang Perguruan Tapak Tangan Su-
ci. Bongkap tersenyum kecil pada Fu Yen.
"Kesalahan dan kekeliruan pasti terjadi pada setiap manusia!" ujar Bongkap,
membalas permohonan maaf
Fu Yen. "Sebenarnya kedatangan Tuanku sudah lama kami
tunggu!" kata Fu Yen lagi. Ternyata dia memang me-
ngenal Bongkap walau hanya sebatas nama.
Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan.
"Agar lebih jelas, ada baiknya Tuan dan pasukan
ikut ke perguruan kami!" lanjut Fu Yen.
Dengan segumpal tanda tanya mengenai maksud
Ketua Perguruan Tapak Tangan Suci, Bongkap, Bong
Mini, dan pendekar lain segera melanjutkan perjala-
nan, mengikuti langkah dua puluh lelaki gagah itu.
*** Malam terpuruk dalam kekelaman dan kesunyian.
Jangkrik terdengar mengerik. Begitu nyaring dan
susul-menyusul. Seolah sengaja hendak memecah ke-
heningan suasana itu.
Setelah menembus kegelapan sejauh satu kilometer,
Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya sampai di se-
buah benteng yang cukup luas. Ketinggian benteng itu membuat bangunan di
dalamnya tidak terlihat dari
luar. "Inilah markas Perguruan Tapak Tangan Suci!" kata
Fu Yen memperkenalkan. "Sengaja bentengnya diba-
ngun setinggi sepuluh meter agar bangunan di dalam-
nya tidak terlihat. Termasuk suara-suara orang yang berlatih silat!" lanjut Fu
Yen. Sebelum Bongkap memberi komentar, Fu Yen sudah melangkah menuju pintu
gerbang. "Mari masuk!" ajak Fu Yen setelah pintu gerbang
dibuka dua penjaga.
Para pendekar itu memasuki pintu gerbang ben-
teng. Sementara mata mereka tidak henti-hentinya be-redar pada keadaan sekitar.
Mereka cuma melihat se-
buah rumah kecil yang berdiri di atas hamparan tanah luas. Di sekitarnya tumbuh
pepohonan besar yang terlihat bagai para penjaga raksasa di malam hari.
Bongkap dan para pendekar terus melangkah me-
nuju rumah kecil yang berdiri di tengah hamparan tanah itu.
"Silakan duduk dulu! Akan kupanggil guru di da-
lam!" pamit Fu Yen.
"Silakan!" ucap Bongkap.
Fu Yen segera melangkah ke dalam. Sedangkan
Bongkap dan pengikutnya, serta orang-orang Pergu-
ruan Tapak Tangan Suci menduduki dipan bambu di
depan rumah kecil itu.
Tidak begitu lama mereka menunggu, Fu Yen telah
menemui mereka kembali bersama seorang wanita
cantik jelita berumur kurang lebih sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi
semampai, amat serasi
dengan wajahnya. Apalagi dengan pita merah yang
mengikat rambut legamnya.
Untuk beberapa saat wanita muda yang cantik itu
berdiri tertegun ketika pandangannya bertemu dengan mata Bongkap.
"Susiok Bong Khian Fu?" ucapnya dengan wajah
berseri. Walaupun Bongkap menyadari kalau orang-orang di
negeri itu masih mengenali dirinya, namun dia tetap terkejut manakala wanita
muda itu memanggilnya dengan sebutan paman.
Belum sempat Bongkap bertanya, gadis cantik itu
telah mengalihkan perhatian kepada Bong Mini. Dis-
apanya Bong Mini dengan wajah berseri pula. "Kamu
pasti Bong Mini!"
Bong Mini sama terkejutnya dengan Bongkap ketika
namanya disebutkan. Pada saat namanya disebut tadi, dia sendiri masih mengira-
ngira siapa nama gadis itu.
Karena secara samar ia pun merasa mengenalnya.
Wanita cantik itu tersenyum lebar melihat panda-
ngan bingung Bong Mini padanya.
"Aku maklum kalau kau sudah lupa terhadapku!"
katanya seraya maju setapak mendekati Bong Mini.
"Sembilan tahun merupakan waktu yang cukup lama,
yang membuat orang lupa terhadap sahabat masa la-
lunya!" lanjut wanita itu. Sesungguhnya ucapan tadi hanya diucapkan untuk
memancing daya ingat Bong
Mini. "Kau..." Kau Cici Yin Yin?" ucapan tadi langsung
memancing ingatan Bong Mini. Saat itu juga, dia langsung teringat masa lalunya
sebelum berangkat ke ne-
geri Selat Malaka. Ketika berumur sebelas tahun, ia selalu bermain akrab dengan
wanita berusia lima tahun
lebih tua dari umurnya.
"Ah..., ternyata kau masih ingat, Bong Mini!" tukas wanita bernama Yin Yin. Lalu
keduanya segera be-rangkulan erat, melepas rasa rindu bersama haru yang
menyelimuti mereka.
Hening. Para pendekar yang berada di sekitar tempat itu
hanya dapat menyaksikan Bong Mini dan Yin Yin yang
sedang dirundung keharuan.
"Papa, ini Yin Yin! Teman sepermainanku waktu ke-
cil!" seru Bong Mini, memperkenalkan kepada pa-
panya. Bongkap mengangguk-angguk dengan wajah ber-
seri. Walaupun ia masih merasa asing dengan gadis itu dan baru teringat ketika
Bong Mini menyebutkan namanya.
Bongkap melangkah menghampiri Yin Yin dan me-
nyentuh bahu wanita muda yang cantik itu sambil
berkata, "Maafkan aku, jika aku tidak mengenalmu
sama sekali!"
Yin Yin menjawab dengan sebaris senyum lembut.
Matanya menatap lelaki bertangan buntung yang ber-
diri di hadapannya.
"Aku mengerti, Susiok!" ujar Yin Yin sambil melirik lengan baju sebelah kiri
Bongkap. Dia terkejut dan
bertanya, "Apa yang terjadi dengan tangan Susiok?"
Bongkap tersenyum tipis seraya melirik pada lengan
yang dimaksud Yin Yin.
"Resiko perjuangan!" ucap Bongkap ringan. Seolah-
olah tidak ambil peduli dengan cacat tubuh tersebut.
Yin Yin mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita lanjutkan percakapan di dalam!"
ajak Yin Yin kemudian. Kakinya segera melangkah ke
dalam. Karena ruang tamu di dalam rumah itu terlalu kecil,
maka yang masuk ke ruangan itu hanya Bongkap,
Bong Mini, Prabu Jalatunda, Ningrum, dan Baladewa.
Termasuk Thong Mey dan Ratih Purbasari. Sedangkan
para pendekar bersama murid-murid Perguruan Tapak
Tangan Suci tetap duduk di atas dipan sambil berca-
kap-cakap. "Sejak tadi aku tidak melihat kedua orangtuamu. Ke
mana?" tanya Bong Mini setelah duduk berdekatan de-
ngan Yin Yin. Yin Yin menundukkan wajahnya beberapa saat.
Seolah-olah menyembunyikan kemurungan terpen-
dam. "Kedua orangtuaku sudah meninggal," desah Yin
Yin hampir tak terdengar. Sementara telaga bening
mulai merembesi bulu-bulu matanya.
"Maafkan aku jika pertanyaan tadi membuat hati
Cici sedih!" ucap Bong Mini ikut terharu.
"Tidak apa!" desah Yin Yin. Air matanya diusap, se-
mentara dia berusaha menenangkan perasaan. "Sudah
seharusnya kau dan Susiok tahu kematian kedua
orangtuaku. Mereka mati akibat perbuatan Kaisar
Thiang Tok yang sewenang-wenang!"
Bongkap dan Bong Mini terkejut mendengar kete-
rangan itu. Keduanya saling berpandangan dengan
amukan kegeraman terhadap Kaisar Thiang Tok.
"Kenapa kedua orangtuamu sampai dibunuh?" ta-
nya Bongkap ingin tahu.
"Mereka dibunuh karena belum bisa membayar
upeti sesuai dengan perjanjian," cerita Yin Yin. "Sebagai pengganti upeti yang
tertunggak, Cong Siat Fong meminta mama ikut ke istana kerajaan untuk menjadi
selir kaisar!"
"Siapa Cong Siat Fong itu?" tanya Bongkap, memo-
tong cerita Yin Yin.
"Seorang tokoh sesat yang dipercaya kaisar untuk
menjadi panglima perang bersama empat teman seper-
guruannya," tutur Yin Yin menjelaskan.
Bongkap, Bong Mini, Baladewa, Prabu Jalatunda,
Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari tampak ter-
diam. Meski hati masing-masing bergeliat dibakar kemarahan.
"Bagaimana cerita selanjutnya?" tanya Bong Mini.
"Mama menolak ketika Panglima Cong Siat Fong
memaksanya ikut ke istana kaisar. Begitu pula dengan papaku yang berusaha
menggagalkan niat busuk
panglima itu. Namun perjuangan papa untuk memper-
tahankan mama gagal. Papaku mati di tangan empat
teman Cong Siat Fong yang menyertainya!" Yin Yin
menghentikan ceritanya sejenak. Bahunya mulai turun naik menahan isak tangis.
Sedangkan air matanya
mulai mengalir membasahi kedua pipi melalui celah-
celah bulu matanya.
"Mama berusaha berontak ketika melihat papa te-
was. Beliau mengamuk dan melakukan perlawanan de-
ngan cara melemparkan barang-barang di sekitar
ruang tamu ke arah lima utusan kaisar! Tapi mama
seorang wanita lemah yang tidak memiliki kepandaian silat. Ia pun mati tertusuk
pedang Cong Siat Fong!" Yin Yin mengakhiri ceritanya dengan isak tangis yang tak
terbendung lagi.
Bongkap dan Bong Mini menghela napas. Wajah
keduanya tegang dan geram, penuh kemarahan yang
teramat sangat.
"Biadab!" maki Bong Mini. "Perbuatan mereka be-
nar-benar sudah di luar batas kemanusiaan!" lanjut-
nya. "Kaisar Thiang Tok dan pengikutnya tidak akan per-
nah mengenal perikemanusiaan, selama hati mereka
terus diburu haus kekuasaan!" kata Yin Yin di sela
isak tangisnya.
Bong Mini menoleh pada wanita cantik yang pernah
menjadi teman sepermainan sewaktu kecil dulu.
"Bagaimana kau bisa lolos dari tangan mereka?"
tanya Bong Mini.
"Pada saat kejadian itu, aku hanya dapat mengintip
dari dalam kamar. Ketika mengetahui kedua orangtua-
ku tewas, aku langsung melarikan diri lewat jendela kamar!" jawab Yin Yin. "Dan
dalam pelarian itu, aku bertemu dengan seorang tokoh kungfu bernama Ciu
Hok Kwi dari Desa Peging. Dari dia kupelajari ilmu
kungfu, sehingga aku mampu mendirikan Perguruan
Tapak Tangan Suci bersama dua puluh pesilat lain untuk membalas dendam terhadap
kebiadaban Kaisar
Thiang Tok dan pengikutnya. Namun untuk mewujud-
kan hal itu, saat ini jelas tidak mungkin. Mengingat Kaisar Thiang Tok memiliki
ratusan prajurit pilihan.
Tapi malam ini aku bersyukur karena Susiok Bong
Khian Fu yang terkenal sebagai 'Singa Perang' telah berada di sini!" kata Yin
Yin mengakhiri ceritanya.
Hening. Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan dalam
tutur hati masing-masing. Sedangkan Prabu Jalatun-
da, Baladewa, Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purba-
sari hanya dapat memandang Bongkap, Bong Mini,
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Yin Yin. Karena mereka masih merasa asing de-
ngan keadaan negeri yang seumur hidup baru dipijak
Kelana Buana 13 Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa Istana Pulau Es 9
RUNTUHNYA KERAJAAN MANCHURIA Oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pantai Selat Malaka dihujam panas siang itu.
Keangkuhan matahari membuat bumi bagai terpang-
gang. Angin pantai pun menjadi terasa menyiksa. Seakan tidak ingin lagi mengirim
keramahan pada mak-
hluk penghuni bumi.
Di bawah siraman sinar matahari itu, puluhan pen-
dekar tampak berdiri gagah, seolah-olah tidak mempedulikan sengatan matahari.
Mereka terbagi dalam dua kelompok besar. Sebagian tergabung dalam pasukan
Bongkap. Sedang sebagian yang lain adalah pasukan
Kerajaan Manchuria.
Di antara dua pasukan yang saling berhadapan itu,
Bong Mini tampak berdiri gagah. Matanya memandang
Panglima Liu Hen Hui yang juga tengah menatapnya.
Sedangkan tangan kanannya menggenggam cambuk
hitam sepanjang tiga meter.
"Siapa kau, Bocah Lancang!" geram Panglima Liu
Hen Hui. Dia benar-benar jengkel karena niat untuk
membunuh Bongkap dengan cambuk hitamnya terha-
lang oleh kehadiran gadis itu.
Sebenarnya bukan panglima dan prajurit Kerajaan
Manchuria saja yang terkejut melihat kehadiran Bong Mini yang tiba-tiba itu.
Para pendekar di pihak Bongkap pun sangat tercengang bercampur gembira. Me-
reka tercengang karena Bong Mini mampu menyela-
matkan Bongkap dengan sangat mudah. Meski Bong-
kap di bawah ancaman cambuk hitam Panglima Liu
Hen Hui. Sedangkan mereka gembira karena Bong
Mini hadir pada waktu yang tepat.
"Aku adalah Putri Bong Mini!" ujar Bong Mini te-
nang. Panglima dan prajurit Kerajaan Manchuria tampak
tercengang ketika mendengar nama itu. Biarpun baru
kali ini berjumpa dengan Bong Mini, mereka sudah
mendengar tentang sepak terjangnya dari kaisarnya,
Thiang Tok. Thiang Tok mengatakan kalau gadis itu
mempunyai kepandaian melebihi Bongkap. Dan itu te-
lah mereka saksikan saat Bong Mini muncul menyela-
matkan papanya secara tiba-tiba.
"Ha ha ha...!" Panglima Liu Hen Hui terbahak-ba-
hak, menutupi keterkejutannya. "Aku tidak menyang-
ka kalau putri Bongkap memiliki wajah yang demikian cantik!"
Bong Mini tersenyum sinis mendengar pujian itu.
"Jangan banyak bicara. Hadapilah aku jika kau ma-
sih punya nyali dan kepandaian!" ketus Bong Mini. Dia sudah tidak ingin membuang
waktu lebih lama untuk
menghajar orang-orang kaisar Kerajaan Manchuria.
Tantangan yang mengandung ejekan tadi membakar
kedua telinga Panglima Liu Hen Hui. Ia pernah berhadapan dengan pendekar-
pendekar wanita, tapi baru
kali ini mendapat tantangan dari wanita berusia muda.
Ketika tantangan itu terlontar dari mulut Bong Mini, tentu saja darahnya
langsung berdesir panas ke seluruh tubuh.
"Bocah setan!" maki Panglima Liu Hen Hui sambil
menggulung cambuk hitam, lalu memasukkannya
kembali ke dalam jubah. Kemudian diambilnya pedang
yang terjatuh saat bertarung melawan Bongkap (untuk lebih jelasnya, ikuti serial
Putri Bong Mini episode: 'Api Berkobar di Bukit Setan'). Setelah pedang
tergenggam di tangannya, ia kembali berdiri gagah. Matanya memandang tajam pada
Bong Mini yang sejak tadi mem-
perhatikan gerak-geriknya.
Baladewa yang sejak tadi berdiri di dekat ibunya,
Ningrum, menjadi cemas. Kakinya segera melangkah
menghampiri Bong Mini.
"Bong Mini, mundurlah! Biar kulayani panglima
itu!" pinta Baladewa. Ia merasa kasihan kalau kekasihnya yang baru datang harus
pula bertarung melawan
Panglima Liu Hen Hui, lelaki berkepandaian tinggi.
"Tidak perlu!" ketus Bong Mini tanpa menoleh pada
Baladewa sedikit pun. "Persoalan ini menyangkut pribadi papa dengan kaisar
Kerajaan Manchuria!" lanjutnya.
Baladewa menghela napas. Dia tidak bisa lagi men-
cegah keinginan gadis yang memang mempunyai sifat
keras itu. "Kalau kau ingin membantuku, hadapilah para pra-
jurit agar pertarungan cepat selesai!" sergah Bong Mini lagi.
"Heh, Cecunguk! Minggir!" Panglima Liu Hen Hui
membentak kesal pada Baladewa.
Sebagai pemuda berumur dua puluh tahun yang
masih dipenuhi gejolak emosi, Baladewa merasa ter-
singgung mendengar bentakan itu. Dengan wajah be-
rang, tubuhnya berbalik. Dipandangnya Panglima Liu
Hen Hui dengan mata memerah bagai bara.
"Manusia tengik! Majulah kalian semua!" tantang
Baladewa. Telinga para prajurit Kerajaan Manchuria menjadi
panas mendengar tantangan panas itu. Kemudian me-
reka menyerang Baladewa serentak. Bagai air bah, mereka berhamburan ke depan.
Hal itu tidak dibiarkan
begitu saja oleh pasukan Bongkap.
Trang trang trangngng!
Serangan pasukan Kerajaan Manchuria yang ber-
jumlah lima puluh orang itu segera disambut oleh para pendekar di pihak Bongkap
yang sejak tadi sudah siap menghadapi pertarungan.
Saat itu pula, Pantai Selat Malaka menjadi hiruk-
pikuk. Deburan ombak yang susul-menyusul berbaur
dengan pekikan kematian serta bau amis darah.
Sementara itu, Bongkap yang sejak tadi menahan
rasa nyeri akibat sabetan cambuk Panglima Liu Hen
Hui di punggungnya, kini telah bangkit dan melakukan serangan bersama para
pendekar lain. Seolah-olah ra-sa sakit di punggungnya hilang seketika.
Hiyaaat! Panglima Liu Hen Hui menyerang Bong Mini dengan
permainan pedang yang diberi nama ilmu 'Pedang Na-
ga Merah'. Ilmu yang dipelajarinya ketika berada di Bukit Naga Merah.
Wut wut wut! Sinar pedang berwarna merah yang memanjang
menyambar-nyambar leher dan perut Bong Mini dalam
kecepatan menggila.
Bong Mini sempat terkejut mendapat serangan yang
demikian dahsyat dan gencar itu. Tapi dengan cepat ia mengelakkan serangan itu
dengan cara merunduk,
melompat, dan bersalto ke belakang. Ketika dia berdiri kembali, tangannya sudah
mencabut Pedang Teratai
Merah. Sreset! Pedang yang selalu memancarkan sinar merah ber-
bentuk bunga teratai itu tergenggam di tangan kanan Bong Mini. Siap untuk
menyambut serangan lawan selanjutnya.
Sementara itu, Bongkap dan para pendekar lain
pun telah pula berhadapan dengan lawan masing-ma-
sing. Bongkap berhadapan dengan lima prajurit Kera-
jaan Manchuria. Begitu tangkas dan gigih. Seluruh tenaga dan kepandaiannya
dikerahkan untuk melawan
lima pengeroyoknya.
Pertempuran tak seimbang tidak hanya dihadapi
Bongkap, tetapi juga para pendekar lain. Seperti Tiga Pendekar Mata Dewa dan
Pendekar Teluk Naga, mas-
ing-masing menghadapi sembilan prajurit Kerajaan
Manchuria. Baladewa dan Ashiong menghadapi lima
lawan masing-masing. Sedangkan Prabu Jalatunda
dan Sang Piao berhadapan dengan lima pengeroyok-
nya. Begitu pula dengan Ningrum, Thong Mey, dan Ra-
tih Purbasari yang begitu gigih melawan tiga penge-
royok masing-masing.
Sementara Bong Mini, tidak bisa memandang remeh
lawan yang cuma seorang. Karena kepandaian silat
Panglima Liu Hen Hui jauh lebih tinggi dibanding para prajuritnya. Hanya orang
berkepandaian tinggi yang
mampu berhadapan dengan panglima itu. Sedangkan
Bongkap saja masih bisa dirobohkan. Padahal kepan-
daian silatnya seimbang dengan Panglima Liu Hen Hui.
Untunglah pada saat kritis, Bong Mini segera datang menyelamatkan Bongkap dan
langsung berhadapan
dengan Panglima Liu Hen Hui.
"Hiyaaat!"
Panglima Liu Hen Hui kembali memekik panjang
berbareng terjangan ke arah Bong Mini. Sedangkan pedang di tangan kanannya
menghujam lurus ke kepala
Bong Mini dengan gerakan membacok.
Trangngng! Pedang Panglima Liu Hen Hui segera ditangkis oleh
Bong Mini sambil memiringkan tubuh ke samping. Di-
susul dengan serangan balasan.
Wut wut wut! Trangngng!
Singngng! Sambaran pedang Bong Mini mengarah ke tubuh
lawan dengan ganas. Ketika Panglima Liu Hen Hui
mencoba menangkis, pedangnya langsung terpental
tinggi dan jatuh di luar kancah pertarungan. Sedangkan tubuhnya sendiri
terhenyak dua tombak ke bela-
kang. Dukkk! "Auh!"
Panglima Liu Hen Hui mengaduh pendek ketika
pantatnya mencium tanah dengan keras. Sedangkan
tangan kanannya masih terasa perih saat terjadi bentrokan pedang tadi. Namun
demikian, ia masih mampu
bangkit seraya memandang Bong Mini dengan sorot
mata yang menyimpan kemarahan.
Sementara itu, Bongkap dan para pendekar sedang
mendesak musuh penuh keganasan. Bahkan mereka
berhasil merobohkan beberapa orang lawan.
Sejak awal, Bongkap begitu gigih menghadapi la-
wan-lawannya. Kini dia berhasil merobohkan dua dari lima prajurit yang
dihadapinya. "Hiyaaat!"
Tubuh Bongkap berputar bagai baling-baling kapal,
berbareng dengan satu pekikan membahana. Sementa-
ra berputar, tubuhnya melesat setinggi dua meter ke arah lawan. Sehingga
pedangnya yang ikut berputar
hanya tampak sebagai sinar memanjang yang bergu-
lung. Itulah gabungan silat antara jurus 'Tanpa
Bayangan' dan jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Tiga prajurit Kerajaan Manchuria tampak terkejut
melihat tubuh lawan yang bergulung itu. Mereka tahu betul jurus yang digunakan
lawan. Karena mereka
pernah mendengar dan melihat sendiri keampuhan ju-
rus-jurus yang berasal dari negeri mereka itu. Sebelum mereka mengambil posisi
untuk menghadapi serangan
itu, sinar panjang yang bergulung telah tiba di dekat mereka.
Bret! Crokkk! Pedang Bongkap yang bergerak cepat bagai kilat itu
berhasil mengenai dua sasaran. Sabetan pertama
mengenai leher lawan hingga kepalanya pisah dari badan, sedangkan sabetan kedua
membacok kepala la-
wan yang lain hingga terbelah dua.
Kedua lawan yang terkena sabetan pedang berdiri
limbung sebentar sampai akhirnya roboh dan mati
tanpa mengeluarkan pekikan sedikit pun.
Di lain pihak, Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Pur-
basari pun sedang berjuang gigih menghadapi sembi-
lan pengeroyok. Mereka melakukan perlawanan de-
ngan cara saling melindungi. Ningrum dan Ratih Pur-
basari berdiri berlawanan dengan punggung yang ham-
pir bersentuhan. Sedangkan Thong Mey berdiri di samping keduanya.
Setelah ketiganya membuat posisi saling membela-
kangi, pedang di tangan kanan mereka diangkat agak
menyilang, sedangkan tangan kiri ketiganya terkem-
bang miring di depan dada masing-masing.
Sembilan lawan mereka bergerak maju mengelilingi
tiga wanita cantik itu. Mereka menyerang dengan gerakan-gerakan aneh. Gerakan
berlari mengelilingi sambil menyambar-nyambarkan pedangnya dengan gerakan
menusuk. Wut wut wut! Serangan pedang mereka memang sambil lalu saja.
Namun banyaknya senjata yang mengarah pada ketiga
wanita itu, tentu saja sangat berbahaya. Untunglah ketiganya mampu menangkis
dengan pedang masing-
masing. Trang trang trangngng!
Benturan pedang yang berlawanan itu menimbul-
kan denting amat nyaring yang susul-menyusul.
"Aaakh aaakh aaakh!"
Pekikan kaget terdengar dari mulut para prajurit
Kerajaan Manchuria manakala senjata mereka ter-
tangkis oleh pedang ketiga lawan. Empat orang di antara mereka terpaksa
melepaskan senjata dari geng-
gamannya karena tidak kuat menahan getaran dan ra-
sa perih di telapak tangan.
Kenyataan tersebut, membuat para prajurit itu sa-
dar kalau tiga wanita cantik yang diserang memiliki kekuatan amat hebat.
Sehingga ketika telah berada
pada posisi semula, mereka langsung mengurung dan
menyerang dengan gencar.
"Aaakh...!"
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pekikan tertahan yang susul-menyusul datang dari
arah lain. Ternyata pekikan itu datang dari lima belas prajurit yang tewas di
tangan Prabu Jalatunda, Baladewa, Ashiong, Sang Piao, Tiga Pendekar Mata Dewa,
dan Pendekar Teluk Naga. Mereka sengaja melakukan
perlawanan bersama agar pertempuran lebih cepat be-
rakhir. Sementara itu, pertarungan antara Bong Mini dan
Panglima Liu Hen Hui masih berlangsung. Malah se-
makin sengit. Karena kali ini, Panglima Liu Hen Hui menggunakan cambuk hitam
yang panjangnya sekitar
dua meter. Kemudian Cambuk Lidah Naga Merah itu
bergerak menyambar tubuh Bong Mini.
Wut! Tarrr! Wut! Tarrr!
Ujung cambuk itu menyambar tubuh lawan dengan
dahsyat. Namun dengan cepat, Bong Mini mengelak-
kan serangan dengan melompat ke arah lawan.
Dukkk! "Uuuh!"
Kepala Bong Mini langsung membentur perut la-
wan. Tubuh panglima itu terhenyak ke belakang. Se-
dangkan cambuknya terlepas dan langsung melayang
di udara, kemudian jatuh di luar arena pertarungan.
Bukkk! Tubuh Panglima Liu Hen Hui menyusul jatuh telen-
tang di atas tanah. Namun dengan cepat, Panglima Liu Hen Hui bangkit dengan
sorot mata yang tetap tajam
memandang Bong Mini.
Gadis bertubuh mungil berpakaian merah ketat itu
sudah tidak ingin lagi mengulur-ulur waktu. Ketika
Panglima Liu Hen Hui bangkit berdiri, ia segera menyerang dengan sabetan pedang
ke kepala lawan.
Wut wut wut! Dengan tangkas, Panglima Liu Hen Hui mengelak-
kan serangan itu. Tubuhnya dimiringkan ke samping
sambil merunduk. Sehingga pedang lawan yang ber-
kelebat cepat itu luput dari sasaran. Namun Bong Mini tidak berhenti sampai di
situ. Ia segera menyusulkan serangan dengan tendangan kaki kanannya.
Dukkk! Tendangan Bong Mini begitu telak menghantam wa-
jah lawannya, hingga tubuh Panglima Liu Hen Hui
kembali terjengkang ke belakang. Sebelum ia sempat
bangkit kembali, Bong Mini segera memburu dan me-
lancarkan serangan pedangnya.
Bret! "Aaakh!"
Ujung pedang Bong Mini merobek perut Panglima
Liu Hen Hui dengan sadis. Saat itu juga Panglima Liu Hen Hui memekik kaget
sambil meraba perutnya yang
sudah menganga lebar. Seolah hendak memperli-
hatkan isi perutnya.
Walaupun perutnya telah terkena sabetan pedang,
Panglima Liu Hen Hui masih tampak kuat. Dia berdiri terhuyung dengan mata
berpijar penuh kemarahan
yang sukar dikendalikan. Dengan gerakan lemah,
Panglima Liu Hen Hui menendang Bong Mini. Sedang-
kan kedua tangannya tetap mendekap perut yang ma-
sih mengeluarkan darah.
"Uuuh!"
"Hep!"
Dengan tenang serta senyum di bibir, Bong Mini
menangkap tendangan Panglima Liu Hen Hui yang
bergerak lemah ke arahnya. Kemudian kaki kanan la-
wan yang telah tertangkap tangan kirinya itu ditarik sedikit ke dekatnya.
Crokkk! "Aaakh!"
Panglima Liu Hen Hui memekik tertahan ketika pe-
dang di tangan Bong Mini membacok pinggangnya. Pa-
da saat itu juga tubuhnya terbelah dua dan tewas.
Bong Mini berdiri tegak sambil memandangi mayat
Panglima Liu Hen Hui dengan perasaan puas. Setelah
itu pandangannya dialihkan pada para pendekar yang
masih bertarung. Matanya melihat Ningrum, Thong
Mey, dan Ratih Purbasari masih gigih menghadapi
sembilan lawan mereka. Kemudian dengan Pedang Te-
ratai Merah yang masih berlumur darah, Bong Mini
melesat ke arah mereka.
"Hiyaaat!"
Seraya mengeluarkan lengkingan tinggi, Bong Mini
melenting ke arah sembilan prajurit yang mengeroyok tiga wanita cantik itu.
Sedangkan pedang di tangan
kanannya berlumur darah berkelebat ke arah lawan
disertai dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga
'Inti Udara Bergulung'.
Bret bret bret!
Duk duk duk! "Aaakh!"
Lima dari sembilan pengeroyok tiga wanita cantik
itu memekik kaget. Rupanya kelebatan pedang Bong
Mini menyabet leher dua prajurit. Sedangkan tiga prajurit lain terhantam tangan
kiri Bong Mini yang me-
ngandung 'Inti Udara Bergulung'. Dalam sekejap, lima orang yang terkena serangan
Bong Mini itu roboh tak bernapas lagi.
Empat prajurit yang masih hidup tampak terkejut
melihat serangan mendadak dan mematikan itu. Sera-
ngan mereka yang tadinya mengarah teratur pada
Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari, kini menja-di kacau.
Ketika mengetahui siapa penyerangnya, hati mereka
menjadi kecut. Karena pikir mereka, "Kalau gadis bertubuh mungil yang tadi
berhadapan dengan Panglima
Liu Hen Hui mengalihkan penyerangan ke arah me-
reka, sudah tentu dia akan merobohkan lawannya de-
ngan mudah."
Rasa terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu
menyelinap dalam diri prajurit Kerajaan Manchuria.
Juga dalam diri tiga wanita cantik itu. Dan ketika mengetahui kalau yang
membantu mereka Putri Bong
Mini, hati mereka menjadi lega.
"Kalian hadapilah empat manusia jahanam itu!"
usai berkata begitu, Bong Mini melompat kembali ke
arah para pendekar. Sedangkan matanya tertuju pada
Prabu Jalatunda yang sedang berusaha mati-matian
melawan lima pengeroyoknya. Dan seperti yang dila-
kukan terhadap sembilan prajurit Kerajaan Manchuria tadi, Bong Mini pun segera
menyerang lima pengeroyok Prabu Jalatunda secara tiba-tiba.
Bret! Crokkk! Pedang Bong Mini menyambar tangan kanan seo-
rang prajurit yang sedang mengarahkan pedangnya ke
tubuh Prabu Jalatunda hingga putus sebatas siku. Sedangkan sabetan kedua
mengenai kepala lawan hingga
terbelah dua. Lawan berdiri limbung sesaat, selanjutnya roboh tak bernapas lagi.
Tiga orang yang selamat dari sabetan pedang Bong
Mini dan seorang prajurit yang buntung karena sa-
betan pedang Bong Mini menjadi terkejut. Serempak
mereka mengalihkan pandangan ke arah gadis yang
menyerang secara tiba-tiba.
"Kalian memang anjing-anjing buduk yang perlu di-
beri pelajaran!" geram Bong Mini seraya menatap em-
pat prajurit yang terpana memandangnya. Sebelum
mereka sadar dari keterkejutan, tubuh Bong Mini su-
dah melesat kembali.
"Hiaaat!"
Tubuhnya melenting setinggi satu meter ke depan
bersama satu pekikan tinggi. Sedangkan pedangnya
bergerak mencari sasaran.
Bret bret! Dua prajurit kembali tewas tanpa sempat memekik
ketika pedang Bong Mini membabat leher mereka hing-
ga putus. "Keparat!" geram dua prajurit lain ketika melihat
dua teman mereka mati dalam keadaan mengenaskan.
Dengan cepat mereka menggerakkan pedangnya ke
arah Bong Mini.
Singngng...! Siuttt!
Trang trang trang!
Gadis bertubuh mungil yang sudah memiliki ilmu
kedigdayaan ini segera menyambut serangan pedang
dua prajurit itu dengan gerakan yang gesit.
Trangngng! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua lawan Bong Mini memekik keras ketika lengan
mereka diterabas hawa dingin yang menyelusup mela-
lui senjata, membuat lengan mereka seperti membeku.
Karena pada saat terjadi bentrokan pedang, Bong Mini sudah mengerahkan ilmu
'Salju Meredam Raga'. Salah
satu ilmu warisan Putri Teratai Merah.
"Majulah kalian kalau ingin kukirim ke neraka ber-
sama panglima kalian!" tantang Bong Mini dengan bi-
bir tersenyum sinis.
Dua prajurit itu terkejut. Keduanya segera menoleh
ke tempat pertarungan Bong Mini dan Panglima Liu
Hen Hui tadi. Mereka benar-benar tersentak saat melihat pangli-
ma mereka mati dengan tubuh terpotong dua. Saat itu juga timbul perasaan gentar
di hati mereka. "Kalau
Panglima Liu Hen Hui yang terkenal hebat dan sadis
saja dapat dikalahkan oleh gadis itu, bagaimana de-
ngan mereka?" begitu pikir keduanya. Namun karena
mereka sudah telanjur berhadapan, lari pun percuma.
Maka dengan cepat rasa gentar itu disingkirkan.
"Bangsat!" ujar dua prajurit kerajaan itu bersama-
an, sebagai cara mengusir rasa gentar. Kemudian ke-
duanya segera menyerang Bong Mini kembali dengan
pedang terhunus.
Sing sing sing!
"Hup!"
Bong Mini memasukkan pedang ke dalam sarung-
nya kembali. Kemudian dengan tenang dan berani, dua pedang yang menyambar dari
arah kiri dan kanannya
disambut dengan tangan kosong.
Dua prajurit itu terbelalak kaget menyaksikan la-
wan dengan berani menangkap kedua pedang mereka.
Karena menurut mereka, bagaimanapun kuatnya se-
seorang, tentu telapak tangannya akan tersayat jika menangkap pedang dengan
tangan telanjang.
"Hiiiy!"
Dua prajurit itu mengerahkan tenaga sekuat mung-
kin untuk membetot pedang mereka agar telapak ta-
ngan Bong Mini tersayat. Namun bagaimanapun kuat
mengerahkan tenaga, pedang mereka tetap tak berge-
rak sedikit pun dari genggaman Bong Mini. Membuat
hati mereka semakin gentar saja.
Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari takjub
menyaksikan keberanian Bong Mini. Mata mereka tak
berkedip sedikit pun untuk mengetahui tindakan Bong Mini selanjutnya.
"Hiiiy!"
Bong Mini menarik dua pedang lawan yang digeng-
gamnya. Begitu kuat, sehingga tubuh kedua prajurit
itu pun turut pula tertarik ke depan. Selanjutnya,
Bong Mini melepas genggaman dan memukul lawan.
Dukkk! Dukkk! Kedua tangan Bong Mini yang sudah dialiri ilmu
'Salju Meredam Raga' memukul dada lawan dengan ke-
ras. Membuat tubuh mereka terlempar ke belakang.
"Hekh! Hekh!"
Dua prajurit itu memekik tertahan ketika tubuh
mereka terjatuh di atas pasir pantai. Sedangkan dada yang terkena pukulan
telapak tangan Bong Mini didera rasa sakit dan sesak yang amat hebat, akibat
hawa dingin yang keluar dari telapak tangan Bong Mini. Dengan tubuh masih tergeletak,
kedua prajurit itu me-
mandang Putri Bong Mini dengan perasaan was-was,
takut dan sebagainya. Mereka ingin lari menyela-
matkan diri, tapi tidak mampu. Karena saat itu tubuh mereka terasa dingin dan
membeku seperti ditimbun
dalam salju. Dengan sikap tenang dan senyum sinis, Bong Mini
melangkah mendekati dua prajurit yang belum dapat
berdiri itu. "Sudah saatnya kau menyusul panglima dan te-
man-temanmu!"
Keduanya tampak terkejut bukan main. Wajah me-
reka tampak pucat, penuh ketakutan. Sebelum keter-
kejutan dua prajurit itu hilang, tiba-tiba Bong Mini yang berdiri di antara
mereka melompat kecil setinggi satu meter, disertai lengkingan tinggi.
"Hiyaaat!"
Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua prajurit itu memekik tertahan saat Bong Mini
menjatuhkan kakinya yang melebar itu ke leher me-
reka masing-masing. Tubuh mereka langsung bergelin-
jang seperti kambing disembelih. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Mereka mati
dengan lidah menjulur dan leher membiru seperti dicekik.
Prabu Jalatunda yang sejak tadi menyaksikan per-
tarungan Bong Mini sempat terkejut melihat kegara-
ngan Bong Mini. Terutama saat kaki Bong Mini menje-
jak leher dua lawannya. Namun ia sendiri maklum,
mengingat kematian mama Bong Mini saat terjadi per-
tarungan dengan pihak Kerajaan Manchuria (untuk le-
bih jelasnya, baca episode: 'Sepasang Pendekar dari Selatan').
Pertarungan seru antara pihak Bong Mini dengan
prajurit Kerajaan Manchuria yang datang ke Selat Malaka sudah mulai surut.
Korban banyak berjatuhan di pihak pasukan Kerajaan Manchuria. Hal ini bukan sa-
ja karena ketangkasan para pendekar, tetapi juga rasa gentar mereka saat melihat
kematian Panglima Liu
Hen Hui. Kesempatan itu digunakan para pendekar
untuk menyerang dan mendesak lawan sampai tewas.
Bongkap telah berhasil menewaskan lawan-lawan-
nya. Begitu pula dengan Pendekar Mata Dewa, Pende-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kar Teluk Naga, Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Pur-
basari. Hanya Baladewa saja yang masih bertarung dengan dua lawannya.
Para pendekar yang telah selesai bertarung melang-
kah untuk menyaksikan pertarungan Baladewa de-
ngan dua prajurit Kerajaan Manchuria.
"Hiaaat!"
Sing sing! Dua prajurit memekik tinggi berbareng terjangan ke
arah Baladewa. Sedangkan pedang yang di genggaman
mereka dihujamkan ke arah lawan dengan gerakan
menusuk. "Uts!"
Baladewa menghindari serangan dua pedang yang
datang dari arah kiri dan kanannya dengan cara me-
lompat. Sambil melompat dia mengerahkan jurus 'Ten-
dangan Geledek' ke arah lawan.
Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua prajurit itu terhenyak ke belakang. Sedangkan
pedang mereka terlepas dari tangan masing-masing.
Sebelum keduanya kembali mengatur kuda-kuda, Ba-
ladewa sudah melancarkan jurus 'Tendangan Geledek'-
nya kembali. Duk duk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Tendangan Baladewa begitu beruntun dan cepat,
sukar dielakkan. Sehingga dua prajurit yang tadi masih terhuyung itu terbanting
ke belakang disertai pekikan kesakitan.
Baladewa yang sudah tidak ingin memberikan ke-
sempatan pada kedua lawan untuk melakukan sera-
ngan segera menyerangnya kembali.
"Uuuh!"
Dua prajurit yang terbanting ke tanah itu berguli-
ngan menghindari tendangan kaki Baladewa yang de-
mikian cepat dan dahsyat Kemudian mereka bangkit
dan membuat posisi serangan dari arah kiri dan kanan Baladewa.
Bongkap dan Bong Mini serta para pendekar lain
yang menyaksikan pertarungan itu sempat kagum me-
lihat ketangguhan dua prajurit Kerajaan Manchuria
itu. Mereka begitu kuat. Berbeda dengan prajurit lain.
Begitu pula terhadap Baladewa yang mampu mengha-
dapi dua lawannya dengan tangan kosong. Bahkan
senjata yang tadi digunakan oleh dua prajurit itu terlepas oleh getaran
tendangan Baladewa. Kini mereka
sama-sama bertarung dengan tangan kosong.
"Hiaaat!"
Tubuh kedua prajurit itu mencelat ke arah Bala-
dewa disertai pekikan nyaring untuk melakukan sera-
ngan pukulan. "Uts!"
Duk duk! Baladewa melakukan gerakan melompat setinggi sa-
tu meter disertai tendangan kedua kakinya yang tepat mengarah pada muka
lawannya. Membuat dua prajurit
itu kembali terhenyak ke belakang.
Baladewa yang sudah ingin mengakhiri pertarungan
itu segera mengirimkan serangan pada seorang lawan
dengan cengkeraman kedua tangannya. Tapi tanpa di-
duga, seorang prajurit yang masih telentang di atas tanah menyambut kedatangan
Baladewa dengan sera-
ngan kakinya. "Uts!"
Baladewa menangkap tendangan itu. Kemudian ka-
ki kanannya menjejak selangkangan lawan dengan ke-
ras. "Aouw!"
Prajurit itu memekik kesakitan. Tubuhnya menge-
jang seketika dan mati. Karena selangkangannya dire-mukkan kaki Baladewa.
"Hiaaat!"
Seorang prajurit yang masih hidup mengeluarkan
lengkingan tinggi. Tubuhnya berkelebat menyambar
Baladewa. Mendengar lengkingan itu, tubuh Baladewa cepat
berbalik untuk menyambut serangan lawan.
"Hup!"
Baladewa menangkap tangan kanan lawan yang
mengarah ke mukanya dengan tangan kiri. Sedangkan
tangan kanannya yang sudah mengandung ilmu 'Pu-
kulan Tangan Dewa' memukul dada lawan dengan ke-
ras. "Auh!"
Prajurit itu memekik tertahan. Mulutnya memun-
tahkan darah segar. Ketika tubuhnya terhuyung ke belakang, Baladewa mengirim
kembali sebuah tendangan
dahsyat. Dukkk! Tendangan Baladewa mengenai wajah lawan. Mem-
buat lelaki itu jatuh telentang. Saat itu pula, Baladewa menerkamnya dengan
ganas, kemudian mencekik leher prajurit itu.
"Aaakh! Aaakh!"
Lawan mengeluarkan erangan tertahan. Tidak lama
kemudian, ia mati dengan tubuh mengejang dan mata
melotot. "Huh...!"
Baladewa menghela napas lega. Kemudian tubuh-
nya bangkit dan melangkah ke tempat para pendekar
berkumpul. "Kita segera berangkat!" kata Bongkap, mengajak
para pendekarnya. Kemudian mereka bergerak menuju
kapal peninggalan pasukan Kerajaan Manchuria. Sete-
lah semuanya naik, kapal pun bergerak menuju negeri Manchuria.
*** 2 Waktu terus berputar.
Matahari yang sejak pagi menerangi bumi telah la-
ma terbenam di ufuk timur. Berganti dengan cahaya
rembulan yang menampakkan diri sepenuhnya. Pepo-
honan, rumah-rumah penduduk serta benda-benda
lain yang biasa ditelan kegelapan malam, kini terlihat samar.
Bulan purnama di malam itu, bukan saja menera-
ngi perkampungan, tetapi juga menerangi seluruh lautan. Membuat panorama malam
di sekitar pantai men-
jadi indah dan syahdu.
Jauh di tengah laut, sebuah kapal tampak berlayar
tenang di atas tarian gelombang kecil. Itulah kapal milik kaisar Kerajaan
Manchuria yang berhasil direbut pasukan Bong Mini dari tangan pasukan Kerajaan
Manchuria. Di bawah siraman rembulan yang syahdu itu, seo-
rang gadis cantik berumur dua puluh tahun tampak
berdiri menikmati pemandangan alam sekitar. Wajah-
nya yang cantik tampak menengadah menatap sapa
ramah bulan purnama. Bibirnya yang mungil tampak
tersenyum. Seolah-olah mengagumi sinar rembulan
yang bergayut di cakrawala itu.
"Oh..., alangkah indahnya panorama malam ini!"
desah gadis itu dengan wajah berseri. Rambutnya me-
nari-nari tiada henti, tertiup hembusan angin malam.
Dari sebuah pintu kapal yang tak jauh dari tempat
gadis itu berdiri, muncul seorang pemuda tampan berpakaian setengah jubah
berwarna putih dengan teru-
san celana panjang longgar yang juga berwarna putih.
Sedangkan pada bagian pinggangnya melingkar se-
buah sabuk warna merah. Membuat penampilan pe-
muda itu benar-benar gagah dan mengagumkan.
Dengan langkah perlahan, pemuda tampan itu men-
dekati gadis tadi dan berdiri di belakang punggungnya.
"Belum tidur?" tegur pemuda itu ramah.
Gadis cantik yang sedang menikmati sinar rembu-
lan itu tersadar dari keasyikannya dan menoleh ke asal suara yang menegurnya.
"Aku masih ingin menikmati pemandangan yang in-
dah ini," desah gadis yang tidak lain Bong Mini, sambil mengalihkan pandangannya
pada riak kecil di bawah
kapal yang ditumpanginya.
Pemuda yang tidak lain Baladewa, melangkah dua
tindak dan berdiri sejajar dengan Putri Bong Mini. Matanya pun turut memandang
air laut. "Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padamu,"
ujar Baladewa dengan pandangan yang tetap tertuju
pada air laut. "Tentang apa?" tanya Bong Mini datar.
"Tentang kepergianmu semalam suntuk."
Bong Mini tersenyum tipis. Dia tak menoleh sedikit
pun pada Baladewa.
"Aku pergi untuk melepaskan rasa kangen pada
Kanjeng," sahut Bong Mini datar.
"Jadi kau pergi hanya untuk itu?" tanya Baladewa
terkejut. Badannya berbalik. Dipandangnya wajah
Bong Mini yang masih asyik memandang bayangan bu-
lan di permukaan laut
"Ya," desah Bong Mini.
"Kalau kau memang pergi ke tempat Kanjeng Rah-
mat Suci, kenapa tidak mengajakku?"
Bong Mini tersenyum hambar.
"Bagaimana aku mau bilang padamu. Sedangkan
kau sendiri tidak mau mendengarkan keluhanku," ka-
ta Bong Mini. "Aku tidak mau mendengarkan keluhanmu yang
rindu pada Kanjeng karena waktu dan keadaannya ti-
dak tepat," Baladewa berdalih.
"Ya, aku tahu. Dan karena itu, aku berangkat sen-
diri tanpa memberitahu siapa pun!" ketus Bong Mini
seraya menatap tajam pada Baladewa.
Baladewa menghela napas berat
"Lalu bagaimana dengan keadaan Kanjeng" Apakah
dia juga menanyakan diriku?" tanya Baladewa agak
kesal karena ucapan Bong Mini yang bernada ketus.
Kini Bong Mini yang berbalik menghela napas. Ke-
mudian dengan langkah gontai dia berjalan menjauhi
Baladewa dan berdiri memandang lautan bebas. Se-
dangkan kedua tangannya bertopang pada dinding bu-
ritan kapal. "Aku tidak sempat berkata sepatah kata pun!"
"Maksudmu?" tanya Baladewa sambil melangkah
mendekati Bong Mini. Dia berdiri di sampingnya.
"Kanjeng sudah pergi sebelum aku sempat mene-
muinya!" "Pergi?" tanya Baladewa dengan wajah tak mengerti.
Bong Mini tidak menyahut. Hanya air matanya saja
yang merembas lewat celah-celah bulu matanya. Ke-
mudian telaga bening itu mengalir meliuk-liuk di kedua pipi lembut gadis itu.
Melihat kekasihnya menangis, Baladewa semakin ti-
dak mengerti. Tapi untuk mengajukan pertanyaan, ia
pun merasa segan. Tanpa dapat berbuat apa-apa, Ba-
ladewa tak berkedip memandang air mata kekasihnya
yang sudah memanjang sampai di dagu.
"Kanjeng sudah tiada," mulai Bong Mini lagi, setelah beberapa saat terdiam.
Suaranya begitu pelan. Bahkan hampir tak terdengar.
"Bicara apa kamu"!" tanya Baladewa. Suaranya ter-
dengar meninggi.
Bong Mini menoleh. Wajah Baladewa dipandang de-
ngan uraian air mata. Wajahnya sendu layaknya ca-
haya redup rembulan.
"Kanjeng telah wafat!" desah Bong Mini menje-
laskan. "Apa" Kanjeng wafat"!" tanya Baladewa terkejut Ke-
dua biji matanya pun melotot, seakan hampir keluar.
Bong Mini yang sudah terisak tidak dapat menya-
hut, kecuali menganggukkan kepala. Itu pun sambil
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Tidak!" bantah Baladewa bersama luapan emosi.
"Kanjeng orang baik dan suci. Dia tidak boleh mati!"
lanjut Baladewa, tidak mau menerima berita yang di-
sampaikan Bong Mini.
Sikap Baladewa yang tidak mau menerima kenya-
taan itu memang bisa dimaklumi. Karena sejak ber-
umur sebelas tahun ia sudah berada dalam pengawa-
san Kanjeng Rahmat Suci. Jadi bagi Baladewa, Kan-
jeng Rahmat Suci bukan cuma gurunya, tetapi juga
sebagai orangtua.
Melihat sikap Baladewa, Bong Mini menghentikan
isak tangisnya dan memandang Baladewa dengan ma-
ta lembab. "Baladewa!" ucap Bong Mini dengan suara lembut
"Kenapa kau tidak mau menerima berita kematian
Kanjeng?" lanjut Bong Mini.
"Aku..., aku sangat mencintainya dan menganggap-
nya sebagai orangtuaku," sahut Baladewa.
"Aku mengerti. Aku pun mempunyai perasaan yang
sama denganmu. Tapi ingat, kita jangan berlebihan
mencintai seseorang hingga tidak sudi menerima ke-
nyataan pahit seperti ini," tutur Bong Mini lembut.
"Kematian itu terlalu cepat buat Kanjeng!" kata Ba-
ladewa dengan sikap yang masih menampakkan pe-
nyesalan. "Ya," balas Bong Mini. "Tapi siapa yang dapat meng-
elak dari takdir?"
Lama Baladewa terdiam. Perkataan Bong Mini baru-
san membuat dia merasa harus merenungi kembali ar-
ti hidup yang singkat ini. Sampai akhirnya dia menghela napas. Hatinya lega.
Karena kata-kata Bong Mini
tadi telah menyadarkan dirinya kalau setiap makhluk hidup tidak bisa lepas dari
takdir yang telah digariskan Tuhan.
"Rupanya kerinduanmu terhadap Kanjeng itu meru-
pakan isyarat atas kematiannya," kata Baladewa. Ma-
tanya memandang kosong pada bulan yang bercermin
di air laut. "Ya," sahut Bong Mini pendek. Sesungguhnya ia
pun masih sedih atas kematian Kanjeng Rahmat Suci.
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya, keduanya pun larut dalam kesedihan. Te-
rutama Baladewa yang tidak sempat melihat wajah gu-
runya untuk yang terakhir kali.
*** Sementara itu, ruang Istana Kerajaan Manchuria
tampak begitu hening. Enam prajurit tampak berdiri
pongah di kiri kanan pintu masuk ruang kebesaran
kaisar. Sedangkan di dalam ruangan itu, Kaisar Thiang Tok tampak duduk di kursi
kebesarannya. Matanya
menatap dua prajurit yang berlutut di atas lantai ber-lapis permadani merah.
"Bagaimana dengan Kidarga dan Nyi Genit?" tanya
Kaisar Thiang Tok yang berusia sekitar enam puluh
tahun itu. "Hamba tidak tahu persis, Tuanku! Hamba hanya
melihat kobaran api dan kepulan asap di sekitar Bukit Setan!" kata seorang dari
dua prajurit yang melapor.
Kaisar Thiang Tok mengangguk-angguk.
"Lalu, di mana kalian melihat mayat para prajurit?"
"Hamba melihat di sekitar Bukit Tengkorak!" jawab
prajurit tadi. "Hamba berkesimpulan, setelah memba-
kar markas Perguruan Topeng Hitam, pasukan Bong-
kap bertemu dengan prajurit kerajaan yang sudah
sampai di Bukit Tengkorak, lalu mereka bertempur!"
lanjut prajurit itu lagi.
Kaisar Thiang Tok kembali mengangguk-angguk.
Wajahnya tampak keruh seperti sedang berpikir keras.
"Bong Khian Fu benar-benar seorang yang tang-
guh!" gumam Kaisar Thiang Tok seraya berdiri. Dia
hanya mengenal Bongkap dengan sebutan Bong Khian
Fu, sebagai nama asli Bongkap ketika mengabdi pada
Kerajaan Manchuria beberapa tahun lalu (untuk lebih jelasnya, baca episode:
'Sepasang Pendekar dari Selatan').
Dengan langkah perlahan, Kaisar Thiang Tok mon-
dar-mandir di sekitar tempatnya berdiri. Pakaian kera-jaannya yang panjang,
berwarna kuning serta terbuat dari bahan sutera halus yang mahal tampak berjum-
bai-jumbai menyapu lantai.
Setelah beberapa saat berjalan mondar-mandir dan
berpikir, kaisar yang suka memelihara jenggot tipis dan panjang itu berdiri di
depan kursi kebesarannya.
Sedangkan matanya memandang dua pengawal yang
berdiri memegangi tombak.
"Panggil para panglima perang ke sini!" perintah Kaisar Thiang Tok.
"Siap, Tuanku!" sahut dua pengawal itu seraya
membungkuk. Kemudian dengan gagah mereka me-
langkah meninggalkan ruangan itu.
"Kalian boleh pergi!" perintah Kaisar Thiang Tok kepada dua prajurit yang
memberikan laporan.
"Baik, Tuanku!" ucap kedua prajurit itu serentak.
Kemudian secara bersamaan pula mereka melangkah
keluar. Setelah ruangan itu kosong, Kaisar Thiang Tok
kembali duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya ku-
sut dan gelisah memikirkan keadaan Perguruan To-
peng Hitam yang sudah habis terbakar.
Baru beberapa saat ia merenung di kursi kebesa-
rannya, tiba-tiba muncul dua pengawal bersama lima
lelaki gagah. Lima lelaki itu berjubah merah dengan ikat pinggang berwarna
kuning emas melingkar di
pinggang. Dalam lingkaran ikat pinggang itu terselip sebilah pedang panjang yang
sarungnya terbuat dari
perak asli. Sedangkan kepala mereka tampak licin,
seolah-olah tak satu rambut pun yang bersedia tum-
buh. Lima lelaki gagah berkepala botak yang usianya se-
kitar lima puluh tahun itu terus melangkah dan berdiri dalam jarak dua tombak
dari tempat kaisarnya.
"Tuanku memanggil kami?" ujar Cong Siat Fong,
Ketua Perkumpulan Naga Perak.
"Ya, aku memang memanggil kalian berlima!" kata
Kaisar Thiang Tok seraya berdiri. "Duduklah!"
Lima lelaki gagah yang tergabung dalam Perkumpu-
lan Naga Perak itu melangkah satu tindak ke dekat
kaisarnya dan duduk bersila di kiri kanan tempat duduk Kaisar Thiang Tok.
"Ada apa Tuanku memanggil kami?" tanya Liu Soen
Jie. Kaisar Thiang Tok tidak segera menjawab. Hanya matanya memandang lima orang
yang menjadi panglima perangnya.
"Aku ingin menyampaikan kabar buruk kepada ka-
lian!" kata Kaisar Thiang Tok.
Lima Naga Perak itu terhenyak dan saling berpan-
dangan. "Dua dari lima puluh orang prajurit yang kukirim ke negeri Selat Malaka telah
kembali lagi ke sini dan me-ngabarkan tentang kekalahan Perguruan Topeng Hi-
tam oleh pasukan Bongkap!" sambung Kaisar Thiang
Tok, menjelaskan tentang berita buruk yang dimak-
sud. Para panglima perang Kerajaan Manchuria itu kem-
bali terkejut dan saling pandang.
"Lalu bagaimana dengan para pendekar dan prajurit
yang kita kirim?" tanya Cong Siat Fong.
"Para pendekar yang kita kirim telah tewas semua.
Begitu pula dengan para prajurit pengiriman pertama.
Sedangkan lima puluh orang prajurit yang terakhir ki-ta kirim belum diketahui
nasibnya. Karena dua prajurit yang melapor tadi tidak sempat bertemu pasukan
Bongkap ketika kembali lagi ke negeri ini!" tutur Kaisar Thiang Tok.
Lima orang dari Perkumpulan Naga Perak itu meng-
angguk-angguk. "Lalu, apa yang hendak Tuanku perintahkan kepa-
da kami?" tanya Cong Siat Fong.
Kaisar Thiang Tok merebahkan punggungnya pada
sandaran kursi.
"Aku minta kalian melatih dan memperketat pasu-
kan!" ujar Kaisar Thiang Tok dengan pandangan lurus ke depan.
"Apakah kami dan para prajurit akan dikirim ke sa-
na?" tanya Cong Siat Fong.
"Ini untuk berjaga-jaga saja," kata Kaisar Thiang
Tok. "Aku merasa yakin kalau pasukan Bongkap akan
datang ke sini untuk melakukan penyerbuan!" lanjut
Kaisar Thiang Tok.
Lima lelaki gagah dari Perkumpulan Naga Perak itu
mengangguk-angguk mengerti.
"Kalau boleh kami tahu, berapa banyak sebenarnya
pasukan Bongkap itu?" tanya Cong Siat Fong.
"Sebenarnya jumlah pasukan mereka tidak banyak.
Namun begitu, mereka memiliki kepandaian yang luar
biasa," ucap Kaisar Thiang Tok menjelaskan. "Teruta-ma Bongkap dan putrinya!"
lanjut Kaisar Thiang Tok
yang sudah tahu betul bagaimana kehebatan Bongkap
dalam menumpas musuh-musuhnya. Hal itu diketahui
saat Bongkap masih mengabdikan diri padanya seba-
gai panglima perang.
Lima orang Perkumpulan Naga Perak yang menjadi
panglima perang Kerajaan Manchuria itu mengangguk-
angguk. "Nah, laksanakan perintahku!" ujar Kaisar Thiang
Tok. "Baik, Tuanku!" ucap kelima orang Perkumpulan
Naga Perak bersamaan. Kemudian mereka bangkit dan
melangkah meninggalkan ruangan itu.
*** 3 Malam datang menjemput. Kegelapan menyelimuti
bumi. Udara dingin yang setiap malam selalu turun di negeri Manchuria, kini
menyapa kembali. Menusuk
sampai ke tulang sumsum.
Dalam keremangan bumi yang hanya diterangi bu-
lan sabit, pasukan Bong Mini telah tiba di sebuah da-taran kecil berumput yang
melandai ke tenggara, menciptakan pemandangan indah di daerah sekitar. Pada
siang hari, para petani bisa menggiring kuda dan lem-bunya ke sana untuk
merumput. Tapi malam itu, tak
seekor binatang pun yang terlihat atau terdengar. Ketenangan di sana hanya
terpecah oleh hembusan angin malam, membelai daun pepohonan dan rerumputan.
Pasukan Bong Mini terus berjalan menyusuri pa-
dang rumput itu tanpa merasa lelah sedikit pun. Hing-ga mereka sampai di satu
tempat bernama Kampung
Dunsina. Sebuah desa kecil tempat Bong Mini dilahirkan.
"Inilah tempat tinggal keluargaku saat aku menja-
bat Panglima Perang Kerajaan Manchuria," kata Bong-
kap, memperkenalkan nama desa yang dipijaknya.
Para pendekar, termasuk Prabu Jalatunda yang
berjalan di samping Bongkap tampak mengangguk-
angguk sambil menyebarkan pandangan pada peman-
dangan alam di sekitar mereka.
"Aku tidak melihat rumah-rumah penduduk seba-
gaimana perkampungan lain," tukas Prabu Jalatunda
ketika pandangannya hanya menemukan pepohonan
besar. "Kita baru memasuki pinggiran kampung. Sekitar
dua kilo meter dari sini, rumah-rumah penduduk akan segera tampak!" kembali
Bongkap menjelaskan.
Prabu Jalatunda mengangguk-angguk sambil terus
berjalan menuju pertengahan kampung.
"Papa!" tegur Bong Mini yang berjalan di belakang
Bongkap bersama Ningrum, Thong Mey, dan Ratih
Purbasari. "Hm, ada apa?" tanya Bongkap tanpa menoleh. Ka-
rena sedang bercakap-cakap dengan Prabu Jalatunda
sambil berjalan.
"Bagaimana kalau langsung ke rumah kita?" usul
Bong Mini. "Siapa tahu rumah kita masih utuh dan belum ditempati orang!"
lanjutnya. "Ya, kita lihat saja. Kalau masih kosong, bisa kita jadikan tempat tinggal
sampai tugas kita selesai," sahut Bongkap, menyetujui pendapat putrinya.
Mereka terus berjalan. Dan karena perjalanan me-
reka diselingi percakapan, tanpa terasa mereka sampai di tempat tujuan.
Bongkap menghentikan langkahnya. Diikuti oleh
para pendekar lain.
"Papa!" desah Bong Mini saat mendekati papanya.
Dan berdiri di samping Bongkap. "Kenapa kampung ki-
ta jadi begini?" lanjut Bong Mini seperti bertanya pada dirinya sendiri ketika
menyaksikan rumah-rumah
penduduk yang porak-poranda.
Bongkap tidak menyahut. Dia melanjutkan langkah,
mendekati reruntuhan sebuah rumah. Tapi langkah-
nya segera berhenti ketika matanya terantuk pada ge-limpangan mayat di halaman
reruntuhan rumah ter-
sebut. Dari bau busuk yang menyebar, dapat disim-
pulkan kalau orang-orang itu telah mati sekitar dua atau tiga hari yang lalu.
"Menyedihkan sekali!" ucap Bongkap sambil meng-
amati mayat yang tergeletak di dekat kakinya. Sedangkan Bong Mini melanjutkan
langkah untuk memasuki
reruntuhan rumah.
"Papa, lihatlah!" seru Bong Mini tiba-tiba dengan
suara yang agak keras.
Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum, Baladewa,
dan Kao Cin Liong segera memasuki reruntuhan se-
buah rumah bilik yang tinggal tiang-tiangnya saja.
"Lihatlah, Papa! Ini benar-benar perbuatan biadab!"
maki Bong Mini dengan nada geram.
Bongkap dan beberapa pendekar yang masuk ke re-
runtuhan rumah melihat sesosok mayat wanita yang
tergeletak di atas dipan bambu. Pakaian bagian depannya terkoyak-koyak, hingga
memperlihatkan bagian
tubuh mayat wanita muda itu.
"Pasti wanita ini diperkosa sebelum dibunuh!" lan-
jut Bong Mini. Bongkap menghela napas berat. Wajahnya me-
merah tegang seperti menyimpan kemarahan yang
amat sangat "Siapa manusia yang melakukan perbuatan keji ini!"
geram Bongkap. "Aku yakin, ini pasti perbuatan orang-orang suru-
han Kaisar Thiang Tok!" sela Kao Cin Liong berpendapat.
"Sudah sejauh inikah kebiadaban Kaisar Thiang
Tok?" geram Bongkap.
"Begitu yang kutahu sebelum berangkat ke negeri
Selat Malaka untuk menyusul kalian!" sahut Kao Cin
Liong. "Mereka tidak hanya meminta upeti yang tinggi, tetapi juga melakukan
penyiksaan, pembunuhan, dan
pemerkosaan terhadap rakyat yang tidak bisa mem-
bayar upeti!" lanjut Kao Cin Liong menjelaskan.
Bongkap dan Bong Mini terdiam. Namun di balik
itu, mereka memendam sebongkah kegeraman.
"Kita harus bertindak, Papa!" cetus Bong Mini sete-
lah beberapa saat terdiam.
"Tentu saja, Putriku!" timpal Bongkap setuju. Ke-
mudian dengan langkah lesu ia kembali keluar, di ma-na para pendekar lain
berada. Begitu pula dengan
Bong Mini dan yang lain.
"Kita lanjutkan perjalanan!" kata Bongkap dengan
suara yang masih terdengar geram.
"Ke rumahmu?" tanya Prabu Jalatunda.
"Ya. Mudah-mudahan di sana tidak terjadi apa-
apa!" sahut Bongkap. Kemudian bersama para pende-
kar lain, dia melanjutkan perjalanan menuju rumah
Bongkap yang terletak dua kilo meter lagi dari tempat itu.
*** Waktu terus merayap. Malam pun semakin larut.
Membuat udara di malam itu bertambah dingin.
Dalam suasana malam yang larut dan dingin itu,
Bongkap dan pengikutnya telah sampai di tempat tu-
juan. Harapan untuk menemukan rumahnya dalam
keadaan utuh ternyata kandas. Sebagian rumah di se-
kitar tempat itu sudah berubah menjadi hamparan ta-
nah luas, termasuk rumahnya.
Beberapa rumah terlihat masih utuh. Karena para
penghuninya tidak turut melarikan diri ke Selat Ma-
laka. Sedangkan tempat tinggal keluarga yang berangkat dengan Bongkap ke Selat
Malaka langsung dihan-
curleburkan oleh pihak Kerajaan Manchuria.
Beberapa saat Bongkap dan Bong Mini tercenung.
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan merenungi rumah mereka yang dihancurkan.
Melainkan memikirkan penderitaan rakyat yang demi-
kian menyedihkan, akibat kesewenang-wenangan kai-
sarnya. Belum sempat mereka sadar dengan keadaan seke-
liling, tiba-tiba puluhan lelaki gagah berloncatan dari belakang dan langsung
mengepung mereka.
Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya tersentak ka-
get. Mereka langsung memegangi senjata masing-
masing. Mata mereka memandang tajam pada dua pu-
luh pengepung yang juga tengah mengamati mereka
dengan pedang terhunus di tangan kanan masing-
masing. Dua puluh orang yang mengurung para pendekar
itu terdiri dari para pemuda gagah. Kurang lebih berusia dua puluh lima tahun.
Berpakaian model jubah
warna merah dengan ikat pinggang hitam. Rambut me-
reka panjang digelung ke atas. Rata-rata berwajah
tampan dengan sepasang mata tajam penuh selidik ke
arah para pendekar yang dikurung.
"Siapa kalian"! Dan apa tujuan kalian menghadang
kami"!" tanya Bongkap dengan sikap tenang. Namun
matanya tetap waspada, menjaga serangan mendadak
yang mungkin akan dilakukan para pengepung yang
belum diketahui asal-usulnya itu.
"Kami orang-orang dari Perguruan Tapak Tangan
Suci. Lalu siapa kalian"!" sahut Fu Yen, pemimpin dua puluh pemuda gagah itu.
"Kami tidak mempunyai nama perkumpulan!" jawab
Bongkap. "Tapi kalau kalian ingin tahu, akan kuperkenalkan namaku!"
"Sebutkan saja siapa namamu!" kata Fu Yen tidak
sabar. "Namaku Bong Khian Fu!" ucap Bongkap, memper-
kenalkan namanya. Sengaja nama aslinya disebutkan.
Karena nama itu terkenal di negeri Manchuria.
Dua puluh pemuda gagah itu terkejut ketika men-
dengar nama Bong Khian Fu disebutkan. Mereka ber-
pandangan satu dengan yang lain. Kemudian tanpa
komando, mereka memasukkan pedang kembali ke da-
lam sarungnya dan langsung mendekati Bongkap.
"Maafkan tindakan kami yang lancang tadi!" kata
Fu Yen seraya menjura hormat
Para pendekar di pihak Bongkap tampak terkejut
melihat perubahan sikap para pengepung yang men-
dadak itu. Kecuali Bongkap dan Bong Mini. Karena
mereka tetap yakin kalau nama Bong Khian Fu masih
dikenal oleh orang-orang Perguruan Tapak Tangan Su-
ci. Bongkap tersenyum kecil pada Fu Yen.
"Kesalahan dan kekeliruan pasti terjadi pada setiap manusia!" ujar Bongkap,
membalas permohonan maaf
Fu Yen. "Sebenarnya kedatangan Tuanku sudah lama kami
tunggu!" kata Fu Yen lagi. Ternyata dia memang me-
ngenal Bongkap walau hanya sebatas nama.
Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan.
"Agar lebih jelas, ada baiknya Tuan dan pasukan
ikut ke perguruan kami!" lanjut Fu Yen.
Dengan segumpal tanda tanya mengenai maksud
Ketua Perguruan Tapak Tangan Suci, Bongkap, Bong
Mini, dan pendekar lain segera melanjutkan perjala-
nan, mengikuti langkah dua puluh lelaki gagah itu.
*** Malam terpuruk dalam kekelaman dan kesunyian.
Jangkrik terdengar mengerik. Begitu nyaring dan
susul-menyusul. Seolah sengaja hendak memecah ke-
heningan suasana itu.
Setelah menembus kegelapan sejauh satu kilometer,
Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya sampai di se-
buah benteng yang cukup luas. Ketinggian benteng itu membuat bangunan di
dalamnya tidak terlihat dari
luar. "Inilah markas Perguruan Tapak Tangan Suci!" kata
Fu Yen memperkenalkan. "Sengaja bentengnya diba-
ngun setinggi sepuluh meter agar bangunan di dalam-
nya tidak terlihat. Termasuk suara-suara orang yang berlatih silat!" lanjut Fu
Yen. Sebelum Bongkap memberi komentar, Fu Yen sudah melangkah menuju pintu
gerbang. "Mari masuk!" ajak Fu Yen setelah pintu gerbang
dibuka dua penjaga.
Para pendekar itu memasuki pintu gerbang ben-
teng. Sementara mata mereka tidak henti-hentinya be-redar pada keadaan sekitar.
Mereka cuma melihat se-
buah rumah kecil yang berdiri di atas hamparan tanah luas. Di sekitarnya tumbuh
pepohonan besar yang terlihat bagai para penjaga raksasa di malam hari.
Bongkap dan para pendekar terus melangkah me-
nuju rumah kecil yang berdiri di tengah hamparan tanah itu.
"Silakan duduk dulu! Akan kupanggil guru di da-
lam!" pamit Fu Yen.
"Silakan!" ucap Bongkap.
Fu Yen segera melangkah ke dalam. Sedangkan
Bongkap dan pengikutnya, serta orang-orang Pergu-
ruan Tapak Tangan Suci menduduki dipan bambu di
depan rumah kecil itu.
Tidak begitu lama mereka menunggu, Fu Yen telah
menemui mereka kembali bersama seorang wanita
cantik jelita berumur kurang lebih sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi
semampai, amat serasi
dengan wajahnya. Apalagi dengan pita merah yang
mengikat rambut legamnya.
Untuk beberapa saat wanita muda yang cantik itu
berdiri tertegun ketika pandangannya bertemu dengan mata Bongkap.
"Susiok Bong Khian Fu?" ucapnya dengan wajah
berseri. Walaupun Bongkap menyadari kalau orang-orang di
negeri itu masih mengenali dirinya, namun dia tetap terkejut manakala wanita
muda itu memanggilnya dengan sebutan paman.
Belum sempat Bongkap bertanya, gadis cantik itu
telah mengalihkan perhatian kepada Bong Mini. Dis-
apanya Bong Mini dengan wajah berseri pula. "Kamu
pasti Bong Mini!"
Bong Mini sama terkejutnya dengan Bongkap ketika
namanya disebutkan. Pada saat namanya disebut tadi, dia sendiri masih mengira-
ngira siapa nama gadis itu.
Karena secara samar ia pun merasa mengenalnya.
Wanita cantik itu tersenyum lebar melihat panda-
ngan bingung Bong Mini padanya.
"Aku maklum kalau kau sudah lupa terhadapku!"
katanya seraya maju setapak mendekati Bong Mini.
"Sembilan tahun merupakan waktu yang cukup lama,
yang membuat orang lupa terhadap sahabat masa la-
lunya!" lanjut wanita itu. Sesungguhnya ucapan tadi hanya diucapkan untuk
memancing daya ingat Bong
Mini. "Kau..." Kau Cici Yin Yin?" ucapan tadi langsung
memancing ingatan Bong Mini. Saat itu juga, dia langsung teringat masa lalunya
sebelum berangkat ke ne-
geri Selat Malaka. Ketika berumur sebelas tahun, ia selalu bermain akrab dengan
wanita berusia lima tahun
lebih tua dari umurnya.
"Ah..., ternyata kau masih ingat, Bong Mini!" tukas wanita bernama Yin Yin. Lalu
keduanya segera be-rangkulan erat, melepas rasa rindu bersama haru yang
menyelimuti mereka.
Hening. Para pendekar yang berada di sekitar tempat itu
hanya dapat menyaksikan Bong Mini dan Yin Yin yang
sedang dirundung keharuan.
"Papa, ini Yin Yin! Teman sepermainanku waktu ke-
cil!" seru Bong Mini, memperkenalkan kepada pa-
panya. Bongkap mengangguk-angguk dengan wajah ber-
seri. Walaupun ia masih merasa asing dengan gadis itu dan baru teringat ketika
Bong Mini menyebutkan namanya.
Bongkap melangkah menghampiri Yin Yin dan me-
nyentuh bahu wanita muda yang cantik itu sambil
berkata, "Maafkan aku, jika aku tidak mengenalmu
sama sekali!"
Yin Yin menjawab dengan sebaris senyum lembut.
Matanya menatap lelaki bertangan buntung yang ber-
diri di hadapannya.
"Aku mengerti, Susiok!" ujar Yin Yin sambil melirik lengan baju sebelah kiri
Bongkap. Dia terkejut dan
bertanya, "Apa yang terjadi dengan tangan Susiok?"
Bongkap tersenyum tipis seraya melirik pada lengan
yang dimaksud Yin Yin.
"Resiko perjuangan!" ucap Bongkap ringan. Seolah-
olah tidak ambil peduli dengan cacat tubuh tersebut.
Yin Yin mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita lanjutkan percakapan di dalam!"
ajak Yin Yin kemudian. Kakinya segera melangkah ke
dalam. Karena ruang tamu di dalam rumah itu terlalu kecil,
maka yang masuk ke ruangan itu hanya Bongkap,
Bong Mini, Prabu Jalatunda, Ningrum, dan Baladewa.
Termasuk Thong Mey dan Ratih Purbasari. Sedangkan
para pendekar bersama murid-murid Perguruan Tapak
Tangan Suci tetap duduk di atas dipan sambil berca-
kap-cakap. "Sejak tadi aku tidak melihat kedua orangtuamu. Ke
mana?" tanya Bong Mini setelah duduk berdekatan de-
ngan Yin Yin. Yin Yin menundukkan wajahnya beberapa saat.
Seolah-olah menyembunyikan kemurungan terpen-
dam. "Kedua orangtuaku sudah meninggal," desah Yin
Yin hampir tak terdengar. Sementara telaga bening
mulai merembesi bulu-bulu matanya.
"Maafkan aku jika pertanyaan tadi membuat hati
Cici sedih!" ucap Bong Mini ikut terharu.
"Tidak apa!" desah Yin Yin. Air matanya diusap, se-
mentara dia berusaha menenangkan perasaan. "Sudah
seharusnya kau dan Susiok tahu kematian kedua
orangtuaku. Mereka mati akibat perbuatan Kaisar
Thiang Tok yang sewenang-wenang!"
Bongkap dan Bong Mini terkejut mendengar kete-
rangan itu. Keduanya saling berpandangan dengan
amukan kegeraman terhadap Kaisar Thiang Tok.
"Kenapa kedua orangtuamu sampai dibunuh?" ta-
nya Bongkap ingin tahu.
"Mereka dibunuh karena belum bisa membayar
upeti sesuai dengan perjanjian," cerita Yin Yin. "Sebagai pengganti upeti yang
tertunggak, Cong Siat Fong meminta mama ikut ke istana kerajaan untuk menjadi
selir kaisar!"
"Siapa Cong Siat Fong itu?" tanya Bongkap, memo-
tong cerita Yin Yin.
"Seorang tokoh sesat yang dipercaya kaisar untuk
menjadi panglima perang bersama empat teman seper-
guruannya," tutur Yin Yin menjelaskan.
Bongkap, Bong Mini, Baladewa, Prabu Jalatunda,
Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari tampak ter-
diam. Meski hati masing-masing bergeliat dibakar kemarahan.
"Bagaimana cerita selanjutnya?" tanya Bong Mini.
"Mama menolak ketika Panglima Cong Siat Fong
memaksanya ikut ke istana kaisar. Begitu pula dengan papaku yang berusaha
menggagalkan niat busuk
panglima itu. Namun perjuangan papa untuk memper-
tahankan mama gagal. Papaku mati di tangan empat
teman Cong Siat Fong yang menyertainya!" Yin Yin
menghentikan ceritanya sejenak. Bahunya mulai turun naik menahan isak tangis.
Sedangkan air matanya
mulai mengalir membasahi kedua pipi melalui celah-
celah bulu matanya.
"Mama berusaha berontak ketika melihat papa te-
was. Beliau mengamuk dan melakukan perlawanan de-
ngan cara melemparkan barang-barang di sekitar
ruang tamu ke arah lima utusan kaisar! Tapi mama
seorang wanita lemah yang tidak memiliki kepandaian silat. Ia pun mati tertusuk
pedang Cong Siat Fong!" Yin Yin mengakhiri ceritanya dengan isak tangis yang tak
terbendung lagi.
Bongkap dan Bong Mini menghela napas. Wajah
keduanya tegang dan geram, penuh kemarahan yang
teramat sangat.
"Biadab!" maki Bong Mini. "Perbuatan mereka be-
nar-benar sudah di luar batas kemanusiaan!" lanjut-
nya. "Kaisar Thiang Tok dan pengikutnya tidak akan per-
nah mengenal perikemanusiaan, selama hati mereka
terus diburu haus kekuasaan!" kata Yin Yin di sela
isak tangisnya.
Bong Mini menoleh pada wanita cantik yang pernah
menjadi teman sepermainan sewaktu kecil dulu.
"Bagaimana kau bisa lolos dari tangan mereka?"
tanya Bong Mini.
"Pada saat kejadian itu, aku hanya dapat mengintip
dari dalam kamar. Ketika mengetahui kedua orangtua-
ku tewas, aku langsung melarikan diri lewat jendela kamar!" jawab Yin Yin. "Dan
dalam pelarian itu, aku bertemu dengan seorang tokoh kungfu bernama Ciu
Hok Kwi dari Desa Peging. Dari dia kupelajari ilmu
kungfu, sehingga aku mampu mendirikan Perguruan
Tapak Tangan Suci bersama dua puluh pesilat lain untuk membalas dendam terhadap
kebiadaban Kaisar
Thiang Tok dan pengikutnya. Namun untuk mewujud-
kan hal itu, saat ini jelas tidak mungkin. Mengingat Kaisar Thiang Tok memiliki
ratusan prajurit pilihan.
Tapi malam ini aku bersyukur karena Susiok Bong
Khian Fu yang terkenal sebagai 'Singa Perang' telah berada di sini!" kata Yin
Yin mengakhiri ceritanya.
Hening. Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan dalam
tutur hati masing-masing. Sedangkan Prabu Jalatun-
da, Baladewa, Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purba-
sari hanya dapat memandang Bongkap, Bong Mini,
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Yin Yin. Karena mereka masih merasa asing de-
ngan keadaan negeri yang seumur hidup baru dipijak
Kelana Buana 13 Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa Istana Pulau Es 9