Runtuhnya Kerajaan Manchuria 2
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria Bagian 2
itu. Dan untuk mengetahui sepak terjang kaisar negeri itu, mereka hanya dapat
mendengar dari cerita yang
disampaikan Yin Yin, sebagai seorang pendekar wanita yang besar di negeri itu.
"Susiok," ucap Yin Yin setelah beberapa saat suasa-
na hening. "Kedatangan Susiok ke sini hendak mem-
bantu perjuangan kami, kan?" lanjutnya.
"Tentu saja. Karena ini negeri kelahiranku!" sahut Bongkap.
"Terima kasih, Susiok!" ucap Yin Yin. Kemudian
matanya beralih pada para pendekar yang sejak tadi
belum diperkenalkan. "Siapakah orang-orang gagah
yang menyertai Susiok ini?" tanya Yin Yin.
"O, ya. Aku hampir lupa memperkenalkannya!" ge-
gas Bongkap. "Mereka adalah para pendekar dari nege-ri Selat Malaka. Dengan hati
tulus, mereka akan membantu perjuangan kita!" lanjut Bongkap menjelaskan.
"Oh, senang sekali kalau begitu!" desah Yin Yin
gembira. Lalu ia pun menjabat tamunya itu satu persa-tu sambil memperkenalkan
nama masing-masing.
*** 4 Senja itu udara cukup cerah. Matahari memancar-
kan kehangatan sinarnya di sebelah barat. Cakrawala mulai disapu warna
lembayung, berpendar lembut penuh keramahan.
Dalam senja yang cerah itu, seorang gadis mungil
berpakaian merah ketat tampak berjalan tenang me-
masuki Kampung Chang Chow. Sebuah kampung yang
banyak dihuni penduduk miskin. Sehingga di waktu
senja seperti saat itu, asap dapur hanya mengepul dari beberapa rumah saja.
"Sungguh menyedihkan sekali keadaan rakyat di
kampung ini!" gumam gadis bertubuh mungil yang ti-
dak lain Putri Bong Mini itu. Senja itu ia sengaja melakukan perjalanan untuk
melihat-lihat keadaan pendu-
duk kampung di negeri Manchuria.
Sudah sekian tahun ia meninggalkan negeri itu.
Amat layak kalau kini ia berjalan-jalan menikmati pemandangan sambil melihat-
lihat keadaan penduduk
sebagai pelepas rindu terhadap negeri kelahirannya.
Ketika memasuki Kampung Chang Chow yang pen-
duduknya dibebani kemiskinan, Bong Mini menjadi te-
renyuh. Hal itu terlihat bukan saja dari asap dapur yang cuma mengepul dari
beberapa rumah, tetapi juga dari anak-anak kecilnya yang hidup tak terurus.
Dengan tubuh telanjang, mereka duduk di depan rumah
masing-masing tanpa sinar keceriaan. Mereka tampak
kurus. Sementara perut mereka membuncit dengan
wajah pucat tanpa darah. Pertanda jika anak-anak malang itu terlalu kurang
makan. Rumah-rumah berjajar padat itu rata-rata berdin-
ding papan bersusun. Itu pun sudah tua, hingga terlihat kerapuhan di sana sini.
Tepian atapnya sudah terlihat hijau berlumut karena seringkali terkena siraman
hujan dan terpaan sinar matahari. Ada yang terbuat
dari rumbia, dan ada pula dari seng berkarat.
Di saat Bong Mini melangkah tenang sambil meng-
amati pemukiman kumuh itu, tiba-tiba matanya meli-
hat sebuah piring melayang dari pintu satu gubuk bo-brok, lalu pecah berantakan
di jalan. Disusul dengan keluarnya lelaki yang berumur sekitar lima puluh tahun.
Tubuhnya agak kurus dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter.
Dia keluar terhuyung dengan wajah ketakutan. Selang beberapa saat, menyusul pula
istrinya yang bertelanjang kaki dan rambut awut-awutan. Umurnya sekitar empat
puluh ta- hun. Namun raut wajah justru tampak lebih tua dari
suaminya. Dia berbadan kurus keriput dan hanya me-
ngenakan kain sebatas pusar. Sedangkan bagian atas-
nya dibiarkan telanjang. Sehingga teteknya yang peot bergayut-gayut seperti
tetek sapi. "Ngomong sekali lagi. Ayo ngomong! Laki-laki tua tidak tahu malu. Baru pegang
uang begitu saja sudah
kepingin cari 'daun muda'!" kata perempuan tua itu
sambil terus mengejar suaminya. "Pakai otakmu. Pikirkan anak-anakmu di rumah
yang jarang makan!" maki
sang istri lagi. Sedangkan dari dalam rumahnya ter-
dengar tangisan anak-anak, diramaikan oleh gonggo-
ngan anjing di depan rumah itu.
Perempuan tua itu kini telah berhasil menarik baju
belakang yang dikenakan suaminya. Dan langsung
memukuli, mulai dari punggung, dada sampai menca-
kari wajah suaminya.
Para tetangga yang sejak tadi keluar untuk menon-
ton pertengkaran, kini datang mendekat dan mencoba
melerai suami-istri lanjut usia itu.
Melihat kejadian tersebut, Bong Mini tampak terse-
nyum kecil, walaupun hatinya iba mendengar tangisan anak-anak pasangan suami-
istri itu. Kemudian langkahnya dilanjutkan kembali melewati suami-istri yang
bertengkar serta para tetangga yang berusaha melerai keduanya.
Setelah agak jauh melewati tempat pertengkaran
tadi, Bong Mini memasuki sebuah kedai murah. Di
mana para pengunjungnya hanya para pekerja kasar.
Sampai di dalam kedai berbentuk rumah itu, Bong
Mini melihat empat lelaki setengah baya tengah duduk menikmati kopi dan pisang
goreng. Bong Mini terus melangkah. Diambilnya tempat du-
duk di sudut ruangan agak jauh dari empat lelaki tadi.
Tidak lama kemudian, seorang wanita datang.
"Cici mau makan atau minum kopi?" tanya wanita
itu sopan. Sedangkan sepasang matanya menatap he-
ran pada Bong Mini. Karena baru kali ini kedainya dimasuki seorang wanita cantik
berpakaian indah ter-
buat dari sutera halus yang cukup mahal harganya.
"Aku minta dibuatkan kopi saja!" ucap Bong Mini.
Kedatangannya ke kedai itu memang hendak singgah
saja, tanpa keinginan untuk makan.
"Terkadang aku berpikir, apakah nasib kita akan te-
rus begini?" terdengar lelaki pertama berkata seraya menyalakan cerutunya.
"Yah..., kita terima nasib saja," sambut lelaki kedua yang duduk di sampingnya.
"Habis mau bagaimana la-gi" Orang-orang gagah yang berpihak kepada kita ma-
lah tewas di tangan prajurit kerajaan saat melakukan pemberontakan," lanjutnya.
"Memang benar!" lelaki ketiga yang duduk di hada-
pannya membenarkan pendapat lelaki kedua. "Apalah
artinya kita melakukan pemberontakan terhadap kela-
liman kaisar. Daripada mati konyol karena tidak mempunyai kepandaian, lebih baik
kita terima nasib apa adanya!" lanjut lelaki ketiga yang tampaknya tidak
mau ambil pusing dengan nasib yang dialaminya.
"Tapi aku berharap, moga-moga Tuhan mengutus
orang-orang gagah untuk melawan kekejaman kaisar
dan pengikutnya," kata lelaki pertama penuh harapan.
Sedangkan wajahnya yang sudah menunjukkan garis-
garis ketuaan tampak murung. Matanya menatap ko-
song pada kopinya yang tinggal setengah gelas lagi.
Bong Mini menghela napas mendengar keluhan em-
pat lelaki setengah baya itu. Bahkan batinnya tere-
nyuh saat mendengar harapan lelaki pertama.
"Ini kopinya, Cici!" tiba-tiba terdengar suara halus di sebelahnya.
Bong Mini yang sedang asyik mendengarkan perca-
kapan keempat lelaki tadi tersadar. Segera disambutnya segelas kopi yang hendak
diletakkan di atas meja oleh perempuan tadi.
"Terima kasih!" ucap Bong Mini dengan sebaris se-
nyum. Perempuan itu membalas dengan senyuman pula,
lalu kembali ke dalam.
Belum sempat Bong Mini menghirup kopinya, tiba-
tiba muncul empat lelaki gagah berjubah kuning se-
panjang lutut. Rambut mereka digelung dan panda-
ngan keempatnya tajam. Menciptakan kesan angker
pada penampilan mereka yang memang terlihat kasar
dan beringas. Melihat kedatangan empat lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun itu, keempat lelaki yang tadi asyik duduk menikmati segelas
kopi dan pisang goreng tampak terkejut. Mereka berdiri takut dan melangkah ke
sudut ruangan di sebelah Bong Mini.
Melihat tingkah mereka, keempat lelaki gagah yang
baru masuk terbahak-bahak sambil menempati meja
yang dikosongkan empat lelaki setengah baya tadi.
Tanpa sepengetahuan mereka, Bong Mini mengama-
ti dengan mata menyipit kesal. Kebetulan tempat du-
duk Bong Mini terhalang deretan kotak makanan.
Perempuan muda yang tadi melayani Bong Mini ke-
luar membawakan empat gelas kopi. Diletakkannya
kopi itu di meja empat lelaki gagah tadi. Tampaknya mereka biasa datang ke kedai
tersebut. Terbukti dari pelayanan pemilik kedai yang langsung membawakan
empat gelas kopi, meski belum dipesan.
"Eit, mau ke mana lagi?" tegur lelaki pertama seraya mencekal pergelangan tangan
perempuan pembawa
kopi ketika hendak melangkah.
"Saya sedang menggoreng pisang di dapur, Tuan!"
sahut perempuan itu dengan wajah ketakutan.
"He he he..., biar saja ibumu yang menggoreng. Kau
temani aku di sini!" tukas lelaki gagah itu. Kemudian disambut gelak tawa teman-
temannya. "Ja... jangan, Tuan! Ibu saya sedang repot. Saya harus membantunya!" kata
perempuan yang berwajah
cantik itu. Dia semakin ketakutan ketika tangan kiri lelaki gagah itu beralih
memeluk pinggangnya.
Bong Mini menyaksikan perlakuan lelaki gagah ter-
hadap perempuan berumur lima belas tahun itu men-
jadi berang. Apalagi ketika melihat wajah perempuan itu pucat karena ketakutan.
Dengan suara lantang ia pun berseru ke arah empat lelaki gagah yang bermen-tal
cabul itu. "Lepaskan perempuan itu!" bentak Bong Mini seraya
berdiri. Empat orang lelaki tadi tampak terkejut ketika melihat gadis berdiri dengan
angkuh. Mereka tak menyang-ka ada seorang gadis cantik yang mampir ke kedai itu.
Keterpanaan terhadap kecantikan Bong Mini membuat
mereka lupa pada anak gadis pemilik kedai. Lelaki
yang memeluk gadis itu malah melepas rangkulan be-
gitu saja dari pinggangnya.
Tanpa menghiraukan tatapan terpana mereka, Bong
Mini melangkah keluar. Namun ketika hendak melewa-
ti keempat lelaki gagah berwajah bengis itu, seorang dari mereka segera
menghadang. Dia berdiri tepat di depan Bong Mini, sementara bibirnya
memperlihatkan senyum yang menjengkelkan.
"He he he..., aku tidak menyangka ada gadis cantik
yang mampir ke warung ini!" ucapnya dengan bibir tetap cengengesan. Matanya
begitu liar menggerayangi tubuh Bong Mini.
"Siapa namamu, Nona Manis?" tanya lelaki kedua
seraya mencolek bahu gadis yang mengundang pesona
itu. Bong Mini menoleh padanya dengan mata mendelik.
"Punya uang berapa kau berani colek-colek aku!" tantang Bong Mini, berpura-pura.
Keempat lelaki gagah itu saling berpandangan. Ke-
mudian mereka tertawa serempak sambil memandang
Bong Mini kembali penuh nafsu.
"Rupanya kau gadis penjual 'daging mentah'!" tukas
lelaki gagah pertama diiringi gelak tawa teman-teman-
nya. Bibir Bong Mini menampakkan senyum yang begitu
samar. Kata penjual 'daging mentah' merupakan sebu-
tan lain bagi seorang pelacur. Itu berarti pancingannya telah berhasil.
"Kalau kau memang wanita penjual 'daging men-
tah', sungguh sangat kebetulan!" seru lelaki gagah ke dua seraya merangkul
pundak Bong Mini.
Mendapat perlakuan kurang ajar itu, Bong Mini ma-
lah mengerling genit. Namun tanpa diduga, siku kiri Bong Mini menyikut perut
lelaki yang merangkul bahunya itu dengan gerakan mendorong.
Dukkk! "Auh!"
Lelaki itu mengaduh ketika siku Bong Mini menge-
nai ulu hatinya. Dia terhuyung dua langkah ke bela-
kang sambil memegangi ulu hatinya yang terasa sesak.
Tiga lelaki lain menjadi terkejut melihat temannya
merintih-rintih kesakitan. Kesempatan itu dipergunakan Bong Mini untuk melompat
keluar halaman.
"Hup!"
Dalam sekejap, tubuh Bong Mini sudah berada di
luar kedai. Dia berdiri gagah memandangi empat lelaki yang masih berada di dalam
kedai. Bibirnya terus me-ngembang, memperlihatkan senyum mengejek.
"Sial! Perempuan itu bukan pelacur. Dia pendekar
wanita yang hendak menguji kita!" dengus lelaki ke
dua yang sudah mulai bisa berdiri tenang. Sedangkan matanya terus mencorong ke
arah Bong Mini.
"Kita tangkap gadis itu!" sentak lelaki pertama sambil keluar kedai. Diikuti
oleh ketiga temannya.
Empat lelaki setengah baya yang sejak tadi berdiri
ketakutan di sudut ruangan, kini melangkah ke pintu untuk menyaksikan peristiwa
selanjutnya antara Bong Mini dengan empat lelaki berwajah beringas tadi. Begi-
tu pula dengan anak perempuan pemilik warung. Dia
melihat pertarungan antara Bong Mini dengan keempat lawan bersama ibunya yang
sudah sejak tadi keluar
dari dapur ketika mendengar keributan.
"Majulah kalian kalau ingin menikmati tubuhku!"
tantang Bong Mini. Bibirnya kini memperlihatkan se-
nyum sinis. Lelaki yang sempat menikmati sikutan Bong Mini
terkekeh mendengar tantangan tadi.
"Kau terlalu muda untuk berhadapan dengan kami,
Nona Manis. Dan aku tidak tega melukai tubuhmu
yang mulus itu," katanya, masih bisa bertingkah.
Bong Mini kembali tersenyum sinis menanggapi ke-
pongahan lawannya.
"Bagaimana aku dapat mengetahui kehebatan kali-
an dalam bercumbu jika tidak melakukan tes dengan
pertarungan!" tantang Bong Mini lagi.
Empat lelaki gagah berwajah bengis yang otaknya
sudah dijejali oleh nafsu birahi itu terbelalak senang mendengar tantangan Bong
Mini yang menggoda itu.
Dengan cepat, lelaki kedua maju dua langkah ke arah Bong Mini.
"Baiklah, aku akan menyerangmu terlebih dahulu,
Nona!" kata lelaki kedua. Lalu dia bersiap-siap untuk melakukan serangan.
Dibukanya jurus 'Totok Bangau'.
Tangan kanannya diangkat lurus dengan kepala, se-
dangkan tangan kiri diangkat lurus dengan bahunya.
Ada pun lima jari dari kedua tangannya dipertemukan hingga membentuk kerucut.
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiaaat!"
Lelaki itu menerjang dengan tangan kanan me-
nyambar leher sedangkan tangan kirinya menyambar
pinggul Bong Mini.
Wut wut! Serangannya luput dari sasaran. Karena pada saat
itu, Bong Mini berhasil mengelak dengan cara menggerakkan kaki kiri ke belakang,
bersama tubuhnya yang juga dimiringkan ke belakang. Sambil memiringkan tubuh,
Bong Mini melangkah ke samping dengan ilmu
'Halimun Sakti'. Kemudian dengan cepat melakukan
tamparan ke wajah lawan.
Wut wut! Mendapat sambaran telapak tangan yang begitu ke-
ras, lelaki ke dua terkejut bukan main. Untunglah ia segera mengelak, sehingga
tangan Bong Mini tidak berhasil mengenai sasaran.
Ketika gadis itu melakukan tamparan begitu cepat,
lelaki gagah itu segera menangkisnya.
Duk duk! Kedua pergelangan tangannya berhasil menangkis
telapak tangan Bong Mini. Namun tanpa diduga sama
sekali kedua tangannya yang menahan tamparan la-
wan didorong keras oleh gadis itu hingga tubuhnya terjengkang ke belakang.
Tubuhnya langsung menggelin-
ding seperti bola ditendang. Namun dengan sigap dia mampu bangkit kembali seraya
mencabut pedang dari
pinggangnya. Sret! Pedang panjang berwarna hitam keluar dari sa-
rungnya. Warna hitam itu menandakan kalau pedang-
nya sering dilumuri racun. Begitu pula dengan ketiga temannya. Menyaksikan
temannya terjengkang dalam
waktu singkat, mereka mencabut pedang masing-ma-
sing dan mengepung gadis cantik yang lincah itu.
Empat lelaki setengah baya bersama dua orang ibu
dan anak pemilik kedai berdiri tegang menyaksikan
seorang gadis cantik dikepung empat lelaki gagah berwajah beringas. Raut wajah orang-orang itu memperlihatkan kalau mereka sangat mengkhawatirkan kese-
lamatan Bong Mini.
Lain halnya dengan wajah Bong Mini. Dia tampak
tenang-tenang saja menghadapi kepungan itu. Bibir-
nya malah tersenyum-senyum, sementara matanya
menatap keempat lawannya satu persatu.
"Kalian mau bertarung sungguhan?" tanya Bong
Mini. Nada suaranya tidak lebih dari ejekan.
Keempat lelaki gagah itu tidak menyahut. Hanya
pandangan mata mereka yang terus mencorong ke
arah Bong Mini.
"Kalian pasti menyesal mengajak aku bertanding
sungguhan. Karena kalau aku mati, kalian tidak akan sempat menikmati keindahan
tubuhku!" goda Bong
Mini lagi dengan sebaris senyum genit.
Keempat lawannya tetap diam. Mereka tidak sedikit
pun menanggapi ucapan Bong Mini. Mereka tahu ka-
lau Bong Mini bukan gadis sembarangan. Apalagi se-
bagai pelacur seperti dugaan mereka semula. Untuk
itu mereka harus bersungguh-sungguh menghadapi
kelihaian gadis itu.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba empat orang lelaki itu mengeluarkan peki-
kan tinggi berbareng kelebatan tubuh mereka. Sedangkan pedang di tangan mereka
menyambar tubuh lawan
ke sana kemari.
Sing sing singngng!
Sinar hitam berkelebat kian kemari dengan ganas.
Dengan tangkas, gadis yang diserang mengelak dengan cara melompat lurus di atas
kepala mereka. Begitu turun, kedua kakinya langsung menjejak dua kepala la-
wan yang berdiri berdekatan. Sedetik kemudian kaki-
nya dihentakkan keras-keras.
"Hiiiy!"
"Auh!"
Kedua orang itu terjengkang keras ke samping di-
sertai pekikan kesakitan ketika tubuh mereka menda-
rat di tanah, dan langsung mencelat ke udara kembali, lalu turun ke tempat yang
agak jauh dari lawannya.
Melihat dua temannya roboh, dua lelaki lain menja-
di terkejut bukan main! Bukan karena dua temannya
yang roboh, melainkan karena mereka melihat sera-
ngan Bong Mini yang demikian cepat.
Gerakan kilat Bong Mini tentu saja tak terlihat oleh lawan. Karena pada saat itu
Bong Mini masih mengerahkan ilmu 'Halimun Sakti'-nya. Membuat pandangan
lawan kabur. Seolah-olah terhalang kabut.
"Kelinci kecil! Sebutkan namamu sebelum nyawamu
kukirim ke neraka!" geram lelaki pertama dengan sorot mata merah menyala.
Rupanya dia sudah dirasuki
amarah yang demikian memuncak.
"Apa untuk masuk neraka aku harus mendaftarkan
nama dulu?" Bong Mini balik bertanya, disertai senyuman mengejek.
"Keparat!" geram lelaki pertama. Tubuhnya kembali
bergerak cepat untuk menyerang Bong Mini. Begitu
pula dengan tiga temannya yang sudah bangkit kem-
bali. Wut wut wut! Jurus 'Pedang Ekor Naga' yang dimainkan keempat
lelaki itu berkelebat di sekitar tubuh Bong Mini. Tapi mereka dibuat terkejut
karena tubuh lawan yang diserang hanya menyerupai bayangan. Sedangkan tubuh
asli Bong Mini sudah menyelinap tanpa diketahui, lalu berdiri di belakang
keempat lawan sambil tersenyum.
Kemudian dengan tenang ia memukul dua punggung
lawan yang terdekat dengannya.
Buk, buk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua lelaki yang terkena pukulan telapak tangan
Bong Mini langsung menjerit menggidikkan sambil
berguling di atas tanah. Pada saat itu tubuh mereka terasa panas luar biasa.
Tidak lama kemudian tubuh
keduanya diam tanpa gerak Keduanya mati dengan tu-
buh hangus bagai terbakar, akibat pukulan 'Tapak Tangan Hangus' yang dilancarkan
Bong Mini. Dua lelaki lain menjadi terperanjat melihat teman-
nya mati mengerikan. Dengan kemarahan yang sudah
sampai ke ubun-ubunnya, kedua orang itu membabi
buta menyerang Bong Mini.
Sing sing! Sinar pedang yang dilancarkan dua lelaki itu me-
nyambar-nyambar tubuh Bong Mini.
Bong Mini tetap tenang menghadapi serangan dua
lawannya itu. Dan ketika pedang mereka menyambar
dari arah kanan dan kiri, ia menyambut dengan me-
nangkap kedua ujung pedang itu.
Flek! Flek! Lewat ilmu kekebalan tubuh 'Tolak Pati', Bong Mini
berhasil menangkap dua ujung pedang lawan. Dilan-
jutkan dengan menarik kedua pedang bersama tubuh-
nya yang sengaja dijatuhkan telentang. Tubuh kedua
lawannya ikut tertarik ke depan. Sebelum tubuh me-
reka mencium tanah, Bong Mini menyilangkan kedua
kakinya ke leher masing-masing.
Duk duk! "Aaakh!"
Kaki Bong Mini berhasil mencengkeram kuat leher
lawan. Sekejap kemudian kakinya bergerak mengadu-
kan kepala lawan dengan keras. Saat itu pula terde-
ngar jeritan kesakitan dari mulut mereka. Sedangkan dua kepala yang berbenturan
itu pecah menjadi dua
bagian. Akhirnya kedua orang itu tewas dalam keada-
an menyedihkan!
Empat lelaki setengah baya dan dua perempuan
pemilik kedai yang menyaksikan pertarungan itu tam-
pak menyeringai ngeri melihat kematian empat lelaki tadi. Bahkan dua wanita
pemilik warung menutup wajah dengan kedua telapak tangan mereka. Tak mampu
melihat pemandangan yang mengerikan itu lebih lama
lagi. Setelah keempat lelaki itu tewas di tangannya, Bong Mini mendekati empat lelaki
setengah baya dan dua
perempuan pemilik kedai.
"Siapa mereka, Ko?" tanya Bong Mini pada seorang
di antara keempat lelaki setengah baya itu.
"Mereka para pesilat yang ditugaskan kaisar untuk
mengawasi dan memata-matai rakyat!" kata seorang lelaki berkumis dan berjenggot
putih. Bong Mini mengangguk-angguk.
"Apa masih banyak para pesilat yang bergabung de-
ngan kaisar selain mereka?" tanya Bong Mini lagi, ingin tahu.
"Tentu saja, Non. Jumlah mereka ratusan orang.
Hampir seluruh pesilat dan pendekar di negeri ini
mengabdi pada Kaisar Thiang Tok. Mereka dijadikan
prajurit kerajaan!" sahut lelaki setengah baya tadi.
Bong Mini kembali manggut-manggut.
"Kalau boleh kami tahu, siapa Nona sebenarnya?"
lelaki itu balik bertanya.
"Aku berasal dari negeri ini juga!" sahut Bong Mini.
Keempat lelaki setengah baya itu saling berpanda-
ngan. Begitu pula dengan dua perempuan pemilik wa-
rung. Wajah mereka menunjukkan keheranan. Karena
baru kali ini mereka melihat gadis mungil berwajah
cantik yang memiliki kepandaian tinggi.
Bong Mini mengerti rasa heran orang-orang itu. Ma-
ka dengan senyum ramah ia berkata, "Namaku Bong
Mini, putri Bong Khian Fu!"
Empat lelaki setengah baya dan dua perempuan
pemilik warung yang tadi menunjukkan wajah heran,
kini berubah terkejut ketika mendengar nama Bong
Khian Fu. Nama seorang mantan panglima Kerajaan
Manchuria yang mendapat julukan 'Singa Perang' atau Kapten Kang. Bahkan nama itu
semakin harum ketika
melakukan pemberontakan terhadap kaisarnya sendiri
(untuk lebih jelasnya, baca episode: 'Sepasang Pendekar dari Selatan').
Belum sempat mereka mengajukan pertanyaannya
lebih lanjut, Bong Mini segera mohon diri. Dia pergi meninggalkan enam orang
yang masih berdiri termangu-mangu memandanginya, hingga punggung Bong
Mini lenyap dari pandangan mereka.
*** 5 Berita kedatangan Bongkap atau Bong Khian Fu
bersama putri dan pasukannya telah terdengar ke te-
linga rakyat. Rakyat yang sudah pasrah pada nasib,
kini bersemangat kembali. Ibarat bara api tersiram mi-nyak.
Kabar itu sampai pula ke telinga Kaisar Thiang Tok.
Tentu saja hal itu merisaukannya. Untuk mencari pe-
mecahan masalah yang nanti akan lahir karena keda-
tangan Bongkap, ia segera memanggil para panglima
perangnya. "Apa kalian sudah mendengar berita kedatangan
Bongkap ke negeri ini?" tanya Kaisar Thiang Tok ke-
pada lima panglima perangnya.
"Secara samar kami telah mendengar, Tuanku," ka-
ta Cong Siat Fong.
"Bagus!" puji Kaisar Thiang Tok. Kemudian ia bang-
kit dari kursi kebesarannya. Sepasang matanya yang
selalu memancar tajam menatap para panglima pe-
rangnya. "Tahukah kalian, apa arti semua itu?" lanjut Kaisar Thiang Tok.
"Kami mengerti, Tuanku. Ini merupakan ancaman
bagi kerajaan," jawab Cong Siat Fong.
Kaisar Thiang Tok tertawa terbahak-bahak.
"Ini bukan ancaman. Tapi jalan yang memudahkan
kita menangkap Bong Khian Fu, sekaligus membu-
nuhnya!" ujar Kaisar Thiang Tok.
"Maaf, Tuanku!" kata Cong Siat Fong seraya menju-
ra. "Menurut hemat kami, melakukan penangkapan
terhadap Bong Khian Fu tidak semudah yang kita
bayangkan!" lanjut Panglima Cong Siat Fong.
Kaisar Thiang Tok menatap tajam Panglima Cong
Siat Fong. "Apa alasanmu berpendapat begitu?" tanya Kaisar
Thiang Tok serius.
"Berdasarkan pengamatan yang kita lihat selama
ini, Tuanku," kata Panglima Cong Siat Fong. "Dua ratus lebih prajurit dan
pendekar yang kita kirim ke Perguruan Topeng Hitam ternyata tidak membawa hasil.
Mereka malah meninggalkan nama. Belum lagi dengan
Kidarga, Nyi Genit dan anak buahnya," lanjut Panglima Cong Siat Fong.
"Jadi kau anggap Kidarga dan Nyi Genit sudah mati
di tangan Bong Khian Fu?"
"Begitu perkiraanku, Tuanku!" sahut Panglima Pe-
rang Cong Siat Fong. "Kalau dua tokoh Perguruan To-
peng Hitam itu masih bernyawa, mana mungkin me-
reka membiarkan Bong Khian Fu hidup. Apalagi sam-
pai berada di negeri ini!" lanjutnya.
Kaisar Thiang Tok mengangguk-angguk. Ia membe-
narkan pendapat Panglima Cong Siat Fong yang ma-
suk akal tadi. "Lalu, tindakan apa yang terbaik menurutmu?" ta-
nya Kaisar Thiang Tok.
"Bagaimana kalau kita membujuknya untuk kem-
bali bekerja di sini dengan menawarkan jabatan yang lebih tinggi lagi buatnya?"
Panglima Cong Siat Fong mengemukakan pendapatnya.
"Percuma! Dia tidak akan terima tawaran itu!" ban-
tah Kaisar Thiang Tok. Dia tahu pasti watak Bong
Khian Fu yang pernah menjadi panglima. "Bong Khian
Fu orang yang keras kepala, gigih terhadap pendapatnya. Lagi pula, dia bukan
orang yang silau dengan kedudukan atau harta!" lanjutnya menjelaskan.
Panglima perang itu terdiam. Tampaknya sedang
memikirkan rencana yang lebih baik.
"Bagaimana kalau kita memasang papan pengumu-
man, Tuanku?" Panglima Perang Ngi Ik Cin yang sejak tadi diam, tiba-tiba
mengajukan pendapat.
"Maksudmu?"
"Kita buat pengumuman di setiap jalan desa dan
kota dengan tulisan: Siapa saja yang berhasil menangkap Bong Khian Fu dan
putrinya, hidup atau mati,
akan diberikan hadiah dan kedudukan yang tinggi,"
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tutur Panglima Ngi Ik Cin, mengemukakan usulnya de-
ngan penuh semangat.
"Bagus! Aku setuju dengan pendapat itu!" sambut
Kaisar Thiang Tok langsung menyetujui. "Tapi kalian harus tetap mengerahkan
beberapa prajurit kerajaan
untuk mencari tempat persembunyian Bong Khian Fu
dan putrinya dengan penyamaran agar tak dikenali!"
"Akan kami laksanakan!" sahut Panglima Cong Siat
Fong, mewakili keempat rekan. Kemudian bersama Ngi
Ik Cin, Liu Soen Jie, Bong Cun Min, dan Cong A Thit, ia meninggalkan ruangan
kaisarnya. *** Di sepanjang jalan setapak berbatu menuju Bukit
Ciangsi Bun berdiri sederetan rumah kumuh yang
atapnya terbuat dari sambungan-sambungan seng ter-
susun. Begitu pula pada sebagian dinding-dindingnya.
Bong Mini yang secara diam-diam melakukan perja-
lanan untuk mengamati kehidupan rakyat negeri Man-
churia, tampak berjalan di sepanjang perumahan ku-
muh itu. Akhirnya ia sampai di sebuah toko barang tembikar.
Di sana matanya melihat lelaki tua berkaos singlet putih dan bercelana pendek
kumal sedang asyik bekerja membuat sebuah piring dari tanah liat. Begitu cekatan
jari-jari tangannya bergerak membentuk tanah liat
hingga menjadi sebuah piring. Sementara di sudut to-ko itu, berdiri sebuah meja
panjang darurat yang terbuat dari papan-papan sambungan. Di atas meja pa-
pan itu berderet piring, kendi, serta gelas yang semuanya terbuat dari tanah
liat. Barang-barang jadi itu di-jual dengan harga sekitar sepuluh sampai dua
puluh sen, sesuai dengan daftar harga yang tertera pada papan di samping pintu masuk.
Kalau dilihat dari cara kerja orang tua berumur li-
ma puluh tahun itu, harga barang-barangnya memang
sangat murah. Membuat Bong Mini jadi bertanya da-
lam hati, "Apakah dengan harga semurah itu, dia da-
pat mencukupi kebutuhan makan keluarganya?"
Dari penghasilan menjual barang-barang tembikar
itu, mereka memang tidak bisa makan tiga kali sehari.
Tapi apa boleh buat. Daripada bekerja menggarap sa-
wah milik kaisar, lebih baik menciptakan pekerjaan
sendiri. Tapa harus menerima resiko berat, dipukul
atau dicambuk seperti para penggarap sawah kaisar,
jika mereka kehabisan tenaga atau istirahat tidak sesuai waktunya.
Setelah puas mengamati barang-barang tembikar
itu, Bong Mini melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia
mampir ke sebuah kuil tua. Dari pintu masuk kuil,
Bong Mini melihat orang-orang papa tengah mem-
bungkuk sambil berdoa khusyuk.
"Ya, Tuhan, berikan kami kemerdekaan. Lindungi
Bong Khian Fu dan putrinya dari keganasan Kaisar
Thiang Tok dan pengikutnya!" sebaris doa meluncur
tulus dari mulut orang-orang papa yang berada di dalam kuil tua itu.
Bong Mini terharu mendengar doa tulus untuk ke-
selamatan dirinya dan papanya. Kemudian secara di-
am-diam ia pergi meninggalkan kuil itu. Namun baru
tiga langkah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah papan pengumuman yang
tergantung di tembok
kuil. Di sana matanya melihat tulisan yang berbunyi:
'Siapa yang berhasil menangkap Bong Khian Fu dan putrinya, hidup atau mati, akan
diberikan imbalan yang sangat memuaskan dan kedudukan'.
Bong Mini terperanjat ketika membaca tulisan itu.
Lalu dengan hati-hati diambilnya papan pengumuman
itu dan menghancurkannya dengan geram. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan
dengan langkah yang lebih cepat. Tanpa disadari, perbuatannya menghancurkan
papan pengumuman tadi diawasi oleh sepuluh prajurit Kerajaan Manchuria yang
menyamar sebagai rakyat je-lata. Dan ketika Bong Mini melanjutkan perjalanan,
kesepuluh prajurit kerajaan itu terus membuntutinya.
Bong Mini terus melangkah sampai akhirnya tiba di
tepi Bukit Ciangsi Bun. Di sana ia berhenti sambil melepas caping anyaman kulit
bambu dari kepalanya.
Caping itu kini tergantung di balik punggungnya.
Setelah melepas caping, Bong Mini duduk di tepi
bukit. Pandangannya menyebar ke rumah-rumah di
perkampungan Ciangsi Bun. Dari tepi bukit itu ia dapat melihat dengan jelas
seluruh rumah penduduk
yang bentuknya mirip kandang burung.
Saat duduk berpeluk lutut, pikiran Bong Mini ter-
pusat pada cita-cita batinnya yang sederhana. "Mem-
bebaskan penderitaan rakyat dari kekejaman Kaisar
Thiang Tok dan para prajuritnya". Semangat juangnya terus terbakar, apalagi
setelah membaca papan pengumuman tadi.
"Aku harus segera menyampaikannya pada papa
dan mengajaknya untuk segera memulai pertempu-
ran!" gumam hati Bong Mini.
Baru beberapa saat ia duduk di tepi bukit itu, tiba-tiba sepasang telinganya
mendengar gemerisik orang
melangkah. Dari suara kasar yang ditimbulkan oleh
langkah kaki itu, Bong Mini dapat menyimpulkan ka-
lau orang itu belum memiliki kepandaian tinggi.
"Hm..., jumlah mereka cukup banyak juga!" gumam
Bong Mini setelah memasang telinganya lebih tajam la-gi. Lalu, tubuhnya melesat
ke arah suara yang mencurigakan itu.
"Siapa kalian dan mengapa membayangiku!" bentak
Bong Mini ketika melihat sepuluh lelaki yang rata-rata berumur empat puluh tahun
tengah mengendap-endap
di sekitar semak belukar.
Sepuluh lelaki yang sejak tadi membuntuti Bong
Mini tampak terkejut ketika melihat gadis yang dibayangi sudah berdiri di
samping mereka. "Betapa cepat gerakan gadis itu, hingga sudah berada di belakang
kita dalam sekejap," pikir kesepuluh lelaki itu.
Sepuluh lelaki yang sebenarnya prajurit Kerajaan
Manchuria itu tampak tegang seraya mengatur posisi
untuk mengurung Bong Mini.
"Aku membayangi karena memang punya urusan
denganmu!" kata Sek Se Tau yang ditunjuk oleh Pang-
lima Perang Cong Siat Fong untuk menjadi pemimpin
penyamaran. Bong Mini yang belum tahu tentang penyamaran
mereka menjadi terheran-heran.
"Urusan apa?" ketus Bong Mini.
"Tadi kami melihat kau telah melakukan pengrusa-
kan terhadap papan pengumuman yang terpasang di
tembok kuil!" tekan Sek Se Tau.
Bong Mini terperangah. Firasatnya langsung menya-
takan kalau sepuluh lelaki itu pasti orang-orang Kerajaan Manchuria.
"Kalau aku yang merusak papan pengumuman itu,
kau mau apa?" tanya Bong Mini tenang. Karena secara diam-diam ia sudah menilai
tingkat kepandaian silat mereka.
"Tentu saja kami akan membuat perhitungan kepa-
damu!" tukas Sek Se Tau.
"Karena kalian orang-orang kerajaan?" sela Bong
Mini. "Hm...! Ternyata penglihatanmu tajam juga!" sinis
Sek Se Tau. "Tentu saja! Orang mana yang mau marah melihat
papan pengumuman itu dirusak, kecuali para penjilat Kaisar Thiang Tok!" sahut
Bong Mini semakin lantang.
Sek Se Tau dan kesembilan temannya terkejut ber-
campur geram melihat keberanian gadis cantik itu. Mereka langsung menduga kalau
dia pasti putri Bong
Khian Fu. Karena selama ini tidak ada seorang penduduk pun yang berani menentang
keinginan kaisar.
Apalagi seorang gadis cantik yang muda belia.
"Dari keberanianmu berbicara, aku yakin kalau kau
pasti putri Bong Khian Fu yang dicari kaisar!" tuduh Sek Se Tau.
"Dugaanmu benar! Dan kalau kalian ingin menang-
kapku, lakukanlah! Bukankah nanti kalian akan men-
dapatkan kedudukan yang lebih baik?" tantang Bong
Mini. Sikapnya tetap tenang.
"Keparat!"
Sing sing singngng!
Kilatan sinar tampak ketika pedang dikeluarkan da-
ri sarung oleh sepuluh prajurit itu. Dengan wajah garang mereka mulai bergerak
untuk melakukan sera-
ngan. Bong Mini tampak tenang menghadapi keroyokan
seperti itu. Ia tidak menggunakan pedangnya sama sekali. Karena Pedang Teratai
Merah miliknya selalu di-tinggalkan di kamarnya selama menginjakkan kaki di
negeri Manchuria.
"Hiyaaat!"
Sepuluh prajurit Kerajaan Manchuria mengeluarkan
pekikan nyaring bersama tubuh mereka yang berkele-
bat ke arah Bong Mini. Sedangkan pedang yang me-
reka genggam bergerak liar menyambar-nyambar tu-
buh gadis yang dikeroyok.
Wut wut wut! Deru angin keras ditimbulkan gerakan pedang me-
reka. Tubuh Bong Mini langsung terkurung rapat. Mu-
lai dari kepala, perut hingga kaki. Tapi dengan tangkas pula Bong Mini
menghindari serangan lawan dengan
cara melompat sambil mengerahkan ilmu andalannya,
'Halimun Sakti'. Hanya ilmu itu yang bisa digunakan di saat menghadapi lawan
yang lebih dari satu dan tanpa senjata.
"Hup!"
Sambil melompat di atas kepala musuh-musuhnya,
Bong Mini menggerakkan tangan untuk menyambar
dua pedang lawan yang berada di dekatnya. Dan keti-
ka kakinya telah menjejak tanah, sepasang pedang telah tergenggam di kedua
tangannya. Sepuluh prajurit Kerajaan Manchuria tampak terke-
jut melihat kelihaian lawan. Apalagi dua orang yang kehilangan pedangnya. Pikir
mereka, "Bagaimana
mungkin gadis itu menyambar pedang secepat itu?"
"Heh! Kenapa kalian termangu seperti itu. Majulah
kalian kalau hendak menangkapku!" ejek Bong Mini.
Sepuluh prajurit yang tadinya sudah gentar melihat
kehebatan Bong Mini, kini memaksakan diri untuk me-
nyerang lawannya kembali.
"Hiyaaat!"
"Hiyaaat!"
Pekikan nyaring terdengar dari arah yang berlawa-
nan. Bersamaan itu pula sepuluh lawan bergerak me-
nyerang Bong Mini kembali. Begitu pula dengan Bong
Mini yang bergerak menyambut serangan mereka.
Trang! Pedang di tangan kanan Bong Mini bergerak me-
nangkis delapan pedang yang bergerak mencecar tu-
buhnya. Sedangkan pedang yang tergenggam di tangan
kirinya bergerak menyambar tubuh lawan.
Sret! Sret! "Aaakh!"
Tiga prajurit memekik bersamaan saat pedang di ta-
ngan kiri Bong Mini merobek perut dan leher mereka.
Mereka berdiri limbung sebentar, setelah itu roboh dan mati. Sedangkan pedang
ketiganya pun terlepas.
"Keparat! Perempuan tengik!" maki Sek Se Tau keti-
ka melihat tiga temannya mati mengenaskan.
Kemudian bersama enam temannya yang lain, ia
kembali menyerang gadis cantik bertubuh mungil itu.
Melihat tujuh lawan sudah bergerak ke arahnya,
Bong Mini pun cepat-cepat melakukan gerakan menye-
rang. Pikirnya, "Dalam menghadapi pengeroyokan se-
perti ini lebih baik menyerang lebih dahulu seperti ketika ia menewaskan tiga
prajurit tadi".
"Hiyaaat!"
Teriakan perang yang menakutkan itu keluar dari
mulut Bong Mini yang mungil, berbareng dengan gera-
kan cepat tubuhnya. Dia melompat ke arah tujuh la-
wannya yang juga sedang bergerak ke arahnya. Saat
tubuhnya di udara, Bong Mini menusukkan pedang
yang tergenggam di tangan kanannya ke kepala seo-
rang lawan. Crokkk! "Aaa...!"
Ujung pedang Bong Mini menusuk kepala seorang
lawan. Tepat mengenai ubun-ubunnya. Saat itu pula,
darah menyembur dari kepala yang tertusuk itu. Mem-
buat pedang yang digenggam Bong Mini berlepotan da-
rah lawan. Dan ketika ujung pedang yang masih me-
nancap di ubun-ubun kepala ditarik, tubuh prajurit
itu langsung jatuh dan mati. Selanjutnya, dengan amarah yang masih memburu, Bong
Mini membalik sera-
ngan keenam lawan yang masih gigih mengurung dan
menyerangnya. Kemudian dua buah pedang yang ter-
genggam di tangannya itu berkelebat dan berputar
bersama tubuhnya yang berpusing seperti gangsing.
Sing sing sing!
Sinar putih yang dipancarkan dari kedua pedang
Bong Mini berkelebat kian kemari dan menghantam
lawan yang coba mendekat. Menyerang lawan dengan
jurus kungfu 'Tanpa Bayangan' merupakan salah satu
ajaran yang diberikan papanya. Dan cara ini memang
dapat diandalkan bagi orang yang kalah dalam jumlah.
Jurus itu lebih jitu dan dapat mempercepat kematian lawan-lawannya. Walaupun
memberikan kesan sadis.
Sing sing sing!
Bret! Dua pedang yang digenggam Bong Mini menyambar
empat lawannya. Setiap kali pedang di tangannya me-
nyentuh lawan, tubuh mereka pasti tercabik-cabik mengerikan!
Dua prajurit berdiri ngeri menyaksikan empat te-
mannya mati dengan isi perut keluar. Wajah mereka
pias bagai mayat. Tanpa pikir panjang lagi mereka
mengambil langkah seribu.
"Pengecut! Hendak lari ke mana kalian!" teriak Bong Mini yang sudah kalap.
Sambil membuang pedang di
genggamannya, dua prajurit yang melarikan diri itu di-kejar.
"Demi Tuhan! Tidak akan kubiarkan orang-orang
kerajaan hidup!" teriak Bong Mini lagi dengan suara lantang, sambil terus
berlari. Bong Mini mengejar terus dengan mengerahkan pe-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ringan tubuh yang hampir mencapai tingkat sempur-
na. Tubuhnya tampak ringan, bagai kapas tertiup a-
ngin. Dan ketika tinggal dua meter di belakang bu-
ruannya, tubuh Bong Mini mencelat dengan ketinggian satu meter ke arah dua
prajurit yang berlari di depan-nya.
"Hiy!"
Duk duk! Kedua prajurit itu mendadak terhuyung ke depan
dan jatuh mencium tanah.
"Bangun! Hadapi aku pengecut!" hardik Bong Mini
dengan geram. Dua orang yang terjatuh itu menatap Bong Mini
yang berada di depan mereka sambil berusaha bangkit.
"Ayo! Serang aku! Masa' kalah dengan perempuan
kecil?" ejek Bong Mini.
Sebenarnya kedua prajurit itu hendak melarikan di-
ri, namun karena sudah tidak memiliki kesempatan la-gi, mereka terpaksa melayani
tantangan Bong Mini.
Sek Se Tau dan temannya kini berdiri menghadap
Bong Mini dengan pedang tergenggam di tangan ma-
sing-masing. "Hiyaaat!"
Dua prajurit itu melesat ke arah lawan disertai pe-
kikan nyaring. Wut wut! Dua pedang langsung menyambar leher dan perut
Bong Mini. Dengan tenang Bong Mini melompat dua
tindak ke belakang.
Kegagalan tadi tak membuat serangan dua prajurit
itu surut, mereka terus merangsek lawan dengan ga-
nas. Keduanya berusaha mencecar lawan agar tidak
memiliki kesempatan untuk balas menyerang.
Ting ting! Sek Se Tau dan temannya terkejut bukan main me-
lihat Bong Mini tetap berdiri tenang ketika mendapat sabetan bertubi-tubi pedang
mereka. Tak ada luka sedikit pun dari bekas sabetan pedang mereka. Padahal
mereka yakin benar kalau cecaran pedang tadi mengenai pundak, leher, perut, dan
kaki lawan. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya Bong Mini me-
miliki ilmu kekebalan tubuh 'Tolak Pati' yang didapatnya dari Kanjeng Rahmat
Suci (untuk lebih jelasnya, lihat episode ketiga: 'Pedang Teratai Merah').
"Puas?" tanya Bong Mini dengan sebaris senyum
mengejek. Dua prajurit itu tidak menyahut. Mereka masih ter-
cengang pada kesaktian Bong Mini.
"Kalau kalian sudah puas, kini giliranku untuk me-
lakukan serangan!" tandas Bong Mini. "Nah, bersiap-
lah!" lanjut Bong Mini sambil menggerakkan kaki ka-
nannya. Ditendangnya perut Sek Se Tau dengan cara
memutarkan badannya sedikit. Sambil memutarkan
badan, tangan kanan Bong Mini yang terkepal berge-
rak memukul lawan yang lain, tepat mengenai rahang-
nya. Dukkk! Dukkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Kedua prajurit itu memekik keras. Tubuh mereka
terhuyung ke belakang dan langsung roboh.
"Bangun!" bentak Bong Mini sambil menggerakkan
telunjuknya sebagai isyarat.
Dua prajurit itu bangkit terhuyung. Lalu mereka be-
rusaha menyerang Bong Mini kembali, tanpa mem-
pedulikan darah kental yang mengucur dari mulut ma-
sing-masing. Namun sebelum mereka bergerak, tubuh
Bong Mini telah melesat ke arah mereka dengan ten-
dangan yang lebih dahsyat.
"Auh!"
Sek Se Tau dan temannya kembali mengeluh. Tu-
buh keduanya terjengkang ke belakang. Sebelum me-
reka sempat bangkit kembali, gadis bertubuh mungil
itu melancarkan tendangan kembali ke wajah Sek Se
Tau. Duk duk! "Aaakh!"
Sek Se Tau memekik pendek ketika tendangan dah-
syat Bong Mini mengenai rahangnya. Saat itu juga, tulang rahangnya menembus
keluar kulitnya. Bersa-
maan itu pula Sek Se Tau tewas dalam keadaan me-
ngenaskan. Sementara itu, prajurit yang lain berusaha melari-
kan diri saat Bong Mini menghajar Sek Se Tau. Namun baru mengayun langkah
beberapa meter, tiba-tiba sebuah pedang melayang lurus ke arahnya.
Siuttt...! Creb!
"Aaakh!"
Prajurit itu memekik tinggi saat pedang yang dilem-
par Bong Mini menembus punggungnya hingga ke pe-
rut. "Itulah hukuman bagi orang yang suka menyiksa
rakyat tak berdosa!" gumam Bong Mini sambil ter-
senyum puas. Lalu tubuhnya melesat meninggalkan
mayat dua prajurit tadi.
*** 6 Malam merambah bumi. Kegelapan menyelimuti.
Lampu-lampu tempel di rumah-rumah penduduk tam-
pak bergoyang-goyang tertiup angin. Bila dipandang
dari kejauhan, api kecil lampu-lampu itu mirip kedipan bintang di angkasa raya.
Malam itu, pasukan Bongkap dan murid-murid Per-
guruan Tapak Tangan Suci tampak sedang berkumpul
di dalam sebuah rumah mungil, tempat kediaman Yin
Yin. Mereka duduk melingkar di atas lantai beralas ti-kar. Wajah mereka
memancarkan sinar kegelisahan.
"Apakah Putri Bong Mini mengatakan hendak pergi
ke mana kepada Susiok?" tanya Yin Yin, Ketua Pergu-
ruan Tapak Tangan Suci.
"Bila dia mengatakan hendak pergi ke mana, tentu
aku tidak seresah ini," sahut Bongkap dengan air mu-ka keruh. "Sebenarnya dia
juga sering bepergian tanpa pamit seperti ini!"
"Kalau memang begitu, kenapa Susiok cemas?" po-
tong Yin Yin. "Aku mengkhawatirkannya karena sejak tumbuh
dewasa, baru kali ini dia menjejakkan kaki di negeri kelahirannya," sahut
Bongkap. "Lagi pula, dia belum tahu siapa kawan dan lawannya."
Yin Yin mengangguk-angguk. Keningnya agak ber-
kerut, mencoba mengira-ngira tempat tujuan Bong
Mini. Sementara di sudut ruangan, Baladewa pun tampak
cemas. Malah ia sangat mengkhawatirkan keselamatan
kekasihnya itu. Kekhawatirannya semakin memuncak
ketika teringat ucapan Bong Mini yang menyatakan,
'Bila takdir sudah menjemput, melawan seorang lelaki dungu pun kita akan mati'!
Lama kelamaan kekhawatiran dan kegelisahannya
tidak dapat dibendung lagi. Baladewa segera bangkit, lalu menghormat pada
Bongkap. "Izinkan aku mencari Putri Bong Mini malam ini ju-
ga!" ujar Baladewa minta pamit.
Bongkap tidak segera menyahut. Kecuali meng-
alihkan pandangannya ke arah Prabu Jalatunda dan
Ningrum yang juga tengah memandangnya penuh
makna. "Berangkatlah!" Prabu Jalatunda menyahuti. "Tapi
ingat, segera beritahukan ke sini kalau sampai besok pagi belum juga kau temukan
jejak Bong Mini agar kita bisa sama-sama mencarinya!"
"Baik, Ayah!" ucap Baladewa dengan tubuh sete-
ngah membungkuk. Setelah itu ia berbalik dan lang-
sung melangkah ke pintu keluar.
Baru saja Baladewa melangkah dua tindak, tiba-
tiba muncul Bong Mini. Dia berdiri tegak di dekat pintu seraya menyebarkan
pandangan ke sekeliling.
Wajah Bongkap dan orang-orang yang sejak tadi
mencemaskan keselamatannya tampak berubah cerah.
Begitu pula dengan Baladewa. Dia menghela napas le-
ga seraya memandang wajah Bong Mini.
Kegembiraan mereka berubah menjadi tanda tanya
setelah mengamati wajah Bong Mini yang tegang tanpa senyum, tidak seperti
biasanya. "Kita harus menggempur istana kaisar secepatnya!"
tukas Bong Mini sambil melangkah, kemudian duduk
di sebelah Ningrum, istri Prabu Jalatunda.
"Heh" Baru datang sudah main serang segala?" sela
papanya setengah bergurau.
"Aku serius, Papa!" sergah Bong Mini tanpa se-
nyum. "Hm...," gumam papanya berubah sungguh-sung-
guh. Begitu pula dengan yang lain. Puluhan mata pendekar itu mengarah pada Bong
Mini. Mereka ingin
mendengar ucapan gadis itu selanjutnya.
"Keadaan kita sekarang ini sedang gawat!" lanjut
Bong Mini, mengejutkan orang-orang di sekitarnya.
"Gawat bagaimana maksudmu?" tanya Bongkap.
"Kaisar Thiang Tok telah mengetahui kedatangan ki-
ta dan menyebarkan papan-papan pengumuman di
tiap tempat ramai!" lapor Bong Mini.
Bongkap dan semua yang hadir di situ tampak sa-
ling berpandangan.
"Apa isi pengumuman itu?" tanya Prabu Jalatunda.
"Isinya mengenai penangkapan Papa dan diriku!"
sahut Bong Mini.
Hening. Masing-masing pendekar berpikir mengenai lang-
kah-langkah mereka selanjutnya.
"Kita harus menyerang secepatnya, Papa!" cetus
Bong Mini, tidak sabar.
"Tenanglah! Kita jangan tergesa-gesa mengambil tin-
dakan!" kata Bongkap.
"Papa," ucap Bong Mini agak kesal. "Kaisar Thiang
Tok pasti akan mengerahkan seluruh prajuritnya un-
tuk mencari dan menangkap kita. Apalagi jika kaisar mengetahui pembunuhan yang
telah kulakukan siang
tadi!" Bongkap dan seluruh pendekar tersentak kaget
mendengar pengakuan Bong Mini.
"Jadi, kau sudah berhadapan dengan prajurit Kai-
sar Thiang Tok?" tanya Yin Yin dengan kedua mata
masih membelalak karena terkejut.
"Benar, Cici Yin Yin!" sahut Bong Mini cepat. "Mu-
lanya aku berhadapan dengan empat pendekar di
Kampung Chang Chow. Kemudian aku bertempur de-
ngan sepuluh prajurit yang menyamar sebagai rakyat
biasa di Bukit Chiangsi Bun," lanjut Bong Mini.
Hening kembali. Mereka tidak menyangka kalau ke-
pergian Bong Mini telah meminta korban nyawa para
prajurit Kerajaan Manchuria.
"Bagaimana pendapatmu, Yin Yin?" tanya Bongkap
kepada Ketua Perguruan Tapak Tangan Suci.
"Menurutku, kita tetap di sini untuk beberapa hari
sambil menyusun kekuatan. Jumlah kita masih sangat
sedikit dibanding jumlah prajurit kerajaan!" kata Yin Yin, mempertahankan
rencana semula.
"Aku pun berpendapat demikian!" kata Bongkap se-
tuju. "Aku tidak setuju!" sanggah Bong Mini. "Mengun-
durkan rencana penyerbuan sama artinya memberikan
waktu pada pihak kerajaan untuk mengatur siasat!"
lanjutnya. "Putriku!" ucap Bongkap lunak. "Kita tidak bisa ge-
gabah dalam bertindak!"
"Aku mengerti, Papa! Tapi kita pun tidak bisa mem-
biarkan mereka bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat selamanya!" kata Bong Mini. "Dalam mencari ki-ta, sudah tentu mereka
mendatangi rumah-rumah
penduduk untuk minta keterangan. Mereka tentu akan
bertindak keras terhadap penduduk yang tidak mau
membuka mulut!" tambah Bong Mini.
Bongkap dan para pendekar lain termangu-mangu
mendengar pendapat Bong Mini.
"Sejak kedatanganku ke sini, aku sudah banyak
melihat penderitaan rakyat. Dan aku tidak ingin penderitaan yang dialami rakyat
menjadi lebih parah lagi!"
lanjut Bong Mini. Kemudian ia beranjak menuju ka-
marnya. Diikuti pandangan Bongkap dan para pende-
kar yang masih termangu-mangu.
Selang beberapa saat, Bong Mini keluar kembali de-
ngan pedang tergenggam di tangan.
"Maafkan aku jika kali ini kita berbeda pendapat.
Aku akan melakukan penyerangan malam ini juga!"
Setelah berkata begitu, Bong Mini langsung melesat ke luar.
"Putriku, jangan nekat!" cegah Bongkap seraya me-
langkah cepat menuju pintu. Tapi sampai di sana ma-
tanya sudah tidak melihat tubuh Bong Mini lagi. Gadis itu telah lenyap ditelan
kegelapan. Bongkap kembali ke tempat semula dengan langkah
lesu. Dari sudut ruangan, Baladewa tiba-tiba berdiri de-
ngan pandangan menyebar ke arah para pendekar.
"Putri Bong Mini memang keras hati!" kata Bala-
dewa dengan pandangan tetap berkeliling. "Tapi yang kutahu, selama ini
tindakannya itu tak pernah mele-set. Karena itu, aku pun akan segera pergi untuk
menyertainya!" lanjutnya.
Mata semua pendekar yang berada di ruang itu ter-
belalak. Sebelum mereka sempat menanggapi, Bala-
dewa sudah melesat menembus kegelapan.
Hening. Para pendekar terdengar menghela napas.
"Apa boleh buat. Kita terpaksa mengikuti kehendak
putriku!" kata Bongkap lemah. Kemudian ia bangkit
tanpa gairah. "Kita berangkat sekarang!"
Tanpa banyak cakap lagi, semua pendekar di rua-
ngan itu serentak berdiri, lalu melangkah menuju
ruang belakang untuk mengambil senjata masing-ma-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sing. Setelah itu mereka berangkat menuju istana kerajaan.
*** Dalam perjalanan menuju Istana Kaisar Thiang Tok,
Bong Mini mengerahkan dua ilmu kesaktian sekaligus
yaitu 'Halimun Sakti' dan peringan tubuh. Penggabu-
ngan dua ilmu itu membuat tubuhnya berkelebat me-
nyerupai bayang-bayang membelah kegelapan malam.
Tanpa banyak memakan waktu, Bong Mini telah sam-
pai di Lembah Hijau.
Bong Mini duduk di atas batu besar sambil mele-
paskan lelah. Sedangkan matanya memandang ke se-
berang Lembah Hijau. Di sana Istana Kerajaan Man-
churia berdiri angkuh. Dan dari jarak lima ratus meter itu matanya juga dapat
melihat puluhan prajurit yang menjaga pintu gerbang istana.
Bong Mini tetap duduk di atas batu besar sambil
menyusun rencana agar dapat menembus ke dalam is-
tana kaisar itu.
Sebenarnya bisa saja ia menerobos masuk ke pintu
gerbang yang dijaga ketat lima puluh prajurit lebih itu dengan cara melakukan
gempuran langsung. Tapi cara
itu jelas ia hindari, mengingat pertarungan itu akan menimbulkan kegaduhan yang
dapat mengundang pa-ra prajurit lain.
Apa sebenarnya yang dipikirkan Bong Mini" Ia tidak
hanya mempertimbangkan untuk bisa masuk, tetapi
juga memikirkan bagaimana cara keluar istana itu jika ada kesulitan. Posisi
istana itu memang kurang meng-untungkan baginya. Di belakang benteng terdapat
pa- rit dalam, sedangkan jalan masuk di depan benteng
terlindung ketat oleh gerbang ganda.
"Hm..., tidak mudah untuk menyelinap masuk ke
dalam benteng itu," gumam Bong Mini. "Sekalipun
kuambil jalan pintas dan yakin berhasil menumpas pa-ra penjaga gerbang itu,
tentu kelanjutannya akan
membahayakan hidupku sendiri."
"Tidak! Aku tidak bisa melakukan cara itu!" protes
hatinya lagi. Di balik protes itu, ia merasakan ada ke-pengecutan dalam hatinya.
"Ah, bukan! Aku bukan pengecut!" bantah sisi hati
yang lain. Saat itu pula, ia merasakan ketenangan ba-ru yang mengalir dalam
dadanya seperti sungai yang
lembut. Dan dalam ketenangan yang datang menyen-
tuh relung hatinya itu, ia langsung merasakan dirinya menjadi manusia.
Bong Mini tiba-tiba tersadar dari percakapan batin-
nya, manakala matanya menangkap bayangannya sen-
diri di atas tanah. Dan, ah..., ia hampir tidak percaya ketika melihat langit
begitu terang dan cantik. Pertanda hari sudah pagi.
"Hm..., ternyata cukup lama juga aku di sini!" gu-
mamnya sambil mengalihkan pandangan kembali ke
benteng istana.
"Aku harus menyeberang lembah dan memanjat ka-
rang di sebelah sana!" bisik Bong Mini, mengatur rencana. Rencana itu begitu
saja datang ketika melihat tembok benteng bagian belakang ternyata tak berpintu
gerbang dan tanpa pengawalan ketat.
Belum sempat Bong Mini melaksanakan rencana-
nya, sebuah tombak berukuran satu meter mendesing
ke arahnya. Siuttt...! Creb!
Ujung tombak itu menancap di tanah satu senti dari
jemari kaki Bong Mini.
Gadis cantik bertubuh mungil itu terkejut. Tubuh-
nya melompat dua tindak ke depan sambil berbalik.
Ternyata dua puluh prajurit kerajaan telah berdiri gagah memandang ke arahnya.
Kemudian satu persatu
prajurit itu bergerak mengepung Bong Mini dengan
senjata terhunus. Ada tombak biasa berukuran dua
meter, ada pula tombak dan pedang bergigi seperti ger-gaji.
Kini para prajurit itu sudah berdiri tegak menge-
pung Bong Mini dalam susunan yang begitu rapi. Se-
dangkan mata mereka menatap tajam penuh selidik.
Bong Mini yang berdiri di tengah kurungan para
prajurit itu juga memandang mereka. Begitu tajam dan kejam, bagai tatapan
harimau yang terusik.
"Pasti gadis ini yang telah membunuh teman-teman
kita!" ujar seorang prajurit seraya menunjuk dengan ujung pedangnya ke arah Bong
Mini. "Kalau memang benar, tentu ia seorang putri yang
sedang kita cari"!" timpal temannya yang lain.
Mendengar tuduhan itu, Bong Mini diam. Hanya
kedua matanya saja yang semakin tajam memandang
para prajurit itu, seolah-olah hendak menerkamnya.
Salah seorang dari dua puluh prajurit itu maju dua
langkah ke arah Bong Mini.
"Apakah kau yang telah membunuh empat pende-
kar dan sepuluh prajurit kerajaan?" tegur Sun Kwan
Tek, pemimpin prajurit itu. Ia mengetahui kematian
teman-temannya setelah melakukan pencarian di seki-
tar Kampung Chang Chow dan Kampung Chiangsi
Bun, tempat di mana teman-temannya tewas.
Dari sana mereka langsung bergegas menuju istana
untuk melaporkannya kepada Kaisar Thiang Tok. Na-
mun ketika tiba di Lembah Hijau, mereka melihat Bong Mini tengah duduk mengamati
benteng istana.
Seorang prajurit langsung menyerang Bong Mini de-
ngan sebuah tombak yang menancap di dekat Bong
Mini tadi. Mereka yakin kalau gadis itu yang melakukan pembunuhan, karena selama
ini tidak ada orang
yang berani menentang para prajurit utusan kaisar.
Apalagi membunuh. Terlebih jika menilik sikap Bong
Mini yang mencurigakan.
Bong Mini masih diam. Sepasang matanya tetap
bergerak waspada.
"Heh! Kau tuli, ya!" hardik Sun Kwan Tek melihat
Bong Mini tidak mempedulikan pertanyaannya.
Bong Mini tetap diam. Namun beberapa saat kemu-
dian, mulutnya mengeluarkan lengkingan tinggi ber-
sama kelebatan tubuhnya. Saat melayang di udara, di-cabutnya Pedang Teratai
Merah dengan pengerahan ju-
rus 'Pedang Samber Nyawa'.
"Hiyaaat!"
Bret bret bret!
Gulungan sinar merah berbentuk bunga teratai ber-
gerak menyambar lima prajurit Kerajaan Manchuria.
"Aaakh!"
Pekik kematian terdengar seketika saat tubuh lima
prajurit itu ditebas pedang Bong Mini.
Belum sempat yang lain tersadar dari keterkejutan-
nya, tubuh Bong Mini yang mungil itu berkelebat cepat menyambar lawan yang lain.
Singngng! Crokkk! Pedang Bong Mini kembali membabat leher dua
orang lawan hingga terpisah dari badan.
"Seraaang!"
Sun Kwan Tek segera tersadar dan langsung mem-
berikan aba-aba penyerangan pada pasukannya.
Sing sing sing!
Serangkai sinar pedang berkelebat cepat di sekitar
tubuh gadis mungil itu. Belum lagi lima mata tombak yang terus mencecar bagian
tubuh Bong Mini dengan
gerakan menusuk.
"Hiyaaat!"
Bong Mini memekik tinggi. Tubuhnya melenting se-
tinggi dua meter. Gerak melompatnya demikian ringan seperti seekor walet,
mementahkan serbuan para prajurit yang memperdengarkan teriakan perang. Panca-
ran wajah serta lengkingan mereka terdengar buas bagai singa lapar mengejar
mangsa. "Aaakh!"
Tiba-tiba lima prajurit Kaisar Thiang Tok yang me-
ngepung Bong Mini memekik tertahan dan langsung
mati berlumur darah. Ketika yang lain menoleh, ter-
nyata seorang pemuda tampan telah membantu Bong
Mini. Bong Mini yang masih berada di udara sempat ter-
kejut melihat kedatangan pemuda yang tidak lain Ba-
ladewa itu. Kemudian dengan gerakan cepat tubuhnya
berputar di udara sambil menyabetkan pedangnya ke
kepala para pengeroyoknya yang tinggal delapan orang itu. Crokkk! Crokkk!
Dua prajurit kembali tewas tanpa mengeluarkan
pekikan ketika pedang Bong Mini menyambar kepala
mereka hingga terbelah dua.
"Hup!"
Bong Mini melompat ke tempat yang agak jauh dari
arena pertarungan. Sedangkan tangannya masih
menggenggam Pedang Teratai Merah yang sudah ber-
lumur darah. Enam prajurit berdiri gentar. Karena yang mereka
hadapi bukan Bong Mini saja, tetapi juga seorang pemuda yang tidak kalah
tangkas. "Biar enam pecundang ini kulayani!" seru Baladewa
kepada Bong Mini yang berdiri di seberangnya.
Bong Mini tidak menyahut. Dia hanya memasukkan
pedangnya sebagai tanda setuju. Setelah itu ia berdiri tegak menyaksikan
Baladewa tengah berhadapan dengan enam prajurit yang tampak semakin gentar.
Tanpa menunggu serangan enam prajurit itu, Bala-
dewa segera memainkan pedang bersama tubuhnya
yang melesat cepat ke arah lawan.
"Hiaaat!"
Sing sing sing!
Sinar pedang berkelebat menyambar lawan. Namun
kali ini serangan pedang Baladewa luput dari sasaran.
Baladewa semakin geram melihat enam lawannya
berhasil mengelakkan serangan pedangnya. Dengan
nafsu yang sudah melonjak ke ubun-ubun, dia kemba-
li menggerakkan pedangnya dengan mengerahkan ju-
rus pedang 'Seribu Kilat Menyambar Bumi', warisan
dari mendiang gurunya, Kanjeng Rahmat Suci.
Singngng! Bret! Bret! Creb!
Sinar pedang Baladewa terlihat menjadi banyak aki-
bat gerakannya yang demikian cepat. Sesaat kemudian empat prajurit roboh dengan
sayatan lebar di tubuh
masing-masing. Mereka menggeliat-geliat sebentar, la-lu mati.
Sun Kwan Tek dan seorang temannya tercengang
melihat kematian mereka. Dengan wajah pucat ke-
duanya bergegas untuk menyelamatkan diri. Sebelum
niat itu terlaksana, Baladewa sudah menyerangnya.
"Hiyaaat!"
Creb! Seorang prajurit tewas seketika saat ujung pedang
Baladewa menghujam perutnya. Kesempatan itu diper-
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 2 Dewi Ular Terjerat Asmara Mistik Pahlawan Dan Kaisar 25
itu. Dan untuk mengetahui sepak terjang kaisar negeri itu, mereka hanya dapat
mendengar dari cerita yang
disampaikan Yin Yin, sebagai seorang pendekar wanita yang besar di negeri itu.
"Susiok," ucap Yin Yin setelah beberapa saat suasa-
na hening. "Kedatangan Susiok ke sini hendak mem-
bantu perjuangan kami, kan?" lanjutnya.
"Tentu saja. Karena ini negeri kelahiranku!" sahut Bongkap.
"Terima kasih, Susiok!" ucap Yin Yin. Kemudian
matanya beralih pada para pendekar yang sejak tadi
belum diperkenalkan. "Siapakah orang-orang gagah
yang menyertai Susiok ini?" tanya Yin Yin.
"O, ya. Aku hampir lupa memperkenalkannya!" ge-
gas Bongkap. "Mereka adalah para pendekar dari nege-ri Selat Malaka. Dengan hati
tulus, mereka akan membantu perjuangan kita!" lanjut Bongkap menjelaskan.
"Oh, senang sekali kalau begitu!" desah Yin Yin
gembira. Lalu ia pun menjabat tamunya itu satu persa-tu sambil memperkenalkan
nama masing-masing.
*** 4 Senja itu udara cukup cerah. Matahari memancar-
kan kehangatan sinarnya di sebelah barat. Cakrawala mulai disapu warna
lembayung, berpendar lembut penuh keramahan.
Dalam senja yang cerah itu, seorang gadis mungil
berpakaian merah ketat tampak berjalan tenang me-
masuki Kampung Chang Chow. Sebuah kampung yang
banyak dihuni penduduk miskin. Sehingga di waktu
senja seperti saat itu, asap dapur hanya mengepul dari beberapa rumah saja.
"Sungguh menyedihkan sekali keadaan rakyat di
kampung ini!" gumam gadis bertubuh mungil yang ti-
dak lain Putri Bong Mini itu. Senja itu ia sengaja melakukan perjalanan untuk
melihat-lihat keadaan pendu-
duk kampung di negeri Manchuria.
Sudah sekian tahun ia meninggalkan negeri itu.
Amat layak kalau kini ia berjalan-jalan menikmati pemandangan sambil melihat-
lihat keadaan penduduk
sebagai pelepas rindu terhadap negeri kelahirannya.
Ketika memasuki Kampung Chang Chow yang pen-
duduknya dibebani kemiskinan, Bong Mini menjadi te-
renyuh. Hal itu terlihat bukan saja dari asap dapur yang cuma mengepul dari
beberapa rumah, tetapi juga dari anak-anak kecilnya yang hidup tak terurus.
Dengan tubuh telanjang, mereka duduk di depan rumah
masing-masing tanpa sinar keceriaan. Mereka tampak
kurus. Sementara perut mereka membuncit dengan
wajah pucat tanpa darah. Pertanda jika anak-anak malang itu terlalu kurang
makan. Rumah-rumah berjajar padat itu rata-rata berdin-
ding papan bersusun. Itu pun sudah tua, hingga terlihat kerapuhan di sana sini.
Tepian atapnya sudah terlihat hijau berlumut karena seringkali terkena siraman
hujan dan terpaan sinar matahari. Ada yang terbuat
dari rumbia, dan ada pula dari seng berkarat.
Di saat Bong Mini melangkah tenang sambil meng-
amati pemukiman kumuh itu, tiba-tiba matanya meli-
hat sebuah piring melayang dari pintu satu gubuk bo-brok, lalu pecah berantakan
di jalan. Disusul dengan keluarnya lelaki yang berumur sekitar lima puluh tahun.
Tubuhnya agak kurus dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter.
Dia keluar terhuyung dengan wajah ketakutan. Selang beberapa saat, menyusul pula
istrinya yang bertelanjang kaki dan rambut awut-awutan. Umurnya sekitar empat
puluh ta- hun. Namun raut wajah justru tampak lebih tua dari
suaminya. Dia berbadan kurus keriput dan hanya me-
ngenakan kain sebatas pusar. Sedangkan bagian atas-
nya dibiarkan telanjang. Sehingga teteknya yang peot bergayut-gayut seperti
tetek sapi. "Ngomong sekali lagi. Ayo ngomong! Laki-laki tua tidak tahu malu. Baru pegang
uang begitu saja sudah
kepingin cari 'daun muda'!" kata perempuan tua itu
sambil terus mengejar suaminya. "Pakai otakmu. Pikirkan anak-anakmu di rumah
yang jarang makan!" maki
sang istri lagi. Sedangkan dari dalam rumahnya ter-
dengar tangisan anak-anak, diramaikan oleh gonggo-
ngan anjing di depan rumah itu.
Perempuan tua itu kini telah berhasil menarik baju
belakang yang dikenakan suaminya. Dan langsung
memukuli, mulai dari punggung, dada sampai menca-
kari wajah suaminya.
Para tetangga yang sejak tadi keluar untuk menon-
ton pertengkaran, kini datang mendekat dan mencoba
melerai suami-istri lanjut usia itu.
Melihat kejadian tersebut, Bong Mini tampak terse-
nyum kecil, walaupun hatinya iba mendengar tangisan anak-anak pasangan suami-
istri itu. Kemudian langkahnya dilanjutkan kembali melewati suami-istri yang
bertengkar serta para tetangga yang berusaha melerai keduanya.
Setelah agak jauh melewati tempat pertengkaran
tadi, Bong Mini memasuki sebuah kedai murah. Di
mana para pengunjungnya hanya para pekerja kasar.
Sampai di dalam kedai berbentuk rumah itu, Bong
Mini melihat empat lelaki setengah baya tengah duduk menikmati kopi dan pisang
goreng. Bong Mini terus melangkah. Diambilnya tempat du-
duk di sudut ruangan agak jauh dari empat lelaki tadi.
Tidak lama kemudian, seorang wanita datang.
"Cici mau makan atau minum kopi?" tanya wanita
itu sopan. Sedangkan sepasang matanya menatap he-
ran pada Bong Mini. Karena baru kali ini kedainya dimasuki seorang wanita cantik
berpakaian indah ter-
buat dari sutera halus yang cukup mahal harganya.
"Aku minta dibuatkan kopi saja!" ucap Bong Mini.
Kedatangannya ke kedai itu memang hendak singgah
saja, tanpa keinginan untuk makan.
"Terkadang aku berpikir, apakah nasib kita akan te-
rus begini?" terdengar lelaki pertama berkata seraya menyalakan cerutunya.
"Yah..., kita terima nasib saja," sambut lelaki kedua yang duduk di sampingnya.
"Habis mau bagaimana la-gi" Orang-orang gagah yang berpihak kepada kita ma-
lah tewas di tangan prajurit kerajaan saat melakukan pemberontakan," lanjutnya.
"Memang benar!" lelaki ketiga yang duduk di hada-
pannya membenarkan pendapat lelaki kedua. "Apalah
artinya kita melakukan pemberontakan terhadap kela-
liman kaisar. Daripada mati konyol karena tidak mempunyai kepandaian, lebih baik
kita terima nasib apa adanya!" lanjut lelaki ketiga yang tampaknya tidak
mau ambil pusing dengan nasib yang dialaminya.
"Tapi aku berharap, moga-moga Tuhan mengutus
orang-orang gagah untuk melawan kekejaman kaisar
dan pengikutnya," kata lelaki pertama penuh harapan.
Sedangkan wajahnya yang sudah menunjukkan garis-
garis ketuaan tampak murung. Matanya menatap ko-
song pada kopinya yang tinggal setengah gelas lagi.
Bong Mini menghela napas mendengar keluhan em-
pat lelaki setengah baya itu. Bahkan batinnya tere-
nyuh saat mendengar harapan lelaki pertama.
"Ini kopinya, Cici!" tiba-tiba terdengar suara halus di sebelahnya.
Bong Mini yang sedang asyik mendengarkan perca-
kapan keempat lelaki tadi tersadar. Segera disambutnya segelas kopi yang hendak
diletakkan di atas meja oleh perempuan tadi.
"Terima kasih!" ucap Bong Mini dengan sebaris se-
nyum. Perempuan itu membalas dengan senyuman pula,
lalu kembali ke dalam.
Belum sempat Bong Mini menghirup kopinya, tiba-
tiba muncul empat lelaki gagah berjubah kuning se-
panjang lutut. Rambut mereka digelung dan panda-
ngan keempatnya tajam. Menciptakan kesan angker
pada penampilan mereka yang memang terlihat kasar
dan beringas. Melihat kedatangan empat lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun itu, keempat lelaki yang tadi asyik duduk menikmati segelas
kopi dan pisang goreng tampak terkejut. Mereka berdiri takut dan melangkah ke
sudut ruangan di sebelah Bong Mini.
Melihat tingkah mereka, keempat lelaki gagah yang
baru masuk terbahak-bahak sambil menempati meja
yang dikosongkan empat lelaki setengah baya tadi.
Tanpa sepengetahuan mereka, Bong Mini mengama-
ti dengan mata menyipit kesal. Kebetulan tempat du-
duk Bong Mini terhalang deretan kotak makanan.
Perempuan muda yang tadi melayani Bong Mini ke-
luar membawakan empat gelas kopi. Diletakkannya
kopi itu di meja empat lelaki gagah tadi. Tampaknya mereka biasa datang ke kedai
tersebut. Terbukti dari pelayanan pemilik kedai yang langsung membawakan
empat gelas kopi, meski belum dipesan.
"Eit, mau ke mana lagi?" tegur lelaki pertama seraya mencekal pergelangan tangan
perempuan pembawa
kopi ketika hendak melangkah.
"Saya sedang menggoreng pisang di dapur, Tuan!"
sahut perempuan itu dengan wajah ketakutan.
"He he he..., biar saja ibumu yang menggoreng. Kau
temani aku di sini!" tukas lelaki gagah itu. Kemudian disambut gelak tawa teman-
temannya. "Ja... jangan, Tuan! Ibu saya sedang repot. Saya harus membantunya!" kata
perempuan yang berwajah
cantik itu. Dia semakin ketakutan ketika tangan kiri lelaki gagah itu beralih
memeluk pinggangnya.
Bong Mini menyaksikan perlakuan lelaki gagah ter-
hadap perempuan berumur lima belas tahun itu men-
jadi berang. Apalagi ketika melihat wajah perempuan itu pucat karena ketakutan.
Dengan suara lantang ia pun berseru ke arah empat lelaki gagah yang bermen-tal
cabul itu. "Lepaskan perempuan itu!" bentak Bong Mini seraya
berdiri. Empat orang lelaki tadi tampak terkejut ketika melihat gadis berdiri dengan
angkuh. Mereka tak menyang-ka ada seorang gadis cantik yang mampir ke kedai itu.
Keterpanaan terhadap kecantikan Bong Mini membuat
mereka lupa pada anak gadis pemilik kedai. Lelaki
yang memeluk gadis itu malah melepas rangkulan be-
gitu saja dari pinggangnya.
Tanpa menghiraukan tatapan terpana mereka, Bong
Mini melangkah keluar. Namun ketika hendak melewa-
ti keempat lelaki gagah berwajah bengis itu, seorang dari mereka segera
menghadang. Dia berdiri tepat di depan Bong Mini, sementara bibirnya
memperlihatkan senyum yang menjengkelkan.
"He he he..., aku tidak menyangka ada gadis cantik
yang mampir ke warung ini!" ucapnya dengan bibir tetap cengengesan. Matanya
begitu liar menggerayangi tubuh Bong Mini.
"Siapa namamu, Nona Manis?" tanya lelaki kedua
seraya mencolek bahu gadis yang mengundang pesona
itu. Bong Mini menoleh padanya dengan mata mendelik.
"Punya uang berapa kau berani colek-colek aku!" tantang Bong Mini, berpura-pura.
Keempat lelaki gagah itu saling berpandangan. Ke-
mudian mereka tertawa serempak sambil memandang
Bong Mini kembali penuh nafsu.
"Rupanya kau gadis penjual 'daging mentah'!" tukas
lelaki gagah pertama diiringi gelak tawa teman-teman-
nya. Bibir Bong Mini menampakkan senyum yang begitu
samar. Kata penjual 'daging mentah' merupakan sebu-
tan lain bagi seorang pelacur. Itu berarti pancingannya telah berhasil.
"Kalau kau memang wanita penjual 'daging men-
tah', sungguh sangat kebetulan!" seru lelaki gagah ke dua seraya merangkul
pundak Bong Mini.
Mendapat perlakuan kurang ajar itu, Bong Mini ma-
lah mengerling genit. Namun tanpa diduga, siku kiri Bong Mini menyikut perut
lelaki yang merangkul bahunya itu dengan gerakan mendorong.
Dukkk! "Auh!"
Lelaki itu mengaduh ketika siku Bong Mini menge-
nai ulu hatinya. Dia terhuyung dua langkah ke bela-
kang sambil memegangi ulu hatinya yang terasa sesak.
Tiga lelaki lain menjadi terkejut melihat temannya
merintih-rintih kesakitan. Kesempatan itu dipergunakan Bong Mini untuk melompat
keluar halaman.
"Hup!"
Dalam sekejap, tubuh Bong Mini sudah berada di
luar kedai. Dia berdiri gagah memandangi empat lelaki yang masih berada di dalam
kedai. Bibirnya terus me-ngembang, memperlihatkan senyum mengejek.
"Sial! Perempuan itu bukan pelacur. Dia pendekar
wanita yang hendak menguji kita!" dengus lelaki ke
dua yang sudah mulai bisa berdiri tenang. Sedangkan matanya terus mencorong ke
arah Bong Mini.
"Kita tangkap gadis itu!" sentak lelaki pertama sambil keluar kedai. Diikuti
oleh ketiga temannya.
Empat lelaki setengah baya yang sejak tadi berdiri
ketakutan di sudut ruangan, kini melangkah ke pintu untuk menyaksikan peristiwa
selanjutnya antara Bong Mini dengan empat lelaki berwajah beringas tadi. Begi-
tu pula dengan anak perempuan pemilik warung. Dia
melihat pertarungan antara Bong Mini dengan keempat lawan bersama ibunya yang
sudah sejak tadi keluar
dari dapur ketika mendengar keributan.
"Majulah kalian kalau ingin menikmati tubuhku!"
tantang Bong Mini. Bibirnya kini memperlihatkan se-
nyum sinis. Lelaki yang sempat menikmati sikutan Bong Mini
terkekeh mendengar tantangan tadi.
"Kau terlalu muda untuk berhadapan dengan kami,
Nona Manis. Dan aku tidak tega melukai tubuhmu
yang mulus itu," katanya, masih bisa bertingkah.
Bong Mini kembali tersenyum sinis menanggapi ke-
pongahan lawannya.
"Bagaimana aku dapat mengetahui kehebatan kali-
an dalam bercumbu jika tidak melakukan tes dengan
pertarungan!" tantang Bong Mini lagi.
Empat lelaki gagah berwajah bengis yang otaknya
sudah dijejali oleh nafsu birahi itu terbelalak senang mendengar tantangan Bong
Mini yang menggoda itu.
Dengan cepat, lelaki kedua maju dua langkah ke arah Bong Mini.
"Baiklah, aku akan menyerangmu terlebih dahulu,
Nona!" kata lelaki kedua. Lalu dia bersiap-siap untuk melakukan serangan.
Dibukanya jurus 'Totok Bangau'.
Tangan kanannya diangkat lurus dengan kepala, se-
dangkan tangan kiri diangkat lurus dengan bahunya.
Ada pun lima jari dari kedua tangannya dipertemukan hingga membentuk kerucut.
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiaaat!"
Lelaki itu menerjang dengan tangan kanan me-
nyambar leher sedangkan tangan kirinya menyambar
pinggul Bong Mini.
Wut wut! Serangannya luput dari sasaran. Karena pada saat
itu, Bong Mini berhasil mengelak dengan cara menggerakkan kaki kiri ke belakang,
bersama tubuhnya yang juga dimiringkan ke belakang. Sambil memiringkan tubuh,
Bong Mini melangkah ke samping dengan ilmu
'Halimun Sakti'. Kemudian dengan cepat melakukan
tamparan ke wajah lawan.
Wut wut! Mendapat sambaran telapak tangan yang begitu ke-
ras, lelaki ke dua terkejut bukan main. Untunglah ia segera mengelak, sehingga
tangan Bong Mini tidak berhasil mengenai sasaran.
Ketika gadis itu melakukan tamparan begitu cepat,
lelaki gagah itu segera menangkisnya.
Duk duk! Kedua pergelangan tangannya berhasil menangkis
telapak tangan Bong Mini. Namun tanpa diduga sama
sekali kedua tangannya yang menahan tamparan la-
wan didorong keras oleh gadis itu hingga tubuhnya terjengkang ke belakang.
Tubuhnya langsung menggelin-
ding seperti bola ditendang. Namun dengan sigap dia mampu bangkit kembali seraya
mencabut pedang dari
pinggangnya. Sret! Pedang panjang berwarna hitam keluar dari sa-
rungnya. Warna hitam itu menandakan kalau pedang-
nya sering dilumuri racun. Begitu pula dengan ketiga temannya. Menyaksikan
temannya terjengkang dalam
waktu singkat, mereka mencabut pedang masing-ma-
sing dan mengepung gadis cantik yang lincah itu.
Empat lelaki setengah baya bersama dua orang ibu
dan anak pemilik kedai berdiri tegang menyaksikan
seorang gadis cantik dikepung empat lelaki gagah berwajah beringas. Raut wajah orang-orang itu memperlihatkan kalau mereka sangat mengkhawatirkan kese-
lamatan Bong Mini.
Lain halnya dengan wajah Bong Mini. Dia tampak
tenang-tenang saja menghadapi kepungan itu. Bibir-
nya malah tersenyum-senyum, sementara matanya
menatap keempat lawannya satu persatu.
"Kalian mau bertarung sungguhan?" tanya Bong
Mini. Nada suaranya tidak lebih dari ejekan.
Keempat lelaki gagah itu tidak menyahut. Hanya
pandangan mata mereka yang terus mencorong ke
arah Bong Mini.
"Kalian pasti menyesal mengajak aku bertanding
sungguhan. Karena kalau aku mati, kalian tidak akan sempat menikmati keindahan
tubuhku!" goda Bong
Mini lagi dengan sebaris senyum genit.
Keempat lawannya tetap diam. Mereka tidak sedikit
pun menanggapi ucapan Bong Mini. Mereka tahu ka-
lau Bong Mini bukan gadis sembarangan. Apalagi se-
bagai pelacur seperti dugaan mereka semula. Untuk
itu mereka harus bersungguh-sungguh menghadapi
kelihaian gadis itu.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba empat orang lelaki itu mengeluarkan peki-
kan tinggi berbareng kelebatan tubuh mereka. Sedangkan pedang di tangan mereka
menyambar tubuh lawan
ke sana kemari.
Sing sing singngng!
Sinar hitam berkelebat kian kemari dengan ganas.
Dengan tangkas, gadis yang diserang mengelak dengan cara melompat lurus di atas
kepala mereka. Begitu turun, kedua kakinya langsung menjejak dua kepala la-
wan yang berdiri berdekatan. Sedetik kemudian kaki-
nya dihentakkan keras-keras.
"Hiiiy!"
"Auh!"
Kedua orang itu terjengkang keras ke samping di-
sertai pekikan kesakitan ketika tubuh mereka menda-
rat di tanah, dan langsung mencelat ke udara kembali, lalu turun ke tempat yang
agak jauh dari lawannya.
Melihat dua temannya roboh, dua lelaki lain menja-
di terkejut bukan main! Bukan karena dua temannya
yang roboh, melainkan karena mereka melihat sera-
ngan Bong Mini yang demikian cepat.
Gerakan kilat Bong Mini tentu saja tak terlihat oleh lawan. Karena pada saat itu
Bong Mini masih mengerahkan ilmu 'Halimun Sakti'-nya. Membuat pandangan
lawan kabur. Seolah-olah terhalang kabut.
"Kelinci kecil! Sebutkan namamu sebelum nyawamu
kukirim ke neraka!" geram lelaki pertama dengan sorot mata merah menyala.
Rupanya dia sudah dirasuki
amarah yang demikian memuncak.
"Apa untuk masuk neraka aku harus mendaftarkan
nama dulu?" Bong Mini balik bertanya, disertai senyuman mengejek.
"Keparat!" geram lelaki pertama. Tubuhnya kembali
bergerak cepat untuk menyerang Bong Mini. Begitu
pula dengan tiga temannya yang sudah bangkit kem-
bali. Wut wut wut! Jurus 'Pedang Ekor Naga' yang dimainkan keempat
lelaki itu berkelebat di sekitar tubuh Bong Mini. Tapi mereka dibuat terkejut
karena tubuh lawan yang diserang hanya menyerupai bayangan. Sedangkan tubuh
asli Bong Mini sudah menyelinap tanpa diketahui, lalu berdiri di belakang
keempat lawan sambil tersenyum.
Kemudian dengan tenang ia memukul dua punggung
lawan yang terdekat dengannya.
Buk, buk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua lelaki yang terkena pukulan telapak tangan
Bong Mini langsung menjerit menggidikkan sambil
berguling di atas tanah. Pada saat itu tubuh mereka terasa panas luar biasa.
Tidak lama kemudian tubuh
keduanya diam tanpa gerak Keduanya mati dengan tu-
buh hangus bagai terbakar, akibat pukulan 'Tapak Tangan Hangus' yang dilancarkan
Bong Mini. Dua lelaki lain menjadi terperanjat melihat teman-
nya mati mengerikan. Dengan kemarahan yang sudah
sampai ke ubun-ubunnya, kedua orang itu membabi
buta menyerang Bong Mini.
Sing sing! Sinar pedang yang dilancarkan dua lelaki itu me-
nyambar-nyambar tubuh Bong Mini.
Bong Mini tetap tenang menghadapi serangan dua
lawannya itu. Dan ketika pedang mereka menyambar
dari arah kanan dan kiri, ia menyambut dengan me-
nangkap kedua ujung pedang itu.
Flek! Flek! Lewat ilmu kekebalan tubuh 'Tolak Pati', Bong Mini
berhasil menangkap dua ujung pedang lawan. Dilan-
jutkan dengan menarik kedua pedang bersama tubuh-
nya yang sengaja dijatuhkan telentang. Tubuh kedua
lawannya ikut tertarik ke depan. Sebelum tubuh me-
reka mencium tanah, Bong Mini menyilangkan kedua
kakinya ke leher masing-masing.
Duk duk! "Aaakh!"
Kaki Bong Mini berhasil mencengkeram kuat leher
lawan. Sekejap kemudian kakinya bergerak mengadu-
kan kepala lawan dengan keras. Saat itu pula terde-
ngar jeritan kesakitan dari mulut mereka. Sedangkan dua kepala yang berbenturan
itu pecah menjadi dua
bagian. Akhirnya kedua orang itu tewas dalam keada-
an menyedihkan!
Empat lelaki setengah baya dan dua perempuan
pemilik kedai yang menyaksikan pertarungan itu tam-
pak menyeringai ngeri melihat kematian empat lelaki tadi. Bahkan dua wanita
pemilik warung menutup wajah dengan kedua telapak tangan mereka. Tak mampu
melihat pemandangan yang mengerikan itu lebih lama
lagi. Setelah keempat lelaki itu tewas di tangannya, Bong Mini mendekati empat lelaki
setengah baya dan dua
perempuan pemilik kedai.
"Siapa mereka, Ko?" tanya Bong Mini pada seorang
di antara keempat lelaki setengah baya itu.
"Mereka para pesilat yang ditugaskan kaisar untuk
mengawasi dan memata-matai rakyat!" kata seorang lelaki berkumis dan berjenggot
putih. Bong Mini mengangguk-angguk.
"Apa masih banyak para pesilat yang bergabung de-
ngan kaisar selain mereka?" tanya Bong Mini lagi, ingin tahu.
"Tentu saja, Non. Jumlah mereka ratusan orang.
Hampir seluruh pesilat dan pendekar di negeri ini
mengabdi pada Kaisar Thiang Tok. Mereka dijadikan
prajurit kerajaan!" sahut lelaki setengah baya tadi.
Bong Mini kembali manggut-manggut.
"Kalau boleh kami tahu, siapa Nona sebenarnya?"
lelaki itu balik bertanya.
"Aku berasal dari negeri ini juga!" sahut Bong Mini.
Keempat lelaki setengah baya itu saling berpanda-
ngan. Begitu pula dengan dua perempuan pemilik wa-
rung. Wajah mereka menunjukkan keheranan. Karena
baru kali ini mereka melihat gadis mungil berwajah
cantik yang memiliki kepandaian tinggi.
Bong Mini mengerti rasa heran orang-orang itu. Ma-
ka dengan senyum ramah ia berkata, "Namaku Bong
Mini, putri Bong Khian Fu!"
Empat lelaki setengah baya dan dua perempuan
pemilik warung yang tadi menunjukkan wajah heran,
kini berubah terkejut ketika mendengar nama Bong
Khian Fu. Nama seorang mantan panglima Kerajaan
Manchuria yang mendapat julukan 'Singa Perang' atau Kapten Kang. Bahkan nama itu
semakin harum ketika
melakukan pemberontakan terhadap kaisarnya sendiri
(untuk lebih jelasnya, baca episode: 'Sepasang Pendekar dari Selatan').
Belum sempat mereka mengajukan pertanyaannya
lebih lanjut, Bong Mini segera mohon diri. Dia pergi meninggalkan enam orang
yang masih berdiri termangu-mangu memandanginya, hingga punggung Bong
Mini lenyap dari pandangan mereka.
*** 5 Berita kedatangan Bongkap atau Bong Khian Fu
bersama putri dan pasukannya telah terdengar ke te-
linga rakyat. Rakyat yang sudah pasrah pada nasib,
kini bersemangat kembali. Ibarat bara api tersiram mi-nyak.
Kabar itu sampai pula ke telinga Kaisar Thiang Tok.
Tentu saja hal itu merisaukannya. Untuk mencari pe-
mecahan masalah yang nanti akan lahir karena keda-
tangan Bongkap, ia segera memanggil para panglima
perangnya. "Apa kalian sudah mendengar berita kedatangan
Bongkap ke negeri ini?" tanya Kaisar Thiang Tok ke-
pada lima panglima perangnya.
"Secara samar kami telah mendengar, Tuanku," ka-
ta Cong Siat Fong.
"Bagus!" puji Kaisar Thiang Tok. Kemudian ia bang-
kit dari kursi kebesarannya. Sepasang matanya yang
selalu memancar tajam menatap para panglima pe-
rangnya. "Tahukah kalian, apa arti semua itu?" lanjut Kaisar Thiang Tok.
"Kami mengerti, Tuanku. Ini merupakan ancaman
bagi kerajaan," jawab Cong Siat Fong.
Kaisar Thiang Tok tertawa terbahak-bahak.
"Ini bukan ancaman. Tapi jalan yang memudahkan
kita menangkap Bong Khian Fu, sekaligus membu-
nuhnya!" ujar Kaisar Thiang Tok.
"Maaf, Tuanku!" kata Cong Siat Fong seraya menju-
ra. "Menurut hemat kami, melakukan penangkapan
terhadap Bong Khian Fu tidak semudah yang kita
bayangkan!" lanjut Panglima Cong Siat Fong.
Kaisar Thiang Tok menatap tajam Panglima Cong
Siat Fong. "Apa alasanmu berpendapat begitu?" tanya Kaisar
Thiang Tok serius.
"Berdasarkan pengamatan yang kita lihat selama
ini, Tuanku," kata Panglima Cong Siat Fong. "Dua ratus lebih prajurit dan
pendekar yang kita kirim ke Perguruan Topeng Hitam ternyata tidak membawa hasil.
Mereka malah meninggalkan nama. Belum lagi dengan
Kidarga, Nyi Genit dan anak buahnya," lanjut Panglima Cong Siat Fong.
"Jadi kau anggap Kidarga dan Nyi Genit sudah mati
di tangan Bong Khian Fu?"
"Begitu perkiraanku, Tuanku!" sahut Panglima Pe-
rang Cong Siat Fong. "Kalau dua tokoh Perguruan To-
peng Hitam itu masih bernyawa, mana mungkin me-
reka membiarkan Bong Khian Fu hidup. Apalagi sam-
pai berada di negeri ini!" lanjutnya.
Kaisar Thiang Tok mengangguk-angguk. Ia membe-
narkan pendapat Panglima Cong Siat Fong yang ma-
suk akal tadi. "Lalu, tindakan apa yang terbaik menurutmu?" ta-
nya Kaisar Thiang Tok.
"Bagaimana kalau kita membujuknya untuk kem-
bali bekerja di sini dengan menawarkan jabatan yang lebih tinggi lagi buatnya?"
Panglima Cong Siat Fong mengemukakan pendapatnya.
"Percuma! Dia tidak akan terima tawaran itu!" ban-
tah Kaisar Thiang Tok. Dia tahu pasti watak Bong
Khian Fu yang pernah menjadi panglima. "Bong Khian
Fu orang yang keras kepala, gigih terhadap pendapatnya. Lagi pula, dia bukan
orang yang silau dengan kedudukan atau harta!" lanjutnya menjelaskan.
Panglima perang itu terdiam. Tampaknya sedang
memikirkan rencana yang lebih baik.
"Bagaimana kalau kita memasang papan pengumu-
man, Tuanku?" Panglima Perang Ngi Ik Cin yang sejak tadi diam, tiba-tiba
mengajukan pendapat.
"Maksudmu?"
"Kita buat pengumuman di setiap jalan desa dan
kota dengan tulisan: Siapa saja yang berhasil menangkap Bong Khian Fu dan
putrinya, hidup atau mati,
akan diberikan hadiah dan kedudukan yang tinggi,"
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tutur Panglima Ngi Ik Cin, mengemukakan usulnya de-
ngan penuh semangat.
"Bagus! Aku setuju dengan pendapat itu!" sambut
Kaisar Thiang Tok langsung menyetujui. "Tapi kalian harus tetap mengerahkan
beberapa prajurit kerajaan
untuk mencari tempat persembunyian Bong Khian Fu
dan putrinya dengan penyamaran agar tak dikenali!"
"Akan kami laksanakan!" sahut Panglima Cong Siat
Fong, mewakili keempat rekan. Kemudian bersama Ngi
Ik Cin, Liu Soen Jie, Bong Cun Min, dan Cong A Thit, ia meninggalkan ruangan
kaisarnya. *** Di sepanjang jalan setapak berbatu menuju Bukit
Ciangsi Bun berdiri sederetan rumah kumuh yang
atapnya terbuat dari sambungan-sambungan seng ter-
susun. Begitu pula pada sebagian dinding-dindingnya.
Bong Mini yang secara diam-diam melakukan perja-
lanan untuk mengamati kehidupan rakyat negeri Man-
churia, tampak berjalan di sepanjang perumahan ku-
muh itu. Akhirnya ia sampai di sebuah toko barang tembikar.
Di sana matanya melihat lelaki tua berkaos singlet putih dan bercelana pendek
kumal sedang asyik bekerja membuat sebuah piring dari tanah liat. Begitu cekatan
jari-jari tangannya bergerak membentuk tanah liat
hingga menjadi sebuah piring. Sementara di sudut to-ko itu, berdiri sebuah meja
panjang darurat yang terbuat dari papan-papan sambungan. Di atas meja pa-
pan itu berderet piring, kendi, serta gelas yang semuanya terbuat dari tanah
liat. Barang-barang jadi itu di-jual dengan harga sekitar sepuluh sampai dua
puluh sen, sesuai dengan daftar harga yang tertera pada papan di samping pintu masuk.
Kalau dilihat dari cara kerja orang tua berumur li-
ma puluh tahun itu, harga barang-barangnya memang
sangat murah. Membuat Bong Mini jadi bertanya da-
lam hati, "Apakah dengan harga semurah itu, dia da-
pat mencukupi kebutuhan makan keluarganya?"
Dari penghasilan menjual barang-barang tembikar
itu, mereka memang tidak bisa makan tiga kali sehari.
Tapi apa boleh buat. Daripada bekerja menggarap sa-
wah milik kaisar, lebih baik menciptakan pekerjaan
sendiri. Tapa harus menerima resiko berat, dipukul
atau dicambuk seperti para penggarap sawah kaisar,
jika mereka kehabisan tenaga atau istirahat tidak sesuai waktunya.
Setelah puas mengamati barang-barang tembikar
itu, Bong Mini melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia
mampir ke sebuah kuil tua. Dari pintu masuk kuil,
Bong Mini melihat orang-orang papa tengah mem-
bungkuk sambil berdoa khusyuk.
"Ya, Tuhan, berikan kami kemerdekaan. Lindungi
Bong Khian Fu dan putrinya dari keganasan Kaisar
Thiang Tok dan pengikutnya!" sebaris doa meluncur
tulus dari mulut orang-orang papa yang berada di dalam kuil tua itu.
Bong Mini terharu mendengar doa tulus untuk ke-
selamatan dirinya dan papanya. Kemudian secara di-
am-diam ia pergi meninggalkan kuil itu. Namun baru
tiga langkah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah papan pengumuman yang
tergantung di tembok
kuil. Di sana matanya melihat tulisan yang berbunyi:
'Siapa yang berhasil menangkap Bong Khian Fu dan putrinya, hidup atau mati, akan
diberikan imbalan yang sangat memuaskan dan kedudukan'.
Bong Mini terperanjat ketika membaca tulisan itu.
Lalu dengan hati-hati diambilnya papan pengumuman
itu dan menghancurkannya dengan geram. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan
dengan langkah yang lebih cepat. Tanpa disadari, perbuatannya menghancurkan
papan pengumuman tadi diawasi oleh sepuluh prajurit Kerajaan Manchuria yang
menyamar sebagai rakyat je-lata. Dan ketika Bong Mini melanjutkan perjalanan,
kesepuluh prajurit kerajaan itu terus membuntutinya.
Bong Mini terus melangkah sampai akhirnya tiba di
tepi Bukit Ciangsi Bun. Di sana ia berhenti sambil melepas caping anyaman kulit
bambu dari kepalanya.
Caping itu kini tergantung di balik punggungnya.
Setelah melepas caping, Bong Mini duduk di tepi
bukit. Pandangannya menyebar ke rumah-rumah di
perkampungan Ciangsi Bun. Dari tepi bukit itu ia dapat melihat dengan jelas
seluruh rumah penduduk
yang bentuknya mirip kandang burung.
Saat duduk berpeluk lutut, pikiran Bong Mini ter-
pusat pada cita-cita batinnya yang sederhana. "Mem-
bebaskan penderitaan rakyat dari kekejaman Kaisar
Thiang Tok dan para prajuritnya". Semangat juangnya terus terbakar, apalagi
setelah membaca papan pengumuman tadi.
"Aku harus segera menyampaikannya pada papa
dan mengajaknya untuk segera memulai pertempu-
ran!" gumam hati Bong Mini.
Baru beberapa saat ia duduk di tepi bukit itu, tiba-tiba sepasang telinganya
mendengar gemerisik orang
melangkah. Dari suara kasar yang ditimbulkan oleh
langkah kaki itu, Bong Mini dapat menyimpulkan ka-
lau orang itu belum memiliki kepandaian tinggi.
"Hm..., jumlah mereka cukup banyak juga!" gumam
Bong Mini setelah memasang telinganya lebih tajam la-gi. Lalu, tubuhnya melesat
ke arah suara yang mencurigakan itu.
"Siapa kalian dan mengapa membayangiku!" bentak
Bong Mini ketika melihat sepuluh lelaki yang rata-rata berumur empat puluh tahun
tengah mengendap-endap
di sekitar semak belukar.
Sepuluh lelaki yang sejak tadi membuntuti Bong
Mini tampak terkejut ketika melihat gadis yang dibayangi sudah berdiri di
samping mereka. "Betapa cepat gerakan gadis itu, hingga sudah berada di belakang
kita dalam sekejap," pikir kesepuluh lelaki itu.
Sepuluh lelaki yang sebenarnya prajurit Kerajaan
Manchuria itu tampak tegang seraya mengatur posisi
untuk mengurung Bong Mini.
"Aku membayangi karena memang punya urusan
denganmu!" kata Sek Se Tau yang ditunjuk oleh Pang-
lima Perang Cong Siat Fong untuk menjadi pemimpin
penyamaran. Bong Mini yang belum tahu tentang penyamaran
mereka menjadi terheran-heran.
"Urusan apa?" ketus Bong Mini.
"Tadi kami melihat kau telah melakukan pengrusa-
kan terhadap papan pengumuman yang terpasang di
tembok kuil!" tekan Sek Se Tau.
Bong Mini terperangah. Firasatnya langsung menya-
takan kalau sepuluh lelaki itu pasti orang-orang Kerajaan Manchuria.
"Kalau aku yang merusak papan pengumuman itu,
kau mau apa?" tanya Bong Mini tenang. Karena secara diam-diam ia sudah menilai
tingkat kepandaian silat mereka.
"Tentu saja kami akan membuat perhitungan kepa-
damu!" tukas Sek Se Tau.
"Karena kalian orang-orang kerajaan?" sela Bong
Mini. "Hm...! Ternyata penglihatanmu tajam juga!" sinis
Sek Se Tau. "Tentu saja! Orang mana yang mau marah melihat
papan pengumuman itu dirusak, kecuali para penjilat Kaisar Thiang Tok!" sahut
Bong Mini semakin lantang.
Sek Se Tau dan kesembilan temannya terkejut ber-
campur geram melihat keberanian gadis cantik itu. Mereka langsung menduga kalau
dia pasti putri Bong
Khian Fu. Karena selama ini tidak ada seorang penduduk pun yang berani menentang
keinginan kaisar.
Apalagi seorang gadis cantik yang muda belia.
"Dari keberanianmu berbicara, aku yakin kalau kau
pasti putri Bong Khian Fu yang dicari kaisar!" tuduh Sek Se Tau.
"Dugaanmu benar! Dan kalau kalian ingin menang-
kapku, lakukanlah! Bukankah nanti kalian akan men-
dapatkan kedudukan yang lebih baik?" tantang Bong
Mini. Sikapnya tetap tenang.
"Keparat!"
Sing sing singngng!
Kilatan sinar tampak ketika pedang dikeluarkan da-
ri sarung oleh sepuluh prajurit itu. Dengan wajah garang mereka mulai bergerak
untuk melakukan sera-
ngan. Bong Mini tampak tenang menghadapi keroyokan
seperti itu. Ia tidak menggunakan pedangnya sama sekali. Karena Pedang Teratai
Merah miliknya selalu di-tinggalkan di kamarnya selama menginjakkan kaki di
negeri Manchuria.
"Hiyaaat!"
Sepuluh prajurit Kerajaan Manchuria mengeluarkan
pekikan nyaring bersama tubuh mereka yang berkele-
bat ke arah Bong Mini. Sedangkan pedang yang me-
reka genggam bergerak liar menyambar-nyambar tu-
buh gadis yang dikeroyok.
Wut wut wut! Deru angin keras ditimbulkan gerakan pedang me-
reka. Tubuh Bong Mini langsung terkurung rapat. Mu-
lai dari kepala, perut hingga kaki. Tapi dengan tangkas pula Bong Mini
menghindari serangan lawan dengan
cara melompat sambil mengerahkan ilmu andalannya,
'Halimun Sakti'. Hanya ilmu itu yang bisa digunakan di saat menghadapi lawan
yang lebih dari satu dan tanpa senjata.
"Hup!"
Sambil melompat di atas kepala musuh-musuhnya,
Bong Mini menggerakkan tangan untuk menyambar
dua pedang lawan yang berada di dekatnya. Dan keti-
ka kakinya telah menjejak tanah, sepasang pedang telah tergenggam di kedua
tangannya. Sepuluh prajurit Kerajaan Manchuria tampak terke-
jut melihat kelihaian lawan. Apalagi dua orang yang kehilangan pedangnya. Pikir
mereka, "Bagaimana
mungkin gadis itu menyambar pedang secepat itu?"
"Heh! Kenapa kalian termangu seperti itu. Majulah
kalian kalau hendak menangkapku!" ejek Bong Mini.
Sepuluh prajurit yang tadinya sudah gentar melihat
kehebatan Bong Mini, kini memaksakan diri untuk me-
nyerang lawannya kembali.
"Hiyaaat!"
"Hiyaaat!"
Pekikan nyaring terdengar dari arah yang berlawa-
nan. Bersamaan itu pula sepuluh lawan bergerak me-
nyerang Bong Mini kembali. Begitu pula dengan Bong
Mini yang bergerak menyambut serangan mereka.
Trang! Pedang di tangan kanan Bong Mini bergerak me-
nangkis delapan pedang yang bergerak mencecar tu-
buhnya. Sedangkan pedang yang tergenggam di tangan
kirinya bergerak menyambar tubuh lawan.
Sret! Sret! "Aaakh!"
Tiga prajurit memekik bersamaan saat pedang di ta-
ngan kiri Bong Mini merobek perut dan leher mereka.
Mereka berdiri limbung sebentar, setelah itu roboh dan mati. Sedangkan pedang
ketiganya pun terlepas.
"Keparat! Perempuan tengik!" maki Sek Se Tau keti-
ka melihat tiga temannya mati mengenaskan.
Kemudian bersama enam temannya yang lain, ia
kembali menyerang gadis cantik bertubuh mungil itu.
Melihat tujuh lawan sudah bergerak ke arahnya,
Bong Mini pun cepat-cepat melakukan gerakan menye-
rang. Pikirnya, "Dalam menghadapi pengeroyokan se-
perti ini lebih baik menyerang lebih dahulu seperti ketika ia menewaskan tiga
prajurit tadi".
"Hiyaaat!"
Teriakan perang yang menakutkan itu keluar dari
mulut Bong Mini yang mungil, berbareng dengan gera-
kan cepat tubuhnya. Dia melompat ke arah tujuh la-
wannya yang juga sedang bergerak ke arahnya. Saat
tubuhnya di udara, Bong Mini menusukkan pedang
yang tergenggam di tangan kanannya ke kepala seo-
rang lawan. Crokkk! "Aaa...!"
Ujung pedang Bong Mini menusuk kepala seorang
lawan. Tepat mengenai ubun-ubunnya. Saat itu pula,
darah menyembur dari kepala yang tertusuk itu. Mem-
buat pedang yang digenggam Bong Mini berlepotan da-
rah lawan. Dan ketika ujung pedang yang masih me-
nancap di ubun-ubun kepala ditarik, tubuh prajurit
itu langsung jatuh dan mati. Selanjutnya, dengan amarah yang masih memburu, Bong
Mini membalik sera-
ngan keenam lawan yang masih gigih mengurung dan
menyerangnya. Kemudian dua buah pedang yang ter-
genggam di tangannya itu berkelebat dan berputar
bersama tubuhnya yang berpusing seperti gangsing.
Sing sing sing!
Sinar putih yang dipancarkan dari kedua pedang
Bong Mini berkelebat kian kemari dan menghantam
lawan yang coba mendekat. Menyerang lawan dengan
jurus kungfu 'Tanpa Bayangan' merupakan salah satu
ajaran yang diberikan papanya. Dan cara ini memang
dapat diandalkan bagi orang yang kalah dalam jumlah.
Jurus itu lebih jitu dan dapat mempercepat kematian lawan-lawannya. Walaupun
memberikan kesan sadis.
Sing sing sing!
Bret! Dua pedang yang digenggam Bong Mini menyambar
empat lawannya. Setiap kali pedang di tangannya me-
nyentuh lawan, tubuh mereka pasti tercabik-cabik mengerikan!
Dua prajurit berdiri ngeri menyaksikan empat te-
mannya mati dengan isi perut keluar. Wajah mereka
pias bagai mayat. Tanpa pikir panjang lagi mereka
mengambil langkah seribu.
"Pengecut! Hendak lari ke mana kalian!" teriak Bong Mini yang sudah kalap.
Sambil membuang pedang di
genggamannya, dua prajurit yang melarikan diri itu di-kejar.
"Demi Tuhan! Tidak akan kubiarkan orang-orang
kerajaan hidup!" teriak Bong Mini lagi dengan suara lantang, sambil terus
berlari. Bong Mini mengejar terus dengan mengerahkan pe-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ringan tubuh yang hampir mencapai tingkat sempur-
na. Tubuhnya tampak ringan, bagai kapas tertiup a-
ngin. Dan ketika tinggal dua meter di belakang bu-
ruannya, tubuh Bong Mini mencelat dengan ketinggian satu meter ke arah dua
prajurit yang berlari di depan-nya.
"Hiy!"
Duk duk! Kedua prajurit itu mendadak terhuyung ke depan
dan jatuh mencium tanah.
"Bangun! Hadapi aku pengecut!" hardik Bong Mini
dengan geram. Dua orang yang terjatuh itu menatap Bong Mini
yang berada di depan mereka sambil berusaha bangkit.
"Ayo! Serang aku! Masa' kalah dengan perempuan
kecil?" ejek Bong Mini.
Sebenarnya kedua prajurit itu hendak melarikan di-
ri, namun karena sudah tidak memiliki kesempatan la-gi, mereka terpaksa melayani
tantangan Bong Mini.
Sek Se Tau dan temannya kini berdiri menghadap
Bong Mini dengan pedang tergenggam di tangan ma-
sing-masing. "Hiyaaat!"
Dua prajurit itu melesat ke arah lawan disertai pe-
kikan nyaring. Wut wut! Dua pedang langsung menyambar leher dan perut
Bong Mini. Dengan tenang Bong Mini melompat dua
tindak ke belakang.
Kegagalan tadi tak membuat serangan dua prajurit
itu surut, mereka terus merangsek lawan dengan ga-
nas. Keduanya berusaha mencecar lawan agar tidak
memiliki kesempatan untuk balas menyerang.
Ting ting! Sek Se Tau dan temannya terkejut bukan main me-
lihat Bong Mini tetap berdiri tenang ketika mendapat sabetan bertubi-tubi pedang
mereka. Tak ada luka sedikit pun dari bekas sabetan pedang mereka. Padahal
mereka yakin benar kalau cecaran pedang tadi mengenai pundak, leher, perut, dan
kaki lawan. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya Bong Mini me-
miliki ilmu kekebalan tubuh 'Tolak Pati' yang didapatnya dari Kanjeng Rahmat
Suci (untuk lebih jelasnya, lihat episode ketiga: 'Pedang Teratai Merah').
"Puas?" tanya Bong Mini dengan sebaris senyum
mengejek. Dua prajurit itu tidak menyahut. Mereka masih ter-
cengang pada kesaktian Bong Mini.
"Kalau kalian sudah puas, kini giliranku untuk me-
lakukan serangan!" tandas Bong Mini. "Nah, bersiap-
lah!" lanjut Bong Mini sambil menggerakkan kaki ka-
nannya. Ditendangnya perut Sek Se Tau dengan cara
memutarkan badannya sedikit. Sambil memutarkan
badan, tangan kanan Bong Mini yang terkepal berge-
rak memukul lawan yang lain, tepat mengenai rahang-
nya. Dukkk! Dukkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Kedua prajurit itu memekik keras. Tubuh mereka
terhuyung ke belakang dan langsung roboh.
"Bangun!" bentak Bong Mini sambil menggerakkan
telunjuknya sebagai isyarat.
Dua prajurit itu bangkit terhuyung. Lalu mereka be-
rusaha menyerang Bong Mini kembali, tanpa mem-
pedulikan darah kental yang mengucur dari mulut ma-
sing-masing. Namun sebelum mereka bergerak, tubuh
Bong Mini telah melesat ke arah mereka dengan ten-
dangan yang lebih dahsyat.
"Auh!"
Sek Se Tau dan temannya kembali mengeluh. Tu-
buh keduanya terjengkang ke belakang. Sebelum me-
reka sempat bangkit kembali, gadis bertubuh mungil
itu melancarkan tendangan kembali ke wajah Sek Se
Tau. Duk duk! "Aaakh!"
Sek Se Tau memekik pendek ketika tendangan dah-
syat Bong Mini mengenai rahangnya. Saat itu juga, tulang rahangnya menembus
keluar kulitnya. Bersa-
maan itu pula Sek Se Tau tewas dalam keadaan me-
ngenaskan. Sementara itu, prajurit yang lain berusaha melari-
kan diri saat Bong Mini menghajar Sek Se Tau. Namun baru mengayun langkah
beberapa meter, tiba-tiba sebuah pedang melayang lurus ke arahnya.
Siuttt...! Creb!
"Aaakh!"
Prajurit itu memekik tinggi saat pedang yang dilem-
par Bong Mini menembus punggungnya hingga ke pe-
rut. "Itulah hukuman bagi orang yang suka menyiksa
rakyat tak berdosa!" gumam Bong Mini sambil ter-
senyum puas. Lalu tubuhnya melesat meninggalkan
mayat dua prajurit tadi.
*** 6 Malam merambah bumi. Kegelapan menyelimuti.
Lampu-lampu tempel di rumah-rumah penduduk tam-
pak bergoyang-goyang tertiup angin. Bila dipandang
dari kejauhan, api kecil lampu-lampu itu mirip kedipan bintang di angkasa raya.
Malam itu, pasukan Bongkap dan murid-murid Per-
guruan Tapak Tangan Suci tampak sedang berkumpul
di dalam sebuah rumah mungil, tempat kediaman Yin
Yin. Mereka duduk melingkar di atas lantai beralas ti-kar. Wajah mereka
memancarkan sinar kegelisahan.
"Apakah Putri Bong Mini mengatakan hendak pergi
ke mana kepada Susiok?" tanya Yin Yin, Ketua Pergu-
ruan Tapak Tangan Suci.
"Bila dia mengatakan hendak pergi ke mana, tentu
aku tidak seresah ini," sahut Bongkap dengan air mu-ka keruh. "Sebenarnya dia
juga sering bepergian tanpa pamit seperti ini!"
"Kalau memang begitu, kenapa Susiok cemas?" po-
tong Yin Yin. "Aku mengkhawatirkannya karena sejak tumbuh
dewasa, baru kali ini dia menjejakkan kaki di negeri kelahirannya," sahut
Bongkap. "Lagi pula, dia belum tahu siapa kawan dan lawannya."
Yin Yin mengangguk-angguk. Keningnya agak ber-
kerut, mencoba mengira-ngira tempat tujuan Bong
Mini. Sementara di sudut ruangan, Baladewa pun tampak
cemas. Malah ia sangat mengkhawatirkan keselamatan
kekasihnya itu. Kekhawatirannya semakin memuncak
ketika teringat ucapan Bong Mini yang menyatakan,
'Bila takdir sudah menjemput, melawan seorang lelaki dungu pun kita akan mati'!
Lama kelamaan kekhawatiran dan kegelisahannya
tidak dapat dibendung lagi. Baladewa segera bangkit, lalu menghormat pada
Bongkap. "Izinkan aku mencari Putri Bong Mini malam ini ju-
ga!" ujar Baladewa minta pamit.
Bongkap tidak segera menyahut. Kecuali meng-
alihkan pandangannya ke arah Prabu Jalatunda dan
Ningrum yang juga tengah memandangnya penuh
makna. "Berangkatlah!" Prabu Jalatunda menyahuti. "Tapi
ingat, segera beritahukan ke sini kalau sampai besok pagi belum juga kau temukan
jejak Bong Mini agar kita bisa sama-sama mencarinya!"
"Baik, Ayah!" ucap Baladewa dengan tubuh sete-
ngah membungkuk. Setelah itu ia berbalik dan lang-
sung melangkah ke pintu keluar.
Baru saja Baladewa melangkah dua tindak, tiba-
tiba muncul Bong Mini. Dia berdiri tegak di dekat pintu seraya menyebarkan
pandangan ke sekeliling.
Wajah Bongkap dan orang-orang yang sejak tadi
mencemaskan keselamatannya tampak berubah cerah.
Begitu pula dengan Baladewa. Dia menghela napas le-
ga seraya memandang wajah Bong Mini.
Kegembiraan mereka berubah menjadi tanda tanya
setelah mengamati wajah Bong Mini yang tegang tanpa senyum, tidak seperti
biasanya. "Kita harus menggempur istana kaisar secepatnya!"
tukas Bong Mini sambil melangkah, kemudian duduk
di sebelah Ningrum, istri Prabu Jalatunda.
"Heh" Baru datang sudah main serang segala?" sela
papanya setengah bergurau.
"Aku serius, Papa!" sergah Bong Mini tanpa se-
nyum. "Hm...," gumam papanya berubah sungguh-sung-
guh. Begitu pula dengan yang lain. Puluhan mata pendekar itu mengarah pada Bong
Mini. Mereka ingin
mendengar ucapan gadis itu selanjutnya.
"Keadaan kita sekarang ini sedang gawat!" lanjut
Bong Mini, mengejutkan orang-orang di sekitarnya.
"Gawat bagaimana maksudmu?" tanya Bongkap.
"Kaisar Thiang Tok telah mengetahui kedatangan ki-
ta dan menyebarkan papan-papan pengumuman di
tiap tempat ramai!" lapor Bong Mini.
Bongkap dan semua yang hadir di situ tampak sa-
ling berpandangan.
"Apa isi pengumuman itu?" tanya Prabu Jalatunda.
"Isinya mengenai penangkapan Papa dan diriku!"
sahut Bong Mini.
Hening. Masing-masing pendekar berpikir mengenai lang-
kah-langkah mereka selanjutnya.
"Kita harus menyerang secepatnya, Papa!" cetus
Bong Mini, tidak sabar.
"Tenanglah! Kita jangan tergesa-gesa mengambil tin-
dakan!" kata Bongkap.
"Papa," ucap Bong Mini agak kesal. "Kaisar Thiang
Tok pasti akan mengerahkan seluruh prajuritnya un-
tuk mencari dan menangkap kita. Apalagi jika kaisar mengetahui pembunuhan yang
telah kulakukan siang
tadi!" Bongkap dan seluruh pendekar tersentak kaget
mendengar pengakuan Bong Mini.
"Jadi, kau sudah berhadapan dengan prajurit Kai-
sar Thiang Tok?" tanya Yin Yin dengan kedua mata
masih membelalak karena terkejut.
"Benar, Cici Yin Yin!" sahut Bong Mini cepat. "Mu-
lanya aku berhadapan dengan empat pendekar di
Kampung Chang Chow. Kemudian aku bertempur de-
ngan sepuluh prajurit yang menyamar sebagai rakyat
biasa di Bukit Chiangsi Bun," lanjut Bong Mini.
Hening kembali. Mereka tidak menyangka kalau ke-
pergian Bong Mini telah meminta korban nyawa para
prajurit Kerajaan Manchuria.
"Bagaimana pendapatmu, Yin Yin?" tanya Bongkap
kepada Ketua Perguruan Tapak Tangan Suci.
"Menurutku, kita tetap di sini untuk beberapa hari
sambil menyusun kekuatan. Jumlah kita masih sangat
sedikit dibanding jumlah prajurit kerajaan!" kata Yin Yin, mempertahankan
rencana semula.
"Aku pun berpendapat demikian!" kata Bongkap se-
tuju. "Aku tidak setuju!" sanggah Bong Mini. "Mengun-
durkan rencana penyerbuan sama artinya memberikan
waktu pada pihak kerajaan untuk mengatur siasat!"
lanjutnya. "Putriku!" ucap Bongkap lunak. "Kita tidak bisa ge-
gabah dalam bertindak!"
"Aku mengerti, Papa! Tapi kita pun tidak bisa mem-
biarkan mereka bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat selamanya!" kata Bong Mini. "Dalam mencari ki-ta, sudah tentu mereka
mendatangi rumah-rumah
penduduk untuk minta keterangan. Mereka tentu akan
bertindak keras terhadap penduduk yang tidak mau
membuka mulut!" tambah Bong Mini.
Bongkap dan para pendekar lain termangu-mangu
mendengar pendapat Bong Mini.
"Sejak kedatanganku ke sini, aku sudah banyak
melihat penderitaan rakyat. Dan aku tidak ingin penderitaan yang dialami rakyat
menjadi lebih parah lagi!"
lanjut Bong Mini. Kemudian ia beranjak menuju ka-
marnya. Diikuti pandangan Bongkap dan para pende-
kar yang masih termangu-mangu.
Selang beberapa saat, Bong Mini keluar kembali de-
ngan pedang tergenggam di tangan.
"Maafkan aku jika kali ini kita berbeda pendapat.
Aku akan melakukan penyerangan malam ini juga!"
Setelah berkata begitu, Bong Mini langsung melesat ke luar.
"Putriku, jangan nekat!" cegah Bongkap seraya me-
langkah cepat menuju pintu. Tapi sampai di sana ma-
tanya sudah tidak melihat tubuh Bong Mini lagi. Gadis itu telah lenyap ditelan
kegelapan. Bongkap kembali ke tempat semula dengan langkah
lesu. Dari sudut ruangan, Baladewa tiba-tiba berdiri de-
ngan pandangan menyebar ke arah para pendekar.
"Putri Bong Mini memang keras hati!" kata Bala-
dewa dengan pandangan tetap berkeliling. "Tapi yang kutahu, selama ini
tindakannya itu tak pernah mele-set. Karena itu, aku pun akan segera pergi untuk
menyertainya!" lanjutnya.
Mata semua pendekar yang berada di ruang itu ter-
belalak. Sebelum mereka sempat menanggapi, Bala-
dewa sudah melesat menembus kegelapan.
Hening. Para pendekar terdengar menghela napas.
"Apa boleh buat. Kita terpaksa mengikuti kehendak
putriku!" kata Bongkap lemah. Kemudian ia bangkit
tanpa gairah. "Kita berangkat sekarang!"
Tanpa banyak cakap lagi, semua pendekar di rua-
ngan itu serentak berdiri, lalu melangkah menuju
ruang belakang untuk mengambil senjata masing-ma-
Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sing. Setelah itu mereka berangkat menuju istana kerajaan.
*** Dalam perjalanan menuju Istana Kaisar Thiang Tok,
Bong Mini mengerahkan dua ilmu kesaktian sekaligus
yaitu 'Halimun Sakti' dan peringan tubuh. Penggabu-
ngan dua ilmu itu membuat tubuhnya berkelebat me-
nyerupai bayang-bayang membelah kegelapan malam.
Tanpa banyak memakan waktu, Bong Mini telah sam-
pai di Lembah Hijau.
Bong Mini duduk di atas batu besar sambil mele-
paskan lelah. Sedangkan matanya memandang ke se-
berang Lembah Hijau. Di sana Istana Kerajaan Man-
churia berdiri angkuh. Dan dari jarak lima ratus meter itu matanya juga dapat
melihat puluhan prajurit yang menjaga pintu gerbang istana.
Bong Mini tetap duduk di atas batu besar sambil
menyusun rencana agar dapat menembus ke dalam is-
tana kaisar itu.
Sebenarnya bisa saja ia menerobos masuk ke pintu
gerbang yang dijaga ketat lima puluh prajurit lebih itu dengan cara melakukan
gempuran langsung. Tapi cara
itu jelas ia hindari, mengingat pertarungan itu akan menimbulkan kegaduhan yang
dapat mengundang pa-ra prajurit lain.
Apa sebenarnya yang dipikirkan Bong Mini" Ia tidak
hanya mempertimbangkan untuk bisa masuk, tetapi
juga memikirkan bagaimana cara keluar istana itu jika ada kesulitan. Posisi
istana itu memang kurang meng-untungkan baginya. Di belakang benteng terdapat
pa- rit dalam, sedangkan jalan masuk di depan benteng
terlindung ketat oleh gerbang ganda.
"Hm..., tidak mudah untuk menyelinap masuk ke
dalam benteng itu," gumam Bong Mini. "Sekalipun
kuambil jalan pintas dan yakin berhasil menumpas pa-ra penjaga gerbang itu,
tentu kelanjutannya akan
membahayakan hidupku sendiri."
"Tidak! Aku tidak bisa melakukan cara itu!" protes
hatinya lagi. Di balik protes itu, ia merasakan ada ke-pengecutan dalam hatinya.
"Ah, bukan! Aku bukan pengecut!" bantah sisi hati
yang lain. Saat itu pula, ia merasakan ketenangan ba-ru yang mengalir dalam
dadanya seperti sungai yang
lembut. Dan dalam ketenangan yang datang menyen-
tuh relung hatinya itu, ia langsung merasakan dirinya menjadi manusia.
Bong Mini tiba-tiba tersadar dari percakapan batin-
nya, manakala matanya menangkap bayangannya sen-
diri di atas tanah. Dan, ah..., ia hampir tidak percaya ketika melihat langit
begitu terang dan cantik. Pertanda hari sudah pagi.
"Hm..., ternyata cukup lama juga aku di sini!" gu-
mamnya sambil mengalihkan pandangan kembali ke
benteng istana.
"Aku harus menyeberang lembah dan memanjat ka-
rang di sebelah sana!" bisik Bong Mini, mengatur rencana. Rencana itu begitu
saja datang ketika melihat tembok benteng bagian belakang ternyata tak berpintu
gerbang dan tanpa pengawalan ketat.
Belum sempat Bong Mini melaksanakan rencana-
nya, sebuah tombak berukuran satu meter mendesing
ke arahnya. Siuttt...! Creb!
Ujung tombak itu menancap di tanah satu senti dari
jemari kaki Bong Mini.
Gadis cantik bertubuh mungil itu terkejut. Tubuh-
nya melompat dua tindak ke depan sambil berbalik.
Ternyata dua puluh prajurit kerajaan telah berdiri gagah memandang ke arahnya.
Kemudian satu persatu
prajurit itu bergerak mengepung Bong Mini dengan
senjata terhunus. Ada tombak biasa berukuran dua
meter, ada pula tombak dan pedang bergigi seperti ger-gaji.
Kini para prajurit itu sudah berdiri tegak menge-
pung Bong Mini dalam susunan yang begitu rapi. Se-
dangkan mata mereka menatap tajam penuh selidik.
Bong Mini yang berdiri di tengah kurungan para
prajurit itu juga memandang mereka. Begitu tajam dan kejam, bagai tatapan
harimau yang terusik.
"Pasti gadis ini yang telah membunuh teman-teman
kita!" ujar seorang prajurit seraya menunjuk dengan ujung pedangnya ke arah Bong
Mini. "Kalau memang benar, tentu ia seorang putri yang
sedang kita cari"!" timpal temannya yang lain.
Mendengar tuduhan itu, Bong Mini diam. Hanya
kedua matanya saja yang semakin tajam memandang
para prajurit itu, seolah-olah hendak menerkamnya.
Salah seorang dari dua puluh prajurit itu maju dua
langkah ke arah Bong Mini.
"Apakah kau yang telah membunuh empat pende-
kar dan sepuluh prajurit kerajaan?" tegur Sun Kwan
Tek, pemimpin prajurit itu. Ia mengetahui kematian
teman-temannya setelah melakukan pencarian di seki-
tar Kampung Chang Chow dan Kampung Chiangsi
Bun, tempat di mana teman-temannya tewas.
Dari sana mereka langsung bergegas menuju istana
untuk melaporkannya kepada Kaisar Thiang Tok. Na-
mun ketika tiba di Lembah Hijau, mereka melihat Bong Mini tengah duduk mengamati
benteng istana.
Seorang prajurit langsung menyerang Bong Mini de-
ngan sebuah tombak yang menancap di dekat Bong
Mini tadi. Mereka yakin kalau gadis itu yang melakukan pembunuhan, karena selama
ini tidak ada orang
yang berani menentang para prajurit utusan kaisar.
Apalagi membunuh. Terlebih jika menilik sikap Bong
Mini yang mencurigakan.
Bong Mini masih diam. Sepasang matanya tetap
bergerak waspada.
"Heh! Kau tuli, ya!" hardik Sun Kwan Tek melihat
Bong Mini tidak mempedulikan pertanyaannya.
Bong Mini tetap diam. Namun beberapa saat kemu-
dian, mulutnya mengeluarkan lengkingan tinggi ber-
sama kelebatan tubuhnya. Saat melayang di udara, di-cabutnya Pedang Teratai
Merah dengan pengerahan ju-
rus 'Pedang Samber Nyawa'.
"Hiyaaat!"
Bret bret bret!
Gulungan sinar merah berbentuk bunga teratai ber-
gerak menyambar lima prajurit Kerajaan Manchuria.
"Aaakh!"
Pekik kematian terdengar seketika saat tubuh lima
prajurit itu ditebas pedang Bong Mini.
Belum sempat yang lain tersadar dari keterkejutan-
nya, tubuh Bong Mini yang mungil itu berkelebat cepat menyambar lawan yang lain.
Singngng! Crokkk! Pedang Bong Mini kembali membabat leher dua
orang lawan hingga terpisah dari badan.
"Seraaang!"
Sun Kwan Tek segera tersadar dan langsung mem-
berikan aba-aba penyerangan pada pasukannya.
Sing sing sing!
Serangkai sinar pedang berkelebat cepat di sekitar
tubuh gadis mungil itu. Belum lagi lima mata tombak yang terus mencecar bagian
tubuh Bong Mini dengan
gerakan menusuk.
"Hiyaaat!"
Bong Mini memekik tinggi. Tubuhnya melenting se-
tinggi dua meter. Gerak melompatnya demikian ringan seperti seekor walet,
mementahkan serbuan para prajurit yang memperdengarkan teriakan perang. Panca-
ran wajah serta lengkingan mereka terdengar buas bagai singa lapar mengejar
mangsa. "Aaakh!"
Tiba-tiba lima prajurit Kaisar Thiang Tok yang me-
ngepung Bong Mini memekik tertahan dan langsung
mati berlumur darah. Ketika yang lain menoleh, ter-
nyata seorang pemuda tampan telah membantu Bong
Mini. Bong Mini yang masih berada di udara sempat ter-
kejut melihat kedatangan pemuda yang tidak lain Ba-
ladewa itu. Kemudian dengan gerakan cepat tubuhnya
berputar di udara sambil menyabetkan pedangnya ke
kepala para pengeroyoknya yang tinggal delapan orang itu. Crokkk! Crokkk!
Dua prajurit kembali tewas tanpa mengeluarkan
pekikan ketika pedang Bong Mini menyambar kepala
mereka hingga terbelah dua.
"Hup!"
Bong Mini melompat ke tempat yang agak jauh dari
arena pertarungan. Sedangkan tangannya masih
menggenggam Pedang Teratai Merah yang sudah ber-
lumur darah. Enam prajurit berdiri gentar. Karena yang mereka
hadapi bukan Bong Mini saja, tetapi juga seorang pemuda yang tidak kalah
tangkas. "Biar enam pecundang ini kulayani!" seru Baladewa
kepada Bong Mini yang berdiri di seberangnya.
Bong Mini tidak menyahut. Dia hanya memasukkan
pedangnya sebagai tanda setuju. Setelah itu ia berdiri tegak menyaksikan
Baladewa tengah berhadapan dengan enam prajurit yang tampak semakin gentar.
Tanpa menunggu serangan enam prajurit itu, Bala-
dewa segera memainkan pedang bersama tubuhnya
yang melesat cepat ke arah lawan.
"Hiaaat!"
Sing sing sing!
Sinar pedang berkelebat menyambar lawan. Namun
kali ini serangan pedang Baladewa luput dari sasaran.
Baladewa semakin geram melihat enam lawannya
berhasil mengelakkan serangan pedangnya. Dengan
nafsu yang sudah melonjak ke ubun-ubun, dia kemba-
li menggerakkan pedangnya dengan mengerahkan ju-
rus pedang 'Seribu Kilat Menyambar Bumi', warisan
dari mendiang gurunya, Kanjeng Rahmat Suci.
Singngng! Bret! Bret! Creb!
Sinar pedang Baladewa terlihat menjadi banyak aki-
bat gerakannya yang demikian cepat. Sesaat kemudian empat prajurit roboh dengan
sayatan lebar di tubuh
masing-masing. Mereka menggeliat-geliat sebentar, la-lu mati.
Sun Kwan Tek dan seorang temannya tercengang
melihat kematian mereka. Dengan wajah pucat ke-
duanya bergegas untuk menyelamatkan diri. Sebelum
niat itu terlaksana, Baladewa sudah menyerangnya.
"Hiyaaat!"
Creb! Seorang prajurit tewas seketika saat ujung pedang
Baladewa menghujam perutnya. Kesempatan itu diper-
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 2 Dewi Ular Terjerat Asmara Mistik Pahlawan Dan Kaisar 25