Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 37

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 37


anak muda itu telah membunuh atau mengancam gadis itu?"
"Tetapi gadis itu bersikap baik kepada kami. Ia menge"tahui
kami memasuki ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum ia
mempersilahkan kami."
"Ah," Nyai Argajaya menjadi bingung, "aku tidak me"ngerti
apa yang kau katakan."
"Sudahlah, jangan hiraukan gadis itu. Ia sudah ada yang
mengawaninya. Agaknya gadis itu pun senang mendapatkan
se"orang kawan."
"Tentu tidak. Aku tidak percaya bahwa ia senang
men"dapatkan kawan. Kawan itu adalah kawan-kawanmu. Aku
mengenal mereka." Ibunya berhenti sejenak, "Sedang aku, orang
tua ini pun ngeri melihat kawan-kawanmu dan sikapnya yang
liar." "Ibu." "Tetapi, bukankah kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini"
Kalau kawanmu itu bersedia, biarlah ia tinggal di sini pula, asal ia
tidak membuat keributan. Biarlah ayahmu yang
menanggungnya." "Tidak!" tiba-tiba anak itu membentak, sehingga ibunya
terkejut karenanya. "O," Prastawa tergagap, "bukan maksudku mengejut"kan Ibu.
Tetapi kami tidak akan menetap. Kami datang untuk menjemput
ayah agar ayah bersedia membantu kami."
"Prastawa," ibunya terkejut bukan buatan sehingga
ke"mudian ia berdiri saja dengan mulut ternganga.
"Ibu tidak usah menyingkirkannya. Ini adalah persoalan lakilaki.
Kami sudah terlanjur mengangkat senjata. Ayahlah yang
pertama-tama telah memulainya. Tetapi kini kamilah yang
mendapat kesulitan karenanya Kakang Sidanti sudah terbunuh,
orang-orang lain yang memimpin perjuangan ini pun telah
terbunuh pula. Apakah ayah akan sampai hati mendapat
pengampunan dari Ki Argapati, lalu duduk memeluk lutut di
rumah ini sementara sisa-sisa pasukan"nya berkeliaran dan
selalu dikejar-kejar saja oleh para pengawal Menoreh?"
"Jangan. Jangan, Anakku. Baik kau mau pun ayahmu,
se"baiknya tidak memulainya lagi. Aku sudah cukup lama
mende"rita karena pertengkaran antara Kakang Argapati
dengan ayahmu itu." "Ibu adalah seorang perempuan. Ibu tidak banyak me"ngerti,
kenapa kami berperang."
"Apakah kau sendiri mengerti kenapa kalian berperang?"
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian menarik
nafas dalam. "Tidak, Anakku. Kau tidak boleh terseret oleh arus yang tidak
kau mengerti," berkata ibunya. "Aku yakin kalau ayah"mu dahulu
mempunyai sesuatu pamrih kenapa ia memulainya. Tetapi kini
ayahmu sudah berhasil menempatkan dirinya di dalam suatu
keadaan yang mau tidak mau harus diakuinya seba"gai suatu
kenyataan." Prastawa berdiri mematung. Ditatapnya nyala api yang
bergetar disentuh angin malam yang bertiup menyusup dinding.
Tiba-tiba ia menggeram, "Hatiku sudah terbakar. Hati ini
sudah terlanjur menyala, dan tidak akan dapat dipadamkan lagi."
"Jangan begitu, Anakku. Jangan mengeraskan hati di jalan
yang sesat." "Aku tidak pernah merasa sesat jalan. Ayahlah yang
membawa aku memasuki ujung jalan ini. Dan sekarang, aku
ha"rus berjalan sampai ke ujung yang lain."
"Kau keliru. Ayahmu telah melihat jalan simpang yang dapat
menyelamatkan dirinya."
"Ayah hanya sekedar mementingkan diri sendiri."
"Tidak, justru keselamatan rakyat Menoreh yang ter"sisa.
Yang tidak ikut menjadi abu karena api yang telah mem"bakar
Tanah Perdikan ini."
"Itu sikap pengecut."
Dan tiba-tiba keduanya terkejut ketika mereka mendengar
sua"ra yang serak di muka pintu, "Jadi kau datang untuk
menjemput ayahmu sebagai seorang pengecut."
Prastawa dan ibunya serentak berpaling. Dada mereka
ber"desir ketika mereka melihat Ki Argajaya berdiri di muka
pintu dengan wajah yang suram.
Sejenak Prastawa terdiam. Namun sejenak kemudian ia
berkata, "Ya. Ayah seorang pengecut."
Di luar dugaannya, Ki Argajaya menganggukkan kepalanya,
"Ya, aku memang seorang pengecut. Ternyata aku tidak berani
melihat Tanah ini menjadi semakin lumat setelah kini menjadi
abu." "Bohong! Ayah hanya sekedar mementingkan diri sendiri.
Keselamatan Ayah sendiri."
"Prastawa," suara ayahnya merendah, "marilah, duduk"lah di
ruang dalam. Kita akan berbicara dengan baik. Aku dapat
berbicara sebagai seorang ayah, dan kau sebagai seorang anak
laklaki." "Tidak. Itu tidak perlu. Aku hanya menuntut agar Ayah tetap
ikut di dalam perjuangan ini. Kenapa Ayah tidak menerus"kan
perjuangannya sampai saat terakhir seperti Kakang Sidanti dan
Ki Tambak Wedi" Nama mereka akan tetap dikenang. Kalau
kami mendapat kemenangan, maka akan dibuat masing-masing
sebuah patung dan akan dipasang di gapura induk padukuhan
Menoreh." Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sejak sekian lama
anaknya berada di dalam lingkungan itu, sehingga hatinya telah
men"jadi beku, terselubung oleh keputus-asaan yang
menyeretnya ke dalam keadaannya itu. Tanpa harapan dan citacita.
Penyesalan yang dalam telah menikam jantung Ki Arga"jaya.
Anak itu tinggallah satu-satunya anaknya sejak anak
perem"puannya meninggal dunia. Tetapi ia sendiri telah
menjerumus"kannya ke dalam suatu keadaan yang hitam
kelam, sehingga anak itu sendiri tidak dapat melihat hari
depannya sama sekali. "Aku memang salah langkah," katanya di dalam hati.
"Maksudku memang merintis jalan bagi anak itu. Tetapi, karena
aku tidak berjalan di jalan yang benar, akhirnya aku justru
ter"pelanting ke dalam keadaan yang sangat pahit."
Ki Argajaya terkejut ketika ia mendengar anaknya ber"kata,
"Bagaimana, Ayah" Apakah Ayah sependapat dengan aku,
bahwa perjuangan ini harus diteruskan?"
"Prastawa," suara Ki Argajaya merendah, "marilah duduk di
sini. Bukankah kau tidak tergesa-gesa?"
"Aku tergesa-gesa. Kawanku menunggu aku di bilik ibu."
"He," Ki Argajaya mengerutkan keningnya, "maksud"mu, kau
membawa seorang kawan yang kini berada di bilik itu."
"Ya. Biarlah ia menunggui gadis itu. Kami tidak tahu, apakah
yang dapat dilakukannya. Apakah ia akan berteriak, atau ia
memang mengharapkan kedatangan seorang laklaki."
Ki Argajaya termenung sejenak. Lalu, "Marilah, kau dan
kawanmu aku persilahkan duduk sebentar. Yang kita bicarakan
adalah masalah yang penting. Sudah tentu tidak dengan cara ini.
Berdiri dengan tegang di tengah-tengah pintu."
Prastawa merenung sejenak. Namun kemudian ia
mengge"leng sambil menghentakkan perasaan sendiri yang
mulai tersentuh-sentuh kata-kata orang tuanya, "Tidak. Aku tidak
akan duduk. Aku tetap di sini."
"Tetapi kawanmu itu Prastawa. Sebaiknya kita berbicara
sambil mengendapkan perasaan sendiri yang mulai terbuka
sehingga aku mengerti keadaanmu yang sebenarnya dan kau
mengerti keadaanku yang sebenarnya. Dengan demikian kita
akan dapat mengambil kesimpulan daripadanya."
Prastawa masih termenung.
"Marilah," ayahnya pun kemudian menarik tangan anak itu.
Selangkah Prastawa mengikutinya. Tetapi kemudan ia
me"nyentakkan tangannya sambil berkata, "Tidak! Aku tidak
mau." Ki Argajaya berdiri membeku. Ditatapnya wajah anak itu
sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam.
"Sudah sewajarnya ia bersikap begitu," berkata di dalam hati.
Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ia telah menjerumus"kan
anaknya ke dalam keadaannya yang sekarang.
Tetapi Prastawa itu tidak dapat mengelak ketika ibunya
mendekatinya dan berbisik di telinganya, "Marilah bersama ibu,
Ngger." Prastawa tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk
mengibaskan tangan ibunya. Meskipun ia mencoba bertahan di
tempatnya, ketika ibunya menariknya, namun kemudian
Prastawa pun melangkah mengikutinya.
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia melangkah di
belakang anaknya yang berjalan bersama ibunya ke ruang
tengah. "O, Kiai sudah bangun?" bertanya Nyai Argajaya.
"Apakah ada tamu malam-malam begini?" bertanya
Sumangkar yang telah duduk di pinggir amben.
"Anakku, Kiai," jawab Nyai Argajaya yang masih membimbing
Prastawa. "O," Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ini tamu ayahmu, Ngger," berkata Nyai Argajaya kepa"da
anaknya. "Apakah orang ini termasuk pengawal yang mengawasi Ayah
di sini?" "Ia tamuku, Prastawa," sahut ayahnya. "Ia bukan orang
Menoreh." Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
melangkah surut sambil berkata, "Inikah orang-orang asing yang
ikut campur dalam persoalan Menoreh?"
Sumangkar mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
terse"nyum sambil berkata, "Aku belum lama berada di sini,
Anakmas. Aku datang setelah keadaan menjadi baik kembali.
Bahkan aku tidak melihat apa yang telah terjadi di sini."
Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Ha,
sekarang aku tahu. Kau dan anak perempuan itu pasti datang
bersama Ayah dan para pengawal. Tentu."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Memang
aku dan anakku datang bersama Ki Argajaya. Tetapi kami tidak
ikut campur tentang keadaan di atas Tanah Perdikan ini."
"Sudahlah, Ngger," berkata ibunya, "jangan hiraukan apa pun
juga. Duduklah. Rumah ini adalah rumahmu, milikmu. Sekarang
kau berada di rumahmu sendiri. Karena itu jangan gelisah."
Prastawa masih tetap berdiri di tempatnya.
"Duduklah. Marilah kita berbicara. Apakah kita akan
menemukan persesuaian atau tidak, terserahlah kepada
keadaan nanti. Tetapi marilah kita mulai dengan hati yang
bening, niat yang baik dan harapan-harapan yang dapat
memberikan ketenteraman hati. Terutama perempuanperempuan
tua seperti aku." Prastawa masih berdiri di tempatnya. Tetapi perlahan-lahan ia
berdesis, "Aku tidak datang seorang diri."
"Marilah kita panggil kawanmu itu."
"Ia ada di dalam bilik Ibu."
Dada Nyai Argajaya menjadi berdebar-debar. Sekilas
dipandanginya Ki Sumangkar. Tetapi kemudian ia berkata,
"Marilah, ber"sama Ibu."
Keduanya pun kemudian berjalan ke bilik yang dipergunakan
oleh Sekar Mirah. Dalam pada itu, detak jantung Nyai Argajaya
menjadi semakin cepat. Ia tidak berani membayangkan apa yang
telah terjadi di dalam bilik itu.
"Seandainya kawan Prastawa menjadi gila dan liar, maka
malanglah nasib gadis itu."
Tetapi Nyai Argajaya tidak mengatakannya, meskipun
se"makin dekat mereka dengan daun pintu yang tertutup hatinya
menjadi semakin berdebar-debar.
Sejenak kemudian mereka sudah berdiri di depan pintu.
Mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam.
Sepi. Putera Ki Argajaya pun menjadi termangu-mangu. Kawannya
memang bukan seorang anak muda yang jinak. Orang itu
kadang-kadang dapat berbuat liar dan bahkan dapat menjadi
buas. "Apakah yang dilakukan oleh kawanmu itu?" bisik Nyai
Argajaya. Prastawa tidak menyahut. Tetapi perlahan-lahan diketuknya
pintu bilik yang tertutup itu.
Tetapi agaknya Nyai Argajaya tidak sabar menunggu.
Dengan suara serak ia berkata, "Buka, bukalah."
Seperti didorong oleh sesuatu yang tidak dimengertinya.
Prastawa pun mendorong pintu bilik itu sehingga menganga
lebar. Sejenak mereka berdua dicengkam oleh pemandangan, yang
membingungkan sehingga nafas mereka terhenti. Dengan mata
terbelalak mereka menyaksikan peristiwa yaag sama sekali tidak
mereka duga. "Bagaimana hal ini dapat terjadi?" desis Nyai Argajaya.
Prastawa pun kemudian maju selangkah. Diamatinya sesosok
tubuh yang terbaring di lantai. Pingsan.
"Apa yang sudah kau lakukan atasnya," putera Ki Arga"jaya
itu bertanya. Sejenak bilik itu dicengkam oleh kesenyapan. Namun
kemu"dian terdengar jawaban, "Aku tidak sengaja. Aku hanya
me"nyentuh dadanya. Aku kira ia mempunyai kekuatan yang
dapat dibanggakan." Nyai Argajaya masih memandanginya dengan mulut
ternga"nga. Ternyata gadis yang menempati biliknya itu adalah
seorang gadis yang luar basa. Dengan tenangnya gadis itu
duduk di pinggir pembaringannya.
*** "Aku hanya sekedar membela diri," berkata Sekar Mirah
selanjutnya. "Ia akan melakukan perbuatan yang terkutuk. Aku
menolak tubuhnya. Tetapi ia menerkam seperti serigala lapar.
Tanpa aku sengaja, agaknya aku sudah memukul dadanya.
Hanya sekali, dan kawanmu ini menjadi pingsan."
Prastawa menggeram. Tiba-tiba saja ia membentak,
"Perem"puan gila. Kau sangka kau dapat menakut-nakuti aku
dengan ceriteramu itu. Kau pasti telah membujuknya sehingga ia
menjadi lengah. Kemudian selagi ia lengah, kau sudah
mengkhianatinya." Sekar Mirah menggeleng, "Tidak. Bukan begitu. Aku sama
sekali tidak berbuat curang. Aku menyerangnya beradu dada.
Bahkan anak inilah yang telah menyerang aku lebih dahulu."
"Aku tidak percaya. Kau harus menebus dosamu itu."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, kenapa kau marah kepadaku?" berkata Sekar Mirah,
"Kenapa kau tidak menghukum kawanmu yang bertindak tidak
sepantasnya?" "Bohong! Bohong kau!"
Tiba-tiba saja Prastawa meloncat maju selangkah ke depan
Sekar Mirah sambil berkata, "Jangan ingkar. Kau tidak dapat lari
lagi." "Prastawa," panggil ibunya, "kenapa kau menjadi gila" Gadis
ini adalah tamuku." "Aku tidak peduli. Tetapi ia sudah mengkhianati kawanku. Itu
berarti mengkhianati aku pula."
"Tidak. Kau belum mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Jangan terburu nafsu."
"Aku akan menghukumnya."
Tiba-tiba mereka pun tertegun. Serentak mereka berpaling. Di
muka pintu telah berdiri Ki Argajaya dan Sumangkar.
"Gadis itu tamuku, Prastawa."
"Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Ia sudah menghina
kawanku. Itu berarti aku dan seluruh kelompokku terhina pula."
"Kawanmulah yang mencari perkara," berkata Sekar Mirah.
"Kalau ia dapat berlaku sedikit sopan, maka aku kira tidak akan
terjadi sesuatu atasnya."
Tetapi Prastawa sudah tidak mendengarkan lagi. Sambil
menggeram ia beringsut setapak, "Aku akan menuntut."
"Prastawa," desis Ki Argajaya.
Namun mereka menjadi heran ketika Ki Sumangkar justru
berkata, "Apakah kau benar-benar berbuat salah, Sekar Mirah."
"Tidak. Aku hanya sekedar membela diri."
"Tidak mungkin," potong Prastawa. "Kawanku adalah seorang
yang mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup. Apa"kah
gadis ini dapat membuatnya pingsan tanpa perlawanan apa"
pun" Aku sudah pasti, ia telah merayunya, kemudian melakukan
perbuatan yang menyinggung perasaan ini."
"Jangan berprasangka, Prastawa," sahut Ki Argajaya.
"Aku tidak peduli. Jangankan gadis yang tidak aku kenal.
Seisi rumah ini, bahkan Ayah sekalipun, apabila berani
menghalang-halangi aku, aku tidak akan memaafkannya."
Ketika Ki Argajaya akan menjawab lagi, Ki Sumangkar
menggamitnya sambil berkata, "Baiklah. Kalau anakku memang
bersalah, kau dapat menghukumnya. Tetapi hukuman apa yang
akan kau berikan?" Pertanyaan itu telah membuat Prastawa menjadi bingung.
Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah yang
se"dang memandanginya pula, sehingga tatapan mata mereka
ber"temu. Dengan serta-merta keduanya melemparkan pandangan
ma"tanya ke samping. Namun untuk melepaskan desir
jantungnya yang serasa menekan seisi dada, anak muda itu
berkata, "Aku akan membunuhnya."
"Benarkah begitu?" bertanya Sumangkar.
Prastawa menjadi ragu-ragu. Dan sebelum ia sempat
menjawab, ibunya berkata, "Kau jangan kehilangan akal anakku.
Jangan berbuat sebodoh itu."
Prastawa mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk
ber"tahan pada pendiriannya. Tetapi sesuatu telah
mengaburkan"nya, sehingga untuk sesaat ia hanya berdiam diri
saja. "Sudahlah. Marilah kita rawat kawanmu itu," berkata ibunya.
Namun justru dengan demikian, harga diri Prastawa tumbuh
kembali, bahkan mencengkam dengan dahsyat. Katanya, "Aku
akan menghukumnya. Benar-benar menghukumnya dengan
caraku. Aku akan membawanya kepada kawan-kawanku dan
memberitahukan kepada mereka apa yang sudah terjadi.
Terserahlah kepada me"reka, apa yang akan mereka lakukan
atas gadis ini sebagai hukumannya."
Kata-kata Prastawa itu benar-benar telah mengejutkan ibu
dan ayah"nya. Namun justru dengan demikian mereka untuk
sesaat terdiam mematung. Dengan mata yang hampir tidak
berkedip di"pandanginya anaknya, kemudian Sekar Mirah dan
Sumangkar. Namun dalam keadaan yang demikian itu Sumangkar justru
tersenyum, katanya, "Kau mempersulit dirimu sendiri, Anak
Muda. Bagaimana kau dapat membawanya ke luar dari ruangan
ini?" Prastawa mengerutkan keningnya. Memang tidak mudah
membawa gadis itu keluar dari lingkungan para pengawal di
halaman rumah ini. "Sudahlah, Prastawa," berkata ibunya. "Kau selalu di"bayangi
oleh dendam yang tidak kunjung padam. Kini tamu yang tidak
mengerti apa pun yang terjadi di atas rumah ini, kau jadi"kan
sasaran perasaan dendammu itu."
"He, apakah gadis ini tidak berbuat apa-apa" Ia sudah
me"rayu kawanku, kemudian mencelakakannya?"
"Tentu tidak," berkata Sumangkar. "Anakku tidak akan
berbuat demikian. Aku yakin bahwa ia tidak berbohong."
"Aku yakin ia berbohong. Kawanku bukan seorang anak
ingusan yang begitu saja dapat dibuatnya pingsan."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia
merenung, apakah yang harus dikatakan. Namun kemudian ia
tersenyum pula, "Bagaimana gadis itu harus membuktikan
bahwa ia ber"kata sebenarnya" Kalau kawanmu ini nanti sadar,
barangkali kau dapat melihatnya sendiri, bahwa anak gadisku itu
tidak ber"bohong."
Tetapi Prastawa tidak mendengarkannya. Tiba-tiba ia menarik
pedangnya dan langsung meloncat maju mendekati Sekar Mirah
lebih dekat lagi. Tiba-tiba pula ujung pedangnya sudah
merunduk ke dada gadis itu.
"Nah, lihat. Aku mempunyai cara yang menarik untuk
membawanya ke luar," berkata Prastawa.
Semuanya yang menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan.
Sekar Mirah sendiri pun terkejut pula. Hampir saja ia meloncat
dan menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Tetapi
se"bagai isyarat Sumangkar menggeleng lemah. Sehingga
dengan demikian Sekar Mirah pun mengurungkan niatnya.
Namun matanya kini tidak berkisar dari tangan anak muda itu.
Setiap ge"rakan yang terlontar di luar sadarnya mungkin sekali
akan me"robek dada gadis itu. Karena itu Sekar Mirah menjadi
tegang dan siap untuk melakukan segala usaha untuk
menyelamatkan diri apabila keadaan memaksanya.
Sejenak ia memandang Prastawa, kemudian gurunya yang
berkerut-merut. Namun tatapan matanya segera kembali ke
tangan putera Ki Argajaya.
"Prastawa," berkata ibunya, "apakah kau benar-benar sudah
kehilangan akal." "Tidak. Aku akan membawa gadis ini. Tidak seorang pun
yang akan berani mengganggu aku, apabila dengan ujung
pedang aku menggiringnya ke luar halaman. Setiap tindakan
yang men"curigakan, akibatnya akan menimpa gadis yang
malang ini." Sejenak mereka termangu-mangu. Ujung senjata Prastawa
telah bergetar seperti getar di dalam jantungnya.
Dengan nada yang tinggi ia berkata, "Ayo, tolonglah
ka"wanku itu, supaya ia segera sadar. Aku akan segera
meninggal"kan tempat terkutuk ini. Mungkin gadis ini akan
berguna di persembunyianku."
Dada Ki Argajaya dan isteterinya menjadi berdentangan
karenanya. Namun Sumangkar tampaknya masih tetap tenang.
Ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan terlampau banyak
menda"pat kesulitan.
"Berdirilah," berkata Prastawa.
Sumangkar mengangguk kecil kepada Sekar Mirah. Ia akan
mendapat lebih banyak kesempatan, apabila Prastawa akan
mem"bawanya ke luar bilik.
Sekar Mirah pun kemudian berdiri. Seperti yang diduga oleh
Sumangkar, Prastawa pun berkata, "Keluar dari bilik ini, supa"ya
kawanku itu segera mendapat pertolongan."
Sekar Mirah tidak membantah. Ia melangkah maju mengi"tari
tubuh yang masih terbaring di lantai bilik itu. Dengan sudut
matanya ia memandang gulungan ujung tikar di pembaringan,
tempat ia menyimpan senjatanya.
Sumangkar mengerti iyarat itu, dan ia pun menganggukkan
kepalanya. "Biarlah aku tolong anak muda ini," berkata Sumangkar. Ki
Argajaya ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bukan orang yang
terlampau bodoh menghadapi keadaan itu. Ia menyadari
keadaan Sekar Mirah, sehingga ia pun tanggap akan keadaan,
bahwa Se"kar Mirah memang memiliki kemampuan untuk
menjaga dirinya. Dengan berbagai cara, Sumangkar menolong kawan
Pras"tawa. Digosoknya telinga orang itu dengan minyak,
kemudian diangkatnya tangannya tinggtinggi berulang kali.
Sejenak kemudian orang itu pun menarik nafas. Perlahanlahan
ia bergerak. Ketika ia membuka matanya, ia terkejut
melihat beberapa orang berdiri di sampingnya. Mula-mula kabur,
seperti bayangan-bayangan raksasa yang berdiri dekat di
sisinya. Namun kemudian pandangan matanya menjadi semakin
jelas, sehingga akhirnya ia melihat Ki Argajaya, Nyai Argajaya,
dan seorang laklaki yang tidak dikenalnya, sedang Sekar Mirah
dan Prastawa tidak ada di dalam bilik itu.
Dengan kekuatannya yang belum pulih kembali ia men"coba
berdiri. Tertatih-tatih ia berpegangan pada tiang pintu.
"Di mana Prastawa?" ia menggeram.
Prastawa yang berada di luar pintu mendengar pertanyaan
itu, sehingga ia pun menjawab, "Aku di sini. Gadis keparat itu
ada di sini pula." "O," kawannya berdesis. Sejenak ia menggosok-gosok
mata"nya, kemudian katanya, "aku telah lengah ketika ia
memukul dadaku." Tidak seorang pun yang menyahut. Ki Argajaya, isterinya, dan
Sumangkar membiarkannya ketika anak muda itu dengan
langkah yang belum tegak benar keluar dari bilik itu. Sejenak ia
berdiri termangu-mangu. kemudian sambil memandangi Sekar
Mirah ia berkata, "Bagus. Kau berhasil menguasai gadis itu. Ia
ter"nyata terlampau garang."
Sekar Mirah masih berdiri di tempatnya. Sekalsekali ia
memandang tangan Prastawa, dan kadang-kadang
dipandanginya wajah anak muda yang baru saja sadar dari
pingsan itu. Gadis itu masih saja ragu-ragu, apa yang akan dilakukannya.
Dalam pada itu, Ki Argajaya bersama isterinya dan Sumangkar
pun telah keluar pula dari dalam bilik.
"Prastawa," berkata ibunya, "sekali lagi aku meng"harap, kau
jangan dibayangi oleh perasaan dendammu. Duduk"lah, dan
berbicaralah dengan ayahmu. Di saat terakhir keadaan Tanah
Perdikan ini sudah berangsur menjadi baik, tetapi apakah tidak
demikian dengan seisi rumah ini" Apalagi kini kau mem"buat
persoalan baru dengan tamu-tamu ayahmu."
"Aku tidak peduli," jawab Prastawa. "Sudah aku kata"kan, aku
tidak akan menghentikan perjuangan. Sekarang aku akan
mendengar keputusan Ayah sebelum aku pergi membawa gadis
ini." "Keputusan tentang apa, Prastawa?" bertanya ayahnya.
"Ayah harus pergi bersama dengan kami meneruskan
perjuangan yang masih jauh dan belum selesai ini. Sepeninggal
Kakang Sidanti dan gurunya, akulah yang mengambil alih
pimpinan se"belum Ayah dapat melakukannya."
"O, kau masih belum melihat kenyataan ini," berkata ayahnya.
"Jangan keras hati seperti Sidanti."
"Ia seorang yang teguh pada pendiriannya. Apakah aku harus
berbuat seperti Ayah" Seperti seorang pengecut."
"Prastawa," berkata Ki Argajaya, "dengarlah. Kita sebaiknya
berbicara dengan tenang."
"Tidak, dan aku tidak akan melepaskan gadis ini."
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia
berkata, "Prastawa, aku adalah ayahmu. Kau wajib mendengar
kata-kataku." Ia berhenti sejenak, lalu, "Aku memang bersalah
membawamu dalam kekalutan di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi
itu suatu kekhilafan. Kini sudah tiba saatnya kita berani menilai
diri kita sendiri. Dengan demikian kita akan dapat menen"tukan
sikap yang sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya bagi kita sendiri dan
terutama sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apakah
yang dapat kau capai dengan petualangan yang tidak kunjung
selesai itu, selagi dendam masih tetap menyala di hati"
Prastawa, api yang membakar Tanah ini sudah padam. Tetapi
api dendam di dadamu masih tetap kau hembus-hembus dengan
segala macam alasan."
Prastawa termenung sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
"Ayah mengajari aku memberontak terhadap Paman Argapati.
Dan kini Ayah mengajari aku mengkhianati kawan-kawanku."
Jantung Argajaya serasa tertusuk ujung duri. Sakit sekali.
Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab. "Kalau
sikapku kau artikan demikian, kau tidak terlampau salah. Tetapi
aku harus melihat alasan dari kedua sikapku itu. Yang pertama,
aku mengajarimu memberontak karena aku dipacu oleh nafsu
yang tidak terkendali. Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk
dihormati, dan nafsu lain-lain yang sebenarnya hanya sekedar
nafsu pemanjaan badani. Kini aku menyadari, bahwa nafsu
pemanjaan badani itulah yang sebenarnya telah menyeret aku
ke dalam jurang yang kelam seperti sekarang. Dan kau yang
masih memiliki hari depan yang jauh lebih panjang dari harihariku
sendiri, ikut pula terjerumus ke dalam masa yang gelap."
Ki Argajaya ber"henti sejenak, lalu, "Prastawa, sebenarnya apa
yang aku laku"kan itu semata-mata karena aku ingin melihat kau
mendapat tempat yang baik di hari depanmu. Tetapi yang aku
dapatkan justru sebaliknya."
Prastawa merasakan suatu sentuhan di hatinya. Sebenarnya
ia menyimpan juga suatu pengakuan di dalam hatinya, bahwa
ayahnya telah melakukan sesuatu yang berbahaya untuk dirinya,
untuk hari depannya. Tetapi usaha itu gagal, dan yang
didapati"nya adalah sebaliknya.
"Nah, kemudian terserah kepadamu, Prastawa. Apakah kau
mau mendengar atau tidak. Menurut pendapatku, seumurmu itu
sudah cukup dewasa untuk menilai keadaan. Apakah ayahmu
benar-benar seorang pengkhianat seperti yang kau katakan,
seorang pengecut, seorang pemberontak dan apa lagi, atau kau
melihat sesuatu yang lain dari sebutan-sebutan itu."
Prastawa tidak menyahut. Tampak keningnya berkerut-merut.
Dengan hati yang suram ia mencoba menilai keadaan yang
sedang dihadapinya. Namun tiba-tiba ia mendengar kawannya berkata, "Prastawa,


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan terpengaruh. Kau harus tetap bersikap jantan seperti
Si"danti. Kalau Ki Argajaya akan berkhianat, biarlah ia
berkhianat. Tetapi kita harus tetap di dalam garis perjuangan
yang panjang. Pantang menyerah. Kita tidak segera akan mati
besok atau lusa karena dimakan oleh umur. Kita masih cukup
muda. Kita masih mempunyai banyak kesempatan. Hanya
orang-orang pikun sajalah yang menyerah begitu saja kepada
keadaan." Bagaimana pun juga, darah Ki Argajaya berdesir mendengar
kata-kata itu. Anak muda itu bukan anaknya. Bukan sanak dan
bu"kan kadang. Namun demikian ia masih menahan diri. Kalau
ia berbuat sesuatu atas anak muda itu, maka ia akan
menggugah kemarahan Prastawa yang agaknya sudah mulai
tersentuh oleh kata-katanya.
Tetapi ucapan kawannya itu telah melemparkan Prastawa
kembali ke dalam suatu dunia yang gelap tanpa arah. Karena itu,
maka ia pun kemudian berkata, "Benar. Aku bukan anak-anak
yang dapat dibujuk dengan cara apa pun. Aku sudah dewasa,
dan aku sudah cukup mampu menentukan sikap," ia berhenti
sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya dan ibunya bergantganti.
Kemudian, "Aku tetap pada pendirianku. Ayah harus memilih.
Ikut aku se-bagai pejuang atau tinggal di sini sebagai
pengkhianat. Namun dengan demikian Ayah harus menyadari
hukuman apakah yang dapat diberikan kepada seorang
pengkhianat." "Prastawa," suara ibunyalah yang melengking dengan
gemetar, "jangan berkata begitu. Kau tidak dapat melepaskan
diri dari aliran darah ayah dan ibumu dalam tubuhmu. Kau
adalah anakku dan anak ayahmu pula. Apa pun yang kami
lakukan, aku dan ayahmu, tetapi kau adalah anak kami."
Sekali lagi Prastawa terdiam. Ia memang tidak akan dapat lari
dari kenyataan itu. Ia adalah anak ayah dan ibunya. Ba"gaimana
pun juga, dan apa pun yang telah mereka lakukan.
Namun dalam kebimbangan itu ia mendengar kawannya
ber"kata, "Lalu, apakah akibat dari hubungan itu di dalam
perjua"ngan ini. Argapati telah membunuh anaknya. Apakah
Argapati tidak tahu bahwa Sidanti itu anaknya, dan apa pun yang
telah dilakukannya, ia adalah anaknya, yang dialiri oleh
darahnya?" Terasa dada Argajaya terguncang. Meskipun ia dibebaskan
oleh kakaknya dari segala tuntutan karena pengampunan,
namun hukuman ini terasa amat menyiksanya. Anaknya sendiri
sama sekali tidak menghargainya lagi. Bahkan anak itu telah
mengan"cam untuk membunuhnya.
"Nah, apa katamu?" bertanya kawan Prastawa itu.
"Kakang Argapati tidak membunuhnya," berkata Arga"jaya
dengan suara yang serak. "Omong kosong! Aku yakin, pasti Argapati sendiri yang
membunuhnya karena anaknya telah dianggapnya berkhianat
kepadanya." "Tidak. Yang membunuh Sidanti adalah Pandan Wangi. Itu
pun tidak disengajanya. Ia tidak dapat menghindari hentakan
gerak naluriahnya saat itu ketika justru Sidantlah yang akan
membunuh Ki Argapati."
"Seandainya benar, itu adalah perbuatan jantan. Dan
Prastawa pun harus berani berbuat demikian."
Ki Argajaya menekan dadanya dengan telapak tangannya.
"Nah, apa katamu sekarang," anak muda kawan Pras"tawa
itu kini berdiri bertolak pinggang. "Aalian tidak akan da"pat
berbuat banyak. Gadis ini dapat mati tanpa arti sama sekali,
kalau kalian mencoba untuk berbuat sesuatu. Kini sekali lagi kita
akan menguji kejantanan Ki Argajaya. Apakah ia berani
meng"hadapi pertanggungan jawab ini, atau gadis inilah yang
akan dijadikannya korban, untuk menyelamatkan dirinya."
"Prastawa," suara ibunya seolah-olah tersangkut di
kerongkongan, "kau jangan mendengarkan kata-kata iblis itu."
Prastawa mengerutkan keningnya.
"Kau adalah anakku. Aku mengandungmu, kemudian
me"lahirkan kau dengan susah payah, dibayangi maut. Tidak
ubahnya seperti orang yang sedang berperang melawan musuh
yang tidak tampak." "Maksud Ibu, musuh itu adalah aku yang akan lahir?"
"Bukan. Bukan begitu maksudku."
"Jadi, aku sudah menyusahkan Ibu?"
"Tidak. Juga tidak," jawab ibunya. "Aku menyambut
kedatanganmu dengan harapan dan cita-cita, bahwa ada
seseorang yang akan menyambung hidup kami kelak. Sakit dan
cemas itu adalah tebusan dari harapan itu. Dan aku dengan
senang hati telah menjalaninya."
"Lalu, apa maksud, Ibu mengatakannya?"
"Prastawa, kemudian aku dan ayahmu mengasuhmu.
Mem"besarkan kau dengan cinta kasih. Apakah kau menyadari"
Kalau kau sedang sakit, semalam suntuk aku mendukungmu,
karena kau tidak mau diajak oleh orang lain. Dan apakah kau
sangka ayahmu dapat tidur sekejap pun" Ayahmu adalah orang
terhormat waktu itu. Ia mempunyai banyak pelayan dan
pembantu. Ayah"mu hampir tidak pernah turun ke sawah kalau
bukan karena ke"inginannya. Tetapi menunggui kau sakit,
Prastawa, ayahmu tidak dapat menyuruh salah seorang
pembantunya, atau bahkan sepuluh atau lima-puluh orang
sekalipun. Kalau aku mendukung"mu disaat kau sakit, ayahmu
duduk betapa pun lelah dan kantuk"nya, sampai saatnya kau
tertidur. Dan hal ini harus dilakukannya sendiri, seperti yang
dikehendakinya." Prastawa tidak segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya
tertunduk. Meskipun samara-samar, ia masih dapat mengingat
masa-masa ke"cilnya itu.
Tetapi sekali lagi kawannya berkata, "Itu bukan salah
Prastawa. Ia tidak minta dilahirkan. Ia tidak minta dipelihara
dengan susah payah. Bukankah salah orang tuanya pula apabila
ia lahir di dunia ini" Semua yang kalian lakukan, juga yang
dila"kukan oleh ayah dan ibuku atasku, adalah tanggung jawab
orang-orang tua yang telah melahirkan kami."
"O," ibu Prastawa menutup mulutnya dengan kedua belah
telapak tangannya, meskipun terdengar kata-katanya, "itukah
anggapan anak-anak muda sekarang terhadap orang tuanya?"
"Sudah tentu," jawab anak muda itu. "Kalian telah
me"lahirkan kami, maka kalian pulalah yang harus memenuhi
kebu"tuhan kami. Seperti kini yang diperlukan oleh Prastawa.
Hal ini tidak akan terjadi apabila Prastawa tidak dilahirkan dan Ki
Argajaya tidak menuntunnya ke jalan yang sekarang dilaluinya."
Dada Ki Argajaya menjadi semakin pedih. Namun ternyata
isterinya masih juga berkata, "Terserahlah pendapat apa yang
ada di dalam kepalamu, Anak Muda, tetapi aku ingin mengajari
anakku, bahwa bukan sekedar kemauan kamilah yang telah
me"lahirkannya. Seperti adanya isi dunia ini, maka adanya
seseorang merupakan bagian daripadanya. Kami adalah
lantaran-lantaran atas ke"lahiran anak-anak kami. Tetapi asal
kelahirannya sama sekali bukan dari kami. Memang kami dapat
mencegah diri kami, agar kami tidak menjadi lantaran kelahiran
seseorang dengan usaha-usaha badaniah, misalnya seseorang
yang tidak kawin, tetapi kuwajiban manusia adalah
mempertahankan adanya manusia di muka bumi seperti yang
dikehendaki oleh Penciptanya. Prastawa, sebaiknya kau tidak
mengikuti jalan pikiran duniawi itu. Jalan pikiran yang sama
sekali tidak mempertimbangkan sumber hidup manusia itu
sendiri. Tuhan mempercayai manusia untuk melahirkan manusia
baru dengan kuwajiban-kuwajiban yang memang dibebankan
kepadanya, tetapi manusia-manusia baru itu pun wajib
menghargai lantaran kelahiran"nya atas kekuasaan Tuhan dan
atas kepercayaan Tuhan. Bukan"kah begitu" Dan itu adalah
orang tuamu. Ayah dan ibumu. Kalau kau merendahkan harga
diri ayah dan ibumu, maka kau telah merendahkan kepercayaan
sumber hidupmu atas kedua orang tuamu itu, lantaran-lantaran
yang telah dipilihnya."
Dada Prastawa menjadi berdebar-debar. Yang mengucapkan
kata-kata itu adalah ibunya. Ibu yang melahirkannya.
Namun dalam pada itu kawan Prastawa itu pun menjadi
ber"debar pula. Kalau Prastawa terpengaruh oleh orang tuanya,
maka ia akan mengalami kesulitan. Ia akan tersudut dan
mung"kin ia akan ditangkap.
Karena itu, maka ia masih berusaha membakar hati
Pras"tawa. Katanya, "Itulah pendapat orang-orang tua,
Prastawa. Ia me"nganggap bahwa kami, anak-anak muda
adalah alat-alat untuk memuas"kan diri. Orang-orang tua sama
sekali tidak berbuat apa-apa atas kita tanpa niat mementingkan
dirinya sendiri. Mereka ingin menda"pat tempat bergantung.
Kalau mereka berusaha agar kita menjadi manusia yang baik,
terhormat dan bahkan kaya raya, adalah ka"rena kepentingan
mereka sendiri. Orang-orang tua itu akan mendapat pujian, dan
kelak mendapat tempat di hari tuanya. Itulah sebab"nya mereka
bersusah payah berusaha agar kita menjadi manusia yang
melampaui manusia lainnya. Seperti ayahmu yang
menginginkan kau menjadi Kepala Tanah Perdikan ini misalnya.
Sa"ma sekali bukan karena kau, bukan karena kepentinganmu,
tetapi karena nafsunya sendiri. Nafsu memuaskan diri sendiri
itulah." "O," desis ibu Prastawa, "bagaimana kau sampai pada pikiran
itu?" "Kenapa tidak" Ternyata orang-orang tualah yang berusaha
menentukan jalan hidup anak-anaknya. Kalau mereka benarbenar
mencintai anaknya tanpa pamrih, mereka pasti akan
mengikuti jalan pikiran anak-anak muda dan berjuang untuk
mereka sesuai dengan jalan, cara, dan cita-cita yang mereka
kehendaki. Di sini anak menjadi tujuan pengabdian, bukan alatalat
membanggakan dan memuaskan diri sendiri."
"Jadi menurut pikiranmu, kasih dan cinta orang tua itu akan
melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbagan, dan asal
memberikan kepuasan bagi anak-anak mereka" Tidak, Anak
Muda. Cinta bukanlah sekedar membenarkan semua perbuatan,
memanjakan, dan tanpa arah. Itu salah. Aku memang
mempunyai pamrih atas anakku. Tetapi itu untuk kepentingan
anakku kelak. Bukan se"kedar pamrih pribadi. Kalau aku
sekedar memanjakan pamrih pribadi, aku dapat menahan
kebaikan kepada orang-orang lain, tanpa memerlukan seorang
anak pun." "Bohong! Semuanya bohong!" anak muda itu memotong.
Lalu, "Sekarang, Prastawa, sebelum iblis merasuk ke dalam
hati"mu. Mari, kita keluar dari rumah ini. Sekarang kau harus
bertanya, apakah Ki Argajaya bersedia pergi bersama kita atau
ti"dak. Gadis ini akan menjadi tanggungan."
Kini Prastawa telah benar-benar dicengkam oleh suatu
keragu-raguan. Karena itu ia tidak menjawab. Pedangnya sudah
tidak lurus lagi mengarah ke lambung Sekar Mirah.
Sekalsekali terbayang perjuangan yang dianggapnya masih
belum selesai. Namun kemudian terngiang kata-kata ibunya, dan
bayangan-bayangan di masa kecilnya. Alangkah sejuknya
barada di dalam pe"lukan ayah dan ibu. Apakah kini ia harus
melawan keduanya dan menyakiti bukan saja hatinya tetapi juga
tubuhnya. Kawan Prastawa menjadi semakin cemas melihat keraguraguan
itu, melihat wajah Prastawa yang menjadi suram dan
tunduk. "O, agaknya racun itu telah mencengkam perasaan anak itu,"
berkata kawan Prastawa di dalam hatinya. Karena itu, maka ia
pun segera mencari jalan untuk melepaskan dirinya,
se"andainya Prastawa benar-benar telah terpengaruh oleh katakata
ayah dan ibunya. Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja kawan Prastawa itu
me"loncat merampas pedang di tangan putera Ki Argajaya yang
se"dang merenung itu. Dengan wajah yang tegang
diacungkannya ujung pedang itu ke lambung Sekar Mirah sambil
berkata, "Akulah yang kini menguasainya."
Prastawa sendiri terkejut. Ketika ia menyadari keadaannya,
pedangnya sudah berpindah tangan. Selangkah ia terdorong ke
samping, kemudian ia tinggal dapat menyaksikan kawannya
yang kini menguasai keadaan.
"Semua orang harus menurut perintahku. Kalau tidak, ga"dis
ini akan menjadi korban."
"Tunggu," berkata Prastawa.
"Aku tidak yakin bahwa kau mempunyai hati yang teguh."
Prastawa terdiam sementara kawannya berkata pula, "Kau
Prastawa, kau harus mengikuti aku bersama ayahmu."
Ki Argajaya berdiri saja membeku. Sejenak dipandanginya
wajah Sekar Mirah, kemudian wajah Sumangkar. Sedang
isterinya menjadi pucat dan gemetar.
"Aku tidak sedang bermain-main. Kalian tidak akan dapat
mempengaruhi aku seperti mempengaruhi Prastawa, karena aku
bukan apa-apamu." "Tetapi dengarlah," berkata Ki Argajaya. "Di luar rumah ini
sepasukan prajurit sedang berjaga-jaga."
"Aku tidak peduli. Aku menguasai gadis ini. Kalau seorang
pun dari mereka tidak tunduk kepada perintahku, maka gadis ini
akan mati." "Kenapa aku yang akan mati?" tiba-tiba Sekar Mirah
ber"tanya. "Bodoh. Diam kau, jangan mencoba bertingkah lagi. Aku
sekarang sudah siap. Kalau kau sendiri berbuat aneh, kau pun
akan mati." "Kalau tidak, apakah aku akan kau bawa ke sarangmu?"
"Ya, bersama Prastawa dan Ki Argajaya."
"Jauh?" "Diam kau. Jangan banyak berbicara."
Tetapi sebelum anak muda itu selesai membentak, terasa
pedangnya bergetar. Kekuatan yang besar telah mendorong
pe"dangnya ke samping. Ketika ia sadar, maka Sekar Mirah itu
telah meloncat beberapa langkah daripadanya.
"Gila, kau sudah gila," geram anak muda itu.
Kini setiap orang berloncatan menepi. Nyai Argajaya yang
ketakutan berdiri di belakang suaminya yang berdiri tegak seperti
tonggak. Anak muda itu kini berdiri melekat dinding dengan pedang
terjulur lurus ke depan. Dengan mata yang liar ia berkata, "Kalian
benar-benar telah menjadi gila, terutama gadis itu. Aku akan
membunuhmu kemudian membunuh setiap orang di dalam
ruangan ini." "Jangan kehilangan akal," berkata Sekar Mirah. "Bukankah
kau mengenal Ki Argajaya?"
Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sekar
Mirah. Setapak ia bergeser mendekati Sekar Mirah. Tetapi Sekar


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mirah pun bergeser pula ke samping.
"Kau tidak akan dapat lari," geram anak muda itu. Sekar Mirah
tidak menjawab kata-kata itu, namun justru ia berkata, "Kau
seharusnya mengenal kemampuan Ki Argajaya. Kalau Ki
Argajaya kehilangan kesabaran, maka ia akan segera bertindak
atasmu." "Persetan. Tetapi aku pun bukan tikus clurut. Aku adalah
satu-satunya orang yang bersenjata di ruang ini," anak muda itu
kemudian berpaling kepada Prastawa. "Prastawa, cepat
tentu"kan, di pihak mana kau berdiri" Apakah kau juga akan
berkhianat kepada perjuangan kita?"
Sebelum Prastawa menjawab, terdengar suara Ki Argajaya,
"Prastawa. Memang benar. Kau harus segera menentukan
si"kap. Kalau kau memutuskan untuk segera kembali kepada
ayah dan ibumu, maka soal anak itu bukanlah soal yang sulit,
meskipun ia bersenjata. Tetapi kalau kau benar-benar
menganggap aku pengkhianat, dan seharusnya aku dibunuh,
maka biarlah aku tidak akan melawan kalau kau memang
menghendaki. Tetapi aku memang tidak akan dapat berdiri di
pihak mereka yang tidak mau melihat kenyataan."
Prastawa berdiri membeku di tempatnya. Seakan-akan terjadi
benturan yang dahsyat di dalam dadanya.
"Cepat!" anak muda itu membentaknya.
Wajah Prastawa menjadi tegang. Dari keningnya menitik
keringat dingin. Sejenak dipandanginya anak muda itu
kemu"dian ayahnya dan ibunya.
"Kaulah yang membawa aku kemari, Prastawa. Apakah kau
akan membiarkan aku dibantai di sini karena pengkhianatanmu."
Ruangan itu pun kemudian serasa dibakar oleh kesenyapan
vaag pengap. Dada mereka menjadi sesak, dan darah mereka
se"akan-akan menjadi semakin lambat mengalir. Kini setiap
mata hing"gap pada wajah Prastawa yang tegang dan basah
oleh keringat. Degup jantung anak muda yang memegang pedang itu pun
menjadi semakin cepat. Ia hampir tidak sabar lagi menunggu
keputusan Prastawa. Sedang Prastawa masih saja diamuk oleh
ke"bimbangan. Dalam kesenyapan itu terdengar suara Nyai Argajaya,
"Prastawa, jangan hanyut pada suatu perasaan sekedar untuk
mempertahankan harga dirimu, karena kau tidak mau disebut
seorang pengkhianat. Kau harus dapat membedakan, siapakah
yang menyebutmu demikian. Kalau yang menyebutmu seorang
pengkhianat itu sendiri tidak mengerti tentang dirinya sendiri,
apakah kau akan terpengaruh karenanya."
"Diam, diam kau!" potong anak muda itu. Hampir saja ia
meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Tetapi langkahnya
tertahan karena perempuan itu berdiri di belakang Ki Argajaya.
Dan hampir setiap orang di Menoreh mengetahui, bahwa Ki
Argajaya memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.
Kedua anak-anak muda di ruangan itu, Prastawa dan
kawannya, sama-sama menjadi tegang. Tubuh mereka telah
basah oleh keringat. "Cepat, tentukan sikapmu," geram anak muda itu.
Sekali lagi, semua perhatian telah terampas oleh Prastawa.
Wajah-wajah yang tegang memandanginya dengan tajamnya,
seolah-olah mereka langsung ingin melihat isi dada anak muda
itu. Ketika Prastawa menggerakkan kepalanya, seakan-akan
semua orang berhenti bernafas.
Setelah melampaui perjuangan yang dahsyat di dalam
diri"nya, meskipun dengan penuh keragu-raguan. Prastawa
menggeleng"kan kepalanya sambil berkata lambat hampir tidak
terdengar, "Aku tidak dapat melakukannya."
"He," anak muda itu terbelalak, "maksudmu?"
"Aku terikat oleh sesuatu yang tidak aku mengerti."
"Jadi?" "Aku tinggal di sini."
"Gila. Gila kau, Prastawa," wajah anak muda itu menjadi
merah padam, serta matanya menjadi bertambah liar. Sejenak
dipandanginya Prastawa yang berdiri di atas kakinya yang
reng"gang. Kemudian Ki Argajaya yang sudah bersiaga. Di
belakangnya, Nyai Argajaya yang menjadi kian berdebar-debar.
Selangkah daripadanva, seorang tua vang tidak dikenalnya yang
disebut-sebut sebagai ayah gadis itu. Dan yang terakhir, anak
muda itu me"mandang Sekar Mirah dengan nafas terengahengah.
Sekar Mirah berdiri tidak begitu jauh daripadanya. Meskipun
semuanya tidak bersenjata, tetapi ia harus dapat menguasai
orang yang dianggapnya paling lemah. Anak muda itu
me"ngenal kemampuan Prastawa, kemudian Ki Argajaya. Lakilaki
tua itu tidak akan banyak artinya baginya. Dan apabila ia
dapat menguasai Sekar Mirah, maka gadis itu akan dapat
dipakainya un"tuk perisai.
Tiba-tiba saja anak muda itu meloncat ke arah Sekar Mirah. Ia
ingin mengancam gadis itu dengan ujung pedangnya. Dengan
suara yang berat ia berkata, "Jangan mencoba melawan."
Tetapi alangkah terkejutnya, ketika ternyata gadis itu mam"pu
meloncat secepat loncatannya. Ketika ia menjejakkan kakinya di
lantai, maka Sekar Mirah telah berada beberapa langkah
dari"padanya. "Gila. Apakah kau mencoba melarikan diri?" geramnya. Sekar
Mirah mengerutkan keningnya. Terbersit niat di dalam hatinya,
untuk menghentikan permainan itu. Anak itu tidak boleh
terlampau lama mengalami ketegangan yang dapat membuatnya
menjadi benar-benar gila.
Karena itu, justru selangkah ia maju. Katanya, "Jangan
menjadi liar. Sudah aku katakan, sebaiknya kau tinggal di sini.
Aku kira, kau akan diterimanya pula, apabila kau benar-benar
meng"hentikan segala macam tingkah yang dapat mengganggu
keten"teraman Tanah Perdikan ini."
"Persetan!" anak muda itu tiba-tiba berteriak. Ia tidak
menghiraukan lagi para pengawal yang mungkin mendengarnya
dari halaman. "Aku bunuh kau. Kita akan mati bersama-sama."
Dengan garangnya anak muda itu meloncat maju. Kali ini ia
tidak sekedar mengancam. Tetapi ia benar-benar mengayunkan
pe"dangnya, menyerang Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah sudah bersiaga. Ia mampu melihat
ge"lagat, bahwa anak muda itu akan menyerangnya apabila ia
sudah kehilangan akal. Karena itu, serangan anak muda itu tidak mengejutkan"nya.
Meskipun ia tidak bersenjata, tetapi murid Sumangkar yang
berguru dengan tekun itu, tidak banyak mengalami kesulitan
untuk mengelak, sehingga serangan anak muda itu sama sekali
tidak menyentuh apa pun. Dengan kemarahan yang membakar dadanya, anak muda itu
menggeram. Dengan menghentakkan kakinya ia meloncat
menghadapi Sekar Mirah yang menghindar ke samping.
Tetapi sama sekali tidak disangkanya, bahwa gadis itu
mampu bergerak lebih cepat, daripadanya. Ketika ia menyadari
keadaannya, gadis itu telah menghantam pergelangan
tangannya sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan
pedangnya, se"hingga pedang itu pun terpelanting jatuh.
Betapa tangannya seolah-olah tersengat oleh bara api.
Dengan serta-merta ia menarik tangannya sambil mengerang
kesakitan. Tetapi belum lagi ia sempat mengusap pergelangan
tangannya, terasa tubuhnya terdorong kuat sekali, sehingga
terhuyung-huyung ia melangkah surut.
"Gila kau," anak muda itu mengumpat ketika ia melihat Sekar
Mirah memungut pedangnya. Tetapi ketika ia siap melompat
maju untuk mencegahnya, langkahnya terhenti, karena tiba-tiba
saja ujung pedang itu sudah mengarah ke dadanya.
"Kalau kau meloncat maju, maka ujung pedang ini akan
tertancap di dadamu," desis Sekar Mirah.
Anak muda itu tegak bagaikan patung. Ditatapnya wajah
Sekar Mirah yang cantik itu dengan sorot mata yang aneh.
Wa"jah yang cantik itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi
wajah yang menakutkan. Seperti wajah seorang dewi maut yang
sudah siap untuk menarikan tari maut dengan sepucuk pedang.
Tetapi Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya.
"Prastawa," desis anak muda itu, "kau telah meng"khianati
kawan-kawanmu pula."
Prastawa tidak menjawab. Ia masih dicengkam oleh
ke"raguan. Ia tidak mengerti manakah yang sebaiknya dipilih.
Se"perti seseorang yang berdiri di simpang jalan yang
membujur lurus dan panjang sekali, seakan-akan sama-sama
tidak berujung. "Apakah kau sengaja menjebak aku di rumah ini?" ber"tanya
kawannya. Prastawa masih berdiri mematung.
Wajah anak muda itu pun menjadi semakin nanar. Ketakutan
yang betapa pun lambatnya, kini telah mulai menyentuh
jantung"nya. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang
ternyata, terlam"pau garang, segarang seekor harimau betina.
Itulah agaknya, maka ia tidak takut berada di kandang serigala.
Di sebelah lain Argajaya berdiri tegak dengan tatapan wajah
yang menggetar"kan jantung. Di sebelahnya, orang tua yang
disebut ayah gadis yang garang itu. Agaknya ia tidak segarang
anak gadisnya" Sedang di sebelah lain berdiri termangu-mangu
seorang anak yang masih terlampau muda, yang justru
membawanya masuk ke dalam sarang harimau ini.
Tiba-tiba anak muda itu tidak dapat lagi mengendalikan
keta"kutan yang sudah mencengkam dadanya. Ia tidak mau
mati be"gitu saja. Ia masih akan berusaha di dalam keputusasaan,
untuk keluar dari rumah terkutuk ini.
Karena itu, maka sejenak ia mencoba berpikir. Kemana ia
harus melarikan diri, sementara orang-orang yang berdiri di
sekitarnya itu seolah-olah telah berubah menjadi sekelompok
iblis yang mena"kutkan, yang siap menerkamnya dan merobekrobek
tubuhnya. Ketika ia tidak lagi dapat menahan ledakan di dadanya, tibatiba
ia melompat. Sekilas ia teringat pada seutas tali yang masih
masih menggantung di dalam bilik dalam.
"He, apakah kau akan lari?" bertanya Sekar Mirah.
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya
lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia meloncat masuk ke
dalam bilik itu. Sementara itu, para pengawal yang berada di halaman,
lamat-lamat mendengar keributan di dalam rumah. Agung
Sedayu yang duduk di sebelah pimpinan pengawal berdesis,
"He, kau mendengar se"suatu di dalam?"
"Ya." "Apakah mungkin terjadi keributan?"
Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. "Bagaimana
pendapatmu?" ia bertanya. "Kaulah yang lebih mengenal gadis
dan gurunya itu." "Aku kira tidak akan ada keributan. Tetapi baiklah kita
melihatnya." Ketika keduannya berdiri, mereka menjadi heran. Mereka
memang mendengar keributan. Namun mereka tidak dapat
dengan tergesa-gesa memasuki ruangan dalam. Sejenak
mereka berdiri di pendapa. Kalau terjadi sesuatu, maka pasti
salah satu pihak akan memanggil mereka.
Anak muda yang berlari itu pun kemudian meloncat masuk ke
dalam bilik. Semula ia mencoba untuk menutup pintu bilik, tetapi
terlambat karena Sekar Mirah telah berada beberapa langkah
saja di belakangnya. Karena itu, maka ia harus cepat mencapai
tali yang masih tergantung. Tali yang dipergunakan sebagai alat
untuk turun masuk ke dalam neraka ini.
Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, anak
muda itu pun segera menggapai ujung tali itu. Ternyata ia
me"mang cakap memanjat.
Tetapi anak muda itu mengumpat keras-keras ketika
tubuhnya terhempas dilantai. Agaknya Sekar Mirah telah
meloncat ke atas pembaringannya, kemudian sekali lagi
meloncat sambil menga"yunkan pedang yang dibawanya
memutuskan tali yang masih terjuntai itu, tepat di atas tangan
anak muda yang sedang me"manjat itu.
Namun demikian, anak muda itu tidak berhenti sampai
se"kian. Sekali lagi ia meloncat ke luar dan berlari ke arah pintu.
"Ia tidak akan lolos. Biarlah para pengawal menangkap"nya,"
desis Sekar Mirah. Argajaya yang telah siap untuk menangkapnya, telah
ter"tegun mendengar desis Sekar Mirah, sejenak ia berdiri
ter"mangu melihat anak muda itu berlari ke pringgitan.
Agung Sedayu yamg berada di pendapa bersama pemimpin
pengawal itu pun menjadi semakin berdebar-debar mendengar
derap orang berlari. Kini mereka tidak dapat menunggu lagi.
Meskipun tidak seorang pun yang memanggil mereka, namun
keduanya tanpa berjanji telah melangkah ke pintu.
Ketika Agung Sedayu berdiri tepat di muka pintu, ia
men"dengar seseorang membuka selarak dengan tergesa-gesa.
Agung Sedayu menjadi semakin curiga. Kini ia berdiri di
"muka pintu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja pintu itu
ter"buka dan seseorang telah melanggarnya.
Karena Agung Sedayu tidak menduga sama sekali, maka ia
pun tidak menghindari benturan itu. Begitu tiba-tiba sehingga
Agung Sedayu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak
muda yang juga terkejut itu pun seakan-akan telah terlempar
masuk kembali ke pringgitan dan jatuh terbanting di lantai.
Dengan serta-merta ia pun bangkit. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa lagi. Kini ia berdiri di muka Agung Sedayu dan
pemimpin pengawal yang sudah meraba hulu pedangnya.
"Siapakah anak ini?" bertanya pemimpin pengawal itu kepada
Argajaya yang berdiri termangu-mangu.
Sebelum Argajaya menjawab, Sekar Mirah yang masih
me"megang pedang, maju beberapa langkah. Sambil tersenyum
ia berkata, "Kami mendapat dua orang tamu malam ini. Tetapi
tamu yang seorang ini agaknya tidak kerasan tinggal di sini."
Agung Sedayu dan pemimpin pengawal itu mengedarkan
tatapan matanya berkeliling. Dilihatnya seorang anak muda yang
lain berdiri termangu-mangu dekat di depan dinding bilik di ruang
dalam. Dari lubang pintu yang memisahkan pringgitan dan ruang
dalam mereka melihat anak muda itu termangu-mangu. Namun
mereka menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat
Sumangkar berdiri beberapa langkah daripadanya.
(***) 52 Sepasang Maling Budiman 2 Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian Mustika Ular Emas 2
^