Pencarian

Muslihat Dewi Berlian 2

Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian Bagian 2


secara tiba-tiba."
"Mengenai apa?"
"Mengenai siapakah pembunuh Resi Kala Jinjit
sesungguhnya."
"Katakan padaku!"
"Orang tua... bukan maksudku tidak mau men-
gatakannya kepadamu. Tetapi aku khawatir apa yang
kupikirkan ini salah dan akan menjadi sebuah fitnah."
Langlang Benua mendengus, tetapi berkata da-
lam hati, "Ketabahannya dalam menghadapi persoalan, sungguh mengagumkan. Tanda-
tanda kalau dia adalah
seorang pendekar sejati sudah terlihat. Ah, beruntung kakek tukang kentut itu
menjadikannya sebagai murid." Kemudian katanya, "Lembah Lingkar telah menjadi
saksi bisu tuduhan orang-orang kepadamu, Anak
muda. Tentunya, Lembah Lingkar akan tetap menjadi
saksi bisu untukmu mengungkapkan kebenaran."
Raja Naga memperhatikan kakek di hadapannya
dengan seksama.
"Aku belum memahami apa maksudnya," katanya dalam hati, lalu berkata, "Orang
tua... dapatkah kau lebih memperinci apa yang kau maksudkan?"
"Aku tidak biasa melakukan apa yang seperti kau
katakan. Tetapi menurut bayanganku, kau akan kem-
bali ke Lembah Lingkar bersama yang lainnya."
"Maksudmu.... Lembah Lingkar akan menjadi
tempat pengungkapan bukti-bukti?"
"Kira-kira seperti itu. Dan satu hal yang masih
kupikirkan sebenarnya, adalah muncul tidaknya Mu-
sang Berjanggut."
Kali ini Raja Naga terdiam, memperhatikan kakek
di hadapannya dengan seksama.
"Setelah mendengar apa yang kau katakan, kupi-
kir urusanku sudah selesai dan aku akan melanjutkan
petualanganku. Tetapi rasanya, memang masih harus
ada yang dituntaskan."
"Siapakah orang yang kau maksudkan tadi,
Orang Tua?"
"Musang Berjanggut adalah salah seorang saha-
bat dari Resi Kala Jinjit. Seperti diriku, Kala Sringgil, Jala Sringgil maupun
Pendekar Kaki Satu. Dari orang-orang yang kusebutkan tadi, Musang Berjanggut me-
miliki ilmu yang lebih tinggi. Dia memiliki sifat yang angin-anginan. Bila sifat
jeleknya datang, dia akan melabrak apa saja yang diinginkannya dan akan dengan
mudah dihancurkannya. Tetapi bila sifat baiknya da-
tang, dia akan berubah menjadi malaikat."
"Yang hendak kau katakan, kau khawatir kalau
Musang Berjanggut menganggapku sebagai pencuri
kalung Laba-laba Perak?"
"Salah satunya seperti itu."
Raja Naga diam-diam mendesah pendek.
"Baru mendengar sedikit saja tentang Musang
Berjanggut, perasaanku sudah tidak enak. Tetapi biar
bagaimanapun juga, aku harus tetap bergerak untuk
mencari bukti-bukti."
Habis membatin demikian, Raja Naga berkata,
"Orang tua... nampaknya aku masih harus menghada-pi urusan yang lebih rumit."
"Mudah-mudahan Musang Berjanggut sedang da-
tang sifat baiknya," kata Langlang Benua. "Anak muda, untuk sementara akan
kuhentikan dulu petualanganku untuk melanglang buana. Aku berada di pihakmu."
"Bukannya menampik tawaran memikat yang
kau berikan. Tetapi biarlah, aku akan mengurus se-
mua ini sendiri."
"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" desis Langlang Benua dalam hati. "Dia tetap
menunjukkan jiwa kesa-tria yang luhur."
Lalu katanya, "Mungkin dengan kehadiranku,
Musang Berjanggut akan dapat bertindak lebih baik."
Raja Naga tersenyum dan berkata dalam hati,
"Karena aku yakin... kalau kemampuanmu lebih tinggi dari Musang Berjanggut,
Orang Tua." Kemudian katanya, "Kalau begitu, rasanya lebih baik aku segera
meneruskan langkah untuk mencari kebenaran. Terutama mencoba menemukan Dewi
Berlian." "Lakukan dan berhati-hati."
Raja Naga perlahan-lahan berdiri. Dirangkapkan
kedua tangannya di depan dada.
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,
Orang Tua."
Habis kata-katanya, pemuda dari Lembah Naga
ini segera melangkah meninggalkan Langlang Benua.
Kakek yang seluruh kulit di tubuhnya berwarna
seperti tanah, menarik napas pendek.
"Urusan ini memang sangat rumit. Dan kecerdi-
kan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia dapat mena-
han gejolak perasaannya dan berpikir jernih. Mudah-
mudahan, apa yang dipikirkannya itu akan memba-
wanya pada satu kebenaran...."
Lagi Langlang Benua menarik napas pendek.
Diperhatikan sekelilingnya dengan seksama. "Aku
harus menyebarkan isu tentang bencana yang akan
terjadi di Lembah Lingkar, sehingga orang-orang akan
bermunculan di sana. Mudah-mudahan kebenaran
akan terbuka...."
Setelah itu, Langlang Benua menundukkan kepa-
lanya. *** ENAM PAGI telah datang menyegarkan alam kembali.
Suasana di hutan itu sangat menyeramkan. Hembusan
angin timur begitu dingin, menggeresek dedaunan
hingga menimbulkan suara laksana tangisan. Pagi ini
keadaan hening. Kabut masih menggumpal. Bahkan
hewan-hewan malam pun enggan bersuara.
Tetapi dari balik sebuah pohon besar terdengar
suara keras bernada heran dan jengkel, "Dewi! Mengapa kau menolakku"! Apa yang
terjadi"!"
Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-
ran berlian itu menoleh. Tatapannya tajam dan sengit.
"Keparat! Lama kelamaan aku muak dengan si-
kapnya!" geramnya dalam hati.
Pangku Jaladara yang terkejut akan penolakan
Dewi Berlian, sebenarnya tahu arti tatapan sengit itu.
Tetapi gairahnya sudah membludak hingga dia tidak
mau tahu arti tatapan itu. Kedua tangannya kembali
memeluk tubuh montok Dewi Berlian. Telapak tangan
kanan kirinya menyergap sepasang bukit kembar yang
besar, dan segera meremas-remasnya dengan napas
mendengus-dengus.
Dewi Berlian memaki dalam hati, "Setan alas!
Yang dipikirkannya hanyalah mengumbar nafsu bela-
ka! Padahal saat ini kedudukanku mulai goyah! Terku-
tuk!" Dengan gusar Dewi Berlian menyentakkan tangan Pangku Jaladara yang masih
asyik meremas- remas bukit kembarnya. Pakaiannya yang hanya me-
nutupi sebagian kecil bukit kembarnya sudah terbuka.
Seraya berseru jengkel, Dewi Berlian menaikkan
lagi pakaiannya, "Setan terkutuk! Apakah kau tidak bisa menghentikan nafsumu
barang sesaat, hah"!"
Pangku Jaladara yang jatuh terduduk akibat sen-
takan tangan Dewi Berlian melongo.
"Dewi!" serunya kemudian, kaget. "Mengapa jadi begini" Mengapa kau begitu
marah"!"
"Diaaamm!!"
"Bukankah kau sudah berjanji, akan melayaniku
kapan saja bila aku mau"!"
Dewi Berlian justru mengalihkan pandangannya
ke tempat lain. Angin berhembus, menggeraikan pa-
kaian bagian bawahnya yang terbuka di samping ka-
nan kiri hingga batas pinggul.
Angin nakal itu justru memperlihatkan sesuatu
yang semakin membuat Pangku Jaladara kian bernaf-
su. Kembali ditubruknya tubuh montok yang sedang
membelakanginya. Diciuminya tengkuk Dewi Berlian
penuh nafsu. Tangan kanannya meraba bagian atas,
sementara tangan kirinya menjelajah bagian bawah.
Tetapi... trik!
Tubuhnya kembali mundur dengan kedua tangan
tersentak ke atas. Kali ini Pangku Jaladara mulai gu-
sar akan tindakan Dewi Berlian yang menolaknya. Di
pihak lain, perempuan mesum itu pun membalikkan
tubuhnya dengan tatapan sengit.
Tetapi sebelum dia berseru, Pangku Jaladara su-
dah mendahului, "Dewi! Aku telah membantu menun-
taskan segala urusanmu! Baik pada guruku sendiri
maupun pada Raja Naga! Dengan tanganku sendiri
kubunuh guruku demi dendammu! Dengan kecerdi-
kanku pula, kuundang Raja Naga semata untuk men-
cari kesempatan memfitnahnya, sebagai balasan tin-
dakannya yang telah membunuh saudaramu yang ber-
juluk Ratu Sejuta Setan! Kau berjanji akan memenuhi
kapan saja aku menginginkanmu! Tetapi sekarang...
tindakanmu sudah kelewat batas, Dewi!"
Dibentak seperti itu Dewi Berlian menjadi ber-
tambah berang. Wajah jelitanya dan senyuman serta
tatapan mesumnya seolah lenyap.
"Huh! Sampai hari ini aku tak pernah melupakan
semua itu, Pangku Jaladara! Kau berhak menikmati
kapan saja tubuhku sesuai dengan yang kujanjikan bi-
la kau mau membantuku! Tetapi... kau tidak melihat
saat yang tepat!"
"Apanya yang tidak tepat, hah"! Saat ini, gairah-ku sedang memuncak! Dan tempat
ini sangat me- mungkinkan untukku menyalurkan gairahku!" geram
Pangku Jaladara semakin keras. Parasnya memerah
karena marah. "Manusia satu ini benar-benar mulai bikin aku
muak! Apa yang dilakukannya hanyalah ketololannya
belaka! Huh! Resi Kala Jinjit yang pernah memperma-
lukanku, telah tewas di tangannya! Niatku untuk
membalas kematian Ratu Sejuta Setan di tangan Raja
Naga pun mulai mendapatkan gambaran yang lebih je-
las," maki Dewi Berlian dalam hati. Masih tetap memandang Pangku Jaladara yang
memandangnya, anta-
ra gusar dan penuh nafsu, "Tapi sialnya, urusan ini
nampaknya akan berantakan karena kehadiran Dewa
Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih!"
"Dewi Berlian... kau tak menjawab pertanyaanku,
berarti kau memang sengaja mempermainkanku!" ge-
ram Pangku Jaladara.
Dewi Berlian tetap tak buka mulut. Dadanya
yang padat dan sebagian besar terbuka jelas, turun
naik pertanda dia sedang dilanda kegusaran.
Kalau biasanya Pangku Jaladara tak akan mam-
pu lagi untuk menguasai nafsunya melihat gumpalan
bulat benda lunak yang menggemaskan itu, kali ini
hanya dipandangnya sekilas lalu mengarahkan tata-
pannya pada Dewi Berlian.
"Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ke-
cuali aku, siapa orang yang telah menimbulkan keona-
ran!" Dewi Berlian merandek.
"Apakah kau sedang mengancamku"!"
Pangku Jaladara melipat kedua tangannya di de-
pan dada. Kepalanya sedikit ditegakkan. Lalu dengan
angkuh, dia berkata, "Bila mulutku bicara, sudah tentu seluruh orang rimba
persilatan akan memburumu,
Dewi Berlian! Bukan hanya para sahabat guruku, teta-
pi juga Raja Naga! Bahkan Datuk Bunaeng sendiri!"
Kemarahan Dewi Berlian perlahan-lahan mulai
memuncak. Tetapi perempuan bermahkota itu tak me-
lakukan gerakan apa-apa. Berkata pun tidak.
Merasa mendapat cara untuk menekan Dewi Ber-
lian, Pangku Jaladara berkata lagi, "Sejauh ini, aku masih tak membuka mulut
karena mempertimbangkan
keuntungan yang kudapatkan! Dengan menikmati tu-
buhmu yang montok itu bagiku merupakan sebuah
imbalan yang layak, pertukaran yang saling mengun-
tungkan! Tetapi sekarang, kau nampaknya mulai men-
gubah apa yang ada!"
Sadar kalau Pangku Jaladara akan membuka
mulut maka segala niatnya akan jadi berantakan, Dewi
Berlian perlahan-lahan meredakan kemarahannya. La-
lu sambil tersenyum dia berkata,
"Mengapa sekarang harus saling menunjukkan
kemarahan" Pangku Jaladara, tak ada maksudku un-
tuk menolak apa yang kau inginkan. Tetapi untuk saat
ini, ada masalah yang menggangguku."
Pangku Jaladara menyeringai lebar. Lelaki yang
telah dikuasai oleh nafsu birahinya ini tak mempedulikan apa pun yang terjadi.
Dilupakannya pula kalau
sesungguhnya dia adalah calon Ketua Perguruan Laba-
laba Perak. Namun karena dikuasai nafsu dan dijanji-
kan oleh Dewi Berlian menjadi sebagai pemuas naf-
sunya, Pangku Jaladara lebih memikirkan tentang naf-
sunya ketimbang urusan yang ada.
"Suaramu melembut, Dewi. Apakah kau takut
dengan apa yang barusan kukatakan?"
Dewi Berlian mengembangkan senyumannya
yang paling merangsang. Dia tahu betul bagaimana
membuat Pangku Jaladara terangsang dan tergila-gila
padanya. Seraya menggerakkan payudaranya yang
montok, perempuan ini berkata,
"Aku tak yakin bila kau akan melakukan tinda-
kan seperti itu."
"Kau belum melihat keadaan yang sebenarnya,
Dewi." "Bukankah kita akan bersatu, saling membagi
kenikmatan?" Dewi Berlian terus melancarkan rayuannya. "Huh! Tetapi di saat aku
membutuhkan, kau menolaknya!"
"Karena... ada masalah yang harus kupikirkan.
Apakah tidak sebaiknya sekarang kita memikirkan
masalah itu bersama-sama?" ucap Dewi Berlian lalu
menyambung dalam hati, "Aku tak ingin banyak membuang tenaga sekarang. Kalaupun
ilmu Pangku Jala-


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dara lebih rendah dariku, tetapi aku yakin dia akan
memberikan perlawanan yang ketat bila kuserang. Se-
baiknya, kutunggu saat yang tepat untuk membunuh-
nya. Karena rasanya, aku sudah tak memerlukannya
lagi...." Pangku Jaladara semakin memperlihatkan serin-
gaiannya. Matanya berkilat-kilat penuh gairah.
"Kau berucap demikian, dengan maksud agar
aku menutup mulutku, bukan?"
Dewi Berlian tersenyum. Menggerakkan payuda-
ranya. Ketika sempat dilihatnya tatapan Pangku Jala-
dara menghujam tepat pada 'bola-bola asmara'nya, dia
menyeringai dalam hati.
"Menaklukkanmu sangat mudah. Dengan sedikit
memberi kenikmatan saja kau sudah terlena."
Sambil melangkah mendekat dan tetap menun-
jukkan kelebihannya sebagai seorang perempuan yang
matang, Dewi Berlian berkata, "Rasanya tidak tepat ki-ta harus bertengkar di
pagi yang indah seperti ini. Sebenarnya, aku juga mengingihkan apa yang kau
ingin- kan. Tetapi...."
"Kau berbicara berbelok-belok!"
Dewi Berlian tersenyum.
"Pangku Jaladara, belum lama ini kita baru saja
melarikan diri dari Lembah Lingkar...."
Wajah Pangku Jaladara berubah menjadi geram.
"Aku ingat ucapan kakek keparat berkulit hitam
itu!" "Kau tak perlu gusar padanya," kata Dewi Berlian menyeringai dalam hati.
"Siapa pun orangnya akan ku-tolak kecuali dirimu, Pangku."
Pangku Jaladara tak menggubris ucapan itu.
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Nampaknya urusan di Lembah Lingkar telah se-
lesai. Tetapi anehnya, mengapa ada kabar baru yang
semalam kita dengar, kalau Raja Naga akan muncul
kembali di sana" Bukankah ini cukup aneh."
"Apanya yang aneh! Mungkin pemuda celaka itu
sudah membulatkan keinginan untuk mampus di
Lembah Lingkar."
"Apakah kau tidak berpikir sebaiknya kita kem-
bali ke Lembah Lingkar?"
"Untuk apa" Urusan telah selesai! Kau tinggal
memetik apa yang telah kau tanam!"
"Dia benar-benar dibutakan oleh nafsunya hingga
tidak tanggap persoalan," desis Dewi Berlian dalam ha-ti. "Huh! Apakah Raja Naga
sendiri yang menyebarkan berita kalau dia akan kembali ke Lembah Lingkar"
Tentunya dengan maksud agar yang lainnya juga hadir
di sana. Inilah yang menjadi pikiranku selain kehadi-
ran Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih! Ka-
rena ternyata, pemuda itu masih hidup!"
Di hadapannya, Pangku Jaladara mendesis ge-
ram. "Kau mencoba membuang waktu dengan membi-
carakan persoalan yang tak berarti. Apakah...."
"Tidak! Aku tidak membuang waktu. Karena aku
pun ingin segera melupakan persoalan ini dengan me-
nikmati apa yang akan kau berikan," sahut Dewi Berlian sambil tersenyum. Lalu
berkata dalam hati, "Manusia keparat ini benar-benar memuakkan! Tetapi me-
naklukkannya memang sangat mudah!"
Pandangan Pangku Jaladara kini tetap tertuju
pada sepasang bukit kembar yang benar-benar meng-
giurkan itu. Terutama tatkala dengan gerakan yang tak kentara namun sangat
menggoda iman, Dewi Berlian
menggerakkan payudaranya hingga bergerak lembut
dan berirama. "Pangku... tanpa bantuanmu, tak akan mungkin
aku bisa melaksanakan seluruh dendam yang kumili-
ki. Dan apakah aku akan melupakan begitu saja kebe-
ranian yang telah kau perlihatkan" Sudah tentu tidak.
Karena biar bagaimanapun juga, aku... aku... telah jatuh cinta padamu...."
Mendengar kata-kata Dewi Berlian, paras Pangku
Jaladara menjadi cerah.
Dia terbahak-bahak.
"Ha ha ha... itulah yang ku maui! Sejak dulu aku sangat senang melihat perempuan
jatuh cinta dan
mengemis cinta padaku! Mengemislah padaku, Dewi
Berlian! Mengemislah!"
Dewi Berlian yang tengah melancarkan tipuannya
melalui rayuan mautnya, tersenyum. Tiba-tiba saja di-
jatuhkan tubuhnya di atas tanah berumput, terlentang
dengan kedua tangan dan kaki membuka lebar-lebar.
Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit
kembar Dewi Berlian semakin penuh. Bahkan seolah
terlempar keluar. Bergerak turun naik seiring dengan
nafasnya yang teratur. Di bagian bawah, pakaiannya
yang terbelah hingga pinggul itu tersingkap. Memperlihatkan gumpalan paha
lembut, indah dan menggetar-
kan. Perlahan-lahan Dewi Berlian memejamkan ma-
tanya, seolah pasrah menerima apa yang akan terjadi.
"Aku akan mengarungi dulu kenikmatan bersa-
manya. Setelah itu... crass! Nyawanya akan putus!" katanya dalam hati.
Di pihak lain, napas Pangku Jaladara semakin
memburu. Gairahnya benar-benar tak bisa ditahan la-
gi. Apalagi melihat keadaan Dewi Berlian sekarang,
Lalu penuh nafsu ditubruknya tubuh montok
yang pasrah itu. Mulutnya segera menciumi sekujur
wajah Dewi Berlian. Lalu hinggap dan melumat bibir
memerah itu sepuas-puasnya. Sementara tangan ka-
nan dan kirinya bekerja meraba, menekan dan mere-
mas apa saja yang ada di tubuh perempuan itu.
Dewi Berlian sendiri segera membalasnya dengan
penuh gairah. Mendapatkan balasan yang memang di-
inginkannya, gairah Pangku Jaladara semakin meng-
gebu-gebu. Dalam waktu singkat saja, dia sudah me-
lucuti seluruh pakaian yang dikenakan perempuan
bahenol itu. Dia sendiri sudah dalam keadaan polos.
Di pihak lain, Dewi Berlian sesaat membuka ma-
tanya. Diperhatikannya bagaimana sibuknya Pangku
Jaladara sekarang, yang tak mau lagi menghiraukan
sekelilingnya. "Untuk sejenak kau akan menikmati apa yang
kau inginkan, Manusia keparat!" seringainya dalam hati Tatkala Pangku Jaladara
memasuki tubuhnya,
Dewi Berlian terus menggerak-gerakkan pinggulnya
dengan gerakan seorang perempuan yang telah ma-
tang. Napas Pangku Jaladara semakin memburu.
Lelaki ini sudah melupakan seluruh persoalan
yang sedang dihadapinya. Tidak dipedulikan sekitar-
nya yang menjadi saksi bisu dari tindakannya.
"Sekarang!" desis Dewi Berlian dalam hati tatkala melihat Pangku Jaladara sudah
tiba pada puncaknya.
Kedua tangannya yang memegangi erat-erat
punggung Pangku Jaladara perlahan-lahan naik ke
atas. Lalu diusap-usapnya leher Pangku Jaladara den-
gan usapan lembut dan penuh rangsangan. Yang di-
usap semakin memuncak gairahnya.
Namun mendadak saja,
"Heeiigkggg!!"
Gerakan Pangku Jaladara kontan terhenti. Tu-
buhnya mengejut dengan kepala tersentak ke atas li-
dahnya mendadak menjulur keluar.
Dewi Berlian yang mendadak saja menghentikan
usapan tangannya pada punggung Pangku Jaladara,
semakin kuat mencengkeram leher lelaki itu. Sesaat
Pangku Jaladara masih berusaha untuk membebaskan
diri. Tetapi di lain saat terdengar suara cukup keras,
"Kraaakk!!"
Leher lelaki yang dibutakan oleh gairahnya telah
patah. Dengan gerakan jijik Dewi Berlian mendorong
tubuh itu lalu ambruk menjadi mayat di atas tanah.
"Cihhh! Itulah upah dari bantuanmu, Pangku Ja-
ladara!" desis perempuan mesum ini sambil berdiri. La-lu dipunguti pakaiannya
dan dikenakannya kembali.
Dipandanginya lagi mayat Pangku Jaladara yang
dalam keadaan polos. Cukup lama perempuan mesum
ini melakukan tindakan itu sebelum kemudian terlihat
bibirnya tersenyum.
"Bukan main! Kau memang sangat cerdik, Dewi
Berlian! Sangat cerdik!" desisnya pada dirinya sendiri.
Di saat lain, dengan sedikit susah payah, Dewi
Berlian memakaikan pakaian Pangku Jaladara, yang
sebelumnya dalam keadaan polos kini telah berpa-
kaian lengkap kembali.
Lagi Dewi Berlian berdiri tegak dengan tatapan
tetap mengarah pada Pangku Jaladara.
"Hemm... aku memang memiliki kecerdikan dan
kelicikan yang luar biasa. Tak kusangka kalau aku
menemukan cara yang tepat dari kebimbangan yang
sebelumnya melandaku. Akan kukabarkan ke penjuru
jagat ini, kalau Raja Naga telah membunuh.... Pangku
Jaladara... Ini menyenangkan, sangat menyenangkan!"
Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-
ran berlian ini tertawa keras, hingga dedaunan bergu-
guran. Masih tertawa, dia segera meninggalkan mayat
Pangku Jaladara untuk segera menjalankan rencana
yang baru saja dipikirkannya.
TUJUH TAWA Dewi Berlian yang keras itu memancing
perhatian dua sosok tubuh berlainan jenis yang se-
dang berlari tak jauh dari sana. Sejenak masing-
masing orang menghentikan langkahnya dan berpan-
dangan. "Kakang Lesmana! Sejak tadi kita memasuki hu-
tan ini, tak seorang pun yang kita jumpai! Dan nam-
paknya, kita akan menjumpai seseorang," terdengar kata-kata itu dari gadis
berkuncir dua yang memiliki
paras manis. Pemuda yang berdiri di samping kirinya men-
ganggukkan kepala.
"Kau betul! Dari tawa yang diperdengarkannya,
nampaknya orang itu sedang gembira! Ratih, ada
baiknya bila kita segera menemui orang itu!"
Dua saudara seperguruan itu pun segera mencari
sumber tawa yang mereka dengar. Sebelumnya, Ratih
dan Lesmana mempunyai urusan yang membuat mas-
ing-masing orang harus berulangkali bertarung. Ini
disebabkan karena Ratih tidak bisa menerima tinda-
kan Lesmana yang membiarkan guru mereka tewas di
tangan Resi Kala Jinjit. Lesmana sendiri berulangkali pula menjelaskan semua
itu. Dan berkat bantuan Raja
Naga, kedua saudara seperguruan itu telah berdamai
(Baca : "Misteri Laba-laba Perak" dan "Pengadilan Rimba Persilatan").
"Ratih! Lihat!" seru Lesmana tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya. Tangannya
menunjuk pada mayat Pangku Jaladara.
"Kakang... kalau tidak salah, bukankah dia calon ketua dari Perguruan Laba-laba
Perak?" Pemuda berpakaian berwarna merah dengan ga-
ris hitam yang bersilangan di depan dada, mengang-
guk. "Ya! Aku juga tahu siapa orang ini."
Ratih berlutut, memeriksa mayat Pangku Jalada-
ra. "Lehernya patah! Siapakah kira-kira orang yang telah membunuhnya?"
Lesmana tak menjawab. Pemuda yang di kening-
nya melingkar kain warna merah ini justru mencubit-
cubit bibir bagian bawah. Otaknya berpikir.
"Sejak kita memasuki hutan ini, kita tidak men-
jumpai seseorang. Dan tiba-tiba ada tawa yang meng-
gema keras. Tawa yang menunjukkan kalau orang itu
sedang senang. Ratih... jangan-jangan, perempuan
yang tertawa itulah yang telah membunuhnya,"
"Kalau begitu, tentunya perempuan itu dan
Pangku Jaladara telah berada di sini dan terlibat satu pertarungan. Tetapi
mengapa kita tidak mendengar
tanda-tanda adanya sebuah pertarungan?"
Pertanyaan Ratih tak segera dijawab oleh Lesma-
na. Setelah beberapa saat terdiam, Lesmana berkata,
"Mungkin Pangku Jaladara dijebak atau diserang secara tiba-tiba."
"Pangku Jaladara bukannya orang yang memiliki
ilmu sejengkal. Diserang secara tiba-tiba pun masih
memungkinkan baginya untuk mematahkan seran-
gan." "Aku tidak mempunyai alasan lain."
Ratih perlahan-lahan berdiri.
"Kakang... urusan yang sedang kita hadapi ini belum mendapatkan titik temunya.
Kita belum juga me-
nemukan Datuk Bunaeng untuk mendapatkan kejela-
san dari semua ini. Apa yang harus kita lakukan, Ka-
kang?" Lesmana menatap adik seperguruannya yang
berwajah manis itu.
"Raja Naga berpesan padaku, agar aku membawa
Ratih menjauh dari urusan ini. Tetapi sekarang, kea-
daannya sudah berlainan. Semakin sulit. Apakah tidak
sebaiknya...."
"Aku masih tetap berkeinginan untuk mencari
Datuk Bunaeng. Satu pikiran yang melintas di benak-
ku sekarang, jangan-jangan perempuan yang kemung-
kinan besar telah membunuh Pangku Jaladara, adalah
dalang dari semua urusan ini."
Lesmana sedikit terkejut mendengar kata-kata
Ratih. Dipandanginya gadis yang di punggungnya ter-
dapat sepasang pedang bersilangan itu.
"Kita belum tahu siapa adanya perempuan itu.
Saat ini aku masih yakin kalau Datuk Bunaeng adalah
otak dari semua kekacauan. Tetapi apa yang kau kata-
kan tidak mustahil bisa terjadi."
Sepasang mata Ratih bersinar cerah.
Kakang! Aku punya satu gagasan!"
"Katakan...."
"Mungkin saat ini, yang mengetahui kematian
Pangku Jaladara hanya kita dan tentunya si pembu-
nuh. Bila memang si pembunuh adalah biang dari se-
gala kekacauan, tak mustahil dia akan terus memfit-


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nah Raja Naga. Ini berarti, si pembunuh mempunyai
dendam pada Raja Naga."
"Maksudmu, si pembunuh akan mengatakan Ra-
ja Naga yang telah membunuh Pangku Jaladara?"
"Tepat Kakang! Kalau tujuan kita sebelumnya
adalah mencari Datuk Bunaeng, sekarang kita harus
mencari Raja Naga! Ayo, Kakang! Waktu kita sangat
sempit! Dan kita sama-sama mendengar kalau tak la-
ma lagi akan ada bencana di Lembah Lingkar!"
Lesmana mengangguk pelan. Sulit baginya untuk
menolak permintaan Ratih. Mereka memang telah
mendengar seseorang mengabarkan akan terjadi ben-
cana di Lembah Lingkar.
Kemudian katanya, "Ratih... kau masih memba-
wa Bunga Kemuning Biru yang diberikan Guru?"
"Ya!"
"Berikan padaku!"
Di lain saat, Lesmana mulai sibuk dengan Bunga
Kemuning Biru yang diberikan Ratih, sementara gadis
itu hanya memperhatikan saja. Tak lama kemudian,
terlihat Ratih mengangguk-anggukkan kepala, menger-
ti apa yang dilakukan oleh kakak seperguruannya.
Lalu keduanya segera meninggalkan tempat itu.
*** Menjelang senja, Raja Naga menghentikan lang-
kahnya di jalan setapak. Matanya memandang sosok
tubuh di hadapannya, yang membuatnya menghenti-
kan langkahnya.
"Hemm... dari pakaian putihnya yang compang-
camping, orang yang berdiri itu tentunya seorang ka-
kek. Jelas dari tubuhnya yang keriput. Kumisnya pu-
tih melintang. Dan astaga! Janggutnya, hampir me-
nyentuh tanah!"
Kakek yang menundukkan kepalanya itu mende-
sis tanpa mengangkat kepalanya, "Aku belum pernah melihat orang yang kucari.
Tetapi naluriku mengatakan kalau engkaulah orang yang kucari."
Kepala murid Dewa Naga itu menegak. Matanya
yang angker semakin bersorot angker.
"Aku harus waspada. Bisa jadi kakek yang belum
kulihat wajahnya ini termasuk salah seorang seperti
Kala Sringgil dan Jala Sringgil maupun lelaki berkaki satu itu."
Si kakek kembali bicara, "Kau tak buka mulut.
Aku percaya, kalau saat ini kau sedang meningkatkan
kewaspadaanmu terhadapku. Waspada sudah tentu ti-
dak dilarang."
"Suaranya lembut, tidak mengandung tekanan
kemarahan seperti yang dilakukan beberapa orang
yang menyerangku. Rimba persilatan telah menurun-
kan pengadilannya terhadapku. Secepatnya aku harus
mendapatkan bukti-bukti kalau aku tidak bersalah,"
kata Raja Naga dalam hati. Lalu berkata dengan te-
nang, "Orang tua... aku tidak tahu siapa orang yang sedang kau cari. Tetapi
melihat keyakinanmu tadi, aku merasa kalau akulah orang yang sedang kau cari."
"Tidak salah."
"Lantas, ada urusan apa sebenarnya?"
Tetap menundukkan kepalanya, si kakek berka-
ta, "Aku muncul hanya untuk membuktikan apa yang kupercayai. Kala Sringgil, Jala
Sringgil dan Pendekar Kaki Satu, begitu yakin kalau kau bersalah, Raja Naga.
Tetapi aku tidak."
Kali ini kening Boma Paksi berkerut, pertanda dia
sedang berpikir. Cukup lama dipandanginya si kakek
sebelum berkata, "Orang tua... apakah... apakah kau orang yang berjuluk Musang
Berjanggut?"
Masih menundukkan kepala, si kakek mengang-
guk. "Kau tidak salah. Akulah orang yang berjuluk Musang Berjanggut."
Seketika Raja Naga teringat perkataan Langlang
Benua. "Hemm... menurut Langlang Benua, orang berju-
luk Musang Berjanggut memiliki sifat angin-anginan
yang sulit ditebak. Dia bisa berubah menjadi kejam,
dan bisa berubah sesuci malaikat. Aku harus mencari
keberuntunganku."
Habis membatin demikian, pemuda berompi un-
gu ini berkata, "Tadi kau mengatakan, hendak mem-
buktikan apa yang kau percayai. Aku bisa meraba apa
yang sebenarnya menjadi sasaranmu. Orang tua, tan-
pa mengurangi rasa hormatku kepadamu, apakah kau
hendak membuktikan kalau aku telah mencuri Kalung
Laba-laba Perak?"
Musang Berjanggut mengangguk, Janggut pan-
jangnya sesaat menyentuh tanah, lalu menggantung
lagi. Anehnya, tak sehelai janggut pun yang bergetar.
Padahal saat itu angin sedang berhembus cukup
kencang! "Sulit bagiku untuk menjelaskan apakah aku
bersalah atau tidak! Karena di satu pihak, hal itu sudah tidak bisa kupakai
untuk memperjelas keadaan!
Orang tua... aku hanya bisa mengatakan kalau aku ti-
dak bersalah."
"Ceritakan pangkal kejadiannya...."
Sebelum menceritakan apa yang dialami sebe-
lumnya, pemuda berompi ungu itu memandangi si ka-
kek dengan seksama (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").
Kembali Musang Berjanggut mengangguk-
angguk. "Betul kau tidak melakukannya?"
"Ya!"
"Kau punya dugaan siapa yang melakukannya?"
Raja Naga terdiam dulu sebelum mengangguk
dan berkata, "Dugaan itu kupunyai. Tetapi, aku khawatir kalau akhirnya akan
menjadi sebuah fitnah."
"Sebutkan satu nama."
"Dewi Berlian...."
Musang Berjanggut terdiam. Kepalanya tetap
menunduk hingga sukar bagi Raja Naga untuk melihat
rupa orang tua itu.
"Dewi Berlian...," ulangnya kemudian. "Tak perlu kutanyakan alasan apa hingga
kau menyebutkan julukan itu. Anak muda... aku hanya memberimu satu ja-
lan untuk menyelesaikan urusan ini."
"Orang tua... jadi kau mempercayai kalau aku ti-
dak bersalah?" tanya Raja Naga sambil menahan napas. "Aku tidak berkata
demikian. Tetapi naluriku mengatakan demikian."
"Itu sudah cukup bagiku. Ternyata masih ada ju-
ga yang mempercayaiku."
"Anak muda... jalan yang hendak kuberikan, se-
baiknya kau menuju ke Lembah Lingkar. Tetapi meli-
hat arah yang sedang kau tempuh, saat ini kau ten-
tunya sedang menuju ke sana. Lembah Lingkar akan
menjadi saksi dari kebenaran apa yang selama ini kau
inginkan."
Raja Naga tak menjawab. Dia terus berusaha un-
tuk melihat wajah si kakek. Tetapi tetap tak berhasil.
Si kakek berkata lagi, "Menurut bayanganku, kau
tentunya telah berjumpa dengan orang tua yang gila
berlanglang buana. Tentunya kau sudah mendengar
dari mulutnya siapa aku. Dan aku percaya kau meya-
kini ucapannya."
Raja Naga diam-diam mendesis dalam hati, "Luar
biasa! Sungguh luar biasa! Bagaimana caranya dia
mengetahui kalau aku sudah berjumpa dengan kakek
berjuluk Langlang Benua?"
Belum tuntas kekagetan Raja Naga, Musang Ber-
janggut sudah berkata lagi, "Kau tak perlu tahu bagaimana cara aku tahu tentang
pertemuanmu dengan
Langlang Benua. Tetapi yang pasti, aku memang hen-
dak menjumpainya."
Raja Naga berkata, "Orang tua, bila kau tidak
berkeberatan, dapatkah aku mengetahui mengapa kau
hendak menjumpai. kakek Langlang Benua?"
Tanpa mengangkat wajahnya, Musang Berjanggut
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anak muda... aku tahu siapa kau sebenarnya.
Kau adalah putra dari mendiang Pendekar Lontar dan
Dewi Lontar. Aku merasa pasti kalau kau memiliki se-
buah benda sakti yang dimiliki oleh mendiang ayahmu.
Apakah aku salah?"
Raja Naga menggeleng.
"Kau tidak salah, Orang Tua. Benda sakti yang
kau maksudkan tentunya adalah Gumpalan Daun
Lontar, bukan?"
"Betul! Benda yang berpuluh tahun lamanya
menjadi rebutan dari orang-orang serakah."
"Dengan kau bicara seperti itu, apakah akan ter-
jadi sesuatu yang cukup mengerikan?" tanya Raja Na-ga sambil memperhatikan
dengan seksama.
"Bukan hanya cukup mengerikan. Tetapi sangat
mengerikan."
Kepala Raja Naga menegak. "Orang tua... da-
patkah kau memberitahukannya kepadaku?"
Musang Berjanggut menggeleng. "Urusanmu be-
lum selesai. Untuk saat ini rasanya belum tepat untuk mengatakannya. Tetapi kau
boleh mengetahui sedikit
saja." "Aku menunggu."
"Pernah kau mendengar sebuah benda yang di-
namakan Bunga Kemuning Biru?"
Dengan kening berkerut Raja Naga menggeleng.
Musang Berjanggut berkata lagi, "Menurut bayangan-ku, benda aneh itu akan
menjadi pangkal dari urusan
yang harus kau hadapi. Mungkin juga, nyawamu akan
putus dalam urusan ini."
Mulut Raja Naga terbuka, tetapi tak ada suara
yang keluar. Musang Berjanggut meneruskan ucapannya,
"Kau harus bisa menuntaskan semua itu bila tak ingin kekacauan akan timbul. Kau
akan menghadapi urusan
dengan orang mati."
"Aku belum dapat memahami apa yang kau mak-
sudkan itu, Orang Tua..."
"Urusanmu belum selesai. Sekarang, teruskan
langkahmu menuju Lembah Lingkar. Bila kau berjum-
pa dengan Langlang Benua, katakan padanya, aku
menunggu di Bukit Tidar."
Habis ucapannya, kakek berpakaian putih com-
pang-camping itu membalikkan tubuhnya. Sambil te-
tap menundukkan kepalanya, dia melangkah mening-
galkan Raja Naga yang terbengong.
Setelah Musang Berjanggut hilang dari pandan-
gan, barulah Raja Naga menarik napas pendek.
"Satu urusan belum rampung, sudah terbayang
lagi urusan yang harus kuhadapi. Ah, keadaan seperti
ini terkadang membuatku bertanya-tanya... sampai
kapan petaka di dunia ini baru berakhir?"
Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di-
penuhi sisik coklat ini kembali terdiam. Matanya yang bersorot angker memandang
tak berkedip ke kejauhan.
Lalu ditarik napas dalam-dalam, kemudian di-
hembuskan perlahan-lahan.
"Sedikit banyaknya aku telah mendapat keberun-
tungan. Paling tidak, apa yang dikatakan Langlang Be-
nua tentang Musang Berjanggut tidak lagi membuatku
tegang. Hemmm... apa yang dikatakan Musang Ber-
janggut tadi memang benar. Urusan yang kuhadapi
sekarang, belum tuntas. Sebaiknya kutuntaskan dulu
urusan ini baru kemudian memikirkan apa yang dika-
takannya."
Memutuskan demikian, pemuda gagah berambut
dikuncir ini segera melangkah meninggalkan tempat
itu, ke arah yang berlainan dengan yang ditempuh
Musang Berjanggut.
DELAPAN TEPAT matahari tenggelam ditelan malam, Ratu
Tongkat Ular menghentikan langkahnya di jalan seta-
pak. Sekelilingnya sepi menyengat. Masih beruntung
karena di tempatnya hanya beberapa pohon saja yang
tumbuh, hingga rembulan masih dapat menyinari
tempat itu. Perempuan tua Ini mendadak mengertakkan ra-
hangnya. "Hah! Sejak melihat kemunculannya di halaman
Perguruan Laba-laba Perak, aku sudah tidak memper-
cayai Dewi Berlian! Entah setan mana yang merasuki
otak Bunaeng hingga dia mempercayai perempuan me-
sum itu!" Si nenek memperhatikan sekelilingnya. Mulut ke-
riputnya berkemak-kemik tanpa ada suara yang keluar
Tak lama kemudian, dia mendesis lagi, lebih ge-
ram, "Aku merasa pasti kalau Dewi Berlian hendak melakukan satu tindakan busuk
dan memanfaatkan
ketololan Bunaeng! Terkutuk! Sungguh terkutuk!!"
Dihujamkan tongkatnya ke tanah yang seketika
amblas hingga setengah. Bersamaan ditarik keluar
hingga tanah berhamburan, Ratu Tongkat Ular meng-
geram lagi, "Seingatku, Ratu Sejuta Setan adalah saudara Dewi Berlian. Dan
perempuan kontet berkulit hi-
tam itu kabarnya telah mampus di tangan Raja Naga!
Huh! Bisa jadi kalau Dewi Berlian hendak membalas
kematian saudaranya pada Raja Naga dan meman-
faatkan kesempatan dengan melakukan adu domba!
Keparat terkutuk!!"
Selagi si nenek memaki-maki sendiri, tanpa se-
pengetahuannya sepasang mata indah namun bersorot
tajam, memperhatikannya dengan dada digolak ama-
rah. "Setan alas! Perempuan tua itu bisa membuat urusanku berantakan! Dari
ucapannya, jelas kalau dia
mulai meraba apa yang sebenarnya hendak kulaku-
kan! Se-baiknya, kubereskan saja perempuan tua ini!"
Pemilik mata indah itu mengepalkan tangan ka-
nannya dan bersiap mengirimkan pukulan jarak jauh.
Tetapi kontan dihentikannya tatkala melihat satu so-
sok tubuh bergerak ke arah Ratu Tongkat Ular.


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendekar Kaki Satu...," desisnya.
Ratu Tongkat Ular juga melihat siapa orang yang
mendekat ke arahnya untuk kemudian menghentikan
langkahnya sejarak sepuluh langkah dari hadapannya.
Seketika Ratu Tongkat Ular mendengus.
"Huh! Mau apa kau menghentikan langkahmu di
sini, hah"!"
Pendekar Kaki Satu memandang tak berkedip.
Lalu berseru tak kalah kerasnya, "Bila kau bertanya mengapa aku menghentikan
langkahku di sini, aku ju-ga hendak bertanya ada urusan apa kau berada di si-
ni!" Ratu Tongkat Ular yang sedang geram terhadap Dewi Berlian, seketika memerah
wajahnya. "Setan! Ditanya balik tanya! Cepat jawab sebelum kepalamu pecah akibat
tongkatku!"
Pendekar Kaki Satu merapatkan mulutnya. Lalu
mendesis dingin, "Saat ini perasaanku sedang tidak enak! Jadi jangan banyak ulah
di hadapanku!"
"Keparat buntung! Kau pikir kau saja yang se-
dang tidak enak, hah"!" bentak Ratu Tongkat Ular keras. Tiba-tiba saja dia
menyeringai, "Perasaanmu sedang tidak enak, begitu pula denganku. Bagaimana bi-
la kita membuatnya menjadi enak"!"
"Apa maksudmu"!"
"Kita bertarung sampai salah seorang di antara
kita mampus!!"
Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Sambil
memperhatikan perempuan tua di hadapannya dia
berkata dalam hati, "Aku harus segera tiba di Lembah Lingkar seperti apa yang
dikatakan Musang Berjanggut. Bila kuterima apa maunya, berarti akan banyak
membuang waktuku. Sebaiknya, aku mengalah saja."
Memutuskan demikian, lelaki yang kaki kanan-
nya buntung ini berkata, "Ratu Tongkat Ular, kita tentunya sama-sama punya
urusan yang harus diselesai-
kan! Bila urusan telah selesai, aku berjanji akan menerima tantanganmu!"
"Secara tidak langsung, kau sudah mengemuka-
kan kekalahanmu!"
Kata-kata itu membuat wajah Pendekar Kaki Sa-
tu memerah. Tetapi ditindih amarahnya.
Di pihak lain, pemilik mata indah yang memper-
hatikan dari balik ranggasan. semak belukar, tiba-tiba tersenyum tatkala
melintas satu pikiran di benaknya.
"Hemmm... kehadiran Pendekar Kaki Satu sung-
guh tepat. Aku tak perlu mempergunakan tanganku
untuk membunuh Ratu Tongkat Ular. Kalaupun gagal
membunuhnya sekarang, paling tidak, aku dapat men-
gubah apa yang sebelumnya dipikirkan."
Habis kata-katanya, pemilik mata indah namun
tajam itu mendadak saja melesat dari balik ranggasan
semak. Tangan kanan kirinya kontan digerakkan ke
arah Pendekar Kaki Satu seraya berseru, "Manusia celaka! Kau harus mampus karena
telah mengadu dom-
ba orang-orang rimba persilatan!!"
Bukan hanya Pendekar Kaki Satu yang terkejut
karena mendadak diserang, Ratu Tongkat Ular pun
membalikkan tubuhnya. Dilihatnya perempuan mon-
tok berpakaian hijau yang dipenuhi butiran berlian itu menyerang Pendekar Kaki
Satu! Dua gelombang angin berwarna hijau mengge-
brak mengerikan. Walaupun terkejut, Pendekar Kaki
Satu cukup menggeser kaki kanannya ke samping kiri.
Wuuuss! Wuusss!
Gelombang angin itu melesat beberapa jengkal
dan menghantam ranggasan semak belukar, hingga
hancur betebaran. Menyusul serangannya yang luput,
orang yang sejak tadi bersembunyi di balik ranggasan
semak dan ternyata Dewi Berlian adanya, membalik-
kan tubuhnya dengan cepat.
Jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar, kemudian
diputar ke atas dengan cara disentak.
Kontan meluncur lima sinar hijau yang melesat
dari jari jemarinya, laksana membentuk lingkaran je-
ruji. Yang mengejutkan, karena sinar-sinar itu tiba-
tiba me-lebar dan menebarkan hawa panas luar biasa.
Pendekar Kaki Satu tersentak. Namun di lain
saat, tangan kanannya sudah menggerakkan tongkat
penyanggah tubuhnya ke tanah.
Wrrrusss!! Bersamaan tanah yang muncrat, tubuh Pendekar
Kaki Satu melompat ke samping kanan. Lima sinar hi-
jau yang melebar menyambar ranggasan semak yang
seketika mengering!
Sementara itu, perempuan mesum berpayudara
besar sudah hinggap di atas tanah. Paras jelitanya
menyeramkan dengan sorot mata yang mengandung
kemarahan. Di pihak lain, Pendekar Kaki Satu juga sudah
berdiri tegak. Diperhatikannya perempuan di hada-
pannya. Darahnya seketika mendidih karena amarah.
Akan tetapi, sebelum dilontarkan bentakannya, Dewi
Berlian yang telah menyusun sebuah rencana sudah
berseru lebih dulu,
"Manusia buntung celaka! Rupanya kaulah orang
yang berada di balik kekacauan rimba persilatan! Kau
telah mencuri kalung Laba-laba Perak, lalu menimpa-
kan pada Raja Naga, sementara Raja Naga menuduh
Datuk Bunaeng yang melakukannya! Sungguh terku-
tuk tindakanmu, Pendekar Kaki Satu!"
Pendekar Kaki Satu mendengus.
"Kau muncul secara tiba-tiba! Dan tiba-tiba pula mulutmu lancang berbunyi! Dewi
Berlian! Bila kedua
tanganmu sudah gatal, aku siap melayanimu!"
"Manusia keparat! Tindakanmu yang telah men-
gacaukan rimba persilatan tak bisa dimaafkan! Sebe-
lum orang-orang rimba persilatan mengadilimu, biar
aku yang menghukummu sekarang!!"
Habis bentakannya Dewi Berlian menerjang ke
depan. Saat menerjang itu pakaiannya yang terbelah
tersingkap, memperlihatkan sesuatu yang menggu-
nung dilapisi kain warna merah muda. Serangan per-
tama yang dilancarkan Dewi Berlian begitu ganas dan
mengerikan. Tetapi pada jurus berikutnya, dia sengaja mengendorkan serangannya.
Pendekar Kaki Satu mengerutkan keningnya me-
lihat perubahan serangan yang dilancarkan Dewi Ber-
lian. "Aneh! Mengapa mendadak dia mengendorkan
serangannya dan seperti mengalah" Bahkan... ah, ka-
lau aku mau nampaknya dia membiarkan seranganku
masuk! Aneh! Apa yang diinginkannya?"
Karena merasa heran, Pendekar Kaki Satu pun
mengendorkan serangannya. Dia masih bertanya-tanya
mengapa Dewi Berlian mengendorkan serangannya.
Tatkala didengarnya seruan Dewi Berlian, baru-
lah lelaki yang kaki kanannya buntung ini mengerti.
"Ratu Tongkat Ular! Apakah kau tidak mau
menghukum manusia keparat yang telah memfitnah
Datuk Bunaeng"!"
Ratu Tongkat Ular yang sejak tadi berpikir, tiba-
tiba mendengus. Kejap lain, dia sudah menerjang ke
arah Pendekar Kaki Satu.
"Bagus! Berarti urusanku yang satu ini telah tuntas!" desis Dewi Berlian dalam
hati seraya mundur perlahan-lahan.
Diperhatikannya bagaimana Ratu Tongkat Ular
yang telah termakan siasat Dewi Berlian, menggempur
habis-habisan Pendekar Kaki Satu.
Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-
ran berlian itu menyeringai.
"Hemmm... siasat yang bagus! Ratu Tongkat Ular
nampaknya telah termakan siasatku! Bagus! Berarti,
aku memang tak perlu harus repot turun tangan! Biar
keduanya saling bunuh!"
Perempuan berotak licik itu sesaat memperhati-
kan pertarungan yang terjadi, sebelum kemudian me-
ninggalkan tempat itu.
Di lain pihak, Ratu Tongkat Ular semakin ganas
menyerang Pendekar Kaki Satu. Pendekar Kaki Satu
tentu tak mau mati konyol. Diladeninya serangan ga-
nas si nenek. Tetapi mengingat dia harus ke Lembah
Lingkar, Pendekar Kaki Satu memutuskan untuk
menghindari pertarungan.
"Keparat! Kau tak akan lepas dari tanganku!"
bentak Ratu Tongkat Ular seraya mengibaskan tong-
katnya. Blaar!! Pendekar Kaki Satu dapat menghindari serangan
itu. Saat itu pula diputuskan untuk tidak mendatangi
Lembah Lingkar.
Pendekar Kaki Satu terus menjauh. Di belakang-
nya Ratu Tongkat Ular terus mengejar.
*** Lembah Lingkar tetap sepi dan mencekam. Apa-
lagi malam ini begitu gelap. Rembulan harus bersusah
payah menerobos gumpalan awan hitam. Tak seekor
hewan malam yang muncul di tempat yang landai itu.
Angin barat laut berhembus dingin, menggeraikan
rambut Datuk Bunaeng yang berdiri kaku.
Di sampingnya, Resi Hitam tak berucap apa-apa.
Sorot mata kakek berkulit hitam legam ini penuh ama-
rah dan dendam.
Keheningan itu dipecahkan oleh suaranya, "Bu-
naeng! Rasanya tak mungkin Raja Naga akan kembali
ke tempat ini! Orang yang telah meniupkan kabar yang
belum lama kita dengar kalau dia akan kembali ke
Lembah Lingkar, rasanya mencoba mengambil keun-
tungan...."
Kakek beralis menyatu itu melirik.
"Atau... dia berharap kita tetap berada di sin!?"
"Bisa jadi!"
"Kalau bukan Raja Naga yang menghembuskan
berita itu, siapa kira-kira orangnya?"
Paras hitam kakek bertubuh bongkok itu sema-
kin menghitam. Kedua tangannya yang kurus mengep-
al kuat-kuat. Menyusul rahangnya dikertakkan keras-
keras, hingga suaranya begitu nyaring di malam yang
sepi. "Kuat dugaanku kalau orang celaka itu adalah Langlang Benua!"
"Bila memang dia orangnya, bukankah itu se-
buah kesempatan untuk membunuhnya?"
"Kesempatan atau tidak, aku akan tetap membu-
nuhnya! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga be-
rani menyelamatkan Raja Naga dan mau tak mau
membuatku harus menginjak tempat keparat ini lagi"!"
Kali ini Datuk Bunaeng memutar tubuh, meman-
dangi kakek bongkok berkulit hitam legam yang se-
dang menggeram.
"Aku tak tahu siapa orang yang meniupkan kabar
kalau Raja Naga akan muncul kembali di Lembah
Lingkar. Tapi siapa pun orang itu, sudah sepatutnya
kuacungkan jempol hingga aku tak perlu bersusah
payah untuk menangkap sekaligus membunuh Raja
Naga!" katanya dalam hati, lalu menyambung, "Apa yang sedang dilakukan Ratu
Tongkat Ular sekarang"
Apakah dia telah bertemu dengan Dewi Berlian" Huh!
Aku mulai merasa pasti kalau Dewi Berlian memiliki
maksud tertentu."
Mendadak terdengar suara Resi Hitam, "Aku,
menangkap gerakan mendekat ke arah sini. Tetapi je-
las bukan Langlang Benua...."
Datuk Bunaeng sendiri segera menajamkan pen-
dengarannya. Didengarnya juga gerakan orang yang
berlari ke arah mereka.
"Gerakan yang cukup ramai itu, menandakan ka-
lau orang yang datang berjumlah dua orang. Apakah
Dewa Jubah Putih dengan Dewi Pengunyah Sirih?"
Sementara itu Resi Hitam mendengus,
Huh! Hanya dua orang keroco!"
Datuk Bunaeng sejenak melirik, lalu mengarah-
kan lagi pandangannya pada jalan setapak yang mem-
bujur di hadapannya. Tak lama kemudian muncul dua
sosok tubuh mengenakan pakaian putih yang terbuka
di bahu sebelah kiri. Kedua orang itu segera menghen-
tikan lari mereka begitu melihat Datuk Bunaeng dan
Resi Hitam. Datuk Bunaeng seketika mendengus.
"Huh! Resi Hitam! Kau bilang kedua ini bangsa
keroco"! Gila! Mereka adalah tikus-tikus got yang kela-paran!!"
Kedua orang yang berkepala gundul itu tak ada
yang membuka mulut. Kala Sringgil berbisik, "Jala
Sringgil... tak kusangka kalau Datuk Bunaeng dan Re-
si Hitam berada di sini. Rupanya apa yang dikatakan
Musang Berjanggut memang benar. Bencana akan se-
gera terjadi di Lembah Lingkar."
Jala Sringgil tak menjawab. Justru memperhati-
kan kedua orang di hadapannya bergantian. Kemudian
bisiknya, "Aku menangkap sesuatu yang tidak enak."
"Aku pun menangkap gelagat itu."
"Tetapi kita sudah berada di Lembah Lingkar.
Mustahil kita keluar lagi dari tempat ini."
Kata-kata Jala Sringgil menandakan kalau kedu-
anya bertekad untuk tetap berada di sana. Masing-
masing orang tetap berkeyakinan kalau Raja Naga
yang harus mereka bekuk.
Datuk Bunaeng menggeram keras. "Muncul seca-
ra tiba-tiba dan tak diundang. Tak menunjukkan sikap
yang baik pula! Manusia-manusia berkepala gundul!
Tinggalkan tempat ini sekarang juga sebelum aku be-
rubah pikiran!"
Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil tak ang-
kat bicara. Mereka tahu siapa adanya Datuk Bunaeng.
Terlebih lagi kakek berkulit hitam legam itu.
Namun begitu melihat Datuk Bunaeng hendak
membentak lagi, Kala Sringgil segera berkata, "Mungkin kita punya tujuan yang
sama datang ke Lembah
Lingkar! Tetapi bisa juga dengan tujuan yang berlai-


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nan. Namun satu hal yang pasti, kita sama-sama tak
punya silang urusan!"
"Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini sekarang juga!" geram Datuk
Bunaeng. Tangan kanan-
nya mengepal. Kala Sringgil melirik saudaranya. Yang dilirik tak
mengangguk maupun menggeleng. Bersuara pun ti-
dak. Mendapati sikap keduanya, Datuk Bunaeng tiba-
tiba mengangkat tangan kanannya. Namun sebelum
satu serangan dilepaskan, mendadak terdengar suara,
"Mengapa selalu saja ada petaka yang diturunkan
oleh manusia kejam"! Apakah tidak sebaiknya berda-
mai untuk menyelesaikan urusan!"
Sementara Datuk Bunaeng segera memutar tu-
buhnya untuk mengetahui siapa adanya orang, kepala
Resi Hitam menegak. Menyusul suaranya yang sangat
keras, "Langlang Benua!!"
"Resi Hitam," suara itu terdengar lagi sementara sosok orang yang bersuara itu
belum kelihatan. "Kau juga muncul di tempat ini untuk urusan sepele! Apakah
tidak sebaiknya kau segera meninggalkan tempat
ini"!" "Terkutuk!! Keluar kau! Kita selesaikan urusan yang belum tuntas!" suara
Resi Hitam menggelegar laksana guntur.
"Mengapa harus gusar"! Kita tak punya masalah
dalam urusan yang dihadapi Bunaeng. Kalaupun hen-
dak menuntaskan urusan yang kita punya, masih ba-
nyak waktu yang tersisa!"
Resi Hitam sudah tak dapat menguasai amarah-
nya lagi. Tahu siapa orang yang bicara itu, dia segera melompat ke depan. Tangan
kanan kirinya digerakkan
sembarangan. Gelombang angin mengerikan bertebaran, meng-
hantami apa saja. Kala Sringgil dan Jala Sringgil sege-ra menjauh karena tidak
ingin terkena sasaran. Se-
mentara itu, Datuk Bunaeng menggeser tubuhnya ke
samping kiri tatkala satu gelombang angin yang dile-
paskan Resi Hitam secara sembarangan, menggebrak
ke arahnya. Lembah Lingkar berguncang. Bebatuan bergugu-
ran di sebelah utara. Letupan demi letupan membaha-
na di malam buta. Dalam waktu yang singkat, rangga-
san semak di sana sudah terpapas habis, sementara
tanah berhamburan.
Namun Langlang Benua belum juga menampak-
kan batang hidungnya!
"Keluar kau, Bangsat! Keluar!!" geram Resi Hitam semakin sengit dan geram.
"Tak lama lagi aku akan muncul di tempat ini!"
"Setan terkutuk!" geram Resi Hitam dengan amarah menggelegak. Kembali dilepaskan
serangannya se-
cara sembarangan. Untuk kedua kalinya bahaya men-
gerikan terjadi di Lembah Lingkar.
"Kau benar-benar pemarah sekarang ini, Resi Hi-
tam! Ah, sungguh aku jadi tidak enak! Kau sudah ber-
susah payah mengeluarkan banyak tenaga, tetapi aku
tidak muncul! Hanya saja, sebentar lagi aku akan
muncul!!" Suara yang berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain itu semakin membuat Resi Hitam mur-
ka. Namun tiba-tiba dihentikan serangannya. Matanya
menatap tajam pada satu tempat. Di lain saat, terlihat seringaiannya.
"Kau akan mampus sekarang!!"
Belum habis terdengar ucapannya, kembali di-
lancarkan serangannya. Kali ini mengarah pada tanah
di sekitar sana, yang didahului letupan keras, berhamburan ke udara.
Dan suara yang terdengar itu semakin membuat-
nya murka, "Kau pikir aku menyamar menjadi tanah"
Tidak! Kau salah besar!"
"Setaaannn! Keluar kau!!" geram Resi Hitam dengan napas terengah-engah.
"Ya. ya! Nampaknya aku memang harus keluar!!"
terdengar seruan itu.
Bersamaan seruan itu terdengar, satu sosok tu-
buh berompi ungu melompat dengan cara berputar
empat kali sebelum kemudian hinggap di atas tanah!
Baru saja pemuda berompi ungu itu hinggap, satu so-
sok tubuh berkulit seperti warna tanah telah berdiri di samping kanannya.
*** SEMBILAN PEMUDA berompi ungu itu terkejut sesaat seraya
melirik. Mengenali siapa adanya orang dia segera ter-
senyum, "Orang tua... rupanya kau telah tiba di sini pula."
"Sebelum ku lanjutkan pelanglangbuanaanku,
aku masih ingin menyaksikan urusan ini."
"Aku telah berjumpa dengan Musang Berjang-
gut." Mendengar kata-kata Boma Paksi, Langlang Benua segera melirik.
"Apa yang telah terjadi?"
"Saat ini, aku tak punya banyak waktu untuk
bercerita. Tetapi dia menunggumu di Bukit Tidar."
"Musang Berjanggut menungguku di Bukit Tidar"
Tidak biasanya dia melakukan tindakan seperti ini.
Jangan-jangan ada urusan yang harus diselesaikan.
Brengsek! Berarti aku harus kembali menunda keingi-
nanku untuk terus berlanglang buana," kata kakek berpakaian seperti warna tanah
itu dalam hati.
Sementara itu terdengar suara secara bersamaan
dari mulut Kala Sringgil dan Jala Sringgil, "Raja Naga!!"
Pemuda yang kedua lengannya sebatas siku di-
penuhi sisik coklat itu menoleh, lalu tersenyum.
"Kalian rupanya tiba juga di sini. Mudah-
mudahan, kalian mendapatkan kebenaran yang kalian
cari..." Wajah Kala Sringgil memerah.
"Kebenaran yang kami cari akan kami dapatkan
setelah membunuhmu!!"
Raja Naga hanya tersenyum. Tak dipedulikannya
kemarahan yang terpancar dari mata kedua orang ber-
kepala plontos itu. Lalu diarahkan pandangannya pada
Datuk Bunaeng. "Apakah malam ini Dewi Berlian akan muncul la-
gi di Lembah Lingkar"!"
Sebelum Datuk Bunaeng menjawab, tiba-tiba
terdengar gemuruh angin lintang pukang ke arah Lan-
glang Benua. Resi Hitam sudah tak kuasa untuk tidak
segera menyerang orang yang dibencinya.
Langlang Benua hanya tersenyum seraya meng-
gerakkan kepalanya ke kill lalu dihentakkan ke depan.
Wrrrr!! Gelombang angin berputar setengah lingkaran
menggebrak hebat dan....
Blaaaarrr!!! Letupan keras yang membuat tanah berhambu-
ran ke udara terjadi.
Langlang Benua segera berbisik, "Aku yakin kau
mampu menghadapi urusan ini! Biar aku main kucing-
kucingan lebih dulu dengan Resi Hitam! Anak muda,
bila kau sempat, sebaiknya kau juga datang ke Bukit
Tidar!" Tanpa menunggu sahutan Raja Naga, Langlang
Benua sudah berseru pada Resi Hitam, "Lembah Lingkar terlalu kecil bagi kita
untuk bermain-main! Kita ca-ri tempat yang lebih luas!"
"Terkutuk! Ke neraka pun akan kulayani!!" maki Resi Hitam seraya mengejar
Langlang Benua yang sudah menjauh.
Sementara itu Datuk Bunaeng mendesis, "Tepat
seperti rencanaku. Langlang Benua telah menyingkir
dan akan mampus di tangan Resi Hitam. Sekarang...."
Memutus kata batinnya sendiri, kakek beralis
menyatu itu merandek dingin, "Kau menanyakan Dewi Berlian! Apakah untuk melihat
bukit kembarnya yang
luar biasa, atau ingin menjilati seluruh tubuhnya"!"
"Datuk Bunaeng... kita sama-sama orang yang te-
lah difitnah dan diadu domba oleh Dewi Berlian! Di-
alah yang seharusnya kita cari!"
"Ucapan kosong kau perdengarkan kepadaku!"
Raja Naga tersenyum. "Baiklah! Sekarang jawab
pertanyaan, apakah kau punya hubungan dengan Ra-
tu Sejuta Setan"!"
"Terkutuk! Siapa yang mengatakan aku punya
hubungan dengan nenek peot itu, hah"!"
"Hemmm... tepat dugaanku. Berarti Dewi Berlian-
lah yang punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan.
Habat! Sungguh hebat akal liciknya!" kata Raja Naga dalam hati, lalu berseru,
"Dewi Berlian yang mengatakannya kepadaku! Dikatakannya pula kalau kau hen-
dak membunuhku untuk membalas kematian Ratu Se-
juta Setan!"
"Terkutuk! Kau terlalu mengada-ngada!"
"Itulah yang harus dibuktikan kebenarannya!
Alasan itulah yang membuatku merasa yakin, kalau
Dewi Berlian berada di balik urusan ini! Datuk Bu-
naeng, sebelum beberapa hari lalu aku tiba di Lembah
Lingkar, aku juga bertemu dengannya! Dari mulutnya
aku tahu kalau kau menungguku di sini! Dikatakan-
nya kalau kau memfitnahku! Dia juga ingin membu-
nuhmu! Tetapi yang pasti, dia ingin membunuhku
dengan mempergunakan tanganmu! Terbukti, kalau
ternyata dia pun datang ke tempat ini beberapa hari la-lu! Padahal saat itu
dikatakannya, kalau dia hendak
menyelamatkan Pangku Jaladara yang ingin kau bu-
nuh!" Kata-kata pemuda bersorot mata angker itu
membuat kakek berambut dikelabang itu terdiam be-
berapa saat. Jubah hitamnya bergerai sesaat diper-
mainkan angin malam. Mendadak dari hidungnya yang
bengkok terdengar dengusan.
"Apa sebenarnya saat ini kau yang sedang men-
gadu domba antara aku dengan Dewi Berlian, hah"!"
"Aku tak bisa membuktikan kebenaran ucapanku
sebelum dia muncul!"
Di pihak lain Jala Sringgil berbisik, "Kala Sringgil, apakah ini kebenaran yang
dikatakan Musang Berjanggut" Terus terang, aku mulai goyah dengan pendi-
rianku yang menuduh pemuda yang matanya bersorot
mengerikan itu sekarang."
Kala Sringgil mengangguk. "Aku juga demikian.
Ketenangannya saat berkata-kata tadi sungguh luar
biasa. Menandakan kalau dia tidak sedang berbohong
dan memfitnah."
"Sebaiknya, kita tunggu kebenarannya. Jangan
sampai kita salah bertindak."
Di depan terdengar suara Datuk Bunaeng, "Apa
yang kau katakan memang harus dibuktikan! Selama
ini dendamku hanya pada Resi Kala Jinjit yang mam-
pus entah dibunuh siapa! Tetapi kau telah berani
memfitnahku! Itu artinya, kau telah masuk dalam daf-
tar kematian yang kumiliki!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tetap tenang men-
dengar bentakan Datuk Bunaeng.
"Siapa memfitnah siapa sekarang ini kurang je-
las! Ada baiknya kita memang menunggu kedatangan
Dewi Berlian! Atau... kau sudah menduga kalau dia ti-
dak datang"!"
Sebelum Datuk Bunaeng buka mulut, mendadak
saja satu sosok bayangan hijau melompat dan hinggap
di samping kiri Datuk Bunaeng.
"Aku telah datang, Pemuda celaka! Sungguh se-
suatu yang sangat luar biasa, kalau kau ternyata be-
rani memfitnahku!!"
Melihat kehadiran perempuan berpayudara besar
itu, Raja Naga sesaat menahan napas. Sorot matanya
lebih angker dari biasanya. Wajahnya dingin. Mulutnya terkatup rapat. Sisik-
sisik coklat pada kedua tangannya sebatas siku, semakin terang.
"Dewi Berlian kelicikanmu hampir saja membua-
tku terjemurus ke dalam lingkaran sesat. Tetapi
sayangnya, aku berhasil memikirkan sesuatu yang
mengejutkanmu!"
"Aku telah mendengar apa yang kau katakan pa-
da Datuk Bunaeng! Dan tak kusangka kalau kau se-
demikian piciknya! Kau telah memfitnah Datuk Bu-
naeng, lantas sekarang memfitnahku pula! Tapi... ada
hal yang sangat memberatkanmu! Mengapa kau mem-
bunuh Pangku Jaladara"!"
Bentakan terakhir Dewi Berlian membuat kepala
Raja Naga menegak. Sementara Datuk Bunaeng mem-
perhatikan perempuan itu dengan terkejut. Di pihak
lain, Jala Sringgil dan Kala Sringgil berpandangan. Kedua orang berkepala gundul
itu tak ada yang buka
mulut. Dewi Berlian yang kembali menjalankan rencana
barunya membentak keras, "Kau benar-benar keji, Ra-ja Naga! Kau telah
menggagalkan Pangku Jaladara se-
bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Kemudian
memfitnah Datuk Bunaeng, lantas memfitnahku pula!
Dan sekarang kau membunuh Pangku Jaladara!!"
Raja Naga yang sadar siapa perempuan di hada-
pannya ini tak segera menjawab. Dia berusaha tenang
dan menindih sedikit demi sedikit amarah yang bergo-
lak di dadanya.
"Apa-apaan perempuan itu menuduhku telah
membunuh Pangku Jaladara" Siapa yang membunuh-
nya" Herannya, berita itu belum terdengar, lantas dia sudah menuduhku membunuh
Pangku Jaladara. Jangan-jangan... dia sendiri yang melakukannya?"
Selagi Raja Naga membatin demikian, Dewi Ber-
lian berseru lagi, "Kau telah menggagalkan seluruh rencana yang telah kususun
bersama Datuk Bunaeng!
Kau telah menghinaku! Dan itu berarti menghina Da-
tuk Bunaeng pula! Kau memang harus mampus!!"
Belum habis seruannya, perempuan bermahkota
indah itu sudah menerjang Raja Naga dengan ganas.
Dewi Berlian berharap dengan tindakannya itu dapat
memancing amarah Datuk Bunaeng pada Raja Naga.
Raja Naga sendiri mau tak mau harus mengha-
dapi setiap serangan yang dilancarkan Dewi Berlian.
"Bagus! Kau berani melawan itu artinya kau tidak bertanggung jawab!!" bentak
Dewi Berlian keras. Dan menyerang lagi, lebih ganas.
Namun mendadak saja terdengar bentakan keras,


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahan serangan mu, Dewi Berlian!!"
Seketika Dewi Berlian melompat ke belakang, se-
telah berputar tiga kali di udara dia hinggap di atas tanah. Tanpa mengalihkan
pandangan sengitnya pada
Raja Naga, dia berkata, "Mengapa kau menahanku,
Datuk" Pemuda celaka itu telah menggagalkan seluruh
rencana kita! Dia telah memfitnahmu, juga memfit-
nahku! Bahkan dia membunuh Pangku Jaladara!"
"Kau melihatnya membunuh Pangku Jaladara"!"
desis Datuk Bunaeng dingin!
"Ya! Kulihat sendiri!"
"Kau selalu bersama Pangku Jaladara, mengapa
kau tidak menyelamatkannya"!"
"Ilmunya sangat tinggi! Aku gagal melakukan-
nya!" "Mengapa kau meninggalkan tempat ini beberapa
hari lalu"!"
Dewi Berlian kali ini menoleh. Dia terkejut meli-
hat tatapan sengit Datuk Bunaeng. Untuk sesaat pe-
rempuan ini sedikit waswas juga.
Lalu sambil mendengus dia berkata, "Biar bagai-
manapun juga, rencana kita adalah menjadikan Pang-
ku Jaladara sebagai boneka! Aku tidak mau Dewa Ju-
bah Biru ataupun Dewi Pengunyah Sirih menyela-
matkannya!"
"Kau meninggalkan tempat ini tanpa mengatakan
apa pun padaku! Kau seperti mengambil satu kesem-
patan selagi aku lengah! Mengapa"!"
"Astaga! Mengapa kau berpikir seperti itu" Kita
sudah sepakat untuk menjalankan rencana yang ada!"
Datuk Bunaeng tak segera berkata. Tatapannya
tajam pada Dewi Berlian. Yang ditatap mulai merasa
tidak enak sekarang. Tiba-tiba terdengar desisan din-
gin Datuk Bunaeng,
"Mengapa kau mengatakan pada pemuda itu, ka-
lau aku punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan?"
Kali ini Dewi Berlian melengak. Sebelum bibir in-
dahnya bergerak Datuk Bunaeng sudah melanjutkan
desisannya, "Mengapa pula kau mengatakan kalau aku hendak membunuhnya karena dia
telah membunuh Ratu Sejuta Setan"! Jawab, Dewi sebelum kemarahan-
ku beralih padamu!"
Dewi Berlian yang sebelumnya merasa pasti ka-
lau rencananya untuk membunuh Raja Naga akan
berhasil, kali ini mulai sedikit tegang. Perlahan-lahan diputar tubuhnya hingga
berhadapan dengan Datuk
Bunaeng yang sedang memandangnya penuh amarah.
Lalu dengan sikap tenang dia berkata, "Datuk!
Aku sama sekali tak mengerti maksudmu! Mengapa
kau tiba-tiba berkata demikian" Siapa yang mengata-
kannya?" "Apakah kau tidak mendengar kata-kataku tadi,
hah"! Pemuda itu yang mengatakannya kepadaku!"
"Astaga! Sudah tentu itu adalah fitnahan yang dilancarkan pemuda keparat itu!
Datuk... aku tak ingin
banyak ucap! Siapa yang kau percaya sekarang, hah"!"
"Selain diriku sendiri, tak seorang pun yang bisa kupercayai di muka bumi ini!"
Sepasang mata Dewi Berlian menyipit. Dia mulai
menangkap tanda bahaya.
"Dengan kata lain, kau lebih mempercayainya da-
ri pada kata-kataku?"
"Aku tidak mempercayai siapa pun! Tetapi aku
tahu, kalau kau punya hubungan erat dengan Ratu
Sejuta Setan! Dewi! Tentunya, kau bermaksud untuk
mengadu domba antara aku dengan pemuda itu! Ten-
tunya pula kau bermaksud untuk membalas kematian
Ratu Sejuta Setan yang tewas di tangannya! Dan kau
mencoba memanfaatkan tanganku untuk membunuh
Raja Naga!" suara Datuk Bunaeng mengeras. "Berdus-talah agar aku bisa membunuhmu
sekarang juga!"
Dewi Berlian terdiam. Sorot matanya tajam me-
natap pada Datuk Bunaeng. Suasana hening. Angin
malam berhembus bertambah dingin.
Tiba-tiba terdengar desisan Dewi Berlian "Semu-
anya sudah terbuka, tak ada yang perlu ditutupi lagi!
Yah! Akulah yang merencanakan semua ini bersama
Pangku Jaladara! Pemuda tolol yang bisanya cuma
mengumbar nafsu itu menerima tawaranku untuk
membunuh Resi Kala Jinjit! Dengan memanfaatkan
keinginanmu untuk membunuh Resi Kala Jinjit, se-
muanya ku atur sedemikian rupa! Kuundang Raja Na-
ga pada penobatan Pangku Jaladara sebagai Ketua
Perguruan Laba-laba Perak! Pangku Jaladara sendiri
yang mencuri kalung Laba-laba Perak lalu menimpa-
kan kesalahan pada Raja Naga! Sementara aku sendiri,
memanfaatkan semuanya untuk mengadu domba an-
tara kau dengan Raja Naga!"
Kepala Dewi Berlian tiba-tiba menoleh pada Raja
Naga. Tatapannya sengit.
"Otakmu lumayan cerdik, Anak muda! Kau telah
membunuh saudaraku si Ratu Sejuta Setan, dan kau
harus mampus secara mengerikan! Membunuhmu se-
cara langsung bukanlah sesuatu yang sulit! Tetapi me-
lihatmu disiksa dan diburu oleh para tokoh rimba per-
silatan adalah sesuatu yang menyenangkan!!"
Di tempatnya Raja Naga mendesis dalam hati,
"Kebenaran telah terbuka...."
Sementara itu, Kala Sringgil dan Jala Sringgil
berpandangan. Mereka sama sekali tak mengerti peru-
bahan yang telah terjadi. Namun paling tidak, kini mereka tahu siapa yang benar
dan siapa yang salah.
"Jala Sringgil... kupikir kita sudah tidak punya urusan lagi. Sekarang ini
adalah urusan Raja Naga
dengan manusia-manusia itu...."
"Kala Sringgil, Dewi Berlian bersama Pangku Ja-
ladara telah membunuh Resi Kala Jinjit. Mengapa kita
harus tinggal diam?"
"Kita lupakan soal ini. Aku khawatir kita akan salah bertindak," sahut Kala
Sringgil, lalu segera membalikkan tubuhnya dan berlalu.
Jala Sringgil memperhatikan ketiga orang itu ter-
lebih dulu. Dianggukkan kepalanya pada Raja Naga
begitu pandangannya berbenturan dengan pandangan
pemuda itu. Setelah Raja Naga mengangguk, Jala
Sringgil segera menyusul saudaranya.
Di pihak lain, Datuk Bunaeng menggeram seting-
gi langit. "Perempuan keparat! Hampir saja aku masuk da-
lam pusaran kebusukanmu! Dan aku yakin, kaulah
yang telah membunuh Pangku Jaladara!"
Sebelum Dewi Berlian menyahut, tiba-tiba ter-
dengar suara, "Ya! Dialah yang telah membunuh Pangku Jaladara!"
Tiga pasang mata segera menoleh ke kanan. Raja
Naga melihat Lesmana dan Ratih muncul. Di hadapan
mereka, satu sosok tubuh membujur kaku dalam kea-
daan mengambang. Dan di atas tubuh yang telah men-
jadi mayat itu terdapat sebuah bunga kemuning warna
biru. Begitu bunga itu diambil Lesmana, mayat Pangku
Jaladara ambruk di atas tanah.
Datuk Bunaeng mengertakkan rahangnya keras-
keras menyadari kalau selama ini dia dibodohi Dewi
Berlian. "Perempuan terkutuk! Kau harus membayar se-
mua ini dengan nyawamu!"
Kejap lain, kakek berjubah hitam itu telah me-
nyerang Dewi Berlian dengan ganas. Yang diserang
pun segera membalas.
Raja Naga menarik napas pendek.
"Ah, keadaan ini memang cukup rumit. Tetapi be-
runtunglah karena masih dapat dikendalikan"
Lalu dihampirinya Lesmana yang menyambutnya
sambil tersenyum, sementara Ratih menarik napas
panjang mengetahui siapa pangkal dari urusan sesat
ini. Raja Naga berkata, "Kalian melihat siapa yang membunuh Pangku Jaladara?"
Lesmana menggeleng. Lalu menceritakan apa
yang terjadi. "Begitu Dewi Berlian menyebut-nyebut Pangku
Jaladara, kami yakin kalau dialah yang telah membu-
nuhnya." Raja Naga tersenyum.
"Sudahlah, kita tinggalkan tempat ini seka-
rang...," katanya lalu mendahului. Diraba pinggang sebelah kanannya, di mana
kalung Laba-laba Perak be-
rada di sana. Lesmana segera mengajak Ratih untuk mening-
galkan Lembah Lingkar.
Sementara itu, pertarungan sengit Datuk Bu-
naeng dan Dewi Berlian semakin seru, hingga akhirnya
kedua orang itu saling bunuh....
SELESAI Segera menyusul:
BUNGA KEMUNING BIRU
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Bentrok Para Pendekar 1 Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat Pisau Terbang Li 3
^