Pencarian

Ratu Dinding Kematian 2

Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian Bagian 2


dada ini sudah membentak gusar, "Pemuda keparat! Akhirnya kau muncul juga di hadapanku!!"
Kedua tangannya segera didorong penuh
amarah. Serta-merta menggebrak gelombang angin
yang mengeluarkan suara berdenging-denging
dengan kecepatan tinggi!
* * * Raja Naga yang sedikit terkejut begitu men-
genali siapa adanya orang yang menyerangnya se-
gera membuang tubuh ke samping kanan. Bersa-
maan letupan keras yang menghancurkan semak
belukar di belakangnya, dilihatnya lelaki bercam-
bang itu sudah berlutut!
"Astaga! Dia tentunya akan keluarkan ilmu
'Bentang Gunung Banting Tanah!" desis Raja Naga dalam hati.
Dilihatnya bagaimana tubuh Purwa yang
berlutut mendadak bergetar hebat. Kedua tangan-
nya yang dirangkapkan di depan dada bergerak-
gerak pula, menyusul dari kepalanya keluar asap
putih yang sangat pekat.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian mem-
batin, "Urusan akan semakin mudah. Ingin kulihat lebih dulu, apakah Purwa mampu
menghadapi pemuda itu. Kalau tidak, biar kubunuh pemuda
itu sekarang agar urusan tuntas! Setelah itu, baru kucari Ratu Tanah Kayangan
dan kedua setan
gundul yang telah berani lancang memerasku!"
Mendadak suara yang sangat memekakkan
telinga menggebah. Raja Naga yang pernah meng-
hadapi ilmu 'Bentang Gunung Banting Tanah' se-
gera keluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan' disusul dengan 'Barisan Naga Penghancur
Karang'. Seperti telah diduganya, kedua ilmu yang
dilepaskannya itu tak banyak membawa arti. Di-
dahului ledakan yang membuat tempat itu berge-
tar hebat, Raja Naga membuang tubuh ke samping
kanan dengan cara melenting di udara.
"Aku bisa memutuskan serangan itu sebe-
narnya dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur'. Tetapi
bila kulakukan, maka akan semakin kacau kea-
daannya!" Terpaksa pemuda bersisik coklat itu terus
menerus menghindar dengan pergunakan ilmu pe-
ringan tubuhnya.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men-
dengus. "Purwa tak akan mampu mengalahkannya.
Kalau begitu... biar aku turun tangan!"
Memutuskan demikian, perempuan itu ber-
seru keras, "Pemuda celaka! Kau telah mencuri Bunga Matahari Jingga dan berani-
beraninya mengintip aku mandi! Kau harus mampus!!"
Mendengar bentakan itu, Raja Naga yang
sedang melenting di udara tersentak.
"Astaga! Mengapa tahu-tahu perempuan itu
mengatakan aku telah mencuri Bunga Matahari
Jingga" Sebelum kemunculan Purwa, dia sama se-
kali tak menyinggungnya! Ada apa ini"!"
Sudah tentu Ratu Dinding Kematian yang
dikenal Purwa sebagai Nimas Herning itu melaku-
kan tindakan demikian. Karena dia telah mendus-
tai Purwa tentang lenyapnya Bunga Matahari Jing-
ga yang dicuri oleh Raja Naga dan mencelakakan
dirinya serta Sibarani.
Melihat perempuan berpakaian kuning
keemasan itu menyerang Raja Naga pula, Purwa
berseru, "Nimas! Kau bisa celaka!"
"Purwa! Pemuda itu telah memperkosa dan
membunuh adik seperguruanku!" seru Ratu Dinding Kematian mengulangi lagi
muslihat yang per-
nah didustainya pada Purwa. "Aku ingin melihatnya mampus!!"
Raja Naga sendiri menggeram dengan otak
berpikir keras.
"Ada sesuatu yang aneh di sini, Sekarang
perempuan itu mengatakan aku telah membunuh
dan memperkosa adiknya. Ada apa ini" Mengapa...
astaga! Apakah dia...."
Kata batin Raja Naga terputus karena se-
rangan Purwa tiba-tiba begitu dekat dengannya.
Melihat hal itu, Raja Naga memutuskan untuk ber-
tindak cepat. Dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur'
dia dapat memukul jatuh Purwa yang terbanting di
atas tanah. Bila saja Raja Naga menghendaki, lela-ki itu bisa langsung tewas!
Sambil menahan nyeri pada dadanya, Pur-
wa berseru begitu melihat perempuan berambut
digelung ke atas itu melesat maju.
"Nimas! Kau tak akan sanggup menghada-
pinya!!" Tetapi di lain saat, lelaki itu melengak kaget
tatkala melihat serangan yang dilakukan si perem-
puan yang secara tiba-tiba mengangkat kedua tan-
gannya ke udara.
Raja Naga sendiri tersentak melihat peru-
bahan serangan yang dilakukan perempuan itu.
Dilihatnya cahaya berwarna-warni bertaburan di
sekitar kedua tangan yang terangkat itu. Dan di
lain saat dengan cepatnya cahaya warna-warni itu
menggumpal menjadi satu dan masuk serta lenyap
pada kedua tangan si perempuan yang kini terlihat seperti mengeluarkan cahaya!
"Aku mulai dapat menebak siapa perem-
puan ini. Kata-kata anehnya tadi nampaknya un-
tuk menutupi siapa dirinya dari Purwa. Dan pa-
kaian kuning yang dikenakannya, mengingatkan
aku pada bayangan kuning yang pertama kali ku-
lihat sebelum Purwa dan Sibarani muncul."
Di kejap lain Raja Naga tersentak tatkala
mendengar tepukan keras yang dilakukan perem-
puan bertahi lalat pada tengah keningnya, yang
disusul dengan menggebraknya gelombang angin
dahsyat yang diiringi oleh cahaya berwarna-warni!
Sadar kalau bahaya mengancam dirinya,
Raja Naga memutuskan untuk mengeluarkan ilmu
'Naga Mengamuk'. Seketika tempat itu laksana di-
amuk seekor naga liar yang ganas.
Buuummm!! Ledakan luar biasa kerasnya menggebah
seiring dengan bergetarnya tempat itu. Tanah yang menghambur ke udara menghalangi pandangan.
Tiba-tiba terdengar jeritan tertahan menyusul
mencelatnya satu sosok tubuh berpakaian kuning
ke belakang! Di pihak lain Raja Naga hanya surut dua
tindak dengan tangan gemetar. Napasnya membu-
ru dengan wajah merona merah. Sorot matanya te-
tap angker. "Nimas!!" seru Purwa begitu melihat si perempuan terbanting di atas tanah.
Dengan mena- han sakit pada dadanya, Purwa buru-buru men-
dekati perempuan itu. "Nimas... sudah kukatakan, kau tak akan sanggup
menghadapinya. Dia pernah
mencelakakanmu dan Sibarani...."
Ratu Dinding Kematian mengeluh kesaki-
tan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar.
"Aku harus membunuhnya...."
"Aku pun ingin membunuhnya. Tetapi kita
tak kuasa menghadapinya...."
"Peduli setan!" Ratu Dinding Kematian men-gibaskan tangan Purwa yang menjadi
terkejut. "Nimas!"
Tanpa menghiraukan seruan itu, Ratu
Dinding Kematian segera berdiri. Tatapannya be-
rapi-api pada Raja Naga yang sedang merangkai-
kan pikiran di otaknya.
"Ajian Selaksa Jiwa' tak mampu menghada-
pinya. Berarti, aku memang kesulitan untuk
membunuhnya. Huh! Bila saja telah kukuasai
'Ajian Selaksa Sukma' yang akan ku gabungkan
dengan 'Ajian Selaksa Jiwa' tak mustahil aku da-
pat membunuhnya! Atau... huh! Aku harus memi-
num air rendaman dari bunga-bunga keramat!"
Di tempatnya Raja Naga angkat bicara, "Pe-
rempuan berpakaian kuning! Ilmu yang kau miliki
tak bisa dipandang sebelah mata, dan itu mem-
buktikan kalau kau adalah perempuan yang tang-
guh! Dari semua ini dan semua yang kau katakan
tentang diriku, aku menangkap satu gelagat yang
tidak enak!"
"Pemerkosa hina! Kau hendak putar kenya-
taan rupanya"!" bentak Ratu Dinding Kematian sambil mengatur napas dan bersiap
untuk melancarkan serangan kembali.
Raja Naga tak mempedulikan bentakannya.
"Matamu menyembunyikan sesuatu yang
kau khawatirkan akan terbuka! Perempuan berpa-
kaian kuning! Jangan berlaku bodoh di hadapan-
ku! Kaulah yang berjuluk Ratu Dinding Kematian
dan telah melakukan serangkaian pencurian ter-
hadap bunga-bunga keramat!"
Sudah tentu Ratu Dinding Kematian terke-
jut mendengar seruan itu. Terutama ketika dili-
hatnya kepala Purwa menegak dengan mata tak
berkedip padanya.
Tetapi di lain kejap dia sudah tertawa men-
gejek. "Dua hari lalu kau telah mencelakakan aku dan membuat Sibarani tak dapat
bersuara sebelum kau curi Bunga Matahari Jingga! Sekarang
kau menuduhku yang bukan-bukan! Perlu kau ke-
tahui namaku Nimas Herning!"
"Nimas Herning atau bukan... kau tetaplah
Ratu Dinding Kematian!!"
"Pemuda celaka! Kurobek mulutmu yang
berani berdusta!!"
Kembali Ratu Dinding Kematian melesat
dengan 'Ajian Selaksa Jiwa'. Tetapi lagi-lagi ajian itu tak ada gunanya. Untuk
kedua kalinya dia terbanting deras di atas tanah.
Purwa yang segera mendekatinya mengge-
ram sengit pada Raja Naga.
"Pemuda terkutuk! Kau bukan hanya seo-
rang pencuri keparat, tetapi kau juga tukang fit-
nah!" Raja Naga tetap berdiri di tempatnya.
"Dari kilatan mata Purwa kulihat kalau le-
laki itu telah terpengaruh oleh perempuan yang
kuduga sebagai Ratu Dinding Kematian ini. Berabe
memang, tetapi aku harus tetap mencecar agar pe-
rempuan itu mau mengaku siapa dirinya!"
Tanpa mempedulikan bentakan Purwa, pe-
muda bersisik coklat itu membentak lagi, "Kau harus kubawa ke hadapan Tiga
Penguasa Bumi un-
tuk membuka seluruh borok pada perbuatanmu!"
Ratu Dinding Kematian menggeram dalam
hati. "Keadaan ini membahayakan penyamaran-
ku. Padahal aku belum berhasil meminum air ren-
daman bunga-bunga keramat. Aku harus melaku-
kan sesuatu. Dan jalan satu-satunya adalah mem-
buat Purwa tetap mempercayaiku dan tidak mem-
percayai ucapannya. Berarti.... "
Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba
saja Ratu Dinding Kematian menangis. Sudah ten-
tu Purwa yang tidak tahu siapa perempuan itu se-
benarnya menjadi murka. Dengan mengerahkan
sisa-sisa tenaganya dia berdiri dan menuding pada
Raja Naga. "Aku akan mengadu jiwa denganmu!!"
Dengan mempergunakan ilmu 'Bentang
Gunung Banting Tanah' Purwa berusaha untuk
mencecar anak muda berompi ungu itu. Tetapi su-
dah tentu tak ada gunanya. Masih normal tenaga
saja dia tak dapat mengalahkan Raja Naga, apalagi sekarang sudah kehabisan
tenaga. Untuk kedua kalinya Purwa terbanting di
atas tanah. Setelah mengeluh kesakitan sejenak,
lelaki itu jatuh pingsan.
Raja Naga mendesis dalam hati, "Sayang,
dia pingsan. Padahal aku sedang berusaha mem-
buka kedok perempuan celaka ini...."
Sementara itu melihat pingsannya Purwa,
Ratu Dinding Kematian menjadi pias. Tangisan
yang tadi sengaja dibuatnya untuk memancing
perhatian Purwa, seketika lenyap. Matanya men-
gerjap-ngerjap saat menatap pemuda di hadapan-
nya yang sedang menatap angker.
"Celaka! Rencanaku bisa gagal sekarang!
Bisa gaga!! Ternyata kemunculannya tidak mem-
bawa nasib yang baik buatku!" serunya panik dalam hati.
Raja Naga berseru seraya melangkah, "Jan-
gan coba-coba berdusta padaku! Kaulah Ratu
Dinding Kematian! Kau harus kuserahkan pada
Tiga Penguasa Bumi!"
"Keparat! Kau tidak mengenal Ratu Dinding
Kematian, tetapi kau berani-beraninya menuduh-
ku sebagai perempuan itu!" seru Ratu Dinding Kematian yang masih berusaha
bertahan mem- bantah kata-kata Raja Naga.
Murid Dewa Naga mendengus. Sisik-sisik
coklat yang memenuhi kedua lengannya sebatas
siku itu semakin terang menyala, pertanda kema-
rahan sudah melambung naik ke ubun ubunnya
"Baik! Bila kau memang bukan Ratu Dind-
ing Kematian, berarti kau tak akan menolak ku-
bawa pada Tiga Penguasa Bumi! Aku yakin, mere-
ka, atau salah seorang dari mereka mengenalimu!


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atau... kau kubawa ke hadapan Ratu Tanah
Kayangan yang sudah pasti mengenalmu!"
Mendengar nama terakhir yang disebutkan
Raja Naga, kepala Ratu Dinding Kematian mene-
gak. Matanya membeliak lebar. Gerakan itu sudah
cukup bagi Raja Naga kalau apa yang dituduh-
kannya benar. Di lain saat dia sudah melesat dengan tan-
gan kanan kiri membuka siap menangkap perem-
puan berpakaian kuning keemasan itu yang terbe-
lalak panik karena merasa tak mampu untuk
menghindar lagi.
Tetapi sebelum Raja Naga berhasil menja-
lankan niatnya, satu gelombang angin yang me-
nyeret tanah telah memotong gerakannya dari
samping kanan. Bummmmm!! Bersamaan hancurnya ranggasan semak
terhantam gelombang angin yang memotong gera-
kan Raja Naga, terdengar seruan keras, "Pemuda celaka! Kalau sebelumnya kau
berhasil meloloskan
diri, kali ini kau tak akan bisa berkutik di hadapanku!"
Serta-merta pemuda dari Lembah Naga itu
menoleh ke samping kanan. Dilihatnya dua sosok
tubuh telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya dan sejarak lima belas langkah dari
tempat Ratu Dinding Kematian dan Purwa yang
pingsan. Sosok tubuh yang tadi melancarkan seran-
gan, memandang tak berkedip. Dia seorang nenek
berpakaian hijau dengan kebaya lusuh. Rambut-
nya yang sebagian besar sudah memutih dihiasi
oleh sebuah konde berwarna hijau. Di samping
kanannya, seorang perempuan jelita berpakaian
merah dengan pakaian dalam warna hijau mena-
tapnya pula tanpa kedip.
Tetapi di lain saat, perempuan berambut
indah itu sudah menatap Purwa yang pingsan. Ma-
tanya membuka cemas. Namun begitu melihat so-
sok perempuan berpakaian kuning yang juga se-
dang menatapnya, kemarahannya seketika meng-
gelegak. Di tempatnya, Raja Naga sendiri membatin
sambil memandangi kedua orang yang baru da-
tang itu, "Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani...."
ENAM SEBELUM kita mengikuti apa yang akan
terjadi dengan Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu apa yang akan dilakukan oleh
Setan Gundul Hutan Larangan. Setelah berhasil mengancam Ratu
Dinding Kematian, kedua lelaki berpakaian ala
seorang pendeta itu terus berlalu. Mereka tak lagi menghiraukan janji dari Ratu
Dinding Kematian.
Karena yang terpenting bagi mereka, adalah meli-
hat Raja Naga yang mampus!
Di sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan
dua lelaki gundul yang di leher masing-masing
menggantung sebuah tasbih sama-sama menghen-
tikan langkah. Untuk beberapa saat tak ada yang
buka suara kecuali memperhatikan sekelilingnya
dengan seksama.
Di lain saat, Cokro Kliwing berseru, "Kita telah berhasil membuat Ratu Dinding
Kematian mati kutu! Aku yakin kalau perempuan itu belum ber-
hasil mendapatkan secara utuh bunga-bunga ke-
ramat yang diinginkannya!"
Jodro Kliwing mendengus.
"Kemungkinan itu bisa terjadi mengingat
dia tak banyak berkutik ketika kita ancam untuk
menyebarkan niat busuk yang sedang dilakukan-
nya! Cokro... kita gagal mempermalukan murid
Ratu Tanah Kayangan karena kehadiran Raja Na-
ga! Dan untuk membalas Raja Naga, kita berhasil
memeras Ratu Dinding Kematian! Sekarang... apa-
kah kau tak memikirkan satu kesempatan emas
yang ada di hadapan kita"!"
Lelaki gundul bercodet di keningnya tak se-
gera buka mulut. Dipandanginya lelaki di hada-
pannya yang juga berkepala gundul.
"Apa maksudmu tentang satu kesempatan
emas?" Jodro Kliwing menyeringai. Ternyata tubuhnya lebih besar dari Cokro
Kliwing. "Ratu Dinding Kematian sedang berusaha
untuk mendapatkan bunga-bunga keramat, di
mana kesaktian yang akan didapatkannya dari
bunga-bunga itu akan dipergunakannya untuk
membunuh Ratu Tanah Kayangan. Mungkin tak
banyak yang mengetahui siapa pencuri bunga-
bunga keramat sebenarnya. Ini kesempatan kita
untuk menggunting dalam lipatan!"
Cokro Kliwing terdiam sejenak sebelum ta-
wanya meledak. "Gila! Ternyata kau berotak cerdik juga! Ya, ya! Mengapa kita tidak bertindak
sejak semula?"
"Rencana yang datang terlambat ini justru
membawa keberuntungan! Ingat, kita telah menge-
tahui kalau Ratu Dinding Kematian telah berhasil
mendapatkan enam buah bunga-bunga keramat!
Bisa jadi pula kalau sekarang dia telah menda-
patkan Bunga Matahari Jingga! Itu artinya, kita
tahu kalau seluruh atau beberapa bunga-bunga
keramat telah berhasil didapatkannya!"
Makin lebar seringaian di bibir Cokro Kliw-
ing disusul dengan tawanya yang menggema di se-
kitar sana. "Bila rencana kita ubah seperti itu, berarti niat kita untuk meminta bantuan
Setan Ngang-kang kita urungkan?"
"Betul! Urusan dendam kita pada Raja Na-
ga, dapat kita bebankan pada Ratu Dinding Kema-
tian!" "Bagaimana dengan Ratu Tanah Kayangan?" "Perempuan mesum itu menjanjikan
tu- buhnya untuk kita nikmati bila kita mengetahui
keberadaan Ratu Tanah Kayangan. Dan kita sudah
mengabarkan padanya, kalau Ratu Tanah Kayan-
gan telah meninggalkan tempat tinggalnya. Berarti, kita tak perlu mencari
perempuan itu!"
Cokro Kliwing mengangguk-angguk.
"Padahal, aku menginginkan tubuhnya."
"Siapa yang tak ingin menikmati tubuh sin-
tal milik Ratu Dinding Kematian" Sejak dulu kita
selalu menggeluti tubuh perempuan yang sama.
Dan sekarang...," Jodro Kliwing menghentikan ka-ta-katanya. Bibir tebalnya
menyeringai lebar, "Bila kita berhasil merebut bunga-bunga keramat dari
tangan Ratu Dinding Kematian, maka itu artinya,
kita juga akan dapat menikmati tubuh perempuan
itu!" Cokro Kliwing tertawa keras.
"Benar-benar sebuah rencana yang ma-
tang!" "Ya, bahkan terlalu matang hingga menjadi busuk!" suara yang keras itu
memutus tawa Cokro Kliwing.
Serentak dua lelaki berkepala gundul itu
menoleh ke samping kanan. Di hadapannya telah
berdiri satu sosok tubuh berwajah jelita dengan
pandangan dingin.
* * * Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan
tak berkedip memandang ke depan. Di lain kejap
masing-masing orang saling lirik. Cokro Kliwing
sudah buka bicara dengan seringaian lebar,
"Ratu Tanah Kayangan! Tak kusangka kau
muncul di hadapan kami"!"
Perempuan berpakaian biru keemasan den-
gan perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan
tangannya, tak buka mulut. Mata indahnya dingin
pada masing-masing orang.
"Setan-setan gundul berkedok pendeta! Ka-
lian membicarakan Ratu Dinding Kematian, itu ar-
tinya kalian tahu di mana dia berada!"
Jodro Kliwing tertawa. Dia berusaha untuk
melihat wajah di balik cadar sutera keemasan.
"Perempuan beranting mutu manikam! Ka-
mi juga baru saja membicarakan tentang dirimu!
Dan kau telah datang di hadapan kami! Ini sangat
menyenangkan sekali, mengingat kami pun men-
ginginkan tubuhmu!"
Di balik cadar sutera yang dikenakannya
Ratu Tanah Kayangan menggeram.
"Manusia-manusia terkutuk! Sejak tadi ku-
curi dengar ucapan mereka tentang Ratu Dinding
Kematian dan niatnya pada perempuan itu. Berar-
ti, Ratu Dinding Kematian memang telah menda-
patkan bunga-bunga keramat."
Habis membatin demikian perempuan be-
rambut hitam disanggul ke atas dan diberi sebuah
jepitan terbuat dari emas, berseru, "Aku tak punya banyak waktu untuk terlibat
urusan dengan kalian! Manusia-manusia busuk seperti kalian sebe-
narnya tak pantas untuk hidup lebih lama di mu-
ka bumi! Tetapi, aku masih berbaik hati membiar-
kan kalian hidup! Katakan, di mana Ratu Dinding
Kematian berada"!"
Kedua lelaki berpakaian ala pendeta ber-
warna jingga itu saling pandang dengan seringaian lebar. Di lain kejap mereka
tertawa keras, seolah mendengar lelucon yang sangat lucu.
"Mengapa kau begitu tergesa-gesa?" ucap Cokro Kliwing seraya melangkah ke
samping kanan. Bersamaan dengan itu, Jodro Kliwing juga
melangkah, tetapi ke samping kiri Ratu Tanah
Kayangan. Dengan melakukan tindakan itu, mere-
ka nampaknya berniat untuk mengurung perem-
puan jelita itu. Cokro Kliwing berseru lagi penuh ejekan, "Kami adalah dua
lelaki gagah yang mudah kelaparan bila melihat perempuan cantik seperti
kau, Ratu! Dan sudah tentu, kami tak akan mele-
paskan kesempatan yang telah ada!"
Ratu Tanah Kayangan mendengus. Dari ba-
lik cadarnya, matanya melirik ke kanan kiri.
"Mulut mereka berbunyi busuk! Rasanya
aku harus memberi pelajaran pada masing-masing
orang!" geram Ratu Tanah Kayangan dalam hati.
Lalu berkata dingin, "Kalian tetap tak buka mulut mengatakan di mana Ratu
Dinding Kematian berada! Dan kalian justru lakukan tindakan memua-
kkan! Baik! Kalian rupanya ingin merasakan keke-
rasan!" Lelaki gundul bersenjata tongkat berujung bundar tertawa keras.
"Jodro! Kau dengar itu" Rupanya dia suka
melakukan hubungan badan dengan kekerasan!"
"Mengapa kita tidak melayani saja?" sahut Jodro Kliwing tertawa pula. "Sebelum
menjalankan seluruh rencana, ada baiknya kita nikmati tubuh
indah perempuan ini bersama-sama! Sayang, ka-
lau dia keburu dibunuh oleh Ratu Dinding Kema-
tian sebelum kita menikmatinya!"
Ratu Tanah Kayangan hampir-hampir tak
mampu menahan amarahnya mendengar ucapan-
ucapan kotor itu. Tetapi dia masih tindih amarah-
nya. Setan Gundul Hutan Larangan yang sengaja
menahan keinginan mereka untuk melaksanakan
rencana yang telah mereka susun barusan, kem-
bali tertawa keras.
Dan tiba-tiba saja Jodro Kliwing melesat ke
depan. Tangan kanan kirinya bergerak ke arah se-
pasang bukit kembar Ratu Tanah Kayangan yang
mencuat ke depan.
Bersamaan dengan itu, Cokro Kliwing pun
melakukan tindakan yang sama. Tongkatnya di-
ayunkan ke arah kaki Ratu Tanah Kayangan, se-
mentara tangan kirinya siap meremas pantat pe-
rempuan jelita itu. Terdengar suara rahang diker-
takkan. "Manusia-manusia keparat!!"
Ratu Tanah Kayangan menggeser tubuhnya
ke samping kanan. Kedua tangan Jodro Kliwing le-
pas dari sasarannya. Bersamaan dengan itu, Ratu
Tanah Kayangan melompat untuk menghindari
sambaran tongkat Cokro Kliwing yang sekaligus
mengelak dari remasan tangan kiri Cokro Kliwing.
"Kau mau ke mana, Perempuan"!" seru Co-
kro Kliwing seraya mengangkat tongkatnya ke
atas. "Setan!!"
Plak! Ratu Tanah Kayangan sudah menendang
tongkat itu, lalu memutar tubuh di udara dan me-
lenting untuk hinggap di atas tanah kembali, agak jauh dari masing-masing orang
berkepala gundul.
Tetapi kedua orang itu tak mau bertindak
ayal. Mereka terus memburu. Bukan bermaksud
untuk membunuh Ratu Tanah Kayangan, melain-
kan untuk menangkapnya hidup-hidup! Di benak
masing-masing orang sudah terbayang, bagaimana
mengasyikkannya bergerak-gerak di atas tubuh
indah Ratu Tanah Kayangan dalam keadaan polos.
Di lain saat, masing-masing orang sudah
menderu kembali. Cokro Kliwing bergerak dengan
tongkat menyusur tanah yang segera berhambu-
ran, sementara Jodro Kliwing melesat untuk me-
nyerang bagian atas tubuh Ratu Tanah Kayangan.
Perempuan bercadar sutera keemasan itu
mendengus. "Keterlaluan! Terpaksa aku akan memberi
mereka pelajaran!!"
Di lain kejap, kedua tangannya sudah dis-
ilangkan di depan dada. Tanpa bergeser dari tem-
patnya, ditunggunya kedua serangan lawan sam-
pai mendekat.

Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat perempuan jelita itu seperti mem-
biarkan serangan mereka, kedua lelaki berkepala
plontos melipatgandakan tenaga dalamnya.
Ratu Tanah Kayangan tetap berdiri tegak
dengan kedua tangan bersilangan. Namun di lain
saat, kedua tangannya itu sudah didorong ke de-
pan! Wuuussss!!
Dua buah gelombang angin bersilangan
menggebrak hebat!
Kedua lawannya sesaat tersentak. Sementa-
ra Jodro Kliwing membuang tubuh ke samping
kanan, Cokro Kliwing justru mengangkat tongkat-
nya ke atas. Wuuuttttt!! Angin menderu menghantam dua gelom-
bang angin bersilangan.
Blaaammm! Letupan cukup keras terdengar, disusul sa-
tu jeritan tertahan.
"Aaaakhhhh!!"
Cokro Kliwing tergontai-gontai ke belakang
sembari pegangi dadanya yang terhantam tendan-
gan memutar Ratu Tanah Kayangan.
Di seberang perempuan bercadar itu men-
desis dingin, "Urusanku bukan dengan kalian, me-lainkan dengan Ratu Dinding
Kematian! Manusia-
manusia dajal seperti kalian, seharusnya diberi pelajaran berarti!"
Cokro Kliwing yang merasa nyeri pada da-
danya menggeram sengit. Jodro Kliwing sudah
menerjang ke depan disertai teriakan membahana.
Ratu Tanah Kayangan memutuskan untuk
melayani serangan mereka.
Letupan demi letupan yang terdengar sema-
kin ramai. Ranggasan semak yang terpapas rata,
tanah yang berhamburan ke udara, pepohonan
yang tumbang dan teriakan-teriakan keras, men-
gudara. Membuat tempat itu bertambah porak po-
randa. Sementara itu lelaki gundul bersenjata
tongkat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan ka-
nan kirinya erat menggenggam tongkatnya yang
siap mengetok pecah kepala Ratu Tanah Kayan-
gan. Di pihak lain, Jodro Kliwing sudah meluruk
laksana banteng ketaton mengamuk dengan kepa-
la plontos yang siap menghajar perut dan pung-
gung Ratu Tanah Kayangan!
Ratu Tanah Kayangan menggeram seraya
mendorong kedua tangannya.
Bummm! Bummmm!!
Dua letupan keras terdengar. Namun ber-
samaan dengan itu, tiba-tiba saja Ratu Tanah
Kayangan tersedak. Seketika dia mundur terburu-
buru seraya menahan napas. Uap hitam yang tiba-
tiba bertaburan di depan wajahnya tadi lenyap
tanpa bekas. Di seberang Jodro Kliwing tertawa keras.
"Ratu Tanah Kayangan! Kau memang hebat!
Bahkan kami tahu kau belum keluarkan 'Ajian Se-
laksa Sukma' yang hanya bisa ditandingi oleh
'Ajian Selaksa Jiwa' milik Ratu Dinding Kematian!
Tetapi sekarang, apakah kau bisa bertahan meng-
hadapi 'Uap Pelemah Tenaga'"!"
"Terkutuk!" geram Ratu Tanah Kayangan.
"Uap itu rupanya memiliki keampuhan memati-
kan!" Cokro Kliwing yang siap menyerang mengurungkan niatnya. Dia tadi sempat
melihat kalau Jodro Kliwing mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'
yang seketika terhirup indera penciuman Ratu Ta-
nah Kayangan. "Tak perlu bersusah payah sekarang! Dalam
sepuluh kejapan mata, tenagamu akan melemah,
Ratu!" "Setan keparat! Kubunuh kalian!!" seru Ra-tu Tanah Kayangan seraya
menerjang. Tetapi saat
itu pula pekikannya terdengar karena secara ber-
samaan, baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing
sama-sama mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'!
Semakin banyak uap mematikan itu ter-
cium oleh Ratu Tanah Kayangan.
"Keparat!" makinya gusar. "Tubuhku mulai terasa lemah, tenaga dalamku seperti
tersedot ke bawah dan sukar untuk kugunakan. Okh! Kepala-
ku... kepalaku mulai terasa pusing."
Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan
tertawa-tawa di tempatnya. Hajaran yang mereka
alami tadi seolah tak dirasakan sekarang. Makin
terbayang bagaimana mereka akan menikmati tu-
buh indah perempuan itu yang terbungkus pa-
kaian berwarna biru keemasan.
"Cokro! Sebelum dia mengeluarkan 'Ajian
Selaksa Sukma' kita sergap sekarang!" bisik Jodro Kliwing.
Setelah melihat Cokro Kliwing mengangguk,
dia sudah menerjang disusul oleh Cokro Kliwing.
Serangan yang datang dari dua arah itu membuat
Ratu Tanah Kayangan menggeram keras.
"Aku tak boleh tertangkap!" desisnya men-guatkan hati seraya mengerahkan hawa
murninya. Di lain saat dia sudah menghindar, namun
begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, so-
soknya agak goyah. Saat itulah Cokro Kliwing dan
Jodro Kliwing menyergapnya!
Tap! Tap! Jodro Kliwing berhasil menyergap ping-
gangnya, sementara Cokro Kliwing memegang ke-
dua tangannya. "Bawa dia ke balik semak!"
Jodro Kliwing segera memanggul tubuh
yang mulai melemah itu diikuti Cokro Kliwing yang tertawa-tawa seraya memegangi
kedua tangan Ra-tu Tanah Kayangan.
Namun sebelum keduanya berhasil tiba di
balik semak belukar, tiba-tiba saja terdengar jeritan susul menyusul.
Cokro Kilwing sudah melepaskan gengga-
mannya, begitu pula dengan Jodro Kliwing yang
telah melempar tubuh montok yang dipanggulnya!
"Gila! Tubuhnya mendadak menjadi sangat
panas!" seru Jodro Kliwing tertahan.
Sementara Cokro Kliwing sedang meman-
dangi Ratu Tanah Kayangan yang sudah berdiri
tegak kembali. Tubuh perempuan itu tiba-tiba saja bercahaya sangat terang. Hawa
panas seketika menggebah di sekitar tempat itu. Beberapa rang-
gasan semak mendadak layu. Cahaya terang yang
terpancar itu tiba-tiba saja bergumpal di kepalanya dan pelan-pelan naik di atas
kepala. Lalu bertebaran menjadi beberapa warna terang!
"Astaga! Dia berhasil mengeluarkan 'Ajian
Selaksa Sukma'," desis Cokro Kliwing kaget. Apalagi mengingat 'Uap Pelemah
Tenaga' yang mereka
lepaskan tadi kadarnya lebih tinggi ketimbang
yang pernah mereka lakukan pada Puspa Dewi.
Jodro Kliwing sendiri membeliak.
"Celaka! Keadaan sudah berbalik sekarang!
Rupanya 'Ajian Selaksa Sukma' mampu menahan
kehebatan 'Uap Pelemah Tenaga'!"
Di seberang, paras di balik cadar sutera
keemasan itu menegang. Sorot mata si perempuan
tajam tak berkedip.
"Beruntung aku masih mampu mengelua-
rkan 'Ajian Selaksa Sukma'. Hemm... bila saja tadi salah seorang atau keduanya
menotokku, dapat
kubayangkan petaka apa yang kualami...."
Habis membatin demikian, penuh kegusa-
ran Ratu Tanah Kayangan menggeram sengit, "Ta-di kalian kuberi ampunan tetapi
malah membang- kang! Sekarang... kematianlah yang akan kalian
terima!!" Sebelum Ratu Tanah Kayangan menyerang,
baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing memu-
tuskan untuk lebih dulu menyerang. Mereka tahu
kehebatan ajian yang dikeluarkan Ratu Tanah
Kayangan. Maka tindakan yang mereka lakukan
sebenarnya untung-untungan saja. Atau lebih te-
pat bila dikatakan mencoba menahan sejenak se-
belum melarikan diri.
Ratu Tanah Kayangan mendengus gusar
sebelum ditepukkan kedua tangannya yang seke-
tika suara ledakan dahsyat terjadi. Menyusul ge-
lombang angin dahsyat yang diiringi oleh cahaya
terang menggebrak ganas!
Kedua lelaki gundul itu segera mengurung-
kan serangannya seraya bergulingan ke samping
kanan dan kiri. Tetapi cahaya terang yang telah
menghantam tanah hingga berhamburan setinggi
dua tombak, mendadak saja terpecah dua, ber-
gumpal dan menderu ganas pada masing-masing
orang! Jeritan bertanda ngeri yang dalam terdengar dari dua tempat, Cokro
Kliwing berhasil menyela-matkan diri dengan cara memukulkan tongkatnya
di atas tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas.
Tetapi sial bagi Jodro Kliwing. Dia tak sempat melakukan tindakan apa-apa.
Hingga mau tak mau
tubuhnya terhantam cahaya itu dan terseret di
atas tanah! "Jodroooooo!" pekikan memecah langit terdengar dari mulut Cokro Kliwing begitu
melihat geliatan-geliatan kesakitan Jodro Kliwing! Cahaya terang itu masih
menggumpali tubuhnya yang terus
menggeliat. Geliatan-geliatan itu akhirnya terhenti.
Tatkala cahaya terang itu melesat kembali ke tan-
gan Ratu Tanah Kayangan, terlihat tubuh Jodro
Kliwing telah hangus.
"Perempuan setan! Kubunuh kau"!!" Cokro Kliwing menderu ganas. Dia tak lagi
menghiraukan rasa takutnya. Yang diinginkan sekarang adalah
membalas kematian kambratnya.
Dalam keadaan seperti itu, sudah tentu Ra-
tu Tanah Kayangan akan dengan mudah menca-
but nyawanya. Tetapi perempuan bercadar itu ju-
stru tidak melakukannya. Dia hanya bergeser ke
samping kanan. Secara tiba-tiba kaki kanannya
mencuat! Des!! Telak menghajar dagu Cokro Kliwing yang
terlempar ke atas dan terbanting di atas tanah! Dia pingsan seketika dengan
darah keluar dari mulut.
Ratu Tanah Kayangan menarik napas pen-
dek. "Manusia-manusia tak tahu diuntung," desisnya sambil memandang Cokro
Kliwing yang pingsan. Kemudian ditatapnya kejauhan sebelum
mendesis, "Terpaksa aku harus melacak lagi keberadaan Ratu Dinding Kematian...."
Tiga kejapan mata berikut, perempuan ber-
cadar sutera ini sudah meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan mayat Jodro Kliwing dan tubuh Co-
kro Kliwing yang pingsan.
TUJUH BEGITU melihat sosok pemuda berompi un-
gu di hadapannya, nenek berkonde hijau mengge-
ram dingin. "Dosa-dosamu sudah tak terampuni, Raja
Naga!" bentaknya dengan tangan bergetar menuding. Sepasang mata celongnya seolah
terlempar ke- luar. "Kau telah mencoreng nama baik gurumu
dan membuat rimba persilatan menjadi kacau! Se-
karang, kau telah menghantam Purwa dan perem-
puan itu!"
Di pihak lain Raja Naga yang tak menyang-
ka akan munculnya Dewi Lembah Air Mata dan
Sibarani membatin, "Celaka! Kehadiran Dewi Lembah Air Mata bisa mengacaukan
keadaan. Dan bi-
sa jadi perempuan berpakaian kuning keemasan
itu akan tetap memutarbalikkan keadaan."
"Pemuda terkutuk! Lebih baik kau kubunuh
sekarang!!"
Belum habis terdengar bentakan itu, tahu-
tahu sudah menderu gelombang angin yang me-
nyeret tanah ke arah Raja Naga yang mau tak mau
melakukan tindakan untuk menahan.
Blaaam! Blaaammm!!
Suara letupan dua kali berturut-turut ter-
dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi ta-
nah yang menghalangi pandangan itu luruh kem-
bali, Dewi Lembah Air Mata sudah menerobos ke
depan dengan tangan kanan kiri digerakkan.
Raja Naga menghindar ke samping kanan.
Sebelum dia tegak berdiri, dengan ekor mata ang-
kernya dilihatnya tubuh si nenek tiba-tiba mence-
lat ke udara untuk kemudian meluruk ke bawah
diiringi suara dengingan yang memekakkan telin-
ga. Raja Naga segera mendeham. Dehaman
yang mengandung tenaga tak nampak itu sesaat
mampu menahan lurukan tubuh Dewi Lembah Air
Mata. Di lain kejap, dia melompat mundur. Begitu
kedua kakinya menginjak tanah, dilihatnya Dewi
Lembah Air Mata telah merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada dengan kepala agak ditun-
dukkan. Melihat tindakan yang dilakukan si nenek,
kedua mata Raja Naga melebar. Sorot angkernya
terlihat tegang.
"Gawat! Dia hendak mengeluarkan ilmu
isakan anehnya itu!" serunya dalam hati.
Di pihak lain, Sibarani yang telah kehilan-


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan suaranya menggeram sengit pada Ratu Dind-
ing Kematian setelah memeriksa tubuh Purwa
yang pingsan. Kedua mata perempuan berpakaian
merah dengan pakaian dalam warna hijau ini me-
lotot dengan tangan menuding. Mulutnya berge-
rak-gerak seperti melontarkan makian, tetapi tak
ada suara yang keluar.
Ratu Dinding Kematian menggeram.
"Celaka! Mengapa bukan Dewi Lembah Air
Mata saja yang muncul" Kehadiran Sibarani dapat
mengacaukan semua rencanaku! Dan itu artinya.,.
setan! Lebih baik aku mengalah agar Raja Naga
mulai goyah dengan dugaannya! Tetapi, apakah
aku perlu melakukannya?"
Ratu Dinding Kematian menimbang bebera-
pa saat sebelum berkata, "Sibarani... mengapa"
Ada apa" Tatapanmu menampakkan kalau kau
menganggap aku seorang musuh"!"
Sibarani menuding dengan mulut berke-
mak-kemik tanpa ada suara yang terdengar.
Ratu Dinding Kematian mempergunakan
kesempatan itu, "Sibarani... apakah kau lupa dengan wajah Raja Naga" Pemuda
celaka yang telah
mencuri bunga-bunga keramat"!"
Mulut Sibarani terus bergerak-gerak, tetapi
tetap tak ada suara yang keluar. Tangannya yang
menuding gusar bergetar sementara matanya me-
nyorot tajam. Sementara itu, Ratu Dinding Kematian mu-
lai mendengar isakan Dewi Lembah Air Mata. Un-
tuk sesaat perempuan bertahi lalat tepat di kening ini terkejut.
"Gila! Apa yang terjadi" Kenapa nenek ber-
konde hijau itu menangis" Apakah... heiii! Raja
Naga terhuyung ke belakang! Astaga! Aku tahu,
aku tahu. Isakan si nenek rupanya mengandung
tenaga yang mengerikan! Kalau begitu...."
Memutus kata batinnya sendiri, Ratu Dind-
ing Kematian berkata lagi seraya berdiri, "Sibarani!
Lawan kita saat ini adalah Raja Naga! Dialah yang harus kita bunuh! Lantas
mengapa kau melotot
seperti itu padaku"!"
Tak kuasa menahan amarahnya, Sibarani
sudah menerjang ke depan seraya dorong tangan
kanan kirinya mengeluarkan ilmu 'Bentang Gu-
nung Banting Tanah'. Sudah tentu Ratu Dinding
Kematian tak mau tinggal diam. Dengan 'Ajian Se-
laksa Jiwa' dilabraknya Sibarani yang lima kejapan mata kemudian terdesak.
"Aku tidak boleh membunuhnya di hadapan
Dewi Lembah Air Mata, karena nenek berkonde hi-
jau itu bisa curiga! Huh! Sebaiknya dia kubikin
pingsan!" Tetapi membuat Sibarani pingsan ternyata
tak semudah dugaannya. Karena Sibarani ternyata
tahu apa yang diinginkan Ratu Dinding Kematian.
Hal itu mulai dirasakannya tatkala tak lagi mera-
sakan dahsyatnya gempuran Ratu Dinding Kema-
tian. Dan Sibarani justru mempergunakan kesem-
patan itu untuk mencoba mencecar.
Di pihak lain, Raja Naga yang tergontai-
gontai akibat ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata,
mau tak mau mengeluarkan Gumpalan Daun Lon-
tar miliknya yang begitu ditarik keluar dari perutnya, telah membentuk gumpalan
sebesar dua ke-
palan orang dewasa. Memang cukup aneh, karena
selama ini perut Raja Naga tidak menonjol akibat
gumpalan daun lontar yang tetap segar dan berca-
haya hijau itu. Ini dikarenakan kesaktian Gumpa-
lan Daun Lontar itu sendiri, yang begitu dimasuk-
kan ke balik pakaiannya, mendadak menjadi se-
perti lempengan dan menempel pada perutnya!
Dengan memecah Gumpalan Daun Lontar
yang tetap segar menjadi dua untuk dijadikan se-
bagai penutup telinga, anak muda bermata angker
itu menggebrak ke depan.
Dewi Lembah Air Mata mendengus gusar.
"Aku harus merebut Gumpalan Daun Lon-
tar itu!" Raja Naga sendiri tahu apa yang diinginkan
si nenek karena tangan kanan kiri si nenek selalu mengarah ke kedua telinganya.
"Tak perlu kuladeni nenek berkonde hijau
ini! Lebih baik kubantu Sibarani! Tidak seperti
Purwa yang begitu akrab dengan perempuan ber-
pakaian kuning keemasan itu, Sibarani nampak-
nya sangat murka. Dan dia seperti melupakan di-
riku yang disangkanya pelaku serangkaian pencu-
rian bunga-bunga keramat."
Memutuskan demikian, pemuda berkuncir
kuda ini menggerakkan kedua tangannya.
Buk! Buk! Sambaran tangan kanan kiri Dewi Lembah
Air Mata pada kedua telinganya tertahan. Begitu
kedua tangannya berhasil memapaki sambaran
Dewi Lembah Air Mata. Raja Naga tiba-tiba me-
nyergap. Ilmu 'Hamparan Naga Tidur' telah dile-
paskan. Dessss!! Telak menghantam dada datar Dewi Lem-
bah Air Mata. Sementara si nenek tergontai-gontai ke belakang dengan amarah
setinggi langit, Raja
Naga melesat ke depan. Tepat ketika tangan kanan
Ratu Dinding Kematian siap menghantam leher
Sibarani. Plaaak! Tepakan tangan kanan Raja Naga mengha-
langi niat perempuan mesum Itu yang tersentak
dan melompat ke belakang. Sementara Raja Naga
menyambar Sibarani untuk kemudian hinggap di
atas tanah. "Aku tidak tahu mengapa kau tidak bisa bi-
cara sekarang, aku juga tidak tahu mengapa kau
menyerang perempuan itu! Tetapi aku yakin, kau
mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu!"
Habis kata-katanya Raja Naga melesat ke
depan. "Sekarang kau tak bisa lagi menutupi siapa dirimu, Perempuan celaka!!"
Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' su-
dah dilepaskan oleh Raja Naga yang ditahan Ratu
Dinding Kematian dengan 'Ajian Selaksa Jiwa'. Ge-
lombang angin deras disemburati asap merah pu-
tus di tengah jalan! Tetapi kali ini Raja Naga bertindak cepat. Begitu surut ke
belakang, dijejakkan kaki kanannya yang serta-merta membuat tanah
berderak dan bergelombang hebat ke arah Ratu
Dinding Kematian.
"Terkutuk!" perempuan itu memaki keras
seraya membuang tubuh ke samping kiri.
Saat itulah Raja Naga menyergap cepat.
Tetapi... Buk! Buk! Sepasang kaki kurus yang bergerak bertubi-
tubi menahan niatnya dan membuatnya harus
mundur ke belakang.
Dewi Lembah Air Mata yang tadi mengha-
langi niatnya menggeram sengit, "Kau tak bisa melarikan diri, Pemuda keparat!"
"Dewi Lembah Air Mata!" seru Raja Naga keras. "Kau salah tempat dan salah orang!
Aku bukanlah orang yang telah mencuri bunga-bunga ke-
ramat! Tetapi perempuan celaka berpakaian kun-
ing itu!" Si nenek berkonde hijau melirik Ratu Dind-
ing Kematian yang wajahnya tegang. Di saat lain,
si nenek yang masih menahan nyeri pada dadanya
akibat serangan Raja Naga mendengus,
"Aku tak mengenal siapa perempuan itu! Te-
tapi dia nampaknya dekat dengan Purwa, karena
membela Purwa yang telah kau buat pingsan! Uru-
sanku adalah...."
"Apakah kau tak melihat Sibarani menye-
rangnya?" putus Raja Naga mulai gusar. Dia tidak mau kehilangan kesempatan untuk
membuktikan kalau dirinya tidak bersalah. "Bila kau mau pergunakan sedikit otakmu, kau
seharusnya memikir-
kan mengapa Sibarani menyerangnya!"
"Karena Sibarani menyangka perempuan itu
adalah sahabatmu!"
"Gila! Mengapa otakmu menjadi dungu se-
perti itu?" seru Raja Naga bertambah gusar. "Kalau perempuan itu sahabatku,
untuk apa kusela-matkan Sibarani! Dewi Lembah Air Mata! Buka
matamu lebar-lebar sekarang, Orang tua! Perem-
puan itu berniat untuk membunuh Sibarani!"
Kali ini Dewi Lembah Air Mata tak segera
angkat bicara. Ditatapnya perempuan berpakaian
kuning keemasan yang wajahnya makin mene-
gang. "Aku tak tahu apa yang terjadi saat ini. Tetapi... apa yang dikatakan Raja
Naga kelihatannya benar. Perempuan itu memang seperti hendak
membunuh Sibarani. Tetapi... mengapa" Menga-
pa" Apakah dia... astaga! Aku ingat apa yang di-
isyaratkan Sibarani ketika kutanyakan apakah Ra-
ja Naga telah mencuri Bunga Matahari Jingga" Te-
tapi dia menggeleng. Lantas... hemm... saat itu aku menduga, kalau Raja Naga
dibantu oleh seseorang
untuk mendapatkan bunga-bunga keramat. Bisa
jadi orang itu...."
"Dewi Lembah Air Mata! Mengapa kau terla-
lu lama berpikir" Kau ingin pencuri itu lari"!"
Seruan murid Dewa Naga membuat jalan
pikiran si nenek terputus. Sekarang matanya yang
celong menacing, keningnya berkerut.
"Raja Naga ingin menggunting dalam lipa-
tan! Dia bekerja sama dengan perempuan itu un-
tuk mencuri bunga-bunga keramat, lalu menuduh
dia seorang yang melakukannya! Licik!"
Berpikir demikian, Dewi Lembah Air Mata
menggeram seraya menatap tak berkedip, "Aku tak mudah kau muslihati! Kau telah
dibantu oleh perempuan itu untuk mencuri bunga-bunga kera-
mat! Karena tak sanggup menghadapiku, kau me-
nuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga itu
seorang diri! Terkutuk! Kau ternyata lebih licik dari yang kuduga!"
Kejap itu pula Dewi Lembah Air Mata siap
menerjang. Tetapi Sibarani telah menangkap tan-
gan kanannya. "Heiiii!! Apa yang kau lakukan"!"
Sibarani menatap tajam si nenek seraya
menggeleng keras-keras.
"Aku tak paham apa maksudmu!!"
Sibarani menuding Raja Naga lalu meng-
goyang-goyangkan kepalanya. Kemudian menun-
juk Ratu Dinding Kematian dan kali ini mengang-
guk-anggukkan kepalanya.
Dewi Lembah Air Mata memperhatikan tak
berkedip. Raja Naga menahan napas.
Ratu Dinding Kematian membatin resah,
"Rasanya penyamaranku sudah terbongkar seka-
rang. Aku harus mencari kesempatan untuk melo-
loskan diri...."
Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata mengge-
rakkan kepalanya ke arah Ratu Dinding Kematian.
"Perempuan! Siapa kau"!"
Ratu Dinding Kematian menahan debaran
dadanya yang mengeras, antara tegang dan mur-
ka. Pelan-pelan dia berkata, "Namaku Nimas Herning! Aku adalah kekasih Purwa
yang sedang men-
cari pemuda bersisik coklat itu!"
Belum lagi Dewi Lembah Air Mata teruskan
ucapan, Sibarani sudah melesat dengan penuh ke-
geraman ke arah Ratu Dinding Kematian.
Kendati rahasia dirinya akan terbongkar se-
karang, tetapi perempuan itu tak mau mati konyol.
Segera dibalas serangan Sibarani dengan gerakan
yang sukar diikuti mata.
Des! Des! Tahu-tahu Sibarani sudah terlontar ke be-
lakang tanpa mampu menguasai keseimbangan-
nya. Raja Naga mencoba menyambarnya, tetapi
Sibarani sudah keburu terbanting di atas tanah,
yang pingsan seketika!
Melihat hal itu Dewi Lembah Air Mata
membentak gusar, "Perempuan berpakaian kuning keemasan! Sekarang aku tak yakin
kau adalah kekasih Purwa! Sibarani adalah adik seperguruannya
yang tak seharusnya kau serang! Aku akan men-
gulitimu bila kau tidak mau mengatakan siapa di-
rimu sebenarnya!"
Rasa amarah di dada Ratu Dinding Kema-
tian sudah tidak bisa ditahan lagi. Tetapi perempuan yang tepat pada keningnya
terdapat sebuah
tahi lalat itu, berusaha untuk tahan amarahnya.
"Dewi! Tadi kukatakan namaku Nimas
Herning! Aku tak berniat mencelakakan Sibarani!
Aku hanya membela diri!"
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku!"
"Tak ada yang kusembunyikan! Aku dan
Purwa sama-sama sedang mencari Raja Naga yang
telah memperkosa dan membunuh adikku!" seru
Ratu Dinding Kematian. Dia sengaja menandaskan
kata-katanya terakhir untuk mengubah pikiran
Dewi Lembah Air Mata.
Tetapi rupanya si nenek sudah tidak ter-
pengaruh sekarang. Dia justru mempertimbang-
kan sikap Sibarani sebelum pingsan tadi. Dilirik-
nya Raja Naga sesaat sebelum berkata lagi, "Kau menyembunyikan sesuatu!!"
Belum habis bentakannya, tiba-tiba saja si
nenek sudah membuang tubuh, ke samping ka-


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nan. Karena gelombang angin bertaburan cahaya
warna-warni sudah menyerangnya! Rupanya Ratu
Dinding Kematian telah mengambil kesempatan
lebih dulu "Heiiiii!!" si nenek memekik tertahan.
Raja Naga bergerak cepat menyambar tu-
buhnya karena serangan susulan dari perempuan
berpita kuning itu sudah menderu lagi ke arah si
nenek! Blaaammm!!
Tanah terangkat naik ditaburi cahaya war-
na-warni yang bertebaran! Cukup lama tanah itu
menghalangi pandangan sebelum kemudian luruh
kembali di atas tanah.
Saat itulah Raja Naga yang telah menurun-
kan tubuh Dewi Lembah Air Mata menggeram sen-
git. Karena sosok Ratu Dinding Kematian sudah
tidak ada di sana, bersama dengan tubuh pingsan
Purwa! DELAPAN ANAK muda bersisik! Aku tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi! Selama ini kaulah yang
kuanggap sebagai pencuri bunga-bunga keramat!
Jelaskan secara rinci sebelum kuputuskan untuk
tetap pada tuduhan itu!" suara Dewi Lembah Air Mata membuat Raja Naga
memalingkan kepalanya. Anak muda dari Lembah Naga ini tak segera
menjawab. Mata angkernya berkilat-kilat menan-
dakan kegusarannya. Sisik-sisik coklat pada len-
gan kanan kirinya sebatas siku lebih terang dari
sebelumnya. "Orang tua... kesalahpahaman yang selama
ini terjadi memang harus diluruskan. Aku bukan-
lah pencuri bunga-bunga keramat!" sahutnya lalu diceritakannya bagaimana Purwa
dan Sibarani menuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga ke-
ramat (Baca : "Terjebak di Gelombang Maut").
"Aku tak bisa mempercayai ucapanmu begi-
tu saja!" "Kau bisa menanyakannya pada Puspa De-
wi!" "Siapa orang itu?"
"Dia murid Ratu Tanah Kayangan! Dan ten-
tunya Ratu Tanah Kayangan tahu kebenaran dari
semua ini!"
"Kalau bukan kau yang mencurinya, siapa
pencuri itu?" seru si nenek berkonde hijau setelah terdiam beberapa saat.
"Dia adalah Ratu Dinding Kematian!"
Dewi Lembah Air Mata terdiam.
"Aku ingat, kalau Dewa Segala Dewa me-
nyuruh Dewa Seribu Mata untuk menjumpai Ratu
Dinding Kematian. Jangan-jangan orang tua itu
memang mencurigai Ratu Dinding Kematian. Ta-
pi... aku tak bisa percaya begitu saja pada kata-
kata pemuda ini."
Habis membatin begitu, si nenek berkata,
"Ratu Dinding Kematian yang telah mencurinya katamu! Sulit dipercaya mengingat
dia salah seorang murid Dewa Pengasih!"
"Mungkin pula sulit dipercaya kalau Ratu
Tanah Kayangan yang juga murid Dewa Pengasih
sedang memburu saudara seperguruannya sendiri!
Yang berniat untuk mendapatkan Kitab Ajian Se-
laksa Sukma yang bila digabungkan dengan Kitab
Ajian Selaksa Jiwa akan menjadi sebuah ilmu yang
mengerikan! Karena memiliki ilmu yang seimbang
dengan Ratu Tanah Kayangan, Ratu Dinding Ke-
matian memutuskan untuk mencuri bunga-bunga
keramat!" Si nenek mendengus.
"Lantas, di mana aku harus mencari Ratu
Dinding Kematian"!"
Raja Naga tak menjawab. Mata angkernya
tak berkedip ke arah si nenek yang seketika mera-
sa jantungnya berdebar lebih kencang. Di lain saat dia berucap pelan, "Perempuan
yang hendak membunuh Sibarani tetapi sebelumnya kau bela
itulah Ratu Dinding Kematian!"
Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata
mendengarnya. Untuk sesaat dia terdiam. Lalu di-
arahkan pandangannya pada Sibarani yang masih
pingsan. Saat diangkat kepalanya lagi untuk me-
mandang Raja Naga, pemuda berompi ungu itu
sudah tidak ada di tempatnya!
Untuk beberapa lama Dewi Lembah Air Ma-
la terdiam di tempatnya. Otak tuanya dipenuhi
bermacam pikiran yang membuat perasaannya ja-
di tidak tenang.
"Aku telah salah sangka...," desisnya pelan.
Angin semilir membelai wajah keriputnya. "Aku harus meluruskan kebenaran
ini...." Kemudian dihampirinya Sibarani dan dipe-
riksanya tubuh perempuan itu sebelum dilakukan
pengobatan. * * * Raja Naga tak mau menghentikan larinya
barang sekejap pun. Kendati lelah tak terkira
mendera kedua kakinya, anak muda bersisik cok-
lat itu terus berlari. Pikirannya hanya berpusat
pada Ratu Dinding Kematian.
Cukup lama dia mencari bukti-bukti kalau
dirinya tidak bersalah dan sudah tentu dia tak
akan mau melepaskannya karena bukti itu sudah
di ambang mata.
Tetapi sampai matahari kembali muncul da-
ri peraduannya, anak muda itu tetap tak mene-
mukan jejak Ratu Dinding Kematian yang melari-
kan diri dengan membawa Purwa yang pingsan. Di
samping merasa sia-sia untuk melakukan pengeja-
ran, dan juga karena lelahnya sudah tak tertahan-
kan lagi, anak muda itu terpaksa menghentikan
larinya Dipandanginya sekelilingnya yang sepi. Beberapa buah pohon tegak berdiri
dengan dedau- nannya yang rimbun.
"Ratu Dinding Kematian... semakin jelas se-
karang. Dialah pencuri bunga-bunga keramat," desisnya setelah mengatur napas.
Sorot matanya yang angker tak berkedip ke beberapa tempat. "Sulit bagiku menemukan di mana dia
berada seka- rang." Kembali pemuda ini terdiam sebelum berkata, "Tindakan yang dilakukan
Sibarani terhadap perempuan itu menunjukkan telah terjadi satu peristiwa yang
membuat Sibarani begitu murka. Bisa
jadi kalau suaranya yang lenyap akibat perbuatan
Ratu Dinding Kematian yang mengaku bernama
Nimas Herning. Tetapi sayangnya, Purwa berada
dalam genggaman perempuan itu."
Teringat pada lelaki bercambang itu, Raja
Naga mengerutkan keningnya.
"Kebalikan dari sikap Sibarani terhadap Ra-
tu Dinding Kematian, Purwa begitu dekat sekali.
Hemm... ada apa di balik keadaan ini" Apakah...."
Raja Naga urung meneruskan jalan pikiran-
nya. Digeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketimbang pikiranku semakin tak menen-
tu, sebaiknya kuteruskan langkah mencari perem-
puan berpakaian kuning keemasan itu!"
Tetapi satu suara membuat pemuda itu
mengurungkan niatnya. "Mengapa harus tergesa-gesa, Anak muda"!"
Raja Naga segera palingkan kepalanya ke
kanan. Untuk beberapa saat dia terdiam dengan
mata waspada, lurus pada perempuan berpakaian
biru keemasan yang sedang melangkah mendeka-
tinya. "Perempuan ini memakai cadar sutera keemasan. Rambutnya disanggul indah.
Di telinganya terdapat anting-anting mutu manikam. Siapakah
perempuan ini" Mengapa dia menahan langkah-
ku"!" Sementara Raja Naga membatin demikian, si perempuan menghentikan
langkahnya sejarak
sepuluh tindak dari Raja Naga. Sesaat dipandan-
ginya pemuda di hadapannya dengan seksama.
"Dari keseluruhan yang nampak di tubuh-
nya, matanyalah yang sangat mengerikan. Sorot-
nya tajam, angker dan menusuk hingga jantung.
Siapakah dia yang... astaga! Aku tahu siapa anak
muda ini!"
Habis membatin demikian, perempuan ber-
cadar sutera itu berkata, "Anak muda! Kau nampak terburu-buru, hingga rasanya
tidak enak aku mengganggumu! Tetapi, ada kebutuhan mendesak
hingga membuatku mau tak mau menahan lang-
kahmu!" Ucapan si perempuan berpakaian biru kee-
masan yang lembut dan sopan membuat Raja Na-
ga terdiam. Dipandanginya sesaat perempuan itu sebe-
lum berkata, "Setiap manusia selalu saja merasakan memiliki kebutuhan-kebutuhan
yang mende- sak! Perempuan bercadar, aku menyediakan wak-
tu beberapa kejapan mata untukmu."
"Terima kasih!" sahut si perempuan. "Kudengar sejak tadi kau menyebut-nyebut
julukan Ratu Dinding Kematian! Pertanyaanku, apakah
kau berjumpa dengan perempuan berpakaian kun-
ing keemasan itu?"
Raja Naga tak menjawab. Matanya tak ber-
kedip ke depan. Diam-diam dia membatin, "Ada urusan apa lagi ini" Perempuan ini
menanyakan tentang Ratu Dinding Kematian. Pertanyaannya
diucapkan datar saja, hingga sulit kutangkap
maksudnya di balik pertanyaan itu. Tetapi...."
Memutus kata batinnya sendiri, anak muda
bersisik coklat pada lengan kanan kirinya sebatas siku ini segera berkata,
"Perempuan bercadar! Ya, belum lama ini aku berjumpa dengan orang yang
kau maksud!"
Di luar dugaan Raja Naga, perubahan pada
wajah di balik cadar sutera itu begitu jelas. Kali ini suara si perempuan
terdengar agak sengit, "Katakan di mana perempuan itu berada"!"
"Aku belum mengenal siapa kau adanya dan
aku tak tahu ada urusan apa kau dengan Ratu
Dinding Kematian! Tetapi sebaiknya, kau jelaskan
terlebih dulu!"
Dari balik cadar yang dikenakannya, sepa-
sang mata bening yang indah itu membulat tajam.
Untuk beberapa saat hening menghampar seiring
dengan matahari yang terus berangkat naik ke ti-
tik atasnya. "Anak muda... urusanku dengan Ratu Dind-
ing Kematian sangat erat hubungannya dengan-
mu!" Raja Naga memicingkan matanya.
"Apa lagi maksud perempuan ini" Sikapnya
sukar kutebak. Dia tetap kelihatan tenang," katanya dalam hati. Lalu berkata,
"Aku semakin bertambah tidak mengerti."
"Mungkin kau berlagak tidak mengerti ka-
rena kau belum mengenal siapa aku! Tetapi aku
merasa pasti kalau sedikit banyaknya kau sudah
mendengar siapa aku adanya!"
Raja Naga tersenyum.
"Dari ucapanmu kau nampaknya begitu ya-
kin kalau kau sudah mengenal aku."
"Siapa yang tidak mengenal pemuda berciri-
kan seperti yang ada pada dirimu, Raja Naga"!"
Seruan si perempuan sesaat membuat ke-
pala murid Dewa Naga itu menegak.
"Dia mengenalku rupanya. Tetapi aku be-
lum mengenal siapa dia adanya," katanya dalam hati. Masih tersenyum dia berkata,
"Biar tidak terjadi kesalahpahaman, sebaiknya kau perkenalkan
siapa dirimu, Perempuan bercadar!"
Perempuan bercadar sutera keemasan itu
tak segera buka mulut. Raja Naga melihat senyu-
man lebar bertengger di balik cadar sutera.
Menyusul didengarnya kata-kata, "Selama
ini kau berada dalam lingkaran dan gelombang
maut dari tuduhan-tuduhan tentang dirimu. Dan
sudah tentu kau berusaha untuk mencari kejela-
san dan bukti-bukti kalau kau tidak bersalah!
Anak muda berjuluk Raja Naga... kau boleh men-
genalku dengan julukan Ratu Tanah Kayangan!"
SEMBILAN TEMPAT yang dipenuhi bebukitan itu nam-
pak suram, padahal saat ini matahari sudah me-
nebarkan sinarnya ke segenap penjuru tempat itu.
Suasana sunyi senyap, seolah tempat yang dind-
ing-dinding bukit di sekitarnya landai dan curam
tak berpenghuni. Tempat yang juga dipenuhi pe-
pohonan itu seperti mengisyaratkan satu kematian
berkepanjangan.
Di antara dua buah bukit dengan dinding-
dinding yang terjal, terdapat sebuah bangunan
yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil.
Kendati demikian bangunan itu terbuat dari kayu-
kayu jati yang sangat kokoh. Di sekitar bangunan
itu terdapat batu-batu cukup besar dan... astaga!
Nampaknya tak ada jalan untuk menuju ke ban-
gunan itu kecuali melompati batu-batu yang
menghadangnya. Tindakan seperti itulah yang dilakukan oleh
satu bayangan kuning yang bergerak cepat. Lang-
kahnya nampak lincah walaupun parasnya seperti
menahan satu penderitaan. Di punggungnya tergo-
lek satu sosok tubuh berpakaian biru yang dalam
keadaan pingsan.
Begitu kedua kakinya hinggap di atas se-
buah batu besar, si bayangan kuning yang bukan
lain Ratu Dinding Kematian sudah menggenjot tu-


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buhnya dan... Tap! Kini kedua kakinya sudah menginjak bagian
depan dari bangunan itu. Tanpa menghentikan
langkahnya, tangannya digerakkan ke atas dua
kali. Pintu kayu jati yang berat itu berderit dan terbuka. Tetap tanpa berhenti
sekali pun Ratu
Dinding Kematian masuk ke dalam bangunan itu.
Aroma wangi menyergap hidungnya.
Purwa yang berada dalam bopongannya
menggeliat setelah hidungnya menangkap aroma
wangi. "Kau tak boleh tahu dulu apa yang akan kulakukan!" desis Ratu Dinding
Kematian seraya me-rebahkan tubuh lelaki itu di atas sebuah tempat
tidur berkasur empuk. Lalu...
Tuk! Tuk! Tangannya menotok, tubuh Purwa mengejut
sejenak. Lelaki yang hampir saja tersadar dari
pingsannya ini, kini terkulai lagi.
Di lain saat, Ratu Dinding Kematian meng-
hampiri sebuah lemari berukir yang terdapat di
sudut kamarnya. Dibukanya lemari itu dan diam-
bilnya sebuah pakaian berwarna kuning keema-
san, sama seperti yang dipakainya.
Lalu dihampirinya sebuah cermin besar. Di-
perhatikan wajahnya yang terlihat kacau balau.
Parasnya tiba-tiba saja mengeras. Didahului den-
gusan, dibuka pakaiannya yang telah robek akibat
perbuatannya sendiri (Baca : "Terjebak di Gelom-
bang Maut").
Seketika kulit mulus miliknya terpampang.
Demikian pula dengan sepasang buah dada besar
yang menggiurkan. Ujung-ujungnya yang berwar-
na kemerahan nampak agak menegang. Untuk se-
saat Ratu Dinding Kematian melupakan kekesa-
lannya pada Raja Naga. Dikaguminya tubuhnya
sendiri, Tiba-tiba saja terdengar desisannya cukup
meremangkan bulu roma. Lalu dirabanya kedua
payudara montok itu dan diremas-remasnya. Sete-
lah puas meremas-remas payudaranya sendiri, Ra-
tu Dinding Kematian membuka pakaian bagian
bawahnya hingga yang tinggal hanya sehelai kain
berwarna merah jambu yang masih melekat di
pangkal pahanya.
Dikaguminya lagi tubuhnya yang indah itu,
yang mampu membuat setiap laki-laki terpesona
dan rela mengorbankan nyawa untuk dapat meni-
durinya. Mendadak perempuan ini mengeluh. Dipe-
ganginya dadanya yang kini terasa sesak.
"Pemuda keparat!" geramnya dengan wajah murka. "Kau tak akan kulepaskan lagi!
Kaulah yang menjadi tumbal bunga-bunga keramat ini!
Orang pertama yang akan kubunuh sebelum ku-
bunuh Ratu Tanah Kayangan!"
Sesaat perempuan yang tanpa pakaian ini
mengingat lagi peristiwa kemarin. Dia memang tak
mampu menghadapi Raja Naga, apalagi saat itu
Dewi Lembah Air Mata pun sudah berpihak pada
Raja Naga. Makanya diputuskan untuk mening-
galkan mereka dan satu-satunya tempat yang bisa
didatanginya dengan aman hanyalah tempat ting-
galnya di Dinding Kematian.
Lalu diliriknya Purwa yang masih pingsan.
"Lelaki itu masih berguna untukku...," desisnya. Kembali dipandangi tubuhnya di
cermin be- sar. Pelan-pelan diturunkannya sisa kain yang me-
lekat pada pangkal pahanya, hingga kini dia dalam keadaan polos.
"Luar biasa! Pantas... pantas setiap laki-laki tergila-gila oleh tubuhku!!"
Dalam keadaan polos, Ratu Dinding Kema-
tian masuk ke kamar mandi yang ada di kamar-
nya. Dibersihkan tubuhnya sebersih-bersihnya.
Lalu dikenakan pakaian yang tadi diambilnya dari
lemari besar itu.
"Aku tak boleh membuang waktu. Pagi ini
juga harus kurendam bunga-bunga keramat untuk
mendapatkan kesaktian darinya. Setelah itu...," si perempuan terdiam sejenak
sebelum terlihat seringaian di bibirnya, "Bodoh! Mengapa tidak kuhu-bungi Bancak
Bengek"! Kakek kurus kerempeng
itu sudah tentu akan bersedia membantuku! Huh!
Dengan modal tubuhku ini, tak ada yang perlu ku-
risaukan untuk meminta bantuan pada orang se-
perti Bancak Bengek maupun Setan Gundul Hutan
Larangan!"
Teringat pada dua lelaki kepala gundul ber-
pakaian ala pendeta yang pernah mengancamnya,
Ratu Dinding Kematian menggeram sengit.
"Kedua manusia gundul itu harus mampus
pula di tanganku! Bukan untuk menutup mulut
mereka, karena rahasiaku sudah terbongkar! Te-
tapi... agar mereka tahu kalau aku tak bisa disem-barangkan begitu saja!"
Kejap kemudian, dengan gerakan-gerakan
yang sangat cepat Ratu Dinding Kematian me-
nyiapkan sebuah baki yang telah berisi air. Lalu
duduk bersemadi di hadapan baki yang cukup be-
sar itu. Mulutnya berkemak-kemik sementara tan-
gannya mengulap-ngulap di atas air itu.
Setelah beberapa saat dihela napas pan-
jang-panjang. "Kini tibalah saatnya untuk menjalankan
seluruh keinginan yang telah kudapatkan...."
Habis berucap demikian, kali ini Ratu Dind-
ing Kematian merangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Kejap itu pula nampak cahaya warna-
warni bertebaran di atas kepalanya yang ketika
kedua tangannya diangkat serta ditepukkan pada
cahaya warna-warni itu, cahaya itu lenyap.
Menyusul, "Datanglah kemari!!"
Tujuh gelombang angin tiba-tiba saja men-
deru-deru, menabrak dinding bangunan itu yang
menimbulkan suara cukup keras. Ratu Dinding
Kematian menggerakkan tangannya ke depan dan
memancangkan matanya tajam-tajam!
Saat itu pula tujuh gelombang angin yang
menabrak dinding tadi berhenti dan sebagai gan-
tinya terlihat tujuh buah bunga berlainan jenis
dan beraneka warna di hadapannya!
Seketika pecah tawa Ratu Dinding Kema-
tian. Matanya memandang ketujuh bunga berlai-
nan jenis yang mengambang di udara. Amarahnya
pada Raja Naga, dendamnya pada Ratu Tanah
Kayangan dan murkanya pada Setan Gundul Hu-
tan Larangan seperti lenyap seketika.
"Bunga-bunga keramat!" desisnya penuh
kepuasan. "Tiga Penguasa Bumi ternyata orang-orang bodoh! Tak pernah memikirkan
kemungki- nan bunga-bunga keramat diambil orang! Berun-
tung aku yang pernah mendengar cerita Dewa
Pengasih tentang bunga-bunga keramat."
Perempuan ini menghentikan desisannya.
"Dengan 'Ajian Selaksa Jiwa' aku dapat me-
nutupi keberadaan bunga-bunga keramat yang te-
lah kucuri tanpa seorang pun dapat melihatnya.
Dan sekarang... tibalah saatnya untuk memulai
seluruh yang kuinginkan!!"
Habis desisannya, tangan kanan kiri Ratu
Dinding Kematian mengulap ke arah bunga-bunga
keramat. Lalu pelan-pelan mengarahkan tangan-
nya pada air di dalam baki.
Ketujuh bunga yang terdiri dari Bunga Me-
lati Hijau, Bunga Mawar Ungu, Bunga Anyelir
Kuning, Bunga Kamboja Merah. Bunga Kecubung
Putih, Bunga Anggrek Biru dan Bunga Matahari
Jingga masuk ke dalam baki berisi air itu. Air bening di dalam baki berubah
menjadi warna hijau
tatkala Bunga Melati Hijau masuk ke dalamnya.
Terus berubah menjadi ungu, kuning, merah, pu-
tih, biru dan jingga.
Ketujuh warna itu beraduk-aduk menjadi
satu, sementara bunga-bunga itu mengambang.
Pelan-pelan air di dalam baki itu bergerak memu-
tar, semakin lama bertambah cepat hingga terden-
gar desingan-desingan yang kuat.
Seringaian di bibir Ratu Dinding Kematian
semakin melebar. Dia tak sabar untuk menunggu
putaran air itu berhenti. Ditunggunya dengan sek-
sama tanpa mengalihkan perhatiannya dari air
yang telah berubah warna laksana warna pelangi.
Cukup lama air itu berputar hingga kemu-
dian berhenti. Kalau sebelumnya bunga-bunga itu
mengambang, kali ini tenggelam.
"Inilah saatnya...."
Pelan-pelan Ratu Dinding Kematian mengu-
lurkan tangannya untuk memegang baki itu. Teta-
pi kejap itu pula tangannya ditarik ke belakang
dengan mata membelalak.
"Astaga! Aku seperti memegang besi yang
sangat panas!" serunya tertahan. Dipandanginya baki berisi air di hadapannya.
"Dapat kupastikan kalau panas itu berasal dari bunga-bunga keramat
ini." Segera ditariknya napas kuat-kuat, lalu di-tahannya di bawah perut. Hawa
murni di dalam tubuhnya dialirkan hingga kini dia merasa tubuh-
nya melayang. Dan... gila! Bukan hanya dirasa tu-
buhnya melayang, tetapi tubuhnya memang men-
gambang dua jengkal dari lantai.
Lalu pelan-pelan dijamahnya baki itu. Wa-
lau masih terasa panas, tidak seperti sebelumnya.
Kemudian diangkatnya dengan mulut berkemak-
kemik. Sesaat diperhatikannya air yang berwarna-
warni itu sebelum kemudian didekatkan bibir baki
itu pada mulutnya.
Kejap berikutnya...
Gluk... gluk... gluk....
Air yang mengisi penuh baki itu kini telah
habis seluruhnya. Saat meminum tadi, Ratu Bind-
ing Kematian berjaga-jaga agar jangan setetes air pun yang tumpah ke bumi.
Tak ada perubahan apa-apa pada dirinya.
Ditunggunya beberapa saat. Tetapi perubahan itu
tetap tidak dirasakannya.
"Astaga! Apakah ada yang salah" Mengapa
aku tidak merasa apa-apa?" serunya sedikit merasa aneh dan terkejut. "Apakah
aku... heiii!!!"
Tiba-tiba saja tubuh Ratu Dinding Kematian
yang masih mengambang dua jengkal dari tanah,
melesat ke atas! Dan menabrak atap hingga jebol!
Ratu Dinding Kematian menjerit tertahan.
Tanpa sadar dadanya berdebar keras. Seluruh ke-
gembiraannya karena merasa telah berhasil memi-
num air rendaman dari bunga-bunga keramat sir-
na seketika. Tubuhnya terus meluncur ke atas. Namun
seperti ditahan satu tenaga, celatan tubuhnya ti-
ba-tiba terhenti. Berbalik dan menukik deras ke
bawah! Kecepatannya melebihi sebuah batu bin-
tang yang jatuh dari langit.
Perempuan mesum berpakaian kuning
keemasan itu memekik keras, memecah pagi dan
memantul di antara dinding-dinding bukit. Karena, dia tak mampu menahan luncuran
tubuhnya yang sangat cepat itu, sementara kepalanya berada di
bawah SELESAI Ikuti kelanjutan serial ini:
DEWA PENGASIH Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Tiga Dara Pendekar 19 Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian Pedang Bengis Sutra Merah 3
^