Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 10

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 10


Namun bagaimanapun juga, serangan ketiga orang
lawannya itupun selalu kandas oleh kecepatan gerak
Witantra. Apakah ia menghindar atau menangkis serangan
lawannya. Namun dalam pada itu, baik Witantra maupun Mahisa
Agni tidak dapat bersikap terlalu sabar menghadapi lawanlawan
mereka yang kasar. Mereka tidak dapat membiarkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesulitan
menghadapi dua orang lawan mereka yang keras daa tanpa
menghiraukan cara yang mereka pergunakan.
Karena itu, maka baik Mahisa Agni. maupun Witantra
telah berusaha untuk dapat berbuat sesuatu secepatnya.
Apalagi ketika mereka melihat kedua anak muda itu telah
terpisah semakin jauh. Witantralah yang melawan tiga orang lawan itupun telah
mengambil satu keputusan untuk berbuat lebih cepat.
Karena itu, maka iapun semakin meningkatkan ilmunya.
Dengan mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya
yang disalurkan lewat pedangnya, maka Witantra telah
bertindak cepat. Demikianlah, ketika ketiga orang lawannya
menyerangnya beruntun, maka dengan kekuatan yang tidak
terduga, Witantra telah berusaha merampas ketiga senjata
lawannya. Tetapi, usahanya tidak mudah dilakukannya. Ketika
orang pertama menyerangnya dengan senjata terjulur, maka
Witantra telah berhasil memukul senjata lawannya,
sehingga senjata itu terloncat jauh. Namun ternyata bahwa
kedua orang kawannya tidak tergesa-gesa melakukannya
sebagaimana dilakukan oleh orang yang pertama. Kedua
orang itu justru memencar. Mereka datang beruntun dengan
sikap yang jauh lebih berhati-hati. Karena itu, maka
Witantra tidak segera dapat melemparkan senjata kedua
orang itu. Namun dalam pada itu, kegelisahannyapun menjadi
semakin meningkat. Mahisa Pukat telah terdesak semakin
jauh. Bahkan sekilas, Witantra melihat, bahwa anak muda
itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ternyata kedua
lawannya memiliki sedikit kelebihan dari dua orang yang
telah berbaring diam di pinggir jalan itu. Demikian juga
lawan Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Murti tidak dapat
mengatasi kedua lawannya, meskipun ia masih sempat
meloncat-loncat menghindari serangan mereka.
"Nampaknya mereka memiliki tataran yang lebih tinggi
dari kedua orang yang menjadi tawanan itu" berkata
Witantra di dalam hatinya.
Karena itulah, maka iapun segera bertindak cepat, la
tidak membiarkan seorang yang senjatanya terlepas itu
dapat memiliki senjatanya kembali. Karena dengan
demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi semakin
panjang. Dalam kegelisahan itu, maka Witantra menjadi-kurang
dapat mengendalikan diri. Ketika lawannya yang
kehilangan senjatanya itu mempergunakan kesempatan,
selagi Witantra melayani dua orang kawannya untuk
mengambil senjatanya, maka Witantra telah berusaha
mencegahnya. Namun, selain kegelisahannya Witantra juga tergesagesa
karena ia melihat dua orang lawannya yang lain telah
bersiap. Sehingga dengan demikian, maka ia kurang dapat
mengendalikan tangannya. Ketika lawannya yang seorang itu sedang berusaha
meraih senjatanya, tiba-tiba saja Witantra meloncat panjang
dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya. Ayunan
pedangnyapun ternyata kurang dikendalikannya. Dengan
demikian, maka sekejap kemudian telah terdengar keluhan
tertahan. Orang yang berusaha mengambil senjatanya itu
telah terdorong dan jatuh terguling di tanah. Dadanya telah
dikoyakkan oleh goresan senjata Witantra, sehingga
darahpun telah memerah. "Uh, gila" geram orang itu sambil menggeliat. Perasaan
sakit telah menyengat kulitnya pada lukanya yang
memanjang itu. "O" desis Witantra "apaboleh buat. Bukan maksudku
untuk membunuhmu. Mudah-mudahan kau dapat bertahan
untuk tetap hidup tanpa mengganggu perjalananku ke
Singasari membawa dua orang kawanmu itu"
Tetapi luka itu terlalu lebar. Dan darahpun mengalir
terlalu banyak. Meskipun demikian, orang itu masih
kesakitan. Dua orang kawannya menjadi berdebar-debar. Bertiga
mereka tidak berhasil mengalahkan orang itu. Apalagi
hanya berdua saja. Sementara kawannya yang terluka itu
benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Namun dalam pada itu, kedua orang lawan Witantra
yang tersisa telah melihat, bahwa dua orang lawan Mahisa
Pukat memiliki kelebihan dari anak muda itu. Karena itu,
maka kedua orang lawan Witantra itupun menganggap
hahwa anak muda itu akan cukup dihadapi oleh seorang
saja. Setidak-tidaknya orang itu akan dapat bertahan untuk
waktu yang cukup lama. Dalam pada itu, Witantra yang sudah kehilangan
seorang lawannya justru semakin mempercepat tata
geraknya. Ia memang berharap agar kedua lawannya yang
tersisa itu memanggil kawannya yang lain untuk membantu
mereka. Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu sudah tidak
berdaya sama sekali menghadapi kecepatan gerak Witantra,
maKa seorang diantara merekapun segera memberi isyarat
kepada seorang kawannya yang bertempur melawan
Mahisa Pukat. "Tunggu sebentar" teriak kawannya itu dari antara
tanaman di sawah"aku akan segera menyelesaikan anak
ini" Namun hampir bersamaan dengan itu, Witantra
mendesak kedua kawannya semakin cepat. Senjatanya
berputar membingungkan. Namun Witantra masih belum
mengakhiri pertempuran itu. Ia masih berharap salah
seorang lawannya memanggil lagi kawannya yang
bertempur melawan Mahisa pukat.
Sementara itu, Mahisa Pukat bertahan dengan sekuat
tenaganya. Meskipun ia merasa tekanan lawannya menjadi
semakin berat, tetapi ia masih mempunyai kesempatan
untuk menghindarkan diri dari bahaya yang sebenarnya.
Dengan loncatan-loncatan panjang ia berhasil menghindari
setiap serangan, meskipun lawan-lawannya selalu
mengumpannya dengan kasar.
"Pengecut" geram salah seorang lawannya "kau hanya
mampu berloncatan menghindar. Ayo, tunjukkan bahwa
kau bertempur dengan jantan"
"Apakah artinya jantan menurut kalian?" bertanya
Mahisa Pukat "bertempur berdua?"
"Anak setan" geram orang itu. Sementara serangannya
menjadi semakin cepat. "Cepat. Kemari" teriak orang yang terluka itu "kita
binasakan dahulu tikus tua ini. Baru kemudian kita akan
membunuh anak-anak muda itu"
Namun daiam pada itu, kedua lawan Witantra benarbenar
dalam keadaan yang sangat sulit. Bahkan sejenak
kemudian, seorang diantara mereka telah terdorong
beberapa langkah surut. Ujung senjata Witantara telah
tergores di lengannya, meskipun hanya segores tipis.
Kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat
menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba seorang diantara
mereka berkata "Tinggalkan anak ini. Biarlah aku yang
menyelesaikan" Kawannya masih saja ragu-ragu. Namun ketika ia
melihat kesulitan kawannya yang bertempur melawan
Witantra, maka iapun segera meninggalkan Mahisa Pukat,
berlari-lari mendekati kawan-kawannya yang bertempur
melawan Witantra. Mahisa Pukat yang melihat seorang lawannya
meninggalkannya, terasa ia mendapat kesempatan untuk
bangkit dari kesulitannya. Bahkan hampir diluar sadarnya,
iapun berkata "Nah, sekarang baru kita berhadapan sebagai
dua orang laki-laki"
"Persetan" geram lawannya "kau sangka kau masih akan
sempat hidup lebih lama lagi"
"Berdua kau tidak dapat membunuhku. Apalagi seorang
diri" sahut Mahisa Pukat.
"Aku memang tidak dapat membunuh seorang yang
berlari-lari ketakutan seperti yang kau lakukan. Tetapi
berhadapan dengan tanggon, maka kau akan binasa" jawab
lawannya. Mahisa Pukat bergeser selangkah. Namun
bagaimanapun juga ia tidak dapat ingkar, bahwa tenaganya
memang sudah mulai susut setelah ia memeras tenaga
melawan dua orang yang memiliki ilmu melampaui dua
orang yang telah tertawan itu.
Meskipun demikian, namun Mahisa Pukat mempunyai
harapan yang lebih besar untuk dapat bertahan setelah
lawannya berkurang. Dalam pada itu, ketika Witantra harus berhadapan lagi
dengan tiga orang, maka iapun telah bertempur semakin
cepat. Tenaganya menjadi semakin kuat dan ujung
senjatanya berputaran bagaikan haling-baling. Bahkan
kemudian, ketika ketiga lawannya berusaha
mengepungnya, maka Witantralah yang telah membuat
ketiga orang lawannya kebingungan, karena arah serangan
Witantra yang beruban setiap saat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja
mengalami kesulitan. Ia masih harus bertempur melawan
dua orang. Dua orang yang memang memiliki kelebihan
dari dua orang yang telah tertawan itu.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni mempunyai cara
yang berbeda dari cara yang sudah ditempuh oleh Witantra.
la tidak segera mengurangi jumlah lawannya. Tetaoi ia
telah memancing lawannya untuk bergeser dari tempai
mereka bertempur. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Agni telah
menunjukkan satu sikap yang meragukan, justru karena
Mahisa Agni selalu berloncatan mundur.
Tetapi akhirnya ketiga orang lawannya itupun
mengetahuinya, bahwa Mahisa Agni berusaha mendekati
Mahisa Murti. Karena itu, maka ketiga lawannya itupun
kemudian berusaha untuk mencegahnya.
"Jangan beri kesempatan" berkata peminpin kelompok
itu. Tetapi Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Jika ketiga
lawannya tidak mengikutinya ketika ia bergeser, ia sama
sekali tidak menghiraukannya. Bahkan sambil berjalan
dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menuju ke tempat Mahisa
Murti bertempur. Tetapi jika ketiga lawannya berusaha
menahannya, maka ternyata mereka tidak dapat mengatasi
kemampuan Mahisa Agni. Karena itu, mau tidak mau, maka arena pertempuran
itupun menjadi semakin merapat. Mahisa Murti yang
menyadari niat Mahisa Agni berusaha untuk tidak bergeser
menjauh. Bahkan iapun kemudian berloncatan mendekati
arah Mahisa Agni yang menjadi semakin dekat.
"Pengecut" geram salah seorang lawannya "kau ingin
berlindung dibawah sayap orang-orang tua itu?"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia memang
merasa tersinggung. Karena itu, maka iapun menjawab
"Siapa yang licik" Aku atau kalian" Jika kalian dapat
bertempur berpasangan, kenapa aku tidak" Bahkan
seandainya aku dan pamanku hertempur berpasangan, kami
berdua masih harus melawan lima orang"
"Persetan" geram orang itu, sementara serangan kedua
orang itu semakin lama menjadi semakin gawat.
Mahisa Murti benar-benar harus berjuang untuk
mempertahankan diri. Namun kedua orang itu berusaha
untuk menyelesaikannya sebelum Mahisa Agni mendekat.
Karena itu, maka kedua orang lawan Mahisa Murti
benar-benar telah menyerang dengan serangan-serangan
yang mematikan. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menempuh cara seperti
yang dilakukan oleh Witantra. Seandainya ia membunuh
ketiga orang lawannyapun, maka kedua orang yang
bertempur melawan Mahisa Murti tidak akan
meninggalkan anak muda itu, karena menurut perhitungan
mereka, dalam waktu yang pendek, Mahisa Murti tentu
akan dapat dibinasakannya.
Karena itu, Mahisa Agni telah melakukan satu cara yang
berbeda. Bahkan kemudian, Mahisa Agnipun menjadi
semakin tergesa-gesa karena keadaan Mahisa Murti yang
semakin gawat. Sebenarnyalah, sebelum Mahisa Agni mencapai arena
pertempuran antara Mahisa Murti dan kedua lawannya,
maka Mahisa Murti telah kehilangan kesempatan untuk
mengelak, ketika kedua serangan yang berbahaya datang
beruntun. Bahkan kemudian Mahisa Murti terpaksa
meloncat dengan tergesa-gesa menjauhi lawannya sambil
mengeluh tertahan. Segera luka telah memanjang
dipundaknya. Mahisa Agni benar-benar tidak ingin terlambat. Karena
itu, maka iapun telah meloncat berlari meninggalkan lawanlawannya
yang kemudian mengejarnya.
" Pengecut. Jangan lari" teriak lawan-lawannya.
Mahisa Agni tidak menghiraukan mereka, karena
merekapun tentu akan mengejarnya dan menyadari apa
yang akan terjadi. Sebenarnyalah, Mahisa Agni datang tepat pada
waktunya. Ketika Mahisa Murti benar-benar dalam
kesulitan, maka Mahisa Agnipun telah langsung melibatkan
dirinya melawan dua orang yang dengan kemarahan yang
memuncak merasa kehilangan kesempatan untuk
membinasakan Mahisa Murti yang telah terluka.
Namun dalam pada itu, ketiga orang Mahisa Agnipun
telah datang menyusul. Merekapun telah menyerang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan serta merta. Pemimpin kelompok yang sangat
marah itu berusaha untuk langsung dapat membunuh
Mahisa Agni dengan serangan-serangannya yang
membadai. Tetapi usaha itu tidak segera dapat berhasil. Mahisa Agni
sempat menempatkan diri disebelah Mahisa Murti sambil
berkata "Hati-hatilah. Kita akan bertempur berpasangan
melawan kelima orang itu"
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi iapun segera
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun
pundaknya telah terluka, namun ia masih mampu
bertempur dengan cepat. Namun dalam pada itu, seperti Mahisa Pukat, maka
tenaga Mahisa Murtipun menjadi semakin susut, karena ia
telah mengerahkan kemampuannya untuk
mempertahankan diri terhadap kedua lawannya.
Tetapi dalam pertempuran berikutnya, Mahisa Agni
tidak lagi banyak memberikan kesempatan kepada lawanlawannya.
Apalagi lawan-lawannya benar-benar berusaha
untuk membunuhnya dan membunuh Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi
semakin seru. Pemimpin kelompok itu telah bertemur
dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Beberapa
kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada orangorangnya,
agar mereka menyelesaikan tugas mereka dengan
cepat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya dari yang mereka
kehendaki. Mahisa Agni telah membuat mereka sekali-kali
kebingungan. Sementara itu, Mahisa Murti telah sempat
inenyesuaiKan diri, sehingga keadaannya menjadi lebih
mapan, meskipun ia lebih banyak bertahan daripada
menyerang. Tetapi luka dipundaknya telah membuatnya
sangat marah. Karena itu, maka ketika ia mendapat
kesempatan, maka iapun telah mengambil satu sikap yang
mengejutkan. Ketika orang-orang kasar itu terlibat dalam pertempuran
yang sulit dengan Mahisa Agni, maka seorang diantara
mereka telah menyerang Mahisa Murti secara khusus.
Orang itu memperhitungkan kelemahan dan keletihan pada
anak muda itu, sehingga orang itu menganggap bahwa
Mahisa Murti tidak akan banyak dapat berbuat.
Tetapi perhitungan itu ternyata keliru. Ketika orang itu
mengayunkan pedangnya mendatar, maka Mahisa Murti
masih sempat bergeser sambil mendera senjata lawannya
sehingga senjata itu telah berubah arah. Namun orang
itupun cekatan. Senjatanya segera berputar mematuk
kearah jantung. Mahisa Murti tidak membiarkan dadanya dikoyak oleh
senjata lawannya. Dengan tangkas ia mengelak Namun
Mahisa Murti sempat melihat gerak mata orang itu,
sehingga iapun dapat menebak apa yang akan
dilakukannya. Sebagaimana diperhitungkan, maka orang itupun
mengurungkan serangannya. Tetapi senjatanya telah
terayun mendatar menebas lambung.
Apalagi Mahisa Murti yang ternyata telah terluka.
Meskipun pada dasarnya ia lebih banyak mempunyai
pertimbangn dari pada Mahisa Pukat, tetapi karena
lukanya, maka iapun telah menjadi garang pula.
Mahisa Murti melihat kesempatan. Karena itu, maka
tiba-tiba saja ia tidak menghiraukan lawan-lawannya yang
lain. la mempercayakan mereka kepada Mahisa Agni yang
nampaknya berhasil menguasai keadaan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti meneruskan perhatiannya
kepada lawannya yang seorang itu. Yang menebas
lambungnya dengan garang. Mahisa Murti dengan
perhitungan yang cermat tanpa menghiraukan orang lain
telah menghindari serangan itu. la meloncat surut.
Kemudian sambil memiringkan tubuhnya ia bergeser.
Sementara itu, dengan cepatnya ia menjulurkan pedangnya
menyayat dada orang itu. Orang yang terluka itu terpekik kecil. Dengan serta merta ia
meloncat surut. Namun Mahisa Murti tidak
melepaskannya. Iapun meloncat maju. Pedangnya sekali
lagi mematuk. Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak atau
menangkis serangan itu. Karena itu. maka ujung pedang
Mahisa Murtipun kemudian telah menghunjam ke dalam
tubuh orang itu tepat di perutnya. Sekali lagi orang itu
terdorong surut. Namun kemudian, ketika Mahisa Murti
menarik pedangnya, maka orang itupun terhuyung-huyung
dan jatuh terbanting di tanah.
Pada saat itu kawan-kawannya telah berusaha untuk
membantunya. Tetapi Mahisa Agnipun cukup tangkas.
Mahisa Agni sadar, bahwa Mahisa Murti yang marah itu
tidak menghiraukan lawan-lawannya yang lain. sehingga
seluruh perhatiannya terpusat kepada lawannya yang
seorang itu. Karena itulah, maka Mahisa Agni harus berbuat sesuatu.
Dengan kecepatan geraknya, maka Mahisa Agni masih
sempal menghalau orang-orang yang ingin menyelamatkan
kawannya dari ujung pedang Mahisa Murti. Tetapi mereka
telah gagal. Seorang lagi dari antara sepuluh orang itu telah
terbunuh. Kemarahan pemimpin kelompok itu memang tidak
tertahankan lagi. Dua orang kawannya telah terbunuh.
Dengan demikian maka dendam telah menyala di dalam
dadanya. Tanpa menghiraukan kenyataan yang
dihadapinya, maka pemimpin kelompok itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya bersama sisa-sisa
orangnya. Namun kesulitan itu telah datang lagi. Seorang
yang bertempur melawan Mahisa Pukat telah terdorong
pula oleh pedang anak muda itu, sehingga kehilangan
keseimbangannya. Ketika orang itu jatuh di tanah, ia masih
sempat mengumpat dengan kata-kata kasar. Namun sejenak
kemudian, iapun telah terdiam.
Yang kemudian mengumpat adalah pemimpin kelompok
itu. Untuk membebaskan kedua orang kawannya ia telah
kehilangan tiga orang yang justru lebih baik. Tetapi yang
penting baginya, bukan kebebasan orang itu karena ia
sangat membutuhkannya. Tetapi yang penting bahwa kedua
orang itu tidak dapat berbicara tentang rencana kegiatan
mereka di daerah perbukitan yang langsung atau tidak
langsung menghadapi ke daerah-daerah yang dianggap
penting oleh Singasari. Baik sebagai dearah yang disediakan
perkembangan Kota Raja, maupun tanah-tanah padukuhan
yang dapat menjadi sumber bahan makan bagi Singasari.
Karena itu, maka pemimpin kelompok itu telah
memutuskan mengambil jalan yang kedua yang sudah
direncanakan. Jika mereka gagal merebut kedua orang itu,
maka keduanya sebaiknya dibinasakan saja.
Pemimpin kelompok itu tidak mau kehilangan kawannya
lebih banyak lagi. Tiga orang telah terlalu banyak. Karena
itulah, maka iapun telah mengambil satu langkah yang
paling baik yang dapat dilakukannya. Tanpa
mempercayakan kepada orang lain, maka iapun tiba-tiba
telah meneriakkan perintah untuk bertempur dengan
segenap kemampuan yang ada dalam diri orang-orangnya.
Sementara itu, ia sendiri telah meloncat meninggalkan
kawan-kawannya yang bertempur melawan Mahisa Agni,
langsung mendekati kedua orang kawannya yang pingsan.
"Mereka tidak perlu bangun untuk selama-lamanya"
berkata pemimpin kelompok itu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah terbebas dari
lawannya. Karena itu, ketika pemimpin kelompok itu
berlari mendekati kedua orang yang terbaring dengan
sendiri teracu, maka Mahisa Pukatpun telah berlari pula
menyongsongnya. "Gila" geram pemimpin kelompok itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat tidak akan
membiarkan pemimpin kelompok itu berbuat sesuatu,
Mahisa Pukat mengerti, jika kedua orang itu terbunuh,
maka jalur penyelidikannya akan terputus pula, sehingga
akan kehilangan jejak atas rencana orang-orang yang telah
memesan kapak penebang kayu terlalu banyak itu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berhadapan
dengan pemimpin kelompok yang gaal mencapai kedua
orang kawannya yang pingsan untuk membunuhnya.
Bahkan iapun kemudian harus menghadapi anak muda
yang memiliki kemampuan yang tinggi itu.
Bagaimanapun juga, pemimpin kelompok itu masih juga
dibakar oleh kemarahan dan dendam. Karena itu, ia masih
mencoba untuk membenturkan ilmunya melawan Mahisa
Pukat Namun ternyata bahwa anak muda itu benar-benar
memiliki kemampuan yang tidak akan dapat di atasinya
seorang diri sehingga karena itu, maka tidak ada pilihan
lain baginya selain menyelamatkan diri bersama orangorangnya
yang tersisa. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terdengar
isyarat pemimpin kelompok itu. Isyarat bagi orangorangnya,
agar mereka meninggalkan arena pertempuran.
Demikian isyarat itu terdengar, maka dalam waktu
sekejap orang-orang yang sedang bertempur itupun telah
berlari berhamburan ke arah yang berbeda-beda.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sudah meloncat
memburunya. Namun Mahisa Agni telah memanggil
mereka, agar mereka tidak mengejar orang-orang yang
melarikan diri ke arah yang berlainan itu.
"Aku ingin menangkap pemimpinnya" berkata Mahisa
Pukat. "Sudahlah. Tidak banyak gunanya" berkata Mahisa
Agni. Tetapi mereka akan menjadi orang-orang yang sangat
berbahaya bagi Kabuyutan Randumalang" sahut Mahisa
Murti. "Mungkin. Tetapi mungkin juga tidak. Orang-orang itu
tahu pasti, bahwa yang membawa kedua kawannya adalah
para prajurit dari Singasari. Agaknya merekapun tidak akan
membuat waktu untuk mengurusi orang-orang
Randumalang, karena mereka tentu memperhitungkan satu
kemungkinan bahwa para prajurit Singasari akan datang
mencari mereka di lereng-lereng bukit" jawab Mahisa Agni
"sebab kedua orang yang tertangkap itu tentu akan dapat
menunjukkan, kemana kita harus mencari mereka"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
"Ya paman" berkata Mahisa Murti "mereka akan
meninggalkan sarang mereka"
"Aku kira demikian" sahut Mahisa Agni. Lalu "Karena
itu. marilah. Biar lukamu diobati dahulu"
"Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Baru ia
merasakan bahwa lukanya menjadi pedih. Pakaiannya telah
merah oleh darah yang mengalir dari lukanya.
Witantralah yang kemudian mengobati luka Mahisa
Murti. Dengan hati-hati Witantra mengusap luka itu
dengan serbuk obat yang dibawanya dalam sebuah
bumbung kecil. Namun dalam pada itu, agar perjalanan mereka tidak
menarik perhatian karena darah pada pakaian Mahisa
Murti. maka iapun kemudian mengambil bajunya yang lain
di dalam sebuah bungkusan kecil dan mengenakannya,
setelah darahnya menjadi pampat.
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun kemudian harus
berhubungan lagi dengan orang-orang Randumalang, yang
baru saja ditinggalkannya. Kepada orang-orang
Randumalang ia mengatakan, bahwa ia harus
mempertahankan diri dari sergapan orang-orang yang tidak
dikenal. "Kami memerlukan pertolongan kalian. Bukan untuk
melawan orang itu. Tetapi untuk menguburkan beberapa
orang diantara mereka yang terbunuh" berkata Mahisa
Pukat. Demikianlah, maka dengan pertolongan orang-orang
Randumalang, maka ketiga orang yang terbunuh di
pertempuran itupun dikuburkannya. Bagaimanapun juga,
akhirnya Ki Buyut mengetahuinya pula. Dengan tergesagesa
ia menemui Mahisa Agni sebelum Mahisa Agni
melanjutkan perjalanan. "Jangan cemas Ki Buyut" berkata Mahisa Agni "mereka
tidak akan mendendam orang-orang Randumalang. Tetapi
tidak ada jeleknya jika Ki Buyut mempersiapkan semua
anak-anak muda. Sebanyak-banyaknya. Karena
bagaimanapun juga, jumlahpun akan sangat menentukan
jika Kabuyutan ini memang harus berhadapan dengan
orang-orang liar itu"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Beberapaa diantara anakanak
muda Kabuyutannya memang pernah mendapat
tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun serba
sedikit. Namun mereka dalam jumlah yang banyak,
memang akan berpengaruh pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantrapun
kemudian telah berusaha untuk membangunkan orangorang
yang pingsan itu. Kemudian setelah segalanya selesai,
sekali lagi mereka minta diri kepada orang-orang
Randumalang untuk meneruskan perjalanan.
Orang-orang Randumalang yang kemudian ditinggalkan
oleh Mahisa Agni, Witantra dan dua orang anak Mahendra
itupun telah berusaha bersiap-siap menurut kekuatan yang
ada di Randumalang. Namun merekapun sependapat,
bahwa kemungkinan yang tidak diharapkan terjadi itu,
kemungkinannya memang sangat kecil.
"Sebagian besar dari perhitungan orang-orang Singasari
itu memang tepat" berkata Ki Buyut "mereka berhasil
memancing kawan-kawan dari kedua orang itu untuk
mencegat perjalanan mereka. Mudah-mudahan perhitungan
mereka yang kemudianpun tepat pula"
Dalam pada itu, ketika dua orang yang tertawan itu
menyadari apa yang terjadi, maka yang dapat mereka
lakukan tidak lebih dari menggertakkan gigi mereka.
Mereka harus menerima satu kenyataan, bahwa mereka


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus menjadi tawanan yang akan dibawa ke Singasari.
"Kau masih dapat mengucap sukur" berkata Mahisa
Pukat. Kedua orang itu memandanginya dengan heran.
Sementara itu Mahisa Pukat melanjutkan "Kawankawanmu
telah siap membunuhmu. Jika aku tidak
mencegahnya, maka pemimpinmu itulah yang telah siap
untuk menghunjamkan pedangnya diperutmu"
"Omong kosong" desis salah seorang dari kedua orang
tawanan itu. Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Tetapi Mahisa
Agnilah yang menyahutnya "Mungkin kau tidak percaya.
Tetapi bukankah cara itulah yang paling baik dilakukan
untuk membungkam mulutmu" Apakah kau tidak dapat
mengenali tabiat kawan-kawanmu itu" Bahkan seandainya
kalian sendiri yang menghadapi keadaan seperti
pemimpinmu itu?" Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka mulai
membayangkan, bahwa hal itu memang dapat terjadi.
Agaknya kawan-kawannya menganggap, lebih baik
membunuhnya dari pada membiarkan mereka tetap hidup,
tetapi berceritera tentang kehidupan mereka di lereng bukit
serta tugas-tugas yang harus mereka jalankan"
"Nah" berkata Mahisa Murti "bersiaplah. Kita akan
melanjutkan perjalanan. Singasari memang tidak sangat
jauh. Kita akan segera sampai. Dan kau akan segera
bercerita tentang lingkunganmu"
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi
mereka tidak dapat mengatakannya, karena kedua orang
anak muda itu nampaknya memang terlalu garang.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti bersama iring
iringannya itupun menjadi semakin jauh dari Kabuyutan
Randumalang. Tidak banyak yang mereka percakapan di
perjalanan. Sekali-sekali mereka masih juga membayangkan
apa yang baru saja terjadi.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga
membayangkan, apakah yang terjadi jika mereka gagal
mempertahankan diri. "Kami akan menjadi bangkai" berkata kedua anak muda
itu di dalam hatinya. Karena itu, kadang-kadang timbul juga kebenciannya
yang mendera dinding jantungnya atas kedua orang
tawanan itu. Tetapi mereka masih selalu menyadari, bahwa
kedua pamannya sebagaimana Singasari tentu memerlukan
kedua orang itu. Kedua orang itu akan dapat memberikan
keterangan serba sedikit tentang rencana orang-orang yang
tidak bertanggung jawab untuk menebangi hutan terutama
yang menghadap daerah Singasari atau daerah yang
memberikan hasil pangan bagi Singasari.
"Termasuk orang-orang yang memesan kapak penebang
kayu itu" berkata Mahisa Murti di dalam hatinya
Dalam pada itu, sebenarnyalah orang-orang yang tersisa
dari sepuluh orang yang berusaha membebaskan atau
membunuh sama sekali kedua kawannya yang tertawan itu
menjadi kecemasan. Mereka menyadari, bahwa kedua
orang kawannya yang masih tetap menjadi tawanan, karena
kegagalan mereka itu, tentu akan dapat berbicara tentang
kedudukan mereka. Karena itu, maka pemimpin kelompok itupun dengan
tergesa-gesa berusaha mengumpulkan kawan-kawan
mereka yang lari berpencaran, yang akhirnya semuanya
telah menuju ke sarang mereka kembali.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya pemimpin
kelompok itu. "Bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya seorang
berkumis lebat. "Tempat ini tentu akan segera diketahui oleh orangorang
Singasari itu" jawab pemimpinnya.
"Belum tentu. Mungkin kedua orang itu dapat bertahan
dan tidak membuka rahasia ini" sahut seorang pengikutnya.
--ooo0dw0ooo- Jilid 008 "KITA HARUS MENYINGKIR" jawab pemimpinnya
itu. "Menyingkir?" salah seorang diantara mereka
mengulangi. Lalu "Apakah kita akan melepaskan
kesempatan ini" Bukankah kita akan mendapatkan imbalan
yang cukup banyak dengan rencana penebangan hutan itu,
sementara pada kesempatan-kesempatan lain kita masih
tetap dapat melakukan pekerjaan kita di Kabuyutankabuyutan
di sekitar tempat ini"
Pemimpinnya memandanginya dengan tajamnya.
Kemudian katanya "Aku tidak sekedar menebak. Tetapi
aku mempunyai perhitungan. Seandainya dua orang, jatuh
ke tanganku. Aku akan dapat memeras semua keterangan
tentang segala hal yang mereka ketahui. Jika orang itu tidak
mengatakan, maka berarti bahwa mereka benar-benar tidak
mengetahuinya" Para pengikutnya itupun mengangguk-angguk. Mereka
dapat membayangkan, apa saja dapat dilakukan oleh orangorang
Singasari itu atas kedua orang kawannya yang
tertawan. Karena itu, maka salah seorang diantara merekapun
bertanya "Jika demikian, maka apakah sebaiknya kami
lakukan?" "Kita dapat mencari sasaran yang lain. Maksudku, kita
minta untuk melakukannya di tempat yang lain. Tidak di
tempat ini, karena setiap saat, orang-orang Singasari itu
akan datang dengan pasukannya" jawab pemimpinnya
"tentu kita tidak ingin mati tanpa arti seperti yang sudah
terjadi atas ketiga orang kawan kita. Sebagaimana kita
ketahui, untuk melawan empat orang, kita bersepuluh tidak
dapat menguasai mereka. Bahkan seandainya kita tidak
melarikan diri, maka kita semuanya tentu akan mereka
tumpas" Para pengikutnyapun mengangguk-angguk. Mereka
memang tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa
mereka sepuluh orang tidak bernasil mengalahkan empat
orang diantara prajurit Singasari. Dua orang diantara ke
empat orang itu masih sangat muda. Apalagi jika yang
datang sebanyak sepuluh orang setingkat dengan dua orang
prajurit Singasari yang tua-tua itu.
Dengan demikian, maka akhirnya mereka telah sepakat
untuk meninggalkan tempat itu. Mereka tidak sempat
berbicara tentang orang-orang Kabuyutan Randumalang,
karena mereka menganggap bahwa orang-orang
Randumalang tidak terlibat langsung dalam persoalan
mereka dengan prajurit-prajurit Singasari. Bahkan mereka
telah menentukan bahwa kedua orang kawannya yang
tertangkap itu telah melakukan satu kesalahaan besar
sehingga akibatnya, mereka seluruhnya harus meninggalkan
tempat yang sudah mereka siapkan sebaik-baiknya bagi
sarang mereka, apabila mereka mulai dengan tugas-tugas
barunya. Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.
Sehingga karena itu, maka merekapun segera bersiap-siap
untuk mencari sasaran, baru yang akan mereka sampaikan
kepada orang yang menjanjikan imbalan yang cukup
apabila mereka dapat menebangi dan kemudian membuat
hutan menjadi gundul. Sekaligus menyingkir dari jangkauan
tangan orang-orang Singasari yang telah menahan dua
orang diantara mereka, karena salah mereka sendiri.
Namun dalam pada itu, yang terjadi itu telah menarik
perhatian orang-orang Singasari. Mahisa Agni dan Witantra
yang masih berada di perjalanan, sudah mulai
membicarakan, apa yang sebaiknya dilakukan oleh
Singasari. "Sudah pasti bahwa ada satu rencana yang luas dan
tersusun rapi" berkata Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Memang agak
berbeda dengan apa yang terjadi saat Mahisa Bungalan
mengembara. Jika ada beberapa orang bangsawan Kediri
yang mengangkat senjata, sumber persoalannya bukan
rancangan yang masak untuk menghancurkan Singasari.
Tetapi sekedar didorong oleh luapan perasaan anak-anak
muda yang terpesona melihat cantiknya wajah perawan.
Tetapi agaknya tidak demikian halnya yang terjadi sekarang
ini. Tentu satu rancangan yang telah disusun dengan
cermat. Bahkan untuk jangka waktu yang panjang"
"Mereka memandang Singasari sekarang masih sebagai
satu kekuatan yang tidak terlawan" jawab Mahisa Agni
"karena itu, maka mereka telah menempuh satu cara yang
akan sangat berbahaya. Bukan saja untuk satu tujuan,
memperlemah Singasari dan mengalahkannya. Tetapi
dengan perhitungan yang lebih luas. Bahkan dengan
demikian maka Singasari akan tidak mungkin lagi akan
hancur dilanda musim hujan. Singasari akan menjadi
miskin dan kehilangan kemampuannya untuk bangkit.
Penghuninya akan meninggalkan tanah yang menjadi
gersang mencari pemukiman baru yang memberikan
harapan bagi masa depan"
Witantra mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia
berpaling. Dilihatnya kedua orang tawanan itu
menundukkan kepalanya, sementara Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang berkuda di belakang mereka nampak
selalu siap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah iring-iringan itu berjalan tidak terlalu cepat,
tetapi juga tidak terlalu lambat. Demikianlah, maka iringiringan
itu ternyata tidak dapat mencapai Singasari hari itu
juga, karena mereka terhenti untuk bertempur melawan
sepuluh orang kawan kedua orang tawanan itu. Karena itu,
maka mereka harus memilih, apakah mereka akan berkuda
meskipun malam menjadi kelam.
"Aku lelah sekali" desis salah seorang tawanan itu
kepada kawannya. Namun demikian, ternyata Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sempat mendengarnya.
"Jadi, apakah kalian ingin berhenti bermalam di
perjalanan yang sudah sangat pendek ini?" bertanya Mahisa
Murti. *Orang itu menarik nafas dalam-dalam" Katanya "Jika
kalian sependapat. Ketika aku sadar dari pingsanku, terasa
tubuhku sangat letih. Rasa-rasanya aku sudah tidak mampu
lagi untuk melanjutkan perjalanan ini"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Biarlah membicarakannya dengan kedua
pamanku itu" Orang itu tidak menjawab. Tetapi nampaknya keduanya
memang sudah sangat letih. Karena itu, maka Mahisa
Murtipun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat "Aku
akan membicarakannya dengan kedua paman itu"
"Baiklah" jawab Mahisa Pukat "tetapi menurut
pendapatku, hal itu tidak sangat perlu. Betapapun lelahnya,
jika kita masih ingin melanjutkan perjalanan, maka aku kira
kita masih akan mampu melakukannya, kecuali beristirahat
justru untuk kepentingan kuda-kuda kita"
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
kedua orang itu untuk menyusul Mahisa Agni dan Witantra
yang berkuda di depan. Dengan pendek Mahisa Murti mengatakan permintaan
kedua orang itu untuk beristirahat di perjalanan, karena
mereka merasa sangat letih.
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Namun kemudian Witantra berkata "Apakah hal itu sangat
penting?" Bukankah kita tidak berkuda terlalu depat?"
"Tetapi agaknya kuda-kuda kita juga memerlukan
beristirahat" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Mereka
menyadari bahwa Mahisa Murtipun baru saja terluka,
Meskipun luka itu sudah pampat, tetapi luka itu tentu
berpengaruh atas ketahanan tubuhnya, sehingga sebenarnya
Mahisa Murtipun ingin untuk beristirahat barang sebentar.
Namun demikian Mahisa Agni berkata "Baiklah. Tetapi
kita harus berhati-hati. Sebenarnya kedua orang itu tentu
tidak ingin atau tidak terpaksa harus beristirahat oleh
keletihan yang tidak tertahankan lagi. Tetapi malam di
perjalanan akan dapat memberikan beberapa kemungkinan
bagi mereka. Mungkin mereka mendapat satu cara yang
paling baik untuk melepaskan diri. Atau mungkin sekali
kawan-kawan mereka masih akan menyusulnya"
Mahisa Murti mengangguk angguk. Lalu katanya
"Apakah jika demikian, mereka hanya mencari kesempatan
untuk melepaskan diri?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian "Kita akan beristirahat. Kaupun
memerlukan berisitirahat barang sebentar, meskipun
mungkin tidak sampai fajar"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi
sebenarnyalah ia sendiri memerlukan waktu sejenak untuk
beristirahat, karena pengaruh luka-lukanya. Karena itu,
maka katanya "Baiklah paman. Kita beristirahat meskipun
harus sangat berhati-hati"
Ketika kemudian Mahisa Murti kembali berkuda di
samping Mahisa Pukat, di belakang kedua orang tawanan
itu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berusaha untuk
mendapatkan tempat yang baik bagi mereka untuk
bermalam. Akhirnya iring-iringan itu berhenti di sebuah padang
perdu berpadas. Mereka berhenti di tempat yang cukup
lapang. Setelah mereka mengikat kuda-kuda mereka pada
batang-batang perdu yang di bawahnya ditumbuhi
rerumputan yang memungkinkan kuda mereka untuk
makan, maka merekapun segera menempatkan diri mereka
masing-masing. "Ada sebatang sungai kecil yang mengalir di sebelah"
berkata Mahisa Agni yang sempat melihat-lihat keadaan
sekitar tempat mereka berhenti.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka mendengar gemercik air sungai kecil itu. Dengan
demikian esok mereka akan dapat memberi minum kepada
kuda-kuda mereka.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua anak muda itupun kemudian mengumpulkan
ranting-ranting kering untuk menyalakan sebuah perapian.
Agaknya mereka ingin mengatasi dinginnya malam yang
semakin mencengkam. Sementara itu, kedua orang tawanan itu sudah berbaring
di tempat yang mereka pilih sendiri. Agaknya jauh dari
perapian, di atas rerumputan kering berhindar batu padas.
Namun keduanya tidak pernah berlepas dari pengamatan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka
berdesis "Anak iblis. Mereka sama sekali tidak melepaskan
pengamatan mereka barang sekejap.
"Kita sudah berhasil menahan mereka untuk bermalam.
Mungkin kita akan mendapat kesempatan" sahut yang lain.
Tetapi yang seorang menggeleng. Katanya "Sulit sekali.
Kecuali jika keduanya tertidur nyenyak. Sementara kedua
orang tua itu nampaknya telah mempercayakan kita kepada
kedua orang anak muda itu"
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Marilah, kita tidur barang sejenak. Malam masih panjang.
Keduanyapun kemudian memejamkan matanya sambil
bersandar batu padas. Agaknya mereka memang benarbenar
ingin tidur. Baru kemudian jika mereka terbangun,
maka mereka akan membuat satu rencana untuk
melepaskan diri. Bahkan masih juga ada sepercik harapan, bahwa kawankawan
mereka akan mengikuti iring-iringan itu dan
bertindak pada saat yang tepat sehingga mereka akan dapat
melepaskan diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengawasi kedua
orang itupun telah membagi diri. Mereka akan tidur
bergantian. Mereka telah sepakat tidak akan mengganggu
kedua orang tua yang ada di dalam iring-iringan itu pula.
"Terserah kepada mereka" berkata Mahisa Murti "apakah
mereka juga akan bergantian tidur, atau tidak"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya "Kau
saja tidur dahulu. Bukankah kau perlu beristirahat. Lukamu
akan cepat sembuh" Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun
menjawab "Baiklah. Aku memang merasa terlalu letih.
Mungkin darah yang keluar dari lukaku cukup banyak"
"Tidurlah. Aku akan mengawasi mereka dari perapian
ini" jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi bagaimana jika aku kemudian malas untuk
bangun lewat tengah malam?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku akan menggelitikmu sampai kau bangun" jawab
Mahisa Pukat. "Jika aku masih letih karena lukaku?" bertanya Mahisa
Murti pula. "Aku bangunkan kau dengan menyentuh lukamu" jawab
Mahisa Pukat. Mahisa Murti tersenyum. Namun iapun kemudian
bersandar sebongkah batu padas di dekat perapian itu.
Sementara Mahisa Pukat duduk di sebelah perapian
menghadap kedua orang tawanan yang nampaknya benarbenar
ingin tidur. Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan kedua anak
muda itu sambil tersenyum. Mereka menyadari, bahwa
kedua anak muda itu merasa bahwa mereka dapat
menyelesaikan persoalan kedua orang tawanan itu tanpa
mengganggu Mahisa Agni dan Witantra.
Namun demikian, Mahisa Agnipun berkata kepada
Witantra "Mari, kitapun membagi diri"
"Silahkan beristirahat" berkata Witantra "aku akan
mengawani Mahisa Pukat. Pada saatnya, kau akan
mengawani Mahisa Murti"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Aku juga akan tidur di dekat perapian itu seperti Mahisa
Murti. Keduanyapun kemudian mendekati perapian itu pula.
Tanpa mengatakannya kepada Mahisa Pukat, bahwa
merekapun akan membagi diri, Mahisa Agni langsung
bersandar batu padas yang sama dengan Mahisa Murti.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Agnipun berusaha untuk
benar-benar beristirahat, agar saatnya ia akan dapat
mengganti Witantra berjaga-jaga.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Agni sudah
memejamkan matanya, maka Witantrapun bergeser
mendekati Mahisa Pukat sambil bertanya "Kau tidak letih?"
"Tidak paman" jawab Mahisa Pukat "aku akan berjagajaga
bergantian dengan Mahisa Murti. Biarlah ia lebih
banyak beristirahat karena luka-lukanya"
Witantra mengangguk-angguk. Namun ketika ia melihat
kedua orang tawanan itu tidur dengan nyenyaknya, maka
iapun berkata "Berhati-hatilah dengan kedua orang itu.
Apakah mereka benar-benar tidur nyenyak, atau sekedar
ingin mengelabuimu" "Baik paman" jawab Mahisa Pukat "aku tidak akan
lengah" Witantra mengangguk-angguk, la percaya bahwa Mahisa
Pukat akan berbuat sebaik-baiknya. Anak muda itu agaknya
ingin memberi kesempatan kepada saudara laki-lakinya
yang terluka untuk beristirahat sebaik-baiknya.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Agni
itupun benar-benar telah tertidur sambil duduk bersandar.
Kedua orang tawanan itupun agaknya telah tertidur
nyenyak pula. Seolah-olah mereka sama sekali tidak
mempunyai persoalan apapun juga yang dapat
menggelisahkan hatinya. Karena itu, maka merekapun
sama sekali tidak menjadi gelisah.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang duduk di sebelah
perapian itu, dengan sebatang ranting yang panjang telah
bermain-main dengan api yang sedang menyala. Namun
demikian, pengawasannya terhadap kedua orang tawanan
itu tidak menjadi lengah. Bahkan iapun mengamati keadaan
di sekitarnya dengan cermat, karena kemungkinan kawankawan
kedua orang itu datang, masih juga harus
diperhitungkan. Sekali-sekali Mahisa Pukat itu justru berdiri. Menggeliat,
kemudian melangkah memutari perapian. Untuk
menghilangkan kejemuan, kadang-kadang anak muda itu
Wahisa Agni mengerutkan keningnya. Sementara itu juga
melangkah mendekati kedua tawanannya dan kemudian
mengamati keadaan di sekitarnya.
Namun yang nampak memang hanya kegelapan.
Jika Mahisa Pukat menengadahkan wajahnya, maka ia
melihat bintang yang bergayutan di langit. Berkeredipan
tidak henti-hentinya. Witantra masih saja tetap duduk di tempatnya. Sekalisekali
iapun memandang langit. Namun kemudian
perhatiannya lebih banyak tertuju kepada kedua orang
tawanan itu. Namun tiba-tiba Witantra itu berdesis "Pukat. Kemari"
Mahisa Pukat terkejut. Tetapi ia mengerti bahwa
pamannya benar-benar memanggilnya. Karena itu, maka
iapun segera mendekatinya.
Witantra sesaat menjadi tegang. Bahkan iapun kemudian
berdiri tegak. Di tangannya tergenggam sebutir kerikil kecil.
"Bangunkan Mahisa Murti. Jangan mengejutkannya"
berkata Witantra tiba-tiba sambil melempar Mahisa Agni
dengan kerikilnya. Namun ia tidak menunggu lebih lama
lagi. Dengan tangkasnya ia meloncati batu-batu padas
berlari kedalam gelap. Mahisa Agni yang tersentuh sebutir kerikil itupun telah
terbangun. Ketika ia melihat Mahisa Pukat termangumangu,
maka iapun bertanya "Ada apa?"
"Paman Witantra. Ia berlari ke arah itu" jawab Mahisa
Pukat sambil menunjuk ke kegelapan.
Mahisa Pukat telah membangunkan Mahisa Murti
dengan hati-hati. Seperti pesan Witantra ia tidak ingin
mngejutkan saudaranya itu.
"Aku akan mencari pamanmu Witantra" berkata Mahisa
Agni "berhati-hatilah berdua"
Tetapi sebelum Mahisa Agni beranjak dari tempatnya,
tiba-tiba saja ia mendengar kedua orang tawanan itu hampir
berbareng berteriak. Keduanyapun terlonjak dari tidurnya.
Namun sejenak kemudian keduanya menjadi pucat dan
gemetar. "Ular, ular" keduanya menghentak-hentakkan kakinya.
Namun ular yang mematuk mereka tidak segera dapat
terlepas dari tubuh mereka.
"Ular bandotan" desis Mahisa Agni.
Ketika ular itu kemudian terlepas, maka Mahisa
Agnipun telah meloncat disusul oleh Mahisa Pukat
mendekati kedua orang tawanan yang menjadi menggigil.
Mahisa Murti yang juga mendekati keduanya, berdiri
termangu-mangu. Rasa-rasanya ia masih belum menyadari
keadaan sepenuhnya. Meskipun demikian, ia telah berada
dalam kesiagaan tertinggi. Tangannya telah berada di hulu
pedangnya. Sejenak kemudian, kedua orang itupun telah menggigil.
Mahisa Pukat dan Mahisa Agni telah membantu mereka
mendekati perapian yang masih menyala.
"Aku digigit ular" berkata salah seorang dari mereka.
"Ya" jawab Mahisa Agni "aku tidak mempunyai obat
yang paling baik untuk melawan racun seperti itu Meskipun
demikian, aku akan mencobanya"
Ketika Mahisa Agni mengambil bumbung obatnya,
maka salah seorang dari kedua orang itu berkata "Tidak ada
gunanya" Tetapi Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Iapun
kemudian berusaha untuk menemukan luka bekas gigitan
ular bandotan itu dan menaburinya dengan obat yang
dibawanya. Tetapi ternyata kedua orang itu sama sekali sudah tidak
berpengharapan lagi. Salah seorang dari keduanya berkata
"Ular itu bukan ular kebanyakan. Ular yang dipeliharanya
mempunyai ketajaman racun melampaui ular kebanyakan.
Jika obatmu dapat menyembuhkan gigitan ular bandotan,
maka aku kira tidak dengan ular bandotan yang telah
menggigit kakiku" Kata-kata itu sangat menarik bagi Mahisa Agm, karena
itu, maka iapun segera berjongkok di samping kedua orang
yang terbaring dalam keadaan yang gawat. Keduanya telah
menggigil seluruh tubuhnya. Keringat yang dingin bagaikan
terperas dari tubuh mereka.
"Ki Sanak" berkata salah seorang dari keduanya
"sebenarnyalah mereka ingin menghilangkan jejak mereka
dengan membunuhku. Tetapi alangkah sakitnya. Orang
yang memiliki ular itu adalah orang yang paling aku
hormati. Bukan sekedar kawan-kawanku seperti yang telah
mencegat kalian di tikungan. Tetapi orang ini adalah
guruku sendiri. "Gurumu?" bertanya Mahisa Agni.
"Ya. la terkenal dengan nama Ki Sarpa Kuning. Tetapi
ia lebih senang mempergunakan ular-ular yang berwarna
hitam" jawab orang itu. Lalu "Biarlah aku jelaskan,
sebelum aku mati. Orang itupun terlibat dalam usaha untuk
menghancurkan Singasari"
Mahisa Agni tidak memotong kata-kata orang itu. Ia
masih ingin mendengar lebih banyak lagi tentang orang
yang bernama Ki Sarpa Kuning. Tetapi kedua orang itu
sudah menjadi semakin lemah.
Namun sementara itu, seorang diantara mereka berdesis
"Ki Sanak. Aku benar-benar merasa sakit karena perbuatan
guru. Aku justru mengharap guru akan membebaskan aku.
Tetapi yang dilakukan sangat menyakitkan hati"
"Kau akan sembuh Ki Sanak" jawab Mahisa Agni.
Tetapi seperti yang dikatakannya oleh itu. Racun ular
bandotan yang dipelihara oleh guru kedua kawanan itu
memiliki kekuatan racun melampuai ular bandotan
kebanyakan. Obat yang diberikan oleh Mahisa Agni hanya
dapat memperpanjang umur kedua orang itu beberapa saat
saja. Ternyata bahwa keduanya menjadi semakin lemah.
Keringat mereka telah membasahi tubuh mereka.
"Ki sanak" berkata salah seorang dari mereka dengan
lemahnya "aku harap kau bersedia membalas sakit hatiku
ini" ia berhenti sejenak. Suaranya menjadi semakin lemah
"Orang itu tinggal di padukuhan Banjar Kuning"
"Padepokan Banjar Kuning" ulang Mahisa Agni aku
belum pernah melihatnya Ki Sanak. Dimanakah letaknya
padepokan itu?" Tetapi kedua orang itu tidak sempat menjawab. Wajah
mereka menjadi semakin tegang. Sejenak kemudian maka
nafas yang terakhir telah lolos dari lubang hidung mereka.
Hampir dalam saat yang bersamaan keduanya terbunuh
oleh guru mereka sendiri.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Kedua
orang ini dianggap akan dapat membahayakan
kedudukannya di padepokan yang tidak kita kenal itu
paman" "Ya Nampaknya mereka tidak lagi mengingat hubungan
antar sesama. Apalagi kedua orang ini adalah muridnya.
Mereka hanya mementingkan diri sendiri meskipun harus
mengorbankan murid-muridnya" sahut Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukatpun kemudian
berdiri tegak sambil berkata "Dimana paman Witantra?"
Mahisa Agnipun tiba-tiba merasa cemas. Karena itu
maka iapun bertanya "Kemana ia pergi?"
"Bukankah paman berlari ke arah pohon itu" Jawab
Mahisa Pukat. "Ya" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia
terbangun oleh kerikil yang dilemparkan oleh Witantra
yang tergesa-gesa ia masih melihat sekilas arah Witantra
yang memasuki kegelapan. Karena itu maka katanya "Marilah kita menyusulnya"
Kedua anak muda itupun kemudian mengikuti Mahisa
Agni berlari-lari kecil mengikuti Witantra. Mahisa Agni
tidak mau meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
karena ia menyadari bahwa orang yang disebut Ki Sarpa


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuning itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sebagaimana dapat dilihat pada kemampuan kedua
orang muridnya dan caranya untuk membunuh kedua
muridnya itu. Dalam pada itu ternyata Witantra masih sempat
mengikuti orang yang telah melepaskan dua ekor ular untuk
membunuh kedua muridnya. Orang itu memang sudah mendengar, bahwa orangorang
yang membawa kedua muridnya adalah orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Terlebih-lebih dua diantara
mereka justru yang tua-tua. Sepuluh orang dari kawankawan
kedua tawanan itu tidak dapat mengalahkan empat
orang Singasari itu. Tetapi Ki Sarpa Kuning tidak menyangka, bahwa
Witantra masih juga dapat mendengar desir langkahnya
ketika ia melepaskan kedua ekor ular itu. Karena itu, maka
Ki Sarpa Kuning itupun berusaha untuk menghindar. Ia
merasa terlalu sulit menghadapi ke empat orang itu
sekaligus. Namun ternyata bahwa yang mengejarnya hanyalah
seorang saja. Itulah sebabnya maka timbullah niatnya untuk
menjajagi kemampuan orang Singasari itu. Sehingga
dengan demikian maka, Ki Sarpa Kuning itupun telah
berhenti di ujung padang perdu berbatu padas itu.
Witantra yang mengejarnyapun menyadari bahwa orang
itu tentu memiliki kelebihan. Karena itu maka kitapun
menjadi semakin berhati-hati.
"Luar biasa" desis Ki Sarpa Kuning ketika Witantra
mendekatinya "Kau dapat mendengar langkahku. Pertanda
bahwa kau benar-benar orang berilmu. Tetapi ilmumu
mungkin terbatas pada kemampuanmu mendengarkan
suara di sekitarmu. Aku belum yakin bahwa kau juga
berkemampuan untuk menangkapku"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
berdiri tegak sambil memandang orang itu. Dalam
keremangan malam ia tidak dapat dengan jelas melihat
lekuk dan garis wajah orang yang dikejarnya itu.
"Apa maksudnya sebenarnya?" berkata Witantra.
"Membunuh kedua orang muridku itu" jawab Ki Sarpa
Kuning "ia dapat menjadi sumber bencana. Bukan saja bagi
kawan-kawannya. Tetapi juga bagiku sebagai gurunya.
Tetapi kematiannya akan membawa semua rahasia yang
diketahuinya. Ia tidak akan dapat berbicara tentang kawankawannya
dan ia tidak akan dapat berbicara tentang
gurunya dan padepokannya"
"Kau sampai hati membunuh muridmu sendiri"
bertanya Witantra. "Mereka telah melakukan satu kesalahan yang besar"
jawab Ki Sarpa Kuning. "Kenapa kau tidak berusaha untuk membebaskannya"
Kau adalah orang berilmu tinggi" bertanya Witantra.
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya "Aku tidak yakin bahwa aku akan
berhasil. Seperti sepuluh orang kawan-kawan muridku itu.
Sepuluh orang itu ternyata telah kalian kalahkan. Karena
itu, jalan yang paling aman bagiku dan kawan-kawannya,
adalah membunuhnya" "Itukah ciri kehidupan kalian" Meskipun murid sendiri,
kau sama sekali tidak mempunyai ikatan batin yang
mendalam sehingga kau sampai hati membunuhnya"
berkata Witantra kemudian "bukankah dengan demikian
berarti bahwa kalian hanya mementingkan dirimu sendiri?"
"Pikiranmu terbalik Ki Sanak" jawab orang itu "aku
justru telah mengorbankan muridku sendiri. Mengorbankan
orang-orang yang aku anggap bagian dari diriku sendiri
untuk kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentingan
sendiri. Tetapi bukannya tanpa alasan jika aku terpaksa
melakukannya. Mereka telah melakukan satu kesalahan
yang besar sehingga akan dapat menyeret satu lingkungan
yang besar itu kedalam satu keadaan yang parah"
Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Ki Sanak. Apaboleh buat. Aku tidak tahu, apakah
kau berhasil membunuh muridmu atau tidak, karena aku
tergesa-gesa mengejarmu. Jika kau ternyata berhasil, maka
aku kira jalan yang paling baik bagiku untuk tidak
kehilangan jejak, adalah menangkapmu"
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya Ki Sanak. "Jangan
salah menilai orang lain. Meskipun kau berempat dapat
mengalahkan sepuluh anak-anak ingusan itu, namun kau
harus berpikir dua atau tiga kali jika kau hendak
menangkap aku" Witantra mengerutkan keningnya. Namun iapun
menjawab "Aku sudah berpikir masak-masak. Aku
memang akan menangkapmu"
"Kau sendiri mengatakan, sebagaimana aku katakan
atasmu, bahwa kita adalah orang-orang yang mempunyai
lambaran ilmu. Kau sangka bahwa jika kau mengancam
untuk menangkapku, aku tidak akan berbuat apa-apa dan
mengulurkan kedua pergelanganku untuk kau ikat?" berkata
Ki Sarpa Kuning. Witantra memandanginya dengan tajamnya. Meskipun
malam gelap, tetapi Witantra dapat menangkap sikap orang
itu. Orang itu memang cukup meyakinkan. Karena itu,
maka Witantra memang harus berhati-hati menghadapinya.
Dalam pada itu, maka Witantrapun kemudian bergeser
setapak sambil berkata "Bagaimanapun juga, aku
mengemban satu kewajiban. Karena itu, betapa tinggi
ilmumu, aku akan menangkapmu"
"Kau mungkin memang seorang prajurit yang patuh.
Tetapi jika hal itu dapat mengancam keselamatanmu, apa
tidak lebih baik kau menghindar. Tidak ada orang yang
tahu, bahwa kau bertemu dengan aku. Karena itu. jika kau
tidak usah berusaha mengejarku, kau tidak akan mendapat
hukuman apapun juga. Dan itu tentu akan lebih baik dari
pada kau harus mati di tanganku"
Witantra termangu-mangu sejenak. Namun katanya
kemudian "Niatku adalah menangkapmu hidup atau mati.
Bukan untuk membunuh diri. Karena itu, aku akan benarbenar
berbuat sesuatu atasmu"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau
benar-benar tidak tahu, dengan siapa kau berhadapan"
"Ya. Aku tidak tahu. Siapa kau sebenarnya" tiba-tiba
saja Witantra bertanya. "Kau tidak perlu tahu siapa aku. Maksudku, bahwa kau
belum mengetahui, bahwa orang-orang yang mencoba
melawanku akan mati di tanganku betapapun juga ia
mengaku orang berilmu. Karena itu, pikirkanlah sebaikbaiknya"
Witantra memang melihat kelebihan pada sikap orang
itu. Tetapi ia sendiri adalah orang yang memiliki bekal ilmu
dan pengalaman yang sangat luas. Karena itu,
bagaimanapun juga, ia tidak akan menjadi gentar
menghadapinya. "Ki Sanak" berkata Witantra "Aku sudah siap untuk
menangkapmu. Hati-hatilah. Agaknya lebih baik kau
tertangkap hidup dari pada mati"
Orang itu menggeram. Tetapi ia sudah tidak menjawab
lagi. Sejenak kemudian keduanya telah saling mempersiapkan
diri. Witantra yang melihat kemantapan sikap pada
lawannya, menghadapinya dengan hati-hati.
Sejenak keduanya masih belum berbuat sesuatu. Namun
ketika Witantra bergerser selangkah, maka orang itupun
telah meloncat menyerang. Namun serangan itu dengan
mudah dapat dielakkan oleh Witantra, karena nampaknya
orang itu memang belum bersungguh-sungguh sebagaimana
dilakukan oleh Witantra kemudian. Iapun telah bergerser
mendekat sambil menjulurkan tangannya. Namun orang
itupun telah bergeser pula surut.
Tetapi yang terjadi kemudian, bukanlah sekedar
memancing gerak lawannya. Orang yang bernama Ki Sarpa
Kuning itupun benar-benar telah mulai menyerang
Witantra. Dengan loncatan panjang ia menjulurkan
tangannya mengarah kening. Namun ketika Witantra
mengelak, maka tangannya itupun segera berputar dan
terayun mendasar mengarah kewajah Witantra.
Witantra mengelak dengan menarik wajahnya. Dengan
cepat ia memiringkan tubuhnya. Tiba-tiba saja satu kakinya
telah terjulur menyambar lambung orang yang menyerang
wajahnya itu. Tetapi serangan itupun masih belum berhasil. Lawannya
dengan sigapnya mengelak dengan menarik tubuhnya
condong kebelakang. Bahkan tiba-tiba itu telah berputar,
bertumpu pada tumitnya. Satu kakinya menyambar dengan
putaran mendatar menyerang Witantra.
Witantralah yang kemudian harus meloncat.
Bagaimanapun juga lawannya adalah seseorang yang
mampu bergerak cepat. Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang cepat.
Tetapi masing-masing masih berusaha untuk menjajagi
kemampuan lawannya yang nampaknya masih membatasi
diri dengan kemampuan wadag mereka.
Namun dalam pada itu, karena keduanya adalah orangorang
berilmu tinggi, maka perlahan-lahan ilmu merekapun
meningkat semakin tinggi pula.
Gerak mereka menjadi semakin cepat dan seranganserangan
merekapun kemudian tidak lagi sekedar
dilontarkan oleh tenaga wadag mereka. Tetapi mereka
sudah mulai merambah ke tenaga cadangan mereka.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
semakin lama semakin dahsyat. Kemampuan yang
terungkap di dalam pertempuran itupun menjadi semakin
tinggi pula. Mereka bukan saja bergerak semakin cepat,
tetapi lontaran kekuatan tenaga merekapun menjadi
nggegirisi. Jika mereka kehilangan sasaran karena lawan
mereka mengelak, maka sentuhan serangan itu telah
memecahkan batu-batu padas yang berserakan. Dahandahan
perdupun telah berpatahan dan gerumbulgerumbulpun
telah terguncang. Ternyata orang yang bernama Sarpa Kuning itupun
memiliki kemampuan yang luar biasa. Untuk beberapa saat,
ia dapat mengimbangi kemampuan Witantra. Namun
ketika Witantra semakin meningkatkan kemampuannya,
maka terasa bahwa ilmu orang itupun masih ketinggalan.
Perlahan-lahan orang itupun mulai terdesak.
Kemampuan dan pengalaman Witantra sejak ia mengabdi
kepada Akuwu di Tumapel sampai rambutnya sudah
ubanan, ternyata membuat lawannya mengalami banyak
kesulitan. Tetapi Ki Sarpa Kuning masih belum merasa kalah.
Iapun segera mempergunakan senjata-senjatanya yang
sangat berbahaya. Ketika serangan Witantra datang
membadai, maka Ki Sarpa Kuning telah berloncatan
menghindarinya. Bahkan iapun kemudian telah mengambil
jarak dari lawannya dengan loncatan yang panjang.
Namun sejalan dengan itu, maka Ki Sarpa Kuning
itupun telah meloncatkan sesuatu kepada Witantra. Seolaholah
hanya seutas tali. Tetapi Witantra cukup berhati-hati Apapun yang
dilemparkannya, akan dapat berbahaya baginya. Karena
itu, dengan cepatnya ia meloncat mengelak. Sehingga
dengan demikian, benda itu terbang tidak ada sejengkal dari
wajahnya. Pada saat itulah, Witantra melihat, meskipun dalam
keremangan malam, namun ketajaman pengamatan
Witantra dapat mengetahui bahwa yang dilemparkan oleh
lawannya adalah seekor ular.
Witantra dengan cepat dapat menangkap arti dari senjata
itu. Senjata yang tentu sangat berbahaya. Karena itu,
dengan kecepatan yang tidak kasat mata, didorong oleh
kemampuan ilmunya, maka Witantra telah menarik
pedangnya. Sebelum ular itu jatuh ketanah, maka tubuh
ular itu telah terpenggal menjadi tiga.
Darah Ki Sarpa Kuning tersirap melihat kecepatan gerak
Witantra Mampir ia tidak bercaya atas penglihatannya.
Dalam waktu sekejap dan tiba-tiba, lawannya itu mampu
menarik pedangnya dan sekaligus menyambar ular yang
dilemparkannya dengan dua kali ayunan.
Namun demikiaa, Ki Sarpa Kuning masih mencobanya.
Sekali lagi ia melemparkan seekor ular kearah Witantra.
Namun sekali lagi ular itu bagikan dicincang menjadi
berpotong-potong. Karena itulah, maka Ki Sarpa Kuning merasa, bahwa
tidak ada gunanya lagi untuk bertahan lebih lama lagi.
Lawannya adalah seorang yang tidak akan dapat
dikalahkannya, meskipun ia mempergunakan senjatanya
yang paling berbahaya. Karena itu, maka tidak ada cara lain untuk
menyelamatkan diri selain melarikan diri jauh-jauh dari
orang itu. Demikianlah, maka Ki Sarpa Kuning itu masih juga
melemparkan seekor ke arah Witantra yang menyambutnya
dengan pedangnya. Namun pada saat yang demikian, Ki
Sarpa Kuning itu telah mempergunakan kesempatan itu
untuk melarikan diri. Witantra sama sekali tidak membiarkan orang itu berlari
tanpa dikejarnya. Karena itu, maka iapun segera meloncat
mengikuti arah lari orang yang telah melemparkan ularularnya.
Tetapi Witantra merasa terganggu oleh sikap lawannya.
Ia tidak saja lari tanpa Berbuat sesuatu. Tetapi beberapa kali
orang itu telah melemparkan ular-ular yang berbahaya itu di
belakangnya. Dengan demikian, maka langkah Witantrapun
terhambat. Ia tidak ingin menginjak dan kemudian dipatuk
oleh seekor ular yang tentu ular yang sangat berbisa, yang
akan dapat membahayakan jiwanya. Karena itu, maka
setiap kali ia berusaha untuk menghindarkan diri dari ularular
yang ditebarkan oleh lawannya.
Namun, karena itulah, maka jarak antara keduanya
semakin lama semenjadi semakin jauh, sehingga pada suatu
saat, Witantra benar-benar kehilangan buruannya ketika Ki


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sarpa Kuning menyusup diantara gerumbul-gerumbul yang
rimbun. Akhirnya Witantra tidak lagi melanjutkan usahanya
untuk menangkap lawannya. Bahkan kemudian, iapun
mengambil keputusan untuk kembali ke tempat Mahisa
Agni menunggu. Dengan hati-ahti ia berjalan di atas rerumputan. Sekalisekali
Witantra memilih berjalan di atas tanah yang
berpadas sehingga baginya lebih mudah untuk melihat
sesuatu daripada di rerumputan.
Witantra tertegun ketika ia melihat sesuatu tergolek di
atas tanah berpadas. Sebuah benda yang memanjang
kehitam-hitaman. Namun benda itu tidak bergerak sama
sekali. Timbul niat Witantra untuk mengetahuinya, apakah
benda itu ular seperti yang ditaburkan oleh Ki Sapar
Kuning. Namun ketika dengan ujung pedangnya ia mengungkit
benda itu barulah ia menyadari, bahwa lawannya benarbenar
seorang yang licik. Agaknya ia tidak memiliki ular
cukup banyak untuk ditaburkan, sehingga sebagian besar
dari benda-benda yang dikirakan ular itu tidak lebih dari
hanya seutas tali. Namun Witantra percaya, bahwa orang itu benar-benar
mampu bermain-main dengan ular, karena ular-ular yang
dilemparkan kepadanya sebelumnya adalah benar-benar
seekor uiar. Dalam pada itu, dengan hati-hati Witantrapun telah
melangkah kembali. Ia harus memberitahukan yang terjadi
itu kepada Mahisa Agni dan kepada kedua orang anak
Mahendra. Namun dalam pada itu, ternyata Witantrapun kemudian
bertemu dengan Mahisa Agni dan kedua anak muda yang
mengikutinya itu. Ternyata bahwa mereka telah
menyusulnya. "Apa yang terjadi?" bertanya Mahisa Agni. Witantrapun
kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Sehingga
akhirnya, ia telah kehilangan orang yang memiliki senjata
ular-ular berbisa itu. "Ular-ular itu benar-benar berbisa melampaui biasa
kebanyakan ular" berkata Mahisa Agni, yang kemudian
juga menceriterakan apa yang telan terjadi atas kedua orang
tawanan itu. "Jadi obat penawar bisa itu tidak dapat
menyembuhkannya?" bertanya Witantra.
Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya "Tidak. Harus ada
obat lain yang lebih baik. Kita memang harus
mengusahakannya, karena mau tidak mau, kita sudah
berhadapan dengan orang berilmu tinggi dan mempunyai
pengetahuan tentang bisa yang paling tajam itu"
Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Kita sudah
menempatkan diri menghadapinya. Kedua muridnya itu
sudah dikorbankannya. Karena itu, maka iapun tentu akan
mendendam kita" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri dengan jantung
yang berdebaran. Mereka mendengarkan pembicaraan
Mahisa Agni dan Witantra. Dan merekapun dapat
membayangkan apa yang dapat terjadi jika seekor ular
mematuk kakinya. Sejenak kemudian, maka mereka berempatpun segera
kembali ke tempat perapian. Mereka melihat dua orang
tawanan mereka telah membeku.
"Kita telah kehilangan" desis Witantra.
"Jalur itu telah terputus sampai disini" berkata Mahisa
Agni "tetapi kita sudah mendapat keterangan serba sedikit
tentang orang yang telah melemparkan ular-ularnya itu.
Mahisa Agnipun kemudian mengatakan, apa yang telah
dikatakan oleh kedua orang tawanan itu menjelang tarikan
nafasnya yang terakhir. Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Kita memang
harus berhati-hati. Kecuali kita sudah melihat satu usaha
yang perlahan-lahan akan menghancurkan Singasari lewat
satu usaha yang luas dan berbahaya itu, maka kitapun akan
berhadapan dengan satu padepokan yang berbahaya. Tanpa
persoalan hutan dan pepohonan itupun, padepokan itu
merupakan sumber persoalan bagi kita.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mengerti pula.
Nampaknya mereka masih ingin melanjutkan petualangan
mereka yang setiap kali telah terganggu. Rasa-rasanya
mereka masih belum berbuat apa-apa karena setiap kali
mereka masih harus berhubungan dengan ayahnya, kedua
pamannya itu dan orang-orang Singasari yang lain,
termasuk para prajurit dibawah pimpinan kakaknya,
Mahisa Bungalan. Dalam pada itu, agaknya Mahisa Agni dan Witantra
masih belum akan mempersoalkan rencana Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat selanjutnya. Yang akan mereka lakukan
kemudian adalah mengubur orang-orang yang telah
terbunuh itu. "Kita tidak perlu menunggu matahari terbit" berkata
Mahisa Agni kemudian. Demikianlah, merekapun kemudian telah mengubur
kedua orang yang telah terbunuh oleh guru mereka sendiri.
Ketika kemudian matahari terbit, ke empat orang itupun
telah membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang
mengalir tidak jauh dari tempat mereka bermalam.
Memberi minum kuda-kuda mereka dan kemudian
berkemas untuk meneruskan perjalanan yang sudah tidak
terlalu panjang lagi. "Apakah kami berdua juga harus kembali lebih dahulu
ke Singasari?" bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Ya Kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya"
jawab Mahisa Agni "kau mengerti, kemampuan bisa ular
yang sangat berbahaya itu. Obat yang diberikan kepadanya
sama sekail tidak menolongnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Ia memang harus membawa persiapan yang lebih
baik dalam petualangannya. Merekapun menyadari, bahwa
orang-orang berilmu tinggi telah melibatkan dirinya
meskipun tidak langsung. Kematian kedua orang itu, tentu
bukannya tidak akan membawa akibat. Meskipun kedua
orang itu dibunuh sendiri oleh gurunya, tetapi karena satu
sebab yang dapat dituntutnya kepada kedua anak muda itu
bersama Mahisa Agni dan Witantra sebagai orang-orang
yang menyebabkan gurunya itu mengambil satu keputusan
untuk mengakhiri hidup kedua muridnya.
Karena itu, maka ketika matahari kemudian mulai
memanjat langit, maka ke empat orang itupun telah
melanjutkan perjalanan mereka ke Singasari dengan satu
laporan yang sangat penting tentang usaha untuk membuat
hutan-hutan menjadi gersang.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masing-masing telah menuntun seekor kuda yang
ditinggalkan oleh kedua orang tawanan mereka yang
terbunuh. Tidak ada rintangan apapun dalam perjalanan mereka
yang pendek. Namun Mahisa Agni dan Witantra tertarik
kepada seseorang yang berdiri di sebuah pematang. Orang
yang berusaha melindungi wajahnya dengan sebuah caping
bambu yang lebar. Namun terasa oleh Mahisa Agni dan
Witantra, bahwa orang itu telah memperhatikan mereka
berempat. "Menarik sekali" disis Witantra "meskipun semalam aku
tidak sempat memperhatikan dengan seksama, tetapi rasarasanya
orang itu mempunyai hubungan dengan orang yang
bersenjata ular itu"
Mahisa Agnipun telah memperhatikan orang itu pula.
Namun kemudian katanya kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat "Sebaiknya kalian berada di sebelah kami,
yang tua-tua ini. Biarlah orang itu dapat mengenali kami.
Tetapi sebaiknya mereka tidak mengenalimu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya tidak ingin
menyembunyikan dirinya. Tetapi mereka mematuhi
perintah Mahisa Agni dan merekapun kemudian berkuda di
sebelah Mahisa Agni dan Witantra, sehingga keduanya
tidak dapat dilihat dengan jelas oleh orang yang berada di
pematang. karena dibayangi oleh kedua paman mereka.
Orang yang berdiri di pematang itu bergeser setapak.
Orang itu berusaha untuk tidak menarik perhatian dengan
sekali-sekali merunduk mengusap tanaman yang hijau di
bawah kakinya. Namun setiap kali, orang itu berdiri tegak
dan memandang ke empat orang berkuda yang lewat.
Ternyata orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak
dapat melihat dengan jelas wajah dua orang yang berkuda
di sebelah kedua orang-orang tua yang diketahuinya
memiliki kemampuan yang luar biasa.
Sebenarnyalah orang itu adalah orang yang memiliki
kemampuan menguasai ular dan membuat bisanya
bertambah tajam. Orang itu ingin melihat dengan jelas, ke
empat orang yang telah menguasai kedua muridnya yang
terpaksa dibunuhnya. Orang itu mengerti, bahwa seorang
dari kedua orang tua berkuda itu adalah orang yang telah
bertempur melawannya semalam. Yang tidak dapat
ditundukkannya dengan senjata ularnya. Bahkan dengan
ayunan senjatanya yang cepat, ular-ular itu menjadi
terpotong-potong. "Gila" geram orang bercaping lebar itu "aku tidak dapat
melihat kedua orang yang lain, yang nampaknya masih
muda. Agaknya kedua orang tua itu menjadi curiga dan
dengan sengaja membayangi kedua anak muda itu. Atau
barangkali orang tua itu dapat mengenaliku"
Sebenarnyalah orang itu terkejut, ketika tiba-tiba saja,
Witantra yang lewat berjarak sekotak sawah di depan orang
itu telah mengangkat tangannya sambil memandanginya.
"Kau yakin bahwa orang itu adalah orang yang semalam
kau kejar?" bertanya Mahisa Agni.
"Mungkin. Aku mencurigainya. Tetapi seandainya
bukan, bukankah aku hanya sekedar melambaikan
tanganku?" jawab Witantra.
Mahisa Agnipun tersenyum. Namun melihat sikap orang
bercaping lebar itu, maka iapun menjadi curiga.
"Orang itu menjadi sangat gelisah dan bahkan berusaha
untuk pergi" berkata Mahisa Agni.
"Mungkin orang itu benar-benar orang yang semalam
aku kejar" jawab Witantra "tetapi apakah kita akan
melakukannya sekarang?"
Mahisa Agni termangu-mangu. Namun kemudian iapun
menjawab "Apakah ada gunanya?"
Witantra termenung sejenak. Kemudian iapun
menggeleng sambil menjawab "Memang tidak ada
gunanya. Ia akan dapat melarikan diri dan peristiwa yang
demikian tentu akan sangat menarik perhatian"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia
memandang orang bercaping lebar itu, maka orang itupun
telah beringsut semakin jauh.
"Agaknya orang itupun mengerti, bahwa kita sedang
membicarakan satu kemungkinan untuk menangkapnya"
berkata Mahisa Agni. Witantra tersenyum. Katanya "Tetapi jika benar orang
itu adalah orang yang semalam melemparkan ular-ularnya,
iapun tentu merasa, bahwa akupun dapat menelannya"
"Hanya karena kau melambaikan tanganmu" sahut
Mahisa Agni. Witantra tertawa. Sementara itu katanya kemudian
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Orang itu adalah
orang yang sangat berbahaya. Karena itu, kita harus
berhati-hati menghadapinya. Ia adalah seorang yang tidak
berdiri sendiri" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk,
sementara Mahisa Agni berkata "Kedua orang murid yang
dibunuhnya itu mendendamnya sebelum mereka
menghembuskan nafasnya yang terakhir"
"Nama dan padepokan yang disebutnya, akan dapat
menjadi petunjuk bagi kita untuk menelusuri" jejaknya.
Tetapi aku masih ingin mendengar rencana Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat kemudian. Apakah mereka masih
akan menelusuri lembah dan lereng-lereng pegunungan atau
mereka akan mempunyai rencana lain yang langsung
berkaitan dengan usaha orang-orang tertentu untuk
mengacaukan tatanan kehidupan di Singasari" berkata
Witantra kemudian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
merekapun mulai memikirkan langkah-langkah yang akan
mereka lakukan kemudian. Sementara itu, orang yang berada di pematang itu sudah
menjadi semakin jauh di belakang mereka. Bahkan orang
itupun telah meninggalkan tempatnya, melangkahi parit
dan justru mendekati jalan yang baru saja dilalui oleh ke
empat orang berkuda dari Singasari itu.
"Gila" geram orang itu "agaknya orang itu dapat
mengenali aku. Dengan sengaja mereka melindungi kedua
orang yang muda-muda itu, agar keduanya tidak menjadi
sasaran dendamku, karena agaknya keduanya belum
memiliki ilmu sebagaimana orang-orang tua itu"
Sejenak orang itu berdiri tegak memandangi kuda-kuda
yang berjalan semakin jauh menyusuri bulak yang panjang.
Baru sejenak kemudian, maka iapun berjalan menuju ke
arah yang berlawanan. Namun ia masih saja merasa bahwa
dendamnya belum dapat dilunakkannya.
Tetapi iapun harus tetap menyimpannya sampai datang
satu kesempatan. Karena ia merasa tidak akan dapat
berbuat banyak terhadap kedua orang tua yang mengaku
prajurit-prajurit Singasari itu.
Namun menurut perhitungannya, kedua muridnya yang
dibunuhnya itu tidak sempat mengatakan, siapakah ia
sebenarnya dan berasal dari padukuhan dan padepokan
mana. Tetapi ternyata bahwa kedua orang muridnya yang
diobati oleh Mahisa Agni. meskipun tidak menolong


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jiwanya, namun memberi kedua orang itu kesempatan
untuk berbicara dan berpesan untuk membalaskan sakit
hatinya. "Untuk sementara aku harus melupakannya" berkata
orang itu "tetapi pada suatu saai, Sarpa Kuning akan
menemukan satu cara untuk membalas sakit hati ini. Dua
orang muridku sudah aku korbankan. Maka aku harus
dapat membunuh prajurit Singasari sejumlah muridku yang
terbunuh itu lipat lima"
Dalam pada itu. maka Mahisa Agni, Witantra, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpun menjadi semakin jauh. Mereka
tidak menghiraukan lagi orang bercaping lebar, meskipun
Witantra kemudian yakin, bahwa orang itu adalah orang
yang semalam telah bertempur melawannya.
Sejenak kemudian kuda merekapun berlari semakin
cepat, meskipun tidak terlalu kencang sebagaimana kudakuda
itu sedang berpacu. Singasari memang tidak terlalu
jauh lagi. Jika saja kedua orang tawanan itu tidak berkeras
untuk beristirahat di perjalanan, karena mereka mempunyai
rencana untuk berusaha melarikan diri, maka mereka
memang tidak akan bermalam. Tetapi permintaan kedua
tawanan itu untuk bermalam ternyata telah menyeret
mereka kedalam maut. Meskipun dengan demikian Mahisa Agni dan
Witantrapun telah kehilangan pula. Tetapi mereka
membawa sedikit arah yang akan dapat mereka telusuri.
Namun dalam pada itu, mereka tidak langsung menuju
ke Kota Raja. Mereka akan singgah lebih dahulu di rumah
Mahendra, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
pulang lebih dahulu untuk berbicara tentang beberapa hal
dengan ayahnya, sebelum mereka akan mulai lagi dengan
satu petualangan yang baru, untuk melanjutkan
petualangan mereka yang selalu terputus oleh beberapa
sebab. "Perjalanan yang pernah kita tempuh adalah perjalananperjalanan
kerdil yang tidak banyak berarti" berkata Mahisa
Murti "kami ingin satu pengembaraan yang panjang dan
penuh satu bagi pengalaman hidup kami di masa
mendatang" "Peristiwa yang terjadi itu mempunyai nilai yang besar
sebagai satu pengalaman" jawab Mahisa Agni "kau dapat
mengetahui arti hijaunya lembah dan hijaunya lereng
pegunungan. Jika yang hijau itu kemudian menjadi gundul,
maka kegersangan itu akan mempunyai akibat yang sangat
luas. Jangan menganggap bahwa hal itu bukan satu
pengalaman yang berharga. Atau seandainya kau tidak
menangkapnya sebagai satu pengalaman, maka perasaanmu
memang tidak cukup peka menanggapi pengalaman yang
berharga itu. Dengan demikian, maka kau tidak akan
pernah merasa mendapatkan satu pengalamanpun berapa
lamanya kau mengembara"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
menundukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti kata-kata
pamannya itu. Sebenarnyalah bahwa mereka telah
mendapatkan satu pengalaman yang berharga. Dan bahkan
pengalaman itu bukannya satu pengalaman yang tidak akan
ada singgungannya lagi dengan masa-masa mendatang,
karena Singasari masih harus menanggapi tantangan itu
dengan sungguh-sungguh. Karena itu, meskipun mereka tidak mengucapkannya,
merekapun telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa dalam
pengembaraannya mendatang, mereka akan berusaha untuk
memperhatikan orang-orang yang dengan sengaja telah
berusaha untuk mengacaukan tata kehidupan Singasari.
Namun dalam pada itu Mahisa Agni berkata "Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Jika kelak kau akan melanjutkan
pengembaraanmu, maka kau harus mengisi
pengembaraanmu dengan satu langkah yang berarti. Berarti
dalam arti yang sebenarnya. Bukan saja bagi kalian sendiri,
tetapi lebih-lebih lagi bagi lingkungan kalian. Karena itu,
kalian akan menjadi pengembaraan bukan sekedar
mengembara tanpa tujuan. Bukan sekedar melihat-lihat
dunia yang luas ini dan mencari bekal bagi hidup kalian
kelak. Tetapi langkah kalian harus berarti bagi satu
lingkungan. Terutama bagi Singasari"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, merekapun mulai menilai
perjalanan yang pernah mereka tempuh. Apakah
pengembaraan itu mempunyai arti seperti yang dikatakan
oleh pamannya atau pengembaraan itu hanya berarti bagi
diri mereka berdua. Namun Mahisa Agni yang melihat gejolak perasaan itu
di dalam diri kedua anak muda itupun berkata "Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sebenarnyalah apa yang kau
lakukan, merupakan langkah-langkah yang baik. Ada halhal
yang telah kalian lakukan. Kau telah melihatkan
Singasari dalam beberapa persoalan. Dan itu adalah
pertanda bahwa kau memang pengembara yang bukan
sekedar mengembara. Tetapi kau mampu mengambil
langkah-langkah penting di saat pengembaraanmu.
Langkah-langkah yang bermanfaat bagi Singasari. Dan
agaknya kaupun masih akan berbuat demikian, apalagi
setelah kau mengetahui, bahwa ada pihak yang dengan
sengaja ingin mengacaukan tata kehidupan Singasari"
Kedua orang anak muda itupun mengangguk-angguk.
Mereka menyadari bahwa mereka memang seharusnya
berbuat demikian, sebagaimana dikatakan oleh pamannya.
Sehingga perjalanan yang akan mereka tempuh kelak bukan
sekedar perjalanan yang tidak berarti apa-apa bagi sesama.
Demikianlah, maka iring-iringan itupun semakin lama
menjadi semakin dekat dengan Singasari. Sebagaimana
mereka putuskan bahwa mereka akan singgah lebih dahulu
di rumah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sebelum Mahisa
Agni dan Witantra masuk kembali ke lingkungan istana.
Kedatangan mereka di rumah Mahendra telah disambut
dengan gembira. Dengan wajah yang cerah Mahendra
menemui kedua anaknya sambil bertanya "Bukankah kalian
selamat?" "Ya ayah" jawab keduanya hampir bersamaan.
Demikianlah, maka ke empat orang yang baru saja datang
itupun telah dipersilahkan naik ke pendapa.
"Kalian akan minum dan makan makanan lebih dahulu
sebelum kalian membersihkan diri" berkata Mahendra
ketika, beberapa macam makanan dan minuman
dihidangkan. Namun dalam pada itu Mahendra menjadi heran, bahwa
mereka berempat, tetapi kuda yang ada di halaman
berjumlah enam ekor. "Kuda siapakah yang dua itu?" bertanya Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dalam pada itu Mahisa Agnipun berkata "Katakan
kepada ayahmu apa yang telah terjadi"
Mahisa Murtilah yang kemudian menceriterakan apa
yang telah dialaminya disepanjang perjalanan. Sehingga
akhirnya kedua orang yang sebenarnya akan dapat
memberikan sedikit keterangan tentang usaha pengacauan
tatanan pertanian di Singasari itu terbunuh oleh guru
mereka sendiri, dengan cara yang mengerikan.
"Bukan main" berkata Mahendra "agaknya ada satu
rencana yang besar yang sudah tersusun"
"Ya" sahut Witantra hal ini harus diketahui oleh
kalangan istana. Satu-satunya nama yang paling mungkin
dapat kita telesuri sekarang, adalah orang yang mengaku
guru dari kedua orang yang terbunuh itu. Sebagaimana juga
disebut olah kedua orang-tawanan itu"
"Namanya?" bertanya Mahendra.
"Ki Sarpa Kuning" jawab Witantra "aku sudah
menjajagi ilmunya. Meskipun ilmu kanuragannya masih
dapat aku atasi, namun orang itu memiliki jenis senjata
yang dahsyat" Witantrapun kemudian telah menceriterakan tentang
ular dan bisa yang melampaui ketajaman bisa biasa.
Keterangan itu memang sangat menarik. Namun
Mahendrapun menjadi berdebar-debar ketika kemudian
ternyata bahwa kedua anaknya masih saja berniat untuk
melanjutkan pengembaraannya meskipun mereka
mengetahui gejolak yang sedang mengancam Singasari.
"Nampaknya beberapa orang Kediri tidak sedang
bermain-main" berkata Mahendra "kita bukan saja
menghadapi kekuatan yang berkeliaran di hutan-hutan.
Tetapi beberapa orang pemimpin Kediri telah menjadi jemu
untuk tetap berada di bawah kuasa Singasari. Karena itu,
.maka mereka telah berusaha untuk pada suatu saat dapat
bangkit dan bermimpi tentang Kediri pada, masa
kejayaannya. Sebelum Tumapel yang kecil itu dapat
mengalahkan Kediri dan kemudian menclirikan Singasari"
Kedua anaknya mengangguk-angguk. Mereka juga sudah
mendengar hal itu dikatakan baik oleh Mahisa Agni
maupun oleh Witantra, Dan merekapun menyadari
keadaan yang semakin menjadi gawat.
Tetapi semuanya itu tidak mematahkan keinginan
mereka, untuk melalukan pengembaraan.
"Baiklah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat" berkata
Mahisa Agni "jika kalian memang berkeras untuk
mengembara dan mencari pengalaman baru, terutama
untuk mengenali hubungan antara Kediri dan Singasari,
maka kalian harus mengadakan, persiapan yang lebih baik.
Yang baru saja kita lihat adalah kekuatan bisa yang
tajamnya melampuai ketajaman bisa biasa. Kemudian
hutan di lereng pegunungan yang akan dihancurkan agar
tanah persawahan menjadi kehilangan kesempatan di segala
musim untuk ditanami. Di musim hujan akan terjadi banjir
dan di musim kering akan menjadi ladang batu padas yang
keras dan pecah-pecah karena tidak ada setitik airpun yang
dapat membasahinya" "Kami akan berusaha untuk mengatasi setiap kesulitan
paman" berkata Mahisa Murti.
"Tetapi kau tidak akan dapat mengatasi bisa ular itu
tanpa pertolongan orang lain. Karena itu, kau harus
menunggu sehingga seorang tabib istana akan menyiapkan
obat untuk melawan bisa ular itu. Sementara itu lukalukamu
akan dapat disembuhkannya. Ingat, Sarpa Kuning
itu telah mendendam kita. Ia memerlukan menunggu kita
lewat untuk mengenali wajah-wajah kita disiang hari"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun merekapun tidak memaksa diri untuk segera
berangkat sebagaimana dipesan oleh pamannya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantrapun
akan segera kembali ke istana. Mereka harus melaporkan
apa yang diketahuinya. Sementara itu mereka harus
menyiapkan sejenis obat yang dapat melawan racun yang
sangat tajam. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni telah bersepakat
dengan Witantra, bahwa mereka tidak akan dapat
melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa
pengawasan. Disadari atau tidak disadari oleh anak-anak
muda itu. Ketika Mahisa Agni dan Wintantra pergi istana, maka
mereka telah membawa dua ekor kuda dari tawanan
mereka yang terbunuh. Sementara Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan beristirahat barang satu dua hari di
rumahnya sendiri. Tetapi pengembaraan mendatang, akan merupakan
pengembaraan yang lebih berat lagi keduanya karena,
mereka harus mengamati beberapa hal yang akan langsung
mempunyai sentuhan atas Singasari.
Ternyata berita yang dibawa oleh Mahisa Agni dan
Witantra memang sangat menarik perhatian.
Bagaimanapun juga berita itu, tidak dapat diabaikan oleh
orang-orang Singasari. Jika rencana itu benar-benar akan
dijalankan oleh orang-orang yang mendapatkan perintah
dari satu dua orang bangsawan Kediri yang tidak lagi dapat
menahan diri untuk terus berada dibawah kekuasaan
Singasari, maka semakin lama persoalannya akan menjadi
semakin gawat. Tetapi Singasari juga tidak tergesa-gesa. Para pemimpin
Singasari harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk
menentukan satu sikap. Dalam pada itu, di samping persoalan yang masih akan
banyak dibicarakan dan diurai segala seginya, Mahisa Agni
dan Witantra telah menghubungi seseorang yang memiliki
pengetahuan yang mumpuni mengenai bisa ular yang
melampaui ketajaman bisa kebanyakan.
"Untuk apa" bertanya tabib yang berambut putih seperti
kapuk itu meskipun ia masih nampak tegap.
"Seseorang telah menyerang lawannya dengan ular.
Sejenis ular bandotan. Tetapi obatku tidak dapat
menolongnya" jawab Mahesa Agni.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan nada
dalam ia bertanya "Siapa orangnya?"
"Menurut dua orang muridnya yang terbunuh, namanya
Ki Sarpa Kuning" jawab Mahisa Agni.
"Ki Sarpa Kuning" orang itu mengulang. Wajahnya
menjadi tegang. "Kau sudah pernah mendengar namanya" bertanya
Witantra. "Sarpa Kuning dari Banjar Kuning?" bertanya orang itu
pula. Mahisa Agni mengangguk. Katanya "Ya. Ki Sarpa
Kuning dari padepokan yang disebutnya Banjar Kuning"
Orang berambut putih seperti kapuk itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya "Aku mengenal namanya. Ia adalah
orang yang menguasai ilmu tentang bisa. Adalah wajar
bahwa kalian tidak akan dapat melawan kemampuannya.
Namun ia bukan saja orang yang mengerti dan memahami
tentang bisa dan racun. Tetapi ia juga seorang yang
memiliki kemampuan dalam olah kanuragan"
"Ya" jawab Witantra "ia memang memiliki kemampuan
itu. Karena itu, maka seseorang harus memiliki bekal yang
Cukup untuk menghadapinya. Setidak-tidaknya seseorang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus memiliki obat manawar bisa yang sangat tajam itu"
Orang berambut seputih kapas itu mengangguk-angguk.
Kemudian iapun bertanya. "Apakah kalian akan mencoba mengunjungi
padepokannya?" "Kami tidak akan dengan sengaja mencari persoalan
dengan padepokan Banjar Kuning. Tetapi jika pada suatu
saat, hal Itu terjadi, maka kami memang harus bersiap
menghadapinya. Terutama bisa dan racunnya"
Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Aku akan berusaha menyiapkan obat yang dapat
melawan ketajaman racun orang-orang Banjar Kuning.
Meskipun demikian, jangan menganggap bahwa dengan
reramuan itu, kalian sudah benar-benar terbebas dari
cengkaman racun yang dibuat oleh orang-orang padepokan
Banjar Kuning" "Kami mengerti" jawab Manisa Agni "nampaknya
orang-orang Banjar Kuning memang memiliki kelebihan.
Terutama orang pertama di padepokan itu"
"Ia bukan saja menguasai racun. Tetapi ia menguasai
ular-ular itu sendiri yang dapat dipergunakannya sebagai
senjatanya" sambung Witantra.
Orang berambut putih itupun mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya "Aku memerlukan waktu
beberapa hari. Pada saatnya aku akan manghubungimu"
"Beberapa hari?" bertanya Mahisa Agni "apakah kau
dapat menyebutkan, berapa hari yang kau perlukan"
"Apakah kau sangat tergesa-gesa?" bertanya orang itu.
"Bukan aku yang tergesa-gesa. Aku tidak akan pergi
kemanapun dalam waktu dekat Tetapi kemenakanku"
jawab Manisa Agni. "Kemanakanmu. Anak Mahendra itu yang kau
maksud?" bertanya orang berambut putih itu pula.
"Ya. Ia akan mengembara menjelajahi lereng
pegunungan" jawab Mahisa Agni "karena kami saat itu
telah terlihat dalam satu persoalan dengan orang-orang
padepokan Banjar Kuning, maka kami tidak dapat
melepaskan anak-anak itu tanpa bekal"
"Mahisa Bungalan, maksudmu?" bertanya orang itu
pula. "Bukan. Kedua adiknya. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat" jawab Witantra.
Orang berambut putih itu menggelengkan kepalanya.
Katanya "Kalian nampaknya terlalu kurang berhati-hati
menghadapi orang-orang padepokan Banjar Kuning. Kau
kira anak-anak itu akan dapat mengatasinya, jika benarbenar
mereka terlibat dalam satu persoalan dengan
padepokan Banjar Kuning"
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan. Namun
dalam pada itu Mahisa Agnipun bertanya "Apakah kau
banyak mengerti tentang Banjar Kuning?"
"Tidak terlalu banyak. Tetapi aku pernah mengenal.
Kami adalah orang-orang yang memperdalam pengetahuan
kami tentang bisa dan racun. Pada satu saat kami telah
pernah bertemu. Namun aku tidak akan pernah dapat
berbuat sesuatu yang tidak aku kehendaki, karena ia
memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Selebihnya,
aku tidak tahu apa yang dilakukannya, sementara akupun
memperdalam ilmu tentang racun itu dengan caraku
sendiri" berkata orang beramhut putih itu.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Meskipun orang berambut putih itu menurut pengenalan
Mahisa Agni dan Witantra juga memiliki kemampuan
dalam olah kanuragan, tetapi mereka percaya bahwa orang
yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itu memang
memiliki ilmu kanuragan yang lebih baik. Apalagi Witantra
sendiri memang pernah menjajagi ilmu orang itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Aghi dan Witantrapun
tidak dapat memaksa orang itu bekerja lebih cepet.
Sehingga dengan demikian, maka mereka talah memberitahukan
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk
menunggu, sesuai dengan waktu yang disediakan oleh
orang berambut putih itu.
"Demikian lamanya" keluh Mahijsa Murti.
"Kau tidak dapat memaksanya untuk bekerja lebih cepat,
jika kau menghendaki hasil yang benar-benar mampu
melawan bisa yang sangat tajam" berkata Mahendra.
Namun dalam pada itu, Mahendra ternyata talah
mempunyai satu rencana sendiri, meskipun ia tidak
mengabaikan rencana yang sudah dibuat oleh Mahisa Agni
dan Witantra tentang obat racun dan bisa itu.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menghadap
ayahnya, di serambi pada satu sore, maka Mahendra itupun
berkata "Kalian memang harus membawa obat yang baik
untuk melawan racun. Karena itu, maka kalian harus
menunggu" Mahendra berhenti sejenak, lalu "tetapi
memangi ada cara lain untuk melawan racun dan bisa yang
sangat keras itu" Kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Dengan
ragu-ragu Mahisa Pukat bertanya "Apakah ayah bersedia
memberikan cara itu. Atau satidak-tidaknya memberikan
petunjuk untuk melakukannya?"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"Duduklah dengan tenang. Aku akan mengambil sesuatu"
Kedua anak muda itu tidak menjawab. Mereka duduk
tanpa beringsut setapakpun sambil menunggu Mahendra
yang sedang masuk ke ruang dalam.
Ketika Mahendra itu keluar, maka iapun membawa dua
buah kotak kayu kecil di kedua tangannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Tetepi keduanya menjadi hampir tidak sabar.
"Apa itu ayah?" bertanya Mahisja Pukat.
Tetapi Mahendra tidak segera menjawab. Iapun
kemudian duduk kembali seperti semula dan meletakkan
kedua kotak kecil itu di hadapannya.
Sejenak kemudian, maka iapun berkata "Pada saatnya,
kalian akan mendapat beberapa bumbung kecil yang berisi
bermacam-macam obat. Antara lain, obat untuk melawan
racun dan bisa. Karena obat-obat itu akan sangat berarti
bagi kalian dan mungkin orang lain yang kalian jumpai
mengalami kecelakaan di perjalanan atau di tempat-tempat
lain yang kalian lalui"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara Itu Mahendra meneruskan "Namun selain obatobat
itu, sebenarnya, aku mempunyai sesuatu yang dapat
aku berikan kepada kalian justru setalah aku mengetahui,
bahwa kailan telah terlibat dalam satu permusuhan dengan
orang-orang padepokan Banjar Kuning yang memiliki
kekhususan kemampuan tantang bisa dan racun"
"Apakah ayah mengenal mereka?" bertanya Mahisa
Pukat. Mahendra mengangguk jawabnya "Aku mendengar
tentang mereka dari kalian dan paman-pamanmu Mahisa
Agni dan Witantra" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lagi. Dalam pada itu Mahendrapun melanjutkan "Anakanakku.
Bukan berarti aku tidak percaya kepada obat-obat
yang akan kau bawa. Tetapi disamping obat-obat itu, aku
ingin memberikan kepada kalian untuk meyakinkan, agar
kalian benar-benar tidak hancur karena racun itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tidak sabar.
Tetapi mereka masih terpaksa menunggu.
Dalam pada itu Mahendrapun telah membuka kedua
kotak yang ada di hadapannya sambil berkata
"Sebagaimana kalian ketahui, aku adalah seorang pedagang
wesi aji dan juga bebatuan yang memiliki tuah. Yang kalian
lihat ini adalah benda-benda yang memiliki kekuatan yang
khusus" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser maju. Sambil
menunjukkan selingkar cincin Mahendra berkata "Cincin
ini bermata sebuah batu akik berwarna gelap. Akik ini
memiliki khasiat untuk melawan bisa ular. Akik ini oleh
seseorang telah diberikan kepadaku. Bukan sebagai barang
yang diperdagangkan. Tetapi tanpa aku ketahui sebabnya,
ia talah memberikannya kepadaku"
"Siapa ayah?" berkata Mahisa Murti.
"Seorang tua di padukuhan yang tidak terlalu jauh dari
Kota Raja. Padukuhan itu tarmasuk dalam daerah
Kabuyutan Malawi. Orang itu menyebutnya akik Janur
Gunung" jawab Mahendra. Lalu katanya "seseorang yang
memakai cincin ini dan terkena racun atau bisa, betapapun
juga tajamnya, maka racun dan atau bisa itu tidak akan
dapat membunuhnya" Wajah kedua anak muda itu menjadi cerah. Sebelum
Mahendra mengatakan sesuatu, keduanya sudah menduga,
bahwa isi kotak yang lainpun memiliki pula satu kekuatan.
Sebenarnyalah, Mahendrapun kemudian
memberitahukan, bahwa yang berada di kotak yang lain
adalah sebuah gelang dari sepotong akar berwarna keputihputihan.
Seperti akik Janur Gunung maka akar Kayu Bule
itupun mempunyai kekuatan untuk melawan bisa. Siapapun
yang memakai gelang akar Kayu Bule itu, maka ia akan
tarbebas dari ketajaman recun dan bisa.
"Mengingat perjalanan ini kepada kalian. Terserah,
siapakah yang akan memakai cincin, dan siapakah yang
memilih gelang. Kedua anak muda itupun saling berpandangan sesaat.
Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam,
keduanyapun memandangi kotak yang ada di hadapan
ayahnya itu. Yang sebuah berisi cincin bermata batu akik
berwarna gelap, sedangkan yang lain berisi sebuah gelang
yang berwarna keputih-putihan yang terbuat dari sejenis
akar. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam jdiri.
Namun dalam pada itu, Mahendralah yang kemudian
berkata "Tetapi kalian masih harus membuktikannya.
Kelak, apabila obat yang dipesan oleh kedua pamanmu itu
sudah siap, maka kita akan mencoba benda-benda ini. Jika
ternyata bahwa benda-benda ini tidak berkhasiat, maka kita
akan dapat mengobatinya dengan obat-obat yang tentu
sudah diperhitungkan untuk melawan bisa yang paling kuat
sekalipun" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Rasa-rasanya mereka tidak sabar untuk membuktikan
khasiat dari kedua benda itu. Namun mereka tidak akan
dapat memaksa ayahnya, karena jika kedua benda itu
ternyata tidak memiliki khasiat seperti yang dikatakan oleb
ayahnya itu, maka tidak ada obat yang akan dapat
menolong lagi. Demikianlah, untuk beberapa saat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat harus tetap berada, di rumahnya. Rasarasanya
mereka telah menunggu untuk Waktu yang tidak
terbatas. Namun mereka dapat juga memanfaatkan waktu
yang menggelisahkan itu dengan berada di dalam sanggar.
Bukan saja mereka berdua, tetapi mereka berada di
dalam sanggar bersama ayah mereka.
Mahendra dapat menduga, bahwa kedua anaknya itu
akan mengembara ke daerah yang gawat dalam jelajah
orang-orang berilmu. Karena itu, maka tidak ada bekal
yang lebih baik yang dapat diberikannya kecuali mendalami
ilmu yang telah diberikannya.
Setelah untuk beberapa saat mereka menunggu, maka
Mahisa Murti dan MahisaPukatpun akhirnya melihat
kehadiran kedua orang pamannya di rumahnya. Dengan
tergesa-gesa keduanya menyongsongnya. Sedangkan
pertanyaan yang pertama yang dilontarkan oleh Mahisa
Pukat adalah "Apakah paman sudah mendapatkah obat
itu?" Mahisa Agni dan Witantra tersenyum. Sambil meloncat
turun dari kudanya Mahisa Agni berkata "Sabarlah.
Apakah kami tidak akan kau persilahkan naik?"
"O" Mahisa Pukat menjadi gagap. Sementara Mahisa
Murtilah yang menyambung "Marilah paman. Silahkan
naik ke pendapa" Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian naik ke
pendapam sementara, Mahisa Pukat telah memberitahukan
kepada ayahnya, bahwa kedua pamannya telah datang.
"Apakah mereka telah membawa obat itu?" bertanya
Mahendra. "Entahlah ayah" jawab Mahisa Pukat "silahkan ayah
bertanya langsung kepada paman Mahisa Agni atau paman
Witantra" Mahendra mengangguk-angguk. Iapun kemudian pergi
ke pendapa menemui Mahisa Agni dan Witantra.
Dalam pembicaraan berikutnya ternyata bahwa Mahisa
Agni dan Witantra telah membawa obat-obat yang
diperlukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam
pengembaraan mereka. Bukan saja obat penawar bisa,
tetapi juga obat untuk luka-luka yang baru oleh goresan
senjata yang tidak beracun. Juga obat untuk beberapa
macam penyakit yang akan dapat mereka pergunakan
untuk diri mereka sendiri, atau untuk orang lain yang
memerlukannya. Mahisa Pukat yang tidak sabar lagi, tiba-tiba saja telah
memotong pembicaraan "Ayah. Bukankah ayah akan
mencoba kemampuan kedua benda yang pernah ayah
perlihatkan itu?" Sekarang paman Mahisa Agni dan paman
Witantra telah membawa obat yang ayah kehendaki"
Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan dahi. Namun
Mahendra tersenyum sambil berkata "Aku akan
melakukannya. Tetapi tidak sangat tergesa-gesa. Biarlah
pamanmu beristirahat. Mungkin pamanmu akan tinggal
disini dua tiga hari"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian menundukkan kepalanya sambil berkata
"Baiklah ayah. Paman agaknya memang akan tingga disini
beberapa hari" Tetapi dalam pada itu. Witantra menjawab "Tidak
Mahisa Pukat. Kami tidak akan tinggal lebih dari satu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam disini" "Kenapa tergesa-gesa?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak ada apa-apa. Tetapi kta harus membicarakan
beberapa persoalan-persoalan dan langkah-langkah yang
dapat yang lakukan untuk mencegah orang-orang yang
dapat mengganggu tatanan yang sudah ada"
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Hal itu
memang harus di tanggapi dengan cepat"
"Kami akan berbuat apa saja untuk hal itu" berkata
Mahisa Pukat. Lalu "Karena itu, kami akan melanjutkan
pengembaraan kami" "Bagus. Bagus. Kalian memang akan melanjutkan
pengembaraan kalian" jawab ayahnya "dan karena itulah
maka kedua pamanmu itu datang kemari"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak, namun merekapun kemudian menundukkan kepala
mereka dalam-dalam. Demikianlah, setelah Mahisa Agni dan Witantra
beristirahat, berbincang-bincang sejenak, maka merekapun
mulai mempertanyakan obat yang telah pernah mereka
bicarakan sebelumnya. Apakah kau sudah mendapatkan?" beranya Mahendra.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya. Kami
sudah mendapatkannya. Obat yang tentu akan sangat
bermanfaat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Namun
demikian, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada
kalian berdua tentang bisa ular dan racun yang tajam"
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk kecil.
Kemudian dengan ragu-ragu, Witantra bertanya "Apa yang
kau maksud Mahendra"
Mahendra memandang kedua orang tamunya itu
berganti-ganti. Namun kemudian katanya "Bukan
maksudku memperkecil arti dari usaha kalian berdua. Kami
sangat berterima kasih atas beberapa jenis obat-obatan yang
akan dapat mereka bawa dalam pengembaraan mereka.
Namun demikian ada sesuatu yang ingin aku katakan"
Witantra mengerutkan keningnya. Namun dalam pada
itu Mahendrapun segera menceriterakan apa yang akan
dilaksanakan dengan kedua anaknya. Iapun mengatakan,
bahwa ia ingin mencoba, apakah benar bahwa benda-benda
yang dimilikinya itu, mempunyai kekuatan yang dapat
menawarkan segala macam bisa dan racun.
Witantra dan Mahisa Agnipun mengangguk-angguk
setelah mereka mendengarkan ceritera Mahendra. Bahkan
kemudian Mahisa Agnipun berkata "Aku sependapat
Mahendra. Benda-benda itu memang harus dibuktikan.
Apakah memang memiliki kekuatan seperti yang dimaksud
atau tidak Jika benar-benar benda-benda itu memiliki
kekuatan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
merasa diri mereka lebih aman terhadap gangguan racun"
"Jika kalian tidak berkeberatan, biarlah kita mencobanya
atas kedua orang anak muda itu" berkata Mahendra.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling
kepada Witantra, maka Witantrapun berkata "Aku percaya
sepenuhnya atas obat yang telah kita bawa. Karena itu,
maka aku tidak berkeberatan untuk melakukan percobaan
terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, setelah mereka memperbincangkannya
beberapa saat. akhirnya ketiga orang tua itu mengambil
keputusan, bahwa percobaan atas Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan dilakukan Mereka bertiga akan
bertanggung jawab, seandainya terjadi sesuatu atas kedua
orang anak muda itu. Namun bagaimanapun juga Mahendra menjadi sangat
tegang ketika percobaan itu dilakukan. Soalnya bukan
sekedar bertanggung jawab bersama dengan Mahisa Agni
dan Witantra. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah
anaknya. Mahisa Murtilah yang kemudian mengenakan cincin
bermata batu akik yang disebut Jamur Gunung Kemudian
Mahisa Pukat memakai gelang akar Kayu Buie.
Yang membesarkan hati Mahendra adalah kedua
anaknya itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya,
sedangkan Mahisa Agni dan Witantrapun yakin akan
kemanjuran obat yang mereka bawa, sehingga seandainya
benda-benda itu tidak mempunyai kasiat sebagaimana
dikatakan orang, maka kedua anak muda itu akan dapat
diobati oleh Mahisa Agni dan Witantra.
Setelah segala persiapan dilakukan, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk di dalam sanggar.
Keris milik Mahendra yang terkenal karena warangannya
yang sangat keras, akan dipergunakannya untuk mencoba,
apakah benda-benda itu benar-benar berkasiat.
Demikianlah, perlahan-lahan, Mahendra sendiri telah
menggoreskan ujung kerisnya yang diberi warangan yang
sangat keras itu pada kulit kedua orang anak-anaknya.
Sejenak ketegangan telah mencengkam. Dengan jantung
yang berdegupan, ketika orang tua itu menunggu akibat
yang dapat terjadi atas kedua anak muda itu. Namun
Mahisa Agni dan Witantra telah, mempersiapkan obat yang
mereka bawa dan siap untuk dipergunakan setiap saat.
Namun ternyata bahwa setelah beberapa saat keris itu
digoreskan, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak
mengalami sesuatu selain ketegangan jiwa Bagaimanapun
juga, mereka harus menahan gejolak perasaan mereka.
Meskipun mereka sama sekali tidak mengalami ketakutan
tetapi keinginan mereka untuk segera mengetahui hasil dari
percobaan itulah yang membuat mereka menjadi sangat
tegang. Setelah beberapa saat mereka menunggu dan tidak
terjadi perubahan sesuatu atas kedua orang anak muda itu,
maka Mahendrapun kemudian berkata "Bagaimana
perasaan kalian sekarang"
Hampir berbareng keduanya menjawab "Tidak apa-apa"
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun kemudian
Mahisa Agni yang telah mendekati kedua anak muda itu
berkata "Tunjukkan luka-luka kalian"
Kedua anak muda itu menunjukkan luka di lengannya.
Ternyata bahwa pada luka itu telah mengalir darah.
"Darah" desis Mahisa Agni.
Sejenak orang-orang yang ada di dalam sanggar ttu
membeku, namun sejenak kemudian merekapun menarik
nafas dalam-dalam. Sementara itu, dari luka dilengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mengalir darah yang berwarna merah
kehitam-hitaman. Namun sejenak kemudian darah itu
seolah-olah menjadi semakin merah dan cerah.
"Luar biasa" desis Mahisa Agni "dari mana kau
mendapatkan kedua jenis benda itu?"
Mahendra memandang luka dikedua lengan anaknya itu
dengan tajamnya. Namun kemudian jawabnya "Orangorang
yang baik hati telah memberikan benda-benda itu
kepadaku. Pemberian yang ternyata sangat berharga"
"Meskipun demikian, luka itu harus diobati" berkata
Witantra kemudian "keduanya benar-benar telah terbebas
dari racun. Selain keduanya tidak merasakan sesuatu pada
tubuh mereka, darah itu merupakan pertanda, bahwa racun
itu tidak merusak bagian dari tubuhnya, karena racun itu
telah terdesak keluar oleh kekuatan yang tumbuh di dalam
diri kedua anak itu oleh pengaruh benda-benda yang
dikenakannya'" "Ya. Ya" jawab Mahendra sambil mengangguk-angguk
"luka itu memang harus diobati. Tetapi luka itu tidak lebih
dari luka biasa karena goresan ujung benda tajam"
Demikianlah, setelah luka-luka itu diobati, maka
merekapun telah keluar dari sanggar. Ketika mereka sudah
duduk di pendapa, sambil tersenyum Mahisa Agni berkata
"Jika aku tahu, kau memiliki benda-benda itu, maka aku
tidak perlu menunggu beberapa hari selama obat untuk
melawan bisa itu dipersiapkan"
"Tanpa persediaan obat itu. aku tidak akan berani
mencoba, apakah benda-benda itu memang berkasiat"
jawab Mahendra. Witantra tertawa. Katanya "Bagaimanapun juga obatobat
itu mempunyai arti. Dengan persediaan obat itu,
Mahendra berasi mencoba melihat kasiat benda itu.
Perompak Perompak Laut Cina 1 Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah Korban Balas Dendam 1
^