Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 2

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 2


didalam diri mereka. Meskipun demikian aku dapat
mengerti keberatanmu. Karena itu aku setuju untuk
menyatakan kebenaran ini. Sekarang kau sendiri yang
menjadi ragu" sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Baiklah. Mungkin memang pahit untuk melihat
kenyataan yang tidak dikehendaki. Tetapi mereka harus
berani menatap kenyataan itu sebagai satu kebenaran. Dua
orang anak muda itu bukan tuah dari pusaka-pusaka yang
besok akan dibawa oleh Akuwu kembali ke istananya itu"
"Apakah kita akan langsung menghadap Akuwu?"
bertanya Mahisa Pukat. "Ya. Malam nanti kita memasuki regol padukuhan.
Mungkin kita akan ditangkap. Kita tidak akan melawan.
Jika kita dihadapkan kepada Akuwu, atau kepada Ki Buyut
yang baru itu, kita akan berkata terus terang, apa yang
pernah terjadi. Justru karena kita mendengar bahwa mereka
mempunyai anggapan yang keliru tentang diri kita. maka
kita datang untuk meluruskan kekeliruan itu" jawab Mahisa
Murti Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Aku dapat mengerti. Tetapi kita harus bersiap menghadapi
kemungkinan yang barangkali juga tidak pernah kita duga
sebelumnya Mungkin kita akan menghadapi tindak
kekerasan. Bagaimanapun juga, aku tetap tidak mau
dianggap sebagai orang-orang yang dikirim oleh
sekelompok penjahat untuk mengamati padukuhan itu"
"Tentu. Bagaimanapun juga kita masih mempunyai
harga diri. Apalagi untuk menjalani hukuman gantung di
alun-alun" berkata Mahisa Murti kemudian.
"Akhirnya keduanya mendapatkan satu kesepakatan.
Namun keduanya menyadari, mungkin ada perlakuan yang
kurang menyenangkan bagi mereka. Bahkan mungkin
mereka harus berbuat sesuatu untuk melindungi diri mereka
sendiri. Demikianlah, ketika langit menjadi suram, keduanyapun
telah berkemas. Mereka akan pergi ke padukuhan yang
mempunyai anggapan yang aneh tentang diri mereka
berdua. Paada suatu saat mereka di sanjung karena mereka
dianggap sebagai perwujudan dari kesaktian pusaka-pusaka
yang dipergunakan untuk upacara, tetapi pada saat yang
lain mereka diburu seperti memburu binatang buas yang
masuk ke padukuhan untuk mencuri ternak.
Dengan hati yang berdebar-debar, kedua orang anak
muda itu mendekati regol. Dibawah cahaya obor yang
cukup besar, keduanya melihat kesiagaan di regol itu.
Disamping anak-anak muda yang bertugas, ternyata di
dalam regol masih terdapat beberapa orang anak-anak
muda yang hilir mudik. Mereka ikut membantu kawankawan
mereka. "Beberapa langkah dari regol kedua anak muda itu
berhenti. Keragu-raguan masih selalu membayangi mereka.
Namun akhirnya Mahisa Murti berkata "Marilah. Kita
berniat baik. Kita tidak akan merugikan mereka, kecuali
jika mereka sendiri memaksa kita berbuat demikian.
Dengan langkah pasti kedua anak muda itupun
kemudian mendekat regol padukuhan itu sebagaimana
judah mereka duga maka anak-anak muda yang berjagajaga
di regol itu telah menghentikan keduanya
"Siapa kalian" bertanya pemimpin dari anak anak muda
itu. "Kami dua uang kakak beradik yang merantau tanpa
tujuan" jawab Mahisa Murti.
Jawaban itu mengejutkan. Namun kemudian anak muda
itu bertanya pula "Apa maksudmu memasuki padukuhan
kami?" "Kami hanya ingin bermalam saja di padukuhan ini jika
kami mendapat tempat untuk berteduh. Mungkin di
serambi banjar atau ditempai-tempat lain" jawab Mahisa
Pukat. Sebelumnya memang pernah terjadi. Orang-orang yang
sedang merantau atau pejalan yang kemalaman, dapat
bermalam di banjar padukuhan itu Bahkan sekali-sekali
dalam satu kesempatan, kadang-kadang mereka
mendapatkan makan atau sepotong ketela rebus dari para
peronda. Tetapi anak muda itu menjadi ragu-ragu, justru dalam
keadaan yang terasa gawat pada waktu itu. Beberapa orang
kawannyapun kemudian telah mengerumuni dua orang
anak muda yang mengaku sebagai perantau itu.
Ternyata anak-anak muda itu tidak cepat
menghubungkan kedua orang anak muda yang memasuki
padukuhan mereka itu dengan dua orang anak muda yang
hadir di banjar sebagai ujud dari pusaka-pusaka Akuwu
yang dipergunakan dalam kelengkapan wi suda Ki Buyut
yang baru. Atau merekapun tidak cepat menganggap bahwa
dua orang itu adalah orang yang telah dikejar-kejar oleh
para pengawal dan orang-orang padukuhan itu sendiri.
Yang tumbuh di hati anak-anak muda pada waktu itu
hanyalah sekedar kecurigaan karena keadaan yang sedang
gawat pada waktu itu. "Maaf Ki Sanak" berkata pemimpin dari anak-anak
muda itu "kedatangan kalian justru pada saat yang tidak
menguntungkan. Padukuhan kami sedang di bayangi oleh
kejahatan yang dapat membahayakan. Karena itu, untuk
satu dua hari ini, kami tidak dapat memberikan kesempatan
kepada Ki Sanak berdua untuk bermalam"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murtipun
berkata "Bukankah kami hanya berdua saja" Apa yang
dapat kami lakukan. Sementara itu kamipun tidak
bersenjata. Kami hanya ingin menumpang tidur. Tidak
lebih" Sekali lagi pemimpin dari anak-anak muda itu menjadi
ragu-ragu. Iapun sependapat dengan Mahisa Murti. Hanya
dua orang anak muda. Apakah yang dapat mereka lakukan"
Apalagi jika keduanya mendapat pengawasan yang ketat.
Jika keduanya dibiarkan tidur diserambi depan banjar, tidak
diserambi samping, maka para peronda akan dapat
mengawasi mereka dengan langsung.
Apalagi di ruang dalam ada beberapa orang pengawal
yang juga berjaga-jaga. Selebihnya, pusaka-pusaka itu
sendiri akan mampu melindungi diri mereka.
Selagi pemimpin anak-anak muda diregol itu merenung,
tiba-tiba saja seorang anak muda yang bertubuh pendek
dengan otot yang mencuat di wajah kulitnya telah
melangkah maju sambil membentak "Apakah kalian tidak
mendengar bahwa kalian harus pergi?"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia tidak senang
mendengar kata-kata yang kasar itu. Tetapi ia masih
mencoba menahan diri. "Ki Sanak" berkata ppemimpin anak-anak muda itu
kemudian "apa boleh buat. Agaknya kawan-kawanku
berkeberatan" "Belum tentu" tiba-tiba saja Mahisa Pukat menyahut
"hanya seorang diantara kawan-kawan Ki Sanak yang tidak
sependapat dengan Ki Sanak, bahwa memberikan tempat
bermalam bagi orang yang kemalaman merupakan satu
perbuatan yang terpuji"
Anak muda yang bertubuh pendek dengan otot-otot yang
mencuat kemerah-merahan, kemarahannya nampak
semakin memuncak. "Kau mencari perkara anak setan" geram orang bertubuh
pendek itu. Mahisa Murtilah yang kemudian menyahut "Sama-sekali
tidak, Saudaraku, aku hanya ingin mengatakan apa yang
terakhir olehnya memilik sikap kawan-kawanmu "
Orang bertubuh pendek itu meloncat maju. Tangannya
telah terayun menampar pipi Mahisa Murti.
Mahisa Murti sama sekali tidak menghindar. Ia
menyeringai menahan sakit. Tetapi justru karena daya
tahannya yang tinggi, maka perasaan sakit itupun segera
dapat diatasinya. Mahisa Pukatlah yang hampir saja menerkam orang itu.
Tetapi Mahisa Murti sempat menggamitnya. Sementara itu.
kawan kawan anak muda itupun berusaha melerainya.
"Jangan" berkata pemimpin dari anak-anak muda itu
"jika kita menolak, biarlah kita menolak. Tetapi jangan
menyakitinya. Mungkin mereka benar-benar orang yang
memerlukan pertolongan"
Orang bertubuh pendek dan berotot mencuat menjulur di
bermukaan kulitnya itu menggeram. Tetapi ia tidak
memukul lagi. "Ki Sanak" berkata pemimpin anak-anak muda itu
"sebaiknya kalian meninggalkan padukuhan ini.
Bermalamlah di padukuhan lain. Mereka yang tidak sedang
mengalami kesulitan seperti kita disini. tentu akan dapat
menerima kalian dengan baik"
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera
pergi. Mereka memang tidak ingin pergi ke padukuhanpadukuhan
yang lain. Mereka ingin bermalam di
padukuhan itu. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba seorang diantara orangorang
padukuhan itu yang datang mengerumuni Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang semalam berdiri
disebelahnya dan yang ternyata telah melarikan diri.
Karena itu, maka dengan lantang ia berkata "Orang itulah
yang kita buru semalam"
"He" Orang yang bertubuh rendah dengan otot-otot di
kulitnya itu terkejut. "Ya. Aku tidak keliru. Aku berdiri disebelahnya.
Meskipun saat itu gelap, dan cahaya obor tidak terlalu
banyak menggapai wajahnya, tetapi aku yakin" berkata
orang yang mengenalinya itu.
"Jika demikian, jelas, keduanya adalah penjahatpenjahat
itu" teriak yang lain.
"Biarlah kita buat keduanya jera" geram orang bertubuh
pendek. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Sementara itu Mahisa Pukatpun telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Namun Mahisa Murti
justru berbisik "Kebetulan sekali. Mereka akan menangkap
kita. Kita akan mereka bawa menghadap Ki Buyut"
"Jika mereka berbuat kasar?" bertanya Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu. pemimpin anak-anak muda
diregol itu berkata "Kita tangkap mereka. Telapi jangan
disakiti. Kita akan dapat memperlakukan mereka dengan
cara lain. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu bah
wa mereka datang kembali malam ini setelah malammalam
sebelumnya" Kawan-kawannya memandangi pemimpin anak-anak
muda itu dengan heran. Seorang diantara mereka berkata
"Sudah tentu, maksudnya tentu akan melakukan kejahatan
lagi, karena malam kemarin ia gagal berbuat sesuatu.
Mereka tentu sudah mendengar bahwa malam ini adalah
malam terakhir benda-benda berharga itu disini. Karena itu,
maka mereka tentu akan berusaha dengan cara yang lebih
kasar lagi dari cara-cara sebelumnya"
"Aku mempunyai pertimbangan lain" berkata pemimpin
anak-anak muda yang berada di regol itu "mereka datang
justru melalui regol ini. Mereka sadar, bahwa diregol ini
tentu banyak penjaganya"
"Itu adalah sekedar cara. Mereka minta ijin untuk
bermalam" "Tetapi jika kita mengijinkan, maka mereka akan
berbuat jahat" berkata anak muda yang lain.
"Mungkin" jawab anak muda itu "tetapi biarlah Ki
Buyut yang baru itu memeriksanya Mungkin mereka akan
berbuat jahat" "Tetapi mungkin pula tidak"
Kawan-kawannya nampaknya masih belum puas. Tetapi
dalam pada itu Mahisa Murti berkata "Kami bersedia
ditangkap dan dihadapkan kepada siapa saja. Kami
memang tidak akan berbuat apa-apa selain mohon tempat
untuk bermalam" Pemimpin anak-anak muda itupun kemudian berkata
"Marilah. Kita akan membawanya menghadap Ki Buyut"
"Ki Buyut tidak ada di banjar" berkata salah seorang dari
anak-anak muda itu "aku baru saja datang dari banjar"
"Kita akan membawanya kerumahnya" berkata
pemimpin dari anak-anak muda itu.
Demikianlah, maka anak-anak muda itu tidak dapat
memaksakan kehendaknya. Mereka kemudian membiarkan
pemimpin anak-anak muda itu membawa Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pergi kerumah Ki Buyut diiringi
beberapa orang anak-anak muda. Bahkan anak muda yang
ingin berbuat kasar terhadap kedua orang anak muda
itupun telah mengikut pula. Jika ada kesempatan, maka
mereka sudah siap untuk bertindak tegas terhadap kedua
orang yang dianggapnya sebagai dua orang penjahat itu.
Ketika mereka sampai kerumah Ki Buyut yang baru,
merekapun segera dibawa naik kependapa, sementara
seseorang diantara mereka telah mengatakan kepada Ki
Buyut yang sedang berada diruang dalam "Ada apa?"
berkata Ki Buyut. "Dua orang yang mencurigakan telah memasuki regol"
berkata orang yang menghadap Ki Buyut itu "mereka sudah
kami bawa ke pendapa ini"
"Apa yang telah mereka lakukan?" bertanya Ki Buyut.
"Belum ada" jawab pemimpin anak-anak muda yang
berada di regol itu. "Kenapa kalian dapat menuduh bahwa keduanya adalah
penjahat" bertanya Ki Buyut kemudian.
Orang ituun kemudian menceriterakan apa yang telah
terjadi di regol. Bahwa ada orang yang langsung dapat
mengenalinya sebagai orang yang dikejar-kejar pada malam
sebelumnya. "Apakah kalian yakin akan hal itu?" bertanya Ki Buyut.
"Keduanya tidak membantah" jawab orang itu.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Buyut kemudian mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Aku akan melihatnya dipendapa"
Sejenak kemudian, setelah membenahi pakaiannya, Ki
Buyutpun telah keluar di pendapa. Diantara anak-anak
muda dan orang-orang yang mengikuti Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, Ki Buyutpun mulai bertanya tentang
beberapa hal kepada kedua orang anak muda itu.
"Siapa namamu?" bertanya Ki Buyut.
"Namaku Pinta" jawab Mahisa Murti "saudaraku itu
bernama Soma" "Kalian berasal dari mana?" bertanya Ki Buyut pula.
"Kami adalah pengembara Ki Buyut" jawab Mahisa
Murti. Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Namun kemudian
iapun bertanya "Apakah benar bahwa kau kemarin telah
dikejar-kejar oleh orang-orang di padukuhan ini?"
Mahisa Murti yang memang ingin mengatakan yang
sebenarnya tentang pusaka-pusaka itu tidak membatah.
Jawabnya "Ya. Akulah yang kemari di kejar-kejar bersama
saudaraku" "Jadi benar bahwa kalian adalah penjahat-penjahat?"
bertanya Ki Buyut pula. "Tentu tidak Ki Buyut" jawab Mahisa Pukat "kami
bukan penjahat. Sebenarnya kemarinpun kami hanya ingin
bermalam di banjar. Tetapi ternyata banjar itu penuh
dengan orang" "Apa yang dikatakannya?" bertanya Ki Buyut.
"Mereka mengaku orang-orang dari padukuhan sebelah"
jawab orang itu. "Benarkah kalian berhobong?" bertanya Ki Buyut pula.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
agaknya sudah waktunya untuk menolong orang-orang
Kabuyutan itu yang mempunyai pandangan yang keliru
terhadap pusaka-pusaka yang berada di banjar, yang
agaknya telah mempengaruhi pendapat Akuwu pula.
Akuwu yang memiliki benda-benda itu sejak turun
tumurun, yang selamanya tidak pernah memikirkan ceritera
yang aneh itu, tiba-tiba telah menjadi ragu-ragu.
"Benar Ki Buyut" berkata Mahisa Murti "tetapi aku
mempunyai alasan. Aku tidak mau ditangkap dan
diperlukan tidak baik. Sebenarnyalah aku ingin mengatakan
sesuatu yang barangkali mengejutkan bagi Ki Buyut dan
orang-orang Kabuyutan ini"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun seorang anak
muda telah berkata "Jangan mengatakan yang tidak benar.
Jika kau masih saja mengigau, maka kau akan mengalami
perlakuan yang kurang baik disini"
Mahisa Murti berpaling kearah orang itu. Namun
baginya, saatnya memang sudah tiba. Betapapun keraguraguan
menggelitik jantungnya, namun ia sudah berniat
dengan pasti, untuk menyampaikan ceritera yang
sebenarnya tentang dua orang anak muda yang disangka
ujud dari pusaka-pusaka yang berada di banjar. Karena itu,
maka Mahisa Murtipun kemudian berkata "Ki buyut. Kami
berdua kemarin telah menyaksikan wisuda yang dilakukan
oleh Akuwu. Kami berdua ikut merasa bangga bahwa
wisuda itu telah berlangsung dengan baik, selamat dan
hidmat. Namun dalam pada itu. kamipun telah mendengar
satu ceritera yang sangat menarik tentang benda-benda
keramat yang menjadi kelengkapan upacara wisuda itu"
"Apa yang menarik" bertanya Ki Buyut.
"Yang menarik adalah nilai dari benda-benda itu" sahut
seorang anak muda. "Jangan memotong" berkata Ki Buyut kemudian. Lalu
katanya kepada Mahisa Murti "lanjutkan"
"Ki Buyut' sambung Mahisa Murti "apakah benar bahwa
benda-benda berharga itu dapat menjelma menjadi dua
orang anak muda?" "Ya" jawab Ki Buyut "para pengawal telah
membuktikannya. Orang-orang yang tertangkap itupun
mengatakannya" "Itulah yang ingin aku jelaskan. Ceritera itu sama sekali
tidak benar" berkata Mahisa Murti.
"Tutup-mulutmu" bentak seorang anak muda "apakah
kau tidak takut kuwalat?"
"Aku dapat menjelaskan" jawab Mahisa Murti.
"Apa yang dapat kau jelaskan?" bertanya Ki Buyut.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Ki Buyut. Bukan maksudku untuk merusak satu
anggapan tentang pusaka-pusaka itu. Aku menghormati
benda-benda keramat itu. Justru karena itu, maka aku ingin
mengatakan yang sebenarnya" Mahisa Murti berhenti
sejenak, lalu "sebenarnyalah aku ingin bertanya, kecuali
yang mengenali aku pada saat wisuda, apakah ada yang
pernah mengenali aku sebelumnya" Kami berdua pernah
bermalam di banjar itu. Para peronda pada waktu itu telah
menempatkan kami diserambi samping. Di malam hari
kami telah mendapat makan hangat bersama seorang lakilaki
tua" Ki Buyut memandang anak-anak muda yang ada di
pendapa itu. Kemudian iapun bertanya "Siapa yang berada
di banjar pada malam sebelum wisuda"
"Dua malam sebelum wisuda" potong Mahisa Pukat.
Ternyata tidak seorangpun yang kebetulan berada di
pendapat rumah Ki Buyut itu melihat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat bermalam di banjar.
Karena itu, maka Ki Buyut berkata "Tidak seorangpun
yang pernah mengenalimu, kecuali pada malam wisuda"
"Baiklah Ki Buyut. Jika aku mengatakan sesuatu sama
sekali bukan terdorong oleh satu sikap sombong. Tetapi
kami berdua hanya ingin menempatkan persoalannya pada
tempat yang sebenarnya"
"Apa yang ingin kau katakan?"desak Ki Buyut tidak
sabar. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
akhirnya iapun mengatakan, apa yang telah dilakukannya.
Ialah yang datang bersaudara laki-lakinya pada saat
Kabuyutan itu di cengkam oleh sirep yang tajam. Ialah
yang membangunkan, para pengawal pada malam pertama,
dan ia berdua pulalah yang telah melawan para perampok
pada malam menjelang malam wisuda Sehingga dengan
demikian, maka ceritera tentang dua orang anak muda yang
merupakan ujud dari benda-benda keramat itu sama sekali
tidak benar. "Omong kosong" teriak seorang anak muda "kau
nampaknya benar-benar orang gila"
"Jangan menghina pusaka-pusaka itu" sahut anak muda
yang lain. "Ki Sanak" potong Mahisa Pukat "sebaiknya Ki Sanak
menghubungi para pengawal di malam perampokan yang
pertama. Mereka tentu masih mengenal kami berdua"
"Itu adalah pekerjaan sia-sia" jawab seorang yang lain
"kalian memang pantas untuk dihukum dera sampai kalian
jera" "Aku berkata sebenarnya" Mahisa Murti menjelaskan.
Sementara Mahisa Pukat menyambung "cara yang paling
baik adalah, kalian memanggil ampat orang pengawal yang
terdahulu. Mereka melihat aku dan tentu merekapun
mengenal aku. Juga para peronda di malam sebelumnya.
Aku sudah bermalam di banjar itu"
"Omong kosong" teriak seorang anak muda yang
kehilangan kesabaran "kalian ternyata masih juga
mengigau" "Kami berkata sebenarnya" jawab Mahisa Pukat
"memang tidak ada cara lain, kecuali memanggil para
pengawal itu. Biarlah mereka mengenali kita"
"Ada cara yang lebih baik" berkata seorang anak muda
yang bertubuh raksasa "jika kalian dapat menunjukkan'
kemampuan sebagaimana ditunjukkan oleh kedua anak
muda itu, maka kami akan mempercayaimu. Kami akan
mengundang para pengawal untuk membuktikan, apakah
kalian benar-benar orang yang telah menyelamatkan
pusaka-pusaka itu di dua malam berturut-turut"
"Sebenarnya cara itu tidak perlu" berkata Mahisa Murti
"karena menurut pendapatku, ada cara yang lebih baik,
yaitu mengundang para pengawal. Bukankah mereka masih
berada di Kabuyutan ini?"
"Persetan" bantah anak muda bertubuh raksasa itu
"kalian ingin mempermainkan kami. Sudah aku katakan,
aku sendiri_akan mengundang para pengawal itu, jika
kalian mampu menunjukkan sebagian kecil saja dari
kemampuan ujud dari benda-benda keramat iiu"
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sebenarnya kami
dapat meninggalkan Kabuyutan ini, apapun yang terjadi.
Mungkin kalian akan mendapatkan satu kepercayaan yang
sesat tentang benda-benda upacara itu. Aku tidak peduli.
Tetapi aku tidak, dapat membiarkan Akuwu mempunyai
dugaan seperti itu pula"
Ki Buyut merenungi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dengan saksama. Sebenarnyalah didalam hatinya timbul
keragu-raguan. Jika kedua anak-anak muda itu bukan dua
orang anak muda yang berada di banjar melawan para
perampok, apakah mereka berani menyebut dirinya seperti
itu. Tetapi jika benar seperti apa yang dikatakannya, maka
ujud kedua orang anak muda itu memang kurang
meyakinkannya. Dalam pada itu orang bertubuh raksasa itupun berkata
"Kau tidak perlu mengada-ada. Yang penting kau harus
membuktikan kata-katamu. Melawan sejumlah perampok
bukan pekerjaan yang dapat disebut begitu saja oleh setiap
orang. Apalagi di malam kedua. Dua orang anak-anak
muda telah berjuang tanpa orang lain untuk mematahkan
perlawanan para perampok yang telah berhasil
mengetrapkan ilmu sirep mereka yang sangat tajam. Dan
kalian dengan tanpa malu-malu telah menyebut diri kalian
sebagaimana dua orang anak muda itu"
"Kami hanya mengatakan yang sebenarnya" berkata
Mahisa Pukat yang mulai panas "tetapi jika kalian lebih
senang menyebut bahwa dua orang anak muda itu
merupakan ujud dari benda-benda upacara itu, terserahlah.
Kami semula memang bermain-main dengan para
perampok dan benda-benda upacara itu. Kami memang
memberikan kesan yang demikian, meskipun pada malam
pertama hal itu sama sekali tidak kami sengaja. Kami hanya
akan menghindarkan diri dari keterlibatan lebih jauh.
Sehingga karena itu, kami dengan diam-diam telah
menyingkir. Namun ternyata telah timbul dugaan yang
salah. Jika dugaan yang salah itu menjadi semakin berlarutlarut,
maka kami berdua merasa ikut bersalah atas
timbulnya kesan yang keliru itu"
"Omong kosong" bentak orang bertubuh raksasa itu
"kami hanya ingin kalian membuktikannya. Tidak hanya
dengan banyak bicara saja"
"Bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk
membuktikan seperti yang kau maksudkan?" bertanya
Mahisa Pukat yang sudah tidak sabar lagi.
"Kalian harus mampu berbuat sebagaimana dilakukan
oleh kedua orang anak-anak muda itu" jawab orang
bertubuh raksasa. "Mengalahkan sejumlah perampok itu" Kau maksudkan,
perampok-perampok yang sudah tertangkap itu akan kau
bawa kemari dan kami berdua harus bertempur melawan
mereka?" bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti cepat menyahut "Daripada kalian
membawa perampok-perampok itu kemari, lebih baik
kalian menghubungi empat orang pengawal yang terdahulu
untuk mengenali kami. Tanpa benturan kekerasan, tetapi
maksud kalian sudah terpenuhi"
"Persetan" geram orang bertubuh raksasa itu "aku tidak
perlu memanggil para perampok itu. Jika salah seorang dari
kalian berdua dapat mengalahkan aku, maka aku akan
mempercayai kalian. Bahwa kalian memang pantas untuk
menyebut diri kalian seperti yang kalian katakan"
Mahisa Pukat yang hampir kehilangan kesabarannya itu
bergeser setapak. Tetapi Mahisa Murti nampaknya masih
tetap berusaha menguasai diri. Katanya "Apakah hal itu
perlu" Sebenarnya aku lebih senang jika kalian memanggil
para pengawal. Itu saja"
"Kau ulangi sampai seribu kali" bentak orang bertubuh
raksasa itu "aku akan membuktikannya"
Mahisa Murti memandang Ki Buyut sejenak. Kemudian
katanya "Segalanya terserah kepada kebijakanaan Ki
Buyut" Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya "Memang sulit
untuk mengambil keputusan. Tetapi aku condong untuk
memanggil empat orang pengawal itu, atau membawa
kalian berdua menghadap mereka di banjar"
"Itu tidak perlu Ki Buyut" bantah orang bertubuh
raksasa itu "seolah-olah kita, isi dari Kabuyutan ini tidak
dapat mengambil sikap sendiri. Kenapa kita harus
tergantung sekali kepada para pengawal yang berada di
banjar" Seolah-olah kita tidak mampu berbuat apa-apa
hanya karena pokal anak-anak muda pemimpi ini"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"terserahlah kepadamu. Tetapi aku tidak ingin melihat
pertumpahan darah. Jika kau merasa yakin akan
pendapatmu, maka kau harus berhenti. Menang atau kalah"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Tetapi jika cara itu yang harus mereka tempuh, maka
merekapun tidak akan berkeberatan.
Namun sebelum Mahisa Pukat menyatakan dirinya,
Mahisa Murti telah mendahuluinya "Baiklah. Aku akan
melayani mu Ki Sanak"
Mahisa Pukat menggamit Mahisa Murti sambil berbisik
"Biar aku sajalah"
Tetapi Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Biarlah kau
menyaksikan apa yang terjadi"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa Mahisa Murti tidak ingin ia terseret arus
perasaannya. Karena itu maka Mahisa Pukatpun tidak


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantahnya lagi. Ia merasa bahwa Mahisa Murti lebih
mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki Buyutpun dengan hati yang
berdebar-debar telah memberikan kesempatan orang
bertubuh raksasa itu membuktikan, apakah benar-benar
Mahisa Murti mampu menunjukkan kemampuannya
sehingga ia dapat dipercaya, bahwa kedua anak muda
itulah yang telah mereka sangka anak-anak muda yang
menjadi ujud dari benda-benda keramat dalam upacara
wisuda itu. Sebenarnyalah halaman rumah Ki Buyut itupun telah
dicengkam oleh ketegangan. Anak-anak muda dan orangorang
yang berada di halaman itu telah membentuk sebuah
putaran yang akan menjadi arena perkelahian antara
Mahisa Murti dan orang bertubuh raksasa itu. Orang yang
merasa dirinya memiliki kekuatan dan kemampuan
melampaui kawan-kawan dan tetangga-tetangganya di
Kabuyutan itu. Sejenak orang bertubuh raksasa itu berdiri ter-mangumangu.
Dihadapannya Mahisa Murti sudab siap
melawannya. Meskipun nampaknya keadaan tubuh mereka
tidak seimbang, namun pada wajah anak muda itu nampak
sesuatu keyakinan yang mantap.
Ki Buyut berdiri di pinggir arena yang dilingkari oleh
orang-orang yang ingin menyaksikan, apakah anak muda
itu benar-benar memiliki kelebihan sebagaimana
dikatakannya. Mereka telah mengenal bahwa orang
bertubuh raksasa itu memang orang yang disegani di
Kabuyutan itu. Tetapi agaknya Ki Buyut tidak akan dapat mencegah
orang bertubuh raksasa itu untuk menjajagi kemampuan
Mahisa Murti. Karena itu, maka Ki Buyut itupun berkata
didalam hatinya "Biarlah orang itu sekali-kali mengenal
kemampuan orang lain. Jika ia kalah, itu adalah satu
pengalaman yang baik. Tetapi jika ia menang, maka
agaknya anak muda itu benar-benar orang-orang yang
sekedar mengaku-aku saja. Karena kemampuan anak-anak
muda yang disebut sebagai ujud dari pusaka-pusaka itu
benar-benar mengagumkan"
Demikianlah, maka kedua orang yang berada diarena
itupun sudah siap. Ki Buyut yang kemudian melangkah
maju berkata "Ingat. Aku tidak ingin kalian kehilangan
akal. Yang akan terjadi adalah sekedar penjajakan. Jika
salah satu pihak sudah mengaku kalah, maka perkelahian
akan berakhir. Jika anak muda itu kalah, maka segala
keterangannya dianggap tidak benar. Tetapi jika ia menang,
maka ia akan menghadap Akuwu untuk menyatakan
dirinya. Tetapi segalanya terserah kepada Akuwu. Apakah
Akuwu percaya atau tidak, bukanlah persoalan kami"
"Baiklah Ki Buyut" sahut Mahisa Murti "sebenarnyalah
jika Ki Buyut membawa kami menghadap, maka kami
tidak perlu melakukan penjajahan seperti ini. Kemudian
terserah kepada Akuwu, apakah Akuwu percaya atau
tidak" "Tutup mulutmu" bentak orang bertubuh raksasa yang
sudah merasa gatal "Sudah aku katakan. Kalahkan aku
sebelum kau dibawa menghadap Akuwu"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Aku sudah bersiap" Nampaknya orang bertubuh raksasa itu sudah tidak
sabar lagi. Iapun mulai bergeser. Kemudian merekapun
mulai berputar ditengah tengah arena.
Sesaat kemudian, maka orang bertubuh raksasa itu mulai
menjulurkan tangannya, sekedar untuk memancing gerak
Mahisa Murti. Namun ternyata Mahisa Murti telah menanggapi dengan
sikapnya yang khusus. Ia memang ingin mengganggu orang
bertubuh raksasa itu. Karena itulah, maka ketika tangannya
terjulur, diluar dugaan, Mahisa Murti telah menyerang
tangan itu. Dengan pukulan sisi telapak tangannya, Mahisa
Murti menghantam lengah orang bertubuh raksasa itu
diatas pergelangannya, karena Mahisa Murti memang tidak
ingin merusakkan pergelangan tangan raksasa itu.
Namun sentuhan sisi telapak tangan Mahisa Murti itu
membuat tangan raksasa itu bagaikan patah. Terdengar ia
mengaduh tertahan. Dengan loncatan panjang ia surut.
Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu. Namun
kemudian terdengar ia mengumpat sambil berkata "Anak
iblis. Kau telah berhasil mencuri serangan. Aku tidak
menyangka bahwa kau ternyata sangat licik"
"Apa artinya licik menurut penilaianmu Ki Sanak"
jawab Mahisa Murti "Bukankah kau sudah mulai, dan aku
menyerangmu dengan terbuka. Tidak dengan sembunyisembunyi
atau dari belakang?"
Orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin marah,
sementara orang-orang yang menyaksikannya menjadi
berdebar-debar. Sejenak kemudian, orang bertubuh raksasa itupun tidak
lagi sekedar memancing gerak lawannya. Tetapi ketika
kemudian ia mendapat kesempatan, maka iapun telah
benar-benar melantarkan serangan dengan kakinya.
Mahisa Murti melihat serangan itu. Karena itu, maka
iapun sempat menghindar. Tetapi orang bertubuh raksasa
itu ternyata telah menarik serangannya. Kakinya yang
terjulur itupun kemudian justru menjadi tumpuan kakinya
yang lain berputar mendatar.
Serangan itu datang beruntun. Namun Mahisa Murti
tidak menjadi bingung. Iapun masih sempat meloncat
menghindari serangan itu. Bahkan Mahisa Murti justru
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Agaknya Mahisa Murti memang memiliki kemampuan
gerak yang sangat cepat. Tetapi ia tidak ingin bersungguhsungguh
menyakiti lawannya. Karena itu, demikian kaki
orang bertubuh raksasa yang berputar itu menjejak tanah,
tiba-tiba saja terasa tubuhnya terdorong oleh tenaga yang
kuat pada punggungnya. Orang bertubuh raksasa itu tiba-tiba saja telah kehilangan
keseimbangannya. Sesaat ia terhuyung-huyung dan
menceba mempertahankan keseimbangannya. Namun
akhirnya, ia benar-benar telah terjatuh terjerembab.
Orang-orang yang menyaksikannya menjadi berdebardebar.
Ketika orang itu bangkit, maka dibawah cahaya
obor, orang-orang yang berkerumun itu melihat, betapa
kemarahan telah membakar jantung.
"Kau anak iblis" geramnya "kau menghendaki aku
bersungguh-sungguh. Jika aku masih menaruh belas
kasihan kepadamu, karena aku mengingat umurmu yang
masih sangat muda. Tetapi ternyata bahwa kau tidak tahu
diri. Kau anggap belas kasihanku itu sebagai satu
kelemahan" Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Agaknya orang
itu memang tidak tahu diri. Karena itu, maka Mahisa
Murtipun harus bersiap-siap untuk menghadapi
kemarahannya yang tentu akan semakin memuncak.
"Aku harus berhati-hati" berkata Mahisa Murti didalam
hatinya "mungkin ia benar-benar kehilangan pengendalian
diri" Sebenarnyalah orang bertubuh raksasa itu tidak lagi
mengendalikan dirinya. Ia telah bertempur dengan segenap
kemampuannya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murtipun
menjadi semakin mapan, karena kemampuan orang itu
tidak banyak berarti baginya.
Tetapi Mahisa Murti memang tidak mau menyakiti
tubuhnya dan tidak mau membuatnya semakin marah,
karena itu, maka iapun lebih banyak sekedar melayani
tingkah laku lawannya yang marah itu. Seperti yang
dikehendaki oleh Mahisa Murti, maka orang itupun
akhirnya menjadi letih dengan sendirinya. Seranganserangannya
yang garang sama sekali tidak pernah
mengenai sasarannya. Betapa ia berloncatan dan mengayunkan tangan serta
kakinya, namun lawannya bagaikan iblis yang tidak dapat
disentuh oleh wadagnya. Bagaimanapun juga, kemampuan
dan tenaga orang bertubuh raksasa itu memang terbatas.
Karena itu, maka semakin ia mengerahkan tenaganya,
maka kemampuannya itupun menjadi semakin cepat larus
bagaikan dihembus angin yang deras.
Akhirnya, kenyataan itu tidak dapat dihindarinya. Ketika
ia menyerang dengan ayunan tangannya dan Mahisa Murti
sekedar bergeser surut setapak sambil menarik dadanya,
maka orang itupun telah terhuyung-huyung terseret oleh
ayunan tangan itu sendiri. Hampir saja ia jatuh terjerembab.
Namun Mahisa Murti cepat menahannya.
"Gila" geramnya. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia
menyerang dengan kakinya. Tetapi karena kakinya tidak
menyentuh sasaran, maka ia justru terputar tanpa dapat
menguasai keseimbangannya lagi, sehingga sekali lagi
Mahisa Murti harus menangkapnya.
Orang itu membentak kasar. Tetapi ia benar-benar sudah
tidak berdaya lagi. Ki Buyut yang menyaksikannyapun tersenyum. Ia
melihat kelebihan pada anak muda yang mengaku telah
membantu para pengawal melepaskan diri dari kesulitan
menghadapi ilmu sirepyang sangat tajam itu.
"Sudahlah" berkata Ki Buyut "kita hentikan permainan
ini sampai disini" "Aku akan membuatnya jera. Ia telah menyakiti hati kita
semuanya" jawab orang bertubuh raksasa itu.
Tetapi Ki Buyut masih saja tersenyum sambil berkata
"Jangan bermimpi. Semua orang melihat, bahwa kau tidak
mampu mengimbangi ilmunya. Itupun aku melihat, bahwa
anak muda itu belum mengerahkan segenap
kemampuannya. Karena itu, biarlah kita pergi ke banjar.
Kita berbicara dengan para pengawal atau dengan Akuwu
sendiri yang esok pagi akan meninggalkan banjar ini. Aku
sependapat dengan anak-anak muda ini, bahwa sebaiknya
kesan tentang benda-benda berharga itu dikembalikan
kepada yang sebenarnya. Namun segalanya masih harus
diuji kebenarannya oleh Akuwu atau para Senopati
kepercayaannya" Beberapa orang yang berdiri diseputaran arena itu
mengangguk-angguk. Mereka tidak melihat gunanya lagi
untuk berbuat sesuatu atas anak-anak muda itu Segalagalanya
terserah kepada keputusan Akuwu. seandainya
Akuwu menganggap kedua anak muda itu bersalah atau
justru berterima kasih kepada mereka.
Karena itu, maka Ki Buyut berkata "Baiklah. Kita akhiri
permainan kita disini. Kita akan pergi ke banjar"
Orang bertubuh raksasa itu tidak menyahut. Ia memang
tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Dengan demikian, maka Ki Buyutpun kemudian telah
membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyebut
diri mereka bernama Pinta dan Soma ke banjar.
Orang-orang yang berkerumun di halaman banjar itupun
kemudian mengikutinya dalam iring-iringan yang semakin
lama menjadi semakin panjang. Anak-anak muda di gardugardu
yang melihat iring-iringan itu lewat dan bertanya apa
yang mereka ikuti, maka jawaban orang-orang yang berada
didalam iring-iringan itu memang sangat menarik
perhatian. Hanya mereka yang sedang meronda sajalah yang
kemudian tinggal di gardu-gardu. Sebenarnya merekapun
ingin mengikuti Ki Buyut ke banjar. Tetapi mereka tidak
dapat meninggalkan Kabuyutan mereka tanpa pengawasan.
Kedatangan Ki Buyut ke Banjar memang mengejutkan.
Beberapa pengawal dan peronda yang bertugas di luarpun
segera ingin tahu, apa yang telah terjadi.
"Aku ingin menghadap Akuwu jika Akuwu berkenan"
berkata Ki Buyut. Salah seorang Senopati kepercayaan Akuwu yang sedang
berada di banjar untuk mengawasi benda-benda berharga
yang di keesokan harinya akan dibawa kembali oleh Akuwu
itupun termangu-mangu. Dengan curiga ia bertanya "Apakah ada kepentingan
yang sangat mendesak Ki Buyut?"
"Ya. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang barangkali
penting sekali bagi Akuwu dan mungkin akan dapat
merubah pendapat banyak orang tentang benda-benda
keramat itu" berkata Ki Buyut kemudian.
Senopati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun bertanya "Pendapat apakah yang Ki Buyut
maksudkan?" "Baiklah, aku akan mengatakannya kepada Akuwu"
jawab Ki Buyut. Senopati itu memaksa Ki Buyut untuk mengatakan
sesuatu kepadanya. Tetapi iapun kemudian pergi kerumah
di sebelah banjar itu untuk menghadap Akuwu yang
ternyata belum juga tidur. Ia masih duduk berbincang
dengan Senopati kepercayaannya yang seorang lagi.
Ketika Senopati itu mengatakan tentang maksud Ki
Buyut, maka Akuwu itupun berkata "Bagus sekali ki Buyut
mau menemani aku berbincang. Persilahkan ia datang"
Senopati itupun kemudian mengajak Ki Buyut langsung
menghadap Akuwu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus menunggu di banjar, dibawah pengawasan
beberapa orang pengawal dan para peronda
Namun dalam pada itu, seorang pengawal telah
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan raguragu
pengawal itupun duduk disebelah anak muda itu
sambil bertanya "Kenapa dengan kalian berdua?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kearah
pengawal itu. Segera keduanya mengenal bahwa pengawal
itu adalah salah seorang dari empat pengawal yang berada
di banjar itu sebelum kawan-kawannya datang.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kemudian beringsut mendekati pengawal itu sambil
bertanya "He, bukankah kau pengawal yang malam itu
mengawasi benda-benda keramat itu?"
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Malam yang manakah yang kau maksudkan?"
"Ketika sekelompok penjahat akan mengambil bendabenda
upacara itu" Bukankah saat itu mereka telah
menyebarkan sirep yang tajam, yang tidak terlawan oleh
kalian?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya. Aku memang tidak dapat melawan sirep waktu itu"
jawab pengawal itu. "Dan kami berdua telah membangunkan para pengawal"
berkata Mahisa Pukat pula.
"Kalian berdua" Apakah kalian berdua yang telah
menolong kami?" bertanya pengawal heran.
"Ya. Apakah kau tidak ingat lagi?" bertanya Mahisa
Murti. Pengawal itu termangu-mangu. Tetapi yang
disaksikannya pada waktu itu agak berbeda dengan lukisan
angan-angannya. Pengawal itu menganggap bahwa ujud
dua orang anak muda itu bukannya ujud wadag seperti
kedua anak muda yang duduk disebelahnya. Yang berbicara
sebagaimana ia berbicara. Pengawal itu menganggap bahwa
anak muda yang telah ikut bertempur pada malam itu
adalah ujud-ujud semu yang tidak dapat disebutnya sebagai
badan wantah seperti kebanyakan orang.
Ternyata bahwa anak-anak muda yang duduk
disebelahnya itu mengaku, bahwa merekalah yang
menolong para mengawal pada malam itu.
"Ya, ternyata kedua anak muda pada malam itu adalah
kalian. AKU sudah terpaku terhadap benda-benda keramat
itu sehingga aku telah lihat sesuatu yang tidak wajar"
Pengawal itu kemudian berpaling kepada orang-orang di
sekitarnya. Beberapa orang memang sedang
memperhatikannya. Seolah-olah mereka memandanginya
dengan heran. (Ebook Novel, Teenlit) http://www.zheraf.net/
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 002 "HE, APAKAH aku sedang berbicara dengan bantu"
berkata pengawal itu kepada diri sendiri.
Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun iapun
kemudian meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Didekatinya seorang anak muda yang memandanginya
tanpa berkedip. Dengan ragu-ragu ia bertanya "He, apakah
kau melihat dua orang anak muda yang tadi duduk
disebelahku?" Anak muda yang ditanya itu menjadi heran. Namun ia
menjawab. "Ya, Bukankah mereka masih duduk itu"
Pengawal itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Keduanya memang masih berada ditempatnya.
"Kami sedang mengawasinya" berkata anak muda itu
"keduanya adalah anak-anak muda yang mencurigakan"
"Kenapa?" bertanya pengawal itu.
"Keduanya mengaku telah berada di banjar pada saat
para perampok datang untuk mencuri pusaka-pusaka itu.
Bahkan keduanya mengaku sebagai perujudan benda-benda
berharga yang dipergunakan untuk upacara itu" jawab anak
muda itu. "He" pengawal itu termangu-mangu "keduanya
mengaku demikian" Dan apakah benar mereka itu kedua
anak muda yang telah hadir saat itu?"
"Itulah yang harus mereka buktikan. Mereka ternyata
telah menodai kesaktian benda-benda upacara yang dapat
memberikan ujud seperti ujud kita" jawab anak muda itu.
Pengawal itu mengangguk-angguk. Tetapi menurut
penglihatan matanya, keduanya memang anak-anak muda
yang telah menolong para pengawal. Membangunkan para
pengawal dari pengaruh sirep yang luar biasa.
"Tetapi mana mungkin?" pengawal itu bertanya ke pada
diri sendiri "jika keduanya benar-benar ujud manusia
wantah seperti aku dan orang-orang ini. apakah mereka
memiliki kemampuan yang luar biasa itu"
Dalam keragu-raguan itu. tiba-tiba halaman itu menjadi
riuh. Beberapa orang telah menyibak. Seorang Senopati
yang naik ketangga pendapa berkata "Akuwu berkenan
hadir di pendapa banjar ini"
Semua orangpun telah menepi. Mereka menyaksikan
Akuwu naik kependapa diiringi oleh Senopati yang seorang
lagi dengan para pengawal. Kemudian Ki Buyut yang baru
saja diwisuda itupun ikut naik pula ke pendapa dengan
langkah tertegun-tegun. Ketika Akuwu sudah duduk, maka iapun kemudian
bertanya kepada Senopati "Bawa anak itu kemari"
Senopati itupun kemudian memerintahkan para
pengawal yang mengawasi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, agar membawa kedua orang anak muda itu
menghadap Akuwu di pendapa.
Sambil berjalan dengan berjongkok keduanya naik ke
pendopo bergeser setapak demi setapak mendekati Akuwu
yang duduk menunggu. Beberapa orang menadi tegang. Para pengawal yang lain,
yang pada hari pertama telah bertempur bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang dapat mengenalinya.
Keduanya adalah anak-anak muda yang telah mereka sebut
sebagai penjelmaan dari benda-benda upacara yang keramat
itu. Namun anak-anak muda itu kemudian menghadap
Akuwu dalam ujud wadag sepenuhnya. Tidak lagi
mempunyai pengaruh yang mendebarkan sebagaimana
mereka lihat pada waktu itu
"Tetapi pada waktu itu, akupun menganggap mereka
sebagai orang-orang biasa" berkata salah seorang pengawal
di dalam hatinya "baru kemudian ketika mereka lenyap,
tumbuh berbagai macam tanggapan diantara kami"
Para pengawal itu mulai mengingat-ingat apa yang telah
terjadi. Tetapi mereka memang tidak mengetahui dari mana
anak-anak muda itu datang. Apalagi pada keadaan vang
sama dihari berikutnya. Tidak seorangpun yang
mengetahui, selain ceritera dari para tawanan. Namun
mereka telah meninggalkan bekas yang membuat dugaan
para pengawal itu semakin kuat. Pada hari yang kedua dari
serangan para perampok itu, para pengawal melihat tutup
peti yang agak bergeser. Dalam pada itu, dalam ketegangan yang mencengkam,
terdengar Akuwu bertanya kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat "Siapakah nama kalian?"
"Hamba bernama Pinta tuanku dan saudara hamba ini
bernama Soma" jawab Mahisa Murti.
"Pinta dan Soma" desis Akuwu "tetapi apakah kau
mengetahui sebabnya, kenapa kau telah dibawa ke banjar
ini?" Pinta dan Soma memandang Ki Buyut sejenak, seolaholah
hendak bertanya, apakah Ki Buyut sudah mengatakan
kepada Akwu, kenapa mereka berdua berada di Banjar.
Namun agaknya Ki Buyut justru menundukkan kepalanya.
"Aku bertanya kepadamu berdua" berkata Akuwu
kemudian tidak kepada Ki Buyut. Seandainya Ki Buyut
sudah mengatakan kepadaku, aku akan tetap bertanya
kepada kalian, apakah kalian mengetahui alasannya,
kenapa kalian dibawa kemari"
Mahisa Murti membungkuk hormat. Dengan menunduk
iapun kemudian berkata "Tuanku, sebenarnyalah hamba
berdua memang memohon untuk dibawa ke Banjar atau
langsung menghadap Akuwu"
Akuwu mengangguk-angguk. Sementara Ki Buyut
mengangkat sedikit wajahnya. Namun Ki Buyut itupun
kemudian telah menunduk lagi.
"Jadi kalian sedirilah yang minta agar kalian dibawa ke
Banjar ini?" bertanya Akuwu kemudian.
"Hamba tuanku" jawab Mahisa Murti.
"Apakah kepentinganmu, sehingga kau berdua mohon
agar kau berdua dibawa ke Banjar ini?"
Mahisa Murti bergeser setapak. Kemudian katanya
"Tuanku, memang ada yang ingin hamba sampaikan
kepada tuanku. Mungkin persoalannya pernah dikatakan
oleh Ki Buyut kepada taunku"
"Sudah aku katakan. Aku ingin mendengar darimu. Bukan
dari Ki Buyut" potong Akuwu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Baiklah tuanku. Perkenankanlah hamba
menyampaikan niat hamba, sehingga hamba menyatakan
keinginan hamba untuk menghadap tuanku" Mahisa Murti
sejenak, lalu "sebenarnyalah hamba telah mendengar satu
dongeng yang mendebarkan hamba. Menurut ceritera yang
hamba dengar, bahwa pusaka-pusaka yang dipergunakan
sebagai pelengkap upacara itu dapat menjelma, berujug
sebagai dua orang anak muda. Dongeng itupun mengatakan
bahwa dua orang anak muda itu telah terlibat dalam
pertempuran melawan para perampok. Tuanku, menurut
dongeng itu, maka hamba mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan dua orang anak muda jelmaan dari
benda-benda upacara yang keramat itu, adalah hamba
berdua. Karena itu, aka hamba memerlukan datang
menghadap untuk memberikan kesan yang sebenarnya dari
persoalan kedua pusaka itu"
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu" Apakah ceritera
itu tidak benar?" bertanya Akuwu.
Hamba tuanku. Ceritera itu memang tidak benar. Seperti
yang sudah hamba katakan, yang dimaksud dalam ceritera
itu adalah tidak memperdulikannya. Tetapi akhirnya hamba
menganggap bahwa ceritera itu akan dapat menyesatkan
Akuwu jika Akuwu mempercayainya. Namun
sebenarnyalah kami menganggap bahwa Akuwu yang
sudah mengenal benda-benda upacara itu sejak lama, tidak
akan mempercayai dongeng itu"
Akuwu mengangguk-angguk. Namun kemudian
bertanya "Tetapi ingat anak muda, bahwa kedua ujud itu
memiliki kemampuan yang mengagumkan. Kedua anak
muda itu pada malam berikutnya mampu melawam
sekelompok penjahat yang jumlahnya berlipat ganda dari
jumlah kedua orang anak muda itu"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Memang terasa
agak segan untuk mengatakan, bahwa iapun memiliki
kemampuan seperti yang disebut-sebut pada dua orang anak
muda dalam dongeng yang menarik itu.
Tetapi Mahisa Pukatlah yang kemudian berkata "Ampun
tuanku. Sebenarnyalah sulit bagi hamba berdua untuk
mengatakan yang demikian. Mungkin akan dapat
menumbuhkan kesan, alangkah sombongnya kami berdua.
Tetapi untuk melengkapi keterangan saudara hamba, maka
biarlah hamba mengatakan bahwa kemampuan yang
demikian itu memang ada pada hamba berdua, karena
sebenarnyalah kedua anak muda yang disebut-sebut itu
memang hamba berdua adanya"
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang pengawal
mengangguk hormat sambil berkata "Ampun tuanku,
apakah hamba diperkenankan menyampaikan pendapat
hamba" Akuwu memandang pengawal itu sekilas. Kemudian
sambil mengangguk Akuwu berkata Apakah yang akan kau
katakan?" "Tuanku" berkata pengawal itu "sebenarnyalah menurut
penglihatan hamba, kedua anak muda itu memang dua
orang anak kedua orang anak muda yang hadir di Banjar
dan bertempur bersama hamba dan kawan-kawan hamba.
Atas pertolongan keduanyalah maka hamba dapat
mempertahankan benda-benda upacara yang keramat itu.
Namun menilik keadaannya sekarang, hamba sangsi,
apakah benar kedua orang anak muda itu benar-benar
kedua orang anak muda yang menolong hamba itu
seutuhnya" "Apakah yang kau maksudkan?" bertanya Akuwu.
"Maksud hamba, mungkin yang menghadap Akuwu
sekarang hanyalah wadagnya saja. Wadag yang
dipergunakan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam
benda-benda keramat itu. Menurut dugaan hamba,
kekuatan yang tersimpan itu memang tidak akan dapat
menjelma dalam ujud tubuh wantah seperti kita. Tetapi
kekuatan itu agaknya telah meminjam tubuh anak-anak
muda itu. Namun demikian, pada saat peristiwa itu terjadi,
anak muda tersebut tidak kehilangan seluruh
kepribadiannya. Sehingga karena itu, maka ia masih sempat
mengingat apa yang telah terjadi di Banjar itu. Bahkan
mereka telah menganggap bahwa mereka berdualah
kekuatan yang sebenarnya untuk mengatasi kesulitan itu.
Keduanya merasa seolah-olah merekalah yang telah
memenangkan pertempuran melawan para penjabat itu"
berkata pengawal itu lebih lanjutnya.
Akuwu mendengarkan pendapat pengawal itu sambil
mengangguk-anggukan kepalanya. Namun kemudian
katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Apakah
kau sependapat dengan kata-kata pengawal itu" Bahwa
sebenarnya bukan kau dalam keadaan yang utuhlah yang
lelah melakukannya pada malam itu?"
"Ceritera ini sama berbahayanya dengan ceritera yang
pertama seolah-olah benda-benda upacara yang keramat itu
dapat menjadikan diri mereka berujud sebagaimana diri
kita" jawab Mahisa Murti.
"Jadi kau berkeras mengatakan, bahwa kedua orang
anak muda itu benar-benar kalian berdua?" bertanya
Akuwu. "Hamba Akuwu" jawab Mahisa Pukat "hanya karena
hamba ingin mendudukkan persoalannya pada keadaan
yang setenarnya" Akuwu mengangguk-angguk. Tetapi seorang diantara
para Senopatinnya berkata "Anak-anak muda. Jika kau
berkeras menganggap diri kalian seutuhnya yang telah
bertindak malam itu, maka kau akan mengalami sedikit
kesulitan, karena kau harus membuktikan bahwa kau
memang mampu berbuat demikian"
"Kami telah melakukannya" jawab Mahisa PuKat
"dihalaman rumah Ki Buyut, kami telah mengalami


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendadaran. Kami harus berkelahi melawan seorang yang
bertubuh raksasa, sehingga dengan kemenangan kami.
maka kami mendapat kesempatan untuk menghadap
Akuwu sekarang ini" Senopati itu tersenyum. Ternyata Akuwupun tersenyum
pula. Dengan suara datar Akuwu bertanya "Jadi kau berdua
telah berkelahi melawan anak padukuhan ini yang bertubuh
raksasa?" "Hamba tuanku jawab Mahisa Murti" maksud hamba,
hamba sendiri, bukan berdua. Ki Buyut menjadi saksi"
Akuwu berpaling kearah Senopatinya yang masih saja
tersenyum. Katanya "Agaknya pendapat pengawal itu perlu
mendapat perhatian. Meskipun demikian segalanya masih
perlu dibuktikan" Senopati itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya
nepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Anak muda,
apaakah kau dapat membayangkan, kekuatan apakah yang
nampak pada kalian berdua pada waktu itu. Jika kau benarbenar
anak muda itu, maka kau akan mengingatnya,
apakah yang menjadi lawanmu. Berapa orang dan apakah
kau dapat membayangkan kekuatan mereka masingmasing.
Apakah dengan memperbandingkan kekuatan itu
atas anak muda padukuhan ini meskipun bertubuh raksasa
itu sudah kau anggap cukup?"
"Demikianlah yang dikatakan oleh anak muda itu"
lawab Mahisa Murti. "Anak muda" berkata Senopati itu lebih lanjut "pada
malam kedua, dua orang anak muda itu harus bertempur
melawan sekitar dua puluh orang penjahat. Diantara
mereka memiliki ilmu sirep yang dahsyat, yang dapat
membuat para pengawal yang terlatih baik itu tertidur
nyenyak. Nah. bayangkan, apakah kau mampu berbuat
seperti itu" Atau kau justru tidak dapat menilai betapa
besarnya kekuatan mereka itu"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahisa Pukatlah yang menjawab "Baiklah hamba berterus
terang tuanku, meskipun hamba tidak berniat ingin
menyombongkan diri. Sebenarnyalah hamba berdua pada
waktu itu harus berjuang mengatasi ilmu sirep itu.
Kemudian bertempur melawan sejumlah penjahat yang
berniat mengambil benda-benda pusaka yang keramat itu.
Hamba tidak tahu, bagaimana hamba harus
membuktikannya. Namun beberapa saksi telah
menyatakan, bahwa sebenarnyalah hamba berdua hadir
pada saat-saat yang gawat itu"
Senopati itu masih saja tersenyum. Kemudian katanya
kepada Akuwu "Tidak ada cara lain untuk
membuktikannya, tuanku"
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Anak
muda. Aku nasehatkan agar kau tarik pengakuanmu itu
sebelum aku memutuskan bahwa kau harus mengalami satu
pendadaran untuk membuktikan kebenaran kata katamu"
Mahisa Murti berkisar sejengkal. Namun Mahisa Pukat
langsung saja menjawab "Apakah hal itu yang
dimaksudkan oleh Senopati" Jika memang demikian, maka
apa boleh buat. Hamba berdua akan melakukannya.
Kecuali ada jalan lain yang dapat hamba tempuh"
Senopati itu mengerutkan keningnya Namun Akuwu
berkata "Agaknya kalian memang kehilangan
kepribadianmu. Tetapi baiklah, aku akan menyaksikan
pendadaran itu. Mahisa Murti berpaling kearah Mahisa Pukat sekilas.
Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Satusatunya
cara untuk membuktikan kebenaran kata-katanya
adalah pendadaran itu. Karena itu. maka katanya "Tuanku.
Jika hamba berdua menerima cara ini, semata-mata karena
hamba berdua ingin berbakti kepada Akuwu. Hamba tidak
ingin pendapat Akuwu menjadi sesat atas benda benda
berharga milik Akuwu sendiri"
"Terima kasih" jawab Akuwu "jika benar seperti apa
yang kau katakan itu, aku akan mengucapkan berulang kali
terima kasih. Karena sebenarnyalah sejak aku memiliki
benda itu pertama kali. sebagai warisan dari ayahanda
Akuwu, aku memang belum pernah mengalami peristiwa
seperti dongeng itu. Tetapi nampak dongeng itu demikian
menariknya, sehingga aku menjadi ragu-ragu karenanya.
Dengan demikian usahamu untuk menegaskannya, aku
hargai sebaik-baiknya"
Wajah Mahisa Murti menegang sejenak, la tidak melihat
sikap yang keras pada Akuwu. Tetapi lebih condong pada
sikap belas kasihan. Sehingga karena itu, maka Mahisa
Murtipun mengetahui, bahwa Akuwu bukan seorang yang
kasar. Tetapi ia lebih banyak berusaha untuk mengerti
perasaan rakyatnya. Sejenak kemudian, maka Senopati itupun telah
memerintahkan kepada para pengawal untuk membuat
arena di halaman. Arena yang akan menjadi tempat
pendadaran, apakah yang dikatakan oleh kedua anak muda
itu benar. Sejenak kemudian, maka Akuwupun berkata "Arena itu
sudah siap. Marilah, kita akan membuktikan. Tetapi sekali
lagi aku peringatkan, dua puluh orang penjahat adalah
kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan"
"Tetapi karena tidak ada cara lain untuk membuktikan
kebenaran kata-kata hamba, maka apa boleh buat. Hamba
akan melakukannya" jawab Mahisa Murti.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun lelah turun kehalaman Sementara itu, Akuwu
dan para Senopatinvapun telah turui pela diikuti oleh Ki
Buyut. Sejenak kemudian Akuwupun berkata "Aku akan mulai
dengan para pengawal. Dua orang pengawal akan berkelahi
melawan dua orang anak muda itu Tetapi aku masih
memberi peringatan kepada para pengawal, agar mereka
dapat menjaga diri. Kedua orang anak muda itu bukan
orang-orang hukuman. Mereka berniat baik, tetapi mereka
telah salah langkah. Karena itu, perlakuan kalian terhadap
anak muda ini harus berbeda dengan perlakuan kalian
terhadap para penjahat yang sebenarnya"
Demikianlah, dua orang pengawal telah turun ke arena.
dua orang pengawal yang telah salah ikut bersama kedua
anak muda itu bertempur. Dengan demikian mereka akan
dapat mengenali tingkah laku dan tabiat keduanya dalam
pertempuran. "Kalian tidak akan membawa senjata" berkata Akuwu
"dan kalian akan berhenti jika kalian telah meyakini
keadaan lawan dan diri sendiri"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Akuwu
sejenak. Sementara Akuwu menjelaskan "Jika kalian telah
merasa kalah, maka kalian harus menyatakan diri dengan
jujur" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Ternyata Akuwu dan Ki Buyut itu mempunyai sifat yang
mirip. Keduanya bukan orang yang senang melihat
kekerasan, meskipun nampaknya Akuwu itu bukannya
orang yang tak berilmu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah berhadapan dengan dua orang pengawal.
Masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang.
"Tuanku" bertanya Mahisa Pukat "apakah hamba benarbenar
harus menunjukkan kemampuan sebagaimana dilihat
pada malam-malam yang dikuasai ooleh sirep itu?"
Akuwu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa
Pukat sejenak. Namun kemudian Akuwu itu mengangguk
sambil tersenyum. "Lakukanlah anak muda" jawabnya "keyakinanmu akan
dirimu memberikan keyakinan pula kepadaku, bahwa
kalian berkata dengan jujur. Seandainya yang kami lihat
kemudian berbeda dengan yang kalian katakan, kalian sama
sekali tidak bermaksud berhobong. Tetapi kalian benarbenar
tidak mengerti apa yang Kalian lakukan"
Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat baru melakukannya kemudian.
"Hamba mengucapkan terima kasih atas tanggapan
Akuwu terhadap, sikap hamba berdua. Hamba berdua
mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ternyata hamba
salah menilai diri hamba berdua"
Demikianlah, maka kedua orang pengawal itupun telah
bersiap. Mahisa Pukat yang berdiri disebelah Mahisa Murti
bertanya "Apa yang akan kita lakukan kakang" Apakah kita
akan segera mengakhiri perkelahian?"
"Apakah hal itu tidak akan menyinggung perasaan
mereka?" bertanya Mahisa Murti.
"Tetapi jika di pendadaran ini kita tidak meyakinkan
Akuwu. maka pendadaran ini tentu akan diulang" jawab
Mahisa Pukat. "Baiklah" jawab Mahisa Murti "kita akan
membuktikannya sekaligus. Dengan demikian pekerjaan
kita cepat selesai" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun segera bersiap siap.
Mereka akan menghadapi dua orang pengawal yang
terpilih. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah
dapat mengetahui kemampuan kedua orang pengawal itu
pada saat mereka bersama bertempur melawan para
penjahat di banjar itu pula.
Beberapa saat lamanya, mereka yang berada di arena itu
saling berputaran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata
telah berpencar. Mereka tidak menghadapi kedua lawannya
dengan berkelahi berpasangan. Tetapi mereka akan
menghadapi lawan mereka seorang dengan seorang.
Dalam pada itu, anak-anak muda dan orang-orang yang
berkerumun itupun menjadi berdebar-debar. Mereka akan
melihat perkelahian vang seru. Orang-orang itu
menganggap bahwa para pengawal itu tentu orang terpilih.
Orang yang lain dari orang kebanyakan didalam olah
kanugaran. Sementara itu, merekapun menganggap bahwa
dua orang anak muda itu tentu dua orang yang memiliki
kemampuan yang melampaui kebanyakan vang. Apalagi
mereka yang telah melihat, bahwa orang bertubuh raksasa
di padukuhan mereka sama sekali tidak berdaya melawan
salah seorang dari kedua orang itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
masing-masing telah menghadapi seorang lawan. Mereka
justru telah tertekad untuk sekaligus meyakinkan Akuwu,
bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi.
Sejenak mereka masih berputaran. Namun sejenak
kemudian, seorang dari kedua pengawal itu telah meloncat
menyerang Mahisa Murti. Namun keadaan Mahisa Pukat
justru berbeda. Karena pengawal yang akan dihadapinya
tidak segera menyerang, maka Mahisa Pukatlah yang
kemudian menyerang. Namun ternyata akibatnya hampir sama. Kedua anak
muda itu benar-benar telah mempergunakan kesempatan itu
untuk memerlukan kemampuan mereka, sekedar untuk
menghindari keadaan yang akan menjadi semakin berlarutlarut.
Demikianlah, maka ketika lawan Mahisa Murti
menyerangnya, maka Mahisa Murtipun bergeser selangkah
surut Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat maju. Bukan
menghantam lawannya dengan tangan atau kakinya.
Namun dengan cepat, ia berhasil menangkap pergelangan
tangan lawannya. Hampir tidak dapat diikuti dengan
tatapan mata telanjang, maka tiba-tiba saja tangan
lawannya telah terpilin. Tidak ada kesempatan untuk
berbuat sesuatu. Demikian cepatnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang menyerang lawannya,
ternyata dapat dihindari pada langkah pertama. Tetapi
serangan yang pertama, telah disusul oleh serangan yang
kedua. Demikian cepat. Sehingga pengawal itu tidak sempat mengelak Serangan
Mahisa Pukat telah mengenai lambung lawannya. Dalam
keadaan terhuyung-huyung, maka Mahisa Pukat sempat
mendorongnya sehingga jatuh.
Pada saat pengawal itu siap untuk melenting berdiri,
Mahisa Pukat telah berjongkok disampingnya. Tangannya
terangkat dan siap menghantam dada orang itu dengan sisi
telapak tangan yang terangkat itu.
"Jangan bergerak" berkata Mahisa Pukat "persoalan kita
akan cepat selesai" Pengawal itu menggeram. Namun yang tidak diduganya,
ternyata Akuwu justru tertawa. Katanya "Jangan melawan
lagi. Kekalahanmu sangat meyakinkan. Demkian pula
kawanmu yang terpilin tangannya. Jika anak muda itu mau,
maka tangan itu akan dapat patah. Tetapi ia menepati janji.
Yang terjadi bukan perkelahian yang sebenarnya"
Para pengawal itu justru bagaikan membeku. Namun
Mahisa Murti kemudian telah melepaskan tangan yang
dipilinnya itu perlahan-lahan. Sementara itu, Mahisa
Pukatpun telah bergeser pula dan kemudian bangkit berdiri
beberapa langkah dari pengawal yang dikalahkannya itu.
Orang-orang yang menyaksikan kekalahan kedua
pengawal itu hampir tidak percaya kepada penglihatannya.
Seolah-olah mereka belum dapat melihat apa yang terjadi.
Mereka menduga akan terjadi perkelahian yang sengit.
Namun belum lagi mata mereka berkedip, segalanya telah
selesai, Kedua pengawal itu telah dinyatakan kalah. Justru
oleh Akuwu sendiri. Dalam pada itu, orang-orang itupun menunggu dengan
tegang. Apakah yang akan terjadi kemudian.
Sementara itu Akuwupun kemudian melangkah maju
sambil berkata "Kailan memang luar biasa anak muda. Aku
hampir percaya bahwa yang telah kalian katakan itu benar.
Kalian adalah anak-anak muda yang telah kalian katakan
itu benar. Kalian adalah anak-anak muda yang hadir malam
pertama dan dimalam kedua telah mengalahkan seluruh
kekuatan perampok itu. Yang kalian lakukan itu bukan satu
kebetulan. Yang kailan lakukan itu memang
mengagumkan, Kedua orang pengawal itu benar-benar
dapat kalian kalahkan pada langkah langkah pertama"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampun tuanku" berkata Mahisa Murti "apa yang
hamba berdua lakukan, semata-mata melaksanakan
perintah tuanku" "Ya, ya. Aku tahu. Kalian memang tidak bersalah"
berkata Akuwu. Sementara itu kedua pengawal yang tidak berdaya itupun
telah bangkit. Wajah mereka menjadi pucat. Ketika Akuwu
mendekati mereka, maka kepala merekapun telah
menunduk dalam-dalam. "Kalianpun tidak bersalah" berkata Akuwu "kalian tiduk
usah merasa berkecil hati mengalami kekalahan ini. Itu
sudah wajar sekali. Kalian memang harus kalah dalam
waktu yang singkat. Bukan karena kalian tidak
melaksanakan tugas kalian dengan baik, atau bukan berarti
bahwa kalian adalah pengawal-pengawal yang lemah.
Tetapi lawan kalianlah yang memang terlalu kuat. Karena
itu jangan sakit hati. Kalianpun tidak usah malu Kepada
orang-orang padukuhan ini. Sebenarnyalah aku
memberitahukan kepada kalian, bahwa kedua orang anak
muda itu mempunyai ilmu yang penunjul"
Kedua pengawal itu masih menunduk dalam-dalam
Sementara itu orang-orang yang berada dihalaman banjar
itupun menjadi berdebar-debar. Namun mereka mengerti
apa yang dimaksudkan oleh Akuwu.
Karena itu, maka merekapun mulai berpikir tentang
kebenaran pengakuan kedua orang anak muda itu, bahwa
keduanyalah yang oleh banyak orang disangka ujud dari
pusaka-pusaka yang berada di Banjar itu.
Dalam pada itu, orang-orang di Banjar itupun
menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Akuwu
kemudian. Meskipun nampaknya Akuwu tidak marah,
tetapi kadang kadang yang terjadi adalah di luar dugaan
mereka, saat orang-orang dan para pengawal yang sedang
berada di Banjar itu menunggu. Apa yang akan dikatakan
oleh Akuwu tentang kedua orang anak-anak muda itu.
Namun seperti yang mereka duga, bahwa sesuatunya
memang dapat terjadi. Karena itu, dengan berdebar-debar
mereka menunggu Akuwu itu berkata sesuatu tentang
persoalan yang sedang mereka hadapi.
"Anak-anak muda" berkata Akuwu itu "kalian memang
telah menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Kalian dalam
waktu yang sangat singkat telah mengalahkan para
pengawal. Tetapi anak-anak muda. Bukan, maksudku
untuk memaksa kalian tunduk kepada keputusanku. Tetapi
aku hanya ingin lebih meyakinkan, apakah aku telah
mengambil satu keputusan yang benar"
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu sejenak,
sementara Akuwu itu berkata "Untuk itu, maka aku ingin
memperingatkan, bahwa kalian telah mengalahkan para
perampok itu dalam jumlah yang cukup banyak. Karena
itu, maka aku ingin melihat kekuatan kalian yang
sebenarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Apalagi yang harus mereka lakukan" Apakah mereka
harus bertempur melawan jumlah orang sebagaimana
mereka kalahkan pada malam kedua dari perampokan yang
telah terjadi di Banjar itu.
"Anak-anak muda" berkata Akuwu" aku sendiri
bukannya orang yang memiliki ilmu kanuragan. Aku bukan
orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi meskipun
demikian, aku ingin menjajagi langsung kemampuan kalian
berdua" Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Keduanya tentu akan mengalami kesulitan. Jika mereka
benar-benar harus bertempur melawan Akuwu, maka
keduanya tidak akan dapat mengambil satu sikap yang
pasti. Apakah mereka harus mengalahkan Akuwu atau
tidak. Dalam ketegangan itu Akuwupun berkata "Anak-anak
muda. Aku tidak bermaksud untuk menguji kemampuan
kalian sampai tuntas. Aku tidak akan mampu
melakukannya. Tetapi dalam satu dua langkah, aku akan
dapat mengambil satu kesimpulan. Apakah yang kalian
katakan itu benar-benar dapat aku percaya"
"Tetapi" Mahisa Murti tergegap "apakah artinya kami
berdua bagi Akuwu. Kami sama sekali tidak akan berani
melakukannya" "Kalian harus melakukannya" jawab Akuwu "jika tidak,
maka untuk seterusnya aku akan tetap ragu-ragu akan
keputusanku yang akan aku jatuhkan saat ini tentang kalian
berdua" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun saling
berpandangan. Namun mereka memang tidak akan dapat
ingkar. Karena itu. maka Mahisa Murtipun kemudian
berkata "Jika tuanku memang menghendakinya, apa boleh
buat. Tetapi hamba berdua hanya sekedar ingin melakukan
perintah" Akuwu tersenyum. Katanya "Unggah-ungguhmu utuh
anak muda. Marilah, biarlah para pengawal dan orangorang
Kabuyutan ini melihat, bahwa kalian memang anakanak
muda seperti yang kalian katakan. Yang telah
menyelamatkan Kabuyutan ini dan benda-benda keramat
yang dibawa ke Kabuyutan ini untuk melengkapi upacara
wisuda Ki Buyut yang baru itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak
lagi. Namun dalam pada itu. ketika Akuwu sendang
mempersiapkan diri, Mahisa Murti sempat berbisik "Kita
harus berhati-hati. Jangan menyakitinya dan jangan
menunjukkan kemenangan"
"Apa yang kita lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Melayaninya saja. Sampai Akuwu Menjadi jemu"
jawab Mahisa Murti. "Jangan terlalu sombong. Jika Akuwu memiliki ilmu
yang sangat tinggi?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita akan terkapar disini" jawab Mahisa Murti. Mahisa
Pukat mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian
tersenyum. Sejenak kemudian Akuwu ternyata sudah siap. Iapun
kemudian memasuki arena. Beberapa orang pengawal
berdiri disekeliiing arena dengan tegangnya. Bagaimanapun
juga mereka merasa wajib untuk mengamati keadaan.
"Marilah anak-anak muda" berkata Akuwu "jangan
segan. Lakukanlah apa yang dapat kalian lakukan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangumangu.
Sementara itu Akuwupun melihat keraguan anakanak
muda itu, sehingga iapun berkata "Marilah. Aku
mengajak kalian berdua. Tidak seorang demi seorang"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan ragu melangkah
memauki arena pula sebagaimana dilakukan oleh Akuwu.
Mereka berdiri pada jarak tiga langkah.
"Jangan ragu-ragu" berkata Akuwu "sudah aku katakan.
Jangan ragu-garu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat merasa
bebas menghadapi Akuwu. Namun sejenak kemudian Akuwu itupun telah bergeser.
Cepat sekali. Langkahnya tiba-tiba bagaikan
melontarkannya diantara kedua anak muda itu. Dengan
cepat pula ia berputar. Kakinya terayun deras menyambar
Mahisa Murti. Tetapi dengan gerak nalurilah dilembari dengan
kemampuan ilmunya, Mahisa Murti sempat juga melenting
selangkah surut, sehingga serangan Akuwu yang tiba-tiba
itu tidak menyentuhnya. Namun dalam pada itu, ternyata
sambil menarik kakinya, Akuwupun sempat meloncat.
Tangannya terjulur lurus menghantam dada Mahisa Pukat.
Sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti, maka
Mahisa Pukatpun bergeser kesamping. Tangan Akuwu
menyambar sejengkal didepan dada Mahisa Pukat. Hampir
saja Mahisa Pukat memukul tangan itu dengan sisi telapak
tangannya. Tetapi rasa-rasanya ada yang telah
mencegahkan, sehingga Mahisa Pukat itupun tidak berbuat
apa-apa. Karena serangan Akuwu itu tidak menyentuh kedua
orang anak muda itu, maka Akuwupun bergeser seru.
Namun Mahisa Pukatlah yang berdiri dipaiing dekat.
Karena itu, maka sekali lagi Akuwu telah melenting dengan
tiba-tiba. Cepat sekali. Seolah-olah tidak dapat dilihat
dengan tatapan mata sewajarnya. Sekali lagi tangan Akuwu
terayun. Mendatar mengarah kening.
Mahisa Pukat ternyata memiliki ketangkasan yang
mengagumkan. Dengan cepat, ia merendahkan dirinya,
sehingga serangan Akuwu itu tidak mengenainya. Tetapi
sekali lagi serangan Akuwu memburunya. Pada saat
Mahisa Pukat merendah, Akuwu telah menarik tangannya
dan menyerang dengan kakinya.
Mahisa Pukat terkejut. Tetapi ia masih sempat berpikir.
Ia tidak ingin membenturkan kekuatannya. Karena itu,
maka yang dilakukannya kemudian adalah menjatuhkan
dirinya dan berguling menjauh. Dengan cepat iapun
kemudian melenting berdiri, dan bersiap menghadapi
serangan-serangan berikutnya.
Mahisa Murti berdiri saja termangu-mangu. Sebenarnya
ia dapat membantu Mahisa Pukat dengan menyerang
Akuwu. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu, sehingga karena
itu, ia justru bagaikan penonton yang paling tegang.
Mahisa Pukat yang sudah berhasil lolos dari seranganserangan
beruntun itupun tidak dapat membalas menyerang
Akuwu karena keseganannya. Karena itu, maka yang
dilakukannya hanyalah sekedar menghindarnya saja.
Ternyata Akuwu tidak memburunya. Ia berpaling
kepada Mahisa Murti yang berdiri semakin jauh. Sejenak ia
memandang anak muda itu dengan tajamnya. Namun
kemudian katanya "Kalian tidak berusaha untuk
menyerangku. Lakukanlah. Aku ingin melihat kalian dalam
kemampuan ilmu yang sebenarnya"
Kedua anak muda itu masih tetap ragu-ragu. Namun
Akuwu berkata seterusnya "Jika kalian tetap ragu-ragu.
Maka, aku akan memaksa kalian untuk melakukannya"
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjawab,
maka Akuwu telah berkisar. Iapun kemudian meninggalkan
Mahisa Pukat dan mendekati Mahisa Murti.
Mahisa Murtipun kemudian mempersiapkan diri. Ia
sadar arti dari kata-kata Akuwu itu. Sementara Mahisa
Pukat yang menjadi tegang itupun bergeser pula mengikuti
Akuwu. Dalam pada itu para pengawal yang berada disekitar
arena itupun menjadi tegang pula. Mereka melihat Akuwu
kemudian mempersiapkan dirinya menghadap ke arah
Mahisa Murti. Seolah-olah ia tidak lagi menghiraukan
Mahisa Pukat yang berdiri di belakangnya.
Mahisa Murti memang sudah bersiap. Iapun mulai
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk
menyerang. Jika ia selalu tedesak oleh serangan-serangan
Akuwu yang datang beruntun, maka pertahanan yang
paling baik adalah menyerang dalam setiap kesempatan.
Mahisa Murti tidak mendapat kesempatan untuk
membuat pertimbangan-pertimbangan. Sejenak kemudian
Akuwu telah menyerangnya.
Cepat dan keras, sehingga Mahisa Murti harus
mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi
kecepatan gerak Akuwu. Sebenarnyalah Akuwu telah menyerangnya beruntun
tanpa ragu-ragu. Seolah-olah Akuwu benar-benar telah
bertempur untuk menentukan menang atau kalah.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti memang terdesak surut.
Bahkan hampir saja Mahisa Murti meloncat keluar
arena. Namun akhirnya. Mahisa Murti telah mengambil
satu sikap, la tidak ingin menghindar agar tidak
menimbulkan kesan lain pada Akuwu tentang
pengakuannya. Karena itulah, maka akhirnya Mahisa Murti telah
memberanikan diri. untuk membalas serangan Akuwu
dengan sebuah serangan rendah pada kakinya.
Akuwu terkejut mendapat serangan balasan. Tetapi ia
masih sempat meloncat menghindari sambaran kaki Mahisa
Murti pada betisnya. Namun demikian ia berjejak di atas
tanah, maka Mahisa Murti sekali lagi menyerang Akuwu
pada lututnya dari arah samping.
Sekali lagi Akuwu terpaksa menghindar Namun
loncatannya yang panjang telah melemparkannya beberapa
langkah mendekati Malhia Pukat.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih tetap termangumangu.
Tetapi ia sudah melihat Mahisa Murti telah mulai
menyerang Akuwu meskipun dengan serangan-serangan
rendah. Sementara itu, maka agaknya Akuwu telah siap
menyerang Mahisa Pukat. Dengan nada datar Akuwu
berkata "Aku akan melawan kalian berdua"
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Serangan
Akuwupun datang beruntun. Semakin lama semakin cepat.
Mahisa Pukatpun mencoba untuk mengurangi tekanan
Akuwu dengan menyerangnya pula pada setiap
kesempatan. Tetapi serangan Akuwu itu semakin lama
menjadi semakin cepat, sehingga memaksa Mahisa Pukat
untuk bekerja lebih keras untuk menyelamatkan tubuhnya
dari sentuhan serangan Akuwu.
Nampaknya Akuwu berusaha untuk memancing kedua
orang anak muda itu untuk bertempur bersama. Sekali ia
menyerang Mahisa Murti. sekali Mahisa Pukat. Namun
kemudian Akuwu telah berhasil menempatkan diri pada
satu sisi di arena, sehingga ia berhadapan langsung dengan
kedua orang anak muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
merasa bahwa sebenarnyalah Akuwu memiliki ilmu yang
tinggi. Sebagai seorang Akuwu, maka ia tentu melandasi
dirinya pada tataran tingkat yang memungkinkan
mendukungnya pada jabatannya, sebagaimana Akuwuakuwu
yang pernah didengar namanya.
Dengan demikian maka akhirnya kedua anak muda itu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelah dipaksa untuk mempergunakan kemampuannya pula
melawan Akuwu. Karena itulah, maka pertempuran itupun telah
meningkat menjadi semakin seru. Meskipun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat masih tetap dibatasi oleh keseganannya
untuk menyerang pada bagian-bagian yang berbahaya pada
Akuwu. Namun mereka telah mulai menyerang pada
bagian bawah tubuh Akuwu yang mampu bergerak dengan
sangal cepat dan tangkas.
Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benarbenar
ingin membuktikan bahwa yang dikatakannya
tentang diri mereka adalah benar. Bahwa mereka adalah
dua orang yang dianggap ujud dari kekuatan gaib yang ada
di dalam benda-benda keramat milik Akuwu yang
dipergunakan untuk kelengkapan wisuda Ki Buyut yang
baru itu. Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun telah
bergerak secepat Akuwu bergerak. Meskipun masih dengan
sikap yang enggan, namun justru karena mereka telah
bekerja bersama, maka semakin lama menjadi semakin
nampak, bahwa Akuwu mulai mengalami kesulitan.
Tetapi pada keadaan yang sulit, tiba-tiba saja Akuwu
berkata Anak-anak muda. "Jika benar kalian adalah anakanak
muda yang telah mengalahkan para perampok itu,
maka kalian tentu memiliki kebanggaan ilmu yang dapat
kalian tunjukkan kepadaku. Aku akan memaksa kalian
untuk berbuat sampai batas kemampuan kalian, agar aku
yakin, bahwa kalian berdua saja dapat bertempur dan
memenangkan pertempuran itu melawan perampok pada
jumlah yang berlipa ganda"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
gelisah. Apalagi ketika mereka melihat. Akuwu benar-benar
telah meningkatkan kemampuannya pada tata gerak yang
sulit dimengerti oleh kebanyakan orang.
Karena Akuwu nampaknya seolah-olah bersungguhsungguh
maka kedua orang anak muda itu tidak dapat
berbuat lain, kecuali melindungi diri mereka dari seranganserangan
Akuwu yang keras. Mahisa Pukatlah yang ternyata lebih dahulu bersikap
dari Mahisa Murti Namun akhirnya Mahisa Murtipun telah
melakukannya pula. Karena keduanya masih tetap merasa
segan untuk menyerang pada bagian-bagian yang dapat
berbahaya bagi Akuwu. maka yang dapat mereka lakukan
adalah membenturkan kekuatan mereka melawan kekuatan
Akuwu. Kedua orang anak muda, anak dan sekaligus murid
Mahendra dilengkapi oleh Witantra dan unsur ilmu yang
lain dari Mahisa Agni itu, maka keduanya adalah anakanak
muda yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang
mendebarkan. Itulah sebabnya, maka keduanya telah menempatkan
kekuatan mereka tidak untuk menyerang, tetapi untuk
mempertahankan diri terhadap serangan-serangan yang
keras dari Akuwu yang ingin meyakinkan kemampuan
kedua orang anak muda itu.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi
benturan-benturan kekuatan diantara Akuwu dengan kedua
orang anak muda yang memiliki dasar kemampuan yang
tinggi itu. Untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu masih
berlansung justru semakin keras dan cepat. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang segan menyerang pada bagianbagian
yang gawat itu telah mempergunakan kekuatan
mereka untuk memaksa Akuwu mengetahui tingkat
kemampuan mereka. Benturan-benturan itu adalah cara
menyerang yang lain yang dipergunakan oleh Mahisa Pukat
dan kemudian juga Mahisa Murti. Karena dalam benturanbenturan
itu, akan terasa oleh Akuwu hentakan-hentakan
didalam dirinya. Akuwu adalah seorang yang memiliki kemampuan yang
tinggi. Tetapi ketika kemampuannya harus dibenturkan
kepada kemampuan dua orang anak muda itu, maka terasa,
bahwa kedua anak muda itu bersama-sama memiliki
beberapa kelebihan dari Akuwu. Kaduanya dalam
pertempuran berpasangan, mampu menunjukkan
kemampuan mereka yang mendebarkan. Bahkan benturanbenturan
yang terjadi semakin lama menjadi semakin
sering, telah menimbulkan kesan kepada Akuwu, bahwa
kedua anak muda itu benar-benar anak muda yang perkasa.
Sehingga akhirnya, Akuwu tidak dapat ingkar lagi akan
satu kenyataan, bahwa ia berada dalam kesulitan.
Meskipun orang-orang yang menyaksikan bahwakah para
pengawal dan Senapatinya belum melihat, tetapi Akuwu.
sudh merasakan, kelebihan kedua anak muda itu sulit untuk
dapat diatasinya jika permainan itu akan diteruskan.
Karena itu, maka sesuai dengan keinginan Akuwu.
sekedar untuk menjajagi kemampuan kedua orang anak
muda itu, maka sejenak kemudian, Akuwu yang menjadi
semakin sulit mengatasi kecepatan gerak kedua orang anak
muda itupun telah meloncat jauh surut sambil berkata
"Cukup anak-anak muda"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berusaha untuk
mendekatinya telah tertegun. Sementara itu, mereka
melihat Akuwu berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum
"Aku sudah berhasil mengetahui tingkat kemampuan
kalian" Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Bahkan
para Senapati, para pengawal dan apalagi orang-orang
padukuhan yang menyaksikannya, berdiri tegak dengan
wajah-wajah yang tegang. "Kalian memang luar biasa" desis Akuwu "kalian telah
menyatakan satu kenyataan kepadaku"
"Ampun Akuwu" berkata Mahisa Murti apa yang kami
lakukan, adalah sekedar melayani keinginan Akuwu.
"Ya, ya. Aku mengerti" berkata Akuwu "dan kalian
telah melakukan sebaik-baiknya. Kalian telah menunjukkan
kepadaku bahwa kalian memang memiliki ilmu yang luar
biasa. Kalian telah meyakinkan aku, bahwa apa yang kalian
katakan itu benar semata-mata"
"Ampun Akuwu" berkata Mahisa Murti "bukan maksud
hamba berdua untuk menyombongkan diri. Tetapi sematamata
karena hamba berdua ingin menempatkan
persoalannya pada tempat yang sebenarnya"
Akuwu tersenyum. Kedua anak muda itu memang
sangat menarik hatinya. Keduanya tangkas dan kuat.
Bahkan melampaui dugaan Akuwu sendiri. Dengan
penjajagan itu Akuwu mengerti bahwa anak-anak muda itu
tentu memiliki ilmu yang sudah mapan, sehingga mereka
mampu melakukan seperti spa yang mereka katakan.
"Anak-anak muda" berkata Akuwu "ternyata bahwa aku
harus mempercayaimu. Apa yang dikira, ujud duri bendabenda
keramat yang menjadi kelengkapan upncara itu,
adalah kalian berdua"
"Hamba tuanku. Seperti sudah hamba katakan, maksud
hamba adalah semata-mata untuk meluruskan pendapat
yang keliru tentang pusaka-pusaka tuanku itu. Jika
pendapat itu tidak dibetulkan, maka pada suatu saat.
Akuwu akan menyesal, karena benda-benda itu akan dapat
hilang dari gedung perbendaharaan istana Akuwu. Para
pengawal akan terlalu percaya bahwa pusaka-pusaka itu
akan dapat menyelamatkan diri sendiri, sehingga seakanakan
tidak memerlukan pengawalan lagi" berkata Mahisa
Murti. "Kau benar anak muda" jawab Akuwu "dan aku
mengucapkan terima kasih. Kalian telah berbuat sesuatu
yang sangat berarti bukan saja bagiku, tetapi juga bagi
seluruh pakuwon. Karena itu, maka sebenarnyalah aku
ingin tahu, siapakah kalian berdua yang sebenarnya dan
dari manakah kalian datang?"
Sudah hamba katakan, hamba berdua adalah anak-anak
yang kabur kanginan. Hamba berdua mengembara dari satu
tempat ketempat yang lain. Dari lereng pegunungan ke
lereng pegunungan. Dari lembah yang satu ke lembah yang
lain" jawab Mahisa Murti.
"Kau sangka aku percaya?" Akuwu tersenyum "tetapi
baiklah. Agaknya kalian adalah pengengembara yang
sebenarnya. Karena itu, maka aku tidak akan memaksa
menyebut siapakah kalian sebenarnya. Namun demikian,
sebaiknya aku mengajukan satu permintaan kepada kalian.
Permintaan yang barangkali dapat kalian terima"
"Maksud Akuwu?" bertanya Mahisa Murti
"Aku sudah yakin akan kalian. Kalian bukan sekedar
wadag yang dipergunakan oleh kekuatan pusaka-pusaka itu.
Tetapi sebenarnyalah kalian memang dua orang anak muda
yang memiliki tingkat ilmu yang luar biasa. Karena itu, agar
kekuatan yang semula disangka terdapat pada pusakapusaka
itu tetap berada bersamanya, maka aku. berharap
kalian berdua akan bersedia tinggal bersama aku di istana
Pakuwon. Kalian akan aku anggap sebagai anak-anakku.
Dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian ingini"
berkata Akuwu kemudian "dengan kehadiran kalian
berdua, aku berharap bahwa kalian akan dapat menempa
para Senapati dan pengawal, untuk menjadi Senapati dan
pengawal yang memiliki kemampuan yang cukup"
"Ampun tuanku" lawas Mahisa Pukat "bukanKan di
Pakuwon sudah ada tuanku. Apakah kekurangan tuanku
dibanding dengan kami berdua yang tidak berarti apa-apa.
Jika tuanku berkenan, maka tuanku akan dapat menjadikan
para Senapati dan pengawal melampaui kemampuan kami.
Akuwu itupun tertawa. Katanya "Jangan terlalu
merendah anak muda. Menilik ujud dan pakaian kalian
dibandingkan dengan kemampuan serta ilmu yang ada pada
kalian berdua, maka aku sudah menduga bahwa kalian
adalah orang yang rendah hati. Cara kalian membantu
orang-orang padukuhan ini serta para pengawal, kemudian
dengan diam-diam kalian pergi sebelum kami sempat
mengucapkan terima kasih adalah pertanda bahwa kalian
telah berbuat tanpa pamrih dengan sikap yang rendah hati.
Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat melihat
apa yang sebenarnya tersimpan didalam diri kalian. Dalam
keseganan, kalian telah menunjukkan kepadaku, betapa
tinggi ilmumu. Apalagi jika kalian harus benar-benar
bertempur menghadapi lawan"
"Tuanku terlalu memuji, sehingga hamba berdua merasa
malu karenanya" jawab Mahisa Murti "sebenarnyalah
hamba tidak banyak berarti bagi Pakuwon ini. Karena itu,
maka perkenankanlah hamba melanjutkan pengembaraan
hamba tanra tujuan, sebagaimana menurut langkah kaki
hamba berdua" "Aku masih ingin minta kesediaan kalian" jawab Akuwu
"bagaimanapun juga, kehadiran kalian akan sangat berarti
bagi kami" "Ampun tuanku" sembah Mahisa Pukat "satu-satunya
permohonan hamba berdua saat ini adalah perkenan tuanku
bagi hamba berdua untuk melanjutkan perjalanan kami"
"Kalian jangan bergurau" jawab Akuwu "setidaktidaknya
kalian memerlukan bermalam malam ini. Besok
kalian akan melanjutkan perjalanan. Tetapi sekali lagi, aku
minta kalian tinggal di istana Pakuwon barang satu dua
musim. Dengan demikian maka kalian akan dapat
membuat benteng di Pakuwon kami menjadi teguh.
Bukankah kau lihat, bahwa di padukuhan ini telah hadir
sekelompok penjahat yang kuat. Pada kesempatan lain,
mungkin akan tumbuh kekuatan lain yang melampaui
kekuatan yang telah kau hancurkan dalam dua malam itu"
"Hamba yakin, bahwa hal itu tidak akan banyak berarti
bagi Akuwu" jawab Mahisa Murti "sebaiknya hamba
mohon diri. Hamba sudah merasa berhasil karena tuanku
telah meyakini, bahwa sama sekali tidak ada kekuatan yang
dapat menjelma menjadi ujud wadag pada benda-benda
milik tuanku, juga kekuatan yang mampu mempergunakan
wadag seseorang bagi ungkapannya. Jika hal ini hamba
jelaskan, semata-mata karena niat baik hamba"
"Aku mengerti. Tetapi kenapa kalian 'tidak mau singgah
barang satu dua saat di istanaku?" bertanya Akuwu.
"Bukan hamba tidak bersedia" jawab Mahisa Murti
"tetapi sebenarnyalah hamba ingin melanjutkan perjalanan
hamba" "Malam ini?" desak Akuwu.
"Hamba tuanku" jawab Mahisa Pukat.
Tidak ada yang dapat mencegah kedua orang anak-anak
muda itu. Ki Buyutpun mencoba mempersilahkan
keduanya untuk bermalam di banjar. Tetapi keduanya
berkeberatan, karena keduanya ingin meneruskan
pengembaraan mereka. Meskipun demikian, Akuwu masih berusaha menunda
keberangkatan anak-anak muda itu beberapa saat. Akuwu
memberikan beberapa petunjuk apabila pada suatu saat
anak-anak muda itu ingin singgah di istananya.
"Jika pada suatu saat dalam pengembaraanmu kau lewat
didepan istanaku, aku berharap. Bahwa kalian berdua mau
singgah barang sejenak" berkata Akuwu.
"Terima kasih Akuwu" jawab Mahisa Murti "memang
tidak mustahil bahwa pada suatu saat, hamba berdua
melewat istana Akuwu. Mungkin pada satu putaran
pengembaraan aku memang akan melalui daerah ini lagi.
Karena pada suatu saat aku tentu akan pergi ke Kota Raja
yang tidak terlalu jauh dari tempat ini"
"Baiklah" berkata Akuwu "jika kalian memang tidak
ingin aku cegah lagi, apaboleh buat. Tetapi barangkali
kalian berdua mempunyai satu permintaan yang barangkali
dapat kami penuhi. Jika bukan aku, mungkin Ki Buyut atau
orang-orang lain di Kabuyutan ini bagi bekal
perjalananmu" "Terima kasih Akuwu" jawab Mahisa Murti "kami tidak
memerlukan bekal apapun juga. Kami akan dapat hidup
dalam pengembaraan kami karena kami yakin akan
kebaikan hati sesama"
Ki Buyutpun menyahut "Diantaranya adalah tawaran
kami jika kalian memerlukan. Bukan karena kebaikan hati
kami, tetapi semata-mata karena kami ingin mengucapkan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terima kasih" "Terima kasih Ki Buyut" jawab Mahisa Pukat "kebaikan
Akuwu dan Ki Buyut sudah cukup memberikan kesan
tersendiri didalam pengembaraan kami. Sebelum semua
peristiwa ini terjadi, kami telah menerima kebaikan isi
Kabuyutan ini. Kami bermalam di banjar ini dan mendapat
makan dan minuman panas di tengah malam yang dingin
sementara kami memang sangat lapar pada waktu itu"
"Baiklah anak-anak muda" berkata Akuwu "kami hanya
dapat berdoa, semoga perjalanan kalian selalu mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung. Selamat dan tercapai
segala cita-citamu, meskipun aku tidak tahu, apa yang
sebenarnya kalian inginkan dengan pengembaraan kalian.
Tetapi menilik sikapmu disini, aku yakin bahwa kalian
bukan orang yang pantas di cemaskan bahwa kalian akan
me-rugikan sesama. Tetapi sebaliknya, kalian telah
mempergunakan ilmu kalian yang sulit di jajagi sampai
tuntas itu, untuk kepentingan sesama"
"Akuwu masih saja selalu memuji" jawab Mahisa Murti
"yang hamba berdua lakukan, semata-mata karena hamba
mempunyai kewajiban bagi sesama. Itu sajalah" Mahisa
Murti berhenti sejenak, lalu "Sudahlah. Hamba mohon diri
Akuwu" Akuwu dengan berat kemudian melepaskan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan banjar. Demikian
pula Ki Buyut, para Senapati dan para pengawal. Terlebihlebih
para pengawal yang telah mendapat pertolongan
langsung dari kedua anak muda itu.
Beberapa orang telah melepas kedua orang anak muda
itu sampai keregol. Dua orang pengawal akan
mengantarkannya sampai keregol, agar kedua orang anak
muda itu tidak mendapat kesulitan karena para penjaga
regol tidak menge-nali mereka.
Untuk beberapa saat, Akuwu dan Ki Buyut yang berdiri
di bawah cahaya obor diregol halaman banjar termangumangu.
Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang
aneh bagi mereka. "Aku yakin, nama-nama itu bukannya nama mereka
yang sebenarnya" berkata Akuwu tiba-tiba.
"Ya" desis Ki Buyut "hambapun sudah menyangka,
bahwa keduanya bukan pengembaran kebanyakan. Tentu
pengembaraan kedua anak muda itu akan menjadi laku
pembajaan diri mereka masing-masing"
"Mudah-mudahan anak-anak yang baik itu akan tetap
menjadi manusia yang baik. Banyak sekali pengalaman
yang akan mereka dapatkan di perjalanan. Dengan
kemampuan mereka, maka mereka akan banyak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dan pengalaman itu
akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan hidup
mereka" berkata Akuwu "karena itu, semoga yang mereka
temui di perjalanan mereka, justru mempertegas sikap dan
pandangan hidup mereka sebagai kasatria.yang berbudi"
"Hamba Akuwu" berkata Ki Buyut "sayang sekali,
keduanya tidak mau tinggal di Kabuyutan ini, atau di
Pakuwon ini" Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Namun Akuwu
itupun ke mudian berkata "Aku akan beristirahat"
Akuwupun kemudian pergi ketempat yang sudah
disediakan bersama seorang Senapatinya, sementara
Senapati yang lain bersama beberapa orang pengawal dan
para peronda tetap berada di banjar untuk mengamati
benda-benda upacara. Apalagi setelah mereka mengetahui,
bahwa benda-benda itu sama sekali tidak dapat
menyelamatkan diri mereka sebagaimana diduga
sebelumnya, seolah-olah benda-benda itu dapat berubah
dalam ujud dua orang anak muda yang perkasa.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berada di pintu gerbang padukuhan. Para peronda yang
bertugas di pintu gerbang, sama sekali tidak mengetahui apa
yang telah terjadi. Karena itu, mereka tidak memberikan
tanggapan apapun terhadap dua orang yang diantar oleh
dua orang pengawal keluar pintu gerbang.
"Siapa mereka?" berkata seorang pemuda ketika kedua
orang pengawal itu kembali memasuki pintu gerbang.
"Dua orang pengembara" jawab pengawal itu.
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Lalu
"Bukankah orang itu anak-anak muda yang ditangkap dan
dibawa ke rumah Ki Buyut?"
"Mereka kemudian dibawa ke banjar. Untunglah,
keduanya adalah anak-anak muda yang rendah hati.
sehingga mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa
terhadap orang-orang yang telah berusaha menangkap,
kalian memperlakukannya sebagai orang-orang yang
berniat jahat" Para peronda di pintu gerbang padukuhan itu
mengerutkan dahi mereka. Namun pengawal itupun segera
menceriterakan apa yang telah terjadi di banjar dengan
kedua orang anak muda itu.
Para peronda itu mengangguk-angguk. Seorang diantara
mereka berkata "Untunglah. Jika kedua anak muda itu
mampu mengimbangi kemampuan Akuwu, bukankah
berarti bahwa keduanya benar-benar memiliki ilmu yang
tinggi?" "Ya. Keduanya telah dapat mengalahkan sekelompok
penjahat yang besar di banjar itu" jawab salah seorang
pengawal. Anak-anak muda yang meronda itu menjadi kagum.
Apalagi ternyata kedua orang anak muda itu benar-benar
dapat mengekang diri sehingga mereka tidak terjerumus ke
dalam satu sikap yang sewenang-wenang meskipun hati
mereka telah disakiti. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berada di gelapnya malam diluar padukuhan. Mereka
berjalan di bulak yang panjang menuju ke padang perdu.
"Udara terasa diring" desis Mahisa Murti. Mahisa Pukat
mengangkat wajahnya. Dilihatnya bintang bergayutan di
langit. "Justru langit bersih" berkata Mahisa Pukat "agaknya
lebih hangat berada di banjar. Bahkan mungkin kita akan
mendapat makanan dan minuman yang hangat"
Mahisa Murti tertawa. Katanya "Menarik. Tetapi
kenapa kita pergi juga"
"Itulah sulitnya Kadang kadang harga diri itu dapat
merugikan" jawab Mahisa Pukat sambil tertawa pula.
"Kalau kita mau mengorbankan harga diri, sekedar
untuk mendapatkan nasi hangat, tentu saja kita akan dapat
melakukannya" desis Mahisa Murti.
"Itulah sulitnya" jaw"b Mahisa Pukat. Lalu "Tetapi itu
adalah laku dari keprihatinan kita"
"Darimana kau tahu hal itu?" bertanya-Mahisa Murti.
"He, bukankah ayah dan. paman-paman selalu
mengatakan demikian?" Mahisa Pukat ganti bertanya.
"Bagus. Artinya kau masih selalu ingat akan pesan ayah
dan paman-paman" jawan Mahisa Murti.
"Jika tidak, maka barang-barang upacara itu agaknya
memang dapat dijual dengan nilai yang tidak terhingga"
sahut Mahisa Pukat. Sekali lagi Mahisa Murti tertawa. Mahisa Pukat
memandanginya sejenak. Namun iapun telah ikut tertawa
pula. Ketika keduanya kemudian berbelok kepadang perdu
yang sepi dan jarang di datangi seseorang, maka mereka
mulai merasakan kesepian yang mencengkam. Baru saja
mereka melihat banjar padukuhan yang ramai dengan anakanak
muda dan para penghuni padukuhan yang lain
dibawah nyala obor yang terang. Namun kemudian mereka
telah terdampar kedalam gelapnya padang perdu dan
dinginnya udara malam. Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun teiah duduk bersandar pepohonan perdu yang
tumbuh dengan liar dipadang itu. Angin malam berhembus
perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka yang mulai
di bayangi oleh kantuk. Sebenarnyalah kedua anak muda itu menjadi letih.
Mereka harus melayani beberapa orang dalam perkelahian.
Yang terakhir mereka harus melawan Akuwu yang telah
memaksa mereka untuk menitikkan keringat.
"Ternyata perut ini merasa lapar juga" desis Mahisa
Pukat. Mahisa Murti yang sudah memejamkan matanya menyahut
"Malam malam begini, bagaimana kita mendapatkan
makan. Besok pagi pagi kita berburu burung. Agaknya
menyenangkan juga makan daging burung selagi perut
merasa lapar. "Aku akan membeli saja ketela pohon. Kita akan dapat
membuat perapian. Ketela itu kita panggang diatas api,
maka kita akan segera menjadi kenyang" guman Mahisa
Pukat. "Bagus" jawab Mahisa Murti "kau membeli ketela
pohon di pasar. Aku akan mencari burung"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi matanya mulai
terpejam. Namun sementara itu Mahisa Murti tidak segera
tertidur. Ia masih berusaha untuk tetap burjaga-jaga. Jika
Mahisa Pukat sudah cukup lama tidur, maka tentu tidurnya
tidak akan terlalu lelap. Barulah kemudian ia akan tidur
menjelang pagi hari. Ketika matahari mulai membayang. Mahisa Pukatlah
yang bangkit lebih dahulu. Ia melihat langit menjadi merah,
sementara Mahisa Murti masih tidur bersandar puhon.
Nampaknya Mahisa Murti masih nyenyak bermimpi.
Mahisa Pukat tidak membangunkannya, tetapi iapun
mulai mencari kekayuan dan dahan-dahan kayu kering
yang berpatahan. Perutnya memang sudah terasa lapar
Karena itu. ia benar-benar akan pergi ke pasar yang sudah
diketahuinya letaknya. Baru sejenak kemudian Mahisa Murti terbangun. Ketika
ia melihat Mahisa Pukat sudah mengumpulkan kekayuan
dan dahan dahan kering, maka iapun tersenyum.
"Aku memang sudah lapar" berkala Mahisa Pukat Baiklah"
jawab Mahisa Murti aku akan pergi ke sumber air itu
sebentar. Kemudian aku akan segera berburu burung"
"Dengan apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku masih yakin akan kemampuan bidikku. Aku akan
melempar burung-burung yang hinggap di dahan-dahan
yang rendah itu dengan batu" jawab Mahisa Murti.
"Sulit" jawab Mahisa Pukat "mungkin Kau akan dapat
mengenai sasaran mati. Tetapi burung-burung itu akan
segera terbang mendengar desir lontaran batumu. Yang
tidak akan terbang adalah ketela pohon atau jagung"
"Aku sependapat" jawab Mahisa Murti tetapi kita harus
berhemat" Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tersenyum. Katanya "Jika kita kehabisan uang,
kita akan dapat bekerja apa saja kepada seseorang. Kita
akan mendapatkan uang dengan cara yang baik.
Mahisa Murtipun kemudian tersenyum pula. Katanya
"Aku sependapat. Meskipun demikian, kau jangan terlalu
banyak mempergunakan uang yang ada pada kita sekarang
ini" Mahisa Pukat mengangguk. Katanya "Baiklah. Setelah
hari ini, kita akan memasuki hutan yang memberikan
kesempatan kepada kita untuk mencari buah-buahan dan
berburu. He, apakah kita memerlukan busur dan anak
panah?" "Sebaiknya kita memang mempunyai alat berburu.
Tetapi bukan busur dan anak panah. Kita memerlukan
sumpit. Alat yang tidak terlalu menarik perhatian, karena
sumpit tidak banyak dipergunakan selain hanya untuk
berburu. Kitapun dapat mempergunakan alat yang lebih
sederhana, yang barangkali pernah juga kita pelajari.
Bandil" "Ya Dengan bandil kita akan dapat berburu binatang di
hutan-hutan. Kita hanya memerlukan tali ijuk yang lemas
dan kuat. Aku akan membelinya" berkata Mahisa Pukat.
"Tidak perlu. Kita aken dapat mencari daun nanas. Aku
telah melihat beberapa batang nanas liar tumbuh di padang
perdu ini. Kita akan membuat saratnya menjadi tampar
kecil yang dapat kita pergunakan untuk membuat bandil.
Tetapi baik juga jika kita mempunyai sumpit" jawab
Mahisa Murti. Tetapi mereka tidak tahu, dimanakah mereka akan
mendapatkan sumpit. Meskipun mereka akan dapat
membelinya, namun jarang mereka dapat menemukan
seseorang yang menjual sumpit. Kecuali jika mereka
bertemu dengan seorang pemburu yang mempergunakan
sumpit dan bersedia menjual sumpitnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukatpun kemudian telah
pergi ke pasar untuk membeli ketela pohon atau jagung,
sementara Mahisa Murti sempat mencari daun nanas yang
tumbuh liar di tepi sebuah mata air kecil di tengah-tengah
padang perdu. Dengan pisaunya Mahisa Murti memotong
beberapa helai daun nanas dan kemudian mengurut
seratnya. Serat itu akan dijemurnya dan kemudian dianyam
menjadi tali yang kuat dan lemas. Lebih baik dari tampar
ijuk untuk dipergunakan sebagai pelempar batu.
Pagi itu, mereka telah menyalakan api di tengah-tengah
padang perdu. Merekapun mengerti, bahwa asap api itu
akan menarik perhatian. Tetapi orang-orang yang melihat
asap itupun akan mengira bahwa ada seseorang pencari
kayu yang Berada di padang perdu itu. Jika apinya tidak
menjalar dan semakin besar, maka asap itu tentu tidak akan
memaksa orang-orang yang melihatnya untuk
mendatanginya. Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun dengan lahapnya telah makan jagung yang
dipanggang di atas api. Beberapa saat mereka duduk di
sebelan perapian, sehingga akhirnya merekapun menjadi
kenyang. Dalam pada itu, maka Mahisa Murtipun telah menjemur
serat dauri nanas yang masih basah. Ternyata kedua anak


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda itu, bersepakat, bahwa mereka pada hari itu juga
akan meneruskan pengembaraan mereka yang terhenti.
Setelah mengemasi diri, maka kedua orang anak muda
itupun telah meninggalkan padang perdu itu. Mahisa Murti
membawa serat nanasnya yang akan dibuatnya menjadi
bandil. Sementara Keduanya masih juga berusaha untuk
dapat menemukan seseorang yang mungkin akan dapat
memberinya satu atau dua batang sumpit.
Kedua anak muda itu tertegun ketika mereka melintasi
sebuah gerumbul bambu di padang perdu yang lain. Mereka
melihat batang-batang bambu cendani yang beruas panjang.
Sejenak mereka tertegun. Namun kemudian Mahisa Pukat
berkata "Apakah kita dapat membuat sumpit sendiri dengan
pering cendani ini?"
"Jenis pering cendani yang jarang dijumpai" berkata
Mahisa Murti "ruasnya panjang sekali. Agaknya bambu ini
sengaja disediakan bagi kita untuk membuat sumpit"
"Atau bambu ini sengaja di tanam orang, setidaktidaknya
dimiliki oleh seseorang" berkata Mahisa Pukat
"lihat bekas-bekasnya. Beberapa batang bambu telah
dipotong. Bekasnya adalah bekas pisau. Bukan sekedar
patah oleh angin atau binatang-binatang liar vang berlarilarian"
Mahisa Murti memang melihat beberapa batang bambu
telah dipotong. Bekasnya adalah bekas pisau atau semacam
kapak kecil. Karena itu, maka katanya "Memang mungkin
sekali. Tetapi agaknya bambu ini tumbuh saja disini tanpa
ada orang yang menanamnya. Tetapi sekelompok orang
yang mengetahuinya kemudian telah mengambil beberapa
batang untuk dibuat sumpit dan kepentingan-kepentingan
lain yang sesuai dengan ruas-ruasnya yang panjang.
"Jika demikian, apa salahnya jika kita mengambil satu
atau dua batang Kita dapat memilih yang sudah tua, lurus
dan bernas paling-panjang" berkata Mahisa Pukat.
Keduanyapun kemudian mulai memilih batang bambu
cendani yang kecil beruas panjang. Tetapi cendani yang
mereka ketemukan itu agaknya bambu cendani yang
khusus. Ruasnya terlalu panjang bagi bambu cendani yang
biasa dijumpainya. Tetapi keduanyapun memang pernah melihat sumpit
bambu cemani yang beruas panjang seperti jang mereka
ketemukan itu. Namun dalam pada itu. selagi keduanya sibuk
memotong bambu cendani itu dengan pisau-pisau mereka,
tiba-tiba saja dua ekor kuda telah berpacu menembus
batang-batang perdu. Nampaknya kedua pununggangnya
terkejut juga melihat dua orang yang sedang sibuk
memotong bambu cendani yang khusus itu. Karena itu,
maka seorang diantara mereka telah berkata "Kita dekati
mereka" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun terkejut pula. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat lain, kecuali berdiri tegak sambil
menunggu kedua ekor kuda yang mendekat itu.
"Apakah mereka yang memiliki pohon bambu cendani
ini?" desis Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua orang penunggang kuda itu
menjadi semakiin dekat. Beberapa langkah dari kedua
orang anak muda itu, keduanya telah berhenti.
"He, siapakah kalian yang telah mengambil ruas-ruas
pering cendani ini?" bertanya seorang diantara mereka,
seorang yang bertubuh tinggi besar.
"Kami dalah dua orang bersaudara yang sedang
mengembara" jawah Mahisa Murti.
"Kenapa kalian berani mengambil pering cendani itu?"
bentak yang seorang lagi. Seorang yang juga bertubuh
tinggi, tetapi agak kurus.
"Apakah kami tidak diperkenankan mengambil pering
cendani ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Rumpun bambu itu milik kami" berkata orang yang
bertubuh tinggi besar. "Maaf Ki Sanak" sahut Mahisa Pukat "kami tidak
mengetahui bahwa bambu ini ada pemiliknya. Kami
mengira bahwa bambu yang tumbuh di padang perdu ini
adalah bambu liar. Bambu tanpa pemilik sehingga siapapun
dapat mengambilnya" "Gila. Kau kira kau berhak mengambil bambu itu" bentak
orang yang kekurusan. "Demikianlah Ki Sanak. Tetapi jika bambu ini memang
ada pemiliknya, kami mohon maaf" berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat berkata "Bahkan jika Ki Sanak
pemiliknya, maka perkenankanlah kami berdua mohon
diijinkan untuk mendapatkan satu bambu saja masingmasing.
Satu batang bambu itu mempunyai ruas yang
cukup panjang sebanyak tiga atau ampat ruas. Memang
pering cendani yang luar biasa"
"Tutup mulutmu" bentak yang bertubuh tinggi besar
"bambu itu tidak boleh diambil oleh siapapun juga, kecuali
kami berdua" "O" Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam "jika
demikian, kami minta maaf. Kami akan menyerahkan
bambu yang sudah terlanjur kami potong"
"O, demikian mudahnya" jawab orang yang bertubuh
kecil "kau kira kau dapat melakukan kesalahan tanpa
mendapat hukuman. He, coba katakan, untuk apa kalian
mencuri bambu cendani itu?"
"Kami ingin membuat sumpit. Kami memerlukan
sumpit untuk berburu burung. Dalam pengembaraan kami,
kami memang memerlukan binatang buruan. Namun
agaknya bagi kami, beberapa ekor burung telah cukup
untuk menyambung hidup kami"
"Persetan" geram orang yang bertubuh besar
"nampaknya kau memiliki kemampuan mempergunakan
sumpit?" "Tidak. Tetapi kami akan mencoba" jawab Mahisa
Pukat. "Omong kosong. Kalian tentu pernah belajar
mempergunakan sumpit. Jika tidak, kalian tidak akan
mencobanya, karena mempergunakan sumpit memerlukan
ketrampilan tersendiri" jawab orang bertubuh besar itu.
Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab "Ki Sanak.
Ayahku adalah seorang petani miskin yang sering juga
harus mencukupi kehidupannya dengan berburu burung.
Aku dan saudaraku ini memang pernah mengikutinya sekali
dua kali. Dan kamipun pernah mencoba mempergunakan
sumpit. Karena itu, dalam pengembaraan ini kamipun ingin
mempergunakan sumpit sebagaimana ayahku pernah
mempergunakan" Kedua orang berkuda itu saling berpandangan. Namun
yang seorang kemudian bergumam "Kau percaya kepada
omongannya?" Kawannya menggeleng. Katanya "Bagaimanapun juga,
mereka telah mencoba mencuri. Keterangannya itu sematamata
untuk mencoba memperingan kesalahan. Tetapi aku
tidak sependapat dengan ceriteranya"
"Ya" geram orang bertubuh besar itu "aku memang
ingin membawa keduanya. Mungkin keduanya dapat
memberikan keterangan yang berguna bagi kita. Dengan
demikian, maka kita tidak akan pernah mendapat kesulitan
lagi dari tikus-tikus kerdil itu"
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya "Anakanak
yang malang. Kami telah mengambil keputusan untuk
menangkap kalian. Kami ingin membawa kalian kerumah
kami" "Kami tidak berbuat kesalahan. Jika kami berani
memotong bambu ini, semata-mata karena kami tidak tahu,
bahwa bambu di padang perdu ini ada pemiliknya" jawab
Mahisa Pukat "menurut pengamatan kami, pepohonan
yang tumbuh di padang ini adalah pepohonan liar. Pandan,
nanas, ilalang, pepohonan perdu, dan satu dua pohon yang
agak besar tetapi gersang seperti pohon waru itu. Karena
itu, maka kamipun menyangka bahwa rumpun bambu inipun
tumbuh liar dan tidak terpelihara"
"Kau dapat mengatakan alasan apa saja" jawab orang
bertubuh tinggi kurus itu "tetapi kami ingin membawa
kalian. Kami sudah cukup lama merasa terganggu oleh
orang-orang yang iri terhadap keberhasilan kami"
"Cukup" bentak orang bertubuh besar itu "jangan
menjawab lagi. Kalian harus ikut kami. Jika tidak, maka
kalian akan kami ikat kedua tangan kalian dan kami seret di
Harimau Kemala Putih 7 Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 16
^