Istana Gerbang Merah 1
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU HANYA orang tolol yang mau menyembu-
nyikan diri di dalam keranjang butut itu!" gumam perempuan berusia sekitar enam
puluh tahun begitu sebuah keranjang cukup besar muncul den-
gan cara melompat-lompat. Diperhatikannya ke-
ranjang yang telah berhenti berjarak sepuluh
langkah dari tempatnya, Tanah bolong merata
berjarak tiga langkah, sesuai dengan lompatan
keranjang itu. Di lain saat, si nenek berpakaian hijau ini berseru, "Buntet
Kalamangsang! Se-umur hidupmu kau selalu berada di dalam keran-
jang tanpa berani menampakkan wajah! Apakah
kau ingin sampai mampus berada di sana"!
Atau... kau enggan meninggalkan keranjang bu-
suk itu karena tak mau orang lain melihat wajah
burukmu"!"
Keranjang yang terbuat dari sulaman kayu
lapis berpetak-petak sedikit bergerak. Menyusul
suara bernada serak, "Monyet tua bernama Sekar Sengkuni! Kau mengundangku ke
sini, apa hanya
untuk mendengar ucapan busukmu itu"!"
Si perempuan menggeram. Parasnya yang
mulai dihinggapi keriput menekuk hingga keriput
itu terlihat semakin banyak. Bias-bias kecanti-
kannya masih tersisa. Rambutnya yang mulai
memutih, bergerai dipermainkan angin, bertam-
bah acak-acakan. Mata celongnya memperhatikan
keranjang itu penuh kebencian. Dia berusaha un-
tuk melihat bagaimana caranya Buntet Kala-
mangsang bisa mendekam berpuluh tahun la-
manya di sana. Saat ini setengah perjalanan malam telah
melampaui batasnya. Tempat itu dipenuhi rang-
gasan semak dan pepohonan. Bukan jalan seta-
pak, melainkan sebuah tempat yang cukup la-
pang. Di atas sana, tak ada gerombolan awan hi-
tam sehingga rembulan dengan leluasa meman-
carkan sinar teduhnya.
"Manusia satu ini memang aneh, tetapi
memiliki ilmu tinggi walaupun seimbang dengan-
ku!" geramnya dalam hati. "Aku tak pernah mengerti bagaimana dia bisa mendekam
di sana terus menerus! Mungkin kalau mau makan sama
buang air saja dia keluar! Tapi... huh! Bisa jadi dia juga buang air di tempat
itu! Sungguh menji-jikkan!"
"Kau tak buka suara! Dua tarikan napas
kau tak mengatakan sebab-sebab mengundangku
ke tempat celaka ini, kau akan mendapatkan se-
suatu yang tak menyenangkan karena telah ba-
nyak membuang waktuku!"
"Kampret!" maki si nenek dalam hati. Lalu memaki, "Apakah kau sudah merasa hebat
dapat mengalahkanku"!"
"Mematahkan tulang di tubuhmu bukanlah
hal yang sulit! Waktumu tinggal satu tarikan na-
pas lagi!"
Kembali si nenek menggeram. Sorot ma-
tanya tajam pada keranjang yang bergerak-gerak
itu. Sambil menindih kegeramannya dia berseru,
"Kau pernah mendengar sebuah tempat
bernama Istana Gerbang Merah"!"
"Kecuali orang tuli, tentunya tak akan per-
nah mendengar Istana Gerbang Merah!" sahut
orang di dalam keranjang yang tak kelihatan so-
soknya. "Bagus! Kuberikan kau emas permata yang
banyak jumlahnya bila kau mau membantuku
menghancurkan Istana Gerbang Merah!" seru Sekar Sengkuni lagi. Dia tetap
berusaha untuk me-
lihat sosok orang di dalam keranjang. Berpuluh
tahun dia hanya bisa bercakap-cakap dengan ke-
ranjang itu saja tanpa mengetahui wujud orang
yang mendekam di dalamnya.
"Huh! Tawaran yang cukup menggiurkan!
Sekar Sengkuni, apakah kau memang ingin
menghancurkan Istana Gerbang Merah, atau
menghancurkan Resi Tala Kangkang!"
"Jangan banyak mulut!"
"Bila saja kau masih muda, tubuhmu ma-
sih montok seperti aku pertama kali mengenalmu
dulu, aku akan meminta tubuhmu sebagai imba-
lan!" Walaupun kedua gendang telinganya memerah mendengar ucapan orang dalam
keran- jang, Sekar Sengkuni terkikik, mirip kuntilanak di siang bolong.
"Sampai hari ini aku belum pernah melihat
tampangmu! Apakah memang tampan seperti seo-
rang pangeran atau tak lebih dari kodok belaka!
Bila kau bertampang seorang pangeran, melaya-
nimu siang malam bukanlah suatu masalah! Te-
tapi bila kau tak lebih dari kodok buduk, lebih
baik kau kubur keinginanmu itu dalam-dalam...."
Wuuuttt!! Keranjang itu tiba-tiba melesat ke arah si
nenek yang masih terkikik. Gemuruh angin ter-
dengar dan mendahului lesatan keranjang itu.
Si nenek memutus kikikannya seraya do-
rong kedua tangannya ke depan.
Plak! Plak!! Keranjang itu terpental kembali ke bela-
kang setelah membentur kedua telapak tangan si
nenek berpakaian hijau. Berputar di udara dua
kali dan jatuh kembali di atas tanah dengan sua-
ra cukup keras. Di seberang Sekar Sengkuni ha-
rus surut tiga langkah.
"Keparat busuk!" geramnya sengit.
"Kau tetap memiliki ilmu yang lumayan!
Hanya sayang, kau tak berani datang ke Istana
Gerbang Merah sendiri!"
"Buntet busuk! Tanpa bantuanmu aku
sanggup menghancurkan Istana Gerbang Merah,
menghancurkan Resi Tala Kangkang yang ber-
diam di sana! Tetapi...."
"Kau tak sanggup untuk membunuh lelaki
yang telah menyakiti hatimu itu, tetapi masih kau cintai!" "Setan!!" bentak
Sekar Sengkuni seraya mendorong tangan kanan kirinya.
Menggebrak dua gelombang angin yang
menyeret tanah dan ranggasan semak ke arah
orang dalam keranjang. Belum mengenai sasa-
rannya, keranjang itu telah melambung ke atas.
Bahkan berpentalan di udara tanpa menyentuh
bumi. Sekar Sengkuni sudah mencelat memburu
diiringi teriakan tertahan, "Jangan kau ingatkan aku lagi pada masa laluku!
Manusia itu harus
mampus kubunuh!!"
"Kau tak mampu melakukannya karena
kau masih mencintainya, Sekar Sengkuni!" seru orang dalam keranjang yang terus
melambung-lambung. "Itulah sebabnya kau mengajakku, agar aku yang membunuh Resi
Tala Kangkang!"
Mendadak saja keranjang itu meluncur de-
ras, bertepatan dengan Sekar Sengkuni yang me-
lompat sambil mendorong kedua tangannya.
Buk! Buk! Keranjang itu terpental lebih ke atas se-
mentara Sekar Sengkuni melompat ke bawah. Ke-
dua kakinya agak goyah ketika hinggap di atas
tanah. Karena benturan yang cukup keras itu, si
nenek tak mampu mengendalikan keseimbangan-
nya. Dia ambruk di atas tanah.
Berjarak dua belas langkah dari tempat-
nya, keranjang itu jatuh di atas tanah. Terdengar suara orang muntah di
dalamnya. "Orang mengenal kita sebagai sahabat, te-
tapi kita kerap selalu bertentangan!" desis Sekar Sengkuni yang masih berlutut
di atas tanah. Ditarik napasnya sedikit, ditahannya di dalam perut
seiring dikerahkan tenaga dalamnya.
Sementara si nenek berpakaian hijau yang
pada hidungnya terdapat sebuah anting ini perla-
han-lahan berdiri, orang dalam keranjang berse-
ru, "Kau betul! Kita memang selalu bertentangan!
Tetapi... hahaha... itulah salah satu keanehan ca-ra bersahabat yang kita
lakukan!" Sekar Sengkuni tertawa pula. "Bagaimana
dengan usulku tadi" Kita sama-sama menghan-
curkan istana Gerbang Merah!"
"Kau rupanya masih mendendam pada Resi
Tala Kangkang! Hampir tiga puluh lima tahun su-
dah berlalu, tetapi dendammu tetap utuh pa-
danya!" Paras Sekar Sengkuni mengelam. Ingatan-
nya tiba pada peristiwa tiga puluh lima tahun la-lu, di mana dulu dia bersahabat
erat dengan Tala Kangkang yang belum mendapat julukan sebagai
seorang resi. Persahabatan yang terbina itu ter-
nyata membuahkan benih-benih cinta di hati Se-
kar Sengkuni. Sayang, dia harus memendam cin-
tanya dalam-dalam bahkan berbuah kepedihan.
Karena Tala Kangkang telah mencintai seorang
gadis dari seberang yang bernama Woro Lolo.
Ke mana pun mereka pergi, Woro Lolo sela-
lu berada di samping Tala Kangkang. Sekar Seng-
kuni harus menahan pedih dan kecewanya bila
mengintip Tala Kangkang dan Woro Lolo berme-
sraan. Sekali waktu dia berusaha untuk mening-
galkan Tala Kangkang, sekaligus mengubur cin-
tanya dalam-dalam. Namun hal itu tak kuasa di-
lakukannya, sehingga dibiarkan dirinya ter-
pendam dalam lubang kepedihan.
Kepedihan itu akhirnya menumbuhkan be-
nih cemburu pada Woro Lolo, benih dendam tak
terkira. Hingga pada suatu hari, di saat Tala
Kangkang sedang mencari makanan di sebuah
hutan, Sekar Sengkuni tak mampu menahan diri
lagi. Diputuskan untuk membunuh Woro Lolo
yang dianggapnya sebagai penghalang dari cinta-
nya. Dan telah diaturnya sebuah rencana. Bila
Woro Lolo tewas, akan dikatakannya kalau sepe-
ninggal Tala Kangkang dia dan Woro Lolo dis-
erang oleh gerombolan.
Woro Lolo sendiri bukanlah gadis yang tak
berilmu, walaupun dia harus menderita kekala-
han dari Sekar Sengkuni. Saat Sekar Sengkuni
hendak menurunkan tangan kematiannya, Tala
Kangkang muncul yang segera menghalanginya.
Perasaan kacau-balau berpadu di hati Se-
kar Sengkuni. Malu, gelisah, dendam, amarah
berpilin geram. Terutama ketika mendengar ben-
takan marah dari Tala Kangkang. Diserangnya
Tala Kangkang penuh kebencian tinggi seraya me-
lontarkan isi hatinya.
Tala Kangkang yang marah melihat gadis
yang dicintainya dilukai Sekar Sengkuni seolah
telah berubah menjadi seseorang yang mengang-
gap Sekar Sengkuni sebagai musuh. Pertarungan
keduanya terjadi, sementara Woro Lolo berteriak-
teriak agar pertarungan dihentikan.
Tetapi keduanya telah dibuncah amarah,
terutama Sekar Sengkuni yang malu luar biasa.
Pertarungan itu dimenangkan oleh Tala Kangkang
dan berhasil melukai Sekar Sengkuni yang kemu-
dian berlalu dengan sejuta kelaraan di hatinya.
"Buntet Kalamangsang! Sebelum kudengar
Tala Kangkang mampus, dendamku tak akan
pernah sirna! Berpuluh tahun kulacak jejaknya,
hingga kudengar tentang Istana Gerbang Merah di
mana Tala Kangkang telah membangun dan men-
duduki tempat itu!" seru si nenek dengan kedua tangan mengepal. Sepasang
rahangnya mengeras.
Kedua pipinya yang telah peot menggembung.
"Aku harus membunuhnya!!"
Orang dalam keranjang berseru, "Kita juga
sama-sama mendengar kalau kemudian Woro Lo-
lo yang bernama asli Mayang Kinanti telah kem-
bali ke asalnya di Pulau Andalas! Berarti, dia tak pernah menikah dengan Tala
Kangkang!"
"Peduli setan dengan semua itu!"
"Seharusnya yang kau bunuh adalah Woro
Lolo!" "Berulang kali aku berusaha untuk membunuhnya, tetapi berulang kali pula
selalu diga- galkan oleh Tala Kangkang! Orang dalam keran-
jang, tak perlu kita berbicara lebar akan semua
ini! Sebaiknya kita segera menuju ke Istana Ger-
bang Merah!"
"Tunggu! Aku ingin melihat upah yang kau
janjikan"!"
Sekar Sengkuni tertawa keras, tawa yang
sekaligus mengandung amarah pada Resi Tala
Kangkang. "Sudah tentu aku tak akan bertindak bo-
doh, Buntet! Upahmu akan kuberikan bila kau te-
lah membunuh Tala Kangkang! Tetapi untuk
membuktikan kebenaran ucapanku...."
Memutus kata-katanya, Sekar Sengkuni
menghembuskan napas keras ke semak belukar
di sebelah kanannya. Hembusan napas yang dila-
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukan secara menyentak itu berubah menjadi
gemuruh angin dan....
Blaaarrr!! Semak belukar itu tercabut paksa dan
memburai. Terlihat tumpukan emas batangan
yang berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan.
Keranjang itu tiba-tiba melesat ke sana.
"Kau tak akan bisa mengambilnya karena
emas-emas yang kujarah dari seorang juragan
kaya di sebuah desa, telah kulumuri racun! Bila
kau ingin mampus, kau dapat mengambilnya se-
karang!" "Terkutuk!" seru orang dalam keranjang seraya melayang kembali ke tempat semula.
Sekar Sengkuni tertawa keras.
"Sebelum menuju ke Istana Gerbang Me-
rah, masih ada seorang lagi yang hendak kubu-
nuh!" Orang dalam keranjang menyahut geram,
"Siapa"!"
"Raja Naga!"
Sesaat tak terdengar suara dari keranjang
itu. Setelah beberapa saat, Buntet Kalamangsang
berseru, "Ya! Bagus! Itu gagasan yang sangat bagus! Pemuda dari Lembah Naga itu
memiliki pen- dengaran dan penciuman yang tajam! Dia seperti
tahu tindakan yang akan dilakukan oleh orang-
orang golongan kita!"
Sekar Sengkuni tersenyum licik.
"Aku ingin membunuhnya bukan karena
dia kuanggap sebagai penghalang! Tetapi...."
"Mengapa kau memutus kata-katamu.
hah"!" Sekar Sengkuni tak segera angkat bicara.
Setelah terdiam barulah dia berkata, "Apakah kau tidak pernah mendengar kalau
pemuda itu memiliki Gumpalan Daun Lontar yang sangat dahsyat"
Pemuda yang julukannya melesat naik setelah
berhasil membunuh Hantu Menara Berkabut itu,
akan kujadikan budakku bila Gumpalan Daun
Lontar telah kudapatkan!"
"Bagus!"
Sekar Sengkuni tak bersuara, Dia terse-
nyum dan berkata dalam hati, "Kau memang
dungu! Sangat dungu! Begitu mudah kukendali-
kan hanya dengan emas batangan yang sebenar-
nya hanyalah bayangan yang kupergunakan den-
gan ilmu 'Muslihat Mata Bayangan'. Sudah tentu
emas hasil jarahanku di sebuah desa tak akan
pernah kuberikan padamu...."
Keranjang di hadapannya bergetar sedikit,
menyusul terdengar suara, "Raja Naga adalah pemuda keparat yang selalu
mengacaukan sepak
terjang orang-orang seperti kita! Ya! Tanpa kau
inginkan pun aku telah berniat untuk membunuh
pemuda keparat itu! Karena biar bagaimanapun
juga... aku punya hubungan dengan Hantu Mena-
ra Berkabut!"
"Astaga naga!" seru Sekar Sengkuni sambil tertawa. "Kau punya hubungan dengan
Hantu Menara Berkabut" Keranjang busuk itu telah
mengubahmu menjadi orang dungu! Apakah den-
gan bicara seperti itu kau menganggap orang-
orang akan jeri padamu"!"
"Setan terkutuk!" geram orang dalam keranjang. "Pemuda bersisik coklat itu
memang harus diperhitungkan pula! Karena seperti biasanya, dia seperti mencium
keonaran yang akan terjadi!"
Sekar Sengkuni berseru geram, "Kita tidak
sedang membuat keonaran! Membunuh Resi Tala
Kangkang sekaligus menghancurkan Istana Ger-
bang Merah, adalah sebuah kebajikan! Karena...
dia tentunya akan mencari korban perempuan-
perempuan lain!"
"Seperti dirimu?"
"Setan!!" maki si nenek geram. Parasnya mengkelap. Tetapi kali ini dia tidak
lontarkan serangan. "Setelah Woro Lolo kembali ke Pulau Andalas, tentunya lelaki
celaka itu akan mencari
korban baru!"
Orang dalam keranjang tertawa.
"Apakah karena itu kau hendak membu-
nuhnya atau itu cuma sebuah...."
"Tutup mulutmu! Apakah kau tak pernah
berpikir...."
"Aku tak mau memikirkan soal Resi Tala
Kangkang!" kali ini orang dalam keranjang yang memutus seruan si nenek.
Sekar Sengkuni tertawa keras. Kepuasan
membayang di wajah keriputnya.
"Kau akan melihat apa yang akan kulaku-
kan terhadapnya!!"
Orang dalam keranjang itu membatin, "Pe-
rempuan keparat ini memang berotak licik! Dia
masih terbawa dendam karena ditolak oleh Resi
Tata Kangkang! Aku yakin, setelah berhasil mem-
bunuh Resi Tala Kangkang, dia tak akan segan-
segan menyeberang ke Pulau Andalas untuk
mencari Woro Lolo!"
Sekar Sengkuni berkata seraya menghem-
buskan napasnya keras-keras, "Kita berangkat sekarang!"
Belum habis terdengar ucapannya, si ne-
nek beranting di hidungnya sudah melesat ke
arah barat. Orang dalam keranjang menggeram dalam
hati, "Kau boleh menghinaku sekarang! Tapi kelak... kau akan mendapatkan balasan
dari perbu- atanmu itu!"
Keranjang itu bergerak cepat, tetapi terhen-
ti lagi. Bergerak sedikit ke arah semak di mana
emas batangan yang dilihatnya berada di sana.
Menyusul makiannya terdengar keras, "Se-
tan alas! Bila saja emas-emas batangan itu tidak dilumuri racun, sudah tentu
kuambil sekarang
dan berlalu dari sini tanpa menjalankan apa yang diinginkannya! Terkutuk!"
Sambil memaki-maki tak karuan, Buntet
Kalamangsang yang tidak ketahuan seperti apa
wujudnya sudah bergerak. Yang terlihat hanyalah
sebuah keranjang yang berlompat-lompat.
Lima kejapan mata dari perginya Buntet
Kalamangsang menyusul Sekar Sengkuni, emas-
emas batangan yang dilihatnya tadi tiba-tiba
menguap. Bersama angin yang berhembus, emas-
emas batangan itu lenyap sama sekali.
DUA HAMPARAN pagi telah menaungi alam. Bu-
tiran embun belum sepenuhnya mengering kare-
na matahari masih menampakkan bias-biasnya
saja. Udara masih berhembus dingin, masih
membuat orang lebih suka mendekam di balik se-
limutnya atau lebih erat mendekap pasangan ti-
durnya. Tetapi di desa itu keramaian telah terjadi.
Orang-orang berkumpul di depan sebuah rumah
besar yang berhalaman luas. Dari dalam rumah
itu terdengar isakan seorang perempuan yang
berlutut di hadapan satu sosok tubuh yang ditu-
tupi sehelai kain putih.
Orang-orang yang berkumpul di depan ru-
mah itu tidak bisa masuk karena dihadang dua
lelaki gagah dengan senjata tombak ramai berse-
ru-seru. Mereka nampaknya tidak puas untuk
melihat keadaan di dalam rumah.
"Maafkan Kami...," kata salah seorang yang menjaga di depan pintu halaman.
"Bukan kami hendak melarang kalian masuk, tetapi di dalam
telah sesak dengan orang."
"Kami ingin melihat keadaan Juragan!" se-ru salah seorang dari yang berkerumun.
"Ya! Kami ingin tahu siapa yang telah
membunuhnya"!"
Penjaga yang tadi berkata melirik teman-
nya, seperti meminta pendapat. Setelah melihat
temannya mengangguk dia berkata, "Semalam,
seseorang berpakaian hijau telah menyelinap ma-
suk ke rumah ini. Membunuh beberapa orang
penjaga. Juga membunuh Juragan Purna Setyo.
Juragan Putri selamat karena semalam dia tidur
di kamar Nimas Ken Fitria."
Kata-kata si penjaga mengobarkan amarah
di dada para penduduk yang berkerumun. Mereka
tak pernah menerima keadaan itu karena selama
ini Juragan Purna Setyo selalu memperhatikan
keadaan mereka. Saat itu pula orang yang tadi
buka mulut memerintahkan beberapa orang un-
tuk segera melacak si pembunuh.
Di antara salah seorang yang berkerumun
ini, nampak satu sosok tubuh ramping berparas
jelita. Sejak tadi gadis berusia sekitar tujuh belas tahun ini hanya terdiam,
tetapi menguping apa
yang telah terjadi.
"Seseorang berpakaian hijau" Siapa dia"'
tanyanya dalam hati. Lalu menyeruak ke depan.
Di hadapan kedua penjaga itu si Jelita berambut
indah ini bertanya, "Apakah ada yang mengenali si pembunuh?"
"Menurut Toha yang masih bisa disela-
matkan, pembunuh itu seorang perempuan tua
yang di hidungnya terdapat sebuah anting," sahut si penjaga setelah memandangi
gadis berpakaian
merah muda itu beberapa saat.
"Ketika terjadi kejadian itu, kalian berada di mana?"
Pertanyaan si gadis membuat wajah kedua
penjaga itu memerah. Dengan kata lain, si gadis
seperti menyelidik keberadaan mereka. Penjaga
yang berdiri di sebelah kanan menyahut, "Kami sedang berkeliling di luar sekitar
rumah ini. Dan ketika kami kembali, keadaan sudah kacau-balau. Juragan Purna
Setyo telah tewas."
"Ke mana si pembunuh itu pergi?" tanya si gadis seperti tidak puas.
Lagi kedua penjaga itu tak segera menja-
wab. Dalam keadaan seperti ini, mereka agak
jengkel karena didesak oleh pertanyaan-
pertanyaan si gadis.
Tindakan gadis berpakaian merah muda
itu tak luput dari sepasang mata yang berdiri di antara kerumunan itu di sebelah
kanan. Dan... Astaga! Sepasang mata itu bersorot angker, men-
gerikan dan mampu membuat orang putus nyali.
Si pemilik mata angker yang mengenakan rompi
berwarna ungu ini membatin, "Dari pertanyaan yang diajukan gadis itu, nampaknya
dia mencuri-gai sesuatu. Atau mungkin... dia mengenal si
pembunuh?"
Saat ini salah seorang penjaga sedang
menjawab pertanyaan si gadis, "Tak ada yang melihat ke arah mana si pembunuh
pergi. Setelah menjarah emas batangan simpanan Juragan Pur-
na Setyo, dia lenyap begitu saja."
Si gadis tampaknya tidak puas dengan ja-
waban itu. Tetapi dia urung melontarkan perta-
nyaannya lagi, karena orang-orang yang berke-
rumun sudah mendesak masuk. Buru-buru si
gadis menyingkir termasuk kedua penjaga itu,
yang mau tak mau membiarkan para penduduk
yang ingin melihat keadaan Juragan Purna Setyo.
Gadis berpakaian merah muda itu segera
menyingkir, lalu berlari dengan gerakan yang
mengagumkan. Pemuda bermata angker yang sejak tadi
memperhatikannya, segera menyusul ke mana
perginya si gadis. Dijaga jaraknya agar tidak sampai memancing perhatian si
gadis. Di sebuah tempat yang dipenuhi pepoho-
nan dan agak jauh dari desa itu, si gadis beram-
but indah menghentikan larinya. Tak ada napas
terengah yang terdengar. Dada busungnya tetap
bergerak, seirama napasnya yang tenang.
"Perempuan tua berpakaian hijau.... Me-
makai anting pada hidungnya.... Hemm... apakah
memang dia yang melakukannya?" desisnya pelan seraya memperhatikan
sekelilingnya. Saat ini matahari mulai menampakkan ca-
hayanya, menerangi tempat itu. Untuk beberapa
lama si gadis terdiam seraya menarik-narik hi-
dung mancungnya.
"Guru memerintahkanku untuk melacak
jejak perempuan tua yang berciri seperti si pem-
bunuh. Guru tak pernah mengatakan padaku
mengapa dia menyuruhku melakukan tindakan
ini. Setelah aku mengetahui di mana dia berada,
Guru menyuruhku untuk kembali ke Istana Ger-
bang Merah. Ah... apakah...."
Seraya memutus desisannya, si gadis me-
malingkan kepalanya ke samping kanan. Menyu-
sul bentakannya yang menggema, "Rupanya ada manusia iseng yang mencuri dengar
seperti maling kesiangan!!"
Wuuutttt!! Gelombang angin menggebrak setelah tan-
gan kanannya dikibaskan!
Blaaarrr!! Sebuah pohon yang ditujunya terhantam
hingga bergetar. Dedaunannya kontan bergugu-
ran. Di lain saat pohon itu berderak dan patah di bagian tengah. Jatuh berdebam
menindih semak belukar di belakangnya.
Secepat kilat si gadis memburu ke sana.
Tetapi tak ditemukannya siapa pun juga. Justru
satu suara terdengar di belakangnya,
"Ketelengasan yang kau lakukan dapat
mencelakakan orang lain! Apakah tak ada tinda-
kan yang lebih baik seperti yang kau lakukan ba-
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rusan"!"
Seketika si gadis memutar tubuhnya. Dili-
hatnya satu sosok tubuh gagah berompi ungu
yang memperlihatkan dada bidang dipenuhi otot,
telah berdiri berjarak dua belas langkah dari tempatnya. Kemarahan segera naik
ke ubun-ubun si
gadis. Dia hampir saja melontarkan bentakan ke-
ras, tetapi urung dilakukannya.
* * * "Astaga!" desisnya dengan mata melebar.
"Tatapannya... gila! Tatapannya sangat mengerikan!" Tanpa disadarinya dadanya
sedikit berdebar. "Dan tadi... aku sama sekali tak melihat gerakannya
menghindari seranganku. Hemm... ten-
tunya pemuda ini bukan orang sembarangan. Aku
harus bersiap bila dia bermaksud buruk!"
Pemuda berkuncir kuda itu masih terse-
nyum. Lalu menggaruk kepalanya yang sedikit
gatal. Saat menggaruk itu terlihat sisik-sisik coklat sebatas siku memenuhi
tangan kanannya. Si-
sik yang sama pun terdapat di tangan kirinya.
"Tak ada maksudku untuk bersikap seperti
maling kesiangan!" katanya lembut. "Hanya rasa penasaranlah yang membuatku
bertindak seperti
ini!" Gadis berpakaian merah muda itu tak bu-ka suara. Masih dipandanginya wajah
tampan di hadapannya. "Tatapannya benar-benar mengerikan. Dan
kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik cok-
lat. Hemm... siapa pemuda yang bersikap sopan
tetapi telah berlaku seperti maling kesiangan ini?"
gumamnya dalam hati.
Seraya mengangkat dagunya sedikit hingga
memperlihatkan leher jenjang yang indah, si gadis berseru, "Aku tak suka mencari
silang sengketa!
Sebelum keadaan ini berubah menuju ke sana,
sebaiknya tinggalkan tempat ini!"
Pemuda gagah itu masih tersenyum.
"Kukatakan tadi, karena rasa penasaran
itulah yang membuatku mengikutimu...."
"Mengikutiku" Brengsek! Tentunya dia te-
lah mengikutiku dari rumah mendiang Juragan
Purna Setyo! Hebat, mengapa aku baru tahu ke-
hadirannya di sini!" kata si gadis dalam hati. Masih mengangkat dagunya dan kali
ini kedua tan- gannya mengepal dia berseru,
"Aku bukanlah orang yang tepat untuk di-
jadikan sebagai tempat penumpahan rasa pena-
saran! Tetapi aku bukan pula orang yang suka
membiarkan orang lain penasaran! Apa yang me-
nyebabkanmu penasaran seperti itu"!"
"Pertanyaan-pertanyaan yang kau lontar-
kan pada kedua penjaga Juragan Purna Setyo!"
sahut si pemuda. "Dari pertanyaan-pertanyaan.
yang kau lontarkan, kau nampaknya mengetahui
sesuatu! Bahkan aku menduga, kau mengenal
siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!"
Si gadis tak menjawab. Matanya meman-
dang tak berkedip pada si pemuda, yang kemu-
dian dikerjap-kerjapkannya karena tak mampu
menatap lebih lama.
"Biar kau tidak penasaran kujawab kata-
katamu! Ya, dari ciri-ciri yang dikatakan kedua
penjaga itu, aku seperti mengenali siapa pembu-
nuh Juragan Purna Setyo!"
"Apakah kau keberatan untuk mengata-
kannya padaku?"
"Kau terlalu lancang, terlalu banyak ingin
tahu urusan orang!"
"Karena masih ada rasa penasaran di hati-
ku!" "Brengsek! Dia begitu tenang sekali," geram si gadis dalam hati. Kemudian
berkata, "Aku mengatakan, seperti mengenali pembunuh itu, tetapi belum pasti
benar apa yang kukatakan! Dia
seorang nenek yang bernama Sekar Sengkuni!"
"Bila kau menduga seperti itu, berarti kau
mengenal siapa Sekar Sengkuni!"
Si gadis menggeleng. Rambut indahnya
bergerak manja.
"Tidak! Jangankan mengenalnya, melihat-
nya pun tidak pernah!" sahutnya.
"Kalau begitu... kau tentunya sedeng men-
cari perempuan tua Itu, bukan?"
"Kau terlalu lancang bertanya!"
"Penasaranlah yang...."
"Kurang ajar!!" si gadis tiba-tiba mendorong tangan kanan kirinya secara
bersamaan, lalu menyentak ke atas. Dua gelombang angin yang ke-
luar dari dorongan kedua tangannya menderu ke-
ras, lalu bertemu, berpilin menjadi satu dan tiba-tiba menyentak ke atas!
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku itu hanya menjerengkan ma-
tanya. Lalu melirik ke atas. Dilihatnya gelombang angin deras yang berpilin
menjadi satu tiba-tiba meluruk turun dengan suara berdenging-denging.
"Hebat!" desisnya dalam hati. Mendadak dia mendehem cukup keras.
Blaaaammm!! Luruhan angin deras itu tiba-tiba putus di
tengah jalan seperti tertabrak satu tenaga yang
tak nampak. Lalu menyebar dan membuat rang-
gasan semak hangus!
Sampai surut satu langkah si gadis melihat
apa yang dilakukan si pemuda.
"Gila! Hebat sekali! Sungguh hebat!" desisnya tanpa dapat menutupi kekagumannya.
Tetapi di lain saat dia sudah menggeram dengan wajah
mengkelap, "Pemuda bersisik! Jangan-jangan...
kau adalah orang Sekar Sengkuni!"
Si pemuda menggeleng.
"Tidak! Seperti dirimu, aku juga tidak per-
nah mengenal siapa Sekar Sengkuni! Tetapi sung-
guh, aku penasaran ingin mengenalnya! Dia ha-
rus mendapat hukuman atas perbuatan yang di-
lakukannya! Karena aku menduga, dia tak akan
sekali itu saja membunuh dan menjarah harta
orang!" "Sombong!"
Si pemuda hanya tersenyum. Yang dikata-
kannya tadi hanyalah ingin mengetahui akan si-
kap si gadis tentang perempuan tua bernama Se-
kar Sengkuni. "Dari sikapnya, gadis ini nampaknya begitu
muak pada orang bernama Sekar Sengkuni. Aku
tidak tahu apa yang menyebabkannya demikian.
Tetapi tak mustahil dia akan mencari perempuan
tua itu, entah untuk apa," kata si pemuda dalam hati. Lalu berkata, "Namaku Boma
Paksi...."
"Siapa sudi mengetahui namamu, hah"!"
seru si gadis. "Berarti kau keberatan untuk menye-
butkan namamu, bukan?"
"Aku bukan hanya keberatan untuk mela-
kukannya, tetapi juga berjanji tak akan berjumpa lagi denganmu!"
"Bagiku bukanlah sebuah masalah besar.
Sebelum kita berpisah, masih ada yang ingin ku-
tanyakan padamu!" kata Boma Paksi alias Raja Naga sambil tersenyum.
Si gadis sudah menyambar, "Karena rasa
penasaranmu lagi"!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tertawa
mendengar kata-kata si gadis.
"Mungkin, mungkin karena rasa penasa-
ranku! Mengapa kau mencari si pembunuh itu?"
"Itu urusanku!"
"Betul, betul sekali! Itu memang urusan-
mu!" "Tak ada lagi yang perlu ditanyakan!" seru si gadis sambil berbalik dan
melangkah bergegas.
Raja Naga tersenyum.
"O ya! Bagaimana bila aku berjumpa den-
gan pembunuh itu, lalu kukatakan kalau kau
mencarinya?"
"Katakan padanya, kalau aku, Galuh Tantri
datang mencarinya!!" seru si gadis yang tiba-tiba berhenti melangkah. Kepalanya
menegak. "Keparat! Dia menjebakku hingga kusebutkan nama-
ku!" geramnya.
Kejap itu pula dia berbalik dan siap mema-
ki. Tetapi pemuda bersorot mata angker itu sudah tidak ada di tempatnya.
"Brengsek! Brengsek!!" geramnya sambil menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah
hingga mengepul ke udara dan membentuk sebuah lu-
bang. Kejengkelan masih membias di wajahnya
sampai kemudian dia tersenyum sendiri.
"Ih! Ternyata pemuda itu cukup pintar! Dia
dapat mengorek keterangan tanpa kusadari!
Brengsek! Tetapi... wajahnya tampan sekali, wa-
laupun matanya bersorot angker. Biarpun berso-
rot angker, dia bukanlah orang golongan sesat.
Dan ilmunya sangat tinggi. Dia dapat mematah-
kan seranganku hanya dengan... ampun! Kenapa
aku jadi memikirkan dia"!"
Walaupun jengkel dengan apa yang dipi-
kirkannya, tetapi wajah dara jelita bernama Ga-
luh Tantri ini memerah.
"Brengsek! Aku tidak mau lagi bertemu
dengan pemuda bersisik coklat pada lengan ka-
nan kirinya!" desisnya lagi. Setelah terdiam beberapa saat, gadis ini segera
meninggalkan tempat
itu, berlawanan arah dengan yang ditempuh Raja
Naga. Tetapi herannya, wajah tampan dan sikap
konyol pemuda berompi ungu itu masih mem-
bayang di benaknya.
TIGA PEREMPUAN setengah baya berpakaian
putih itu menghentikan langkahnya di sebuah da-
taran rendah. Tak jauh dari tempatnya berdiri sebuah bukit karang. Di kejauhan
sana, bayangan beberapa ekor burung melayang bermandikan
matahari senja.
Perempuan ini menikmati keindahan itu
beberapa saat. Sisa-sisa kecantikannya masih
terbayang. Sepasang alisnya tebal dengan bulu
mata lentik dan sepasang mata bersorot teduh.
Sepasang payudaranya masih membusung ken-
cang. Sebuah tahi lalat kecil pada dagu kirinya menambah bias-bias sisa
kecantikannya. "Tala Kangkang... di mana kau?" desisnya seraya menundukkan kepala. Kali ini
terlihat wajahnya dipenuhi kerinduan dalam. "Siang malam tak pernah kulupakan
dirimu. Siang malam selalu kurindui dirimu. Ah, apakah kau masih memi-
liki perasaan yang sama seperti diriku?"
Pelan-pelan perempuan ini mengangkat
kepalanya. Mata indahnya dibaluri kerinduan
yang sangat. "Berpuluh tahun aku kembali ke tanah ke-
lahiranku untuk melupakan segala yang pernah
terjadi. Tetapi aku tak pernah bisa melupakan-
nya...." Perempuan yang ternyata Woro Lolo atau yang bernama asli Mayang Kinanti
ini menarik napas pendek. Keputusan yang pernah diambil-
nya tiga puluh lima tahun lalu ternyata merupa-
kan keputusan yang menyiksa seluruh hidupnya.
Diputuskan untuk meninggalkan Tala
Kangkang, orang yang sangat dicintainya karena
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang. Kala itu Woro Lolo merasa sangat bersalah, karena dengan mencintai dan
mendapatkan cinta
Tala Kangkang, berarti dia telah mengorbankan
perasaan Sekar Sengkuni, terutama semenjak dia
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang. Saat itu Woro Lolo merasa kalau dia telah memusnahkan hubungan baik antara
Sekar Sengkuni dan Tala Kangkang, hingga diambilnya
sebuah keputusan yang menyesakkan dadanya.
Tala Kangkang berusaha menahannya, berusaha
menjelaskan keadaan. Selama ini Sekar Sengkuni
hanya dianggap sebagai sahabatnya belaka, tak
ada benih cinta yang bersemayam dan tumbuh
menjadi besar. Tetapi sebagai sesama wanita, Woro Lolo
dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Se-
kar Sengkuni. Bahkan dimakluminya ketika bebe-
rapa kali Sekar Sengkuni berusaha membunuh-
nya. Hal itulah yang membuatnya bersikeras un-
tuk kembali ke Pulau Andalas, menghentikan jiwa
petualang yang dimilikinya.
Dipikirnya setelah tiba di tanah kelahiran-
nya, dia dapat mengubur seluruh masa lalunya.
Tetapi ternyata tak semudah yang diperkirakan-
nya. Benih cintanya semakin tumbuh. Kerin-
duannya semakin mendesak. Dicoba melupakan-
nya dengan jalan memperdalam ilmunya dan
menciptakan jurus-jurus baru. Tetapi kerinduan-
nya semakin bergelora.
Setelah bertahan tiga puluh tahun lebih
lamanya, Woro Lolo akhirnya memutuskan untuk
kembali ke tanah Jawa, untuk mencari Tala
Kangkang. Dia tidak tahu, apakah Tala Kangkang
memang akhirnya menikah dengan Sekar Seng-
kuni, atau justru dengan orang lain.
Perempuan berpakaian putih bersih ini
mendesah pendek, mengingat kalau dirinya be-
lum menikah hingga saat ini.
Senja terus menurun. Woro Lolo memu-
tuskan untuk meneruskan langkahnya seraya
mencari keterangan di manakah Tala Kangkang
tinggal.
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi harinya dia mampir di sebuah kedai
untuk mengisi perut. Tak jauh darinya tiga orang lelaki sedang bercakap-cakap
sambil memegang
beberapa helai baju.
"Orang-orang Istana Gerbang Merah me-
mang baik! Kalau tiga hari lalu dia memberi kita makanan, kali ini pakaian!"
sahut yang bertubuh gemuk sambil mengunyah nasi kebuli di hadapannya. Porsinya
lebih banyak dari dua orang te-
mannya. Baju baru yang dipegangnya diletakkan
di sisi kanannya.
"Betul! Tetapi hingga saat ini, kita belum
pernah melihat siapa orang yang memimpin Ista-
na Gerbang Merah kecuali mendengar namanya
saja!" sahut yang bertubuh kerempeng. Mulutnya penuh dengan nasi dan sedikit
berhamburan ke arah si Gemuk. Si Gemuk melotot yang disambut dengan
tawa oleh si Kerempeng.
Yang bertubuh sedang berkata, "Aku ingin
suatu hari kita mendatangi istana Gerbang Me-
rah. Aku ingin mengucapkan terima kasih lang-
sung pada Resi Tala Kangkang...."
Woro Lolo yang sebenarnya tak begitu ber-
nafsu untuk menikmati sarapan paginya, mene-
gakkan kepala ketika mendengar nama itu dis-
ebutkan. "Resi Tala Kangkang" Apakah... dia orang
yang kurindukan?" tanyanya dalam hati. Tanpa sadar dadanya berdebar dan
ditajamkan telin-
ganya untuk mendengar percakapan itu lebih lan-
jut "Aku juga begitu," kata si Kerempeng.
Woro Lolo makin tak berselera untuk
menghabisi hidangannya. Setelah membayar dia
melangkah mendekati ketiga orang itu. Sudah
tentu kedatangannya mengejutkan mereka. Tetapi
pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang
ramah. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilon-
tarkan perempuan setengah baya itu mereka ja-
wab penuh kegembiraan.
Merasa keterangan yang didapatkannya
sudah cukup, Wore Lolo segera meninggalkan
orang-orang itu yang menatap kepergiannya den-
gan terkagum-kagum.
"Hebat! Ku taksir perempuan itu berusia
lebih dari setengah abad," kata si Gemuk. "Tapi wajahnya... amboi! Masih
cantik!" "Hei, hei! Kalian perhatikan tidak dadanya
tadi?" kata yang bertubuh sedang.
Si Gemuk yang duduk di sampingnya lang-
sung mendorong kening temannya.
"Kebluk! Matamu selalu ke benda keramat
itu saja!" ejeknya. "Apa kau tidak puas dengan dada besar istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku"!"
Temannya mendengus.
"Seharusnya dia jadi istrimu! Dan istrimu
jadi istriku!"
Si Gemuk tertawa.
"Kalau aku dapat istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku itu sudah tidak aneh! Ma-
kanya kucari istri yang bertubuh langsing! Kalau kau mendapatkan istri yang
gemuk itu, ya sudah
rezekimu!"
Si Kerempeng tertawa geli dan berkata,
"Betul! Kau kan bisa menghisap bukit kembarnya yang gede betul!"
Temannya mendengus lagi.
"Brengsek kalian, ah! Sudah, sudah! Ayo
makan! Kita harus segera pulang!"
"Hei! Kau tidak mau ke sawah lagi"!" tanya si Kerempeng.
"Gara-gara dada perempuan itu, aku jadi
ingin membajak sawah istriku saja!"
Ketiganya tertawa bersamaan.
* * * Sambil terus berlari ke arah barat, Woro
Lolo membatin, "Istana Gerbang Merah... Resi Ta-la Kangkang... apakah memang
dia, orang yang
kurindukan siang dan malam?"
Semakin dipikirkan, semakin bertambah
kerinduannya. Rasa tak sabarnya untuk menge-
tahui siapakah Resi Tala Kangkang yang dimak-
sud oleh tiga lelaki di kedai itu, membuatnya untuk terus berlari. Sekejap pun
tak ada niatan untuk menghentikan larinya.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
dari ketiga orang tadi, dia harus menuju ke barat.
Di balik sebuah bukit kapur, di sanalah Istana
Gerbang Merah berada.
Tepat matahari berada di atas kepala, pe-
rempuan berpakaian serba putih ini menghenti-
kan larinya di sebuah jalan setapak. Bukan kare-
na merasa lelah, bukan pula karena memutuskan
untuk beristirahat. Tetapi, berjarak lima betas
langkah di hadapannya telah berdiri seorang ka-
kek bertubuh bongkok yang mengenakan pakaian
merah acak-acakan.
Dari caranya berdiri yang tepat di tengah
jalan, dapat dipastikan kalau si kakek memang
sedang menantinya. Woro Lolo sendiri merasakan
hal itu. Kendati agak sedikit jengkel mengingat
dia harus tiba di Istana Gerbang Merah guna
memuaskan perasaan ingin tahunya, Woro Lolo
tersenyum seraya melangkah.
"Orang tua! Dari tempatmu berdiri nam-
paknya kau sedang menanti seseorang! Apakah
memang demikian adanya?" serunya setelah
memperpendek jarak.
Kakek berjenggot menjuntai itu mengang-
kat kepalanya. Mata celongnya yang berkilat-kilat merah memandang tak berkedip
pada Woro Lolo.
Woro Lolo melihat kalau kedua mata itu sesaat
membelalak. "Astaga naga!" desis si kakek sambil menyeringai lebar. "Sejak dua hari lalu
kutinggalkan Lembah Serigala, baru sekarang kulihat ada perempuan sedemikian
jelita!" Memerah kedua telinga Woro Lolo. Tetapi
perempuan ini tetap tersenyum.
"Saat ini aku sedang terburu-buru, hingga
sudilah kiranya kau memberi jalan padaku...," katanya.
"Jalan di samping kanan kiriku cukup le-
bar, kau dapat melewatinya. Atau... kau memang
ingin melangkah pada tempat di mana aku berdiri
sekarang?"
Woro Lolo paham arti ucapan itu, yang se-
cara tidak langsung mengejeknya
"Baiklah... aku mengambil jalan sebelah ki-
rimu...," katanya sambil melangkah. Kendati bibirnya tersenyum, diam-diam
perempuan dari Pu-
lau Andalas ini bersiaga ketika melewati jalan di sebelah kiri si kakek bongkok.
Mendadak... tap!
Bahu kanannya dijamah dan dipegang erat
oleh si kakek! Woro Lolo menindih kemarahannya. Ham-
pir saja dikibaskan tangan itu. Tetapi karena tak mau membuka urusan, digerakkan
bahunya sedikit. Jamahan tangan si kakek terlepas.
Kontan kakek bongkok itu terbahak-bahak
keras. Debu di sekelilingnya berhamburan.
"Aku menyukai perempuan yang galak!
Dan itu artinya... kau tidak bisa kemana-mana,
sebelum bermain-main denganku!"
Habis ucapannya, tiba-tiba saja si kakek
melesat ke depan. Gerakannya sangat sukar di-
ikuti oleh mata. Hanya karena desiran angin yang mengarah padanya saja Woro Lolo
segera berkelit.
Dan menggerakkan tangannya untuk menahan
tangan kanan si kakek yang mengarah pada se-
pasang bukit kembarnya
Plak! Plak! Woro Lolo surut dua tindak dengan mata
mulai dibiasi amarah, sementara di pihak lain si kakek berpakaian merah compang
camping membuang tubuh ke belakang dan hinggap di atas ta-
nah dengan ringannya
Tawa kerasnya masih terdengar
"Menyenangkan, sangat menyenangkan!
Sebelum kita teruskan main-main ini, aku hen-
dak bertanya padamu!"
Woro Lolo yang mulai dihinggapi rasa ma-
rah karena mendapati sikap kurang ajar si kakek
mendesis dingin, "Aku sendiri baru tiba di tanah Jawa, dan belum mengetahui apa-
apa! Tidak tepat kiranya bila kau hendak menjadikanku seba-
gai tempat bertanya!"
"Tidak tepat sebagai tempat bertanya, bu-
kan urusan penting! Karena yang pasti, kau ada-
lah tempat yang tepat sebagai pemuas nafsuku!!"
Hampir saja Woro Lolo melesat untuk me-
nampar mulut kurang ajar itu. Tetapi masih di-
tindih amarahnya
"Aku tak punya banyak waktu! Mungkin
kelak, akan kulayani keinginanmu untuk ber-
main-main!" serunya sambil berlari kembali.
Tetapi gemuruh angin yang keluarkan sua-
ra berdenging-denging itu membuatnya menghen-
tikan larinya seraya membuang tubuh ke samping
kiri. Blaaaammm!!
Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar
ke udara. Begitu tanah itu luruh, terlihat sebuah lubang yang mengeluarkan asap
berbau busuk. "Kau terlalu memaksa!" geram Woro Lolo
dengan mata menyipit.
Si kakek hanya terbahak-bahak saja.
"Aku ingin kita bermain-main sekarang!
Kau akan berterima kasih bila sudah merasakan
betapa hebatnya aku dalam bercinta!" serunya semakin membuat kegeraman Woro Lolo
memun-cak. "Dan biasanya... setelah puas bercinta, aku suka membunuh lawan
mainku! Jadi... jawab
pertanyaanku sekarang!"
"Keparat! Belum apa-apa aku sudah ber-
temu dengan manusia seperti ini!" geram Woro Lolo dalam hati. "Sebaiknya biar
kudengar dulu apa pertanyaannya, barangkali saja ternyata memang penting
untukku." Di seberang si kakek sudah angkat bicara,
"Tahukah kau di mana Istana Gerbang Merah berada"!" Kepala Woro Lolo sedikit
terangkat. Matanya memicing. Lalu menyahut, "Baru kudengar nama Istana Gerbang
Merah!" "Sayang, sayang sekali...," si kakek menggeleng-geleng.
"Mengapa kau menanyakan tentang Istana
Gerbang Merah"!"
"Percuma kukatakan padamu karena kau
sendiri tidak tahu! Sebaiknya, kita langsung bermain cinta saja! Ayo, buka
pakaianmu!!"
"Terkutuk!!" mengkelap wajah Woro Lolo.
Kedua tangannya mengepal kuat pertanda dia se-
dang berusaha menahan kemarahannya.
Si kakek kali ini terkekeh.
"Ya, ya! Seperti juga kebiasaanku yang lain,
aku selalu membuat orang tidak penasaran!" katanya tiba-tiba. "Aku ingin
menghancurkan Istana Gerbang Merah!"
"Mengapa?" seru Woro Lolo.
"Huh! Manusia keparat yang memiliki Ista-
na Gerbang Merah telah menorehkan sebuah luka
pada diri seorang perempuan tiga puluh lima ta-
hun yang lalu! Dan karena manusia itu pula pe-
rempuan yang kucintai akhirnya lenyap tanpa
bekas!" "Urusanmu adalah sesuatu yang berat!
Kau hendak melampiaskan dendammu dengan
cara yang salah! Apakah...."
"Tutup mulutmu!" hardik si kakek bong-
kok. "Kau tidak tahu betapa sakit hatiku ketika mendengar kata-kata perempuan
yang kucintai! Kalau aku tidak pantas dicintainya, karena aku
tidak seperti lelaki yang dicintanya! Dan kau ta-hu... apa yang dikatakannya
agar dia bisa men-
cintaiku" Aku harus membunuh lelaki keparat
itu!" "Kau semakin banyak membuang waktuku!" Si kakek menggeram sengit. "Aku
telah bersumpah demi langit dan bumi! Tala Kangkang
harus mampus kubunuh! Biar Sekar Sengkuni
utuh menjadi milikku!!"
Sampai mundur tiga tindak Woro Lolo
mendengar ucapan si kakek. Kepalanya menegak
dengan mulut membuka yang memperlihatkan lo-
rong indah di dalamnya
"Astaga!" ucapnya dalam hati dengan dada
berdebar. "Jadi... Istana Gerbang Merah... Resi Tala Kangkang... memang dia...
memang dia orang yang kucintai! Kakek celaka ini telah men-
jelaskan semuanya, Sekar Sengkuni...."
Di seberang si kakek menggeram seraya
menyipitkan matanya, "Perempuan cantik! Kau seperti terkejut! Aku yakin kau
mengetahui sesuatu"!" Woro Lolo tak menjawab.
"Aku mengerti sekarang... sangat menger-
ti... Berarti, niat kakek ini harus kuhalangi..."
Habis membatin begitu perempuan bertahi
lalat di dagu ini berkata, "Sejak anak manusia di-ciptakan, urusan cinta tak
pernah berkesudahan!
Urusan cinta berbaur dendam! Kakek bongkok!
Aku tak ingin melibatkan diri dalam urusanmu!
Tetapi niat busukmu untuk membunuh seseorang
bernama Tata Kangkang jelas-jelas harus dice-
gah!" Kakek bongkok itu mengerutkan keningnya. Sorot matanya penuh kecurigaan.
Beberapa saat kemudian, terdengar desisannya, dingin, "Perempuan cantik! Kau
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembunyikan sesuatu
dariku, sesuatu yang tidak kuketahui dan kau ke-
tahui! Katakan sebelum ku ubah niatku untuk ti-
dak langsung membunuhmu!"
"Berbicaralah selagi kau, masih bisa berbi-
cara seenak perutmu, Kakek celaka!!" seru Woro Lolo dengan kaki sedikit dibuka.
"Perempuan keparat! Mencoba memusliha-
tiku adalah sebuah kebodohan! Keterkejutanmu
kala ku sebutkan nama Tala Kangkang maupun
Sekar Sengkuni membuktikan kalau kau menge-
tahui sesuatu! Atau... jangan-jangan... kaulah
Woro Lolo alias Mayang Kinanti, perempuan cela-
ka yang telah menghancurkan hidup perempuan
yang kucintai"!"
"Tebaklah sesuka hatimu! Kelak kita ber-
temu lagi!"
"Jangan harap kau bisa lari dari tangan-
ku!!" seru si kakek bongkok sambil mendorong tangan kanannya, disusul dengan
dorongan tangan kiri!
EMPAT WORO LOLO yang sudah melangkah harus
membuang tubuh ke samping tatkala gelombang
angin beruntun menggebrak ke arahnya. Baru sa-
ja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dia telah melenting ke depan seraya
mendorong kedua tangannya.
"Kau terlalu memaksa!!"
Wussss! Wusss! Blaaam! Blaaamm!
Gelombang angin yang terlontar dari kedua
tangannya putus di tengah jalan terhantam satu
tenaga deras. Tubuh Woro Lolo terhuyung ke be-
lakang, keseimbangannya hilang sesaat.
"Astaga! Tenaga dalamnya luar biasa! Aku
bisa celaka!" serunya dalam hati.
Di seberang kakek bongkok itu sudah
menderu kembali. Jari jemarinya membentuk ca-
kar. Dan dia menggereng keras laksana serigala
murka. Woro Lolo berhasil menghindari sambaran
cakaran yang mengarah pada bagian-bagian tu-
buhnya. Bahkan dia berhasil memukul dada si
kakek hingga terjajar ke belakang.
Kejadian itu membuat si kakek menggereng
setinggi langit. Parasnya berubah mengerikan.
Gerengan laksana seekor serigala terdengar keras disusul dengan satu lompatan
seperti menerkam.
Kedua tangannya membuka, dengan jari jemari
melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua
tangannya. Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-
rasnya. Woro Lolo yang baru saja mengembalikan
keseimbangannya, surut tiga tindak karena mera-
sakan satu dorongan tenaga menerpa dadanya. Di
lain kejap, perempuan setengah baya jelita ini melompat ke samping kiri.
Karena segumpal cahaya merah melesat
dan tiba-tiba meletup pecah. Muncratannya me-
luncur ke arah Woro Lolo dengan suara mendeng-
ing-denging. Woro Lolo mengertakkan rahangnya seraya
palangkan kedua tangannya di depan dada. Terli-
hat cahaya putih merebak di hadapannya, lalu...
Wuuussss!! Cahaya putih yang mengandung hawa din-
gin itu melesat ke depan, membentur keras mun-
cratan sinar merah yang berdenging-denging. Le-
tupan beberapa kali terdengar seiring berhambu-
rannya sinar merah dan cahaya putih hingga
tempat itu terang sesaat. Beberapa buah pohon
besar yang tumbuh di sana bergetar karena kuat-
nya letupan itu, menyusul bertumbangan hingga
menambah gemuruh di sekitar sana.
Tanah yang menghambur ke udara belum
luruh, gumpalan sinar merah telah mencelat
kembali. Kali ini dua buah dan seperti yang per-
tama tadi, meletup pecah, lalu bermuncratan
dengan suara berdenging-denging.
Woro Lolo mengulangi tindakannya yang
pertama. Kembali letupan dahsyat terjadi. Di an-
tara letupan itu terdengar seruan tertahan Woro
Lolo, "Aaaakhhhh!!"
Tubuhnya terdorong ke belakang. Tangan
kirinya melepuh karena salah satu muncratan si-
nar merah itu menerpa tangannya. Cepat ditekap
bagian yang melepuh itu dengan tangan kanan-
nya. Dialirkan hawa dingin, walau perih tak terki-ra, tetap dipaksakannya. Asap
menggebrus dan ketika diangkat tangan kanannya, luka itu tidak
terlalu sakit meskipun meninggalkan bekas.
Diangkat kepalanya penuh amarah, dita-
tapnya kakek bongkok berpakaian merah com-
pang-camping yang berdiri di tempatnya sambil
menyeringai. "Aneh! Mengapa dia tidak melanjutkan se-
rangannya?" Woro Lolo bertanya dalam hati dengan sikap waspada. "Ada sesuatu
yang aneh.... Bibirnya menyeringai, penuh ejekan. Apakah
dia.... Heiii!!"
Wajah Woro Lolo menegang. Tubuhnya
bergetar. "Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya yang mendadak limbung. Bersikeras perempuan
bertahi lalat di dagu ini untuk menjaga keseimbangan-
nya. Tetapi hawa panas telah mendera sekujur
tubuhnya, masuk dalam aliran darahnya. Dia
berteriak keras, "Kakek keparat! Apa yang kau lakukan"!"
Kakek bongkok itu terkekeh penuh ejekan.
"Mengapa kau bertanya padaku" Memang-
nya apa yang telah kulakukan?" ejeknya.
"Hemm... perempuan manis... apakah kau tidak merasa kepanasan" Ayo, buka saja
pakaianmu... biarkan angin dingin menerpanya..."
"Gila! Mengapa jadi begini?" seru Woro Lolo dalam hati. Ketegangannya semakin
kentara. Ha-wa panas terus gencar menyelimuti dirinya.
"Hehehe... ayo, buka pakaianmu bila kau
tidak ingin kepanasan...."
"Terkutuk!!" maki Woro Lolo dan menerjang ke depan. Tetapi tiba-tiba saja dia
ambruk berlutut. Getaran tubuhnya semakin kuat. Hawa panas
dalam tubuhnya tak terkira lagi. "Celaka! Tentunya ini berasal dari tanganku
yang terkena muncratan sinar merah yang dilontarkannya. Ke-
parat! Rupanya serangan itu mengandung...
aaakh...."
"Mengapa kau tak segera buka pakaian-
mu?" seru si Kakek bongkok sambil terkekeh. "Il-mu 'Serigala Murka' mengandung
satu keajaiban yang kini kau rasakan!!"
Sekujur tubuh Woro Lolo semakin bergetar.
Keringat sebesar biji jagung sudah bermunculan
membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya meme-
rah. Sesuatu yang ganjil merasuk ke tubuhnya.
"Celaka! Serangan yang dilontarkannya
mengandung hawa birahi!" geramnya seraya
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan ge-
jolak yang merambah di dadanya. Tiba-tiba kedua
tangannya terangkat ke atas, bergetar kuat dan
dia berusaha menahan sepenuh hati. Tetapi ke-
dua tangannya telah hinggap pada pakaiannya.
"Ayo, buka! Buka! Aku, Demit Serigala, su-
dah tidak sabar untuk melihat apa yang ada di
hadapanku! Ayo, buka! Kita nikmati keindahan
ini dulu sebelum kau mampus ku cabik-cabik!"
Terlihat bagaimana Woro Lolo berusaha
untuk menahan gelora dalam dadanya, menahan
sesuatu yang tak diinginkannya. Tetapi dia justru menggeliat-geliat disertai
desahan erotis. Perlahan-lahan dia bangkit dengan gerakan-gerakan
yang merangsang. Hawa birahi yang masuk ke
tubuhnya telah sepenuhnya menguasai dirinya.
Si kakek yang ternyata berjuluk Demit Se-
rigala terkekeh-kekeh dengan mata nanar.
Dalam keadaan diamuk gelora birahi tak
wajar, Woro Lolo memegang kedua payudaranya
sendiri, meremas-remasnya dalam desahan gairah
tinggi. Bahkan tanpa sadar dia mulai membuka
pakaiannya. Selapis pakaian putih yang menera-
wang terpampang di depan mata Demit Serigala.
"Luar biasa! Sudah kuduga kau memiliki
bukit kembar yang indah!" serunya sambil menelan ludah berkali-kali. "Ayo, buka
pakaian da- lammu itu! Buka pula pakaian bagian bawah!!"
Perempuan setengah baya itu masih me-
remas-remas sepasang bukit montoknya yang
membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis.
Pinggulnya bergerak-gerak penuh gairah. Mulut-
nya mendesis-desis dengan wajah merona. Tu-
buhnya tiba-tiba jatuh di atas tanah terus meng-
geliat-geliat penuh gairah.
Demit Serigala tak bisa lagi menahan gejo-
lak nafsu di dadanya. Dengan menyeringai lebar
dan menelan ludah berkali-kali dia mendekati
Woro Lolo yang kini kedua tangannya menggapai-
gapai "Hehehe... kau memang berilmu tinggi, tetapi tak akan mampu
menandingiku..."
Lalu dengan penuh nafsu ditubruknya tu-
buh Woro Lolo yang sedang diamuk birahi tidak
wajar. Perempuan itu menggeliat-geliat seraya
mendesis-desis ketika tangan kanan kiri Demit
Serigala merambah payudaranya, meremas-
remasnya. Bahkan tak disadarinya tangan kanan
Demit Serigala menyelinap ke balik pakaian ba-
gian bawahnya. Penuh nafsu diciuminya leher jenjang yang
putih itu. Bibir yang meranum basah dan sepa-
sang matanya yang terpejam membuka diamuk
gelora. "Kuhabisi kau sampai tandas!" seru Demit Serigala seraya membuka
pakaiannya. Dia harus
menahan diri sekaligus menahan kedua tangan
Woro Lolo yang memaksanya untuk memeluk tu-
buhnya. "Sabar... sabar...."
Penuh nafsu kembali dicumbunya Woro
Lolo. Tangan kanannya pun siap membuka pa-
kaian tipis yang masih dikenakan Woro Lolo, se-
mentara tangan kirinya siap menarik lepas pa-
kaian bagian bawah perempuan
Tetapi satu suara dingin telah terdengar,
"Orang tua terkutuk! Sungguh memalukan apa
yang telah kau lakukan"!"
Serentak kakek berjenggot menjuntai itu
menoleh ke belakang. Satu sosok tubuh berompi
ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Menatap tajam dengan sorot mata
angker mengerikan.
* * * "Terkutuk!!" geram Demit Serigala sambil menyentak lepas tangan Woro Lolo yang
masih menggeliat diamuk birahi. Dibiarkan desisan-
desisan mengundang dan gapaian tangan Woro
Lolo. Penuh kemarahan dipandanginya pemuda
berompi ungu yang tadi membentaknya. Sesaat
Demit Serigala tersentak tatkala melihat tatapan mengerikan yang terpancar dari
sepasang mata si
pemuda. Tetapi di lain saat dia sudah memben-
tak, "Pemuda berkuncir! Menyingkir dari sini sebelum kulumat hancur tubuhmu!"
Pemuda tampan bersisik itu tak bergeming
di tempatnya. Matanya memancarkan kebencian
dalam. "Keparat!" geram Demit Serigala. Saat itulah dilihatnya lengan kanan kiri
si pemuda seba-
tas siku dipenuhi sisik coklat. "Pemuda bersisik!
Aku tak pernah memerintahkan orang lebih dari
dua kali!"
Belum habis bentakannya, kakek yang te-
lah bertelanjang dada hingga memperlihatkan tu-
lang belulang di tubuhnya sudah melesat ke de-
pan. Tangan kanan kirinya membentuk cakar.
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-
ja Naga adanya menjerengkan sepasang matanya.
Lalu mendehem keras.
Wuuuttt!! Satu tenaga tak nampak menderu keras ke
arah Demit Serigala. Sesaat kakek bongkok itu
tersentak. Tetapi diiringi gerengan semakin keras, diterobosnya tenaga tak
nampak itu. Plaass!! Raja Naga terkejut.
"Gila!"
Segera digerakkan tangan kanan kirinya.
Plak! Plak!! Benturan yang terjadi itu membuat mas-
ing-masing surut tiga tindak ke belakang.
"Gila! Tangannya keras sekali!" geram Demit Serigala separuh terkejut. "Siapa
pemuda keparat ini?"
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Luar
biasa! Dia mampu menerobos tenaga yang keluar
dari dehemanku. Bahkan dia juga biasa saja ter-
kena benturan tadi. Padahal aku sudah mengelu-
arkan setengah dari kekuatan tangan kanan kiri-
ku yang bersisik ini."
Sementara itu Demit Serigala sudah mele-
sat kembali ke depan. Gerengan serigala murka
menggebah keras. Tangan kanan kirinya yang
membentuk cakar dikibaskan, gelombang angin
mendahului serangannya.
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja Naga tak berkedip memandang ke de-
pan. Sorot matanya bertambah angker. Tiba-tiba
saja dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Saat itu pula tanah berderak,
menyusul laksana gelombang di lautan menderu ke arah Demit Seriga-
la dengan suara berderak berulang-ulang.
"Gila!!" maki Demit Serigala seraya membuang tubuh ke samping.
Blaaar! Blaaar! Blaaarrr!!
Letupan yang memuncratkan tanah ke
udara. Itu terdengar tiga kali berturut-turut. Belum lagi luruh muncratan tanah
itu, Demit Seri-
gala sudah menerobos. Membuka kedua tangan-
nya lalu menepukkannya hingga terdengar suara
yang sangat keras.
Raja Naga tersentak tatkala merasakan da-
danya seperti terhantam sesuatu yang keras. Ke-
palanya sendiri menegak dengan mata melebar
tatkala melihat dua buah gumpalan sinar merah
menderu ke arahnya. Belum lagi dia bertindak,
gumpalan-gumpalan sinar merah itu meletup, la-
lu bermuncratan ke arahnya dengan suara ber-
denging-denging.
Raja Naga segera menepukkan tangan ki-
rinya dengan tangan kanannya. Menyusul satu
tenaga yang melesat, didorong kedua tangannya
untuk lepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan'. Gelombang angin yang disemburati asap
merah menggebrak ke depan.
Blaaam! Blaaammm!!
Seketika tempat itu bergetar dahsyat, rang-
gasan semak tercabut, pepohonan bertumbangan
dan tanah berhamburan ke udara. Beberapa
muncratan sinar merah yang tak terhalangi
menghanguskan semak belukar.
Raja Naga yang segera melompat ke samp-
ing kanan begitu benturan terjadi, terhuyung
dengan kaki kiri sedikit terangkat. Diusahakan
untuk mengembalikan keseimbangannya.
Berjarak delapan langkah, Demit Serigala
telah tegak di tempatnya. Sorot matanya tajam
berapi-api. Sementara itu, tubuh Woro Lolo me-
lonjak-lonjak akibat tempat yang bergetar. Masih terpengaruh ilmu aneh dari
Demit Serigala, perempuan itu terus menggeliat-geliat hebat seraya meremas-remas
payudaranya sendiri.
"Pemuda celaka! Siapa kau adanya"!" geram Demit Serigala keras.
Raja Naga menggeram.
"Manusia busuk seperti kau tak pantas un-
tuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" serunya yang dalam sekali lihat saja tadi,
tahu kalau perempuan setengah baya itu berada dalam penga-
ruh yang tidak wajar.
"Setan bersisik! Kau telah mengundang
kemarahan di dalam dadaku!!"
Demit Serigala menerjang lebih mengeri-
kan. Raja Naga sendiri sudah melesat ke depan.
Berulang kali tangan dan kaki mereka berbentu-
ran. Berulang kali tanah bergetar dan letupan
terdengar dahsyat.
Hingga kemudian masing-masing orang
mundur beberapa langkah, lalu menderu dengan
kedua telapak tangan mendorong.
"Heaaaa!!"
"Mampuslah kau, Pemuda, celaka!!"
Gelombang angin yang menderu berham-
buran. Lalu....
Tap! Tap! Telapak tangan masing-masing orang ber-
temu satu sama lain. Satu sama lain berusaha
untuk saling menjatuhkan. Demit Serigala meng-
gereng keras, seraya menekan. Raja Naga terseret dua tindak, lalu menambah
tenaga dalamnya.
Bertemunya telapak tangan masing-masing
orang mengakibatkan tanah di sekitarnya ber-
hamburan ke udara. Sementara itu lambat-
lambat terlihat asap hitam keluar dari telapak
tangan yang bertemu. Getaran tubuh keduanya
semakin menguat.
Tiba-tiba Demit Serigala menarik mundur
tubuhnya seraya melepaskan telapak tangannya.
Mau tak mau Raja Naga terjerunuk ke depan. Ma-
sih beruntung dia mampu menghindari sambaran
cakar tangan kanan Demit Serigala. Bahkan....
Des!! Sambil meliukkan tubuhnya pemuda dari
Lembah Naga itu berhasil menyarangkan jotosan-
nya hingga si kakek terhuyung ke belakang, yang
segera menerjang kembali disertai gerengan kuat!
"Gila! Ilmu kakek ini sungguh mengerikan!
Aku harus... astaga! Perempuan itu telah mero-
bek-robek pakaian dalamnya!"
Dengan wajah tegang Raja Naga menghin-
dari serangan ganas Demit Serigala. Dalam satu
kesempatan, kaki kanannya menjejak tanah, me-
lepaskan jurus 'Barisan Naga Penghancur Ka-
rang'. Tanah bergelombang menggebrak disertai
letupan-letupan mengerikan.
Demit Serigala menggeram seraya mem-
buang tubuh ke samping. Masih sempat dilihat-
nya bayangan ungu melesat ke samping kiri, me-
nyambar pakaian putih yang tergeletak dan me-
nyambar tubuh perempuan yang masih mengge-
liat-geliat karena pengaruh ilmu aneh miliknya.
Blaaammmm!! Serangan yang dilancarkan Demit Serigala
untuk menghalangi berlalunya Raja Naga meng-
hantam sebuah pohon yang seketika hancur be-
terbangan. "Terkutuk!!" geramnya sengit dengan napas terengah-engah. "Akan kuingat wujudmu,
Pemuda bersisik! Akan kuingat!!"
Dengan gusar dijejakkan kaki kanannya di
atas tanah. Pakaian merah compang-campingnya
yang tergeletak di atas tanah mencelat ke arahnya dan... tap, tap! Dengan
gerakan cepat tangan kanan kirinya digerakkan, lalu berputar dua kali.
Tatkala tegak kembali, pakaian itu sudah me-
nempel di tubuhnya.
"Huh! Bila tak ingat aku harus membunuh
Resi Tala Kangkang, sudah kukejar pemuda cela-
ka itu!!" geramnya sengit. Di kejap lain dia sudah berlari ke arah barat.
LIMA NENEK keparat! Sebenarnya kau tahu atau
tidak di mana Istana Gerbang Merah berada"!"
makian itu terdengar dari balik sebuah pohon,
bersamaan terlihat sebuah keranjang melompa-
tinya. Menyusul keranjang kemudian hinggap di
tanah sedikit bergerak-gerak, satu sosok tubuh
berpakaian hijau yang hinggap tak jauh dari ke-
ranjang itu. "Manusia busuk! Jangan banyak mulut!
Kau tinggal mengikuti apa yang kuhendaki!" maki si perempuan keras. Mata
celongnya dingin menatap keranjang di hadapannya.
Dari keranjang itu terdengar dengusan.
"Demi tumpukan emas kuikuti apa yang
kau hendaki! Tetapi, untuk berputar-putar tak
karuan tanpa langsung pada sasaran sungguh
bukan yang kuharapkan!"
"Setan! Jangan banyak mulut kataku!" ma-ki si perempuan yang bukan lain Sekar
Sengkuni. "Aku hanya tahu kalau istana Gerbang Merah berada di barat!"
Orang di dalam keranjang yang belum per-
nah dilihat wujudnya oleh Sekar Sengkuni men-
dengus. "Benar-benar bodoh! Apakah kau...."
Kata-katanya terputus karena mendadak
saja muncul sepuluh orang lelaki bersenjata pa-
rang. Mereka memandang tak berkedip pada Se-
kar Sengkuni yang mengerutkan kening.
Mereka berbicara berbisik, "Sejak dua hari
lalu kita memburu pembunuh Juragan Purna
Setyo, baru sekarang kita melihat ciri-ciri si pembunuh."
"Ya! Mungkin memang dia yang telah
membunuh Juragan Purna Setyo!"
"Kalau begitu... tangkap saja!"
"Tunggu! Kita tak bisa menangkapnya begi-
tu saja, karena bisa jadi kita salah orang!"
Sepuluh lelaki bersenjata parang yang ter-
nyata adalah para penduduk yang sedang menca-
ri pembunuh Juragan Purna Setyo, memandang
Sekar Sengkuni dengan seksama. Mereka sama
sekali tak mengetahui kalau keranjang yang ter-
buat dari anyaman bambu lapis itu berisi seseo-
rang yang mempunyai ilmu tinggi.
Salah seorang yang bertubuh gagah berse-
ru, "Perempuan berpakaian hijau! Bukan kami lancang untuk bersikap, bukan kami
tak punya adab kesopanan! Tetapi, kami tak punya banyak
waktu! Apakah dua hari lalu kau singgah di se-
buah desa yang bernama desa Karang Permata"!"
Sekar Sengkuni yang telah mendengar apa
yang mereka percakapkan tadi, menyeringai le-
bar. "Ya! Aku pernah singgah di Karang Permata!"
Orang-orang berpandangan.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya
orang yang berseru tadi berhati-hati.
Sekar Sengkuni tak menjawab. Mata ce-
longnya memandang orang-orang itu bergantian.
Seraya melangkah dia berkata, "Aku datang untuk menjarah harta seorang kaya yang
bernama Purna Setyo! Dan aku telah membunuhnya!"
Menegak kepala masing-masing orang
mendengar pengakuan itu. Serentak lima orang
menerjang ke depan dengan parang terhunus. Te-
tapi serangan itu hanya sia-sia belaka. Bahkan
sambil terkikik Sekar Sengkuni mengirim mereka
ke akhirat! "Membosankan!" dengusnya. Lalu me-
layang ke depan. Gerakannya begitu ringan. Dua
orang tewas dengan kepala pecah karena terhan-
tam tendangannya.
Tindakannya yang telengas itu tak menyu-
rutkan keberanian tiga orang lainnya yang masih
hidup. Bahkan dengan gigih mereka berusaha
membacokkan parang-parang di tangan.
Satu orang terbanting dan jatuh di samp-
ing keranjang yang tak bergerak. Dia tersentak
melihat keranjang di sampingnya bergerak-gerak.
Belum disadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....
Prak! Keranjang itu telah menghantam wajahnya
hingga remuk dan tewas seketika. Sudah tentu
kejadian itu mengejutkan dua orang lainnya yang
masih tersisa. Yang seorang nekat menyerbu Se-
kar Sengkuni. Tendangan yang mematahkan tu-
langnya memutus nyawanya. Sementara yang
seorang lagi sudah bergulingan dengan parang
dikibaskan. "Bikin tanganku kotor saja!!" geram Sekar Sengkuni sambil menghindar. Dan....
Prak! "Aaaaakkhhhh!!"
Orang itu terbanting dengan tulang paha
patah. Sekar Sengkuni melambung ke atas, melu-
ruk dengan kedua kaki mengarah pada dada
orang itu! Tetapi... wuuuttt!!!
Satu bayangan merah muda telah me-
nyambar tubuh si lelaki dengan gerakan yang
sangat cepat. Brrollll!! Bersamaan tanah yang ambrol karena in-
jakan kedua kaki Sekar Sengkuni, perempuan
berpakaian hijau itu sudah keluarkan bentakan,
"Siapa orang yang ingin mampus"!"
Wuuutttt!! Satu gelombang angin memburu si bayan-
gan merah muda yang berteriak kaget seraya
memutar tubuh. Blaaarrr!! Sebuah pohon patah di tengah dan jatuh
bergemuruh. Di pihak lain si bayangan merah
muda yang semula berniat untuk segera berlalu
setelah menyambar tubuh si lelaki, mau tak mau
mengurungkan niatnya. Ringan dia hinggap di
atas tanah. Dengan ringan pula diturunkan tu-
buh lelaki yang telah disambarnya.
"Bertahan...," desisnya pelan. Lalu diangkat kepalanya. Wajah cantiknya
berhadapan dengan
Sekar Sengkuni yang mendengus gusar.
"Seorang gadis bau kencur yang ingin
mampus rupanya!"
Gadis berambut indah itu tak buka mulut.
Matanya tajam menatap Sekar Sengkuni,
"Pakaiannya berwarna hijau. Wajahnya
masih jelita dengan mata yang celong ke dalam.
Ciri-cirinya mirip seperti yang dikatakan Guru.
Apakah memang orang ini yang harus kuketahui
keberadaannya?" desisnya dalam hati.
Di pihak lain, Sekar Sengkuni sudah tak
bisa menahan diri untuk menghabisi si gadis.
Tangan kanannya terangkat dan siap melancar-
kan satu pukulan jarak jauh.
Tetapi keranjang yang sejak tadi diam di
tanah bergerak melayang ke arahnya disertai sua-
ra, "Aku menginginkannya!"
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara si gadis membelalakkan ma-
tanya pada keranjang itu. Sekar Sengkuni meng-
geram. "Buntet Kalamangsang! Sampai hari ini aku belum pernah melihat wujudmu!
Dan tidak tahunya kau memiliki birahi yang kuat pula!"
"Siapa bisa tahan melihat gadis ayu bertu-
buh montok seperti dia, hah"!"
"Di mana kau akan menggelutinya" Di da-
lam keranjang busukmu itu"!"
"Itu urusanku!"
"Cepat kau lakukan! Setelah itu... bunuh
dia! Juga bunuh lelaki keparat dari desa Karang
Permata itu!"
Gadis jelita berpakaian merah muda yang
bukan lain Galuh Tantri adanya mengerutkan
kening mendengar kata-kata terakhir Sekar Seng-
kuni. "Lelaki yang patah kakinya ini berasal dari Karang Permata" Bisa jadi kalau
mereka yang telah menjadi mayat itu juga berasal dari tempat
yang sama. Astaga! Jangan-jangan... perempuan
ini adalah orang yang membunuh Juragan Purna
Setyo" Bisa jadi pula kalau memang dia perem-
puan yang kucari, perempuan bernama Sekar
Sengkuni...."
Selagi si gadis membatin, keranjang yang
berada di samping Sekar Sengkuni sudah me-
layang ke arahnya. Desiran angin deras mengarah
padanya. "Astaga!!" seru si gadis sambil palangkan kedua tangannya di depan dada. Lalu
dihentakkan kuat-kuat disusul dengan gerakan melesat ke
depan. Desiran angin yang keluar dari keranjang
itu putus di tengah jalan. Dan....
Buk! Buk! Si gadis meliukkan tubuhnya seraya lan-
carkan jotosannya pada keranjang itu. Keranjang
itu melayang ke belakang. Kali ini disertai kekehan penghuninya lalu keranjang
itu melayang la-
gi, lebih cepat!
"Siapa orang yang berada dalam keranjang
itu"!" seru si gadis sambil membuang tubuh.
Tetapi lesatan keranjang itu membuatnya
kalang kabut. Nampak kalau dia hendak melan-
carkan satu serangan yang kemudian diurung-
kannya. "Guru berpesan kalau aku tak boleh men-
geluarkan ilmu yang kumiliki bila berhadapan
dengan perempuan berpakaian hijau bermata ce-
long. Walaupun tak mengerti mengapa Guru me-
nyuruhku bersikap demikian, tetapi... ah, aku harus tetap mematuhinya."
Karena memegang pesan gurunya itulah
Galuh Tantri hanya berusaha menghindar dan
sesekali melancarkan serangan balasan dengan
jotosan dan tendangannya.
Dari keranjang itu terdengar suara terke-
keh. "Ternyata dia tidak memiliki kemampuan apa-apa!" Lain halnya dengan Sekar
Sengkuni. Perempuan setengah baya ini justru mengerutkan
keningnya. "Mustahil kalau gadis ini tidak memiliki kemampuan berarti! Caranya
menyambar tu- buh lelaki itu sangat luar biasa! Karena berarti dalam mengalahkan kecepatan
seranganku tadi!
Mustahil... mustahil dia tidak bisa berbuat apa-
apa! Atau bisa jadi... dia menyembunyikan il-
munya!" Berpikir demikian Sekar Sengkuni berseru,
"Walaupun dia tidak memiliki kemampuan apa-
apa, kau belum juga berhasil mengalahkannya!"
"Kau akan melihatnya, Sekar Sengkuni!!"
Bersamaan lesatan yang semakin keras
disertai gemuruh angin yang kuat, Galuh Tantri
berseru kaget. "Sekar Sengkuni?" serunya dalam hati seraya menghindar dengan mempergunakan ilmu
peringan tubuhnya. "Jadi benar dia orangnya yang bernama Sekar Sengkuni! Dan
jelas dia juga yang telah membunuh Juragan Purna Setyo dan
orang-orang ini! Ah, apa yang harus kulakukan
sekarang" Guru menyuruhku mengetahui apa
yang hendak dilakukan Sekar Sengkuni, setelah
itu aku harus kembali ke tempat asa!!"
Sementara itu Buntet Kalamangsang
menggeram sengit karena dia belum juga mampu
melumpuhkan si gadis. Tiba-tiba saja keranjang
itu melayang ke belakang dan hinggap di atas ta-
nah. Di lain kejap terdengar suara angin mende-
ru-deru seiring dengan berputarnya keranjang
itu. Tanah berhamburan melingkar, terbang di
sekitarnya hingga menutupi keranjang itu dari
pandangan. Sekar Sengkuni membatin, "Kau tak akan
bisa menyembunyikan ilmumu lagi, Gadis! Huh!
Aku ingin tahu murid siapakah kau sebenar-
nya...." Di seberang Galuh Tantri memicingkan matanya. Dadanya berdebar keras.
Ketegangannya Memburu Iblis 8 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Bangau Sakti 41
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU HANYA orang tolol yang mau menyembu-
nyikan diri di dalam keranjang butut itu!" gumam perempuan berusia sekitar enam
puluh tahun begitu sebuah keranjang cukup besar muncul den-
gan cara melompat-lompat. Diperhatikannya ke-
ranjang yang telah berhenti berjarak sepuluh
langkah dari tempatnya, Tanah bolong merata
berjarak tiga langkah, sesuai dengan lompatan
keranjang itu. Di lain saat, si nenek berpakaian hijau ini berseru, "Buntet
Kalamangsang! Se-umur hidupmu kau selalu berada di dalam keran-
jang tanpa berani menampakkan wajah! Apakah
kau ingin sampai mampus berada di sana"!
Atau... kau enggan meninggalkan keranjang bu-
suk itu karena tak mau orang lain melihat wajah
burukmu"!"
Keranjang yang terbuat dari sulaman kayu
lapis berpetak-petak sedikit bergerak. Menyusul
suara bernada serak, "Monyet tua bernama Sekar Sengkuni! Kau mengundangku ke
sini, apa hanya
untuk mendengar ucapan busukmu itu"!"
Si perempuan menggeram. Parasnya yang
mulai dihinggapi keriput menekuk hingga keriput
itu terlihat semakin banyak. Bias-bias kecanti-
kannya masih tersisa. Rambutnya yang mulai
memutih, bergerai dipermainkan angin, bertam-
bah acak-acakan. Mata celongnya memperhatikan
keranjang itu penuh kebencian. Dia berusaha un-
tuk melihat bagaimana caranya Buntet Kala-
mangsang bisa mendekam berpuluh tahun la-
manya di sana. Saat ini setengah perjalanan malam telah
melampaui batasnya. Tempat itu dipenuhi rang-
gasan semak dan pepohonan. Bukan jalan seta-
pak, melainkan sebuah tempat yang cukup la-
pang. Di atas sana, tak ada gerombolan awan hi-
tam sehingga rembulan dengan leluasa meman-
carkan sinar teduhnya.
"Manusia satu ini memang aneh, tetapi
memiliki ilmu tinggi walaupun seimbang dengan-
ku!" geramnya dalam hati. "Aku tak pernah mengerti bagaimana dia bisa mendekam
di sana terus menerus! Mungkin kalau mau makan sama
buang air saja dia keluar! Tapi... huh! Bisa jadi dia juga buang air di tempat
itu! Sungguh menji-jikkan!"
"Kau tak buka suara! Dua tarikan napas
kau tak mengatakan sebab-sebab mengundangku
ke tempat celaka ini, kau akan mendapatkan se-
suatu yang tak menyenangkan karena telah ba-
nyak membuang waktuku!"
"Kampret!" maki si nenek dalam hati. Lalu memaki, "Apakah kau sudah merasa hebat
dapat mengalahkanku"!"
"Mematahkan tulang di tubuhmu bukanlah
hal yang sulit! Waktumu tinggal satu tarikan na-
pas lagi!"
Kembali si nenek menggeram. Sorot ma-
tanya tajam pada keranjang yang bergerak-gerak
itu. Sambil menindih kegeramannya dia berseru,
"Kau pernah mendengar sebuah tempat
bernama Istana Gerbang Merah"!"
"Kecuali orang tuli, tentunya tak akan per-
nah mendengar Istana Gerbang Merah!" sahut
orang di dalam keranjang yang tak kelihatan so-
soknya. "Bagus! Kuberikan kau emas permata yang
banyak jumlahnya bila kau mau membantuku
menghancurkan Istana Gerbang Merah!" seru Sekar Sengkuni lagi. Dia tetap
berusaha untuk me-
lihat sosok orang di dalam keranjang. Berpuluh
tahun dia hanya bisa bercakap-cakap dengan ke-
ranjang itu saja tanpa mengetahui wujud orang
yang mendekam di dalamnya.
"Huh! Tawaran yang cukup menggiurkan!
Sekar Sengkuni, apakah kau memang ingin
menghancurkan Istana Gerbang Merah, atau
menghancurkan Resi Tala Kangkang!"
"Jangan banyak mulut!"
"Bila saja kau masih muda, tubuhmu ma-
sih montok seperti aku pertama kali mengenalmu
dulu, aku akan meminta tubuhmu sebagai imba-
lan!" Walaupun kedua gendang telinganya memerah mendengar ucapan orang dalam
keran- jang, Sekar Sengkuni terkikik, mirip kuntilanak di siang bolong.
"Sampai hari ini aku belum pernah melihat
tampangmu! Apakah memang tampan seperti seo-
rang pangeran atau tak lebih dari kodok belaka!
Bila kau bertampang seorang pangeran, melaya-
nimu siang malam bukanlah suatu masalah! Te-
tapi bila kau tak lebih dari kodok buduk, lebih
baik kau kubur keinginanmu itu dalam-dalam...."
Wuuuttt!! Keranjang itu tiba-tiba melesat ke arah si
nenek yang masih terkikik. Gemuruh angin ter-
dengar dan mendahului lesatan keranjang itu.
Si nenek memutus kikikannya seraya do-
rong kedua tangannya ke depan.
Plak! Plak!! Keranjang itu terpental kembali ke bela-
kang setelah membentur kedua telapak tangan si
nenek berpakaian hijau. Berputar di udara dua
kali dan jatuh kembali di atas tanah dengan sua-
ra cukup keras. Di seberang Sekar Sengkuni ha-
rus surut tiga langkah.
"Keparat busuk!" geramnya sengit.
"Kau tetap memiliki ilmu yang lumayan!
Hanya sayang, kau tak berani datang ke Istana
Gerbang Merah sendiri!"
"Buntet busuk! Tanpa bantuanmu aku
sanggup menghancurkan Istana Gerbang Merah,
menghancurkan Resi Tala Kangkang yang ber-
diam di sana! Tetapi...."
"Kau tak sanggup untuk membunuh lelaki
yang telah menyakiti hatimu itu, tetapi masih kau cintai!" "Setan!!" bentak
Sekar Sengkuni seraya mendorong tangan kanan kirinya.
Menggebrak dua gelombang angin yang
menyeret tanah dan ranggasan semak ke arah
orang dalam keranjang. Belum mengenai sasa-
rannya, keranjang itu telah melambung ke atas.
Bahkan berpentalan di udara tanpa menyentuh
bumi. Sekar Sengkuni sudah mencelat memburu
diiringi teriakan tertahan, "Jangan kau ingatkan aku lagi pada masa laluku!
Manusia itu harus
mampus kubunuh!!"
"Kau tak mampu melakukannya karena
kau masih mencintainya, Sekar Sengkuni!" seru orang dalam keranjang yang terus
melambung-lambung. "Itulah sebabnya kau mengajakku, agar aku yang membunuh Resi
Tala Kangkang!"
Mendadak saja keranjang itu meluncur de-
ras, bertepatan dengan Sekar Sengkuni yang me-
lompat sambil mendorong kedua tangannya.
Buk! Buk! Keranjang itu terpental lebih ke atas se-
mentara Sekar Sengkuni melompat ke bawah. Ke-
dua kakinya agak goyah ketika hinggap di atas
tanah. Karena benturan yang cukup keras itu, si
nenek tak mampu mengendalikan keseimbangan-
nya. Dia ambruk di atas tanah.
Berjarak dua belas langkah dari tempat-
nya, keranjang itu jatuh di atas tanah. Terdengar suara orang muntah di
dalamnya. "Orang mengenal kita sebagai sahabat, te-
tapi kita kerap selalu bertentangan!" desis Sekar Sengkuni yang masih berlutut
di atas tanah. Ditarik napasnya sedikit, ditahannya di dalam perut
seiring dikerahkan tenaga dalamnya.
Sementara si nenek berpakaian hijau yang
pada hidungnya terdapat sebuah anting ini perla-
han-lahan berdiri, orang dalam keranjang berse-
ru, "Kau betul! Kita memang selalu bertentangan!
Tetapi... hahaha... itulah salah satu keanehan ca-ra bersahabat yang kita
lakukan!" Sekar Sengkuni tertawa pula. "Bagaimana
dengan usulku tadi" Kita sama-sama menghan-
curkan istana Gerbang Merah!"
"Kau rupanya masih mendendam pada Resi
Tala Kangkang! Hampir tiga puluh lima tahun su-
dah berlalu, tetapi dendammu tetap utuh pa-
danya!" Paras Sekar Sengkuni mengelam. Ingatan-
nya tiba pada peristiwa tiga puluh lima tahun la-lu, di mana dulu dia bersahabat
erat dengan Tala Kangkang yang belum mendapat julukan sebagai
seorang resi. Persahabatan yang terbina itu ter-
nyata membuahkan benih-benih cinta di hati Se-
kar Sengkuni. Sayang, dia harus memendam cin-
tanya dalam-dalam bahkan berbuah kepedihan.
Karena Tala Kangkang telah mencintai seorang
gadis dari seberang yang bernama Woro Lolo.
Ke mana pun mereka pergi, Woro Lolo sela-
lu berada di samping Tala Kangkang. Sekar Seng-
kuni harus menahan pedih dan kecewanya bila
mengintip Tala Kangkang dan Woro Lolo berme-
sraan. Sekali waktu dia berusaha untuk mening-
galkan Tala Kangkang, sekaligus mengubur cin-
tanya dalam-dalam. Namun hal itu tak kuasa di-
lakukannya, sehingga dibiarkan dirinya ter-
pendam dalam lubang kepedihan.
Kepedihan itu akhirnya menumbuhkan be-
nih cemburu pada Woro Lolo, benih dendam tak
terkira. Hingga pada suatu hari, di saat Tala
Kangkang sedang mencari makanan di sebuah
hutan, Sekar Sengkuni tak mampu menahan diri
lagi. Diputuskan untuk membunuh Woro Lolo
yang dianggapnya sebagai penghalang dari cinta-
nya. Dan telah diaturnya sebuah rencana. Bila
Woro Lolo tewas, akan dikatakannya kalau sepe-
ninggal Tala Kangkang dia dan Woro Lolo dis-
erang oleh gerombolan.
Woro Lolo sendiri bukanlah gadis yang tak
berilmu, walaupun dia harus menderita kekala-
han dari Sekar Sengkuni. Saat Sekar Sengkuni
hendak menurunkan tangan kematiannya, Tala
Kangkang muncul yang segera menghalanginya.
Perasaan kacau-balau berpadu di hati Se-
kar Sengkuni. Malu, gelisah, dendam, amarah
berpilin geram. Terutama ketika mendengar ben-
takan marah dari Tala Kangkang. Diserangnya
Tala Kangkang penuh kebencian tinggi seraya me-
lontarkan isi hatinya.
Tala Kangkang yang marah melihat gadis
yang dicintainya dilukai Sekar Sengkuni seolah
telah berubah menjadi seseorang yang mengang-
gap Sekar Sengkuni sebagai musuh. Pertarungan
keduanya terjadi, sementara Woro Lolo berteriak-
teriak agar pertarungan dihentikan.
Tetapi keduanya telah dibuncah amarah,
terutama Sekar Sengkuni yang malu luar biasa.
Pertarungan itu dimenangkan oleh Tala Kangkang
dan berhasil melukai Sekar Sengkuni yang kemu-
dian berlalu dengan sejuta kelaraan di hatinya.
"Buntet Kalamangsang! Sebelum kudengar
Tala Kangkang mampus, dendamku tak akan
pernah sirna! Berpuluh tahun kulacak jejaknya,
hingga kudengar tentang Istana Gerbang Merah di
mana Tala Kangkang telah membangun dan men-
duduki tempat itu!" seru si nenek dengan kedua tangan mengepal. Sepasang
rahangnya mengeras.
Kedua pipinya yang telah peot menggembung.
"Aku harus membunuhnya!!"
Orang dalam keranjang berseru, "Kita juga
sama-sama mendengar kalau kemudian Woro Lo-
lo yang bernama asli Mayang Kinanti telah kem-
bali ke asalnya di Pulau Andalas! Berarti, dia tak pernah menikah dengan Tala
Kangkang!"
"Peduli setan dengan semua itu!"
"Seharusnya yang kau bunuh adalah Woro
Lolo!" "Berulang kali aku berusaha untuk membunuhnya, tetapi berulang kali pula
selalu diga- galkan oleh Tala Kangkang! Orang dalam keran-
jang, tak perlu kita berbicara lebar akan semua
ini! Sebaiknya kita segera menuju ke Istana Ger-
bang Merah!"
"Tunggu! Aku ingin melihat upah yang kau
janjikan"!"
Sekar Sengkuni tertawa keras, tawa yang
sekaligus mengandung amarah pada Resi Tala
Kangkang. "Sudah tentu aku tak akan bertindak bo-
doh, Buntet! Upahmu akan kuberikan bila kau te-
lah membunuh Tala Kangkang! Tetapi untuk
membuktikan kebenaran ucapanku...."
Memutus kata-katanya, Sekar Sengkuni
menghembuskan napas keras ke semak belukar
di sebelah kanannya. Hembusan napas yang dila-
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukan secara menyentak itu berubah menjadi
gemuruh angin dan....
Blaaarrr!! Semak belukar itu tercabut paksa dan
memburai. Terlihat tumpukan emas batangan
yang berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan.
Keranjang itu tiba-tiba melesat ke sana.
"Kau tak akan bisa mengambilnya karena
emas-emas yang kujarah dari seorang juragan
kaya di sebuah desa, telah kulumuri racun! Bila
kau ingin mampus, kau dapat mengambilnya se-
karang!" "Terkutuk!" seru orang dalam keranjang seraya melayang kembali ke tempat semula.
Sekar Sengkuni tertawa keras.
"Sebelum menuju ke Istana Gerbang Me-
rah, masih ada seorang lagi yang hendak kubu-
nuh!" Orang dalam keranjang menyahut geram,
"Siapa"!"
"Raja Naga!"
Sesaat tak terdengar suara dari keranjang
itu. Setelah beberapa saat, Buntet Kalamangsang
berseru, "Ya! Bagus! Itu gagasan yang sangat bagus! Pemuda dari Lembah Naga itu
memiliki pen- dengaran dan penciuman yang tajam! Dia seperti
tahu tindakan yang akan dilakukan oleh orang-
orang golongan kita!"
Sekar Sengkuni tersenyum licik.
"Aku ingin membunuhnya bukan karena
dia kuanggap sebagai penghalang! Tetapi...."
"Mengapa kau memutus kata-katamu.
hah"!" Sekar Sengkuni tak segera angkat bicara.
Setelah terdiam barulah dia berkata, "Apakah kau tidak pernah mendengar kalau
pemuda itu memiliki Gumpalan Daun Lontar yang sangat dahsyat"
Pemuda yang julukannya melesat naik setelah
berhasil membunuh Hantu Menara Berkabut itu,
akan kujadikan budakku bila Gumpalan Daun
Lontar telah kudapatkan!"
"Bagus!"
Sekar Sengkuni tak bersuara, Dia terse-
nyum dan berkata dalam hati, "Kau memang
dungu! Sangat dungu! Begitu mudah kukendali-
kan hanya dengan emas batangan yang sebenar-
nya hanyalah bayangan yang kupergunakan den-
gan ilmu 'Muslihat Mata Bayangan'. Sudah tentu
emas hasil jarahanku di sebuah desa tak akan
pernah kuberikan padamu...."
Keranjang di hadapannya bergetar sedikit,
menyusul terdengar suara, "Raja Naga adalah pemuda keparat yang selalu
mengacaukan sepak
terjang orang-orang seperti kita! Ya! Tanpa kau
inginkan pun aku telah berniat untuk membunuh
pemuda keparat itu! Karena biar bagaimanapun
juga... aku punya hubungan dengan Hantu Mena-
ra Berkabut!"
"Astaga naga!" seru Sekar Sengkuni sambil tertawa. "Kau punya hubungan dengan
Hantu Menara Berkabut" Keranjang busuk itu telah
mengubahmu menjadi orang dungu! Apakah den-
gan bicara seperti itu kau menganggap orang-
orang akan jeri padamu"!"
"Setan terkutuk!" geram orang dalam keranjang. "Pemuda bersisik coklat itu
memang harus diperhitungkan pula! Karena seperti biasanya, dia seperti mencium
keonaran yang akan terjadi!"
Sekar Sengkuni berseru geram, "Kita tidak
sedang membuat keonaran! Membunuh Resi Tala
Kangkang sekaligus menghancurkan Istana Ger-
bang Merah, adalah sebuah kebajikan! Karena...
dia tentunya akan mencari korban perempuan-
perempuan lain!"
"Seperti dirimu?"
"Setan!!" maki si nenek geram. Parasnya mengkelap. Tetapi kali ini dia tidak
lontarkan serangan. "Setelah Woro Lolo kembali ke Pulau Andalas, tentunya lelaki
celaka itu akan mencari
korban baru!"
Orang dalam keranjang tertawa.
"Apakah karena itu kau hendak membu-
nuhnya atau itu cuma sebuah...."
"Tutup mulutmu! Apakah kau tak pernah
berpikir...."
"Aku tak mau memikirkan soal Resi Tala
Kangkang!" kali ini orang dalam keranjang yang memutus seruan si nenek.
Sekar Sengkuni tertawa keras. Kepuasan
membayang di wajah keriputnya.
"Kau akan melihat apa yang akan kulaku-
kan terhadapnya!!"
Orang dalam keranjang itu membatin, "Pe-
rempuan keparat ini memang berotak licik! Dia
masih terbawa dendam karena ditolak oleh Resi
Tata Kangkang! Aku yakin, setelah berhasil mem-
bunuh Resi Tala Kangkang, dia tak akan segan-
segan menyeberang ke Pulau Andalas untuk
mencari Woro Lolo!"
Sekar Sengkuni berkata seraya menghem-
buskan napasnya keras-keras, "Kita berangkat sekarang!"
Belum habis terdengar ucapannya, si ne-
nek beranting di hidungnya sudah melesat ke
arah barat. Orang dalam keranjang menggeram dalam
hati, "Kau boleh menghinaku sekarang! Tapi kelak... kau akan mendapatkan balasan
dari perbu- atanmu itu!"
Keranjang itu bergerak cepat, tetapi terhen-
ti lagi. Bergerak sedikit ke arah semak di mana
emas batangan yang dilihatnya berada di sana.
Menyusul makiannya terdengar keras, "Se-
tan alas! Bila saja emas-emas batangan itu tidak dilumuri racun, sudah tentu
kuambil sekarang
dan berlalu dari sini tanpa menjalankan apa yang diinginkannya! Terkutuk!"
Sambil memaki-maki tak karuan, Buntet
Kalamangsang yang tidak ketahuan seperti apa
wujudnya sudah bergerak. Yang terlihat hanyalah
sebuah keranjang yang berlompat-lompat.
Lima kejapan mata dari perginya Buntet
Kalamangsang menyusul Sekar Sengkuni, emas-
emas batangan yang dilihatnya tadi tiba-tiba
menguap. Bersama angin yang berhembus, emas-
emas batangan itu lenyap sama sekali.
DUA HAMPARAN pagi telah menaungi alam. Bu-
tiran embun belum sepenuhnya mengering kare-
na matahari masih menampakkan bias-biasnya
saja. Udara masih berhembus dingin, masih
membuat orang lebih suka mendekam di balik se-
limutnya atau lebih erat mendekap pasangan ti-
durnya. Tetapi di desa itu keramaian telah terjadi.
Orang-orang berkumpul di depan sebuah rumah
besar yang berhalaman luas. Dari dalam rumah
itu terdengar isakan seorang perempuan yang
berlutut di hadapan satu sosok tubuh yang ditu-
tupi sehelai kain putih.
Orang-orang yang berkumpul di depan ru-
mah itu tidak bisa masuk karena dihadang dua
lelaki gagah dengan senjata tombak ramai berse-
ru-seru. Mereka nampaknya tidak puas untuk
melihat keadaan di dalam rumah.
"Maafkan Kami...," kata salah seorang yang menjaga di depan pintu halaman.
"Bukan kami hendak melarang kalian masuk, tetapi di dalam
telah sesak dengan orang."
"Kami ingin melihat keadaan Juragan!" se-ru salah seorang dari yang berkerumun.
"Ya! Kami ingin tahu siapa yang telah
membunuhnya"!"
Penjaga yang tadi berkata melirik teman-
nya, seperti meminta pendapat. Setelah melihat
temannya mengangguk dia berkata, "Semalam,
seseorang berpakaian hijau telah menyelinap ma-
suk ke rumah ini. Membunuh beberapa orang
penjaga. Juga membunuh Juragan Purna Setyo.
Juragan Putri selamat karena semalam dia tidur
di kamar Nimas Ken Fitria."
Kata-kata si penjaga mengobarkan amarah
di dada para penduduk yang berkerumun. Mereka
tak pernah menerima keadaan itu karena selama
ini Juragan Purna Setyo selalu memperhatikan
keadaan mereka. Saat itu pula orang yang tadi
buka mulut memerintahkan beberapa orang un-
tuk segera melacak si pembunuh.
Di antara salah seorang yang berkerumun
ini, nampak satu sosok tubuh ramping berparas
jelita. Sejak tadi gadis berusia sekitar tujuh belas tahun ini hanya terdiam,
tetapi menguping apa
yang telah terjadi.
"Seseorang berpakaian hijau" Siapa dia"'
tanyanya dalam hati. Lalu menyeruak ke depan.
Di hadapan kedua penjaga itu si Jelita berambut
indah ini bertanya, "Apakah ada yang mengenali si pembunuh?"
"Menurut Toha yang masih bisa disela-
matkan, pembunuh itu seorang perempuan tua
yang di hidungnya terdapat sebuah anting," sahut si penjaga setelah memandangi
gadis berpakaian
merah muda itu beberapa saat.
"Ketika terjadi kejadian itu, kalian berada di mana?"
Pertanyaan si gadis membuat wajah kedua
penjaga itu memerah. Dengan kata lain, si gadis
seperti menyelidik keberadaan mereka. Penjaga
yang berdiri di sebelah kanan menyahut, "Kami sedang berkeliling di luar sekitar
rumah ini. Dan ketika kami kembali, keadaan sudah kacau-balau. Juragan Purna
Setyo telah tewas."
"Ke mana si pembunuh itu pergi?" tanya si gadis seperti tidak puas.
Lagi kedua penjaga itu tak segera menja-
wab. Dalam keadaan seperti ini, mereka agak
jengkel karena didesak oleh pertanyaan-
pertanyaan si gadis.
Tindakan gadis berpakaian merah muda
itu tak luput dari sepasang mata yang berdiri di antara kerumunan itu di sebelah
kanan. Dan... Astaga! Sepasang mata itu bersorot angker, men-
gerikan dan mampu membuat orang putus nyali.
Si pemilik mata angker yang mengenakan rompi
berwarna ungu ini membatin, "Dari pertanyaan yang diajukan gadis itu, nampaknya
dia mencuri-gai sesuatu. Atau mungkin... dia mengenal si
pembunuh?"
Saat ini salah seorang penjaga sedang
menjawab pertanyaan si gadis, "Tak ada yang melihat ke arah mana si pembunuh
pergi. Setelah menjarah emas batangan simpanan Juragan Pur-
na Setyo, dia lenyap begitu saja."
Si gadis tampaknya tidak puas dengan ja-
waban itu. Tetapi dia urung melontarkan perta-
nyaannya lagi, karena orang-orang yang berke-
rumun sudah mendesak masuk. Buru-buru si
gadis menyingkir termasuk kedua penjaga itu,
yang mau tak mau membiarkan para penduduk
yang ingin melihat keadaan Juragan Purna Setyo.
Gadis berpakaian merah muda itu segera
menyingkir, lalu berlari dengan gerakan yang
mengagumkan. Pemuda bermata angker yang sejak tadi
memperhatikannya, segera menyusul ke mana
perginya si gadis. Dijaga jaraknya agar tidak sampai memancing perhatian si
gadis. Di sebuah tempat yang dipenuhi pepoho-
nan dan agak jauh dari desa itu, si gadis beram-
but indah menghentikan larinya. Tak ada napas
terengah yang terdengar. Dada busungnya tetap
bergerak, seirama napasnya yang tenang.
"Perempuan tua berpakaian hijau.... Me-
makai anting pada hidungnya.... Hemm... apakah
memang dia yang melakukannya?" desisnya pelan seraya memperhatikan
sekelilingnya. Saat ini matahari mulai menampakkan ca-
hayanya, menerangi tempat itu. Untuk beberapa
lama si gadis terdiam seraya menarik-narik hi-
dung mancungnya.
"Guru memerintahkanku untuk melacak
jejak perempuan tua yang berciri seperti si pem-
bunuh. Guru tak pernah mengatakan padaku
mengapa dia menyuruhku melakukan tindakan
ini. Setelah aku mengetahui di mana dia berada,
Guru menyuruhku untuk kembali ke Istana Ger-
bang Merah. Ah... apakah...."
Seraya memutus desisannya, si gadis me-
malingkan kepalanya ke samping kanan. Menyu-
sul bentakannya yang menggema, "Rupanya ada manusia iseng yang mencuri dengar
seperti maling kesiangan!!"
Wuuutttt!! Gelombang angin menggebrak setelah tan-
gan kanannya dikibaskan!
Blaaarrr!! Sebuah pohon yang ditujunya terhantam
hingga bergetar. Dedaunannya kontan bergugu-
ran. Di lain saat pohon itu berderak dan patah di bagian tengah. Jatuh berdebam
menindih semak belukar di belakangnya.
Secepat kilat si gadis memburu ke sana.
Tetapi tak ditemukannya siapa pun juga. Justru
satu suara terdengar di belakangnya,
"Ketelengasan yang kau lakukan dapat
mencelakakan orang lain! Apakah tak ada tinda-
kan yang lebih baik seperti yang kau lakukan ba-
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rusan"!"
Seketika si gadis memutar tubuhnya. Dili-
hatnya satu sosok tubuh gagah berompi ungu
yang memperlihatkan dada bidang dipenuhi otot,
telah berdiri berjarak dua belas langkah dari tempatnya. Kemarahan segera naik
ke ubun-ubun si
gadis. Dia hampir saja melontarkan bentakan ke-
ras, tetapi urung dilakukannya.
* * * "Astaga!" desisnya dengan mata melebar.
"Tatapannya... gila! Tatapannya sangat mengerikan!" Tanpa disadarinya dadanya
sedikit berdebar. "Dan tadi... aku sama sekali tak melihat gerakannya
menghindari seranganku. Hemm... ten-
tunya pemuda ini bukan orang sembarangan. Aku
harus bersiap bila dia bermaksud buruk!"
Pemuda berkuncir kuda itu masih terse-
nyum. Lalu menggaruk kepalanya yang sedikit
gatal. Saat menggaruk itu terlihat sisik-sisik coklat sebatas siku memenuhi
tangan kanannya. Si-
sik yang sama pun terdapat di tangan kirinya.
"Tak ada maksudku untuk bersikap seperti
maling kesiangan!" katanya lembut. "Hanya rasa penasaranlah yang membuatku
bertindak seperti
ini!" Gadis berpakaian merah muda itu tak bu-ka suara. Masih dipandanginya wajah
tampan di hadapannya. "Tatapannya benar-benar mengerikan. Dan
kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik cok-
lat. Hemm... siapa pemuda yang bersikap sopan
tetapi telah berlaku seperti maling kesiangan ini?"
gumamnya dalam hati.
Seraya mengangkat dagunya sedikit hingga
memperlihatkan leher jenjang yang indah, si gadis berseru, "Aku tak suka mencari
silang sengketa!
Sebelum keadaan ini berubah menuju ke sana,
sebaiknya tinggalkan tempat ini!"
Pemuda gagah itu masih tersenyum.
"Kukatakan tadi, karena rasa penasaran
itulah yang membuatku mengikutimu...."
"Mengikutiku" Brengsek! Tentunya dia te-
lah mengikutiku dari rumah mendiang Juragan
Purna Setyo! Hebat, mengapa aku baru tahu ke-
hadirannya di sini!" kata si gadis dalam hati. Masih mengangkat dagunya dan kali
ini kedua tan- gannya mengepal dia berseru,
"Aku bukanlah orang yang tepat untuk di-
jadikan sebagai tempat penumpahan rasa pena-
saran! Tetapi aku bukan pula orang yang suka
membiarkan orang lain penasaran! Apa yang me-
nyebabkanmu penasaran seperti itu"!"
"Pertanyaan-pertanyaan yang kau lontar-
kan pada kedua penjaga Juragan Purna Setyo!"
sahut si pemuda. "Dari pertanyaan-pertanyaan.
yang kau lontarkan, kau nampaknya mengetahui
sesuatu! Bahkan aku menduga, kau mengenal
siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!"
Si gadis tak menjawab. Matanya meman-
dang tak berkedip pada si pemuda, yang kemu-
dian dikerjap-kerjapkannya karena tak mampu
menatap lebih lama.
"Biar kau tidak penasaran kujawab kata-
katamu! Ya, dari ciri-ciri yang dikatakan kedua
penjaga itu, aku seperti mengenali siapa pembu-
nuh Juragan Purna Setyo!"
"Apakah kau keberatan untuk mengata-
kannya padaku?"
"Kau terlalu lancang, terlalu banyak ingin
tahu urusan orang!"
"Karena masih ada rasa penasaran di hati-
ku!" "Brengsek! Dia begitu tenang sekali," geram si gadis dalam hati. Kemudian
berkata, "Aku mengatakan, seperti mengenali pembunuh itu, tetapi belum pasti
benar apa yang kukatakan! Dia
seorang nenek yang bernama Sekar Sengkuni!"
"Bila kau menduga seperti itu, berarti kau
mengenal siapa Sekar Sengkuni!"
Si gadis menggeleng. Rambut indahnya
bergerak manja.
"Tidak! Jangankan mengenalnya, melihat-
nya pun tidak pernah!" sahutnya.
"Kalau begitu... kau tentunya sedeng men-
cari perempuan tua Itu, bukan?"
"Kau terlalu lancang bertanya!"
"Penasaranlah yang...."
"Kurang ajar!!" si gadis tiba-tiba mendorong tangan kanan kirinya secara
bersamaan, lalu menyentak ke atas. Dua gelombang angin yang ke-
luar dari dorongan kedua tangannya menderu ke-
ras, lalu bertemu, berpilin menjadi satu dan tiba-tiba menyentak ke atas!
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku itu hanya menjerengkan ma-
tanya. Lalu melirik ke atas. Dilihatnya gelombang angin deras yang berpilin
menjadi satu tiba-tiba meluruk turun dengan suara berdenging-denging.
"Hebat!" desisnya dalam hati. Mendadak dia mendehem cukup keras.
Blaaaammm!! Luruhan angin deras itu tiba-tiba putus di
tengah jalan seperti tertabrak satu tenaga yang
tak nampak. Lalu menyebar dan membuat rang-
gasan semak hangus!
Sampai surut satu langkah si gadis melihat
apa yang dilakukan si pemuda.
"Gila! Hebat sekali! Sungguh hebat!" desisnya tanpa dapat menutupi kekagumannya.
Tetapi di lain saat dia sudah menggeram dengan wajah
mengkelap, "Pemuda bersisik! Jangan-jangan...
kau adalah orang Sekar Sengkuni!"
Si pemuda menggeleng.
"Tidak! Seperti dirimu, aku juga tidak per-
nah mengenal siapa Sekar Sengkuni! Tetapi sung-
guh, aku penasaran ingin mengenalnya! Dia ha-
rus mendapat hukuman atas perbuatan yang di-
lakukannya! Karena aku menduga, dia tak akan
sekali itu saja membunuh dan menjarah harta
orang!" "Sombong!"
Si pemuda hanya tersenyum. Yang dikata-
kannya tadi hanyalah ingin mengetahui akan si-
kap si gadis tentang perempuan tua bernama Se-
kar Sengkuni. "Dari sikapnya, gadis ini nampaknya begitu
muak pada orang bernama Sekar Sengkuni. Aku
tidak tahu apa yang menyebabkannya demikian.
Tetapi tak mustahil dia akan mencari perempuan
tua itu, entah untuk apa," kata si pemuda dalam hati. Lalu berkata, "Namaku Boma
Paksi...."
"Siapa sudi mengetahui namamu, hah"!"
seru si gadis. "Berarti kau keberatan untuk menye-
butkan namamu, bukan?"
"Aku bukan hanya keberatan untuk mela-
kukannya, tetapi juga berjanji tak akan berjumpa lagi denganmu!"
"Bagiku bukanlah sebuah masalah besar.
Sebelum kita berpisah, masih ada yang ingin ku-
tanyakan padamu!" kata Boma Paksi alias Raja Naga sambil tersenyum.
Si gadis sudah menyambar, "Karena rasa
penasaranmu lagi"!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tertawa
mendengar kata-kata si gadis.
"Mungkin, mungkin karena rasa penasa-
ranku! Mengapa kau mencari si pembunuh itu?"
"Itu urusanku!"
"Betul, betul sekali! Itu memang urusan-
mu!" "Tak ada lagi yang perlu ditanyakan!" seru si gadis sambil berbalik dan
melangkah bergegas.
Raja Naga tersenyum.
"O ya! Bagaimana bila aku berjumpa den-
gan pembunuh itu, lalu kukatakan kalau kau
mencarinya?"
"Katakan padanya, kalau aku, Galuh Tantri
datang mencarinya!!" seru si gadis yang tiba-tiba berhenti melangkah. Kepalanya
menegak. "Keparat! Dia menjebakku hingga kusebutkan nama-
ku!" geramnya.
Kejap itu pula dia berbalik dan siap mema-
ki. Tetapi pemuda bersorot mata angker itu sudah tidak ada di tempatnya.
"Brengsek! Brengsek!!" geramnya sambil menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah
hingga mengepul ke udara dan membentuk sebuah lu-
bang. Kejengkelan masih membias di wajahnya
sampai kemudian dia tersenyum sendiri.
"Ih! Ternyata pemuda itu cukup pintar! Dia
dapat mengorek keterangan tanpa kusadari!
Brengsek! Tetapi... wajahnya tampan sekali, wa-
laupun matanya bersorot angker. Biarpun berso-
rot angker, dia bukanlah orang golongan sesat.
Dan ilmunya sangat tinggi. Dia dapat mematah-
kan seranganku hanya dengan... ampun! Kenapa
aku jadi memikirkan dia"!"
Walaupun jengkel dengan apa yang dipi-
kirkannya, tetapi wajah dara jelita bernama Ga-
luh Tantri ini memerah.
"Brengsek! Aku tidak mau lagi bertemu
dengan pemuda bersisik coklat pada lengan ka-
nan kirinya!" desisnya lagi. Setelah terdiam beberapa saat, gadis ini segera
meninggalkan tempat
itu, berlawanan arah dengan yang ditempuh Raja
Naga. Tetapi herannya, wajah tampan dan sikap
konyol pemuda berompi ungu itu masih mem-
bayang di benaknya.
TIGA PEREMPUAN setengah baya berpakaian
putih itu menghentikan langkahnya di sebuah da-
taran rendah. Tak jauh dari tempatnya berdiri sebuah bukit karang. Di kejauhan
sana, bayangan beberapa ekor burung melayang bermandikan
matahari senja.
Perempuan ini menikmati keindahan itu
beberapa saat. Sisa-sisa kecantikannya masih
terbayang. Sepasang alisnya tebal dengan bulu
mata lentik dan sepasang mata bersorot teduh.
Sepasang payudaranya masih membusung ken-
cang. Sebuah tahi lalat kecil pada dagu kirinya menambah bias-bias sisa
kecantikannya. "Tala Kangkang... di mana kau?" desisnya seraya menundukkan kepala. Kali ini
terlihat wajahnya dipenuhi kerinduan dalam. "Siang malam tak pernah kulupakan
dirimu. Siang malam selalu kurindui dirimu. Ah, apakah kau masih memi-
liki perasaan yang sama seperti diriku?"
Pelan-pelan perempuan ini mengangkat
kepalanya. Mata indahnya dibaluri kerinduan
yang sangat. "Berpuluh tahun aku kembali ke tanah ke-
lahiranku untuk melupakan segala yang pernah
terjadi. Tetapi aku tak pernah bisa melupakan-
nya...." Perempuan yang ternyata Woro Lolo atau yang bernama asli Mayang Kinanti
ini menarik napas pendek. Keputusan yang pernah diambil-
nya tiga puluh lima tahun lalu ternyata merupa-
kan keputusan yang menyiksa seluruh hidupnya.
Diputuskan untuk meninggalkan Tala
Kangkang, orang yang sangat dicintainya karena
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang. Kala itu Woro Lolo merasa sangat bersalah, karena dengan mencintai dan
mendapatkan cinta
Tala Kangkang, berarti dia telah mengorbankan
perasaan Sekar Sengkuni, terutama semenjak dia
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang. Saat itu Woro Lolo merasa kalau dia telah memusnahkan hubungan baik antara
Sekar Sengkuni dan Tala Kangkang, hingga diambilnya
sebuah keputusan yang menyesakkan dadanya.
Tala Kangkang berusaha menahannya, berusaha
menjelaskan keadaan. Selama ini Sekar Sengkuni
hanya dianggap sebagai sahabatnya belaka, tak
ada benih cinta yang bersemayam dan tumbuh
menjadi besar. Tetapi sebagai sesama wanita, Woro Lolo
dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Se-
kar Sengkuni. Bahkan dimakluminya ketika bebe-
rapa kali Sekar Sengkuni berusaha membunuh-
nya. Hal itulah yang membuatnya bersikeras un-
tuk kembali ke Pulau Andalas, menghentikan jiwa
petualang yang dimilikinya.
Dipikirnya setelah tiba di tanah kelahiran-
nya, dia dapat mengubur seluruh masa lalunya.
Tetapi ternyata tak semudah yang diperkirakan-
nya. Benih cintanya semakin tumbuh. Kerin-
duannya semakin mendesak. Dicoba melupakan-
nya dengan jalan memperdalam ilmunya dan
menciptakan jurus-jurus baru. Tetapi kerinduan-
nya semakin bergelora.
Setelah bertahan tiga puluh tahun lebih
lamanya, Woro Lolo akhirnya memutuskan untuk
kembali ke tanah Jawa, untuk mencari Tala
Kangkang. Dia tidak tahu, apakah Tala Kangkang
memang akhirnya menikah dengan Sekar Seng-
kuni, atau justru dengan orang lain.
Perempuan berpakaian putih bersih ini
mendesah pendek, mengingat kalau dirinya be-
lum menikah hingga saat ini.
Senja terus menurun. Woro Lolo memu-
tuskan untuk meneruskan langkahnya seraya
mencari keterangan di manakah Tala Kangkang
tinggal.
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi harinya dia mampir di sebuah kedai
untuk mengisi perut. Tak jauh darinya tiga orang lelaki sedang bercakap-cakap
sambil memegang
beberapa helai baju.
"Orang-orang Istana Gerbang Merah me-
mang baik! Kalau tiga hari lalu dia memberi kita makanan, kali ini pakaian!"
sahut yang bertubuh gemuk sambil mengunyah nasi kebuli di hadapannya. Porsinya
lebih banyak dari dua orang te-
mannya. Baju baru yang dipegangnya diletakkan
di sisi kanannya.
"Betul! Tetapi hingga saat ini, kita belum
pernah melihat siapa orang yang memimpin Ista-
na Gerbang Merah kecuali mendengar namanya
saja!" sahut yang bertubuh kerempeng. Mulutnya penuh dengan nasi dan sedikit
berhamburan ke arah si Gemuk. Si Gemuk melotot yang disambut dengan
tawa oleh si Kerempeng.
Yang bertubuh sedang berkata, "Aku ingin
suatu hari kita mendatangi istana Gerbang Me-
rah. Aku ingin mengucapkan terima kasih lang-
sung pada Resi Tala Kangkang...."
Woro Lolo yang sebenarnya tak begitu ber-
nafsu untuk menikmati sarapan paginya, mene-
gakkan kepala ketika mendengar nama itu dis-
ebutkan. "Resi Tala Kangkang" Apakah... dia orang
yang kurindukan?" tanyanya dalam hati. Tanpa sadar dadanya berdebar dan
ditajamkan telin-
ganya untuk mendengar percakapan itu lebih lan-
jut "Aku juga begitu," kata si Kerempeng.
Woro Lolo makin tak berselera untuk
menghabisi hidangannya. Setelah membayar dia
melangkah mendekati ketiga orang itu. Sudah
tentu kedatangannya mengejutkan mereka. Tetapi
pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang
ramah. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilon-
tarkan perempuan setengah baya itu mereka ja-
wab penuh kegembiraan.
Merasa keterangan yang didapatkannya
sudah cukup, Wore Lolo segera meninggalkan
orang-orang itu yang menatap kepergiannya den-
gan terkagum-kagum.
"Hebat! Ku taksir perempuan itu berusia
lebih dari setengah abad," kata si Gemuk. "Tapi wajahnya... amboi! Masih
cantik!" "Hei, hei! Kalian perhatikan tidak dadanya
tadi?" kata yang bertubuh sedang.
Si Gemuk yang duduk di sampingnya lang-
sung mendorong kening temannya.
"Kebluk! Matamu selalu ke benda keramat
itu saja!" ejeknya. "Apa kau tidak puas dengan dada besar istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku"!"
Temannya mendengus.
"Seharusnya dia jadi istrimu! Dan istrimu
jadi istriku!"
Si Gemuk tertawa.
"Kalau aku dapat istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku itu sudah tidak aneh! Ma-
kanya kucari istri yang bertubuh langsing! Kalau kau mendapatkan istri yang
gemuk itu, ya sudah
rezekimu!"
Si Kerempeng tertawa geli dan berkata,
"Betul! Kau kan bisa menghisap bukit kembarnya yang gede betul!"
Temannya mendengus lagi.
"Brengsek kalian, ah! Sudah, sudah! Ayo
makan! Kita harus segera pulang!"
"Hei! Kau tidak mau ke sawah lagi"!" tanya si Kerempeng.
"Gara-gara dada perempuan itu, aku jadi
ingin membajak sawah istriku saja!"
Ketiganya tertawa bersamaan.
* * * Sambil terus berlari ke arah barat, Woro
Lolo membatin, "Istana Gerbang Merah... Resi Ta-la Kangkang... apakah memang
dia, orang yang
kurindukan siang dan malam?"
Semakin dipikirkan, semakin bertambah
kerinduannya. Rasa tak sabarnya untuk menge-
tahui siapakah Resi Tala Kangkang yang dimak-
sud oleh tiga lelaki di kedai itu, membuatnya untuk terus berlari. Sekejap pun
tak ada niatan untuk menghentikan larinya.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
dari ketiga orang tadi, dia harus menuju ke barat.
Di balik sebuah bukit kapur, di sanalah Istana
Gerbang Merah berada.
Tepat matahari berada di atas kepala, pe-
rempuan berpakaian serba putih ini menghenti-
kan larinya di sebuah jalan setapak. Bukan kare-
na merasa lelah, bukan pula karena memutuskan
untuk beristirahat. Tetapi, berjarak lima betas
langkah di hadapannya telah berdiri seorang ka-
kek bertubuh bongkok yang mengenakan pakaian
merah acak-acakan.
Dari caranya berdiri yang tepat di tengah
jalan, dapat dipastikan kalau si kakek memang
sedang menantinya. Woro Lolo sendiri merasakan
hal itu. Kendati agak sedikit jengkel mengingat
dia harus tiba di Istana Gerbang Merah guna
memuaskan perasaan ingin tahunya, Woro Lolo
tersenyum seraya melangkah.
"Orang tua! Dari tempatmu berdiri nam-
paknya kau sedang menanti seseorang! Apakah
memang demikian adanya?" serunya setelah
memperpendek jarak.
Kakek berjenggot menjuntai itu mengang-
kat kepalanya. Mata celongnya yang berkilat-kilat merah memandang tak berkedip
pada Woro Lolo.
Woro Lolo melihat kalau kedua mata itu sesaat
membelalak. "Astaga naga!" desis si kakek sambil menyeringai lebar. "Sejak dua hari lalu
kutinggalkan Lembah Serigala, baru sekarang kulihat ada perempuan sedemikian
jelita!" Memerah kedua telinga Woro Lolo. Tetapi
perempuan ini tetap tersenyum.
"Saat ini aku sedang terburu-buru, hingga
sudilah kiranya kau memberi jalan padaku...," katanya.
"Jalan di samping kanan kiriku cukup le-
bar, kau dapat melewatinya. Atau... kau memang
ingin melangkah pada tempat di mana aku berdiri
sekarang?"
Woro Lolo paham arti ucapan itu, yang se-
cara tidak langsung mengejeknya
"Baiklah... aku mengambil jalan sebelah ki-
rimu...," katanya sambil melangkah. Kendati bibirnya tersenyum, diam-diam
perempuan dari Pu-
lau Andalas ini bersiaga ketika melewati jalan di sebelah kiri si kakek bongkok.
Mendadak... tap!
Bahu kanannya dijamah dan dipegang erat
oleh si kakek! Woro Lolo menindih kemarahannya. Ham-
pir saja dikibaskan tangan itu. Tetapi karena tak mau membuka urusan, digerakkan
bahunya sedikit. Jamahan tangan si kakek terlepas.
Kontan kakek bongkok itu terbahak-bahak
keras. Debu di sekelilingnya berhamburan.
"Aku menyukai perempuan yang galak!
Dan itu artinya... kau tidak bisa kemana-mana,
sebelum bermain-main denganku!"
Habis ucapannya, tiba-tiba saja si kakek
melesat ke depan. Gerakannya sangat sukar di-
ikuti oleh mata. Hanya karena desiran angin yang mengarah padanya saja Woro Lolo
segera berkelit.
Dan menggerakkan tangannya untuk menahan
tangan kanan si kakek yang mengarah pada se-
pasang bukit kembarnya
Plak! Plak! Woro Lolo surut dua tindak dengan mata
mulai dibiasi amarah, sementara di pihak lain si kakek berpakaian merah compang
camping membuang tubuh ke belakang dan hinggap di atas ta-
nah dengan ringannya
Tawa kerasnya masih terdengar
"Menyenangkan, sangat menyenangkan!
Sebelum kita teruskan main-main ini, aku hen-
dak bertanya padamu!"
Woro Lolo yang mulai dihinggapi rasa ma-
rah karena mendapati sikap kurang ajar si kakek
mendesis dingin, "Aku sendiri baru tiba di tanah Jawa, dan belum mengetahui apa-
apa! Tidak tepat kiranya bila kau hendak menjadikanku seba-
gai tempat bertanya!"
"Tidak tepat sebagai tempat bertanya, bu-
kan urusan penting! Karena yang pasti, kau ada-
lah tempat yang tepat sebagai pemuas nafsuku!!"
Hampir saja Woro Lolo melesat untuk me-
nampar mulut kurang ajar itu. Tetapi masih di-
tindih amarahnya
"Aku tak punya banyak waktu! Mungkin
kelak, akan kulayani keinginanmu untuk ber-
main-main!" serunya sambil berlari kembali.
Tetapi gemuruh angin yang keluarkan sua-
ra berdenging-denging itu membuatnya menghen-
tikan larinya seraya membuang tubuh ke samping
kiri. Blaaaammm!!
Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar
ke udara. Begitu tanah itu luruh, terlihat sebuah lubang yang mengeluarkan asap
berbau busuk. "Kau terlalu memaksa!" geram Woro Lolo
dengan mata menyipit.
Si kakek hanya terbahak-bahak saja.
"Aku ingin kita bermain-main sekarang!
Kau akan berterima kasih bila sudah merasakan
betapa hebatnya aku dalam bercinta!" serunya semakin membuat kegeraman Woro Lolo
memun-cak. "Dan biasanya... setelah puas bercinta, aku suka membunuh lawan
mainku! Jadi... jawab
pertanyaanku sekarang!"
"Keparat! Belum apa-apa aku sudah ber-
temu dengan manusia seperti ini!" geram Woro Lolo dalam hati. "Sebaiknya biar
kudengar dulu apa pertanyaannya, barangkali saja ternyata memang penting
untukku." Di seberang si kakek sudah angkat bicara,
"Tahukah kau di mana Istana Gerbang Merah berada"!" Kepala Woro Lolo sedikit
terangkat. Matanya memicing. Lalu menyahut, "Baru kudengar nama Istana Gerbang
Merah!" "Sayang, sayang sekali...," si kakek menggeleng-geleng.
"Mengapa kau menanyakan tentang Istana
Gerbang Merah"!"
"Percuma kukatakan padamu karena kau
sendiri tidak tahu! Sebaiknya, kita langsung bermain cinta saja! Ayo, buka
pakaianmu!!"
"Terkutuk!!" mengkelap wajah Woro Lolo.
Kedua tangannya mengepal kuat pertanda dia se-
dang berusaha menahan kemarahannya.
Si kakek kali ini terkekeh.
"Ya, ya! Seperti juga kebiasaanku yang lain,
aku selalu membuat orang tidak penasaran!" katanya tiba-tiba. "Aku ingin
menghancurkan Istana Gerbang Merah!"
"Mengapa?" seru Woro Lolo.
"Huh! Manusia keparat yang memiliki Ista-
na Gerbang Merah telah menorehkan sebuah luka
pada diri seorang perempuan tiga puluh lima ta-
hun yang lalu! Dan karena manusia itu pula pe-
rempuan yang kucintai akhirnya lenyap tanpa
bekas!" "Urusanmu adalah sesuatu yang berat!
Kau hendak melampiaskan dendammu dengan
cara yang salah! Apakah...."
"Tutup mulutmu!" hardik si kakek bong-
kok. "Kau tidak tahu betapa sakit hatiku ketika mendengar kata-kata perempuan
yang kucintai! Kalau aku tidak pantas dicintainya, karena aku
tidak seperti lelaki yang dicintanya! Dan kau ta-hu... apa yang dikatakannya
agar dia bisa men-
cintaiku" Aku harus membunuh lelaki keparat
itu!" "Kau semakin banyak membuang waktuku!" Si kakek menggeram sengit. "Aku
telah bersumpah demi langit dan bumi! Tala Kangkang
harus mampus kubunuh! Biar Sekar Sengkuni
utuh menjadi milikku!!"
Sampai mundur tiga tindak Woro Lolo
mendengar ucapan si kakek. Kepalanya menegak
dengan mulut membuka yang memperlihatkan lo-
rong indah di dalamnya
"Astaga!" ucapnya dalam hati dengan dada
berdebar. "Jadi... Istana Gerbang Merah... Resi Tala Kangkang... memang dia...
memang dia orang yang kucintai! Kakek celaka ini telah men-
jelaskan semuanya, Sekar Sengkuni...."
Di seberang si kakek menggeram seraya
menyipitkan matanya, "Perempuan cantik! Kau seperti terkejut! Aku yakin kau
mengetahui sesuatu"!" Woro Lolo tak menjawab.
"Aku mengerti sekarang... sangat menger-
ti... Berarti, niat kakek ini harus kuhalangi..."
Habis membatin begitu perempuan bertahi
lalat di dagu ini berkata, "Sejak anak manusia di-ciptakan, urusan cinta tak
pernah berkesudahan!
Urusan cinta berbaur dendam! Kakek bongkok!
Aku tak ingin melibatkan diri dalam urusanmu!
Tetapi niat busukmu untuk membunuh seseorang
bernama Tata Kangkang jelas-jelas harus dice-
gah!" Kakek bongkok itu mengerutkan keningnya. Sorot matanya penuh kecurigaan.
Beberapa saat kemudian, terdengar desisannya, dingin, "Perempuan cantik! Kau
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembunyikan sesuatu
dariku, sesuatu yang tidak kuketahui dan kau ke-
tahui! Katakan sebelum ku ubah niatku untuk ti-
dak langsung membunuhmu!"
"Berbicaralah selagi kau, masih bisa berbi-
cara seenak perutmu, Kakek celaka!!" seru Woro Lolo dengan kaki sedikit dibuka.
"Perempuan keparat! Mencoba memusliha-
tiku adalah sebuah kebodohan! Keterkejutanmu
kala ku sebutkan nama Tala Kangkang maupun
Sekar Sengkuni membuktikan kalau kau menge-
tahui sesuatu! Atau... jangan-jangan... kaulah
Woro Lolo alias Mayang Kinanti, perempuan cela-
ka yang telah menghancurkan hidup perempuan
yang kucintai"!"
"Tebaklah sesuka hatimu! Kelak kita ber-
temu lagi!"
"Jangan harap kau bisa lari dari tangan-
ku!!" seru si kakek bongkok sambil mendorong tangan kanannya, disusul dengan
dorongan tangan kiri!
EMPAT WORO LOLO yang sudah melangkah harus
membuang tubuh ke samping tatkala gelombang
angin beruntun menggebrak ke arahnya. Baru sa-
ja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dia telah melenting ke depan seraya
mendorong kedua tangannya.
"Kau terlalu memaksa!!"
Wussss! Wusss! Blaaam! Blaaamm!
Gelombang angin yang terlontar dari kedua
tangannya putus di tengah jalan terhantam satu
tenaga deras. Tubuh Woro Lolo terhuyung ke be-
lakang, keseimbangannya hilang sesaat.
"Astaga! Tenaga dalamnya luar biasa! Aku
bisa celaka!" serunya dalam hati.
Di seberang kakek bongkok itu sudah
menderu kembali. Jari jemarinya membentuk ca-
kar. Dan dia menggereng keras laksana serigala
murka. Woro Lolo berhasil menghindari sambaran
cakaran yang mengarah pada bagian-bagian tu-
buhnya. Bahkan dia berhasil memukul dada si
kakek hingga terjajar ke belakang.
Kejadian itu membuat si kakek menggereng
setinggi langit. Parasnya berubah mengerikan.
Gerengan laksana seekor serigala terdengar keras disusul dengan satu lompatan
seperti menerkam.
Kedua tangannya membuka, dengan jari jemari
melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua
tangannya. Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-
rasnya. Woro Lolo yang baru saja mengembalikan
keseimbangannya, surut tiga tindak karena mera-
sakan satu dorongan tenaga menerpa dadanya. Di
lain kejap, perempuan setengah baya jelita ini melompat ke samping kiri.
Karena segumpal cahaya merah melesat
dan tiba-tiba meletup pecah. Muncratannya me-
luncur ke arah Woro Lolo dengan suara mendeng-
ing-denging. Woro Lolo mengertakkan rahangnya seraya
palangkan kedua tangannya di depan dada. Terli-
hat cahaya putih merebak di hadapannya, lalu...
Wuuussss!! Cahaya putih yang mengandung hawa din-
gin itu melesat ke depan, membentur keras mun-
cratan sinar merah yang berdenging-denging. Le-
tupan beberapa kali terdengar seiring berhambu-
rannya sinar merah dan cahaya putih hingga
tempat itu terang sesaat. Beberapa buah pohon
besar yang tumbuh di sana bergetar karena kuat-
nya letupan itu, menyusul bertumbangan hingga
menambah gemuruh di sekitar sana.
Tanah yang menghambur ke udara belum
luruh, gumpalan sinar merah telah mencelat
kembali. Kali ini dua buah dan seperti yang per-
tama tadi, meletup pecah, lalu bermuncratan
dengan suara berdenging-denging.
Woro Lolo mengulangi tindakannya yang
pertama. Kembali letupan dahsyat terjadi. Di an-
tara letupan itu terdengar seruan tertahan Woro
Lolo, "Aaaakhhhh!!"
Tubuhnya terdorong ke belakang. Tangan
kirinya melepuh karena salah satu muncratan si-
nar merah itu menerpa tangannya. Cepat ditekap
bagian yang melepuh itu dengan tangan kanan-
nya. Dialirkan hawa dingin, walau perih tak terki-ra, tetap dipaksakannya. Asap
menggebrus dan ketika diangkat tangan kanannya, luka itu tidak
terlalu sakit meskipun meninggalkan bekas.
Diangkat kepalanya penuh amarah, dita-
tapnya kakek bongkok berpakaian merah com-
pang-camping yang berdiri di tempatnya sambil
menyeringai. "Aneh! Mengapa dia tidak melanjutkan se-
rangannya?" Woro Lolo bertanya dalam hati dengan sikap waspada. "Ada sesuatu
yang aneh.... Bibirnya menyeringai, penuh ejekan. Apakah
dia.... Heiii!!"
Wajah Woro Lolo menegang. Tubuhnya
bergetar. "Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya yang mendadak limbung. Bersikeras perempuan
bertahi lalat di dagu ini untuk menjaga keseimbangan-
nya. Tetapi hawa panas telah mendera sekujur
tubuhnya, masuk dalam aliran darahnya. Dia
berteriak keras, "Kakek keparat! Apa yang kau lakukan"!"
Kakek bongkok itu terkekeh penuh ejekan.
"Mengapa kau bertanya padaku" Memang-
nya apa yang telah kulakukan?" ejeknya.
"Hemm... perempuan manis... apakah kau tidak merasa kepanasan" Ayo, buka saja
pakaianmu... biarkan angin dingin menerpanya..."
"Gila! Mengapa jadi begini?" seru Woro Lolo dalam hati. Ketegangannya semakin
kentara. Ha-wa panas terus gencar menyelimuti dirinya.
"Hehehe... ayo, buka pakaianmu bila kau
tidak ingin kepanasan...."
"Terkutuk!!" maki Woro Lolo dan menerjang ke depan. Tetapi tiba-tiba saja dia
ambruk berlutut. Getaran tubuhnya semakin kuat. Hawa panas
dalam tubuhnya tak terkira lagi. "Celaka! Tentunya ini berasal dari tanganku
yang terkena muncratan sinar merah yang dilontarkannya. Ke-
parat! Rupanya serangan itu mengandung...
aaakh...."
"Mengapa kau tak segera buka pakaian-
mu?" seru si Kakek bongkok sambil terkekeh. "Il-mu 'Serigala Murka' mengandung
satu keajaiban yang kini kau rasakan!!"
Sekujur tubuh Woro Lolo semakin bergetar.
Keringat sebesar biji jagung sudah bermunculan
membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya meme-
rah. Sesuatu yang ganjil merasuk ke tubuhnya.
"Celaka! Serangan yang dilontarkannya
mengandung hawa birahi!" geramnya seraya
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan ge-
jolak yang merambah di dadanya. Tiba-tiba kedua
tangannya terangkat ke atas, bergetar kuat dan
dia berusaha menahan sepenuh hati. Tetapi ke-
dua tangannya telah hinggap pada pakaiannya.
"Ayo, buka! Buka! Aku, Demit Serigala, su-
dah tidak sabar untuk melihat apa yang ada di
hadapanku! Ayo, buka! Kita nikmati keindahan
ini dulu sebelum kau mampus ku cabik-cabik!"
Terlihat bagaimana Woro Lolo berusaha
untuk menahan gelora dalam dadanya, menahan
sesuatu yang tak diinginkannya. Tetapi dia justru menggeliat-geliat disertai
desahan erotis. Perlahan-lahan dia bangkit dengan gerakan-gerakan
yang merangsang. Hawa birahi yang masuk ke
tubuhnya telah sepenuhnya menguasai dirinya.
Si kakek yang ternyata berjuluk Demit Se-
rigala terkekeh-kekeh dengan mata nanar.
Dalam keadaan diamuk gelora birahi tak
wajar, Woro Lolo memegang kedua payudaranya
sendiri, meremas-remasnya dalam desahan gairah
tinggi. Bahkan tanpa sadar dia mulai membuka
pakaiannya. Selapis pakaian putih yang menera-
wang terpampang di depan mata Demit Serigala.
"Luar biasa! Sudah kuduga kau memiliki
bukit kembar yang indah!" serunya sambil menelan ludah berkali-kali. "Ayo, buka
pakaian da- lammu itu! Buka pula pakaian bagian bawah!!"
Perempuan setengah baya itu masih me-
remas-remas sepasang bukit montoknya yang
membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis.
Pinggulnya bergerak-gerak penuh gairah. Mulut-
nya mendesis-desis dengan wajah merona. Tu-
buhnya tiba-tiba jatuh di atas tanah terus meng-
geliat-geliat penuh gairah.
Demit Serigala tak bisa lagi menahan gejo-
lak nafsu di dadanya. Dengan menyeringai lebar
dan menelan ludah berkali-kali dia mendekati
Woro Lolo yang kini kedua tangannya menggapai-
gapai "Hehehe... kau memang berilmu tinggi, tetapi tak akan mampu
menandingiku..."
Lalu dengan penuh nafsu ditubruknya tu-
buh Woro Lolo yang sedang diamuk birahi tidak
wajar. Perempuan itu menggeliat-geliat seraya
mendesis-desis ketika tangan kanan kiri Demit
Serigala merambah payudaranya, meremas-
remasnya. Bahkan tak disadarinya tangan kanan
Demit Serigala menyelinap ke balik pakaian ba-
gian bawahnya. Penuh nafsu diciuminya leher jenjang yang
putih itu. Bibir yang meranum basah dan sepa-
sang matanya yang terpejam membuka diamuk
gelora. "Kuhabisi kau sampai tandas!" seru Demit Serigala seraya membuka
pakaiannya. Dia harus
menahan diri sekaligus menahan kedua tangan
Woro Lolo yang memaksanya untuk memeluk tu-
buhnya. "Sabar... sabar...."
Penuh nafsu kembali dicumbunya Woro
Lolo. Tangan kanannya pun siap membuka pa-
kaian tipis yang masih dikenakan Woro Lolo, se-
mentara tangan kirinya siap menarik lepas pa-
kaian bagian bawah perempuan
Tetapi satu suara dingin telah terdengar,
"Orang tua terkutuk! Sungguh memalukan apa
yang telah kau lakukan"!"
Serentak kakek berjenggot menjuntai itu
menoleh ke belakang. Satu sosok tubuh berompi
ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Menatap tajam dengan sorot mata
angker mengerikan.
* * * "Terkutuk!!" geram Demit Serigala sambil menyentak lepas tangan Woro Lolo yang
masih menggeliat diamuk birahi. Dibiarkan desisan-
desisan mengundang dan gapaian tangan Woro
Lolo. Penuh kemarahan dipandanginya pemuda
berompi ungu yang tadi membentaknya. Sesaat
Demit Serigala tersentak tatkala melihat tatapan mengerikan yang terpancar dari
sepasang mata si
pemuda. Tetapi di lain saat dia sudah memben-
tak, "Pemuda berkuncir! Menyingkir dari sini sebelum kulumat hancur tubuhmu!"
Pemuda tampan bersisik itu tak bergeming
di tempatnya. Matanya memancarkan kebencian
dalam. "Keparat!" geram Demit Serigala. Saat itulah dilihatnya lengan kanan kiri
si pemuda seba-
tas siku dipenuhi sisik coklat. "Pemuda bersisik!
Aku tak pernah memerintahkan orang lebih dari
dua kali!"
Belum habis bentakannya, kakek yang te-
lah bertelanjang dada hingga memperlihatkan tu-
lang belulang di tubuhnya sudah melesat ke de-
pan. Tangan kanan kirinya membentuk cakar.
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-
ja Naga adanya menjerengkan sepasang matanya.
Lalu mendehem keras.
Wuuuttt!! Satu tenaga tak nampak menderu keras ke
arah Demit Serigala. Sesaat kakek bongkok itu
tersentak. Tetapi diiringi gerengan semakin keras, diterobosnya tenaga tak
nampak itu. Plaass!! Raja Naga terkejut.
"Gila!"
Segera digerakkan tangan kanan kirinya.
Plak! Plak!! Benturan yang terjadi itu membuat mas-
ing-masing surut tiga tindak ke belakang.
"Gila! Tangannya keras sekali!" geram Demit Serigala separuh terkejut. "Siapa
pemuda keparat ini?"
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Luar
biasa! Dia mampu menerobos tenaga yang keluar
dari dehemanku. Bahkan dia juga biasa saja ter-
kena benturan tadi. Padahal aku sudah mengelu-
arkan setengah dari kekuatan tangan kanan kiri-
ku yang bersisik ini."
Sementara itu Demit Serigala sudah mele-
sat kembali ke depan. Gerengan serigala murka
menggebah keras. Tangan kanan kirinya yang
membentuk cakar dikibaskan, gelombang angin
mendahului serangannya.
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja Naga tak berkedip memandang ke de-
pan. Sorot matanya bertambah angker. Tiba-tiba
saja dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Saat itu pula tanah berderak,
menyusul laksana gelombang di lautan menderu ke arah Demit Seriga-
la dengan suara berderak berulang-ulang.
"Gila!!" maki Demit Serigala seraya membuang tubuh ke samping.
Blaaar! Blaaar! Blaaarrr!!
Letupan yang memuncratkan tanah ke
udara. Itu terdengar tiga kali berturut-turut. Belum lagi luruh muncratan tanah
itu, Demit Seri-
gala sudah menerobos. Membuka kedua tangan-
nya lalu menepukkannya hingga terdengar suara
yang sangat keras.
Raja Naga tersentak tatkala merasakan da-
danya seperti terhantam sesuatu yang keras. Ke-
palanya sendiri menegak dengan mata melebar
tatkala melihat dua buah gumpalan sinar merah
menderu ke arahnya. Belum lagi dia bertindak,
gumpalan-gumpalan sinar merah itu meletup, la-
lu bermuncratan ke arahnya dengan suara ber-
denging-denging.
Raja Naga segera menepukkan tangan ki-
rinya dengan tangan kanannya. Menyusul satu
tenaga yang melesat, didorong kedua tangannya
untuk lepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan'. Gelombang angin yang disemburati asap
merah menggebrak ke depan.
Blaaam! Blaaammm!!
Seketika tempat itu bergetar dahsyat, rang-
gasan semak tercabut, pepohonan bertumbangan
dan tanah berhamburan ke udara. Beberapa
muncratan sinar merah yang tak terhalangi
menghanguskan semak belukar.
Raja Naga yang segera melompat ke samp-
ing kanan begitu benturan terjadi, terhuyung
dengan kaki kiri sedikit terangkat. Diusahakan
untuk mengembalikan keseimbangannya.
Berjarak delapan langkah, Demit Serigala
telah tegak di tempatnya. Sorot matanya tajam
berapi-api. Sementara itu, tubuh Woro Lolo me-
lonjak-lonjak akibat tempat yang bergetar. Masih terpengaruh ilmu aneh dari
Demit Serigala, perempuan itu terus menggeliat-geliat hebat seraya meremas-remas
payudaranya sendiri.
"Pemuda celaka! Siapa kau adanya"!" geram Demit Serigala keras.
Raja Naga menggeram.
"Manusia busuk seperti kau tak pantas un-
tuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" serunya yang dalam sekali lihat saja tadi,
tahu kalau perempuan setengah baya itu berada dalam penga-
ruh yang tidak wajar.
"Setan bersisik! Kau telah mengundang
kemarahan di dalam dadaku!!"
Demit Serigala menerjang lebih mengeri-
kan. Raja Naga sendiri sudah melesat ke depan.
Berulang kali tangan dan kaki mereka berbentu-
ran. Berulang kali tanah bergetar dan letupan
terdengar dahsyat.
Hingga kemudian masing-masing orang
mundur beberapa langkah, lalu menderu dengan
kedua telapak tangan mendorong.
"Heaaaa!!"
"Mampuslah kau, Pemuda, celaka!!"
Gelombang angin yang menderu berham-
buran. Lalu....
Tap! Tap! Telapak tangan masing-masing orang ber-
temu satu sama lain. Satu sama lain berusaha
untuk saling menjatuhkan. Demit Serigala meng-
gereng keras, seraya menekan. Raja Naga terseret dua tindak, lalu menambah
tenaga dalamnya.
Bertemunya telapak tangan masing-masing
orang mengakibatkan tanah di sekitarnya ber-
hamburan ke udara. Sementara itu lambat-
lambat terlihat asap hitam keluar dari telapak
tangan yang bertemu. Getaran tubuh keduanya
semakin menguat.
Tiba-tiba Demit Serigala menarik mundur
tubuhnya seraya melepaskan telapak tangannya.
Mau tak mau Raja Naga terjerunuk ke depan. Ma-
sih beruntung dia mampu menghindari sambaran
cakar tangan kanan Demit Serigala. Bahkan....
Des!! Sambil meliukkan tubuhnya pemuda dari
Lembah Naga itu berhasil menyarangkan jotosan-
nya hingga si kakek terhuyung ke belakang, yang
segera menerjang kembali disertai gerengan kuat!
"Gila! Ilmu kakek ini sungguh mengerikan!
Aku harus... astaga! Perempuan itu telah mero-
bek-robek pakaian dalamnya!"
Dengan wajah tegang Raja Naga menghin-
dari serangan ganas Demit Serigala. Dalam satu
kesempatan, kaki kanannya menjejak tanah, me-
lepaskan jurus 'Barisan Naga Penghancur Ka-
rang'. Tanah bergelombang menggebrak disertai
letupan-letupan mengerikan.
Demit Serigala menggeram seraya mem-
buang tubuh ke samping. Masih sempat dilihat-
nya bayangan ungu melesat ke samping kiri, me-
nyambar pakaian putih yang tergeletak dan me-
nyambar tubuh perempuan yang masih mengge-
liat-geliat karena pengaruh ilmu aneh miliknya.
Blaaammmm!! Serangan yang dilancarkan Demit Serigala
untuk menghalangi berlalunya Raja Naga meng-
hantam sebuah pohon yang seketika hancur be-
terbangan. "Terkutuk!!" geramnya sengit dengan napas terengah-engah. "Akan kuingat wujudmu,
Pemuda bersisik! Akan kuingat!!"
Dengan gusar dijejakkan kaki kanannya di
atas tanah. Pakaian merah compang-campingnya
yang tergeletak di atas tanah mencelat ke arahnya dan... tap, tap! Dengan
gerakan cepat tangan kanan kirinya digerakkan, lalu berputar dua kali.
Tatkala tegak kembali, pakaian itu sudah me-
nempel di tubuhnya.
"Huh! Bila tak ingat aku harus membunuh
Resi Tala Kangkang, sudah kukejar pemuda cela-
ka itu!!" geramnya sengit. Di kejap lain dia sudah berlari ke arah barat.
LIMA NENEK keparat! Sebenarnya kau tahu atau
tidak di mana Istana Gerbang Merah berada"!"
makian itu terdengar dari balik sebuah pohon,
bersamaan terlihat sebuah keranjang melompa-
tinya. Menyusul keranjang kemudian hinggap di
tanah sedikit bergerak-gerak, satu sosok tubuh
berpakaian hijau yang hinggap tak jauh dari ke-
ranjang itu. "Manusia busuk! Jangan banyak mulut!
Kau tinggal mengikuti apa yang kuhendaki!" maki si perempuan keras. Mata
celongnya dingin menatap keranjang di hadapannya.
Dari keranjang itu terdengar dengusan.
"Demi tumpukan emas kuikuti apa yang
kau hendaki! Tetapi, untuk berputar-putar tak
karuan tanpa langsung pada sasaran sungguh
bukan yang kuharapkan!"
"Setan! Jangan banyak mulut kataku!" ma-ki si perempuan yang bukan lain Sekar
Sengkuni. "Aku hanya tahu kalau istana Gerbang Merah berada di barat!"
Orang di dalam keranjang yang belum per-
nah dilihat wujudnya oleh Sekar Sengkuni men-
dengus. "Benar-benar bodoh! Apakah kau...."
Kata-katanya terputus karena mendadak
saja muncul sepuluh orang lelaki bersenjata pa-
rang. Mereka memandang tak berkedip pada Se-
kar Sengkuni yang mengerutkan kening.
Mereka berbicara berbisik, "Sejak dua hari
lalu kita memburu pembunuh Juragan Purna
Setyo, baru sekarang kita melihat ciri-ciri si pembunuh."
"Ya! Mungkin memang dia yang telah
membunuh Juragan Purna Setyo!"
"Kalau begitu... tangkap saja!"
"Tunggu! Kita tak bisa menangkapnya begi-
tu saja, karena bisa jadi kita salah orang!"
Sepuluh lelaki bersenjata parang yang ter-
nyata adalah para penduduk yang sedang menca-
ri pembunuh Juragan Purna Setyo, memandang
Sekar Sengkuni dengan seksama. Mereka sama
sekali tak mengetahui kalau keranjang yang ter-
buat dari anyaman bambu lapis itu berisi seseo-
rang yang mempunyai ilmu tinggi.
Salah seorang yang bertubuh gagah berse-
ru, "Perempuan berpakaian hijau! Bukan kami lancang untuk bersikap, bukan kami
tak punya adab kesopanan! Tetapi, kami tak punya banyak
waktu! Apakah dua hari lalu kau singgah di se-
buah desa yang bernama desa Karang Permata"!"
Sekar Sengkuni yang telah mendengar apa
yang mereka percakapkan tadi, menyeringai le-
bar. "Ya! Aku pernah singgah di Karang Permata!"
Orang-orang berpandangan.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya
orang yang berseru tadi berhati-hati.
Sekar Sengkuni tak menjawab. Mata ce-
longnya memandang orang-orang itu bergantian.
Seraya melangkah dia berkata, "Aku datang untuk menjarah harta seorang kaya yang
bernama Purna Setyo! Dan aku telah membunuhnya!"
Menegak kepala masing-masing orang
mendengar pengakuan itu. Serentak lima orang
menerjang ke depan dengan parang terhunus. Te-
tapi serangan itu hanya sia-sia belaka. Bahkan
sambil terkikik Sekar Sengkuni mengirim mereka
ke akhirat! "Membosankan!" dengusnya. Lalu me-
layang ke depan. Gerakannya begitu ringan. Dua
orang tewas dengan kepala pecah karena terhan-
tam tendangannya.
Tindakannya yang telengas itu tak menyu-
rutkan keberanian tiga orang lainnya yang masih
hidup. Bahkan dengan gigih mereka berusaha
membacokkan parang-parang di tangan.
Satu orang terbanting dan jatuh di samp-
ing keranjang yang tak bergerak. Dia tersentak
melihat keranjang di sampingnya bergerak-gerak.
Belum disadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....
Prak! Keranjang itu telah menghantam wajahnya
hingga remuk dan tewas seketika. Sudah tentu
kejadian itu mengejutkan dua orang lainnya yang
masih tersisa. Yang seorang nekat menyerbu Se-
kar Sengkuni. Tendangan yang mematahkan tu-
langnya memutus nyawanya. Sementara yang
seorang lagi sudah bergulingan dengan parang
dikibaskan. "Bikin tanganku kotor saja!!" geram Sekar Sengkuni sambil menghindar. Dan....
Prak! "Aaaaakkhhhh!!"
Orang itu terbanting dengan tulang paha
patah. Sekar Sengkuni melambung ke atas, melu-
ruk dengan kedua kaki mengarah pada dada
orang itu! Tetapi... wuuuttt!!!
Satu bayangan merah muda telah me-
nyambar tubuh si lelaki dengan gerakan yang
sangat cepat. Brrollll!! Bersamaan tanah yang ambrol karena in-
jakan kedua kaki Sekar Sengkuni, perempuan
berpakaian hijau itu sudah keluarkan bentakan,
"Siapa orang yang ingin mampus"!"
Wuuutttt!! Satu gelombang angin memburu si bayan-
gan merah muda yang berteriak kaget seraya
memutar tubuh. Blaaarrr!! Sebuah pohon patah di tengah dan jatuh
bergemuruh. Di pihak lain si bayangan merah
muda yang semula berniat untuk segera berlalu
setelah menyambar tubuh si lelaki, mau tak mau
mengurungkan niatnya. Ringan dia hinggap di
atas tanah. Dengan ringan pula diturunkan tu-
buh lelaki yang telah disambarnya.
"Bertahan...," desisnya pelan. Lalu diangkat kepalanya. Wajah cantiknya
berhadapan dengan
Sekar Sengkuni yang mendengus gusar.
"Seorang gadis bau kencur yang ingin
mampus rupanya!"
Gadis berambut indah itu tak buka mulut.
Matanya tajam menatap Sekar Sengkuni,
"Pakaiannya berwarna hijau. Wajahnya
masih jelita dengan mata yang celong ke dalam.
Ciri-cirinya mirip seperti yang dikatakan Guru.
Apakah memang orang ini yang harus kuketahui
keberadaannya?" desisnya dalam hati.
Di pihak lain, Sekar Sengkuni sudah tak
bisa menahan diri untuk menghabisi si gadis.
Tangan kanannya terangkat dan siap melancar-
kan satu pukulan jarak jauh.
Tetapi keranjang yang sejak tadi diam di
tanah bergerak melayang ke arahnya disertai sua-
ra, "Aku menginginkannya!"
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara si gadis membelalakkan ma-
tanya pada keranjang itu. Sekar Sengkuni meng-
geram. "Buntet Kalamangsang! Sampai hari ini aku belum pernah melihat wujudmu!
Dan tidak tahunya kau memiliki birahi yang kuat pula!"
"Siapa bisa tahan melihat gadis ayu bertu-
buh montok seperti dia, hah"!"
"Di mana kau akan menggelutinya" Di da-
lam keranjang busukmu itu"!"
"Itu urusanku!"
"Cepat kau lakukan! Setelah itu... bunuh
dia! Juga bunuh lelaki keparat dari desa Karang
Permata itu!"
Gadis jelita berpakaian merah muda yang
bukan lain Galuh Tantri adanya mengerutkan
kening mendengar kata-kata terakhir Sekar Seng-
kuni. "Lelaki yang patah kakinya ini berasal dari Karang Permata" Bisa jadi kalau
mereka yang telah menjadi mayat itu juga berasal dari tempat
yang sama. Astaga! Jangan-jangan... perempuan
ini adalah orang yang membunuh Juragan Purna
Setyo" Bisa jadi pula kalau memang dia perem-
puan yang kucari, perempuan bernama Sekar
Sengkuni...."
Selagi si gadis membatin, keranjang yang
berada di samping Sekar Sengkuni sudah me-
layang ke arahnya. Desiran angin deras mengarah
padanya. "Astaga!!" seru si gadis sambil palangkan kedua tangannya di depan dada. Lalu
dihentakkan kuat-kuat disusul dengan gerakan melesat ke
depan. Desiran angin yang keluar dari keranjang
itu putus di tengah jalan. Dan....
Buk! Buk! Si gadis meliukkan tubuhnya seraya lan-
carkan jotosannya pada keranjang itu. Keranjang
itu melayang ke belakang. Kali ini disertai kekehan penghuninya lalu keranjang
itu melayang la-
gi, lebih cepat!
"Siapa orang yang berada dalam keranjang
itu"!" seru si gadis sambil membuang tubuh.
Tetapi lesatan keranjang itu membuatnya
kalang kabut. Nampak kalau dia hendak melan-
carkan satu serangan yang kemudian diurung-
kannya. "Guru berpesan kalau aku tak boleh men-
geluarkan ilmu yang kumiliki bila berhadapan
dengan perempuan berpakaian hijau bermata ce-
long. Walaupun tak mengerti mengapa Guru me-
nyuruhku bersikap demikian, tetapi... ah, aku harus tetap mematuhinya."
Karena memegang pesan gurunya itulah
Galuh Tantri hanya berusaha menghindar dan
sesekali melancarkan serangan balasan dengan
jotosan dan tendangannya.
Dari keranjang itu terdengar suara terke-
keh. "Ternyata dia tidak memiliki kemampuan apa-apa!" Lain halnya dengan Sekar
Sengkuni. Perempuan setengah baya ini justru mengerutkan
keningnya. "Mustahil kalau gadis ini tidak memiliki kemampuan berarti! Caranya
menyambar tu- buh lelaki itu sangat luar biasa! Karena berarti dalam mengalahkan kecepatan
seranganku tadi!
Mustahil... mustahil dia tidak bisa berbuat apa-
apa! Atau bisa jadi... dia menyembunyikan il-
munya!" Berpikir demikian Sekar Sengkuni berseru,
"Walaupun dia tidak memiliki kemampuan apa-
apa, kau belum juga berhasil mengalahkannya!"
"Kau akan melihatnya, Sekar Sengkuni!!"
Bersamaan lesatan yang semakin keras
disertai gemuruh angin yang kuat, Galuh Tantri
berseru kaget. "Sekar Sengkuni?" serunya dalam hati seraya menghindar dengan mempergunakan ilmu
peringan tubuhnya. "Jadi benar dia orangnya yang bernama Sekar Sengkuni! Dan
jelas dia juga yang telah membunuh Juragan Purna Setyo dan
orang-orang ini! Ah, apa yang harus kulakukan
sekarang" Guru menyuruhku mengetahui apa
yang hendak dilakukan Sekar Sengkuni, setelah
itu aku harus kembali ke tempat asa!!"
Sementara itu Buntet Kalamangsang
menggeram sengit karena dia belum juga mampu
melumpuhkan si gadis. Tiba-tiba saja keranjang
itu melayang ke belakang dan hinggap di atas ta-
nah. Di lain kejap terdengar suara angin mende-
ru-deru seiring dengan berputarnya keranjang
itu. Tanah berhamburan melingkar, terbang di
sekitarnya hingga menutupi keranjang itu dari
pandangan. Sekar Sengkuni membatin, "Kau tak akan
bisa menyembunyikan ilmumu lagi, Gadis! Huh!
Aku ingin tahu murid siapakah kau sebenar-
nya...." Di seberang Galuh Tantri memicingkan matanya. Dadanya berdebar keras.
Ketegangannya Memburu Iblis 8 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Bangau Sakti 41