Pencarian

Ratu Dinding Kematian 1

Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian Bagian 1


https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel RINGKASAN EPISODE YANG LALU
(RATU DINDING KEMATIAN)
RAJA NAGA DITUDUH TELAH MENCURI
BUNGA-BUNGA KERAMAT. TIGA PENGUASA
BUMI, YANG MENGUASAI BUNGA-BUNGA
KERAMAT TERPAKSA TURUN TANGAN UNTUK
MENCARINYA! RAJA NAGA BERUSAHA UNTUK
MEMBEBASKAN TUDUHAN YANG MELEKAT
PADA DIRINYA ITU. NAMUN PERJALANAN YANG
HARUS DILAKUKANNYA, MEMBUATNYA
TERJEBAK PADA GELOMBANG-GELOMBANG
MAUT YANG DITABURKAN OLEH PARA TOKOH.
BAHKAN ANAK MUDA DARI LEMBAH NAGA ITU
KESULITAN UNTUK MEMBEDAKAN MANA ORANG
GOLONGAN LURUS DAN MANA ORANG
GOLONGAN SESAT.
DIA GANTI MENDUGA, KALAU PUSPA
DEWI ADALAH ORANG YANG BERTANGGUNG
JAWAB ATAS PENCURIAN BUNGA-BUNGA
KERAMAT. GADIS ITU DIKEJARNYA, TETAPI
KETIKA DUA LELAKI BERPAKAIAN MIRIP
PENDETA INGIN BERNIAT BUSUK PADA GADIS
ITU, RAJA NAGA MALAH BERBALIK
MENOLONGNYA! NAMUN... PUSPA DEWI JUSTRU
MENYERANGNYA! Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU BLAAAARRR!! "Puspa"! Ada apa denganmu"!" seru Raja
Naga seraya membuang tubuh ke samping kanan
tatkala gadis berpakaian kuning itu kembali men-
dorong tangan kanan kirinya.
Puspa Dewi tak menyahuti seruan itu, Dice-
carnya anak muda berompi ungu itu terus mene-
rus. Paras jelitanya menekuk, menampakkan kege-
raman luar biasa.
Raja Naga kembali menghindari serangan
ganas yang tak main-main itu. Setiap kali gelom-
bang angin menderu, setiap kali pula ranggasan
semak tercabut. Letupan keras berkali-kali terdengar keras.
"Aneh! Mengapa tahu-tahu dia menyerang-
ku begini?" seru Raja Naga dalam hati seraya menghindar.
"Pemuda pengecut! Mengapa kau cuma bisa
menghindar, hah"!" gadis bertahi lalat pada pelipis sebelah kiri itu berseru
seraya menerjang ganas.
Masih belum mengerti mengapa Puspa Dewi
yang telah diselamatkannya dari niat buruk Setan
Gundul Hutan Larangan menyerangnya, Raja Naga
terus menghindar. Tetapi lama kelamaan dia men-
jadi jengkel. Karena biar bagaimanapun, pemuda
bersisik coklat pada lengan kanan kirinya ini ma-
sih mencurigai Puspa Dewi sebagai orang yang te-
lah mencuri bunga-bunga keramat.
Tiba-tiba saja seraya melenting di udara dua
kali, Raja Naga mendeham.
Blaaammm!! Tenaga tak nampak dari dehamannya,
menghantam gelombang angin yang dilepaskan
Puspa Dewi. Gadis itu sesaat mundur dengan ke-
dua tangan bergetar. Kakinya terpancang di atas
tanah, ketika matanya yang indah menatap penuh
bara! "Apa yang telah kau lakukan, Puspa"!" seru Raja Naga ketika sudah hinggap
kembali di atas
tanah. Matanya yang selalu menyorotkan sinar
angker, memandang pada Puspa Dewi.
Yang dipandang sesaat mencoba membalas
sebelum kemudian mengerjap-ngerjap.
Sesaat suasana hening. Beberapa helai
daun berguguran. Pagi masih cukup muda. Tiba-
tiba gadis berkuncir kuda dengan pita warna kun-
ing itu menggeram sengit,
"Pengecut! Aku paling tidak suka dengan
pemuda pengecut!"
"Aku masih mencurigai gadis ini sebagai
orang yang bertanggung jawab atas pencurian
bunga-bunga keramat," desis Raja Naga dalam
tanpa sahuti bentakan Puspa Dewi. "Setelah dia menghilang, baru kutemukan lagi
dan sedang ber-tempur dengan Setan Gundul Hutan Larangan.
Lantas... astaga! Aku tahu dia memang sengaja
menyerangku, karena tentunya dia tahu aku men-
curigainya"!"
Mata angkernya melihat gadis jelita yang
baru saja selesai bersemadi memulihkan tena-
ganya, telah meloloskan pedangnya yang berhulu
kepala elang. Raja Naga segera berseru, "Hati-hati dengan
pedangmu itu!"
"Pedang inilah yang akan mengajarkanmu
untuk tidak bertindak pengecut!"
"Lagi-lagi pengecut" Mengapa dia menu-
duhku seperti itu" Ada apa ini" Apakah...."
Kata batin Raja Naga terputus, karena gadis
itu sudah melayang disertai gerakan pedang yang
cepat dan mematikan. Angin keras mendahului
menggebrak setiap kali pedangnya dikibaskan.
Raja Naga terpaksa menghindar dengan
otak berpikir untuk menemukan jawaban mengapa
tiba-tiba gadis ini menjadi beringas. Karena tak
menemukan jawabannya dan dia juga harus me-
nyelamatkan diri dari pedang tajam Puspa Dewi,
serentak anak muda dari Lembah Naga ini melesat
ke depan. Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan su-
kar di ikuti pandangan. Puspa Dewi nampak me-
lengak karena tahu-tahu pemuda berompi ungu
itu telah dekat dengannya. Sebelum sempat ditarik pedangnya, tahu-tahu tangan
kanannya telah di-tangkap oleh Raja Naga. Puspa Dewi merasa tan-
gannya dipuntir dan... tap! Pedangnya tahu-tahu
sudah berpindah tangan. "Kau"!" serunya dengan suara tersendat.
Raja Naga tersenyum.
"Lebih baik jelaskan sebelum menjadi kesa-
lah pahaman...."
Gadis manis itu memandang dengan mata
mengerjap-ngerjap. Bara api yang berkobar di ke-
dua matanya pelan-pelan luluh. Raja Naga tersen-
tak ketika dilihatnya gadis itu jatuh berlutut dan terisak! "Hei! Ada apa ini?"
serunya dalam hati.
Puspa Dewi terisak dengan kedua tangan
menutupi wajahnya. Sesaat Raja Naga hanya
memperhatikan dengan perasaan heran sebelum
melangkah mendekat.
"Jangan mendekat!"
"Mengapa, Puspa" Aku tak mengerti men-
gapa kau menyerangku?" tanya Raja Naga lembut.
Bukannya menjawab pertanyaan orang, ga-
dis berpakaian ringkas warna kuning yang telah
robek di bagian punggung itu makin mengisak.
Dan ini membuat Raja Naga bertambah tidak
mengerti. Diputuskan untuk mendiamkan. Tetapi si-
kapnya itu justru membuat si gadis semakin men-
gisak. Dari sela-sela isakannya dia membentak li-
rih "Kau jahat! Kau jahat!"
Raja Naga tak menjawab.
"Kau sengaja meninggalkan aku lama-lama
di sana! Kau sengaja melakukannya!"
Kali ini kening pemuda gagah bermata ang-
ker itu berkerut.
Puspa Dewi berseru lagi, tetap mengisak,
"Kau sengaja membiarkan kedua setan gundul itu muncul dan hendak
mempermalukanku! Kau jahat, Boma! Kau jahat!!'
"Astaga! Jadi...."
Kata batin Raja Naga terputus karena gadis
itu sudah berseru-seru lagi, "Huh! Bila saja aku tak mencium uap beracun yang
dihembuskan oleh
kedua setan gundul itu, keduanya bisa langsung
kubunuh! Dan tadi... kau sengaja melepaskannya!
Kau tidak membunuhnya padahal kehormatanku
hampir mereka renggut!!"
Sadarlah Raja Naga apa yang telah terjadi.
Selama ini dia beranggapan, kalau Puspa Dewi
sengaja meninggalkannya ketika dia mencari pen-
gisi perut. Raja Naga masih mencurigainya sebagai orang yang telah mencuri
bunga-bunga keramat,
di mana saat ini beberapa tokoh rimba persilatan
memburunya karena menyangka dialah yang telah
melakukan serangkaian pencurian.
Tetapi kata-kata gadis itu barusan" Astaga!
Apakah itu artinya dia selama ini salah menduga"
Sambil menahan napas, anak muda bersi-
sik coklat pada lengan kanan-kiri sebatas siku itu berlutut. Dipandanginya Puspa
Dewi yang masih
menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak
tangannya. "Puspa... aku mulai mengerti apa maksud-
mu. Tetapi kau salah mendugaku sepertiku itu...."
"Salah" Huhuhu... kau sengaja melakukan-
nya! Kau sengaja!!"
"Tidak! Aku sedikit kesulitan untuk mene-
mukan ayam atau kelinci yang bisa kita pang-
gang!" "Dusta!"
"Itulah kenyataannya, Puspa," sahut Raja Naga. Pelan-pelan dijamahnya bahu gadis
yang masih mengisak itu. "Kalau begini keadaannya,
aku memang salah menilai tentang dirinya," lanjutnya dalam hati. "Berarti...
bukan dia yang telah melakukan serangkaian pencurian bunga-bunga
keramat...."
Puspa Dewi masih mengisak. Lambat-
lambat diangkat kepalanya dan ditatapnya Raja
Naga yang berjarak sedemikian dekat.
"Kau... kau tidak sengaja melakukannya?"
Raja Naga tersenyum seraya menggeleng. "Aku malah kebingungan karena kau
menghilang begitu
saja...." Puspa Dewi mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan
kanannya. "Kupikir... kupikir... kau sengaja melaku-
kannya..."
"Aku yakin usianya tak jam: berbeda den-
ganku. Tetapi pengalamannya masih sangat sedikit
sekali. Dan sepertinya, dia dapat mempercayai se-
seorang dengan mudah," kata Raja Naga dalam ha-ti. Lalu sambil tersenyum dia
berkata, "Ceritakan-lah bagaimana kedua orang yang mengaku berju-
luk Setan Gundul Hutan Larangan itu muncul."
Puspa Dewi mengusap-ngusap dulu kedua
matanya. Parasnya yang jelita itu merona meme-
rah. Sungguh, Raja Naga melihat pesona yang su-
kar ditepiskan pada wajah jelita itu.
Lalu didengarnya cerita Puspa Dewi. Ketika
Raja Naga memutuskan untuk mencari makanan,
gadis itu duduk di bawah sebatang pohon. Semilir
angin membuatnya mulai mengantuk. Tatkala dia
hampir terlena udara sejuk yang dihirupnya mulai
sedikit beraroma wangi. Perubahan itu membuat-
nya tersentak, karena saat itu dirasakan tubuhnya terangkat dan melayang.
Dalam keadaan sedikit pusing, Puspa Dewi
mendengar suara tawa dan percakapan seiring
dengan tubuhnya yang terus melayang bergerak.
Dicoba untuk menyadarkan dirinya sendiri, dicoba
agar dia tidak terlena oleh aroma wangi yang di-
ciumnya tadi. Saat itulah dia sadar kalau tubuh-
nya melayang karena dibopong oleh seseorang!
Tetapi Puspa Dewi merasa dirinya seperti
kehilangan tenaga. Bahkan dia seperti tidak tahu
ketika tubuhnya direbahkan di atas tanah. Namun
ketika didengarnya napas mendengus-dengus di
sekitar wajahnya, Puspa Dewi sadar kalau bahaya
sedang mengancamnya.
Seketika dia bangkit dan menahan aliran
napasnya. Dicobanya untuk membuang pengaruh
wangi yang diciumnya. Dengan masih agak sem-
poyongan dicobanya untuk mempertahankan di-
rinya dari niat busuk dua lelaki berpakaian pende-ta. Di saat mempertahankan
diri itu pakaian ba-
gian belakangnya dijambret salah seorang hingga
robek. Raja Naga menarik napas pendek. "Berarti aku salah menduga padanya.
Kupikir dia sengaja
meninggalkanku karena tahu kalau aku mencuri-
gainya. Tetapi dia justru berpikir kalau aku senga-ja meninggalkannya. Ah,
berarti aku telah salah jejak...." Habis membatin begitu dia berkata, "Sudah-
lah, Puspa... yang pasti kau selamat sekarang...."
Puspa Dewi hanya mengangguk-angguk.
Raja Naga memasukkan pedang yang dipegangnya
ke warangka yang ada di punggung Puspa Dewi.
Kemudian dia berkata, "Apakah kau akan
tetap melanjutkan perjalananmu ke Daerah Tak
Bertuan?" "Guruku memerintahku seperti itu. Dan
aku tak bisa kembali ke Tanah Kayangan sebelum
berjumpa dengan Dewa Segala Dewa"
"Masihkah kau merahasiakan siapa gurumu


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu?" Ditanya seperti itu, Puspa Dewi tak segera menjawab. Ditatapnya pemuda
bermata angker itu
penuh seksama. Dan entah mengapa, tatapan
angker milik si pemuda berkuncir yang dapat
menciutkan nyali orang, justru dilihatnya begitu
bersinar, indah dan menawan. Bahkan Puspa De-
wi seolah merasa dia telah berenang-renang di se-
buah telaga biru yang jernih.
"Guruku berjuluk Ratu Tanah Kayangan...."
Raja Naga tersenyum.
"Kau telah mengatakan siapa gurumu. Dan
tentunya kau tak berkeberatan bukan, untuk
mengatakan mengapa gurumu menyuruhmu men-
jumpai Dewa Segala Dewa?"
Puspa Dewi tak menjawab. Dibawa pandan-
gannya ke kejauhan. Ditatapnya cahaya matahari
yang menerobos pepohonan.
"Rasanya, tak mengapa bila kukatakan apa
yang menyebabkan Guru menyuruhku menjumpai
Dewa Segala Dewa. Boma Paksi ternyata orang
baik-baik...."
Setelah terdiam beberapa saat, meluncurlah
kata-kata dari bibir indah memerah itu.
"Boma... beberapa minggu lalu, guruku ke-
datangan seseorang yang berjuluk Ratu Dinding
Kematian, yang ternyata adalah kakak sepergu-
ruan dari guruku. Ratu Dinding Kematian meng-
hendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma yang dimiliki
guruku, padahal dia telah memiliki Kitab Ajian Selaksa Jiwa. Guruku menolaknya
hingga pertarun-
gan terjadi. Karena mereka sama-sama murid dari
seorang tokoh, maka tak ada yang kalah dan me-
nang. Tetapi...."
Raja Naga mendiamkan saja gadis manis itu
menghentikan ucapannya. Setelah beberapa saat
hening, Puspa Dewi melanjutkan, "Ratu Dinding Kematian tetap menginginkan Kitab
Ajian Selaksa Sukma. Dia mengancam akan muncul lagi setelah
berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat."
"Apa hubungannya dengan bunga-bunga
keramat?" "Aku sendiri tidak tahu sebenarnya. Hanya
yang pasti, bila Ratu Dinding Kematian yang seha-
rusnya kupanggil dengan sebutan Bibi Guru itu
berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat, ma-
ka dia akan memiliki ilmu yang sangat luar biasa
dan tentunya dengan mudah membunuh guruku."
"Lantas... apa hubungannya dengan Dewa
Segala Dewa?"
"Menurut cerita Guru, bunga-bunga kera-
mat itu dimiliki oleh Tiga Penguasa Bumi, yakni
Dewa Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi
Lembah Air Mata. Dewa Segala Dewa adalah pe-
mimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Guru menyu-
ruhku untuk menjumpainya, untuk mengabarkan
kalau Ratu Dinding Kematian hendak mengambil
bunga-bunga keramat itu...."
Raja Naga mendesah pendek.
"Kini mulai jelas duduk masalahnya. Berarti
bayangan kuning yang kulihat sebelum aku dis-
erang Purwa dan Sibarani adalah Ratu Dinding
Kematian. Perempuan itulah yang bertanggung ja-
wab atas semua kejadian ini, sementara aku yang
menjadi tertuduh. Dan Dewi Lembah Air Mata,
tentunya Si nenek berpakaian hijau dengan kain
kebaya lusuh yang telah menyerangku. Ah, sece-
patnya aku harus tuntaskan urusan ini...."
Sambil menatap gadis di hadapannya, Raja
Naga berkata, "Puspa Dewi... selama ini, akulah yang dituduh sebagai pencuri
bunga-bunga keramat." "Oh! Mengapa demikian?"
"Karena secara tak sengaja aku mendengar
suara ledakan keras ketika dua buah bunga kera-
mat dicuri oleh orang yang ternyata Ratu Dinding
Kematian. Bertepatan dengan perginya perempuan
itu, Purwa dan Sibarani datang dan menuduhku
telah mencuri kedua bunga itu."
"Siapakah mereka?"
"Secara jelas aku tidak tahu. Tetapi yang
pasti, keduanya telah menyebarkan berita kalau
akulah si pencuri bunga-bunga keramat. Puspa...
aku tak bisa menemanimu menuju ke Daerah Tak
Bertuan." "Mengapa?" tanya gadis itu.
Raja Naga sedikit melengak, karena me-
nangkap nada penyesalan dari suara si gadis. Te-
tapi di lain saat dia sudah berkata, "Aku harus memulihkan nama baikku. Belum
lama ini aku telah bertarung dengan Dewi Lembah Air Mata yang
ternyata salah seorang dari Tiga Penguasa Bumi.
Dan tak mustahil kalau yang lainnya juga akan
memburuku...."
Puspa Dewi tak menyahut.
Raja Naga pelan-pelan berdiri.
"Puspa... kita berpisah di sini. Mudah-
mudahan kau...."
"Aku ingin bersamamu, Boma...," putus
Puspa Dewi sambil mendongak.
Raja Naga menundukkan kepalanya. Biasan
kelembutan pada sepasang bola mata indah itu se-
saat mengaduk-ngaduk perasaannya. Dia seperti
terbuai oleh pesona yang benar-benar indah.
"Kita mempunyai urusan yang berbeda. Kau
tetaplah pergi ke Daerah Tak Bertuan. Saat ini
bunga-bunga keramat telah berhasil dicuri oleh
Ratu Dinding Kematian. Bila kau berjumpa dengan
Dewa Segala Dewa, kau bisa menjelaskan kalau
aku bukanlah seperti orang yang diduganya, Pus-
pa... kurasa ini hal yang terbaik sehingga...."
Kata-kata Raja Naga terputus, karena tahu-
tahu gadis bertahi lalat di pelipis sebelah kiri itu telah berdiri dan
memeluknya. Sesaat murid Dewa
Naga ini melengak dan tak tahu harus berbuat
apa. Dirasakannya betapa eratnya dekapan Puspa
Dewi pada tubuhnya, seolah tak ingin dilepaskan.
"Puspa...," suara Raja Naga gemetar.
"Boma... seumur hidupku... baru sekali ini
aku keluar dari Tanah Kayangan. Dan... dan...
aku...." Raja Naga menghela napas pendek.
"Kau kenapa, Puspa?"
"Aku... aku... tidak, tidak!" Gadis itu melepaskan rangkulannya. Wajahnya merona
merah. Matanya mengerjap berkali kali. "Tidak, Boma!
Aku tidak apa-apa! Ya, ya... sebaiknya aku te-
ruskan langkah ke Daerah Tak Bertuan!'
Sebelum pemuda itu menyahut, Puspa Dewi
sudah berlari meninggalkannya.
"Hei! Ada apa ini?" seru Raja Naga sambil memandangi tubuh Puspa Dewi, yang
kemudian lenyap di persimpangan jalan. Untuk beberapa la-
manya anak muda bersisik coklat ini terdiam sebe-
lum kemudian memutuskan untuk mencari Ratu
Dinding Kematian.
DUA LELAKI tegap dengan cambang di pipi ka-
nan kirinya itu urung membuka mulut. Laksana
terpantek tenaga gaib, langkahnya tiba-tiba ber-
henti. Matanya membelalak melihat sekelilingnya
yang telah porak poranda. Di lain saat dia berseru keras, "Sibarani!!"
Tiga ekor kelinci yang tadi dibawanya di-
lempar begitu saja. Penuh kepanikan didekatinya
satu sosok tubuh yang tergolek di atas tanah!
"Sibarani! Apa yang terjadi"! Apa yang terja-di"!" serunya panik. Tiba-tiba dia
tersentak. "Ni-
mas Herning!!" desisnya.
Kepalanya segera ditolehkan ke kanan kiri.
Begitu dilihatnya satu sosok tubuh tergeletak di
atas tanah dengan pakaian robek, segera dia berla-ri mendekatinya. "Nimas! Ada
apa ini"! Ada apa"!"
Nimas Herning yang sesungguhnya adalah Ratu
Dinding Kematian, membuka kedua matanya. Di-
pandanginya lelaki berpakaian biru yang terbuka
di dada itu "Purwa...," desisnya pelan.
"Nimas! Apa yang terjadi" Apa...," seruan Purwa terputus ketika dia teringat
sesuatu. Segera diarahkan pandangannya ke depan. Dilihatnya ja-jaran bunga
matahari telah porakporanda. Da-
danya seketika berdebar keras.
Lebih berdebar ketika mendengar suara Ni-
mas Herning yang dibuat memelas, "Raja Naga....
Raja Naga telah datang... dan... dan... mengambil Bunga Matahari Jingga...."
"Terkutuk!!" geram Purwa sengit. Saat itulah dilihatnya pakaian di bagian dada
perempuan berpakaian kuning keemasan itu telah robek. Sepa-
sang payudara indah yang montok membayang di
balik pakaian dalamnya yang tipis. "Ke mana... ke mana dia lari?" serunya lagi
berusaha mengalihkan matanya dari pandangan yang menggugah ke-
lelakiannya itu.
Nimas Herning mengeluh seraya memegangi
kepalanya. Pelan-pelan Purwa mengangkatnya un-
tuk duduk berselonjor. Saat perempuan berambut
digelung ke atas dengan pita kuning itu duduk,
sepasang payudaranya bergerak lembut, bergetar
di balik pakaiannya yang tipis.
Lagi-lagi Purwa berusaha menindih pera-
saannya. Matanya dialihkan ke tempat lain. Tetapi mengarah tepat pada pakaian
bagian bawah Nimas
Herning yang telah, robek dan memperlihatkan
paha mulus yang menggiurkan.
Sementara lelaki tegak bercambang itu se-
dang gelisah memikirkan lenyapnya Bunga Mata-
hari Jingga dan resah karena pemandangan pada
tubuh Nimas Herning, perempuan itu justru terta-
wa dalam hati. "Sangat mudah, sangat mudah memainkan
semua ini...."
Dan di lain pihak, Sibarani menggeram da-
lam hati. Dia masih berjuang untuk memulihkan
suaranya yang lenyap akibat totokan yang dilaku-
kan Nimas Herning.
Purwa berkata, "Ceritakan, Nimas... cerita-
kan bagaimana kejadiannya...."
Nimas Herning yang bukan lain Ratu Dind-
ing Kematian ini memainkan peranannya lagi. Se-
belumnya diceritakan kalau dirinya sedang mem-
buru Raja Naga yang telah memperkosa dan mem-
bunuh adik seperguruannya. Kali ini dikarangnya
cerita lain. Setelah Purwa pergi mencari kelinci-
kelinci untuk dipanggang, Raja Naga tiba-tiba
muncul. Dia dan Sibarani berusaha untuk meng-
halangi niat pemuda itu untuk mencuri Bunga Ma-
tahari Jingga. Tetapi mereka kalah dan Raja Naga
berhasil mendapatkan Bunga Matahari Jingga.
Purwa menggeram gusar mendengarnya.
"Terkutuk!!"
"Maafkan aku, Purwa... aku...."
Kata-kata Nimas Herning terputus karena
Sibarani telah melesat dengan jotosan tangan ka-
nan kiri penuh tenaga dalam.
Justru Purwa yang terkejut. Segera dia me-
nahan jotosan itu seraya berseru, "Sibarani! Apa yang kau lakukan"!"
Plak! Plak! Sibarani yang telah kehabisan tenaga akibat
serangan Nimas Herning sebelumnya mundur
dengan tangan kesemutan. Mulutnya bergerak-
gerak tetapi tak ada suara yang keluar.
Purwa mengerutkan kening melihatnya.
"Kenapa dengan suaramu, Sibarani?"
Sibarani berteriak-teriak, tetapi tetap tak
ada suara yang keluar. Dia hanya bisa menjerit-
jerit dalam hati, "Kakang! Perempuan itu berdusta!
Dia yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga!
Dia yang telah mencelakakanku jadi begini! Dan
dia sengaja merobek-robek pakaiannya sendiri!"
Nimas Herning berkata dengan suara penuh
penyesalan, "Purwa... biarlah Sibarani menghu-kumku...."
Sudah tentu Purwa terkejut mendengar ka-
ta-katanya. "Aku tak mengerti...."
"Karena... akulah yang harus dihukum...."
"Aku makin tak mengerti...."
"Ketika kami sudah terdesak kalah, Raja
Naga memaksa kami untuk mengatakan yang ma-
na Bunga Matahari Jingga di antara sekian banyak
bunga matahari. Sibarani tak mau menjawab. Dan
Raja Naga menjadi murka. Dibuatnya Sibarani
hingga tak bisa bersuara untuk selama-lamanya."
"Lantas... mengapa kau mengatakan kalau
kau yang harus dihukum?"
"Raja Naga menyiksanya, Purwa, Aku tak
sanggup melihatnya, sementara untuk menolong-
nya aku pun tak mampu. Terpaksa... terpaksa aku
mengatakan di mana Bunga Matahari Jingga itu
berada...."
Purwa menghela napas pendek. Dipandan-
ginya Nimas Herning, lalu diarahkan pandangan-
nya pada Sibarani yang masih memandang penuh
amarah pada perempuan itu.
"Sibarani... tak sepatutnya kau menyalah-
kan Nimas Herning. Bila dia tak melakukan hal
itu, sudah tentu kau akan dibunuh oleh Raja Na-
ga...." "Tidak, Kakang! Dia berdusta! Dia yang melakukan semua ini!!" seru
Sibarani keras, tetapi hanya bisa dalam hati.


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Purwa berkata lagi, "Keadaan ini memang
sudah sukar dibendung lagi. Sebaiknya kita men-
cari Raja Naga...."
"Kakang! Perempuan itulah yang telah men-
curi Bunga Matahari Jingga! Dan bunga-bunga ke-
ramat yang lain! Bukan Raja Naga yang melaku-
kannya!" jerit Sibarani dalam hati. Perempuan berpakaian merah melapisi pakaian
dalam warna hijau bersuara untuk berseru, tetapi suaranya te-
tap lenyap. Keadaan ini membuatnya menjadi gusar.
Amarah tak tertahankan berubah menjadi kene-
langsaan. Tiba-tiba saja Sibarani berbalik dan meninggalkan tempat itu.
"Sibarani!!"
Sibarani terus berlari. Tak dihiraukannya
panggilan Purwa, kakak seperguruannya yang di-
am-diam dicintainya. Untuk saat ini memang tak
banyak yang bisa dilakukan. Padahal dia tahu ka-
lau Nimas Herning berdusta. Jalan satu-satunya
memang harus meninggalkan mereka.
Menyerang Nimas Herning pun akan mem-
buat Purwa menjadi keheranan. Nimas Herning
sendiri tentunya akan tetap meneruskan musli-
hatnya, hingga Purwa pasti akan membelanya. Be-
rarti, dia harus mencari jalan pemecahan sendiri, demikian Sibarani memutuskan.
Purwa masih mematung. Disesalinya tinda-
kan Sibarani yang meninggalkan mereka.
Nimas Herning tersenyum dalam hati meli-
hat keadaan yang sudah berada di tangannya. Di-
am-diam diturunkan pakaiannya yang telah robek
itu, hingga sepasang bukit kembarnya yang mon-
tok kini terpampang jelas. Pakaian dalam tipis
yang dikenakannya tak ada artinya sama sekali.
Lalu dengan suara memelas dia berkata, "Purwa...
aku merasa bersalah dalam hati ini...."
Purwa berbalik. Matanya langsung mem-
bentur pada payudara lembut yang terbuka lebar
itu. Sesaat lelaki ini menjadi gelisah sendiri. Ratu Dinding Kematian sangat
tahu perubahan wajah
Purwa. Tiba-tiba saja dia mengeluh. "Aduh!!"
"Oh! Kau kenapa, Nimas" Kenapa"!" se-
runya terburu-buru. Dilihatnya Nimas Herning
menekan-nekan pahanya yang telah terbuka. "Kakiku... kakiku nyeri sekali...."
Sedikit gugup Purwa berlutut. Dia kelihatan
ragu untuk menjamah kaki yang mulus itu.
"Purwa...." Ratu Dinding Kematian mem-
buat suaranya semakin kesakitan. "Tolong... tolong aku..,." Setengah ragu lelaki
tegap itu menjamah kaki yang mulus. Ratu Dinding Kematian merasa
tangan lelaki itu gemetar.
"Tekan, Purwa... tekan...."
Purwa menelan ludahnya berulang-ulang.
Wajahnya memerah. Dia mulai menekan nekan
kaki mulus itu.
"Agak lebih kuat, Purwa...."
Semakin gemetar tangan Purwa melaku-
kannya. Terutama tatkala kedua tangannya memi-
jat paha Ratu Dinding Kematian. Perempuan itu
menyeringai dalam hati dan sengaja menggeliat
seperti kesakitan. Tangan Purwa yang tadinya be-
rada di pahanya, mau tak mau bergeser hingga ke
pangkal pahanya.
Seeerrrr!! Lelaki itu merasakan ada sesuatu yang me-
lesat naik tatkala tangannya menyentuh dan me-
nekan benda lembut pada pangkal paha Ratu
Dinding Kematian. Sebelum dia mengangkat tan-
gannya dari sana, Ratu Dinding Kematian telah
merangkulnya. "Jangan... jangan angkat tanganmu, Pur-
wa.... Tekan, tekan dengan lembut...."
Kalau tadi Purwa setengah meragu dengan
dada bergemuruh karena jengah, kali ini gemuruh
dadanya mengencang karena mulai terpengaruh
gairah. Jakunnya mulai turun naik dengan napas
terdengar memburu.
Ratu Dinding Kematian tertawa dalam hati.
"Hemmm.... Bunga Matahari Jingga telah
kudapatkan. Kini lengkap sudah bunga-bunga ke-
ramat berjumlah tujuh buah. Tinggal merendam
dan meminumnya. Sebelum melakukannya dan
membunuh Ratu Tanah Kayangan, lebih baik ber-
senang-senang dulu dengan lelaki yang nampak-
nya belum pernah merasakan enaknya tubuh pe-
rempuan...."
Sementara Purwa terus menekan-nekan
daging lembut pada pangkal pahanya, Ratu Dind-
ing Kematian makin kuat merangkulnya. Tubuh-
nya menggeliat-geliat merasakan geli akibat teka-
nan lembut pada pangkal pahanya.
Napasnya sendiri mulai terengah-engah. Bi-
birnya mulai menciumi leher Purwa yang seketika
meremang. Sebelum lelaki itu melepaskan diri, bi-
birnya telah dipagut Ratu Dinding Kematian dan
dikulum dengan gigitan yang menggairahkan.
"Nimas...," suara Purwa tertelan oleh napasnya sendiri.
"Purwa... peluk aku... peluk...."
Pelan-pelan lelaki yang kini mulai diamuk
gairah itu merangkul Ratu Dinding Kematian. Dia
sendiri mulai membalas ciuman-ciuman si perem-
puan. Dan ketika Ratu Dinding Kematian memba-
wa tangan kanannya pada sepasang payudaranya,
ciuman-ciuman Purwa semakin mengganas. Tan-
gannya meremas-remas payudara lembut yang pe-
lan-pelan menjadi kenyal dan mengencang itu
dengan penuh nafsu.
Ratu Dinding Kematian menggeliat. Mem-
buka pakaiannya sendiri hingga tubuh bagian
atasnya kini dalam keadaan polos. Ditariknya ke-
pala Purwa untuk menghujami payudaranya den-
gan ciuman-ciuman,
"Lebih keras, Purwa! Lebih keras!" Purwa yang telah diamuk birahi tidak sadar
kalau dia telah melangkah masuk ke neraka. Lelaki itu se-
makin menggila. Bahkan dia menjadi tidak sabar
sendiri. Direnggutnya pakaian bagian bawah yang
dikenakan Ratu Dinding Kematian. Lalu tangan-
nya bermain-main di pangkal paha perempuan itu
yang menggeliat-geliat disertai desahan penuh
rangsangan. Tiga kejapan mata kemudian, di bawah si-
nar matahari pagi dan udara yang masih dingin,
keduanya, sudah berpacu penuh nafsu. Keringat
seketika membanjiri tubuh masing-masing orang.
"Lebih cepat, Purwa! Lebih cepat!" Purwa makin menggila memacu dirinya. Aliran
darahnya bertambah cepat, jantung lebih kencang berdetak...
"Tekan, Purwa! Tekaaannn!!" seru Ratu
Dinding Kematian dengan napas mendengus-
dengus. Kedua tangannya menekan pinggul Purwa
kuat-kuat. Terdengar jeritan lirih dari mulut Ratu
Dinding Kematian. Sesaat dia terkulai dan mem-
biarkan lelaki itu terus berpacu di atas tubuhnya.
Lima tarikan napas berikutnya, gerakan Purwa
makin menggila, makin liar. Dia seperti memburu
butiran mutiara di pasir putih.
Napasnya terengah kencang dan....
Jeritan panjang itu terdengar seiring tu-
buhnya terlempar di angkasa luas.
Ratu Dinding Kematian tersenyum penuh
kepuasan. Dibiarkannya tubuh tegap lelaki itu
masih bertengger di atas tubuh polosnya.
"Akan kupermainkan dia..,," desisnya dan tiba-tiba saja dia mengisak.
Sudah tentu Purwa yang merasa baru saja
melakukan perjalanan yang sangat berat dan telah
tiba di puncak tersentak. Lebih kaget lagi ketika melihat tubuhnya dan tubuh
perempuan itu dalam
keadaan polos. "Heiiii!!" serunya kaget dan buru-buru
bangkit dari atas tubuh Nimas Herning. Sesaat le-
laki ini seperti orang dungu yang tak menyadari
apa yang telah dilakukannya.
"Astaga!" desisnya kemudian. "Apa yang telah kulakukan" Apa yang kulakukan?"
lanjutnya panik. Ratu Dinding Kematian berkata di sela-sela isakan kepura-
puraannya, "Kau... kau baru saja meniduriku, Purwa...."
"Astaga!" lelaki itu menepuk keningnya sendiri. Dan disambar pakaiannya yang
segera dike- nakan dengan cepat. Lalu ditatapnya tubuh Ratu
Dinding Kematian yang masih polos. "Nimas...
aku... aku...."
"Aku senang kau melakukannya, Purwa..."
Purwa justru menjadi gelisah. Dia menyesali
mengapa ini sampai terjadi. Ditariknya napas be-
rulang-ulang. Setelah dikuatkan dirinya, dia ber-
kata, "Aku akan bertanggung jawab, Nimas...."
Ratu Dinding Kematian menghentikan isa-
kannya. "Be benarkah?"
Purwa mengangguk setengah meragu.
"Ya!"
"Oh! Terima kasih, Purwa! Terima kasih!"
serunya seraya merangkul tubuh lelaki itu.
Purwa tak berkata apa-apa. Dipejamkan
matanya, menyesali apa yang telah dilakukannya.
Pelan dia berucap, "Kenakan lagi pakaianmu, Nimas.... Tak ada gunanya lagi kita
berada di sini.
Kita harus memburu Raja Naga...."
Ratu Dinding Kematian segera mengenakan
pakaiannya lagi. Lalu dikecupnya bibir Purwa yang masih menyesali apa yang baru
saja dilakukannya.
"Kita berangkat sekarang?"
Purwa cuma mengangguk lesu. Lalu me-
langkah diiringi oleh Ratu Dinding Kematian yang
tertawa dalam hati. Setelah delapan langkah, Ratu Dinding Kematian menjentikkan
ibu jari dengan
telunjuknya. Tujuh buah bunga beraneka jenis dan war-
na, bergerak beriringan di udara!
TIGA TEPAT matahari siap masuk ke peraduan-
nya, nenek berkebaya lusuh mengenakan pakaian
hijau itu menghentikan langkahnya di sebuah hu-
tan kecil. Matanya yang tajam memperhatikan se-
kelilingnya sejenak. Dia mendengus ketika seekor
burung gagak tiba-tiba melintas dan keluarkan
suara yang tak sedap didengar.
"Kurang ajar!" makinya kemudian. Tangan kurusnya mengepal. Kondenya yang
berwarna hijau bergerak mengikuti gerakan kepalanya yang
mengantar lenyapnya burung gagak itu di antara
pepohonan. "Raja Naga telah berhasil mematahkan ilmu 'Air Mata Purnama'! Ini
membuktikan kalau
dia memang tak bisa dipandang sebelah mata."
Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air
Mata ini kembali memaki-maki sendirian. Bibirnya
yang keriput membentuk kerucut yang dapat me-
mancing tawa. Tetapi bila melihat kegeramannya,
tak seorang pun yang akan berani tertawa di ha-
dapannya sekarang ini.
"Pencuri keparat itu memang tangguh! Tak
heran bila Purwa dan Sibarani gagal menangkap-
nya ketika memergokinya mencuri Bunga Kecu-
bung Putih dan Bunga Anggrek Biru! Setan terku-
tuk!!" Dewi Lembah Air Mata yang sebelumnya merasa yakin dapat menangkap Raja
Naga, semakin meradang amarahnya. Mata tajamnya meman-
dang ke kejauhan. (Untuk mengetahui hal itu, si-
lakan baca : "Terjebak di Gelombang Maut"),
"Semakin kuat keyakinanku kalau Raja Na-
ga yang telah melakukan serangkaian pencurian
itu! Hanya saja, aku masih memikirkan satu hal.
Mengapa Dewa Segala Dewa menyuruh Dewa Seri-
bu Mata mendatangi Dinding Kematian" Ada uru-
san apa dengan murid Dewa Pengasih yang berju-
luk Ratu Dinding Kematian itu?"
Dewi Lembah Air Mata mencoba mengingat-
ingat siapa Ratu Dinding Kematian.
"Selama ini tak pernah terdengar perem-
puan itu buka urusan dengan siapa pun juga.
Demikian pula dengan adik seperguruannya yang
berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Huh! Mengada-
ngada saja Dewa Segala Dewa! Padahal sudah jelas
kalau... heiiii!!"
Si nenek yang rambutnya sebagian besar
memutih tetapi herannya rambutnya yang dikonde
berwarna hijau memutus kata-katanya sendiri.
Mata celongnya menangkap satu bayangan merah
tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Busyet! Sibarani!' serunya kemudian.
"Mengapa dia seorang diri?"
Tak mau menunggu terlalu lama, Dewi
Lembah Air Mata segera mengejar. Ilmu peringan
tubuhnya lebih tinggi dari si bayangan merah yang berkelebat hingga dalam waktu
singkat saja dia
dapat mengejarnya.
Seperti yang diduganya, perempuan itu
memang Sibarani.
"Sibarani! Berhenti!"
Sibarani yang mengenali suara itu segera
menghentikan larinya. Dia berbalik dan segera me-
rangkapkan kedua tangannya di depan dada begi-
tu melihat Dewi Lembah Air Mata.
"Astaga! Apa-apaan kau berada di sini,
hah"! Mana Purwa" Mengapa kau tidak bersa-
manya menjaga Bunga Matahari Jingga seperti


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diperintahkan gurumu"!"
Karena kehilangan suaranya, Sibarani
hanya terdiam. Sorot matanya sedih saat meman-
dang si nenek. Sikap diamnya itu justru membuat
Dewi Lembah Air Mata menjadi geram.
"Hei! Kau tidak mendadak menjadi bisu,
kan"!" bentaknya keras. "Katakan padaku, mengapa kau meninggalkan perintah
gurumu"!"
Lagi-lagi Sibarani tak bersuara. Matanya
semakin sedih memandang Dewi Lembah Air Mata.
Kali ini yang dipandang mengerutkan ke-
ningnya. "Aneh juga sikap perempuan ini. Kenapa
dia" Apa suaranya tiba-tiba hilang?"
Belum lagi si nenek berkonde hijau ini buka
mulut, Sibarani sudah menunjuk mulutnya sendiri
seraya bersuara, "Ah, ah, ah, ah...."
Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata.
"Astaga! Kelihatannya dia benar-benar tidak
bisa bersuara"!" serunya dalam hati. Dengan pandangan heran dia berkata,
"Sibarani... aku belum dapat menebak secara pasti apakah kau tiba-tiba
menjadi gagu atau tidak. Tetapi, kau bisa mengge-
leng bila menjawab tidak dan mengangguk bila
menjawab iya."
Sibarani mengangguk-angguk dengan tata-
pan cerah. "Bagus! Apakah kau kehilangan suaramu?"
Sibarani mengangguk.
"Astaga! Siapakah yang melakukannya?"
Sudah tentu Sibarani hanya diam saja
mendengar pertanyaan itu. Dewi Lembah Air Mata
menyadari kesalahannya.
"Apakah telah terjadi sesuatu?"
Sibarani mengangguk.
"Bunga Matahari Jingga telah lenyap?"
Mengangguk lagi.
"Raja Naga yang melakukannya?"
Kali ini menggeleng.
"Hei! Bukan Raja Naga yang melakukan-
nya?" Sibarani mengangguk.
"Lantas, siapa yang... bodoh! Kau sendiri
saat berjumpa denganku ini. Apakah kau mening-
galkan Purwa?"
Sibarani mengangguk lagi.
"Dia... dia baik-baik saja?"
Mengangguk lagi.
"Mengapa kau mening... busyet! Susah be-
tul berbicara kalau begini! Kau menjawab bukan
Raja Naga yang melakukannya, berarti ada orang
lain yang juga menghendaki Bunga Matahari Jing-
ga. Kau juga bilang Purwa tidak apa-apa tetapi kau meninggalkannya. Lantas,
bagaimana aku bisa ta-hu apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Sibarani terdiam, sorot matanya sedih lagi.
Dewi Lembah Air Mata menghela napas
pendek. "Sekarang kau hendak ke mana" Kembali
ke Daerah Tak Bertuan?"
Sibarani menggeleng.
"Kau hendak mengejar pencuri itu?"
Lagi Sibarani menggeleng.
"Gila!" seru Dewi Lembah Air Mata menjadi
jengkel sendiri. "Lantas apa yang hendak kau lakukan"!"
"Aku akan berusaha mencari akal untuk
menjelaskan kalau bukan Raja Naga yang melaku-
kannya, Dewi Lembah Air Mata! Tetapi Nimas
Herning yang telah memuslihati semua ini! Bah-
kan Kakang Purwa kini telah berpihak padanya
karena tidak tahu apa yang terjadi!" jerit Sibarani dalam hati. Dia berusaha
untuk mengeluarkan suaranya, tetapi tak ada suara yang keluar.
Dewi Lembah Air Mata mendengus pendek.
"Berlutut!" perintahnya.
Sibarani melakukan perintah itu. Dilihatnya
nenek berkebaya lusuh itu mendekatinya. Leher-
nya dipegang dan digerak-gerakkan.
"Aku tak melihat adanya satu totokan di se-
kitar sini," katanya kemudian. "Buka mulutmu.
Hemm... tak ada kulihat luka di dalam jalan sua-
ramu. Kerongkonganmu bagus. Tenggorokanmu
tak kurang suatu apa. Orang yang telah mencuri
Bunga Matahari Jingga yang melakukannya?"
Sibarani mengangguk.
"Hebat! Tentunya dia berilmu tinggi! Meng-
hilangkan jalan suara orang tanpa dapat ditemu-
kan tanda-tanda yang berarti, hanya dapat dilaku-
kan oleh orang yang memiliki ilmu bayangan. Ke-
parat busuk! Bila saja kau bisa bicara, mungkin
akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan
orang keparat itu!"
Sibarani beraha-uhu.
Si nenek mendengus.
"Aku tak bisa memahaminya! Tapi dengar-
kan, kau bilang bukan Raja Naga yang telah men-
curi Bunga Matahari Jingga. Apakah bukan dia
pula yang mencuri bunga-bunga keramat yang
lain?" Kali ini Sibarani tak menggeleng maupun mengangguk.
"Berarti kau tidak tahu. Biar kusimpulkan
sendiri, berarti memang ada dua orang yang men-
ginginkan bunga-bunga keramat itu. Pertama Raja
Naga, dan kedua orang yang telah mencelakakan-
mu. Bisa jadi kalau sebenarnya Raja Naga dan
orang itu saling membahu untuk mendapatkan
bunga-bunga keramat."
Dewi Lembah Air Mata mendengus beru-
lang-ulang. "Setan alas!" makinya dalam hati. "Keadaan ini semakin membuatku bertambah
bingung!" Kemudian katanya, "Aku sulit menangkap
apa yang kau inginkan sekarang. Tetapi sebaiknya, kau berjalan bersamaku.
Kukhawatirkan kalau
orang yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga
menjumpaimu dan akhirnya...."
Kata-kata Dewi Lembah Air Mata terputus
begitu melihat Sibarani menggeleng. "Lantas kau mau ke mana?"
Sibarani tak menggeleng atau mengangguk.
"Gila! Lama-lama aku bisa gila! Ya, sudah! Kau pergi sana! Berhati-hatilah!"
Walaupun perasaannya sedih bukan kepa-
lang karena tak bisa menjelaskan apa yang hendak
dilakukannya dan membuat si nenek menjadi ur-
ing-uringan sendiri, Sibarani segera merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Memang
sulit untuk menjelaskan semua ini bila tak bisa
bersuara. Tetapi perempuan ini cukup memiliki
ketabahan untuk menjalankan apa yang diingin-
kannya. Tetapi sebelum Sibarani berlalu, Dewi Lem-
bah Air Mata sudah berkata, "Aku belum mendapatkan kejelasan! Lebih baik kita
melangkah ber- sama-sama!" Lalu dia memaki-maki dalam hati,
"Semuanya bikin kepalaku bertambah pusing! Be-
lum tuntas satu pikiran, telah muncul lagi pikiran lain! Ah, Sibarani
mengisyaratkan kalau Purwa tidak apa-apa. Tetapi yang mengherankanku, men-
gapa dia meninggalkannya" Apakah Purwa sendiri
memburu orang yang telah mencuri Bunga Mata-
hari Jingga" Tetapi tadi Sibarani mengisyaratkan
dia sendiri tidak sedang memburu orang itu. Lan-
tas, apa yang sebenarnya terjadi?"
Untuk beberapa saat si nenek makin uring-
uringan sebelum mendahului melangkah. Sibarani
mengikutinya. Memang itulah keputusan yang ter-
baik. Menjelang tengah malam. Purwa berbisik li-
rih, "Nimas... kau hendak ke mana?"
Ratu Dinding Kematian tersenyum.
"Aku hendak mencari makanan dulu," ka-
tanya sambil mengenakan lagi pakaiannya. Untuk
kedua kalinya dia berhasil membujuk Purwa
menggeluti tubuhnya. Bagi Ratu Dinding Kema-
tian, pelampiasan itu cukup mengasyikkan sebe-
lum dia akhirnya membunuh Purwa. Tetapi dia tak
ingin membunuh Purwa lebih dulu, mengingat ke-
pergian Sibarani.
Karena bila Sibarani muncul dan berhasil
menjelaskan semuanya -entah dengan cara bagai-
mana- maka kehadiran Purwa dapat dijadikannya
sebagai tameng. Purwa yang tidak tahu masalah
yang sebenarnya tentunya akan membelanya.
"Kau tenang-tenang saja dulu di sini," lanjut Ratu Dinding Kematian lagi.
Dikecupnya bibir lelaki yang nampak lemas karena baru saja memacu
birahi bersamanya. "Sebagai seorang kekasih, tentunya aku akan selalu berusaha
membahagiakan mu...." Purwa tersenyum.
"Jangan lama-lama," katanya yang kini telah lenyap segala jengah dan ragu
terhadap pe- rempuan yang masih dikenalnya sebagai Nimas
Herning. "Kenapa?" seringai Ratu Dinding Kematian.
Sebelum Purwa menyahut, dia sudah lebih dulu
berkata, "Kau masih ingin lagi, bukan" Jangan khawatir... aku akan memberikannya
padamu, bahkan kau akan merasakan yang lebih hebat la-
gi...." Purwa hanya tersenyum.
Di lain kejap, Ratu Dinding Kematian sudah
berkelebat meninggalkannya, menerobos kegela-
pan dengan gerakan cekatan. Ranggasan semak
dilompatinya tanpa menimbulkan getaran pada
semak itu. Setiap kali dia melompat, empat lang-
kah terlampaui tanpa kesulitan.
"Kulihat tadi ada dua buah cahaya jingga
terlontar ke udara. Tentunya kedua pendeta gun-
dul itu yang melakukannya. Bagus! Mudah-
mudahan dia telah mengetahui sesuatu tentang
Ratu Tanah Kayangan. Karena rasanya tak mung-
kin kalau Ratu Tanah Kayangan akan tetap me-
nungguku di kediamannya...."
Perempuan berpakaian kuning keemasan
yang telah robek di bagian dada dan membiarkan
sepasang bukit kembarnya membayang di balik
pakaian dalamnya yang tipis terus berlari ke arah timur. Setelah beberapa
kejapan mata, dilihatnya
lagi dua cahaya jingga terlontar di udara.
"Agak serong ke kanan!" serunya pada dirinya sendiri dan berlari ke sana.
Tak lama kemudian dilihatnya dua sosok
tubuh berpakaian jingga yang diterangi sinar rem-
bulan. Salah seorang dari mereka siap menghen-
takkan kedua tangannya ke udara.
"Aku telah datang!" seru Ratu Dinding Kematian seraya melenting dan hinggap
sejarak lima langkah dari dua lelaki berkepala gundul.
Kedua lelaki itu yang bukan lain Setan
Gundul Hutan Larangan menoleh. Masing-masing
orang tersenyum.
"Syukurlah kau melihat isyarat kami, Ra-
tu...." "Aku tak punya banyak waktu! Apakah kalian sudah mengetahui apa yang
dilakukan Ratu Tanah Kayangan"!" bentak Ratu Dinding Kematian ketus. Tajam diperhatikan kedua
lelaki berpakaian ala seorang pendeta itu.
Lelaki gundul yang memegang tongkat beru-
jung bundar itu mengangguk. Codetan pada ke-
ningnya kentara.
"Dia telah keluar dari Tanah Kayangan!"
"Bagus! Ke mana dia pergi?"
"Sialnya kami kehilangan jejak!" sahut si codet lagi yang bernama Cokro Kliwing.
Kali ini sambil melirik temannya yang juga berkepala gun-
dul dan mengenakan baju seperti pendeta berwar-
na jingga. Lirikan itu membuat Ratu Dinding Kema-
tian curiga. "Apa yang kalian lakukan"!"
Si gundul bertasbih besar pada dadanya
yang tadi dilirik Cokro Kliwing menyahut, "Kau tentunya sangat tahu apa kesukaan
kami, bukan"!" Kali ini Ratu Dinding Kematian mendengus.
"Kalian boleh menikmati tubuhku setelah aku berhasil membunuh Ratu Tanah
Kayangan!"
"Dan karena terlalu lama menunggu, kami
terpaksa mencari perempuan lain sebagai tempat
pelampiasan kami!" sahut Jodro Kliwing.
"Aku tak peduli kalian melakukannya pada
siapa pun juga! Teruskan melacak keberadaan Ra-
tu Tanah Kayangan!"
"Ratu...," kata Cokro Kliwing. "Apakah kau sudah mendapatkan seluruh bunga-bunga
keramat itu"!"
Ratu Dinding Kematian tak menjawab.
"Setan-setan gundul ini memang berotak
cerdik! Sebenarnya sangat mudah bagiku untuk
membunuh keduanya! Tetapi selagi aku mencari
bunga-bunga keramat itu, keberadaan mereka un-
tuk melacak di mana Ratu Tanah Kayangan yang
kuyakini pasti akan meninggalkan Tanah Kayan-
gan sangat kuperlukan. Janji kuberi imbalan tu-
buhku sudah membuat mereka seperti orang dun-
gu." Habis membatin demikian, dia berkata dusta, "Aku belum berhasil mendapatkan
bunga terakhir."
"Tidak masalah bagi kami karena kami akan
tetap menunggu tubuhmu yang montok itu sampai
kapan pun juga," sahut Cokro Kliwing sambil menyeringai.
"Setan gundul!" geram Ratu Dinding Kematian dalam hati. "Membunuhnya saat ini
pun tak kusesali! Tapi tenaga mereka masih bisa kupergu-nakan!"
Selagi Ratu Dinding Kematian tak buka mu-
lut, Jodro Kliwing berkata, "Kau tidak bertanya siapa perempuan terakhir yang
hampir saja kami


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gauli?" "Hampir?" kening Ratu Dinding Kematian berkerut.
"Ya! Hampir!" suara Jodro Kliwing menjadi geram. "Siapa perempuan itu"!"
"Dia adalah murid Ratu Tanah Kayangan!"
Ratu Dinding Kematian membeliak sebentar
sebelum membentak keras, "Bodoh! Kalian gagal mempermalukannya"!"
"Kami hampir berhasil melakukannya!" sahut Jodro Kliwing gusar. "Dan kami
mengetahui siapa gadis itu ketika dia meracau antara sadar
dan tidak ketika terkena 'Uap Pelemah Tenaga'
yang kami sebar padanya."
"Mengapa kalian gagal melakukannya?"
Kali ini Cokro Kliwing yang menyahut, sua-
ranya tak kalah geram, "Seorang pemuda berompi ungu tiba-tiba muncul dan
mengacaukan semuanya! Dia begitu tangguh hingga kami tak bisa
menghadapinya!"
"Siapa pemuda itu?"
"Saat itu kami tidak tahu! Tetapi si gadis
memanggilnya Boma Paksi!"
"Kau bilang saat itu tidak tahu. Berarti se-
karang kau sudah tahu siapa dia"!"
"Setelah kami dikalahkan olehnya, sambil
berlari menjauh kami terus memikirkan siapa pe-
muda itu hingga tiba pada satu kesimpulan."
"Siapa"!"
"Pemuda itu memiliki ilmu tinggi. Mengena-
kan rompi berwarna ungu. Berkuncir ekor kuda.
Pada kedua tangannya sebatas siku terdapat sisik-
sisik coklat. Dan yang mengerikan adalah sorot
matanya." Jodro Kliwing menyambung, "Dari ciri-ciri
itu, ingatan kami tiba pada seseorang yang ramai
dibicarakan orang! Seseorang yang telah lama in-
gin kami jumpai untuk kami bunuh! Karena terla-
lu banyak mengganggu tindakan orang-orang se-
perti kami dan juga... kau!!"
"Siapa dia"!"
"Raja Naga!" suara Jodro Kliwing penuh
amarah. Kepala Ratu Dinding Kematian menegak.
"Raja Naga"!" ulangnya dalam hati. Dan didengarnya kata-kata Jodro Kliwing lagi,
"Kami tak sanggup menghadapinya dan
kami tak terima dipermalukan olehnya! Itulah se-
babnya kau kami beri isyarat untuk datang ke si-
ni!" "Jangan berbelit-belit!"
"Kau meminta kami untuk melacak apa
yang dilakukan Ratu Tanah Kayangan dan kami
telah melakukannya! Imbalan yang kau janjikan
terlalu lama kami terima! Walaupun aku dan sau-
daraku ini sudah tidak sabar untuk menikmati tu-
buhmu berdua sekaligus, tetapi sekarang sudah
kami putuskan untuk tidak akan melakukannya!"
"Apa maksudmu dengan semua itu"!"
Jodro Kliwing sekarang menyeringai.
"Aku dan saudaraku sudah sepakat, untuk
meminta imbalan yang lain darimu!" serunya dan tak segera melanjutkan ucapannya.
Di kejap lain, dengan suara berayun dilanjutkan kata-katanya.
"Yakni... kau harus membunuh Raja Naga!!"
Memicing mata Ratu Dinding Kematian.
"Dari balik ucapanmu, nampaknya ada se-
suatu yang kau tutupi, Jodro Kliwing"!"
Jodro Kliwing terbahak-bahak, hingga
menggema di tempat sunyi itu.
"Kau memang pandai, Ratu! Pandai sekali!
Ya! Sudah tentu aku dan saudaraku yakin kalau
kau akan melaksanakan permintaan kami itu! Ka-
rena bila kau menolak, maka dari mulutku dan
mulut saudaraku akan tersebar kabar, siapa orang
yang telah melakukan serangkaian pencurian
bunga-bunga keramat!"
Mengkelap wajah Ratu Dinding Kematian.
Kedua tangannya seketika mengepal dengan mata
tajam berbahaya.
"Keparat! Kedua manusia gundul ini justru
balik menekanku! Setan alas!!" geramnya dalam hati. "Murka yang nampaknya kau
tahan itu aku yakin tetap akan kau tahan, Ratu!" seru Cokro Kliwing. "Karena...
semua apa yang kau rahasiakan ada di tangan kami!"
Lalu tanpa menunggu sahutan dari Ratu
Dinding Kematian, dia sudah berlalu dari sana.
Jodro Kliwing masih sempat membuka mu-
lut sebelum menyusul, "Aku dan saudaraku sudah sepakat memberimu waktu hanya
lima hari mulai
sekarang! Setelah lewat hari itu belum terdengar
kabar Raja Naga mampus, maka kau akan celaka,
Ratu!!" Membludak amarah Ratu Dinding Kema-
tian. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain melampiaskan amarahnya pada
sebatang pohon yang seketika hancur ditendangnya.
"Kalian boleh tertawa sekarang," desisnya geram laksana seekor serigala murka.
"Tetapi ke-lak, kalian akan tahu kalau apa yang telah kalian lakukan sekarang
ini adalah sebuah kebodo-han...." Di lain kejap, perempuan yang tepat pada
keningnya terdapat sebuah tahi lalat, sudah berkelebat meninggalkan tempat itu
dengan sejuta ke-
marahan. Ketika dia kembali menjumpai Purwa, lang-
sung ditubruknya lelaki itu yang menjadi gelaga-
pan seraya menciuminya. Purwa sempat melihat
kalau perempuan yang masih dianggapnya berna-
ma Nimas Herning itu tak membawa apa-apa.
Tetapi di lain saat dia sudah tak mempedu-
likannya. Karena dengan kasar penuh nafsu pe-
rempuan itu telah membuka pakaiannya kembali.
Dan mendorong tubuhnya menelentang, sementa-
ra dia sendiri duduk di atas tubuhnya. Gerakan
liar yang dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian
yang melampiaskan kekesalannya dengan cara
memuaskan gairahnya, membuat Purwa menjerit-
jerit penuh kenikmatan.
EMPAT SETELAH berpisah dari Puspa Dewi, Raja
Naga terus berkelebat. Dia tak bisa menentukan
tujuannya secara pasti, namun tekad telah dibu-
latkan untuk segera menemukan Ratu Binding
Kematian. Karena dari cerita Puspa Dewi. Raja Na-
ga kini mulai bisa meraba siapa orang yang ber-
tanggung jawab atas semua ini.
Tiba-tiba saja anak muda bersisik coklat ini
menghentikan langkahnya. Kepalanya seketika di-
palingkan ke kanan dengan kening berkerut.
"Kutangkap satu gerakan yang begitu berat,
seolah pemilik gerakan itu bertubuh luar biasa
gemuknya," desisnya sambil memicingkan ma-
tanya. Kejap lain justru dia sendiri yang tersentak.
Karena tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Mengapa kau berhenti melangkah,
hah"! Ayo, song-
song aku!"
Tanpa sadar Boma menoleh ke sekeliling-
nya. Sadar kalau hanya dia seorang yang berada di jalan setapak itu, segera
diarahkan lagi pandangannya pada tempat semula. Orang yang melang-
kah berat itu belum kelihatan sosoknya, tetapi dia sudah keluarkan suara lagi.
"Dasar nasib tak beruntung! Ke Dinding
Kematian tak menjumpai orang! Ke tempat Purwa
dan Sibarani, cuma menemukan tempat yang telah
porak poranda! Sial! Memang sial!"
"Hebat! Orang ini tentunya memiliki ilmu
yang tinggi. Gerakannya dapat kudengar, tetapi dia lebih tahu kalau aku tak
bergerak!" desis Raja Na-ga dalam hati. Sesaat pemuda ini terdiam, memi-
kirkan apa yang harus dilakukan. "Karena tak ada orang lain di sekitar sini,
sudah tentu yang tadi dimaksudkannya adalah aku. Percuma bila aku
bersembunyi atau berlalu untuk menghindarinya.
Karena bisa jadi, kalau orang yang akan muncul
ini juga menyangka akulah si pencuri bunga-
bunga keramat."
Langkah yang cukup berat itu semakin ke-
ras menerpa telinga Raja Naga. Pelan-pelan paras
anak muda bermata angker ini sedikit berubah.
Karena getaran yang dirasakan akibat langkah
orang yang belum diketahui siapa adanya, seperti
melesak masuk dan mempermainkan jantung!
"Astaga! Apakah orang itu melangkah den-
gan pergunakan tenaga dalam" Atau dia berniat
mencobaku?" desisnya dalam hati. Segera dialirkan tenaga dalamnya untuk menahan
getaran yang seperti melempar-lempar jantungnya.
Kendati langkah berat itu semakin keras
terdengar, tetapi sosoknya belum kelihatan juga.
Justru Raja Naga yang menjadi penasaran. Dia
bermaksud untuk menyongsong orang yang belum
diketahui siapa. Tetapi suara keras itu menahan-
nya, "Bodoh" Apa kau tidak bisa melihat tubuhku yang segede ini, hah" Tetap di
tempatmu! Kalau kau nekat pergi sebelum menjawab beberapa per-tanyaanku, akan
kugampar mulutmu sampai ber-
darah!!" Tersentak Raja Naga mendengar bentakan
orang. Terpaksa dia urungkan niat untuk melang-
kah. Dengan penuh penasaran ditunggunya orang
yang membentak-bentak itu muncul.
Dan yang mengejutkannya, justru getaran
tapak orang yang belum diketahui siapa adanya
itu tak terdengar lagi. Raja Naga mengerutkan kening keheranan.
"Aneh! Apakah orang itu mendadak lenyap"
Atau dia membelokkan langkahnya?"
Belum lagi dapat ditemukan jawaban atas
pertanyaannya sendiri, tiba-tiba saja dilihatnya
semak belukar di hadapannya menguak. Menyusul
satu sosok tubuh besar muncul dari sana.
Raja Naga melengak kaget.
"Ampun! Orang atau gajah"!" desisnya dalam hati.
Orang yang tubuhnya luar biasa gemuk itu
menghentikan langkahnya sejarak tujuh langkah
dari Raja Naga. Pakaian hitam yang dikenakannya
tak dapat ditutup, karena tak mampu menahan
kelebihan lemak di tubuhnya.
Leher kakek gemuk yang seolah menyatu
dengan badannya bergerak-gerak sedikit sebelum
mulutnya berbunyi, "Busyet! Kau melihatku seperti melihat setan berkelebat! Hei,
anak muda! Jan-
gan berlaku bodoh di hadapanku!"
Raja Naga buru-buru tersenyum.
"Aku..."
"Kau hendak bilang tubuhku kurus, ya"!"
Hampir saja Raja Naga tak mampu mena-
han tawanya. Begitu melihat mata si kakek gemuk
yang bukan lain Dewa Seribu Mata ini melotot, bu-
ru-buru dia berkata, "Orang tua gemuk! Dari kejauhan sudah kudengar langkahmu
yang luar bi- asa beratnya, tetapi sekarang kau melangkah se-
perti tak memiliki bobot seperti yang kau punyai!
Orang tua... namaku Boma Paksi...."
"Aku tak butuh namamu! Aku cuma mau
tanya, kau kenal Raja Naga"!"
Kali ini pemuda bermata angker itu menge-
rutkan keningnya.
"Dia mencariku rupanya. Apakah ini ada
hubungannya dengan bunga-bunga keramat?" ta-
nyanya dalam hati.
"Sejak tadi kau buka mulut, itu artinya kau
tidak bisu maupun tuli! Sekarang kau jadi orang
dungu seperti itu! Atau kau memang benar-benar
ingin kubuat tuli"!"
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kiri sebatas siku itu tersenyum.
"Kebetulan aku tidak bisu dan tidak tuli.
Aku juga tak menginginkan diriku jadi bisu atau
tuli." "Bagus! Kau sudah dengar apa yang kutanyakan tadi!"
Pemuda berompi ungu itu mengangguk-
angguk. "Ya... aku mengenal pemuda berjuluk Raja
Naga." "Bagus! Katakan padaku, di mana dia berada"!" Merasa harus mengetahui
dulu sebab-sebab kakek gemuk di hadapannya mencarinya, Raja Na-ga menggelengkan
kepala. "Sayang, aku tidak tahu di mana dia bera-
da," sahutnya. Karena tak mau membiarkan dirinya dicecar pertanyaan lain, Raja
Naga buru- buru menyambung, "Mengapa kau mencarinya,
orang tua?"
Dewa Seribu Mata mendengus. Dipandan-
ginya pemuda di hadapannya dengan seksama.
"Sorot matanya mengerikan sekali. Tadi aku
sempat dibuat terkejut juga. Ya, ya... tak ada salahnya bila kukatakan mengapa
aku mencari Raja
Naga. Barangkali pemuda ini dapat membantu-
ku...." Memutuskan demikian, kakek berkepala bulat ini berkata, "Dari cara kau
berpakaian tentunya kau adalah orang rimba persilatan, Anak
muda! Dan seperti diketahui, rimba persilatan bu-
kanlah tempat yang dapat menyembunyikan se-
buah rahasia! Sebelum kujelaskan maksudku,
apakah kau pernah mendengar tentang serang-
kaian pencurian bunga-bunga keramat?"
Raja Naga menahan napas.
"Aku mulai bisa menebak sekarang. Ten-
tunya kakek gemuk ini adalah salah seorang dari
Tiga Penguasa Bumi. Bisa jadi dia orang yang ber-
juluk Dewa Segala Dewa, atau Dewa Seribu Mata.
Karena aku telah berjumpa dengan Dewi Lembah
Air Mata yang merupakan salah seorang dari Tiga
Penguasa Bumi. Seperti yang dikatakan oleh Pus-
pa Dewi." "Kau jadi tuli lagi rupanya!" bentak Dewa Seribu Mata karena anak muda di


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapannya tak buka mulut. Raja Naga buru-buru mengangguk.
"Aku pernah mendengar serangkaian pen-
curian bunga-bunga keramat."
"Kau juga mendengar siapa pelaku pencu-
rian itu"!"
"Maksudmu.... Raja Naga?"
"Ya! Pemuda keparat itulah yang telah men-
curi bunga-bunga keramat! Sungguh tak pantas
bila ternyata dia murid seorang tokoh kenamaan
rimba persilatan!"
"Bila kukatakan akulah Raja Naga, bisa jadi
dia akan menggempurku habis-habisan seperti
yang dilakukan oleh Dewi Lembah Air Mata. Se-
baiknya kututupi saja siapa diriku agar urusan tidak jadi kapiran."
Usai membatin, Raja Naga berkata, "Orang
tua gemuk... aku tak mendengar kabar tentang
Raja Naga yang telah melakukan serangkaian pen-
curian itu. Tetapi... kalau aku boleh buka mulut, aku justru mendengar kabar,
bukan Raja Naga
yang telah melakukannya."
Kening kepala bulat itu berkerut. "Apa yang
kau bicarakan itu"!"
"Mungkin ini kesempatanku untuk membu-
ka tabir gelap yang menyelimutiku selama ini," ka-ta Raja Naga dalam hati.
Setelah menghela napas,
barulah dia berkata, "Orang tua gemuk... seperti yang kau katakan, rimba
persilatan bukanlah
tempat yang pantas untuk menyembunyikan se-
buah rahasia. Aku justru mendengar kabar, orang
yang telah mencuri bunga-bunga keramat adalah
Ratu Dinding Kematian...."
Kerutan di kening kakek gemuk itu makin
bertambah. "Ratu Dinding Kematian?"
"Begitulah yang kudengar."
"Dari siapa kau mendengarnya?"
Raja Naga tersenyum.
"Rimba persilatan bukanlah tempat yang
tepat dijadikan sebagai tempat rahasia!"
"Huh! Kau pandai bicara rupanya! Anak
muda... aku tak bisa membenarkan atau menya-
lahkan apa yang kau katakan tadi. Tetapi itu pun
harus dipikirkan."
"Sekarang aku yang tidak mengerti...."
Dewa Seribu Mata pandangi dulu pemuda
di hadapannya sebelum teruskan bicara, "Anak muda... aku adalah salah seorang
dari Tiga Pengu-
asa Bumi. Kau boleh memanggilku Dewa Seribu
Mata. Saat ini rimba persilatan digemparkan den-
gan serangkaian pencurian yang dilakukan oleh
Raja Naga. Tuduhan itu begitu nyata, karena Pur-
wa dan Sibarani telah mempergokinya. Sekarang
kau mengatakan Ratu Dinding Kematian yang te-
lah melakukannya."
"Itulah yang kudengar."
"Ucapanmu dapat kujadikan pegangan se-
benarnya. Karena, sebelum ini Dewa Segala Dewa
menyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian.
Sialnya, perempuan itu tidak ada di sana. Kemu-
dian kuarahkan langkahku pada tempat di mana
Bunga Matahari Jingga, salah sebuah bunga dari
bunga-bunga keramat yang masih belum dicuri,
tetapi aku tak menemukan siapa pun di sana.
Bahkan Bunga Matahari Jingga telah dicuri oleh
Raja Naga."
"Kau mengatakan tak menemukan siapa
pun di sana dan mendapati Bunga Matahari Jing-
ga sudah lenyap. Itu artinya kau terlambat datang dan tak melihat siapa orang
yang telah mencuri
Bunga Matahari Jingga. Sekarang, bagaimana kau
bisa menuduh Raja Naga yang telah melakukan-
nya?" Dewa Seribu Mata tak menjawab. Dia memang telah mendatangi Dinding
Kematian dan tak
menemukan penghuninya di sana. Dia juga telah
mendatangi tempat Bunga Matahari Jingga. Bukan
hanya bunga itu yang telah lenyap, tetapi Purwa
dan Sibarani sendiri tak ada di sana.
Karena menganggap pemuda ini dapat dija-
dikan sebagai pembawa berita, Dewa Seribu Mata
berkata lagi, "Apa yang dikatakan Purwa dan Sibarani kujadikan patokan."
Pemuda dari Lembah Naga itu ganti tak
menjawab. Dipandanginya kakek gemuk itu den-
gan mata yang selalu bersorot angker.
"Dari ucapan si kakek gemuk ini, dapat ku-
pastikan kalau Ratu Dinding Kematian yang telah
mencuri bunga terakhir dari bunga-bunga kera-
mat. Urusan ini semakin kacau sebenarnya. Satu-
satunya harapan hanyalah Puspa Dewi. Tetapi dia
sedang menuju ke Daerah Tak Bertuan."
Raja Naga memecah keheningan, "Orang
tua gemuk... bila kau tak keberatan, aku bersedia mencari Ratu Dinding Kematian
untuk mendapatkan kejelasan semua ini, sementara kau men-
cari Raja Naga....."
"Bagus! Tak kusangka kau mau berkorban
seperti itu!" sahut Dewa Seribu Mata. "Atau... kau memang punya urusan dengan
Ratu Dinding Kematian"!"
"Dugaanmu itu tak bisa kubantah, Orang
tua," kata Raja Naga sambil tersenyum.
"Ada urusan apa kau dengannya?"
"Beribu maaf kuucapkan padamu, karena
aku tak bisa mengatakan apa urusanku dengan-
nya, Orang tua gemuk," sahutnya lalu menyam-
bung dalam hati, "Sesungguhnya aku sendiri belum tahu urusan apa yang harus
kutuntaskan dengan Ratu Dinding Kematian. Mengenalnya pun
tidak. Tetapi kata-kata Puspa Dewi dapat kujadi-
kan pegangan."
Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, aku terima saranmu. Seka-
rang menyingkir dari sini, karena lama kelamaan
aku jengah juga ditatap oleh matamu yang menge-
rikan itu!"
Raja Naga segera merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Dengan sikap hormat dia
berkata, "Aku berjanji, akan membantu Tiga Pengua-
sa Bumi untuk menuntaskan urusan ini!"
"Tidak usah basa-basi! Pergi sana!"
Raja Naga sendiri tak mau membuang wak-
tu. Dia bersyukur dapat menghindari urusan den-
gan kakek gemuk itu. Karena dia beranggapan, bi-
la Dewa Seribu Mata mengetahui siapa dirinya, tak mustahil tindakan yang telah
dilakukan Dewi Lembah Air Mata padanya akan terulang. Dan dia
memang akan menuntaskan urusan yang telah
melekat pada dirinya, tanpa perlu berjanji pada
kakek kelebihan lemak itu.
Tetapi apa yang diduga Raja Naga sebenar-
nya sangat berlainan sekali. Karena sepeninggal-
nya, kakek gemuk kelebihan lemak itu mengge-
leng-gelengkan kepalanya yang bergerak berat. Bi-
birnya menyeringai sementara berulang kali dia
menarik dan menghela napas.
"Hemmm... kendati anak muda itu menutu-
pi siapa dirinya, aku tahu siapa anak muda itu.
Dia adalah Raja Naga sendiri. Ciri-ciri yang ada
padanya menunjukkan dia memang Raja Naga, te-
rutama sorot matanya yang angker dan sisik-sisik
coklat yang menghiasi kedua tangannya sebatas
siku. Tetapi apa yang dikatakannya itu dapat ku-
jadikan pegangan. Ratu Dinding Kematian... ya,
kemungkinan itu kini tak bisa kupungkiri mengin-
gat Dewa Segala Dewa memintaku untuk menjum-
pai perempuan itu. Kalau begitu... berarti Bunga
Matahari Jingga yang telah lenyap memang telah
dicuri oleh Ratu Dinding Kematian...."
Dewa Seribu Mata menghela napas pendek.
"Aku terpaksa menahan diri untuk turun-
kan tangan pada pemuda itu. Aku ingin melihat
kebenaran sekarang. Hanya saja... bagaimana
dengan nasib kedua murid Dewa Segala Dewa" Ra-
ja Naga tak terkejut dan berusaha bertanya ketika kusebutkan nama Purwa dan
Sibarani. Itu tan-danya dia memang telah mengenal keduanya...."
Kembali kakek gemuk ini terdiam. Sepasang
matanya tiba-tiba saja membentuk berbagai
bayangan dan bergerak-gerak ke atas ke bawah!
"Untuk menjaga kemungkinan membesar-
nya salah paham yang terjadi, aku harus berjaga-
jaga. Sebaiknya... kuikuti saja pemuda bersisik
coklat itu...."
Habis ucapannya, kakek bertubuh gemuk
ini sudah berkelebat! Astaga! Dia berkelebat dan
gerakannya lebih cepat dari angin!
LIMA SAMBIL terus berlari Raja Naga membatin,
"Pencuri sesungguhnya dari lenyapnya bunga-
bunga keramat telah mendapatkan bunga terakhir
dari bunga-bunga keramat. Ini pertanda bahaya.
Pertama bahaya untuk Ratu Tanah Kayangan yang
belum kuketahui seperti apa rupanya. Kedua, ten-
tunya Ratu Dinding Kematian bermaksud untuk
menjadikan dirinya orang nomor satu di rimba
persilatan."
Dengan gerakan lincah pemuda yang dipe-
nuhi berjuta pikiran ini terus berlari sambil berpikir, "Menurut Puspa Dewi...
gurunya telah meninggalkan Tanah Kayangan untuk mencari Ratu
Dinding Kematian. Kalau begitu, selain berusaha
menemukan Ratu Dinding Kematian, aku juga ha-
rus mencari Ratu Tanah Kayangan. Karena Ratu
Tanah Kayangan dapat kujadikan sebagai saksi
lain dari tuduhan yang melekat pada diriku...."
Anak muda ini terus berkelebat tanpa ber-
henti sekali pun. Hingga tiba di hadapan sebuah
sungai, dihentikan langkahnya. Diperhatikan seke-
lilingnya yang sepi. Aliran sungai bergemuruh dan sesekali memercik begitu
menabrak bebatuan yang
ada di dalamnya.
Tiba-tiba saja matanya yang tajam meman-
dang tak berkedip pada bagian kanan dari sungai
itu. Satu sosok tubuh membayang muncul dari da-
lam dan... Byuuurrr!! Rambut-rambut indah yang membasah le-
bih dulu muncul sebelum seraut wajah jelita ber-
hidung bangir dengan tahi lalat tepat pada keningnya menyusul. Kepala perempuan
itu menggeleng-
geleng, meniriskan air yang melekat pada rambut
dan wajahnya. Raja Naga sendiri buru-buru memalingkan
kepalanya tatkala melihat sepasang bukit kembar
montok yang tak tertutup apa-apa. Sementara di
lain pihak, perempuan itu menjerit tertahan,
"Heiiii!!"
Dan buru-buru menyelam lagi hingga kepa-
lanya saja yang nampak.
"Pemuda tak tahu malu! Siapa kau yang
kerjanya mengintip perempuan mandi"!"
Sesaat wajah Raja Naga memerah. Tanpa
membalikkan tubuhnya anak muda ini menyahut,
"Aku tak sengaja berada di sini dan sebelumnya tidak tahu kalau kau sedang
mandi." "Dusta! Kau memang ingin melihat tubuh-
ku!" "Percaya atau tidak, itulah kenyataannya!"
Si perempuan tak meneruskan ucapan. Ma-
tanya memandang tak berkedip sosok pemuda
yang sedang membelakanginya. Di lain kejap dike-
rutkan keningnya.
"Rasanya... aku mengenal pemuda berciri
seperti ini. Mengenakan rompi ungu, berkuncir
kuda, dan di kedua tangannya terdapat sisik-sisik berwarna coklat sebatas siku.
Tetapi... apakah matanya bersorot angker?"
Merasa tak mendengar suara di belakang-
nya Raja Naga berseru, "Bila tak ada urusan lagi, aku akan meninggalkan tempat
ini!" "Tunggu!" seru si perempuan. Kembali dia membatin. "Aku harus melihat matanya.
Kalau memang matanya bersorot angker, berarti dia ada-
lah Raja Naga. Luar biasa! Semuanya di luar du-
gaanku! Hemmm... selagi Purwa mencari maka-
nan, sebaiknya kuurus pemuda ini!"
Lalu dia berseru lagi, "Tetap di tempatmu!
Jangan berbalik karena aku hendak berpakaian!"
Raja Naga tak menjawab. Didengarnya sua-
ra orang melompat dari dalam air yang sesaat
membuatnya terkejut.
"Dari gerakannya... perempuan itu nam-
paknya bukan perempuan sembarangan. Huh!
Mengapa aku harus bertemu dengannya padahal
waktuku sangat sempit."
Hanya beberapa kejap mata saja pemuda
bermata angker itu berdiam di tempatnya sebelum
didengarnya suara, "Sekarang... berbaliklah kau!"
Pelan-pelan pemuda itu berbalik. Dilihatnya
sosok perempuan tadi telah berdiri sejarak sepu-
luh langkah. Kali ini telah berpakaian lengkap.
Bibir merahnya tersenyum. Rambutnya
yang tadi tergerai, kini telah digelung ke atas dan diberi pita berwarna kuning.
Dia mengenakan pakaian kuning yang dipenuhi dengan sulaman be-


Raja Naga 18 Ratu Dinding Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nang keemasan. Dari ciri yang melekat pada perempuan itu
dapat diketahui siapa dia adanya; Ratu Dinding
Kematian. Setelah menerima isyarat dan menjum-
pai Setan Gundul Hutan Larangan, Ratu Dinding
Kematian kembali lagi menjumpai Purwa. Saat ini
Purwa tidak berada di sisinya karena disuruhnya
untuk mencari makanan. Karena badannya sudah
terasa lengket. Ratu Dinding Kematian memu-
tuskan untuk mandi. Dan sebelum Purwa muncul,
dia akan menggabungkan bunga-bunga keramat
yang telah didapatkannya. Akan direndamnya di
dalam air untuk segera diminum.
Tetapi dengan kemunculan pemuda ini, ter-
paksa diurungkan niatnya. Dan yang tak disang-
kanya, pemuda ini adalah Raja Naga.
Ratu Dinding Kematian semakin bertambah
yakin setelah melihat sepasang mata yang bersorot angker.
"Benar-benar sebuah kesempatan yang tak
bisa kulewatkan! Akan kucecar dia sekarang!"
Di lain saat Ratu Dinding Kematian sudah
membuat suaranya ngotot, "Pemuda celaka! Sela-ma ini selalu kujaga kerahasiaan
tubuhku dari pandangan lelaki mana pun juga! Dan sekarang,
kau telah mencuri lihat tubuhku!!"
Raja Naga mendengus.
"Nasibku benar-benar lagi tidak beres. Satu
urusan belum tuntas, sudah ada urusan lain!" katanya dalam hati. Lalu berkata,
"Biar urusan cepat selesai, apa yang harus kulakukan untukmu?"
"Kau harus menikahiku!"
Sampai surut satu tindak anak muda itu
mendengarnya. "Menikahimu?" serunya tertahan.
"Ya! Kalau tidak... kau harus membunuh di-
ri di hadapanku!"
"Kapiran! Makin tak menentu urusan ini!"
gerutu Raja Naga dalam hati. Lalu berkata, "Saat ini aku sedang punya urusan!
Sebaiknya...."
"Nimas! Ada apa"!" seruan itu memutus ka-ta-kata Raja Naga. Bersamaan dengan itu
satu so- sok tubuh gagah penuh cambang pada pipi kanan
kiri muncul. Begitu melihat Raja Naga, lelaki berpakaian biru terbuka di bagian
Suling Emas 5 Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa Pendekar Tangan Baja 2
^