Pencarian

Dara Dara Pengusung Mayat 1

Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Bagian 1


DARA-DARA PENGUSUNG MAYAT oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Dara-Dara Pengusung Mayat
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Dua bayangan hijau dan hitam berkelebat cepat
saling kejar. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, sehingga yang nampak
berupa seleret sinar hijau dan hitam. Kedua sosok itu terus berkejaran,
menunjukkan kemampuan masing-masing yang begitu tinggi. Je-
las keduanya orang-orang dari rimba persilatan.
"Hehhh...!"
Sosok bayangan hijau tiba-tiba berhenti. Dita-
riknya napas panjang, setelah berlari menggunakan
ilmu meringankan tubuh. Sosok itu tak lain seorang
perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Pakaiannya yang berwarna hijau
gelap berkibar tertiup angin yang berhembus agak kencang.
Wajah perempuan tua berambut putih panjang
itu terlihat cerah. Matanya menatap sosok lelaki berpakaian hitam, yang berdiri
sekitar dua batang tombak di hadapannya.
Lelaki tua berusia tujuh puluh tahunan itu,
membalas tatapan perempuan tua di sampingnya den-
gan tak kalah genit
"Ki Kuriwang Situ, kau sudah peyot. Tapi, la-
gakmu masih seperti bocah belasan tahun!" ejek perempuan berpakaian hijau gelap.
Lelaki berpakaian hitam yang dipanggil Ki Ku-
riwang Situ tersenyum mendengar ejekan perempuan
tua di hadapannya.
"Tetapi kau senang juga kan, Nyai Puncang Si-
bela?" balas Ki Kuriwang Situ.
Perempuan tua yang bernama Nyai Puncang
Sibela melebarkan sedikit kelopak matanya.
"Senang" Heh! Peyot, kau pikir aku senang
dengan caramu mengejar-ngejar seperti itu?"
"Jangan membohongi diri sendiri, Nyai!" gurau Ki Kuriwang Situ. "Apa kau telah
melupakan masa muda kita, heh?"
"Itu hanya masa lalu, Peyot!"
"Tapi setidaknya kau ingin merasakan lagi,
kan...?" "Gila! Kau betul-betul sudah gila, Ki Kuriwang Situ!" hardik Nyai
Puncang Sibela. Namun, seulas se-nyuman samar-samar terlihat di wajahnya.
"Sejak dulu kau menyukai kegilaan ku itu,
Nyai." "Edan! Kuhajar kau!"
Nyai Puncang Sibela bergerak ringan ke arah Ki
Kuriwang Situ. Tangannya yang terkepal melakukan
gerakan memukul ke arah tubuh Ki Kuriwang Situ.
"Hop!"
"Ah!"
Ki Kuriwang Situ bergerak mundur menghinda-
ri pukulan Nyai Puncang Sibela. Gerakannya gesit dan cepat, hingga pukulan Nyai
Puncang Sibela membentur tempat kosong.
"Kamu masih seperti dulu, Nyai. Galak dan pe-
ma...." "Hih!"
Ki Kuriwang Situ tak jadi meneruskan ucapan-
nya. Kepalan tangan Nyai Puncang Sibela telah tertuju ke mulut
"Ups! Jangan begitu, Nyai! Bibirku bisa pecah
kena pukulanmu, dan membuatku tak menarik lagi,"
ucap Ki Kuriwang Situ sambil mengelakkan pukulan
keras yang dilancarkan Nyai Puncang Sibela.
"Sejak dahulu kau tidak menarik, Ki Kuriwang!"
"Ah! Tapi kau suka, kan?"
Nyai Puncang Sibela baru hendak melakukan
penyerangan ke arah Ki Kuriwang Situ, ketika dilihatnya tiga dara cantik
berjalan ke arahnya, sambil tersenyum-senyum. Nyai Puncang Sibela merasa, ketiga
da- ra cantik itu menertawai tingkahnya bersama Ki Kuriwang Situ.
"Kalian menertawai ku?" tegur Nyai Puncang Sibela pada tiga dara cantik yang
memakai pakaian
merah, jingga, dan ungu.
"Oh, maaf Nini, kami bertiga tidak bermaksud
menertawai Nini dan Aki. Kami bertiga hanya tak ta-
han melihat tingkah yang barusan itu. Sepertinya Nini dan Aki masih sangat
muda," jawab salah seorang dara berpakaian merah.
"Ah! Dugaanmu salah, Anak Manis. Sejak muda
Ki Kuriwang Situ memang berkelakuan demikian.
Hmmm..., panggil aku Nyai Puncang Sibela, dan lelaki peyot itu Ki Kuriwang
Situ," ujar Nyai Puncang Sibela menebar senyumnya.
"Kalau boleh kuduga, apakah kalian putri-putri Ki Megantara?" selak Ki Kuriwang
Situ. "Hm... Ki... Ki Kuriwang Situ mengenal ayah
kami?" tanya dara cantik yang berpakaian merah.
"Tentu saja aku mengenal ayahmu, Anak Ma-
nis. Semua orang persilatan pasti mengenal Pendekar Lembayung," jawab Ki
Kuriwang Situ. "Betul, Anak Manis," timpal Nyai Puncang Sibela. "Ki Megantara, memang begitu
tersohor di kalangan tokoh-tokoh persilatan. Hmmm... boleh Nyai tahu na-ma-nama
kalian bertiga?"
"Tentu saja boleh, Nyai. Bukankah Nyai dan Aki telah memperkenalkan diri,
sedangkan kami...."
"Terima kasih," selak Nyai Puncang Sibela. "Ka-
lian memang dara-dara cantik yang baik, aku senang
pada kalian."
Tiga dara berpakaian merah, jingga dan ungu
menatap Nyai Puncang Sibela bersamaan. Wajah keti-
ga dara yang dipunggungnya masing-masing tersandar
sebatang pedang, nampak begitu lugu.
"Namaku Mutiara Merah, Nyai. Dan kedua
adikku bernama Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.
Kalau Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ me-
rasa sukar mengingat nama kami, cukup dilihat saja
warna pakaian yang dipakai."
"Tentu, tentu! Nyai akan mengingat nama-nama
kalian dengan mudah dari warna pakaian kalian. Yang merah bernama Mutiara Merah.
Yang jingga Mutiara
Jingga, begitu juga yang ungu bernama Mutiara Ungu.
Heh... heh... heh.... Nama kalian bagus-bagus."
"Terima kasih, Nyai," jawab Mutiara Merah sambil menundukkan kepalanya. "Kami
permisi dulu."
"Heh! Hei, kalian mau ke mana?" tahan Nyai Puncang Sibela melihat ketiga dara
cantik itu akan
berlalu dari hadapannya.
"Kami hendak menuju arah selatan. Mau ber-
kunjung ke tempat paman," jawab Mutiara Merah, anak tertua dari tiga putri Ki
Megantara. "Ada urusan apa kalian ke sana?" selidik Nyai Puncang Sibela.
Mutiara Merah merasa tak enak hati dengan
pertanyaan Nyai Puncang Sibela barusan. "Hanya urusan keluarga, Nyai," jawab
Mutiara Merah setelah matanya menatap tajam Mutiara Jingga dan Mutiara Un-
gu. "Urusan keluarga?" selak Ki Kuriwang Situ.
"Bo-bolehkah aku tahu?"
"Ah, maaf Ki Kuriwang Situ, kami tidak bisa
memberitahukannya," Mutiara Merah menatap wajah Ki Kuriwang Situ. Dia merasa
menemui keanehan di
balik wajah tua lelaki berpakaian hitam.
"Kenapa begitu, Anak Manis?"
"Maaf, Ki! Kami harus segera berangkat." Mutiara Merah segera angkat kaki dari
hadapan Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
mengikutinya. "Hop!"
"Hop!"
Terkejut bukan main hati Mutiara Merah dan
kedua adiknya. Mereka melihat gelagat yang tidak baik kedua orang tua itu. Kedua
orang tua yang berpakaian hijau gelap dan hitam, kini telah menghadang di
hadapannya. "Kenapa Nyai dan Aki menghalangi perjalanan
kami?" selidik Mutiara Merah dengan ketus.
"He... he... he, tidak. Kami tidak bermaksud
menghalangi, kalian," jawab Nyai Puncang Sibela.
"Kami hanya ingin kalian bertiga ikut bersama kami."
"Ikut?" terbelalak mata Mutiara Merah mendengar ucapan Nyai Puncang Sibela.
"Untuk apa?"
"Ikut saja! Nanti kalian akan menjumpai hal-hal yang menarik bersamaku."
"Kami tidak bisa menuruti keinginanmu itu,
Nyai. Maaf, kami punya kepentingan lain," tolak Mutiara Jingga.
"Pokoknya, kalian harus ikut!" menggelegar suara yang keluar melalui bibir Ki
Kuriwang Situ. Ketiga kakak beradik itu terkejut mendengar
ucapan Ki Kuriwang Situ yang begitu keras. Ketiganya segera melompat dua langkah
ke belakang. "Hati-hati kalian berdua!" kata Mutiara Merah memperingatkan kedua adiknya.
"Kakek dan nenek ini
bermaksud tidak baik terhadap kita!"
"He he he.... Kalian harus ikut denganku, Anak-anak Manis," tukas Nyai Puncang
Sibela. "Sudan kubilang, kami punya kepentingan
lain!" bentak Mutiara Merah.
"Aku dan Aki Peyot itu tetap akan memaksa ka-
lian untuk ikut," bantah Nyai Puncang Sibela.
"Sembarangan!"
Melihat sikap kedua orang tua itu, Mutiara Me-
rah naik pitam.
Cring! Cring! Cring!
Mutiara Merah segera meloloskan pedang dari
warangkanya. Tindakan itu diikuti oleh Mutiara Jingga juga Mutiara Ungu.
"He he he.... Rupanya senang juga kalian kalau aku main paksa, Anak Manis!"
"Kalian yang tidak tahu, kalau kami tak suka
dipaksa!" "Hih!"
Mutiara Jingga, yang memang pemarah, lang-
sung mengawali penyerangan dengan menusukkan pe-
dang ke arah lambung Nyai Puncang Sibela. Begitu keras tusukan itu, hingga
menimbulkan bunyi angin
yang berkesiut.
Nyai Puncang Sibela memandang sebelah mata
serangan yang dilancarkan Mutiara Jingga. Seketika ia menggerakkan badan dengan
cepat, menghindari tusukan pedang Mutiara Jingga. Pedang yang putih
mengkilat itu lewat beberapa jari di depan perut Nyai Puncang Sibela.
Mutiara Jingga sudah menduga kalau Nyai
Puncang Sibela mampu menghindari serangannya itu.
Dengan gerakan cepat, tangannya memutar pedang ke
leher perempuan tua itu.
Wuuung...! Suara pedang yang bergerak cepat ke leher Nyai
Puncang Sibela.
"Uts! He... he... he...!"
Sambil terkekeh Nyai Puncang Sibela meren-
dahkan tubuhnya. Dalam keadaan setengah mem-
bungkuk seperti itu, mata Nyai Puncang Sibela segera melihat kelemahan sepasang
kaki ramping Mutiara
Jingga yang tidak berdiri pada kuda-kuda sempurna.
"Hih!"
Nyai Puncang Sibela melakukan gerakan mene-
bas dengan kakinya terarah ke kaki Mutiara Jingga.
Namun, perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahun
itu terkejut bukan main, gerakan pedang Mutiara
Jingga berkelebat begitu cepat.
Dengan cepat Nyai Puncang Sibela membatal-
kan serangannya. Kaki kanan yang semula ditujukan
untuk menebas kaki Mutiara Jingga, ditariknya begitu cepat Wrrrttt..!
Pedang Mutiara Jingga yang berkelebat hendak
memapak serangan Nyai Puncang Sibela, membabat
tempat kosong. "Manis juga permainan pedangmu, Anak Ma-
nis," puji Nyai Puncang Sibela.
"Terima kasih atas pujian mu, Nyai," tukas Mutiara Jingga. "Maka, biarkan kami
pergi mengurusi kepentingan kami sendiri."
"Jangan begitu, Anak Manis! Aku juga punya
kepentingan dengan kalian," ucap Ki Kuriwang Situ.
"Sudah lama aku mencari dara-dara manis seperti kalian untuk kuajak bekerja
sama," "Maaf, aku tidak bisa membantu kepentingan-
mu, Ki Kuriwang Situ," sahut Mutiara Merah.
"Kenapa?"
"Telah kami jelaskan sejak tadi, kami punya
kepentingan lain!" selak Mutiara Ungu yang sejak tadi tidak bersuara.
"Apa salahnya, kalian membantu kepentingan-
ku dulu," Nyai Puncang Sibela kembali menimpali.
"Kepentingan kami belum terurus, Nyai. Maaf!
Hup!" Mutiara Merah segera menjejakkan kakinya di tanah. Tubuhnya seketika
melesat cepat, disusul oleh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ
membiarkan ketiga dara meninggalkan tempat itu. Da-
lam hati kedua orang tua itu merasa kagum. Mata me-
reka memandangi arah lesatan tubuh-tubuh ramping
berbalut pakaian dengan warna menyolok.
"Mereka amat cocok kita jadikan Dara-Dara
Pengusung Mayat, Ki," ujar Nyai Puncang Sibela.
"Ya," timpal Ki Kuriwang Situ. "Putri-putri Ki Megantara cukup pantas kita
jadikan Dara-Dara Pengusung Mayat. Ilmu silat mereka cukup bagus. Kita
tinggal memoles sedikit, untuk mencapai tingkat ke-
sempurnaan ilmu mereka."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejar me-
reka, Ki Kuriwang Situ."
"Tentu saja, Nyai. Ayo! Hip!"
"Hop!"
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-
gera melesat. Keduanya bergerak begitu ringan dan cepat, menggunakan ilmu


Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peringan tubuh yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan. Tak heran kalau
bayangan hijau dan hitam yang baru saja bergerak,
sudah mampu menemukan sasarannya. Ketiga dara
cantik itu kini berada di depan matanya. Jarak mereka
hanya sekitar sepuluh batang tombak lagi.
"Itu mereka," tunjuk Nyai Puncang Sibela seraya mempercepat larinya. Ketika
jarak mereka tinggal beberapa batang tombak, Nyai Puncang Sibela dan Ki
Kuriwang Situ menjejakkan kaki ke tanah dengan ke-
ras. Keduanya segera melakukan lentingan manis, lalu memutar tubuhnya beberapa
kali di udara. Seolah-olah, kedua orang tua itu ingin memamerkan kemam-
puan mereka di depan mata ketiga dara cantik yang
sedang dikejarnya.
"Hup!"
"Hup!"
Tubuh Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang
Situ mendarat dengan manis di hadapan tiga dara pu-
tri Ki Megantara.
"He he he.... Maaf, Anak Manis. Kali ini kami
harus memaksa kalian," ujar Nyai Puncang Sibela. "Betul, Anak Manis. Kami sangat
memerlukan bantuan
kalian," timpal Ki Kuriwang Situ.
Cring! Cring! Cring!
Tanpa menimpali ucapan Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ, Mutiara Merah, dan kedua
adiknya kembali meloloskan pedang dari warangkanya.
"Simpan saja senjata kalian!" perintah Ki Kuriwang Situ. "Aku tak ingin melihat
wajah cantik kalian terluka oleh senjata tajam kalian sendiri."
"Aki Peyot! Kaulah yang harus merasakan keta-
jaman pedangku ini!" hardik Mutiara Jingga.
"He he he.... Kau bukan tandingan Ki Kuriwang
Situ, Mutiara Jingga," papar Nyai Puncang Sibela.
"Belum tentu!" bantah Mutiara Jingga sambil melompat ke arah Ki Kuriwang Situ.
Gerakan Mutiara
Jingga segera diikuti oleh Mutiara Ungu. Sedangkan
Mutiara Merah, dengan pedang terhunus menghadang
Nyai Puncang Sibela.
"Hiaaa...!"
Diawali teriakan nyaring, Mutiara Merah mem-
babatkan pedang ke arah tubuh Nyai Puncang Sibela.
Gerakannya segera diikuti dengan serangan susul-
menyusul yang dilancarkan Mutiara Jingga dan Mutia-
ra Ungu ke tubuh Ki Kuriwang Situ yang mematikan.
Pertarungan yang terpecah menjadi dua bagian
berlangsung dengan seru. Pedang-pedang Mutiara Me-
rah dan kedua adiknya berkelebat cepat dan terarah.
Puluhan jurus telah saling mereka keluarkan. Namun, kedua belah pihak belum ada
yang terdesak. Hal itu lumrah, karena Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ belum meladeni dengan sung-
guh-sungguh, serangan-serangan yang dilancarkan
Mutiara Merah dan kedua adiknya.
"Kenapa kita harus membuang-buang waktu,
Nyai?" ucap Ki Kuriwang Situ dengan hanya menggerakkan sedikit bibirnya.
Ucapan kakek berpakaian hitam itu tak diden-
gar oleh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan juga Mutiara Ungu. Tentu saja,
karena Ki Kuriwang Situ menggunakan ilmu telepatinya. Ucapan itu hanya dituju-
kannya kepada Nyai Puncang Sibela.
"Ya. Tapi kita tak boleh melukai mereka, Ki Kuriwang Situ," balas Nyai Puncang
Sibela dengan mengerahkan suara batin. Suara itu juga hanya dapat di-dengar oleh
Ki Kuriwang Situ.
Seiring selesainya ucapan Nyai Puncang Sibela,
kedua tokoh tua itu langsung bergerak dua langkah ke belakang. Namun, Mutiara
Merah yang menerjang Nyai
Puncang Sibela, serta Mutiara Jingga dan Mutiara Un-gu yang menyerang Ki
Kuriwang Situ, dengan cepat
menebaskan pedang ke bagian tubuh mematikan dari
kedua lawannya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa! Hiaaa!"
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ
membiarkan saja senjata-senjata lawan berkelebat cepat ke tubuh mereka. Sikap
melecehkan kedua orang
tua itu cukup mengejutkan Mutiara Merah dan kedua
adiknya. Apakah kedua jahanam ini ingin bunuh diri"
Begitu pikir Mutiara Merah dan kedua adiknya. Ketiganya bermaksud menarik
kembali senjata mereka, te-
tapi hal itu dirasa tidak mungkin. Mereka merasa kepalang tanggung. Mutiara
Merah dan kedua adiknya
terus menghajar kedua musuhnya dengan serangan-
serangan dahsyat.
Trak! Trak! "Aaa...!"
Mutiara Merah terpekik ketika senjatanya
menghajar telak bagian tubuh Nyai Puncang Sibela.
Pedangnya terpental balik seperti membentur benda
kenyal. Tangannya pun dirasakan bergetar hebat. Lalu, tubuhnya seperti terdorong
oleh tenaga kuat dari tubuh Nyai Puncang Sibela.
Mutiara Merah mencoba mempertahankan diri
dari dorongan dengan sekuat tenaga. Upaya itu berhasil dilakukan. Kini Mutiara
Merah sudah kembali menjejak di tanah meski tubuhnya dalam keadaan oleng.
Sedangkan kedua adiknya, ternyata tidak
mampu mempertahankan dorongan hebat dari tubuh
Ki Kuriwang Situ. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
terbanting ke tanah. Kedua dara itu meringis kesakitan. Tangan mereka yang
barusan menghantamkan
senjata ke tubuh Ki Kuriwang Situ sesaat dirasakan
seperti lumpuh.
"Sudah kubilang, kalian bukan lawanku," tukas Nyai Puncang Sibela perlahan.
Namun, ucapan itu
terkesan begitu sarat dengan ketegasan.
"Kami memang bukan tandingan mu, Nenek
Keriput! Tapi, pantang bagiku menyerah begitu saja!"
sergah Mutiara Merah cukup berani.
"Kau tidak sayang dengan kedua adikmu yang
sudah terkulai itu, Mutiara Merah?" tekan Nyai Puncang Sibela.
"Bedebah! Kalian memang jahanam!"
Mutiara Merah kembali melesat seraya mene-
baskan pedangnya. Kali ini gerakannya tak kepalang
tanggung. Seluruh tenaga dalam yang dimiliki dialirkan ke pedang yang sudah
berada di udara.
"Hiaaa...!"
Tap! Dengan teriakan keras Mutiara Merah men-
gayunkan pedang ke tubuh perempuan tua itu.
Terkesiap Mutiara Merah, ketika ujung pedang-
nya ditangkap Nyai Puncang Sibela. Dara jelita berpakaian merah terang itu
mencoba menarik senjata yang ditahan perempuan tua itu.
"Tariklah kalau kau mampu, Anak Manis," ledek Nyai Puncang Sibela dengan senyum
tuanya yang mengembang lucu.
"Hmmmrhhh...."
Berkali-kali Mutiara Merah mengerahkan sisa-
sisa tenaga yang ada untuk menarik senjatanya. Na-
mun, apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Merah
padam wajah Mutiara Merah, bahkan butiran-butiran
keringat telah membasahi tubuh dan pakaiannya. Ce-
kalan tangan perempuan tua itu terlalu kuat. Mutiara Merah Tak mampu menarik
kembali pedangnya.
"He he he.... Kau harus pula merasakan sedikit kebolehan ku, Mutiara Merah,"
tukas Nyai Puncang Sibela sambil mengendurkan sedikit cekalan pada tubuh pedang
Mutiara Merah. Pedang Mutiara Merah yang semula putih, tiba-
tiba menyemburat hijau. Warna hijau itu semakin kentara dan menjalar perlahan ke
arah gagang yang di-
cekal Mutiara Merah. Warna kehijauan yang dialirkan Nyai Puncang Sibela terus
menjalar dan....
"Aaa...!"
Mutiara Merah terpekik keras, ketika jalaran
warna hijau yang diciptakan Nyai Puncang Sibela me-
nyentuh tangannya. Cekalan kuat Mutiara Merah se-
ketika terlepas. Tubuh Mutiara Merah terdorong. Kali ini dia tak mampu
mempertahankan diri. Sehingga,
tubuhnya terbanting ke tanah.
Bruk! Sebentar Mutiara Merah mampu menggeliat.
Namun, racun yang dikirim Nyai Puncang Sibela be-
kerja begitu cepat, hingga dara cantik berpakaian merah terang itu tak mampu
bertahan, lalu pingsan.
Nyai Puncang Sibela menatap wajah Ki Kuri-
wang Situ. Lelaki tua itu ternyata sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Nampak
di hadapan lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun itu tergeletak
tubuh pingsan Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.
"Kita pergi sekarang, Nyai!" ajak Ki Kuriwang Situ. "Ayo!"
"Hup!" "Hup!"
Tubuh Nyai Puncang Sibela yang memondong
tubuh Mutiara Merah melesat lebih dulu. Lalu Ki Ku-
riwang Situ yang memondong dua tubuh Mutiara Jing-
ga dan Mutiara Ungu melesat tak kalah cepat. Lelaki
tua berpakaian hitam itu seolah tidak merasakan be-
ban yang tengah dipikulnya.
2 Terik matahari siang bolong seperti dua kali li-
pat dirasakan oleh seorang dara cantik yang mengenakan pakaian putih bersih. Hal
itu karena, tiba-tiba langkahnya terhalang oleh seorang nenek berusia sekitar
tujuh puluh tahun yang mengenakan pakaian hijau gelap. Nenek itu tak lain Nyai
Puncang Sibela.
"Biarkan aku lewat, Nek! Kenapa Nenek meng-
halangiku" Bukankah aku tak punya urusan dengan-
mu?" pertanyaan itu keluar dari bibir tipis dara berparas cantik.
"Aku yang punya urusan denganmu, Nisanak,"
jawab Nyai Puncang Sibela.
"Ah! Urusan apa, Nek" Bukankah baru kali ini
kita berjumpa?" tukas gadis cantik berpakaian putih merasa terkejut
"Betul Nisanak, namun akan ingin urusanku
menjadi urusanmu juga. Aku ingin mengajakmu meli-
hat tiga dara cantik yang ada di kediamanku," jawab Nyai Puncang Sibela.
"Tiga dara cantik?" tanya dara berpakaian putih perlahan. "Ah, maaf Nek, aku tak
mengenal mereka.
Lagi pula aku punya urusan lain. Aku permisi, Nek."
"Eit! Tunggu dulu, Nisanak. Kenapa kau begitu
malas membantu orang tua macam aku?" tahan Nyai Puncang Sibela, melihat dara
cantik itu hendak pergi begitu saja dari hadapannya.
"Oh ya, namaku Puncang Sibela. Kalau kau su-
di memanggilku Nyai Puncang Sibela, aku akan lebih
senang. Kalau boleh ku tahu, siapa namamu, Dara
Manis?" Dara berparas cantik dengan pakaian putih itu menatap Nyai Puncang
Sibela. Dara itu terkesan dengan ucapan lembut Nyai Puncang Sibela barusan.
"Setelah ku perkenalkan namaku, apakah Nyai
mengizinkan ku pergi?" selidik dara cantik itu.
"Oh, tentu. Tentu," sahut Nyai Puncang Sibela.
Dara berpakaian putih itu kembali menatap
Nyai Puncang Sibela lekat. Sebentar kemudian bibir-
nya yang tipis sudah menyebutkan namanya.
"Dewi Nuwang?" ulang Nyai Puncang Sibela.
"Hmmm..., nama yang cukup bagus," tambahnya me-muji. "Terima kasih, Nyai.
Sekarang aku permi...."
"Hei.... Hop, hop, hop! Tunggu, tunggu dulu
Dewi Nuwang," tahan Nyai Puncang Sibela. "Kau tidak boleh pergi begitu saja."
"Ada apa lagi, Nyai" Bukan Nyai tadi memper-
bolehkan ku pergi setelah menyebutkan namaku?"
tanya dara yang bernama Dewi Nuwang.
"Kau belum membayar pujian ku barusan, Dewi
Nuwang," jawab Nyai Puncang Sibela.
Gila! Rutuk Dewi Nuwang dalam hati.
"Ucapan terima kasih mu barusan, belum cu-
kup untuk membayar pujian ku yang mahal itu, Dewi
Nuwang." "Lalu aku harus membayar mu dengan apa,
heh"!" bentak Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang semakin kesal menghadapi sikap
perempuan tua itu.
"Dengan sedikit pertolonganmu, Dewi Nuwang,"
pinta Nyai Puncang Sibela.
"Katakan, apa itu?" ujar Dewi Nuwang.
"Di tempat tinggalku, ada tiga dara cantik-
cantik seperti kau. Ketiganya membutuhkan seorang
teman yang tak kalah cantik dari mereka. Kukira, kaulah orang yang paling cocok
menjadi teman mereka,
Dewi Nuwang!" jelas Nyai Puncang Sibela.
Dewi Nuwang menatap wajah Nyai Puncang Si-
bela penuh keheranan. Di benaknya timbul berbagai
macam pertanyaan yang simpang-siur. Namun, semua
pertanyaan itu segera ditepiskannya. Belum lagi hilang rasa penasaran Dewi
Nuwang, perempuan tua itu sudah melanjutkan ucapannya.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin menjadi-
kan kau dan ketiga dara cantik yang berada di rumah-ku sebagai Dara-Dara
Pengusung Mayat. Kita semua
akan bekerja sama membantai orang-orang yang tidak
kita sukai. Bagaimana, Dewi Nuwang?"
"Dara-Dara Pengusung Mayat?" ulang Dewi
Nuwang agak sedikit bergetar. Di dalam benaknya timbul kembali rasa penasaran
tadi. "Aku tak akan marah, kalau kau keberatan,
Dewi," tukas Nyai Puncang Sibela menyaksikan dara cantik di hadapannya terpaku
diam. Sementara, Dewi Nuwang belum mengerti apa
yang dimaksud Nyai Puncang Sibela. Hatinya masih
penasaran dengan sebutan Dara-Dara Pengusung
Mayat "Kalau begitu biarkan aku pergi, Nyai," putus Dewi Nuwang kemudian. "Aku
tidak bersedia menerima tawaran tadi. Maaf aku tidak dapat menolongmu."
"He he he.... Tidak begitu, Dewi Nuwang. Aku
memang tak marah padamu. Tetapi, aku tetap akan
memaksamu untuk menjadi Dara-Dara Pengusung
Mayat" "Gila! Kau betul-betul sudah gila, Nyai!"
"Terserah apa katamu, Dewi Nuwang. Yang je-
las aku butuh gadis semacam kau!" mantap ucapan Nyai Puncang Sibela.


Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tetap menolak permintaanmu, Nyai!"
Kemarahan Dewi Nuwang telah memuncak. Ha-
tinya mulai tidak sabar menghadapi paksaan Nyai
Puncang Sibela.
Cring! Dewi Nuwang mencabut pedang dari warang-
kanya, lalu diletakkan menyilang di depan dada.
"Rupanya aku harus menolak permintaanmu
dengan menggunakan senjata ini, Nyai," ucap Dewi Nuwang datar.
"Kau tak akan sanggup membangkang dari
keinginanku, Anak Manis. Meskipun seribu senjata
tergenggam di tanganmu," kilah Nyai Puncang Sibela sambil melepas senyum
mengejek. "Sudah tua, masih pula kau bersombong diri,
Nyai," balas Dewi Nuwang tak kalah sengit.
"Ayo ikut aku, Gadis Bandel!"
Nyai Puncang Sibela melangkah dua tindak tak
mempedulikan peringatan Dewi Nuwang. Senjata Dewi
Nuwang sudah dimajukan dari depan dadanya.
"Sekali lagi kau melangkah, kutebas batang le-
hermu, Nyai!" ancam Dewi Nuwang tegas.
"He he he..."
Hanya suara tawa dari mulut nenek tua itu se-
bagai jawaban atas ancaman Dewi Nuwang. Sementara
kaki tua Nyai Puncang Sibela terus melangkah mulai
memancing kemarahan Dewi Nuwang yang sudah
men-capai ubun-ubun.
"Hiaaa...!"
Pertarungan pun tak terelakkan. Dewi Nuwang
mulai melancarkan serangan dengan pedangnya.
"Ups!"
Wuuuttt! Tubuh Dewi Nuwang terjajar beberapa langkah.
Tebasan pedangnya berhasil dielakkan Nyai Puncang
Sibela. Sementara sodokan tangan perempuan tua
yang datang begitu cepat, mendarat telak di perutnya.
Untung Nyai Puncang Sibela tidak menggunakan tena-
ga dalam. Kalau tidak, mungkin tubuh Dewi Nuwang
sudah jatuh tersungkur ke tanah.
"Itu baru peringatanku yang pertama, Dewi.
Aku tak akan melakukan lagi, jika kau mau berbaik
hati dan ikut denganku," kata Nyai Puncang Sibela.
"Itu keinginan gila, Nyai. Sudah kukatakan, tak mungkin kuikuti permintaanmu!"
bantah Dewi Nuwang. "Kalau begitu, aku akan membawamu dengan kekerasan."
Tersedak hati Dewi Nuwang mendengar anca-
man Nyai Puncang Sibela. Dia merasa dipaksa harus
tunduk dengan keinginannya. Tapi, menjadi Dara-Dara Pengusung Mayat..."
Pertanyaan itu kembali melintas di benaknya.
"Ahhh...." Dewi Nuwang menarik napas dalam-dalam. Aku tak mau menjadi Dara-Dara
Pengusung Mayat, batin Dewi Nuwang cemas seraya kembali me-
nyilangkan pedang di depan dada.
Kali ini tekadnya membulat, untuk menghadapi
perempuan tua bangka di hadapannya.
"Langkahi dulu mayatku, Nyai! Baru kau ajak
diriku ke mana kau suka," ucap Dewi Nuwang mulai menantang.
"Kau keras kepala juga rupanya," omel Nyai Puncang Sibela. "Aku memang tak
berniat melukaimu.
Tapi, aku harus membawamu, Dewi Nuwang! Jagalah
serangan tangan kosongku!"
Nyai Puncang Sibela bergerak cepat ke tubuh
Dewi Nuwang. Dara cantik itu sejak tadi sudah ber-
siap-siap dengan senjata menyilang di depan dada. Ketika gerangan perempuan tua
itu betul-betul datang, Dewi Nuwang bergegas menebaskan pedangnya ke
tangan Nyai Puncang Sibela yang jari-jarinya membentuk kerucut.
Trak! Tepat sekali. Serangan tangan perempuan tua
itu terpapas pedang, Dewi Nuwang.
"Aaa...!"
Tubuh Dewi Nuwang terjajar ke samping ka-
nan, ketika pedangnya menghantam tangan Nyai Pun-
cang Sibela yang keras bagai lempengan baja.
Tubuh Dewi Nuwang terlihat terhuyung bebe-
rapa langkah. Belum lagi dara cantik itu sempat mem-betulkan letak berdirinya,
serangan Nyai Puncang Sibela telah menyusul dengan cepat.
"Haaa!"
Jari tangan Nyai Puncang Sibela yang memben-
tuk kerucut melayang ke arah bagian tubuh Dewi Nu-
wang. Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Dewi Nuwang memekik tertahan ketika totokan
tangan Nyai Puncang Sibela mendera tubuhnya. Seke-
tika itu juga tubuh Dewi Nuwang jatuh terkulai ke tanah. "He... he... he....
Maaf, Dewi Nuwang! Tindakan ini harus kulakukan, karena kau sendiri yang
meminta. Kau memang keras kepala, Dewi Nuwang!"
Nyai Puncang Sibela melangkah perlahan
menghampiri tubuh Dewi Nuwang yang terkulai tak
berdaya. Wajah perempuan tua itu nampak begitu ce-
rah. Sesungging senyum menghias wajah, ketika tan-
gannya bergerak hendak membopong tubuh Dewi Nu-
wang. "Kalau dia tak mau, kenapa harus memak-
sanya, Nyai?"
Tiba-tiba sebuah teguran dari belakang, seolah
menghentikan gerakan tangan Nyai Puncang Sibela.
Perempuan tua itu begitu terkejut, dengan cepat membalikkan badannya.
Dengan tatapan membara, Nyai Puncang Sibela
memandangi sosok lelaki muda berpakaian kuning
keemasan. Lelaki muda itu tak lain si Raja Petir.
"Hmmm...."
Sambil menggereng Nyai Puncang Sibela terus
mempertajam tatapannya. Jaka Sembada segera mem-
balas dengan tak kalah tajam tatapan Nyai Puncang
Sibela. Nyai Puncang Sibela mendesah dalam hati, setelah beberapa saat lamanya
tatapan tajam Jaka
menghujam deras ke bola matanya. Nenek tua itu me-
rasakan hawa yang aneh, hingga hatinya gelisah bu-
kan kepalang. Segera dialihkan tatapannya dari mata Jaka Sembada.
"Kalau aku tak salah, kau pasti si Raja Petir.
Belakangan ini namamu begitu santer disebut orang-
orang persilatan?"
"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab pemuda itu.
"Hmmm.... Telah lama kudengar, kehebatanmu.
Namun, aku belum pernah menyaksikan sendiri," lanjut Nyai Puncang Sibela.
"Ah, maaf Nyai. Aku tak bermaksud memamer-
kan apa yang kumiliki. Aku merasa hanya kasihan pa-
da gadis itu. Mungkin dia juga punya kepentingan
khusus, Nyai," bantah Raja Petir.
"Kau juga punya kepentingan dengan gadis itu,
heh?" sergah Nyai Puncang Sibela.
"Aku hanya berkepentingan untuk menolong-
nya, Nyai," sangkal Jaka.
"Pahlawan kesiangan!" bentak Nyai Puncang Sibela sengit.
"Kurasa tidak, Nyai," kilah Jaka. "Aku merasa belum kesiangan untuk menolong
gadis itu."
"Raja Petir! Jangan menjadi pongah dengan pu-
jian-pujian yang kau dapat selama ini! Aku, Nyai Puncang Sibela akan menghapus
pujian-pujian itu! Aku
akan membuktikan pada semua tokoh persilatan,
bahwa Raja Petir bukanlah orang yang pantas menda-
patkan pujian sehebat itu!"
"Pujian itu bukan aku yang mengingini. Kalau
kau ingin menghapusnya, aku tak keberatan," bantah Raja Petir tenang.
"Bersiaplah, Raja Petir!" ujar Nyai Puncang Sibela sambil menggeser langkah ke
kanan. "Tunggu, Nyai! Bukankah lebih baik kita buat
perjanjian lebih dahulu?"
"Apa maksudmu?"
"Kita tentukan dulu, dengan berapa jurus kita
akan bertarung. Tentukan juga sangsi bagi yang tak
mampu bertahan dalam jurus yang telah kita tentukan itu," jelas Raja Petir.
Sebenarnya hati Jaka tak ingin bertarung den-
gan perempuan tua itu. Dia merasa tak punya urusan
apa-apa terhadap perempuan tua itu. Namun, hatinya
tak suka ada orang berbuat seenaknya, memaksa
orang lain seperti itu.
Nyai Puncang Sibela menarik kulit mukanya
hingga terbentuk sesungging senyum mengejek.
"Terserah kau saja, Raja Petir," jawab Nyai Puncang Sibela terdengar meremehkan.
"Dalam lima jurus pun, kurasa kau tak akan mampu menandingi ku!"
"Lima jurus terlalu sedikit, Nyai. Kau jangan
menyesal, kalau harus meninggalkan tempat ini tanpa membawa gadis itu," jawab
Jaka sambil menunjuk da-ra cantik yang terkulai di belakang Nyai Puncang Sibela.
"He he he.... Jaga saja seranganku ini, Bocah!
Hih!" Nyai Puncang Sibela mengibaskan tangan kanan dengan cepat. Tiba-tiba
beberapa senjata rahasia berbentuk bulat telur berkelebat cepat dan menimbulkan
deru angin yang keras.
Dari jarak yang hanya beberapa batang tom-
bak, mata Jaka dapat menangkap luncuran benda-
benda hijau yang meluruk ke tubuhnya.
Jaka memang selalu bersikap tenang dalam
menghadapi setiap senjata rahasia yang sudah pasti
mengandung racun ganas. Namun, sikap tenangnya
tidak berarti meremehkan serangan itu. Dalam kete-
nangan, justru ia menemukan sikap kewaspadaan
yang tinggi untuk mengatasi serangan-serangan senja-ta rahasia seperti itu.
"Hup! Hup!"
Raja Petir segera menghentakkan kaki kuat-
kuat, ketika luncuran senjata itu beberapa jengkal lagi menghantam dadanya.
Seketika tubuhnya pun melenting ke udara menghindari senjata rahasia Nyai Pun-
cang Sibela. "Hip!"
Kembali tubuh Jaka mendarat dengan manis,
setelah melakukan tiga kali putaran di udara.
Glaaar! Brak! Raja Petir menoleh ke belakang. Suara ledakan
diiringi robohnya sebatang pohon besar, terdengar
memekakkan telinga. Sungguh dahsyat akibat yang di-
timbulkan oleh senjata rahasia Nyai Puncang Sibela.
Jaka menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak ka-
gum. "Hmmm.... Bukankah kau yang menghendaki
kita bermain-main dengan jurus, Nyai?" tanya Jaka dengan raut muka tak senang.
"He he he.... Kau takut dengan permainan ku
yang belum seberapa itu, Raja Petir?" ledek Nyai Puncang Sibela.
Raja Petir hanya menanggapi ucapan Nyai Pun-
cang Sibela dengan seulas senyum.
"Itu tadi baru uji coba, Anak Muda," lanjut Nyai Puncang Sibela seraya
menggerakkan kaki dua langkah ke depan. Jemari tangannya seketika mengepal
keras memberitahu lawan kalau dirinya akan melan-
jutkan serangan berikutnya.
"Jaga seranganku, Raja Petir!"
Seiring ucapan itu, tubuh Nyai Puncang Sibela
melesat dengan cepat. Tangannya yang terkepal, diluncurkan dengan ganas ke
bagian tubuh Jaka yang peka.
Bunyi angin menderu, mengiringi serangan yang men-
gerahkan tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Serangan Nyai Puncang Sibela nyaris mengenai
sasaran. "Eit!"
Dengan mengegoskan sedikit kakinya, Jaka
berhasil menghalau serangan yang dilancarkan Nyai
Puncang Sibela. Bahkan, dari egosan kaki itu Jaka
menemukan kedudukan yang cukup baik untuk mem-
berikan serangan balasan ke tubuh Nyai Puncang Si-
bela di depannya.
"Hih!"
Raja Petir melancarkan serangan lurus ke dada
perempuan tua itu.
"Uts!"
Raja Petir tak menyangka, kalau sodokan yang
diperkirakan akan mendarat di ulu hati ternyata gagal.
Nyai Puncang Sibela, mampu menghindarkan diri,
hanya dengan sedikit memiringkan badan. Bahkan, se-
rangan balasannya hampir mendarat di pelipis kalau
Jaka tak segera menurunkan tubuh.
Wuuut..! Tebasan tangan kosong Nyai Puncang Sibela
sekali lagi berkelebat di atas kepala Raja Petir. Perempuan tua itu terus
memberikan serangan-serangan su-
sulan. Namun, setiap serangan dapat dielakkan Jaka, yang sekali-kali juga
memberikan serangan balasan.
"Sudah lebih dari lima jurus, Nyai," tegur Raja Petir sambil menghindari
serangan. Nyai Puncang Sibela sendiri kini sudah mulai menyerang dengan
menggunakan jurus ke sebelas.
"Salah satu harus ada yang mampus, Raja Pe-
tir!" bentak Nyai Puncang Sibela geram. Wajahnya nampak memerah setelah
mengetahui ketangguhan
anak muda yang berpakaian kuning keemasan.
"Kau harus menebus kelancanganmu, men-
campuri urusanku."
Terlengas hati Raja Petir mendengar bentakan
Nyai Puncang Sibela. Jaka tidak menganggap remeh
ucapan tadi. Kemarahan perempuan tua itu telah me-
muncak. Mata Raja Petir menangkap gerakan tangan
perempuan tua itu meraba pinggiran bajunya. Dengan
mata yang sedikit dipicingkan Jaka mencoba menga-
wasi terus benda rahasia yang akan diluncurkan Nyai Puncang Sibela.
Pikiran Raja Petir segera bekerja dengan tepat.
Pikirannya memastikan, nenek di hadapannya akan
segera menebar senjata yang mengandung racun ga-
nas. Senjata itu bukan saja akan membuat dirinya binasa, tetapi juga diri dara
cantik yang sejak tadi terkulai tak berdaya.
Setelah berpikir demikian, Raja Petir segera me-
lompat ke arah Dewi Nuwang.
"Hup!"
Sekali hentakan, tubuh Jaka Sembada sudah
berdiri tegap di sisi kanan Dewi Nuwang.
Nyai Puncang Sibela hanya tersenyum melihat
Jaka berusaha melindungi dara cantik itu.
"Kalian berdua akan mampus, tahu!" ancam


Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyai Puncang Sibela.
Tangannya yang sejak tadi menempel di pinggi-
ran pakaiannya seketika bergerak mengibas.
"Hih!"
Sebuah benda meluncur dari tangannya.
Bluuusss...! Asap kehijauan seketika mengepul keluar dari
benda yang dibanting Nyai Puncang Sibela ke tanah.
Raja Petir terkejut mencium hawa maut yang
menebar dari kepulan asap kehijauan. Setelah meno-
lehkan wajah ke Dewi Nuwang, Jaka segera mengerah-
kan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.
Seketika angin bergulung keluar dari telapak
tangan Raja Petir yang terbuka. Angin yang berpusar itu bergerak begitu cepat,
menghadang kepulan asap
kehijauan yang menyergap Raja Petir dan Dewi Nu-
wang. Sementara, Jaka segera bergerak cepat me-
mondong tubuh Dewi Nuwang. Kemudian melompat ke
belakang sejauh lima batang tombak.
Asap kehijauan beracun ganas itu sudah teru-
sir oleh angin bergulung yang dikeluarkan Raja Petir.
Tetapi bukan kepalang terkejutnya, Nyai Puncang Si-
bela ternyata sudah menghilang dari tempat itu. Sege-ra Raja Petir menebar
pandangan ke sekeliling. Dengan sikap waspada penuh, Raja Petir mengamati setiap
gerak yang tertangkap mata dan pendengarannya.
"Huh!" maki Jaka setelah sekian lama mata dan pendengarannya mengawasi
sekeliling. Telah dikerah-kan mata dan pendengarannya dengan kewaspadaan
tinggi. Namun, tidak juga ia menangkap gerak atau
suara yang mencurigakan.
Aneh! Pikir Raja Petir, Bukankah baru saja pe-
rempuan tadi menyumpah akan membunuhku" Tapi...
kenapa dia menghilang" Apakah.... Ah, dasar perem-
puan kurang waras!
Ketika keadaan sudah tak berbahaya, Jaka se-
gera menurunkan tubuh Dewi Nuwang. Jaka menatap
wajah cantik Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang yang masih terkulai tanpa daya
membalas tatapan mata Jaka. Hatinya sungguh tak
menyangka kalau lelaki yang menolongnya masih begi-
tu muda dan berwajah tampan.
Dewi Nuwang segera menundukkan wajahnya.
Tiba-tiba dirasakan ada sesuatu yang berdesir halus di dalam rongga dadanya. Dia
tak tahu, kenapa perasaan itu tiba-tiba mengalir di dalam hatinya.
Dewi Nuwang kembali menundukkan kepala.
Raja Petir segera menyadari, kalau apa yang telah dilakukannya membuat wajah
dara jelita di hadapannya
berubah semu merah.
"Ah, maaf, Nisanak," ujar Raja Petir. "Aku akan membebaskan darahmu yang
tersumbat!"
Tangannya seketika bergerak cepat menotok
bagian tubuh Dewi Nuwang yang terkunci.
Tuk! Tuk! "Aaa...!"
Dewi Nuwang terpekik ketika totokan tangan
Jaka mendarat di bagian tubuhnya yang terkunci.
Hanya sebentar saja lenguhan kecil terdengar dari mulut dara jelita itu.
Sebentar kemudian, Dewi Nuwang telah mampu menggerakkan tubuhnya. Sekali lagi
ma-ta Dewi Nuwang menatap wajah pemuda tampan itu
dengan rasa kagum.
"Terima kasih, Raja Petir," ucap Dewi Nuwang mirip desahan.
"Namaku Jaka Sembada, Nisanak," Jaka mera-sa tidak enak dipanggil dengan
julukannya. "Aku Dewi Nuwang, Kakang," timpal dara berpakaian putih bersih seraya bangkit
dari keterkulaiannya. "Bagaimana ceritanya, hingga kau bentrok dengan perempuan
aneh itu, Dewi Nuwang?" tanya Raja Petir ketika Dewi Nuwang telah melangkah di
sampingnya. "Nenek itu menghadang perjalananku, lalu
memaksa meminta bantuanku," jelas Dewi Nuwang.
"Bantuan apa?"
"Nyai Puncang Sibela menginginkan ku agar
menemani tiga dara cantik yang kini tinggal di rumahnya." "Menemani..." Bukankah
mereka sudah bertiga"!" tekan Jaka.
"Perempuan tua itu bermaksud menjadikan
aku dan ketiga gadis itu sebagai Dara-Dara Pengusung
Mayat," lanjut Dewi Nuwang. Ia kembali menjajari langkahnya yang tertinggal,
padahal Raja Petir tak melakukan langkah tergesa.
"Hah...! Dara-Dara Pengusung Mayat, apa mak-
sudnya?" Dewi Nuwang tak menjawab pertanyaan Raja
Petir. Pikirannya tiba-tiba disibukkan dengan keberadaan lelaki tampan berjalan
di sampingnya. Sungguh aneh keinginan perempuan tua itu,
seaneh tingkahnya, pikir Jaka.
*** Langit begitu cerah. Matahari memancarkan si-
nar yang cukup kuat. Sementara di bumi, angin ber-
hembus begitu kencang, mengibarkan pakaian pemu-
da tampan dan dara jelita. Mereka melangkah berdam-
pingan di atas jalan tanah yang kering dan berdebu.
Sesekali angin menghembuskan debu di jalanan.
"Sekarang ke mana tujuanmu, Dewi Nuwang?"
tanya Jaka Sembada setelah beberapa saat lamanya
tak ada suara dari mulut mereka.
Namun, belum sempat menjawab pertanyaan
Dewi Nuwang, dari tikungan jalan bermunculan empat
orang penunggang kuda. Keempat lelaki nampak begi-
tu tergesa-gesa. Mereka menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi.
"Orang-orang itu nampak begitu tergesa, Ka-
kang," ucap Dewi Nuwang tanpa menoleh ke arah pemuda di sampingnya. Jaka Sembada
juga menatap ta-
jam ke arah para penunggang kuda di kejauhan.
Debu mengepul beterbangan oleh kaki-kaki ku-
da mereka. "Hiaaa...! Hiaaa...!"
Terdengar suara para penunggang kuda itu
menggebah kuda mereka.
Jaka Sembada tak menghiraukan ucapan dara
jelita tetapi menghentikan langkahnya. Tatapan Jaka Sembada tertuju ke empat
penunggang kuda yang terus mempercepat lari kuda mereka.
"Ah, seperti murid-murid Ki Megantara, Ka-
kang," Ujar Dewi Nuwang setelah jarak keempat penunggang kuda tidak begitu jauh
lagi. Keempat pe-
nunggang kuda menarik tali kekang di tangan untuk
menghentikan kuda mereka.
"Kau kenal mereka, Dewi Nuwang?"" tanya Jaka sambil menoleh ke arah gadis itu.
"Kita lihat nanti," jawab Dewi Nuwang.
Keempat lelaki bertubuh kekar menghentikan
kuda mereka tepat di depan Jaka Sembada dan Dewi
Nuwang. "Ah, ternyata kau, Kakang Galuh. Hendak ke
manakah kalian?" tanya Dewi Nuwang pada lelaki bertubuh kekar, yang wajahnya
terhias kumis tebal.
Lelaki bernama Galuh Daka melompat dari
punggung kudanya. Sikapnya kentara sekali menaruh
hormat pada Dewi Nuwang.
"Kami ingin ke rumahmu, Dewi Nuwang," jawab Galuh Daka setelah mengangkat
kepalanya yang me-runduk sesaat.
Sebentar kemudian, Galuh Daka telah mulai
menyampaikan maksudnya kepada Dewi Nuwang.
*** 3 Dewi Nuwang tersentak mendengar cerita mu-
rid kesayangan Ki Megantara. Seketika, wajahnya me-
noleh ke arah Jaka yang berdiri di sisinya.
"Benarkah Mutiara Merah dan kedua adiknya
berkunjung ke rumahku?" tanya Dewi Nuwang resah.
"Ah...." Dewi Nuwang menarik napas dalam, perasaannya tiba-tiba tidak karuan.
"Ada apa, Dewi Nuwang?" tanya Galuh Daka
keheranan. "Kenapa kau nampak begitu terkejut?"
"Sudah satu purnama lamanya, ketiga sauda-
raku itu tak pernah ke rumahku, Kakang," jawab Dewi Nuwang perlahan kepada Galuh
Daka. "Hah..."!"
Galuh Daka dan ketiga temannya tersentak
mendengar jawaban Dewi Nuwang.
"Kalau begitu, ke mana mereka" Jangan-
jangan...."
Galuh Daka mulai gelisah. Pikirannya mendu-
ga-duga pada hal-hal yang tak diinginkan.
"Apa kau hendak ke rumah Ki Megantara, Dewi
Nuwang?" tanya Galuh Daka kemudian.
Dewi Nuwang hanya menjawab dengan men-
ganggukkan kepala perlahan.
"Kalau begitu berangkatlah segera, jelaskan
bahwa putri-putri Ki Megantara tidak ada di rumahmu.
Biar kami akan mencari mereka sekarang," usul Galuh Daka. Dewi Nuwang menyetujui
keputusan Galuh
Daka, setelah terlebih dahulu menatap wajah Jaka.
"Oh, ya. Boleh aku tahu siapa temanmu itu?"
pinta Galuh Daka sambil mengalihkan tatapan ke wa-
jah Jaka. "Sekaligus aku ingin bertanya padanya, apakah dia melihat ketiga putri
Ki Megantara."
"Namaku Jaka. Aku tak pernah melihat ketiga
gadis yang kau maksud itu," jawab Raja Petir mendahului gerak bibir Dewi Nuwang
yang akan menjawab
pertanyaan Galuh Daka.
Galuh Daka mengangguk-anggukkan kepala.
Tatapan matanya beralih pada Dewi Nuwang. Sebentar
kemudian, kakinya melangkah mendekati kuda.
"Baik, kalau begitu kami berangkat, Dewi," pamit Galuh Daka. Sementara tubuhnya
sudah berada di
punggung kuda. Ketika Dewi Nuwang kembali menganggukkan
kepala, Galuh Daka menebarkan senyum ke arah Raja
Petir. "Heah...!"
Lelaki gagah berpakaian biru langit itu mengge-
bah kudanya, disusul kemudian oleh ketiga kawannya.
Debu kembali mengepul seiring dengan dera-
pan kaki-kaki kuda Galuh Daka dan kawannya.
"Kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin minta bantuanmu lagi, Kakang Jaka,"
pinta Dewi Nuwang polos.
"Jangan terlalu menaruh kepercayaan begitu
besar pada seseorang yang baru kau kenal, Dewi," ujar Jaka meledek.
"Kalau tak bersedia, aku tak memaksa, Ka-
kang," kilah Dewi Nuwang.
"Apa imbalannya, kalau aku bersedia?" gurau Raja Petir, sambil tersenyum.
Matanya melirik ke wajah Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang juga membalas senyum yang ma-
nis terhadap Jaka.
"Apa kau tergolong lelaki upahan, Kakang?" ba-
las Dewi Nuwang.
"Kau pintar memaksa orang secara halus, De-
wi." "Kau merasa ku paksa, Kakang?" tanya Dewi Nuwang, sambil tertawa kecil.
Raja Petir tak menjawab pertanyaan Dewi Nu-
wang. Kakinya seketika dijejakkan kuat dan melesat.
Dewi Nuwang nampak begitu terkejut, Jaka telah me-
ninggalkan dirinya. Sebentar kemudian dara jelita itu pun segera melesat,
menyusul jejaka tampan yang juga berjuluk Raja Petir.
*** Dalam sebuah rumah yang cukup besar, sua-
sana yang sejuk dan teduh, terdengar suara percaka-
pan Raja Petir, Dewi Nuwang, dan Ki Megantara.
"Aku mengucapkan terima kasih, atas pertolon-
ganmu terhadap diri Dewi Nuwang. Dewi Nuwang ada-
lah putri adik seperguruanku, Raja Petir," kata lelaki berusia di atas enam
puluh tahun. Lelaki tua itu mengenakan pakaian jingga bersalur-salur merah dan
hi- jau terang. Jaka menatap wajah lelaki di hadapannya. Le-
laki tua itu tak lain adalah Ki Megantara, seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Ia juga dikenal dengan julukan Pendekar Lembayung.
"Seharusnya ucapan itu tak perlu tercetus, Ki,"
kilah Raja Petir sopan. "Sudah selayaknya bagi kita ji-ka mampu memberikan
pertolongan itu. Bukankah
pertolongan yang datang hanya karena sang Pencipta
Jagat telah menggerakkan hati kita?" lanjut Jaka lembut dan sopan.
Mata Ki Megantara tak berkedip menatap wajah
Raja Petir. Lelaki tampan yang bergelar Raja Petir. Dalam hati, Ki Megantara
merasa kagum dengan segala
kerendahan budi lelaki muda di hadapannya. Ki Me-
gantara nampak memaklumi keberadaan ilmu silat Ra-
ja Petir, yang bagi kalangan dunia persilatan sulit dica-rikan tandingannya.
"Kalau begitu kehendakmu, akan ku tarik kem-
bali ucapanmu tadi. Namun, aku tetap tak akan melu-
pakan budi baikmu," sambut Ki Megantara sambil me-lempari pandang ke wajah Dewi
Nuwang yang duduk
di sampingnya. Raja Petir tersenyum mendengar ucapan tulus
lelaki tua bergelar Pendekar Lembayung itu. Sementara Dewi Nuwang menundukkan
kepala mendapatkan tatapan Ki Megantara yang menyimpan keheranan.
"Sesungguhnya hatiku merasa tak tentram. Ka-
lian datang tanpa ketiga anakku," kata Ki Megantara dengan tatapan yang tak
lepas dari wajah Dewi Nuwang. "Bukankah sudah dua hari ini, Mutiara Merah dan
kedua adiknya berada di rumahmu, Dewi?" tanya Ki Megantara dengan rasa penasaran
di dalam hati. "Karena itulah aku datang ke sini, Paman. Su-
dah satu purnama sebenarnya Mutiara Merah dan
adik-adik tak berkunjung ke rumahku. Aku justru
khawatir telah terjadi sesuatu atas mereka bertiga.
Atau mungkin atas diri Paman sendiri hingga Mutiara Merah dan adik-adik tak
sempat bertandang ke rumahku." Dewi Nuwang menjelaskan kekhawatiran dalam hati.
"Hmmm... "
Wajah Ki Megantara seketika berubah padam.
Setahunya, tak ada tempat lain yang menjadi persing-gahan ketiga putrinya,
selain kediaman Adi Wikuna.
"Di perjalanan tadi, aku bertemu dengan Ka-
kang Galuh Daka," lanjut Dewi Nuwang.
"Mereka memang ku tugasi menengok Mutiara


Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merah dan kedua adiknya di rumahmu," selak Ki Megantara.
Timbul rasa kekhawatiran di wajah Ki Meganta-
ra. Tubuhnya lalu bangkit dari duduk. Kemudian me-
langkah sambil memandang ke kejauhan.
"Aku telah memberitahu Kakang Galuh Daka,
kalau Mutiara Merah dan adik-adik tidak ada di ru-
mahku. Lalu Kakang Galuh Daka dan ketiga kawannya
memutuskan untuk mencari Mutiara Merah dan adik-
adik." Ki Megantara tercenung mendengar ucapan anak adik seperguruannya. Dirinya
sungguh merasa heran dengan kepergian ketiga putrinya. Padahal ha-
tinya yakin kalau Mutiara Merah dan kedua adiknya
bukan anak perempuan yang senang keluyuran tak
tentu tujuan. Pendekar Lembayung paham benar ba-
gaimana jiwa ketiga putrinya.
"Ceritakanlah padaku, kejadian yang kau alami
atas perbuatan perempuan tua itu!" pinta Ki Megantara, kemudian sambil
melangkahkan kakinya menuju
ke kursi tempat duduk.
Dewi Nuwang segera menceritakan pertemuan-
nya dengan perempuan tua bernama Nyai Puncang Si-
bela secara runtun. Dewi Nuwang juga menceritakan
bagaimana Nyai Puncang Sibela memaksanya. Bahwa
dirinya dan ketiga putri Ki Megantara akan dijadikan Dara-Dara Pengusung Mayat
"Dara-Dara Pengusung Mayat...?" tersedak ke-rongkongan Ki Megantara ketika
mengulangi kalimat
itu. "Apa maksudnya?" pertanyaan Ki Megantara terlepas tidak tentu ditujukan
pada siapa. Hati Ki Megantara tiba-tiba dihinggapi rasa kekalutan. Kekhawatiran
akan keselamatan ketiga putrinya seketika menyeruak ke permukaan.
"Jangan-jangan perempuan tua itu telah me-
nawan ketiga anakku untuk dijadikan...."
"Mudah-mudahan tidak begitu, Paman," selak Dewi Nuwang, mencoba memupus
kekhawatiran Ki
Megantara. "Kurasa Mutiara Merah, Dik Mutiara Jingga dan Dik Mutiara Ungu bukan
gadis-gadis yang ter-
lalu mudah ditaklukkan, Paman. Apalagi cuma dengan
seorang nenek yang tak memiliki senjata."
"Kau jangan salah kira, Dewi Nuwang," sergah Jaka menimpali pembicaraan Dewi
Nuwang dan Ki Megantara. "Kau tak ingat, kepulan asap hijau yang hampir saja membuat kita celaka?"
Dewi Nuwang tak menjawab pertanyaan Raja
Petir yang duduk di sebelahnya.
"Kau betul, Jaka. Dalam segala hal kita me-
mang harus punya perhitungan matang. Perempuan
tua itu boleh jadi tidak bersenjata yang terlihat seperti layaknya senjata
tokoh-tokoh persilatan yang lain.
Namun, bukan tak mungkin kalau perempuan tua itu
memiliki senjata-senjata yang tersembunyi secara rahasia. Celakanya lagi,
senjata itu mengandung kekuatan racun yang mematikan. Ah.... Hatiku jadi sangat
khawatir dengan keselamatan anak-anakku," Ki Megantara melempar pandang, matanya
menatap keluar rumah. "Mudah-mudahan saja, Kakang Galuh Daka
dan ketiga kawannya berhasil menemukan Mutiara
Merah dan adik-adik, Paman," Dewi Nuwang mencoba menghibur hati Ki Megantara.
Ki Megantara, lelaki yang berjuluk Pendekar
Lembayung menatap wajah Dewi Nuwang lekat-lekat.
"Mudah-mudahan begitu, Dewi," ucapnya tak bersemangat.
"Aku berjanji akan membantu mencari ketiga
puterimu, Ki," ujar Raja Petir turut membesarkan hati Pendekar Lembayung.
Ki Megantara tentu saja merasa senang men-
dengar ucapan Raja Petir. Seorang pendekar yang ke-
saktiannya sulit tertandingi.
Pendekar Lembayung menatap lekat wajah Ja-
ka. Tatapannya begitu syarat dengan rasa terima ka-
sih. Namun, tak berani dicetuskannya secara langsung di hadapan Raja Petir.
"Kalau begitu, ada baiknya kita tunggu kabar
dari Galuh Daka," putus Ki Megantara, setelah sekian lama memandang wajah Jaka
tanpa risih. "Tapi aku pamit sekarang juga, Paman. Ayah
harus tahu hal ini," ujar Dewi Nuwang seraya bangkit.
Dara cantik itu segera menjura, memberi hormat ke-
pada Ki Megantara.
Ki Megantara memandang wajah Dewi Nuwang.
"Begitu juga baik, Dewi," sambut Ki Megantara.
"Sampaikan kabar tak menyenangkan ini pada
ayahmu," lanjut Ki Megantara.
Bola mata Ki Megantara yang hitam menatap
wajah Jaka. Sementara, Dewi Nuwang kembali menunduk-
kan kepalanya. Sesaat kemudian, segera membalikkan
badan hendak melangkah keluar.
"Maaf, Dewi Nuwang," tahan Raja Petir ketika baru selangkah Dewi Nuwang
mengangkat kaki. "Aku mengkhawatirkan keadaanmu, jika harus kembali seorang
diri," ucap Raja Petir. Ia mendekati Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang menatap wajah Raja Petir. "Asal
kau tak mengharapkan upah, Kakang," ujarnya mele-
dek. Jaka tentu saja tidak tersinggung dengan uca-
pan yang hanya main-main. Dengan gerakan halus dia
menguntit langkah kaki Dewi Nuwang, setelah berpa-
mitan kepada Ki Megantara.
*** Lelaki berpakaian warna biru gelap begitu ter-
sentak, mendengar kabar yang dibawa putri tunggal-
nya. Apalagi ketika mendengar nama Nyai Puncang Si-
bela disebut Dewi Nuwang. Wajah lelaki yang tak lain adalah ayah Dewi Nuwang,
seketika berubah.
"Kalau betul Nyai Puncang Sibela yang mencu-
lik anak-anak Kakang Megantara, ini berarti sebuah
persoalan besar buat kita, Dewi," ujar lelaki berusia di atas lima puluh tahun
yang bernama Ki Wikuna.
"Hahhh...! Kau, kau mengenal perempuan tua
itu, Ki?" Jaka merasa terkejut, mendengar kekhawatiran Ki Wikuna, terhadap
persoalan itu. Ki Wikuna menyelidiki wajah tampan Jaka den-
gan sorot mata lembut.
Bagi orang-orang persilatan yang senang men-
gembara, keberadaan Nyai Puncang Sibela bukanlah
hal yang asing. Sosok itu memang cukup dikenal. Se-
pak terjangnya sangat menggiriskan. Tetapi..., bukankah Nyai Puncang Sibela
sudah setahun lebih tak
muncul meramaikan dunia persilatan" Pikir Ki Wiku-
na. "Sudah cukup lama aku mengenalnya, Jaka.
Aku juga sudah cukup lama mendengar tentang se-
pak-terjangnya yang kejam," jawab Ki Wikuna.
"Tetapi, kenapa Paman Megantara tak menge-
nalinya, Ayah?" selak Dewi Nuwang.
"Yah, tentu saja. Sejak kematian Nyai Seriti,
Kakang Megantara seolah tak ingin disibukkan oleh
perkembangan dunia persilatan. Kakang Megantara le-
bih memilih mengurus ketiga putri dan beberapa mu-
rid kesayangannya," jawab Ki Wikuna. "Jadi, wajar kalau Kakang Megantara tak
mengenal nama Nyai Pun-
cang Sibela yang bergelar Nenek Sakti Racun Hijau,"
lanjut Ki Wikuna.
Nenek Sakti Racun Hijau..." Gumam Raja Petir
dalam hati. Dirinya merasa pernah mendengar nama
julukan itu. Bahkan pernah Jaka menemukan seorang
lelaki bertubuh kekar, yang tubuhnya berubah warna.
Tubuh lelaki kekar yang sudah terbalut racun hijau itu berada dalam keadaan
sekarat. Ketika racun hijau itu berubah jadi kepulan asap hijau, terangkatlah
nyawa lelaki kekar itu dari raganya. Keadaan tubuhnya mengerikan. Dan itu tentu
akibat perbuatan keji yang dilakukan Nenek Sakti Racun Hijau.
Tapi, kenapa Nyai Puncang Sibela tak mau
menghadapiku, ketika aku menolong Dewi Nuwang"
Tanya Raja Petir dalam hati.
"Dengan kepandaiannya dalam mengolah racun
hijau, Nyai Puncang Sibela mampu berbuat apa saja
yang dikehendaki. Racun hijau mampu membuat piki-
ran orang berbalik mengikuti kehendaknya. Ah! Aku
jadi semakin khawatir dengan keadaan anak-anak Ka-
kang Megantara. Jangan-jangan mereka telah terma-
kan pengaruh dahsyat racun hijau. Sehingga menuruti keinginan perempuan laknat
itu, menjadi Dara-Dara
Pengusung Mayat." Raut wajah Ki Wikuna semakin menampakkan kecemasan. "Aneh-aneh
saja ulah nenek sakti itu," lanjut Ki Wikuna.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ayah?"
tanya Dewi Nuwang. "Kasihan, Mutiara Merah dan
adik-adiknya."
"Kita harus menghadapi perempuan tua itu. Di-
rinya mungkin bergerak tidak sendirian," jawab Ki Wikuna. "Apa ada orang lain di
belakang Nyai Puncang Sibela, Ki Wikuna?" tanya Jaka setelah mendengar jawaban
Ki Wikuna. "Setahuku, Nenek Sakti Racun Hijau selalu
berhubungan dekat dengan Ki Kuriwang Situ, lelaki
lanjut usia yang berjuluk Dewa Racun Hitam."
Kembali hati Raja Petir terdesak mendengar ju-
lukan Dewa Racun Hitam disebut Ki Wikuna.
"Lucunya, kedua tokoh tua itu tunduk dan
mengabdi pada seorang lelaki muda, bernama Guta-
mala. Entah apa kelebihan Gutamala, hingga Nyai
Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ sangat patuh
menjalankan segala perintah dan keinginannya."
Raja Petir hanya diam mendengar ucapan Ki
Wikuna. Dirinya tak pernah mendengar nama Gutama-
la disebut-sebut orang. Namun jelas, anak muda yang menjadi junjungan Nyai
Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ bukan orang sembarangan. Gutamala pasti
memiliki kedigdayaan di atas ilmu kedua tokoh tua itu.
"Kira-kira, mampukah kita melumpuhkan se-
pasang orang tua sakti dan Gutamala, Ayah?"
"Entahlah," jawab Ki Wikuna. "Kalau hanya ayah dan Kakang Megantara, kemungkinan
kita tak kan mampu menghadapi mereka, Dewi. Namun, den-
gan kehadiran Raja Petir yang dengan rela bermaksud membantu, secercah sinar
cerah akan menyinari perjuangan kita," lanjut Ki Wikuna polos. "Mudah-mudahan
kedigdayaan Raja Petir akan mampu menga-
tasi tokoh-tokoh hitam itu."
Raja Petir merasa kikuk dengan ucapan Ki Wi-
kuna itu. "Ah, apalah arti kepandaianku, jika tanpa du-
kungan Ki Wikuna, Ki Megantara, dan juga Dewi Nu-
wang," kilah Jaka merendah.
Ki Wikuna semakin terpesona dengan sikap
rendah hati Raja Petir. Hatinya merasa, di balik ucapan dan sikap yang
ditunjukkan pemuda itu terkan-
dung kekuatan dahsyat. Namun, anak muda yang ber-
budi itu begitu pandai menyembunyikannya.
Sama halnya dengan Ki Wikuna, Dewi Nuwang
pun begitu mengagumi ucapan merendah yang keluar
dari sepasang bibir bagus Raja Petir. Lelaki yang cukup kesohor di kalangan
rimba persilatan. Tak sadar kalau pada akhirnya perasaan kagum itu menjelma
menjadi perasaan aneh yang syahdu di dalam hatinya.
"Maaf Ki Wikuna dan juga kau, Dewi Nuwang.
Aku rasa, tak ada hal lain yang perlu dibicarakan. Aku pamit sekarang," kata
Jaka menyentak lamunan Dewi Nuwang yang menatapi wajahnya.
"Ah... kenapa tergesa-gesa, Kakang?" tahan Dewi Nuwang merasa tak enak hati.
"Maaf Dewi, kurasa kita harus mengatur siasat
dalam menangani masalah ini. Izinkan aku bergerak
dengan caraku sendiri," usul Jaka pelan.
Dewi Nuwang tak mampu membantah. Apalagi
ketika Ki Wikuna menyetujui usul yang baru saja di-
ucapkan Jaka. "Begitu juga baik, Raja Petir," timpal Ki Wikuna.
"Namun hendaknya, kau segera memberi kabar, jika mendapatkan perkembangan yang
baik," pinta Ki Wikuna. "Tentu saja, Ki," jawab Jaka sambil menganggukkan
kepala. "Aku permisi, Ki, Dewi," ucap Jaka seraya membalikkan badan.
"Semoga kita berhasil, Jaka!"
"Semoga, Ki!" jawab Raja Petir kemudian, "Hip!"
Ki Wikuna terkagum-kagum menyaksikan ge-
rakan ringan dan cepat yang dilakukan Raja Petir.
Hanya sekali hentakan, tubuh anak muda terbalut pa-
kaian warna kuning keemasan itu sudah lenyap dari
pandangannya. Dewi Nuwang pun mempunyai kekaguman
yang sama dengan ayahnya. Namun dalam rongga da-
danya ada rasa kehilangan atas kepergian anak muda
yang telah mampu memikat hatinya.
4 Sinar matahari yang memanggang, menyebab-
kan tiga lelaki bertubuh tegap melangkah tergesa. Begitu cepat langkah mereka,
hingga salah seorang di an-taranya melanggar seorang dara cantik yang tiba-tiba
muncul dari kelokan jalan
"Ah, maaf Nisanak. Aku tak sengaja," ujar lelaki berpakaian kuning muda.
Dara cantik itu ternyata Mutiara Merah. Ma-
tanya menatap bengis wajah lelaki berpakaian kuning muda yang menabraknya.
Sebentar saja dara cantik
berpakaian merah menatap lelaki yang melanggarnya.
Kemudian tanpa berkata sepatah pun Mutiara Merah
menerjang lelaki itu.
"Hiaaa!"
Mutiara Merah mengayunkan pedangnya.
Trang! Lelaki berpakaian kuning muda terkejut men-
dapatkan serangan yang tidak disangka-sangka. Sebi-
sanya tangannya menangkis seraya mundur beberapa
langkah dari hadapan Mutiara Merah.
Mutiara Merah kembali menatap geram lelaki
berpakaian kuning muda yang berhasil menggagalkan
serangannya. Lelaki gagah itu mencoba membalas tatapan
aneh Mutiara Merah. Namun, sebentar saja hal itu dapat dilakukan. Mata lelaki
itu seketika terlempar ke arah lain. Kilatan mata Mutiara Merah yang aneh seolah
mengguncang-guncang perasaannya.
"Dia bukan perempuan biasa, Adi Lubiran,"
ucap lelaki gagah itu kepada kedua kawannya yang
berpakaian hitam dan biru muda.
"Betul, Kakang Gradaka," sahut lelaki yang dipanggil Lubiran. "Sorot matanya
begitu aneh dan tajam menusuk."
"Hati-hatilah, Adi Lubiran," nasihat Gradaka pada Lubirah.


Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kau juga Adi Janaba," sahut Lubiran
memperingatkan lelaki gagah yang berpakaian biru
muda. "Tentu, Kakang Lubiran," jawab Janaba sambil menyilangkan golok di depan
dada. Tiba-tiba tiga dara yang bernama Mutiara Me-
rah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu merangsek ma-
ju. Ketiga dara itu memutar-mutar pedang mereka
dengan cepat. Sedemikian cepatnya pedang itu dipu-
tar, hingga wujud pedang tidak tampak.
"Awas, hati-hati kalian!" teriak Gradaka memperingatkan Lubiran dan Janaba.
Tubuhnya yang ke-
kar, seketika bergerak cepat menghindari tebasan pedang yang dilancarkan Mutiara
Merah. Pertarungan sengit pun tak terelakkan lagi. Ti-
ga putri Ki Megantara, yang sudah terkena pengaruh
racun ganas Nyai Puncang Sibela, menyerang dengan
ganas. Kehebatan mereka dalam memainkan pedang
menjadi tiga kali lipat dahsyatnya. Gradaka, Lubiran, dan Janaba tampak
kewalahan melayani permainan
pedang ketiga dara cantik. Serangan-serangan pedang mereka bergerak cepat,
terarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Hingga, ketika memasuki jurus
yang ketiga puluh, Janaba tak mampu menghindari
tebasan pedang Mutiara Ungu. Pedang putri bungsu Ki Megantara membabat deras
tubuh Janaba. "Aaa...!"
Lengking kematian seketika terdengar meme-
nuhi suasana siang yang begitu mencekam. Beberapa
orang penduduk yang menyaksikan pertarungan,
hanya ter-longong bengong, melihat kebengisan tiga
dara cantik jelita. Mereka tak berani mendekat ke arena pertarungan.
Gradaka menyaksikan tubuh Janaba yang lim-
bung dengan luka menganga lebar pada bagian perut.
Pikirannya kacau menghadapi Mutiara Merah yang te-
rus menggempurnya dengan gencar.
"Adi Janaba!" teriak Gradaka ketika melihat tubuh Janaba terguling ke tanah.
Darah berceceran
membasahi baju Janaba dan tanah sekitar tempat per-
tarungan. Sama dengan halnya Gradaka, Lubiran pun
nampak kalut menyaksikan robohnya Janaba. Kekalu-
tan Lubiran telah dimanfaatkan dengan baik oleh Mu-
tiara Jingga. Seketika itu juga Mutiara Jingga melejit cepat dengan pedang yang
telah terayun di udara.
"Awas, Lubiran!" teriak Gradaka.
Lubiran mendengar dengan jelas peringatan
Gradaka. Namun, gerakannya yang terlambat, sehing-
ga Mutiara Jingga segera mengarahkan pedangnya ke
tubuh Lubiran. Dara itu menusukkan ujung pedang-
nya ke bagian lambung Lubiran.
Jrabbb. Serangan itu tepat pada sasarannya.
"Aaa...!"
Lubiran terpekik keras. Ujung pedang Mutiara
Jingga menancap perutnya. Pekikan itu kembali teru-
lang ketika Mutiara Jingga mencabut senjatanya den-
gan keras. Darah langsung muncrat dari lubang luka tu-
buh Lubiran. Nampak Lubiran mencoba menekap luka
di perutnya. Tubuhnya kontan limbung dan dirasakan
kepalanya pening. Alam seolah berputar mengelilingi tubuhnya. Darah berceceran
di tanah dan pakaiannya.
Suasana bertambah mencekam.
"Hiaaa...!"
Mutiara Jingga melayangkan tendangan ke
arah dada Lubiran.
Dugkh! Brak! Tubuh Lubiran terbanting deras, ketika ten-
dangan menggeledek mendarat di dadanya. Lubiran
berkelojotan sebentar di tanah. Sebentar kemudian tubuh lelaki yang terbalut
pakaian hitam dan putih itu sudah kaku tak bernyawa lagi.
Mutiara Jingga menyaksikan lawannya roboh
tak bernyawa, seketika menyeringai puas. Senyumnya
tak lagi nampak manis, tetapi begitu dingin dan aneh.
Gradaka yang menyaksikan kematian kedua
adik seperguruannya, menjadi kalap bukan main. Da-
rah yang sudah mencapai ubun-ubun seolah hendak
mendesak keluar.
Diiringi pekikan keras, Gradaka melejit sambil
membabat-babatkan golok ke arah dara cantik jelita
yang terdekat Namun, serangan membabi buta itu dengan
mudah dipatahkan Mutiara Ungu. Dengan sekali egos
saja serangan Gradaka telah lewat dari sasarannya.
Bahkan dara cantik itu tidak memberi kesempatan
Gradaka. Segera serangan balasan beruntun yang ber-
bahaya dilancarkan bertubi-tubi oleh Mutiara Jingga.
"Hih!"
Sebuah tendangan kembali melayang ke arah
tubuh Gradaka. Dug! Sepakan keras mendarat di punggung Gradaka.
Karuan saja lelaki berpakaian kuning muda itu ter-
jungkal di tanah. Wajahnya membentur tanah lebih
dulu, membuat keadaan lebih parah. Darah nampak
keluar dari beberapa giginya yang copot
Gradaka masih berusaha bangkit untuk mem-
berikan perlawanan. Namun, keadaan tubuhnya tak
memungkinkan. Gradaka kembali jatuh duduk di atas
tanah. "Jahanam!" maki Gradaka sebisanya. Matanya mendelik geram tertuju ke tiga
dara yang menyeringai aneh. "Apa salahku, hingga kalian berbuat sekeji ini?"
lanjut Gradaka.
Mutiara Merah, dan kedua adiknya tak menja-
wab pertanyaan Gradaka. Lelaki berpakaian kuning
muda itu hanya ditatap dengan beliakan mata yang
penuh nafsu. Belum lagi terjawab pertanyaan Gradaka, Mu-
tiara Merah segera menjejakkan kakinya kuat. Tubuh
berisi yang berbalut pakaian merah itu melejit cepat sambil mengayunkan pedang
dengan mengerahkan tenaga dalam.
Gradaka yang begitu merasakan sakitnya
hanya memejamkan mata menyongsong ajal yang nya-
ris merenggutnya.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah mengayunkan pedang dengan
cepat. Crakkk! Pedang itu tepat mengenai kepala Gradaka.
Seketika kepala Gradaka terbelah menjadi dua
bagian, terbabat pedang yang digerakkan dengan tena-ga dalam tinggi.
Sebentar kemudian tubuhnya yang bersimbah
darah terkulai, tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!"
Tiga putri Ki Megantara yang sudah terkena
pengaruh racun keji Nyai Puncang Sibela tertawa bersamaan. Mereka memandang
mayat Gradaka sebentar.
Tak lama kemudian Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
merentangkan dua batang bambu panjang, yang ba-
gian tengahnya terikat saling menyilang tali hitam, membentuk sebuah alat
pengusung. Mutiara Merah segera merenggut mayat Grada-
ka. Lalu dengan kasar melemparkan mayat itu ke atas tali kenyal yang menjadi
alas pengusung mayat itu.
Dengan senyum aneh, ketiga dara melangkah-
kan kaki seperti tanpa persoalan. Sementara, di atas usungan yang digotong
Mutiara Jingga dan Mutiara
Ungu, sosok mayat terbalut pakaian kuning muda ter-
geletak kaku. Penduduk yang menyaksikan kejadian menge-
rikan itu tak dapat berbuat apa-apa. Tak satu pun di antara mereka yang berani
mencegah kepergian tiga
dara biadab itu. Para penduduk hanya mampu mengu-
rut dada. Mereka bergidik menatapi mayat Lubiran dan Janaba yang berlumuran
darah. Kedua mayat itu ter-
geletak di atas tanah.
Di tengah ketertegunan penduduk, sosok
bayangan kuning keemasan tiba-tiba melesat. Dengan
manis bayangan itu mendarat tepat di samping lelaki berkumis melintang yang
wajahnya nampak pucat.
Lelaki muda itu tak lain si Raja Petir. Segera
matanya merayapi dua mayat yang tergeletak kaku
berlumuran darah itu.
"Siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya Jaka Sembada pada penduduk yang
hanya terpaku sa-ja.
"Kalian mendengar pertanyaanku"!" agak keras ucapan Raja Petir. Bentakan itu
telah menyadarkan lelaki berkumis melintang yang berada dekat dengannya.
"Eh, oh.... Perempuan-perempuan itu," tunjuk lelaki berkumis melintang ke arah
perginya Dara-Dara Pengusung Mayat
"Perempuan" Perempuan yang mana?" selidik Jaka. Lelaki berkumis tak menjawab.
Dia hanya menunjuk tempat yang sama. Jaka sempat tersadar dari
semua pertanyaannya. Dia kini maklum dengan jawa-
ban lelaki berkumis melintang yang sedang dalam keadaan kalut.
"Maaf, Kisanak," ucap Jaka sambil tangannya menepuk pundak lelaki itu. Jaka
segera membawanya
ke sebuah rumah terdekat.
Setelah lelaki berkumis itu meneguk air putih
yang diberikan seorang penduduk, Jaka Sembada
kembali menepuk pundaknya.
"Kita urus dahulu mayat-mayat itu, Kisanak.
Kemudian, aku minta kau jelaskan kejadian yang se-
benarnya," pinta Jaka.
Lelaki berkumis melintang itu menurut saja
apa yang diucapkan Jaka. Kemudian kakinya melang-
kah gontai ke arah mayat Lubiran dan Janaba yang
tergeletak kaku. Darah di tubuh kedua mayat itu su-
dah mulai mengering. Namun, bau anyir semakin tera-
sa merasuk ke dalam hidung.
*** Tercenung Jaka saat mendengar penjelasan da-
ri lelaki berkumis melintang. Sementara kedua mayat telah dibereskan.
Tiga dara bersenjata pedang" Batin Jaka. Apa-
kah mereka itu putri-putri Ki Megantara" Duga Jaka
dalam hati. "Aku permisi, Kisanak," pamit lelaki berkumis melintang melihat anak muda di
hadapannya mela-mun sendirian.
"Eh.... Terima kasih atas bantuan dan keteran-
ganmu, Kisanak," ucap Jaka agak kikuk.
Lelaki berkumis melintang itu menganggukkan
kepala dan segera beranjak meninggalkan Raja Petir.
Sementara Raja Petir masih menduga-duga siapa keti-
ga perempuan biadab itu.
Kalau betul mereka anak-anak Ki Megantara,
berarti sebuah kesulitan kembali menghadangku, ba-
tin Jaka. Aku harus bertarung dengan ketiga putri Ki Megantara itu. Tapi, aku
juga tak boleh melukai mereka.
Jaka segera bergegas pergi. Tujuannya kini ke
rumah Ki Megantara, ayah dari Mutiara Merah, Mutia-
ra Jingga, dan Mutiara Ungu. Raja Petir merasa perlu menyampaikan hal itu kepada
Pendekar Lembayung.
Nampaknya ia mulai yakin. Ketiga dara yang telah melakukan pembantaian barusan
adalah putri Ki Megan-
tara alias Pendekar Lembayung.
*** "Ha ha ha.... Bagus! Bagus! Kalian telah bekerja dengan baik," puji Nyai Puncang
Sibela, ketika Mutiara Merah dan kedua adiknya menyodorkan mayat Gradaka.
"Lihat, Ki Kuriwang!" perintah Nyai Puncang Sibela kemudian. "Baru tahapan uji
coba, sudah sedemi-kian hebat hasilnya!"
"Ha ha ha...! Bangkai ini adalah murid utama
Ki Gelung Kikar! Ki Kuriwang Situ. Kau lihatlah kema-ri!"
Ki Kuriwang Situ melangkah perlahan ke mayat
di usungan itu yang dipegang Mutiara Jingga dan Mu-
tiara Ungu. Ki Kuriwang Situ serta-merta menggelengkan
kepala. "Itu, baru pengaruh racun hijau mu, Nyai!"
tandas Ki Kuriwang Situ. "Belum lagi dipadukan dengan racun hitam ku. Ah!
Sebentar lagi dunia persilatan akan segera gempar...!" begitu mantap ucapan Ki
Kuriwang Situ, sambil memperhatikan mayat Gradaka.
"Tetapi, Ki Kuriwang Situ," sahut Nyai Puncang Sibela sambil menatap wajah
lelaki tua berpakaian hitam. "Apakah tubuh mereka sanggup menahan pengaruh-
pengaruh dahsyat racun ramuan kita?"
Ki Kuriwang Situ tidak segera menjawab perta-
nyaan Nyai Puncang Sibela. Matanya kembali meman-
dangi wajah Mutiara Merah dan kedua adiknya. Lelaki tua itu seolah-olah merasa
ragu terhadap kekuatan
tubuh dara-dara cantik itu. Karena, menurut keyaki-
nannya, campuran racun hitam miliknya dan racun hi-
jau Nyai Puncang Sibela, akan menimbulkan pengaruh
yang dahsyat Sesaat lamanya Ki Kuriwang Situ kembali me-
natap wajah-wajah putri Ki Megantara. Kemudian ta-
tapannya beralih pada wajah Nyai Puncang Sibela.
"Kita coba dulu pada takaran yang sedikit
Nyai," tukas Ki Kuriwang Situ.
Perempuan tua itu menyetujui ucapan Ki Kuri-
wang Situ. Nyai Puncang Sibela justru tersenyum-
senyum sendiri tanda menyetujui gagasan Ki Kuriwang Situ. "Ayo, kita menghadap
Yang Mulia," ajak Nyai Puncang Sibela.
"Ayo, Nyai," sambut Ki Kuriwang Situ mantap.
"Kabar baik ini harus segera sampai ke telinga Yang Mulia Gutamala."
Nyai Puncang Sibela segera menowel pundak
Mutiara Merah agar masuk ke ruangan pribadi Guta-
mala. Sedangkan perempuan tua itu mengiringi tiga
dara yang mengusung mayat Gradaka dari belakang.
Tak lama kemudian mereka telah berada di da-
lam sebuah ruangan pribadi Gutamala.
"Ha ha ha.... Mayat siapa yang kalian bawa
itu?" suara memantul dari dinding-dinding ruangan.
Ruangan itu hanya diterangi oleh beberapa obor yang terpancang pada setiap
sudut. Segera terdengar suara Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ. Kedua orang tua itu menjura


Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hormat, ketika tiba di pembaringan Gutamala junjun-
gannya. "Hanya mayat lelaki tak berguna, Yang Mulia,"
jawab Nyai Puncang Sibela.
"Ha ha ha.... Kenapa begitu, Nyai" Apa kau tak mampu, mencari mayat-mayat yang
lebih baik?"
"Ini baru tahapan uji coba, Yang Mulia," sahut
Ki Kuriwang Situ.
Suara tawa menggema, menggetarkan sukma,
datang dari mulut seorang lelaki muda yang terbaring di atas ranjang berwarna
keemasan. Wajah yang sesungguhnya tampan itu berguncang-guncang hebat.
Namun, wajah itu tak lagi sedap di pandang mata.
Warnanya hitam legam seperti warna kulit terbakar.
"Pancang kepala mayat di dinding itu! Lalu le-
takkan tubuhnya di atas tumpukan kayu bakar!" perintah lelaki muda yang
terbaring tak bergerak. Tu-
buhnya tak mampu bergerak, karena mengalami ke-
lumpuhan total.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-
gera mengangkat wajah. Kemudian, menatap lekat ke
wajah Mutiara Merah dan kedua adiknya.
"Penggal, kepala itu!" perintah Nyai Puncang Sibela tegas kepada Mutiara Merah.
Mutiara Merah yang telah berada di bawah
pengaruh racun ganas Nyai Puncang Sibela segera me-
nuruti perintah. Tangan halusnya segera merayap ke
gagang pedang yang tersampir di punggung.
Cring! Suara bergemerincing memantul, ketika pedang
Mutiara Merah tercabut dari warangkanya. Pedang pu-
tih itu berkilat-kilat tertimpa sinar obor yang terpancang di sudut ruangan
pribadi Gutamala.
Tanpa diperintah dua kali, Mutiara Merah sege-
ra mengayunkan pedangnya. Tak ada rasa takut,
nampak di wajah anak Ki Megantara. Yang ada justru
seringai bengis yang nampak bernafsu untuk memeng-
gal kepala mayat lelaki di hadapannya.
Craaakkk! Pedang itu tepat mengenai sasaran.
Bunyi berdecak terdengar, ketika pedang Mu-
tiara Merah memenggal batang leher Gradaka. Kepala
lelaki murid utama Ki Gelung Kikar seketika mengge-
linding di lantai ruangan pribadi Yang Mulia Gutamala.
Kepala yang dilumuri darah itu segera diraih Ki
Kuriwang Situ. Kemudian, lelaki tua berpakaian hitam itu meraih sebatang bambu runcing di samping
kanannya. Creb! Bagian bawah kepala Gradaka seketika itu ter-
tusuk bambu berujung runcing. Ki Kuriwang Situ yang tanpa rasa iba, langsung
memancang kepala itu di
dinding. Suara tawa Gutamala kembali terdengar. Ki
Kuriwang Situ telah menyelesaikan tugasnya. Dan ke-
tika tawa itu terhenti, segera disusul dengan perintah yang harus segera
dipatuhi. "Lemparkan tubuh mayat itu ke atas tumpukan
kayu bakar!" perintah Gutamala.
Kali ini Nyai Puncang Sibela mengerjakan pe-
rintah junjungannya. Dengan sekali renggut, tubuh
Gradaka yang tanpa kepala sudah dibopong dan dile-
takkan di atas tumpukan kayu.
Ketika Nyai Puncang Sibela kembali ke tempat-
nya. Gutamala segera menunjukkan kemampuannya
yang menakjubkan. Tiba-tiba semburan api melesat
dari telapak tangan yang terbuka lebar. Api biru meluruk cepat, membakar
onggokan kayu bakar. Tubuh
Gradaka pun mulai terbakar.
Suara gemeretak bakaran kayu pun mulai ter-
dengar. Bau sangit yang menebar tak membuat orang-
orang yang berada di dalam ruangan itu merasa ter-
ganggu. Bahkan nampaknya Gutamala begitu menik-
mati asap yang mengepul menyelimuti tubuhnya. Asap
mulai dirasakan mengelus permukaan wajahnya. Begi-
tu bergairah Gutamala menggerak-gerakkan kepa-
lanya, meskipun terasa berat.
Asap seperti itulah yang dibutuhkan Gutamala
untuk menyembuhkan keadaan wajahnya yang hitam
legam seperti terpanggang bara.
Gutamala terus menikmati asap yang mengepul
membungkus tubuhnya. Asap itu tidak hanya dapat
menyembuhkan wajahnya, tetapi juga akan membe-
baskan tubuh Gutamala dari kelumpuhan.
"Keluarlah kalian semua!" perintah Gutamala ketika asap bangkai Gradaka semakin
menipis. "Cari bangkai-bangkai orang sakti lain!"
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-
Asmara Di Ujung Pedang 2 Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga Pedang Langit Dan Golok Naga 40
^