Pencarian

Sepasang Mata Iblis 2

Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 2


suasana di kota yang hiruk pikuk, serta setiap jam yang berlalu
manusia ditempa untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup
sehari- hari. Di kampung ini, ia hanya membutuhkan tak lebih dari tiga jam
satu hari untuk mengajar namun gajinya sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Belum lagi dari hasil
panenan padi dua kali setahun dan tambahan penghasilan
suaminya sebagai pembantu tata usaha dikantor kecamatan yang
letaknya di desa mereka. Tanah dipekarangan samping, saat itu
kelihatan basah berembun. Warnanya lebih merah, tidak lagi
kehitam hitaman seperti biasanya. Tanaman kembang di samping
rumah, tumbuh mekar, dan rumput mulai merambat di sana-sini.
Aneh, pikir Amalia. Semenjak suaminya berhenti menggali sumur yang kemudian
longsor itu. udara di sekitar rumah mereka terasa lebih sejuk dan
tanah lebih lembab dan berudara basah. Barangkali, kalau
65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
suaminya tidak berhenti. mungkin ada saja mata air nun jauh di
bawah tanah. Ataukah mata air itu telah keluar, justru ketika
sumur galian suaminya sebaliknya tertimbun rapat"
"Ada atau tidak mata air di bawah sana, lebih baik suamiku tidak
lagi mulai menggali tanah..." pikir Amalia dengan perasaan
senang. Keputusan itu tentu saja mewajibkan Amalia untuk
bersusah payah setiap hari ke pemandian umum. Kini pun, lewat
jendela yang terbuka ia lihat suaminya sedang berjalan ke arah
pemandian itu, dengan dua ember plastik yang besar terjinjing di
kedua tangannya. Suaminya tampak kekar dan sehat. ltu jauh
lebih menyenangkan. daripada melihat Supandi dengan putus asa
menggali semakin jauh ke dalam tanah, untuk kemudian jatuh
meringkuk ditempat tidur. Sakit-sakitan.
Setelah menghirup udara segar lagi berulang-ulang. Amalia mulai
membereskan tempat tidur. Ketika sprei ia kembangkan, serpihan
kapur kering bertaburan kian kemari. Reflek, Amalia tengadah.
memandang langit-langit, Oh pantaslah, kapur lapisan langitlangit telah berlepasan di sana-sini. Mungkin ada tikus besar yang
berkejar-kejaran tadi malam diatas para...
Ketika ia menyapu lantai rumah, ia melihat lebih banyak lagi
serpihan-serpihan kapur dan lebih banyak tempat di langit-langit
yang lapisnya berlepasan. Bukan itu saja. Ada semacam bau tidak
enak, menyentuh hidungnya. la telah mengembang-kempiskan
lubang hidung, telah mengendus kian kemari. Mula dari kolong
tempat tidur, kolong lemari, toilet, sampai sudut-sudut dapur.
Tetapi ia tidak menemukan sumber bau yang ganjil itu.
Waktu mereka sarapan pagi bersama, Amalia mengutarakan hal
itu pada suaminya: "Rasanya bau busuk di rumah ini, kang, siapa tahu ada bangkai
tikus di atas para. Tidaklah lebih baik akang periksa?"
Wajah supandi berubah. Melihat perubahan di wajah Supandi.
66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hai, mengapa pula" Ah, barangkali, karena tidak pantas
mengutarakan soal bangkai tikus, justru selagi mereka sedang
menyantap hidangan pagi. Amalia merasa menyesal dan sudah
akan minta maaf ketika suaminya bergumam:
"Nantilah kuperiksa."
*** Sementara Amalia membersihkan perabotan makan di kamar
mandi, Supandi naik ke para-para. Hanya sebentar ia di atas.
Ketika Amalia melihatnya, Supandi tengah melap meja sampai
bersih. "Memang bangkai tikus, Sudah kubuang jauh-jauh, Lia!"
Ketika mengucapkan kalimat itu, wajah Supandi kecut dan pucat.
Tetapi Amalia tidak begitu memperhatikannya. Karena ketika itu
perhatiannya sedang tertuju ke suatu tempat di belakang rumah.
Supandi ikut menoleh. Dan ia melihat seorang perempuan tua
renta, berdiri memandang rumah mereka dari kejauhan.
"Aneh," bisik Amalia. "Rasanya makin sering nenek Ijah muncul di
desa...!" Supandi angkat bahu. Setelah merapihkan pakaiannya, ia
mengambil map dan keluar dari rumah setelah pamit pada
isterinya. Sudah berapa hari aku tak masuk kerja, banyak
pembukuan yang harus kukerjakan hari ini, katanya. Lalu ia pergi.
Diantar oleh pandangan sayang isterinya. Ah, juga diiringi
pandangan mata perempuan tua itu.
Nenek itu mengusap wajahnya berulang-ulang, mulutnya seperti
menggumamkan sesuatu. Amalia tidak mendengar apa yang
digumamkan perempuan tua renta itu. la bermaksud
memanggilnya untuk singgah. Tetapi nenek Ijah sudah pergi.
seraya menyeret-nyeret kakinya yang berat.
*** 67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
WAJAH Supandi masih kecut setiba ia di kantor kecamatan. Masih
untung kalau Amalia mengira bau busuk di para-para
dikarenakan bangkai tikus, pikimya. Ketika mula pertama
menemukan anggota tubuh mahluk yang mengerikan itu di dalam
sumur, Supandi sendiri memang sudah mencium bau busuk yang
aneh. Tetapi tidak setajam yang tercium oleh hidungnya pagi ini,
ketika ia naik ke para memenuhi permintaan isterinya. Ketika itu,
hati kecilnya berharap batok kepala itu sudah membusuk. Sudah
membangkai. Dengan demikian ia akan terbebas dari
pengaruhnya . Dan makhluk itu memancarkan api amarah dari sela-sela kelopak
matanya, menembus keremangan di sekitar para, membunuh
langsung harapan Supandi yang sia-sia.
"Budak celaka." otaknya disentuh oleh sumpah serapah yang
menyakitkan hati. "Jangan harap kau bisa lepas dari
cengkeramanku!" Pemberontakan dalam hati kecil Supandi mati seketika.
Pikirannya beku. Selama beberapa saat ia hanya tennangu-mangu
seperti orang tidak sadar. Baru ketika ia mendengar suara Amalia
di bawah menanyakan apakah ada bangkai tikus, ia tersadar dan
segera membungkus batok kepala itu rapat-rapat dengan
selendang milik isterinya. Bau busuk itu tidak sekeras tadi lagi.
Tetapi sesuatu yang lain segera menarik perhatian Supandi.
Dasar selendang di mana bagian leher kepala itu terletak, tampak
lembab dan sedikit basah. Warnanya kemerah-merahan, darah!
Supandi menggigil. la tidak membalas tegur sapa pesuruh kantor yang sedang
mendorong sepedanya ketika mereka berpapasan di pintu pagar.
Ucapan selamat bu Nani, sekretaris Pertiwi dan satu-satunya
pegawai perempuan di kantor kecamatam itu, meski disertai
senyum manis di bibirnya yang merekah, pun tidak berhasil
menggugah lamunan Supandi. la langsung menuju mejanya,
meletakkan map lalu menghenyakkan pantatnya di kursi, duduk
termangu-mangu. 68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tiba-tiba ia sadar bahwa ia merasa asing di tempat itu. la tidak
tahu mengapa ia harus berada di kantor kecamatan. Mengapa
harus duduk di tempatnya sekarang. Dan apa yang harus ia
kerjakan. Seketika. ia tampak lebih bingung dari juru tulis tua
pelupa yang duduk disebelah mejanya. Juru tulis itu sedang sibuk
membongkar kertas- kertas dari satu laci ke laci yang lain. Lalu
seperti orang Iinglung, ia menoleh pada Supandi dan bertanya
dengan penuh harap. "Den Pandi. Kau melihat kertas-kertas surat dari Bupati?"
Supandi terkejut. "Ya pak?" "Surat Bupati. Baru sejam yang lalu kuletakkan di meja ini...."
Supandi menyeringai. Kecut.
"Aku belum lima menit duduk di sini pak."
"Oh," dan orang tua itu kalang kabut membongkar laci-laci
mejanya lagi. Untuk menghilangkan pikirannya yang kacau, Supandi
bermaksud membantu orang tua itu mencari surat yang ia
maksud. Tetapi dari ruangan sebelah keburu muncul kepala tata
usaha dengan setumpuk map di kedua tangannya. la langsung
menuju meja Supandi. mengucapkan selamat pagi dan sedikit
rewel dengan pertanyaan mengapa Supandi tidak masuk
beberapa hari. Lalu meletakkan tumpukan map di tangannya di
depan mata Supandi. "Laporan tahunan BUUD dan Sekda sekecamatan," katanya tanpa
penjelasan pendahuluan . "Semrawut. Coba susun kembali." Lalu
seraya geleng-geleng kepala melihat kebingungan juru tulis, ia
kembali menghilang ke ruangan sebelah.
Supandi memandangi tumpukan map di mejanya. Jadi, itulah yang
harus ia kerjakan hari ini.
*** 69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
LEWAT tengah hari, Supandi berhasil menyusun laporan itu
sehingga rapi. tidak semrawut ketika ia terima. Pekerjaan yang
menyita pikiran itu sedikit banyak telah melepaskannya dari
kungkungan perasaan aneh yang ia bawa semenjak meninggalkan
rumah. la pun sudah mulai bisa tersenyum ketika mengetahui
juru tulis telah menemukan surat yang ia cari setengah mati, yang
ternyata sudah agak lusuh terlipat-lipat di saku belakang
celananya. Dengan perasaan lebih enak Supandi menyerahkan
hasil pekerjaannya kepada kepala tata usaha. Pak Camat yang
dulunya adalah bekas kepala sekolah Supandi ketika masih di
sekolah dasar, tersenyum ke alamat Supandi. ltu berarti ada tugas
ekstra untuknya! "Coba bantu pak Joko membereskan berkas-berkas lama, bung
Pandi. Kalian susun serapih mungkin di rak masing-masing. Dilap
yang bersih. Jangan ketinggalan debu walau setitikpun...!"
Supandi mengangguk lalu berjalan ke ruangan yang lain.
Telinganya masih sempat menangkap pembicaraan antara pak
Camat dengan kepala bagian tata usaha mengenai kesibukan yang
segera mereka hadapi. Kepala tata usaha harus mengeluarkan
biaya yang banyak untuk menyambut kedatangan Bupati minggu
depan. Seekor sapi dan beberapa ekor kambing harus
dikorbankan. Penduduk dikerahkan untuk membersihkan
halaman rumah masing-masing memasang pagar, mengapur dan...
Dan Supandi terbatuk-batuk oleh debu yang beterbangan
menyambutnya ketika memasuki ruang yang mirip gudang itu.
Pak Joko menoleh, dan tampak mulutnya yang tertutup di balik
saputangan, mengguratkan tawa tak bersuara. la kemudian
meneruskan pekerjaannya membongkar isi rak demi rak, laci
demi laci. Membersihkannya satu per satu. Dan di antara debu
yang tak ubahnya kepulan debu jalanan dilanggar kendaraankendaraan yang saling berpacu, seraya terbatuk-batuk Supandi
mengikuti apa yang dilakukan oleh kepala bagian arsip itu.
Banyak sekali map, kotak-kotak penuh surat, buku-buku berbagai
jenis, album-album yang tampaknya sudah jarang dijamah orang.
Sebagian sudah hampir habis dimakan ngengat, sebagian lain
70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
warna kertas atau pembungkus albumnya sudah kuning tua
penanda usianya yang sudah tua.
Sambil sesekali menggerutu dari balik sapu-tangan yang menutup
mukanya, pak Joko menerangkan bahwa kebanyakan berkasberkas, buku dan abum itu dapat dikumpulkan dari rumah-rumah
penduduk lama dan pertama-sama didirikan di daerah mereka.
Sambil menggapai-gapaikan sebuah buku, ia berkata:
"Ini buku antik. isinya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di
pulau ini. Buku ini semestinya dikirimkan saja ke museum pusat
di ibu kota...." Supandi mengangguk setuju. la sendiri, iseng-iseng ikut
membolak-balik isi map dan album-album tua yang dibersihkan.
Saat itu ia jongkok di dekat jendela, karena rak tempat albumalbum itu letaknya paling bawah, rata dengan lantai. Salah sebuah
dari album itu sudah lepas bagian-bagiannya, sehingga
berantakan. Hati-hati ia menyusunnya satu persatu tanpa memperdulikan
apakah lembaran-lembaran album berisi potret-potret lama itu
sesuai urutannya. Sesekali matanya menangkap coretan tanggal,
hari dan catatan-catatan kenangan di bawah beberapa buah
photo yang sudah berwarna kuning kecoklat-coklatan.
Entah mengapa. tahu-tahu saja perhatiannya tertarik pada salah
sebuah lembaran album tua itu. Di lembaran itu direkatkan hanya sebuah potret ukuran kabinet. Kertasnya mengkilat, sayang
warnanya sudah tidak karuan. Potret itu kabur sekali. Selain
karena ditumpuk tak karuan juga kabur karena dimakan jaman.
Di situ terpampang sebuah keadaan masa silam. Seorang pe
rempuan muda berpakaian adat, cantik, bersangggul, pundak
putih telanjang, duduk di sebuah kursi berbentuk tahta kerajaan,
memangku seorang gadis kecil peranakan. Perempuan itu pasti
orang pribumi. Di sebelahnya, berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, berkumis panjang. berpakaian serdadu Belanda. Dan dari
tampang dan bentuk tubuhnya ia tentulah orang Belanda tulen.
Masih ada beberapa orang lain di latar belakang Tetapi di
71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
samping perempuan muda yang cantik itu, perhatian Supandi
juga tertarik pada seorang laki-laki berselempang, mirip pakaian
pendekar jaman dulu. Wajah-wajah itu. samar memang. Tetapi, apakah ia pernah
melihatnya" Supandi merasa jantungnya berdebar. Kencang, berpacu,
sehingga nafasnya agak sesak. Dengan jari jemari gemetar, ia
angkat potret itu lebih tinggi, lebih dekat ke matanya, dan lebih
dekat pada sinar matahari yang menyorot lewat jendela.
Di kaki kunci antik itu, disandarkan sebuah papan kecil
bertuliskan hari. tanggal, bulan dan tahun. Dari penanggalan itu,
Supandi bisa menghitung bahwa potret itu sudah berumur
hampir sembilan puluh tahun!
Tidak. Tidak mungkin ia kenal wajah-wajah itu. Tetapi...
"Ada yang menarik perhatianmu?" Teguran pak Joko itu
mengejutkan Supandi. "He-eh," cuma itu jawabnya.
Pak Joko ikut memperhatikan. Mulutnya mendecip-decip. "Begitu
majunya orang-orang kita dulu. Atau ya, potr?t yang bagus ini
tentulah hasil kerjaan orang-orang Belanda itu. Bisa
kubayangkan. Sipernotret bersembunyi di balik kamera,
diselubungi kain hitam. Pijit sebuah tombol Tuuuppmmp...!
Terdengar letupan kecil. Asap berkebul ke udara. Dan potret
itupun jadi," pak Joko mcnggeleng-gelengkan kepala. "Atau
mungkin dengan tehnik yang lebih maju, atau lebih kuno lagi"
Tetapi, bagaimanapun itu sebuah potret yang bagus, bukan?"
Supandi terdiam. Tidak menyahut.
la mempertajam matanya, memperhatikan wajah-wajah itu lebih
jelas. "Siapa mereka-mereka ini?" tanyanya, dengan suara
bergetar. Pak Joko mengernyitkan dahi. "Eh, kenapa kau" Sakit?"
72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Siapa mereka ini?" ulang Supandi lagi.
"Hem. coba kuingat-ingat." Pak Joko garuk-garuk kepala.
"Kakekku dulu pernah jadi pegawai residen. la sering bawa album


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke rumah yang ia pinjam dari kantor. Salah satu tidak ia
kembalikan lagi. ltulah abum yang sedang kau susun. Menurut
kakek yang suka mendongeng kalau tengah menidurkan aku dan
adik-adikku, potret itu adalah potret seorang serdadu Belanda
berpangkat opsir..." Pak Joko tertawa kecil. "Lucu ya, waktu itu
aku cuma tahu bahwa opsir adalah pangkat ketentaraan. Tidak
ada jenderal, tidak ada Kolonel, atau perajurit. Semua opsir. Asal
serdadu Belanda. opsir, sampai-sampai kalau tentara pribumi
juga kami sebut..." "Perempuan cantik ini isterinya?" potong Supandi tak sabar.
"Hem. ya. Dan itu anak mereka satu-satunya, sampai opsir itu
meninggal. Tepatnya, dia tanpa luka, tanpa menderita sakit-sakit.
Mati begitu saja!" "Mati muda?" cetus Supandi, lirih seraya berpikir-pikir.
"He-eh. Konon diteluh seorang dukun yang menginginkan
isterinya, bagaimana ciri matinya. Yang kuingat. sebelum mati,
opsir itu lebih dulu menembak si dukun. Tetapi pelurunya mental,
Dukun itu kami..." "Lalu... apakah dukun itu memperoleh apa yang diinginkannya?"
"Tidak. Yang mendapatkan janda muda dan cantik itu. adalah
ajudan sang opsir..."
"Yang mana?" Pak Joko menunjuk ke orang berpakaian pendekar di potret itu,
yang menarik perhatian Supandi. Bukan tertarik saja. Ketika
mendengar janda itu justru dikawini si pendekar, timbul perasaan
asing di hati Supandi. Perasaan kecewa, muak, benci, dendam dan
marah. Pak Joko yang tidak memperlihatkan perubahan di wajah
Supandi meneruskan ceritanya.
73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Pendekar itu seorang bangsawan, konon adalah orang pertama
yang membangun daerah ini. Semua sawah, sungai dan gunung di
sekitar ini adalah miliknya... tepatnya. milik janda muda itu, yang
diwariskan oleh almarhum suami pertamanya... Sayang.
perkawinan mereka konon tak berbahagia. Terutama janda itu. la
sangat sedih ditinggal suami, juga anaknya... itu tuh, anak kecil
yang ia pangku. Mati beberapa hari setelah kematian ayahnya."
"Mengapa?" "Hem... entahlah. Kakek tak bercerita sampai di situ. Atau
barangkali ia pernah juga menceritakannya, hanya aku yang
lupa... Hai! Apa yang kau lakukan nak Pandi?" orang tua itu
bertanya dengan suara terkejut.
Tetapi terlambat sudah. Dengan ujung balpointnya, Supandi telah mencoret habis sampai
menembus kertas potret di tangannya, tepat di bagian wajah sang
ajudan yang tidak saja kebagian warisan tanah berlimpah ruah,
tetapi juga seorang isteri cantik yang mempesona... Tidak sampai
di situ saja. Supandi kemudian juga merobek bagian itu, sampai
wajah dan tubuh si pendekar yang beruntung itu. Tidak
berbentuk lagi! "Mati kau. jahanam!" suara menggeram keluar dari mulut
Supandi. Suara menggeram yang berat, lirih dan menakutkan.
Pak Joko tersentak mundur.
"Nak Pandi..?" gumamnya terkejut.
Supandi berdiri. Tegak. Nafasnya menderu-deru. Dan ia
memandang orang tua di depannya dengan bola mata yang
kemerah-merahan, dan dagu gemetar menahan gejolak perasaan.
"Kau pasti sakit. Pasti. Lebih baik kau pulang, nak Pandi. Istirahat.
Nanti akan kuceritakan?" Kalimatnya terputus sampai di situ,
karena Supandi sudah bergerak meninggalkan gudang. la
melewati ruangan di mana pak camat masih sibuk berbincangbawang dengan kepala tata usaha dan kini juga dengan dua tiga
74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
orang lain. Seperti ketika ia datang. ketika Supandi meninggalkan
kantor kecamatan pun, ia tidak membalas tegur sapa orang-orang
yang dilewatinya. Juru tulis tua itu, memandangi Supandi yang
berjalan pulang kerumahnya, sampai lenyap dari pandangan. la
geleng-geleng kepala, lantas bersungut.
"Jangan-jangan si Pandi itu juga kena kutuk penghuni sumur yang
ia gali...?" *** AMALIA sedang menyetrika di meja ruang tengah ketika
suaminya muncul di rumah. Ketika mereka berhadapan, ia tidak
melihat sesuatu yang janggal pada wajah suaminya. la hanya
menemukan sinar mata yang aneh, yang membuat ia bertanya
Tanya. "Aku letih. Ingin tidur!"
"Wah. Siang-siang begini?"
Supandi tidak menyahut, melainkan terus melangkah langsung
masuk tak mau bercakap-cakap sedikitpun. Padahal Amalia ingin
menceritakan, bahwa dia tidak mengerti kemana hilangnya salah
satu selendang yang ia punya. la ingat, ia telah mencarinya
kemaren, atau kemaren dulu. la juga ingat telah mengangkatnya
dari jemuran. Dan baru sekarang. waktu mau disetrika, ia baru
sadar, selendang itu telah tidak ada di mana-mana. Tidak di
keranjang, tidak juga di lemari, tidak kelihatan sama sekali.
Padahal itu adalah selendang kesayangannya. Selendang itu salah
satu dari hadiah perkawinan dari orangtuanya.
*** TANPA melepaskan sepatu, Supandi naik langsung ke tempat
tidur. Tubuhnya yang letih ia hempaskan di atas kasur, dan
matanya terpejam erat menahan sentakan-sentakan aneh dalam
75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
otaknya. Sentakan-sentakan itu timbul ketika ia mula pertama
melihat potret tua di kantor kecamatan. Potret perempuan muda
yang cantik jelita. Potret seorang pendekar bangsawan yang tidak
disukainya.... la sudah mengenal mereka. Seolah pernah berjumpa
dengan mereka. Tetapi di mana" Dan bagaimana mungkin" la
bahkan ibunya yang telah melahirkannya, belum lahir ke dunia ini
ketika potret itu dibuat.
Berbagai macam perasaan. berkecamuk dalam dadanya. Perasaan
cinta. Amarah. Kecewa. Cemburu. Dengki. Kebahagiaan yang
direnggut samar-samar ia dengar suara langkah-langkah kaki
memasuki kamar tidur, mendekatinya, terdengar asing di
telinganya. disertai suara yang sangat lembut.
"Kang Pandi. Kau berkeringat. Apamu yang sakit?"
la tidak menyahut. Tidak ingin... Apa urusan orang ini dengan
dirinya" "Kang Pandi" Kukerok ya?"
Diam sebentar. "Atau kupijit?"
Jari jemari yang lembut menyentuh kulit kepala. Pundak, lehernya
kemudian jidatnya. la merasa kancing-kancing kemejanya
dilepas, kemudian tali pinggangnya, kemudian sepatu dan kaos
kakinya. Apa yang dikerjakan perempuan itu atas dirinya" Mau
apa dia" Tetapi perempuan asing itu yang tidak lain adalah
Amalia. Isterinya sendiri.
Untunglah tidak menelanjanginya, karena ia sedang marah,
sedang tidak enak perasaan, tidak bernafsu untuk bercumbu.
Perempuan itu hanya mengelus bagian-bagian tubuhnya.
Mengoleskan obat gosok, kemudian memijitnya.
Eh, enak juga pijitan tangan yang halus dan lembut itu. la merasa
agak terhibur. Bahkan mengantuk. Rasanya ia ingin tidur. Malah,
hidungnya seperti melepaskan suara orang tertidur. Suara
mendengkur. Apakah ia tidur" Tidak. Karena ia merasakan pijitan
76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu terus berjalan Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti
sama sekali. la mendengar suara langkah kaki menjauh. Kemudian
pintu yang ditutupkan. Tidak. la tidak tidur. Pasti- Pasti ia tidak tidur. Coba, ia buka saja
matanya sekarang! Tetapi, mengapa begitu berat" Kelopak
matanya seperti bertaut. Seperti dijalankan, matanya tidak mau
terbuka. Semuanya tampak gelap. Pekat. senyap. Menakutkan.
Tetapi ah... suara apa itu" Suara langkah-langkah kaki di tanah
becek. Suara hujan menderas turun. Suara nafas-nafas memburu. Suarasuara memaki. Bentakan. Suara letakan pedang! Lehernya kini
terasa ringan. la dapat menggerakkan, berputar. Dan ia melihat
tidak saja kilatan pedang yang baru saja menabas lehernya. Adu
dua wajah yang lain. Tetapi wajah orang-orang yang memegang
pedang. Wajah seorang bangsawan. Seorang bangsawan yang
berpakaian pendekar. Seorang pendekar bangsawan yang buas.
"Wajah di potret itu?" teriak hati nurani Supandi.
Teriakan yang lemah. Tak bertenaga. Teriakan seorang yang
putus asa, di tengae tengah topan badai yang melanda padang
pasir. Badai" Bukan. ltu suara angin. Bersiut-siut. Suara
pepohonan tumbang Suara teriakan yang riuh rendah. Ah, hanya
gesekan dahan atau batang-batang bambu. Suara binatangbinatang hutan. Tetapi mana semua benda-berada itu" Mana
semua mahluk-mahluk itu" Tidak ada. Yang ada hanya kepekatan.
Kepekatan yang mengerikan. Rasa letih dan lapar yang menyiksa.
Tetapi sesuatu yang lain lebih menggoda. Hasrat. Hasrat untuk
memperoleh kekuatan. Untuk menjadikan tubuh kebal.
Kebal" Mengapa" Bagaimana" Untuk apa"
Ah, warna pekat itu. lembayung kini. Ada pelangi. tetapi mengapa
begitu lemah dan tidak melingkar" Ah, hanya warna-warna yang
menari oleh tiupan angin, oleh hantaman badai. Di mana ia
sekarang berada" Begitu dingin. Begitu menggigilkan. Heran, ia
telanjang bulat. Dan mengapa ia begini kurus kering..." Tubuhnya
hanya tinggal kulit pembalut tulang Tetapi itu ada dedaunan. Ada
77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akar-akaran. Ada buah-buahan. Mengapa ia tidak memakannya
saja" Dan mata air di dekatnya begitu jernih. Hem. segarrrrrrrr....
nyaman. Perasaannya kini lebih nyaman. Tubuhnya kini lebih
kuat. Tapabrata selama empat puluh hari empat puluh malam
memang bukan pekerjaan yang ringan.
"Kang..?" Suara halus yang menyapa ..itu mengejutkannya. la menoleh. Dan
melihat seorang gadis yang dadanya baru saja tumbuh mekar
melangkah mendekatinya di sepanjang tepi mata air, menyeretnyeret sebelah kakinya yang timpang. Timpang sejak lahir.
Wajahnya yang tidak begitu cantik namun tampak redup dan
merawankan hati itu, kelihatan gembira.
"Aku tahu kau akan tetap hidup, kang Tarjo."
Tarjo" Mengapa Tarjo" Mengapa bukan Supandi"
la berusaha tersenyum. "Tetapi aku letih. Dan lapar. ljah?"
Ijah, gadis itu, menurunkan bakul dari gendongannya. "Ini,
kubawakan untukmu. Dalam beberapa hari, kau akan sehat dan
kuat kembali, seperti sediakala..."
Selagi makan. ia teringat seseorang.
"Mana Pariman?" tanyanya, seraya memandang ke sebuah batu
besar yang ditumbuhi lumut. Bersebelahan dengan batu
berbentuk sama, tetapi licin dan bersih, batu yang ia duduki
selama sekian puluh hari sekian puluh malam.
"Rupanya gagal kang Tarjo. la sudah lama pulang. dan kini
mengabdikan diri pada opsir Belanda itu... Malah ia sudah
diangkat jadi centeng kepercayaan. untuk mengawal isteri dan
anak serdadu itu.." "Hem...!" "Kau cemburu, kang?"
78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Cemburu?" Ia terkejut oleh tuduhan Ijah, adiknya. "Tidak.
Tidak..." "Perempuan itu punya suami, kang. Dan punya anak."
Ijah benar. Ningrum, bunga desa yang cantik mempesonakan itu
memang sudah bersuami dan sudah punya anak. Tetapi apa
artinya suami berkulit bule yang gagah, harta yang berlimpah
ruah, anak yang mungil menyenangkan, kalau ranjang dingin saja
dari satu malam ke malam yang lain"
Suaminya yang opsir Belanda itu memang kemudian berhenti dari
ketentaraan dan berusaha lebih memperhatikan keluarga dan
harta miliknya. Tetapi semua itu sia-sia. Kelewang yang telah
membabat selangkangannya dalam salah satu pertempuran, telah
menjadikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang tidak pantas
lagi memangku jabatan seorang jantan.
Dan pada diri Tarjo, anak penderes getah, perkebunan karet milik
suaminya yang opsir Belanda itu, telah mulai menambal hati sang
istri yang kesepian. Sayang, si cantik lebih banyak dikurung dalam
istananya yang indah, sedangkan si kasep, hatinya bisa melamun
di gubuk orangtuanya nun jauh di lembah, seraya sesekali
memandang ke istana di atas bukit. Bak pungguk memandang
rembulan yang minta dicumhu. Pandang yang sesekali beradu.
Banyak nian artinya, tetapi alangkah lebih banyak lagi
halangannya. Lalu kini, Pariman telah mencoba menembus halangan itu!
Sahabat yang dipercayainya yang menjadi tempat penampungan
duka deritanya telah mencoba menggunting dalam lipatan. la
harus segera kembali ke desa. la harus segera melihat apakah ia
harus segera mundur teratur, atau masih diberi kesempatan
membuat celah-Celah di tembok istana. Untuk itu, ia harus sehat,
harus kuat seperti sedia kala. Ditambah ilmu kebal, dan sebuah
jalan untuk meloloskan diri ke dalam tembok. Yakni. ilmu bathin
yang diturunkan leluhurnya, dan kini telah sempurna dimilikinya.
*** 79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
SUPANDI tersenyum dalam tidurnya. Amalia memandang heran,
kemudian dengan perasaan yang lebih tenang membaringkan
tubuh di samping suaminya. Selimut ia tarik sampai menutupi
leher. Dan matanya nyalang memandang langit-langit kamar. Sepi
benar malam itu. Tidak terdengar suara apapun juga kecuali
suara burung-burung malam di luar dan sesekali domba-domba
pak Jayusman mengembik di kejauhan. la mencengkeram selimut
kuat-kuat, berusaha mengatasi udara malam yang dingin. Coba ia
bisa memeluk dan mencumbu suaminya, tentulah malam yang
dingin itu akan hangat. Tetapi suaminya demikian nyenyak tidurnya. Belum bangkitbangkit semenjak siang. Kemaren juga begitu. Tetapi ada
perbedaannya. Kemaren mengerang dalam tidurnya. Kini
tersenyum. Mimpi apa gerangan kang Pandi, pikir Amalia dengan
sedikit perasaan cemburu menggurat di hati.
*** Akhirnya apa yang ia harapkan terkabul juga. Suatu hari. opsir
Belanda itu mengirim pesuruhnya menjemput satu- satunya
orang yang diharapkan bisa menyembuhkan penyakit isterinya.
"Telah banyak obat yang diberi den Tarjo." kata pesuruh itu
seraya mereka berjalan menuju ke istana kecil mungil tempat
berkurang rembulan yang ingin dicumbu itu. "Telah dua tiga
orang dukun pula yang berusaha menyembuhkan. Tetapi tak ada
yang berhasil!" "Mengapa baru sekarang aku dipanggil?" tanya Tarjo, ingin tahu.
"Karena baru sekarang den Pariman mengatakan, bahwa Aden
bisa menolong," "'Hem.." Pariman. sahabat sepermainan semenjak kecil itu, berdiri diam di
tangga masuk rumah opsir Belanda itu, ketika Tarjo dan


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pengiringnya masuk. Mereka berpandangan sesaat tidak tegur
sapa. Yang ada hanya penukaran pandang mata.
Tarjo berkata lewat sinar matanya: "Tega nian hatimu."
Sebaliknya. Pariman mengancam: "Jangan coba-coba
menghalangiku merebut perempuan itu!"
Dengan perasaan marah. Tarjo memasuki kamar tidur di mana
sang rembulan sudah lama menanti didampingi suami yang
cemas tiada terperi. Suasana ruangan yang mewah dan indah itu
tidaklah menarik perhatian Tarjo barang sekerdip pun juga.
Karena sesuatu yang lebih indah kini memandangnya. Sepasang
bola mata yang bulat bersinar-sinar. yang dengan penyerahan
kekuatan bathinnya Tarjo bisa menangkap artinya:
"Sering aku ke perkebunan. Tetapi aku tidak melihatmu semenjak
lama..." Tarje ingin menggoda: "Ah. baru juga beberapa puluh hari."
Tetapi pandangan mata opsir Belanda yang sudah dipensiunkan
sebelum waktunya itu, membunuh keinginan dalam hati Tarjo. la
kemudian mempersiapkan peralatannya. Sebuah dupa. Setumpuk
menyan. Beberapa potong akar-akaran. Sejemput beras putih,
sejempul beras merah, sebaskom air, segenggam bunga beraneka
macam. Lalu bibir yang kumat-kamit membaca jampi-jampi, tubuh yang
gemetar bergoyang ke kiri kekanan dengan dahsyat. Padahal. ia
sendiri yakin, semua itu tidak perlu. Semua itu pura-pura belaka.
Karena dengan bertemu muka saja, sang rembulan yang terbaring
lemah, telah memperoleh kekuatan phisik dan jiwanya kembali.
Alangkah halus dan hangatnya wajah Ningrum, ketika ia usap
dengan telapak tangannya, seraya berkata dengan lirih.
"Nyahlah, setan-setan yang menghuni tubuh ini!"
Ningrum memejamkan mata, menikmati sentuhan tangan yang
pertama itu kemudian tersenyum. Dan ketika Tarjo pergi.
81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
perempuan itu segera jatuh tidur dengan pulas. Sang opsir
merasa kagum, senang dan terharu. Hadiah-hadiah yang
dikirimkan ke alamat dukun muda bernama Tarjo itu, kembali ke
alamat si pengirim dengan tambahan pesan:
"Saya lakukan semua itu dengan ketulusan hati semata."
Sayang, yang jelas hatipun tak kurang adanya. Pariman telah
melancarkan pukulannya yang mematikan. Tarjo menyadari hal
itu, karena di suatu remang petang. opsir yang gagah tetapi tidak
lagi jantan, itu muncul dengan wajah merah padam di depan
rumah Tarjo. Sepucuk pestol berlaras panjang tergenggam di
tangannya. Setelah memaki-maki dalam bahasa leluhurnya, ia
kemudian berkata dengan suara yang patah-patah.
"Kamu kau guna-gunai... aku punya nyonya!"
Tarjo, dibantu oleh adiknya ljah berusaha menenangkan hati sang
opsir. Setelah membantah, ia berusaha menyidik persoalan. Dan
ia segera memperoleh jawabannya. Dalam tidurnya, Ningrum
sering menyebut-nyebut nama Tarjo dengan nada mesra. Pariman
yang mendengar hal itu dari mulut majikannya, segera melihat
kesempatan terbuka baginya untuk memanfaatkan situasi.
"Pasti nyonya diguna-gunai oleh si Tarjo." katanya dengan
bernafsu. "Aku tahu siapa Tarjo itu. Karena akupun pernah
bertapa bersama dia. Tetapi tapanya tidak benar. Ia berusaha
mencapai ilmu hitam yang mengerikan."
Akibatnya... "Duar !" letusan menggema memecahkan kesepian daerah
pegunungan yang tenang itu.
Sang opsir terbelalak. Peluru yang ia tembakan, mental dari
sasaran di dada Tarjo, dan membalik ke arah dirinya. Jarak
tembak yang demikian dekat, dan pukulan balik oleh dorongan
bathin yang dahsyat menyebabkan peluru makan tuan. Langsung
menembus jantung. Opsir Belanda itu mati seketika.
82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bukan pandangan orang-orang yang dicemaskan oleh Tarjo.
Melainkan sebuah pertanyaan yang lirih dari mulut Ningrum:
"Mengapa" Mengapa kau harus membunuh dia?"
Lalu perempuan itu mulai menjauh, malah semakin mengurung
diri di istananya. Pariman yang tahu gelagat, semakin
melancarkan fitnah. Desas-desuspun timbul, bahwa kematian
suami Ningrum bukan oleh peluru mental. tetapi oleh teluh.
Terbukti kemudian, anak Ningrum dari suaminya itu, juga mati
secara mengerikan. la diketemukan membusuk di tempat
tidurnya. tanpa menderita sakit setelah masih sehat dan tertawatawa satu hari sebelumnya. Tarjo tidak pernah mengingat apalagi
menjamah anak yang malang itu. Tetapi hatinnya mengetahui apa
yang terjadi. Dengan melalui seorang dukun, Pariman telah membunuh anak
itu, sebagai jalan untuk memiliki mutlak seluruh apa yang ia
inginkan, Ningrum, dan hartanya yang melimpah. Dan Tarjolah
yang kemudian menjadi kambing hitam satu satunya.
Ketika Ningsih bunting di luar nikah, penduduk banyak yang
menunaikan tangan dan mengayunkan kaki. Tetapi kini, tidak
seorangpun yang berani menjamah tubuh Tarjo. Semua orang
takut diteluh. Satu-satunya jalan yang bisa mereka lakukan,
hanyalah berusaha menjauhi rumah kakak beradik itu, dan
sedapat mungkin tidak punya urusan dengan mereka...
Tarjo tidak bangga atau gembira karenanya. Dengan hati yang
hancur, ia saksikan bagaimana Ningrum mengulurkan tangan ke
arah Pariman. la berusaha semadhi, mencari kekuatan. Tetapi
yang ia peroleh hanyalah sakit hati, dan kekecewaan. Kepalanya
mulai sering berdenyut. Makin lama, denyutan itu makin
menyakitkan, makin mengerikan.
Kini, denyutan itu menyentak dengan kuat! Demikian kuatnya,
sampai Supandi terlonjak dari tidurnya, dan memandangi di
sekitarnya dengan mata yang liar. Tidak ada Pariman. Tidak ada
Ningrum. Tidak ada Ijah yang berusaha menyabarkannya. Yang
ada hanyalah Amalia, yang terbaring di sebelahnya, dan
83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menggeliat sedikit waktu Supandi terlonjak duduk di atas ranjang
mereka. Supandi memejamkan mata. Menggigit bibir kuat-kuat,
sampai terasa sakit. Tetapi denyutan yang dahsyat di otaknya itu,
jauh lebih menyakitkan. la cengkeram belakang kepalanya, ia
jambah rambutnya tetapi rasa sakit itu tidak mau berhenti.
Akhirnya, ia meluncur turun dari tempat tidur, dan begitu tegak,
seperti orang mimpi berjalan, ia melangkah pelan tetapi pasti
keluar dari kamar. Kedua tangan tergantung lunglai di sisi
tubuhnya. Matanya kosong, tak bersinar sama sekali.
Tiba di ruang lengah, otaknya bekerja keras. Syaraf-syarafnya
menurut. Lengan kanannya, ia menarik meja ke bawah lubang
para, menempatkan sebuah kursi di atasnya. Kemudian naik dan
lenyap di dalam para... Ia tidak merasa perlu membawa lampu
minyak. Karena kekuatan gaib itu telah menuntun otaknya,
menuntun jiwanya. menuntun phisiknya langsung ke sebuah
bungkusan di salah satu sudut para, diantara kaso-kaso penahan
bilik yang kukuh. Pelan tetapi pasti, bungkusan itu ia buka. Sebuah batok kepala,
seraut wajah keriput berlipat-lipat, seulas seringai kejam tetapi
berpengaruh, dan selarik sinar api yang ganjil segera terpancar
dari sepasang mata di batok kepala itu. Dan otaknya segera
menangkap suara sayup-sayup:
"Kau sudah tahu... apa yang terjadi... kini kau... harus tahu apa
yang kau... lakukan!" dengan sinar mata yang kosong, Supandi
segera menjambak rambut ikal dan panjang yang terurai di
sekitar batok kepala itu. la mencengkeramnya, kemudian
menariknya seraya bangkit dari duduknya yang tadi bersimpuh.
Rasanya hanya sekejap saja ia telah berada di luar rumah.
Seperti malam sebelumnya, udara malam yang dingin
menyambutnya. Dan seperti malam sebelumnya pula sebuah
kepala manusia terayun-ayun di udara, menurutkan gerakan
tangan Supandi yang berjalan, tepatnya berlari...
*** 84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
AMALIA tidur dengan gelisah. Sesekali ia mengeluh, dan dilain
kali nafasnya tampak memburu. la merasa sesak. ingin teriak dan
kemudian terbangun. Perasaan tidak enak menghantui dadanya.
la coba nyalakan kedua belah matanya ke seputar kamar yang
diterangi samar-samar oleh lampu redup di pojok. Tidak ada
sesuatu yang berubah. Kecuali pintu terbuka. Padahal sebelum
masuk tidur telah ia tutupkan terlebih dahulu. Dan kasur di
sampingnya kosong dan dingin.
Amalia mendekatkan lengan kiri ke wajahnya berusaha melihat
jam. tetapi pandangan matanya kabur. Resah. Ia bangkit, dan
duduk menjuntai di pinggir tempat tidur. Barangkali Supandi
sedang di kamar mandi. Kencing malam. Atau barangkali haus.
lalu membikin kopi di dapur Tetapi kok sepi bener" Dari luar
rumah tidak terdengar suara apa-apa, selain deru angin yang
sayup-sayup diselang-seling oleh suara burung malam yang
menyayat, dan jengkerik yang menjerit-jerit. Aneh.
Kesepian malam itu terasa aneh bagi Amalia. Dengan tangan
gemetar ia menyambar kaca mata minusnya di atas toilet,
mengenakannya hati-hati, lalu kembali melirik arloji tangan di
lengannya. "Sudah larut malam." gumamnya sendirian.
"Kemana ya kang Pandi" Kok belum muncul-muncul!"
Penasaran, ia keluar dari kamar. Siapa tahu, suaminya karena
terus saja tidur dan tidak makan lebih dahulu, kini kelaparan dan
memerlukan bantuan untuk menghangatkan nasi atau sayur.
Tetapi baru juga satu langkah Amalia ke luar dari kamar tidur ia
tertegun. Sesuatu telah berubah di ruang tengah. Dengan takjub ia
memandang meja yang digeser ke salah satu sudut. Di atas meja
itu terletak sebuah kursi dan di atas kursi lubang masuk ke para.
Eh, ngapain pula Supandi larut malam begini naik ke para" Tetapi,
mengapa gelap betul di atas sana" Dan tidak terdengar suara
sama sekali" "Kang?" Amalia berseru tertahan.
85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada sahutan. "Kang Pandi?" suaranya diperkeras.
Sepi menyentak Burung malam di luar terdiam tiba-tiba. Tinggal
suara angin bersiut-siut. Karena merasa dingin teramat sangat
yang tiba-tiba, amalia kembali masuk kamar. la mengambil
mantel dan kapstok dekat lemari lalu mengenakannya, agak hagat
kini. Tetapi sesuatu masih terasa menggigil dalam tubuhnya.
Naluri selama yang beberapa hari ini menyentuh uluhatinya,
sering membuatnya takut tanpa sebab.
"Kang Pandi" Dimana kau?" sekali lagi ia memanggil untuk
menyakinkan suaminya tidak mendengar, karena sesuatu hal.
Tetapi tidak ada sahutan. Dengan pikiran gelisah ia ambil lampu
dinding dari gantungannya. membesarkan nyalanya kemudian
bingung dengan tiba-tiba. Apa yang pertama-tama harus ia
lakukan" Naik ke para" Atau ke dapur" Ke kamar mandi untuk
melihat kalau... Tetapi matanya menangkap anak kunci berada di
lubangnya. Ketika ia bergerak ke sana, ternyata pintu ke arah dapur terkunci.
Jadi suaminya ada di para.
Tetapi, mau apa larut malam begini" Dan mengapa ia tidak
menyahuti panggilannya. Khawatir sesuatu terjadi atas diri
suaminya, Amalia memutuskan untuk melihat ke atas. Dengan
nekat ia naik ke atas meja, terus ke kursi.
Setelah lebih dahulu menyimpan lampu di bagian atas para, ia
berusaha naik ke atas. Karena letaknya sedikit tinggi, terpaksa ia
mengandalkan kekuatan kedua lengan di bibir para dan dorongan
kedua kaki dari bawah. Dalam beberapa saat, ia telah berada di
para. Antara jongkok dan berdiri.
Yang mengherankannya adalah: para itu kosong.
Tidak ada suara tikus berlari menghindar, apalagi gerakan dan
pemujutan suaminya. Tetapi hidungnya yang tajam membaui
sesuatu. Bau busuk yang samar-samar. Bau yang pernah ia cium
86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tadi pagi, bau yang ia sangka berasal dari bau bangkai. Apakah
Supandi tidak jadi membuangnya" Atau ada bangkai itu yang
tersisa di para" Dengan menutup hidung dengan jari-jemari
tangan kiri, tangan kanan menggerakkan lampu ke arah
datangnya bau yang aneh itu. Lalu ia melihat sesuatu yang lebih
mengherankan lagi. Selembar kain di pojok sebelah timur para. la
kenal betul kain itu. Selendang kesayangan hadiah perkawinan
dari ibunya! "Terlalu kang Pandi." ia sempat bersungut. "Membungkus bangkai
pakai selendang sebagus itu."
la berjalan hati-hati, setelah membungkuk, dari satu kaso ke kaso
lainnya. Ketika sampai disudut, ia gerakkan sebelah kaki untuk
melebarkan kaki yang tertumpuk itu. Tetapi tidak ada bangkai
tikus. Tidak ada...eh. tunggu dulu. Apa pula ini" Sebagian dari kain
itu lembab dan basah. Karena selendang dari batik warna krem
dengan lukisan burung kasuari berwarna biru kombinasi hijau,
dan bagian yang lembab justeru di bagian yang polos, maka
dengan seketika Amalia bisa menangkap warna merah. Warna
darah dan... sesungguhnya lah. bau darah. Darah yang telah
membusuk! Amalia hampir muntah. Tanpa ingat lagi betapa penting arti selendang itu bagi
perkawinannya, ia segera bergerak mundur. Turun dari para.
meloncati kursi meloncati meja, berlari ke kamar mandi dan...
juuuuaaaaakkkkk! la benar-benar muntah.. Setelah kumur-kumur
kemudian minum setengah gelas air hangat, perasaannya lebih
enak. Ia kemudian keluar dari kamar mandi. Di sana ia tertegun
sebentar. Di bawah siraman bulan empat belas, ia melihat samar-samar
bekas sumur yang tertimbun longsor itu. Tetapi Supandi tidak ada
di sana sebagaimana yang ia harapkan. Di sebelah sana lagi,
tampak bagian depan rumah pak Jayusman. Gelap, dan sepi. jadi
suaminya juga tidak tengah bertamu.
Lalu, kemana gerangan Supandi pergi, tengah malam buta begini"
87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bingung dan gelisah. Amalia kembali masuk ke dalam rumah.
Keingin tahuan yang sangat menarik, kakinya terus ke ruang
depan, dan ia memeriksa pintu. Ternyata tidak terkunci. Ia
membukanya. Dan angin deras menerpa dari luar, memadamkan
lampu di tangan. Amalia agak terkesiap. Tetapi hanya sebentar.
Matanya kemudian terbiasa dengan kegelapan malam di luar,
yang samar-samar diterangi oleh rembulan.
Sepi. Sepi. Sepi sekali. Kemana gerangan Supandi larut malam begini"
Sambil memikirkan hal itu, ia nnenutupkan pintu kembali, dan
membiarkannya tidak terkunci. Ia kemudian menyalakan lampu
yang telah padam, meletakkannya di atas meja tamu yang rendah,
dan duduk di sebuah kursi rotan berkaki pendek. Diam.
Menunggu. ***

Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ROSELA tidak dapat memicingkan mata sekejappun. Mungkin
karena pengaruh kopi kental yang ia minum ketika tadi ia
membaca sebuah novel pop yang ia bawa dari kota, di ruang baca
di wawali. Padahal pak Sasmita sudah memperingatkan:
"Sebaiknya juragan tidur saja. malam sudah larut. Biar saya
sendiri yang akan menunggu sampai Tuan pulang."
Tetapi novel itu terlalu asyik untuk dilewatkan. Suaminya
memang tahu selera Rosela. Ia selalu membelikan novel-novel
pilihan untuk pengisi waktu sang isteri yang teramat sering ia
tingggal sendirian di rumah. Memang Rosela sering mengikuti
suaminya yang antropoloog itu berkeliling keberbagai daerah. ke
luar masuk tempat-tempat peninggalan kuno, melihat bangunanbangunan masa silam, benda-benda peninggalan bersejarah.
Sekedar untuk dapat menyesuaikan diri dengan tugas, tepatnya
jalan hidup sang suami yang sangat tertarik terhadap ilmu
purbakala itu. 88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Namun tidak selamanya apa yang menarik hati suaminya, juga
menarik hati Rosela. Sebagai misal saja: suaminya lebih suka
menekuni buku-buku lama, sedangkan Rosela menghabiskan
waktu senggang dengan membaca novel-novel pop.
Sebagai seorang ilmuwan yang pengabdi, gaji suaminya sebagai
seorang dosen di berbagai fakultas tidaklah seberapa. Namun dari
hasil perjalanan yang mereka sering lakukan. Rosela berusaha
memisahkan beberapa buah barang antik yang dikumpulkan
suaminya. Barang-barang itu ia jual dengan harga yang lumayan.
Sayang suaminya tidak menyukai perbuatan Rosela itu.
"Kalau kau butuh, Ella. kau tinggal minta." suaminya sering
membujuk. Dan suaminya memang mengatakan yang sebenarnya. Baginya,
uang tidak menjadi persoalan. Ia merupakan seorang pewaris
tunggal sejumlah harta kekayaan berupa sawah dan perkebunan
di kampung asal kelahirannya oleh karena itu Rosela pun tahu
diri. "Jangan terlalu sering menjual harta warisan itu, sayang.
Biarkanlah semua itu utuh sebagai bekal kita di hari tua bekal
untuk anak-anak kita. Sebagaimana leluhurmu meninggalkannya
untuk bekal keturunan mereka..."
Anak-anak! Wahai, impian kosong belaka, pikir Rosela dengan
pikiran gundah seraya menatap langit-langit kamar yang sudah
lapuk dimakan usia. Enam tahun sudah mereka berumah tangga.
Dan entah berapa tahun lagi. keinginan yang tidak terbendung itu
akan dikabulkan Tuhan. Keponakan Rosela memang banyak dan
sering menginap di rumah mereka, di kota. Akan tetapi, anakanak yang manis dan lucu-lucu itu, pada waktunya toh akan
kembali ke orang tuanya masing-masing, Dan selalu Rosela
kembali merasa kesepian. Ia memejamkan mata yang perih. Apa sebenarnya yang mereka
cari dalam hidup ini" Kebahagiaan" Untuk Rosela memang
jawabannya jelas: ya. Tetapi suaminya" Hendra lebih menyukai
pengabdian. Bukan pada keluarga. Tetapi pada ilmu. Sampai
89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kadang-kadang Rosela takut sendiri menghadapi suaminya yang
sering tampak asing di matanya. Terutama setelah suaminya
berusaha memperdalami ilmu kebatinan, yang katanya akan lebih
mendekatkan dirinya pada usaha untuk mempelajari lebih
banyak kehidupan nenek moyang mereka di jaman dahulu kala.
Tak jarang Hendra berkata; "Konon di antara leluhur, ada yang
ahli kebathinan. Mengapa aku tidak bisa?"
Untunglah tugasnya sebagai seorang dosen, membuat Hendra
tidak punya banyak waktu mendalami ilmu kehathinan itu,
dengan ambil beberapa misalnya, atau- astaga !- memuja kuburan
keramat! Tetapi masa libur panjang yang mereka jalani sekarang,
tampaknya membuat kesempatan lebih banyak buat Hendra. la
mengajak Rosela berlibur ke daerah kelahirannya. Hiruk pikuk
kota besar yang membisingkan, tetapi mencekik di rumah sendiri.
ada kalanya terasa membosankan. Oleh karena itu Rosela dengan
senang hati memenuhi permintaan suaminya, dengan harapan
udara pegunungan yang segar bisa menambah romantis
hubungan mereka yang belakangan ini terasa agak dingin.
Kenyataannya" Rosela lebih banyak ditinggal sendirian di rumah.
Hendra, dengan meninggalkan mobil di garasi sering pergi
berkeliling dengan menunggang kuda. Katanya untuk mengujungi
beberapa orang yang terhitung kaum kerabat, tetapi Rosela
menduga, pasti mencari ahli kebathinan. Rosela dapat merasakan
hal itu, ketika kemaren petang ia diajak berziarah ke kompleks
pemakaman leluhur suaminya di puncak bukit. Tempat itu sangat
menyenangkan, dengan panorama yang indah kemanapun mata
memandang, andai saja tidak ada kuburan-kuburan di dekat
mereka. Dan beberapa di antara makam itu, termasuk makam
yang sudah berumur seratus tahun, yang oleh Hendra dikatakan
termasuk makam keramat. "Aku bermaksud menjajaki jalan hidup yang ditempuh leluhurku,"
kata Hendra petang itu seraya memandang batu nisan makam
satu persatu. Banyak tertulis nama-nama. tanggal-tanggal bahkan
jabatan almarhum. Rosela masih ingat beberapa nama:
Puradinata, sudah seratus sebelas tahun. Hayati, seratus dua
90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tahun. Kusumawanti, dalam kurung Ningrum, delapan puluh
tahun usia makamnya. Beberapa tahun pula umur mereka
semasih hidup" Ningrum itu misalnya, dan umur Pariman, yang
konon menjadi leluhur langsung dari Hendra, dan konon punya
sejarah tersendiri semasa hidupnya. Sejarah bagaimana, Rosela
tidak begitu tertarik untuk mendengarnya, sama tidak tertariknya
ia pada buku-buku tua suaminya.
Dan Hendra sendiri tidak suka menceritakan, mungkin belum,
atau lebih tepat mungkin pikirannya lebih tercurah pada
hubungan bathinnya dengan leluhumya itu... Rumah tua ini juga
punya sejarah sendiri, kata Hendra.
Tentu saja, sering Rosela berpikir. Karena rumah ini termasuk
rumah peninggalan jaman dulu. Usianya pasti sudah lebih dari
satu abad, dibangun menurut konstruksi bangunan Belanda.
Ruangan bawah untuk ruang tamu yang luas, ruang makan yang
sama luasnya. Kamar-kamar untuk pembantu, dan kamar-kamar
tidur serta ruang perpustakaan di tingkat atas. Perabotannya
kebanyakan antik, Rosela kadangkala berhitung-hitung di kepala.
Berapa juta rupiah uang yang bakal masuk ke kantong kalau saja
ia dan suaminya tidak sayang untuk melepaskannya. Bangunan
itu sendiri, sebagian sudah miring mau runtuh. Hendra punya
rencana untuk suatu ketika memugarnya. Tetapi dipugar atau
tidak. dengan kondisinya yang sekarang, bangunan tua itu masih
mampu menampung setengah lusin keluarga suami isteri, plus
dua atau tiga anak tiap keluarga.
Dan malam ini, hanya ada keluarga pak Sasmita di bawah. Dan ia
sendirian.. di kamar utama di tingkat atas. Tiada televisi. Tiada
aliran listrik. Tiada suara orang mondar-mandir. Sepi. Sunyi
menyentak Kalau saja Rosela tidak sering mengikuti suaminya
mengunjungi tempat-tempat keramat, terutama kalau saja ia baru
pertama kali berdiam di rumah ini, pastilah Rosela tidak akan
mau berpisah sejengkalpun dari sisi suaminya.
Sekarang ia sudah merasa terbiasa, dan terutama karena sore
tadi, Hendra berkata bahwa ia diundang makan oleh salah
91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
seorang penduduk lama di balik bukit. Letaknya hampir lima
belas kilo, dan tidak bisa ditempuh dengan mengendarai mobil.
"Punggung kuda akan merontokkan pinggulmu yang indah," kata
suaminya seraya tersenyum. "Tetapi kalau kau bersikeras..."
"Tidak. Aku tinggal saja di rumah," potong Rosela. "Asal perginya
tidak lama." Hendra berjanji akan pulang sebelum jam sembilan. Tetapi jam
sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat beberapa
menit ketika Rosela naik ke kamar tidur, Hendra belum pulangpulang juga. Apakah tuan rumah yang mengundangnya memaksa
menginap" Atau Hendra mengalami kecelakaan di jalan" Kuda
yang ia tunggangi sudah terbiasa jalan malam. Bulan pun selama
beberapa malam terang benderang la juga membawa senter,
sepucuk senjata berburu. Kalau perlu. Hendra katanya akan
meminta seorang anak tuan rumah yang mengundangnya untuk
mengantar pulang ke puncak bukit. Suaminya tidak akan
menemukan rintangan dalam perjalanan pulang.
Tetapi... mengapa ia belum muncul juga" Apakah"
Ya, barangkali ada anak petani di rumah yang ia kunjungi, pikir
Rosela dengan gundah dan perasaan cemburu yang pelan-pelan
merayapi hatinya. Tetapi ah, mustahil. Selama mereka pacaran
dan sampai sekian tahun mereka berumah tangga, ada satu yang
menjadi pendorong Rosela untuk tidak minta cerai dari suaminya.
Kesetiaan. Ya. Hendra seorang kekasih dan suami yang
berpendirian teguh, bahwa isterinya lebih cantik dan lebih
munpesonakan dari perempuan manapun juga...
Nah, itu buktinya! Rosela mendengar suara ketukan-ketukan
halus pada daun pintu masuk di bawahnya. Sepasang mata Rosela
terbuka nyalang. Dengan wajah berseri. Rosela menyambar
lampu minyak di atas toilet, dan bergegas keluar dari kamar.
Koridor panjang dan lurus segera menyambutnya.
*** 92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lengang benar rumah itu. Hanya ketukan-ketukan halus itu saja
yang terdengar. Langkah-langkah kaki Rosela sepanjang koridor
berdetak-detak lembut. Sempat ia memandang kepintu kamar
yang ditempati keluarga pak Sasmita di ruangan bawah. Tertutup
rapat. Mereka tentu sedang tertidur nyenyak setelah ikut
membantu pekerjaan penyawah-penyawah yang sedang
mengetam padi di sawah milik Hendra. sepanjang hari.
Namun ketika menuruni tangga. Rosela sempat tertegun.
Mengapa mengetuk" ..biasanya memukul lonceng di samping
pintu. Lebih keras. Lebih nyata. Ah, barangkali karena merasa
bersalah pulang kelewat larut. Hendra enggan mempergunakan
lonceng besi yang berisik itu. Sengaja ia mengetuk agar isterinya
ia sangka sudah tertidur, tidak terbangun dan pak Sasmita yang
membukakan pintu. Hem. pikir Rosela, aku akan memperlihatkan muka cemberut
pertanda tidak senang dengan kelakuannya!
Lalu ia cemberutkan bibir, meskipun hatinya senang.
Palang pintu iu lepaskan. Kemudian putar. Daun pintu ia buka,
lampu minyak ia naikkan lebih tinggi sedikit ke depan, sehingga
menerangi wajahnya sendiri. dan memandang orang yang berada
di luar pintu. Tidak! itu bukan orang! bergantungan... kepala seseorang kepala
tanpa badan. tergantung-gantung di udara, dengan mulut keriput
menyeringai memperlihatkan gigi kuning kecoklat-coklatan, lidah
kemerahan seperti darah dan, sinar mata yang berkilauan di
wajah yang mengerikan itu.
Sinar mata yang aneh Sinar mata yang mendatangkan pengaruh
ganjil pada diri Rosela. la tidak sampai jatuh pingsan. la hanya
dipaksa oleh semacam kekuatan untuk tetap tegak di tempatnya
berdiri dengan mata terbuka lebar, hati terpukau, dan otak yang
terasa kaku dengan tiba-tiba.
93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Otak yang entah bagaimana telah menangkap suara sayup-sayup,
suara yang dingin. Suara yang tajam berpengaruh. Suara yang
tidak bisa di bantahi. *** Pak Kartijo berusia tiga perempat abad, ia mempunyai tiga orang
anak perempuan dan dua anak laki-laki. Tetapi semua sudah
menikah dan memilih hidup sendiri sendiri. merantau ke
berbagai daerah. ia beruntung mempunyai serombongan cucu
dan sebagian mereka sudah memberikan cicit. Diantara cicitnya
ada lima orang perawan. dua diantaranya sudah siap dijamah laki
laki. mereka sering menengok moyangnya namun tak seorangpun
mau tinggal bersama pak Kartijo. Jadi sepi keadaan dirumah itu
ketika Hendra datang bertamu. Selain isterinya yang sudah tua.
Pak Kartijo mengundang juga beberapa orang jiran untuk
menghadiri jamuan makan malam itu yang ia adakan setiap
Hendra pulang kampong, istri pak kartijo adalah bekas inang
pengasuh moyang Hendra, yakni Ningrum Kusumawati. la dan
suaminya sebenarnya lebih suka mendatangi bangunan tua di
atas bukit. Tetapi Hendra selalu melarang: "Kalian sudah tua.
Tidak sanggup berjalan jauh. Biarlah aku saja yang datang
menjenguk kalian!" Dan malam itu, jamuan makan malam yang dihidangkan.
dinikmati sepenuhnya oleh Hendra. Terutama yang paling ia
nikmati adalah dongeng seusai makan. Dongeng yang sudah
sangat sering diceritakan suami isteri tua itu, namun senantiasa
Hendra keranjingan untuk mendengarkan. Kehidupan nenek
moyangnya sering menjadi impian Hendra. Sampai ia hafal setiap
peristiwa yang diceritakan pak Kartijo suami isteri. Bahkan
merasa begitu dekat dengan masa peristiwa lampau itu masih
berlangsung. Oleh karena itulah ia sangat kecewa, ketika pak Kartijo
mengingatkannya pada waktu: "Sudah pukul sepuluh, nak.
94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah tidak lebih baik pulang saja sekarang" isterimu pasti
gelisah menunggu." Ah, Andai saja Rosela ada di sini. Tidak ia tinggalkan di rumah tua
itu! *** Dengan bantuan sinar rembulan Hendra berpacu menuju pulang.
la sudah sangat mengenal jalan yang harus ia lalui. meskipun hari
telah larut malam. Kudanya, lebih-Iebih lagi. tak heran, kuda dan
penunggangnya dengan mudah selalu dapat menghindari jalanjalan terjal dan berbatu-batuan, atau pinggir jurang yang
menganga. Begitupun toh mereka terpaksa juga bergerak sangat
lambat agar tidak sampai tertimpa celaka atau cidera yang
keduanya tidak menghendaki. Dan setiap melihat jalan sedikit
terbuka, ia memacu kudanya dengan cepat.
Heran. Ada semacam perasaan ganjil dalam dirinya. Yang seolaholah mengatakan, isterinya mengalami sesuatu di rumah. Sesuatu
apa, ia tidak tahu, tetapi bathinnya mengatakan hal itu dengan
jelas. Tanpa terasa. ia mengokang senjata berburunya, dan
membiarkannya tidak terkunci begitu ia hampir tiba di rumah.
Yang pertama-tama menarik perhatiannya, adalah jendela kamar
tidur di tingkat atas. Jendela itu gelap. Apakah Rosela sedang
tidur" Dari celah-celah pintu depan di bawah Hendra melihat
sinar lampu membersit ke luar. Pintu tertutup, dan tidak ada
suara apa- apa kedengaran dari luar.
Sepi. Sepi sekali. Kalau ada apa-apa, tentulah suasana lebih berisik
atau ada tanda-tanda keributan. Bukankah pak Sasmita, isterinya,
dan dua orang anak mereka sudah berumur belasan tahun ikut
menemani Rosela di rumah" Lagi pula, sepanjang
pengetahuannya. daerah ini aman dari tangan-tangan jahil atau
orang-orang yang berniat busuk. Terutama akibat pengaruh
leluhurnya yang mashur ke seputar daerah itu. Tidak, tidak
95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terjadi sesuatu yang memcemaskan di rumah, pikirnya dengan
perasaan lebih tenang.

Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la kemudian menyimpan kudanya di istal. Dua ekor kuda yang
lain. menyambut kehadiran Hendra dengan mata terbuka lebar
dan suara mendengus yang lirih. Salah seekor dari kuda itu, yang
biasa ditunggangi Rosela, terlalu sering menghentakkan kaki.
Namun tidak begitu diperhatikan oleh Hendra. Dengan senter di
tangan kiri dan senjata berlaras di tangan kanan, ia berjalan
memasuki pekarangan dan tanpa ragu-ragu langsung menuju
pintu. Dan ia terkesiap seketika waktu akan memukul lonceng,
pintu itu telah dibuka dari dalam. Sinar lampu minyak yang
terang segera menerobos ke luar.
Untuk sesaat. Hendra merasa sedikit silau, dan refleks tangannya
memegang senjata lebih erat. Tetapi tidak ada yang mengejutkan
terjadi, kecuali suara isterinya yang menyambut dengan suara
lemah lembut: "Masuklah Hendraku tersayang...."
Ah, terlalu mesra sambutan itu. Menyindirkah Rosela" la coba
menyelidiki wajah isterinya. Tetapi sinar lampu yang menerangi
wajah mereka menyebabkan Hendra tidak bisa melihat wajah
Rosela yang sedikit pucat serta sinar matanya yang menatap
kosong. dan bahkan kemudian juga gerak-geriknya yang agak
kaku! Hendra masuk. menutupkan pintu sekaligus Ia dan memalangnya,
menyandarkan senjata berburunya ke tembok yang kapurnya
sudah tak karuan warnanya. Seraya melepaskan jaket kulit yang
menyesakkan dada, ia berusaha bertanya dengan lunak:
"Seharusnya kau tidak menunggu. Mengapa bukan pak Sasmita
saja?" Tiada sahutan sama sekali.
Yang ada ialah gerakan kaki isterinya yang berjalan melewati
tubuhnya, langsung menaiki tangga ke tingkat atas, tanpa
96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menoleh barang sekalipun. Lampu di tangan ia angkat sama tinggi
dengan dadanya, meninggalkan bayang-bayang tubuhnya yang
meliuk dari anak tangga yang satu ke anak tangga yang lain. Wah
ini gelagat tak baik. la tentu marah, pikir Hendra dengan sedikit
perasaan bersalah dalam dirinya. la kemudian mengikuti istrinya
naik ke tingkat atas. Ketika melompati anak tangga demi anak tangga, hidungnya
mencium bau yang aneh yang tidak pernah ia cium sebelumnya.
Udara pengap dan sangat dingin menusuk, yang juga belum
pernah ia rasakan. Sesaat. ia tertegun. Hidungnya kembang
kempis untuk lebih menciumi bau itu, dan matanya dengan nanar
memandang ke sekitar. Namun baru juga beberapa detik ia melakukan hal itu. dari atas,
isterinya sudah menegur: "Naiklah sayangku. Aku sudah tak sabar menunggumu. Malam ini
teramat dingin, bukan?"
Pikiran Hendra yang bijak, segera menangkap arti lain dari
kalimat itu: Hangatkanlah tubuhku, kekasih!
la berusaha melupakan bau dan udara yang asing itu dan segera
naik ke atas. Setelah kakinya menginjak lantai atas, nalurinya
seolah menyuruh untuk berhenti sesaat. Lalu ia memandang ke
ruang bawah. la memperhatikan meja bundar, kursi-kursi
bersandaran tinggi, vas bunga di atasnya, teko dan cangkircangkir antik di dekatnya, lalu dua buah rak di pojok, sebuah
patung perunggu kecil di dekat pintu masuk, lalu pintu-pintu
kamar untuk para pembantu. yang tertutup rapat. Kemudian,
tangga yang terlindung dari cahaya sehingga kelihatan gelap dan
pekat. Hidungnym masih mencium bau yang asing itu. Kulit tubuhnya
masih merasakan udara yang dingin yang menusuk itu.
Apakah... "Hendra!" 97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Suara lirih yang sayup-sayup itu menyadarkan Hendra. la untuk
kedua kalinya, berusaha melupakan keadaan yang aneh dan
mencurigakan itu, lalu berjalan tertegun-tegun ke kamar tidur.
Dari pintu yang ternganga lebar, ia melihat lampu minyak yang
sudah dikecilkan. Tetapi cahaya remang-remang dalam kamar
masih cukup terang untuk memperlihatkan tubuh isterinya yang
berbaring menelentang di atas tempat tidur, dengan gaun di
dadanya terbuka lebar dan sebelah lututnya terangkat tinggi,
sehingga... Betapapun. Hendra adalah lelaki!
Dan udara begitu dinginnya, suasana begitu sepinya. Dengan mata
yang bersinar-sinar ia melepas pakaian yang melekat di
tubuhnya. Tanpa lebih dulu menggantinya dengan kimono yang
tersimpan di lemari. Hendra langsung naik ke tempat tidur dan
mulai mencium bibir Rosela. Lembut, hangat dan memabukkan.
Tubuh Rosela sedikit dingin, tetapi Hendra sudah tidak
memperdulikannya.... *** Satu jam kemudian. Rosela bangkit dari tempat tidur. Sejenak, ia
memandangi suaminya yang dengan cepat telah lelap karena letih
oleh perjalanan jauh, ditambah tugas ekstra sebagai seorang
suami. begitu sampai di rumah. Mulut Hendra memperlihatkan
senyum manis dan puas, namun pemandangan itu tidaklah
mengubah sinar kaku dan kosong di mata serta wajah Rosela. la
besarkan nyala lampu, kemudian membawanya ke luar. la
melewati empat pintu yang tertutup sepanjang korridor lurus
membelok ke kanan melewati ruang perpustakaan, lalu di sebelah
ruangan itu memasuki pintu yang berderit bunyinya ketika
dibuka. Cahaya lampu segera menerangi kamar. Mata Rosela berusaha
menangkap setiap benda yang ada di ruangan itu. Dari mulai
lampu gantung antik di langit-langit, lukisan besar berbingkai
keemas-emasan di keempat tembok, seperangkat kursi duduk
98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang mungil beberapa buah senjata tua dan... akhirnya berhenti
pada sebilah pedang panjang yang masih berada di sarungnya,
tergantung dalam posisi empat puluh lima derajat pada sebuah
paku besar di dekat lemari.
Senjata kuno itu terasa berat ketika ia lepaskan dari
sangkutannya. Tetapi setelah sangkurnya yang terbuat dari
gading gajah ia tanggalkan dan letakkan begitu saja di atas meja,
pedang yang tajam berkilat-kilat itu kini terasa lebih ringan. la
membawanya ke luar dari kamar, menutupkan pintu hati-hati.
lalu berjalan kembali ke kamar tidur, langkah-langkah kakinya
terdengar teratur. Satu demi satu, agak lambat-lambat, tetapi
mantap. memecahkan kesepian di dalam rumah itu, meski
kakinya tanpa alas kaki. Dari kamar yang ditempati keluarga pak
Sasmita, terdengar suara berisik sedikit.
Rosela tertegun. Tetapi segera melanjutkan langkahnya, setelah suara berisik itu
kembali menyepi. Tiba di kamar tidur, tanpa mengecilkan nyala
lampu minyak yang ia letakkan hati-hati di tempatnya semula.
Rosela berjalan mendekati ranjang besi berkasur empuk, di atas
mana suaminya tertidur lelap di bawah selimut. Lama ia
memandangi wajah Hendra, dengan dada yang turun naik tidak
teratur, dan nafas kencang menderu-deru ke luar dari lubang
hidung Tatapan matanya yang kosong tidak menyinarkan
perasaan. Tetapi jauh di dalam dadanya, terjadi perjuangan
bathin yang tidak terperikan dahsyatnya.
Tetapi, otaknya tiba-tiba disentak oleh sebuah perintah gaib:
"Sekarang! Sekarang, budakku yang hina. Sekarang!"
Gemetar. Rosela mengangkat pedang di tangannya tinggi-tinggi.
Sementara pedang itu terangkat naik ke udara, mulut Rosela
melontarkan panggilan yang lirih.
"Pariman.... Pariman.... Pariman !"
Hendra resah dengan tiba-tiba dalam tidurnya.
99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Pariman, lihatlah padaku!" suara Rosela yang berat dan lirih kini
terdengar lebih nyata. Hendra pelan-pelan mendengar suara itu. Pelan-pelan pula ia
membuka kedua belah kelopak matanya. Berat sekali. Namun
sesuatu yang aneh memaksanya untuk berusaha melihat. Dan
tampaknya sangat jauh, demikian jauh... sebuah bayangan berkilat
dari sebilah pedang panjang yang tajam mengerikan. Kejutan
yang luar biasa, memukul jantung Hendra. la masih berada di
antara sadar dan tidur. dan berusaha menjeritkan sesuatu. Tetapi
lidahnya kelu, kelu sekali. Tenggorokan jua kering, kering sekali.
Barulah ketika itu. ia bisa melihat wajah isterinya yang buas, dan
tatapan matanya yang kosong Barulah bathinnya berhasil
memperingatkan adanya bahaya yang semenjak semula telah ia
curigai. Tetapi kesadaran itu datang terlambat. Sangat terlambat.
Karena dengan didahului bisikan kejam dari mulut Rosela:
"Rasakan pembalasanku. jahanam!"
Mata, pedang itupun melayang jatuh. Cepat, hampir tidak
kelihatan gerakannya. Terdengar suara benda tajam menembus
daging yang lunak, kemudian memutus batang leher yang keras
namun tidak berdaya oleh tajamnya pedang yang sudah terbiasa
mencabut nyawa manusia itu.
Darah segera. menyembur kian kemari... Tiada suara keluhan,
tiada arang kesakitan, bahkan tiada gerakan tubuh yang
menggelepar. Yang ada hanya sentakan-sentakan lembut.
Sentakan tubuh yang tengah meregang nyawa.
Kemudian. Tak ubahnya orang mimpi berjalan, Rosela kemudian
ke luar dari kamar tidur. Langkah-langkah kakinya seperti tadi,
lambat-lambat tetapi mantap. Tiba di korridor ia terhenti, pada
saat pahanya menyentuh pagar pemisah ke ruangan kosong di
bawah. Pedang yang berlumur darah tergantung lemah di tangan
kanannya. Mulutnya bergerak, melepas suara lirih: "Telah... telah
kulakukan...!" 100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dari balik kegelapan di bawah tangga muncul seorang laki-laki.
Bertubuh kekar, tingginya sedang, dengan wajah yang kusut
masai, pakaian acak-acakan, bertelanjang kaki yang lecet
berdarah dan kotor oleh debu. Tetapi perhatian Rosela sama
sekali tidak tertarik pada lelaki yang juga bermata kosong tanpa
sinar seperti matanya sendiri itu. Perhatiannya ia pusatkan pada
sesuatu yang diangkat tinggi-tinggi oleh lelaki itu. Sebentuk
kepala manusia yang penuh keriput dan kotor dengan rambutnya
yang lebat panjang membentuk garis menguncup sampai ke
telapak tangan si lelaki yang mencengkeram.
Seringai menggurat di bibir keriput kepala tanpa badan itu.
Sinar mata merah kebiru-biruan menembus dari kejauhan di
bawah sana, langsung ke batok kepala Rosela, dan mencengkeram
otaknya dengan remasan yang menyakitkan. Pengaruh sinar mata
itu dalam sebentar telah menimbulkan reaksi pada diri Rosela. la
mengangkat pedang berdarah di tangannya, menempatkannya di
depan dada dengan ujungnya yang tajam menekan pada
lambungnya, tepat di bagian mana jantung Rosela berada.
Bau busuk itu menerjang dengan hebat.
Udara dingin yang pengap mengerikan itu, bertaburan dengan
dahsyat. Lalu jresss. Pedang itu kemudian masuk sampai ke gagangnya. menembus
jantung Rosela. Terdengar suara mengerang sebentar. Kemudian
tubuh perempuan yang malang itu limbung ke depan, setelah
terangkat dari lantai korridor. Terbang melewati bibir pagar.
Terjun langsung ke lantai ruangan bawah dengan suara yang
ribut. Pak Sasmita yang beberapa saat kemudian terjaga oleh suarasuara aneh , berlari ke muka kamar. Ia menemukan tubuh
majikannya yang perempuan tergeletak di Lantai ruang tengah
dengan sebilah pedang menembus tubuhnya dan darah merah
yang mengalir kian kemari. Mulut pak Sasmita ternganga sangat
101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lebar, seolah ingin mencari pintu keluar rumah yang juga
menganga lebar. *** KOKOK ayam yang bersahut-sahutan dari rumah-rumah tetangga
menyadarkan Amalia yang sedang melamun dengan pikiran
kosong. Letih sudah ia memikirkan perginya sang suami secara
misterius, bau aneh selendang bekas berdarah di para rumah. la
mengangkat kepala, menajamkan telinga. Hanya kokok ayam yang
terdengar. Tetapi... suara apa itu" Oh lolong anjing dikejauhan. Lirih.
Menyayat tulang. Amalia memperbaiki letak kainnya, lalu
memperhatikan keluar. "Hampir subuh..." gumamnya, lesu. "Kenapa kang Pandi belum
pulang-pulangnya?" la berdiri. bermaksud pergi ke dapur untuk membuat secangkir
kopi kental karena kepalanya sudah mulai terasa pusing. Atau.
barangkali ia lebih membutuhkan sebutir tablet untuk
mengurangi denyut-denyut di belakang kepalanya. la mengurut
jidat kuat-kuat, dan bermaksud mau masuk ke kamar mengambil
tablet dari rak tempat obat-obatan ketika telinganya mendngkap
suara-suara lain. Suara langkah-langkah aneh di luar rumah,
langkah-langkah yang setengah berlari, dan semakin dekat, lari
itu diperlambat, kemudian tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Sepi, mendadak di luar sana. Tak ada suara kaki. Tidak ada kokok
ayam. Tidak juga lolong anjing.
Amalia tertegun sebentar. Lalu:
"Kang" Kang Pandi" Kaukah itu?"
Tidak ada sahutan dari luar.
Tetapi Amalia yakin tadi ia mendengar suara langkah kaki berlari
yang mula-mula cepat kemudian lambat lalu hilang sama sekali.
102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
begitu berada di dekat pintu. Perasaan khawatir tiba-tiba
menjalari kepala Amalia. Kekhawatiran! itu melenyapkan rasa
sakit di benaknya. Dan kekesalan mulai menunggu sekian lama
membuat ia tidak berpikir panjang lagi.
Supandi atau bukan, ia harus melihatnya!
Disambarnya lampu dari atas meja. Nyalanya dibesarkan, sampai
cahayanya cukup terang. Kemudian ia berjalan ke pintu. Mulamula ragu, lalu kepenasaran mendorong kakinya untuk
melangkah lebih cepat dan mantap. Entah mengapa jantungnya
berdebar kencang begitu saja. Mungkin kekhawatiran yang ganjil
itu yang menyebabkannya. Semakin dekat ke pintu, semakin kencang deburan jantungnya
karena... di luar pintu telinganya menangkap suara desah napas
memburu yang berusaha ditahan-tahan.
Kang Pandi. pasti! Amalia menyimpulkan. Mau apa ia
mempermainkan aku" Sebelum membuka pintu, ia angkat lampu minyak di tangannya
tinggi-tinggi. la khawatir, matanya yang tidak begitu jelas melihat
dalam kegelapan. Meskipun memakai kaca mata, tidak akan
bekerja dengan baik tanpa sinar lampu yang berpencar kian
kemari menerangi apa yang ingin dilihatnya dengan sangat
bernafsu! Tanpa memperdulikan datangnya bahaya yang tidak terdugaduga, karena pikirannya hanya tertuju pada perbuatan suami


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dianggapnya sudah melampaui batas. Amalia menyentakkan
daun pintu sekaligus terbuka. Lampu di tangan, ia angkat sampai
melewati bahu. Gerakan yang serba tergesa itu terasa agak
mengilukan tulang-tulang di tubuhnya. Kegelapan di luar rumah
menyambut Amalia. Tetapi hanya sebentar, karena cahaya lampu
telah mengusir kegelapan itu. Namun ia tetap tidak melihat apaapa di luar pintu.
Karena tidak yakin. Amalia melangkah lebih ke depan. Lampu
minyak di tangan, ia tempatkan sejauh panjang lengannya di
103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
depan, sehingga kini bisa melihat lebih nyata dalam remangremang di luar daya jangkau cahaya lampu. Lalu, jantungnya
berdegup lagi ketika pelan-pelan ia mendengar suara langkahlangkah kaki. Datangnya dari samping rumah. la segera berpaling
ke arah datangnya suara itu, dan segera melihat suaminya yang
berwajah kusut masai dan berpakaian cumpang-camping
melangkah keluar dari kegelapan.
Tampaknya ia menjinjing sesuatu di tangannya Amalia mau
bertanya. Tetapi suaminya sudah sedemikian dekat, dan sebelum
Amalia sempat membuka mulut" tangan suaminya pelan-pelan
diangkat ke udara. Dan kini, Amalia melihat sesuatu yang tadi
sempat ia perhatikan sekilas. Mula-mula ia melihat rambut
panjang yang tergenggam di cengkeraman telapak tangan
Supandi. Turun lebih ke bawah. ia melihat dahi manusia yang
kotor dan berlipat- lipat, alis yang tebal, kelopak mata yang
seperti membengkak, hidung yang besar dan keras. tapi yang
berkerut-kerut, bibir yang terkatup rapat. dagu yang
menggantung lemah, leher... bukan, melainkan sebagian dari
leher... dan tidak ada lagi bagian lain di bawah potongan leher itu!
la tersentak mundur seketika.
Dengan mata terbeliak di balik kaca matanya, ia melihat kelopak
mata yang mengemban itu terbuka perlahan-lahan. Kemudian
tampak dua buah bola ntata yang bundar menyinarkan sinar api
merah kebiru-biruan. Sorot mata yang mentakjubkan itu hanya
bersinar sebentar, karena sekonyong-konyong kelopak mata itu
telah mengatup kembali dengan cepat. Lalu tahu-tahu keriput itu
bergerak- gerak seperti menahan sakit.
Amalia gemetar dengan hebat.
Demikian hebatnya, sehinga lampu minyak di tangannya terlepas.
dan jatuh dengan suara ribut ke lantai rumah. Bersamaan dengan
itu, tubuh Amalia limbung lalu ia terjerembab jatuh seperti lampu
tadi. Pingsan seketika itu juga. Di dekat kakinya, lampu yang
pecah itu membersitkan nyala yang lebih besar dengan suara
bersiut ketika menjilat minyak yang tertumpah. Namun rupanya
104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia terlupa untuk mengisi lampu itu selama menunggu
dengan sabar sampai suaminya pulang.
Kobaran api sudah hampir mencapai kainnya yang tersingkap,
waktu nyala api itu tiba-tiba surut, kemudian mengecil dan
semakin kecil... *** KELETIHAN dan rasa sakit-sakit akibat berlari menempuh
perjalanan jauh dan berat dengan kaki telanjang seketika lenyap
dari perasaan Supandi waktu lewat ventilasi jendela dan pintu
rumah bagian depan ia melihat cahaya lampu menerobos ke luar.
la segera memperlambat larinya, kemudian berjalan tersuruksuruk mendekat. Otaknya bekerja dengan keras memikirkan
kejadian yang tidak diduganya itu. Meskipun benaknya beku oleh
kehampaan di luar kemampuannya, namun ia masih mampu
untuk menyimpulkan bahwa Amalia telah terbangun dari kini
sedang menunggunya. Benar saja, lamat-lamat telinganya mendengar suara Amalia
memanggil namanya. Langkahnya terhenti seketika, lalu nalurinya menyentuh
menyingkir ke samping rumah. la mendengar suara pintu dibuka,
lalu melihat sinar terang dari lampu yang dipegang isterinya.
Panik mencekam diri Supandi. Sebentar cuma. Karena otaknya
tiba-tiba berdenyut. dan sentuhan suara gaib itu mendengung
dengan dahsyat: "Bodohl Apa yang kau takutkan" Datangi dia!"
Bagai kerbau dicocok hidung, Supandi menurut. la keluar dari
kegelapan disertai hati nurani yang menjerit-jerit
memperingatkan agar isterinya segera masuk ke rumah dan
menutupkan pintu. Tetapi tiada suara yang keluar dari mulutnya
dan sebaliknya. justru Amalia melangkah lebih ke depan. Perintah
yang berbau amarah seketika menggerakkan tangan Supandi
105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang lunglai. la angkat batok kepala yang terjinjing di tangannya,
sebagaimana yang biasa ia lakukan.
Lalu, terjadilah peristiwa mentakjubkan itu. Amalia terbelalak di
balik kaca matanya. Dan otak Supandi berdenyut mendengar
suara lirih dan kesakitan yang sayup-sayup, kemudian perintah
yang sama sekali diluar dugaannya:
"Terkutuk ! Mata... perempuan itu... berkilau... mata apa itu... aduh,
sakit... sakit kepalaku. Jauhkan aku dari sini. Jauhkan aku dari
perempuan ajaib ini, jauhkan..."
Selama beberapa detik. pikiran Supandi yang terasa sedikit ringan
karena pengaruh kesakitan yang dialami batok kepala di
tangannya, dapat bekerja dengan baik. la sadar, sinar mata
mahluk itu berusaha menghipnotis Amalia, seperti ia
menghipnotis korhan-korbannya yang lain, termasuk Supandi
sendiri. Tetapi letak sinar lampu yang mengantarai tiga pasang
mata yang saling beradu pandang itu, telah menimbulkan
pantulan cahaya dipermukaan gelas kaca mata Amalia, dan
sekaligus telah memantulkan kembali secarik merah kebiru-biru
yang mengerikan itu! Supandi terjengah ketika melihat Amalia jatuh pingsan, dan nyala
api dari lampu yang pecah tiba-tiba berkobar. Bathinnya
berperang, untuk menuruti kata hati menolong isteri, dan
menuruti perintah gaib dari "majikan"nya yang tidak mau
dibantah itu. Ketika melihat ke arah isterinya, mengetahui nyala api di dekat
kaki Amalia tahu-tahu saja telah mengecil dengan sendirinya. Dan
sebelum padam sama sekali, kemurkaan mahluk mengerikan
yang terjinjing di tangannya itu segera menerpa otaknya: "Kau,
budak hina! Dengar apa yang kubilang" Pergi dari sini... pergi...!"
Tanpa berpikir panjang lagi. Supandi segera memutar tubuh lalu
berlari menjauh, menghilang dalam kegelapan. la berlari. Terus
berlari tanpa tujuan. Otaknya tidak pula mendapat tuntutan.
Rupanya mahluk di tangannya masih kesakitan oleh sinar pantul
yang membalik itu. la terus saja berlari tanpa rasa letih dan sakit
106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
oleh kesadaran bahwa isterinya selamat. Namun diam-diam ia
merasa cemas. Amalia kini sudah tahu apa yang terjadi pada
Supandi. Dan Supandi sendiri, tidak sanggup untuk melepaskan
diri dari mahluk itu. Sekarang pun, sempat terniat di benaknya untuk membuang
bahkan menghempaskan kepala itu sampai berantakan ke tanah
berbatu-batu, selama kepala itu merasa sakit alang kepalang.
Namun, baru juga niat itu muncul, otaknya seperti rekah.
"Jahanam! Kurengkah kepalamu, kalau kau berani berbuat yang
tidak-tidak...!" Dan tahu-tahu saja berlari itu, tangannya terangkat oleh kekuatan
gaib ke atas, dan wajah menakutkan itu telah berada di depan
wajahnya. Sinar mata yang merah kebiru-biruan itu berpencaran
ke luar menerpa dengan cepat dan dahsyat. Sehingga otak
Supandi menjadi beku seketika ia tidak teringat lagi pada niat
yang sempat ia pikirkan. Tidak teringat Amalia, bahkan sama
sekali tidak ingat siapa dirinya. Apa yang ia lakukan, bahkan
mahluk jenis apa dirinya yang sebenarnya...!
la tidak merasakan kakinya yang bergerak berlari, menjauh dari
kampung halamannya. *** AMALIA sadar dari pingsannya dalam keadaan masih pening di
lantai. Tetapi kini ia tidak sendirian. Seseorang sedang bersimpuh
di dekatnya, berusaha menciumkan rempah-rempah berbau
tajam ke hidung Amalia untuk menyadarkannya. Samar-samar
Amalia memperhatikan siapa orang itu, setelah ia berhasil
memusatkan perhatian pada keadaan yang telah menimpa
dirinya. Cuaca pagi di luar yang sudah terang-terang ayam membantu
pandangan matanya. Lalu kini, dengan terkejut. Ia menyadari
siapa yang asing baginya itu: nenek Ijah!
107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perempuan tua renta itu menggerakkan bibirnya yang keriput.
"Bangun, cucuku... Mari kubantu kau naik ketempat tidurmu..."
Amalia berusaha bangkit, dibantu oleh perempuan tua renta itu.
Tetapi ia tidak bernapsu masuk ke kamar tidur, melainkan duduk
menghenyakkan pantat di kursi yang terdekat. Memejamkan
mata sebentar, kemudian membukanya kembali lebar-lebar,
untuk menyakinkan bahwa apa yang ia alami adalah kehidupan
nyata. Bukan impian yang menakutkan. Alangkah senangnya.
kalau kedua keadaan yang saling bertentangan itu, terbalik
adanya! "Apa yang terjadi, cucuku?"
Amalia memperhatikan perempuan tua renta yang kini ikut
duduk di sampingnya seraya mengusap rambut Amalia dan
memandangnya dengan sinar mata yang lembut dan penuh kasih
sayang. Alangkah berbeda jauh dengan apa yang digembargemborkan orang kampung selama ia tinggal di kampung ini:
jauhi nenek Ijah. la perempuan sinting yang aneh dan
membahayakan! Ta'jub Amalia bertanya. Lemah: "Mengapa nenek
ada disini?" "Ah. nanti saja kuceritakan!" perempuan itu tersenyum. "lebih
baik kau ceritakan apa yang telah terjadi."
Amalia gemetar dan pucat ketika teringat apa yang ia alami.
Terbata-bata. dengan suara setengah menangis sambil sesekali
menangkupkan wajah di kedua telapak tangan, ia menceritakan
keanehan-keanehan yang terjadi di rumahnya, sikap Supandi
yang asing dan berakhir dengan peristiwa menjelang subuh yang
mengerikan itu. Ketika ia selesai bercerita, ia benar-benar menangis terisak-isak.
Nenek Ijah memeluknya, membelai rambutnya. membujuknya
seperti membujuk anak kecil.
"Cup, cucuku yang manis. Diamlah. Nenek ada di sampingmu.
Nenek akan membantu..."
108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Amalia mengangkat wajah, la merasa akrab dengan perempuan
itu, dan memperhatikan wajah tua renta yang keriput namun
ramah-tamah. Selagi ia bercerita, ia sempat melihat beberapa kali
wajah nenek Ijah berubah, dan sepasang matanya berkilat-kiiat
ganjil. Menghadapi pandangan Amalia yang penuh tanda tanya,
berubah wajah dan sinar mata perempuan itu menjadi lembut
kembali. la berkata: "Aku sudah menduga, semua ini akan terjadi."
"Tetapi nek..." Amalia tak meneruskan ucapannya, oleh karena
ta'jub yang semakin menggebu.
"Diamlah Aku harus mencarikan sesuatu untuk mencegah
timbulnya bencana yang lebih dahsyat!" Nenek Ijah, tertimpangtimpang kemudian bangkit dari kursi. la bersimpuh di lantai.
Tangannya bersidekap ke dadanya yang kerempeng rata.
Kepalanya tertengadah menatap ke luar pintu, jauh-jauh, teramat
jauh. Kemudian bibirnya komat-kamit. Lalu tubuhnya terguncang
keras. Bersamaan dengan terpejamnya sepasang mata tuanya. Lalu,
suara yang lebih keras dan jelas terdengar dari mulutnya: "Tarjo.
Aku tahu kau akan kembali. Pulanglah! Aku menunggumu. Sudah
lama aku merindukanmu. Tarjo, pulang, kubilang. Jangan
membantah... demi nama baik keluarga dan adik yang
mencintaimu. Pulanglah...?"
Keringat sebesar butir-butir jagung membersit dari kulit muka
nenek Ijah. ketika ia kemudian melepas keluhan panjang lalu
berpaling ke arah Amalia.
"Kita harus melakukan sesuatu!" Ia pandangi Amalia sebentar,
lalu. "Aku tahu kau tak akan mau... mintalah bantuan seseorang,
Seseorang yang bisa kau percayai dan kau tahu, iman dan
bathinnya cukup berpengaruh!"
Amalia ternganga. Bengong...
*** 109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
JAYUSMAN manggut-manggut selama Amalia bercerita di
hadapannya. Laki-laki tua itu sudah berumur hampir enam puluh
tahun, tetapi tubuhnya masih tampak kekar berisi. Wajahnya
berseri dan sinar matanya jernih, sehingga memberi kepercayaan
pada orang yang melihat. Beberapa kali raut wajahnya yang
berkeriput halus itu berubah. Beberapa kali pula mulutnya
mengucapkan istigfar. Akibatnya, setelah Amalia berhenti
bercerita dan tinggal isak tangisnya yang terputus-putus.
Jayusman bergumam: "Andai saja aku tidak pernah mendengar
kisah-kisah buhun itu..." ia geleng-geleng kepala, memperlihatkan
rasa takjub. "Maka aku tidak akan percaya dengan apa yang kau
ceritakan. Hem..." ia berpikir keras, lama. Kemudian, kembali
matanya bersinar. Lewat jendela samping. Ia memandang ke arah
tanah galian bekas sumur yang sudah tertimbun di tanah longsor
itu. Katanya, seperti pada diri sendiri: "Baru mengerti aku
sekarang. Apa yang menyebabkan Asmita sakit, dan jadi lumpuh
kemudian mati." Kembali ia geleng-geleng kepala, memandang wajah Amalia
dengan penuh haru. "Aku sudah berulang kali memperingatkan
Supandi, agar menghentikan saja usahanya menggali sumur itu....
Hem... Jadi itulah sebabnya di sekitar rumah kita sering tak berair.
Rupanya tanah di situ menyimpan benda terkutuk. Tahukah kau
apa yang menjadi pikiranku setelah mendengar Ceritamu, Liah?"
Amalia geleng-geleng kepala. Isak tagisnya mulai reda.
"Sumur yang longsor itu. Pernah ada mata air yang subur di
dalamnya. Tetapi selama sekian puluh tahun, telah tersumbat
oleh sesuatu. Sesuatu itu adalah batok kepala Tarjo. Dengan
kekuatan ilmunya ia berusaha agar mata air itu tidak mencari
jalan keluar yang lain. Dengan demikian bentuk kepala dan
tubuhnya tidak akan musnah, berkat pembekuan oleh air... Bisa
kubayangkan, betapa hebat ilmu orang itu dulunya, selagi
tubuhnya masih utuh." Jayusman menarik napas panjang.
Berulang-ulang. "Jadi. kau bilang nenek Ijah yakin bagian kepala
dari tubuh adiknya itu akan dibawa Supandi ke rumah mereka di
gunung?" 110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"la yakin, pak. Katanya, karena mahluk mengerikan itu merasa
bertemu rintangan setelah gagal mempengaruhi diriku. la akan
melaksanakan usahanya yang terakhir, yang bila berhasil akan
menimbulkan bencana besar..."
"Bencana besar?" Jayusman mengelus janggutnya yang putih.
"Bencana apakah itu?"
"Kata nenek Ijah, nanti saja ia ceritakan selama di jalan."
"Hem... Dan kau memaksa untuk ikut?"
"Aku harus menyelamatkan suamiku."
"Tetapi..." Jayusman tidak meneruskan kata-katanya. Setelah


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat ketetapan hati dalam sinar mata Amalia Setelah berpikir
sejenak, ia berucap: "Baiklah. Akan kupinjam salah seekor kuda
milik pak lurah untuk kau tunggangi."
*** Matahari pagi sudah muncul di ufuk timur. Ketika rombongan
kecil yang aneh itu meninggalkan kampung, diiringi pandangan
mata beberapa orang penduduk yang terheran-heran. Betapa
tidak. Hanya seorang yang duduk di punggung kuda berpelana itu.
Yakni Amalia. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki, akan
tetapi bukan suaminya sendiri. melainkan pak Jayusman.
Di sebelah laki-laki berumur itu, berjalan timpang-timpang nenek
Ijah yang selama ini tidak pernah berteman dengan siapapun,
kemana pun ia berkelana. Wajah ketiga orang itu sukar
digambarkan. Orang yang menyapa hanya di sahuti mereka
dengan anggukan atau senyum. Tetapi tidak seorangpun yang
menjawab apabila ada yang bertanya. Mau ke mana rombongan
kecil itu pergi" Dalam perjalanan, nenek Ijah bercerita sangat banyak. Suaranya
jelas, dan kalau ada yang menyahuti atau bertanya, ia
mendengarnya sama jelas. Matanya demikian pula, memandang
111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
segala sesuatu tanpa mengalami gangguan, sehingga Amalia yang
masih muda belia namun sudah mengenakan kaca mata minus
satu cemburu juga dibuatnya. Padahal nenek Ijah, setahunya
sudah berumur hampir seratus tahun.
"Semedi, cucuku." la menyempatkan diri menjawab pertanyaan
yang diajukan Amalia, mengapa seumur itu ia masih kuat
berjalan, meski dengan kaki timpang karena kecil sebelah. "Aku
dan Tarjo sama- sama mewarisi ilmu leluhur. Dan kami tidak
menyia-nyiakannya. Kami mempertebalnya dengan bertapa,
bertapa, bertapa... tentu saja, juga dengan mengatur apa saja yang
boleh kita makan, apa yang tidak, kapan kita harus tidur, kapan
harus berkelana.." "Kudengar Tarjo itu kebal," jayusman menyentak.
Nenek Ijah manggut-manggut, dan terbungkuk-bungkuk ketika
mulai mendaki bukit. Menurut ceritanya. Tarjo mendapat ilmu
kebal itu hanya beberapa tahun sebelum kematiannya yang naas.
la bertapa dengan seorang temannya semenjak kecil, bernama
Pariman. Di permulaan tapa itu, mereka sudah mendengar suara
gaib yang mengatakan sejumlah syarat yang harus mereka
penuhi. Dan diperingatkan akan sebuah pantangan yang bila
dilanggar, kelak akan melenyapkan ilmu kebal yang mereka
miliki. Pantangan berbunyi; "Terlarang bersatu darah dengan
orang seketurunan." Tanpa penjelasan yang lebih lanjut.
"Karena urusan perempuan, Tarjo dan Pariman kemudian
berpisah jalan." kata nenek ljah, seraya terbatuk-batuk kecil, dan
berhenti sebentar untuk mengambil napas. Setelah meneruskan
perjalanan, iapun meneruskan ceritanya.
"Pariman dan Tarjo sama-sama jatuh cinta pada isteri seorang
opsir Belanda yang setelah memperoleh anak satu dari isterinya,
impotent akibat bertempur sebagai seorang serdadu. Juragan
Ningrum, isterinya yang manik jelita, bunga desa yang diidamkan
setiap lelaki. melampiaskan kesepiannya dengan mulai melirik ke
arah laki-laki lain. Lirikannya jatuh pada Tarjo. Pariman tahu akan
hal itu. la sangat kecewa. dan mulai dengki pada teman karibnya
112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu. Lama ia memikirkan jalan. Dan ketika mereka berdua bertapa,
ia melaksanakan tapa brata itu tidak sepenuh hati, karena
pikirannya lebih banyak tertuju pada juragan Ningrum. Akhirnya
ia memutuskan untuk melamar jadi pengawal keluarga opsir
Belanda itu," ujar nenek Ijah seraya geleng-geleng kepala, sambil
kembali berhenti untuk mengatur napas.
Rupanya, betapapun tinggi ilmu yang ia miliki ternyata kodrat
alam tidak bisa ia lawan. Usianya yang sudah tua, sedikit demi
sedikit menggerogoti kekuatan phisiknya.
"Kudengar ia kemudian kawin dengan isteri Belanda itu."
"Tepatnya, janda Belanda itu," Menegaskan nenek Ijah, seraya
mengajak mereka berjalan kembali. Kuda yang ditunggangi
Amalia basah kuyup sekujur tubuhnya, dipanggang matahari yang
terik. Moncongnya mendengus-dengus keras, tetapi kuda itu terus
berjalan dengan tegap. Betapapun jinaknya, kuda itu benar
seperti yang dikatakan pak jayusman kuda pak lurah yang
terbaik. Apalagi, hanya berjalan perlahan-lahan saja. Berpacupun,
berhari-hari kuda itu sanggup tak berhenti.
Nenek Ijah kemudian menceritakan bagaimana cinta kasih
juragan Ningrum membuatnya jatuh sakit sehingga sejumlah
dukun, banyak obat-obatan dari yang termodern ketika itu,
sampai yang paling tradisionil diusahakan oleh suaminya sedapat
mungkin. Tetapi tidak ada yang berhasil menyembuhkannya.
Dalam kepanikan sang opsir, ajudan kepercayaannya, Pariman,
akhirnya dengan berat hati menyebut nama Tarjo.
Saudara satu-satunya dari nenek Ijah itu, kemudian dipanggil.
Juragan Ningrum sembuh seketika. Rupanya apa yang ia derita,
adalah sakit rindu dendam. Pariman menyadari hal itu. la menjadi
sakit hati, dan kedengkiannya kian menjadi-jadi. la mulai
Intimidasi majikannya, setelah mengetahui juragan Ningrum
tidak bisa melupakan Tarjo dalam hatinya. Hasutan itulah yang
menyebabkan opsir itu mendatangi Tarjo. menembaknya. Tetapi
peluru itu mental, dan kembali ke si alamat. Langsung menembus
jantung opsir yang memegang pistol.
113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Karena tidak banyak darah yang keluar. Pariman kemudian
menelurkan fitnah bahwa majikannya mati diteluh oleh Tarjo.
Mula-mula juragan Ningrum tidak percaya. Tetapi Pariman
menempuh jalan lain. Dengan bantuan seorang dukun sakti yang
entah di mana ia temukan, ia berhasil meneluh anak tunggal
juragan Ningrum. sehingga diketemukan mati membusuk tanpa
sebab di atas tempat tidurnya.
Kali ini, juragan Ningrum percaya, bahwa semua itu perbuatan
Tarjo. sebagai balas dendam karena ia mau ditembak suaminya.
Pariman menitipkan pula kabar angin yang mengatakan, bahwa
Tarjo hanya pura-pura mencintai juragan Ningrum. untuk
memiliki harta karun yang ia miliki sebagai warisan dari
suaminya bila meninggal kelak kemudian hari. Oleh karena itulah,
anak mereka pun harus dibunuh, agar tidak ada pewaris yang
lain. Kalau juragan Ningrum kelak mati -tentu saja akan cepat
terjadi- karena diteluh. maka Tarjo akan menjadi pewaris tunggal.
Fitnah yang busuk itu. sebenarnya justeru lebih tepat ditujukan
pada Pariman sendiri, bukan pada Tarjo. Tetapi juragan Ningrum
yang sedang kalut pikirannya, tidak mau lagi mempergunakan
pikiran sehat. Setelah masa berkabungnya lewat beberapa waktu,
ia menerima uluran tangan Pariman, dan menikah dengannya.
Selama beberapa bulan, mereka tampak berbahagia. Tetapi. lama
kelamaan, hati kecil juragan Ningrum memprotes. Ada yang tidak
beres dalam sikap kemaruk suaminya yang kedua itu. Cintanya
yang demikian dalam pada Tarjo, akhirnya bernyala kembali.
Diam-diam ia mendatangi seorang ahli kebathinan, yang
menerangkan bahwa kematian suami pertama dan anak yang ia
peroleh dari suaminya itu, oleh orang yang paling dekat dan
hidup satu ranjang dengannya. Dia yang menjadi sumber
malapetaka. Belakangan, perbuatan isterinya itu diketahui Pariman. la sangat
marah dan mengancam akan membunuh juragan Ningrum
dengan lebih dahulu membuatnya menderita teramat sangat.
Kalau masih terus memikirkan Tarjo. Juragan Ningrum sangat
114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
takut. la berusaha melupakan Tarjo, membuangnya jauh-jauh dari
pikirannya. Tetapi gagal. Perkawinan mereka mulai retak. dan
hanya karena anak yang berada dalam kandungannya yang
menyebabkan juragan Ningrum berusaha untuk tetap hidup.
Tetapi begitu anak itu lahir dan berhenti menyusu, ia langsung
bunuh diri dengan mempergunakan pistol yang pernah mencabut
nyawa suami pertamanya. Hartanya yang berlimpah hanya sebentar membahagiakan
Pariman. Karena jauh di dasar hatinya, ia tetap mencintai juragan
Ningrum, dan tidak pernah berhasil mengalihkan cintanya itu
pada perempuan. Kenyataan itu membuatnya bukan menjadi
sadar, malah menjadi sangat sakit hati. Dan orang yang lupa diri
tidak pernah melihat kesalahan sendiri. Segala kesalahan, pasti
dilimpahkan pada orang lain. Dan Pariman menimpakan
kesalahan itu kealamat Tarjo. la ingin melampiaskan sakit
hatinya, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Akhirnya ia pergi
menemui dukun sakti yang sering membantunya untuk minta
petunjuk. Dan begitulah. Suatu hari, Tarjo merasakan sesuatu yang asing tengah
mengganggu rumah mereka. la mengutarakan hal itu pada Ijah,
tetapi adiknya tidak dapat menduga apa gerangan yang
mengganggu itu. Namun ada sesuatu yang terjadi di antara
mereka. Tiap kali mereka beradu pandang tiap kali pula mereka
merasakan sesuatu yang ganjil dalam diri masing-masing.
Tarjo mengkhayalkan dirinya yang selalu gagal atau ditolak
perempuan, sebaliknya Ijah lebih menderita lagi. Desas-desus
buruk mengenai keluarganya, ditambah kakinya yang timpang,
lagi pula tidak termasuk cantik menyebabkan tak seorangpun
lelaki yang pernah memandang sebelah mata padanya.
"Celaka...!" desis Tarjo hari itu. "Aku sudah mulai mengerti. Ada
yang berusaha untuk memperalat kita berdua?"
Ia kemudian mengajak Ijah untuk sama-sama bersemedi melawan
apa yang mengancam tanpa kelihatan wujudnya itu. Merasa
115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
demikian dekatnya sumber bala itu, menyebabkan mereka
merumuskan untuk bersemedi di tempat di mana mereka teringat
untuk melakukannya. ltulah letak kesalahan yang mereka
perbuat. Seharusnya Ijah bersemedi di kamarnya. dan Tarjo di luar rumah.
Yang mereka lakukan, justeru bersemedi sambil duduk bersila.
Berhadap-hadapan. Demikian dekat, sehingga mereka bisa saling
jamah, bahkan napas mereka bisa saling beradu. Dan bau asing itu
menyengat lebih keras, semakin keras, sehingga mereka tidak
bisa lagi menghindar. Pada saat pertama kali mereka beradu pandang, timbullah rasa
sayang yang aneh dalam diri masing-masing. Bukan sayang
sesama saudara, melainkan sayang seorang laki-laki yang
kesepian kepada seorang perempuan yang rindu jamahan lelaki.
Begitu pula sebaliknya. Betapapun mereka mengerahkan
kekuatan batin untuk tetap diam di tempat masing-masing.
Tarikan sinar mata mereka yang beradu. bekerja lebih kuat.
Akhirnya mereka saling berpegangan tangan, saling menuntun
untuk berdiri, kemudian jalan berbimbingan ke kamar tidur.
Maka. apa yang tidak pernah mereka impikan, terjadilah malam
itu juga... "Terkutuk! Terkutuk benar..." umpat nenek Ijah, berulang-ulang,
dengan kulit muka yang merah. Entah karena malu, entah karena
marah. "Semua ini kuceritakan pada kalian, agar kalian
mengetahui bagaimana kejadian yang sebenarnya dan mengapa
semuanya jadi begini!"
Tanpa terasa. matahari telah mulai beralih ke Barat.
"Aku letih..." bisik Amalia.
Jayusman membantunya turun dari kuda, dan kemudian mereka
bertiga beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang lama
mereka tidak saling berbicara, terpengaruh oleh pikiran masingmasing. Amalia mengeluarkan sedikit bekal yang ia bawa dari
rumah. la dan pak jayusman melahapnya sampai habis.
116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sedangkan nenek Ijah hanya meminta secangkir air. Ketika
minum, pandangannya tertuju padai sebuah perkampungan, nun
jauh di lembah, di antara bukit bukit dan sawah, terlindung di
balik pohon yang rimbun. "Di sana...." ia tiba-tiba berkata. "Tiga hari yang lalu terjadi
kegemparan. Seorang perempuan bunting tua, diketemukan mati
dengan tubuh mengering tanpa darah, dan bayinya telah keluar
tanpa nyawa, juga tanpa darah. Suaminya menjadi gila..."
"Oh ya?" jayusman mengerutkan dahi. "Baru kudengar hal itu.
Apakah... karena perbuatan setan?"
Nenek Ijah menatap pak Jayusman sebentar. Lalu: "Perbuatan
terkutuk, kukira. Dan aku khawatir, akan lebih banyak perbuatanperbuatan terkutuk yang akan segera terjadi..."
*** APA yang diucapkan nenek Ijah, segera menjadi kenyataan. Baru
saja mereka menuruni bukit, mereka telah melihat sejumlah
orang bergegas menuju suatu tempat. Wajah-wajah mereka
menimbulkan kecurigaan nenek Ijah sehingga ia menyuruh
Jayusman agar bertanya pada salah seorang di antara mereka. Pak
jayusman bertanya dengan seorang laki-laki yang berkain sarung
dan berselempangkan selendang di bahu. Orang itu memandang
sebentar ke arah nenek Ijah dan Amalia yang menunggu di
kejauhan, dan kemudian pergi mengikuti teman-temannya.
Pak jayusman kembali untuk memberi laporan. "Sepasang suami
isteri yang sedang menjalani 'liburan', ia menyebutkan nama
kampung dan mengarahkan jari telunjuknya ke puncak sebuah
bukit. Di sana, mereka ditemukan mati dengan cara yang
mengerikan," ia memandang sebentar pada Amalia, karena
khawatir kisah yang ia dengar bisa membuat shock perempuan
muda itu. 117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tetapi nenek Ijah mendesak: "Katakan saja. Supaya Liah tahu,
betapa mengerikan hal-hal yang bakal kita hadapi!"
Dengan berat hati, Jayusman menceritakan apa yang ia dengar.
Suami isteri itu baru tiga hari datang dari kota. Rumah tua di
puncak bukit itu, dan sejumlah tanah sawah serta perkebunan di
sekitarnya, adalah warisan yang diperoleh si suami - seorang
sarjana antropologi, ia menerangkan maksud antropologi itu pada
nenek Ijah - karena Amalia tahu apa yang dimaksud.
Dua hari pertama tidak terjadi sesuatu apa. Tetapi pada malam
ketiga, terjadilah peristiwa yang membuat pingsan isteri dan
salah seorang pembantu yang selalu menjaga rumah itu. Majikan
perempuan mereka, di ketemukan di lantai ruang bawah tanah
dengan pedang menembus jantung. Mati. Lebih mengerikan lagi,
di tempat tidur mereka di ruang atas, sarjana itu juga
diketemukan sudah mati dengan badan dan kepalanya terpisah
oleh letusan pedang! Amalia menggigil. Pucat pasi seketika, gemetar mendengar kisah
itu. Tiba-tiba, terlintas di benaknya peristiwa yang ia alami subuh
tadi. Apakah kepala yang ia lihat itu yang... ia menggigil lagi, lebih
hebat. Dan apakah suaminya terlibat dalam pembunuhan yang
mengerikan itu" Nenek Ijah memandangi Amalia, wajahnya tampak mengeras.
Matanya berkilat. Ganjil. "Tenang, cucuku," la berbisik, parau.
"Bukan suamimu yang melakukannya..." tetapi... ia mengurut dada
diulang-ulang, kemudian mengeluh panjang. Ujarnya. lirih dan
ketakutan: "Bencana. Bencana itu sudah dimulai. Aku sangat


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakin. Dan kalau kita tidak segera menghentikannya...." la tidak
meneruskan ucapannya, melainkan melanjutkan langkahlangkahnya. Kali ini lebih cepat, meskipun tampak dadanya yang
kerempeng itu bergerak-gerak tidak teratur dan nafasnya
memburu kencang, "Hayo, cepatlah. Kita harus sampai di rumah
sebelum tengah malam!"
Amalia memandang ke langit, matahari telah condong di ufuk
Barat. Berapa jauh lagikah perjalanan mereka" Dan apa yang akan
118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terjadi tengah malam nanti" Bagaimana pula dengan suaminya.
Supandi" Dengan penuh harap, ia berkali-kali memandang ke
arah nenek Ijah yang berjalan bergegas di samping kuda yang
ditunggangi Amalia. Harapannya rupanya diketahui perempuan
tua renta yang luar biasa itu, yang segera melanjutkan kisahnya
yang tadi terputus. Dengan dibuka oleh sebuah kisah sampingan sebagai pendahulu:
"Rumah di puncak bukit sana," ia menunjuk ke arah mana orangorang tadi menuju. "Adalah rumah peninggalan juragan
Ningrum..." Amalia terpana. Pak Jayusman mengelus janggut, seraya mulutnya komat-kamit.
"Dari apa yang kudengar, si suami yang mati itu tentulah salah
seorang keturunan langsung juragan Ningrum dari
pernikahannya dengan Pariman! Tarjo sudah membalaskan
dendamnya. Tarjo sudah memulai bencana yang pernah ia
janjikan....!" Janji yang lebih tepat dikatakan sumpah itu, terjadi pada malam
naas yang menimpa nenek Ijah dan saudara laki-lakinya, Tarjo.
Baru saja mereka tersadar bahwa mereka telah melakukan
perbuatan terkutuk, di luar rumah terdengar suara tertawa
ngakak seorang laki-laki. Ijah merasa seram mendengar suara itu.
Akan halnya Tarjo, wajahnya merah padam, cuping telinganya
sampai merah kehitam-hitaman. Butir-butir keringat merembes
dari seluruh pori- pori kulitnya.
"Si Pariman jahanam itu," ia memaki. "Dialah penyebab semua
ini!" Lalu. Tarjo mulai mengumpulkan kekuatan bathinnya, bersemedi
sampai tubuhnya tergoncang-goncang. Dan bukan saja keringat
air, tetapi juga keringat darah sampai keluar dari sebagian
tubuhnya, saking kuatnya mengerahkan- kekuatan bathin.
Sementara itu, dari luar Ijah mendengar suara tertawa yang
119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sangat ia kenal dan yang kemudian berkata dengan penuh
perasaan puas. "Kau telah melanggar pantangan. Tarjo. Kau telah menyetubuhi
adik perempuanmu. Kau telah mempersatukan darah dari orang
seketurunan... hahaha. Tarjo, kini kau tak akan dapat melepaskan
diri dari pembalasanku!"
Baik Tarjo maupun Ijah, memang sama mengerahkan tenaga
bathin pula. "Jahanam kau manusia busuk," maki Tarjo.
"Tak usah mengomel. Tarjo. Keluarlah. Kita berperang tanding!"
Pariman menantang. Dalam kemarahannya. Tarjo tidak bisa lagi menahan diri. la
menerjang ke luar dan segera berhadapan tidak saja dengan
pariman, tetapi juga dengan beberapa orang laki-laki lainnya.
Mereka di kenali Tarjo sebagai orang-orang yang membencinya,
termasuk pengawas perkebunan karet yang telah menjinahi
Ningsih, dan yang dengan bantuan orang-orangnya, telah pernah
menurunkan tangan pada Tarjo. Kini mereka bersatu, untuk
memusnahkan satu-satunya orang yang tahu belang mereka
sesungguhnya. Tarjo keburu nafsu. "Katanya kulitmu kebal. Tarjo. Kok, tak lebih keras dari kulit
pisang?" Mereka kembali mengerubuti Tarjo dan kembali Tarjo
tergelimpang. Ijah berlari-lari mendapatkan saudaranya,
memeluknya menangisinya, dan menyumpah-nyumpahi orangorang yang melukainya. Mereka menjawab dengan nada
menghina perbuatan terkutuk yang telah diperbuat dua
bersaudara itu. Bahkan mengejek keburukan rupa dan cacat
phisik Ijah. Tak terperikan marah Ijah mendengarnya.
"Tenang. adikku," lamat-lamat ia dengar bisikan Tarjo. "Sudah
masih kita begini. Mungkin ini malam naasku. Tetapi aku tidak
120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akan menyerah. Bila aku mati, percayalah.. roh dan jasadku akan
hidup kembali. Dan aku akan membalaskan sakit hatimu dan
hatiku, membalasnya dengan lebih mengerikan..."
la masih mengucapkan sejumlah kata-kata yang lain, yang hampir
tidak seluruhnya tertangkap oleh telinga Ijah yang panas
membara oleh hawa amarah. Kemudian orang-orang itu mengikat
tangan Tarjo, menyeretnya meninggalkan kampung. Hujan turun
deras ketika mereka pergi, dan tak lama kemudian badai melanda
desa... *** ESOK harinya. Ijah menemukan batang tubuh saudaranya
dipuncak sebuah bukit gundul. Batang tubuh itu tanpa kepala...
"Mayat tanpa kepala itu kubawa pulang, kutanam di halaman
rumah, dan menangisinya hampir sepanjang tahun...!" ujar nenek
Ijah lirih, dengan nafas tersengal-sengal.
Bergidik bulu kuduk Amalia mendengarnya. Dan gemetar
tubuhnya, waktu nenek ljah melanjutkan: "Dan selama sekian
puluh tahun pula, aku mencari-cari di mana kiranya kepala Tarjo
berada. Pencarianku sia-sia. Dan baru beberapa hari yang lalu,
bathinku membisikkan, bahwa apa yang kucari akan segera
kutemukan. Langkahku membawaku langsung ke sebuah tempat.
Yakni, ke sumur yang sedang digali suamimu, cucuku...." ia
menatap Amalia, dan dalam keremangan senja, tampak
perempuan tua itu sangat menderita.
Setelah itu, mereka berjalan dengan berdiam diri.
Apa yang diceritakan nenek Ijah sangat mengganggu pikiran
Jayusman, dan menimbulkan rasa takut yang tidak tertahankan
dalam diri Amalia. Kalau saja tiada kedua orang itu di dekatnya.
dan kalau saja ia tidak teringat akan nasib suaminya, maulah
rasanya ia segera memutar kudanya, lalu tanpa malu-malu lagi
berpacu untuk pulang! 121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hem..." Pak Jayusman mengambil tali kekang kuda,
menuntunnya mengikuti nenek Ijah yang berjalan di depan,
menembus kegelapan hutan yang mereka lalui. Bersama malam
yang telah tiba. Berulang kali kata "Hem," itu lepas dari mulutnya,
dan dalam kegelapan yang sesekali diterangi oleh rembulan
empat belas itu. Amalia melihat pak jayusman tidak hentihentinya mengelus jengot.
"Nek Ijah..." pak Jayusman setengah berseru tiba-tiba
mengejutkan tidak saja Amalia, tetapi juga kuda yang
ditungganginya. "Heh?" nenek Ijah terus berjalan, menyahut tanpa menoleh.
"... kau katakan, bencana-bencana yang lebih hebat bakal terjadi.
Dan kita harus menghentikannya. Tetapi... bagaimana kau tahu
dan begitu yakin semua itu akan terjadi?"
Nenek Ijah terbatuk-batuk sebentar, sebelum menjawab: "Selama
sekian puluh tahun," ia senantiasa ingat janji yang diucapkan
saudaranya. Tarjo. Dan lama kelamaan, iapun ingat perkataan lain
yang waktu itu tidak begitu ia perhatikan benar. "Tarjo
mengatakan, ia akan bangkit kembali dari kuburnya. la akan
mencari seorang mahluk manusia, untuk bertukar jasad, dengan
siapa ia kemudian akan lebih leluasa melampiaskan dendamnya....
kukira, jasad suamimu yang segera akan ia pakai!" cetus nenek
Ijah dengan suara serak. Hampir menjerit Amalia mendengarnya. Tetapi lidahnya kelu.
Pembuluh darahnya tertegun-tegun, dan jantungnya seperti
malas bekerja, ia menghirup udara malam yang agak pengap di
tengah hutan itu. Berulang-ulang, dan berusaha menggerakgerakkan persendian tubuhny a untuk mendapatkan kekuatan
mental dan phisiknya yang sempat terbang melayang.
Lama mereka saling berdiri.
Dan kembali pak jayusman yang memecahkan kesepian: "Tetapi
nek... mengapa tiba-tiba kau tidak ingin saudaramu membalaskan
sakit hati kalian berdua?"
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jawab yang diterima sangat tegas. "Kalau pembalasan itu ia
tujukan langsung pada orang-orang yang telah menghina nama
keluarga kami, aku setuju saja, malah bersedia membantu. Tetapi
kalau kepada keturunan-keturunannya yang tidak tahu
menahu?" ia geleng-geleng kepala, komat-kamit mengucapkan
kalimat-kalimat tidak karuan, lalu meneruskan langkahlangkahnya yang semakin cepat tanpa berkata sepatahpun lagi.
*** RASANYA banyak kurun waktu telah berlalu, ketika Supandi
berhenti dan berdiri tertegun di depan kuburan tua, jauh di atas
gunung, terpencil dari kehidupan manusia-manusia lain. la
mengerahkan segenap ingatannya yang sisa. Dan lamat-lamat bisa
mengenali lapangan terbuka di mana kini ia berada. Pada rumah
yang terlindung di tempat ini menemani ayahnya untuk mengirim
makanan pada perempuan tua yang hidup terasing ditempat ini.
Kalau tak salah, namanya Ijah. Ijah. Ada beberapa kali ia
mendengar nama itu, akhir-akhir ini. la mmcoba memusatkan
pikirannya. Oh ya, itu adalah nama yang dimiliki oleh seorang
perempuan tua renta yang timpang...
Ah" Tua renta" Timpang" la seorang gadis malang, gadis timpang
yang malang. Adik yang dengan setia menunggu dan merawat
saudara laki-lakinya yang bertapa brata mendalami ilmu. Apakah
gadis itu adalah Ijah yang pemah ia lihat semasa kecil" Dan Ijah
yang beberapa kali ia lihat di depan rumahnya, dan juga sering
dilihat Amalia" Amalia" Bagaimana keadaannya di rumah" Apa
yang sedang ia lakukan" Apa yang ia pikirkan mengenai
suaminya" Otak Supandi terasa amat letih. Dan, tiba-tiba berdenyut dengan
keras. Keras sekali. Menyentak dengan kejam Ia segera sadar
bawa kepala yang terjinjing di tangannya telah mengirimkan
pengantinnya lewat kekuatan telephati gaib ke otak Supandi.
Dalam sekejap. Supandi telah melupakan keletihannya,
melupakan rasa sakitnya, melupakan nama Ijah, nama Amalia,
123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bahkan namanya sendiri. Matanya menatap kosong tak bercahaya
langsung ke kuburan tua di dekat kakinya. Sesuai dengan gerak
perintah yang menyentuh otaknya:
"Gali!" Seperti robot, pelan-pelan Supandi meletakkan batok kepala
mengerikan itu di atas rumput. Lalu kemudian berjalan dengan
kaki seperti melayang-layang ke arah rumput di depannya. la
dengan segera menemukan sebuah pacul, sebuah singkup,
kembali ke tempat semula, lalu mulai menggali kuburan satusatunya yang ada di tempat itu. Kuburan yang bentuknya
tanggung. Kuburan di mana menurut sentuhan otaknya tertanam
mayat sebatang tubuh manusia, tanpa kepala.
Tidak begitu dalam kuburan itu. Dan, dengan lebih berhati-hati,
Supandi menggerakkan singkup memindahkan tanah, kemudian
menyusun kerangka manusia yang ia temukan dalam lubang
menurut bentuk yang sempurna. Sekujur tubuhnya mandi peluh
ketika keluar dari lubang kuburan, ia memandang ke kepala
mengerikan itu, ke sinar matanya yang merah kebiru-biruan.
"Letakkan kepalaku di tempatnya, budak hina."
Hati-hati, ia mengambil kepala itu dan meletakkannya di bagian
tulang leher yang terpotong. Setelah melakukannya. Tegak
berdiri. Diam menunggu. Tak ubahnya patung kelabu dan kotor,
terpaku diam di bawah siraman rembulan yang tepat berada di
atas kepala. "Nadimu. Gigit!"
Pelan-pelan. Supandi menggigit urat nadi lengan kirinya.
"Keras. Lebih keras, budak hina!"
Darah mulai menetes. Kemudian mengalir.
"Percikan ke arah lambungku. Jantungku. Paru-paruku... cepat!
Cepat! Rembulan segera akan berlalu... Aku membutuhkan
jasadmu.. sedang kau tidak lagi membutuhkan jasadmu... karena
124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ruhmu akan melayang sebentar lagi... Hai, mengapa kau
berhenti?" Bukan karena ucapan-ucapan mengerikan itu yang menyebabkan
gerakan Supandi tertegun. Melainkan bayangan sesosok tubuh
lelaki bertubuh kekar, berambut putih, berjanggut putih yang
entah darimana datangnya telah melayang ke arahnya. Kemudian
memukulnya sampai terjerembab setengah punggung di
permukaan lubang kubur. Belum lagi ia tahu apa yang terjadi,
tubuhnya telah diangkat berdiri dan diseret menjauh dari
kuburan itu. la tidak tahu siapa laki-laki aneh itu. Tidak tahu apa
yang tengah dilakukan orang itu atas dirinya. Tetapi samar-samar
ia mendengar suara perintah yang tajam, tetapi lembut, tidak
dingin dan mengerikan. Suara seorang perempuan:
"Cepat. Lia. Tancapkan sinar matamu yang penuh cinta kasih ke
mata suamimu!" Kemudian ia samar-samar melihat seraut wajah. Wajah yang
serasa pernah ia kenal, tetapi ia tidak tahu siapa. Dan mengapa
wajah itu tiba-tiba saja telah berada di atas wajahnya. Mengapa
mata itu bersinar-sinar memandangi matanya" Mengapa dari pipi
yang pucat itu menetes butir-bulir air bening membasahi pipinya"
Alangkah mesranya padangan mata itu. Penuh pengabdian.
"Liah..." lidahnya yang kelu, pelan-pelan bergerak, dan mulutnya
yang pucat tak berdarah, mengeluarkan suara, "Sayangku?"
Amalia lantas memeluk suaminya seraya menangis tersedu-sedu...
*** MATAHARI pergi belum lagi terbit, ketika berpasang-pasang mata
memandang ke dalam lubang. Kerangka manusia di dalam
kuburan yang menganga itu, tampak bergerak-gerak sedikit dan
kepalanya yang masih ditumbuhi rambut, daging, dan kulit itu
perlahan-lahan menciut. Dan begitu sinar matahari pagi
menjilatnya, bentuk kepala yang masih utuh itu, perlahan-lahan
125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sirna bagian demi bagian. Mulai dari kulit, kemudian daging, lalu
bagian-bagian organ kepala yang lain, lalu pada saat matahari
semakin menyengat, kepala itu tinggal tengkorak putih belaka
dengan rongga mata dan mulut yang kosong serta rambut
panjang lebat menggumpal di dekatnya.
Supandi memegang lengan kirinya yang berbalut perban yang
terbuat dari dedaunan, bertahan dari rasa pusing yang
menyerang kepalanya, dan dengan terkejut mendengar nenek
Ijah bertanya: "Kau pernah melihat kepala itu, Pandi?"
Supandi menggeleng. "Tidak." la tidak pernah melihat kepala yang
berubah rupa secara mentakjubkan itu. la tidak pernah melihat
kerangka tubuh itu sebelumnya. la bahkan tidak tahu, mengapa
ketika ia tersadar dari pingsan tubuh tadi, ia"
Amalia, nenek Ijah dan pak Jayusman berada di tempat yang
terasing dan aneh itu mendengar jawab yang keluar dari mulut
Supandi, Amalia kembali memeluk suaminya dan menangis di
dadanya. "Kau melupakannya, syukurlah, sayangku" kau


Sepasang Mata Iblis Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melupakan semuanya...!" ia tersedu.
"Melupakan apa?" tanya Supandi, heran dan lirih.
Amalia menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan ciuman yang
bertubi- tubi menghujani wajah Supandi, tidak perduli akan
kehadiran orang lain di dekat mereka. Kikuk, Supandi
memalingkan muka dan melihat pak Jayusman yang tengah tekun
berdoa. Orang tua itu telah berdoa semenjak dini hari tidak
bangkit- bangkit dari duduknya. Di sebelahnya, duduk nenek tua
renta itu, yang memandang ke liang kubur tanpa berkata
sepatahpun juga. Mata tuanya tampak layu. Tetapi tidak ada
butir-butir air yang keluar.
Ketika segalanya telah berlalu dan kuburan itu telah ditutup
kembali serta diberi batu, barulah nenek Ijah berjalan masuk ke
rumahnya. la tidak keluar-keluar lagi sampai yang lainnya
bermaksud untuk pulang. Nenek Ijah tak mau diganggu, mereka
126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
meninggalkan tempat itu tanpa masuk ke rumah nenek Ijah dan
pamit padanya. *** Esok harinya, mereka berdua menjenguk nenek Ijah, dengan
harapan pikirannya sudah mulai tenang dan ia mau menerima
kehadiran mereka. Tetapi yang mereka ketemukan, hanyalah
sebatang tubuh tua kerempeng, yang terbaring diam di atas
sebuah dipan bambu reot dengan nadi maupun jantung tidak lagi
berdenyut. Sepasang kelopak mata tuanya mengatup rapat dan
bibirnya yang pucat keriput mengulas sebentuk senyuman puas.
Amalia menatap suaminya. Supandi, tercenung dengan hati
luruh.... **Tamat** 127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Irama Maut 1 Sherlock Holmes - Ritual Keluarga Musgrave Titisan Darah Terkutuk 1
^