Pencarian

Sumpah Berdarah 1

Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Sumpah Berdarah - Abullah Harahap .... diambil dari hasil edit teks Tjareuh_Boelan di http://indozone.net/
Abdullah Harahap adalah seorang penulis novel horor
misteri di Indonesia. Ia lahir di Sipirok, Tapanuli
Selatan pada 17 Juli 1943. Sebelum menulis novel
horor misteri, ia juga menulis novel roman percintaan,
namun namanya melambung berkat novel horor yang
dikarangnya. Awal karier Abdullah Harahap mengawali karier
semenjak masih duduk di bangku SMU di kota Medan
(1960) dengan menulis sejumlah cerita pendek serta
puisi yang dimuat oleh media cetak setempat. Tahun
1963, ia pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi
di IKIP (kini UPI) sambil meneruskan aktivitas menulis
cerpen yang sempat membanjiri sejumlah media
cetak baik yang terbit di Bandung, Yogya, Surabaya,
Medan, dan paling terutama Jakarta (yang oleh
Abdullah Harahap dianggap sebagai kota yang
membesarkan namanya sebagai penulis).
Di tengah perjalanan kuliahnya, AH menekuni profesi
sebagai jurnalis di SK Mingguan GAYA dan GALA (cikal
bakal SK Harian Galamedia), lalu kemudian menjadi
perwakilan tetap untuk wilayah Jawa Barat dari
Majalah Selecta Grup (Selecta, Detektif & Romantika,
Senang, Stop, Nova). Perjalanan karier sebagai
wartawan yang ditekuni AH selama seperempat abad
lebih (1965-1995) menambah luas wawasan serta
pengetahuan AH sebagai penulis novel. Karena
sebagai wartawan, AH bukan hanya sekedar meliput
berita sesuai tanggung jawab yang diembannya, akan
tetapi juga memanfaatkan setiap kesempatan yang
ada untuk melakukan riset ke tempat-tempat tertentu
yang dia inginkan untuk bahan novelnya.
Riset yang dilakukan oleh Abdullah Harahap ini saya
rasa menjadi sebuah keungulan kengerian yang
diciptakan di novel-novel horor/misterynya . Jadi
horornya tidak melulu hantu penasaran yang
sembarangan membunuh orang orang. Ada latar
belakang budaya, dendam kesumat, bahkan
seringnya sex sebagai latar belakang kemunculan iblis
iblis yang menebar teror.
Abdullah Harahap mendatangi lalu bertukar pikiran
dengan tokoh masyarakat setempat, terutama yang
kehidupan sehari-harinya berhubungan dengan alam
mistis, baik itu dari aliran putih maupun aliran hitam,
tanpa melibatkan diri di dalamnya. Ilmu-ilmu mana
kemudian (sesuai kebutuhan), dikembangkan sendiri
oleh AH di depan mesin tik atau komputer sesuai
dengan imajinasi AH yang ia kehendaki. Tercatat
keseluruhan buku sudah diterbitkan dari imajinasinya
itu berjumlah sekitar 60 judul (Drama), 75 judul
(Misteri) dan 15 judul Pulpen (Kumpulan cerita pendek)
. Sebagian di antaranya telah diangkat ke layar lebar
dan yang terbanyak ke layar kaca (TPI, SCTV, RCTI,
dan Indosiar), baik dalam bentuk sinetron seri maupun
FTV. Berhenti Menulis Abdullah Harahap berhenti menulis
sekitar tahun 1990-an. Beberapa penerbit yang biasa
menerbitkan buku-bukunya tutup. Novel-novel
Abdullah Harahap seringkali dianggap picisan dan
murahan, karena selalu bercerita tentang horor,
dibalut dengan adegan sex. Tetapi, Abdullah Harahap
tidak peduli. Yang penting ia bisa berkarya. Walaupun
dianggap picisan, novel-novelnya selalu habis terjual.
Bahkan banyak yang diangkat ke layar kaca dan
layar perak. Abdullah Harahap berhenti menulis karena ia adalah
seorang yang penakut juga. Tetapi, ketakutannya itu
sangat bermanfaat dalam proses pengerjaan novel
horornya. Ia berkata, kalau kita tidak takut saat
menulis bagian seramnya, maka itu bearti novel
tersebut gagal. Kalau sang pengarang saja tidak takut,
apalagi yang membacanya"
Akibat terlalu banyak menulis novel horor, Abdullah
Harahap menjadi seorang yang sangat penakut. Dan
hasil novelnya juga tidak maksimal, dan penerbitnya
pun tutup. Maka ia segera berhenti menulis, dan
beralih menjadi penulis skenario untuk layar lebar dan
layar kaca. Ia pun hanya sesekali menulis novel, yaitu
Misteri Boneka Cinta (dimuat bersambung di Sk
Galamedia Bandung), Misteri Janda Hitam (Harian
Jawa Pos Surabaya), dan Misteri Sebuah Peti Mati
(Harian Surabaya Post), yang kini sudah diterbitkan
dalam format buku saku oleh Paradoks).
Penerbit Paradoks Tahun 2010, novel-novel lama dan
baru Abdullah Harahap diterbitkan ulang oleh Penerbit
Paradoks ( imprint Gramedia ). Paradoks ini awalnya
dibentuk untuk menerbitkan ulang novel-novel horor
Abdullah Harahap, sebelum akhirnya dibuka untuk
penulis yang lain. Paradoks adalah sebuah penerbit
khusus buku-buku misteri dan horor.
Bibliografi (Judul buku Abdullah Harahap ini belum
lengkap. Tolong dilengkapi.)
Misteri Perawan Kubur Misteri Sebuah Peti Mati 1
Misteri Sebuah Peti Mati 2
Misteri Lemari Antik Manusia Serigala Misteri Rumah Diatas Bukit
Manekin Penunggu Jenazah Misteri Kalung Setan Sumpah Berdarah Babi Ngepet Dosa Turunan Suara dari Alam Gaib Bisikan Arwah Pemuja Setan Sumpah Leluhur Penjelmaan Berdarah Penghuni Hutan Parigi Misteri Penari Topeng Dendam Berkarat dalam Kubur
Penunggu Dari Kegelapan Lukisan Berlumur Darah Wajah-wajah Setan Mahkluk Pemakan Bangkai Kembalinya Seorang Terkutuk
Dalam Cengkeraman Iblis Dendam di Balik Kubur Roh dari Masa Lampau Penjaga Kubur Penghuni-penghuni Rumah Tua
Dendam Roh Jejaden Pengemban Kutuk Bercinta dengan Syaitan Penghisap Darah Pewaris Iblis Sepasang Mata Iblis Panggilan dari Neraka Misteri pintu Gaib Misteri Anjing Hutan Arwah yang Datang Menuntut Balas
Perawan Sembahan Setan Tumbal Kalung Setan Pemuja Setan Manusia Penuntut Balas Senggama Kubur Misteri Alam Gaib Jeritan Dari Pintu Kubur Arwah Yang Tersia-Sia Misteri Putri Peneluh (wikipedia) ** SETUMPUK uang emas peninggalan jaman Belanda
terkubur di dalam tanah, Sukri harus menggalinya.
Untuk itu diperlukan bantuan seorang dukun. Juga
sesaji untuk membujuk agar roh si penunggu harta
karun, bersedia diajak bekerjasama.
Lalu korban pun berjatuhan. Si dukun yang ternyata
punya kaitan dengan masa Iampau harta terpendam
itu.... ditemukan mati beku di pinggir Iubang galian.
Sobara, seorang rentenir, menembak hancur
kepalanya sendiri. Sukaesih diperkosa kemudian mati
dengan tubuh kisut, gosong menghitam.
Sukri terperangkap. Dipaksa mengabdi pada sang
syeitan yang menghuni jasad si penunggg u harta
karun. Harta terkutuk... harta yang dilumuri darah seorang
buronan di masa lampau....!
Sebuah cerita horor terbaru dari Abdullah Harahap
yang tahu benar bagaimana caranya memacu jantung
Anda. Pada saat buku ini naik cetak, PT. Kanta Indah Film
sudah bersiapa-siap untuk mengangkatnya ke layar
perak. Disutradarai oleh Torro Margens, dengan
mengambil lokasi di negara tetangga, Malaysia.
* Apabila ada nama, tempat kejadian, ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan
belaka. Cerita ini adalah fiktif.
"Tuhanku! Beri tempolah aku sampai ke hari
mereka dibangkitkan..." Iblis memohon.
Firman Tuhan: "Kuberi engkau tempo!"
Maka Iblis pun berkata: "Karena Engkau telah
menghukum aku, aku akan datang pada mereka
lalu menipu dan menyesatkan mereka... selain dari
hambaMu yang beriman!"
- Al-Hijr 36 s/d 40 - ___ ebook DJVU= http://hana-oki.blogspot.com
Episode 1 Cikalong, 1940 ___ SATU MEREKA datang bertiga. Duduk mantap di atas
punggung tiga ekor kuda yang melangkah hati-hati
dan terkendali menempuh jalan setapak di sepanjang
sisi gunung. Berlatar belakang tabir awan hitam pekat,
para pendatang itu tak ubahnya tiga serangkai yang
turun dari Iangit sebagai utusan setan penguasa
kegelapan. Mereka memacu kuda masing-masing
tanpa tergesa-gesa. Mungkin karena yakin misi yang
mereka emban akan berjalan lancar dan sukses
sebagaimana diharapkan. Tetapi, boleh jadi juga
karena jalan setapak yang mereka tempuh sangat
berbahaya. Jalan setapak ciptaan alam itu selain
sempit, juga licin bekas disapu hujan badai dinihari
tadi. Keliru selangkah saja, akan berakibat fatal. Kuda
bisa terpeleset, Ialu terlempar ke jurang di balik kabut
tebal. Hilang lenyap bersama penunggangnya. Rohnya
kemudian akan bangkit, untuk berkelana bersama
roh-roh lainnya yang konon sejak ratusan tahun
menjadi penguasa sisi gunung dimana kini mereka
berada. Dari lembah di bawah, kabut naik semakin tebal. Jelas
sangat tidak bersahabat. Bukan saja pada ketiga
orang penunggang kuda misterius itu. Melainkan juga,
mendadak ikut tidak bersahabat terhadap Suparta,
yang duduk mencangkung di depan mulut sebuah
gua. Kabut menyebabkan Suparta tidak dapat
mengawasi daerah sekitarnya. Sehingga ia
mengalami kesulitan untuk dapat memastikan,
apakah para pendatang itu bergerak sendirian. Atau
hanya sebagai umpan agar teman-teman mereka,
entah datang dari mana, bisa mendekati tempat
persembunyian Suparta tanpa dicurigai.
Tetapi, mengapa pula Suparta harus kuatir"
Silahkan mereka datang berbelas-belas, bahkan kalau
perlu berpuluh-puluh orang. Semakin banyak mereka,
semakin gampang golok Suparta menemukan
sasaran. Dan biasanya, bila korban mulai berjatuhan,
maka yang masih tersisa akan lari serabutan
menyelamatkan nyawa masing-masing. Namun,
justru pemikiran ke arah itu pulalah yang membuat
Suparta kini merasa tegang. Belum pernah ada yang
berani menyatroni Suparta ke tempat ini. Selain
karena jalan-jalannya berbahaya, juga karena tempat
ini sudah dikenal sebagai daerah berhantu yang
dikeramatkan sebagian penduduk desa dibawah sana.
Suparta pun - mereka semua mestinya sudah pada
tahu - kebal terhadap senjata tajam jenis apapun
juga! Hanya satu hal yang jelas mampu mendorong
keberanian mereka. Mereka kini memegang kunci yang ter amat ampuh.
Dan kunci itu, adalah Suparti.
Tadi malam gadis itu tak muncul ditempat pertemuan
yang telah disepakati sebelumnya. Padahal tadi
malam Suparta sangat bersukacita. Ia membawa
oleh-oleh istimewa untuk Suparti. Daging menjangan
muda - hasil buruan Suparta selama berhari-hari, yang
ia kejar dari satu bukit ke lain bukit. Menjangan
berkaki putih dan bertanduk putih. Yang jika
dagingnya dimakan mentah-mentah dalam keadaan
masih segar berdarah, akan membantu memulihkan
penumbuhan kaki kiri Suparti yang pincang akibat
diguna-gunai orang. Yang didapatkan Suparta tadi malam, bukan senyum


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahagia dari mulut adik perempuannya tersayang itu.
Melainkan senyum kecut mengandung dukacita salah
seorang kerabat yang memberitahu, bahwa sejak
sore hari kemarin Suparti lenyap tanpa kabar berita.
Terakhir kali orang melihatnya sedang mandi sendirian
di pancuran. Ketika ia tak pulang-pulang ke rumah,
barulah timbul tandatanya. Lalu mereka temukan apa
yang masih tersisa di sekitar pancuran. Bakul dan kain
cucian Suparti berserakan di sana sini. Pertanda
Suparti menghilang bukan atas kemauan sendiri. Dan
jelas, dengan paksaan...!
Suparta mengerdipkan mata agar embun dan kabut
tidak membutakan pandangannya. Para penunggang
kuda itu kini sudah muncul di tempat terbuka dan
langsung menuju ke arahnya. Selintas, sempat timbul
beberapa tanda-tanya yang menghantui Suparta
sepanjang malam tadi. Apakah Suparti mereka culik
hanya untuk dijadikan sandera, agar sewaktu
ditangkap, Suparta tidak bertingkah macam-macam"
Ataukah ada maksud-maksud tersembunyi
dibelakangnya" Sejauh mana mereka tahu hubungan
mistis antara Suparta dan adik perempuannya itu"
Pertanyaan terakhir dibuang jauh-jauh dari benak
Suparta. Bahkan Suparti tidak pernah tahu adanya
hubungan mistis itu. Apalagi orang Iain. Mereka
menyandera adik perempuannya, tak lebih hanya
untuk maksud agar Suparta kali ini jangan coba-coba
meminta lebih banyak korban untuk kemudian
meloloskan diri lagi dan lagi. Pemikiran itu
membuatnya lebih tenang. Suparta bangkit perlahan, begitu para penunggang
kuda berhenti tidak jauh dan mulut gua. Ia putuskan
sebuah penyerahan sukarela. Dengan satu syarat dari
Suparta: dipertemukan dengan adik perempuannya,
yang kemudian harus mereka lepaskan dan biarkan
ke mana Suparti ingin pergi. Dan diam-d
iam ia akan memberi isyarat atau kode-kode yang sudah mereka
kenal, agar Suparti menunggunya disuatu tempat.
Suparta akan berusaha meloloskan diri. Dan begitu
bertemu dengan adiknya, mereka seketika itu juga
hengkang sejauh mungkin dari daerah pegunungan
yang sama-sama mereka cintai ini. Sebuah keputusan,
yang mestinya mereka lakukan sejak dulu-dulu,
ketika Suparta buron pertama-kalinya.
Sewaktu memandang tamu-tamunya yang tidak
diundang itu diam-diam Suparta juga membulatkan
tekad. Apabila adik perempuannya kelak ia ketahui
terluka, maka Suparta akan menuntut satu tebusan
nyawa musuh-musuhnya dari setiap tetes darah yang
mengalir dari luka adik perempuannya itu. Siapapun
yang berani menyentuh dan menciderai adiknya,
mereka akan tahu rasa! Ringkik kuda membuyarkan lamunan-lamunan
Suparta. la Ialu mengawasi ketiga orang utusan pemerintah
yang duduk mantap di atas tunggangan masing-
masing. Ketiganya mengenakan seragam resmi
sebagai pasukan Kerajaan, lengkap dengan atribut,
tanda pangkat, dan pedang yang gagangnya konon
bersepuh emas murni. Yang seorang dari mereka,
masih dilengkapi senjata tambahan sebagai pertanda
bahwa dialah yang menjadi komandan pasukan mini
itu. Yakni sepucuk pistol berlaras panjang.
Wajah-wajah bule di atas kuda, balas memandang.
Wajah-wajah kaku, tegang, dengan sikap yang
digagah-gagahkan. Karena Suparta dapat menangkap
sinar lain dibalik mata mereka: perasaan gentar yang
berusaha mereka sembunyikan. Tiga pasang mata
berwarna kebiru-biruan itu secara naluriah
memandang serempak ke benda yang sama. Yakni
golok yang terselip dipinggang Suparta.
Wajah-wajah bule di bawah naungan topi-topi lancip
itu, tampak membasah. Mungkin karena sapuan kabut
yang mengandung embun. Atau keringat akibat
menempuh perjalanan panjang, melelahkan, dan
berbahaya. Tetapi bisa jadi juga peluh itu ditimbulkan
oleh kesadaran, siapa orang yang mereka hadapi dan
kini harus mereka tangkap.
Tak seorang pun dari mereka berani membuka mulut
terlebih dahulu. Suparta pun sengaja mengatupkan
mulut rapat-rapat. Matanya memandang tajam ke
mata si komandan. Saat itulah ia menyadari, mata
yang ia pandang kini tampak berubah tenang, penuh
kepercayaan diri. Bahkan dari balik sinar mata kebiru-
biruan itu menyembur semacam perasaan puas.
Dan, mendadak Suparta dihinggapi firasat buruk.
Firasat yang sama pernah ia alami sewaktu ia masih
pemuda tanggung. Ketika itu ia tiba-tiba terbangun di
tengah malam buta karena sentakan firasat buruk.
Esok paginya, ia temukan kedua orangtuanya mati
terbunuh secara mengerikan di ladang mereka. Apa
yang menghinggapi Suparta ditengah malam buta itu,
berulang lagi pagi ini. Jantungnya, berdetak kuat dan tiba-tiba. Tanpa sebab-
sebab yang jelas! * bibir. Senyuman yang sia-sia, karena Bajuri sudah
melanjutkan pula: "Aku tahu, kawan. Aku tahu! Aku
tidak bermaksud mengabdikan diri pada Ratu secara
cuma-cuma. Sebaliknya pun, aku tak bermaksud
menerima hadiah cuma-cuma pula. Sepundi uang
emas, kau lihat bukan?" lalu, dengan mata penuh
kemenangan, Bajuri membuka tali pengikat mulut
pundi-pundi, yang kemudian isinya ditumpahkan di
depan mata Suparta. Berkeping-keping uang emas
segera berjatuhan ke tanah, persis di depan lutut
Suparta yang tertekuk tanpa daya.
Keping-keping emas itu bergemerlapan samar
melewati mata Suparta, menari-nari liar dan penuh
hinaan. Saking tak kuat menanggung hinaan itu, ia
memalingkan muka. Dan matanya toh masih sempat
menangkap satu keping dari tumpukan uang emas
yang jatuh di tanah, menggelinding tak menentu ke
arah tebing, untuk kemudian melayang ke lembah di
bawah. Hilang ditelan kabut. Tiba-tiba mata golok menyentuh dagunya. Disertai
suara menggardik dari mulut Bajuri: "Pandang adikmu,
Parta! Pandang dia untuk terakhir kali, dan bersiap-
siaplah untuk mati!"
Tidak ada yang mengeluarkan perintah. Namun
anakbuah Bajuri tampaknya sudah tahu betul apa
yang harus mereka lakukan. Suparti yang tidak tahu
apa-apa hanya mampu membelalak ngeri ketika
bajunya yang sudah robek-robek, kini malah dikoyak-
koyak. Mulutnya yang terbungkam, mengeluhkan jerit
ngeri yang tak mampu keluar manakala tubuhnya
dipaksa rebah menelentang dengan kedua paha
dikangkangkan secara paksa.
"Jangan!" Suparta mendesah, lirih, kemudian berteriak
marah: "Jangan kalian lakukan itu!"
Lalu ia berusaha melepaskan diri, yang ternyata sia-
sia saja. Karena tubuhnya yang tertekuk berlulut itu
tak mampu lolos dari ikatan yang kuat pada tonggak
kokoh di punggungnya. Bajuri tertawa mengakak,
sementara ketiga orang pasukan berkuda itu
memperhatikan dengan mata penuh minat pada
Suparti yang meronta-ronta liar dalam pegangan tiga
orang laki-laki perkasa anakbuah Bajuri. Orang yang
keempat berdiri di antara kedua kaki Suparti yang
mengangkang, sibuk menanggalkan celananya.
Tidak ada jeritan yang mampu dikeluarkan Suparti
ketika tubuhnya dimasuki oleh si lelaki yang
memperkosanya tanpa malu-malu. Bahkan Suparta,
yang rambutnya dicengkeram kuat dari belakang oleh
Bajuri, dipaksa untuk menyaksikan kebiadaban itu
juga tak mampu mengeluarkan jeritan lagi. Jeritan
Suparta terlelan sendiri oleh keputusasaan bercampur
kemarahan serta dendam yang kian membara.
Puas melampiaskan hasrat seksuilnya, lelaki
pemerkosa itu kemudian berdiri sempoyongan. Salah
seorang temannya sudah akan bergerak
menggantikan tempatnya, manakala terdengar suara
bentakan Bajuri: "Cukup, Kardi!"
Yang dibentak, mengurungkan niatnya dengan wajah
kecewa. Bajuri kemudian mendekat, dan mendorong
si pemerkosa yang masih tersenyum-senyum dengan
mata merem melek. "Minggir kau, Sobara!"
Sementara yang lain-lainnya asyik memperhatikan
apa yang diperbuat Bajuri saat itu, Suparta merasa
tidak perlu lagi melihat. la sudah tahu. Darah
perawan. Dan perawan itu, adik kandungnya sendiri!
Suparta menengadah dengan wajah sengsara.
Mulutnya komat-kamit tak menentu, dan diakhiri
dengan sebuah kalimat pendek:
"Biarkan aku hidup setelah mati!"
la kemudian merunduk, sambil terus merapal
mantera, menunggu nasib. Dan nasib itu pun datang melalui Bajuri. Mantan
kepala centeng van Galen itu berdiri di depan Suparta,
dengan golok Suparta terhunus di tangannya. Mata
golok masih berkilau, tetapi kini sudah ditempeli
bercak-bercak merah. Bercak-bercak darah!
Dengan sebelah tangan kembali dicengkeramkan ke
rambut Suparta agar bisa menengadah, Bajuri berujar
lembut tetapi menyakitkan: "Darah perawan adik
kandungmu, di mata golok milikmu sendiri. ltulah
rahasia ilmu kebalmu yang luar biasa itu bukan?"
Suparta tidak menjawab. Matanya yang menjawab. Mata yang menuntut pembalasan.
Bajuri menyadari tuntutan itu. la tenang-tenang saja.
Bahkan seraya mengejek, malah berlagak baik hati
pada calon korbannya: "Punya permintaan terakhir,
kawan?" Dari mulut Suparta terlontarlah bisikan tajam: "Demi
setan. Aku akan kembali, Bajuri!"
"Silahkan saja!" rungut Bajuri meremehkan.
Lalu pegangannya di rambut Suparta dilepaskan.
Suparta sempat memperhatikan adiknya yang masih
terbaring lemah dipegangi anak buah Bajuri. Suparti
tidak melihat kearahnya. Suparti tengah menangisi
nasib malangnya. Tak peduli keadaan sekitarnya.
Bahkan tak bercuriga apa-apa, akan datangnya nasib
malang yang jauh lebih mengerikan.
Seruan tertahan, jompak kaki kuda dan ringkik liar
kuda-kuda itulah yang menggugah Suparti untuk
membuka matanya dan mencoba mencari sumber
penyebab dari keributan yang mengherankan itu. Lalu
ia mel ihatnya. Melihat tubuh saudaranya masih terikat
di tonggak kayu. Terikat kaku, diam tak berdaya.
Tanpa kepala! Darah yang menyembur-nyembur keluar dari batang
leher Suparta yang putus total, menggelapkan
pandang Suparti, dan membuatnya pingsan seketika
itu juga. Sementara para penunggang kuda sibuk
mendiamkan kuda masing-masing, yang sebenarnya
juga menenangkan kejerian di dalam jantung mereka
sendiri: terdengar suara seseorang muntah-muntah.
Tanpa ada yang mengkomando, semua memalingkan
muka dari tonggak kayu. Tak ada yang melihat, bagaimana Bajuri yang habis
memenggal kepala Suparta, kini membiarkan golok
pembunuh itu dibasahi darah Suparta. Genangan
darah di golok itu kemudian disedot oleh Bajuri. Lalu
dengan jari telunjuk tangan kirinya, sisa darah di
mata golok dioleskan ke sepasang kelopak matanya,
sambil mulutnya yang dibasahi darah, pelan-pelan
komat-kamit membaca mantera.
Lalu, seseorang tiba-tlba berseru:
"Lihat!" Bajuri membuka matanya. Dan melihat kepala
Suparta yang tadi jatuh menggelinding, rupanya telah
terbentur pada sebuah batu yang mencuat di tanah,
lalu terhempas diam di situ dalam posisi tegak.
Sepasang mata Suparta masih nyalang, terbuka lebar,
seakan memandangi siapa saja yang ada di tempat
itu. Sepasang mata yang menyinarkan dendam
kesumat. "Mata setan!" umpat Bajuri tak senang, lalu ia berjalan
mendekati kepala Suparta yang tertegak miring di
permukaan tanah. la sudah siap menendang kepala
tanpa tubuh itu, manakala angin kencang bertiup tiba-
tiba, membuyarkan kabut disekitar lereng gunung.
Bumi pun tiba-tiba bergetar hebat tanpa
pemberitahuan sebelumnya. Disusul bunyi longsornya
bongkah-bongkah tanah berbatu-batu. Getaran itu ikut
menggoyang lalu melontarkan kepala Suparta.
Menggelinding ke bibir tebing. Untuk kemudian lenyap
di kegelapan kabut yang menutupi lembah.
Angin badai pun datang membabi buta. Bersiut-siut
garang. Seakan roh-roh gaib penghuni lereng gunung
itu saling berbisik penuh kemarahan.
* Episode 2

Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cikalong, 1980 TIGA SETELAH mengitari ruang kelas, sesekali menjawab
pertanyaan atau memberi petunjuk yang perlu-perlu,
Zuraida duduk kembali di kursinya. Sejenak,
perhatiannya masih tercurah pada murid-murid yang
tengah menekuni kertas ulangan masing-masing.
Siapa tahu masih ada diantara bocah-bocah kecil itu
yang menemui kesulitan; khususnya dalam pengertian
kata atau kalimat. Beberapa menit berlalu. Hanya
seorang anak yang melirik ke meja Zuraida. Zuraida
sudah siap menerima pertanyaan, ketika anak itu
kembali menekuni kertas ulangannya. Hanya lirik
kebetulan, ternyata. Lalu, sentuhan ganjil itu datang lagi.
Suatu keinginan, untuk menoleh ke luar jendela kaca.
Menatap jauh, ke dinding gunung di kejauhan. Bagian
dinding itu seperti terbuka, menganga. Dikelilingi
hutan rimba yang secara misterius, menutup rapat
satu sama lain; kecuali bidang yang terbuka itu. Dari
tempatnya menatap, Zuraida tak dapat melihat
apapun di sana, kecuali gambaran batu kapur raksasa
yang seakan menggapai ke puncak namun terhalang
lagi oleh rimbunan pepohonan di atasnya. Tetapi
Zuraida tahu ada sesuatu disana. Paling tidak, ia
sudah berulangkali mendengar - tempat terbuka itu
dihuni oleh roh-roh jahat semenjak ratusan tahun
silam. Tidak seorang pun penduduk yang berani
kelayapan sampai ke sana. Kecuali Parti, si nenek
sihir, yang menjadikan tempat terbuka itu sebagai
huniannya selama puluhan tahun.
Nenek sihir! Perempuan tua itu memang tampak mengerikan
karena kulit muka yang kisut dimakan usia, bermata
liar pula. Ditambah rambut awut-awutan yang
jangankan sisir, air pun seakan tak pernah
menyentuhnya. Tubuh kurusnya yang kerempeng,
apalagi. Hanya berbalut kain compang-camping. Tak
perduli ada bagian tubuhnya yang terlarang - tidak
tertutupi. Penampilan nenek tua renta itu akan
semakin mesum jika sudah duduk seenak perut di
depan warung atau rumah penduduk, seraya
mengangkangkan paha. Dan baru enyah setelah ia
diberi makanan atau benda yang ia inginkan. Bukan
pula dengan ucapan terima kasih.
Melainkan dengan sumpah serapah: "Bejat. Kalian
semua makhluk bejat!"
Atau: "lni ganti rugi untuk harta karunku yang kalian
kangkangi!" Bahkan: "lngin dibayar dengan iniku, ya"!" sambil
menunjuk selangkangannya.
Bukan orang yang meludah saking jijik, tetapi Parti,
sambil memaki: "Boleh coba, cecunguk busuk!"
Tak mengherankan, orang tua-tua buru-buru
menyingkir bila melihat perempuan mengerikan itu
muncul di kejauhan; dan anak-anak kecil akan
berlarian masuk rumah lantas mengintip ketakutan
dari balik pintu. Konon, siapapun yang bersentuhan
badan dengan Parti pasti jatuh sakit. Dan yang berani
memperolok-olokkannya, akan mati sengsara.
Zuraida sendiri pernah memberi makanan, pernah
pula memberi pakaian bekas pada perempuan tua itu.
Pemberian diletakkan terbungkus di beranda depan,
disertai anggukan atau isyarat bahwa bungkusan itu
diperuntukkan buat si nenek. Bukan karena Zuraida
takut bersentuhan. Melainkan, bau tubuh Parti sudah
dapat tercium dari jauh; yang kalau tak tahan, bisa
membuat Zuraida muntah berat. Parti akan
mengambil pemberiannya diam-diam, menyingkir
diam-diam pula. Parti belum sekalipun menyumpah-
serapahi Zuraida. Mungkin, karena Zuraida sudah lebih
dahulu memberi, sebelum Parti mengangkangkan
paha. Yang mengherankan, belakangan ini perempuan tua
itu tak lagi menaruh minat pada bungkusan-
bungkusan Zuraida. Seakan tidak membutuhkannya
lagi. Atau tak satu selera, barangkali. Zuraida sampai
dibuat bingung. Memikirkan apakah ada yang salah
dalam pemberiannya semula. la sudah memutuskan
untuk bertanya langsung pada Parti, ketika
belakangan ia menyadari bahwa minat Parti sudah
teralih. Bukan lagi ke pemberian Zuraida. Tetapi ke
galian sumur yang tengah dikeriakan Sukri, suaminya.
Baik Zuraida maupun Sukri sudah beberapa kali
memergoki perempuan tua itu mengintip sembunyi-
sembunyi ke Iubang galian, terutama bila
sedang ditinggalkan. Jika didekati atau ditegur, Parti akan
buru-buru menyingkir. Lalu dari jauh mengawasi
mereka dengan mata curiga.
ltu saja. Parti tidak pernah mengganggu mereka
berdua secara langsung. Juga belum pernah
mengeluarkan kata-kata yang dapat membangkitkan
amarah Sukri, yang akhir-akhir ini berubah jadi
emosionil - yakni, semenjak tetangga sekitar tidak
mau lagi dibujuk untuk meneruskan penggalian itu
bersama-sama. Dibayar berapapun juga!
Peralihan minat Parti itulah yang sering mengganggu
pikiran Zuraida. Juga, galian sumur yang dikerjakan
suaminya. Agaknya, bukan hanya Sukri yang
berharap memperoleh sesuatu dari lubang galian.
Tetapi juga Parti, yang beberapa hari terakhir ini
makin sering turun gunung. Hanya untuk mengawasi
dari jauh, selagi Sukri bekerja. Atau mengintip ke
dalam Iubang selagi ditinggalkan. Entah apa yang
menaruh minat Parti sedemikian besar pada galian itu.
Terlalu sulit diterka. Sesulit mendekati, apalagi
mengajak Parti berbicara.
Tadi malam, Sukri sudah memutuskan untuk
mengintai lalu menangkap perempuan tua itu untuk
dipaksa berbicara. Kalau perlu, dengan memukulnya.
Tak pelak lagi, tadi malam Zuraida dan suaminya
sempat bertengkar akibat saling mempertahankan
pendirian tentang cara melakukan pendekatan pada
perempuan tua yang misterius itu. Sukri akhirnya
mengalah setelah Zuraida berkata mencemooh: "Tak
malu. Beraninya memukul perempuan!" Diembel-
embeli kesepakatan, Zuraida-lah yang nantinya
bertugas membuka mulut Parti.
Tetapi, bagaimana ya caranya" Sedang Parti....
* Mendadak, kepala Zuraida dikejutkan bunyi
berdentang-dentang. Disusul suara bisik yang berisik,
dan derit kaki kursi bergeseran dengan lantai. la
mengerjap terkejut. Lantas matanya menangkap
berpuluh-puluh pasang mata polos dan bening, ganti
mengawasinya. Ternyata bunyi berdentang tadi
berasal dari bunyi lonceng tanda waktu bubaran
sekolah. Dan bocah-bocah mungil berseragam di
hadapannya, tengah menunggu perintah Zuraida.
Zuraida bangkit lunglai dari kursinya. Memaksakan
seulas senyum, sebelum bertanya: "Semua sudah
selesai?" Terdengar jawab serempak: "Sudaaaah, Bu Guru!"
"Baiklah. Sebelum meninggalkan kelas, tinggalkan
pekerjaan kalian di meja itu. Satu persatu, dengan
tertib. Tarjo?" "Saya, Bu Guru!" sahut anak yang dipanggil, yang
segera bangkit tegak. Mengomandoi teman satu kelas
untuk sama-sama membacakan surat Al-Fatihah,
disusul ucapan selamat siang untuk ibu guru mereka.
Baru setelahnya, menurut banjar masing-masing para
bocah itu meninggalkan kelas sambil lebih dulu
menyerahkan kertas ulangan mereka pada Zuraida.
Awalnya memang tertib, tetapi toh akhirnya berebut
juga saling dahulu mendahului. Zuraida cuma mampu
menggelengkan kepala. Melihat sisa murid-muridnya
pada bertumpuk saling desak di pintu keluar.
Jayus, guru agama yang kebetulan lewat di seberang
pintu, sampai tertabrak oleh salah seorang murid. Si
penabrak minta maaf, kemudian ambil langkah seribu
kearah gerbang. Jayus menyeringai pada Zuraida
yang sedang berjalan keluar.
"Yah. Lagi musimnya tabrak lari!" ujar Jayus lalu
meneruskan dengan kalem: "Coba kalau yang
menabrak tadi, ibu gurunya...!"
"Bisa batal, dong," Zuraida menanggapi.
Mereka sama tertawa. Dan ketika tanpa disengaja,
pandang mata Zuraida lagi-lagi menangkap tempat
terbuka yang menganga misterius di dinding gunung,
Zuraida pun mengeluarkan keluhan pelan diluar
sadarnya. Kegembiraannya pun melenyap begitu saja.
"Ada kesulitan. Bu lda?"
Masih menatap ke arah yang sama. Zuraida tak tahan
untuk balik bertanya: "Tahu siapa yang tinggal di atas
bukit sana, Pak Jayus?"
Jayusman sempat bingung. Baru setelah mengikuti
arah pandang rekannya, ia mengerti lalu menjawab:
"Parti. Siapa lagi!"
"Sang nenek sihir...."
"Ah. Jangan dipercayai omong kosong itu, Bu Ida.
Menurutku, Parti tak lebih dari seorang perempuan
renta. Yang entah mengapa, memilih hidup dengan
cara mengucilka n diri...." "Menjaga kuburan keramat. Sambil bertapa!" cetus
Zuraida, tanpa berpikir. Jayus tertawa. "Agaknya kau mulai terpengaruh cerita
menggelikan itu, Bu lda!"
Zuraida tersentak. "Ah. Tidak!"
"Benar nih?" "Sumpah!" Jayus menyeringai lucu. "Sumpahan itu bukan tidak
menanggung resiko, Bu lda...!"
Zuraida manggut setuju. Kemudian berjalan ke kantor
guru, diikuti rekannya yang tahu bahwa ada sesuatu
yang mengganggu pikiran Zuraida. Maka sambil jalan
berdampingan Jayus bertanya penuh minat: "Apakah
Parti mengganggumu?"
"Oh. Tidak!" "Atau belum?" Zuraida tertegun. "Ah. Hanya ucapan iseng belaka!" jawab Jayus
menambahkan, sambil tertawa. "Ayolah. Jangan
sampai terlambat pulang ke rumah. Nanti suamimu
menyangka, kau sudah ada yang menggaet!"
Zuraida tersenyum. Tanpa menyadari, gangguan itu
telah dimulai. * EMPAT SASARAN pertama, adalah Sukri.
la sebenarnya sudah merasa letih secara fisik. Namun
ada semacam dorongan ganjil yang memaksanya
untuk bekerja dan terus bekerja, tanpa
memperdulikan batas kemampuannya. Sekop dan
pacul berganti-ganti ia pergunakan. Berulangkali pula
ia naik turun tangga bambu untuk memindahkan
tanah galian. Dalam ember plastik besar yang
dijinjingnya bersusah-payah ke atas. Lalu dalam tiga
buah ember kecil yang diikatkan tqerpisah pada
tambang karet. Tambang mana kemudian ditarik ke
atas mempergunakan kerekan roda besi, yang terkait
pada balok-balok penyangga di kiri kanan lubang
galian. Lalu, gangguan itu pun datang.
Mula-mula hanya serpihan-serpihan bekas tanah
galian, berjatuhan kembali ke dasar lubang. Sukri
melongok ke atas, meneliti kalau-kalau bekas galian
longsor kebawah. Tampaknya tumpukan tanah di
sekitar lubang galian, aman-aman saja. Tak
membahayakan. Tetapi bayangan apa yang
berkelebat barusan" Seakan ada sesuatu yang
menaunginya dari sinar matahari, lantas melenyap
dalam sekejap. Barangkali ada kucing atau anjing
melompati mulut lubang. Tetapi....
Sukri tidak begitu yakin. la angkat lengan untuk
menutupi matanya dari sengatan cahaya matahari.
Lantas berseru memancing reaksi: "Hei. Siapa di atas
situ"!" Mulanya tak ada apa-apa. Yang ada, hanya langit
telanjang. Sukri belum yakin. Maka ia pun berseru lagi, malah
setengah mengancam: "Aku tahu ada orang di atas.
Perlihatkan dirimu. Atau aku akan naik. Menyeretmu
ke bawah sini!" Setelah gaung suara Sukri melenyap, dari balik
puncak gundukan tanah di bibir Iubang, muncul
perlahan-lahan sepasang lengan kurus. Menjulur ke
depan, memperlihatkan jari-jemari berkuku-kuku
panjang mengerikan. Setelah menggapai udara
kosong sejenak, tangan-tangan itu mencengkeram ke
tanah, sampai terbenam hampir sebatas pergelangan.
Agaknya sekedar jadi tumpuan untuk menyeret
bagian lain tubuhnya naik ke atas gundukan. Lalu
duduklah ia di atas sana. Dengan wajah lusuh, rambut
awut-awutan, mata liar memandang kebawah. Tentu
saja, dengan cara duduknya yang khas pula:
mengangkangkan paha! Cara duduk perempuan tua renta yang mesum itu,


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau tidak mau membuat Sukri risih sendiri. Namun,
Sukri tak urung terkejut pula. Baru inilah pertama kali
perempuan itu muncul dan mendekat terang-terangan
selagi Sukri masih ada di dalam Iubang galian. lni tak
biasa. Dan ini patut dicurigai.
Sukri menekan perasaan risih, lantas berkata hati-hati:
"Awas, Nek. Kau bisa terpeleset jatuh. Sebaiknya
menyingkirlah dari situ...."
Perempuan tua itu hanya menyeringai.
Tanpa kata. Sukri diam-diam merasa cemas. Perempuan tua itu
boleh saja enteng tubuhnya, saking kurus kering.
Tetapi kalau ia jatuh atau melompat ke bawah, akan
sangat berbahaya. Lebih berbahaya lagi, kalau yang
jatuh atau ditatuhkan adalah gundukan-gundukan
tanah di sekitar bibir lubang. Sukri memikirkan cara
yang terbaik membujuk tamu tak diundang itu. Bisa
saja ia memburu, naik ke atas, lalu mengusir si tua
mesum itu jauh-jauh. Tetapi bagaimana kalau
perempuan tua itu yang lebih dulu beraksi"
Sesaat, Sukri tak tahu harus berbuat apa.
Sebaliknya pun, makhluk mengerikan di atas sana
diam pula. Entah apa yang dipikirkannya. Mereka
berdua saling memandang, dalam kebisuan yang
mencemaskan. Sampai tiba-tiba Sukri menyadari sesuatu. Yakni, cara
duduk si perempuan. Mengangkangkan paha!
ltu hanya punya satu arti. Parti, perempuan itu,
menginginkan sesuatu dari Sukri. Maka, secepat
pikiran itu muncul secepat itu pula Sukri lantas
bertanya: "Apa yang kau inginkan, Nek?"
Seringai Parti melenyap. Disusul bisikan pelan tetapi
tajam menusuk: "Harta karunku!"
Sukri terperanjat: "Apa"!"
"Jika kau ingin selamat..." sahut Parti, dengan suara
kering. "Jangan coba-coba mengangkanginya
sendirian!" Habis berujar demikian, Parti pun bergerak. Cepat dan
diluar dugaan, perempuan tua itu tahu-tahu sudah
melomp at berdiri di bibir lubang. Tak ayal lagi,
serpihan bahkan bongkahan-bongkahan tanah galian
jatuh berguguran ke bawah. Sukri panik seketika. la
merundukkan muka, melindungi kepala dengan kedua
lengan dari bahaya tertimpa runtuhan. Secara naluriah
ia bergerak ke tangga lalu berusaha naik ke atas
dengan kepala tetap dirundukkan.
Sukri sudah sempat didatangi kengerian kalau-kalau
ia tak berhasil selamat sampai di atas dan berakhirlah
nasibnya. Terkubur hidup-hidup di dasar Iubang galian.
Maka ia pun mulai berteriak-teriak panik, kemudian
histeris, sambil terus naik dengan gerak tidak teratur
lagi, tangga bambu terayun-ayun, kemudian tegak
lalu terbanting ke sebelah lain dinding sumur sehingga
Sukri hampir terlempar akibat hilang keseimbangan.
Tetapi tangga bambu itu tahu-tahu sudah kembali ke
posisi semula. Reruntuhan tanah pun pelan-pelan
berhenti berguguran. Kesempatan baik itu dimanfaatkan Sukri untuk naik
lebih ke atas, kali ini dengan kepala mendongak
untuk meyakinkan apakah masih ada kemungkinan
diserang, atau selamat. Sesosok lengan terjulur ke
bawah, menggapai kearahnya. Masih panik, Sukri
menepiskan lengan itu dengan kasar. Kepalanya
sudah muncul di permukaan lubang, dan ia sudah siap
untuk mencengkeram lengan yang terjulur tadi,
menyeretnya mentauhi lubang, kemudian memukuli
pemilik lengan itu sebagai pembalasan dendam yang
setimpal. Lengan itu memang berhasil ia tangkap dan terus
dicengkeram sambil melontarkan tubuhnya keluar
lubang, jatuh di tempat yang aman. la seret lengan itu
kearahnya dengan cengkeraman kuat agar tak
mampu meloloskan diri. Tanpa menyadari bahwa
lengan yang ia cengkeram, bukan lengan dingin yang
tinggal tulang berbalut kulit saking kurusnya.
Melainkan lengan lembut berisi, halus dan hangat.
Tangan kanan Sukri yang bebas sudah terangkat
untuk menampar, manakala ia mendengar keluhan
tertahan: "Aduh, Kang. Kau menyakiti aku!
Sukri pun tersentak. Matanya yang dikotori butiran
tanah, ia kerjapkan berulang-ulang. Berada kembali di
tempat terbuka sempat membuat pandangannya
silau. Namun kemudian samar-samar ia mengenali
wajah yang meringis kesakitan dihadapannya.
Setelah pandangannya menjelas, Sukri pun terkesima
sendiri. Yang duduk terbungkuk-bungkuk di depannya,
bukanlah Parti. Melainkan Zuraida, istrinya!
Sukri tergagap: "Apa...."
"Sakit! Aduh, lepaskan tanganku, Kang! Aduh!" Zuraida
mengeluh lagi. Barulah Sukri menyadari tangan kirinya masih
mencengkeram, bahkan setengah memilin lengan
Zuraida yang tadinya ia sangka lengan Parti, si tua
renta yang kini menghilang entah di mana. Mata Sukri
sudah mencari-cari berkeliling selagi ia melepaskan
istrinya. Tetap saja ia tidak menemukan perempuan
misterius yang hampir merenggut ajalnya itu. Apa
yang ia lihat hanyalah sebuah sepeda motor bebek
yang tergelimpang tak jauh dari lubang galian itu, dan
tas sekolah Zuraida yang isinya berhamburan di
tanah... Sukri menarik nafas lega. Meski tak puas, karena
kehilangan Parti sebelum ia sempat memberi
pelajaran yang sepatutnya pada perempuan brengsek
itu. la mengawasi wajah istrinya, dengan pandangan
menyesal karena telah menyakiti Zuraida tanpa sadar,
lalu bertanya terheran-heran: "Bagaimana kau tiba-
tiba sudah ada di sini, lda?"
Masih meringis menahan perasaan linu yang belum
hilang seluruhnya, Zuraida menceritakan ketika ia tiba
dengan sepeda motornya, ia terperanjat melihat Parti
tengah melompat-lompat di pinggir lubang galian, tak
ubahnya orang kesurupan. la sempat bingung sendiri
melihat tingkah Iaku perempuan tua itu, sebelum
kemudian ia dengar jeritan-jeritan serta sumpah
serapah orang panik yang bergaung dari arah dalam
lubang. Tahulah Zuraida suaminya terancam bahaya.
"Seketika itu juga motor kulemparkan dan aku
menghambur kemari. Tentu saja sambil menjerit-jerit
mengusir nenek yang lagi kesurupan itu!" Zuraida
memandang pula berkeliling. "Entah ke mana ia
menghilang!" "Coba andai saja ia masih ada disini!" Sukri
menggeram, seraya mengepal tangan dengan wajah
gemas. "Sudahlah. Kang Sukri. Yang penting, kau selamat!"
Zuraida membujuk seraya bangun dari tanah, menuju
sepeda motornya yang mesinnya sudah mati begitu
tadi jatuh terlempar. Sukri mengikuti. la ambil alih
sepeda motor itu, sementara Zuraida membereskan isi
tasnya. Kemudian bersama-sama mereka berjalan ke
arah rumah. Sepeda motor disimpan Sukri di beranda
depan. Sebelum masuk ke dalam rumah, sekali lagi ia
mengawasi sekitar. Rumah mereka terletak di tempat ketinggian. Dan
agakjiauh memencil dari rumah para tetangga, yang
letaknya lebih dibawah. Tak ada yang melihat
kejadian itu, itu sudah pasti. Tetapi kemana kiranya
Parti menghilang, begitu cepatnya" Dan apa yang tadi
ia sebut-sebut" "Harta karun, eh?" Sukri membathin diam-diam,
menyusul Zuraida yang sudah masuk lebih dulu untuk
terus ke dapur, menyiapkan hidangan makan siang
mereka. Selagl istrinya sibuk bekerja di dapur, Sukri masuk ke
kamar tidur. la bertalan ke lemari. Membukanya,
menarik laci yang ada di dalam lemari, lantas
mengeluarkan sesuatu dari dalam laci itu. Sekeping
uang logam. Uang logam tua, buatan jaman
penjajahan. Warnanya kuning tua, kecoklat-coklatan
karena proses kimiawi tertanam puluhan tahun
lamanya di dalam tanah. Tetapi yang pasti, itu adalah uang logam asli. Dibuat
dari campuran emas murni!
* LIMA BAYANGAN-BAYANGAN aneh itu pun berloncat-
loncatan di pelupuk mata Sukri. Awal mulanya, Sukri
rebahan di halaman samping rumahnya, sambil
menunggu Zuraida yang sore hari itu agak terlambat
pulang dari pancuran. Angin sepoi-sepoi basah
berhembus mengantarkan kantuk. Sukri pun terlena,
tanpa menyadari buku yang ia baca jatuh terlepas
dari tangannya. Bayangan teduh pepohonan rimbun
tak jauh darinya, serta hangatnya rerumputan yang
habis diillati matahari senja, membuat tidurnya
semakin nikmat. Dan muncullah bayangan-bayangan itu.
Berkeping-keping uang logam emas seakan
berhamburan dari langit, jatuh ke tanah di depan
matanya. Di antara hamburan uang emas itu, ia juga
sempat menangkap berkelebatnya mata golok yang
teramat tajam. Ada darah berhamburan,
menggenangi tumpukan uang emas di tanah. Sukri
merasa tercekik tiba-tiba. Lalu kepalanya seakan
tanggal dari batang lehernya. Dalam tidur, ia merintih
ngeri, sambil tangannya menggapai-gapai, seakan
menghindari sabetan golok yang terus berkelebat dan
berkelebat. Sukri baru terjaga dari mimpi buruk setelah Zuraida
yang baru pulang dari pancuran, membangunkannya.
Zuraida memberitahu, ia melihat suaminya tidur di
rerumputan, gelisah, berkeringat, dengan tangan
menggapai liar dan mulut menceracau tak menentu.
"Ah. Mimpi di siang bolong. Mimpi sialan. Tak lebih!"
Sukri menjelaskan pada istrinya tanpa menceritakan
isi mimpinya. Zuraida pun tak bertanya apa-apa lagi, kecuali
menegur, manja: "Tuh akibatnya. Diajak mandi, malah
tidur! Di tempat terbuka pula!"
Zuraida geleng-geleng kepala, lantas menambahkan
dengan suara menggoda: "Coba, kalau mimpi Akang
misalnya lagi dicium bertubi-tubi. Oleh bidadari!"
"Ya. senang dong!" Sukri menanggapi seraya
menguap. "Senang apa, Kalau sewaktu terjaga eh, yang
menciumi ternyata anjing kurap yang kebetulan
numpang lewat!" Zuraida mencemooh, kemudian
tertawa berderai. Tetapi Zuraida tak lagi bisa mencemooh konon pula
menertawakan suaminya, manakala mimpi buruk itu
berulang dan berulang lagi, di tempat tidur, dan
hampir setiap malam. Mimpi itu bukan saja membuat
Sukri ketakutan dan sempat demam akibat kurang
tidur. Zuraida pun tidak lagi yakin pada diri sendlri
bahwa apa yang dialami suaminya tak lebih dari
bunga-bunga tidur belaka. Meskipun Zuraida ingin
mencegah, namun toh akhirnya tak kuasa juga ia
menahan maksud suaminya untuk pergi bertanya
pada dukun. "Asal nantinya Akang jangan melakukan apa-apa
yang bertentangan dengan agama!" hanya itu yang
dapat dinasihatkan Zuraida.
Setelah bertanya di sana sini, akhirnya Sukri bertemu
dengan orang yang ia yakini kebenaran ramalannya.
Jukardi nama dukun itu, atau biasa dipanggil Abah
Kardi. Karena profesinya, dan karena usianya yang
sudah lanjut, mendekati tiga perempat abad.
Termasuk penduduk asli daerah itu, dan ia adalah
sedikit orang tua-tua yang masih tersisa selama
pertempuran-pertempuran melawan penjajahan.
Mata tua Jukardi berbinar-binar waktu mendengar isi
mimpi Sukri. "Aku tahu sedikit mengenai harta karun
itu!" katanya, tanpa menyembunyikan minatnya yang
besar. "Harta karun, Abah?" tanya Sukri, ikut tertarik. "Harta
karun siapa" Dan bagaimana...."
"ltu rahasia masa lampau!"
Jukardi tampak buru-buru menutup diri. Melamun
sejenak, dengan wajah keruh. Murung. Lalu: "Tak ada
perlunya kau ketahui. Yang pasti, harta karun itu
memang ada, dan kita sudah memperoleh petunjuk
dimana kiranya harta karun itu tertanam selama 40
tahun ini!" "Di mana. Abah?" tanya Sukri, tersedak.
Jukardi merapal mantera-mantera yang tak jelas,
sambil mengawasi permukaan air di baskom. Sukri
tak melihat apa-apa, kecuali permukaan air yang
sebening kaca, dengan aneka ragam rempah dan biji-
bijian tergenang di dasarnya. Tetapi lain halnya
dengan Jukardi. Matanya hampir tak mengerdip
mengawasi isi baskom, sebelum kemudian ia berujar
dalam bisikan: "Taman bunga kecil. Yang dinaungi
bayangan pohon rambutan, searah Timur sore hari." la
menambahkan ciri-ciri lainnya yang lambat laun dapat
ditangkap oleh Sukri. Mau tak mau Sukri terkejut. Ia belum menceritakan


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat itu pada Jukardi dan heran bahwa Jukardi kini
mengetahuinya lewat apa yang dilihat dukun itu
dengan pandangan gaibnya.
"Tempatku terlelap!" desah Sukri, tercekat. "Sewaktu
mimpi itu muncul pertamakalinya!"
Jukardi minta waktu untuk bersemedi. Mencari
wangsit, katanya. Lalu, tanpa boleh diganggu
siapapun juga, ia mengurung diri di kamar selama 40
jam. Ia tidak pula keluar untuk makan, minum,
ataupun buang air. Usai bersemedi, ia memberitahu
Sukri bahwa harta karun itu benar ada di tempat
yang telah diperkirakan. "Tetapi ada yang menunggui.
Kita harus memberi sesajen..." katanya.
Sukri langsung terhenyak. Mengeluh. "Wah. Gawat.
Abah!" "Kenapa?" "lstriku pasti tidak setuju. Dia..." sulit buat Sukri
menjelaskan. Teringat, untuk bertanya pada dukun
pun, Zuraida sudah mencak-mencak. Konon pula
sesaji. Berani potong kuping Zuraida pasti memekik
marah: ltu Perbuatan syirik!"
Mungkin memahami jalan pikiran Sukri, atau memang
sudah terbiasa menghadapi benturan semacam itu,
Jukardi tersenyum maklum. "lstrimu tidak perlu
mengetahuinya." la berkata, menghibur.
"Beres kalau begitu!" cetus Sukri, kembali
bersemangat. "Apa saja sesajennya, Abah?"
"Hanya satu macam. Tetapi untuk mendapatkannya,
tidak gampang. Biarlah itu kuurus..." ia diam sejenak.
Kemudian tersenyum licik. "Kita bicarakan imbalannya
dulu!" Sukri menjadi waspada. "Berapa Abah minta?"
"Harta itu. Kita bagi dua!"
Mau tak mau, Sukri membelalak. Lalu tertawa, kering.
"Yang benar saja, Abah. Harta itu tertanam di tanah
milikku. Dengan sendirinya...."
BetuI!" tukas Jukardi, kalem. "Dengan sendirinya,
kaulah pemiliknya yang syah. Kau pula yang berhak
menentukan pembagiannya. Tetapi sebelum dan
selama penggalian, harus ada orang yang mampu
berkomunikasi dengan si penunggu harta. Mampu
pula mengajak si penunggu agar mau be kerjasama.
Dalam hal ini, akulah ahlinya!"
Sukri tersudut. Bimbang. la baru saja terpikir untuk
menempuh caranya sendiri, ketika ia lihat si dukun
angkat bahu. Berubah santai, acuh tak acuh. Namun
kata-kata yang ia lontarkan, jelas berbau tantangan:
"Jika engkau ingin menggali sendiri tanpa bantuanku,
silahkan saja. Aku tak akan mencegah. Namun
resikonya tanggung sendiri pula!"
Tantangan itu membuat Sukri makin tersudut. la diam
sejenak. Memikirkan kemungkinan-kemungkinannya.
Akhirnya ia menyerah. Kecuali dalam soal pembagian.
Ia menjelaskan, mereka perlu bantuan satu atau dua
orang penggali sumur. Agar tidak terjadi heboh harus
dibuat kesan bahwa mereka hanya mencari mata air.
Namun tokh pada akhirnya, mereka yang ikut
menggali harus ditutup mulutnya begitu harta karun
ditemukan. Dapat dipastikan, mereka akan menuntut
tambahan upah. "Biarlah aku yang mengatur," ujar Sukri. "Tokh yang
kupakai orang-orangku sendiri...."
Disepakatilah, pembagiannya tiga perempat untuk
Sukri, seperempat untuk Jukardi. Adapun sesajen,
memang benar tidak gampang mendapatkan, jika
yang mencarinya Sukri sendiri. Lain halnya dengan
Jukardi. Entah bagaimana caranya, dalam tempo
singkat ia sudah memperoleh sesaji dimaksud. Seekor
ayam jantan yang serba putih: bulunya, paruhnya,
kulitnya, taji, bahkan geIambirnya. Sukri sampai tak
mempercayai matanya, ketika padanya diperlihatkan
ayam yang menurutnya langka didapatkan itu!
Tengah malam sebelum penggalian itu dimulai,
dilakukanlah upacara sesembahan. Menyembelih lalu
mengucurkan darah ayam dimaksud di tanah yang
akan digali. "Sebagai pemuas dahaga si penunggu!" kata Jukardi,
sebelum melakukan upacara itu seorang diri saja. Ada
pun tugas Sukri, sangat menyenangkan. la hanya
perlu menjaga agar Zuraida tidak mengetahui
kehadiran Jukardi dan apa yang diperbuat dukun
tersebut di halaman rumah mereka. Caranya, apalagi
kalau bukan membuat Zuraida sibuk
- di tempat tidur! Setelah Zuraida terlena, barulah Sukri diam-diam
meninggalkan tempat tidur. Di halaman samping
rumahnya, bersiram rembulan empatbelas hari,
tampak Jukardi membungkuk serius memandangi
rerumputan. Di dekatnya, ayam langka itu sudah
tinggal bangkai dengan leher terpenggal. Dan di bekas
darah dikucurkan, tampak asap tipis mengepul dari
tanah. Bahkan Sukri melihat dengan mata kepala
sendiri, sisa tetes darah-ayam bagaikan tersedot ke
dalam tanah. Dan rerumputan di sekitarnya,
mengering hitam. Bagaikan hangus terbakar!
"Penunggu yang haus darah!" telinga Sukri
menangkap bisikan lirih Jukardi, yang kemudian
membawa bangkai ayam pulang ke rumahnya.
Lumayan, untuk dimakan bersama anak istri.
Esok paginya penggalian itu dimulai. Sukri meminta
bantuan dua orang petani yang selama ini menggarap
sawah miliknya. Satu-satunya pertanyaan mereka,
adalah mengenai bentuk sumur yang akan dibuat.
Sesuai petunjuk Jukardi, bentuk sumur harus empat-
persegi panjang. Yakni, sepanjang tubuh Sukri waktu
ia rebahan dan tertidur di tempat dimaksud. Bentuk
yang tidak lazim itulah yang dipertanyakan.
Sukri yang menjawab untuk mereka:
"Aku menginginkan sumur yang menyerupai bak
besar. Agar tetangga sekitar dapat memanfaatkannya
bersama-sama tanpa harus berdesakan. Jika perlu,
akan kita buat pemandian umum di tempat ini. Jadi
kita tak perlu lagi bersusah-payah naik turun bukit ke
pancuran di bawah sana..."
Untuk menentukan panjang dan lebar sumur, tentu
saja sebelumnya telah diukur berdua oleh Sukri dan
Jukardi, tanpa kehadiran orang lain. Diukur menurut
panjang tubuh Sukri, dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki. Dan lebarnya, menurut panjang lengan
sampai ke ujung jari, setelah kedua tangan Sukri
dikembangkan horizontal di tanah berumput tebal dan
subur itu. Pertanyaan kedua muncul dari mulut Wasdri, si
penggarap sawah Sukri, ketika ia memperhatikan
dengan heran, bahwa setiap bongkah tanah yang
diangkat ke permukaan, dibongkar hati-hati oleh Sukri
maupun Jukardi, lalu ditaburkan berkeliling. Kali ini
Jukardi yang menjawab: "Itulah syarat dari si penunggu mata air!"
Setelah memcapai kedalaman tiga meter, tanah
masih tetap keras dan kering. Mana bercampur pasir
dan batu. Wasdri dan Ijang, menantunya, sudah akan
menyerah, bila Sukri tidak segera menjanjikan upah
lebih besar. "Begitu mata air kita temukan, kita pergi ke kantor
kelurahan, sekotak sawah milikku, akan kuhibahkan
tanpa kau arus membayar sepeser pun...."
Penggalian pun diteruskan lagi.
Lalu pada hari ketiga. ljang mengundurkan diri karena
mendadak terserang demam hebat. Sekujur tubuhnya
menggigil, dan kulitnya berubah kekuning-kuningan.
Jukardi dan Sukri terpaksa ikut turun menggali,
bergantian. Dan hari berikutnya mereka tinggal
berdua. Sebuah batu yang lumayan besar, terbongkar
dari dinding lubang galian. Wasdri tak keburu
menghindar. Akibatnya, tulang kaki kiri Wasdri retak.
Tak urung lagi, Zuraida langsung melancarkan protes:
"Penggalian ini harus dihentikan!"
Tetangga sekitar, sependapat dengan Zuraida.
Omongan mereka lebih menakutkan:
"Penghuni galian sumur itu marah karena diganggu!"
"Marah apa!" Jukardi memberengut kesal, sewaktu
berdua saja dengan Sukri. "Tokh sudah diberi
sesajen!"' Jukardi bersemedi lagi satu malam. Besoknya, ia
bilang: "Yang kita cari sudah semakin dekat!"
Benar saja. Belum lama ia dan Sukri meneruskan
penggalian itu, mereka dibuat terpesona ketika
berhasil mengorek sebuah benda dari bebatuan di
dasar lubang. Mereka segera membawanya ke atas.
Benda itu dibersihkan dengan jantung sama berdebar,
kemudian juga digigit untuk memastikan. Kemudian
Jukardi berujar lirih dan dengan suara bergetar:
"Keping uang emas tua. Tak salah lagi!"
Mereka berdua makin giat menggali. Sayang, hari
keburu malam dan mereka pun keburu habis tenaga.
Diputuskan untuk menunda pekerjaaan sampai esok
paginya. Dan, terdorong nafsu tamak, mereka berdua
juga memutusk an untuk menjaga sumur itu
sepanjang malam. Siapa tahu ada yang diam-diam
mengawasi mereka dan mengetahui apa yang
mereka temukan. Lalu, mencuri yang masih tersisa di
lubang galian! Diputuskan, Jukardi yang menjaga Iebih dulu sambil
bersemedi, sampai sekitar pukul dua malam. Lewat
pukul dua, bagian Sukri. Sukri tidak keberatan, meski
dalam hati bercuriga. Jangan-jangan, Jukardi
mengakalinya. Oleh karena itu. la juga meminta
bantuan Zuraida mengintip dari balik tirai jendela, jika
Sukri yang diam-diam berlaga-jaga di dalam rumah,
tertidur. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri
hasil temuan suaminya, sedikit banyak Zuraida
tergoda juga. Mana ia tidak tahu bahwa usaha
penggalian itu dilakukan dengan pakai sesaji. la
setuju ikut mengawasi si dukun.
Menjelang tengah malam, Zuraida tertidur di kursi.
Sukri yang duduk di kursi sebelahnya, tidak berani
memindahkan istrinya ke kamar. Bukan apa-apa. la
tak mau terlengah mengawasi Jukardi lewat tirai
jendela yang sengaja tersingkap sedikit. Di luar,
bermandi sinar rembulan, tampak Jukardi duduk tak
bergerak-gerak menghadap ke pinggir lubang galian.
Duduk bersila, dengan punggung tegak, dan kepala
menekur. Mungkin sudah tertidur pula dalam
duduknya! Sukri sudah tak sabar ingin menggantikan tempat
Jukardi, ketika beberapa menit lewat tengah malam
ia melihat sesuatu. Kepala Jukardi mendadak tegak!
Jukardi melihat berkeliling.
"Mau apa dia?" pikir Sukri, waspada.
Dan, dari kegelapan di sekitar lubang galian, tahu-tahu
muncullah kabut. Makin lama makin tebal. Semuanya
mengarah ke Jukardi, yang kembali menekur.
Semakin dalam. Kabut itu pun semakin tebal saja.
Hampir menggelapkan pandang Sukri. Yang
mengherankan, kabut tebal itu seakan berusaha
mengepung Jukardi. Lalu, sekonyong-konyong Sukri mendengar bisikan
sayup-sayup. Bisikan tajam, bergetar, agak terputus-
putus. Seperti suara orang tersedak!
"... Suk... riii..."!"
* Sukri tersentak. Yang ia dengar bukan bisikan, tetapi panggilan. Kali ini
lebih lantang: "Kang Sukri! Ayolah, ldah sudah lapar
nih!" Kelopak mata Sukri mengerjap. Ternyata ia ada di
kamar tidur, di depan lemari pakaian, dengan
kepingan uang logam emas di telapak tangan. Uang
emas jaman penjajahan Belanda. Sukri menelan
ludah, memasukkan benda itu ke laci. Setelah
menutup lemari, ia bergegas pergi ke ruang tengah.
Dimana Zuraida sudah siap menunggunya untuk
makan siang. Mereka berdua makan hampir tanpa gairah, meski
mereka sudah sama-sama lapar. Zuraida tenggelam
dalam pikirannya sendiri. Memikirkan Parti, si nenek
sihir kata orang. Mengapa perempuan tua renta itu
mendadak berani menampakkan diri dan
mengganggu Sukri" "... apa sih maunya?" sempat Zuraida nyeletuk.
Sukri yang tengah melamun, menyahut terkejut.
"Siapa?" "Nenek Parti..."
"Oh. Perempuan sihir itu!" dengus Sukri, tak senang.
"Barangkali ia mau mencelakakan aku. Dengan ilmu
hitamnya!" Zuraida tertawa, kecut. "Omong kosong apa itu, Kang
Sukri. Parti tak lebih dari seorang gelandangan tua.
Yang hidup dari belas kasihan orang. Dengan caranya
sendiri..." Zuraida menggelengkan kepala, teringat apa yang ia
dengar dari orang-orang, bila Parti menginginkan
sesuatu, pasti ia melakukan hal yang itu ke itu saja:
mengangkangkan paha. Tak suka membicarakan cara Parti yang ganjil itu,
Zuraida mengalihkan pembicaraan ke soal lain yang


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga mengusik pikirannya. "Dengar-dengar di lereng
gunung sana, Parti menunggui kuburan. Kuburan siapa
sih, Kang Sukri?" "Entah!" rungut Sukri, tak berminat. "Ada yang bilang,
kuburan saudaranya. Yang lain bilang, suaminya. Ada
pula, leluhurnya. Pendeknya, sebuah kuburan
keramat. Bahkan ada yang mengatakan, penghuni
kubur itulah yang membuat Parti betah tinggal di
sana. Kata mereka, si penghuni kubur memuaskan
nafsu seksuil Parti. Sebagai imbalan ilmu hitam yang
diperolehnya!" "Yang benar!" Zuraida tertawa, mencemoohkan.
  "Aku sendiri sih percaya tidak percaya," Sukri
mendengus. "Mau bertanya lebih jauh, orang-orang
seperti ketakutan bila menyinggung soal Parti.
Sayangnya, biar namanya aku berkampung halaman
di desa ini, aku lahir dan tinggal di kota. Hanya pernah
pulang sekali, di masa bocah ingusan. Ketika nenek
meninggal. ltu pun sebentar. Ayahku tidak menyukai
desa ini. Tanpa pernah memberitahu apa sebabnya...."
Melihat suaminya tidak menyukai bahan pembicaraan
mereka, Zuraida tak lagi bertanya. Kembali mereka
makan diam-diam, sampai akhirnya Sukri berhenti
sendiri. Jelas, kehilangan selera.
Zuraida segera membereskan meja makan. Setelah
menyediakan kopi untuk suaminya, ia mengambil
bakul berisi pakaian-pakaian kotor.
"Yang Akang pakai sebaiknya kucuci sekalian, Kang
Sukri," ia mengingatkan suaminya yang makan tanpa
ganti baju, bahkan sampai lupa membersihkan muka
dan tangannya yang kotor bekas menggali.
"Tanggung," jawab Sukri, pendek.
"Masih belum kapok, Kang?"
"... dasar sumur sudah semakin basah dan becek. Aku
yakin, tak ada harta karun, paling kurang mata air lah
yang nanti kudapatkan!"
Zuraida mengeluh. "Korban sudah berjatuhan, Kang!"
Sukri hanya angkat bahu. Zuraida sadar tak dapat lagi mencegah suaminya.
Masa lalu yang menyenangkan tetapi berakhir dengan
teramat pahit dan menyedihkan, adalah
penyebabnya. Juga ia percaya, jika toh hanya air
yang ditemukan suaminya, Sukri masih dapat
bergembira. Karena itu berarti, Sukri dapat
meringankan beban Zuraida yang terpaksa ikut
dengan sang suami ke desa ini, betapa pun pahit dan
sulitnya hidup yang harus mereka tempuh. Asal bisa
makan. Dan, bisa tetap bersama-sama. Kalau
mungkin, sampai ajal tiba.
Sukri pun memikirkan hal yang sama, sepeninggal
istrinya. Duduk melamun sendirian, ia meyakinkan diri
agar jangan berputus asa. la juga masih yakin, harta
karun itu ada. Buktinya, kepingan uang emas tua di
laci lemari. Dan tadi, di lubang galian, apa pun tujuan
Parti... Jelas perempuan tua itu mengucap sesuatu
yang memperkuat keyakinan Sukri. Terngiang di
telinga Sukri apa kata Parti:
"Harta karunku...! Jangan coba-coba mengangkanginya
sendirian!" Dan Sukri jelas akan mengangkangi sendiri. Berdua
dengan Zuraida. Parti boleh saja mengatakan apa
yang ada di lubang galian itu adalah harta karunnya.
Tetapi secara hukum, akan menjadi milik Sukri
seorang. Karena adanya di tanah milik Sukri yang
syah. Tak akan ada orang yang tahu, jika akhirnya
harta itu ia dapatkan. Dan tak akan ada yang
mempercayai omongan Parti. Semua orang tahu,
mulut Parti berbisa! Sukri menyulut sebatang rokok. Lalu menghirup kopi
yang sudah mulai dingin. Sambil berpikir, kekuatiran
Zuraida pun tak boleh ia abaikan begitu saja. Korban
telah jatuh. Mula-mula ljang. Lalu Wasdri. Dan tiga
hari yang lalu, tiga hari yang menjengkelkan karena
harus duduk menunggu sebagai tanda ikut
berbelasungkawa, Jukardi yang kena.
Mengerikan lagi! Terngiang lagi bisikan ganjil yang menyentuh telinga
Sukri malam itu. Bisikan seseorang memanggil
namanya. Kemudian membujuknya supaya tidur,
karena: "...akan segera... tiba!" bisik suara aneh itu.
Setelah bisikan itu berlalu, Sukri sempat menduga
bahwa itu adalah bisikan Jukardi, melalui semacam
telepati. Maksudnya, giliran Sukri untuk berjaga-jaga
di lubang galian, sudah hampir tiba. Dan ia harus
memanfaatkan sedikit waktu yang tersisa, untuk
benar-benar istirahat. Jika tak ingin, sewaktu berjaga-
jaga, nanti ia terlelap tanpa sadar. Dan orang lain,
khususnya Suparti... Malam itu, Sukri tertidur. la terserang kantuk yang
hebat. Sebelum matanya terpejam, samar-samar
masih terlihat oleh Sukri lewat jendela kaca, di luar
sana tampak Jukardi seperti meronta-ronta, sebelum
kabut tebal itu benar-benar mengurung dan menelan
seluruh tubuh sang dukun, Sukri heran mengapa
Jukardi bertingkah seperti itu, namun tak kuasa untuk
menjawab apalagi pergi ke luar rumah untuk
menyelidiki. Karena, serangan kantuk i
a melangkah turun dan bergabung dengan Mak Isah yang masih sibuk
mencuci. Istri jurutulis desa itu menyambut Zuraida
dengan senyuman gembira. Maklum, dapat teman
ngobrol lagi. Zuraida pun mengangguk sopan pada Saodah,
disambut ucapan misterius: "Betis elokmu ada yang
mengimpikan, Ida!" Zuraida heran. Mau bertanya. Tetapi Mak Isah sudah
mendahului: "Daripada mengurus betis orang lain,
Odah, sebaiknya kau pulang saja. Siapa tahu
suamimu mendapat betis lain lagi!"
Saodah pun minggat tanpa menoleh-noleh lagi.
Mak Isah menggelengkan kepala. "Odah sebenarnya
anak baik. Sayang, suaminya mata keranjang. Tahu
kau siapa yang tadi ia maksud, Ida?"
Zuraida mengeluarkan cuciannya tanpa menyahuti. Ia
sudah dapat menduga. "Barusan Odah bilang, tadi malam ia menempeleng
suaminya." desah Mak Isah prihatin.
"Astaga! Mengapa"!" Zuraida tokh terkejut juga.
"Kau, 'kan lihat sendiri, Ida. Urat betis Saodah pada
menyembul. Menurut cerita Saodah, tadi malam
suaminya mengigau dalam tidur. Menyebut-nyebut
namamu. Dan betapa eloknya betismu!" Mak Isah
tersenyum, melirik ke betis Zuraida. "Leman memang
tidak salah," gumamnya, setelah memperhatikan betis
Zuraida. "Sayangnya, ia mengigau tanpa mengetahui
istrinya masih terjaga. Dan, plak! Leman pun bangun
sambil berteriak kaget karena ditempeleng istrinya..."
Mau tak mau Zuraida tertawa. "Leman memang patut
mendapatkan hukuman itu!" katanya, gembira.
Teringat ketika si lelaki pernah memaksa mengurut
betisnya, bahkan sempat menyekap payudaranya.
"Sialnya, aku yang ketiban pulung!"
"0dah jangan diambil hati, Nak," kata Mak Isah
menghibur. "Lagi, betismu memang elok. Mana kau
cantik. Aku kagum padamu. Mau bersusah-susah
hidup di desa terpencil ini. Tetap tampak bahagia.
Padahal, aku yakin, tadinya hidupmu pasti
menyenangkan sewaktu masih tinggal di Jakarta...."
"Demi cinta, Mak Isah," desah Zuraida. Lirih.
"Hem. Aku yakin, demi cinta pulalah suamimu
memaksakan diri menggali sumur di dekat rumah
kalian. Ia tak sampai hati melihatmu men derita.
Memang begitulah seharusnya hidup berumahtangga.
Saling menyinta. Dan rela berkorban demi orang yang
kita cintai!" Zuraida sempat tertegun mendengarnya, tetapi cepat-
cepat ia bersikap biasa kembali. Kuatir gejolak
perasaannya diketahui Mak Isah. Mereka masih terus
ngobrol ngalor-ngidu!. Mak Isah yang sudah selesai,
menunggu Zuraida yang masih harus mandi,
kemudian bersama-sama meninggalkan pancuran. Di
tanjakan kedua dari bawah mereka berpisah, setelah
saling mengucapkan saIam, Mak Isah membelok ke
kiri yang jalan setapaknya sudah mendatar. Zuraida
menempuh jalan lurus dan ia masih akan mendaki
tiga tanjakan lagi sebelum tiba diatas sana.
Tanjakan-tanjakan terjal dan berbahaya itulah salah
satu pengorbanan Zuraida. Jangankan turun naik
bukit. Di Jakarta, boleh dibilang langka ia berjalan kaki
lebih dari dua atau tiga kilometer. Jalanan yang datar,
serba diaspal pula. Kemana-mana ada bis kota atau
metromini. Ongkos pun tak seberapa. Asal berani naik
berebutan, tahan berdiri berjejal-jejal dan tahu cara
menjaga keseimbangan tubuh ketika baru
menginjakkan sebelah kaki di trotoar, bis sudah
tancap gas tak perduli. Itu, sewaktu Zuraida masih bekerja di bar, sebagai
pramulayan Setelah berkenalan dan kemudian
pacaran dengan Sukri, Zuraida tak perlu lagi
mendengarkan umpat-cerca atau mencium bau
keringat puluhan orang penumpang. Sukri, dengan
setia mengantar dan menjemput Zuraida pakai
mobilnya sendiri. Sukri pula yang mencarikan
pekeriaan baru untuk Zuraida. Lebih besar gajinya,
dan status sosialnya juga lebih terhormat. Jadi guru
les matematika di sebuah grup studi mahasiswa.
Padahal Zuraida hanya tamatan SMA.
Keistimewaannya, nilai matematikanya di rapor
maupun di ijazah, tak pernah kurang dari angka
sembilan. Ayah Zuraida yang cuma buruh bangunan,
pun ikut kecipratan rejeki. Sebelum Zuraida dilamar
Sukri, ayahnya sudah naik pangkat jadi pemilik
material kecil-kecilan, dim
odali oleh sang calon menantu. Tetapi bukanlah materi yang mendorong
Zuraida bersedia diperistri oleh Sukri. Mereka sudah
saling menyintai ketika pertama kalinya mereka
bertemu. Pertemuan yang mengesankan, sekaligus
memalukan - seorang pemabuk berat nekad
merangkul dan menciumi Zuraida. Zuraida marah
lantas meludahi muka si lelaki. Orang yang lagi
mabuk berat itu tak mau terima, dan balas memukul
Zuraida sampai Zuraida jatuh terjerembab. Orang itu
akan menendang Zuraida ketika si pemabuk kurang
ajar itu tahu-tahu sudah melayang di udara lalu
hinggap dengan kerasnya di sebuah meja,
mengakibatkan meja itu hancur berantakan. Si
pemabuk terpaksa diangkut ke rumah sakit dengan
dua tulang belikat patah.
Urusannya berlanjut ke kantor polisi. Ayah si
pemabuk tidak mau terima tulang belikat anak
kemanjaannya dipatahkan orang tidak dengan
seijinnya. Si ayah kebetulan orang berpangkat, punya
kedudukan yang disegani. Tetapi tidak semua saksi
bersedia dibujuk tutup mulut. Si orang tua malu
sendiri. Perkara di peti-es-kan, dan untuk
menyenangkan kedua belah pihak, tidak ada tuntut-
menuntut ganti rugi. Zuraida-lah yang merasa dituntut. Untuk
berterimakasih. Tetapi Sukri, si pahlawan, hanya
berkata apa adanya saja: "Waktu melihatmu di bar,
aku pun ingin sekali menciummu. Sayangnya, aku
tidak seberani anak orang berpangkat itu. Entah,
kalau saat itu aku pun minum sampai teler!"
"Mengapa tidak lakukan saja sekarang?" tanya
Zuraida, tanpa berpikir panjang. Maksud semula,
hanya iseng menggoda. Agar percakapan mereka
yang kaku, dapat lebih santai.
"Boleh?" tanya Sukri, tidak pasti.
"Dengan senang hati!"
Sukri pun membungkuk ke depan. Akan mencium.
Sampai Zuraida terperanjat sendiri. Namun perasaan
terperanjat itu ia sembunyikan. Juga ia sembunyikan
keluhan kecewa: laki-laki, di mana pun, sama saja!
Tetapi Sukri tak jadi menciumnya.
Padahal Zuraida sudah pasrah. Anggap saja ucapan
terima kasih. Setelah itu, persetan dengan kamu!
Lantaran Sukri menunda ciuman, Zuraida bertanya
heran: "Kok tidak diteruskan?"
Sukri tersenyum. Misterius. Katanya: "Aku baru
menciummu, jika bibirmu menerima dengan sukarela.
Dan ikut menikmatinya!"
Empat bulan berlalu, sebelum bibir mereka benar-
benar saling menyentuh. Tak kuat menahan getaran hati, Zuraida sampai
menitikkan air mata. Air mata bahagia!
* Zuraida tersenyum. Tersenyum bahagia mengenang masa lalunya. Namun
ketika kakinya melangkah setapak demi setapak
menaiki tanjakan, pelan tetapi pasti semakin ke atas
tanjakan itu terasa semakin berat. Seberat baki yang
ia pegang dengan tangan gemetar ketika suatu
malam diam-diam mencuri dengar pembicaraan
suaminya dengan tamu mereka di ruang tengah.
Sebelumnya sudah ada pertanda. Dan ketika Zuraida
sengaja mengambil alih tugas pelayan
menghidangkan minuman untuk tamu mereka,
pertanda itu tidak mampu lagi menyembunyikan diri.


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak sekali suaminya dan tamu mereka
terbungkam mendadak sewaktu mereka sadari, yang
meletakkan minuman di meja bukan pelayan. Mereka
berdua baru meneruskan pembicaraan setelah yakin
Zuraida menghilang di dapur. Tanpa mengetahui,
Zuraida mengintip dari celah daun pintu dapur yang
sengaja tidak ia tutup rapat. Bahkan sesekali, Sukri
menyempatkan untuk menoleh ke pintu dapur setiap
kali mereka mempercakapkan hal-hal yang memang
peka. "... boleh buat, Sukri!" begitu ia dengar antara lain,
ucapan tamu mereka. "Kita tak punya pilihan lain!"
"Apa tindakan yang akan Bapak ambil?" la dengar
pula Sukri bertanya gemetar pada direktur
perusahaan tempatnya bekerja sekian tahun yang
menyenangkan itu. "Aku dapat mengurus diriku sendiri! Tetapi kau..."
majikan Sukri menggantung kalimatnya. Baru
kemudian meneruskan dengan suara dingin: "Kau
punya dua alternatif, Sukri! Terus terang harus kuakui
bahwa memang akulah yang dulu membujukmu
untuk membuat pembukuan ganda. Kau pun,
mulanya, menolak diberi imbalan. Tetapi tidak,
TUJUH GUNTUR menggelegar lagi. Disusul ledakan petir yang seakan membelah langit
dengan terjangan liar. Membuat bumi sempat
menggelepar. Dan di tempat yang berjauhan, dua
orang anak manusia terkesiap, cemas. Di bidang
dinding gunung yang menganga terbuka itu, Suparti
duduk resah menghadapi perapian di sebuah gubuk
kecil yang kumuh dan reot. Sekumuh dan sereot
penghuninya sendiri. Lehernya terangkat sedikit ketika mendengar gelegar
guntur dan cahaya petir sesaat menerangi bagian
dalam gubuknya. Suparti tidak merasa perlu untuk
pergi ke luar, melihat keadaan cuaca. Ia sudah tahu
hujan badai akan segera turun menyapu gunung dan
lembah di sekitarnya. Tetapi nalurinya menangkap suatu getaran misterius
pada permukaan tanah yang didudukinya. Ia tahu
betul itu bukan getaran gempa atau gejal a akan
terjadinya tanah longsor. ltu adalah suatu getaran
ganjil, namun terasa menyatu dengan dirinya.
Suparti mengawasi dinding gubuk di seberang
perapian. Mata tuanya menyorot tajam, seolah-olah
berusaha menembus dinding untuk melihat apa yang
ada di sebelah luarnya. Yakni sebuah kuburan tua,
satu-satunya kuburan yang ada di sepanjang lereng
gunung di mana gubuknya terletak. Kuburan itu padat
dan kokoh. Gelepar bumi tidak akan merontokkannya.
Tetapi si penghuni kubur....
Apakah si penghuni kubur sudah memutuskan tiba
waktunya untuk bangkit, malam ini"
"Tetapi, Kang Parta..." Suparti membathin, getir.
"Haruskah itu kau lakukan?"
Mata tua Suparti kembali ke perapian.
Nyala api tampak membesar secara aneh. ltu adalah
api dendam. Yang sudah lama ingin dibunuh Suparti.
* Jauh di lembah, orang kedua yang terkesiap adalah
Zuraida yang baru saja selesai menunaikan sholat
Maghrib ketika cahaya petir menyambar ke dalam
lewat jendela kaca. Barulah ia sadar bahwa ia hanya
sendirian di dalam rumah. Suaminya masih ada di
luar. Zuraida bersujud memohon ampunan Tuhan.
Sekalian memohon agar suaminya disadarkan, masih
banyak hal-hal yang jauh bermantaat untuk
dikerjakan suaminya, selain menggali lubang sumur
semakin dalam. Terdengar lolong anjing meratap di kejauhan. Angin
keras pun terdengar menyapu di sana-sini. Berdesah-
desah menyeramkan. Disusul bunyi hentakan-
hentakan daun pintu, entah yang mana di dalam
rumah itu. Menghempas menutup, terbuka, menutup
lagi. Dengan suara keras, mengejutkan. Zuraida
bangkit, membereskan sajadah dan mukenanya.
Kemudian berjalan ke jendela. Ia mengintip keluar.
Suasana di luar sana tampak gelap menakutkan.
Zuraida masih dapat menangkap bayangan balok-
balok sejajar terayun-ayun di atas lubang galian.
Kemana pun mata Zuraida mencari, tetap saja ia tidak
menemukan Sukri. Zuraida membuka jendela, mengabaikan terpaan
angin yang menampar wajahnya. Lantas memanggil-
manggil kuatir: "Akang" Kang Sukri... kau masih di
sana"!" Tak ada sahutan, atau gerakan seseorang.
Zuraida cepat-cepat menutupkan jendela,
menguncikan selotnya sekalian. Wajahnya berubah
cemas. Ia bermaksud keluar lewat pintu depan untuk
menyusul suaminya dan mendesak Sukri untuk
segera masuk ke dalam rumah. Baru saja ia
menginjakkan kaki di ruang tengah, ia mendengar
suara berkeriutnya pintu dibuka, hempasan angin,
langit yang berderak tanpa hujan, lalu terlihat buku-
buku di atas meja makan pada terbuka oleh serbuan
angin. Banyak kertas bertaburan di lantai.
"Pintu dapur. Siapa yang membiarkannya terbuka?"
bisik Zuraida, mendadak tegang. Mustahil jika Sukri
yang melakukannya. Sukri tak akan berbuat
sembarangan begitu. Sukri akan cepat-cepat menutup
pintu setelah masuk ke dalam, dan....
Dan, hempasan angin itu sekonyong-konyong mereda
sendiri. Suara-suara ribut yang misterius di luar sana,
menyayup hilang. Pintu agaknya telah ditutupkan.
Tetapi udara di dalam rumah, mengapa masih tetap
terasa dingin, menggigit"
Seraya menggigil menahan terpaan udara dingin yang
terasa lain dari biasanya itu, Zuraida menuju dapur
sambil kembali memanggil nama suaminya, yang
tetap pula tidak memperoleh sahutan. Ia baru
menyadari kebisuan yang mengherankan itu setelah
tiba di dapur, dan melihat pintu yang menuju
pekarangan belakang, sudah tertutup rapat. Lampu
cempor yang tergantung pada paku di tembok,
untungnya tidak padam oleh tiupan angin tadi.
Cahayanya yang lemah menerangi apa saja yang ada
di dapur. Termasuk lantai, yang tampak kotor.
Ah, apa kiranya yang mengotori lantai"
Seperti tanah becek berlumpur. Zuraida merunduk
untuk lebih jelas menyimak, dan tahulah ia bahwa
yang mengotori lantai adalah jeiak-jejak kaki
seseorang. Jejak itu menuju ke satu arah, yakni
tembok di arah samping belakang Zuraida. Secara
naluriah, Zuraida seketika memutar tubuh.
Sesosok tubuh menyandar kaku ke tembok.
Penampilannya menakutkan, dengan sepasang mata
memandang lurus ke mata Zuraida. Sorot mata itu
gelap. Tetapi menusuk, tajam...!
Zuraida hampir menjerit saking terperanjat dan ngeri,
manakala sekujur tubuh itu bergerak mendekatinya.
Sinar lemah lampu cempor membantu Zuraida untuk
mengetahui apa penyebab penampilan sosok tubuh
itu tampak menakutkan. Ternyata, kotoran tanah
berlumpur mulai dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki, menempeli pakaian bahkan sebagian wajah,
telah membuat Sukri tak ubahnya sesosok mayat
yang baru bangkit dari kubur.
"Astaga... Akang, kiranya!" desah Zuraida, bernafas
lega. Tertawa sumbang, sebelum memberikan teguran
halus: "Ya ampun. Masuk kok tak bilang-bilang. Bikin
kaget saja!" Zuraida membersihkan pipi suaminya dari kotoran
lumpur. Barulah penampilan Sukri tampak lebih
menyenangkan. Kecuali sinar matanya. Sinar mata
Sukri begitu gelap, seperti kehilangan gairah hidup.
"Kok diam saja, Kang. Ngomong dong!" Zuraida
mengajak santai. Menduga, kelainan pada sinar mata
suaminya mungkin disebabkan kelelahan. Atau,
barangkali juga, Sukri sudah dapat memastikan
bahwa tak ada apa-apa yang bakal ia peroleh dari
lubang galian itu. Tidak mata air. Apalagi, harta karun!
"Masuklah ke kamar mandi. Telah kumasakkan air
untukmu!" Zuraida masih tetap berbicara seorang diri.
Berusaha menyimpan kekuatiran, melihat sang suami
seperti orang yang sudah sangat putus asa. Ketika
Sukri diam saja, ia lalu menarik tangan suaminya
masuk ke kamar mandi. Kamar mandi darurat di
musim penghujan, yang kini pun sudah
memperlihatkan kehadirannya. Selain bak
penampungan air hujan, di kamar mandi itu ada dua
buah gentong besar yang berisi persediaan air yang
diangkut dari pancuran. Tak apalah, air untuk
kebutuhan dapur itu sesekali dipakai mandi.
Zuraida menghidupkan lampu cempor yang juga
tersedia di situ. Setelahnya balik lagi ke dapur untuk mengambilkan
panci berisi air mendidih yang sejak tadi ia biarkan
terjerang di atas tungku, dengan bara api tetap
menyala. Di luar, hujan sudah turun. Tanpa didahului rintik-rintik.
Langsung saja tumpah dari langit. Menimpa atap
rumah mereka. Dan menimbulkan suara berderak,
yang bukan mustahil akan menyebabkan terjadinya
bocor di sana-sini. Bak kamar mandi akan kembali penuh air. Berlimpah-
limpah. Tetapi di luar rumah, air pun melimpah pula di
sana-sini. Permukaan gundukan tanah di sekitar
lubang galian, perlahan-lahan turun oleh timpaan
hujan. Badai masih terus saja menggila. Balok-balok
penyangga di atas sumur galian tampak bergoyang-
goyang ke kiri ke kanan. Makin lama makin tampak
miring. Tali timba yang terkait pada pengerek besi,
ikut pula terayun-ayun. Tiga buah ember plastik kecil
dan kosong di ujung salah satu tali itu, terseret dan
terlempar kian kemari mengikuti kemauan angin
badai, yang kali ini agaknya tidak hanya sekedar ingin
bermain-main. Hanya satu ember yang tidak
tergoyahkan angin. Yakni ember yang lebih besar.
Yang ditangkupkan menutup di tanah berlumpur.
Ditangkupkan seperlunya saja. Namun seperti ada
yang menahan agar ember itu tidak terhumbalangkan
angin, bahkan tidak bergerak dari tempatnya walau
hanya seinci. Padahal di sekitarnya air
melimpah kian kemari, kian lama kian menggenang. Dan mestinya
membuat ember itu terapung sendiri.
Lalu, gundukan tanah di bibir sumur, mulai longsor.
Runtuh berhamburan ke dasar lubang galian, dengan
suara riuh rendah karena disertai luapan air yang tiba-
tiba menemukan jalan untuk mengalir ke tempat
yang lebih rendah. Dinding lubang galian bergetar,
kemudian salah satu sisinya mulai retak.
Ember yang satu itu, tetap saja tidak tergoyahkan.
Limpahan air dan angin badai, bahkan seperti enggan
mendekatinya... * DELAPAN DI kamar mandi, Sukri benar-benar tampak kehabisan
tenaga. Jangankan menggerakkan tangan atau kaki.
Menggerakkan leher pun susah. Zuraida terpaksa
membantu suaminya menanggalkan pakaian. Dan
ketika ia lihat Iutut suaminya gemetar, Zuraida
sampai tertawa sendiri. "Sudah. Duduk saja di lantai. Biar aku yang
memandikan Akang," katanya.
Sukri menurut dengan patuh. Tanpa berkata apa-apa.
Ia duduk di lantai tanpa bergerak-gerak. Membiarkan
Zuraida menyirami, menggosok, menyabuni tubuhnya.
Zuraida pun melakukannya dengan senang hati.
Walaupun suaminya tampak seperti bocah yang
belum tahu apa-apa, Zuraida justru membayangkan
malam-malam masa pengantin mereka, di mana ia
dan Sukri saling memandikan satu sama lain.
Rasanya, ia menikmati kembali kebahagiaan di masa
pengantin itu, selagi menggosok dan menyabuni
tubuh suaminya. Usapan-usapan tangannya lembut,
penuh rasa cinta. Bahkan sekali, Zuraida sempat
terbangkit sendiri gairah seksuilnya. la pasti sudah
menanggalkan pakaian sendiri lalu mengajak
suaminya bermain cinta di lantai kamar mandi itu...
jika tidak segera menyadari bahwa suaminya sudah
teramat lelah. Terbukti dari usapan-usapan teratur dan
disengaja pada bagian-bagian tertentu di tubuh Sukri,
tokh tidak berhasil merangsang bangkitnya gairah si
suami. "Tak apa. Masih ada waktu. Setelah ia cukup kuat!"
Zuraida membathin sendiri. Dan dengan susah payah
menekan nafsunya yang sempat terbangkit.
Zuraida juga tidak merasa kecewa setelah usai
mandi, Sukri menolak ajakan makan malam.
"Aku letih sekali. Ingin tidur..." jawab Sukri, sewaktu
Zuraida lagi-lagi harus membantunya mengenakan
piyama tidur. Ia selimuti suaminya dengan penuh rasa
cinta. Dan cinta pula yang mendorong Zuraida memberi
sedikit cambukan dengan kata-kata: "Makanya, kalau


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekerja... jangan sampai lupa waktu!"
Zuraida tidak melontarkan apa yang sebenarnya ingin
ia tambahkan: dan jangan lupa sholat.
Ada satu hal lain, yang tak kurang penting, memenuhi
pikiran Zuraida. Ia tidak ingin menunda-nu ndanya, lalu
nekad memberi cambukan terakhir: "Mulal besok,
hentikanlah pekerjaanmu yang sia-sia itu!"
Berhenti menggali sumur, menggali harta karun"
Sukri mengerjap ketika mendengarnya. Ia menatap
lurus ke mata istrinya, seperti seorang murid yang
sadar telah melakukan kesalahan besar, yang sulit
dimaafkan... bahkan juga sulit untuk diperbaiki.
Memandang terbodoh-bodoh sejenak, ia kemudian
bergumam getir: "Tak perlu lagi, Ida. Tak perlu lagi...."
Sejalan dengan ucapan Sukri, dari luar rumah
terdengar suara berderaknya kayu berpatahan.
Zuraida pergi ke jendela, menyingkapkan tirainya lalu
mengintip keluar. Di antara butir-butir hujan yang terayun
bergelombang-gelombang oleh sapuan angin badai,
terlihatlah gerakan samar-samar disekitar lubang
galian, seakan ingin membantu Zuraida su paya dapat
melihat lebih jelas, petir pun menyambar-nyambar
kian ke mari, membuat keadaan diluar menjadi
terang benderang walau hanya beberapa kejap saja.
Namun dalam tempo yang teramat singkat itu,
Zuraida sudah dapat melihat semuanya. Balok-balok
penyangga di atas lubang galian tampak sudah
berpatahan. Potongan-potongan kayu itu terayun
hebat kian kemari, kemudian seperti direnggut
tangan-tangan gaib dari tanah, untuk seterusnya
ambruk, lenyap hilang di dalam lubang galian.
Bongkahan-bongkahan tanah menyertainya begitu
pula limpahan air hujan. Paling akhir, tali timba lenyap
pula membawa tiga buah ember-ember plastik yang
terkait satu sama lain itu.
Apa yang tersisa di sekitar lubang galian, adalah
kehancuran yang menyedihkan. Rerumputan dan
bebungaan yang subur sudah digantikan oleh
genangan lumpur di sana-sini. Bidang permukaan
sumur pun sudah melebar, sebagai pemberitahuan
bahwa dinding-dindingnya telah pecah, ambruk. Dan
lubang galian beserta apa saja yang tersisa di
sekitarnya, jelas menjanjikan pekerjaan yang tak
kurang berat untuk membersihkan atau
merapihkannya kembali supaya sedap di
pandang. Zuraida sudah akan meninggalkan jendela, ketika
petir menyambar sekali lagi. Begitu dekatnya,
sehingga Zuraida sempat terperanjat ngeri. Lidah petir
yang hanya sepersekian detik munculnya itu,
menggapai-gapai disekitar lubang galian. Dan ketika
ujung lidah petir hampir menyambar sesuatu, petir itu
pun lenyap menghilang. Sesuatu itu tak jadi dimangsa petir. Dan sesuatu yang
bernasib baik itu adalah sebuah ember plastik besar,
yang tertangkup rapat di tanah berlumpur. Gelap
pekat seketika diluar rumah.
___ MAAF HALAMAN 76 DAN 77 HILANG
___ Anehnya, tiba-tiba Sukri merasa sudah ada di
pancuran tempat mandi. Sumbal penutup pipa ia
cabut, lalu air pun menyembur-nyembur keluar
dengan derasnya. Mula-mula bening sejuk, kemudian
berubah hangat, dan warnanya pun merah, merah
semakin memerah, mengental pula. Ternyata yang
keluar menyembur-nyembur dari mulut pipa sebesar
paha itu, adalah semburan darah!
Dengan terkejut bahkan ngeri, Sukri terlonjak mundur.
Ketika ia sudah tegak lagi, mengangkat lehernya
sedikit, ia pun melihatnya. Melihat lubuk yang menjadi
sumber mata air di pancuran itu, seluruh
permukaannya pun berwarna merah. Lubuk itu penuh
darah, menggelegak-gelegak....
Sukri pun ketakutan setengah mati. Ia mencoba lari.
Namun tubuhnya kembali seperti terikat, tak kuasa ia
gerakkan. Akhirnya apa yang mampu ia keluarkan
adalah jeritan-jeritan panik. Orang-orang yang berada
di sekitarnya bukannya menolong, malah
menertawakan dan mencemooh.
Sukri menjerit lagi. Jeritan panik. Bercampur
kemarahan.... Jeritan-jeritan dan rontaan Sukri baru berhenti ketika
tubuhnya dibetot oleh seseorang, disertai suara-suara
membujuk: "... aduh, Kang. Tenanglah. lni aku... Ida.
Ayo, bangunlah Kang Sukri...!"
Sukri membuka matanya, terkejut dan sekaligus
menarik nafas lega setelah menyadari ia tenggelam
dalam rangkulan kuat istrinya. Zuraida ribut bertanya,
ribut pula menyabarkan dan menenangkan. Semua
ditanggapi oleh Sukri hanya dengan sebuah keluhan
pendek: "Aku bermimpi... buruk sekali...!"
Zuraida tersenyum. Ujarnya, menghibur: "Ah. Hanya
bunga-bunga tidur, Kang Sukri!"
"Aku... takut...."
"Tenanglah, kekasih. Kau tak akan kubiarkan tidur
sendirian lagi, Zuraida mengecup pipi suaminya. Pipi
yang dibasahi peluh itu ia seka, juga leher, dan terus
ke dada Sukri yang ternyata juga sudah banjir peluh.
Supaya gemetar di tubuh suaminya mere da, Zuraida
terus saja merangkul. Menciumi. Mula-mula hanya
bermaksud menghibur. Akhirnya, bergairah sendiri.
Yang ini tak dapat lagi ditahankan Zuraida. Karena, ia
menyentuh adanya reaksi pada kelelakian Sukri.
Zuraida tidak menyadari bahwa reaksi itu diakibatkan
oleh tubuh yang mengejang dalam tidur seseorang.
Yang sewaktu terjaga, tidak segera mengendur. Yang
dipikirkan Zuraida hanyalah, reaksi itu ada dan ia
tidak ingin menyia-nyiakannya. Mana hasrat pun
sudah terpendam semenjak tadi, di kamar mandi.
Sukri pun tidak menolak. Sentuhan-sentuhan Zuraida
sedikit banyak membantunya lepas dari bayangan-
bayangan buruk yang menakutkan itu. Lambat tetapi
pasti, gairah seksuilnya mulai terangsang. Namun
selagi ia meladeni Zuraida yang kian menggebu,
gangguan-gangguan itu tokh tak hilang seluruhnya.
Mimpi boleh Ienyap. Tetapi kenyataan, tetap harus
dihadapi. Dan kenyataan itu, betapa mengerikan. Ia sadar apa
yang ia lakukan lepas Maghrib tadi, bukanlah sekedar
impian belaka. Di lubang galian ia telah mencubiti pipi
maupun paha. Pun beberapa kali telah ia kerjapkan
mata secara sadar dan dengan pikiran terjaga penuh.
Sampai akhirnya, ia tak bisa lagi mengerjap, karena
sorot mata yang semerah darah itu, telah menembus
mata Sukri dan merasukinya sampai ke jantung
bahkan ke otak. Otaknya, menuntut suatu kepatuhan. Setelah
telinganya menangkap sebuah perintah tegas, kejam,
dan tanpa kompromi: ?"Buka terus matamu. Jangan
pejamkan!" ltulah yang dilakukannya. Membuka terus matanya
sementara bend gkeram sprei, ia mengerang: "Aduh, Kang.
Tendangannya sudah semakin keras saja!"
Suradi, suaminya yang terkantuk-kantuk di sebuah
kursi, melompat terbangun. "Sudah mau keluar"
Sudah mau keluarkah, Wawang?"
Nawangsih mengaduh lagi. "Iya, Kang. Rasanya
begitu...." Suradi pun panik. "Tahan dulu! Tahan dulu! Sebentar
kujemput ibu Paraji!"
Kantuk Suradi lenyap sudah. Tanpa membuang tempo
ia bergegas meninggalkan kamar tidur. Di pintu, ia
hampir bertubrukan dengan seorang laki-laki tinggi
kurus yang pada saat bersamaan bermaksud
menerobos masuk ke kamar tidur itu. Muka tirusnya
memperlihatkan kekuatiran, ketika bertanya:
"Bagaimana dia, Suradi"!"
"Sudah mau keluar, Abah."
"Dan?" "Aku baru mau jemput paraji!"
"Ayo, pergilah!" Sobara, si kurus jangkung bermuka
tirus itu, menyisih memberi jalan. Sekilas ia mengintip
lewat pundak Suradi, melontarkan seulas senyum
menghibur pada Nawangsih. Lantas mengomel:
"Mestinya paraji itu sudah di sini menurut perjanjian!"
"Mestinya..." Suradi mengangguk. Sambil berpikir
cepat. "Perempuan tak tahu diuntung! Tak tahu membalas
jasa!" gerutu Sobara lagi, tak senang.
"Jasa?" bisik Suradi, tersenyum dikulum. Sudah ia
temukan jalan untuk mengutarakan isi pikirannya.
Sobara mendongak angkuh. "Apakah paraji itu lupa,
yang akan lahir di rumah ini adalah buyut Lurah
Sobara bin Kartasasmita"!"
"Mantan, Abah. Mantan lurah!" Suradi menyeringai.
"Sama saja!" Sobara mendengus jengkel. "Masih ada
satu hal lagi. Biar kata malam ini dia Iagi banyak
pasien seperti alasannya tadi siang... paraji sialan itu
mestinya juga ingat dia berutang padaku 175.000
rupiah!" "Oh..." Suradi berpura-pura lesu.
"Nah!" sebaliknya, Sobara justru memperoleh
semangat baru. "Supaya dia mengistimewakan
cucuku, Nawangsih, bilangi paraji brengsek itu. Bunga
hutangnya kuturunkan dari 20 persen menjadi 17,5
persen..." Senyum Suradi mengambang lagi. Desahnya: "Jadikan
10 persen, Abah." "Tidak mungkin! 16 persen, tak apalah...."
"Kita butuh dia." Suradi mendesak. "12 persen!"
"., 15, deh!" Sobara menghitung-hitung bimbang.
"12,5 dan dia bakal terbang ke rumah ini!"
"Jadilah. Tetapi ingatkan, hanya untuk satu kali ini
saja!" Sobara mengalah dengan muka murung
mengingat kerugian yang harus la alami.
Suradi menyeringai lebar, kemudian menghambur
meninggalkan rumah. Tanpa ingat lagi menutupkan
pintu depan. Sobara, yang masih menghitung
kerugiannya, masuk ke kamar tidur cucunya, sambil
nyeletuk sendirian: "Lha! Yang adu tawar denganku
tadi, siapa sih"!"
* Adu tawar juga tengah berlangsung di tempat lain.
Sukri mengeluh: sampai di halaman saja nanti"
"Tidak!" geram Suparta.
"Di pintu saja...."
"Tidak!" Adu tawar yang jelas berat sebelah itu, dimenangkan
tentu saja oleh Suparta yang kemudian tertawa
meringkik menggetarkan kabut tebal yang
mengelilingi mereka selagi berjalan menerobos-
nerobos rumah atau kebun-kebun penduduk. Disusul
umpatan tak suka: "Lain kali, lebih baik ditutup
mulutmu yang rewel itu, Sukri. Jika tidak, bukan
hanya kau. Darah istrimu pun akan kuhirup habis.
Mengerti"!" Sukri pun bungkam. Dengan otak kembali membeku. Kepala Suparta
dijinjingan tangan Sukri, menggerutu panjang pendek.
Tak jelas apa yang ia katakan. Diam sejenak, ia
bergumam: "Tadi... kau tidak dipuaskan istrimu ya."
Sukri diam saja. "Perempuan memang begitu. Kalau sudah dipuasi,
langsung mendengkur tak perduli. Jika tak dipuasi, ia
mencarinya dari lain lelaki. Seperti si Warsih. Kau tahu
siapa Juwarsih?" Tentu saja Sukri tidak tahu siapa itu Juwarsih.
Tetapi sentuhan-sentuhan halus dari elusan dan
usapan kabut tebal yang mengurung tubuhnya,
perlahan-lahan memberikan gambaran samar-samar.
Gambaran yang awalnya kacau, menusuk-nusuk
kornea mata, menembus dan mengiris-iris urat
syarafnya. Dalam kebekuan pikiran maupun otak,
Sukri seperti merasakan adanya berbagai perasaan
bergalau dalam diri. Antara kemesraan cinta,
kelembutan kasih sayang tersembunyi. Dan kebencian
serta amarah yang menyentak-nyentak. Lalu torehan
kecemburuan yang teramat dalam.
Kemudian, samar-samar Sukri menangkap derap kaki
kuda. Kemudian ia melihat bayangan sosok tubuh di
atas punggung kuda-kuda gagah, melayang-layang
dan mendekat ke pelupuk matanya. Kuda yang paling
perkasa ditunggangi oleh seorang lelaki bule berusia
sekitar 60-an tahun. Namun masih tampak gagah,
berwibawa, dengan sorot mata dan tarikan muka
tegas dan keras. Membuat siapapun yang berada di
dekatnya, meski tanpa diperintah, langsung
memperlihatkan kepatuhan yang bercampur perasaan
takut. Seragam asisten perkebunan yang melekat
ditubuhnya, diperindah bintang-bintang jasa atas
pengabdiannya pada Kerajaan negeri leluhurnya.
Dipinggang tergantung sarung pestol, yang gagangnya
bertatahkan mutiara. Diatur penuh ketelitian agar
memudahkan dipegang oleh pemiliknya pada saat
pestol itu harus terayun mencari sasaran.
Bangsawan keren itu menghentikan kudanya di
depan seseorang... ah, apakah Sukri mengenal siapa


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda yang didatangi si bangsawan" Pemuda itu
seakan menyatu jiwa dengan jiwa Sukri. Berpikir,
berbuat, dan berbicara seperti Sukri. Dengan kepala
merunduk, hormat, siap menerima perintah. Dengan
bahasa leluhurnya yang kental, bangsawan itu
bertanya: "Semuanya berjalan beres, Suparta?"
Ah. Suparta! Suparta muda!
"Beres dan lancar, Tuan!" jawabnya, sopan.
"Hem..." si bangsawan bergumam tak yakin. "Aku
ingin melihat-lihat ke dalam sana..." la menunjuk ke
pintu gerbang rumah penggilingan yang terletak di
tempat terbuka, dikelilingi suburnya pepohonan karet
yang sudah siap dipanen. "Dengan senang hati, Tuan!" Suparta mundur untuk
membiarkan kuda sang asisten perkebunan, lewat di
depannya. Ia terdorong untuk sedikit mengangkat
muka ketika kuda satunya lagi lewat pula. Lewat
dengan langkah-langkah tertahan, lantas tahu-tahu
saja dihentikan tepat di depan tempat Suparta berdiri.
"Parta?" Suparta menegakkan kepalanya. Lalu memandang
dengan penuh rasa cinta pada Juwarsih yang duduk
santai di atas punggung kudanya. Juwarsih yang
cantik jelita, montok semampai, si bunga desa yang
beruntung dipersunting jadi istri van Galen, si asisten
perkebunan yang mestinya sudah pantas jadi ayah
bahkan kakeknya itu. "Saya, Juragan..." desah Suparta, segan.
"Sore nanti. Di tempat biasa!"
"Saya, Juragan."
"Awas. Jangan tak datang!" bisik Juwarsih tajam dan
bergetar. ltu bukanlah sebuah ajakan. Tetapi sebuah perintah.
Dan itu tidak biasa! Suparta tengah memikir-mikir apa kiranya yang
tersembunyi dibalik perintah yang tak lazim itu,
manakala seseorang telah berdiri tegak di
hadapannya, seraya berujar dingin: "MenyingkirIah
dari dia, Suparta!" Suparta menoleh. Menatap Bajuri, centeng pribadi kepercayaan van
Galen. "Urus dirimu sendiri, Bajuri!"
"Tentu!" Bajuri menyeringai. "Selama kau tidak
mencampuri urusanku pula. Juragan Warsih...."
"Bajuri!" panggilan lantang memutus pembicaraan
mereka. Bajuri pun berlari-lari mendekat pada majikan mereka
yang sudah turun dari kuda di depan pintu masuk
rumah penggilingan. Juwarsih masih duduk di
punggung kuda, mengawasi rumah penggilingan
dengan pandangan tak senang. Dari tempatnya,
Suparta mendengar perintah yang ditujukan pada
Bajuri. Juwarsih, menurut sang suami, tak pantas
mencium bau busuk karet dan keringat para pekerja
mesin penggilingan. Oleh karena itu sebaiknya
Juwarsih dibawa berjalan-jalan melihat
pemandangan-pemandangan indah di sekitar
perkebunan karet itu. "Dengan senang hati, Tuan!" Bajuri menyanggupi
dengan suara dibuat sedemikian rupa agar tidak
memperlihatkan: "Tetapi, Tuan. Jika saya boleh
mengeluarkan pendapat, mandor Parta-lah yang lebih
cocok mendampingi Juragan Warsih. Mandor itu lebih
mengetahui seluk beluk tempat sekitar ini...."
Mario van Galen mengerutkan dahi. Ia melirik Suparta
sekilas, kemudian ganti melirik ke arah istrinya.
Juwarsih tampak gelisah, tetapi dengan cepat sudah
melontarkan senyuman manis pada suaminya, disusul
ucapan manja: "Keputusan ada di tanganmu, Kekasih!"
Asisten perkebunan itu pun mengeluarkan keputusan
yang tidak dapat dibantah. Katanya pada Bajuri: "Aku
percayakan istriku tersayang di tanganmu, Bajuri!"
Suparta menarik nafas lega. Selintas, ia juga melihat
kelegaan muncul di wajah Juwarsih, yang tak berani
menoleh ke arah Suparta. Ia kemudian menjalankan
kudanya yang oleh Bajuri dipegang tali kekangnya.
Belum jauh berjalan, Bajuri sudah meninggalkan istri
majikan mereka dan berjalan mendekati van Galen.
Berbicara pelan dan singkat sejenak, ditanggapi oleh
sang majikan dengan anggukan acuh tak acuh, Bajuri
kemudian kembali menuntun kuda Juwarsih, dan
berlalu pergi ke arah lembah di bawah sana.
Mario van Galen masuk ke rumah penggilingan dari
mana terdengar bunyi mesin sibuk bekerja dengan
suara berderak-derak kasar dan menyakitkan telinga.
Sikapnya tetap acuh tak acuh. Tetapi Suparta tidaklah
merasa cukup aman karenanya.
Maka begitu sore harinya ia bertemu dengan Juwarsih
di dangau pinggir hutan, milik peladang setempat,
Suparta langsung mengungkapkan apa yang
mengganjal hatinya: "Ada apa dibalik semua
permainan Bajuri dengan suamimu itu, Warsih"!"
Juwarsih masih juga merangkulnya melepas rindu.
Setelah mencercahkan ciuman panas membara di
bibir Suparta, barulah ia menjawab. ltu pun, setelah
sempat ragu dan matanya pun berubah murung.
"Aku... aku hamil, Parta!"
Suparta terlonjak. Bangkit dari duduknya dengan
wajah terperanjat, "Mustahil...!"
Juwarsih meraba perutnya. "Kenyataannya, sudah
empat bulan usia kandunganku ini, Parta."
"Suamimu sudah loyo. Mandul pula!"
"Memang...." "Dan aku belum pernah berani..."
Suparta mendadak terdiam. Wajahnya mengelam
ketika ia memahami masalah yang sebenarnya.
Perutnya mendadak mual. Lalu dengan mulut terasa
kering, ia berbisik tak percaya:
"Bajuri?" Juwarsih mengangguk dengan wajah mulai memucat,
karena dapat menangkap kemarahan dalam bisikan
Suparta. "Bukan atas kemauanku sendiri..." katanya,
lalu tanpa menunggu komentar Suparta, ia
menjelaskan cepat-cepat. "... ingat ketika kau dan
Bajuri cuti lalu pergi berdua untuk bertapa ke lereng
gunung" Bajuri pulang duuan, bukan" Ia memperdayai
aku, Suparta. Ia bilang kau ingin bertemu denganku.
Dan...." "Dan?" "Aku tak menemukanmu di dangau ini. Bajuri yang
datang bersamaku kesini, tidak memberiku
kesempatan. Ia tahu aku lebih mencintaimu. la juga
tahu, kau tidak mau meniduri aku sebelum aku minta
cerai dan suamiku. Ketika aku berniat pergi... la
memaksaku memandang ke matanya.... Aku
menggigil seketika, Suparta. Sorot mata Bajuri yang
ganjil, membuatku tak berdaya melawan
kehendaknya. Ketika pengaruh jahat itu lenyap...
semuanya sudah terjadi. Apa yang dapat kuperbuat,
Suparta. Hanyalah menangis dan menangis...
sementara Bajuri mengulanginya lagi dan lagi. Setiap
kali ia memperoleh kesempatan...."
Suparta terduduk. Lemas. Lemas pula, ia memprotes: "Mengapa tak kau beritahu
aku sejak dulu-dulu?"
"Aku takut. Suparta. Takut, kalian saling bunuh...."
Suparta menggeleng. "Aku tak percaya!" dan ia sangat
marah karena apa yang kemudian terpikir olehnya.
"Selama ini kau tidak mendapatkan kepuasan dari
suamimu. Kau lalu datang padaku... membujuk...
bahkan memaksa.... Tetapi karena aku masih punya
kehormatan... kau lantas mengambil apa yang kau
inginkan. Dari Bajuri!"
Suparta merenggut tubuh Juwarsih dengan marahnya.
"Kau menyukai apa yang dilakukan Bajuri dengan
tubuhmu yang kotor dan busuk, Juwarsih! Itulah
alasan sebenarnya, bukan"!"
Juwarsih meronta-ronta karena cengkeraman tangan
Suparta yang kuat kokoh seakan mematahkan
pergelangan tangannya yang mulus dan lemah itu.
"Aku tidak sekotor itu, Parta... aduh. Lepaskan aku.
Kau membuatku kesakitan, Suparta. Lepaskan...!"
Sebelum Suparta sempat menjawab, terdengar suara
ringkikan kuda di luar gubuk. Padahal Juwarsih
meninggalkan rumah dengan berjalan kaki
menyelinap-nyelinap, seperti selama ini ia lakukan
demi keamanan. Baik Juwarsih maupun Suparta
sudah mengenal baik ringkik kuda itu kuda siapa.
Suparta buru-buru melepaskan Juwarsih, yang
seketika itu juga menghambur ke luar gubuk. Berlari
ke arah Mario van Galen yang muncul dari balik
pepohonan, di atas punggung kudanya yang gagah.
"... aku disihirnya!" jerit Juwarsih dalam tangis. "Entah
mengapa aku mau dibujuknya ke sini. Ia...."
Banyak lagi hasutan yang dilontarkan Juwarsih. Yang
seketika membuka pikiran Suparta, begitu terang.
Bahwa, bunga desa Cikalong itu tidak saja kemaruk
pada harta dan kedudukan. Tidak saja lihai bermain
cinta di belakang punggung suami, memuaskan
dahaganya yang meledak-ledak. Perempuan itu juga
tahu kapan dan bagaimana harus menentukan sikap
untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman
bahaya, bahkan tanpa harus berpikir lebih dahulu!
Kecewa, sakit hati, terhina, Suparta keluar dari gubuk
untuk menghadapi Mario van Galen. Tidak seorang
pun yang dapat menolong saat ini, kecuali dirinya
sendiri. Dan tak ada gunanya penjelasan lagi. Jerit
tangis dan hasutan-hasutan jahat Juwarsih, tentu saja
Iebih dipercaya oleh sang suami. Hal itu tampak dari
wajah Mario van Galen yang memandang penuh
kebencian dan kemarahan pada Suparta.
Tanpa berkata sepatah pun jua, Mario van Galen
menacabut-pestol berlaras panjang itu dari sarung
pinggangnya, menodongkan moncongnya langsung ke
arah jidat Suparta yang berdiri tanpa daya. Hanya
tegaknya saja yang tampak tanpa daya. Tetapi sinar
mata Suparta, memperlihatkan tantangan, yang
menggusarkan. Asisten Perkebunan yang kalap itu, menarik pelatuk.
Butir demi butir peluru melesat keluar dari moncong
pestolnya, dengan ledakan membahana. Mengenai
jidat, tepat di antara dua mata Suparta, juga ke dada,
dan satu lagi pada lambung, searah jantung.
Akibatnya segera terlihat. Suparta masih tetap berdiri
tak tergoyahkan. Bahkan tanpa luka goresan. Butir-
butir peluru yang menyambar tubuhnya sedikitpun
tidak meninggalkan bekas apa-apa!
Mario van Galen tertegak pucat di atas punggung
kudanya, yang menjompak-jompak liar, sementara
Juwarsih sudah keburu jatuh pingsan begitu laras
pestol sudah ia lihat di arahkan ke jidat Suparta.
Seperti halnya si penembak, Suparta pun tidak
berselera untuk mengucapkan kata-kata. Begitu
gaung terakhir letusan pestol musuhnya lenyap di
pegunungan, Suparta melompat cepat sekali. Cepat
pula pedang yang sudah tergenggam ditangannya,
menyabet sasaran mematikan, disaat kuda
van Galen menegun diam seperti pemiliknya.
Sepersekian detik setelah Suparta tegak kembali di
tanah, belum tampak reaksi apa-apa. Kemudian,
keheningan yang menekan rupanya membuat kuda
tunggangan van Galen menjadi gelisah. Kuda itu
menghentakkan sebelah kaki depannya. Pelan saja.
Namun sudah cukup untuk ikut menggerakkan
sesuatu di punggung sang kuda. Yakni, kepala van
Galen, yang matanya membelalak tak percaya,
meluncur jatuh. Tanggal dari batang lehernya.
Darah pun menyembur. Kuda tunggangan van Galen meringkik terperanjat
kemudian menjompak liar. Hampir saja menginjak
Juwarsih yang beruntung keburu siuman dan secara
naluriah menggeliat menjauh. Suparta tidak
memperdulikan Juwarsih. la terus saja berlalu tanpa
menoleh sekalipun ke belakang. Tak mau tahu pada
jeritan-jeritan ngeri dari mulut Juwarsih, dan tak mau
tahu pada rentak kaki kuda yang berlari-larian liar tak
terkendali kian ke mari, menyeret tubuh tuannya
yang tersangkut kakinya di sanggurdi.
Tubuh van Galen terbanting-banting kian kemari.
Disaksikan oleh mata kepalanya sendiri, yang
tertinggal di halaman gubuk. Berkubang genangan
darah, yang memerahi rumput di sekitarnya.
* "Darah! Aku mencium bau darah!"
Sukri mengerjap. Bayangan-bayangan mengerikan itu pun melenyap.
Digantikan kabut tebal, yang untuk sesa
at masih tampak kemerah-merahan bagai terkena cipratan
darah. Kemudian kabut misterius itu pun menebar,
menjauh ke berbagai penjuru.
Mereka sudah tiba di sebuah simpang tiga jalan desa,
dengan sebuah rumah mentereng di salah satu
sudutnya. Suasana sekitar sepi. Lengang. Agaknya
semua orang sudah sepakat untuk terbang lalu
bergabung dialam mimpi. Kecuali Sukri, dan penghuni
rumah di depannya. Alangkah cerobohnya si
penghuni. Membiarkan pintu terbuka menganga.
Seakan mengundang siapapun yang lewat, untuk
masuk ke dalam.

Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berjalan mendekali pintu, kepala Suparta membisik
lagi, penuh dahaga: "Darah... darah segar... menantiku
didalam sana...!" Dari salah satu ruangan di dalam rumah itu, terdengar
suara seseorang berkata dengan perasaan lega:
"Nah. Apa kubilang, Nawangsih" ltu mereka sudah
datang!" Sukri hampir menangis mendengarnya. Sayang,
lidahnya teramat kelu. Padahal betapa ia ingin
meneriaki penghuni rumah: "Lari. Larilah! Selamatkan
dirimu!" Jalan pikiran Sukri tertangkap oleh alam pikiran
Suparta. "Tak seorang pun yang dapat lari dari
kehendakku, Sukriii...!"
Lantas Suparta meringkik. Tersedak-sedak!
* SEPULUH RINGKIKAN Suparta mengejutkan penghuni rumah.
"... suara apa itu, Abah?" bisik Nawangsih, ketakutan.
Sobara, meski sempat terperanjat, memaksakan
seulas senyum menghibur di bibir tuanya. "Alaaaa, itu
'kan suamimu. Agaknya dia mau membuat kejutan.
Tunggulah di sini...."
Sobara bangkit dari duduknya dan berjalan ke pintu
kamar tidur yang setengah terbuka. Sambil dalam
hati, mengomel panjang pendek: "Cucu mantu sialan!
Orang lagi panik, ditakut-takuti! Tidak tahu, istrinya
bisa semaput! Awaslah...!"
Pintu kamar pun dibuka lebih lebar oleh Sobara.
Mulut siap menghardik, dengan tarikan muka dibuat
garang. Nyatanya, Sobara hanya berdiri terpukau.
Mulut terbuka, mata membelalak... yang dimaksud
untuk menghardik, kini jadinya terpana. Darah di
sekujur tubuhnya seakan berhenti mengalir, begitu
berhadapan muka bukan dengan Suradi, cucu
mantunya, melainkan dengan... sebuah kepala. Kepala
tanpa tubuh, terayun-ayun di depan mata Sobara,
menebarkan bau busuk liang lahat.
Suparta menyeringai lebar. "Aku datang
menjemputmu, Sobara...!" ujarnya kering.
Sobara mengerjap. "Apa... si... siapa...."
"Lupa padaku. Sobara?"
Suparta tertawa mengekeh. Dari arah tempat tidur,
terdengar tanya ingin tahu:
"Siapakah itu, Abah?"
Tangan Sukri yang mengangkat kepala Suparta
diantara wajahnya dengan wajah Sobara, merasakan
tarikan menggeser. Rupanya Suparta memaksa untuk
melihat lewat pundak musuh lamanya, lantas
meringkik ke arah Nawangsih.
Nawangsih yang sebelumnya sudah dihinggapi
ketakutan, tentu saja pingsan seketika karena ulah
Suparta. Tetapi uap panas yang menyapu wajahnya,
membuat Suparta cepat-cepat mengalihkan
perhatiannya kembali pada Sobara. Ternyata musuh
lamanya itu diam-diam, sewaktu Suparta lengah,
telah merapal aji penangkal.
"Hah!" Suparta tersentak.
Tetapi Sobara sudah lebih dulu melompat mundur.
Secara naluriah. Melindungi cucu maupun bakal
generasi penerusnya yang siap dilahirkan sang cucu.
Seraya melompat, Sobara pun membentak:
"Kembalilah ke asalmu... kau roh terkutuk...!"
Bentakan itu disertai dengan dorongan telapak tangan
kanan, terbuka, memancarkan uap panas membakar.
Sukri langsung terkena akibatnya. Sukri hanyalah
seorang awam, dari generasi masa kini... yang tidak
dapat memahami ilmu-ilmu leluhur. Kelopak mata
Sukri terpejam menahan perih, sementara sekujur
tubuhnya bagai ditusuk-tusuk ujung besi membara.
Yang dalam sekejap membuatnya banjir peluh, dan
lututnya mulai goyah. Namun sebelum Sukri ambruk, yang itu membawa
serta dirinya pula. Suparta yang tidak seberapa
terpengaruh oleh serangan gelap musuhnya, telah
mengeluarkan rintihan kubur. Rintihan kesengsaraan
yang nadanya terus meninggi, disusul hembusan
nafas keras kearah Sobara.
Yang diserang rupanya tahu gelagat. la menghindar
cepat sekali dengan lompatan jauh ke arah lain.
Terdengar suara berderak, dan tembok kamar yang
terkena serangan salah alamat, seketika retak. Semen
pelapisnya hancur, berguguran ke lantai.
"Jadah!" Suparta membentak gusar.
Kepala yang terjinjing tinggi di tangan Sukri, berpaling
ke arah musuhnya tadi melompat. Saat itu Sobara
sudah berhasil menjangkau sebuah senapan berburu
milik cucu mantunya, yang tergantung sebagai hiasan
dinding tembok. Senapan itu dikokang. Tetapi karena
dilakukan dengan pikiran panik dan tergesa-gesa,
senapan itu pun macet. Suparta tertawa meringkik. Sementara Sobara
berjuang keras mengokang senjatanya, ringkikan
Suparta kian menjadi-jadi, menggetarkan seisi rumah
yang seketika bagai dilanda gempa.
Bersamaan dengan ringkikannya, Suparta
mengirimkan serangan gelap yang mematikan.
Sobara terlambat untuk merapal ajian membentengi
diri. Otot-otot tubuhnya pelan tetapi pasti mulai
bereaksi di luar kehendak sendiri. Moncong laras
senjata berburu itu pun berubah arah. Anehnya,
selama perubahan arah itu, Sobara dengan mudah
sekali berhasil mengokang senjata di tangannya.
Mestinya ia bersukacita. Nam
un wajah Sobara justru memperlihatkan yang sebaliknya. Takut. Ketakutan
yang teramat sangat, manakala moncong senjata
yang menganga hitam itu tahu-tahu sudah tertuju
langsung ke arah kepalanya sendiri. la berjuang keras
melepaskan genggamannya pada senjata itu, tetapi
ringkikan Suparta menggagalkan usahanya yang sia-
sia itu. Di antara ringkikan gaib dan jahat itu, Suparta berkata
menggeram: "lni untuk adikku... Suparti... yang kau
kangkangi dengan biadab...!"
Dan, meledaklah senjata itu. Menghancurkan kepala
Sobara, yang kemudian ambruk ke lantai. Darah
bercipratan di sana sini. Bercampur rambut dan otak.
Menyaksikan apa yang berlangsung di depan
matanya, Sukri merinding.
Seram. * Ada seorang dua tetangga yang terjaga dari tidur,
ketika senapan berburu itu meletus memecah
kesunyian malam. Yang seorang pergi ke jendela,
tetapi ia hanya melihat kabut tebal di sana-sini, lalu
kembali lagi ke tempat tidurnya. Pada sang istri yang
ikut terjaga ia berkata setengah mengantuk: "Kukira
aku hanya bermimpi...."
Tetangga yang lain sempat pergi ke luar rumah.
Kabut tebal seketika menyergapnya. la heran
memikirkan darimana datangnya kabut misterius itu.
Dinginnya, alang kepalang pula. Maka sebelum
tubuhnya kaku membeku, ia putuskan untuk
menyelidiki asal muasal bunyi letusan itu esok harinya
saja. la pun masuk lagi ke dalam rumah. Karena di
dalam rumahlah ia lebih dibutuhkan. Anaknya terus
mengigau, terserang demam panas dingin.
Selebihnya, larut dalam mimpi.
Seperti Sukri. Sukri berdo'a semoga ia hanya bermimpi ketika
mendengar perintah marah menyentuh kendang
telinga: "... ke tempat tidur, tolol. Bawa aku ke tempat
tidur perempuan itu!"
Bagaikan kerbau dicucuk hidung, Sukri mematuhi.
Ia berjalan gontai ke tempat tidur, membawa kepala
Suparta, tanpa mengetahui apa yang dikehendaki
makhluk jahat terkutuk itu. la hanya mendengar
omelan panjang pendek dari mulut Suparta yang
gagal menghirup darah musuhnya.
"Darah orang yang sudah mati. Bisa sakit perut aku
karenanya...!" gerutu Suparta, tak senang.
Kegembiraannya baru muncul kembali, setelah Sukri
memenuhi perintah-perintahnya. Dan begitulah, Sukri
kemudian mundur dengan bulu kuduk masih
merinding, setelah melelakkan kepala Suparta di
tempat tidur. Tepat di antara paha Nawangsih yang
kainnya sudah disingkapkan, menghadap lurus ke
selangkangan perempuan itu.
Sungguh suatu mimpi yang teramat buruk buat Sukri,
ketika ia mendengar bunyi dengusan nafas Suparta
yang berat, ketika meniupkan nafasnya memasuki
rahim Nawangsih. Dalam pingsannya, perempuan itu
tampak terlonjak-lonjak diatas kasur. Kemudian
terbanting diam, manakala terdengar suara sedotan
mulut yang tengah memuaskan perasaan dahaga.
Cepat sekali tubuh montok Nawangsih mengempis,
kulitnya kisut menghitam. Bahkan perut bunting yang
tadinya menggunung, tahu-tahu sudah kempes begitu
saja. Hanya sekali Nawangsih mengelojot. Sekarat.
Lalu mimpi Sukri yang mengerikan itu, disentakkan
oleh sebuah perintah kelelahan:
"... ayo, Sukri... kita... pulang...!"
* Tiba di luar rumah, kabut tebal kembali mendekat lalu
membentengi mereka dengan pengawalan ketat
selama berjalan menerobos kegelapan malam yang
lengang mencekam. Sayup-sayup terdengar lolongan
anjing menangisi rembulan. Lalu ada langkah-langkah
kaki. Berlari-lari kecil menuju rumah yang barusan
mereka tinggalkan. Dan suara tak sabar Suradi: "Ayo
dong, Bu. Nanti sajalah kau betulkan sandalmu yang
putus itu...!" Si dukun beranak mengeluh. Kemudian mengikuti
Suradi masuk ke dalam rumah.
Sedetik dua, sepi. Detik berikutnya, terdengar lolongan ngeri, disusul
menghamburnya perempuan yang dukun beranak itu
keluar rumah. Tetangga sebelah menyebelah kembali
terjaga. Apalagi setelah salah satu pintu rumah,
digedor ibu paraji itu dengan hebatnya, sambil
menjerit-jerit seperti orang kesurupan.
Kini, lebih banyak lagi kaki berlari. Di antaranya,
sepasang kaki telanjang, kotor menjijikkan, berlari
tertatih-tatih. Maklum, sebelah kakinya sedikit lebih
kecil dan lebih pendek dari kaki yang lain. Tak ada
yang melihat bahkan sempat berpikir, darimana ia
datang dan tiba-tiba sudah ada di tempat itu. Nyaris
tak ada pula yang mengetahui kehadirannya. Jika
tidak secara tanpa sengaja, perempuan tua
kerempeng dan berpakaian kumal itu bertubrukan
dengan salah seorang tetangga.
"Maaf..." si penubruk menggumam.
Yang ditubruk, balas bergumam:
"Tak apa!" "Apa yang telah..." si penubruk tak jadi meneruskan
pertanyaannya. Karena tiba-tiba ia mengenali siapa
orang yang ia tubruk. Tak ayal lagi, dia ternganga.
"Nek Parti...!"
Suparti meringis. Yang diringisi, tidak jadi meneruskan niatnya untuk
ikut masuk ke rumah Sobara melihat apa yang telah
terjadi. Orang itu, tanpa ba tanpa bu, langsung
memutar langkah. Ambil langkah seribu, kembali ke
rumahnya. Seraya menghempaskan pintu dengan nafas
tersengal-sengal dan wajah pucat pasi.
Adapun Suparti. hanya berdiri termangu-mangu.
Dengan wajah sedih. Sejenak ia memandang ke pintu rumah Sobara,
dimana tampak begitu banyak orang saling berebut
masuk. Terdengar jerit pekik ngeri bercampur ratap
tangis. Wajah Suparti kian menyedih. la memutar tubuhnya,
menyeret kakinya yang timpang tanpa gairah. Tubuh
tuanya yang renta pun kemudian Ienyap ditelan
kegelapan malam yang pekat menghitam.
* SEBELAS IJANG terpesona menyaksikan apa yang tampak
didepan mata. Halaman rumah yang berantakan, dan
bekas lubang galian yang telah berubah menjadi
semacam tempat kerbau berkubang. Tak tampak lagi
rerumputan yang subur dengan taman bunga mini
yang menyedapkan pandang itu. Apa yang tersisa
hanyalah sampah. Potongan cabang atau ranting
patah pepohonan di sekitarnya, pot-pot yang pecah,
dan lumpur di mana-mana. Agaknya, Ijang akan
memerlukan beberapa tenaga pembantu untuk
merapihkan keberantakan itu. Akan diperlukan pula
tempo serta kesabaran yang tidak sedikit untuk
menumbuhkan kembali rerumputan dan bebungaan yang membuat
iri para tetangga itu. ljang mengangkat muka. Lebih terpesona lagi oleh
sebuah pemandangan yang sungguh kontras dengan
suasana sekitar. Betis elok itu sudah ac apkali jadi
bahan perbincangan karena mengakibatkan Saodah
nyaris bercerai dengan si suami yang belum sembuh-
sembuh juga penyakit mata keranjangnya. Tetapi


Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru kali inilah Ijang beruntung menikmati bulatnya
paha yang menyembul padat di bawah celana
pendek istri majikannya. Jarang pula perempuan itu
mengenakan baju kaos ketat, mempertontonkan
keindahan bagian lain di tubuhnya yang sintal, sema mpai. Jika
diperkenankan menyaksikan pemandangan itu
berlama-lama, Ijang pasti rela disuruh berkubang di
bekas lubang galian. Dianggap kerbau pun jadilah!
Sayang keberuntungan itu hanya sekejap.
Karena Zuraida sudah selesai menjemur cuciannya.
Waktu akan berbalik masuk ke dalam rumah, ia
melihat kehadiran penyawahnya itu dengan
pandangan terkejut. "Oh. Kau kiranya, Ijang!"
ljang memaksakan senyum di bibir. Lantas
meneruskan langkah, memikul dua blek air untuk
keperluan dapur majikannya. "Selamat pagi, Bu Ida..."
sapanya, riang. "Pagi, Jang," Zuraida menyahuti sembari menyambar
kain sarung yang sebelumnya ia gantungkan di
jemuran, lalu dipakai menutupi tubuh dari pinggang
ke bawah. "Sepertinya kau tahu saja, Ijang. Gentong di kamar
mandiku lagi kemarau..." tambahnya seraya tertawa
ceria. ljang pun tertawa. Menyembunyikan kekecewaan
setelah pemandangan indah tadi lenyap dari pelupuk
mata. "Tidak pergi mengajar, Bu?"
"Sebentar lagi. Ayo, terus saja ke dalam. Mau kopi?"
Tak lama kemudian mereka berdua duduk di balai-
balai kecil, yang tersedia di halaman samping. ljang
menyicipi kopinya dengan nikmat. Memandang ke
kubangan kerbau yang kotor berlumpur itu, ia
mengeluh: "Jadi sia-sia semuanya bukan, Bu?"
"Kita semua sudah berusaha, ljang," Zuraida
tersenyum. "Kasihan Pak Sukri. la begitu ingin membahagiakan Bu
Ida..." "Turun naik ke pancuran justru akan membuatku
tambah sehat, bukan?" Zuraida berkata menghibur.
Lebih banyak untuk menghibur diri sendiri. "Tetapi apa
yang kau bilang, memang ada benarnya juga. la pasti
tidak tidur tadi malam. Memikirkan jerih-payahnya
yang ternyata sia-sia...."
Selagi berkata demikian, Zuraida teringat ketika pagi
ini ia terbangun dari tidur, ia lihat suaminya tertidur
disebelahnya. Dengan wajah letih, pucat, dan tarikan
mulut yang memperlihatkan kesengsaraan jiwa. Sprei
tampak dibercaki lumpur, yang berasal dari kaki
telanjang suaminya. Lebih banyak lagi jejak-jejak
kotor berlumpur dari pintu dapur sampai ke kamar
tidur. Zuraida sempat mengeluh. Beruntung ia segera
menyadari perasaan suaminya, yang tentulah teramat
kecewa tidak menemukan apa-apa di lubang galian.
Lubang galian itu bahkan hancur menutup, seakan
mencemoohkan kesia-siaan Sukri. Tak ada pemikiran
lain di benak Zuraida mengenai kaki dan jejak-jejak
berlumpur. Kecuali, bahwa suaminya telah keluar
rumah tadi malam, untuk menyaksikan kehancuran
harapannya yang terkubur di bekas lubang galian.
Ijang menyicipi kopinya lagi. Lantas mendengus:
"Untuk beberapa hari mendatang, Bu Ida. Akan lebih
banyak lagi orang yang tak berani tidur...!"
"Maksudmu?" "lbu belum tahu?"
"Lha. Bagaimana aku tahu, jika tidak kau beri tahu
apa maksudmu...!" sahut Zuraida, tertawa.
"Iya ya," Ijang pun tertawa sendiri. Sebentar cuma.
Karena kegelisahan segera menyelaputi wajahnya,
begitu ia menceritakan apa yang telah ia dengar
bahkan ia telah buktikan dengan melihat sendiri
kebenarannya. Hanya garis besar saja yang ia
ceritakan. Tak tega, majikannya yang cantik rupawan
itu ikut-ikutan tak bisa tidur sebentar malam.
"... ilmu hitam!" desahnya, lirih. ltulah yang dikatakan
semua orang sebagai penyebab musnahnya keluarga
Abah Sobara. Dan, dia pun akan semakin ditakuti!"
Zuraida yang belum lepas dari keterkejutan
mendengar cerita Ijang, bertanya lebih terkejut lagi:
"Dia siapa, Ijang?"
"Parti..." sahut Ijang, dengan suara kering.
Ijang tidak dapat didesak untuk lebih banyak
menceritakan tentang apa yang didengar Zuraida
mengenai perempuan tua renta yang datang dan
perginya disingkiri orang itu. Seperti umumnya
penduduk, Ijang mengelak dengan ucapan yang di
telinga Zuraida sudah klise: "Lebih baik kita berbicara
tentang hal lain saja, Bu Ida!"
Lantas Ijang pun berbicara mengenai rencana
pembuatan irigasi baru yang dananya terkumpul dari
hasil swadaya masyarakat. Mestinya hari ini akan ada
pertemuan umuk membahas pelaksanaan rencana itu,
tetapi terpaksa ditunda pada hari berikutnya
mengingat suasana berkabung karena meninggalnya
warga desa mereka. "Padahal tidak sedikit yang tertawa kok, Bu Ida!"
celetuk Ijang, dengan senyum.
"Sebabnya?" "Ya, Abah Sobara itu. Dia 'kan rentenir. Kematiannya
membuat tidak sedikit orang dapat menarik nafas
lega.... Tidak sedikit pula yang mengharap, hutang-
hutang mereka ikut dibawa Abah Sobara ke liang
kubur!" Sambil tertawa kecil, Ijang mengangkat pikulan
Pangeran Berdarah Campuran 4 Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai Golok Maut 5
^