Pencarian

Dewi Karang Samudera 2

Rajawali Emas 05 Dewi Karang Samudera Bagian 2


mengatasi serangan itu. Jangankan untuk memapaki,
menghindar saja tubuhnya sudah terlalu payah.
Namun mendadak....
"Koaaakkk!"
Terdengar seruan menggelegar bagai membedah
angkasa raya. Gemuruh angin mendadak saja terjadi.
Saat itu pula, gerakan Dewi Karang Samudera bagai
tertahan. Tanpa sadar kepalanya mendongak ke atas.
Hal yang sama pun dilakukan Marbone yang terke-
jut juga mendengar gemuruh angin dahsyat itu. Gadis
berbaju putih dengan ikat pinggang warna kuning itu
melengak. Dipaksakannya untuk mundur tiga tindak,
dengan agak terhuyung dan mulut terbuka. Mata ba-
gusnya melebar dengan kengerian yang berbaur keka-
guman. "Oh, Tuhan... Burung apakah ini" Seumur hidupku baru kulihat burung raksasa
sedemikian besarnya"
Berbulu keemasan begitu cemerlang ditimpa sinar ma-
tahari," kata batinnya dengan jantung berdenyut tak menentu.
Sementara itu meskipun terkesiap, Dewi Karang
Samudera masih bisa menahan diri.
"Rupanya cerita tentang burung rajawali raksasa bernama Bwana ini memang benar.
Sulit diterima akal
dalam bentuk yang sedemikian besar. Dari tempatku
berdiri, bisa kulihat kuku-kukunya yang melengkung
runcing tajam. Celaka! Mau apa dia ke sini" Dan seta-huku, burung rajawali
raksasa ini dimiliki si Rajawali Emas. Apakah kedatangannya pun saat ini bersama
si Rajawali Emas" Tetapi..., pemuda itu telah melarikan diri dengan cara pengecut
untuk menyelamatkan gadis
manis yang pingsan itu, Hhh! Persetan dengan semua
urusan! Aku harus menyelesaikan gadis di hadapanku
ini dulu!" gumam Dewi Karang Samudera.
Berpikir sampai di sana, Dewi Karang Samudera
menolehkan lagi pada Marbone yang masih tercengang
melihat burung raksasa tadi masih berputaran di ang-
kasa berjarak delapan tombak!
Dewi Karang Samudera jelas tak mau buang waktu
lagi. Apalagi dia harus menemukan jejak Iblis Kubur
yang sedang dipancing menjauh oleh Bidadari Hati Ke-
jam. Maka mendadak saja tubuhnya bergerak kembali
ke arah Marbone. "Ohh..."!"
Meskipun tak kuasa untuk melarikan diri, namun
Marbone masih bisa menangkap bahaya yang menga-
rah padanya. Kalau tadi dia terkesiap melihat burung rajawali keemasan yang
mendadak muncul dan masih
berputaran di angkasa, kali ini jantungnya bagai ber-henti. Karena, lesatan Dewi
Karang Samudera hanya
berjarak dua tombak lagi.
"Aku gagal melakukan tugasku, Ratu...," desahnya
dengan mata membeliak.
Wesss...! Namun lagi-lagi Dewi Karang Samudera urung me-
lakukan serangan. Karena mendadak saja, angin rak-
sasa menderu ke arahnya. Disertai sumpah serapah,
perempuan berbaju hijau lumut tipis itu membuang
tubuhnya. Setelah tubuhnya tegak kembali, Dewi Karang Sa-
mudera makin mengkelap. Karena angin berkekuatan
raksasa yang siap menghajar tubuhnya tadi dilakukan
oleh burung rajawali raksasa tadi.
"Setan betul! Kau ingin mampus juga, Rajawali"!"
dengusnya sambil mengalirkan tenaga dalam. Seketika
kedua telapak tangannya membersitkan sinar putih
bening. Bwana yang tadi menggagalkan maksud dari Dewi
Karang Samudera, kini telah hinggap di tanah. Burung rajawali yang besarnya
kurang lebih empat kali gajah dewasa, menegakkan kepala. Seolah dia tahu apa
yang dikatakan Dewi Karang Samudera.
Sebenarnya, Bwana tak sengaja terbang di atas
lembah itu tadi Burung rajawali keemasan yang du-
lunya milik Eyang Sepuh Mahisa Agni dan sekarang
dimiliki Rajawali Emas, seolah tahu kalau seorang
anak manusia berada dalam ketidak berdayaan. Se-
mentara, anak manusia lainnya siap menurunkan tan-
gan maut. Burung yang memiliki naluri tinggi itu tahu kalau keadaan tak
memungkinkan bagi gadis berbaju
putih dengan ikat pinggang warna kuning untuk me-
nyelamatkan diri.
Sementara itu, Marbone yang terpental akibat ter-
bawa derasnya angin sambaran Bwana, jatuh pingsan
karena memang keadaannya sangat lemah.
"Heaaa...!"
Dewi Karang Samudera yang dibuat mengkelap
oleh Bwana, langsung meluruk dahsyat. Kedua telapak
tangannya yang memancarkan sinar putih bening kian
bertambah terang.
Namun baru saja perempuan ini bergerak lima
tombak di depan, Bwana sudah mengibaskan sayap
kanan-nya. Wusss...! Angin dingin laksana topan mendadak meluruk ke
arah Dewi Karang Samudera. Perempuan berbaju hijau
lumut tipis itu mengeluarkan suara tertahan diiringi caci-maki keras. Tubuhnya
coba dibuang ke kiri. Namun, tak urung sambaran angin yang dilepaskan
Bwana sempat menggoyahkan kedudukannya. Semen-
tara rerumputan yang tumbuh di lembah itu tercabut
sampai jarak lima puluh meter.
"Keparaaatt! Jelas bukan hewan sembarangan bu-
rung rajawali raksasa ini!" geram Dewi Karang Samudera dengan mata terbeliak.
"Peduli setan! Akan kuke-jar burung sialan itu!"
Dikawal teriakan menggebah, Dewi Karang Samu-
dera melipat gandakan tenaga dalamnya. Dan seperti
tahu yang dilakukan lawannya, Bwana kali ini bukan
hanya mengepakkan sayapnya saja. Tetapi tubuhnya
telah mencelat dengan kedua kuku siap mencengke-
ram kepala. Suaranya yang keras menggema dahsyat
"Koaaak!"
Dewi Karang Samudera segera mengangkat sebelah
tangannya. Seketika melesat sinar putih bening di
atas. Namun Bwana cepat mencelat ke samping sambil
mengibaskan sayapnya lagi.
Wrrr! "Ohh...!"
Tubuh Dewi Karang Samudera terhuyung dua
tombak terhantam angin dahsyat bergemuruh itu. Pa-
kaian hijau lumutnya di bagian dada terbuka, menam-
pakkan dua gumpalan indah menggiurkan.
"Burung cabul!" rutuknya sambil bergegas menutupi lagi pakaian di bagian
dadanya. Dan seketika serangannya diteruskan kembali.
Bagai memiliki naluri perkelahian tinggi, Bwana
menghindar dengan melesat ke atas. Begitu menukik,
dibalasnya serangan lawan. Suara koakannya terden-
gar memecahkan telinga.
Untuk sejenak Dewi Karang Samudera jadi kalang-
kabut. Tetapi kejap kemudian, Bwanalah yang dibuat
pontang-panting. Bila saja burung ini tak memiliki ke-pandaian terbang secepat
kilat, tak mustahil seluruh bulu keemasan yang ada di tubuhnya akan rontok
seketika. "Setan alas!" maki Dewi Karang Samudera keras dengan wajah membesi mendapati
burung rajawali itu
sukar untuk ditaklukkan. "Hhh! Akan kuserang lagi burung keparat itu! Sementara
dia menghindari, akan
kubunuh Marbone!"
Mendapat keputusan demikian, Dewi Karang Sa-
mudera melakukan maksudnya. Begitu Bwana terbang
menghindari serangan, perempuan sesat ini langsung
mencelat untuk menghabisi nyawa Marbone.
Akan tetapi, Bwana bukan burung sembarangan.
Begitu menghindari serangan Dewi Karang Samudera,
tubuhnya langsung menukik kembali dengan kedua
kaki siap mencengkeram rengkah tubuh Dewi Karang
Samudera. Wuuuttt! Dewi Karang Samudera urung menurunkan tangan
kematian pada Marbone. Tubuhnya kembali dibuang
ke samping bila tak ingin kepalanya dicengkeram pe-
can oleh Bwana. Dan justru Bwana yang mempergu-
nakan kesempatan itu untuk menyambar tubuh Mar-
bone. Memang, burung bernaluri tinggi itu seperti
mengetahui apa yang direncanakan perempuan berba-
ju hijau lumut tipis ini.
Begitu tegak berdiri, Dewi Karang Samudera meng-
geram mendapati apa yang terjadi di hadapannya. Se-
ketika kedua tangannya menghentak melepas pukulan
jarak jauh yang mengeluarkan sinar putih bening di-
kawal hawa panas tinggi.
Wesss... Akan tetapi, Bwana sudah melesat sambil men-
cengkeram tubuh Marbone dengan kedua kakinya. Se-
hingga, serangan itu hanya menyambar angin kosong
saja. "Keparaatt!" maki Dewi Karang Samudera melihat serangannya gagal. Lalu untuk
melampiaskan rasa ke-salnya, dilepaskan pukulannya ke depan.
Blaaarrr! Tanah yang menjadi sasaran kontan merengkah
dan muncrat setinggi satu tombak. Rumput yang tum-
buh di atasnya beterbangan, lalu luruh menjadi serpihan.
Wajah perempuan ini begitu membesi. Kedua tan-
gannya mengepal kuat-kuat.
"Setan alas! Dua kali aku gagal! Pertama pada gadis yang pingsan yang
diselamatkan si Rajawali Emas.
Dan sekarang, burung keparat itu yang menyela-
matkan Marbone! Hhh! Persetan dengan semua ini!
Aku harus mencari jejak Iblis Kubur!"
Setelah berusaha menguasai seluruh amarah
membara yang bergulat di hatinya, perempuan berbaju
hijau tipis itu melesat meninggalkan lembah yang kini telah porak-poranda.
*** Bab 6 Di jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya di-
tumbuhi pepohonan yang cukup tinggi, sepasang anak
muda menghentikan larinya seraya memandang berke-
liling. Hening yang terdengar hanya suara dedaunan di usap angin lembut.
"Kakang Wisnu... sudah hampir lima hari kita me-lacak jejak Siluman Buta.
Tetapi, manusia keparat itu seolah lenyap entah ke mana. Yang kukhawatirkan
adalah keadaan Andini yang dibawa kabur Siluman
Buta. Bila manusia laknat itu memperlakukannya
dengan tidak senonoh, aku bersumpah akan menca-
bik-cabik tubuhnya!"
Pemuda yang dipanggil Wisnu menoleh. Ditatapnya
gadis manis yang barusan membuka suara. Pemuda
itu berbaju warna putih. Bagian dadanya terbuka,
memperlihatkan dada bidangnya yang ditumbuhi bulu-
bulu lebat. Rambutnya panjang tergerai. Di punggung-
nya terdapat sebilah pedang.
Diam-diam si pemuda menarik napas pendek. Bisa
dimengerti kalau gadis yang berhati lembut dan bersifat santun ini mengeluarkan
ancaman demikian. Kare-
na di dasar hatinya, Wisnu pun mencemaskan nasib
Andini yang sampai saat ini tidak diketahui di mana
rimbanya. "Aku pun begitu, Nandari," sahutnya. "Aku cemas memikirkan nasib Andini. Dan aku
juga akan melakukan hal yang sama bila bertemu manusia keparat ber-
juluk Siluman Buta itu."
Gadis berpita warna biru menatap pemuda yang
juga sedang menatapnya. Wajah gadis yang dipanggil
Nandari bulat jelita dengan sepasang mata indah. Pa-
kaiannya biru, cocok sekali dengan kulitnya yang kuning mulus. Di ikat
pinggangnya yang berwarna merah
terselip dua buah trisula. Dan yang mengherankan,
wajahnya mirip Andini!
Memang, kedua anak muda ini tak lain adalah mu-
rid-murid Pesanggrahan Mestika, kakak seperguruan
dari Andini. Setelah terjadi pertarungan sengit untuk menumbangkan seorang
dedengkot rimba persilatan
yang berjuluk Siluman Buta, murid-murid Pesanggra-
han Mestika harus mengalami nasib sial. Karena Silu-
man Buta berhasil menotok Andini dan disembunyikan
di suatu tempat. Pertempuran sengit berlangsung
sampai munculnya Dewa Bumi, guru mereka. Siluman
Buta pun meninggalkan tempat itu dengan sejuta den-
dam dan amarah karena tak mampu menghadapi De-
wa Bumi. Setelah terjadi percakapan, Dewa Bumi sa-
dar kalau Andini tak ada di tempat. Dan sebelum ke-
dua anak muda itu memutuskan untuk mencari, Dewa
Bumi sudah meninggalkan tempat itu. Sementara di
lain tempat, Andini sebenarnya telah ditolong si Rajawali Emas. Sedangkan Wisnu
dan Nandari tetap me-
nyangka kalau Andini dibawa Siluman Buta!
"Lalu..., apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Nandari dengan
hati kelu. Pemuda yang diam-diam mencintai Nandari mena-
rik napas pendek.
"Nandari... Sebenarnya masih ada hal lain yang
kupikirkan dalam hal ini," kata Wisnu kemudian.
Si gadis menatap penuh perhatian.
"Soal apakah itu, Kang Wisnu?" tanyanya.
"Mengenai sikap Guru. Bukankah kau tahu, kalau
Guru yang pertama kali melontarkan pertanyaan di
mana Andini berada" Namun setelah itu, Guru nam-
paknya acuh tak acuh saja. Bahkan dia berlalu me-
ninggalkan kita, seolah hilangnya Andini tak merisaukan hatinya."
"Masalah apa yang membingungkan mu sebenar-
nya?" tanya Nandari lagi tak mengerti
"Sikap Guru itu. Apakah dia sebenarnya tahu di mana Andini berada. Atau dia
memang...."
"Guru memerintahkan kita untuk mencari Andini.


Rajawali Emas 05 Dewi Karang Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingat itu," potong Nandari sambil menatap Wisnu.
"Yang perlu kita pikirkan adalah Andini, Kakang Wisnu. Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi. Apa yang
akan kita lakukan sekarang?"
Wisnu mencoba tersenyum, sedikit membenarkan
kata-kata Nandari tentang sikap guru mereka yang
berjuluk Dewa Bumi.
"Biar bagaimanapun sulit dan lamanya pencarian
ini, kita harus menemukan Siluman Buta, Nandari...,
lebih baik kita mencari sebuah dusun untuk mengisi
perut dulu. Selama ini, kita hanya makan buah-
buahan hutan dan daging ayam hutan panggang saja."
Nandari mengangguk. Tiba-tiba dirasakan pula pe-
rutnya kosong. Lalu matanya melirik pemuda di hada-
pannya ini "Ah, Kang Wisnu.... Tahukah kau kalau diam-diam aku mencintaimu" Meskipun si
ceriwis itu pernah
menduga tentang perasaanmu terhadapku, tetapi aku
pun senang mendengarnya. Karena aku juga punya
perasaan sama."
Sementara itu Wisnu membatin. "Nandari... telah lama aku jatuh hati kepadamu.
Tetapi, sampai saat ini aku belum berani mengatakannya. Ini adalah saat
yang tepat sebenarnya untuk menyatakan perasaanku
kepadamu. Apalagi gadis ceriwis itu tidak bersama ki-
ta. Tetapi, sudah tentu ini bukan saat yang tepat pula.
Mengingat, nasib Andini belum diketahui sama sekali.
Suatu saat..., aku akan mengatakan seluruh isi hatiku ini padamu, Nandari."
Tiba-tiba saja Wisnu tersentak ketika melihat gadis
di hadapannya agak limbung. Dengan gugup dan cepat
dipegangnya kedua tangan Nandari.
"Kau tidak apa-apa, Nandari?" tanyanya cemas.
"Tidak, Kang.... Aku..., aku hanya tegang memikirkan Andini. Aku rindu padanya,
Kakang...," sahut Nandari lemah. '
"Tenanglah. Kita sama-sama berharap kalau dia bi-sa menjaga diri dari tangan
jahat Siluman Buta," hibur Wisnu sambil tersenyum memberi ketenangan pada
gadis yang dicintainya.
Desisan Nandari berikutnya membuat darah si pe-
muda bagai tersirap naik ke ubun-ubun.
"Kang Wisnu..... Rangkul aku, Kang.... Rangkul...
Aku butuh ketenangan, Kang...," rintih si gadis.
Sesaat Wisnu terbelalak tak tahu harus melakukan
apa. Tetapi dia yakin benar akan pendengarannya ba-
rusan itu. Rangkul aku, Kakang Wisnu... Rangkul aku desis
Nandari, makin meyakinkan Wisnu.
Lalu hati-hati sekali, Wisnu merangkul lembut ga-
dis itu. Semula perasaannya gugup dengan jantung
berdegup keras. Dan dia baru bisa bernapas lega keti-ka benar-benar merasakan
tubuh lembut Nandari be-
rada dalam rangkulannya.
Dan tanpa disadari, keduanya telah saling men-
gungkapkan isi hati masing-masing.
*** "Dua kali kau menyelamatkanku, Kang Tirta. Per-
tama dari cengkeraman Siluman Buta. Lalu dari ceng-
keraman Iblis Kubur. Ku ucapkan terima kasih atas
pertolonganmu," ujar Andini pada Tirta di sebuah sun-gai kecil yang dipenuhi
pepohonan. Sungai yang men-
galirkan air jernih dan menimbulkan suara bergemer-
cik membuat suasana jadi bagai berada di taman sur-
gawi Tirta hanya mengangkat alisnya saja. Lalu dica-
butnya sebatang rumput yang tumbuh di dekatnya,
dan diselipkan di sudut bibirnya.
"Tak jadi masalah. Yang penting, keadaanmu su-
dah pulih kembali, Andini," sahut Tirta yang dikenal sekarang sebagai si
Rajawali Emas sambil menatap
wajah jelita di hadapannya.
Sungguh mengherankan. Kini, gadis ceriwis itu ba-
gai kehilangan seluruh sifat aslinya. Tetapi itu pasti dikarenakan merasa cemas
memikirkan keadaan dua
kakak seperguruannya yang diduganya telah tewas di
tangan Siluman Buta.
"Kalau kesehatanmu telah pulih benar, sebaiknya kita meneruskan mencari Siluman
Buta untuk minta
keterangan mengenai kedua kakak seperguruanmu
itu." Andini mengangguk. Tangannya mengepal.
"Kalau memang yang kuduga benar, akan kubu-
nuh manusia keparat itu, Kang Tirta."
Tirta cuma tersenyum. Dia bisa ikut merasakan
kemarahan gadis itu. Tetapi saat ini, hatinya pun di-bingungkan oleh tugas yang
diberikan Raja Lihai Lan-
git Bumi untuk menghentikan sepak terjang Iblis Ku-
bur. Tirta sudah merasakan kesaktian yang dimiliki Iblis Kubur. Dari Manusia
Pemarah, dia tahu kalau Iblis Kubur mempunyai dendam pada Ki Sampurno Pa-
mungkas atau Manusia Agung Setengah Dewa. Ada
dua cara untuk menghentikan sepak terjang Iblis Ku-
bur. Mencari Dewi Karang Samudera untuk mendapat
Kitab Pemanggil Mayat, atau menemukan Ki Sampurno
Pamungkas berada. Untuk mencari Dewi Karang Sa-
mudera mungkin bisa ditemukan. Tetapi mencari Ki
Sampurno Pamungkas" Sama saja mencari jarum di
tumpukan jerami! Karena si Manusia Pemarah yang
merupakan muridnya sendiri tidak tahu di mana Ki
Sampurno Pamungkas berada.
"Sudahlah, Andini... Kita harus bertindak cepat Aku masih harus menemukan Iblis
Kubur. Karena, guruku tengah memancingnya menjauh entah ke mana,"
kata Tirta akhirnya.
Andini mengangguk.
"Kesehatanku sudah lumayan membaik, Kang Tir-
ta. Kita bisa segera berangkat sekarang."
Si Rajawali Emas pun berdiri. Dan ketika menatap
gadis manis yang berdiri di hadapannya, mendadak sa-
ja wajahnya memerah. Walaupun segera dipalingkan
ke arah lain, Andini telah melihat perubahan wajah-
nya. "Mengapa, Kang Tirta?" tanyanya sambil menatap pemuda tampan di hadapannya.
Tirta buru-buru menggeleng-geleng. "Tidak... tidak apa-apa," katanya cepat. Lalu dia menyambung dalam
hati, "Kalau Andini tahu aku sudah melihat bukit kembarnya, bisa konyol! Tapi
asyik juga sih buat diingat-ingat"
Andini sendiri tak mempersoalkan itu lagi.
"Kita segera berangkat, Kang Tirta," susulnya.
Bagi Tirta sendiri hal itu memang lebih baik- Dan
si pemuda pun bergerak mendahului. Sengaja jalannya
tidak terlalu cepat, karena tahu Andini masih belum
pulih benar. Sementara itu tanpa disadari mereka, sepasang
mata yang sejak tadi memperhatikan dari balik semak
belukar menarik napas pendek. Matanya yang indah
seperti kuyu tak bergairah. Dia adalah seorang gadis berbaju putih dengan
sulaman bunga mawar di dada
kanan. "Kang Tirta... cukup lama terasa perpisahanku
denganmu. Dan selagi aku menemukanmu, kau ber-
sama seorang gadis," desah gadis berwajah telur dengan dagu agak menjuntai
Bibirnya tipis yang memerah
indah. Sepasang alisnya hitam, dihiasi bulu mata lentik. Matanya yang sayu
terbuka. Rambutnya panjang
hingga ke bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Di pinggangnya yang ramping,
melilit sebuah cambuk.
Gadis itu adalah Ayu Wulan, murid Manusia Pema-
rah yang mendadak saja hams memerah wajahnya bila
teringat akan kata-kata gurunya yang menginginkan
agar dirinya berjodoh dengan Tirta. Dan sekarang, gadis manis yang diam-diam
telah jatuh hati pada si Rajawali Emas itu kembali menarik napas pendek.
"Siapa gadis yang bernama Andini itu" Bila melihat sikapnya, Kang Tirta
nampaknya begitu memperhati-kannya. Apakah gadis itu kekasihnya" Ah.... Kalau
memang kenyataannya seperti ini, bagaimana dengan-
ku" Apakah..., tidak! Aku tidak boleh jadi cengeng begini! Aku memang mencintai
Kang Tirta. Tapi kalau
memang gadis itu kekasihnya, biarlah aku mengalah!
Lebih baik, kucari Guru saja yang sedang mencari je-
jak Dewi Karang Samudera."
Dan dengan menindih kelaraan dalam hatinya, Ayu
Wulan segera memutar tubuhnya. Dan dia segera ber-
kelebat ke arah berlawanan dari arah yang ditempuh
Tirta dan Andini.
*** Bab 7 Matahari kian tergelincir di bumi sebelah barat.
Saat ini, si Rajawali Emas dan Andini tiba di sebuah padang rumput yang
menghampar bagai permadani.
Di sebelah barat, yang tersisa hanya rona merah jingga yang kian redup. Di ujung
sana, tergambar beberapa
bayangan-bayangan dari burung yang beterbangan.
"Andini..., sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik kita cari tempat untuk
beristirahat dulu. Di tempat yang terbuka semacam ini, kita akan mudah dili-
hat orang yang belum tentu kawan atau lawan," kata Rajawali Emas, setelah
berpaling pada Andini.
"Begitu juga boleh! Asal, awas...! Nanti kau tidur berjauhan denganku, ya?" oceh
Andini, kembali pada sifat ceriwisnya.
Tirta tersenyum. "Andaikata gadis ini tahu kalau aku sudah.... Ah, sudahlah."
Si Rajawali Emas cepat menepis pikiran kotor di
dalam benaknya. Sejenak matanya memandang ke se-
keliling. "Tidak ada hutan untuk tempat beristirahat di sekitar tempat ini. Kalau
begitu...."
"Kalau begitu apa, Kang Tirta?" sambar Andini.
"Sebelum malam datang, baiknya kupanggil saja
dia," kata Tirta bagai berkata pada dirinya sendiri. Sementara, kening Andini
berkernyit. Lebih berkernyit
ketika melihat pemuda tampan berbaju keemasan itu
menepukkan tangannya tiga kali Dan di sela-sela te-
pukan, kedua tangan menyentak ke atas. Maka seketi-
ka sinar merah menyala melesat ke atas menerangi
angkasa yang mulai hitam. Belum lagi pupus kehera-
nan Andini, mendadak saja.... "Kraagghrrr....!"
Telinga gadis itu menangkap suara yang sangat ke-
ras diiringi gemuruh angin. Tanpa sadar, kepalanya
mendongak. Tampak satu bayangan raksasa berwarna
keemasan melayang-layang.
"Oh, Tuhan.... Makhluk apakah itu?" desisnya. Dan tanpa sadar kakinya mundur dua
tindak dengan sepasang mata melebar.
Tirta yang melirik tersenyum. Apa yang dilakukan-
nya tadi adalah sebuah isyarat untuk memanggil bina-
tang tunggangan kesayangannya, Bwana. Tepukan pe-
lan tadi sebenarnya mengandung tenaga dalam tinggi.
Dan itu hanya, dimengerti oleh Bwana. Sementara
percikan sinar merah tadi merupakan tanda di mana si Rajawali Emas berada.
Kejap kemudian, Tirta pun mendongakkan kepala.
Tampak kini Bwana terbang di atasnya berjarak dela-
pan tombak. "Koaakkk! Koaaak! Koaaakkk!"
Suara keras menggelegar itu hanya dimengerti oleh
Tirta. Selama lima tahun hidup bersama Bwana di Gu-
nung Rajawali, si Rajawali Emas bisa mengerti setiap suara yang dikeluarkan
burung raksasa itu.
"Bwana mengatakan, di cengkeramannya ada seo-
rang gadis yang pingsan. Dan dia sulit untuk turun.
Hmmm.... Lebih baik...." Tirta tak melanjutkan ka-ta-kata yang ditujukan untuk
dirinya sendiri. Sebentar dia manggut-manggut, lalu kembali menatap ke atas.
"Bwana! Kau terbang agak merendah. Setelah
mendengar isyaratku, lepaskan gadis itu. Dan aku
akan menangkapnya. Kau mengerti"!" teriak si Rajawali Emas.
"Koaakkk!"
"Bagus! Terbang agak merendah. Yap! Begitu,
Bwana! Benar! Sekarang kau putar tubuhmu. Dan...,
yak! Lepaskan sekarang!"
Seketika satu sosok tubuh meluncur deras dari
cengkeraman Bwana. Saat yang sama, dengan penca-
lan satu kaki, Tirta segera melompat ke atas. Dan....
Tap! Tubuh yang dijatuhkan Bwana sudah berada da-
lam bopongannya. Dan sambil membopong tubuh si
gadis, pemuda tampan itu memutar tubuhnya dua kali
lalu hinggap di tanah kembali.
"Kau turun, Bwana!" seru Tirta sambil meletakkan gadis yang pingsan itu di
tanah. Sementara, Andini
yang sejak tadi hanya memperhatikan buru-buru
mendekatinya. "Siapa gadis itu, Kang?" tanya si gadis.
"Aku tidak tahu, Andini. Nampaknya dia pingsan
karena kelelahan. Tetapi kulihat ada luka di pung-
gungnya. Hmm..., lebih baik segera kuobati sekarang."
Segera Tirta mengalirkan tenaga dalam ke pung-
gung gadis itu. Perlahan sekali telapak tangannya yang menempel terasa bergetar,
dan membuatnya cukup
tersentak Tetapi semua itu ditahannya, dan tenaga dalamnya terus dialirkan.
Waktu terus berlalu. Tirta lantas menoleh pada
Andini "Kita dudukkan gadis ini. Kau tahan di depannya, Andini," ujar si pemuda.
Andini melakukan perintah itu. Dipegangnya bahu
gadis yang pingsan yang tak lain Marbone dengan hati-hati. Sementara Tirta
kembali mengalirkan tenaga da-
lamnya melalui punggung.
"Minggir, Andini!" ujar Tirta, setelah beberapa saat.
Andini cepat membuang tubuh ke samping. Dan
Tirta merangkul ketat Marbone yang terhuyung ke de-
pan begitu Andini melepaskan pegangannya. Dan____
"Huaaakkk!"
Marbone, orang tertua dari Tiga Pengiring Ratu itu
memuntahkan darah kental berwarna hitam. Berkali-
kali hal itu terjadi. Ketika muntah Marbone telah ber-henti, Tirta cepat menotok
beberapa urat sarafnya. La-lu perlahan-lahan dibaringkannya gadis itu di tanah.
"Siapa dia, Kang Tirta?" tanya Andini lagi, setelah beberapa saat hanya
memperhatikan saja.
"Aku tidak tahu," sahut si Rajawali Emas sambil memperhatikan gadis yang pingsan
di hadapannya. "Sepertinya, tenaga yang dimilikinya terkuras karena kelelahan. Biarkan dia
dulu, aku akan bertanya pada
Bwana."

Rajawali Emas 05 Dewi Karang Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan Tirta berdiri Dihampirinya Bwana.
Andini yang tadi terkejut, menatap tak berkedip pada Bwana yang tengah dibelai-
belai Tirta. "Gila! Baru kali ini kulihat ada burung rajawali sebesar ini," desis gadis itu
kagum. "Dan tadi... oh! Kang Tirta mengatakan dia akan bertanya pada burung itu"
Apakah Tirta mengerti kata-kata burung itu?"
Untuk sejenak Andini hanya memperhatikan den-
gan kening berkerut. Beberapa kejap kemudian, gadis
itu terkejut ketika Tirta ulapkan tangan padanya. Karena terkejut, tanpa sadar
si gadis menunjuk dadanya sendiri
"Aku?" tanyanya.
Tirta mengangguk. Dengan agak ragu, Andini me-
langkah mendekati Tirta. Dia makin kagum menatap
burung rajawali keemasan yang rebah di hadapannya
dari dekat. "Ini Bwana, sahabatku. Ayo berkenalan dengan-
nya," ujar si pemuda.
Tatapan Andini benar-benar menunjukkan rasa
kagum tak terkira. Sejenak hatinya ragu-ragu untuk
membelai bulu Bwana. Ketika Tirta menyuruhnya se-
kali lagi barulah gadis itu berani membelai bulu bu-
rung rajawali keemasan raksasa itu.
Beberapa saat berlalu. Dan tampaknya Andini su-
dah mulai akrab dengan Bwana.
"Andini..," panggil Tirta. "Kau tunggui gadis yang pingsan itu. Menurut Bwana,
dia menolong gadis ini
dari maut yang diturunkan oleh seorang perempuan
cantik berbaju hijau. Aku yakin, orang yang dimaksud Bwana adalah Dewi Karang
Samudera."
"Maksudmu, kau akan segera melanjutkan perjala-
nan?" tanya Andini seperti tersentak.
Tirta mengangguk Entah mengapa dia menangkap
sinar kecewa dari gadis itu. Tetapi menurutnya, gerakannya akan lebih bebas bila
seorang diri "Kau benar, Andini. Gadis itu membutuhkan pertolongan. Setelah dia siuman, Bwana
akan membawanya
terbang bersamamu. Soal di mana akan menemukan-
ku, aku akan melepaskan isyarat untuk memanggil
Bwana. Kau mengerti maksudku?"
Kalau tadi Tirta menangkap sinar kecewa, kali ini
melihat sinar terkesiap di mata indah gadis itu.
"Aku" Naik di punggung Bwana" Oh, Tuhan...!
Apakah tak ada tugas lain yang bisa kau berikan pa-
daku, Kang?" sentak gadis itu seperti tersedak.
Tirta tertawa pelan, tidak bernada mengejek.
"Percayalah! Bwana akan menjagamu. Masalah Ib-
lis Kubur yang dikendalikan Dewi Karang Samudera,
harus secepatnya kutemukan biar urusan tidak berla-
rut-larut. Kau paham, bukan?"
Terdengar tarikan napas pelan gadis manis di ha-
dapan si Rajawali Emas. Lalu anggukan nya terlihat.
Sangat lemah. "Bagus! Aku percaya kau bisa menjaga diri. Tolong ceritakan semuanya pada gadis
yang masih pingsan
itu. Aku yakin, dia adalah orang baik-baik mengingat cerita Bwana kepadaku."
Andini hendak bertanya bagaimana Tirta bisa men-
gerti maksud Bwana, tetapi pemuda berbaju keemasan
itu telah berkelebat cepat. Tinggal Andini yang diam-diam kembali menarik napas
pendek. Sementara,
Bwana hanya melakukan lirikan kecil. Lalu segera se-
pasang matanya yang besar memejam.
*** Bab 8 Malam makin panjang. Di langit atas sana awan hi-
tam kian membunting. Nampaknya, sebentar lagi hu-
jan akan turun.
Di bawahnya, satu sosok tubuh ramping terus ber-
kelebat cepat bagai tak kenal lelah membelah kepeka-
tan malam. Sejauh lima belas tombak di belakangnya,
satu sosok tubuh lain terus mengejar dengan sesekali mengeluarkan gerengan
keras. "Keparat! Manusia sialan itu masih mengikutiku
juga! Urusan bisa jadi gawat! Tetapi nampaknya, aku
bisa melakukan serangan kembali di tempat ini Hhh!
Napasku sudah cukup sesak dengan segala perbuatan
konyol ini! Apa boleh buat" Aku harus mencoba untuk
menahannya sebelum memutuskan untuk mencari ke-
sempatan untuk meloloskan diri Tak ada gunanya
menghadapi manusia ini bila belum tahu kelemahan-
nya. Bahkan sepertinya dia tak kenal lelah sama seka-
li! Setan keparat!" maki sosok ramping yang berlari di depan.
Seketika sosok ramping yang ternyata perempuan
berbaju dan berkain batik kusam itu segera menghen-
tikan larinya. Napasnya yang seperti hendak meledak-
kan paru-parunya diatur sedemikian rupa. Dilihatnya
bayangan hitam yang sejak dua hari belakangan ini
mengikutinya, semakin mendekat.
"Setan alas!" maki si nenek sambil mengeluarkan sebuah pengebut dari balik
bajunya. Dengan kegeraman yang bercampur ketegangan, ditunggunya sampai
orang yang mengikutinya itu mendekat.
Dalam jarak dua tombak, si nenek berkonde yang
tak lain Bidadari Hati Kejam segera menggerakkan
senjata pengebutnya dengan jurus 'Rangkai Bunga
Habisi Kumbang'.
Wesss...! Angin dahsyat langsung menderu, memecah malam
yang dingin ke arah sosok hitam yang tak lain Iblis
Kubur yang telah mendekat. Angin yang mampu me-
mecahkan dinding gunung itu kontan menabrak Iblis
Kubur hingga terpental tiga tombak ke belakang.
Hanya sesaat saja hal itu terjadi. Karena kejap ke-
mudian, Bidadari Hati Kejam lagi-lagi dibuat melongo melihat Iblis Kubur kembali
bangkit dengan amarah
meledak-ledak "Jaahaaanam keeppaaarath! Kaau laanncaang tee-
lah menyeraang Ibbliss Kuubbuur! Berraartiii caarii
matti! Akaan kuaampunii kesaalahannmuu, kaallau
kaau menggaataakaan dii maanaaa Saampurnoo Pa-
mungkaass beraadaa!"
"Setan betul! Berkali-kali manusia ini kuserang, tetapi masih saja tetap
bangkit. Aku tak percaya kalau
dia tak mempunyai kelemahan. Tetapi untuk saat ini
sungguh sukar untuk menentukan letak kelemahan-
nya. Hanya Ki Sampurno Pamungkas yang tahu kele-
mahan manusia setan ini! Tetapi sialnya, aku tidak ta-hu di mana dia berada!
Keparat! Urusan jadi ada di
tanganku! Padahal aku tahu kalau Manusia Mayat
Muka Kuning masih jadi urusan! Manusia itulah yang
telah memancing aku keluar! Dan manusia itu harus
mendapat ganjarannya!"
Habis membatin gusar begitu, Bidadari Hati Kejam
menatap waspada. "Kalau kau mau mencari Ki Sam-
purno Pamungkas, mengapa harus bertanya kepada-
ku"! Lebih baik kembali ke asalmu. Jangan kau tam-
bah pusing rimba persilatan gara-gara manusia kepa-
rat macam kau ini!"
"Laanncaang kaau biicaraa! Kaattaakan, dii maana Saampurrnoo Paamungkaas
berradaa!"
"Dasar manusia sinting! Apa kau tak mengerti ucapanku"!" maki Bidadari Hati
Kejam sambil berusaha menemukan letak kelemahan manusia mayat ini.
Sebagai jawaban atas seruan dongkolnya itu Iblis
Kubur menggerakkan kedua tangannya yang terdapat
dua rantai besar ke depan.
Srangngng! Srangngng!
Sambaran rantai besar menimbulkan suara meng-
gidikkan, didahului hamparan angin dingin menggi-
riskan. Bidadari Hati Kejam cepat melenting ke belakang.
Begitu mendarat, melalui pencalan satu kaki, tubuh-
nya langsung menerjang. Senjata pengebutnya berke-
lebat diiringi dua tendangan kaki kanan dan kiri sekaligus.
Bettt! Sambaran dua rantai besar panjang Iblis Kubur
hanya menebas angin. Bahkan kedua kaki si nenek
berkonde berhasil menghantam telak kepala dan dada
Iblis Kubur. "Ghear...!"
Suara serak terdengar dari mulut Iblis Kubur. Bu-
kan bernada kesakitan, tapi lebih tepat suara geram
tak terkira. "Jahanam!" maki Bidadari Hati Kejam sambil mundur dua tindak dengan tatapan tak
percaya melihat
apa yang terjadi di hadapannya. "Kalau begini terus-menerus, tenagaku bisa
terkuras! Manusia ini tak ken-al lelah sama sekali. Bahkan bila terhantam
serangan, dia tetap dalam keadaan semula tanpa kurang suatu
apa. Jadi kapiran urusan ini! Ke mana perginya mu-
ridku yang kebluk itu, hah"! Mudah-mudahan dia bisa
menyelamatkan si gadis dan bisa mengatasi bayangan
hijau yang mengikutinya. Lebih baik aku...."
Kata-kata hati Bidadari Hati Kejam putus bagai di-
betot setan, ketika dua rantai besar yang ada di tangan kanan dan kiri Iblis
Kubur menderu ke arahnya. Si
nenek langsung melompat ke belakang.
Baru saja si nenek mendarat, kali ini dua rantai
besi panjang yang melilit di kedua kaki Iblis Kubur pun melesat dahsyat,
mengeluarkan suara beruntun
mengerikan. Maka sebisanya Bidadari Hati Kejam
menghindar sambil sesekali memapaki serangan den-
gan senjata pengebutnya.
Pertarungan sengit antara dua tokoh tingkat tinggi
itu, membuat tempat sekitarnya dalam waktu singkat
bagai diamuk ratusan gajah liar. Banyak pohon ber-
tumbangan dan langsung terpental terseret angin yang terjadi. Di beberapa tempat
terlihat tanah telah membentuk lubang sedalam satu tombak. Rerumputan pun
tercabut, bercampur dengan debu dan pasir.
Pandangan Bidadari Hati Kejam yang tertutup oleh
debu, pasir, dan rerumputan membuatnya tak menya-
dari adanya bahaya. Karena pada saat yang sama, Iblis Kubur telah mengebutkan
rantai bajanya secepat kelebatan angin. Lalu....
Bukkk...! "Aaakh...!"
Bidadari Hati Kejam berteriak kesakitan. Menyusul,
tubuhnya yang mengenakan baju batik kusam melun-
cur deras ke belakang dengan dada yang menjadi sasa-
ran terasa sesak bukan main.
Si nenek jatuh terduduk. Dadanya terasa remuk.
Wajahnya cukup pias oleh kejadian cepat barusan. Se-
gera tenaga dalamnya dialirkan. Akan tetapi, karena
dadanya seperti remuk dan sesak, membuat aliran te-
naga dalamnya bagai ditahan oleh sebuah sekat.
"Celaka tiga belas!" maki Bidadari Hati Kejam dalam hati. "Kalau kupaksakan
untuk mengalirkan tenaga dalam ini, aku akan muntah darah. Bahkan ke-
mungkinan bisa pingsan. Tapi bila tidak cepat kutang-gulangi, tak mustahil aku
akan modar! Setan keparat!
Apa sampai di sini saja nyawa tuaku ini menemani ja-
sadku"! Hhh! Masa bodo! Muntah darah hanya sakit
sebentar. Aku harus berusaha untuk tidak pingsan!"
Mendapat keputusan begitu, Bidadari Hati Kejam
segera mengalirkan tenaga dalamnya. Rasa sesak dan
sakit tak terkira, membuat wajahnya makin berkerut.
Keringat sebesar biji kedelai telah bermunculan, membasahi sekujur tubuhnya.
Napasnya terasa agak sesak.
Tubuhnya bergetar. Dan tiba-tiba....
"Huaaakkk!
Darah kental hitam meluncur bagai terdorong satu
kekuatan dari dalam rongga dada. Si nenek berkonde
merasakan tenggorokannya sangat sakit sekali.
"Hoeekkk...!"
Sekali lagi perempuan tua ini muntah darah. Kali
ini pandangannya dirasakan agak kabur. Matanya
berkunang-kunang. Getaran tubuhnya telah menjadi-
kannya seperti orang limbung. Samar dalam pandan-
gan mata kelabunya, sosok Iblis Kubur mendekat per-
lahan-lahan dengan tatapan menebar kematian.
"Celaka...! Aku masih bisa bertahan untuk tidak pingsan. Tetapi untuk menghadapi
manusia keparat
ini jelas sangai mustahil...."
Kendati merasa tubuhnya tak mampu bertahan,
Bidadari Hati Kejam berusaha berdiri. Setelah men-
gumpulkan semangatnya, tubuhnya berkelebat melan-
carkan serangan. Tangannya yang memegang senjata
pengebut dikibaskan sekuat mungkin.
Wusss Serangkum angin dahsyat yang ditimbulkan dari
senjata pengebut Bidadari Hati Kejam meluruk ganas,
siap menggulung lawannya. Selagi Iblis Kubur menge-
luarkan teriakan mencekam yang sangat keras, si ne-
nek berusaha mengalirkan tenaga dalamnya lagi. Ka-
rena keadaannya belum pulih benar, Bidadari Hati Ke-
jam merasa untuk saat ini tak mampu menghadapi Ib-
lis Kubur. Jalan satu-satunya sekarang adalah segera meninggalkan tempat Itu,
memutar tubuhnya.
"Percuma menghadapi manusia satu ini! Dia tak
kenal lelah dan tak merasakan apa-apa dari setiap se-ranganku! Dasar bodoh!
Manusia ini adalah mayat
yang dibangkitkan kembali. Orang yang membang-
kitkannyalah menjadi kunci dari semua ini!"
Begitu Bidadari Hati Kejam hendak berkelebat.
mendadak saja dua suara angin dahsyat mengarah ke-
padanya. Srangngng! Srangngng!
Tanah kontan berhamburan terseret besi panjang
yang diiringi udara dingin. Bidadari Hati Kejam mema-ki panjang pendek sambil
memutar tubuhnya untuk
menghindari serangan. Saat menghindar, tangan ka-
nannya dikibaskan.
Werrr! Asap hitam pekat meluruk dahsyat ke depan dari
kibasan tangan Bidadari Hati Kejam. Kejap itu pula si nenek berkonde memutar
tubuhnya sambil melepas


Rajawali Emas 05 Dewi Karang Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tendangan berputar. Mendapati serangan dahsyat itu,
Iblis Kubur mengeluarkan bentakan keras.
"Haaahhh!"
Angin kuat dari mulut mayat hidup ini meluncur,
Maka seketika asap hitam pekat yang dilepaskan Bi-
dadari Hati Kejam buyar. Saat itu pula kaki kanan Iblis Kubur terangkat tinggi,
memapak tendangan Bidadari
Hati Kejam. Plak! "Aaakh...!H
Si nenek terpekik keras begitu tendangannya ter-
papak. Segera tubuhnya melenting ke belakang, dan
hinggap dengan kaki agak pincang.
Dan belum lagi Bidadari Hati Kejam mengalirkan
tenaga dalam guna mengenyahkan rasa sakit pada ka-
ki kanannya, tubuh Iblis Kubur sudah mencelat ke
muka! "Maampuusslaahh kaauu, Manuusuaa jeleekk!!"
Bidadari Hati Kejam melengak sampai mundur sa-
tu tindak dengan mata terbuka lebar. Tak ada kesem-
patan lagi untuk menghindari serangan. Kalau pun
memapaki jelas tak mungkin.
"Celaka! Nasibku jelas harus sampai di sini saja!"
makinya. Gebrakan Iblis Kubur yang telah mengibaskan ke-
dua tangan siap melepaskan pukulan, jelas akan sam-
pai pada sasaran. Namun mendadak saja....
Wusss! *** Satu sosok bayangan meluruk menerabas semak
belukar. Langsung dipapakinya pukulan Iblis Kubur
yang mengarah pada Bidadari Hati Kejam.
Plak! Orang yang baru datang itu memang merasakan
kalau tangannya bergetar saat memapaki pukulan Iblis Kubur. Namun dengan gerakan
aneh sekaligus menak-jubkan tubuhnya berputar, Seketika dikirimkannya sa-
tu tendangan ke wajah Iblis Kubur.
Desss...! Iblis Kubur terhuyung dua tindak ke belakang.
Namun orang yang baru datang tadi pun terhuyung
lima tindak. Bila saja tak sigap menguasai keseimbangannya, tak urung orang itu
akan ambruk. "Gila! Melihat ciri-cirinya, jelas kalau manusia keparat itu adalah yang
berjuluk Iblis Kubur! Seharus-
nya orang yang terkena pukulanku tadi bisa langsung
pingsan! Tetapi, justru aku yang dibuat sempoyongan!
Keparat busuk! Laknat sialan! Akan kuhajar lagi si Sontoloyo ini!" maki sosok
yang baru datang itu dalam hati. Dia adalah seorang lelaki tua berambut panjang
dikuncir ekor kuda. Wajahnya dihiasi kumis meman-jang. Sepasang matanya agak
menyipit memperhatikan
Iblis Kubur yang tetap berdiri tegak dengan sikap menantang.
Selagi orang yang baru datang itu memaki-maki
dalam hati tak karuan, Bidadari Hati Kejam yang me-
rasa dirinya diselamatkan, menatap tajam dengan na-
pas memburu "Bila melihat sikapnya yang sok dengan mata yang selalu memerah itu, tak salah
lagi, kalau dia pasti si manusia jelek yang suka marah-marah. Heran" Bagaimana
dia bisa muncul ke sini" Lama tak jumpa,
akhirnya bersua juga dengan orang tua sialan berjuluk Manusia Pemarah!"
Di tempatnya, orang berjuluk Manusia Pemarah
yang mengenakan pakaian putih yang sudah sangat
kusam dengan celana hitam setinggi lutut, menoleh-
kan kepala pada si nenek berkonde.
"Hei, Kunti! Apakah kau merasa senang aku tolong begitu, sehingga seperti orang
bodoh yang menatap tak karuan macam begitu, hah"!"
"Setan laknat! Dia masih sering saja marah-marah tak karuan begini!" maki batin
si nenek berkonde yang bernama asli Nyai Kunti dengan wajah menekuk.
Bidadari Hati Kejam melangkah mendekati Manu-
sia Pemarah. "Manusia Pemarah! Apakah kau pikir aku harus
berterima kasih padamu karena kau telah menolong-
ku?" bentak Bidadari Hati Kejam, dingin.
"Sontoloyo! Terima kasih atau tidak, urusan belakangan! Apakah kau sudah bertemu
Dewi Karang Sa-
mudera"!" balas lelaki berkuncir itu.
"Urusan apa aku dengan manusia laknat itu,
hah"!"
"Dialah yang telah membangkitkan manusia setua
itu ke muka bumi ini!"
"Jangan ngaco!" Bidadari Hati Kejam melotot.
"Sontoloyo! Nenek jelek! Jangan ngomong semba-
rangan! Kutampar mulutmu nanti!"
"Sialan! Beraninya kau bicara begitu padaku"! Apa kau sudah hebat, hah"!"
"Keparat jelek! Jangan membuatku marah!" sergah Manusia Pemarah dengan suara
menggebah. "Setan belang pemarah! Apakah kau bisa bersuara sedikit lembut, hah"!" balas
Bidadari Hati Kejam melotot Selagi dua tokoh aneh kelas tinggi rimba persilatan
yang sebenarnya bersahabat itu saling umbar kemarahan, mendadak saja Iblis Kubur
telah mencelat disertai deru angin keras menggidikkan.
Srangngng! Srangngng!
"Setan, Udik sontoloyo!" maki Manusia Pemarah sambil mencelat mundur. Hal yang
sama pun dilakukan Bidadari Hati Kejam.
Begitu mendarat di tanah, kedua tokoh tua ini
menggebrak ke depan. Bersama-sama mereka melepas
serangan dahsyat.
"Kaaliiaan haannyaa caarrii mattii!!" geram Iblis Kubur, menggidikkan.
Bersamaan dengan itu, mayat hidup ini membuka
mulutnya lebar-lebar. Maka seketika asap hitam tebal melesat dahsyat,
mengaburkan pandangan kedua tokoh tua ini
Manusia Pemarah dan Bidadari Hati Kejam cepat
melompat ke samping. Mereka terpaksa mengurung-
kan serangan, karena menangkap bahaya di balik asap
pekat itu, Apa yang diduga keduanya memang terjadi Karena
di balik asap pekat itu, Iblis Kubur telah lakukan serangan kedua kakinya.
Wuusss! Angin dahsyat yang mampu mencabut tanah dan
memuncratkannya ke atas meluncur. Menyusul, satu
gebrakan lain mengarah pada Bidadari Hati Kejam.
Si nenek yang memang tengah terluka dalam ter-
kena sabetan rantai di tangan Iblis Kubur coba mema-
pak serangan itu dengan senjata pengebutnya.
Blarrr! Ledakan keras terdengar, akibat benturan dua te-
naga dalam tinggi. Saat yang sama si nenek berkonde
terhuyung ke belakang. Dan sebelum Bidadari Hati Ke-
jam menguasai keseimbangan, serangan lain tengah
menyusul. Manusia Pemarah mengeluarkan teriakan meng-
guntur. Langsung dipotongnya serangan Iblis Kubur
dengan pukulan 'Sejuta Pesona Bunga'. Kejap itu pula, aroma harum bunga yang
pekat disertai deru angin
bergelombang dahsyat meluncur ke arah serangan Ib-
lis Kubur. Blarrr! Serangan Manusia Pemarah berhasil memutus se-
rangan Iblis Kubur pada Bidadari Hati Kejam. Tetapi hal itu harus dibayar mahal.
Karena satu dorongan
angin deras menghantam ke arahnya. Tubuh Manusia
Pemarah sampai terhuyung lima tindak ke belakang.
Saat keseimbangannya berhasil dikuasainya lagi, lelaki tua pemarah itu langsung
mengalirkan tenaga dalamnya. "Sontoloyo! Bagaimana caraku untuk menghabisi
manusia sesat itu! Jalan satu-satunya memang harus
menemukan Dewi Karang Samudera yang memiliki Ki-
tab Pemanggil Mayat Atau..., menemukan di mana gu-
ruku berada" Huh! Menemukan guruku sama saja
mencari jejak setan yang tak tahu juntrungannya.
Meskipun rasanya aku bisa menebak di mana beliau
berada. Persetan dengan semua itu! Iblis Kubur biar
diurus belakangan! Si Kunti, perempuan yang diam-
diam kucintai itu harus segera kutolong. Kulihat, dia terluka dalam. Tetapi
dasar nenek jelek keparat. Dia
masih berlagak kuat saja! Huh!" maki Manusia Pemarah. Begitu habis makiannya,
Manusia Pemarah lang-
sung menyerang Iblis Kubur dengan melipatgandakan
tenaga dalam. Werrr! Iblis Kubur terdorong dua tindak ke belakang. Dan
bersamaan dengan itu, Manusia Pemarah langsung
menyambar tubuh Bidadari Hati Kejam dan memba-
wanya berlalu dari sana.
Kendati dalam keadaan terluka, Bidadari Hati Ke-
jam masih saja mengumbar kemarahan saat tubuhnya
dibawa yang secara tidak langsung dirangkul Manusia
Pemarah. "Orang tua jelek pemarah! Bilang saja mau meme-
lukku dengan berpura-pura menolongku! Ayo, turun-
kan aku!" "Nenek jelek sontoloyo! Apa kau ingin mampus di tangan manusia laknat itu, hah"!
Kesaktian Iblis Kubur sukar ditandingi, kecuali oleh guruku Ki Sampur-
no Pamungkas! Kalau kau masih bersikap konyol se-
perti ini, silakan! Aku bukan hanya bisa menurun-
kanmu di sini, tetapi juga membanting tubuh peotmu
ini! Kau mau itu kulakukan, hah"!" balas Manusia Pemarah sambil terus membawa
tubuh Bidadari Hati Ke-
jam. "Keparat! Setan tua pemarah!" maki Bidadari Hati Kejam.
Begitulah yang terjadi. Sambil membawa lari tubuh
Bidadari Hati Kejam, Manusia Pemarah pun balas
memaki. Hingga yang terdengar kemudian, suara sal-
ing marah tak karuan. Namun, keduanya bersahabat.
Bahkan diam-diam Manusia Pemarah masih mencintai
Bidadari Hati Kejam.
Sepeninggal kedua tokoh aneh itu, menggema te-
riakan mengguntur yang sangat dahsyat. Menyusul
tumbangnya beberapa pohon besar hingga menimbul-
kan suara berdebum hebat.
Rupanya Iblis Kubur tengah mengamuk karena ke-
dua orang itu telah berlalu darinya.
*** Bab 9 Seorang perempuan tua berbaju hitam panjang
menghentikan langkahnya di sebuah hutan kecil. Pan-
dangannya beredar ke sekeliling dengan mulut tak
henti-hentinya mengunyah sirih. Yang didapatinya
hanya keheningan, kendati hari telah memasuki siang.
"Keparat! Ke mana perginya dua manusia sialan
itu! Mengapa jejaknya tahu-tahu tak tampak lagi" Be-
nar-benar kurang ajar! Apa yang harus kulakukan se-
karang" Apakah aku harus menghentikan mereka
yang tengah mencari Dewi Karang Samudera" Atau,
meneruskan langkah ke tempat lain" Ke mana lang-
kahku harus kutempuh?"
Perempuan tua berbaju hitam panjang itu terus
mengunyah susur, membuat bibir mulutnya yang ke-
riput berwarna merah. Lalu kepalanya menoleh ke ka-
nan dan ke kiri, hingga rambutnya yang panjang se-
pinggang itu bergerak-gerak
"Keparat!" umpat si nenek. "Lama sudah aku keluar dari tempat asalku untuk
mendapatkan seluruh
yang kuinginkan. Tetapi semuanya tak pernah kuda-
patkan hingga sekarang. Bahkan keinginanku untuk
mendapatkan Pedang Batu Bintang milik si Rajawali
Emas itu pun tak bisa kudapatkan. Setan alas! Lebih
baik kutinggalkan saja tempat ini untuk mencari jejak Manusia Mayat Muka Kuning
dan Dewi Kematian!"
Memang, nenek berbaju hitam panjang yang tak
lain Ratu Tengkorak Hitam ini sedang mengikuti per-
ginya dua tokoh sesat lain berjuluk Manusia Mayat
Muka Kuning dan Dewi Kematian. Namun mendadak
saja, dia kehilangan jejak kedua tokoh sesat yang dike-jarnya. (Baca serial
Rajawali Emas dalam episode:
"Sumpah Iblis Kubur").
Tetapi sebenarnya hal itu tak mengherankan. Ka-
rena kedua tokoh yang diikutinya memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang lebih tinggi.
Sebenarnya, Ratu Tengkorak Hitam sudah berhasil
mendapatkan Pedang Batu Bintang. Hal itu terjadi saat Manusia Mayat Muka Kuning
yang dibantu oleh Dewi
Kematian bertarung menghadapi Siluman Buta yang
telah mencuri Pedang Batu Bintang di saat Tirta alias si Rajawali Emas sedang
memulihkan diri akibat serangan Lima Iblis Puncak Neraka.
Namun sayangnya, di saat Ratu Tengkorak Hitam
mendapatkan Pedang Batu Bintang, muncul tokoh se-
sat lain yang berjuluk si Kaki Gledek. Tokoh itu berhasil merebut Pedang Batu
Bintang, setelah berhasil
membuat pingsan Ratu Tengkorak Hitam. Namun ak-
hirnya si Kaki Gledek tewas di tangan Dewi Kematian
dengan cara licik. Sementara Pedang Batu Bintang
berhasil direbut kembali oleh si Rajawali Emas. Di lain pihak, Ratu Tengkorak
Hitam pun berhasil diselamatkan oleh Dewi Karang Samudera yang berhasil me-
nancapkan pengaruhnya pada Ratu Tengkorak Hitam
(Silakan baca serial Rajawali Emas dalam episode: "Ra-ja Lihai Langit Bumi").
Si nenek berbaju hitam panjang itu mengedarkan
pandangan lagi sambil mengunyah susurnya lebih
kuat sehingga, cairan merah yang keluar dari mulut-
nya semakin banyak. Tak dihapusnya, tapi malah den-
gan seenaknya dijilati dan dikunyah lagi.
Setelah beberapa saat dikungkung kebimbangan,
Ratu Tengkorak Hitam memutuskan untuk meninggal-
kan tempat itu. Namun mendadak saja telinganya me-
nangkap satu kelebatan cepat mengarah ke tempatnya.
Segera kepalanya menoleh dengan kening berkernyit.
"Setan keparat! Siapa orang yang datang ini?" dengusnya.
"Hup!"
Ratu Tengkorak Hitam langsung melompat ke atas
sebuah pohon. Dinantikannya sosok yang berlari cepat itu, begitu kakinya hinggap
di atas dahan. Dua kejap kemudian tampak satu sosok tubuh
berbaju keemasan tiba di tempat itu. Begitu tiba, sosok yang ternyata seorang


Rajawali Emas 05 Dewi Karang Samudera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berbaju keemasan dengan rajahan burung rajawali pada kedua lengannya ini
memperhatikan sekelilingnya. Sebuah pedang berwa-rangka keemasan yang tersampir
di punggungnya,
membuat penampilannya begitu perkasa. Apalagi, den-
gan bentuk pedang yang cukup aneh. Di pangkal hulu
pedang terdapat dua ukiran berbentuk kepala burung
rajawali yang saling berlawanan arah. Juga terdapat
sebuah bintang pada bagian bawah hulu pedangnya.
"Brengsek! Ke mana lagi harus kucari Iblis Kubur.
Aku yakin, meskipun berilmu tinggi, Guru tak akan
mampu menandingi Iblis Kubur yang seperti kebal ter-
hadap setiap pukulan. Celaka kalau begini! Aku kha-
watir akan nasib Guru. Baiknya aku cari kembali Te-
tapi...." Si pemuda yang tak lain Tirta alias si Rajawali
Emas tiba-tiba menghentikan kata-kata hatinya. Bebe-
rapa saat dia terdiam, seperti ada sesuatu yang mengganggu benaknya.
"Hm.... Ada tikus jelek yang mengintipku rupanya.
Melihat ciri pakaiannya dan susur yang dikunyah,
jelas dia adalah Ratu Tengkorak Hitam. Nenek jelek
yang lima tahun lalu hampir merenggut nyawaku.
Hmm.... Akan kupermainkan dia!"
Tirta dengan santainya duduk di bawah pohon
tempat Ratu Tengkorak Hitam bersembunyi.
"Di sini aman untuk tidur rupanya. Tak ada tikus jelek yang menggangguku! Tak
ada bau busuk yang
membuat perutku mual. Tidur dulu ah...," kata Tirta, keras-keras. Sikapnya
tenang sekali, seperti tak mempedulikan adanya bahaya.
Pendekar Rajawali Emas merebahkan tubuhnya.
Kedua tangannya ditekuk di bawah kepala dijadikan
bantalan. Matanya lantas dipejamkan.
Di atas pohon, si nenek berbaju hitam panjang tak
tahu maksud Tirta. Namun yang pasti, wajahnya tam-
pak cerah. "Rajawali Emas. Rupanya Pedang Batu Bintang te-
tap akan berjodoh kepadaku. Buktinya pemuda itu da-
tang ke sini untuk mengantar Pedang Batu Bintang.
Sekaligus, mengantar nyawanya. Biar kutunggu dulu
sampai dia tidur. Dengan begitu akan memudahkanku
untuk mendapatkan Pedang Batu Bintang."
Tirta yang berlagak tidur mulai memperdengarkan
dengkuran sembernya. Sementara di atas, Ratu Teng-
korak Hitam makin menampakkan wajah cerah. Sete-
lah beberapa saat menunggu, wanita tua ini menge-
rahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya. La-
lu.... Wrrr! Selarik sinar hitam yang dipadu gemuruh angin
tinggi meluruk ke arah Tirta.
"Mampuslah kau, Rajawali Emas!"seru Ratu Tengkorak Hitam dalam hati dengan wajah
gembira. "Heh..."!"
Betapa terkejutnya Ratu Tengkorak Hitam melihat
tubuh pemuda yang diserangnya mendadak berguling.
Pukulannya ternyata meleset, dan menghantam tanah
tempat Tirta tadi berada. Seketika terbentuklah lubang sedalam satu tombak!
"Gila! Apakah dia berlagak tidur dan tahu seranganku"! Tetapi, dia tak bergerak
sama sekali sekarang"
Jelas dia tertidur dan berhasil menghindari pukulanku karena tak sengaja
berguling. Keparat! Akan kuhajar
dia sampai mampus!" maki Ratu Tengkorak Hitam.
Begitu habis makiannya, si nenek menghentakkan
kedua tangannya lagi. Maka seketika meluncur sinar
hitam disertai angin berkesiur kencang. Namun....
"Heh..."!"
Kembali Ratu Tengkorak Hitam dibuat terkejut me-
lihat tubuh Pendekar Rajawali Emas berguling lagi
dengan santainya sambil memperdengarkan suara
mengorok Blarrr...! Di tempat Tirta menggeletak tadi, terden-
gar ledakan keras. Dan tanah pun kembali muncrat
tinggi dan membentuk lubang besar.
"Setan! Tak mungkin orang dalam tidur bisa menghindari serangan sebanyak dua
kali! Pemuda itu pasti sedang mempermainkanku!" maki Ratu Tengkorak Hitam.
Tetapi belum lagi Ratu Tengkorak Hitam menye-
rang kembali, mendadak saja si Rajawali Emas telah
berdiri sambil cengengesan.
"Tertipu, ya" Tertipu?"
Kontan mengkelap wajah Ratu Tengkorak Hitam
mengetahui kalau dirinya dipermainkan. Tanpa buang
waktu lagi, tubuhnya meluruk ke muka dengan jurus
'Jalan Hitam Kematian' yang dipadu jurus 'Angin Den-
dam Punah Nyawa'.
Si Rajawali Emas yang tahu kalau lawannya men-
gerahkan jurus-jurus ampuh tak mau tinggal diam.
Cepat dibukanya jurus menghindar 'Rajawali Putar
Bumi'. Tubuhnya seketika berkelebatan bagai terbang.
Begitu menukik, dipergunakannya jurus 'Sentakan
Ekor Pecahkan Gunung' untuk melepas serangan.
Pada saat yang sama, si nenek pun telah menghen-
takkan tangannya. Dan....
Blammm! Terdengar ledakan keras memekakkan telinga. De-
daunan kontan berguguran. Hewan yang hidup dihu-
tan itu langsung berlarian menjauh.
Sementara itu, tubuh Ratu Tengkorak Hitam tam-
pak terhuyung ke belakang lima tombak. Kedua tan-
gannya membekap dada kuat-kuat. Sedangkan Tirta
sendiri terhuyung satu tindak. Meskipun terasa ngilu pada tangannya, tetapi
bibirnya tersenyum-senyum.
"Hebat juga si nenek sialan ini!" kata batinnya. Dan dialah yang sebenarnya
pangkal dari semua petaka selama ini. Dialah yang pertama kali meributkan soal
Pedang Batu Bintang, hingga memancing kemunculan
orang-orang persilatan."
Sementara si nenek telah berdiri tegak setelah
mengalirkan tenaga dalamnya. Wajahnya membesi
dengan tatapan menajam. Mulutnya makin kuat men-
gunyah susurnya, hingga makin banyak cairan merah
yang keluar dari mulutnya.
"Keparat kau, Rajawali Emas! Aku tak punya ba-
nyak waktu! Persoalan Pedang Batu Bintang sudah se-
lesai! Sekarang, katakan di mana Raja Lihai Langit
Bumi"!" sengat si nenek keras.
Tirta yang tahu kalau selama lima tahun belakan-
gan ini Ratu Tengkorak Hitam berusaha mendapatkan
Pedang Batu Bintang, hanya tersenyum saja. Namun
mendapati pertanyaan barusan, cukup mengejutkan-
nya juga. Hanya sesaat hal itu terjadi, karena dengan santainya Tirta telah
mencabut sebatang rumput dan
mulai menghisap-hisapnya.
"Apa pendengaranku tidak salah" Ada urusan apa
kau menanyakan Raja lihai Langit Bumi?" tukas Tirta, kalem.
Ratu Tengkorak Hitam menggeram. Kali ini me-
mang ada yang lebih penting dari persoalan Pedang
Batu Bintang. Karena dia tahu Dewi Karang Samudera
telah muncul. Perempuan berbaju hijau lumut itulah
yang mengajarkan ilmu 'Undang Maut Sedot Darah'
yang merupakan salah satu ilmu Raja Lihai Langit
Bumi. Namun karena waktu itu keinginan untuk menda-
patkan Pedang Batu Bintang menguasai dirinya, maka
dia melupakan perintah dari Dewi Karang Samudera
dengan mengumbar jurus 'Undang Maut Sedot Darah'
untuk membunuh siapa saja. Maksudnya, agar Raja
Lihai Langit Bumilah yang akan diburu oleh banyak
tokoh persilatan.
Sekarang si nenek telah menyirap kabar kalau si
Rajawali Emas telah berguru pada Raja Lihai Langit
Bumi. Perlahan-lahan kedua tangannya mengepal, dan
lamat sinar warna biru menerangi kedua tangannya.
"Kau lancang berbuat begitu kepadaku, Rajawali
Emas! Jawab pertanyaanku barusan, bila tak ingin
mampus dengan jurus gurumu sendiri!"
"Wah! Kau ini terlalu memaksa, ya" Apakah...."
Kata-kata Tirta terputus, begitu melihat Ratu
Tengkorak Hitam melesat ke muka dengan gerengan
keras. Kedua tangannya yang membuka bergerak ke
depan. Saat itu pula, melesat sinar biru menggidikkan ke arah Tirta. Itulah
jurus 'Undang Maut Sedot Darah', salah satu jurus milik Raja Lihai Langit Bumi
yang sempat dipertanyakan Bidadari Hati Kejam mengapa
Ratu Tengkorak Hiram sampai memilikinya.
Tirta yang menangkap bahaya, segera mengempos
tenaga dari pusarnya. Begitu tangannya menghentak
ke depan..... Wrrr! Angin panas luar biasa meluruk dahsyat bagai per-
cikan cahaya yang menggidikkan. Itulah tenaga
'Selaksa Surya' yang berasal dari rumput Selaksa
Surya. Blammm...! Terdengar ledakan dahsyat yang mengguncangkan
tempat itu ketika dua pukulan satu sama lain berte-
mu. Sinar biru berpendaran ke atas, disusul hawa pa-
nas bergulung-gulung mengangkasa. Tanah dan rum-
put tercabut kuat-kuat dan merengkah membentuk
lubang sedalam dua tombak. Pemandangan kabur ka-
Pelarian Istana Hantu 3 Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur Perjalanan Menantang Maut 1
^