Pencarian

Keranda Maut Perenggut Nyawa 1

Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Bab l Rembulan sudah mengambang di permukaan
air laut sebelah timur. Malam telah melingkari alam
dalam kesunyian dan kegelapannya. Sebuah gunung
berdiri angkuh di kejauhan, hanya merupakan bayan-
gan belaka dalam kebisuan.
Di sebuah hutan perawan yang berada berjarak
ratusan tombak dari laut itu, terdengar suitan yang
sangat nyaring, membedah kegelapan malam dan an-
gin dingin yang melingkupi seantero tempat. Be-berapa
kejap kemudian sunyi menyiksa.
Kejap lain, seperti dihentakkan oleh satu keter-
kejutan, mendadak terdengar beberapa suitan yang tak
kalah kerasnya. Seolah mendapati sahutan, suitan.
yang pertama tadi, kembali berbunyi kencang. Hingga
yang terdengar kemudian suara suitan dari berbagai
tempat, bergantian dan seakan berlomba untuk bersu-
ara lebih nyaring.
Hutan yang ditumbuhi pepohonan tinggi itu se-
perti menjadi ajang suitan yang sangat keras.
Di tempat tak jauh dari suara suitan yang ter-
dengar berulang-ulang dan sahut menyahut, tatkala
sinar rembulan berhasil menerobos jajaran pepohonan
tinggi di sana, nampaklah di bawah sebuah pohon be-
sar satu sosok tubuh sedang duduk bersila. Dia adalah
seorang lelaki berusia cukup lanjut. Rambut-nya yang
putih memanjang dibiarkan tergerai di kening dan
punggungnya, dimainkan angin dingin yang berhem-
bus. Si orang tua yang mengenakan pakaian berwarna
hijau penuh tambalan ini, rupanya memejamkan ke-
dua matanya. Kendati demikian, dia tidak sedang ti-
dur. Malah kedua telinganya menangkap jelas suitan
nyaring yang datang bertalu-talu. Mulut si orang tua
berkemik-kemik hingga janggut dan kumis-nya yang
panjang bergerak-gerak.
"Sekian tahun aku menghindar dari kejaran
orang-orang serakah. Tetapi rupanya mereka berhasil
menemukan ku juga. Aku yakin, suitan yang lebih ke-
ras dari lolongan srigala itu bukan suitan biasa, me-
rupakan sebuah tanda. Tak salah bila aku bersiap."
Beberapa saat berlalu. Si orang tua yang meme-
jamkan kedua matanya itu terlihat mengangguk-
anggukkan kepala. Tetap tak membuka kedua ma-
tanya. Kejap kemudian, dari tiga penjuru tempat, dari
seruakan gerumbulan semak, berlompatan tiga sosok
tubuh ke tempat itu. Berdiri berjarak tiga tombak dari
orang tua yang masih memejamkan kedua matanya.
Mata masing-masing orang menatap tak berke-
dip pada si kakek berbaju hijau pekat penuh tambalan
yang memegang tongkat berwarna putih di tangan ka-
nannya. Dan dari bibir masing-masing orang me-
nyeruak seringaian lebar.
"Mata Malaikat! Rupanya tempat ini ditakdir-
kan untuk menjadi tempat pcristirahatan mu yang ter-
akhiri" Orang yang berwajah kasar dengan mengena-
kan caping bambu kusam hingga menutupi sebagian
wajahnya mengeluarkan suara dingin, bernada anca-
man. Di pinggang orang itu terdapat sebuah kapak be-
sar. Tiga puluh tahun yang lalu, orang inilah yang di-
kenal dengan julukan si Pemenggal Kepala.
Orang tua yang memejamkan kedua matanya
tetap tak membuka matanya. Dia menyahut dengan
suara tenang, namun sarat pula dengan ancaman,
"Pemenggal Kepala! Rupanya kau masih tak bosan-
bosannya memburu ku hanya untuk mengetahui di
mana Hantu Seribu Tangan yang memiliki Keranda
Maut Perenggut Nyawa berada. Berulang kali pula ku-
katakan, meskipun dia kakak seperguruanku, tapi aku
tak pernah tahu di mana dia berada"
"Dusta!" sambar orang yang berdiri di tengah, suaranya lebih keras dan seperti
menggebah hutan
yang sunyi. Tubuhnya tinggi kurus. Bila saja dia tak
mengenakan pakaian hitam yang agak gombrang di-
tambah dengan jubah warna yang sama sudah pasti
akan memperlihatkan seluruh tulang dalam tubuhnya.
Rambut yang hitam panjang hingga ke pinggang di-
permainkan angin malam". Di pinggangnya terdapat
sebuah pundi yang cukup besar. "Jangan jual ucapan sembarangan di hadapan kami,
bila masih sayang
nyawa!" Orang tua berbaju hijau penuh tambalan itu menyahut masih tetap
memejamkan kedua matanya,
"Penabur Pasir rupanya yang jual ucapan! Apakah dunia kaum lurus sudah tak
mengenakan dirimu hingga
bergabung dengan manusia-manusia dajal?"
Orang kedua dari tiga orang yang baru datang
itu menggeram keras. Sepasang matanya menyipit,
menyiratkan sinar kemerahan yang mengerikan. Wa-
jahnya' angker dengan kumis dan jenggot yang meme-
nuhi wajah tirusnya.
"Kalau selama ini kau berhasil menghindar, ru-
panya malam ini kau telah ditunggu oleh setan-setan
neraka untuk mencabik-cabik tubuhmu!!" Orang yang
berjuluk si Penabur Pasir kembali menghentakkan
tempat dengan suara kerasnya.
Mata Malaikat hanya mengeluarkan gumanan
pelan. Lalu berkata dalam hati, "Sangat disayangkan,'
bila si Penabur Pasir pun harus bergabung dengan
orang-orang sesat seperti si Pemenggal Kepala. Tak
pernah kusangka pula, kalau Keranda Maut Perenggut
Nyawa akan menjadi incaran orang. Hmm.... Seharus-
nya aku tahu dimana Hantu Seribu Tangan berada.
Tetapi.... Siapa orang yang satunya lagi." Kejap lain, dengan suara yang dingin,
orang tua berbaju hijau penuh tambalan itu berkata, "Apakah teman kalian yang
seorang lagi itu bisu?"
Pemenggal Kepala menyambut ejekan Mata Ma-
laikat dengan ejekan pula, "Bila saja kau mau membu-ka kedua matamu, maka kau
akan tahu siapa orang
yang bersama kami. Dan aku yakin, kau akan segera
minta ampun atas kelancanganmu yang selama ini
masih belum menjawab keingintahuan kami!"
Orang yang sedang dibicarakan berdiri kaku.
Dia seorang lelaki yang diselubungi pakaian coklat pe-
kat gombrong seolah hendak menutupi bentuk tubuh-
nya. Rambutnya hitam digelung ke atas, Wajahnya
nampak beringas, dengan dibalur pupur tebal berwar-
na putih. Sepasang matanya menyipit mendapati eje-
kan si kakek yang berjuluk Mata Malaikat. Tetapi dia
tetap berdiri di tempatnya dengan kedua tangan ter-
kepal. Seperti tak sabar ingin menghajar, namun tak
melakukan apa-apa.
Sementara itu, Mata Malaikat menggeram da-
lam hati, "Aku telah bersumpah untuk tidak membuka kedua mataku bila belum
bertemu dengannya. Entah
di mana dia sekarang. Sekian tahun aku harus mena-
han kerinduan yang dalam, hingga kemudian aku bisa
merasakan setiap getaran yang terjadi di sekeliling ku.
Indera perasa ku telah menggantikan kedudukan inde-
ra penglihatanku. Bila saja aku bertemu dengannya
kembali?" Mendapati orang tua di hadapannya tak mem-
buka mulut, lelaki bercaping bambu membentak sam-
bil tertawa, "Urusan harus diselesaikan sekarang.' Peduli setan. kau hendak
membuka kedua matamu atau
tidak Pertanyaan akan diulangi, dan hanya sekali saja.
Mata Malaikat, katakan dimana Hantu Seribu Tangan
berada"!"
"Dalam usia yang merambati tua, ternyata se-
gala urusan masih membentang di depan mata. Men-
gapa mereka begitu menginginkan Keranda Maut Pe-
renggut Nyawa milik kakak seperguruanku itu" Aku
sendiri tak pernah berniat untuk memilikinya. Sejak
Hantu Seribu Tangan mulai membelot dari golongan
lurus, aku memang tak pernah lagi berjumpa dengan-
nya. Tetapi sekarang, ketiga orang ini tentunya tak
akan melepaskan diriku bila belum menjawab keingi-
nan mereka. Kalaupun pertama kali bertemu dengan
ketiganya, aku masih bisa menahan diri. Rasanya, se-
karang ini aku memang harus menurunkan tangan,"
kata Mata Malaikat dalam hati.
Diam-diam orang tua ini menarik napas pan-
jang. Lalu berkata tetap tanpa membuka kedua ma-
tanya "Kalau aku tahu di mana Hantu Seribu Tangan
berada, pasti aku akan mengatakannya. Hanya yang
ku herankan, mengapa kalian tak mau mempercayai
ku dan terus menerus memaksa aku untuk menjawab
pertanyaan?"
"Kalau sudah tahu, mengapa kau tak berterus
terang" Bukankah itu lebih baik daripada kau harus
kami buru terus menerus?" sambar si Penabur Pasir dengan kedua mata semakin
menyipit. Kegeraman jelas sudah melanda lelaki berwajah tirus itu. Orang
yang sebelumnya berada di jajaran kaum lurus, kini
telah membelokkan arah dalam kehidupannya. Telah
menjelma menjadi kaum sesat. Entah apa yang me-
nyebabkan perubahan dalam kehidupannya itu, hanya
dia yang tahu. "Melihat keinginan kalian yang sudah membatu
seperti itu, rasanya aku yakin, kalau kalian sebenar-
nya punya urusan dengan Hantu Seribu Tangan. Sa-
lahkah yang kukatakan ini?" terdengar ucapan Mata
Malaikat tetap tanpa membuka kedua matanya.
"Kau tak perlu tahu urusan apa yang terjadi di
antara kami dengan Hantu Seribu Tangan. Masing-
masing orang di antara kami punya urusan yang ber-
lainan dengannya. Dan hanya engkaulah satu-satunya
manusia di jagat raya ini yang kami yakini tahu di ma-
na Hantu Seribu Tangan berada. Mata Malaikat, kare-
na kau tak menjawab pertanyaan, dengan kata lain,
kau telah menggali lubang kuburmu sendiri!"
Habis membentak seperti itu, Pemenggal Kepala
melompat ke muka dengan terjangan hebat. Kapak be-
sarnya langsung digerakkan sekuat tenaga ke arah ke-
pala Mata Malaikat. Hamparan angin kencang menda-
hului gebahan kapak dahsyat itu.
Di tempatnya, Mata Malaikat masih memejam-
kan kedua matanya dengan sedikit menelengkan kepa-
la. Dan.... Craaakk! Kapak besar di tangan Pemenggal Kepala
menghantam pohon besar di belakang Mata Malaikat
duduk tadi. Pohon besar itu langsung somplak di ba-
gian bawahnya. Kejap lain, pohon itu tumbang dan
ambruk dengan menimbulkan suara bergemuruh.
Akan tetapi, jeritan tertahan keluar dari mulut
Pemenggal Kepala yang telah mundur tiga langkah ke
belakang. Sepasang mata besarnya yang agak ter-
tutup caping bambunya membesar menatap ke arah
pohon itu. Detik lain, terdengar dia berteriak keras penuh
kemarahan, "Setan tua keparat! Di mana kau berada, hah"!" Belum habis kata-
katanya, terdengar suara
membentak dari arah sampingnya. Seketika Pemenggal
Kepala menolehkan kepala. Dilihatnya Penabur Pasir
sedang menerjang ke arah Mata Malaikat yang sudah
berdiri berjarak dua tombak di belakang tubuh Pe-
menggal Kepala.
Wuuut! Wuutttf!
Kabut hitam melesat dengan mengeluarkan su-
ara menggema yang mengerikan diiringi dengan hawa
panas menyengat ke arah Mata Malaikat. Melihat ge-
brakannya, Penabur Pasir jelas sudah di puncak ke-
marahannya dan hendak menghabisi Mata Malaikat
sekali gebrak. Tak tanggung lagi dia sudah melepas-
kan pukulan sakti 'Sukma Neraka'.
Mendapati betapa dahsyatnya pukulan lawan,
orang tua berbaju hijau penuh tambalan itu mem-
buang tubuh ke belakang. Kejap lain sudah melontar-
kan tubuh ke depan. Tongkat putih yang dipegang-nya
nampak mengeluarkan sinar putih yang sangat cemer-
lang. Bersamaan dengan pukulan sakti yang dile-
paskan Penabur Pasir, Mata Malaikat juga mengi-
baskan tongkatnya.
Wuuuusss! Seketika tempat itu dipenuhi dengan kabut hi-
tam dan sinar putih yang cemerlang. Menyusul suara
ledakan dahsyat terdengar dua kali Tanah di mana ke-
dua pukulan sakti itu bertemu, langsung rengkah dan
memuncratkan gumpalan debu yang sangat pekat. Be-
berapa buah pohon yang tumbuh di sana, langsung
tumbang menimbulkan suara bergemuruh sementara
beberapa buah pohon lagi langsung meranggas dedau-
nannya karena diterpa hawa panas yang luar biasa.
Pemenggal Kepala dan kawannya yang seorang lagi se-
gera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan
getaran hebat yang terjadi.
Sosok Penabur Pasir surut ke belakang dengan
terhuyung. Dadanya seperti digempur oleh godam rak-
sasa. Kedua tangannya seakan patah. Kedua kakinya
pun goyah. Namun lelaki berwajah tirus itu masih bisa
mengendalikan keseimbangannya, hingga dia tak jatuh
tersungkur ke belakang. Wajahnya berubah pias. Na-
mun kedua bola matanya makin bertambah angker,
menyiratkan kemarahan yang sangat tinggi.
Di seberang, Mata Malaikat hanya surut dua
tindak ke belakang. Tangan kanannya yang memegang
tongkat nampak bergetar. Namun kejap lain sudah


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

normal kembali setelah dialirkan tenaga dalam yang
dipadukan dengan hawa murninya. Wajahnya hanya
berubah sejenak. Sulit menggambarkan apa yang di-
alami oleh orang tua itu, karena dia masih memejam-
kan kedua matanya!
Menyadari kalau orang yang mereka cari sela-
ma bertahun-tahun untuk mengetahui di mana jejak
Hantu Seribu Tangan, Pemenggal Kepala yang melihat
Penabur Pasir harus memulihkan keadaan lebih dulu,
langsung menggebah ke muka dengan teriakan yang
maha keras. Kapak besarnya kembali diayunkan hing-
ga menimbulkan suara gebahan angin di pantai. Dari
ayunan kapak besarnya, bagai mengeluarkan api ber-
kobar saking cepatnya dan penuh dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi.
Orang tua yang tetap memejamkan matanya itu
tak bergeming dari tempat berdirinya. Begitu merasa-
kan serangan Pemenggal Kepala sudah mendekat ke
arahnya, tiba-tiba saja dia mendorong tangan kirinya
dengan gerakan menyentak. Wussss!
Satu tenaga tak terlihat seperti menghalangi ge-
rakan Pemenggal Kepala yang sejenak tercekat tapi
dengan cepat berhasil membebaskan diri. Kapak be-
sarnya terus mengayun. Bersamaan dengan itu, tan-
gan kanan si orang tua yang memegang tongkat diki-
baskan ke depan.
Trak!! Benturan tongkat dengan kapak itu cukup me-
nimbulkan suara yang keras.
Pemenggal Kepala mencelat ke belakang dengan
tangan tergetar. Tubuhnya seperti melayang tak bisa
dikuasai. Tiba-tiba dirasakan tubuhnya ditahan seseo-
rang dari belakang hingga tidak menabrak pohon besar
di belakangnya.
Ketika dilihatnya kapak di tangannya, seketika
sepasang mata Pemenggal Kepala yang agak tertutup
caping kusam membeliak. Astaga! Kapak besarnya
sempal di bagian tengah!
Di seberang, Mata Malaikat lagi-lagi mengalir-
kan tenaga dalamnya untuk menahan getaran pada
tangan kanannya.
"Penabur Pasir lebih tinggi ilmunya dari Pe-
menggal Kepala. Kendati demikian, aku tak boleh len-
gah sedikit juga. Tetapi, mengapa kawan mereka yang
seorang itu belum juga bergerak" Bila saja aku belum
bersumpah untuk tidak membuka kedua mataku sebe-
lum berjumpa dengannya, pasti aku bisa melihat siapa
orang itu," kata Mata Malaikat dalam hati.
Penabur Pasir yang menahan tubuh Pemenggal
Kepala tadi berkata, "Kita gabungkan tenaga kita. Aku yakin, dia tak akan mampu
menahan." "Jahanam betul!" bentak Pemenggal Kepala. La-
lu berkata sambil menoleh pada orang berpupur putih
yang masih berdiri tegak tak berbuat apa-apa, "Mengapa kau masih berdiam, hah"
Apakah kau se-benarnya
hendak mengangkangi Keranda Maut Perenggut Nyawa
seorang diri"!"
Orang yang dibentak Pemenggal Kepala menje-
rengkan kedua matanya tajam. Raut wajahnya beru-
bah angker tanda tak suka mendapati bentakan
Pemenggal Kepala langsung memalingkan kepa-
lanya lagi. Jelas kalau dia agak ngeri mendapati tata-
pan mengerikan seperti itu. Diingatnya pula bagaima-
na perjumpaan pertamanya dengan orang berpupur
sebelum bergabung dengannya. Orang berpupur yang
ternyata punya urusan pula dengan Hantu Seribu
Tangan, mengalahkannya hanya dalam tiga kali gebra-
kan. Dan ini membuat Pemenggal Kepala men-jadi cu-
kup bergetar bila dia melakukan tindakan yang tak
mengenakan orang berpupur itu.
Lalu katanya pada Penabur Pasir, "Kau benar!
Kita gabungkan kekuatan kita!"
Habis kata-katanya, Pemenggal Kepala memu-
tar kapak besarnya yang sempal di bagian tengah
hingga menimbulkan gemuruh angin seperti badai me-
landa pantai. Semak belukar, rerumputan, dedaunan,
dan tanah di sekitarnya langsung beterbangan tersam-
bar derasnya angin yang keluar dari putaran kapak-
nya. Penabur Pasir diam-diam menggeram dalam
hati, "Bila saja orang tua keparat itu tidak memejamkan kedua matanya, aku bisa
mempergunakan 'Pasir-
pasir Neraka'-ku ini untuk mencelakakannya. Karena,
pandangan orang yang kuserang dengan pasir-pasir
kesayanganku inilah letak kelemahan. Tetapi, kedua
matanya terpejam. Hingga rasanya" hanya sia-sia aku membuang butiran pasir yang
kumiliki ini. Peduli se
tan! Aku harus menggabungkan kekuatan dengan Pe-
menggal Kepala."
Habis membatin begitu, kedua tangan Penabur
digerakkan ke depan, ke atas, ke bawah dengan gera-
kan cepat dan menyentak. Perlahan-lahan terlihat ke-
dua tangannya hingga siku memancarkan sinar hitam
yang sangat pekat. Tanda dia telah mengerahkan pu-
kulan sakti 'Sukma Neraka' pada tingkat akhir.
Bersamaan dengan itu, Penabur Pasir mencelat
ke arah orang tua berbaju hijau penuh tambalan den-
gan teriakan mengguntur. Pemenggal Kepala tak ting-
gal diam. Dia juga segera menggebah ke depan dengan
ayunan kapak besarnya.
"Selama ini... Aku tidak pernah membunuh. Te-
tapi kedua orang ini sangat keras kepala. Terpaksa..."
Belum lagi kata-kata hati Mata Malaikat selesai,
kabut hitam yang disertai hawa panas luar biasa dari.
pukulan sakti 'Sukma Neraka' Penabur Pasir sudah
berada setengah tombak ke arahnya. Menyusul ayu-
nan kapak besar Pemenggal Kepala yang menimbulkan
angin dahsyat Mata Malaikat melompat lima tindak ke bela-
kang dan bersamaan dengan itu, tongkat putihnya
yang masih memancarkan sinar putih cemerlang dige-
rakkan ke muka. Bersamaan dengan itu, tangan ki-
rinya didorong ke depan.
Blaammmm! Kabut hitam pecah dan buyar tersambar ayu-
nan tongkat Mata Malaikat. Kendati demikian, Penabur
Pasir rupanya sudah melepaskan serangan susulan
hingga kabut hitam menggumpal kembali mengha-
langi pandangan. Bersamaan dengan itu, kapak besar
di tangan Pemenggal Kepala diayunkan.
Wuuuut! Trak. Trak!
Sukar sekali mengikuti apa yang terjadi kemu-
dian karena pandangan terhalang oleh kabut hitam
yang dilepaskan oleh Penabur Pasir. Tetapi, salah seo-
rang dari tiga pendatang tadi yang masih berdiri tegak
bergumam, "Mereka hanya membuang nyawa percuma
menghadapi Mata Malaikat. Kesaktian orang tua itu
hanya bisa ditandingi oleh Hantu Seribu Tangan. Bu-
kan seperti ini caranya meminta jawaban tentang per-
tanyaan di mana Hantu Seribu Tangan berada. Tetapi,
Pemenggal Kepala dan Penabur Pasir rupanya sudah
dibutakan oleh dendam., Kendati begitu, aku tak yakin
keduanya hanya mempunyai dendam seperti yang me-
reka katakan ketika bertemu denganku. Aku yakin,
mereka menginginkan Keranda Maut Perenggut Nyawa
yang telah banyak memakan korban orang-orang ting-
kat tinggi!"
Beberapa saat berlalu dan kabut hitam itu pun
perlahan-lahan sirna. Sebelum sirna betul, mendadak
saja mencelat satu sosok tubuh ke belakang dengan
derasnya. Orang yang tadi bergumam mengenakan pa-
kaian coklat tua dan rambut hitam digelung ke atas
segera mencelat ke muka. Menyambar tubuh yang
mencelat ke belakang tadi. Tap!
Masih melayang, orang itu berputar dan hing-
gap di tanah dengan ringannya. Sepasang matanya
melihat sosok Mata Malaikat masih berdiri tegak den-
gan mata tetap terpejam. Sementara berjarak lima tin-
dak dari Mata Malaikat, sosok Pemenggal Kepala terge-
letak dengan dada bolong!
Orang berbaju coklat itu menggeram dingin,
suaranya keras, "Untuk saat ini.... Kau masih kubiarkan bernapas lebih lama,
Mata Malaikat! Tetapi, perlu
kau ingat, kalau nyawamu sejak hari ini sudah menja-
di milikku!"
Habis mengumbar kata-kata, orang berambut
di gelung ke atas dengan wajah penuh pupur warna
putih itu melesat meninggalkan tempat dengan mem-
bawa tubuh Penabur Pasir yang pingsan.
Di tempatnya Mata Malaikat berkata dalam ha-
ti, "Aku tidak tahu siapa orang yang mengancam tadi"
Tetapi merasakan gerakannya, aku yakin dialah yang
menangkap tubuh Penabur Pasir yang pingsan. Jelas
dari napas Penabur Pasir yang terhenti namun detak
jantungnya masih sempat kudengar. Rasanya, seka-
rang ini aku tak perlu lagi menyembunyikan atau me
larikan diri terus, menerus. Aku jadi penasaran ingin
mengetahui dendam apa yang mereka miliki pada Han-
tu Seribu Tangan.
Meskipun aku menyirap kabar kalau Hantu Se-
ri bu Tangan banyak melakukan pembunuhan, tetapi
itu bukanlah urusanku. Jalan masing-masing telah
tersurat. Takdir pun akan tersirat. Urusanku adalah
menemukannya. Menemukan orang yang kukasihi
yang entah berada di mana sekarang. Tetapi saat ini
aku juga ingin mencari dimana kakak seperguruanku
yang telah banyak menurunkan tangan telengas itu
dengan mempergunakan Keranda Maut Perenggut
Nyawa yang mengerikan."
Si kakek menarik napas panjang. Lalu melan-
jutkan kata-katanya, "Sebaiknya, mayat si Pemenggal Kepala ku kuburkan saja.
Biar bagaimanapun juga
aku tak ingin mayat itu dimakan burung bangkai."
Belum lagi si orang tua menjalankan maksud-
nya, mendadak saja dia jatuh terduduk. Tongkat di
tangan kanannya dilepaskan dan dipegangnya dada
yang terasa nyeri. Wajahnya berubah meringis mena-
han sakit, "Jahanam! Rupanya pukulan sakti Penabur Pa-
sir sempat mengenai pula. Aku harus menghilangkan
pengaruh panas yang akan menyiksaku ini."
Kejap lain, si orang tua sudah duduk bersema-
di. Sementara di kejauhan, terdengar suara kokok
ayam hutan dan biasan mentari pagi yang mulai mun-
cul. Bab 2 "SETAN tua bangka keparat! Mau apa kau da-
tang ke sini, hah" Mau coba-coba mengintip aku man-
di"!" Bentakan itu terdengar sangat keras mener-
bangkan burung-burung yang sedang bercengkrama
menyambut pagi. Menggugurkan dedaunan dari pohon
yang tumbuh di sekitar sungai yang mengalirkan air
jernih dan segar itu.
"Nenek jelek sontoloyo! Jangan bicara semba-
rangan! Kutampar mencong mulutmu yang nyinyir
itu!" Menyusul bentakan tadi, terdengar pula satu sua-
ra yang tak kalah kerasnya.
Gerumbulan semak yang terdapat di tepi sun-
gai itu menguak. Muncul satu sosok perempuan tua
mengenakan pakaian batik kusam dengan wajah ga-
rang. Tanpa banyak ucap lagi, tangan kanannya berge-
rak ke depan. Wuusss! Menghampar angin deras ke arah orang yang
berdiri berjarak dua tombak di hadapannya.
"Sontoloyo!!" orang yang diserang itu mengge-
ram dan mengibaskan tangannya pula.
Wuuuss! Hamparan angin yang dilepaskan si nenek tadi
terhantam, dan menimbulkan suara yang keras. Tanah
di tempat itu seketika berhamburan dan semak yang
ada di sana meranggas. Masing-masing orang merasa-
kan tangan kanan mereka cukup ngilu.
Si nenek menggeram jengkel dan siap menye-
rang lagi. Namun urung, karena orang yang diserang
itu membentak keras.
"Sontoloyo! Nenek jelek kurang ajar! Kau buat
sekali lagi, kuhajar habis-habisan kau nanti!"
"Setan pemarah bau tanah! Jangan mengang-
gap enteng orang!!" geram si nenek dengan keriput di wajahnya yang seakan
tertarik keluar. Dadanya yang
tipis turun naik karena desakan rasa kesal di dadanya.
Di kepala si nenek terdapat sebuah konde kecil. Dan di
pinggangnya terdapat sebuah pengebut bergagang ba-
ja. "Nenek jelek! Apakah kau tak mau mendengar
dulu ucapan orang, hah"!" balas si kakek dengan sua-ra menggelegar dan tatapan
yang selalu melotot. Ram-
butnya yang panjang dan dikuncir seperti ekor kuda
bergoyang. "Peduli setan! Otak tuamu itu ternyata masih
ter-simpan kecabulan yang kurang ajar!!"
Orang tua yang berdiri di hadapannya menden-
gus. Raut wajahnya tirus memanjang dengan dilapisi
kerut merut dan kulit yang amat tipis. Sepasang ma-
tanya lebar dan seperti melotot terus menerus. Ram-
butnya yang putih panjang dikuncir ekor kuda. Tidak
memiliki jenggot namun kumisnya putih panjang men-
juntai melewati dagunya. Mengenakan pakaian warna
putih yang sudah sangat kusam sekali. Celananya hi-
tam setinggi lutut. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi orang tua yang kerjanya


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah-marah melulu tak karuan
kalau bukan Manusia Pemarah.
Sementara si nenek berkonde yang berdiri te-
gak di hadapannya dengan mata mendelik itu bukan
lain, adalah Bidadari Hati Kejam. Dan kejengkelan si
nenek makin menjadi-jadi ketika tadi dia sedang man-
di, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap
suara langkah mendekat. Bergegas dia naik kembali
dan terburu-buru mengenakan pakaiannya yang dile-
takkan di balik semak. Dari balik semak itulah dia per-
tama kali membentak tadi begitu mengetahui siapa
yang datang. Lelaki tua berambut dikuncir ekor kuda itu
mendengus dengan mulut berbentuk kerucut.
"Sontoloyo! Urusan aku kurang ajar atau tidak
urusan belakangan! Aku juga ingin mandi! Mana aku
tahu kalau kau sedang mandi!"
"Setan pemarah berotak busuk! Jangan menca-
ri alasan!!" maki si nenek berkonde.
"Kau benar-benar mesti dihajar adat!" "Kurang ajar! Bertarung sampai mampuspun
aku tak akan takut!" "Sontoloyo! Urusan bertarung sampai mampus itu urusan
belakangan! Jangan kau berpikir...."
Sebelum si kakek berbaju putih kusam itu me-
neruskan ucapan, terdengar suara dari atas sebuah
pohon, "Heran! Sudah pada bau tanah kenapa masih
marah-marah juga" Kalau sebenarnya memang ingin
saling melihat, kenapa tidak langsung buka-bukaan
saja" Kan lebih enak" Melihat kue apem gosong dan
terong peot!"
Si nenek yang masih marah pada Manusia Pe-
marah, seketika mendongakkan kepalanya ke atas.
"Bocah Kebluk!" makinya begitu melihat seo-
rang pemuda berbaju keemasan sedang duduk berun-
cang kaki di sebuah ranting pohon sambil menghisap
sebatang rumput. "Jangan ngomong sembarangan! Ku
jitak kepalamu nanti!!"
Pemuda yang dibentak itu hanya menyeringai
saja sambil mengangkat kedua tangannya. Di kedua
tangannya nampak terdapat dua buah rajahan burung
rajawali berwarna keemasan.'
"Heran! Sejak meninggalkan Gunung Siguntang
tiga minggu yang lalu kedua orang tua ini belum per-
nah akur. Selalu bertengkar terus. Heran, mengapa sih
Guru Malaikat Dewa dan Manusia Agung Setengah
Dewa menyuruhku untuk pergi bersama dua orang
yang sama-sama keras kepala ini untuk mencari Han-
tu Seribu Tangan?"
Karena si pemuda belum menyahuti kata-kata-
nya, si nenek berkonde membentak lagi, "Jangan campuri urusan! Cepat tinggalkan
tempat!" Si pemuda yang tak lain adalah Tirta alias Ra-
jawali Emas, mengangkat kedua alisnya yang hitam.
"Walah! Tadi marah-marah tidak karuan! Seka-
rang malah menyuruhku pergi dari sini! Bagaimana sih
urusannya" Tapi.... Iya, ya! Aku tahu! Kau ingin ber-
duaan dengan Manusia Pemarah kan, Guru?"
"Kurang ajar!!" Tangan Bidadari Hati Kejam sudah terangkat, tetapi urung ketika
mendengar ucapan
si pemuda, "Jangan main serang begitu! Masa sih kau tega
menyerang muridmu?"
Si nenek berkonde mendengus. Lalu memaling-
kan kepala pada Manusia Pemarah yang seperti bisa
menarik napas lega melihat kehadiran si pemuda.
"Minggir! Aku mau lewat!" "Sontoloyo! Kalau mau lewat ya lewat! Jangan main
membentak begitu!!"
Si nenek berkonde mendelik dengan kedua ma-
ta melotot. Setelah mendengus, dia melangkah. Dirant-
ing pohon yang didudukinya, Tirta tertawa. "Tidak jadi
'ehm-ehm'?" godanya. Si nenek cuma menggerutu dan
tak menghiraukan selorohan muridnya itu. "Mulut bocah kebluk itu akan makin
menjadi-jadi kalau aku sa-
huti!' Awas! Manusia Pemarah akan kubalas nanti!!"
Sepeninggal Bidadari Hati Kejam, Tirta melom-
pat ke bawah dengan ringannya. Ketika dia melompat,
nampaklah. Sebuah pedang berwarangka penuh be-
nang keemasan di punggungnya.
"Kek! Kalau mau mengintip, kenapa yang kayak
Guru" Apa matamu sudah tak bisa membedakan lagi
yang montok atau tidak?" selorohnya lagi. Diam-diam si Raj awali Emas tahu kalau
lelaki berkuncir ekor ku-da ini mencintai gurunya.
Seperti diketahui, sejak muda Manusia Pema-
rah memang mencintai Bidadari Hati Kejam. Bahkan
sampai usia lanjut sekarang ini pun dia masih mencin-
tai si nenek. Kalaupun keduanya tak bisa bersatu, ka-
rena keduanya sama-sama keras kepala dan sama-
sama tak mau mengalah.
Si kakek mendelik pada Rajawali Emas yang
masih menghisap-hisap rumput. "Sontoloyo! Aku bu-
kan orang iseng yang mau mengintip! Aku tidak tahu
kalau nenek jelek itu sedang mandi!"
"Tetapi.... Kau sempat melihatnya kan, Kek?"
"Bocah kebluk pandai omong! Kalau saja tidak
karena perintah Manusia Agung Setengah Dewa dan
Malaikat Dewa seperti yang engkau katakan, aku tidak
akan mau berjalan bersama nenek ceriwis itu! Hei, Bo-
cah Kebluk! Kau seharusnya berjodoh dengan muridku
yang manis itu! Kalau urusan sudah selesai, kau ha-
rus berpasangan dengan Ayu Wulan!"
Mendengar kata-kata si kakek, Tirta jadi terin-
gat pada Ayu Wulan, gadis manis yang diam-diam
mencintainya. Pemuda dari Gunung Rajawali itu pun
teringat pula bagaimana perjumpaannya pertama den-
gan murid si Manusia Pemarah itu. Juga, teringat ba-
gaimana perjodohan yang tiba-tiba terjadi.
Lalu katanya karena melihat Manusia Pemarah
seperti menunggu kata-katanya, "Urusan perjodohan ku dengan Ayu Wulan urusan
belakangan...."
"Pemuda gendeng! Kau curi kalimat ku, hah"!"
Tirta tertawa mendengarnya. Apa yang barusan
dikatakan itu, memang kalimat yang sering diucapkan
oleh Manusia Pemarah dengan menganggap sesuatu
menjadi urusan belakangan.
"Sudahlah, Kek! Kalau kau ingin mandi ya ce-
pat mandi! Aku juga ingin mandi! Dan tidak mau meli-
hat barang yang sama dengan punyaku! Kalau mau
adu bagus, jelas lebih bagus punyaku!!"
Lalu tanpa menghiraukan pelototan Manusia
Pemarah, si Rajawali Emas sudah melesat meninggal-
kan tempat itu.
"Sontoloyo ucapannya! Brengsek! Apa aku tidak
salah menginginkan dia menjadi suami muridku" Ku-
rang.... Eh! Apakah aku tadi sempat melihat anunya si
Kunti Pelangi" Coba kuingat-ingat dulu!" Si kakek terdiam dengan kening berkerut
tanda mencoba mengin-
gat yang dilihatnya tadi. Tetapi sejurus kemudian dia
membentak, "Sontoloyo! Kalaupun aku lihat juga rugi!
Karena cuma melihat kue apem busuk!"
"Guru, apakah selama ini kau tidak pernah
mendengar tentang Goa Seratus Laknat di mana Han-
tu Seribu Tangan berdiam?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Tirta alias si
Rajawali Emas sambil memandang
ke arah Bidadari Hati Kejam yang duduk di hadapan-
nya, agak berjauhan dengan Manusia Pemarah.
Si nenek berkonde mengeluarkan dengusan.
Hatinya masih jengkel diejek oleh Tirta tadi. Dia meli-
rik ke arah Manusia Pemarah yang sedang menatap-
nya dan buru-buru melengos begitu sepasang mata ke-
labunya berbenturan dengan mata si nenek.
Tirta mendesis dalam hati, "Busyet Masih ma-
rah juga" Kalau keduanya memang ditakdirkan untuk
bersatu, apa tidak runyam kehidupan mereka yang
sama-sama keras kepala ini?"
Bidadari Hati Kejam menolehkan kepala lagi
pada Rajawali Emas. Dari mulutnya keluar kata-kata,
"Selama hidup di dunia ini, aku baru mendengar tentang goa itu. Goa Seratus
Laknat. Entah di mana goa
itu berada dan entah laknatan apa yang ada di dalam-
nya hingga dinamakan Goa Seratus Laknat. Cuma sa-
ja, aku pernah mendengar tentang orang yang berjuluk
Hantu Seribu Tangan."
"Tolong ceritakan, Guru," kata Tirta sambil
memandang tak berkedip pada si nenek berkonde.
Bukannya menjawab pertanyaan, si nenek ber-
konde menoleh ke arah Manusia Pemarah. Lalu mem-
bentak, "Setan tua jelek pemarah! Apakah kau ingat dengan Mata Malaikat" Yang
setelah patah hati karena
ditinggal kekasihnya selama berpuluh tahun terus me-
nerus memejamkan kedua matanya?"
Manusia Pemarah melotot lalu balas memben-
tak, "Apakah kau pikir ingatanku sudah tumpul, hah"
Sejak tadi pun aku hendak mengatakan soal itu! Tetapi
dasar lancang! Kau yang mendahului berbicara!"
"Setan jelek! Jangan cari gara-gara!"
"Sontoloyo! Apakah kau pikir kau ini cakep,
hah" Kau juga jelek, tahu!"
"Kau...."
"Sudah, sudah!" lerai Tirta sebelum Bidadari
Hati Kejam meneruskan kata-katanya. "Benar-benar
kapiran dua orang tua ini, Tak bosan-bosannya ber-
tengkar!" Lalu katanya, "Siapa yang mau menceritakan tentang Mata Malaikat?"
Tak ada yang bersuara. Tirta menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal mendapati kedua orang tua
itu justru membalikkan punggung dengan masing-
masing melipat kedua tangan di depan dada.
"Benar-benar runyam urusan. Bagaimana ca-
ranya ya agar mereka bisa akur?" dengusnya sebal dalam hati. Setelah
memperhatikan keduanya yang ber-
tingkah mirip anak kecil itu, Tirta berkata lagi, "Sudahlah! Masa kalian harus
bertengkar terus. Guru silah-
kan teruskan cerita tentang Mata Malaikat."
Seperti merasa lebih dibutuhkan, Bidadari Hati
Kejam memamerkan senyuman ejekan pada Manusia
Pemarah yang membalas dengan pelototan.
"Jelas saja bocah kebluk itu memilihmu! Kare-
na kau gurunya!!"
"Kurang ajar! Kau...."
"Kalian bergantian bercerita," potong Tirta lagi dan rupanya usulnya itu membawa
hasil lebih lu-mayan. Karena setelah saling melempar pandangan ta-
jam, kedua orang tua itu terdiam, seolah menunggu
perintah dari Tirta. Tirta menggeleng-gelengkan kepa-
lanya melihat tingkah kedua orang tua ini Lalu ka-
tanya, "Guru.... Mulailah Guru bercerita tentang Mata Malaikat,"
Begitulah akhirnya, Bidadari Hati Kejam dan.
Manusia Pemarah saling bergantian bercerita tentang
Mata Malaikat. Lima puluh tahun silam, di sebuah pesisir yang
disebut Pantai Merah, Bidadari Hati Kejam bertemu
dengan Mata Malaikat, salah seorang dari sekian ba-
nyak sahabatnya yang saat itu sedang terduduk den-
gan kepala menunduk. Membiarkan sekujur tubuhnya
terperciki air laut yang dingin. Kedatangan Bidadari
Hati Kejam adalah untuk bertandang seperti kebia-
saannya yang sering berkelana. Cukup tertegun Bida-
dari Hati Kejam mendapati sahabatnya seperti sedang
dirundung duka. Dengan bujukan yang tetap diselingi
dengan bentakan seperti kebiasaannya Bidadari Hati
Kejam akhirnya mengetahui apa penyebab murungnya
Mata Malaikat. Rupanya, saat itu Mata Malaikat dilanda gun-
dah yang dalam. Karena kekasihnya Dewi Segala Im-
pian memutuskan hubungan dan pergi meninggalkan-
nya tanpa satu alasan yang bisa diterima oleh Mata
Malaikat. Bidadari Hati Kejam tatkala itu hanya men-
dumal tak karuan melihat kedunguan Mata Malaikat
yang menjadi patah hati seperti itu. Dan di hadapan
Bidadari Hati Kejam-lah, Mata Malaikat bersumpah tak
akan pernah membuka kedua matanya bila belum ber-
jumpa dengan kekasihnya.
Sepuluh tahun kemudian Bidadari Hati Kejam
bertemu kembali dengan Mata Malaikat yang ternyata
benar-benar menjalankan sumpahnya. Namun diam-
diam dikaguminya kecekatan Mata Malaikat saat ber-
gerak. Karena kedua matanya yang dipejamkan itu
sama fungsinya bila kedua matanya dibuka. Dan Mata
Malaikat tetap meneruskan sumpahnya. Pada saat itu-
lah Mata Malaikat membuka tentang siapa dirinya.
Dia adalah murid dari seorang tokoh yang ber-
juluk Pendekar Bijaksana, yang sampai saat ini tak di-
ketahui di mana rimbanya. Setelah menuntaskan se-
gala pelajaran yang diberikan oleh Pendekar Bijaksana,
Mata Malaikat diberikan tempat di Pantai Merah. Dari
mulut. Mata Malaikat lah Bidadari Hati Kejam menge-
tahui kalau Mata Malaikat memiliki seorang kakak se-
perguruan yang berjuluk Hantu Seribu Tangan, yang
akhir-akhir ini didengarnya sering menurunkan tangan
ganas dan diberi tempat oleh Pendekar Bijaksana di
Pantai Hitam. Tetapi, ketika Mata Malaikat mendatangi kakak
seperguruannya untuk memintanya agar menghenti-
kan segala tindakan kejamnya, di Pantai Hitam, dia tak
menemukan di mana Hantu Seribu Tangan ber ada.
Dan sampai saat ini Mata Malaikat tidak tahu di mana
Hantu Seribu Tangan berada. Hanya yang kemudian
dia dengar, kalau Hantu Seribu Tangan mempunyai
sebuah benda yang sangat mematikan yang disebut
Keranda Maut Perenggut Nyawa.
Lima tahun pun berlalu. Giliran Manusia Pema-
rah yang berjumpa dengan Mata Malaikat yang sedang
mencari kekasihnya, Dewi Segala Impian. Manusia


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemarah dibuat keheranan melihat Mata Malaikat
memejamkan kedua matanya. Ketika diceritakan apa
sebabnya, Manusia Pemarah mendengus geram seperti
yang dilakukan Bidadari Hati Kejam pertama kali men-
getahui apa sebabnya Mata Malaikat memejamkan ke-
dua matanya. Dalam kesempatan itu, Mata Malaikat
pun menanyakan tentang Hantu Seribu Tangan pada
Manusia Pemarah yang menggelengkan kepala. Tetapi,
Manusia Pemarah pun bertekad untuk menghentikan
segala sepak terjang Hantu Seribu Tangan.
Setelah itu, tahun demi tahun pun berlalu. An-
tara Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah, tak
seorang pun yang berjumpa kembali dengan Mata Ma-
laikat. Dan tak seorang pun yang mendengar ten tang
Hantu Seribu Tangan.
"Bocah Kebluk! Apa lagi yang hendak kau
Tanya kan?" sentak Bidadari Hati Kejam ketika melihat Tirta terdiam.
Mendapati bentakan itu Tirta menyeringai.
"Rasanya, petunjuk dari Eyang Guru dan Ma-
nusia Agung Setengah Dewa yang bisa kita gunakan.
Keduanya mengatakan, Hantu Seribu Tangan berada
di Goa Seratus Laknat."
Kedua orang tua itu hanya terdiam dengan sal-
ing melepaskan pandangan sebal satu sama lain.
Bab 3 Matahari senja mulai meredupkan cahayanya
dan membiaskan sisa-sisa keperkasaannya di barat
Sana. Dari kejauhan, nampak seliweran beberapa ekor
burung beterbangan. Begitu indah dan alam saat ini
seperti berada dalam puncak keindahannya.
Di sebuah tempat yang terletak di sebelah barat
dari sebuah lembah, nampak dua sosok tubuh tengah
duduk berhadapan. Yang seorang, perempuan berusia
setengah baya yang mengenakan pakaian panjang
berwarna biru kehitaman. Wajah perempuan itu begitu
tenang sekali. Mengenakan tudung kepala berbentuk
kerucut. Wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa
kecantikan di masa mudanya. Di pergelangan tangan
dan jari-jarinya, terdapat gelang dan cincin bertakhta-
kan berlian yang berkilauan. Perempuan itulah yang
dikenal dengan julukan Dewi Bulan.
Sementara duduk di hadapannya, seorang ga-
dis jelita mengenakan pakaian warna merah muda.
Cukup ringkas, namun tak begitu ketat. Rambut gadis
itu panjang dan hitam berkilat. Di keningnya terdapat
untaian seperti kalung yang melingkar dari bagian be-
lakang kepalanya dan tepat di tengah keningnya ter-
dapat berlian kecil yang berkilauan pula.
Perempuan mengenakan tudung tinggi berben-
tuk kerucut dengan gelang dan cincin di penuhi buti-
ran berlian, mengeluarkan suara pelan setelah bebera-
pa saat dicekam kesunyian, "Sri Kedaton.... Cukup la-ma kau kugembleng dan ku
didik untuk mempelajari
seluruh ilmu yang kumiliki, hingga kini rasanya tidak
ada bedanya lagi antara engkau denganku dalam soal
kesaktian. Rasanya, telah tiba saatnya untuk menga-
takan asal-usulmu yang selalu kau tanyakan."
Gadis jelita berkalung berlian di keningnya me-
natap perempuan di hadapannya. Matanya menyirat-
kan kecerahan, karena berulang kali dia selalu mena-
nyakan tentang kedua orang tuanya namun gurunya
ini belum pernah mengatakannya juga. Dan hari ini,
tak disangkanya gurunya hendak mengatakan apa
yang ingin diketahuinya selama ini.
Terima kasih atas dikabulkan nya permintaan
ku, Guru. Rasanya, aku sudah tidak sabar untuk men-
dengarkannya."
Beberapa lama Dewi Bulan terdiam sambil me-
mandang kepada muridnya yang tengah memandang-
nya pula. Perlahan-lahan bibirnya menguakkan se-
nyum. "Sri Kedaton, lima belas tahun yang lalu, aku me-lewati sebuah pesisir
pantai di sebelah utara tempat ini yang berjarak sangat jauh sekali. Aku tidak
ta- hu apa nama pesisir pantai itu dan kedatanganku ke
sana, hanya karena ingin beristirahat saja. Dulu, aku
selalu berkelana menimba dan mencari pengalaman
batin. Ketika aku tiba di pesisir pantai itu, dari jauh ku-lihat sebuah
pertarungan yang sangat sengit sekali.
Pertarungan yang mendebarkan karena yang selalu
kudengar suara ledakan demi ledakan yang dahsyat.
Saat itu pula aku segera melesat untuk melihat
dari dekat. Apa yang kulihat, semakin membuatku ter-
getar akan ilmu yang diperlihatkan oleh orang-orang
yang sedang bertarung itu. Rupanya seorang lelaki
yang bergerak sangat cepat dan seperti memiliki tan-
gan yang sangat banyak tengah berhadapan dengan
sepasang suami istri yang kemudian ku tahu kalau
mereka berjuluk Sepasang Pengantin Abadi. Saat itu,
kulihat Sepasang Pengantin Abadi terdesak hebat oleh
gempuran-gempuran dahsyat yang dilakukan lelaki
bertampang setan dengan rambut jarang itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun segera
menerjunkan diri untuk membantu. Tetapi, salah se-
orang dari Sepasang Pengantin Abadi justru berteriak
kepadaku untuk menyelamatkan putri mereka yang
baru berusia dua tahun. Saat itu aku tak tahu harus
berbuat apa. Tetapi perempuan itu kembali meminta
ku untuk melakukan perintahnya."
Dewi Bulan menghentikan kata-katanya sambil
memandang lekat pada muridnya yang bernama Sri
Kedaton yang nampak tidak sabar menunggu kelanju-
tan ceritanya. Setelah menarik napas pendek, Dewi
Bulan melanjutkan.
"Ku urungkan niat untuk membantu mereka
dan kutemui seorang bayi perempuan yang sedang ter-
tidur di sebuah balai-balai. Ku balut dia dengan kain
lusuh yang ada di sana lalu keluar lagi. Saat itu, kulihat si perempuan sudah
terkapar dengan luka besar
pada perutnya. Dia sempat berseru kepadaku untuk
menyelamatkan dan menjaga serta mendidik bayi itu.
Sementara yang laki-laki pun tengah didesak hebat
oleh orang bertampang setan itu.
Selagi aku tertegun kembali tak tahu berbuat
apa, kulihat yang laki-laki terlempar ke belakang aki-
bat satu tendangan. Saat itulah baru kusadari kalau di
sana ada sebuah keranda yang berwarna hitam pekat.
Begitu mengerikan dan membuat bulu kudukku me-
remang. Belum lagi aku tahu milik siapa keranda itu, ti-
ba-tiba saja orang bertampang setan mendekati keran-
da itu. Dan mendadak saja membuka keranda di ba-
gian pangkalnya. Seketika ku rasakan hawa panas
menghampar mengerikan, membuat pesisir pantai
yang dingin itu berubah bagai lautan panas luar biasa.
Menyusul aku melihat tubuh si perempuan yang ter-
kapar bagai terseret dan tersedot masuk ke keranda
itu. Jeritannya saat ini masih seperti kudengar, be-
gitu memilukan dan menyayat hati. Kejap lain kulihat,
tubuhnya bergerak liar kesakitan di dalam keranda
dan mendadak saja seperti meledak. Hancur binasa.
Menyusul kejadian itu, yang laki-laki pun mengalami
hal yang sama. Bukan main panas dan marahnya hati-
ku saat itu Tetapi, aku memutuskan untuk mening-
galkan tempat itu karena teringat akan bayi di tangan-
ku. "Dua tahun kemudian, aku baru tahu siapa orang bertampang setan yang telah
membunuh Sepasang Pengantin Abadi. Dia berjuluk Hantu Seribu Tan-
gan. Sedang keranda yang telah memusnahkan jasad
Sepasang Pengantin Abadi bernama Keranda Maut Pe-
renggut Nyawa." Dewi Bulan kembali menghentikan
penuturannya, lalu melanjutkan, "Bayi berusia dua tahun itu pun ku rawat, ku
jaga dan ku didik' Hingga
akhirnya...."
"Guru! Apakah bayi yang kau maksudkan itu
aku"' potong Sri Kedaton dengan suara tercekat. Ber-
kali-kali ditelan ludahnya dengan pandangan tegang.
Dewi Bulan menganggukkan kepalanya. "Yah.
Kaulah bayi itu, Muridku.'
"Jadi, Sepasang Pengantin Abadi adalah kedua
orang tuaku?"
Dewi Bulan mengangguk. Dilihatnya Sri Keda-
ton menundukkan kepala setelah melontarkan dua
pertanyaan. Bisa dilihatnya kalau gadis itu nampak
tengah berusaha menindih segala kegalauan di hati-
nya. Dadanya turun naik dengan gerakan cepat. Wa-
jahnya berubah memerah dengan kepiasan yang ken-
tara. "Muridku.... Berulangkali kau ku didik untuk menjadi gadis yang tegar,
tabah dan penuh semangat.
Mungkin, berita ini cukup mengejutkan bagimu. Teta-
pi, itulah kenyataannya, Muridku."
Sri Kedaton hanya terdiam mendengar kata-
kata gurunya. Gadis itu benar-benar berusaha keras
menindih segala beban yang mendadak bergayut di
dadanya. Sungguh tak disangka kalau asal usulnya
yang selama ini ingin diketahuinya. ternyata hanya
menggoreskan bungkahan kepedihan belaka. Sejak be-
rusia lima belas tahun. Sri Kedaton nama yang diberi-
kan oleh Dewi Bulan pada gadis itu selalu menanya-
kan tentang asal usulnya. Karena, gadis jelita berotak
cerdas itu diam-diam dilanda penasaran yang dalam
untuk mengetahui siapa kedua orang tuanya.
Dewi Bulan tak berbuat apa-apa lagi, hanya
menunggu cukup lama tanpa bermaksud mengusik
muridnya. Detik lain, Sri Kedaton sudah mengangkat
kepalanya. 'Terima kasih Guru, karena mau menceritakan
tentang kedua orang tuaku kendati hal itu sangat pe-
dih." "Kulakukan seperti ini, karena aku yakin kau sudah bisa menentukan apakah
itu baik atau buruk.
Dan aku yakin, kau pasti tabah mendengar penuturan
ku ini. Sri Kedaton, Setelah kuceritakan semua ini, ti-
balah saatnya kau untuk mencari pengalaman dan
menimba ilmu di luar. Rasanya tak baik bagi seorang.
gadis yang masih panjang perjalanan harus berdiam
terus menerus di tempat sepi semacam ini."
"Rasanya, memang itu yang terbaik Guru. Bu-
kan maksudku untuk meninggalkanmu di sini."
"Muridku, justru aku yang menghendaki kau
meninggalkan aku. Dan satu pesanku, beradalah da-
lam jalan lurus. Muridku, di dunia luar saat ini tengah berada dalam
kegoncangan. Kau harus berhati-hati dalam melangkah dan berbuat. Bila sekali kau
salah me- langkah, maka hancurlah seluruh langkahmu berikut-
nya." "Guru, ada yang ingin murid tanyakan." "Pertanyaan apakah itu?"
'Tahukah Guru di mana Hantu Seribu Tangan
berada?" Sesaat Dewi Bulan melengak mendapati perta-
nyaan muridnya. Diam-diam dia membatin, "Melihat
raut wajahnya dia begitu jernih sekali. Seolah seperti bayi yang baru
dilahirkan. Sepasang matanya pun
memancarkan sinar lembut yang teduh. Tetapi, di ba-
lik semua itu dia bisa menyimpan perasaan dalam-
dalam. Aku yakin, dia mempunyai maksud tertentu
menanyakan soal itu." Lalu katanya.
"Muridku.,.. Pertanyaan itu bisa kujawab kare-
na aku pernah menyelidiki tentang Hantu Seribu Tan-
gan. Tetapi, sampai saat ini aku tidak tahu di mana le-
taknya." "Katakan, Guru."
"Dia berdiam di Goa Seratus Laknat. Perjalanan
yang sangat panjang bila hendak kau tempuh. Untuk
mencapai tempat itu, kau harus melewati sebuah hu-
tan yang dinamakan Hutan Seratus Kematian. Menyu-
sul kau harus menjajaki tempat luas yang tandus yang
disebut Padang Seratus Dosa. Muridku, tidak berguna
menyimpan dendam. Tak berguna membalas kemara-
han. Tetaplah berjalan dijalur yang telah ditentukan."
"Guru, kematian kedua orang tuaku hanyalah
karena kesombongan Hantu Seribu Tangan yang me-
nantang mereka, yang merasa telah menjadi orang pal-
ing tangguh di muka bumi ini hingga dia tak ingin ter-
saingi. Hatiku cukup sakit mendengar alasannya men-
cabut nyawa kedua orang tuaku. Kendati hatiku diba-
lut dendam, tetapi aku masih mempunyai akal untuk
tidak nekat menantangnya. Aku hanya ingin tahu sia-
pa orang itu sebenarnya."
"Kau sangat pandai menyembunyikan pera-
saan-mu, Sri Kedaton," kata Dewi Bulan dalam hati.
Sambil tersenyum dia berkata, "Bila memang itu te-
kadmu, carilah seorang tua yang berjuluk Mata Malai-
kat. Dia adalah adik seperguruan Hantu Seribu Tan-
gan. Selama ini, aku pun berusaha mencari Mata ma-
laikat. Dan sampai saat ini aku tak pernah tahu di
mana dia berada meskipun aku mendengar kalau saat
ini. dia tengah diburu oleh orang-orang rimba persila-
tan yang serakah menginginkan Keranda Maut Pereng-
gut Nyawa milik Hantu Seribu Tangan. Padahal aku
yakin, mereka hanya akan membuang nyawa percuma,
sementara Hantu Seribu Tangan yang memang tak
pernah ingin disaingi akan menunggu kedatangan
orang-orang itu dengan senang hati."
"Baiklah, Guru. Aku akan berusaha untuk
mencari orang tua berjuluk Mata Malaikat yang seperti
Guru katakan."
"Sri Kedaton..., Berhati-hatilah kau melangkah.
Jangan terlalu mudah percaya pada orang. Dan ingat,
simpanlah namamu yang sebenarnya itu. Mulai seka-
rang, kau kuberi julukan Dewi Berlian, sesuai dengan
pukulan sakti 'Pusaran Kilau Berlian' yang kuajarkan
kepadamu."
Sri Kedaton yang baru saja diberi julukan Dewi


Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berlian oleh gurunya, menjura, "Baiklah, Guru. Murid pamit sekarang."
Dewi Bulan menganggukkan kepalanya. Sepa-
sang matanya menampakkan pancaran dia tak ingin
melepaskan Sri Kedaton sekarang. Tetapi, dia pun tak
bisa mengekang gadis itu lebih lama bersamanya,
"Muridku.... Hati-hati...."
*** Tujuh hari telah berlalu begitu cepatnya. Waktu
memang terus bergerak, merayap, menggilas dan tahu-
tahu sudah meninggalkan kita dalam kehidupan ini.
Berdiri paling depan dan tak ada yang bisa me-
menangkan lomba kecepatan dengan sang waktu.
Hujan yang sangat dahsyat turun bertubi-tubi
di sebuah hutan lebat. Dedaunan pepohonan di hutan
itu, beterbangan tertampar angin kuat yang berhem-
bus. Kendati hari sudah siang, namun karena hujan
yang lebat dan gumpalan awan hitam menghalangi si-
nar matahari, hutan itu menjadi sangat gelap sekali.
Entah yang ke berapa kilat sambar menyambar dan
lebat itu. Entah yang ke berapa pula petir menyalak
lebat itu. Entah kali ke berapa pula petir menyalak
dahsyat, menggebah seantero tempat.
Dalam suasana mencekam itu, di saat kilat
menyambar, terlihat satu sosok tubuh bergerak me-
lompat-lompat. Lompatannya begitu cepat dan sekali
melompat jarak dua tombak terlalui. Sosok aneh yang
bergerak melompat itu berbalut kain hitam yang san-
gat pekat, dari kepala hingga ke telapak kaki. Di atas
kepalanya ada untaian kain yang diikat erat.
Sukar menggambarkan bagaimana sosok tubuh
yang terbalut kain hitam itu. Bahkan, wajahnya yang
satu-satunya dari anggota tubuhnya yang tak terbalut
kain hitam, tak nampak oleh mata. Hanya yang keliha-
tan sepasang matanya yang memancarkan sinar merah
menyala, angker dan menggidikkan. Kendati ditimpa
jutaan curahan air dari langit, orang berwujud seperti
pocong itu tak nampak basah sedikit pun.
Orang berbalut kain hitam dengan potongan
tak ubahnya pocong belaka, menghentikan lompatan-
nya. Kepalanya bergerak secara aneh. Sepasang ma-
tanya yang memancarkan sinar merah angker, mem-
perhatikan seantero tempat.
"Hmmm, Masih jauh nampaknya tujuanku. Ka-
lau tak salah ingat, aku telah memasuki Hutan Sera-
tus Kematian. Melewati hutan ini, aku akan tiba di se-
buah padang yang cukup tandus yang disebut Padang
Seratus Dosa. Setelah itu, barulah aku akan tiba di
Goa Seratus Laknat. Celaka! Masih begitu jauh perja-
lananku untuk menemui Hantu Seribu Tangan," orang
berbalut kain hitam itu berkata dalam hati dengan
agak gelisah. "Kendati begitu, tak pernah kuhentikan tujuanku untuk meminta
bantuan Hantu Seribu Tan-
gan. Kematian adik kandungku di tangan pemuda ber-
juluk Rajawali Emas itu harus kubalas. Hhh! Ilmu pe-
muda keparat itu terlalu tinggi. Bahkan aku tak kuasa
menghadapinya."
Siapa sebenarnya orang berbalut kain hitam
yang memperlihatkan sepasang mata merah menyala"
Orang itu tak lain adalah Raja Pocong Hitam,
ka-kak kandung dari Ratu Tengkorak Hitam. Orang
kejam yang setelah diberitahukan tentang kematian
adik kandungnya oleh si Jubah Setan segera keluar
dari tempat pengasingan dan mencari Rajawali Emas
untuk membalas kematian adik kandungnya. Namun,
pemuda dari Gunung Rajawali terlalu tangguh untuk-
nya. Raja Pocong Hitam akhirnya melarikan diri karena
tak mampu menjalankan maksud. Diputus-kan untuk
meminta bantuan pada sahabatnya yang berjuluk
Hantu Seribu Tangan, yang berdiam di Goa Seratus
Laknat. (Baca serial Rajawali Emas dalam episode:
"Gerhana Gunung Siguntang").
Orang berbalut kain hitam pekat itu mengelua-
rkan geraman jengkel mengingat semua itu. Tekadnya
semakin bulat untuk menemukan orang berjuluk Han-
tu Seribu Tangan. Wajahnya yang tak kelihatan itu
menegang penuh dengan kerutan kuat, menandakan
kemarahan dan dendamnya pada Rajawali Emas telah
setinggi gunung.
"Peduli setan apakah dia mau membantuku
atau tidak" Tetapi, aku bisa berharap banyak karena
Hantu Seribu Tangan telah mengikat janji sahabat
denganku! Sebaiknya, aku segera meneruskan langkah
untuk mempersingkat waktu."
Memutuskan demikian, Raja Pocong Hitam ber-
gerak kembali dengan cara melompat-lompat. Semakin
dalam memasuki Hutan Seratus Kematian.
Bab 4 Di tempat yang jauh dari Hutan Seratus Kema-
tian, satu sosok tubuh terus berkelebat dengan cepat-
nya di sebuah lembah yang juga diguyur hujan deras.
Kelebatan sosok tubuh itu laksana angin belaka, kare-
na hanya tiga tarikan napas berikutnya, orang yang
berkelebat itu sudah memasuki sebuah hutan yang le-
bat dan luas. Baginya, dalam keadaan hujan seperti ini
berada di hutan yang angker lebih baik daripada di
lembah terbuka yang hanya dipenuhi dengan gugusan
bebatuan. Orang itu berhenti di sebuah batang pohon be-
sar yang rindang. Kedua tangannya menyatu di dada,
berdekap, guna menghilangkan hawa dingin. yang
sangat menusuk. Seluruh tubuhnya telah basah ter-
timpa air hujan. Pakaian warna merah muda yang di-
kenakannya mencetak tubuhnya hingga memperli-
hatkan lekuk tubuh yang sangat sempurna. Di kening
so-sok tubuh yang ternyata seorang gadis cantik itu
terdapat sebuah benda semacam kalung melingkar da-
ri bagian belakang kepala hingga ke kening. Tepat di
keningnya ada sebuah butiran berlian yang berki-
lauan. Cukup terlihat ketika kilat menyambar.
"Celaka! Seharusnya hari tidak hujan seperti ini
hingga aku bisa bergerak dengan bebas melanjutkan
perjalanan. Apa hendak dikata karena hujan sudah tu-
run sejak tadi," gadis berusia tujuh belas tahun yang tak lain adalah Sri
Kedaton alias Dewi Berlian, menggeram
cukup keras. Tetapi suaranya langsung teredam oleh
derasnya hujan.
Seusai meninggalkan gurunya, Dewi Berlian
langsung melesat cepat. Mempergunakan ilmu lari
yang dipelajarinya dari Dewi Bulan Gadis yang ketika
mendengarkan penuturan Dewi Bulan tentang kedua
orang tuanya menampakkan sikap tabah, tegar dan
mampu menghadapi segala sesuatunya, ternyata me-
nangis ketika dia tiba di sebuah tempat yang ber-jarak
ribuan tombak dari tempatnya semasa kecil ber-sama
Dewi Bulan. Menumpahkan segala kesedihan diha-
tinya. Meskipun telah berbekal ilmu yang cukup, te-
tapi sebagai seorang perempuan, hanya air mata-lah
senjata satu-satunya yang bisa menghilangkan segala
kegundahan, kesedihan dan kemarahan. Apa yang di-
alami Dewi Berlian memang suatu hal yang wajar. Bu-
kan menandakan kecengengannya, melainkan mem-
perlihatkan segi lain karena cerita yang baru di den-
garnya ini sangat menyesakkan dada, sekaligus mem-
perlihatkan kemarahan dalam terhadap orang yang
menurunkan tangan maut pada kedua orang tuanya.
Beberapa saat berlalu, gadis murid Dewi Bulan
itu menarik napas panjang. Mengusap sepasang ma-
tanya yang digenangi air bening.
Perlahan-lahan terdengar desisannya, pelan,
"Aku tak boleh berpikiran tegang terus menerus. Keadaan yang menimpa kedua orang
tuaku telah berlalu.
Sebaiknya, aku berusaha menemukan di mana Mata
Malaikat berada seperti kata Guru."
Setelah menjernihkan pikirannya, mulailah
murid Dewi Bulan itu bertanya ke sana-sini tentang
Mata Malaikat Namun sampai beberapa hari lama-nya,
dia tak mendapatkan jawaban yang menyenangkan.
Bahkan berulang kali, dia harus mengalami gangguan
dari para lelaki mata keranjang yang menetes air liur-
nya melihat kecantikan wajah dan kemontokan tubuh
Dewi Berlian yang dengan mudahnya bisa mengatasi
persoalan yang cukup membuatnya geregetan pula.
Kendati begitu, tekadnya telah bulat untuk
mencari Mata Malaikat, orang yang diharapkan bisa
membawanya pada Hantu Seribu Tangan.
Sekarang, murid Dewi Bulan itu sedang berdiri
tegak dengan kedua mata terbuka memandang seante-
ro tempat yang diguyur hujan sangat deras. Yang
nampak di sepasang matanya, hanya kegelapan sema-
ta. Dan bayangan pepohonan yang sangat tinggi di sa-
na-sini. "Kalau hujan turun terus, aku bisa tersesat di tempat ini Hutan ini
begitu mengerikan. Aku yakin,
akan banyak rintangan yang akan kuhadapi. Apakah
sebaiknya aku menerobos hujan ini saja dan mene-
ruskan lariku" Atau.... Aku berdiam di sini sampai hu-
jan reda?"
Gadis itu masih bimbang memutuskan apa
yang akan dilakukannya. Dan belum lagi dia berhasil
memutuskan kebimbangannya, mendadak saja telin-
ganya mendengar langkah pelan di tanah yang becek
keluar dari gerumbulan semak Seketika kepalanya di-
arahkan ke muka dan dilihatnya tiga pasang mata
berwarna merah tajam mengarah padanya.
"Aneh! Mata apakah itu yang memandangku
begitu tajam" Pancaran warna merah dari bulatan
enam Buah mata itu sangat angker sekali. Siapa dia"
Mengapa kedudukan tiga pasang mata itu begitu ren-
dah, berada setinggi pinggangku" Meskipun deru angin
dan hujan cukup kencang, aku bisa mendengar suara
gerengan yang berasal dari tiga pasang mata itu. Apa-
kah.... Oh!!"
Sepasang mata jernih gadis berbaju merah mu-
da itu terbuka lebih lebar ketika melihat tiga pasang
mata itu mendekat. Telinganya kembali menangkap
suara geraman mengerikan.
Pedang Ular Mas 18 Dewi Sri Tanjung 3 Kobaran Api Asmara Bayang Bayang Kematian 1
^