Pencarian

Memburu Nyawa Pendekar 2

Rajawali Emas 19 Memburu Nyawa Sang Pendekar Bagian 2


air, segera dihirupnya udara segar dalam-dalam ber-
samaan dengan menggerakkan kedua tangannya. Ka-
rena saat itu, dirasakan angin dahsyat menggebu ke
arahnya! Blaam!! Tubuh Sri Kunting terlempar ke belakang dan jatuh
tenggelam. Masih untung tubuhnya tidak sampai men-
celat ke atas. Bila hal itu terjadi, sudah tentu kedua le-
laki itu akan bersorak melihat apa yang memang me-
reka inginkan. Begitu tubuhnya kembali masuk ke air, bagai berlom-
ba-lomba air itu masuk ke mulutnya. Sudah tentu si
gadis tersedak keras. Apalagi dadanya dirasakan nyeri
tak terkira. Akibatnya, dia bagai terseret oleh derasnya air su-
ngai. Melihat buruan mereka nampak sudah tak berdaya,
kedua lelaki itu segera bergerak mendekat dengan tu-
buh yang bertambah basah terkena air sungai.
Namun mendadak saja satu suara terdengar bersa-
maan gemuruh angin dahsyat ke arah keduanya.
"Manusia-manusia celaka! Mampuslah kalian!!"
*** Seketika kedua orang berpakaian hitam kusut itu
mendongak. Bersamaan dengan itu, dengan agak ter-
kesiap Sudra Jalang mengangkat tangan kanannya.
Wuuutt! Blaaamm!! ' Derasnya gemuruh angin yang dilepaskan pemuda
berpakaian abu-abu yang baru muncul itu, tertahan
oleh sambaran angin Sudra Jalang!
Masih berada di udara, si pemuda memperlihatkan
gerakan yang sangat luar biasa. Karena, dia membuka
pakaiannya. Dan masih berada di udara pula dia me-
mutar tubuh. Melompat masuk ke dalam air.
Tangan kanannya menyambar tubuh Sri Kunting
yang gelagapan dan keluarkan teriakan karena terke-
jut. Dan begitu tubuh si gadis diangkat, tangan kiri si
pemuda yang memegang pakaiannya sendiri, segera
membebatkan pakaiannya itu pada tubuh si gadis.
Lalu dengan cepat dilontarkannya tubuh Sri Kun-
ting yang dengan sigap hinggap di balik ranggasan se-
mak. Sementara si pemuda memutar tubuh kembali
dan hinggap di tepi sungai dengan kedua kaki dipen-
tangkan. Sementara itu, Sudra Jalang dan Lodra Jalang yang
gagal menjalankan maksud, segera mentas ke atas de-
ngan wajah geram. Tanpa mempedulikan pakaiannya
yang basah, Sudra Jalang sudah merandek dingin de-
ngan tatapan nyalang, "Pemuda setan! Apakah kau su-
dah ingin mampus"!!"
Si pemuda yang kini bertelanjang dada, meman-
dang tak berkedip pada kedua orang di hadapannya.
Celana pangsi warna hitamnya agak basah.
"Untung aku tidak terlambat!" desisnya dalam hati.
"Tak bisa kubayangkan apa yang akan dialami Sri
Kunting! Untungnya aku berpikir kalau saat ini seha-
rusnya Sri Kunting sudah selesai mandi!"
Sementara itu, di balik ranggasan semak belukar,
Sri Kunting yang sudah mengenakan pakaian yang di-
berikan si pemuda, menarik napas panjang.
"Kalau saja Kakang Wulung Seta tidak muncul, bisa
hancur hidupku ini Tetapi... apakah Kakang Wulung
mampu menghadapi kedua manusia celaka itu" Ke-
lihatannya mereka bukan orang-orang sembarangan!
Mudah-mudahan Kakang Wulung bisa mengatasinya.
Ah, hanya berpakaian seperti ini, sudah tentu aku tak
bisa membantunya."
Di depan, Sudra Jalang makin mengkelap menda-
pati bentakannya belum mendapat sahutan.
"Pemuda keparat! Kau berani-beraninya menghen-
tikan apa yang kami inginkan! Berarti, kau memang
sudah ingin cepat-cepat mampus"!"
Si pemuda yang tak lain Wulung Seta adanya men-
jawab dingin, "Omongan memang mudah diucapkan!
Apalagi dilakukan oleh orang-orang bebal tanpa otak
seperti kalian"!"
"Setan laknat! Benar-benar ingin mampus rupa-
nya"!" hardik Sudra Jalang keras. Lalu tanpa buang
tempo lagi, dia sudah menerjang dengan kedua tangan
dikembangkan. Si pemuda yang tak lain Wulung Seta adanya dan
sudah waspada, tak menunggu lagi. Begitu dari kedua
tangan lawan melesat kabut hitam pekat, si pemuda
segera mengibaskan kedua tangannya pula.
Seketika menghampar gelombang angin yang keras.
Bumm!! Ledakan dahsyat menggelegar membuncah tempat
itu. Tanah di mana benturan itu terjadi muncrat satu
tombak dan sebagian jatuh ke dalam sungai yang
sempat menggelegak tadi.
Sosok Sudra Jalang terpental lima tindak ke bela-
kang. Di seberang, Wulung Seta berdiri agak goyah se-
telah terjajar dua tombak.
Sudra Jalang yang sudah dibuncah kegeraman, ti-
dak mau menunggu. Kedua kakinya segera disentak-
kan ke atas tanah. Bersamaan dengan itu tubuhnya
melompat di udara.
Terkesiap Wulung Seta mendapati ganasnya se-
rangan lawan. Sebisanya dia kembali mengulangi se-
rangan balasan yang pertama. Lagi-lagi, terdengar le-
tupan yang lebih keras.
Namun kali ini sosok Sudra Jalang berdiri tegak
tanpa kurang suatu apa, sementara Wulung Seta ter-
pental kembali ke belakang. Dadanya terasa nyeri. Se-
saat nampak mulutnya menggembor. Di saat lain, da-
rah pun menyembur keras.
Sri Kunting memekik tertahan, "Kakang Wulung!"
Dan pekikan itu terdengar oleh Sudra Jalang yang
memicingkan matanya. Lalu terlihat seringaiannya se-
raya berkata, "Lodra Jalang! Apakah kau akan menyia-
nyiakan kesempatan yang telah kita dapatkan"!"
Mendengar kata-kata kambratnya, Lodra Jalang
yang sudah tak tahan untuk menghajar Wulung Seta,
tertawa keras. "Mengapa harus membuang waktu"!" serunya sera-
ya berkelebat. Melihat sosok Lodra Jalang yang memburu ke arah
Sri Kunting, Wulung Seta menggeram, "Hentikan! Ha-
dapi aku!"
Tetapi mana mau Lodra Jalang mengurungkan
niatnya. Dia terus berkelebat ke arah Sri Kunting yang
terkesiap. Dan hal ini membuat Wulung Seta tak bisa
menahan diri. Sambil menahan nyeri di dadanya, pemuda ini me-
nerjang ke arah Lodra Jalang sembari menggerakkan
kedua tangannya.
Wusss!' Mendapati serangan yang cukup dahsyat itu, Lodra
Jalang membuang tubuh ke kanan. Begitu kedua kaki-
nya hinggap di tanah, tanpa terganggu dengan bobot
tubuhnya, lelaki gemuk ini memutar tubuh dan men-
celat ke arah Wulung Seta yang meneruskan seran-
gannya. Plak! Plak! Benturan keras terjadi.
Tubuh Wulung Seta terhuyung dua tindak ke bela-
kang dengan wajah yang makin memucat. Bersamaan
dengan itu, Lodra Jalang melompat untuk menda-
patkan Sri Kunting. Lelaki gemuk ini berpikir, Wulung
Seta adalah bagian Sudra Jalang.
"Berhenti!!"
Bentakan Sudra Jalang yang disusul dengan tawa
kerasnya, menghentikan langkah Wulung Seta yang
hendak memburu Lodra Jalang. Pemuda ini mema-
lingkan kepalanya dan memandang tanpa kedip.
Makin keras tawa Sudra Jalang. Otaknya memikir-
kan sesuatu. Dan di lain kejap dia sudah berseru,
"Pemuda bodoh yang mau mampus! Aku tak pernah
meninggalkan lawan dalam keadaan hidup! Tetapi...
aku masih memberi kesempatan hidup lebih lama bila
kau bisa menjawab satu pertanyaan!!"
"Setan keparat!!" maki Wulung Seta dengan dada
yang bertambah nyeri. "Pergilah kau ke neraka!!"
Meledak tawa Sudra Jalang mendengar ancaman
itu. "Kau sendiri yang akan kukirim ke neraka! Tetapi
bila kau membutuhkan teman, sudah tentu aku dan
kambratku akan mengirim pula gadis itu! Tetapi... ten-
tunya, setelah kami puas bersenang-senang dengan-
nya!" "Setaaaann!!" geram Wulung Seta dibuncah kema-
rahan. Namun belum lagi si pemuda berbuat apa-apa,
kembali dia muntah darah. Rasa sakitnya bukan alang
kepalang dan membuat kepalanya seperti ditempelengi
berkali-kali. Pusing berpendar dengan aliran darah yang kacau.
Sebisanya Wulung Seta untuk bertahan. Yang dipi-
kirkannya saat ini, bukanlah keadaan dirinya. Namun
Sri Kunting. Karena dia tahu, hanya mengenakan pa-
kaian belaka tanpa pakaian dalam, sudah tentu bagi
Sri Kunting Seperti telah menjejakkan sebelah kakinya
ke neraka! Gadis mana pun juga, lebih rela kehilangan
nyawa ketimbang diinjak-injak kehormatannya!
Dan kedua mata si pemuda terbeliak lebar tatkala
dilihatnya lelaki berwajah persegi sudah menggebrak
dengan tangan kanan terangkat.
"Terimalah kematianmu, Pemuda Celaka!!"
*** Bab 5 KITA tinggalkan dulu Wulung Seta yang sedang terke-
siap melihat serangan maut Sudra Jalang. Pada saat
yang bersamaan di sebuah jalan setapak, Rajawali
Emas menghentikan langkahnya. Pandangannya lurus
ke depan, melihat jajaran pepohonan dan ranggasan
semak belukar. Ratu dari Kegelapan yang menyamar sebagai Putri
Lebah ikut-ikutan memperhatikan apa yang dilihat
oleh pemuda berpakaian keemasan di sebelah kanan-
nya. Namun, Ratu dari Kegelapan merasa tak melihat
sesuatu yang menarik.
Perempuan yang mempunyai niat busuk pada pen-
dekar kita ini, tak kuasa untuk tidak segera keluarkan
pertanyaan, "Tirta... ada apa?"
Tirta terdiam. Setelah beberapa saat dipalingkan
kepalanya ke arah si gadis.
"Ken Zuraidah... apakah kau melihat kalau ada
yang aneh pada ranggasan semak belukar itu?" ta-
nyanya kemudian.
Ratu dari Kegelapan yang telah melontarkan cerita
bohong atas namanya itu memandang ke arah yang di-
tunjuk Tirta. Sepasang matanya melihat ranggasan se-
mak belukar agak rebah ke depan
Kejap lain kepalanya dianggukkan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Tirta lagi.
"Ada orang yang telah melalui tempat ini."
"Tepat! Bukan jalan setapak yang seperti kita lalui!
Namun ranggasan semak itu. Bila orang yang telah
melewati tempat ini berkelebat dengan memperguna-
kan ilmu peringan tubuhnya, tak mungkin ranggasan
semak itu akan rebah ke depan. Bila dia hanya berja-
lan kaki saja, tak mungkin orang itu akan berlaku bo-
doh melewati semak belukar padahal ada jalan setapak
yang bisa dilaluinya!"
"Berarti...." Putri Lebah sengaja memutus kata-ka-
tanya sendiri sambil menatap dalam pada pemuda dari
Gunung Rajawali di sebelahnya. Diam-diam dia me-
nyambung dalam hati, "Selain perkasa, otaknya juga
encer!" "Ada orang yang menunggangi kuda telah melalui
tempat ini," sahut Tirta. "Dan paling tidak, orang-orang itu menunggangi tiga
ekor kuda."
"Luar biasa! Cerdik sekali! Makin membuatku tak
sabar untuk bermesraan dengannya," kata Putri Lebah
dalam hati. "Tetapi... mengapa 'Uap Kembang Surga'
yang sejak pertama kali bersama-sama dengannya te-
lah kukeluarkan tak memberikan pengaruh apa-apa
padanya?" Lalu katanya, "Apakah kau bisa menduga siapa ge-
rangan mereka, Tirta?"
Tirta menatapnya sambil tersenyum. "Sudah tentu
tidak. Dan aku tak bisa pula menduga dari golongan
manakah orang itu. Hanya saja, sampai saat ini aku
belum menemukan jejak di mana Seruling Haus Darah
berada." Ratu dari Kegelapan keluarkan dengusan .sebagai
Putri Lebah. Lalu katanya yang dibuat penuh kege-
raman, "Memang keparat manusia celaka itu! Huh!
Aku pun tak sabar untuk menurunkan tangan pa-
danya!" Tirta yang tidak tahu siapa gadis di sebelahnya ini
sebenarnya, tersenyum.
"Ingat! Kau sudah berjanji untuk tidak bertindak
gegabah, bukan?"
Putri Lebah memasang wajah manja.
"Ah, kau ini! Aku kan cuma melampiaskan rasa ke-
salku juga pada manusia keparat itu!"
"Kau memang benar! Hanya saja... oh! Hujan!!" seru
Tirta tiba-tiba.


Rajawali Emas 19 Memburu Nyawa Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya, karena berada di tempat yang dipenuhi
oleh jajaran pepohonan tinggi, memang sangat sulit
untuk melihat ke langit. Padahal sejak tadi, gumpalan
awan hitam sudah menjuntai-juntai tak kuasa mena-
han lebih lama kandungan perutnya.
"Putri Lebah! Kita harus mencari tempat berteduh!"
seru Tirta sambil menyambar tangan gadis di sebelah-
nya. Lalu dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh-^
nya, dibawanya gadis itu dengan cepat.
Tanpa setahu pemuda yang di kedua lengannya
terdapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan
ini, si gadis sedang berkata dalam hati, "Bagus! Hujan
turun! Dengan begitu suasana akan menjadi dingin!
Tak mungkin pemuda ini akan menyia-nyiakan ke-
sempatan yang akan kuberikan! Hmmm... akan kuper-
lambat gerakan pemuda ini biar tubuhku dan tubuh-
nya semakin basah. Paling tidak, dengan tubuh basah
ini pakaian yang kukenakan akan mencetak tubuhku!"
Sementara Tirta terus berusaha mencari tempat
berteduh, Ratu dari Kegelapan yang pertama kali gagal
memancing birahi Rajawali Emas, kali ini berharap da-
pat mengulanginya lagi. Bahkan memetik apa yang di-
inginkannya. Dan karena dia telah berpikir seperti itu, dengan
gerakan yang sangat terlatih sekali, diloloskan tangan-
nya yang dipegang Tirta.
"Oh!!"
Lalu dengan sengaja pula tubuhnya dijatuhkan.
Rajawali Emas yang tak mengetahui maksud gadis
itu segera menghentikan kelebatannya. Dan dengan
cepat menyambar tubuh Putri Lebah yang hendak ter-
sungkur. Karena begitu cepat dan dekatnya, tak ayal
lagi secara tidak langsung keduanya berdekapan.
"Hati-hati!" seru Tirta yang tak berpikir apa-apa,
sementara Putri Lebah mempergunakan kesempatan
itu untuk merangkul si pemuda erat-erat.
"Maafkan aku...."
"Tidak apa-apa. Ayolah, kita harus cepat mene-
mukan tempat untuk berteduh bila tidak ingin...."
"Kakiku!!" tiba-tiba saja terdengar seruan Putri Le-
bah yang sudah tentu disengaja. Dan dengan keahlian-
nya, dimatikan urat syarat yang ada di kaki kanannya,
hingga saat diperiksa Tirta, dia betul-betul kesakitan.
"Tahan sedikit... aku akan mengalirkan tenaga da-
lamku...," kata Tirta sambil memegang kaki kanan Pu-
tri Lebah. "Tetapi kita semakin basah!"
"Tidak apa-apa. Ketimbang kau kesakitan!"
"Mengapa kau tidak menggendongku saja, Tirta?"
seru Putri Lebah dengan wajah meringis padahal ha-
tinya tertawa lebar melihat betapa pemuda berikat ke-
pala keemasan itu begitu cemas. "Sebentar lagi, Ratu...
sebentar lagi...," sambungnya dalam hati pada dirinya
sendiri. Rajawali Emas yang baru saja hendak mengalirkan
tenaga dalamnya menjadi urung. Dibenarkannya kata-
kata si gadis. Lalu dengan cepat diangkatnya tubuh
gadis itu yang tertawa dalam hati dan segera mende-
kap si pemuda erat-erat.
Tak memikirkan apa-apa, Rajawali Emas berkelebat
sambil membopong tubuh Putri Lebah. Setelah cukup
lama diderai air hujan, Tirta melihat sebuah gubuk di
balik ranggasan semak belukar.
Tanpa berpikir panjang lagi Rajawali Emas segera
membawa Putri Lebah ke dalam gubuk itu, yang ken-
dati sudah agak reyot namun atapnya masih mampu
menahan tetesan air hujan. Dibaringkannya tubuh si
gadis ke sebuah dipan yang kebetulan ada di sana. La-
lu ditutupnya pintu kembali semata untuk menahan
angin dan percikan air hujan.
"Biar kuperiksa dulu kakimu, Ken," kata Tirta ke-
mudian. Dan dia cukup terkejut sebenarnya tatkala di-
lihatnya Putri Lebah menarik bagian celana pangsi di
kaki kanannya, hingga memperlihatkan bungkahan
betisnya yang putih mulus.
Tetapi lagi-lagi karena tak berpikir apa-apa dan se-
mata karena merasa Putri Lebah hendak mempercepat
pertolongannya, Tirta segera mengalirkan tenaga da-
lamnya. Bersamaan dengan itu pula, Putri Lebah
menghidupkan kembali urat syaraf pada kakinya. Ini
dikarenakan dua sebab. Pertama, dia tak mau merasa
kesakitan kembali. Kedua, karena dia seperti sudah
menemukan apa yang diinginkannya.
Saat mengalirkan tenaga dalamnya, nampak Tirta
sedikit terkesiap. Tetapi kejap lain dia sudah kelihatan
seperti biasa kembali.
"Tidak apa-apa," katanya seraya menurunkan kem-
bali celana pangsi di bagian kaki kanan Putri Lebah
yang agak basah. Namun kelihatan kalau Tirta kemu-
dian segera mengalihkan pandangannya ke arah de-
pan. Karena, pakaian hijau muda yang dikenakan oleh si
gadis mencetak tubuh indah yang begitu nyata karena
basah! Putri Lebah yang mengerti mengapa Tirta bersikap
seperti itu terbatuk-batuk.
"Oh... aku demam!" serunya agak tertahan.
Dan seketika itu pula Rajawali Emas kembali meng-
alihkan pandangan ke arahnya. Dengan cepat diperik-
sanya pergelangan tangan kiri Putri Lebah. Terasa pa-
nas dan aliran darahnya agak tersendat.
"Mungkin karena kehujanan...," kata Tirta kemu-
dian dengan suara pelan.
Putri Lebah mengangguk-angguk dengan wajah di-
buat semakin memucat. Dan untuk membuat tubuh-
nya menjadi panas dan wajahnya memucat, sudah ten-
tu sangat mudah dilakukan olehnya. Hatinya makin
bersorak tatkala mendapati sikap Tirta yang kelihatan
serba salah. "Kesempatan ini tak boleh kuhentikan sampai di
sini," kata Putri Lebah dalam hati.
Lalu dia menggeliat dengan seruan-seruan terta-
han. Dan geliatannya itu makin memperlihatkan bung-
kahan payudaranya yang kian membusung. Apalagi,
begitu kentara sekali karena pakaian yang dikenakan-
nya basah! "Gila!" desis Tirta dalam hati. Perasaannya mulai
tak menentu, hingga dia lupa untuk mengeringkan tu-
buh sekaligus pakaiannya. Padahal hanya dengan
mengalirkan tenaga surya yang terdapat dalam tubuh-
nya, dengan mudah seluruh pakaian dan tubuhnya
akan mengering.
Setelah menenangkan perasaannya, terburu-buru
pemuda dari Gunung Rajawali ini memeriksa tubuh
Putri Lebah. Dan karena geliatan tubuh si gadis yang
begitu cepat, tanpa disengaja tangan Tirta menyentuh
payudaranya. Bagai disengat lebah, pemuda ini terburu-buru me-
narik tangannya.
"Gila! Bisa sinting aku kalau begini! Ini gara-gara
hujan celaka! Padahal aku ingin sekali mengetahui
siapa para penunggang kuda yang telah melalui jalan
ini. Entah di mana mereka berada sekarang. Masih di
sekitar sini ataukah...." . "
"Tirta... aku... aku...."
Kata batin Rajawali Emas terputus tatkala mende-
ngar racauan Putri Lebah yang sudah tentu sengaja
dibuat oleh gadis itu. Dan berkali-kali Putri Lebah ter-
tawa dalam hati. "Ini kesempatan yang sangat kutung-
gu sekali. Tetapi... mengapa 'Uap Kembang Surga' te-
tap tak memberi pengaruh apa-apa padanya" Persetan
dengan semuanya! Aku harus mendapatkannya!"
Lalu dengan kedua tangan bergerak kacau, Putri
Lebah membuat gerakan seperti hendak membuka pa-
kaiannya. Melihat hal itu, Tirta terbeliak kaget. Dengan
cepat dia menahan kedua tangan Putri Lebah. Namun
yang tak disangkanya....
Justru kedua tangan Putri Lebah menarik kepala
Tirta hingga terjatuh tepat di dadanya. Bukan buatan
gelagapannya pemuda ini menerima keadaan itu.
Terburu-buru dia hendak menarik kembali kepa-
lanya. Namun Putri Lebah yang sengaja menekan ke-
dua tangannya, semakin membuat kepala si pemuda
kian mendekam di payudaranya yang montok dan san-
gat kentara sekarang.
Bahkan lebih gila lagi, dengan sengaja Putri Lebah
menggerak-gerakkan tangannya hingga kepala Tirta
sekarang bukan hanya mendekam, melainkan juga
menggesek-gesek!
Saat itulah si pemuda mencium aroma wangi yang
memabukkan, yang begitu menusuk indera penci-
umannya. "Celaka! Kenapa aku jadi seperti orang dungu seka-
rang?" desis Tirta dalam hati. "Ini tak boleh kubiarkan terlalu lama... tidak
boleh...."
Berpikir demikian, si pemuda dengan cepat meng-
gerakkan kedua tangannya....
Tuk! Tuk! Ditotoknya urat di bahu kanan kiri Putri Lebah
yang terjingkat sejenak, lalu bersamaan dengan itu ke-
dua tangannya yang menekan kepala. Tirta terlepas
dan jatuh tergolek di samping kanan kiri tubuhnya.
"Keparat!" maki Putri Lebah dalam hati. "Iman pemuda ini cukup tebal juga
rupanya! Dia tak bisa dibu-
juk dengan cara seperti ini! Seharusnya aku lebih dulu
menotok dan memaksanya. Hingga semuanya... hei!
Mengapa kurasakan ada aliran panas masuk melalui
kedua kakiku?"
Putri Lebah yang sejak tadi memejamkan kedua ma-
tanya, membuka sedikit kelopak matanya. Dilihatnya
pemuda bersenjatakan Pedang Batu Bintang itu se-
dang memegang kedua ibu jari kakinya. Rupanya, Tir-
ta sedang mengalirkan tenaga surya dalam tubuhnya.
Selain memberikan kehangatan pada si gadis, dia juga
bermaksud mengeringkan pakaian dan tubuh gadis
itu. Putri Lebah yang merasakan perubahan itu kembali
menggeram dalam hati, "Keparat! Semuanya gagal! Ga-
gal total!! Rupanya pemuda ini benar-benar sulit ditak-
lukkan!" Sementara itu, Tirta sedang menarik napas panjang
setelah selesai mengalirkan tenaga surya pada Putri
Lebah. Setelah menatap sejenak pada gadis yang ber-
lagak memejamkan kedua matanya, segera saja dialir-
kan tenaga surya yang berpusat pada perutnya itu ke
tubuhnya sendiri dan hanya dua kejapan mata saja,
sekujur tubuhnya sudah kering.
Kembali dia menarik napas dan mengalihkan pan-
dangan pada Putri Lebah yang kali ini terdiam dengan
mata dipejamkan, namun hatinya mendumal tak ka-
ruan. "Gila! Hampir saja terjadi.... Hmm... demam gadis
ini nampaknya sudah mulai turun. Panas yang kura-
sakan tadi menghilang rupanya," batin Tirta dalam ha-
ti. Lalu dilepaskan totokannya pada kedua bahu si ga-
dis yang terjingkat sedikit. Bersamaan dengan itu, se-
perti baru sadar dari pingsan Putri Lebah membuka
kedua matanya. "Tirta... di mana kita berada?" tanyanya dengan su-
ara yang dibuat parau. Tirta tersenyum.
"Kau aman. Kau tadi diserang demam. Ken Zu-
raidah." "Oh! Apakah aku...."
"Tidak, kau sudah tidak apa-apa...."
Putri Lebah kembali memejamkan kedua matanya se-
raya membatin, "Bagus! Pemuda ini kelihatannya be-
lum sadar apa yang kulakukan. Baiklah... kali ini aku
gagal lagi. Tetapi lain kali... akan kudapatkan semua-
nya. Huh! Bila tak kuingini untuk tidur dengannya, di
saat pemuda ini mencoba memeriksa tubuhku tadi,
sudah kubunuh dia seperti yang diinginkan Nenek Ca-
bul! Tetapi tidak, aku masih berkeinginan untuk tidur
dengannya! Hal itu harus kudapatkan!"
Lalu perlahan-lahan Putri Lebah bangkit dan du-
duk berselonjor di dipan itu. Dia berlagak mengurut-
ngurut kedua kakinya sendiri.
Di luar, hujan masih turun dengan derasnya. Angin
bergemuruh diselingi petir yang sambar menyambar.
Kilat sesekali menerangi tempat itu saat berkelebat.
Sambil masih mengurut-ngurut kedua kakinya de-
ngan suara dibuat penuh terima kasih dia berkata,
"Dua kali kau menolongku, Tirta... rasanya makin
banyak budimu yang harus kubalas...."
Tirta yang masih berkeinginan untuk mengetahui
siapa para penunggang kuda yang melewati tempat itu
mengulapkan tangannya sambil tersenyum.
"Sudahlah. Kau tidak perlu memikirkannya. Karena
kebetulan saja aku berada di dekatmu. Putri... sebaik-
nya kita tunggu sampai hujan berhenti." Rajawali
Emas terdiam sejenak, lalu menyambung sambil me-
natap Putri Lebah yang sedang menatapnya pula,
"Yang kucemaskan saat ini cuma satu."
"Oh! Apakah itu?"
Tirta tersenyum. "Menemukan Seruling Haus Darah
secepatnya. Karena kukhawatirkan dia sudah me-
nurunkan tangan telengas kembali...."
"Kau tak akan sempat bertemu dengan Seruling
Haus Darah, Rajawali Emas... karena kau akan mati di
tanganku.... Kau akan tahu itu kelak," kata Putri Le-


Rajawali Emas 19 Memburu Nyawa Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bah dalam hati. Lalu katanya, "Yah... lebih baik kita
menunggu sampai hujan berhenti. Daripada...
heemph!" Kata-kata si gadis terputus tatkala tangan kanan
Tirta mendekap mulutnya.
"Jangan bersuara," bisik pemuda dari Gunung Ra-
jawali ini dan perlahan-lahan melepaskan tekapan ta-
ngannya pada mulut Putri Lebah.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara ringkikan
kuda yang cukup keras di sela-sela gemuruh hujan....
*** Bab 6 KEMBALI ke tempat semula, saat ini Wulung Seta bu-
kan alang kepalang paniknya. Kedua matanya makin
terbuka lebih lebar melihat gebrakan yang dilancarkan
oleh Sudra Jalang.
"Celaka! Ajalku rupanya akan tiba di sini, padahal
aku belum menuntut balas pada Seruling Haus Da-
rah!" batin si pemuda gelisah. Dan sebisanya dia beru-
saha membuang tubuh ke samping. Gerakan yang di-
lakukan dengan mengandalkan nalurinya itu memang
berhasil menyelamatkannya.
Akan tetapi, Sudra Jalang yang memang sudah tak
mau bertindak ayal, kembali melancarkan serangan
dengan cara menyergap. Kali ini jelas sekali kalau Wu-
lung Seta tak akan bisa berbuat banyak.
Namun.... Baru saja Wulung Seta mengumpulkan sisa-sisa te-
naganya dan bersiap hendak melompat kembali, tiba-
tiba saja dia merasa tubuhnya ada yang mendorong ke
samping. Begitu kuatnya hingga si pemuda bagai kehi-
langan kendali.
"Hei!" seru Pemuda ini tertahan sementara tubuh-
nya bergulingan lima tindak. Tiba-tiba pula dia telah
berdiri tegak, sementara di belakangnya terdengar sua-
ra letupan bersamaan dengan tumbangnya sebuah po-
hon. akibat pukulan Sudra Jalang yang melenceng dari
sasarannya. Kali ini tatapan Wulung Seta mencerminkan kehe-
ranan yang luar biasa. Bahkan, dirasakan kalau tu-
buhnya yang tadi nyeri dan kesakitan mulai berangsur
normal. Jalan napas dan aliran darahnya mulai mem-
baik hingga dia bisa bernapas dengan lega.
Sudra Jalang yang mendapati serangannya lolos,
menggeram hebat seraya menghentikan gebrakan se-
lanjutnya. Pandangan lelaki ini menatap tak percaya.
"Gila! Bagaimana mungkin pemuda ini bisa lolos
dari seranganku" Tak mungkin! Tak mungkin itu bisa
terjadi!" batinnya murka. Lalu dia berseru dengan na-
da menyentak, "Pemuda celaka! Siapa kau sebenar-
Nya Wulung Seta yang masih keheranan mendapati apa
yang terjadi pada dirinya, hanya memandangi sekujur
tubuhnya dengan dada dibuncah keheranan.
Sementara itu, Sudra Jalang yang tidak tahu apa
yang dialami Wulung Seta dan merasa kalau dia diper-
mainkan si pemuda karena seruannya tak mendapat
tanggapan, menjadi makin murka.
Kali ini dia mengangkat kedua tangannya ke udara.
Menggerakkannya berkali-kali. Dan mendadak saja
ada hawa dingin yang sangat luar biasa mendera tem-
pat itu. Merasakan perubahan udara, Wulung Seta yang
masih belum bisa menemukan jawaban apa yang telah
terjadi barusan pada dirinya, segera mengangkat kepa-
lanya. Ada sedikit perasaan ngeri tatkala mendapati
betapa dinginnya wajah lelaki yang berdiri dua tombak
di hadapannya. "Hmmm... entah siapa yang telah menolongku ini.
Tubuhku mulai terasa normal. Tenaga dalamku pun
mulai kurasa lebih mudah dialirkan. Kendati lelaki ini
memiliki ilmu yang lebih tinggi, aku tak begitu meng-
harapkan bantuan orang di balik angin ini sekarang,
meskipun tak lupa kuucapkan terima kasih atas ban-
tuannya tadi. Tetapi... bagaimana dengan nasib Sri
Kunting" Apakah saat ini dia berhasil lolos atau... ah!
Biarlah kuhadapi manusia celaka ini!"
Dengan cara mengangkat dagunya, Wulung Seta
berkata, "Manusia laknat! Apakah kau sudah putus
nyali hingga mengeluarkan ilmu yang kupikir sangat
dahsyat itu"!"
Sudra Jalang merandek, "Bagus bila kau tahu jurus
'Kabut Es' ini sebuah jurus yang sangat dahsyat!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau tak
menjual es batu saja di kotapraja" Siapa tahu kau
akan mendapatkan keuntungan yang banyak"!" sam-
but Wulung Seta dengan bibir membentuk seringaian.
"Setan muda keparat! Kau akan beku dengan jan-
tung rontok sekarang!!"
Habis menghardik demikian keras, dengan kema-
rahan tinggi, Sudra Jalang menggebrak ke depan. Ke-
dua tangannya dibuka dan didorong ke arah Wulung
Seta. Seketika menghampar kabut putih yang dibaluri
hawa sangat dingin luar biasa. Menyusul gemuruh an-
gin dan air yang seperti memercik!
Wulung Seta terkesiap mendapati serangan itu. De-
ngan cepat dia melompat ke belakang dengan cara me-
mutar tubuh di udara. Masih berada di udara pemuda
ini menggerakkan kedua tangannya, melepaskan pu-
kulan 'Gerbang Marakahyangan', salah satu jenis pu-
kulan yang diajarkan oleh gurunya, mendiang Ki Alam
Gempita yang tewas di tangan Seruling Haus Darah
(Untuk mengetahui kematian Ki Alam Gempita, silakan
baca : "Seruling Haus Darah).
Namun pada saat si pemuda yang masih bertelan-
jang dada ini melepaskan pukulan 'Gerbang Marakah-
yangan', pemuda ini menjadi kaget sendiri. Karena be-
gitu dia kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan-
nya, terasa ada satu kekuatan yang luar biasa besar
menjalari sekujur tubuhnya. Malah tatkala si pemuda
menggerakkan kedua tangannya melepaskan pukulan
'Gerbang Marakahyangan', satu kekuatan menggebrak
terlebih dahulu dan menindih gelombang dingin jurus
'Kabut Es' milik Sudra Jalang, hingga pukulan
'Gerbang Marakahyangan' melesat tanpa halangan ke
arah lelaki berwajah persegi itu!
"Gila! Kenapa jadi begini" Ada kekuatan lain dalam
diriku! Apakah ini disebabkan... oh! Aku tahu! Orang
di balik angin yang entah siapa dia adanya, tentunya
telah membantuku!" desis Wulung Seta dalam hati.
Di depannya, Sudra Jalang yang telah berhasil
menghindari gebrakan pukulan murid mendiang Ki
Alam Gempita, berdiri tegak di atas tanah dengan se-
pasang mata terbuka lebar. Kedua matanya makin ter-
pentang besar seakan tak percaya melihat pukulan
yang baru dilepasnya, begitu mudah dipupuskan si
pemuda. Padahal sebelumnya, dengan mudahnya dia
bisa membikin si pemuda kacau balau.
"Sialan! Siapa sebenarnya pemuda ini" Pertama kali
kugebrak tadi begitu mudah dia kujatuhkan! Tetapi
kemudian dia bisa menghindari seranganku! Bahkan
barusan, pukulan 'Kabut Es' bukan hanya bisa dihin-
dari, namun juga berhasil dipatahkannya! Gila! Siapa-
kah dia sebenarnya"! Apakah... peduli setan! Dia harus
mampus! Keenakan Lodra Jalang yang kemungkinan
besar sekarang sedang asyik menggeluti tubuh montok
gadis yang sedang mandi tadi!!"
Memutus kata hatinya sendiri, seraya mendengus
keras Sudra Jalang menggebrak kembali tatkala dili-
hatnya Wulung Seta tegak berdiri. Dia tidak tahu kalau
Wulung Seta masih diliputi rasa keheranan dengan
apa yang dirasakannya.
Namun pemuda tampan ini segera mengangkat ke-
palanya tatkala dirasakan hawa dingin menyergap ke
arahnya. Segera saja dia melepaskan pukulan
'Gerbang Marakahyangan' yang lagi-lagi sebelum dila-
kukan, tenaga dahsyat luar biasa sudah menggebrak.
Buuummmmm!! Seketika tempat itu bergetar hebat. Beberapa pohon
tumbang dan jatuh berdebam. Air sungai muncrat cu-
kup tinggi. Tanah dan semak belukar berantakan dan
bertabur di udara.
Sudra Jalang nampak terhuyung lima tindak sebe-
lum akhirnya ambruk terduduk dengan mulut kelua-
rkan darah. Wajahnya pucat pasi laksana tidak berdarah.
Sekujur tubuhnya bergetar dengan sepasang mata di-
rapatkan erat-erat. Tatkala dibuka, nampak dari sepa-
sang matanya mengalirkan air, tanda dia sedang me-
nahan sakit yang sangat kuat.
Di seberang, Wulung Seta hanya surut dua tindak.
Dia meringis sejenak sebelum akhirnya mengerutkan
kening. "Aneh! Mengapa ada tenaga lain yang mendahului
gebrakanku barusan?" desisnya dalam hati dengan pe-
rasaan makin dibuncah keheranan.
Sementara itu, Sudra Jalang yang perlahan-lahan
dadanya dirasuki perasaan kecut diam-diam membatin
pula, "Gila! Bisa-bisa justru aku yang akan tamat se-
karang" Celaka betul! Siapa pemuda ini"!"
Pada saat yang bersamaan, Wulung Seta juga se-
dang membatin kembali, "Hmm... aku harus berterima
kasih pada orang yang entah siapa telah menolongku
ini. Manusia celaka di hadapanku nampak sudah tak
berdaya kendati kelihatan dia berusaha untuk bangkit.
Berarti, untuk sementara dia tentu tak akan sanggup
untuk menahan keinginanku. Sebaiknya, aku meno-
long Sri Kunting saja!"
Memutuskan demikian, si pemuda memutar tubuh
dan hendak berkelebat. Namun....
Sebelum Wulung Seta melakukan maksud, menda-
dak saja satu sosok tubuh gemuk terlontar dari balik
ranggasan semak. Dan ambruk di tanah yang seketika
bertabur tanpa nyawa!
"Lodra Jalang!!" seru Sudra Jalang yang telah ber-
diri kendati agak goyah dengan sepasang mata terbe-
liak besar. Keheranan yang sama pun menghantui diri Wulung
Seta. Sesaat si pemuda yang mengurungkan maksud
ini, menatap tak berkedip pada sosok tubuh Lodra Ja-
lang yang tiba-tiba melayang ambruk dan telah menja-
di mayat! "Aneh! Siapakah yang telah melakukannya" Apakah
Sri Kunting yang akhirnya nekat untuk melawan" Te-
tapi tidak! Gadis seperti Sri Kunting lebih rela putus
nyawa ketimbang memperlihatkan auratnya atau di-
permainkan harga dirinya"! Lantas, siapa yang mela-
kukan semua ini" Jangan-jangan... orang yang telah
membantuku yang melakukannya?"
Selagi kedua orang itu dibuncah perasaan masing-
masing, melompat satu sosok tubuh mengenakan pa-
kaian biru muda dan ikat kepala berwarna sama.
"Permainan harus segera dihentikan! Perbuatan bu-
suk harus dimusnahkan! Kawanmu telah menemui aj-
al! Apakah kau ingin bernasib sama, Lelaki keparat"!"
Seketika Sudra Jalang surutkan langkah satu tin-
dak dengan pandangan terpentang besar tak percaya
melihat siapa yang muncul. Seketika dia membatin ge-
lisah, "Tak mungkin! Tak mungkin gadis itu bisa men-
galahkan Lodra Jalang! Dalam keadaan si gadis berpa-
kaian utuh, belum tentu dia bisa mengalahkannya!
Apalagi gadis itu sebelumnya hanya mengenakan pa-
kaian luar saja! Tetapi... sekarang dia sudah berpa-
kaian lengkap mengenakan pakaiannya sendiri!"
Sementara Wulung Seta mendesis dalam hati, "Sri
Kunting! Apa yang telah terjadi"!"
Ya, apa yang telah terjadi sebenarnya"
*** Bab 7 SEBAIKNYA kita lihat saja dulu apa yang sebenarnya
dialami Sri Kunting. Begitu melihat sosok Wulung Seta
yang gagal menghalangi maksud Lodra Jalang, Sri
Kunting segera berlari menjauh. Kendati begitu geram
dan berkeinginan keras untuk membantu Wulung Se-
ta, namun dengan hanya mengenakan pakaian luar
tanpa pakaian dalam, sudah tentu si gadis merasa tak
akan mampu berbuat banyak.
"Celaka! Aku harus menjauh!" batin gadis ini geli-
sah. "Kau hendak lari ke mana, Cah Ayu"! Bukankah le-
bih baik menerima kehadiran kakangmu ini"!" terde-
ngar seruan Lodra Jalang seraya terus berkelebat de-
ngan sepasang mata terbuka lebar. Lelaki bertubuh ge-
muk ini yakin kalau gadis yang diburunya akan me-
tarikan diri. Dan baginya, ini sebuah permainan yang
sangat mengasyikkan sebelum memutuskan kembali
untuk mencari Rajawali Emas seperti yang diinginkan
Seruling Haus Darah. Terbayang sudah apa yang akan
dilakukannya bila berhasil mengejar sekaligus menda-
patkan gadis itu.
Di kejauhan, Sri Kunting yang mendengar seruan
Itu bertambah ciut perasaannya. Dia terus berlari dan
berusaha untuk menindih bayangan mengerikan yang
singgah di benaknya.
"Tidak! Aku tidak boleh terlambat bergerak sedikit
pun juga!" katanya dalam hati memberi semangat pada
dirinya sendiri. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya
setinggi mungkin.
"Ayolah, Cah Ayu! Tak perlu kau menjauh dari Ka-


Rajawali Emas 19 Memburu Nyawa Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kang mas mu ini! Ayo, kita bersenang-senang!!"seru
Lodra Jalang sambil terus mengejar dengan pandan-
gan terbuka lebih lebar.
Di depan, Sri Kunting terus berlari tanpa menghi-
raukan akar pohon yang melintang dan melompati
ranggasan semak belukar. Namun mendadak saja, si
gadis menghentikan langkah seraya mengeluarkan pe-
kikan tertahan.
Satu sosok tubuh telah berdiri tegak di hadapannya
sambil menyeringai lebar!
"Kau tak akan bisa melarikan diri dari tangan ka-
kangmu ini, Manis"!"
Mengkeret tubuh Sri Kunting mendapati sosok ge-
muk Lodra Jalang yang menghadangnya. Rupanya, le-
laki gemuk itu memotong jalan dan akhirnya mengha-
dang langkah si gadis.
"Celaka! Apakah semua yang tak kuharapkan ini
akan kualami pula"!" desis Sri Kunting dalam hati de-
ngan dibuncah kegalauan tinggi. "Tidak! Biar bagai-
manapun juga, aku harus mencoba menghadapinya!
Tetapi... apakah gerakanku nanti tidak akan memper-
lihatkan...."
"Ayolah, Manis! Kita bersenang-senang!" seruan
kotor Lodra Jalang memutus kata hati si gadis. Tata-
pannya makin memancarkan birahi dan seringaiannya
bertambah lebar. "Kau tak usah memikirkan pemuda
yang kuyakini adalah kekasihmu itu! Lagi pula, dia
tentunya sudah mampus sekarang!!"
Mendengar ucapan orang itu, si gadis menjadi ga-
lau. "Oh! Benarkah Kakang Wulung Seta sudah tewas"
Tidak, itu tidak boleh terjadi! Meski dia bukan kekasih-
ku, tetapi secara tidak langsung dia adalah... oh!!"
Sri Kunting segera memutus kata batinnya sendiri
seraya membuang tubuh ke samping tatkala Lodra Ja-
lang sudah menyergapnya sambil tertawa-tawa. Saat
membuang tubuh tadi, si gadis memegang erat-erat
baju bagian bawah milik Wulung Seta yang dikenakan-
nya! Lodra Jalang berbalik dengan tatapan penuh birahi.
"Mengapa kau memegang pakaian itu" Bukankah
lebih mengasyikkan bila kau melepaskannya"!"
"Lelaki jahanam!" maki si gadis dengan tatapan
kian memucat. "Lebih baik aku mati daripada menjadi
barang mainanmu!!"
Lodra Jalang terbahak-bahak seraya maju dua tin-
dak mendengar kata-kata si gadis.
"Kau memang berhak untuk mati, Cah Ayu! Tetapi
tentunya setelah kunikmati apa yang kuinginkan!!" *
"Jahanam!!" menggigil tubuh Sri Kunting antara
marah dan takut.
"Bukankah permainan ini sangat mengasyikkan"!
Aku yakin, kau pasti sangat menikmatinya! Kita lihat
sekarang, apakah kau bisa menahan pakaian itu tetap
lekat pada tubuhmu"!" seru Lodra Jalang seraya
menggerakkan tangan kanannya.
Saat itu pula menghampar angin keras ke arah Sri
Kunting diiringi suara bergemuruh.
Sambil memekik tertahan, si gadis kembali mem-
buang tubuhnya. Namun sebelum dia berhasil menje-
jakkan kedua kakinya di tanah, angin keras yang be-
rasal dari pukulan Lodra Jalang mencecarnya. Hingga
si gadis bukan hanya menjadi panik, tetapi juga keta-
kutan seraya keluarkan seruan-seruan tertahan.
Sementara Lodra Jalang kian terbahak-bahak, Sri
Kunting membatin resah, "Celaka! Tak mungkin aku
bisa bertahan seperti ini terus menerus! Suatu saat pa-
kaian yang kukenakan tentu akan bisa dilepaskan le-
laki keparat ini!" .
Apa yang diperkirakan si gadis memang benar. Se-
telah puas mempermainkan sekaligus menguras tena-
ga Sri Kunting, Lodra Jalang mulai menggerakkan tan-
gan kirinya pula. Dua angin keras menyergap Sri Kunt-
ing dari dua arah!
"Saatnya untuk melihat tubuh molekmu sekarang!!"
seru Lodra Jalang dan menggerakkan kedua tangan-
nya. Sri Kunting yang sudah tak mungkin untuk meng-
hindar, kini hanya mendekam berlutut dengan kedua
tangan erat-erat memegang ujung pakaian yang dike-
nakannya. "Lebih baik aku mati...."
Tetapi mendadak saja....
Begitu angin-angin keras yang siap merobek-robek
pakaian si gadis menderu, mendadak saja satu tenaga
yang tak nampak dan tanpa keluarkan suara apa-apa,
melabrak angin yang dilepaskan Lodra Jalang.
Blaaammm! Seketika angin yang dilepaskan oleh Lodra Jalang
melenceng dan menghajar tiga buah pohon sekaligus
yang bergetar dan menggugurkan dedaunan.
Sudah tentu Lodra Jalang menjadi terkejut. Lelaki
gemuk ini sampai mundur dua tindak melihat apa
yang terjadi. Namun di kejap lain dia segera memben-
tak, "Orang celaka! Siapa kau yang berani buka uru-
san denganku"!!"
Suasana senyap sejenak. Sri Kunting yang merasa
terbebas perlahan-lahan mengangkat kepalanya den-
gan tatapan tak mengerti. Lalu dengan hati-hati di-
edarkan pandangannya. Namun tak tampak sosok lain
kecuali sosok gemuk di hadapannya yang sedang men-
cak-mencak. "Setaann keparaaatt! Tampakkan sosok sialanmu!
Biar aku bisa mematahkan seluruh tulang belulang
dalam tubuhmu!!"
Habis hardikan Lodra Jalang, kembali suasana di-
rejam kesunyian. Hal ini membuat Lodra Jalang ber-
tambah murka. Tatkala dia hendak membuka mulut,
mendadak saja terdengar suara yang begitu santun
dan bijaksana, "Sebenarnya, aku tak ingin mencampu-
ri urusan ini, karena kupikir ini bukan urusanku! Te-
tapi... sikapmu
dan kawanmu itu sudah kelewat batas! Yang akan ku-
lakukan bukan untuk menghukum, melainkan untuk
menyadarkanmu, Orang tak beradab!"
"Setan laknat! Keluar kau!!"
"Berjanjilah kepadaku untuk menghentikan semua
perbuatan keparatmu ini, karena perbuatan yang telah
kau dan temanmu itu lakukan, merupakan perbuatan
terkutuk! Satu hal lain yang perlu kau ketahui... kau
dan temanmu itu, sebenarnya tak lebih dari boneka-
boneka Seruling Haus Darah! Seharusnya kau sadar
akan hal itu!!"
Tak menyahuti ucapan orang yang entah siapa dan
berada di mana, dengan murka Lodra Jalang melepas-
kan pukulan-pukulannya. Seketika terdengar letupan
demi letupan yang menerbangkan tanah dan rangga-
san semak di beberapa tempat.
Bahkan ada pukulan yang mengarah pada Sri Kun-
ting! Namun entah bagaimana terjadinya, pukulan itu
pupus di tengah jalan hingga si gadis yang tadi sudah
terkesiap kini bisa bernapas lega kendati dia tak men-
gerti mengapa itu bisa terjadi.
Sementara itu, meskipun Lodra Jalang terus mele-
paskan pukulan demi pukulannya yang menimbulkan
suasana seperti dilanda angin puyuh, sosok orang
yang berbicara tadi tetap tidak muncul. Namun sua-
ranya terus terdengar, "Aku sudah memberi jalan ke-
luar padamu! Tetapi kau tak mengindahkan kata-
kataku!" "Setan! Keluarlah bila kau memang punya nyali!!"
sentak Lodra Jalang dengan napas agak terputus-pu-
tus karena mulai kelelahan. Namun hatinya kian gu-
sar. "Sadarlah... hingga kau berada di jalan kebenaran!"
"Jangan berkhotbah!!" makin mengkelap Lodra Ja-
lang dengan pandangan berkeliling geram. "Tampak-
kan wajahmu hingga aku bisa mengorek jantungmu
dan memakannya!!"
'Ternyata, aku memang harus menghukum! Tetapi,
aku tetap memberimu jalan keluar! Apakah kau...."
Kata-kata yang diucapkan entah oleh siapa dan di
mana orang itu berada terputus tatkala Lodra Jalang
sudah lepaskan jurus 'Kabut Es'!
Seketika suasana menjadi begitu dingin sekali. Sri
Kunting yang diam-diam mengalirkan hawa panas da-
lam tubuhnya, menjadi urung. Karena entah dari ma-
na datangnya, mendadak saja tubuhnya seperti diling-
kari hawa hangat yang melindungi tubuhnya dari ha-
wa dingin yang dilepaskan oleh Lodra Jalang.
Sementara itu bersamaan hawa dingin yang me-
nyergap, terdengar lagi suara penuh santun, "Aku tak
bosan-bosannya untuk memberimu jalan keluar! Sila-
kan kau keluarkan apa yang kau miliki."
Makin ganas Lodra Jalang sembari terus menerus
melepaskan jurus 'Kabut Es'. Di tempat itu mendadak
saja seperti diliputi oleh kabut putih yang sangat din-
gin. Beberapa pohon seperti membeku dan tak bergem-
ing terkena tiupan angin.
Dalam suasana yang tidak bisa ditembus oleh pan-
dangan mata telanjang, mendadak terdengar teriakan
yang sangat keras bak sebuah lolongan anjing hutan,
"Aaaaakhhhhh!!"
Menyusul suara pohon berderak seperti terhantam
sesuatu. Dan begitu terdengar suara berderak tadi, ka-
but putih yang melingkupi tempat itu seketika memu-
dar. Sepasang mata Sri Kunting terbeliak lebar tatkala
dilihatnya sosok Lodra Jalang terkulai di bawah seba-
tang pohon dengan mulut dan hidung mengalirkan da-
rah. Dalam sekali lihat saja si gadis tahu kalau lelaki
gemuk itu sudah tewas.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, di sisi kanan-
nya telah tergolek pakaiannya lengkap dengan sepa-
sang pedang miliknya. Tak mau membuang waktu, si
gadis segera menyambar pakaian biru muda miliknya.
Lalu melompat ke balik ranggasan semak dan bergegas
mengenakan pakaiannya.
Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan
pakaian lengkap. Sementara pakaian milik Wulung Se-
ta diikat di lehernya.
"Aneh! Siapakah orang yang telah menolongku ini?"
desisnya sambil mengedarkan pandangan, berusaha
menemukan orang yang dimaksud. Karena tak melihat
sosok lain kecuali sosok Lodra Jalang yang telah men-
jadi mayat, si gadis segera berseru, "Orang di balik an-
gin! Terima kasih atas bantuanmu!"
"Anakku... tak ada jalan lain untuk menghentikan
manusia seperti Lodra Jalang! Bila kau ingin tahu pe-
rasaanku saat ini, aku begitu gundah karena terpaksa
menurunkan tangan yang sebenarnya tak ingin kula-
kukan! Tetapi... memang seperti itulah cara yang pal-
ing tepat untuknya! Sekarang... kembalilah menemui
pemuda murid mendiang Ki Alam Gempita!"
Sri Kunting merangkapkan kedua tangannya di de-
pan dada. Lalu dengan suara agak bergetar dia men-
gucapkan tanya, "Apakah dia baik-baik saja"!"
"Ya, dia baik-baik saja! Dengan ilmuku yang tak se-
berapa ini, aku juga telah membantunya!"
Sri Kunting mengangkat kepalanya. Seolah melihat
orang yang berbicara berada di hadapannya. Lalu dia
berkata takjub, "Dalam waktu yang bersamaan?"
"Boleh dikatakan seperti itu! Tetapi, itu hanyalah
bantuan yang tak berarti, Anakku! Dan jangan menja-
dikanmu atau pemuda itu sebagai beban budi atas
perbuatanku! Aku tak mengharapkan apa-apa! Bahkan
kupikir, ini bukan merupakan bantuan, tetapi meru-
pakan satu kelancangan yang kulakukan! Kendati de-
mikian, aku bangga kalian berada di jalan kebenaran!"
"Luar biasa! Pada saat yang bersamaan orang ini
bisa menolongku dan Kakang Wulung Seta" Siapakah
orang ini sebenarnya?" batin si gadis terkagum-kagum.
Dan seperti melihat orang itu di hadapannya dia ber-
kata, "Maaf, bolehkah aku mengetahui siapa engkau
adanya?" "Suatu saat... kau pasti akan mengenalku. Camkan
kata-kataku ini! Bila kau menghendaki Seruling Haus
Darah, carilah Trisula Mata Empat milik Raja Dewa!
Senjata itulah yang bisa menandingi Seruling Gading
milik Raja Seruling yang telah dirampas oleh orang ke-
jam yang mengubah nama seruling itu dan sekaligus
menjadikan julukannya!! Dan menurut hematku.... Tri-
sula Mata Empat itu berada di tangan seorang perem-
puan genit yang berjuluk Nenek Cabul!"
Sri Kunting membungkuk perlahan. Lalu dengan
suara penuh hormat dia berkata, "Maafkan bila aku
menjadi lancang. Bila kau mengetahui semua itu,
mengapa tak menurunkan tangan untuk menghenti-
kan sepak terjang manusia sesat itu?"
"Aku datang bukan untuk menghukum. Aku datang
hanya untuk melihat kebenaran, karena... hanya itu-
lah yang bisa kulakukan."
"Maafkan aku!" sahut Sri Kunting dengan wajah
agak memerah. "Tidak ada yang perlu dimaafkan! Justru aku suka
mendengarnya, kendati kata-katamu tadi mencermin-
kan gejolak darah mudamu!"
"Bila memang begitu adanya, terima kasih atas
bantuan dan nasehatmu itu! Sayangnya, aku tidak di-
perkenankan untuk mengetahui siapakah engkau ada-


Rajawali Emas 19 Memburu Nyawa Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya?" "Temuilah murid mendiang Ki Alam Gempita!" ter-
dengar sahutan itu bernada memerintah.
Sri Kunting menarik napas. Kendati dia sangat pe-
nasaran untuk mengetahui siapa orang yang telah me-
nolongnya, namun dia tak bisa berbuat banyak.
Segera dihampiri sosok Lodra Jalang yang telah
menjadi mayat. Dengan hati dibaluri kegeraman, di-
angkatnya tubuh gemuk itu. Seraya memanggulnya si
gadis membawa mayat Lodra Jalang dan melempar-
kannya ketengah-tengah di mana Wulung Seta dan
Sudra Jalang berdiri.
*** Sudra Jalang yang setelah gagal menghantamkan
serangan demi serangannya pada Wulung Seta sudah
putus nyalinya, kali ini semakin mengkeret mendapati
mayat Lodra Jalang. Yang ada dalam pikirannya seka-
rang, kalau Lodra Jalang tewas di tangan si gadis yang
telah mengenakan pakaiannya sendiri!
Namun mungkin karena tidak mau merasa malu,
lelaki berwajah persegi ini cepat kerahkan tenaga da-
lam. Walau masih tetap terhuyung, namun sejenak
kemudian telah tegak dengan sepasang kaki terpacak
di atas tanah! Wulung Seta yang sekarang kelihatan lega menda-
pati gadis yang dicemaskannya nampak tak kurang
suatu apa, maju dua tindak ke muka.
"Manusia sesat! Apakah sekarang kau masih sang-
gup menghadapi kami"!" serunya keras kendati ha-
tinya masih dibaluri rasa heran dengan perubahan da-
lam dirinya. Sudra Jalang merandek dingin, "Untuk saat ini...
aku mengaku kalah! Tetapi...."
"Tidak ada tetapi!!" sambar Sri Kunting dengan wa-
jah geram. "Apakah kau sudah lupa betapa sebelum-
nya kau umbar tawa di hadapanku, hah"!!"
"Keparat!!" maki Sudra, Jalang dalam hati. "Sudah tentu sangat tipis untuk
meloloskan diri! Gila! Siapa
sebenarnya dua remaja ini" Sebelumnya mereka nam-
pak begitu lemah! Dan hei... aku baru sadar sekarang!
Bagaimana pakaian yang dikenakan gadis itu sekarang
bisa berada di tubuhnya" Bukankah...."
Kata batin Sudra Jalang terputus, tatkala dengan
geramnya Sri Kunting sudah loloskan kedua pedang-
nya. Dengan geraman keras dan sentakan yang sangat
kuat, gadis berpakaian biru muda ini sudah mengge-
brak maju. Sepasang pedangnya bergerak ke atas ke bawah.
Mendapati serangan yang ganas semacam itu, Su-
dra Jalang segera mengangkat kedua tangannya seraya
melepaskan jurus 'Kabut Es'!
Hamparan hawa dingin langsung pupus tatkala se-
pasang pedang di tangan Sri Kunting digerakkan. Bah-
kan tubuh gadis itu sudah meluncur dengan kedua ta-
ngan dijadikan satu!
"Gila!!"
Berteriak tertahan Sudra Jalang sambil membuang
tubuh ke samping. Sementara itu, Wulung Seta sendiri
berpikir kalau lelaki celaka itu memang harus diajar
adat. Makanya, begitu tubuh Sudra Jalang terlempar
ke samping, pemuda ini sudah menggebrak dengan
pukulan 'Gerbang Marakahyangan'!
Makin keras teriakan Sudra Jalang. Sebisanya dia
menahan serangan itu dengan kedua tangannya. Na-
mun terlambat. Pukulan 'Gerbang Marakahyangan' telak meng-
hantam dadanya hingga lelaki ini tersungkur ke bela-
kang seraya muntahkan darah. Penderitaan rupanya
belum pupus, karena begitu tubuhnya terlontar ke be-
lakang, Sri Kunting telah datang seraya mengibaskan
kedua pedangnya.
Cras! Cras!! Pluk! Pluk! "Aaaakkhhhh!!" melolong bak singa luka Sudra Ja-
lang menerima sabetan kedua pedang itu yang mema-
pas putus kedua lengannya. Tubuhnya bergulingan
menahan sakit. Darah seketika membuyar keluar.
Sri Kunting yang sudah sangat geram bermaksud
untuk menghabisi nyawa Sudra Jalang. Namun seruan
Wulung Seta mengurungkan niatnya. Saat memandang
ke arah si pemuda, Sri Kunting kelihatan tidak puas.
"Dia sudah tidak berdaya! Biarkan dia hidup!" kata
Wulung Seta yang mengerti apa arti tatapan Sri Kunt-
ing. Sri Kunting hanya keluarkan dengusan saja seraya
memasukkan sepasang pedang ke warangkanya. Sete-
lah menatap tubuh Sudra Jalang yang akhirnya ping-
san, gadis ini menceritakan apa yang dialaminya pada
Wulung Seta. Wulung Seta menarik napas pendek seraya berkata
dalam hati, "Bisa jadi dugaanku benar. Kalau orang
yang pernah berbicara pula denganku adalah orang
yang sama dengan orang yang menolongku dan Sri
Kunting." Lalu katanya, "Kalau memang begitu, lebih baik ki-
ta segera mencari Nenek Cabul, Sri Kunting!"
Sri Kunting menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Kakang Wulung!"
"Ayolah!"
Beberapa kejap kemudian, kedua remaja itu segera
berlalu, meninggalkan sosok Sudra Jalang yang ping-
san dengan kedua tangan kutung dan Lodra Jalang
yang tewas. *** Bab 8 SUARA ringkikan kuda yang dipadu dengan gemuruh
air hujan itu semakin keras terdengar.
"Siapa mereka?" tanya Putri Lebah dalam bisikan.
Tirta yang semenjak mendengar suara ringkikan
kuda itu mulai bisa menebak siapa mereka menyahut
dalam bisikan pula, "Kemungkinan besar... orang-
orang yang kita lihat jejaknya di sebelah timur sana.
Sebaiknya kita bersiap saja. Karena, kita belum tahu
siapa orang-orang itu."
Dari luar terdengar suara yang tentunya dikeluar-
kan dengan bantuan tenaga dalam, karena suaranya
jelas terdengar, "Kita berteduh di gubuk itu! Biarkan
kuda-kuda sialan ini berada di sini! Mati kedinginan
pun tak jadi masalah!"
Di dalam gubuk Tirta berkata, "Bersiaga!"
Dan sebelum Ratu dari Kegelapan yang sebenarnya
jengkel karena maksudnya gagal menyahut, pemuda
berpakaian keemasan itu sudah menerobos keluar. Itu
dilakukan sebelum orang-orang yang berada di luar
masuk ke dalam gubuk itu!
Dengan mengerahkan tenaga surya hingga setiap
kali air hujan menerpa tubuhnya langsung mengering,
pemuda dari Gunung Rajawali ini telah berdiri tegak
dengan kaki terpacak di tanah basah. Sekujur tubuh-
nya mulai rambut hingga ujung kaki tak basah sama
sekali! Apa yang diduga Rajawali Emas sebelumnya ter-
nyata benar. Orang-orang yang baru datang itu ber-
jumlah tiga orang dengan menunggangi kuda warna
hitam. Dan masing-masing orang seperti tertegun me-
lihat sosok tubuh yang keluar dari gubuk yang hendak
mereka masuki. Salah seorang yang bertubuh besar dengan wajah
dipenuhi bulu segera keluarkan bentakan, "Gila! Tak
kusangka kalau jumpa manusia di sini! Orang muda!
Siapakah kau"!"
Sepasang mata Tirta memicing tajam. Lalu men-
jawab dengan suara yang tak kalah kerasnya, "Bila
menghendaki jawaban, sebaiknya aku balik bertanya
dulu! Siapakah kalian adanya"!"
Orang yang tadi keluarkan pertanyaan merandek
gusar. Terutama mengingat mereka semakin kebasa-
han. Dan diam-diam orang yang berpakaian seperti
orang-orang keraton itu membatin, "Keberanian pemu-
da ini patut dipuji! Dan tubuhnya... gila! Tak basah se-
dikit juga terkena air hujan! Jelas kalau pemuda ini
bukan orang sembarangan!"
Lalu katanya, "Orang muda! Sebenarnya kau cukup
lancang berani membalikkan pertanyaanku! Tetapi bi-
ar tidak ada salah paham, tak ada salahnya bila kami
memperkenalkan diri! Namaku Gandung Pulungan!
Kawanku yang agak kurus itu bernama Kerta Sedayu!
Sementara yang agak pendek bernama Mangku Langit!
Kami adalah utusan dari Keraton Wedok Mulyo! Nah
Keinginanmu sudah kami penuhi! Silakan jawab' per-
tanyaanku tadi!"
Mendengar jawaban ketiga orang itu, Tirta meng-
ubah sikap siaganya. Kejap lain dia sudah tersenyum.
"Maaf bila aku bersikap tidak pada tempatnya! Ka-
rena seperti kita ketahui... saat ini rimba persilatan se-
dang kacau! Hingga sulit menentukan yang mana ka-
wan atau pun lawan! Namaku Tirta! Aku datang dari
Gunung Rajawali. Dan...."
"Kau dijuluki orang-orang rimba persilatan dengan
julukan Rajawali Emas!" tiba-tiba orang berpakaian ke-
raton yang bertubuh agak pendek berseru dengan wa-
jah berseri. Tirta mengalihkan pandangannya pada orang yang
bernama Mangku Langit itu.
"Kau benar adanya! Itulah julukanku!"
Gandung Pulungan yang tadi nampak jengkel, kali
ini tertawa keras.
"Gila! Justru aku yang begitu bodoh sekali rupanya!
Mangku Langit! Kau mengenali pemuda ini tentunya
karena ciri-ciri yang melekat pada dirinya, bukan" Ya,
ya! Aku begitu bodoh tidak tahu siapa orang yang ber-
diri di hadapanku!!"
Sementara itu di dalam gubuk, Putri Lebah yang
mengintip segera menarik kepalanya ke belakang. Wa-
jahnya kelihatan berubah cukup tegang.
"Celaka! Mereka adalah orang-orang dari Keraton
Wedok Mulyo! Keparat! Pasti ini urusan Pangeran Mu-
da yang kubunuh! Bisa kapiran urusan! Bisa-bisa......"
Putri Lebah memutus desisannya sendiri. Kejap lain di
bibirnya telah tersungging seringaian lebar. "Goblok!
Sudah tentu dengan penyamaranku sebagai Putri Le-
bah, orang-orang keparat itu tidak akan tahu siapa
aku sebenarnya! Berarti, penyamaranku akan
aman...." Pada saat yang sama Rajawali Emas sedang berka-
ta, "Hujan semakin deras turun! Sebaiknya kita masuk
ke dalam gubuk itu! Meskipun tidak begitu luas, tetapi
cukup untuk menahan tubuh dari derasnya air hujan!
O ya, ada seorang temanku di dalam gubuk! Baiknya,
kalian kuperkenalkan padanya!"
Setelah mendapatkan persetujuan dari ketiga lelaki
berpakaian keraton itu, Rajawali Emas segera masuk
ke dalam gubuk itu tetap dengan tubuh kering. Me-
nyusul ketiga orang itu masuk ke sana, setelah me-
Pendekar Mata Keranjang 14 Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak Misteri Kapal Layar Pancawarna 18
^